WARNA EDITORIAL
Majalah Unesa
ISSN 1411 – 397X Nomor 74 Tahun XV - Oktober 2014 PELINDUNG Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I) Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III) Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI Dr. Suyatno, M.Pd REDAKTUR A. Rohman PENYUNTING/EDITOR Basyir Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd REPORTER: Herfiki Setiono, Aditya Gilang, Ari Budi P, Rudi Umar Susanto, M. Wahyu Utomo, Putri Retnosari, Fauziyah Arsanti, Putri Candra Kirana, Lina Rosidah FOTOGRAFER A. Gilang, M. Wahyu U. Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT (Arman, Basir, Wahyu Rukmo S) ADMINISTRASI Supi’ah, S.E. Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI Hartono PENERBIT Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124 Fax (031) 8280804
D
MENGEMBALIKAN JATIDIRI BAHASA INDONESIA
apatkah bahasa Indonesia menjadi mayat yang terkubur dalam-dalam di tanah Indonesia? Jawabannya adalah dapat dan sangat mudah mati di negeri sendiri. Caranya,jauhkan anak bangsa Indonesia dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, lakukanlah perusakan bahasa dengan mencampuradukkan kaidah bahasa Indonesia, dan jangan gunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi warga Indonesia. Lambat laun, bahasa Indonesia akan menjadi kenangan buruk bagi bangsa Indonesia. Lihat saja, bahasa Sansekerta telah terkubur karena sudah tidak mempunyai pemakainya. Bahasa Kawi hilang dari peradaban tinggal kamus dan kaidahnya saja karena juga tidak memunyai pengguna setia. Banyak lagi, bahasa lain yang tinggal nama semata akibat tidak terawat. Bahasa Indonesia pun tentu akan menemui ajalnya jika tidak diperhatikan dengan setia. Tanda-tanda sakit sudah membelit bahasa Indonesia. Anak-anak muda lebih suka berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia. Banyak kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para pemuda. Kesalahan itu seakan menjadi tren dan gagahgagahan para pemuda. Mereka tidak mau menggunakan bahasa yang baik dan benar karena malu dianggap tidak modern. Pemuda yang menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak semestinya itu layak disebut sebagai pemuda minus. Perhatikan kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan pemuda minus berikut ini. Pesan pendek (SMS) (1) tgAlx kpn, P; (2)jd ujian skrg, pak; (3)kpn ttdx; (4) Hei, Bro. Nandi ae. Aku tunggu lo. Ya udah, antar formulir ini ke panitia, sana. Gak boleh takut, lo ya. Lalu, perhatikanlah lagu berikut. Kau bidadari jatuh dari surga di hadapanku (baby please be mine, eeeaa, baby please be mine) Kau bidadari jatuh dari surga, kau di hatiku (baby please be mine, eeeaa, baby please be mine) (Coboy Junior) Semua yang kau lakukan is magic Semua yang kau berikan is magic Semua yang kau lakukan is magic Semua yang kau berikan is magic (lyla-Magic)
Banyak guru yang mengeluh terhadap kalimat yang digunakan siswa dalam menulis. Begitu pula, banyak dosen yang menggelengkan kepala terlihat sedikit pusing jika mencermati tulisan mahasiswanya dalam tugas akhir. Bahkan, majalah dinding, buatan siswa, dalam konteks lomba di Jawa Pos menggunakan bahasa Indonesia yang penuh dengan virus. Berkaitan dengan bentuk bahasa Indonesia yang mereka hasilkan itu, jawaban yang muncul adalah, “biar keren, Pak’; “Kan, gaul, Pak”; “emang masalah buat lo”; dan seterusnya. Baliho di pinggir jalan banyak menggunakan bahasa Inggris padahal pemerhatinya orang-orang yang berbahasa Indonesia. Betapa kesalahan berubah menjadi sebuah pembenaran baru. Bahasa Indonesia seakan menjadi asing di negara sendiri. Masih banyak kesengsaraan bahasa Indonesia saat menghuni rumah pikiran pemuda minus. Bahasa Indonesia dijungkir-balikkan, disakiti, diamputasi, dan dipingirpinggirkan. Lihatlah, data berikut ini. (1) Aku CinT4 k4Mu; B3g0; S4tu 7an; M3J3N9 4h (2) alay, lebay, titi dj, lemot, telmi (3) malam ini kita meeting sebentar, ya Kesantunan berbahasa Indonesia menjadi sebuah keharusan bagi penggunanya agar terjalin komunikasi yang sempurna. Komunikasi sempurna ditandai oleh kelengkapan unsur komunikasi, yakni pembicara, pendengar, tempat, waktu, topik, saluran, dan tujuan. Salah satu unsur itu tidak terpenuhi maka komunikasi akan mengalami gangguan. Unesa haruslah menjadi pelopor pengembalian jatidiri bahasa Indonesia karena memunyai Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Unesa sudah waktunya bertahan terhadap penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. l
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
|
3
CONTENT
INFO HALAMAN
05
03. WARNA
Mengembalikan Jati Diri BI oleh Dr. Suyatno, M.Pd
10
05. LAPORAN UTAMA
CINTA BAHASA INDONESIA. Sejumlah mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa untuk menunjukkan kecintaannya terhadap Bahasa Indonesia yang penggunaannya kalah bersaing oleh penggunaan bahasa asing.
• Bahasa Indonesia sebagai Gengsi Negara • Prof. Kisyani: Bahasa Indonesia Hidup & Terus Berkembang • Dr. Syamsul Sodiq: Berbahasalah dengan Tertib • Prof. Djojok Membandingkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang • Prof. Lies Amien: Bahasa Menunjukkan Karakter Bangsa • Prima Widya: Potensi Besar di Dunia Internasional
15. SPEAK UP!
• Mereka Bicara tentang Bahasa Indonesia
18. LENSA UNESA 22 INSPIRASI ALUMNI • Heru Subagyo, Ketua APKI
26. KABAR SM-3T
• Monev SM-3T Sumba Timur
10
30. SEPUTAR UNESA 31. ARTIKEL WAWASAN 32. INFO SEHAT
• Khasiat Istimewah Ubi Jalar Merah
34. CATATAN LIDAH • oleh Djuli Djatiprambudi
4 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktobber 2014
33
LAPORAN UTAMA
BAHASA INDONESIA sebagai GENGSI NEGARA Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memiliki peran penting dalam mengikat persatuan dan kesatuan. Hal itu jelas termaktub dalam salah satu butir penting yang digelorakan para pemuda dalam Sumpah Pemuda 1928, yakni berbahasa satu bahasa Indonesia. Begitu pentingnya peran bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan gengsi negara, tentu kita tidak rela jika bahasa Indonesia harus ‘dinodai’ oleh anak-anak muda yang kurang paham akan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
T
entu masih segar dalam i ngat an kita, bagaimana pa ra pemuda yang berasal dari berbagai daerah, su ku dan agama dari pelosok nusantara mela kukan ikrar tentang keindonesaian dalam bingkai sumpah pemuda pada ta hun 1928. Para pemuda me nya ta kan ikrar dengan penuh gelora bah wa (1) bertumpah darah satu, tanah
Indonesia, (2) berbangsa satu bangsa Indonesia, dan (3) berbahasa satu, ba hasa Indonesia. Penegasan mengenai bahasa In donesia pada poin ketiga sumpah pe muda, tentu menjadi sebuah penegas sekaligus pengukukan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa na sional. Pengukuhan itu sekaligus me rupakan upaya para pemuda meng
hapus sekat berbahasa melalui peng gunaan bahasa yang sama se ca ra nasional. Kedudukan bahasa In do ne sia pun semakin kokoh dengan dija di kannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945 melalui pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 pada bab XV Pasal 36 yang menyatakan bahwa bahasa negara ia lah bahasa Indonesia.
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
|
5
LAPORAN UTAMA Sejarah Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia ternyata memiliki se jarah panjang. Dikutip dari laman ba danbahasa.kemendikbud.go.id menyebut kan bahwa sesuai hasil Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Sejak zaman dulu, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai ba hasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusan tara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M di Palembang, prasasti Ta lang Tuwo berangka tahun 684 M di Palembang, prasasti Kota Kapur ber angka tahun 686 M di Bangka Barat dan prasasti Karang Brahi berangka ta hun 688 di Jambi yang semuanya ber tuliskan huruf melayu kuno Pranagari menunjukkan bahwa sejak abad ke-7, bahasa Melayu sudah dipakai di ka wasan Asia Tenggara. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Me layu dipakai sebagai bahasa ke bu dayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga di pa kai sebagai bahasa perhubungan an tarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai ba hasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terha dap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing meng informasikan, di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen. Ada yang menyebut dengan Kou-luen, K’ouen-louen, Kw’enlun, Kun’lun, atau K’un-lun. Bahasa tersebut berdamping an dengan bahasa Sansekerta. Koenluen ternyata adalah bahasa perhubu ngan (lingua franca) di Kepulauan Nu santara, yaitu bahasa Melayu. Bahasa Melayu terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis se per ti tulisan pada batu nisan di Min ye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra pada abad ke-16 dan ke-17 seperti Syair Ham zah Fan suri, Hikayat Raja-Raja Pa sai, Sejarah
6 |
Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin menunjukkan perkembangan dan per tumbuhan bahasa Melayu. Bahasa Melayu menyebar ke pe lo sok Nusantara bersamaan dengan me nyebarnya agama Islam di wilayah Nu santara. Bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara se bagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena ba ha sa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu dipakai di manamana di wilayah Nusantara serta ma kin berkembang dan bertambah ku kuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nu santara dalam pertumbuhannya dipe ngaruhi oleh corak budaya daerah. Ba hasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sansekerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Me la yu pun dalam per kembangannya muncul dalam berbagai variasi dan di alek. Perkembangan bahasa Melayu di wi layah Nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa per saudaraan dan persatuan bang sa Indonesia. Komunikasi antarperkum pul an yang bangkit pada masa itu meng gunakan bahasa Melayu. Para pe muda Indonesia yang tergabung da lam perkumpulan pergerakan se
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktobber 2014
cara sadar mengangkat bahasa Me layu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk se luruh bangsa Indonesia. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama Sum pah Pemuda, 28 Oktober 1928. Kebangkitan nasional telah men dorong perkembangan bahasa Indo nesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Pro klamasi kemerdekaan Republik In donesia, 17 Agustus 1945, telah me ngu kuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa In donesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tantangan Bahasa Indonesia Sebagai bahasa nasional, Bahasa In donesia seharusnya digunakan da lam berbagai aspek kehidupan baik kehidupan formal maupun nonformal sebagai bahasa komunikasi. Namun, pada kenyataannya penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ko munikasi masih didominasi peng gunaan bahasa daerah. Salah sa tu alasan terbesar penggunaan ba ha sa daerah adalah karena lebih memun culkan aspek kekeluargaan. Dalam aspek pengajaran, se mes tinya bahasa Indonesia juga dijadikan se bagai bahasa pengantar peng ajaran, dan penerapan tersebut harus terus dilakukan untuk memupuk rasa nasionalisme. Namun, dalam perkem bang annya, bahasa Indonesia mu lai mengalami kemunduran karena gengsi berbahasa. Banyak yang justru menggunakan bahasa asing terutama bahasa Inggris dalam berbagai kesem patan berkomunikasi karena meng anggap bahasa asing lebih tinggi dera jatnya daripada bahasa Indonesia. Saat ini, kosa kata bahasa asing te lah begitu marak digunakan yang jus tru membuat keberadaan kosa kata bahasa Indonesia lambat laun pudar. Ba nyak orang Indonesia lebih su ka
LAPORAN UTAMA menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing. Pa dahal kata-kata, istilah-istilah, dan ung kapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bah kan sudah umum dipakai da lam bahasa Indonesia. Sebut saja penggu naan kata download, copy, paste, print, dan klik. Kata-kata tersebut masingmasing ada padanannya dalam bahasa Indonesia yakni unduh, salin, cetak, dan tekan. Menghadapi situasi seperti itu, tentu menjadi tugas kita se ba gai pengguna bahasa untuk me ngem ba likan jati diri bahasa Indonesia. Se bab, tanggung jawab maju atau mun durnya bahasa Indonesia, tentu akan kembali lagi kepada pengguna ba hasa itu sendiri. Kesadaran de mi kian harus dipupuk sejak awal dengan tertib berbahasa. Dengan meng gu na an bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu akan memupuk rasa nasionalisme dan mampu mem per tahankan bahasa Indonesia dari gem puran budaya-budaya asing di tengah globalisasi budaya dunia. Peluang bahasa Indonesia Jika ada tantangan, tentu ada pula peluang. Demikian pula dengan ba hasa Indonesia. Meski di dalam negeri masih menghadapi berbagai kosa kata dan penggunaan bahasa asing yang marak, namun melihat perkembangan ba hasa Indonesia di luar negeri ter nya ta cukup menggembirakan. Data terakhir menunjukkan, setidaknya 52 negara asing telah membuka pro gram bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies). Perkembangan tersebut diprediksi akan semakin me ning kat setelah terbentuknya Badan Aso siasi Kelompok Bahasa Indonesia Penutur Asing di Bandung tahun 1999. Peluang bahasa Indonesia untuk terus tumbuh dan berkembang se makin besar karena beberapa faktor. Dikutip dari http://simpleon7.word press.com, setidaknya ada 2 faktor besar yang membuat bahasa In do
nesia memiliki peluang besar untuk berkembang. Pertama, dukungan luas dari semua pihak, terutama dari pe me rin tah dengan terbitnya surat dan program pemerintah, di antaranya (1) Instruksi Menteri Dalam Negeri Re publik Indonesia Nomor 20, tang gal 28 Oktober 1991, tentang Pema sya rakatan Bahasa Indonesi dalam Rangka Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa; (2) Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor I/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang Peningkatan Usaha Pe masyarakatan Bahasa Indonesia dalam Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa; (3) Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, Bu pati, dan Walikoa seluruh Indonesia, No mor 1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Pangginaan Bahasa Asing; (4) Pencangan Disiplin Nasional oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20 Mei 1995 yang salah satu butirnya adalah penggunaan bahasa In donesia dengan baik dan benar; dan (5) Kegiatan Bulan Bahasa yang dilakukan setiap bulan Oktober, yang dipelopori oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Bahkan, sebagai tindak lanjut dari dukungan pemerintah tersebut, Pu sat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah dan akan terus menjalin kerja sama dengan Pemerintah Ting kat I di seluruh Indonesia melalui pro gram: (1) Penyuluhan bahasa Indone sia untuk lapisan masyarakat; (2) Pe nyegaran keterampilan berbahasa; (3) Penataran tentang penyusunan ber bagai naskah dinas; dan (4) Penertiban penggunaan bahasa Indonesia di tem pat-tempat umum, seperti papan na ma, iklan, papa petunjuk, rambu lalulintas, dan kain rentang (spanduk) Hal ini menunjukkan bahwa ba hasa ndonesia pada masa-masa men datang diharapkan lebih menampak kan peranannya dalam kehidupan modern. Sebab, bahasa Indonesia tidak hanya sekadar sebagai alat komunikasi dalam masyarakat yang memiliki latar
