WARNA REDAKSI Bulan Oktober ditetapkan sebagai bulan bahasa oleh bangsa Indonesia, karena pada bulan inilah dalam ikrar Sumpah Pemuda salah satu poinnya ialah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia!� Oleh
Prof. Dr. Bambang Yulianto
P
emerintah telah menetapkan Oktober sebagai Bulan Bahasa (yang kemudian berkembang menjadi Bulan Bahasa dan Sastra). Penetapan tersebut terkait dengan bulan lahirnya pengakuan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yakni bahasa kebangsaan Indonesia yang terikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Selama bulan Oktober diharapkan muncul berbagai kegiatan mengampanyekan pemasyarakatan bahasa Indonesia di seluruh wilayah Indonesia, bahkan hingga ke negara lain yang komunitasnya menggunakan bahasa Indonesia. Apakah pengampanyean tersebut secara substansial telah sesuai dengan tujuan ditetapkannya Bulan Bahasa, yakni menunjang pemartabatan bahasa Indonesia? Silakan dijawab sendiri. Bahasa yang bermartabat adalah bahasa yang mampu digunakan untuk mengekspresikan akal pikiran manusia dan mengomunikasikannya dalam segala aspek kehidupan, seperti bidang politik dan hukum, bidang sosial, bidang ekonomi, bidang ilmu pengetahuan, bidang teknologi, bidang seni dan budaya, dan bidang lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Itu semua barulah bahasa (yang
bermartabat) dilihat dari sisi penggunaannya (fungsi). Padahal, sebagai sebuah entitas, bahasa Indonesia (sebagaimana entitas lainnya), di samping memiliki fungsi juga memiliki wujud. Sebagai sebuah wujud, bahasa memiliki komponen struktur dan makna. Meskipun keduanya merupakan unsur yang berbeda, keduanya selalu terkait. Struktur menyangkut kaidah, baik kaidah yang berkenaan dengan pengucapan dan penulisan, pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pembentukan wacana. Pada bahasa yang
pemerintah telah membentuk badan yang bertugas mewujudkannya yakni Badan Bahasa yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara organisatoris, badan ini setara (?) dengan direktorat jenderal. Namun, badan ini bukan lembaga yang teritoris, seperti halnya Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Bagaimana lembaga yang nonteritorial dan berada di bawah sebuah kementerian dapat bekerja secara efektif mengimplementasikan hasil kerjanya untuk menembus atau melewati kementarian yang lain? Pada satu sisi, tugas mewujudkan pemartabatan bahasa Indonesia itu dapat diwujudkan setidak-tidak dalam jangkauan yang lintaskementerian karena mencakup seluruh masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Oleh karena itu, badan ini (entah harus diberi nama apa sesuai dengan peraturan yang ada) seharusnya tidak berada di bawah sebuah kementerian. Badan ini harus diberi kedudukan/posisi yang lebih. Badan ini harus berada di bawah presiden secara langsung agar memiliki kekuatan ‘memaksa’ penggunaan bahasa Indonesia yang mantap secara kekaidahan ke semua intansi dari berbagai kementerian. n
PEMARTABATAN BAHASA INDONESIA bermartabat, kemantapan berbagai kaidah kebahasaan tersebut mutlak diperlukan. Mantap artinya tidak memberikan peluang adanya ketaksaan kaidah. Meskipun kaidah yang mantap mengesankan ketidakberubahan yang permanen, dalam bahasa yang bermartabat kemantapan yang dimaksud adalah kemantapan yang dinamis, yakni kemantapan yang masih memberikan peluang berkembang mengikuti kebutuhan zaman. Adakah yang bertugas mewujudkan hal itu? Di Indonesia
Majalah Unesa
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa.
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
3
DAFTAR RUBRIK
18 Edisi Ini
05
MEMARTABATKAN BAHASA INDONESIA
Pemerintah telah menetapkan Oktober sebagai bulan bahasa dan sastra Indonesia. Penetapan itu tentu saja terkait dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, yang salah satunya meneguhkan komitmen berbahasa satu bahasa Indonesia. Oleh karena itu, momen bulan bahasa haruslah menjadi pemantik untuk semakin memartabatkan bahasa Indonesia.
14
SEMARAK BULAN BAHASA DI FBS UNESA
20
KOLOM REKTOR
EDISI OKTOBER 2 18 01 6
22
INSPIRASI ALUMNI
25
KABAR MANCA
29
KABAR SM-3T
31
SEPUTAR UNESA
18 - 19
LENSA UNESA Berita Foto Perayaan Hari Sumpah Pemuda dan Pelantikan Pengurus IKA Unesa Periode 2016 - 2021.
33
RESENSI BUKU Mengatasi Galau dengan Terapi Menulis (Writing Therapy)
Majalah Unesa ISSN 1411 – 397X Nomor 98 Tahun XVII - Oktober 2016 PELINDUNG: Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT: Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I), Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III), Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB: Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI: Dr. Heny Subandiyah, M.Hum. REDAKTUR: A. Rohman, Basyir Aidi PENYUNTING BAHASA: Rudi Umar Susanto REPORTER: Syaiful Rahman, Lina Mezalina, Andini Okta, Murbi, Umi Khabibah, Suryo, Danang, Emir, Khusnul, Aziz, Raras, Puput, Syaiful H FOTOGRAFER: M. Wahyu Utomo, Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT: Arman, Basir, Wahyu Rukmo S ADMINISTRASI: Supi’ah, S.E., Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI: Hartono PENERBIT: Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI: Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124, Fax (031) 8280804
4
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
LAPORAN UTAMA
Semarak Bulan Bahasa
MEMARTABATKAN BAHASA INDONESIA Pemerintah telah menetapkan Oktober sebagai bulan bahasa dan sastra Indonesia. Penetapan itu tentu saja terkait dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, yang salah satunya meneguhkan komitmen berbahasa satu bahasa Indonesia. Oleh karena itu, momen bulan bahasa haruslah menjadi pemantik untuk semakin memartabatkan bahasa Indonesia. Majalah Unesa
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
5
LAPORAN
S
UTAMA
Setiap Oktober tiba, gaung penyambutan, terutama di kalangan akademisi seperti kampus dan lembaga sekolah begitu marak, tak terkecuali di Unesa. Semarak menyambut Bulan Bahasa dapat dilihat di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) yang menyelenggarakan berbagai kegiatan, baik di jurusan/ prodi maupun di fakultas. Bagi Fakultas Bahasa dan Seni, memperingati Bulan Bahasa dengan berbagai kegiatan bahasa, sastra dan seni merupakan upaya untuk ikut menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia melalui budaya-budaya yang ada. Selain itu, peringatan Bulan Bahasa dan Seni juga berperan sebagai payung yang dapat menaungi berbagai kegiatan yang sudah dilaksanakaan setiap tahun oleh seluruh jurusan di FBS seperti Festival Bahasa Indonesia yang diadakan Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia, English Week yang diadakan jurusan Bahasa dan Satra Inggris, Japan Pop Culture yang diadakan Pendidikan Bahasa Jepang, dan Drama dan Tarian yang diadakan jurusan Sendratasik
6
dan lain-lain. Oktober 2016 ini, FBS kembali memperingati Bulan Bahasa dengan tema: Ragam Karya, Satu Bahasa, Wujudkan Insan Berbudaya. Tema tersebut mengandung harapan besar agar melalui Bulan Bahasa dan Seni, seluruh individu yang terlibat dapat mengembangkan ide-ide kreatifnya melalui keanekaragaman budaya Indonesia sebagai wujud mempertahankan eksistensi Bahasa Indonesia. Perkembangan Bahasa Indonesia juga tidak lepas dengan pengaruh bahasa asing di Indonesia. Bahasa asing dapat menjadi media pembelajaran itu sendiri. Seperti halnya pembelajaran Bahasa Indonesia pada penutur asing. Semakin banyaknya penutur asing yang belajar Bahasa Indonesia, maka akan semakin menjadikan Bahasa Indonesia semakin kuat dalam kedudukan global. Dengan begitu, penutur asing yang belajar Bahasa Indonesia selain dapat berpartisipsi dengan budaya lokal, juga nantinya dapat menularkan rasa cintanya dengan Bahasa Indonesia pada orang
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
terdekat di kampung halamannya. Yang pasti, sebagaimana harapan yang ditulis Dekan FBS dalam Warna Editorial kali ini, hal paling penting selain kegiatan mengampanyekan pemasyarakat bahasa Indonesia di seluruh wilayah Indonesia melalui lomba, seminar, dan sebagainya, upaya yang perlu dilakukan adalah mewujudkan pemartabatan bahasa Indonesia sebagai tujuan ditetapkannya Oktober sebagai bulan bahasa dan sastra Indonesia. Mempertahankan Eksistensi Bahasa Indonesia Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional saat ini hendaknya mendapatkan perhatian lebih, terutama di zaman modern. Faktanya, masyarakat Indonesia mudah sekali dipengaruhi oleh berbagai bahasa asing. Pengaruh bahasa asing memang tidak bisa dihindari karena sebuah bahasa akan terus berkembang dan memodifikasikannya. Adam Damanhuri, SS, M.Hum, salah seorang dosen bahasa Inggris mengatakan,modifikasi bahasa
LAPORAN UTAMA Indonesia dipengaruhi banyak hal, salah satunya ya bahasa asing itu sendiri. Menurut Adam, dari perkembangan sebuah bahasa , ada kemungkinan bahasa itu tidak hanya mengalami modifikasi, tapi bahkan bercampur dengan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Indonesia – bahasa Inggris yang bisa menjadi Inglish (bahasa Indonesia-English) atau mungkin Javanglish (bahasa JawaEnglish) dan Maduranglish (bahasa Madura-English). “Hal ini sudah terjadi di beberapa negara maju lain, seperti Singapura,” paparnya. Lebih lanjut, Adam mengatakan bahwa pelestarian dan perkembangan sebuah bahasa harus berjalan seimbang. Seperti halnya bahasa Indonesia yang boleh berkembang dan termodifikasi, tapi bahasa Indonesia itu sendiri tetap keasliannya harus terlestarikan. Dan, semua itu bisa dari peran sebuah universitas sebagai lembaga ilmiah dan akademik. “Pendidikan masyarakat di Indonesia sudah hampir merata dan minimal sudah pasti punya kecintaan terhadap bahasa Indonesia. Hal inilah yang membuat universitas, sebagai salah satu lembaga pendidikan yang bisa menjadi salah satu tempat rujukan untuk mencari manuskrip dari pelestarian dan perkembangan bahasa Indonesia,” ungkapnya. Senada, Pratiwi Retnaningdyah Ph. D, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris mengakui banyak faktor yang dapat menopang eksistensi bahasa Indonesia. Salah satunya dengan pengaruh bahasa asing di Indonesia. Melalui Bahasa asing, sastra-sastra Indonesia dapat dilirik oleh penutur asing sehingga menimbulkan ketertarikan untuk memahami Bahasa Indonesia lebih dalam. “Semakin banyaknya penutur asing yang belajar bahasa Indonesia, maka akan semakin menjadikan bahasa Indonesia semakin kuat dalam kedudukan global. Dengan begitu, penutur asing yang belajar bahasa Indonesia selain dapat berpartisipsi dengan budaya lokal, juga nantinya dapat menularkan rasa cintanya dengan bahasa Indonesia pada orang terdekat di kampung halamannya,”
“Semakin banyaknya penutur asing yang belajar Bahasa Indonesia, maka akan semakin menjadikan Bahasa Indonesia semakin kuat dalam kedudukan global. Dengan begitu, penutur asing yang belajar Bahasa Indonesia selain dapat berpartisipsi dengan budaya lokal, juga nantinya dapat menularkan rasa cintanya dengan Bahasa Indonesia pada orang terdekat di kampung halamannya.”
Pratiwi Retnaningdyah Ph.D
PEMATERI. Pratiwi Retnaningdyah, P.hD (kanan) didampingi Dr. Suhartono (moderator) saat menjadi narasumber dalam seminar bertema mengembangkan literasi di Indonesia dalam rangka peringatan bulan bahasa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Unesa. foto: AROHMAN
ujarnya. Kemajuan teknologi juga tak luput dalam mendukung berkembangnya bahasa Indonesia. Dengan adanya teknologi modern seperti adanya media sosial dan media elektronik, tak serta merta menjadikan kedudukan bahasa Indonesia lebih baik. Diperlukan masyarakat Indonesiasepenuhnya agar menjaga dari pergeseran dengan bahasa asing. Jika tidak, buka hal yang mungkin bila suatu saat nanti bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa asing. Contohnya ialah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam berinteraksi sehari-hari. Meski dengan hal kecil tersebut, pada akhirnya dapat mempertahankan Bahasa Indonesia tanpa khawatir
Majalah Unesa
dengan pergerakan bahasa asing yang terus meluas. Selain itu, berbahasa Indonesia yang baik erat kaitannya dengan etika bahasa yang digunakan. Sebab etika bahasa tentunya dapat menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sopan dan beradab sehingga eksistensinya dapat dipandang dengan baik. Perlu diperhatikan kapan, bagaimana dan kepada siapa menggunakan bahasa. Cukup memprihatinkan melihat saat ini banyak generasi muda yang mampu berbahasa dengan baik namun tidak dapat beretika bahasa. “Bulan Bahasa adalah momen yang tepat untuk mengingatkan bahwa setiap orang masih perlu untuk belajar berbahasa,” ungkap Pratiwi.n (FIKRI/CHIKITA)
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
7
LAPORAN
UTAMA
DAFTAR EVENT BULAN BAHASA DAN SENI FBS UNESA 2016 NO
8
NAMA KEGIATAN
TANGGAL
TEMPAT
PELAKSANA
1
Festival Faber Castel
Sabtu, 8 Okt 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
HMJ SRDG
2
Workshop (Beauty Kurs und Selbst-baranding Talkshow) Workshop merias
Sabtu, 8 Okt 2016
Gedung T8 FBS UNESA
HMJ JERMAN
3
Lomba Mahasiswa (Singen und Worerraten)
Senin, 10 Okt 2016
Joglo FBS UNESA
HMJ JERMAN
4
Donor Darah “Dein Blut ist Bedeutungsvoll fur andere Menschen”
Rabu, 19 Okt 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra ADdriana, M. Pd. FBS UNESA
HMJ JERMAN
5
Festival Bahasa Indonesia
Sabtu, 22 Okt 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
HMJ INDONESIA
6
Festival Sendratasik
Musik: 16 Okt 2016 Tari: 17 OKT 2016 Drama: 18-23 Okt 2016
Gedung Pertunjukan Sawunggaling FBS UNESA
HMJ SENDRATASIK
7
Urban Farming Development
Sabtu, 22 Okt 2016
Kampung Sekitar Unesa Lidah Wetan
HMJ JERMAN
8
Seminar Nasional Bahasa Jepang
Sabtu, 22 Okt 2016
Seminar room Gedung T4 FBS UNESA
HMJ JEPANG HMJ JERMAN
9
Bedah Buku “Exploring Germany”
Kamis, 27 Okt 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
10
Lomba Siswa (Deutche Woche) SMA/SMK Sederajat
Sabtu, 22 Okt 2016
Joglo FBS UNESA
HMJ JERMAN
11
Foodtruck Vaganza
Sabtu, 29 Okt 2016
Parkir T2 FBS UNESA
HMJ JERMAN
12
Spielenlage
Sabtu, 29 Okt 2016
Lap. Parkir T1 FBS UNESA
HMJ JERMAN
13
Lomba Menyanyi Campursari Tingkat SMA seJawa Timur
Minggu, 30 Okt 2016
Gedung Pertunjukan Sawunggaling FBS UNESA
HMJ JAWA
14
Seminar Literasi
Sabtu, 29 Okt 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
HMJ INDONESIA
15
Penutupan Deutsche Woche XX
Sabtu, 29 Okt 2016
Lap. Parkir T1 FBS UNESA
HMJ JERMAN
16
Lomba Macapat dan Geguritan Tingkat SMP seJawa Timur
Sabtu, 29 Okt 2016
Gedung Pertunjukan Sawunggaling FBS UNESA
HMJ JAWA
17
KFB (Komunitas FBS Berkarya)
Minggu, 30 Okt 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
BEM FBS
18
Alliance Quiz
Jumat, 4 Nov 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
HMJ INGGRIS
19
Debate
Jumat-Minggu, 4-6 Nov 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
HMJ INGGRIS
20
Writing
Jumat, 4 Nov 2016
Lab 1 dan Lab 2 Gedung T4 FBS UNESA
HMJ INGGRIS HMJ INGGRIS
21
Speech
Minggu, 6 Nov 2016
Gedung T8.03.01, T8.03.02, T8.03.03, T8.03.04
22
News Cast
Senin, 7 Nov 2016
Seminar Room, Gedung T4.03.08, T4.03.09, T4.03.10, T4.03.12, T4.03.13, T4.03.14
HMJ INGGRIS
23
English Week Carnival
Senin, 7 Nov 2016
Joglo FBS UNESA
HMJ INGGRIS
24
Pentas Budaya Kethoprak
Senin, 7 Nov 2016
Joglo FBS UNESA
HMJ JAWA HMJ INGGRIS
25
Story Telling
Selasa, 8 Nov 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
26
Pentas Budaya Wayang
Selasa, 8 Nov 2016
Joglo/Parkiran FBS UNESA
HMJ JAWA
27
Festival Batik Tulis
Selasa, 8 Nov 2016
Gedung T3 FBS UNESA
HMJ SENIRUPA HMJ MANDARIN
28
Seminar Nasional Bahasa Mandarin
Rabu, 9 Nov 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA
29
Mandarin Festival
Sabtu, 12 Nov 2016
Auditorium Prof. Dr. Leo Indra Adriana, M. Pd. FBS UNESA, T8 Mandarin, Joglo FBS UNESA
HMJ MANDARIN
30
Jalan Sehat Fakultas (Penutupan Bulan Bahasa dan Seni)
Sabtu, 19 Nov 2016
FBS UNESA
Panitia FAKULTAS DAN Panitia PKKMB
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
LAPORAN UTAMA
PERSPEKTIF BAHASA INDONESIA BAGI JURUSAN LAIN Bagaimana prodi-prodi lain menyikapi peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Berikut pandangan dari para kajur, sekjur dan dosen selingkung FBS mengenai perspektif bahasa Indonesia bagi jurusan lain.
