4 minute read
n KIPRAH LEMBAGA
from Majalah Unesa 162
KIPRAH LEMBAGA
BERBAGI ‘BERKAH’ SEBAGAI JURU BAHASA ISYARAT
Advertisement
Nur Rohimah Tisnawati. Lulusan S-1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) itu kerap tampil di berbagai acara. Dia sebagai jembatan komunikasi bagi penyandang disabilitas di berbagai komunitas dan organisasi. Prinsip hidupnya, menjadi berkah bagi orang lain.
Unesa punya juru bahasa isyarat, salah satunya Nur Rohimah Tisnawati. Lulusan S-1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) itu kerap tampil di berbagai acara penting baik dalam maupun luar kampus. Dia sebagai jembatan komunikasi bagi penyandang disabilitas di berbagai komunitas dan organisasi. Prinsip hidupnya, menjadi berkah bagi orang lain.
Nasib dan jalan hidup memang tidak bisa ditebak. Begitupun dengan perjalanan hidup Nur Rohimah Tisnawati. Dia tidak menyangka akan menjadi juru bahasa isyarat dan bisa membantu banyak orang, terutama penyandang tunarungu lewat kemampuannya.
Perempuan yang duduk di semester empat prodi PLB Pascasarjana Unesa itu mulai mengenal dan belajar bahasa isyarat sejak menjadi mahasiswa prodi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Awal-awal, dia mengaku tidak memiliki keterampilan berbahasa isyarat sama sekali. Prosesnya benar-benar mulai dari nol. Bahkan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa tunarungu di kampus pun kesusahan.
Kondisi itu membuatnya bertekad untuk mempelajari bahasa isyarat. Tidak hanya di lingkungan kampus, tetapi juga di komunitas-komunitas luar kampus, termasuk Komunitas Arek Tuli Surabaya. “Waktu itu saya merasa ada yang salah dengan diri saya yang notabenenya mahasiswa PLB kok tidak bisa berkomunikasi dengan teman-teman yang mengalami keterbatasan pendengaran,” ujarnya.
BERKONTRIBUSI SEBAGAI VOLUNTEER DAN PENDIDIK
Hampir setiap hari, Nana belajar dan berlatih meningkatkan skill bahasa isyaratnya. Pelan tapi pasti, dasar-dasar kebahasaan dia kuasai. Nana kemudian memutuskan untuk menjadi volunteer. Tugasnya yaitu membantu teman-teman komunitas atau organisasi tunarungu dalam berkomunikasi. Perannya yaitu menjadi jembatan komunikasi antara penyandang tunarungu dengan orang-orang normal atau ‘orang dengar’.
Keterlibatannya sebagai volunteer itulah, membuatnya dijuluki sebagai juru bahasa isyarat atau penerjemah bahasa isyarat. “Teman-teman tuli yang awal menyebut saya sebagai juru bahasa isyarat. Sampai sekarang saya pribadi masih menganggap diri saya sebagai volunteer, buka juru bahasa isyarat,” katanya.
Nur Rohimah Tisnawati (tiga dari kiri) saat menjadi juru bahasa isyarat untuk Polda Jatim.
Selain itu, perempuan yang merupakan mahasiswi semester 4 PLB Pascasarjana Unesa itu juga terjun menjadi juru bahasa isyarat bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Lagi-lagi tujuannya berbagi pengalaman tentang bahasa isyarat dan untuk membantu penyandang tunarungu dalam berkomunikasi. Menurutnya, belajar bahasa isyarat tidaklah muda dan tidak semua orang bisa. Terlebih, bahasa isyarat memiliki perbedaan tertentu, seperti Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) memiliki banyak perbedaan pada beberapa aspek.
Selain itu, bahasa isyarat yang dia pelajari di kampus juga sedikit berbeda dengan yang digunakan sehari-sehari di lapangan. Karena alasan itulah yang membuatnya merasa penting terus terlibat membantu teman-teman tuli, termasuk menjadi guru.
