Majalah Unesa Edisi 75

Page 1



WARNA EDITORIAL

Majalah Unesa

ISSN 1411 – 397X Nomor 75 Tahun XV - November 2014 PELINDUNG Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I) Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III) Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI Dr. Suyatno, M.Pd REDAKTUR A. Rohman PENYUNTING/EDITOR Basyir Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd REPORTER: Herfiki Setiono, Aditya Gilang, Ari Budi P, Rudi Umar Susanto, M. Wahyu Utomo, Putri Retnosari, Fauziyah Arsanti, Putri Candra Kirana, Lina Rosidah FOTOGRAFER A. Gilang, M. Wahyu U. Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT (Arman, Basir, Wahyu Rukmo S) ADMINISTRASI Supi’ah, S.E. Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI Hartono PENERBIT Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124 Fax (031) 8280804

D

BERMULA DARI MENTAL

i dunia ini hanya mendahulukan jiwa dari­pa­ ada dua pilihan da badan dalam lagu In­do­ da­lam hidup ne­sia Raya. me­ng­hiasi usia Penyimpangan yang ini. Dua pilihan itu adalah ti­ dak berimbang itu saat ke­ baikan dan keburukan. ini mengental ke arah ke­ Tam­ paknya memang mu­ bu­rukan yang tampak dan dah menentukan pilihan itu tidak tampak. Untuk itu, karena pasti semua orang perlu revolusi mental da­lam akan memilih ke­ba­ikan. Lalu, penyelenggaraan ber­bang­ keburukan mu­dah dihindari, sa dan bernegara, termasuk dijauhi, dan ditinggal jauh me­ngelola pendidikan. dalam ku­ buran pikiran. Yang dimaksud re­ vo­ Namun, te­rasa susah untuk lusi mental itu adalah kem­ menuju ke­ baikan karena bali ke hakikat bekerja, ber­ l DR. SUYATNO, M.PD terlalu ba­ nyak hambatan ma­syarakat, bernegara, dan dan rin­ ta­ ngan baik yang ber­bangsa. Rel awal harus tam­pak maupun yang tidak tam­pak. di­lalui tanpa penyimpangan yang luas dan Berbuat baik itu mudah sekali di­ca­ri­ se­ akan-akan penyimpangan itu menjadi kan padanannya, yakni berpikir positif, me­ se­suatu yang benar. Mental yang dipunyai nya­jikan yang terbaik, gembira, tanggung ba­gi pekerja harus kembali ke jatidiri se­se­ jawab, perhatian, kerja keras dan kerja orang yang semestinya bekerja dengan pe­ cerdas, senang, cemerlang, baik hati, jujur, nuh kesadaran tinggi. he­mat, suci pikiran, dan sebagainya. Namun, Unesa harus pula menjadi pelopor un­ padanan itu hanya sebatas pengetahuan tuk masuk ke dunia hakikat berkampus. dan pemahaman saja. Realisasi konkretnya Ha­ kikat berkampus adalah meninggikan te­rasa susah. Apalagi, sudut pandang ma­ akal dan budi generasi muda Indonesia. Pe­ nu­sia di abad ini sudah bergeser jauh dari ninggian akal budi itu memerlukan do­sen berbudi ke berbunyi. Orang lebih me­nge­ yang mempunyai kesadaran dalam men­ de­pankan bunyi mulut semata daripada bu­ transformasi keilmuan. Kampus, per­ pus­ di baik. Bunyi itu tanpa dipikir dan dilakukan takaan, buku, dan sarana yang lain ha­nya­lah su­dah dapat disampaikan kalau budi baik sarana semata. Hakikatnya adalah ke­ter­hu­ harus dilakukan dan dibiasakan dalam rea­ bu­ngan jiwa dan pikiran antara dosen dan li­tas hidup sehari-hari. ma­hasiswa serta mahasiswa dan dosen. Lalu, berbuat buruk itu juga mudah Unesa harus memberikan sumbangan di­ pikirkan karena ada padanan merusak, ru­musan revolusi mental di segala bidang. ko­ rupsi, malas, berbohong, asal-asalan, Tentu, rumusan yang dikedepankan adalah men­cederai, mengakali, merusak, dan se­ba­ ru­musan pendidikan yang berbasis revolusi gainya. Pun pula, berbuat buruk itu sa­ngat mental karena roh asali Unesa adalah pen­ mudah dilakukan manusia daripada ber­bu­ didikan. Banyak penyimpangan baik yang at baik. kelihatan dan tidak kelihatan harus di­bong­ Lihat saja, untuk mengubah keburukan kar untuk dikembalikan ke hakikat asasinya. Revolusi mental itu tidak rumit. Revolusi men­ jadi kebaikan seseorang, diperlukan se­kolah selama 12 tahun jika hanya sam­pai men­tal itu rumusan sederhana yang meng­ SMA saja. Itu pun, masih banyak yang ber­ uta­ makan kelangsungan hidup warga bu­at keburukan meskipun sudah kenyang In­donesia. Blusukan itu sebuah revolusi se­kolah. Untuk itu, diperlukan norma aga­ men­­ tal karena penyimpangan pejabat ma, bermasyarakat, dan bernegara. Jika ti­ yang tidak tahu kenyataan tetapi asal bu­ dak ada norma itu, mungkin penjara di du­ nyi sehingga hanya Asal Bapak Senang. nia seluas bumi yang dapat dihuni. Ma­­kanan tradisional harus dihidangkan itu Mengapa dua pilihan antara kebaikan ru­musan sederhana untuk mengembalikan dan keburukan tidak berimbang? Keburukan ge­liat petani asal negeri sendiri dan meng­ se­akan lebih mudah dipilih daripada ke­ gi­ring kesederhanaan. Rapat di kantor itu baikan. Itu semua akibat sifat manusia yang re­volusi mental karena mengembalikan ha­ he­wan sekaligus manusia. Oleh karena itu, ki­kat rapat yang menjiwai suasana kantor. Indonesia harus kuat memertahankan ji­ Ja­di, revolusi mental itu sangat sederhana wa dan mental sebagai pilar berbangsa ka­rena hanya bertumpu pada kembali ke dan bernegara. Bahkan, pendiri bangsa yang asasi. Unesa perlu mempeloporinya. n

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

|

3


CONTENT

INFO HALAMAN

08

03. WARNA

Bermula dari Mental oleh Dr. Suyatno, M.Pd

10

05. LAPORAN UTAMA

REVOLUSI MENTAL. Isu panas tentang pen­ didikan yang harus diubah dari akarnya. Se­ mua diulas dari sisi terdalam oleh para praktisi pendidikan dari Unesa. Apa kata mereka sebenarnya...?

• Mewujudkan Revolusi Mental dalam Pendidikan • Prof. Muchlas Samani: Revolusi Mental untuk Kemajuan Bangsa • Prof. Warsono: Kurikulum 2013 Sesuai Konsep Revolusi Mental • Prof. Ismet Basuki: Revolusi Mental Pendidikan melalui Kompetensi

12. SPEAK UP!

• Mereka Bicara tentang Revolusi Mental dalam Pendidikan

18. LENSA UNESA 20. KOLOM REKTOR 22 INSPIRASI ALUMNI

• Farhan Efendi, Alumnus Sejarah yang Sukses Pimpin Harian SURYA

24. KABAR SM-3T

• Monev SM-3T oleh Prof. Luthfiyah Nurlaela

25. SEPUTAR UNESA 31. ARTIKEL WAWASAN

22

33. INFO SEHAT

• Manfaat Mengkudu bagi Kesehatan

34. CATATAN LIDAH • oleh Djuli Djatiprambudi

4 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

33


LAPORAN UTAMA

MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL PENDIDIKAN Revolusi mental dalam dunia pendidikan tentu tidak hanya fokus pada guru saja, orang tua, masyarakat, dan para pembuat kebijakan harus bersinergi untuk bersama-sama mewujudukan tujuan mulia tersebut.

G

aung revolusi mental me­ mang sedang menggema se­ telah Presiden Joko Widodo, men­ jadikan slogan tersebut se­bagai jargon kampanye pada piplres lalu. Berbagai gerakan yang mengarah pa­da perubahan mental dan perilaku pun kian gencar disuarakan pada se­ mua sektor. Tak terkecuali di sektor pendidikan, yang menjadi arus utama revolusi mental. Tak dapat dipungkiri, Revolusi Men­ tal pada sektor pendidikan me­ mang menjadi hal paling penting un­ tuk dilakukan agar terwujud Revo­lu­

si Mental secara komprehensif. Ada empat komponen yang perlu men­da­ pat sorotan dalam merevolusi mental di dunia pendidikan, yakni guru, orang tua, masyarakat dan para pembuat ke­ bi­jakan. Mereka harus bersinergi untuk ber­ sama-sama mewujudkan revolusi mental. Menteri Pendidikan dan Kebu­da­ya­ an (Mendikbud) Anies Baswedan saat memberikan paparan dalam pe­ri­nga­ tan Hari Guru Nasional 2014 yang di­ barengi dengan HUT PGRI ke- 69 be­ be­rapa waktu lalu menegaskan akan men­ jadikan momentum hari guru

un­tuk mengimplementasikan revolusi men­ tal. Anies mengatakan, sehebat apa­pun suatu lembaga, selama masih di­ tangani oleh manusia yang salah kap­ rah soal pembangunan manusia, ten­tu tidak akan membawa kemajuan. Oleh karena itu, lanjut Anis, sasaran re­ vo­lusi mental harus difokuskan pada pe­ningkatan kualitas guru. “2015, ke­ men­terian yang saya pimpin akan fo­ kus pada peningkatan kualitas guru,” ung­kapnya. Meskipun guru menjadi fokus uta­ ma, bukan berarti menjadi faktor sa­ tu-satunya. Anis mengatakan, selain

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

|

5


LAPORAN UTAMA guru, peran orang tua menjadi ba­gi­an terpenting dalam menyiapkan re­ vo­ lusi mental. Sebab, yang bertugas me­ nyiap­kan anak untuk masuk ke dalam ling­kungan pendidikan adalah orang tua. Mantan Rektor Paramadina itu men­jelaskan, peran orang tua untuk ikut terlibat dalam pendidikan anak men­ jadi salah satu penentu dalam mem­bentuk karakter anak. Senada, Ketua Bidang Pengem­ ba­ ngan Profesi Pendidik Pendidikan Me­nengah, Santi Ambarrukmi dalam dialog di Radio KBR68H antara Ke­ men­ dikbud dengan Persatuan Guru

Republik Indonesia (PGRI) meng­ung­ kap­ kan, revolusi mental memang ti­ dak hanya difokuskan pada guru, tapi se­ mua masyarakat perlu melakukan re­ volusi mental. Hanya saja, dalam pen­didikan, guru memiliki peran pen­ ting menghasilkan siswa yang ber­ kualitas. Karena itu, dengan re­ vo­ lusi mental tersebut, guru harus ter­ mo­ tivasi mengembangkan diri dan me­ ningkatkan kompetensinya dan me­ miliki kreativitas sehingga proses be­la­ jar menjadi menyenangkan. Pernyataan serupa diungkapkan Ke­­tua Yayasan Pembina Lembaga Pen­

REVOLUSI MENTAL, DIMULAI DARI PENDIDIKAN

P

endidikan memiliki peran sangat strategis dalam mem­bentuk mental anak bangsa. Oleh karena itu, re­ vo­lusi mental haruslah dimulai dari pendidikan. Lantas, apa saja yang perlu diperbaiki dalam pendidikan ber­kaitan dengan revolusi mental? Anastasia Jesica Adinda S, pengajar Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya me­ nu­lis di indoprogress.com pada 11 September 2014 yang menyebutkan bahwa ada 10 hal terkait pendidikan yang perlu di­revolusi mental. Apa saja? Pertama, terkait anggapan bahwa metode menghafal me­ rupakan kunci kesuksesan. Sudah jamak terjadi, setiap men­ je­lang ujian, ritual menghafal sudah menjadi kebiasaan para peserta didik agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Memang, tidak ada yang salah dengan menghafal karena ilmu pe­ngetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan men­catat suatu peristiwa alam atau sosial. Namun, menghafal menjadi masalah jika dilakukan tanpa mengetahui konsep se­sungguhnya. Peserta didik hanya akan menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna sesungguhnya. Untuk me­revolusi mental ‘ritual menghafal’ ini, tentu diperlukan per­ ba­ikan dalam metode mendidik. Pendidik perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta percobaanper­cobaan di kelas yang lebih mendekatkan peserta didik pa­ da objek yang diajarkan. Kedua, terkait anggapan bahwa nilai ujian dan ijazah me­ ru­pakan inti dari seluruh proses pendidikan. Jika masyarakat memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan, maka sesungguhnya telah hilanglah makna dari pendidikan itu sendiri. Pandangan tersebut, tentu berbahaya

6 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

didikan (YPLP) PGRI Pusat, Sugito. Me­ nu­rut Sugito, revolusi mental di dunia pen­didikan tidak melulu tanggung ja­ wab guru, tapi pejabat, para penentu ke­bijakan, mahasiswa, dan orang tua juga harus bersama-sama memikul tang­ gung jawab tersebut. “Revolusi men­tal dalam meningkatkan kualitas guru bisa dimulai dari dalam diri guru sen­diri, dengan menyadari bahwa pro­ fesinya sebagai guru bukan hanya un­ tuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai ben­tuk ibadah,” tandasnya. (SIR/BS)

ka­rena masyarakat hanya akan mengejar nilai ujian dan ijazah. Dengan demikian, pendidik dan peserta didik pun samasama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai for­malitas untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Revolusi terhadap mental ‘gi­la ijazah’ memang tidak mudah karena melibatkan sistem pendidikan, sistem ekonomi dan politik. Namun, upaya harus te­tap dilakukan dengan memperbaiki sistem penilaian yang tidak terlalu mementingkan kuantitas, tetapi lebih kualitas. Ketiga, anggapan UNAS sebagai ukuran kemampuan pe­ lajar di seluruh Indonesia. Pelaksanaan UAN memiliki asum­si dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal yang sama sehingga dapat mencapai standar kemampuan aka­de­mis tertentu yang sama. Kenyataannya, peserta didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka memiliki modal pe­ngetahuan, budaya, kualitas sekolah dan lingkungan ma­ syarakat yang berbeda. UAN sebagai standarisasi ke­mam­ puan akademis tidak lagi relevan mengingat modal yang berbeda ini. Pandangan tentang Unas tersebut tentu ha­rus segera direvolusi sehingga tidak lagi sebagai alat ukur ke­ mam­puan pelajar. Keempat, pendidik sekadar memenuhi formalitas me­ng­ ajar karena tekanan sistem. Pendidik dalam menjalankan ak­ ti­vitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik


LAPORAN UTAMA

dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga di­sibukkan de­ngan rencana pembelajaran dan target materi yang harus disampaikan. Target itu tentu berkaitan juga dengan UAN. Apabila target materi tidak terpenuhi maka peserta didik terancam tidak lulus UAN. Apabila ada siswa yang tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah pun akan tercemar. Virus sekadar memenuhi formalitas itu tidak hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para dosen di perguruan tinggi. Ka­rena itu, harus ada upaya agar sistem tidak membuat pe­ nga­jar tertekan, tapi menjadi lebih produktif dan kreatif. Kelima, orang miskin dilarang sekolah. Bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak da­ri pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya yang dibutuhkan untuk men­dukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak masuk akal bagi orang tua yang memiliki pendapatan tidak lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan, bahkan untuk yang berpenghasilan tiga juta rupiah sekalipun. Tidak masuk akal­ nya biaya untuk pendidikan, membuat banyak anak harus pu­tus sekolah. Revolusi Mental dalam pendidikan perlu di­ du­kung kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan akhirnya dapat diakses siapa saja di seluruh pe­ losok negeri ini. Keenam, terkait anggapan dengan memperbanyak pe­ la­jaran agama maka perilaku menjadi baik. Anggapan ter­ se­but berakar dari asumsi pembedaan yang tajam antara bu­daya dalam bentuk yang immaterial (cara pikir, merasa) dan material (tindakan, hasil karya cipta manusia). Unsur im­ material dianggap lebih tinggi daripada unsur material se­ hing­ga ada anggapan dengan penguasaan pelajaran agama pasti dapat mengubah perilaku peserta didik. Padahal dalam ke­nyataan, penguasaan teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang dipelajari di sekolah menjadi cara berpikir dalam praktik hidup sehari-hari. Dalam revolusi mental, perlu diupayakan per­ubahan asumsi dasar dalam memandang budaya. Ketujuh, semarak khotbah dan seminar yang bertujuan meng­ubah moral. Perubahan moral juga tidak dapat terjadi dengan khotbah atau seminar-seminar motivasi saja. Metode menyampaikan pelajaran etika dapat dilakukan dengan cara

bermain peran (role play). Gaya mengajar bermain peran ini men­dorong peserta didik untuk mendayagunakan pikiran, pe­rasaan dan serta tubuhnya dalam memahami suatu pe­ris­ ti­wa yang melibatkan penilaian etis. Kedelapan, pendidikan yang tidak sadar keberagaman. Se­ kolah-sekolah berbasis pendidikan inklusif perlu terus diupayakan. Diskriminasi dalam pendidikan formal tidak ja­ rang dimulai dari institusi pendidikan itu sendiri. Bentuk ba­ngunan, cara mengajar dan atmosfer pergaulan perlu di­ sesuaikan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang inklusif. Pen­didikan inklusif terbuka bagi semua peserta didik dari berbagai budaya dan termasuk bagi para difabel. Tersedianya sa­rana dan atmosfer pembelajaran yang inklusif membuat peserta didik belajar untuk menghargai perbedaan dan tidak ber­sikap rasis serta fundamentalis ekstrem. Kesembilan, pendidikan yang apolitis. Teori-teori di sekolah yang terpisah dari praktik, membuat peserta didik tidak me­ nya­dari bahwa ada masalah dalam kehidupan sehari-hari yang perlu diselesaikan. Ilustrasi-ilustrasi dalam pelajaran di pen­didikan formal tidak pernah memantik keberanian sikap politis peserta didik. Peserta didik dibuat lupa bahwa segala yang dinikmati termasuk dapat mengenyam pendidikan di se­kolah merupakan hasil dari tindakan politis. Pendidikan yang apolitis menjadi tidak relevan sebab pendidikan dan po­litik saling mengandaikan satu sama lain, satu sama lain sa­ling mempengaruhi. Kesepuluh, kurangnya kantung-kantung pendidikan di Lingkungan. Setiap kelompok masyarakat perlu meng­ upa­yakan agar pendidikan tidak menjadi elitis. Bagaimana caranya? Perlu diusahakan kelompok-kelompok pendidikan in­formal di lingkungan tempat tinggal. Kelompok-kelompok belajar dan sanggar-sanggar kesenian bagi anak-anak, yang bersifat tidak berbayar perlu diselenggarakan agar pen­ didikan dapat dirasakan bagi siapa saja. Selama ini, se­be­nar­ nya banyak pendidikan informal yang kreatif dengan me­ tode pengajaran yang mengembangkan potensi peserta di­ dik, tetapi biaya untuk masuk ke tempat pendidikan seperti itu juga tidak murah. (SIR/WWW.INDOPROGRESS.COM)S. (SIR/BERBAGAI SUMBER) Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

|

7


LAPORAN UTAMA

SUMBANGSIH UNESA DALAM MEREVOLUSI PENDIDIKAN Sebagai kampus yang memiliki akar pendidikan kuat, Unesa tentu memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kontribusinya bagi perbaikan pendidikan di Unesa. Merevolusi mental dengan merumuskan konsepsi pendidikan yang lebih terarah dan berkarakter, tentu menjadi sumbangsih yang harus dilakukan karena roh asal Unesa adalah pendidikan.

