Majalah Unesa Edisi 74

Page 1



WARNA EDITORIAL

Majalah Unesa

ISSN 1411 – 397X Nomor 74 Tahun XV - Oktober 2014 PELINDUNG Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I) Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III) Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI Dr. Suyatno, M.Pd REDAKTUR A. Rohman PENYUNTING/EDITOR Basyir Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd REPORTER: Herfiki Setiono, Aditya Gilang, Ari Budi P, Rudi Umar Susanto, M. Wahyu Utomo, Putri Retnosari, Fauziyah Arsanti, Putri Candra Kirana, Lina Rosidah FOTOGRAFER A. Gilang, M. Wahyu U. Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT (Arman, Basir, Wahyu Rukmo S) ADMINISTRASI Supi’ah, S.E. Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI Hartono PENERBIT Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124 Fax (031) 8280804

D

MENGEMBALIKAN JATIDIRI BAHASA INDONESIA

apatkah bahasa Indonesia menjadi mayat yang terkubur dalam-dalam di tanah Indonesia? Jawabannya adalah dapat dan sangat mudah mati di negeri sendiri. Caranya,jauhkan anak bangsa Indonesia dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, lakukanlah perusakan bahasa dengan mencampuradukkan kaidah bahasa Indonesia, dan jangan gunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi warga Indonesia. Lambat laun, bahasa Indonesia akan menjadi kenangan buruk bagi bangsa Indonesia. Lihat saja, bahasa Sansekerta telah terkubur karena sudah tidak mempunyai pemakainya. Bahasa Kawi hilang dari peradaban tinggal kamus dan kaidahnya saja karena juga tidak memunyai pengguna setia. Banyak lagi, bahasa lain yang tinggal nama semata akibat tidak terawat. Bahasa Indonesia pun tentu akan menemui ajalnya jika tidak diperhatikan dengan setia. Tanda-tanda sakit sudah membelit bahasa Indonesia. Anak-anak muda lebih suka berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia. Banyak kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para pemuda. Kesalahan itu seakan menjadi tren dan gagahgagahan para pemuda. Mereka tidak mau menggunakan bahasa yang baik dan benar karena malu dianggap tidak modern. Pemuda yang menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak semestinya itu layak disebut sebagai pemuda minus. Perhatikan kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan pemuda minus berikut ini. Pesan pendek (SMS) (1) tgAlx kpn, P; (2)jd ujian skrg, pak; (3)kpn ttdx; (4) Hei, Bro. Nandi ae. Aku tunggu lo. Ya udah, antar formulir ini ke panitia, sana. Gak boleh takut, lo ya. Lalu, perhatikanlah lagu berikut. Kau bidadari jatuh dari surga di hadapanku (baby please be mine, eeeaa, baby please be mine) Kau bidadari jatuh dari surga, kau di hatiku (baby please be mine, eeeaa, baby please be mine) (Coboy Junior) Semua yang kau lakukan is magic Semua yang kau berikan is magic Semua yang kau lakukan is magic Semua yang kau berikan is magic (lyla-Magic)

Banyak guru yang mengeluh terhadap kalimat yang digunakan siswa dalam menulis. Begitu pula, banyak dosen yang menggelengkan kepala terlihat sedikit pusing jika mencermati tulisan mahasiswanya dalam tugas akhir. Bahkan, majalah dinding, buatan siswa, dalam konteks lomba di Jawa Pos menggunakan bahasa Indonesia yang penuh dengan virus. Berkaitan dengan bentuk bahasa Indonesia yang mereka hasilkan itu, jawaban yang muncul adalah, “biar keren, Pak’; “Kan, gaul, Pak”; “emang masalah buat lo”; dan seterusnya. Baliho di pinggir jalan banyak menggunakan bahasa Inggris padahal pemerhatinya orang-orang yang berbahasa Indonesia. Betapa kesalahan berubah menjadi sebuah pembenaran baru. Bahasa Indonesia seakan menjadi asing di negara sendiri. Masih banyak kesengsaraan bahasa Indonesia saat menghuni rumah pikiran pemuda minus. Bahasa Indonesia dijungkir-balikkan, disakiti, diamputasi, dan dipingirpinggirkan. Lihatlah, data berikut ini. (1) Aku CinT4 k4Mu; B3g0; S4tu 7an; M3J3N9 4h (2) alay, lebay, titi dj, lemot, telmi (3) malam ini kita meeting sebentar, ya Kesantunan berbahasa Indonesia menjadi sebuah keharusan bagi penggunanya agar terjalin komunikasi yang sempurna. Komunikasi sempurna ditandai oleh kelengkapan unsur komunikasi, yakni pembicara, pendengar, tempat, waktu, topik, saluran, dan tujuan. Salah satu unsur itu tidak terpenuhi maka komunikasi akan mengalami gangguan. Unesa haruslah menjadi pelopor pengembalian jatidiri bahasa Indonesia karena memunyai Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Unesa sudah waktunya bertahan terhadap penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. l

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

|

3


CONTENT

INFO HALAMAN

05

03. WARNA

Mengembalikan Jati Diri BI oleh Dr. Suyatno, M.Pd

10

05. LAPORAN UTAMA

CINTA BAHASA INDONESIA. Sejumlah ma­hasiswa melakukan aksi unjuk rasa untuk me­nunjukkan kecintaannya terhadap Bahasa Indonesia yang penggunaannya kalah bersaing oleh penggunaan bahasa asing.

• Bahasa Indonesia sebagai Gengsi Negara • Prof. Kisyani: Bahasa Indonesia Hidup & Terus Berkembang • Dr. Syamsul Sodiq: Berbahasalah dengan Tertib • Prof. Djojok Membandingkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang • Prof. Lies Amien: Bahasa Menunjukkan Karakter Bangsa • Prima Widya: Potensi Besar di Dunia Internasional

15. SPEAK UP!

• Mereka Bicara tentang Bahasa Indonesia

18. LENSA UNESA 22 INSPIRASI ALUMNI • Heru Subagyo, Ketua APKI

26. KABAR SM-3T

• Monev SM-3T Sumba Timur

10

30. SEPUTAR UNESA 31. ARTIKEL WAWASAN 32. INFO SEHAT

• Khasiat Istimewah Ubi Jalar Merah

34. CATATAN LIDAH • oleh Djuli Djatiprambudi

4 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktobber 2014

33


LAPORAN UTAMA

BAHASA INDONESIA sebagai GENGSI NEGARA Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memiliki peran penting dalam mengikat persatuan dan kesatuan. Hal itu jelas termaktub dalam salah satu butir penting yang digelorakan para pemuda dalam Sumpah Pemuda 1928, yakni berbahasa satu bahasa Indonesia. Begitu pentingnya peran bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan gengsi negara, tentu kita tidak rela jika bahasa Indonesia harus ‘dinodai’ oleh anak-anak muda yang kurang paham akan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

T

entu masih segar dalam i­ ­ ngat­ an kita, bagaimana pa­ ra pemuda yang berasal da­ri berbagai daerah, su­ ku dan agama dari pelosok nu­san­tara me­la­ ku­kan ikrar tentang ke­in­do­nesaian da­lam bingkai sumpah pe­mu­da pada ta­ hun 1928. Para pemuda me­ nya­ ta­ kan ikrar dengan penuh gelora bah­ wa (1) bertumpah darah satu, ta­nah

In­donesia, (2) berbangsa satu bang­sa Indonesia, dan (3) berbahasa sa­tu, ba­ ha­sa Indonesia. Penegasan mengenai bahasa In­ do­­nesia pada poin ketiga sumpah pe­ mu­da, tentu menjadi sebuah penegas se­­kaligus pengukukan kedudukan ba­­hasa Indonesia sebagai bahasa na­­ sional. Pengukuhan itu sekaligus me­­ rupakan upaya para pemuda meng­ ­

hapus sekat berbahasa melalui peng­­ gunaan bahasa yang sama se­ ca­ ra nasional. Kedudukan bahasa In­ do­ ne­ sia pun semakin kokoh dengan di­ja­ di­ kannya bahasa Indonesia sebagai ba­­hasa negara pada 18 Agustus 1945 me­­lalui pengesahan Undang-Undang Da­­sar 1945 pada bab XV Pasal 36 yang me­­nyatakan bahwa bahasa negara ia­ lah bahasa Indonesia.

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

|

5


LAPORAN UTAMA Sejarah Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia ternyata memiliki se­­­ jarah panjang. Dikutip dari laman ba­ dan­­bahasa.kemendikbud.go.id me­nye­but­ kan bahwa sesuai hasil Kongres Ba­hasa In­­donesia II tahun 1954, ba­ha­sa Indonesia ber­­asal dari bahasa Me­layu. Sejak zaman du­lu, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai ba­ hasa perhubungan (lingua franca) bu­kan hanya di Kepulauan Nu­san­ tara, me­lain­kan juga hampir di seluruh Asia Teng­gara. Prasasti di Kedukan Bukit berangka ta­hun 683 M di Palembang, prasasti Ta­ lang Tuwo berangka tahun 684 M di Palembang, prasasti Kota Kapur ber­ angka tahun 686 M di Bangka Barat dan prasasti Karang Brahi berangka ta­ hun 688 di Jambi yang semuanya ber­ tu­liskan huruf melayu kuno Pranagari me­nunjukkan bahwa sejak abad ke-7, ba­hasa Melayu sudah dipakai di ka­ wasan Asia Tenggara. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Me­ layu dipakai sebagai bahasa ke­ bu­ da­yaan, yaitu bahasa buku pelajaran aga­ma Budha. Bahasa Melayu juga di­ pa­ kai sebagai bahasa perhubungan an­ tarsuku di Nusantara dan sebagai ba­hasa perdagangan, baik sebagai ba­ hasa antarsuku di Nusantara maupun se­bagai bahasa yang digunakan ter­ha­ dap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing meng­­ informasikan, di Sriwijaya ada ba­­hasa yang bernama Koen-louen. Ada yang menyebut dengan Kou-luen, K’ouen-louen, Kw’enlun, Kun’lun, atau K’un-lun. Bahasa tersebut ber­dam­ping­ an dengan bahasa Sansekerta. Koenluen ternyata adalah bahasa per­hu­bu­ ngan (lingua franca) di Kepulauan Nu­ san­­tara, yaitu bahasa Melayu. Bahasa Melayu terus mengalami per­­kembangan dan pertumbuhan. Dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis se­ per­ ti tulisan pada batu nisan di Min­ ye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra pada abad ke-16 dan ke-17 seperti Syair Ham­ zah Fan­ suri, Hikayat Raja-Raja Pa­ sai, Sejarah

6 |

Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin menunjukkan per­kem­­bangan dan per­ tumbuhan bahasa Me­layu. Bahasa Melayu menyebar ke pe­ lo­­ sok Nusantara bersamaan dengan me­­ nyebarnya agama Islam di wilayah Nu­ santara. Bahasa Melayu mudah di­ terima oleh masyarakat Nusantara se­ bagai bahasa perhubungan antar­pu­lau, antarsuku, antarpedagang, antar­bangsa, dan antarkerajaan karena ba­ ha­ sa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu dipakai di manama­na di wilayah Nusantara serta ma­ kin berkembang dan bertambah ku­ kuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nu­ santara dalam pertumbuhannya di­pe­ ngaruhi oleh corak budaya daerah. Ba­ ha­sa Melayu menyerap kosakata dari ber­bagai bahasa, terutama dari bahasa San­sekerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Ero­pa. Bahasa Me­ la­ yu pun dalam per­ kembangannya mun­cul dalam ber­ba­gai variasi dan di­ a­lek. Perkembangan bahasa Melayu di wi­ layah Nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa per­ saudaraan dan persatuan bang­ sa Indonesia. Komunikasi antar­per­kum­ pul­ an yang bangkit pada masa itu meng­ gunakan bahasa Melayu. Para pe­ muda Indonesia yang tergabung da­ lam perkumpulan pergerakan se­

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktobber 2014

cara sadar mengangkat bahasa Me­ la­yu menjadi bahasa Indonesia, yang men­jadi bahasa persatuan untuk se­ luruh bangsa Indonesia. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama Sum­ pah Pemuda, 28 Oktober 1928. Kebangkitan nasional telah men­ do­rong perkembangan bahasa In­do­ ne­sia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Pro­ klamasi kemerdekaan Republik In­ donesia, 17 Agustus 1945, telah me­ ngu­ kuhkan kedudukan dan fungsi ba­hasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa In­ donesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tantangan Bahasa Indonesia Sebagai bahasa nasional, Bahasa In­ donesia seharusnya digunakan da­ lam berbagai aspek kehidupan baik ke­hidupan formal maupun nonformal sebagai bahasa komunikasi. Namun, pada kenyataannya penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ko­ munikasi masih didominasi peng­ gunaan bahasa daerah. Salah sa­ tu alasan terbesar penggunaan ba­ ha­ sa daerah adalah karena lebih me­mun­ cul­kan aspek kekeluargaan. Dalam aspek pengajaran, se­ mes­ tinya bahasa Indonesia juga di­ja­dikan se­ bagai bahasa pengantar peng­ ajaran, dan penerapan tersebut harus te­rus dilakukan untuk memupuk ra­sa nasionalisme. Namun, dalam per­kem­ bang­ annya, bahasa Indonesia mu­ lai mengalami kemunduran karena geng­­si berbahasa. Banyak yang justru meng­­gunakan bahasa asing terutama ba­hasa Inggris dalam berbagai ke­sem­ patan berkomunikasi karena meng­ ang­gap bahasa asing lebih tinggi de­ra­ jat­nya daripada bahasa Indonesia. Saat ini, kosa kata bahasa asing te­ lah begitu marak digunakan yang jus­ tru membuat keberadaan kosa kata ba­hasa Indonesia lambat laun pu­dar. Ba­ nyak orang Indonesia lebih su­ ka


