Masterpiece Magazine #8: Idealisme Realisme

Page 1


Masterpiece Lab Universitas Multimedia Nusantara Jalan Scientia Boulevard, Gading Serpong Tangerang - Indonesia mail@masterpiecemagz.com

twitter.com/masterpiecemagz facebook.com/masterpiecemagz instagram.com/masterpiecemagz holamaster.id


–3 Masterpiece Magz Vol. 09

Cover’s Idea Burung Cendrawasih pada sampul mewakili nilai Idealisme dan Realisme yang diangkat pada majalah Masterpiece edisi ke-8. Dijuluki “The Bird of Paradise”, Cendrawasih yang identik dengan keindahan bulu ekornya menjadi representasi kami akan nilai keindahan dalam desain. Nilai Idealisme disimbolkan dengan Cendrawasih pada sampul depan yang berwarna kuning keemasan, sedangkan biru kehijauan atau warna negatif pada Cendrawasih di sampul belakang melambangkan nilai Realisme; burung yang sama, dengan dua warna dan dua arti berbeda.

Pada dasarnya, Idealisme dan Realisme merupakan dua hal berlawanan namun saling mempengaruhi. Hal ini kami tunjukan dengan bulu ekor Cendrawasih yang saling mengikat, menandakan pengaruh yang diberikan keduanya terhadap satu sama lain.



–5

Masterpiece Magz Vol. 09


Marketing & Partnership Team Head of Marketing Financial Manager Selling Specialist Ads & Partnership Executive

Everalda Oktavian Everalda Oktavian Levina Ardelia Sheryn Chelsea Chintya Hartono Maria Maychelle

Media Communication

ALL RIGHTS RESERVED Š 2018 Masterpiece Magazine 2017-2018 Honorary Publisher Prof. Dr. Ninok Leksono Ir. Andrey Andoko, M.Sc Hira Meidia, PhD. Ika Yanuarti, S.E., MSF Prof. Dr. Muliawati Gunawan S., M.Eng.Sc. Executive Publisher Yusup S. Martyastiadi, S.T., M.Inf.Tech. Editorial Supervisor Mohammad Rizaldi, S.T., M.Ds. Strategist Advisor Triden Tan Lusiana Udjaja Ritter Willy Putra Muhammad Kamal Ramdani Ryan Stevan Chief Executive Officer Eva Mega Astria Editor-in-Chief Anastasius Melvin Junior

Media Communication Media Relation

Bunga Cinta Indrayana

Editorial Team Managing Editor Editor

Journalist

Photographer

Tresna Krisnadi W. Alifia Nur Utami Yolanda Chailani Marla Kristianti Sella Eliadita Angela Monica Felicia Margaretha Florentina Sukmawati Ovita Pattari P. Nicoletta Joan Jason Agung Cahyo

Creative Team Creative Director Illustrator

Graphic Designer Layouter

Exhibition Specialist

Edy Setiawan Nicholas Vallen Diandra Herlambang Emeralda Lindra Fandu Winata Ayu Agustina Tamara Christy Natanael Abednego Teresa Esther Widya Angelina Florentia Amedita Mitta Ayu Adellia

Production & Distribution Production & Dist. Specialist

Fransisca Nadya Admatja Pierre Mario Adelert


Diakhir masa perkuliahan, kalimat-kalimat diatas sering kali menyapa saya, terutama ketika berkumpul dengan teman-teman kuliah desain ataupun saat berkunjung ke acara seminar dan workshop kreatif. Kemudian hal ini terlintas di benak saya “Mungkin gak sih kalau projeknya asik dan duitnya besar, hmmm... pasti ada disuatu tempat, Mungkin belum bertemu dengan klien yang tepat aja”. Sebagai salah satu pelaku kreatif muda saya selalu beranggapan bahwa, Idealisme adalah sebagai semangat dalam mendesain yang akan membawa saya kesuatu tempat. Namun seiring berjalannya waktu saya mulai menyadari bahwa kebutuhan dan tuntutan hidup bukan hal yang bisa terus diabaikan, menyenangkan memang terus bermain dengan Idealisme, namun saya harus sadar bahwa saya hidup dalam realita. Dan realita tak sepenuhnya bisa kita atur sesuka hati.

Anastasius Melvin Junior Editor in-Chief

Terus bagaimana? Jawaban sederhananya mungkin seperti ini “ya cari jalan tengahnya” tetapi bagaimana menyikapi kedua hal yang berbeda namun sebenarnya sangat berhubungan ? Semoga Masterpiece 8 ini bisa dapat membantu kita lebih bijak menyikapi “Idealisme” dan menghadapi “Realisme” sebagai pelaku didalam industri kreatif.

Masterpiece Magz Vol. 09

“Ini boring banget si cuman duitnya banyak”

–7

“Projek ini asik nih tapi ga ada duitnya”


Evan Aditya , At reyu M oni a ga S CR ATC H

S C RATCH

Jordan M., Merrywell, Ian P.

Eric W, Hanny K, Anton I FAC TORY

Indoestri Makerspace TAL K

Agar Ide Bukan Sebatas Ide MAST E R

38

MAST E R

36

CRE AT I V E

26

S AYS

W O R K

Layout & Typography

40

MAST E R

12

TAL KS

18

ROO K I E

Idealism e & Re a l i s m e

42

CE N T E R P I EC E

Ballpoint Art, Mendesain Logo B U ST E R

Mundur, Destino

52

BLO C K

50

ING R E DI E N T


–9 Masterpiece Magz Vol. 09

MCP IE’ S

T RIP

54

Memaknai Arti Jiwa DET ECH

56

Codex Silenda GALERIA

59

G a l e r i Ka r ya P i l i h a n MAST ERCLINIC

81

Rini Sugianto, Ismiaji Cahyono MAST ERCLASS

82

Card case bersama Indoestri P ERSP ECT IVE

85

Peran Desainer di Dunia Kerja


– 10 Masterpiece Magz Vol. 08

People Inside Atreyu Moniaga Seniman muda lulusan IKJ ini dikenal dengan karya-karya ilustrasi cat airnya yang bertema whimsical dan dreamy. Karya Atreyu mengacu pada keajaiban cerita-cerita fantasi dan dongeng yang beliau cerna sejak kecil. Selain ilustrasi, Atreyu melebarkan sayapnya di dunia fotografi dengan elemen suRealisme di dalamnya. Sebagai bentuk kontribusinya pada seniman muda, ia mendirikan program inkubasi tahunan “Atreyu Moniaga Project� sebagai wadah dan pengembangan para seniman muda di bidang ilustrasi dan fotografi sejak tahun 2014.

Hanny Kardinata Lahir pada 7 Januari 1953, Hanny Kardinata adalah seorang desainer grafis senior yang telah banyak berkontribusi terhadap perkembangan desain grafis di Indonesia. Pada tahun 1980, bersama dengan kawan-kawannya, Hanny Kardinata mendirikan Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI), kini Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) yang memelopori dikenalnya profesi desain grafis di Indonesia. Pada tahun 2007, beliau mendirikan lembaga pengarsipan Desain Grafis Indonesia (DGI) yang kini telah berkembang menjadi lembaga kolaboratif yang mendukung komunitas serta perkembangan desain grafis di Indonesia.


– 11

Seorang seniman asal Bandung yang lebih dikenal dengan nama “iannocent�. Ian Permana menghasilkan karya ilustrasi baik secara manual maupun digital. Karyanya yang dibuat dengan sentuhan penuh detil dan rumit menjadi ciri khas dari Ian Permana. Selain menggunakan tinta hitam putih di atas kertas, ia juga berkarya dalam media digital. Karya-karyanya tercipta berdasarkan imajinasinya dalam hal-hal yang berhubungan dengan fantasi dan fiksi sains.

Anton Ismael Anton Ismael merupakan pendiri dan pemilik Third Eye Space, sebuah rumah produksi fotografi dan videografi untuk kebutuhan komersil dan promosional. Kepeduliannya terhadap pendidikan juga membawanya pada didirikannya Kelas Pagi, sebuah komunitas fotografi sebagai wadah untuk belajar dan berkembang bersama. Ia mendapatkan gelar Bachelor of Art dalam fotografi di Royal Melbourne Institute of Technology dan kini telah berkecimpung dalam dunia fotografi selama lebih dari 20 tahun.

Eric Widjaja Eric Widjaja merupakan seorang desainer grafis kelahiran 22 November 1975 yang menyelesaikan studinya di San Fransisco, Amerika Serikat. Sosok pendiri Thinking*Room Inc, sebuah studio branding dan desain grafis di Jakarta yang telah melayani klienklien besar sejak tahun 2005. Studio grafis yang banyak digemari desainer-desainer muda ini dikenal dengan pendekatannya dalam menghasilkan karya melalui proses thinking serta crafting ide yang eksploratif. Karya-karyanya diciptakan dengan fokus tidak hanya pada aspek desain tetapi juga pada konsep kreatif secara keseluruhan.

Masterpiece Magz Vol. 08

Ian Permana


ROOKIE TALKS

– 12 Masterpiece Magz Vol. 08

Evan Aditya Siapa yang tidak asing dengan #showthemonster ciptaan Evan Aditya, seorang ilustrator yang mendapatkan inspirasi dari kegemarannya bermain games. Sejak dulu, Evan memang menyukai mahluk-mahluk yang tak kasatmata maupun hal-hal berbau monster.

JUR

Angela Monica

ED

Yolanda Chailani

PH

Jason Widjaja

“Sebenernya Idealisme desain aku sendiri awalnya berubah-ubah dan akan tumbuh sendiri, dan kali ini aku fokus sama brand #showthemonster punyaku,” ujar pria lulusan Universitas Tarumanagara ini. Menurut Evan, Idealisme yang bagus adalah ketika Idealisme itu dibuat untuk diri kita sendiri sebagai seorang desainer. Ia juga memberikan gambaran mengenai tiga poin yang perlu kita perhatikan ketika memilih client. Tiga poin itu ialah marketing, uang, dan client yang dapat membantu dan mendukung kita di masa depan. Dalam memilih client, Evan menyarankan bahwa ada baiknya agar dua dari tiga poin ini dipenuhi. Portofolio merupakan salah satu hal yang penting untuk Evan. Menurutnya, portofolio menjadi bukti dari hasil kerja kita yang dapat diperlihatkan pada calon client. Evan sendiri membagi portofolio hasil pekerjaannya menjadi beberapa macam karena baginya memiliki satu portfolio saja tidaklah cukup. Hal ini ia lakukan karena tiap client memiliki selera dan kebutuhan desain yang berbedabeda, client corporate dan client café tentunya memiliki kebutuhan yang berbeda.


Untuk saat ini Evan masih berkarya sebagai seorang freelance illustrator dengan fokus utama yang teguh yaitu meraih Idealismenya. Mencari koneksi yang banyak dan bekerja sama dengan berbagai client akan dapat membantu kita dalam mencari titik Idealisme diri sendiri, apalagi untuk pemula yang baru masuk ke dunia desain.

Masterpiece Magz Vol. 08

Portofolio menjadi bukti dari hasil kerja kita yang dapat diperlihatan pada calon client.

ROOKIE TALKS

– 13

Idealisme yang bertolak belakang dengan client juga tidak dipusingkan oleh Evan Aditya. Baginya kebutuhan merupakan hal yang penting untuk mencapai keinginannya. Jika suatu pekerjaan bertolak belakang dengan Idealismenya namun dapat membantu ia mencapai mimpinya, maka ia tidak akan membuang kesempatan itu. Pada saat ini, dengan bekerja sama dengan berbagai client, ia dapat perlahan menuju Idealisme terbesar yang ingin ia capai. Idealisme terbesar dari seorang Evan sendiri adalah membuat dan membuka store brand #showthemonster.


