Majalah Unesa Edisi 69

Page 1



WARNA EDITORIAL

MENGEMAS LOKALITAS PENDIDIKAN Majalah Unesa

ISSN 1411 – 397X Nomor 69 Tahun XV - Mei 2014 PELINDUNG Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd (Rektor) PENASIHAT Prof. Dr. Kisyani Laksono, M.Hum (PR I) Prof. Dr. Warsono, M.S. (PR III) Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB Dr. Purwohandoko, M.M (PR II) PEMIMPIN REDAKSI Dr. Suyatno, M.Pd REDAKTUR A. Rohman PENYUNTING/EDITOR Basyir Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd REPORTER: Herfiki Setiono, Aditya Gilang, Ari Budi P, Rudi Umar Susanto, M. Wahyu Utomo, Putri Retnosari, Fauziyah Arsanti, Putri Candra Kirana, Lina Rosidah FOTOGRAFER A. Gilang, Sigit Widodo Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT (Arman, Basir, Wahyu Rukmo S) ADMINISTRASI Supi’ah, S.E. Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI Hartono PENERBIT Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124 Fax (031) 8280804

K

ampus selama i­ ni In­donesia da­lam bidang ter­amat mem­bang­ pendidikan. Me­mang, jika ga-bang­­gakan kon­ dipikir se­ca­ra sepintas, sep­ si pendidikan yang tugas ter­se­­but dapat dik­­­ ibarkan oleh orang dipandang me­­nyu­litkan asing melalui bang­ ku dengan alasan (1) teori ku­­liahnya. Seolah-olah, luar ne­ geri sangat baikkon­­sep pen­di­di­kan yang baik, (2) teori luar negeri di­kembangkan oleh bang­ sudah men­ dunia dan sa lain menjadi segala-ga­ terkenal, (3) perlu waktu lanya. Akibatnya, te­­rus untuk mem­formulasikan saja kekuatan lo­ka­litas pen­di­dikan khas In­do­ pendidikan dari ma­ha­kar­ ne­sia, dan (3) pe­nye­bar­ ya bangsa sendiri teng­ lu­asan kon­sepsi perlu ge­lam me­nuju kesirnaan. te­ naga dan ener­ gi yang Pa­ dahal, jika dikaji lebih ku­at. Alasan itu terkadang men­ dalam dan diekspos l DR. SUYATNO, M.PD sering di­ ucapkan tanpa ke penjuru du­nia, lokalitas harus ber­pikir panjang. pen­didikan dari bangsa Indonesia tidak Padahal, jika ada kehendak yang ku­ kalah menariknya. at, formulasi lokalitas pendidikan dapat lahirkan oleh dosen Unesa. Memang Imam Syafii, tokoh pendidikan dari di­ Bu­kit Tinggi, Sumatera Barat, mempunyai ter­ amat susah untuk melaksanakannya. kon­ sepsi pendidikan yang berdimensi Ha­nya jiwa yang kuat dalam merentang peng­ alaman dan keterampilan sebagai ke­bangsaan Indonesia, formulasi tersebut pem­ biasaan sang peserta didik un­ tuk da­pat diwujudkan. Oleh karena itu di­per­ berbuat sambil belajar. Lewat per­ tu­ lukan syarat seperti (1) keberanian meng­ kangan, peserta didik diarahkan ber­kar­ angkat topik lokalitas pendidikan se­cara ya agar menjadi insan yang mampu me­ terus menerus, (2) mem­beri wadah un­ refleksikan daya nalarnya melalui peng­ tuk teori pendidikan Indonesia melalui alaman yang dilakukan siswanya. Praktik ma­jalah ilmiah, (3) penerbitan berbagai nyata menjadi fondasi untuk refleksi ra­gam buku yang bertopik lokalitas pen­ ob­ servasi menuju abstraksi konseptual. didikan Indonesia, (4) membentuk pu­sat Dengan begitu, kelak para pembelajar kajian lokalitas pendidikan In­do­ne­sia, mam­pu menerapkan tugas pemikiran dan (5) membangun gerakan untuk me­ kar­ya ke dalam dunia nyata. manfaatkan lokalitas pendidikan da­­ lam Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan mendidik anak-anak Indonesia, dan (6) dari Jogyakarta, berani mengunggah ber­ menduniakan konsepsi lokalitas pen­ pi­kir merdeka dalam dunia pendidikan. Ki didikan melalui jurnal-jurnal ilmiah in­ter­ Hajar, begitu sebutan sehari-hari, meng­ na­sional. uat­kan pribadi pembelajar agar berpikir Unesa perlu membentuk tim untuk mer­deka akibat pemersatuan pikiran, hati, mem­formulasikan lokalitas pendidikan di jiwa, dan perilaku. Untuk membingkai In­donesia yang bekerja dalam pemikiran, jiwa merdeka itu, sang pamong (sebut pe­rencanaan, uji coba, dan penerapannya. gu­ru) diberi peran agar ing ngarso sung to­ Une­sa harus menjadi pelopor bagi ke­kuat­ lo­dho, ing madya mbangun karsa, tutwuri an pendidikan yang bernuansa identitas handayani. ke­bangsaan. Dengan begitu, pendidikan Begitu juga, banyak tokoh lain di In­ di Indonesia akan menjadi pendidikan donesia yang dapat dikaji pemikirannya yang bermartabat. men­jadi formula pendidikan yang berbasis Tentu, bukan berarti teori pen­di­di­kan lokal dan dekat dengan pembelajarnya. dari bangsa lain tidak di­per­lu­kan na­mun Peng­ kajian pemikiran itu layak untuk ada alternatif dalam penge­ lo­­ laan pen­ di­ laksanakan secara intensif oleh para didikan di dunia dengan meng­gu­na­kan pa­kar di kampus. Suatu hari, kajian itu teori lokalitas pendidikan di In­ do­ ne­ sia. akan membingkai teori pendidikan dari Teori dari negara lain bagus-ba­gus. Na­ In­ donesia. Namun, selama ini, kajian mun, di antara teori yang bagus itu, da­ spesifik dan mendalam tentang lo­kalitas pat pula berasal salah satunya dari In­do­­ pendidikan di Indonesia jarang di­la­ku­kan nesia. Pemunculan teori pendidikan yang dengan serius dan ter­fo­kus. khas Indonesia tidak dapat terjadi se­­cara Unesa, dengan se­gu­dang latar be­la­ alamiah. Pemunculan teori itu ha­ rus kang do­sennya, tentu, perlu un­tuk mem­ melalui rekayasa yang taat asas dan di­lak­ for­mulasikan te­ori pendidikan yang ber­ sanakan dengan nyata. Kalau tidak se­ka­ lokalitas. Kelak, for­mulasi itu akan mem­ rang, kapan lagi terdapat rumusan pen­di­ be­­ri­kan warna baru bagi ke­pentingan di­kan yang bernuansa ke-Indonesiaan. n

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

3


CONTENT

INFO HALAMAN

07

03. WARNA Mengemas Lokalitas Pendidikan oleh Dr. Suyatno, M.Pd

05

05. LAPORAN UTAMA

Globalisasi diakui atau tidak telah mendorong kampus-kampus berlomba dan cenderung membanggakan konsepsi pendidikan dari negara asing sehingga lokalitas kerap dianggap sebelah mata.

• Prof. Dr. Setya Yu­wa­na: Indonesia Penuh Kearifan Lokal • Prof. Dr. Fabiola, M.A: Kearifan Lokal Sastra, Bumbu Pendidikan Karakter • Drs. Husni Abdullah: Full Day, Bentuk Kearifan Lokal Pesantren • Prof. Dr. H. Ady Soejoto, SE, M.Si: Mata Kuliah Harus Terkait Dunia Nyata • Prof. Dr. Udjang, M.Pd: Budaya Luhur Jawa dalam Pernikahan

16. KOLOM REKTOR

• Belajar dari SMP Lab School Nagoya

18. LENSA UNESA 20. KABAR MANCA • Unesa ‘Menyadap’ Curtin University, Pelukah?

22. KABAR PPG • PPPG sebagai Penggerak Literasi

24 ARTIKEL ILMIAH • Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Kelas VII pada Pembelajaran Biologi Konsep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah dengan Bereksperimen

19

27. SEPUTAR UNESA • Unesa Diapresiasi MTF 2014 • Unesa sebagai Duta Batik Jawa Timur

28. KABAR PRESTASI • Dosen Muda Unesa Menangi Sayembara Desain Se­ragam Kontingen Indonesia • Kocika Unesa Jadi yang Terbaik KPRI Surabaya • Tim Robot Dewo Sabet Dua Juara Sekaligus • Neo Archipeles Tata Busana 2010

31. KABAR BUKU 4 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

32


LAPORAN UTAMA

MENEGUHKAN PENDIDIKAN

BERBASIS LOKALITAS

Mahasiswa Program PPG Unesa serius belajar di loby gedung PPPG Kampus Unesa Lidah Wetan. Mereka yang lulus dari program ini diharapkan menjadi guru profesional yang mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia.

Globalisasi diakui atau tidak telah mendorong kampus-kampus berlomba dan cenderung membanggakan konsepsi pendidikan dari negara asing sehingga lokalitas kerap dianggap sebelah mata. Tentu, situasi seperti itu tidaklah menguntungkan bagi pendidikan anak bangsa dalam mentransformasi ilmu pengetahuan. Karena itu, kampus sebagai pencetak kader-kader pendidik haruslah berani tampil sebagai garda terdepan untuk meneguhkan lokalitas pendidikan melalui metode pengajaran berbasis kearifan lokal.

P

endidikan merupakan aset yang sangat di­­per­­­lukan dalam pem­ba­­ ngunan ma­nu­­sia. Bah­­­­kan, sejauh ini pen­di­­­dikan ma­­sih dipandang se­ba­gai sa­tu-sa­tunya alat yang ter­sedia un­tuk mendorong ter­wujudnya pem­­ bangunan ma­nusia se­utuh­­nya dalam meng­ha­dapi tan­­ta­ngan zaman. Begitulah peran penting pen­­­­­­didikan. Sayang, di era glo­­­­balisasi, karena ter­la­­­ lu ber­­patokan pada kon­sep­­­si pen­di­dikan asing, ter­jadi ke­mo­ro­sotan mo­ral dan ka­ rak­ter. Ba­nyak yang ber­pen­dapat bah­­wa

pendidikan ha­nya meng­ha­­silkan orangorang yang pan­­dai tetapi ku­rang ber­ka­ rak­­ter Indonesia. Orang yang pan­­­dai tetapi tidak ber­wa­jah In­­­donesia. Tentu, sebagai bangsa yang memiliki kekayaan luar bi­­­asa akan budaya, pen­di­di­­­­ kan Indonesia haruslah me­­­­­ngedepankan karakter ke­­­­­in ­ donesiaan dengan me­nge­­­­ depankan konsepsi pen­di­­­dikan berbasis lokalitas. Ko­­­mitmen tersebut perlu di­ta­­­ namkan dengan sungguh-sung­­­guh oleh para pendidik dan stakeholder pendidikan a­gar mampu memproduksi ma­­­­nusia

Indonesia dengan ke­­­pan­daian bertaraf in­ ter­­na­sional tetapi tetap me­ne­guh­kan ­ke­­­ pri­badian In­do­­nesia me­la­lui pendidikan. Mengenai konsepsi lo­ ka­ litas pen­ di­ dikan, menarik apa yang ditulis Leo Sutrisno pa­ da artikel berjudul Refleksi Akhir Tahun 2013: Lokalitas Pen­di­dik­an di Era Global. Tulisan yang ter­ muat dalam laman http://pe­­nuliskalbar.blogspot.com itu dikemukakan bahwa ada be­ berapa teori yang dapat di­ gu­ nakan dalam menelaah lo­ka­litas dalam pendidikan. Di an­ta­ra teori tersebut adalah:

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

5


LAPORAN UTAMA Teori Menanam Pohon Pohon tidak dapat tum­ buh di sem­ ba­­rang tem­pat dan sembarang si­tua­ si. Pertumbuhan dan per­­ kembangan po­­hon me­mer­lu­kan syarat-syarat ling­ ku­­ng­an ter­tentu. Namun, jika kondisi ling­­ kungan cocok dan tersedia nutrisi yang tepat, pohon akan tumbuh dan ber­ kembang secara optimal. Teori me­ na­ nam pohon berasumsi bahwa proses untuk mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia harus berakar pa­ da nilai dan tradisi Indonesia tetapi me­ nyerap sumber-sumber eksternal yang berguna serta relevan dari sis­ tem pengetahuan global. Dengan de­ ­ mikian, untuk memelihara dan me­ngem­ bang­ kan pengetahuan dan kearifan In­­donesia memerlukan identitas ke­in­ do­­ nesiaan dan akar budaya Indonesia. Teori Memelihara Burung Pe­milik akan selalu menjaga bu­rung­nya jangan sampai mendapat gangguan apa­pun dari luar sangkar. Semua yang da­tang dari luar ‘dicekal’ oleh dinding sang­kar. Si burung tahu beres. Teori ini beranggapan bahwa proses untuk men­ do­ rong pengembangan pengetahuan dan kearifan Indonesia mes­ti terbuka dengan pengetahuan yang da­tang dari luar te­ta­pi juga membatasi dan men­ fokuskan per­kem­bangan Indonesia da­lam berinteraksi de­ngan dunia luar untuk me­ne­ mu­kan ke­rangka acuan yang tepat dan khas ba­gi In­do­nesia. Kerangka acuan itu digunakan untuk me­ nyaring pengetahuan dan teknologi yang datang dari luar serta melindungi ma­­syarakat Indonesia dari dampak negatif pe­ ngaruh global. Itu berarti diperlukan ke­ rangka acuan yang jelas batas-batas ideo­logi serta norma sosialnya dalam me­ ran­cang kurikulum sehingga semua ak­ti­ vi­tas pen­didikan memilih fokus yang jelas menghadapi pengetahuan global. Ka­­rena itu, loyalitas ke-Indonesia-an harus men­­jadi ba­gian inti dari pendidikan.

donesia sebagai ’benih’ untuk meng­­aku­mu­ lasi pengetahuan dan tek­no­logi global. Hasil pendidikan yang meng­gu­na­kan teori meng­ asah ba­tu mulia adalah a lo­cal person who re­­mains a local person with some global know­ ledge and can act locally and think lo­cal­ly with increasing global techniques” Teori DNA DNA (deoxyribonucleic acid) atau Asam deoksiribonukleat adalah sejenis asam nuk­­leat biomolekul utama penyusun be­ rat kering setiap organisme. DNA pada u­mum­nya terletak di dalam inti sel. Se­ca­ra garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. DNA me­ nyimpan cetak biru bagi segala ak­ ti­ vi­tas sel. Ini berlaku umum bagi setiap or­ ga­ nisme. Implementasi teori ini dalam pen­didikan adalah penekanan pa­da iden­ ti­fikasi dan transplantasi pe­­nge­tahuan dan tek­nologi global pa­da rantai DNA untuk meng­ganti kom­­ponen Indonesia yang le­ mah. Ku­­rikulum mesti memilih secara se­ lek­­tif dan saksama baik pengetahuan In­do­ ne­­sia maupun pengetahuan dan tek­no­logi glo­ bal untuk dijadikan elemen pe­ ngem­ bang­­an pengetahuan dan kearifan In­do­ne­ sia. Hasil pendidikan dengan teori ini ada­ lah “a person with locally and globally mixed ele­­ments, who can act and think with mixed lo­cal and global knowledge”

Sekolah Berdaya Lokal Pengaruh hegemoni global membuat lem­ baga pendidikan serasa kehilangan ruang gerak. Peserta didik menjadi se­ma­ kin tipis pemahamannya tentang sejarah lokal serta tradisi budaya yang ada dalam masyarakat. Padahal, Indonesia memiliki aneka ragam budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan bersama. Karena itu, tuntutan melakukan pen­­ di­ dikan yang berbasis pada local wis­ dom (kearifan lokal) merupakan se­bu­ah keniscayaan agar pendidikan mampu mem­beri makna bagi kehidupan ma­nu­ sia In­ donesia. Melalui pendidikan ber­ Teori Mengasah Batu Mulia basis ke­arifan lokal, akan mampu men­ Pancaran cahaya dari batu mulia s­ a­­ ja­di spirit yang bisa mewarnai dinamika ngat dipengaruhi oleh posisi bi­ da­ ng per­ manusia Indonesia ke depan. Puncaknya, mu­­kaan yang diasah. Itu berarti, dalam me­ pen­­didikan nasional akan mampu mem­ ngembangkan pe­nge­­­­ta­huan dan ke­arif­an ben­tuk manusia yang berintegritas ting­ Indonesia harus ter­­sedia ’benih In­do­nesia’ gi dan berkarakter sehingga mampu yang dapat ’meng­­kristalkan’ dan meng­aku­ me­­ la­ hirkan anak- anak bangsa yang mu­ lasi pe­­ ngetahuan dan teknologi global he­ bat dan bermartabat sesuai dengan ba­­ gi bangsa Indonesia. Kurikulum mesti sp­irit pen­di­dikan yaitu memanusiakan meng­­­­gunakan kebutuhan dan nilai-ni­lai In­ manusia.

