Tabloid Mimbar Untan edisi 12

Page 1

Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Kebersamaan itu Indah

Surat Buat Rektor Kepada Ibu Rektor saya ingin mengatakan kalau selama ini buku-buku di perpustakaan Untan masih sangat jauh dari kebutuhan. Saya masih sering kesulitan mencari buku untuk menjadi literatur tugas kuliah. Saya rasa harus ada penambahan buku di sana. Ada satu pepatah ‘perpustakaan adalah gudang ilmu’ tetapi yang saya rasakan di perpustakaan Untan malah sebaliknya. Bahkan buku-buku yang ada biasanya merupakan buku-buku lama yang sudah tidak lagi dijadikan sumber materi mata kuliah. Saya ada satu saran, kita semua tahu kalau belum lama Untan mendapatkan dana dari penyewaan Stadion yang sekarang sudah jadi Dufan. Bagaimana kalau dana 10 juta itu dibelikan buku-buku baru biar mahasiswa tidak lagi sulit mencari literatur kuliah? Terimakasih bu kalau sudah dibaca, semoga diwujudkan. Toh, untuk terakhir kalinya di kepemimpinan Ibu. Korn_limited@plasa.com

Surat Pembaca

Dapur Redaksi

Kemana Dana Beasiswa dan Kelembagaan Mahasiswa Hukum? BICARA tentang proses pengerjaan Tabloid, tentulah banyak kisah seru di belakang meja redaksi. Dari pemilihan isu yang paling tepat ditempatkan di laporan utama sampai siapa yang paling pas mengisi rubrik wajah di edisi kali ini. Kamus besar Bahasa Indonesia hingga segelas kopi jadi teman setia menghabiskan malam saat mengedit tulisan. Sampai debat panjang dalam memilih foto yang pas. Intinya satu, media ini masuk cetak dan isinya berkualitas sehingga dapat memuaskan pembaca Markas pun semakin ramai, tatkala malam tiba. Maklumlah selain mengejar deadline tabloid, kru MIUN juga menyiapkan detik-detik terakhir menjelang tutup pengurusan. Anggaplah ini adalah karya terakhir persembahan pengurusan kali ini. Dan di ruang sempit ini juga kami menghaturkan terima kasih untuk tetap setia membaca Tabloid Mimbar Untan. Memang merupakan suatu kewajaran bila sesuatu yang dilakukan dalam prosesnya banyak kendala yang dialami, entah itu besar ataupun kecil. Begitu juga dengan Tabloid ini, walau mendapat banyak kendala dalam peliputan dan penulisan, akhirnya tabloid edisi 12 ini dapat terselesaikan. Tak dapat dipungkiri masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan kami. Di edisi 12 ini kami mencoba mengangkat masalah ‘trafiking’ yang banyak terjadi khususnya di Kalbar ini. Serta belum adanya undang-undang (UU) tentang trafiking sampai sekarang. Berita menarik lainnya tentang HIV/ AIDS. Banyak sekali yang telah dilakukan berbagai pihak untuk mencegah menyebarnya virus yang belum ada obatnya ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Kalbar termasuk dalam sepuluh besar kota yang paling banyak penderitanya. Tak heran jika dikatakan, setiap detiknya ada enam orang yang terinveksi HIV/AIDS dan setengahnya adalah anak muda. Seputar Untan, kami mengangkat tentang aset-aset Untan yang belum terinventaris sampai sekarang dan cerita simpang siur apa saja yang menjadi milik Untan sebenarnya. Tak kalah menariknya masalah Untan Press yang sebagian dosen tidak mengetahui keberadaannya. Untuk rubrik profil, kami suguhkan wajah rektor baru kita. Di sini, Chairil Effendi bercerita banyak tentang harapan serta upaya untuk memajukan Untan kedepan. Di halaman berikutnya kami memuat tentang isu Pambangkit Listrik Tenaga Gambut (PLTG). Bagaimana sebenarnya masalah ini? Apakah benar gambut dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik? Bagaimana juga efek positif dan negatifnya bagi kelestarian alam dan pemanfaatannya. Akhirnya, kami tidak lupa mengajak sobat pembaca yang budiman untuk mengisi TTS yang kami sediakan pada Tabloid kali ini. Banyak bingkisan menarik yang siap anda dapatkan jika anda mengisinya dengan benar. [tabik].

Terimakasih kepada Mimbar Untan atas dimuatnya surat saya ini. Sebagai mahasiswa Untan saya cukup prihatin dengan menejemen bagian kemahasiswaan terutama di Fakutas Hukum tempat saya menimba ilmu. Di sana sangat sulit mendapat jawaban jika ada mahasiswa yang mempertanyakan transparansi dana beasiswa yang diberikan. Seperti yang kita ketahui ada 14 jenis beasiswa yang berhak didapat oleh mahasiswa seperti BBM, PPA, Supersemar, BI, Djarum dan masih banyak lainnya. Beasiswa tersebut berhak diperoleh mahasiswa sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mahasiswa tersebut. Misalnya beasiswa BBM yang diperuntukkan kepada mahasiswa yang kurang mampu. Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi di kampus hukum. Banyak mahasiswa yang mampu yang malah mendapatkannya sedangkan mereka yang tidak mampu terpaksa gigit jari. Saya tidak tahu bagaimana prosedur memperoleh beasiswa BBM ataupun memang bagian kemahasiswaan tidak menyeleksi data mahasiswa yang mengajukan. Entahlah yang pasti ketika mahasiswa juga menginginkan nama-nama yang mendapatkan beasiswa tersebut ditempel di papan pengumuman, bagian kemahasiswaan tak pernah mewujudkannya (mungkin karena takut datanya terbongkar). Ada lagi satu persoalan yang sering menjadi pertanyaan namun tak pernah diwujudkan dengan jawaban yang memuaskan yakni soal dana kelembagaan yang tidak pernah dirincikan secara transparan oleh fakultas. Sangat disayangkan ketika dana yang jumlahnya tidak sedikit itu (10 juta) tidak diketahui kemana alokasinya secara rinci. Bukankah kita Fakultas Hukum yang tentunya menjunjung tinggi ‘kebersihan hukum.’ powerslash_FH@yahoo.com

LIRS Terlambat Terus.............!!!! Terima kasih pertama-tama saya ucapkan kepada MIUN yang telah memuat keluha saya. Setiap kali selesai ujian akhir semester, ada beberapa dosen yang lambat mengeluarkan nilainya. Bahkan perkuliahan sudah berjalan selama hampir dua bulan. Ini sebenarnya sangat mengganggu apalagi dengan sistem on line. Kita tidak tau berapa IP kita dan berapa banyak mata kuliah yang bisa kita ambil. Dalam hal ini kita sebagai mahasiswa merasa kebingungan, akhirnya tanpa mengisi LIRS kita masuk ke salah satu mata kuliah, dan hanya untung-untungan. Jika nilai telah keluar semua dan nilainya bagus mata kuliah tersebut kita lanjutkan. Tetapi kalau tidak, terpaksa harus meninggalkan mata kuliah yamg telah kita ikuti beberapa minggu. Kami selaku mahasiswa mengharapkan agar para dosen dapat menyerahkan nilai tepat waktu. Agar kami dapat mengatur jadwal dan dapat mengisi LIRS tepat waktu. Rahma, mahasiswa Bahasa Inggris Angkatan 2005

Permohonan Maaf Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Tanjung Pekerjaan : Penjaga Parkir Dengan ini menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan atas tindakan yang kurang berkenan. Demikian permohonan ini dibuat untuk diperhatikan. Tanjung, Penjaga Parkir Fakultas Kehutanan

Tabloid Mimbar Untan diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak. Pelindung : Rektor Untan, Pembina : Purek III, Pengarah : Kabag Kemahasiswaan, Ketua Umum : Nina Soraya, Sekretaris Umum : Iskandar, Bendahara Umum : Aini Sulastri, Divisi PSDM : Syf. Ratih Komala D (ketua), Tantra Nur Andi, Azwar, Divisi Penerbitan : Henny Kristina (ketua), Heri Usman, Sri Pujiani, Divisi Penelitian dan Pengembangan : Maya Nurindah Sari (ketua), Fitri Junia, Divisi Penyiaran : Mulfi Huda (ketua), Ashri Isnaini, Divisi Perusahaan : Riant Marbun (ketua), Mahmud Muntazar, Pemimpin Redaksi : Rahmanita, Sekretaris Redaksi : Sri Pujiani, Redaktur : Nina, Henny, Ratih, Aini, Rival, si Is, Irex, Heri, Artistik : Iskandar, Heri Usman, Fotografer : Mahmud, Henny, Staf Redaksi : Tatia, Nita, Jami’at, Mardani, Sri Doroti, Alamat Redaksi : Jl Daya Nasional Komplek Untan (Gedung MKDU) Telepon : (0561) 706 8136 , e-mail : lpm_untan@yahoo.com, Percetakan : Romeo Grafika, Jl. Syarif Abdurrahman Saleh No 20. (Isi diluar tanggung jawab percetakan). Redaksi menerima tulisan berupa opini, essai, laporan kegiatan kampus, puisi/cerpen, hasil investigasi-dengan disertai identitas diri. Tulisan diketik rapi minimal tiga lembar folio dengan spasi ganda. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah makna tulisan.


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Bukan untuk Rakyat ebijakan yang dibuat pemerintah semakin hari semakin menodai hati rakyat. Betapa tidak, dengan kondisi masyarakat yang sulit seperti sekarang dan situasi negara yang beruntut mengalami bencana, pemerintah malah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tak berpihak pada rakyat. Sebut saja PP No 37 tahun 2006 yang direvisi menjadi PP No 21 tahun 2007. Walaupun dalam hasil revisi disebutkan bahwa semua anggota dewan harus mengembalikan dana rapelannya kepada kas negara namun hingga saat ini belum semua mengembalikannya. Malahan anggota dewan memebentuk koalisi menolak revisi tersebut. Ada apa sebenarnya dengan anggota dewan yang telah dipilih rakyat dan dipercayakan bisa menjadi wakil dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah ini justru melukai hati mereka (rakyat). Begitu miris ketika melihat rakyat yang sulit untuk mencari sesuap nasi, hingga harus makan nasi aking untuk bisa mempertahankan hidup, belum lagi pengungsi dari bencana yang terjadi hingga saat ini belum mendapatkan tempat tinggal dan terpaksa tidur dan tinggal di tenda pengungsian. Segala kebutuhan hidup yang semakin mencekik leher membuat rakyat miskin menjadi semakin miskin. Dan ketika rakyat menganggap anggota dewan sebagai ‘dewa penolong’ yang diharapkan dapat menyuarakan perasaaan dan suara mereka kepada pemerintah, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dewan semakin membuat hati rakyat semakin

K

Foto: MAHMUD/MIUN

terluka lebar, tersayat, dan sangat perih. Tidak hanya itu, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang menjadi persoalan. Belakangan ini keluar kebijakan tentang pengadaan Laptop bagi anggota DPR. Sebanyak 500 anggota DPR mendapat alokasi Rp. 21.500.0000 untuk pembelian komputer lipat tersebut dengan anggaran Rp. 12,1 M dan sudah dimasukkan dalam anggaran APBN 2007. Selain itu juga dilakukan hal yang sama ter-

hadap 128 anggota DPD dengan anggaran per laptop Rp 19.500.000. Begitu ironis institusi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat dan karena rakyatlah mereka ada di sana. Tapi nyatanya malah menjadi institusi yang rakus dengan kekuasaan. Sangat jauh berbeda ketika dulu (waktu kampanye) mengumbar-ngumbar janji manisnya, saat ini malah melukai rakyat yang sebenarnya adalah raja dan mereka hanya anak buah. Tak tahu diri. Apakah ini bukti ketidakadilan, sementara negara ini masih dilanda berbagai persoalan, sebut saja kemiskinan, kebodohan dan bencana yang datang silih berganti. Belakangan sikap dewan berubah dengan tidak menerima alokasi pengadaan Laptop dan “mendengar suara rakyat.” Entah ada apa sebenarnya dengan anggota dewan, namun apa yang dilakukannya diharapkan bukan lagi janji-janji yang manis yang dikeluarkan hanya untuk membesarkan hati rakyat tapi akan lebih menyakitkan nantinya. Dan pemerintahan SBY yang awalnya diharapkan dapat membawa perubahan ke arah lebih baik bagi negara dan rakyatnya malah membawa perubahan yang membuat rakyat meringis. Apa belum puas pemerintah beserta anggota dewan menyakiti hati rakyat yang telah membuat mereka berada di atas sana, dengan memakan uang rakyat dan membuat rakyat semakin menderita. Lupa dengan ‘wong deso.’[ ]

TEKA-TEKI SILANG

Teka Teki Silang Tabloid Mimbar Untan Edisi 12 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Nama : NIM :

12

13

14

15

16

[ di kumpulkan paling lambat 10 April 2007 ] 17

20

18

21

22

24

28

25

26

30

33

34

38

42

48

50

63

60

>>> Jawaban yang benar akan di umumkan pada Mimbar Untan Civitas edisi 38 dan di Radio Untan Voice 14-18 April 2007.

45

65

70

54

66

74

78

67

71

73

81

53

58

61

69

77

80

52

57

64

68

72

51

56

59

62

44

47

49

55

32

75

76

79

82

83

84

85

M E N D A T A R : 1. Ibukota Propinsi Kalimantan Barat 7. Lomba; pertandingan 12. Broadcasting 13. Volume 14. Bunyi 15. Organisaso Radio Amatir Republik Indonesia 16. Tulis saja: JED 17. Angka 1, 2, 3, dan seterusnya 20. Salah satu Rukun Haji 22. Tidak Tahu 24. (Di balik) Nama, Gunung Aktif 26. Salah satu kelas pada olahraga Tinju 28. Tepat janji 30. Perhiasan yang di letakkan di jemari 33. Kumpulan orang (biasanya dalam perang) 36. Berada di tempat lain ketika suatu perbuatan kejahatan terjadi 38. (Dibalik) Niat yang tidak jadi dilaksanakan 40. Aib; cela 42. Ketela rambat 44. Bau 46. Permohonan kepada pemerintah

Persy aratan mengisi TTS Tab loid Mimbar Untan 12 Ini : ersyaratan abloid a) Fotocopi terlebih dahulu TTS ini, lalu di isi fotocopiannya, dengan jawaban yang benar. b) Fotocopi juga Identitas anda (KTM yang berlaku). c) Kirimkan jawaban sebanyak-banyaknya ke Redaksi kami [Jl. Daya Nasional Komplek Gedung MKDU Untan].

39

43

46

31

35

37

41

23

27

29

36

40

19

86

47. Daerah di Aceh yang merupakan daerah terujung bagian barat NKRI 48. Sesudah 50. Orang yang melahirkan kita 52. Tidak hadir 55. Tempo (pada musik) 57. Tata aturan yang tidak tertulis 59. Nebeng 62. Tengah melakukan sesuatu 65. Pegangan pada telepon 68. Memasak dengan menggunakan minyak 70. Uang muka 72. Tujuh 74. Analisis mengenai dampak lingkungan (singkat) 77. Nasi bekas yang dikeringkan 80. Lensa pembesar 81. Tidak tipis 82. Internal Krusial (singkat) 83. ........... Daniati (nama artis) 84. Arah mata angin 85. Gambar yang bersifat lelucon atau bisa sebagai kritik 86. Belahan pada kulit kelapa yang keras

MENURUN: 1. Salah satu jenis karya sastra 2. Daun kelapa 3. Susah tidur 4. Kenangan 5. Alat membuka dan menutup (pada air) 6. Manusia pertama 7. Paduan suara 8. N diganti T: kapasitas angkut pada kendaraan 9. Wabah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat pada suatu daerah dan memakan banyak korban 10. ......... semut; sebuah judul lagu 11. Elok; cantik 18. Organisasi massa 19. Gelombang 21. Hak Asasi Manusia 23. Air Susu Ibu 25. Parisada Hindu Dharma Indonesia 27. Aki 28. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara 29. Maksud; tujuan 31. Nyiur (baca cepat) 32. Yang dimiliki oleh orang atau mahluk 33. Hasil berpikir 34. Alat penghubung suatu medium digital (data) ke CPU 35. Ibukota Kabupaten Landak 37. Berasa hendak makan 39. Beraneka; jenis 41. Kasihan 42. Universitas Islam Indonesia 43. Kabar tidak jelas 45. Masyarakat Ekonomi Eropa 48. Lebih dari cukup; sudah cukup 49. Negara di Asia 51. Berita Acara Pemeriksaan 53. Panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih tua (Melayu) 54. Panggilan kepada perempuan Sunda 56. Tarif taksi 58. Pasangan Jiwa 60. Berhenti; tidak mau bekerja 61. Maaf 63. Satu; salah satu Himpunan Mahasiswa Jurusan di FKIP 64. Ingin tidur 66. Nama laut: tempat meninggalnya Komodor Yos Sudarso 67. National Basket Association 69. Bulu diatas kepala 71. Jaringan komunikasi 72. Nama buah berduri 73. Salah satu jenis/ bentuk tugas mahasiswa 75. Bodoh 76. Lubang kuburan 77. Jalan cerita 78. Pemerah kuku yang dibuat dari daun 79. Rajin; ulet


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Berburu Aset Untan Oleh TA HARIYA TATI ATI TI HARIY ada suatu siang yang cerah, mobil biru tua itu terparkir tepat di sisi jalan. Empat orang turun dari dalamnya, salah satunya adalah kru Miun. Perjalanan yang ditempuh dari Pontianak-Toho memakan waktu selama dua jam setengah. Seorang lelaki paruh baya yang memakai kaus putih lusuh datang menghampiri. Lelaki itu terlibat pembicaraan dengan Moh. Nuh, staf BAUK Untan yang juga ikut dalam perjalanan. Selang beberapa menit kemudian, lelaki tua yang dipanggil Marica itu mengajak ke kediamannya. Sempat terkejut, lahan yang berada di tepi Jalan Raya Toho, Kelurahan Pak Laheng, Kecamatan Toho dengan luas 551.170 m2 itu ternyata milik Untan. Sebagian besar ditumbuhi semak belukar, pepohonan, dan sisanya ditanami padi, jagung, kelapa, juga ubi kayu. Tidak heran banyak yang tidak mengetahuinya. Pasalnya, tidak ada plang nama atau tanda yang menunjukkan bahwa lahan itu punya Untan. Padahal aset satu ini sudah dimiliki sejak 1982. Sebelum melihat dan menjelajahi hamparan hijau tersebut, kami berbincang di rumah Marica terlebih dahulu. Rumah yang terbilang sederhana itu ditinggali oleh Marica dan keluarga. Marica (60) sendiri bisa dikatakan sebagai penjaga aset Untan di Toho ini. Akan tetapi tidak pernah dibayar oleh Untan lagi sejak masa rektor Purnamawati berakhir. Untuk hidup Marica mengandalkan lahan sekitar buat bercocok tanam. Bahkan bukan hanya dirinya saja yang melakukan hal serupa, warga lainnya yang tinggal disini juga memanfaatkan lahan Untan ini. Setelah cukup lama berbincang, Marica pun mengantarkan kru Miun untuk melihat kondisi lahan di Toho ini. Kami menyusuri jalan setapak. Kondisi jalan juga tidak rata, terkesan seperti naik turun bukit. Memang tanahnya sedikit berlumpur, akan tetapi setelah disuguhkan hamparan hijau ilalang lengkap dengan deretan pepohonan yang masih berproduktif, semakin membuat benak bertanya kenapa Untan tidak memanfaatkannya guna menambah pundi Untan sendiri. Malahan yang terjadi penduduk sekitarlah yang berbondong-bondong mengolah lahan itu menjadi lebih produktif. Bayangkan saja, penduduk sekitar telah menyulap lahan ini dengan menanaminya pohon rambutan, durian, pisang, cempedak, sagu dan karet. Dan ketika masa panen tiba, hasilnya bisa dirasakan warga bersama-sama. Seorang penduduk yang membangun rumah kecil beratapkan daun tepat di tengah sawah ini menyadari resiko memakai lahan bukan milik sendiri. “Saya cuma numpang disini, kalo’ Untan nyuruh untuk bongkar rumah ini ya... saya nurut jak, nda bise ape-ape,” ujar Ujang yang juga bertani di lahan ini. Marica memang sejak lama menjaga lahan tersebut. Namun diakuinya