DEUTSCHE WOCHE. Ketua Jurusan Bahasa Jerman, Drs. Suwarno Imam Samsul, M.Pd. memberikan cinderamata kepada perwakilan Konsulat Swiss yang hadir dan mendukung kegiatan Deutsche Woche (DW) yang diselenggakan HMJ Bahasa Jerman, FBS, Unesa. foto: DOK
Bahasa Indonesia Penting untuk Bahasa Asing
M
emahami bahasa Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia saja. Mahasiswa dari jurusan lain, terutama dari Jurusan Bahasa Asing, juga sangat memerlukan. Kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting bagi mereka, terutama saat menerjemahkan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Demikian
dikatakan Drs. Suwarno Imam Samsul, M.Pd. “Pembelajaran bahasa Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak SD. Jika pembelajarannya berhasil, bahasa Indonesia akan tetap ada. Seperti halnya kita yang kuliah di jurusan bahasa asing saat penerjemahan, bila tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar maka orang yang
Majalah Unesa
membaca hasil terjemahan kita tidak bisa memahminya,� ucap Suwarno. Bagi dosen bahasa Jerman itu, menerjemahkan bahasa asing ke bahasa Indonesia tidak hanya media tulis saja, tapi juga audio (suara). Hal inilah yang membuat semua elemen ketrampilan berbahasa Indonesia perlu dimiliki, terutama penutur bahasa asing di Indonesia. Menurut Suwarno, Indonesia tidak hanya memiliki bahasa Indonesia, tapi juga memiliki puluhan bahasa lokal/asli
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
9
LAPORAN
UTAMA
daerah. Bahasa lokal juga memiliki peran penting untuk keeksisannya di Indonesia, karena bahasa lokal adalah sebagi wujud jati masyarakat tersebut, seperti bahasa Jawa sebagai wujud jati diri sebagai orang Jawa. Untuk mempertahankan bahasa Indonesia dan bahasa lokal sebagai jati diri bangsa, ungkap Suwarno, ada banyak kiat yang dapat dilakukan. Setidaknya, ada 5 hal yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan keberadaan bahasa Indonesia dan bahasa lokal. Pertama, Cross Culture Understanding, harus dipahami bahwa bahasa adalah produk budaya. Kedua, penerapan dalam lingkungan, mengajak masyarakat tetap menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, literasi. Saat ini pemerintah sedang gencar menggalangkan budaya literasi di masyarakat. Keempat, melalui pendidikan formal maupun nonformal. Dan, kelima dengan teknologi yang masuk ke negara
Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia. Mengenai dampak positif dan negatif, tentu ada. Dampak positifnya, semakin memudahkan berkomunikasi dengan masyarakat. Dari segi negatif, dapat mengubah kaidah bahasa yang baik dan benar. Di era global seperti ini, lanjut Suwarno, banyak sekali manfaat yang bisa diambil dengan adanya kemampuan berbahasa asing, seperti bisa menjadi jembatan antara negara asing tersebut dengan Indonesia untuk menjalin hubungan persaudaraan dan membuat komunikasi dari berbagai aspek lebih lancar. Walaupun pada akhirnya akan berdampak pada bahasa Indonesia yang dimiliki karena adanya perbedaan bahasa maupun budaya antar bahasa maupun negara. Tak sedikit kultur bahasa asing masuk di Indonesia, hal ini bisa memengaruhi kultur bahasa Indonesia sendiri, terutama dalam segi perekonomian. Pengaruh
bidang ekonomi sangat kuat dalam perkembangan negara. Sadar atau tidak sadar, bahasa juga akan menjadi pengaruh di negara itu juga. Seperti saat ini negara Tiongkok yang menjadi raksasa ekonomi dunia sehingga bahasa Mandarin digalakkan di Indonesia. “Logika belajar bahasa asing tidak akan cukup dan baik jika bahasa Indonesia kita tidak kuat,� papar Suwarno. Beberapa bahasa asing sangat diperlukan untuk kata serapan dalam teknologi dan ilmu pengetahuan, karena ada beberapa bahasa asing yang tidak memungkinkan untuk diterjemahakan dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa itu juga dapat membuat orang bingung, karena di Indonesia sendiri demi kesopanan. Semisal, ada orang yang bertanya tentang alamat rumah, orang tersebut belum tentu tahu. Tapi, karena orang tersebut bertanya maka akan tetap dijawab walaupun tidak tahu alamat tersebut. n(MIRA CARERA/CHIKITA)
DIRIKAN SEKOLAH BHINEKA UNTUK BENTENGI BAHASA INDONESIA
T
Dr. Urip Zaenal Fanani M.Pd
10
Dr. Roni, M.Hum, M.A.
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
idak sedikit berita tentang keprihatinan bahasa Indonesia di masyarakat Indonesia dimana masyarakat Indonesia zaman sekarang banyak yang lebih menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. Yang menyedihkan, penggunaan bahasa asing itu lebih didasari agar terlihat lebih intelek atau karena gengsi. Namun, anggapan masyarakat yang lebih suka menggunakan bahasa asing ditepis Dr. Roni, M.Hum, M.A. Kaprodi bahasa Jepang itu mengatakan bahwa bahasa daerah mungkin melemah di antaranya karena adanya perkawinan antarsuku. Masing-masing suku memiliki bahasa daerah sendiri sehingga jika perkawinan antarsuku terjadi, mau tidak mau keluarga tersebut pasti menggunakan bahasa Indonesia sebagai jembatan untuk saling berkomunikasi dan anaknya pasti menjadikan bahasa Indonesia sebagai
LAPORAN UTAMA bahasa pertama mereka. Hal itu berbeda dengan kondisi Indonesia yang berada di Nagoya saat itu untuk tetap khusus yang mungkin dapat mengakibatkan bahasa daerah menyebarkan bahasa Indonesia di era globalisasi dengan maupun bahasa Indonesia melemah. “Misalnya, orang mengadakan lomba pidato bahasa Indonesia dan membaca Indonesia yang tinggal di luar negeri, lalu mereka hidup puisi bahasa Indonesia untuk orang Jepang di Nanzan dengan keluarga mereka di sana. Nah, pastinya bahasa University pada tahun 2007 dan masih berlanjut hingga asing akan lebih mendominasi, terutama anak-anak dari sekarang. Dua perlombaan ini sangat jarang ditemukan keluarga tersebut,” ujar Roni. di luar negeri. Hal ini jelas mendapatkan apresiasi lebih Roni mengaku pernah mengalami kondisi khusus besar dari KBRI Tokyo. Bahkan, KBRI Tokyo setiap tahun saat tinggal di Jepang. Dia tinggal di Jepang sekitar 5 memberi sponsor berupa hadiah bagi para pemenang serta tahun bersama istri dan kedua putrinya. Walaupun dalam Garuda Indonesia memberikan tiket gratis untuk orang kehidupan keluarga mereka sering menggunakan bahasa Jepang yang menang agar bisa mengunjungi dan melihat Indonesia untuk berkomunikasi, tapi anak-anaknya lebih keindahan Indonesia. jago berbahasa Jepang, bahkan melebihi Pak Roni sendiri. “Sekarang, beberapa pememang lomba ada yang “Anak saya lebih sering bertemu dengan orang Jepang sampai tinggal di Indonesia dan bekerja di Indonesia karena sistem pendidikan dengan kemampuan bahasa di Jepang yang ada kelas Indonesia mereka. Dengan “Saat berkumpul dengan orang yang samakhusus untuk siswa asing adanya kegiatan lombabelajar bahasa Jepang lebih lomba ini, tidak sepantasnya sama bisa berbicara sebuah bahasa asing, intensif. Untuk membatasi hal untuk mengatakan bahasa ada baiknya berkomunikasi menggunakan itu, saya selalu menggunakan Indonesia tergusur dengan bahasa Indonesia setiap adanya bahasa asing. bahasa asing tersebut agar bahasa asing berkomunikasi dengan Malah sudah sepantasnya yang telah dipelajari tidak hilang. Tapi, mereka, walaupun mereka untuk menduniakan terkadang menjawab dengan bahasa Indonesia di kancah saat berkumpul dengan orang yang tidak bahasa Jepang. Setidaknya, internasional,” pungkasnya. bisa berbahasa asing yang kita kuasai, ada saya telah membentengi Senada, Dr. Urip Zaenal anak saya dengan bahasa baiknya berbicara dengan bahasa Indonesia, Fanani M.Pd, dosen bahasa Indonesia,” ungkap Roni. Jepang mengakui bahwa jangan malah gengsi atau mau dikatakan Fenomena itu membuat eksistensi bahasa Indonesia Roni berinisiatif membuka tidak akan pernah pudar. intelek sehingga lebih suka menggunakan Sekolah Bhinneka pada 2008 kini beberapa bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Kita Apalagi, saat menjabat sebagai ketua universitas luar negeri telah seharusnya bangga dengan bahasa Indonesia banyak yang telah membuka Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Nagoya, Jepang. mata kuliah Bahasa karena bahasa Indonesia sudah mendunia.” Sekolah itu dikhususkan Indonesia. bagi para orang tua yang Menurut Urip Zaenal, Dr. Urip Zaenal Fanani M.Pd membawa anak-anak mereka Bahasa Indonesia tergusur ke Nagoya Jepang untuk karena adanya bahasa asing membentengi anak-anak hanya bagi masyarakat yang dengan kemampuan berbahasa Indonesia. Sekolah Bhinneka merasa gengsi dan lebih merasa keren kalau berbicara tersebut berada di International Center, Nagoya University dan menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. diadakan seminggu sekali. Materi yang diajarkan sama dengan Menurut Zainal, para pelajar Indonesia yang sedang materi di sekolah mereka, seperti membahas tentang pelajaran mempelajari bahasa asing, sudah sangat memahami matematika, sains, sosial, atau yang lainnya, hanya saja dalam kapan menggunakan bahasa asing dan kapan sebaiknya bahasa Indonesia. menggunakan bahasa Indonesia. Adanya sekolah ini mendapatkan apresiasi luar biasa dari “Saat berkumpul dengan orang yang sama-sama bisa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo. Sekolah berbicara sebuah bahasa asing, ada baiknya berkomunikasi Bhinneka ini berbeda dengan Sekolah Republik Indonesia menggunakan bahasa asing tersebut agar bahasa asing Tokyo. Sekolah Bhinneka hanya seperti tempat untuk yang telah dipelajari tidak hilang. Tapi, saat berkumpul melatih dan membentengi anak-anak dengan bahasa dengan orang yang tidak bisa berbahasa asing yang kita Indonesia sehingga berbicara bahasa Indonesia adalah hal kuasai, ada baiknya berbicara dengan bahasa Indonesia, yang wajib selama sekolah berlangsung. Walaupun hanya jangan malah gengsi atau mau dikatakan intelek sehingga ada tiga kelas dan setiap kelasnya hanya sekitar 20an murid, lebih suka menggunakan bahasa asing daripada bahasa tapi sekolah ini masih tetap eksis. Indonesia. Kita seharusnya bangga dengan bahasa Tak hanya itu, bahkan saat Pak Roni masih menjabat Indonesia karena bahasa Indonesia sudah mendunia,” sebagai anggota PPI Nagoya, banyak sekali antusias warga tambah Zaenal. n (CHIKITA/WAHYU)
Majalah Unesa
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
11
LAPORAN
UTAMA
SERAPAN BAHASA ASING KE BAHASA INDONESIA WAJAR
B
ahasa Indonesia merupakan bahasa yang baru jika dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Mandarin atau bahasa Jawa. Oleh karena itu, jika ada bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa serapan tentu merupakan sebuah hal wajar. Demikian dikatakan Galih Wibisono, M.Ed, dosen jurusan Bahasa Mandari. “Bahasa Indonesia menyerap dan mengadopsi bahasa asing bukanlah hal yang aneh. Bahkan bahasa daerah dan bahasa asing membuat kosakata bahasa Indonesia semakin kaya,”ujarnya. Meski demikian, Galih menggarisbawahi bahwa jika bahasa asing sampai dianggap penting daripada bahasa Indonesia sehingga penempatan bahasa Indonesia berada setelah bahasa asing, hal itu jelas merupakan salah besar. Atau, malah bahasa daerah menjadi semakin hilang karena keegoisan dan kegengsian masyarakat terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah. “Jangan sampai seperti suku Manchu di Tiongkok. Mereka menghilangkan bahasa daerah dan lebih memilih berbahasa Mandarin,” ungkap dosen yang akrab dipanggil Galih laoshi. Dr. Mintowati, M.Pd, kepala jurusan bahasa Mandarin mengatakan, saat ini beberapa bahasa daerah di Indonesia mulai mendekati garis merah dan butuh penanganan segera, terutama dari pemerintah lokal dan masyarakat lokal serta peneliti bahasa. Bagi Mintowari, pelestarian sebuah bahasa menjadi kewajiban semua masyarakat. Apalagi kampus, terutama Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) sebagai lembaga akademik yang memiliki para peneliti bahasa. “Mereka harus berkumpul untuk ikut melestarikan bahasa Indonesia, terutama bahasa daerah di Indonesia melalui penelitian bahasa,” tandasnya. Mintowati menyarankan agar bahasa Indonesia, bahasa daerah
12
Galih Wibisono
Mintowati
dan bahasa asing dapat berjalan seimbang, diperlukan tekad sekolah untuk berani memberi jam tambahan mata pelajaran bahasa asing yang mungkin bisa dijadikan sebagai muatan lokal atau ekstrakurikuler sekolah tersebut. Dengan adanya penyeimbang seperti itu, lanjut Mintowati paling tidak dapat membuat para pelajar asing menjadi jembatan bagi warga asing dengan warga Indonesia agar lebih akrab dan saling bertukar budaya. Galih menambahkan, “Dulu saat kuliah, saya pernah menulis legenda daerah, seperti legenda Roro Jonggrang dan legenda lainnya ke dalam bahasa Mandarin, lalu saya kirim ke koran-koran berbahasa Mandarin di Tiongkok. Hal ini agar orang Tiongkok mengetahui tentang budaya dan legenda di Indonesia.” Menjadi sebuah jembatan antarnegara memang sangat diperlukan terutama di zaman perdagangan internasional dan bebas seperti sekarang ini. “Dosen kuliah saya dulu pernah bilang belajar bahasa asing hanya sebagai alat menyebarkan keindahan bahasa, budaya, dan kebanggaan bangsa kita sendiri,” tambah Galih laoshi. Dengan adanya penanaman moto seperti itu tentu dapat menjauhkan diri untuk menjadi English wanna be atau Chinese wanna be ataupun yang lainnya. Lagi pula, menjadi Indonesian wanna be di dalam forum internasional bukanlah hal yang buruk.
