Cerita horror

Page 1

Cerita Horror


Daftar isi

Mengendapnya Waktu

3

Pesan Terakhir Poniko

7

Pengalaman Supir

10

Saudara Kembar

12

Dibalik Kematian Ibu

13

2


Mengendapnya Waktu Galang masih tidak percaya. Jalan pikirannya selogis fakta berita dalam koran sehingga mustahil hal seperti itu bisa dipercayainya. Walau demikian, ia tetap menghargai Johan, sahabatnya yang sudah setengah jam lebih berkisah di warung tenda itu dengan ekspresi meyakinkan, seperti sanksi mata di meja hijau. Galang yang memang sejak pertama mendengar pembukaannya sudah menguap itu kini hanya bisa mangut-mangut sambil sesekali mengisap rokoknya. Namun Pak Totog yang mempunyai warung tenda itu dengan antusiasnya menjadi pendengar setia cerita Johan. “Sudahlah Jo!” potong Galang.”Aku nggak percaya sama cerita horrormu itu!” “Aku serius ini. Rumah itu pokoknya angker banget!” sahut Johan. “Dan pokoknya aku cuma mau jepret prabotan-prabotan antik di rumah itu, titik!” “Oh, jadi kamu nggak percaya nih sama aku?” Johan melotot, darahnya mulai naik ke ubunubun. “Bukannya gitu Jo, kan aku baru nyusun skripsi tentang keunikan benda-benda antik. Nah di rumah itu kan katanya banyak banget benda-benda antiknya.” jelas Galang. “Nak, Bapak sarankan, kamu jangan pergi ke sana. Bahaya!” Pak Totok ikut melarangnya. “Ah, masa bodoh!” ujar Galang sambil mengisap rokoknya untuk yang terakhir sebelum ia buang. Diberikannya beberapa lembar uang pada Pak Totog untuk membayar bon, kemudian pergi. “He Galang, hati-hati kamu! Rumah itu berdarah!” teriak Johan saat sahabatnya itu pamit untuk mengunjungi rumah yang sejak tadi menjadi bahan utama pembicaraan mereka di warung tenda itu. Pemuda itu melangkah santai menyusuri jalan yang kian lenggang lantaran hari hampir gelap dan pasti sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Ia teringat cerita Johan tentang rumah tua itu. Ia tidak percaya dengan semua tentang mahkluk halus dan sejenisnya, karena baginya sangat tidak logis jika harus mempercai hal tanpa fakta atau pun bukti seperti itu, tapi ia akan berhatihati. Mengamanahkan perkataan sahabatnya. Kamera Digital dengan lensa berkualitas gambar tinggi itu sejak tadi siap memotret apa saja di sekitarnya. Ia menggantungkan sabuk kamera di lehernya, sehingga benda itu menggantung menyentuh dadanya. Galang adalah seorang mahasiswa fotografer yang hampir menyelesaikan skripsinya, dan saat ini ia tengah mencari figur potretan benda-benda antik untuk melengkapi skrisinya. Ia berencana ingin memotret perabotan-perabotan antik di sebuah rumah tua. Saat ia menceritakan rencananya itu pada Johan sahabatnya. Bukan menyetujui niatnya, tapi justru membuatnya sebal dan penat dengan cerita yang Galang anggap hanya sebuah urband legend setempat atau mitos saja. Ia benar-benar tidak percaya. Itu bukan sejarah atau pun fakta yang logis dan tak ada alasan untuk mempercayainya. Ya, seperti itulah jalan pikirannya. Malam mulai menyapanya dengan sentuhan gigil merayu hingga tubuhnya sesekali bergetar menahan dingin yang teramat. Sembari tadi langkahnya tak menentu, ke sana ke mari menuruti perkataan orang-orang yang ditanyainnya, tapi setiap dari mereka selalu saja mempunyai jawaban berbeda. Galang mulai putus asa dengan pencariannya. Ia duduk bersandar dengan peluh kelelahan yang terus mengucur dari pori-pori kulitnya. Kaki yang sembari tadi melangkah