P

Foto: TATIA/MIUN

Terabaikan : Tanah luas di Toho yang merupakan aset milik Untan tidak terjamah, dan kini dimanfaatkan warga sekitar untuk lahan pertanian. Untan belum sepenuhnya memberikan kepercayaan untuk melarang jika ada warga yang juga ingin memanfaatkan lahan itu. “Ada juga warga yang tidak tahu ini punya Untan dan menanam disini tapi saya tidak bisa melarang mereka,” katanya. Dulunya sempat ada papan nama yang menunjukkan lahan tersebut milik Untan. Akan tetapi sekarang plang itu tidak jelas keberadaannya. Seperti ketidakjelasan nasib lahan luas ini bagi Untan. Seperti kata Santo yang merasakan ini adalah aji mumpung. “Saya tidak punya tanah untuk berladang, jadi kenapa lahan yang ada, tidak saya gunakan saja,” katanya polos. Menanti Kejelasan Nasib Dari perjalanan (13/1) lalu, semakin menguatkan informasi tentang keberadaan aset Untan di Toho yang belum terjamah ini. Selama 25 tahun memiliki lahan tersebut, Untan memang belum pernah memanfaatkannya. Padahal pada masa Rektor Purnamawati sempat direncanakan akan menjadi bumi perkemahan. “Desainnya sudah dibuatkan senilai 75 juta hasil kerjasama dengan Pemkab Pontianak tapi hingga sekarang tidak terlaksana,” ungkap Abdul Hamid yang menjabat sebagai Pembantu Rektor IV kala itu. Dia juga menambahkan perlunya Toho dikembangkan karena lahan tersebut memiliki potensi besar. Gagalnya ide membangun bumi perkemahan bermuara dari tidak adanya respon positif tiap kabupaten. Ide ini makin redup saat Untan juga lebih berkonsentrasi dalam pembangunan Fakultas Kedokteran. Ketiadaan dukungan dana tadi akhirnya semakin menenggelamkan rencana bumi perkemahan tersebut. Alasannya, tiap ka-

bupaten sudah dimintakan subsidi dana untuk pembangunan Fakultas Kedokteran. Informasi ini diperoleh langsung dari Andi Usman, sekretaris dalam pembuatan perjanjian kerja tersebut. “Mereka tidak bersedia untuk memberikan bantuan lagi,” ujar dosen FKIP itu lagi. Sementara dilain tempat, Purek IV Alamsyah menjelaskan pembuatan bumi perkemahan tersebut memerlukan dana yang tidak sedikit dan Untan tidak mempunyai dana untuk itu. “Kita sudah berusaha ke Dikti dan Pemda tapi tidak dapat apa-apa. Mengembangkan aset tidak mudah, sulit mencari orang yang mau diajak bekerjasama sedangkan Untan sendiri minim dana,” akunya. Nasib Toho makin tidak menentu saja karena terbentur masalah ketiadaan dana untuk mengelola. Bahkan Alamsyah pernah sempat menyebutkan daerah ini akan dijadikan tempat pembibitan kelapa sawit. Akan tetapi gagal lagi dengan alasan sama, tidak punya dana. Memang isu ini tidak santer diperbincangkan, kendati demikian Untan tetap harus memikirkan asetnya yang nilainya tidak kecil ini. *** Berdasarkan data inventaris perlengkapan tahun 2004, tercatat bahwa Untan memiliki aset berupa tanah dengan total luasnya 2.330.476 m2. Tanah-tanah tersebut terletak di beberapa lokasi di Pontianak dan satu lahan di Toho. Lahan yang terluas adalah tanah yang kini digunakan sebagai pusat kegiatan perkuliahan Untan. Tanah ini memanjang dari Jalan Imam Bonjol, A Yani, hingga Jalan Perdana yang diperuntukkan sebagai bangunan pusat kegiatan belajar mengajar di Untan. Tidak hanya tanah, aset Untan lainnya berupa gedung yang diguna-

kan sebagai sarana kegiatan belajar mengajar. Tercatat Untan memiliki 80 jenis bangunan yang terdiri atas gedung kuliah, laboratorium, aula, ruang dosen dan gedung lainnya yang termasuk dalam data inventarisasi gedung. Aset gedung lain yakni tempat perkuliahan PGSD FKIP yang merupakan hibah dari SGO (sekolah guru olahraga) dan SPG (sekolah pendidikan guru) dan berada di Jalan Adi Sucipto dan Jalan Sulawesi. *** Ada beberapa usaha yang letaknya di lingkungan Untan namun mempunyai latar belakang yang berbeda. Artinya ada yang disebut aset namun tidak memberikan pemasukan bagi Untan. Lalu ada aset yang memberikan pemasukan bagi kas negara, tapi tidak bisa langsung dirasakan hasilnya oleh Untan. Jika membutuhkan dana itu Untan harus mengajukan proposal. Sementara ada juga usaha yang dibangun di Untan namun belum dapat dikatakan aset. Memang rasanya cukup miris ketika tahu bahwa usaha-usaha itu ada tetapi tidak dapat memberikan banyak pemasukan bagi universitas ini walaupun membawa label Untan dan berada di lingkungan Untan sendiri. Tercatat diantaranya Yayasan Universitas Tanjungpura (Yusra) yang berdiri sejak tahun 1996 tidak lagi memberikan kontribusinya sejak 2003 silam lantaran tidak mendapatkan dana pengelolaan. “Kita sempat memberi kontribusi ke Untan tapi sekarang tidak lagi karena Untan tidak memberikan dana pengelolaan yang dijanjikan,” kata Mahdi Radji’in, pengelola Yusra. Dengan begitu dana yang didapat dari dua usaha yakni kantin dan bis digunakan juga untuk mengelolanya. Kedepannya Mahdi berharap Untan bisa memberikan dana untuk


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

mengelola aset sehingga nantinya menjadi pendapatan bagi Untan. Sementara rusunawa yang disangka sebagian orang merupakan aset Untan saat ini belum bisa dikatakan sebagai aset. “Rusunawa adalah kerjasama Untan dengan Perumnas, 25 tahun kedepan baru menjadi aset Untan,” kata Hamdani, penanggungjawab rusunawa. Ia mengatakan Untan hanya menyediakan lahan sedangkan yang membangun adalah pihak Perumnas. Sekali lagi, ini menjadi investasi jangka panjang jika Untan sudah memiliki sepenuhnya. Berbeda dengan kedua usaha tadi, Auditorium Untan yang selama ini digunakan sebagai tempat kegiatan mahasiswa maupun disewakan untuk masyarakat umum dari tahun 20032006 telah memberikan pemasukan bagi kas negara sebesar 100 juta rupiah. M Ali, Kasubag Rumah Tangga yang juga penanggungjawab Audit mengungkapkan uang hasil penyewaan itu dapat diambil Untan jika diperlukan namun harus mengajukan permohonan pengambilan uang terlebih dahulu. Di lintasan Daya Nasional tepat-

nya di samping Koperasi Pegawai Negri ada sebuah gedung yang dulunya digunakan sebagai pusat studi paralel Fakultas Ekonomi. Namun sayangnya gedung tersebut sekarang dibiarkan kosong dan tidak pernah tampak lagi ada kegiatan disana. Lalu tahun 1980an Untan juga mempunyai mesin percetakan yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. Mesin tersebut merupakan paket percetakan yang pernah ada di masa rektor Hadari Nawawi. Dulunya mesin itu berada di bawah bagian perlengkapan Untan. Namun seiring bergantinya pemimpin, sekarang keberadaan mesin yang ditaksir mempunyai nilai jual ratusan juta itu tidak diketahui lagi. *** Jika dilihat pengelolaan aset di Untan kurang diperhatikan universitas padahal aset merupakan ladang untuk mengembangkan usaha menambah pendapatan. Mulai dari inventarisir aset, sistem pengelolaan hingga kontribusinya ke Untan, belum terkelola dengan baik. Ada aset yang secara berkala memberikan pemasukan, ada juga yang tidak memberikan pemasu-

Data Rekap Inventarisasi Gedung Universitas Tanjungpura

kan lagi ke Untan. Bahkan ada yang dibiarkan begitu saja, tidak dikelola. Begitu disayangkan apalagi dua tahun ke depan Untan menjadi BHP yang tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. Artinya Untan harus pintar mengelola pemasukan dan aset menjadi solusinya. Asniar Ismail mengakui sistem pe-

ngelolaan aset saat ini memang tidak baik. Kenapa bisa terjadi, tidak banyak ia jelaskan. Ia hanya berharap kedepannya dapat dibuat suatu wadah yang menangani aset-aset Untan. “Mereka yang mengurusi aset harus benar-benar paham dan tidak diragukan lagi kepiawaiannya,” kata Asniar. Chairil Effendi, rektor Untan terpilih mengatakan kelemahan Untan dalam mengelola asetnya saat ini adalah tidak adanya database aset. Padahal melalui database itulah Untan dapat menilai dan memfungsikannya. Karena itu kedepannya ia akan mengintegrasikan data aset dengan baik sehingga jika ada aset yang hilang pun dapat diketahui Untan. [ ]

Data Formulir Inventaris Tanah Universitas Tanjungpura No Urut

Nomor KIB Tanah

Nama Persil Tanah

2

3 Tanah Peruntukan Bangunan Tanah Perkebunan

1

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

1

00000

2

00002

3

00003

Jenis Bangunan 4 00004 Gedung Kuliah Laboratorium Aula 5 00005 Pusat Kemahasiswaan Ruang Administrasi Perpustakaan Gedung Ruang Dosen BAUK BAAK-PSI Kopma Gedung Internet Pusat Studi Wanita (PSW) Lembaga Penelitian LPKM Gedung Eks Balai PKM Gedung Proyek Untan Gedung Poliklinik Koperasi Pegawai Untan Pasca Sarjana UPT

Alamat

4 JL.Imam Bonjol Kelurahan Bangka Belitung Kec.Ptk Selatan JL.Raya Toho Kel.Pak Laheng Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak Tanah JL.Sulawesi,Kel.Parit Peruntukan Tokaya Kec.Pontianak Bangunan Selatan Jumlah LuasJl.Adi (M2) Tanah Sucipto,Kel.Sungai Peruntukan Raya, Kecamatan Sungai 23 17. 560,00 Bangunan Raya Kabupaten 19 9.410,50 Pontianak 7 4782,75 Tanah JL.Imam 2 1.736,00Bonjol, Peruntukan Kecamatan 6 1.830,00 Bangka Rumah Belitung Kecamatan 3 3.000 Dinas Pbntianak Selatan 7 1.974,00 Jumlah 1 810,00 Keseluruhan

1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1

1.225,00 250,00 365,00 550,00 600,00 340,00 400,00 169,00 359,21 864,00 783,00

Luas (M2)

No

Sertifikat Tanggal

Tahun Perolehan

Dasar Perolehan

8

Harga Perolehan Keteranggan

Keterangan

9 102.725.833.000,00 Harga Taksiran

10

5 1.672.829

6 64009 9

7 15-Sep-1981

1981

Pembebasan

551.170

1729

25-Feb-2003

1982

Pembelian

12.676.910,00

19.727

7434

1-Aug-1993

1993

Hibah Dari SPG

Harga belum ditaksir

4.750

7403

28-oct-1993

1994

Harga belum ditaksir

82.000

2.330.476 Sumber Data : Bagian Perlengkapan Untan

Info Rekruitmen Anggota Baru


ARDANI ANI ARD

Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Mereka,

Yang Terlupakan

Tanpa mereka sepertinya kampus akan terlihat kotor, ataupun kendaraan motor berserakan tidak rapi. Tanpa mereka kelihatannya orang-orang di atas akan kelimpungan karena tidak ada yang mengerjakan pekerjaan kecil seperti mengantar surat. Siapa mereka. Pentingkah mereka ada ? Oleh MARD MARDANI ANI Berjasa dan Bersahaja iang dengan udara seakan membara. Matahari berpijar di tengah petara langit. Semilir angin rasanya tak cukup untuk mengeringkan peluh yang membasahi baju. Aneh benar, ia tetap mengayuh sepeda begitu tangguh menunaikan tugas. Alasan itulah kami mencarinya dan akhirnya menemukan sedang duduk asyik menghisap rokok. Bapak ini mengenakan setelan hitam. Kala itu, di gedung BAAK Untan tepatnya di lantai tiga Miun menghampirinya. Dia, Basri yang telah mengabdikan hidupnya selama 23 tahun bagi Untan. Sosok Basri sepertinya asing di tengah pembaca, akan tetapi karena diri dan pekerjaannya yang biasa mengantarkan surat ke fakultas-fakultas yang ada di Untan ini, dia bisa dikatakan berjasa dan bersahaja. Berjasa, jelas karena sebagai kurir yang dipercaya mengirimkan surat hingga ke tujuan. Bersahaja, karena bersama sepedanya lah surat-surat itu diantar. Perbincangan kami begitu santai, apalagi hari itu listrik padam sehingga mengganggu aktivitas di ruangan tersebut. Tetap sambil menikmati rokok yang sisa separuh dia bertutur panjang lebar tentang pekerjaannya. Bermula dirinya ditempatkan di UPT Perpustakaan Untan. Bahkan dia sebagai saksi hidup bahwa Perpustakaan Untan telah mengalami perpindahan tempat sebanyak tiga kali. Sampai pada akhirnya dia ditempatkan di BAAK Untan. Tugas hariannya mengetik surat hingga mengantarkannya langsung. Surat tujuan itu tidak hanya diantar ke kampus saja, pernah sesekali dia diharuskan me-

Holdi

S

nyampaikan surat tersebut langsung ke rumah dosen yang dimaksud. “Saya mengantarkan surat itu dengan bersepeda ke tempat yang dituju dan pernah juga sampai ke Sungai Jawi yang jaraknya cukup lumayan,” kenang bapak dua anak ini. Walaupun hanya mengendarai sepeda tidak membuat Basri terus mengeluh dalam menunaikan kerja. Termasuk ketika, sepeda kesayangannya raib saat parkir di rumah. “Padahal sepeda itu sudah cukup berumur tetapi

Tanjung

masih banyak peminatnya,” ujarnya pelan. Ia senang ketika surat yang diantarnya sampai ke tujuan dan orang yang dimaksud hadir dalam acara tersebut. Salah satu pengalaman berartinya dalam bertugas adalah saat event MTQ nasional tingkat mahasiswa, dimana dia dipercayakan mengirim undangan ke seluruh peserta yang tersebar di seluruh provinsi. Dan undangan tersebut mendapat balasan dari mereka. Puluhan tahun berkarir disini dengan penghasilan yang dianggapnya masih belum mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi dia mesti pandai-pandai mengatur gajinya. Bicara tentang keluarga, usianya yang telah beranjak ke angka 46, kerjaanya ia dedikasikan menghidupi keluarganya. Semenjak istrinya meninggal dunia, dia juga harus bisa menjadi Ibu bagi kedua anaknya yang kini telah duduk di bangku SMP dan SD. Ternyata, peliknya hidup tidak membuat Basri berhenti mengengkol sepedanya. Penyebabnya adalah kedua buah hati yang menjadi penyemangat. Bekerja Sambil Berharap Sekalipun usianya tidak jauh beda seperti Basri, Holdi pun telah berumur separuh abad. Pembedanya, jika si pengantar surat itu telah 23 tahun berkarir, sedangkan dirinya baru sejak Januari tahun lalu berprofesi sebagai cleaning service di FKIP Untan. Kepada Miun, Holdi mengaku pekerjaan menjadi tukang bersih-bersih harus dilakukannya untuk mencukupi kebutuhan hidup. “Dengan honor sebesar Rp 350.000 per bulan saya harus bekerja mulai pukul 06.00 sampai pukul 12.30,” komentar bapak 7 anak ini. Apa mau dikata memang hanya itulah pekerjaan tetap yang dilakoninya saat ini. Sebelum menjadi cleaning service, dirinya pernah bekerja sebagai pedagang klontong keluar kota. “Saya berhenti menjadi pedagang klontong dan bekerja sebagai cleaning service ini karena mengingat umur saya yang sudah cukup tua. Saya ingin lebih khusyuk untuk beribadah. Selain itu dengan menjadi cleaning service ini saya berharap bisa menjadi pegawai negeri di Untan,” harapnya. Mengingat gajinya menjadi cleaning service pas-pasan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama sebulan. Di waktu sore ia berusaha mencari tambahan penghasilan diluar kerja sekarang. Mengabdi Demi Keluarga Pergi pagi-pagi sekali pulang di kala mentari hendak pamit undur, biasa juga hingga malam telah menyelimuti dia baru pulang ke rumah. Mahasiswa Fakultas Kehutanan pasti mengenal sosok Tanjung. Dia yang bertugas mengatur kendaraan mahasiswa yang terparkir di halaman kampus itu.

Basri

Profesi sebagai tukang parkir telah digelutinya selama enam tahun. Dengan penghasilan 150 ribu per bulan Tanjung harus pintar mengelola kebutuhan hidupnya yang semakin mencekik leher bersama istri dan ketiga anaknya. Penghasilan tersebut ditambah dengan pendapatan parkiran yang harus dipotong dulu dengan setoran kepada pihak fakultas sebesar 10 ribu per hari. “Sebenarnya penghasilan itu tidak cukup, apalagi dua anak saya masih sekolah. Tapi ada saja yang memberi,” katanya masih bersyukur. Rasa berat karena harus membayar lagi ke kampus dengan nilai yang menurutnya cukup besar pula. Malahan sempat ia harus menombok biaya setor karena kurang dari sepuluh ribu. Menjadi tukang parkir di Fakultas Kehutanan sudah dilakoninya sejak tahun 2001, sebelumnya ia sempat menjadi tukang tebas rumput di rektorat selama setahun. Selama menjadi tukang tebas rumput penghasilan yang didapatkannya hanya 75 ribu per bulan. Dan setelah pindah ke kampus ungu tersebut ia tidak hanya menjadi tukang parkir saja tapi juga merangkap menjadi cleaning service bersama seorang rekannya. Pilihan hidup ini harus dijalaninya demi keluarga meski mungkin bagi sebagian orang pekerjaannya tidak terlalu berat tetapi dengan kebutuhan hidup saat ini yang segalanya serba naik rasanya tak bisa disalahkan jika dirinya menginginkan tambahan penghasilan. “Kalau bisa penghasilan ingin ditambah,” ungkapnya. Perhatian fakultas memang sangat diharapkan bagi karyawan honor, apalagi terkadang pekerjaan yang dilakoni mereka yang tergolong karyawan ‘kecil’ cukup menguras tenaga seperti harus pulang hingga malam padahal pagi-pagi sekali sudah harus berada di kampus lagi. []


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Redup-Redam Untan Press menerbitkan buku disana, ada beberapa yang menyerahkan hasil tulisan yang siap cetak namun ada juga yang menyerahkan pengeditannya kepada Untan Press. Si penulis juga mencari atau mengeluarkan biaya penerbitan sendiri untuk bukunya. “Sementara ini kita belum mempunyai prosedur yang formil, dari buku yang diterbitkan, biasanya kita hanya meminta 50 exemplar untuk dikirim ke perpustakaan nasional maupun perpustakaan daerah yang diwajibkan bagi setiap buku yang sudah diterbitkan,” ujar Edy Kiang sebagai perwakilan dari Ahmad Tohardi selaku ketua Untan Press yang sedang melanjutkan studi di Yogyakarta. Tiap buku yang diterbitkan, jumlahnya diatas 300 eksemplar karena jika jumlahnya dibawah itu, biayanya akan jauh lebih besar. Karena biaya yang digunakan Untan Press selalu didapat dari bantuan pihak ketiga sehingga untuk fee penulis berdasarkan kesepakatan penulis dengan pihak ketiga. Mengenai belum adanya prosedur formil dalam badan penerbit ini, dikatakan Purek IV, Alamsyah karena pengurusnya kurang berpengalaman mengelola suatu badan penerbit. “Ini semakin membuat Untan Press tidak berkembang,” jawabnya.

Untan sejak 2002 lalu telah memiliki badan penerbitan dengan nama Untan Press. Lima tahun perjalanannya ternyata bukan jaminan berkembangnya wadah bagi para civitas akademika khususnya dosen untuk menerbitkan hasil penelitian atau tulisan menjadi buku, jurnal atau karya ilmiah. Ironisnya, keberadaan badan penerbit yang diyakini mampu meningkatkan citra Perguruan tinggi (PT) sekaligus menambah rasa kebanggaan bagi si penulis pada kenyataannya malah tidak diketahui sebagian dosen di Untan. Benarkah, redupnya Untan Press karena kegagalan dalam pengelolaan? Foto: Si Is/Miun

Buku : Beberapa produk Untan Press yang telah terbit, kini tidak terdengar lagi.

Oleh SRI PUJIANI ebuah fakultas di Untan di suatu pagi. Tim Miun sengaja dikerahkan guna menyebarkan kuesioner di tiap fakultas. Pagi-pagi sekali polester telah mencari responden. Jajak pendapat yang diangkat dengan tema menelusuri jejak Untan Press ini dikhususkan untuk para dosen di Untan. Begitu target didapat, kertas pun diserahkan. Setelah sebelumnya dijelaskan maksud kedatangan Miun. Dosen tersebut sedikit mengerutkan dahi membaca isi dari kertas tersebut. Dengan wajah penuh tanya ia berkata “Untan Press itu apa?.” Bisa dibilang sebagian besar dosen yang menjadi responden menanyakan hal sama. Memang, fenomena ini terjadi di Untan. Setelah berdiri sejak lima tahun lalu, nama Untan Press ternyata masih asing saja bagi sebagian dosen di Untan. Padahal, semenjak dilahirkan tanggal 6 Februari 2002, Untan Press punya peran penting. Lahir dari SK rektor No.222/ J22/2002 dan sebagai penanggungjawab teknis ada di bawah naungan Pembantu Rektor IV. Hingga sekarang badan penerbit ini masih diketuai oleh Ahmad Tohardi. Menurut Abdul Hamid yang sempat menjabat Purek IV periode1999-2003, berdirinya Untan Press karena perguruan tinggi dipandang perlu memiliki badan penerbit sendiri. Setahun kemudian, tepatnya pada 2003, Untan Press mendapatkan bantuan dana dari Ford Foundation yang bekerjasama dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Dari hasil kerjasama tersebut, tercetuslah program pustaka regional Pontianak yang bertujuan memberikan subsidi dana bagi beberapa badan penerbit di Pontianak. Selain Untan Press, Stain Press dan Fahruna Bahagia juga memperoleh kucuran dana. Lewat kerjasama ini, Untan Press berhasil menerbitkan 4 buku antara lain “Potret Pengusaha Etnis Cina di Kalbar” (Ahmad Tohardi), “Syakh Ahmad Khatib Sambas” (Erwin Mahrus, Rosadi Jamani, Edy Kusnan Hadi), “Asal Mula Kumang” (Paternus Hanye) serta “Awal Ciptaan dan Sistem Perladangan” (Edy Kiang). Diakui Abdul Hamid saat itu Untan Press minim penulis. “Tapi karena kita mendapatkan dana, jadi tetap harus kita hasilkan terbitan meskipun penulisnya sebagian merupakan pengurus Untan Press sendiri,” ungkapnya. Sekretaris Untan Press, Edy Kiang mengatakan tidak mengetahui penyebab minimnya penulis

S

yang ingin karyanya diterbitkan, padahal sejak berdiri sudah melakukan sosialisasi ke fakultasfakultas. Namun, pernyataan Edy ditampik sebagian dosen yang menjadi responden pada poling yang disebar. Sebagian besar dosen tersebut menyatakan kalau ketidaktahuan mereka dikarenakan Untan Press tidak melakukan publikasi dan sosialisasi (Baca: Hasil Jajak Pendapat “Menguak Keberadaan Untan Press”). Masih dari keterangan Edy kendala lain adalah tidak adanya alokasi dana dari Untan. Meskipun dalam SK yang ditandatangani Purnamawati (rektor pada masa itu-red) disebutkan kalau biaya yang dikeluarkan Untan Press dibebankan kepada anggaran Untan. Tetapi itu hanyalah ‘hitam diatas putih’ yang realisasinya tidak pernah ada dari awal berdiri sampai saat ini. Kondisi Untan Press makin kabur setelah berakhirnya bantuan dana penerbitan Ford Foundation. Rupanya buku berjudul “Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi” karya Redatin Parwadi, merupakan buku terakhir menjelang mati surinya Untan Press. Buku ini terbit pada 2004 secara swadana. “Saat itu saya mencari sendiri sponsor untuk buku itu dan Pemda bersedia membantu. Saya pikir Untan Press sudah seharusnya dikembangkan karena badan penerbit merupakan citra bagi Perguruan Tinggi. Saya sangat menyayangkan jika dosen Untan harus menerbitkan buku di luar padahal di sini (Untan-red) ada,” kata dosen Fisipol Untan ini. Manajemen Untan Press Sejak berdiri belum ada buku yang murni dikeluarkan Untan Press sendiri, mulai dari dana hingga administrasinya. Saat mendapat hibah dari Ford Foundation, Untan Press hanya mengurus masalah administrasi, permintaan ijin ISBN dan setting buku. Sama halnya saat menerbitkan buku terakhir karya Redatin Parwadi. Menurut Edy Kiang, hal tersebut terjadi karena Untan Press memang tidak memiliki dana penerbitan. Padahal, dana itu yang nantinya digunakan sebagai biaya produksi, fee penulis serta administrasi penerbitan. Hingga saat ini, pihaknya masih mencari terobosan baru, salah satunya belajar dari penerbit-penerbit lain yang sudah cukup dikenal masyarakat. Untan Press sendiri belum memiliki prosedur formil bagi penulis yang mau menerbitkan tulisan atau hasil penelitiannya. Dari penulis yang pernah

Anggota IKAPI Kalbar Yang Vakum Keanggotaan Untan Press dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) terhitung sejak 1 Maret 2003 dan sudah diperpanjang pada tahun 2006 lalu hingga tahun 2010 mendatang. Masih ada 6 penerbit lainnya yakni Fahruna Bahagia, Stain Press, Samudra Mas, Insan Cita, Romeo Grafika dan Kami yang tergabung dalam kumpulan badan penerbit yang diketuai Uray Husna Asmara ini. Sebelum menjadi anggota IKAPI Untan Press telah menerbitkan 3 buku antara lain Setetes Embun Penyejuk Jagad merupakan kerjasama dengan Yayasan Mujahidin Pontianak (Syafarudin Usman MHD, Muhamad Nur Hasan, Nur Iskandar Hasan), Djampea kerjasama dengan Dewan Kesenian Kalbar (M Yanis), dan sejarah Universitas Tanjungpura (Ahmad Tohardi, Edy Kiang). Namun setelah buku terakhir yang diterbitkan pada tahun 2004 mengenai Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi, Untan Press semakin tak terdengar lagi. “Saya juga tidak tahu kenapa, apa mungkin sosialisai kurang atau dana dari univeristas yang tidak ada,” ungkap Uray. Sebagai ketua IKAPI dirinya selalu mengingatkan para pengelola Untan Press akan kevakumannya namun dari pihak Untan Press menjawab memang belum ada tulisan yang masuk. Di dalam keanggotaan IKAPI, Untan Press termasuk yang vakum dalam menerbitkan buku dibanding penerbit lainnya. Ini sangat disayangkannya padahal penerbit di suatu perguruan tinggi dapat membawa nama baik di tengah lembaga pendidikan lainnya. Namun tak banyak yang dapat dilakukannya karena tumbuh kembangnya penerbit itu tergantung dari penerbitnya sendiri. “Bagi penerbit yang vakum juga tidak ada sanksi namun akan sangat disayangkan jika dalam universitas kita yang telah lama memiliki penerbit sendiri tapi tidak aktif,” ujar Uray yang pernah menjadi pimpinan STKIP. Kurang Perhatian Universitas ? Pembantu Rektor IV, Alamsyah mengungkapkan universitas memang tidak memiliki dana untuk alokasi penerbit Untan Press. “Kami sudah berupaya tetapi dana yang kita miliki memang terbatas,” ujarnya. Ia malah menyetujui jika dosen Untan menerbitkan tulisannya di luar Untan karena penerbit sendiri terkendala pada masalah dana. “Malah bagus dosen-dosen kita ke luar (penerbit-red) untuk menerbitkan tulisannya karena di sini tidak memiliki dana,” anjurnya. Sementara Abdul Hamid menilai untuk dana penerbitan sebenarnya tergantung pada pemimpinnya. “Jika pemimpin komitmen untuk mengem-


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

bangkan suatu badan penerbit maka pasti menyisihkan dana untuk menunjukkannya,” ujarnya. Ketua IKAPI Kalbar, Uray Husna Asmara mengungkapkan hal yang sama “Saya melihat dari rektor sampai Purek IV tidak rajin menulis karena kesibukan masing-masing sehingga kurang perhatian terhadap penerbit.” Kalau seorang pimpinan mengetahui pentingnya penerbitan buku seharusnya dialoksikan dana. Sarannya lagi dalam suatu badan penerbit diharapkan para pengelolanya harus orang yang mempunyai kemampuan mengedit, bukan hanya mengurus administrasi saja. Usulan juga disampaikan Redatin yang berharap demi kemajuan Untan Press perlu ditunjang dua hal, pertama biaya penerbitan dan kedua pengelolanya yang aktif. Pengelola aktif disini juga harus memiliki nilai kejuangan, motivasi dan kreativitas yang tinggi serta mempunyai waktu untuk bisa sepenuhnya terjun dalam penerbitan. “Sangat disayangkan kenapa rektor tidak peduli, padahal Untan Press kalau dikembangkan dapat meningkatkan citra Untan di mata universitas lain.” Chairil Effendi sebagai rektor terpilih yang beberapa waktu lalu sempat menerbitkan delapan buku lewat jasa STAIN Press mengatakan bahwa ia akan mempertanyakan kembali keinginan pengurus sekarang untuk mengelola Untan Press. “Jika mereka tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan saya juga tidak akan memaksakan. Saya akan menawarkan kepada yang lain untuk mengurus,” janjinya. Berkaca Dari Badan Penerbit Lain Salah satu penerbit di Pontianak yang jasanya cukup sering digunakan oleh dosen Untan adalah STAIN Press. Padahal lahirnya STAIN Press bersamaan dengan Untan Press. Kesamaan lainnya, STAIN Press pun tidak mendapat alokasi dana dari lembaga (STAIN). Hal ini lantaran secara struktural badan penerbit tersebut tidak berada di bawah naungan STAIN. Alasan tetap memakai nama STAIN dijawab Hermansyah, koordinator penerbitan STAIN Press sebagai keinginan tetap menjadi bagian dari STAIN. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan niat para pengelolanya untuk mengembangkan penerbit tersebut. Hanya dengan tiga orang pengelola, hingga kini STAIN Press sudah menerbitkan 39 buku, dua diantaranya pernah dicetak di Malaysia dan Brunei Darussalam. “Alhamdulillah kita hanya mengandalkan semangat untuk mengembangkan penerbit ini dan mencoba memfasilitasi mereka yang ingin menerbitkan buku,” ujar Hermansyah. Meski begitu, STAIN Press pernah menerbitkan buku mulai dari administrasi sampai biaya penerbitan dikeluarkannya sendiri. Ini dilakukan terhadap hasil-hasil seminar yang dilakukan di STAIN yang sudah diseleksi. Setelah terbit, buku tersebut dijual dan hasilnya akan digunakan lagi untuk penerbitan selanjutnya. Namun karena dana dari hasil penjualan buku terbatas jadi untuk penulis lain yang ingin menerbitkan buku di sana harus mengeluarkan biaya sendiri. Kewenangan STAIN Press juga hanya sampai pada diterbitkannya buku tersebut, untuk pemasaran diserahkan lagi kepada penulis. STAIN Press hanya mendapat 20-30 eksemplar untuk arsip dan pengiriman ke perpustakaan nasional dan daerah. “Penulis memberikan 500 ribu untuk mendapatkan ijin ISBN dan pengiriman ke perpustakaanperpustakaan,” tambahnya lagi. Untuk jenis terbitannya STAIN Press memang lebih mengutamakan buku-buku yang bersifat lokal contain karena mempunyai ciri khas tersendiri sehingga tak mengherankan jika setiap terbitannya selalu dimintakan oleh perpustakaan kongres Amerika. Saat ini STAIN Press belum memiliki sekretariat sendiri sehingga masih menumpang di ruang P3M namun rencananya ke depan STAIN Press akan menggunakan ruang Malay Corner (sudut melayu). Tidak memiliki ruangan sendiri, tidak juga mendapat bantuan dana dari lembaga tidak membuat para pengelolanya berhenti menerbitkan buku karena menurut Hermansyah lagi dukungan moral dari lembaga sudah sangat besar apalagi bisa memfasilitasi penulis menerbitkan bukunya.[]

Polling

Menguak Keberadaan Untan Press PENELITIAN ini dilakukan oleh T im R edaksi Tab loid Lembag ers Mahasis w a Untan. Redaksi abloid Lembagaa P Pers Mahasisw Jajak pendapat dilakukan selama 35 hari dari tang et 2007. Teknik tanggg al 5 FFee br uari-7 Mar Maret pengambilan sampel yang digunakan yaitu Probability Sampling ( Kuota Sampling ), dengan alat pengumpul data berupa kuesioner. Diperoleh jumlah sampel sebanyak 305 dosen yang meng ajar di Uni an meng gunakan tingkat kkee per ca mengajar Univv ersitas Tanjungpura. Deng Dengan menggunakan perca cayy aan 95%, sampling oporsi populasi 60 : 40. er proporsi errr or 5,05% dan pr TEMA yang diangkat dalam jajak pendapat Tabloid Mimbar Untan Edisi 12 adalah “Menguak Keberadaan Untan Press.” Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan, terdapat delapan pertanyaan yang bersifat tertutup dan sisanya bersifat terbuka. Adapun persentase hasil jajak pendapat secara rinci terdapat pada tabel di bawah ini : 1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui keberadaan Untan Press? a. ya b. Tidak [Jika ya langsung ke nomor 2, jika tidak langsung ke nomor 7]. Dari pertanyaan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dosen di Untan tidak mengetahui keberadaan Untan Press (50,73%). Sisanya mengetahui keberadaan Untan Press. Dosen yang tidak tahu sebagian besar mengatakan Untan Press kurang publikasi dan sosialisasi. 2. Apakah Bapak/Ibu pernah menulis untuk Untan Press? a. Pernah b. Belum Dari 135 dosen yang mengetahui keberadaan Untan Press, sebesar 93,4% menyatakan tidak pernah menulis untuk Untan Press. Sisanya 6,6% mengaku pernah menulis untuk Untan Press. Pada umumnya, dosen yang mengaku menulis di Untan Press hanya untuk mendapatkan cum sebagai persyaratan kenaikan pangkat. 3. Jika Bapak/Ibu diminta untuk memberikan hasil karya Bapak/Ibu kepada Untan Press, apakah anda bersedia untuk memberikannya? a. Ya b. Tidak Ketika dilontarkan pertanyaan bersedia atau tidaknya dosen untuk memberikan hasil karyanya untuk Untan Press, sebanyak 90.88% menyatakan bersedia memberikan hasil karyanya untuk Untan Press, 4,01% menyatakan tidak bersedia, sisanya menyatakan abstain. 4. Menurut Bapak/Ibu apa yang harus dilakukan Untan Press ke depan ? a. Memperbanyak jenis terbitannya b. Memperbanyak jumlah eksemplar terbitannya c. Alasan lainnya… Beragam opini yang disampaikan oleh para dosen kepada Untan Press dalam rangka memajukan Untan Press di masa mendatang. Umumnya mereka berharap Untan Press memperbanyak jenis terbitannya (41.24%) seperti jurnal, buku ilmiah dan buku ajar. Selain itu, harapan lainnya lebih kepada teknis operasional seperti menghidupkan kembali manajemen penerbitan secara internal, dan sistem pembagian royalti yang jelas. 5. Menurut Bapak/Ibu terbitan jenis apa yang sebaiknya diterbitkan Untan Press? [pilih 3 jenis terbitan yang terbesar]. a. Buku ajar utk mata kuliah b. Buku ilmiah c. Buku Local Content d. Jurnal-jurnal e. Bunga rampai f. Hasil Penelitian Mengenai jenis terbitan yang sebaiknya diterbitkan Untan Press, sebanyak 24,66% menghendaki Untan Press menerbitkan jurnal, 21,33% menginginkan buku ilmiah, 20,78% buku ajar dan 33,23% sisanya.[]

Apakah Bapak/Ibu mengetahui keberadaan Untan Press?

49,27% Tahu

50,73% Tidak tahu

Apakah Bapak/Ibu pernah menulis untuk Untan Press?

6,6% Pernah

93,4% Belum Pernah

Jika Bapak/Ibu diminta untuk memberikan hasil karya Bapak Ibu kepada Untan Press, apakah anda bersedia untuk memberikannya?

90,88% Bersedia 4,01% Tidak Bersedia

5,11% Abstain

Menurut Bapak/Ibu apa yang harus dilakukan Untan Press ke depan ?

58,76% Teknis Operasional

41,24% Memperbanyak Jenis Terbitannya

Menurut Bapak/Ibu terbitan jenis apa yang sebaiknya diterbitkan Untan Press?

Jurnal

Buku Ilmiah

24,66% 21,33%

Buku Ajar

20,78%

Lain nya

33,23%


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Konversi Gambut: Bersiap Menuai Bencana Oleh MAHMUD MUNT MUNTAZAR AZAR usim hujan telah tiba, banjir kembali melanda. Sebagian orang menganggap hal ini biasa dan beberapa sudah familiar dalam menghadapinya. Tak terkecuali masyarakat Kota Pontianak, kini turut merasakan dampak genangan air di berbagai penjuru kota. Di depan rumah dinas gubernur, ditengah megahnya mall kota, bahkan di sudut pinggiran kota, semua tak luput dari terjangannya. Ya, banjir memang menjadi problem tahunan yangentah mendapat perhatian atau tidak. Tak ayal segala aktivitas dan peran sosial masyarakat seakan terhenti akibatnya. Ada yang beranggapan banjir yang terjadi akibat desakan pemukiman dan tata ruang kota yang semrawut, serta drainase atau tata parit yang kurang baik. Namun, penyebab utama banjir Kota Pontianak salah satunya adalah semakin menyusutnya kawasan alami resapan air yaitu gambut, mengingat tanah hitam ini merupakan bagian dominan tanah yang berperan sebagai penyimpan air (spon). Gambut merupakan bagian dari isu global yang sempat menghawatirkan pemerhati lingkungan dan pro konservasi akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, sumber daya alam terbatas ini dalam konteks lingkungan memiliki peranan besar sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis, diantaranya penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system), penyerap dan penyimpan air yang berperan dalam mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan pensuplai air saat kelangkaan pada musim kemarau (Andriesse, 1988). Selain itu gambut juga berperan sebagai pengukuh iklim global terkait kemampuannya dalam memendam karbon dan membatasi emisi gas rumah kaca karbondioksida (CO2) ke atmosfer. Laju pemendaman karbon rata-rata gambut di Kalimantan sendiri sekitar 0,74 ton hektar pertahun (Notohadinegoro, 1996). Desentralisasi dan otonomi daerah memang telah berjalan. Dalam kondisi ini daerah bergerak membangun wilayahnya dengan melirik potensi yang ada. Sekitar 16 ribu dari 100 ribu hektar lahan gambut telah disiapkan Pemerintah Kabupaten Pontianak sebagai lahan konversi energi PLTU. Rencana Pemerintah Provinsi Kalbar ini menggandeng investor kelistrikan asal Korea dan Jerman, yang tergabung dalam Sebukit Group Corporation untuk mengolah energi alternatif gambut mengatasi krisis listrik yang dialami, demikian seperti dilansir harian Equator September 2006 lalu. Menurut Darea, dosen Fakultas Pertanian, proyek gambut ini ditanggapi serius oleh Bupati Mempawah Agus Salim dan rencananya akan diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit. “Rencana ini telah disosialisasikan serta mendapat dukungan dari masyarakat,” ungkap Darea yang tergabung dalam tim konseptor kerangka acuan Amdal terkait proyek ini. Namun, dalam pelaksanaannya rencana gemilang itu terkendala oleh status lahan. Lahan seluas 13 ribu dari 16 ribu hektar tersebut merupakan kawasan hutan, dan dalam pengelolaannya membutuhkan izin langsung dari Kementrian Kehutanan. “Keberhasilan dalam merubah status lahan, tergantung pada Pemda dan perjuangan Gubernur Usman Ja’far dalam melobi proyek ini ke tingkat mentri,” ujarnya. Kendala tidak hanya datang dari status lahan. Konsep awal proyek yang bertujuan mengintegrasikannya dengan perkebunan kelapa sawit, menghasilkan prosedur pengolahan gambut dengan kedalaman tidak lebih dari 1 meter. “Sehingga upaya pemulihan diupayakan dengan budidaya perkebunan kelapa sawit,” ungkap Darea. Hal ini sangat jauh berbeda dengan pihak Perusahaan Sebukit Group yang rencananya akan mengelola gambut dengan kedalaman 2,5 hingga 3 meter tanpa adanya alternatif pemulihan yang ditawarkan. Perbedaan konsep mendasar ini menjadikan pihak perusahaan menggunakan jasa konsultan yang tergabung dalam ERM (Environment

M

hayati, biodiversity, dan ekologi hutan rawa gambut. Menurutnya rawa gambut di Bakau Besar Darat merupakan kawasan yang dilindungi, dan sebagai kawasan resapan air yang menjaga tata air dan pelindung pemukiman masyarakat desa setempat. Masyarakat sendiri telah merasakan dampak atas rusaknya vegetasi hutan ramin akibat illegal loging dengan banjir yang terjadi belakangan ini. “Permasalahannya bukan pada anti pembangunan PLTU tetapi banyak aspek yang perlu dikaji selain Amdal, seperti sosial dan ekonomi masyarakat,” timbang Herujono. Mengomentari status lahan yang akan dijadikan wilayah konversi Herujono mengingatkan, bahwa sekitar 500 hektar lahan tersebut berstatus areal hutan penelitian dan areal hutan pelestarian hutan rawa gambut. Pengelolaan kawasan tersebut ada pada Universitas Tanjungpura, yang diperuntukkan bagi Fakultas Kehutanan sebagai wilayah penelitian khusus hutan rawa gambut. Ini dipertegas dengan Surat Keputusan Mentri KehuFoto : MAHMUD/MIUN tanan No. 306/Kpts/II/1993, Tumbang : Struktur tanah gambut yang tidak kuat untuk menahan beban tanggal 15 Juli 1993. Hingga diatasnya membuat pohon kayu yang ada di atasnya mudah tumbang. saat ini status tersebut belum dicabut dari Mentri KehutaRiset Management) untuk kembali mengkaji Amdal nan. “Jika status itu diubah terkait proyek ini, maka dan kelayakan proyek secara sepihak,” tambahnya. kita akan menuntut ganti kawasan hutan gambut Bapedalda Provinsi selaku regulator terkait pro- dengan kapasitas dan komposisi yang sama,” teyek ini tidak dapat bertindak banyak. Menurut Un- gasnya lagi. tad Darmawan, Kabid Amdal dan Penaatan HuMenanggapi konsep proyek PLTU yang diinkum, menuturkan regulasi dan perizinan sepenuh- tegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit sebanya ada pada Pemda Tingkat II, “Kami Bappedalda gai upaya pemulihan, Herujono kurang sependaProvinsi hanya sebagai koordinator semata,” te- pat. Menurutnya dengan ataupun tanpa budidaya gasnya. kelapa sawit, kerusakan gambut telah terjadi sebaMenanggapi proyek ini, menurutnya banyak gai akibat pengupasan gambut yang terjadi sebekendala atas aplikasinya di lapangan, diantaranya lumnya, yang turut memicu terjadinya subsiden status lahan yang merupakan kawasan hutan, dan atau penurunan permukaan tanah yang berdampak membutuhkan izin hingga ke tingkat Menteri Ke- pada tingginya resiko banjir. hutanan, tata ruang kota pada Bupati, dan dari Hal senada juga diutarakan Hendri. Menurutteknis kelayakan AMDAL sendiri, yang hingga sa- nya upaya budidaya kelapa sawit tidak dapat menat ini belum memberikan data yang representatif. jamin kembalinya fungsi ekologi gambut. Konversi “Namun dari semua itu kita akan menskorsing asas telah terjadi pada substrat yang membutuhkan wakmanfaatnya, selama benefit yang dihasilkan jauh tu pembentukan 10 ribu tahun untuk tiap 1 meterlebih besar dari segi lingkungan, atas alasan apa nya. “Subsiden sudah pasti terjadi, dan porositas kita melarang,” tegasnya lagi. atau kemampuan tanah menyerap air semakin berNamun Anas Nashrullah, aktivis pemerhati li- kurang,” tegasnya. Selain itu tipikal gambut Kalingkungan WWF, menyayangkan mind set perusa- mantan berbeda dengan gambut Kanada dan Finhaan dan kajian AMDAL yang dihitung semata- landia yang diolah sebagai sumber energi alternatif. mata berorientasi pada gambut semata. MenurutGambut Kalimantan didominasi gambut ombronya, evaluasi atau perhitungan kerusakan lingku- gen (dataran rendah) sedangkan gambut Kanada ngan (treatment analicyst) dan manfaat yang hilang dan Finlandia dengan tipe topogen (dataran tinggi) atas hadirnya proyek harus dihitung secara teliti yang memiliki komposisi dan fungsi yang berbeda, dan menyeluruh terkait tata air, vegetasi alami, eva- “Saat ini Kanada dan Finlandia sendiri telah mengluasi ekonomi, satwa dan lain-lain. “Pada dasarnya hentikan eksploitasi gambutnya, mengingat peramanfaat konversi seharusnya jauh lebih besar dari nan penting sumber daya terbatas ini dan energi perhitungan manfaat yang hilang akibat konversi,” yang dihasilkan hanya sebatas industri rumah tategasnya. ngga,” tegasnya. Salah satu Ketua Perhimpunan Gambut IndoneBahkan dalam surat terbuka yang dilayangkan sia yang juga menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Oktavianus Frans Sekjen Forum Komunikasi MaKehutanan, Herujono memiliki pendapat sendiri hasiswa dan Alumni Kabupaten Pontianak (FORterkait kontroversi proyek ini. Gambut merupakan KUMAKAP) kepada Bupati Kabupaten Pontianak, sumberdaya alam yang dapat diolah, terlebih lagi dan tembusan hingga ke tingkat Menteri Lingkusebagian besar kawasan sepanjang pantai Kalbar ngan Hidup dan Kehutanan, meminta untuk medidominasi tanah hitam ini. “Namun perlu diing- ninjau kembali proyek, mengingat kerusakan lingat bahwa gambut merupakan substratum alam ter- kungan dan kelangsungan hidup generasi masa baik (bahan peresap air), jika gambut dikonversi depan yang belum bisa dijamin. maka akan terjadi subsiden atau penurunan perIni cukup beralasan mengingat peran penting mukaan tanah, sedangkan wilayah Kalbar meru- gambut di alam yang dilindungi UU, diantaranya pakan dataran rendah, maka bencana banjir akan peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 terjadi, dan kita tahu hingga saat ini bencana banjir tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Diyang diakibatkan penurunan fungsi gambut sen- mana secara tegas dinyatakan bahwa penggunaan diri belum bisa diatasi,” tegasnya. Jika hutan dikon- gambut tidak menjadi prioritas dan sasaran versi maka akan terjadi kerusakan keanekaragaman Bersambung ke halaman ............................. 18


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Sengkarut Antara Lubang dan Perut Oleh DED ARMAY DEDY YADI Y ARMA EMANG tidak perlu jauh berjalan. Sekitar 15 meter dari pondok, terpampang satu lubang yang memanjang. Luasnya sekitar 100x30 meter. Tinggi dinding lubang itu sekitar 7 meteran. Di dasar lubang isinya pasir, bekas sedotan mesin-mesin Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Ada pula genangan, tumpukan batu kali, dan satu dua batang pohon yang tergeletak. Tapi di sini lubangnya “kosong”. Tak ada ponton, tempat pekerja mengalirkan pasir emas. Tiada mesin yang meraung-raung. Pun tak terlihat para pekerja PETI. Lokasi ini jadi lain dari biasanya. Suara-suara pekerja PETI, berganti dengan suara-suara anggota tim operasi khusus pengamanan kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TN BB-BR), dengan ragam aktivitasnya, pagi itu. Ada yang lagi mandi di Sungai Jelundung, yang berada di belakang pondok. Ngopi, sarapan, atau bercengkerama di masing-masing pondoknya. Memang, tujuh pondok yang berjejer di pinggiran lubang PETI itu, jadi tempat persinggahan tim selama di kawasan TN BB-BR, 14-16 Februari 2007. Tim operasi khusus ini beranggotakan 57 orang, terdiri dari Balai TN BB-BR, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sintang, Kodim 1205 Sintang, Batalion Infanteri 642/Kapuas, Satuan Polhut Reaksi Cepat, Polisi Resor Sintang, dan Satuan Polisi Pamong Praja Sintang. Selama operasi, tim dibantu delapan orang warga Desa Jelundung, Kecamatan Serawai, Sintang. Merekalah yang menjadi guide dan membawakan persediaan makanan, sekaligus memasakannya. Saya bersama wartawan Kompas, dan Trans 7, meliput operasi khusus ini. Baru sebentar mengamati lubang lubang yang memanjang itu, datang Hazbullah, pimpinan tim operasi khusus, dari Balai TN BB-BR, mengajak saya melihat lubang lainnya, sekitar lima menit berjalan kaki dari pondok. Di situlah baru banyak lubang lubang PETI terlihat. Besar dan isinya macam-macam. Mulai dari 10x7 meter, sampai 80x30 meter, dengan kedalaman lubang rata-rata 4 meter-an. Tumpukan batu kali, pasir, akar dan kayu berserakan di sekitaran lubang. Di sini masih terlihat pipa-pipa paralon, yang disanggah kayu-kayu cerucuk. Satu-dua ponton berdiri di pinggir lubang. Juga mesin dompeng yang teronggok di atas bebatuan di pinggir salah satu lubang. Lokasi PETI sekitar 2 hektar itu namanya Batu Guntur. Disebut Batu Guntur karena Guntur adalah orang yang pertama kali menemukan lokasi itu, dan di sana ada batunya. Hampir seluruh nama lokasi PETI

M

Foto : IREX/MIUN

Ditemukan : Tim operasi pengamanan kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TN BB-BR) menemukan beberapa mesin untuk menambang emas tanpa ijin. di TN BB-BR punya arti. Datah Namun, misalnya, berarti lokasi PETI terletak di dataran yang banyak pohon Namun (buah seperti rambutan, cuma bentuknya lebih kecil). Begitu pula dengan lokasi lainnya. Datah Laho, artinya dataran yang banyak genangan. Tanga Mangan, berarti tanah merah. Pinda Doho, “Itu artinya orang kerja (PETI) di bawah pohon Doho,” jelas Apolonius Ali, Sekretaris Desa Jelundung, yang ketika operasi menjadi guide tim. Seluruh lokasi PETI di TN BB-BR berada di pinggiran Sungai Jelundung. Termasuk lokasi di dekat muara sungai-sungai yang bertemu dengan Sungai Jelundung, seperti Sungai Kemai, Sungai Sekute, Sungai Anyuh, Sungai Kahabe, dan Sungai Cehie, yang areanya langsung jadi sebutan lokasi PETI. Maka, menemukan lokasi PETI di TN BB-BR sama halnya menyusuri Sungai Jelundung. Begitu kembali di pondok, anggota tim rupanya sedang bersiap-siap. Mereka rencananya mendata lokasi PETI hingga ke Datah Namun. Kabarnya, lokasi itu yang paling besar dan terparah kerusakkannya. “Kita berangkat sekarang. Kalau sudah jam 02.00, sampai ngga sampai kita langsung pulang. Usahakan sudah kembali ke sini jam 05.00,”kata M. Jamil, komandan lapangan tim operasi khusus, dari Kodim 1205 Sintang, mengingatkan. Pukul 09.00 lewat sedikit, 30 orang anggota tim memulai perjalanannya. Kemarin, tim ini berjalan kaki melewati jalan setapak, dari Nanga Sepan, lokasi terakhir yang dapat ditempuh perahu klotok, ke Batu Guntur selama enam jam. Kali ini mereka harus ber-

jalan kaki selama delapan jam, pulangpergi. Hujan tadi malam membuat jalan setapak becek dan licin. Medan yang ditempuh lumayan berat, terutama ketika tim bertemu dengan Bukit Dangap dan Bukit Anyuh. Ini bukit bisa bikin napas tersengal-sengal. “Bukit ngap-ngap” beberapa anggota tim menamai kedua bukit itu. Maklum saja. Tanjakannya sekitar 50o. Tinggi keduanya sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Itu belum lagi menyeberangi sungai. Dari Batu Guntur ke Datah Namun, harus enam kali menyeberangi sungai. Tak heran hanya 11 orang anggota tim saja yang sampai ke Datah Namun. Saking banyaknya, sulit menghitung lubang-lubang PETI di TN BBBR. Taufik anggota tim, dari Kodim 1205 Sintang, yang selama menyusuri lokasi PETI menemani saya, hanya bisa, bilang, “Disini, disitu, wah, wah luar biasa.” Di Sungai Anyuh, tim bertemu dengan beberapa lubang-lubang PETI, yang bila dipandang bukit di situ seperti baru saja longsor. Di Sungai Cehie, lubang-lubang PETI memenuhi area sekitar 3 hektar. Di Nanga Sekute, ada lubang yang digenangi air keruh serupa danau. Di Tanga Mangan, tim bertemu lubang, sekaligus mesin-mesin PETI yang ditutupi terpal. Pukul 02.00 kurang tim sampai di Datah Namun. Rupanya benar. Area yang jaraknya 13,41 kilometer dari batas kawasan ini, merupakan lokasi PETI paling besar dan terparah kerusakannya. Hazbullah, menyebut, luasannya sekitar 8 kali lapangan bola. Datah Namun seperti baru saja di-

terjang banjir bandang. Tempat kaki berpijak berupa pasir dan lumpur. Di sana-sini akar dan batang pohon berserakan. Ranting-ranting pohon kering menumpuk di beberapa titik. Cuma bedanya, di sini masih terlihat pipa paralon dan mesin dompeng. Juga tampak beberapa ponton yang diantaranya, berdiri melingkar. Di dekat ponton, masih ada pohon-pohon seukuran 10-20 cm. Daunnya berguguran, bersamaan dengan turunnya gerimis, siang itu. Sepanjang operasi, tim menemukan 34 unit mesin dari 10 lokasi PETI di TN BB-BR; Sungai Kemai, Batu Guntur, Batu Belinang, Nanga Anyuh, Sungai Kahabe, Sungai Cehie, Nanga Sekute, Tanga Mangan, Datah Laho, dan Datah Namun. Pinda Doho, lokasi PETI paling ujung, yang telah masuk ke kawasan TN sepanjang 14 kilometer dari batas kawasan di muara Sungai Rabang, tidak didata tim. “Di Pinda Doho lokasinya lebih kecil, waktu kita juga tidak cukup,” kata Hazbullah memberi alasan. Tim juga belum bisa memastikan penggunaan merkuri oleh pekerja PETI di TN BB-BR. “Orang sini ndak kenal merkuri. Untuk memisahkan pasir dan emas, pekerja PETI di sini pakai daun Koronyupang, Kolohtung, atau Kebibit,”kata Ali. Untuk membuktikan kebenarannya, tim mengambil sampel air Sungai Jelundung, guna diteliti. Seluruh lokasi PETI kosong, terkecuali di Sungai Kemai tim bertemu satu keluarga pendulang. Agus Hardyansyah (37) bersama istrinya Bernadeta (30), serta tiga anaknya: Purianto (9), Feronika Sena (5), dan Vaskalis (4). Mereka baru pertama kali ma-


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Foto : IREX/MIUN

Gersang : Ternyata bukan hanya emas yang di keruk, PETI juga menimbulkan kegersangan pada tanah. suk ke TN BB-BR, hanya ikut-ikutan, Masyarakat Dayak ot Danum, mengsetelah mendengar banyak rekannya ungkapkan, dari seluruh lokasi PETI mendapatkan emas. Meski anak ter- di kawasan, baik pendulang, maupun tuanya, Purianto, menderita malaria, yang menggunakan mesin, kini menia tetap pergi ke Sungai Kemai. “Kita capai 2500 penambang. “Satu unit mesin pekerjanya 8 terpaksa. Di sini pun kita jual jiwa, siap kena longsoran. Ya, untung-un- sampai 12 orang. Biasanya mereka datang ke lokasi bisa sampai sekelutungan lah,” katanya lirih. arga,”ungkap Damaisius, Kepala Dusun Labang Penabah, Desa JelunduKota di Tengah Hutan Ada mitos tentang Sungai Jelun- ng, yang ketika operasi, jadi guide tim. dung yang sampai sekarang masih di- Pria kelahiran 38 tahun silam ini, sepercaya masyarakat di sekitaran su- ring keluar masuk ke TN BB-BR. Dangai ini. Konon, ada pohon Merang maisius tahu suasana aktivitas PETI Bulo (kayu emas) yang warnanya ke- di sana. “Subuh sampai pagi jam 08.00, emasan. Oleh warga, Merang Bulo ditebang dan rebah sebagian besar di waktunya pendulang bekerja. Setelah Sungai Jelundung. Hanya sebagian itu, giliran para penambang yang pakecil terpelanting di daerah lain. Tem- kai mesin. Kalau lagi kerja, lokasi pepat rebahnya Merang Bulo diyakini nuh dengan orang-orang,” ungkap sebagai daerah yang berisikan emas. Damaisius. Saat malam, pekerja melepas lelah “Masyarakat sini percaya di Sungai Jelundung banyak emasnya,” kata atau mengisi waktu luangnya dengan menghibur diri. Di lokasi PETI terseAli. Itu sebabnya seluruh lokasi PETI dia warung, bahkan tempat karaoke. di TN BB-BR berada pada pertemuan Di sana tidak terlepas dari aktivitas dan di pinggiran Sungai Jelundung. judi, minuman keras dan kehidupan Sungai yang masuk ke kawasan seki- malam. “Pokoknya di lokasi PETI katar 20-an kilometer itu, satu dari seki- lau malam seperti kota di tengah huan sungai yang bermuara di Sungai tan,” kata Damaisius melukiskan. Melawi. Bukan Tugas Camat Di luar kawasan TN BB-BR, sepanSehari sebelum tim masuk ke TN jang Sungai Jelundung juga banyak masyarakat menambang. Mesin-me- BB-BR, dilangsungkan dialog antara sin PETI kerap terlihat di pinggir su- tim, Musyawarah Pimpinan Kecamangai. Ada yang diletakkan di atas be- tan Serawai, Pemerintahan Desa Jebatuan. Juga di atas air disanggah ra- lundung dengan para pekerja PETI di kit-rakit kayu. Bahkan ada yang di- TN BB-BR, di Sekolah Dasar Negeri buatkan seperti motor bandung, sehi- No 23 Jelundung. Dialog yang diikuti ngga mesin-mesin itu mudah berpin- sekitar 120 orang itu langsung dipimpin Camat Serawai, Yosef Nicolas. dah-pindah lokasi. “Besok dipastikan lokasi PETI di Akibat PETI, Sungai Jelundung menjadi dangkal. Bila menyusuri su- kawasan TN kosong. Saya telah mengai ini sesekali akan menemukan lu- minta para penambang keluar dari lobang-lubang PETI. Air sungainya ke- kasi. Saya berterima kasih kepada paruh, berwarna cokelat muda seperti ko- ra penambang yang telah meninggalpi susu. Masyarakat di sekitar sungai kan lokasi. Mohon maaf kepada tim ini, setiap harinya, memakai dan me- kalau alat-alat belum bisa dibawa ke ngonsumsi air sungai yang keruh itu. luar. Karena membawa alat-alat itu tiMulanya masyarakat yang me- dak mudah,” kata Nicolas. “Untuk ke depan saya titip (para nambang di sepanjang Sungai Jelundung itu, bekerja di luar kawasan TN penambang-red) kepada TN. Camat BB-BR. Perlahan pekerja PETI merem- Serawai bersama Muspika tidak menbet dan masuk ke kawasan. Akhir ta- jamin apakah saat tim pulang, penamhun 2005 mesin-mesin pekerja PETI bang kembali bekerja. Kenapa? Karemulai beroperasi. “Pertama kali seki- na itu bukan tugas Camat, bukan tutar 3 unit mesin dibawa masuk,”ung- gas Kapolsek, bukan tugas Danramil, itu tugas (Balai) Taman Nasional.” kap Ali. Lantas apa tugas camat? PETI di TN BB-BR kian marak pada “Tugas camat adalah menarik kepertengahan 2006. Mesin-mesin dan para pekerja terus bertambah. Sutikna, luar para penambang. Sekarang suanggota tim, dari Polisi Resor Sintang, dah kosong. Kalau kembali lagi bukan sepulang operasi, menyebutkan, me- tanggung jawab saya,”tandasnya. Pertemuan malam itu difasilitasi sin pekerja PETI di kawasan terdata 126 unit. Ini belum seluruhnya. An- pemerintahan Desa Jelundung bersadreas Toron, Sekretaris Front Pembela ma Camat Serawai. Semula tim tidak