Revolusi Mental Pendidikan untuk Kemajuan Bangsa

M

antan Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani mengaku tidak tahu arti revolusi mental sebenarnya yang dilontarkan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo karena memang tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai arti revolusi mental yang dimaksud sang presiden. Hanya saja, ia memiliki pemaknaan sendiri terkait revolusi mental. Ia memaknai bahwa revolusi mengandung arti perubahan cepat. Jika dikaitkan dengan revolusi pendidikan, berarti perubahan cepat apa yang dibutuhkan dalam bidang pendidikan. Muchlas mengatakan, meski perubahan perlu dilakukan dengan cepat, namun perubahan mendasar tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Harus dipikirkan secara matang dan hati-hati. Jika terjadi kekeliruan, akibatnya fatal. Apalagi, perubahan pada pendidikan, hasilnya baru akan terlihat pada 50 tahun mendatang. Karena itu, dibutuhkan revolusi mental pendidikan untuk mengubah cara pikir atau cara pandang kita dalam memahami atau menata pendidikan agar lebih baik ke depan. Muchlas sangat setuju jika revolusi mental pendidikan lebih ditekankan pada konten. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan konten. Pertama, isi dalam arti ilmu apa yang dipelajari. Kedua, bahasa yang meliputi bahasa Inggris dan bahasa IT. Dan, yang ketiga adalah sikap. “Ketiganya menurut saya harus dievaluasi dan diperbaiki,� tandasnya. Menurut pandangan Muchlas, jurusan yang spesifik kurang cocok karena saat ini semua bidang sudah melebur

8 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014


LAPORAN UTAMA menjadi tanpa batas. Akan lebih baik jika sesorang diberi kemampuan mendasar yang kuat, selanjutnya biarkan orang tersebut menyesuaikan sendiri dengan perubahan zaman. “Itulah salah satu contoh mengapa kita harus melakukan revolusi terhadap konten pendidikan tersebut,” paparnya. Semua revolusi pendidikan tersebut akan berjalan optimal jika tenaga pengajar (guru dan dosen) memiliki kompetensi pendidikan. Masalahnya, saat ini, Indonesia kekurangan guru dan dosen yang benar-benar kompenten. Padahal, guru memiliki sumbangsih besar terhadap revolusi pendidikan, yakni 53% berdasarkan sebuah penelitian. “Dengan guru yang berkompeten, masalah pendidikan akan berkurang setengahnya,” terang Muchlas. Bagaimana menciptakan guru yang kompeten? Muchlas menyebut ada dua cara yang perlu disiapkan yakni membentuk tim khusus yang mengurusi perkembangan guru

dan menyiapkan guru yang mau dan mampu ditempatkan di daerah tertinggal. “Untuk Unesa sendiri, seharusnya menyiapkan dosen yang dapat mengantarkan mahasiswa ke spesifikasi konsentrasinya dan menerapkan cara mengajar seperti cara guru mengajar di sekolah. Di mana dosen tidak melulu memberikan ceramah, tapi memberikan masalah atau proyek yang dapat diselesaikan mahasiswa,” jelasnya. Kurikulum 2013 yang diterapkan saat ini, lanjut Muchlas, sangat cocok untuk merevolusi mental pendidikan karena ide dan tujuannya bagus. Hanya saja, masih ada kendala dalam pengimplementasianya. Selain itu, penerapan school culture juga masih kurang. Padahal, school culture dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik untuk mencapai tujuan pendidikan. “Semoga melalui revolusi, pendidikan di Indonesia semakin baik dan banyak guru yang mau ditempatkan di manapun dibutuhkan,” harapnya. (ULIL/ANDINI)

KURIKULUM 2013 SUDAH SESUAI DENGAN KONSEP REVOLUSI

S

ementara itu, Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, MS ber­ pen­dapat bahwa esensi re­vo­ lusi adalah perubahan se­ca­ra cepat dan mendasar, sedangkan men­ tal berkaitan dengan proses berpikir. Me­nurutnya, mengubah proses ber­pi­ kir memang sulit sehingga yang per­lu dilakukan adalah melakukan pe­ru­ba­ han pola pikir. Saat ini, kata rektor, banyak orang ter­ jebak dalam paradigma berpikir yang tidak mendukung kemajuan bang­ sa. Mereka cenderung berpikir di­agonalistik, berpikir negatif, berpikir se­bab, dan bermental miskin. Keempat paradigma tersebut merupakan ka­rak­ ter buruk yang harus diubah ke arah yang bisa mendukung kemajuan bang­ sa dengan membaliknya menjadi ber­ pikir alternatif, berpikir positif, berpikir akibat, dan bermental kaya. Paradigma berpikir yang harus di­ ubah, lanjut guru besar FIS itu per­ta­ ma adalah paradigma berpikir dia­go­ nalistik. Paradigma seperti ini sa­ngat rentan terhadap konflik. Dalam pa­ radigma berpikir diagonalistik, se­

ti­ ap perbedaan dipandang sebagai be­nar atau salah. Jadi, jika ada yang ber­ pendapat, masing-masing akan berusaha membenarkan pendapatnya sen­ diri, dan berusaha menyalahkan pen­ dapat orang lain. “Paradigma berpikir diagonalistik harus diganti de­ngan paradigma berpikir alternatif, yang mengakui dan menerima adanya per­bedaan,” ungkaonya.

Paradigma kedua, yang harus di­ ubah adalah berpikir sebab. Menurut War­ sono, paradigma berpikir aki­ bat menyebabkan bangsa sulit ma­ju dan sulit memiliki prestasi mem­bang­ga­kan. Orang paradigma berpikirnya de­ mi­ kian, hanya akan sibuk mencari siapa yang salah bukan mencari solusi atas per­masalahan. “Paradigma berpikir se­ bab juga akan rentan terhadap konflik

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

|

9


LAPORAN UTAMA ka­rena banyak orang yang bertindak du­lu, kemudian baru berpikir. Bukan ber­­pikir dahulu, kemudian baru ber­tin­ dak,” jelasnya. Selanjutnya, paradigma berpikir ne­ ga­tif harus diubah menjadi paradigma ber­ pikir positif. Paradigma berpikir ne­gatif cenderung menimbulkan ke­ tidakpercayaan terhadap orang lain. Karena itu, paradigma berpikir ne­ga­tif harus digeser ke paradigma ber­ pikir positif. “Terakhir adalah men­ ta­ litas miskin. Mentalitas seperti ini men­ ja­ dikan orang selalu merasa kurang, se­ hingga orang kurang bersyukur. Men­ ta­ litas miskin harus digeser menjadi pa­ radigma mental kaya, yakni lebih su­ka memberi daripada meminta,” tan­ dasnya. Untuk melakukan revolusi mental, sa­lah satu cara yang harus dilakukan adalah melalui pendidikan. Karena pen­ didikan memiliki peran strategis un­tuk melakukan perubahan perilaku dan mengembangkan potensi. “Pen­di­

di­kan adalah to be human being,” ujar Rektor Unesa pengganti Prof. Muchlas tersebut. Pendidikan harus dimulai dari ling­ ku­ ngan keluarga. Pendidikan dalam ke­luarga merupakan pendidikan per­ ta­ma, yang akan menjadi fondasi bagi per­kembangan anak selanjutnya. Anak di­beri landasan pendidikan moral yang baik, karena jika sudah di perguruan ting­ gi, anak sudah terkontaminasi oleh banyak pihak. Oleh karena itu, pa­ ra orang tua harus disadarkan dan di­ pahamkan mengenai tugas dan ke­wa­ ji­bannya mendidik anak. “Menurut saya, kurikulum 2013 se­ cara filosofis telah sesuai dengan kon­ sep revolusi mental. Kurikulum 2013 ber­bicara tentang scientific thinking. Sis­wa dilatih kepekaan intelektualnya. Sis­wa dan guru dilatih kreatif dengan ber­ tanya menggunakan pertanyaan ‘how’,” paparnya. Mengenai peran Unesa sebagai per­­guruan tinggi pencetak guru, War­

sono menegaskan bahwa Unesa ha­ rus melakukan reformasi terhadap kuri­ kulumnya. Sebab, profil guru ke de­pan adalah guru yang mampu men­ jadi motivator, stimulator, guru yang percaya diri, guru yang memiliki pe­ mikiran yang prediktif, serta guru yang mampu membangun personality men­ ja­di orang yang ikhlas, memiliki kasih sa­yang dan idealisme. Untuk menghasilkan guru-guru ide­ al seperti itu, dosen harus mengubah mindset karena mereka harus menjadi pem­belajar. Dosen harus belajar ber­ pikir kritis harus meliliki idealisme. “Akan ada kebijakan yang dilakukan un­tuk mengubah mindset para dosen, se­hingga kelak akan mencetak lulusan gu­ru yang mampu menjadi motivator, me­miliki kepercayaan diri tinggi, mam­ pu menjadi stimulator, memiliki idea­lis­ me, berpikir kritis, kreatif dan inovatif,” ha­rapnya. (LINA MEZALINA/RIZAL ARFIANSYAH)

REVOLUSI MENTAL PENDIDIKAN MELALUI KOMPETENSI

B

erbicara revolusi mental pendidikan, menurut Prof. Prof. Dr. Ismet Basuki, M.Pd. yang paling utama ha­rus direvolusi adalah karakter. Dimana, karakter ter­se­but harus ditanamkan sejak sekolah menengah, ter­uta­ ma SMK. Pembentukan karakter sejak SMK harus benar-be­ nar matang karena siswa SMK sudah dicetak siap bekerja. Dalam revolusi mental, kata Ismet, ada dua sikap penting yang perlu dikembangkanl, yakni sikap spiritual dan sikap so­sial. Ia berpandangan, jika seseorang sudah kompeten tapi tidak diimbangi kedua sikap tersebut, kariernya tidak akan bagus. Jika terjun ke dunia kerja pun akan merugikan di­risendiri maupun instansi atau perusahaan tempatnya be­ ker­ja. “Dua sikap itu penting untuk revolusi mental, “ ujar guru be­sar FT yang menjabat Asisten Direktur Pascasarja tersebut. Unesa sejatinya sudah menyiapkan jauh-jauh hari untuk re­ volusi mental melalui Motto “Growing with Character.” Unesa sudah menekankan pendidikan karakter pada ca­ lon lulusannya. Selain karakter, perlu diimbangi dengan pe­ ngetahuan sesuai dengan bidangnya, dalam hal ini pihak Ju­rusan dan Fakultas masing-masing di Unesa yang harus

10 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

bekerja keras untuk membangun hal itu. Selanjutnya, sebagai acuan adalah sesuai dengan KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), dan me-review penelitian DP2M Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dimana dalam penelitian tersebut, menjelaskan


LAPORAN UTAMA bagaimana cara membangun karakter dalam pendidikan. Harapannya metode-metode pembangunan sikap yang sudah ada bisa menjadi rujukan dan diterapkan secepatnya. Dalam merevolusi mental guru, dosen kelahiran Blitar tersebut menjelaskan secara terperinci empat kompetensi yang harus dimiliki guru. Pertama Kompetensi Kepribadian sesuai dengan standar kompetensi dan kualifikasi guru pada Permen No.16 tahun 2007. Kedua, Kompetensi Sosial, yakni bisa berkomunikasi baik melalui lisan maupun tulisan. Ketiga Kompetensi Pedagogik (keguruan) yang mengharuskan guru mengetahui karakteristik siswa, menguasai teoriteori belajar, menguasai model pembelajaran yang mendidik, mengembangkan kurikulum, mengevaluasi cara pengajarannya dan sebagainya. Keempat, kompentensi

P

professional, dalam hal ini guru harus bisa menguasai materi Untuk di Unesa, Ismet berharap ke depan antara dosen dan mahasiswa harus saling berinteraksi dan saling membutuhkan. Jika mahasiswa ingin mendapatkan ilmu, dosen harus memberikan. Namun jika mahasiswa ingin berkompeten, maka harus dimulai diri sendiri. Bukan hanya dosen yang memberi, tapi mahasiswa juga mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Setelah lulus dari Unesa melanjutkan ke Program Profesi Guru (PPG) agar ilmunya lebih mendalam. Selain itu motto Unesa harus benar-benar terealisasikan. “Semoga motto Unesa, Growing with Character tidak hanya tulisan namun benar-benar bisa diimplementasikan,” ujar guru besar kelahiran 26 Maret 1961 tersebut. (ANDINI/FITRO)

REVOLUSI MENTAL BERAWAL DARI DIRI SENDIRI

rof. Dr. Siti Maghfirotun Amin, M.Pd. mengung­ kap­kan bahwa re­volusi men­ tal tidak hanya se­­kadar bekerja dengan ke­ras, te­ tapi bagaimana seseorang itu be­kerja dengan hati. Jika se­ se­orang hanya sekadar bekerja keras, ia akan be­kerja dari pagi hing­ ga sore, dan pasti akan banyak mengeluh. Namun ti­ dak demikian bagi seseorang yang me­nikmati pekerjaannya. “Bagi saya re­volusi mental itu ba­gaimana kita meng­ubah diri men­jadi lebih baik dan le­bih baik lagi,” ujarnya. Revolusi mental di Unesa tidak ha­nya berlaku bagi ma­ hasiswa saja, tetapi berlaku un­ tuk semua. Menurut pen­ da­pat Siti Amin, percuma jika hanya ma­ha­siswa yang di­re­ vo­lusi mental namun ti­dak de­ ngan dosennya. Padahal, do­ sen merupakan panutan ma­ ha­siswa yang kerap diteladani dan dikenang. “Ada dua macam guru yang dikenang oleh sis­ wa­ nya, yaitu guru yang baik dan gu­ru yang tidak baik. Tentu inginnya kan dikenang menjadi gu­ru yang baik. Nah dosen kan juga guru.” ujar dosen ke­lahiran Ngawi tersebut.

Ia ber­ke­ya­­­kinan, revo­lu­ ­­ si mental ti­ dak akan bi­ sa di­ la­ku­kan ter­ha­dap orang la­in jika mental di­ri sen­diri be­lum di­ revolusi. Se­ mua harus di­ mu­lai da­ri diri sendiri ter­le­bih dahulu, ka­re­na da­­lam bidang mental itu per­lu adanya ke­te­ ladanan dan ha­ rus dilakukan secara te­rus-me­ne­rus. Selain itu, revolusi men­tal ti­dak akan berhasil maksimal jika ha­ nya sekadar diberi tahu, ta­pi harus di­praktikkan. Terkait peran kurikulum da­lam me­revolusi mental, Prof. Siti Amin me­ ngakui sedikit ba­nyak kurikulum ber­peran dalam revolusi mental pen­di­ di­kan. Namun, ia berpendapat apapun ku­ rikulumnya yang

sangat penting di­ubah adalah guru. Kecenderungan saat ini, guru hanya menjalankan tugas se­bagai pengajar, belum berperan se­ bagai pendidik. “Untuk mengatasi hal itu, tentu kem­bali pada in­­dividu ma­ sing-masing gu­ru. Apakah gu­ ru ter­se­but mempunyai ni­atan “niat ing­sun ndan­dani bong­so (berniat mem­perbaiki bang­sa) atau ti­dak,” pa­parnya. Untuk men­ce­tak guru yang ber­­wa­wasan baru, terang Prof. Siti Amin, dosen-dosen harus tahu betul ba­gai­ma­na keadaan sekolah saat ini. Sekali waktu guru bisa dipanggil ke kampus un­tuk menjadi dosen. Karena untuk hal-hal yang sifatnya praktis, guru-guru lebih piawai

daripada dosen sedangkan do­ sen-dosen lebih banyak tahu teori. “Jadi bagaimana meng­ gu­rukan dosen dan bagaimana men­dosenkan guru. Saya pu­ nya mimpi do­sen-dosen pen­di­ dikan yang di Unesa, itu seperti di fakultas-fakultas kedokteran. Jadi do­ sen akan terjun lang­ sung dan men­ dam­ pingi ma­ ha­ siswanya saat praktik,” tan­ da­snya. Sebenarnya, jika di­ kait­ kan, revolusi men­ tal ber­ bi­ ca­ra tentang karakter se­se­­ orang yang bisa dilihat da­ ri ba­gai­mana seseorang itu berhubungan de­ ngan orang lain (kecerdasan inter­per­­sonal) dan bagaimana ia me­li­hat diri sendiri (kecerdasan intra­ per­ so­nal). “Con­­tohnya, selama ini saya ber­ang­gapan bahwa guru ma­tematika itu lebih condong untuk mengurusi kog­nitif saja. Saya tidak ingin kelak anakanak jadi orang yang pinter tapi ke­­bli­nger atau salah arah. Nah supaya anak-anak tidak jadi ke­blinger, maka in­ter dan intra pri­badinya harus diurus dan itu harus dilatihkan oleh guru,” tan­ das­­nya. (ULIL/HABIBI)

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

|

11


LAPORAN UTAMA

apa kata mereka

tentang revolusi mental Andik Yuliyanto, M. Si, Dosen Bahasa Indonesia FBS

Revolusi Afektif, Kognitif, dan Psikomotorik

ANDIK Yuliyanto, M. Si, dosen kelahiran Sidoarjo 24 Juli 1974 menjelaskan mengenai revolusi mental dalam dunia pendidikan. Menurutnya, pada revolusi mental yang ingin direvolusi adalah mental. Itu artinya masuk ranah mind atau kawasan pikiran. Sejauh ini, ranah pendidikan masih bersifat tradisional atau bersifat kolot karena itu perlu dibuat lebih kreatif dengan cara merevolusi mental. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menambahkan, yang berperan menangani revolusi mental di ranah pendidikan adalah stakeholder pendidikan. Kalau di dalam institusi, adalah para pendidik. Sedangkan kalau di luar institusi, orang tua dan lingkungan sekitar. “Kalau dua komponen tersebut bisa memanfaatkan situasi maka mereka bisa menciptakan revolusi mental dalam pendidikan karena makna mental dalam pendidikan itu berkaitan erat dengan wilayah kognitif, afektif, dan psikomotorik,” katanya. Menurut anduk, tantangan terberat membenahi revolusi mental dalam dunia pendidikan ada pada golongan yang sulit diajak berubah. Biasanya, mereka beralasan tidak ada gunanya revolusi mental. Tantangan berikutnya adalah rutinitas yang menghambat dan aturan yang menganggu secara birokratis. (RUDI)