ROOKIE TALKS

– 14 Masterpiece Magz Vol. 08

Idealisme? Hadir! Melepas Idealisme sama saja seperti bunuh diri perlahan. Mungkin terdengar ekstrim, tetapi itulah yang seorang Atreyu Moniaga rasakan. Atreyu merupakan seniman pop surealis Indonesia kelahiran 9 Desember 1988. Lulusan Institut Kesenian Jakarta ini sudah memiliki begitu banyak karya yang unik dengan karakter yang menonjol.

JUR

Sella Elidiata

ED

Felicia Margaretha

PH

Agung Cahyo

Awal perjalanan Atreyu dalam dunia seni dimulai dari kecintaannya terhadap manga atau animasi Jepang. Kecintaannya ini kemudian ia pupuk menjadi sebuah keahlian, yang kemudian menuntun Atreyu pada kariernya saat ini. Perjalanannya sebagai seorang seniman yang sudah ia tempuh sejak tahun 2005 membuatnya sadar akan pentingnya menikmati sebuah proses dalam setiap pekerjaannya. Idealisme tak pernah absen dari kamus seorang Atreyu. Baginya, Idealisme adalah suatu peraturan personal, yang lagi-lagi kembali pada kebutuhan tiap seniman. Tidak ada patokan nyata akan bagaimana sebuah Idealisme seharusnya diterapkan. Walaupun demikian, Idealisme menjadi sesuatu yang penting sebagai landasan bagaimana seorang seniman akan berjalan. “Tanpa Idealisme, menurut saya orang tuh susah buat maju,” ujar Atreyu. “Terkadang kata Idealisme sendiri suka diartikan kayak egoisme, padahal bukan.” Seniman yang sempat berperan di film pendek berjudul The Fox Exploits the Tiger’s Might ini menganalogikan mangkirnya Idealisme


Idealisme adalah suatu peraturan personal, yang lagi-lagi kembali pada kebutuhan tiap seniman. Pada akhirnya, melewati proses yang panjang dengan mental yang tangguh merupakan tantangan yang harus dihadapi. Atreyu mengaku, cita-citanya untuk membuka pameran sendiri di luar negeri masih menanti untuk dicapainya. Bukan sebagai penghalang, cita-cita ini layaknya sebuah teka-teki yang akan terus ia coba dan coba. Mempertahankan Idealisme, menempa diri, dan meniti proses. Itu kuncinya.

Masterpiece Magz Vol. 08

Dampak keteguhan pada Idealisme dirinya ini telah ia rasakan dalam perjalanannya berkarya. Idealisme, yang menurutnya memberikan nilai khas bagi seorang seniman, membuat karyanya dengan mudah dikenali dan secara otomatis diasosiasikan dengan dirinya oleh orang lain. “Ciri khas sebenarnya agak dipaksakan oleh seniman, karena setiap seniman punya hak untuk memaksakan karyanya mau terlihat seperti apa dan bagaimana,� ungkapnya

ROOKIE TALKS

– 15

seperti jiwa yang dirampas. Saat suatu Idealisme direlakan demi suatu hal yang lain, baginya sama saja seperti meminum racun: berujung pada kematian.


ROOKIE TALKS

– 16 Masterpiece Magz Vol. 08

Terima kasih atas dedikasi dari seluruh keluarga Masterpiece Gen-4.


– 17

CHIEF EXECUTIVE OFFICER Ryan Stevan EDITOR-IN-CHIEF M. Kamal Ramdani SECRETARY Glory Amadea S. FINANCIAL MANAGER Klarissa Liviana PRODUCTION & DISTRIBUTION Production & Dist. Specialist Pierre Mario Adelert Fransisca Nadya MEDIA COMMUNICATION Media Communication Media Relation

Eva Mega Astria Novita Christina H.

MARKETING & PARTNERSHIP TEAM Head of Marketing Harris Salim Selling Specialist Levina Ardelia Everalda Oktavian Ads & Partnership Executive Irene Alexandra Diandra Herlambang

EDITORIAL TEAM Managing Editor Areta Selena Editor Jennifer Sidharta Angelia Leanartha Vendy Wibowo Journalist Stephanie Pascalita Annisa Hardjanti Novyanti Santoso Photographer Jennifer Karina Ovita Pattari P. Tresna Krisna W. Winson Suryadi William Surya CREATIVE TEAM Creative Director Pius Eliezer Illustrator Ryan Rizky O. Raffael A. Gumelar Elly Amelia Christian Electra Edy Setiawan Marcella Graphic Designer Muhammad Tio Alfonsus Thyonada Layouter Darindra Suraji Kelsey Kiantoro Anastasius Melvin J. Exhibition Designer Alexander Alva D. Cheryl Imelda Tania Nicholas Vallen Johanna Febriany Website Developer Stefanus Hosea

Masterpiece Magz Vol. 08

Masterpiece Gen–4


SCRATCH SCRATCH

– 18 Masterpiece Magz Vol. 08

Multidicipline Graphic Designer Berikut kata yang dilontarkan oleh Jordan Marzuki saat diminta untuk memperkenalkan dirinya. Ia merupakan desainer grafis lulusan The Basel School of Design dengan jurusan tipografi dan komunikasi visual secara umum. “Saya multidicipline graphic designer�

JUR

Novyanti Santoso

ED

Stephanie Pascalita

PH

Dokumen Pribadi

Pilihan Jordan jatuh kepada The Basel School of Design karena ia ingin belajar lebih dalam mengenai tipografi, yang merupakan sebuah ilmu dalam mempelajari tata cara huruf, serta mengajarkan secara garis besar cara menyusun sesuatu, membuat fondasi, dan struktur dengan peraturan yang ketat, dimana tidak bisa Ia temukan pada akademisi desain grafis di Indonesia. Sama halnya dengan para mahasiswa lainnya, Jordan juga sering mengalami problematika semasa kuliah. Salah satunya adalah proses dari nol sampai jadi.


SCRATCH SCRATCH

– 19

Stay Competititve

Menurut Jordan, proses merupakan hal yang sangat penting, tetapi harus diukur dari waktu yang tersedia pula. Dalam berproses, ia terbiasa dengan titik dimana ia tidak dapat lagi menghasilkan ide, dan dari titik tersebut, biasanya ia akan mendapatkan enlightenment.

“Untuk tidak sampai di titik jenuh (writer’s block) adalah minta feedback dari orang lain sebanyak mungkin, observe and stay competitive.”

The Balletcats Pada tahun 2008, bersama dengan Fatriana Zukhra, berdiri The Balletcats, sebuah proyek serta label untuk para felinis dimana ia menjadi co-founder sekaligus Creative Director. Memiliki kecintaan lebih terhadap kucing menjadikan Jordan Marzuki tak hanya dikenal sebagai desainer grafis, tetapi juga sebagai ilustrator dengan

sebuah ciri khas dan gaya ilustrasi yang unik. “Pain and Humor” merupakan hal yang terlintas di benak Jordan dalam keberkaryaannya.

Masterpiece Magz Vol. 08

Mengulik ide semaksimal mungkin


SCRATCH SCRATCH

– 20 Masterpiece Magz Vol. 08

Kekuatan sebuah Passion Sembari menatap layar laptopnya, Merry Felicia mencoba mengilas balik pada proyek-proyek yang pernah ia kerjakan sebelumnya. Merry adalah pendiri Merrywell Studio, studio desain yang berfokus pada industri branding. Merry mengaku, perjalanannya dalam memantapkan panggilan hidupnya dalam dunia desain bukanlah sesuatu yang mudah ataupun singkat. Namun, pengalaman demi pembelajaran pada akhirnya kembali menuntun diri Merry pada passion-nya.

emp u r na a n

ana a n

JUR

Sella Elidiata

ED

Felicia Margaretha

PH

Agung Cahyo

Setelah mendapat gelar sarjana, lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Bina Nusantara ini bekerja di perusahaan creative agency selama setahun. Berangkat dari pengalamannya sendiri, ia mengaku bahwa kantor pertama memiliki peran besar dalam menentukan jalur seorang desainer, baik dari pemahaman dalam dunia desain, cara pandang, hingga Idealisme. “Jadi harus hati-hati waktu milih kantor pertama,” ujar Merry.

Mindset menjadi Kunci Beberapa tahun setelah mundur dari kantor pertamanya, Merry sempat meninggalkan dunia desain. Pemikiran bahwa penghasilan sebagai desainer tidak dapat memberikan masa depan yang nampaknya menjanjikan membuatnya ‘banting setir’. Ia pun menceburkan dirinya ke dalam berbagai profesi. Setelah berkecimpung dalam bermacam pekerjaan, ia akhirnya kembali berlabuh pada dunia yang selama ini ia kenal dan gemari. “Setelah sekian lama, akhirnya baru sadar. Ternyata, kerjaan lain - baik lebih susah atau lebih gampang, baik uangnya lebih banyak atau lebih sedikit - tapi kalau panggilan hidupnya di desain, ya gak bisa kemana-mana. Karena ada sesuatu yang gak bisa dikasih kerjaan lain, kayak mentally gak fulfilled pas kerjain yang lain”. Kembali ke dunia desain tak semata-mata langsung memantapkan pendiriannya untuk mendirikan studio. Masih dengan sebesit pikiran yang mengganjal, Merry

Kesempurnaan dicapai bukan saat tidak ada lagi yang bisa ditambahkan, tetapi ketika tidak ada lagi yang bisa diambil.


SCRATCH SCRATCH

– 21

memilih untuk mengambil project-project lepas (freelance). Ia mengaku, hal ini sempat membuatnya berada di posisi stagnan. Barulah pada 2016 akhir, Merry mewujudkan visi yang sudah ia miliki sejak masih duduk di bangku perkuliahan, yaitu bekerja sendiri. Merrywell Studio menjadi bentuk manifestasi visi Merry. Tentunya ia bangun dengan mental yang sudah lebih siap dan pola pikir yang juga sudah lebih positif.

Masterpiece Magz Vol. 08

Baik bekerja lepas maupun mendirikan studio memang bisa didefinisikan sebagai ‘bekerja sendiri’. Akan tetapi, Merry menyadari akan adanya jarak mindset antara saat bekerja freelance dengan ketika membangun studio. “Kalo buka studio kan beda. Artinya, studio ini harus dikasih nama, udah kayak anak. Mesti digedein, visi-misinya apa, dan lain-lain. Serius bisnis,” tuturnya.

Dan Tantangan Itu Datang

Tantangan dalam Merrywell Satu tahun lebih Merrywell berdiri, tentunya tidak absen kisah tentang project-project menantang nan menarik. Saat mengulik project-project di bawah naungan Merrywell yang pernah ia kerjakan, Merry teringat akan salah satu project yang berkesan bagi dirinya: saat ia mendesain logo bagi Ria Prawiro, seorang penulis lagu-lagu hits tahun 90-an. Diakuinya, logo project ini merupakan salah satu yang paling sulit dalam pengerjaannya. Kesulitan ini merupakan tantangan tersendiri. Tantangannya, dalam hal ini, adalah menghasilkan sebuah logo yang mencerminkan pribadi seseorang (personal branding). Pastinya dengan cara pengerjaan yang berbeda apabila dibandingkan dengan pengerjaan branding sebuah produk. Pada kasus demikian, setidaknya dua hal menjadi pertimbangan Merry dalam penyusunan logo. Pertama, bagaimana cara logo tersebut mewakili signature sang individu. Kedua, bagaimana ciri khas tersebut tetap terjaga ketika disatukan dengan font. Alhasil, logo yang dihasilkan terlihat effortless, dan berhasil merefleksikan personality yang ingin disampaikan. Hal ini, menurut Merry, sesuai dengan value Merrywell.