belakang bahasa dan budaya yang beraneka ragam, tetapi juga me ru pakan pembentuk sikap budaya bang sa Indonesia dan sekaligus sebagai pe nanda jati diri bangsa Indonesia. Kedua, peran serta media massa. Ti dak dapat disangkal bahwa media mas sa memberikan andil bagi pem bi naan dan pengembangan bahasa Indonesia. Kata dan istilah baru, baik yang bersumber dari bahasa da erah maupun dari bahasa asing, pa da umumnya lebih awal dipakai oleh media massa, apakah di media surat kabar, radio, atau televisi. Media massa memang memiliki kelebihan. Di sam ping memiliki jumlah pembaca, pen dengar, dan pemirsa yang banyak, me dia massa mempunyai pengaruh yang be sar di kalangan masyarakat. Oleh ka rena itu, media massa merupakan sa lah satu mitra kerja yang penting da lam pelancaran dan penyebaran informasi tentang bahasa. Seiring de ngan itu, pembinaan bahasa In do nesia di kalangan media massa mut lak diperlukan guna menangkal in formasi yang menggunakan kata dan istilah yang menyalahi kaidah ke ba hasaan. Kalangan memdia massa harus diyakinkan bahwa mereka juga pembi naan bahasa seperti kita. Keberadaan media massa me ru pakan peluang yang perlu di man fa atkan sebaik-baiknya. Ketika menjadi Menteri Penerangan, Harmoko pernah menyarankan agar pers sebaiknya me muat ulasan atau menyediakan ruang pembinaan bahasa Indonesia sebagai upaya penyebaran pembakuan yang telah disepakati bersama. Di sam ping itu, pers diharapkan mam pu mensosialisasikan hasil-hasil pembina an dan pengembangan bahasa, dan mam pu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dalam hal pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan be nar. Harapan ini sangat mungkin bisa direalisasikan karena pers telah me miliki pedoman penulisan yang di sebut Pedoman Pwnulisan Bahasa da lam Pers. (SIR/BERBAGAI SUMBER)
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
|
7
LAPORAN UTAMA
KEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA
UNESA HARUS JADI PELOPOR PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR Tantangan internal yang ‘merongrong’ penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentu menjadi pekerjaan berat yang harus dihadapi bersama-sama, terutama oleh para pengguna bahasa. Unesa, tentu sangat potensial berperan menjadi pelopor mengembalikan jatidiri bangsa melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mampukah? Bahasa Indonesia Hidup dan Terus Berkembang TAK dapat dipungkiri tantangan yang dihadapi dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan be nar sangatlah besar sebagai akibat dari era globalisasi. Serapan dan kosa kata bahasa asing, terutama bahasa Ing gris yang datang bertubi-tubi, tentu akan membuat keberadaan bahasa Indonesia terancam. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan, terutama para pengguna bahasa Indonesia. Menanggapi fenomena tersebut, Prof. Kisyani Laksono, pakar Linguistik Unesa tak menampik bahwa dalam perjalanannya bahasa Indonesia se nan tiasa mengalami perkembangan kosa kata dari berbagai serapan asing. Ia memaknai perkembangan tersebut menandakan bahwa bahasa itu hidup. Namun, ia menggarisbawahi bahwa dalam penyerapan kosa kata asing ha ruslah sesuai dengan aturan dan kai dah bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga per kembangan ter sebut tidak merusak keberadaan baha sa Indonesia. Mantan Pembantu Rektor I Une sa itu menuturkan, bangsa Indonesia patutlah bersyukur karena dianuge rahi kekayaan budaya dan ba hasa
8 |
yang begitu beragam. Dari Sa bang sam pai Merauke, terdapat ber bagai budaya dan bahasa khas yang tentu saja sangat berpeluang me nambah kha sanah bahasa Indonesia. Tentu saja keragaman bahasa tersebut, diha rapkan tidak menjadi kendala untuk mempersatukan bangsa Indonesia melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia mengatakan, sebagai bangsa yang kaya budaya dan bahasa dari setiap pen juru daerah, Indonesia telah memiliki bahasa nasional yang berfungsi se bagai pemersatu bangsa dan telah memenuhi syarat sebagai tanda perkembangan bahasa.“Perkem bangan bahasa telah membawa bahasa Indonesia semakin kaya,” ungkapnya. Ditambahkan, bahasa memegang peran penting dalam kehidupan. Bahasa dapat digunakan sebagai alat komunikasi baik ter tu lis maupun secara langsung. Selain itu, ba hasa berfungsi sebagai bahasa pengantar. Dalam dunia pen didikan, Bahasa In donesia memiliki kedudukan penting
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
LAPORAN UTAMA dalam proses belajar mengajar sebagai alat ko munikasi atau pengantar mata pelajaran. “Karena pentingnya bahasa Indonesia dalam pengajaran, mau tidak mau bahasa Indonesia harus dipelajari agar dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar,” terangnya. Lebih lanjut, guru besar pas ca sarjana itu mengakui saat ini bahasa Indonesia mulai dicabik-cabik oleh peng gunaan ba ha sa asing yang se makin mewabah. Penutur bahasa In donesia cenderung lebih memilih memakai bahasa asing ketika bergaul agar dilihat lebih modern. “Seperti ketika menyebutkan telur dadar, yang lebih kerap disebut omelette.
Sa ngat disayangkan apabila hal ter sebut terus berjalan seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia yang juga mewabah di kalangan penutur asing,” tambahnya. Kisyani sangat berharap, ma syarakat Indonesia lebih me mer ha ti kan bahasa sendiri yaitu bahasa In donesia. Sebab akan beda cerita jika ada bangsa asing yang masuk Indonesia untuk belajar bahasa In do nesia, tetapi kemudian bangsa In donesia berterima dengan ba ha sa asing. Tentu, hal itu akan bisa mengubah pola pikir mereka karena bangsa Indonesia berterima meng gunakan bahasa asing. Selain itu, orang
asing menjadi kurang berminat belajar bahasa Indonesia karena menganggap me rekapun bisa berkomunikasi de ngan bahasa asing tanpa harus belajar bahasa Indonesia. “Perkembangan bahasa Indonesia harus diperhatikan dengan sungguhsungguh oleh bangsa Indonesia. Agar tidak tumpang tindih dalam meng ujarkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia., sebaiknya penutur bahasa Indonesia melihat penggunaan baha sa dengan baik dan benar. Boleh saja menggunakan bahasa asing, na mun tetap harus menghargai bahasa In donesia sendiri,” pungkasnya. (YUSUF)
PERLU POLISI BAHASA INDONESIA
A
gar bahasa Indo nesia bisa te gak dengan baik dan be nar di bumi per tiwi, sebaiknya per lu dibentuk polisi ba ha sa yang dapat memperkarakan orang-orang yang meng gunakan bahasa Indonesia dengan tidak benar. Upaya tersebut merupakan salah satu g er a k a n konk ret
untuk mempertahankan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pernyataan tersebut dikemukakan Dr. Suyatno, M.Pd me nanggapi maraknya perusakan terhadap keanggunan bahasa Indonesia. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia itu mengatakan dengan bahasa yang lugas bahwa saat ini ba hasa Indonesia sedang berjalan di atas kerikil-kerikil tajam. Suyatno menjelaskan, bahasa Indonesia saat ini dirusak oleh pemakainya sendiri sehingga keanggunan dan keutuhan bahasa Indonesia terancam kondisinya. “Bahasa Indonesia adalah bahasa yang anggun. Bukan bahasa jalanan,” tam bahnya. Ia menjelaskan, bahasa Indonesia memiliki peraturan, kaidah-kaidah, undang-undang, dan akar sejarah yang kuat. Namun, keanggunan tersebut menjadi tidak bermakna jika pemakainya sendiri tidak memiliki kepedulian yang besar untuk memperbaiki bahasa Indonesia. Menurut kepala Hubungan Masyarakat (Humas) Unesa itu, saat ini sudah banyak anak muda yang tidak takut dan tidak sungkan lagi menggunakan bahasa Indonesia yang tidak benar dan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Bahkan di papan-papan nama, baliho-baliho, dan kain rentang, sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Padahal yang membaca adalah orang Indonesia sendiri. “Kita harus meluruskan. Memberikan yang benar seperti apa, yang baik seperti apa. Ini bukan hanya tugas Jurusan Bahasa melainkan tugas seluruh bangsa Indonesia yang mengakui keanggunan bahasa Indonesia,” ungkapnya saat ditanya mengenai respon terhadap tumbuhnya bahasabahasa prokem di kalangan anak muda. Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
|
9
LAPORAN UTAMA Selain itu, Suyatno juga mengungkapkan, Unesa harus taat asas. Bagaimanapun bahasa Indonesia dilindungi undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 38 ayat (1) misalnya dijelaskan: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.” Meskipun sebentar lagi Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Suyatno mengatakan, bangsa Indonesia tidak boleh melacurkan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus tetap kokoh karena bahasa Indonesia merupakan harga diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, jangan sampai bahasa Indonesia yang anggun tercerabut dari akarnya sebab gandrungnya bahasa Inggris. Meskipun bukan berarti menyepelekan pentingnya bahasa Inggris itu sendiri. Selain itu, penulis antologi puisi Tiga Sudut itu menyebutkan perlu ada gerakan konkret untuk
mempertahankan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Salah satunya adalah membuat polisi bahasa. Di mana polisi tersebut dapat memperkarakan orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak benar. “Karena polisi yang berwenang menjaga undangundang. Tapi, anehnya sekarang adalah polisi sendiri tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Misalnya, kata safety riding untuk menunjukkan kata kenyamanan berkendara,” beber Suyatno. Para pejabat seperti bupati harus menggunakan bahasa yang baik. Jika ada surat izin atau pun dokumen-dokumen maka harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baliho-baliho atau spanduk-spanduk harus menggunakan bahasa Indonesia. “Kita bisa melihat dalam seminar-seminar di Cina. Jika rakyat Indonesia datang ke sana maka orang itu harus memakai bahasa Indonesia. Kenapa harus memakai bahasa Inggris? Kami juga ingin tahu bahasa Indonesia. Sementara mereka memakai alat penerjemah,” pungkasnya. (SYAIFUL)
Berbahasalah dengan Tertib Upaya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, haruslah diupayakan dari diri sendiri. Caranya, dengan membiasakan diri berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah.
yang sangat luar biasa. Hal itu di a kui oleh Syamsul Sodiq sebagi im bas dari era globalisasi. Meski demi kian, Syamsul berpendapat bah wa perkembangan itu tentu tidak per lu terlalu dikhawatirkan. Sebab, yang bermasalah bukanlah pada per kembangan bahasanya, tetap yang harus dibenahi adalah pada pe nguasan bahasa Indonesia. “Kelemah an dalam berbahasa Indonesia saat ini tidak tertuju pada bahasanya, te ta pi
D
r. Syamsul Sodiq, M.Pd, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia berpendapat bah wa Bahasa Indonesia me mi liki peran yang sangat besar dan pen ting sebagai alat pengembang ilmu, alat untuk berpikir, alat untuk menyampaikan gagasan dan sebagai alat utuk memahami informasi. Tan pa menguasai bahasa Indonesia, ten tu akan menemui kendala dalam me ngembangkan gagasan dan me mahami informasi. Seiring berkembangnya waktu, tak bi sa dihindari jika Bahasa Indonesia pun mengalami perkembangan
10 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
pada kecakapannya berbahasa,” ung kap dosen kelahiran Kediri tersebut. Begitupun mengenai pengaruh glo balisasi, Syamsul berpendapat bah wa hal itu bisa dilihat dari dua sisi, yakni pesimis dan optimis. Kalau dilihat dari kacamata pesimistis, akan berpikiran bahwa bahasa Indonesia akan diserang seiring dengan produk bu daya asing yang ikut masuk ke Indonesia dengan membawa ba hasanya. Namun, kalau dilihat dari
LAPORAN UTAMA ka camata optimistis, pemikiran justru sebaliknya karena produk-produk yang dijual dengan bahasa Indonesia, tentu akan membuat semakin banyak orang asing mengenal bahasa Indonesia. Lantas, bagaimana jika ada pengguna bahasa yang men campuradukkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing? Syamsul Sodiq berpandangan bahwa kata kuncinya ada pada ketidaktertiban dalam peng gu naan bahasa. Ia menjelaskan, orang yang terbiasa berbahasa tertib me nun jukkan kecendikiaan penalaran se seorang. Sebagai contoh, orang yang sempat belajar di luar negeri ketika me reka kembali ke Indonesia, tentu mereka akan cenderung berbahasa Indonesia secara tertib. Mengapa? Karena ketika mereka belajar bahasa asing, mereka dituntut benar dan baik dalam ejaan, penalaran, dan penggunaan kalimat yang
runtut. Dengan demikian, secara tidak langsug mereka akan menerapkan dalam penggunaan bahasa Indonesia ketika kembali ke Indonesia sesuai kaidah dan aturan bahasa Indonesia. “Jika presentasi di luar negeri gunakan bahasa asing secara tertib, tapi pada saat anda berbahasa Indonesia gunakan ejaan, penalaran, pilihan kata dan pembentukan kata yang tertib sesuak kaidah bahasa Indonesia,” tuturnya. Syamsul menandaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar akan membuat bahasa Indonesia semakin disegani dan membuat jatidiri bangsa semakin terjaga. Karena itu, sudah menjadi keharusan bagi semua pengguna bahasa Indonesia untuk senantiasa terbiasa tertib menggunakan bahasa Indonsia sesuai kaidah dan aturan bahasa yang baik dan benar. (MURBI)
Membandingkan Kontektualitas Bahasa di Jepang dengan di Indonesia Bahasa merupakan salah satu identitas bangsa. Setiap negara memiliki bahasa dan keunikan sendiri. Indonesia dan Jepang misalnya. Kedua negara tersebut memiliki perbedaan yang mencolok. Jika di Indonesia memiliki banyak bahasa daerah, Jepang justru tidak memiliki bahasa daerah. Di Jepang, perbedaan bahasa hanya terletak pada dialek saja.
