ME DIA PA RAH YANG AN 2017 2018
E A A H G N
Pelindung: Mangadar Situmorang, Ph. D. Rektor Universitas Katolik Parahyangan Pembina: Dr. Paulus Sukapto, Ir., MBA. Pelaksana Tugas Wakil Rektor III Bidang Modal Insani dan Kemahasiswaan Pemimpin Umum: Vincent Fabian Thomas Bendahara Umum: Tanya Lee Sekretaris Umum: Siti Khalisha, Hapsah Vita Pemimpin Redaksi: Fiqih R Purnama Sekretaris Redaksi: Nisa H A Pemimpin Perusahaan: Bella Dewanti Koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan: Axel Gumilar Redaktur Pelaksana: Ranessa Nainggolan, Eriana Marta Erige, Nisa H A, Gallus Presiden, Galing Ganesworo Staf Redaksi: Aldo Pradhana, Andra, Audi Fabiyan, Brenda Cynthia, Dionny Nathan, Felicitas Maelika, Fizky, Jeremy Riona, Jessica Winarto, M Setiawan Rizki, Yoshua, Matthew Adith, Reidu T. C, Sheilly, Lucky Staf Perusahaan: Violine Vicario, Maudy Lydia Yogisaputra, Rachel Lena Anel Shen, Patricia Judith, Jesica Wirianti Budiman Staf Penelitian dan Pengembangan: Zico Sitorus, Yugo A P
STRUKTUR ORGANISASI
PENGANTAR
REDAKSI
M ajalah ini terwujud dari keresahan banyaknya masyarakat bahkan mahasiswa yang men-
ganggap pelecehan seksual itu bukan sesuatu yang penting, Padahal kenyataan yang terjadi adalah tindakan tersebut memiliki dampak yang cukup besar bagi korban. Terlebih lagi tindakan pelecehan seksual ini menciderai gagasan kesetaraan gender yang selama ini dipegang betul oleh Media Parahyangan. Selain itu, majalah ini juga hadir untuk para korban pelecehan seksual. Jika kalian masih menyalahkan diri sendiri atas apa yang kalian alami, majalah ini ingin memukul balik konstruksi sosial mengenai bias gender yang ada di masyarakat kita. Jika kalian menjadi bagian dari majalah ini, mau bercerita dan melawan tindakan pelecehan seksual, kami selalu ada disamping kalian untuk melawan. Terlebih lagi, sebagai civitas akademika, kami juga memiliki tujuan untuk melihat, menyebarkan, dan memaparkan secara jernih permasalahan pelecehan seksual ini, dan juga mengatakan dengan tegas bahwa hal tersebut bukanlah hal yang biasa.
REDAKSI 2017-2018
MP 2017 2018
DAFTAR
ISI
KOLOM
EDITORIAL
Tidak Ada Pilihan untuk Tidak Menolak Pelecehan Seksual
8
FOKUS
Pelecehan Seksual Ada di Sekitar Kita!
12
Bicara dan Lawan Pelecehan Seksual
20
Medusa X Wildfire, Gelar Eksebisi untuk melawan Pelecehan Seksual
24
Vikrama Gerakan Kolektif Melawan Pelecehan Seksual
27
Pelecehan Seksual dimata Hukum
30
WAWANCARA
Anita Dhewy: Penanganan Pelecehan Seksual Harus Berangkat Dari Perspektif Korban
36
Never Okay Project: 80% perempuan kerja di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual. Namun, hanya 1% yang berani melaporkan.
42
Indraswari, MA., Ph.D. "Pelecehan Seksual Bukan Pilihan"
50
Prof. Bernard Arief Sidharta "Perguruan Tinggi: Apa yang Harus Kau Perbuat"
54
KLAB MENULIS
CERPEN: "Dalam Angkutan Umum"
60
SASTRA
64
RESENSI MUSIK: "Album Sausade Beeswax"
67
RESENSI FILM: "A Fantastic Woman"
68
A Luta Continua
72
KontriBUTOR
Alm. Prof. Bernard Arief Sidharta Guru Besar Fakultas Hukum Unpar. (1938-2015)
Indraswari, MA., Ph.D.
Indraswari adalah dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan. Pernah aktif di Komnas Perempuan.
Tika Pratiwi
Pecinta hujan di pagi hari.
Katta Rengganis Bukan Siapa-siapa
Tatiana Putri
Aku Bukan Siapa-siapa
Kala Giyantari
Bukan Siapa-siapa juga
Zico Sitorus
P
Mahasiswa Hubungan Internasional 2013
CO-
VER
"illustration model : francisca josephine"
oleh : Faisal Luthfidary
ART
WORK Faisal Luthfidary
Mahasiswa Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur angkatan 2014
Tata
LETAK Fiqih R Purnama
Mahasiswa arsitektur, yang sedang mencari tahu apakah arsitek bisa bekerja di negeri tak bertuan? fiqihrpurnama.wordpress.com
MP 2017 2018
EDITORIAL EDITORIAL
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Tidak Ada Pilihan untuk Tidak Menolak Pelecehan Seksual T
erjadinya kasus pelecehan seksual yang menimpa mahasiswa Unpar saat berkegiatan sehari-hari di ruang publik merupakan kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Nama-nama lokasi kejadian perkara pun begitu ramah dalam ingatan kita. Mulai dari jalan di sekitar indekos, tempat berbelanja, kantin/warung, tempat parkir hingga kampus pun tidak luput dari tindak pelecehan seksual yang ringan hingga berat. Kurangnya informasi dan kesadaran masyarakat sekitar juga mahasiswa bisa jadi turut menyumbang benih pesemaian tindak pelecehan seksual. Namun, untuk menghindari salah kaprah mengenai tindakan yang selama ini terlanjur dilakukan dan dianggap lumrah, kita perlu memahami kata kuncinya. Kata kunci itu berupa tidak adanya “Kesepakatan� (consent) baik dari pelaku maupun korban pelecehan seksual. Apabila benar tidak ada, bahkan kalau pun ada dan justru dilanggar dengan pemaksaan atau ancaman, pelecehan seksual pun sudah terjadi. Melalui pemahaman ini, kenyataan lain juga perlu kita sadari bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga privat. Privat dapat dimaknai sebagai area yang mencangkup orang-orang yang kita kenal karena dekat, asmara, hingga keluarga. Tidak hanya itu, laki-laki yang semula hanya dapat menjadi pelaku pun, juga dapat berada di posisi sebagai korban.
8
Mengatasi masalah pelecehan seksual memang bukan perkara mudah. Sejumlah kisah yang terjadi di ruang publik misalnya, pelaku seringkali mengenakan pakaian tertutup, kendaraan bermotor, dan strategi efek kejut dan berlangsung cepat. Korban yang segera kaget dan terguncang (shock) pun akan sulit mengingat nomor plat kendaraan hingga detail wajah pelaku, apalagi melawan. Kalau pun di lokasi kejadian terdapat saksi, itu pun bak “ketiban durian runtuh�. Kepolisian melalui petugas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) pun juga tidak bisa berbuat banyak. Mereka kerap mengaku terkendala dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur pelecehan di bawah umur dan tindak perkosaan. Bahkan, turut berkomentar mengenai perilaku di malam hari dan pakaian minim sang korban. Belum lagi, mandeknya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual pun akan menjadi perjuangan sendiri untuk dinantikan. Meskipun demikian, kita sekiranya juga perlu mengapresiasi kesiapan regu keamanan Unpar dan kepolisian untuk menerima laporan dari kejadian ini. Bahkan regu keamanan Unpar pun bersedia menerima pelaporan yang terjadi di luar wilayah kampus dalam batas wilayah Cidadap termasuk siap mengomunikasikannya dengan RW setempat.
L
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Namun, apabila jumlah laporan begitu sedikit dan bahkan tidak ada, bukan berarti pelecehan seksual tidak ada. Apalagi di tengah budaya patriarkis ini, suara korban pelecehan seksual menjadi barang yang amat langka. BBC Indonesia dalam Tirto.id mencatat pada Kamis, 19 Oktober 2017 lalu saja, Tito Karnavian, Kepala Polisi Republik Indonesia pun masih menyematkan kata “nyaman” dan “tidak nyaman” dalam “bahasa operasional” para penyidik untuk menepis klaim palsu (korban pemerkosaan) ketika melapor. Menurut Never Okay Project, suatu plaform kampanye melawan pelecehan seksual, 80% perempuan pekerja di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual, tetapi hanya 1% yang berani melaporkan. Kita memang dapat berusaha menampik kenyataan itu, tetapi kita pun tidak dapat memaksa korban untuk bersuara. Sebab, memang tidak semudah itu untuk bersuara terutama bagi mereka yang terbelenggu perasaan trauma, direndahkan, tertuduh, tidak nyaman saat berada di lokasi kejadian, hingga menutup diri. Karena itu, kita pun dapat belajar bahwa penanganan pelecehan seksual pun tidak terbatas pada lapor-melapor ke lembaga berwajib. Jauh dari sorotan, korban pelecehan seksual juga memerlukan penanganan secara mental dan psikologis, misalnya mengatasi trauma. Rupa penaganan ini bisa kita sebut konseling. Di Unpar, Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH) dapat mengambil peran itu mengingat salah satu fasilitas dan jasa yang ditawarkan mencangkup bimbingan dan konseling. Namun, hal ini menutut tersedianya tenaga konselor yang mumpuni terutama saat berhadapan dengan korban pelecehan seksual yang untuk bercerita saja adalah perjuangan tersendiri membangun kepercayaan korban untuk mau bersuara. Lebih jauhnya lagi, persoalan pelecehan seksual sudah tidak dapat dianggap hanya masalah para korban saja. Bagi mereka yang belum pernah atau sadar menjadi korban pelecehan seksual pun tidak boleh tidak peduli, tapi justru harus menjadi gerakan kolektif.
EDITORIAL
Gerakan itu pun mencangkup mahasiswa, dosen, lembaga kemahasiswaan di Persatuan Mahasiswa (PM) Unpar hingga lembaga yang mengurusi kepegawaian (Di Amerika, Universitas California, Berkeley, peringkat ke-5 di dunia dan Universitas Yale, peringkat ke-26 pun tidak luput dari pelecehan seksual yang dilakukan pegawainya sendiri). Bahkan, jika mau, Unpar dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar mengingat Unpar tidak sedang berada di ruang hampa. Kampanye merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan. Hal ini pun menuntut komitmen tinggi lintas generasi maupun kepengurusan bahkan melampaui batasan program kerja dan dana kemahasiswaan. Sebab yang tidak kalah penting adalah membangun “kesadaran” baik untuk menolak maupun tidak melakukannya. Kesadaran itu pun memerlukan pemerataan informasi yang signifikan sehingga tidak hanya diketahui oleh mereka yang kebetulan peduli isu gender dan perempuan. Bagaimana pun juga, segelintir kesaksian korban pelecehan seksual yang mencuat ke publik baik media sosial maupun cerita-cerita yang berhasil diterbitkan melalui majalah ini merupakan kemenangan kecil bagi para korban. Suatu bentuk langkah tak terduga bagi para pelaku pelecehan seksual yang selama ini meloloskan dirinya dalam kubangan identitas anonim. Betapa pun pelecehan seksual sudah menjadi artefak tua lintas zaman yang terus-menerus “dilestarikan” dalam inkubator patriarki, sudah bukan waktunya untuk acuh tak acuh. Pelecehan seksual sepatutnya menjadi kemarahan bersama kita atas direndahkannya martabat perempuan dan manusia. Mengetahui, sadar, dan menolak adalah satu hal bagi seorang individu, tetapi kita perlu mangamplifikasinya dalam sebuah gerakan kolektif bersama. Seperti yang dikatakan oleh Benjamin Franklin:
“Justice will not be served until those who are unaffected are as outraged as those who are”
9
SURAT PEMBACA
MEDIA PARAHYANGAN
F O K U S Tim Liputan: Editor: Fiqih R Purnama, Tanya Lee, Galing Ganesworo Reporter: Ranessa Nainggolan, Eriana Erige, Nisa H A, Gallus Presiden, Aldo Pradhana, Brenda Cynthia, Dionny Nathan, Jessica Winarto, Matthew Adith,
10
AGUSTUS 2016
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
TAK PERLU TERBUKA TUK JADI KORBAN, TAK PERLU TERTUTUP TUK JADI PELAKU 11
FOKUS
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Pelecehan Seksual Ada di Sekitar Kita!
Sejumlah isu Pelecehan Seksual yang menimpa mahasiswi Unpar muncul di permukaan. Cerita-cerita itu tersebar lewat media sosial dengan mudahnya. Permasalahan itu ternyata merupakan cerita lama yang dibiarkan, dan tindakan pelecehan seksual pun hinggap dalam masyarakat hingga sekarang dan memakan korban-korban baru. Pelecehan seksual sendiri masih dianggap sebuah hal yang "biasa" padahal hal itu sangat berdampak pada korban.
P
ada siang bolong, di sekitar pertigaan antara Jalan Ciloa dan Rancabentang 1 (Dekat OBC), tampak seorang pria dengan sepeda motor matic menepi di bahu jalan. Berlagak bak seseorang yang bingung mencari alamat dengan ponsel merah di tangan, ia mendekati seorang mahasiswi. Sontak, pria berpostur kurus dan berkulit gelap itu pun mengeluarkan alat kelaminnya. “Hanya itu yang diingat, selebihnya lupa karena pada saat kejadian cukup kaget dan tidak menyangka,� ujar Ayana (Bukan nama sebenarnya) mahasiswi Unpar yang menjadi korban pelecehan seksual di jalan Rancabentang I. Kejadian yang menimpa Ayana di jalan Rancabentang I merupakan salah satu contoh pelecehan jenis exhibitionism, yaitu ketika seseorang dengan sengaja memperlihatkan alat kelaminnya di depan umum tanpa persetujuan orang lain.
12
"Torso+ Modeling sisca" Oleh: Faisal Luthfidary
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
Selain itu, sejumlah kesaksian korban pelecehan seksual mengungkap adanya modus lain yaitu pelaku dengan kendaraan bermotor yang mendekati korban lalu menyentuh bagian tubuh tertentu. Salah satunya terjadi di tahun 2015, dilakukan oleh pelaku yang medekati korban dengan kendaraan bermotor lalu menyentuh bagian tubuh korban. “Nah aku tuh ingetnya disitu motornya warna oren item, orangnya agak gede, cuma aku juga ga lihat perawakannya tuh gimana, aku liat dia pake jaket. Nah terus itu rada gelap gitu kan jadi aku ga lihat banget itu gimana,” ujar Bunga (Bukan nama sebenarnya), mahasiswi Unpar yang juga mengalami pelecehan seksual. Di tahun berikutnya (2016), di tempat yang sama, peristiwa serupa menimpa Cristy (Bukan nama sebenarnya). Cristy mengatakan bahwa kejadian tersebut terjadi pada pukul 9 malam, “Waktu itu aku keluar mau beli makan. Pas aku keluar dari kosan, dia lihat aku lalu naik ke motor. Ketika aku lagi jalan, dia nyalain motornya trus ngelewatin aku sambil tangannya megang dada dan langsung pergi,” ujar Cristy selaku korban lain yang mengalami hal serupa. Kejadian itu kembali terulang dan menimpa mahasiswi lainnya. Pada hari Minggu, 3 Desember 2017 Daisy (Bukan nama sebenarnya) mengaku mengalami peristiwa serupa di Jalan bukit Indah. “Motornya mengarah dekat banget ke aku. Tiba-tiba semua jadi cepat sekejap mata. Salah satu tangannya tiba-tiba mengarah ke dada meraba kencang ke dada sebelah kiri aku. Terus dia kabur, melaju cepat ke arah Jalan Ciumbuleuit.” ujar seorang Daisy saat diwawancarai via Line. Daisy mengingat betul saat-saat kejadian ketika ia sangat shock dan tubuhnya gemetar pasca kejadian, Meskipun demikian, selepas kejadian tersebut, Daisy berhasil membebaskan luka trauma bagi korban. Menelusuri sejumlah kejadian pelecehan seksual yang pernah terjadi di Unpar dan sekitarnya, reporter MP juga mewawancarai saksi mata. Salah satunya, Yenti Amelia (Arsitektur 2014).