SCRATCH SCRATCH

– 22 Masterpiece Magz Vol. 08

M e ne m uka n Ke s e m pur na a n d a l a m Ke s e de r ha na a n

“Kesempurnaan dicapai, bukan saat tidak ada lagi yang bisa ditambahkan, tetapi ketika tidak ada lagi yang bisa diambil.” Kata-kata penulis asal Perancis Antoine de Saint-Exupery menjadi cara pandang yang diadaptasi Merry dalam branding. Hal ini ia terapkan pula dalam Merrywell. Bagi Merry pribadi, menyampaikan sesuatu dalam kesederhanaan bisa menjadi dorongan tersendiri dalam membuat logo. “Karena waktu coba untuk achieve sesuatu yang sederhana, kita bisa push seberapa jauh limit kita untuk menghasilkan sesuatu yang sangat simpel,” ungkapnya. Ia menambahkan, sesuatu yang sederhana akan lebih mudah untuk diterima dan lebih abadi. Konsep kesederhanaan ini ia implementasikan saat mendesain logo untuk Chin Chin.

Branding, yang merupakan fokus dari Merrywell, adalah passion yang sudah Merry sadari sejak kuliah. Pengaruh branding terhadap sebuah bisnis menjadi daya tarik tersendiri bagi Merry. Fungsi branding dalam menopang banyak hal, seperti dari arti dibalik nama, visi misi, dan strategi bisnis, pada akhirnya memang akan menyatu dengan bisnis itu sendiri. Beberapa kali berbicara tentang passion, Merry menyebut dirinya sebagai seorang pemimpi. Bertekun dalam dunia branding memungkinkan Merry untuk secara tidak langsung menjadi bagian dari mimpi orang lain. Dalam arti, ketika seorang klien atau pemilik bisnis menuangkan mimpi mereka dalam bisnis, Merry bisa ikut mendukung melalui desainnya.


SCRATCH SCRATCH

– 23

Apa arti Idealisme seorang seniman/ desainer bagi Anda? Apakah penting? Idealisme menurut saya adalah kepuasan diri sendiri terhadap apa yang kita ciptakan tanpa mengharapkan sesuatu yang berbentuk materil/non materil. Apakah penting? Ya, pada dasarnya Idealisme itu seperti sebuah prinsip hidup dalam keseharian, dan Idealisme juga merupakan sebuah identitas pada akhirnya dan berpengaruh terhadap karya yang diciptakan. Apakah Idealisme Anda selalu mendominasi di setiap karya yang Anda hasilkan?

Tetaplah berlatih menguasai ego, karena idealisme itu bagian dari ego.

JUR

Sella Elidiata

ED

Felicia Margaretha

PH

Agung Cahyo

Peran Idealisme dalam karya saya tidak sepenuhnya, mungkin hanya segelintir saja. Saya mencoba mengomposisikan antara Idealisme dan komersial 50:50 dalam karya yang saya buat. Menurut Anda, apa dampak Idealisme seniman terhadap klien dan pasar? Begitu pula sebaliknya? Idealisme itu seperti sebuah prinsip hidup, ketika kita memiliki prinsip otomatis kita mempunyai karakter, dan begitu pula terhadap idealisme kita memiliki karakter yang kuat, dan seniman/desainer yang memiliki rasa idealis biasanya mereka dicari oleh client, bukan (mereka) yang mencari, dan sudah terbentuk rasa percaya dari si client terhadap seniman/desainer.

Masterpiece Magz Vol. 08

Perspektif Ian Permana


SCRATCH SCRATCH

– 24

Dapatkah seniman/desainer bertahan dengan mengikuti Idealismenya sendiri?

Masterpiece Magz Vol. 08

Bisa, kalau saya dengan cara 50:50 antara Idealisme dan komersial, jadikanlah Idealisme itu fondasi dalam membuat karya. Bukan berarti kita tidak mendengarkan apa kemauan client, ketika client memberikan brief, peran Idealisme itu adalah membentuk ide/concept dari client menjadi sebuah bentuk/karya dari sudut pandang si seniman/desainer itu sendiri. Pesan terhadap seniman/desainer muda tentang Idealisme? Tetaplah berlatih menguasi ego, karena Idealisme itu bagian dari ego. Idealisme terbesar anda yang belum terwujudkan apa? Idealisme terbesar yang belum tercapai adalah dapat menginspirasi banyak orang dan kemudian mati dengan tenang.



MASTER SAYS

– 26 Masterpiece Magz Vol. 08

Eric Widjaja “Kuncinya adalah

dapat memosisikan diri untuk tetap

konsisten dan fokus pada satu tujuan”

JUR

Angela Monica

ED

Yolanda Chailani

PH

Jason Widjaja


MASTER SAYS

– 27

Menurut Anda apa arti idealisme secara umum?

Bagaimana jika idealisme anda bertolak belakang dengan keinginan client?

Menurut saya idealisme merupakan kepercayaan terhadap suatu hal atau teori-teori. Idealisme sendiri terbentuk dari apa yang telah dipelajari dan merupakan suatu bentuk disiplin. Sesuatu yang telah diserap pada proses pembelajaran telah membentuk sebuah kepercayaan itu.

Desainer harus bisa mencari solusi dan tidak mudah menyerah. Keinginan client tidak sematamata harus diikuti 100% karena kita juga perlu menyeimbangkan antara idealisme kita dengan kehendak client. Oleh karena itu, kita perlu menemukan titik tengah antara keduanya. Titik tengah itulah yang nantinya memberi kita rasa puas atas hasil desain yang dikerjakan. Memang ada pula kasus dimana seorang desainer tidak menemukan titik tengahnya. Bila hal ini terjadi, lebih baik proyek tersebut segera diselesaikan saja. Bagaimanapun, proyek tersebut sudah kita pilih dan tidak mungkin kita telantarkan ketika sudah setengah jalan, lebih baik segera diselesaikan.

Pentingkah seorang desainer memiliki sebuah idealisme? Desainer merupakan sebuah profesi, dan setiap profesi memiliki idealismenya masing-masing. Sangat penting untuk seorang desainer memiliki idealismenya. Karena kalau tidak memiliki hal itu dalam suatu profesi, namanya bukan profesi, melainkan ‘operator’ yang kerjanya hanya disuruhsuruh. Jika seorang desainer itu memiliki idealisme, tentunya client akan memiliki ikatan kepercayaan dengan Anda.

Apa sisi positif dan negatif idealisme? Idealisme sebenarnya tidak memiliki sisi negatif, melainkan suatu hal yang positif dan perlu dimiliki oleh setiap desainer. Namun idealisme bisa menjadi negatif bila desainer terlalu memaksakan idealismenya. Karena ketika kita terjun ke dunia industri, kita akan bertemu dengan client yang sungguhan. Maka dari itu kita tidak bisa memaksakan idealisme kita karena idealisme kita dan kehendak client haruslah seimbang.

Pesan untuk orang yang baru mencapai dunia seni dan desain terkait idealisme? Waktu dan proses sangat dibutuhkan dalam membentuk sebuah idealisme. Semua tidak bisa didapatkan secara instan, perlu ada konsistensi dan kesabaran ketika terjun ke dunia seni. Seorang desainer yang baik harus bisa fokus memposisikan dirinya, dengan tidak terbebani dan nyaman dengan apa yang dikerjakan nantinya. Karena lebih baik untuk fokus menekuni satu hal secara konsisten daripada berusaha menekuni semua hal namun tidak maksimal.

Masterpiece Magz Vol. 08

Idealisme bisa menjadi negatif bila desainer terlalu memaksakan.


MASTER SAYS

– 28 Masterpiece Magz Vol. 08

Hanny Kardinata “Daripada melarikan

diri ke dalam sesuatu

Apa arti idealisme seorang seniman/desainer bagi Anda? Apakah itu hal yang penting?

yang ideal, lihatlah

Mengapa kita membutuhkan idealisme? Yaitu sesuatu yang menurut kita ideal, kita cita-citakan?

yang sedang terjadi

Kita membutuhkannya karena kita memandang keadaan saat ini sebagai tidak ideal dan ingin mengubahnya.

dengan jelas apa

dan bertindaklah sekarang juga.� JUR

Angela Monica

ED

Yolanda Chailani

PH

-

Tapi, bukankah dimana ada kehendak maka akan ada frustrasi? Daripada melarikan diri ke dalam sesuatu yang ideal, lihatlah dengan jelas apa yang sedang terjadi dan bertindaklah sekarang juga. Tindakan itu melahirkan keindahan yang tidak bisa diungkapkan oleh idealisme.


MASTER SAYS

– 29

sebagai desainer profesional di bidang komunikasi visual, keberadaan ciri khas itu bukan lagi prioritas. Yang menjadi fokus adalah bagaimana menyelesaikan setiap pekerjaan dengan sepenuh hati sesuai tuntutan saatnya. Atau dengan rasa cinta.�

Dalam keadaan apa idealisme Anda lebih ditonjolkan? Mengapa? Apakah saya telah menonjolkan suatu Idealisme? Semua yang saya lakukan saya kerjakan atas dorongan hati (passion), dan mengalir begitu saja, sesuai kebutuhan pada saatnya. Saya harus mengundurkan diri dari kegiatan saya sebagai desainer ketika kondisi penglihatan saya tak menunjang lagi untuk merancang. Dalam keadaan berkelimpahan waktu, saya menengok ke kliping dan arsip karya desain yang terkumpul di ruang kerja saya. Terbersit keinginan untuk membagikannya ke khalayak desain. Bagaimana supaya jangkauannya seluas mungkin? Kebetulan pada saat itu media blog (web log) mulai populer di Indonesia. Saya menuliskan ulang kliping serta memindai arsip karya, dan memasukkan (posting) seluruh dokumen itu satu persatu ke sebuah aplikasi blog. Maka lahirlah blog Desain Grafis Indonesia (DGI) yang kemudian berfungsi sebagai media pembelajaran bersama (2007). Simpati yang tergalang dari sejumlah kawan desainer kemudian secara otomatis membentuk karakter DGI sebagai sebuah platform kolaboratif. Dengan landasan ini DGI berkembang menjadi sebuah situs (website) pengarsipan. Di mana dengan berjalannya waktu, timbul kebutuhan untuk tidak saja merawat arsip secara maya (online) tapi juga fisiknya. Maka muncullah kebutuhan akan keberadaan Museum DGI. Tapi dari mana dan bagaimana kami memperoleh koleksinya? Ini melahirkan gagasan untuk mengumpulkan karya secara nasional dan selektif melalui ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA). Semua ini kini masih bergulir, berproses secara kolaboratif, melebur dalam kebersamaan, dengan bahu membahu atau bergotong royong. Juga terjadi dengan sendirinya sesuai kebutuhan pada tiap saatnya, sebagai konsekuensinya. Seperti air yang mengalir dari kaki gunung, membentuk sungai-sungai sebagai jalan yang dilaluinya menuju ke laut.

Masterpiece Magz Vol. 08

“Ketika telah berkarier


MASTER SAYS

– 30 Masterpiece Magz Vol. 08

Awal Anda berkecimpung di dunia seni apakah anda menggunakan idealisme sebagai ciri karya Anda?