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
“Coba kita berkaca dengan para pendiri bangsa Indonesia yang dulu, seperti Raden Mas Sosrokartono, Dr. Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, mereka pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, tapi saat balik ke Indonesia, mereka tidak memperlihatkan budaya kebarat-baratan tapi malah membangun sekolah di Indonesia dan ingin memajukan bangsa Indonesia dengan kurikulum yang mengutamakan bahasa dan budaya lokal,” ungkap Galih laoshi lagi. Galih laoshi juga sempat khawatir dengan pergeseran bahasa Indonesia, terutama sekarang ini dimana setiap orang paling tidak memiliki sertifikat kecakapan berbahasa asing agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Kalau bahasa asing menjadi bahasa utama di pemerintahan, bahasa Indonesia di mata masyarakat tentu akan menjadi sangat genting. Malah, seharusnya pemerintah Indonesia membuat ujian standarisasi berbahasa Indonesia untuk semua masyarakat Indonesia maupun asing untuk mendapatkan pekerjaan, bukan bahasa asing. “Atau mungkin dengan membuat peraturan semua produk impor untuk memiliki terjemahan ke dalam bahasa Indonesia sebelum masuk ke Indonesia,” papar Galih. Empat tahun lalu, pernah ada sebuah wacana yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia akan menjadi bahasa resmi di ASEAN, tapi itu tetaplah menjadi sebuah wacana. Hal ini belum terealisasi karena masyarakat Indonesia belum kuat untuk menggunakan bahasa Indonesia dan malu dengan bahasa asing lainnya. “Sekali lagi, rasa inferior itulah yang membuat bangsa ini tidak segan dengan bangsa dan bahasa mereka sendiri. Beruntunglah para pahlawan kita dulu tidak punya penyakit inferior. Kalaupun punya, kita mungkin masih di dalam Hindia Belanda,” ujar Galih laoshi.n (CHIKITA)
LAPORAN UTAMA
BAHASA DAERAH DAN KEARIFAN LOKAL
HARUS DIPERJUANGKAN BAGI JURUSAN LAIN UNESCO pernah melakukan penelitian tentang pengguna bahasa di seluruh dunia pada tahun 2000. Dalam penelitian tersebut, pengguna bahasa Jawa berada di peringkat ke-11, sedangkan bahasa Indonesia berada di urutan ke-51. Saat itu, bisa dikatakan bahasa Jawa lebih kuat dibandingkan dengan bahasa Indonesia, namun seiring perkembangan zaman keberadaan bahasa Jawa mungkin makin tergusur. “Selain bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Madura merupakan bahasa daerah terkuat di Indonesia., papar Dra. Sri Sulistiani, M.Pd, Kajur Bahasa Daerah FBS. Tergerusnya pengguna bahasa daerah itu disikapi Asosiasi Ikatan Dosen Budaya Daerah (IKADBUDI) dengan menggelar pertemuan yang membahas perkembangan bahasa daerah pada 24-26 Oktober 2016 lalu. Meski keberadaan bahasa Madura memiliki jumlah penutur yang banyak dan budayanya juga kuat, namun hingga kini belum ada jurusan ataupun program studi bahasa Madura di universitas-universitas yang ada di Indonesia. Padahal bahasa Madura perlu diperhatikan agar memiliki dasar yang kuat dan bisa sejajar dengan bahasa dengan penutur yang banyak lainnya. Fenomena tergesernya kearifan lokal, menurut Sri Sulistiani berawal dari keluarga. Zaman sekarang, bahasa pertama bagi anak-anak adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa atau bahasa daerah lain. Beruntung, gubernur Jawa Timur menyorot hal ini dengan
Majalah Unesa
sangat baik sehingga membuat peraturan gubernur no. 19 tahun 2014 tentang bahasa Daerah menjadi mulok wajib di Jawa Timur sejak SD hingga SMA. Untuk pulau Jawa menggunakan bahasa Jawa dan pulau Madura menggunakan bahasa Madura. “Dulu mencari guru bahasa daerah sangat sulit. Karena itu banyak sekali guru tidak linier mengajar bahasa daerah,” ujar Sulistiani. Menurut Sulistiyani, bahasa daerah-bahasa daerah memuat berbagai kearifan lokal yang baik bagi masyarakat di Indonesia. Ia mencontohkan bahasa Jawa yang memiliki tata bahasa dan kosakata kaya dan rumit. Kerumitan itu karena dipenuhi dengan sopan santun dan saling menghormati sesama manusia. Tak hanya itu, patrap/sikap dalam budaya Jawa juga cukup kental. Ucap yang sopan serta santun dan patrap yang mengerti unggah-ungguh basa sesama orang lain adalah ciri khas dalam budaya Jawa. “Pelestrian bahasa daerah dan kearifan lokal harus selalu diperjuangkan,” paparnya. Sebagai wujud pelestarian bahasa Jawa, jurusan bahasa Daerah FBS Unesa selalu mengadakan lombalomba yang kental dengan budaya serta bahasa daerah, seperti: lomba guritan, nembang mocopat, bernyanyi campur sari, hingga diadakan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) berbahasa Jawa se-nasional. Tak hanya itu, jurusan bahasa Daerah selalu mengadakan pentas rutin seperti pentas wayang dan ketoprak di FBS, serta tampil menyanyikan lagu campur sari di TVRI yang disiarkan tiga kali setahun. n(CHIKITA)
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
13
BULAN
BAHASA
JBSI Gelar Seminar Literasi III
SEMINAR: Dr. Suhartono saat tampil sebagai moderator dalam Seminar Nasional Literasi III yang diselenggarakan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Auditorium Prof. Dr. Leo Idra Adriana, M.Pd, pada Sabtu, 29 Oktober 2016.
J
urusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI), Fakultas Bahasa dan Seni menyelenggarakan Seminar Nasional Literas III di Auditorium Prof. Dr. Leo Idra Adriana, M.Pd pada Sabtu, 29 Oktober 2016. Seminar Literasi yang ketiga kalinya ini dilakukan dalam rangka memperingati bulan Bahasa dan Seni Seminar dibuka oleh Dr. Syamsul Sodiq, M. Pd, Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan dan Alumni FBS. Tiga pemakalah utama dihadirkan pada seminar tersebut. Mereka adalah Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd Guru Besar dari Universitas 11 Maret (UNS), Pratiwi Retnaningdyah, Ph.D, dosen dan pegiat literasi dan Iffa Suraiya, pendiri Komunitas Literasi Bait Kata. Prof. Sarwiji dalam paparannya menceritakan mengajak para peserta seminar untuk ikut aktif di dunia literasi. Sarwiji sudah aktif menulis sejak masih menjadi mahasiswa S1 dan terus menggelutinya hingga
14
sekarang. Beliau juga ikut menulis buku ajar bahasa Indonesia dan sudah beberapa buku ajar dari beberapa jenjang dan penerbit yang sudah ditulis. “Saya sudah aktif menulis sejak masih duduk di bangku kuliah. Sejak itu, saya jadi ketagihan memanfaatkan banyak kesempatan untuk menulis lebih,” cerita dosen UNS ini. Pemakalah selanjutnya adalah Iffa Suraiya. Beliau adalah penggiat di dunia literasi Indonesia, pendiri perpustakaan BAIT KATA. Menurut Iffa, perpustakaan bukan hanya sebagai tempat membaca saja, tapi juga sebagai tempat asal mengembangkan karya yang lebih selayaknya seorang ibu yang membesarkan anaknya. Membaca buku, membuat karya, merealisasikannya menjadi buku bahkan film dan mengajak orang lain untuk mengulang kegiatan awal tadi adalah siklus yang wajib dilakukan oleh para peserta seminar yang direkomendasikan oleh Iffa.
| Nomor: 98 Tahun XVII -Oktober 2016 |
Majalah Unesa
“Dalam sebuah film, setidaknya ada sorotan buku-buku juga. Hal ini sudah dilakukan di film-film asing untuk mengajak para penonton untuk ikut terjun dalam dunia literasi juga,” tambah bu Iffa. Hal ini sependapat dengan yang disampailkan Pratiwi Retnaningdyah, Ph.D selaku dosen bahasa Inggris dan penggiat di Pusat Literasi Unesa. Dengan judul “Pendekatakan Etnografi dalam Kajian Literasi” beliau mengatakan bahwa jika ingin memartabatkan bahasa Indonesia di tingkat yang lebih tinggi, maka literasi tidak bisa dikatakan sebagai sekedar ketrampilan saja, tapi juga dalam praktik sosial. Literasi juga tidak hanya dibudayakan di lingkungan sekolah saja, tapi juga di lingkungan luar. Beliau juga bercerita tentang pengalamannya saat berada di luar negeri dan bertemu dengan beberapa pekerja di luar negeri. “Dunia literasi tak hanya membuat kita membaca karya orang lain atau membuat karya baru saja, tapi juga bisa mendapatkan teman baru,” ujar Pratiwi bercerita. Pada kurikulum terbaru, pemerintah mewajibkan setiap sekolah di Indonesia untuk menyisipkan 15 menit membaca. Hal ini mungkin menjadi pijakan awal Indonesia menuju dunia literasi. “Gerakan literasi 15 menit mungkin belum akan membuahkan hasil dalam waktu 1-2 minggu saja, tapi beberapa bulan atau tahun ke depan akan terlihat efeknya yang besar,” ujar Pratiwi. Seminar yang mengangkat tema “Mengembangkan Gerakan Literasi di Indonesia” ini dipenuhi sekitar 300 peserta dari tingkat mahasiswa, dosen, hingga umum. Acara ini diselenggarakan dari pukul 7 pagi hingga 3 sore. Usai istirahat makan siang, para peserta digiring ke pemakalah pendamping.n (SH/CHIKITA)
BULAN BAHASA
MOTIVASI: M. Iqbal Dawani, saat memotivasi peserta lomba menulis cerpen FBS 2016 yang dikemas dalam bentuk Talk Show bertema “Membuka Dunia melalui Membaca”.
Lomba Cerpen dan Talkshow
“Membuka Dunia melalui Membaca”
B
idang I Fakultas Bahasa dan Seni dan Tim Literasi FBS Unesa menyelenggarakan Lomba Cerpen tingkat SMP/SMA se- Jawa Timur dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Seni. Kegiatan dilaksanakan pada Minggu, 30 Oktober 2016) bertempat di Gedung T2 Auditorium Prof. Dr. Leo Idra Adriana, M. Pd Lantai 3 FBS Unesa bertema “Memperebutkan Piala Literasi FBS 1.” Lomba cerpen tingkat SMP/SMA ini diikuti berbagai siswa SMP/SMA se-Jawa Timur. Lomba menulis cerpen dilakukan di Laboratorium yang ada di FBS Unesa. Di antaranya, Lab Bahasa Jawa. Usai lomba menulis cerpen, acara dilanjutkan talkshow yang masih satu rangkaian dengaan Lomba Cerpen Tingkat SMP/SMA se-Jawa Timur. Talkshow mengangkat tema “Membuka Dunia melalui Membaca.” Sebagai narasumber acara tersebut adalah M. Iqbal Dawani, seorang penulis, editor, Direktur Menulis Membumikan Kita dan Penerbit. Kepada para peserta, M. Iqbal menceritakan pengalaman yang luar biasa tentang proses kreatif menulis cerpen. Iqbal Dawani menyampaikan bahwa membaca memiliki manfaat yang sangat besar semoga modal menjadi penulis. Dengan membaca, akan memperluas sudut pandang, being
smart, menjadi bijak dengan tidak reaktif, dan mendapatkan pencerahaan sehingga hidup menjadi lebih baik. Ia juga menceritakan pengalaman dia hingga menjadi penulis. Janifa Rahayu, siswi SMP 21 Surabaya, salah satu peserta lomba mengaku senang dapat mengikuti acara tersebut. Apalagi, acara tersebut dikemas santai sehingga lebih dapat menangkap pesan yang disampaikan pemateri. “Kalau mau penulis harus giat belajar dan tidak boleh menyerah,” ungkap Janifa Rahayu menirukan pesan yang disampaikan narasumber. Senada, Ardyanisa Raham Kusuma peserta dari SMA 6 Surabaya mengaku senang dapat ikut lomba. Bahkan, dia ingin ikut lagi pada tahun depan. “Tahun depan harus ada bazar juga sehingga lebih ramai,” ungkapnya. Sementara itu, Murpi Winarmi, S.S, guru pendamping dari SMAN 1 Sekaran Lamongan mengapresiasi acara tersebut. Ia mengatakan acaranya sangat bagus karena dapat mengasah siswa agar dapat merealisasikan kemampuan dan keterampilan menulis. “Acara lomba cerpen ini sangat menyenangkan dan bisa memberikan motivasi kepada anak-anak untuk giat membaca dan menulis,” ungkap Murpi.n (SH)
Majalah Unesa
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
15
BULAN
BAHASA UNJUK SUARA: Seorang peserta sedang menunjukkan kebolehannya dalam menyanyikan lagu-lagu Jawa dalam lomba Maca Geguritan lan Nembang Macapat.