3


itu kini terasa kaku dan berat, seakan ada rantai yang mengikatnya. Ia terlalu lelah dan kini telah pasrah. Kecewa selalu menguasainya, tapi sejenak ia mengumpulkan kekuatan untuk melawan rasa tak berguna itu, walau bukanya foto benda-benda antik melainkan lelah dan kecewa yang didapat. Dia tidak pernah mengutuki keadaan, karena ini adalah takdirnya. Beberapa kali ia mencoba bangkit, tapi tenaganya telah terkuras habis disaat linglung dalam pencarian. Saat ia berhasil berdiri dengan tegap, terlihat seseorang berjalan dari sisi jalan menuju gerbang masuk rumah mewah yang sejak tadi pagar depannya ia gunakan untuk bersandar. Orang itu ternyata lelaki paruh baya dengan uban memenuhi kepala. “Kamu ngapain di sini Nak?” tanya orang itu. “Maaf tadi saya beristirahat di sini sebentar. Saya kesasar Pak. Sudah dari pentang saya ke sana ke mari mencari alamat, tapi nihil.” jawab Galang lemas. “Oh, kasihan juga kamu. Mari masuk saja Nak, istirahat di dalam saja. Di luar kan dingin. Mari masuk.” ajak orang itu dengan sebesit senyum dan mata tua yang tajam dari balik kaca mata minusnya, tapi terlihat teduh, meramahkan suasana. Kebaikan lelaki paruh baya itu terasa seperti pelukan hangat di hatinya. Beruntungnya nasib Galang, karena setelah ia masuk kedalam rumah itu di luar hujan turun begitu lebat bersama angin dan petir yang menyambar-nyambar. Lelaki paruh baya itu mengenalkan dirinya yang bernama Jonathan Ernest pada Galang. Mereka berjabat tangan. Perlahan-lahan lelaki itu menceritakan liku-liku kehidupannya. Ia adalah pria indo, yang mana Ayahnya dari Eropa dan Ibunya asli orang jawa. Beberapa kisah-kisah inspiratif dalam hidupnya pun ia dongengkan pada Galang yang sesekali menanggapinya penuh antusias. Perbincangan mereka semakin hangat, membuat hawa dingin seperti terlupakan sesaat. “Kau seorang fotografer?” tanya Jonathan sambil menatap kamera digital yang sejak tadi dipegang oleh Galang. “Iya, saya mahasiswa fotografer semester akhir.” jawab Galang seraya mengeluarkan sebatang rokok yang kemudian dinyalakannya dan sesekali ia hisap penuh nikmat. Pembicaraan mereka terus berlanjut. Mata lelaki paruh baya itu berbinar setiap kali menuturkan ceritanya dan Galang dengan antusiasnya menjadi pendengar setia yang sesekali berpendapat. Pemuda itu seakan lupa dengan tujuan pertamanya, tapi setelah keduanya membisu sesaat. Ia memberanikan diri untuk bertanya, walau sebenarnya ragu. “Apakah anda tahu alamat ini?” tanya Galang sambil mengulurkan selembar kertas catatan kecil. “Tahu, tapi alamat ini…” jawab Jonathan setelah beberapa saat mengingat-ingat. Kini keramahan di wajahnya mulai pudar berganti dengan mata tajam yang menatap curiga, alis tebalnya menyatu, dan perlahan merkah senyuman aneh di wajahnya. “Alamat itu kenapa Pak?” tanya Galang penasaran. “Kamu yakin ingin pergi ke alamat ini?” Jonathan balik bertanya. “Iya.” Galang mengangguk pelan sambil mengisap rokoknya.”Memangnya seberapa angker rumah itu, sampai semua orang yang ku tanya selalu saja menampilkan wajah aneh, padahal niatku cuma pengen dapet jepretan benda-benda antik di dalamanya dan pulang.” “Rumah itu berdarah anak muda, jangan sesekali berkunjung ke sana, karena taruhannya nyawa.” ujar lelaki itu seraya membenarkan letak kacamatanya.”Jika kau mau aku akan memperlihatkan beberapa koleksi benda antikku. Mungkin akan mengobati kekecewaanmu Nak,

