Vol 11 No 02 Agustus 2015

Page 1

MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

i


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

JURNAL STUDI ISLAM

MIYAH

INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH VOL.XI NO.20 AGUSTUS 2015 ISSN : 1907-3453

PELINDUNG/PENGARAH Drs. H. ABD SALAM, MM. AGUS H. MOHAMMAD MAJDUDDIN, Lc. MA. H. MOHAMMAD MUQSITH, M.HI Dr. H. MUHAMMAD NADJIB, MA. KETUA PENYUNTING MOHAMMAD ISMAIL, S.S, M.Pd. AH. HARIS FAHRUDI, M.Th.I, M.Fil.I PENYUNTING AHLI MOHAMMAD MAKINUDDIN, M.Pd.I H. ABDUL HALIM, M.HI. ALI SODIKIN, M.Pd.I H. AHMAD LUBABUL HADZIQ, Lc. M.HI. PENYUNTING PELAKSANA FASIHUDDIN ARAFAT, S.HI, M.H. FIKRI MAHZUMI, S.Hum, M.Fil.I MAFTUH, M.Pd.I EDY THOYIB, MA. PELAKSANA TATA USAHA H. IMAM SYAFII, HAM. NASRULLOH, S.Pd.I AHMAD NAFIUDDIN, S.Pd.I MAHBUB JUNAEDI, S.Sos.I KHOLIF WAHID eL-RIZAL, S.Pd.I ALAMAT REDAKSI

Kantor Insitut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik Jawa Timur Telp/Fax. 031-3959297 e-mail : inkafa@inkafa.ac.id

Diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) berdasarkan Surat Keputusan Rektor nomor 006.2/4.89/H.1/SK.MIYAH INKAFA/2006 tanggal 1Maret 2006. Redaksi menerima artikel ilmiyah yang belum pernah diterbitkan media cetak lain. Naskah dikirim ke redaksi Jurnal MIYAH.

ii


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

JURNAL STUDI ISLAM

MIYAH

INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH VOL.XI NO.20 AGUSTUS 2015 ISSN : 1907-3453

KONSEP DAN KARAKTERISTIK MANAJEMEN KURIKULUM BAHASA ARAB Oleh : Muhammad Makinuddin COUNTEXTUAL LEARNING (Catatan Terhadap Pembelajaran Agama Yang Memahamkan) Oleh : Saeful Anam INTELEGENSI SEBAGAI FAKTOR BELAJAR Oleh : Maftuh KEBANGKITAN SUNNISME PADA ABAD KE-XI Oleh : Ali Sodikin MEMAHAMI MAKNA BID’AH DALAM TRADISI ISLAM Oleh: Achmad Lubabul Chadziq WAKAF HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN Oleh: Fashihuddin Arafat KONSEP CINTA SUFI ROBI’AH AL-ADAWIYAH Oleh : Fikri Mahzumi ETIKA DAKWAH: MENYIKAPI FENOMENA DA’I BERTARIF Oleh : Muhammad Rofiq

WAWASAN SISTEM EKONOMI ISLAM Oleh : Abu Kholish PENAFSIRAN AL-QUR'AN MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA DAN ANTROPOLOGI (Telaah Pemikiran Muhammad Arkoun) Oleh : Arif Budiono

iii


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

KONSEP DAN KARAKTERISTIK MANAJEMEN KURIKULUM BAHASA ARAB Oleh : Mohammad Makinuddin Abstrak : Kurikulum memeiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah proses pembelajaran, maka perlu upaya-upaya kreatif dalam penyusunan dan implementasi dan pengembangannya untuk menuju keberhasilan kurikulum, keberhasilan kurikulum adalah pemberdayaan bidang manajemen atau pengelolaan kurikulum di lembaga pendidikan yang bersangkutan, pengelolaan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau sekolah perlu dikoordinasi oleh pihak pimpinan lembaga yang dikembangkan secara integral, pengelolaan berfungsi bila dikaitkan dengan organisasi, Lembaga Pendidikan merupakan sebuah organisasi, dan di dalam lembaga pendidikan ada kurikulum, maka kurikulum harus dikelola sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. Untuk mengelola kurikum bahasa Arab agar dapat diimplementasikan dan dikembangkan secara efektif dan efisien perlu mengenali konsep dan dan karakter pengelolaan, pengelolaan secara berkala mulai perencanaan sampai dengan evaluasi Kata Kunci: konsep, karakteristik, manajemen kurikulum PENDAHULUAN Salah satu aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan adalah aspek kurikulum, kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran strategis dalam system pendidikan. Kurikulum merupakan suatu system program pembelajaran untuk mencapai tujuan institusional pada lembaga pendidikan, sehingga kurikulum memegang peranan penting dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu/berkualitas. Dan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan kurikulum adalah pemberdayaan bidang manajemen atau pengelolaan kurikulum di lembaga pendidikan yang bersangkutan, pengelolaan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau sekolah perlu dikoordinasi oleh pihak pimpinan lembaga yang dikembangkan secara integral dalam konteks Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta disesuaikan dengan visi dan misi lembaga pendidikan yang bersangkutan.1

1

Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarta:PT. Rajagrafindo, 2009), 1

1


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Manajemen berfungsi bila dikaitkan dengan organisasi, Lembaga Pendidikan merupakan sebuah organisasi, dan di dalam lembaga pendidikan ada kurikulum, maka kurikulum harus dimanaj, sebagaimana kita ketahui bahwa komponen pokok pendidikan adalah kurikulum, pendidik, peserta didik dan konteks. Dan kurikulum memiliki komponen; tujuan, bahan, isi, konten, strategi dan evaluasi. 2 Walaupun dianggap bahasa asing oleh bangsa Indonesia, bahasa Arab tidak asing ditelinga mereka, terutama umat Islam, sayangnya sebagian dari mereka masih beranggapan bahwa bahasa Arab hanyalah bahasa agama sehingga perkembangannya terbatas di lingkungan kaum muslimin yang memperdalam ilmu-ilmu agama. Hanya lingkungan kecil saja yang menyadari betapa bahasa Arab merupakan bahasa multidimensi yang digunakan oleh para cendekiawan dalam memproduksi karyakarya besar di berbagai bidang disiplin ilmu. Kalau saja mereka mau melihat sejarah masa lalu, saat spirit keilmuan di abad pertengahan memuncak, tentu akan mengetahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang pertama kali menjaga dan mengembangkan sains dan teknologi. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa Arab peletak dasar pertumbuhan ilmu pengetahuan modern yang berkembang cepat dewasa ini.3 Dari uraian diatas kiranya perlu mengelola kurikulum bahasa Arab secara efektif, efisien, relevan, komprehensif dan bermakna sehingga bahasa Arab mampu menjadi alat komunikasi mayoritas

penduduk dunia dan menjadi bahasa utama

dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana bahasa Arab pernah alami. Maka, makalah sederhana ini mencoba membahas tentang konsep dan karakteristik manajemen bahasa Arab sebagai pintu masuk untuk melahirkan bahasan khusus dalam manajemen kurikulum bahasa Arab. melihat temanya, makalah ini pada prinsipnya terbagi atas dua pembahasan, pertama: membahas tentang konsep manajemen kurikulum yang meliputi pengertian manajemen kurikulum, ruang lingkup manajemen kurikulum, prinsip dan fungsi manajemen, kedua: membahas tentang karakteristik manajemen kurikulum bahasa Arab Muhaimin, Materi perkuliahan Manajemen Kurikulum Bahasa Arab, disampaikan pada 31 Maret 2011 3 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 1 2

2


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

PENGERTIAN MANAJEMEN KURIKULUM Sebelum mendiskrpsikan pengertian manajemen kurikulum kiranya perlu dipaparkan masing-masing pengertian manajemen dan kurikulum, dan penulis awali dengan diskripsi tentang pengertian kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Menurut Saylor, Alexander, dan Lewis (1974) kurikulum merupakan segala upaya sekolah untuk memengaruhi siswa agar dapat belajar, baik dalam ruangan kelas maupun di luar sekolah. Sementara itu, Harold B. Alberty (1965) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the students by the school). 4 Selanjutnya Oemar Hamalik memberikan pengertian, Kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan pleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi pelajar. Berdasarkan program pendidikan tersebut pelajar melakukan berbagai kegiatan belajar sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain dengan program kurikuler tersebut, lembaga pendidikan menyediakan lingkungan pendidikan bagi pelajar untuk berkembang. Itu sebabnya, kurikulum disusun sedemikian rupa yang memungkinkan pelajar melakukan beraneka ragam kegiatan belajar.5 Berdasar rumusan diatas, kegiatan-kegiatan kurikuler tidak terbatas dalam ruangan kelas, melainkan semua kegiatan yang bertujuan memberikan pengalaman pendidikan kepada anak didik tercakup dalam kurikulum, baik itu yang intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Setelah diskripsi tentang pengertian kurikulum, kiranya perlu mendiskripsikan pengertian manajemen. Dalam studi manajemen terdapat berbagai pandangan yang mencoba merumuskan definisi manajemen dengan titik tekan yang berbeda-beda. Salah satu rumusan operasional yang memungkinkan Dapat diajukan, bahwa "manajemen adalah suatu proses sosial yang berkenaan dengan keseluruhan usaha

4 5

Rusman, Manajemen, 3 Oemar hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), 10

3


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

manusia dengan bantuan manusia lain serta sumber-sumber lainnya, menggunakan metode yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. 6 Fungsi-fungsi yang berurutan dalam proses manajemen terdiri dari merencanakan, mengorganisasikan, menyusun staf (staffing), mengarahkan dan mengontrol.7 Bertitik tolak dari rumusan tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut, 1. Manajemen merupakan suatu proses social yang merupakan proses kerjasama antar dua atau lebih secra formal 2. Manajemen dilaksanakan dengan bantuan sumber-sumber, yakni sumber manusia, sumber material, sumber biaya, dan sumber informasi 3. Manajemen dilaksanakan dengan metode kerja tertentu yang efisien dan efektif, dari segi tenaga, dana waktu dan sebagainya 4. Manajemen mengacu ke pencapaian tujuan tertentu, yang telah ditentukan sebelumnya Jika ditilik lebih lanjut keempat karakteristik tersebut maka dapat dicari satu prinsip, bahwa faktor manusia merupakan kunci dari pada proses manajemen, yang melibatkan sumber-sumber yang digunakan, cara yang ditempuh, tujuan yang hendak dicapai dan kuncinya adalah faktor manusia itu sendiri.8 Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam pelaksanaannya, manajemen kurikulum harus dikembangkang sesuai dengan konteks Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikuum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP), oleh karena itu, otonomi yang

diberikan pada lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengelola kurikulum secara mandiri denga memprioritaskan kebutuhan dan ketercapian sasaran dalam visi dan misi lembaga pendidikan atau sekolah tidak mengabaikan kebijakan nasional yang telah ditetapkan.9

Ibid., 16 Ibid., 33 8 Ibidd, 16-17 9 Rusman, Manajemen, 3 6 7

4


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Keterlibatan masyarakat dalam manajemen kurikulum dimaksudkan agar dapat memahami, membantu, dan mengontrol implementasi kurikulum sehingga lembaga pendidikan atau sekolah selain dituntut kooperatif juga mampu mandiri dalam mengidentifikasi kebutuhan kurikulum, mendesain kurikulum, menentukan prioritas kurikulum, melaksanakan pembelajaran, menilai kurikulum, mengendalikan serta melaporkan sumber dan hasil kurikulum, baik kepada masyarakat maupun pada pemerintah.10 RUANG LINGKUP MANAJEMEN KURIKULUM Manajemen kurikulum merupakan bagian integral dari Kurikuum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Lingkup

manajemen kurikulum meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum. Pada tingkat satuan pendidikan kegiatan kurikulum lebih mengutamakan untuk merealisasikan dan merelevansikan antara kurikulum nasional (standar kompetensi/kompetensi dasar) dengan kebutuhan daerah dan kondisi sekolah yang bersangkutan, sehingga kurikulum tersebut merupakan kurikulum yang integritas dengan peserta didik maupun dengan lingkungan di mana sekolah itu berada.11 Dalam konteks makalah ini berarti yang dikehendaki dengan ruang lingkup manajemen kurikulum bahasa Arab adalah meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum bahasa Arab. Lahirnya Permenag Nomor 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam (PAI) Dan Bahasa Arab Di Madrasah patut untuk diapresiasi dan direspon positif, karena dengan lahirnya Permenag tersebut Madrasah mempunyai pedoman untuk pengembangan kurikulum Bahasa Arab. Toh meskipun ada sedikit kekurangan yang perlu untuk diperbaiki untuk kemajuan kurikulum PAI dan bahasa Arab, misalnya pada bab VIII tentang standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar PAI dan bahasa Arab untuk Madrasah Aliyah, bahasa Arab bukan masuk kategori materi PAI sedangkan bab IX tentang (SK) dan (KD) PAI dan bahasa Arab untuk Madrasah Aliyah program Keagamaan, bahasa masuk 10 11

Ibid., 3 Ibid., 4.

5


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

kategori materi PAI. Juga ketiadaan rumusan bentuk kata dan struktur kalimat yang menyertai SK dan KD pada MA program

bahasa terdapat plus-minus dalam

pengembangan kurikulum bahasa Arab di program. Selanjutnya terkait dengan kurikulum bahasa Arab pada Perguruan Tinggi diserahkan pada Perguruan Tinggi masing-masing, mengingat Perguruan Tinggi diberikan otonomi untuk mengelolanya, PRINSIP DAN FUNGSI MANAJEMEN KURIKULUM BAHASA ARAB Terdapat lima prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum, dan prinsip manajemen kurikulum bahasa Arab juga sebagaimana prinsip manajemen kurikulum secara umum, maka manajemen kurikulum bahasa Arab memiliki lima prinsip tersebut, yaitu: 1. Produktivitas, hasil yang akan diperoleh dalam kegiatan kurikulum merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam manajemen kurikulum. Pertimbangan bagaimana agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar sesuai dengan tujuan kurikulum harus menjadi sasaran dalam manajemen kurikulum. 2. Demokratisasi, pelaksanaan manajemen kurikulum harus berasaskan demokrasi yang menempatkan pengelola, pelaksana dan subjek didik pada posisi yang seharusnya dalam melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai tujuan kurikulum. 3. Kooperatif, untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam kegiatan manajemen kurikulum perlu adanya kerja sama yang positif dari berbagai pihak yang terlibat. 4. Efektivitas dan efisiensi, rangkaian kegiatan manajemen kurikulum harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk mencapai tujuan kurikulum sehingga kegiatan manajemen kurikulum tersebut memberikan hasil yang berguna dengan biaya, tenaga dan waktu yang relatif singkat 5. Mengarahkan visi, misi, dan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum, proses manajemen kurikulum harus dapat memperkuat dan mengarahkan visi, misi, dan tujuan kurikulum.12

12

Ibid., 4

6


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Selain prinsip-primsip tersebut juga perlu dipertimbangkan kebijakan pemerintah maupun Kementrian Pendidikan Nasional, seperti undang-undang sistim pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kurikulum pola nasional, kebijakan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah, kebijakan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP),

dalam

konteks

kurikulum

Bahasa

Arab

haruslah

mempertimbangkan juga kebijakan Kementrian Agama khususnya Permenag No. 2 tahun 2008. Dalam pendidikan perlu dilaksanakan manajemen kurikulum agar perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum berjalan lebih efektif, efisien dan optimal dalam memberdayakan berbagai sumber belajar, penglaman belajar, maupun komponen kurikulum. Ada beberapa fungsi dari manajemen kurikulum, dan fungsi manajemen bahasa Arab harus memiliki fungsi manajemen kurikulum secara umum yang diantaranya sebagai berikut: 1. Meningkatkan efisiensi pemanfatan sumber daya kurikulum, pemberdayaan sumber maupun komponen kurikulum dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang terencana dan efektif 2. Meningkatkan keadilan dan kesempatan paada siswa untuk mencapai hasil yang maksimal, kemampuan yang maksimal dapat dicapai peserta didik tidak hanya melalui kegiatan ekstra dan kokurikuler yang dikelola secara integritas dalam mencapai tujuan kurikulum. 3. Meningkatkan relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar peserta didik, kurikulum yang dikelola secara efektif dapat memberikan kesempatan dan hasil yang relevan dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar. 4. meningkatkan efektivitas kinerja guru maupun aktifitas siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengelolaan kurikulum yang profesional, efektif dan terpadu dapat memberikan motivasi pada kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam belajar. 5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar, proses pembelajaran selalu dipantau dalam rangka melihat konsistensi antara desain yang telah direncanakan dengan pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian, ketidak

7


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

sesuaian antara desain dengan implementasi dapat dihindarkan. Disamping itu, guru maupun siswa selalu termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran yang efektif dan efisien karena adanyya dukungan kondisi positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum. 6. Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membantu mengembangkan kurikulum, kurikulum yang dikelola secara profesional akan melibatkan masyarakat, khususnya dalam mengisi bahan ajar atau sumber belajar perlu disesuaikan dengan ciri khas dan kebutuhan pembangunan daerah.13 KARAKTERISTIK MANAJEMEN KURIKULUM BAHASA ARAB Perubahan sosial politik dan tatanan budaya di Indonesia akhrinya menuntut perubahan paradigma pendidikan nasional yang semula sentralisasi/peran pemerintah (govermental role) menjadi disentralisasi/peran masyarakat (community role).14 Ini terwujud dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Salah satu sub yang didisentralisasi adalah kurikulum. sebagaimana dalam dalam pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa "pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional". 15 Paradigma baru pendidikan tersebut berpengaruh terhadap tatanan manajemen kurikulum, khususnya pada kegiatan implementasi kurikulum. begitu juga manajemen kurikulum bahasa Arab, Secara garis besar beberapa kegiatan berkenaan dengan karakteristik manajemen kurikulum dapat dikemukakan sebagaimana berikut: 1. Mengelola perencanaan kurikulum Pemerintah pusat perlu merumuskan dan menetapkan kurikulum standar bersifat nasional (standar kompetensi dan kompetensi dasar) yang berfungsi sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan/sekolah. Berkaitan

dengan

hal

tersebut

pihak

daerah

maupun

sekolah

bertugas

mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan daerah atau sekolah yang bersangkutan. Oleh karena itu Ibid., 5 Ibid., 17 15 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, 12 13 14

8


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

perencanaan atau desain kurikulum baik berupa silabus maupun rencana pelaksanaan pembelajaran perlu dikembangkan secara spesifik, efektif, efisien, relevan dan komprehensif.16 Perencanaan tersebut tentu harus didukung oleh kesiapan daerah dan satuan pendidikan, sehingga standar tersebut bisa terrealasi, namun perlu diketahui bahwa standar yang yang ditentukan oleh pemerintah merupakan standar minimal, paling tidak satuan pendidikan mengembangkan standar tersebut sesuai dengan kebutuhan lokal, pemenuhan kebutuhan tersebut haruslah diawali dengan analisa kebutuhan, sehingga bisa diketahui tujuan perencanaan kurikulum. Selanjutnya tujuan tersebut dituangkan dalam indikator pencapaian. Hal ini selaras dengan bunyi Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (2) "Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik".17 Dalam konteks manajemen kurikulum Bahasa Arab, pemerintahh telah menetapkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) melalui Permenag No. 2 tahun 2008, namun satuan pendidikan haruslah mengembangkan SK & KD tersebut, satuan pendidikan dituntut untuk lebih cermat dalam mengelola perencanaan dan pengembangan kurikulum yang tertuang dalam silabus dan rencana pembelajaran, satuan pendidikan harus melakukan analisa kebutuhan dan menentukan tujuan, memang dalam Permenag telah tertuang tujuan pembelajaran bahasa Arab, namun itu masih sangat umum, dengan demikian kurikulum yang telah tersusun menjadi kurikulum yang bermakna dan tidak sia-sia, misalkan disebuah satuan pendidikan yang peserta didiknya membutuhkan kompetensi membaca untuk telaah teks-teks berbahasa Arab, maka satuan pendidikan tersebut harus menekankan pada penguasaan kompetensi membaca dengan tidak meninggalkan kompetensikompetensi kebahasaan yang lain. Perencanaan tersebut haruslah diawali oleh analisa kebutuhan (need assassment), apa yang dibutuhkan oleh peserta didik dan lingkungan bisa dituangkan dalam kurikulum, sehingga pembelajaran yang akan dilaksanakan menjadi pembelajaran yang bermakna sesuai dengan kebutuhan peserta didik, misal peserta didik 16 17

Rusman, Manajemen, 17-18 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, 12

9


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

membutuhkan materi untuk memahami al-Qur’an maka kurikulum bahasa Arab perlu memuat tentang materi- materi yang mendorong peserta didik pada penguasaan alat untuk memahami al-Qur’an. Perencanaan kurikulum bahasa Arab juga harus memperhatikan pendekatan pembelajaran bahasa Arab, menggunakan pendekatan strukturalis atau komunikatif, ini menjadi sangat penting karna pembelajaran bahasa Arab masih banyak didominasi pendekatan struturalis, pendekatan komunikatif kiranya perlu untuk lebih banyak digunakan mengingat fungsi dominan bahasa adalah sebagai alat komunikasi. 2. Mengelola implementasi kurikulum Implementasi kurikulum merupakan bentuk aktualisasi dari kurikulum yang telah direncanakan. Bentuk implementasi kurikulum adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru bersama siswa untuk mencapai tujuan kurikulum yang telah ditetapkan. Muara keberhasilan kurikulum secara aktual akan ditentukan oleh implementasi kurikulum di lapangan. Sering terjadi implementasi atau pelaksanaan kurikulum (pembelajaran) tidak sesuai dengan perencanaan kurikulum, sehingga mengakibatkan ketidaktercapaian tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan. 18 Hal ini sejalan dengan pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO seperti belajar berfikir (learning to think) belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together).19 oleh karena itu implementasi kurikulum harus dikelola secara profesional, efektif dan efisien yang mengacu pada lima pilar pendidikan tersebut dan konsisten dengan perencanaan kurikulum yang telah dikembangkan, sehingga ranah kognitif, efektif dan psikomotor yang tertuang dalam indikator dapat terwujud melalui pelaksanaan kurikulum tersebut. Implementasi kurikulum sangat erat kaitannya dengan tenaga pendidik, maka tenaga pendidik tersebut harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk

18 19

Rusman, Manajemen, 18 Qodri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang:Aneka Ilmu, 2002), 29

10


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mewujudkan tujuan pendidikan nasional,20 sebagiamana dijelaskan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pelaksanaan kurikulum tidak hanya tergantung pada kemampuan pendidik, pendidik mungkin mengalami kesulitan dalam prosedur pelaksanaannya, dan mungkin juga ada yang merasa mendapat hambatan berkenaan dengan dimensi tertentu pada kemampuan profesionalnya. Dalam situasi ini, maka pendidik membutuhkan bantuan, bimbingan, arahan, dorongan kerja, bahkan nasihat dan petunjuk yang berguna baginya dalam upaya pelaksanaan kurikulum, maka diperlukan semacam supervisi pelaksanaan kurikulum.21 Kita tidak menutup mata tatakala KTSP diberlakukan masih kita dapati beberapa satuan pendidikan yang belum siap untuk melaksanakan baik terkendala pada sumber daya manusia atau yang lainnya, sebagian kecil dari satuan pendidikan ada yang beranggapan bahwa ia sudah untung bisa melaksanakan kegiatan pembelajaran. Kita masih banyak temukan kekurangan dalam pengelolaan implementasi kurikulum bahasa Arab di beberapa sekolah baik dasar maupun menengah, sebagian sekolah memiliki tenaga pengajar yang tidak kualified, ada juga yang hanya berdasar pada sebuah kitab dengan tidak dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sehingga pelaksanaannya menjadi tidak bermakna, hanya untuk mengejar materi ajar dan untuk kepentingan ujian semata, ini kuranglah bagus karena pembelajaran yang seperti kurang bermakna, selesai ujian materi tersebut tidak lagi berguna. 3. Mengelola pelaksanaan evaluasi kurikulum Evaluasi kurikulum secara legal formal tertuang dalam pasal 57 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional sebagai dasar pelaksanaan evaluasi kurikulum, isi pasal 57 ayat (1) berbunyi "evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan", selanjutnya ayat (2) menyebutkan "Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan

20 21

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat (1) Oemar, Manajemen, 170

11


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan".22 Kegiatan evaluasi harus dilakukan secara sistemik, sistematis dan komprehensif yang mengacu pada visi, misi dan tujuan kurikulum.pengendalian mutu (quality control) hasil pelaksanaan kurikulum dapat ditentukan oleh kegiatan evaluasi kurikulum maupun pembelajaran. Kegiatan merumuskan kisi-kisi, instrumen dan melaksanakan evaluasi kurikulum dan pembelajaran harus dikelola secara profesional. Salah satu pengaruh dari otonomi sekolah yang terkait dengan evaluasi pembelajaran diantaranya guru perlu merumuskan kisi-kisi, membuat instrumen dan melaksanakan evaluasi kurikulum serta pembelajaran, oleh karena itu, setiap guru harus memiliki kemampuan dalam melakukan evaluasi kurikulum daan pembelajaran secara tepat dan benar.23 Pengelolaan evaluasi kurikulum bahasa Arab secara berkala, namun yang kita dapati masih banyak satuan pendidikan tidak melakukan pengelolaan evaluasi kurikulum bahasa Arab, sehingga tidak pernah mendapati kelemahan dan kekurangan kurikulum bahasa Arab yang selama ini dilaksanakan, ini sangat ironi di kala pembelajaran bahasa Arab selalu dinamis seiring dengan dinamisasi dunia pembelajaran dan kebahasa Araban. 4. Mengelola perumusan kriteria ketuntasan kurikulum Kriteria ketuntasan kurikulum harus dipahami betul oleh pengelola satuan pendidikan husunya pendidik sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menganbil suatu keputusan yang keliru. Kegiatan ini harus mempertimbangkan kompleksitas, daya dukung dan intake yang dimiliki satuan pendidikan. Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut perolehan hasil belajar ssecara tuntaas (mastery learning), oleh karena itu, penetapan kriteria ketuntasan perlu dilakukan secara tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Mengelola pengembangan bahan ajar, media pembelajaran dan sumber belajar Bahan yang dipelajari siswa sebaiknya tidak hanya berdasarkan pada buku teks pelajaran, melainkan perlu menggunakan dan mengembangkan berbagai bahan ajar 22 23

Rusman, Manajemen, 18 Ibid., 18-19

12


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

melalui media dan sumber belajar yang sesuai dengan topik bahasan. Demikian pula, keterlibatan masyarakat sekelilingnya (community based experiental learning) harus mulai dikembangkan secara strategis supaya menghasilkan kemampuan siswa yang terintegrasi dengan lingkungan.24 Bahan ajar yang digunakan juga harus memperhatikan tujuan pembelajaran, sehingga pendekatan dalam pembelajarannya dapat relevan dengan tujuan, apabila tujuan pembelajarannya diperuntukkan agar siswa mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab, maka bahan ajar diupayakan memuat materi yang mendukungnya, begitu juga jika pembelajarannya diperuntukkan agar siswa mengenal struktur-struktur bahasa Arab, maka bahan ajarnya memuat materi yang mendukungnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat tentunya merupakan tantangan sekaligus peluang bagi para pendidik dan peserta didik dalam memanfaatkan (by utilization) dan mengembangkan (by design) ICT sebagai mediapembelajaran

dan

sumber

belajar

yang

efektif

dan

efisien

untuk

mengoptimalkan kegiatan pembelajaran. Kita dapat merancang dan memanfaatkan ICT, seperti internet dengan e-learning, e-book, m-learning, e-education dan lain-lain, kemudian memanfaatkan media dan sumber belajar, seperti media audio, TV, video, dan lain sebagianya. 6. Mengelola pengembangan ekstrakurikuler dan kokurikuler Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan siswa sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat (interest) mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan ddan berkewenangan di sekolah atau madrasah.25 Keberhasilan suatu kurikulum akan optimal apabila didukung oleh kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler yang dikelola secara efektif dan profesional. Kegiatan ini sering terabaikan karena pihak sekolah merasa bahwa kegiatan ini bukan prioritas utama program satuan pendidikan. Padahal hasil kegiatan ini dapat lebih mengoptimalkan kemampuan peserta didik dan dapat mengembangkan kemampuan 24 25

Ibid., 19 Ibid., 20

13


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mereka sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, kegiatan ini perlu dikelola secara komprehensif dan terpadu dengan kegiatan intra kurikuler.26 Dalam konteks kurikulum bahasa Arab, misalnya untuk mengasah kecakapan peserta didik yang mempunyai bakat tulis menulis maka diakomadasi dalam kegiatan ekstrakurikuler tertentu, untuk yang mempunyai bakat terjemah maka diakomadasi dalam kegiatan ekstra kurikuler tertentu. Adapun kegiatan kokurikuler dilakukan untuk peserta didik berdasarkan analisa hasil evaluasi, seperti remidial dan pengayaan, dalam

rangka

memaksimalkan

kemampuan

peserta

didik

berdasarkan

kemampuannya. Secara umum manajemen kurikulum bahasa Arab harus juga harus memperhatikan dua hal, yaitu Karakteristik Bahasa dan Karakteristik Bahasa Arab. Diantar karakteristik bahasa yang harus diperhatikan adalah bahwa bahasa itu adalah: 1. Fenomena sosial, dalam artian bahwa manusialah yang berbahasa sedangkan hewan tidak, bahasa jugalah yang membedakan manusia dengan hewan, Bahasa merupakan kebutuhan pokok manusia untuk mengekspresikan gagasan dan sebagi alat komunikasi antar sesama27 2. Ujaran (ucapan), Bahasa pada mulanya lahir dalam bentuk ujaran yang kemudian disusul oleh bahsa tulis.28 3. Simbol, simbol mengacu pada sebuah obyek yang mempunyai, simbol bisa terbuat dari ujaran atau tulisan.29 4. Sistem, sistem berarti bahwa sesuatu terdiri atas unsur yang teratur yang saling berhubungan secara baik.pada bahasa aturan ini bisa terlihat dalam dua hal yaitu sistem bunyi dan sistem makna.30 5. Alat komunikasi, fungsi bahasa yang paling menonjol adalah sebagai alat komunikasi dan media untuk mengekspresikan gagasan dan fikiran.31 6. Kebudayaan, bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat, karena bahasa menghubungkan sutu kebudayaan dengan generasinya dan bahasa sebagai alat untuk memindahkan suatu kebudayaan pada generasi selanjutnya.32 Ibid., 20 Acep, Metodologi, 14 28 Ibid, 12 29 Terjemah dari Thuruq Tadris al-lughat al-Arabiyyah, Zakariyah Ibrahim, (Dar al-Ma'rifah al-Jami'iyyah) 25 30 Acep, Metodologi, 20 31 Ibid.,14 26 27

14


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Disamping karakteristik bahasa, manajemen kurikulum bahasa Arab juga harus memperhatikan karakteristik bahasa Arab, dimana karakteristik inilahh yang membedakan antar bahasa Arab dengan bahasa lainnya, yaitu: 1. Bahasa Isytiqaq, dalam artian bahwa kata dalam bahasa bahasa Arab sebagian mengambil dari kata yang lain dengan menjaga kesesuaian makna, misal kitab (yang bermakna kitab/buku) dari kataba (yang bermakna menulis) dan lain sebagainya.33 2. Bahasa yang kaya dengan suara, sesungguhnya bahasa Arab yang memilik dua puluh delapan huruf bukan merupakan bahasa yang paling banyak memiliki huruf, akan tetapi huruf-huruf bahasa Arab memiliki tempat keluar suara (makharij shauthiyyah) yang banyak.34 3. Keberadaan I'rab, sebenarnya bukan bahasa Arab yang mempunyai I'rab (perubahan bacaan akhir kalimat), akan tetapi bahasa Arab mengandung banyak I'rab yang berhubungan dengan makna. 4. Huruf-huruf bahasa Arab berharakat 5. Adanya Tasydid, yaitu mengumpulkan dua huruf yang sejenis dalam satu huruf 6. Tanwin, yaitu suara nun yang berada di akhir kalimat hanya dalam ucapan bukan pada tulisan 7. Suara huruf hanya dalam ucapan bukan dalam tulisan, seperti suara alif setelah hamzah pada kata ‫هذا‬. 8. Huruf hanya dalam tulisan tapi tidak dalam ucapan, sebagaimanaalif dalam kata

‫سمعوا‬.35 KESIMPULAN Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan:

Terjemah dari al-Usus al-Mu'jamiyah wa al-Tsaqafiyyah li Ta'lim al-Lughat al-Arabiyyah li ghair Nathiqin biha, Rusydy Ahmat Thu'aimah, (Makkah:Jami'ah Um al-Qura), 24 33 Ibid 18 34 Terjemah dari al-Taujih fi Tadris al-Lughah al-Arabiyyah, Mahmud Ali al-Siman, (Qahirah: Dar alMa'rifat) 19 35 Terjemah dari Ta'lim al-Lughah al-Arabiyyah li Ghair Nathiqin biha: Manahijuh wa Asalibuh, Rusydy Ahmad Thu'aimah , 37-39 32

15


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

1. Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. 2. Dalam melaksanakan manajemen kurikulum harus memperhatikan prinsip dan fungsi manajemen kurikulum. 3. Karakteristik manajemen kurikulum

bahasa Arab meliputi mengelola

perencanaan bahasa Arab, mengelola implementasi kurikulum bahasa Arab, mengelola pelaksanaan kurikulum bahasa Arab, Mengelola perumusan kriteria ketuntasan kurikulum, Mengelola pengembangan bahan ajar, media pembelajaran dan sumber belajar, Mengelola pengembangan ekstrakurikuler dan kokurikuler. 4. Pelaksanaan manajemen kurikulum bahasa Arab juga harus memperhatikan karakteristik bahasa dan karakteristik bahasa Arab.

16


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR PUSTAKA

Al-Siman, Mahmud Ali, al-Taujih fi Tadris al-Lughah al-Arabiyyah, (Qahirah: Dar alMa'rifat) Azizy, Qodri, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002) Hamalik, Oemar , Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010) Hermawan, Acep, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011) Ibrahim, Zakariyah, Thuruq Tadris al-lughat al-Arabiyyah, (Dar al-Ma'rifah al-Jami'iyyah) Peraturan Pemerintah RI. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Permenag RI. Nomor 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Arab Di Madrasah Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarta:PT. Rajagrafindo, 2009) Thu'aimah, Rusydy Ahmad, al-Usus al-Mu'jamiyah wa al-Tsaqafiyyah li Ta'lim al-Lughat al-Arabiyyah li ghair Nathiqin biha, (Makkah:Jami'ah Um al-Qura) ___________, Ta'lim al-Lughah al-Arabiyyah li Ghair Nathiqin biha: Manahijuh wa Asalibuh Undang-undang RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas

17


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

COUNTEXTUAL LEARNING

“Catatan Terhadap Pembelajaran Agama Yang Memahamkan� Oleh : Saeful Anam

Abstrak: Salah satu poin penting dalam sebuah pembelajaran tidak lain ialah bagaimana bisa mengenalkan pembelajaran yang memahamkan peserta didik sekaligus menarik?, baik dalam isi materi ataupun pembawaannya. Karena pembelajaran yang sulit dicerna oleh peserta didik ialah pembelajaran yang monoton yang tidak bisa mengindahkan sebuah media dan atau teknik pembelajaran, oleh karenanya pada pembelajaran kontekstual yang ditekannkan ialah siswa bisa memahami materi dengan cara mengaitkan kehidupan nyata. Sebagai catatan bahwa PBM (Proses Belajar Mengajar) dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual dengan melaksanakan beberapa langkah diantaranya ialah Konstruktivisme, Bertanya, Inkuiri, Masyarakat belajar, Modelling, Refleksi, dan Penilaian nyata. Dengan ketujuh langkah tersebut pendidik bisa memberikan pembelajaran yang nyata yang diawali dengan membangun sebuah pemikiran sebagai dasar pengembangan selanjutnya. Kata kunci: Pembelajaran Kontekstual A. Pendahuluan Secara empiris berbicara mengenai PBM (Proses Belajar Mengajar) di sekolah seringkali membuat kita merasa kecewa, apalagi hal ini dikaitkan dengan pemahaman peserta didik terhadap materi ajar, mengapa demikian?. Jika kita analisa lebih dalam maka kita akan menemukan beberapa keganjalan, diantaranya ialah; 1) Banyak siswa mampu

menyajikan tingkat

hapalan

yang

baik terhadap

materi ajar yang

diterimanya, akan tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya,36 2) Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan, 3) Sebagian besar siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik hal ini

36 Penghafalan tersebut hanya berhenti dalam memori otak (kognitif) tanpa ada pengaplikasianya dalam kehidupan sehingga tidak heran sering kali siswa akan merasa lupa jika ada pembelajaran yang sama.