Sebagai mahasiswa seni rupa, pada mulanya saya mencoba berbagai ragam gaya agar memperoleh yang paling pas bagi saya. Sambil jalan, disadari atau tidak, apa yang disebut dengan ciri khas itu terbentuk dengan sendirinya. Sesuai irama jiwa. Ketika telah berkarier sebagai desainer profesional di bidang komunikasi visual, keberadaan ciri khas itu bukan lagi prioritas. Yang menjadi fokus adalah bagaimana menyelesaikan setiap pekerjaan dengan sepenuh hati sesuai tuntutan saatnya. Atau dengan rasa cinta. Jadi yang perlu disadari sejak awal adalah apakah kita menyukai pilihan atas pekerjaan kita. Jika memang demikian, maka apa yang kita kerjakan akan mengalir begitu saja. Dan baik hasilnya. Hal sebaliknya terjadi jika kita tidak menyukai pekerjaan kita. Kita lalu menciptakan apa yang menurut kita ideal. Seperti memaksakan sebuah gaya tertentu (yang kita anggap ideal) sebagai ciri khas pribadi. Dalam hal ini,

Adakah dampak yang ditimbulkan dari idealisme Anda tersebut? Izinkan saya menggambarkannya melalui sebuah contoh, tapi bukan mengenai diri saya. Salah satu cita-cita yang paling sering dipropagandakan adalah agar desain grafis kita bisa memiliki ciri khasnya secara nasional. Ideal itu menjadi fokus sebagian desainer dan akademisi kita sejak 1970-an, termasuk studio grafis saya, Citra Indonesia. Tapi tidak semua orang merasa nyaman dengan “panggilan� itu. Tidak semuanya memiliki latar belakang kehidupan yang menunjang idealisasi sedemikian, karena begitu heterogennya masyarakat kita. Tidak seperti bangsa Jepang atau Iran misalnya.


MASTER SAYS

– 31

Apakah ada yang dirugikan dalam anda mempertahankan idealisme itu? Dari contoh di atas, dengan memaksakan diri mengikuti apa yang tengah menjadi arus utama (mainstream), bisa jadi karya anda justru menjadi tumpul. Tidak berdampak.

Menurut Anda, apakah penting bagi seorang pekerja seni mempertahankan idealismenya? Mengapa? Tidak. Karena idealisme melumpuhkan spontanitas. Pikiran kita begitu terbebani oleh bayangan akan yang ideal, sehingga kita tidak bisa melihat dengan jelas apa adanya saat ini, apa kebutuhannya. Maka yang lebih penting bagi kita adalah untuk mengetahui mengapa kita menginginkan idealisasi itu? Mengapa kita ingin menjadi seorang desainer yang punya kepedulian sosial? Atau peduli lingkungan? Apakah keinginan itu bersumber dari hati?

Pesan bagi para orang yang baru mencicipi dunia seni dan desain terkait idealisme? Jika idealisme menjadi sarana pelarian diri dari keadaan sekarang, atau jika anda hanya mengejar cita-cita yang ditetapkan oleh masyarakat, atau oleh seorang mentor, atau oleh diri anda sendiri, maka pekerjaan apa pun yang anda lakukan hanya akan menciptakan kesengsaraan. Tetapi jika anda memiliki cinta di dalam hati anda, jika anda tidak ambisius, tidak mengejar kesuksesan atau penghormatan, maka apa yang anda kerjakan bisa jadi akan membantu membawa perubahan di masyarakat.

Idealisme terbesar anda yang belum terwujudkan apa? Syukurlah tidak ada. Tentu ada saja keinginan-keinginan kecil, yang pribadi sifatnya, tetapi itu bukan sesuatu yang idealistis.

Masterpiece Magz Vol. 08

“Temukan gairah hati murni dari dalam diri anda sendiri—bukan yang dari dan terikat pada seseorang atau suatu ideal—dan tekunilah dengan cinta.�


MASTER SAYS

– 32 Masterpiece Magz Vol. 08

Anton Ismael

Idealisme merupakan kata yang tak pernah lepas dari sepak terjang para pekerja kreatif. Ada yang mengumpamakan Idealisme sebagai akar yang kuat, yang membuat pohon mampu bertahan di tengah terpaan. Namun, dualisme agaknya tak mungkin terhindarkan. Pelaku kreatif seringkali menjumpai suatu ‘persimpangan’ dalam menyikapi Idealisme mereka saat terjun ke dunia profesional. Tak terkecuali seorang Anton Ismael.

Sebagai seorang pekerja kreatif yang telah berkecimpung lebih dari 20 tahun dalam dunia fotografi, tentunya banyak asam garam yang telah dicicipi Anton. Merupakan lulusan Bachelor of Art Royal Melbourne Institute of Technology di bidang fotografi, Anton memiliki sebuah studio bernama Third Eye Space yang ia dirikan lima tahun setelah mulai berkarir. Disamping itu, pria kelahiran 1975 ini mendedikasikan dirinya dalam edukasi. Anton merupakan penggagas Kelas Pagi, sekolah fotografi tak berbayar dengan basis komunitas yang berkembang sejak 2006. Pada kesempatan ini, Masterpiece berbincang dengan Anton mengenai pandangannya akan idealisme.

JUR

Angela Monica

ED

Yolanda Chailani

PH

Jason Widjaja


MASTER SAYS

Pemahaman saya di fotografi itu adalah sebenarnya seperti saya melakukan sebuah perekaman di fotografi. Se-simple perekaman dan mengulas perekaman itu. Dan di dalam karya saya, itu sebenarnya seperti sebuah rekaman hidup saya. Sesederhana itu. Saya tidak bertele-tele atau berusaha untuk membuat apa, ya… Gini. Misalkan di depan saya ada hal yang sangat buruk. Ya, sudah. Saya akan meng-capture itu. I never complain. Saya gak pernah menuntut barang itu untuk harus saya ganti. Yang sudah ada itu yang sudah indah. Yang ada sudah indah dan bagaimana saya merekam itu sebagai sebuah penghargaan saya terhadap hidup. Dan ini menjadi penting untuk saya karena kegiatan memotretnya sudah tidak penting lagi untuk saya. Memotret itu bukan memotretnya tetapi bagaimana kamu bercerita. Dan kebetulan saya bisanya motret. Kalau misalkan kamu bisanya nulis, ya nulis. Kalau bisanya menggambar, menggambarlah.

Apakah pernah merasa idealisme Mas diinjak-injak oleh orang lain? Pernah. Ya, gak apa-apa. Saya orangnya santai. Dulu saya 99% gak diterima. Foto saya dikata-katain orang. Ya sudah, gak apa-apa. “Oh, bagus Ton dari jauh. Dari deket jelek banget.. Ya, gak apa-apa. That’s life, saya bilang. Kamu lihatnya dari jauh saja, kalau dari dekat semrawut. Life begitu. Karena saya sangat percaya bahwa otak saya sama kamu lain. Membahayakan sekali kalau otak saya sama otak kamu sama, sukanya sama, gak ada perselisihan. Sama juga dengan Idealisme. Masa harus sama?

tai kucing, tapi bagi kalian itu emas. Sekarang bagaimana caranya kalian merubah tai kucing itu jadi emas dimata client. Kita kan terkadang mengalami masalah idealisme, antara mengikuti klien atau mengikuti keinginan sendiri. Kalau Mas sendiri bagaimana cari jalan tengahnya? Apakah dalam karyanya disisipkan atau dibedakan untuk yang komersil? Gak bisa. Kalau masalah komersil, saya benar-benar pure menjadi seorang consultant yang saya harus mengerti dan bersikap profesional. Idealisme di komersil itu saya tumpahkan dalam sebuah sikap, seperti tentang keindahan itu sendiri. Seperti yang saya tadi ngomong, kayak sikap saya untuk menentang bahwa kita itu sebenarnya bukan Tuhan, jadi jangan dibuat perfect semua. Seperti misalnya, kulit diedit sampai pori-porinya gak kelihatan, atau ada sehelai rambut kena pipi, minta dihilangin, atau lekukan baju sampai gak ada lekukan. Kita ini orang, robot, atau boneka sih. Ada sedikit ketidaksempurnaan gak apa-apa, lah. Maksudnya, kita semua semakin adanya teknologi itu tanpa disadari kita berusaha menjadi Tuhan dan c’mon man. Hargai apa yang ada. Syukuri aja dan itu menurut saya sih prinsip-prinsip. Bukan mengintervensi gambar tapi ada sebuah pemikiranpemikiran yang selalu saya perjuangkan.

Jadi pada dasarnya idealisme bisa kita arahkan, ya, Mas. Harus bisa menjelaskan Idealisme itu dengan baik. Ya, you have to be a really good storyteller. Dan kalian harus punya jiwa leader.

Masterpiece Magz Vol. 08

Menurut pengalaman Mas sendiri, apa itu idealisme secara garis besar?

– 33

Idealisme itu bagi client


MASTER SAYS

– 34

Lalu bagaimana Mas bertahan dengan Idealismenya sampai sekarang?

Masterpiece Magz Vol. 08

Jadi saya selalu bilang sama teman-teman, idealisme tidak selalu bisa menghidupi. Kalau dibilang idealisme saya bisa menghidupi, mungkin iya mungkin enggak. Secara tidak langsung menghidupi, iya. Saya selalu bilang, Idealisme itu memberikan sebuah jiwa dan semangat. Tetapi untuk menghidupi secara langsung, yang namanya dapat materi, di situ mungkin tidak selalu. Tapi saya sangat menjunjung tinggi idealisme itu. Yang mungkin pertamanya harus strive dulu, benar-benar harus ‘gak makan dulu’. Tapi itu diimbangi dengan konsistensi, ya. Konsistensi kita seberapa kuat dengan yang namanya ‘sengsara’ dulu. Apa yang saya lakukan sebenarnya adalah hal yang Idealisme dan hal yang namanya kompromi. Saya punya dua hal, jadi yang satu, which is Idealisme saya, adalah bagaimana saya berbagi di Kelas Pagi. Itu free, malah saya mengeluarkan uang. Yang satunya, saya tidak bisa terlalu idealis, yaitu adalah saya mengerjakan fotografi komersil. Fotografi komersil itu membuat sebuah iklan untuk orang lain. Bekerja sama dengan orang lain. Mendengarkan dan menampung aspirasi orang lain untuk kita terjemahkan dan boost up, hingga benar-benar menjadi sebuah komunikasi yang efektif untuk banyak kalangan. Nah, di situ kadang saya gak selalu mengamini pemikiran-pemikiran mereka, tapi ya sudah. Ini kita baru bisa berkomunikasi dengan orang lain. ‘This is not about you, Anton’. Ini tentang orang lain. Tentang produk A, B, C, dan semakin ke situ saya semakin bisa menghargai pemikiran orang lain. Jadi gini, Idealisme tanpa sebuah pengertian itu nonsense. Idealisme tanpa menghargai orang lain itu nonsense. Kamu gak akan bisa hidup. Makanya katakan pengertian kita akan Idealisme kan ‘aku, aku, aku’. Tapi sekarang saya mau tanya, orang seidealis apapun, apakah dia bisa hidup tanpa orang lain? Jadi makanya, pada saat kita bicara tentang Idealisme, tetap saya berusaha untuk mendengarkan dan berkompromi dengan orang lain.

Kalau misalkan ada sebuah pilihan: “Pak, saya harus melakukan komersil yang saya gak suka atau Idealisme yang saya suka tapi saya gak bisa makan.” Saya bilang sih, kamu melakukan yang tidak kamu suka menjadi suka. Kamu harus suka. Cari caranya bagaimana biar kamu suka. Cari irisan tengahnya. Dan juga kalau bisa cintailah kerjaan kamu. Memotret, saya mencintai pekerjaan yang namanya memotret. Saya berusaha untuk bisa menghargai orang lain sehingga orang menghargai saya kembali. Dari situ, saya bisa membiayai kenakalan saya, yaitu Idealisme saya, agar lebih kuat lagi. Makanya inti yang kedua adalah, sebelum berIdealisme, kita harus punya sebuah kepercayaan. Kenapa kita Idealisme, apa kepercayaan kita sehingga patut diperjuangkan. Saya ingin konsekuensi-konsekuensinya, pertanggungjawaban teman-teman yang punya Idealisme. Kamu bisa gak jelasin ke orang-orang tentang Idealisme kamu. ‘Gak bisa, Pak.’ Ya, belajar jelasin. Agar apa? Agar bisa diterima.