Bambang Dibyo Wiyono, S.Pd., M.Pd, Kajur BKFIP

Feedback Wajib Diberikan

BAMBANG Dibyo Wiyono, S.Pd, M.Pd setuju jika pendidikan perlu melakukan revolusi. Salah satu yang perlu direvolusi, menurut Bambang terkait dengan model pembelajaran guru dan dosen yang kurang kreatif. Tak sedikit dosen yang sudah belajar sampai S3 dan telah mengikuti berbagai seminar, tetapi cara mengajar tetap saja presentasi dan ceramah. Tidak pernah dimodifikasi agar kelas menjadi hidup. Untuk mengelolah kelas dengan baik, menurut Ketua Jurusan

12 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

Bimbingan Konseling (BK) itu diperlukan kejelian pendidik. Salah satunya dengan menerapkan pemberian feedback kepada mahasiswa atau siswa. Feedback wajib diberikan agar mahasiswa atau siswa tahu mana yang benar dan mana yang salah. “Misalnya, mahasiswa diberi tugas makalah tapi tidak pernah diberikan koreksi mana yang salah, sehingga mereka menganggap tugas yang dikerjakan sudah benar. Akhirnya, sampai lulus pun mahasiswa menganggap benar konsep yang belum tentu kebenarannya,” terang dosen muda yang telah menerapkan metode pemberian feedback di beberapa kelas mahasiswa tersebut. (LINA MEZALINA)

Nanik Indahwati, S.Pd., M.Or., Kajur Penjaskesrek

Tanamkan Kebiasaan untuk Membangun Karakter

MENGENAI revolusi mental pendidikan yang sedang digaungkan pemerintah saat ini, Kajur Pendidikan Jasmani, esehatan, dan Rekreasi, Nanik Indahwati sangat setuju. Revolusi mental sejatinya tidak jauh dengan pendidikan karakter. Hanya saja, revolusi mental dalam pendidikan tidak bisa langsung bergerak epat tetapi perlu dilakukan secara bertahap dan gayung bersambut antarsemua kalangan. Di FIK sendiri, kini mahasiswa olah raga tidak hanya dibekali kemampuan otot saja, tetapi juga pada sisi pembelajaran dan pengembangan teori yang lebih baik. Saat ini, FIK sudah sering mengadakan kegiatan sebagai pendukung perkuliahan, seperti penyelenggaraan pertandingan ateltik, basket, futsal, dan sebagainya. Mengenai revolusi mental pendidikan sendiri, terutama untuk pendidik dan peserta didik, menurutnya harus lebih menekankan pada kebiasaan. Ia mencontohkanketika mahasiswa Unesa khususnya yang berbasis pendidikan mengikuti perkuliahan, secara performa harus membiasakan diri sebagai mahasiswa yang berperilaku sebagai pendidik. “Sebagai pendidik, tantu saya berharap pendidikan di Indonesia bisa merata, tak hanya mengelompok di kota-kota saja. Dan, semoga Unesa mampu mencapai visi dan misinya sebagai kampus yang unggul dan bermartabat,” pungkasnya. (FITRO KURNIADI)


LAPORAN UTAMA Syunu Trihantoyo, M.Pd, Dosen FIP

Dr. H. Moch. Khoirul Anwar, M.E.I, Kaprodi Ekonomi Islam

PENDIDIKAN memiliki peranan besar untuk mewadahi penyelenggaraan revolusi mental. Menurut Syunu Tri­ hantoyo, M.Pd., revolusi men­ tal pendidikan merupakan upa­ ya membangun karakter te­ naga pendidikan agar mampu meng­ ha­ da­ pi dehumanisasi pembangunan ma­nusia. Dosen prodi Manajemen Pendidikan ini menagatakan, hal utama yang perlu direvolusi adalah pen­ didik dan peserta didik. Meskipun sistem terbangun dengan ba­gus, jika SDM tidak mumpuni, maka revolusi mental pendidikan pun tidak akan berjalan. Mengenai kurikulum, dosen kelahiran tahun 1987 ini memandang bahwa dalam setiap kurikulum pasti terdapat hidden curriculum. Tak terkecuali, kurikulum 2013, yang memberi ruang khusus pada aspek spiritual. (LINA MEZALINA)

MELAKUKAN revolusi mental tidaklah mudah, perlu proses, kesabaran, dan tindakan lebih lanjut. Begitulah yang diungkapkan Dr. H. Moch. Khoirul Anwar, M.E.I, Kepala Program Studi Ekonomi Islam Unesa. Menurtunya, dalam pendidikani, yang diutamakan adalah bagaimana cara mengubah mental anak didik menjadi lebih baik. Dari sisi tujuan, sebenarnya sudah baik. Sayang, pelaksaan di lapangan yang kerap mengalami kendala. Ia berpendapat, unsur utama dari revolusi mental pendidikan adalah mental seorang guru atau dosen. Jika ingin mengubah mental mahasiswa atau murid, dosen atau guru harus mengubah mentalnya terlebih dahulu. Selain melakukan perubahan mental pada diri sendiri, proses harus dilakukan secara terus menerus dan tidak boleh putus di tengah jalan. “Nasehat dengan tindakan itu lebih sahih atau mengena daripada hanya dengan ucapan,” jelasnya. (RIZAL)

Jangan Jadikan Jargon Saja

Mengintensifkan Hidden Curriculum

Dr. Totok Suyanto, M. Pd, Kepala Jurusan PMPKn

Kualitas Guru Menjadi Kata Kunci

Dr. Meini Sondang Sumbawati, M.pd., Dosen TI:

DR. TOTOK Suyanto, M. Pd, Kepala Jurusan PMPKn Unesa berpendapat bahwa revolusi pendidikan tidak hanya dengan melakukan perubahan kurikulum, tapi yang perlu ditingkatkan adalah kualitas guru dan sarana prasarana pembelajaran. “Bagi saya, kualitas guru itu nomor satu,” terangnya. Menurutnya, dampak peningkatan kualitas guru sangat besar. Selain pembelajaran akan semakin menarik, siswa pun semakin betah dan nyaman di kelas. Peningkatan kualitas guru rupanya harus menjadi fokus utama pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, meski sudah ada program program seperti Sarjana Mendidik di Daerah Terpencil, Terluar, Tertinggal (SM3T) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun dalam pelaksanaannya masih terlalu singkat. “Banyak orang merasa setelah dilatih selama satu tahun, sudah merasa profesional. Itu kan nggak mungkin,” ungkapnya. Sebagai praktisi pendidikan, ia berharap pendidikan di Indonesia semakin maju agar semakin siap menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean. Oleh karena itu, pendidikan harus menjad barometer perubahan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dan berdaya saing internasional. (RIZAL)

Mencetak Guru berkualitas

MEINI Sondang Sumbawati, salah satu Dosen Teknik Informatika, menanggapi revolusi mental pendidikan atau perubahan mental dalam pendidikan sangatlah diperlukan, mengingat mental pendidikan saat ini bisa dibilang masih rendah. Ia mengatakan, ada banyak cara pembentukan mental pendidikan. cara yang paling dasar adalah pembentukan mental yang dimulai dari lingkup k e c i l dulu, yakni keluarga. Selanjutnya dari lingkungan masyarakat, Baru kemudian dalam lingkup pendidikan formal. “Di sini peran guru sangat diperlukan. guru tak hanya cukup mengajar, tapi juga perlu mendidik,” ungkapnya. Sebagai Lembaga Pencetak Tenaga Keguruan (LPTK), Unesa harus mampu mencetak guru berkualitas sesuai yang dibutuhkan. Selain berkualitas, juga harus mencetak guru yang bijaksana dalam bersikap dan mampu menyelesaikan problema pendidikan. Untuk mencetak guru berkualitas, perlu adanya campur tangan serius dari pemerintah. Salah satu contohnya dengan memberikan tunjangan profesi. Sementara untuk penyegaran, guru harus diberikan pelatihan dan workshop agar guru-guru mengetahui regulasi baru yang menyangkut guru dan siswa. (ANDINI/FITRO)

Nomor: 73 Tahun XV - September 2014 MAJALAH UNESA

|

13


LAPORAN UTAMA Mokhamad Nur Bawono, S.Or., M.Kes., Kajur Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi:

Revolusi Mental Pendidikan dengan Growing With Character MOKHAMAD Nur Bawono, Kepala Ju­ rusan Pendidikan Kesehatan dan Rek­ re­ asi, Fakultas Ilmu Keolahragaan meng­ungkapkan pendidikan me­ru­ pakan pilar sebuah bangsa, yak­ ni untuk menyanggah harkat dan mar­ tabat bangsa. “Pendidikan adal­ ah pilar bangsa, jadi pendidikan ha­rus memperhatikan nilai-nilai ke­bang­sa­ an,” ungkapnya. Terkait dengan revolusi mental pen­ di­ dikan yang sedang digaungkan oleh pemerintah saat ini, menurutnya masih banyak hal yang perlu disiapkan dan diperbaiki untuk menunjang hal tersebut. Dimulai dari Sumber Daya Manusia (SDM), kualitas guru atau dosen, dan yang penting adalah masalah sarana dan prasarana yang harus dipenuhi. Kajur muda kelahiran 08 Februari 1979 itu menambahkan, dalam merevolusi mental pendidikan, sertifikasi guru atau dosen harus diikuti dengan adanya pengawasan ketat pada guru atau dosen itu sendiri. Karena tak cukup berhenti pada prospektif sertifikasi saja, tapi setelahnya harus mampu mengimplementasikan dan pemenuhan kulitas sesuai dengan stadarisasi dan kualifikasi. Motto Growing with character yang dijadikan landasan Unesa harus bisa diwujudkan dengan baik. Di FIK Unesa, sekarang sudah berkembang pesat dari sebelumnya. Karena tak hanya otot yang diutamakan, otak juga sudah tergarap. “Contoh hasil konkret adalah setiap kali ada gelaran Pimnas atau Mawapres, FIK mampu mengirimkan perwakilan dan mampu berbicara di tingkat nasional,” tandasnya. Dosen asal Lumajang itu berharap dengan revolusi mental pendidikan, ke depan pendidikan di Indonesia, khususnya di Unesa terus meningkat kualitasnya dan mampu mencetak lulusan keguruan berdaya saing internasional. (FITRO KURNIADI)

Erna Septiyani, Mahasiswa FBS

Seimbangkan Softkill dan Hardskill ERNA Septiyani, mahasiswa Fa­ kultas Bahasa dan Seni merasa kua­ li­ tas pendidikan di Unesa belum op­ timal dan banyak sektor yang perlu dibenahi. Unesa ha­ rus bisa meningkatkan atau me­nyeim­bang­ kan softskill dan hardskill mahasiswa. “Du­ nia kerja tak hanya cukup ber­ be­kal hardskill saja, softskill pun harus diasah,” ujarnya. Terkait revolusi mental pendidikan, ma­ hasiswi S1 Bahasa Jepang itu berpandangan bahwa untuk me­re­ volusi mental pendidikan harus dengan cara bertahap. Dimulai

14 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

dengan bagaimana cara mensejahterakan guru, upgrading ke­ mampuan guru yang sesuai dengan kondisi saat ini, dan pe­ngem­ bangan pendidikan karakter. Mahasiswi asal Ngawi itu berharap, pendidikan di Indonesia mau­pun di Unesa ke depan lebih berkarakter sesuai dengan ke­ luhuran bangsa. Menurutnya, bagaimanapun juga bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi bangsanya sendiri. (FITRO KURNIADI)

Vivi Yulia , Mahasiswa FIP

Revolusi Mental, Sebuah Tantangan VIVI Yulia, mahasiswa jurusan Pen­di­ dikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) me­ mak­ nai revolusi mental pendidikan me­ rupakan tantangan yang harus di­ hadapi. Pendidik harus mampu men­ jadi agen perubahan. Semisal ku­rikulum maupun kebijakan-ke­bi­ jakan lain. “Yang lebih utama adalah perlu adanya perubahan pola pikir ser­ ta kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik,” ujarnya. Menurut Vivi, pendidik merupakan garda terdepan dalam me­ re­volusi mental para peserta didik. Karena itu, pendidik harus mau berproses. Selain itu, kesadaran untuk memulai perubahan dari langkah kecil perlu dilakukan. Sekecil apapun perubahan, tetap akan memberikan dampak. “Saat ini, Unesa sebagai perguruan tinggi pencetak guru telah memulai melalukan perbaikan ke arah revolusi mental. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya pendidikan karakter untuk ma­ha­ siswa dan semakin maraknya seminar tentang pendidikan dan pe­ nguatan karakter,” paparnya. (LINA MEZALINA)

Jevy Andi Rokhman, Mahasiswa FIK

Tingkatkan SDM Tenaga Pendidik MENURUT Andi Rokhman, mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), potret pen­didikan di Indonesia saat ini ma­ sih kurang baik. Ia menganggap saat ini, kurikulum baru, kurikulum 2013 masih bermasalah atau belum mam­ pu diterapkan sepenuhnya. Di antaranya masih banyak hal yang belum menunjang kurikulum baru ter­ sebut, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) peserta didik maupun pendidik yang be­ lum mumpuni, ser­ta sarana dan prasarana yang masih belum me­nunjang. Terkait revolusi mental pendidikan, menurutnya banyak cara, namun cara-cara tersebut dirasa tidak bisa berjalan efektif dengan kondisi nyata dengan kondisi saat kini. Karena masih banyak guru yang gagap teknologi dan juga banyak guru yang kurang terupgrade pengetahuannya tentang model pendidikan yang sesuai saat ini. “Pemerintah wajib melakukan upgrading SDM pada tenaga pendidik,” ujarnya. (FITRO KURNIADI)


LAPORAN UTAMA Arista Indrajaya, Mahasiswa FT

Arlendra Pramughita, Mahasiswa Fakultas Ekonomi

DEWASA ini pendidikan di Indonesia cukup memprihatinkan. Banyaknya kasus-kasus asusila guru terhadap siswa terjadi di dunia pendidikan membuat Arista Indrajaya merasa sistem pendidikan perlu dibenahi, terutama untuk guru. Dengan ada­ nya revolusi mental pendidikan di­ harapkan dapat mengubah pola pikir guru. Guru yang sebelumnya ha­ nya memikirkan tentang gaji dan apa yang harus di­ lakukan men­jadi guru yang lebih kreatif, lebih bertanggung jawab dan guru yang memiliki sifat pemimpin. Secara umum peran Unesa mencetak calon guru yang ber­ karakter, kreatif, dan berjiwa pemimpin. Mahasiswa Teknik In­for­ma­ tika ini berharap pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Selain itu, ia juga mengharapkan pendidikan di daerah timur Indonesia lebih diperhatikan dan diperbaiki sarana prasaranya. (ANDINI OKTAPUTRI)

MENURUT Arlendra Pramughita, per­ kem­ bangan pendidikan di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Itu terlihat dengan semakin majunya teknologi yang berkembang di Indonesia. Namun, memang masih banyak yang perlu dibenahi dan dikembangkan, terutama sarana dan prasarana penunjang kemajuan pen­ didikan. Tidak dapat dipungkiri, masalah sarana dan prasarana menjadi kendala dalam pendidikan. Saat ditanya masalah revolusi mental pendidikan, mahasiswa program studi S1 Manajemen itu menjabarkan tiga hal yang perlu dilakukan untuk merevolusi mental pendidikan. Pertama, harus ada perbaikan kualitas belajar-mengajar dengan melakukan metode pembelajaran yang lebih efektif. Kedua, sarana dan prasarana penunjang pendidikan harus ditingkatkan, seperti perpustakaan yang lengkap, dan tempat belajar yang nyaman. Ketiga, perlu komunikasi antara pihak pendidik dan peserta didik yang saling mendukung. Lendra, menambahkan bagaimanapun juga mental pendidikan secara tidak langsung akan berpengaruh pada perekonomian. Semakin bagus mental pendidikan di Indonesia, semakin bagus pula perekonomian. Harapannya, revolusi mental pendidikan di Indonesia bisa direalisasikan, demi perekonomian negara yang lebih bagus dan bersaing secara global. (FITRO KURNIADI)

Revolusi Mental untuk Guru yang Berkarakter

Pendidikan Berpengaruh pada Perekonomian

Mifta Husna Zsazsaning Ayu, Pengurus BEM FIS

Harus Mengerti Batas-Batasannya REVOLUSI mental menjadi sebuah ke­wajiban yang harus dimiliki oleh se­ mua orang. Dengan adanya revolusi mental, seseorang dapat meng­ ubah cara berpikirnya. Hanya saja perlu dimengerti batasan ba­ ta­ san sehingga revolusi mental bi­ sa berdampak positif. Begitulah ung­ kapan Mifta Husna Zsazsaning Ayu, mahasiswi program studi (prodi) Ad­mi­ nis­ trasi Publik Unesa, “Kalau tidak mengerti ba­tasan batasannya, bisa-bisa malah akan menyalahi aturan,” ungkapnya. Mahasiswi yang juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (BEM FIS) ini mengatakan bahwa revolusi mental dapat dikaitkan dengan konsep trisakti Soekarno, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Menurutnya revolusi mental pendidikan akan berhasil bila ketiga konsep tersebut bisa dilihat secara nyata. Karena pendidikan sangat penting untuk mengubah sikap, kebribadian, dan perilaku seseorang. Menutunya, pendidikan di Unesa sudah semakin baik meski masih banyak yang harus ditingkatkan. Salah satunya, bagaimana Unesa bisa mencetak lulusan yang berkualitas dalam hal akademik maupun non akademik. (RIZAL)

