Majalah Unesa 94

Page 1



WARNA REDAKSI

Benarkan nasionalisme kita, terutama bagi generasi muda semakin luntur. Akankah, nasionalisme itu punah tergilas arus modernisasi dan individualisme?

Oleh

Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T.

S

eiring berkembangnya zaman, nasionalisme kian memudar dan begitu rapuh. Beberapa contoh sederhana yang menggambarkan betapa rendahnya rasa nasionalisme baik di lingkungan dunia pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat adalah saat mengikuti upacara bendera. Masih banyak peserta upacara yang tidak memaknai arti dan hakikat upacara tersebut. Padahal, upacara merupakan wadah untuk menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Ketika mengikuti upacara, para peserta, apalagi para generasi muda sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka saling bercakap dan menganggap upacara adalah kegiatan rutin belaka. Masyarakat saat ini juga lebih tertarik dan bangga terhadap produk impor dibandingkan dengan produk buatan dalam negeri. Masyarakat lebih suka mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia. Hampir semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu

kebangsaan Indonesia Raya, lagulagu perjuangan hanya dianggap sebagai simbol. Masyarakat, khususnya generasi muda banyak yang lupa identitas diri sebagai bangsa Indonesia karena gaya hidup yang cenderung meniru budaya barat. Jika seperti itu, bagaimana kita bisa bangga menjadi bangsa Indonesia? Fenomena itu muncul sejak era reformasi. Minat dan peran serta masyarakat untuk ikut mengambil

kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan yang sekarang masih hidup. Mereka tidak memperoleh reward berupa kehidupan yang layak di sisa umur mereka. Padahal, jika para pahlawan tidak mau berjuang, pasti Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing hingga kini. Benarkah nasionalisme kita, terutama bagi generasi muda semakin luntur. Akankah, nasionalisme itu punah tergilas arus modernisasi dan individualisme? Untuk menjawab tantangan itu, agar nasionalisme tidak tergerus oleh modernisasi dan individualisme, kita tentu harus kembali kepada ideologi nasionalisme yang bersumber pada mainstream Pancasila, khususnya sila Persatuan Indonesia yang menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan, mengembangkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. n

BANGKITKAN NASIONALISME GENERASI MUDA bagian dalam memeriahkan Dirgahayu RI mulai berkurang. Perlombaan-perlombaan 17an yang meriah saat masa orde baru, sudah jarang terlihat di era sekarang. Padahal, berbagai lomba tersebut memiliki nilai pembelajaran terkait kiprah pahlawan berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan tentunya disertai dengan rasa keikhlasan hati. Paling ironis, generasi muda bangsa saat ini

Majalah Unesa

*) Wakil Rektor II Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

3


DAFTAR RUBRIK

14 Edisi Ini

05

MENJAGA NASIONALISME DARI GEMPURAN GLOBALISASI

Reformasi yang terjadi 18 tahun lalu telah membuka kran kebebasan di banyak sektor, termasuk pemikiran. Pancasila menjadi sasaran serangan utama karena selama ini ideologi tersebut dianggap menutup semua aspirasi terhadap ideologi alternatif.

07

ANCAMAN GELOMBANG KETIGA NASIONALISME

10

YANG TERPEN­ TING ADALAH PENGAMALAN PANCASILA

07

E D I S I J U N I 2 018 16

30

NYARIS TAK BISA LANJUT KE SMA, TAPI SUKSES

Dari anak kampung yang nyaris tidak bisa lanjut SMA, akhirnya bisa mengunjungi negeri Singapura dengan beasiswa. Bahkan, kini selain mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, ia mendapatkan amanah sebagai Waka Kurikulum di sekolah tempatnya mengajar. Dialah Hariani Susanti, alumni FPBS, Jurusan Pendikan Bahasa Inggris.

02 20

PENTINGNYA NASIONALISME Sebuah catatan reflektif Prof. Dr. Warsono, M.S.

Majalah Unesa ISSN 1411 – 397X Nomor 94 Tahun XVII - Juni 2016 PELINDUNG: Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT: Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I), Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III), Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB: Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI: Dr. Heny Subandiyah, M.Hum. REDAKTUR: A. Rohman, Basyir Aidi PENYUNTING BAHASA: Rudi Umar Susanto REPORTER: Syaiful Rahman, Lina Mezalina, Andini Okta, Murbi, Umi Khabibah, Suryo, Danang, Emir, Khusnul, Aziz, Raras, Puput, Syaiful H FOTOGRAFER: M. Wahyu Utomo, Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT: Arman, Basir, Wahyu Rukmo S ADMINISTRASI: Supi’ah, S.E., Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI: Hartono PENERBIT: Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI: Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124, Fax (031) 8280804

4

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa


LAPORAN UTAMA

Reformasi yang terjadi 18 tahun lalu telah membuka kran kebebasan di banyak sektor, termasuk pemikiran. Pancasila menjadi sasaran serangan utama karena selama ini ideologi tersebut dianggap menutup semua aspirasi terhadap ideologi alternatif.

K

ampus-kampus menjadi lokasi yang tepat untuk pertarungan ide-ide alternatif tersebut. Sebab, institusi pendidikan itu memiliki banyak mahasiswa dengan pola pikir yang sangat dinamis. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa ideologi tersebut adalah jalan keluar untuk solusi bangsa. Namun, tidak semuanya berjalan sukses. Sejumlah gerakan bahkan mendapat penolakan keras dari kampus mereka sendiri. Misalnya, sebuah organisasi keislaman yang ditolak masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Seperti dikutip dari Tempo, tidak hanya kampus yang menolak tapi juga warga Bantul. Situasi yang sama juga terjadi di Jember pada 2 Mei lalu. Pada muktamar organisasi tersebut di

New Sari Utama Convention Hall dengan tema Syariah dan Khilafah, Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin, bukan Ancaman, kegiatan tersebut dibubarkan GP Anshor Jember. Ideologi mereka dianggap berlawanan dengan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti dikutip dari Qureta. com, penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis pada 18 Februari 2016 lalu menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung menolak Pancasila. Penolakan tersebut bahkan terjadi di kampus-kampus seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Tekhnologi Sepuluh November (ITS), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Airlangga (Unair), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Diponegoro (Undip).

Majalah Unesa

Lantas, bagaimana dengan Universitas Negeri Surabaya (Unesa)? Ketua Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Dr. Totok Suyanto, M.Pd. mengatakan bahwa Unesa tidak akan menempuh cara yang sama dengan ISI. Menurut dia, adanya gerakan tersebut adalah bagian dari proses transisi setelah dibelenggu sekian lama oleh Orde Baru. “Dulu mereka tidak bisa mengekspresikan pemikirannya. Sekarang era terbuka, mereka bebas melakukannya,� katanya. Totok juga tidak menganggap apa yang dilakukan organisasi tersebut berbahaya bagi Pancasila. Dia mengibaratkan para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi tersebut sedang dalam masa pencarian. “Akan tiba masa di mana ideologi tersebut tidak bisa menjawab situasi

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

5


LAPORAN

UTAMA

NASIONALISME. Petugas Paskibra Unesa menjalankan tugas sebagai pengibar sang Merah Putih dalam upacara Hari Kebangkitan Nasional di Kampus Unesa, Ketintang, Surabaya. foto: HUMAS UNESA

keberagaman di Indonesia. Dari situ mereka akan tahu bahwa Pancasila adalah yang terbaik,” katanya. Meskipun demikian, Totok beranggapan bahwa munculnya gerakan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara islam tersebut adalah bagian dari “tren” global. Pada saat yang sama, gerakan serupa terjadi juga di belahan dunia yang lain. “Arus informasi begitu cepat. Perkembangan pemikiran di Timur Tengah bisa juga terjadi di sini dalam waktu singkat,” katanya.

MENURUT Totok, gerakan tersebut sejatinya bagian dari gelombang nasionalisme. Nasionalisme gelombang pertama adalah perlawanan terhadap monarkhi absolut. Ini ditandai dengan runtuhnya kekuasaan kerajaan di

banyak tempat di dunia. termasuk di Rusia. Setelah itu, nasionalisme gelombang kedua adalah perlawanan terhadap kolonialisme. Indonesia termasuk ikut larut di dalamnya karena menjadi daerah jajahan Belanda dan Jepang. “Nah, saat ini kita memasuki gelombang ketiga nasionalisme. Yakni, nasionalisme berdasarkan etnisitas,” katanya. Dalam nasionalisme gelombang ketiga tersebut, kata Totok, cenderung lebih lokal. Basis yang digunakan sebagai dasar pemikiran juga tidak lagi universal seperti nasionalisme sebelumnya. “Ia bisa berdasarkan suku, agama, atau ras,” katanya. Karena itu, dia tidak kaget dengan munculnya HTI dan organisasi sejenis lain yang menginginkan Islam sebagai visi negara. Sebab, itu juga bagian dari proses pencarian ideologi yang tepat. Dan ketika masuk dalam konteks kenegaraan, dia tidak yakin ideologi tersebut tepat. Memang, kata Totok, pergerakan

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

Nasionalisme Gelombang Ketiga

6

tersebut lebih banyak muncul di kalangan mahasiswa. Tidak banyak di kalangan dosen yang berminat terhadapnya. “Bisa jadi karena orang tua cenderung berorientasi masa lalu. Sedangkan anak muda lebih pada kebaruan dan pencarian,” katanya. Dia menganalogikan situasi itu seperti isu Brexit (British Exit) beberapa waktu lalu. Ternyata yang memilih berpisah dari Eropa alias Brexit adalah kalangan orang tua. Kaum muda lebih memilih untuk tetap tergabung dalam Eropa. “Sebab, kaum tua masih memiliki memori terhadap kejayaan Inggris di masa lalu,” katanya. Situasi itulah yang kurang lebih terjadi dalam perkembangan berkembangnya ideologi tersebut di kampus-kampus. “Mahasiswa sedang dalam masa pencarian ideologi yang menurut mereka bagus. Sebaliknya yang lebih tua sudah merasa bahwa apa yang dijalankan Indonesia selama ini adalah yang paling bisa mengakomodasi keberagaman tanah air,” katanya. n [AGUNG PUTU ISKANDAR]


LAPORAN UTAMA ANCAMAN GELOMBANG KETIGA NASIONALISME

Redam dengan Performa Pemerintahan Pancasila

K

etua Jurusan PMPKN Dr. Totok Suyanto, M.Pd. mengakui bahwa keraguan terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) cukup beralasan. Sebab, pengelolaan pemerintahan yang bagus (good governance) tidak tampak. Kasus korupsi yang terus muncul mengakibatkan rasa frustrasi terhadap negara.“Wajar akhirnya muncul keraguan apakah sebenarnya itu adalah ideologi yang tepat. Mereka juga bertanya, mengapa harus membela NKRI yang ternyata korup,” katanya. Karena itu, salah satu cara untuk menjaga “keyakinan” terhadap NKRI dan Pancasila adalah dengan pemerintahan yang bersih. Hak-hak warga negara yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya (pendidikan, kesehatan, penghidupan yang layak) harus bisa diberikan. “Dengan begitu orang akan yakin bahwa pilihan untuk menjadi NKRI dan Pancasila memang sudah tepat,” katanya. Tapi, tantangan terhadap nasionalisme Indonesia tidak hanya di situ. Ancaman terhadap keutuhan NKRI juga semakin santer dengan kemunculan nasionalisme gelombang ketiga yang berdasarkan etnisitas. Dalam kasus Indonesia, situasi ini tidak hanya terjadi pada keinginan berganti jadi negeri Islam. Tapi juga keinginan wilayah tertentu untuk lepas dari Indonesia, misalnya yang paling santer, Papua. Orang-orang Papua kerap mendapatkan diskriminasi. Di level pemerintahan, pembangunan di Papua tak pernah menjadi prioritas

penting pemimpin Indonesia. Pembangunan terlalu terfokus di Jawa. Akibatnya, mereka tak pernah merasa menjadi bagian dari NKRI. Sementara itu, di level kemasyarakatan, masyarakat Papua juga mendapat stereotype sebagai kelompok masyarakat yang tidak bisa diatur, tukang mabuk, dan pengacau. Sejumlah pemilik kos di Yogyakarta bahkan menolak mahasiswa asal Papua tinggal di tempat mereka. Mau tidak mau, situasi itu bisa semakin memunculkan nasionalisme gelombang ketiga. Totok mengakui, situasi tersebut adalah “warisan” Orde Baru. Selama pemerintahan Soeharto, Papua tak pernah mendapat tempat spesial bagi sang jenderal. “Akibatnya ya begini,” katanya. Namun, di era Presiden Joko Widodo, situasi mulai berubah. Papua juga menjadi fokus pembangunan pemerintahan mantan Wali Kota Solo tersebut. Infrastuktur dibangun untuk menyambungkan kota-kota yang saling terpisah gunung dan lembah. Ekonomi juga dibangun dengan membuat alur distribusi barang ke pulau cenderawasih tersebut efektif dan efisien. “Dengan pembangunan yang pesat seperti ini, gerakan untuk berpisah dari Indonesia bisa dihindarkan,” katanya. n [AGUNG PUTU ISKANDAR]

Dr. Totok Suyanto, M.Pd.