Jadi idalisme itu penting untuk semua pelaku kreatif, ya, Mas? Idealisme untuk orang lain itu kotoran kucing tapi untuk kita itu emas. Nah, sekarang bagaimana kamu belajar menjelaskan Idealisme kamu ke orang lain. Kadang kita cuma bicara ‘oh, ini Idealisme saya’ tapi kamu tidak pernah menjelaskan prinsip kamu, kepercayaan kamu dengan bahasa orang lain. Orang lain bingung, kan? Permasalahannya kamu sendiri. Kamu punya Idealisme tapi kamu egois. Gak mau bicara, tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik. A good leader is a good storyteller. Kalau dia bisa menceritakan, telling a good story, menceritakan tentang Idealisme dia dengan runtut dan sangat nikmat, apa orang gak terima? Pasti orang terima. Kamu percaya saya, kan? Because I’m a storyteller.


MASTER SAYS

– 35 Masterpiece Magz Vol. 08

Apakah Idealisme itu selalu bertentangan dengan Realisme? Tidak selalu. Tergantung kan. Misalkan seperti ini. Kamu habis minum satu galon air. Air kebutuhan primer bukan? Iya kan. Habis kamu minum, saya kasih air. Kebutuhan primer nih. Kamu minum gak? Enggak, kan. Apalagi Idealisme. Kamu lempar ke orang yang butuh atau tidak. Kalau kamu gak minum dua hari, pasti begitu ketemu air, langsung kamu ambil. Kamu lempar Idealisme itu di mana, ke orang-orang yang membutuhkan atau tidak. Kalau tidak, bagaimana mengaitkan itu dengan kebutuhan orang lain. Itu triknya.

Mas sendiri mulai teguh dengan Idealisme atau prinsip itu mulai dari mana? Saya mungkin terdidik seperti itu. Mungkin karena edukasi sebenarnya. Saya teredukasi untuk mengucapkan pemikiran saya. Itu kenapa saya masuk ke pendidikan, karena saya ingin memberikan sebuah pemaparan, serta sebuah kesempatan untuk orang lain. Bukan berarti saya lebih bisa dari mereka, cuma jadi teman deh. Orang datang ke dunia ini gak ada konsep. Ras, agama, kamu siapa, saya siapa, gak ada. Makanya saya terdidik untuk mengucapkan prinsip saya.

Dalam pengalaman kan pasti tidak selalu berhasil. Dalam masa kejatuhan, pernah gak berpikir untuk meninggalkan Idealisme Mas? Never. Karena saya hidup dari Idealisme saya. Orang hidup bukan hanya dari nasi, tapi dari semangat. Semangat hidup. Dari sebuah prinsip.

Terakhir, Mas. Apa sih yang perlu dipahami mereka yang ingin atau baru masuk di dunia kreatif sebelum terjun ke dunia profesional? Peka terhadap sekitar. Peka terhadap manusia di sekitar, insiatif, berani, jujur terhadap pemikiran kamu. Hargai pemikiran kamu. Bagaimana mau dihargai kalau kamu gak hargai pemikiran kamu sendiri. Cari siasat untuk berkomunikasi lebih baik lagi. Segala sesuatu tidak berhasil, pendidikan, orang bekerja, memotret, berteman gak berhasil, kenapa? Karena mereka tidak punya skill komunikasi yang mendukung untuk mendapatkan itu semua.


CREATIVE FACTORY

– 36 Masterpiece Magz Vol. 08

INDOESTRI Makerspace Indoestri Makerspace merupakan studio yang menyediakan tempat, alat, dan komunitas bagi para individu kreatif yang mencintai proses serta edukasi dalam pembuatan sebuah karya.

JUR

Novyanti Santoso

ED

Vendy Wibowo

PH

William Surya

Berdiri sejak November 2014, Leonard Theosabrata, selaku founder Indoestri dan co-founder Brightspot Market dan The Goods Dept menyulap kawasan industri di daerah Jakarta Barat tersebut menjadi tempat para pengrajin dan desainer independen berkreasi. Banyaknya brand lokal yang muncul serta tingginya angka entrepreneur muda di Indonesia menjadi landasan terbentuknya Indoestri Makerspace.

Tujuannya, untuk mendorong pengusaha terutama anak muda yang ingin terjun ke dalam sebuah bisnis mengerti pentingnya arti dari sebuah proses, sehingga dapat menuju tahap selanjutnya. “Enjoy the process”. Jangan terlalu fokus pada goals. Tapi fokuslah di perjalanan saat menjalaninya.” Kata Angela Fransisca selaku public relations Indoestri Makerspace.


CREATIVE FACTORY

Self Made

Self Made tidak dapat dipisahkan dari Indoestri karena itu merupakan value serta spirit dari Indoestri itu sendiri. Self Made menunjukkan bahwa kita telah melalui dan berada dalam proses pembentukkan diri dengan kreativitas kita sendiri karena sebuah proses sangat penting. Dengan proses, maka kita akan menghargai kerja keras dan ketekunan.

Workshop

Setiap akhir pekan, Indoestri membuka one-day workshop yang dapat diikuti oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengasah hard skill dan juga soft skill. Tidak hanya orang dewasa saja, Indoestri juga menyediakan workshop untuk anak-anak untuk mengisi waktu libur. Terdapat berbagai workshop yang dapat kita pilih, yaitu seperti woodworking, metalworking, textile & leather, sewing, pottery, how to start your brand. Selain itu, terdapat juga Long Haul yang merupakan program pelatihan untuk mempersiapkan diri dalam berbisnis selama enam minggu secara intensif. Untuk kedepannya, Indoestri juga berinovasi untuk menambah kategori wellness & living.

Value Self Made yang dipegang, kekonsistenan serta komunitas yang solid dalam keinginan belajar dan menghargai sebuah proses merupakan tiga hal yang membuat Indoestri dapat bertahan hingga sekarang ini. Tidak hanya itu, terus berinovasi dan juga mendengarkan masukan dari banyak orang juga merupakan salah satu hal penting yang dipegang Indoestri, dan dapat membuatnya berkembang sampai sekarang.

Masterpiece Magz Vol. 08

Fokuslah diperjalanan saat menjalaninya.�

– 37

“Enjoy the process. Jangan terlalu fokus pada goals. Tapi


MASTER TALK

– 38 Masterpiece Magz Vol. 08

Agar Ide Bukan Sebatas Ide

JUR

Felicia Margaretha

ED

Yolanda Chailani

PH

Tresna Murti & Juan Cokro

Berburu Ide Ide yang bagus belum tentu menjadi bagus apabila eksekusinya salah. Itulah yang dikatakan oleh Eric Widjaja, pendiri studio desain graf is Thinking *Room dalam diskusi ber tema “Mengolah Ide dalam Proses Mendesain� yang diadakan di Indonesian Design Development Center, Jakar ta (17/11). Menurutnya, sebuah desain memiliki kemampuan untuk menggerakkan perubahan pada perilaku orang lain. Oleh karena itu, proses mengolah ide menjadi sebuah konten merupakan hal yang sangat penting.

Eric Widjaja merangkum proses mencari ide ke dalam tiga tahap yaitu trace, translate, dan transform. Fase trace yaitu seorang desainer melakukan studi terhadap subjek dan masalah yang dimiliki subjek. Hal ini dilakukan untuk mengetahui basis masalah sehingga sebuah desain bisa memiliki arti atau pesan yang jelas, alih-alih sebatas menyenangkan secara visual. Setelah tahap tersebut, barulah ide bisa ditransformasikan ke dalam bahasa visual (translate) dan diaplikasikan ke dalam media (transform). Selain ketiga tahap tersebut, desainer yang menempuh pendidikan desain grafis di California ini juga mengutarakan hal-hal yang perlu dihindari dalam menggali ide, yaitu mencari referensi dan prinsip ATM (Amati Tiru Modifikasi).


MASTER TALK

Acara Mastertalk yang diselenggarakan oleh Masterpiece Magazine ini bekerja sama dengan Titik Dua, Garis Bawah, Spasial, Artmax, serta didukung oleh Desain Grafis Indonesia (DGI) dan Indonesian Design Development Center (IDDC).

Satu hal yang menurut Eric akan membuat proses lebih menarik adalah jangan berekspektasi sesuatu pada titik akhir. Dengan adanya sesuatu yang tidak terduga, proses membahasakan ide secara visual menjadi lebih berwarna. Melalui proses itu sendiri, seorang desainer belajar menghargai karyanya.

Riset adalah kata kuncinya. Baik itu riset pada target market, identifikasi masalah, potensi hingga latar belakang dari project.

Masterpiece Magz Vol. 08

Ia juga menekankan mengenai membangun hubungan. “Yang pasti kita harus tahu dahulu kliennya. Kita harus engaged dulu dengan klien kita,� ujar Eric. Dengan membangun hubungan dengan klien, keinginan klien maupun konsep yang dimiliki seorang desainer bisa dirangkum ke dalam bentuk implementasi visual.

– 39

Membangun Hubungan


MASTER WORK

– 40 Masterpiece Magz Vol. 08

Tipografi & Tata Letak: Memahami Pilihan yang Ada

JUR

Felicia Margaretha

ED

Yolanda Chailani

PH

Juan Cokro

Di dunia ini, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan. Tak jarang pula pilihan-pilihan itu merupakan dua hal yang bertolak belakang. Hal yang sama pun terjadi dalam dunia desain grafis. Munculnya gerakan-gerakan desain seperti modernisme dan post-modernisme yang notabene kontras dari segi visual membuat desainer dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang pada akhirnya akan menentukan konten yang dibuat.

Dalam lokakarya yang berjudul Vice Versa, Thinking*Room mengajak para desainer untuk melakukan pendekatan dasar atas tipografi dan tata letak dengan memahami kedua aliran desain ini. Menurut Ritter Willy Putra, kesulitan dalam membedakan kedua design movement tersebut membuat desainer mengambil keputusan yang tidak relevan.


MASTER WORK

– 41

Less is M(B)ore

“Kesulitan

Sebaliknya, aliran post-modernisme, yang merupakan reaksi balik dari gerakan modernisme, menekankan konsep ‘less is bore’. Dengan kata lain, desain yang struktural dianggap membosankan. Postmodernisme mengedepankan manifestasi individu dengan desain-desain yang ornamental dan mendobrak batas. Dengan mengenali kedua aliran ini dan konsepkonsepnya, sebuah desain akan memiliki konten yang bermakna.

dalam

membedakan kedua design movement membuat desainer mengambil keputusan yang tidak relevan. ”

KEMBALI KE MANUAL Setelah menjelaskan konsep modernisme dan post-modernisme, peserta lokakarya diminta untuk berpasangan, kemudian mencari tahu hal yang disukai yang satunya, namun dibenci yang lainnya. Kemudian ide tersebut diubah menjadi dua poster dengan aliran modernisme dan post-modernisme.Uniknya, para peserta diajak untuk membuat desain secara manual, alih-alih digital.

Lantaran medium digital cenderung menjadi makanan sehari-hari dalam membuat desain, Thinking*Room menantang para partisipan untuk melihat kembali hal-hal yang bersifat mendasar dan mencoba belajar dari sesuatu yang berbeda. Tak hanya sebatas desain saja, peserta juga dilatih untuk menciptakan konsep copywriting yang menarik. Unsur huruf sebagai bentuk ekspresi perasaan pun lebih ditonjolkan.