Angga Kurniawan, Mahasiswa Teknik Elektro

Muhasabah Unesa agar Lebih Baik REVOLUSI Mental Pendidikan, menurut Angga Kurniawan didefinisikan menjadi 3 kata, yakni revolusi yang berarti perubahan, mental yang berarti pola pikir dan pendidikan yang berarti usaha menjadikan dari yang tidak bisa menjadi bisa. “Revolusi Mental Pendidikan adalah perubahan pola pikir dalam pelaksanaan pendidikan untuk menjadikan siswa dari yang tidak bisa menjadi bias,” ungkapnya. Menurut Angga, pendidikan saat ini masih berorientasi pada angka. Dalam arti hanya menekankan pada aspek kognitif saja sehingga siswa hanya diajarkan untuk mendapatkan nilai yang tinggi bukan menguasai suatu mata pelajaran. Sedangkan nilai afektif tidak diperhatikan lebih jauh. Seharusnya, lanjutnya, dalam proses pendidikan tidak hanya ditekankan nilai kognitif saja, namun juga harus memperhatikan nilai afektif juga. Karena kedua aspek tersebut saling kesinambungan. Sebagai kampus eks-IKIP, Unesa memiliki peran yang besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Karena dari Unesalah banyak dicetak tenaga pendidik yang profesiona dengan menghasilkan lulusan tenaga pendidik yang adaptif dengan perubahan zaman. “Seharusnya. Unesa dapat mengarahkan kegiatan mahasiswa ke ranah yang lebih positif. Yaitu menciptakan komunitas penunjang perkuliahan sebagai pengganti budaya nongkrong,” ungkapnya. (ANDINI OKTAPUTRI)

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

|

15


SEPUTAR UNESA Dies Natalis Unesa ke-50:

Gebyar Mbak dan Mas Unesa 2014

S

etelah melewati proses penjurian ketat, puncak grand final Pemilihan Mbak dan Mas Unesa 2014 di gedung Ser­baguna (Gema) Unesa kampus Ketintang (4/12) ber­ ha­sil memilih para pemenang yakni, tiga Mbak dan tiga Mas. Keenam mahasiswa pemenang itu telah lulus dari grand final yang diikuti 15 finalis. Tiga nama penyandang gelar Mbak Unesa adalah Marina Ber­ li­an S.D (PPB/FIP) juara I, Indira Dewi Kirana (Tata Rias/FT) juara II, dan NazilatunIsrofani (Bahasa Inggris/FBS) juara III. Sementara pe­ nyan­dang Mas Unesa adalah Rico Ari Wijaya (Majanemen/FE) juara I, Robi Pramana Kusuma (Manajemen/FE) juara II, dan Raga Driyan Pra­tama (Bahasa Inggris/FBS) juara III. Keenam pemenang itu telah lulus dari 15 finalis yang berasal da­ri tujuh fakultas di Unesa, di luar Program Pasca Sarjana. Lima be­las finalis itu telah memenangkan penjurian awal dengan pe­ser­ ta 19 calon Mbak dan 10 calon Mas—bersama dewan juri Much. Khoi­ri (FBS), Siti Sulandjari (FT), dan Djoko Tutuko (FBS), yang di­he­ lat sejak Senin (1/12) di gedung auditorium FT. “Gagasan pemilihan Mbak dan Mas Unesa sebenarnya diinisiasi oleh Prof. Kisyani selaku PR-1 beberapa waktu lalu. Namun, inilah sa­atnya untuk mewujudkannya,” tutur ketua panitia Bu Irma Ros­ si­yanti. Bersama timnya yang cekatan dan trengginas, Bu Irma meng­helat rangkaian acara dengan peserta yang cakep-cakep ini. “Para pemenang diharapkan sebagai role model bagi Unesa, “ te­gas Pembantu Rektor III Dr. Ketut Prasetyo, MS., mewakili rektor, dalam sambutannya. “Dalam berbagai acara Unesa ke depan, me­ re­ka diharapkan berperan dalam rangkaian penyambutan. Mereka bisa menjadi duta kampus ini.” Bahkan, mereka bisa melibatkan pa­ra finalis dan peserta pemilihan ini untuk kegiatan-kegiatan kam­pus. Tak ayal, selain seleksi portifolio, ada criteria penting yang ha­ rus dipenuhi oleh semua peserta. Pertama, mereka harus memiliki kom­petensi akademik dan public speaking yang mumpuni. Ke­dua, mereka juga memiliki wawasan ke-Unesa-an (wawasan al­ ma­ mater) secara mendalam. Ketiga, mereka mampu (terutama) ba­ ha­sa Inggris lisan. Keempat, mereka memiliki bakat tertentu yang di­buktikan dengan unjuk kebolehan. Lebih lanjut, pada saat grand-final, para finalis mendapat per­tanyaan bukan hanya dari para juri, melainkan juga dari para pe­jabat Unesa, termasuk para Pembantu Rektor. Pertanyaan juri disampaikan langsung; pertanyaan pejabat dalam bentuk slot undian. Hal terakhir inilah yang manjadi pilar terakhir untuk me­ nen­tukan pemenang. Nasib mereka tercatat di sini. Di antara pertanyaan itu, misalnya, potensi apakah yang di­ mi­liki Unesa yang harus dipublikasikan untuk memperkuat image building? Program apa sajakah yang perlu dicanangkan untuk me­ wujudkannya, baik ke dalam Unesa maupun keluar Unesa? Ba­gai­ mana memanfaatkan peran alumni untuk memperkuat posisi Unesa? Lebih lanjut, bagaimana bakat-bakat mahasiswa di­ mak­ simalkan? Bagaimana kaitannya dengan pembudayaan en­ter­pre­ neur­ship? Bagaimana semua ini terkait dengan kajian dan gerakan li­terasi di kampus? Apakah peran yang bisa diberikan para peserta

16 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

FINALIS. Para finalis Mas dan Mbak Unesa saat grand final di gedung Gema, Unesa, Kampus Ketintang. (pe­milihan) untuk program-program yang dijalankan di kampus? Ba­gaimana pula bermitra dengan media? Mampu Berbahasa Inggris Yang cukup mencengangkan, seluruh peserta pemilihan ini mam­pu berbaha saInggris, dengan tingkat kemampuan masingmasing. Untuk Raga Driyan Pratama dan NazilatunIsrofani, saya tidak heran, karena mereka memang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Namun, terutama untuk finalis lain, kemampuan ba­hasa Inggris mereka rata-rata bagus. Bahkan, ada finalis yang selalu menjawab pertanyaan juri da­ lam bahasa Inggris—kendati pertanyaan disampaikan dalam ba­ ha­sa Indonesia. (Saya selalu berbahasa Inggris dalam penjurian ini, sedangkan dua juri lain berbahasa Indonesia.) Bukan sok gaya, ka­rena hal itu diperbolehkan. Agaknya mereka telah berkeyakinan ba­hasa Inggris harus dikuasai setiap orang. Untuk para pemenang di atas, mereka bukan hanya unggul da­lam bidang akademik dan bakat-minat, melainkan juga ke­mam­ pu­an bahasa Inggris yang mencengangkan. Dalam amatan saya se­lama penjurian, mereka telah aktif menggunakan bahasa asing itu dalam berbagai kegiatan selama ini, termasuk misalnya dalam siaran radio, modeling, organisasi, dan sebagainya. Agaknya, tentang kemampuan bahasa Inggris mahasiswa ini, akan menjadi perhatian lebih serius dari pimpinan Unesa. Tak kurang, PR-2 memberikan pertanyaan khusus “Bagaimana me­ ningkatkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa Unesa?” Se­bu­ ah pertanyaan sederhana, namun nendang. Kebetulan, yang menjawab adalah NazilatunIsrofani, juara III, yang kebetulan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. “Kita perlu menciptakan lingkungan berbahasa yang kondusif, se­perti di jurusan kami. Ada English Speaking Community yang se­ dang dijalankan.” Akhirnya, selamat untuk para pemenang. Selamat bertugas sebagai Mbak dan Mas Unesa, dalam ikut menyukseskan programprogram yang diselenggarakan di kampus tercinta. Sukses selalu. (MUCH.KHOIRI)


SEPUTAR UNESA HUT Brimob Polri ke-69

Mahasiswa Pendidikan Sejarah Raih Penghargaan

B

rigade Mobil (Brimob) merayakan HUT Brimob Polri ke-69 pada Jum’at (14/11/2014) di Mako Subden 2 Den B Pelopor Satbrimob Polda Jatim. Bri­mob merupakan pasukan elite yang di­ mi­ liki oleh Polri dan sering diterjunkan ke dae­ rah-daerah rawan konflik mulai dari pe­nga­ manan di Nangroe Aceh Darussalam hing­ ga Papua untuk meredam aksi-aksi unjuk ra­sa yang menjurus ke anarkis. Lorenzo Yauwerissa merupakan ma­ ha­ siswa Pendidikan Sejarah Unesa yang ka­li itu mendapatkan penghargaan Warga Ke­ hormatan Korps Brimob Polda Jatim. Pa­salnya, dia dianggap berjasa karena pe­ ne­ litiannya dan berhasil membuat buku de­ngan judul “Polisi Istimewa, Prajurit Is­ti­

mewa, dan Perjuangan Kemerdekaan di Ja­ wa Timur.” Penelitian untuk menuntaskan bu­ku itu menghabiskan waktu kurang le­ bih 2 tahun. Mahasiswa semester 5 itu me­ nga­ku banyak menghadapi kendala selama me­lakukan penelitian. Dia harus berkeliling mar­kas Brimob se-Jawa Timur guna me­ ngum­pulkan sumber informasi sebagai ba­ han bukunya. Buku itu berisi sejarah cikal bakal Brigade Mo­bil (Brimob). Korps tertua di dalam Ke­ po­lisian Republik Indonesia (Polri) itu di­ bentuk pada tahun 1945, di mana pada era penjajahan Jepang Brimob bernama To­ ku­betsu Keisatsutaiatau. “Ini merupakan se­buah kebanggaan dan saya tidak akan me­nodai gelar Warga Kehormatan ini. Ha­

rapannya melalui buku ini, Polri mampu be­­kerja secara profesional,” sahut Lorenzo. Upacara HUT Brimob Polri ke-69 itu ber­ langsung mulai pukul 08.00 WIB dan di­ lan­jutkan dengan acara syukuran dengan be­berapa peragaan, di antaranya peragaan be­la diri, tari Saman dari Nangroe Aceh Da­ russalam, dan tari Malulo dari suku To­laki, Kendari , Sulawesi Tenggara yang di­ ba­ wa­kan oleh ibu-ibu Bayangkari. “Di dalam me­meringati HUT Brimob kali ini, kita akan ting­katkan kiprah Brimob di tengah-tengah ma­syarakat. Selama ini tugas-tugas yang di­bebankan kepada Brimob selalu berhasil sesuai dengan motto ‘Sekali melangkah te­ tap berhasil’,” kata Irjen Pol M. Anas Yusuf. (KHUSNUL/SANDI)

Pelatihan Jurnalistik Kehumasan Tingkat Lanjut

Mantapkan Jati Diri dengan Pelatihan

H

ubungan Masyarakat (Humas) Unesa menyelenggarakan Pe­ la­tihan Jurnalistik Tingkat Lanjut bagi para Reporter Humas pa­da Jumat (21/11/2014) di Lentera Camp Trawas. Kegiatan yang diketuai oleh Rudi Umar Susanto berlangsung selama 3 hari, 21-23 November 2014. Kegiatan dibuka oleh Sekretaris Humas Unesa Sudiarto Dwi Basuki, S.H., menggantikan Kepala Humas Unesa Dr. Suyatno, M.Pd. yang berhalangan hadir sebab sedang ber­tugas di Jakarta. Agenda tahunan itu diadakan untuk memperdalam ilmu pe­nge­ tahuan, khususnya dalam bidang jurnalistik. Selain itu, juga di­mak­

sud­kan untuk memantapkan jati diri reporter sebagai jurnalis serta meningkatkan kekeluargaan antaranggota . Adapun jumlah peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut ada­ lah 16 orang. Jumlah yang berbeda jauh jika dibandingkan dengan pe­latihan sebelumnya yang mencapai 70 peserta. “Mereka yang me­rasa tidak cocok akan terseleksi oleh alam,” jelas Sudiarto Dari kegiatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan output ka­der muda yang handal dan dapat mengatur waktu dengan baik. “Alumni reporter di sini 90 persen sudah berhasil,” pungkasnya. (Emir)i.(LINA MEZALINA). (KHUSNUL/ANDINI)

Dies Natalis Unesa ke-50

Seminar Revolusi Mental Pendidikan

M

endekati Dies Natalis Unesa ke-50, berbagai kegiatan besar banyak diadakan. Begitu pun dengan ke­giatan yang bertajuk “Pendidikan se­ba­ gai Akselerator Revolusi Mental”, Kamis (20/11/2014). Kegiatan tersebut me­ ru­ pa­ kan salah satu kegiatan besar Unesa yang ber­tempat di Gedung Wiyata Mandala lan­ tai 9 Unesa Lidah Wetan, P3G Unesa. Ber­ da­sarkan ujaran Dekan FBS Prof. Dr. Setya Yu­wana, M.A., kegiatan yang diketuai oleh Dr. Budinuryanta Yohanes, M.Pd. tersebut

se­benarnya adalah kegiatan Unesa, tetapi di­laksanakan oleh beberapa dosen dari FBS. “Ya, kebetulan yang usul kegiatan tersebut ada­lah saya,” ujarnya menandaskan. Sekitar pukul 08.00 WIB, kegiatan ter­ sebut dimulai. Kegiatan yang ber­ lang­ sung sampai sekitar pukul 15.00 WIB itu terbagi atas tiga sesi. Tujuannya un­ tuk merumuskan kebijakan strategis pe­ nerapan revolusi mental dalam pen­di­dikan dan kebudayaan. Atas dasar per­tim­bangan tersebut, tema utama dibagi lagi dalam 3

subtema sebagai berikut: 1. Re­volusi mental dalam pandangan para pen­diri dan guru bangsa; 2. Revolusi men­tal dalam kebijakan pengembangan pen­ didikan nasional; 3. Revolusi mental dalam strategi kebudayaan nasional. Panitia mengundang beberapa tokoh na­ sional sebagai pembicara inti dalam seminar tersebut. Namun, karena beberapa tokoh nasional terkendala dengan kegiatan lain sehingga berhalangan hadir. (YUSUF/HUDA)

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 17


LENSA UNESA

MoU Unesa dengan SIS Group of Schools

S

Sebagai universitas yang unggul dalam kependidikan dan kukuh dalam keilmuan, Unesa menjadi acuan Singapore International of School (SIS) Group of Schools untuk menjalin kerja sama. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Unesa dengan SIS Group of Schools telah dilaksanakan Senin (24/11/2014) di Ruang Sidang lantai 2 Gedung Rektorat Unesa. Acara penandatanganan MoU itu dihadiri oleh Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor Unesa), Jaspal Singh Sidhu (Co Founder and CEO of SIS Group of Schools), Haifa Segeir (Legal and Compliance Director SIS Group of Schools), Christopher Brian Toomer Academic Director SIS Group of Schools), para Pembantu Rektor Unesa yakni Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu (Pembantu Rektor I), Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (Pembantu Rektor II), Dr. H. Ketut Prasetyo, M.S. (Pembantu Rektor III), Prof. Dr. Djodjok Soepardjo M.Litt. (Pembantu Rektor IV). Selain itu, hadir pula Prof. Dr. Suyono, M.Pd. (Dekan FMIPA), Drs. Budiarso, S.H., M.M. (Kepala BAU & K), dan Dra. Hj. Hertiti Setyowati (Kepala BAAKPSI). SIS Group of Schools adalah sebuah sekolah internasional yang memiliki 8 kampus di seluruh Indonesia. Sekolah itu untuk siswa dari Taman Kanak-kanak hingga kelas 12 (JC2) berdasarkan kurikulum internasional. “Sekolah bermutu itu bukan karena fasilitasnya, melainkan karena guru pendidiknya yang kreatif,� ujar Jaspal Singh Sidhu. (KHUSNUL/SURYO/SR)

18 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014


LENSA UNESA

Peningkatan Kemampuan Pelatihan Jurnalistik tingkat lanjut dilakukan Humas Unesa untuk meningkatkan kemampuan Tim Reporter. Usai menjalani pembekalan dan praktik materi, peserta juga diajak outbond guna meningkatkan soliditas tim dalam bekerja sama. Acara ini digelar di Trawas pada 21-23 November 2014. Hasilnya, tim siap diterjunkan untuk peliputan pemberitaan website dan majalah Unesa. (AROHMAN)

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 19


KOLOM REKTOR

REVOLUSI MENTAL Revolusi mental bagi mahasiswa harus di­ maknai sebagai perubahan cara pandang dan berpikir. Mereka harus bangkit un­tuk me­mi­kirkan persoalan-persoalaan yang sedang di­hadapi oleh bangsa dan ne­gara saat ini, dan terus mencari solusi me­lalui pergulatan in­telektual (membaca dan diskusi) yang ti­dak pernah henti.