6 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu sebuah hal yang sangat di­bu­ tuhkan. Seorang siswa haruslah meng­ ala­ mi keterkaitan antara apa yang di­ pelajari dengan apa yang akan di­ha­dapi. Karena itu, perlu banyak di­ ha­ dir­ kan sekolah berdaya lokal dengan mem­ pertimbangkan kebutuhan aktif dae­ rah. Semisal, membangun sekolah yang me­ nitik­beratkan kepada teknologi perairan di daerah pesisir, atau sekolah pertanian di daerah yang erat sekali lingkungannya de­ ngan pertanian. Sekolah yang berdaya lokal sangatlah mu­ rah di dalam pelaksanaannya. Kelas men­ dekatkan diri dengan kebutuhan dan alat-alat pembelajaran sehingga kelas men­ jadi bermakna karena tidak jauh dari apa yang dilihat dan apa yang dirasakan. Siswa menjadi termotivasi karena tanpa perlu jauh mencari sumber-sumber pe­nge­tahuan. Alam bercerita sendiri kepada me­reka. Dari sinilah pendidikan karakter dapat dipelajari melalui lokalitasnya masing-ma­sing. Perkuat Budaya Globalisasi membuat pengaruh-pe­ngaruh baik di dunia ekonomi, sosial, bu­da­ya maupun pendidikan datang silih ber­ganti. Jika tanpa ada sekat untuk mem­ batasi dengan dunia luar, dapat di­ba­yangkan bagaimana derasnya serangan ke­budayaan asing yang masuk ke negeri ini. Selain memiliki sisi positif, globalisasi juga memiliki sisi negatif karena itu me­mer­ lukan pertahanan yang kuat. Modal awal untuk mencegah serangan bu­ daya asing adalah dengan memperkuat ke­ budayaan sendiri. Budaya asing perlu difilter untuk mencegah hal yang tidak baik. Meneguhkan lokalitas bangsa yang be­rakar dari diri sendiri, tentu sebuah ke­ ha­ rusan yang perlu dijadikan sebagai komitmen dalam pendidikan. Dengan de­ mikian, kita mampu mengadaptasi asing tanpa harus mengubah prinsip. Apa­ la­ gi, kita memiliki banyak hal mulai dari ideo­ logi pancasila, tanah dan air yang me­ limpah, mempunyai apa yang tidak di­pu­ nyai negara lain, mempunyai makanan tra­disional yang begitu beragam, kekayaan hasil laut, tanah pertanian yang subur serta ber­bagai kelebihan lain. Tentu, berbagai modal tersebut mem­ buat bangsa Indonesia akan semakin yakin mampu menangkal berbagai bu­ daya asing yang negatif dan mampu meng­ implementasikan pendidikan yang ber­ba­sis kearifan lokal. (SIR/BBS)


LAPORAN UTAMA Prof. Dr. Setya Yu­wa­na, M.A:

Indonesia Kaya Kearifan Budaya Lokal “Jika semua daerah di Indonesia mam­pu seperti Bali maka kita akan menjadi ne­gara dengan potensi perekonomian yang luar biasa melalui pemanfaatan kearifan lokal budaya.”

G

uru besar FBS Prof. Dr. Setya Yu­ wa­ na mengungkapkan bahwa In­donesia memiliki kekayaan luar bia­sa akan kearifan budayanya di se­tiap daerah. “Kita kaya, apa yang tidak ada di bumi Indonesia? Semua ada, SDA me­limpah, budaya beragam dari Sabang sam­ pai Merauke,” ujar dosen kelahiran Blora, 22 Desember 1956. Prof. Yu, demikian panggilan ak­ rab­ nya mengungkapkan, adat-adat ke­ti­mur­an merupakan budaya yang harus di­ta­nam­ kan sejak dini melalui pendidikan mental di Sekolah Dasar. Budaya ketimuran yang te­lah dimiliki Indonesia sejak dulu adalah yang cocok untuk diterapkan dalam pen­ di­dikan di Indonesia. Mantan Ketua Umum De­wan Kesenian Jawa Timur itu juga me­ nying­ gung tentang bahasa Jawa dalam ku­rikulum 2013 yang dihilangkan. Padahal, me­nurutnya, bahasa Jawa merupakan sim­ bol yang tak terpisahkan dari dunia pen­ di­ dikan. “Budaya kesopanan, tutur kata, perilaku orang Jawa tercermin dalam ba­ hasa jawa, lalu kenapa bahasa Jawa malah di­hilangkan dari pendidikan di Indonesia,” kr­itik Dekan FBS itu. Prof. Yu mencontohkan sosok Ki Hajar De­ wantara sebagai bapak pendidikan di In­donesia yang menggunakan bahasa Ja­ wa sebagai jargon pendidikan. Salah satu ung­kap­an yang paling terkenal adalah “Ing ngar­sa sung thulodo, ing madya mangun kar­so, tut wuri handayani”. “Terlalu silau de­­ ngan budaya barat sangatlah tidak elok, karena budaya kita adalah yang co­ cok dengan kondisi kita di Indonesia,” pa­par­ nya. Ketika disinggung perihal hubungan ke­ arifan budaya lokal dengan ekonomi, pria yang mendapatkan gelar doktor di Unair itu menjawab dengan lan­ tang bahwa kearifan budaya lokal de­ ngan ekonomi sangatlah terkait. Ia men­ con­

Prof Dr. Setya Yuwana mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki kearifan budaya lokal di setiap daerah dan ditunjang sumber daya alam melimpah.

toh­kan, dalam masyarakat Jawa, jauh se­ be­ lum teknologi modern berkembang, ma­syarakat Jawa sudah memiliki pe­nge­ta­ huan tentang perbintangan terkait dengan per­ tanian untuk menentukan musim ta­ nam dan panen. Masyarakat Jawa menggunakan il­ mu perbintangan. Ada bintang panjer so­re, bintang panjer isuk, dan bintang ke­ mukus. Ilmu-ilmu perbintangan itulah yang digunakan masyarakat Jawa untuk me­ nanam padi, jagung, atau tembakau. Ha­sil panennya, sungguh melimpah. Bah­ kan, dahulu orang Jawa memiliki padi khu­ sus dengan kualitas yang sangat ba­ gus untuk dipersembahkan ke raja. “Kini, jus­ tru sebaliknya, Indonesia sebagai ne­gara agraris malah mengimpor beras,” tan­das­ nya. Prof. Yu juga menyoroti orang In­ do­ nesia yang dalam bidang pekerjaan con­ dong ke budaya barat. Tak heran, saat ini ba­ nyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai bidang keilmuannya. Ia mencontohkan mahasiswa pertanian yang kini sepi peminat. Itu karena tuntutan za­man modern lebih membuat mahasiswa

per­tanian memilih bekerja di kantor, pe­ru­ sahaan dan bank-bank yang tidak se­su­ai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. “Se­ benarnya, kearifan lokal budaya akan le­bih menyumbang ekonomi masyarakat jika pandai mengemasnya. Di Indonesia, ha­ nya Bali yang sampai saat ini mampu men­ jadikan kearifan budaya lokal sebagai mo­ dal perekonomian,” jelasnya. Ia mengemukakan kemauan dan kon­ sis­ tensi masyarakat Bali yang konsisten te­r­hadap budayanya mampu menunjang sek­ tor-sektor pariwisata di Bali sehingga membuat banyak wisatawan asing dan dalam negeri yang datang ke Bali. Ke­ mam­puan Bali dalam menjadikan kearifan bu­daya setempat untuk kepentingan pe­ les­ tarian budaya serta tulang punggung per­ekonomian tentu menjadi teladan yang baik bagi daerah lain di Indonesia. “Jika semua daerah di Indonesia mam­ pu seperti Bali maka kita akan menjadi ne­ gara dengan potensi perekonomian yang luar biasa melalui pemanfaatan kearifan lokal budaya,” tegas dosen yang baru saja me­ nulis buku berjudul “Kearifan Budaya Lokal” ini. (HUDA/WAHYU)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

7


LAPORAN UTAMA Prof. Dr. Fabiola, M.A:

Kearifan Lokal Sastra, Bumbu Pendidikan Karakter

Prof. Dr. Fabiola Dharmawanti Kurnia, M.A

Dengan condong pada nilai kearifan lokal, suatu karya sastra dapat memberi fungsi lebih daripada estetika bahasa yang nikmat diteguk, namun juga mampu menghadirkan peran kearifan lokal yang berakar kuat pada nilai keluhuran.

S

astra didefinisikan sebagai suatu karya yang mengandung nilai-ni­ lai kehidupan yang disampaikan de­ngan bahasa yang indah. Dalam se­ buah karya sastra, tidak pernah lepas da­ ri unsur pembelajaran yang berfungsi se­bagai pedoman atau panutan dalam ke­ hidupan sehari-sehari, baik di tengah ke­ lom­pok masyarakat maupun bagi individu yang tunggal. Sastra dapat lahir dari pengalaman a­ tau peristiwa yang terjadi, yang dapat mem­ beri pembelajaran bagi pe­ la­ kunya dan generasi setelahnya. Di si­ni­lah eksistensi sastra berpengaruh pada pe­ran “kearifan lokal” yang dapat berfungsi se­ bagai elemen penting dalam praktik pen­ didikan karakter.

8 |

Prof. Dr. Fabiola Dharmawanti Kur­nia, guru besar di jurusan Bahasa dan Sas­tra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni, me­ng­ uraikan bahwa kearifan lokal me­ mi­ liki peran dalam pendidikan karakter de­ngan berfokus pada sastra. “Bisa, tapi ma­ nusianya harus sensitif. Kalau sastra ha­ nya dijadikan sebagai ilmu, itu sulit ”, ujar dosen asal Surabaya tersebut ketika di­ta­ nya dapatkah kearifan lokal pada sastra ber­peran sebagai bahan pendidikan ka­ rak­ter. Dosen kelahiran Surabaya 26 Sep­ tem­ber 1945 itu mengungkapkan bahwa sastra bukan sekadar ilmu yang da­ pat diaplikasikan secara langsung, me­ lain­ kan membutuhkan perenungan un­ tuk membentuk karakter diri dengan meng­

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

gunakan hati nurani. Prof. Fabiola mengi­ sahkan tentang keluhuran di balik kisah penciptaan Aksara Jawa dengan mak­ na sastrawinya yang berkaitan dengan ni­ lai keluhuran pada segi kearifan lokal. Ak­ sara Jawa yang tersusun dari “hana ca­ raka data sawala pada jayanya maga ba­ thanga”, mengisahkan tentang dua utu­san yang sama kuat dan sama-sama mem­ pertahankan tugas yang diembannya hing­ ga meninggal. Pada kisah ini, Prof Fabiola meng­ana­ lo­ gikan peristiwa saat itu yang memiliki ke­miripan pada kronologi kejadian pen­cip­ ta­an Aksara Jawa, yang dianggap sebagai sa­lah satu bentuk sastra dengan nilai ke­ arifan lokal yang berpengaruh dalam pen­ di­ dikan karakter. “Kalau kita sudah tahu kalau akhir dari diskusi tanpa ujung dari dua orang yang sama-sama kuat, lalu ba­ gai­ mana tindakan kita?”, tanyanya pada sa­at menjelaskan makna di balik kisah pen­ cip­taan Aksara Jawa. Melihat peradaban yang luhur yang berkaitan dengan aksara Jawa te­ tap menjadi keteguhan pada zaman du­ lu hingga sekarang, Prof. Febiola meng­ung­ kap­kan bahwa kedua pemimpin yang sa­­ ling kuat beradu nantinya akan kalah pula. Ke­ simpulannya, dengan condong pada nilai kearifan lokal, suatu karya sastra dapat memberi fungsi lebih daripada estetika bahasa yang nikmat diteguk, namun juga mam­pu menghadirkan peran kearifan lokal yang berakar kuat pada nilai keluhuran. Dengan perspektif demikian yaitu ber­ kib­lat pada nilai luhur pada sastra lokal, ge­ nerasi muda mampu mengkritisi diri sen­diri sebagai upaya untuk meningkatkan sen­sitivitas terhadap peran kearifan lo­kal yang terkandung pada sastra guna men­ ce­ tak karakter-karakter yang senantiasa menjunjung tinggi keluhuran bangsa. (WAHYU/ANNISA)


LAPORAN UTAMA Drs. Husni Abdullah, M.Ag:

P

Full Day, Bentuk Kearifan Lokal Pesantren

esantren memegang pe­ra­nan penting dalam me­num­buh­kem­ bang­kan pendidikan berbasis ke­ arifan lokal. Salah satunya, sis­tem pembelajaran full day, yang kini ba­ nyak diterapkan sekolah-sekolah Islam. De­ mikian dikatakan Husni Abdullah, dosen Fakultas Ilmu Sosial Unesa. Husni mengatakan, kearifan lokal pe­­ santren dari segi kurikulum dan pro­ ses pendidikan disesuaikan dengan ke­ bu­ tuhan masyarakat. Proses pendidikan di Pesantren menanamkan sifat-sifat di­ sip­ lin, kejujuran, kerjasama (pembagian tu­ gas), mandiri, serta menghormati guru. Hal ini dapat diterapkan di pendidikan se­ cara umum. “Saat ini, banyak sekolah-se­ ko­lah swasta yang menggunakan sistem pem­belajaran full day. Sebenarnya, itu me­ngadopsi dari kearifan lokal pesantren

yang melakukan pembelajaran selama 24 jam,” ungkapnya. Lebih jauh Husni menjelaskan, di pe­­ santren, santri sangat menghormati kiai

dan para ustad. Karena mereka me­ru­pa­ kan figur pengajar yang men­de­di­ka­sikan pengajarannya dengan niat syiar atau un­ tuk berdakwah tanpa memikirkan si­ si finansial. Selain itu, kiai dan ustad juga mem­­beri teladan yang baik kepada para san­­ trinya. “Pembelajaran di pesantren ti­ dak hanya saat di dalam kelas tetapi ju­ga mencakup perilaku sehari-hari. Hal itu ten­ tu sulit diterapkan di pendidikan secara u­mum,” jelasnya. Husni menambahkan, diakui atau ti­dak bahwa guru-guru saat ini masih me­lak­sanan tugas mengajar hanya untuk meng­gugurkan kewajiban dan masih me­ni­tik­be­ratkan pada sisi finansial. Guru belum mem­punyai tanggung jawab moral sebagai pe­ ngajar yang baik dan memikirkan apakah siswa yang diajar paham atau tidak. (HABIBI–DANANG)

Prof. Dr. Ady Soejoto, S.E., M.Si. :

M

Mata Kuliah Harus Terkait Dunia Nyata

engoptimalkan perbedaan untuk menuju pada sebuah ke­samaan pemahaman, men­ jadi salah satu model pe­ ngajaran yang diterapkan Prof. Dr. H. Ady Soejoto, SE, M.Si terhadap para ma­ ha­ siswanya. Penerapan model tersebut di­sebabkan para mahasiswa yang belajar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ber­ asal dari daerah yang berbeda-beda. Ten­tu saja, latar belakang yang berbeda itu membuat latar budaya dan adat tidak sama. Karena itu, diperlukan sebuah me­ tode yang cocok untuk merangkul semua perbedaan itu ke dalam sebuah kesamaan. “Salah satu metode yang saya gunakan adalah dengan menggiring pemahaman para mahasiswa ke dalam pemahaman yang umum,” paparnya. Prof. Adi menjelaskan, di jurusan Pen­ didikan Ekonomi terdiri atas banyak ma­ta kuliah. Ada ekonomi pembangunan, eko­ no­mi makro, ekonomi mikro, dan lain-lain. Semua mata kuliah itu harus dikaitkan lang­sung ke dalam dunia nyata. “Misalnya,

ekonomi Jawa Timur sehingga mereka me­ mi­ liki pandangan yang sama. Tidak ada per­bedaan di antara mereka,” papar guru be­sar kelahiran Sumenep itu. Dosen, harus me­ ma­ hami setiap ka­ rak­ ter mahasiswa, me­ nyadari perbedaan me­reka dan berusaha me­motivasi sesuai dengan kepribadian mereka. Adakalanya mahasiswa tidak bisa dalam masalahmasalah kualitatif tapi bisa dalam masalah kuantitatif. Sebaliknya, ada yang bisa dalam kualitatif namun ti­dak bisa dalam

masalah kuantitatif. Ka­ re­ nanya, dosen tidak boleh memandang ma­ hasiswa seperti itu dengan pandangan men­ jatuhkan tapi harus dipahami kondisi ma­ hasiswa masing-masing. “Saya tahu mahasiswa memiliki ke­ mam­­­puan yang tidak sama. Mereka me­­ miliki kemampuan ma­ sing-masing. Tapi, ka­ lau mahasiswa itu be­ nar-benar susah maka saya harus me­ ma­ kai metode lain. Mi­salnya dengan cara memanggil mereka dan bertanya,” te­gas­nya. Metode yang juga diterapkan Prof. Ady lainnya adalah dengan menyuruh ma­ hasiswa belajar pada mahasiswa lain. Kalau ada tugas yang tidak diditahui, mahasiswa itu disuruh bertanya pada temannya yang lebih tahu. Kemudian, tugas itu disetor untuk dikoreksi dan diberi nilai. “Bukankah ilmu itu memang harus ditularkan pada orang lain? Bukankah kebijaksanaan itu harus mampu menjadi motivasi bagi orang lain, tidak hanya pada diri sendiri?,” pungkasnya. (SYAIFUL)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

9


LAPORAN UTAMA Prof. Dr. Lies Amin, M.A., M.Pd. :

Sisipkan Permainan Berbasis Budaya Lokal pada Pengajaran Bahasa Asing

F

“Biasanya, saya le­bih menggali pada mix permainan tra­di­sional Indonesia dan Inggris dimana pa­da permainan tersebut, saya sisipkan pem­belajaran bahasa Inggris serta bu­­dayanya,”

enomena penggunaan bahasa asing di kalangan anak muda aki­­bat pengaruh globalisasi mem­­ berikan dampak bagi per­ kem­­bangan bahasa Indonesia. Masuknya bu­­ daya asing melalui film-film, komik, in­­ternet, buku, dan media lain perlahan akan mempengaruhi eksistensi bahasa In­­­ donesia. Lebih jauh, hal itu akan ber­im­ bas pa­da tercerabutnya kearifan budaya lo­kal. Terlebih, pada generasi muda yang se­­makin terlihat mengubah garis budaya lo­­kal dan mencampurnya dengan budaya asing. Prof. Lies Amin dengan tegas me­nga­­­ takan bahwa kearifan lokal sangat pen­ ting adanya. Meski demikian, dosen ba­ha­ sa Inggris itu mengatakan pebelajar ti­dak perlu takut dengan mempelajari ba­­ha­sa asing akan membuat budaya lokal ter­ ge­ rus. Justru, akan membuat seseorang le­­­ bih bangga terhadap bahasanya sen­ di­ri. “Meskipun di sekolah, pebelajar di­ ha­ ruskan menggunakan bahasa asing, na­mun ketika di rumah, pebelajar akan kem­bali ke wujud asal sebagai warga In­ donesia dan kembali menggunakan ba­ hasa daerah atau bahasa Indonesia se­ba­ gai alat komunikasi,” paparnya. Lies Amin menambahkan, peran pem­ belajar sangat berpengaruh dalam pro­ses pelestarian kearifan lokal. Ketika pem­ belajar mengajarkan bahasa asing, pem­ belajar harus yakin bahwa dengan mem­ pe­lajari bahasa asing hal tersebut tidak akan membuat pebelajar menjadi orang asing. Kekhawatiran terhadap ter­­ge­­rusnya bu­­daya lokal bu­kan­nya tanpa dasar. Pa­ da setiap institusi pen­­­didikan selalu ter­­ j­ adi inkulturasi nilai-nilai dan juga akul­­­turasi budaya. Da­lam konteks pem­ be­­­lajaran bahasa asing, akulturasi bu­­­ daya barat besar ke­ mung­ kin­ an akan terjadi melalui pro­ ses be­ lajar mengajar.

10 |

Fenomena itu akan men­ ja­ di sangat berbahaya jika ti­ dak disertai ke­ sa­ da­ ran yang kritis oleh pe­ ng­ ajar dan peserta didik. “Un­tuk mengatasi ketakutan itu, ke­ tika pem­ belajar mengajarkan bahasa asing ha­rusnya tetap menggunakan ke­ ari­f­an lokal untuk mengantarkan ilmu ke­ pa­da peserta didik,” ungkapnya. Permasalahan inti, lanjut Lies Amin, bu­kanlah pada bahasa asing yang di­ajar­ kan atau dipelajari, namun pada pemakai atau bilingual yang belum mapan. Bi­ lingu­al yang sudah mapan tidak akan bi­ ngung atau setengah-setengah untuk mem­ pelajari bahasa asing. Dengan hal itu, maka para bilingual sudah tidak akan ter­bawa arus untuk terjun bebas dengan me­lupakan kearifan lokal, karena sudah tahu dan mengerti jati dirinya sebagai bang­sa Indonesia. Identitas atau jati diri seseorang akan terbentuk di antaranya melalui in­ te­raksi dengan bahasa dan budaya. Se­ ba­gai contoh peran bahasa ibu bagi per­

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

kembangan anak. “Sebaiknya kita men­ja­di warga yang kosmopolitan. Warga kos­mo­ politan adalah warga yang tahu jati di­ rinya,” ujar Kaprodi Bahasa Mandarin itu. Lies Amin pernah mengutip da­ ri seorang peneliti pada pidato pe­ngu­kuh­ an guru besar yang mengatakan bahwa ke­ tika seseorang mempelajari bahasa asing malah membuat orang tersebut ma­kin jatuh hati pada bangsanya sendiri. Wa­laupun orang tersebut hidup di negara orang, tapi hatinya masih tetap mencintai ne­ garanya sendiri. Belajar bahasa asing, juga belajar budaya asing tersebut, tapi jus­ tru makin membuat orang tersebut ma­ kin suka dengan budaya lokalnya sen­diri. “Jadi, jangan khawatir saat mem­ pe­lajari bahasa asing. Kalaupun jati di­ri­ nya menghilang, itu artinya jiwanya ma­ sih labil, dan tidak mengerti dengan jati dirinya sendiri, belum siap untuk mem­pe­ lajari bahasa asing,” tandasnya. Lies Amin menyarankan, sebagai peng­a­jar haruslah bisa menyisipkan jati diri bangsa dalam sebuah pengajaran. Se­ misal melalui lagu-lagu atau permainan da­lam sebuah pengajaran, terutama pada bahasa asing, dan lagu-lagunya beralih men­ jadi bahasa Inggris. “Biasanya, saya le­bih menggali pada mix permainan tra­ di­ sional Indonesia dan Inggris dimana pa­ da permainan tersebut, saya sisipkan pem­ belajaran bahasa Inggris serta bu­ ­ dayanya,” ujar dosen yang telah mem­pre­ sentasikan beberapa permainan dalam acara Asia Creative Writing Conference yang diadakan setiap tahun. “Pembelajaran, terutama bahasa asing, memang lebih asyik bila disisipkan dalam sebuah permainan, dimana sang pebelajar bisa lebih mudah menyerapnya dan setidaknya kearifan lokalnya tidak mu­ dah hilang,” pungkasnya. (YUSUF NUR ROHMAN/CIKITA)


LAPORAN UTAMA Prof. Dr. Ud­jang Pairin, M.Pd. :

Budaya Luhur Jawa dalam Pernikahan

B

anyak nilai-nilai da­­­ lam ke­­arifan lo­kal budaya Jawa yang sangat ber­gu­na dalam mem­­ba­ngun per­­ada­ b­an In­do­nesia pada masa de­­pan. De­mi­kian dikatakan gu­ ru besar Une­sa, Prof. ­­Ud­ jang Pairin dal­am pidato pe­ ngu­kuhan gu­ru besarnya. Sa­ lah satu contoh ke­arifan lo­kal dalam budaya Ja­wa yang sa­­ ngat berguna ada­ lah dalam hal memilih jo­doh terkait bo­ bot, bebet dan bibit. Guru besar bahasa Jawa itu menjelaskan ketiga filosofi Ja­­wa tersebut. Pertama, bo­ bot adalah ungkapan ten­tang harta. Pernikahan, te­rang Prof. Udjang, memang ber­lan­das­ kan cinta, tapi cinta sa­ja tidak cu­ kup, harus ada sup­ lemen un­ tuk memupuk cin­ ta yaitu har­ta. “Perempuan ha­rus bisa me­ milih laki-laki yang sudah bekerja, memiliki peng­ha­silan

Sa­lah satu contoh ke­arifan lo­kal dalam budaya Ja­ wa yang sa­­ngat berguna ada­lah dalam hal memilih jo­doh terkait bo­bot, bebet dan bibit. dan mempunyai harta se­hing­ ga menjadi jaminan un­ tuk ke­langsungan hidup ber­ke­ luarga,” ujarnya. Kedua adalah bebet yang ber­­kaitan dengan keturunan atau bahasa ilmiahnya adalah ge­netik. Jauh sebelum bangsa Eropa menemukan ilmu ge­ ne­­tika, masyarakat Jawa ter­­le­ bih dahulu mengenal ma­­ sa­ lah genetika. Beliau men­­con­ toh­kan bebet yang baik akan menghasilkan ke­tu­runan yang baik, misalnya ke­cer­da­san, ke­ tam­ panan, warna ku­ lit dan

ting­gi badan dan se­ba­lik­nya begitu. Ketiga, bibit yang ber­ hu­bungan dengan ke­ mam­­ puan memberikan ke­tu­­runan. Menurut dosen ke­la­­hiran Jawa Barat itu, dalam bu­­daya Jawa sebagai bagian da­ ri budaya timur, me­ mang anak adalah tujuan per­ka­winan. Beliau juga me­nga­takan kalau anak adalah in­ves­ta­si masa tua. Oleh karena itu, per­kara bo­­bot, bebet dan bibit men­­ ja­ di hal yang penting un­ tuk perempuan dalam ke­bu­da­­ya­ an Jawa. Lain perempuan lain pu­ la laki-laki, budaya Jawa se­ba­gai local wisdom me­nga­tur pu­ la laki-laki dalam per­ni­­ka­han. Muncullah is­ti­­lah ba­­­hasa Ja­ wa Lima NG, Nga­ya­ni (ha­rus man­diri atau ma­pan), Ngo­­mahi (mam­pu mem­be­ri­kan tempat ting­gal), Nga­yo­mi (melindungi), Nge­loni (mem­beri nafkah batin) dan yang ter­akhir bisa Nganaki (mem­­be­­rikan ke­turunan). Ia me­lihat bah­wa zaman se­ka­ rang laki-laki malah terbalik me­­ nerapkan prinsip 5 NG, ngeloni dan nganaki dulu ba­ru bekerja. Maka dari itu pen­ ting untuk menanamkan pen­di­dikan mo­ ral sejak dini de­ngan pem­be­la­ ja­ran budaya Ja­wa. “Budaya jawa sangatlah kom­ pleks dalam aturan ta­ ta­ nan hidup, setelah menikah pun laki-laki khususnya wajib meng­­hindari molimo atau 5M, Men­curi, Minum minuman ke­ ras, Main judi, Merokok dan ma­don atau main perempuan. Yang jelas tegas dosen bahasa Jawa ini bahwa laki laki harus menghindari 5M dan ini ada­ lah sedikit dari pandangan bu­daya Jawa terhadap per­ ka­ winan dan berkeluarga,” pung­kasnya. (WAHYU/HUDA)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

11


LAPORAN UTAMA Dra. Sasminta Christina Yulihartati, M.Pd,. :

Terapkan Media Belajar Berbasis Kearifan Lokal dalam Olahraga “Dalam dunia olahraga tradisional, ter­sirat kearifan lokal yang sangat kental. De­ngan mempelajari olahraga tradisional, kita bisa sekaligus mempelajari budaya da­erah dari olahraga tradisional. Selain itu, dengan adanya peraturan yang ber­beda-beda setiap daerah, bisa mem­ben­tuk karakter melalui permainan tra­di­sio­nal.”

P

en­ didikan Jasmani dan Ke­ se­­hatan (Pen­jas­­kes) sudah men­­­ja­di pelajaran pen­ting di setiap jenjang pen­di­­di­ kan. Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sis­ tem Pendidikan Na­ sio­ nal pa­ sal 4 menyebutkan bahwa pen­ didikan nasional bertujuan men­ cer­ daskan kehidupan bangsa dan meng­ em­ bangkan manusia Indonesia se­ utuh­ nya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti lu­ hur, memiliki pengetahuan dan ke­te­ram­­ pilan, kesehatan jasmani dan ro­ hani, kepribadian yang mantap dan man­ diri serta rasa tanggung jawab ke­ma­sya­ra­kat­ an dan kebangsaan”. Pendidikan jasmani bukanlah bi­ dang yang mempelajari olahraga na­ mun lebih mengacu kepada berbagai as­ pek, yaitu: aspek kognitif, afektif, dan psi­ komotor yang memperlakukan anak se­ bagai usaha kesatuan utuh lahir dan ba­tin. Dari ketiga ranah tersebut, ranah afektif yang paling besar peranannya. Ra­ nah afektif hanya bisa dideskripsikan apabila melakukan proses. Melalui pen­ di­dikan jasmani, siswa melakukan ak­ti­vi­ tas fisik serta mendapatkan pendidikan, me­ ngembangkan potensi psikis siswa, meng­ optimalkan gerak dasar motorik dan mengembangkan karakter yang se­ mu­anya itu diramu dengan permainan. “Mengajarkan Penjaskes itu bukan me­lihat hasilnya, tapi melihat proses sa­ at mengajar. Hal itu sangat berbeda de­ ngan melatih seorang olahragawan yang melihat hasil dibanding proses,” ujar Dra. Sasminta Christina Yulihartati, M.Pd,, dosen prodi Pendidikan Jasmani, Ke­ sehatan, dan Rekreasi (Penjaskesrek). Da­

12 |

lam setiap mengajar, Sasminta senantiasa me­nekankan pada afektif daripada pen­ jas­kes itu sendiri, dengan begitu sifat sa­ ling menghargai bisa terbentuk. “Inilah yang sangat diperlukan demi kearifan lo­kal dari sub bidang keolahragaan,” te­ rangnya. Dijelaskan, mata kuliah Permainan Ke­cil di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Unesa memiliki bobot 3 SKS. Permainan kecil itu mengacu pada permainan tra­ di­ sional seperti gobak sodor dan patil le­le. Dijelaskan, permainan tradisional me­ mang belum memiliki induk organisasi ka­rena itu tidak ada peraturan yang meng­ikat. “Dalam dunia olahraga tradisional, ter­sirat kearifan lokal yang sangat kental. De­ngan mempelajari olahraga tradisional, kita bisa sekaligus mempelajari budaya da­ erah dari olahraga tradisional. Selain itu, dengan adanya peraturan yang ber­ beda-beda setiap daerah, bisa mem­ben­

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

tuk karakter melalui permainan tra­di­sio­ nal,” jelasnya. Dosen prodi Penjaskesrek itu selalu meng­ulang-ulang kalimat “perhatikan pro­sesnya bukan hasil” setiap kali di­wa­ wan­cara. Hal ini memberitahukan bahwa meng­ ajar pada seorang siswa, apalagi usia dini, memperhatikan hasil daripada olah­raga sangat diharamkan, karena pro­ ses selama pembelajaran penjaskes itu ber­langsung seorang pendidik sekaligus bisa membangun pendidikan karakter yang selalu menjadi perhatian khusus pa­ da kearifan lokal bangsa. Dengan menggunakan permainan tra­ disional sebagai salah satu media be­ lajar berbasis kearifan lokal da­ lam olahraga, pelajaran penjaskes atau olahraga bisa menjadi sangat me­ nye­ nang­kan serta meningkatkan rasa cinta ter­hadap budaya dan kearifan lokal bisa le­bih baik. (CIKITA, YUSUF)


LAPORAN UTAMA Prof. Dr. Djo­jok Soepardjo, M. Litt, :

Belajar dari Kearifan Lokal bangsa Jepang “Dalam dunia olahraga tradisional, ter­sirat kearifan lokal yang sangat kental. De­ngan mempelajari olahraga tradisional, kita bisa sekaligus mempelajari budaya da­erah dari olahraga tradisional. Selain itu, dengan adanya peraturan yang ber­beda-beda setiap daerah, bisa mem­ben­tuk karakter melalui permainan tra­di­sio­nal.”

J

epang terkenal dengan sains dan teknologi tinggi. Meski demikian, kearifan lokal budayanya masih sa­ ngat melekat. Berbagai masalah yang mendera seperti bom atom hingga ke­ rusakan nuklir, warga Jepang tetap bang­kit. Rupanya, ketegaran masyarakat Je­pang tersebut berawal dari pendidikan. “Ti­ga tahun setelah zaman restorasi meiji per­tama kali dibentuk, sekitar tahun 1871, pemerintah Jepang membentuk yang namanya wajib belajar,” ujar Prof. Dr. Djo­ jok Soepardjo, M. Litt, dosen Pendidika Ba­ hasa Jepang. Mulanya, kata Prof. Djojok, Jepang ti­ dak mengenal SMP ataupun SMA. di Je­ pang hanya ada SD dan Perguruan Ting­gi. Perguruan Tinggi pertama yang di­bangun di Jepang adalah Universitas Teknologi Tok­ yo. Kala itu, warga Jepang me­ mang sangat tertutup. Meski begitu, me­ reka

berusaha untuk membuka jalur bis­nis di sebuah daerah di Nagasaki, Dejima. Da­ erah itu khusus untuk pusat bisnis an­ ta­ra Jepang dan luar negeri. Itulah salah satu yang menyebabkan budaya luar mi­ nim sekali bahkan sangat sulit masuk ke Jepang. “Walaupun budaya luar masuk ke Je­ pang, warga Jepang akan memodifikasi dan me­ ngemasnya menjadi budaya ba­ ru serta men­jadi khas oleh Jepang. Con­toh­nya fashion. Saat budaya fashion ma­suk ke Jepang, warga Je­pang akan me­nge­mas­nya menjadi fashion khas Jepang sendiri,” ung­kap dosen yang ak­ rab disapa sen­sei Djojok itu. Di Jepang, perubahan kurikulum ba­ ru tidak bisa langsung berubah be­ gitu saja. Untuk mengubah sebuah kurikulum di Jepang, haruslah ada pe­ ne­ li­ ti­ an dan review secara publik. Jika sangat per­ lu

dibutuhkan kurikulum baru, Jepang ba­ru akan membuat kurikulum baru ter­sebut. Dari sisi budaya, Indonesia dan Je­ pang sangatlah berbeda. Budaya ke­ se­ luruhan daerah di Jepang hampir sama, se­ dangkan di Indonesia berbeda-beda. Bah­ kan, daerah yang bersebelahan sa­ ja seperti Jawa Timur dan Madura me­mi­liki perbedaan budaya. “Karena itu, pem­ be­ lajaran berbasis kearifan lokal pada tiaptiap daerah, berbeda-beda me­to­de­nya,” terangnya. Meski mengaku bingung harus di­ mu­lai dari mana untuk mengurai benang ku­ sut pendidikan di Indonesia, Djojok mem­beri saran, setidaknya dalam setiap pem­ belajaran disisipkan pembelajaran ten­ tang kearifan lokal daerah masingmasing. Daerah baik kota maupun desa tentu ber­ beda juga. Walaupun adanya SNP (Stan­ dar Nasional Pendidikan), tapi jika dipakai di daerah terpencil, apakah masih bisa dipakai, itu yang jadi masalahnya. Itu­lah mengapa, Prof. Djojok sangat setuju de­ngan kurikulum 2013. Saat ditanya kearifan lokal di In­ do­ nesia sendiri, Prof. Djojok mengaku “acuh”. Jika Indonesia ingin mencontoh dari kearifan lokal di Jepang, mungkin su­ dah ketinggalan sangat jauh. Namun ia memberikan tips agar sadar diri. Me­nu­ rutnya, semua itu berawal dari sadar diri tentang pentingnya dunia pendidikan dan menjaga kearifan lokal sendiri. “Jika pe­ nanaman sadar diri dengan kearifan lokal sudah sangat bagus, pembenahan sis­ tem diperlukan. Selama pendidikan be­rjalan di sekolah-sekolah, jangan lu­pa memasukkan budaya lokal. Bukan ha­nya tatanan bahasa yang benar-benar di­na­ sio­nalkan, tapi budaya lokal juga harus di­ nasionalkan,” pungkasnya. (CIKITA/ARI)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

13


LAPORAN UTAMA Emma, Mahasiswa Pend. Ekonomi:

HMendekatkan Pelajaran ke Kehidupan Nyata

Sejatinya pendidikan yang terinternalisasi dalam pengajaran di sekolah ataupun kampus salah satunya haruslah bersumber pada kearifan budaya lokal. Bagaimana mahasiswa Unesa mengomentari penerapan pendidikan berbasis kearifan lokal di Unesa? Berikut paparannya!