JURUSAN BAHASA JAWA
Gelar Lomba Macapat, Geguritan, dan Campursari
J
urusan Bahasa Jawa mengadakan lomba Macapat, Geguritan, dan Campur Sari untuk siswa SMP/MTs se-Jawa Timur pada 28-29 Oktober 2016. Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Seni. Semakin tahun, kegiatan ini semakin diminati peserta. Terbukti, jumlah pendaftar makin membengkak, bahkan tahun ini jumlah peserta yang mendaftar sekitar 50 – 180 siswa per lomba. Hal ini jelas membuat luar maupun dalam gedung Sawunggaling dan Joglo FBS Unesa dipenuhi oleh para peserta dari seluruh SMP/MTs yang ada di Jawa
16
Timur. Lomba kali ini mengangkat tema “Ngleluri Basa, Sastra lan Budaya Jawa: Muwuhi Luhuring Bangsa” yang berarti Melestarikan bahasa, sastra dan Budaya Jawa”. Tak hanya wajib menggunakan bahasa Jawa dengan benar dan indah saja, tapi para peserta lomba juga wajib menggunakan baju tradisional Jawa beserta penampilan yang Jawani sekali. “Lomba ini sudah ada sejak saya masih sekolah dulu dan akan tetap dilaksanakan setiap tahunnya agar semua anak, khususnya di Jawa Timur tetap membudidayakan budaya Jawa hingga ke generasi berikutnya,” ujar
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
ketua panitia sekaligus dosen jurusan Pendidikan dan Sastra bahasa Daerah, Latif Nur Hasan, S.Pd, M.Pd. Tak hanya kecakapan berbahasa Jawa dan penampilan yang njawani saja, tapi teknik vokal, pelafalan, hingga ekspresi yang mengekspresikan kalimat yang diucapkan oleh para peserta menjadi penilaian penting untuk menentukan juara. Karena itulah, tak sedikit para peserta tak habis melirik ke arah kaca untuk melihat tatanan baju maupun make up mereka maupun berlatih berkali-kali untuk menampilkan yang terbaik. n(CHIKITA)
BULAN BAHASA
Deutsche Woche XX Bertema Kembali ke Alam
P
uncak Deutsche Woche XX (29/10/2016) telah terselenggara di Fakultas Bahasa dan Seni Unesa. Acara ini merupakan program kerja besar dari HMJ Bahasa dan Sastra Jerman. Selain lomba siswa juga ada banyak rangkaian acara sebelum puncak pekan Bahasa Jerman ini. Kegiatan ini juga serangkaian dari Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh FBS Unesa. Tema yang diangkat dalam Deutsche Woche XX kali ini adalah Zurück zur Natur atau dalam bahasa Indonesia adalah kembali ke alam. Rangkaian acara pertama dimulai di BG Junction Surabaya. Ada dua agenda yang diselenggarakan yaitu lomba melukis atau Malenwettbewerb, Workshop danTalkshow kecantikan. Lomba, Workshop dan Talkshow digelar pada tanggal 8 Oktober dan sebagai acara pembuka Bulan Bahasa. Tema lomba melukis ini adalah konservasi alam, sedangkan untuk Workshop dan Talkshow ini mengundang Putri Bahari Indonesia 2015, Revindia Carina. Untuk rangkaian acara yang kedua adalah lomba mahasiswa. Lomba ini diselenggarakan di Joglo FBS Unesa pada tanggal 10 Oktober, ada dua macam lomba yaitu Singen atau menyanyi dan Worterraten atau permainan tebak kata. Acara ini dimulai pukul 13.00 s.d 16.30 dan dihadiri oleh mahasiswa Jerman beserta dosen dari Jurusan Bahasa dan Sastra Jerman. Selain dua acara tersebut juga ada acara ketiga, Blutspender atau Donor Darah. Acara ini berlangsung pada tanggal 19 Oktober bertempat di Auditorium FBS Unesa. Tanggal 22 Oktober juga ada rangkaian acara dengan masyarakat selingkung lidah Wetan, Kelurahan Lakarsantri. Urban Farming Development ini juga dihadiri oleh Konsulat dari Swiss, Christopher Tjokrosetio. Urban Farming ini akan dilakukan monitoring selama 3 bulan yang dilakukan oleh mahasiswa dari Bahasa dan Sastra Jerman. Diharapkan dalam mengajak masyarakat selingkup kampus ini untuk mempersiapkan mahasiswa yang akan segera terjun dalam dunia masyarakat. Selang beberapa hari kemudian ada Bedah Buku “Exploring Germany” bersama dengan Gana Stegmann dan Dosen dari Prodi Satra Bahasa Jerman, Yunanfathur Rahman, S.S, M.A. Bedah Buku ini di selenggarakan 2 kali tanggal 27 Oktober, pertama di Auditorium FBS Unesa di pagi hari dan kedua di WIsma Jerman Surabaya pada malam harinya. Gana Stegmann adalah seorang jawa asli yang menikah dengan orang jerman. Beliau menulis “Exploring Germany” untuk membagikan hal-hal yang berkaitan dengan Jerman, mulai dari keberangkatan hingga kartu-kartu yang digunakan di Jerman. Dan rangkaian acara yang terakhir bersamaan dengan Schüllerwettbewerb atau lomba siswa tingkat SMA/
Sederajat. Ada banyak yang diperlombakan dalam Deutsche Woche XX ini yaitu Deutschkentnisse atau pengetahuan tentang Jerman, Modeschau atau Fashion Show dengan menggunakan bahan daur ulang atau dari tumbuh-tumbuhan, Märchen Erzählen atau mendongeng, Gedicht Lesen atau membaca puisi, Kreatives Schreiben atau menulis kreatif,Drama dan Akustische Musik atau lomba akustik. Tamu undangan disini dari mulai petinggi di jurusan, fakultas hingga perwakilan dari Wisma Jerman dan juga adanya Konsulat Swiss. Selain lomba juga ada yang unik dan berbeda dari tahun sebelumnya yaitu Food Truck. Dalam acara puncak pekan Jerman ini juga dihadiri oleh teman-teman dari Universitas Negeri Malang, selain itu juga ada launching produk dari IMBJSI (Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jerman Indonesia). Ada juga bintang amu dari Marry Jane, EMuC dan Mini Project. Selain mengundang bintang tamu, Jerman Unesa sendiri juga menampilkan Deutsche Drama dan Deutsche Tanzen. Pemenang lomba umum tingkat SMA/Sederajat ini dari SMAN 1 Puri Mojokerto dan juga ada supporter terheboh dari SMAN 1 Lawang. n (MIRA CARERA)
PARTISPASI: Salah satu peserta lomba dalam kegiatan Deutsche Woche XX (29/10) oleh HMJ Bahasa Jerman FBS Unesa.
Majalah Unesa
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
17
LENSA UNESA
MERAYAKAN
S E M A N GAT SUMPAH PEMUDA
umpah Pemuda merupakan salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia. Dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda, Sivitas Akademika Unesa dan Mahasiswa memperingati hari Sumpah Pemuda ke-88 yang dipimpin langsung oleh Rektor Unesa Prof. Dr. Warsono, M.S pada Jumat (28/10) bertempat di halaman Kantor Pusat Unesa Ketintang. Usai upacara, rektor dan mahasiswa foto bersama di halaman rektorat dengan unjuk karya berupa mobil listrik karya mahasiswa Fakultas Teknik yang beberapa kali mengikuti kontes nasional maupun internasional. l HUMAS
18
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
LENSA UNESA
PELANTIKAN PENGURUS IKA UNESA PERIODE 2016-2020
PENGURUS IKA Unesa (2016-2021) dikukuhkan oleh Ketua Umum, R. Soeroso pada Jumat (21/10) di Auditorium gedung rektorat Unesa Ketintang, Surabaya. Hadir dalam acara tersebut antara lain Warek I, Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si., Warek 3, Dr. Ketut Praseto, M.S., pejabat Unesa, pengurus IKA Unesa lama serta sejumlah stakeholder dan relasi kerja lainnya. l(FOTO: AROHMAN/HUMAS)
Majalah Unesa
| Nomor: 98 Tahun XVII- Oktober 2016 |
19
KOLOM REKTOR
Pentingnya mempelajari bahasa Indonesia ini juga disadari oleh bangsa Australia. Konon murid-murid sekolah dasar di Australia diwajibkan belajar bahasa Indonesia. Hal ini bisa dipahami, karena Australia merupakan negara yang bertetangga dekat dengan Indonesia, sehingga mereka tidak bisa mengabaikan adanya interaksi dengan bangsa Indonesia. Oleh Prof. Dr. Warsono, M.S.
A
da satu pertanyaan, mengapa bahasa saja diperingati setiap tahun yang jatuh pada Oktober? Apakah ini ada kaitannya dengan Sumpah Pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928 atau karena alasan lain? Sebagai orang yang bukan berlatar belakang pendidikan bidang bahasa, tentu hanya dapat meraba jawabannya. Memang, Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 tersebut salah satu isinya tentang bahasa Indonesia. Ini berarti sejak itu, seluruh pemuda dan bangsa Indonesia sepakat untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dapat dijadikan sebagai identitas sekaligus sebagai penghubung (alat komunikasi) antarberbagai suku yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang terdiri atas ratusan suku dengan budaya dan bahasanya sendirisendiri. Dalam kondisi yang demikian akan sangat sulit berkomunikasi antara satu suku dengan suku lainnya karena masing-masing memiliki bahasa sendiri-
sendiri, yang belum tentu masing-masing memahami makna dari setiap kata. Ini tentu bisa menjadi persoalan besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena jika sampai terjadi kesalahpahaman akan mudah memicu terjadinya konflik. Oleh karena itu, apa yang diikrarkan oleh para pemuda pada saat itu merupakan suatu pemikiran sekaligus
bagaimana cara untuk mencapainya, bisa terkendala oleh perbedaan bahasa yang tidak mereka pahami secara bersama. Penyampaian pemikiran dan gagasan bisa saja tidak sampai, bahkan bisa menjadi sumber perpecahan, karena kesalahan tafsir. Oleh karena itu, penggunaan satu bahasa sebagai bahasa bersama dan sekaligus identitas bersama merupakan pikiran cerdas dan visioner yang harus dihormati dan terus dijaga. Dari aspek ini, patutlah kalau setiap Oktober diperingati sebagai bulan bahasa, karena bahasa Indonesia merupakan sebuah konsensus atau komitmen yang harus dijaga, bahkan harus terus disosialisasikan. Jika suatu komitmen tidak dijaga dengan baik oleh semua pihak yang terikat dengan komitmen tersebut, lama-kelamaan komitmen tersebut akan pudar bahkan hilang. Kekhawatiran hilangnya suatu bahasa bisa saja terjadi, kalau bahasa itu tidak secara terus-menerus dijaga dan disosialisasikan. Sebagai contoh bahasa Jawa Kromo Inggil, saat ini tidak semua “anak Jawa�, apalagi anak-anak yang tinggal di Surabaya, memahaminya. Oleh karena itu, peringatan bulan bahasa yang dilakukan setiap tahun merupakan salah satu upaya untuk menjaga dan
BAHASA INDONESIA BAHASA PEMERSATU
20
suatu visi yang jauh ke depan. Ikrar tersebut tentu dilandasi oleh pemikiran yang cerdas berdasarkan pengalaman sebagai bangsa yang bersuku dan berbahasa berbeda-beda. Perbedaan tersebut akan menyulitkan dalam menjalin komunikasi di antara mereka. Padahal sebagai suku yang sama-sama hidup terjajah, mereka tentu memiliki keinginan yang sama, yaitu merdeka. Namun, keinginan untuk menyampaikan ide dan
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
KOLOM REKTOR mempertahankan komitmen tersebut, agar bahasa Indonesia tidak hilang. Bahasa Indonesia bukan hanya bahasa persatuan, tetapi juga sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia. Dalam kancah pergaulan internasional, bahasa menjadi identitas dari suatu bangsa. Inilah yang menyebabkan setiap bangsa memiliki bahasa nasional, yang menjadi identitas dalam pergaulan internasional. Sebagai identitas bangsa, bahasa Indonesia sebenarnya berakar dari bahasa Melayu yang memiliki komunitas cukup besar. Komunitas bahasa Melayu meliputi Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Philipina. Sebagian besar bangsa yang tergabung dalam negara ASEAN memiliki akar budaya Melayu. Inilah yang mendasari munculnya suatu gagasan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN. Salah satu alasannya adalah karena bahasa Indonesia telah melakukan banyak serapan dari bahasa-bahasa asing lainnya sehingga kosa katanya sangat dinamis dan mudah dipahami. Gagasan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN, perlu kita dukung dan perjuangkan bersama. Upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN, juga didasarkan fakta bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 255 juta jiwa maka Indonesia merupakan negara yang paling besar sehingga bahasa Indonesia memiliki jumlah pemakai yang paling besar. Oleh karena itu, wajar kalau bahasa Indonesia menjadi bahasa ASEAN. Pentingnya mempelajari bahasa Indonesia ini juga disadari oleh bangsa Australia. Konon murid-murid sekolah dasar di Australia diwajibkan belajar bahasa Indonesia. Hal ini bisa dipahami, karena Australia merupakan negara yang bertetangga dekat dengan Indonesia, sehingga mereka tidak bisa mengabaikan adanya interaksi dengan bangsa Indonesia. Keinginan kuat untuk mempelajari bahasa Indonesia juga terjadi di China dan Korea Selatan, Vietnam, dan negara-negara ASEAN lainnya. Di China dan Korea Selatan minat untuk mempelajari bahasa Indonesia terus meningkat. Hal ini dibuktikan dengan permintaan dari kedua negara tersebut kepada Unesa untuk menyediakan dosen bahasa Indonesia. Sudah lebih dari 4 tahun ada dosen Unesa yang diminta untuk mengajar bahasa Indonesia di Tianjin Foreign Studi University (TFSU) China. Begitu juga di Korea Selatan, ada dosen
Di tengah semakin meningkatnya keinginan bangsa lain untuk mempelajari bahasa Indonesia, menuntut kita untuk meningkatkan penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa Indonesia. Harus diakui bahwa perkembangan bahasa Indonesia sangat pesat, pertambahan kosa katanya juga terus berkembang sejalan dengan proses absorbsi bahasa asing. Unesa (Dr. Tengsu) yang sudah sejak 2014 mengajar bahasa Indonesia di Hankuk University. Tentu motivasi mempelajari bahasa Indonesia antara bangsa Australia dengan China dan Korea Selatan berbeda. Tidak bisa dipungkiri, keinginan untuk mempelajari bahasa Indonesia di China dan Korea Selatan karena ekonomi (mencari kerja) seperti yang telah disampaikan oleh mahasiswa dari TFSU kepada penulis saat berkunjung ke Tianjin pada 2015. Hal ini bisa dimaklumi, Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen dan jumlah penduduk yang besar merupakan pangsa pasar dan peluang kerja yang besar. Di tengah semakin meningkatnya keinginan bangsa lain untuk mempelajari bahasa Indonesia, menuntut kita untuk meningkatkan penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa Indonesia. Harus diakui bahwa perkembangan bahasa Indonesia sangat pesat, pertambahan kosa katanya juga terus berkembang sejalan dengan proses absorbsi bahasa asing. Munculnya istilah baru yang memiliki padanan kata sering kurang dipahami oleh masyarakat bahkan di dunia akademi. Akibatnya banyak muncul istilah yang tidak dipahami oleh kalangan akademisi itu sendiri. Sebagai contoh, di kalangan akademisi ilmu sosial khususnya di Surabaya, muncul konsep “mencabar�, yang sebelumnya jarang digunakan, meskipun istilah tersebut berasal dari bahasa Melayu yang banyak dipakai di Malaysia. Sepertinya tidak semua akademisi menggunakan istilah ini, bahkan mungkin juga ada yang tidak memamahi maknanya. Contoh lain pada tahun 2000-an pernah muncul istilah baru yaitu sangkil dan mangkus yang memiliki padanan dengan kata efektif dan efisien. Namun kedua istilah tersebut, sekarang seakan lenyap dan tidak mampu mengganti kata yang sudah terlanjur popular di masyarakat. Dalam dunia akademis, pemahaman terhadap suatu istilah atau konsep
Majalah Unesa
sangat penting, sebab istilah atau konsep tersebut yang akan membimbing pemikiran dan sekaligus menjadi titik tolak pemikiran. Konsep merupakan bagian dari unsur yang membangun suatu teori, karena teori pada hakikatnya adalah penjelasan hubungan sebab akibat antar dua konsep atau lebih. Oleh karena itu, pemahaman suatu konsep merupakan bagian dari pemahaman terhadap suatu teori. Kebiasaan berpikir dengan mendasarkan pada pemahaman suatu konsep harus terus ditumbuhkan. Begitu juga pemahaman terhadap struktur kalimat dan logika bahasa juga harus terus dibangun dan diajarkan di kalangan mahasiswa maupun di kalangan akademisi. Kita masih sering menjumpai tulisan yang tidak jelas subjek dan predikatnya sehingga sulit dipahami pokok pikiran yang akan disampaikan. Oleh karena itu, pepatah yang mengatakan bahwa bahasa menggambarkan logika bisa dibenarkan. Jika bahasa yang digunakan dalam tulisan tidak jelas strukturnya (SPOKnya), maka pikirannya juga kacau. Yang lebih menyedihkan adalah kemampuan membaca mahasiswa kita masih rendah. Membaca harus dibedakan dengan mengeja. Jika mengeja itu hanya membunyikan hurufhuruf, sedangkan membaca adalah menangkap substansi, pokok pikiran yang bisa diwakili dengan kemampuan menjelaskan hubungan antara subjek dengan predikat. Rendahnya kemampuan membaca dapat menjadi penyebab ketidakpahaman atas suatu informasi yang disampaikan lewat tulisan. Oleh karena itu, peringatan bulan bahasa bukan sekadar dipakai untuk mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, atau untuk mempromosikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN, tetapi sekaligus sebagai cambuk untuk terus meningkatkan pemahaman terhadap bahasa Indonesia, sehingga kita bisa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. (*). n
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
21
INSPIRASI
ALUMNI
Kiat Sukses Rahmi Aprilawati Kelola Usaha Alat Peraga Pendidikan
KEPANDAIAN, KEAHLIAN, KETERAMPILAN & INSTING BISNIS AWALNYA, DIA SANGAT INGIN KULIAH DI FAKULTAS KEDOKTERAN. NAMUN, SANG BAPAK LEBIH MENDORONGNYA KULIAH DI IKIP SURABAYA DENGAN PERTIMBANGAN KELAK DAPAT MENERUSKAN ESTAFET USAHA YANG DIRINTIS BAPAKNYA DI BIDANG ALAT PERAGA PENDIDIKAN. PILIHAN SANG BAPAK BENAR. DARI KEENAM SAUDARANYA, DIALAH YANG BERHASIL MENJADI PENERUS USAHA TERSEBUT HINGGA BERKEMBANG SAMPAI HARI INI.