LAPORAN UTAMA menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing. Pa­ dahal kata-kata, istilah-istilah, dan ung­ kapan-ungkapan itu sudah ada pa­danannya dalam bahasa Indonesia, bah­ kan sudah umum dipakai da­ lam bahasa Indonesia. Sebut saja peng­gu­ na­an kata download, copy, paste, print, dan klik. Kata-kata tersebut masingma­sing ada padanannya dalam bahasa Indonesia yakni unduh, salin, cetak, dan tekan. Menghadapi situasi seperti itu, tentu menjadi tugas kita se­ ba­ gai pengguna bahasa untuk me­ ngem­ ba­ likan jati diri bahasa Indonesia. Se­ bab, tanggung jawab maju atau mun­ durnya bahasa Indonesia, tentu akan kembali lagi kepada pengguna ba­ hasa itu sendiri. Kesadaran de­ mi­ kian harus dipupuk sejak awal de­ngan tertib berbahasa. Dengan meng­ gu­ na­ an bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu akan memupuk rasa nasionalisme dan mampu mem­ per­ tahankan bahasa Indonesia dari gem­ puran budaya-budaya asing di tengah globalisasi budaya dunia. Peluang bahasa Indonesia Jika ada tantangan, tentu ada pu­la peluang. Demikian pula dengan ba­ ha­sa Indonesia. Meski di dalam negeri ma­­sih menghadapi berbagai kosa kata dan penggunaan bahasa asing yang ma­­rak, namun melihat perkembangan ba­ hasa Indonesia di luar negeri ter­ nya­ ta cukup menggembirakan. Data terakhir menunjukkan, setidaknya 52 negara asing telah membuka pro­ gram bahasa Indonesia (Indonesian La­nguage Studies). Perkembangan ter­sebut diprediksi akan semakin me­ ning­ kat setelah terbentuknya Badan Aso­ siasi Kelompok Bahasa Indonesia Pe­nutur Asing di Bandung tahun 1999. Peluang bahasa Indonesia untuk terus tumbuh dan berkembang se­ makin besar karena beberapa faktor. Dikutip dari http://simpleon7.word­ press.com, setidaknya ada 2 faktor besar yang membuat bahasa In­ do­

nesia memiliki peluang besar untuk ber­kembang. Pertama, dukungan luas dari semua pihak, terutama dari pe­ me­ rin­ tah dengan terbitnya surat dan program pemerintah, di antaranya (1) Instruksi Menteri Dalam Negeri Re­ publik Indonesia Nomor 20, tang­ gal 28 Oktober 1991, tentang Pe­ma­ sya­ rakatan Bahasa Indonesi dalam Rangka Pemantapan Persatuan dan Ke­satuan Bangsa; (2) Instruksi Menteri Pen­didikan dan Kebudayaan Republik In­donesia, Nomor I/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang Peningkatan Usaha Pe­ masyarakatan Bahasa Indonesia dalam Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa; (3) Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, Bu­ pati, dan Walikoa seluruh Indonesia, No­ mor 1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Pangginaan Ba­hasa Asing; (4) Pencangan Disiplin Na­sional oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20 Mei 1995 yang salah satu bu­tirnya adalah penggunaan bahasa In­ donesia dengan baik dan benar; dan (5) Kegiatan Bulan Bahasa yang di­lakukan setiap bulan Oktober, yang di­pelopori oleh Pusat Pembinaan dan Pe­ngembangan Bahasa. Bahkan, sebagai tindak lanjut dari dukungan pemerintah tersebut, Pu­ sat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah dan akan terus menjalin kerja sama dengan Pemerintah Ting­ kat I di seluruh Indonesia melalui pro­ gram: (1) Penyuluhan bahasa In­do­ne­ sia untuk lapisan masyarakat; (2) Pe­ nyegaran keterampilan berbahasa; (3) Penataran tentang penyusunan ber­ ba­gai naskah dinas; dan (4) Penertiban penggunaan bahasa Indonesia di tem­ pat-tempat umum, seperti papan na­ ma, iklan, papa petunjuk, rambu lalulintas, dan kain rentang (spanduk) Hal ini menunjukkan bahwa ba­ ha­sa ndonesia pada masa-masa men­ datang diharapkan lebih me­nam­pak­ kan peranannya dalam kehidupan mo­dern. Sebab, bahasa Indonesia tidak ha­nya sekadar sebagai alat komunikasi dalam masyarakat yang memiliki latar

belakang bahasa dan budaya yang beraneka ragam, tetapi juga me­ ru­ pakan pembentuk sikap budaya bang­ sa Indonesia dan sekaligus sebagai pe­ nan­da jati diri bangsa Indonesia. Kedua, peran serta media massa. Ti­ dak dapat disangkal bahwa media mas­ sa memberikan andil bagi pem­ bi­ naan dan pengembangan bahasa In­donesia. Kata dan istilah baru, baik yang bersumber dari bahasa da­ erah maupun dari bahasa asing, pa­ da umumnya lebih awal dipakai oleh media massa, apakah di media su­rat kabar, radio, atau televisi. Media mas­sa memang memiliki kelebihan. Di sam­ ping memiliki jumlah pembaca, pen­ dengar, dan pemirsa yang banyak, me­ dia massa mempunyai pengaruh yang be­ sar di kalangan masyarakat. Oleh ka­ rena itu, media massa merupakan sa­ lah satu mitra kerja yang penting da­ lam pelancaran dan penyebaran in­formasi tentang bahasa. Seiring de­ ngan itu, pembinaan bahasa In­ do­ nesia di kalangan media massa mut­ lak diperlukan guna menangkal in­ formasi yang menggunakan kata dan istilah yang menyalahi kaidah ke­ ba­ hasaan. Kalangan memdia massa harus diyakinkan bahwa mereka juga pem­bi­ naan bahasa seperti kita. Keberadaan media massa me­ ru­ pakan peluang yang perlu di­ man­ fa­ at­kan sebaik-baiknya. Ketika menjadi Men­teri Penerangan, Harmoko pernah me­nyarankan agar pers sebaiknya me­ muat ulasan atau menyediakan ruang pem­binaan bahasa Indonesia sebagai upaya penyebaran pembakuan yang telah disepakati bersama. Di sam­ ping itu, pers diharapkan mam­ pu mensosialisasikan hasil-hasil pem­bi­na­ an dan pengembangan bahasa, dan mam­ pu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dalam hal pemakaian ba­hasa Indonesia yang baik dan be­ nar. Harapan ini sangat mungkin bi­sa direalisasikan karena pers telah me­ miliki pedoman penulisan yang di­ sebut Pedoman Pwnulisan Bahasa da­ lam Pers. (SIR/BERBAGAI SUMBER)

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

|

7


LAPORAN UTAMA

KEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA

UNESA HARUS JADI PELOPOR PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR Tantangan internal yang ‘merongrong’ penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentu menjadi pekerjaan berat yang harus dihadapi bersama-sama, terutama oleh para pengguna bahasa. Unesa, tentu sangat potensial berperan menjadi pelopor mengembalikan jatidiri bangsa melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mampukah? Bahasa Indonesia Hidup dan Terus Berkembang TAK dapat dipungkiri tantangan yang dihadapi dalam menggunakan ba­hasa Indonesia yang baik dan be­ nar sangatlah besar sebagai akibat dari era globalisasi. Serapan dan kosa ka­ta bahasa asing, terutama bahasa Ing­ gris yang datang bertubi-tubi, tentu akan membuat keberadaan bahasa In­donesia terancam. Oleh karena itu, di­butuhkan penguatan, terutama para peng­guna bahasa Indonesia. Menanggapi fenomena tersebut, Prof. Kisyani Laksono, pakar Linguistik Unesa tak menampik bahwa dalam perjalanannya bahasa Indonesia se­ nan­ tiasa mengalami perkembangan ko­sa kata dari berbagai serapan asing. Ia memaknai perkembangan ter­sebut menandakan bahwa bahasa itu hidup. Namun, ia menggarisbawahi bahwa da­lam penyerapan kosa ka­ta asing ha­ ruslah sesuai dengan aturan dan kai­ dah bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga per­ kembangan ter­ sebut tidak merusak keberadaan ba­ha­ sa Indonesia. Mantan Pembantu Rektor I Une­ sa itu menuturkan, bangsa In­do­­ne­sia patutlah bersyukur karena di­­anu­ge­ rahi kekayaan budaya dan ba­ hasa

8 |

yang begitu beragam. Dari Sa­ bang sam­ pai Merauke, terdapat ber­ bagai bu­daya dan bahasa khas yang tentu saja sangat berpeluang me­ nambah kha­ sanah bahasa Indonesia. Tentu saja keragaman bahasa tersebut, di­ha­ rapkan tidak menjadi kendala untuk mem­persatukan bang­sa In­do­nesia me­lalui peng­gu­naan bahasa In­donesia yang baik dan benar. Ia mengatakan, se­bagai bang­sa yang ka­ya bu­daya dan bahasa dari setiap pen­ juru daerah, Indonesia te­lah memiliki ba­ha­sa nasional yang ber­fungsi se­ ba­gai pe­mer­satu bang­sa dan te­lah memenuhi syarat sebagai tanda perkembangan bahasa.“Per­kem­ ba­ngan bahasa telah membawa bahasa Indonesia semakin kaya,” ungkapnya. Ditambahkan, ba­ha­sa me­megang pe­ran penting dalam ke­hi­dupan. Ba­ha­sa dapat di­gunakan sebagai alat ko­munikasi baik ter­ tu­ lis maupun secara lang­sung. Selain itu, ba­ hasa berfungsi se­bagai bahasa pe­ngantar. Dalam du­­nia pen­ di­dikan, Ba­hasa In­ do­nesia me­miliki ke­dudukan penting

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014


LAPORAN UTAMA dalam proses belajar mengajar sebagai alat ko­ munikasi atau pengantar mata pelajaran. “Karena pentingnya bahasa In­donesia dalam pengajaran, mau tidak mau bahasa Indonesia harus di­pelajari agar dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar,” te­rangnya. Lebih lanjut, guru besar pas­ ca­ sar­jana itu mengakui saat ini bahasa In­do­nesia mulai di­cabik-cabik oleh peng­ gunaan ba­ ha­ sa asing yang se­ makin mewabah. Pe­nutur bahasa In­ donesia cenderung lebih memilih me­makai bahasa asing ketika bergaul agar dilihat lebih modern. “Seperti ketika menyebutkan telur dadar, yang lebih kerap disebut omelette.

Sa­ ngat disayangkan apabila hal ter­ sebut terus berjalan seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia yang juga mewabah di kalangan penutur asing,” tambahnya. Kisyani sangat berharap, ma­ syarakat Indonesia lebih me­ mer­ ha­ ti­ kan bahasa sendiri yaitu bahasa In­ donesia. Sebab akan beda cerita jika ada bangsa asing yang masuk Indonesia untuk belajar bahasa In­ do­ nesia, tetapi kemudian bangsa In­ donesia berterima dengan ba­ ha­ sa asing. Tentu, hal itu akan bisa mengubah pola pikir mereka ka­re­na bangsa Indonesia berterima meng­ gunakan bahasa asing. Selain itu, orang

asing menjadi kurang berminat belajar bahasa Indonesia karena menganggap me­ rekapun bisa berkomunikasi de­ ngan bahasa asing tanpa harus belajar ba­hasa Indonesia. “Perkembangan bahasa Indonesia ha­rus diperhatikan dengan sungguhsung­guh oleh bangsa Indonesia. Agar tidak tumpang tindih dalam meng­ ujar­kan bahasa asing dengan bahasa In­donesia., sebaiknya penutur bahasa In­donesia melihat penggunaan ba­ha­ sa dengan baik dan benar. Boleh saja menggunakan bahasa asing, na­ mun tetap harus menghargai bahasa In­ donesia sendiri,” pungkasnya. (YUSUF)

PERLU POLISI BAHASA INDONESIA

A

gar bahasa In­do­ nesia bisa te­ gak dengan baik dan be­ nar di bumi per­ tiwi, sebaiknya per­ lu dibentuk polisi ba­ ha­ sa yang dapat mem­perkarakan orang-orang yang meng­ gu­­nakan ba­hasa Indonesia dengan tidak benar. Upaya tersebut merupakan sa­lah satu g e­r a k a n kon­k ret

untuk mempertahankan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pernyataan tersebut dikemukakan Dr. Suyatno, M.Pd me­ nanggapi maraknya perusakan terhadap keanggunan ba­hasa Indonesia. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia itu me­ngatakan dengan bahasa yang lugas bahwa saat ini ba­ ha­sa Indonesia sedang berjalan di atas kerikil-kerikil tajam. Su­yatno menjelaskan, bahasa Indonesia saat ini dirusak oleh pe­makainya sendiri sehingga keanggunan dan keutuhan ba­hasa Indonesia terancam kondisinya. “Bahasa Indonesia ada­lah bahasa yang anggun. Bukan bahasa jalanan,” tam­ bah­nya. Ia menjelaskan, bahasa Indonesia memiliki peraturan, kaidah-kaidah, undang-undang, dan akar sejarah yang kuat. Namun, keanggunan tersebut menjadi tidak bermakna jika pemakainya sendiri tidak memiliki kepedulian yang besar untuk memperbaiki bahasa Indonesia. Menurut kepala Hubungan Masyarakat (Humas) Unesa itu, saat ini sudah banyak anak muda yang tidak takut dan tidak sungkan lagi menggunakan bahasa Indonesia yang tidak benar dan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Bahkan di papan-papan nama, baliho-baliho, dan kain rentang, sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Padahal yang membaca adalah orang Indonesia sendiri. “Kita harus meluruskan. Memberikan yang benar seperti apa, yang baik seperti apa. Ini bukan hanya tugas Jurusan Bahasa melainkan tugas seluruh bangsa Indonesia yang mengakui keanggunan bahasa Indonesia,” ungkapnya saat ditanya mengenai respon terhadap tumbuhnya bahasabahasa prokem di kalangan anak muda. Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

|

9


LAPORAN UTAMA Selain itu, Suyatno juga mengungkapkan, Unesa harus taat asas. Bagaimanapun bahasa Indonesia dilindungi undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 38 ayat (1) misalnya dijelaskan: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.” Meskipun sebentar lagi Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Suyatno mengatakan, bangsa Indonesia tidak boleh melacurkan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus tetap kokoh karena bahasa Indonesia merupakan harga diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, jangan sampai bahasa Indonesia yang anggun tercerabut dari akarnya sebab gandrungnya bahasa Inggris. Meskipun bukan berarti menyepelekan pentingnya bahasa Inggris itu sendiri. Selain itu, penulis antologi puisi Tiga Sudut itu menyebutkan perlu ada gerakan konkret untuk

mempertahankan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Salah satunya adalah membuat polisi bahasa. Di mana polisi tersebut dapat memperkarakan orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak benar. “Karena polisi yang berwenang menjaga undangundang. Tapi, anehnya sekarang adalah polisi sendiri tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Misalnya, kata safety riding untuk menunjukkan kata kenyamanan berkendara,” beber Suyatno. Para pejabat seperti bupati harus menggunakan bahasa yang baik. Jika ada surat izin atau pun dokumen-dokumen maka harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baliho-baliho atau spanduk-spanduk harus menggunakan bahasa Indonesia. “Kita bisa melihat dalam seminar-seminar di Cina. Jika rakyat Indonesia datang ke sana maka orang itu harus memakai bahasa Indonesia. Kenapa harus memakai bahasa Inggris? Kami juga ingin tahu bahasa Indonesia. Sementara mereka memakai alat penerjemah,” pungkasnya. (SYAIFUL)

Berbahasalah dengan Tertib Upaya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, haruslah diupayakan dari diri sendiri. Caranya, dengan membiasakan diri berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah.

yang sangat luar biasa. Hal itu di­ a­ kui oleh Syamsul Sodiq sebagi im­ bas dari era globalisasi. Meski de­mi­ kian, Syamsul berpendapat bah­ wa perkembangan itu tentu tidak per­ lu terlalu dikhawatirkan. Sebab, yang bermasalah bukanlah pada per­ kembangan bahasanya, tetap yang harus dibenahi adalah pada pe­ nguasan bahasa Indonesia. “Ke­le­mah­ an dalam berbahasa Indonesia sa­at ini tidak tertuju pada bahasanya, te­ ta­ pi

D

r. Syamsul Sodiq, M.Pd, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra In­donesia berpendapat bah­ wa Bahasa Indonesia me­ mi­ liki peran yang sangat besar dan pen­ ting sebagai alat pengembang ilmu, alat untuk berpikir, alat untuk me­nyampaikan gagasan dan sebagai alat utuk memahami informasi. Tan­ pa menguasai bahasa Indonesia, ten­ tu akan menemui kendala dalam me­ ngembangkan gagasan dan me­ mahami informasi. Seiring berkembangnya waktu, tak bi­ sa dihindari jika Bahasa Indonesia pun mengalami perkembangan

10 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

pada kecakapannya berbahasa,” ung­ kap dosen kelahiran Kediri tersebut. Begitupun mengenai pengaruh glo­ balisasi, Syamsul berpendapat bah­ wa hal itu bisa dilihat dari dua sisi, yakni pesimis dan optimis. Kalau dilihat dari kacamata pesimistis, akan berpikiran bahwa bahasa Indonesia akan diserang seiring dengan produk bu­ daya asing yang ikut masuk ke Indonesia dengan membawa ba­ hasanya. Namun, kalau dilihat dari


LAPORAN UTAMA ka­ camata optimistis, pemikiran justru sebaliknya karena produk-produk yang dijual dengan bahasa Indonesia, tentu akan membuat semakin banyak orang asing mengenal bahasa In­donesia. Lantas, bagaimana jika ada peng­guna bahasa yang men­ cam­pur­aduk­kan antara bahasa Indonesia de­ngan bahasa asing? Syamsul Sodiq ber­pan­dangan bahwa kata kuncinya ada pada ketidaktertiban dalam peng­ gu­ naan bahasa. Ia menjelaskan, orang yang terbiasa berbahasa tertib me­ nun­ jukkan kecendikiaan penalaran se­ seorang. Sebagai contoh, orang yang sempat belajar di luar negeri ketika me­ reka kembali ke Indonesia, tentu mereka akan cenderung berbahasa In­donesia secara tertib. Mengapa? Karena ketika mereka belajar bahasa asing, mereka dituntut benar dan baik dalam ejaan, penalaran, dan penggunaan kalimat yang

runtut. Dengan demikian, secara tidak langsug mereka akan menerapkan dalam penggunaan bahasa Indonesia ketika kembali ke Indonesia sesuai kaidah dan aturan bahasa Indonesia. “Jika presentasi di luar negeri gunakan bahasa asing secara tertib, tapi pada saat anda berbahasa Indonesia gunakan ejaan, penalaran, pilihan kata dan pembentukan kata yang tertib sesuak kaidah bahasa Indonesia,” tuturnya. Syamsul menandaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar akan membuat bahasa Indonesia semakin disegani dan membuat jatidiri bangsa semakin terjaga. Karena itu, sudah menjadi keharusan bagi semua pengguna bahasa Indonesia untuk senantiasa terbiasa tertib menggunakan bahasa Indonsia sesuai kaidah dan aturan bahasa yang baik dan benar. (MURBI)

Membandingkan Kontektualitas Bahasa di Jepang dengan di Indonesia Bahasa merupakan salah satu identitas bangsa. Setiap negara memiliki bahasa dan keunikan sendiri. Indonesia dan Jepang misalnya. Kedua negara tersebut memiliki perbedaan yang mencolok. Jika di Indonesia memiliki banyak bahasa daerah, Jepang justru tidak memiliki bahasa daerah. Di Jepang, perbedaan bahasa hanya terletak pada dialek saja.