P
rof. Dr. Djodjok Soepardjo, M.Litt, pakar bahasa Je pang menuturkan, di Jepang dike nal dialek Tokyo, dialek Osaka, dan dialek-dialek lain. Meski memiliki banyak dialek, namun bahasa formal yang digunakan tetap satu, yaitu dialek Tokyo. Penguasaan dialek Tokyo ter se but menjadi persyaratan wa jib bagi yang ingin menjadi pe gawai pemerintah, pela yan mal, dan pe kerja swasta lainnya.
Sebagaimana di Indonesia, Je pang juga mengalami ancaman keba ha saan. Ancaman tersebut ter utama me nyerang anak-anak mu da. Bahasa prokem (alay) sering digunakan anakanak muda Jepang. Na mun, orang Jepang tidak terlalu mempermasalah kan karena menganggap bah wa itu merupakan hal biasa dan akan teng gelam dengan sendirinya. “Itu hanya sebentar dan pasti tenggelam. Ber ganti bahasa prokem baru lagi,” papar Pembantu Rektor IV Unesa. Alumni Nagoya University, Jepang ter sebut menjelaskan, selain jumlah ba hasa daerah yang memengaruhi per kembangan bahasa, terdapat perbedaan mendasar antara orang Jepang dan orang Indonesia dalam mempertahankan bahasa atau ke budayaannya. Orang Jepang memiliki komitmen sangat tinggi mem per ta hankan kebudayaan yang dimiliki.
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
|
11
LAPORAN UTAMA Komitmen tersebut tidak hanya terletak pada orang-orang yang memiliki jabatan, tetapi dimiliki juga oleh masyarakat umum. Masyarakat Jepang sangat ketat mengontrol setiap bahasa yang ada. Se misal, jika ada penyiar televisi, meng gunakan bahasa Jepang yang salah, masyarakat segera menegur. Se mentara para ahli bahasa, mengoreksi melalui tulisan atas kesalahan tersebut di media massa. “Orang Jepang juga memiliki in tegritas sangat tinggi terhadap bang sanya. Ketika orang Jepang ke luar dari negaranya, di dunia interna sional mereka akan sangat kuat me nunjukkan identitasnya. Setelah kem bali ke negaranya, mereka akan kem bali seperti semula,” ungkap Djojok. Bahkan, untuk memagari agar orang Jepang tidak kehilangan iden titas kebahasaannya, pemerintah mem bentuk lembaga pendidikan khusus bagi orang Jepang yang ba ru kembali dari luar negeri (kikoku shijo). Lembaga pendidikan ter se but bertujuan mengembalikan ke
mam puan berbahasa Jepang bagi kikoku shijo agar kembali baik dan benar. “Orang Jepang yang kembali dari luar negeri tidak lantas dilepas. Mereka akan dididik lagi agar bahasa Jepangnya kembali baik,” paparnya. Lembaga lain yang berfungsi men jadi kontrol bahasa di Jepang adalah Pusat Penelitian Bahasa Negara (Ko ku ritsu Kokugo Kenkyūsho). Lembaga tersebut bersifat independen dan ber fungsi mewadahi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa. Di In donesia, lembaga tersebut hampir sama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang berada di bawah Kementerian Pen didikan dan Kebudayaan. Hanya saja, di Indonesia fungsi lembaga tersebut belum maksimal. Pemetaan bahasa di Indonesia perlu ditinjau ulang dan dilakukan pembinaan ter hadap para ahli bahasa. Menurut pria kelahiran Ta sik malaya, Jawa Barat tersebut, In do ne sia merupakan negara terbanyak ke dua setelah China yang belajar bahasa Jepang. Hal tersebut me
mang tidak masalah, apalagi da lam rangka menghadapi ASEAN Econo mic Community (AEC) 2015 yang memerlukan lebih dari satu bahasa. Hanya saja, penguasaan bahasa Je pang tersebut jangan sampai men cabut akar berbahasa Indonesia yang baik dan benar. “Artinya, belajar bahasa asing bukan lantas mengurangi integritas terhadap bahasanya sendiri. Perlu ada filter untuk menyaring bu daya asing yang masuk,” jelasnya. Indonesia perlu menanamkan ke sadaran dan integritas terhadap warga negaranya. Menurut pandangan Djo jok, integritas mutlak diperlukan agar bangsa Indonesia memiliki karakter sebagaimana di Jepang. Dan, untuk me namamkan integritas haruslah me lalui pendidikan. Namun, bukan berarti semuanya lantas diserahkan ke pada lembaga pendidikan, du ku ngan dari seluruh stakeholder; lemba ga pendidikan, masyarakat, dan pe merhati pendidikan tentu sangat di perlukan. (SYAIFUL)
Bahasa Menunjukkan Identitas Bangsa
D
osen bahasa Inggris, Prof. Lies Amin mengatakan, bahasa sejatinya menunjukkan identitas bangsa yang berarti mencerminkan siapa diri kita. Karena itu, seharusnya setiap komunikasi baik tutur maupun tulis haruslah disadari bahwa bahasa yang digunakan sesungguhnya mencerminkan siapa diri kita. Oleh karena itu, tanpa peringatan bulan bahasa pun jika pengguna bahasa sadar dengan pola pikir tersebut, akan dapat dengan mudah menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa. Pada kesempatan itu, Prof. Lies juga menyinggung kaitan nasionalisme dan bahasa. Ia mengatakan, orang yang belajar bahasa asing tidak serta merta diragukan nasionalismenya. Ia mencontohkan mahasiswa jurusan bahasa Inggris yang menulis skripsi dalam bahasa Inggris. Menurutnya, hal itu tidak ada kaitannya dengan nasionalisme, tetapi lebih pada menunjukkan keilmuan yang dipelajari. “Selama ini pandangan nasionalisme sering muncul ketika seseorang belajar bahasa asing. Padahal bahasa merupakan kunci sukses untuk mencapai peradaban yang lebih maju,” ungkapnya.
12 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
Meskipun bahasa Indonesia belum masuk sebagai bahasa Internasional, namun sebagai warga negara Indonesia, haruslah memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Dalam forum internasional, bahasa Indonesia pun harus dikenalkan agar dunia tahu bahwa Indonesia memiliki bahasa sekaligus memperkenalkan teknologi yang diciptakan di In donesia. Mengenai kebiasaan kala ngan anak muda yang meng gu nakan bahasa Asing, Lies Amin menyebut hal itu sebagai imbas dari peran tek no logi yang menyerbu pa sar Indonesia. Sehingga, ma syarakat lebih banyak mengenal istilahistilah asing daripada padanan bahasa Indonesia.
LAPORAN UTAMA Seperti istilah rice cooker yang sering digunakan daripada istilah penanak nasi yang lebih Indonesia. Lies Amin menambahkan, jika ingin menjadikan bahasa Indonesia lebih mendunia, Indonesia harus maju dalam bidang teknologi, budaya dan perdagangan sehingga bahasa Indonesia akan lebih dikenal dunia. Ia mencontohkan pengalamannya ketika berada di Inggris. Sewaktu ingin mencari tempe di salah satu supermarket Asia, ia menemukan nama tempe tetap digunakan karena tidak ada dalam bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga dipengaruhi pendidikan seseorang. Orang yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, tentu memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Karena itu, ia setuju bahwa meskipun sering menggunakan bahasa asing, penggunaan bahasa Indonesia tidak boleh dilupakan. “Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dilakukan dalam menulis dan berkomunikasi sehari-hari,” pungkasnya. (HUDA)
Citra Bahasa Indonesia Tergerus di Negeri Sendiri “Berbeda dengan di China. Keberadaan Bahasa Mandarin sangat dihargai. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dilakukan tes bahasa Mandarin lebih mendalam.”
S
ementara itu, Dr. Mintowati, M.Pd mengatakan bahwa citra bahasa Indonesia kini sangat baik di dunia internasional. Itu dibuktikan dengan semakin banyak penutur-penutur asing yang berminat belajar Bahasa Indonesia. “Saat ini, bahasa Indonesia telah dipelajari di lebih dari empat puluh negara,” ujar Mintowati. Sayang, di balik perkembangan bahasa Indonesia di negara asing yang membanggakan, citra bahasa Indonesia di mata bangsa sedikit kurang. Menurut Mintowati, tergerusnya bahasa Indonesia di negeri sendiri itu terlihat dari pola pergaulan yang lebih merasa menarik apabila berkomunikasi dengan bahasa asing. “Berbeda dengan di China. Keberadaan Bahasa Mandarin sangat dihargai. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dilakukan tes bahasa Mandarin lebih mendalam,” paparnya. Namun, apa yang diterapkan di China, memang ada sisi negatifnya. Apabila konsep semacam itu digunakan, tidak menutup kemungkinan suatu hari apabila bertemu dengan orang asing akan merasa rikuh karena tidak mempelajari bahasa Internasional sebagai alat komunikasi. Kaprodi Bahasa Asing itu mengakui bahwa belajar bahasa sangatlah penting. Apalagi bahasa tersebut adalah bahasa sendiri, namun tidak lupa belajar bahasa asing. Ia pun mengaku bangga menjadi dosen di jurusan bahasa Indonesia. (YUSUF)
Nomor: 73 Tahun XV - September 2014 MAJALAH UNESA
|
13
LAPORAN UTAMA
Popularitas Bangsa Naik, Tingkatkan Cinta Bahasa 28 Oktober 1928 lalu, Indonesia memperingati peristiwa penting yaitu hari “Sumpah Pemuda”. Pada hari itu, para pemuda Indonesia bersumpah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bagaimana peran bahasa Indonesia kini?
P
rima Vidya Asteria, S.Pd., M.Pd., salah satu dosen mu da di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa meng ung kapkan bahwa Bahasa Indonesia memiliki potensi besar di kancah Inter nasional. Saat ini banyak negara asing yang melirik bahasa Indonesia dengan melakukan kerja sama mengenai baha sa dengan Indonesia. Menurut alumnus S2 Universitas Negeri Malang itu, citra bahasa Indo ne sia semakin berkembang seiring dengan kekayaan budaya dan sum ber daya yang dimiliki Indonesia. In do nesia me rupakan pasar empuk bagi dunia internasional. Hal itu pula yang menyebabkan popularitas ba ha sa Indonesia se makin meningkat sehingga banyak negara asing yang mulai memelajari dan memahami ba hasa Indonesia. Namun demikian, sebagai bangsa Indonesia, kita tidak boleh lengah de ngan hanya sekadar mengamati kelu ar masuknya negara asing yang juga membawa budayanya. Siste m penya ringan juga harus tetap digalakkan un tuk mengantisipasi pu dar nya budaya asli bangsa. Salah satu tanda bahwa fil ter tersebut sa ngat perlu dilakukan adalah adanya fenomena campur kode atau bahhkan alih kode dengan bahasa asing. “Anak mu da sekarang lebih merasa gengsinya “be sar” ketika bisa menggunakan bahasa asing. Sebenar nya tidak begitu,” tuturnya.
14 |
Salah satu indikator yang keliru, menurut Prima adalah ketika mampu meng gunakan bahasa asing lalu di anggap keren. Apa-apa yang berkaitan dengan asing dianggap wah. Ia menje laskan, anak muda saat ini harus tahu bahwa penggunaan bahasa yang se suai dengan kondisi dan situasi sangat penting. ”Ketika kita berbicara dengan bahasa asing atau bercampur kosa kata asing dengan mereka yang tidak paham, komunikasinya jadi tidak jelas”, ucapnya sambil memberikan ana logi anak muda yang membeli cilok sambil berbicara bahasa Indonesia yang “di campur aduk dengan kosa kata bahasa asing. Sehubungan dengan media ko munikasi, peran bahasa Indonesia pun tak pernah lepas dari dunia pen di dikan, seperti yang tampak pada im ple mentasi Kurikulum 2013 bahwa ba hasa Indonesia menjadi Penghela Pengetahuan yaitu pembawa sekaligus
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
penyampai pengetahuan dari satu pi hak ke pihak lain, atau bisa disebut se bagai pengantar pendidikan”. “Contohnya saja di dunia per ku liahan, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, tidak mungkin dosen harus memelajari semua bahasa dae rahnya. Maka di situlah peran bahasa Indonesia sebagai pengantar dan pe nyatu sangat penting.”, ungkap dosen kelahiran Ngawi tersebut. Jika ditalikan, antara popularitas bang sa dengan meningkatnya minat asing pada bahasa Indonesia, sebagai ge nerasi muda, khususnya sebagai pe nutur asli bahasa Indonesia, kita ha rus semakin bangga dengan ba ha sa Indonesia. “Langkah awal de ngan menjadi diri sendiri dan berko munikasi dengan konteks yang tepat pada bidang yang dikuasai,” ujar nya. Hal ini mampu menjadikan ba ha sa Indonesia sebagai bahasa yang mampu menginternasionalisasi seperti halnya bahasa Mandarin atau bahkan berpo tensi sebagai bahasa Internasional se perti bahasa Inggris. “Keluar masuknya negara asing ti dak boleh memengaruhi nasionalisme bangsa terutama generasi muda seca ra negatif. Sikap memfilter harus selalu dilakukan untuk melindungi bu da ya dan eksistensi bangsa, terutama ketika negara asing semakin mudah meng ham piri Indonesia pada MEA 2015,” pung kas dosen kelahiran 9 Oktober 1989 tersebut. (ANNISA ILMA)
LAPORAN UTAMA
apa kata mereka Fenomena bahasa Indonesia yang rentan tergerus kosa kata bahasa asing, juga disuarakan para mahasiswa. Mereka setuju sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesa harus dijaga jati dirinya. Berikut komentar mereka!