mengagendakan pertemuan itu. “Kita tidak siap sebenarnya. Pertemuan ini tidak ada di agenda. Waktu sampai (di Desa Jelundung) kita diminta bertemu masyarakat, ya sudah, kita tidak bisa menolak,” ungkap Hazbullah kepada saya. Tidak hanya itu, tujuan tim yang semula melakukan penindakan dan penghancuran barang bukti (BB) di lokasi PETI juga berubah. “Sebelumnya kita sepakati tujuan tim adalah penindakan dan penghancuran BB,” ujar Hazbullah. Perubahan tujuan tim itu terjadi waktu rapat terakhir pada 9 Februari 2007. Rapat itu sebetulnya hanya koordinasi terakhir untuk keberangkatan tim. “Saat itu camat (Serawai) minta tidak ada penindakan dan penghancuran BB. Jadi, kita hanya unjuk kekuatan. Kita hanya sosialisasi dan mendata lokasi PETI di kawasan,” jelas Hazbullah. Ketika termin dialog dibuka, tiga orang di bangku jajaran depan mengangkat tangan. Dua yang menonjol adalah Andreas Toron dan Suwondo, warga Desa Jelundung. “Kami minta batas TN ditinjau ulang. Kami tidak terima, karena pemerintah menentukan batas TN secara sepihak di atas meja.”ujar Toron. “Soal batas, pada tahun 1992 Cagar Alam Bukit Baka dan Cagar Alam Bukit Raya digabungkan menjadi taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan ( SK No 281/Kpts-II/1992). Batas yang ada sekarang ini menggunakan batas ke dua cagar alam itu. Rekonstruksi batas telah kita lakukan bersama masyarakat pada tahun1995,” jawab Hazbullah. Dari buku Statistik TN BB-BR (2006), taman nasional yang memiliki luas 181.090 hektar itu berada di dua propinsi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sebelah utara kawasan TN terletak di Kalimantan Barat seluas 70.500 hektar, sedangkan sebelah selatan, di Kalimantan Tengah seluas 110.590 hektar. Kawasan TN BB-BR berbatasan dengan beberapa desa dan wilayah kerja hak pengusahaan hutan. Di sebelah utara kawasan TN berbatasan dengan Desa Siyai, Mawang Mentatai, Baras Nabun, Nanga Riyoi, Buntut Sabun dan Jelundung. Waktu pertemuan, tata batas Desa Jelundung dengan kawasan TN ini yang dipermasalahkan. Dimana batas yang diinginkan warga? “Untuk batas, bila perlu kita minta sampai di Nanga Mohupai,” kata Suwondo. Nanga Mohupai berada di dalam kawasan, sekitar 15 kilometer dari batas TN BB-BR, kurang satu kilo-

meter dari lokasi PETI di Pinda Doho. Ketika itu, tidak hanya batas yang dipersoalkan Suwondo. “Kalau kerja emas masyarakat dihentikan, kami mau makan apa? Apa solusi pemerintah?” “PETI sudah berkontribusi buat masyarakat. Banyak..., misalnya sumbangan untuk tim bola dari Kecamatan Serawai dan Gawai Dayak,” sebut Suwondo. Pemerintah Kecamatan Serawai memang pernah meminta bantuan kepada para pekerja PETI guna membiayai Tim Sepak Bola Serawai. Besarnya sampai puluhan juta. “Untuk pembinaan kepada masyarakat tidak hanya dari pihak TN saja, tapi dilakukan seluruh unsur pemerintah. Setiap tahun Balai TN punya program peningkatan perekonomian masyarakat,” jawab Hazbullah, seraya menjelaskan Balai TN BB-BR pernah memberikan bibit karet kepada masyarakat. Namun, karena keterbatasan anggaran, Balai TN hanya dapat mengadakan bibit. Harapannya kemarin dari bibit itu masyarakat menanamnya. Untuk mendampingi masyarakat, Balai TN meminta bantuan kepada Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dari Serawai. Sayang, PPL ini tidak aktif. Selepas dua jam berdialog, akhirnya pertemuan itu ditutup Nicolas. Sebelumnya, Nicolas mengingatkan. “Setelah tim pulang, kita tinggal tunggu oleh-oleh dari tim.” “Tapi, harus ada program! Harus tahun 2007! Tidak bisa tidak. Kalau tidak, berat..., beraaat pak Hazbullah. Nanti suruh pak Erwin pindahkan kantor TN ke Jelundung jak, biar enak ngurusnya. Biar kalau rakyat lapar, enak...,” ujar Nicolas, disambut riuh warga di situ. Merusak Sama-sama Jelundung termasuk desa penyanggah kawasan TN BB BR. Desa ini hanya satu kilometer dari kawasan TN BB-BR. Mata pencaharian masyarakat Desa Jelundung umumnya bertani ladang. Panen buah durian, langsat, tengkawang dan buah lainnya hanya musiman. Di Desa Jelundung tak banyak masyarakat yang berkebun karet. Efentius Aneng, Kepala Desa Jelundung, mengatakan, hanya sekitar 25 persen saja warganya yang punya kebun karet. Warga Desa Jelundung banyak yang kerja emas di sepanjang Sungai Jelundung, termasuk di dalam kawasan TN BB-BR. Aneng mengakui desa yang dihuni 1.197 jiwa dari 331 kepala keluarga itu tergolong sebagai desa terpencil.

Foto : IREX/MIUN

Mesin Dompeng : Mesin yang digunakan untuk menyedot emas.


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Satu-satunya cara untuk masuk ke sana hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai dengan perahu klotok atau long boat. Apabila air surut, jalur sungai itu kian sulit ditempuh. Untuk mencapai Nanga Serawai saja bisa memakan waktu sampai 2 hari, beda ketika sungai normal yang dapat ditempuh 4 jam perjalanan. “Kalau musim kemarau sungai kering, klotok harus ditarik, makanya butuh waktu lama sampai ke Serawai,” kata Aneng. Sulitnya akses menuju ke Desa Jelundung tersebut membuat harga-harga barang kebutuhan sehari-hari, seperti sembilan bahan pokok dan bahan bakar minyak di Desa Jelundung dirasakan amat mahal. Harga beras dan gula misalnya, mencapai Rp 8.000 per kilogram. Solar Rp 10.000 per liter dan Bensin Rp 17.000 per liter. Jauh dari pusat kecamatan dan akses jalan hanya melewati jalur sungai, membuat desa yang memiliki tiga dusun, Labang Penabah, Cahai Ambun, dan Tokambung ini, jarang disentuh program pemerintah. “Tahun ini panen kembali gagal. Ladang masyarakat banyak diserang belalang. Ndak ada yang bantu masyarakat ngatasi belalang. PPL ndak pernah datang ke Jelundung. Program pembinaan dari pemerintah ndak ada. Karena itulah masyarakat kerja PETI di kawasan TN,”ungkap Ali, di sebuah pondok di Batu Guntur. Baginya, kerja PETI adalah cara cepat masyarakat mencari uang, meski tidak selalu untung. Sejak PETI marak di Kawasan TN masyarakat meningkat kesejahterannya karena harga emas sekarang dirasakan lumayan. Di Nanga Serawai harga emas sudah mencapai Rp 155.000-165.000. Tidak mengherankan masyarakat tertarik menambang sampai jauh masuk ke kawasan, membawa peralatan melewati bukit dan menyeberangi sungai. “Tapi masyarakat tahu PETI merusak lingkungan?” tanya saya. “Kita tahu,” jawab Damaisius pendek, yang ketika itu juga ikut diskusi bersama saya di pondok. “Sebenarnya masyarakat ndak mau kerja PETI, tapi daripada orang lain

ngerusak tempat kita, lebih baik samasama,” lanjut Damaisius, seraya menerangkan, pekerja PETI di TN BB-BR tidak hanya dari Jelundung, tapi juga dari daerah lain, seperti warga Kecamatan Ambalau, Menukung, dan lainnya. “Bagaimana kalau PETI dilarang?” “Masyarakat tentu bingung. Ngarapkan karet hanya sebagian yang punya. Berladang, ada hama belalang. Mau ternak, palingan untuk sendiri,”jawab Ali. “Untuk sementara sulit mencari pekerjaan selain kerja PETI. Kalau dilarang, mungkin masyarakat harus menata kehidupan kembali seperti semula (sebelum bekerja PETI-red),” katanya lagi.

Foto : IREX/MIUN

Emas : Mengayak emas dengan peralatan wajan, biasanya menggunakan merkuri untuk menyatukan butir-butir emas. Masyarakat Dibiarkan Meram- mundurlah..., alasan nenek moyang “Pokoknya, nanti kita datang lapok? ngsung hajar,”kata Erwin. lah...” Erwin Effendy adalah Kepala BaSementara itu, program pembinaErwin kesal mendengar perubalai TN BB-BR. Sewaktu operasi, Erwin han tujuan awal keberangkatan tim. an tetap dijalankan, tapi program tersedang berada di Jakarta. Tapi suasa- Tim operasi yang pertama adalah tim sebut dikerjakan multipihak, tidak hana pertemuan di Jelundung dan su- kecil terdiri 10 orang buat sosialisasi nya dari Balai TN BB-BR. Balai TN haara-suara malam itu sampai pula di- sekaligus menghalau para pekerja nya menunjang program untuk wilatelinganya. PETI dari kawasan. “Masyarakat kita yah daerah penyangga. “Tugas Balai “Bilang sama camat, dia tidak per- beri waktu 10 hari untuk ngangkut TN mengamankan kawasan terlebih lu nitip, itu memang tugas saya. Saya alat,”katanya. dulu. Disamping itu kita juga akan buakan amankan. Setiap bulan kami Setelah tim kecil itu, diberangkat- at program pembangunan desa model akan patroli rutin,” ujar Erwin, mena- kanlah tim besar dari bebagai instansi konservasi. Secara bertahap kita banggapi Nicolas , yang menitipkan pa- untuk penindakan dan penghancu- ngun daerah penyangga. Di luar itu ra pekerja PETI pascaoperasi kepada ran barang bukti. “Kalau ketemu orang urusan pemerintah daerah lah,” jelas Balai TN BB-BR. Sebelumnya, patroli di lokasi, kita tangkap. Ketemu mesin, Erwin. dari Balai TN BB-BR memang jarang kita hancurkan,” ujar Erwin menjelasSebelumnya, dua hari setelah tim dilakukan, sehingga masyarakat de- kan tujuan keberangkatan tim sebe- tiba di Sintang, saya bertemu dengan ngan mudah keluar masuk ke kawa- narnya. dr Jarot Winarno, MPh, Wakil Bupati san tanpa terkontrol. “Eh... tiba-tiba berubah waktu Sintang di kediamannya. Erwin mulai menjabat sebagai Ke- briefing (pada pertemuan 9 FebruariJarot lebih suka pendekatan kepapala Balai TN BB-BR sejak akhir tahun red). Saya tanya kenapa? Berdasarkan da para pekerja PETI dilakukan secara 2006. Setelah melihat kerusakkan ka- kesepakatan Muspika...” preventif. Tak heran tim operasi khuwasan yang amat parah akibat PETI, “Kesepakatan Muspika? Muspika sus yang diturunkan sebelumnya didi awal kepemimpinan itu, Erwin me- itu siapa?” tanya Erwin. arahkan hanya untuk sosialisasi dan mutuskan untuk menurunkan tim buErwin tak habis pikir yang meru- unjuk kekuatan. Untuk menanggulaat menghalau para pekerja PETI di ka- bah tujuan utama keberangkatan tim ngi PETI, pemerintah memikirkan alwasan TN BB-BR. “Mereka telah me- itu hanya karena keinginan Muspika. ternatif pekerjaan lain. rusak kawasan negara,” kata Erwin. Pada briefing keberangkatan tim, Er“Pemerintah Kabupaten Sintang Soal tata batas kawasan TN BB- win tidak mengikutinya, karena su- berencana mengembangkan program BR dan Desa Jelundung yang diper- dah berada di Jakarta. Sayangnya, pe- karet rakyat. Untuk se-Sintang programasalahkan masyarakat, Erwin men- rubahan tujuan keberangkatan tim itu m itu seluas 4.000-5.000 hektar. Khucium bahwa itu hanya alasan untuk tidak dilaporkan kepadanya. Seluruh sus di Serawai agak lebih lah, sekitar melegalkan PETI yang telah masuk ke biaya tim operasi khusus itu didanai 200-300 hektar. Saya bilang sama pekawasan. “Ah, itukan pandai-pan- Balai TN BB-BR. merintah kecamatan, pandai-pandaidainya mereka. Karena ada PETI, di“Bagaimana dengan tindak lanjut lah bikin prioritas. Di Jelundung micari-carilah alasan. Batas di suruh tim?”tanya saya. salnya diprioritaskan,” kata Jarot. Menurut Jarot, tindakan refresif belum bisa dilakukan selama programprogram ini digelontorkan. “Ya, kalau bisa ndak usah pakai refresif lah,” kata Jarot, yang juga Ketua Tim Satuan Tugas Illegal Logging dan PETI Kabupaten Sintang ini. Perihal yang terakhir ini Erwin kurang setuju. Kawasan TN BB-BR tidak mungkin dibiarkan dirambah, sampai pemerintah menggelontorkan program-programnya. “Kalau nunggu program pemerintah dulu baru refresif, itu sih sama saja dengan pemerintah belum ngasi makan, tapi masyarakat dibiarkan ngerampok,”kata Erwin mengistilahkan. Erwin kemudian memberikan contoh Cagar Alam Mandor, dimana PETI telah merusak 1000 hektar dari 3000 hektar luasannya. Pemerintah tidak bertindak tegas. Akhirnya para penambang bebas beraktivitas tanpa terkendali. Lubang-lubang PETI di sana sekarang sulit direklamasi dan tidak satu pun pihak yang mau bertanggung jawab. “Apa TN mau di buat seperti (Cagar Alam Mandor-red) itu? Siapa yang mau bertanggung jawab?” Erwin Foto : IREX/MIUN bertanya kepada saya. Dan siang itu, Menganga : Lahan hutan yang rusak dengan banyak lubang besar akibat penambangan emas tanpa ijin di TN BB-BR. saya tidak menjawabnya.[]


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Hidupku Bersama HIV Oleh JAMI’A PRAKOSO JAMI’AT OSO T AGUS PRAK erimis masih menyelimuti lintas Alianyang. Sebuah gedung bertingkat tiga, dengan tembok berwarna kuning gading, tepatnya di sebelah kiri Rumah Sakit Jiwa Pontianak, tampak lengang. Dari luar, sebuah plang bertuliskan “Wisma Sirih Theoapeutic Community Pontianak” tertancap tegak di tanah. Halamannya dihiasi dengan bunga-bunga. Di samping kanannya ada beberapa pendopo yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun kelapa. Panti rehabilitasi ini merupakan tempat dirawatnya para pecandu narkotika. “Hargai Dirimu Tentukan Pilihan Yang Sehat Jadikan Hidup Bebas dari Narkoba” begitulah bunyi semboyan yang berada tepat di atas pintu masuk gedung tersebut. Seorang karyawan dan pasien sedang berbincangbincang di beranda wisma itu. Bangunan yang cukup besar ini dihuni oleh para pria. Semua pasien di sini, rambutnya wajib dengan style plontos. Memasuki lebih ke dalam gedung tersebut, tampak seorang lelaki berkulit kuning langsat sedang asyik di meja kerjanya. Di atasnya tertata rapi buku-buku dan kalender. Secangkir kopi menemaninya malam itu. Ia segera beranjak dari meja kerjanya saat menyadari kedatangan Kru Miun. Mengulurkan tangan sambil tersenyum manis ia membuka perkenalan malam itu. Lelaki berumur 26 tahun ini enggan menyebutkan namanya. Sebut saja ia Satria. “Nggak takut salaman sama saya?” ujarnya sambil

G

mempersilakan kami duduk di kursi yang sudah berada di depan meja kerjanya. “Nanti tertular lho,” tambahnya lagi seraya tersenyum. Lelaki berbadan tegap ini tampak sehat. Siapa yang menyangka di balik tubuhnya yang segar itu terdapat virus yang mematikan. Virus itu dikenal dengan sebutan Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Hawa dingin dari hembusan AC makin menusuk ke dalam sumsum tulang. Jam di tangan sudah menunjukan pukul 19.30. Satria segera memulai pembicaraan tentang kisah hidupnya. Menjadi salah satu dari jutaan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) bukanlah keinginannya. Satria tak pernah menyangka virus yang mematikan ini masuk ke dalam tubuhnya. Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satria sudah dikenal para tetangga dan teman-temanya sebagai anak yang nakal. Dari bolos sekolah, bergadang, sampai menggunakan narkotika pernah ia lakoni. Bahkan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), pria kelahiran 1980 ini sudah sering “jajan” di luar tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Pria yang hobi mendengarkan musik ini, sering menggunakan jarum suntik secara bergantian bersama teman-temannya. Sesekali ia dan teman-temannya menggosokkan jarum suntiknya ke tempayan (tempat menyimpan air), agar jarum itu menjadi tajam dan enak dipakai. Satria hanya berfikir, perbuatannya itu paling-paling hanya me-

Foto : MAHMUD/MIUN

Spanduk : Spanduk besar membentang sebagai salah satu media kampanye anti AIDS nimbulkan penyakit hepatitis biasa. Ia tidak berfikir bahwa pola hidup menyimpang itu akan membuat tubuhnya dihuni oleh virus yang mematikan. Pola hidup yang beresiko ini akhirnya tercium juga oleh kedua orangtuanya. Satria hanya dihadapkan pada dua pilihan, masuk panti rehabilitasi atau ia mesti mendekam di bui selama bertahun-tahun. Akibat dari kekhawatiran keluarganya, Satria wajib memeriksakan diri ke Voluentarry Counseling and Testing (VCT). Tahun 2005 silam ia divonis positif HIV. Perasaan sedih, menyesal dan ketakutan bercampur aduk menjadi satu dalam hatinya. Hampir setahun Satria menyembunyikan hasil tes tersebut, lantaran takut dan tidak ingin dikucilkan. Ketakutan yang selalu menghantui dirinya membuat ia tak mampu menanggungnya seorang diri. Tangisan mewarnai kedia-

Foto : MAHMUD/MIUN

Wisma Sirih : Pusat rehabilitasi pecandu narkotika di kota Pontianak.

man Satria saat keluarganya mulai mengetahui bahwa ia divonis positif HIV oleh dokter. Hidup di panti rehabilitasi menjadi pilihannya. Tahun 2006 Satria menjadi salah satu penghuni Wisma Sirih. Awalnya ia mengira hidup di sini sangatlah bebas ketimbang di rumahnya sendiri. Ternyata kehidupan di Wisma tak senyaman yang ia bayangkan. “Pukul 3 subuh kami sudah harus bangun untuk melaksanakan shalat tahajud dan kemudian wajib membaca Al-Quran hingga waktu subuh tiba. Di sini rata-rata penghuninya muslim,” jelasnya sambil mengotak atik handphone Nokianya yang sedari tadi berdering. Jika melanggar, maka mereka akan mendapatkan hukuman membersihkan ruangan yang ada dan dihadiahi siraman air. Siang harinya sekitar pukul 10.00 mereka mendapatkan penyuluhan tentang dampak penggunaan narkotika, salah satunya HIV/ AIDS. Perhatian orang tua yang berlebihan membuat Satria menjadi risih. Orang tuanya selalu khawatir dengan kondisi Satria yang tidak boleh capek. Virus di dalam tubuhnya akan cepat bekerja jika kondisi tubuh Satria dalam keadaan lemah. Dulu Satria takut menjalani hidup. Takut dicemooh oleh orang banyak dan dijauhi dari keluarga serta teman-temannya. Tapi setelah ia masuk di Wisma Sirih dan bertemu dengan para aktivis-aktivis AIDS serta teman yang (bernasib sama) menderita HIV, perasaan itu mulai hilang sedikit demi sedikit. Semangat untuk hidup mulai muncul saat ia mendapatkan motivasi dari para aktivis tersebut. Wajah Satria berubah sen-

du saat mengingat peristiwa sedih yang menimpanya. Ia sadar, memperoleh predikat menjadi seorang ODHA akan banyak menuai ketakutan dan anggapan buruk dari orang lain. Kala itu ia sedang sakit gigi. Ia mencoba untuk memeriksakannya ke dokter gigi yang berada di RS Jiwa sebelah Wisma Sirih. Malangnya ia mendapatkan respon kurang baik dari sang dokter. “Apakah anda positif HIV?” ujar sang dokter dengan wajah ketakutan. “Kalau iya kenapa Dok? Apa Dokter takut sama saya?” jawab Satria lantang. “Bukankah seorang dokter harus memberikan motivasi pada pasiennya, bukan malah menjauhi,” jelas Satria dengan wajahnya yang mulai memerah. Salah satu aktivis HIV/AIDS, Rizal Alkadrie mengatakan bahwa HIV/AIDS ditularkan melalui jarum suntik (Injekting Drug Use atau IDU’S), berhubungan seks tanpa alat pengaman, transfusi darah dan air susu ibu. “Seorang memang bisa tertular dengan bersentuhan, tapi dengan catatan tangan kedua orang itu sama-sama dalam keadaan luka,” jelas Rizal saat ditemui di tempat terpisah. Menurut Muhammad Asroruddin, dosen Fakultas Kedokteran Untan, secara psikis seorang ODHA yang baru mengetahui dirinya terinfeksi HIV, akan merasa sangat takut dan merasa dirinya tidak berguna. “Sebetulnya mereka punya hak hidup namun dengan kondisi kejiwaan yang sangat rapuh, mereka sangat membutuhkan motivasi dari orang di sekitar mereka,” ungkap dokter yang berusia 26 tahun ini. Lebih lanjut dokter lulusan Universitas Indonesia (UI) ini menyatakan secara umum masyarakat merasa takut jika di lingkungannya terdapat ODHA. Hal ini disebabkan karena masyarakat menganggap orang yang terinfeksi HIV adalah orang yang tidak benar (pergaulan bebas-red). Sebulan sekali Satria mesti mengontrolkan dirinya ke dokter yang menangani penyakitnya ini. Virus dalam tubuhnya akan cepat muncul kembali jika ia tidak meminum obat untuk melakukan terapi Antiretrovial (ART). Pria yang kini bekerja di Global Fund ini tetap bersemangat untuk hidup. Sekarang ia tidak merasa sendiri menjalani hidup. “Jangan takut untuk ngejalani hidup jika kamu adalah ODHA. Kamu tidak sendirian, banyak orang yang masih membutuhkan tenagamu. Cobalah kembangkan bakatmu untuk hidup normal (tidak berpola hidup beresiko-red),” tambahnya saat mengakhiri pembicaraan dengan Kru Miun.[]


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Oleh JAMI’A PRAKOSO JAMI’AT OSO T A PRAK alam buku Lembaran Informasi tentang HIV/AIDS untuk ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) milik Yayasan Sprita, Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang. Sementara Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir. HIV/AIDS mulai merambah Indonesia, sejak pertama kali ditemukannya seorang turis asal Belanda yang meninggal dunia akibat HIV/AIDS pada April 1987 di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, Bali. Sedangkan di Kalbar, kasus AIDS pertama kali ditemukan pada seorang pramunikat tahun 1993. Angka kematian dari penderita HIV/AIDS mengalami penurunan dari tahun 2005 hingga 2006, yakni dari 33 jiwa hingga menjadi 15 jiwa yang meninggal dunia. Dimana penderitanya terdiri dari 778 lakilaki dan 224 wanita. “Yang melatarbelakangi Kalbar banyak penderita HIV/AIDS adalah letak Kalbar yang rentan menjadi pintu keluar masuknya warga asing,” ungkap Oscar Primady, Kepala Dinas Kesehatan Kalbar. Oscar juga menambahkan banyaknya warga asing yang masuk ke Kalbar dan kemudian menularkan HIV/AIDS dengan jalan berhubungan seks bersama warga Kalbar yang menjajakan dirinya karena perekonomian yang kurang. “Selain itu, kasus trafiking (perdagangan wanita-red) juga menjadi pemicu bertambahnya penderita HIV/AIDS,” ungkapnya dengan mimik serius. Tingginya mobilitas penduduk di Kalimantan Barat ke tempat-tempat yang rawan HIV/AIDS seperti Jakarta, Batam, Malaysia dan Brunei serta pos lintas batas Entikong dan jalan-jalan tikus sebagai jalur keluar masuknya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) juga dapat mempengaruhi epidemi HIV/AIDS di Kalimantan Barat. Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS dari tahun ke tahun selalu mengalami fluktuasi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, pada tahun 2006 Kalbar mengalami peningkatan penderita HIV/ AIDS. Jumlah data kumulatif kasus HIV/AIDS hingga bulan Oktober 2006 lalu berkisar 950 jiwa dengan penderita HIV sebanyak 726 jiwa dan AIDS 224 jiwa. Sementara jumlah warga asing yang menderita HIV/AIDS di Provinsi Kalbar 52 jiwa (HIV dengan jumlah korban 49 jiwa dan AIDS 3 jiwa). Jumlah kasus terbanyak terjadi di Kota Pontianak dan Singkawang. “Total korban HIV/AIDS di Kalbar dari tahun 1993 sampai Oktober 2006 adalah 1002 orang dari seluruh kabupaten yang ada di Kalbar, dan kebanyakan disebabkan oleh Injecting Drug User (IDU’S),” tutur Rizal Ardiansyah aktivis AIDS yang aktif di Global Fund, salah satu lembaga yang menangani kasus HIV/AIDS.

D

Meningkatnya HIV/AIDS di Kalbar Tingginya jumlah penderita HIV/AIDS di Kalbar menunjukkan fenomena yang begitu mengejutkan. Kalbar menempati peringkat yang cukup tinggi. Benarkah hal ini dipicu oleh kondisi wilayah Kalbar sebagai pintu keluar masuknya warga asing?

Dok : MIUN

Pawai : Sejumlah aktivis Anti AIDS dan masyakarat memperingati Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2006 kemaren di Pontianak. berbagai provinsi yang ada di Indonesia,” ujar Rizal. Mencermati kondisi seperti ini, peran serta semua pihak dalam upaya penanggulangan HIV/ AIDS di Kalbar sangat diharapkan baik dalam bentuk promotif, preventif maupun kuratif. Untuk itu hendaknya semua pihak memahami bahwa upaya penanggulangannya tidak hanya menjadi kewajiban oleh pihak kesehatan, tetapi semua elemen pemerintah dan masyarakat.

Penyebab Tertularnya HIV/AIDS Orang Dengan HIV AIDS atau lebih sering disebut ODHA, kadang takut untuk melakukan tes darah ke Voluentarry Tabel Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan Counseling and Testing Barat berdasarkan Kebangsaan s/d Oktober 2006 (VCT) terdekat di kotaNo Kebangsaan HIV AIDS Jumlah nya. Di Kalimantan Barat VCT baru berada di Kota 1 Indonesia 726 224 950 Pontianak yaitu RS Dr 2 Asing 49 3 52 Soedarso, RS Alianyang dan RS Antonius, di KoJumlah 775 227 1.002 ta Singkawang yaitu RS Abdul Aziz, di Kabupaten Mempawah yaitu RS Untuk mengetahui berapa banyak orang yang Rubini, Ketapang yaitu RS Agoesdjam, dan RS Ade terinfeksi HIV di Kalbar, Dinas Kesehatan mela- Mohammad Djoen di Sintang. “VCT baru dibangun kukan surveillance (pengamatan penyakit HIV/ pada tahun 2005 setelah meninggalnya seorang AIDS secara langsung) ke daerah-daerah di Kalbar. penderita AIDS asal Sambas. Dimana VCT ini Penderita penyakit ini kebanyakan dari umur 25– sangatlah memudahkan kami dalam mendeteksi 29 dengan penderita HIV 225 dan AIDS 70 jiwa. korban HIV/AIDS dan memberikan mereka motiKalbar dikatakan menduduki urutan keenam vasi untuk dapat terus hidup,” jelas Oscar. dalam kasus HIV/AIDS di Indonesia. Namun hal Dari perbincangan yang dilakukan Kru Miun ini kurang disetujui oleh Rizal Alkadrie, koor- dengan koordinator Pontianak Plus, ada empat pedinator pelatihan di Pontianak Plus. “Sebenarnya nyebab seseorang tertular HIV, yakni melalui IDU’S, Kalbar bukanlah provinsi yang berpenduduk berhubungan seks dengan orang yang terinfeksi dengan menderita penyakit HIV/AIDS. Hal ini HIV, bersentuhan tangan ketika sama-sama dalam sebenarnya dikarenakan cepatnya penanganan keadaan terluka (mengeluarkan darah) dan terlahir yang dilakukan pihak Dinas Kesehatan dalam dari ibu yang terinfeksi, atau disusui oleh perempengumpulan data dari seluruh kabupaten yang puan yang terinfeksi. ada di Kalbar. Padahal kalau kita melihat dari “Jika kita dalam keadaan luka atau mengeluardaerah lain, ternyata lebih banyak korban HIV/ kan darah dan bersentuhan dengan penderita yaAIDS, tapi karena sistem mereka yang lama ng positif HIV, dimana ia juga dalam kondisi yang melaporkan hasil datanya ke pusat, bahkan hingga sama dengan kita maka untuk mengatasi agar kita waktu dari batas untuk melaporkan itu habis. tidak cepat tertular, lebih baik kita cepat-cepat pergi Makanya Kalbar yang sudah duluan melapor de- ke rumah sakit yang ada penanganan HIV/AIDS ngan tepat waktu menduduki posisi ke enam dari nya,” terang Rizal Alkadrie.

Selain itu dalam buku Lembaran Informasi ditulis bahwa belum ada kasus HIV yang ditularkan dengan air mata atau air ludah. Namun HIV bisa ditularkan juga melalui seks oral (hubungan seks dengan mulut), bahkan dengan ciuman dalam. Walaupun jarang, biasanya ini terjadi jika ada luka terbuka pada mulut atau gusi berdarah. “Gejala dari orang yang terinfeksi HIV biasanya mengalami demam tinggi, sakit kepala, otot dan sendi yang sakit, sakit perut (dalam beberapa jam sekali buang air besar-red) dan kelenjar getah bening yang bengkak,” ungkap Rizal Ardiansyah relawan Global Fun saat ditemui kru Miun di sela-sela makan siangnya. Sementara itu Oscar juga menambahkan bahwa penyebaran HIV/AIDS juga sudah merambah rumah tangga. “Ada satu cerita tentang satu keluarga yang semuanya mengidap HIV/AIDS, mulai dari Ibu, Bapak dan anaknya. Artinya bahwa penyebaran penyakit itu sudah masuk ke rumah tangga. Dengan meningkatkan kegiatan surveillance dan melalui VCT ini bisa terungkap semuanya,” ujarnya. Menurut Rizal Alkadrie, orang yang terinfeksi HIV bukan berarti orang tersebut mengalami AIDS. Tes darah biasanya dilakukan untuk mengetahui apakah orang tersebut terinfeksi atau tidak. Tes ini biasanya dilakukan di VCT. “Banyak orang HIV positif tetapi tidak menjadi sakit selama bertahuntahun. Karena semakin lama kita terinfeksi HIV, maka semakin rusak kekebalan tubuh kita. Penyakit ini biasanya kita sebut dengan Infeksi Oportunitis (IO),” tambah aktivis AIDS ini. Penanggulangan HIV/AIDS Dahulu AIDS merupakan penyakit yang tidak ada obatnya. Orang yang menderita HIV ini lambat laun akan meninggal akibat IO. Tapi sekarang sudah ada obat yang dapat menekan HIV dalam tubuh, sehingga sistem kekebalan tubuh dapat terlindungi atau dipulihkan kembali bila sudah rusak. Obat yang dapat mengurangi perkembangan virus tersebut juga dapat memperlambat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Tetapi belum ada cara memberantas HIV dari tubuh kita. Obat itu dikenal sebagai Terapi Antiretroviral atau disebut dengan ART. Bersambung ke Hal ........................................ 17


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Penanggulangan HIV/AIDS, Tanggungjawab Bersama Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) kini memasuki usia seperempat abad sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1981. Sejak saat itu, penyebaran penyakit ini justru merebak ke seluruh penjuru dunia, tanpa kecuali. Setiap enam menit seseorang bisa tertular HIV/AIDS. Hal itu bisa dilihat dari pesatnya jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh dunia.

Oleh MUHAMMAD ASR ORUDDIN* ASROR UDDIN* OR Gambaran Epidemi ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 40 juta orang mengidap HIV/AIDS. Sekitar 75% yang tertular HIV/AIDS berada di kawasan Asia Pasifik dan Afrika. Lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS. Jumlah itu bukanlah jumlah yang kecil. Pada peringatan Hari AIDS sedunia tanggal 1 Desember 2003, WHO dan UNAIDS telah memberi warning. Kedua organisasi dunia itu memberi peringatan bahaya kepada 3 negara di Asia yang saat ini disebut-sebut berada pada titik infeksi HIV. Bahkan bisa dikatakan ketiga negara tersebut berada dalam posisi serius. Siapa ketiga negara yang mendapat ancaman serius HIV/ AIDS itu? Semula, banyak yang menduga ketiga negara itu adalah yang selama ini turut menjual sektor pariwisata dengan atribut seks. Ternyata dugaan itu meleset. Berdasarkan laporan WHO dan UNAIDS ketiga negara itu adalah China, India, dan Indonesia. Apalagi ketiga negara itu memiliki populasi penduduk besar di dunia. Di Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus), mulai menjadi fenomena menakutkan sejak 1987, saat kasus AIDS pertama kali ditemukan di Bali. Hingga tahun 90-an boleh dibilang perkembangan HIV/AIDS di Indonesia relatif lambat. Tetapi menjelang 2000, kecepatan pertambahan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) meningkat pesat sekali. Jumlah penderita yang semula cuma belasan orang, kini mencapai ribuan orang. Bahkan memasuki tahun 2000, tingkat epideminya sudah dikatakan sebagai concentrated level epidemic. Hingga September 2006 menurut laporan Ditjen P2MPL Depkes RI, jumlah kumulatif kasus HIV sejak 1 April 1987 adalah 4617 kasus dan kasus AIDS sebanyak 6987 kasus, dengan kematian sebanyak 1651. Namun angka yang tercatat itu hanya berupa gunung es. Diperkirakan terdapat 80-120 ribu kasus AIDS di Indonesia. Jumlah kasus HIV/AIDS di Kalimantan Barat termasuk dalam ranking 10 besar di Indonesia, dan prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduknya sebesar 6,11% atau berada di posisi 5 teratas di Indonesia. Menurut laporan Epidemi AIDS 2006 (UNAIDS/WHO), Indonesia berada di persimpangan menuju epidemi AIDS yang memburuk dengan ditemukannya kasus AIDS bahkan di beberapa daerah terpencil, terutama di Papua. Memburuknya epidemi AIDS di Indonesia banyak disebabkan oleh penggunaan narkoba suntikan (penasun) dengan jarum suntik tercemar. Akses terhadap layanan pencegahan dan perawatan bagi pengguna narkoba suntikan masih sangat terbatas. Bila Indonesia ingin mengontrol epidemi AIDS, lingkungan legal dan institusional terkait perlu menciptakan strategi pencegahan yang lebih efektif.

K

Perjalanan Penyakit HIV/AIDS Infeksi HIV/AIDS diawali dengan infeksi primer yang berlangsung selama 26 minggu dengan gejala umum berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan rasa lemah. Disertai pula dengan kelainan mukosa kulit seperti merah-merah di kulit dan ulkus di mulut dan kemaluan. Selain itu disertai pula dengan pembengkakan kelanjar getah bening, nyeri kepala, nyeri di belakang mata, fotofobia, depresi, mual, diare, jamur di mulut, dan tidak nafsu makan. Gejala tersebut akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. Setelah itu seorang yang terinfeksi HIV akan memasuki stadium tanpa gejala (window period) yang berlangsung 5-10 tahun yang masa tersebut bisa memanjang atau memendek tergantung dari konsentrasi virus dalam darah (viral load). Setelah masa jendela, akan timbul gejala seperti demam dan pembesaran kelenjar getah bening yang diikuti infeksi oportunistik. Seseorang dinyatakan memasuki stadium AIDS jika telah timbul infeksi oportunistik. Untuk menegakkan diagnosis HIV/ AIDS selain melihat gejala klinis yang timbul, dilakukan dengan melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan antigen HIV, Polymerase Chain Reaction (PCR), viral load, dan sel limfosit CD4. Pengobatan HIV/AIDS terbagi menjadi pengobatan suportif, pengobatan infeksi oportunistik, dan pengobatan antiretroviral (ART). Pengobatan tersebut belum dapat menyembuhkan HIV/AIDS. ART hanya berfungsi untuk menekan replikasi virus sehingga dapat memperpanjang masa seseorang untuk jatuh ke dalam stadium AIDS. Penularan HIV/AIDS terbanyak saat ini berdasarkan laporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional adalah melalui jarum suntik bersama yang tidak steril oleh pengguna jarum suntik (penasun) sebesar 52,6%, disusul melalui hubungan heteroseksual 37,2% dan homoseksual 4,5%. Dari segi usia, mayoritas ODHA berasal dari kelompok usia produktif yaitu 20-40 tahun. Pengaruh HIV/AIDS secara Sosio-ekonomi Pengalaman empiris di beberapa negara yang terjadi penyebaran HIV/AIDS menunjukkan adanya masalah secara sosioekonomi. Masalah ekonomi timbul akibat tingginya biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan yang harus dilakukan oleh keluarga dan komunitas. Masalah ekonomi secara tidak langsung juga timbul akibat penurunan produktivitas dan meningkatnya kematian pada kelompok usia produktif karena AIDS. Keluarga dan masyarakat miskin menjadi semakin miskin karena menderita HIV/AIDS. Anak-anak menjadi yatim piatu karena kematian orang tuanya akibat AIDS. Kemudian mereka akan mengalami gangguan sosial berkepanjangan akibat kehilangan dukungan keluarga dan masyarakat. Akibat lebih lanjut adalah adanya stigma yang berkaitan dengan ODHA dan keluarganya, dan diskriminasi terhadap HAM mereka. Diskriminasi

masih sering ditemukan pada pusat-pusat kesehatan, sekolah, tempat kerja dan bahkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari di masyarakat. Hapuskan Diskriminasi Terhadap ODHA Pada pertemuan tingkat tinggi di Paris tanggal 1 Desember 1994 yang dihadiri kepala negara dari 42 negara telah dihasilkan sebuah deklarasi yang di antara poin-poin deklarasi tersebut menyebutkan bahwa setiap negara berjanji untuk melindungi dan mendorong hak individu, khususnya mereka yang hidup dengan atau rentan terhadap HIV/AIDS melalui lingkungan sosial dan hukum, melibatkan secara penuh organisasi LSM dan organisasi komunitas serta ODHA/ OHIDHA dalam perumusan dan penerapan kebijakan umum, meyakinkan perlindungan hukum yang sederajat bagi ODHA/OHIDHA dengan memperhatikan pemerolehan perawatan kesehatan, pekerjaan, perjalanan, tempat tinggal dan kesejahteraan sosial, meningkatkan rangkaian pendekatan esensial untuk pencegahan HIV/AIDS antara lain melakukan kegiatan untuk mengurangi risiko untuk dan dengan kerjasama dengan kelompok yang rentan, seperti kelompok berisiko tinggi terhadap penularan seksual dan kelompok pendatang. Selain itu disepakati pula untuk memperkuat mekanisme nasional dan internasional yang berhubungan dengan HAM dan etika terkait HIV/AIDS, termasuk penggunaan dewan penasihat dan jaringan nasional dan wilayah yang menyediakan kepemimpinan, advokasi dan bimbingan agar meyakinkan bahwa asas non-diskriminasi, HAM dan etika merupakan bagian terpadu dalam penanggulangan pandemi HIV/AIDS. Saat ini tantangan untuk menerapkan deklarasi tersebut sangat tinggi, antara lain karena adanya kesulitan akan keterbukaan tentang status HIV seseorang terhadap keluarga, komunitas/masyarakat ataupun tempat kerja adalah berbedabeda pada tiap negara atau budaya. Diskriminasi terhadap orang yang tertular HIV/AIDS masih banyak ditemukan di masyarakat dalam berbagai bentuk, dari yang hampir tidak tampak sampai kekerasan fisik. ODHA sudah selayaknya mendapatkan dukungan untuk pengobatan penyakitnya yang non-diskriminatif karena hal tersebut merupakan hak asasi yang harus dihormati. Diskriminasi dan stigma diubah menjadi toleransi dan penerimaan melalui kampanye informasi dan kepedulian. Pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS masih sedikit terutama cara penularan. Intinya harus diciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan memberdayakan. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Sejak tahun 2003 pemerintah telah menetapkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS. Telah ditetapkan tujuh prioritas yang akan dilaksanakan yaitu pencegahan HIV/AIDS; perawatan, pengobatan, dan dukungan (care, treatment, and support) bagi ODHA; surveilans HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS); kajian dan riset operasional; lingkungan yang mendukung; koordinasi berbagai pengambil kebijakan; dan respons yang dapat dipertahankan. Strategi nasional ini menjadi prinsip-prinsip sebagai rujukan utama bagi siapa saja yang terlibat dalam pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS. Prinsip-prinsip tersebut mencakup: - Melibatkan nilai-nilai religi dan budaya serta norma sosial, dan mempertahankan dan memperkuat kesejahteraan dan kerekatan keluarga. - Memberikan perhatian terhadap kelompok-kelompok yang rentan, ternasuk kelompok marjinal. - Menghormati hak-hak asasi manusia dan memberi perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender. - Memprioritaskan pencegahan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dan menggunakan metode lain yang efektif. - Meningkatkan keterlibatan berbagai pemegang kebijakan berdasarkan prinsip kemitraan, dengan pemerintah berperanan sebagai pemandu dan pengendali. - Menempatkan HIV/AIDS sebagai perhatian sosial. - Memastikan bahwa respons berdasarkan pada fakta ilmiah dan data. Kemitraan, peranan, dan tanggungjawab pada strategi ini melibatkan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota hingga pemerintah desa/kelurahan, DPR/DPRD, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, KPA Provinsi, KPA Kabupaten/Kota, organisasi kemasyarakatan dan organisasi nonpemerintah, kelompok bisnis/sektor swasta, kalangan profesional, organisasi profesi, institusi pendidikan, masyarakat, dan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (OHIDHA) itu sendiri. Peranan Institusi Pendidikan Institusi pendidikan mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi memegang peranan penting dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS seperti yang dicanangkan dunia dan pemerintah. Departemen Pendidikan Nasional berperanan dan bertanggungjawab dalam memberikan pendidikan pencegahan, membuat kurikulum pendidikan kesehatan terutama untuk remaja dan gender, membuat kebijakan pendidikan sadar AIDS bagi remaja untuk pendidikan berbasis sekolah dan nonsekolah, membuat program pencegahan untuk siswa tingkat lanjut, dan menyelenggarakan program pencegahan HIV/AIDS untuk pendidik. Institusi pendidikan tinggi seperti universitas dalam hal ini UNTAN sudah seharusnya mengambil peran penting tersebut yang diselaraskan dengan tridharma perguruan tinggi. UNTAN memiliki komponen pendidik, peneliti, dan mahasiswa. sebagai kelompok rentan terhadap penularan HIV/AIDS dan sebagai kelompok yang juga berperanan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Komponen pendidik sangat berperan dalam memprioritas pencegahan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dan metode lain yang efektif. Hal Bersambung ke Hal ............................................................................ 17


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Mengejar Mimpi di Negeri Orang Oleh RAHMANIT RAHMANITA A ari balik pintu sebuah rumah sederhana, tampak paras cantik seorang anak perempuan. Dengan ramah ia menyambut saya, belakangan gurat wajahnya berubah was-was saat mengetahui pasal saya mencarinya. Bunga (bukan nama sebenarnya) sedikit gelisah untuk mulai bercerita. Siapapun akan tersontak kaget kalau tahu tragedi apa yang menimpanya

D

nya berangkat dari perekonomian keluarga yang tak menentu, mereka mulai berpikir untuk mencari peluang kerja. Tak dinyana kesempatan itu malah diberdayakan oleh tetangga dekat mereka sendiri. Panggil saja Sur, si tetangga dekat ini membaca peluang dan tidak menyia-yiakan. Berbekal telah dikenal dekat oleh keluarga Bunga dan Mira (sahabat Bunga) ia tidak butuh usaha keras memperdaya dua anak gadis itu. Karena terdesak kondisi ekonomi, tanpa pikir panjang dia menerima tawaran Sur untuk bekerja di Malaysia.

telah dianggapnya saudara sendiri ini untuk membeberkan soal pekerjaan pada orang tuanya ketika Bunga telah sampai ditempat kerja. Bekerja membantu keluarga bukan hal baru bagi Bunga, terlebih setelah ia mengalami putus sekolah. Bangku pendidikan hanya dirasanya sampai kelas empat SD (Sekolah Dasar) saja. Yakin dengan keputusannya itu, Bunga, Mira dan Sur pun berangkat. Sebelum ke Malaysia, Bunga diminta menulis surat kepada keluarganya dengan kata-kata yang murni dikarang oleh Sur. Seolah-olah dalam surat ter-

Foto : HENNY/MIUN

Meratapi Nasib : Seorang korban trafiking yang telah di dep ortasi, sedang meratapi nasibnya pada sebuah penampungan sementara sebelum mereka dipulangkan. dua tahun silam. Ibunya yang sedari tadi duduk tepat di sisinya setia menemani gadis itu. Bunga kala itu adalah ABG yang ceria, bersama satu sobat kentalnya mereka melewati getirnya hidup berjuang keluar dari sindikat perdagangan perempuan dan anak. Kesemua-

Apalagi diiming-imingi gaji yang besar dengan kerja gampangan. Hanya sebagai penjaga kantin ia mampu membeli rumah buat keluarganya, membeli motor juga handphone. Bunga termakan dengan janji manis itu alias percaya sepenuhnya saja. Bahkan ia bersepakat dengan Sur yang

sebut menggambarkan kondisinya baik-baik saja dan telah mendapat kerja, yakni di salah satu tempat karoke di Singkawang. Bersama surat itu diselipkan juga uang tiga ratus ribu sebagai hasil kerjanya. Surat itu diantarkan Sur sendiri kepada keluarga besar Bunga. Dengan

berdalih bahwa ia tidak sengaja menemukan Bunga dan Mira di terminal bis, yang langsung menitipkan surat tersebut. Keluarga Bunga semakin panik setelah sebelumnya Bunga tidak pulang ke rumah, terlebih sesudah membaca isi surat tersebut. Usaha pencarian pun dilakukan. Sang ibu meminta kepada suaminya untuk segera menelusuri Singkawang menjari jejak putri mereka. Pilu mengelayuti keluarga Bunga setelah melakukan pengecekan di seluruh tempat karaoke di Singkawang dengan hasil nihil. Bunga tidak sendirian selain teman sepermainannya masih ada dua orang gadis yang juga ikut bersama mereka. Disitulah ia menyadari bahwa ia dan perempuan-perempuan tadi sedang diperdagangkan. Setelah sampai di Malaysia, Bunga dan teman-temannya di serahkan kepada Sumiyati, kakak kandung Sur. Yati merupakan penampung yang ada di malaysia. Setelah berada ditangan Yati bunga langsung diserahkan lagi kepada beberapa orang untuk di jual. Selama di malaysia Bunga berpindah-pindah tangan, pertama dari Alim, lalu ke Aliong selanjutnya ke Abong. Ketika masih di tangan Alim, sebelum bekerja ia dan yang lainnya diajak jalan-jalan dan makan di restoran. Dia masih mengingat jelas saat berada di tangan Abong. Abong menurutnya adalah penadah besar di Malaysia sana. Bahkan rumah besar yang ditinggali Abong ternyata juga menampung banyak perempuan. Pernah di suatu pagi dua anak buah Abong masuk ke bilik mereka untuk memberikan surat kesepakatan. Salah satu anak buah Abong berkata kurang sopan kepadanya, karena menyaksikan penampilan Bunga yang hanya dibalut kain karena hendak mandi. Dari situlah ia semakin menyadari bahwa dirinya telah dibohongi. Setelah seorang anak buah Abong mengatakan kalau mereka telah ditipu. “Tau tidak kau disini akan kerja apa ? saya bilang kerja di kantin. Dia malah ngejek. Dia malah bilang nanti kau bakalan tau apa yang akan kau kerjakan di sini,” tiru Bunga yang masih ingat jelas omongan anak buah Abong tersebut. Untungnya ia bertemu dengan Tika yang juga dipekerjakan Abong. Menurutnya mbak Tika, panggilan akrabnya begitu baik pada dirinya. Lewat ponsel Tika, dia berhasil menghubungi keluarganya di Pontianak. Bunga terpaksa berbohong kepada keluarganya saat ia ditanya bekerja apa disana. Karena sudah diancam dia katakan dia bekerja sebagai penjaga bayi. Jelas yang dikatakannya bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Bunga dan yang lainnya dipekerjakan sebagai wanita penghibur. Memang dia hanya bekerja selama empat hari. Bahkan sempat ia dan Mira bersembunyi di kamar mandi tidak mau kerja satu harian. “Mbak Tika yang diam-diam mengantarkan makanan,” kenangnya. Tika telah dianggapnya sebagai kakak yang menjaganya dengan baik. “Kalau tidak ada dia entah gimana nasib saya. Mbak Tika bilang merasa iba dengan keadaan saya. Walau sebenarnya dia juga ingin pulang, tapi sudah terlanjur. Dia cuman gak ingin saya bernasib kayak dia.” Hingga suatu hari polisi mengeledah rumah itu. “Kami semua ditahan. Saya sempat ditahan seminggu. Kalau si Abong dia bisa bebas karena bayar pakai uang. Waktu ditanya paspor saya gak tahu dengan siapa. Kemudian saya dibawa ke konsulat Indonesia di Malaysia. Ada seorang polisi indonesia yang ikut memulangkan saya ke indonesia,” ceritanya lagi.


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Pertemuan mengaruhkan itu terjadi tepatnya di Kantor Kepolisian Pontianak Timur. Bunga dan keluarganya akhirnya diketemukan selama sebulan lebih berpisah. Kasus Bunga langsung diproses oleh kepolisian. Sur dan kakaknya akhirnya ikut diproses juga. Setelah melewati delapan kali persidangan, keputusan hakim menjatuhkan hukuman tiga tahun pada Sur dan Sumiyati. Jelas ini membuat do-

Dok : MIUN

Cacat : Akibat kekerasan yang menimpa korban Trafiking ngkol Bunga sekeluarga. Padahal tuntutannya adalah lima belas tahun penjara. “Di persidangan gayanya seperti orang yang mau pergi undangan saja. Dan yang buat saya lebih sakit hati dia masih sempat ngatain anak saya dengan kata-kata yang tidak enak didengar,” geram ibunya sambil mengepalkan tangan. Dengan perjuangan yang berat akhirnya saya dapat menemukan Bunga. Perlindungan Korban Bunga setelah mengalami peristiwa memilukan tersebut sekarang punya kesibukan baru. Lewat bantuan Yayasan Anggrek yang bernaung melindungi korban trafiking dia diberikan sebuah mesin jahit dan satu buah mesin obras. Dua mesin ini membantunya melatih keterampilan. Bahkan yayasan tersebut juga menyekolahkan di sekolah dengan program paket C. Selain itu ia juga dikursuskan menjahit. “Lumayan jarak rumah dengan tempat kursus, kalau lagi gak ada ongkos perginya jalan aja,” tuturnya yang begitu semangat ikut kursus. Dua mesin yang diceritakannya tadi tampak bersandar di dinding ruang tamu. Setiap bulannya petugas yayasan hadir untuk mengecek kondisi mesin tersebut juga dirinya. Selain dirinya, Mira juga mendapatkan yang sama. Sayangnya, sahabat akrabnya ini tidak mau melanjutkan kursus karena lebih memilih mencari kerja daripada harus kursus. Ibu Bunga juga sempat bercerita kalau keadaan putrinya sekarang ini kadang-kadang masih sering trauma, bahkan ia pernah sesekali memergoki Bunga teriak-teriak sendiri. Yayasan anggrek yang menaungi Bunga juga membuka tempat konsultasi bagi para korban. Tidak jauh beda dengan YLBH-PIK yang juga mewadahi perlindungan para korban. Menurut Tuti Suprihatin, Koordinator Bantuan Hukum YLBH-PIK biasanya korban yang melapor adalah korban yang mengalami kekerasan fisik serta kekerasan seksual. “Usaha untuk

membantu mereka, kami melakukan kerja sama dengan Dinas Sosial untuk memberikan keterampilan. Lalu jika ada yang mengalami tekanan secara kejiwaan maka kami akan bekerjasama dengan psikolog. Seangkan untuk bantuan hukum kami akan mendampingi para koraban sampai masa persidangan selesai,” tuntasnya. Trafiking Tetap Marak Ada berbagai alasan mengapa kasus traffiking seperti yang menimpa Bunga ini kerap terjadi di Kalbar. Tidak dipungkiri masalah kepadatan penduduk dan ketersedian lapangan kerja yang tidak berimbang, menyebabkan pilihan bekerja di luar negeri jauh lebih menjanjikan sekalipun mereka menyadari resiko-resikonya. Bahkan terbukti setiap tahunnya kasus trafiking kian merebak. Hal ini berkesesuian dengan data yang dikeluarkan Polda Kalbar tahun 2003 menunjukkan 23 kasus yang telah di tangani, tetapi yang selesai hanya 17 Kasus. Untuk tahun 2004, terdapat 35 Kasus yang ditangani, namun yang selesai hanya 27 Kasus. Sedangkan di tahun 2005 didapati 85 Kasus yang ditangani, tapi yang selesai hanya 53 Kasus. Selanjutnya berdasarkan data yang dituangkan oleh YLBH-PIK menyebutkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 14 kasus perdagangan perempuan dan anak. Lalu setahun berikutnya, yakni tahun 2004 terdapat angka 34 kasus yang ditangani, dan pada tahun 2005 hanya 10 kasus yang masuk ke YLBH-PIK. Mengapa trafiking terus terjadi dan kenapa juga penanganannya terkesan lambat. Istilah trafiking dapat didefinisikan sebagai Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk– bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi (Solidarity Center 2004: 2) Tuti Suprihatin, Koordinator Bantuan Hukum YLBH-PIK mengatakan trafiking memang belum punya makna tersendiri. Saat diawal mereka ditawarkan kerja dengan informasi yang tidak benar dan ketika mereka tertarik maka mereka sudah termasuk korban dari trafiking. Lebih lanjut ia menjelaskan proses ini bisa dengan perekrutan, pemaksaan atau rayuan. Untuk perekrutan bisa lewat perkawinan, lewat calo yang tidak dikenal atau bahkan orang yang sudah dikenal bisa saja tetangga, keluarga jauh, atau bahkan keluarga dekat. Biasanya diperuntukan sebagai buruh, pembantu rumah tangga atau bahkan pekerja sex. Jika salah satu dari tiga unsur tersebut tadi terpenuhi maka dapat diartikan sebagai korban trafiking. Trafiking ini tidak hanya terjadi pada tenaga kerja yang bekerja di luar negeri saja. “Orang kampung yang dipekerjakan di kota dan tidak diberikan hak-haknya sebagai pekerja maka mereka juga termasuk korban trafiking,” tambah Titi lagi. Kenapa para korban dapat terjerat, jelas ada peran besar para trafiker atau yang lebih dikenal dengan istilah calo disini. Adanya rantai para-para calo ini lah yang sulit untuk diputuskan. Para calo menjalankan operasinya di kebanyakan di daerah pedalaman. Mereka mencari perempuan usia muda dan miskin. Dengan memberikan janji manis yakni menawarkan kerja ringan tapi dapat gaji besar. Jika

sudah seperti ini korban pun mudah tergiur. Proses calo merekrut para korbannya bisa juga didapatkannya dari kampungnya sendiri. Selanjutnya korban ini diserahkan ketangan orang lain lagi. Bahkan, si korban sering kali tidak ingat dengan siapa yang membawanya termasuk dimana keberadaan paspor mereka. Persolaan lainnya yang memudahkan calo melancarkan aksi mengirim korban ke Malaysia adalah Kalbar merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga ini. Ada lebih dari empat puluh jalan tikus untuk menuju ke sana tanpa pengawasan. Rute ini sering dipakai calo dalam membawa korban yang tidak lengkap surat-surat izinnya. Karena faktor yang memudahkan ini TKI (Tenaga Kerja Indonesia) illegal memilih jalur Kalbar untuk pergi ke Malaysia. Tercatat TKI asal Jawa meliputi Jawa Barat (Utara/Pantura dan Selatan), Jawa Tengah (Utara), Kepulauan Riau (Batam, Tj. Balai Karimun, Tj Pinang) dan Sumatera Utara, termasuk Indonesia Timur meliputi Manado, NTT, NTB Makasar dan Pa-

pua. Sedangkan untuk Kalbar meliputi Singkawang dan Pontianak. Diungkapkan oleh IPTU Sri Sulasmi, Awak RPK ( Ruang Pelayanan Khusus) bahwa praktek trafiking ini disebabkan oleh kebodohan dan faktor ekonomi. “Di negara ini mudah sekali mendapatkan KTP dari kelurahan, yang penting ada kartu keluarga,” jelasnya. Menurutnya sebaiknya diadakan pelatihan-pelatihan untuk bekal warga di pelosok desa yang berniat kerja ke luar negeri. “Selain diberikan pelatihan juga diberikan informasi yang benar tentang bahayanya bekerja di luar negri tanpa ada surat– surat yang lengkap dan sah,” usulnya. Belum adanya UU (Undang–Undang) pengaturan kejahatan trafiking memang jadi hambatan para penegak hukum untuk menentukan hukuman. Selama ini para pelaku hanya bisa dijerat dengan UU perlindungan anak dan perempuan. Wacana yang dilontarkan belakangan ini mengatakan perlunya legeslatif Kalbar segera menyusun Perda (Peraturan Daerah) trafiking sebagai payung hukum meskipun UU di tingkat nasional belum ada. []

Sambungan dari halaman ..................................................................... 14

Rizal yang menjabat sebagai koordinator pelatihan di Pontianak Plus ini menyatakan jika penderita HIV ini tidak meminum obatnya maka virus yang ada di dalam tubuhnya akan berkembang dengan cepat. Obat ini hanya dapat mengurangi timbulnya IO dalam tubuh. Dalam Buku Lembaran Informasi Yayasan Spiritia yang bergerak di bidang HIV/AIDS dijelaskan bahwa virus akan menggandakan dirinya dalam tubuh untuk beberapa minggu bahkan bulan sebelum sistem kekebalan tubuh menanggapinya. Selama masa ini, hasil tes HIV tetap negatif, walaupun kita sudah terinfeksi dan bisa menularkan kepada orang lain. Menurut Rizal, salah satu cara yang sering dilakukan dalam meredamkan tingginya jumlah penderita HIV/ AIDS adalah dengan memberikan mereka informasi-informasi tentang HIV/AIDS secara detail serta memberikan mereka motivasi untuk hidup. Motivasi yang biasa diberikan oleh para aktivis AIDS ini adalah “Kamu hidup tidak sendirian, masih banyak

orang-orang yang menderita HIV/ AIDS tapi mereka sampai sekarang masih hidup.” “Dalam memudahkan kami mengumpulkan ODHA maka di yayasan kami diadakan kumpulan kelompok sebaya. Kelompok sebaya ini adalah orang-orang yang menderita HIV/ AIDS dimana mereka berkumpul saling membantu untuk menguatkan temannya agar dapat bertahan hidup,” tutur Rizal Ardiansyah. Sementara, Pemerintah Kalbar menanggulangi HIV/AIDS yang semakin meningkat dengan cara mengumpulkan para ODHA untuk melihat bakat dan keterampilan yang mereka miliki. Dimana keterampilan ini akan dikembangkan ke dalam sebuah perusahan yang bergerak di bidang bakat mereka masing-masing. Agar para ODHA ini tidak bertingkah laku negatif serta berusaha untuk hidup sehat dan memandang bahwa mereka masih bisa melakukan hal-hal yang positif bagi dirinya serta berguna untuk masyarakat. []

Sambungan dari halaman ..................................................................... 15

tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM) kepada kelompok berisiko tinggi dan berisiko rentan seperti pekerja seks komersial (PSK), injecting drug user/pengguna jarum suntik (IDU/penasun), kaum homoseksual, mahasiswa, dan remaja. Bentuk kegiatannya dapat berupa penyuluhan bahaya HIV/AIDS, pelatihan kelompok sebaya (peer group), dan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini kelompok ODHA. Program ini dapat juga dilakukan dengan melibatkan keluarga dan teman penderita, tokoh agama, tokoh sosial, serta kelompok masyarakat yang belum memiliki informasi yang benar mengenai HIV/AIDS. Kelompok peneliti diperlukan untuk memberikan gambaran epidemiologi penyakit mengingat HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es dan penelitian yang berkaitan dengan HIV/AIDS masih sedikit. Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan penelitian bidang kedokteran, farmakologi, pendidikan, budaya, termasuk akibat yang ditimbulkannya secara sosioekonomi. Hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk menentukan kebijakan HIV/AIDS baik nasional maupun global. Kelompok mahasiswa sebagai kelompok rentan juga berperanan penting dalam penanggulangan HIV/AIDS mengingat kelompok umur yang paling banyak tertular HIV/AIDS adalah kelompok usia 20-40 tahun. Mahasiswa harus memahami betul penularan HIV/AIDS agar mereka tidak melakukan perilaku berisiko seperti seks bebas dan penyalahgunaan NAPZA yang saat ini lazim ditemukan pada mereka. Di lain pihak, mahasiswa dapat menjadi tenaga penggerak bagi kelompok sebaya dan masyarakat dalam memberikan pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif tentang HIV/AIDS. Ketiga komponen di institusi pendidikan seperti UNTAN tersebut bertanggung jawab dan saling bersinergi dalam menghasilkan serangkaian program dan kebijakan yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS di Kalimantan Barat, nasional, maupun global. Dengan demikian kita berharap angka penularan dan jumlah kematian akibat HIV/AIDS bisa dikendalikan. *) Penulis adalah dosen Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Tanjungpura Pontianak.