N
ama lengkapnya Rahmi Apriliawati. Dia lahir di Surabaya, 14 April 1968. Sejak remaja, alumni Pendidikan Fisika Fakultas Matematika dan Pendidikan Alam (FMIPA) IKIP Surabaya angkatan 1986 itu sudah menonjol prestasinya di bidang MIPA. Sewaktu SMA, dia sudah sering mengikuti Olimpiade MIPA yang diadakan oleh berbagai perguruan tinggi. Bahkan, dia beberapa kali mendapatkan juara olimpiade. “Dimanapun kita bersekolah baik swasta maupun negeri, harus bisa memberikan kontribusi nyata bagi sekolah,” paparnya. Selepas SMA, Rahmi sejatinya berkeinginan kuliah di Fakultas Kedokteran. Namun, keinginan itu kurang mendapat restu dari bapaknya. Sang bapak, lebih mendorong Rahmi kuliah di IKIP
22
Surabaya dengan harapan kelak dapat meneruskan usaha Alat Peraga Pendidikan yang dirintis bapaknya melalui CV. Wardhana. “Sebagai anak yang berbakti, tentu saya memutuskan mengikuti arahan beliau, “ ujar Rahmi mengenang masa itu. Keputusan Rahmi memenuhi keinginan sang bapak, tidaklah siasia. Dari keenam saudaranya, dia yang diberi kepercayaan meneruskan usaha Alat Peraga Pendidikan. Selain karena punya talenta berwirausaha, latar belakang Rahmi yang merupakan sarjana pendidikan mendukung usaha yang dijalankan. Rahmi masuk kuliah tahun 1986. Dia memilih jurusan Fisika IKIP Surabaya. ‘Saya memilih Jurusan Fisika Karena pada saat itu Bapak mempunyai Usaha di bidang Alat Peraga Pendidikan IPA, diharapkan kelak jika saya sudah lulus bisa
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
meneruskan usaha beliau karena disiplin ilmu sudah mendukung,” ungkapnya. Pertimbangan Rahmi mengambil Studi S1 karena mendapatkan 2 ijazah sekaligus, yaitu ijazah mengajar AKTA IV dan ijazah Sarjana. Dengan asumsi kalau pada akhirnya dia tidak mengajar, ijazah sarjananya bisa dimanfaatkan untuk pekerjaan lain. Setelah lulus S1, tahun 1991, dia tidak langsung bekerja di perusahaan bapaknya. Rahmi bekerja di beberapa tempat, di antaranya Manwell Citra Utama sebuah Foreign Exchange, Bank Bahari, Standard Chartered Bank, Klinik Kecantikan House Beauty. Baru tahun 2003, dia bergabung di perusahaan bapaknya, CV. WARDHANA. Bagi Rahmi, kuliah di IKIP Surabaya memberi banyak pengalaman yang hingga kini masih membekas. Saat semester 3, dia sudah menjadi Asisten
INSPIRASI ALUMNI bapak keliling ke kab/kota yang ada di Jawa Timur untuk memperkenalkann dan memasarkan alat peraga produksi CV WARDHANA kepada Dinas Pendidikan,” tuturnya mengingat masa lalu.
EKSIS: Rahmi swafoto di depan kantornya yang menyediakan aneka alat praga pendidikan dan mengantarkannya mencapai kesuksesan.
Dosen Pengantar Dasar Praktikum, menjadi Asisten Dosen Pengantar Dasar Komputer bagi adik-adik kelas angkatan 1987 dan 1988 baik D3 maupun S1, mengembangkan kewirausahaan dengan berjualan kebutuhan teman-teman kuliah.
“Saya sempat memasok ATK (Alat Tulis Kantor) untuk keperluan ujian di lingkungan FPMIPA. Pernah menjadi tutor di LBB. Mengajar di SMP Muhammadiyah 2 Surabaya. Untuk organisasi kemahasiswaan, saya tidak aktif karena saat kuliah sudah diajak
Majalah Unesa
Penerus Bisnis sang Bapak Rahmi menceritakan tentang kehidupan keluarganya. Bapaknya dahulu bekerja di Departemen Keuangan RI sebagai PNS dengan gaji yang sangat minim dan tidak cukup untuk menghidupi istri & 6 anak. Apalagi, ibunya hanya seorang ibu Rumah Tangga. Tahun 1983, bapaknya mengundurkan diri dari Departemen Keuangan. Lalu, bersama dua temannya mendirikan perusahaan bernama CV ANUTAPURA yaitu Produsen dan Perdagangan Alat Peraga Pendidikan tingkat TK, SD, SMP & SMA. “Bapak adalah sosok yang saya kagumi. Beliau bisa menjadi teman sekaligus motivator,” paparnya. Kepandaian, keahlian, keterampilan & insting bisnis yang dimiliki bapaknya, perusahaan yang dirintis bisa memperoleh pengakuan dari Kementerian Pendidikan Nasional sebagai produsen yang alat peraganya memenuhi spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, sehingga bisa digunakan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. “Saya bukanlah Pemilik Perusahaan CV WARDHANA ini. Saya hanya meneruskan usaha yang telah dirintis bapak,” tandasnya. Rahmi mengungkapkan bahwa perusahaan yang dirintis bapaknya itu berdiri sejak tahun 2003. Dahulu bernama CV. ANUTAPURA berdiri. Perusahaan ini bergerak di Bidang Industri & Perdagangan Alat Peraga Pendidikan Mulai PAUD, TK, SD, SMP, SMA & SMK, melayani sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Adapun produk yang dihasilkan antara lain: APE (Alat Permainan Edukatif), Alat Peraga IPBA (Ilmu Pengetahuan Bumi & Antariksa), Alat Peraga IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), Alat Peraga IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), SEQIP (Science Education Quality Improvement),
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
23
INSPIRASI
ALUMNI
“
Saya memilih Jurusan Fisika karena pada saat itu Bapak mempunyai Usaha di bidang Alat Peraga Pendidikan IPA, diharapkan kelak jika saya sudah lulus bisa meneruskan usaha beliau karena disiplin ilmu sudah mendukung.”
pendidikan di 5 provinsi saja. Saat itu, dia terobsesi untuk membuat CV. WARDHANA menjadi dikenal di seluruh Indonesia,. “Alhamdulillah, tahun 2008, saya bisa melebarkan sayap sehingga mempunyai rekanan dinas pendidikan di 15 Provinsi, “dan tahun 2015 rekanan saya berkembang menjadi 30 propinsi,” tegasnya. n(RUDI UMAR)
BIODATA SUKSES: Rahmi kini tengah menikmati hasil jerih payah dan perjuangannya selama ini dengan keberhasilan yang sudah digenggamnya.
Laboratorium Multimedia serta Alat Olah Raga dan Alat Kesenian. Alat Peraga yang diproduksi telah mendapatkan Legalitas dari Kementrian Pendidikan Nasional, Dirjen HKI Merk, PPPPTK, ISO 9001 : 2008, ISO 14001 : 2004, OHSAS 18001 ; 2007., BSNP, BPMP dan Lembaga Akademis lainnya. “Tujuan perusahaan yang saya kelola ini, salah satunya untuk membantu para guru dan siswa agar lebih memahami materi pendidikan yang sedang diajarkan atau dipelajari dengan bantuan alat peraga pendidikan,” terangnya. Tak semua yang dilakukan Rahmi berjalan sesuai keinginan. Tentu, ada suka maupun duka yang menemani perjalanannya menahkodai perusahaan selama ini. Rahmi menuturkankan, dia tertantang dan suka mengelola perusahaan karena dia bisa memanage sendiri karyawan yang berjumlah sekitar 75 orang, bisa keliling Indonesia, bisa bertemu dan berkenalan dengan
24
orang-orang yang kompeten di bidang pendidikan. Sebagai Owner dia bisa memutuskan sendiri proyek apa yang bisa diambil dan proyek mana yang tidak jadi diambil. “Saya ingat petuah bapak, lebih baik menjadi orang nomor 1 di sebuah perusahaan, meskipun skalanya kecil, daripada menjadi karyawan meskipun di perusahaan super besar,” ungkapnya. Prinsip kehati-hatian terhadap rekanan/vendor senantiasa dijaga oleh Rahmi. Lantaran CV WARDHANA adalah Produsen maka harus menggunakan Vendor untuk memenangkan suatu lelang. Harus kreatif & inovatif dalam membuat alat peraga pendidikan yang sesuai dengan Kurikulum. Ada pengalaman membekas selama mendirikan perusahaan ini. Dia masih ingat ketika bapaknya memberikan mandat kepadanya untuk meneruskan usaha ini dengan hanya mempunyai rekanan dinas
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
Nama : Rahmi Aprilawati, M.M T.T Lahir : Surabaya, 14 April 1968 Umur : 48 Tahun Agama : Islam Status : Menikah Alamat : Jl. Dupak Bandarejo 2/24 Surabaya, 60179 HP/Telepon : +62 81330738788 +62 031-3521586 Alamat Kantor : Jl. Kalibutuh No. 58-62 Surabaya, 60173 Telepon/Fax : 031-5460804 031-5341868 Email : rahmi@wardhana.co.id Pekerjaan : Owner Wardhana Grup
KABAR MANCA
Kembali ke Bremen, Jerman (bagian 2)
KEUNIKAN ITB BREMEN UNIVERSITY Walaupun sudah empat kali mengunjungi Intitut Technik und Bildung (ITB) yang dalam bahasa Inggris disebut Institute of Technology and Education-Bremen University, namun baru kali ini saya mendapat penjelasan yang lebih utuh dan memahami keunikan lembaga itu. Dr Pekka Kamarainen dan Dr Larisa Freund memberikan penjelasan dengan menarik. Berikut tulisan Prof Muchlas Samani untuk Kabar Manca Majalah Unesa
I
TB sebenarnya merupakan research center (pusat penelitian) yang mengkhususkan pada bidang pendidikan TVET (Technical and Vocational Education and Training). Konon semula ITB merupakan sebuah unit di Faculty of Metal and Production, yang banyak menangani penelitian yang terkait dengan pendidikan dan pelatihan karyawan di industri. Unit itu berkembang dan membesar, sehingga ketika ada reorganisasi universitas dilepas menjadi lembaga sendiri dengan nama ITB. Walaupun berdiri sendiri status resminya tetap merupakan research center, tetapi melebar ke TVET secara lengkap. Misalnya pada saat ini ITB sedang merancang pelatihan bagi
manajer proyek konstruksi. Pelatihan akan mencakup topik berikut secara integratif, yaitu project costing, project effectiveness, logistics management dan sebagainya. Juga punya program pelatihan untuk bidang eletronics dan bisnis. Tentu aktivitas riset tetap kuat. Oleh karena itu sebagian besar tenaga fungsional di ITB adalah peneliti. Yang paling menarik, ITB punya program penyiapkan guru TVET sampai level master (S2). Seperti diketahui, walaupun sudah mengikuti pola Bologna, pola pendidikan tinggi di Jerman “tidak mengakui” jenjang sarjana/bachelor (S1), sehingga umumnya mahasiswa langsung menempuh S1 dan S2 secara menerus. Apa yang menarik? Pola yang digunakan adalah apa yang disebut
Majalah Unesa
“inter faculty”. Kurikulum pendidikan guru TVET dirancang oleh ITB, tetapi matakuliah dapat ditempuh di berbagai fakultas yang menyediakan. Tentu di samping yang disediakan oleh ITB sendiri. Jadi mahasiswa yang ingin menjadi guru vokasi bidang Elektronika, mungkin saja mengambil matakuliah Matematika dan Fisika di Fakultas Sains dan Matematika, mengambil matakuliah tentang Elektronika di Fakultas Elektronis dan Informatika, mengambil matakuliah Pendidikan Umum di Fakultas Pendidikan dan sebagainya. Jadi matakuliah apa yang dilaksanakan di ITB? Ini juga menarik. Ternyata di ITB ada laboratorium keteknikan, misalnya Sistem Kontrol,
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
25
KABAR
MANCA
Sistem Produksi dan sebagainya. Tetapi lebih diarahkan untuk pendidikan, bagaimana mahasiswa memahami dan mencoba mengembangkan. Beberapa profesor di ITB berposisi dengan apa yang disebut dengan “berdiri di dua tempat sekaligus”. Prof Michael Gessler adalah dosen di Fakultas Pendidikan dan juga di ITB, Prof George Spotl adalah dosen di Fakultas Metal dan Teknik Produksi sekaligus juga profesor di ITB. Namun kalau peneliti, seperti Dr Pekka Kamarainen, partner penelitian saya, adalah peneliti penuh di ITB. Bagaimana pendanaannya? Saya tidak memperoleh informasi secara penuh, karena mungkin ada hal-hal yang tidak boleh dibuka secara umum, namun dari informasi sepotongsepotong saya menduga kuat ITB mengelola dananya secara mandiri. Memang profesor “pinjaman” seperti Prof Michael Gessler digaji oleh fakultasnya, tetapi saya menduga juga mendapat tambahan honorarium dari ITB.