Yusup Eko Nugroho, Ketua BEM FBS
Pertahankan Bahasa Indonesia
K
etua BEM Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Yusup Eko Nugroho mengaku gundah lantaran keberadaan bahasa Indonesia kurang begitu mendapat perhatian generasi muda. Mahasiwa semestar akhir jurusan Drama Fakultas Bahasa dan Seni itu melihat fakta setiap kali ujian nasional, nilai mata pelajaran bahasa Indonesia selalu kalah dengan mata pelajaran lain. Padahal, seharusnya sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia harusnya lebih dikuasai. “Bahasa Indonesia adalah harga mati sebagai gengsi negara,� papar mahasiswa yang suka menulis pantun sejak SD itu. Terkait serbuan bahasa asing menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean, Yusup berpendapat bahwa hal itu bisa diatasai dengan menanamkan rasa cinta yang tinggi terhadap Bahasa Indonesia. Justru, ketika banyak orang luar negeri yang datang ke Indonesia, akan semakin membuat bahasa Indonesia banyak dipelajari. Mereka (para pendatang dari luar negeri) tentu perlu belajar dan menguasai bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi dengan baik dan benar. “Yang pasti menjadi tugas kita bersama sebagai anak bangsa untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara,� tegas Yusup. (YUSUF)
Mira Ayu Setya Rini, ketua HMJ JBSI
Bahasa Indonesia sebagai Pilihan
K
etua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia periode 2013-2014, Mira Ayu Setya Rini mengaku sudah menyukai bahasa Indonesia sejak SD. Karena itu, ia mengaku bangga bisa menjadi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Mahasiswa kelahiran Bojonegoro tersebut bahkan kini aktif di berbagai kegiatan bahasa, sastra dan seni. Mengenai peran bahasa Indonesia saat ini, ia sangat setuju jika bahasa Indonesia harus diletakkan kedudukannya sebagai jati diri dan gengsi negara. Apalagi, kedudukan bahasa Indonesia sudah diikrarkan oleh para pemuda Indonesia dari penjuru nusantara melalui Sumpah Pemuda sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Mahasiswa yang akrab dipanggil Mira itu mengaku bangga karena perkembangan bahasa Indonesia dari tahun ke tahun semakin banyak diminati. Ia mengatakan, saat ini, bahasa Indonesia sudah dipelajari di 40 negara. (EMIR/YUSUF)
Nomor: 73 Tahun XV - September 2014 MAJALAH UNESA
|
15
LAPORAN UTAMA Septian Ardianto, Ketua HMJ Bahasa Inggris
Majukan Bahasa Indonesia Melalui Bahasa Inggris
M
enurut Septian, fondasi bahasa Indonesia dan bahasa Ing gris sangatlah berbeda. Dalam penggunaan ba ha sa Indonesia atau ba ha sa Inggris, si penutur ha rus tahu kondisinya ka pan menggunakan bahasa Inggris dan kapan meng gunakan bahasa Indonesia. “Bila dalam forum in ter nasional memungkinkan menggunakan bahasa Indonesia alangkah baiknnya kita menggunakan bahasa Indonesia wa laupun itu sedikit,” ujarnya. Sebaiknya, lanjut Septian, pengguna bahasa harus seimbang dalam menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kalau bisa tidak ada yang lebih dominan antara kedua bahasa tersebut. “Jujur, saya tidak suka bila ada seseorang dalam berkomunikasi mencampurkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sebab, hal itu memperlihatkan seseorang tersebut tidak memiliki jati diri,” tuturnya. (MURBI)
Mamay, Wakil Ketua HIMA Bahasa Jepang
Bahasa Indonesia menjadi Aset untuk belajar bahasa Asing
B
agi mahasiswa Prodi pendidikan bahasa Jepang itu, penggunaan ba ha sa Indonesia menjadi penting ketika belajar bahasa Jepang karena bahasa Indo nesia merupakan bahasa Ibu dan menjadi jembatan dalam belajar bahasa Jepang. Walaupun sudah bisa berbi cara bahasa Jepang tetapi dalam praktik sehari-hari ia masih senang menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomu nikasi dengan teman maupun dosen. Ia setuju, bahasa Indonesia merupakan gengsi negara. Mau tidak mau sebagai warga negara Indonesia harus mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia walaupun sedang belajar bahasa Jepang. Akan sangat baik lagi jika yang sedang belajar bahasa Asing dapat menularkan penggunaan bahasa Indonesia kepada orang Jepang. (huda)
16 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
Komentar Duta Bahasa
Dalami Dulu Bahasa Nasional, Baru Pelajari Bahasa Asing
M
Jauhari Utomo dan Verica Rahma Putri Anggrae ni, dua mahasiswa JBSI yang pernah mewakili Unesa di ajang pemilihan Duta Bahasa Jawa Ti mur 2014 mengungkapkan pendapatnya ten tang bahasa Indonesia. Mengenai ketertarikan budaya seperti lagu, mahasiswa yang sama-sama lahir pada tahun 1995 itu, berbeda pendapat. Verica mengaku lebih suka lagu berbahasa asing. Sementara Jauhari, tidak mengutamakan unsur bahasa dalam lagu kesukaannya. Jika ditautkan dengan kemampuan berbahasa asing, Verica mengatakan bahwa dirinya sangat gengsi apa bila melakukan kesalahan dalam berbahasa asing, lain hal nya dengan Jo yang mengatakan, “Tidak malu, pasti orang di sekitar saya akan membetulkan ucapan saya kalau salah.” Menurut mahasiswa asal Gresik tersebut, bahasa Indo nesia sangat berpotensi menjadi bahasa dengan popula ritas tinggi di dunia. Sebab, banyak negara asing yang ingin memiliki Indonesia, terutama kekayaan budaya dan alam nya. Maka dari itu, generasi mudanya harus mau mendalami dan mengutamakan bahasa Indonesia, bukannya me no morduakan. Tapi bukan berarti anti bahasa asing, karena be lajar bahasa asing juga penting. Senada dengan Jo, Verica juga tidak menomorduakan ba hasa Nasional, tapi juga belajar bahasa asing, “Bahasa asing itu penting untuk penunjang kita hidup di era globalisasi, bukan zamannya anti bahasa asing”, lanjut mahasiswa asal Sidoarjo tersebut. Sebagai generasi muda yang menjadi agen perubahan un tuk kemajuan Indonesia, mereka berharap generasi mereka maupun sebelum dan sesudahnya semakin mencintai ba hasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dengan semakin mendalami bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan giat memelajari bahasa asing sebagai modal mengenalkan budaya bangsa di dunia. “Intinya, banggalah menggunakan bahasa Indonesia”, ungkap kedua mahasiswa angkatan 2013 tersebut. (ANNISA ILMA)
SEPUTAR UNESA
Prof. Dr. Haris Supratna, M.Pd sebagai pembicara didampingi M. Najid M.Hum sebagai moderator.
Seminar Nasional Plus:
Bangun Peradaban Generasi Emas
D
alam rangka memeringati Bulan Ba hasa dan Dies NatalisEmas Unesa, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) menyelenggarakan Seminar Nasional Plus dengan mengusung tema “Memba ngun Peradaban Generasi Emas melalui Literasi”. Dikatakan Seminar Nasional Plus karena dalam seminar yang diadakan di Ge dung Wiyata Mandala Lantai 3 PPPG Unesa Kampus Lidah Wetan ini dibarengi peluncuran buku “Membangun Budaya Li terasi”. Seminar literasi yang diadakan pada 19 Oktober 2014 itu dihadiri sekitar 400 peserta. Peserta yang hadir terdiri dari pe makalah, mahasiswa S-1, mahasiswa Pas
casarjana, guru, dosen hingga tim MGMP Bahasa Indonesia dari berbagai da erah di Jawa Timur. “Dalam budaya ti mur, budaya lisan (orality) lebih dominan da ripada budaya literasi. Padahal, ilmu pe ngetahuan jika disimpan maka akan lebih lama pewarisannya sehingga budaya li terasi merupakan budaya yang harus di kembangkan,” papar Ketua Panitia Andik Yuliyanto, S.S., M.Si. Seminar literasi itu menghadirkan, bu da yawan dan sastrawan internasional Prof. Budi Darma sebagai pembicara kun ci.“Berkaitan dengan literasi, semua ma nusia diikat oleh tiga hal yaitu ras, ling kungan dan momentum,” ujar Prof. Budi
Darma. Tak hanya menyelenggarakan se mi nar literasi, JBSI juga mengadakan serang kaian lomba yang diadakan pada Sabtu (18/10/2014), yakni lomba baca be ri ta, mendongeng, cerdas cermat, serta mu sikalisasi puisi.Lomba-lomba tersebut ting kat SMA/sederajat se-Jawa Timur namun, ada juga peserta yang berasal dari luar Jawa Timur.“Dengan adanya kegiatan ini diharapkan akan terbentuk komunitaskomunitas yang bergerak di bidang literasi dan semangat literasi akan sampai ke daerah-daerah,” harap Andik Yuliyanto, S.S., M.Si.(LINA MEZALINA)
28 Mahasiswa FMPA Unesa
Praktik Mengajar di Malaysia
S
ebanyak 28 mahasiswa perwakilan da ri semua jurusan yang ada di FMIPA Unesa diberangkatkan me nuju Malaysia guna melakukan “Practical Teaching Program” selama dua ming gu di Wadi Sofia College, Kelantan, Malaysia. Beberapa rangkaian acara yang di lak sa nakan di negeri Jiran tersebut adalah di mulai dengan penyerahan SPPD dan per kenalan dengan Ummi Lelyana Lang selaku pe ngelola sekolah. Kemudian briefing ma hasiswa guna menjelaskan berkenaan laporan dan rencana observasi dilakukan di ruang “Resource Center” pada Rabu
(1/10/2014). Mahasiswa didampingi oleh 4 orang mentor dari sekolah, yakni Adil la (matematika dan ICT dari Indonesia), Hasfah (sains fisika dan biologi dari India), Shama (mcondaatas seematika dan fisika dari Malaysia), Lukman (matematika dan kimia dari Malaysia). Observasi dilakukan di kelas matematika (secondary 3 dan 4) , dan kelas biologi (secondary 4). Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan acara “International Day” dan kuliah umum dari mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahatir Muhammad. Dalam acara itu berlangsung penandatanganan kerja sama
antara FMIPA dan Wadi Sofia College yang disaksikan oleh Prof. Datuk Hasan Harun se laku founder pada Kamis (2/10/2014). “Kami mengucapkan terima kasih atas ke sediaan kerja sama dalam membantu mahasiswa FMIPA mempraktikkan semua keterampilan dan pengetahuannya. Semo ga kerja sama kami bisa berlanjut sampai dengan pemenuhan pengajar di Wad Sofia College,” papar Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd. selaku Pembantu Dekan III FMIPA Unesa. (KHUSNUL/ANDINI)
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 17
LENSA UNESA
PELATIHAN KARAKTER
S
ebagai implementasi motto Unesa, Growing with Carachter, Unesa memberikan pelatihan karakter yang dikhususkan untuk mahasiswa Bidik Misi angkatan 2014. Pelatihan tersebut dilaksanakan di Kodikmar pada 09 September 2014. Seluruh peserta dilatih semi militer oleh para tentara yang ditunjuk.
18 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
LENSA UNESA
AKADEMI INDOSIAR Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, digelar praktik langsung berupa Akademi Indosiar. Hadir dalam acara Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor Unesa), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), dan Saifullah Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Timur). Acara tersebutr digelar di Gedung Serbaguna (Gema) Unesa pada 06 September 2014.
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 19
KOLOM REKTOR
BAHASA SEBAGAI GENGSI NEGERA Secara politis dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, telah mengangkat harkat dan martabat bangsa. Bangsa Indonesia tidak mau memakai bahasa penjajah, tetapi lebih memilih bahasanya sendiri, meskipun sebagai bahasa nasional, tetapi belum semua warga Negara Indonesia bisa berbahasa Indonesia.
S
etiap bangsa memiliki kebudayaan se bagai respons terhadap ling kungan yang sedang mereka ha dapi, sehingga setiap etnis memiiki kebudayaan yang berbeda sesuai dengan kondisi lingkungan. Meskipun de mi kian dalam setiap kebudayaan ada unsur yang sama. Salah satu unsur tersebut adalah bahasa. Sebagai unsur kebudayaan, ada perbedaan bahasa antara etnis satu dengan lainnya. Perbedaan bahasa tersebut menim bulkan hambatan dalam komunikasi. Mereka yang bahasa berbeda dan tidak menguasai bahasa lainnya akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Sebagai con toh mahasiswa Indonesia yang tidak bisa dan paham bahasa Inggris, akan mengalami ke sulitan berkomunikasi dengan orang Inggris, yang kebetulan tidak bisa dan mengerti ba hasa Indonesia. Dalam konteks sosial, bahasa bukan ha nya sekadar sebagai alat komunikasi, te tapi juga sebagai simbol strata sosial. Ambil contoh dalam bahasa Jawa, ada tingkatan yang menggambarkan strata sosial peng gunanya. Dalam bahasa Jawa ada ter minology kromo inggil, kromo madyo, dan ngoko. Kromo inggil biasa dipakai oleh kalangan bangsawan ; kromo madyo di pakai oleh kalangan menengah (priyayi), dan ngoko dipakai oleh rakyat biasa. De
20 |
ngan melihat bagaimana cara mereka ber tutur kata dan bahasa yang dipakai, akan tampak strata sosial mereka. Masing-masing strata bahasa tersebut juga disertai tatacara pengucapan dan intonasinya, se hingga mereka yang berbahasa Jawa kromo inggil, akan menggunakan intonasi yang lemah lembut. Berbeda dengan yang meng gu nakan bahasa ngoko, intonasi dan cara me ngucapkannya bisa dengan nada yang keras dan “kasar”. Mengingat bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan bahasa yang berbeda, maka ketika para pemuda Indo nesia mengikrarkan sumpah pemuda ta hun1928, salah satu yang dikrarkan adalah ber bahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Ikrar tersebut memiliki arti sosiologis mau pun politis yang sangat mendalam. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki bahasa daerah yang bermacam-macam. Hampir tiap suku me mi liki bahasa ibu sendiri yang berbeda de ngan suku lainnya. Masing-masing ba hasa ibu memiliki kosa kata yang berbeda pe ngertiannya. Dengan kondisi tersebut, tentu akan menyulitkan untuk saling ber komunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, perlu dirumuskan satu bahasa yang bisa “menyatukan” semua suku yang ada di ber bagai nusa.