4


tapi kau harus berjanji jangan sekali-kali berkunjung ke rumah itu. Berbahaya!” “Wah, kebetulan sekali. Janjiku untuk membalas semua kebaikanmu ini tuan.” Galang berucap dengan mata berbinar penuh harap. “Suatu kehormatan bagi saya jika memang anda mengizinkan.” “Okey! Siapkan setting kamera terbaikmu.” ujar Jonathan seraya bangkit. Di mata tuanya yang tajam itu terpancar api semangat, hingga keburamannya tersamarkan. Lumayan banyak benda-benda antik yang dimiliki lelaki paruh baya itu. Guci, patung, piring perunggu, lukisan-lukisan dari seniman ternama, kumpulan koin dari zaman kerajaan majapahit hingga sampai sekarang lengkap dengan penjelasannya, dan sebuah meja makan pajang penuh ukiran abstrak seperti lambang-lambang aneh. Semua itu tertata rapi di sebuah ruangan pribadinya. Saat Galang sibuk mengambil gambar benda-benda koleksi itu, Jonathan sempat beberapa kali menjelaskan asal-usulnya. Dengan gerakan lincah pemuda itu mengerahkan semua kemampuannya dalam membidik dan mengambil foto yang didapatnya selama menjadi mahasiswa fotografer. Tak henti-hentinya ia berdecak kagum. Rasa gembira, senang, kagum, dan haru kini memenuhi hatinya. Meleyapkan kekecewaan yang pernah singgah sesaat. Galang sangat berterimakasih pada Jonathan yang telah mau membagi waktu serta memperlihatkan benda-benda koleksinya. “Terimakasih banyak, karena anda sangat baik kepada saya. Sekali lagi terimakasih.” Galang berucap seraya tersenyum. “Sama-sama anak muda. Semoga bermanfaat untukmu Nak.” sahut Jonathan dengan sesungging senyum yang merkah di wajah keriputnya. “Bolehkah saya foto bersama anda sebagai kenang-kenangan?” “Tentu saja, mari.” sesaat Galang mensetting kameranya dengan mode timer yang otomatis akan mengambil beberapa bidikan. Kemudian mereka berpose dengan saling melingkarkan tangan di pundak satu sama lain, tampak seperti seorang ayah dengan anaknya. “Saya harus segera pulang, sudah sangat malam dan hujan tampaknya juga telah reda.” ujar Galang seraya melihat arloji di tangan kanannya. “Okey, mari ku antar ke luar.” sahut Jonathan. Bertemankan sebatang rokok ia menyusuri jalan pulang. Gelap yang kian senyap menemani langkahnya. Angin berhembus pelan dengan keusilan dan gigilnya. Badanya sesekali bergetar menahan dingin. Ia menghisap rokoknya dan menghembuskan nafasnya bersama asap putih di kegelapan malam. Sudah lima batang rokok ia habiskan untuk menemani langkahnya yang kian terasa berat. Baru pada batang rokok ke enamnya ia telah sampai di kontrakannya. Tok, tok, tok… “Assalamu‟alaikum.” Galang menunggu. Terdengar langkah kaki menuju pintu dari dalam. Perlahan terbukalah pintu itu bersama derit engsel yang miris di hati. “Astaghfirullahal adzim!” sentak Johon terkejut. Matanya tak mampu melihat sosok di hadapannya. “Dunia kita sudah berbeda sahabat. Jadi janganlah kau menggangguku, tenanglah di alam keabadianmu. Pergilah, aku sudah mengikhlaskanmu.” Galang bingung. Mau tertawa, tetapi sahabatnya ini terlihat serius dan ia hanya bisa diam sambil menghisap rokok terakhirnya. Dengan usil ia semburkan asap rokoknya ke wajah Johan.

5


“Kenapa Jo? Kau kira aku sudah ko-id dimakan hantu rumah itu. Ah, kamu ini ada-ada saja.” Galang berhenti untuk menghisap rokoknya sesaat. “Terus mau ke mana kamu dengan potongan baju rapi ala pengajian seperti ini? Nggak bilang-bilang sih kamu Jo kalau ada pengajian akbar. Jadinya kan aku nggak pulang jam segini.” “Ini bener kamu Lang?” tanya Johan sambil menguncang-guncang pundak sahabatnya. “Hehe, nggak jumpa beberapa jam saja tingkahmu berubah drastis ya. Sok kangen-kangenan! Sampai pura-pura lupa segala!” sahut Galang seraya membuang rokoknya yang tinggal gabusnya saja. “Kamu beneran Galang sahabatku!” Johan memeluk tubuh sahabatnya itu seraya terisak, menangis begitu pilunya. “Eh, kenapa sih? Dari dulu kan aku Galang. Kapan juga aku jadi satria baja hitam dan kawankawan!” Galang tertawa kecil dalam pelukan sahabatnya yang terisak pilu, entah kenapa. “Kamu mau ke mana rapi kek gini?” “Tadinya aku mau ke rumahmu mendatangi acara do‟a bersama, memperingati kepergianmu yang sudah satu tahun pada hari, tapi…” “Kamu ini ada-ada saja Jo. Aku cuma pergi beberapa jam yang lalu setelah berdebat denganmu di warung tendanya Pak Totog. Ingat kan?” Galang memotong tajam. “Iya aku ingat, tapi kenyataannya kau sudah menghilang tanpa kabar selama satu tahun ini.” Johan berucap seraya melepaskan pelukannya. “Rumah Jonathan Ernest itu!” gumam Galang saat melihat foto-foto di kameranya. Ada satu foto yang ganjil. Fotonya bersama lelaki paruh baya itu aneh, sebab hanya terlihat Galang seorang diri. Tanganya terlihat seperti melingkar di pundak seseorang, tapi di foto itu ia benar-benar sendiri.