Enaknya Hidup sebagai Peneliti Tamu di Jerman Sudah empat hari saya menjalani hidup sebagai peneliti tamu di Institut Technik und Bildung (ITB) Bremen University Jerman. Ternyata nikmat. Apa yang saya bayangkan sejak lengser sebagai rektor menjadi kenyataan. Setiap pagi jam 09 saya berangkat dari apartment di Olgastrasse 19, jalan kaki sekitar 1,5 km ke pemberhentiann tram no 10, bernama St Jurganstrasse. Tramnya sangat bagus dan di tempat pemberhentian itu ada layar yang menunjukkan tram kurang berapa menit lagi datang. Jadi kita dapat mengetahui berapa lama harus menunggu. Biasanya sekitar 5 menit tram sudah datang. Naik tram itu sampai di Central Station yang orang biasa menyebut HBF (Huptbahnhof). Tramnya sangat nyaman, dan di setiap gerbong ada layar kecil menunjukkan kereta di posisi mana dan tempat pemberhentian apa yang segera tiba. Juga ada suara yang menyebut
Saya beruntung dapat menempati kantor Prof Michael Gessler untuk tempat bekerja. Ruangannya sekitar 4x4 m, ada meja kerja dan ada meja rapat berbentuk bulat dengan 6 kursi. Juga ada rak buku yang berisi banyak sekali buku referensi. Ada juga meja kecil tempat alat membuat kopi atau teh. Ada juga flipchart yang dapat digunakan untuk menulis ketika rapat. Di ruang inilah selama 4 hari saya bekerja.
Jejaring ITB juga sangat kuat. Mungkin karena di bawah payung Bremen University yang memang termasuk universitas besar di Jerman da memang juga termasuk center unggulan di Bremen University. ITB punya kerja sama dengan Univoc, Asialink, GTZ/GIZ dan sebagainya. ITB juga dipercaya sebagai host untuk jurnal bergengsi IJRVET. Bahkan ITB dipercaya untuk merancang pelatihan calon karyawan yang akan menangani pengeboran lepas pantai di Rusia.
26
nama pemberhetian akan tiba. Jadi penumpang tidak akan kelirun turun. Di HBF saya harus turun dan ganti tram no 6 yang menuju ITB Bremen University. Kebetulan jalur tram no 10 dan no 6 bersebelahan, jadi begitu turun dari tram no 10, kemudian menyeberang jalur tram dan langsung dapat menunggu di platform tram no 6. Tram no 6 sama baiknya dan yang paling mudah pemberhentian di dekat ITB disebut universitat nord (universitas bagian utara) adalah pemberhentian
| Nomor: 98 Tahun XVII -Oktober 2016 |
Majalah Unesa
terakhir. Dengan demikian saya tidak kawatir salah turun. Biasanya saya sampai di “kantor” sekitar jam 10. Jadi sekitar 1 jam perjalanan dari apartmen ke ITB. Jarak antara pemberhentian tram no. Dengan gedung ITB sekitar 1 km, sehingga setiap hari saya harus jalan kaki sekitar 5 km, pulang baik. Belum lagi ditambah kalau makan siang harus berjalan ke kantin sekitar 0,5 km. Harus jalan cepat karena udara cukup dingin sekitar 10 derajat. Walaupun sudah memakai jas panjang (over coat) tetap saja terasa dingin, sehingga harus berjalan dengan cepat. Mengetahui ini, Kiki-anak saya yang tinggal di Edinburgh, mengatakan “ayah akan langsing nanti”. Saya beruntung karena Prof Michael Gessler, direktur Teaching-Learningteman baik yang selama ini mengatur kedatangan saya --sedang di Namibia, sehingga saya disilakan menggunakan kantornya untuk tempat bekerja. Ruangannya sekitar 4x4 m, ada meja kerja dan ada meja rapat berbentuk bulat dengan 6 kursi. Juga ada rak buku yang berisi banyak sekali buku referensi. Ada juga meja kecil tempat alat membuat kopi atau teh. Ada juga flipchart yang dapat digunakan untuk menulis ketika rapat. Di ruang inilah selama 4 hari saya bekerja. Bisanya saya bekerja sampai jam 15 sore dan diselingi makan siang antara jam 12-13. Untuk makan siang saya dan beberapa peneliti ke kantin. Seperti tradisi di dunia barat, walaupun kita makan bersamaan , kita membayar masing-masing. Tentu makan siang gaya bule. Ingat saya hari pertama saya makan salad plus sayap ayam digoreng. Hari kedua makan daging sapi plus mie. Hari ketiga makan daging kalkun plus kentang. Kalau kopi atau teh kami dapat membuat sendiri, baik di dapur atau dengan alat yang ada di kantor masing-masing. Partner penelitian saya Dr Pekka Kamarainen, orang dari Finlandia, sudah mengatur jadwal saya dengan sangat baik. Hari pertama saya diskusi umum bersama dia, Larisa Freund dan Susanne Kopatz dan diakhiri dengan makan siang. Setelah itu saya harus membaca dokumen dan referensi
KABAR MANCA yang terkait dengan apa yang kami diskusikan. Bekerja sendiri sampai jam 15, terus pulang. Pada hari kedua, seperti hari pertama mulai pukul 10.30 saya diskusi berdua dengan Pekka, tetapi sudah menukik ke hal-hal yang sangat ingin cari. Saya sudah tahu kebiasaan orang barat, kita yang harus aktif bertanya ini dan itu, bahkan menunjuk hasil bacaan ini dan itu untuk mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut. Nah, kepada Pekka saya tunjukkan hasil bacaan saya di beberapa literatur antara lain tulisan Waldemar Baurer berjudul TVET Teachers and Instrucors in Germany yang dimuat di buku International Perpective on Teachers and Lecturers in Technical dan Vocational Education. Dari situlah diskusi bergulir. Pengalaman panjang Pekka yang bekerja di berbagai negara menguntungkan saya, karena dapat memperoleh perspektif internasional secara komprehensif. Apalagi Pekka sebagai senior researcher memiliki segudang hasil penelitian. Pada hari ketiga, saya melakukan diskusi berseri. Pertama dengan Selin Arusoglu, seorang mahasiswa S3-berasal dari Turki- yang meneliti bagaimana anak-anak muda imigran mengikuti pre-vocational training karena dianggap tidak memiliki bekal yang cukup untuk ikut vocational training. Yang dimaksud dengan vocational training itu, pelatihan kerja yang dilaksanakan dengan pola dual system antara sekolah (pusat pelatihan) dan industri. Selin menunjukkan hasil-hasil risetnya tentang policy dan pelaksanaan pre-vocational training di beberapa industri, termasuk kritiknya. Ada kesan Selin mempertanyakan mengapa peserta pre-vocational training sebagian besar anak-anak emigran. Pada hal mereka sudah tinggal di Jerman (ikut orangtuanya sbg emigran) dan bahkan sudah sekolah di sekolah Jerman. Pada sesi kedua, saya diskusi dengan Larisa Freund tentang pola pendidikan calon guru di Bremen University. Untuk guru sekolah umum dilaksanakan di Faculty of Education dan untuk vokasi dilaksanakan di
ITB. Larisa adalah dosen muda yang mengajar di ITB. Dari Larisa saya mendapat gambaran utuh bagaimana pola pendidikan di ITB dan bagaimana perbedaan dengan di Faculty of Education yang menghasilkan guru di sekolah umum. Dia juga menjelaskan kalau profesi guru sangat menarik bagi anak muda di Jerman, karena gaji yang cukup tinggi, jaminan kesehatan secara penuh dan karier sepanjang hidup. Untuk masuk ITB (sebagai calon guru vokasi) seseorang harus punya pengalaman kerja atau magang di industri yang relevan minimal 1 tahun. Setelah masuk harus menempuh studi sampai jenjang master, karena guru di Jerman haruslah lulusa master (S2). Setelah itu, masih harus menempuh probation antara 1-1,5 tahun di sekolah untuk mendapatkan sertifikat atau lisensi mengajar. Pada hari ke-empat, saya lebih banyak bekerja sendiri dengan membaca dokumen, jurnal dan buku yang disuplai oleh Pekka. Memang ada kesempatan diskusi dengan Pekka dan beberapa teman yang baru pulang dari Namibia, tetapi sifatnya diskusi bebas dan saling tukar pengalaman, karena mereka juga ingin tahu keadaan di Indonesia. Tentu diselingi kelakar. Misalnya ketika Larisa bertanya mengapa di Bali banyak orang bernama Wayan-akhir tahun 2016 Larisa ke Bali. Ketika saya jelaskan kalau wayan itu artinya anak nomor 1, made anak nomor 2, nyoman anak nomor 3 dan ketut anak nomor 4, Larisa menyela “o that’s why there many wayans”. Saya sambung dengan kelakar komentator sepak bola di Bali, yang mengatakan “bola dari wayan, diterima ketut... dst.” Kenapa saya menikmati sebagai peneliti tamu di Jerman? Saya tidak tahu pasti, tetapi itulah yang saya rasanya selama empat hari di Bremen. Mungkin karena dapat fokus mengerjakan penelitian tanpa terganggu oleh pekerjaan lain. Di Indonesia biasanya kita harus mengerjakan ini-itu berbarengan. Irama pekerjaan juga sangat teratur. Lingkungan akademik juga sangat terasa di kantor. Udara sangat
Majalah Unesa
menyenangkan. Memang cukup dingin, tetapi dengan memakai over coat dan berjalan cepat suhu masih dapat diatasi. Sementara itu, begitu masuk tram, masuk kantor dan apartmen suhu cukup hangat. Tentu yang paling utama, dapat me-refresh otak yang sudah mulai tumpul, karena banyak membaca dan diskusi dengan rekan peneliti dari berbagai negara. Istilah academic recharging mungkin tepat untuk yang saya rasakan empat hari ini.
Gagal Salat Jumat di Bremen Minggu pertama di Bremen saya pengin salat Jumat. Walaupun musafir, saya ingin salat Jumat, karena beberapa kali ke Bremen belum pernah salat Jumat. Apalagi kali ini saya akan di Eropa selama 3 minggu. Mumpung kali ini, sebagai peneliti waktu saya tidak terlalu ketat. Kamis malam, dibantu istri saya berusaha mencari informasi di mana masjid yang dekat dan mudah dijangkau dengan tram atau bus. Akhirnya mendapatkan, yaitu masjid Al Fatih di Burgermeister Schmidt Strasse. Dari kampus ITB, saya dapat menggunakan tram 6 tujuan bandara turun di HBF, terus ganti tram no 10 tujuan Gropreingen dan turun di Faulen Strasse. Karena pernah bekerja di Indonesia dan tahu kalau saya muslim (mungkin karena istri saya berkerudung), Kamis sore Pekka bertanya apakah saya ingin bekerja hari Jumat, saya menjawah “Ya, but for only a half day. I will leave for Jumat pray on 12.15”. Sejak datang di Bremen istri saya sudah mengecek jadwal waktu salat dan untuk Dhuhur
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
27
KABAR
MANCA Akhirnya pukul 12.46 tram no 6 datang, dan saya segera naik. Tram sampai HBF pukul 13.08, saya segera turun dan pindah ke jalur tram 6. Untung tidak lama tram datang dan segera saya naik. Sampai di halte Faulen strasse pukul 13.22.
TREM: Aman dan nyaman. Itulah yang penulis rasakan menggunakan trem di kota Bremen Jerman. [FOTO DWI IMROATU, DOSEN BAHASA JERMAN UNESA]
pukul 13.15. Menurut informasi di internet dari kampus ITB Bremen Univ ke masjid Al Fatih hanya memerlukan waktu 27 menit. Jadi saya yakin dengan berangkat pukul 12.15, masih cukup waktu. Diskusi pada Jumat pagi dengan topik work process learning sangat intensif dan menarik. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12.15. Segera saya minta diri, tetapi Pekka masih ingin memberikan beberapa bahan untuk “week end”. Akhirnya saya baru dapat meninggalkan “kantor” di ITB pada pukul 12.22. Saya segera berjalan dengan cepat ke halte tram dengan harapan ada tram 6 yang menunggu. Ternyata tidak ada. Di sreen tampak tram no 6 yang tercepat kurang 13 menit, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12.30. Saya risau betul apakah dapat mengejar salat Jumat. Yang anek, layar sudah menunjuk angka 0 yang artinya waktunya kereta datang, tetapi tidak ada. Sampai kereta no 6 berikutnya juga menunjukkan angka 0, kereta tetap tidak ada. Pada hal banyak orang yang sama-sama menunggu di halte. Ada wanita muda yang menggendong anaknya yang masih sangat kecil. Sepertinya mereka juga menggerutu, hanya saja saya tidak mengerti. Akhirnya pukul 12.46 tram no 6 datang, dan saya segera naik. Tram
28
sampai HBF pukul 13.08, saya segera turun dan pindah ke jalur tram 6. Untung tidak lama tram datang dan segera saya naik. Sampai di halte Faulen strasse pukul 13.22. Saya segera turun dan berjalan ke arah Burgermeister Schimdt Strasse untuk mencari masjid Al Fatih. Ketemu. Masjidnya berada di pertokoan dan hanya ada tanda gambar simbul masjid di jedela kaca. Namun, tampak sepi dan tidak ada tanda-tanda salat Jumat. Pintunya juga tertutup rapat. Saya berdiri agak lama di luar, dengan harapan ada orang yang kirakira muslim dan ke masjid untuk tahu dimana pintu yang terbuka. Tidak ada. Yang ada justru rombongan anakanak mudah berkulit hitam dengan pakaian dan gaya rambut yang anehaneh. Saya berjalan minggir ke arah dengan Faulen Strasse, takut ada apaapa. Kebetulan ada orang yang saya duga orang Turki berdiri disitu sambil merokok. Saya mendekat dan dia sepertinya tahu saya orang Asia, sehingga dia yang menyapa dulu dengan bahasa Jerman yang saya tidak faham. Yang dapat saya tangkap, dia betanya apakah saya orang Malaysia, Korea atau China. Saya menjawab “Indonesia”. Terus dia nyerocos, sepertinya cerita tentang Indonesia yang dia tahu. Saya memotong “Excuse me, do you speak English. I do not speak German”. Baru
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
dia jawab “Yes a litle”. Terus nyerocos mengatakan kalau dia dapat informasi Indonesia itu subur, bersih dan sebagainya. Dia juga mengatakan di Jerman sekarang susah cari duit. Ketika saya tanya, dimana masjid, dia hanya angkat bahu. Sambil menunjuk arah masid Al Fatih, saya bertanya dimana pintu masuk masih Al Fatih. Kembali dia hanya angkat bahu. Saya tidak berani bertanya lagi, khawatir dia tersinggung. Jadi saya gagal salat Jumat. Sudah mendapatkan masjidnya, tetapi tida tahu dari pintu mana masuk. Saya juga tidak tahu apakah di dalam ada salat Jumat atau tidak, karena tidak ada tanda-tanda orang muslim di sekitar itu. Akhirnya, saya kembali ke halte di Faulen Strasse untuk menunggu tram no 10 kembali ke apartmen. Sambil menunggu tram, saya mencoba mengamati adalah orang yang kirakira muslim. Tidak saya temukan, sehingga saya berpikir apakah masjid Al Fatih masih berfungsi? Atau saya yang terlalu bodoh, sehingga tidak dapat menemukan pintu masjid. n BERSAMBUNG
Ditulis oleh Prof. Dr. Muchlas Samani, Gurus Besar Fakultas Teknik Unesa.
KABAR SM3T
Catatan SM-3T dari Dompu (Bagian 2)
Nego dengan Driver Bandara Catatan perjalanan Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd ke Dompu dalam ‘menyisir’ kegiatan SM3T banyak suka dan dukanya. Berikut catatan tulisan bagian kedua selama di Dompu yang dibagikan melalui majalah Unesa.