P

rof. Dr. Djodjok Soepardjo, M.Litt, pakar bahasa Je­ pang menuturkan, di Je­pang di­ke­ nal dialek Tokyo, dia­lek Osa­ka, dan dialek-dialek lain. Meski me­miliki banyak dialek, namun ba­ha­sa for­mal yang digunakan tetap satu, yaitu dialek Tokyo. Penguasaan dialek Tok­yo ter­ se­ but menjadi persyaratan wa­ jib bagi yang ingin menjadi pe­ gawai pe­me­rin­tah, pe­l­a­ yan mal, dan pe­ kerja swasta la­innya.

Sebagaimana di Indonesia, Je­ pang juga mengalami ancaman ke­ba­ ha­ saan. Ancaman tersebut ter­ utama me­ nyerang anak-anak mu­ da. Bahasa prokem (alay) sering di­gu­nakan anakanak muda Jepang. Na­ mun, orang Jepang tidak terlalu mem­per­mas­alah­ kan karena menganggap bah­ wa itu merupakan hal biasa dan akan teng­ gelam dengan sendirinya. “Itu hanya sebentar dan pasti tenggelam. Ber­ gan­ti bahasa prokem baru lagi,” papar Pembantu Rektor IV Unesa. Alumni Nagoya University, Jepang ter­ sebut menjelaskan, selain jumlah ba­ hasa daerah yang memengaruhi per­ kembangan bahasa, terdapat perbedaan mendasar antara orang Jepang dan orang Indonesia dalam mempertahankan bahasa atau ke­ budayaannya. Orang Jepang me­mi­liki komitmen sangat tinggi mem­ per­ ta­ hankan kebudayaan yang dimiliki.

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

|

11


LAPORAN UTAMA Komitmen tersebut tidak hanya terletak pada orang-orang yang memiliki jabatan, tetapi dimiliki juga oleh masyarakat umum. Masyarakat Jepang sangat ketat mengontrol setiap bahasa yang ada. Se­ misal, jika ada penyiar televisi, meng­ gunakan bahasa Jepang yang salah, masyarakat segera menegur. Se­ mentara para ahli bahasa, mengoreksi melalui tulisan atas kesalahan tersebut di media massa. “Orang Jepang juga memiliki in­ tegritas sangat tinggi terhadap bang­ sanya. Ketika orang Jepang ke­ luar dari negaranya, di dunia in­ter­na­ sional mereka akan sangat kuat me­ nunjukkan identitasnya. Setelah kem­ bali ke negaranya, mereka akan kem­ bali seperti semula,” ungkap Djojok. Bahkan, untuk memagari agar orang Jepang tidak kehilangan iden­ titas kebahasaannya, pemerintah mem­ bentuk lembaga pendidikan khu­sus bagi orang Jepang yang ba­ ru kembali dari luar negeri (kiko­ku shijo). Lembaga pendidikan ter­ se­ but bertujuan mengembalikan ke­

mam­ puan berbahasa Jepang bagi kikoku shijo agar kembali baik dan benar. “Orang Jepang yang kembali dari luar negeri tidak lantas dilepas. Mereka akan dididik lagi agar bahasa Jepangnya kembali baik,” paparnya. Lembaga lain yang berfungsi men­­­ jadi kontrol bahasa di Jepang adalah Pusat Penelitian Bahasa Negara (Ko­ ku­ ritsu Kokugo Kenkyūsho). Lembaga ter­sebut bersifat independen dan ber­ fungsi mewadahi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa. Di In­­ donesia, lembaga tersebut hampir sa­ma dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang berada di bawah Kementerian Pen­ didikan dan Kebudayaan. Hanya saja, di Indonesia fungsi lembaga tersebut belum maksimal. Pemetaan bahasa di Indonesia perlu ditinjau ulang dan dilakukan pembinaan ter­ hadap para ahli bahasa. Menurut pria kelahiran Ta­ sik­ malaya, Jawa Barat tersebut, In­ do­ ne­ sia merupakan negara terbanyak ke­ dua setelah China yang belajar bahasa Jepang. Hal tersebut me­

mang tidak masalah, apalagi da­ lam rangka menghadapi ASEAN Eco­no­ mic Community (AEC) 2015 yang memerlukan lebih dari satu bahasa. Hanya saja, penguasaan bahasa Je­ pang tersebut jangan sampai men­ ca­but akar berbahasa Indonesia yang baik dan benar. “Artinya, belajar bahasa asing bukan lantas mengurangi integritas terhadap bahasanya sendiri. Perlu ada filter untuk menyaring bu­ daya asing yang masuk,” jelasnya. Indonesia perlu menanamkan ke­ sadaran dan integritas terhadap war­ga negaranya. Menurut pandangan Djo­ jok, integritas mutlak diperlukan agar bangsa Indonesia memiliki karakter sebagaimana di Jepang. Dan, untuk me­ namamkan integritas haruslah me­ lalui pendidikan. Namun, bukan berarti semuanya lantas diserahkan ke­ pada lembaga pendidikan, du­ ku­ ngan dari seluruh stakeholder; lem­ba­ ga pendidikan, masyarakat, dan pe­ merhati pendidikan tentu sangat di­ perlukan. (SYAIFUL)

Bahasa Menunjukkan Identitas Bangsa

D

osen bahasa Inggris, Prof. Lies Amin mengatakan, bahasa sejatinya menunjukkan identitas bangsa yang berarti mencerminkan siapa diri kita. Karena itu, seharusnya setiap komunikasi baik tutur maupun tulis haruslah disadari bahwa bahasa yang digunakan sesungguhnya mencerminkan siapa diri kita. Oleh karena itu, tanpa peringatan bulan bahasa pun jika pengguna bahasa sadar dengan pola pikir tersebut, akan dapat dengan mudah menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa. Pada kesempatan itu, Prof. Lies juga menyinggung kaitan nasionalisme dan bahasa. Ia mengatakan, orang yang belajar bahasa asing tidak serta merta diragukan nasionalismenya. Ia mencontohkan mahasiswa jurusan bahasa Inggris yang menulis skripsi dalam bahasa Inggris. Menurutnya, hal itu tidak ada kaitannya dengan nasionalisme, tetapi lebih pada menunjukkan keilmuan yang dipelajari. “Selama ini pandangan nasionalisme sering muncul ketika seseorang belajar bahasa asing. Padahal bahasa merupakan kunci sukses untuk mencapai peradaban yang lebih maju,” ungkapnya.

12 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

Meskipun bahasa Indonesia belum masuk sebagai bahasa Internasional, namun sebagai warga negara Indonesia, haruslah memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Dalam forum in­ter­na­sio­nal, bahasa Indonesia pun harus di­kenalkan agar dunia tahu bahwa In­do­nesia memiliki bahasa sekaligus memperkenalkan teknologi yang diciptakan di In­ donesia. Mengenai kebiasaan kala­ ngan anak muda yang meng­ gu­ nakan bahasa Asing, Lies Amin menyebut hal itu se­ba­gai imbas dari peran tek­ no­ logi yang menyerbu pa­ sar Indonesia. Sehingga, ma­ syarakat lebih banyak mengenal istilahistilah asing daripada padanan bahasa Indonesia.


LAPORAN UTAMA Seperti istilah rice cooker yang sering digunakan daripada istilah penanak nasi yang lebih Indonesia. Lies Amin menambahkan, jika ingin menjadikan bahasa Indonesia lebih mendunia, Indonesia harus maju dalam bidang teknologi, budaya dan perdagangan sehingga bahasa Indonesia akan lebih dikenal dunia. Ia mencontohkan pengalamannya ketika berada di Inggris. Sewaktu ingin mencari tempe di salah satu supermarket Asia, ia menemukan nama tempe tetap digunakan karena tidak ada dalam bahasa Inggris.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga dipengaruhi pendidikan seseorang. Orang yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, tentu memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Karena itu, ia setuju bahwa meskipun sering menggunakan bahasa asing, penggunaan bahasa Indonesia tidak boleh dilupakan. “Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dilakukan dalam menulis dan berkomunikasi sehari-hari,” pungkasnya. (HUDA)

Citra Bahasa Indonesia Tergerus di Negeri Sendiri “Berbeda dengan di China. Keberadaan Bahasa Mandarin sangat dihargai. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dilakukan tes bahasa Mandarin lebih mendalam.”

S

ementara itu, Dr. Mintowati, M.Pd mengatakan bahwa citra bahasa Indonesia kini sangat baik di dunia internasional. Itu dibuktikan dengan semakin banyak penutur-penutur asing yang berminat belajar Bahasa Indonesia. “Saat ini, bahasa Indonesia telah dipelajari di lebih dari empat puluh negara,” ujar Mintowati. Sayang, di balik perkembangan bahasa Indonesia di negara asing yang membanggakan, citra bahasa Indonesia di mata bangsa sedikit kurang. Menurut Mintowati, tergerusnya bahasa Indonesia di negeri sendiri itu terlihat dari pola pergaulan yang lebih merasa menarik apabila berkomunikasi dengan bahasa asing. “Berbeda dengan di China. Keberadaan Bahasa Mandarin sangat dihargai. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dilakukan tes bahasa Mandarin lebih mendalam,” paparnya. Namun, apa yang diterapkan di China, memang ada sisi negatifnya. Apabila konsep semacam itu digunakan, tidak menutup kemungkinan suatu hari apabila bertemu dengan orang asing akan merasa rikuh karena tidak mempelajari bahasa Internasional sebagai alat komunikasi. Kaprodi Bahasa Asing itu mengakui bahwa belajar bahasa sangatlah penting. Apalagi bahasa tersebut adalah bahasa sendiri, namun tidak lupa belajar bahasa asing. Ia pun mengaku bangga menjadi dosen di jurusan bahasa Indonesia. (YUSUF)

Nomor: 73 Tahun XV - September 2014 MAJALAH UNESA

|

13


LAPORAN UTAMA

Popularitas Bangsa Naik, Tingkatkan Cinta Bahasa 28 Oktober 1928 lalu, Indonesia memperingati peristiwa penting yaitu hari “Sumpah Pemuda”. Pada hari itu, para pemuda Indonesia bersumpah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bagaimana peran bahasa Indonesia kini?

P

rima Vidya Asteria, S.Pd., M.Pd., salah satu dosen mu­ da di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa meng­ ung­ kapkan bahwa Bahasa Indonesia me­miliki potensi besar di kancah In­ter­ na­sional. Saat ini banyak negara asing yang melirik bahasa Indonesia dengan me­lakukan kerja sama mengenai ba­ha­ sa dengan Indonesia. Menurut alumnus S2 Universitas Ne­geri Malang itu, citra bahasa In­do­ ne­ sia semakin berkembang seiring de­ngan kekayaan budaya dan sum­ ber da­ya yang dimiliki Indonesia. In­ do­ nesia me­ rupakan pasar empuk ba­gi dunia in­ternasional. Hal itu pula yang me­nye­bab­kan popularitas ba­ ha­ sa Indonesia se­ makin meningkat se­hingga banyak ne­gara asing yang mu­lai memelajari dan memahami ba­ hasa Indonesia. Namun demikian, sebagai bangsa In­­donesia, kita tidak boleh lengah de­ ngan hanya sekadar mengamati ke­lu­ ar masuknya negara asing yang juga membawa budayanya. Sis­te­ m pe­nya­ ri­ngan juga harus tetap di­galakkan un­ tuk mengantisipasi pu­ dar­ nya budaya asli bangsa. Salah satu tanda bahwa fil­ ter tersebut sa­ ngat perlu dilakukan adalah adanya fe­no­me­na campur kode atau bahhkan alih kode dengan bahasa asing. “Anak mu­ da sekarang lebih merasa gengsinya “be­ sar” ketika bisa menggunakan ba­ha­sa asing. Se­be­nar­ nya tidak begitu,” tu­turnya.

14 |

Salah satu indikator yang keliru, me­­nurut Prima adalah ketika mampu meng­­ gunakan bahasa asing lalu di­ ang­gap keren. Apa-apa yang berkaitan de­ngan asing dianggap wah. Ia men­je­ laskan, anak muda saat ini harus ta­hu bahwa penggunaan bahasa yang se­ suai dengan kondisi dan situasi sa­ngat penting. ”Ketika kita berbicara de­ngan bahasa asing atau bercampur kosa kata asing dengan mereka yang tidak paham, komunikasinya jadi tidak jelas”, ucapnya sambil memberikan ana­ logi anak muda yang membeli cilok sam­bil berbicara bahasa Indonesia yang “di­ cam­pur aduk dengan kosa kata bahasa asing. Sehubungan dengan media ko­ mu­­nikasi, peran bahasa Indonesia pun tak pernah lepas dari dunia pen­ di­ dikan, seperti yang tampak pada im­ ple­ mentasi Kurikulum 2013 bahwa ba­ hasa Indonesia menjadi Penghela Pe­­ngetahuan yaitu pembawa sekaligus

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

pe­nyampai pengetahuan dari satu pi­ hak ke pihak lain, atau bisa disebut se­ ba­gai pengantar pendidikan”. “Contohnya saja di dunia per­ ku­ liahan, mahasiswa yang berasal dari ber­bagai daerah, tidak mungkin dosen harus memelajari semua bahasa dae­ rah­nya. Maka di situlah peran bahasa In­donesia sebagai pengantar dan pe­ nya­tu sangat penting.”, ungkap dosen ke­lahiran Ngawi tersebut. Jika ditalikan, antara popularitas bang­ sa dengan meningkatnya minat a­sing pada bahasa Indonesia, sebagai ge­ nerasi muda, khususnya sebagai pe­ nutur asli bahasa Indonesia, kita ha­ rus semakin bangga dengan ba­ ha­ sa Indonesia. “Langkah awal de­ ngan menjadi diri sendiri dan ber­ko­ munikasi dengan konteks yang te­pat pada bidang yang dikuasai,” ujar­ nya. Hal ini mampu menjadikan ba­ ha­ sa Indonesia sebagai bahasa yang mam­pu menginternasionalisasi se­per­ti hal­nya bahasa Mandarin atau bah­kan ber­po­ tensi sebagai bahasa In­ter­na­sio­nal se­ per­ti bahasa Inggris. “Keluar masuknya negara asing ti­ dak boleh memengaruhi nasionalisme bangsa terutama generasi muda se­ca­ ra negatif. Sikap memfilter harus se­lalu dilakukan untuk melindungi bu­ da­ ya dan eksistensi bangsa, terutama ke­tika negara asing semakin mudah meng­ ham­ piri Indonesia pada MEA 2015,” pung­ kas dosen kelahiran 9 Oktober 1989 tersebut. (ANNISA ILMA)


LAPORAN UTAMA

apa kata mereka Fenomena bahasa Indonesia yang rentan tergerus kosa kata bahasa asing, juga disuarakan para mahasiswa. Mereka setuju sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesa harus dijaga jati dirinya. Berikut komentar mereka!