13
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
Yenti menceritakan bahwa Ia pernah melihat tindak pelecehan seksual yang menimpa temannya. Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 9 malam. Ketika ia dan temannya tengah berjalan pulang dari Warong Sombar menuju tempat tinggal indekos yang searah Yogya Ciumbuleuit. “Waktu itu ada motor mendekat. Setelah jaraknya sekitar 1 meter dari kami, dia lewat sambil ‘nyentuh’ gitu,” ujar Yenti saat diwawancara melalui Line. Sebelumnya, Yenti dan temanya telah melihat pelaku sedang duduk di motor. “Motor gede. Orangnya pake baju lumayan rapih, helm fullface, dan pake kain hitam menutup mulutnya. Jadi matanya doang yang keliatan,” ucap Yenti mendeskripsikan sang pelaku. Di tempat yang sama, Sherlly (Arsitektur 2014) pun mengatakan bahwa Ia pernah melihat kejadian serupa pada hari Selasa (5/12/2017) lalu, “Ada motor dari bawah, arah naik. Dia pake helm jaket item. Pas dia agak deket ke arah kami, gue otomatis menyingkir. Eh gak Taunya, temen gue yang jalan di belakang, bilang dia dipegang di bagian dadanya,” jelas Sherlly mengingat kejadian tersebut.
Terjadi Juga di Kampus Tak sedikit tindak pelecehan seksual terjadi di sekitar kita. Tidak jarang juga pelaku melakukan hal tersebut secara sadar dan terang-terangan di tempat umum. Sayangnya perlakuan seperti itu seringkali masih sering dianggap sebagai hal yang biasa. Tidak hanya di luar kampus Unpar, tindakan serupa juga terjadi di dalam kampus. Hanya saja, hal-hal itu dilakukan oleh sesama mahasiswa. Apa yang dialami Keiza Yemima Tuju (Hubungan Internasional 2015) menjadi salah satu contoh tindak pelecehan seksual berbentuk verbal (siulan) dan non verbal (lambaian tangan, kedipan).
14
JUNI 2018
Kala itu, ketika sedang berjalan di dalam kampus Unpar, Kezia dan ketiga temannya didekati oleh beberapa mahasiswa yang lalu bersiul ke arah mereka. Sontak Kezia dan temannya merasa tidak nyaman dengan perbuatan tersebut. “Ya maksudnya ya, kita kan punya nama, kenapa harus sampe dipanggil begitu,” ujarnya. Merespon pelaku, Keiza sempat menatap pelaku untuk menunjukan bahwa ia merasa tersinggung. Namun, pelaku membalasnya dengan lambaian tangan dan kedipan mata. Keiza juga sempat mengeluarkan Handphone dan pelaku sempat Ia foto. “Setelah aku sempat foto, pelaku malah berkata ‘jangan lupa masuk instagram ya!’.” ujar Kezia. Pasca kejadian, Kezia kerap merasa tidak nyaman untuk kembali berjalan di tempat yang sama. “Kan males digituin lagi. Lalu jadi nggak nyaman di area kampus sendiri,” keluhnya. Keiza pun pernah mengadukan kejadian tersebut pada pihak berwenang untuk menindak-lanjuti kejadian yang ia alami sekaligus telah melakukan rekonsiliasi dengan pelaku. Ada hal positif yang ia dapatkan ketika Ia melaporkan kejadian itu dan melakukan rekonsiliasi, yaitu menyadarkan pelaku bahwa tindakan yang mereka lakukan itu (cat calling) adalah suatu bentuk pelecehan seksual. Beragam tanggapan berdatangan ketika ia menceritakan pengalamannya di media sosial. Seorang temannya mengaku tidak menyangka hal seperti itu bisa terjadi di kampus dan mengutuk perbuatan pelaku. Meskipun demikian, tanggapan dingin juga ia peroleh seperti perkataan “Ya udah biarin aja”. “Kalau yang kayak gitu, aku juga ngomong, lho kenapa harus ‘ya udahlah’. Inikan martabatku’. Itu juga ga cuma satu. Ada yang perempuan, ada juga yang laki-laki,” ujar Keiza merespon komentar seorang temannya. Kejadian pelecehan seksual yang terjadi pun memperoleh tanggapan dari regu kemanan Unpar yang dipimpin oleh Dadan. Ia menjamin urusan keamanan di sekitar kampus Unpar hingga daerah indekos mahasiswa akan dibantu oleh regu keamanan.
JUNI 2018
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
Bila ada laporan, biasanya pihak keamanan akan menanyakan ciri-ciri pelaku dan akan menghubungi pihak Rukun Warga (RW), Ketua Pemuda dan Satuan kemananan lainnya. Laporan yang diterima pun tidak hanya terbatas pada kejadian di dalam Unpar, tetapi juga mencangkup kejadian di luar kampus selama masih dalam lingkup Kecamatan Cidadap. Selain itu, Dadan juga menghimbau mahasiswa untuk tetap melaporkan kejadian yang sudah lewat masanya. Ia memastikan regu keamanan akan berupaya melakukan antisipasi agar kejadian serupa tidak terulang lagi. “Jangan sungkan laporkan pada kami!” ucap petugas keamanan yang telah mengabdi sejak tahun 2009 ini.
Kata Kuncinya Adalah Tidak Ada Kesepakatan
Kejadian pelecehan seksual di kampus Unpar dan sekitarnya pun masuk ke dalam perhatian Elisabeth A.S. Dewi, Dosen Hubungan Internasional Unpar yang juga aktif dalam Jaringan Mitra Perempuan Bandung yang menggagas kesetaraan gender di kota Bandung.
Dosen yang akrab disapa Nophie ini mengatakan bahwa memang masyarakat belum memahami persoalan terkait pelecehan seksual. Baik apa itu pelecehan seksual, bentuk-bentuknya, maupun dampak akibat tindakan tersebut. Suatu perilaku dapat tergolong sebagai pelecehan seksual hanya bila dalam prosesnya terjadi tanpa kesepakatan. Disamping itu, kriteria lain merujuk pada timbulnya rasa tidak nyaman atau perasaan tidak suka terhadap perlakuan tersebut. Seringkali, pemikiran pelaku yang merasa tidak masalah untuk melakukan tindakan tersebut dan bahwa dirinya tidak butuh persetujuan/kesepakatan dari korban menimbulkan masalah. “itu yang kurang tepat, padahal sebetulnya butuh kesepakatan. Maukah kamu dipanggil ‘neng’ di pinggir jalan? Maukah kamu dipanggil ‘cantik atau ganteng?’ itu kesepakatan-kesepakatan yang harus dibangun,” jelasnya.
"
Suatu perilaku dapat tergolong sebagai pelecehan seksual hanya bila dalam prosesnya terjadi tanpa kesepakatan. Disamping itu, kriteria lain merujuk pada timbulnya rasa tidak nyaman atau perasaan tidak suka terhadap perlakuan tersebut.
"
15
FOKUS
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Bukan Salah Korban! Saat berhadapan dengan kasus pelecehan seksual, kepolisian memiliki pandangan yang cukup unik sebagai penegak hukum. Suatu ketika Inspektur Polisi Dua (IPDA) Dhenia Istika Dewi yang bergerak di unit Perlindungan Peremuan dan Anak (PPA) pernah menghimbau korban agar tidak usah keluar malam serta tidak mengenakan pakaian yang terbuka. Tanggapan pada perilaku, cara berpakaian, atau tempat dan waktu saat korban mengalami pelecehan seksual bisa jadi mengarah pada apa yang disebut Nophie sebagai logika berpikir menyalahkan korban (victim blaming). “Pelecehan seksual itu terjadi bukan karena (1) malam hari, (2) pakai pakaian terbuka, tidak! Itu terjadi dimanapun dan kapanpun dan dalam situasi seperti apapun,” ucap Nophie. Ketika Logika berpikir menyalahkan korban menjadi hal yang wajar bagi khalayak umum, korban pun dapat ikut terbawa. Pengalaman seorang mahasiswi Unpar yang pernah disentuh bagian tubuhnya oleh seseorang dengan kendaraan bermotor di gang Bukit Sastra adalah salah satunya. Entah kenapa, selepas peristiwa yang dialami, ia merasa jijik terhadap diri sendiri. Nophie pun tidak heran bilamana orang cenderung lebih paham soal perkosaan. Lantaran lebih jelas dan statusnya dalam hukum lebih kuat sehingga mudah diproses secara hukum sedangkan pelecehan seksual belum dianggap menjadi sesuatu yang penting. Meskipun demikian, dari berbagai bentuk ketidakadilan, baik yang dialami oleh lelaki ataupun perempuan, salah satu bentuk yang paling awal atau dapat dikatakan “ringan” justru merupakan pelecehan seksual. “Karena dari situ lalu akan nanti timbul lagi bentuk-bentuk yang lain, sampai kepada tingkatan perkosaan,” ujarnya.
"
Meskipun demikian, dari berbagai bentuk ketidakadilan, baik yang dialami oleh lelaki ataupun perempuan, salah satu bentuk yang paling awal atau dapat dikatakan “ringan” justru merupakan pelecehan seksual.
Terjadi Juga dalam Hubungan Privat
"
Selain terjadi di ruang publik dan dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, pelecehan seksual juga dapat terjadi dalam ruang privat. Sementara pelaku dapat berasal dari orang dekat dalam keluarga hingga hubungan pacaran. Melati (bukan nama asli) salah satu mahasiswi Unpar yang kerap kali mengalami kekerasan seksual oleh kekasihnya sendiri. Melati mengaku kerap dipaksa melakukan hubungan seksual oleh pacarnya. Suatu waktu ia pernah dicekik oleh pacarnya, tetapi ketika mendapatkan tindak kekerasan demikian, ia merasa bingung apa yang harus ia perbuat. “Waktu sama pacar, awalnya lebih ke pasrah ketimbang takut. Kemudian setelah mengalami kekerasan fisik jadinya ada rasa takut diapa-apain,” ujarnya Sebelum Melati berhubungan dengan kekasihnya, Ia hanya sebatas pendengar dari
16
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
kisah mengenai kekerasan. Ia seringkali menyayangkan pihak korban yang tidak dapat membela diri. Namun, setelah mengalami kejadian serupa Melati menyadari bahwa melakukan perlawanan dalam tindak kekerasan sangat sulit. "Ternyata melawan itu sulit. Tidak mudah ketika dihadapkan langsung dengan kejadian yang nyata," Ujarnya Pasca terjadinya kekerasan pada dirinya, Melati juga pernah mengalami stress berat. “Padahal aku ga mau, tapi secara biologis maunya gitu. Keadaan bertolak-belakang antara keinginan pribadi dan tubuh. Ini yang bikin stress. Sama aja kayak diperkosa sih,” jelas Melati. Terkadang Melati mengalami “hilang ingatan sesaat” ketika tengah mengingat kejadian-kejadian yang pernah menimpanya. “Tapi sebenernya ga ilang ingatan sih, cuman merasa lost aja, bener-bener perasaan aneh. Ga bisa dideskripsiin,” ujarnya. Yang menarik dari kisah Melati, setelah sekian kali Ia mendapatkan kekerasan seksual oleh pacarnya, Ia masih optimis dengan hubungan yang dijalaninya. Ia pun masih terus berhubungan dengan pacarnya. “Iya, masih optimis sih karena sejauh ini upaya yang kita berdua lakuin untuk memperbaiki keadaan belum maksimal, sedangkan permasalahan ini riuh, perlu ada kerja keras supaya semuanya lebih baik. Maka dari itu kita berdua perlu dan mau berusaha lebih keras lagi,” ucap Melati. Elisabeth A.S. Dewi, Dosen Hubungan Internasional Unpar yang juga aktif dalam Jaringan Mitra Perempuan Bandung untuk isu kesetaraan gender, pun tidak terkejut dengan kasus itu. Menurutnya, pelecehan seksual memang bisa terjadi di hubungan pribadi hingga di ruang-ruang privat yang tidak kita sadari sebab perilaku-perilaku yang terjadi dalam hubungan bisa saja tanpa adanya kesepakatan. Lebih jelasnya, pengalaman seseorang saat menerima kekerasan bisa dimulai sejak anakanak, lalu dalam pacaran, sampai domestik atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun, untuk kekerasan dalam pacaran, biasanya diikuti juga oleh kekerasan seksual. Ketika kekerasan seksual terjadi, keperawanan seorang perempuan direbut, hingga akhirnya pasangan tersebut menikah, rumah tangga bisa saja dibangun dengan model kekerasan.
FOKUS
Karena dibangun dengan basis kekerasan, maka perilaku demikian akan terus terjadi. “Ketika suami istri biasa keras, maka kepada anak juga keras. Karena anak melihat ‘oh begitu ya relasi laki-laki dan perempuan.’ Lalu dia akan mencopy. Lalu itu akan menjadi seperti lingkaran setan,” ucap dosen yang juga akrab disapa Nophie. Nophie juga menemukan kebanyakan perempuan tidak bisa meninggalkan pasangannya karena sudah berhubungan seksual. Saat seorang perempuan kehilangan keperawanannya, ia seolah merasa tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menjalin hubungan dengannya. Saat seorang perempuan mendapat kekerasan seperti dipukuli, ditendangi, mereka cenderung memilih bertahan dengan situasi seperti itu karena merasa dirinya sudah tidak berarti lagi. Meskipun demikian, cepat atau lambat korban harus keluar dari situasi seperti itu. Ketika hal itu terjadi, Nophie mengkhawatirkan bilamana dalam menjalin hubungan, keduanya tidak sama-sama berkomitmen untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk memperbaiki hubungan yang dibangun dengan basis kekerasan, perlu dibangun kesadaran oleh kedua belah pihak. “Dua-duanya harus mau. Jika benar mau berubah dan memperbaiki, keduanya harus sadar dan mau berubah bersama-sama,” jelasnya. Jika ada korban pelecehan seksual yang mati-matian mencintai dan berharap untuk berubah, tetapi pelaku yang juga adalah pasangan tidak berusaha sama sekali, Nophie melihat perubahan itu tidak akan pernah terjadi. “Nonsense (tidak masuk akal) itu,” katanya. Namun, andaikata untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam hubungan tidak dapat diselesaikan kedua belah pihak, tidak menutup kemungkinan memang perlu bantuan orang ke-3 seperti psikolog, psikiater, konselor perkawinan, atau teman. Hal ini bukan berarti berlebihan sebab jika penyelesaian hanya dilakukan berdua, ujungnya bisa saja akan kembali bertengkar. Namun, penyelesaian juga ada batasnya hingga suatu ketika meninggalkan pasangan dapat menjadi sebuah opsi. “Panggil pihak ke 3 yang lebih bisa berpikir sehat. Tau dan paham persoalan, lalu selesaikan masalahnya. Jika masih belum bisa, maka tinggalkan,” tutupnya.
17
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
Bicara dan Lawan Pelecehan Seksual!
P
anik, lari, dan menangis di kamar atau ruang pribadi merupakan sisi lain dari kejadian yang dialami korban pelecehan seksual. Meskipun marak, belum banyak korban yang berani angkat bicara. Perbuatan yang tentu mengganggu dan sama sekali tidak nyaman itu pun menguap dari akal sehat di tengah mewajarnya hal-hal yang merendahkan sesama manusia. “Never Okay Project�, sebuah gerakan kolektif untuk melawan tindak pelecehan seksual di tempat kerja terkhususnya di ibukota mengungkap banyak korban mengurungkan niatnya untuk melapor. Sejumlah alasan merujuk adanya perasaan bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar, ada juga yang merasa bahwa tindakan itu bukan merupakan bentuk pelecehan seksual. Di saat yang sama, persoalan definisi dan batasan-batasan mengenai apa yang disebut sebagai pelecehan seksual semakin perlu untuk terus-menerus diinformasikan kepada publik. Alvin Nicola selaku direktur dari Never Okay Project pun optimis jika saja publik tahu definisi dan apa saja yang termasuk ke dalam bentuk-bentuk pelecehan seksual, jumlah korban yang melapor akan meningkat drastis.
20
JUNI 2018
"exited" Oleh: Faisal Luthfidary
Dari hasil wawancara dengan Alvin Nicola, terdapat fakta penting yang dapat dipelajari dari survei yang digagas oleh Women Work Poll pada tahun 2015. Survei itu menunjukan sebanyak 80% perempuan pekerja di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual. Namun, hanya 1% yang berani melaporkan. Statistik ini jelas tidak bisa dipandang remeh. Elisabeth A.S. Dewi (akrab disapa Nophie) menjelaskan apa yang terjadi dibalik fenomena itu. Seringkali kejadian yang menimpa diri korban dianggap sebagai kesalahan bagi diri sendiri. “Oh saya dipegang karena mungkin saya jalan sendirian, berarti itu salah saya,� ucap Nophie memberi contoh. Menurut dosen Unpar yang juga aktif dalam Komunitas Jaringan Mitra Perempuan Bandung ini, perasaan menyalahkan diri sendiri itulah yang membuat korban menjadi tidak nyaman untuk bicara. Timbul kecenderungan bahwa orang-orang di sekitarnya akan menyalahkan.
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Meskipun demikian, Nophie pun yakin bahwa hal yang perlu dibangun adalah kesadaran korban untuk jangan berpikir bahwa yang terjadi padanya adalah salah dirinya sendiri. “Bukan! Itu adalah salah pelaku, itu yang harus ada dalam kerangka berpikirnya. Kalo dia sudah punya kesadaran begitu maka akan dengan tenang bicara soal kejadian yang menimpanya,” jelasnya Idealnya, Nophie berharap ketika mengalami kejadian pelecehan seksual korban harus mengatakan “saya tidak suka!”. Jika dimungkinkan, korban dapat belajar atau mencoba untuk sebisa mungkin mengatakan bahwa ia tidak suka dengan cara apapun yang berbeda-beda. Setidaknya, bila korban tengah bersama dengan orang lain, mereka yang berada saat kejadian, dapat membantu untuk menyatakan bahwa orang yang sedang bersamanya tidak suka diperlakukan demikian. “Intinya somebody has to tell, kepada pelaku bahwa korban tidak suka, dan bahwa apa yang dilakukan itu tidak benar,” jelas Nophie Ia menjelaskan bahwa dengan begitu, pelaku akan tahu bahwa apa yang dilakukannya itu adalah salah. Namun, jika korban diam, Nophie beranggapan bahwa pelaku seolah-olah dibiarkan dapat berpikir, “Oh yaudah gapapa, dia juga diam, jangan-jangan dia menikmati”. “Nah itu yang selama ini terjadi dan membuat orang berpikir begitu. Kalau memang tidak suka, katakan. Tunjukan, ekspresikan!” tegas Nophie. Namun hal yang ideal itu juga diakui memang bukan suatu hal yang mudah. Sebab korban seringkali akan mengalami panik. Lalu ketika panik, korban langsung kehilangan kata-kata. Nophie pun mafhum bahwa hal Ini memang tidak mudah dilakukan sebab memang situasi tersebut tergolong ideal dan tidak mudah tercapai. “Kalo udah shock itu kan diam. Saya paham itu reaksi yang sangat manusiawi,” ujar Nophie
FOKUS
Gerakan Kolektif Membangkitkan Kesadaran dan Menghancurkan Konstruksi Patriarki!
S
ulitnya berhadapan dengan kasus pelecehan seksual, tidak lepas juga dari ideologi yang bersembunyi dibalik konstruksi pemikiran yang menjalar dalam orang-orang. Ideologi itu menetapkan adanya dominasi yang hanya dimiliki laki-laki sebagai pemegang kekuasaan pada sistem sosial. Emmanuella Kania Mamonto, aktivis perempuan yang juga alumni Unpar menyebut hal itu sebagai “Patriarki”. “Patriarki” juga bisa disebut sebagai budaya yang lebih mengutamakan hingga memandang segala sesuatu hanya dari kerangka berpikir laki-laki. Konstruksi berpikir demikian lah yang dianggap Nophie menjadi salah satu penyebab sulitnya korban bersuara terutama saat mengalami pelecehan seksual. Ketika pelecehan seksual terjadi pada perempuan, lingkungan yang masih didominasi kerangka berpikir laki-laki akan dengan mudah menyalahkan perempuan sebagai yang “lebih rendah”. “Perempuan dikonstruksikan jadi mahluk yang cengeng, lemah. Maka ketika terjadi sesuatu dia cenderung untuk segera menangis,” ucap Nophie. Lain halnya jika pelecehan seksual terjadi bagi laki-laki. Dengan kerangka berpikir yang sama, mudah timbul anggapan bahwa laki-laki selalu mendominasi sehingga tidak mungkin ia dilecehkan atau menjadi korban. Justru laki-laki dianggap hanya bisa menjadi pelaku. Lebih jauh, budaya Patriarki pun sudah lahir jutaan tahun yang lalu.
21
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
Sangking jauhnya, Kania menyebut budaya itu sudah mengakar begitu dalam sehingga masyarakat pun memandangnya menjadi sesuatu yang “biasa” atau lumrah. Hingga suatu ketika tanpa disadari budaya patriarki menjadi salah satu penyebab munculnya ketidakadilan, kekerasan, dan juga kesewenang-wenangan “Budaya ini sudah merasuk. Dalam darah kita, patriarki itu ada. Juga di setiap udara yang kita hirup. Ia ada di setiap hentakan musik yang kita dengarkan,” tegas Kania. Hal yang juga menjadi catatan, budaya Patriarki mengingatkan kita bahwa perlu dicapai sebuah keseteraan antara laki-laki dan perempuan. Nophie menggambarkan bahwa kesetaraan yang dimaksud bukan berarti perempuan menjadi sama seperti laki-laki. Namun, laki-laki yang lebih tinggi derajatnya dalam Patriarki sepatutnya mau “turun” dan perempuan yang dianggap lebih rendah sepatutnya diberikan ruang untuk “naik” guna mencapai kesetaraan. “Banyak orang cenderung salah berpikir. ‘Oh kalau gitu perempuan mau sama kaya laki-laki’ ngga! Perempuan berbeda dengan laki-laki. Namun, di tengah perbedaan, relasi keduanya perlu dicoba untuk setara,” ucap Nophie. Namun, Nophie juga mengingatkan bahwa agar kita dapat mengubah hal itu tidak juga dengan berbalik “melakukan” hal serupa pada laki-laki.
Hal ini kembali tidak jauh dari betapa pentingnya untuk menyuarakan bilamana baik laki-laki maupun perempuan tidak suka dirinya diperlakukan demikian. Bagaimana pun juga, selain berani menyuarakan, perlawanan terhadap budaya Patriarki akan lebih mudah lagi apabila menjadi sebuah gerakan kolektif. Suatu gerakan yang dilakukan bersama baik mereka yang pernah menjadi korban, maupun mereka yang belum, tetapi memiliki kepedulian atas hal ini. Nophie menyebutkan bahwa mahasiswa Unpar perlu menyatakan bahwa mereka menolak terjadinya pelecehan seksual. Dilakukan secara bersama-sama dan melalui lembaga-lembaga yang ada, mahasiswa dianggap perlu menyuarakan kepada masyarakat bahwa pelecehan seksual terjadi dan mahasiswa tidak suka dan hal demikian perlu dicegah. Dalam konteks universitas, Nophie berpandangan bahwa Unpar tidak hidup di ruang hampa, baik Unpar dan masyarakat tentu saling membutuhkan. Antara keduanya juga perlu dijalin sebuah kesepakatan hingga akhirnya sampai pada tingkat pemerintahan. “Tapi butuh kerendahan hati untuk pihak universitas melakukan itu, pertanyaannya mau ga universitas melakukan itu? Atau hanya sekedar mengamankan kampus? Tidak bicara hubungan sosial dengan sekitar?” tanya Nophie.
"
Bagaimana pun juga, selain berani menyuarakan, perlawanan terhadap budaya Patriarki akan lebih mudah lagi apabila menjadi sebuah gerakan kolektif. Suatu gerakan yang dilakukan bersama baik mereka yang pernah menjadi korban, maupun mereka yang belum, tetapi memiliki kepedulian atas hal ini.
"
22
JUNI 2018
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
"Trial no.03 lamp" Oleh: Faisal Luthfidary 23
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Medusa X Wildfire Gelar Eksibisi
Untuk Melawan Pelecehan Seksual
O
rang cenderung berpikir urgensi itu muncul hanya ketika sesuatu diburu oleh waktu. Suatu permasalahan menjadi hal yang mendesak ketika seseorang mengalami pengalaman atau dampak yang sangat parah. Tetapi permasalahannya, suatu hal bisa menjadi menjadi isu yang mendesak, sederhana karena menyangkut kehidupan seseorang. Hal ini dikatakan oleh Alanna Deborah Leterada, Mahasiswi HI 2016, ketika menceritakan permasalahan pelecehan seksual di Universitas Katolik Parahyangan maupun sekitarnya. “Mau cuman seorang yang mengalaminya atau selama apa, masalah ini sudah urgent,” ujar Alanna. Berawal dari tugas kuliah yaitu mendirikan sebuah organisasi non-pemerintah, Alanna bersama empat anggota kelompoknya, Anita Maria, Brigita Prinsila, M. Hafidh dan Nabila Aulia, membuat eksibisi yang berlangsung tiga hari di Letter T dari jam 12 siang sampe jam 4 sore. “Kita mengangkat kasus pelecehan seksual khususnya kepada mahasiswa-mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan,” jelas Alanna, ketua kelompok Wildfire ketika diwawancara pada hari Jumat (25/5). Wildfire menjadi nama organisasi non-pemerintah yang diangkat oleh Alanna dan kelompoknya dalam tugas kuliah tersebut. Secara harafiah Wildfire memiliki arti kebakaran. “Secara filosofisnya, kita ingin menyorot sebuah isu, yaitu pelecehan seksual secara terfokus, mendalam dan tepat selayaknya kaca pembesar yang menyorot suatu titik dari sinar matahari yang bakal memulai api,” jelas Alanna.
24
Alanna menjelaskan bahwa tujuan dari upaya eksibisi ini untuk meningkatkan kesadaran atas kasus pelecehan seksual yang terjadi di Unpar dan sekitarnya. “Isu ini bukan tidak pernah dibahas, tetapi isunya antara dibahas secara tidak tepat atau tidak terlalu dipahami atau bahkan di normalisasikan sehingga isunya tidak menjadi kebenaran yang diperjuangkan,” ujarnya. Realisasi meningkatkan kesadaran atas isu pelecehan seksual tertuang dalam eksibisi yang dilakukan oleh Wildfire, berkolaborasi dengan Medusa, komunitas perempuan di UNPAR. Eksibisi tersebut berlangsung pada tanggal 7 Mei sampai 9 Mei 2018, memiliki tiga rangkaian kegiatan, Care To See, Care To Listen dan Care to Share. Care To See dilaksanakan pada hari pertama dan kedua menggunakan media visual atau menangkap perhatian orang-orang yang lewat. “Kita memamerkan beberapa pakaian korban pelecehan seksual ketika dilecehkan, yang telah melapor ke kami dan bersedia untuk kami tampilkan,” ujar Alanna. Pameran pakaian korban pelecehan seksual tersebut juga dilengkapi dengan cerita singkat oleh korban mengenai kronologis pelecehan beserta dampak yang dirasakan dari kejadian tersebut. Sebanyak 5 pakaian beserta cerita dari korban yang dipajang dalam Care To See. Alanna menjelaskan bahwa dari Care To See menunjukkan bahwa kejadian pelecehan itu sendiri tidak terjadi sekali tetapi berkala, bah-
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
bahkan ini terjadi dengan teman-teman sekeliling mahasiswa. Selain itu, secara tidak langsung mahasiswa juga berkontribusi dalam isu pelecehan seksual dengan mengambil sikap diam ketika ada orang dilecehkan atau menghakimi cara orang berpakaian, khususnya pada mahasiswi yang merupakan akar permasalahan dari tingkat kesadaran masyarakat. “Banyak yang gak nyangka itu kisah nyata, dikirain jualan pakaian atau rekayasa saja,” tambah Alanna. Care To Listen dilaksanakan pada hari kedua dengan mendirikan instalasi pendengaran. “Dalam listening booth, ruangannya gelap dan hanya berisikan rekaman suara cat calling,” ujar Alanna. Alanna menceritakan dari hasil suatu pembicaraan dengan mahasiswa yang lewat bersama teman-temannya, ketika ditanya mengapa fenomena cat call ini terjadi, jawaban yang didapatkan bahwa itu hal itu merupakan kebiasaan dan tidak mengerti letak permasalahan. Tetapi ketika mendengar rekaman suara pelaku yang melakukan pelecehan di instalansi,
FOKUS
dimana bertujuan untuk memposisikan pendengar di sisi korban ketika dilecehkan, mahasiswa pun memiliki pemahaman mengenai pelecehan seksual yang lebih lagi. “Mereka lebih bisa relate betapa relevannya masalah ini,” kata Alanna. Selain itu ada pembacaan puisi yang dilakukan oleh komunitas Medusa untuk mengisi kegiatan Care To Listen. “Dengan pembacaan puisi, itu memaksakan pendengar untuk relate dengan permasalahan ini melalui cara artistik,” ujar Alanna. Care To Share dilakukan pada hari ketiga dengan merangkum segala kegiatan yang telah dilakukan dan dipublikasi dalam instalasi. Alanna menjelaskan ada pemaparan masalah melalui pajangan pakaian korban pelecehan beserta cerita yang sudah dipamerkan sebelumnya, memaparkan beberapa dari 256 komentar, tanggapan, respon dan pemikiran dari pihak Civitas Akademika Unpar, dan menanyakan sebuah solusi. “Usaha upaya seperti ini baik, namun jika tidak ada solusi yang konkrit, sama aja bohong,”tambah Alanna.
Dok./MedusaxWildfire 25
NASIONAL
MEDIA PARAHYANGAN
Menuntut Regulasi Wildfire memaparkan beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk memberantas permasalahan pelecehan seksual di Unpar dan sekitarnya. “Solusi secara relasi, lebih tepatnya ada safe space yang menjadi wadah korban untuk sharing dan wadah yang bersedia memberikan dukungan moral dan psikologis,” jelas Alanna. Alanna menjelaskan komunitas Medusa dapat menjadi wadah support group dan wadah mahasiswa yang peduli terhadap permasalahan pelecehan seksual. Medusa sebagai komunitas yang fokus terhadap isu perempuan dan gender di Unpar, menjadi wadah gerakan kolektif untuk membangun kesadaran dan melawan tindakan pelecehan seksual. Medusa juga merupakan wadah grup pendukung atau support group untuk korban, dimana menjadi solusi untuk pemberantasan masalah dari sisi korban agar tidak takut untuk terbuka setidaknya kepada orang-orang terdekat korban. Rasa terbuka korban terhadap fenomena pelecehan seksual yang dialami, juga berkontribusi memerangi masalah pelecehan seksual karena dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, sekurang-kurangnya orang-orang terdekat korban. ‘Yang seharusnya malu itu pelaku bukan korban’ menjadi slogan Medusa dalam memberikan dukungan kepada korban dan memerangi isu pelecehan seksual. Solusi kedua adalah bentuk kampanye untuk menyebarkan kesadaran akan pelecehan seksual pada masyarakat. “Menjadikan isu ini benar-benar terkuak dan membuat orangorang aware dimana setiap saat sadar bahwa kejadian ini ada dan dapat melakukan upaya preventif,” tutur Alanna. Penerapan regulasi adalah solusi ketiga. “Kampus ini harus memiliki wadah untuk melapor dan laporannya bisa dijadikan data konkrit, jadi kita tahu apa saja yang harus diperhatikan,” ujar Alanna.
26
AGUSTUS 2016
Kelanjutannya diberikan sanksi antara secara kekeluargaan atau diskors, tergantung dari kejadian pelecehan dan kebutuhan pihak korban. Alanna juga mengatakan bahwa beberapa universitas di Belanda, pelaku pelecehan seksual dikeluarkan dari kampus. “Secara awareness-nya meningkat, tetapi peraturan juga mengikuti,” jelas Alanna. Alanna menganjurkan pihak kampus untuk bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk meningkatkan sistem keamanan. “Kita gak mau cuman hype diawal aja kan, kami ingin perubahan yang sebenarnya dan hal itu membutuhkan banyak kerja keras,” tambah Alanna. Salah satu tanggapan pihak fakultas yang diterima oleh Wildfire, bahwa usaha sebenarnya sudah dilakukan dari beberapa tahun lalu untuk menerapkan, mendiskusikan dan mengkaji ulang dalam menangani permasalahan pelecehan seksual. “Namun ini sangat bergantung pada pihak yang ketuk palunya,”kata Alanna.
Yang seharusnya malu itu pelaku bukan korban!
AGUSTUS 2016
MEDIA PARAHYANGAN
STOPPRESS
Vikrama
Gerakan Kolektif Melawan Pelecehan Seksual Lembaga Kepresidenan Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) periode 2017/2018 pun pernah melakukan semacam gerakan kolektif melawan tindakan-tindakan pelecehan seksual. Gerakan kolektif ini diwujudkan dalam suatu program kerja Kementrian Luar Negeri Direktorat Jenderal Aksi dan Strategis yang bernama Vikrama. Acara Vikrama ini sendiri terdiri dari beberapa rangkaian acara, yaitu propaganda internal, kampanye anti-pelecehan seksual pemutaran film pendek, talkshow, dan self-defence class. Propaganda internal dilakukan sebelum dan setelah puncak acara dari Vikrama itu sendiri. Hal ini sendiri ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan juga meningkatkan perlawanan terhadap isu pelecehan seksual. Perlawanan terhadap isu ini pun tak berhenti di propaganda internal. Kampanye anti-pelecehan seksual sendiri dilakukan di wilayah sekitar Unpar, dimana para peserta kampanye meneriakkan slogan-slogan anti-pelecehan seksual. Hal ini dilakukan agar masyarakat sekitar kampus sendiri mengetahui bahwa Unpar melawan tindakan pelecehan seksual dan bahwa para korban tidaklah sendiri.
Puncak acara Vikrama sendiri diadakan pada 21 April 2018 lalu di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Para peserta pun diajak mengikuti talkshow dengan materi alat-alat sehari-hari untuk melindungi diri, pelaporan kasus pelecehan seksual, dan pemutaran film Memoria karya Kamila Andini. "Gerakan kolektif terhadap isu pelecehan seksual itu penting karena karena di Indonesia sendiri belum ada hukum yang mengatur pelecehan seksual secara eksplisit walaupun kasusnya yang terjadi sudah banyak." ujar Tommy Pranoto selaku Wakil Koordinator Divisi Acara Vikrama. Sementara itu, Ivena Giovani sebagai Koordinator Divisi Acara Vikrama berharap bahwa Vikrama dapat memberikan dampak yang besar bagi masyarakat sekitar. Ia berharap bahwa acara ini dapat meningkatkan kepedulian dan pemahaman mengenai isu pelecehan seksual itu sendiri. “Ketika masyarakat sudah memahaminya, diharapkan mereka tidak akan melakukan hal itu ke orang lain, serta mereka akan tidak berdiam diri saja ketika melihat tindakan-tindakan pelecehan seksual di sekitar mereka.� ujarnya.
27
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
Sumber: Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) Tahun 2015
28
JUNI 2018
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
29
FOKUS
MEDIA PARAHYANGAN
Pelecehan Seksual
JUNI 2018
Di Mata Hukum
Isu pelecehan seksual memang sedang menjadi salah satu isu yang digandrungi masyarakat Indonesia. Semakin maraknya kasus-kasus pelecehan seksual yang dipublikasikan para korban di akun sosial media mereka maupun di media-media lainnya pun menimbulkan satu pertanyaan, hukum apakah yang mengatur isu pelecehan seksual di negara kita ini?
Seperti diberitakan oleh Tempo.co, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidaklah mengenal istilah pelecehan seksual. KUHP mengenal satu istilah lainnya, yaitu perbuatan cabul yang diatur Buku Kedua tentang Kejahatan Kesusilaan yang terdiri dari Pasal 281 sampai Pasal 303. Di dalam pasal-pasal ini, dikenal-kenal istilah seperti perbuatan cabul oleh lelaki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), perkosaan (Pasal 285), atau bujukan berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293). Istilah pelecehan seksual masih belum dikenal di pasal-pasal tersebut, akan tetapi istilah perbuatan cabul adalah istilah yang paling mendekati istilah pelecehan seksual. KUHP sendiri mendefinisikan perbuatan cabul sebagai: “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul.�
30
Para pelaku perbuatan cabul pun dapat dihukum penjara maksimum tujuh tahun sesuai dengan Pasal 290 KUHP. Sanksi yang ada berlaku untuk para pelaku yang melakukan perbuatan cabul kepada seseorang yang ia ketahui sedang pingsan atau tak berdaya, seseorang yang umurnya belum lima belas tahun atau belum cukup umur untuk dikawinkan, dan seseorang yang umurnya belum cukup untuk dikawin untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul atau bersetubuh di luar tali perkawinan dengan orang lain. Sebagai contoh, sanksi ini pernah dijatuhkan ke Aljanah. Aljanah yang telah memegang payudara seorang pelayan toko buku pun dijatuhkan hukuman penjara selama satu tahun empat bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungpinang 08 Maret 2017. Selain Pasal 281 sampai 303 di KUHP, hukum-hukum di Indonesia yang berhubungan dengan kekerasan seksual terdapat pada UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada pasal-pasalnya, PKDRT sendiri mengatur hukuman terhadap perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran yang merampas kemerdekaan korban dalam lingkup rumah tangga. Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku bervariasi tergantung dengan jenis kekerasan dalam rumah tangga yang ia perbuat, namun pelaku dapat maksimum dikenakan denda lima ratus juta rupiah dan hukuman penjara maksimum lima tahun.
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
Selain mengatur sanksi terhadap pelaku, pada Pasal 10 PKDRT juga diatur mengenai hakhak korban yang meliputi perlindungan korban oleh berbagai entitas, pelayan kesehatan, penanganan khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial juga bantuan hukum pada setiap proses hukum, juga pelayanan bimbingan rohani.
Seperti yang telah disebutkan diatas, selain UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, terdapat juga UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berkaitan dengan pelecehan seksual.
Sementara itu, pada UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Bab I Pasal 1 Perdagangan orang sendiri merujuk kepada;
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur tentang:
“tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.� Sanksi terhadap para pelaku sendiri diatur pada Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 27. Sama dengan PKDRT, sanksi terhadap setiap pelaku dapat berbeda-berbeda tergantung terhadap jenis perbuatan yang ia lakukan. Namun, sang pelaku dapat maksimum terkena hukuman penjara seumur hidup dengan denda paling banyak sebanyak lima milyar rupiah.
“segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.� Anak yang dirujuk disini merupakan seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan anak yang masih dalam kandungan pun termasuk dalam istilah ini. UU ini sendiri mengatur mengenai hak dan kewajiban anak; tanggung jawab dan kewajiban negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua dalam penyelenggaraan perlindungan anak; kedudukan anak, dan lain-lainnya. Walaupun istilah pelecehan seksual belum dikenal secara eksplisit, harapan para korban pun dicerahkan dengan keberadaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU PKS sendiri akan memberikan perlindungan yang lebih luas kepada para korban.
"
Selain mengatur sanksi terhadap pelaku, pada Pasal 10 PKDRT juga diatur mengenai hak-hak korban yang meliputi perlindungan korban oleh berbagai entitas, pelayan kesehatan, penanganan khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial juga bantuan hukum pada setiap proses hukum, juga pelayanan bimbingan rohani.
"
31
FOKUS
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
"RUU PKS perlu untuk
puan mendapatkan pe luas dari segala bentu non-fisik
"
Kompas.com memberitakan bahwa selain mengatur sanksi pidana, penanganan hukum acara, RUU ini juga akan memastikan korban mendapatkan perhatian, manfaat, dan perlindungan yang sudah seharusnya ia dapatkan. RUU ini juga mengatur pencegahan, pemulihan korban, pemenuhan hak korban, serta penanganan selama proses hukum. Nantinya jika sudah disahkan, RUU PKS ini akan menjadi undang-undang yang khusus atau lex specialis. Hal ini berarti bahwa sidang peradilannya akan ditangani oleh orang-orang yang sudah ahli dalam menghadapi korban. Sang korban dapat memutuskan apakah dirinya ingin bertemu atau tidak dengan sang pelaku. Selain itu, korban akan mendapatkan ruangan khusus. RUU ini juga mengajak masyarakat untuk dapat berperan lebih dalam isu-isu kekerasan seksual. Sebagai contoh, RT atau RW dapat mempersiapkan tindakan-tindakan apa saja yang akan mereka lakukan jika mereka mendapatkan laporan. Dalam kata lain, masyarakat atau komunitas setempat dapat berperan dalam aspek pengaduan dan layanan terpadu.
32
Sementara itu, pelaku juga akan dikenakan sanksi. Salah satu contoh dari sanksi tersebut adalah pembayaran restitusi. Restitusi ini merujuk kepada tanggung jawab pelaku atas biaya-biaya yang dibutuhkan korban untuk proses pemulihan. RUU PKS juga dengan jelas mendefinisikan arti dari kekeran seksual itu sendiri. Di dalam BAB I Pasal 1 (1) RUU PKS ini dipaparkan bahwa; “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/ atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentang dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.�
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
disahkan agar peremerlindungan yang lebih uk kekerasan fisik dan
Selain itu, dalam Bab V Pasal 11 (1) dipaparkan bahwa pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Walaupun mempunyai manfaat yang sangat luas bagi korban kekerasan seksual. RUU PKS ini belum juga disahkan. Menurut Masrurah sebagai Perwakilan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, RUU PKS perlu untuk disahkan agar perempuan mendapatkan perlindungan yang lebih luas dari segala bentuk kekerasan fisik dan non-fisik, seperti dikutip oleh Republika. Terutama karena hukum yang tersedia sekarang, yaitu di KUHP hanya mengenal kekerasan seksual dengan istilah pencabulan, perkosaan, perzinahan, dan perbuatan asusila.
Namun, sampai Februari 2018 RUU PKS ini belumlah disahkan. Panitia kerja (Panja) RUU PKS pun telah dibentuk untuk mengadakan proses diskusi, mendengarkan pendapat, menganalisis, dan menyimpulkan pandangan pemerintah. Maka dari itu, Sekretaris Menteri Kementrian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan bahwa pembahasan RUU PKS ini sudah dapat dinilai intensif. DPR pun telah mendapatkan berbagai desakan untuk segera disahkan. Seperti yang dipaparkan oleh Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Bestha Imatsan Ashila, hukum Indonesia yang ada belum dapat mengakomodir berbagai bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan. “Korbannya sudah banyak, tapi hukumnya tidak mengakomodir.�
33
FOKUS
salah satu tuntutan massa aksi di mayday bandung 2018 dok./FiqihRP
34
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
FOKUS
35
WAWANCARA
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Anita Dhewy Pemimpin redaksi jurnal perempuan
P
elecehan seksual memang bukan perkara remeh yang dapat diabaikan begitu saja. Sejumlah kejadian yang sempat mencuat lewat cerita-cerita lisan berantai dari mulut ke mulut menguak betapa dekatnya ancaman tersebut di lingkungan sekitar kita, tidak terkecuali di gang-gang dan jalan yang tidak jauh dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Namun, penanganan terkendala dari aturan-aturan hukum yang belum berangkat dari perspektif korban. Ketimbang sebagai masalah kesusilaan, pelecehan seksual sebenarnya masuk sebagai masalah kemanusiaan. Anita Dhewy sehari-hari bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan. Di tengah kesibukan menulis di rumahnya, Sabtu, (17/2), ia meluangkan waktu untuk membagi pandangannya mengenai kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekitar Ciumbuleuit dan sekitarnya. Berikut hasil kutipan wawancara Media Parahyangan (MP) dengan Anita Dhewy (AD): MP: Bulan Januari 2018 kemarin terjadi pelecehan seksual di salah satu jalan sekitar Unpar. Kejadian ini cukup membingungkan karena kami beranggapan bahwa kasus-kasus seperti ini biasanya terjadi di jalan-jalan yang sempit, malam, dan sepi. Akan tetapi, kasus ini justru terjadi di jalan yang besar, siang hari, dan ramai? AD: Kasus pelecehan seksual memang belum ditanggapi orang-orang dengan benar. Tidak terkecuali aparat (red. polisi) pun sebagai yang seharusnya menindak seringkali menanggapinya dengan normatif sebab bergantung pada pasal-pasal Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP). Kasus pelecehan seksual sejauh ini belum diatur dalam undang-undang. Di KUHP pun baru sebatas perkosaan dan percabulan, tetapi untuk kasus pelecehan seksual lain sulit untuk ditindaklanjuti karena harus ada semacam penetrasi.
36
Walaupun itu tugas aparat polisi, jaksa, hakim, alasan seperti itu membuat kepolisian menjadi kesulitan. Seharusnya ada terobosan hukum yang dilakukan pada interpretasi hakim, penggunaan pasal, dan syarat pelaporan harus ada saksi yang seharusnya bisa cukup korban karena ia juga saksi untuk diri sendiri. Lalu terobosan lainnya melalui teman-teman jaringan untuk mendorong RUU penghapusan kekerasan seksual karena persoalan itu belum ada di KUHP. Lalu ada masalah penanganan kasus. Polisi masih sering membebani korban dengan perintah-perintah yang seharusnya ditangani polisi. Di Depok, ada korban yang melapor ke polisi tapi tidak direspon dengan simpatik, tetapi begitu unggahan rekaman video yang dicari korban menjadi viral, polisi baru bergerak karena sudah ada tekanan publik. Ketika melapor, seharusnya segera ada tindakan dari
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
WAWANCARA
Penanganan Pelecehan Seksual Harus Berangkat Dari Perspektif Korban polisi termasuk misalnya mencari bukti rekaman cctv, ketimbang saran-saran yang sudah biasa terdengar dan justru malah menyalahkan korban. Ada perbaikan dasar yang harus dilakukan oleh aparat. Saat ada korban berani bersuara dan melapor, seharusnya segera direspon dengan cepat, bukan malah ditanya-tanya yang seharusnya menjadi tugas polisi untuk mencari. Memang ada harapan agar korban berani melakukan langkah besar, tapi tidak semua korban berani melapor apalagi ada stigma dan stereotipe yang menyudutkan korban. MP: Kami sudah mengirim beberapa reporter untuk mewawancarai ketua RT dan RW, tapi belum sempat dilakukan. Akan tetapi, apakah tokoh-tokoh masyarakat juga turut membantu? AD: Sebenarnya mereka bisa berperan lebih di situ, terutama untuk kasus-kasus yang terjadi di daerah pemukiman. Persoalannya perlu ada perubahan pandangan agar tidak terus menyalahkan korban karena kecenderungan itu masih cukup kuat di masyarakat. Padahal yang dibutuhkan korban itu setidaknya itu empati bahwa dia mengalami pelecehan dan/ atau kekerasan seksual.
Jadi sebenarnya bisa diberdayakan, mereka adalah aparat negara yang paling dekat dengan masyarakat. Selain itu, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) bisa menjadi tempat perlindungan dan konsultasi serta penanganan psikologis.
"
Ada perbaikan dasar yang harus dilakukan oleh aparat. Saat ada korban berani bersuara dan melapor, seharusnya segera direspon dengan cepat, bukan malah ditanya-tanya
"
WAWANCARA 37
WAWANCARA
MEDIA PARAHYANGAN
MP: Pendekatan-pendekatan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak pelecehan seksual pada mahasiswa Unpar. Misal dalam bentuk konseling, advokasi atau ada cara lain? Bagaimana pendapat mbak? AD: Bisa, jadi nggak hanya semacam shelter, tetapi juga jadi tempat untuk mahasiswa melaporkan dan jika itu terkait dengan korban, teman-temannya yang juga korban dapat berani melaporkan. Para korban juga butuh pendampingan secara psikologis, karena setiap (respon) orang berbeda. Ada yang cepat pulih, dan ada juga yang trauma berlarut-larut sehingga tidak bisa dibiarkan dan perlu penanganan karena tidak baik untuk perkembangan dirinya. Jadinya, mereka (red. korban) yang pernah mengalami hal tersebut merasa didampingi, ada teman, dan ada dukungan sehingga pulih dan percaya diri lagi, lalu saling menguatkan satu sama lain. MP: Apakah mbak mengetahui kasus-kasus yang serupa yang pernah terjadi? AD: Pernah ada di Universitas Indonesia (UI), setelah terjadi kasus besar, ada upaya pendampingan dan lembaga yang seperti tadi saya katakan, sehingga korban-korban lain itu juga muncul, bersuara, dan berbicara.
JUNI 2018
Kita sebenarnya tidak perlu menunggu sampai ada kejadian besar atau menunggu ada korban. Akan tetapi, lembaga seperti itu walau tidak ada pun bukan berarti korbannya tidak ada. Seperti di Kudus, banyak yang berani melaporkan karena ada yang melapor dan mendorong yang lain untuk bersuara. MP: Kalau dari pengalaman Mbak sendiri, apakah yang bisa kita lakukan? AD: Kita mungkin bisa membangun kelompok-kelompok yang seperti tadi, atau membangun kesadaran ‘sebenarnya apakah yang dimaksud dengan pelecehan seksual?’ karena terkadang belum semua paham. Bisa lewat poster-poster, diskusi, video singkat, atau semacamnya yang bisa membangun kesadaran dari mulai kekerasan seksual itu apa dan apa yang harus kita lakukan ketika menjadi korban, atau menjadi saksi. Jadi ini juga membangun kesadaran dan empati. Persoalannya, di tempat kita, pendidikan seksual itu nggak ada, padahal itu kan penting. Penting banget untuk kita memperhatikan hal-hal yang terkait dengan seksualitas kita baik laki-laki dan perempuan agar orangorang lebih sadar.
"Kalau di KUHP kan cu
padahal kita perlu cara b terjadi kembali dan korb tuk melindungi korban,
"
38
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Cuma masalahnya, hal itu masih dianggap tabu sehingga akses atau informasi dalam hal ini kan tidak terbuka. Selain pendidikan seksualitas juga dibutuhkan pendidikan kesadaran gender. Bagaimana harus memperlakukan orang lain terutama yang lawan jenis. MP: Mengenai kebingungan tentang definisi pelecehan seksual dan lain-lainnya, tidak tertera juga di pasal atau di KUHP, apakah ada penjelasan yang dapat dirujuk mbak? AD: Komisi Nasional (Komnas) Perempuan itu bikin sih, tapi intinya secara redaksional segala bentuk tindakan yang terkait dengan unsur seksual dan itu membuat orang lain merasa tidak nyaman. Rentangnya kan panjang sekali ya, dari ujaran sampai ke tindakan. Jadi tanpa ada persetujuan dari korbannya, kan orang bisa merasa tidak nyaman atau semacamnya hal itu bisa termasuk pelecehan seksual juga. Dan ada juga seperti tindakan pemaksaan. Bisa saja si korban tidak bisa memberikan persetujuan, kalau korbannya masuk ke kategori di bawah umur atau anak-anak kan, dia dianggap memiliki relasi atau tidak bisa memberikan persetujuan.
WAWANCARA
Kalau pun bilang iya pasti ada unsur paksaan. Atau misalnya dalam kondisi tidak sadar atau mabuk kan termasuk tidak bisa memberikan persetujuan. MP: Sebenarnya, isi dari RUU penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) itu seperti apa Mbak? AD: Isinya berangkat dari perspektif korban. Jadi RUU PKS melihat korban butuh ditangani dan proses pemulihan, agar kejadian-kejadian seperti itu tidak terulang karena berangkat dari KUHP yang tidak punya undang-undang seperti itu. Korbannya perlu dipulihkan karena ada trauma yang alami. Aspek-aspek seperti itu yang perlu diangkat. Kita juga tidak hanya menaruh perhatian pada hukuman bagi pelaku, tapi bagaimana dengan korban kini harus diperhatikan. Ada upaya-upaya yang perlu diberikan kepada korban. Kalau di KUHP kan cuma memidanakan pelaku, padahal kita perlu cara bagaimana supaya ini tidak terjadi kembali dan korban bisa pulih sekaligus untuk melindungi korban.
uma memidanakan pelaku, bagaimana supaya ini tidak ban bisa pulih sekaligus un-
"
39
WAWANCARA
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
"Maksudnya, perkosaan itu kan
nya masuk di kesusilaan, itu ko ma dan beban yang dia tang seumur hidup dia. Kalau cuma susilaan kan hukumannya jug itu harus masuk ke pasal-pas dengan kejahatan terhadap k
MP: Apakah ada hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan dari RUU? AD: Ada banyak hal yang terkait, tapi biasanya kan yang terkait itu masalah perempuan, anak, dan kelompok marginal itu kan tentang perluasan pasal zina. Kalau di KUHP itu kan tadinya, zina itu hanya boleh dilakukan di dalam pernikahan. Tapi sekarang hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan pernikahan bisa dianggap sebagai tindakan pidana.
Persoalannya, di masyarakat kita ini, hubungan seksual hanya bisa dilakukan di dalam hubungan pernikahan. Lalu pernikahan hanya dianggap sah ketika ada catatan sipil dimana pernikahan itu sah secara agama yang diakui secara resmi di masyarakat kita. Padahal ada banyak penghayat kepercayaan yang tidak termasuk ke dalam enam agama yang diakui. Ketika mereka menikah, untuk mencatatkan di catatan sipil jadi susah. Padahal kan mereka sudah menikah secara sah tetapi tidak bisa dicatatkan.
WAWANCARA 40
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
n tidak bisa haorbannya trauggung itu bisa a masuk ke kega ringan, jadi sal yang terkait kemanusiaan.
"
Kan ini menjadi persoalan karena walaupun hubungan sudah melewati persetujuan, itu juga bisa dikenakan (red. pidana). Intinya sih, moralitas dipakai untuk mengatur perilaku warga yang seharusnya tidak tepat. Hukum kan berangkat dari realitas masyarakatnya seperti apa. Jadi Ada konteks masyarakat yang mesti dilihat karena bisa saja masyarakat yang kesusahan ekonomi atau agamanya tidak diakui bisa saja tidak punya akses untuk menikah atau mencatatkannya secara resmi – legal sehingga bisa kena. Ada bias kelas dan kepercayaan di situ, ada banyak sekali permasalahan yang akan muncul karena yang disebut pelaku bisa bukan hanya suami istri saja.
WAWANCARA
Kalau misalnya ada yang secara adat sudah menikah, ya sudah dia sah menikah. Oleh karena itu, jangan membuat hukum yang mendiskriminasi dan malah seperti menghilangkan hak warga negara. MP: Berarti pelapor pelecehan seksual pun dapat terkena hukuman yang ada? AD: Iya, jadi mahasiswi yang kena juga dapat dipidanakan, ketika tidak ada saksi, dan si pelaku tertangkap dan malah bilang ‘dia mau kok’, jadi yang korban juga tidak bisa ditangani juga. Jadi ngeri banget, semua orang bisa kena, karena tidak ada undang-undangnya kan sehingga (red. pelaku atau korban/pelapor) bisa-bisa di persekusi, diarak. MP: Terkait dengan RUU KUHP, kira-kira respon dari masyarakat sendiri harus bagaimana? AD: Kalau yang perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual itu di KUHP masih termasuk di bab-bab yang terkait dengan kesusilaan. Padahal itu kan bukan kejahatan yang terkait dengan kesusilaan, tetapi terkait dengan kemanusiaan. Maksudnya, perkosaan itu kan tidak bisa hanya masuk di kesusilaan, itu korbannya trauma dan beban yang dia tanggung itu bisa seumur hidup dia. Kalau cuma masuk ke kesusilaan kan hukumannya juga ringan, jadi itu harus masuk ke pasal-pasal yang terkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan kalau termasuk persoalan zina ya, itu tidak perlu diperluaskan karena justru korban pelecehan bisa dipidana juga. Harusnya yang dilakukan pada perluasan pasal zina itu menurut saya tidak perlu ada, karena konteksnya tidak sesuai dengan situasi. Kalau di hukum itu ada konsep pluralisme hukum karena sebenarnya ada banyak hukum yang berlaku di masyarakat seperti hukum adat dan segala macam di luar Hukum positif seperti KUHP, UU, dsb. Kalau misalnya ada yang secara adat sudah menikah, ya sudah dia sah menikah. Oleh karena itu, jangan membuat hukum yang mendiskriminasi dan malah seperti menghilangkan hak warga negara.
41
WAWANCARA
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Never Okay Project:
80% Perempuan Pekerja di Indonesia Pernah Mengalami Pelecehan Seksual. Namun, Hanya 1% yang Berani Melapork
G
erakan kolektif untuk menyebar pemahaman untuk melawan pelecehan sek sual dianggap menjadi satu bentuk paling baik, mengingat bukan saja banyak masyarakat yang belum memahami soal pelecehan seksual, melainkan juga aparat penegak hukum. Never Okay Project, sebuah gerakan kolektif berbasis di kota Jakarta lahir atas keresahan akan isu pelecehan seksual khususnya di tempat kerja. Dengan menggunakan pendekatan teknologi, Never Okay Project berfokus menciptakan sebuah tempat yang lebih baik bagi para penyintas (survivors) untuk membagikan cerita mereka ketika tempat kerja tidak memiliki mekanisme tertentu. Media Parahyangan (MP) berkesempatan untuk mengetahui lebih jauh mengenai Never Okay Project dengan melakukan tanya jawab mengenai cara kerja Never Okay Project, ketimpangan gender hingga RUU PKS dengan Alvin Nicola (AN) direktur dari Never Okay Project yang juga merupakan pekerja di Komnas HAM. Berikut hasil kutipan wawancaranya: MP: Apa itu never okay project? AN: Platform berbagi cerita tentang pelecehan seksual di tempat kerja di Jakarta. Menggunakan pendekatan teknologi, kami fokus menciptakan sebuah tempat yang lebih baik bagi para penyintas (survivors) untuk membagikan cerita mereka ketika tempat kerja tidak memiliki mekanisme tertentu. Di Indonesia, masalah pelecehan seksual menjadi sangat kompleks dan berlapis karena melibatkan sejumlah asumsi tentang peran gender tertentu. Dalam konteks di tempat kerja, terjadi beban ganda ketika para penyintas seringkali berada dalam posisi yang penuh kerentanan akibat relasi kuasa yang timpang. Komnas Perempuan dalam catatan tahunan (CATAHU) 2017 menyebutkan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja adalah kasus yang paling banyak dilaporkan sepanjang tahun
42
tersebut. Melalui platform ini kami percaya bercerita adalah bagian dari perlawanan terhadap relasi kuasa yang timpang itu sendiri. MP: Sejak kapan never okay project berjalan? AN: Kegelisahan kami sebetulnya telah ada sebelum kasus Harvey Weinsten ramai di publik. Namun saat itu kami fokus mengumpulkan berbagai masukan dan melakukan riset-riset meja untuk memperdalam pemahaman kami. Secara resmi, kami berdiri pada 10 Desember 2016 bersamaan dengan Hari HAM Internasional. Saat itu kami mengundang beberapa teman pekerja muda untuk berdiskusi, menonton film bersama dan membagikan hasil riset meja kami.
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
kan.
WAWANCARA
Dok./NeverOkayProject
MP: Bagaimana cara kerja never okay project?
MP: Siapa saja dibalik bergeraknya never okay project?
AN: Sebagai Platform Online dan dalam kampanye di media sosial, kami bekerja dalam tiga pendekatan:
AN: Tim kami tidak besar, namun diisi pekerja-pekerja muda Jakarta dengan beragam latar belakang kerja. Mungkin ini yang membuat diskusi kami selalu seru dan hangat. Ada yang bekerja sebagai guru, sektor swasta, programmer dan pemerintahan. Lineup kami saat ini diisi oleh Alvin Nicola (Director), Imelda Riris (Programme Manager), Alecia Firnanda (Relation Manager), Khaireny (Tech Manager) dan Firman Detriako (Design Specialist).Kami bekerja sebagai sukarelawan.
1. Public conversation: meningkatkan kepedulian publik dengan menciptakan ruang aman untuk bercerita. 2. Connecting the dots: memberdayakan penyintas melalui trauma-healing group 3. Trauma-informed platform:menciptakan sistem informasi anonim dan konsensual melalui information escrow. Disamping itu, Never Okay Project juga berusaha menjalin kerjasama dalam bentuk offline dengan berbagai stakeholders dalam upaya peningkatan kesadaran dan mengakhiri pelecehan seksual di tempat kerja. Sejauh ini, bersama dengan Lentera Sintas, kami sudah melakukan seminar dan workshop di dua perusahaan. Kedepannya kami ingin terus berkembang dan mencari alternatif dan mekanisme baru baik secara online dan offline. Harapannya bukan berakhir pada upaya peningkatan kesadaran dan pemahaman seputar pelecehan seksual di tempat kera, tetapi juga mampu memberikan solusi baru bagi isu ini.
MP: Kenapa isu pelecehan seksual menjadi isu yang diangkat? AN: Singkatnya, karena isu ini terjadi di keseharian kita sebagai pekerja di Ibukota dan banyak yang diam. Menurut survei Women Work Poll (2015), sebanyak 80% perempuan pekerja di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual. Namun, hanya 1% yang berani melaporkan. Statistik ini jelas berbicara banyak hal. Hal yang menarik, dari hasil diskusi kami dengan berbagai kelompok (tentunya diperkuat hasil riset), kami menemukan bahwa pelecehan seksual bekerja di beragam sektor pekerjaan, rentang usia dan jenis kelamin.
43
WAWANCARA
MEDIA PARAHYANGAN
Bahkan tak jarang teman kami bercerita bahwa ini sering terjadi di lembaga/perusahaan yang justru getol mempromosikan kesetaraan gender dan keadilan. Dan tentu kita salah besar jika korban pelecehan seksual di tempat kerja hanya perempuan. Dari banyaknya cerita yang masuk, ada pula teman-teman laki-laki yang merasa dirinya korban—walaupun jauh secara jumlah dan beda secara bentuk. Bagi kami ini perlu ditelusuri. Korban pelecehan seksual juga banyak mengalami dampak psikologis, termasuk gejala stres pasca trauma, depresi dan kecemasan yang meningkat, merasa harga diri turun, dan jatuhnya kepuasan hidup. Pelecehan seksual juga berdampak pada penurunan kinerja dan produktivitas. Tentu kami melihat bahwa ini bukan masalah yang akan selesai dalam satu malam. Tantangan terbesarnya justru ada pada pemahaman publik. Saat ini kami fokus bekerja di aspek itu. MP: Hal apa saja yang dilakukan oleh never okay project? AN: Kami memanfaatkan teknologi untuk mendorong sebuah sistem kerja yang lebih adil. Seperti yang kami sampaikan sebelumnya, hal ini sebetulnya terjadi di sekitar kita, namun tak banyak dibicarakan. Sehingga saat ini kami berkomitmen untuk bukan hanya raising our awareness, tapi membuat ini jadi percakapan publik sehari-hari.
44
JUNI 2018
Untuk itu, saat ini kami melakukan sedang/telah melakukan empat hal: a. Pre-survey untuk mendapatkan gambaran (tidak sampai persepsi) pekerja muda Jakarta tentang pelecehan seksual di tempat kerja. b. Melakukan aktivasi media sosial di Twitter dan Instagram. Kami juga aktif dalam platform LinkedIn untuk menjangkau kalangan profesional. c. Secara khusus kami mengembangkan website www.neverokayproject.org sebagai tempat berbagi cerita. d. Melaksanakan program PhotoJourney, yang merupakan proyek kolaborasi dengan pekerja-pekerja muda di berbagai sektor pekerjaan untuk berbagi cerita dan pendapatnya seputar pelecehan seksual di tempat kerja. Beberapa hasilnya bisa dilihat di media sosial kami. Doakan agar pamerannya cepat terlaksana ya! Selain itu dalam satu bulan terakhir, kami tidak menyangka antusiasme publik cukup besar. Beberapa tawaran mengisi pelatihan, seminar dan workshop datang. Salah satunya mengisi pelatihan dan seminar di kantor pusat Sinarmas Land dan IDC (International Data Center) Indonesia . MP: Bagaimana kita mendefinisikan sebuah tindakan itu pelecehan seksual atau bukan? AN: Kami mengakui bahwa hal ini cukup tricky. Terlebih dalam budaya sehari-hari di Indonesia.
JUNI 2018
WAWANCARA MEDIA PARAHYANGAN
WAWANCARA
-dak mau melapor karena merasa suatu tindakan tersebut adalah hal yang wajar dan / merasa itu bukan merupakan bentuk pelecehan seksual. Sehingga persoalan definisi dan batasan-batasan ini perlu untuk terus diinformasikan kepada publik, karena menurut kami jika saja publik tahu definisi dan bentuk-bentuk pelecehan seksual, jumlah korban yang melapor akan meningkat drastis.
Sering terjadi berbagai bentuk normalisasi – dianggap sebuah kewajaran dan kebiasaan yang maka dari itu sah untuk terus dilakukan. Dari banyak literatur maupun produk hukum, kami menggarisbawahi bahwa pelecehan seksual terjadi ketika perbuatan seseorang menyebabkan orang lain tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas (non-consentual) yang diakibatkan ketimpangan relasi kuasa. Relasi kuasa ini sendiri merupakan produk dari sistem gender yang dipelihara secara maskulin dan dominan. Di tempat kerja, hal ini bisa tercermin ketika seseorang menggunakan kuasanya (dalam hal ini misal jabatan yang lebih tinggi), untuk melakukan berbagai tindakan abuse of power dalam relasi seksual. Dalam hal ini ada dua bentuk yang biasa terjadi dalam konteks pelecehan seksual di tempat kerja: a) Quid Pro Quo, yakni ketika satu pihak memaksa pihak lain menerima tawaran seksual sebagai imbalan atas perekrutan, promosi atau kenaikan gaji dan karena kuasanya, bisa mengancam untuk menurunkan, memotong gaji atau bahkan memecat jika menolak; dan b) Hostile Environment, yakni ketika satu pihak mengganggu kinerja pekerjaan korban atau sengaja membuat korban terintimidasi, dimusuhi dan mendorongnya dalam lingkungan kerja yang tidak nyaman. Dari data yang kami dapat, banyak korban ti-
MP: Dalam web, dijelaskan neverokayproject ini memiliki 2 fokus, yang pertama untuk berbagi cerita. Sebenarnya apa efek yang didapat oleh korban dengan bercerita? AN: Kami rasa penting mendorong sebuah sistem sosial yang saling memperkuat, bukan saling menegasikan satu sama lain. Masalah apapun itu, jika ada support system yang mendukung, pasti akan lebih mudah. Dalam hal pelecehan seksual di tempat kerja, support system ini yang kerap kali tidak ditemukan. Tentu ada banyak berbagai lembaga pemerhati, namun ketika berada dalam situasi kerja, kenyataannya sangat sulit bahkan untuk bercerita saja. Sebagai contoh, dalam lingkungan kerja, bagian HRD atau internal bodies yang mengurus keperluan internal kantor, tidak memiiki perspektif yang memihak pada korban dan justru memperburuk stigma. Teman kami bercerita bahwa ketika dirinya melapor, Ia justru disalahkan oleh HRD karena dianggap “terlalu genit” bahkan “itu tanda kamu cantik”dan menyarankan “makanya jangan pakai rok terlalu pendek”. Perusahaan jelas tidak memiliki sensitivitas gender; alih-alih membantu masalah korban, justru semakin menyudutkan posisi korban. Sehingga jangan dulu berbicara aturan, perspektif saja masih tidak punya. Disini kami melihat bahwa penting untuk mengisi kekosongan tersebut: menjadi support system yang setidaknya mau mendengarkan, dan bekerjasama tanpa menaruh stigma.
45
WAWANCARA
MEDIA PARAHYANGAN
MP: Cukup sulit untuk menemui korban pelecehan seksual yang mau bercerita, bagaimana cara neverokayproject membuat korban menjadi ingin bercerita? AN: Kami berkomitmen menghadirkan platform yang akuntabel dan profesional. Tidak sekadar menjadi “gerakan” tanpa menawarkan pendekatan baru dan informasi yang berimbang. Banyak yang mengatakan bahwa kami “memanfaatkan” perasaan trauma penyintas. Ada yang mengatakan juga bahwa curhat itu perlu. Tentu walaupun berpijak pada teknologi, kami tetap mengasah sensitivitas terhadap trauma penyintas. Sehingga kami terus berkomitmen menciptakan sistem yang ramah terhadap penyintas. Kami selalu percaya bahwa bercerita adalah bagian dari perlawanan itu sendiri—melawan diri dari ketakutan dan mengemansipasi orang lain dengan cerita kita. MP: Yang kedua adalah dokumentasi akan pelecehan/kekerasan seksual, bisa dijelaskan dokumentasi seperti apa yang dilakukan? AN: Apa yang kurang dari perdebatan mengenai pelecehan seksual di Indonesia adalah minimnya pusat informasi. Publik bingung ketika ingin mencari tahu seputar informasi ataupun kasus terkait pelecehan seksual, terlebih di tempat kerja. Informasi ini bisa hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari penelitian ilmiah,perundang-undangan, artikel berita, dan data kasus. Untuk itu, kami rasa penting membuat satu sistem terpusat yang dapat dimanfaatkan publik untuk menggali informasi.
JUNI 2018
MP; Apakah korban pelecehan seksual yang pernah bercerita hanya perempuan? Ataukah ada lelaki yang jadi korban? AN: Tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada. Walaupun jumlahnya kami rasa masih cukup timpang. Hal yang menarik ada perbedaan spektrum dari bentuk pelecehan seksual dari informasi yang kami dapatkan. Perempuan lebih banyak dilecehkan secara fisik, sedangkan laki-laki lebih secara verbal. Dalam hal dukungan teman kantor, perempuan lebih banyak mengaku sedikit mendapatkan dukungan, sedangkan laki-laki lebih banyak. Informasi ini penting untuk terus digali. MP: Kenapa biasanya korban itu adalah perempuan, dan pelecehan seksual terhadap laki laki bahkan seperti dianggap tidak pernah ada dan tidak mungkin terjadi? AN: Kami merasa bahwa system gender yang maskulin punya andil besar. Kita dibesarkan dalam kultur masyarakat yang penuh ketimpangan gender. Perempuan dianggap sebagai jenis kelamin kedua (second sex), sedangkan laki-laki lahir superior. Pemahaman ini tentu serampangan dan tidak akurat. Raewyn Connell, seorang sosiolog dan feminis kenamaan dari Australia, menyebutkan bahwa pelecehan seksual merupakan produk dari sistem gender dipelihara oleh bentuk maskulinitas yang dominan dan normatif. Sehingga laki-laki dan perempuan cenderung mengalami dan merasakan perilaku pelecehan seksual yang berbeda akibat ketidaksetaraan gender, relasi kuasa yang timpang dan ekspresi seksualitas yang telah ditentukan secara kultural.
"bercerita adalah bagian dari
wan diri dari ketakutan dan m
46
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Karena itulah, laki-laki merasa punya kuasa seksual untuk menindas perempuan. Perempuan dan tubuhnya seringkali hanya dianggap sebagai objek semata. Karena itu banyak perempuan yang pada akhirnya terpaksa menerima itu dan melihatnya sebagai sebuah kewajaran karena dibiarkan oleh masyarakat.Pemahaman ini yang kita bersama harus lawan. MP: Kenapa kasus pelecehan seksual ini terus terjadi, dan kenapa pelaku (biasanya laki-laki) berani melakukan hal itu di ruang publik? AN: Kami mengkritik sistem hukum kita yang tidak berpihak pada penyintas. Dalam situasi tempat kerja, belum ada satu payung hukum nasional maupun daerah yang mengikat terkait hal ini. Hanya ada surat edaran Menteri Tenaga Kerja di tahun 2013 yang menghimbau pemilik perusahaan menciptakan situasi kerja yang tidak ada pelecehan seksual. Namun ini tidak mengikat dan tidak ada sanksi. Disamping itu, kami rasa belum banyak perusahaan yang sudah memiliki aturan khusus terkait pelecehan seksual di tempat kerja. Sementara publik terus menormalisasi keadaan ini. MP: Apakah pelecehan seksual ini perlu diatur dalam hukum? Bagaimanakah hukum yang sesuai? AN: Negara memiliki kewajiban melindungi warganya melalui penegakan hukum yang adil. Perlu diingat bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi di ranah personal saja, namun juga komunitas dan bahkan Negara itu sendiri.
WAWANCARA
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat menjadi acuan karena mencakup definisi dan bentuk pelecehan secara komprehensif, dan menggunakan pendekatan yang ramah terhadap penyintas. MP: Lalu sebenarnya apa yang harus dilakukan perempuan (yang biasanya menjadi korban) dalam menyikapi tindakan pelecehan seksual yang terjadi? AN: Salah satu kunci utama adalah memperkaya diri sendiri dengan informasi. Karena dengan bekal pengetahuan tersebut kita dapat melakukan berbagai upaya preventif, bukan hanya untuk diri kita sendiri, namun untuk teman dan keluarga kita. Kami rasa saat ini banyak sumber informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai memperluas pengetahuan kita seputar pelecehan seksual. Khususnya ketika berbicara seputar pelecehan seksual di tempat kerja, penting untuk setiap perkerja menjadi pro aktif dalam mencari tahu peraturan dan mekansime di tempat kerja jika terjadi pelecehan seksual. Bahkan, pekerja perempuan yang menyadari kerentanannya di tempat kerja sangat mungkin untuk mengajukan pengadaan peraturan dan mekanisme pelaporan atau sekedar workshop/seminar terkait pelecehan seksual di tempat kerja. Kita juga bisa mendatangi lembaga-lembaga psikolog dan hukum untuk sharing tentang berbagai masalah. Menciptakan dan memperkuat support group juga harus terus didorong. Selain itu membekali diri sendiri dengan berbagai teknik self-defense kami rasa juga penting.
perlawanan itu sendiri—melamengemansipasi orang lain dengan cerita kita.
" 47
NASIONAL
48
MEDIA PARAHYANGAN
AGUSTUS 2016
AGUSTUS 2016
MEDIA PARAHYANGAN
STOPPRESS
"ngaben" Oleh: Faisal Luthfidary 49
KOLOM PARAHYANGAN
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Pelecehan Seksual: Oleh: Indraswari, MA., Ph.D.
A
pa yang dimaksud dengan pelecehan seksual? Pelecehan seksual adalah “Tindakan seksual melalui sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban, termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan� (Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, 2017: 35). Pelecehan seksual adalah salah satu dari 15 jenis kekerasan seksual. Ke-14 jenis kekerasan seksual yang lain adalah perkosaan, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual termasuk melalui aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama (ibid, hal. 35-37). Perempuan adalah korban utama pelecehan seksual, mereka memiliki latar belakang dan profesi bervariasi, dari anak-anak, remaja, perempuan dewasa, lansia; pelajar, mahasiswi, pekerja kantor, pengusaha hingga ibu rumah tangga. Pada tahun 2017 tercatat 3.528 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ruang publik, 704 (20%) diantaranya adalah pelecehan seksual (Komnas Perempuan, 2018:18).
50
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
KOLOM PARAHYANGAN
Diam Bukan Pilihan Perlu diingat bahwa data ini adalah kompilasi kasus pelecehan seksual yang dilaporkan kepada berbagai lembaga pengada layanan. Tidak semua korban melapor, sehingga data tersebut hanya pucuk gunung es pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia. Jumlah pelecehan seksual yang sebenarnya jauh diatas angka tersebut. Mengapa terjadi pelecehan seksual? Pelecehan seksual terjadi karena ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelecehan seksual bukan semata persoalan seksualitas. Oleh sebab itu sebagian besar kasus pelecehan seksual terjadi antara pelaku yang memiliki posisi, status, kuasa lebih besar dibandingkan korban. Misalnya pelaku adalah ayah, kakak, paman, atasan, guru/dosen. Korban adalah anak, adik, keponakan, bawahan, murid/mahasiswi. Di luar kategori tersebut, secara sosial perempuan sering diposisikan subordinat atau lebih rendah kedudukannya dibandingkan laki-laki. Ada pula kesalahan cara pandang terhadap perempuan yang ada di benak sebagian orang, yaitu memandang perempuan hanya sebagai makhluk seksual, bukan individu utuh yang memiliki intelektualitas, spiritualitas dan harga diri. Hal ini menjelaskan mengapa lebih dari 90% korban pelecehan seksual adalah perempuan. Terdapat banyak mitos (salah kaprah) dan fakta seputar pelecehan seksual (Indraswari, 2013). Mitos paling umum adalah pelecehan seksual terjadi karena perempuan yang “menginginkannya� melalui cara yang bersangkutan berpakaian dan berperilaku tertentu. Faktanya tidak ada seorangpun perempuan yang ingin dilecehkan, korban pelecehan seksual sangat bervariasi dalam cara berpakaian dan berperilaku.
Mitos berikutnya, mustahil pelaku pelecehan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban. Dengan kata lain pelaku adalah orang yang tidak dikenal korban. Faktanya pelaku pelecehan seksual termasuk orang yang bukan hanya dikenal oleh korban, melainkan memiliki hubungan yang dekat seperti teman sekolah/kuliah, rekan kerja, guru/dosen, atasan, tetangga dan anggota keluarga. Pelecehan seksual juga terjadi antara pelaku dan korban yang berstatus pacar dan merupakan bagian dari kekerasan dalam pacaran (KDP). Pelaku pelecehan seksual yang tidak dikenal korban antara lain supir/penumpang angkutan umum, orang yang berpapasan di jalan dan tempat umum lain. Mitos lain, pelecehan seksual hanya terjadi di tempat dan waktu tertentu, seperti tempat yang sepi, pada malam hari dan saat seorang perempuan sendirian. Faktanya, pelecehan seksual terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk di tempat-tempat yang dianggap aman bagi perempuan seperti kantor, sekolah/kampus, dan rumah. Berbagai berita media massa menunjukan pelecehan seksual juga terjadi di tempat ramai seperti mall, angkutan umum dan jalan.
Pada tahun 2017 tercatat 3.528 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ruang publik, 704 (20%) diantaranya adalah pelecehan seksual (Komnas Perempuan, 2018:18). 51
KOLOM PARAHYANGAN
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
yang harus dilakukan jika kit "ApaBersikap tegas terhadap pelaku
berbicara melapor kepada teman y orang yang me
Di era internet, pelecehan seksual bukan hanya terjadi di dunia nyata melainkan terjadi pula di dunia maya. Pola yang umum terjadi, pada awalnya pelaku dan korban berkenalan dan berinteraksi melalui media sosial. Selanjutnya korban terjerat dalam relasi dunia maya yang mengandung unsur pelecehan seksual (cyber sexual harassment) dan kejahatan dunia maya (cyber crime) lain seperti pengancaman dan pemerasan. Ada pula mitos yang menyatakan jika seseorang menjadi korban pelecehan seksual sebaiknya “didiamkan saja, nanti juga berhenti sendiri�. Faktanya, jika korban mendiamkan pelecehan yang dialaminya, maka pelaku menganggap bahwa korban tidak keberatan dan diam-diam setuju dengan pelecehan tersebut.
52
Akhirnya mitos yang seringkali diamini banyak orang adalah pelecehan seksual bukan hal serius, pelecehan seksual tidak berbahaya dan jika seorang perempuan melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya dianggap sebagai tindakan yang berlebihan. Faktanya, pelecehan seksual memiliki dampak fisik dan psikis yang serius seperti sakit kepala/migrain berkepanjangan, gangguan pencernaan, insomnia, trauma, depresi dan rasa malu berlebihan. Bagi korban yang berstatus pelajar/ mahasiswi, pelecehan seksual mengakibatkan gangguan konsentrasi belajar dan rendahnya prestasi akademik. Dalam budaya patriarki yang bias gender, perempuan korban pelecehan seksual menghadapi kendala psikologis yang besar untuk melaporkan pelecehan yang dialaminya karena kekuatiran mendapat stigma dan disalahkan sebagai pemicu pelecehan seksual.
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
KOLOM PARAHYANGAN
ta mengalami pelecehan seksual? u, jangan malu dan jangan takut yang bisa dipercaya atau melapor emiliki otoritas.
"
Bagaimana jika teman kita menjadi korban pelecehan seksual? Pertama, sediakan telinga dan hati untuk mendengarkan korban. Kedua, tidak menyalahkan korban. Ketiga, dengan persetujuan korban laporkan pelecehan seksual kepada orang yang memiliki otoritas dan bisa dipercaya di lingkungan dimana pelecehan terjadi, misalnya polisi, atasan, guru/ dosen. Keempat, cari bantuan bagi korban sesuai kebutuhan misalnya menghubungkan korban dengan lembaga layanan, dokter, psikolog, kepolisian, lembaga bantuan hukum.
Referensi: Indraswari, 2013, Myths and facts of sexual harassment, artikel, Harian “The Jakarta Post”, Selasa, 27 Agustus 2013, Jakarta. Komnas Perempuan, 2018, Tergerusnya ruang aman perempuan dalam pusaran politik populisme: catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2017, Komnas Perempuan, Jakarta. Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, 2017, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan, Jakarta.
Di kalangan aktivis perempuan dikenal slogan “silence is not an option” atau diam bukan pilihan. Dengan diam, korban semakin terpuruk dan pelaku semakin menjadi melakukan aksinya. Mari kita bicara, laporkan pelaku dan bantu korban pelecehan seksual. Dengan demikian kita turut berkontribusi mencegah dan menghapuskan pelecehan seksual.
KOLOM 53
KOLOM PARAHYANGAN
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Pendidikan Tinggi, Oleh: Alm. Prof. Bernard Arief Sidharta
“Men kan niet onderwijzen wat men wil. Men kan niet onderwijzen wat men weet. Men kan alleen onderwijzen wat men lsi” – Ir. Soekarno (Tidak, goeroe tidak bisa main koemidi. Goeroe tidak bisa mendoerhakai ia poenja djiwa sendiri. Goeroe hanyalah dapat mengasihkan apa dia itoe sebenarnja.)
B
ila direnungkan secara mendalam, sabda Ir. Soekarno tadi menyiratkan apa yang seharusnya dilakukan oleh kalangan pendidikan tinggi pada saat ini. Di tengah kecenderungan komersialisme, konsumerisme, dan hedonisme, kalangan pendidikan tinggi kapan saja mampu “mencetak” ahli hukum, dokter, insinyur, teknolog, teknorat, ekonom, manajer, dsb., sebanyak mungkin. Namun, tak jarang bila mereka dicap sebagai “the new barbarians” yang memiliki kemahiran berkeilmuan. Itu karena ada faktor tertentu yang selama itu tidak mereka punya dan yang seringkali luput diberikan oleh pendidikan tinggi terhadap peserta didik. Faktor apakah itu?
Tulisan ini dimuat ulang oleh tim redaksi dari tulisan Arief Sidharta dalam kolom majalah ParaHyangan edisi 14/Th IX, November 1999
54
Hal di atas merupakan satu dari sekian aspek yang perlu diperhatikan dan selanjutnya harus dilakukan oleh pendidikan tinggi di Indonesia. Namun sebelum lebih jauh memaparkan aspek-aspek tersebut, perlu diketahui dulu hakikat pendidikan tinggi. Bicara tentang pendidikan tinggi ternyata tak lepas dari pandangan Jose Ortega Y. Gasset enam puluh Sembilan tahun yang lalu. Dalam bukunya, “Mission Of The University” (1930),
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
KOLOM PARAHYANGAN
Apa yang Harus Kau Perbuat? pendidikan tinggi pada dasarnya mengemban tri fungsi, yakni transmisi kultur (tatanan nilai budaya yang vital), pendidikan profesional, dan penelitian ilmiah serta pendidikan ilmuwan. Tujuan dan Tugas Pendidikan Tinggi Di Indonesia, tiga fungsi pendidikan tinggi itu dapat ditemukan dalam perundang-undangan tentang pendidikan nasional dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 30/1990, pendidikan tinggi bertujuan untuk: (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian; (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Kedua tujuan itu biasa “disingkat” dengan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemahaman tujuan pendidikan tinggi yang tertera dalam PP No. 30/1990 itu tidak dapat dilepaskan dari dan harus dilakukan dalam kerangka tujuan pendidikan nasional. Hal itu ditegaskan dalam Undang-Undang No. 2/1989 Pasal 4, bahwa pendidikan nasional: “…bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa bertanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dalam intinya, tujuan pendidikan tinggi di Indonesia adalah untuk: (1) membina manusia Indonesia seutuhnya (transmisi kultur) yang mampu menjadi pengemban profesi, ilmuwan, dan peneliti yang berbudaya; (2) melaksanakan penelitian ilmiah dan pengembangan ilmu, teknologi, kesenian dan kebudayaan nasional serta; (3) melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Demi mewujudkan fungsi dan tujuannya, yakni menghasilkan manusia berbudaya yang mampu mengemban profesi dan atau menjadi ilmuwan, maka pendidikan tinggi harus mentransfer informasi dan kemahiran mengakses, mengolah dan menggunakan informasi tersebut. Informasi yang ditransfer mencakup substansi obyek ilmu dan metodenya. Kemahiran yang ditransfer adalah cara berkarya yang berkeahlian dengan menerapkan ilmu secara praktikal sehingga mampu menawarkan penyelesaian masalah konkret, yang secara rasional dapat dipahami dan dijelaskan atau dipertanggung jawabkan. Cara menyampaikan atau mentransfer bahan studi dan cara menumbuhkan berkarya, pada dasarnya, menjadi ciri khas pendidikan tinggi. Namun hal tersebut harus dilakukan secara imajinatif-kreatif. Artinya transfer bahan studi itu harus dilaksanakan dengan membangkitkan dalam pikiran peserta didik tentang berbagai kemungkinan yang dapat pada bahan yang ditransfer. Selain itu disertai dengan penumbuhan kemampuan berpikir jernih dan bertujuan pada penyelesaian masalah teoritikal maupun masalah praktikal, bukan (hanya) memompakan pengetahuan ilmiah sebanyak mungkin.
KOLOM 55
KOLOM PARAHYANGAN
MEDIA PARAHYANGAN
Perlu Etika Profesi Sebagai pendidikan tinggi, menurut Ortega Y. Gaset universitas adalah institusi untuk mendidik mahasiswa “biasa” (ordinary student) menjadi pribadi berbudaya dan warga (pengemban) suatu profesi yang baik. Maka, universitas tidak boleh membiarkan pretense palsu masuk ke dalam programnya; artinya ia akan menuntut mahasiswanya hanya untuk apa yang secara aktual dapat dituntut dari dirinya. Konsekuensinya, universitas harus menghindarkan diri menjadi penyebab mahasiswa biasa menghamburkan sebagian dari waktunya untuk berangan-angan bahwa ia akan menjadi ilmuwan. Demi tujuan ini, penelitian ilmiah harus ditiadakan dari kurikulum inti atau kurikulum minimum universitas. Walaupun tiap universitas mutlak membutuhkan dan harus memiliki ilmuwan peneliti bermutu tinggi, namun seleksi pengajar (profesor) harus didasarkan tidak terutama pada tingkatannya sebagai peneliti, melainkan pada bakat untuk mensintesis dan bakat untuk mengajar. Seperti diatur dalam PP No. 30/1990, pendidikan tinggi yang terkait dengan gelar kesarjanaan terbagi dalam tiga strata, yaitu Strata 1 (program Sarjana), Strata 2 (program Magister), dan Strata 3 (program Doktor).
JUNI 2018
Strata 1 harus diarahkan pada transmisi kultur, (sebagai tatanan nilai yang vital) dan pendidikan profesional. Walaupun demikian, aspek pendidikan akademiknya tidak boleh diabaikan. Bila diabaikan maka akan mengurangi ciri dan sifat khas pendidikan tinggi. Maka, program pendidikan Strata 1 harus terarah untuk membina dan menghasilkan sarjana yang mampu menjalani kehidupan dan mengemban suatu profesi “at the level of the ideas of his time” atau “at the height of the time” (Ortega Y. Gasset). Transmisi tatanan nilai budaya pada Strata 1, mengingat adanya kecenderungan komersialisme, konsumerisme, dan hedonisme, saat ini sangat penting untuk mencegah hadirnya “the new barbarians”, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Dalam konteks ini, maka pengadaan mata kuliah Etika Profesi dalam kurikulum program pendidikan tinggi Strata 1 menyandang makna sangat penting. Pendidikan ilmuwan dan peningkatan kualitas ilmiah pengembanan profesinya dapat dilakukan pada pendidikan tinggi Strata 2 dan Strata 3.
Tak jarang bila pend sebagai “the new bar liki kemahiran berkei 56
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Kurikulum: Bukan untuk yang Brilliant Akhirnya, bagaimana dengan kurikulum? Para pakar pendidikan umumnya berpendapat bahwa penetapan kurikulum harus bertolak dari subyek peserta didik (siswa atau mahasiswa) dalam konteks tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Titik tolak ini mengimplikasikan adanya asas-asas yang harus menjadi pedoman dalam menetapkan mata pelajaran atau mata kuliah atau yang sering disebut sebagai kurikulum. Asas pertama, bahwa yang harus diajarkan adalah apa yang dapat diajarkan, yakni apa yang dapat dipelajari. Kedua, asas bahwa apa yang diajarkan itu harus hanya apa yang memang diperlukan oleh peserta didik dalam mengemban profesi. Asas terakhir adalah bahwa peserta didik yang dijadikan titik tolak atau kerangka acuan adalah “peserta didik biasa” (ordinary student), bukan yang brilliant dan juga bukan yang intelektualitasnya di bawah standar tertentu. Perumusan ketiga asas tersebut dilandasi pada pola pikir Leonardo da Vinci, “Chi non puo quel che vuoi,quel che puo voglia.” (Ia yang tak mampu memperoleh apa yang diinginkan, biarlah ia menginginkan apa yang ia mampu peroleh). Untuk mengimplementasikan ketiga asas tersebut, maka faktor waktulah yang harus selalu diperhitungkan.
KOLOM PARAHYANGAN
Kurikulum harus ditujukan pada proses belajar-mengajar yang mendorong peserta didik untuk berikhtiar sendiri dalam memperoleh pengetahuan. Hanya pengetahuan dan kemahiran yang diperoleh dan dikuasai sebagai hasil ikhtiar sendiri peserta didik saja yang dapat menjadi bagian dari diri-pribadinya. Selain itu dapat memperkaya jiwa atau spiritualitasnya. Kurikulum yang dijalankan harus mampu mendorong peserta didik untuk secara aktif mencari dan menemukan sendiri pengetahuan lewat bertanya, menjawab pertanyaan, memberikan dan menanggapi kritik, serta bergulat dengan masalah untuk menemukan penyelesaian yang harus tetap terbuka bagi pengkajian rasional. Lewat konfrontasi dengan masalah dan kenyataan, jiwa dan intelektualitas peserta didik akan membuka diri untuk berkembang dan mendewasa. Hal ini a fortiori berlaku bagi pendidikan profesional yang bertujuan mentransfer dan mengembangkan kemahiran berkeilmuan dalam bidang tertentu pada peserta didiknya. Kemahiran melakukan sesuatu hanya dapat ditumbuhkan lewat pengalaman dan latihan teratur (terstruktur).
didikan tinggi dicap rbarians” yang memiilmuan. 57
"Jaune" Oleh: Faisal Luthfidary
KLAB MENULIS
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
"Dalam Angkutan Umum" Oleh: Fiqih R Purnama
Berpakaian Santai Pikiran Andra Sedang terganggu, silet, tambang, hingga racun tikus tergeletak di dalam kamar kosnya. Dari sekian perencanaan bunuh diri, tak ada satu pun yang terlaksana. Keadaan kampus yang terperangkap wabah komersialisasi, nilai-nilainya yang kebakaran, dan kekasihnya yang hilang menghancurkan semangat dalam hatinya dan merobohkan benteng dalam pikirannya untuk tetap hidup di dunia. Setiap kali Andra mencoba bunuh diri, ada saja hal yang menghalanginya, “Negaraku belum Merdeka” bisik kecil dalam hatinya. Ada lagi satu bisikan yang sangat menyanyat niatnya itu, yaitu kenyataan bahwa dia belum pernah bercinta. Sebagai seorang mahasiswa Andra memang seorang yang cukup aktif dalam pergerakan mahasiswa, hingga teman-temannya menjuluki dia si “Beringin Tua” sudah hampir 7 tahun dia berada di kampus
60
, dan tak henti-hentinya memperjuangkan hak-hak mahasiswa yang direnggut oleh pihat rektorat. Meskipun tak ada seorang pun yang menemaninya, karena kenkawannya yang terdahulu telah berguguran. Seperti beringin tua, Semakin tahun semakin besar, namun semakin sendirian dan tak bisa bergerak jauh, hanya bersuara lewat daundaun rimbunnya yang terhempas angin. Di satu pagi ketika Ia baru saja terbangun dari mimpinya, Andra dengan tekat yang kian telah bulat, sekali lagi Ia berencana untuk meminum obat-obatan yang didorong dengan minuman bersoda. Cara yang belum pernah terpikir sebelumnya. Ia pun segera bergegas menuju apotek terdekat. Langkah demi langkah dilalui, kelopaknya berkedip lebih cepat, badannya lebih dingin dari biasanya, dan kakinya bergetar tak seperti biasanya.
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Sesampainya dia di tepi jalan Tuhan mungkin menginginkannya untuk hidup lebih lama, dari 3 angkutan umum yang melewat, dua diantaranya sudah penuh dengan penumpang, bahkan pada angkutan umum pertama ada 2 orang siswa SMA terpaksa berdiri menerjang angin tepat di lubang pintu. Namun pada akhirnya angkutan umum ketiga datang dengan membawa harapan. Angkutan umum itu terlihat kosong dan sepi, hanya ada seorang pelajar SMP yang terduduk di pojok bangku yang lebih banyak dari yang lainnya. Sedikit penasaran, Andra mencuri pandangan pada siswa SMP tersebut. Matanya melalak ketika melihat tanda nama pada bagian kanan seragamnya. Disitu tertuliskan nama “ANDRA” yang terbuat dari benang-benang putih dengan latar hitam.
KLAB MENULIS
Hal itu membuat dia merenung, berkhayal, dan dia mulai mengandai-andai. “Andai saja aku bisa kembali menjadi seperti dia, menjadi seorang anak SMP yang belum memiiki banyak pikiran, sekolah seadanya, berteman sepuasnya, aku rindu menjadi seseorang yang mendapatkan kebahagiaan hanya dengan memakan semangkuk baso bersama ayah. Tapi yang paling penting jika aku dapat kembali menjadi seperti dia, aku akan memperbaiki hidupku sedari dini, akan kuubah arah hidupku, aku ingin menjadi seorang yang biasa-biasa saja dan hidup apa adanya. Aku juga akan menghindari langkah-langkah yang salah dari perjalanan hidupku. Satu hal yang terpenting adalah, aku tidak mau tumbuh dewasa apalagi beranjak tua”
KLUB MENULIS
61 Cerpen
KLAB MENULIS
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
Berseragam Putih-Biru Sakit perutnya tak tertahankan lagi, pukulan ketiga teman Andra itu tepat bersarang di ulu hatinya. Rasa sakit itu bertambah dengan menggumpalnya kekesalan yang tak bisa Dia utarakan. Meskipun berhasil memukul dengan telak rahang kiri temannya hingga tersungkur, namun kedua orang lainnya segera mengunci lengan dan lehernya sehingga ia hanya bisa menahan rasa sakit. Tak lupa setelah dipukuli, Andra yang telah terkapar lemah itu diludahi tepat di pelipis matanya. Ia hanya bisa pasrah dan menahan rasa sakitnya, kini bukan lagi luka fisik, tapi perasaannya pun ikut tercabik-cabik. Tergopoh ia berjalan mendekati jalan raya, menyiapkan beberapa uang recehan untuk ongkos naik angkutan umum. Rasa sakit diperutnya semakin menjadi, dengan memegang erat perutnya Ia berharap rasa sakitnya itu diakibatkan oleh menstruasi,
62
bukan karena pukulan. Sudah sejak lama Ia menginginkan menjadi seorang perempuan. Sesampainya dia di tepian jalan, tanpa harus menunggu lama, sudah terlihat satu angkutan umum yang sedang berdiam, bukan hanya untuk menunggu penumpang sang supir pun melipir menuju semak untuk berkemih. Terlihat dari belakang tubuhnya sedikit bergidik, dan kedua tangannya seperti sedang memegang “sesuatu� Ruang kosong Angkutan Umum itu menjadi milik Andra sepenuhnya. Seketika segala sesuatu yang ada membuatnya merenung dan memikirkan segala sesuatu yang telah ia alami. Dia merasa sangat terpukul, juga bingung atas apa yang telah terjadi, dia tak tahu kesalahan apa yang pernah diperbuat, sehingga membuat teman-temannya kesal dan benci terhadapnya.
JUNI 2018
KLAB MENULIS
MEDIA PARAHYANGAN
“apa karena aku menyukai laki-laki?” bisik hatinya “apa karena aku berbeda?” “agama? Tingkah laku? Keluargaku?” “apa hanya karena itu?” yang terakhir ini tidak sengaja terucapkan olehnya dengan nada yang sedikit kesal. “Jika memang itu semua yang membuat mereka benci padaku, jangan salahkan aku!” “salahkan tuhan yang telah menciptakanku seperti ini” pergolakan batinnya kian memuncak “Karena, itu semua bukan kemauanku, perasaan itu datang dengan sendirinya!” Merasuk kedalam hati, dan menjalar ke bagian tubuhku yang lainnya.