I

stilah revolusi mental yang disampaikan oleh Joko Widodo dalam kampanye pen­ calonan presiden terus mengalir men­ jadi wacana publik. Wacana ter­ se­but menjadi tema di berbagai seminar, ter­masuk seminar yang dilaksanakan di Fakultas Bahasa dan Seni Unesa pada tang­ gal 20 November 2014 dalam rangka Dies Na­talis ke 50 Unesa. Berbagai tafsir tentang re­volusi mental disampaikan oleh para ah­li sesuai dengan kontek dan bidangnya ma­ sing-masing., termasuk dalam konteks pen­ di­dikan. Istilah revolusi memiliki pengertian pe­ru­ ba­han secara mendasar yang berlangsung se­cara cepat. Dan istilah ini biasanya di­ka­it­ kan dengan perubahan dalam sistem po­ litik, atau sosial, seperti revolusi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1945. Hanya da­lam waktu satu hari yaitu pada tanggal 17 Agus­ tus 1945, telah terjadi perubahan yang sa­ ngat mendasar dari bangsa yang terjajah men­jadi bangsa yang bebas dan merdeka, ser­ta berdaulat. Namun ketika kata revolusi ter­ sebut dikaitkan dengan mental, sering men­ jadi pertanyaan apakah perubahan men­ tal bisa dilakukan dengan cepat dan men­dasar. Meskipun demikian, perubahan yang mendasar dan cepat dalam hal mental itu­lah yang diharapkan oleh presiden Joko Wi­dodo. Jika itu yang dikehendaki, persoalan yang mendasar adalah apakah mentalitas bang­sa Indonesia sudah benar-benar buruk, se­hingga harus dilakukan revolusi. Jika kita cermati, mentalitas bangsa Indo­ ne­sia memang dalam kondisi yang buruk yang tampaknya harus segera diubah secara

20 |

ce­pat. Koentjaraningrat, dalam penelitiannya yang dilakukan tahun 60-an, menyatakan bah­wa bangsa Indonesia memiliki mental pe­ nerabas, yang ingin serba instan/cepat. Men­tal penerabas ini memiliki dampak yang sa­ngat buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu dampaknya ada­ lah perilaku korup. Mental penerabas meng­ indikasikan adanya perilaku yang me­lang­ gar/menyimpang dari aturan, norma yang ber­ laku, dan hanya untuk kepentingan di­rinya sendiri. Saat ini mental penerabas jus­tru semakin merajalela, baik di kalangan elite bangsa, masyarakat, bahkan juga di ka­ langan mahasiswa. Di kalangan elite, korupsi terus berlang­ sung, bahkan orang merasa tidak malu lagi un­tuk melakukankan tindakan korupsi. Ini bi­sa dibuktikan dengan pelibatan anggota ke­luarga dalam korupsi, seperti yang dila­ ku­kan oleh para elit birokrasi maupun e­lite politik. Ada korupsi yang dilakukan oleh suami istri, bahan ada satu keluarga yang terlibat dalam korupsi. Bahkan wa­ c­ ana korupsi tidak lagi menjadi hal yang meng­ ganggu dalam kehidupan mereka. Me­re­ka justru menikmati hasil-hasil korupsi ter­se­ but dengan menunjukan gaya hidup yang he­donis dan materialis, tanpa ada rasa ma­lu. Bah­kan anak-anak koruptor pun tidak lagi me­rasa malu dan risih dalam pergaulan de­ ngan teman-temannya. Mental penerabas ini juga bisa dilihat ke­ ti­ka ada pembagian jatah, apakah itu uang atau barang, seperti Raskin, Bantuan Tunai Lang­ sung atau apapun namanya. Ketika terjadi pembagian seperti itu, hampir semua

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

Oleh Prof. Warsono orang memiskinkan diri lalu berebut jatah. Mereka tanpa merasa malu dengan yang benar-benar miskin, padahal mereka tahu bah­ wa sebenarnya tidak layak menerima jatah. Mereka yang seperti ini (yang kaya me­ rasa miskin) ini jelas memiliki mental mis­kin, bukan orang miskin. Banyaknya orang yang bermental miskin juga menjadi pe­nye­bab perilaku korup. Orang-orang yang ber­men­tal miskin ini, jika diberi kekuasaan akan cen­de­ rung korup. Selain mental miskin, di kalangan ma­sya­ rakat kita masih banyak yang malas. Me­re­ ka cenderung membuang-buang waktu ha­ nya untuk melakukan hal-hal yang tidak ber­ manfaat. Mental malas ini juga pernah di­ sampaikan oleh S Hussin Alatas. Mental malas yang menyebabkan bangsa ini tidak ma­ju, karena akan kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki etos kerja yang tinggi. Mental malas ini bisa ki­ta saksikan di sekitar kita, bagaimana ma­sya­rakat menggunakan waktu, berapa jam waktu yang mereka gunakan untuk ke­ giat­ an produksi. Dalam setiap pertemuan, ham­pir tidak ada yang dimulai tepat waktu. Sebagian besar molor dari jam yang telah dit­entukan, bahkan molornya bukan hanya dalam hitungan menit, tetapi bisa dalam hi­ tungan jam. Dengan ketidaktepatan waktu se­suai dengan yang telah direncanakan, je­las akan ada waktu yang tebuang secara sia-sia. Di kalangan mahasiswa juga tampak ada­nya mental pemalas dan penerabas. Di ka­langan mahasiswa yang muncul adalah men­ tal malas dalam berpikir. Berpikir me­ rupakan proses untuk menjawab per­


KOLOM REKTOR ta­ nyaan, sehingga orang yang berpikir ditandai dengan munculnya pertanyaan. Men­ tal malas berpikir terlihat dalam setiap perkuliahan. Pada saat kuliah, ha­nya berapa banyak mahasiswa yang ber­ta­nya. Rendahnya rasa ingin tahun yang di­for­mu­ lasikan dalam bentuk pertanyaan ini mem­ bawa dampak pada rendahnya tingkat baca. Hal ini juga bisa dibuktikan bahwa de­ngan rendahnya tingkat kunjungan ma­ ha­ siswa ke perpustakaan. Perpusakaan se­­bagai tempat menyimpan “harta ke­ka­ yaan” intelektual yang tidak ternilai, ja­rang dikunjungi. Rata-rata mahasiswa ha­ nya datang ke perputakaan kurang dari sekali dalam satu semester. Ini artinya ada ma­ha­sis­ wa yang sama sekali tidak pernah datang ke per­pustakaan dalam satu semester. Mental penerabas di kalangan mahasiswa te­­ cermin dalam perilaku menyontek saat ujian, mengopypaste suatu tulisan dalam me­nyusun makalah. Keinginan untuk lulus tanpa disertai dengan usaha untuk belajar de­ngan tekun. Mereka belajar dengan sistem kebut semalam, padahal banyak waktu yang mereka sia-siakan. Coba kita perhatian, apa yang mereka lakukan ketika di kampus, apakah mereka menggunakan waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan tugas mereka (be­lajar), atau lebih banyak menghabiskan wak­tu untuk hal-hal yang tidak ada ka­itan­ nya dengan tugas mereka sebagai ma­ hasiswa. Membaca dan diskusi yang se­be­ narnya menjadi bagian dari kegiatan ma­ ha­ siswa sehari-hari, rasanya sudah jarang di­ temui di kalangan mahasiswa Unesa. Bu­ ku yang seharusnya menjadi simbol pres­ tesius mahasiswa jarang kita lihat di kampus. Gambaran mahasiswa yang selalu membawa buku-buku teks sebagai bahan bacaan utama, sulit kita temukan di kampus. Memang buku sebagai sumber informasi (ilmu) sekarang sudah bisa diakses le­ wat dunia maya. Mahasiswa tidak lagi harus membawa buku atau datang ke per­ pus­ takaan, cukup membawa laptop, atau HP sudah bisa mengakses berbagai informasi, termasuk jurnal ilmiah. Tetapi pertanyaannya adalah apakah hal itu juga dilakukan oleh mahasiswa. Kalau kita amati, mahasiswa lebih banyak menggunakan waktu untuk ngrumpi daripada diskusi, lebih banyak mem­ buka media sosial, daripada jurnaljurnal ilmiah. Kebanggaan para mahasiswa le­ bih banyak ditunjukan pada status formalnya daripada esensi dan peran. Me­ re­ ka lebih bangga dengan menyandang sta­­ tus sebagai mahasiswa tanpa disertai

tang­ gung jawab peran intelektualnya. Esen­si mahasiswa adalah orang intelektual yang lebih mengedepankan akal sehat dan kemampuan analisis. Mereka lebih me­ng ­ e­ de­ pankan gerakan-gerakan fisik da­ ripada ge­rakan intelektual dengan me­nyum­bang­ kan pikiran-pikiran cerdas untuk pem­ba­ ngu­nan bangsa. Untuk mempertegas status mahasiswa se­ bagai intelektual yang haus akan ilmu pengetahuan, perlu dibangun suatu mitos, bahwa belum disebut oleh mahasiswa jika belum membaca buku-buku yang mutakhir

Mahasiswa harus melakukan perubahan orien­ta­si ke ranah pe­ngem­ba­ ngan in­te­lektual sebagai wujud revolusi men­tal, sehingga mampu menjadi agen pe­ru­ bah­an intelektual. dalam bidang ilmunya masing-masing. Saya masih ingat ketika menjadi mahasiswa tahun 80 an, di universitas Gadjah Mada, berlaku semacam hukum normatif yang menjadi kesepakatan secara moral di kalangan mahasiswa, bahwa belum disebut sebagai mahasiswa kalau belum membaca buku-buku New Left tulisan para pemikir, seperti Ardorno, Herbert Marcuse, Derrida. Buku-buku tersebut menjadi rebutan ma­ ha­ siswa untuk dibaca.Memang untuk mem­ baca buku-buku tersebut mereka tidak harus membeli sendiri, tetapi dengan cara meminjam dari teman-teman secara ber­ giliran. Mereka mengantri untuk bisa mem­ baca buku tersebut. Bagi mereka yang tidak tahan mengantri pinjaman dari teman, datang ke perpustakaan untuk mem­baca buku-buku tersebut. Oleh karena itu, perpustakaan setiap hari selalu ramai di­ kunjungi oleh mahasiswa yang ingin membaca buku. Mahasiswa harus melakukan perubahan orien­tasi ke ranah pengembangan in­te­lektual

sebagai wujud revolusi men­ tal, sehingga mampu menjadi agen pe­ ru­ bahan dengan menawarkan konsep pem­ba­ngunan sebagai hasil kajian intelektual. Jika kita tengok sejarah Indonesia para pe­ muda dan mahasiswa telah menjadi agen perubahan. Lahirnya Budhi Utomo tahun 1908 yang kemudian dikenal sebagai tahun kebangkitan nasional, dipelopori oleh para mahasiswa. Mereka memiliki kesadaran akan kondisi bangsa yang terjajah,yang kehiilangan harkat dan martabat. Mereka juga menyadari tantangan yang harus di­ hadapi, yaitu penjajah yang memiliki ke­ kuatan persenjataan, dan ekonomi. Proses selanjutnya bisa kita lihat pada tahun 1928, yang melahirkan sumpah pemuda, sebagai suatu langkah awal untuk mencapai cita-cita yaitu kemerdekaan. Dan pada tahun 1945, para mahasiswa antara lain, Soe­kar­no, Hatta, Syahrir, mampu melahirkan Kesadaran ini dibangun melalui suatu proses berpikir yang mendalam, sehingga bisa meng­in­dentifikasi permasalahan yang ada dan bisa menemukan solusi untuk mengatasi ma­salah. Pemikiran mereka dibangun dan diasah melalui kegiatan diskusi dan per­ de­ batan dalam rangkan mencari solusi per­masalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, meskipun mereka masih berusia muda telah matang secara intelektual, sehingga mampu dan siap menjadi pemimpin bangsa yang tangguh. Revolusi mental bagi mahasiswa harus di­maknai sebagai perubahan cara pandang dan berpikir. Mereka harus bangkit un­tuk me­ mi­kirkan persoalan-persoalan yang sedang di­hadapi oleh bangsa dan ne­gara saat ini, dan terus mencari solusi me­lalui pergulatan in­telektual (membaca dan diskusi) yang ti­dak pernah henti. Kesadaran akan kondisi bang­ sa dan membangun bangsa ke depan harus te­ rus ditumbuhkembangkan. Kepentingan in­ dividu yang hanya berorientasi kepada hal-hal yang materialis dan hedonis harus di­ganti dengan idealisme-rasional untuk ke­ pentingan bangsa dan Negara. Sebagai ba­ han untuk melalukan revolusi mental, apakah ki­ta telah siap untuk menghadapi masyarakat e­konomi asean (MEA) yang sudah di depan mata? Apakah para mahasiswa sadar bahwa ada tantangan yang akan dihadapi? Dan apa­kah mereka sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan tersebut? Jika ja­wabannya belum, maka para mahasiswa harus segera melakukan revolusi mental, me­laluikan perubahan orientasi pemikiran ke arah sana. Selamat melakukan revolusi mental !!!.. n

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 21


INSPIRASI ALUMNI

Farhan Efendi, Senior Editor Executive Harian Surya

BIAYA SEKOLAH DARI USAHA WARUNG KOPI

Farhan Efendi merupakan mahasiswa IKIP Surabaya angkatan 1985. Ia terbilang cukup lama meng­ habiskan waktu kuliah, yakni enam tahun. Keterlambatan lulus itu, karena selain kuliah, Farhan, demikian panggilan akrabnya, harus berjibaku mencari tambahan biaya untuk hidup dan kuliah.

K

e­hidupan Farhan memang pe­ nu­h liku. Ketika baru kelas tiga SD, Farhan sudah merasakan ke­hilangan sang ibu. Setahun ke­mudian, atau saat ia duduk di ke­las empat SD, giliran sang ayah yang me­ nyu­sul ibunya menghadap sang Khaliq. Ke­hilangan kedua orang tuanya di usia anak-anak, tentu bukan persoalan mu­ dah. Farhan kecil harus terbiasa me­ nyam­bung hidup sendiri meskipun ia memiliki tiga saudara. “Mereka kan ju­ga mencari kehidupan,” tuturnya me­nge­ nang. Lulus dari bangku SD, laki-laki a­sal La­mongan itu, lantas merantau ke Su­ rabaya untuk menyambung ke­­­hi­dup­an dan pendidikannya. Be­run­­tung, sang bapak meninggalkan wa­ri­san se­bu­ah warung kopi di jalan Gem­bong Su­ra­ ba­ya. Dari usaha warung ko­pi itulah, Far­han bisa mendapatkan sum­ber ma­ ta pencahariaan untuk biaya hi­dup dan

22 |

melanjutkan pendidikannya. “Di Su­ra­ ba­ya, saya melanjutkan pen­di­di­kan di SMPN 8 Surabaya. Kalau pagi se­kolah, siang pulang sekolah berjualan ko­ pi,” terang Farhan. Lulus SMP, Farhan melanjutkan se­­­ ko­lah ke SMA Muhammadiyah di Ka­ pa­­san Surabaya. Farhan ber­usa­­ha se­ ku­at tenaga untuk tetap me­lan­jutkan pen­­didikan meskipun ke­hi­dupannya pe­nuh tantangan. Ia ber­prin­sip ba­gai­ ma­napun tantangannya pen­di­di­kan for­ mal haruslah dimiliki untuk be­ kal ke­ hidupannya nanti. Semangat yang mem­buncah itulah yang semakin men­ do­­ rong Farhan bersemangat sekolah mes­­ki harus dilakukan dengan kerja ke­ ras. Sederet pekerjaan kasar pun per­nah ia lakukan seperti menjadi kuli ba­ngun­ an, kernet, hingga tukang batu. ***

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

FARHAN mengaku pada mulanya ti­dak memiliki cita-cita dan menjalani ke­hidupan mengalir apa adanya. Meski de­ mikian, ia termasuk orang punya obsesi dan keinginan sangat kuat. Far­ han juga termasuk siswa yang sulit di­ a­ tur oleh gurunya. Ia menceriytakan, ke­tika ada pendaftaran masuk ke per­ guruan tinggi, Farhan memilih per­gu­ru­ an tinggi dan jurusan secara asal-asal­an. Ia pernah memilih jurusan Teknik Nuk­lir di Universitas Gajah Mada (UGM). “Ka­re­ na pilihannya asal-asalan, ya nggak di­te­ ri­ma,” ungkapnya sembari tertawa. Pada pendaftaran berikutnya, Farhan mu­lai serius. Ia memilih universitas dan ju­rusan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Ia memilih IKIP Su­ra­ ba­ya dengan dua pilihan, yakni jurusan Se­jarah dan jurusan Bahasa Indonesia. Pil­ihan itu berbuah keberuntungan. Far­ han pun berhasil masuk ke IKIP Su­ra­ba­ ya jurusan Sejarah.. “Saya ingat waktu


INSPIRASI ALUMNI

SUKSES: Farhan Efendi (kanan) selaku Senior Editor Executive Harian Surya tengah memberikan cinderamata kepada tamu redaksi yang berkunjung ke kantor koran Surya. [DOK SURYA}

itu mengisi formulir di masjid Blutong,” ke­nangnya. Secara akademis, Farhan tidak me­ mi­liki hambatan dalam menjalani per­ ku­liahan. Ia dikenal cukup dekat dengan pa­ra dosen. Selain kuliah, Farhan pun ak­­tif di organisasi kemahasiswaan, yak­ni di Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) dan menjadi anggota Him­ pun­an Mahasiswa Islam (HMI) meskipun ti­dak begitu aktif. Semasa kuliah, Farhan terbilang aktif. Ia cukup sering menjadi pembicara da­ lam beberapa seminar. Bersama lima te­ man­nya, ia mendirikan majalah internal Jur­usan Sejarah yang diberi nama Histo­ ria. “Saya kan jurusan Sejarah, masa gak pu­nya peninggalan?” ujarnya sembari ter­senyum. Menekuni Dunia Menulis Kecintaan Farhan terhadap dunia tu­ lis-menulis sudah dirasakan sejak SMA.

Ke­betulan, ia sangat senang membaca. Ia pun menuangkan ide dan gagasan da­lam sebuah tulisan untuk bias dimuat di surat kabar. Beberapa kali mencoba me­ngirimkan tulisan berupa cerpen ke me­dia, akhirnya bias dimuat di koran Jayakarta. “Cerpen yang dimuat itu me­ rupakan cerpen ke-49 dari semua cer­ pen yang pernah saya kirimkan ke me­ dia,” terang Farhan. Kegemarannya menulis terus di­ba­ wa hingga ia kuliah di IKIP Su­ra­ba­ya. Ia semakin meningkatkan ke­mam­­puan dalam menulis. Ia sering mem­pub­li­ka­ sikan tulisannya di koran kampus seperti Gema dan majalah ilmiah. Waktu itu, satu tulisan yang dimuat di Gema akan mendapatkan honor sebesar lima sam­ pai sepuluh ribu. Sementara kalau di­ mu­at di majalah universitas, satu tulisan men­dapat honor tiga puluh ribu. “Kalau tu­lisan saya dimuat di majalah dua kali, tu sudah cukup untuk membayar uang

ku­liah dan biaya hidup. Karena waktu itu biaya kuliah sekitar tiga puluh ribu sa­ja,” ujarnya. Tak hanya di media kampus, Farhan ju­ga mulai mempublikasikan tulisannya di berbagai koran dan majalah. Saat itu, koran yang cukup terkenal adalah ha­ rian Surabaya Post yang terbit setiap so­re hari dan Jawa Pos yang terbit setiap pa­ gi. Seminggu sekali, Farhan mendapat space khusus sebesar seperempat ha­ la­ man di koran Surabaya Post untuk mem­bahas masalah musik dan band. Ia mengisi space itu sejak tahun 1987 hing­ ga tahun 1988. Meski banyak menulis, Farhan tidak per­ nah berpikir untuk membukukan tu­lisannya. Ia juga tidak suka mengikuti lom­ba-lomba menulis. Waktu itu, yang pen­­ting bagi dirinaya adalah menulis dan mendapat uang untuk biaya hidup dan kuliah. Selain sibuk kuliah dan menulis di

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 23


INSPIRASI ALUMNI ber­ bagai media, tahun 1990 hingga 1991, Farhan bekerja sebagai reporter se­­kaligus penyiar di radioa Panorama FM. Di radio itu, ia memegang berita-berita me­ngenai artis. Rutinitas pekerjaan itu, membuat ia sering bertemu para ar­tis. Paling sedikit, dua kali dalam se­ming­ gu. Sebagai penyiar radio, Farhan se­ dikitk memberikan terobosan ber­beda dengan menyelipkan ilmu-ilmu pe­nge­ ta­huan untuk menambah wawasan pe­ mir­sa setiap kali siaran. Farhan semakin berani mengambil ber­bagai tantangan dalam kehidupan. Mes­kipun semua anggota keluarganya ber­profesi sebagai guru tapi ia memilih ber­beda. Ia memilih dunia tulis-menulis. Saat ditanya mengapa tidak mengikuti jejak keluarga yang berprofesi guru, Far­ han berkata, “yang penting sudah per­nah jadi guru satu tahun di SMA Pro­ bo­linggo pada tahun 1992. Jadi sudah cu­kup.” Lulus dari bangku kuliah tahun 1991, Farhan mendaftarkan diri ke dua perusahaan surat kabar, yaitu ke Surabaya Post dan Surya. Karena me­mi­ li­ki kemampuan dan relasi yang banyak, dua perusahaan penerbitan itu pun sa­ ma-sama menerima. Namun, dengan ber­bagai alasan, Farhan akhirnya lebih me­milih bekerja di harian Surya. Begitu masuk Surya, Farhan memiliki ob­sesi untuk meningkatkan oplah dan daya jangkau koran Surya. Jika pa­ da waktu ia mendaftarkan diri oplah ha­ nya 30 ribu sampai 40 ribu eksemplar, Far­ han ingin meningkatkan oplahnya menjadi 100 ribu dan seterusnya. Hal itu da­pat dia buktikan dengan oplah koran Sur­ya yang kini sudah mencapai 150 ri­ bu eksemplar. Seminggu setelah diterima di koran Surya, Farhan menikahi kekasihnya yang su­dah bertemu sejak SMA. Namun, tak la­ ma setelah pernikahannya, Farhan di­pindahtugaskan ke Sumenep untuk men­cari berita berkaitan dengan politik. Ke­mudian, pada tahun 1994, Farhan di­ tugaskan ke Jakarta untuk mencari be­ri­ ta tentang politik lagi. Tahun 1997, ia ba­ ru kembali ke Surabaya hingga saat ini.