Masterpiece Magz Vol. 08

Baik modernisme maupun postmodernisme memiliki kekhasannya masing-masing yang nantinya berpengaruh pada bagaimana sebuah konten disampaikan. Modernisme lebih menekankan pada nilai kesederhanaan dan minimalisme, struktural, serta fungsional. Hal ini tercermin dari layout dan typeface yang dikembangkan. Desain dengan aliran modernisme mengutamakan konsep ‘less is more’ dimana keteraturan dan efisiensi menjadi nomor satu.


CENTERPIECE

– 42 Masterpiece Magz Vol. 08

R e a lisme

&

Id e a lisme


CENTERPIECE

– 43

Idealisme berasal dari kata ideal yang mendapat imbuhan -isme dibelakangnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), idealisme berarti hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita. Dalam KBBI, kata ideal juga diartikan sebagai sangat sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan ataupun dikehendaki.

Masterpiece Magz Vol. 08

Apa itu Idealisme ?


CENTERPIECE

– 44 Masterpiece Magz Vol. 08

Idealisme, baik atau buruk?

Setiap desainer pasti punya Idealisme masing-masing yang tercurahkan dalam karyanya. Namun nyatanya tidak semua hal harus dilibatkan dengan rasa Idealisme yang dimiliki. Anton Ismail, seorang fotografer dari Third Eyes Space, pernah berkata ada saatnya menjadi sangat komersil ada saatnya menjadi idealis. Tak jarang juga desainer yang memilih untuk tidak idealis dalam urusan bisnis. Namun, ada juga yang berusaha menuangkan rasa Idealismenya sebanyak-banyaknya dalam mendesain apapun (profit dan non-pofit). Tidak ada yang lebih baik atau yang lebih buruk, tergantung masing-masing menyikapinya. Beberapa tokoh yang telah berkecimpung di dunia seni dan desain yang kami wawancara selalu menyarankan untuk mencari jalan tengah, menggunakan Idealisme dengan bijak.


CENTERPIECE

– 45

Pada dasarnya semua orang memiliki rasa idealis, tapi Idealisme tidak terbentuk begitu saja. ada hal-hal yang mempengaruhi Idealisme itu terbentuk. Salah satunya adalah pengalaman. Hal-hal seperti didikan orang tua, lingkungan tempat orang itu bergaul, rekan tempat orang itu berdiskusi, tontonan ia konsumsi di internet, dan hal-hal disekitarnya lah yang akan membentuk semacam refrensi visual yang ia yakini sebagai hal yang ideal. Hal lain yang juga mempengaruhi adalah Edukasi. “Kalau lagi belajar ya harus idealis,” kata Ismiaji Cahyono, Biro In Chief di Design Grafis Indonesia. Ia juga mengatakan, meski idealis ketika belajar tapi harus juga punya wawasan yang luas. Jangan sampai Idealisme kita membuat wawasan kita menjadi sempit. Wawasan yang luas dan toleran terhadap pendapat orang lain. “Jangan tutup telinga terhadap orang orang yang sudah punya pengalaman lebih (dosen, praktisi, senior), jika ada saran ya didengarkan, kemudian ditinjau kembali,” kata Ismiaji.

Masterpiece Magz Vol. 08

Bagaimana Idealisme terbentuk dalam diri seseorang


CENTERPIECE

– 46

Masterpiece Magz Vol. 08


CENTERPIECE

– 47

Masterpiece Magz Vol. 08


CENTERPIECE

– 48 Masterpiece Magz Vol. 08

Bagaimana Idealisme diterapkan bersama Realisme?

Idealisme sering kali dihadapkan dengan Realisme. Desain itu, tidak muncul semena-mena. Desain itu datang dalam bentuk solusi untuk menjawab sebuah permasalahan yang ada dalam realita atau dunia nyata. Tidak dipaksakan dan diada-ada. Seringkali untuk menjadi sebuah solusi, apa yang dihasilkan tidak sesuai dengan Idealisme kita. Tetapi hal itu bisa jadi sangat relevan dengan Realisme yang ada. Sebagai desainer pastinya ingin mendahulukan Idealisme pribadi tapi juga bisa relevan dengan Realisme. Hal ini mungkin sangat sulit dicapai tapi bukan menjadi hal yang mustahil. Idealisme dapat diterapkan alam keseharian dan pekerjaan. Beragam pengalaman yang dicoba dapat membantu pembentukan Idealisme itu sediri. Pengalaman akan membentuk karakter dan karakter akhirnya akan membentuk Idealisme. Tanpa pengalaman, seseorang menjadi sulit berkembang. Karakternya tidak berkembang sehingga tidak juga dapat membentuk Idealisme dalam dirinya. Eksperimen yang dilakukan, pengalaman yang dijalankan akan membentuk Idealisme itu sendiri.


CENTERPIECE

– 49

Idealisme diterapkan dalam membentuk karya. Tapi bukan berarti harus dipaksakan untuk diterima. Sebagai seorang designer, tidak jarang permintaan dan kebutuhan klien bertentangan dengan Idealisme. Tapi kembali, designer lah yang mengerti tentang design yang baik, pendapat desainer akan lebih didengar perihal baik buruknya sebuah desain Disaat itulah Idealisme seorang desainer dapat disalurkan. Berdasarkan pendapatnya kepada klien agar tidak terlalu jauh menyimpang dari aturan yang ia rasa benar. Mencoba menjawab kebutuhan klien, menjadi solusi dari problem yang ada di realita tanpa memaksa Idealismenya diterima. Karena sekali lagi, Idealisme berbeda dengan ambisi..

Masterpiece Magz Vol. 08

Idealisme berbeda dengan ambisi!


INGREDIENTS

– 50 Masterpiece Magz Vol. 08

Ballpoint Art Bolpoin telah menjadi bagian dari kegiatan tulis menulis. Namun seiring berjalannya waktu, pada akhir abad ke-19 para seniman seperti Alberto Giacometti, Andy Warhol, dan Francis Bacon telah mencoba mengembangkan penggunaan bolpoin dalam karya seni mereka.

Trent Morse adalah seorang penulis dan sejarawan seni yang mengangkat ide mengenai desain yang secara utuh digambar menggunakan bolpoin pada bukunya yang berjudul Ballpoint Art. Sejumlah seniman dari beberapa negara turut menyumbangkan karyanya dalam buku tersebut.

Judul

: Ballpoint Art

Penulis : Trent Morse Tahun

: 2016

Selain keunikan, penggunaan bolpoin sebagai komponen utama dalam pembuatan sebuah karya seni ini juga dapat menekan biaya.

Salah satu seniman yang menghiasi Ballpoint Art yaitu seorang seniman asal Iran, Mehrad Rashidi. Pria berusia 43 tahun ini gemar menggambar doodle pada buku catatannya sejak tahun 2006. Dalam bukunya, Morse memisahkan karya seni menjadi dua kategori, Space & Structures dan Creatures & Characters. Sebagian besar dari karya pada kategori pertama terkait dengan abstraksi geometrik, sedangkan karya pada kategori kedua menampilkan wajah dan figur. Noviadi Angkasapura menjadi salah satu seniman dari Indonesia yang karyanya turut masuk dalam Ballpoint Art. Pada usianya yang ke-24, Noviadi tertarik untuk menghasilkan karya seni yang menggambarkan makhluk-makhluk supernatural. Selain keunikan, penggunaan bolpoin sebagai komponen utama dalam pembuatan sebuah karya seni ini juga dapat menekan biaya.


INGREDIENTS

– 51

Mendesain Logo

Masterpiece Magz Vol. 08

Merek dalam sebuah produk merupakan sebuah aset yang tak berwujud. Dibalik sebuah merek terdapat aspek nyata yang kita sebut sebagai logo.

Surianto Rustan lewat bukunya Mendesain Logo mencoba mengungkapkan aspek nyata logo sebagai wujud fisik yang mampu memperkenalkan sebuah merek pada publik serta menekankan kembali wajah dari merek tersebut. Buku ini mencoba menyampaikan dasardasar pengertian mengenai pentingnya sebuah identitas pada sebuah merek. Tak hanya itu, penekanan kembali dilakukan untuk dapat dipahami bahwa logo berperan sebagai sebuah entitas berharga yang menaungi sebuah merek.

Logo berperan sebagai sebuah entitas berharga yang menaungi sebuah merek. Judul

: Mendesain Logo

Penulis : Surianto Rustan Tahun

: 2009

Mendesain Logo menyajikan paparan tentang langkah-langkah yang mesti dilakukan oleh para pelaku desain dalam membentuk sebuah identitas merek seperti logo. Perhatian lebih juga ditujukan pada karakteristik dan kriteria yang mesti dipenuhi untuk menunjang karya logo yang hendak dihasilkan. Isu-isu seputar pembentukan turut memberikan pemahaman bagi para pembaca untuk dapat memperkirakan identitas dari sebuah logo. Buku ini secara jelas mecoba mendorong para penggiat seni desain untuk lebih berani bereksplorasi dalam menghasilkan sebuah logo.

JUR

Annisa Hardjanti

ED

Angelia Leanartha

PH

Berbagai Sumber


BLOCK BUSTER

– 52 Masterpiece Magz Vol. 08

MUNDUR KILAS BALIK KISAH ROMANSA SUTRADARA / ANIMATOR

Bobby Fernando

PENULIS LAGU

Elvaretta Tirta

DURASI TOTAL

03 menit 39 detik

JENIS

Video Musik, Animasi

GENRE

Drama, Romansa

‘Mundur’ merupakan video musik hasil visualisasi dari lagu yang bejudul sama. Dikemas dalam bentuk animasi dua dimensi, video musik ‘Mundur’ mengisahkan mengenai hubungan romansa antara seorang wanita penyanyi bar dan seorang detektif. Narasi utama dari video musik ini merupakan pengembangan dari esensi utama lagu ‘Mundur’. Lagu karya Evaretta Tirta ini mengambil tema akan keengganan seseorang untuk melepas kenangan indah atas hubungan cinta yang telah kandas. Garis besar cerita inilah yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah alur cerita yang dapat dinikmati penonton. Hal yang menarik dari video musik ini adalah alurnya yang berjalan mundur. Kisah yang telah dibuat sebagai aktualisasi visual dari lirik lagu ‘Mundur’ ditampilkan terbalik, dimulai dari perpisahan dan diakhiri dengan pertemuan. Di sepanjang perjalanan ini, alasan di balik kegagalan hubungan dari kedua tokoh akan terungkap secara perlahan. Proses penulisan yang dilakukan tetap berangkat dari penyusunan plot outline yang berjalan lurus. Ini dimaksudkan agar elemen naratif yang terlibat, mulai dari character arcs, plot points, dan sebagainya berada di dalam satu jalur yang mengarah kepada tujuan yang sama dan tidak berkontradiksi antara satu elemen dengan elemen lainnya. Alur dibuat dengan tetap menjaga cerita tetap sejalan dengan plot, tanpa menghilangkan atmosfer misterius di balik alasan kegagalan hubungan kedua karakter. Ini diperlukan agar arus cerita terus berjalan baik hingga titik klimaks. Setelah semua proses ini rampung, barulah disusun ulang dalam bentuk alur terbalik.