6


Pesan Terakhir Poniko Namaku Madotsuki, usia ku 15 tahun. Aku masih duduk di bangku SMP, tentunya. Aku yatim piatu. Aku tinggal bersama guru musikku di sekolah. Namanya Masada. Aku tidak ingin tinggal di kos-kosan bersama Urotsuki, Sabitsuki, atau Chie, sahabat-sahabatku. Mereka terlalu ramai di kos-kosan. Aku bersekolah di „RPG Gakuen‟, sekolah swasta biasa. Aku bisa ditemukan di kelas 8-F. Teman-temanku kebanyakan perempuan, sedikit laki-laki. “Oi, Maddy, pinjem PR Fisika mu, dong!” kata Urotsuki, mendekati ku dengan cengirannya. “Uro, mau sampai kapan kamu pinjam PR ku terus? Kerjakan sendiri kan bisa! Kurasa PR ini gampang kok…” bantahku sebal. Urotsuki hanya bisa tertawa mendengarnya. “Oh ya, Maddy! Kamu dengar berita 4 minggu yang lalu? Katanya ada seorang guru dan beberapa murid tewas kecelakaan di depan sekolah. Katanya ditabrak bus sekolah lain. Pantas saja dinding sekolah menjadi agak bolong gara-gara itu…” cerita Sabitsuki. “Iya, ya… mereka juga sudah dikubur… Banyak orang tua menangis karena anak-anaknya tewas…” tambah Chie. “Hmm, ya… Apa apa?” “Kurasa kamu mengenali beberapa dari mereka di Koran…” ucap Sabitsuki, menyerahkanku sebuah Koran. Aku mengambil Koran itu dari tangan Sabitsuki dan membaca bagian yang diberi stabilo pink oleh nya. Mataku terbelalak melihat nama-nama di Koran itu. Seccom Masada (33) Poniko Uboa (15) Monoe Mono (15) Monoko Mono (15) aku merasa bulu kudukku berdiri membaca 4 nama itu. Masada dan 3 sahabatku yang lainnya TEWAS!! Tapi, rasanya aneh. Kenapa tidak ada yang mengabari bahwa Masada, Monoe, Monoko, atau Poniko tewas kecelakaan. Kan bisa lewat telepon atau SMS. Tiba-tiba saja HP berbunyi. Ada SMS masuk. Aku menekan tombol „buka pesan‟ dan membaca apa isi smsnya. Maddy, nanti aku, Monoe & Monoko mau ke pantai Ikutan yuuk ! Mr. Masada jg lhooo :D Klo ikutan, jgn lp bawa baju renang, kay Bye~ ! -Poniko Uboa-