Yusup Eko Nugroho, Ketua BEM FBS

Pertahankan Bahasa Indonesia

K

etua BEM Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Yusup Eko Nugroho mengaku gundah lantaran keberadaan bahasa Indonesia kurang begitu mendapat perhatian generasi muda. Mahasiwa semestar akhir jurusan Drama Fakultas Bahasa dan Seni itu melihat fakta setiap kali ujian nasional, nilai mata pelajaran bahasa Indonesia selalu kalah dengan mata pelajaran lain. Padahal, seharusnya sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia harusnya lebih dikuasai. “Bahasa Indonesia adalah harga mati sebagai gengsi negara,� papar mahasiswa yang suka menulis pantun sejak SD itu. Terkait serbuan bahasa asing menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean, Yusup berpendapat bahwa hal itu bisa diatasai dengan menanamkan rasa cinta yang tinggi terhadap Bahasa Indonesia. Justru, ketika banyak orang luar negeri yang datang ke Indonesia, akan semakin membuat bahasa Indonesia banyak dipelajari. Mereka (para pendatang dari luar negeri) tentu perlu belajar dan menguasai bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi dengan baik dan benar. “Yang pasti menjadi tugas kita bersama sebagai anak bangsa untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara,� tegas Yusup. (YUSUF)

Mira Ayu Setya Rini, ketua HMJ JBSI

Bahasa Indonesia sebagai Pilihan

K

etua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia periode 2013-2014, Mira Ayu Setya Rini mengaku sudah menyukai bahasa Indonesia sejak SD. Karena itu, ia mengaku bangga bisa menjadi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Mahasiswa kelahiran Bojonegoro tersebut bahkan kini aktif di berbagai kegiatan bahasa, sastra dan seni. Mengenai peran bahasa Indonesia saat ini, ia sangat setuju jika bahasa Indonesia harus diletakkan kedudukannya sebagai jati diri dan gengsi negara. Apalagi, kedudukan bahasa Indonesia sudah diikrarkan oleh para pemuda Indonesia dari penjuru nusantara melalui Sumpah Pemuda sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Mahasiswa yang akrab dipanggil Mira itu mengaku bangga karena perkembangan bahasa Indonesia dari tahun ke tahun semakin banyak diminati. Ia mengatakan, saat ini, bahasa Indonesia sudah dipelajari di 40 negara. (EMIR/YUSUF)

Nomor: 73 Tahun XV - September 2014 MAJALAH UNESA

|

15


LAPORAN UTAMA Septian Ardianto, Ketua HMJ Bahasa Inggris

Majukan Bahasa Indonesia Melalui Bahasa Inggris

M

enurut Septian, fon­dasi bahasa Indonesia dan ba­hasa Ing­ gris sangatlah berbeda. Da­­lam penggunaan ba­ ha­­ sa Indonesia atau ba­ ha­ sa Inggris, si penutur ha­ rus tahu kondisinya ka­ pan menggunakan ba­ha­sa Inggris dan kapan meng­ gunakan bahasa In­do­nesia. “Bila dalam forum in­ ter­ na­sional memungkinkan menggunakan bahasa Indonesia alang­kah baiknnya kita menggunakan bahasa Indonesia wa­ lau­pun itu sedikit,” ujarnya. Sebaiknya, lanjut Septian, pengguna bahasa harus seimbang dalam menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kalau bisa tidak ada yang lebih dominan antara kedua bahasa tersebut. “Jujur, saya tidak suka bila ada seseorang dalam berkomunikasi mencampurkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sebab, hal itu memperlihatkan seseorang tersebut tidak memiliki jati diri,” tuturnya. (MURBI)

Mamay, Wakil Ketua HIMA Bahasa Jepang

Bahasa Indonesia menjadi Aset untuk belajar bahasa Asing

B

agi mahasiswa Pro­di pendidikan ba­hasa Jepang itu, penggunaan ba­ ha­ sa Indonesia menjadi penting ketika belajar bahasa Je­pang karena bahasa In­do­ nesia merupakan bahasa Ibu dan menjadi jembatan da­lam belajar bahasa Jepang. Walaupun sudah bisa ber­bi­ cara bahasa Jepang tetapi da­lam praktik sehari-hari ia masih senang menggunakan bahasa Indonesia untuk ber­ko­mu­ nikasi dengan teman maupun dosen. Ia setuju, bahasa Indonesia merupakan gengsi negara. Mau tidak mau sebagai warga negara Indonesia harus mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia walaupun sedang belajar bahasa Jepang. Akan sangat baik lagi jika yang sedang belajar bahasa Asing dapat menularkan penggunaan bahasa Indonesia kepada orang Jepang. (huda)

16 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

Komentar Duta Bahasa

Dalami Dulu Bahasa Nasional, Baru Pelajari Bahasa Asing

M

Jauhari Utomo dan Verica Rahma Putri Anggrae­ ni, dua mahasiswa JBSI yang pernah mewakili Unesa di ajang pemilihan Duta Bahasa Jawa Ti­ mur 2014 mengungkapkan pendapatnya ten­ tang bahasa Indonesia. Mengenai ketertarikan budaya seperti lagu, mahasiswa yang sama-sama lahir pada tahun 1995 itu, berbeda pendapat. Verica mengaku lebih suka lagu berbahasa asing. Sementara Jauhari, tidak mengutamakan unsur bahasa dalam lagu kesukaannya. Jika ditautkan dengan kemampuan berbahasa asing, Verica mengatakan bahwa dirinya sangat gengsi apa­ bila melakukan kesalahan dalam berbahasa asing, lain hal­ nya dengan Jo yang mengatakan, “Tidak malu, pasti orang di sekitar saya akan membetulkan ucapan saya kalau salah.” Menurut mahasiswa asal Gresik tersebut, bahasa In­do­­ nesia sangat berpotensi menjadi bahasa dengan po­pu­la­ ritas tinggi di dunia. Sebab, banyak negara asing yang ingin memiliki Indonesia, terutama kekayaan budaya dan alam­ nya. Maka dari itu, generasi mudanya harus mau men­da­lami dan mengutamakan bahasa Indonesia, bukannya me­ no­ morduakan. Tapi bukan berarti anti bahasa asing, karena be­ lajar bahasa asing juga penting. Senada dengan Jo, Verica juga tidak menomorduakan ba­ ha­sa Nasional, tapi juga belajar bahasa asing, “Bahasa asing itu penting untuk penunjang kita hidup di era globalisasi, bu­kan zamannya anti bahasa asing”, lanjut mahasiswa asal Sidoarjo tersebut. Sebagai generasi muda yang menjadi agen perubahan un­ tuk kemajuan Indonesia, mereka berharap generasi mereka mau­pun sebelum dan sesudahnya semakin mencintai ba­ hasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dengan semakin men­dalami bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan giat memelajari bahasa asing sebagai modal mengenalkan bu­daya bangsa di dunia. “Intinya, banggalah menggunakan bahasa Indonesia”, ungkap kedua mahasiswa angkatan 2013 ter­sebut. (ANNISA ILMA)


SEPUTAR UNESA

Prof. Dr. Haris Supratna, M.Pd sebagai pembicara didampingi M. Najid M.Hum sebagai moderator.

Seminar Nasional Plus:

Bangun Peradaban Generasi Emas

D

alam rangka memeringati Bulan Ba­ hasa dan Dies NatalisEmas Une­sa, Jurusan Bahasa dan Sastra In­do­ne­sia (JBSI) menyelenggarakan Seminar Na­sional Plus dengan mengusung tema “Mem­ba­ ngun Peradaban Generasi Emas melalui Li­terasi”. Dikatakan Seminar Nasional Plus ka­rena dalam seminar yang diadakan di Ge­ dung Wiyata Mandala Lantai 3 PPPG Une­sa Kampus Lidah Wetan ini dibarengi pe­luncuran buku “Membangun Budaya Li­ terasi”. Seminar literasi yang diadakan pada 19 Oktober 2014 itu dihadiri sekitar 400 pe­serta. Peserta yang hadir terdiri dari pe­ makalah, mahasiswa S-1, mahasiswa Pas­

casarjana, guru, dosen hingga tim MGMP Bahasa Indonesia dari berbagai da­ erah di Jawa Timur. “Dalam budaya ti­ mur, budaya lisan (orality) lebih dominan da­ ripada budaya literasi. Padahal, ilmu pe­ nge­tahuan jika disimpan maka akan lebih lama pewarisannya sehingga budaya li­ terasi merupakan budaya yang harus di­ kem­­bangkan,” papar Ketua Panitia Andik Yu­liyanto, S.S., M.Si. Seminar literasi itu menghadirkan, bu­ da­ yawan dan sastrawan internasional Prof. Budi Darma sebagai pembicara kun­ ci.“Berkaitan dengan literasi, semua ma­ nusia diikat oleh tiga hal yaitu ras, ling­ ku­ngan dan momentum,” ujar Prof. Budi

Darma. Tak hanya menyelenggarakan se­ mi­ nar literasi, JBSI juga mengadakan se­rang­ kaian lomba yang diadakan pada Sabtu (18/10/2014), yakni lomba baca be­ ri­ ta, mendongeng, cerdas cermat, serta mu­ sikalisasi puisi.Lomba-lomba tersebut ting­ kat SMA/sederajat se-Jawa Timur namun, ada juga peserta yang berasal dari luar Jawa Timur.“Dengan adanya kegiatan ini diharapkan akan terbentuk komunitaskomunitas yang bergerak di bidang literasi dan semangat literasi akan sampai ke daerah-daerah,” harap Andik Yuliyanto, S.S., M.Si.(LINA MEZALINA)

28 Mahasiswa FMPA Unesa

Praktik Mengajar di Malaysia

S

ebanyak 28 mahasiswa perwakilan da­ ri semua jurusan yang ada di FMIPA Unesa diberangkatkan me­ nuju Malaysia guna melakukan “Prac­­ti­cal Teaching Program” selama dua ming­­ gu di Wadi Sofia College, Kelantan, Ma­lay­sia. Beberapa rangkaian acara yang di­ lak­ sa­ nakan di negeri Jiran tersebut adalah di­ mulai dengan penyerahan SPPD dan per­ ke­nalan dengan Ummi Lelyana Lang selaku pe­ ngelola sekolah. Kemudian briefing ma­­ hasiswa guna menjelaskan berkenaan la­poran dan rencana observasi dilakukan di ruang “Resource Center” pada Rabu

(1/10/2014). Mahasiswa didampingi oleh 4 orang mentor dari sekolah, yakni Adil­ la (matematika dan ICT dari Indonesia), Has­fah (sains fisika dan biologi dari India), Shama (mcondaatas seematika dan fisika dari Malaysia), Lukman (matematika dan kimia dari Malaysia). Observasi dilakukan di kelas matematika (secondary 3 dan 4) , dan kelas biologi (secondary 4). Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan aca­ra “International Day” dan kuliah umum dari mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahatir Muhammad. Dalam acara itu ber­langsung penandatanganan kerja sama

an­tara FMIPA dan Wadi Sofia College yang di­saksikan oleh Prof. Datuk Hasan Harun se­ laku founder pada Kamis (2/10/2014). “Kami mengucapkan terima kasih atas ke­ sediaan kerja sama dalam membantu ma­hasiswa FMIPA mempraktikkan semua ke­terampilan dan pengetahuannya. Se­mo­ ga kerja sama kami bisa berlanjut sampai de­ngan pemenuhan pengajar di Wad Sofia Col­lege,” papar Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd. selaku Pembantu Dekan III FMIPA Unesa. (KHUSNUL/ANDINI)

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 17


LENSA UNESA

PELATIHAN KARAKTER

S

ebagai implementasi motto Unesa, Growing with Carachter, Unesa memberikan pelatihan karakter yang dikhususkan untuk mahasiswa Bidik Misi angkatan 2014. Pelatihan tersebut dilaksanakan di Kodikmar pada 09 September 2014. Seluruh peserta dilatih semi militer oleh para tentara yang ditunjuk.

18 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014


LENSA UNESA

AKADEMI INDOSIAR Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, digelar praktik langsung berupa Akademi Indosiar. Hadir dalam acara Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor Unesa), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), dan Saifullah Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Timur). Acara tersebutr digelar di Gedung Serbaguna (Gema) Unesa pada 06 September 2014.

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 19


KOLOM REKTOR

BAHASA SEBAGAI GENGSI NEGERA Secara politis dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, telah mengangkat harkat dan martabat bangsa. Bangsa Indonesia tidak mau memakai bahasa penjajah, tetapi lebih memilih bahasanya sendiri, meskipun sebagai bahasa nasional, tetapi belum semua warga Negara Indonesia bisa berbahasa Indonesia.

S

etiap bangsa memiliki kebudayaan se­ bagai respons terhadap ling­ ku­ngan yang sedang mereka ha­ dapi, sehingga setiap etnis me­mi­iki kebudayaan yang berbeda sesuai de­ngan kondisi lingkungan. Meskipun de­ mi­ kian dalam setiap kebudayaan ada un­sur yang sama. Salah satu unsur tersebut adalah bahasa. Sebagai unsur kebudayaan, ada perbedaan bahasa antara etnis satu de­ngan lainnya. Perbedaan bahasa tersebut me­nim­ bulkan hambatan dalam komunikasi. Me­reka yang bahasa berbeda dan tidak me­nguasai bahasa lainnya akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Sebagai con­ toh mahasiswa Indonesia yang tidak bisa dan paham bahasa Inggris, akan mengalami ke­ sulitan berkomunikasi dengan orang Inggris, yang kebetulan tidak bisa dan mengerti ba­ hasa Indonesia. Dalam konteks sosial, bahasa bukan ha­ nya sekadar sebagai alat komunikasi, te­ tapi juga sebagai simbol strata sosial. Am­bil contoh dalam bahasa Jawa, ada ting­kat­an yang menggambarkan strata sosial peng­ gunanya. Dalam bahasa Jawa ada ter­ minology kromo inggil, kromo madyo, dan ngoko. Kromo inggil biasa dipakai oleh kalangan bangsawan ; kromo madyo di­ pakai oleh kalangan menengah (priyayi), dan ngoko dipakai oleh rakyat biasa. De­

20 |

ngan melihat bagaimana cara mereka ber­ tutur kata dan bahasa yang dipakai, akan tampak strata sosial mereka. Masing-ma­sing strata bahasa tersebut juga disertai ta­tacara pengucapan dan intonasinya, se­ hingga mereka yang berbahasa Jawa kro­mo inggil, akan menggunakan intonasi yang lemah lembut. Berbeda dengan yang meng­ gu­ nakan bahasa ngoko, intonasi dan cara me­ ngu­capkannya bisa dengan nada yang keras dan “kasar”. Mengingat bangsa Indonesia memiliki ba­nyak suku bangsa dengan bahasa yang berbeda, maka ketika para pemuda In­do­ nesia mengikrarkan sumpah pemuda ta­ hun1928, salah satu yang dikrarkan adalah ber­ bahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Ikrar tersebut memiliki arti sosiologis mau­ pun politis yang sangat mendalam. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki bahasa daerah yang bermacam-macam. Hampir tiap suku me­ mi­ liki bahasa ibu sendiri yang berbeda de­ ngan suku lainnya. Masing-masing ba­ hasa ibu memiliki kosa kata yang berbeda pe­ ngertiannya. Dengan kondisi tersebut, ten­tu akan menyulitkan untuk saling ber­ komunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, perlu dirumuskan satu bahasa yang bisa “me­nyatukan” semua suku yang ada di ber­ bagai nusa.

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

Oleh Prof. Warsono

Pemilihan bahasa Indonesia, yang se­ba­ gi­an besar dominasi bahasa melayu sebagai bahasa persatuan didasari pada kenyataan bahwa bahasa tersebut telah dipakai oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Se­ ba­ gian besar penduduk yang tinggal di Indonesia sebagian besar adalah bangsa me­layu, sehinggga mereka banyak memakai dan memahami bahasa tersebut. Memang da­lam perkembangannya bahasa Indoneisa ba­nyak mengalami perubahan yang cepat, dengan masuknya serapan-serapan asing, se­hingga kondisinya seperti sekarang ini. Secara politis dengan ditetapkannya ba­ hasa Indonesia sebagai bahasa nasional, te­ lah mengangkat harkat dan martabat bang­ sa. Bangsa Indonesia tidak mau memakai ba­ hasa penjajah (Bahasa Belanda), tetapi le­bih memilih bahasanya sendiri, meskipun sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga belum mantap dan belum semua warga Negara Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Tetapi keputusan untuk tidak me­ makai bahasa penjajah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan per­wujudan dari “gengsi negara”. Dengan memakai bahasa sendiri, kita tidak lagi ber­ ada di bawah bayang-bayang negara lain, apa­lagi penjajah. Berkaitan dengan gengsi Negara, Malaysia yang pernah dijajah Inggris, pada


KOLOM REKTOR

awalnya tetap menggunakan bahasa Inggris s­ ebagai bahasa resmi. Namun kemudian mun­ cul perdebatan di kalangan mereka, berkait dengan masalah harga diri bangsa. Penduduk Malaysia yang sebagian besar bangsa melayu dan memiliki bahasa sendiri (yang banyak kemiripan dengan ba­ hasa Indonesia, merasa dilecehkan. A­ khirnya pada tahun 1975 Perdana Menteri Tun­ku Abdul Rahman untuk pertama kali mem­ perkenalkan bahasa Malaysia, (yang sub­tan­ sinya adalah bahasa melayu) sebagai bahasa kebangsaan Malaysia. Pilihan bahasa Indoensia sebagai ba­ ha­ sa nasional bukan tanpa ada masalah. Pada awal kemerdakaan usaha untuk me­ na­ sionalisasikan bahasa Indonesia terus dilakukan, sebab masih banyak masyarakat yang belum mampu berbahasa Indonesia. Se­bagian masyarakat di daerah-daerah ma­ sih menggunakan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Namun de­ ngan usaha yang terus dilakukan termasuk me­masukan dalam kurikulum sekolah, saat ini hampir semua warga Negara mampu berhasa Indonesia. Meskipun demikian, se­ benarnya juga masih ada masalah dalam bacaan. Hal ini disebabkan bahasa Indonesia tidak didukung dengan huruf, seperti pada bahasa jawa. Dengan tidak adanya huruf kita mengalami kesulitan bacaan terhadap kata, terutama masalah nama, misal Suharto, bisa dibaca Suharto (seperti bacaan orang Jawa) bisa juga dibaca suhartO; wedus bisa dibaca wedus atau weedus. Akibatnya cara membunyikan kata sangat tergantung dari kultur masih-masing pembaca. Mereka yang berasal dari Jawa, akan berbeda dengan yang berasal dari suku-suku lain. Lihat saja tulisantulisan di warung-warung atau di berbagai tempat yang ditulis oleh masyarakat. Dengan tidak adanya huruf, akan me­nyu­ litkan cara membunyikan kata, terutama bagi orang asing. Hal ini tidak akan terjadi jika ada huruf seperti bahasa jawa, yang memiliki huruf (ho no, co, ro, ko) sehingga tulisan dan bacaan akan sama bagi siapa saja. Persoalannya kita telah menetapkan bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa melayu, sebagai bahasa nasional, bu­kan bahasa jawa, meskipun juga banyak bahasa Jawa yang diserap menjadi bahasa Indonesia. Banyak sekali bahasa Jawa yang bisa mewakili realita atau tindakan dan le­bih simple dan jelas. Misal kata yang berkaitan

dengan gerakan tangan: kethak, thothok, tabok, keplak, kaplok. Bahkan ada kata dalam bahasa Jawa yang dalam bahasa In­ donesianya jauh lebih panjang, yaitu rowa (bahasa jawa) yang dalam bahasa In­do­ne­sia­ nya banyak memakan tempat, Berkaitan dengan bacaan ini memang men­jadi persoalan kultural, sehingga sa­ ngat tergantung pada kultur pembaca. Per­ soalan bacaan dan tulisan juga muncul pa­ da kata serapan yang bahasa asing. Se­bagai

Dalam konteks komunikasi pemikiran, sering muncul bahwa bahassa menunjukan pikiran. Ini berarti bahasa dalam konteks ilmiah, bahasa menunjukan intelektual si penggunanya. bahasa yang terus berkembang, ba­ hasa Indonesia memiliki banyak kata se­ ra­ pan. Kondisi seperti ini menjadi masalah ter­sen­ diri bagi pembelajar bahasa Indonesia, ter­ utama orang asing. Mungkin belajar bahasa Indonesia dalam kontek ilmiah (sebagai sa­ ran untuk mengungkapkan pemikiran) menjadi sangat sulit. Hal ini juga terbukti, dari hasil ujian nasional bahwa rata-rata nilai bahasa Indonesia lebih rendah bila di­ banding dengan mata pelajaran lainnya. Bahkan dikalangan para pengampu di jurusan pendidikan bahasa Indonesia sendiri, masih banyak terjadi perbedaan “tafsir” da­ lam menggunakan kata dan membangun ka­limat, Ketika suatu suatu karya ilmiah di­ sodorkan kepada salah satu dosen bahasa In­donesia untuk dikoreksi dan hasil koreksi dari dosen tersebut kemudian diserahkan ke­pada dosen lain untuk dikoreksi, hasilnya berbeda. Bahkan ketika hail koreksi dosen kedua dan pertama diserahkan kepada do­ sen ketiga untuk dikoreksi, hasilnya juga berbeda lagi.

Sebagai alat komunikasi bahasa bukan ha­nya untuk mengkomunikasikan perasaan, dan apa yang diinginkan, tetapi sebagai alat un­tuk mengkomunikasikan pikiran, gagasan. Bahasa yang dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan pemikiran merupakan “ba­hasa ilmiah”. Dalam konteks komunikasi pe­ mikiran, sering muncul bahwa bahasa me­ nunjukan pikiran, bahkan ada pameo bahwa kalau bahasanya kacau, maka pi­ki­ rannya juga kacau. Ini berarti bahasa da­lam konteks ilmiah, bahasa menunjukan in­ telektual sipenggunanya. Hal ini akan sa­ngat je­las terihat dalam bahasa tulis yang mereka pakai. Dalam konteks “bahasa ilmiah”, memang ada kaitannya dengan logika. Dalam kai­ dah tata bahasa ada formula SPOK, se­ dan­gkan dalam logika ada proposisi, yang terdiri dari term subyek dan term pre­ dikat, yang menggambarkan subyek dan predikat. Keberadaan subyek dan pre­dikat dalam tata bahasa Indonesia, merupakan syarat minimal suaatu kalimat, se­dangkan dalam logika adanya subyek dan predikat menggambarkan adanya suatu pro­ po­ si­ si, yaitu suatu pernyataan yang bisa d­ ibuktikan benar salahnya. Dalam logika yang dipentingkan adalah hubungan an­ tara subyek dan predikan, bagaimana an­ tara subyek dan predikat itu dihubungkan. De­ngan bertolak dari konsep logika, bahasa menunjukan gengsi pemikiran. Bahasa, khu­susnya bahasa tulis. akan mencermikan logika, (kemampuan bernalar) penggunanya. Oleh karena itu dalam konteks akademis, hanya sedikit orang yang bisa berbicara dengan baik, tetapi lebih sedikit orang yang bisa menulis dengan baik, dan lebih sedikit lagi orang yang bisa berbicara sebaik dia me­nulis.. n

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 21


INSPIRASI ALUMNI Meneladani Kisah Sukses Heru Subagyo

GAGAL JADI GURU,

SUKSES JADI PENGUSAHA

Terpaan cobaan yang bertubi-tubi terkadang membuat orang gampang putus asa. Namun, tidak bagi Heru Subagyo. Pria kelahiran Trenggalek 17 September 1958 itu justru menjadikan terpaan cobaan itu sebagai peneguh jiwa dan semangat untuk melangkah lebih maju.

S

ulung dari 4 ber­ sau­dara putra pa­sangan Bapak Ra­melan (Al­mar­ hum) dan ibu Marjati me­ mang telah mengalami pa­hit getirnya kehidupan. Se­jak umur 7 tahun, atau ketika masih duduk di bang­ku SD, Heru sudah harus hidup tanpa sang ayah yang telah me­ninggal dunia. Tak pelak, ia pun harus ter­ biasa bekerja keras demi bisa membantu sang ibu mencari naf­kah. Kehidupan yang su­ sah itu membuat Heru tak punya banyak pil­ ihan sekolah setamat SD selain di ST (Sekolah Tek­nik). Pertimbangan orang tua waktu itu sederhana. Lulusan ST ten­tu akan lebih cepat dan mudah mendapatkan pekerjaan daripada lu­ lusan SMP. Setelah menamatkan

22 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

ST pada tahun 1973, ia berhasil me­ lan­jutkan pendidikan ke STM Negeri 3 Surabaya. Lulus STM tahun 1976, asa untuk me­ lan­ jutkan studi semakin membuncah. He­ru, demikian panggilan akrabnya lan­ tas masuk ke IKIP Negeri Surabaya, dan berhasil menyelesaikan Sarjana Mu­ da tahun 1981. “Alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan jalan dan ke­ sem­ patan bisa menempuh jenjang pen­ didikan yang lebih tinggi,” ucapnya pe­ nuh kenangan. Sebenarnya, setelah lulus Sarjana Mu­da, ia berharap bisa langsung be­ ker­ja. Namun, harapan tersebut harus tertunda karena saat itu merupakan ma­ sa transisi penghapusan Program Sar­ jana Muda menjadi Program Strata Satu (S1). Karena IKIP Surabaya belum mem­ bu­ka S1, Heru pun melanjutkan jenjang S1 Teknik Elektro di IKIP Bandung dan lulus tahun 1982. “Dari Sarjana Muda ke S1 saya selesaikan dalam waktu 1 tahun 3 bulan,” ungkap pria murah senyum itu. Lulus dari IKIP Bandung, Heru di­ ha­ dapkan pada pilihan cukup pelik, men­jadi guru (PNS) atau bekerja di pe­


INSPIRASI ALUMNI

rusahaan swasta. Jika menjadi guru (PNS), kesempatan ketiga adik-adiknya me­lanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi tentu relatif sulit. Maklum, gaji guru PNS dulu sangatlah minim. Atas saran sang ibu, ia akhirnya memilih be­ ker­ja di perusahaan swasta. Dengan be­ ker­ja di perusahaan swasta itulah Heru mem­ bantu biaya adik-adiknya untuk me­lanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi. “Alhamdulillah, ketiga adik saya telah menyelesaikan pendidikan di per­ gu­ruan tinggi,” ungkapnya haru. Inspirasi sang Ibu Sebagai anak tertua, Heru memang harus berjibaku agar adik-adiknya men­ da­pat pendidikan yang maksimal. Lepas dari itu, ia sangat mengagumi sosok sang ibu. Ia menyebut ibunya adalah Wonder Women (Perempuan yang Hebat). Dari ibu­nya, ia belajar tentang arti sebuah ke­ te­garan dan kasih sayang dalam wujud me­rawat anak-anaknya. Sang ibu memutuskan menjadi single pa­rent sejak ditinggal ayahnya tahun 1967. Sendirian, sang ibu merawat dan mem­be­ sar­kan keempat anaknya. Sebagai anak tertua, Heru tentu turut bertanggung ja­ wab. Sejak kecil ia sudah sering dilibatkan mem­bantu ibunya bekerja. Heru ber­syu­ kur meski hidup dalam kondisi yang ter­ ba­tas, semua keluarganya sudah berhasil dan hidup mapan. Ia pun mengaku tidak menyangka ro­da kehidupannya akan berputar se­ demikian rupa jika melihat latar be­ la­ kang kondisi ekonomi keluarganya dulu yang sangat terbatas dan serba ke­kurangan. Pencapaian profesi hingga bisa memimpin sebuah organisasi pro­ fesi bidang ketenagalistrikan tingkat nasional, tentu tidak pernah diimpikan dan dibayangkan sebelumnya. Ada yang menarik dari prinsip hidup pria yang pernah menjabat sebagai Wa­ kil Ketua Komite Tetap Bidang Energi & Sumber Daya Mineral KADIN Pusat (2009 – 2012) itu. Ia berprinsip bahwa be­kerja itu sama dengan ibadah. Jika be­kerja hanya dianggap bekerja yang

di­dapat hanyalah dunia. Sebaliknya, jika bekerja dianggap sebagai ibadah, dunia dan akhirat sama-sama didapatkan. “Pilihannya bergantung kita, mau pilih sa­tu apa pilih keduanya,” terangnya. Keliling Indonesia, Tularkan Ilmu Heru Subagio telah berkeliling In­ donesia. Sebagai Ketua Asosiasi Pro­fe­sio­ nal Elektrikal Mekanikal Indonesia, yang merupakan wadah profesi bidang listrik, Heru memiliki seabrek aktivitas yang

Indonesia seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sri­ wijaya, Universitas Syah Kuala dan uni­versitas lainnya. “Kalau orang melihat saya seperti ini, saya selalu memberikan inspirasi dan mo­tivasi. Saya katakan, anda jangan me­ li­hat keadaan saya sekarang, anda harus tahu bagaimana prosesnya sampai se­ perti ini. Hidup itu perjuangan. Kita tidak pernah lepas dari perjuangan sampai kapan pun,” tandasnya.

ber­ kaitan dengan sertifikasi tenagatenaga terampil listrik di Indonesia. “Baik buruknya listrik di Indonesia, salah satu pihak yang berkontribusi ada­lah organisasi yang saya pimpin ini. Anggota-anggota saya adalah pejabatpejabat BUMN, seperti mantan direktur PLN,” jelasnya. Mungkin karena naluri jiwa pen­di­ diknya, setiap kali berkunjung ke suatu daerah, Heru paling suka berbagi ilmu dengan perguruan tinggi yang ada prodi elektro. Karena itu, ia kerap men­ ja­di dosen tamu. Ia mengaku telah ber­ kunjung dan mengajar di 40 lebih per­ guruan tinggi negeri maupun swasta di

Lulus IKIP kok Tidak Jadi Guru? Sebagai alumni IKIP Surabaya, Heru me­ miliki banyak kenangan suka dan duka. Ia masuk IKIP Surabaya tahun 1977. Ia ingat waktu awal kuliah, ia sempat pe­ simis apakah bisa menyelesaikan studi di tengah kehidupan yang pas-pasan. Na­mun, berkat tekad yang kuat dan izin Allah, ia berhasil menyelesaikan kuliah dengan baik,bahkan bisa menyelesaikan Strata Satu di IKIP Bandung. Sebelumnya, banyak orang yang ti­ dak tahu jika di IKIP Surabaya ada prodi teknik. Bahkan, banyak yang meng­ anggap IKIP adalah kampus untuk kelas me­ nengah ke bawah. Namun, Heru

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 23


INSPIRASI ALUMNI mampu membuktikan bahwa lulusan IKIP Surabaya juga bisa diperhitungkan. Soal pilihannya menempuh pen­ didikan di IKIP, memang pada awalnya d­idasari pada keinginan yang kuat untuk menjadi guru. Karena itu, ketika lulus ia mau melamar menjadi guru. Namun, sang ibu membelokkan keinginannya. “Bagaimana dengan nasib adik-adikmu kalau kamu jadi guru yang gajinya tidak seberapa.” Begitu ungkap sang ibu. Se­ ba­gai anak tertua dan bertanggung ja­ wab pada adik-adiknya, Heru pun tak mem­bantah dan terpaksa memendam keinginannya menjadi guru. Pria yang kini menjadi Senior Advisor AKLI DPD Jawa Timur itupun ber­ usaha keras melamar pekerjaan di beberapa perusahaan ternama, di antaranya PT. Semen Gresik, BLK Si­ ngosari, dan perusahaan kontraktor. Di perusahaan kontraktor itulah, Heru me­ mu­lai kariernya. Ia merasa beruntung dapat bekerja di perusahaan tersebut ka­rena kedisiplinan, mobilitas kerja, dan manajemennya sangat tertata. Berani Keluar dari Zona Nyaman Sembilan tahun bekerja dirasa su­ dah cukup untuk membuat Heru man­ diri. Ia akhirnya memilih keluar dari zona nyaman dan membuka usaha sen­ diri dengan modal jaringan dan kepercayaan yang dimiliki. Waktu ke­luar dari perusahaan itu, jabatan Heru ter­bi­ lang sudah mentereng yakni menjadi Regional Manajer Jawa Timur. PT. Tulus Karya Wiesesa. Itulah nama pe­rusahaan yang didirikan Heru pada tahun 1990. Rupanya, pilihan keluar dari perusahaan dan mendirikan pe­ru­ sahaan sendiri itu langkah yang te­pat. Perusahaan yang didirikan ber­ kem­ bang dan menjadi perusahaan yang cu­kup mapan. Setelah perusahaan yang dipimpin mapan, Heru tak kuasa me­no­ lak ajakan teman-temannya untuk ber­ ga­bung di AKLI. Bergabung di organisasi kelistrikan itu­ lah, karier Heru makin mentereng. Ia terpilih menjadi ketua AKLI Kota Su­ ra­ baya. Dari AKLI Surabaya, namanya kian dikenal hingga ia pun terpilih