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
Oleh Prof. Warsono
Pemilihan bahasa Indonesia, yang seba gian besar dominasi bahasa melayu sebagai bahasa persatuan didasari pada kenyataan bahwa bahasa tersebut telah dipakai oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Se ba gian besar penduduk yang tinggal di Indonesia sebagian besar adalah bangsa melayu, sehinggga mereka banyak memakai dan memahami bahasa tersebut. Memang dalam perkembangannya bahasa Indoneisa banyak mengalami perubahan yang cepat, dengan masuknya serapan-serapan asing, sehingga kondisinya seperti sekarang ini. Secara politis dengan ditetapkannya ba hasa Indonesia sebagai bahasa nasional, te lah mengangkat harkat dan martabat bang sa. Bangsa Indonesia tidak mau memakai ba hasa penjajah (Bahasa Belanda), tetapi lebih memilih bahasanya sendiri, meskipun sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga belum mantap dan belum semua warga Negara Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Tetapi keputusan untuk tidak me makai bahasa penjajah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan perwujudan dari “gengsi negara”. Dengan memakai bahasa sendiri, kita tidak lagi ber ada di bawah bayang-bayang negara lain, apalagi penjajah. Berkaitan dengan gengsi Negara, Malaysia yang pernah dijajah Inggris, pada
KOLOM REKTOR
awalnya tetap menggunakan bahasa Inggris s ebagai bahasa resmi. Namun kemudian mun cul perdebatan di kalangan mereka, berkait dengan masalah harga diri bangsa. Penduduk Malaysia yang sebagian besar bangsa melayu dan memiliki bahasa sendiri (yang banyak kemiripan dengan ba hasa Indonesia, merasa dilecehkan. A khirnya pada tahun 1975 Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman untuk pertama kali mem perkenalkan bahasa Malaysia, (yang subtan sinya adalah bahasa melayu) sebagai bahasa kebangsaan Malaysia. Pilihan bahasa Indoensia sebagai ba ha sa nasional bukan tanpa ada masalah. Pada awal kemerdakaan usaha untuk me na sionalisasikan bahasa Indonesia terus dilakukan, sebab masih banyak masyarakat yang belum mampu berbahasa Indonesia. Sebagian masyarakat di daerah-daerah ma sih menggunakan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Namun de ngan usaha yang terus dilakukan termasuk memasukan dalam kurikulum sekolah, saat ini hampir semua warga Negara mampu berhasa Indonesia. Meskipun demikian, se benarnya juga masih ada masalah dalam bacaan. Hal ini disebabkan bahasa Indonesia tidak didukung dengan huruf, seperti pada bahasa jawa. Dengan tidak adanya huruf kita mengalami kesulitan bacaan terhadap kata, terutama masalah nama, misal Suharto, bisa dibaca Suharto (seperti bacaan orang Jawa) bisa juga dibaca suhartO; wedus bisa dibaca wedus atau weedus. Akibatnya cara membunyikan kata sangat tergantung dari kultur masih-masing pembaca. Mereka yang berasal dari Jawa, akan berbeda dengan yang berasal dari suku-suku lain. Lihat saja tulisantulisan di warung-warung atau di berbagai tempat yang ditulis oleh masyarakat. Dengan tidak adanya huruf, akan menyu litkan cara membunyikan kata, terutama bagi orang asing. Hal ini tidak akan terjadi jika ada huruf seperti bahasa jawa, yang memiliki huruf (ho no, co, ro, ko) sehingga tulisan dan bacaan akan sama bagi siapa saja. Persoalannya kita telah menetapkan bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa melayu, sebagai bahasa nasional, bukan bahasa jawa, meskipun juga banyak bahasa Jawa yang diserap menjadi bahasa Indonesia. Banyak sekali bahasa Jawa yang bisa mewakili realita atau tindakan dan lebih simple dan jelas. Misal kata yang berkaitan
dengan gerakan tangan: kethak, thothok, tabok, keplak, kaplok. Bahkan ada kata dalam bahasa Jawa yang dalam bahasa In donesianya jauh lebih panjang, yaitu rowa (bahasa jawa) yang dalam bahasa Indonesia nya banyak memakan tempat, Berkaitan dengan bacaan ini memang menjadi persoalan kultural, sehingga sa ngat tergantung pada kultur pembaca. Per soalan bacaan dan tulisan juga muncul pa da kata serapan yang bahasa asing. Sebagai
“
Dalam konteks komunikasi pemikiran, sering muncul bahwa bahassa menunjukan pikiran. Ini berarti bahasa dalam konteks ilmiah, bahasa menunjukan intelektual si penggunanya. bahasa yang terus berkembang, ba hasa Indonesia memiliki banyak kata se ra pan. Kondisi seperti ini menjadi masalah tersen diri bagi pembelajar bahasa Indonesia, ter utama orang asing. Mungkin belajar bahasa Indonesia dalam kontek ilmiah (sebagai sa ran untuk mengungkapkan pemikiran) menjadi sangat sulit. Hal ini juga terbukti, dari hasil ujian nasional bahwa rata-rata nilai bahasa Indonesia lebih rendah bila di banding dengan mata pelajaran lainnya. Bahkan dikalangan para pengampu di jurusan pendidikan bahasa Indonesia sendiri, masih banyak terjadi perbedaan “tafsir” da lam menggunakan kata dan membangun kalimat, Ketika suatu suatu karya ilmiah di sodorkan kepada salah satu dosen bahasa Indonesia untuk dikoreksi dan hasil koreksi dari dosen tersebut kemudian diserahkan kepada dosen lain untuk dikoreksi, hasilnya berbeda. Bahkan ketika hail koreksi dosen kedua dan pertama diserahkan kepada do sen ketiga untuk dikoreksi, hasilnya juga berbeda lagi.
Sebagai alat komunikasi bahasa bukan hanya untuk mengkomunikasikan perasaan, dan apa yang diinginkan, tetapi sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, gagasan. Bahasa yang dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan pemikiran merupakan “bahasa ilmiah”. Dalam konteks komunikasi pe mikiran, sering muncul bahwa bahasa me nunjukan pikiran, bahkan ada pameo bahwa kalau bahasanya kacau, maka piki rannya juga kacau. Ini berarti bahasa dalam konteks ilmiah, bahasa menunjukan in telektual sipenggunanya. Hal ini akan sangat jelas terihat dalam bahasa tulis yang mereka pakai. Dalam konteks “bahasa ilmiah”, memang ada kaitannya dengan logika. Dalam kai dah tata bahasa ada formula SPOK, se dangkan dalam logika ada proposisi, yang terdiri dari term subyek dan term pre dikat, yang menggambarkan subyek dan predikat. Keberadaan subyek dan predikat dalam tata bahasa Indonesia, merupakan syarat minimal suaatu kalimat, sedangkan dalam logika adanya subyek dan predikat menggambarkan adanya suatu pro po si si, yaitu suatu pernyataan yang bisa d ibuktikan benar salahnya. Dalam logika yang dipentingkan adalah hubungan an tara subyek dan predikan, bagaimana an tara subyek dan predikat itu dihubungkan. Dengan bertolak dari konsep logika, bahasa menunjukan gengsi pemikiran. Bahasa, khususnya bahasa tulis. akan mencermikan logika, (kemampuan bernalar) penggunanya. Oleh karena itu dalam konteks akademis, hanya sedikit orang yang bisa berbicara dengan baik, tetapi lebih sedikit orang yang bisa menulis dengan baik, dan lebih sedikit lagi orang yang bisa berbicara sebaik dia menulis.. n
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 21
INSPIRASI ALUMNI Meneladani Kisah Sukses Heru Subagyo
GAGAL JADI GURU,
SUKSES JADI PENGUSAHA
Terpaan cobaan yang bertubi-tubi terkadang membuat orang gampang putus asa. Namun, tidak bagi Heru Subagyo. Pria kelahiran Trenggalek 17 September 1958 itu justru menjadikan terpaan cobaan itu sebagai peneguh jiwa dan semangat untuk melangkah lebih maju.
S
ulung dari 4 ber saudara putra pasangan Bapak Ramelan (Almar hum) dan ibu Marjati me mang telah mengalami pahit getirnya kehidupan. Sejak umur 7 tahun, atau ketika masih duduk di bangku SD, Heru sudah harus hidup tanpa sang ayah yang telah meninggal dunia. Tak pelak, ia pun harus ter biasa bekerja keras demi bisa membantu sang ibu mencari nafkah. Kehidupan yang su sah itu membuat Heru tak punya banyak pil ihan sekolah setamat SD selain di ST (Sekolah Teknik). Pertimbangan orang tua waktu itu sederhana. Lulusan ST tentu akan lebih cepat dan mudah mendapatkan pekerjaan daripada lu lusan SMP. Setelah menamatkan
22 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
ST pada tahun 1973, ia berhasil me lanjutkan pendidikan ke STM Negeri 3 Surabaya. Lulus STM tahun 1976, asa untuk me lan jutkan studi semakin membuncah. Heru, demikian panggilan akrabnya lan tas masuk ke IKIP Negeri Surabaya, dan berhasil menyelesaikan Sarjana Mu da tahun 1981. “Alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan jalan dan ke sem patan bisa menempuh jenjang pen didikan yang lebih tinggi,” ucapnya pe nuh kenangan. Sebenarnya, setelah lulus Sarjana Muda, ia berharap bisa langsung be kerja. Namun, harapan tersebut harus tertunda karena saat itu merupakan ma sa transisi penghapusan Program Sar jana Muda menjadi Program Strata Satu (S1). Karena IKIP Surabaya belum mem buka S1, Heru pun melanjutkan jenjang S1 Teknik Elektro di IKIP Bandung dan lulus tahun 1982. “Dari Sarjana Muda ke S1 saya selesaikan dalam waktu 1 tahun 3 bulan,” ungkap pria murah senyum itu. Lulus dari IKIP Bandung, Heru di ha dapkan pada pilihan cukup pelik, menjadi guru (PNS) atau bekerja di pe
INSPIRASI ALUMNI
rusahaan swasta. Jika menjadi guru (PNS), kesempatan ketiga adik-adiknya melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi tentu relatif sulit. Maklum, gaji guru PNS dulu sangatlah minim. Atas saran sang ibu, ia akhirnya memilih be kerja di perusahaan swasta. Dengan be kerja di perusahaan swasta itulah Heru mem bantu biaya adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi. “Alhamdulillah, ketiga adik saya telah menyelesaikan pendidikan di per guruan tinggi,” ungkapnya haru. Inspirasi sang Ibu Sebagai anak tertua, Heru memang harus berjibaku agar adik-adiknya men dapat pendidikan yang maksimal. Lepas dari itu, ia sangat mengagumi sosok sang ibu. Ia menyebut ibunya adalah Wonder Women (Perempuan yang Hebat). Dari ibunya, ia belajar tentang arti sebuah ke tegaran dan kasih sayang dalam wujud merawat anak-anaknya. Sang ibu memutuskan menjadi single parent sejak ditinggal ayahnya tahun 1967. Sendirian, sang ibu merawat dan membe sarkan keempat anaknya. Sebagai anak tertua, Heru tentu turut bertanggung ja wab. Sejak kecil ia sudah sering dilibatkan membantu ibunya bekerja. Heru bersyu kur meski hidup dalam kondisi yang ter batas, semua keluarganya sudah berhasil dan hidup mapan. Ia pun mengaku tidak menyangka roda kehidupannya akan berputar se demikian rupa jika melihat latar be la kang kondisi ekonomi keluarganya dulu yang sangat terbatas dan serba kekurangan. Pencapaian profesi hingga bisa memimpin sebuah organisasi pro fesi bidang ketenagalistrikan tingkat nasional, tentu tidak pernah diimpikan dan dibayangkan sebelumnya. Ada yang menarik dari prinsip hidup pria yang pernah menjabat sebagai Wa kil Ketua Komite Tetap Bidang Energi & Sumber Daya Mineral KADIN Pusat (2009 – 2012) itu. Ia berprinsip bahwa bekerja itu sama dengan ibadah. Jika bekerja hanya dianggap bekerja yang
didapat hanyalah dunia. Sebaliknya, jika bekerja dianggap sebagai ibadah, dunia dan akhirat sama-sama didapatkan. “Pilihannya bergantung kita, mau pilih satu apa pilih keduanya,” terangnya. Keliling Indonesia, Tularkan Ilmu Heru Subagio telah berkeliling In donesia. Sebagai Ketua Asosiasi Profesio nal Elektrikal Mekanikal Indonesia, yang merupakan wadah profesi bidang listrik, Heru memiliki seabrek aktivitas yang
Indonesia seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sri wijaya, Universitas Syah Kuala dan universitas lainnya. “Kalau orang melihat saya seperti ini, saya selalu memberikan inspirasi dan motivasi. Saya katakan, anda jangan me lihat keadaan saya sekarang, anda harus tahu bagaimana prosesnya sampai se perti ini. Hidup itu perjuangan. Kita tidak pernah lepas dari perjuangan sampai kapan pun,” tandasnya.