7


Apa ?!! Poniko yang SMS aku ?! Tapi, Poniko kan tewas! Tunggu, pasti aku masih dibawah alam sadar. Aku mencoba meng SMS dia kembali. Mungkin Poniko masih selamat, tapi, yah, tidak meng SMS aku bahwa dia selamat dari maut. Niko, kamu kok, selamat dari maut? Aku dengar dari teman-teman, kalian tewas! Ya, kalian tewas! Aneh juga kamu nggak SMS aku selama 4 minggu! Yah, mungkin kamu pikir aku nih gila, tapi, yah, di Koran ada namamu. -Madotsuki UeharaTiba-tiba Poniko membalas SMS ku. Aku tahu kalau dia mengirim SMS, pasti cepat. Kalau lama, mungkin dia masih ada urusan penting. 4 Minggu yang lalu? Oh ya, aku ingat kalau aku dan si kembar Mono naik mobilnya Mr. Masada! Mr. Masada memutar lagunya Taylor Swift terbaru! Aku tidak peduli apa judul lagunya, tapi lagu itu asyik! Haahaa ! Di Koran ada namaku? Waduh, iya ya? Aku ga tahu lho! Sumpeh! Kayaknya aku hanya ingat ada bus yang menabrak mobilnya Mr. Masada yang kami tumpangi. Kepalaku terbentur kaca mobil sangat keras hingga pendarahan fatal. Luka berat di setiap tubuhku. Aku tidak tahu nasib Mr. Masada, Monoe dan Monoko, tapi yang penting, aku tidak tahu. Bhahahaaa ! -Poniko Uboa“Poniko kena luka fatal, luka serius, yang bisa mengakibatkan kematian dalam jangka pendek… Tapi, kenapa dia masih bisa SMS aku?” gumamku dalam hati. “Aneeeh…” komentar Chie. “Rasanya Poniko masih punya harapan untuk hidup…” tambah Urotsuki. “Tapi, dia punya waktu 4 minggu untuk memberitahuku! Kalau dia masih benar-benar hidup 4 minggu yang lalu, dia mengabariku! Poniko selalu update apa yang terjadi! Macet lah, kecelakaan lah, berita hot lah, yang penting, apa yang terbaru, dia pasti cerita ke aku! Poniko bukan orang yang suka menahan cerita dan imajinasinya! Meskipun dalam keadaan sakit atau sibuk, dia pasti SMS aku! Tidak pernah absen sehari!” belaku, meremas HP Samsung ku dengan erat. “Iya, iya, tapi-” tiba-tiba Sabitsuki memotong perkataannya, lalu dia menghela napas. “kuduga, dia adalah arwah penasaran.” Lanjut Sabitsuki dengan serius. Aku melonjak kaget mendengarnya. “Hantu…?” “Yap, sejenisnya… Kamu bilang sendiri, „Poniko bukan orang yang suka menahan cerita dan imajinasinya! Meskipun dalam keadaan sakit atau sibuk, dia pasti SMS aku! Tidak pernah absen

8


sehari!‟. Mungkin dalam 4 minggu, dia sudah SMS kamu 30 kali menurut perkiraanku. Tidak mungkin Poniko sangat sibuk hingga tidak SMS kamu selama itu.” Jelas Sabitsuki. Aku mengangguk mengerti. Sabitsuki benar. Masa 4 minggu dia tidak SMS aku satu pun. Rasanya aneh kalau Poniko berhenti SMS aku. Kalau aja dia ganti nomor telepon, pasti salah satu dari si kembar Mono akan memberitahuku lewat twitter atau facebook. Lagi-lagi HP ku berbunyi. Ada SMS lagi ternyata. Dari Poniko juga. Aku heran, aku belum membalas SMSnya, lho. Maddy, aku tahu kamu pasti kaget kenapa 4 minggu aku tidak SMS kamu, bukan? Maaf ya, aku tidak bisa bilang kalau kami tewas. Mustahil, kan? SMS tadi itu hanya untuk supaya kamu senang, berpikir bahwa kami masih hidup. Kurasa aku anggap ini SMS terakhir buat mu. Maaf ya aku nggak bisa cerita banyak lagi, ga ada temen SMS lagi. See you p.s: jangan sedih, nanti aku ikutan sedih -Poniko UboaMeledaklah tangisanku membaca Poniko benar-benar tewas. Rasanya dadaku sesak sekali. Jadi, aku tidak akan bertemu Poniko maupun teman-teman masa kecilku lagi, untuk selamanya. Maddy, jangan nangis… baru saja ku bilang, huh!!! -Poniko Uboa “Maaf, Poniko, tapi, aku hanya saja… merasa kesepian..” jawabku dalam hati. Chie dan Urotsuki mengelus-elus punggungku, berusaha menenangkanku. Bukannya ada Chie, Sabitsuki, Urotsuki, Hiroshi, Viola, Ellen, Kazuki, Akari, David, Rin, dan lain-lain? Mereka akan menjadi penggantiku… Kamu tidak perlu sedih, Madotsuki. Kamu rasakan aja kalau aku selalu ada di sisimu… Pikir saja aku ada di sebelahmu! - Poniko Uboa “…Poniko…” aku terisak membaca SMS itu dari Poniko, sahabatku sendiri. “Ada apa, Mado?” tiba-tiba aku mendengar suara Poniko yang lembut. Aku mencari pusat suara itu, dan aku menemukan sosok Poniko sedang menulis sesuatu di papan tulis, lalu dia menghilang begitu saja. „Sampai Jumpa, Madotsuki Uehara. Dari Poniko Uboa‟ “Sampai jumpa juga… Poniko Uboa… Terima kasih…”