24 |

BERBAGI ILMU: Heru Subagyo saat berbagi pengetahun dalam kuliah umum di kampus (atas), dan melalui siaran di RRI (bawah)

men­jadi Ketua AKLI Jawa Timur. AKLI Jatim itu merupakan AKLI yang terbesar anggotanya di seluruh Indonesia dan men­jadi barometer nasional. Kontribusi Alumni Sebagai alumni IKIP Surabaya, Heru ikut bersuara mengenai kontribusi alum­ni terhadap Unesa. Ia mengatakan, se­harusnya alumni memberikan lang­ kah nyata. Ia bilang banyak -alumni yang sudah sukses dan mereka bisa me­ nu­larkan ilmunya untuk Unesa seperti men­jadi dosen tamu dan sebagainya. “Sebenarnya mereka tidak perlu dibayar karena mereka pasti senang bisa berkontribusi terhadap almamaternya. Kalau kita melakukan sesuatu itu ber­ lan­daskan ibadah, rezeki akan selalu da­ tang dari segala arah,” tuturnya. Sebagai alumni, ia berharap Unesa le­ bih banyak membuka diri. Ia tidak ingin Unesa seperti katak dalam tempurung. Ka­rena di luar perkembangan ilmu pe­ nge­tahuan sudah luar biasa, dan Unesa harus memperluas dalam membangun je­jaring. Semakin banyak jaringan, tentu akan semakin banyak pengalaman di dunia nyata. Heru berharap, para alumni yang su­­ dah sukses bisa didata dan digugah ke­ peduliannya untuk memajukan Unesa. Ia yakin alumni Unesa mampu ter­jun di masyarakat karena memiliki ke­ te­ ram­ pilan yang mumpuni. Mengenai kiat sukses, Heru pun ber­ ba­gi pengalaman. Ia mengatakan dalam me­ lakukan pekerjaan, ia senantiasa

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

ber­ pegang teguh pada 5 hal, yakni Kerja Keras, artinya melaksanakan pe­ kerjaan secara sungguh-sungguh tan­ pa mengenal lelah atau berhenti s­ebelum target kerja tercapai dan selalu me­ ngutamakan atau memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Kerja Cerdas: yakni sikap dalam bekerja yang pandai mem­ per­ hitungkan resiko maupun melihat peluang dan dapat mencari solusi se­ hing­ ga dapat mencapai keuntungan yang diharapkan. Kerja Lugas: yakni melaksanakan pe­kerjaan secara fokus, tanpa basa-basi, tidak pernah menyimpang ke sana-sini, mem­pertimbangkan efisiensi, tidak ber­ be­lit-belit, mengarah pada tujuan dan tar­get yang diharapkan. Kerja Tuntas: yakni mampu mengorganisasikan ba­gi­ an usaha secara terpadu dari awal sam­ pai akhir untuk menghasilkan usaha sam­pai selesai dengan maksimal. Terakhir, Kerja Ikhlas: yakni bekerja tanpa mengeluh dan bukan cuma se­ mata-mata untuk mendapatkan uang atau upah dari apa yang dikerjakan tapi diniatkan bahwa kerja juga sebagai ibadah atau pengabdian kepada Tuhan yang Maha Esa. (RUDI UMAR)


KABAR PRESTASI

Tim Robot Fly RG Unesa yang sukses di ajang KRTI 2014 tingkat nasional.

Tim Robot Fly RG Unesa

Raih Juara KRTI 2014 Tingkat Nasional

U

niversitas Negeri Surabaya (Unesa) ma­ kin cemerlang dalam ajang kon­tes robot. Fly RG, tim robot ter­ bang Fakultas Teknik Unesa berhasil me­ nya­ bet juara dua dalam Kontes Robot Ter­bang Indonesia (KRTI) 2014 yang ber­ lang­ sung di Lapangan Aeromodelling TNI AU Raci, Pasuruan pada Kamis - Ming­ gu (9-12/10/2014). Kontes robot yang men­ dapatkan dukungan penuh dari Ke­ men­ terian Pendidikan dan Kebudayaan (Kem­ dikbud) itu mempertandingkan 4 kategori, yakni kategori umum Fixed Wings, kategori umum Rotary Wings, ka­te­gori perguruan tinggi Rotary Wings, dan ka­ tegori perguruan tinggi Fixed Wings. Ber­ sa­ma 6 orang anggota tim dan 2 dosen pem­bimbing, tim robot Unesa mengikuti 2 kategori sekaligus, tim robot Fly RG meng­ ikuti kategori perguruan tinggi Rotary Wings dan tim robot Mata Dewa mengikuti ka­tegori perguruan tinggi Fixed Wings. Tim robot Fly RG yang beranggotakan Muk­las Prasetya, M. Ikhwan Ridha, Faisal Ashari, dan Bakhtiar Arsada berhasil meraih juara dua di kategori perguruan tinggi Ro­ tary Wings. Menurut Ketua Tim Fly RG, M.

Ikhwan Ridha, penilaian didasarkan pa­da ketepatan dan kemampuan robot da­lam menuntaskan misi yang diberikan pa­ da masing-masing tim. Misinya adalah me­ mindahkan muatan pesawat berupa se­bu­ ah kotak kecil seberat 150 gram ke suatu area sejauh kira-kira 1 km. Robot terbang itu dikendalikan dengan cara otomatis se­ hing­ga anggota tim hanya memberikan pe­ rin­tah melalui perangkat komputer untuk menentukan koordinat yang harus dilalui ro­bot. Dari 13 tim yang mengikuti kategori per­guruan tinggi Rotary Wings, hanya 2 ro­ bot terbang yang mampu menyelesaikan misi tersebut, Unesa dan Telkom University. “Penilaiannya yaitu setiap robot terbang ha­rus mampu menyelesaikan misi.Mereka ha­rus mampu terbang secara autonomous atau tanpa dikontrol melalui titik koordinat yang telah ditentukan, dan meletakkan mu­ atan pesawat di area yang sudah ditentukan ko­ ordinatnya,” papar Ikhwan mahasiswa Ju­rusan Teknik Elektro. Untuk kompetisi itu, komunitas robotika Une­sa yang sudah berdiri sejak 2009 me­ la­kukan persiapan selama kurang lebih 2 bulan. Walaupun banyak kendala se­lama

proses validasi lapangan, namun me­ reka mampu membuktikan bahwa Une­sa, khusunya bidang robotika sudah se­ ta­ ra dengan perguruan tinggi lain yang ber­ ba­sis keteknikan. “Saya berharap di tahun men­datang, tim robot Unesa mampu me­ raih juara di semua kategori dan mampu mem­ bawa nama baik Universitas Negeri Su­rabaya dan harapannya juga dari pihak fa­kultas bisa lebih menfasilitasi kegiatan ro­ botik di Unesa ini,” papar Muklas, Ketua Ro­ botik FT Unesa. Ajang kontes robot yang menjadi agenda ta­ hunan Dikti itu menjadikan Politeknik Elek­tronika Negeri Surabaya (PENS) sebagai tuan rumah. Selain bertanding dengan tuan rumah, tim Robotik Unesa juga ber­ sa­ing dengan perguruan tinggi lain di In­ do­ nesia. Di antaranya adalah Universitas Kom­ puter Indonesia (UNIKOM), Institut Tek­nologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Se­puluh November (ITS), Universitas Ne­ge­ri Lampung (Unila), STIMIK Teknokrat, Uni­ver­ sitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yog­ ya­karta (UNY), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). (KHUSNUL/ANDINI)

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 25


KABAR SM-3T CATATAN DARI MONEV SM3T SUMBA TIMUR

Melaut Bersama ‘Orang Gila’ OLEH Luthfiyah Nurlaela [Koordinator SM3T Unesa]

MENGARUNGI SAMUDERA: Menjelang keberangkatan mengarungi samudera bersama ‘orang gila’.

A

khirnya kembali saya jejakkan kaki di tempat ini. Di sebuah desa bernama Katundu, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur. Mendung gelap menggantung di langit. Tidak ada gerimis, tidak ada hujan. Namun angin mengabarkan kalau sebentar lagi hujan akan turun. Kami berkemas. Mengeluarkan barang-barang dari mobil, barangbarang yang akan kami bawa menyeberang ke Salura. Buku, majalah Unesa, majalah Al-Falah, alat-alat mandi, nasi bungkus, kuekue, dan perlengkapan pribadi kami. Membungkus semuanya dengan

26 |

kantung plastik rapat-rapat. Termasuk membungkus semua gadget dan kamera. Menutup peluang air hujan atau air laut membasahi semuanya. Saya sudah pernah mengalami pengalaman buruk sepulang dari Salura. Kamera pocket saya rusak. Lensa tidak bisa dibuka-tutup. Ada semacam pasir di sela-selanya. Itulah kenangan saat berlayar ke Salura. Di bawah guyuran gerimis yang rasanya asin, kamera saya terpapar air yang mengandung garam itu. Selesai sudah. “Pak Heri, apa kita perlu pakai jas hujan?” Tanya saya pada Pak Heri, Kepala Sekolah SMP Satap Salura, sekolah yang akan kami kunjungi.

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

Beliau menjemput kami, dengan membawa perahu yang disewanya bersama pemilik perahunya. Laki-laki itu menatap ke atas, melihat ke langit, membaca cuaca. “Sepertinya tidak, Ibu.” “Sepertinya?” Saya balik bertanya. Tidak yakin. Saya tetap mengambil jas hujan. Setidaknya, kalau pun hujan tidak turun, saya memerlukannya untuk melindungi tubuh saya dari terpaan ombak. Tapi tiba-tiba gerimis turun. “Pak Heri, belum-belum sudah membohongi saya?” Pak Heri tertawa. “Ini hujan cuma lewat saja, Ibu.”


KABAR SM-3T Begitu kami sudah mengenakan jas hujan, dan bersiap turun menuju perahu, tiba-tiba saya ingat sesuatu. “Mana pelampung?” Saifud, koordinator kabupaten peserta SM-3T Sumba Timur, menjawab. “Ada, Bunda. Di perahu. Kemarin saya sudah minta disiapkan. Ada sekitar 10 buah.” Kami bertujuh berjalan menuju perahu. Saya dan Mas Febri (staf PPPG), Mas Oscar (driver), dan empat orang peserta SM-3T: Saifud, Ade, Gangga, dan Bintang. Saifud berjalan mendahului kami, untuk memastikan keberadaan pelampung. Ketika kami hampir sampai di dekat perahu, Saifud memberi tahu, kalau ternyata pelampung tidak disiapkan. Mak deg. Saya keder. “Bagaimana, Bunda?” Tanya Saifud. Wajahnya menggambarkan kekhawatiran kalau saya akan batal menyeberang karena tidak ada pelampung. “Kemarin saya sebenarnya sudah pesan supaya pelampung disiapkan, tetapi ternyata tidak ada satu pun, Bunda. Katanya terlambat menitipkan ke perahu.” Saya melempar pandangan ke Pak Heri yang sudah ada di dalam perahu. “Pak, nggak bawa pelampung?” Tanya saya. Pak Heri menggeleng, “Tidak apa-

apa, Ibu. Aman.” Laki-laki asli Muncar, Banyuwangi itu tersenyum, meyakinkan. Tapi di mata saya, dia seperti sedang menyeringai. Bisa-bisanya tidak bawa pelampung? Ini Samudra Hindia. Menyeberang dengan perahu nelayan kecil lagi. Hadeh. Saya jadi ingat saat di Waisai, Raja Ampat. Pagi hari, sekedar mengisi waktu, saya berjalan ke pantai. Menikmati semilir angin dan melihat laut. Gelombang cukup besar, dan saya lihat ada perahuperahu nelayan yang tetap melaut. Menuju ke tengah samudra. Gila. Cari mati apa mereka? Kapal sekecil itu? Tanya saya. Tapi mereka benar-benar melaju. Membelah samudra luas. Saya memandanginya terus, sampai perahu itu berubah jadi titik kecil yang akhirnya juga hilang, tak terlihat. Dan saat ini, saya menjadi bagian dari kegilaan itu. Mengarungi Samudra Hindia, dengan perahu nelayan. Tanpa pelampung. Kalau terjadi apa-apa, entahlah. Saya bayangkan, kalau masih pakai pelampung, setidaknya saya masih bisa kampul-kampul... Di Jawa, perahu kecil itu biasa disebut jukung. Di Salura, disebut perahu cumi, karena fungsi utamanya untuk mencari cumi. Tentu saja saya tidak mungkin mundur. Langkah maju sudah diambil,

PERSIAPAN: Bersama tim mempersiapkan keberangkatan mengarungi lautan menuju pulau Salura..

tak akan surut. Ini bukan masalah malu. Tapi perjalanan sejauh ini, sejak dari Surabaya sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan enam jam dari Waingapu pagi tadi, terlalu berharga untuk diabaikan, hanya karena tidak ada pelampung. Lihatlah wajahwajah itu. Penuh optimisme. Bahkan anak kecil yang tak berbaju itu. Juga seorang mama berkerudung. Mereka tak ada rasa gentar sedikit pun meski tidak pakai pelampung. Tapi....ya, ini memang dunia mereka. Mereka sudah terlahir di sini, dengan kondisi alam yang telah selama hidup mereka akrabi. Sedangkan saya? Oh Tuhan.... Saya mengumpulkan kekuatan. Menceburkan kaki ke laut. Melompat masuk perahu dengan penuh keyakinan. Duduk di bagian belakang, berdampingan dengan Ade, gadis peserta SM-3T yang turut mendampingi kami sejak dari Waingapu. Di depan saya, duduk berhimpitan Mas Oscar dan Saifud. Di depan lagi, anak laki-laki belasan tahun, duduk berdampingan dengan Kakak Arni, perawat di Puskesmas Pembantu di Salura. Di depannya lagi, dua orang tukang perahu. Di depannya lagi, entah siapa, mungkin penumpang kapal. Hari ini adalah hari pasar di Katundu, sehingga ada beberapa penumpang lain selain kami, dengan tujuan Salura. Di depan lagi, Gangga dan Bintang. Pak Heri duduk sendirian persis di belakang saya dan Ade. Perahu ini langsing sekali. Bila dua orang duduk berdampingan, tidak ada lgi space di samping kanan-kiri, pas untuk berdua. Perahu sekecil ini, ditumpangi tiga belas orang. Benarbenar gila. Entah ini berani atau konyol, atau keduanya. Setidaknya saya jadi semakin percaya dengan lagu lama itu. Nenek moyangku....seorang pelaut... Perahu pun melaju. Saya tahu, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam seperempat untuk sampai di Salura. Ini penyeberangan kedua bagi saya. Penyeberangan pertama