HADAPI TANTANGAN DENGAN HATI
Dari pengalaman Nana, juru bahasa isyarat tidak hanya menerjemahkan bahasa ‘orang dengar’ ke bahasa isyarat di acaraacara agar dipahami mereka yang KIPRAH LEMBAGA
berkebutuhan khusus. Namun, juga membantu penyandang tunarungu dalam berbagai aktivitas, seperti kuliah, seminar proposal, workshop, sidang skripsi hingga wawancara kerja. “Karena saya sebagai jembatan komunikasi, jadinya saya merasa harus selalu siap untuk membantu mereka (penyandang tunarungu) kapanpun,” ucapnya.
Menekuni bidang tersebut tidak lepas dari ‘kerikil’ yang harus dilewati dengan sabar dan ikhlas. Ada banyak tantangannya, seperti posisi juru bahasa isyarat dalam berbagai acara masih dipandang sebagai pelengkap semata. Padahal, harusnya tidak seperti itu, kedudukan serta kebutuhan komunikasi dan informasi antara penyandang disabilitas dengan nondisabilitas baiknya dipandang sama.
Hal itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam aturan itu juga jelas mengatur fungsi juru bahasa isyarat dalam berbagai kegiatan. Menurutnya, menjadi juru bahasa isyarat ada aturannya dan ada kode etiknya, jadi tidak bisa sembarang apalagi asal memberi isyarat.
Tantangan selanjutnya, menghadapi sebagian orang yang belum paham tentang deaf awareness atau kesadaran tentang tuli. Memang tidak semua orang harus paham, tetapi perlu ada upaya bersama untuk mewujudkan lingkungan masyarakat yang ramah disabilitas termasuk tunarungu dan peran pihak-pihak terkait di dalamnya. “Anggapan juru bahasa isyarat sebagai pelengkap dan deaf awareness ini tantangan yang harus jadi perhatian bersama dan itu yang terus kami sosialisasikan,” tandasnya.
TULARKAN BERKAH PADA SESAMA
Semangat berbagi dan memberi manfaat pada sesama, membuat Nana mampu dan tetap teguh menghadapi tantangan tersebut. Bahkan, baginya, menjadi juru bahasa isyarat bukan sebagai profesi, tetapi sebagai panggilan hati. Ada rasa yang tidak bisa didefinisikan ketika membantu dan berbagi manfaat dengan orang lain.
Baginya, setiap ucapan terima kasih dan senyuman dari mereka yang dibantu dapat menghadirkan energi positif dalam menghadapi hidup. “Ketika melihat senyuman dan kebahagiaan di wajah temanteman tuli itu seperti mendatangkan kekuatan tersendiri. Saya jadi merasa lebih menghargai hidup dan memahami satu sama lain. Prinsip saya, jadilah berkah bagi orang lain,” tuturnya.
Pada posisi itu, Nana mengaku tidak sebagai pemberi bantuan, tetapi justru secara tidak langsung ada relasi saling membantu satu sama lain. “Ketika saya membantu dan mendukung mereka, pada dasarnya saya juga memberikan bantuan dan dukungan pada diri sendiri. Bukankah setiap tindakan itu pada dasarnya adalah pada diri sendiri atau paling tidak akan kembali pada diri kita,” tukasnya.
Dia bermimpi, suatu saat, Indonesia bisa menerapkan dwibahasa dalam setiap kesempatan dan mewujudkan lingkungan yang ramah bagi disabilitas pada seluruh sektor. Disabilitas bukan kelompok kelas dua dan kadang di luar prioritas. Justru disabilitas memiliki kelebihan yang terkadang tidak dimiliki nondisabilitas. Keduanya tidak berbeda, hanya cara pandang kepadanya merekalah yang membuatnya berbeda.
“Terima kasih kepada orang tua atas doa dan restunya, kepada para guru dan dosen di UNESA atas didikan serta bimbingannya, kepada teman-teman mahasiswa, komunitas dan organisasi yang lainnya dan kepada pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan. Tanpa dukungan semuanya, mungkin saya tidak sampai di titik ini. Memang ini bukan prestasi, tetapi semoga bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi diri saya sendiri dan mungkin juga yang lain,” tutupnya pelan. n (AZHAR)