9


Pengalaman Supir `Malam itu gerimis mengguyur wilayah jakarta. Jalanan terasa sunyi senyap, maklum jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Yoyok mengemudikan taksinya dengan pelan di depan mall mangga 2, berharap ada penumpang yang sedang menunggu taksi. Ketika di lampu merah ada seorang wanita muda tionghoa berperawakan kurus menggunakan rok mini dan kaus merah ketat menyetop taksinya. Setelah tiba di dalam Yoyok dengan ramah pun mengucapkan “Selamat malam, mau kemana mba?”. “kelapa gading” jawab wanita itu singkat. Dengan sigap yoyok pun membelokkan taksinya menuju wilayah tersebut. Perjalanan pun dilanjutkan dengan kesunyian, sebenarnya yoyok sudah terbiasa akan penumpang yang lebih banyak diam dibanding penumpang yang terbiasa mengobrol. Karena dari pool taksinya dia sudah diajari bahwa ada beberapa tipe penumpang yang lebih senang diam dan supir pun tidak diperkenankan untuk mengajak berbicara hal lain selain rute perjalanan kepada penumpang tersebut. 45 menit berlalu tak terasa taksi sudah memasuki wilayah komplek kelapa gading. “Cluster Anggrek Blok B2 No 7, itu rumah saya pak” kata wanita muda itu mengetahui hampir sudah tiba di lokasi. “Baik mba” (“wah untung kemarin ke daerah ini juga, kalau tidak salah cluster anggrek itu setelah cluster lili” batin yoyok). Setelah melewati cluster lili yoyok pun membelokkan taksinya masuk ke cluster Anggrek. Ketika di pos security, seorang petugas keamanan pun keluar yoyok pun dengan sigap menurunkan kaca mobilnya lalu berkata “Mau ke Blok B2 No 7 pak”. lalu petugas security pun membukakan gerbang agar taksi yoyok bisa masuk, “Silahkan pak, gang ke 2 belok kanan ya”. Taksi pun berjalan lagi setelah melewati gang pertama yoyok pun belok di gang ke 2 dan sekilas melihat nomor rumah yang tertera di pojokan B2 No 1 “oh berarti 6 rumah lagi” batin yoyok. Tapi ketika baru sampai rumah no 4 tiba tiba tercium aroma melati yang sangat menusuk, seketika itu juga yoyok merasakan bulu kuduknya berdiri tapi yoyok mencoba cuek dan terus berjalan menuju rumah No 7. Taksi berhenti di depan pagar hitam menjulang tinggi, di tembok sebelahnya tertera tulisan B2 No 7. Lampu rumah terlihat menyala di lantai 2 dan di taman, selebihnya yoyok tidak memperhatikan lagi dan menoleh ke belakang dan berucap “Sudah sam…”, belum habis ucapannya yoyok pun agak kaget karena tidak menemukan siapa siapa di kursi belakang. “Jangan jangan sudah keluar, tapi kok gak ada suara pintu dibuka ya” batin yoyok, lalu dengan segera membuka pintu dan segera keluar taksi, tapi aneh di luar pun tampak sepi, tidak ada seorang pun yang tampak, jalanan pavling blok terlihat sepi lengang, tidak ada tanda tanda seseorang pun disitu. Tiba tiba aroma melati yang sangat wangi tercium kembali bulu kuduk yoyok pun kembali berdiri lagi, tubuh yoyok pun terasa bergetar, lalu dengan sigap yoyok segera masuk ke dalam taksinya. Setelah mengecek di kursi belakang tidak ada orang yoyok pun segera memutar taksinya dengan cepat dan menarik gas bergegas meninggalkan tempat itu.