18


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

disebabkan karena mereka diajarkan dengan menggunakan sesuatu yang abstrak atau ceramah saja.37 Dari gambaran fenomena tersebut sudah membuktikan bahwa pembelajaran di sekolah memungkinkan tidak terjadinya pemahaman yang riil atas materi yang disampaikan, sehingga wajar jika dalam kesehariannya peserta didik kerap kali masih melakukan penyimpangan norma seperti tidak berbakti kepada orang tua, mencuri, tawuran dan lain sebagainya. Selanjutnya rentetan pertanyaan muncul sebagai penyedap rasa atas permasalahan tersebut diantaranya; Bagaimana menemukan cara terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan dalam mata pelajaran tertentu, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama?. Bagaimana membangun setiap individu mampu memahami bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh ?. Bagaimana seorang pendidik “guru” dapat berkomunikasi secara efektif dengan peserta didiknya? dan Bagaimana pendidik dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari peserta didik, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkait-kannya dengan kehidupan nyata?. Kalau kita membandingkan proses pembelajaran negeri ini dengan pembelajaran di negara lain maka perbedaan yang tampak ialah model pembelajaran yang digunakan. Semisal; Amerika yang dikenal sebagai kemajuan teknologi adidayanya telah mengembangkan model pembelajaran yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL),38 kemudian negara kincir angin “Belanda” telah mengembangkan model pembelajaran yang disebut dengan Realistic Mathematics Education (RME).39 Dari model pembelajaran itulah bangsa-bangsa tersebut bisa berkembang dan maju dalam kualitas pendidikannya, lantas bagaimana dengan Indonesia sendiri, yang terspesifikan pada Pendidikan Agama Islam (PAI)?, sejauh 37 Departemen Pendidikan Nasional, “Pembelajaran Berbasis Kontekstual I” (Makalah Sosialisasi KTSP, 2006), 6-7 38 Inti dari pembelajaran ini ialah membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Lihat Depdiknas dalam Resna Yunanti, Aplikasi Pembelajaran Kontekstual pada Bidang Studi Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa SDN Ketawanggede 1 Malang. (Malang: UIN Malang, 2006), 12 39 Pembelajaran ini menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Ibid,12

19


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mana

pembelajaran

kontekstual

berjalan

dan

diberlakukan

dalam

setiap

pembelajaran?. Lewat tulisan ini penulis mengajak untuk mengenal dan memberlakukan model pembelajaran kontektual dalam segala materi, terkhususkan Pendidikan Agama Islam, tujuannya tidak lain ialah sebagai alat untuk memudahkan pemahaman secara riil terhadap peserta didik.40 Karena belajar akan lebih bermakna jika anak bisa mengaitkan dan sekaligus mengalami tentang apa yang dipelajarinya dan bukan hanya mengetahuinya.41 B. Pengertian Pembelajaran Kontekstual Sesuai dengan arti yang telah disebutkan di atas pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Dalam Kasihani dinyatakan bahwa pembelajaran kontekstual memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat dan nantinya sebagai tenaga kerja.42 Maka dengan konsep seperti itu, kita bisa mengetahui bahwa hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan yang semata-mata dilakukan oleh guru “aktif� kepada peserta didik “pasif�. Dalam arti yang sama pula diungkapan oleh Berns dan Erickson tentang Contekstual Teaching and learning yang intinya ialah: Contekstual Teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates students to make connections between knowledge and it applications to their lives as family members, citizens, and workes and engage in the hard work that learning requires.43 40

Sebagai catatan penting bahwa sebelum penulis menjabarkan lebih luas, perlu untuk diketahui bahwa dalam penulisan ini penulis tidak menitik beratkan terhadap konsep pembelajaran kontekstual melainkan lebih terhadap implimentasinya terhadap pembelajaran yang sebenarnya tentang bagaimana pembelajaran kontekstual ini benar-benar diterapkan. 41 Lihat dalam Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2010), 87 42 Kasihani, dkk. Pembelajaran Berbasis CTL. (Makalah Disampaikan pada Sarasehan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, 2003), 4 43 R. G. Berns and P. M. Erickson, Contekstual Teaching and learning the highlight zone: Research @ Work No 5. (Online). Tersedia: http:www.nccte.org/ publications/infosynthesis/ highlightzone/ highlight05/index.asp. (diakses tanggal 11 Mei 2012).

20


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Dari kedua arti di atas jelas bahwasanya pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang penting untuk diberlakukan dalam pembelajaran kelas. Selain kedua pengertian di atas penulis akan jabarkan beberapa arti pembelajaran kontekstual menurut beberapa ahli diantaranya: a. Johnson dalam Nurhadi44 mengatakan bahwa : CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya.45 b. US Departement of Education dalam Kasihani: Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata pelajarannya dengan situasi nyata dan memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat di mana dia hidup.46 c. The Washington dalam Nurhadi: Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata.47 d. Hull’s dan Saunders dalam Kokom Komalasari menjelasakan: In a Contextual teaching and learning (CTL), student discoveri meaningful relationship between abstract ideas and practical applications in a real world context. Student internalize concept thougt discovery, reinvorment and interralationship. CTL creates a team, whether in the classroom, lab, worksite or on yhe bank of a river.

44

Nurhadi, dkk. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2002), 12 45 Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL menuntun siswa melalui delapan komponen utama diantaranya: 1)melakukan hubungan yang bermakna, 2)mengerjakan pekerjaan yang berarti, 3)mengatur cara belajar sendiri, 4)bekerja sama, 5)berfikir kritis dan kreatif, 6)memelihara atau merawat pribadi siswa, 7)mencapai standar yang tinggi, dan 8)menggunakan asesmen autentik. Lihat dalam Elaine, B. Johbshon, Contekstual Teaching And Learning, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), 61 46 Kasihani, dkk. Pembelajaran Berbasis CTL. 2 47 Nurhadi, dkk. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK.12

21


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

CTL encourages educator to design learning environments that incorporate many form of experience to achieve the desired outcomes. 48 Berdasarkan defini-defini di atas dapat disimpulkan bahwa pembalajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata peserta didik, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya. Dan juga perlu diingat bahwa pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai macam konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pola kelompok belajar yang bebas. Maka sangat tepat jika pembelajaran kontekstual dikenal juga dengan experiental learning, real world education, active learning, dan learned centered instruction. 49 C. Latar Belakang Lahirnya Pembelajaran Kontekstual Akar dari pembelajaran kontekstual ini ialah filsafat modern John Dewey (1859-1952), yang pada tahun 1916 John Dewey di Amerika Serikat mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat peserta didik,50 hal ini dilatar belakangi oleh pandangan teori progressivism atas pendidikan, dalam pandangannya itu John Dewey menerapkan praktik, pada caracara aktual dimana seseorang belajar dengan mengerjakannya bukan hanya dengan mendengar dan membaca tanpa ada parktik (efford).51 Lebih lanjut lagi John Dewey menekankan pentingnya sudut pandang yang besar dan fleksibel. Ia menekankan keterlibatan, pemecahan masalah, praktik dan pengalaman yaitu sebagai sebuah pengalaman belajar yang menyenangkan di atas segalanya. 52

48

Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi, (Bandung: Aditama, 2010), 6 49 Lihat dalam Agus Suprijono, Cooperative Learning; Teori dan Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 80 50 Suparno, “Pembelajaran Berbasis CTL� (Makalah Disampaikan pada Sarasehan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang). 2003, 2 51 Robbert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, (Jogjakarta: Benta Budaya, 2003), 471 52 Ibid, 472-473

22


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Disebutkan

dalam

bukunya

Nurhadi

bahwa

Inti

dari

pandangan

progressivism dalam pendidikan ialah siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Pokok pandangan tersebut adalah antara lain: a.

Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksikan sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.

b.

Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.53

c.

Penumbuh minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.

d.

Guru sebagai pembimbing dan peneliti.

e.

Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.

f.

Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen 54 Selain teori di atas, teori psikologi kognitif melatarbelakangi pula

pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri (inquiry).55 Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.56 Kemudian berpijak pada dua pandangan itu, filsafat konstruktivisme sebagai landasan filosofis pembelajaran kontekstual. Dasarnya kita bisa mengetahui bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dibangun oleh siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit dan siswa yang mengkonstruksikan sendiri

53

Sebagai catatan dan analisa yang penting dalam poin ini ialah kebebasan yang tidak secara mutlak diberikan kepada peserta didik untuk bertindak, akan tetapi ada bimbingan yang terarah dari pendidik kepada peserta didik. 54 Nurhadi, dkk. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK.8 55 Kognitif dalam kaitannya ini ialah pengolahan daya intelektual, dalam psikologi teori kognitif dikembangkan oleh Gestal, Jean Piaget, Edward Chace Tolman dan Albert Bandula, sedangkan John Dewey sendiri dalam penjelasan menggenai kognitif ini mengkaitkan dengan proses berfikir sebagaimana ungkapan dan penjelasannya yang menyatakan “Thinking is the method of intelligent learning, of learning that employs and rewards mind� lihat dalam Philip CAM, Philosopical Reflection of Educator, (Singapure: Cengage Learning Asia Pte Ltd,2008), 32 56 Nurhadi, dkk. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK.8-9

23


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

pengetahuannya.57 Melalui landasan filosofi konstruktivisme, Contextual Teaching and Learning ‘dipromosikan’ menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi Contextual Teaching and Learning siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’, bukan ‘menghafal’ semata, dengan begitu proses pembelajaran akan berjalan dengan nyaman dan menyenangkan. D. Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual Dalam bukunya Nurhadi58 yang juga disebutkan dalam literatur-literatur lain menyatakan bahwa untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini: a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (depelopmentally appropriate) siswa. b. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups). c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning). d. Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students). e. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences) siswa. f. Menggunakan

teknik-teknik

bertanya

(Questioning)

untuk

meningkatkan

pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berfikir tingkat tinggi. g. Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment).59 E. Strategi Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan secara fleksibel dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam pembelajaran kontekstual siswa ditempatkan di dalam konteks bermakna yang menghubungkan 57

Ibid, 9 lihat pula dalam Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi, 16 58 Ibid 20-21 59 Sebagai catatan penting dalam pembahasan prinsip pembelajaran kontekstual ini adalah kesetaraan pendidik dan peserta didik, sebagai pendidik sepatutnya mampu untuk memosisikan dirinya sebagai pembimbing yang baik dalam proses pembelajaran sehingga memungkinkan terjadnya proses elaborasi terhadap prinsip dan konsep yang dipelajari untuk membangun pengetahuan baru yang bermakna. Dengan memahami poin A-G sebagai prinsip pembelajaran kontekstual pendidik mempunyai batasan dalam menjalankan pembelajaran di kelas.

24


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Sehubungan dengan itu menurut Bern dan Erickson dalam Komalasari60 pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut: a. Belajar berbasis masalah (problem based learning)61 yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis 62 dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. b. Pengajaran autentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang menekankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam kehidupan nyata.63 c. Belajar berbasis inquiri (inquiry based learning), yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains yang menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.64

60

Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi, 23-24 Dalam kaitannya ini model pembelajaran berbasis masalah meliputi: 1) Problem Based Introduction (PBI), yaitu seorang pendidik menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan dan dialog untuk membantu siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut. 2) Debat salah satu sebagai ciri khas pembelajaran kontektual dengan tujuan meningkatkan kemampuan akademik peserta didik. 3) Controversial Issus yakni pemberian isu kontroversial untuk diperbincangkan, poin ini hampir sama dengan debat akan tetapi yang membedakannya ialah pada langkah-langkahnya, disebutkan dalam Komalasari langkah Controversial Issus adanya penyelidikan (Inkuiri) melalui telaah buku atau informasi lain, kemudian menghadirkan nara sumber untuk ikut dalam perbincangan. 4) Example Non-Examples yakni membelajarkan kepekaan peserta didik terhadap masalah yang ada di sekitar melalui analisa contoh berupa gambar, foto, rekaman suara, ataupun vidio. Ibid 58-62 62 Dalam penjelasan mengenai masalah ini penulis mengajak pembaca untuk flashback dan mengingat lagi opini John Dewey dalam bukunya Democracy and Education, ia menyatakan bahwa sekolah harus mengajarkan cara berfikir yang benar pada anak-anak. Lihat dalam John Dewey, Democracy and Education; on Intruduction to the Philodophy of Education (London: The free Press, 1966), 152. Hal ini tersinggung pula dalam tulisannya Phillip CAM yang mengupas tentang Dewey dalam buku tersebut dinyatakan berfikir ialah metode belajar cerdas dengan melibatkan anak sebagai pengembang atas pemikirannya. Lihat dalam Philip CAM, Philosopical Reflection of Educator, 31. 63 Depdiknas dalam Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi, 24 64 Departemen Pendidikan Nasional, “Pembelajaran Berbasis Kontekstual II� (Makalah Sosialisasi KTSP, 2006), 26 dalam hal ini Inkuri menjadi subpoin tersendiri akan tetapi dalam literatur lain inkuiri masuk dalam subpoin pembelajaran berbasis proyek. lihat dalam Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi, 73-75. Dan sesuai dengan penjelasan di atas inkuri mempunyai 5 komponen dalam penerapannya diantaranya; Question, Student engagment, cooperative interaction, performance evaluation, Varity of Resources. 61

25


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

d. Belajar berbasis proyek atau tugas terstruktur (project based learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar peserta didik didesain agar mereka dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran.65 e. Belajar berbasis kerja (work based learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja.66 f. Belajar jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut.67 g. Belajar kooperatif (cooperative learning) yakni belajar yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.68 65

Pada pembelajaran berbasis proyek ini meliputi; 1) Pembelajaran portofolio, pembelajaran yang didesign dengan mengumpulkan pengalamanbelajar peserta didik muliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, 2) Inkuiri. 3) Group Investigation metode ini relatif sulit untuk dilaksanakan karena peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi akan tetapi jika ada bimbingan yang penuh siswa akan berkembang dengan lebih baik. Metode ini meliputi; seleksi topik, merencanakan kerja sama, implementasi, analisis dan sintesis, penyajian haasil akhir, evaluasi. 4) Karyawisata, pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk mengkunjungi suatu obyek untuk menambah wawasan mereka. Lihat dalam Pupuh Fathurrohman dan M. Sobri Sutikno, Strategi Belajar Mengajar; Melalui Penanaman Konsep Umum Dan Konsep Islami, (Bandung: Refika Aditama, 2007), 62. Sedangkan dalam Darajat secara simple metode berbasis proyek terlaksanakan atas adanya masalah, hipotesis, mengumpukan data dan kesimpulan. Lihat Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 310 66 Dalam pembelajaran ini meliputi; 1) Role playing yakni penguasaan atas bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa dengan cara peserta didik memerankan tokoh hidup atau benda mati. 2) mendatangjan model pekerja ke kelas. 3) Study lapangan kerja. 4) aktifitas ektrakulikuler dan pengembangan diri. Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi, 80-84 67 Pendekatan ini bagi penulis lebih cocok diterapkan dalam sekolah kejuruan, akan tetapi non kejuruan pun bisa menerapkannya, dalam materi PAI service learning bisa dikaitkan dengan materi PAI seperti LBIH (lembaga Bimbingan Ibadah Haji) yang secara riil peserta didik tahu bagaimana tata cara ibadah haji dan bagaimana menejemen mendirikan dan mengembangan LBIH. 68 Pada pembelajaran ini meliputi; 1) Number Heads Together (kepala bernomor) dari Spencer Kagan (1992) yakni sebuah pembelajaran yang mana peserta didik diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok setelah itu secara acak pendidik memanggil nomor dari siswa, sistemnya ialah dalam satu kelompok diberi tugas untuk didiskusikan dan kemudian melaporkan di depan kelas. 2) Cooperative Script (skrip kooperatif) dari Densereau (1985) model pembelajaran ini bekerja dengan berpasang –pasang kemudian secara lisan mengiktisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari. 3) Student Team Achievement Devisions (STAD) (tim siswa kelompok prestasi) dari Salvin (1995) pembelajaran ini mengelompokkan secara hiterogen, kemudian siswa

26


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

h. Pembelajaran konsep (Concept Learning) yakni pembelajaran yang memberi pemahaman kepada peserta didik untuk memahami konsep secara aktif, efektif, kreatif, interaktif dan menyenangkan baginya, sehingga konsep tersebut mudah dipahami dan bertahan lama dalam otak peserta didik (kognitif). Cara pendekatan ini meliputi: 1) Scramble69 yaitu suatu pembelajaran yang mengajak kepada peserta didik untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dengan menyusun atau merangkai huruf yang terpisah sehingga membentuk suatu konsep atau jawaban. 2) make-a match (mencari pasangan) yakni pembelajaran yang mengajak siswa mencari jawaban atas pertanyaan dengan cara memasangkan pasangan materi.70 3) Broken triangle / square / herat (pecahan segitiga / bujursangkar / hati) pada yang dipandang cakap menjelaskan pada anggotanya sampai angotanya mengerti. 4) Think Pair and Sahre (frank Lyman, 1985) pada metode ini ada tiga bagian yakni Think (berfikir) dalam kaitannya ini pendidik mengajukan sebuah pertanyaan atau masalah dan kemudian peserta didik berfikir atas jawaban tersebut, diteruskan pairing (berpasang) pendidik meminta siswa untuk berpasang dan mendiskusikan apa yang telah mereka pikirkan, setelah itu share (berbagi) yakni pendidik meminta pada setiap pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan teman kelas tentang apa yang telah mereka dapatkan dan kemudian hasil tersebut dilaporkan kepada pendidik. 5) Jingsaw (model Tim ahli) dari Aranson dkk, (1978) pada dasarnya dalam pembelajaran ini ialah pembagian kelompok kecil dalam keahlian yang dimilikinya sesuai dengan penugasan dari pendidik, kemudian dari masing masing anggota menyebar untuk bergabung dengan anggota lain sebagai pembawa informasi tentang keahlian yang dimiliki mengenai materi yang diberikan pendidik dan pendidik dalam hal ini sebagai evaluasi di pengujung pembelajran. 6) Snowball Throwing (melempar bola salju) yaiti sebuah pembelajaran yang bertujuan menggali potensi kepemimpinan peserta didik dalam sebuah kelompok dan ketrampilan membuat jawaban pertanyaan yang dipadukan dengan permainan yang imajinatifyaitu membentuk dan melempar bola salju. 7) Team Games Tournament (TGT) yakni sebuah tipe pembelajaran yang mudah untuk diterapkan yang melibatkan seluruh aktifitas siswa untuk andil dalam pembelajaran tersebut. Pembelajaran ini terperinci atas; penyajian kelas, kelompok (tim), Gmae, Turnamen, team recognize (penghargaan kelompok). 8) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), (kooperatif terpadu membaca dan menulis) yakni pembelajaran untuk melatih peserta didik secara terpadu dengan membaca dan menemukan sebuah ide untuk menanggapi permasalahan dalam wacan yang diberikan oleh pendidik. 9) Dua tinggal dua Tamu (Two stay Two Stray) yakni pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil pembahasannya kepada kelompok lain dengan 2 orang, kelompok harus terdiri dari 4 orang (Dua tinggal dua Tamu). Ibid 62-69 69 Scramble mempunyai arti perebutan atau perjuangan, maka dalam kaitan pembelajaran konsep ini penulis bisa mengilustrasikan bahwa perebutan atau perjuangan atas suatu konsep yang tersusun acak dan untuk disusun menjadi sebuah konsep yang bermakna. Lihat dalam John M. Echol, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), 505 70 Dalam Suprijono dijelaskan langkah-langkah pembelajaran ini diantaranya ialah 1) guru membagikan kartu yang masing telah terisi pertanyaan dan jawaban, 2) membuat 3 kelompok dalam 1 kelas dengan membagikan kelompok satu pertanyaan kelompok dua jawaban dan ketiga sebagai penilai, 4) atur kelompok tersebut saling berhadapan dan kelomok sebagai penilai ditengahnya sehingga berbentuk U, 5) pencarian pasangan dan disusul dengan pendiskusian atas masing-masing pasangan tersebut, 6) hasil pencocokan pertanyaan dan jawaban diserahkan ke penilai dan kemudian penilai bergantian dalam memainkan posisi (rolling), lihat dalam Agus Suprijono, Cooperative Learning; Teori dan Aplikasi PAIKEM, 96

27


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

pembelajaran ini pendidik menyiapkan masing-masing bentuk bangun dengan bentuk yang bisa dipisah kemudian setiap pecahan diberi bagian konsep yang jika dirankai menjadi sebuah bangun akan membentuk suatu konsep materi. 71 Dengan penekanan di atas, siswa belajar benar-benar diawali dengan pengetahuan, pengalaman, dan konteks keseharian di kelas dan selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian mereka. F. Tujuh Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Menurut Suprijono72 ketujuh komponen utama itu adalah: a. Konstruktivisme (Constructivism) yakni suatu landasan berfikir yang dibangun melalui proses asimilasi dan akomodasi serta penekanan pemahaman atas pola dari pengetahuan.73 b. Bertanya (Questioning) yang merupakan induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran. Karena bertanya bisa merangsang siswa berfikir, berdiskusi dan berspekulasi. c. Menemukan (Inquiry) yang pada dasarnya adalah suatu ide yang kompleks, yang berarti banyak hal, dalam kaitannya ini inkuiri menekankan bahwa mempelajari sesuatu itu dapat dilakukan lebih efektif melalui tahapan inkuiri sebagai berikut, yaitu: mengamati, menemukan dan merumuskan masalah, mengajukan dugaan jawaban (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.74

71

Lihat dalam Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual;Konsep Dan Aplikasi,86-87 Agus Suprijono, Cooperative Learning; Ibid, 85-88 73 Menurut Zoharik dalam sagala ada lima elemen belajar konstruktivistik yaitu; 1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), 2) memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowledge), dengan cara mempelajari secara keseluruhan kemudian diperhatikan detailnya, seperti teori Gestal, 3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), 4) mempraktekkan pengetahuan dan pengalamantersebut (applying knowledge), dan 5) melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Lihat dalam Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran,93-94 74 Ibid, lihat juga dalam Philip CAM, Philosopical Reflection of Educator, 33 72

28


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

d. Masyarakat Belajar (Learning Community) yang esensinya ialah bahwa belajar itu dapat diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerja kelompok, diskusi kelompok, dan pengerjaan proyek secara berkelompok adalah contoh membangun masyarakat belajar. e. Pemodelan (Modeling) Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Pemodelan, adalah pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan model/contoh. Model bisa berupa benda, cara, metoda kerja, cara/prosedur kerja, atau yang lain, yang bisa ditiru oleh siswa.75 f. Refleksi (Reflection) merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi, adalah cara berpikir tentang apa yang dipelajari sebelumnya kemudian direnungkan apakah yang telah dipelajari selama ini benar dan jika salah perlu direvisi. Hasil revisi inilah yang akan merupakan pengayaan dari pengetahuan sebelumnya. g. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Assessmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian otentik adalah penilaian yang sebenarnya terhadap perkembangan belajar siswa sehingga penilaian tidak bisa dilakukan hanya dengan satu cara akan tetapi menggunakan ragam cara, misalnya kombinasi dari ulangan harian, pekerjaan rumah, karya siswa, laporan, hasil tes tertulis, hasil diskusi, karya tulis, demonstrasi. G. Implimentasi Pembelajaran Kontekstual pada PAI Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen dalam pembelajarannya. Maka untuk melaksanakan hal tersebut memerlukan kreatifitas diri dari seorang pendidik untuk dikembangkan, semakin kreatif seorang pendidik dalam suatu pembelajaran maka akan semakin baik. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan pelajaran yang sangat erat dengan kehidupan siswa, oleh karenanya seorang pendidik harus mampu 75

Lihat dalam Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Ktsp Dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2011), 86

29


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mambawakan pelajaran tersebut menarik dan inovatif agar tidak menimbulkan kebosanan anak terhadap materi. Langkah awal dalam penerapan pembelajaran kontekstual ialah dengan memberi stimulus terhadap peserta didik untuk membangun sebuah makna pengetahuan (konstruktivistik), sebagai contoh dalam materi Toharah (wudhu) pendidik bisa membawakan sebotol air untuk didemonstrasikan sebagai langkah pencarian makna baru. Setelah peserta didik menemuka makna terhadap materi, selanjutnya peserta didik dibimbing untuk berdialog dengan cara tanya jawab, dalam kaitannya ini pendidik bisa memancing pertanyaan kepada peserta didik agar peserta didik merespon dengan jawaban sekaligus diteruskan dari pertanyaan peserta didik lainnya. Untuk menambah pemahaman yang riil, peserta didik diminta untuk membuat tim investigasi, guna untuk membuat temuan (Inkuiri) tentang permasalahan. Pada materi toharah penemuan bisa dilakukan melalui analisa dalil tentang Toharah yang ada dalam Al Qur’an ataupun Hadith, ataupun penemuan terhadap pencarian permasalahan yang ada di masyarakat dan kemudian temuan tersebut dilaporkan. Kegiatan pelaporan ini bisa dilakukan dengan cara menjelaskan hasil laporan tersebut di depan kelas untuk ditanggapi teman kelas. Setelah membentuk masyarakat belajar, pendidik juga bisa mengembangkan materi toharah dengan cara menghadirkan peran (modelling). Implementasi modelling bisa dilaksanakan seefektif mungkin, yakni dengan cara menunjuk peserta didik untuk memberikan contoh tentang tata cara wudhu dengan baik dan benar. Selanjutnya untuk mengetahui pemahaman peserta didik secara singkat, maka pendidik bisa memberikan refleksi terhadap peserta didik dengan menanyakan secara lisan (oral test), hal ini bia dilakukan pada akhir pelajaran ataupun awal pelajaran dipertemuan selanjutnya. Dalam implementasi contextual learning, tahab akhirnya ialah dengan memberikan penilaian nyata (Authentic Assessment) hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran perkembangan pembelajaran peserta didik. Adapaun penilaiannya diambil dari data yang dikumpulkan dari pembelajaran yang dilakukan serta diikuti oleh peserta didik.

30


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

H. Keunggulan pembelajaran kontekstual Pembelajaran kontekstual saat ini telah diupayakan pengaplikasiannya, karena banyak hal yang belum tersentuh pada pembelajaran sebelumnya, misalnya pelaksanaan pembelajaran yang masih sangat teoritis dan kurang menekankan pada pemecahan masalah, serta sistem penilaian masih terfokus pada produk atau tujuan akhir, sehingga peserta didik terlihat baik apabila meraih nilai tinggi. Perlakuan semacam ini adalah mengesampingkan asessmen kinerjanya sehingga siswa kurang siap menghadapi permasalahan sehari-hari. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis mencoba memformulasikan beberapa keungggulan pembelajaran kontekstual dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Pembelajaran kontekstual mendorong proses pembelajaran berlangsung atas dasar permasalahan riil kehidupan, sehingga lebih bermakna dan memungkinkan perkembangan pemikiran tingkat tinggi. Berikut beberapa perbedaan yang penulis ambil dalam Nurhadi dan Depdiknas. No 1 2 3 4 5 6 7

8

9 10

Pembelajaran Kontekstual Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan. Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting Hasil belajar diukur melalui

31

Pembelajaran Tradisional Siswa adalah penerima informasi secara pasif. Siswa belajar secara individual. Pembelajaran teoritis.

sangat

abstrak

dan

Perilaku dibangun atas kebiasaan. Keterampilan dikembangkan dasar latihan Menyandarkan pada hafalan

atas

Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu Waktu belajar siswa se-bagian besar dipergu-nakan untuk mengerja-kan buku tugas, men-dengar ceramah, dan mengisi latihan yang relatif membosankan (melalui kerja individual) Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas Hasil belajar diukur melalui kegiatan


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

penerapan penilaian autentik.

akademik dalam tes/ujian/ulangan.

bentuk

Sumber Nurhadi76 dan Depdiknas.77 I. Penutup Dalam penuliasan akhir ini penulis akan memberikan list penting terkait pembelajaran kontekstual sebagai catatan terhadap pendidik dalam menerapkannya terkhsusukan pendidik Pendidikan Agama Islam, maka yang perlu untuk diketahuai ialah: 1.

Pendidik dengan beragam tanggungjawabnya78 dituntut untuk selalu mempunyai kreatifitas dan pemahaman yang luas seperti pendekatan pembelajaran, strategi pebelajaran, metode pembelajaran, tehnik dan taktil pembelajaran.

2.

Pendidik harus selalu menyiapkan staretegi dan metode apa yang digunakan dalam pencapaian SK mata pelajaran serta tentunya harus bisa memberi perbedaan dalam setiap pertemuan yang dilaksanakan.

3.

Sesuai dengan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, maka pendidik dituntut untuk bisa merefleksi tentang apa yang telah dipelajari dalam pembelajaran.

4.

Selalu memberikan penilaian autentik terhadap pelajaran yang telah dilaksanakan, hal ini bisa dilakukan pada akhir pertemuan perlajaran ataupun awal pertemuan. Dengan demikian pembelajaran akan memberikan makna yang membekas

terhadap peserta didik melaui penerapan PAIKEM ( Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Dan Menyenangkan).

76

Nurhadi, dkk. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK, 36 Departemen Pendidikan Nasional, “Pembelajaran Berbasis Kontekstual II�, 13-17 78 Tanggungjawab sebagai inspirator, korektor, informator, motivator, inovator, mediator, fasilitator, evaluator, pembimbing yang mana harus dijalankan secara profesional sebagai tugas dasarnya, lihat pula Benny Susetyo, Politik pendidikan Penguasa (Yogyakarta: LkiS, 2005), 148 77

32


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR PUSTAKA Berns, R. G, Erickson, P. M. Contekstual Teaching and learning the highlight zone: Research @Work No 5.(Online). Tersedia: http:www.nccte.org/ publications/infosynthesis/ highlightzone/ highlight05/index.asp. (diakses tanggal 11 Mei 2012). CAM, Philip. Philosopical Reflection of Educator. Singapure: Cengage Learning Asia Pte Ltd. 2008. Darajat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agma Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Departemen Pendidikan Nasional. Pembelajaran Berbasis Kontekstual I. Sosialisasi KTSP. 2006.

Makalah

___________. Pembelajaran Berbasis Kontekstual II. Makalah Sosialisasi KTSP. 2006. ____________. Pengembangan Silabus. Jakarta: Makalah Sosialisasi KTSP. 2006. Dewey, John. Democracy and Education; on Intruduction to the Philodophy of Education. London: The free Press. 1966. Echol, John M, Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. 1996. Fathurrohman, Pupuh. Sutikno, M. Sobri. Strategi Belajar Mengajar; Melalui Penanaman Konsep Umum Dan Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. 2007. Johbshon, Elaine, B. Utama. 2007.

Contekstual Teaching And Learning. Bandung: Mizan Media

Kasihani, dkk. Pembelajaran Berbasis CTL. Makalah Disampaikan pada Sarasehan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. 2003. Komalasari, Kokom. Pembelajaran Kontekstual; Konsep Dan Aplikasi. Bandung: Aditama. 2010. Mudlofir, Ali. Aplikasi Pengembangan Ktsp Dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011. Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. 2010. Solomon, Robbert C, Higgins, Kathleen M. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Benta Budaya. 2003. Suparno. Pembelajaran Berbasis CTL. Makalah Disampaikan pada Sarasehan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (CTL) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. 2003.

33


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Suprijono, Agus. Cooperative Learning; Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Susetyo, Benny. Politik pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LkiS. 2005. Yunanti, Resna. Aplikasi Pembelajaran Kontekstual pada Bidang Studi Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa SDN Ketawanggede 1 Malang. Malang: UIN Malang. 2006.

34


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

INTELEGENSI SEBAGAI FAKTOR BELAJAR Oleh : Maftuh

Abstrak : Intelegensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap insan. Intelegensi ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, keberhasilan, dan kesuksesan. Namun tingkat intelegensi yang dimiliki setiap orang pastilah berbeda. Ini dikarenakan bahwa intelegensi seseorang memang tergantung pada faktor-faktor yang membentuk intelegensi itu sendiri. Bukan suatu hal yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat inteligensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita perhatikan supaya inteligensi yang kita miliki bisa meningkat atau berubah. Kata Kunci: intelegensi, belajar, prestasi PENDAHULUAN Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Alfret Binet (18571911)

hakikat

inteligensi

adalah

kemampuan

untuk

menetapkan

dan

mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. 79 Inteligensi telah dianggap sebagai suatu norma yang menentukan perkembangan dan kemampuan dalam mencapai hasil belajar anak secara optimal.80 Faktor inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa, biasanya anak yang memiliki inteligensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan. Sebaliknya, siswa yang memiliki inteligensi yang rendah biasanya memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukan suatu hal yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang. Banyak

79 W. 80

S. Winkel, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1983), 529. Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 163.

35


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

faktor yang dapat mempengaruhi tingkat inteligensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita perhatikan supaya inteligensi yang kita miliki bisa meningkat atau berubah. INTELEGENSI 1. Pengertian Intelegensi. Inteligensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”.81 Tokoh yang dianggap paling berjasa dalam mengembangkan tes inteligensi ini adalah seorang dokter dan psikolog asal Prancis, yaitu Alfret Binet (1857-1911).82 Terman menyatakan sebagai kemampuan untuk melakukan berpikir tentang halhal yang abstrak.83 Thorndike mendefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan respons yang baik dan diaplikasikan dengan kecakapan untuk berhubungan secara efektif dengan hal-hal yang baru.84 Wechsler (1986), definisinya mengenai inteligensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangantantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.85 William Stern (1871-1938) seorang psikolog Jerman mengemukakan batasan sebagai berikut: inteligensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya.86 William Stern berpendapat bahwa inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan, pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada inteligensi seseorang. Oleh karena itu, ia terus menyempurnakan tes inteligensi yang

Sutisna Senjaya, ”Pengertian Inteligensi”, http://sutisna.com/psikologi/intelegensi/pengertian-intelegensi/ (7 Desember 2009) 82 Desmita, Psikologi Perkembangan, 164. 83 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 88. 84 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, hal. 88. 85 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, hal. 89. 86 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Surabaya: Aksara Baru, 1985), 66. 81

36

dalam


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dilakukan Binet hingga muncul sebuah istilah yang terus berkembang sampai kini, yaitu Intelligence Quotient (IQ).87 Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa: a. Inteligensi itu ialah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-situasi baru atau situasi-situasi yang sangat beragam. b. Kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima pendidikan. c. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menggunakan konsep-konsep abstrak dan menggunakan secara luas simbol-simbol dan konsep-konsep.88 2. Ciri-Ciri Inteligensi. Menurut beberapa pakar seperti; Edward L. Thorndhike, menyebutkan ada tiga ciri dari perbuatan yang cerdas, yaitu: mendalam (altitude), meluas (breadth) dan cepat (speed). Carl witherington, mengemukakan enam ciri dari perbuatan yang cerdas: a. Memiliki kemampuan yang cepat dalam bekerja dengan bilangan (facility in the use of numbers) b. Efisien dalam berbahasa (language efficiency). c. Kemampuan mengamati dan menarik kesimpulan dari hasil pengamatan yang cukup tepat (speed of perception). d. Kemampuan mengingat yang cukup tepat dan tahan lama (facility in memorizing). e. Cepat dalam memahami hubungan (facility in relationship). f. Memiliki daya khayal atau imajinasi yang cukup tinggi (imagination).89 Secara umum ciri-ciri intelejensi dapat disimpulkan sebagai berikut: a. To judge well (dapat menilai). b. To comprehend well (memahami secara menyeluruh), inteligensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional (inteligensi dapat diamati secara langsung).

Desmita, Psikologi Perkembangan, 165. Desmita, Psikologi Perkembangan, 163. 89 Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2005), 93-94. 87 88

37


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

c. To reason well (memberi alasan dengan baik). Inteligensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inteligensi. a) Pengaruh faktor bawaan. Penelitian tahun 1920-an menyatakan bahwa seorang anak yang berinteligensi tinggi merupakan turunan dari orang tuanya yang berinteligensi tinggi, juga sebaliknya anak yang lambat belajarnya karena memiliki orang tua yang berinteligensi di bawah rata-rata. Francis Galton (1822-1911) berpendapat inteligensi yang dimiliki seorang anak tidak sama dengan inteligensi yang dimiliki orang tuanya. Inteligensi anak-anak cenderung mengarah ke arah rata-rata, jika orang tuanya memiliki IQ 135 mereka cenderung memiliki IQ lebih rendah sekitar 100-135. Jika IQ orang tuanya 64, IQ mereka cenderung lebih tinggi sekitar 64-100.90 Salah satu penegasan tentang inteligensi menyebutkan bahwa inteligensi sebagai kemauan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. 91 Karena inteligensi merupakan faktor bawaan, maka sejak dini harus dibentuk dengan cara memberikan asupan yang baik. b) Pengaruh faktor lingkungan. Salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting bagi perkembangan anak ialah gizi yang dikonsumsi dan rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, serta stimulant dari orang tua (khususnya pada masa-masa sebelum dan sesudah kelahiran).92 Gerber dan Ware menyimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi inteligensi yang dimiliki anak. Tiga hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi anak dari lingkungan keluarga; (1)

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, 90. Ahmad Mudzakir, Psikologi Pendidikan (Bandung : Pustaka Setia, 1997), 133. 92 Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 137-138. 90 91

38


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Frekwensi jam membaca, (2) Reward dari orang tua, (3) Hope dan Spirit orang tua akan prestasi anaknya.93 c) Pengaruh faktor minat. Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. d) Pengaruh faktor kebebasan. Kebebasan berarti yang berarti bahwa setiap individu dapat memilih metodemetode tertentu dalam memecahkan masalah mereka.94 Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang. PENGUKURAN TARAF KECERDASAN Salah satu uji kecerdasan yang diterima luas ialah berdasarkan pada uji psikometrik atau IQ. Pengukuran kecerdasan dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan yang ada pada diri seseorang. Tes inteligensi dapat diklasifikasi menjadi:95 1. Tes inteligensi individu a. Stanford-Binnet intelligence scale. Wechsler Bellevue membuat tes inteligensi pada tahun 1939, yang terbagi menjadi beberapa turunan alat uji seperti : 1) Wechsler Bellevue Intelegence Scale (WBIS) untuk dewasa. 2) Wechsler Intelegence Scale For Children (WISC) untuk anak usia sekolah. 3) Wechsler Adult Intelegence Scale (WAIS) untuk dewasa versi lebih baru.

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, 137. DRS. M. Ngalim Purwanto, MP. Psikologi Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2003), 5456. 95 Agung Sigit Santoso, “Modul 6 : Kecerdasan dan Intelligensi� dalam http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/31019-6-324123326410.doc (10 Desember 2009) 93 94

39


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

4) Wechsler Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI) untuk anak pra sekolah.96 5) Tes Intelegensi Kolektif Indonesia (TIKI), tes yang khusus ada di Indonesia merupakan adaptasi dari WISC. 2. Tes inteligensi kelompok a. Progressive Matrices, diciptakan oleh L.S. Penrose dan J.C. Lave tahun 1938 dari Inggris. b. Pintner Cunningham Prymary Test. c. The California Test of Mental Makurity. d. The Henmon – Nelson Test Mental Ability. e. Otis – Lennon Mental Ability Test. 3. Bahasa atau verbal a. Army Alpha, diberikan khusus untuk calon tentara yang pandai membaca. b. Army Beta, diberikan untuk calon tentara yang tidak pandai membaca. 4. Mudah atau lebih sukar, disesuaikan dengan umur atau tingkat sekolah. a. Binet-Simon, pertama sekali diciptakan oleh Alfred Binet dan Theodore Simon tahun 1908 di Prancis. TEORI INTELIGENSI Ada dua teori yang terkenal dan saling bertentangan, keduanya dikenal dengan teori lumpers (gumpalan) oleh Charles Spearman (1863-1945) dan splitters (pecahan) oleh Louis Thurstone (1887-1955) / Howard Gadner (1983). Spearman berpendapat bahwa inteligensi adalah kemampuan kemampuan umum untuk berpikir dan mempertimbangkan. Sementara Thurstone melihat kecerdasan sebagai suatu rangkaian kemampuan yang terpisah. Thurstone meyakini bahwa kemampuan seperti numerik, ingatan, dan kefasihan berbicara, secara bersama-sama akan membentuk perilaku pandai. Bahkan Gadner lebih tegas mengatakan bahwa kecerdasan terbentuk dari 120 faktor yang berbeda-beda. Lalu muncul Robert J. Sternberg (1988) dengan

Fadliyanur, ”Intelegensi” Nopember 2009) 96

dalam

http://ayak.blog.plasa.com/2009/04/07/intelegensi/

40

(13


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

teorinya Triarchic Theory of Intelligence, yang merupakan perluasan dari pendekatan psikomotorik.97 a. Teori lumpers (gumpalan) oleh Charles Spearman (1863-1945). Menurut Spearman, inteligensi ialah suatu kemampuan umum yang merupakan satu kesatuan. Ia berpendapat, orang yang cerdas mempunyai banyak sekali faktor umum, dan faktor umum ini merupakan dasar dari semua perilaku cerdas manusia. b. Teori splitters (pecahan) oleh Louis Thurstone (1887-1955). Sedang Thurstone lebih menekankan pada aspek yang terbagi-bagi dari inteligensi yang terdiri dari 7 kemampuan primer; (1) Pemahaman verbal (verbal comprehension), (2) Kemampuan bilangan (numerical ability), (3) Kefasihan menggunakan kata-kata (word fluency), (4) Kemampuan ruang (spatial visualization), (5) Kemampuan mengingat (associative memory), (6) Kemampuan menalar (reasoning) (7) Kecepatan pengamatan (perceptual speed).98 Kemampuan Mental Primer Thurstone Inteligensi

97 98

Kemampuan

Verbal Comprehension

Kemampuan memahami makna kata

Word Fluency

Kemampuan memikirkan kata secara tepat, seperti memikirkan kata-kata yang bersajak.