Bayu, Mahasiswa PLS:

Harus Lebih Diperkenalkan Lagi BAYU Widyamarta, salah seorang ma­ ha­siswa Pendidikan Luar Sekolah Unesa ber­pendapat bahwa sejauh ini secara te­ rang-terangan memang belum ada do­ sen Unesa yang menyatakan bahwa salah sa­ tu tujuan pembelajarannya adalah membentuk kemampuan mahasiswa da­ lam menerapkan pendidikan berbasis ke­ arifan lokal. Namun, secara tidak lang­sung, sebenarnya pendidikan karakter itu sudah masuk di dalamnya. Menurut pengamatan Bayu, jika ditinjau dari cara mengajar do­ sen sejauh ini belum mencerminkan pendidikan berbasis kearifan lokal. Ia menganggap cara mengajar para dosen masih umum, seperti pengajar pada umumnya. “Cara mengajarnya cen­derung pokoknya mahasiswa paham, beres. Tetapi, itu hanya ber­dasarkan apa yang saya amati dan saya alami,” paparnya Mengenai bahan ajar, Bayu mengusulkan agar lebih di­te­ kan­kan pada pembentukan softskill dan hardskill mahasiswa se­ ba­gai persiapan menjadi guru pendidikan luar biasa. Kearifan lo­kal tidak harus menjadi basis utama yang ada pada mayoritas ba­han ajar perkuliahan. Tetapi, hal itu bukan berarti kearifan lokal tidak digunakan sama sekali. “Bergantung, sejauh mana ke­ butuhannya,” ujar mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa itu. Mahasiswa yang juga Ketua Asosiasi Mahasiswa Bidik Misi (AMBM) Unesa berharap pendidikan berbasis kearifan lokal lebih diperkenalkan kepada mahasiswa PLB. Sebab, mahasiswa PLB merupakan calon guru yang akan mendidik siswa nantinya. “Tentu, pendidikan berbasis kearifan lokal dapat menjadi pilihan atau penyempurna dalam melaksanakan pendidikan bagi para siswa, khususnya siswa berkebutuhan khusus,” pungkasnya. (CRH-LM)

14 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

BAGI Emma, tugas seorang dosen ti­ dak hanya menyampaikan pe­lajaran dan informasi agar bisa diterima oleh ma­ hasiswanya. Lebih dari itu, se­orang dosen harus mampu membuat pe­ lajaran dan informasi tersebut mu­ dah diaplikasikan dalam lingkungan (ke­hi­dup­an nyata) sehingga bermanfaat bagi ma­sya­rakatnya. Menurut mahasiswi S-1 Pendidikan Eko­nomi itu, selama ini memang belum ada dosen yang me­nyam­paikan pelajaran dengan mengaitkan ke dalam dunia nya­ta. Padahal, mengaitkan pelajaran dengan dunia nyata le­bih mendekatkan pelajaran dengan kehidupan mahasiswa. “Me­ tode seperti ini memang sangat diperlukan selain untuk le­bih memudahkan diterima oleh mahasiswa juga untuk me­ mu­ dah­ kan mahasiswa dalam mengaplikasikannya,” paparnya. Emma berharap, ke depan dosen semakin mampu mem­po­sisikan diri di tengah-tengah mahasiswa yang berbeda-beda la­tar belakang. Ia berharap dosen tidak hanya mengajar dengan ga­ya yang terkesan modern dan selalu datang duduk membuka laptop lalu menerangkan dengan gaya mereka sendiri. Namun, se­ orang dosen, setidaknya, mengajar dengan pembawaan yang menyenangkan, bijaksana, dan sopan dalam menerangkan se­cara aplikatif agar setiap mahasiswa yang berbeda-beda suku mampu menerima pelajaran dan mampu mengaplikasikannya di rumah. (CRH-SF)

Ahmad Haddad: Mahasiswa Fisika:

Mengajar dengan Pendekatan Akhlak MENURUT Ahmad Haddad Baucokro, sebagian dosen mengajar dengan pen­de­ katan akhlak atau perilaku sehari-hari. Ada juga yang mengaitkan materi dengan me­ to­de perbaikan diri. Salah satu dosen yang mengajar di jurusan Fisika, ungkap Ahmad, meng­gunakan sistem KSD atau Kuliah Sam­ bil Dakwah. Setiap materi yang di­berikan selalu diselipi dengan dakwah islami seperti akhlak dan hubungan kita de­ ngan Allah SWT. Bahkan, ada yang mengaitkan materi dengan perbaikan diri menuju pribadi yang lebih baik. Mahasiswa yang juga aktif di DPM FMIPA itu menungkapkan bahwa dengan menggunakan metode seperti itu materi kuliah yang bersifat duniawi juga bisa memiliki nilai agama. Sehingga man­faatnya dapat dirasakan. “Dengan begitu, materi yang di­ sam­paikan dosen akan lebih bermanfaat bagi mahasiswa, khu­ sus­nya bagi perbaikan karakter mahasiswa,” pungkasnya. n


LAPORAN UTAMA M.Yasin, Mahasiswa Teknik Mesin:

menjadi lancar karena diawali dengan kondisi yang kondusif. Selain itu doa bersama juga membawa kebaikan. Kebaikan itulah yang setidaknya terdoktrin dalam pikiran mahasiswa agar tidak malas-malasan dalam menyerap materi perkuliahan.n

Belum Banyak Terapkan Kearifan Lokal SEJAK tercatat sebagai mahasiswa Unesa pada tahun 2012, Mu­hammad Yasin Yusuf mendapati dirinya harus berhadapan de­ ngan berbagai macam tipe dosen dengan karakteristik mengajar yang berbeda dalam perkuliahan. Beberapa ka­ rak­ te­ristik mengajar tersebut misalnya, dosen mengajar bergaya ser­san atau serius tapi santai, ada juga dengan gaya ‘takuringuring ben iso!’, dan ada pula dosen yang menerapkan learning by doing artinya mengajarkan melalu mempraktikkan. Namun, me­ nurutnya, dosen yang mengajar dengan memasukkan unsur ke­ arifan lokal dalam mengajar cenderung sedikit. Mahasiswa jurusan teknik mesin ini mengakui, tidak banyak men­jumpai dosen tipikal ini. Tapi di jurusan teknik mesin, ada salah satu dosen yang menanamkan nilai kebaikan dalam materi ajarnya. Cara penanaman itu adalah melalui tradisi pesantren, yaitu doa bersama sebelum memulai pelajaran. Bagi mahasiswa yang akrap disapa Yasin ini, doa bersama bukanlah sesuatu yang sepele. Ritual ini lebih dari sekadar doa dan mempunyai kan­ dungan yang luar biasa di dalamnya. Berdasarkan pemaparan Yasin, kandungan itu adalah tanpa di­sadari ruang kelas menjadi tertib dari yang semula rebut se­ be­lum berdoa. Hal ini mengakibatkan penyampaian mata kuliah

U

Bagus, Mahasiswa FIS:

Masih Sedikit, Harus Digenjot MENURUT mahasiswa FIS, ada beberapa dosen yang metode ajar atau memberikan tugas-tugas kepada mahasiswanya de­ ngan kearifan lokal atau budaya terutama pada masyarakat. Se­ per­ti tugas yang baru-baru ini diberikan kepada Bagus untuk mem­buat film perubahan sosial budaya pada masyarakat. “Kita bisa terjun langsung untuk mencari informasi bagaimana per­ bedaan antara dulu dan sekarang. Bagaimana kita dapat me­ ma­hami hampir secara keseluruhan budaya yang ada meskipun pro­sesnya cukup lama”, tutur pemuda berkacamata tersebut. Indikasi budaya juga dapat dilihat dari proses do­sen kita saat mengajar. Metode yang diajarkan dari dosen me­­ru­pakan sebuah budaya yang tidak selalu abadi dan ber­ubah-ubah seiring berjalannya waktu. Hal itu tentu, mengindikasikan bah­wa budaya itu stagnan namun dinamis. “Pa­da intinya, kita da­pat melihat zaman dulu dan sekarang,” lan­jut mahasiswa yang me­ miliki nama lengkap Bagus Nur­ syah Abdillah tersebut. n

Permainan Cublak Suweng, Skripsi Berbasis Kearifan Lokal

mmi Salmah. Demikian na­ma pan­jangnya. Ma­ha­ sis­­ wa FMIPA yang baru sa­­ja menjalani wi­suda de­ ngan predikat wi­ su­ dawan terbaik di fakultasnya itu me­nun­juk­kan ke­pe­du­ lian­nya terhadap kearifan lo­kal dengan skrip­si berjudul “Penerapan Media Per­ ma­inan Cublak Suweng ter­ha­dap Hard Skills dan Soft Skills Siswa pada Ma­teri Zat Aditif Kelas VIII SMP Negeri 1 Da­war­ blan­dong Mojokerto.” Mahasiswa asal Mojokerto itu ter­ ­ ins­ pi­ rasi menulis skripsi berbasis ke­ arifan bu­daya lokal berawal dari saran do­sen pembimbing, Drs. Achmad Lutfi, M.Pd. Oleh dosen pembimbingnya, ma­­ hasiswi yang akrab dipanggil Um­ mi itu di­ arah­ kan menerapkan me­ dia permainan tra­ di­ sional, yaitu Cub­ lak Suweng. Selain itu, diperkuat juga de­­ngan berlakunya Ku­ri­kulum 2013

yang memberi implikasi bahwa dalam pembelajaran perlu ada upa­ ya untuk mem­ berikan lingkungan be­ lajar yang kondusif dengan metode dan me­ dia yang bervariasi sehingga me­mung­kin­ kan peserta didik belajar de­ ngan te­ nang dan menyenangkan. Per­­ma­inan tradisional asal Jawa Timur ini di­ ap­ likasikan untuk hard skills dan soft skills yang meliputi kemampuan ber­ko­mu­ni­ ka­si, percaya diri, dan disiplin. Ummi mengakui tidak mudah mem­­bu­at skripsi tersebut. Yang sulit, kata Um­mi adalah membuat instrumen pe­­ ngamatan serta aturan-aturan per­ ma­­inan yang dimodifikasi untuk meng­ ga­bungkan soft skills dengan per­ma­in­ an tersebut. Berkat skripsinya pula, ma­ hasiswi yang tinggal di Dusun Manyar­ sari Desa Gunungsari Kecamatan Dawar­ blandong Kabupaten Mojokerto itu terinspirasi untuk mengumpulkan

per­main­an-permainan tradisional yang telah diteliti untuk diterapkan ketika ia me­ngajar nanti. Alasannya, karena tidak se­ di­ kit siswa yang memberi respon positif se­ telah diterapkannya media permainan tra­disional ini. Meskipun tidak pernah mengikuti ke­­ gi­ atan organisasi selama kuliah na­ mun ma­ hasiswi yang lahir 2 Oktober 1991 ini sejak semester tiga sudah ber­ latih meng­ ajar dengan menjadi guru les. Ummi juga ber­keinginan me­ lanjutkan ke jenjang pen­ didikan S-2 pada program studi yang sama. “Apa­ pun tugasnya kita harus la­ ku­ kan de­ ngan sebaik-baiknya. Mau nan­ tinya ja­di yang terbaik atau tidak, itu kan ter­ serah, yang terpenting kita su­dah me­ la­kukannya dengan maksimal,” ujar­nya. (ULIL/SURYO/WAHYU/BYU)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

|

15


KOLOM REKTOR

BELAJAR DARI

SMP LAB SCHOOL

NAGOYA

SMP Lab School AUE di Na­goya memiliki 501 siswa de­ngan guru sebanyak 32 orang. Ke­pala sekolahnya dosen aktif di AUE, sehingga yang sehari-ha­ri memimpin sekolah adalah Wa­kil Kepala Sekolah.

N Oleh Prof. Muchlas Samani

16 |

ama resmi sekolah ter­sebut Nagoya Ju­­nior High School: Affi­ liated to Aichi Uni­ versity of Education (saya ti­dak ingat dalam bahasa Je­ pang-nya), namun karena me­ rupakan binaan Aichi Uni­ver­ sity of Education (AUE), ma­ka kepada kami dikenalkan se­ ba­gai SMP Lab School AUE di Nagoya. Memang lokasinya di kota Nagoya. Jadi agak jauh da­ri kampus AUE yang terletak di luar kota. SMP Lab School AUE di Na­ goya memiliki 501 siswa de­ ngan guru sebanyak 32 orang. Ke­pala sekolahnya dosen aktif di AUE, sehingga yang sehariha­ri memimpin sekolah adalah Wa­kil Kepala Sekolah. Seperti biasanya SMP di Jepang, siswa me­ makai seragam dan siswa la­ki-laki memakai celana pan­ jang. Di sekolah siswa (dan ju­ ga guru) memakai sepatu dalam, yaitu sepatu ket yang hanya dipakai di dalam se­ko­ lah. Begitu siswa tiba di se­ko­ lah, mengganti sepatu yang di­pakai dari rumah dengan se­ patu dalam yang disimpan da­ lam loker masing-masing. Sebagai Lab School, SMP

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

Lab School Nagoya memiliki fung­ si: (1) sebagai tempat melakukan penelitian dan pe­ ngem­ bangan serta inovasi pem­ belajaran, (2) sebagai tem­ pat belajar/praktek bagi ma­ hasiswa AUE, (3) sebagai se­ kolah bagi anak-anak Je­ pang yang baru pulang dari ne­gara lain. Maksudnya anak­anak yang sekian lama meng­ ikui orang tua atau hal lain, sehingga lama tinggal di luar negeri dan memerlukan pe­ nyesuaian untuk kembali ber­ se­kolah di Jepang. Dalam pembelajaran di­gu­ na­kan prinsip: (1) menekankan pro­ses dan bukan produk, se­ hing­ ga proses berpikir siswa menjadi perhatian utama, dan (2) menerapkan konsep bah­wa siswa dan guru belajar bersama-sama. Setiap tahun sis­ wa melakukan out bond selama 3 hari+2 malam untuk mem­bangun kebersamaan, se­kaligus untuk mengenalkan sis­wa kepada masalah nyata di ma­syarakat. Jumlah siswa dalam setiap ke­las 40 orang (standar di Je­ pang). Namun karena ber­ba­ gai hal, khususnya turunnya ang­ ka kelahiran di Jepang

ba­ nyak kelas yang siswanya ku­ rang dari 40 orang. Tetapi se­mua kelas yang kami kun­ jungi rata-rata siswanya 36-39 orang. Banyak siswa dari Bra­ sil. Sebagian besar mereka adalah anak-anak orang Je­ pang yang dahulu migrasi ke Brasil, menikah dengan orang setempat dan sekarang kem­ bali bekerja di Jepang. Jadi pada umumnya mereka ber­ darah campuran. Bangku terdiri dari meja dan kuri yang tingginya dapat di­atur sesuai tinggi tubuh sis­ wa. Duduk siswa dibuat se­ lang-seling. Anak laki-laki je­jer dengan anak perempuan. In­ for­masi yang saya dapat setiap bu­ lan posisi duduk diganti, dengan maksud setiap siswa punya pengalaman duduk je­ jer dengan banyak teman. Mak­ sudnya agar mereka be­ lajar berkomunikasi dan ber­ in­ternasi dengan teman yang ber­beda. Papan tulis berwarna hijau dan dibuat melengkung, mung­ kin agar pandangan siswa yang duduk di ping­gir tetap bagus. Papan me­ ru­ pakan magnetik dan guru da­ pat menempelkan clip pe­me­


KOLOM REKTOR gang kertas di papan tulis. Di din­ ding sebelah papan tulis ter­dapat jadwal pelajaran dan be­ berapa hasil karya siswa yang ditempel dengan pines. Sepertinya siswa sudah bia­ sa dikunjungi tamu, sehingga ti­ dak merasa terganggu de­ ngan kehadiran kami. Kami meng­unjungi beberapa kelas, an­tara lain Kelas Matematika, Ke­ las Home Economis dan Ke­ las IPS. Pada Matematika se­ pertinya guru sedang me­ nga­jarkan menemukan rumus, sec­ara induktif. Siswa diminta maju untuk mengerjakan soal dan teman lain menanggapi. Namun kesan saya kelas tidak begitu aktif. Masing-ma­ sing siswa sibuk, mungkin me­ ngerjakan pada bukunya ma­ sing-masing Pada kelas Home Eco­no­ mics, sepertinya sedang mem­ bahas gisi beberapa jenis ma­­ sakan. Guru menjelaskan kan­­dungan gisi beberapa jenis ma­­kanan dan menanyakan ke­ pada siswa beberapa je­ nis bahan makanan yang me­ re­ ka biasa makan di rumah. Se­ telah itu diindentifikasi kan­ dungan gisi. Setelah iti guru mengajak siswa untuk me­ nyimpulkan apakah ma­ ka­ nan yang mereka makan di rumah cukup memenuhi gisi yang diperlukan oleh ba­ dan. Menurut Wakil Kepala Se­kolah, seringkali kelas Home Economics dipadu dengan ke­

las Industrial Arts dan kelas Olah­raga dan Kesehatan. Kelas IPS sangat menarik. Sis­wa dibagi dalam kelompok ma­ sing-masing 3 orang atau 4 orang. Jadi ada 12 ke­lom­ pok. Kepada mereka di­ ajukan pertanyaan kira-kira. Ba­ gaimana pendapat Anda ten­tang sebaiknya posisi ten­ ta­ra Bela Diri Jepang. Empat ke­ lompok ditugaskan untuk da­lam posisi pendapat “tidak setuju Jepang punya tentara un­tuk tugas apapun”. Empat ke­lompok ditugasi untuk po­ si­ si pendapat “setuju Jepang pu­nya tentara Bela Diri tetapi ha­ nya untu kepentingan ke­ amanan dalam negeri”. Em­pat kelompok ditugaskan un­ tuk posisi pendapat “setuju Je­ pang punya tentara Bela Diri termasuk untuk menjaga ke­ amanan dan hak-hak orang Je­ pang di luar negeri”. Sebelumnya guru men­ je­ laskan posisi tentara Bela Di­ri Je­pang sekarang banyak men­ ja­di perdebatan. Apalagi ketika ter­­ jadi perang Irak, Amerika Se­rikat meminta Jepang untuk mengirimkan tentara Bela Diri bersama tentara dari negara lain bertugas di Irak. Nah, ma­sing-masing kelompok di­minta mengajukan ar­gu­ mentasi terhadap posisi pen­ dapat yang ditugaskan. Se­ te­ lah mendiskusikan dalam kelompok, setiap kelompok me­nuliskan pendapat (ar­gu­

Siswa SMP di Jepang dalam sebuah kegiatan di sekolah.