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Antara Panggung Perpolitikan dan Realita Agama uku ini diberi judul Politik Panjat Pinang : Di Mana Peran Agama ? Paling tidak, semua tindakan dan kebijakan politik tidak bisa dibenarkan jika keluar dari moralitas universal yang juga diajarkan oleh agama. Realitas sosialpolitik yang cenderung seperti perilaku lomba panjat pinang ketika menyambut acara peringatan kemerdekaan Indonesia. Dimana tak ada pemenang sejati, kerena konsep kemenangan hanyalah akibat kejatuhan yang lain dan itupun dengan cara menginjak sesama teman sendiri. Agama seringkali dipahami sebagai sesuatu yang serba formal, kaku, keras dan tidak toleran serta tidak mengarah pada misi yang sejatinya. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak umat beragama yang berhenti atau disibukkan dengan ritualitas keagamaan, tanpa memaknai dan menangkap roh (substansi) yang terdapat dalam ritual tersebut. Banyak umat beragama lebih cenderung mengejar pahala individual bahwa yang bersangkutan berharap terbebas dari neraka dan bisa masuk surga dengan lancar, tanpa berpikir dan melakukan serangkaian langkah pembebasan manusia dari problem sosial dan dari belenggu kehidupan yang dirasakan oleh berjuta-juta umat lainnya. Bagi pengikut aliran “Individualisme” ini, yang penting adalah diri atau kelompoknya masuk surga dan terhindar dari neraka. Mereka mengabaikan nasib orang lain yang patut diperhatikan, kaum fakir miskin dan dimiskinkan, anak yatim dan diyatimkan, dan pihak tertindas oleh struktur sosial-politik yang tidak adil. Buku ini dibagi menjadi lima bagian besar. Di Bagian Pertama, Kedua, dan Ketiga, fokus pada realitas seharihari kehidupan sosial politik di Indo-

dapat menentukan bagaimana cara seseorang dalam memimpin dunia perpolitikan. Setidaknya ada empat unsur, pertama kemampuan dalam memahami dan memotivasi potensi dirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga, senang melihat bahkan mendorong anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam. Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung. Pertanyaannya, mengapa jabatan dan aktivitas politik itu menarik? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Thomas Hobbes, jawabnya ialah untuk memperoleh kekuasaan (power), kemegahan diri (self-glory), dan kesenangan hidup (pleasure). Bagi pa-

B

Judul buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal buku Presensi

: Politik Panjat Pinang : Di Mana Peran Agama ? : Komaruddin Hidayat : Buku Kompas : Pertama, 2006 : 228 halaman, xxii, 14 cm x 21 cm : Syf. Ratih Komala Dewi

nesia. Membahas kiprah pemimpin yang benar-benar capable dan teguh memegang amanat. Dapat dikatakan masyarakat merindukan panggung politik Indonesia sebagai panggung pengabdian; permainan dan perebutan kekuasaan namun dengan seni, etika, dan tingkat kecerdasan serta kapabilitas yang tinggi, sehingga suasana batin seperti menyaksikan pertandingan sepak bola kelas dunia. Indah, mendebarkan, tegang, penuh kejutan, namun tetap dalam format festival. Tak hanya itu, aspek kepribadian

ra pejuang ideologi keagamaan, jabatan dan kekuasaan politik dikejarkejar untuk menegakkan hukum Tuhan dimuka bumi (menurut pemahaman mereka). Bagi sekelompok orang mungkin saja untuk mencari uang atau melindungi bisnisnya. Pendeknya, kekuasaan politik dari zaman ke zaman selalu menjadi obyek yang diperebutkan karena dengan politik, cita-cita sosial dan naluri untuk menikmati kekuasaan akan lebih mudah terwujud. Robohnya prinsip hukum dan keadilan akan menghancurkan aset mo-

ral, sosial, intelektual lain dan yang akan berkuasa adalah kekuatan uang, nyali berbuat nekat, jaringan koncoisme dan semangat berlomba. Sejarah mencatat negara berhasil menerapkan demokrasi adalah mereka yang mampu memelihara keseimbangan antar kebebasan, penegak hukum, pemerataan pendidikan, dan perbaikan ekonomi. Dari empat pilar itu, dua yang pertama akan memperkuat dua pilar berikutnya. Di bagian ini juga dikupas, hirukpikuk gerakan reformasi 1998 beserta pernak-pernik peristiwa yang mengiringi, pemilu 1999 dan 2004, proses tarik menarik di tingkat elite politik Indonesia, dan kinerja serta kebijakan pemerintah yang dinilai nyeleneh serta tidak mencerminkan visi reformasi yang dahulunya digerakkan kalangan aktivis mahasiswa kampus. Serta beberapa kritik tajam terhadap mentalitas korup, rakus dan otoriter. Sekarang ini kita benar-benar membutuhkan tampilnya sosok ekonom, teknokrat dan politikus yang memiliki jiwa kenegarawanan, bukannya sekedar tokoh partai yang sibuk dengan membuat kalkulasi dan konspirasi bagaimana caranya bisa menilap uang negara untuk persiapan pemilu mendatang sambil melakukan NKK (nolong kawan-kawan). Sementara di Bagian Keempat dan kelima, buku ini banyak menyoroti problem-problem sosial dengan perspektif moralitas agama. Di dua bagian terakhir buku ini sangat tepat untuk disebut sebagai renungan-renungan sosio-religius. Banyak pernyataan dan pernyataan yang dilontarkan terkait fenomena-fenomena yang bertentangan dengan roh dasar agama. Salah satu hal menarik adalah peran agama atau lembaga keagamaan. Benarkah agama hadir untuk perdamaian ataukah agama hadir untuk konflik dan kekerasan? Tentu pertanyaan ini tidak perlu dijawab, tetapi perlu dilihat realitasnya. Jika yang terjadi adalah konflik dan kekerasan yang dibungkus dengan agama, maka dimanakah kita meletakkan ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil-‘alamin.” Menariknya, agama terlihat sebagai sumber inspirasi dalam melakukan perubahan sosial kepada kondisi kehidupan yang lebih berkeadilan dan lebih manusiawi. Sekali lagi, lebih berkeadilan dan lebih manusiawi. []

Sambungan dari halaman ............................. 9

kebijakan energi nasional. Selain itu juga ditegaskan dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, dan Keppres No. 32 tahun 1990, pasal 9 dan 10 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kriteria kawasan gambut yang dilindungi adalah gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih di bagian hulu sungai dan rawa. FORKUMAKAP juga mengkaji secara teoritis efisiensi energi yang dihasilkan gambut jauh lebih kecil dibandingkan batubara yakni 0,93 kwh/kg gambut (gambut eropa) dan 2,3 kwh/kg batubara. Forum ini menilai jika proyek terealisasi maka perhitungan total penggunaan listrik selama setahun membutuhkan 4.709.477 m3 lahan gambut untuk dikonversi. Dan jika ketebalan gambut yang dieksploitasi mencapai 2 meter maka lahan yang dibutuhkan seluas 2.354.839 m2 atau sekitar 236 hektar. Jika melihat kondisi Kalbar secara umum tanpa eksploitasi gambut besar-besaran telah mengalami banjir hingga 20-200 cm setiap tahunnya. Pembangunan PLTU gambut berpotensi melepas air dari gambut sebesar 215.054 kg x 20 m3 atau 4.301080 m3. Seandainya 20% luas wilayah Kabupaten Pontianak adalah dataran rendah yang sering mengalami banjir, maka sekitar 190 ribu hektar daratan Kabupaten Pontianak akan mengalami banjir sedalam 23 meter. Eksploitasi gambut yang diintegrasikan dengan Perkebunan kelapa sawit juga harus mendapat review komprehensif. Dimana syarat tumbuh kelapa sawit pada lahan gambut dangkal 1-5 meter,

yang layaknya tidak dikerok sebagai sumber energi alternatif. Selain itu pengembangan kelapa sawit dan eksploitasi gambut turut berkontribusi terhadap perubahan iklim. Hasetiadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Muhammadiyah yang pernah terlibat proyek ini, menyayangkan apriori beberapa pihak terkait pembangunan PLTU gambut ditengah langkanya energi listrik. “Gambut dipanen ataupun tidak akan cenderung untuk menyusut, alangkah lebih baik jika kita memanfaatkannya,” tuturnya sederhana. Menurutnya yang terpenting saat ini adalah energi listrik tersedia dan lingkungan turut terjaga. “Kita tunggu sajalah hasil kajian Amdalnya, katakan hitam itu hitam dan putih itu putih,” tegasnya meyakinkan. Pendapat senada juga dikemukakan Hamid A Yusra, menurutnya proyek akan berjalan aman sejauh eksploitasi yang dilakukan sesuai prosedur. “Selama proses pengupasan gambut memperhatikan tinggi batas permukaan air, konversi tidak akan berpengaruh terhadap lingkungan,” ungkapnya. Bercermin dari Kegagalan Upaya memanfaatkan lahan gambut di Indonesia memang selalu menimbulkan kontroversi pendirian. Indonesia sendiri merupakan negara keempat yang memiliki lahan gambut terluas di dunia. Tetapi pemanfaatan dan pengembangannya masih sangat terbatas. Di balik potensinya yang masih cukup besar lahan gambut termasuk lahan piasan

(marginal) dan mudah mengalami degradasi. Pembukaan persawahan rawa pasang surut dan lebak secara besar-besaran pada periode Pembangunan Jangka Panjang PJP I (1969-1991) memberikan pengalaman yang cukup dalam pemanfaatan gambut untuk pertanian. Berkenaan dengan lahan gambut ini, berdasarkan Keppres No. 82/ 1995, telah disusun proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah yang mengundang banyak tanggapan. Sebagian orang menyangsikan keberhasilan proyek ini, namun tidak sedikit yang mendukung. Walaupun pada akhirnya, sejak tahun 1997/1998 proyek kontroversial ini dinyatakan untuk ditangguhkan setelah dilakukan kajian ulang. Terlepas dari pro dan kontra tentang proyek PLTU Gambut di Bakau Besar Darat, Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah adalah satu kasus yang mungkin dapat menjadi contoh pembelajaran bagi pembuat kebijakan untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan kebijakan terkait eksploitasi sumberdaya terbatas ini. Pemanfaatan kawasan gambut pada dasarnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu membiarkannya secara alami atau melakukan pengembangan untuk pemanfaatan yang lebih luas. Dan pengembangan berarti pengusikan terhadap keseimbangan lingkungan dari habitat yang sudah berlangsung secara mantap selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. []


Tabloid Mahasiswa Universitas Tanjungpura

Meski sempat menunggu, akhirnya MIUN dapat kesempatan mewawancarainya di kediaman pribadinya. Dr Chairil Effendi, orang nomor satu di Untan ini ternyata telah mengenal media informasi Mimbar Untan sejak lama, pasalnya dari inisiatifnya akhirnya Untan memiliki Mimbar Untan. Bisa dikatakan, dia sebagai pendirinya. Di rubrik kali ini sengaja MIUN pilihkan profilnya sebagai seorang pemimpin Untan yang baru. Alasannya agar civitas akademika Untan lebih mengenal sosok dan ide-idenya dalam membangun Untan.

Giliran

Chairil Pimpin Untan

Oleh RAHMANIT RAHMANITA A al pertama yang akan dilakukannya adalah melakukan konsolidasi kepada seluruh jajaran pimpinan di Untan ini. Dari pembantu rektor sampai dekandekan fakultas, juga pimpinan di bagian kepegawaian termasuk pimpinan-pimpinan di tubuh mahasiswa baik UKM maupun BEM. Tujuan pertemuan ini guna mensosialisasikan visi misi Untan kedepan. Karena menurutnya visi misi tidak dapat dibicarakan hanya dibelakang meja. Fokus keduanya yakni merevisi produk-produk hukum Untan yang telah dikeluarkan oleh Untan sendiri ataupun per unit. Lalu akan disinkronisasikan dengan perangkat perundang-undangan yang ada. Jika ada kejanggalan perlahan akan diperbaiki sedangkan yang sudah berjalan sesuai jalurnya akan dipertahankan. Kemudian selanjutnya berusaha dalam waktu dekat untuk merumuskan kebijakan–kebijakan seperti. Manual mutu akademik Misalnya dengan terdapatnya manual timing untuk memberikan layanan kepada mahasiswa mulai dari pendaftaran sampai mereka duduk di bangku kuliah. “Manual akademik ini perlu diperjelas berapa lama jangka waktu bagi mahasiswa yang akan mendaftar” ucapnya. Dalam program kerjanya akan dibuat manual-manual keuangan sehingga kita dapat melihat secara jelas dari mana saja uang masuk dan untuk apa pula uang itu dikeluarkan. “Agar lebih mudah untuk pertanggungjawaban danadana tersebut,” katanya. Menanggapi persoalan dua fakultas yang sedang kehilangan peminatnya yakni Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Chairil mengatakan bahwa ini adalah persoalan nasional.

H

“Semua Fakultas Pertanian dan Kehutanan di Indonesia memang mengalami kekurangan peminat,” jawab mantan Dekan FKIP Untan ini. Dia berpikir permasalahan yang melanda dua fakultas ini adalah karena adanya persepsi di masyarakat yang beranggapan bahwa prospek dua fakultas ini ke depannya kurang menjanjikan mengingat kondisi hutan di Kalbar yang mengkhawatirkan. Terpenting saat ini adalah memperbaiki persepsi masyarakat dengan melakukan sosialisasi. Dan dia mengingatkan masyarakat yang lebih memilih fakultas yang memberikan peluang besar seperti FKIP saat ini belum tentu kedepannya akan menyerap sektor kerja yang besar. Sebagai institusi pendidikan, Untan yang diharapkan mampu mencetak output berkualitas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin Untan untuk bisa menanggalkan predikat Untan hanya sebagai produsen gelar. Chairil sendiri megakui bahwa mahasiswa di Untan ini memiliki semangat besar tetapi kemampuan terbatas. Memang kendala dana yang terbatas bisa dijadikan alasan. “Cuman saya kira kedepannya kegiatan mahasiswa lebih fokus dan menyangkut dengan masalah daerah.” Seharusnya mahasiswa setiap jurusan membuat kegiatan yang menunjang akademis. Tapi selama ini yang terjadi masih banyak kegiatan yang sifatnya entertainment yang dihadirkan. “Olahraga dan kesenian itu penting, tapi harusnya kegiatan yang dihadirkan itu yang paling inti adalah kegiatan intelektual yang menunjang bagi para mahasiswanya,” katanya lagi. Berawal Dari Hobi Dilahirkan di Singkawang, tahun 1957, Chairil memperoleh gelar sarjana sampai gelar doktor di UGM. Kecintaan pada dunia sastra dibukti-

kan lewat karya-karyanya yang dituangkan dalam penerbitan buku. 2006 lalu dua buah buku dan enam buah buku berbentuk kamus dilahirkannya. Malahan, sejak akhir tahun 1980an dia telah aktif menulis baik untuk karya ilmiah buat penelitian maupun makalah seminar serta buku yang kesemua bakat itu didapatnya dari hobinya menulis, membaca buku dan berdiskusi. Di penghujung karir sebagai dekan Fakultas KIP Untan ini dia terus mengepak sayap dan bergabung dalam bursa pemilihan rektor. Dan ternyata, memang dia diminati banyak pihak untuk menjadi pemimpin Untan setelah Asniar Ismail. Hal ini terbukti lewat hasil pemilihan di tingkat senat maupun di tingkat dosen dirinya lah yang mengungguli kandidat lain. Tantangan pun harus dihadapinya setelah resmi dilantik sebagai Rektor Untan Periode 2007-2011. salah satunya yakni Untan yang mesti berhadapan dengan status Badan Hukum Pendidikan (BHP). Chairil memiliki pandangan tersendiri tentang masalah ini. Dia memandang ini adalah sinyal positif dari pemerintah untuk menyehatkan institusi pendidikan. Artinya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak lagi menerima dana dari pemerintah. Jadi PTN tersebut harus mampu membiayai segala keperluannya dengan usaha sendiri. Jika pimpinan-pimpinannya tidak kreatif bisa dikatakan intitusinya tidak sehat yang berdampak pada operasionalisasi BHP mau tidak mau harus menaikkan dana dari mahasiswa. “Untan sebenarnya tidak perlu menaikkan uang dari mahasiswa. Usaha Untan adalah dengan memanfaatkan aset-aset yang ada. Tetapi lemahnya Untan dari dulu tidak pernah punya data-data lengkap tentang aset yang dimiliki. Makanya kita susah untuk mendapatkan dana hibah. Kita terbentur di data-data yang tidak terinventaris dengan baik,” bebernya. Menurutnya lagi jika universitas swasta di Pontianak ini saja mampu menggaji para dosennya serta membangun gedung mereka sendiri lewat dana dari mahasiswa, mengapa Untan yang sebagian besar dosen dan karyawanya dibayar oleh pemerintah

tidak bisa seperti itu. Inilah yang jadi landasannya untuk membenahi sedikit demi sedikit, termasuk mendata kembali apa yang dimiliki Untan dan apa saja yang sudah bukan milik Untan lagi. Sebenarnya banyak yang dapat dijadikan Untan sebagai usaha. Contohnya saja Untan Press yang merupakan badan penerbit buku bagi dosen-dosen di Untan. Sayangnya saat ini Untan Press seperti sedang mati suri karena tidak jelas eksistensinya “Saya sendiri menerbitkan buku di STAIN press karena orang-orang disana lebih aktif, mereka yag menawarkan untuk mencarikan dana, mengumpulkan tulisan saya dan mengeditnya,” jelasnya yang begitu menyayangkan kevakuman Untan Press. Benturan yang mengahadapi Untan saat ini adalah ketiadaan database aset Untan. Chairil menilai inilah yang menjadi kelemahan Untan. Bagaimana bisa bicara tentang fungsinisasi aset jika database aset sendiri tidak ada. “Saya kira data itu ada, hanya tersebar dan tidak terintegrasi. Karena itu ini juga yang perlu dibenahi secara perlahan. Berapa banyak aset kita yang ada, yang hilang, ataupun dicuri orang. Lewat database aset, kita baru bisa memberi nilai pada aset tersebut dan selanjutnya baru bisa di fungsinisasikan aset tersebut.” Sebelum menutup pembicaraan Chairil memberi sikap terhadap masalah yang santer menghadapi Untan belakangan ini. Ini terkait dengan hutang yang masih menggerogoti Untan dan pengangkatan pegawai yang terindikasi unsur KKN. Memang tidak mendetail jawabannya, untuk persoalan hutang dia mengatakan tetap akan berdialog serta masih harus mempelajari semuanya. Bagaimanapun ini merupakan hutang institusi bukan hutang pribadi, jadi tetap akan jadi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan. Kedua permasalahan tersebut menurutnya ada kesumbatan di dalam saluran Untan sendiri. Padahal menurut hematnya persoalan tersebut tidak perlu mencuat keluar, harusnya diselesaikan didalam Untan sendiri. “Kedepannya perlu ada kanalisasi, maksudnya perlu ada banyak dibuka forum bersama pimpinan,” janjinya. []


Tabloid Tabloid Mahasiswa Mahasiswa Universitas Universitas Tanjungpura Tanjungpura

Alam dan Budaya PADATNYA jalur protokol Pontianak mewarnai perayaan Cap Go Meh tahun ini. Mungkin tak asing lagi jika tiap tahun warga berduyun-duyun memadati jalan-jalan utama sekedar menyaksikan tatung dan naga beraksi. Namun bedanya tahun ini antusias warga lebih dari sebelumnya. Kehadiran naga dengan panjang 500 meter semakin menyedot perhatian. Warna warni lampu yang menghiasi tubuh naga semakin menambah semaraknya malam. Tidak hanya kebudayaan Tionghoa itu yang menjadi catatan sejarah Kota Pontianak, pertengahan Maret lalu kota ini menjadi tuan rumah Kongres Masyarakat Adat Nusantara III dan Pagelaran Seni Budaya Keraton Nusantara II. Para peserta menghadirkan ciri khas budayanya masing-masing. Dan satu lagi yang patut dibanggakan dari provinsi Kalbar yakni menjadi salah satu daerah terdapatnya jenis kupu-kupu langka “Raja Brook’s Birdwing” atau kupu-kupu sayap burung. []

Foto : IREX/MIUN

Tatung Beraksi di Kota ‘Amoi’ Singakwang

Foto: MAHMUD/MIUN

Trogonotera Brookiana ditemukan di Nanga Sepan.

Foto: IREX/MIUN

Lentiknya tarian Dayak

Foto: MAHMUD/MIUN

Naga Terpanjang yang memecahkan rekor MURI

Foto: IREX/MIUN

Atraksi Barongsai meriahkan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Foto: MAHMUD/MIUN

Prajurit perempuan Banten dalam Pagelaran Seni Budaya Keraton Nusantara II (PSBKM)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.