Number ability

Kemampuan bekerja dengan angka atau bilangan, dan melakukan perhitungan.

Space

Kemampuan memvisualisasikan hubungan bentuk ruang.

Memory

Kemampuan mengingat stimulus verbal.

Perceptual Speed

Kemampuan menangkap rincian visual secara cepat serta melihat persamaan dan perbedaan di antara objek yang bergambar.

Reasoning

Kemampuan menemukan aturan umum berdasarkan contoh yang disajikan.

Desmita, Psikologi Perkembangan, 166-168. John W. Santrock, Education Psichology, Second Edition (---), 108.

41


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

c. Teori Multiple Intelligence oleh Howard Gadner (1983). Gadner berpendapat, bahwasannya setiap orang memiliki jenis-jenis inteligensi yang berbeda. Dengan aspek-aspeknya yang meliputi: Logical-mathematical, linguistic, Musical, Spatial, Bodily-kinesthetic, Interpersonal, Intra personal. Aspek Inteligensi Gadner Inteligensi

Kemampuan

Logical-mathematical

Kepekaan dan kemampuan mengamati pola-pola logis dan bilangan, serta kemampuan berfikir logis.

Linguistic

Kepekaan terhadap suara, ritme, kata-kata dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.

Musical

Kemampuan menghasilkan dan mengekspresikan ritme, nada, dan bentuk-bentuk ekspresi musik.

Spatial

Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visualsecara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut.

Bodily-kinesthetic

Kemampuan mengontrol gerakan tubuh dan menangani objek-objek secara terampil.

Interpersonal

Kemampuan mengamati dan merespon suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.

Intra personal

Kemampuan memahami perasaan, kekuatan, dan kelemahan inteligensi sendiri. 1. Kecerdasan Matematis-Logis (logical-mathematical intelligence), cirinya antara lain: (a) menghitung problem aritmatika dengan cepat di luar kepala, (b) suka mengajukan pertanyaan yang sifatnya analisis, misalnya mengapa hujan turun?, (c) ahli dalam permainan catur, halma dsb, (d) mampu menjelaskan masalah secara logis, (d) suka merancang eksperimen untuk membuktikan sesuatu, (e) menghabiskan waktu dengan permainan logika seperti teka-teki, berprestasi dalam Matematika dan IPA. 2. Kecerdasan Linguistik-Verbal (verbal linguistic intelligence), umumnya memiliki ciri antara lain (a) suka menulis kreatif, (b) suka mengarang kisah khayal atau menceritakan lelucon, (c) sangat hafal nama, tempat, tanggal atau hal-hal kecil, (d) membaca di waktu senggang, (e) mengeja kata dengan tepat dan

42


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mudah, (f) suka mengisi teka-teki silang, (f) menikmati dengan cara mendengarkan, (g) unggul dalam mata pelajaran bahasa (membaca, menulis dan berkomunikasi). 3. Kecerdasan music (Musical intelligence) memiliki ciri antara lain: (a) suka memainkan alat musik di rumah atau di sekolah, (b) mudah mengingat melodi suatu lagu, (c) lebih bisa belajar dengan iringan musik, (d) bernyanyi atau bersenandung untuk diri sendiri atau orang lain, (e) mudah mengikuti irama musik, (f) mempunyai suara bagus untuk bernyanyi, (g) berprestasi bagus dalam mata pelajaran musik. 4. Kecerdasan ruang visual (visual spatial intelligence) dicirikan antara lain: (a) memberikan gambaran visual yang jelas ketika menjelaskan sesuatu, (b) mudah membaca peta atau diagram, (c) menggambar sosok orang atau benda persis aslinya, (d) senang melihat film, slide, foto, atau karya seni lainnya, (e) sangat menikmati kegiatan visual, seperti teka-teki atau sejenisnya, (f) suka melamun dan berfantasi, (g) mencoret-coret di atas kertas atau buku tugas sekolah, (h) lebih memahamai informasi lewat gambar daripada kata-kata atau uraian, (i) menonjol dalam mata pelajaran seni. 5. Kecerdasan Kinestetik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence), memiliki ciri: (a) banyak bergerak ketika duduk atau mendengarkan sesuatu, (b) aktif dalam kegiatan fisik seperti berenang, bersepeda, hiking atau skateboard, (c) perlu menyentuh sesuatu yang sedang dipelajarinya, (d) menikmati kegiatan melompat, lari, gulat atau kegiatan fisik lainnya, (e) memperlihatkan keterampilan dalam bidang kerajinan tangan seperti mengukir, menjahit, memahat, (f) pandai menirukan gerakan, kebiasaan atau prilaku orang lain, (g) bereaksi secara fisik terhadap jawaban masalah yang dihadapinya, (h) suka membongkar berbagai benda kemudian menyusunnya lagi, (i) berprestasi dalam mata pelajaran olahraga dan yang bersifat kompetitif. 6. Kecerdasan hubungan social (Interpersonal intelligence) memiliki ciri antara lain: (a) mempunyai banyak teman, (b) suka bersosialisasi di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya, (c) banyak terlibat dalam kegiatan kelompok di

43


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

luar jam sekolah, (d) berperan sebagai penengah ketika terjadi konflik antartemannya, (e) berempati besar terhadap perasaan atau penderitaan orang lain, (f) sangat menikmati pekerjaan mengajari orang lain, (g) berbakat menjadi pemimpin dan berperestasi dalam mata pelajaran ilmu sosial. 7. Kecerdasan kerohanian (Intrapersonal intelligence) memiliki ciri antara lain: (a) memperlihatkan sikap independen dan kemauan kuat, (b) bekerja atau belajar dengan baik seorang diri, (c) memiliki rasa percaya diri yang tinggi, (d) banyak belajar dari kesalahan masa lalu, (e) berpikir fokus dan terarah pada pencapaian tujuan, (f) banyak terlibat dalam hobi atau proyek yang dikerjakan sendiri. 8. Kecerdasan Naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka, (c) suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang, (d) menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan alam, (e) suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam lainnya, (f) berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup.99 Keunikan yang dikemukakan Gardner adalah, setiap kecerdasan dalam upaya mengelola informasi bekerja secara spasial dalam sistem otak manusia. Tetapi pada saat mengeluarkannya, ke delapan jenis kecerdasan itu bekerjasama untuk menghasilkan informasi sesuai yang dibutuhkan. d. Teori Triarchic Theory of Intelligence oleh Robert J. Sternberg (1988). Sternberg

menyatakan,

bahwasannya

inteligensi

memiliki

tiga

bagian:

analytical/compenential, creative/experiential, practical/contextual.100

Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2005) Hal 96-97 100 John W. Santrock, Education Psichology, Second Edition, 108. 99

44


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Aspek Intelektual Sternberg Inteligensi

Kemampuan

Compenential

Pengkodean dan penggambaran informasi, dan perencanaan pelaksanaan solusi atas permasalahan-permasalahan.

Experiential

Mampu memadukan masalah-masalah baru dan masalahmasalah lama dengan cara-cara baru, mampu memecahkan masalah secara otomatis.

Contextual

Mampu menyesuaikan, mengubah dan memilih lingkungan belajar untuk dijadikan sebagai sarana dalam pemecahan masalah.

PENUTUP Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang yang memiliki tingkat intelejensi tinggi akan memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Terarah kepada tujuan (purposeful behavior). Perilaku intelijen selalu mempunyai tujuan dan diarahkan kepada pencapaian tujuan tersebut, tidak ada perilaku yang sia-sia 2. Tingkah laku terkoordinasi(organized behavior). Seluruh aktifitas tidak ada yang tidak direncanakan atau tidak terkendali 3. Sikap jasmaniah yang baik (physical well toned behavior). Perilaku cerdas didukung oleh sikap jasmaniah yang baik. 4. Memiliki daya adaptasi yang tinggi (adaptable behavior) 5. Berorientasi kepada sukses (success oriented behavior) 6. Mempunyai motivasi yang tinggi(clearly motivated behavior) 7. Dilakukan dengan cepat (rapid behavior) 8. Menyangkut kegiatan yang luas (broad behavior)

45


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR PUSTAKA Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Surabaya: Aksara Baru, 1985 Ahmad Mudzakir, Psikologi Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 1997. Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008 DRS. M. Ngalim Purwanto, MP. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2003 John W. Santrock, Education Psichology, Second Edition (---), 108. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009 Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2005. Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2005. Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 W. S. Winkel, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983

46


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

KEBANGKITAN SUNNISME PADA ABAD KE-XI Oleh : Ali Sodikin Abstrak : Risalah al-Islamiyah yang dibawa oleh sang pangeran cinta (Nabi Muhammad Saw.) pada intinya adalah bagaimana membawa ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakkan tatanan sosial yang adil, bermartabat dan berwibawa, sebagai cita-cita ketakwaan. Doktrin agama yang mengarah pada cita-cita ketakwaan sebagai perwujudan rasa kemanusiaan yang utuh, sebagaimana yang telah dirintis oleh sang Nabi, pada kenyataan sejarah justru kita jumpai sebuah pergulatan hidup secara kolektif yang justru mengarah pada akar konflik, manakala kepentingan dan kekuasaan lebih dominan. Kata kunci: Sunni Syi’i Muktazilah Jabariyah PENDAHULUAN Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 656 M, di Madinah dalam pertentangan yang terjadi dengan tentara yang datang dari Mesir. Selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah teologi dalam Islam. Dalam bidang politik, peristiwa itu memecah umat Islam menjadi dua golongan: Sunni dan Syi’ah. Perkembangan sejarah Islam, bukan dalam bidang politik saja tetapi juga dalam bidang agama dan pemikiran, banyak dipengaruhi dan ditentukan arahnya oleh pertentangan antara kedua golongan besar ini.101 Perseteruan dua golongan besar ini berlangsung selama berabad-abad. Golongan Sunni yang pada awal-awal kelahirannya bertujuan melakukan sintesis, mengkompromikan antara ahlul hadith dengan kelompok Mu’tazilah, pada perkembangan selanjutnya justru ikut terlibat perseteruan, khususnya dengan kelompok syi’ah manakala Sunni di masa khalifah al-Mutawakkil menjadi sebuah aliran resmi yang dominan dan dibeckingi oleh penguasa ketika itu.

Harun Nasution, Islam Rasional: kaum mu’tazilah dan pandangan rasionalnya, (Bandung: mizan, 1996), 126

101

47


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Jika di penghujung abad ke sembilan, Sunni belum menunjukkan taringnya, memasuki abad sepuluh masehi, Sunni terlibat konfrontasi secara intens dengan syi’ah. Perseteruan tersebut tidak hanya berkutat pada wilayah pemikiran tapi sudah mengarah ke praksis sosial. Memasuki abad sebelas, geliat Sunni semakin nampak jelas, lebih-lebih dengan tampilnya sosok al-Ghazali di kancah intelektual itu semakin mengukuhkan doktrin dan ajaran Sunni. MELACAK JEJAK ARKEOLOGI PEMIKIRAN SUNNI a. Curiculum Vite al-Asy’ari102 Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basyrah pada tahun 260 H. Semenjak kecil, provokator intelektual gerakan Sunni ini telah menjadi yatim karena ditinggal ayahnya. Ayahnya Abu Ali al-Jabba’i yang lahir pada 235 H/849 M menikahi ibu al-Asy’ari setelah ditinggal suaminya, Isma’il. Di rumah al-Jabba’i inilah al-Asy’ari tumbuh dan dididik. Ia belajar dan mendapat pendidikan ilmu kalam madzab mu’tazilah darinya. Kemudian setelah 40 tahun ia beralih dari mu’tazilah dan memantapkan dirinya untuk membela ahli sunah wal jama’ah. Setelah beralih dari paham mu’tazilah ia pindah dari Bashrah ke Baghdad dan mukim di sana hingga wafatnya pada 330 H/942 M. Dari al-Asy’ari inilah yang kemudian dinisbatkan mazhab Al-Asy’ariah. AlAsy’ariah sendiri kenyataanya bukanlah mazhab baru, atau mazhab yang sejenis dengan mu'tazilah dalam pengertian sebagai suatu paham yang berdiri sendiri. Akan tetapi mazhab ini, pada dasarnya adalah ajakan kembali kepada ahli sunnah wal jama’ah yang dianut oleh generasi awal kaum muslimin. Al-asy’ariyah adalah aliran moderat, karena mengambil paham-pahamnya dari Islam, dan tori perdebatannya dari mu'tazilah dan filsafat. Abu Hasan al-Asy’ari mengarang banyak kitab, di antaranya adalah : al-Luma’, al-Qiyas, al-Ijtihad, Maqalat al-Islamiyyin, al-Ibanah ‘an ushul Ad-diniyah, dan risalah tentang kemuliaan memperdalam ilmu kalam. Al-Asy’ari juga menulis banyak artikel dalam menolak pandangan yang muncul dari agama atau mazhab yang bertentangan dengannya.

102

Ismail asy-Syaraf, Ensiklopedi filsafat, (Jakarta: Khalifa, 2005), 54.

48


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

b. Muktazilah : ‘Belok kiri jalan terus’ Aliran mu'tazilah merupakan aliran theologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Aliran mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijriyah di kota Bashrah, pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu. Tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam Agama.103 Sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengedepankan rasio, mu'tazilah telah memainkan peran yang signifikan dalam khazanah intelektua Islam. Tidak sedikit kontribusi pemikiran muktazilah terhadap Islam pada proses kejayaan di masa lalu. Bahkan al-Asy’ari sendiri terlibat sebagai penyokong aliran muktazilah ketika itu sebelum akhirnya keluar dari aliran tersebut. Aliran ini semakin kuat, manakala khalifah al-Makmun (813-832) memback up. Di bawah naungan khalifah al-Makmun ini, arogansi intelektual muktazilah semakin menjadi-jadi dan menganggap bahwa muktazilah adalah madzhab satusatunya dalam Islam yang diresmikan sang khalifah yang harus diikuti pula oleh seluruh komponen masyarakat. Sikap over acting dan liberalisasi wacananya membuat ulama’-ulama’ ahli hadith ‘kebakaran jenggot’ serta masyarakat awampun dibuat ‘tergopoh-gopoh’ mengikuti irama pemikiran muktazilah yang liberal itu. Pemaksaan ajaran melalui model intimidasi terhadap masyarakat inilah yang pada akhirnya menimbulkan sikap antipati dihati masyarakat. Bahkan khalifah alMa’mun yang melegitimasi aliran tersebut, tidak segan-segan melakukan penyiksaan terhadap kelompok-kelompok yang menentang aliran muktazilah tersebut, khususnya ulama’-ulama’ ahlul hadith. Melihat realitas yang tidak beres serta sikap over acting yang ditunjukan orang-orang mu’tazilah, al-Asy’ari yang sebelumnya simpatisan berat langsung putar haluan dan terang-terangan keluar dari faham mu’tazilah. Lebih-lebih ketika kursi kekhalifaan al-Ma’mun semakin keropos, dan faham mu’tazilah semakin dipandang sebelah mata oleh orang-orang awam.104

103 104

A. Hanafi M.A, pengantar theologi Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra 1995), 64. Karen Armstrong, A History of God, Sejarah Tuhan (terj.) (Bandung: Mizan, 2001), 227.

49


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Pada titik nadzirnya faham mu’tazilah yang lebih mengedepankan akal semakin tidak populer lagi. Lebih-lebih ketika kursi kekhalifahan beralih ke tangan al-Mutawakkil. Liberalism paradigm yang diusung oleh faham mu’tazilah, di mata orang awam menjadi sebuah momok. Di saat itulah al-Asy’ari melakukan sebuah sintesis pemikiran guna menjembatani dua kubu yang berseberangan pemikiran : Ahlul ra’yi dan ahlul hadith. c. Jabariyyah : ‘Belok kanan jalan terus’ Jabariyah secara harfiyah berasal dari lafadz al-Jabr, yang berarti paksaan. lafadz ini merupakan antonim lafadz al-Qadr (kemampuan).105 Secara terminologis berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT.106 Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mazhab kalam yang menafikan perbuatan manusia secara hakiki,hdan menisbatkannya kepada Allah SWT semata.107 Kaum determinis (Jabariyyah) berpendapat bahwa kehendak bebas manusia dibatasi oleh kemahakuasaan Tuhan. Faham ini juga ikut mewarnai pergulatan pemikiran di awal-awal abad satu hijriyyah. Jika faham Muktazilah yang menganut pola pikir liberal yang terinspirasi oleh faham Qadariyah yang menganut faham kehendak bebas manusia, maka sebaliknya dengan faham Jabariyah, ia tidak setuju dengan kehendak bebas manusia. Doktrin tersebut di mata kaum Jabariyah memiliki legitimasi dalam ayat: ‘Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah memberi hidayah siapa saja yang dikehendaki-Nya: (Q.35:8). Di lain pihak, faham Qadariyah yang merupakan babenya Mu’tazilah juga punya legitimasi teologis yang dinyatakan dalam ayat al-Qur’an pula semisal: ‘kebenaran datangnya dari Tuhan, maka barang siapa yang ingin beriman, hendaknya ia beriman. Dan barang siapa yang ingin kafir, maka biarlah ia kafir.’ (Q. 18: 29). Dua diktum yang berbeda ini senantiasa menjadi diskursus tanpa batas di sepanjang sejarah, yang bukan hanya berpengaruh pada wilayah teoritis saja tapi sudah menyentuh pada wilayah praksis.108

Ibn Manzur, lisan al-Arab, vol. I, 116 al-Qosini, Tarikh al-Islami, 28. 107 al-Syahrastani, al-milal wa Nihal, 72 108 John L. Esposito Islam: The straight path, Islam: warna-warni (terj.) (Jakarta: Paramadina, 2004), 89. 105 106

50


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

d. Sunni: Sintesa Jabariyah dan Muktazilah Teologi muslim telah ditarik ke dua arah yang tampaknya ditentukan oleh mereka yang menyatakan kekuasaan Tuhan yang mutlak tak bersyarat dan oleh lawan mereka, kaum Mu’tazilah, yang percaya bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan adalah hasil dari keadilan dan sifat keternalaran-Nya dan bahwa semua orang bebas dan bertanggung jawab secara moral.109 Berangkat dari rasa kegelisahan intelektual serta prihatin akan kondisi masyarakat muslim yang tercabik-cabik karena perbedaan penafsiran, serta sikap antagonisme pada diri kedua penganut faham tersebut, akhirnya al-Asy’ari melakukan ijtihad intelektual sebagai jalan tengah melalui faham sunninya. Sebagai seorang muslim yang gairah akan keutuhan kaum muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau Qur’an dan hadith-hadith Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena

didasarkan

atas

pemujaan

kekuatan

akal

pikiran,

sebagaimana

dikhawatirkan juga akan menjadi korban sikap ahli hadith yang hanya memegangi lahir (bunyi) nash-nash agama dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan intelektual yag tidak dapat dibenarkan. 110 Al-Asy’ari, seperti al-Syafi’i dalam feqih dan al-Ghazali dalam kalam, mengambil sintesis dari dua sikap yang saling bertentangan tadi. Ia memancangkan posisi tengah di antara dua kubu ekstrem: literalisme Ibn Hambal dan rasionalisme logis Mu’tazilah dan atau fatalisme Jabariyah dengan kehendak bebas Qadariyah. Strategi jalan tengah yang dikomandani al-Asy’ari ini mendapat sambutan dan gaung luar biasa di hati masyarakat muslim pada umumnya. Pada akhirnya ‘politik jalan tengah’ ala al-Asy’ari ini dikenal dengan faham Sunni.111 GELIAT SUNNISME DI ABAD XI a. Perselingkuhan Agama dan Kekuasaan kesadaran bahwa pemikiran dapat mengontrol realitas, seberapapun tingkatannya dengan sendirinya adalah sebuah pengakuan terhadap kekuatan Ibid, 91 A. Hanafi M.A, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995), 105 111 John L.Esposito, Islam: The Staright path, Islam: warna-warni (terj.) (Jakarta: Paramadina, 2004), 92 109 110

51


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

pengetahuan. Sebuah sistem pengetahuan yang tumbuh, berkomunikasi dan berputar dalam masyarakat sehingga menjadi wacana kultural masyarakat tersebut yang menyebar, memberi ciri dan membentuk dunia sosial, institusi, nilai dan prilaku anggota-anggotanya. Michael Foucault menganalisis hubungan yang halus antara pengetahuan dan kekuasaan, dan dia menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan

yang

dapat

berjalan

tanpa

melalui

wacana

tertentu

yang

mempertahankan dan mendukung persepsi masyarakat terhadap realitas. 112 Demikian pula halnya dengan faham Sunni, pasca lengsernya al-Ma’mun dari singgasana kekuasaannya yang menganut sekaligus membekingi faham Mu’tazilah yang tidak populer lagi, geliatnya semakin nampak. Secara perlahan tapi pasti, faham Sunni semakin menancapkan pengaruhnya di jantung kekuasaan. Perebutan pengaruh antara Sunni dan syi’ah pun tak terelakkan lagi ketika faham mu’tazilah sudah tidak populer lagi dan tidak memiliki akses signifikan di jantung kekuasaan. Sampai pada periode al-Mutawakkil (847–861) yang memback up secara resmi terhadap faham Sunni sebagai madzhab negara, perseteruan antara Sunni dan Syi’i menjadi tak terelakkan. b. al-Ghazali: Sang pemadu dan pembaharu Abad-abad kesebelas dan keduabelas, khususnya, adalah zaman yang kacau dalam sejarah kaum muslimin. Kekhalifahan tunggal telah terpecah belah menjadi sebuah sistem negara yang terdesentralisasi dan bersaing yang dipersatukan hanya oleh khalifah Abbasiyah yang simbolis, namun tak berdaya, di Baghdad. Para dai Ismailiyah secara aktif menggrogoti Ijma’ Sunni. Para filsuf muslim, yang sangat berhutang kepada Helenisme dan Neoplatonisme, sedang menawarkan jawabanjawaban alternatif, dan kadangkala bersaing, atas pertanyaan-pertanyaan filosofis dan teologis yang seringkali mengusik atau menguji hubungan antara nalar dan iman. Sufisme menjadi gerakan massa dengan komponen emosional yang kuat dan dengan kecenderungan elektik untuk menerima praktik-praktik takhayul. Kebanyakan dari apa yang terjadi tampak di luar jangkauan dan kendali ulama, yang banyak dari mereka dalam umat. Adalah kejeniusan dan prestasi Abu Hamid al Ghazali (1058-1111) yang menangani masalah-masalah tersebut. Michael Foucault, power/knowledge: selected interviews and other writing, (New, York: pantheon Books, 1980), 72

112

52


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Di tengah-tengah kekacauan, al Ghazali muncul, seperti yang pernah dilakukan al-Syafi’i pada beberapa abad sebelumnya untuk menyelamatkan zamannya dengan memberikan sistesis agama yang diperlukan. Kesuksesannya yang luar biasa mungkin dapat diukur dari gelar yang diberikan khalayak kepadanya sebagai Mujaddid (pembaharu) Islam.113 Adalah Nizam al-Mulk yang telah berjasa mendirikan universitas Nidhomiyah yang merupakan madrasah terpenting tempat belajar sarjana-sarjana terkemuka dari generasi Islam madzhab Sunni. Dari sini al-Ghozali juga memainkan peranan besar dalam pengembangan Universitas. Secara perlahan diseluruh madrasah yang mengajarkan madzhab berwawasan Ahlus Sunnah wal Jama’ah diajarkan pula kecakapan memerintah sehingga banyak ulama terdidik menjadi birokrat yang handal yang pada akhirnya semakin mengukuhkan eksistensi Faham Sunni di masa itu.114 Dalam konteks sejarah peradaban Islam di abad ke sebelas masehi, ternyata bukan al-Ghozali saja yang berhasil membangun pondasi-pondasi pemikiran Sunni, akan tetapi pemikir-pemikir lain yang berfaham Sunni seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Baqhdadi (w. 429 H), al-Juwaini (w. 478 H) dan asy-Syahrasani (w. 548 H) juga ikut mengokohkan bangunan paradigma Sunni sebagaimana yang telah dirintis oleh al-Asy’ari (w. 324 H).115 PENUTUP Sunni sebagai sebuah aliran atau faham yang diprakarsai al-Asy’ari telah mementaskan peran yang signifikan di panggung sejarah keislaman. Alasan kelahirannya berangkat dari kegelisahan intelektual seorang al-Asy’ari yang juga merasa prihatin atas kondisi umat Islam ketika itu yang carut marut. Terobosan besarnya lewat ‘politik jalan tengah’nya dengan mengusung faham sunninya langsung mendapat sambutan dan simpati masyarakat. Paradigmanya yang moderat, toleran,

John L.Esposito, Islam: The Staright path, Islam: warna-warni (terj.) (Jakarta: Paramadina, 2004), 127128 114 Al-Ghazali, al-Tibr al-masbuk fi Nasihah al-Mulk, Nasihat Untuk Penguasa (terj.), Jakarta: Hikmah, 2000, 17. 115 Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU, (yogyakarta: LKIS, 2004), 48 113

53


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dan seimbang menjadikan faham ini dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim sampai pada hari ini. Citranya sebagai 'penengah yang baik' di antara pergulatan pemikiran antar sekte-sekte dalam Islam ketika itu menjadi sedikit terganggu, manakala faham Sunni sudah kelihatan mulai ‘berselingkuh’ dengan kekuasaan. Lebih-lebih ketika Sunni bersaing dengan syi’ah dan saling berebut pengaruh di panggung kekuasaan. Maka konfrontasi antara keduanya pun menjadi tak terelakkan. Memasuki abad sebelas masehi, faham Sunni telah mendominasi dan mengakar di masyarakat muslim yang wilayahnya telah membentang luas di Eropa sampai Asia Timur. Ajarannya yang tidak sektarian dan cenderung fleksibel menjadikan sebagian besar masyarakat muslim enjoy dengan faham ini. Lebih-lebih dengan tampilnya sosok al-Ghazali yang mampu mengkompromikan wahyu dengan akal, syariah dengan tasawuf, yang sebelumnya diperdebatkan oleh kalangan Ahlul Hadith dan Ahlul Ra’yi. Di awal dan di penghujung abad sebelas masehi itulah, geliat sunnisme semakin nampak kepermukaan lewat tokoh-tokohnya semisal al-Ghazali, al-Baqilani, al-Baghdadi, al-Juwaini dan ash-Syahrasani yang pengaruh pemikirannya masih bisa kita rasakan sampai sekarang.

54


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, al-Tibr al-masbuk fi Nasihah al-Mulk, Nasihat Untuk Penguasa (terj.), Jakarta: Hikmah, 2000. Armstrong, karen, A History of God, Sejarah Tuhan (terj.), Bandung: Mizan, 2001. Ash-Sharafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Jakarta: Khalifa, 2005. Esposito, John L, Islam: The Straight Path, Islam Warna-warni (terj.) Jakarta: Paramadina, 2004. Foucault, Michael, Power/Knowledge: Selected Intervews and Other Writing, New York: Pantheon Books, 1980. Hanafi, AM.A, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: PT. al-Husnazikra, 1995. Nasution, Harun, Islam Rasional: kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya, Bandung: Mizan, 1996. Zahra, Ahmad, Tradisi intelektual NU, Yogyakarta: LKIS, 2004.

55


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

MEMAHAMI MAKNA BID’AH DALAM TRADISI ISLAM Oleh : Achmad Lubabul Chadziq

Abstrak : Pembahasan mengenai bid'ah telah menjadi perdebatan di antara umat Islam. Bid'ah seringkali dijadikan oleh kelompok tertentu sebagai senjata untuk memojokkan kelompok lain yang tidak sependapat, seperti kelompok Sunni yang menuduh bid'ah kelompok non-Sunni atau sebaliknya. Dalam tradisi Sunni, bid'ah juga sering dijadikan landasan di dalam mensikapi beberapa praktek keagamaan Islam popular yang tidak didapatkan dalam tradisi Islam normative, terutama berkaitan dengan beberapa praktek dan kepercayaan yang muncul dari kalangan kaum sufi Islam. PENDAHULUAN Di Indonesia perdebatan mengenai konsep bid'ah terjadi terutama antara kalangan muslim Tradisionalis dan Modernis. Di antara materi yang diperdebatkan adalah mengucapkan usalli ketika sholat, talqin, haul, selametan, kenduri. 116 Kelompok modernis menganggap bahwa praktek-praktek semacam itu termasuk dalam kategori bid'ah yang dilarang oleh agama, karena tidak pernah dipraktekkan pada masa Nabi, sementara kelompok tradisionalis menganggapnya sebagai amalan yang baik karena bertujuan untuk memperbanyak pahala, atau yang biasa mereka sebut sebagai bid'ah hasanah. Perdebatan antara kelompok tradisionalis dan modernis mengenai bid'ah itu tidak lepas dari perbedaan pemahaman terhadap Hadith Nabi tentang bid'ah.117 Di antara bunyi Hadits Nabi yang berkaitan dengan bid’ah adalah:"iyyakum wamuhdathat al umur, fainna kulla muhdathatin bid'ah, wakullu bid'atin dalalah, wakullu dalalatin fi al nar".118 Atas dasar Hadits Nabi tersebut kalangan modernis sangat berhati-hati di dalam melakukan praktek keagamaan (ibadah) yang tidak ditemukan dalam sumber

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), 108. Al-Shatibi, al I'tisam (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), 23. 118 Sunan Abi Daud, IV, 201. 116 117

56


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

asli Islam (al-Qur'an dan Hadith Sahih), sementara kalangan tradisionalis, atas dasar keinginan untuk memperbanyak pahala, mencoba melakukan praktek keagamaan yang mereka anggap baik (al a'mal al fadiahl) dengan alasan bahwa yang dimaksudkan dari bid’ah yang dilarang dalam hadits di atas adalah segala bentuk praktek keagamaan yang bertentangan dengan syara’. Sesungguhnya, kelompok modernis dalam memahami makna bid'ah merujuk pada pemikiran Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, 119 serta Muhammad bin 'Abd al-Wahhab (1703-1787) pemimpin gerakan Wahhabiyyah, sebuah gerakan purifikasi Islam yang muncul pada abad ke-18 di Najd (sekarang Saudi Arabia).120 Sementara kelompok tradisionalis merujuk pada pemikiran Imam alShafi'i yang mengklaim adanya dua macam bid'ah; hasanah dan sayyi'ah.121 Dari dua pemahaman yang berbeda dalam memahami bid'ah tersebut kalangan modernis mengklaim kalangan tradisionalis sebagai ahli bid'ah yang akan masuk neraka, sementara kalangan tradisionalis mengklaim kalangan modernis sebagai umat Islam yang minimalis, sehingga kurang sempurna amal ibadahnya. Maka sungguh sangat menarik sekali jika di bawah ini akan diuraikan tentang hakekat bid'ah dalam Islam.

MAKNA BID'AH DALAM TRADISI ISLAM Secara etimologis, bid'ah berarti ungkapan untuk suatu hal baru yang diciptakan tanpa ada contohnya, atau belum pernah ada atau dilakukan sebelumnya.122 Makna kata bid'ah semacam itu ditemukan di dalam ayat al Qur'an yang berbunyi Allahu badi'u al samawati wa al ard (Allah adalah pencipta langit dan

Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktek ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktek yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah. Segala sesuatu yang tidak ada dalam al Qur’an dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim, 30. 120 Ibid., 271. 121 Akh. Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958) (Yogjakarta: Kurnia Salam Semesta Press, 2001), 137. 122 Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah 994), 24. atau al-Shatibi, al I'tisam (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), 27. 119

57


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

bumi yang pertama).123 Atau dalam ayat lain yang qul, ma kunta bida'an min al rusul (katakan wahai Muhammad bahwa engkau bukanlah rasul yang pertama).124 Secara epistemologis, bid'ah dalam Islam seringkali dikonotasikan dalam arti yang negatif, yaitu sebutan untuk segala hal baru dalam agama, mencakup ibadah, adat istiadat dan dogma, yang belum pernah dipraktekkan oleh Nabi sebelumnya. 125 Atau, dalam penafsiran yang minimal, inovasi dalam ritual atau kepercayaan agama. Jadi inti konsep bid'ah adalah suatu praktik yang tidak ada contohnya dalam praktik Nabi atau Sahabatnya dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran agama, dilakukan untuk mendapatkan pahala.126 Secara normatif, istilah bid'ah dalam Islam merujuk pada beberapa Hadith Nabi, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Abi Daud:"Usikum bi taqwallâh wa al sam'i wa al tâ'ati, wa inna 'abdan habashiyyan, fainnahû man ya'ish min ba'di fasayarâ ikhtilâfan kathiran, fa'alikum bisunnati wa sunnah al khulafâ al râshidin al mahdiyyin min ba'di, tamassakû bihâ, wa 'addû 'alaihâ bi al nawâjidhi, wa iyyâkum wa muhdathât al umûr fainna kulla muhdathatin bid'ah, wa kullu bid'atin dalâlah, wa kullu dalâtin fi al nâr".127 Di dalam Hadits lain juga disebutkan bahwa seburuk-buruk perkara adalah yang diadaadakan, sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka (wa sharru al umuri muhdathatuha, wa kullu muhdathatin bid’ah, wa kullu bid’atin dalalat, wa kullu dalalatin fi al nar).128 Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama' dalam mendefinisikan bid'ah. Imam al-Shafi'i mengatakan bahwa bid'ah ialah segala hal baru yang terdapat setelah masa Rasululah Saw dan khalifah yang empat (Khulafa' al-Rashidin). Izzuddin bin 'Abd al-Salam, ahli fiqh madzhab Shafi'i mendefinisikan bid'ah sebagai segala perbuatan yang belum dikenal pada masa Rasulullah Saw. Menurut Ibn Rajab alHanbali, ahli fiqh madzhab Hanbali, bid'ah adalah segala hal baru yang tidak ada

Q.s, al Baqarah, 2: 117. Q.s, al Ahqaf, 46: 9. 125 Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid I, 217. 126 Muhammad ‘Abd al Salam al Shaqiri, al Sunan wa al Mubtada’at (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1994), 17. bisa dilihat juga dalam Ali Mahfuz, al Ibda’ fi Madar al Ibtida’ (Kairo: Dar al I’tisam, t.t.), 26. atau al-Shatibi, al I’tisam, 28. 127 Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis, 20. 128 Hadits diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i. Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies terj. C.R. Barber Vol. II (London: George Allen, 1971), 35. atau Ibn Taymiyah, Iqtida' al Sirat al Mustaqim Mukhalafat Ashab al Jahim (Beirut: Dal al-Kutub al-'Ilmiah, t.t.), 267. 123 124

58


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dasar syari'atnya. Imam al-Shatibi, ahli fiqh madzhab Maliki mengatakan bahwa bid'ah adalah suatu cara yang diciptakan menyerupai syari'at dalam agama dan dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah Swt.129 Semua ulama' sepakat bahwa bid'ah dalam wilayah syari'at adalah perbuatan terlarang dalam agama. Alasannya berdasarkan Hadits Nabi yang berbunyi:"Man 'amila 'amalan laysa fihi 'ilmuna fahuwa raddun". (Suatu hal atau cara yang diciptakan seseorang dalam agama ini, tetapi bukan bagian dari agama ini, maka hal itu ditolak). Pernyataan al-Qur'an yang biasanya dikutip dalam konteks ini dan menjadi alasan di balik pelarangan bid'ah tersebut, adalah Firman Allah yang berbunyi "al yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu 'alaikum ni'mati wa raditu lakum al Islama dina" yang artinya, hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku ridloi Islam sebagai agamamu."130 Akan tetapi para ulama' berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas bid'ah. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh masing-masing ulama di atas, pengertian bid'ah dapat dibedakan antara bid'ah yang lebih mengacu pada aspek kebahasaan dan bid'ah yang lebih mengacu pada aspek syari'at.131 Kelompok yang mengacu pada aspek kebahasaan membagi bid'ah menjadi dua; bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) atau bid'ah mahmudah (bid'ah yang terpuji) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk) atau bid'ah madhmûmah (bid'ah yang tercela). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Shafi'i, bahwa bid'ah hasanah atau mahmudah adalah bid'ah yang sesuai dengan tujuan syara' meskipun tidak diperbuat oleh Rasul Saw, sementara bid'ah sayyi'ah atau madhmûmah adalah bid'ah yang tidak sesuai dengan tujuan syara'. Pemahaman semacam ini mengacu pada sikap Umar bin al-Khattab (Khalifah II) yang melakukan inovasi dalam sholat tarawih pasca wafatnya Nabi, dan ia mengatakan: “ni’mat al bid’ah hadhihi” (sungguh ini bentuk bid’ah yang sangat mulia). Pemahaman semacam ini juga didukung oleh pemahaman terhadap hadits Nabi yang berbunyi: "man sanna sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man 'amila biha ila aum al qiyamat, (barangsiapa yang melakukan inovasi positif, dan diikuti

Abdul Aziz Dahlan (ed.) Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru, 2001), 217-218. Q.s, Al-Maidah (5): 3). 131 Ali Mahfuz, al Ibda’ fi Madar al Ibtida’, 38-39. 129 130

59


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

oleh generasi berikutnya, maka baginya adalah pahala atas inovasi itu, dan pahala dari orang yang mengikuti inovasi positif itu).132 Adapun kelompok yang berpegang pada aspek syari'at membagi bid'ah menjadi dua bentuk pula; bid'ah al 'âdiyah (bid'ah dalam kehidupan sehari-hari) dan bid'ah ‘ubûdiyyah (bid'ah dalam ibadah). Bid'ah 'âdiyah adalah kebiasaan duniawi yang telah diserahkan oleh Rasulullah Saw kepada umatnya untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, seperti sabdanya: "Antum a'lamu bi umûr al dunyâkum (kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian)".133 Sementara bid'ah 'ubudiyah adalah kegiatan yang menyangkut ibadah, seperti berkumpul bersama pada hari keempat puluh setelah kematian seseorang untuk membaca al-Qur'an guna meminta berkah Tuhan atas orang yang sudah meninggal. Kelompok yang membagi bid'ah menjadi 'adiyah dan 'ubudiyah ini menyatakan keberatannya terhadap praktik semacam itu karena sama sekali baru; jika praktik itu berguna, tentunya dapat ditemukan contohnya dalam Sunnah Nabi dan para sahabatnya.134

Pelarangan

proto-inovasi

itu

bertujuan

untuk

menghindari

kemungkinan diubahnya praktik keagamaan dengan adanya penambahan atau pengurangan yang bisa menimbulkan pada terjadinya perubahan. Di antara yang tidak setuju dengan praktek semacam ini adalah Ibn Taymiyah, dengan dasar hadits Nabi yang berbunyi:"man ahdatha fi amrina hadha ma laysa 'alaihi amruna fa huwa raddun".135 Jadi perdebatan dalam masalah bid'ah dikarenakan adanya dua pendekatan yang berbeda, antara yang menggunakan pendekatan etimologis dan epistemologis. Pendekatan etimologis sifatnya lebih global sehingga lebih melunak dalam mensikapi bentuk bid'ah, karena menurut pendekatan ini, bid'ah adalah ungkapan untuk sebuah inovasi dalam bentuk apapun, termasuk dalam aspek syari'ah. Sehingga, mereka menyatakan adanya bid'ah yang baik dan bid'ah yang kurang baik. Sementara yang memahami bid'ah dengan menggunakan pendekatan epistemologis, menyatakan keberatannya semua bentuk bid'ah dalam aspek ibadah, karena pendekatan epistemologis, lebih mengacu pada aspek syari'ah. Artinya bid'ah yang dimaksudkan Ignaz Goldziher, Muslim Studies terj. C.R. Barber Vol. II, 36-37. Al-Shaqiri, al Sunan wa al Mubtada’at, 20. 134 Ali Mahfuz, al Ibda’, 28. 135 Ibn Taymiyah, Iqtida' al Sirat al Mustaqim, 267. 132 133

60


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dalam Hadits Nabi adalah segala bentuk inovasi dalam hal ibadah atau praktek keagamaan yang tidak pernah dipraktekan oleh Nabi. Sehingga kelompok ini menyatakan keberatannya bentuk segala macam bid'ah karena dianggap menyimpang dari ajaran agama (Islam). Sebenarnya kedua pendekatan di atas bisa dipahami sebagai dua bentuk upaya manusia dalam memahami definisi bid'ah yang secara normative tidak penah dijelaskan oleh Nabi secara rinci apa sesungguhnya makna bid'ah yang dimaksudkan dalam Haditsnya, sehingga kedua pendekatan di atas sama-sama masuk dalam kategori ijtihad yang masih memungkinkan untuk diperdebatkan, dan keduanya samasama masuk dalam kategori perbuatan karena melakukan inovasi dalam menafsirkan sebuah istilah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi sebelumnya. Yang jelas, semua sepakat bahwa bid'ah yang dilarang dalam agama adalah melakukan inovasi yang bertentangan dengan dasar-dasar ajaran agama baik dalam urusan dunia maupun ibadah.

KESIMPULAN Sesungguhnya perdebatan antara keduanya dapat ditemukan dalam kesimpulan sebagai berikut: 1. Semua sepakat bahwa bid'ah, baik dalam aspek ibadah ('ubudiyah) maupun non-ibadah ('adiyah) yang menyimpang syari'at Islam adalah dilarang dalam agama. 2. Perdebatan mengenai bid'ah berkisar tentang batasan bid'ah dalam aspek ibadah yang tidak ditemukan dasarnya dalam sumber otoritatif Islam (alQur'an dan hadits Sahih). Ada kelompok yang membolehkan selama itu baik dan untuk tujuan kebaikan (fada'il a'mal) dan tidak bertentangan dengan syari'at Islam, dengan merujuk kepada praktek yang pernah dilakukan oleh para Sahabat Nabi, di antaranya adalah Umar bin Khattab. Landasan teoritik dari kelompok ini adalah al aslu fi al ashya' al ibahah illa ma dalla al dalilu 'ala tahrimihi. Ada kelompok yang melarang karena dianggap melakukan inovasi yang menyebabkan adanya penambahan dalam aspek ibadah yang telah ditetapkan oleh Nabi, sementara wahyu Tuhan yang disampaikan kepada

61


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Nabi sudah berakhir. Landasan teoritik dari kelompok ini adalah al aslu fi al 'ibadah al tahrimu illa ma dalla al dalilu 'ala ibahatihi. 3. Perdebatan dalam masalah bid’ah berkisar pada pendekatan yang digunakan, antara yang menggunakan pendekatan etimologis dan epistemologis. Pendekatan etimologis sifatnya lebih global sehingga lebih melunak dalam mensikapi bentuk bid'ah, karena menurut pendekatan ini, bid'ah adalah ungkapan untuk sebuah inovasi dalam bentuk apapun, termasuk dalam aspek syari'ah. Sehingga, mereka menyatakan adanya bid'ah yang baik dan bid'ah yang kurang baik. Sementara yang memahami bid'ah dengan menggunakan pendekatan epistemologis, menyatakan keberatannya semua bentuk bid'ah dalam aspek ibadah, karena pendekatan epistemologis, lebih mengacu pada aspek syari'ah. Artinya bid'ah yang dimaksudkan dalam Hadits Nabi adalah segala bentuk inovasi dalam hal ibadah atau praktek keagamaan yang tidak pernah dipraktekan oleh Nabi. Sehingga kelompok ini menyatakan keberatannya bentuk segala macam bid'ah karena dianggap menyimpang dari ajaran agama (Islam).

62


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR PUSTAKA Ali Mahfuz. al Ibda’ fi Madar al Ibtida’. Kairo: Dar al I’tisam, t.t. Al-Shaqiri, Muhammad ‘Abd al Salam. al Sunan wa al Mubtada’at. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1994. al-Shatibi. al I'tisam. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991. Al-Shatibi. al I'tisam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991. Dahlan, Abdul Aziz (ed.) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Goldziher, Ignaz. Muslim Studies terj. C.R. Barber Vol. II. London: George Allen, 1971. Ibn al-Jawzi. Talbis Iblis. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah 994. Ibn Taymiyah. Iqtida' al Sirat al Mustaqim Mukhalafat Ashab al Jahim. Beirut: Dal alKutub al-'Ilmiah, t.t. Minhaji, Akh. Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958). Yogjakarta: Kurnia Salam Semesta Press, 2001. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.

63


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

WAKAF HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN Oleh: Fashihuddin Arafat, S.HI., SH., M.Kn Abstrak : Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 telah merubah paradigma wakaf tanah dalam Hukum Tanah Nasional. Ketentuan Wakaf Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Hak Pengelolaan harus mengikuti ketentuan hukum Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan, diantaranya harus dengan ijin tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. Kata Kunci: Wakaf, Hak Guna Bangunan, Hak Pengelolaan. Abstrac : The Act number 41 of 2004 has changed the paradigm of waqf land in the National Land Law. The provisions of waqf of the Building Use Right over the Land of Management Authority Right must follow the law of the Building Use Right over the Land of Management Authority Right, which must with the written approval of Management Authority holders. Keyword : Waqf, The Building Use Right, The Management Authority Right PENDAHULUAN Lembaga wakaf merupakan pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi bagi masyarakat Indonesia, oleh karena itu perlu dikelola secara efektif dan efisien, guna kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam konsideran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan kandungan nilai ibadah dan manfaat ekonomi, maka dimensi wakaf yang demikian itu, dalam prakteknya telah banyak berkembang di lingkungan masyarakat kita. Hal ini merupakan salah satu faktor akibat dari perintah dalam syariat Islam yang telah memberikan dorongan kepada umatnya untuk melepaskan hak pemilikan sebagian hartanya untuk kepentingan umum dengan imbalan nilai pahalanya tidak akan terputus dan mengalir terus walaupun pemberinya telah meninggal dunia (shadaqoh jariyah). Dengan potensi yang demikian, seyogyanya pemerintah menjadikan lembaga wakaf dengan manfaat ekonominya ini, sebagai salah satu pilar penunjang dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Karena manfaat ekonomi yang ada pada

64


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

lembaga wakaf, jika dikelola dengan baik dan benar akan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Berkembangnya pranata keagamaan, dalam hal ini lembaga wakaf yang masuk kedalam hukum nasional menjadi pranata hukum, mengindikasikan perkembangan hukum nasional kita menjadi sangat dinamis. Namun demikian, lembaga wakaf yang semula adalah pranata keagamaan kemudian menjadi pranata hukum--dengan dijadikannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan--akan menimbulkan terjadinya pergesekan antara

pranata

hukum yang sudah mapan dengan pranata hukum baru yang berupa wakaf. Salah satu contohnya adalah aspek hukum wakaf di bidang hukum pertanahan. Di dalam hukum pertanahan nasional, kita mengenal berbagai macam hak atas tanah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, diantaranya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan lain sebagainya. Dimana hak-hak atas tanah ini merupakan konsep pranata hukum yang sudah ada dalam Hukum Pertanahan Nasional kita, jauh sebelum lembaga wakaf di undangkan. Baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, maupun dalam bentuk Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu pada tanggal 27 oktober 2004 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 159, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459. Mewakafkan Hak Guna Bangunan adalah persoalan hukum yang unik, karena karakteristik wakaf dan hak guna bangunan yang berbeda, belum lagi jika Hak Guna Bangunan itu berada di atas Tanah Hak Pengelolaan. Sebagai ilustrasi bahwa suatu badan hukum atau seseorang dapat mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dan hal ini dimungkinkan karena undang-undang kita mengaturnya, namun bagaimana jika hak atas tanah yang berupa HGB tersebut berdiri diatas tanah HPL dan kemudian di wakafkan? Contoh jelasnya adalah Pemerintah Kota Surabaya sebagai pemegang Hak Pengelolaan berdasarkan Perjanjian Penggunaan Tanah menyerahkan sebagian tanahnya kepada pihak ketiga, yakni Perusahaan swasta (PT), untuk dibangunkan gedung sarana pendidikan yang di dalamnya terdapat sebuah masjid, kemudian pihak PT hendak mewakafkan bangunan masjid, yang merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan.

65


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Di dalam UUPA kita mengenal adanya asas pemisahan horizontal yang ditemukan dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA,136 yaitu “seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya, sejumlah uang sebagai uang sewa”. Asas hukum ini menegaskan bahwa dimungkinkan seseorang atau badan hukum mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, sementara di dalam hukum Islam tentang konsep wakaf tidak melihat aspek hukum ini (asas pemisahan horisontal), bahwa bangunan yang hendak diwakafkan itu ternyata masih berdiri diatas tanah yang bukan miliknya sendiri. Sehingga terdapat persoalan hukum terkait dengan kepemilikan atas harta benda yang hendak diwakafkan. Dari uraian pendahuluan di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : a.

Keabsahan wakaf Hak Guna Bangunan diatas tanah hak pengelolaan.

b.

Keberadaan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang diwakafkan dan telah berakhir jangka waktunya.

PEMBAHASAN 1.

Keabsahan Wakaf Hak Guna Bangunan Diatas Tanah Hak Pengelolaan Umumnya masyarakat Indonesia memahami persoalan wakaf tanah hanya

terbatas pada tanah Hak Milik saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA yaitu “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Hal ini kemudian dipertegas dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah ini kemudian dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. Semua ketentuan tersebut mengarah pada pengertian bahwa tanah yang bisa diwakafkan adalah tanah Hak Milik.

Namun setelah lahirnya Undang-undang No.

41 Tahun 2004, maka perwakafan tanah tidak hanya terbatas pada tanah Hak Milik saja, karena secara eksplisit di dalam Pasal 1 UU. No. 41 Tahun 2004 telah Urip Santoso, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h.53. 136

66


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

menyatakan bahwa wakaf bisa untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu. Wakaf dengan jangka waktu tertentu inilah yang kemudian menurut penulis menjadi embrio lahirnya pemahaman baru bahwa karena wakaf tidak harus untuk selamanya, maka berarti wakaf tanah tidak harus terbatas pada tanah hak milik saja, bisa jadi Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan yang terbatas jangka waktunya juga bisa diwakafkan. 2.

Terjadinya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan Berdasarkan Pasal 4 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, yang

diubah oleh Pasal 4 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan. Dengan demikian terjadinya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan adalah dengan keputusan pemberian hak atas usul pemegang Hak Pengelolaan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. 137 Pasal 21 dan Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa diatas tanah Hak Pengelolaan dapat diberikan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Kewenangan pemegang hak pengelolaan selain menggunakan tanah untuk keperluan sendiri juga dapat menyerahkan bagian-bagian tanahnya untuk kepentingan pihak ketiga dengan hak atas tanah tertentu. Hak atas tanah yang dapat diberikan pada pihak ketiga tersebut adalah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak pakai. Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menetapkan bahwa cara terjadinya Hak Guna Bangunan berdasarkan asal tanahnya, diantaranya yaitu Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan adalah dengan Penetapan Pemerintah dalam bentuk Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Terjadinya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atas usul dari pemegang Hak Pengelolaan. Surat Keputusan Pemberian Hak wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai

137

Urip Santoso, Perolehan Hak Atas Tanah, PT. Revka Petra Media, Surabaya, 2011, h. 40.

67


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

tanda bukti haknya. Hak Guna Bangunan atas tanah negara terjadi sejak Surat Keputusan Pemberian Hak didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 138 Permeneg Agraria/Kepala BPN nomor 9 Tahun 1999 sebagai peraturan yang mengatur salah satunya tentang hak pengelolaan, tidak mengatur kewenangan bagi pemegang hak pengelolaan. Peraturan ini memberikan ketentuan bahwa setiap pemberian hak atas tanah diatas tanah hak pengelolaan wajib dibuatkan perjanjian penggunaan tanah (Pasal 4 ayat 2). Peralihan/pengalihan hak diatas tanah hak pengelolaan bagi pihak ketiga dilandasi oleh Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965. Kewenangan bagi Pemegang Hak Pengelolaan juga dapat dilihat dalam Penjelasan pasal 2 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa hak pengelolaan adalah hak menguasai negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (pemegang HPL), antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Prosedur pemberian hak atas tanah diatas tanah hak pengelolaan berdasarkan PP Nomor 40 Tahun 1996. Perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan yang dimaksud Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 memuat antara lain keterangan mengenai : a. b. c. d. e. f. g.

138

Identitas pihak-pihak yang bersangkutan; Letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud; Jenis penggunaannya; Hak atas tanah yang dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga yang bersangkutan dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk perpanjangannya; Jenis-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak tanah yang diberikan; Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayaranya; Syarat-syarat lain yang dipandang perlu, misal pembatasan pemindahan hak kepada orang lain, untuk jaminan kredit dan sebagainya.

Ibid, h. 41.

68


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Pemegang hak pengeloaan berkewajiban untuk melengkapi berkas-berkas permohonan serta syarat-syarat yang harus ditaati oleh penerima hak atas tanah tersebut. Setelah pihak ketiga menerima/memperoleh hak atas tanah tertentu beserta sertifikat hak atas tanahnya, bukan berarti hubungan antara pemegang hak pengelolaan dengan tanahnya menjadi putus/hapus. Pemegang hak pengeloaan tetap memiliki kewenangan terhadap tanahnya khususnya yang berkaitan dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah tersebut. Pihak ketiga walaupun sudah berkedudukan sebagai pemegang hak atas tanah harus tetap tunduk dan menyesuaikan dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang ditetapkan oleh pemegang hak pengelolaan. 3.

Pelaksanaan Wakaf Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan Pasal 2 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa wakaf sah

apabila dilaksanakan menurut syariah dan Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf yaitu adanya wakif, nadzhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Pengertian dari masing-masing unsur wakaf dalam pasal 6 tersebut diatas telah dijelaskan pada bab I penelitian ini, namun untuk menguji keabsahan wakaf Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan, maka perlu dijelaskan lebih detail tentang unsur wakaf tersebut. a) Wakif Pasal 1 angka 2 UU. No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Di dalam pasal 7 juga disebutkan bahwa wakif meliputi: a. perseorangan; b. organisasi; c. badan hukum. Syarat wakif perseorangan disebutkan dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004 yaitu Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: a. dewasa;

69


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

b. berakal sehat; c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan d. pemilik sah harta benda wakaf. Syarat wakif organisasi disebutkan dalam pasal 8 ayat (2) UU. No. 41 Tahun 2004 yaitu wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Syarat wakif badan hukum disebutkan dalam pasal 8 ayat (3) UU. No. 41 Tahun 2004 yaitu wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. b) Nadzhir Pasal 1 angka 4 UU. No. 41 Tahun 2004 mengatakan bahwa Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Di dalam pasal 9 UU. No. 41 Tahun 2004 juga disebutkan bahwa Nadzhir meliputi: a. perseorangan; b. organisasi; atau c. badan hukum. 4.

Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan yang diwakafkan Pasal 1 angka 5 UU. No. 41 Tahun 2004 mengatakan bahwa harta benda

wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif. Pasal 15 UU. No. 41 Tahun 2004 mengatakan bahwa Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara sah.

70


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Harta benda yang dapat diwakafkan dapat dilihat pada ketentuan pasal 16 ayat (1) UU. No. UU. No. 41 Tahun 2004 yaitu terbagi dalam dua kelompok, yakni (a) benda tidak bergerak dan (b) benda bergerak. Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan merupakan bagian dari kelompok (a) atau sebagaimana Pasal 16 ayat (2) huruf (a) yaitu benda tidak bergerak yang berupa hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar. Lebih dipertegas lagi di dalam pasal 17 ayat (1) huruf (c) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa hak atas tanah yang dapat di wakafkan terdiri dari hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik wajib mendapat izin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik. Pada Pasal 17 ayat (2) PP. No. 42 Tahun 2006 dinyatakan apabila wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tersebut dimaksudkan sebagai wakaf

untuk selamanya, maka diperlukan pelepasan hak dari pemegang hak

pengelolaan atau hak milik. Kemudian Pada Pasal 17 ayat (3) PP. No. 42 Tahun 2006 tersebut dinyatakan bahwa hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki atau dikuasai oleh Wakif secara sah serta bebas dari segala sitaan, perkara sengketa, dan tidak dijaminkan. Dengan demikian berarti secara yuridis ketentuan tentang wakaf Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan mempunyai dasar hukum yang jelas dan konkrit. Oleh karena tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan mempunyai batas jangka waktu tertentu yaitu berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun, maka wakaf tanah ini harus disesuaikan dengan jangka waktu tersebut.

71


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Tanah yang diwakafkan bisa sudah bersertipikat atau baru bertanda bukti petuk pajak bumi/landrente, girik, ketitir, pipil, verponding indonesia, IPEDA, TREDA, atau kutipan letter c. 139 5.

Ikrar wakaf Pasal 1 angka 3 UU. No. 41 Tahun 2004 mengatakan bahwa Ikrar Wakaf

adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Pasal 17 ayat (1)

UU. No. 41 Tahun 2004 mengatakan Ikrar wakaf

dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Pasal 20 UU. No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan, yaitu : a. dewasa; b. beragama Islam; c. berakal sehat; d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Ikrar Wakaf tersebut dinyatakan secara lisan dan/atau

tulisan serta

dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. [Pasal 17 ayat 2 UU No. 41 Tahun 2004]. Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. [Pasal 18 UU. No. 41 Tahun 2004). Untuk

dapat

melaksanakan

ikrar

wakaf,

wakif

atau

kuasanya

menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. [Pasal 19 UU. No. 41 Tahun 2004]. Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU. No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

139

Urip Santoso, Artikel : Wakaf Tanah Hak Milik, h. 13.

72


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

a. nama dan identitas Wakif; b. nama dan identitas Nazhir; c. data dan keterangan harta benda wakaf; d. peruntukan harta benda wakaf; e. jangka waktu wakaf . 6.

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta ikrar wakaf. Pejabat Pembuat Akta Ikrar wakaf adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dijabat oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.140 7.

Peruntukan harta benda wakaf Peruntukan harta benda wakaf dapat diketahui pada Pasal 22 Undang-undang

No. 41 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi : a. Sarana dan kegiatan ibadah; b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 23 ayat (1) UU. No. 41 Tahun 2004 dinyatakan bahwa penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf . Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. [Pasal 23 ayat (2) UU. No. 41 Tahun 2004].

140

Ibid. h. 14.

73


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

8.

Jangka waktu wakaf Sebagaimna dijelaskan pada bab I bahwa terkait unsur jangka waktu, terdapat

banyak perbedaan baik di dalam hukum Islam maupun dalam tata hukum nasional kita, hal ini disebabkan tidak ada konsep tunggal tentang wakaf, oleh karena itu kita akan dihadapkan pada pendapat yang sangat beragam tentang hal ini. Di dalam Pasal 215 ayat (1) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa wakaf dilaksanakan untuk selamalamanya. Begitu juga Pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 yang menyatakan bahwa wakaf dilaksanakan untuk selama-lamanya. Baru Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 2004, Wakaf dilaksanakan dengan 2 (dua) opsi, yaitu bisa untuk selama-lamanya atau dengan jangka waktu tertentu. Sebenarnya perbedaan jangka waktu ini sudah lama terjadi di dalam hukum Islam sebelum lahirnya undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali yang menyatakan bahwa para ulama mazhab, kecuali Maliki, berpendapat wakaf tidak terwujud kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk selama-lamanya dan terus menerus. Itu pula sebabnya, maka wakaf disebut sebagai shadaqah jariyah. Jadi kalau orang yang mewakafkan itu membatasi waktunya untuk jangka waktu tertentu, maka apa yang dilakukannya itu tidak bisa disebut sebagai wakaf dalam pengertiannya yang benar.141 Namun Maliki mengatakan bahwa wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bisa berlaku untuk waktu satu tahun misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula.142 Tampaknya perbedaan jangka waktu tersebut muncul diantaranya karena perbedaan pandangan terkait dengan siapa pemilik barang yang diwakafkan kalau wakaf sudah dilaksanakan? Apakah esensi kepemilikan atas barang tersebut masih tetap berada di tangan pemiliknya semula, ataukah kepemilikan barang itu berpindah kepada pihak yang diberi wakaf, atau sudah tidak punya pemilik sama sekali, dan itulah yang disebut dengan kehilangan kepemilikan. 141 142

Muhammad Jawad Mughniyah, Op.cit., h. 636.. Ibid.

74


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Terdapat berbagai pendapat dikalangan para ulama mazhab. Maliki berpendapat bahwa, esensi kepemilikan atas barang tersebut tetap berada di tangan pemiliknya semula, tetapi sekarang dia tidak diperbolehkan menggunakannya lagi. Hanafi mengatakan barang yang diwakafkan itu sudah tidak ada pemiliknya lagi, dan pendapat ini juga merupakan pendapat paling kuat di antara beberapa pendapat di kalangan Syafi’i. (lihat Fath Al-Qadir, Jilid V bab Al-Waqf, dan Abu Zahrah, Al-Waqf). Hambali mengatakan barang tersebut berpindah ke tangan pihak yang diwakafi.143 9.

Prosedur Pendaftaran Wakaf Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak Pengelolaan Pendaftaran tanah merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka

mewujudkan adanya jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Prosedur pendaftaran Wakaf Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat dijelaskan sebagai berikut a) Pembuatan Akta Ikrar Wakaf Pihak yang hendak mewakafkan Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan (wakif) diharuskan datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf. Pelaksanaan ikrar dan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Dalam melaksanakan ikrar wakaf, pihak yang mewakafkan Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat, yaitu: a.

143

Ijin tertulis pemegang Hak Pengelolaan;

Ibid. h. 638.

75


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

b.

Sertipikat Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan;

c.

Surat keterangan dari Kepala Desa/Kepala Kelurahan yang diperkuat oleh Kepala

Kecamatan

setempat

yang

menerangkan

kebenaran

pemilikan/penguasaan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa; d.

Bukti identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku. Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Akta Ikrar Wakaf, adalah sebagai

berikut: a. Nama dan identitas wakif; b. Nama dan identitas nadzhir; c. Data dan keterangan mengenai tanah yang diwakafkan; d. Peruntukan tanah wakaf; e. Jangka Waktu Wakaf; f. Nama pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW); g. Nama dan Identitas para saksi. b) Pendaftaran Wakaf Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan. Setelah Akta Ikrar Wakaf dibuat, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan pendaftaran wakaf Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.144 Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Undang-undang No. 41 Tahun 2004, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama Nazhir mendaftarkan Wakaf Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Akta Ikrar wakaf ditandatangani. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-undang No. 41 Tahun 2004, Untuk keperluan pendaftaran wakaf tersebut, harus diserahkan : a.

Salinan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh PPAIW setempat;

b.

Sertipikat Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan;

144

Ibid. h. 18.

76


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

c.

Surat pengesahan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat mengenai Nazhir yang bersangkutan.

d.

Ijin tertulis pemegang Hak Pengelolaan; (Pasal 17 ayat (1) huruf c PP. 42 Tahun 2006); Permohonan pendaftaran wakaf tanah yang belum terdaftar atau belum

bersertipikat dilakukan bersama-sama dengan permohonan pendaftaran haknya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, dengan keharusan menyerahkan: a.

Surat Permohonan konversi/penegasan haknya;

b.

Surat-surat bukti pemilikan tanahnya serta surat-surat keterangan lainnya yang diperlukan sehubungan dengan permohonan konversi dan pendaftaran haknya;

c.

Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh PPAIW setempat;

d.

Surat pengesahan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat mengenai Nazhir yang bersangutan. 145

e.

Ijin tertulis pemegang Hak Pengelolaan; (Pasal 17 ayat (1) huruf c PP. 42 Tahun 2006); Kepala Kantor Pertanahan Kebupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi

letak tanah yang bersangkutan setelah menerima permohonan pendafataran wakaf hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan kemudian mencatat wakaf tersebut pada buku tanah dan sertipikat tanah yang bersangkutan. Jika tanah wakaf hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan yang diwakafkan tersebut belum terdaftar atau belum bersertipikat, maka pencatatan wakaf dilakukan seteah tanah tersebut dibuatkan sertipikatnya. Berdasarkan Akta ikrar Wakaf yang dibuat oleh PPAIW, oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan dilakukan : a.

Pencoretan nama/nama-nama pemegang hak yang lama yaitu wakif;

b.

Mencantumkan kata-kata “WAKAF� dengan huruf besar di belakang nomor Hak Guna Bangunan yang bersangkutan pada Buku Tanah dan Sertipikatnya;

145

Ibid. h. 19.

77


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

c.

Mencantumkan kata-kata : “Diwakafkan untuk, ... berdasarkan Akta Ikrar Wakaf PPAIW Kecamatan ... tanggal ... Nomor ...” pada halaman tiga kolom “sebab perubahan” dalam Buku Tanah dan Sertipikatnya.

d.

Mencantumkan nama/nama-nama Nazhir pada halaman tiga kolom nama yang berhak dan pemegang hak lainnya “ dalam Buku Tanah” dan sertipikatnya. Syarat sahnya pelaksanaan pendafataran wakaf hak guna bangunan di atas

tanah hak pengelolaan ada 2 (dua) yaitu : a.

Syarat materiil Orang yang mewakafkan hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan sudah dewasa, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, sedangkan nazhir yang perseorangan adalah warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Syarat yang terpenting adalah adanya ijin tertulis dari Pemegang Hak Pengelolaan.

b.

Syarat formal Tanah hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan yang diwakafkan harus dibuktikan dengan akta ikrar wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Dengan akta ikrar wakaf tersebut, kemudian di daftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk diterbitkan sertipikat wakaf.

10. Keberadaan Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Pengelolaan Yang Diwakafkan Dan Telah Berakhir Jangka Waktunya a) Hapusnya Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan Jika wakaf Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan ingin dilanjutkan maka berdasarkan ketentuannya, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) tahun. [Pasal 25 PP. No. 40 Tahun 1996]. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah

78


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mendapat persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. [Pasal 26 ayat (2) PP. No. 40 Tahun 1996]. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. [Pasal 27 PP. No. 40 Tahun 1996]. Jika perpanjangan waktu tidak dilakukan maka berdasarkan Pasal 40 UUPA jo. Pasal 35 PP. No. 40 Tahun 1996 Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan menjadi Hapus. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 40 UUPA, Hak Guna Bangunan (HGB) hapus karena : a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat c. tidak dipenuhi; d. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; e. dicabut untuk kepentingan umum; f. diterlantarkan; g. tanahnya musnah; h. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2). Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syaratsyarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna-bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hapusnya Hak Guna Bangunan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 35 Pemerintah Pemerintah No. 40 Tahun 1996, faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan adalah :

79


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

1) Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya; 2) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir karena : (a) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Guna Bangunan; (b) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; (c) Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya terakhir; 4) Hak Guna Bangunannya dicabut (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1961); 5) Ditelantarkan; 6) Tanahnya Musnah; Dalam hal tanahnya musnah Hak Guna Bangunan hapus sejak musnahnya tanah itu. [Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf (f)] 7) Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGB. b) Akibat Hukum Bagi Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan Yang Diwakafkan dan Telah Berakhir Jangka Waktunya Dengan berakhirnya Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan, maka berarti berakhir pula jangka waktu wakaf yang telah ditentukan pada saat ikrar wakaf dilaksanakan. Hal ini dikarenakan konsekuensi hukum dari wakaf Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan adalah bahwa wakaf jenis ini termasuk wakaf dengan jangka waktu tertentu, karena karakter Hak Guna Bangunan yang terbatas jangka waktunya. Sehingga wakaf Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan ketentuan wakafnya harus mengikuti ketentuan hukum Hak Guna Bangunan. karena Hak Guna Bangunan merupakan Harta benda yang diwakafkan, yang merupakan salah satu unsur sahnya wakaf, sehingga keberadaannya harus ada. Jika harta benda wakaf dalam hal ini Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak

80


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Pengelolaan ini menjadi hapus maka unsur keabsahan wakaf menjadi hilang dan menjadi batallah wakaf tersebut. Dengan hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 Pemerintah Pemerintah No. 40 Tahun 1996 maka mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. [Pasal 36 ayat (2) PP. No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal 10 Permendagri No, 1 Tahun 1977] Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud Pasal 35 PP. No. 40 Tahun 1996, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas Hak Milik. [Pasal 38 PP. No. 40 Tahun 1996]. Adapun penyelesaian penguasaan bekas Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus dilaksanakan sesuai perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan antara pemegang Hak Pengelolaan dan pemegang Hak Guna Bangunan. [Penjelasan Pasal 38 PP. No. 40 Tahun 1996]. PENUTUP Wakaf Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan adalah sah jika syarat formil dan syarat materiil terpenuhi, yaitu diantaranya wakaf tersebut harus mendapat ijin tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. Keberadaan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang diwakafkan dan telah berakhir jangka waktunya mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelola. Pada Akhirnya, perlu adanya kajian lebih mendalam terhadap aspek hukum wakaf tanah yang lain, sebagai bentuk upaya dalam rangka sinkronisasi ketentuan hukum wakaf dengan hukum pertanahan nasional. Sehingga arah perkembangan hukum nasional kita sesuai dengan harapan masyarakat dan cita-cita bangsa Indonesia

81


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR BACAAN Buku : Abdurrachman. H., Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, edisi revisi, Citra Bakti, Bandung, 1994. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia ; Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Lentera, Jakarta, 1996. Santoso, Urip, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012. __________ , Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010. Sierrad, H.M. Zaki, Hukum Agraria di Indonesia: Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006.

Jurnal/Majalah/Makalah : Ramelan, Eman, Hak Pengelolaan Setelah Berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, Majalah Yuridika, Vol. 15 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, MeiJuni 2000. ______________, Hak Pengelolaan, Yuridika, Vol. 15. No. 3 Mei-Juni 2000 : 192-206. Sumardji, Dasar dan Ruang Lingkup Wewenang dalam Hak Pengelolaan, Majalah Yuridika, Vol. 21 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Mei 2006. Santoso, Urip. Wakaf Tanah Hak Milik, Juni 2014.

Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459);

82


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4667); Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643); Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3107); Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan Penjelasannya, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696); Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah Negara, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 14; Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Kebijaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan selanjutnya; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan; Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-3433 tertanggal 17 September 1998.

83


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

KONSEP CINTA SUFI RȂBI’AH AL-‘ADAWIYYAH Oleh : Fikri Mahzumi Abstract: This article is effort to explore the conception of Rȃ bi’ah Al‘Adawiyyah about her spiritual experience on sufism. According to her, love was actualized as “al-ḥ ubb al-ilâhi and al-khullah”. Both terms explain into her poems and idoms these mean a system of love. Therefore she stands out among the early ascetics like a star of Divine love. It must be noted that Rabi'a had not completely built an original system of love to deserve such a title. What she did was to emphasise the importance of disinterested love for God; and this was much needed at her time. She basically divided love on the basis of its motives, that is, whether the love is motivated by self-interest or not. This simple division proved to be very successful: it became a central theme in almost all Sufi books, and inspired individual Sufi’s theories on love. In addition to her contribution to the concept of love, Rabi`a is also important inasmuch as she is one of the original female Sufis emerging in the eighth century. This is important since it shows that Sufism gave women the greatest opportunity to attain the rank of sainthood. As a result, the title of saint was bestowed upon women equally with men. Key words: Rȃ bi’ah, al-ḥ ubb al-ilâhi, al-khullah and tasawwuf

PENDAHULUAN Selama ini kajian Islam sering kali identik dengan karakter maskulin daripada feminin yang diwarisi dari tradisi keilmuan barat. Dalam sejarah filsafat barat misalnya, hampir tidak kita temukan filsuf besar dari kaum hawa yang berkontribusi dalam perkembangan kefilsafatan. Hal demikian bisa jadi bukan karena tidak ada sosok perempuan yang berfilsafat, melainkan bentuk dari sikap dominasi kaum Adam dalam sejarah peradaban manusia, termasuk keilmuan. Rupanya sikap tidak simpatik terhadap perempuan terbangun dalam kurun waktu yang sangat lama, termasuk kaitannya dengan studi keislaman. Skeptisisme barat atas sisi kemanusiaan perempuan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang perempuan, “Apakah perempuan tergolong suatu benda atau manusia? Apakah perempuan hanya berfungsi sebagai alat penyenang kaum Adam ataukah mereka masih memiliki watak dan sisi kemanusiaan?

84


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Pelbagai pertanyaan terus bermunculan dan berakhir pada satu kesimpulan yang menyatakan bahwa perempuan tak memiliki peran sama sekali dalam intelektualisme manusia. Entitas perempuan dianggap tak memiliki hak menikmati kehidupan dan turut andil membangun peradaban. 146 Demikianlah stigma ini mengakar hingga akhirnya Islam datang mengangkat harkat dan martabat perempuan. Fakta ini kian berpijar dengan aktifitas Nabi ketika menggelar ḥ alaqah keilmuan. Di mana Nabi memberikan hak meniti dan mengembangkan ilmu pada laki-laki dan perempuan dalam porsi yang sama. Dalam banyak pertemuan misalnya, Nabi turut menyertakan kaum perempuan untuk menyiarkan dakwahnya. Persamaan hak pendidikan antara kaum Adam dan Hawa yang dilakukan Nabi melahirkan munculnya teladan-teladan kaum Hawa yang signifikan. Semisal Khadîjah binti Khuwailid. Beliau terlahir sebagai sosok cerdas yang mampu memberikan perlindungan pada Nabi ketika berselimut duka. Simbol penenang Nabi dalam kekalutan dan penyelesai berbagai persoalan yang menimpa Nabi dalam tugasnya sebagai utusan. ‘Aisyah juga mewakili perempuan yang patut dijadikan teladan dalam intelektualisme perempuan. Sebagai salah satu perawi hadis Nabi terbanyak. Ia juga perempuan cerdas yang disebut Nabi dalam sabdanya, “Ambillah setengah pengetahuan agamamu (Islam) dari perempuan yang wajahnya merah merona ini.” 147 Beberapa era kemudian, terlahir sosok-sosok muslimah yang pandai mencarup ilmu agama dan menebarkannya pada masyarakat semisal Ummu ‘Ammar b. Yasir dan Sayyidah Zainab yang memberikan dorongan penuh pada Imam Husein hingga kematiannya. Sosok lain yang tak lupa kita sebut, Sayyidah Nafisah, muhaddis dan ahli fikih yang darinya, Imam Syafi’i menuntut ilmu-ilmu Islam. Namun, sejarah intelektualisme perempuan redup kembali setelah pernah dicerahkan pada masa awal Islam. Sedikit sekali pekembangan disiplin ilmu yang mencantumkan tokoh perempuan pada masa sesudahnya sampai muncul pada abad ke 9 sosok teosofis perempuan yakni Râbi’ah al-’Adawiyah, seorang perempuan suci

Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi Adakah dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1998, cet. I, hal. 9. 147 Al-Sayyid Hasan Mansûr, Râbi’ah al-’Adawiyah; al-’Âbidah al-Zâhidah Baina al-Ḥ ubb alIlâhî wa al-Ma’rifah, Maktabah al-Husain al-Islâmiyah, 2000, hal. 41. 146

85


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

abad 2 H/8 M. Ia yang pertama membuat bahasa cinta menjadi pokok kosakata rohani Islam148 dan bersaham besar dalam memperkenalkan cinta Allah dalam mistisisme Islam149 serta mengajarkan al-ḥ ubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.150 Margaret Smith menilai Râbi’ah sebagai pelopor doktrin ini dan mengkombinasikan dengan pengalaman kashfi, terbukanya hijab pada akhir tujuan Sang Kekasih, oleh pecintanya151. Schimmel menyebut Râbi’ah sebagai wanita penyendiri dalam keterasingan suci, diterima oleh para lelaki sebagai Mariam tanpa noda yang kedua dan memberikan warna mistik sejati. 152 Dengan Konsep al-ḥ ubb yang dipilih Râbi’ah sebagai corak tasawufnya menurut klasifikasi A. Rivay Siregar salah satu bentuk keragaman aliran tasawuf yang tidak lepas dari latar sosok sufi tersebut, yaitu: 1) Perbedaan objek dan sasaran tasawuf. 2) Perbedaan kedekatan atau jarak antara manusia dengan Tuhan, dan 3) Perbedaan geografis, dengan melihat daerah munculnya tasawuf. 153 Muhammad Mahdi al-Ashifi menuturkan, bahwa Ja`far Shadiq (w. 765 H) dalam membagi pengabdi kepada Allah. Pertama, yang menyembah Allah karena takut, sebagai ibadahnya hamba sahaya, kedua, untuk mengharapkan imbalan, seperti pedagang, ketiga, disebabkan rasa cinta. Terakhir itu yang merdeka dan utama. 154 Oleh karena itu, upaya pencarian ridha Allah dan peribadatan kepada-Nya (tunduk dan patuh) karena didasari rasa cinta (almaḥabbah/al-ḥubb), sebagai ibadah tingkat tertinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa Sachiko Murata, terj. Rahmani Astuti dan M. S. Nashrulah, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, cet. VI, (Bandung: Mizan, Jumada Al-Tsaniyah 1419/Oktober 1998), h. 329. 149 Fariduddîn al-‘Attâr, terj. Anas Mahyuddin, Warisan Para Awliya, cet. II, (Bandung: Pustaka, 1415 H/1994 M), h. 47. 150 A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), h. 76. 151 Margareth Smith, terj. Jamilah Baraja, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, cet. IV, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 110. 152 Annemarie Schimmel, terj. Sapardi Djoko Damono dkk., Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 38 dan tentang arti kata mistik, asal kata Yunani ‘myein’, lih. Ibid., h. 1, 2. 153 A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme…, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), h. 52 – 53. Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, terj. Tim Penerjemah Bumi Aksara, Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 2, Ciri ini dibentuk oleh pengaruh lingkungan …yang kemudian tumbuh dan berkembang pesat di kalangan masyarakat. 154 Syaikh Muhammad Mahdi Al-Ashify, terj. Ikhlash, dkk., Muatan Cinta Ilahi dalam DoaDoa Ahlul Bayt, cet. II, (Bandung: Pustaka Hidayah, Jumada al-Ula 1416/Oktober 1995), h.14. 148

86


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

apa yang menjadi pengalaman sufistik Râbi’ah merupakan upaya yang memiliki latar belakang yang perlu untuk ditelaah lebih lanjut untuk menunjukkan gambaran utuh pengalaman spiritualnya. Berdasarkan paparan di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memahami secara mendalam sistem cinta yang dikembangkan pertama kali oleh Râbi’ah dalam sejarah tasawuf melalui konsepnya al-khullah dan al-hubb al-ilâhî, dan oleh penulis diistilahkan dengan cinta sufi. Telaah ini dilakukan dengan upaya menangkap ide pokok dan menguraikan gagasan-gagasan Râbi’ah yang sering diungkapkan dalam bentuk syair tentang pengalaman spiritualitasnya dengan menggunakan alat analisis dari sumbersumber kajian tasawuf. Selain itu juga dimaksudkan untuk membantah pemahaman umum tentang dominasi maskulinitas dalam dunia intelektual, khususnya tasawuf. Limitasi Cinta (al-Ḥ ubb) Untuk mendapat citra awal tentang cinta (al-hubb) yang nanti digunakan dalam memahami gagasan cinta Rabi’ah, perlu dijelaskan pengertiannya secara umum. Secara bahasa al-hubb diartikan mayl al-thab’i ila al-syay’ al-ladzadz155 (kecenderungan terhadap sesuatu yang melezatkan). Dalam terminolgi Islam, cinta terbagi menjadi 2: cinta sejati (al-hubb al-haqiqi) dan cinta profan (al-hubb al-danasi). Istilah pertama untuk menunjukkan cinta antara seorang hamba dengan tuhan dan istilah kedua menunjukkan cinta antara hamba dengan selai tuhan.156 Dan bahasan dalam tulisan ini merupakan penjelasan dari tema cinta sejati. Meskipun untuk masuk pada gambaran tema ini tidak bisa terlepas dari tema cinta profan, sebagaimana Schimmel berkesimpulan, para sufi mengekspresikan cinta sejatinya kepada Allah dalam bentuk simbol-simbol yang diambil dari cinta manusia.157 Defenisi al-Qushairi menjelaskan, kata al-mahabbah diambil dari kata habab (gelembung) di atas air, sebab cinta merupakan puncak perasaan yang muncul dalam

Al-Ab Luwîs Ma`lûf al-Yasû`iy, al-Munjid fî al-Lughah wa al-Adab wa al-`Ulûm, (Bayrût: al-Mathba`ah al-Kâthûlîkiyyah, al-Taba`ah al-Thâminah `Asyrah, t.th.), h.113. 156 Ibn Taymiyyah, Taful al-Ijmal fi ma Yajib Lilla min al-Sifat al-Kamal, MRM, 3, (Short edition), h.66; J. N. Bell, Love Theory in Later Hanbalite Islam, h.76 157 A. Schimmel, Mystical Dimensions, h.5 155

87


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

hati.158 al-Hujwiri menyimpulkan al-maḥ abbah berakar dari kata al-ḥ ibbah, artinya benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Sebab cinta ibarat sumber kehidupan sebagaimana benih-benih yang merupakan asal mula tanaman. Cinta adalah luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasih, sebagaimana badan bisa hidup karena ada ruh, begitu pula hati dapat hidup karena ada cinta, dan cinta bisa hidup, karena melihat dan bersatu dengan kekasih.159 Sebagaimana dikutip al-Kalabadzi, tokoh teosofi al-Junayd menyimpulkan bahwa cinta adalah kecenderungan hati. Kecenderungan kepada Tuhan dan apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa dipaksa. Seumber lain menambahkan, cinta adalah penyesuaian, kepatuhan atas apa yang diperintahkan oleh Tuhan, menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya dan puas dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya. Ibn Abd al-Samad berkesimpulan cinta mendatangkan kebutaan dan ketulian; cinta membutakan segalanya, kecuali terhadap Yang Dicintai, sehingga orang itu tidak melihat apapun kecuali Dia.160 Margaret Smith mengatakan, “al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni cinta, …kehamonisan dengan Sang Kekasih, penghapusan semua kualitas pecinta, penegakan esensi Sang Kekasih (Allah), dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi. Sedang bagi alJunayd, cinta itu sebagai peleburan di dalam keagungan Sang Kekasih dalam wahana kekuatan sang pecinta. Kata Abu Abdullah, cinta itu berarti memberikan semua yang engkau miliki kepada Allah yang sangat engkau cintai, sehingga tidak ada lagi sisa dalam dirimu. Sedang kata asy-Syibli hal itu disebut cinta, sebab ia menghapuskan semua kecuali Sang Kekasih dan cinta adalah api yang akan melalap semua kecuali Kehendak Ilahi”.161 Selanjutnya, menurut Harun Nasution, “al-mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada al-mahabbah

158

al-Qushairi al-Naisaburi, Peny. Umar Faruq. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Jakarta, Pustaka Amani, Jumadil Akhirah 1419/Oktober 1998., h.477-478. 159 Muhammad b. Ibrahim b. Ya`qub al-Bukhari al-Kalabadzi, terj. Rahmani Astuti, Ajaran Kaum Sufi, (Bandung: Mizan, Rajab 1405/April 1985), h.138-139. 160 al-Qushairi, Risalah…(terj.), h. 478, 479 dan 481. 161 Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.70.

88


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

antara lain sebagai berikut: 1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan padaNya; 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi; 3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi”.162 Dalam termenologi al-mahabbah, ada 3 (tiga) unsur pembangun berdasar uraian pengertiannya, yakni ridla (kepuasan hati), syawq (kerinduan) dan uns (keintiman). Unsur al-ridla bisa diartikan ketaatan tanpa disertai banyak penyangkalan seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta. Juga diartikan wujud ketaatan hati terhadap semua keputusan Allah dan kepasrahan jiwa dalam menyikapi qadla dan qadar Allah, artinya manusia memantapkan hati dan menerima secara total terhadap segala keputusan Allah dengan bahagia. Sedang al-syawq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih. Dalam kondisi ini, jiwa manusia terasa terbakar oleh perasaan rindu kepada Allah. Sementara al-uns adalah kondisi kejiawaan yang dialami manusia ketika merasa dekat sekali dan menangkap kehadiran Allah tanpa ada penghalang. Kondisi cinta yang sempurna, di mana seorang hamba akan selalu mengingat Allah di dalam hati, kebahagiaan, kesenangan, kerinduan membara dan keintiman mendalam kepada Allah.163 SKETSA HIDUP RÂBI’AH al-’ADAWIYAH Meskipun biografi Râbi’ah dalam analisis akademis masih menyisakan pertanyaan tentang keabsahan sumber yang ada, seperti yang telah diajukan oleh Baldick dalam pernyataan akademisnya, bahwa keberadaan Râbi’ah sebagai figur sejarah masih bisa dipertanyakan validitasnya. Bukan hanya pada ranah teks yang dinisbatkan kepada figur Râbi’ah saja, Baldick juga sangsi atas keberadaan sosok tokoh teosofi ini. 164 Tetapi literasi akademis yang digunakan Baldick atas tuduhannya masih lemah. Râbi’ah binti Ismail al-‘Adawiyah al-Basriyah berdasarkan analisis M. Smith adalah anak perempuan keempat dalam keluarganya, oleh sebab itu dipanggil dengan sebutan ‘rabi’ah’ (keempat) yang dilahirkan dengan latar Basrah kala itu yang Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1994), h.130-131. Abdul Mun`im Qandil, Figur…(terj.), h.188 dan bandingkan dengan Muhammad Atiyah Khamis, Penyair…(terj.), h.61. 164 See J. Baldick, 'The legend of Rabi`a. of Basra: Christian antecedents, Muslim counterparts.' Religion. v. 20, 1990. h.233-247; J. Baldick, Mystical Islam, (London: I. B. Tauris & Co. Ltd, 1992), h.29 162 163

89


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

berperadaban tinggi. Ayahnya bernama Isma’il, seorang yang dikatagorikan sebagai kaum papa. Meskipun demikan Isma’il merupakan seorang yang ahli ibadah. Sedang gelar yang sering disematkan kepada Rabi’ah, ‘al-‘Adawiyah dan al-Qaysiyah’ lebih sebagai identitas kesukuan, yakni suku Qays b. ‘Ady.165 Sufi perempuan ini lahir sekitar tahun 95 H/99 H (717 M) di Basra dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kota itu. Ia wafat pada tahun 185 H (801 M) dan dikebumikan di Basra.166 Menurut ‘Attar, Râbi’ah terlahir di keluarga miskin. Ketika mencapai usia remaja, Ayahnya meninggal dan ia menjadi yatim. Kondisi yang sangat sulit menyebabkannya harus berpisah dengan saudaranya. Dalam kesendirian kemudian ia bertemu dengan seseorang yang menjualnya sebagai budak. Kehidupan Ra’biah setelah menjadi budak memaksanya untuk bekerja keras untuk melayani keluarga tuannya sepanjang hari, namun demikian pada malam hari Râbi’ah masih menyempatkan untuk bermunajat dengan Allah. Sampai kemudian tuannya mengalami kejadian menakjubkan yang ia temukan pada diri Râbi’ah ketika melaksankan sholat. Dari kepala Râbi’ah terpancar cahaya yang sangat terang. Maka pada pagi harinya, tuannya memerdekakan Rabi’ah. Setelah menjadi wanita merdeka, ia pergi ke gurun dan tinggal di sana beberapa waktu kemudian kembali ke Basra dimana pengalaman sufistik cintanya semakin mendalam. Kehidupan keras yang dialami Râbi’ah sejak kecil sampai dewasa membentuk karakter psikisnya sebagai perempuan yang mandiri dan hanya bersandar pada Allah. Riwayat lain menyebutkan, ketika Râbi’ah berada di Makah untuk melaksanakan haji, ia bertemu dengan Ibrahim b. Adham dan terjadilah diskusi antar keduanya yang menggambarkan sosok Râbi’ah dengan jelas sebagai sufi yang mengalami pengalaman cinta yang luar biasa kepada Allah. Di ibaratkan haji adalah puncak dari semua pengalaman ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, dimana pengasih (hamba) dan kekasih (Allah) ditemukan dalam ritual ini. Pada masa hidupnya, Râbi’ah dinarasikan sebagai perempuan yang tidak menikah, meskipun ia tidak anti pernikahan. Kondisi ini lebih pada efek kondisi spiritualnya yang telah menemukan hakikat dari cintanya kepada al-Khaliq. Pada pengalaman hidupnya, ada beberapa lamaran yang ditujukan kepadanya untuk 165 166

Ibn al-Mulaqqin, U A, Tabaqät al-Awliya’, h.408 Ibn Khallikan, Wafayät al-A`yän, p.287; Ibn al-‘Imad, Shadharät Al-Dhahab v.2 h.157

90


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

menikah dari beberapa lelaki dari kalangan bangsawan dan sufi semisal ‘Abd. Wahid b. zayd (792 M), Muhammad b. Sulaiman al-Hashimi (172 H.) dan dari sufi masyhur kala itu Hasan al-Basri (w. 728 M) meskipun kronologis kesejarahannya untuk kasus Hasan al-Basri rancuh, jika kita perhatikan perbandingan masa hidup dua tokoh tersebut. Namum semua lamaran pernikahan itu ditolak oleh Râbi’ah dengan argumentasi sufistis yang menjadikan Râbi’ah populer dengan konsep cinta sufinya. EKSPRESI CINTA SUFI RÂBI’AH ADAWIYAH Râbi’ah meraih derajat kejernihan rohani secara bertahap hingga pada tahap paripurna. Pencapaiannya ini tak didasari taklid, akan tetapi merujuk pada tabi’at anugerah Ilahi. Sebagaimana dikisahkan Abû al-Qâsim al-Nîsâbûrî, suatu hari Hayyûnah, salah seorang tokoh sufi perempuan mengunjungi Râbi’ah dan mendapatkan ia tertidur di tengah malam. Kemudian Abu Qasim menyentuh kaki Râbi’ah dan berkata, “Bangunlah, telah tiba waktu berkumpulnya hamba Tuhan yang mendapat hidayah, wahai pengantin dan pembesar salat malam.” 167 Râbi’ah dinilai oleh M. Smith sebagai orang pertama yang mengenalkan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsep baru di kalangan para sufi kala itu. Konsepsi Râbi’ah tentang al-hubb dapat ditemukan dari bait-baitnya tentang cinta. Suatu ketika Râbi’ah ditanya pendapatnya tentang batasan cinta. Ia menjawab: “Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati”.168 Pada penggalan yang lain Râbi’ah mengekspresikan, bahwa: “Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad) serta tidak terlingkupi oleh salah

167Ibid,

hal. 63. Javad Nurbakhsh, terj. MS Nasrullah & Ahsin Mohamad, Wanita-wanita Sufi, cet. II, (Bandung: Mizan, Rabi` al-Tsani 1417/September 1996), h.52 dan bandingkan dengan Margaret Smith, Pergulatan...(terj.), h.113. 168

91


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

satu dari delapan belas ribu alam yang mampu meminum hatta seteguk serbatnya”.169 Dari penggalan ungkapan Rabi’ah, dikenal ada 2 (dua) batasan cinta. Pernyataan pertama, sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka 1. dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya; 2. dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tak bisa menarik dari Sang Pencipta; dan 3. dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengasaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Râbi’ah dengan penuh kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya Dia sendirilah yang wajib dicintai hamba-Nya.170 Pernyataan kedua Râbi’ah bahwa kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah, baik pahala maupun pembebasan hukuman (siksa), paling tidak pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan keinginan Allah dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang itu bisa saja diubah agar lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah benar-benar dicintai. Lewat kadar kecintaan inilah, menurut dalam penafsiran M. Smith, Allah akan menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan Yang Dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.171 Konsep cinta sufi Râbi’ah juga yang menghantarkannya pada penolakan pernikahan, karena dianggap dapat memalingkan dari cinta hakikatnya. Hal ini dipaparkannya dalam suatu pertanyaan yang disodorkan padanya, “Ada tiga hal – penyebab kebimbanganku-. Apabila terdapat seseorang mampu menghantarkanku pada ketiga hal ini, maka aku akan menikah dengannya: Yang pertama, apabila aku meninggal, aku dapat menemui- Nya dengan iman yang murni. Yang kedua, apabila aku mendapat rapot pahalaku dengan tangan kanan di hari akhir nanti. Yang ketiga,

169 Ibid.,

h.122. Ibid., h. 122- 123. 171 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), h.30. 170

92


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

apabila telah tiba hari pembangkitan, golongan kanan akan masuk surga, dan golongan kiri akan ditenggelamkan di lautan api neraka. Di antara kedua tempat itu, siapakah yang dapat menjamin tempatku.” Sang penyodor permasalahan tak kuasa menjawab, hanya sekelumit ujar, “Aku tak mengetahui sedikitpun tentang itu. Yang Mengetahuinya hanya Sang Pencipta.” Râbi’ah lantas menjawab, “Kalau memang begitu, bagaimana mungkin aku membutuhkan pernikahan, sedang diriku masih sibuk dan bersiteguh dengan tiga perkara ini.” Râbi’ah telah terpaut hatinya dengan Tuhan. Tak secuilpun rongga hatinya diberikan pada selain-Nya. Acap kali Râbi’ah menyenandungkan syair sufistik.

‫و حـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــبيبي دائما في ح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــضرتي‬

‫راح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــتي يا إخوتي في خ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــلوتي‬

‫و ه ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــواه في البرايا مح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــنتي‬

‫لم أجـ ـ ـ ـ ـ ـ ــد لي عن هواه ع ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــوضا‬

‫فـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــهو محرابي إليه قب ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــلتي‬

‫حيثم ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــا كنت أشاهد حس ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــنه‬

‫وا ع ـ ـ ـ ــنائي في الورى وا ش ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــقوتي‬

‫إن أم ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــت وجدا و ما ثم رضـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــا‬

‫جد بوصل منك يشفى م ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــهجتي‬

‫سـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــا طيب القلب يا كل املن ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــى‬

‫نش ـ ـ ـ ـ ــأتي منك و أيضا نش ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــوتـ ـ ــي‬

‫يا س ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــروري و حياتي دائم ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــا‬

172‫أم ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــنيتي‬

‫منك وصال فهل أقض ي‬

‫قد هج ـ ـ ـ ـ ــرت الخلق جميعا أرتج ـ ـ ـ ـ ـ ــي‬

SIGNIFIKANSI SUFISTIK RÂBI’AH Paradigma filo-sufistik Râbi’ah nampak ideal, unik dan berbeda dengan tokoh sufi lain pada periode formatif tasawuf kala itu. Tak diragukan, ia memiliki pengaruh signifikan terhadap arah baru sufisme pada masa berikutnya. Pun juga bagi sarjana dalam disiplin tasawuf yang berpandangan bahwa konsep cinta Râbi’ah sangat menarik untuk dikaji. Jika ditelaah, filsafat cinta Rabi’ah bertolak belakang dari Contohnya, antara lain, adalah firman Allah: “Berdoalah kepada Allah dengan penuh rasa takut dan penuh harapan (QS 7: 56)”. “Mereka selalu memohon kepada Tuhannya dalam keadaan takut dan penuh harapan (QS 32: 16)”. “ Sesungguhnya, mereka selalu berlomba dalam kebaikan. Mereka selalu berdoa kepada kami dalam keadaan penuh harapan dan ketakutan (QS 21: 90)”. 172

93


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

pemahaman sufistis yang umum, unik dan langka. Ia telah dapat mengarungi samudra makrifat dengan segala bentuk upaya penyuciannya (tazkiyat) yang mengantarkannya menemukan Allah melalui pandangan cinta. Idenya ini menempatkan Râbi’ah pada posisi penting dalam perkembangan praktik dan teori tasawuf di Islam. Ditegaskan oleh M. Smith, sebagai guru dan panutan dalam tasawuf, ajaran Rabi’ah banyak dijadikan referensi bagi para pelaku dan pengkaji sufisme Islam, begitu juga ungkapan-ungkapan sufitisnya menjadikan Rabi’ah memiliki otoritas yang tinggi dalam tasawuf kaitannya dengan cinta ilahi.173 Dalam literatur tokoh tasawuf klasik, seperti Abu Talib al-Makki, al-Qushairi, al-shuhrawardi, al-Ghazali dapat ditemukan penjelasan dalam tema partikular cinta yang direferensikan kepada Rabi’ah. Abu Talib al-Makki yang karya tulisnya “Qut alQulub” menjadi referensi induk dalam studi tasawuf, memposisikan konsep almahabbah Râbi’ah dalam martabat (tingkatan) sufi. Secar eksklusif, al-Makki menganalisa pemikiran Râbi’ah dalam tema cinta dengan porsi yang lebih besar daripada konsepnya Sufyan al-Thawri, terlebih dalam bahasan stasiun sufi al-khullah (berteman) dengan Allah.174 Bagi sufi seperti al-Hallaj, Rabi’ah menjadi sumber dari konsep cintanya meskipun ada perbedaan titik tekannya. Pada satu sisi konsep cinta al-Hallaj sama dengan konsep cinta Rabi’ah, meskipun al-Hallaj mendahului dalam pandangannya, bahwa seseorang yang cinta kepada Allah, harus siap berkorban di atas ajalan cinta. Bagi Ibnu ‘Arabi, Rabi’ah bisa disejajarkan dengan stasiun sufistik setara dengan ‘Abd al-Qadir al-Jailani dan Abu Su’ud b. al-Shibli disertai komentarnya bahwa Rabi’ah adalah satu-satunya yang berhasil menganalisa dan mengklasifikasi cinta hakiki dan terbilang penafsir paling sukses dalam tema cinta sufi. 175 Adapun dua teori besar yang diusung sosok teosofik berpengaruh ini adalah teori ‘alḥ ubb al-ilâhi dan al-khullah’ (cinta Tuhan dan berteman denganNya). Tak pelak, sebuah adagium “Cinta Sufi” yang disorot dari konsep kesufian Râbi’ah ini mampu Margareth Smith, Râbi’ah…, h.47 Abu Talib al-Makki, Qut al-Qulub…, h.55 175 al-Munawi, al-Kawakib, h.203-204; C. W. Ernst, The Stages of Love in Early Persian Sufism, from Rabi`a to Ruzbihän, h.439, in The Heritage of Sufism vol.], Classical Persian Sufism: from its Origins to Rumi, ed. by Leonard Lewisohn, (Khaniqahi Nimatullahi Pub., London, 1993) 173 174

94


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mengubah konsep awal yang telah berdiri lama sejak abad pertama Hijriah. Yaitu teori “Rasa Takut”. Di mana, Teori ini mengajarkan beriman pada Allah karena rasa takut pada neraka, dan merebut surga-Nya. Munculnya teori ini karena terilhami dari berbagai fenomena distabilitas politik masa itu, dekadensi sosial, krisis ekonomi dan pemerintaan yang otokrat. Akhirnya fenomena ini membuat banyak penduduk Basra lebih memilih sikap berlindung pada Tuhan daripada menghadapi segala ancaman kerusakan dunia yang menghujam kejam kala itu. Namun, teori siklus peradaban berbicara bahwa perubahan akan terus terjadi dan menawarkan konsep baru yang lebih mencerahkan. Muncullah di abad kedua, teori fenomenal yang diusung Râbi’ah beserta pengagumnya, yakni “Cinta Tuhan dan Berteman denganNya”. Esensi dari sebuah konsep cinta ini lebih mewarnai sisi kedamaian dan ketenangan yang dialami dalam jiwa para hamba ketika mengabdikan dirinya untuk Allah sebagaimana yang dialami oleh Râbi’ah. Begitu besar cinta yang dirasa sampai ia menolak apapun selain Allah bersemayam dalam jiwanya. Simpulan ini dapat dilihat pada ungkapannya, “Jika aku menyembah Allah karena takut NerakaNya, maka dekatkanlah neraka itu padaku, jika aku menyembahNya karena ingin meraih SurgaNya, maka jauhkanlah surga itu dariku, janganlah sekali-kali beriman pada Allah karena mengharapkan upah dariNya, tapi Cintailah Dia dengan penuh keikhlasan dan ketulusan”, inilah pijakan dasar dari konsep cinta yang didengungkan oleh sang perempuan suci tersebut. Sebuah kisah lain yang menakjubkan dari perbincangan Râbi’ah dengan salah seorang tokoh Sufi Riyah ibn ‘amr al-Qaysi dapat menjadi sumber penguat dari gagasannya. Di saat itu Râbi’ah terkejut melihat Riyah menciumi anak kecil yang sedang bermanjaan dipangkuannya. Ia bertanya, “kamu mencintai anak kecil itu?” iya, jawab Riyah. “Tak pernah kusangka, ternyata kau masih berani menyisakan ruang cinta kepada selain Allah”, tegur Râbi’ah heran. Riyah pun tak kalah takjub dengan penuturan Râbi’ah, lantas dia pun segera jatuh tersungkur, menangis seraya berteriak, “Sungguh merupakan Rahmat Allah yang tercurahkan kepada hamba-Nya melalui rasa cinta dan kasih sayang yang diberikan kepada anak kecil”. kisah ini menyerap sebuah perbedaan mendasar antara ‘Cinta Ilahi’ khas Râbi’ah dengan ‘Cinta Ilahi’ versi tokoh sufi lainnya. Bahwa kecintaan Râbi’ah pada Allah sangat murni, menangkis semua atribut-atribut cinta manusia pada umumnya. Sedangkan Riyah,

95


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

tokoh sufi ini menyatakan cintanya pada Allah dengan mengaplikasikannya pada cinta terhadap makhluk-Nya. Sebuah riset filologi membuktikan176, bahwa teori “Cinta Ilahi” Râbi’ah ini terpengaruh dari ajaran “neoplatonisme” melalui syi’ir-syi’ir Dzu-Nun al-Masri. Konon, Ajaran Neoplatonisme yang mengajarkan kasih cinta pada Tuhan ini dibawa oleh Hellenisme berkebangsaan Yunani yang saat itu menyebarkan ideologinya di kota Alexandria, Mesir. Dzu-Nun al-Masri, seorang guru besar filsafat, berkebangsaan Mesir yang banyak bersentuhan dengan filsafat Yunani ini bersenandung dalam syi’ir berikut:

‫وح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــبا ألنك أهل ل ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــذاك‬

‫أح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــبك حبين حب ال ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــوداد‬

‫ف ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــحب شغلت به عن س ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــواك‬

‫فـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــأما الذي هو حب الـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــوداد‬

‫ف ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــكشفك للحجب ح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــتى أراك‬

‫وأم ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــا الذي أنت أهل لـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــه‬

Syi’ir ini sangat mirip dengan salah satu lagu syi’ir Râbi’ah yang disenandungkan pada Tuhannya:

‫وح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــبا ألنك أهل ل ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــذاك‬

‫أح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــبك حبين حب ال ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــهوى‬

‫ف ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــذكر شغلت به عن س ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــواك‬

‫فـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــأما الذي هو حب الـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــهوى‬

Dzû-Nûn al-Masri yang hidup satu masa dengan Râbi’ah, tepatnya dilahirkan tahun 180 H dan wafatnya tahun 245 H ini, sangat memungkinkan adanya keterpengaruhan ideologi antar mereka berdua, walau dalam bentuk filologi sekalipun.

Dari

syi’ir

ini

nampak Râbi’ah

mengalami

ambiguitas

dalam

mengeksprsikan cinta, ia merefleksikan ada dua bentuk cinta yang ada dalam hatinya. Pertama, Cinta karena kemauannya. Kedua, Cinta karena Allah memang pemilik cinta dan berhak dicintai. Dan cinta yang pertama, diaplikasikan dengan cara berdzikir pada Allah, sedangkan yang kedua, semata cinta murni dan tulus pada Allah dan ini merupakan sebuah ‘keistimewaan’ yang Allah karuniakan untuknya.

176

Muhammad ‘Athiyah Khumais, Op.cit., hal. 48.

96


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Teori al-ḥ ubb al-ilâhi (cinta sufi) inipun juga dikatakan sebagai pengaruh dari guru Râbi’ah, ‘Abd al-Wahid Ibn Zaid. Konon, Abd al-Wahid Ibn Zaid dikenal sebagai tokoh sufi pertama yang menyeru ‘Kecintaan pada Tuhan’. Yaitu dengan teori yang lebih mengarah pada cara mencintai Tuhan, bukan bagaimana cara melihat Dzat Tuhan itu sendiri. Hayunah, seorang perempuan sufi Basra, yang terkenal sebagai ahli ibadah dan zuhud inipun juga memiliki andil yang sangat besar sebagai salah satu guru spiritual Râbi’ah dan dalam mewarnai siraman Ruhaninya. 177 Meski Hayunah tidak menggunakan teori khas sufi seperti tokoh sufi lainnya, namun begitu tingginya jiwa spiritual dan kekhusyu’an Hayunah hingga dikenal dengan sebutan “Pelayan Allah” dan seorang tokoh sufi Sufyan al-Tsaurî memberinya gelar “Jamuan Allah”. Hayunah memang perempuan yang paling kuat ibadahnya. Ritual puasanya tak pernah berhenti, hingga tubuhnya menjadi hitam, kurus-kering. Akhirnya diapun menjadi bahan cemoohan orang, karena mereka memandang puasanya telah menyiksa tubuhnya sendiri. Namun dengan sigap, Hayunah menatap langit dan berkata, “Ya Allah…makhluk-Mu telah menghinaku karena pelayananku pada-Mu. Tapi, hamba tetap akan selalu setia menjadi pelayan sejati-Mu meski tubuhku tinggal tulang belulang sekalipun”. Terkisah, suatu hari Râbi’ah sedang menginap di kediaman Hayunah. Disaat malam menjelang, Râbi’ah yang kurus dan tubuhnya yang kecil nampak tidak kuasa bangun untuk beribadah malam. Ia memilih menarik selimutnya dan terbang ke alam mimpi. Namun, dengan penuh kesabaran Hayunah mencoba membangunkan Râbi’ah, menasehatinya dan membimbingnya supaya terbiasa menghabiskan waktuwaktu malam bersama sang kekasih, Allah SWT. Sejak itulah, kehidupan rohani Râbi’ah tercerahkan, dan menjadikannya sebagai sosok penguasa waktu malam untuk mengganti tidurnya dengan selalu terjaga dan bercinta dengan Allah SWT. Sedangkan teori kedua, teori al-khullah,178 ‘Berteman dengan Tuhan adalah sebuah konsep yang dia dapati dari salah satu tokoh sufi ‘pecinta Ilahi’ lainnya, Riyah ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, Nasy’atu al-Fikr al-Islamî fi al-Islâm, Maktabah Dâr al-Salâm, 2008, Juz 3, hal. 1382 178 Dr. Su’âd ‘Ali Abd al-Râziq, Rabi’ah al-Adawiyah bayna al-Ghinâ’ wa al-Bukâ’, Maktabah al-Anglo al-Masriyah, Kairo, 1982, hal. 25 177

97


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Ibn ‘Amr al-Qaisy. Konsep ini berangkat dari al-ḥ ubb al-ilâhî, sebuah kecintaan pada Tuhan yang begitu mendalam, mendominasi seluruh jiwa, nafsu dan hatinya. Hingga dalam tingkatan yang paling tinggi, rasa cinta ini meliputi dan menguasai seluruh jiwa raganya, hingga Allah pun akan membalasnya dengan kecintaan yang serupa. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 54,” Allah Mencintai mereka, dan merekapun mencintaiNya”. Sehingga, jadilah hubungan antara Tuhan dan hambanya laksana teman dan sahabat karib yang saling mencintai. Adapun konsep worship (pertemanan) dalam perspektif sufi adalah sistem yang dijalankan dengan saling bertukar dan imbal-balik, serta hubungan yang dekat. Teori al-khullah atau ‘persahabatan’ ini dijadikan pijakan dasar beberapa kaum Sufi, yang diambil dari kisah nabi Ibrahim as sehingga diangkat oleh Allah dengan gelar khalîl Allah. Kisah nabi Ibrahim konon menjadi figur suri tauladan berpengaruh bagi mereka, seperti yang diterapkan dalam penyembelihan kurban oleh dan untuk Allah, hingga mencuatkan ide bagi mereka untuk menjadi kurban dan domba Allah. Yang darinya, hidup mereka dipersembahkan untuk menjadi domba Allah yang menuntun mereka nantinya pada kematian hakiki untuk Allah semata. Terlebih, Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama kali dibakar hidup-hidup dalam kobaran api dunia, yang kemudian diselamatkan oleh Allah SWT, nabi Ibrahim pula manusia yang pertama kali berpikir tentang alam ciptaan Allah, dan juga seorang hamba yang pertama kali meminta ketenangan batin, seperti firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 260: “ Allah berfirman, belum yakinkah kamu? Ibrahim manjawab, ‘aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”. karena itu, teori khalîl Allah ini adalah sebuah konsep yang berlandaskan pada Al-Qur’an. Tak aneh, sebuah tuduhan ‘Sufi Atheis’ kerap ditudingkan kepada tokoh teosofik Râbi’ah Adawiyah beserta tiga tokoh sufi lainnya yang mengatasnamakan dirinya sebagai tokoh penegak al-khullah dan al-ḥ ubb al-ilâhî ini, mereka ialah Riyah ibn ‘Amr al-Qaisy, Abu Habib dan Ibn Hayyan al-Hariry. Julukan ini berangkat dari implementasi keempat tokoh sufi ini yang lebih berlandaskan pada teori filsafat, atau lebih tepatnya dengan mensifati Tuhan sebagai manusiawi atau memanusiakan

98


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Tuhan. Meskipun nampak segi penafsirannya adalah dengan cara melihat ayat-ayat Allah dengan pandangan esoteris Islam. Sebuah kisah yang menjadi isarat falsafah kesufian Râbi’ah, suatu hari sekelompok anak muda melihat Râbi’ah membawa air di tangannya dan api di tangan satunya lagi. “Hendak kemana kau, wahai perempuan Sufi dan apa yang ingin kau lakukan?”,tanya mereka keheranan. “Saya mau pergi ke langit, untuk menyemburkan api ini di surga, dan menuangkan air ini dalam neraka, hingga tak ada lagi orang yang berperasaan takut (dari siksa neraka) dan berharap (pada kenikmatan surga) dan akhirnya mereka akan memusatkan pikirannya pada cinta Allah dan kekal dalam pelukan cinta kasih Ilahi”, jawab Râbi’ah tegas. Apalah artinya, jika beriman pada Allah hanya karena mengharap kesenangan materi saja, bersibuk ria dalam Surga dengan aneka kebahagiaannya tanpa menoleh lagi pada Allah SWT. Demikian penggalan kisah Râbi’ah, sosok perempuan yang Mencintai Allah dengan segala keikhlasan dan ketulusannya hingga menjadikan Allah sebagai kekasih dan sahabat sejatinya hingga ajal menjemputnya. Dan dari cara pandang inilah Râbi’ah akhirnya diklaim sebagai Sufi Atheis. HERITAGE SPIRITUALISME Dimensi spiritual Râbi’ah Adawiyah yang menakjubkan, serta gaya sufistik ideal dan moderat yang diperankannya, rupanya mengundang sambutan hangat dari banyak kalangan aliran sufi, seperti aliran tasawuf sunni, tasawuf murni dan tasawuf falsafi.179 Terbukti pengaruh besar yang tercermin dari ritual dan teori sufistik Râbi’ah hingga mewarnai pemikiran dan keyakinan ketiga aliran yang saling berbeda tersebut. Adapun aliran tasawuf sunni, memberikan apresiasi besar terhadap Râbi’ah hingga menyebutnya sebagai ‘tokoh sufi berkedudukan tinggi’. Gelar agung ini sangat pantas diterimanya atas landasan tiga konsep dasar yang diangkat Râbi’ah, yaitu: “Keridhoan, Cinta, dan persahabatan dengan Tuhan”. Dengan tiga tiang utama inilah yang menjadi pemicu mencuatnya para tokoh-tokoh sufi yang meneruskan tongkat estafet keimanannya. Diantaranya adalah, Syaqiq al-Balkhi, Ibrahim ibn adham, Sahl Ibn Abdillah al-Tastary, dan berujung pada Abu hamid al-Ghazali.

179

‘Âli Sâmî al-Nasysyâr, op.cit, hal 1366.

99


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Sedang teori “al-ḥ ubb al-Ilâhi dan al-Khullah” yang dicuatkan oleh Râbi’ah, rupanya memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap praktif sufistik yang murni yang tidak bersandar pada harapan (raja’) dan takut (khauf) dalam menjalankan praktik tasawufnya. Sejarah juga mencatat besarnya dampak sufistik Râbi’ah terhadap dua madzhab besar, yaitu madrasah Syam dan Madrasah Baghdad. Fariduddin alAttar memberikan komentarnya, “Jika Dia mengisi pikiranmu dengan surga dan bidadari, maka ketahuilah Dia sedang membuatmu jauh dariNya”180. Abu Sulaiman al-Darani, Seorang Guru Besar berkubu madrasah Syam ini senantiasa tekun mengkaji pemikiran ‘al-hubb al-ilâhi’ dari sang Râbi’ah. Menariknya, pengaruh Râbi’ah tidak berhenti di wilyah Islam saja. Korpus cintanya telah dikenalkan juga oleh Joinvell, kanselir dari Louis di daratan Eropa pada akhir abad ke-13. Dan pada abad 17 di Perancis, figur Râbi’ah menjadi adagium untuk mewakili ungkapan cinta sejati yang murni kepada Tuhan (al-hubb al-Ilâhi)181

EPILOG Tasawuf merupakan pengalaman spiritual yang dialami oleh seorang abdi ketika berkomunikasi dengan Allah melalui ibadah dan kondisi jiwa yang khas dalam kesadaran tingkat tinggi. Melalui pendekatan kashf (penyingkapan), seorang sufi berupaya menghilangkan jarak dan batas antara hamba (manusia) dan tuan (Allah) sebagaimana yang dilakukan Râbi’ah dengan konsep al-hubb al-ilâhi dan al-khullah. Dengan konsepnya itu, Margaret Smith menilainya dalam Reading from the Mystics of Islam, sebagai pelopor pengajar mistik Islam. 182 Melalui ide ini, Râbi’ah berusaha mengalihkan secara drastis tujuan hidup dan ibadah, karena takut neraka dan mengharap surga menjadi semata ungkapan cinta kepada Allah tanpa pamrih. sehingga sampailah pada posisi makrifat.

180 'Attär,

Man fig Al-Tayr, edited by M Jawkl Shakar, (Tehran, 1962), quoted in Mystical Dimensions, h.204 181 A. Schimmel, Mystical Dimensions…, h.8 182 Ibrahim Hilal, terjemah Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf, Antara Agama dan Falsafah: Sebuah Kritik Metodologis, (Bandung: Pustaka Hidayah, Syawwal 1422/Januari 2002), h. 81, 85.

100


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Tasawuf di tangan Râbi’ah telah menimbulkan revolusi rohani dalam Islam. Pemahaman umum cinta oleh Râbi’ah direformasi dalam wujud hakikinya, cinta yang secara ekstrim tidak berpaling dan mendua. Bahkan dalam hatinya tidak sedikitpun ada ruang untuk selain yang dicintai sampai terbukanya tabir gaib dan anugerah fanâ’ fî Allâh. Eksemplar gagasan Râbi’ah al-‘Adawiyyah telah memberikan gambaran ringkas konsep cinta sufi yang menjadi pendobrak sufisme maskulin, juga mengukuhkan peran Râbi’ah yang berkontribusi besar sebagai promotor sufi perempuan dalam studi tasawuf. Konsep al-mahabbah yang tergambar dari laku spiritual sosok Râbi’ah menjadi martabat tingkat tinggi yang telah dicapai seorang sufi perempuan dan dapat disejajarkan dengan sufi dari kaum Adam. Konsep cinta sufi Râbi’ah mendaulatnya sebagai tokoh penggagas al-hubb alilâhi dan al-khullah, dan didalamnya akan kita temukan bahwa eksistensi perempuan sedemikian nyata. Perempuan sudah saatnya membuktikan bahwa mereka mampu tegak berdiri di tengah-tengah pendapat maskulin, seperti pernyataan stigmatik Voltaire dalam buku Mu’jam al-Falsafah, “Ketika kami merujuk al-Qur’an berdasar interpretasi ulama yang tak masuk akal, kami meyakini bahwa al-Qur’an tak berisikan interpretasi semacam ini. Anehnya, banyak penulis kita yang dengan mudahnya mengemukakan bahwa Muhammad menempatkan perempuan sebagai hewan pemilik kecerdasan. Dan dalam timbangan syariat, mereka serupa hamba sahaya yang tak berhak memiliki kebahagiaan di dunia. Dan tak mendapat posisi di akhirat kelak. Tak dinyana, asumsi ini terang benderang ialah asumsi yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sayangnya, banyak manusia yang mempercayai.”183 dan perkataan Naguib al-Raihani, “Perempuan adalah suatu elemen yang tanpa eksistensinya pun, kehidupan akan tetap berjalan. Fakta ini merujuk pada perilaku kehidupan Adam yang tetap eksis sejak awal penciptaan. Bahkan sebelum diciptakannya Hawa.”184

Dr. Nawâl al-Sa’dâwî, ‘An al-Mar’ah, al-A’mâl al-Fikriyah, Maktabah Madbouli, 2005, hal. 153 184 Mushthafa al-Sibâ’î, al-Mar’ah Baina al-Fiqh wa al-Qânûn, Maktabah Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, 2003, hal. 142 183

101


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Gambaran tentang subordinasi perempuan dalam dunia intelektualisme memang sangat akrab, meskipun wacana gender seringkali digemborkan. Sisi intelektualitas perempuan melalui sosok Râbi’ah menjadi sedemikian penting untuk melawan pemahaman umum yang diskriminatif terhadap perempuan. Image-image yang memojokkan perempuan akan menimbulkan tindakan ketidakadilan gender di masyarakat. Seperti terjadinya double burden (peran ganda), subordinasi, stereotype (pelabelan), violence (kekerasan) dan marginalisasi.

DAFTAR PUSTAKA Ali, A. Mukti. dkk. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid 3, Jakarta, Depag RI, 1992/1993. Ali, A. Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Bagian VIII, Jakarta, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Departemen Agama Republik Indonesia, 1977. Ali, A. Mukti. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung, Mizan, 1412/1997. Amin, Ahmad. Alih bahasa Zaini Dahlan, Fadjar Islam, Djakarta, Bulan Ibntang, 1968. Arberry, A.J. terj. Bambang Herawan, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, Bandung, Mizan, Sya`ban 1405/Mei 1985. Ashify, Syaikh Muhammad Mahdi Al-. terj. Ikhlash, dkk., Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-doa Ahlul Bayt, cet. II, Bandung, Pustaka Hidayah, Jumada Al-Ula 1416/Oktober 1995. Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1994. Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, cet. IV, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1996. Baghdadi (al), Abdurrahman. Emansipasi Adakah dalam Islam, Gema Insani Press, cet.I, Jakarta, 1998. Dasuki, A. Hafizh dkk. Ensiklopedi Islam, Jilid 4, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994. Esposito, John L. (ed.). terj. Eva Y. N. dkk. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid 4, Bandung, Mizan, Syawwal 1421/Juni 2001. Fariduddin al-Attar. terj. Anas Mahyuddin, Warisan Para Awliya, cet. II, Bandung, Pustaka, 1415 H/1994 M.

102


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Fattâh, Sayyid Shiddîq Abdul. Rawâi’ Min Aqwâl al-Falâsifah wa al-‘Uzhamâ’, Maktabah Madbouly, Kairo, 1999. Ghaznawi, Abul-Hasan Ali ibn Utsman ibn Ali Al-Jullabi al-. terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M., Kasyful Mahjub: Risalah PersiaTertua tentang Tasawuf, Bandung, Mizan, Sya`ban 1412/Maret 1992. Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, tjet. VI, Djakarta, Pustaka Islam, 1966. Hilal, Dr. Ibrahim. Tasawuf: Antara Agama dan Filsafat, Pustaka Hidayah, 2002. Ibrahim Hilal. terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf, Antara Agama dan Falsafah: Sebuah Kritik Metodologis, Bandung, Pustaka Hidayah, Syawwal 1422/Januari 2002. Javad Nurbakhsh. terj. MS Nasrullah & Ahsin Mohamad, Wanita-wanita Sufi, cet. II, Bandung, Mizan, Rabi` al-Tsani 1417H/September 1996M. Kalabadzi, Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya`qub al-Bukhari al-. terj. Rahmani Astuti, Ajaran Kaum Sufi, Bandung, Mizan, Rajab 1405/April 1985. Kannâs, Muhammad Raji’. Hayâh Nisâ’ Ahli al-Bait, Dâr al-Ma’rifah, Beirut-Libanon, 2008. Khamis, Muhammad Atiyyah. terj. Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah Al Adawiyah, Jakarta, Pustaka Firdaus, t. th. Khumais, Muhammad ‘Athiyah. Râbi’ah al-’Adawiyah, al-Jazîrah li al-Nasyr wa alTauzî’, 2006. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h.389, yang mengutip Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 Jilid, Jilid. 2, Riyadl, Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, t.th. Mansûr, al-Sayyid Hasan. Râbi’ah al-’Adawiyah; al-’Âbidah al-Zâhidah Baina al-ḥ ubb alilâhi wa al-Ma’rifah, Maktabah al-Husain al-Islâmiyah, 2000. Murata, Sachiko. terj. Rahmani Astuti dan M. S. Nashrulah, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, cet. VI, Bandung, Mizan, Jumada Al-Tsaniyah 1419/Oktober 1998. Nasution, Harun. dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1992. Nasution, Harun. Falsafah & Mistisisme dalam Islam, cet. VIII, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.

103


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta, Bulan Ibntang, 1974. Nasysyâr (al), Dr. ‘Ali Sâmî. Nasy’ah al-Fikri al-Falsafî fi al-Islâm, Maktabah Dar alSalâm, Kairo, 2008. Qandil, Abdul Mun`im. terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah. Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah, cet. III, Surabaya, Pustaka Progressif, 2000. Qusyairi An Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-. Peny. Umar Faruq. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Jakarta, Pustaka Amani, Jumadil Akhirah 1419/Oktober 1998. Râziq (al), Dr. Su’âd ‘Alî Abd. Râbi’ah al-‘Adawiyah Baina al-Ghinâ’ wa al-Bukâ’, Maktabah Al-Anglo al-Masriyah, Kairo, 1982. Roded, Ruth. terj. Ilyas Hasan. Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata para Penulis Biografi Muslim, Bandung, Mizan, Shafar 1416/Juli 1995. Sa’dâwî, Dr. Nawal. ‘An al-Mar’ah; al-A’mâl al-Fikriyyah, Maktabah Madbouly, Kairo, 2005. Sakkakini, Widad El. terj. oleh Zoya Herawati. Pergulatan Hidup Perempuan Suci Râbi’ah Al-‘Adawiah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, cet. II, Surabaya, Risalah Gusti, 2000. Schimmel, Annemarie. terj. Sapardi Djoko Damono dkk. Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986. Shadily, Hassan dkk. Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, Jakarta, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1984. Shiddiqi, Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis, Yogyakarta, PLP2M, 1984. Sibâ’î (al), Mushthafa al-Mar’ah Baina al-Fiqh wa al-Qânûn, Maktabah Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, 2003. Siregar, A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1999. Smith, Margareth. terj. Jamilah Baraja. Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, cet. IV, Surabaya, Risalah Gusti, 2001. Soe’yb, Joesoef. Peranan Aliran I’tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1982.

104


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Sururin. Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Illahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Al-Mahabbah dan Makrifah, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2000. Syed Mahmudunnasir. terj. Adang Affandi, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, cet. IV, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994. Taftazani, Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-. terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung, Pustaka, 1406 H/1985 M.

ETIKA DAKWAH: MENYIKAPI FENOMENA DA’I BERTARIF Oleh: Dr. Mohammad Rofiq, S.Ag., M.Si. Abstrak : Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul “Da’i Berbulu Musang”. Artikel ini dimaksudkan untuk menasihati dan mengkritisi para da’i yang prilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang disampaikannya. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekadar da’i berbulu musang. Muncul oknum da’i yang berani memungut imbalan alias upah dari masyarakat yang didakwahinya. Alias Da’i Walakedu (jual ayat kejar duit). PENDAHULUAN Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, organisasi para da’i yang dipimpin KH. Syukron Ma’mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam musyawarah nasional (Munasnya yang ke-4), yang dihadiri 350 peserta, para ulama dan da’i seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode etik dakwah itu, da’i tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang didakwahi. Apa yang dirumuskan Munas Ittihadul Muballighin mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu dr. Tarmizi Taher. Kendati demikian, fenomena da’i berbulu musang maupun da’i yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena berkembangnya da’i-da’i yang memasang tarif dalam berdakwah. Seringkali

105


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

masyarakat kecewa terhadap oknum-oknum da’i yang memasang tarif dalam berdakwah. Banyak masyarakat yang gagal mendatangkan seorang da’i karena setelah tawar-menawar seperti layaknya berdagang sapi mereka tidak mampu membayar tarif yang diminta da’i yang bersangkutan. Dalam kajian fiqh memang ada tiga pendapat yang berkembang terkait dengan memungut imbalan, yang pertama: pendapat yang mengharamkan secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnnya maupun tidak, pendapat ini memiliki dalildalil yang kuat baik dari al-Qur’an maupun Hadis. Pendapat kedua yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan, pendapat ini berlandaskan kepada Hadis riwayat Imam Bukhori, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah al-Qur’an.” Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal) hadits ini untuk membolehkan memungut imbalan dalam berdakwah sangat lemah, karena berdasarkan sabab wurud hadits ini, hadits ini tidak berkaitan dengan berdakwah melainkan berkaitan dengan mengobati orang yang sakit dengan pengobatan Ruqyah (membacakan surah al-Fatihah). Sementara pendapat ketiga, yang mengatakan, apabila ada perjanjian sebelumnya seorang da’i akan menerima upah dalam dakwahnya hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian da’i diberi uang saku, hal itu dibolehkan.185 Dakwah Islamiyah merupakan aktivitas suci yang tidak pernah padam sejak zaman kenabian hingga akhir zaman. Ruh ajaran Islam adalah aktivitas menyeru dan mengajak manusia agar selalu tetap dalam ruang dan waktu yang benar untuk berpikir, bersikap, berperilaku, dan bertindak. Namun, pernahkah kita berfikir: Apa sebenarnya fungsi dan tujuan berdakwah itu? Setiap bentuk aktivitas dan disiplin ilmu mempunyai fungsi serta tujuan. Begitu pula dengan berdakwah, yakni mempunyai beberapa fungsi dan tujuan. Seyogyanya seorang da’i harus memperhatikan cara-cara dalam menyampaikan dakwahnya agar tercapai apa yang diinginkan. Seorang da’i yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena itu memang umat Islam tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat.

185

Ibid.

106


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesional dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga citra dakwah tersebut akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Oleh sebab itu, dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya shalat dan puasa, kendati tidak menjadi rukun Islam. Surah alBaqarah ayat 159 mengancam orang-orang yang tidak mau berdakwah, mereka akan dilaknat Allah SWT dan para makhluk yang melaknat. Orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan sama artinya dia tidak mau berdakwah kalau tidak ada imbalan. Berangkat dari judul dan latar belakang di atas, penulis akan mencoba menjawab beberapa problem akademik yang muncul dalam artikel ini yaitu: (1) Bagaimanakah menyikapi fenomena da’i bertarif? (2) Bagaimanakah seharusnya menjadi seorang da’i yang profesional itu? MENYIKAPI FENOMENA DA’I BERTARIF Dunia hiburan tanah air akhir-akhir ini memang pernah dihangatkan oleh kasus seorang da'i yang begitu menohok nurani. Lepas dari kontroversi tarif yang diminta oleh da’i tersebut, sungguh amat hina dan memalukan jika memang hal tersebut benar-benar terjadi. Penulis berharap, semoga saja kasus tersebut tidak terjadi terhadap da’i tersebut. Allahu a’lam bisshawab (hanya Allah yang mengetahui kebenaran). Fenomena memungut imbalan tersebut belakangan ini sungguh sangat memprihatinkan karena banyak da’i yang dalam dakwahnya memakai cara berdagang sapi dengan tawar-menawar, per-jam, per-titik, dan sebagainya. Menurut berita yang beredar di masyarakat, bahwa tarif termahal dalam berdakwah ini adalah Rp 100 juta satu kali ceramah (satu titik) dan yang paling murah adalah Rp 10 juta. Wajar bila masyarakat mengeluh terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat kemudian ‘dirampok’ begitu saja oleh oknum da’i berbulu musang itu.186

186

Ibid.

107


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Da’i seyogyanya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Da’i adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat. Da’i-da’i yang kepingin cepat kaya lebih baik berdagang sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang sapi mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun banyak dan istri pun berderetderet. Bersyukurlah bagi da’i yang dibuka aibnya oleh Allah SWT di dunia karena ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah da’i ketika aibnya dibuka oleh Allah SWT di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk bertaubat.187 Meskipun Munas Ittihadul Muballighin dengan keputusan kode etik dakwah telah berlalu sekian tahun yang lalu. Apakah Da’i-da’i Walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke hari kiamat fenomena munculnya Da’i Walakedu semakin ramai. Bahkan, sering dibarengi dengan apa yang disebut dengan Managemen Walakedu. Perlu penulis tegaskan di sini bahwa seorang da’i yang menyeru kepada jalan Allah SWT adalah manusia yang lebih utama bersifatkan dan berhias dengan adab-adab dan akhlaq Islami pada dirinya, yang mana hal itu memiliki pengaruh atau dampak yang bersifat langsung di jalan dakwah Ilallah dan juga dalam bermuamalah dengan manusia. Ini merupakan indikasi singkat mengenai pentingnya sifat dan akhlaq yang mulia, yang harus terkumpul dalam diri seorang da’i yang menyeru kepada jalan Allah SWT. Sifat dan akhlaq ini terkumpul menjadi sebuah istilah kode etik dakwah. Kode etik ini sebagaimana telah dirumuskan oleh organisasi mubaligh yang bernama Ittihadul Muballighin pada tahun 1996. Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para da’i atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi atau para rasul, dan bukan justru mendapat laknat dari Allah SWT dalam berdakwah. Sekurang-kurangnya, ada tujuh kode etik dakwah. Sebagaimana dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin.188 Kode etik pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari Alquran surah al-Shaff ayat 2-3 yang artinya:

187 188

Ibid. Ibid.

108


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.189 Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah SAW di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu, kecuali beliau melakukannya. Kode etik kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antarumat beragama memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan, Nabi SAW banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Kafirun ayat 6. Dalam Hadis Riwayat Imam ibn Hisyam juga disebutkan, “Orang-orang Yahudi Kabilah Bani Auf adalah satu bangsa bersama orang-orang mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang mukmin agama mereka.” Kode etik ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari surah al-An’am ayat 108. Kode etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi SAW masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin, antara lain, Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang kepada Nabi SAW sejumlah tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam dari beliau. Namun, bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi SAW untuk mengusir Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi itu, yaitu surah al-An’am ayat 52. Kode etik kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari Alquran surah Saba’ ayat 47. Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawarmenawar, dan lain sebagainya.

189

Al-Qur-a>n, 61 (al-S{a>ff): 6.

109


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Kode etik keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Para da’i yang runtangruntung, gandeng-renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya, justru Allah SWT melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam surah al-Maidah ayat 78-79. Dan, kode etik ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode etik ini diambil dari surah al-Isra ayat 36.

MENJADI DA’I YANG PROFESIONAL Seorang da’i harus memiliki sifat profesional dalam berdakwah. Karakteristik seorang profesional di antaranya adalah bertanggung jawab penuh terhadap tugasnya dan selalu berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang terbaik. Dia ingin selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas di luar peranan yang ditugaskan kepadanya. Seorang da’i profesional akan terus belajar untuk meningkatkan kemampuannya khususnya kemampuan untuk dapat melayani dengan baik. Selain itu, dia juga selalu mendengar apa saja kebutuhan orang lain yang harus dilayaninya. Dia juga dapat berperan sebagai pemain yang baik dalam satu tim. Seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya dapat dipercaya, jujur, terus-terang, dan loyal. Seorang da’i profesional juga harus tahu benar objek dakwah yang akan didakwahinya, serta dituntut mengetahui pula cara yang paling tepat untuk berdakwah. Seorang da’i yang profesional harus memiliki sikap yang sabar dan ulet pada berbagai rintangan yang menghadang, baik itu rintangan kecil maupun besar. Seorang da’i profesional juga selalu terbuka terhadap kritik yang konstruktif dan mau meningkatkan serta menyempurnakan dirinya dalam upaya meningkatkan kualitas pekerjaan tersebut. Selain hal di atas, untuk melaksanakan tugas secara profesional, seorang da’i harus memiliki bekal antara lain: (1) Pengetahuan tentang tugas yang dikerjakan dan bagaimana cara melaksanakan pekerjaan itu; (2) Memiliki sikap atau etos kerja yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dengan baik; (3) Memiliki keahlian dan

110


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas; (4) Memiliki kondisi mental dan fisik yang baik untuk melaksanakan tugas secara efektif dan efisien.190 Seorang da’i memang seorang pribadi yang dengan senang hati menyebarluaskan ajakan kebaikan kepada siapa saja. Da’i pada masa sekarang ternyata tidak hanya berlaku bagi mereka yang secara ikhlas menyebarkan ajakan kebaikan. Melainkan telah bertransformasi menjadi profesi. Dapat dilihat dengan maraknya da’i bertarif sebagaimana yang penulis sebutkan di atas. Menurut Frank H. Blackington dari buku School, Society, and the Professional Educator, yang dikutip Jusuf Amir Feisol, bahwa profesi adalah “A profession must satisfy an indispensable social need and be based upon well established and socially acceptable scientific principles” (sebuah profesi harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat diperlukan dan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang diterima oleh masyarakat). Kata Blackington, makna profesi adalah memahami kewajibannya terhadap masyarakat dan mendorong anggotanya untuk melaksanakan ketentuanketentuan etika yang sudah diterima dan sudah mapan. Sementara menurut Leiberman dalam bukunya Education A Profession, yaitu tekanan utamanya terletak pada pengabdian yang harus dilaksanakan ketimbang pada keuntungan ekonomi, sebagai dasar organisasi (profesi), penampilan, dan pengabdian yang dipercayakan oleh masyarakat kepada kelompok profesi.191 Dalam pandangan Vollmer –seorang ahli sosiologi- melihat makna profesi dari tinjauan sosiologis. Ia mengemukakan bahwa profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi dengan penuh.192 Dengan demikian kata “Profesional” di sini bermakna bahwa para da’i ituntut duntuk memiliki nilai-nilai profesional dalam pekerjaannya.

190

Lihat Nizar Fahmi, “Profesionalisme Seorang Da'i”, dalam http://nizarfahmi19.blogspot.co.id/ 2014/04/ profesionalisme-seorang-da.html (12 September 2015). 191 Lihat Jusuf Amir Feisol, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 173-174. 192 Lihat HM. Vollmer and D.L. Mills (eds), Professionalization, (Englewood Cliffs, N.J: PrenticeHall., 1996), Vii.

111


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Selain itu, profesionalisme berarti The expertness of a professional person. 193 Kalimat tersebut mempunyai arti bahwa , “karakteristik dari seorang profesional”. Dengan melihat kalimat tersebut saja, sudah dapat dipastikan bahwa seorang yang profesional harus memiliki keahlian di bidangnya, termasuk seorang da’i. Profesionalisme sebenarnya mencerminkan kepribadian diri seseorang. Seorang da’i professional mesti menguasai beberapa hal194 di bawah ini; 1. Menguasai Pekerjaannya; bahwa seorang da’i dapat disebut profesional apabila ia mengetahui apa yang harus dikerjakan. Dalam hal ini, seorang da’i harus mengetahui materi yang akan ia sampaikan kala berdakwah nanti, medan dakwah seperti apa yang akan ia pijak dan kendala apa saja yang akan ia hadapi di kala melaksanakan tugasnya. Ada tiga hal pokok yang dapat dilihat pada diri seorang da’i untuk menentukan apakah ia profesional atau tidak, yaitu; (a) Melihat bagaimana ia bekerja; (b) Melihat bagaimana ia mengatasi persoalan, dan; (3) Melihat bagaimana ia menguasai hasil kerjanya. Seorang da’i profesional akan menjadikan dirinya sebagai pemecah persoalan (problem solver) bukan sebagai pembuat masalah (trouble maker) bagi pekerjaannya. 2. Mempunyai Loyalitas; bahwa seorang da’i profesional akan memandang pekerjaannya sebagai sebuah ladang jihad, kebun pahala, bukan sebagai beban dalam hidupnya. Bagi seorang da’i, loyalitas ini akan menggiringnya melakukan suatu pekerjaan tanpa menunggu perintah, atau ia akan senantiasa mendengarkan kata hatinya ketika memandang sesuatu. 3. Mempunyai Integritas; bahwa yang diperlukan dari seorang da’i tidak hanya pintar beretorika, pintar bercerita di atas podium. Lebih penting lagi, bahwa seorang da’i profesional harus memiliki kejujuran, keadilan dan rasa kebenaran di dalam dirinya. Tidak hanya itu, seorang da’i harus memiliki integritas pada pekerjaannya. Hal ini akan membuatnya mampu bertahan dalam kondisi tidak menentu sesakit apapun dalam pekerjaannya. 4. Mampu Bekerja Keras, bahwa seorang da’i profesional tidak akan pernah memilih-milih dengan siapa ia akan bekerja sama, sehingga ia mampu 193

Lihat Sandy Brooks, "In Need of Paraprofessional Help." American Libraries (May 1998): 3645. 194 Lihat ibid, juga lihat R. B. Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Jakarta: Amzah, 2007, 1-7.

112


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mengembangkan dan meluaskan hubungan kerja sama dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. 5. Mempunyai Kebanggaan; bahwa seorang da’i profesional harus mempunyai kebanggaan dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap profesi yang dijalaninya. Komitmen yang didasari oleh munculnya rasa bangga terhadap profesi dan jabatannya akan menggerakkan seorang profesional untuk mencari hal-hal yang lebih baik dan senantiasa memberikan kontribusi yang besar terhadap apa yang ia lakukan. 6. Mempunyai Motivasi; bahwa dalam situasi dan kondisi apa pun, seorang da’i yang profesional tetap harus bersemangat dalam melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang da’i yang profesional harus mampu menjadi motivator bagi dirinya sendiri, sehingga seburuk apa pun kondisi dan situasinya, ia mampu memotivasi dirinya sendiri untuk tetap dapat mewujudkan hasil yang maksimal. Ia mengerti, kapan dan di saat-saat seperti apa ia harus memberikan motivasi untuk dirinya sendiri. Dengan memiliki motivasi tersebut, seorang da’i profesional akan tangguh dan mantap dalam menghadapi segala kesulitan yang dihadapinya. Ia tidak mudah menyerah kalah dan selalu akan menghadapi setiap persoalan dengan optimis. Motivasi membantu seorang da’i profesional mempunyai harapan terhadap setiap waktu yang ia lalui, sehingga dalam dirinya tidak ada ketakutan dan keraguan untuk melangkahkan kakinya. 7. Mempunyai Komitmen; bahwa seorang da’i profesional harus memiliki komitmen tinggi dan tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu yang akan menghancurkan nilai-nilai profesi yang dianutnya. Dengan komitmen yang dimilikinya, seorang da’i yang profesional akan tetap memegang teguh nilai-nilai profesionalisme yang ia yakini kebenarannya. Berdasarkan paparan di atas, jika dihubungkan dengan kehidupan Rasulullah SAW, penulis bisa melihat bahwa beliau adalah seorang da'i yang profesional. Beliau adalah seorang yang ahli dan kompeten dalam bidang dakwah ini. Ketika berdakwah, beliau melakukannya secara full timer. Sebagai da'i, beliau memiliki empat potensi yang bisa dijadikan bekal dalam memikul tugasnya. Yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan

113


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

fathanah.195 Dua potensi yang pertama merupakan tuntutan etika dan dua potensi yang terakhir merupakan tuntutan keahlian. Seorang da'i tidak hanya dituntut memiliki kejujuran dan sikap amanah, tetapi harus memiliki keahlian komunikasi (tabligh) dan kecerdasan yang tinggi (fathanah). Bertolak dari pemikiran di atas, bisa penulis katakan bahwa profesi memerlukan dua persyaratan, yaitu komitmen, loyalitas (ketaatan), dan kecintaan terhadap profesi serta keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan keahlian tertentu. Dua tuntutan itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa saling dipisahkan. Bila salah satunya cacat, maka uang itu tidak akan bisa berfungsi sebagai alat tukar lagi. Jika kejujuran dan sikap mental amanah tidak lagi dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan profesi, sekalipun ilmu dan keahliannya selangit, maka sebagai profesional akan menemui kegagalan. Bahkan sosok seperti ini sangat membahayakan. Keahlian dan ilmu yang dimiliki digunakan untuk kepentingan pribadinya. Sebagai misal, bahwa betapa banyak orang yang memiliki posisi strategis dengan mudah menyalahgunakan jabatan dan hak-hak istimewanya untuk interes pribadi dan golongan. Dengan demikian keahlian atau ilmu yang dimiliki itu tidak dibarengi sikap mental dan komitmen terhadap kode etik (tata nilai) yang telah diketahuinya secara baik. Akibatnya, prilaku mereka menjurus kepada sikap sadis dan brutal. Keahlian dan ilmu semata terbukti tidak menjamin seseorang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Bahkan aktivitas yang dilakukannya dapat mencoreng nama baiknya. Seorang da’i yang profesional sudah tentu dituntut memiliki keahlian dan kualitas ilmu yang luas dan mendalam. Bagi mereka perlu melaksanakan kode etik profesi, maka yang demikian itu sangat diperlukan karena banyak kasus penyalahgunaan agama untuk kepentingan tertentu. Apalagi bidang garap seorang da'i adalah manusia. Jika salah dalam membina, mengasuh, mendidik dan mengarahkan serta membimbing manusia, maka akan berakibat sangat fatal. Bisa saja terjadi bahan baku yang ideal dari mad'u (objek dakwah) menghasilkan out-put yang mengecewakan. Seseorang yang semula berasal dari lingkungan baik-baik kemudian menjadi anak nakal karena salah asuh dan salah didik. Itu akibat anak didik yang diserahkan kepada

195

Lihat Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas. 1993), 12.

114


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

orang yang bukan ahlinya. Potensi kebaikan yang dimiliki tidak tergali secara optimal, bahkan kecenderungan fujur (keburukan)-nya berkembang tanpa kendali. Selain itu, persoalan mendasar yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang berkembang di masyarakat adalah persoalan kurangnya teori dakwah untuk melihat kenyataan. Jika diperhatikan di lapangan, masih banyak para mubaligh yang belum memiliki peta dakwah. Sehingga, meskipun ilmu pengetahuan yang dimiliki cukup tinggi, tetapi tidak sesuai dengan objek dakwah (sasaran dakwah). Masih banyak mubaligh yang menyampaikan materi dakwah yang disampaikan sama pada semua kalangan. Istilah penulis adalah seperti ‘budaya kaset’, yaitu menyampaikan materi dakwah yang sama di mana saja dan untuk siapa saja tanpa memperhatikan kondisi mad’u. Padahal setiap masyarakat memiliki problematika, budaya, dan karakteristik yang berbeda-beda pula.196 Dalam arti bahwa seorang mubaligh hendaknya tidak boleh menyamaratakan mad’u. Untuk dapat meminimalisir problematika Islam yang semakin kompleks, maka perlu adanya perencanaan dakwah yang profesional. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan subjek dakwah (da’i/mubaligh) dengan baik. Sebuah rencana dan strategi yang baik tidak akan berjalan dengan baik manakala para pelakunya tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni. Pelaku dakwah bukan hanya seorang da’i, tetapi juga harus ada perencana dan pengelola dakwah.197 Ketiganya dapat disebut sebagai da’i. Oleh sebab itu, di sinilah kenapa perlu menyiapkan para mubaligh (da’i) yang profesional. Profesionalisme seorang da’i dapat diukur dari kompetensi yang dimiliki oleh seorang da’i.198 Secara garis besar ada dua kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang subjek dakwah yaitu komptensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif yaitu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan kepribadian yang baik, karena sebagai teladan bagi objek dakwahnya. Kompetensi Metodologis merupakan kompetensi yang harus dimiliki

196

Lihat Hamzah Ya’qub, Publistik Islam, Teknik dakwah dan leadership, (Jakarta: Diponegoro, 1992), 23. 197 Lihat Abdul Rosyad Sholeh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 7. Lihat pula Zainal Muchtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), 16. 198 Lihat Muhammad Munir, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Rahmat Semesta, 2009) 22.

115


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dalam menguasai kegiatan dakwah mulai dari identifikasi masalah, perencanaan sampai pelaksanaan dakwah, bahkan sampai pada evaluasi dakwah. Namun realitasnya di masyarakat ternyata masih ada kesenjangan antara realitas dengan idealitas. Masih banyak mubaligh yang berdakwah tanpa mempersiapkan perencanaan terlebih dahulu. Mereka hanya mengandalkan kompetensi substantif semata. Itu pun, masih belum maksimal. Karena terkadang masih ditemukan seorang mubaligh yang attitude-nya belum sesuai dengan apa yang dikatakan. Yang menjadi permasalahannya adalah ketika para mubaligh berdakwah tanpa diiringi dengan perencanaan yang matang dan follow up yang serius. Padahal perencanaan dakwah sangat mempengaruhi keberhasilan dakwah, dan sebagainya. Jika berdakwah tanpa mengetahui bagaimana budaya, psikologi,199 dan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat, maka dakwahnya tidak efektif. Ibarat orang yang sakit kepala, maka ia membutuhkan obat sakit kepala, tetapi jika yang diberikan adalah obat sakit perut, maka sakit yang dialami tidak akan berkurang, bisa jadi malah semakin parah. Selain itu, berdakwah tanpa menggunakan metode yang tepat sesuai dengan objek dakwah pun dapat menimbulkan permasalahan baru. Meskipun niat seorang da’i sudah baik, tetapi cara dan strateginya salah, maka tujuan dakwah akan sulit tercapai dengan baik. Dengan demikian setidaknya profesionalisme seorang da’i secara individual harus dimiliki oleh seorang da’i tersebut agar kegiatan dakwah bisa berjalan dengan lancar dan sukses. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis dalam tulisan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa da’i seyogyanya adalah orang yang dapat memecahkan masalah umat, bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Da’i adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat dalam arti mematok tarif ketika berdakwah. Rumusan kode etik dakwah diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para da’i atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi atau para rasul. Oleh sebab itu, sekurangkurangnya ada tujuh kode etik dakwah yang menjadi dasar bagi seorang da’i dalam

199

Lihat Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, (Surabaya: Indah Surabaya. 1993) 27.

116


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

melaksanakan dakwahnya yaitu: (1) Tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan; (2) Tidak melakukan toleransi agama; (3) Tidak mencerca sesembahan agama lain; (4) Tidak melakukan diskriminasi; (5) Tidak memungut imbalan; (6) Tidak mengawani pelaku maksiat; (7) Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kesemua kode etik tersebut hendaknya dapat dijadikan dasar berpijak oleh para da’i dalam berdakwah di tengah-tengah masyarakat agar dakwah yang dilaksanakan bisa berjalan dengan baik. Kemudian simpulan yang kedua bahwa untuk melaksanakan tugas secara profesional, seorang da’i harus memiliki bekal antara lain: (1) Pengetahuan tentang tugas yang dikerjakan dan bagaimana cara melaksanakan pekerjaan itu; (2) Memiliki sikap atau etos kerja yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dengan baik; (3) Memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas; dan (4) Memiliki kondisi mental dan fisik yang baik untuk melaksanakan tugas secara efektif dan efisien. Selain itu, seorang da’i profesional mesti menguasai beberapa hal yaitu: (1) Menguasai pekerjaannya; (2) Mempunyai loyalitas; (3) Mempunyai integritas; (4) Mampu bekerja keras, (5) Mempunyai kebanggaan; (6) Mempunyai motivasi; dan (7) Mempunyai komitmen.

117


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur-an al-Karim. Anshari, Hafi, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas. 1993. Brooks, Sandy. "In Need of Paraprofessional Help." American Libraries (May 1998): 36. Fahmi,

Nizar, “Profesionalisme Seorang Da'i”, http://nizarfahmi19. blogspot.co.id/2014/04/ profesionalisme-seorang-da.html (12 September 2015).

Feisol, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Kafie, Jamaluddin, Psikologi Dakwah, Surabaya: Indah Surabaya. 1993. Kayo, R. B. Khatib Pahlawan, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Jakarta: Amzah, 2007. Mills, HM. Vollmer and D.L. (eds), Professionalization, Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall., 1996. Muchtarom, Zainal, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996.

118


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Munir, Muhammad, Manajemen Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta, 2009. Shaleh, Abdul Rosyad, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Ya’qub,

Ali Mustafa, “Kode Etik Dakwah” dalam http://budisansblog. blogspot.com /2012/06/kode-etik-dakwah.html. (12 September 2015).

Ya’qub, Hamzah, Publistik Islam, Teknik dakwah dan leadership, Jakarta: Diponegoro, 1992.

WAWASAN SISTEM EKONOMI ISLAM Oleh : Abu Kholish Abstrak : Diskursus tentang ekonomi Islam ( Syariah ) sebenarnya bukan merupakan wacana baru dalam dunia ilmiah modern saat ini. Ia merupakan suatu realitas yang terus menghadirkan kesempurnaan ditengah beragamnya sistem sosial dan konvensional yang berbasis pada faham materialisme sekuler. Kehadirannya bukan saja menjadi jawaban dari ketidak adilan sistem sosial ekonomi kontemporer, melainkan juga sebagai kristalisasi usaha intelektual yang telah berlangsung sangat panjang dalam sejarah umat Islam. Oleh karena itu, membahasnya baik saat ini maupun dimasa mendatang akan selalu menjadi salah satu kajian di berbagai ranah dimensi sosial masyarakat. Mulai dari akademisi, praktisi hukum ekonomi Islam ( syariah ), pebisnis ekonomi syariah hingga pada level pengambil kebijakan negara dengan berdirinya lembaga–lembaga perbankan syariah dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya. Kata Kunci : Wawasan, Sistem dan Ekonomi Islam. Pendahuluan Fenomena perkembangan sistem ekonomi dan keuangan Islam dewasa ini, memperlihatkan eksistensinya baik dalam dunia akademik maupun dalam dunia usaha 

Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin (PPMS) 94, Dosen Tetap Pada Sekolah Tinggi Agama Islam Brebes ( STAIB ) Jawa Tengah.

119


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dan bisnis. Di Tanah air, sistem ekonomi Islam sudah dikembangkan secara serius oleh para Ulama serta cendekiawan Muslim dan mendapat support dari mantan Presiden RI H. M Soeharto kala itu, saat ini perkembangan sistem ekonomi Islam semakin kokoh dengan disahkannya beberapa Undang-Undang yang berkaitan dengan hal tersebut. Seiring dengan perkembangan yang positif itu, maka patut bagi kita sebagai seorang muslim untuk mengetahui lebih jauh tentang sistem ekonomi Islam ( syariah ) itu, apakah sistem ekonomi Islam itu menjadi suatu pilihan atau hanya sebuah sistem alternatif dalam kegiatan ekonomi dewasa ini. Agar mudah memposisikan sistem tersebut dalam posisi yang tepat dan proporsional, maka ada dua sudut pandang yang digunakan dalam memahaminya yaitu pertama pemahaman secara ekslusif dan kedua pemahaman secara inklusif. Pemahaman secara ekslusif artinya menempatkan sistem ekonomi Islam dalam posisi internal dan integratif dari ajaran Islam sebagai sebuah kesatuan yang sistematis, menyeluruh (kaffah) dan mandiri sesuai dengan ayat Al Qur an yang berbunyi Uzdkhulu fis silmi kaffah, artinya masuklah Islam secara menyeluruh. Secara internal semua orang muslim harus menempatkan syariah diatas segala-galanya yang harus pula terimplementasi dalam segala dimensi kehidupannya, tak terkecuali di bidang ekonomi. Dalam kontek ini maka sistem ekonomi Islam merupakan pilihan yang tidak mungkin bisa ditawar lagi. Karena dengan tidak menempatkan Islam dalam setiap dimensi kehidupannya, maka akan berakibat fatal karena telah melakukan sebuah pengingkaran terhadap ajaran Islam yang berarti mengeliminasi dirinya sendiri sebagai seorang muslim sejati. Pemahaman secara inklusif artinya menempatkan sistem ekonomi Islam bukan pada posisi yang mandiri terlepas dari sistem-sistem yang berkembang di sekitarnya, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari sistem kehidupan secara keseluruhan. Dari sudut pandang ini, berarti ekonomi Islam merupakan salah satu sistem diantara sistem-sistem lainnya seperti feodalisme, kapitalisme, sosialisme dll. Semua sistem ini telah berkembang dan telah mengkristal dalam kehidupan manusia di dunia, karena merupakan realitas kehidupan yang tidak mungkin diabaikan. Jadi, sistem ekonomi Islam dipandang sebagai sesuatu yang turut memberikan kontribusi dalam pengembangan sistem ekonomi Islam itu sendiri.