S
iang yang terik menyambut kedatangan para peserta SM-3T UNY beserta pendampingnya. Waktu menunjukkan pukul 13.15. Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, seketika ramai. Penumpang pesawat baling-baling itu menyeruak memasuki gedung terminal yang tidak terlalu luas itu. Sebagian besar mereka adalah anak muda dengan rompi berlabel SM-3T. Bersama Pak Nuril dan stafnya, saya menghampiri Prof. Sukirno, pendamping dari UNY, yang nampak lelah. Perjalanan dari Yogyakarta sejak sekitar pukul 7.00 pagi pasti telah menyita energi beliau karena harus mengurus puluhan calon guru itu. Sebagian besar mereka belum pernah naik pesawat, sehingga satu-satunya pendamping itu harus memandu mereka mulai check in, boarding, mengurus makanan, mengawasi yang mabuk, hingga tiba di Bima ini. Sebenarnya masih ada satu pendamping lagi, Pak Marsidi, staf bagian keuangan UNY. Namun beliau harus mendampingi lima peserta SM-3T yang belum terangkut pada penerbangan ini. Mereka akan terbang menumpang
pesawat Garuda dan diprediksi akan tiba di Bima sekitar pukul 16.00 sore nanti. Ya, meski sebenarnya jatah pendamping yang dialokasikan oleh GTK hanya satu orang, namun situasi mengharuskan Koordinator SM-3T UNY untuk memberangkatkan satu orang pendamping lagi. Mereka khawatir, bila lima peserta yang tertinggal itu tidak didampingi, para peserta tidak bisa sampai di tujuan, mengingat mereka belum pernah pergi jauh dengan menumpang pesawat. Prof. Sukirno menyerahkan beberapa map pada saya. Map itu berisi surat untuk bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Juga ada daftar hadir peserta serta berkas berita acara serah terima. Prof. Sukirno benar-benar nampak lelah. Ternyata beliau belum sempat makan sejak pagi. Jatah makan pagi dari GTK di Bandara Adisutjipto Yogyakarta tadi pagi hanya pas untuk para peserta. O tidak. Ini pasti telah terjadi miskomunikasi antara GTK dengan penyedia jasa makanan. Mana mungkin para pendamping tidak diberi jatah makan pagi, sementara mereka harus mendampingi peserta sejak pagi?
Majalah Unesa
Belasan driver berkerumun di depan pintu keluar, bersemangat menunggu calon penumpang mereka. Mereka menggerombol, kasak-kusuk, gelisah, mondar-mandir seperti tidak sabar. Di dalam terminal, para porter berusaha berebut mengangkat bagasi para peserta SM-3T yang tentu saja sangat banyak. Kami berusaha menghalangi para porter, tapi tentu saja tidak mudah. Mereka memaksa membawa troli-troli penuh bagasi itu, dan nampaknya akan tersinggung bila dilarang. Untung hanya dua porter. Belasan porter yang lain bisa dipahamkan, bahwa anak-anak muda itu harus mengurus bagasi mereka masing-masing. Sementara itu, para driver mulai tahu bahwa puluhan penumpang yang sebagian besar berseragam itu tidak akan menggunakan jasa mereka. Dua buah bus besar telah menunggu di luar halaman bandara. Bus antar kota antar provinsi. Biro travel setempat yang bekerja sama dengan biro travel di Jakarta yang ditunjuk GTK, telah menyediakan dua armada bus tersebut. Suasana tak nyaman langsung terasa. Beberapa driver sudah mulai gerah. Mereka membiarkan para
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
29
KABAR
SM3T
peserta SM-3T bergerak menuju bus dengan membawa troli-troli penuh bagasi, namun para driver sepertinya tidak akan membiarkan begitu saja bus bergerak meninggalkan mereka begitu saja. Salah seorang driver, nampaknya pimpinan mereka, bertanya pada saya, “Ibu ketua rombongankah?” Saya jawab, “tidak”. Pak Nuril juga ditanya, “kenapa tidak menggunakan mobil bandara?” Saya dan Pak Nuril mencoba memahamkan mereka, bahwa dua bus besar tersebut bukan atas keputusan kami. Semua sudah diatur GTK dengan biro travel di Jakarta dan di daerah, kami tinggal memanfaatkannya saja. Alih-alih mereka paham. Suasana justeru semakin memanas, sepanas terik matahari yang siap membakar amarah mereka. Salah satu dari mereka meminta supaya mereka bisa bicara pada petugas dari biro travel penyedia bus. Saya yang sengaja membaurkan diri di kerumunan para driver yang sedang bergolak itu menuruti permintaan mereka. Saya menelepon biro travel Jakarta, dan meminta disambungkan dengan biro travel lokal. Saya menjelaskan, para driver bandara marah dan mungkin akan memboikot dua armada bus yang akan mengangkut peserta SM-3T. Petugas biro travel bertanya, apakah ada polisi di sekitar saya. Saya jawab, “ada. Dua orang. Sejak tadi. Tapi sepertinya kedua polisi itu tidak bisa berbuat banyak. Harus travel yang menjelaskan.” “Baik, Bu. Kalau begitu saya coba bicara sama ketua drivernya.” Ponsel saya serahkan ke pimpinan driver yang wajahnya sudah merah padam. Sementara dia bicara dengan petugas biro travel, saya dan Pak Nuril berunding. “Prof, mereka tidak akan buyar sebelum dikasih uang.” Kata Pak Nuril. “Maksudnya?” “Kita keluarkan saja uang sekadarnya untur porter dan driver. Kita bilang saja untuk uang rokok.” “O begitu. Oke.” Maka atas inisiatif Pak Nuril, kami pun mengeluarkan sejumlah uang. Tidak banyak. Benar-benar sekadar
30
KERAMAHAN: Penulis disambut penuh keramahtamahan kemudian diajak foto bersama sebagai kenang-kenangan.
uang untuk rokok. Tapi prediksi Pak Nuril tepat. Sekejap saja para driver itu sudah agak tenang, dan dengan segala pengertian, mereka menyerahkan ponsel saya yang tadi dipakainya untuk berkomunikasi dengan petugas biro travel. Kami pun memasuki mobil. Para driver pun membiarkan dua bus besar bergerak. Lega. Hampir satu jam kami bersitegang tadi, dan entah mengapa, saya justeru sengaja menceburkan diri di tengah-tengah orang-orang yang kemarahannya sudah di ubun-ubun itu. Dengan segala pikiran positif saya, saya yakin keberadaan saya di antara mereka akan mendinginkan suasana. Setidaknya, mereka akan berpikir panjang untuk melakukan tindakan nekad. Ada seorang ibu yang sedang mencoba dan mengharap pengertian mereka, dan meminta maaf atas semua yang terjadi, serta berjanji akan lebih mempertimbangkan keberadaan mereka untuk waktu-waktu yang akan datang. Begitu mobil bergerak menuju Kabupaten Dompu, saya mengeluarkan beberapa botol air mineral dari tas saya. Prof. Sukirno nampak pucat dan kehausan, dan saya benar-benar tidak tega melihat keadaannya. “Prof, kita makan dulu?” Prof. Sukirno ragu. “Tapi...” saya melanjutkan sebelum beliau berkata sepatah pun. “Jam
| Nomor: 98 Tahun XVII -Oktober 2016 |
Majalah Unesa
empat kita ditunggu untuk acara penerimaan peserta di kabupaten.” Saya sambil melihat jam, begitu juga Prof. Sukirno. “Waktu tinggal satu jam, kita langsung saja ya?” Tentu saja Prof. Sukirno setuju. Tidak ada pilihan. Saya mengeluarkan kue dari tas saya dan menyilakan beliau untuk menikmati kue itu sekadar mengganjal perut. Perjalanan dari Bima ke Dompu memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama. Apa lagi dengan pemandangan laut yang indah di sepanjang perjalanan. Kelapa muda bertumpuk-tumpuk di beberapa titik, juga jagung rebus yang warnanya putih. Sayang kami tidak mempunyai waktu untuk sejenak duduk-duduk menikmati sepotong jagung rebus dan segelas kelapa muda dengan ditemani semilir angin pantai. Apa boleh buat. Acara di kabupaten tentu saja tak mungkin ditunda hanya untuk menunggu kami menikmati pantai. Biarlah keinginan itu tersimpan sampai saatnya besok untuk mewujudkannya.n Ditulis oleh Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela M.Pd, Gurus Besar Jurusan PKK, FT Unesa.
SEPUTAR UNESA
PENGURUS BARU IKA UNESA DILANTIK
I
katan Keluarga Alumni Unesa (IKA Unesa) resmi berganti kepengurusan. Prosesi peresmian pengurus tersebut ditandai dengan pelantikan sekitar 50-an alumni yang masuk skuad kepenguruan IKA Unesa periode 20162021 pada Jumat, 21 Oktober 2016 di Auditorium Kantor Pusat Universitas Negeri Surabaya. Pelantikan dilakukan langsung oleh R. Soeroso, Ketua Umum IKA Unesa Terpilih Periode 2016-2021 yang juga Direktur Utama Bank Jatim. Para pengurus baru IKA Unesa nampak bersemangat dan tampil kompak dengan seragam batik cokelat lengan panjang. Kekompakan tersebut menjadi modal awal untuk membangun sinergi yang saling menguntungkan antara alumni dan almamater. Selain dihadiri para pengurus baru IKA Unesa, sejumlah alumni senior dan junior juga turut hadir dalam acara tersebut. Dari jajaran pejabat Unesa, hadir di antaranya Wakil Rektor III Unesa Dr. Ketut Prasetyo, M.S yang mewakili Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono M.S dan Wakil Rektor 1 Bidang Akademik, Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. Dalam kata sambutannya usai melantik, Soeroso menyampaikan harapannya agar para pengurus baru
IKA Unesa dapat bekerja lebih baik dan mampu menjalin sinergi dengan almamater, terutama dalam bidang pendidikan dan kewirausahaan. Menurut Soeroso, Unesa sudah cukup bagus memproduksi guru. Meski demikian, tidak ada salahnya jika calon-calon guru itu diajari juga kewirausahaan. “Supaya nanti mereka bisa menjadi wirausahawan. Atau paling tidak bisa mengajarkan pada muridnya ilmu kewirausahaan. Jadi ilmu kewirausahaan itu sangat luas cakupannya,” papar alumni Jurusan Manajemen Perusahaan angkatan 1974 itu. Wakil Rektor III, Unesa yang membidangi mahasiswa dan alumni, Dr. Ketut Prasetyo, M.S menyambut baik keberadaan IKA Alumni. Ia berharap IKA Unesa bisa berkontribusi dan bersinergi untuk kemajuan Unesa. Ketut memamparkan bahwa dari tahun ke tahun, Unesa semakin diminati oleh calon mahasiswa. Bahkan, jumlah peminatnya tertinggi di Jawa Timur. Agar kepercayaan masyarakat terhadap Unesa tetap tinggi, lanjut Ketut, tentu harus dijawab dengan peningkatan layanan dan kualitas lulusan. “Di sinilah, kami berharap alumni dapat berperan dan berkontribusi untuk peningkatan kualitas lulusan,” ungkapnya. Ketua Harian IKA Unesa, Drs. Zainal
Majalah Unesa
Arifin, M. Pd mengatakan, keberhasilan lembaga, salah satunya dapat diukur dari keberhasilan para alumninya. Ia menyebut alumni Unesa banyak yang sukses tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga di berbagai lapisan profesi seperti birokrat, pengusaha dan sebagainya. Bagi Zainal, IKA Unesa merupakan wadah yang strategis bagi para alumni untuk berkontribusi kepada almamater. “Mari, melalui IKA Unesa ini berbagai potensi yang dimiliki para alumni disinergikan untuk kemajuan Unesa,” tandasnya. Selain acara Pelantikan Pengurus Baru IKA Pusat, diselenggarakan pula Seminar dengan tema “Menggagas Peran Alumni dalam Mengakselerasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Kewirausahaan di Daerah Tertinggal. Dua pembicara dihadirkan dalam seminar tersebut, yakni Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd (Pendidikan) dan Drs. Syamsul Hadi (Kewirausahaan). Tema seminar yang dimoderatori Pratiwi Retnaningdyah, P.Hd tersebut selaras dengan komitmen kepengurusan IKA Unesa periode 2016-2021 yang lebih menfokuskan program kerja utamanya pada sektor pendidikan dan kewirausahaan, terutama di daerah 4 daerah tertinggal di Jawa Timur. n (SIR/ GEOFANY/SH/HUMAS)
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
31
ARTIKEL
LITERASI
BAHASA, LITERASI, DAN SASTRA
P
Pratiwi Retnaningdyah, Dosen Jurusan Bahasa Inggris
ada suatu kesempatan, saat masih di Australia, saya menyusuri rak-rak perpustakaan kampus. Karena fokus saya tentang literasi, yang paling sering saya tuju adalah Giblin Eunson Library. Di sini ratusan buku literasi ditata berderet-deret. Saking seringnya saya ndoprok di karpet, saya jadi hafal letak buku, dan juga bila ada buku baru. Dan hari itu saya nemu buku baru. Terbitan 2013. Masih kinyis-kinyis. Mungkin saya peminjam pertamanya. Soalnya 1 bulan yang lalu, buku ini belum ada. Judulnya seksi banget buat saya. Language, Literacy & Literature. Ketika Anda mendengar atau membaca istilah literasi, apa yang ada di benak Anda? Apakah istilah ini lebih dekat dengan ranah kebahasaan, sastra, atau pembelajaran bahasa? Bila kita memunculkan pertanyaan ini, sebenarnya kita masih terkungkung pada pikiran yang terkotak-kotak. Pada posting terdahulu, mas Eko pernah mengungkapkan komentar guru-guru yang hadir dalam satu pelatihan literasi. «ah, istilah literasi kurang seksi, mas?» Komentar ini menunjukkan bahwa di kalangan pendidik di tanah air, literasi belum menjadi bagian penting dalam dunia belajar mengajar. Selama ini saya bertanya-tanya mengapa topik literasi masih kurang mendapat tempat di tanah air, bahkan di kalangan pendidik sendiri. Sebagian menganggap bahwa ini adalah bagiannya orang linguistik. Sebagian lain melihatnya dari kacamata sastra. Terutama bila terkait dengan penulisan kreatif. Pikiran yang terkotak-kotak ini sering membuat saya galau. Sejujurnya, saya malah melihat literasi sebagai titik yang akan menggandengkan rumpun linguistik, sastra, dan pendidikan. Buku ini seakan menjawab kegalauan saya. Ditulis oleh Alyson Simpson dan Simone White, buku terbitan Oxford UP ini menggunakan analogi three-legged stool, atau dingklik berkaki tiga. Bila patah satu, atau timpang tingginya, maka kursi itu tidak akan seimbang dan tidak nyaman diduduki, atau malah membuat orang jatuh. Meskipun buku ini jelas mengarah pada Bahasa Inggris, pastilah sangat bisa diterapkan untuk bahasa apapun. Nah, kursi itu adalah dunia pembelajaran bahasa. Ketiga kakinya adalah Bahasa, Literasi, dan Sastra. Pendidikan bahasa tidak akan bisa berjalan maksimal bila salah satu ranah lebih dominan, sementara satu atau bahkan dua kaki lainnya lebih pendek (atau bahkan belum terpasang). Mari kita melakukan refleksi ke dalam dunia pembelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris) di tanah air. Kaki mana yang masih timpang. Saya kok yakin jawabannya seragam. Cuma ada 1 kaki, yakni Bahasa. Itupun tidak sempurna. Di tingkat perguruan tinggi, bisa jadi kita sudah memiliki bahan untuk dudukan kursinya. Ketiga kaki juga sudah terasah. Sayangnya belum dipaku dan dipadu menjadi kursi yang kuat. Setidaknya, ini adalah otokritik terhadap jurusan saya sendiri. Apakah analogi kursi dengan tiga kaki ini hanya berlaku untuk pembelajaran bahasa? Kita harus siap menjawab TIDAK, bila tekad untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 sudah bulat. Syarat keberhasilan pembelajaran tematik adalah dengan memasukkan nafas literasi dalam kolaborasi antar disiplin. Mari kita coba bayangkan siswa tengah belajar tentang cuaca dan hujan. Siswa dari berbagai tingkat sekolah bisa dilatih memproses informasi dari sisi Bahasa, Literasi, dan Sastra. Di ranah Bahasa, siswa SD misalnya, akan dikenalkan dengan kosa kata baru seperti awan, angin, embun, kabut, hujan, dsb. Mereka dibimbing untuk mendeskripsikan masing-masing fenomena alam, dan mungkin membuat kalimat