JUR

-

ED

Marla Kristianti

PH

Dokumen Pribadi

Konsep video musik ini didukung dengan kelebihan media animasi yang dapat meningkatkan segi elemen-elemen visual yang kuat, seperti gestur dan mimik karakter, komposisi dan framing shot, serta objek-objek yang menjadi visual cues dalam membantu berjalannya alur cerita yang baik. Kehadiran elemen visual yang mumpuni sangat dibutuhkan, mengingat tidak adanya penggunaan dialog untuk membantu berjalannya cerita. Sehingga, komunikasi dari video musik tergantung sepenuhnya pada sinergi antara visual dan lirik yang dilantunkan dari lagu tersebut. Akhirnya, ‘Mundur’ telah menyampaikan secara implisit kisah seputar hati yang tertambat di masa lalu, melalui kisahnya yang selalu melihat ke belakang.


BLOCK BUSTER

– 53 Masterpiece Magz Vol. 08

DESTINO KILAS BALIK KISAH ROMANSA SUTRADARA / ANIMATOR

Dominique Meonfrey

TAHUN

2003

LOKASI

United States

DURASI

7 menit

Destino merupakan sebuah film animasi pendek yang pernah dirilis tahun 2003 oleh Walt Disney Company. Film animasi ini merupakan sebuah kolaborasi lawas antara Walt Disney dengan seorang pelukis surealis asal Spanyol, Salvador Dali. Uniknya, film animas pendek bergaya suRealisme ini sebenarnya diproduksi oleh kedua seniman tersebut tahun 1945, 58 tahun sebelum perilisannya. Proses penggarapan Destino turut mengajak seorang penulis lagu Mexico Armando Dominguez. Animasi selama tujuh menit ini menghadirkan kisah cinta menyakitkan dari Chronos dengan seorang wanita yang memiliki kehidupan abadi bernama Dahlia. Dali memberikan sentuhan lukisannya dalam animasi tersebut, dan membawa Dahlia hidup dalam adegan- adegan sureal lukisannya.

JUR

-

ED

Marla Kristianti

PH

Berbagai sumber

Meskipun sepanjang film tak ada dialog yang terjadi antar tokoh, namun iringan musik yang oleh komposer Armando Dominguez mampu menyampaikan isi hati para tokoh. Destino diputar pertama kali pada 2 Juni 2003 di Annecy International Animated Film Festival, Perancis. Film ini sempat masuk dalam nominasi Film Animasi Pendek Terbaik dalam ajang Academy Award tahun 2003.


MCPIE’S TRIP

– 54

Kesenian tidak sekadar membuat kary

Masterpiece Magz Vol. 08

berhubungan timbal balik dengan sega tidak bisa hidup tanpa masyarakat. MEMAKNAI ARTI “JIWA” JAKARTA BIENNALE 2017 Orang awam kerap memahami seni rupa sebagai produk abstrak yang hanya eksis di dimensi imaji, terpisah dari kehidupan sehari-hari. Fakta ini kemudian menciptakan jarak yang membuat orang segan untuk datang khusus menikmati karya seni rupa. Padahal, interaksi nyata dari pengalaman indera inilah yang mampu mengusik dan membangkitkan diskursus antara sang perupa, karyanya, dan masyarakat.

JUR

Tresna Krisnadi

ED

Marla Kristianti

PH

Tresna Krisnadi

“Kesenian tidak sekadar membuat karya, tetapi sebuah kegiatan yang berhubungan timbal balik dengan segala aspek kehidupan. Kesenian tidak bisa hidup tanpa masyarakat. Jiwa kesenian adalah segala upaya untuk kembali memikirkan dinamika antara dunia seni dan masyarakat,” ungkap Melati Suryodarmo, Direktur Artistik Jakarta Biennale 2017, saat membuka ajang selebrasi senirupa dua tahunan ini di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta, Sabtu (4/11). Ikut membuka acara bersama dengan Melani, adalah Direktur Eksekutif Yayasan Jakarta Biennale Ade Darmawan, dan Kedutaan Denmark untuk Indonesia. Dalam memaknai JIWA di Jakarta Biennale 2017 ini Melati dibantu oleh empat kurator seni. Mereka adalah Annissa

Gultom(Jakarta), Hendro Wiyanto (Jakarta), Philippe Pirotte (Frankfurt), dan Vit Havranék (Praha). Keempat kurator ini juga ikut memilih 51 seniman yang karyakaryanya ditampilkan. Kerja keras penyelenggara JIWA Jakarta Biennale 2017 bisa dikatakan berhasil. Sekat dan ruang yang menimbulkan jarak antara seni dan penikmatnya meluruh di ajang seni rupa yang telah berlangsung sejak 4 November hingga 10 Desember 2017 ini. Banyak dari 51 karya para seniman tanah air dan dunia ini membuka ruang tiga dimensi yang bisa dimasuki, disentuh, dirasa oleh para pengunjung. Di ruang karya inilah, seseorang bisa menjadi dirinya sendiri tanpa terintimidasi oleh pemahaman yang


MCPIE’S TRIP

– 55

ya, tetapi sebuah kegiatan yang

muluk-muluk tentang seni. Datang saja, lihat, rasakan, resapi, dan alami interaksi yang terjadi. Anda bisa membayangkan kembali reka ulang pra sejarah melalui seni instalasi Unsung Heroes karya I Made Djirna. Seniman asal Ubud, Bali, ini mengajak pengunjung untuk secara harfiah berjalan memasuki permenungan tiga dimensinya. Dari ruang berdinding juntaian tirai batu apung ini Anda bisa berjumpa dengan wajah-wajah berbagai ekspresi yang tertatah di atas batu apung seukuran genggaman tangan. “Wajah-wajah yang terukir di atas batu apung itu adalah para leluhur, nenek moyang, yang mewakili pra sejarah dan keterhubungan seniman dengan alam,�

Masterpiece Magz Vol. 08

ala aspek kehidupan. Kesenian

terang kurator seni Hendro Wiyanto, saat memandu para jurnalis. Selama empat bulan sang seniman berkelana dari pantai ke pantai di Bali untuk mengumpulkan sampah dan batu apung yang menjadi materi seni instalasinya. Dalam konteks kepercayaan Hindu Bali, karya I Made Djirna ini ingin mengingatkan kembali masyarakat Bali pada keagungan nilai tradisi tentang kehidupan yang seimbang antara antara Sekala (duniawi/ fisik) dan Niskala (spiritual/gaib), atau keseimbangan antara nilai-nilai modernitas dan hal-hal spiritual yang imanen dan hakiki.


DETECH

– 56 Masterpiece Magz Vol. 08

Codex Silenda: Five Pages of Unique Handcraft Wooden Puzzles

Permainan dalam memecahkan teka teki tidak akan pernah membosankan. Begitu juga dengan Codex Silenda. Sebuah permainan puzzle berbahan dasar kayu dalam bentuk yang menyerupai buku. Codex Silenda memiliki lima fitur unik yang tersebar di kelima halamannya. Puzzle yang ada didalamnya menunggu untuk segera dipecahkan.


DETECH

– 57

Masterp iece Mag z Vol . 08

Masterpiece Magz Vol. 08

Berawal Dari Proyek Tesis

Codex Silenda menjadi permainan yang membutuhkan ketangkasan serta kesabaran dalam setiap pemecahan permasalahannya. Untuk maju ke halaman atau tahap selanjutnya, pemain perlu menyelesaikan puzzle sebelumnya secara tuntas. Hal tersebut tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi para penikmat permainan semacam ini. Sebenarnya, puzzle ini merupakan bagian dari proyek tesis penelitian. Latar belakang dari pembuatan produk ini sendiri adalah cara penyelesaian masalah yang ada di dunia nyata, penelitian dari permasalahan itu sendiri, serta keinginan pasar.


DETECH

– 58 Masterpiece Magz Vol. 08

“Codex Silenda yang diciptakan olehnya mampu mencapai harga 30.000 dollar sejak pertama kali diluncurkan ke pasar.� JUR

Annisa Hardjanti

ED

Areta Selena

PH

Berbagai Sumber

Hingga Menjadi Puzzle Berbentuk Buku Sang penciptanya, Brady Whitney mengatakan bahwa dirinya memiliki ketertarikan yang kuat pada mainan dan games. Hal itu yang membuat dirinya memilih untuk fokus pada permainan puzzle. Ia membutuhkan sejumlah penelitian. Ia pun membuat dua pilihan sebagai landasan dasar dari permainan yang ia buat. Pilihan antara membuat mainan yang murah dan sederhana, atau mainan terbatas dengan tingkat kesulitan tinggi serta kualitas buatan tangan yang menarik, Whitney pun memilih pilihan keduanya hingga akhirnya ia mampu mendesain permainannya itu. Dari awal pembuatanya sendiri, Whitney menggambarkan sketsa di setiap lembarannya. Ia mencoba untuk menggambarkan puzzle yang memungkinkan untuk diaplikasikan dalam buku permainannya tersebut. Whitney mulai bekerja menggunakan CAD Modeling Program untuk dapat menggambarkan dan menguji bagaimana puzzle-nya dapat bekerja dengan baik.

SUMBER

http://www.digitaltrends.com http://www.codexsilenda.com



GALERIA

– 58 Masterpiece Magz Vol. 08

Plantea Cheria Yacobus & Elaine Klarissa


GALERIA

– 59

Masterpiece Magz Vol. 08

Snowy

Albert Hartanto


GALERIA

– 60 Masterpiece Magz Vol. 08

Nirmana Batik Fabia Pari Cesarini


GALERIA

– 61 Masterpiece Magz Vol. 08

Memorigami #2 Alvin Resqy


GALERIA

– 62 Masterpiece Magz Vol. 08

Airbag by Radiohead Yudith Halim


GALERIA

– 63 Masterpiece Magz Vol. 08

The Borrower au Dejeuner Annisa Ferani


GALERIA

– 64 Masterpiece Magz Vol. 08

Wings and Dreams Shelton Aprilette


GALERIA

– 65

Masterpiece Magz Vol. 08

Persephone

Angelia


GALERIA

– 66

Masterpiece Magz Vol. 08

Gang gang

Candra


GALERIA

– 67 Masterpiece Magz Vol. 08

Kegetiran Penggerak Bumi Sawit Daphne


GALERIA

– 68 Masterpiece Magz Vol. 08

Poci Gerabah Regina Tracy


GALERIA

– 69 Masterpiece Magz Vol. 08

Badai Pasti Berlalu Nathanael Ivan, Vinsens, Vanessa Victoria


GALERIA

– 70 Masterpiece Magz Vol. 08

Water Angela Annetta Makmuria


GALERIA

– 71 Masterpiece Magz Vol. 08

Muhammad Chaidir Umam


GALERIA

– 72 Masterpiece Magz Vol. 08

An Innocent Beauty Dinda Dyandra


E R EFURTHER INFORMATION E • HFOR •H

masterpiecemagz@gmail.com

•H

R

ER

ERE•HERE

ER

E•HERE•H

E

Masterpiece Magz Vol. 08

H

•H

H E•

– 73

RE

•HERE•HE

E ER


– 74

Masterpiece Magz Vol. 08


– 75

Masterpiece Magz Vol. 08


MASTERCLINIC

– 76 Masterpiece Magz Vol. 08

Rini Sugianto Rini Sugianto adalah seorang animator internasional khusus di bidang character animation. Setelah menempuh studi Arsitektur di Bandung, ia melanjutkan studi animasi di Academy of Art University San Francisco. Karya animasinya dapat kita lihat dalam film-film blockbuster, seperti “The Adventure of Tintin” (2011), “The Hobbit: An Unexpected Journey” (2012), “The Avengers” (2012), dan “Ted 2” (2015). Sempat bekerja di Weta Digital dan Tippett Studio, kini ia bekerja untuk Laika Entertainment di Amerika Serikat.