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 27


KABAR SM-3T dulu juga dalam rangka monev SM-3T seperti sekarang ini. Namun, sebagaimana setahun yang lalu, menit demi menit seperti berjalan begitu lambat. Perahu seolah tidak bergerak. Meski begitu, laut yang hitam, sehitam mendung yang menggayut di langit, dan puncak-puncak bukit yang tersamarkan oleh kabut tebal, tak membuat hati saya ciut. Malah justeru pasrah. Menyerahkan keselamatan diri sepenuhnya pada perlindungaNya. Saya sudah sering mengalami situasi semacam ini. Kepasrahan total ternyata memberikan ketenangan. Ya, apa saja bisa terjadi memang. Tapi saya yakin, Allah akan melindungi perjalanan kami. Saat mencapai separo perjalanan, hujan turun dengan deras. Sebagian dari kami menggigil kedinginan. Kilat menyambar-nyambar. Tapi dua orang tukang perahu itu hanya menggelengnggelengkan kepala, sambil tersenyum. Sesekali mereka melihat ke langit, menerka cuaca. Menggelenggelengkan kepala lagi. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya berdoa, semoga hanya hujan saja. Sederas apa pun, semoga hanya hujan saja, tanpa disertai badai. “Ini benar-benar hujan lewat.� Kata Pak Heri, menyadari kesalahan prediksinya tadi. Ya, hujan deras yang lewat, namun terus singgah. Singgahnya lama lagi. Hidung saya semakin mampet. Saya memang sedang flu, dan paparan air hujan asin yang terus-menerus menerpa wajah saya benar-benar membuat saya seperti kehilangan lubang hidung. Tak berapa lama, mesin di bagian kanan perahu tiba-tiba mati. “Oli, oli.� Teriak pak Heri. Tukang perahu mencari oli. Di bawah kaki-kaki para penumpangnya. Ternyata ketemu di bawah kaki saya. Subhanallah. Ternyata saya benarbenar melaut bersama orang-orang gila. Oli yag begitu pentingnya saja sembarangan meletakkannya. Setelah pada bagian-bagian tertentu mesin perahu itu dituangi

28 |

oli, perahu berjalan lagi. Normal. Karena hujan tak juga mereda, mesin bagian kanan depan ditutup plastik. Sedangkan mesin di sebelah kiri, tidak ditutup, tapi Pak Heri mengungkitnya dengan menggunakan dayung. Rupanya permukaan air yang menaik, menyebabkan mesin terlalu dekat dengan air, dan harus diungkit supaya tidak bersentuhan dengan air laut. Akhirnya nampaklah garis pantai dari kejauhan. Pasirnya yang putih terlihat muncul tenggelam, seirama dengan goyangan perahu yang diterpa ombak. Warna kelabu yang menutup permukaan pulau menandakan kalau pantai masih jauh. Air laut, sejauh mata memandang, masih tetap hitam legam, tanda laut dalam. Warna hijau kebiruan tak juga terlihat.

Sampai akhirnya tibalah saat yang kami tunggu. Air laut berangsur berubah menjadi biru, lantas hijau. Dasar laut yang putih nampak meski samar. Pasir putih di depan sana semakin dekat, dan pulau yang berkabut itu sudah mulai terlihat konturnya, pohon-pohonnya, lekukan garis pantainya. Di daratan, sekelompok orang sudah menunggu. Salah satu di antaranya adalah Wahyudi, guru SM-3T dari Prodi Pendidikan Fisika, yang bertugas di SMP Satap Salura. Dia datang bersama anak muridnya, lengkap dengan gerobak yang akan mengangkut bagasi kami. Alhamdulilah, Ya Allah. Kau lindungi kami semua dalam perjalanan ini. Salura, akhirnya... (MAN)

OLEH-OLEH: Bersama-sama mengusung barang dari perahu ke daratan (bawah). Anakanak lautan sedang bersampan di tepian laut (atas).

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014


JATIM MENGAJAR

Penulis bersama siswa setempat yang mendapat bantuan sarana pendidikan dari donasi masyarakat yang disalurkan melalui YDSF untuk Jatim Mengajar.

LAPORAN JATIM MENGAJAR (BAGIAN 3)

Repot dan Sulitnya Mencari MCK n oleh Muhtar Anas

Pagi itu aku berangkat agak siang karena ada be­be­rapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di tempatku me­nginap. Di rumah Bapak Pu­naji tepatnya. Selesai pe­kerjaan aku segera berangkat me­nuju sekolah untuk belajar bersama anak-anak. Jalanan ber­lumpur akibat hujan se­ma­lam.

D

ua puluh dua anak ber­baris de­­­ngan rapi se­ su­ai kelasnya. Ber­­­sepatu dan berseragam. Be­­gitu se­der­hana. Namun ter­­lihat se­mangat yang besar da­ri se­pasang mata mereka. Ta­­­­pi, tidak. Sepintas ada yang aneh pada barisan me­reka. Ter­­nyata barisan me­reka ha­ nya ada lima. Kok, lima...

Bila me­mang itu ba­ri­san per kelas, bu­kankah se­ha­rus­ nya ada e­nam baris. Ma­sih ada satu hal yang mem­buat­ ku tertarik. Seorang anak ber­ di­ri paling belakang di ujung ki­­riku. Setelah memperkenalkan di­ri, tak sabar aku ingin me­ nge­­­tahui nama mereka satu per­­satu. Segera aku minta un­­­tuk menyebutkan nama dan kelas dari barisan paling

ka­­nan di hadapanku. Mulai dari kelas I, lima orang anak laki-laki. Kelas II, ada 3 anak. Sa­tu laki-laki dua perempuan. Kelas IV ada lima anak. Dua laki-laki 3 perempuan. Enam orang anak di kelas V. Tiga laki-laki dan tiga perempuan. Yang terakhir 3 orang anak laki-laki ada di kelas VI. Kelas yang tidak ada barisannya ada­lah kelas III. Barisan kelas VI paling ujung kiri di ha­ Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 29


JATIM MENGAJAR dapanku yang tadinya aku kira seorang anak pe­ rem­ puan teernyata bagus na­ manya. Jarum pendek hampir me­­nuju angka delapan. Da­­ tanglah seorang paruh ba­ ya. Seumuran dengan Pak Us­man. Pak Asma`un na­ma beliau. Guru Agama. Se­lang beberapa waktu ke­mu­di­an disusul Pak Yogie. Gu­ru mu­ da yang seumuran de­ngan­ ku. Kemudian Bu Dwi, putri Pak Usman yang ju­ ga ikut mengabdikan diri di se­ko­lah ini. Ada lima orang gu­ru se­ ka­lian Kepala Sekolah di se­ ko­lah ini. “Berdoa mulai!” Salah satu siswa me­mim­ pin kegiatan doa untuk me­ ngawali kegiatan belajar. Ter­ lihat semangat yang ter­pan­ car dari wajah mereka. Jam per­tama tepat di mulai pukul 07.00 WIB. Merupakan hal yang langka mereka alami. Tak jarang pelajaran dimulai jam 08.00, bahkan jam 09.00. Pagi itu aku berangkat agak siang karena ada be­be­ rapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di tempatku me­nginap. Di rumah Bapak Pu­naji tepatnya. Selesai pe­ kerjaan aku segera berangkat me­nuju sekolah untuk belajar bersama anak-anak. Jalanan ber­lumpur akibat hujan se­ ma­lam. Terdapat danau-da­ nau kecil di sepanjang jal­an. Namun semua itu tak meng­ halangi langkah kakiku me­ nuju sekolah. Terdengar sua­ ra gaduh anak-anak meski da­ri kejauhan. Ketika sampai di halaman mereka berlarian un­ tuk berebut bersalaman.

30 |

Me­mang itu kebiasaan yang di­ajarkan kepada anak-anak dari para guru. Namun kali ini ada keanehan. Beberapa anak membawa cangkul. Ada yang membawa sabit, be­be­ ra­ pa di antara mereka ada yang tangannya berlumpur. “Ada apa ini tanganmu ko­tor, Wawan?” Rasa pe­na­ sa­ ran memaksaku bertanya pa­da mereka. “Itu, Pak Guru. Mem­ber­ sih­kan lahan bersama Pak Us­ man di samping sekolah.” Ja­ wab salah satu dari mereka. “Loh, ini kan hari Se­nin. Bu­kankah kegiatan ker­ja bakti hari Jumat?” Ra­sa pe­na­ sa­ranku kian ber­tam­bah. “Pak Usman mengajak ber­­kebun, Pak Guru. Me­na­ nam jagung.” Jawabnya po­ los. Aku pun kaget. Segera aku meletakkan buku di kan­ tor dan melihat kegiatan yang dilakukan anak-anak. Be­nar. Mulai dari kelas I sam­ pai kelas VI, mereka se­mua sedang sibuk. Ada yang mencabuti rumput. Men­ cang­kul. Salah satu dari me­ re­ka ada yang membawa wa­ dah berisi benih jagung. Kegiatan berkebun anakanak pun berakhir se­ kitar pukul 09.00. Terjadi per­ cakapan yang ironi an­ ta­ ra Wawan, salah satu sis­wa kelas VI, dengan Pak Yo­gie ketika istirahat. Hal itu di­ce­ ritakan kepadku setelah me­ reka selesai. “Bapak kamu di sawah me­nanam apa, Wan?” “Sama, Pak Guru. Me­na­ nam Jagung.” “Sudah selesai?”

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

“Belum, Pak Guru.” “Kalau Bapak kamu siapa yang membantu?” “Ibu saya, Pak Guru. Tadi pagi mereka berangkat. Ber­ sa­ma saya berangkat ke se­ kolah.” “Kenapa kamu tidak ikut mem­bantu bapak kamu?” “Tidak. Saya ke sekolah saja. Kata bapak sudah kelas VI, harus rajin belajar.” Terus terang, hati saya be­rontak menyaksikan kon­ disi seperti ini. Namun kem­ bali saya teringat akan si­apa diri saya di sekolah ini. De­ ngan berbagai alasan, tu­gas mengajar anak-anak di­ ke­ sam­pingkan. *** Entah kenapa, masih ba­ nyak rumah di dusun Mlurus be­lum memiliki fasilitas MCK yang standar. Kamar mandi de­ngan dinding papan ber­ lu­ bang sudah menjadi hal biasa. Jangankan dinding ka­ mar mandi, dinding rumah uta­ma pun juga terbuat dari pa­pan. Bagitu juga dengan fa­silitas buang air besar, WC. Sa­ma seperti rumah Pak Pu­ naji yang aku tempati. War­ ga yang belum memiliki WC harus membuang sisa-sisa makanan dalam perut me­re­ ka di hutan. Beruntung Bapak Kepala Sekolah, Pak Matelan, me­ nitipkan beberapa kunci ru­angan kepadaku. Salah sa­ tu­nya kunci kamar mandi. “Ini kunci kantor. Ini juga ada kunci kamar mandi. Sila­ kan Pak Muhtar gunakan ji­ ka ada perlu. Warga di sini ja­rang yang mempunyai ka­ mar mandi.” Kata Pak Ma­te­

lan saat awal aku tugas me­ nga­jar. Namun ada satu hal yang ti­ dak biasa bagiku. Kamar man­ di sekolah berada di sam­ping rumah warga. Ru­ mah tersebut mempunyai he­wan peliharaan, yaitu an­ jing. Memang pada siang ha­ ri anjing itu berkeliaran en­tah kemana. Tetapi anjing itu akan kembali ke rumah ma­jikan ketika petang telah ti­ba. Maka aku pun berusaha un­tuk buang hajat pada saat si­ang hari saja. Meskipun ke­ giatan buang hajat itu tidak bisa dikompromi kapan wak­ tunya. Meski sekuat tenaga te­ lah mencoba, namun apa­lah daya. Apa yang aku kha­wa­ tir­ kan benar-benar terjadi. Wak­tu itu salat maghrib ber­ jamaah di masjid belum usai. Tetapi isi dalam perutku mu­ lai berontak. Akhirnya usai salam, aku segera balik ka­ nan, dan langsung pulang me­ngambil kunci. “Mau kemana, Pak?” Ta­ nya istri Pak Punaji yang me­ li­hatku terburu-buru. “Mau ke kamar mandi se­ kolah, Bu.” “Ini bawa senter, biar te­ rang. Jalannya gelap lho.” “Oh, tidak apa-apa.” Akhirnya tanpa pe­ ne­ rangan, aku segera me­lang­ kahkan kaki menuju kamar mandi sekolah. BERSAMBUNG


ARTIKEL WAWASAN

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 4 TAHUN 4 BULAN oleh Susanto PENDAHULUAN Proses anak mulai mengenal komunikasi de­ ngan lingkungannya secara verbal di­ se­but dengan pemerolehan bahasa anak. Pe­ merolehan bahasa pertama (B1) anak ter­jadi bila anak yang sejak semula tanpa ba­hasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pa­da masa pemerolehan bahasa anak, anak le­ bih mengarah pada fungsi komunikasi da­ripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat di­katakan mempunyai ciri kesinambungan, me­miliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata se­ der­ hana menuju gabungan kata yang le­

bih rumit. Menurut Pak De Sofa ada dua pengertian mengenai pemerolehan ba­ha­ sa. Pertama, pemerolehan bahasa mem­ punyai permulaan yang mendadak, ti­batiba. Kedua, pemerolehan bahasa me­mi­liki suatu permulaan yang gradual yang mun­ cul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kog­nitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kog­nitif yakni pertama, jika anak dapat meng­ hasilkan ucapan-ucapan yang ber­ da­sar pada tata bahasa yang teratur rapi, ti­daklah secara otomatis mengimplikasikan bah­wa anak telah menguasai bahasa yang

bersangkutan dengan baik. Kedua, pem­ bicara harus memperoleh ‘kategori-ka­ te­ go­ ri kognitif’ yang mendasari berbagai mak­ na ekspresif bahasa-bahasa alamiah, se­ perti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kog­nitif terhadap penguasaan bahasa lebih ba­nyak dituntut pada pemerolehan bahasa ke­dua (PB2) daripada dalam pemerolehan ba­hasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa ke­sang­ gupannya berkomunikasi dengan ba­ ha­ sa khusus manusia dan itu tidak ada hu­­ bungannya dengan kecerdasan atau

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 31


ARTIKEL WAWASAN pe­mikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Ke­mampuan berbahasa anak yang normal sa­ma dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hu­ bu­ngannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk ba­ ha­sa. Tingkat perkembangan bahasa anak sa­ ma bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola per­ kembangan bahasa yang sama, yaitu le­bih dahulu menguasai prinsip-prinsip pem­ ba­ gian dan pola persepsi. Kekurangan ha­ nya sedikit saja dapat melambangkan per­kembangan bahasa anak. Bahasa tidak da­pat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa ber­sifat universal. Pemerolehan bahasa per­ ta­ ma erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasipres­tasi motorik, sosial, dan kognitif pra­ lingui­stik. Pemerolehan bahasa pertama erat sekali ka­ itannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya de­ ngan pembentukan identitas sosial. Mem­pelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu ma­sya­rakat. Bahasa memudahkan anak meng­ ekspre­ si­kan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara so­ si­al. Bahasa merupakan media yang dapat di­gunakan anak untuk memperoleh nilaini­lai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya mem­per­ oleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan se­ dikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pri­ badi Anda sendiri’. Sejak dini bayi te­ lah berinteraksi di dalam lingkungan so­sial­nya. Seorang ibu seringkali memberi ke­ sem­ patan kepada bayi untuk ikut dalam ko­ munikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bah­wa dunia ini adalah tempat orang saling ber­ ba­gi rasa. Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi ang­gota masyarakat. B1 menjadi salah satu sa­ rana untuk mengungkapkan perasaan, ke­ inginan, dan pendirian, dalam bentukben­tuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak

32 |

da­pat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan pe­ra­sa­ an­nya secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujar­an-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia te­ lah menguasai B1. Agar seorang anak da­ pat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang ber­ ka­ itan dengan perkembangan jiwa dan kog­nitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (no­tion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis me­ rupakan bagian yang penting dalam per­kembangan kognitif penguasaan B1 se­ orang anak. Sistem pikiran yang terdapat pada anakanak dibangun sedikit demi sedikit apa­ bila ada rangsangan dunia sekitarnya se­ ba­gai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan ter­ bentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan per­ben­ daharaan kata dan tata bahasanya pun ter­ ben­tuk. Ada lima hal pokok berkenaan dengan hu­bungan pemerolehan bahasa pertama de­ngan pemerolehan bahasa kedua anak. Per­tama, salah satu perbedaan antara pe­ me­rolehan bahasa pertama dan bahasa ke­ dua ialah bahwa pemerolehan bahasa per­ ta­ma merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial se­ orang anak. Kedua, pemerolehan bahasa ke­dua terjadi sesudah perkembangan kog­ ni­tif dan sosial seorang anak sudah selesai, da­lam pemerolehan bahasa pertama pe­ merolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan,