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

7


LAPORAN

UTAMA

NASIONALISME sebagai Lokomotif PRESTASI Setelah Indonesia merdeka, nilai-nilai nasionalisme semakin kehilangan relevansinya. Jika di masa kemerdekaan kesadaran nasionalisme adalah mengusir penjajah, saat ini nilai kecintaan pada bangsa dan negara tersebut kerap hanya jadi jargon.

Prof. Dr. Warsono, M.S

8

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa


R

ektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Dr. Warsono mengatakan, kesadaran sebagai suatu bangsa yang mandiri, bermartabat, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain itulah sebenarnya hakikat nasionalisme. “Tapi, kesadaran sebagai suatu bangsa bukanlah proses yang mudah,” katanya. Warsono mengatakan, selama ini, nasionalisme baru dipahami sebatas pada tiga prinsip, yaitu kesatuan, kesamaan, dan kemerdekaan. Bahkan nasionalisme yang secara sederhana dimaknai sebagai cinta tanah air. Pemaknaan seperti ini, menurut dia, tidak salah. Namun, tafsir tersebut tidak konkret. Menurut dia, nasionalisme seharusnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia menjadi implementasi dari cinta tanah air. Untuk mengukurnya sangat mudah. “Yaitu dengan mencintai produkproduk dalam negeri, atau mencintai produk dari bangsa sendiri,” katanya. Masalahnya, kata Warsono, kualitas barang dalam negeri kerap kalah dari barang impor. Begitu juga soal kualitas. “Lantas, apakah kita juga harus memilih membeli produk kita sendiri?” katanya. Karena itulah, kata dia, nasionalisme harus dimaknai sebagai tindakan yang lebih konkret, yaitu prestasi. “Setiap orang harus mencapai atau memiliki prestasi sesuai dengan bidangnya masing-masing,” katanya. Warsono mencontohkan para olahragawan yang berprestasi di tingkat internasional, seperti Susi Susanti dan Icuk Sugiarto, atau Rudi Hartono dalam cabang bulu tangkis. Sebagai ilmuwan, prestasi tersebut bisa ditunjukan dengan temuantemuan di bidang ilmu dan teknologi. “Bagi para pendidik, prestasi itu bisa diwujudkan dengan dihasilkannya lulusan yang berkualitas secara intelektual, moral, sosial, dan vokasional,” katanya. Dalam konteks Unesa sebagai kampus pendidikan, nasionalisme harus menjadi jati diri dalam pendidikan. Sementara itu, Wakil Rektor II Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. mengatakan, para calon pendidik paling tidak

LAPORAN UTAMA harus mampu menyentuh aspek jiwa pada peserta didik. ”Program menumbuhkan nasionalisme ini harus ditanamkan pada anak sejak dini sehingga dapat memberikan dasar pengetahuan secara spiritual, emosional, dan intelektual dalam mencapai potensi yang optimal,” katanya. Dengan menanamkan sikap tersebut sejak dini, kata Tri, generasi penerus bisa bertindak sesuai dengan nuraninya dan mampu membangun bangsa. “Kita jadi tidak bergantung pada bangsa lain,” katanya. Jika pendidikan sudah diberikan dengan tepat sesuai dengan bakat, maka satu atau dua dekade ke depan negara kita akan memiliki aset sumber daya manusia yang berkualitas, unggul, mandiri dan memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. “Jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan modal yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dan

hambatan di masa depan,” katanya. Namun, menurut Tri, menanamkan nasionalisme tidak hanya tugas pendidik. Negara juga harus menguatkan nasionalisme dalam konteks globalisasi. Terutama dalam elemen-elemen strategis di percaturan global. “Perlu ada penguatan semangat nasionalisme pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan pangan, rawan konflik, dan rawan bencana,” katanya.n (AGUNG)

Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T.

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

9


LAPORAN

UTAMA

WAWANCARA DENGAN PROF. DR. AMINUDDIN KASDI, PAKAR SEJARAH DARI UNESA

Yang Terpenting adalah Pengamalan Pancasila Konsep mengenai lahirnya Pancasila tak perlu diperdebatkan. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana menerapkan dan mengamalkan sila-sila Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian, antara lain komentar Prof. Dr. Aminuddin Kasdi, pakar sejarah dari Unesa. Selengkapnya, apa dan bagaimana, berikut kutipan wawancaranya! Bagaimana menurut Anda, apa yang harus dilakukan generasi muda untuk memaknai hari lahirnya Pancasila? Saya kira yang harus dipahami pertamatama adalah generasi muda tidak perlu memperdebatkan hari lahirnya Pancasila. Memang, ada sebagian kelompok yang berpendapat dan menyatakan Pancasila lahir pada 1 Juni, diusulkan oleh Bung Karno. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa Pancasila bukan diusulkan Bung Karno. Saya kira keduanya sama-sama tidak salah. Kalau pendapat Bapak sendiri seperti apa mengenai hari lahirnya Pancasila? Dari sisi sejarah memang ada dua versi kelahiran Pancasila. Yang pertama adalah pada 1 Juni dimana naskah Pancasila merupakan usulan Bung Karno. Pada versi itu nanti dari lima sila bisa diperas dan diolah menjadi tiga sila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sendiri merupakan sila terakhir, sedangkan dalam piagam Jakarta,Pancasila lahir pada 18 Agustus . Dalam sila ketuhanan sendiri tercantum wajib menjalankan syariat Islam. Dan, memang ada usulan yang muncul supaya dikembalikan kepada Piagam Jakarta

10

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

yakni 18 Agustus 1945 dimana sila-sila itu ada pada pembukaan UUD 1945. Menurut saya tidak perlu diperdebatkan asal-usul atau konsep mengenai lahirnya Pancasila. Yang terpenting sekarang bagaimana menerapkan dan mengamalkan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana Bapak melihat peran Pancasila sekarang ini? Saya prihatin dengan kondisi Pancasila saat ini. Mereka menganggap GBHN salah, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) salah. Saya kira euforia reformasi sekarang ini sudah keblabasan. Padahal benteng itu untuk menangkal arus liberalisme di Indonesia sangat kuat. Mereka menganggap semua produk Orde Baru salah. Padahal, sekarang ini sudah mengarah ke demokrasi liberal. Itu terbukti dari amandemen UUD 45. Dan opini inilah yang seharusnya diubah. Karena saya melihat kecenderungan untuk mengamalkan Pancasila sekarang ini sangat kurang. Saat ini liberalisasi sudah melanda Indonesia. Mereka menganggap reformasi


LAPORAN UTAMA Prof. Dr. Aminuddin Kasdi

semua harus bebas dalam segala hal,baik politik maupun ekonomi. Tapi sekarang yang terjadi bebas semau gue. Dan itu yang salah karena tidak sesuai dengan prinsip Pancasila. Penerapan demokrasi Pancasila sendiri apakah sudah benar setelah reformasi? Saya kira demokrasi Pancasila sudah mulai ditinggalkan. Buktinya dalam sistem ketatanegaraan kita prinsip musyawarah mufakat sudah ditinggalkan. Sekarang dalam pesta politik seperti Pilkada dan lainnya. Misalnya saja dalam Pemilu dan pengambilan keputusan di DPR, menerapkan suara terbanyak. 50 persen plus satu. Tidak lagi mengedepankan musyawarah mufakat. Padahal belum tentu sistem itu baik. Saya pernah melakukan penelitian dalam Pilkada. Menanyakan kepada calon kepala daerah. Mereka mengaku menghabiskan dana Rp7 sampai Rp8 miliar untuk Pilkada. Padahal, setelah dihitung, gaji bupati hanya Rp50 juta dan dalam lima tahun hanya sekitar Rp4 miliar. Ternyata, nggak nyucuk. Nah apakah mereka ikhlas, ternyata tidak.Tentunya mereka mencari kembalian dan ini menimbulkan praktik korupsi dan kolusi. Nah, apakah dengan sistem suara terbanyak ini baik kalau faktanya demikian? Menurut saya, jelas tidak.

Konsep mengenai lahirnya Pancasila tak perlu diperdebatkan. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana menerapkan dan mengamalkan sila-sila pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekarang ini kan muncul banyak pemberitaan bahwa paham komunis bangkit di Indonesia. Menurut Bapak bagaimana? Paham komunis berpotensi untuk bangkit lagi jika penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lemah. Saya kira harus diperkuat. Pancasila adalah salah satu jalan untuk menangkal ideologi komunis masuk di Indonesia. Apa perlu Pancasila kembali dimasukkan dalam kurikulum? Saya kira itu sangat penting. Bagaimana cara menanamkan Pancasila kepada generasi muda? Saya kira pelajaran Ketatanegaraan harus dimasukkan dalam kurikulum dari sekolah dasar sampai universitas. Matapelajaran itu harus kembali diajarkan. Kalau ada yang menyebut saya ortodoks , tidak apa-apa.n (BUDI PARESTYO)

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

11


WARTA

UTAMA

DISKUSI KEBANGSAAN bersama Anggota MPR-RI Isu-isu kebangsaan memang tidak akan pernah habis. Topik tersebut selalu menarik untuk dibahas dalam dinamikan kebangsaan yang semakin berkembang. Untuk memperkuat wawasan kebangsaan dan ketatanegaraan, Unesa mengadakan Diskusi Kebangsaan pada Selasa, 28 Juni 2016 di Ruang Auditorium Kantor Pusat Unesa.

A

cara yang juga melibatkan BEM Unesa dan HMJ Ilmu Hukum itu menghadirkan para pembicara dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI). Rombongan MPR RI yang hadir di antaranya, Drs. H. Rambe Kamarul Zaman, M.Si., Martin Hutabarat,

12

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

S.H., T.B. Sumanjaya (Badan Pengkajian MPR-RI), Dr. Hj. Anar Awanah, Chatrine Angela, Drs. I Made Urip, M.Si.,(Anggota Badan Penganggaran MPR RI), Suryani (Kepala Biro Keuangan MPR RI, Drs. Yana Indrawan, M.Si, (Kepala Biro Pengkajian MPR RI) dan Dra. Selfie Zaini (Wakil Sekjen MPR RI).

Majalah Unesa

Selain rombongan dari MPR RI, Diskusi Kebangsaan yang mengambil tema Reformulasi Sistem Pembangunan Nasional Model Garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu dihadiri Prof. Dr. Warsono, M.S., para Wakil Rektor dan para Dekan selingkung Unesa. Dari pihak peserta, hadir sekitar 300 mahasiswa dari Unesa dan


WARTA UTAMA berbagai perguruan tinggi lain. Acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sambutan-sambutan, tukar menukar cinderamata, dan pembukaan simbolis berupa pemukulan gong., dan acara inti berupa diskusi. Dalam sambutannya, Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono M.S, mengatakan bahwa melaksanakan pembangunan tanpa perencanaan yang matang akan menimbulkan problem. “GBHN menunjukkan ke arah mana negara dalam 5 atau 25 tahun ke depan. Oleh karena itu butuh perencanaan matang agar kita tahu gol, tahapan, target serta memudahkan evaluasi berhasil atau tidaknya,” ungkapnya. Sementara itu, Martin Hutabarat dari MPR RI menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, MPR dan DPR bertugas merumuskan GBHN, lalu presiden melaksanakannya. Pascareformasi, MPR tidak lagi membuat GBHN. Karena itu, Presiden melaksanakan pembangunan sesuai janji kampanye. Dari sini berbagai pendapat pun muncul terkait wacana mengembalikan GBHN. “Mantan presiden Megawati pernah mengatakan bahwa GBHN bisa saja dibutuhkan lagi agar pembangunan dari presiden ke presiden berikutnya tidak putus. Dari situlah tim-tim MPR menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, memberi sosialisasi untuk mengkaji dan mengambil pendapat dari para intelektual kampus di Indonesia dalam bentuk Diskusi Kebangsaan. Dari sekian perjalanan, kini kita sampai di Unesa,” tegas Wakil Ketua Badan Pengkajian

GBHN itu berfungsi sebagai acuan negara agar lebih efisien. Dengan GBHN arah dan tujuan negara semakin jelas dan lebih terstruktur.

FOTO BERSAMA: Rektor Unesa, Prof Dr. Warsono, M.S. (empat dari kiri) bersama para pembicara foto bersama selepas acara. FOTO KIRI ATAS Anggota MPR saat mempresentasikan paparannya dalam Diskusi Kebangsaan MPR Go To Campus. foto: HUMAS

MPR-RI itu. Sebenarnya, lanjut Martin, GBHN itu berfungsi sebagai acuan negara agar lebih efisien. Dengan GBHN arah dan tujuannya semakin jelas dan lebih terstruktur. Saat ini, lanjutnya, MPR mempunyai badan baru yakni Badan Pengkajian MPR yang berfungsi mempersiapkan bagaimana sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sistem ketatanegaraan Indonesia berubah ketika terjadi perubahan UUD RI Tahun 1945, dimana MPR bukan lagi merupakan badan tertinggi

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ketua BEM Unesa, Zainal Abidin menyambut baik dilibatkannya mahasiswa dalam kepanitiaan acara ini. Dia mengatakan, acara Diskusi Kebangsaan ini kali kedua diadakan di universitas yang berdomisili di Jawa Timur. Sebelumnya, acara serupa dilakukan di UINSA Surabaya. n (DANANG/ILMI)

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

13


ARTIKEL

WAWASAN

MENGEMBALIKAN GENERASI MUDA Oleh Drs. TRI WRAHATNOLO, M.Pd, M.T *

Sebenarnya kita memiliki ideologi nasionalisme yang bersumber pada mainstream Pancasila, khususnya sila Persatuan Indonesia. Karena itu, nasionalisme yang sesuai dengan ideologi bangsa adalah nasionalisme Pancasila yaitu pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah air yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

I

ndonesia merupakan satu-satunya negara kepulauan di dunia yang dianugerahi beragam kekayaan alam dan budaya. Sebagai negara maritim, Indonesia setidaknya memiliki 13.000 pulau. Dengan banyak budaya daerah, yang bermuara menjadi budaya nasional. Letak geografis tersebut tidak menjadikan terpecahbelah dan sikap kesukuan bagi bangsa Indonesia. Saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada dua tantangan, yaitu menjaga kemurnian esensi nasionalisme dan upaya aktif untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi dan iptek yang berpengaruhi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengawal era reformasi yang terus berjalan, perlu dibangkitkan kembali semangat nasionalisme bagi generasi muda Indonesia. Indonesia merupakan laboratorium sosial yang sangat kaya karena

14

keberagamannya. Pluralitas adalah aset bangsa. Oleh karena itu, jika tidak dikelola dengan baik dan tepat akan menjadi ancaman disintegrasi. Pesatnya perkembangan global dan kemajuan teknologi informasi telah mengaburkan batas-batas antarnegara dan menurunnya semangat nasionalisme. Masalah nasionalisme di Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan, sehingga perlu dicari langkah-langkah strategis dalam menyikapinya. Bagaimana cara membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda Indonesia? Nasionalisme Generasi Muda Indonesia Indonesia memerlukan rumusan baru untuk mereinterpretasi gagasan nasionalisme yang secara fundamental telah dibangun oleh pendiri negara seperti Soekarno. Harus diakui sebuah gagasan dalam masyarakat Indonesia

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

yang majemuk memerlukan proses bersejarah yang panjang. Nasionalisme yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki dan bersifat asasi bertujuan untuk mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan bangsa Indonesia dalam hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi dalam relasi sosial. Rasa nasionalisme itu dapat tumbuh ketika suatu bangsa berdiri dan memiliki cita-cita yang sama. Seiring berkembangnya zaman, rasa nasionalisme kian memudar. Saat ini, nasionalisme sudah begitu rapuh. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sikap dalam memaknai berbagai hal penting bagi kegiatan kenegaraan. Beberapa contoh sederhana yang menggambarkan betapa rendahnya rasa nasionalisme baik di lingkungan pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat, di antaranya pada saat mengikuti upacara bendera, masih banyak peserta yang tidak memahami maknanya. Upacara


ARTIKEL WAWASAN merupakan wadah untuk menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras untuk merebut kemerdekaan. Tetapi banyak peserta yang saling bercakap dan menganggap upacara adalah kegiatan rutin sehingga tidak khidmat. Peringatan hari-hari besar nasional hanya dianggap sebagai seremonial, tanpa dimengerti maknanya. Masyarakat saat ini juga lebih tertarik dan bangga terhadap produk impor dibandingkan dengan produk dalam negeri. Masyarakat juga lebih banyak mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi. Hampir semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lagu-lagu perjuangan, hanya dianggap merupakan simbol. Masyarakat, khususnya generasi muda banyak yang lupa identitas diri sebagai bangsa Indonesia karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya Barat. Kenyataan tersebut mulai tampak sejak munculnya era reformasi. Minat dan peran serta masyarakat untuk ikut mengambil bagian dalam memeriahkan Dirgahayu RI juga berkurang. Saat ini, sudah sulit ditemukan perlombaanperlombaan 17-an seperti pada era sebelumnya. Pada masa Orde Baru, suasana 17-an terasa menggema sejak awal Agustus. Berbagai perlombaan dan karnaval merupakan kegiatan rutin setiap tahun dan menjadi budaya. Melalui kegiatan itu dapat ditanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri generasi muda yang nantinya menjadi penerus bangsa. Misalnya, dalam permainan lomba panjat pinang yang paling sulit adalahmeraih bendera dan harus melalui usaha keras demi mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut terkandung nilai pembelajaran yang sangat tinggi bahwa untuk merebut kemerdekaan, para pahlawan berjuang matimatian tanpa mengenal lelah disertai dengan rasa keikhlasan hati. Yang paling ironis generasi bangsa saat ini kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan yang hingga sekarang masih hidup. Mereka yang dahulu telah mengorbankan segalanya demi meraih kemerdekaan Indonesia tidak memperoleh reward berupa kehidupan yang layak di sisa umur mereka. Padahal jika pahlawan tidak mau berjuang,

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh tersebut bisa positif atau pengaruh negatif.

terhadap bangsa dan tanah air yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Misalnya, menempatkan persatuan dan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, mengembangkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Lalu, bangga sebagai bangsa Indonesia dan tidak merasa rendah diri, mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia dan bangsa. Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia dan sikap tenggang rasa. Tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadilan, senang melakukan kegiatan kemanusiaan serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

pastilah Indonesia masih dalam penjajahan. Sebenarnya, nasib kita masih lebih baik dan beruntung daripada para pejuang dahulu. Kita hanya meneruskan perjuangan mereka tanpa harus mengorbankan nyawa dan harta. Nasionalisme kita semakin luntur dan akan punah tergilas arus modernisasi dan individualisme. Individualisme menjadikan seseorang tidak peduli terhadap sesamanya. Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, KFC, Pizza Hut, Hokahoka Bento, Coca-Cola, dll.) membanjiri Indonesia. Kegilaan melancong ke luar negeri padahal beberapa keindahan sudut negeri sendiri belum tentu dijelajahi, juga menjadi ciri-ciri berkurangnya nasionalisme. Rasa nasionalisme bangsa baru akan muncul ketika ada suatu faktor pemicu, seperti kasus pengklaiman beberapa kebudayaan dan pulau-pulau kecil Indonesia seperti Sipadan, Ligitan serta Ambalat oleh Malaysia beberapa waktu lalu. Namun rasa nasionalisme pun kembali berkurang seiring dengan meredanya konflik tersebut. Oleh sebab itu, kita harus mulai menghidupkan kembali spirit nasionalisme dalam praktik berbangsa dan bernegara. Untuk menjawab tantangan menurunnya nasionalisme, kita memiliki ideologi yang bersumber pada mainstream Pancasila, khususnya sila Persatuan Indonesia. Nasionalisme Pancasila yaitu pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia

 Dampak Globalisasi Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi, yakni pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positif dapat dilihat dari perkembangan politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan merupakan bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentu akan mendapat respon positif dari rakyat. Respon positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.  Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Semakin terbukanya pasar internasional ini akan membuka peluang kerja sama dalam sektor perekonomian dan kehidupan ekonomi bangsa dan negara. Pengaruh globalisasi dalam sektor sosial budaya, kita dapat meniru pola berpikir yang baik. Seperti membangun etos kerja yang tinggi, kejujuran, kebersihan dan disiplin, serta meniru ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dari bangsa lain yang sudah maju guna meningkatkan kemajuan bangsa yang selanjutnya akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa. Dampak negatif globalisasi justru lebih banyak dan substansial, terutama menyangkut liberalisme yang meskipun dapat membawa kemajuan dan kemakmuran tetapi tidak menutup kemungkinan akan dapat mengubah

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

15


ARTIKEL

WAWASAN

arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Akibatnya, rasa nasionalisme bangsa akan hilang. Pada bidang ekonomi, semakin hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri. Semakin banyaknya produk luar negeri yang membanjiri dunia pasar di Indonesia maka rasa cinta terhadap produk dalam negeri akan hilang. Masyarakat kita, khususnya anak muda, banyak yang lupa mengenai identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejalagejala yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Dari mode berpakaian banyak generasi muda yang berdandan seperti selebritis cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh. Padahal, cara berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Anak-anak muda lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak generasi muda yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa. Generasi muda yang menyukai musik (gamelan) dan lagu-lagu daerah juga bisa dihitung dengan jari. Padahal, orang asing sangat getol mempelajari gamelan atau musik tradisional. Sehingga dengan mudah kita membiarkan saja kebudayaan bangsa kita diambil oleh bangsa lain, kalangan generasi muda semestinya tidak tinggal diam dengan masa depan negara ini. Kurangnya rasa nasionalisme pada kalangan generasi muda dapat berdampak buruk bagi Indonesia yaitu banyak generasi muda Indonesia yang perlahan-lahan mulai meninggalkan kebudayaan Indonesia, karena mereka lebih tertarik pada kehidupan hedonios. Banyak generasi muda yang tidak peduli dengan kondisi keterpurukan yang melanda bangsa ini, seiring dengan zaman dan budaya-budaya asing yang kian merajalela di Indonesia. Jiwa dan rasa nasionalisme yang tertanam dalam diri bangsa Indonesia semakin luntur. Ini adalah hal yang sangat simple, tapi kalau dibiarkan terus menerus akan fatal akibatnya. Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Jiwa nasionalisme yang membara yang telah ditanamkan dan dibuktikan melalui bukti sejarah pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan akan terbuang sia-sia,

16

Kurangnya rasa nasionalisme pada kalangan generasi muda dapat berdampak buruk bagi Negara Indonesia yaitu banyak generasi muda yang perlahan mulai meninggalkan kebudayaan Indonesia, dan lebih tertarik pada kehidupan hedonios. tetesan darah dari para pahlawan akan terbuang percuma. Internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Bagi generasi muda, internet sudah menjadi santapan mereka sehari-hari yang tidak terpisah dengan kehidupannya. Jika digunakan secara semestinya, tentu akan diperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, akan mendapat kerugian. misal untuk membuka situs-situs porno yang bukan hanya diakses lewat internet saja tetapi juga bisa melalui handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone. Aspek sikap dan perilaku generasi muda juga sudah tidak mengenal sopan santun. Mereka cenderung cuek dan tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Globalisasi memang menganut kebebasan dan keterbukaan, sehingga mereka bertindak sesuka hati, misalnya adanya geng motor yang melakukan tindak kekerasan. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, moral generasi bangsa menjadi rusak dan akan timbul tindakan anarkis nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Meningkatkan Nasionalisme Nasionalisme adalah paham yang terdiri dari unsur-unsur pokok seperti persaudaraan darah/ keturunan,