24 |

"

Meski banyak menulis, Farhan tidak per­nah berpikir untuk mem­bu­kukan tu­lisannya. Ia juga tidak suka meng­ikuti lom­ba-lom­ba menulis. Waktu itu, yang pen­­ ting ba­gi dirinaya adalah me­nu­lis dan mendapat uang un­ tuk biaya hidup dan kuliah.

Selama bekerja di koran Surya, Far­ han mengaku tidak memiliki cita-cita le­ bih meskipun keinginan itu tetap ada. Farhan lebih suka menikmati ke­hi­ dupannya dengan mengalir. Yang ter­ penting baginya selalu mengukur ka­ pa­sitas dirinya, dan kapasitas itu sendiri nan­ti akan diukur oleh pemimpinnya. Tahun 2004, Farhan mulai men­du­ du­ki jabatan di Redaksi Koran Surya. Ia diberi jabatan sebagai Redaktur Pe­lak­ sa­na hingga tahun 2007. Tahun 2011, ia diberi jabatan sebagai Wakil Pemimpin Re­daksi hingga awal tahun 2014. Saat men­jabat sebagai Wakil Pemimpin Re­ dak­si itulah Farhan kembali melakukan tro­bosan terbaru. “Karena Pemimpin Redaksi ada di Jakarta maka saya mengadakan tro­ bo­san di sini. Saya membidik pembaca pe­rempuan dan anak muda. Alasannya se­derhana, karena perempuanlah yang menentukan belanja keluarga dan karena pemudalah yang akan meng­ gantikan orang tua yang sudah se­ben­ tar lagi pensiun. Itulah kenapa ke­mu­ dian ada kolom YouGen, Be Creative, Pa­renting, dan lain-lain,” kata bapak dari enam anak itu. Setelah menjabat sebagai Wakil Pe­ mimpin Redaksi, Farhan menjabat se­ bagai Senior Editor Executive. Ia dilantik

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

pa­ da bulan Agustus 2014 kemarin. De­ngan jabatan itu berarti Farhan ber­ tugas dengan “dua kaki”. Di satu si­si, ia harus menjembatani antara ba­gi­an redaksi dengan bagian bisnis. Ba­ gai­ mana agar orang-orang redaksi da­pat memahami orang-orang bisnis. Be­gitu pun sebaliknya, bagaimana agar orangorang bisnis dapat memahami orangorang redaksi. Sementara itu, saat ini, melalui po­si­ sinya, Farhan berupaya membaca pa­sar dan mulai membangun website koran Surya. “Website ini akan menjadi rumah kita jika koran cetak sudah tidak mampu ber­tahan,” jelasnya. Selalu berpandangan bahwa hidup ini keras sehingga dalam menjalani ke­ hidupan ini tidak hanya santai-santai sa­ja. Justru kalau hidup ini dianggap ri­ ngan-ringan saja, itu yang berbahaya. De­ mikianlah prinsip yang selalu di­ pegang Farhan hingga menemukan k­esuksesannya. (SYAIFUL RAHMAN).


SEPUTAR UNESA Arsiparis Unesa

Terpilih Menjadi Pengurus AAI Wilayah Jatim

A

rsiparis Unesa semakin me­ nun­ juk­ kan eksistensinya. Dalam rapat ko­ ordinasi bidang kearsipan dan pe­ ngukuhan pengurus Asosiasi Arsiparis In­donesia (AAI) wilayah Jawa Timur yang di­gelar Badan Perpustakaan dan Kearsipan (Bapersip) Provinsi Jawa Timur pada 17—18 No­vember 2014 di Hotel Narita Surabaya, Arsiparis Unesa terpilih menjadi pengurus bi­dang teknis kearsipan Ketua AAI Jawa Timur, Drs. Tidor Arif Trio­no Djati, M.M dan 36 pengurus lain di­ lantik dan diambil sumpahnya sebagai Pe­ ngu­rus AAI Wilayah Jawa Timur Periode 2014—2019. Pelantikan dilakukan oleh Ke­tua Umum Pengurus Nasional AAI Dr. H. Andi Kasman, S.E., M.M, disaksikan Se­ kre­­taris Jenderal AAI Drs. Bambang Iwan, M.Hum., Kepala Bapersip Provinsi Jawa Timur Drs. Sudjono, M.M., para pejabat/

undangan dari SKPD Provinsi Jawa Timur, SKPD Kabupaten/Kota di Jawa Timur, dan BUMN serta dari beberapa perguruan ting­ gi di Jawa Timur. Kepengurusan AAI Wilayah Jawa Timur di­bagi menjadi enam bidang yaitu: bidang hukum dan organisasi, bidang kajian dan publikasi, bidang teknis kearsipan, bidang sumber daya manusia, bidang kerja sama, dan bidang kesejahteraan. Sementara itu, Arsiparis Unesa Djoko Pramono, S.Pd., M.Si. terpilih menjadi pengurus bidang teknis kearsipan. Selain pengukuhan, juga dilaksanakan kegiatan yang meliputi: penyampaian pa­ pa­ran tentang kebijakan legislasi kearsipan pe­merintah provinsi Jawa Timur oleh Ke­ pala Bapersip Provinsi Jawa Timur, ke­bi­ ja­ kan legislasi kearsipan nasional pasca pem­ bentukan pemerintahan baru tahun

2014—2019 oleh Ketua Umum Pengurus Na­ sional AAI, dialog interaktif masalah ke­arsipan oleh TVRI Jawa Timur yang di­ pan­du Suko Widodo, M.A dari Universitas Airlangga, serta pemaparan dan diskusi dua peraturan kearsipan. Menanggapi terpilihnya arsiparis Une­ sa dalam kepengurusan AAI Wilayah Ja­wa Timur, Djoko Pramono mengatakan, “Mes­ ki­pun kearsipan Unesa, masih dalam taraf pe­rintisan tetapi kami para insan kearsipan Unesa sering menjalin hubungan dengan ber­ bagai pihak. Hubungan yang pernah ka­mi jalin di antaranya dengan kearsipan beberapa PTN, kearsipan Kemendikbud, Lembaga Kearsipan Daerah, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), AAI Nasional dan Jawa Timur. Kami perlu banyak belajar ke berbagai pihak demi terwujudnya ke­ar­ sipan Unesa yang lebih baik.” (DJOKO PRAMONO)

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

Gagas Kurikulum Sastra Indonesia Berbasis KKNI “Pe­nya­maan persepsi tentang pro­di, mulai dari kurikulum hingga im­plementasinya sehingga lu­lusan Sastra Indonesia se­ku­rang-kurang memiliki kom­pe­ten­si yang kurang lebih sama di ma­na pun mereka berkuliah di seluruh Indonesia.” [Jack Parmin, M. Hum]

P

rogram Studi Sastra In­do­ nesia Ju­ru­san Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa menjadi salah satu peng­­­ gagas Forum Studi Sastra In­ donesia, Rabu (19/11/2014). Ke­ giat­an itu berlokasi di gedung per­ temuan Poerbatjaraka FIB Uni­versitas Gadjah Mada dan di­ hadiri oleh 18 perguruan ting­gi; Universitas Gadjah Ma­ da (UGM), Universitas An­ da­ las (Unand), Universitas In­do­

nesia (UI), Universitas Ne­ geri Jakarta (UNJ), Universitas Pen­ di­dikan In­donesia Bandung (UPI), Universitas Jen­de­ral Soe­dirman Jawa Tengah (Un­ so­ed), Uni­versitas Negeri Yog­ ya­karta (UNY), Uni­versitas Se­ be­ las Maret Surakarta (UNS), Uni­ versitas Negeri Semarang (Un­­nes), Universitas Sanata Dha­rma Yog­ya­karta (USD), Uni­ ver­sitas Diponegoro Se­marang (Undip), Universitas Udayana

Bali, Universitas Bengkulu, Universitas Hasanuddin (Un­ has), Universitas Airlangga (Una­ir), Universitas Negeri Sur­­ abaya (Unesa), Universitas Ne­­ geri Malang (UM), dan Uni­ver­si­ tas Negeri Jember (Unej). Dua orang delegasi yang ha­dir sebagai perwakilan da­ ri Unesa adalah Jack Par­ min, M. Hum. dan Anas Ah­ ma­ di, M. Pd. Jack Parmin, M. Hum, Sekretaris Jurusan Ba­ha­sa dan Sastra Indonesia men­ jelaskan, pertemuan itu di­ mak­ sudkan untuk bertukar pi­kiran dalam pengembangan Pro­di Sastra Indonesia ter­ma­ suk kemungkinan pem­ ben­ tukan Asosiasi Prodi Sas­ tra Indonesia. “Pertemuan ini untuk menyikapi akan di­ber­la­ ku­ kannya kurikulum berbasis KKNI secara nasional pada

ta­ hun 2015. Pertemuan ini sebagai langkah awal utamanya demi kepentingan prodi sastra Indonesia se Indonesia. Hasil akhir dari pertemuan ini adalah untuk mencoba menyamakan persepsi tentang banyak hal yang berkaitan dengan prodi sastra Indonesia,” ujarnya. Pria kelahiran Jombang itu juga menambahkan, semua Pro­di Sastra Indonesia harus me­ miliki pandangan yang sama dalam segala aspek. “Pe­ nya­maan persepsi tentang pro­ di, mulai dari kurikulum hingga im­plementasinya sehingga lu­ lusan Sastra Indonesia se­ ku­ rang-kurang memiliki kom­ pe­ ten­ si yang kurang lebih sama di ma­ na pun mereka berkuliah di seluruh Indonesia,” tambahnya. (RUDI)

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 25


KABAR SM-3T CATATAN DARI MONEV SM3T SUMBA TIMUR

PAUD Amanah, Supported by SM-3T OLEH Luthfiyah Nurlaela [Koordinator SM3T Unesa]

PAUD AMANAH: Itulah salah satu sumbangsih program SM-3T di Pulau Salura, Sumba Timur. Kami berfoto bersama di depannya.

T

ulisan seperti judul di atas menghiasi sebuah papan nama kecil berwarna dasar kuning. Membelakangi sebuah bangunan berukuran sekitar 4x6 meter yang sebenarnya berfungsi sebagai Posyandu. Sederhana sekali. Ukuran sisi-sisi papan nama itu hanya sekitar 1,20 cm. Namun di balik kesederhanaannya, dia menyimpan sebuah cerita tentang ketangguhan dan kesabaran. Kalau ada yang bertanya, adakah sesuatu yang monumental dari program SM-3T di Salura? Maka, papan nama kecil itulah salah satunya.

26 |

Hanya salah satunya. Karena tentu saja banyak yang telah diukir dan diwariskan oleh para peserta SM3T sejak angkatan pertama, sejak tahun 2011. Termasuk meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dan terbangunnya semangat cinta belajar. Terbukti anak-anak semakin hari semakin banyak yang rajin datang ke sekolah. Termasuk di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Pulau Salura, yang selalu ramai dipenuhi anak-anak, sejak selepas ashar sampai Isya. Pulau Salura, satu-satunya pulau di Kabupaten Sumba Timur yang

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

mayoritas penduduknya muslim, merupakan kampung nelayan dengan jumlah KK sekitar 130-an, dan jumlah jiwa sekitar 560-an. Kampung kecil itu seperti penuh sesak oleh anakanak yang kurang terurus. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan. Kebanyakan keluarga memiliki anak lebih dari lima, bahkan ada yang belasan. Anak-anak mereka pada umumnya adalah anak-anak usia balita sampai usia sekolah (PAUD sampai SMA). Sebelumnya, Pulau Salura hanya memiliki SD saja, kemudian berkembang menjadi sekolah satu


KABAR SM-3T atap (satap), SD dan SMP. Bangunan sekolah SD masih sangat sederhana, hanya memilliki tiga ruang kelas, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan sistem kelas rangkap. Gurugurunya, sebenarnya, ada empat orang yang PNS, namun mereka jarang sekali datang ke sekolah, termasuk kepala sekolahnya. Guru honorer rata-rata hadir dua orang sehari, dan merekalah yang menangani kelas satu sampai enam. Kondisi itu sudah jauh lebih baik dibanding saat Panca, satu-satunya peserta SM-3T angkatan pertama (2011), ditugaskan di tempat itu. Pada saat itu, di Salura baru ada SD saja. Tidak ada layanan kesehatan sama sekali atau puskesmas. Tidak ada tenaga medis. Sempat sebelum berangkat ke Salura, saat pelepasan di Gedung Nasional Waingapu, Panca bertanya pada saya. “Ibu, di Salura, tidak ada puskesmas. Bagaimana kalau saya sakit?” Saya tidak bisa menjawab, sempat was-was juga, ya, bagaimana kalau Panca sakit? “Saya baru saja sakit, Ibu, dan masih pada tahap pemulihan.” Jelas Panca. Tapi tiba-tiba saja saya menemukan jawaban yang tepat.

“Kamu jangan sakit ya? Kamu harus sehat. Tidak boleh sakit.” Dan berangkatlah Panca naik oto dengan iringan lambaian tangan dan doa saya. Itu tiga tahun yang lalu. Saat ini, Salura sudah memiliki puskesmas, dan ada seorang bidan desa dan perawat pembantu. Namun murid-murid di sekolah dasar itu, aduh, sedih melihatnya. Penampilan mereka, maaf, kotor, dengan baju seragam yang juga kotor dan bahkan koyak-moyak, sebuah buku dan pensil. Belum lagi kemampuan baca tulis mereka, sangat memprihatinkan. Saya sempat melihat anak-anak itu belajar dan melihat buku catatan mereka. Benar-benar prihatin sekali melihat kondisi mereka. Murid-murid SMP, penampilan mereka lebih bersih. Mereka berseragam, pada umumnya cukup rapi. Meski kelas mereka terbatas, hanya dua lokal, dan pembelajaran juga dengan kelas rangkap, tapi mereka mempunyai lab mini, alat-alat olah raga, dan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Ruang kelas yang hanya ada dua ruang itu, satu kelas untuk kelas 7 dan 8, satu ruang untuk kelas 9, digabung dengan lab mini dan perpustakaan mini. Kepala sekolah SMP, Bapak Heri,

DISAMBUT MERIAH: Tim Monev SM-3T untuk Sumba Timur disambut meria oleh anakanak PAUD Pulau Salura.

merupakan figur kepala sekolah yang rajin dan penuh komitmen. Dia berasal dari Muncar, Banyuwangi, dan keluarganya sampai saat ini masih tinggal di Pasuruan. Dia tinggal bersama seorang guru bantu (Pak Yanus), dan empat orang guru SM3T, di mes sekolah yang merangkap menjadi kantor sekolah. Mes itu sebenarnya bukan mes sekolah. Dia adalah rumah petak berukuran sekitar 4 x 6 meter, milik penduduk setempat, berdinding kayu dan berlantai tanah. Rumah itu disekat-sekat untuk kamar, dapur, dan ruang multifungsi. Dua orang guru SM-3T perempuan menempati satu kamar, sedang para lelaki menempati ruang multifungsi. Kerja di situ, makan di situ, tidur di situ. Ada sebuah tikar yang digelar, dan di sepanjang dinding kayu rumah itu bertumpuk buku-buku, pakaian, bahan makanan, dan dos-dos entah berisi apa. Jadi di rumah kecil itu, ada enam orang penghuni, dua guru perempuan, dan empat guru laki-laki. Sungguh tak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi semacam itu selama setahun. Kunjungan saya ke Salura, selain dalam rangka monev SM-3T, juga untuk melihat perkembangan pendidikan di pulau kecil ini. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak kami, para peserta SM-3T. Mereka adalah Wahyudi, Nugroho, Pratiwi dan Abidah. Mereka dari prodi Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan PAUD. Kegiatan guru-guru SM-3T itu begitu padat. Meski pun Pratiwi dan Abidah dari Prodi PAUD, mereka tidak hanya mengajar di PAUD yang masuknya setiap hari mulai Senin sampai Jumat. Selesai mengajar di PAUD sekitar pukul 10.00, mereka ikut membantu mengajar di SD sampai pukul 13.00. Setelah itu, lepas ashar, mereka berempat berbagi tugas mengajar mengaji di TPA, dan bersama-sama salat maghrib dan isya berjamaah.