JUR

Angela Monica

ED

Yolanda Chailani

PH

Jason Widjaja


MASTERCLINIC

Ini mungkin lebih ke arah progression ya. Setelah saya lulus dari bidang arsitektur, saya mendapatkan pekerjaan di company kecil di jakarta. Di sini saya mulai belajar 3D untuk presentasi ke client. Pada saat saya mendalami 3D, saya jadi memutuskan untuk mendalami bidang animasinya (gerakan), karena bagian ini yang membuat saya sangat tertarik dengan dunia animasi.

Apakah dulu Kak Rini (sebagai seorang mahasiswa) pernah mempunyai ekspektasi tertentu terhadap dunia kerja dalam industri kreatif? Apakah pengalaman Kak Rini hingga sekarang sesuai dengan ekspektasi tersebut?

Mungkin bukan ekspektasi ya, tapi lebih seperti wondering. Saya pertamanya tidak terlalu mengerti bagaimana dunia kerja animasi. Tapi dengan banyak bertanya, saya akhirnya berpikir bahwa yang bisa saya lakukan adalah mempersiapkan diri saya sebaik-baiknya. Dunia kerja nya sendiri sangat competitive, dan long hours tapi satisfying.

Sebagai seseorang yang masih baru di bidang kreatif, seringkali mahasiswa mempunyai ide-ide ambisius untuk berkarya, namun terhenti karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan. Adakah tips-tips agar kaum mahasiswa dapat merealisasikan ide sesuai dengan ekspektasi?

Jangan di throw away idea-nya. Seambisius apa pun, any idea is good to have. Saya selalu punya halaman di notebook saya tentang ide-ide. Untuk merealisasikannya, sebelumnya harus bisa menentukan, apa kendalanya. Dari situ baru bisa dipecahkan permasalahannya. Kalau kurang pengetahuan, ya coba tanya dengan yang sudah mengerti dan berpengalaman. Kadang memang idenya sendiri harus disesuaikan dengan realita. Goal-nya kan menghasilkan karya yang bagus. Kalau memaksakan idea dan tidak menghasilkan karya yang bagus ya percuma juga.

Masterpiece Magz Vol. 08

Dulu sempat kuliah S1 Arsitektur namun kemudian pindah haluan ke bidang Animasi. Hal apakah yang membuat Kak Rini melakukan keputusan tersebut?

– 77

Any Idea is Good to Have.


MASTER CLINIC

– 78

Hal apakah yang terlintas dalam benak Kak Rini, saat mendengar “industri kreatif Indonesia”?

Masterpiece Magz Vol. 08

I think the idea is good. Tapi industri kreatif itu luas sekali, baik artian dan aplikasinya. Selama konsepnya sejalan dengan pelaksanaanya, saya rasa tidak ada masalah.

Di Indonesia industri kreatif semakin berkembang pesat dan mendapat dukungan dari pemerintah. Semakin banyak jumlah universitas yang membuka jurusan di bidang kreatif (desain, animasi, perfilman, dll). Bagaimana Kak Rini memandang hal tersebut? That’s great! Semakin banyak sumber pengetahuan, semakin baik. Keep in mind tho, Biarpun di dukung pemerintah, maju atau tidaknya industri ini juga tergantung dari kita.

Industri kreatif menuntut orang agar mempunyai keunikan dan bisa menonjol (stand out). Sebagai seorang animator, bagaimana Kak Rini bisa menonjol dan di-notice di tengah semakin beratnya persaingan dalam industri kreatif? Apakah ada prinsip tertentu yang harus dipegang? Prinsipnya simple, be the best you can be. Untuk bisa bersaing, kita harus tau siapa saingan kita. Untuk animator di indonesia, mereka bisa mulai melihat karya-karya dari internasional dan juga lokal, dan berusaha sebisa mungkin membuat karya yang lebih baik dari yang sudah ada.

Salah satu hal yang membuat orang di bidang kreatif tersendat dalam berkarya, adalah kurangnya ide dan inspirasi. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung di dunia kreatif, hal-hal apakah yang Kak Rini lakukan guna mendapatkan inspirasi? Kadang ide tidak langsung datang atau tidak datang sama sekali. Brainstorming helps, juga research.

Hal apakah yang mendorong Kak Rini untuk terus melanjutkan proses pembuatan animasi dan apakah ada cara untuk mencintai “proses” dalam berkarya? If you don’t love the process of animation then you should ask yourself if you really like or want to be in the animation industry. Proses animasi itu lama sekali dan membutuhkan attention to detail. Pasti ada rasa jenuh dan lelah. Take a break, do something else and get back to it. Pada akhirnya, akan kelihatan di hasil karyanya, mana yang put a lot of effort dan mana yang setengah-setengah.

Adakah pesan untuk para calon animator di Indonesia agar bisa sesukses Kak Rini? Be the best you can be. Sering kali kita dengar keluhan, “tapi saya tidak tahu caranya”, dengan banyaknya informasi di internet dan animator animator yang sudah bekerja di dunia animasi ini, keluhan ini tidak lagi bisa diterima. There is always a way.


MASTER CLINIC

– 79 Masterpiece Magz Vol. 08

Bagaimana proses Pak Aji mendapat jati diri atau identitas diri sebagai desainer? Waktu saat kuliah adalah waktu paling tepat untuk mengeksplorasi diri. Kalau saat kerja beban pada tanggung jawabnya berat, sehingga tidak ada ruang untuk bereksperimen. Makanya saat kuliah, kita harus pelajari sebanyak mungkin, agar bisa disalurkan saat kerja. Bagaimana tanggapan Pak Aji mengenai industri kreatif zaman sekarang? Apakah masa depannya cerah?

Ismiaji Cahyono Desainer grafis lulusan FSRD Institut Teknologi Bandung. Setamatnya dari jenjang sarjana, ia melanjutkan studi S2 di School of the Art Institute of Chicago, Amerika Serikat.

JUR

Aletheia Hardiman

ED

Stephanie Pascalita

PH

Winson Suryadi

Desain grafis itu bidang paling populer buat industri pendidikan, tapi bidang yang apresiasinya paling rendah di industri. Sebenarnya masa depan cerah sih sudah pasti. Tapi iklim usaha desain grafis untuk saat ini masih belum siap. Apa ada organisasi yang melindungi profesi ini? Sayangnya belum ada yang sampai ‘melindungi’, sehingga tidak ada kode etik yang menjaga hubungan kerja antara desainer dengan klien, yang saat bersamaan juga menjaga iklim kompetisi antar satu desainer dengan yang lain agar terlaksana secara fair. Adakah pesan untuk para penerus profesi ini? Kita itu harus punya mentalitas yang terbuka pikirannya, mau belajar dan diarahkan. Seorang lulusan desain harus mau belajar sama industri dulu. Ada baiknya punya pengalaman bekerja dengan orang lain, sebelum membuka studio sendiri, untuk memahami passion, visi dan cara berorganisasi darinya.


MASTER CLASS

– 80 Masterpiece Magz Vol. 08

Cardcase bersama Indoestri Makerspace Siapkan alat-alat seperti:

1

Kulit vegetable tanned atau vegtan, Alternatif: Jenis kulit boleh disesuaikan - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

2

Cutter - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

3

Penggaris - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

4

Jarum - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

5

Wax Thread - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

6

Pricker mata 2 dan 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

7

Shoe Polish - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

8

9

10

Burnisher - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Lem Aibon - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Amplas kasar 150gr - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

11

Palu - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


MASTER CLASS

– 81

Buat pola pada kulit berukuran 18 cm x 11.5 cm dengan menggunakan jarum.

2. Harap berhati-hati dalam memotong pola kulit dengan cutter. Pastikan mata pisaunya tajam untuk memudahkan memotong kulitnya.

3. Olesi sisi kulit bagian atas dan bawah dengan menggunakan shoe polish secukupnya kemudian gosok dengan burnisher hingga tampak mengkilap.

4. Beri lem pada bagian sisi kulit bagian dalam, kurang lebih sekitar 0.5 cm. Tunggu hingga lemnya mulai kering, baru ditempel dengan pola yang lainnya.

5. Beri marking pada kanan Beri tanda pada sisi sisi kanan dan dan kiri kiri card case dengan dengan menggunakan cardcase menggunakanpricker pricker mata 2. buat lubang dengan mata 2. Kemdian Kemudian buat lubang dengan menggunakan pricker 4 pada menggunakan prickerbermata bermata 4 pada marking yang telah dibuat. marking yang telah dibuat.

Masterpiece Magz Vol. 08

1.


MASTER CLASS

– 82 Masterpiece Magz Vol. 08

JUR

Novyanti Santoso

ED

Areta Selena

PH

Winson Suryadi

6. Masukkan jarum dari lubang kedua terlebih dahulu, kemudian menuju lubang pertama, kembali ke lubang kedua dan lanjutkan ke lubang ketiga hingga selanjutnya.

7. Setelah proses maka masuk Setelah prosesmenjahit, menjahit, maka masuk dalam tahap bagian dalam tahapfinishing. finishing.Amplas Amplas bagian

samping card case agar samping cardcase agarrata, rata,kemudian kemudian olesi shoe polish dan gosok kembali

olesi shoe polish dan gosok kembali dengan burnisher.

dengan burnisher.

Selamat mencoba, Master!


PERSPECTIVE

– 83 Masterpiece Magz Vol. 08

Ignatius Gregory: Peran Desainer di Dunia Kerja Apa perbedaan karya yang dihasilkan sarjana desain dengan orang yang belajar desain secara otodidak? Dari hal tersebut muncullah sebuah pertanyaan, “Apa perbedaan antara sarjana desain dengan orang yang belajar desain secara otodidak?”. Jawabannya adalah bahwa keduanya sama saja karena keduanya dibuat berdasarkan brief dan menjadi sebuah karya. Namun, berbeda halnya jika pertanyaan yang diajukan adalah, “Apa perbedaan karya yang dihasilkan sarjana desain dengan orang yang belajar desain secara otodidak?”. Perbedaan terletak pada cara berpikirnya, orang otodidak pada umumnya lebih berorientasi pada hasil akhirnya, sedangkan kita yang mempelajari desain lebih berorientasi pada penyelesaian masalah, karena pada dasarnya desain ada untuk menyelesaikan masalah.

JUR

Jennifer Sidharta

ED

Vendy Wibowo

PH

Dokumentasi Pribadi

Di dunia desain grafis sendiri, kita tidak hanya memikirkan estetika saja, hal ini dikarenakan dunia grafis memiliki cakupan yang luar biasa luas. Seorang Signage Designer maupun Book Designer merupakan salah satu contohnya, dalam bekerja mereka tidak hanya memperhatikan tampilan estetik saja, melainkan juga harus mengetahui material dan juga craft. Craftmanship sendiri bukanlah suatu hal yang sederhana dan mudah. Banyak orang berpikir bahwa seorang desainer hanyalah orang yang bekerja dengan menggunakan komputer dan hanya membuat poster saja. Padahal pada kenyataannya seorang desainer grafis harus mempelajari banyak hal selain estetika visual.

Sebagai seorang mahasiswa desain, sering kita berpikir untuk membuat sebuah karya dengan tampilan yang menarik saja, namun kita tidak memikirkan bahwa karya kita bisa berguna sebagai pemecah masalah atau tidak. Kenyataannya di dunia kerja kemampuan untuk menjawab brief dengan tepat, memecahkan masalah, dan mengonsep merupakan hal yang sangatlah penting. Oleh karena itu ada beberapa saran untuk para mahasiswa desain, ketika kita membuat karya, karya tersebut bukanlah hanya untuk nilai, keindahan, maupun hal yang kita inginkan saja, melainkan sebuah karya ada karena memiliki alasan tertentu dan menjadi sebuah pemecah masalah.


– 84

Masterpiece Magz Vol. 08




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.