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

suku bangsa, tempat tinggal, agama, bahasa dan budaya. Kemudian berubah dengan masuknya dua unsur yaitu persamaan hak bagi setiap orang dalam masyarakatnya dan persamaan kepentingan dalam bidang ekonomi. Aspek mendasar timbulnya nasionalisme adalah aspek pengalaman empirik, yaitu memiliki rasa senasib sepenanggungan dan harapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, nasionalisme adalah sikap politik dan sikap sosial suatu kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan budaya, wilayah, tujuan dan cita-cita. Nasionalisme sebagai suatu pengalaman empirik, selalu bersifat kontekstual, berkembangnya sangat dipengaruhi oleh nasionalisme yang dianut kelompok dominan suatu bangsa. Nasionalisme Indonesia, yakni sebuah penegasan terhadap identitas diri versus kolonialisme-imperialisme. Kesadaran berbangsa adalah hasil konstruksi yang mengandung kelemahan internal yang serius ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadi sebuah ancaman. Karena itu, nasionalisme akan ikut memudar jika kita berhenti membangun dan mengembangkan sebuah nasionalisme baru.  Kita bisa belajar dari pengalaman kolektif untuk dijadikan penyemangat nasionalisme Indonesia. Apalagi Indonesia sangat plural. Kita harus mampu mengidentifikasi identitas kolektif sebagai bangsa dan hal ini hanya mungkin terwujud jika negara mengakui, menerima, menghormati, dan menjamin hak hidup setiap warga negara. Masyarakat tidak akan merasa lebih aman dan diterima dalam kelompok etnis atau agamanya ketika negara gagal menjamin kebebasan beragama dan beribadah, persamaan di hadapan hukum, pemerolehan hak untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak memperoleh rasa aman dan sebagainya. Nasionalisme merupakan wujud sikap cinta tanah air. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menyentuh aspek jiwa pada peserta didik. Nasionalisme membawa kemajuan bangsa apalagi dalam bidang pendidikan. Sikap nasionalisme dan


ARTIKEL WAWASAN

kemandirian merupakan hal yang sangat penting. Program menumbuhkan nasionalisme ini harus ditanamkan pada anak sejak dini sehingga dapat memberikan dasar pengetahuan secara spiritual, emosional, dan intelektual dalam mencapai potensi yang optimal. Dengan menanamkan sikap tersebut sejak dini generasi penerus mampu bertindak sesuai dengan nuraninya dan mampu membangun bangsa tanpa bergantung pada bangsa lain. Jika pendidikan sudah diberikan dengan tepat sesuai dengan bakat dan lingkungan peserta didik maka satu atau dua dekade ke depan negara kita akan memiliki aset sumber daya manusia yang berkualitas, unggul, mandiri dan berdaya saing lebih baik. Semangat nasionalisme sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa agar setiap elemen bangsa bekerja dan berjuang keras mencapai jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan modal yang kuat dalam

Nasionalisme merupakan wujud sikap cinta tanah air. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menyentuh aspek jiwa pada peserta didik. Nasionalisme membawa kemajuan bangsa apalagi dalam bidang pendidikan.

menghdapi berbagai tantangan dan hambatan di masa depan. Penguatan semangat nasionalisme dalam konteks globalisasi saat ini harus lebih

Majalah Unesa

dititikberatkan pada elemen-elemen strategis dalam percaturan global. Perlu penguatan peran organisasi dan kelembagaan sosial kemasyarakatan dalam ikut membangun semangat nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda. Penguatan semangat nasionalisme pada masyarakat yang tinggal didaerah rawan pangan, rawan konflik, dan rawan bencana alam atau di wilayah-wilayah strategis untuk kepentingan nasional juga perlu ditingkatkan. Perlu pemberian apresiasi terhadap elemen atau kelompok masyarakat yang berprestasi baik skala nasional maupun internasional.. Tidak kalah pentingnya, peran aktif pemerintah dan masyarakat secara luas sangat dibutuhkan dalam penyelesaian berbagai persoalan seperti masalah pendidikan, kesehatan,kesenjangan sosial, dan lingkungan hidup. n *)Penulis adalah Wakil Rektor 2 Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

17


LENSA UNESA

Sebanyak 2.405 mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengabdikan diri di masyarakat dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sejumlah kecamatan di Kabupaten Gresik. Beberapa kecamatan yang menjadi lokasi KKN di antaranya Kecamatan Cerme, Benjeng, Balongpanggang, Kedamean, dan Kecamatan Wringinanom. Upacara penerimaan dipimpin langsung Bupati Gresik, Sambari Halim Radianto yang didampingi Wakil Bupati, M. Qosim pada Jumat, 17 Juni 2016 di halaman Pemkab Gresik. Sementara, dari Unesa hadir Sekretaris LPPM Suroto yang mewakili Rektor Unesa. Dalam sambutannya, Suroto menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bupati Gresik yang telah berkenan menerima dan memfasilitasi mahasiswa dalam melakukan KKN di wilayah Kabupaten Gresik. Dia berharap mahasiswa Unesa bisa mengabdikan diri membantu masyarakat Gresik sepenuh hati dan sesuai aturan yang ada. Bupati Gresik Sambari Halim Radianto mengapresiasi pelaksanaan KKN yang dilakukan mahasiswa Unesa. Sambari mengatakan, program KKN akan menjadi sarana bagi mahasiswa untuk mengamalkan ilmunya selama di bangku kuliah. lHUMAS

Ribuan Mahasiswa Unesa KKN Posdaya di Gresik 18

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa


LENSA UNESA

BNNP JATIM KERJA SAMA UNESA

UNESA menjalin kerja sama de­ngan BNN Provinsi Jawa Timur. Jalinan kerja sama itu terwujud dalam sebuah Focus Group Discution Program Implementasi Perguruan Tinggi dalam Penanggulangan Narkoba yang diselenggarakan Unesa melalui Bidang Kemahasiswaan dan Alumni pada Jumat, 24 Juni 2016. Hadir sebagai narasumber Kepala BNNP Jawa Timur, Brigjen. Pol. Drs. Sukirman, sedangkan dari Unesa hadir Rektor Prof. Dr. Warsono, M.S, Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni serta beberapa pejabat dan dosen Unesa lainnya. l(HUMAS)

MONEV PKM 5 BIDANG DARI DIKTI

MONITORING dan evaluasi (monev) eksternal PKM 5 Bidang dilakukan langsung oleh Dikti pada Kamis, 16 Juni 2016 di Auditorium Rektorat Unesa Lantai 3 Kampus Ketintang. Para peserta diminta mempresentasikan idenya di hadapan tim dari Dikti. Mereka terlihat antusias saat memaparkan program-program cemerlang mereka.l HUMAS

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVI I- Junii 2016 |

19


KOLOM REKTOR

Mei bukan hanya sebagai bulan pendidikan, tetapi juga bulan kebangitan nasional. Antara pendidikan dan kebangkitan nasional juga memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan bisa dikatakan sebagai hubungan kausal (sebab akibat). Oleh Prof. Dr. Warsono, M.S.

K

ebangiktan nasional merupakan gerakan untuk membangun kesadaran sebagai suatu bangsa yang memiliki harkat dan martabat sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Gerakan tersebut digagas oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo, yang kemudian disambut oleh dr. Soetomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleding van Indische Artsen) yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji dengan mendirikan suatu organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo, semula merupakan gerakan sosial, ekonomi, dan budaya, namun dalam perjalanannya mengarah kepada gerakan politik untuk mencapai Indonesia merdeka. Para intelektual menyadari bahwa bangsa Indonesia perlu membangkitkan kesadarannya sebagai suatu bangsa. Tidak adanya kesadaran sebagai suatu bangsa, dan kesadaran kritis terhadap kondisinya sebagai bangsa yang terjajah, menyebabkan bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Barat dalam jangka waktu yang cukup lama. Selama ratusan tahun bangsa dan alam Indonesia dieksploitasi oleh bangsa Barat (Belanda).

Belanda bukan hanya mengambil kekayaan alam Indonesia, tetapi juga mengeksploitasi rakyat dengan melakukan kerja paksa untuk kepentingan penjajah. Kesadaran sebagai suatu bangsa

PENTINGNYA

Kesadaran sebagai satu bangsa terwujud dalam Kongres Pemuda kedua pada 28 Oktober 1928 dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, yang menyatakan sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Sejak kebangkitan nasional pada tahun 1908, membutuhkan waktu hampir 37 tahun untuk mencapai Indonesia merdeka. Mulai kebangkitan nasional sampai dengan kemerdekaan merupakan fase awal nasionalisme. Nasionalisme diawali dengan munculnya kesadaran sebagai suatu bangsa yang terjajah, yang kehilangan harga diri dan terhina oleh bangsa lain, kemudian bangkit untuk menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat, dan sejajar dengan bangsa lain. Selama 37 tahun tersebut terus ditumbuhkembangkan kesadaran sebagai satu bangsa, yang pada gilirannya menghasilkan gerakan untuk mencapai kemerdekaan. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 1945, secara politik bangsa Indonesia telah mandiri dan sejajar dengan bangsabangsa lain. Menurut Sartono Kartodirdjo, nasionalisme meliputi lima prinsip, yaitu kesatuan (unity), kemerdekaan (liberty), kesamaan (equality),

NASIONALISME

20

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

yang mandiri, bermartabat, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain itulah sebenarnya hakikat nasionalisme. Memang kesadaran sebagai suatu bangsa bukanlah proses yang mudah. Dengan kondisi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku dengan adat dan kebudayaan yang berbeda, wilayah yang tersebar luas di berbagai pulau, serta tingkat pendidikan yang masih rendah, menyebabkan masyarakat Indonesia waktu itu terjebak pada egoisme kesukuan dan kedaerahan. Sikap kesukuan dan kedaerahan ini harus dikikis dengan membangun kesadaran akan satu bangsa. Kesadaran sebagai suatu bangsa ini menjadi sangat penting dan modal untuk mencapai Indonesia merdeka.

Majalah Unesa


KOLOM REKTOR kepribadian (personality), dan prestasi (performance). Kesatuan, kemerdekaan, dan kesamaan merupakan prinsip utama dalam membangun bangsa, terutama bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Ketiga prinsip tersebut telah diwujudkan pada masa penjajahan sampai mencapai kemerdekaan. Kesadaran akan kesamaan sebagai bangsa yang terjajah, yang kemudian harus berjuang bersama-sama untuk mencapai kemerdekaan telah dilalui selama puluhan tahun yang puncaknya adalah kemerdekaan (pembebasan sebagai bangsa terjajah). Namun demikian, nasionalisme sebenarnya masih harus dilanjutkan dengan membangkitkan kesadaran akan pentingnya personality dan performance. Selama ini, nasioalisme baru dipahami sebatas pada tiga prinsip, yaitu kesatuan, kesamaan, dan kemerdekaan. Bahkan, Nasionalisme yang secara sederhana dimaknai sebagai cinta tanah air. Pemaknaan seperti ini memang tidak salah, namun kurang mewakili dan terlalu abstrak. Jika ditanyakan kembali bagaimana implementasi cinta tanah air, salah satu jawabannya adalah mencintai produk-produk dalam negeri, atau mencintai produk dari bangsa sendiri. Jika dikonkretkan lagi makna mencintai produk dalam negeri adalah membeli dan memakai apa yang dihasilkan oleh bangsa sendiri. Persoalannya adalah jika produk dari bangsa sendiri kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan produk bangsa lain, atau jika kualitasnya sama tetapi harganya lebih mahal dari produk bangsa lain, apakah kita juga harus memilih membeli produk kita sendiri? Pada ranah inilah nasionalisme harus dimaknai sebagai tindakan yang lebih konkret, yaitu prestasi. Setiap orang harus mencapai atau memiliki prestasi sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Sebagai contoh para olahragawan berprestasi di tingkat internasional, seperti Susi Susanti dan Icuk Sugiarto, atau Rudi Hartono dalam cabang bulu tangkis. Ketiganya telah berhasil mengangkat nama bangsa Indonesia dan menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia di tingkat internasional. Sebagai ilmuwan, prestasi tersebut bisa ditunjukkan dengan temuan-temuan di bidang ilmu dan teknologi, apalagi dalam bentuk paten. Bagi para pendidik, prestasi itu bisa diwujudkan dengan dihasilkannya lulusan berkualitas secara intelektual, moral, sosial, dan vokasional. Prestasi-prestasi tersebut bukan hanya membanggakan dan meningkatkan rasa persatuan sebagai bangsa, tetapi secara ekonomi juga menjadi sumber pendapatan bagi yang bersangkutan secara pribadi maupun bagi bangsa dan negara. Sebagai contoh dalam bidang ilmu dan teknologi, temuan yang dihasilkan oleh putra-putra Indonesia seperti jembatan “cakar ayam” oleh Ir. Haryatmo; “Sosro Bahu” oleh Ir. Cokorda, “Teori Retak” (crack theory) oleh B.J. Habibie yang kemudian dipatenkan, bukan hanya meningkatkan harga diri bangsa, tetapi juga membawa dampak pada peningkatan pendapatan negara, karena para pemakai teori tersebut akan membayar royalti kepada para penemunya. Kemudian negara bisa memperoleh pajak dari pendapatan dari para penemunya. Selain prestasi, hal yang tidak kalah penting dalam nasionalisme adalah kepribadian atau jati diri bangsa. Pentingnya kepribadian ini juga telah ditegaskan oleh para pendiri negara. Pembangunan bangsa dan negara tidak akan memiliki makna jika tidak dilandasi oleh kepribadian atau jati diri yang luhur. Oleh karena itu, sejak awal, para pendiri negara telah mencanangkan pembangunan kepribadian di samping pembangunan