ber kaitan dengan sertifikasi tenagatenaga terampil listrik di Indonesia. “Baik buruknya listrik di Indonesia, salah satu pihak yang berkontribusi adalah organisasi yang saya pimpin ini. Anggota-anggota saya adalah pejabatpejabat BUMN, seperti mantan direktur PLN,” jelasnya. Mungkin karena naluri jiwa pendi diknya, setiap kali berkunjung ke suatu daerah, Heru paling suka berbagi ilmu dengan perguruan tinggi yang ada prodi elektro. Karena itu, ia kerap men jadi dosen tamu. Ia mengaku telah ber kunjung dan mengajar di 40 lebih per guruan tinggi negeri maupun swasta di
Lulus IKIP kok Tidak Jadi Guru? Sebagai alumni IKIP Surabaya, Heru me miliki banyak kenangan suka dan duka. Ia masuk IKIP Surabaya tahun 1977. Ia ingat waktu awal kuliah, ia sempat pe simis apakah bisa menyelesaikan studi di tengah kehidupan yang pas-pasan. Namun, berkat tekad yang kuat dan izin Allah, ia berhasil menyelesaikan kuliah dengan baik,bahkan bisa menyelesaikan Strata Satu di IKIP Bandung. Sebelumnya, banyak orang yang ti dak tahu jika di IKIP Surabaya ada prodi teknik. Bahkan, banyak yang meng anggap IKIP adalah kampus untuk kelas me nengah ke bawah. Namun, Heru
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 23
INSPIRASI ALUMNI mampu membuktikan bahwa lulusan IKIP Surabaya juga bisa diperhitungkan. Soal pilihannya menempuh pen didikan di IKIP, memang pada awalnya didasari pada keinginan yang kuat untuk menjadi guru. Karena itu, ketika lulus ia mau melamar menjadi guru. Namun, sang ibu membelokkan keinginannya. “Bagaimana dengan nasib adik-adikmu kalau kamu jadi guru yang gajinya tidak seberapa.” Begitu ungkap sang ibu. Se bagai anak tertua dan bertanggung ja wab pada adik-adiknya, Heru pun tak membantah dan terpaksa memendam keinginannya menjadi guru. Pria yang kini menjadi Senior Advisor AKLI DPD Jawa Timur itupun ber usaha keras melamar pekerjaan di beberapa perusahaan ternama, di antaranya PT. Semen Gresik, BLK Si ngosari, dan perusahaan kontraktor. Di perusahaan kontraktor itulah, Heru me mulai kariernya. Ia merasa beruntung dapat bekerja di perusahaan tersebut karena kedisiplinan, mobilitas kerja, dan manajemennya sangat tertata. Berani Keluar dari Zona Nyaman Sembilan tahun bekerja dirasa su dah cukup untuk membuat Heru man diri. Ia akhirnya memilih keluar dari zona nyaman dan membuka usaha sen diri dengan modal jaringan dan kepercayaan yang dimiliki. Waktu keluar dari perusahaan itu, jabatan Heru terbi lang sudah mentereng yakni menjadi Regional Manajer Jawa Timur. PT. Tulus Karya Wiesesa. Itulah nama perusahaan yang didirikan Heru pada tahun 1990. Rupanya, pilihan keluar dari perusahaan dan mendirikan peru sahaan sendiri itu langkah yang tepat. Perusahaan yang didirikan ber kem bang dan menjadi perusahaan yang cukup mapan. Setelah perusahaan yang dipimpin mapan, Heru tak kuasa meno lak ajakan teman-temannya untuk ber gabung di AKLI. Bergabung di organisasi kelistrikan itu lah, karier Heru makin mentereng. Ia terpilih menjadi ketua AKLI Kota Su ra baya. Dari AKLI Surabaya, namanya kian dikenal hingga ia pun terpilih
24 |
BERBAGI ILMU: Heru Subagyo saat berbagi pengetahun dalam kuliah umum di kampus (atas), dan melalui siaran di RRI (bawah)
menjadi Ketua AKLI Jawa Timur. AKLI Jatim itu merupakan AKLI yang terbesar anggotanya di seluruh Indonesia dan menjadi barometer nasional. Kontribusi Alumni Sebagai alumni IKIP Surabaya, Heru ikut bersuara mengenai kontribusi alumni terhadap Unesa. Ia mengatakan, seharusnya alumni memberikan lang kah nyata. Ia bilang banyak -alumni yang sudah sukses dan mereka bisa me nularkan ilmunya untuk Unesa seperti menjadi dosen tamu dan sebagainya. “Sebenarnya mereka tidak perlu dibayar karena mereka pasti senang bisa berkontribusi terhadap almamaternya. Kalau kita melakukan sesuatu itu ber landaskan ibadah, rezeki akan selalu da tang dari segala arah,” tuturnya. Sebagai alumni, ia berharap Unesa le bih banyak membuka diri. Ia tidak ingin Unesa seperti katak dalam tempurung. Karena di luar perkembangan ilmu pe ngetahuan sudah luar biasa, dan Unesa harus memperluas dalam membangun jejaring. Semakin banyak jaringan, tentu akan semakin banyak pengalaman di dunia nyata. Heru berharap, para alumni yang su dah sukses bisa didata dan digugah ke peduliannya untuk memajukan Unesa. Ia yakin alumni Unesa mampu terjun di masyarakat karena memiliki ke te ram pilan yang mumpuni. Mengenai kiat sukses, Heru pun ber bagi pengalaman. Ia mengatakan dalam me lakukan pekerjaan, ia senantiasa
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
ber pegang teguh pada 5 hal, yakni Kerja Keras, artinya melaksanakan pe kerjaan secara sungguh-sungguh tan pa mengenal lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu me ngutamakan atau memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Kerja Cerdas: yakni sikap dalam bekerja yang pandai mem per hitungkan resiko maupun melihat peluang dan dapat mencari solusi se hing ga dapat mencapai keuntungan yang diharapkan. Kerja Lugas: yakni melaksanakan pekerjaan secara fokus, tanpa basa-basi, tidak pernah menyimpang ke sana-sini, mempertimbangkan efisiensi, tidak ber belit-belit, mengarah pada tujuan dan target yang diharapkan. Kerja Tuntas: yakni mampu mengorganisasikan bagi an usaha secara terpadu dari awal sam pai akhir untuk menghasilkan usaha sampai selesai dengan maksimal. Terakhir, Kerja Ikhlas: yakni bekerja tanpa mengeluh dan bukan cuma se mata-mata untuk mendapatkan uang atau upah dari apa yang dikerjakan tapi diniatkan bahwa kerja juga sebagai ibadah atau pengabdian kepada Tuhan yang Maha Esa. (RUDI UMAR)
KABAR PRESTASI
Tim Robot Fly RG Unesa yang sukses di ajang KRTI 2014 tingkat nasional.
Tim Robot Fly RG Unesa
Raih Juara KRTI 2014 Tingkat Nasional
U
niversitas Negeri Surabaya (Unesa) ma kin cemerlang dalam ajang kontes robot. Fly RG, tim robot ter bang Fakultas Teknik Unesa berhasil me nya bet juara dua dalam Kontes Robot Terbang Indonesia (KRTI) 2014 yang ber lang sung di Lapangan Aeromodelling TNI AU Raci, Pasuruan pada Kamis - Ming gu (9-12/10/2014). Kontes robot yang men dapatkan dukungan penuh dari Ke men terian Pendidikan dan Kebudayaan (Kem dikbud) itu mempertandingkan 4 kategori, yakni kategori umum Fixed Wings, kategori umum Rotary Wings, kategori perguruan tinggi Rotary Wings, dan ka tegori perguruan tinggi Fixed Wings. Ber sama 6 orang anggota tim dan 2 dosen pembimbing, tim robot Unesa mengikuti 2 kategori sekaligus, tim robot Fly RG meng ikuti kategori perguruan tinggi Rotary Wings dan tim robot Mata Dewa mengikuti kategori perguruan tinggi Fixed Wings. Tim robot Fly RG yang beranggotakan Muklas Prasetya, M. Ikhwan Ridha, Faisal Ashari, dan Bakhtiar Arsada berhasil meraih juara dua di kategori perguruan tinggi Ro tary Wings. Menurut Ketua Tim Fly RG, M.
Ikhwan Ridha, penilaian didasarkan pada ketepatan dan kemampuan robot dalam menuntaskan misi yang diberikan pa da masing-masing tim. Misinya adalah me mindahkan muatan pesawat berupa sebu ah kotak kecil seberat 150 gram ke suatu area sejauh kira-kira 1 km. Robot terbang itu dikendalikan dengan cara otomatis se hingga anggota tim hanya memberikan pe rintah melalui perangkat komputer untuk menentukan koordinat yang harus dilalui robot. Dari 13 tim yang mengikuti kategori perguruan tinggi Rotary Wings, hanya 2 ro bot terbang yang mampu menyelesaikan misi tersebut, Unesa dan Telkom University. “Penilaiannya yaitu setiap robot terbang harus mampu menyelesaikan misi.Mereka harus mampu terbang secara autonomous atau tanpa dikontrol melalui titik koordinat yang telah ditentukan, dan meletakkan mu atan pesawat di area yang sudah ditentukan ko ordinatnya,” papar Ikhwan mahasiswa Jurusan Teknik Elektro. Untuk kompetisi itu, komunitas robotika Unesa yang sudah berdiri sejak 2009 me lakukan persiapan selama kurang lebih 2 bulan. Walaupun banyak kendala selama
proses validasi lapangan, namun me reka mampu membuktikan bahwa Unesa, khusunya bidang robotika sudah se ta ra dengan perguruan tinggi lain yang ber basis keteknikan. “Saya berharap di tahun mendatang, tim robot Unesa mampu me raih juara di semua kategori dan mampu mem bawa nama baik Universitas Negeri Surabaya dan harapannya juga dari pihak fakultas bisa lebih menfasilitasi kegiatan ro botik di Unesa ini,” papar Muklas, Ketua Ro botik FT Unesa. Ajang kontes robot yang menjadi agenda ta hunan Dikti itu menjadikan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) sebagai tuan rumah. Selain bertanding dengan tuan rumah, tim Robotik Unesa juga ber saing dengan perguruan tinggi lain di In do nesia. Di antaranya adalah Universitas Kom puter Indonesia (UNIKOM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Negeri Lampung (Unila), STIMIK Teknokrat, Univer sitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yog yakarta (UNY), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). (KHUSNUL/ANDINI)
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 25
KABAR SM-3T CATATAN DARI MONEV SM3T SUMBA TIMUR
Melaut Bersama ‘Orang Gila’ OLEH Luthfiyah Nurlaela [Koordinator SM3T Unesa]
MENGARUNGI SAMUDERA: Menjelang keberangkatan mengarungi samudera bersama ‘orang gila’.
A
khirnya kembali saya jejakkan kaki di tempat ini. Di sebuah desa bernama Katundu, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur. Mendung gelap menggantung di langit. Tidak ada gerimis, tidak ada hujan. Namun angin mengabarkan kalau sebentar lagi hujan akan turun. Kami berkemas. Mengeluarkan barang-barang dari mobil, barangbarang yang akan kami bawa menyeberang ke Salura. Buku, majalah Unesa, majalah Al-Falah, alat-alat mandi, nasi bungkus, kuekue, dan perlengkapan pribadi kami. Membungkus semuanya dengan
26 |
kantung plastik rapat-rapat. Termasuk membungkus semua gadget dan kamera. Menutup peluang air hujan atau air laut membasahi semuanya. Saya sudah pernah mengalami pengalaman buruk sepulang dari Salura. Kamera pocket saya rusak. Lensa tidak bisa dibuka-tutup. Ada semacam pasir di sela-selanya. Itulah kenangan saat berlayar ke Salura. Di bawah guyuran gerimis yang rasanya asin, kamera saya terpapar air yang mengandung garam itu. Selesai sudah. “Pak Heri, apa kita perlu pakai jas hujan?” Tanya saya pada Pak Heri, Kepala Sekolah SMP Satap Salura, sekolah yang akan kami kunjungi.
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
Beliau menjemput kami, dengan membawa perahu yang disewanya bersama pemilik perahunya. Laki-laki itu menatap ke atas, melihat ke langit, membaca cuaca. “Sepertinya tidak, Ibu.” “Sepertinya?” Saya balik bertanya. Tidak yakin. Saya tetap mengambil jas hujan. Setidaknya, kalau pun hujan tidak turun, saya memerlukannya untuk melindungi tubuh saya dari terpaan ombak. Tapi tiba-tiba gerimis turun. “Pak Heri, belum-belum sudah membohongi saya?” Pak Heri tertawa. “Ini hujan cuma lewat saja, Ibu.”
KABAR SM-3T Begitu kami sudah mengenakan jas hujan, dan bersiap turun menuju perahu, tiba-tiba saya ingat sesuatu. “Mana pelampung?” Saifud, koordinator kabupaten peserta SM-3T Sumba Timur, menjawab. “Ada, Bunda. Di perahu. Kemarin saya sudah minta disiapkan. Ada sekitar 10 buah.” Kami bertujuh berjalan menuju perahu. Saya dan Mas Febri (staf PPPG), Mas Oscar (driver), dan empat orang peserta SM-3T: Saifud, Ade, Gangga, dan Bintang. Saifud berjalan mendahului kami, untuk memastikan keberadaan pelampung. Ketika kami hampir sampai di dekat perahu, Saifud memberi tahu, kalau ternyata pelampung tidak disiapkan. Mak deg. Saya keder. “Bagaimana, Bunda?” Tanya Saifud. Wajahnya menggambarkan kekhawatiran kalau saya akan batal menyeberang karena tidak ada pelampung. “Kemarin saya sebenarnya sudah pesan supaya pelampung disiapkan, tetapi ternyata tidak ada satu pun, Bunda. Katanya terlambat menitipkan ke perahu.” Saya melempar pandangan ke Pak Heri yang sudah ada di dalam perahu. “Pak, nggak bawa pelampung?” Tanya saya. Pak Heri menggeleng, “Tidak apa-
apa, Ibu. Aman.” Laki-laki asli Muncar, Banyuwangi itu tersenyum, meyakinkan. Tapi di mata saya, dia seperti sedang menyeringai. Bisa-bisanya tidak bawa pelampung? Ini Samudra Hindia. Menyeberang dengan perahu nelayan kecil lagi. Hadeh. Saya jadi ingat saat di Waisai, Raja Ampat. Pagi hari, sekedar mengisi waktu, saya berjalan ke pantai. Menikmati semilir angin dan melihat laut. Gelombang cukup besar, dan saya lihat ada perahuperahu nelayan yang tetap melaut. Menuju ke tengah samudra. Gila. Cari mati apa mereka? Kapal sekecil itu? Tanya saya. Tapi mereka benar-benar melaju. Membelah samudra luas. Saya memandanginya terus, sampai perahu itu berubah jadi titik kecil yang akhirnya juga hilang, tak terlihat. Dan saat ini, saya menjadi bagian dari kegilaan itu. Mengarungi Samudra Hindia, dengan perahu nelayan. Tanpa pelampung. Kalau terjadi apa-apa, entahlah. Saya bayangkan, kalau masih pakai pelampung, setidaknya saya masih bisa kampul-kampul... Di Jawa, perahu kecil itu biasa disebut jukung. Di Salura, disebut perahu cumi, karena fungsi utamanya untuk mencari cumi. Tentu saja saya tidak mungkin mundur. Langkah maju sudah diambil,
PERSIAPAN: Bersama tim mempersiapkan keberangkatan mengarungi lautan menuju pulau Salura..