32
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
berdasarkan gambar. Siswa di tingkat lebih tinggi akan belajar tentang jenis-jenis awan, mengenal istilah baru seperti awan cumulus, cumulonimbus, dan cirrus untuk memahami sebuat teks tentang cuaca. Kunci keberhasilan untuk perkembangan literasi yang produktif adalah penggunaan ketrampilan praktis untuk mengkomunikasikan ide ke kelompok pembaca tertentu. Pemahaman tentang literasi adalah bagian bahasa yang diperlukan siswa untuk menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya (prior knowledge) dan jenis komunikasi yang dibutuhkan untuk mengungkapkan ide. Siswa SD bisa menulis hasil pengamatan atau ingatan mereka tentang hujan dalam 1-2 kalimat, disertai dengan lukisan sederhana karya mereka sendiri. Siswa SMP bisa membuat laporan tentang proses terjadinya awan dan hujan berdasarkan hasil pengamatan. Dan laporan ditulis dengan menggunakan kerangka teks procedure atau report, bergantung pada tugas yang diberikan. Bagaimana dengan sastra? Apakah tema sains seperti awan dan hujan bisa bergandengan dengan dunia imajinasi. Fakta dan fiksi adalah seperti dua sisi koin. Sama halnya dengan sains dan sastra (Kalau ini asumsi saya sendiri). Mengapa tidak? Pengalaman tentang hujan menjadi indah, sarat dengan sentuhan emosi yang personal, ketika puisi atau lagu diberi ruang. Simak saja lagu masa kecil kita, Tik tik tik bunyi hujan di atas genting Airnya turun tidak terkira Cobalah tengok dahan dan ranting Pohon dan kebun basah semua. Bukanlah lagu yang nampaknya amat sederhana ini terdengar indah karena ada rimanya, baik di tengah maupun akhir baris (genting, ranting; hujan, dahan; turun, kebun; terkira, semua). Atau kalau suka dengan versi Bahasa Inggrisnya: Rain, rain, go away Come again another day Adzra’s friends all want to play Rain, rain, go away. Bayangkan siswa SD menyanyi bersama, sambil menengadahkan tangan, berharap hujan akan reda. Sentuhan sastrawi seperti inilah yang perlu lebih banyak mewarnai pembelajaran tematik. Tema sains bisa dipelajari tanpa harus melulu hanya menggunakan materi berbasis fakta. Atau mau mengajarkan alur (plot) dalam film atau novel? Baik film Indonesia maupun asing nampaknya punya gambaran universal tentang hujan dan ketakutan. Ini yang kita kenal dengan collective consciousness a la Jungian criticism. Manfaatkan nuansa ini dengan menayangkan film bergenre horor atau misteri di kelas-kelas sekolah menengah. Kenalkan mereka tentang foreshadowing. Gambaran hujan deras, petir menyambar, dan pintu jendela terbuka-tutup dengan keras adalah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk dalam cerita. Atau ajaklah siswa SMA di kelas Bahasa Inggris membaca cerpen “The Man who Send Rain Clouds” karya Leslie Marmon Silko. Bawalah mereka pada gambaran cultural clash antara tradisi masyarakat Indian dan praktik agama Kristen dalam menghadapi kematian. Dan ajak mereka merefleksikan kisah itu pada kondisi di tanah air. Pasti banyak pengalaman senada. Bagaimana Islam mengajarkan doa dan shalat minta hujan, dan bagaimana tradisi budaya sebagian masyarakat dalam mengharapkan kemarau panjang segera berakhir. Jangan kaget kalau kemudian malah ‹jatuh› pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dunia akademik memang penuh dengan disiplin berbagai warna. Sekolah memang penuh dengan deretan mata pelajaran. Tugas kita sebagai pendidik adalah mengajak mereka melihat keterkaitan satu sama lain. Nah, sudah saatnya kita menanggalkan kepongahan disiplin dan ‹ilmu sempit› yang kita punya. Mari mulai bergandengan untuk menciptakan masyarakat melek literasi di tanah air tercinta.n
Majalah Unesa
RESENSI BUKU
ATASI GALAU DENGAN TERAPI MENULIS
P
sikolog asal Amerika Serikat Dr. Dale Carnegie mengungkapkan bahwa para remaja cenderung memiliki rasa ingin tahu tinggi. Karena itu, masa remaja juga disebutsebut sebagai masa pencarian jati diri. Pada situasi tersebut, emosi mereka cenderung labil dan mengikuti hampir segala tren yang mereka inginkan. Pada titik tertentu, tidak sedikit di antara mereka yang terjerumus pada hal-hal negatif yang merugikan diri mereka sendiri maupun orang lain. Tentu saja hal tersebut menyisakan problem tersendiri, apalagi jika menyangkut hajat hidup sosial. Perkembangan produk teknologi informasi digital dan pesatnya media sosial (medsos) sangat memungkinkan terjadinya kondisi itu. Di sinilah sinergi dan peran keluarga, sekolah, guru, serta masyarakat amat diperlukan. Literasi juga memegang kendali serta peran yang tidak kalah vital dalam mengatasi persoalan tersebut. Dalam konteks ini, literasi menulis bisa dijadikan salah satu tindakan terapi bagi remaja yang memiliki problem tertentu di kehidupan keseharian mereka. Buku yang ditulis oleh Ninuk Budiarini ini menjawabnya secara lugas. Yang istimewa, ini bukan buku teoritis yang ditulis melalui penelitian panjang dan resmi, melainkan buku sederhana yang gampang dicerna. Lebih istimewa lagi, buku Writing Therapy for Galauers ini ditulis berdasarkan pengalaman sang penulis ketika menangani banyak siswa yang mengalami cobaan berat maupun ringan dalam hidupnya. Sekitar 1990-an, tanpa sengaja Ninuk Budiarini menemukan terapi menulis ini. Saat itu ada seorang siswa yang mengalami depresi karena masalah yang ada dalam keluarganya. Sang penulis lalu mengarahkan dan sedikit memaksanya untuk menuliskan masalahnya. Butuh waktu panjang untuk mengajak si anak mau menuangkan beban hidupnya dalam bentuk tulisan. Ketika sembuh, ia diminta mengubah curhat dalam bentuk tulis itu menjadi karya sastra. Jadilah sebuah cerpen yang indah dan sarat pembelajaran. Dia berhasil move on, berprestasi, smart, dan menjadi pribadi yang menyenangkan. Saat itu sang penulis belum menemukan teori tentang terapi ini. Setiap menghadapi siswa bermasalah, ia praktikkan terapi
Judul : Writing Therapy for Galauers Penulis : Ninuk Budiarini Penerbit : Pustaka MediaGuru Cetakan : Pertama, November 2016 Tebal : 98 halaman ISBN : 987-602-0931-36-4 menulis ini, dan hasilnya selalu luar biasa (hlm. 1). Ia yakin bahwa selalu ada solusi bagi permasalahan remaja yang terlibat masalah seperti narkoba, minuman keras, balap liar, atau minggat dari rumah. Selagi Tuhan masih kita percaya, ke sanalah kita mencari jawabnya. Masih terbuka lebar jalan yang bisa dilalui. Misalnya, berdoa, konseling dengan guru BK, para psikolog, berkomunikasi dengan orang tua dan guru, dan juga melalui terapi ekspresif bernama writting therapy. Writing therapy atau terapi menulis adalah suatu cara menulis yang digunakan untuk terapi atau menyembuhkan masalah-masalah psikologis seperti galau, stres maupun depresi (gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan muram, sedih, dan tertekan). Berbeda dengan menulis karya ilmiah, atau menulis karya sastra atau bentuk karya tulis yang lain. Menulis untuk terapi diri tidak memerlukan struktur penulisan yang benar. Asal menulis
Majalah Unesa
saja, apa yang dirasakan ditulis sampai tuntas tanpa memerhatikan kaidah penulisan, seperti ejaan, tata bahasa dan sebagainya. Terapi menulis tidak terpaku pada hasil, tetapi fokus pada proses. Artinya, kegiatan menulis itulah yang terpenting. Dengan menulis, beban emosional yang ada pada diri bisa terlepas dengan bebas. Meski kegiatan menulis ini tidak terstruktur, tetapi terbukti secara umum hasilnya positif. Melakukan terapi menulis, bukan berarti kita menjadi tertutup terhadap lingkungan sosial. Terapi menulis hanya salah satu alat bantu penyembuhan. Agar beban psikologis tidak terlalu berat, hingga berlanjut mencari jalan pintas. Bagaimana cara kita menghilangkan stres, galau, marah, kesal, dan segala rasa yang tak mengenakkan? Orang melampiaskan tekanan psikologis dengan cara yang berbeda-beda. Tapi, ternyata dengan menulis, sesak di dada, stres, galau, maupun depresi bisa hilang. Sebab, ketika menulis, seseorang mendapatkan apa yang tidak mereka dapatkan ketika hanya curhat kepada orang lain secara lisan. Kekuatan spiritual menulis itu dipercaya bisa mengangkat luka dan menyembuhkannya dengan sempurna (hlm. 19−20). Buku Writing Therapy for Galauers karya Ninuk Budiarini ini patut diapresiasi karena mencoba menyentuh akar persoalan tadi, terutama mengatasi problem sosial yang dialami oleh generasi muda. Sebagaimana diketahui, para remaja cenderung memiliki tingkat emosi yang labil dan rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka dapat melakukan apa saja demi menjaga eksistensi sosial dan pencarian jati dirinya. Sayangnya, demi menjaga eksistensi dan perilaku itu, sebagian remaja justru mengungkapkannya pada tindakantindakan yang kurang positif dan merugikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu pendekatan khusus. Buku ini menawarkan terapi unik, yaitu menulis, untuk mengatasi beban psikologis yang dihadapi sebagian remaja tersebut. Buku ini menjadi istimewa karena ditulis oleh seorang pendidik yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dan bersentuhan dengan dunia remaja. Sebuah bacaan yang lezat nan bergizi bagi siapa pun yang haus akan pengetahuan dan pengalaman baru. n (EKO PRASETYO)
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
33
CATATAN LINTAS
B
eberapa hari lalu saya diundang dalam suatu acara oleh USAID di hotel Jogyakarta Plaza, dekat kampus UNY dan USD Jogyakarta. Seperti tradisi selama ini, USAID tidak menyediakan makan malam. Oleh karena itu, terpaksa saya mencari sendiri. Untungnya ada anak-anak alumni Unesa yang sedang menempuh S2 di Yogya, sehingga ada teman untuk makan malam. Sore itu yang datang Zain yang sudah lulus S2 Manajemen tetapi sedang di Jogya dan Amir yang baru semester 1 di S2 Ilmu Ekonomi. Karena tidak tahu harus makan kemana, saya minta Amir yang menentukan tempat makan malam. Keluar dari pintu samping hotel, saya diajak berbelok kanan menyusuri jalan antara hotel dengan kampus USD. Saya kaget ternyata sepanjang jalan itu berjejer warung-warung yang sangat banyak. Saya bilang kepada Amir kalau saya agak batuk, jadi tolong cari warung yang ada makanan yang panas. Kalau ada saya ingin makan mie rebus. Setelah melewati cukup banyak warung yang rata-rata dipenuhi anak muda, Amir mengajak masuk ke sebuah warung yang pada spanduknya ada tulisan mie goreng/rebus. Warungnya terbuka “ala mahasiswa” dan ternyata pengunjungnya sangat banyak. Kami bertiga dapat tempat duduk di belakang, sehingga terpaksa melewati banyak meja yang hampir semua terisi anak-anak muda. Dugaan saya mereka mahasiswa. Sambil memesan makanan dan juga ketika menunggu makanan dihidangkan saya mengamati apa yang dimakan pembeli di sekeliling kami. Rata-rata, mereka menghadapi hot plate. Bahkan beberapa kali pelayan warung itu lewat di depat kami dengan membawa hot plate yang tentu saja bersuara khasnya barang panas dan dengan bau yang khas.
34
HOT PLATE Terpancing oleh situasi itu, saya mengambil lagi daftar menu makanan yang ada di meja. Pada saat pesan, saya tidak melihat karena sejak awal sudah memutuskan ingin makan mie rebus. Alangkah terkejut ketika pada daftar menu itu saya menemukan berbagai jenis makanan dengan label hot plate. Ada hot plate ayam, hot plate sapi, hot plate tahu, hot plate jamur, hot plate sayuran dan juga ada hot plate lengkap. Ternyata Amir juga pesan hot plate ayam. Terdorong rasa ingin tahu, besuknya ketika kami makan bersama lagi, saya
Pulang dari makan malam itu, saya merasa belajar banyak dari para pengusaha warung, juru masak dan pelayannya. Menurut saya idenya sangat cemerlang. Mereka mampu membaca peluang, memanfaatkan bahan mentah yang ada, diolah sesuai dengan selera konsumen, dikemas sesuai dengan konsumen. memesan hot plate ayam. Porsinya besar ala mahasiswa, rasanya biasa saja seperti ayam bumbu rujak, penyajian juga sederhana. Harganya pun hanya 20 ribu. Benar-benar khas mahasiswa. Yang membedakan dengan warung mahasiswa di Surabaya yang sering saya kunjungi adalah “pakaging-nya”. Dengan bahan lokal, seperti daging sapi, daging ayam, tahu, wortel, sawi, kol, jamur dan sejenis itu, tetapi dimasak dengan pakaging “mewah” yaitu hot plate. Sambil makan dan bahkan ketika membayar, saya mencermati kasir, juru masak dan tentu saja yang melayani. Sambil membayar saya bertanya, siapa
| Nomor: 98 Tahun XVII - Oktober 2016 |
Majalah Unesa
“bos” warung itu dan mas yang menjadi kasir menunjuk seseorang Oleh Muchlas Samani yang duduk di dekat pintu. Ternyata masih muda. Dugaan saya berumur sekitar 30-40 tahunan. Berpakaian sangat sederhana, dengan gaya anak muda. Berkaos oblong putih dengan tulisan yang tidak terbaca, karena agak jauh. Pulang dari makan malam itu, saya merasa belajar banyak dari para pengusaha warung, juru masak dan pelayannya. Menurut saya idenya sangat cemerlang. Mereka mampu membaca peluang, memanfaatkan bahan mentah yang ada, diolah sesuai dengan selera konsumen, dikemas sesuai dengan konsumen. Pengusaha warung itu tampaknya menemukan bahwa lokasi itu di tengahtengah tiga kampus besar, yaitu UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), USD (Universitas Sanata Darma) dan UII (Universitas Islam Indonesia). Dengan demikian, makanan dikemas ala mahasiswa, jenis makanan, porsi harga, maupun seting ruangan warungnya. Jadilah deretan warung yang gaya warungnya ala anak muda, makananya ala anak muda dan harganya ala mahasiswa. Mungkin itu yang menjadi kunci betapa larisnya warung di lokasi itu. Semoga kita dapat belajar kepada warung-warung itu.n (Blog: muchlassamani.blogspot.com)