Sebagai Lab School, SMP Lab School Nagoya memiliki fung­si: (1) sebagai tempat melakukan penelitian dan pe­ ngem­­bangan serta inovasi pem­belajaran, (2) sebagai tem­pat belajar/praktek bagi ma­hasiswa AUE, (3) sebagai se­kolah bagi anak-anak Je­pang yang baru pulang dari ne­gara lain. ment) tersebut di papan ke­ cil magnetik dan kemudian di­ tempelkan di papan tulis. Ja­ di di papan tulis terdapat 12 papan kecil yang masingma­ sing berisi pendapat ke­ lompok. Acuan dasar yang di­ gunakan adalah Hak Asasi Ma­nusia. Beberapa kelompok di­ min­ta menjelaskan apa yang di­tulis di papan kecil miliknya. Se­ telah itu antar kelompok yang berbeda pendapat di­ minta untuk berdiskusi. Se­ te­ lah berdiskusi mereka di­ bo­ lehkan berubah pendapat atau menyatukan pendapat. Pen­dapat hasil diskusi itu di­ tu­ liskan lagi di papan kecil mag­netik, tetapi dengan spi­ dol warna merah (pendapat per­tama ditulis dengan spidol war­na hitam). Kemudian pa­ pan kecil dengan tulisan me­ rah ditempel di papan. Setelah ditempel, setiap ke­­lompok gabungan yang pu­­nya diminta menjelaskan ar­ gumennya dan kelompok lain diundang untuk mengo­ men­­tari. Juga diundang me­re­ ka untuk mensinergikan an­tar kelompok yang berbeda pen­ da­pat. Namun tetap dibiarkan jika mereka tetap berbeda pen­dapat. Saya melihat orientasi ke­­­­pada proses benar-be­ nar diterapkan. Saat me­li­hat Kelas Matematika dan Ho­me Economics, saya sudah be­ lajar bagaimana me­ne­rap­ kan “keterampilam pro­ses” di matapelajaran Ma­te­ma­ti­ka dan Kesehatan. Di Ke­las IPS (nama topiknya Peace Edu­ca­ tion) saya lebih ba­nyak be­la­ jar lagi. Belajar ba­ gai­ mana

men­dorong siswa un­tuk me­ ngajukan pendapat, ba­ gaimana mendorong siswa un­­ tuk berdebat dan juga men­­sinergikan pendapat. Men­­ dorong siswa untuk te­ tap menghormati orang lain, wa­­laupun tetap berbeda pen­ da­ pat sampai pelajaran se­ lesai. Ada kesan kuat, siswa di­latih untuk menyiapkan diri mengambil keputusan, sem­ bari belajar hidup ber­ma­sya­ra­ kat yang heterogen. Sayang sekali, saya ti­ dak faham bahasa Jepang se­ hingga tidak mengerti inti pem­ bicaraan guru maupun sis­ wa. Namun dari tulisan (angka) dan bahasa tubuh me­ re­ ka, saya menduga diskusi me­ngarah kepada high order thinking (HOT). Khusus pada mata­ pelajaran IPS (Peace Education) diterapkan problem based learning sekaligus ju­ ga cooperative learning. Mak­ sud­nya siswa didorong untuk be­ kerja sama, tetapi untuk me­ mecahkan masalah yang me­mang sedang terjadi di ma­ syarakat. Dalam kelas Home Economics yang dibahas ma­ ka­ nan sehari-hari di Jepang, dan dalam kelas IPS tentang kon­troversi tentara Bela Diri di Je­pang. Tampak sekali, guru mem­ persiapkan bahan dengan baik. Bahan yang digunakan dijepit dengan clip yang ditempelkan di papan tulis. Guru juga selalu melihat lembaran bahan yan sepertinya sudah dipersiapkan. Siswa juga menerima seperti LKS yang harus digunakan untuk mengikuti pelajaran. Semoga kita dapat belajar dari mereka.n

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 17


LENSA UNESA

Menyiapkan Diri pada Era ASEAN Comunity ERA ASEAN Economic Community tidak bisa ditawar lagi. Tahun 2015 mendatang mau tak mau Indonesia harus menjadi subjek bukan objek. Itulah yang dikoordinasikan pimpinan FE yang tergabung dalam APE LPTK se-Indonesia di kampus Unesa pada 3/5/2014. Hadir dalam acara itu Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd. (Rektor Unesa), Dr. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si. (pengamat ekonomi), dan R. Soeroso, M.M. (Direktur Utama Bank UMKM Jawa Timur) serta 254 peserta dari berbagai kalangan se-Indonesia. (SAIFUL/BYU)

Teguhkan Semangat Unggul dalam Pendidikan PADA usianya yang ke-8, Fakultas Ekonomi (FE) Unesa terus meneguhkan semangat unggul dalam pendidikan. Semangat itu terlihat dari upayanya dalam mengumpulkan Asosiasi Pendidikan Ekonomi LPTK se-Indonesia dalam acara bertajuk rapat koordinasi (rakor) pada 2—3/5/2014 di Auditorium FE Unesa, Kampus Ketintang, Surabaya. (SAIFUL/BYU)

18 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014


KABAR PRESTASI

Seminar "PPPG sebagai Penggerak Literasi Unesa" PESERTA PPPG Unesa mendapat kesempatan belajar langsung dari para peng­ ge­rak literasi dalam seminar literasi (26/6) di auditorium PPPG Kampus Lidah Wetan. Hadir dalam acara yang juga digunakan sebagai launching buku Pelangi di Panggung PPG Unesa itu antara lain, Much. Khoiri, Rukin Firda, Sirikit Syah, Anwar Djailani, Satria Dharma, Ach. Wahju, Fafi Inayatillah, Eko, Direktur PPPG Prof Luthfiyah Nurlaela, dan lain-lain. (AROHMAN)

Workshop Menulis "Jurnalis Cilik Berpenakan Kreativitas" SEBANYAK 200 siswa SD/MI se-Surabaya meng­ ikuti workshop menulis bertema Jurnalis Cilik Berpenakan Kreativitas yang diselenggarakan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Turut mendukung acara tersebut, Harian Surya, Harian DUTA, dan Jaringan Literasi Indonesia. Hadir sebagai pembicara Eko Prasetyo. (AROHMAN) Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 19


KABAR MANCA

UNESA ‘MENYADAP’ CURTIN, PERLUKAH? Oleh Achmad Nizar

I

stilah ‘menyadap’ yang saya gunakan ini memang terinspirasi aksi penyadapan yang telah dilakukan Australia kepada beberapa petinggi negara Indonesia. Pertanyaannya sekarang adalah perlukah kita membalas? Menurut saya, itu perlu. Tapi tentu saja tidak dengan cara saling melempar ‘tulang’ layaknya yang terjadi pada permainan “Cat vs Dog”. Kita dapat menyadap balik Australia dengan cara yang sedikit lebih elegan. Sebagai seorang mahasiswa aktif, menyadap balik bisa juga dilakukan dengan cara merekam informasi penting terkait dengan proses perkuliahan di Australia untuk diadopsi dan diadaptasi di Indonesia. ‘Menyadap’ seperti inilah yang jauh lebih beretika dan bermartabat. Selama kurang lebih 5 bulan menjadi agen intelejen akademik di Curtin, saya telah mengamati dan menghimpun beberapa hal yang perlu rasanya untuk kita tiru dan diterapkan di Unesa. Tentu saja perlu untuk diketahui bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk mendewakan Curtin dan memandang sebelah mata Unesa namun dalam rangka mencari solusi terbaik. Antara Gerbang, Gedung Rektorat, dan Perpustakaan Saya pernah mendengar ungkapan “Don’t judge the book by its cover”. Ungkapan

20 |

yang sering diartikan dengan “Jangan melihat buku dari halaman depannya saja” ini sering digunakan dalam menyatakan bahwa dalam menyimpulkan sesuatu jangan hanya didasarkan pada apa yang bisa dilihat, namun perlu pengamatan yang mendalam tentang esensi dari sesuatu hal tersebut. Nah, inilah yang menjadikan Curtin jauh lebih menyilaukan daripada Unesa. Ketika Unesa dan hampir semua universitas di Indonesia berlomba-lomba membuat pintu masuk universitas megah, tidak dengan Curtin dan beberapa universitas di Australia yang malah ingin membuat pintu masuknya minimalis. Dengan kata lain, Curtin terkesan tidak ada apa-apanya dibanding universitas di Indonesia (bisa jadi Unesa adalah satu di antaranya) jika dilihat dari kemegahan pintu masuk kampus. Namun, hal tersebut akan berbalik 180° jika dilihat dari esensi didirikannya suatu universitas sebagai gudang ilmu. Curtin jauh lebih unggul dalam mengembangkan perpustakaannya daripada Unesa. Curtin dan beberapa universitas di Australia jauh lebih mementingkan berlomba-lomba mem­bangun perpustakaan yang megah da­ ripada hanya sekadar membuat ‘cover’ kam­ pus yang mewah. Pada awalnya saya tidak menyadari perbedaan mencolok tersebut. Kesadaran

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

saya tergugah setelah kami bersembilan mendapat kunjungan perwakilan Dikti dan Unesa di Science and Mathematics Education (SMEC), tempat kami bersembilan menimba ilmu selama di Curtin. Salah satu perwakilan Dikti saat itu menekankan bahwa di In­ do­nesia, pembangunan pintu masuk uni­ ver­ sitas “super megah” masih menjadi per­ hatian utama dan menomorsekiankan pe­ngembangan perpustakaan. Untuk me­ lampiaskan rasa penasaran, kami ber­sem­bi­ lan akhirnya menyusun rencana untuk me­ ngunjungi beberapa universitas yang ada di Western Australia. Kami hanya sempat mengunjungi 3 uni­ versitas, yaitu University of Western Australia (UWA), Murdock University (Murdock), dan tentu saja Curtin (meskipun saya sem­ pat mendengar ada beberapa teman yang berencana mengunjungi University of Notre Dame). Kalau boleh jujur, saya ha­rus mengakui perpustakaan di Curtin (pe­nga­ ma­tan luar dan dalam) dan UWA (hanya pe­ nga­matan luar) jauh lebih megah daripada per­pustakaan kampus di Unesa, sedangkan kami mengalami kesulitan mencari posisi perpustakaan Murdock. Khusus di Curtin, bukan saja megah dilihat dari bentuk bangunannya saja, namun koleksi buku, majalah, makalah, dan koran sangat banyak, penataan interior ruang buku dan ruang


KABAR MANCA baca sangat nyaman, dan begitu lengkapnya fasilitas penunjang lainnya. Rasanya ingin sekali kuliah di Unesa dengan perpustakaan bernuansa Curtin. Bagaimana dengan pintu masuk kampus ketiga universitas tersebut? Berdasarkan peng­amatan saya, hanya pintu masuk Mur­ dock yang lebih menonjol dibandingkan 2 universitas yang lain. Jika dibandingkan dengan pintu masuk Unesa kampus Lidah Wetan, saya bisa meyakinkan Anda bahwa pintu masuk Unesa masih jauh lebih se­ derhana daripada pintu masuk Curtin dan Murdock. Hanya pintu masuk UWA saja yang bisa mengalahkan pintu masuk Unesa dari sisi kesederhanaannya. Jadi, jika perwakilan Dikti tersebut menyebutkan semua uni­ver­ sitas di Indonesia lebih mementingkan pem­ bangunan mewah pintu masuknya, sa­ ya bisa mencontohkan pintu masuk Unesa un­ tuk mematahkan kesimpulan tersebut. Jika berbicara tentang gedung rektorat, ka­rena keterbatasan waktu kunjungan, kami tidak sempat menemukan gedung rektorat di UWA dan Murdock (kunjungan dilaksanakan sore hari). Hal yang sama juga saya jumpai ketika saya mencoba mencari lokasi gedung rektorat di Curtin. Dengan asumsi gedung rektorat Curtin adalah gedung terunik dan termegah di antara gedung yang ada, layaknya gedung rektorat yang selama ini dibangun di Indonesia, saya telah mencoba melakukan pengamatan dari bulan Maret sampai Juli 2013. Hasilnya, sampai sekarang pun saya tidak dapat menemukan di mana tempat sang pimpinan Curtin berkantor. Hampir semua gedung saya amati tapi tidak ada tanda-tanda yang mengindikasikan gedung tersebutlah tempat Rektor Curtin berkarya. Meskipun tidak ditemukannya gedung rektorat Curtin bisa jadi disebabkan ketidaktelitian dan ketidaktahuan saya, hal ini bertolak belakang dengan gedung rek­ torat di Indonesia yang sangat gampang di­ temui. Saya sempat bertanya-tanya, apakah kebiasaan pembangunan gedung rektorat megah di Indonesia masih berkaitan dengan ungkapan “Kesan pertama begitu menggoda, se­lanjutnya terserah Anda”? Dari dua ungkapan yang telah di­ se­ but­kan di atas, yaitu “Don’t judge the book by its cover” yang masih dipegang teguh oleh beberapa universitas di Australia dan ungkapan “Kesan pertama begitu meng­ go­da, selanjutnya terserah Anda” yang ma­ sih berlangsung di beberapa universitas di Indonesia, menyadarkan saya bahwa pe­ ngembangan universitas di Indonesia semestinya harus selaras dengan tujuan

di­ dirikannya universitas tersebut, yaitu mencetak generasi muda yang berilmu dan ber­akal. Pengembangan sarana penunjang pengembangan ilmu harus diletakkan di atas pengembangan atribut universitas yang bertujuan untuk publikasi. Dengan kata lain, Unesa harus berani meniru apa yang sudah dilakukan beberapa univesitas di Australia dengan lebih menitikberatkan kepada pengembangan perpustakaannya daripada hanya sekadar membangun pintu masuk kampus dan gedung rektorat yang mewah. Dengan semakin digalakkannya pem­bangunan kampus Lidah Wetan, saya berharap Unesa berani mendobrak ke­ biasaan lama dengan membangun per­ pustakaan baru super megah dan mem­per­ kecil proporsi pembangunan gedung pe­ nun­jang yang lain. Semoga. Antara SPP dan Fasilitas Saya ingat ungkapan Jawa yang me­ nye­butkan “Rego nggowo rupo” alias harga menentukan kualitas. Ungkapan ini lebih me­ nitikberatkan kepada jangan berharap memperoleh sesuatu yang lebih bagus dan berkualitas kalau tidak punya modal yang besar. Jika berbicara tentang SPP dan fasilitas, maka hal yang sama juga akan terjadi di Curtin dan Unesa. Sebagai pembanding, SPP 1 semester di Curtin AUD 12.300 atau sekitar 123 juta rupiah sedangkan SPP 1 semester untuk program S-2 di Unesa 5,5 juta rupiah. Jika melihat besarnya biaya yang diperlukan untuk menempuh kuliah 1 semester di Cur­ tin maka lumrah dan sangat masuk akal jika Curtin memiliki perpustakaan beserta isi dan fasilitasnya yang megah, proporsi area hijau dan gedung yang bagus, ketersediaan sarana gratis CABS, dan beberapa fasilitas lainnya. Yang tidak masuk akal justru kalau Curtin dengan SPP sebesar itu memiliki fa­ silitas ‘seminim’ fasilitas di Unesa. Namun, murahnya SPP 1 semester di Unesa tidak bisa dijadikan pembenaran un­ tuk tidak memberikan pelayanan yang prima kepada mahasiswanya (saya ya­ kin Unesa tidak akan meminimalkan fa­si­ litas penunjang kampus hanya gara-ga­ ra minimnya pemasukan melalui SPP). Un­ tuk yang satu ini, saya ingat ungkapan Bu Khabibah, Dosen Matematika Unesa yang intinya menekankan, “Biaya mahal meng­ha­ sil­kan sesuatu yang bagus itu biasa, namun biaya murah menghasilkan sesuatu yang ba­gus itu baru luar biasa”. Dengan kata lain fa­silitas lengkap karena SPP mahal itu biasa, na­mun fasilitas lengkap karena SPP murah itu baru luar biasa. Itulah yang seharusnya

dianut oleh Unesa. Jujur, saya salut dengan dobrakan Bapak Rektor, Prof Muchlas yang dalam waktu singkat berhasil menyulap “lahan tak terurus” di depan masjid menjadi danau yang menakjubkan dan beberapa dobrakan lainnya. Tentu saja itu perlu dana besar yang menurut hemat saya (mohon maaf jika saya salah) tidak mungkin diperoleh sepenuhnya dari SPP mahasiswanya. Ada satu hal yang mungkin bisa me­ nam­bah fasilitas Unesa menjadi bertambah ber­kualitas, khususnya yang berkaitan de­ ngan perpustakaan. Saya meyakini bahwa se­ bagian dari SPP yang dibayarkan per bulannya salah satunya diperuntukkan un­ tuk mengembangkan perpustakaan. An­ daikan mahasiswa baru di PPs Unesa se­ banyak 100 orang, maka pembayaran SPP se­tiap semesternya bisa diimbangi dengan pembelian 100 judul buku/jurnal/majalah baru. Dengan kata lain, selama 2 tahun ke depan (4 semester) akan ada tambahan 400 judul buku/jurnal/majalah baru di per­pus­ takaan. Saya yakin dengan semakin ber­ agamnya koleksi bacaan perpustakaan akan ber­ujung kepada semakin variatifnya judul pe­ nelitian yang dihasilkan di lingkungan Unesa. Perlukah Unesa ‘Menyadap’ Curtin? Mengingat banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari Curtin, maka dengan sangat yakin saya katakan, Unesa harus ‘menyadap’ Curtin. Sudah saatnya Unesa berbenah diri. Adalah suatu hal yang bodoh jika setelah kita menyadari kelemahan kita dan mengetahui ada kelebihan orang lain yang bisa dijadikan patokan dalam memperbaiki diri, namun malah kita diam diri. Adalah hal yang sia-sia jika solusi alternatif yang sudah ada di depan mata tidak dilirik hanya sekadar menuruti ketidaksanggupan hati dalam menerima solusi perbaikan. Unesa telah berkembang begitu cepatnya dari tahun ke tahun, baik itu dilihat dari banyaknya lulusan maupun pengembangan infrastruktur penunjang perkuliahannya. Menurut saya, akan lebih elok lagi jika Unesa bersedia membuka diri untuk meniru dan mengadaptasi ke­ suksesan Curtin dalam mengembangkan pen­didikannya demi Unesa yang lebih maju, ber­martabat, dan disegani. n

*Penulis adalah Alumnus SMAN 1 Gresik, S-1 UM, dan saat ini mahasiswa S-2 Double Degree Pendidikan Matematika Unesa

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 21


KABAR PPG/SM-3T

SEMINAR LITERASI: Much. Khoiri (tengah) sedang menyampaikan materi, sementara pembicara lain serta moderator turut menyimak.

