3 minute read

CERPEN

Jarak

Langit berjelaga begitu indah seperti biasanya. Senja perlahan menghilang. Bergantikan mega malam dengan ribuan bintang. Sang dewi malam nampak muncul samar dari balik awan hitam. Di sebuah halte, nampak beberapa orang pemuda tengah menunggu bus datang.

Advertisement

“Permisi, sebelumnya mohon maaf,” salah seorang lelaki membuka suara. Membuat seluruh pandang mata tertuju padanya. Ia menghela nafas panjang. Menetralisir kegugupannya lantaran orang orang tersebut menatapnya terlalu intens.

“A-ah, itu ... kita sedang pandemi karena virus Covid-19. Bukankah, baiknya saling menjaga jarak? Cuaca tidak sedang hujan, kan?” Ujarnya kemudian. Derana namanya. Lelaki lugu nan pemalu yang seringkali dikenal karena ketegasannya dalam menegur seseorang.

“Lah, terus kenapa? Toh, kita semua pakai masker. Gue juga bawa hand sanitizier kok. Apa masalahnya sama gue?” Tukas Asmita. Derana lagi lagi menghela nafas sebelum melanjutkan berbicara.

“Iya, saya mengerti. Apa salahnya kamu menjaga jarak dengan satu sama lain? Kalau saja kamu seorang yang bisa merasakan terdampak virus, silahkan saja. Tapi, virus ini menular. Jangan seenaknya bersikap di tempat umum,”

“Lo juga jangan seenaknya mengkritik orang lain dong!” Bentak Asmita dengan nada bicara naik satu tempo. Membuat empat orang yang ada di halte terkejut bersamaan. Tak menduga sama sekali bahwa ada perempuan senekad dirinya.

“Loh, mbak. Mbak ini dikasih tahu. Mas nya juga sudah bilang permisi. Lantas, apa hak mbak dalam membantah ucapannya? Semua yang dia katakan benar kok,” salah seorang pemuda akhirnya ikut berbicara.

“Gue juga ada hak buat berbicara kali,” jawab Asmita masih saja ngotot. Derana berdehem pelan. Dalam hati, ia terkekeh karena menghadapi seseorang yang keras kepalanya melebihi batu giok.

“Lucu deh, siapa namamu?” Tanya Derana sambil tergelak.

“Oalah, modus ternyata,” cibir Asmita seraya pergi menjauh. Derana tertawa lagi. Beberapa orang yang ada di sebelahnya pun ikut menertawakan sikap tak mau salah Asmita.

Esok hari, Derana memang berniat pergi ke kampus guna menunaikan panggilan dari dosen. Jangan salah, meskipun pemalu, Derana merupakan asisten dosen yang sangat disegani oleh orang banyak. Biasanya, ia menunggu bus datang sembari membaca buku novel favoritnya. Namun, siapa sangka jika hari ini ia bertemu dengan gadis tempo hari, Asmita.

“Lo?!” Pekik Asmita menjauh dua meter seraya menunjuk Derana. Tak lupa diiringi wajah kagetnya bak maling yang ketahuan mencuri.

“Hm? Oh, kamu yang kemarin. Kenalkan, saya Derana Senandika. Saya belum selesai ngobrol perkara menjaga jarak kemarin,” Derana memasukkan buku novelnya ke dalam tas. Lalu, mengubah posisinya dari duduk menjadi berdiri. Tak lupa senyum tipis disunggingkan agar perempuan didepannya tak mengira bahwa ia tipe manusia dingin nan judes yang mengerikan.

“Bukan itu masalahnya! Lo kenapa ada di sini? Dan kenapa gue harus ketemu sama manusia sok mengatur seperti-”

Belum sempat menyelesaikan bicaranya, seorang lelaki yang diduga sahabat karib Derana datang memecah obrolan keduanya. “Der! Wah, cepat banget udah di sini duluan. Eh, ada Neng Asmita. Ada apa nih? Kok mukanya cemberut? Mirip anak kecil nggak dikasih permen aja. Mau permen nggak?” Tawar Candra.

Asmita lagi lagi memekik, “lo kira gue bocah, hah?”

“Waduh, selow dong. Ini anak abis lo apain kok ngamuk?” Tanya Candra kepada Derana. Yang ditanya hanya mengendikkan bahu sekilas. Karena ia tak merasa bertanggung jawab atas perubahan mood yang dialami oleh Asmita hari ini.

“Kemarin, saya menasehatinya karena ia berdiri terlalu dekat dengan orang orang. Bukannya saya cemburu loh. Jangan ge-er dulu. Di masa pandemic seperti ini, kita diharuskan menjaga jarak minimal satu meter untuk memutus penyebaran virus Covid-19. Nah, mungkin saja dia sedang kedatangan tamu dari bulan, makanya ngamuk. Wajar saja, namanya juga perempuan, bukan/” ujar Derana menjelaskan. Tanpa berkata apapun, Candra sontak saja menertawakan tingkah Asmita yang bisa dibilang seperti anak kecil.

“Ya ampun, Mit, Mit, Derana memang gini orangnya. Maklum aja. Namanya juga asiten dosen yang hobinya mengkritik,” Tukas Candra masih diselingi kekehannya.

“Iya deh, gue inta maaf ya, Der. Emang benar, gue lagi pms.makanya mood gue jeek. Uringuringan terus bawaannya.” Asmita akhirnya megakui kesalahannya dengan meminta maaf. Derana sendiri tidak mempermasalahkannya. Ia menyalamitangan Asmita sambil mengangguk.

“Eitss, kok salaman? Katanya lagi ada Covid-19?” Tanya Candra seraya memisahkan tangan keduanya menggunakan kayu. Derana dan Asmita sempat berpandangan sekilas sebelum akhirnya tawa menghiasi senyuman mereka.

By: Qoylila Azzahra Fitri XII MIA 2

This article is from: