Transendensi Arsitektur Gereja

Page 1


Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, penulis mampu menyelesaikan makalah penelitian dengan judul "Transendensi Arsitektur Gereja". Penyusunan laporan makalah penelitian ini bertujuan unruk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan mata kuliah Kajian Perancangan Arsitektur pada Universitas Tarumanagara Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Penyusunannya dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Petrus Rudi Kasimun, Bapak Rio Sanjaya, dan juga pihak-pihak lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu disini. Walaupun demikian, dalam makalah penelitian ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penelitian ini. Namun demikian adanya, semoga makalah penelitian ini dapat dijadikan acuan tindak lanjut penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi kita semua terutama bagi ilmu arsitektur.

Jakarta, Mei 2019

Penulis

i


Daftar Isi Kata Pengantar .......................................................................................... i Daftar Isi .................................................................................................. ii Pendahuluan ............................................................................................. 1 Diambil dari Kisah Para Rasul .................................................................. 3 Sekejap tentang Sejarah Gereja ................................................................. 5 Liturgi dan Ruang..................................................................................... 6 Eliade Mircea dan Dikotomi yang Sakral dan yang Profan........................ 9 Cerita dari Gereja Bahtera ...................................................................... 13 Menengadah di Rumah Tuhan ................................................................ 17 Misteri Tuhan atau Misteri Tukang ......................................................... 19 Referensi ................................................................................................. iii

ii


Pendahuluan Akhir pekan yang datang lagi, akhirnya dapat jeda dari hari-hari untuk berhenti berlari. Yang biasanya pergi untuk bekerja, hari ini harus pergi ke gereja. Diusahakan tiap minggu walau kadang sambil menggerutu. Tiap kali kunjungi gereja yang ini, dekat rumah agar bisa jalan kaki. Kalau pergi ke gereja yang ini terasa beda dari gereja yang satu lagi. Kalau hari sudah tak ada lagi matahari, memang beda dengan yang masih pagi. Tetapi mengapa begini, bukan yang penting itu liturgi? ___________ Tiap minggu aku pergi ke gereja mengikuti ekaristi di gereja yang sama, dengan pastor dan umat yang itu-itu saja. Kadang jenuh terjerat repetisi, aku jalanjalan ke gereja lain. Minggu lalu aku ke gereja saudaraku, minggu ini aku ke gereja temanku, minggu depan ke gereja yang belum pernah kudatangi. Memang benar gereja-gereja ini pasti punya serangkaian rupa yang membedakan satu sama lainnya. Namun, tata cara ibadah dan liturgi setiap gereja katolik di seluruh dunia pasti sama, walaupun ada saja beberapa injeksi khusus dari kebudayaan local sekitar gereja. Yang membingungkan bagiku, mengapa ada perasaan yang berbeda saat beribadah ke gereja satu dan gereja lainnya. Gereja satu seperti mengisi kekosongan dalam rongga dada, tapi yang satu hanya terasa biasa. Belum lagi kalau pergi ke misa yang sore atau pagi. Kadang satu terasa lebih berarti dan yang satu seperti mati. Apa mungkin, Tuhan tidak hanya datang dalam perwujudan liturgi. Apa

1


mungkin, Tuhan datang dalam intensi. Mungkin Tuhan datang dalam interaksi antar tubuh kita dengan bangunan yang suci di waktu-waktu tertentu. Tubuh manusia yang berdialog dengan sekelilingnya dapat menyimpulkan bentuk kedatangan Tuhan yang berbeda-beda sesuai intentsionalitas masing-masing. Pengalaman yang dialami manusia ini untuk memahami kesakralan ruang tersebut harus melampaui apa yang dia lihat.

2


Diambil dari Kisah Para Rasul Semenjak disalibkannya Yesus di kayu salib, para rasul bersembunyi ketakutan dibalik pintu-pintu yang terkunci hingga munculnya Yesus yang telah bangkit mengubah hidup mereka. Setelah kenaikan Yesus, mereka senantiasa berada di Bait Allah dan memuliakan Allah. Tanpa lelah Petrus mewartakan tentang Pentakosta, dia memberitakan kepada seisi rumah Israel, “.... bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan, dan Kristus”1

Orang-orang yang mendengar saat itu menjadi pedih hatinya dan bertanya, “Apa yang harus kami perbuat saudara-saudara?” Petrus kemudian menjawab, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus”.2 Tiga ribu jiwa mentaati Injil pada hari itu, kemudian jumlah laki-laki menjadi kira-kira lima ribu jiwa.3 Jumlah murid-murid di Yerusalem pada saat itu, sebelum mereka tersebar ke berbagai tempat karena penganiayaan mungkin mencapai antara dua puluh ribu sampai dua puluh lima ribu jiwa. Namun, hanya sekitar empat dekade setelah penyaliban, Bait Suci dihancurkan oleh Kaisar Titus dam tidak pernah dibangun kembali; kemudian, fungsi keagamaan kuil diambil alih oleh sinagoga. Bahkan pada waktu itu Bait Suci hanyalah gambaran yang asing bagi orang-orang Yahudi diaspora, dan cara serta

1

Kisah Para Rasul 2:36 Kisah Para Rasul 2:38 3 Kisah Para Rasul 2:41 2

3


pemujaannya tidak diketahui oleh mereka secara mendetail. Namun, kekuatan dari citra seperti itu tidak boleh diremehkan, terutama ketika citra tersebut biasanya muncul sebagai interpretasi khusus dari refleksi duniawi dari tempat kudus surgawi.

4


Sekejap tentang Sejarah Gereja Pada awal mulanya, hanya ada puluhan, lalu ratusan, dan menjadi ribuan orang. Orang-orang romawi itu telah menemukan Tuhan yang baru, kepercayaan kepada Kristus. Kini telah bebas dari tirani penguasa Romawi kuno, berpindah dari persembunyiannya di dalam katakombe, mereka mulai naik dan memenuhi jalanjalan di kota Roma. Ketakutan berubah menjadi harapan, kini mereka berkumpul dalam balai kota sambil menyembah Tuhannya. Yang dahulunya merupakan balai kota, kini basilika itu telah disulap menjadi tempat penyembahan Tuhan. Jajaran kolom batu dan lorong-lorong arcade menjadi saksi gereja baru yang mengubah kekaisaran Romawi. Untuk beberapa dekade, basilika yang awalnya sekuler itu berubah menjadi perwujudan gereja kristiani di area Romawi Barat. Setelah kaisar Constantine I memindahkan ibu kota ke Constantinopel, umat kristiani menemukan bentuk perwujudan gereja yang baru. Dengan atap kubah yang dihiasi iconograf tentang Kristus. Seperti bibit yang ditiup angin, kristiani telah diterima dan diadopsi oleh berbagai suku dan peradaban di luar Roma. Semua berterima kasih kepada diaspora Yahudi yang membawa ajaran dan kepercayaannya ke Eropa. Di sisi utara Eropa sendiri, para suku Goth mulai mengadopsi ajaran-ajaran tentang Kristus. Mereka membuat versinya sendiri tentang bagaimana tempat ibadah harusnya dibuat. Menara-menaranya yang tinggi disertai denga lonceng seakan memanggil Tuhan untuk turun ke bumi.

5


Liturgi dan Ruang Seluruh kegiatan manusia selalu memiliki latar ruang dan waktu, tak terkecuali kegiatan beribadah, baik di lapangan terbuka, ruang dalam rumah, di samping tempat tidur rumah sakit, di penjara, gereja paroki atau katedral termegah. Latar terjadinya liturgi akan tampak lebih atau kurang sesuai dengan peristiwa yang terjadi, baik mengurangi dari, atau dengan kontras mengintensifkan, makna ritus; perjamuan Dietrich Bonhoeffer yang sangat pribadi di penjara menunggu eksekusi atas perlawanannya terhadap Hitler, tanpa sarana atau teks kanonik, mungkin lebih daripada ekaristi yang dirayakan menurut rubrik rumit di katedral besar. 4 Namun apa yang terasa hadir di latar yang satu tidak dapat disamakan dengan latar yang lainnya. Tidak ada rumusan sederhana atau perlu korespondensi langsung antara aspek-aspek tertentu dari liturgi dan unsur-unsur khusus di sekitarnya, yang hampir selalu bersifat arsitektur. Tetap saja, gerakan, koreografi gerakan dalam ruang, dan detail spesifik dari latar semua datang bersama-sama untuk menafsirkan ritus kepada mereka yang hadir pada waktu tertentu. Hal tersebut akan terasa baru (belum pernah dirasakan) setiap kali, namun tidak baru (dalam konteks berubah dan tidak familiar) setiap waktu.

4 Dietrich Bonhoeffer adalah seorang teolog Jerman yang melawan Nazi dan dijatuhkan hukuman mati dengan hukum gantung pada 4 April 1945. Ketika mereka mempersiapkan diri untuk kematiannya, dia mengkhotbahkan khotbah terakhirnya.

6


Maka, jelas ada beberapa hubungan antara liturgi dan arsitektur. Pada tingkat yang paling sederhana, perlu ada bejana untuk roti dan anggur, meja altar, dan ruang untuk penyembahan. Liturgi dan konteksnya saling membentuk. Perjanjian Baru memberi kita petunjuk penting, walaupun hanya serpihan, tentang bentuk dan konteks ibadah yang ditawarkan oleh pengikut Yesus yang paling awal. Mereka beribadah di Kuil Yerusalem, di sinagoga dan di rumah-rumah, berbagai jenis ibadah dalam konteks yang berbeda dan untuk tujuan yang berbeda. Ketika orang Kristen disangkal dari penyembahan Yahudi, mereka harus membuat ketentuan mereka sendiri untuk berbagai aspek ibadah. Itu tidak lama sebelum tuntutan ibadat membutuhkan perubahan arsitektur secara fisik yang menyelubungi kegiatan ibadahnya. Dengan demikian arsitektur gerejawi menjadi perwujudan organisasi ruang fisik yang mendukung tujuan proses liturgi,

yaitu transformasi yang

mereinkorporasikan hal-hal duniawi ke dalam yang kudus. Maka kita dapat mulai memahami bagaimana bangunan gereja yang paling sukses tampak melampaui batasan realitas material yang ada dalam bangunan itu sendiri. Transendensi dan transformasi realitas material adalah seni Gereja yang telah melampaui keluarbiasaan. Karena dalam tujuannya, material tidak lagi terselubung sebagai tujuan itu sendiri melainkan hal yang memelihara dan menopang kehidupan. Arsitektur gereja harus paling utama dipertimbangkan dalam konteks seni sebagai pembentuk ruang di sekitar ritual, karena ritus liturgi gereja adalah yang pertama dan terutama dalam menentukan bentuk dan organisasi bangunan gereja. Selama kebaktian liturgi, pastor dan umat beriman melakukan konselebrasi 7


Ekaristi. Karena itu ruang itu sendiri harus melengkapi tindakan komunitas yang berkumpul dalam doa liturgi. Semua bagian dari ruang itu, semua benda material dan semua aktivitas fisik diatur untuk tujuan bersama. Dapat menerapkan konsep Ortodoks "sobornost", kesatuan Gereja sebagai tubuh Kristus, dan kesadaran komunalnya, pada seni dan arsitektur gereja. Prinsip “sobornost” mendefinisikan bangunan dan seni gereja sebagai ekspresi kesadaran gerejawi. Bangunan gereja adalah bangunan sintetis, karena memenuhi fungsi mensintesis seni, ritual dan musik. Di satu sisi itu dapat dianggap sebagai upaya dari pihak orang untuk mendefinisikan lingkungan fisik kita sehingga dapat membantu kita menyentuh misteri persekutuan dengan Sang Pencipta. Mengingat hal ini, kita dapat menganggap bangunan gereja sebagai pernyataan teologis. Dalam struktur tata ruangnya, skema ikonografinya, dan pengaturan perabotannya, gereja adalah gambaran kosmik teologis. Interiornya dirancang untuk menyampaikan kesatuan alam semesta dalam Tuhan. Bangunan gereja bertindak sebagai mikrokosmos yang membentang menjadi makrokosmos. Bagian-bagiannya tidak bertindak secara independen satu sama lain, melainkan menyampaikan keharmonisan, persatuan dan kesucian dunia Tuhan.

8


Eliade Mircea dan Dikotomi yang Sakral dan yang Profan Eliade Mircea dalam bukunya The Sacred and the Profane menjelaskan tentang dikotomi pemahaman dua kutub sakral dan profan, ia menggambarkan pengalaman spasial yang kontras dari homo religiosus dan manusia profan modern (homo areligiousus) dalam hal sebuah pertentangan: homogenitas/heterogenitas. Ruang profan secara mendasar merupakan ruang yang homogen dan netral, "tanpa struktur atau konsistensi, amorf." Relativitas pengalaman dan kurangnya orientasi hampir menyerupai pengalaman ruang sebagai kekacauan. Karena ruang suci muncul menjadi hierofani.5 Hierofani memecah kontinuitas ruang profan, serta membuka celah untuk komunikasi antara ruang kosmik. Teknik-teknik orientasi sangat penting dalam pemilihan atau pembangunan tempat-tempat suci. Di sini ada aspek tambahan dalam pengudusan ruang sakral yang dimainkan, karena upacara-upacara ini dipandang sebagai pengulangan pekerjaan Tuhan. Simbolisme utama dalam semua pengudusan ini, menurut Eliade, adalah simbolisme “pusat”. Apakah desa atau kota, hutan atau gunung, rumah atau tempat berlindung, tempat apa pun yang dikuduskan oleh hierofani dapat dihormati sebagai persimpangan surga, bumi dan dunia bawah. Dalam interpretasi Eliade kemudian, karakteristik utama dari ruang suci adalah bahwa itu menandai jeda dalam homogenitas dan amorf ruang sampai

5

Hierofani adalah pengejawatahan, perwujudan, manifestasi dari kesakralan.

9


sekarang tidak terdiferensiasi. Jeda ini memberikan orientasi spasial terutama ketika mereka menanggung simbolisme “pusat” seperti hampir semua jeda utama dilakukan. “Pusat” juga sebuah axis mundi, sebuah terobosan dalam bidang yang menciptakan celah antara tingkat kosmis.6 Dengan menyucikan titik acuan horizontal dan sumbu komunikasi vertikal suatu dunia didirikan. Fondasi ini dipandang sebagai pengulangan dari tindakan primordial penciptaan oleh Tuhan Metode fenomenologis Eliade mengingatkan kita pada Edmund Husserl. Bagi Husserl, fenomenologi melibatkan identifikasi struktur-struktur penting kesadaran dan deskripsi tentang bagaimana 'objek' dibentuk menurut struktur-suatu struktur intensionalitas. Dalam hal metode, ini diperlukan mengurung epoche dan memperhatikan bentuk dan isi pengalaman itu sendiri. Pendekatan fenomenologis Eliade memiliki tujuan dasar yang sama yaitu, untuk mengidentifikasi dan menggambarkan struktur kesadaran, dalam hal ini struktur keagamaan, dalam pikiran orang percaya. Meskipun Eliade tidak menggunakan istilah itu, verstehen ('empati') tampaknya akan menjadi metodenya untuk mengidentifikasi struktur semacam itu. Eliade tidak berusaha untuk menciptakan kembali pengalaman orang dengan kepercayaan dalam kesadarannya sendiri. Namun, ia menganalisis fenomena religius yang konkret berdasarkan pandangan bahwa mereka merangkumnya dalam satu teka-teki pengalaman yang menciptakannya, sehingga

6

Axis mundi dalam beberapa kepercayaan dan filosofi dapat diartikan sebagai pusat dunia, dimana surga dan dunia bertemu.

10


memungkinkan

untuk

menggunakan

fenomena

tersebut

sebagai

cara

merekonstruksi struktur fenomenologis yang mendasari pengalaman itu. Dalam hal ini, verstehen merupsksn pendekatan paling tepat bagi Eliade daripada para fenomenolog agama yang berusaha untuk mempraktikkan epoche sambil secara simultan berupaya menciptakan kembali pengalaman orang berkepercayaan dalam kesadaran mereka sendiri. Namun, Eliade berusaha, jika agak tidak langsung, untuk masuk ke dalam kepala orang percaya - sebuah proyek yang sangat rumit, terutama mengingat kurangnya refleksifitas atau pertimbangan Eliade dengan konteks sejarah.

11


Saat itu langit senja mengintip melalui celah gereja, warna matahariyang hendak terbenam seperti seragam dengan lampu-lampu kecil yang ada di dalam gereja.

12


Cerita dari Gereja Bahtera Ketika cahaya matahari dari barat menyentuh permukaan batu pada tepi luar bangunan, bayangannya memperjelas kontur permukaannya yang kasar dan tidak rata. Tanpa menyentuhnya, mata dapat bercerita apa yang dapat dirasakan jemari; hangatnya siang tadi serta kasarnya batu didebur angin dan debu jalan. Jeritan suara kendaraan yang lewat sesekali mengingatkan Sabtu sore yang sepi, saat absennya kemacetan yang jadi pemandangan langka di Jakarta ini. Irama batu kali dan kaca menemani langkah menanjak menuju teras gereja. Wangi bunga yang memenuhi ruangan, mengundang untuk masuk ke dalam. Dari celah pintu terlihat altar yang dihiasi bunga warna putih dan salib Yesus menggantung di atasnya. Lampu kuning yang menyinari seluruh ruangan mengingatkan suasana saat ruangan disinari oleh lilin-lilin kecil. Pemandangan dari dalam seakan memanggil dengan penuh kehangatan. Tak lupa mengambil air suci di samping pintu dan buat tanda salib saat memasuki pintu gereja. Pada langkah pertama ke ruang dalam gereja, udaranya terasa lebih sejuk dari udara luar yang panas lembab seperti langit hendak hujan. Wangi bunga lily tadi semakin kuat saat melihat rangkaian bunga yang ditaruh secara strategis untuk mengindahkan altar serta patung Yesus dan Maria di kiri kanannya. Suara langkah kaki kecil bergantian dengan sautan doa Salam Maria. “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu; terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus,” sang pemimpin doa Rosario berbicara pada mikrofon

13


“Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin,” sahut umat yang duduk di bangku-bangku gereja. Bunyi lonceng gereja berdentang, tanda tepat jam enam sore. Gemuruh lonceng tak henti memanggil semua untuk berdoa. Seluruh umat berdiri, membuat tanda salib, dan mulai menyerukan Doa Ratu Surga. Lonceng-lonceng itu pun berhenti berdentang dan seruan doa diakhiri dengan hening sejenak. Keheningan tadi diakhiri ketika sang romo bersama prodiakon, pemazmur, liturgis, serta putraputri altar memasuki lorong gereja disambut dengan nyanyian merdu oleh paduan suara yang memenuhi seluruh sudut gereja. Sang romo memulai Ekaristi dengan membuat tanda salib sambil berseru, “dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin,” diikuti dengan kata sambutan dan sabda hari ini. Ada yang menyimpan tatapannya untuk diri sendiri dan ada yang menujukan tatapannya ke depan, menatap romo yang mewartakan sabda sambil dihiasi dengan tiga lampu gantung yang melingkar di atasnya. Seluruh umat hening dan khusuk memperhatikan, walau kadang ada dengan selingan rintihan anak-anak kecil. Serentak seluruh umat berdiri, menyerukan doa Syahadat bersama-sama. Perjamuan semakin mendekati akhir dan mendekati puncaknya. Diawali dengan digoyangkannya parva7 itu, menandai dimulainya konsekrasi. Bunyi gemerincing itu disusul oleh suara “dung… dung… dung…” saat dipukulnya gong. Pada saat

7

Parva adalah empat lonceng yang disatukan dan biasanya dibunyikan pada saat kemuliaan, prefasi, dan konsekrasi.

14


romo mengangkat tubuh dan darah Kristus, waktu seakan berhenti. Di dalam gereja seakan dipenuhi dengan keheningan yang sangat lantang di dalam kemeriahan bunyi lonceng dan gong. Seluruh lorong-lorongnya seperti dirasuki suatu roh. Suara dari jalan dan rintihan anak kecil yang tadinya sesekali datang kini seperti dibisukan oleh keheningan, sebuah kehadiran yang tak tampak. Nyala dari salib yang menggantung di atas altar itu pun terlihat lebih terang dari sebelumnya. Apakah benar Tuhan datang diantara kita? ___________ Banyak orang yang bilang gereja ini menyerupai sebuah kapal kayu yang diterbalikkan, mungkin seperti bahtera Nabi Nuh dalam Kitab Keluaran. Memang benar, dindingnya dilapisi kayu yang dipernis hingga memantulkan cahaya buram saat dikenakan lampu. Bentuk gerejanya pun seakan melengkung membentuk elips dengan dua titik temu yang terlihat di langit-langit. Kedua titik temu tersebut membuat satu garis lurus dari pintu masuk gereja sampai altar yang ada di depan. Hadirnya garis-garis lengkung yang satu tujuan ini mengarahkan mata untuk menghadap kedepan, dimana kayu salib Yesus menggantung di atasnya. Tak tahu apa sengaja atau tidak, tapi sang arsitek seperti memaksa para umat untuk memandang Salib Tuhan Yesus dan tetap konsentrasi terhadap liturgi. Ia seperti berkata, “kamu ini datang sebagai bagian dari satu persekutuan, maka jadilah satu kamu dengan yang lain dalam solidaritas memandang Tuhan!” Memang itu dapat dirasakan, perasaan Tuhan datang untuk menyatukan. Datang dari perasaan dinding-dinding yang mengepung tubuh.

15


16


Menengadah di Rumah Tuhan Hiruk-pikuk menemani perjalanan menuju pintu masuk gereja. Ramainya umat dan pendatang baru yang seperti kebingungan di pekarangan gereja. Semua orang ingin mendapat duduk di dalam gereja, namun gereja itu segera penuh saat pintunya dibuka. Mau tak mau, banyak yang harus minggat keluar atau ke ruanganruangan di samping gereja. Tidak pernah sebelumnya aku melihat keramaian di gereja seperti ini pada hari Minggu biasa. Sebelumnya memang pernah aku beberapa kali kemari, namun saat itu berbeda. Waktu itu bukan hari minggu, ada misa khusus untuk sekolahku yang menjadi tetangga gereja ini. Biar sudah lama, aku masih ingat serpihan-serpihan tentang pertama kalinya aku kebaktian di gereja ini. Waktu itu pagi menuju siang hari, kami jalan kaki dari sekolah ke gereja bersama-sama. Sekitar dua ratus anak perempuan berseragam dipandu guru dan petugas keamanan memenuhi jalur trotoar. Sesampainya di depan pintu, kami mengambil air suci satu per satu. Aku kedapatan duduk di bagian depan dan temantemanku yang bukan beragama Katolik duduk di bagian belakang. Dari tempat duduk ini, dapat terlihat altar, tabernakel, dan orgel pipa yang menjulang di atas teman-temanku yang paduan suara. Orgel pipa itu terbuat dari besi dengan beberapa hiasan ukiran kayu yang menyelimutinya. Saat misa dimulai, paduan suara memulai dengan intro yang mengimitasi suara orgel pipa itu. Semuanya berdiri, menyambut imam yang memasuki ruang gereja.

17


Selama misa, aku makin memperhatikan detail-detail ruangan ini. Kulihat dibalik romo ada tabernakel yang dihiasi diorama santo-santo. Walaupun taka da satu pun yang bisa ku kenali, aku hanya bisa kagum melihat ukiran kayu yang begitu rumit. Selain itu ada beberapa patung yang melambangkan tubuh-tubuh surgawi diletakkan tinggi di atas penglihatan biasa manusia. Satu hal yang disadari, leherku kian menengadah. Mataku terus melihat ke atas walau masih mencoba mendengarkan kotbah. Selain mataku yang terus beristirahat ke atas, misa tersebut terbilang khusuk dibanding hari-hari Minggu yang dipenuhi oleh jerit dan tangisan anak kecil. Meskipun memang misa itu tenang, dalam artian tidak ada gangguan, yang aku rasa adalah hampa. Mungkin diriku kurang peka pada saat itu, namun saat misa aku tidak merasa kedatangan Tuhan yang dahsyat dalam diriku. Seperti suatu rutinitas yang dilalui begitu saja, kebaktian itu tidak memberi pengaruh ke dalam batinku. Saat kudatang lagi baru-baru ini, aku pun juga masih merasakan hal yang sama seperti waktu, kebaktian hanya berlalu saja. Mungkin terdistraksi akan kemegahannya, sampai lupa intensinya. Yang kali ini aku jujur sudah mencoba untuk lebih peka, namun kerumunan orang dan suara-suara panggilan kecil membuatku tidak konsentrasi. Mungkin butuh waktu untuk belajar lagi.

18


Misteri Tuhan atau Misteri Tukang Dari dua gereja yang ditemui, mungkin Tuhan datang dirasakan dengan bentuk yang berbeda-beda. Tuhan yang datang pada gereja pertama lebih seperti roh yang datang mempersatukan umat menjadi satu persatuan. Tuhan yang datang di gereja kedua lebih seperti Tuhan yang agung dan megah yang turun dari langit. Kedua hal ini terasa saat mengamati betul perasaan ruang yang dibuat oleh fiturfitur arsitektur yang ada pada tiap gereja. Di gereja pertama, ruang berbentuk melengkung dengan satu titik di tengah. Pada dinding sekitar dibiarkan polos tanpa ornament. Sedangkan pada titik di depan sana terdapat salib yang besar menggantung. Bangunan ini seakan berbicara, memaksa semua yang di dalamnya untuk melihat ke depan. Di gereja kedua, langit-langit sungguh megah nan tinggi. Diseluruh sudut ruang penuh dengan ornament yang menghiasi. Kaca patri yang dipasang di atas altar memasukkan cahaya matahari seperti Tuhan datang melalui cahaya dan pastor menjadi perwujudan sementara dari bentuk Tuhan tersebut.

19


Referensi Husserl, Edmund. 1907. The Idea of Phenomenology. New York: The Macmillan Company. Mircea, Eliade. 1959. The Sacred and The Profane - The Nature of Religion. New York: Harcourt, Brace & World.Inc. Pallasmaa, Juhani. 1996. The Eyes of the Skin - Architecture and the Senses. Chichester: Wiley-Academy. USCCB. 2000. Built of living stones (Catholic guidelines on Art, Architecture and Worship). Washington: USCCB.

iii


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.