bangsa dan negara (nation and character building). Namun jika kita cermati, kepribadian bangsa Indonesia saat ini menampilkan “wajah yang suram”. Banyak kasus korupsi dan perilaku anarkis yang dilakukan oleh sebagian anak bangsa menggambarkan bahwa kita memiliki masalah jati diri. Karakter kita sebagai bangsa yang munafik sebagaimana disinyalir oleh Muchtar Lubis masih banyak kita jumpai di masyarakat. Kondisi seperti itu tentu sangat memprihatinkan. Bahkan, prestasi dari anak bangsa, baik dalam bidang olah raga, dan akademis juga belum menunjukkan peningkatan. Prestasi-prestasi yang pernah dicapai oleh putra-putra bangsa sebelumnya belum bisa dilampaui. Inilah pentingnya membangkitkan kembali semangat nasionalisme, khususnya dalam prestasi dan jati diri sebagai bangsa. Apa yang sudah dicapai oleh para pejuang pendahulu dan para pendiri negara harus dilanjutkan dengan prestasi dan menjaga martabat sebagai bangsa. Semangat untuk berjuang meraih prestasi pada bidangnya masingmasing harus terus ditanamkan kepada generasi muda. Tanpa prestasi dan jati diri, kita hanya akan terjebak kepada romantisme masa lalu. Kebangkitan nasional harus diarahkan kepada kesadaran akan tantangan masa depan, dan pencarian solusi permasalahan masa kini. Jika para pelopor memaknai kebangkitan nasional dengan membangun dan menumbuhkan kesadaran sebagai bangsa, yang terjajah, maka saat ini kebangkitan nasional harus diarahkan kepada kesadaran untuk menjadikan bangsa yang bermartabat dan masa depan. Martabat sebagai bangsa itu hanya akan terwujud, jika kita memiliki prestasi, kemandirian, dan integritas moral. n

Majalah Unesa

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

21


ARTIKEL

WAWASAN

FILTER PAHAM LIBERAL Oleh BUDI PRASETYA*

Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).

P

ada 14 Januari 2016, bom meledak di pos polisi dekat Sarinah Plaza, Jakarta. Dari catatan kepolisian, insiden yang akrab disebut bom Thamrin itu menyebabkan 26 korban luka dan tujuh tewas, termasuk lima pelaku bom bunuh diri. Hasil penyelidikan aparat kepolisian menyebutkan, serangan maut itu didalangi oleh Bahrun Naim, pria asal Solo yang bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dari jauh, Bahrun Naim yang menguasai teknologi itu memerintahkan jaringannya menyerang ibukota Jakarta. Selain bom Thamrin, masih banyak lagi serangan bom maupun teror yang didalangi kaum ekstrimis di Indonesia. Rangkaian teror itu secara tidak langsung menodai citra Indonesia yang selama ini terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemajemukan budaya, agama dan suku bangsa. Kenyamanan dan kedamaian seakan terkoyak oleh kejadian teror yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tapi juga melukai hati rakyat Indonesia. Citra bangsa yang menunjunjung tinggi toleransi pun coba digerus aksi-aksi teror itu.

22

Sekadar diketahui, terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimis dan intimidasi sehingga seringkali menimbulkan konsekuensi negatif menjatuhkan banyak korban. Munculnya radikalisme, ekstrimisme dan terorisme internasional dalam percaturan politik internasional atau dalam hubungan internasional telah ada sebagai fenomena. Eksistensinya muncul pada era 1960-an ketika aktivitas terorisme banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Kelompokkelompok yang termotivasi untuk menentang status quo politik dengan jalan kekerasan dan mengorganisir upaya mereka secara transnasional, melampaui batas-batas wilayah Negara.

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

Akan tetapi, posisi dari terorisme internasional sekali lagi ditegaskan sebagai non-state actor layaknya MNC, TNC, lembaga-lembaga internasional non-pemerintah, lembaga keuangan maupun organisasi-organisasi pada level internasional lainnya. Dikatakan sebagai aktor bukan Negara pada level internasional, karena pada dasarnya yang terlibat di dalamnya baik anggota, jaringan dan tujuan dari aksinya berada pada skala internasional. Â Selain paham ekstrimis, bahaya lain yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Liberal dan Komunis. Untuk memahami kedua paham itu, marilah kita membedahnya satu persatu. Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini


ARTIKEL WAWASAN dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini. Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi –jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme. Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya (it is contrary to the natural, innate, and inalienable right and liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself). Kebebasan Tanpa Batas Pakar sejarah dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Dr Aminuddin Kasdi mengatakan, masa reformasi yang sudah bergulir hampir 20 tahun telah menghasilkan kebebasan tanpa batas dalam demokrasi Indonesia. Belakangan, kebebasan itu telah memunculkan ideologi liberal dan

”Secara internal, ideologi terbuka Pancasila harus diperankan maksimal. Pemahaman puritanisme yang mengubah formula religiusitas yang inklusif, toleran, anti nasionalisme, anti demokrasi harus dihilangkan.” meninggalkan musyawarah mufakat yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Indikasi munculnya paham liberal adalah adanya sistem pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia. Dengan diberlakukannya sistem itu, maka musyawarah mufakat yang menjadi embrio demokrasi Pancasila telah ditinggalkan. Padahal, sistem itu juga tidak membawa dampak bagi Indonesia. Nyatanya, korupsi makin merajalela di birokrasi Indonesia. Lantas, bagaimana cara menangkal kedua ideologi yang sudah merusak tatanan sendi bangsa itu? Tak ada jalan lain. Bangsa Indonesia harus kembali mengadopsi nilai-nilai Pancasila yang mulai ditinggalkan. Nilai-nilai kebebasan, walau bagaimana pun, harus dibatasi, bukan dikekang secara tegas sesuai dengan kesepakatan nilai-nilai serta norma di negara yang telah terbentuk akibat kultur, karena manusia hidup dalam lingkungan kemasyarakatan sebagai lingkup kecil, dan identitas bernama negara dalam lingkup besar, sehingga kebebasan yang ia punya tidak bersinggungan dengan hak-hak yang juga dimiliki orang lain agar tercipta kerukunan dan keadilan yang sebenarbenarnya. Indonesia sendiri lebih menganut paham demokrasi Pancasila, yang mempunyai nilai-nilai luhur mengenai

Majalah Unesa

konsep-konsep kerja sama, kerukunan, dan gotong-royong. Semua itu merupakan nilai-nilai yang paling mulia dan memiliki makna “keadilan dan penghargaan hak-hak individu” dalam arti sesungguhnya oleh karena itu tidaklah cocok dengan liberalisasi di segala bidang, terutama bidang ekonomi. Pancasila juga ampuh untuk meredam terorisme di Indonesia. Sikap toleransi, memahami perbedaan, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang tertanam dalam silasila Pancasila menjadi ornamen untuk menentang jaringan radikal. Peneliti senior LIPI, Anas Saidi sebagaimana dikutip dari detik.com mengatakan, ada pemahaman yang relevan dengan disosialisasikan pandangan tentang nilai aktivitas antara ajaran Islam yang benar dengan Pancasila (Piagam Madinah). Sosialisasi diperlukan agar bisa mengembalikan trade mark Islam di Indonesia yang moderat, inklusif dan sikap toleran atau Islam rahmatan lil alamin. Yang terpenting adalah mengembalikan peran Pancila secara maksimal sebagai alat kritik terkait seluruh kebijakan yang tak memperlihatkan inkonsistensi. Peran Pancasila mesti dioptimalkan ke semua lini masyarakat karena secara eksternal bisa memadukan dan mereduksi kecenderungan paham ekstrim yang tak menguntungkan. Secara internal, ideologi terbuka Pancasila harus diperankan maksimal. Pemahaman puritanisme yang mengubah formula religiusitas yang inklusif, toleran, anti nasionalisme, anti demokrasi harus dihilangkan. n *)Penulis adalah alumni Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial & Hukum Unesa.

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

23


KABAR

PRESTASI

PRESTASI: Dekan FMIPA Unesa, Prof. Dr. Suyono menunjukkan piagam pengharaan didampingi reporter Humas yang menunjukkan piala juara 1 Eco Campus se-Surabaya.

FMIPA UNESA RAIH PENGHARGAAN

K

ECO KAMPUS

abar menggembirakan datang dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unesa. Fakultas yang dipimpin Prof. Dr. Suyono itu berhasil mendapat penghargaan sebagai juara 1 eco kampus se-Surabaya. Selasa, 31 Mei 2016 bertepatan dengan HUT Kota Surabaya, penghargaan diberikan langsung oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini kepada Dekan FMIPA Prof. Suyono. Menurut Suyono, pencapaian prestasi tersebut tidak lepas dari kerja keras semua pihak di FMIPA. Berkat kerja keras dan kerja sama dengan semua pihak tersebut, FMIPA mendapat penilaian tertinggi yang mengantarkan menjadi juara 1 eco campus antarfakultas se-Kota Surabaya. FMIPA memang telah menyiapkan divisi-divisi untuk kesuksesan program eco kampus. Divisi-divisi tersebut antara lain divis sampah, divisi energi, divisi keanekaragaman hayati, divisi air, divisi makanan minuman sehat,

24

eco prodak, eco karakter dan lain-lain. “Karena sudah dibentuk divisi-divisi maka mereka memiliki pencapaiannya masing-masing,” terang Suyono. Lebih lanjut Suyono menjelaskan, sebelum dimotivasi oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surabaya, program eco kampus sudah dimulai FMIPA sejak lama. Secara akademik , akademisi FMIPA telah memiliki ilmunya sehingga paham betul komponen eco kampus. Selain itu, juga ditunjang semangat gotong royong serta tidak saling menyalahkan. “Mahasiswa juga ada kegiatan yang mendukung kegiatan eco kampus melalui HMJ dan BEM yang diintegrasikan dengan tim eco kampus FMIPA,” ungkapnya. FMIPA juga memiliki mata kuliah yang khas, yakni mata kuliah Konservasi Sumber Daya dan Lingkungan. Mata kuliah tersebut wajib ditempuh semua prodi yang ada di FMIPA. “Itu hanya salah satu contoh, masih banyak mata kuliah di FMIPA yang terintegrasi dengan eco kampus,” tambah Suyono.

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

Suyono kembali menandaskan bahwa kebijakan tentang eco kampus ada yang dari pusat dan ada pula dari fakultas. Di fakultas, kebijakan yang dibuat bukan hanya untuk men-support kegiatan ini, tapi juga dianggarkan melalui RBA untuk mengimplementasi kegiatan eco kampus sehingga bukan hanya kebijakan omong kosong. “Mulai semester depan, saya mempunyai kebijakan larangan kuliah pada Jumat jam pertama sampai jam ketiga untuk mendukung cita-cita baik yang sudah dibuat oleh tim eco kampus,” tegas Suyono. Mengikuti lomba dan mendapatkan penghargaan, bagi Suyono sebenarnya hanya untuk menguji diri. Artinya, tanpa adanya lomba, hadiah, tropi dan penghargaan pun, FMIPA sudah berkomitmen menjalankan eco kampus. “Karena kita sudah harus beralih dari yang hanya mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA) ke Sumber Daya Manusia (SDM),” pungkasnya. n (EMIR)


KABAR PRESTASI

KRI NASIONAL 2016

DEWOROBOTIK JUARA LAGI

T

im Deworobotik FT Universitas Negeri Surabaya (Unesa) kembali menunjukkan tajinya, jika bulan lalu, Mei 2016 berhasil menjuarai 4 kategori sekaligus di ajang KRI di Politeknik Universitas Jember, kali ini Tim Deworobotik menyabet juara 1 dan 4 pada Kontes Robot Indonesia (KRI) 2016 tingkat Nasional di Surabaya Supermall Convention Center, Pakuwon Trade Center, Surabaya. Kontes yang diselenggarakan pada 3-4 Juni 2016 itu terasa meriah. Ratusan suporter menggema menyanyikan yel-yel dan jargon kebanggaan untuk mendukung tim dari universitas masing-masing. Tim Deworobotik berhasil lolos ke tingkat nasional setelah menjuarai pada KRI 2016 Regional IV yang sebelumnya diselenggarakan di Politeknik Negeri Jember. Tiga divisi yang lolos

adalah Kontes Robot Pemadam Api Indonesia (KRPAI) Berkaki, Kontes Robot Pemadam Api Indonesia (KRPAI) Beroda, dan Kontes Robot Seni Tari Indonesia (KRSTI). Divisi KRPAI beroda dengan robot BIMADEWA terdiri atas tiga mahasiswa Fakultas Teknik yaitu Amirul Faris, M. Syafiuddin, dan Mukhlas Prasetya dengan pembina Agung Prijo Budijono, ST.,MT. Divisi KRPAI berkaki dengan robot DEWAYANI terdiri dari tiga mahasiswa Fajar Rifa’I, Armanda Hari, dan Slamet Ardiansyah dengan Pembina Joko Catur Condro C.,ST.,MT. Sementara divisi KRSTI dengan robot AZZAHRALY terdiri dari empat mahasiswa yaitu Risky Wahyu R., M. Maulana Husain, Baasito Trimarwan P., dan Savana Albarqi dengan pembina M. Syariffuddien Zuhrie, S.Pd.,MT. Hari pertama, Tim robot Bimadewa berhasil lolos 18 besar menempati