120


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Secara insklusivistik sistem ekonomi Islam haruslah diposisikan sebagai alternatif diantara sistem-sistem ekonomi konvensional yang ada dan berkembang saat ini. Artinya sistem ekonomi Islam dapat dipilih ataupun tidak dipilih sebagaimana sistem-sistem yang lainnya. Hal ini sangat bergantung pada selera, keyakinan, sistem dan keunggulan kompetitif yang melekat didalamnya atau dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Di negara yang telah menempatkan Islam sebagai ideologinya, tidak terlalu sulit untuk memposisikan sistem ekonomi Islam sebagai pilihan dalam kegiatan ekonominya, karena sistem itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam yakni salah satu bidang muamalah (Iqtishadiyah). Bagi negara-negara Islam yang telah mempraktikkan sistem ekonomi berbasis konvensional, secara bertahap tidak akan sulit untuk menggantinya dengan sistem ekonomi Islam. Negara seperti ini lebih tepat menempatkan sistem ekonomi konvensional sebagai alternatif disamping sistem ekonomi Islam. Di Indonesia yang tidak menempatkan Islam sebagai falsafah ideologi negara, meskipun tidak menenempatkan agama sebagai landasan ideologi, tetapi negara mengakui sejumlah agama didalamnya. Dari perspektif ini memang agak susah menempatkan sistem ekonomi Islam ( syariah ) sebagai pilihan karena sistem ini terbangun dari ajaran Islam secara integral. Sementara Islam sendiri bukan sebagai landasan ideologi negara, melainkan pancasila. Tetapi pandangan para ahli dan praktisi ekonomi Islam cenderung menempatkan sistem ini sebagai pilihan, dengan alasan bahwa langkah tersebut merupakan siasat dalam pengembangannya. Pandangan seperti itu, tidak dapat disalahkan

jika dipandang dari sudut

ekslusivitas yang menghendaki orang-orang Islam sejati seharusnya menerapkan Islam secara Kaffah, namun demikian, jika dipandang dari perspektif kenegaraan maka sistem ekonomi Islam bukanlah pilihan bagi warga negara melainkan sebagai alternatif. Hal tersebut tergantung pada komitmen, selera, keyakinan masing-masing dan hal ini sangat ditentukan oleh hal-hal intrinsik yang melekat dalam sistem ini, seperti keunggulan kompetitif, manusiawi, mendatangkan maslahat bagi semua pihak serta yang lainnya, sehingga memiliki daya pikat tersendiri di bandingkan dengan sistem konvensional. Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dan Sistem Ekonomi Lainnya

121


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Secara historis, ada tiga pilar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad pada awal tahun hijrah di kota Yasrib( Sekarang Madinah Al munawwarah ) Pertama adalah Iqomatul Masjid yaitu mendirikan masjid sebagai sebuah simbol keagamaan. Kedua adalah I’lanut Daulatil Islamiyah yaitu memproklamirkan sebuah negara Islam. ketiga adalah Muakhah Islamiyah yaitu membangun suatu masyarakat Islam yang sosial ekonominya didasarkan pada kesetiaan dan persaudaraan Islam. Jika usaha yang pertama dianggap bercorak keagamaan, dan usaha yang kedua bercorak politik, maka usaha yang ketiga adalah menuju kepada sosial ekonomi. Islam Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Dalam beberapa hal, sistem ini dianggap bertentangan antara keduanya dan berada diantara kedua sistem tersebut. Sistem ekonomi Islam mempunyai kelebihan-kelebihan yang ada pada sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis, tetapi bebas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada kedua sistem tersebut. Sistem ekonomi Islam dapat memenuhi semua persyaratan yang dituntut agar sesuatu itu dikatakan sah sebagai sebuah system. Misalnya kalau dalam kapitalisme dan sosialisme ada paradigma, dasar pondasi mikro (basis of mikro foundations) dan landasan filosofis (philosophic foundations), maka system ekonomi Islam memenuhi unsur tersebut. Lihat gambar di bawah ini200 : ECONOMICS

ECONOMICS SYSTEM SOCIALISM

ISLAMIC ECONOMIC SYSTEM

CAPITALISM

PARADIGM MARXIAN

PARADIGM SYARIAH

PARADIGM MARKET ECONOMIC BASIC OF MICRO FOUNDATION “ECONOMIC MAN”

BASIS OF THE BASIC OF THE MICRO MICRO FOUNDATION: FOUNDATION NO PRIVATE “MUSLIM MAN” 200 Lihat Muhammad OWNERSHIP Arif, OF Toward the shariah ( AHSANI paradigm TAQWIM of Islamic economics: The Beginning of THE MEANS OFAmerican Journal ) of Islamic social science, vol 2 No 1, 1985, p. 98. scientific revolution, The PRODUCTION Dalam bukunya Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah, Jakarta, Salemba empat, 2002, h 74

122


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

PHILOSOPHIC FOUNDATION DIALECTICAL MATERIALISM

PHILOSIPHIC FOUNDATION: INDIVIDUALISM IN THE ROLE OF THE GOD ON EARTH WITH AN OBJECTIVE TO ACHIEVE ‘FALAH’ IN THIS WORLD AND IN THE HEREAFTER ACCOUNTABLE FOR PERFORMANCE

PHILOSOPHIC FOUNDATION UTILITARIAN INDIVIDUALISM BASED ON THE LAISSEZFAIRE PHILOSOPHY

Gambar : Perbandingan System Ekonomi Sosialis, Islam dan Kapitalis Dari gambar tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa, pertama system ekonomi Islam, dipandang dari sudut keilmuan adalah sejajar keberadaannya dengan system kapitalisme dan sosialisme. Kedua system ekonomi Islam tidak sama, baik dengan system kapitalisme atau sosialisme. Ketiga system ekonomi Islam tidak bisa dikatakan sederhana, meskipun posisinya berada ditengah atau diantara kedua sistem yang ada. Gambar tersebut secara jelas menunjukan adanya perbedaan yang sangat mendasar dalam hal paradigma, dasar pondasi mikro, maupun landasan filosofisnya. Perbedaan-perbedaan tersebut akan berakibat pada tataran lebih rendah. Contoh yang paling mudah adalah bagi faham kapitalisme, seseorang akan bebas untuk menjalankan bisnis apa saja sejauh hal tersebut memberikan keuntungan. Akan tetapi, system ekonomi Islam tidak lah demikian, ada ketentuan yang mengatur, misalnya tidak diperbolehkan berbisnis dengan suatu komoditi atau jasa tertentu yang melanggar aturan syariah seperti jual beli babi, minuman keras atau sejenisnya, perjudian, riba dan lain sebagainya.201 Menurut Dumairy, bahwa system ekonomi Islam merupakan sub-sistem dari supra system ajaran Islam. Sebagai sebuah sub-sistem, system ekonomi Islam tegak dan ditegakkan dengan bertumpu pada pilar-pilar atau landasan yang kokoh. Pilarpilar atau landasan itu adalah : Nilai Dasar, Nilai Instrumental, Nilai Filosofis, Nilai

201

Lihat Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah, Jakarta, Salemba empat, 2002, h 75

123


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Normatif, dan Nilai Praktis. 202 Bangunan ekonomi Islam (syariah) yang didalamnya diantaranya mencakup ilmu manajemen dan akuntansi akan menjadi sebuah system ekonomi yang kokoh apabila dari seluruh aspek bangun system tersebut dapat dikenali berdasarkan sistemNya atau melalui pendekatan system. Aspek-aspek tersebut meliputi : ilmu, teori, model, kebijakan serta praktek ekonomi. Dengan demikian secara parsial menurut Dumairy dapat dirumuskan sebagai berikut : �Ilmu ekonomi yang Islami adalah ilmu ekonomi yang bernafaskan Islam, diciptakan dengan sendi dan landasan ajaran Islam; teori dan model ekonomi yang Islami ialah teori dan model ekonomi yang bernafaskan Islam, disusun dan dibentuk dengan bersendikan dan berlandaskan ajaran Islam; kebijakan ekonomi yang Islami ialah kebijakan ekonomi yang bernafaskan Islam, dirancang dan dilaksanakan dengan bersendikan dan berlandaskan ajaran Islam, yaitu suatu kehidupan yang perekonomiannya dijalankan berdasarkan ilmu, teori, serta kebijakan yang bernafaskan Islami�.203 Para pakar ekonomi Islam pada dasarnya sepakat dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi Islam. Prinsip-prinsip ini membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islami, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan dapat divisualisasikan sebagai berikut : Akhlak

Prilaku Islami

dalam bisnis dan ekonomi

Multiple Ownership

Freedom Act

To

Social Justice

Prinsip-prinsip system

ekonomi

Islam

Tauhid

Adl

Nubuwah

Khilafah

Ma’ad

Teori Islam

Gambar : Rancang Bangun Ekonomi Islami.

202 203

Ibid ibid

124

ekonomi


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai yang universal yaitu Tauhid (keimanan), Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khilafah (pemerintahan) dan Ma’ad (hasil). Kelima nilai dasar ini, menjadi inspirasi dalam menyusun preposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Akan tetapi, jika teori yang baik tidak diaplikasikan menjadi system, maka ekonomi Islam akan menjadi sebuah kajian ilmu saja tanpa memberikan dampak pada kehidupan ekonomi. Oleh karena itu dari lima prinsip universal tersebut dibangunlah tiga prinsip derivative yang menjadi ciri dan model system ekonomi Islam. Ketiga prinsip derivative tersebut adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice. Kemudian diatas nilai dan prinsip yang telah diuraikan tersebut, dibangunlah konsep yang memayungi kesemuannya yakni konsep akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi. Yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. 204 Dan akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.205 Afzalur Rahman,206 membagi prinsip dasar ekonomi Islam sebagai berikut : 1. Kebebasan Individu207 204

Innama buitstu liutammima makarimal akhlak. ( Al Hadist ) Lihat Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta, IIIT Indonesia, 2002, h. 17. 206 Lihat Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Suroyo, Nastangin, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1995, h 8-11 dan 89-120. 207 Setiap individu mempunyai hak kebebasan untuk berpendapat dan membuat suatu keputusan serta mempunyai tugas untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal ini dijelaskan dalam Al Quran surah Ali Imran : 104, 110, 114. 104 : ‫ العمران‬.‫ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون‬ 205

Artinya : “Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orangorang yang beruntung”. ( Ali Imron : 104) ‫كنتم خير امة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون باهلل ولو أمن اهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم‬ 11 0 : ‫ العمران‬.‫المؤمنون واكثرهم الفسقون‬ Artinya : “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Ali Imron : 110) 114 : ‫ العمران‬.‫يؤمنون با هلل واليوم األخر ويآمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويسارعون في الخيرت واولئك من الصلحين‬ Artinya : “Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh”. (Ali Imron : 114) Menyeru kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah prinsip dasar Islam, untuk itu Islam sangat memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan tugas tersebut. Islam telah mengatur dan mengembangkan hubungan yang harmonis antara individu dengan masyarakat untuk bekerja sama dan tidak menghendaki adanya perselisihan antara satu dengan yang lainnya.

125


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

2. Hak terhadap harta208

Kebebasan dalam pandangan Islam adalah sebagai pondasi dari nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan manusia, kebebasanlah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya, dan hanya melalui penggunaan kebebasan yang benar manusia akan terdorong untuk melakukan perbuatan yang terpuji. Seorang individu akan menikmati sepenuhnya kebebasan berfikir, bertindak dan melakukan tindakan-tindakan yang terpuji, dia mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk memulai, mengelola, mengorganisasikan, mengurus serta menciptakan perniagaan menurut kehendaknya. Dia juga mempunyai peluang yang sama untuk memilih bidang pekerjaan atau profesi yang dianggap layak serta bebas mencari dan menggunakan berbagai cara dalam usaha mendapatkan kekayaan, asalkan tidak menggunakan cara-cara yang haram. Kebebasan individu dalam bidang ekonomi bukanlah mutlak, melainkan di batasi oleh dua hal yaitu pertama individu bebas bergerak dibidang ekonomi dengan syarat tidak melanggar dan memperkosa hak-hak orang lain atau membahayakan kepentingan umum (masyarakat). Kedua harus menggunakan cara-cara yang halal dalam mencari penghidupan. Seperti yang dijelaskan dalam Al Quran surat Al Baqarah : 168 dan surat An Nisa’ : 29. 168 : ‫ البقرة‬.‫يايها الناس كلوا مما في األرض حلال طيبا وال تتبعوا خطوت الشيطن انه لكم عدو مبين‬ Artinya : “Wahai manusia ! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, syetan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al Baqarah : 168) .‫يايها الذين امنوا ال تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل اال ان تكون تجارة عن تراض منكم وال تقتلوا انفسكم ان اهلل كان بكم رحيما‬ 29 : ‫النساء‬ Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidakbenar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”. (An Nisa : 29). 208

Islam melegitimasi hak individu untuk memiliki harta benda yang diperoleh menurut cara-cara yang halal. Walaupun demikian ia memberikan batasan tertentu untuk menggunakan hak tersebut sekehendaknya, agar tidak merugikan kepentingan masyarakat umum. Al Quran surat Al Baqarah : 254, surat Az Dzariat : 19, surat Al Isra’ : 26, menjelaskan : : ‫ البقرة‬.‫يايها الذين امنوا انفقوا مما رزقنكم من قبل ان يأتي يوم ال بيع فيه وال خلة وال شفاعة والكفرون هم الضلمون‬ 254 Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang dzalim”. (Al Baqarah : 254). 19 : ‫ الذاريات‬.‫وفي اموالهم حق للسائل والمحروم‬ Artinya : “Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta”. (AzDzariyat : 19). 26 : ‫ االسراء‬.‫وات ذا القربى حقه والمسكين وابن السبيل وال تبذر تبذيرا‬ Artinya : “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (Al Isra : 26). Ayat-ayat Al Quran tersebut dengan jelas membenarkan hak individu untuk memiliki dan membelanjakan harta bendanya, dan mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan hartanya kepada masyarakat setelah memenuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga. Islam juga menganggap pemilik harta sebagai pemegang amanah yang memiliki tanggung jawab yang besar atas penggunaan harta tersebut. Dalam surat Al Hadid : 7, An Nahl : 71 di jelaskan ; 7 : ‫ الحديد‬.‫امنوا باهلل ورسوله وانفقوا مما جعلكم مستخلفين فيه فالذين امنوا منكم وانقوا لهم اجر كبير‬ Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang

126


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

3. Ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar209 4. Kesamaan sosial210 5. Jaminan sosial211 6. Distribusi kekayaan secara meluas212 yang beriman diantara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar”. (Al Hadid : 7) .‫واهلل فضل بعضكم على بعض فى الرزق فما الذين فضلوا برادي رزقهم على ما ملكت ايمانهم فهم فيه سواء افبنعمة اهلل يجحدون‬ 71 :‫النحل‬ Artinya : “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”.(An Nahl : 71). Ayat-ayat tersebut dengan tegas menunjukan bahwa semua kekayaan dan harta benda adalah kepunyaan Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah SWT. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. 209

Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi antara satu dengan yang lain, tetapi tidak membiarkannya menjadi jurang pemisah, ia mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam batasbatas yang wajar, adil dan tidak berlebihan. Al Quran surat An Nur : 33 menjelaskan ; ‫وليستعفف الذين ال يجدون نكاحا حتى يغنيهم اهلل من فضله والذين يبتغون الكتب مما ملكت ايمانكم فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا‬ ‫واتوهم من مال اهلل الذي اتكم وال تكرهوا فتيتكم على البغاء ان اردن تحصنا لتبتغوا عرض الحيوة الدنيا ومن يكرههن فان اهلل من‬ 33 : ‫ النور‬.‫بعد اكراههن غفور رحيم‬ Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barang siapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa”. (An Nur : 33). 210

Islam tidak mengharuskan kesamaan dalam hal ekonomi, tetapi mendukung dan menggalakkan kesamaan sosial, sehingga sampai pada tahap bahwa kekayaan negara yang dimiliki tidak hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu saja. Dalam Al Quran surat Al Hasyr : 7 berbunyi ; ‫ما افاء اهلل على رسوله من اهل القرى فلله وللرسول ولذى القربى واليتمى والمسكين وابن السبيل كي ال يكون دولة بين االغنياء‬ 7 : ‫ الحشر‬.‫منكم وما اتكم الرسول فخذوه وما نهىكم عنه فانتهوا وتقوا اهلل ان اهلل شديد العقاب‬ Artinya :”Harta rampasan Fa’I yang diberikan Allah kepada RasulNya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orangorang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat keras hukumanNya”. (Al Hasyr : 7) 211

Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara Islam, dan setiap warga negara dijamin untuk memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Tugas dan tanggung jawab sebuah negara Islam adalah menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhannya sesuai dengan prinsip dan hak untuk hidup. Disamping memberikan jaminan sosial, negara juga bertanggung jawab terhadap jaminan umum, oleh karena itu dana dikumpulkan dari masyarakat yang berupa zakat atau bentuk sadaqah lainnya yang akan dikumpulkan ke perbendaharaan negara.

127


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

7. Larangan menumpuk-numpuk kekayaan213 8. Larangan terhadap organisasi anti sosial214 9. Kesejahteraan individu dan masyarakat.215 Kapitalisme Faham kapitalisme berasal dari Inggris abad ke 18, kemudian menyebar ke Eropa barat dan Amerika utara. Saat terjadi hegemoni kekuasan dan pengekangan oleh ajaran gereja, maka berakibat pada terjadinya perlawanan terhadap ajaran gereja tersebut, kemudian tumbuh aliran pemikiran liberalisme di negara-negara eropa barat. Aliran ini merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi kapitalis ini bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1976. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat, dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup ( way of life ).216

212

Sejumlah nilai dan institusi Islam dianggap dapat membantu menciptakan persaudaraan Islam yang ideal, persamaan sosial dan distribusi yang merata. Dari sekian hal penting dalam konteks ini adalah sistem zakat dan warisan. 213 Islam tidak memperbolehkan penumpukan harta ditangan segelintir orang ; suatu keadaan dimana harta secara berlebihan berada ditangan satu pihak dan merampas seluruh pihak lain. Islam memberikan kekuasaan penuh kepada negara untuk mengambil langkah-langkah penting mengumpulkan kelebihan harta dikalangan orang kaya dan dimanfaatkan untuk kaum miskin. Al Quran surat Al Hadid ayat 7 menjelaskan : 7 : ‫ الحديد‬.‫امنوا باهلل ورسوله وانفقوا مما جعلكم مستخلفين فيه فالذين امنوا منكم وانقوا لهم اجر كبير‬ Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orangorang yang beriman diantara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar”. (Al Hadid : 7) Ayat ini mengandung prinsip yang sangat penting yaitu harus selalu membantu golongan miskin dari baitul maal atau kelebihan harta dari golongan kaya, sehingga jurang antara kaya dan miskin tidak begitu lebar dan tidak merusak keseimbangan di dalam masyarakat. 214 Sistem ekonomi Islam melarang semua praktek yang merusak dan anti sosial yang terdapat dalam masyarakat, misalnya berjudi, minum arak, riba, menumpuk-numpuk harta, pasar gelap dan lain-lain. 215 Islam mengakui kesejahteraan individu dan kesejahteraan sosial masyarakat yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, bukannya saling bersaing dan bertentangan antar mereka. Maka sistem ekonomi Islam mencoba meredakan konflik ini sehingga terwujud kemanfaatan bersama. 216 Ahmad Nurcholis, Upaya Islamisasi Ilmu Ekonomi Sebagai Solusi Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan, Episteme, vol 6, no 1, juni 2011.

128


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Konsep kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang secara jelas ditandai oleh berkuasannya “kapital�. Kapitalisme juga mengandung unsur pokok yang merupakan semangat atau pandangan ekonomi-jumlah dari keseluruhan tujuan, motif dan prinsip yang didominasi oleh tiga gagasan yaitu perolehan, persaingan dan rasionalitas. Prof. Abdul Manan,217 menjelaskan ada beberapa ciri khas kapitalisme yang sangat menonjol adalah : 1. Tidak adanya perencanaan218 2. Kekuasaan konsumen219 3. Kebebasan memilih pekerjaan220 4. Kebebasan berusaha221 5. Kebebasan untuk menabung dan berinvestasi222 217

Lihat M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. Nastangin, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1997, h 311-315. 218 Tidak adanya suatu rencana ekonomi sentral merupakan salah satu dari ciri kapitalisme yang menonjol. Para ahli ekonomi negeri kapitalis, terutama yang bersandar pada tindakan individual yang bebas (tapi saling ter gantung) dari jutaan ekonomi pribadi. Tindakan seperti ini tidak terkoordinasi oleh suatu rencana pusat. Harga pasar dijadikan dasar keputusan dan perhitungan unit produksi, semua itu pada umumnya tidak ditentukan oleh pemerintah, melainkan hasil dari kekuatan pasar dengan persaingan yang bebas. 219 Tidak adanya suatu rencana ekonomi sentral, karena kekuasaan para konsumen itulah yang menguasai, tetapi adanya kekuasaan terpusat itu justru akan membahayakan konsumen itu sendiri, karena mereka yang mempunyai kewajiban dan kekuasaan untuk berencana dapat selalu tergoda untuk menggantikan keputusan mereka (yang dianggap superior) dengan keinginan para konsumen lainnya. Kaum sosialis berkata bahwa kekuasan konsumen hanya sedikit artinya dalam kapitalisme, karena distribusi pendapatan yang tidaksama. Jadi bila seorang kapitalis berbicara tentang suara dolar yang membina produksi, maka sisosialis akan menjawab bahwa dengan mempertimbangkan jumlah maka akan lebih besar yang dapat diberikan golongan kaya, maka kapitalisme tidaklah dapat dianggap memberikan kebebasan sepenuhnya pada para konsumen, dan sesungguhnya kapitalisme mengandung arti kedaulatan bagi para produsen. 220 Kebebasan memilih pekerjaan selalu dianggap sebagai salah satu ciri dari pada kapitalisme. Ini mengandung arti bahwa untuk menarik suplai dari suatu jenis khusus tenaga kerja yang mencukupi suatu industry, maka pemberian upah harus cukup tinggi agar mempunyai daya tarik. Sementara perbedaan upah dan distribusi pendapatan cenderung berlangsung terus. Karl Marx mengemukakan bahwa pekerja dalam system kapitalis adalah ‘bebas dalam arti ganda’ pertama sebagai manusia bebas dalam memberikan tenaga kerjanya sebagai komoditasnya sendiri, kedua ia tidak mempunyai komoditas lain untuk dijual dan ia pun tidak mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk merealisasikan tenaga kerjanya. Marx juga mengemukakan bahwa sekali seorang pekerja menjual tenaga kerjanya, dia tidak akan bebas selama ia bekerja kecuali bila ia berada dibawah perintah majikan kapitalisnya. 221 Kebebasan dalam berusaha merupakan ciri lain dari kapitalisme. Lembaga hak milik pribadi dianggap sebagai bagian dari system kapitalisme, karena kebebasan ditafsirkan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh hak milik dengan produksi, pekerjaan, atau pertukaran dan melepaskannya dengan sekehendak hati-selama hal itu tidak direbut oleh pihak lain. 222 Dalam kapitalisme, hak untuk menabung didukung dan ditingkatkan oleh hak untuk mewariskan kekayaan. Karena itu kebebasan untuk menabung, mewarisi dan untuk menumpuk kekayaan lebih merupakan ciri khas kapitalisme dari pada pilihan bebas akan konsumsi dan kegiatan. Kebebasan

129


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

6. Persaingan dan monopoli223 Sosialisme Istilah sosialisme selain digunakan untuk menunjukan sistem ekonomi, juga digunakan untuk menunjukan sebuah aliran filsafat, ideologi, cita-cita, ajaran atau gerakan. Sosialisme sebagai gerakan ekonomi muncul sebagai perlawanan atas ketidak adilan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Sosialisme juga diartikan sebagai bentuk perekonomian dimana pemerintah bertindak sebagai pihak yang dipercayai seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis seperti pertambangan, jalan-jalan, jembatan, kereta api serta cabang-cabang produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk didalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara, dan menghilangkan kepemilikan swasta.224 Faham sosialisme itu dapat di bagi pada tiga priode : Pertama ; Utopie socialisme ialah cita-cita sosialisme yang masih merupakan angan-angan, baru semata-mata sebuah khayalan yang sukar untuk di aplikasikan. untuk menginvestasi tercakup dalam sifat tidak terencananya ekonomi kapitalis. Dalam suatu ekonomi kapitalis, para pengusaha yang hendak mengambil keuntungan dari kesempatan investasi berusaha untuk dapat menggunakan dulu dana yang telah dihimpun para penabung perorangan, dan menawarkan untuk membayar bunga dari hasil investasi mereka. Dengan cara ini terbentuklah suku bunga pasar, disamping arti pentingnya bagi penabung maupun bagi peminjam perorangan menurut kaum kapitalis, suku bunga pasar dapat memenuhi kebutuhan sosocial akan suatu rintangan guna melindungi sumber daya untuk memenuhi konsumsi dewasa ini agar jangan sampai habis di masa depan. 223 Struktur ekonomi kapitalis adalah struktur bersaing. Hal tersebut merupakan suatu keharusan, karena jumlah persaingan yang cukup sangat diperlukan bila seluruh proses produksi dan distribusi diatur oleh kekuatan pasar. Selanjutnya kapitalis menyatakan bahwa persaingan dapat menyebabkan suatu proses seleksi alami dan dengannya setiap individu dapat mencapai tingkat dalam posisi yang paling mampu untuk didudukinya. Mereka yang mampu memimpin dan berorganisasi eksekutif akan menjadi pengusaha yang berhasil, mereka akan berada pada posisi yang terbaik untuk melaksanakan kualitas yang dimilikinya. Pengusaha yang tidak efisien akan tersingkir oleh proses kegagalan sederhana. Mereka yang paling cocok untuk bekerja di bawah pimpinan seseorang tentu saja akan menjadi seorang penerima upah. Para majikan akan bersaing untuk memperoleh pekerja yang paling efisien, sehingga setiap tenaga kerja akan mendapat tempat dalam industry dengan memberikan jasa yang terbesar nilainya. Upah relative yang dibayarkan dalam berbagai macam pekerjaan akanmenyebabkan tiap pekerja melakukan jenis pekerjaan tertinggi yang mampu dijalankannya. Celakannya, argument ini ternyata bertentangan dengan kenyataan sejarah. Persaingan, bila tidak dibatasi oleh undang-undang pengaturan, tidak akan melindungi konsumen dari penipuan dan pemerasan, dan tidak pula investor dari penyelewengan. Hal itu juga tidak akanmelindungi pengusaha berhati mulia dari saingannya yang tidak jujur dan tidak bermoral. Hal ini hanya dapat dicapai dengan pengawasan kolektif. 224 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997, h 53

130


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Priode ini dimulai dari Sir Thomas More (1480-1539) yang terkenal dengan konsep “Utopia-nya”, dan Campanella (1620) yang terkenal dengan bukunya “Civitas Solis” (Negara Matahari). Segala keterangan yang diberikan oleh keduanya masih bersifat angan-angan, khayal dan fantasi semata. Baru kemudian ditangan tiga orang pengarang terkenal, fantasi, angan-angan itu mulai agak tegas difahamkan. Mereka adalah : a. Saint Simon (1760-1825) yang telah mengambarkan cita-cita sosialisme itu dalam bukunya “Du Systeme industriel : Le Nouveau Christianisme”. b. Fourier (1772-1837) yang terkenal dengan bukunya “Theorie des quatre mouvements”. c. Robert Owen (1771-1858) yang telah menulis buku berjudul “A new view of society”. Dari ketiga pemimpin sosialis inilah mereka mempertegas gambaran dari citacita dan faham sosialisme, dan sedikit demi sedikit mempengaruhi jalan pikiran manusia pada masa itu225. Kedua ; Wetenschappelijke socialisme adalah cita-cita sosialisme yang sudah disusun menurut ilmu pengetahuan, hasil dari penyelidikan akal yang sehat, walaupun masih sukar untuk diwujudkan. Munculnya zaman yang kedua ini dimotori oleh gerakan kaum buruh inggris yang pertama bernama Chartist yang menuntut adanya undang-undang dasar baru yang mereka namakan “Charter Rakyat”, dalam gerakan ini muncul dua aliran yang saling bertentangan. Yaitu aliran individualis dari O’Connor dan aliran kollektivis dari O’ Brien. Pada priode ini, muncul nama tiga tokoh baru yaitu : a. William Thomson (1785-1833) yang terkenal dengan bukunya “An Inquiry into the Principles of the Distribution of Wealth most Conductive to human hapiness” tahun 1824. b. P. J. Proudhon (1809-1865) yang terkenal sebagai pahlawan Anarcho socialis, yang telah menulis buku berjudul “Qu’est-cequ’a la propriete ? La propriete c’est le vol” tahun 1840.

225

Z A. Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam, Pustaka Antara Djakarta, 1952, h 67

131


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

c. Louis Blanc (1811-1882) yang terkenal dengan bukunya “Organisation du Travail” tahun 1839. Dari uraian ketiga pujangga sosialis ini, yang didasarkan pada pengetahuan, mulailah dipecahkan segala soal-soal didalam ekonomi. Uraian-uraiannya sangat teoritis dan wetenschappelijke sehingga kurang memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup dan sedang berlaku dalam masyarakat. Misalnya uraian dari Proudhon mengenai hak milik, semboyannya berbunyi La propriete c’est le vol ( Hak milik itu adalah curian ), L’ anarchise c’est I’ orde ( Kekacauan itu adalah ketertiban ). Sedangkan Louis blanc menciptakan Atelier Sosiaux ( tempat kerja sosial ) yang berdasarkan koperasi produksi dari kaum buruh dibawah pengawasan pemerintah.226 Ketiga ; Modern realistice socialisme adalah cita-cita sosialisme yang berdasarkan pada kenyataan-kenyataan dengan teori-teori yang modern. Pada priode ini lahirlah Marxisme yang menjadi pegangan hampir seluruh kaum sosialis dunia sampai sekarang ini. Ada nama-nama yang dipandang sebagai tokoh penganjur dari sosialis modern yaitu : a. Fichte (1762-1814) seorang sosialis jerman yang terkenal dengan bukunya “Der Geschlossene Handelstaat” pengikutnya yang terkenal ialah Karl Rodbertus (1805-1874) yang dianggap berhaluan evolusioner sosialisme ialah penganut faham sosialisme yang tumbuh dari evolusi zaman. b. Lasalle (1825-1864) yang terkenal dengan bukunya “Das Arbeiter Programm”. c. Karl Marx (1818-1883) dengan sahabatnya Friedrich Engels dengan bukunya “Das Kapital” serta semboyan perjuangannya yaitu “kaum proletar seluruh dunia, bersatulah kamu”. 227 Dengan munculnya bapak sosialisme ini, dimulailah zaman yang hebat dari sosialisme sebagai suatu gerakan internasional yang pengaruh dan kekuasaannya sangat besar, jutaan jumlah manusia di dunia yang mendewa-dewakan karl marx, mengkaji tiap-tiap huruf dan kalimat dari bukunya. Kemudian gerakan sosialisme

226 227

Z. A. Ahmad, Ibid. Z. A. Ahmad, Ibid

132


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

semakin banyak aliran dan coraknya, sehingga saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Komunisme Istilah “Komunisme” berasal dari kata latin “Communis”. Nama itu tercipta dalam perkumpulan revolusioner rahasia di Paris tahun 1834-1839. Pada umumnya nama itu digunakan untuk menjelaskan perbuatan atau keyakinan akan perlunya pengawasan soasial atas kehidupan ber-ekonomi, termasuk didalamnya adalah hak milik sosial atas harta benda. Istilah “Komunisme” juga muncul lagi pada tahun 1840-1872 dengan arti sebagai tindakan revolusioner untuk menumbangkan masyarakat kaptitalis dengan jalan kekerasan.228 Komunisme sebagai aliran ekstrim yang tidak disukai oleh kaum kapitalis, ia muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme dan sering lebih bersifat gerakan ideologis dan mencoba hendak mendobrak sistem kapitalisme dan sistem lain yang telah mapan. Tokoh idolanya adalah Karl Marx, ia sangat membenci sistem perekonomian liberal yang digagas oleh Adam Smith. Dan untuk menunjukan kebenciannya ini, ia menggunakan berbagai argumen untuk membuktikan bahwa sistem liberal atau kapitalis itu buruk. Karl Marx sangat mengecam sistem kapitalis karena bias terhadap kaum pemilik modal. Beberapa program yang dianjurkan untuk diterapkan adalah : a. Penghapusan hak milik atas tanah dan menggunakan semua bentuk sewa tanah untuk tujuan-tujuan umum. b. Program pajak pendapatan progresif dan gradual. c. Penghapusan semua bentuk hak pewarisan. d. Pemusatan kredit di tangan negara e. Pemusatan alat-alat komunikasi dan transportasi di tangan negara f. Pengembangan pabrik-pabrik dan alat produksi milik negara dan dikuasai negara.229 Menurut M A Mannan, ada tiga doktrin pokok yang mendasari konsep umum komunisme yaitu :

228 229

M. Abdul Mannan, Opcit, h, 322. Deliarnov, Opcit, h, 77

133


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

a. Doktrin tentang keadaan alam yang dalam berbagai bentuk mendominasi pemikiran zaman kuno dan dunia modern, yaitu dari zaman renaisans sampai pertengahan abad ke sembilan belas. Doktrin ini pada hakekatnya bersifat utopia, rasionalis dan pasifistik. b. Manichaeisme, yang menganggap sejarah manusia sebagai suatu perlombaan yang tiada hentinya antara dua kekuasaan yang berdaulat yaitu baik dan jahat, roh dan zat, terang dan gelap. c. Marxisme, atau teori ekonomi mengenai timbul dan berkembangnya tenaga produksi masyarakat kapitalis, kecenderungan kolektif yang terkandung didalamnya, dan kepentingan antagonistik dengan perjuangan kelas sebagai tenaga kekuatan manusia dalam peradaban.230 Fasisme Fasisme berasal dari filsafat radikal yang muncul dari adanya revolusi industri yaitu sindikalisme. Eksponen sindikalisme adalah George Sorel tahun 1847-1922. Para penganjur sindikalisme menginginkan reorganisasi masyarakat menjadi asosiasiasosiasi yang mencakup seluruh industri, atau sindikat-sindikat pekerja. Mereka menganjurkan agar ada sindikat-sindikat pabrik baja yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pekerja di dalam industri batu bara, dan begitu juga pada industri-industri lain. Dengan demikian sindikat-sindikat yang ada pada dasarnya merupakan serikatserikat buruh yang akan menggantikan peran negara. Dalam sistem ekonomi fasisme, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta. Dalam prakteknya fasisme dan komunisme adalah dua gejala dari penyakit yang sama, keduannya sering dikelompokan sebagai sistem totaliter. Keduanya sama dalam kediktatoran satu partai perihal pemerintahan.231 Kritik Islam Terhadap Sistem Ekonomi Sekuler A. Kritik Islam terhadap kapitalisme Dalam kutipan keterangan sebelumnya, Nabi Muhammad telah memberikan corak kepada sosial ekonomi dalam Islam dengan prinsip 230 231

M. A. Mannan, Opcit Ahmad Nurcholis, Opcit

134


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

kekeluargaan dan persaudaraan. Masing-masing warga dalam masyarakat Islam harus sanggup melebur dirinya didalam keluarga yang besar, dan sewaktu-waktu melepaskan hak miliknya untuk kepentingan saudaranya dan kepentingan masyarakat seluruhnya. Ibnul Qoyyim dalam bukunya Zadul Ma’ad juz II, menceritakan bagaimana cara Nabi Muhammad dalam melakukan persaudaraan Islam tatkala pembentukan Negara Islam yang pertama itu. Beliau mengumpulkan 90 orang sahabat yang terdiri dari kaum Muhajirin ( Kaum pendatang dari Makah ) dan Anshor ( Pribumi Madinah ), dari seorang ke seorang, Nabi membuat perjanjian persetiaan dan persaudaraan sehidup semati antara kaum yang satu agama itu. Tidak kurang dari 45 kali Beliau mengambil bai’at persaudaraan diantara tiap-tiap pasangan mereka. Dengan perjanjian kesetiaan itu, masing-masing orang dari kaum anshor bersedia membagi hak miliknya kepada saudaranya dari kaum muhajirin yang tidak mempunyai apa-apa. Sejarah menyebutkan bahwa dalam pembentukan masyarakat Islam yang pertama itu, masing-masing dari kaum yang berpunya dari anshor bersedia melepaskan hak warisan yang semestinya diturunkan kepada famili dan anak-anaknya, justru malah diberikan kepada saudaranya yaitu kaum muhajirin atau dijadikan hak milik bersama dari masyarakat seluruhnya. Kemudian, Islam melakukan aktifitas-aktifitas dibidang ekonomi yang antara lain ; Internal, dia menyusun suatu masyarakat secara kekeluargaan yang berdasarkan pada kollektif dan kooperatif. Eksternal, dia melakukan gerakan perlawanan dengan gigih terhadap faham egoistis Yahudi yang mulai berpengaruh di Madinah pada waktu itu. Islam menentang keras pendirian yahudi yang sangat menyesatkan faham ekonomi dimasa itu, yang telah menyamakan praktek riba dengan perdagangan. Dengan tegas Tuhan dalam surat Al Baqarah ayat 275 berfirman : ‫ ذلك بأنهم قالوا إنما‬,‫الذين يأكلون الربوا ال يقومون إال كما يقوم الذى يتخبطه الشيطان من المس‬ ‫ فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف‬,‫البيع مثل الربوا واحل اهلل البيع و حرم الربوا‬ .‫وأمره إلى اهلل ومن عاد فأولئك اصحب النار هم فيها خالدون‬ Artinya : “orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan

135


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

karena gila,232 yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya.233 Dan urusannya terserah kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”. (QS. Al Baqarah : 275). Gerakan perlawanan terhadap semangat egoistis yahudi ini, semakin hari semakin intens sehingga akhirnya menjadi suatu semangat jihad untuk menentang kapitalisme. Walaupun pada waktu itu faham kapitalisme belum mempunyai bentuk yang jelas dan terorganisir sebagaimana pada abad 12 kemudian ditanah eropa, tetapi Nabi Muhammad sudah melakukan gerakan perlawanan terhadap bibit-bibit pertumbuhan kapitalisme. Dalam ayat-ayat Al Quran dan hadist sudah di gambarkan bahaya yang mengancam dari kapitalisme itu, Tuhan menyebutkan tiga macam sifat dan karakter kapitalisme dalam surat Humazah, yaitu ; a. Penimbunan kapital ( Jama’a maalan ), yang dinamakan concentratie capital. b. Perhitungan yang rasional, yaitu dengan sedikit tenaga dan biaya untuk mencapai hasil yang besar ( Wa’addadah ), yang dinamakan dengan rasionalisatie. c. Usaha menguasai sendiri untuk selama-lamanya dengan berusaha menutup segala kesempatan bagi orang lain ( Yahsabu anna malahu akhladah ), yang dinamakan dengan monopplie. Dalam ayat yang lain surat At Takatsur ditegaskan pula, bahwa sifat menimbun dan menumpuk-numpuk harta itu sangat melalaikan dari pada kewajiban kemanusiaan dan ketuhanan, sehingga sampai menghadapi kematian dan masuk ke liang kubur. Dalam hadist Nabi juga bersabda “Celakalah orang yang diperhamba oleh harta, baik berupa emas, perak atau lainnya”.234

232

Orang yang mengambil riba tidak tentram jiwanya seperti orang yang kemasukan setan. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. 234 Z. A. Ahmad, Opcit, h. 46 233

136


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Prof. Banning mengatakan dalam buku “Het vraagstuk van den arbeid” tahun 1946, yang ditulis oleh seorang ahli ekonomi Jerman yang cukup masyhur

Werner Sombart, bahwa sifat winstmotif kapitalisme barat ialah

dynamisch, unbedingt dan rucksichtlos. Dynamisch, karena kapitalisme tidak mengenal batas dalam mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Unbedingt, karena hasratnya hendak menguasai seluruh kehidupan dunia di lapangan pengetahuan dan agama. Rucksichtlos, karena kapitalisme itu tidak mengenal suatu larangan dan pembatasan dari segi apapun.235 Sedangkan Muhammad Ghazali dalam bukunya Al Islam wa Audha’ul Iqtishadiyah ( Islam dan teori-teori ekonomi ) menjelaskan bahwa kitab suci Al Qur’an menggunakan lafad “Turaf” terhadap faham dan sifat. Dan lafad “Mutrafin” terhadap kaum yang merusak masyarakat dari zaman ke zaman. Yang dimaksud dengan dua lafad tersebut adalah nafsu serakah yang mendorong kepada kekejaman terhadap sesama manusia. Sejarah nafsu serakah hampir sama tua-nya dengan sejarah manusia itu sendiri, yang senantiasa menimbulkan korban dari masa ke masa. Nafsu inilah yang dewasa ini disebut dengan “kapitalisme”. Oleh karena itu Muhammad Ghazali mengajak kita untuk melihat pada fenomena pertempuran yang tidak habis-habisnya antara kekuatan nafsu serakah yang sangat jahat itu dengan usaha-usaha perbaikan yang dilakukan oleh para Nabi dan para pemimpin-pemimpin rakyat lainnya. Lebih jauh Muhammad Ghazali menyimpulkan akan vonis-vonis Al Qur’an terhadap kaum mutrafin itu sebagai berikut : Pertama, kaum mutrafin adalah musuh dari segala perobahan, menentang akan kebenaran dalam segala tempat dan zaman. Dimana kaum mutrafin berada maka disitu berdiri komplotan reaksioner yang menghambat segala kemajuan dan menentang segala kebenaran. Nafsu serakahnya yang menyala-nyala akan menghamburkan semua harta benda dan kekayaannya untuk menentang kebenaran yang sangat dibencinya.