tak akan surut. Ini bukan masalah malu. Tapi perjalanan sejauh ini, sejak dari Surabaya sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan enam jam dari Waingapu pagi tadi, terlalu berharga untuk diabaikan, hanya karena tidak ada pelampung. Lihatlah wajahwajah itu. Penuh optimisme. Bahkan anak kecil yang tak berbaju itu. Juga seorang mama berkerudung. Mereka tak ada rasa gentar sedikit pun meski tidak pakai pelampung. Tapi....ya, ini memang dunia mereka. Mereka sudah terlahir di sini, dengan kondisi alam yang telah selama hidup mereka akrabi. Sedangkan saya? Oh Tuhan.... Saya mengumpulkan kekuatan. Menceburkan kaki ke laut. Melompat masuk perahu dengan penuh keyakinan. Duduk di bagian belakang, berdampingan dengan Ade, gadis peserta SM-3T yang turut mendampingi kami sejak dari Waingapu. Di depan saya, duduk berhimpitan Mas Oscar dan Saifud. Di depan lagi, anak laki-laki belasan tahun, duduk berdampingan dengan Kakak Arni, perawat di Puskesmas Pembantu di Salura. Di depannya lagi, dua orang tukang perahu. Di depannya lagi, entah siapa, mungkin penumpang kapal. Hari ini adalah hari pasar di Katundu, sehingga ada beberapa penumpang lain selain kami, dengan tujuan Salura. Di depan lagi, Gangga dan Bintang. Pak Heri duduk sendirian persis di belakang saya dan Ade. Perahu ini langsing sekali. Bila dua orang duduk berdampingan, tidak ada lgi space di samping kanan-kiri, pas untuk berdua. Perahu sekecil ini, ditumpangi tiga belas orang. Benarbenar gila. Entah ini berani atau konyol, atau keduanya. Setidaknya saya jadi semakin percaya dengan lagu lama itu. Nenek moyangku....seorang pelaut... Perahu pun melaju. Saya tahu, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam seperempat untuk sampai di Salura. Ini penyeberangan kedua bagi saya. Penyeberangan pertama
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 27
KABAR SM-3T dulu juga dalam rangka monev SM-3T seperti sekarang ini. Namun, sebagaimana setahun yang lalu, menit demi menit seperti berjalan begitu lambat. Perahu seolah tidak bergerak. Meski begitu, laut yang hitam, sehitam mendung yang menggayut di langit, dan puncak-puncak bukit yang tersamarkan oleh kabut tebal, tak membuat hati saya ciut. Malah justeru pasrah. Menyerahkan keselamatan diri sepenuhnya pada perlindungaNya. Saya sudah sering mengalami situasi semacam ini. Kepasrahan total ternyata memberikan ketenangan. Ya, apa saja bisa terjadi memang. Tapi saya yakin, Allah akan melindungi perjalanan kami. Saat mencapai separo perjalanan, hujan turun dengan deras. Sebagian dari kami menggigil kedinginan. Kilat menyambar-nyambar. Tapi dua orang tukang perahu itu hanya menggelengnggelengkan kepala, sambil tersenyum. Sesekali mereka melihat ke langit, menerka cuaca. Menggelenggelengkan kepala lagi. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya berdoa, semoga hanya hujan saja. Sederas apa pun, semoga hanya hujan saja, tanpa disertai badai. “Ini benar-benar hujan lewat.� Kata Pak Heri, menyadari kesalahan prediksinya tadi. Ya, hujan deras yang lewat, namun terus singgah. Singgahnya lama lagi. Hidung saya semakin mampet. Saya memang sedang flu, dan paparan air hujan asin yang terus-menerus menerpa wajah saya benar-benar membuat saya seperti kehilangan lubang hidung. Tak berapa lama, mesin di bagian kanan perahu tiba-tiba mati. “Oli, oli.� Teriak pak Heri. Tukang perahu mencari oli. Di bawah kaki-kaki para penumpangnya. Ternyata ketemu di bawah kaki saya. Subhanallah. Ternyata saya benarbenar melaut bersama orang-orang gila. Oli yag begitu pentingnya saja sembarangan meletakkannya. Setelah pada bagian-bagian tertentu mesin perahu itu dituangi
28 |
oli, perahu berjalan lagi. Normal. Karena hujan tak juga mereda, mesin bagian kanan depan ditutup plastik. Sedangkan mesin di sebelah kiri, tidak ditutup, tapi Pak Heri mengungkitnya dengan menggunakan dayung. Rupanya permukaan air yang menaik, menyebabkan mesin terlalu dekat dengan air, dan harus diungkit supaya tidak bersentuhan dengan air laut. Akhirnya nampaklah garis pantai dari kejauhan. Pasirnya yang putih terlihat muncul tenggelam, seirama dengan goyangan perahu yang diterpa ombak. Warna kelabu yang menutup permukaan pulau menandakan kalau pantai masih jauh. Air laut, sejauh mata memandang, masih tetap hitam legam, tanda laut dalam. Warna hijau kebiruan tak juga terlihat.
Sampai akhirnya tibalah saat yang kami tunggu. Air laut berangsur berubah menjadi biru, lantas hijau. Dasar laut yang putih nampak meski samar. Pasir putih di depan sana semakin dekat, dan pulau yang berkabut itu sudah mulai terlihat konturnya, pohon-pohonnya, lekukan garis pantainya. Di daratan, sekelompok orang sudah menunggu. Salah satu di antaranya adalah Wahyudi, guru SM-3T dari Prodi Pendidikan Fisika, yang bertugas di SMP Satap Salura. Dia datang bersama anak muridnya, lengkap dengan gerobak yang akan mengangkut bagasi kami. Alhamdulilah, Ya Allah. Kau lindungi kami semua dalam perjalanan ini. Salura, akhirnya... (MAN)
OLEH-OLEH: Bersama-sama mengusung barang dari perahu ke daratan (bawah). Anakanak lautan sedang bersampan di tepian laut (atas).
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
JATIM MENGAJAR
Penulis bersama siswa setempat yang mendapat bantuan sarana pendidikan dari donasi masyarakat yang disalurkan melalui YDSF untuk Jatim Mengajar.
LAPORAN JATIM MENGAJAR (BAGIAN 3)
Repot dan Sulitnya Mencari MCK n oleh Muhtar Anas
Pagi itu aku berangkat agak siang karena ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di tempatku menginap. Di rumah Bapak Punaji tepatnya. Selesai pekerjaan aku segera berangkat menuju sekolah untuk belajar bersama anak-anak. Jalanan berlumpur akibat hujan semalam.
D
ua puluh dua anak berbaris dengan rapi se suai kelasnya. Bersepatu dan berseragam. Begitu sederhana. Namun terlihat semangat yang besar dari sepasang mata mereka. Tapi, tidak. Sepintas ada yang aneh pada barisan mereka. Ternyata barisan mereka ha nya ada lima. Kok, lima...
Bila memang itu barisan per kelas, bukankah seharus nya ada enam baris. Masih ada satu hal yang membuat ku tertarik. Seorang anak ber diri paling belakang di ujung kiriku. Setelah memperkenalkan diri, tak sabar aku ingin me ngetahui nama mereka satu persatu. Segera aku minta untuk menyebutkan nama dan kelas dari barisan paling
kanan di hadapanku. Mulai dari kelas I, lima orang anak laki-laki. Kelas II, ada 3 anak. Satu laki-laki dua perempuan. Kelas IV ada lima anak. Dua laki-laki 3 perempuan. Enam orang anak di kelas V. Tiga laki-laki dan tiga perempuan. Yang terakhir 3 orang anak laki-laki ada di kelas VI. Kelas yang tidak ada barisannya adalah kelas III. Barisan kelas VI paling ujung kiri di ha Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 29
JATIM MENGAJAR dapanku yang tadinya aku kira seorang anak pe rem puan teernyata bagus na manya. Jarum pendek hampir menuju angka delapan. Da tanglah seorang paruh ba ya. Seumuran dengan Pak Usman. Pak Asma`un nama beliau. Guru Agama. Selang beberapa waktu kemudian disusul Pak Yogie. Guru mu da yang seumuran dengan ku. Kemudian Bu Dwi, putri Pak Usman yang ju ga ikut mengabdikan diri di sekolah ini. Ada lima orang guru se kalian Kepala Sekolah di se kolah ini. “Berdoa mulai!” Salah satu siswa memim pin kegiatan doa untuk me ngawali kegiatan belajar. Ter lihat semangat yang terpan car dari wajah mereka. Jam pertama tepat di mulai pukul 07.00 WIB. Merupakan hal yang langka mereka alami. Tak jarang pelajaran dimulai jam 08.00, bahkan jam 09.00. Pagi itu aku berangkat agak siang karena ada bebe rapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di tempatku menginap. Di rumah Bapak Punaji tepatnya. Selesai pe kerjaan aku segera berangkat menuju sekolah untuk belajar bersama anak-anak. Jalanan berlumpur akibat hujan se malam. Terdapat danau-da nau kecil di sepanjang jalan. Namun semua itu tak meng halangi langkah kakiku me nuju sekolah. Terdengar sua ra gaduh anak-anak meski dari kejauhan. Ketika sampai di halaman mereka berlarian un tuk berebut bersalaman.
30 |
Memang itu kebiasaan yang diajarkan kepada anak-anak dari para guru. Namun kali ini ada keanehan. Beberapa anak membawa cangkul. Ada yang membawa sabit, bebe ra pa di antara mereka ada yang tangannya berlumpur. “Ada apa ini tanganmu kotor, Wawan?” Rasa pena sa ran memaksaku bertanya pada mereka. “Itu, Pak Guru. Member sihkan lahan bersama Pak Us man di samping sekolah.” Ja wab salah satu dari mereka. “Loh, ini kan hari Senin. Bukankah kegiatan kerja bakti hari Jumat?” Rasa pena saranku kian bertambah. “Pak Usman mengajak berkebun, Pak Guru. Mena nam jagung.” Jawabnya po los. Aku pun kaget. Segera aku meletakkan buku di kan tor dan melihat kegiatan yang dilakukan anak-anak. Benar. Mulai dari kelas I sam pai kelas VI, mereka semua sedang sibuk. Ada yang mencabuti rumput. Men cangkul. Salah satu dari me reka ada yang membawa wa dah berisi benih jagung. Kegiatan berkebun anakanak pun berakhir se kitar pukul 09.00. Terjadi per cakapan yang ironi an ta ra Wawan, salah satu siswa kelas VI, dengan Pak Yogie ketika istirahat. Hal itu dice ritakan kepadku setelah me reka selesai. “Bapak kamu di sawah menanam apa, Wan?” “Sama, Pak Guru. Mena nam Jagung.” “Sudah selesai?”
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
“Belum, Pak Guru.” “Kalau Bapak kamu siapa yang membantu?” “Ibu saya, Pak Guru. Tadi pagi mereka berangkat. Ber sama saya berangkat ke se kolah.” “Kenapa kamu tidak ikut membantu bapak kamu?” “Tidak. Saya ke sekolah saja. Kata bapak sudah kelas VI, harus rajin belajar.” Terus terang, hati saya berontak menyaksikan kon disi seperti ini. Namun kem bali saya teringat akan siapa diri saya di sekolah ini. De ngan berbagai alasan, tugas mengajar anak-anak di ke sampingkan. *** Entah kenapa, masih ba nyak rumah di dusun Mlurus belum memiliki fasilitas MCK yang standar. Kamar mandi dengan dinding papan ber lu bang sudah menjadi hal biasa. Jangankan dinding ka mar mandi, dinding rumah utama pun juga terbuat dari papan. Bagitu juga dengan fasilitas buang air besar, WC. Sama seperti rumah Pak Pu naji yang aku tempati. War ga yang belum memiliki WC harus membuang sisa-sisa makanan dalam perut mere ka di hutan. Beruntung Bapak Kepala Sekolah, Pak Matelan, me nitipkan beberapa kunci ruangan kepadaku. Salah sa tunya kunci kamar mandi. “Ini kunci kantor. Ini juga ada kunci kamar mandi. Sila kan Pak Muhtar gunakan ji ka ada perlu. Warga di sini jarang yang mempunyai ka mar mandi.” Kata Pak Mate
lan saat awal aku tugas me ngajar. Namun ada satu hal yang ti dak biasa bagiku. Kamar man di sekolah berada di samping rumah warga. Ru mah tersebut mempunyai hewan peliharaan, yaitu an jing. Memang pada siang ha ri anjing itu berkeliaran entah kemana. Tetapi anjing itu akan kembali ke rumah majikan ketika petang telah tiba. Maka aku pun berusaha untuk buang hajat pada saat siang hari saja. Meskipun ke giatan buang hajat itu tidak bisa dikompromi kapan wak tunya. Meski sekuat tenaga te lah mencoba, namun apalah daya. Apa yang aku khawa tir kan benar-benar terjadi. Waktu itu salat maghrib ber jamaah di masjid belum usai. Tetapi isi dalam perutku mu lai berontak. Akhirnya usai salam, aku segera balik ka nan, dan langsung pulang mengambil kunci. “Mau kemana, Pak?” Ta nya istri Pak Punaji yang me lihatku terburu-buru. “Mau ke kamar mandi se kolah, Bu.” “Ini bawa senter, biar te rang. Jalannya gelap lho.” “Oh, tidak apa-apa.” Akhirnya tanpa pe ne rangan, aku segera melang kahkan kaki menuju kamar mandi sekolah. BERSAMBUNG
ARTIKEL WAWASAN
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 4 TAHUN 4 BULAN oleh Susanto PENDAHULUAN Proses anak mulai mengenal komunikasi de ngan lingkungannya secara verbal di sebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pe merolehan bahasa pertama (B1) anak terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak le bih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata se der hana menuju gabungan kata yang le
bih rumit. Menurut Pak De Sofa ada dua pengertian mengenai pemerolehan baha sa. Pertama, pemerolehan bahasa mem punyai permulaan yang mendadak, tibatiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang mun cul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat meng hasilkan ucapan-ucapan yang ber dasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang
bersangkutan dengan baik. Kedua, pem bicara harus memperoleh ‘kategori-ka te go ri kognitif’ yang mendasari berbagai mak na ekspresif bahasa-bahasa alamiah, se perti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesang gupannya berkomunikasi dengan ba ha sa khusus manusia dan itu tidak ada hu bungannya dengan kecerdasan atau
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 31
ARTIKEL WAWASAN pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hu bungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk ba hasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sa ma bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola per kembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pem ba gian dan pola persepsi. Kekurangan ha nya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa per ta ma erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasiprestasi motorik, sosial, dan kognitif pra linguistik. Pemerolehan bahasa pertama erat sekali ka itannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya de ngan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak meng ekspre sikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara so sial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilainilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memper oleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan se dikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pri badi Anda sendiri’. Sejak dini bayi te lah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi ke sem patan kepada bayi untuk ikut dalam ko munikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling ber bagi rasa. Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sa rana untuk mengungkapkan perasaan, ke inginan, dan pendirian, dalam bentukbentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak
32 |
dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasa annya secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia te lah menguasai B1. Agar seorang anak da pat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang ber ka itan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis me rupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 se orang anak. Sistem pikiran yang terdapat pada anakanak dibangun sedikit demi sedikit apa bila ada rangsangan dunia sekitarnya se bagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan ter bentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perben daharaan kata dan tata bahasanya pun ter bentuk. Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua anak. Pertama, salah satu perbedaan antara pe merolehan bahasa pertama dan bahasa ke dua ialah bahwa pemerolehan bahasa per tama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial se orang anak. Kedua, pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kog nitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pe merolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan,
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
sedangkan dalam pemerolehan bahasa ke dua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan ba hasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butirbutir tata bahasa, banyak variabel yang ber beda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa. Ketiga, ciri khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada mes kipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan. Keempat, ada tiga ma cam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada mor fem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil). Kelima. perkembangan pemerolehan ba hasa pertama dan kedua anak Rizki ada perbedaan yang mendasar baik yang me nyangkut bentuk, urutan, jumlah dan keas lian bahasa yang digunakan. n *Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMAN 3 Bojonegoro, Alumnus Pascasarjana UNS Surakarta. Tulisan lengkap artikel ini pernah dimuat di Majalah Education Yes Edisi 1)
INFO SEHAT
KHASIAT ISTIMEWA Ubi Jalar Merah
U
bi jalar ternyata tidak bisa dianggap remeh, sebagaimana anggapan ba nyak orang selama ini. Ya, untuk kesehatan sepertinya kita tak boleh lagi me nyia-nyiakan ubi jalar merah, karena kha siatnya lebih dahsyat dari sekadar menjaga kesehatan mata. Sekelompok antioksidan yang tersim pan dalam ubi jalar merah mampu meng ha langi laju perusakan sel oleh radikal bebas. Karenanya ubi jalar merah dapat mencegah kemerosotan daya ingat dan kepikunan, penyakit jantung koroner, ser ta kanker. Plus bonus membuat kita tetap awet muda. Ubi jalar yang termasuk umbiumbian murah ini jarang masuk dalam menu ke luarga kita, padahal di dapur orang Barat, ubi jalar merupakan primadona. Pada perayaan hari besar besar, seperti Natal dan Thanksgiving Day, penduduk AS lazim membuat sajian eksklusif dari ubi jalar seperti cake, kue kering, pure peleng kap steak atau salad, es krim, puding, muf fin, souffle, pancake, kroket, sup krim, mau pun sebagai taburan hidangan panggang (au gratin ) “Merah” pertanda kaya beta karoten. Kita mengenal ada beberapa je nis ubi jalar. Yang paling umum adalah ubi jalar putih. Selain itu ada juga yang un gu maupun merah. Sekalipun disebut ubi jalar merah, sebenarnya warna da ging buahnya adalah tidak merah, tapi kekuni ngan hingga jingga alias orange. Mengapa pilih yang merah? Dibanding ubi jalar putih,tekstur ubi jalar merah memang lebih berair dan kurang masir (san dy), tapi lebih lembut. Rasanya ti dak semanis yang putih padahal ka dar
gulanya tidak berbeda. Ubi jalar putih mengandung 260 mkg (869 SI) betaka roten per 100 gram, ubi merah yang ber warna kuning emas tersimpan 2900 mkg (9675 SI) betakaroten, ubi merah yang berwarna jingga 9900 mkg (32967 SI). Makin pekat warna jingganya, makin ting gi kadar betakarotennya yang merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh. Secangkir ubi jalar merah kukus yang te lah dilumatkan menyimpan 50000 SI be takaroten, setara dengan kandungan be takaroten dalam 23 cangkir brokoli. Yang menggembirakan perebusan ha nya merusak 10% kadar betakaroten, se dangkan penggorengan atau pe mang gangan dalam oven hanya 20%. Namun pen jemuran menghilangkan hampir separuh kandungan betakaroten, sekitar 40%. Menyantap seporsi ubi jalar merah ku kus/rebus sudah memenuhi anjuran kecukupan vitamin A 2100 3600 mkg se hari, didukung pasukan zat gizi lain. Selain betakaroten, warna jingga pada ubi jalar juga memberi isyarat akan tingginya kan dungan senyawa lutein dan zeaxantin, pa sangan antioksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil merupakan pembentuk vitamin A. Lutein dan zeaxantin merupakan se nyawa aktif yang memiliki peran penting meng halangi proses perusakan sel. Ubi jalar merah juga kaya vitamin E. Dari 2/3 cangkir ubi merah kukus yang dilumatkan di peroleh asupan vitamin E untuk me menuhi kebutuhan sehari. Satu buah se dang (100 g) ubi jalar merah kukus hanya mengandung 118 kalori, 1/4 kalori se potong black forest cake. Zat gizi lain da
lam ubi jalar merah adalah kalium, fosfor, mangaan dan vitamin B6. Jika dimakan men tah ubi jalar merah menyumbang cukup vitamin C. Makan 1 buah sedang ubi jalar merah mentah sudah memenuhi 42% anjuran kecukupan vitamin C sehari. Dibanding dengan havermut (oatmeal), ubi jalar merah lebih kaya serat, khususnya oligosakarida. Menyantap ubi jalar merah 2-3 kali seminggu membantu kecukupan serat. Apabila dimakan bersama kulitnya menyumbang serat lebih banyak lagi. Jangan Disepelekan Ubi jalar merah merupakan umbi-um bian yang mengandung senyawa an ti oksidan paling komplet. Selain vitamin A, C, dan E, ubi jalar merah juga berlimpah vi tamin B6 (piridoksin) yang berperan pen ting dalam menyokong kekebalan tubuh. Di luar perkiraan banyak orang ubi jalar merah dengan kandungan vitamin B6-nya mampu mengendalikan jerawat musiman yang muncul menjelang menstruasi. Agak nya hampir semua zat gizi yang ter kandung dalam ubi jalar merah mendukung kemampuannya memerangi se rangan jantung koroner. Kesimpulan sebuah hasil penelitian menyebutkan ka lium dalam ubi merah memangkas 40% risiko penderita hipertensi terserang stro ke fatal. Sementara tekanan darah yang berlebihan pun merosot 25%. Jika demiki an kenyataannya, kini jangan pernah lagi menganggap remeh ubi jalar merah.Nik mati kapan saja kita suka, sambil memu puk manfaatnya.. n (MAN/BBS)
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 33
CATATAN LIDAH
MENGINDONESIA l Djuli Djatiprambudi
M
arilah kita simak sebuah kutipan dari kitab Genesis Bab 11 Bait 6 berikut,”Voici, ils forment un seul peuple et ont tous une même langue, et c’est la ce qu’ils ont entrepris. Maintenant rien ne les empêcherait de faire tout ce qu’ils auraient projeté” – Demikianlah, mereka membentuk satu bangsa dan satu bahasa. Itulah yang mula-mula mereka usahakan. Sesudah itu tak ada yang bisa menghalangi mereka me lakukan apa saja yang mereka mau. Kata-kata itu saya baca dari buku Bahasa Menunjukkan Bangsa karya Alif Danya Munsyi (Yapi Tambayong) atau dikenal luas bernama Remy Sylado. Mengapa kalimat itu saya kutip? Dalam kalimat itu tersirat ungkapan bahwa pada saat suatu bangsa berbicara dalam bahasa yang sama, maka tidak ada satupun kerja yang tidak mungkin mereka lakukan. Makna lebih jauh, bangsa dan bahasa sesungguhnya sebuah kesatuan yang tidak mungkin di pisahkan. Di dalam suatu bangsa tersurat suatu bahasa, sebaliknya di dalam suatu bahasa tersurat suatu bangsa. Hancurnya suatu bahasa, sama artinya hancurnya suatu bangsa. Berdiri tegaknya suatu bangsa, sama maknanya dengan berakarnya suatu bahasa. Bersyukurlah kita memiliki bahasa Indonesia yang kita junjung tinggi se bagai bahasa persatuan. Tetapi, raya syukur itu kini makin hambar rasanya, karena disadari atau tidak, bahasa Indonesia makin terpinggirkan. Ia seolaholah menjadi bahasa medioker yang tidak penting, karena keberadaannya dianggap tidak merepresentasikan kebutuhan kemodernan atau lebih ja uh gaya hidup masyarakat urban kontemporer. Yaitu, profil masyarakat yang terus-menerus berusaha memperkokoh tubuh dengan segenap asesorisnya, tetapi melupakan entitas ruhaniah dan identitasnya. Dalam masyarakat macam ini, penggunaan bahasa Indonesia dianggap sebagai cap kemunduran dan menimbulkan rasa inferioritas. Bahasa Indonesia di perlakukan semena-mena, hanya karena dianggap tidak mampu lagi untuk mengekspresikan hasrat kemodernan yang bersifat hidonisme, snobisme, dan hiperbolisme oleh masyarakat urban kontemporer. Masyarakat terpelajarpun tidak kalah serius memperlakukan bahasa Indonesia dengan berbagai alasan dan tindakan yang tidak seharusnya. Gejala aneh yang tampak jelas dalam hal ini, misalnya, untuk diakui lulus dari program studi S1, S2, dan S3, ada syarat yang tidak boleh ditawar, ma hasiswa tersebut harus memiliki skor ToEFL atau TEP yang telah ditentukan. Kebijakan macam ini hampir menjadi kecenderungan umum perguruan tinggi di Indonesia. Alasannya, dengan penguasaan bahasa Inggris kualitas lulusan diproyeksikan memiliki standar internasional. Selain itu, alasannya dibingkai oleh alasan keilmuan, bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang dipakai untuk menguasai ilmu (Barat), yang secara luas ditulis dalam bahasa Inggris. Karena itu, barangsiapa ingin menguasai ilmu secara luas dan mendalam, tidak bisa ditawar bahasa Inggris harus dikuasai. Alasan lain yang tidak kalah sakti, bahwa modal utama memasuki dunia global hanya dan hanya jika bahasa Inggris dikuasai dengan baik. Lalu, kalau cara pandangnya demikian, di mana posisi bahasa Indonesia? Benarkah untuk berbicara di fora internasional meski berbahasa Inggris? Mengapa bangsa Jepang hanya dengan mengandalkan bahasa Jepang mampu menjadi kampiun dunia di bidang ilmu, teknologi, dan rekayasa? Hal demikian juga terjadi di bangsa Korea, China, dan bangsa-bangsa
34 |
MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014
lain yang menggunakan bahasa Spanyol, Portugis, Perancis, Jerman, dan Rusia. Berbagai bangsa ini tidak meletakkan bahasa Inggris sebagai bahasa peletak dasar kemajuan atau kemodernan bangsanya dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa Inggris memang di pe lajari, tetapi posisinya tetap di l e takkan di bawah bahasa bangsanya. Sehingga, tidak pernah terdengar, mahasiswa di Korea Selatan dan Jepang misalnya, harus memiliki skor ToEFL tertentu agar mereka lulus dari program studi tertentu di suatu per guan tinggi. Justru sebaliknya, perguruan tinggi di sana memberikan syarat kepada mahasiswa harus memiliki kualifikasi tertentu dalam penguasaan bahasa resmi bangsanya. Karena itu, jangan heran, kalau para cerdik-pandai, ilmuwan, atau tokohtokoh di Jepang, Korea, China, Brazilia, Rusia, dan Spanyol banyak yang ter bata-bata jika mereka menggunakan bahasa Inggris. Tetapi, jangan tanya soal ketajaman dan kedalaman jangkau analisisnya terhadap suatu ilmu pe ngetahuan dan teknologi. Dengan itu, mereka telah membuktikan bahwa bahasa Inggris bukan satu-satunya jalan menuju kemodernan. Mereka tetap bersikukuh menggunakan bahasa mereka sendiri dalam meretas jalan me nuju masyarakat modern dengan tetap menjunjung tinggi bahasanya. Tidak hanya itu, memang. Bila suatu perguruan tinggi di Indonesia me miliki hajat seminar internasional, misalnya, sekalipun hanya dihadiri oleh pembicara kunci dari luar negeri dua orang saja, sementara pesertanya orang-orang Indonesia, tega-teganya forum itu sering ngotot meng gunakan bahasa Inggris. Hal demikian hanya sekadar agar forum itu ter kesan dan diakui sebagai forum internasional. Maka, lagi-lagi bahasa In donesia dalam konteks ini makin tidak memiliki daya untuk membentuk hibitus kebangsaan, identitas, dan berbagai kesadaran tentang historisitas, geografi, dan ideologi bangsa. Ingat, bahasa adalah alat yang paling ampuh untuk membentuk karakter bangsa. Sementara itu, sejarah telah menunjukkan, betapa repotnya suatu bang sa tanpa memiliki bahasa persatuan yang dijunjung tinggi oleh tiap individu bangsa tersebut. Tengoklah India. Dia memiliki bahasa resmi Hindi, tetapi juga ada bahasa resmi lainnya, yaitu Inggris. Sementara penduduk yang ber agama Islam menggunakan bahasa Urdu, dan kelompok-kelompok IndoArya, seperti Bengali, Gujarati, Marathi, Punjabi bersikeras menggunakan bahasanya sendiri-sendiri. Ini belum diperumit oleh kelompok-kelompok Dravida, seperti Telugu, Tamil, dan Malayalam, juga ngotot menggunakan bahasanya masing-masing. Filipina tidak kalah rumitnya. Sekalipun bahasa Tagalog resmis dinyata kan sebagai bahasa nasional, tetapi sebagai dialek persentasenya hanya 21, masih di bawah Cebuana yang mencapai 24,1. Sementara itu Iloko 11,7 dan Panay-Hiligaynon 10,4. Ini belum ditambah puluhan dialek lain di antero ke pulauan Filipina. Memang, bahasa Indonesia dalam perkembangan paling mutakhir ma kin memperlihatkan krisis multi dimensi, khususnya makin hilangnya ruh Sumpah Pemuda, Oktober 1928. Bahasa Indonesia yang telah diikrarkan sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional, kini makin memudar daya pesonanya. Kita makin banyak terlena dan makin tidak cakap menggu nakan bahasa Indonesia. Karena, bisa jadi bahasa Indonesia makin men jadi liyan (asing). Bahasa Indonesia bukan lagi bersemayam di dalam ke sadaran berindonesia, kemudian membentuk kesadaran mengindonesia. Akan dicatat dalam sejarah, bila Unesa ke depan mereposisi dirinya se ba gai perguruan tinggi yang memiliki kesadaran mengindonesia. n (Email: djulip@yahoo.com)