Majalah Unesa

peringkat ke-10. Tim robot Dewayani juga berhasil lolos 20 besar menempati peringkat ke-6. Untuk tim robot AZZAHRALY berhasil lolos 8 besar menempati peringkat ke-5. Semua tim yang lolos akan melanjutkan kompetisi pada keesokan hari dengan tantangan yang semakin sulit. Keesokan hari, pertandingan pertama divisi KRSTI tampil menawan dengan lenggak-lenggok tarian yang memukau tak kalah dengan pesaing dari universitas lain. Tim robot Unesa lolos semifinal bersama PENS, ITS, Universitas SAM Ratulangi. “Lihat robot dari universitas lain bagusbagus, jadi sempat minder tapi itu jadi motivasi kita untuk lebih baik pada sesi selanjutnya,” ujar Maulana Husain, salah satu anggota tim. Penampilan pada babak semifinal Azzahraly terbukti memukau juri hingga akhirnya mendapat juara kedua Tim Robot Dewayani lolos semifinal dan menempati posisi ke 4, sedangkan tim Bimadewa harus berbesar hati menerima peringkat ke-10 dan gagal lolos semifinal. “Harapannya kita dapat bersaing dengan tim-tim lain dengan menggunakan alat dan bahan yang sama sehingga dalam persaingan tidak terlalu sulit. Semoga ke depan, ada regenerasi dari angkatan muda yang dapat meneruskan perjuangan kami.” harap Maulana Husain lagi. n(NELY)

JAWARA: Tim Deworobotik FT Unesa merayakan kemenangannya dalam ajang KRI 2016 (ATAS). Eksotika penampilan Deworobotik yang berhasil menyita perhatian juri di ajang KRI 2016 (BAWAH).

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

25


SEPUTAR

FBS

BAHAGIA: Sejumlah mahasiswa BIPA foto bersama Wakil Rektor IV, Prof. Djodjok Soepardjo, M. Litt, dan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd.

Tasyakuran Purnastudi Mahasiswa BIPA

J

urusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Unesa menggelar acara tasyakuran sederhana untuk mahasiswa BIPA yang sudah merampungkan studinya. Acara berlangsung di Gedung T2 Bahasa dan Sastra Indonesia Kampus Lidah Wetan pada Jumat 3 Juni 2016.

Meski sederhana, acara berlangsung khidmat dan penuh kesan. Turut hadir pada kegiatan tersebut, Wakil Rektor IV, Prof. Djodjok Soepardjo, M. Litt, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Drs. Jack Parmin, M.Hum, dan tim dosen JBSI.

Salah satu Mahasiswi BIPA asal Thailand, Ayu mengaku senang dapat menimba ilmu di JBSI Unesa. Selama kuliah di Unesa, Ayu senang karena dapat banyak belajar tentang seni dan tari di Indonesia. Dia berharap, Unesa lebih baik dan sukses serta semakin diminati mahasiswa Asing dari berbagai negara. n

Pameran Desain Grafis 2016

P

rogram Studi D3 Desain Grafis Fakultas Bahasa dan Seni Unesa menyelenggarakan kegiatan PARADESIA (Pameran Desain Grafis Unesa 2016). Kegiatan berlangsung selama dua hari pada Sabtu dan Minggu (3-4 Mei 2016) bertempat di DBL ARENA Jl. Ahmad Yani Surabaya. Acara ini berupa serangkaian pameran Desain Grafis karya– karya mahasiswa yang merupakan hasil Tugas Akhir. Acara pembukaan dihadiri Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S. , Wakil Rektor IV Unesa, Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M.Litt., Dekan FBS Unesa, Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd., Wakil Dekan III FBS Unesa, Dr. Samsyul Sodiq, M.Pd., dan Ketua Prodi Desain Grafis, FBS Unesa,. Pemerhati Seni dihadiri oleh mahasiswa Unesa, orang tua dan masyarakat. Acara tersebut juga dihadiri oleh tamu dari Jepang dan Jakarta. Dekan FBS Unesa, Prof. Bambang Yulianto mengatakan bahwa acara ini digelar untuk memperkenalkan karya-karya mahasiswa Desain Grafis agar masyarakat mengerti dan tertarik dengan prodi tersebut. Sementara Rektor Unesa,

26

| Nomor: 94 Tahun XVII -Juni 2016 |

Prof. Dr. Warsono, M.S mengaku bangga dengan berbagai karya-karya mahasiswa yang dinilai luar biasa itu. “Saya berharap karya-karya tersebut mampu membangun dan meningkatkan ekonomi kreatif serta mampu menciptakan lapangan kerja,” harapnya. Ketua Pelaksana Pameran, Rahmat Hidayat, mahasiswa Prodi D3 Desain Grafis mengatakan, acara PARADESIA sudah berlangsung kelima kalinya. Selama satu semester ini mahasiswa benar-benar harus kerja keras untuk menyelesaikan karya dan laporan tugas akhir. Sasaran utama pameran ini adalah karya mahasiswa dapat Go Public atau dapat dinikmati oleh pengunjung dan masyarakat. Total ada 33 stan yang menampilkan karyakarya mahasiswa yang beraneka ragam. “Tugas akhir ini disamping untuk menyelesaikan kewajiban serta memberi semangat bagi mahasiswa yang belum melaksanakan tugas akhir, tujuan lain adalah agar masyarakat dapat menikmati hasil karya-karya anak bangsa,” pungkas Rahman Hidayat. n (SYAIFUL H)

Majalah Unesa


SEPUTAR FIP AKREDITASI: Tim BAN PT saat melakukan akreditasi FIP Unesa di kampus Lidah Wetan.

Akreditasi PLB Menuju Jurusan yang Unggul

J

urusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) melakukan akreditasi sebagai upaya meningkatkan kualitas menjadi jurusan yang unggul di masa mendatang. Salah satu jurusan yang unggul dalam bidang pendidikan inklusi itu didatangi tim asesor dari BAN PT, Prof. Dr. Sunardi, Ph.d (UNS) dan Dr. Dedy Kurniadi, M.Pd (UPI), pada Sabtu, 18 Juni 2016. Akreditasi dilaksanakan di dua tempat. Lokasi pertama di ruang sidang FIP. Lokasi kedua di ruang sidang Jurusan PLB. Dra. Endang Purbaningrum, M.Kes, ketua Jurusan PLB mengatakan, persiapan akreditasi sudah dilakukan dengan matang oleh para dosen PLB dan melibatkan beberapa mahasiswa. “Kami berharap akreditasi Jurusan Pendidikan Luar Biasa menjadi A sesuai

dengan Visi PLB yaitu unggul dalam pendidikan luar biasa di masyarakat global pada tahun 2025,” paparnya. Lebih jauh, Endang memaparkan, tiga tahun terakhir ini, PLB sudah berkembang pesat dari segi kepeminatan mahasiswa. Dulu hanya sedikit yang berminat masuk PLB, sekarang mencapai kurang lebih 800 yang memilih jurusan PLB. Padahal, daya tampung jurusan hanya 90 mahasiswa. Selain dari sisi kepeminatan, prestasi akademik mahasiswa PLB juga membanggakan. “Saat yudisium banyak yang mendapat nilai yang sangat memuaskan (cumlaude). Itu membuktikan perkembangan jurusan PLB sangat drastis,” beber Endang. Endang menjelaskan, aspek yang dinilai dari tim asesor meliputi

visi misi progam studi PLB, adiministrasi dan kesekretariatan, kurikulum, sarana prasana, kebijakan, penerapan tridharma perguruan tinggi melalui penelitian, output lulusan, dan peran alumni baik secara fisik maupun akademik. Metode penilaian yang dilakukan tim asesor melalui dua tahap. Pertama, berupa portofolio program studi/institusi, beserta lampiran-lampiran melalui pengkajian di atas meja (desk evaluation). Kedua, berupa wawancara langsung dengan kaprodi (ketua program studi) dan sekprodi (sekretaris program studi), dosen, dan alumni/mahasiswa. Dari dua tahapan tersebut, tim asesor dapat menilai dari aspek portofolionya atau administrasinya apakah sudah lengkap atau masih ada portofolio atau

Majalah Unesa

Pengumuman akreditasi dilakukan pada masa tenggang dalam waktu 2 bulan setelah visitasi akreditasi progam studi,”

administrasi yang belum dilengkapi. Dari hasil wawancara, tim asesor dapat menilai berdasarkan jawaban-jawaban yang dipaparkan ketua jurusan dan para dosen PLB. “Pengumuman akreditasi dilakukan pada masa tenggang dalam waktu 2 bulan setelah visitasi akreditasi progam studi,” pungasnya.n (AZIZ)

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

27


SEPUTAR

FIP

PAMERAN: Pengunjung antusias menyaksikan sejumlah media pembelajaran yang dipamerkan (KIRI). Salah satu media pembelajaran yang dipamerkan (BAWAH).

Pameran Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus

M

edia pembelajaran merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembelajaran anak. Media pembelajaran beraneka ragam bentuk dan fungsinya menyesuaikan kebutuhan siswa dengan materi yang akan disampaikan. Pun demikian dengan kebutuhan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka membutuhkan media pembelajaran untuk membantu pemahaman materi pembelajaran yang disampaikan. Latar belakang itulah yang mendorong Mahasiswa PLB angkatan 2014 mengadakan Pameran Media Pembelajaran yang dibutuhkan oleh siswa berkebutuhan khusus sesuai karakteristik saat proses pembelajaran di SLB dan sekolah inklusi di Sidoarjo - Surabaya. Pameran Media Pembelajaran tersebut dilaksanakan di Pendopo Ki Hajar Dewantara FIP pada SeninRabu (6-8 Juni 2016). Antusiasme pengunjung cukup

28

tinggi. Pengunjung dapat menikmati berbagai media pembelajaran yang ditampilkan mulai dari media pembelajaran anak tunanetra, tunarunguru, tunagrahita, tunadaksa, serta anak autis dengan media pembelajaran yang telah disesuaikan. Pameran Pembelajaran ini juga mengundang guru-guru SLB dan guru inklusi lebih dari 50 guru SLB dan GPK sekolah inklusi di Sidoarjo dan Surabaya. Panitia pameran menyediakan angket penilaian sehingga para pengunjung selain melihat pameran, juga diminta memberikan masukan dan saran tentang media pembelajaran yang ditampilkan. “Masukan tersebut dapat menjadi evaluasi bagi kami untuk pameran media pembelajaran ke depan menjadi lebih baik,� papar Hadziq Nur Humaidi, wakil panitia pameran media pembelajaran. Drs. Zaini Sudarto, dosen pengampu mata kuliah media pembelajaran menjelaskan, tujuan diadakannya pameran media

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

pembelajaran adalah memberikan wawasan kepada semua pendidik mengenai media pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus dan memberikan contoh nyata kepada pengunjung mengenai media pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. n (AZIZ)


SEPUTAR FT

KARYA: Sebanyak 44 mahasiswa S1 Pendidikan Tataboga angkatan 2012 bersama merayakan kesuksesan Gelar Cipta Karya Boga 2016 yang mereka selenggarakan.