Jika aku dapat akan menjadi lagak bak lelaki yang popular la atau menjadi
memilih pun, mungkin aku sama seperti kalian. Bertangguh, bermain olah raga menjadi pemain sepakbobintang di lapangan basket.
Bukan karena aku membenci diriku yang sekarang, tapi aku lelah di pandang hina oleh semua. Aku ingin diperlakukan sama sebagaimana kalian memperlakukan manusia pada umumnya. Aku tak sabar untuk lekas menjadi dewasa, akan kutunjukan bahwa aku sama seperti mereka. “Jika
aku
dewasa,
……….”
Seketika lamunannya terusik, ketika memikirkan dan menerawang masa-masa dewasanya. Seorang penumpang masuk ke angkutan umum tersebut, berpakaian santai seperti seorang mahasiswa sedang mencari sarapan. Dan hati kecilnya berbisik dengan lembut. “Jika aku dewasa, aku ingin seperti dia”
63 Cerpen
KLAB MENULIS
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
Tubuh yang Akur Aku adalah tubuh yang menghampiri segala kemungkinan, membawa sepercik mimpi menusuri naungan fantasinya. Aku adalah mata yang menyakiti kaumku sendiri, disamping temanku terkapar rentan tidak berdaya. Aku adalah ekor tanpa bulu kasih sayang, yang terinjak pada setiap pria yang menertawai penolakanku. Aku adalah tangan yang sempurna, melipat kenyataan yang terjadi pada era kafir moral ini. Aku adalah jiwa yang terluka, di dalam permainannya mencuci tubuh ini di malam hari. Malam ini dingin dan jagad pun tahu. Seakan-akan mendengar apa yang dikatakan hati. Malam ini setia dan hanya aku yang tahu, seperti tubuh yang telanjang ini meminta akur pada kasur, seperti pria yang mendaifkanku di sebrang jalan pengkolan, dan seperti diriku yang lupa akan sisi-sisi keelokan tubuhku ini. Aku, Aku, Aku, Dan aku. Aku dan tubuhku adalah satu! Aku dan tubuhku adalah satu! Aku dan tubuhku adalah satu! Matahari tidak tahu malu untuk memberi cahayanya, dan ia berbisik pada jalan yang kutempuh, mengisi ruang pikiranku dan meminta untukku akur pada tubuhku. Lalu aku larut di dalamnya. Lalu aku larut, Lalu aku larut, Lalu aku hilang.
Oleh: Tika Pratiwi
KLUB MENULIS 64
Sastra
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
"trial 1: grey and blue for face" Oleh: Faisal Luthfidary
KLAB MENULIS
Perihal Genital
Aku meninggali tempat yang isinya dipenuhi kisah jenaka Narasi yang sering ku dengar adalah tentang Jaka dan Dara
Katanya Jaka dan Dara berbeda Jaka berkuasa dan Dara terkuasa Kau tau apa yang lucu? Ternyata mereka cuma beda anunya! Ha... ha... ha...
Oleh : Kala Giyantari
Berkat Kartini Seandainya kala itu matahari tidak terbit dan menyemburkan cahaya nya Semua yang tak terlihat akan kekal dalam gelap Dan aku, menetap pada ketidaktahuanku  
Oleh : Tatiana Putri
Berdamai Dengan Aku Pada tiap langkah tak semuanya mudah Ada kalanya masa lalu menyapa seakan tak ingin tertinggal meminta untuk turut serta mencumbu masa depan Aku tergelak! Lucu sekali dia, berlagak lupa akan dosa yang telah dibuat Sayang, aku terlalu lelah untuk mengelak dan memilih berdamai dengan memberi maaf
Oleh : Katta Rengganis 65
RESENSI
-
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
"
Perempuan merona itu biasa saja. Sesekali ia akan bertamu di genangan air setempat untuk mencari-cari di mana wajah cantik yang dirampungkan si maha segala untuknya. “Bukan main elok ibuku. Ayahku pun rupawan sekali,” keluhnya kecewa sambil berlalu dari sana. Perempuan merona masih ingin merasa cantik dan membutuhkan genangan air lagi. Mungkin yang lain akan berkata berbeda. Tapi waktu itu pukul lima yang kedua kali di hari itu. Jadi, dirinya ia rebahkan di kasur bumi dan membiarkan senja menghunus kudus jiwanya lewat jingga dan hangat. “Ayah, ibu, sembunyi-sembunyi, putrimu ini sudah digerayangi sekujur tubuhnya. Mengapa kau larang aku bercinta kalau ternyata rasanya sesedap ini?” keluhnya kecewa sambil berlalu dari sana. Tiba-tiba terang tak lagi dirapal sempurna. Mendung menyelinap di depan pintu dan dari sela-sela, hujan memaksakan hidupnya. Perempuan merona mendapati hatinya terseret dalam suka. Banyak genangan air, pikirnya. Ia pun menyapa semuanya: terus-terusan berkutat dengan pertanyaan yang sama, pencarian yang serupa, dan perolehan jawab yang sebelas dua belas. “Aku tidak suka merah muda di pipiku, Ibu. Aku tidak terlihat indah karenanya,” keluhnya kecewa sambil berlalu dari sana.
" Oleh: Eriana Marta Erige
Lalu raganya mendambakan rumah. Sudah cukup jalan-jalan dan mengawang. Tapi, perempuan merona kurang bisa berkawan dengan gelap dan sekarang ialah malam. Berbekal lagu sekolah minggu yang ketika kecil kerap ia senandungkan setiap merasa gentar, ia menyusuri gang-gang kecil yang menuntunnya kembali. “Jalan serta Yesus…. Jalan serta-Nya setiap hari,” –kemudian terhenti karena himpunan bunyi gelak tawa yang berat–“Ah, sialan,” keluhnya kecewa sambil berusaha berlalu dari sana. Perempuan merona lupa bahwa ini adalah musim birahi. Dalam sekejap, gang kecil itu kemudian berubah menjadi pasar malam yang mengerikan. Jeritannya seperti seorang anak yang menangis karena ditinggal sebentar oleh ibunya untuk membeli gula-gula kapas dan tiket masuk wahana biang lala. “Ibu, aku mau bersama ibu saja!” keluhnya kecewa sambil meronta berusaha berlalu dari sana. Petang menjelang dan perempuan merona akhirnya dapat pulang. Di teras ada ibu yang menanti. Untuk pertama kali ia berhenti mengeluh. Ia berbaring di pangkuan ibu dan darah membentuk genangan dari selangkangannya. Perempuan merona membiru. Merah muda di pipinya pucat. Isaknya tak kunjung usai. Tubuhnya tak dikenakannya: sudah dipetakan habis-habisan. “Kau benar perempuan, putriku. Lihatlah, kau tangguh dan selamat.”
KLUB MENULIS 66
Sastra
JUNI 2018
RESENSI
MEDIA PARAHYANGAN
ALBUM: BEESWAX "SAUDADE" Oleh: Zico Sitorus
B
and emo asal malang, Beeswax baru saja merilis album penuh keduanya. Bertajuk Saudade, album ini menunjukkan peningkatan performa dari Beeswax dibanding album sebelumnya, Growing Up Late. Proses pengerjaan album yang dikabarkan berlangsung selama 2 tahun ini membuahkan hasil yang memuaskan. Album ini dirilis oleh Fallyears Records dan berisikan 14 lagu. Saudade sendiri diambil dari bahasa portugis, yang berarti loss and longing. Longing menurut Bagas Yudhiswa, gitaris/vokalis, merupakan sesuatu yang kompleks, tidak hanya melibatkan perasaan kehilangan akan seseorang. Oleh karena itu lagu-lagu di Saudade merangkum semua emosi yang dirasakan manusia yang mengalaminya. Senada dengan hal itu, trek pembuka pun diberi judul yang sama. Sebuah trek instrumental yang berisi gitar dan terompet langsung membawa kita ke dalam perjalanan melankolia yang disetir oleh Beeswax. Secara keseluruhan, lagu-lagu mereka juga memiliki hook yang catchy dan tetap terdengar melankolis. Saya tidak akan kaget bila banyak penggemar yang akan sing along di penampilan live mereka.
Selain itu, suara gitar yang twinkly dan perubahan tempo secara tiba-tiba dieksekusi dengan matang, dan tidak dipaksakan. Misalnya saja di lagu Refugee atau Wooden Bench. Di lagu ke 7, tiba-tiba vokal utama diisi oleh suara perempuan. Beeswax ternyata berkolaborasi dengan Steffani BPM. Suara Steffani menariknya terdengar pas dalam kesatuan album. Begitu pun dengan trek ke 9 Fix, yang sebelumnya pernah muncul di EP perdana mereka, First Step. Kedua lagu ini tidak terdengar tidak pada tempatnya. Tidak hanya itu, di The Firewalk, Beeswax juga mengajak Sabiella Maris dari band Closure berkolaborasi. Di lagu Timber, Beeswax kembali menyajikan kejutan, dengan drummer, Yanuar mengisi posisi vokal utama. Produksi album ini lebih matang, uniknya justru dikerjakan oleh punggawanya sendiri. Mulai dari artwork dan fotografi yang ada di sampul album dikerjakan oleh Bagas dan Raveizal Aryo Sayoga. Bahkan proses mixing dan mastering pun dilakukan oleh personel sendiri, Bagas. Hal ini yang mungkin berpengaruh dengan hasil akhir yang sesuai dengan keinginan band.
MUSIK
Resensi
67
RESENSI
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
“A Fantastic Woman (Una Mujer Fantástica)” Oleh: Jessica Winarto
C
inta itu abadi, tak terhalang waktu apalagi usia. Inilah yang dialami sang tokoh utama Marina Vidal yang diperankan oleh Daniela Vega lewat film bertajuk “A Fantastic Woman (Una Mujer Fantástica)”. Film asal Chile ini digarap oleh sutradara Sebastián Lelio. Berbahasakan bahasa Spanyol, film ini berhasil memenangkan kategori foreign language film dalam ajang penghargaan Oscar 2018 setelah bersaing dengan “On Body and Soul” dari Hungaria, “Loveless” dari Rusia, “The Insult” dari Libanon, dan “The Square” dari Swedia. Marina Vidal adalah seorang wanita transgender yang bekerja sebagai pelayan restoran dan calon penyanyi yang mulai berkarier dengan bernyanyi di restoran atau bar. Memiliki kekasih yang usianya 20 tahun lebih tua tidak menghalangi dirinya untuk memiliki kisah cinta yang spektakuler.
Orlando, kekasihnya (diperankan oleh Francisco Reyes) rela datang menonton penampilan Marina. Tak hanya itu, Orlando merayakan ulang tahun Marina dengan makan malam dan tiket jalan-jalan ke Air Terjun Iguazu, satu dari 7 keajaiban dunia. Namun tak disangka, sebelum Marina dapat menginjakkan kaki di Air Terjun Iguazu, Orlando harus pergi meninggalkannya selamanya. Berfokus pada Marina yang harus tegar berjuang menjalani hidup, ¾ kisah film ini berlanjut. Marina yang tadinya terbiasa memakai barang kepemilikan Orlando harus belajar melepaskan seluruhnya. Mobil kepemilikan Orlando yang dikendarai Marina harus diminta kembali oleh mantan istri Orlando. Apartemen tempat tinggal mereka berdua pun “dijarah” oleh Bruno, anak Orlando. Hal-hal tersebut terjadi bahkan sebelum jasad Orlando dikebumikan.
KLUB MENULIS 68
Resensi
JUNI 2018
RESENSI
MEDIA PARAHYANGAN
Tak hanya itu, Marina harus menjadi target kecurigaan polisi. Kepergian Orlando secara tiba-tiba tanpa alasan kematian yang jelas membuat kepolisian mencurigai Marina karena dialah orang terakhir yang bersaman dengan Orlando. “Ancaman” dan tekanan yang datang pun bukan hanya dari pihak kepolisian tetapi dari Bruno dan mantan istri Orlando juga. Mantan istri Orlando dengan tega melarang Marina datang ke pemakanan Orlando dan juga menanyakan barang kepemilikan Orlando apalagi yang masih ada di tangan Marina. Bruno pun mengancam Marina secara fisik dengan menangkap Marina. Rangkaian adegan dimana Marina harus pindah ke tempat tinggal kakaknya sangatlah menyentuh untuk saya. Disaat kakak Marina mengkhawatirkan dirinya, dengan tegar Marina berkata kalau ia pasti bertahan. “Lo que no te mata te hace más fuerte (what doesn't kill you makes you stronger)” ujar Marina. Sosok “fantastic” Marina sebagai wanita digambarkan bukan hanya dengan ketegaran, tetapi dengan sikap juang dan perlawanan. Marina tidak membiarkan dirinya “diinjak-injak” oleh keluarga Orlando. Dengan berani ia mendatangi pemakaman Orlando yang walaupun akhirnya ia harus diusir. Marina pun berani meminta kepada Bruno anjing kepemilikan Orlando yang sudah diberikan kepadanya. Walaupun semua kejadian ini terjadi dalam waktu yang singkat, dalam hitungan minggu, Marina tidak membiarkan dirinya depresi terus-terusan. Walaupun ditimpa shock yang sangat besar, kehilangan hampir semuanya, kehilangan orang yang dicintai, Marina tidak berhenti berjuang dalam hidupnya. Peristiwa bertubi-tubi yang dialami Marina mampu membuat saya ikut kesal dan merasakan apa yang Marina alami. Ketegangan cerita yang dikemas dalam sinematografi dan latar musik yang indah membuat saya bertahan menonton film ini dari awal hingga akhir terlepas dari genre drama yang sering kali membosankan. Walaupun memang film ini tergolong rated R dengan usia minimal 17 tahun, berhubung cerita yang disuguhkan adalah cerita kehidupan yang tergolong berat.
Film ini mampu menggambarkan sisi teguh dan kuat wanita yang jarang diperlihatkan. Seperti yang digambarkan Marina, sosok wanita haruslah tegar dalam mengahadapi hidup. Berlatarkan kondisi sosial yang liberal pun membuat Marina bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa mengandalkan kekasihnya. Sebagaimana terucap “life must go on”, Marina tidak fokus pada masalah dan tekanan yang dihadapi. Karena pada akhirnya, seluruh kesulitan dalam hidup terjadi untuk membuat diri manusia kuat, bukan untuk menghancurkan diri manusia.
"Film ini mampu
menggambarkan sisi teguh dan kuat wanita yang jarang diperlihatkan. Seperti yang digambarkan Marina
"
FILM 69
KLAB MENULIS
70
MEDIA PARAHYANGAN
JUNI 2018
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
KLAB MENULIS
" fika's cat on ground color" Oleh: Faisal Luthfidary
71
A LUTA CONTINUA
JUNI 2018
MEDIA PARAHYANGAN
A Luta -
CONTINUA! Pemimpin Redaksi 2015-2016
Kristiana Devina Hukum 2013
Koordiv Perusahaan 2016-2017
Staf Redaksi
2015-2016
Arya Mahakurnia HI 2013
Richard Santosa Manajemen 2013
Koordiv Litbang
Staf Redaksi
2016-2017
2015-2016
Qurotta Ainun HI 2013
Dyaning P. HI 2013
Agnes Qania Fakhira HI 2013
Pemimpin Umum
Bendahara
Kordiv Perusahaan
2013-2014
2015-2016
Bajik Assora HI 2010
72
Staf Redaksi
2015-2016
Katya Prijanka HI 2013
2015-2016
Veronica Dwi Lestari Hukum 2013
A design office focusing on Product, Interior and Architecture, also Branding and Graphic Design. We lived in a small and simple area. Intended for the youth who need a place to undertake work or task indefinitely with facilities that are private enough and support online activities. In addition, this area is equipped by a mini coffee shop that can quickly provide a variety of coffee and snacks in self service to accompany the activities of the users.
Media Parahyangan
74
AGUSTUS 2016
MEDIAPARAHYANGAN.COM Kontak: mediaparahyangan@gmail.com Mediaparahyangan @mwi5460h Dicetak Oleh: WIDJI (Pusat Layan Dokumen) Jl. Tamansari No. 62 - Bandung 022-4238571 widjicopy@yahoo.com widjicopy@gmail.com