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

se­dangkan dalam pemerolehan bahasa ke­ dua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan ba­ hasa pertama dan bahasa kedua ada ke­samaan dalam urutan perolehan butirbutir tata bahasa, banyak variabel yang ber­ beda antara pemerolehan bahasa per­tama dengan pemerolehan bahasa. Ketiga, ciri khas antara pemerolehan bahasa per­tama dan bahasa kedua belum tentu ada mes­ ki­pun ada persamaan perbedaan di antara ke­dua pemerolehan. Keempat, ada tiga ma­ cam pengaruh proses belajar bahasa kedua, ya­itu pengaruh pada urutan kata dan ka­rena proses penerjemahan, pengaruh pada mor­ fem terikat, dan pengaruh bahasa pertama wa­laupun pengaruh isi sangat lemah (kecil). Ke­lima. perkembangan pemerolehan ba­ ha­sa pertama dan kedua anak Rizki ada perbedaan yang mendasar baik yang me­ nyangkut bentuk, urutan, jumlah dan ke­as­ lian bahasa yang digunakan. n *Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMAN 3 Bojonegoro, Alumnus Pascasarjana UNS Surakarta. Tulisan lengkap artikel ini pernah dimuat di Majalah Education Yes Edisi 1)


INFO SEHAT

KHASIAT ISTIMEWA Ubi Jalar Merah

U

bi jalar ternyata tidak bisa dianggap re­meh, sebagaimana anggapan ba­ nyak orang selama ini. Ya, untuk ke­sehatan sepertinya kita tak boleh lagi me­ nyia-nyiakan ubi jalar merah, karena kha­ siatnya lebih dahsyat dari sekadar men­jaga kesehatan mata. Sekelompok antioksidan yang ter­sim­ pan dalam ubi jalar merah mampu meng­ ha­ langi laju perusakan sel oleh radikal be­bas. Karenanya ubi jalar merah dapat men­cegah kemerosotan daya ingat dan ke­pikunan, penyakit jantung koroner, ser­ ta kanker. Plus bonus membuat kita tetap awet muda. Ubi jalar yang termasuk umbiumbian mu­rah ini jarang masuk dalam menu ke­ luar­ga kita, padahal di dapur orang Barat, ubi jalar merupakan primadona. Pada perayaan hari besar besar, seperti Na­tal dan Thanksgiving Day, penduduk AS lazim membuat sajian eksklusif dari ubi jalar seperti cake, kue kering, pure pe­leng­ kap steak atau salad, es krim, puding, muf­ fin, souffle, pancake, kroket, sup krim, mau­ pun sebagai taburan hidangan panggang (au gratin ) “Merah” pertanda kaya be­ta­ karoten. Kita mengenal ada beberapa je­ nis ubi jalar. Yang paling umum adalah ubi jalar putih. Selain itu ada juga yang un­ gu maupun merah. Sekalipun disebut ubi jalar merah, sebenarnya warna da­ ging buahnya adalah tidak merah, tapi ke­ku­ni­ ngan hingga jingga alias orange. Mengapa pilih yang merah? Dibanding ubi jalar putih,tekstur ubi jalar merah me­mang lebih berair dan kurang masir (san­ dy), tapi lebih lembut. Rasanya ti­ dak semanis yang putih padahal ka­ dar

gulanya tidak berbeda. Ubi jalar pu­tih mengandung 260 mkg (869 SI) be­ta­ka­ roten per 100 gram, ubi merah yang ber­ warna kuning emas tersimpan 2900 mkg (9675 SI) betakaroten, ubi merah yang berwarna jingga 9900 mkg (32967 SI). Makin pekat warna jingganya, makin ting­ gi kadar betakarotennya yang merupakan ba­han pembentuk vitamin A dalam tubuh. Se­cangkir ubi jalar merah kukus yang te­ lah dilumatkan menyimpan 50000 SI be­ takaroten, setara dengan kandungan be­ ta­karoten dalam 23 cangkir brokoli. Yang menggembirakan perebusan ha­ nya merusak 10% kadar betakaroten, se­ dangkan penggorengan atau pe­ mang­ ga­ngan dalam oven hanya 20%. Namun pen­ jemuran menghilangkan hampir separuh kandungan betakaroten, sekitar 40%. Menyantap seporsi ubi jalar merah ku­ kus/rebus sudah memenuhi anjuran ke­cukupan vitamin A 2100 3600 mkg se­ ha­ri, didukung pasukan zat gizi lain. Selain be­takaroten, warna jingga pada ubi jalar ju­ga memberi isyarat akan tingginya kan­ du­ngan senyawa lutein dan zeaxantin, pa­ sa­ngan antioksidan karotenoid. Keduanya ter­masuk pigmen warna sejenis klorofil me­rupakan pembentuk vitamin A. Lutein dan zeaxantin merupakan se­ nya­wa aktif yang memiliki peran penting meng­ halangi proses perusakan sel. Ubi jalar merah juga kaya vitamin E. Dari 2/3 cang­kir ubi merah kukus yang dilumatkan di­ peroleh asupan vitamin E untuk me­ me­nuhi kebutuhan sehari. Satu buah se­ dang (100 g) ubi jalar merah kukus ha­nya mengandung 118 kalori, 1/4 kalori se­ potong black forest cake. Zat gizi lain da­

lam ubi jalar merah adalah kalium, fosfor, ma­ngaan dan vitamin B6. Jika dimakan men­ tah ubi jalar merah menyumbang cu­kup vitamin C. Makan 1 buah sedang ubi ja­lar merah mentah sudah memenuhi 42% anjuran kecukupan vitamin C sehari. Dibanding dengan havermut (oatmeal), ubi jalar merah lebih kaya serat, khususnya oligosakarida. Menyantap ubi jalar merah 2-3 kali seminggu membantu kecukupan serat. Apabila dimakan bersama kulitnya menyumbang serat lebih banyak lagi. Jangan Disepelekan Ubi jalar merah merupakan umbi-um­ bian yang mengandung senyawa an­ ti­ oksidan paling komplet. Selain vitamin A, C, dan E, ubi jalar merah juga berlimpah vi­ tamin B6 (piridoksin) yang berperan pen­ ting dalam menyokong kekebalan tubuh. Di luar perkiraan banyak orang ubi jalar me­rah dengan kandungan vitamin B6-nya mampu mengendalikan jerawat musiman yang muncul menjelang menstruasi. Agak­ nya hampir semua zat gizi yang ter­ kandung dalam ubi jalar merah mendukung kemampuannya memerangi se­ rangan jantung koroner. Kesimpulan se­buah hasil penelitian menyebutkan ka­ lium dalam ubi merah memangkas 40% ri­siko penderita hipertensi terserang stro­ ke fatal. Sementara tekanan darah yang berlebihan pun merosot 25%. Jika de­mi­ki­ an kenyataannya, kini jangan pernah lagi menganggap remeh ubi jalar merah.Nik­ mati kapan saja kita suka, sambil me­mu­ puk manfaatnya.. n (MAN/BBS)

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 33


CATATAN LIDAH

MENGINDONESIA l Djuli Djatiprambudi

M

arilah kita simak sebuah kutipan dari kitab Genesis Bab 11 Bait 6 berikut,”Voici, ils forment un seul peuple et ont tous une même langue, et c’est la ce qu’ils ont entrepris. Maintenant rien ne les empêcherait de faire tout ce qu’ils auraient projeté” – Demikianlah, me­reka membentuk satu bangsa dan satu bahasa. Itulah yang mula-mula me­reka usahakan. Sesudah itu tak ada yang bisa menghalangi mereka me­ la­kukan apa saja yang mereka mau. Kata-kata itu saya baca dari buku Bahasa Menunjukkan Bangsa karya Alif Danya Munsyi (Yapi Tambayong) atau dikenal luas bernama Remy Sylado. Me­ngapa kalimat itu saya kutip? Dalam kalimat itu tersirat ungkapan bahwa pa­da saat suatu bangsa berbicara dalam bahasa yang sama, maka tidak ada satupun kerja yang tidak mungkin mereka lakukan. Makna lebih jauh, bang­sa dan bahasa sesungguhnya sebuah kesatuan yang tidak mungkin di­ pi­sahkan. Di dalam suatu bangsa tersurat suatu bahasa, sebaliknya di dalam suatu bahasa tersurat suatu bangsa. Hancurnya suatu bahasa, sama artinya han­curnya suatu bangsa. Berdiri tegaknya suatu bangsa, sama maknanya de­ngan berakarnya suatu bahasa. Bersyukurlah kita memiliki bahasa Indonesia yang kita junjung tinggi se­ bagai bahasa persatuan. Tetapi, raya syukur itu kini makin hambar rasanya, karena disadari atau tidak, bahasa Indonesia makin terpinggirkan. Ia seolaholah menjadi bahasa medioker yang tidak penting, karena keberadaannya dianggap tidak merepresentasikan kebutuhan kemodernan atau lebih ja­ uh gaya hidup masyarakat urban kontemporer. Yaitu, profil masyarakat yang terus-menerus berusaha memperkokoh tubuh dengan segenap ase­sorisnya, tetapi melupakan entitas ruhaniah dan identitasnya. Dalam ma­syarakat macam ini, penggunaan bahasa Indonesia dianggap sebagai cap kemunduran dan menimbulkan rasa inferioritas. Bahasa Indonesia di­ perlakukan semena-mena, hanya karena dianggap tidak mampu lagi untuk mengekspresikan hasrat kemodernan yang bersifat hidonisme, snobisme, dan hiperbolisme oleh masyarakat urban kontemporer. Masyarakat terpelajarpun tidak kalah serius memperlakukan bahasa In­donesia dengan berbagai alasan dan tindakan yang tidak seharusnya. Ge­jala aneh yang tampak jelas dalam hal ini, misalnya, untuk diakui lulus dari program studi S1, S2, dan S3, ada syarat yang tidak boleh ditawar, ma­ hasiswa tersebut harus memiliki skor ToEFL atau TEP yang telah ditentukan. Kebijakan macam ini hampir menjadi kecenderungan umum perguruan ting­gi di Indonesia. Alasannya, dengan penguasaan bahasa Inggris kualitas lu­lusan diproyeksikan memiliki standar internasional. Selain itu, alasannya di­bingkai oleh alasan keilmuan, bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang dipakai untuk menguasai ilmu (Barat), yang secara luas ditulis dalam bahasa Inggris. Karena itu, barangsiapa ingin menguasai ilmu secara luas dan mendalam, tidak bisa ditawar bahasa Inggris harus dikuasai. Alasan lain yang tidak kalah sakti, bahwa modal utama memasuki dunia global hanya dan hanya jika bahasa Inggris dikuasai dengan baik. Lalu, kalau cara pandangnya demikian, di mana posisi bahasa Indonesia? Be­narkah untuk berbicara di fora internasional meski berbahasa Inggris? Mengapa bangsa Jepang hanya dengan mengandalkan bahasa Jepang mam­pu menjadi kampiun dunia di bidang ilmu, teknologi, dan rekayasa? Hal demikian juga terjadi di bangsa Korea, China, dan bangsa-bangsa

34 |

MAJALAH UNESA Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014

lain yang menggunakan bahasa Spanyol, Portugis, Perancis, Jerman, dan Rusia. Berbagai bangsa ini tidak me­letakkan bahasa Inggris sebagai ba­hasa peletak dasar kemajuan atau kemodernan bangsanya dalam hal pe­nguasaan ilmu pengetahuan dan tek­nologi. Bahasa Inggris memang di­ pe­ lajari, tetapi posisinya tetap di­ l­ e­ takkan di bawah bahasa bang­sa­nya. Sehingga, tidak pernah ter­dengar, mahasiswa di Korea Selatan dan Jepang misalnya, harus memiliki skor ToEFL tertentu agar mereka lulus dari program studi tertentu di suatu per­ guan tinggi. Justru sebaliknya, perguruan tinggi di sana memberikan sya­rat kepada mahasiswa harus memiliki kualifikasi tertentu dalam pe­nguasaan bahasa resmi bangsanya. Karena itu, jangan heran, kalau para cerdik-pandai, ilmuwan, atau tokohtokoh di Jepang, Korea, China, Brazilia, Rusia, dan Spanyol banyak yang ter­ ba­ta-bata jika mereka menggunakan bahasa Inggris. Tetapi, jangan tanya soal ketajaman dan kedalaman jangkau analisisnya terhadap suatu ilmu pe­ nge­tahuan dan teknologi. Dengan itu, mereka telah membuktikan bahwa bahasa Inggris bukan satu-satunya jalan menuju kemodernan. Mereka tetap bersikukuh menggunakan bahasa mereka sendiri dalam meretas jalan me­ nuju masyarakat modern dengan tetap menjunjung tinggi bahasanya. Tidak hanya itu, memang. Bila suatu perguruan tinggi di Indonesia me­ miliki hajat seminar internasional, misalnya, sekalipun hanya dihadiri oleh pembicara kunci dari luar negeri dua orang saja, sementara pe­ser­tanya orang-orang Indonesia, tega-teganya forum itu sering ngotot meng­ gunakan bahasa Inggris. Hal demikian hanya sekadar agar forum itu ter­ kesan dan diakui sebagai forum internasional. Maka, lagi-lagi bahasa In­ do­nesia dalam konteks ini makin tidak memiliki daya untuk membentuk hi­bitus kebangsaan, identitas, dan berbagai kesadaran tentang historisitas, geografi, dan ideologi bangsa. Ingat, bahasa adalah alat yang paling ampuh un­tuk membentuk karakter bangsa. Sementara itu, sejarah telah menunjukkan, betapa repotnya suatu bang­ sa tanpa memiliki bahasa persatuan yang dijunjung tinggi oleh tiap individu bangsa tersebut. Tengoklah India. Dia memiliki bahasa resmi Hindi, tetapi juga ada bahasa resmi lainnya, yaitu Inggris. Sementara penduduk yang ber­ agama Islam menggunakan bahasa Urdu, dan kelompok-kelompok IndoArya, seperti Bengali, Gujarati, Marathi, Punjabi bersikeras menggunakan ba­hasanya sendiri-sendiri. Ini belum diperumit oleh kelompok-kelompok Dravida, seperti Telugu, Tamil, dan Malayalam, juga ngotot menggunakan ba­hasanya masing-masing. Filipina tidak kalah rumitnya. Sekalipun bahasa Tagalog resmis di­nya­ta­ kan sebagai bahasa nasional, tetapi sebagai dialek persentasenya hanya 21, masih di bawah Cebuana yang mencapai 24,1. Sementara itu Iloko 11,7 dan Pa­nay-Hiligaynon 10,4. Ini belum ditambah puluhan dialek lain di antero ke­ pu­lauan Filipina. Memang, bahasa Indonesia dalam perkembangan paling mutakhir ma­ kin memperlihatkan krisis multi dimensi, khususnya makin hilangnya ruh Sum­pah Pemuda, Oktober 1928. Bahasa Indonesia yang telah diikrarkan se­bagai bahasa persatuan dan bahasa nasional, kini makin memudar daya pesonanya. Kita makin banyak terlena dan makin tidak cakap meng­gu­ nakan bahasa Indonesia. Karena, bisa jadi bahasa Indonesia makin men­ jadi liyan (asing). Bahasa Indonesia bukan lagi bersemayam di dalam ke­ sa­daran berindonesia, kemudian membentuk kesadaran mengindonesia. Akan dicatat dalam sejarah, bila Unesa ke depan mereposisi dirinya se­ ba­ gai perguruan tinggi yang memiliki kesadaran mengindonesia. n (Email: djulip@yahoo.com)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.