Gelar Cipta Karya Boga 2016

S

ebanyak 44 Mahasiswa S1 Pendidikan Tataboga 2012 menyelenggarakan Gelar Cipta Karya Boga 2016 di Hotel Tunjungan pada Sabtu, 28 Mei 2016. Kegiatan tersebut digelar sebagai pemenuhan tugas Mata Kuliah Cipta Karya Boga. Selain dihadiri Dosen, orang tua mahasiswa, acara itu juga dihadiri undangan umum sekitar 450 undangan. Karya boga tahun ini mengangkat tema “Inovasi Hidangan Kontinental Berbasis Bahan Lokal”. Tujuannya, agar mahasiswa dapat

merasakan pengalaman terjun langsung ke lapangan untuk menyajikan hidangan berbasis bahan lokal. Gelar cipta ini merupakan puncak acara dari rangkaian kegiatan setelah penilaian dosen dan grand juri yang dinilai langsung pihak industri. Tak lupa, lomba carving fruit SMK tingkat Jawa Timur ikut meramaikan acara tersebut. Peserta sendiri diambil melalui seleksi media sosial dan dipilih 5 terbaik. Ikut memeriahkan kegiatan tersebut, demo masak oleh chef Steby

Pengumuman akreditasi dilakukan pada masa tenggang dalam waktu 2 bulan setelah visitasi akreditasi progam studi,”

Rafael yang menyajikan 3 hidangan. Kepada para pengunjung, Steby berpesan agar senantiasa mempertahankan budaya kuliner Indonesia. “Tidak semestinya, makanan

Majalah Unesa

Indonesia dijadikan Appetizer sendiri Maincourse sendiri Dessert sendiri karena semuanya harus ada dalam satu piring. Adapun tambahan itu disebut kudapan,” ungkapnya. Wahyu Zanuar Bustomi, ketua pelaksana Gelar Cipta mengatakan, di balik kesuksesan acara tersebut terdapat persiapan matang sejak tiga bulan lalu. Semua masakan yang disajikan dalam acara tersebut sudah dipersiapkan sejak kemarin kecuali lunch yang dibuat mahasiswa. n (EMIR)

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

29


INSPIRASI

ALUMNI

Kiprah Hariani Susanti Menapaki Jalan Hidup

NYARIS TAK BISA LANJUT KE JENJANG SMA DARI ANAK KAMPUNG YANG NYARIS TIDAK BISA LANJUT SMA, AKHIRNYA BISA MENGUNJUNGI NEGERI SINGAPURA DENGAN BEASISWA. BAHKAN, KINI SELAIN MENGAJAR MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS, IA MENDAPATKAN AMANAH SEBAGAI WAKA KURIKULUM DI SEKOLAH TEMPATNYA MENGAJAR. DIALAH HARIANI SUSANTI, ALUMNI FPBS JURUSAN PENDIKAN BAHASA INGGRIS YANG LULUS 1997 ITU.

H

ariani Susanti. Demikian nama lengkapnya. Lahir di Surabaya, 42 tahun lalu. Tepatnya, 2 Januari 1974. Sejak lahir hingga lulus kuliah, Hariani hidup di Surabaya. Baru, setelah lulus kuliah, ia mendapati takdirnya mengabdi di Bojonegoro sebagai PNS di SMPN 2 Kedung Adem. Masa kecil Hariani, dilalui dengan “indah”. Apalagi, ia hidup dalam keluarga yang cukup berada untuk ukuran kampung kala itu. Namun, menjelang remaja, badai ekonomi menerpa keluarganya. Akibat badai ekonomi itu, Hariyani nyaris tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA. Sewaktu lulus SMP, sebenarnya nilainya sangat memungkinkan untuk masuk ke SMA negeri. Namun, orang tuanya tidak punya biaya untuk mewujudkan keinginan itu. Beruntung, ada tetangga Hariyani yang baik hati dengan mendaftarkan Hariyani ke SMA swasta di dekat rumahnya yang mau menerima dengan gratis. “Saya memang mencari sekolah terdekat dengan rumah agar bisa pulang pergi jalan kaki. Orang tua saya tidak punya uang untuk ongkos naik angkot. Alhamdulillah, meski dalam kondisi yang demikian, saya mampu

30

menjadi lulusan terbaik di sekolah itu,” ungkapnya. Mengenai kondisi orang tuanya, Hariyani menuturkan bahwa mereka hanya bisa membaca huruf Alquran dan tidak bisa membaca latin alias buta huruf. Meski demikian, Hariyani sama sekali tidak malu dengan kondisi orang tuanya yang seperti itu. “Bagi saya, kedua orang tua saya adalah pekerja keras. Mereka berjualan kelontong dan sembako untuk membiayai hidup kami,” paparnya. Lulus SMA, Hariyani sempat bingung harus bagaimana. Kalau toh bekerja, ia merasa belum siap. Jika harus melanjutkan kuliah, ia harus berpikir ribuan kali bagaimana mencari biayanya. Pada akhirnya, Hariyani harus mengambil keputusan. Pilihannya adalah nekat ikut UMPTN (kini, SNMPT). Kenekatan itu berbuah hasil. Hariyani dinyatakan lulus seleksi. Ia diterima di IKIP Surabaya, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Hasil itu membuat ia senang sekaligus sedih. Ia senang karena berhasil lulus UMPTN. Namun, ia jauh lebih sedih karena tidak memiliki biaya registrasi sebesar Rp. 300.000,00. “Beruntung, tiga orang kakaknya yang sudah bekerja mau urunan untuk biaya registrasi,” kenang Hariyani.

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

Menggapai Impian Agustus 1992, Hariyani resmi menjadi mahasiswa IKIP Surabaya FPBS jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Ia mengambil jurusan bahasa Inggris atas saran Bapak Hidayat, guru bahasa Inggrisnya di SMA dan beberapa guru lain. Sewaktu SMA, kemampuan berbahasa Inggris Hariyani memang sudah terasa. Ketika Sebagian besar temannya selalu dihukum berdiri di depan kelas karena tidak bisa menerjemahkan dengan benar, Hariyani satu-satunya siswa di kelas yang tidak pernah dihukum. “Dorongan dari guru-guru saya itulah yang menginspirasi saya masuk jurusan bahasa Inggris di IKIP Surabaya,” tuturnya mengenang pengalamannya kala itu. Selama kuliah, banyak sekali pengalaman suka duka, sedih bahagia, dan tentu ilmu yang diperoleh. Di antara semua itu, ada satu yang tak pernah terlupakan, yakni saat mengerjakan skripsi. Dosen pembimbingnya mengharuskan setor tulisan pakai ketikan komputer. Beliau tidak mau jika konsultasi dengan “paper” ketikan manual. Kala itu, komputer belum menjamur seperti sekarang. Programnya saja masih


INSPIRASI ALUMNI

KESEMPATAN: Hariani Susanti saat menikmati suasana Kota Singapura saat memperoleh beasiswa short course di negara tersebut.

pakai WS, Lotus, CW dan semacamnya. Parahnya, Hariyani kurang lihai mengoperasikan komputer. “Saya hampir putus asa ketika itu. Tapi, demi bisa menyelesaikan skripsi, saya bersama teman nekat ke rental, bahkan tak jarang sampai “menginap” di rental komputer. Alhamdulillah, berkat usaha keras itu saya bisa menyelesaikan skripsi dan dapat bonus mampu mengoperasikan komputer,” lanjutnya sambil tersenyum. Selain kuliah, Hariyani juga aktif

di organisasi. Ia pernah menjabat Bendahara HMJ Pendidikan Bahasa Inggris. Ketika itu, HMJnya sangat aktif. Di antara kegiatannya adalah menerbitkan Emerald, majalah bulanan berbahasa Inggris, English Week selama satu minggu penuh yang diisi acara seminar, lomba drama tingkat SMA dan pentas seni. Mereka juga mengganti kegiatan tahunan studi banding dengan kegiatan baru English Immersion Program. “Selain di HMJ, saya juga cukup aktif di UKM Teater Institut (TI),” tuturnya.

Majalah Unesa

Beasiswa ke Negeri Singa Lulus IKIP Surabaya, Hariyani mendaptkan kesempatan mengajar di SMP Negeri 2 Kedungadem Bojonegoro. Letak sekolahnya jauh di pedesaan. Dari kota Bojonegoro sekitar 25 km. Setiap hari, Hariyani harus Pergi Pulang (PP) naik sepeda motor sejauh 50 km. Di sekolah, selain mengajar mapel bahasa Inggris, ia juga diberi tanggung jawab sebagai Waka Kurikulum. Ia juga saat ini sedang aktif di IGI Bojonegoro. Kegiatan lain yang cukup menyita

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

31


INSPIRASI

ALUMNI

waktu adalah menjadi translator di YDP, menerjemahkan buku-buku dari Finlandia. “Selebihnya, saya mengurus rumah, suami dan dua anak saya,” tambahnya. Hariyani bersyukur mendapatkan kesempatan ke Singapura melalui beasiswa short course. Ia tidak menyangka, bisa mendapat beasiswa itu mengingat usianya yang sudah tidak lagi muda. “Biasanya kan beasiswa diberikan kepada yang usianya di bawah 30 tahun,” paparnya. Ia mengaku mendapat informasi beasiswa itu dari Sekjen IGI kala itu, M. Ikhsan. Ia diberitahu kalau LPMP akan memberikan beasiswa short course bagi guru-guru di Jawa Timur. Benar saja, tidak lama setelah mendengar kabar itu, Ketua MGMP Bahasa Inggris Bojonegoro mengumumkan akan memilih 5 orang guru Bahasa Inggris untuk mengikuti tes di LPMP. “Mekanismenya begini, LPMP meminta tiap kabupaten mengirim 5 calon. Dari lima calon per kabupaten itu, LPMP akan memilih 2 orang per kabupaten untuk kemudian diseleksi lagi. Seleksi akhir dilakukan di PPPPTK Batu. Hanya 20 terbaik se-Jatim yang dipilih LPMP untuk mengikuti short course di SEAMEO RELC SINGAPORE. Alhamdulillah, saya termasuk yang 20 itu,” terangnya. Hariyani menceritakan, kegiatan selama di Singapura terbilang full dengan perkuliahan dari Senin hingga Jumat mulai pukul 08.30 - 17.00. Tidak hanya itu, malamnya harus lembur membuat learning logs (laporan harian tentang perkuliahan hari itu) dan tugas-tugas lain dari dosen. “Ada empat dosen yang mengajar kami, yakni Prof. Dr. Suisana Kweldju dari Indonesia, Dr. John Batman dari Inggris, Dr. Kenneth dari Kanada dan Dr. Chan dari Singapura serta beberapa dosen tamu,” terang Hariyani. Meski demikian, Hariyani dan teman-temannya senang karena mendapat kesempatan menjelajahi Singapura dan Malaysia. Singapura dari ujung Barat ke Timur, Utara ke Selatan sudah dijelajahi. Dari plaza

32

KEBERSAMAAN: Hariani Susanti (tengah berkacamata) bersama kolega guru berfoto di halaman Regional Language Centre Singapura. BIODATA SINGKAT Nama : Hariani Susanti, S.Pd Alamat : Perum Campurejo, Jl. Mangga Blok A-2 RT 18/ RW 02, Dsn. Plosolanang, Ds. Campurejo, Kec. Bojonegoro, Kab. Bojonegoro Temapt/ tanggal lahir : Surabaya, 2 Januari 1974 Unit Kerja : SMP Negeri 2 Kedungadem Bojonegoro Jabatan : Guru Mapel bahasa Inggris/ Waka Kurikulum Pendidikan : SD Negeri Kapasari X/ 301 Surabaya, lulus 1986 SMP Negeri 8 Surabaya, lulus 1989 SMA YP TRISLIA Surabaya, lulus 1992 IKIP Surabaya, FPBS Pend. Bhs Inggris, lulus 1997 Short Course, RELC SEAMEO SINGAPORE, tahun 2015.

hingga pasar tradisoional sudah dikelilingi. Bahkan, mereka sempat memotret kehidupan TKI di sana dari yang baik-baik hingga yang nyleneh. Pulang dari Singapura, Hariyani masih mendapat tugas untuk mendesiminasikan ilmu yang diperoleh kepada rekan-rekan guru, masyarakat sekitar dan tentu saja ke para siswa. Pengalaman tentang TKI dan “Indon” di Singapura dan Malaysia menjadi poin penting yang dia share ke anak-anak didiknya agar kelak kalau mereka ke luar negeri harus membawa bekal ilmu yang cukup sehingga tidak bekerja di “sektor rendah” dan selalu dipandang rendah. “Pengalaman lain yang saya anggap ‘menggetarkan’ jiwa kebangsaan saya adalah ketika kami akan masuk kembali ke Singapura setelah seharian mengeksplore Malaysia. Kami berpaspor biru, tetapi petugas

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

imigrasi masih juga mempersulit kami. Mereka tidak percaya kalau kami tinggal di RELC dan dengan sedikit merendahkan mereka bertanya “Siapa yang membiayai kami.” Dengan agak jengkel kami bilang, “Our goverment is very rich. Pemerintah kami sanggup membiayai kami semua,” ungkapnya. Hariyani tidak punya harapan yang muluk-muluk. Mengalir saja. Ia hanya akan mengikuti kemana takdir akan membawanya. Istilahnya I’ll do my best and let God handle the rest. Itu saja. Hariani sangat bersyukur. Dari anak kampung yang nyaris tidak bisa lanjut SMA, akhirnya bisa mengunjungi negeri tetangga. “Itu semua berkah bagi saya. Selebihnya, saya kira tidak ada yang spesial dalam diri saya. Saya hanya percaya Mann Jadda wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Itu yang saya percaya,” pungkasnya. n (RUDI UMAR)


RESENSI BUKU

S

MEMBACA RUPA SEMESTA

astrawan Wilson Nadeak dalam bukunya yang berjudul Sekilas Gambaran Dunia Sastra Indonesia (Nusa Indah, 1984: 89) menceritakan bahwa pada awalnya dulu orang Yunani menganggap segala-galanya adalah puisi. Mereka menganggap ilmu pengetahuan adalah puisi, agama adalah puisi, dan pada hakikatnya hidup ini ialah puisi. Pengertian ini semakin menyusut sehingga para sastrawan mempersempitnya dalam ruang lingkup yang terbatas. Hingga sampailah pada pengertian bahwa puisi itu bukan lagi semesta pengetahuan, melainkan hanya milik para penyair. Kendatipun demikian, Nadeak justru menggarisbawahi bahwa syair atau puisi adalah salah wujud dalam memahami semesta –dalam pengertian yang lebih universal– tersebut. Syair-syair dalam buku Puisi untuk Sang Bulan karya Heny Subandiah ini kiranya bisa dikategorikan pada hal itu. Kesemestaan dianggap tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai spiritual. Sebab, bicara tentang semesta berarti juga membincang kehidupan. Heny mencoba memotret kesemestaan itu melalui dialogdialog yang terlihat dalam puisi Aku Bicara Padamu. ”Kesunyian yang menentramkan hati/bawaku dalam percakapan diri/bersama-Mu.” Bisa dipahami apabila sebagian manusia selalu menginginkan kebebasan. Akan tetapi, sejatinya tidak ada kebebasan yang absolut di dunia ini. Agama kemudian menuntun manusia untuk berlaku seimbang dalam kehidupan. Ada aturan-aturan Tuhan ”yang bermain” di sana. Maka, upaya berdialog dengan Tuhan untuk menumpahkan segala harapan dan pinta adalah cara yang diyakini bisa membuat manusia lebih tenang dan seimbang. Hal ini digambarkan oleh Heny lewat Siklus Kehidupan. ”Karena keyakinan tlah bersemayam/dalam langkah kecilku/dari kaki kecilku/penuh luka membiru/adalah upaya bagi jiwa kecilku/tuk kembali pada-Mu/pada putihku.” Nuansa spiritualisme memang menonjol dalam buku Puisi untuk Sang Bulan ini. Sang penyair pun tampaknya sengaja menegaskannya dengan menaruh puisi-puisi spiritual tersebut dalam bingkai Hikayat Rindu. Kerinduan

Judul : Puisi untuk Sang Bulan Penulis : Heny Subandiyah Penerbit : Halaman Indonesia Cetakan : Pertama, Juni 2016 Tebal : 70 halaman ISBN : 602-08-4813-6 PERESENSI : Eko Prasetyo

tersebut tidak terbatas pada objek tertentu, melainkan makhluk-makhluk yang ada di semesta raya ini. Muaranya adalah Sang Pemilik Semesta. ”Aku cemburu/pada ombak yang berlompatlompat riang/Aku cemburu/pada angina yang berlari kencang” yang kemudian dipungkasi dengan bait: ”Tuhanku/aku malu menyebut nama-Mu.” Hikayat Rindu sendiri agaknya bukan sekadar lema yang mengungkapkan perasaan-perasaan si penyair. Lebih dalam lagi, hikayat rindu di sini ruparupanya merupakan siasat halus untuk merujuk pada doa dan pengharapan. Dalam puisi Hikayat Rinduku, hal itu terlihat amat jelas tentang penegasan tersebut. ”…Ridho-Mu kutunggu/Ilaahi anta maksudi waridhoka mathluubi.” Zikir-zikir yang familier di kalangan muslim juga bertebaran dalam baitbait puisi tersebut. ”Subhanallah/ Subhanallah/Subhanallah/Aku bersandar pada kalimat-Mu” serta ”…sendiri di kesenyapan/hasbunallah wani’mal wakiil/

Majalah Unesa

ni’mal maula wani’man nashiir.” Buku ini memang terdiri atas empat subjudul. Yaitu Hikayat Rindu, Puisi untuk Bulan, Kenangan buat Ibuk-Bapak, serta Sajak untuk Clayton dan Balekambang. Walau demikian, kontemplasikontemplasi yang dilakukan sang penyair lagi-lagi tidak dapat memungkiri anggapan bahwa ini merupakan sekumpulan doa dan pengharapan. Perenungan atas dinamika hidup yang dibungkus dalam metafor ”bulan” tak bisa menghindari penilaian tadi. Dalam sajak Tanya Bulan, misalnya, terlihat pesan itu lewat bait ”Ke mana doaku saat itu?/dan kau segera berlalu/bersama sang waktu.” Sepi dan kesunyian mendapat tempat yang luas di buku ini. Hal ini bisa dipahami karena kontemplasi atau perenungan yang dilakukan tadi lahir dalam suasana tersebut. Sajak Jika Aku-Kau Kembali mencoba mengungkapkannya dalam ilustrasi yang lebih tegas. ”Jika hari ini hatiku kembali/ dari pengembaraan sunyi/apa yang kau lakukan?” Kisah Bulan Sepotong juga mengusung diksi yang lekat dengan kata sunyi dan sepi. ”Bulan sepotong/mengintip di balik awan kelam/mampukah ia berjalan/ sepanjang malam/meniti cakrawala/ yang menghitam/sendiri di kesenyapan.” Tidak mudah memang menafsirkan diksi-diksi yang terpaut dan saling berkait antara sajak yang satu dan sajak yang lainnya dalam Puisi untuk Sang Bulan ini. Namun, pesannya sesungguhnya telah tersampaikan dengan lugas lewat doa-doa dan pengharapan yang terkias. Di luar itu, puisi-puisi Heny Subandiah ini tetap enak dinikmati. Hal ini disebabkan gaya akrostik dan pemilihan diksinya yang sederhana sehingga mudah dipahami pembaca. Gaya penulisan yang pendek-pendek juga memudahkan pembaca untuk mengikuti tiap alur yang dirangkai dalam bait-bait puisinya. Di sini kita seakan membaca rupa semesta dengan merasakan ikatan emosional yang begitu dalam. Bukan hanya ikatan emosional pada semesta, tapi pada Sang Pemilik Semesta. n Peresensi Alumnus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, pemred Media Guru Indonesia

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

33


CATATAN LINTAS

SEANI

dan Solidaritas Sosial Oleh Muchlas Samani

M

asih ingat dengan Ibu Saeni, pemilik warung makanan yang mendapat uang 10 juta dari Presiden Jokowi? Menurut berita di koran, Ibu Saeni adalah penjual nasi semacam warteg di Serang. Pada bulan Ramadan beliau tetap buka, walaupun warungnya ditutup dengan semacam geber. Nah, hari itu pukul 12.30-an Ibu Saeni baru selesai masak yang dimulai sekitar pukul 10-an. Warungnya belum dibuka, namun mendadak petugas Satpol PP Kota Serang datang melakukan razia. Ibu Saeni dianggap melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2010. Di tayangan beberapa stasiun TV kita dapat melihat petugas Satpol PP seperti sudah siap melakukan razia warung makanan. Mereka membawa kantong-kantong plastik untuk mewadahi makanan yang dirampas. Mungkin maksudnya agar tempat makanan tidak ikut dirampas. Namun ada yang berkomentar, makanan yang dirampas dibawa ke mana dan untuk apa ya? Konon Ibu Saeni hanya disisai timun dan telur asin, makanan lainnya dirampas semua. Tulisan ini tidak ingin membahas aspek hukum, tetapi aspek sosial yang muncul. Menurut koran, setelah kasus Ibu Saeni itu muncul di TV dan disebarluarkan melalui media sosial, solidaritas masyarakat tumbuh dengan pesat. Apalagi Presiden Jokowi menaruh empati dengan mengutus staf kepercayaannya untuk memberi bantuan 10 juta kepada Ibu Saeni. Konon dua hari setelah kejadian itu, akun Twiter @dwikaputra berhasil mengumpulkan sumbangan dari masyarakat sebanyak 265 juta rupiah dengan penyumbang sebanyak 2.427 orang. Saya tidak tahu, mengapa razia warung makanan dapat diketahui dan disorot TV begitu jelas. Apakah

34

wartawan TV-nya yang canggih sehingga mengetahui akan ada kejadian yang “layak jual” atau satpol PP-nya yang pengin nampang saat bertugas atau memang ada skenario untuk itu. Apalagi Presiden langsung memberi “bantuan biaya” 10 juta. Hanya mereka yang terlibat langsung dengan kejadian itu yang dapat menjawab. Atau biarlah sejarah yang akan menjawabnya suatu saat kelak. Yang menarik adalah cepatnya respons Presiden Jokowi dan bantuan uang dari 2.427 orang. Memang media sosial ternyata merupakan penyebar berita yang sangat cepat dan luas. Namun cepatnya Presiden membantu dan banyaknya orang yang memberi sumbangan patut diperhatikan. Dengan pikiran positif, fenomena itu menunjukkan solidaritas sosial kita sangat kuat. Apakah itu yang dirazia karena Ibu Saeni, orang kecil yang terpaksa harus mencari nafkah dengan berjualan di bulan Ramadan, sehingga perlu dibantu atau karena karena rasa kasihan orang kecil teraniaya, hanya Presiden Jokowi dan para penyumbang yang dapat menjelaskan. Kita juga pernah punya kejadian yang agak mirip. Saya lupa namanya, kalau tidak salah Ibu Prita yang berurusan dengan rumah sakit. Kalau tidak salah Ibu Prita dipersalahkan karena mengunggah keluhaan tentang layanan sebuah rumah sakit ke media sosial. Rumah sakit itu menuntut dan Ibu Prita kena hukuman atau denda. Nah kemudian munculkan solidaritas sosial lewat koin untuk Ibu Prita. Seingat saya jumlahnya sangat besar, jauh lebih besar dibanding denda yang harus dibayar. Ketika ada bencana, misalnya gunung meletus, gempa bumi, banjir dan sejenisnya, juga banyak stasiun TV, koran dan lembaga lain yang

| Nomor: 94 Tahun XVII - Juni 2016 |

Majalah Unesa

mengumpulkan sumbangan. Ternyata banyak sumbangan yang terkumpul dan kadang-kadang di luar dugaan besarnya. Di Jawa Timur, YDSF (Yayasan Dana Soaial Al Falah) berhasil mengumpulkan donasi dari masyarakat lebih 2 miliar rupiah sebulan. Sekali lagi, fakta tadi menunjukkan rasa solidaritas sosial masyarakat kita sangat tinggi. Apakah para penyumbang itu orang kaya? Saya tidak tahu pasti. Namun menurut informasi dari beberapa teman yang terlibat dalam kegiatan seperti itu, banyak masyarakat yang secara ekonomi tidak termasuk kaya juga ikut menyumbang. Tentu besarnya sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan. Informasi itu sejalan dengan apa yang terlihat pada acara TOLOONG yang disiarkan oleh sebuah stasiun TV. Semangat solidaritas sosial tersebut perlu dipupuk dan dikembangkan sebagai salah satu karakter bangsa. Pendidikan dapat mengaitkan dengan “empati” yang menjadi salah satu aspek pendidikan karakter. Bersamaan dengan itu, potensi “ekonomi-nya” juga layak diperhitungkan. Mengacu ke YDSF yang berpusat di Surabaya mampu mengumpulkan donasi sebanyak lebih 2 miliar rupiah sebulan, dapat dibayangkan berapa potensi dana yang dapat dihimpun di seluruh Indonesia. Tentu kita juga harus memikirkan akuntabilitas dana yang terkumpul, dengan memastikan pemanfaatan dana sesuai dengan tujuan dan dilakukan secara efektif dan efisien serta transparan. Lebih dari itu akan lebih baik jika pemanfaatannya diarahkan ke hal-hal yang sifat produktif dan tidak konsumtif semata. n (Blog: muchlassamani.blogspot.com)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.