10


Sesampainya pos security yoyok pun turun dan terbata bata bertanya kepada petugas “Ma af Pak.. ttt tadi waktu saya masuk liat ada penumpangnya gak?”. Petugas security itu pun heran, dan sambil menggelengkan kepalanya menjawab “Tidak ada pak, saya pikir bapak mau menjemput orang di B2 No 7″. “Bb bukan pak, saya tadi mengantar seorang wanita muda keturunan tionghoa yang minta diantar pulang ke Blok B2 No 7, tapi sampai di rumah itu tiba tiba orangnya menghilang” ucap yoyok. Security itu pun mengerutkan dahinya “Setahu saya di rumah No 7 itu tidak ada gadis muda yang tinggal disitu, rumah itu hanya ditempati oleh sepasang suami istri berumur sekitar 50 tahunan, mereka memang keturunan tionghoa. Terus bagaimana ciri ciri penumpang mas?”. “Wah rambutnya panjang pak, pake baju kaos merah dan rok mini seksi deh pokoknya… emang di rumah no 7 itu gak ada penghuni lain selain sepasang suami istri itu ya pak?”. Petugas security itu diam sebentar lalu berkata “Sebenarnya dulu sih mereka punya seorang putri, umurnya sekitar 23 tahunan cantik dan seksi memang, tapi…” terdiam dan menghisap rokoknya dalam dalam. “tapi apa pak?” kejar yoyok tidak sabar. “Tapi sudah meninggal sekitar 1 bulan yang lalu” lanjut security itu. “Kejadiannya kalau tidak salah waktu kerusuhan bulan kemarin itu lho, denger denger sih dia diperkosa di dalam taksi lalu dibuang di pinggir jalan hingga meninggal, katanya sih waktu mau pulang kerja, memang sih neng itu kalau kerja selalu pakai rok mini” . Yoyok pun langsung lemas mendengar kisah itu, pantas saja tadi tercium aroma melati yang kuat sehingga bulu kuduknya berdiri, lalu melihat jamnya, tanggal 15 Juni 1998, yang berarti tepat 1 bulan setelah kerusuhan mei 98 terjadi.

11


Saudara Kembar Namaku Elynda Queenita. Aku berumur 12 tahun. Suatu hari, orangtuaku mengajakku untuk pindah ke rumah nenekku di desa. Sebenarnya aku tidak ingin pergi karena aku harus pindah sekolah dan pindah rumah juga harus meninggalkan sahabat-sahabatku. Tapi apa boleh buat. Itu keinginan orangtuaku. Jadi aku harus menurutinya. Pagi-pagi, aku dan orangtuaku langsung pergi ke rumah nenek. Nenek telah meninggal 5 tahun yang lalu. jadi, rumah itu tak terurus. Sampai di rumah nenek, aku turun dari mobil dan melihat di sekelilingku. Aku izin kepada ibu untuk melihat taman yang ada di dekat rumah nenek. Ibu pun mengizinkanku. Di sana ada ayunan, perosotan dan sebagainya. Tapi kulihat ada seorang gadis seumuranku sedang menangis. Aku menghampirinya. Ternyata anak itu mirip sekali denganku. Namanya Alynda. “Hmmm… namanya hampir sama dengan namaku” pikirku. Akhirnya kami bermain bersama. Pada siang hari, ibu memanggilku untuk makan siang. Aku langsung menghampirinya. “Siapa anak yang bermain bersamamu itu?” “namanya Alynda, Bu. Memang kenapa?” aku bertanya. “Tidak apa-apa” kata ibu khawatir sembari berjalan ke dapur. “hmm, ibu kenapa ya?” batinku. 2 tahun kemudian. Tak terasa umurku sudah 14 tahun dan sudah duduk di kelas 9 SMP. Aku tetap menjadi teman Alynda. Bahkan kami telah menjadi sahabat. Tapi, jika aku sedang bermain bersama Alynda, ibu pasti terlihat khawatir. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Suatu hari ibu bertanya kepadaku. “El, kamu masih suka bermain bersama Alynda?” tanya ibu khawatir “Masih, Bu. Sebenarnya mengapa, Bu? sepertinya ada yang ibu sembunyikan” aku ingin mengungkap hal yang sebenarnya. “hmm.. ada sesuatu yang mesti ibu ceritakan” “apa, bu?” “Sebenarnya saat kamu lahir, kamu mempunyai saudara kembar. Namun ia meninggal karena kekurangan oksigen. Dan namanya…” ibu memotong perkataannya. “Siapa bu namanya?” tanyaku dengan penuh semangat. “Namanya…” belum ibu selesai melanjutkan perkataannya, tiba-tiba Alynda datang secara mengejutkan. Ibu pun menghampirinya. “Nak, pergilah dengan tenang. Ibu yang akan menjaga adik kembarmu, Elynda” aku pun terkejut apa yang telah ibu katakan. Ternyata Alynda adalah kakak kembarku yang meninggal saat aku dan ia lahir. “Ibu, jadi… jadi…” kataku sambil menahan tangisan. “Iya, Nak. Alynda adalah kakak kembarmu. Ia lahir 5 menit sebelum kamu lahir” kata ibu. “Dulu sebelum kalian lahir, ibu masih tinggal disini sampai kalian berdua lahir.” kata ibu. Aku menghampiri Alynda yang berada di ambang pintu. “Kak, pergilah dengan tenang. Aku, ibu dan ayah akan baik baik saja disini.” “El, ibu. jagalah diri kalian baik baik” Alynda langsung menghilang dari hadapanku dan ibu. Aku dan ibu menangis. “Maafkan ibu, Elynda. Ibu baru menceritakan ini semua” kata ibu. “Tidak apa apa bu”