CATATAN DARI SEMINAR LIETARASI PPPG UNESA

PPPG SEBAGAI PENGGERAK LITERASI Menulis itu gampang, kata Ar­swendo. Menulis itu sulit, ka­ta Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoi­ri. Kalau kita menulis tentang pe­ rasaan kita, tentang ki­ sah-kisah hidup kita, itu gam­pang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita me­nulis sesuatu yang harus di­ba­tasi dengan aturan-aturan pe­nulisan ini-itu, itu yang sulit. 22 |

A

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, me­reka adalah dedengkot li­ te­rasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eureka Academia, Ja­ lin­do, dan Indonesia Menulis. Ada Anwar Djaelani, dialah mo­tor Bina Qalam, yang selalu me­ngatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat li­ te­rasi yang lain, Eko Prasetyo, Su­ hartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para pe­ser­ ta PPG. Buka mata, buka telinga, bu­ ka hati, buka akal pikiran,

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

oleh Prof. Luthfiyah Nurlaela be­gitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat o­ rangorang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, me­ nemukan hal-hal yang me­ na­ rik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an. Menulis itu gampang, kata Ar­ swendo. Menulis itu sulit, ka­ta Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoi­ ri. Kalau kita menulis tentang pe­ rasaan kita, tentang ki­ sah-kisah hidup kita, itu gam­ pang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita me­nulis sesuatu yang harus di­ ba­ tasi dengan aturan-aturan pe­

nulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik ada­ lah menggunakan kedua be­ lahan otak kita, kanan dan ki­ri. Dan itu, tentu saja, tiidak mu­dah. Perlu ketekunan, per­ lu keuletan, seringkali per­ lu pengeraman, untuk meng­ hasilkan tulisan yang me­mu­ askan. Tulisan mampu me­no­reh­ kan sejarah. Apa yang di­per­ juangkan dengan otot, se­perti Negara Sparta, akan hi­ lang dengan cepat. Apa yang di­ per­ juangkan dengan tulisan, akan ‘abadi’, seperti tulisan pa­ ra filsuf. Plato, Socrates, siapa


KABAR PPG/SM-3T yang tidak kenal? Mereka ber­ juang dengan tulisan, dan mer­eka ‘abadi’. Iqra’. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Pe­rintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada pe­ rintah Direktur PPG, lebih ting­ gi daripada perintah Rektor, le­bih tinggi daripada perintah Mendikbud, bahkan Presiden se­kali pun. Urusan literasi bukan urus­ an seseorang, sebuah lem­ baga, atau urusan sektor ter­tentu. Urusan literasi men­ jadi urusan semua. Itulah pen­ tingnya membangun ja­ ri­ ngan dengan semua pihak. In­donesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun ‘Indonesia Menulis’. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah. Ketika kita ceramah, be­ ra­pa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa ba­ nyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan ber­ tahun-tahun bahkan berabadabad setelahnya. Jadi, mulailah menulis. Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang mem­bosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah se­ bagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-te­ man yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main fut­ sal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fa­ fi Inayatillah--editor buku ‘Pe­ langi di Panggung PPG’-- yang

can­tik itu, bagaimana pun, bu­ ku ini lebih banyak berisi cerita su­ ka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotakotik agar lebih cantik. Lain lagi dengan cerita ten­ ta­ng peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada ‘Ibu Gu­ ru, Saya Ingin Membaca’ dan ‘Jangan Tinggalkan Ka­ mi’, cerita tentang Sumba Ti­mur seperti tak pernah ha­ bis. Betapa sulitnya men­ da­ pat­kan air, sehingga seorang pe­ serta harus mandi dan mem­ bersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal, betapa ingin­ nya mewujudkan mimpi-mim­­pi mereka. Semuanya te­ rang­ kum dalam buku yang di­sun­ ting Rukin Firda: ‘Mim­ piku, Mimpimu, Mimpi Kita.’ Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu ‘Kami Pe­ du­li’, tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat li­terasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh se­ ma­ ngat, dengan ratusan anak mu­ da yang begitu antusias ber­tanya. Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan ha­ rapan pengembangan bu­ da­ ya literasi di PPG. Mereka ca­lon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cin­ta literasi. Mereka akan me­ nularkan kecintaan itu pa­ da anak didik. Mereka akan mem­ buat setiap anak suka mem­ba­ ca dan menulis. Mereka akan meng­ubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia meng­alamai tragedi nol buku. Para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pen­ ca­ nangan PPPG sebagai Peng­ gerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Pang­ gung yang tak pernah sepi me­ nampilkan

Urusan literasi bukan urus­an seseorang, sebuah lem­baga, atau urusan sektor ter­tentu. Urusan literasi men­jadi urusan kita semua.

pertunjukan mem­ baca, me­ nulis, membedah, me­ lun­ curkan buku-buku. Pang­gung yang mampu menyedot pe­ nonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Ber­ sama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban. Para pegiat itu, merekalah ah­ linya literasi. Terima kasih su­ dah sudi hadir, membagi ins­pirasi, menyemangati, mem­­bangkitkan mimpi.n

Para pejuang literasi siap menjadi pendamping kegiatan Seminar Literasi yang digelar PPPG Unesa dengan membubuhkan tanda tangan mereka di atas prasasti.

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 23


ARTIKEL ILMIAH

MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VII PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI KONSEP GEJALA ALAM DAN KERJA ILMIAH DENGAN BEREKSPERIMEN

M

embekali para generasi muda ba­ngsa Indonesia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi me­rupakan hal yang penting. Sa­lah satu wujud pembelajaran yang dapat me­ningkatkan kemampuan intelektual, ter­ utama berpikir kreatif dan menggunakan akal sehat adalah pembelajaran pada mata pe­lajaran Biologi. Pendapat tersebut terjadi sebab ke­ giatan berpikir dan kemampuan berpikir se­hat ada pada diri siswa, selain itu karena pe­lajaran Biologi merupakan ilmu yang ber­ kembang dari dasar pengetahuan alam yang sebagian besar pembahasannya meng­gu­na­ kan kemampuan intelektual. Dalam mempelajari Biologi, siswa ha­rus berkreasi mengembangkan gagasan-ga­gas­ an tersebut dengan logis melalui kegiatan pro­ses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Banyak model pembelajaran yang dapat dilakukan guru untuk diberikan ke­pa­ da siswa baik secara individu maupun se­cara bertingkat. Selain itu, guru juga harus je­li memilih dan menggunakan metode pem­ be­lajaran yang disesuaikan dengan kondisi sis­wa agar membangkitkan aktivitas belajar siswa. Tujuan pembelajaran di sekolah yang i­ngin dicapai bersifat komprehensif, ar­ti­nya bu­kan hanya mengutamakan pe­nam­bahan pe­ ngetahuan melainkan juga pem­ ben­ tukan ke­terampilan, nilai dan sikap. Un­tuk mencapai tujuan tersebut diperlukan stra­te­ gi yang memungkinkan siswa terlibat secara op­ timal. Salah satu contohnya dengan meng­gunakan eksperimen sebagai metode pem­belajaran. Fakta sementara menunjukkan bah­ wa saat proses pembelajaran dengan meng­­gunakan Metode Eksperimen, ter­ja­di perubahan peranan guru. Dominasi gu­ ru sangat berkurang karena memberi ke­sem­ pat­an kepada siswa untuk ikut ber­tang­gung ja­wab dalam proses pembelajaran. Se­men­ tara dari segi siswa Metode Eksperimen mem­­berikan kesempatan dan keleluasaan ke­pada siswa untuk belajar dan bekerja ber­ dasarkan kemampuan dan kesempatan be­

24 |

Neni Dijah Sukmawardhani *)

lajarnya masing-masing, sehingga pada ke­ gi­atan Metode Eksperimen ini siswa secara in­dividual bertanggung jawab atas semua ke­giatan yang dilakukan, mengontrol ke­gi­ at­an, kecepatan dan intensitas belajar serta me­ngetahui sendiri hasil belajarnya. Permasalahan ini dipilih karena mem­ punyai relevansi dengan konsep pe­ngem­ bangan profesi. Metode Eks­ pe­ rimen juga sangat berperan aktif terhadap ak­ tivitas siswa dan dapat meningkatkan pre­ stasi belajar siswa. Untuk itu menurut pe­ nulis Metode Eksperimen adalah model pem­ belajaran yang paling efektif digunakan da­ lam proses pembelajaran Biologi. Penulis menerapakan model pem­ be­lajaran tersebut pada siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bo­jo­

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

negoro karena merasa prestasi belajar me­ re­ka masih rendah dalam mata pelajaran Biologi. Penelitian kami dilaksanakan de­ ngan bereksperimen dalam membahas kon­ sep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah. Penulis me­rumuskan judul “Meningkatkan Prestasi Be­lajar Siswa Kelas VII Pada Pembelajaran Bio­ logi Konsep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah de­ ngan Bereksperimen”. Prestasi belajar merupakan tujuan uta­ ma dalam proses pembelajaran di dunia pen­ didikan, maka peningkatannya sangat pen­ting untuk selalu diupayakan termasuk da­lam mata pelajaran Biologi sebagai ca­ bang dari ilmu pengetahuan alam yang sa­ngat penting untuk dipelajari. Dalam pe­ nelitian ini upaya yang dilakukan yaitu de­ ngan menerapkan Metode Eksperimen.


ARTIKEL ILMIAH Penulis ingin turut serta mengupayakan pe­ningkatan prestasi belajar mata pelajaran Bio­logi di sekolah yang merupakan wilayah kerjanya. Sebab selama ini Mata Pelajaran Biologi dianggap sulit dan mengakibatkan rendahnya prestasi belajar siswa Kelas VII B Semester I SMP Negeri 1 Sugihwaras Ka­bu­ pa­ten Bojonegoro. Selain itu alasan yang men­dasari pemilihan judul juga karena ting­ gi rendahnya prestasi belajar siswa adalah sa­lah satu di antaranya disebabkan faktor peng­gunaan metode pembelajaran. Dalam penelitian ini penulis me­ nge­ mukakan beberapa masalah yang akan dibahas yaitu masalah mengenai pen­ di­ dikan Biologi di sekolah, penerapan Me­to­ de Eksperimen dalam proses belajar meng­ ajar mata pelajaran Biologi di sekolah dan masalah mengenai prestasi belajar sis­ wa Kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Ka­bu­ paten Bojonegoro. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan se­ba­ gai berikut: Apakah dengan bereksperimen da­lam menguji Konsep Gejala Alam dan Kerja Il­miah dapat meningkatkan prestasi belajar Bio­logi pada siswa kelas VII? Maksud dan tujuan penelitian antara lain : 1) Sebagai alat kontrol bagi guru untuk me­ ngetahui faktor dalam pembelajaran Biologi untuk meningkatkan prestasi belajar sis­ wa, 2) Ingin mengetahui ada tidaknya pe­ningkatan prestasi belajar Biologi yang di­capai oleh siswa dengan penerapan Me­ to­de Eksperimen di Kelas VII, 3). Untuk men­ des­kripsikan kegiatan pembelajaran Biologi kon­sep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah yang me­nerapkan Metode Eksperimen. Indikator pencapaian tujuan penelitian di atas adalah siswa dapat memahami ge­ ja­la-gejala alam melalui pengamatan, dan pada akhir pembelajaran didapatkan pe­ ning­katan nilai hasil belajar siswa minimal se­suai ketuntasan pembelajaran Biologi. Manfaat sebagai hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Dapat me­man­fa­ atkan berbagai kemampuan pemahaman il­ mi­ah siswa. 2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan kemampuan il­ miahnya. 3) Meningkatkan prestasi siswa da­lam mata pelajaran Biologi. 4) Guru akan men­dapatkan umpan balik dari siswa, apakah tu­ juan telah tercapai dengan membantu sis­wa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. 5). Memberikan bahan acuan bagi guru untuk menggunakan metode pembelajaran yang ber­variasi dalam proses belajar mengajar Bi­ ologi untuk meningkatkan prestasi be­lajar siswa. 6) Sebagai feed-back dan self ko­rek­si

bagi kepala sekolah dalam upayanya men­ dukung guru untuk mencari sistem pem­ belajaran yang menyenangkan bagi murid sehingga dapat meningkatkan minat belajar yang akan mempengaruhi tingkat prestasi belajar siswa sebagai tujuan setiap proses pembelajaran dalam pendidikan. LANDASAN TEORI Istilah Biologi berasal dari bahasa Yu­ na­ni yaitu Bios = hidup dan Logos = ilmu. Secara sederhana biologi dapat diartikan se­bagai ilmu tentang hidup, sedangkan de­ finisi secara lengkap adalah ilmu yang mem­ pelajari segala sesuatu tentang makh­ luk hidup. Di antaranya : zoologi, botani, ana­ tomi, fisiologi, genetika, ekologi, histologi, sitologi. Dalam kerja ilmiah, setiap langkah di­la­ ku­kan dengan sikap-sikap ilmiah. Adapun yang termasuk dalam sikap ilmiah adalah te­kun, cermat, disiplin, teliti, ulet, jujur, ter­ buka, dan selalu ingin tahu. Dengan me­ la­kukan kerja ilmiah yang dilandasi sikap il­ miah akan menghasilkan fakta, konsep, prinsip, prosedur, teori, dan hukum. Pe­r­ole­ han ketrampilan yaitu ketrampilan proses atau menggunakan alat kerja. Misalnya te­ ram­ pil melakukan observasi, mengolah data, menafsirkan data, dan melakukan eks­ pe­rimen. Metode ilmiah adalah langkah atau ta­ hap teratur dan sistematis yang digunakan da­lam memecahkan suatu masalah ilmiah. Adapun langkahnya adalah merumuskan ma­ salah, mengumpulkan data atau ke­ te­ rangan, menyusun hipotesis/dugaan, me­ la­ kukan eksperimen/percobaan, menarik ke­ simpulan, menguji kesimpulan dengan per­cobaan. Biologi adalah salah satu cabang dari il­­ mu pengetahuan alam. Biologi mempelajari se­gala sesuatu tentang makhluk hidup. Da­ lam ilmu Biologi yang mulai diajarkan di SMP juga terdapat beberapa cabang yang mem­pelajari tentang makhluk hidup dalam bi­dang-bidang tertentu seperti zoologi, bo­ ta­ ni, anatomi, fisiologi, genetika, ekologi, his­tologi, dan sitologi. Kemajuan teknologi dan ilmu pe­ nge­ ta­ huan yang membutuhkan pembuktian atau bukti-bukti nyata dari keberadaan ke­ majuan agar dapat dimanfaatkan oleh ma­ nu­ sia, maka segala sesuatu memerlukan eks­ perimentasi atau biasa juga disebut dengan eksperimen. Begitu juga dalam cara mengajar guru di kelas digunakan Metode Eks­perimen, yang mengandung pengertian se­bagai salah satu cara mengajar, di mana

siswa melakukan suatu eksperimen tentang sesuatu hal; mengamati prosesnya serta menuliskan hasil eksperimennya, kemudian ha­sil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru. Dengan eksperimen siswa menemukan buk­ ti kebenaran dari teori sesuatu yang sedang dipelajari. Dalam eksperimen, siswa perlu teliti dan konsentrasi mengamati pro­ ses eksperimen sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk menemukan pem­ buktian kebenaran dari teori yang dipelajari. Berdasarkan landasan teori sebelumnya dapat diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: Dengan melaksanakan Eksperimen Biologi dalam membahas konsep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah maka dapat me­ning­ katkan prestasi belajar Siswa Kelas VII B Semester I SMP Negeri 1 Sugihwaras Ka­bu­ paten Bojonegoro. METODOLOGI PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah ber­wujud orang, yakni semua siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bo­ jonegoro sebanyak 32 siswa. Sampel dari penelitian ini adalah seluruh obyek pe­ nelitian yakni semua siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bo­jo­ne­go­ ro, Propinsi Jawa Timur, di mana sekolah tersebut merupakan wilayah kerja penulis. Obyek penelitian adalah siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bo­jo­ ne­goro. Mata pelajaran Biologi pada konsep Ge­jala Alam dan Kerja Ilmiah. Penelitian di­ lak­sanakan selama 2 bulan. Tehnik yang digunakan untuk me­ ngum­ pulkan data tentang prestasi be­ la­ jar siswa dalam proses pembelajaran adalah menggunakan tes. Bentuk tes yang digunakan adalah tes essay untuk me­ nge­tahui argumentasi siswa. Analisis data meng­ gunakan nilai rata-rata hasil belajar tiap siklus yang diambil seluruhnya tiap sik­ lus dan dibandingkan untuk mendapat per­ sen kenaikan nilai yang menggambarkan ke­ ber­hasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas. HASIL PENELITIAN Siklus penelitian yang dilaksanakan da­ lam penelitian sejumlah dua siklus yang di­ terapkan pada mata pelajaran Biologi kon­ sep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah de­ngan menggunakan Metode Eksperimen. Ke­ giatan siklus ini meliputi beberapa tahapan

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 25


ARTIKEL ILMIAH ke­giatan lagi yaitu persiapan, pelaksanaan tin­dakan, pengamatan dan refleksi. Perlakuan tersebut dilaksanakan pada ob­yek penelitian yaitu siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro saat belajar mata pelajaran Biologi pada konsep Gejala Alam dan Kerja Ilmiah. Siklus 1 Siklus 1 dilaksanakan dengan se­rang­kai­ an langkah. Berdasarkan hasil pengamatan pe­lak­sanaan penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan Metode Eksperimen kurang berjalan lancar karena model pembelajaran masih baru sehingga siswa dan bahkan guru masih harus beradaptasi membiasakan menggunakan model pembelajaran ini. Sehingga siswa masih terkesan ragu-ragu pada saat eksperimen. Hal ini dapat diartikan bahwa keaktifan sis­wa masih kurang dan guru masih men­ do­minasi proses pembelajaran. Sementara nilai rata-rata hasil belajar yang dihasilkan pada siklus 1 hasilnya sudah meningkat daripada sebelum siklus namun belum cu­ kup memuaskan, maka perlu diadakan se­dikit perbaikan pada siklus 2 untuk me­ ningkatkan prestasi belajar siswa. Siklus 2 Pada siklus 2 semua kegiatan telah ber­ ja­lan baik dan sesuai dengan rencana dan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Semua kekurangan-kekurangan pada siklus 1 telah diperbaiki dan dapat dilaksanakan le­bih baik dan lancar pada siklus 2 ini. Se­ hingga pada minat, aktifitas dan nilai terjadi pe­ningkatan yang memuaskan. Pada siklus 2 siswa dan guru sudah ter­ biasa dalam mengikuti pembelajaran de­ ngan Metode Eksperimen, sehingga siswa termotivasi dan berminat untuk aktif da­lam pembelajaran. Dari pihak guru juga su­dah mampu melaksanakan pelaksanaan ke­ giatan pembelajaran dengan baik. Nilai hasil belajar juga mengalami pe­ningkatan pada setiap tahap siklusnya, sehingga hipotesis yang dirumuskan untuk me­ ningkatkan prestasi belajar dengan Me­tode Eksperimen dapat tercapai pada akhir pembelajaran. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan nilai rata-rata pada siklus 2.

dari penelitian tersebut. Adapun hasil pe­ ne­litian tersebut adalah berdasarkan tabel perbandingan nilai rata-rata di atas, penulis da­pat me­nyim­pul­kan bahwa dengan Me­ to­ de Eksperimen da­ pat meningkatkan prestasi belajar sis­ wa, dengan nilai rata – rata sebelum meng­ gu­ nakan model pem­ belajaran sebesar 62,81 dan setelah menggunakan model pem­belajaran terjadi peningkatan nilai rata – rata sebesar 69,38 pada siklus 1 dan me­ning­kat menjadi 77,81 pada siklus 2. Hal ini me­nunjukkan bahwa pembelajaran yang pe­nu­lis lakukan berhasil. Dari hasil tersebut berarti ada pe­ning­ ka­ tan prestasi belajar siswa yang diajar de­ ngan Metode Eksperimen sebagai mo­ del pembelajaran lebih positif kalau di­ban­ dingkan dengan prestasi belajar siswa yang diajar tidak mengggunakan Metode Eks­ perimen sebagai model pembelajaran. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti la­ ku­ kan, dapat disimpulkan bahwa dengan metode eksperimen dapat meningkatkan pres­tasi belajar Biologi pada siswa kelas VII B SMP Negeri 1 Sugihwaras Kabupaten Bo­ jo­ negoro Tahun Pelajaran 2011/2012 yang da­pat diterima kebenaran hipotesisnya. Ha­ silnya, rata-rata sebelum menggunakan model pembelajaran sebesar 62,81 dan se­ telah menggunakan model pembelajaran ter­ jadi peningkatan nilai sebesar 69,38 pada sik­lus 1 dan meningkat menjadi 77,81 pada siklus 2.