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 27


KABAR SM-3T Sore itu, saya ikut bergabung di TPA. Ikut mengajari anak-anak Salura mengaji. Hampir semuanya masih mengenali saya, yang sekitar setahun yang lalu berkunjung di tempat ini. Alhamdulilah, bapak ibu saya mewajibkan saya mengaji setiap hari, dan beliau berdualah guru mengaji saya sejak kecil. Sehingga insyaallah saya layak membantu Abidah dan kawan-kawan mengajari mengaji anak-anak Salura ini. Sekitar lima puluh anak itu terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok anak-anak yang mengaji Juz Amma, kelompok lainnya sudah pada level berikutnya. Tapi pada umumnya, anakanak tingkat lanjut itu mengajinya masih sampai pada surat Al Baqarah. Mereka belajar mengaji sejak pukul 17.00 sampai Isya. Jeda untuk salat maghrib dan isya berjamaah. Setelah itu mereka pulang ke rumah masingmasing, belajar atau langsung tidur. Ditemani debur ombak dan desauan angin laut yang mendesis-desis. Begitulah sampai pagi menjelang, dan semuanya kembali beraktifitas. Para anak ke sekolah, para orang tua ke laut atau mengurus rumah. Bila musim cumi, anak-anak sekolah banyak yang membolos. Benar. Inilah salah satu kendala pendidikan di daerah-daerah tertinggal pada umumnya. Banyak anak usia sekolah yang drop out karena masalah ekonomi. Atau setidaknya, banyak anak sekolah yang membolos pada saat musim tanam, hari pasar, atau musim panen, termasuk panen cumi seperti di Salura. Masalah ekonomi, memang menjadi salah satu kendala terbesar dalam program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Kondisi ini diperparah karena kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih suka anak-anak bekerja dan membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ya, meski kesadaran masyarakat terhadap pendidikan meningkat

28 |

GEMBIRA: Anak-anak PAUD dan peserta SM-3T saat kunjungan monev di Salura, Sumba Tmur. Dengan bantuan ini diharapkan anak PAUD setempat bisa belajar dengan baik.

dengan sangat signifikan, namun kendala-kendala tersebut masih terus dijumpai. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang terus dihadapi oleh para guru SM-3T di mana pun berada. Kembali ke PAUD Amanah. Sekolah itu dirintis oleh peserta SM-3T Unesa. Benar-benar hasil rintisan peserta SM3T. Mereka menghimpun anak-anak kecil usia PAUD yang berserakan di mana-mana di kampung nelayan itu, mencarikan tempat bagi mereka untuk bermain dan belajar bersama. Tentu tidak mudah pada awalnya. Namun dengan kegigihan dan kesabaran, dengan sepenuh upaya mereka mengetuk hati para orang tua, serta meyakinkan para perangkat desa, akhirnya PAUD amanah itu bisa terbentuk. Dirintis oleh Heri Sampurna dan kawan-kawan (angkatan 2012), dilajutkan oleh Kartika Sari dan kawankawan (angkatan 2013), dan akhirnya terus belanjut serta semakin jelas wujudnya oleh kehadiran Abidah dan kawan-kawan (angkatan 2014). Pagi itu, sebelum ke SD dan SMP, saya mengunjungi PAUD Amanah, dan bermain bersama dengan sekitar empat puluh anak-anak polos yang manis-manis itu. Bersama Abidah dan Pratiwi serta tiga orang bunda yang lain. Tiga orang bunda itu adalah

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

para gadis remaja lulusan SMP yang dikader oleh Abidah dan Pratiwi untuk mengelola PAUD Amanah. Dengan demikian, bila tidak ada guru-guru SM3T, PAUD Amanah tetap bisa hidup dan bahkan bisa lebih maju. Saat ini, ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, kita tidak lagi melihat anak-anak kecil berkeliaran di kampung nelayan yang ramai itu. Anak-anak ingusan (dalam arti sebenarnya, karena hidung mereka pada umumnya beringus), kotor, kurang terurus, yang bermain pasir atau berlari-lari di sepanjang pantai. Mereka semua saat ini sudah rapi sejak pagi, dan siap berangkau ke sekolah, belajar bersama teman-teman, di bawah bimbingan para bunda, di PAUD Amanah. Sedang mentari tetap saja memancarkan kehangatannya Tersenyum menyaksikan celoteh anak-anak kampung yang riang Mereka berdendang dan menari bersama Berlomba mengukir mimpi dan berebut meraih bintang Oh, indahnya Gemerlap mata bening itu adalah gemerlap masa depan...n (MAN)


JATIM MENGAJAR GENERASI ISLAMI: Anak-anak desa setempat tengah belajar Alquran di musalah. Selain belajar formal di sekolah, mereka juga belajar non-formal di tempat ibadah ini.

LAPORAN JATIM MENGAJAR (BAGIAN 3)

Akhirnya Paham Budaya Lokal n oleh Muhtar Anas

Serunya mendapat tugas mengajar di daerah ‘pedalaman’ dalam Program Jatim Mengajar, program hasil kerja sama Unesa dan YDFS, mencatatkan pengalaman tersendiri bagi peserta, khususnya pengalaman budaya setempat. Seperti pengalaman Muhhtar Anas di Lamongan, berikut ini, yang merupakan bagian akhir dari tulisannya.

K

e­tika sampai di h­alaman se­ ko­­lah, aku mendengar te­ri­ ak­an 'satpam 'tan­pa gaji itu, walau posisiku ma­­sih be­­ rjarak 100 meter da­ri kamar mandi se­­kolah. De­ngan langkah yang mulai me­­lambat, aku berusaha men­capai ka­mar mandi. Dan su­ara itu semakin keras sa­ja. Hing­ga akhirnya keluarlah sang ma­jikan. “Maaf, Pak. Ini saya Pak Guru. Saya i­­ngin ke ka­mar mandi.” Karena se­ki­tar s­e­kolah tidak ada pe­nerangan, saya ha­rus me­nunjukkan siapa saya ke­pa­

da bapak itu. Meskipun de­ngan suara yang terbata. Cam­ pur antara tidak ter­bia­­sa ber­hadapan dengan anjing ju­ga me­nahan keadaan yang ter­ja­di pada pe­rut saya. “Oh, Pak Guru. Tidak apa-apa, Pak Gu­­ru. Silakan maju saja terus.” Kata ba­pak itu. “Bagaimana saya harus me­ lan­ ­ jut­kan lang­kah saya. sedang­kan pi­ ara­annya sa­ja terus meng­gon­gong seperti cu­­riga jika saya hendak me­ ngam­bil ja­tah makannya,” saya ha­ nya bisa meng­ge­ru­tu dalam hati.

Hingga akhirnya sang pemilik meng­­ halau anjingnya agar segera per­­gi. Hal itu pun masih saja terjadi ke­ti­ka aku menyelesaikan urusanku. Aku pun hanya bisa berjalan se­lang­ kah de­mi selangkah sampai menjauh dari tem­pat itu agar tidak membuat an­jing se­ma­kin curiga. Dan ternyata hal serupa hampir sa­­ja terjadi ke esokan harinya. Waktu it­ u pagi hari. Jam menunjukkan pukul 05.30 WIB. Hari pun belum begitu terang. Namun ka­ rena isi perut sudah bergejolak, aku pun

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 29


JATIM MENGAJAR tidak ingin hal memalukan ter­ ja­ di. Aku bergegas menuju sekolah, ka­ mar mandi menjadi tujuan utama. Se­belum aku benar-benar sampai di ha­laman sekolah, satpam sensitif itu su­dah mulai beraksi. Tak pelak, suara gong­gongan­nya menghentikan langkahku. Aku ber­ balik arah. Aku berhenti di depan sa­lah satu rumah warga yang diterangi lam­ pu jalan. Aku harus menunggu sampai pa­ gi benar-benar tiba. *** RINTIK hujan belum juga reda. Na­­mun suara ketiga anak yang se­ dang ber­main di sepetak sawah se­ makin ri­ang meski waktu sudah me­ nunjukkan pu­kul 15.30 WIB. Tak di­ hirau­kan orang-orang berlalu-lalang, mes­ ki tubuh mereka kuyup akibat gu­yuran air hujan. Bahkan salah satu dari mereka dengan nyamannya ber­ te­ lanjang dada dengan lumpur di be­berapa bagian tubuhnya. Dengan asyik terus saja mereka bermain. Per­ mainan tradisional yang belum per­ nah aku lihat sebelumnya. Tiga anak laki-laki tengah asik ber­main di tanah yang becek akibat hu­jan yang mengguyur sejak siang. Dengan sebuah tongkat dari ranting di tangan masing-masing. Salah satu anak menancapkan tongkatnya ke ta­nah dengan cara dihantamkan se­ keras mungkin dengan ujung tong­ kat yang agak runcing. Dua anak yang lain berusaha merobohkan tong­kat itu dengan cara melakukan hal yang sama. Siapa yang ber­ ha­ sil merobohkan ialah yang men­ ja­ di pemenang. Dan ia berhak me­ nancapkan tongkatnya untuk di­ ro­ boh­kan lawannya. *** Lain ladang lain belalang. Lain lu­buk lain ikannya. Begitu kata pe­ri­ ba­hasa. Begitu pula beberapa istilah me­ngandung makna yang berbeda an­tara daerah yang satu dengan yang lain. Satu maksud mempunyai istilah yang berbeda. Begitu pun sebaliknya,

30 |

Remponan, dari kata dasar rem­pon. Merupakan istilah yang tabu di daerah asalku. Namun di da­erah La­mongan istilah remponan mem­pu­ nyai maksud yang berbeda. satu istilah mempunyai maksud yang ber­beda. Remponan, dari kata dasar rem­ pon. Merupakan istilah yang tabu di daerah asalku. Namun di da­erah La­ mongan istilah remponan mem­pu­ nyai maksud yang berbeda. Suatu sore, untuk lebih meng­ akrab­kan diri dengan warga sekitar, aku berniat berjalan-jalan di sekitar tem­patku menginap. Warga begitu ra­mah. Saling menyapa dengan yang lain. Merupakan satu ciri khas pen­ duduk pedesaan. Begitu juga aku, mencoba diri untuk bertegur sa­ pa dengan beberapa warga yang ber­ pa­pasan atau warga yang sedang du­ duk di teras rumahnya. Setelah berkeliling, senja pun tiba. Wak­ tu menunjukkan pukul 17.15 WIB. Aku segera pulang. Ketika aku le­wat di depan satu rumah warga, di sa­na ada bapak-bapak dan ibu-ibu ser­ ta beberapa nenek-nenek. Salah se­orang dari mereka menyapaku. “Sonten, Pak Guru. Pinarak mriki ru­miyen, rempon-remponan mriki ker­ sane akrab.” (Selamat sore, Pak Gu­ru. Singgah di sini dulu. Rempon-rem­po­ nan di sini, biar akrab) Aku pun tercengang. Apakah aku ti­dak salah dengar? Masak aku diajak ber­buat seperti itu di daerah baru se­ perti ini? Aku mencoba menolak de­ ngan sehalus mungkin, karena waktu me­mang sudah hampir gelap. Siang itu matahari cukup terik. Se­perti biasa, udara di daerah La­mo­ ngan cukup panas. Meski dua hari yang lalu hujan begitu deras. Namun si­sa-sisa hujan telah terbakar oleh te­ rik­nya matahari.

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

Aku pergi ke sekolah. Lebih te­ pat­nya ke kamar mandi sekolah yang men­jadi tujuanku. Seperti biasa, aku harus ke kamar mandi sekolah yang ada WC-nya untuk buang hajat. Se­ lesai urusan ternyata telah ada se­ orang nenek yang duduk di teras sekolah. Aku pun menyapa. Mencoba un­ tuk mengakrabkan diri. Kami pun mengobrol. Saling bertanya dan bercerita. Setelah lama kami me­ ngob­ rol tiba-tiba lewatlah seorang ne­nek lain yang rumahnya di sam­ ping sekolah. Nenek yang sejak tadi mengobrol de­nganku memanggil kepada nenek yang sedang lewat. “Kene lo, Yu. Rempon-remponan karo Pak Guru. Mari teko endi kon mau?” (Kesini lho, Kak. Rempon-rem­ po­nan dengan Pak Guru. Dari mana ka­mu tadi?) Dan aku tersenyum simpul men­ de­ngar perkataan nenek yang baru sa­ja disampaikan kepada nenek yang se­dang lewat. Akhirnya aku paham. Rem­ponan yang dimaksud adalah me­ngobrol atau bercakap-cakap. Begitu banyak bahasa dan istilah yang dimiliki bangsa Indonesia. Juga bu­daya dan tradisi. Karena begitu be­ ra­gamnya, belajar berbagai bahasa, bu­ daya dan tradisi merupakan ke­ ha­rusan. Dengan begitu tercipta ra­ sa saling menghormati dan saling meng­hargai setiap perbedaan. Jatim Mengajar telah memberiku ke­sempatan cukup luas untuk me­ nambah pemahaman dan pe­ ngalamanku. Tidak hanya pe­ nga­ la­ man dalam bidang pendidikan, na­­mun lebih luas dari itu. Me­ngem­ bangkan pemahaman dan ke­ sadaranku tentang bagaimana se­ha­ rus­nya menjadi insan yang lebih baik, le­bih ikhlas, dan lebih peduli pada se­sama. n (BAGIAN KE-4 HABIS)


ARTIKEL WAWASAN

Pembelajaran Menulis Surat Pembaca dengan Pendekatan Think Pair Share oleh Nanik Sumarlin, S.Pd. Pada hakikatnya pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan yang tujuannya untuk memperlancar hubungan sosial secara verbal dan nonverbal guna mencapai pemahaman secara universal. Ketika manusia ingin mengungkapkan ide dan gagasannya yang masih tersimpan dalam memorinya, dia membutuhkan keberanian untuk mengekspresikannya dalam bahasa yang bersifat verbal.

K

eberanian menuangkan ide da­ lam bentuk bahasa yang bersifat ver­bal dan literal tersebut tidak mu­ dah dijumpai pada setiap pe­serta didik. Untuk mengarahkan ide­ sio­nal siswa yang masih tersimpan da­ lam memorinya, dibutuhkan sebuah tun­tunan dan arahan yang bersifat ak­tif dari seorang pendidik kepada sis­ wa­ nya supaya dapat menyampaikan ide dan gagasanya secara teratur dan ter­ ­ setruktur terkait berbagai bentuk res­ pons ide­ sional mereka baik yang ber­ sum­ ber dari kehidupan sosial mereka mau­ pun ide-ide terkait penyelesaian ma­salah yang sedang dihadapinya. Pe­ nu­angan ide tersebut dapat diarahkan me­lalui kegiatan menulis supaya ide dan ga­ gasannya diketahui oleh masyarakat umum dan sekaligus belajar untuk ber­ tang­­gung jawab atas penyampaian ide se­cara literal. Seseorang yang pandai dan cerdas te­cermin dalam bahasa yang diujarkanya da­lam kehidupan sehari-hari baik secara li­teral maupun verbal. Untuk itu, kiranya di­ rasa perlu untuk mengembangkan po­tensi siswa yang belum tergali secara mak­ simal melalui kegiatan menulis. Su­ parno dan Yunus menegaskan bah­ wa menulis sebagai suatu kegiatan pe­ nyam­paian pesan (komunikasi) dengan meng­gunakan bahasa tulis sebagai alat

dan medianya (2006:1-3). Oleh sebab itu, melalui pembelajaran menulis pa­ da siswa SMP diharapkan para siswa da­ pat menyampaikan pesan yang ada da­lam pemikiran mereka ke dalam sua­ tu tulisan. Selain itu, pembelajaran me­ nulis surat pembaca pada siswa SMP di­harapkan sebagai bentuk nyata untuk me­ningkatkan kemampuan siswa dalam ber­komunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan. Pe­nger­ tian komunikasi yang dimaksud da­lam hal ini adalah proses memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, pe­ rasaan serta mengembangkan ilmu pe­ ngetahuan, teknologi, dan budaya. Yang dilakukan oleh individu baik secara pri­ba­ di maupun kelompok. Terkait dengan ko­ munikasi yang melibatkan bahasa se­ca­ra universal, salah satu keterampilan ber­ba­ hasa yang memiliki perannan penting da­ lam penguasaan bahasa adalah ke­te­ram­ pilan menulis. Pada kenyataannya, secara umum sis­wa SMP merasa mengalami kesulitan da­lam menuangkan ide dan gagasanya untuk diwujudkan dalam bentuk tu­ lisan. Hal ini ditunjukkan dengan pen­ ca­ paian hasil belajar khususnya pada ke­ terampilan menulis masih bersifat ren­dah dibanding dengan keterampilan ber­ bicara, menyimak, dan membaca. Oleh sebab itu, diperlukan terobosan

untuk menjembatani masalah tersebut. Gu­ru perlu menggunakan strategi pem­ be­ lajaran yang mampu merangsang sis­ wa untuk berlatih menulis dimana siswa bisa menggali sendiri ide dan ga­ gasan apa yang harus ditulis dan ba­ gai­ mana penulisannya, kemudian de­ ngan rasa percaya diri yang cukup, me­ ngem­bangkan sendiri gagasan tersebut men­ jadi sebuah karya sendiri. Dengan de­ mikian, diharapkan melalui metode pem­belajaran Think Pair Share (TPS) yang di­ kombinasikan dengan penggunaan Me­dia Benda Asli (Mediasi) diduga dapat mem­ bawa siswa mengembari menulis dan dapat sejalan dengan 3 aspek ke­te­ ram­pilan berbahasa lainnya. Metode Think Pair Share (TPS) Metode Think-Pair-Share adalah salah sa­tu model pembelajaran kooperatif. Da­ lam penerapan metode Think Pair Share mem­ berikan kepada para siswa untuk berpikir dan merespons serta saling ban­ tu satu sama lain. Sebagai contoh, se­ orang guru baru saja menyelesaikan suatu sajian pendekatan para siswa te­lah selesai membaca suatu tugas. Se­lan­jut­ nya, guru meminta kepada para siswa un­ tuk menyadari secara lebih serius me­nge­ nai apa yang telah dijelaskan oleh guru atau apa yang telah dibaca. Guru tersebut me­milih metode Think-Pair-Share dari­

Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA

| 31


ARTIKEL WAWASAN pada metode Tanya jawab untuk ke­ lom­ pok secara keseluruhan (wholegroup question and answer). Lyman dan kawan-kawannya menggunakan lang­ kah-langkah sebagaiberikut: ( 1) Ber­ pikir (Think): pada tahap ini guru me­nga­ jukan pertanyaan atau isu yang ter­kait dengan pelajaran dan guru mem­ be­ ri rangsangan agar siswa berpikir sen­ diri mengenai jawaban atau isu ter­se­but dan pada akhirnya menemukan ja­wabannya. (2) Bepasangan (Pair): Se­lan­jutnya gu­ ru meminta kepada siswa un­tuk ber­pa­ sangan dan mendiskusikan me­ nge­ nai apa yang telah dipikirkan. Interaksi se­ lama periode ini dapat menghasilkan ja­waban bersama jika suatu pertanyaan te­ lah diajukan atau penyampaian ide ber­sama jika suatu soal khusus telah di­ iden­tifikasi. Biasanya guru mengizinkan ti­dak lebih dari 4 atau 5 menit untuk ber­ pasangan. (3) – Berbagi (Share): Pada akhir ini guru meminta pasangan-pasangan ter­ sebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan kelas secara keseluruhan me­ngenai apa yang telah mereka bi­ca­ rakan. Pada langkah ini akan menjadi efek­tif jika guru berkeliling kelas dari pa­ sangan yang satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau sebagian dari pasangan-pasangan tersebut mem­ per­ oleh kesempatan untuk melapor. Media Benda Asli (Mediasi) Dalam pembelajaran konvensional gu­ru memegang peranan utama dalam pro­ ses pembelajaranolah-olah siswa ti­ dak dimanusiakan sebagai manusia yang telah dibekali kemampuan oleh Tu­hannya. Oleh karena itu, pembelajaran selalu berpusat pada guru sehingga ke­ mampuan siswa dan kreativitasnya se­ ring terabaikan. Padahal, dalam pem­be­ la­ jaran yang berbasis pada contextual lear­ning, siswa dituntut lebih aktif me­ ne­ mukan temuan-temuan baru yang dapat menjadikan pembelajaran bagi di­rinya dan lingkungannya dengan me­ nye­nangkan. Untuk mengarah pada pembelajaran yang bersifat menyenangkan serta akan tercapai pemahaman yang baik di­per­lu­ kan adanya media pembelajaran yang men­dukung. Salah satu media yang di­ra­ sa tepat dalam hal ini adalah media ben­ da asli, yang dimaksud media benda asli adalah termasuk media yang berupa ben­ da sebenarnya yang dapat diamati secara

32 |

lang­sung oleh panca indera dengan cara me­lihat, mengamati, dan memegangnya se­cara langsung tanpa melalui alat bantu. Salah satu contoh media benda asli da­lam hal ini adalah media benda asli untuk materi menulis surat pembaca ada­lah koran. Pada kolom surat pembaca siswa dapat menemukan berbagai isu yang terjadi. Surat pembaca merupakan surat yang ditulis oleh pembaca kepada media tentang permasalahan yang ada di lingkungannya, agar dibaca oleh pi­hak yang berwenang sehingga dapat d­icari solusi yang baik guna pemecahan ma­ salah. Surat Pembaca berfungsi sebagai: (1) Sebagai alat penyaring bermacam- ma­ cam pendapat pembaca yang mem­pu­ nyai kepentingan umum, dan perlu pula untuk diketahui masyarakat luas; (2) Sebagai sarana demokratisasi, karena isi surat pembaca tidak hanya terbatas pa­da pernyataan elite penguasa atau pe­ngusaha, tetapi suara rakyat biasa. Se­ lanjutnya, format penulisan surat pem­ baca meliputi: (1) Tanggal surat, (2) Alamat surat kabar yang dituju, (3) Perihal, (4) Isi surat, (5) Penutup, (6) Tanda tangan, dan (7) Nama dan alamat pengirim surat Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah ketentuan penulisan surat pem­ ba­ca, hal ini diatur berdasarkan: (1) Me­ ngan­ dung unsur nilai berita, (2) Isinya bisa berupa public service, (3) Jelas per­ so­ alannya, bukan sentimen pribadi, (4) Ditulis dengan jelas menggunakan ba­ hasa yang baik serta mudah di­me­ nger­ti, (5) Surat pembaca harus disertai iden­titas pengirim yang jelas dan dapat di­pertanggungjawabkan, (6) Jumlah kata se­kitar 250 kata, (7) Dikirim ke satu media.

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

Penerapan TPS Mediasi dalam Pembelajaran Menulis Surat Pembaca Tahapan pertama adalah ta­ ha­ pan persiapan dengan diawali me­ nyam­ paikan kompetensi dasar yang harus dicapai siswa beserta indicator pencapaiannya. Langkah selanjutnya adalah membagi kelompok yang terdiri atas 4 siswa. Untuk tahap berikutnya ada­ lah tahap think guru membagikan media benda asli yaitu koran kolom su­ rat pembaca yang dilanjutkan dengan mem­berikan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan surat pembaca. Ke­mudian siswa diberi waktu lima menit un­tuk berfikir dan menemukan jawabanja­wabannya. Setelah itu siswa diminta un­ tuk merumuskan ide atau gagasan. Tahap selanjutnya adalah ber­pa­sa­­ngan (pair), pada tahap ini siswa mendiskusikannya de­ngan pasangannya, ma­sing-masing mem­ be­rikan masukan atau ide serta gagasan dan selanjutnya meng­hasilkan kesepakatan ten­ tang ide yang akan ditulis dan menjadi hasil ker­ja dan tanggung- jawab mereka. Se­lan­jut­ nya mereka menghasilkan karya be­ru­pa ke­ rangka karangan. Pada tahap selanjutnya kerangka ka­ ra­ngan tersebut dibawa pada tahap share atau berbagi. Masing-masing pasangan ber­bagi kerangka karangan dengan pa­ sa­ngan lain yang akhirnya dirumuskan men­jadi hasil kerja kelompok. Dalam ke­ lom­ pok mereka menentukan kerangka ka­rangan yang terbaik dan selanjutnya di­kembangkan menjadi sebuah paragraf atau karangan, Selamat mencoba! n *Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Baureno-Bojonegoro Jatim


INFO SEHAT

MENGKUDU si Kaya Khasiat

M

engkudu atau pace, kemudu, ku­ du (Bahasa Jawa) berasal dae­rah Asia Tenggara, tergolong da­ lam famili Rubiaceae. Nama lain untuk ta­na­ man ini adalah noni (Bahasa Hawaii). Secara tradisional, sebagian masyarakat Aceh menggunakan buah mengkudu se­ bagai sayur dan rujak. Daunnya juga di­gunakan sebagai salah satu bahan ni­ cah peugaga yang sering muncul se­ba­ gai menu wajib buka puasa. Karena itu, mengkudu sering ditanam di dekat ru­mah di pedesaan di Aceh. Selain itu mengkudu juga sering digunakan sebagai bahan obat-obatan. Morinda Citrifolia atau yang biasa kita kenal dengan buah mengkudu atau pace memang telah sejak dahulu dipercaya dapat menyembuhkan ber­ ba­gai macam penyakit. Bahkan buah ini disebut-sebut sebagai “Hawai Magic Plant” tum­buhan ajaib dari hawai. Buah yang dahulunya disebut dengan “Noni” ini juga menjadi buah keramat pada tahun 1500 SM oleh bangsa Po­li­ne­ sia. Bangsa tersebut meyakini jika buah meng­kudu memiliki banyak manfaat ter­ sendiri bagi penduduk Polinesia. Manfaat Buah Mengkudu Buah mengkudu memiliki kandungan Se­nyawa Terpenoid, Zat antibakteri, Asam arkobat, Scopeletin, Zat Anti Kanker, Xe­ reo­ nine, serta memiliki nutrisi lengkap yang diperlukan bagi tubuh manusia. Kandungan Buah Mengkudu Zat nutrisi: secara keseluruhan meng­ ku­du merupakan buah makanan bergizi lengkap. Zat nutrisi yang dibutuhkan tu­

buh, seperti protein, viamin, dan mineral penting, tersedia dalam jumlah cukup pada buah dan daun mengkudu. Selenium, salah satu mineral yang terdapat pada mengkudu merupakan antioksidan yang hebat. Berbagai jenis senyawa yang ter­ kandung dalam mengkudu: xeronine, plant sterois,alizarin, lycine, sosium, cap­ ry­lic acid, arginine, proxeronine, antra qui­ nines, trace elemens, phenylalanine, mag­ ne­sium, dll. Terpenoid: Zat ini membantu dalam pro­­ses sintesis organic dan pemulihan selsel tubuh. Zat antibakteri. Zat-zat aktif yang ter­ kandung dalam sari buah mengkudu itu dapat mematikan bakteri penyebab in­ fek­ si, seperti Pseudomonas aeruginosa, Pro­tens morganii, Staphylococcus aureus, Ba­cillus subtilis, dan Escherichia coli. Zat anti bakteri itu juga dapat mengontrol bak­ teri pathogen (mematikan) seperti Sal­monella montivideo, S. scotmuelleri, S. typhi, dan Shigella dusenteriae, S. flexnerii, S. pradysenteriae, serta Staphylococcus au­reus. Scolopetin: Senyawa scolopetin sangat efektif sebagi unsur anti peradangan dan anti-alergi. Zat antikanker: Zat-zat anti kanker yang terdapat pada mengkudu paling efek­tif melawan sel-sel abnormal. Xeronine dan Proxeronine: Salah satu alkaloid penting yang terdapt di dalam buah mengkudu adalah xeronine. Buah meng­ kudu hanya mengandung sedikit xe­ ronine, tapi banyak mengandung ba­ han pembentuk (precursor) xeronine ali­ as proxeronine dalam jumlah besar.

Pro­xeronine adalah sejenis asam nukleat se­perti koloid-koloid lainnya. Xeronine di­ serap sel-sel tubuh untuk mengaktifkan pro­tein-protein yang tidak aktif, mengatur struk­tur dan bentuk sel yang aktif. Manfaat Buah Mengkudu Berdasarkan penelitian dari kandungan di dalam buah mengkudu, Buah yang sa­ tu ini sangat kaya akan manfaat. Berikut be­berapa Manfaat buah mengkudu Bagi Ke­sehatan: • Memperlancar peredaran darah serta mem­perlebar saluran pembuluh darah yang mengalami penyempitan dengan zat scopoletin yang terkandung didalam bu­ ah mengkudu. Zat ini juga dapat mem­ bunuh beberapa varian bakteri , ser­ta bersifat sebagai anti alergi. • Mematikan bakteri penyebab infeksi dan juga sebagai pengotrol bakteri pa­ tho­ gen melalui zat anti bakteri yang terkandung didalamnya. • Buah mengukudu juga terbukti dapat me­lawan penyakit kanker atau sel-sel abnormal melalui zat anti kanker yang ter­kandung didalam buah tersebut. • Dapat menjadi zat pencegah kanker dan tumor. • Dapat membantu peningkatan daya ta­ han tubuh. • Mengkudu bisa membantu mengurangi rasa sakit. • Mengatasi peradangan dan alergi. • Meningkatkan daya tahan tubuh. Bagaimana, Anda masih ragu untuk meng­on­­sumsi buah mengkudu yang kaya khasiat ini?. n (MAN/BBS)

Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA

| 33


CATATAN LIDAH

MENGGANTI KEPALA l Djuli Djatiprambudi

L

elaki itu berperawakan kecil. Ia lahir tahun 1869, saat negerinya di ba­ wah cengkeraman kolonial Inggris. Ia berasal dari kelas menengah di India, yang hidup berkecukupan, dan karena itu bisa mengenyam pen­didikan di bidang hukum di London pada awal usianya yang ke20. Gaya hidupnya memperlihatkan gaya kelas menengah terdidik dalam tra­ di­si kolonial Inggris. Bicaranya dengan bahasa Inggris dan gaya pakaiannya de­ngan setelan jas berdasi, bahkan ke mana-mana mengenakan topi ce­ro­ bong tinggi. Lelaki ini bernama Gandhi. Ia memang seperti ditakdirkan untuk hadir di da­lam sejarah bangsa India. Lelaki yang pada awalnya amat dekat dengan gaya hidup kelas menengah yang serba menjaga penampilan berstandar Eropa. Semua itu ia lakukan semata-mata ingin digolongkan ke dalam ma­sya­ ra­kat yang tercerahkan dalam pandangan Ratu Victoria. Tetapi, Gandhi makin menemukan dirinya justru tatkala semua simbolsim­bol aristokrasi kolonial Inggris terus-menerus ia kenakan. Pada saat ia berpenampilan macam elite dari kalangan kolonial Inggris, ia makin mem­per­ te­gas garis batas antara India yang tercerahkan dengan yang tidak. Ia ingin di­anggap sederajat dengan orang-orang Inggris. Apa yang dilakukan Gandhi ternyata percuma saja. Ia tetap saja dipandang ren­dah oleh kalangan elite Inggris. Ia tetap saja digolongkan ke dalam bangsa yang tidak beradab, sekalipun ia berpenampilan dan berpendidikan a la Eropa. Ia masgul kemudian, ketika mendapatkan kenyataan bahwa orang Ing­gris yang menjajah negerinya, ternyata memperlakukan sesama manusia de­ngan penuh penghinaan. Kolonial Inggris menghina bangsanya. Inilah yang menjadi titik balik Gandhi kemudian. Lelaki itu lantas me­re­ vo­lusi mentalnya dengan cara menanggalkan segala atribut kelas menengah ala Eropa. Ia memilih mengenakan khadi, kain kasar hasil pintal tangan, un­tuk membungkus tubuhnya. Dengan cara ini, Gandhi membuka simbol per­sonal menjadi simbol yang mempersatukan berbagai golongan. Khadi akhirnya menjadi simbol pernyataan politik, ekonomi, dan budaya untuk se­lanjutnya membawa perubahan mendasar bangsa India. Khadi secara tegas mem­ perlihatkan perubahan tata pikir dan mental, yang semula Eropa sintris men­ ja­di India sentris. Itulah pelajaran sejarah yang bisa dipetik dari bangsa India dengan Ma­ hat­ma Gandhi sebagai peletak dasar revolusi mental bangsa India. Dengan kha­di sebagai pakaian kebesaran Gandhi, seluruh imajinasi tentang identitas diri (self) sebagai bangsa makin menemukan sosoknya yang tegas. Dengan itu, maka imajinasi, spirit, dan kehendak bersama menuju perubahan besar di­gulirkan. Dan hasilnya, bangsa India akhirnya memperoleh kemerdekaan da­ri kolonial Inggris. Revolusi mental seperti yang dicontohkan Gandhi bukan sekadar revolusi omong kosong. Tetapi, revolusi itu berwujud gelombang perubahan yang amat mendasar. Revolusi itu dimulai dari mental. Mental pasif menjadi mental aktif. Mental pesimis menjadi mental optimis. Mental konsumtif menjadi men­tal produktif. Mental menghamba menjadi menjadi mental mandiri. Mental interior menjadi mental superior. Mental malas menjadi mental kerja. Pe­rubahan macam inilah yang kemudian mengubah wajah India menjadi bang­sa yang kini melesat sejajar dengan bangsa China, Korea Selatan, dan Je­pang dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.

34 |

MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014

Revolusi model Gandhi, secara men­dasar memberikan energi kolek­ tif yang terus-menerus menyala, ka­ re­na Gandhi tidak hanya berucap. Ia terjun memberikan teladan. Ia me­ lakukan sendiri sebelum orang ke­banyakan melakukannya. Karena itu, revolusi model Gandhi juga ber­ makna revolusi keteladanan. Di da­ lam keteladanan yang melekat pada di­ri Gandhi itu, kita seperti diajak mem­baca historiografi India. Lalu, apa yang sesungguhnya kita inginkan tatkala Bapak Jokowi, kini pre­ si­den kita, menguar-uarkan revolusi mental sebagai jargon utamanya. Bisa ja­di gema revolusi mental dari Bapak Jokowi itu dilatarbelakangi oleh sekian ba­nyak paradoks yang mengemuka di negeri ini akhir-akhir ini. Korupsi makin men­jadi-jadi, justru ketika negeri ini memiliki Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Dekadensi moral makin merosot ke titik nadir, justru ketika negeri ini di­banjiri kutbah di televisi. Perilaku melawan hukum makin kentara, justru ke­ tika hukum berusaha ditegakkan tanpa pandang bulu. Si kaya makin rakus, jus­tru ketika si kaya memegang amanah sebagai penguasa. Paradoks semacam itu akan menjadi panjang tatkala kita saban ha­ ri menonton televisi. Dari soal agama, sosial, pendidikan, ekonomi, po­li­tik, keamanan, dan kedaulatan makin hari mempertontonkan citra hi­per­pa­ra­ doks. Yaitu suatu citra yang berada ruang simulasi digital yang bernama te­le­ visi, yang hadir dengan penuh tipu-daya dan perversi. Televisi, dengan ini ber­ ubah menjadi kotak ajaib yang mampu menyulap durjana seolah-olah ber­ aura shaleh. Sebaliknya, televisi juga bisa menjungkirbalikkan orang shaleh men­jadi pecundang yang patut ditendang ke pinggir sejarah. Atas segala paradoks macam itu, Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) meng­an­ daikan revolusi mental sebagai revolusi ganti kepala baru. Tiap individu di­ asum­sikan telah terkontaminasi oleh berbagai paradoks yang menghantui ke­sadaran dan bahkan dunia bawah sadarnya. Karena itu, tiap kepala perlu di­copot untuk kemudian diganti kepala baru. Agar sosok yang telah berganti ke­pala baru itu menjadi sosok yang sadar bahwa bumi yang dipijaknya adalah bu­mi Indonesia. Air yang diminumnya berasal dari perut bumi Indonesia. Udara yang dihirupnya berada di atas bumi Indonesia. Ketika dia shalat ber­sa­ ja­dah bumi Indonesia. Dan ketika dia nanti mati, juga akan dipeluk oleh bumi In­donesia. Maka, tak ada alasan lagi untuk tidak mencintai Indonesia. Inilah ke­sadaran baru yang semestinya bersemayam di dalam kepala baru. Revolusi mental pada titik yang paling mendasar akan bermuara ke dalam re­volusi kebudayaan. Dalam revolusi kebudayaan seperti yang terjadi di China dan di berbagai bangsa lainnya pada titik tertentu yang paling krikis mampu mem­belokkan arah sejarah (diskontinuitas). Sejarah tidak harus bergerak li­ nier. Dia bisa bergerak melingkar, kemudian berbelok ketika menemukan mo­mentum yang tepat, mengarah pada sasaran yang dibayangkan bersama. Dalam konteks mikro, revolusi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai re­volusi pendidikan. Ini juga terjadi di China. Tatkala revolusi kebudayaan yang bersemangat mengangkat kembali kedigdayaan bangsa China (Hun), ma­ka jalan yang ditempuh adalah melakukan revolusi pendidikan. Dengan re­volusi pendidikan itu, hasilnya kini tampak jelas. China bangkit menjadi rak­ sasa baru yang menggoyang dominasi adhidaya Amerika Serikat. Ekonomi tumbuh dua digit. Industri manufaktur, jasa, dan telekomunikasi me­ningkat tajam. Hal demikian, akibat dari digelontornya dana untuk pen­di­dikan dan penelitian, merombak total kurikulum, dan memasang tinggi-ting­gi kualitas pendidikan. Tidak sampai setengah abad, China melesat men­cengangkan dunia. Bagaimana dengan revolusi mental kita? n (Email: djulip@yahoo.com)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.