12


Dibalik Kematian Ibu Hari ini adalah tanggal 13 agustus, hari yang paling bersejarah untukku. Mungkin orang lain akan menghiraukan tanggal ini tetapi itu tidak buatku. Tanggal 13 agustus adalah tanggal dimana ibuku meninggal karena dibunuh. Ibuku orang baik tetapi tidak tahu mengapa ada orang yang sangat membenci ibuku hingga dia tega membunuh ibuku. Aku selalu bertanya-tanya siapa yang tega membunuh ibuku dan kenapa ibuku harus meninggal dengan cara tragis seperti itu. Mungkinkah ibuku mempunyai kesalahan yang begitu besar sehingga dia tega membunuh ibuku. Tanggal 13 agustus aku selalu melamun seperti hari ini, saat aku melamun tiba-tiba ada yang memanggil namaku dari kamar dimana ibuku dibunuh, aku langsung melihat kamar itu. Betapa kagetnya aku, aku melihat sesosok mahluk mirip ibu yang telah meninggal sedang berdiri memakai baju putih di dalam kamar itu sosok itu berbicara. “Roni anakku kemarilah ini ibuâ€? ucap sosok itu. “Siapa kamu? kenapa kamu ada disini?â€? Teriakku pada sosok itu. “Ini ibu nakâ€? Jawab sosok dengan suara yang lembut persis seperti suara ibuku. “Ibuku sudah mati, siapa kamu sebenarnya?â€? teriakanku pada sosok itu. “Ini ibu nak, memang ibu sudah mati tapi roh ibu masih tidak tenang karena orang yang membunuh ibu belum terungkap oleh keluarga kitaâ€? ucap sosok itu sambil mau menangis. “Jadi siapa bu yang membunuh ibu?â€? tanyaku sambil menangis dan menghampiri sosok itu. Tiba-tiba kamar ini berubah menjadi seperti kamar ibu yang dulu dan sosok ibuku menghilang dan aku pun menjadi tembus pandang. Tak beberapa lama datang ibuku yang masih hidup dan tanteku dari luar kamar memasuki kamar ini dan aku masih terdiam. Tapi di dalam kamar ini sepertinya terjadi pertengkaran yang hebat antara ibuku dan tanteku tetapi aku tidak dapat mendengar jelas apa yang meraka pertekarkan. Tiba-tiba tante mengambil kalung pemberian ayah untuk ibu sehingga membuat ibuku marah dan menampar tanteku. Tanteku kelihatanya sangat marah dan mendorong ibu sampai ibu terpental jauh dan kepala ibuku terkena dinding kamar, sehingga kepala ibuku mengeluarkan darah. Dan aku sontak menghampiri ibu tetapi apa daya aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong ibu. Tetapi tanteku tertawa sinis sambil mengambil pisau buah dan menghujamkan pisau itu ke perut ibuku, sontak aku berteriak. “TIDAKKKKK‌.â€? Teriakan sambil menangis sejadi-jadi. Tanteku pergi seperti tak mempunyai dosa. Setelah itu aku tak ingat apa-apa karena aku pingsan. Setelah aku bangun semuanya biasa saja. Tapi aku langsung ingat kejadian tadi dan aku bergegas ke kantor polisi. Di kantor polisi aku menceritakan semuanya ke polisi. Polisi pun dan aku pergi ke kediaman tanteku. Sesudah di rumah tanteku polisi meminta izin untuk menggeledah. Tanteku mengizinkan karena ketakutan dan polisi pun langsung menggeledah rumah tanteku. Tak beberapa lama polisi pun menemukan kalung yang aku maksud dan langsung menangkap tanteku. Dan tanteku dipenjara 15 tahun dengan tuduhan pembunuhan. Sesudah pulang ke rumah aku melihat sosok ibuku tersenyum padaku.

13


Tentang Penulis Penulis bernama Aslam Mubaroch. Lahir di Batam, Tanggal 20 September 1998. Bersekolah di Multistudi High School Batam. Menyelesaikan cerpen ini untuk memenuhi syarat ujian praktek Simulasi Digital. Terinspirasi dari berbagai cerpen yang sering dicari di Google. Mulai menulis cerpen sejak SMP. Jika ingin berteman bisa Add Facebook Aslammubaroch@yahoo.co.id

14


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.