Arikunto, Suharsimi, 1987 Prosedur Penelitian, Jakarta : Bina Aksara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993, Biologi 1, 2, 3 untuk SMP. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003, Kurikulum Standar Isi 2006. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Djojonegoro, Wardiman, 1993. Ilmu Pengtahuan Alam Sebagai Dasar Sistem Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Bandung : Universitas Pajajaran. Druxes, dkk, 1983. Kompedium Didaktik IPA. Jakarta : Erlangga. Hadi, Sutrisno, 1987 Model Research I, II, III, Yogyakarta : Yasbid Fak. Psikologi UGM Yogyakarta. Roestiyah. 2001, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta. Sugiyarto, Teguh, dkk, 2008. Buku Sekolah Elektronik (BSE): Ilmu Pengetahuan Alam untuk kelas VII SLTP/MTs. Jakarta : Pusat Perbukuan Depdiknas. Surakhmad, Winarno, 1978. Dasar dan Teknik Research, Bandung : Tarsito. Wasis, dkk, 2008. Buku Sekolah Elektronik (BSE): Ilmu Pengetahuan Alam untuk kelas VII SLTP/MTs. Jakarta : Pusat Perbukuan Depdiknas.

*) Guru Mata Pelajaran Biologi SMA Negeri 1 Bojonegoro beralamat di Jalan Ade Irma Suryani 11 Bojonegoro 62111

Interpretasi Data Setelah penulis mengadakan penelitian dan mencari sumber – sumber data un­tuk menyusun penelitian dari teknik do­ku­men­ ter untuk mendapatkan sampel dan se­ jumlah populasi. Penulis memaparkan ha­sil

26 |

DAFTAR PUSTAKA

MAJALAH UNESA Nomor: 63 Tahun XIV - November 2013

Winarsih, Anni, dkk, 2008. Buku Sekolah Elektronik (BSE): IPA Terpadu untuk kelas VII SLTP/MTs. Jakarta : Pusat Perbukuan Depdiknas.


KABAR PRESTASI Tawarkan Paket Wisata Bernuansa Sejarah,

Unesa Diapresiasi di MTF 2014

K

onsep paket wisata napak tilas perjalanan Hayam Wuruk diminati pengunjung Majapahit Travel Fair 2014 di Ballroom Grand City Mall Surabaya. Paket wisata yang diinisiasi program studi Pendidikan Sejarah Unesa itu digawangi Drs. Yohanes Hanan Pamungkas, M.A., dosen Unesa yang juga arkeolog. Dalam pameran berskala nasional terbesar se-Indonesia Timur itu, Unesa memamerkan berbagai koleksinya mulai dari foto dokumentasi napak tilas Hayam Wuruk, media interaktif rute perjalanan sang raja Majapahit, video dokumenter napak tilas 900 km napa tilas Hayam Wuruk, dan duplikat naskah Negarakertagama yang dipinjam langsung dari Museum Mpu Tantular. Stan Unesa menjadi satu di antara banyak stan yang ramai dikunjungi para pengunjung karena menawarkan paket wisata yang unik. Selama ini belum banyak wisata berbasis sejarah yang mengintegrasikan potensi budaya, geografi, dan ekonomi. “Sejauh ini kami sudah menggarap 60 km perjalanan wisata berbasis napak tilas Hayam Wuruk bersama Nigel Boulough dari Inggris. Tahun ini akan dilanjutkan 100 km survei potensi wisata yang ada di sepanjang jalur napak tilas tersebut mulai Pasuruan hingga Lumajang. Kami masih berangan-angan menghabiskan 740 km untuk menuntaskan paket wisata napak tilas Hayam Wuruk yang lengkap,” ujar Pak Hanan, sapaan akrabnya. Selain stan yang banyak dikunjungi pengunjung, Unesa juga mendapat apresiasi oleh panitia penyelenggara acara. Pemandu stan Unesa yang juga mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah angkatan 2011 itu mendapat apresiasi sebagai the best make up hair do, sebuah penghargaan sebagai pemandu stan dengan penampilan tata rias terbaik. Ia adalah Preva Asmara. Mahasiswa asal Mojokerto tidak menyangka terpilih sebagai yang terbaik karena ada juga mahasiswa dari perguruan tinggi lain seperti Universitas Kristen Petra, Universitas Airlangga, Universitas Surabaya, Universitas Ciputra, dan juga stan-stan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata se-Indonesia yang turut serta dalam ajang ini. “Dalam ajang ini, Unesa sengaja mengangkat kesejarahan Jawa Timur, terutama Majapahit. Selain karena tema pamerannya

Perwakilan Unesa menunjukkan sertifikat dan piala yang diper­oleh­ nya dalam gelaran Majapahit Travel Fair 2014. yang mengusung hal itu. Kita ingin mengingatkan bahwa sejarah Indonesia diawali oleh kiprah Majapahit dalam mempersatukan nusantara. Kita ingin potensi sejarah besar itu dikenal masyarakat Indonesia dan juga mancanegara melalui paket wisata yang kini sedang kami kembangkan bersama pakar arkeolog dari Inggris dan juga melibatkan mahasiswa sebagai pemandu perjalanan wisata tersebut,” jelas Bapak yang kini sedang menuntaskan program doktoralnya di UGM itu. Dengan apresiasi yang begitu besar terhadap Unesa, diharapkan ke depan tim seni dari Unesa juga turut serta turun menampilkan kreasinya di ajang pameran yang telah berlangsung selama 15 tahun ini. Acara yang dibuka Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Gubernur Jawa Timur ini juga diramaikan penampilan seni pertunjukan khas Jawa Timur. (GILANG/BYU)

Unesa Jadi Duta Batik Jawa Timur

M

inggu (18/05) salah satu ma­ hasiswa Unesa berhasil me­ nyandang gelar Duta Ba­ tik Provinsi Jawa Timur. Dia adalah mahasiswa Jurusan S-1 Tata Bo­ga angkatan 2011, Arnas Ashari. Batik bu­ atan salah satu desain butik yang di­ ke­ nakan Arnas berhasil menarik hati 5 orang juri serta pengunjung yang hadir di Grand City Mall Surabaya. Selain itu, ke­ mampuannya di bidang modelling ber­ ha­sil mengantarkannya menjadi juara 1 me­ngalahkan 43 kontestan pria lainnya da­lam ajang tersebut. Sesuai dengan te­

ma yakni “Batik Remaja”, baju batik yang d­ikenakan Arnas merupakan perpaduan da­ri kain batik dan jeans yang disatukan hingga menjadi baju yang lebih modern. Kecintaannya dengan batik serta ho­ binya di bidang modelling, akhirnya me­ nam­ bah motivasinya untuk mengikuti ajang yang diselenggarakan Dewan Ke­ra­ jinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jawa Ti­mur. “Sudah diakui oleh dunia bahwa batik adalah milik Indonesia. Jadi saya bangga menjadi anak muda yang cinta ba­ tik,” ujar pria asal kota gudeg itu. Prestasi ia ti­ dak hanya itu, sebelumnya gelar duta

ling­kungan juga pernah disandang oleh ma­hasiswa ini. Pria yang berasal dari Yogyakarta ini ber­ harap rasa kecintaannya terhadap batik juga diikuti teman-temannya. “Saat ini batik Unesa kan hanya dikenakan oleh karyawan-karyawan tetapi tidak untuk mahasiswa. Semoga aturan itu tidak hanya berlaku untuk dosen atau karyawan, melainkan juga untuk mahasiswa, minimal sehari dalam seminggu, bisa dengan desain batik yang berbeda untuk tiap-tiap fakultas,” jelas Arnas. (ULIL/WHY/BYU)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 27


KABAR PRESTASI

Dosen Muda Unesa Menangkan Sayembara Desain Seragam Kontingen Indonesia

M

uhamad Rois Abidin kembali mengharumkan nama Unesa. Dosen muda ini memenangkan sayembara seragam kontingen Indonesia menuju Asian Games XVII Korsel pada September 2014 dan Sea Games XXVIII Singapura pada 2015 yang diselenggarakan oleh Kemenpora. Lomba adu kreatif se-Indonesia ini berhasil ia juarai. Desain yang ditawarkan dosen muda Unesa ini sesuai dengan kriteria panitia. Selain orisinalitas karya dan kesesuaian dengan tema. “Dalam setiap perlombaan saya selalu berusaha untuk memahami dengan baik dan benar setiap kata per kata dari seluruh syarat dan ketentuan. Ketika kita sudah paham maka akan dengan mudah ‘menyuntikkan’ seluruh informasi tersebut ke dalam otak kita dan hal itulah yang menjadi rambu-rambu dalam proses desain saya,” ungkapnya.

28 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

Inspirasi desain yang ia lombakan adalah pola sederhana yang membentuk seekor burung garuda dengan garis putih dan warna blok merah, yang terinspirasi dari lagu ciptaan band Netral “Garuda di Dadaku”. “Inspirasi sederhana itu yang kemudian saya angkat dan saya visualkan menjadi sebuah pola dalam desain fesyen untuk seragam kontingen Indonesia yang nanti akan berlaga di ASIAN GAMES dan SEA GAMES,” tandasnya. Desain tersebut mampu memvisualkan klu dari panitia yaitu semangat merah putih, semangat kepahlawanan, semangat persatuan dan kesatuan, serta semangat pantang menyerah. “Dalam desain tersebut saya ingin para atlet bangga terhadap bangsanya, bangga untuk bisa mejadi yang terbaik bagi bangsanya,” ungkap Dosen Jurusan Seni Rupa Desain Grafis Unesa tersebut. (DIYANTI JATI PRATIWI/GLG/BYU)


KABAR PRESTASI Penghargaan KPRI Berprestasi Dinas Perkoperasian Kota Surabaya:

Kocika Unesa Jadi yang Terbaik

T

ak banyak yang tahu pres­tasi gemilang Ko­­cika, demikian ke­ pendekan dari Ko­ pe­ ra­ si Civitas Akademika Unesa. Koperasi yang telah berusia 37 tahun ini berhasil menjadi Ko­perasi Pegawai Republik In­ donesia (KPRI) terbaik se-Su­ra­ baya. Saat diwawancara, Gho­ fi­ rin, yang menaungi Bidang Usa­ ha Kocika menjelaskan bah­ wa setiap tahun Kota Su­ ra­ baya selalu memperingati Ha­ri Koperasi yang jatuh pa­da 12 Juli dengan berbagai rang­ kaian acara. Penobatan ko­ pe­ ra­ si berprestasi merupakan pun­cak dari serangkaian acara ter­ sebut. Saat peringatan ta­ hun 2013, Pemerintah Kota Su­ ra­ baya melalui Dinas Koperasi mem­berikan penghargaan dan menobatkan Kocika Unesa se­ba­ gai Juara I kelompok KPRI. Unggul di antara 110 KPRI lain Berbagai kriteria penilaian me­liputi aspek organisasi yang terdiri atas keanggotaan, ke­ peng­urusan, dan legalitas ser­ta aspek administrasi yang di­ mi­ liki Kocika mampu bersaing de­ ngan 110 KPRI lain yang ada di Su­ rabaya. Keunggulan yang di­miliki Kocika Unesa adalah as­ pek usaha yang meliputi toko, pe­layanan simpan pinjam, dan ker­ja sama. Koperasi yang kini ber­ada di Gedung B-1 (eks-UPT P4 Unesa) Kampus Ketintang ini memiliki manfaat bukan ha­nya bagi anggota tetapi juga un­tuk civitas akademika serta ma­sya­ rakat umum. Aspek keanggotaan juga men­jadi penunjang poin pres­ tasi Kocika Unesa. Sampai saat ini jumlah anggota kocika men­ ca­pai lebih kurang 2183 orang. De­ngan rincian 708 anggota bia­

sa dan 1475 anggota luar biasa. Mak­sud dari anggota biasa di sini adalah anggota yang ber­ asal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) Unesa seperti dosen dan kar­ yawan sedangkan anggota luar biasa adalah anggota yang bu­kan dari PNS Unesa, bisa dari ma­ syarakat sekitar lingkungan Unesa. Perbedaannya adalah ang­gota luar biasa tidak mem­ peroleh hak suara dalam arti ti­ dak dapat memilih dan dipilih men­ jadi pengurus. Banyaknya jum­ lah anggota ditunjang jasa simpan pinjam yang pe­la­ yanannya berpihak kepada ang­ gota menjadi nilai plus bagi KPRI ini. Kekeluargaan Kunci Suksesnya Kekeluargaan menjadi a­zas yang penting untuk di­te­ rap­kembangkan dalam tu­buh ko­ perasi. Kocika Unesa pun memegang prinsip dasar itu. Minimal satu tahun sekali di­ ada­kan rapat anggota tahunan (RAT). Pada RAT ini semua ang­ gota bebas berpendapat atau­ pun memberikan kritik yang mem­ bangun. Di samping itu ter­dapat forum pendidikan per­ koperasian yang diadakan se­ta­ hun sekali. Dengan visi meningkatkan ke­ sejahteraan anggota pada khu­susnya dan masyarakat pada umum­ nya, kocika mempunyai te­ kad memberikan pelayanan ter­ baik kepada anggota baik dalam kualitas maupun ku­ an­ titas. Seperti baru-baru ini, da­ lam rangka memperingati hari jadi yang ke-37, Kocika meng­ge­ lar berbagai acara bukan hanya un­tuk anggota tetapi juga un­ tuk masyarakat umum. Mulai dari pameran dan bazar, bursa sem­bako murah hingga senam

Gho­fi­rin, sosok di balik Bidang Usa­ha Kocika.

sehat berhadiah sepeda motor yang merupakan serangkaian aca­ ra meramaikan Hari Ulang Ta­hun Kocika. Dengan menerapkan prinsip dari, oleh, dan untuk anggota, Ko­cika terus meningkatkan dan mengembangkan kinerja untuk men­sejahterakan anggotanya. “Saat ini semangat kita lebih ber­ benah dan mempersiapkan diri untuk meraih predikat terbaik tingkat berikutnya bisa di level provinsi ataupun nasional,” ujar Ghofirin. Berharap Sinergi Makin Serius Koperasi adalah entitas bisnis atau usaha yang mempunyai mi­si me­nyejahterakan anggota. De­mi meng­ usung misi tersebut, harus ada sinergi antara pe­mangku ke­ pen­ tingan (Unesa, red.) dengan cara kerja sama usaha. Ke depan da­lam rangka me­wujudkan ke­se­ jahteraan ang­gota, sinergi an­ta­ra koperasi dan Unesa harus di­ wu­ jud­kan. Saat ini sinergi sudah mulai di­­bangun namun masih perlu ke­se­ ri­usan dan kesungguhan.

Tolak ukur besarnya ko­ pe­rasi tidak hanya dilihat dari SHU, tetapi juga dilihat dari ting­kat kesejahteraan anggota, la­ yanan, kemudahan yang di­ per­­oleh, menguntungkan ser­­ ta kebermanfaatan ber­ko­pe­ rasi bagi anggotanya. Ke­ ber­­ manfaatan koperasi dalam hal ini seperti pendidikan per­ko­pe­ ra­sian dan kegiatan-ke­giat­an sosial. Contohnya, yang ba­ ru sa­ja dilakukan Kocika yakni san­ tu­nan kepada anak yatim. Selain itu Diklat Per­ko­pe­ra­ sian, anggota dipahamkan ten­ tang apa itu koperasi sehingga mereka benar-benar mengerti bahwa koperasi bukan hanya masalah jual beli atau utang piutang. Dengan demikian koperasi bisa sejajar dengan entitas bisnis nonkoperasi dan yang terpenting adalah komitmen bersama. Bersama di sini adalah dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Dengan satu tujuan yakni mensejahterakan anggota. (ULIL/ SYAIFUL/BYU)

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 29


KABAR PRESTASI

Tim Robot Dewo Jalan-jalan ke Raih 2 Juara Jepang Berkat Sekaligus Desain Majalah

K

S

ivitas akademika Unesa patut berbangga sebab Dewo, robot tim Fakultas Teknik Unesa berhasil menyabet dua juara sekaligus dalam Kontes Robot Indonesia (KRI) Regional IV 2014 di Gedung Graha Cakrawala, Universitas Negeri Malang (UM) pada 1—3 Mei 2014. Kegiatan tahunan kali ini diikuti 79 tim dari 29 perguruan tinggi se-Jawa Timur. Kontes yang mendapatkan dukungan penuh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ini mempertandingkan lima kategori, yakni Kontes Robot ABU Indonesia (KRAI), Kontes Robot Pemadam Api Indonesia (KRPAI) Beroda, Kontes Robot Pemadam Api Indonesia (KRPAI) Berkaki, Kontes Robot Sepak Bola Indonesia (KRSBI) dan Kontes Robot Seni Indonesia (KRSI). Tim Robot FT yang merupakan komunitas robotika ini lahir sejak 2009. Untuk kompetisi ini mereka telah latihan selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Bersama 20 orang anggotanya, tim robot Dewo mengikuti 3 kategori dari 5 kategori yang dipertandingkan. Dari pertandingan itu berhasil menyabet dua juara sekaligus, yakni, kategori KRSI (Kontes Robot Seni Indonesia) oleh Tim Dewo 4.2 dan Juara III kategori KRPAI (Kontes Robot Pemadam Api Indonesia) Beroda oleh Tim Dewo 2.2. Sementara itu, kategori KRPAI Berkaki masih belum beruntung dalam ajang KRI tahun ini. “Alhamdulillah, kami bisa membawa pulang 2 piala sekaligus untuk FT Unesa. Meskipun ada 1 kategori yang belum beruntung, tapi kami puas dengan pencapaian ini. Semoga kemenangan ini bisa terulang di tingkat nasional nanti,” papar Mukhlas, Ketua Tim Robotika Unesa. Dengan berhasilnya tim robot Dewo dalam Kontes Robot Indonesia (KRI) Regional IV ini, maka dapat dipastikan mereka akan berlaga pada KRI tingkat nasional di Yogyakarta pada bulan Juni mendatang. (KHUSNUL KHOTIMAH/BYU)

30 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014

ebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi Putri Ar­ma­ di­yanti, mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi ke­tika dia diumumkan menjadi salah satu mahasiswa yang men­dapat kesempatan berkunjung ke Negeri Matahari Terbit. Gadis berkacamata kelahiran Surabaya, 12 Januari 1992 ini te­ lah bersaing mengalahkan 800 mahasiswa lain dari perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Pengalaman organisasinya di BEM FE menjadi graphic designer di Majalah Ezone Fakultas Ekonomi dan Majalah Pride Aksara Jurusan Akutansi mampu mengantarkannya ke Program Jenesys 2.0. Jenesys 2.0 (Japan-East Asia Networks of Exchange for Students and Youths Two Point 0) adalah program beasiswa kunjungan ma­ ha­siswa Indonesia ke Jepang melalui kerja sama antara Japan In­ ter­national Cooperation Center (JICC) dan Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. Program Jenesys 2.0 di bawah naungan Kementrian Ri­set dan Teknologi itu bertemakan “Urban and City Planning” lebih te­pat­ nya diperuntukkan untuk mahasiswa Indonesia Jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur. Namun, hal itu mampu ditembus Putri yang berlatar be­lakang Pendidikan Akuntansi. Kunjungan di Jepang berlangsung selama 9 hari mulai 21—29 Ap­ril 2014. Bersama 96 mahasiswa yang lolos seleksi, Putri berkunjung di tiga kota yaitu Tokyo, Sendai, dan Kitakata guna mempelajari ta­ ta kota di Jepang. Ketika di kota Kitakata, tepatnya di Tohoku Ins­ ti­tute of Technology, dia belajar cara membuat bangunan agar ta­ han gempa. “Sebenarnya Indonesia tidak kalah dengan Jepang. Hanya usaha dari mereka dalam mempertahankan diri dalam empat mu­simlah yang perlu kita contoh. Jangan pernah menyia-nyiakan apapun nikmat yang telah diberikan Tuhan,” ujar perempuan yang men­­jabat sebagai Vice President di AIESEC Surabaya ini. (KHUSNUL/BYU)


KABAR PRESTASI

Mahasiswa Tim ODENICS Teknik Sipil Raih Sabet Juara I di Juara I Rancang Ultah PENS Beton Tingkat Nasional

M

inggu (11/5/2014) ada kabar membanggakan dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Unesa. Tim Sunrise (Sipil Unesa Meraih Sukses) berhasil meraih Juara I Lomba Rancang Beton tingkat nasional yang dihelat Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Acara yang serangkaian dengan acara Civil Technology Expo (CIVEX) 2014 pada 8—11 Mei 2014 ini mengompetisikan lomba rancang jembatan, lomba rancang pelabuhan, lomba rancang beton, dan lomba geoteknik. Tim Sunrise yang beranggotakan tiga mahasiswa Jurusan Teknik Sipil angkatan 2012 ini diketuai Dwi Kurniawan dan beranggotakan Arif Permadi dan Ahmad Yazid ini berhasil mengharumkan nama almamater. Peserta lomba yang diikuti oleh hampir seluruh perguruan tinggi se-Indonesia ini memberikan ketegangan tersendiri. Kompetisi ini terbagi atas dua tahap, yakni tahap pertama yang mengharuskan peserta merencanakan model balok beton bertulang dalam bentuk makalah dan membuat dua benda uji silinder sesuai mutu beton. Kemudian tahap kedua merupakan tahap merealisasikan model balok dan mempresentasikan desain balok hasil pengujian balok dihadapan dewan juri. “Kita tidak melihat saingan dari manapun karena yang ada di pikiran kita hanyalah bagaimana kita melakukan yang terbaik, kami bangga akan semua pencapaian ini,” tutur Arif Permadi, salah satu anggota Tim Sunrise. (KHUSNUL/TIARA/PUPUT/GLG/BYU)

T

im ODENICS yang beranggotakan 3 mahasiswa dari Fakultas Teknik berhasil menyabet juara 1 di ajang kompetisi PENS Techno Carnival 2014. Gelar juara 1 tersebut diperoleh setelah mengalahkan tim lain dari berbagai perguruan tinggi. Salah satunya ialah tuan rumah, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). PENS Techno Carnival ini diadakan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-26 PENS. Tim dari Unesa terdiri atas Barriq Faiz (Teknik Elektro), Gustav Mandigo (Teknik Elektro), dan Amanda Jetta (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Judul karya yang diusung tim ODENICS adalah “ODENICS (Object Detector Based on Ultrasonic Waves) untuk Mendeteksi Keberadaan Benda bagi Penderita Gangguan Penglihatan”. Tim ODENICS membuat alat yang ditempelkan pada sarung tangan yang dapat membantu penderita ganguan penglihatan untuk mendeteksi keberadaan benda di sekitarnya tanpa harus menyentuh benda tersebut secara langsung. Latar belakang yang mendorong tim ODENICS membuat karya ini adalah tingginya tingkat gangguan penglihatan di negara berkembang dan bahaya yang mungkin terjadi apabila penderita gangguan penglihatan menggunakan indra peraba hanya untuk mendeteksi benda. Prinsip kerja alat ini sangat simpel. Gelombang ultrasonik yang ditembakkan oleh LV Maxsonar EZ-1 akan terpantul kembali jika mengenai objek. Informasi tersebut akan direpresentasikan melalui getaranpada vibrating motor. Apabila terdapat objek maka vibrating motor akan bergetar, begitu pula sebaliknya. ODENICS didesain hanya untuk aktivitas dalam ruangan dengan jangkauan 70 cm. Rencananya karya yang dinamakan ODENICS ini akan dikembangkan lebih lanjut untuk penggunaan di luar ruangan. (DG/BYU) 69 Tahun XIV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 21


KABAR PRESTASI

Neo Archipeles Tata Busana 2010

G

elar akbar prodi Tata Busana 2010 telah berlangsung pada 31 Mei 2014. Fashion show sebagai puncak acara besar mahasiswa prodi S-1 Tata Busana 2010 ini diselenggarakan di Square Ballroom ICBC pukul 18.00 WIB. Desainer-desainer muda dari Unesa mem­ per­tontonkan berbagai macam hasil kar­ya­ nya di hadapan pengunjung yang me­madati ruangan berkapasitas 1.000 orang tersebut. Sebanyak 48 mahasiswa membalutkan ha­ sil karyanya ke model-model papan atas Surabaya. Sebanyak 144 jenis pakaian mereka suguhkan di hadapan para pe­ ngun­ jung. Dalam pagelaran bertemakan Neo Archipeles yang mengusung tentang re­ volusi tre­ disional hasil pemikiran ma­ ha­­siswa dan dosen Tata Busana 2010 ini me­ nampilkan busana-busana etnik dari

32 |

ber­­bagai macam su­ku dan ras. Di sam­ping tema yang diusung, fashion show bu­sana kali ini terbilang mo­dern. Prodi S-1 Bu­sana mengonsep Fashion Show dengan me­ngom­ binasikan ani­masi 3D. “Jadi kita tidak hanya fashion show jalan menunjukan baju hasil desain mahasiswa busana, tapi kita juga mengombinasikan animasi 3D yang me­nun­ jang baju agar lebih menarik,”ungkap Latifa selaku Event Director. Gelar yang sejatinya adalah matakuliah Gelar Cipta Busana yang dinakhodai Inty Nahari selaku dosen Tata Busana menjadikan ma­ hasiswa untuk memiliki skill di bidang en­trepreneur dan enter­ tain organizer. Ma­ha­sis­wa dituntut men­cip­takan sebuah event be­sar yang di dalam event tersebut adalah me­ nampilkan hasil karya-karya kreatif me­ reka. Tidak hanya itu, sumber dana pun me­reka yang cari sendiri mulai dari urunan hing­ ga dukungan dari sponsorship. “Semua ma­hasiswa yang bekerja dosen sekadar mem­be­rikan arahan dan memberikan masukan, mu­ lai merancang desain baju, merancang ke­giatan, mencari lokasi pagelaran, hingga men­ cari dana semua dilakukan oleh ma­ha­siswa,” ungkap Lathifa. Sebelumnya, S-1 Tata Busana menggelar pa­ meran grand jury yang diadakan pada 12-18 Mei 2014

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014


KABAR PRESTASI di craft Royal Plaza Surabaya. Total 6 studio yang terdiri 3 busana wanita dan 3 busana pria dipertontonkan di ha­da­pan umum dan dinilai secara langsung oleh para juri. Para juri yang terdiri Embran Na­wawi instruktur Arva School of Fashion, Al­viani Candra dari APPMI dan pemilik Pison School of Fashion Elizabet. Pameran ter­ sebut bertujuan menunjukan karya-karya mereka sebelum di Fashion Show-kan di ICBC 31 Mei 2014. Booth stand yang dihias sesuai dengan tema kelompok tersebut merupakan hasil kreasi mereka sendiri. Enam Studio, Aneka Tema Terdapat 6 studio dengan berbagai ma­ cam model dan tema. Le Gracieuse adalah nama studio dengan tema nuansa pulau De­wata. Diambil dari bahasa Perancis yang berarti anggun. Studio yang dikomandani Ida ini akan menampilkan koleksi baju mus­ lim yang mengambil inspirasi dari se­buah kekayaan tradisi dari pulau Dewata. Di sampingnya berdiri megah booth stand ber­corak garis hitam, merah, kuning dan pu­tih melambangkan suku Mentawai yang di­beri nama Retto. Retto yang diambil dari kata Archetto berasal dari bahasa Italli yang ber­ar­ti hiasan kepala. Sumber inspirasi utama ada­lah hiasan kepala yang dipakai oleh dukun suku Mentawai yang bermotif garis-ga­ris. Hal ini melambangkan ketegasan se­orang pria yang dipadukan dengan warna ek­sentrik glamour sehingga pemakainya ter­ lihat berwibawa. Cielo dalam bahasa Itali yang berarti Sur­ ga, merupakan studio dengan koleksi bu­sana wanita yang terinspirasi dari su­su­ nan tanduk kerbau yang berada di depan ru­mah suku Toraja. Berdiri megah di ujung pintu keluar, Ahe Boineo’s studio yang me­ nampilkan busana pria dengan beberapa ocatton. Terinspirasi dari penari suku dayak Kenyah yang menarikan tarian perang Kan­ cet Papatai dengan menggunakan ikat ke­ pala dari Burung Enggang dan Kuau Raja. Ke­unikan motif bulu Burung Kuau raja men­ ja­di inspiirasi utama studio ini. Sementara itu, dua studio terakhir yakni Tri­bow dan Relika. Masing masing memiliki ke­unikan tersendiri. Tribow diambil dari ka­ta Tribe atau suku dan wow dari bahasa Asmat berarti pemahat, merupakan suku yang terkenal dengan pahatan dan ukiran. Ter­ inspirasi dari shield of Asmat yang memiliki square shilloute dengan penerapan cutting dan manipulating fabric yang diambil dari motif periasan dan menggunakan warnawarna etnik. Sedangkan studio Relika yang

diambil dari bahas inggirs relic yang berarti warisan Relika adalah studio dengan koleksi busana wanita yang terinspirasi dari keris yang diambil dari warisan tanah jawa. Keris yang menjadi inspirasi utama. Keris yang diambil dari keris nagasasra yang berasal dari Yogyakarta yang memiliki liukan itulah yang menjadi sumber inspirasi studio ini. Pada puncak acara dihelat, detak kagum pengunjung tak henti-hentinya. Sorakan dan hirau piruk tepuk tangan menghiasi tiap kali model memeragakan busananya. “Fashion Show-nya keren, dipadukan dengan 3D se­ hingga semakin meanrik, busana-busana yang ditampilkan jadi kian menarik. Tarian-ta­rian 3D juga sangat menarik,”ungkap To­to Sunarto pengunjung asal Sidoarjo ter­sebut. Dalam pagelaran ini Studio Retto yang dipimpin Herlina menjadi best of the best.” Alhamdulillah kerja keras

kami tidak sia-sia,” ungkap Lathifa, salah satu tim Retto Studio tersebut. (GILANG)

UNJUK KARYA: Spektakuler! Itulah kesan yang tampak dari gelaran fashion show Neo Archipeles Tata Busana angkatan 2010. Para desainer muda debutan dari Tata Busana Unesa ini pun mendapat penghargaan berbagai kategori atas hasil kerja kerasnya.

Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014 MAJALAH UNESA

| 33


KABAR BUKU

Mimpi di Pelosok Negeri l

oleh Eko Prasetyo

P

ersoalan pelik di Indonesia yang tak memasak sendiri ayam itu. Hasilnya, masakan bisa dibantah adalah belum meratanya ter­sebut sungguh sangat lezat meski rasanya pen­­didikan. Jangankan bicara kualitas, sa­ngat ala kadarnya,” tulis Didin. bahkan ada daerah di Indonesia Timur Saat mengajar, ia melihat pemandangan yang angka buta hurufnya masih cukup tinggi. yang tidak lazim seperti di sekolah-sekolah Realita ini bisa kita jumpai di kawasan 3T, yaitu umum di Jawa. Murid-muridnya berseragam daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. lu­suh dan tidak rapi. Kaki hitam legam mereka Pemerintah dan beberapa pihak terkait berdebu dan berdaki. Sebagian besar hanya bu­ kan tidak serius menyikapi masalah ini. memakai sandal, tapi lebih banyak yang ber­ Terbukti Kemendikbud melalui Diktendik te­ lanjang kaki. Tetapi, di luar itu, anak-anak Dik­ ti meluncurkan program Maju Bersama tersebut memiliki semangat belajar yang ting­ Mencerdaskan Indonesia atau MBMI pada gi kendati kondisi sekolah penuh dengan ke­ 2011. Di bawah MBMI terdapat program yang ter­batasan. memang bertujuan untuk memajukan pen­di­ Hal serupa diceritakan Budi Santoso yang dikan di daerah 3T. Namanya SM-3T, yaitu Sar­ ber­dinas di SMPN Satap Langira, Kecamatan ja­na Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Ma­tawai La Pawu. Ia melukiskan kondisi sekolah Ter­tinggal. setempat yang amat kekurangan buku. ”Siswa JUDUL Para sarjana yang telah diseleksi dan ter­ sangat jarang mendapatkan kesempatan un­ Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita pi­lih di SM-3T angkatan pertama ditugaskan tuk membaca. Saat datang ke sekolah, mereka di Sumba Timur, NTT. Dari sinilah kita selaku PENULIS hanya membawa buku tulis. Tidak selembar rak­ yat bisa memperoleh cerita lain tentang Didin Ayu Sasmitra Dkk bacaan pun yang ada pada mereka. Saat pe­ Indonesia. Di satu sisi, kisah itu memotret ma­ la­jaran di kelas, siswa harus berbagi buku pe­ PENERBIT ha­karya Tuhan lewat kekayaan alam yang me­ lajaran dengan rekan sebangkunya” (hal. 43). Revka Petra Media lim­pah, tapi di sisi lain ada suguhan tentang Dalam suasana belajar yang benar-benar CETAKAN ma­sih timpangnya pemerataan pendidikan di ter­batas itu, ada satu hal yang membanggakan da­erah 3T. I, Mei 2014 Budi. Yakni, rasa hormat mereka yang tinggi Buku Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita me­ TEBAL ter­hadap guru. Suatu hal yang mungkin sudah mo­tret cerita-cerita tersebut dengan jujur dari ter­gerus, terutama di sebagian kalangan pe­la­ xi + 254 halaman sisi pengajarnya. Buku ini memang ditulis oleh jar perkotaan. para peserta SM-3T angkatan kedua dari Uni­ Buku ini ditulis oleh 26 peserta SM-3T ang­ ver­sitas Negeri Surabaya (Unesa) yang ditugasi mengajar di Sumba ka­tan kedua Unesa yang bertugas di Sumba Timur. Secara garis be­ Timur, NTT. sar, apa yang mereka gambarkan sebenarnya hampir sama, yaitu ke­ Sebelum terjun ke medan penugasan yang sangat berat, calon ter­tinggalan dalam hal sarana dan prasarana pendidikan di daerah pe­serta SM-3T harus menjalani prakondisi dengan pembekalan fisik 3T selain tentu saja medan yang sulit. dan mental. Tidak main-main, pembekalan itu dilakukan selama 12 Sebagai ilustrasi, kondisi pendidikan di daerah terpencil dan hari di Komando Pendidikan Marinir (Kodikmar) TNI-AL, Gunungsari, ter­tinggal ini memiliki problem klasik, yaitu guru. Tidak banyak guru Surabaya. Tujuannya, mereka benar-benar siap apabila diterjunkan yang berpendidikan tinggi di sekolah setempat. Guru-guru lokal langsung ke lapangan. yang ada pun disebutkan jarang datang mengajar. Hal ini mungkin Pengalaman itu diceritakan oleh Didin Ayu Sasmitra. Ia di­tem­ bisa dipahami karena memang lokasi sekolah yang membutuhkan pat­kan di SDY Karera Jangga, Kecamatan Peberiwei, Sumba Timur. per­juangan dan mental ekstra untuk menempuhnya. Untuk bisa mencapai lokasi, jalan satu-satunya adalah naik sepeda Buku Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita tidak hanya melulu ber­ motor. ”Melewati jalan yang sebagian besar masih buruk. Hanya cerita tentang ketertinggal dan keterbatasan. Ada mimpi besar yang sedikit yang beraspal. Sisanya penuh dengan batuan lepas. Bahkan, hen­dak dirajut untuk memajukan kondisi seperti itu sebagaimana motor yang membawaku harus melanggar –istilah warga Sumba disebutkan dalam buku tersebut. Yakni mencerdaskan anak-anak Timur untuk menyatakan menyeberang– sungai sampai dua kali” Sum­ba Timur agar kelak mereka bisa ikut membangun daerahnya (hal. 16). dan tentu saja menyejahterakan kehidupan masyarakat setempat. Heroisme menempuh perjalanan ternyata masih ditambah pe­ n nga­laman seru lainnya. Didin melanjutkan bagaimana saat dirinya diberi ayam dan pisau ketika tiba kali pertama di penugasannya. Pem­ berinya adalah kasek yang biasa dipanggil mama kepala sekolah. Penulis adalah Editor buku, Ternyata sang kasek meminta Didin sendiri yang memotong pegiat Jaringan Literasi Indonesia ayam itu untuk makan malamnya. Mama Kepala Sekolah itu paham bah­wa seorang muslim tak boleh makan sembarangan. ”Sungguh, ini pengalaman pertamaku memotong ayam. Bahkan, aku diminta

34 |

MAJALAH UNESA Nomor: 69 Tahun XV - Mei 2014




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.