235

Z. A. Ahmad, Ibid

137


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Kedua, kaum mutrafin adalah sumber dari segala kerusakan dan penyebar bibit-bibit fitnah dan tidak henti-hentinya menebar kekacauan. Tatkala kaum imperialis dan kaum kapitalis bekerjasama dalam ekspansi kekuasaan penjajahannya, maka yakinlah akan bahaya yang mengancam pada setiap daerah yang dimasukinya, dan tidak lain hanyalah sebuah keruntuhan dan kebinasaan belaka yang akan terjadi. Ketiga, kaum mutrafin adalah musuh dari segala bangsa, tidak ada bangsa yang dimasuki kaum ini yang tidak memusuhinya. Setiap bangsabangsa jajahan yang telah dikorbankan oleh kaum kapitalis, pastilah akan berjuang habis-habisan untuk menentang dan memusuhi kapitalisme itu. Akhirnya dalam kesimpulan bukunya, Muhammad Ghazali mencatat sebagai berikut ; “Jika kita menyelidiki lebih mendalam peristiwa-peristiwa pertentangan dari masa 14 abad sampai sekarang ini, pertentangan antara kebenaran dengan kemungkaran, keadilan dengan kedhaliman, demokrasi dengan kesewenang-wenangan, sesungguhnya sangatlah jelas bahwa dalam kalkulasi laba dan rugi dari perjuangan itu ternyata keuntungannya sangat kecil sekali dan hampir tidak ada sama sekali, dan ternyata justru kerugianlah yang terjadi. Kita akan melihat fakta dihadapan kita sebagai saksi yang jujur dan adil, bahwa bangsa-bangsa yang menyerahkan pimpinan negaranya pada golongan borjuis dan kapitalis dari putra bangsa itu, tidak lain hanyalah menyerahkan lehernya sendiri untuk dijadikan korban. Diatas kesuraman sejarah ini, maka wajiblah kita berfikir lebih jauh apabila kita menginginkan kehidupan yang baik, wajiblah pula kita berusaha untuk menggunakan segala jalan untuk mendirikan timbangan sama rata disegala lapisan masyarakat, dan kita tutup pintu untuk selamanya terhadap pengacaupengacau masyarakat, kaum borjuis dan kapitalis itu�. 236 B. Kritik Islam terhadap Sosialisme Struktur ekonomi Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad adalah suatu susunan baru yang lebih bersifat universal dari pada bersifat nasional. Ia bukanlah gambaran dari ekonomi nasional Arab, bukan pula suatu reaksi terhadap susunan ekonomi yang sedang berjalan di Timur Tengah semata. Bahkan pula ia tidaklah suatu tingkatan ekonomi dalam suatu zaman tertentu, sebagaimana yang telah diteorikan oleh para ahli ekonomi Barat.

236

Ibid

138


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Oleh karena itu, kita tidak akan dapat mempergunakan teori-teori dialectica, anti-thesen dan ontwikkelings-theorie, didalam meninjau struktur ekonomi Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada 14 abad yang lampau itu. Kita juga tidak dapat menggunakan ukuran teori-teori itu untuk menyimpulkan bahwa ajaran ekonomi Islam adalah produk dari masyarakat arab pada zaman itu. Kita harus memandang jauh kepada jalannya seluruh perekonomian dunia, dan menempatkan alam pikiran kita pada wahyu dari Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu, tempat dan keadaan suatu bangsa. Sebagaimana keterangan sebelumnya tentang �kebobrokan ekonomi dunia�, ayat-ayat Tuhan yang mengambarkan kekacauan dan kehancuran perekonomian seluruh dunia yang terjadi berabad-abad jauh dibelakangnya, dengan tidak ada sangkut pautnya dengan perekonomian bangsa arab pada zaman itu. Diatas dasar pandangan seperti itulah kita harus meletakkan tinjauan dan alam pikiran kita terhadap struktur ekonomi Islam. Struktur ekonomi Islam merupakan suatu tuntutan asasi kemanusiaan yang tetap hidup sepanjang zaman, dan harus diperjuangkan oleh pengikutpengikutnya dengan tidak terbatas oleh segala macam teori-teori yang dibuat oleh manusia. Struktur ekonomi Islam menjadi tuntutan di dalam 5 zaman yang digambarkan oleh Stalin dalam bukunya “Riwayat partai komunis di Rusia�. Yaitu zaman komunis primitif, zaman budak belian, zaman feodal, dan zaman kapitalisme serta zaman sosialisme. Struktur ekonomi Islam diperjuangkan dan diusahakan mempraktekkannya oleh para pengikutnya yaitu kaum muslimin zaman Rasulullah, Khulafaur rasyidin, dan wajib diperjuangkan oleh umat Islam zaman modern sekarang ini. Penutup Islam memiliki sistem dan konsep yang berbeda dengan sistem dan konsep ideologi lainnya. Sesungguhnya praktek ekonomi dan bisnis dalam Islam selalu menawarkan rasa keadilan yang berlandaskan pada keteladanan Rasulullah Saw. Baik pada waktu sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. Nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Al quran harus selalu menjadi rujukan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis, sekarang dan selanjutnya, karena ajaran

139


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

didalamnya sangat menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, kehalalan serta tanggung jawab social. Sedangkan ekonomi liberal kapitalistik yang telah mengabaikan dimensi moral dan etika menyebabkan krisis moneter, terbukti negara yang sistem ekonominya dibawah kapitalisme mengalami krisis berkesinambungan sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, 1997 dan dampaknya masih terasa dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan para pakar ekonomi Barat sendiri merasa pesimis atas kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi dimuka bumi ini. Akhirnya semua usaha untuk mensosialisasikan dan mengembangkan sistem ekonomi Islam menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai seorang muslim untuk di aplikasikan secara konsisten dan ikhlash hanya mengharap ridlo Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA Al Qur’anul Karim, Terjemah Per Kata, Dilengkapi Dengan Terjemah Depag Dan Indek Tematik, 2007. Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah, Jakarta, Salemba empat, 2002. Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta, IIIT Indonesia, 2002. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Suroyo, Nastangin, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1995. Ahmad Nurcholis, Upaya Islamisasi Ilmu Ekonomi Sebagai Solusi Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan, Episteme, vol 6, no 1, juni 2011. M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. Nastangin, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1997. Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

140


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Z A. Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam, Pustaka Antara Djakarta, 1952.

PENAFSIRAN AL-QUR'AN MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA DAN ANTROPOLOGI (TELAAH PEMIKIRAN MUHAMMAD ARKOUN) Oleh : Arif Budiono ABSTRAK Bagi kalangan pembaharu (reformis) muslim, diktum al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan (al-Qur’an selalu sesuai bagi setiap waktu dan tempat) ditempatkan pada kerangka historis-sosiologis-antropologis. Umat Islam harus mampu membuktikan bahwa “al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada mansuai sebagai ajaran akumulatif dan penyempurna dari ajaran-ajaran kitab suci samawi sebelumnya. Diantara reformis Islam adalah Muhammad Arkoun. Menurutnya, AlQur'an merupakan sebuah teks yang bersifat terbuka. Tak satupun penafsiran dapat menutupnya secara tetap dan "ortodoks". Kenyataan ini memberikan konsekwensi logis adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa’i) yang terus berkembang. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang dianggap mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif-inklusif serta mampu menjawab perubahan, sementara al-Qur’an – dengan ayatnya yang tetap - turun ditengah budaya lokal Arab yang sama sekali berbeda kondisinya dengan problem kontemporer saat ini. Tampaknya peran

141


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

penggunaan ilmu sosial dan humaniora sebagai alat bantu dalam penafsiran tidak dapat dianggap sepele. Strategi yang ia tawarkan adalah mendekonstruksi, merekonstruksi dan mengembangkan metodologi penafsiran al-Qur’an melalui konseptual baru yang sesuai dengan tantangan zaman, yakni : Pertama, pendekatan Semiotik yakni konsep "tanda" sebagai kata simbol yang menjamin secara logis dan konkret kebahasaan. Tawaran ini muncul karena ia memahami manusia sebagai animal symbolicium atau hewan yang mampu menggunakan, menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan dari individu kepada individu lain. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstualitas. Analisis semiotika akan mampu menggali halhal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Kedua, pendekatan antropologis, diharapkan mampu menampilkan esensi ayat alQur'an yang tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Ayat al-Qur'an tidak lagi menjadi teks langit tapi al-Qur'an adalah teks bumi karena menggunakan bahasa bumi dan tentunya untuk kepentingan penduduk bumi. Melalui pendekatan ini, Arkoun ingin menggali faktor umum kemanusiaan, budaya dan agama masyarakat Timur Tengah. Keywords : al-Qur’an, metodologi Penafsiran, Semiotik, Antropologi, Arkoun

A. PENDAHULUAN Studi terhadap al-Qur’an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, produk-produk tafsir dari suatu generasi kepada generasi berikutnya memiliki corak dan karakteristik yang berbeda seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nas}) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa’i) yang terus berkembang. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalih li kulli zaman wa makan. 237 Karenanya, sebagaimana dikatakan Sahrur, “al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi 237

Awal kemunculan diktum ini belum terlacak secara jelas, namun diktum ini sangat populer dikalangan masyarakat muslim masa bani Abbasiah.

142


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

umat manusia."238 Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang dianggap mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif-inklusif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat Islam. Inilah yang mendorong para pemikir kontemporer yang “liberal�, semisal Muhammad Arkoun239 untuk mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi dan mengembangkan metodologi penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan tantangan zamannya. Al-Qur'an adalah kitab untuk manusia yang berisi hidayah, al-Qur'an seluruhnya berbicara untuk manusia atau tentang manusia, al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Pada ranah terakhir inilah ilmu antropologi berperan. Oleh karena itu, diyakini bahwa al-Qur'an memantulkan konsep-konsep sosial yang dapat mengantarkan manusia meraih derajat kehidupan yang lebih mapan. Dilain sisi, kenyataan ini haruslah disikapi sehingga akan selalu lahir pemikiran-pemikiran progresif dalam beragama dan berkehidupan sosial. Itulah yang ingin dilakukan oleh Arkoun ketika menggagas pentingnya tafsir al-Qur'an melalui pendekatan antropologi, yang pada tataran praktisnya dalam menelusuri konsep ini, iapun menawarkan konsep "tanda" sebagai kata simbol yang menjamin secara logis dan konkret kebahasaan. Tawaran ini muncul karena ia memahami manusia sebagai animal symbolicium atau hewan yang mampu menggunakan,

menciptakan

dan

mengembangkan

simbol-simbol

untuk

menyampaikan pesan dari individu kepada individu lain

238

Muhammad Syahrur, Al-Kita>b wa al-Qur'a>n : Qira>'ah Mu'a>s}irah (Damaskus: Ahl li alNashr wa al-Tawzi>', 1990), h. 33 239 Yang menarik dari Arkoun adalah caranya dalam menganalisis teks-teks agama. Ia melewati batas studi Islam tradisional, karena meminjam berbagai unsur dari filsafat, ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat mutakhir yang belum dilakukan dalam studi Islam terdahulu, baik di Barat yang dilakukan oleh para orientalis maupun didunia Islam sendiri. Dengan demikian Arkoun telah memberikan contoh dari apa yang ia lakukan yakni penggabungan (asimilasi) berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir dengan pemikiran Islam guna membebaskan pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan yang mencirikannya sampai kini dan melahirkan suatu pemikiran Islam yang mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi kaum muslim didunia modern. Lihat John Hendrik Meuleman. "Pengantar" dalam Mohamad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern : berbagai tantangan dan Jalan Baru, terj, Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), h. 5

143


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Metode penafsiran yang digunakan dengan penggalian makna dengan "cara baca" semiotika yang terkandung didalam ayat yang mana sebelumnya ia melakukan kritik terhadap epistemologi nalar Arab, iapun menawarkan pengkajian ulang makna ayat dengan pendekatan hermeneutik,240 dan menekankan aspek antropologi, sekaligus menganulir corak dan kecenderungan penafsiran yang tidak relevan

dengan

perkembangan

zaman.

Diharapkan

melalui

pendekatan

antropologis yang ia tawarkan, akan menampilkan esensi ayat al-Qur'an yang tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Teks agama (al-Qur'an) tidak lagi menjadi teks langit tapi al-Qur'an adalah teks bumi karena menggunakan bahasa bumi dan tentunya untuk kepentingan penduduk bumi, oleh karena itu membumikan nilai al-Qur'an menjadi agenda yang sangat penting. Artikel ini akan mengupas dan mengulas kontribusi dan kritiknya dalam kitab Dirasat Qur'aniyyah, khususnya mengenai pokok-pokok pikirannya dan aplikasinya dalam menemukan makna dan nuansa baru dalam penafsiran modern, umumnya bagi pengembangan bentuk-bentuk penafsiran yang lebih humanis, meskipun sebagian ulama’ menilai pemikirannya terkesan banyak menyimpang dari pakem yang sudah baku, dan dapat menggoyahkan kemapanan tafsir konvensional. Artikel ini berkaitan dengan 2 pertanyaan mendasar yang ingin digali penulis ; pertama, bagaimana memaknai al-Qur'an dengan setting dan budaya lokal Arab yang sama sekali berbeda dengan setting dan budaya Indonesia? Kedua, Sejauh mana penafsiran al-Qur'an dapat digunakan dengan menggunakan ilmu sosial dan humaniora? B. RIWAYAT ARKOUN DAN PEMIKIRANNYA 240

Pada dasarnya, pendekatan hermeneutik merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada a nalisa konteks, untuk selanjutnya "menarik" makna yang didapat kedalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur'an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur'an hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran, yakni : 1). Manusia sebagai penafsir ayat. 2). Penafsiran tidak akan lepas dari kajian bahasa, sejarah dan tradisi, 3). Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri. Lihat Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur'an, Tema-Tema Kontroversial (Sleman: alSAQ Press, 2005), h. 15 . Farid Esack, Pluralism and Liberation (Oxford: One World, 1997), h. 50

144


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

1. Sekilas Tentang Arkoun Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber dibelah timur Aljir, Aljazair.241 Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga Berber yang sederhana dan berasal dari strata masyarakat bawah yakni pedagang rempah-rempah. 242 Sebagai anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun sejak kecil telah dihadapkan pada tiga bahasa, yakni bahasa Kabilia, salah satu bahasa Berber yang diwarisi Afrika Utara dari zaman Pra Islam dan Pra Romawi, bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad pertama Hijriah dan bahasa Perancis yang dibawa oleh bangsa Perancis yang menguasai Aljazair antara tahun 1830-1962. sampai batas tertentu, ternyata ketiga bahasa ini mewakili cara berfikir Arkoun dan memahami yang berbeda. Sejak kecil, ia telah bergaul secara intensif dengan ketiga bahasa ini, itulah sebabnya, cita-cita Arkoun adalah berusaha memadukan berbagai cara berfikir, terutama semangat keagamaan yang lebih terpelihara dikalangan masa penganut Islam dan sikap rasional serta kritis yang lebih berkembangan didunia barat. 243 Setelah menyelesaikan pendidikan dasar didesanya, Arkoun menempuh pendidikan menegahnya di kota pelabuhan Oran yang merupakan kota utama Aljazair bagian Barat. Pada tahun 1950-1954, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir, sambil mengajar Bahasa Arab pada salah satu sekolah Menegah atas didaerah pinggiran ibukota Aljazair. Kemudian ditengah perang pembebasan Aljazair dari tangan Perancis, dari tahun 1954-1962, ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris. Sejak saai itu ia menetap di Perancis dan pada tahun 1969, ia memperoleh gelar Doktor Sastra dari Univrsitas Sorbonne dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etika Miskawaih. Arkoun tampaknya lebih senang menetap didunia Barat daripada tanah airnya sendiri, Aljazair, untuk mengembangkan karir akademiknya. Satu hal lain yang membuat ia betah di Perancis adalah suasana perbincangan ilmiah dan cendekia yang pada umumnya lebih terbuka di barat daripada di dunia Islam. 241

Ibid., h. 1 Fedwa malti Douglas, "Muhammad Arkoun", dalam John L.Eposito (ed). The Oxford Enclycopedia of the modern Islamic World vo. I (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 24 243 Meuleman. "Pengantar", h. 1 242

145


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Arkoun secara resmi bekerja sebagai Guru besar dalam sejarah pemikiran Islam pada Univesitas Sorbonne, ia pernah menjabat sebagai Direktur pada Institute of Arab and Islamic Studies, disamping pernah pula menjabat sebagai editor kepada jurnal Arabica, sebuah jurnal ilmiah terkemuka di Perancis, selama beberapa tahun. Karena reputasi akademiknya, oleh pemerintah Perancis Arkoun pernah diangkat sebagai anggota Legium kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d'honnerur) dan dianugerahi Officer des Almes Academiques, suatu gelar kehormatan perancis untuk tokoh terkemuka didunia univesitas. setelah mengidap penyakit kanker ganas dalam beberapa tahun, Mohammad Arkoun meninggal pada Selasa malam, 14 September 2010, di Paris pada usia 82 tahun. 244 2. Geologi pemikiran Arkoun Dalam upaya mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, oleh para mufassir kontemporer tidak lagi memahami al-Qur'an sebagai wahyu yang “mati" sebagaimana dipahami oleh para ulama klasik selama ini, melainkan sebagai sesuatu yang “hidup”. Al-Qur’an dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak terlepas dari konteks kesejarahan umat manusia. Al-Qur’an tidak diwahyukan dalam ruang yang hampa budaya, melainkan justru hadir dalam zaman dan ruang yang sangat sarat budaya, diantara studi kebudayaan dengan memperhatikan aspek antropologi yang melikupinya dan muncul dalam bentuk struktur budaya Arab abad ke-7 H. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi atas pemahaman al-Qur’an yang seperti ini, untuk memahaminya juga tidak cukup dengan mengandalkan perangkat keilmuan seperti yang digunakan para mufassir selama ini, semisal usul fikih, asbab nuzul, balaghah dan sebagainya. Apalagi studi kebudayaan dalam ilmu sosial dan humaniora cenderung menekankan pada pentingnya makna. Dalam konteks ini, budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus menerus. Sehingga menjadi suatu kewajaran jika muncul berbagai pendekatan dalam memaknai ayat al-Qur'an, diantaranya dengan menggunakan perangkat ilmu linguistik seperti semiotika dan ilmu antropologi. Keberagaman ini tentu saja muncul bukan hanya karena semakin terbukanya

244

Fedwa Malti – Douglas, "Mohammad Arkoun"… h. 139

146


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, namun juga adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode yang ada. Selain persoalan metode, pola penafsiran ayat-ayat al-Qur’an juga berkembang. Diantaranya perkembangan ilmu didaratan Eropa mempengaruhi Arkoun dalam memahami al-Qur'an, keterbukaan dan kebebasan akademik di Barat inilah yang memungkinkan Arkoun melahirkan pemikiran-pemikiran kritis dan radikal tentang Islam.245 Kondisi Arkoun yang berdomisili di Perancis memberikan warna dan corak pemikiran yang khas, yang mana ia berinteraksi dan berdampingan dengan mayoritas warga non muslim. Hal ini menyadarkannya untuk menampilkan wajah Islam melalui pemaknaan al-Qur'an yang santun dan humanis dihadapan para koleganya didunia barat, dengan memadukan atribut keilmuan modern dari De Sausure (linguistik),246 Levi-Straus (antropologi)247, Barthes (semiologi),248 Foucault 245 Johan hendrik Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern : Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun dalam Ulumul Qur'an No. 4 Vil.IV thaun 1993, h. 94 246 Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa, 26 November 1857 dari keluarga Protestan Perancis. Ia dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme (Lyons, 1968:38). Aliran pemikirannya disebut strukturalisme karena Saussure menekankan pentingnya struktur dalam bahasa. Ia membedakan istilah language, langue, parole. Diapun mempopulerkan istilah diakronis, sinkronis, signifiatnt, signifie, paradigmatik dan sintagmatik dan lain-lain. Karyanya yang banyak dirujuk oleh peminat Lingustik adalah berjudul Cours de Linguistique Generale yang diterbitkan tahn 1915 oleh muridnya, dan digubah dalam bahasa Inggris bertajuk “Course in General Linguistics�. Kitab ini karya Magnum Opusnya dinilai sebagai peletak dasar studi linguistik modern. Strukturalisme seperti yang dikembangkan Saussure mengambil prinsipprinsip faham positivisme yang mensyaratkan para ahli untuk melekatkan pada segumpal data dalam kegiatan penelitiannya. http://juprimalino.blogspot.com/2014/10/ferdinand-de-saussurecourse-de.html. 247 Claude Levi Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis yang lahir di Brussel, Belgia pada 28 Nopember 1908. ia lebih dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena dialah yang pertama kali menjelaskan tentang Strukturalisme masyarakat dengan lebih detail. Pada intinya, ia berpendapat bahwa dalam segala keaneka ragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, dimanapun dan kapanpun. Kode terstruktur adalah sumber makna, dan unsur-unsur sruktutur haruslah difahami melalui hubungan timbal balik antara anggota masyarakat. Lebih lanjut, struktur sosial adalah kebebasan dari kesadaran manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual. Diantara karya-karyanya yang sangat menarik banyak perhatian dikalangan, intelektual maupun awam adalah The Elementary Structures of Kinship (1949), Structural Anthropology (1958), The Savage Mind (1962), and the Mythologics, 4 vol. (1964–72). Selanjutnya, ia menawarkan sebuah ide, budaya seperti halnya bahasa, terdiri dari aturan tersembunyi yang mengatur perilaku praktisi. Apa yang membuat budaya (bahasa) yang unik dan berbeda dari satu sama lain adalah aturan tersembunyi bagi pemahaman anggota tetapi tidak dapat mengartikulasikan. Dengan demikian, tujuan antropologi struktural adalah untuk mengidentifikasi aturan-aturan ini, karena budaya merupakan proses dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Sebagai model analitis, strukturalisme menganggap universalitas proses pemikiran

147


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

(epistemologi)249 dan Derida (grammatologi). Iklim keterbukaan inilah memunculkan ide untuk mengikis perbedaan antar agama, diantaranya ia menggagas dialog lintas agama untuk menemukan titik temu/kalimatun sawa' (a common word). Arkoun meyakini bahwa sebuah kitab suci yang lahir dalam suatu kondisi sosiologisnya masing-masing, pada dasarnya memuat pesan yang jauh melampaui teks-teks itu. Karena, dalam pandangannya, terdapat banyak persoalan yang tidak

dapat direpresentasikan oleh struktur

linguistik dari bahasa yang dipakai dalam sebuah kitab suci. Karenanya, untuk menarik makna sosiologis sebuah kitab suci, manusia hendaknya bercermin dimuka kitab suci itu. Diyakini olehnya, bahwa dimuka kitab suci manusia akan mendapatkan seribu satu macam bayangan. Artinya, dalam mendekati kitab suci itu, bisa saja manusia mendapatkan penafsiran-penafsiran yang tidak sama , betapapun penafsiran yang berbeda itu sebenarnya berasal dari akar dan akan menuju muara yang sama.250 Logika yang digulirkan oleh Arkoun ini sebenarnya sangat relevan jika manusia dalam upaya untuk menjelaskan “struktur dalamâ€? atau makna yang mendasari yang ada dalam fenomena budaya. WWW.AS.UA.EDU/ANT/CULTURES/CULTURES.PHP?CULTURE=STRUCTURALISM. Diakses pada tanggal 4 Juni 2015 pukul 14.00 248 Roland Barthes adalah filsuf, kritikus sastra, dan semolog Prancis yang paling eksplisit mempraktikkan semiologi Ferdinand de Saussure, bahkan mengembangkan semiologi itu menjadi metode untuk menganalisa kebudayaan. Barthes menerbitkan tiga buku, S/Z, Mythologies, dan The Fashion System, sebagai tiga dokumen yang menunjukkan usaha pengembangannya. Di mata Barthes, suatu teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu dilakukan rekonstruksi dari teks itu sendiri. http://id.wikipedia.org/wiki/Roland_Barthes. Diakses pada tanggal 4 Juni 2015 pukul 14.00 249 Michel Foucault lahir pada 15 Oktober 1926, ia adalah seorang kritikus, dan sosiolog. Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di Collège de France, karena karyanya yang berjudul Sejarah sistem pemikiran (History of Systems of Thought) dan juga mengajar di Universitas California Berkeley. Foucault paling dikenal dengan penelitian tajamnya dalam bidang institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara. Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan dan diskursus telah banyak diberdebatkan luas. Pada tahun 60-an ia sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis. Manusia menurut padangan Foulcault tidak mempunyai personaliti dan telah kehilangan kehebatan kerasionalan. Manusia tidak boleh menentukan dan merasionalkan sesuatu untuk dirinya sendiri karena segala-galanya telah ditentukan dan dirasionalkan oleh bahasa dan budaya ditempat mereka hidup. Menurutnya, manusia merupakan hasil interaksi antara bahasa dan budaya tertentu yang selalu berubah, karena satu budaya tentunya berbeda dengan budaya lainnya. http://id.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault 250 Muhammad Arkoun, al-Fikr al-Isla>mi> Naqd wa Ijtiha>d, terj. Hasyim Shalih (London: Dar as-Saqi, 1990), h. 165

148


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dihadirkan ditengah kondisi saat ini, satu hal yang patut dipertimbangkan adalah ternyata ketegangan-ketegangan dan klaim-klaim atas kebenaran agama tidak sepenuhnya bernuansa teologis.251 Artinya ketika agama menjadi subordinasi dalam suatu sistem sosial dan politik yang melingkarinya, maka klaim-klaim atas kebenaran oleh kalangan umat beragama merupakan upaya untuk saling berebut pengaruh, yang lebih banyak dilandasi oleh ambisi primordial seperti faktor sosial, ekonomi, politik ketimbang faktor agama. Dalam tradisi agama-agama Semitik (Abrahamic Religions), titik temu diantara mereka sebenarnya sudah diungkapkan teks-teks suci masing-masing agama yakni nilai-nilai transenden atau nilai etik filosofik dan prinsip dasar kemanusiaan, seperti menjunjung tinggi nilai keadilan, keterpihakan pada kebenaran dan kejujuran, tenggang rasa dengan menjaga harmonisasi interaksi baik hubungan internal maupun eksternal internasional dan lain-lain. Dalam masalah pluralisme, Arkoun pernah menyampaikan kritikannya ketika menghadiri pembukaan seminar "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta. Seminar ini terselenggara atas kerjasama Yayasan 2020 dengan Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung, British Council, dan Departemen Agama. Dalam seminar tersebut, Arkoun berbicara panjang lebar tentang pluralisme, ia berpidato tentang "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi". 251

252

Iapun berkawan akrab dengan Gus

Ibid., h.166 Arkoun menginjakkan kakinya di Indonesia pada hari senin, tanggal 10 April 2000. Menurutnya, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. Arkoun juga menegaskan soal 'penjajahan' pola pikir yang masih menjangkiti sebagian umat Muslim. "Kolonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran kita masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Soal politik, Arkoun berargumen kalau selama ini Islam lebih dipergunakan sebagai alat politik. Bukan sebagai alat untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan keragaman. Sementara terkait pendidikan, Arkoun menyoroti betul pentingnya pendidikan berdasar humanisme. Iapun mengajak sekolahsekolah mengajarkan multibahasa, sejarah, dan antropologi. Yang tidak kalah penting, Arkoun menganjurkan agar sejak dini perlu ada pelajaran perbandingan sejarah dan antropologi agamaagama. Menjawab pertanyaan tentang keinginan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan ajaran marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis merupakan model politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi modern yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang dijadikan 252

149


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Dus, barangkali pemikiran Arkoun ini sedikit banyak mempengaruhi kebijakan presiden Abdurrahman Wahid dalam memberikan kesempatan lebih pada keturunan dari anggota partai terlarang PKI, yang kemudian Gus Dur perkenalkan sebagai langkah awal menuju demokrasi yang modern 3. Wahyu Arkoun membedakan wahyu dalam tiga tingkatan, yakni pertama, wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh manusia secara umum. Untuk menunjuk realitas wahyu pada tingkatan ini, alQur'an menggunakan term "al-Lauh al-Mahfudz atau "Umm al-Kitab." Kedua, menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah yakni seperti yang diwahyukan kepada Rasul SAW dalam bahasa Arab. Ketiga, menunjuk pada wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf, yang olehnya disebut sebagai "Kanon Resmi Tertutup" (Official Closed Canons) 253 atau Korpus Resmi Tertutup. 254 Tujuan Arkoun menyebut Mushaf Ustmani sebagai Kanon atau Korpus Resmi Tertutup sebagai bagian dari upayanya untuk menyadarkan adanya aspek historis dari Mushaf. Ia mengatakan : "This concept extremely important ; it refers to many historical fact depending on social and political agents, not on God." 255 Teks mushaf menduduki posisi paling sentral, karena didalam teks tersebut terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Padahal pewahyuan ini bersifat unik, artinya terjadi satu kali untuk selamanya, jadi tak tergantikan. Itulah sebabnya, Arkoun kemudian menegaskan, "Karena kesaksian akan wahyu tidak tampak, maka tidak ada kemungkinan bagi generasi berikutnya untuk mempunyai akses terhadap "firman Allah" (Word of God) kecuali melalui teks yang dikumpulkan didalam Kanon Resmi Tertutup itu. 256 Meskipun Arkoun menyebut al-Qur'an dalam bentuknya yang berupa Mushaf dengan Korpus Resmi Tertutup, namun sebagai sebuah teks, al-Qur'an adalah teks

dasar paham komunis. (www.republika.co.Id/berita/ ensiklopedia-islam/islamdigest. Diakses pada tanggal 30 April 2015). 253 Moh. Arkoun, Exploration and Responses : New Pespective for a Jewish-CristianMoslem Dialogue, dalam Journal of Ecumenical Studies, (summer 1989), h. 526 254 Moh. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern : Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), h. 261 255 Arkoun, Exploration and Responses ‌. h. 526 256 Ibid., h. 527

150


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

yang terbuka. Justru karena sifatnya yang terbuka itulah, al-Qur'an telah melahirkan banyak interpretasi, dari al-Qur'an telah lahir banyak doktrin baik dalam bidang teologi, hukum, filsafat, sosial maupun politik. Lebih jauh, Arkoun meyakini al-Qur'an sebagai teks pertama dan pemikiran Islam sebagai teks kedua. Tampak "hipotesa kerja" yang diajukan Arkoun : 257 1. Al-Qur'an adalah sejumlah makna potensial yang diusulkan kepada segala manusia, jadi sesuai untuk mendorong pembangunan doktrin yang sama beragamnya dengan keadaan sejarah pemunculannya 2. Pada tahap maknanya yang potensial, Al-Qur'an mengacu pada agama transsejarah, atau dengan kata lain, pada transendensi. Pada tahap makna yang diaktualisasi dalam doktrin teologis, juridis, filsafat, politis, etis dan sebagainya. Al-Qur'an menjadi mitologi dan ideologi yang kurang lebih dirasuki oleh makna transendensi. 3. Al-Qur'an adalah sebuah teks terbuka. Tak satupun penafsiran dapat menutupnya secara tetap dan "ortodoks". Untuk lebih memahami pandangannya tentang wahyu, berikut kerangka konseptual pemikiran Arkoun. Firman Tuhan (Umm al-Kitab) Sejarah penyelamatan

Wacana Qur'ani

CRT

CI

Sejarah duniawi (wahyu)

Komunis Interpretatif

CRT

: Corpus Resmi Tertutup

CI

: Corpus Interpretatif Kerangka konseptual diatas menunjukkan pandangan Arkoun, bahwa al257

Arkoun, Nalar Islami ‌ h. 194-195

151


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Qur'an sebagai wahyu ilahi merupakan amanat yang sangat kaya dan luas, sehingga kepadanya dapat diberikan makna konkret dalam berbagai macam keadaan yang berbeda yang dilalui umat manusia. Itulah yang dimaksudkan dengan "pemaknaan" (signification) atau "aktualisasi". Istilah "aktualisasi" dalam hal ini dipakai dalam arti proses menjadikan aktual, yakni mengembangkan sesuai yang nyata dari suatu yang sebelumnya hanya bersifat potensial. 258 Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa pemikian Islam, baik itu dalam bidang teologi, hukum, filsafat, maupuan lainnya adalah aktualisasi dari al-Quran sebagai wahyu illahi. Dengan demikian, meskipun pemikiran Islam itu kurang lebih telah dirasuki oleh makna transenden namun tetaplah tidak sama dengan wahyu ilahi itu sendiri. Ini tidak lain karena dalam proses aktualisasi itu terdapat berbagai macam pengaruh, baik oleh situasi politik, sosial maupun kultural. 259 Menurut Arkoun, wahyu terbagi dalam 3 ranah yakni wilayah yang terpikirkan, tidak terpikirkan dan belum terpikirkan. Dalam memaknai wahyu seharusnya lebih diawali dari tahap historisitas (al-tarikhiyyah) untuk sedapat mungkin membebaskan dirinya sendiri dan kajian historis dari seluruh bentuk pengaruh ideologis. 260 Dengan memahami historisitas eksistensi manusia, ia menerapkan metode-metode multidisipliner yang paling mutakhir baik ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, linguistik, dan semiotika untuk mengkaji sejarah dan kebudayaan ArabIslam. 261 Dengan historisitas, masyarakat Arab kontemporer tidak hanya akan memperoleh pemahaman yang jernih tentang masa lalu dan masa sekarang, tetapi juga memberi kontribusi terhadap ilmu modern itu sendiri, mengoreksi dan memajukannya dengan menguji validitasnya. Dengan demikian, ia telah melakukan kritik ideologi. Menurutnya, bahasa mempunyai keterikatan erat dengan masyarakat dan 258

Ibid., h. 97 Moh. Arkoun, Gagasan tentang Wahyu : dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab," Dalam H.Chambert-Loir dan N.J.G. terj. Rahayu S.Hidayat (Jakarta : INIS, 1993), h. 46. Lihat juga Muhammad Arkoun, Al-Fikr al-Isla>mi> Naqd wa Ijtiha>d, terj. Hasyim Shalih (London: Dar as-Saqi, 1990), h. 23 260 Mohammad Arkoun, Tari>khiyyah al-Fikr al-'Arabi> al-Isla>mi>, terj, Hasyim Shalih, (Beirut : Marka>z al-Inma' al-Qawmi>, 1986), h. 28 261 Mohammad Arkoun, Rethinking Islam : common Questions, Uncommon Answer (Boulder: Westview Press, 1994), h. 38 259

152


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

pemikirannya. Hubungan antara bahasa, pemikiran, sejarah dan kekuasaan telah membentuk pemaknaan bahasa itu sendiri. Artinya, pembentukan rasio bukan hanya terjadi secara intrinsik, tapi juga ekstrinsik yakni melalui faktor-faktor sosial politik dan relasi-relasi historis. Dengan demikian ia berpendapat bahwa tidak ada rasio transendental yang universal, yang ada hanyalah rasio-rasio yang dibatasi determinan-determinan sejarah. 262 Titik tolak tulisan-tulisan Arkoun adalah dekonstruksi konsepsi sejarah dan kebudayaan Arab-Islam, yang tidak lain kecuali sebagai produk aktivitas manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Tujuan metode analisisnya yang merasuk dibalik konsepsi-konsepsi itu adalah ingin membongkar realitas sejarah dan kebudayaan Arab, semata-mata sebagai konstruksi pemikiran manusia yang menanggapi kondisi-kondisi tertentu dalam suatu periode dan waktu tertentu pula. Dalam

berbagai kesempatan, tulisan-tulisan Arkoun berusaha menunjukkan

fondasi epistemologi pikiran manusia itu sendiri, dengan tujuan menunjukkan keterbatasan dan sifatnya karena didasarkan pada suatu bahasa dan lingkungan sosiohistoris tertentu. Tujuan akhir yang hendak dicapai Arkoun bukan suatu sikap "Solipsistik" (yang ada hanya diri kita sendiri) terhadap pengetahuan, tetapi historisitas pengetahuan.

263

Arkoun yakin bahwa hal ini memungkinkan muslim mencapai

suatu pemahaman yang sesungguhnya terhadap kebudayaan mereka sebagai produk generasi sebelumnya dan kemudian mendorong mereka agar memberi kontribusi terhadap kebudayaan dan mengubahnya untuk merespon kebutuhankebutuhan modern sebagai dilakukan periode sebelumnya. Tujuan Arkoun dalam hal ini adalah menetapkan metode pemikiran ilmiah dalam kajian Islam sebagaimana dimanifestasikan dalam sejarah. Keterbukaan intelektualnya pada metodologi-metodologi baru dalam ilmu sosial

dan

humaniora, bukan suatu adopsi yang tergesa-gesa terhadap cara-cara "yang paling mutakhir", tetapi lebih merupakan upaya memberikan contoh ijtihad yang mesti dilakukan sekarang ini. Bagi sebagian para pemikir Islam klasik, usaha Arkoun ini dapat 262 263

Mohammad Arkoun, Ta>rikhiyyah ‌. h. 65 Ibid., h. 78

153


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

menimbulkan ketegangan spiritual, sekalipun orang sudah menetapkan pemisahan rasional

yang

cerdas

dengan

prosedur-prosedur

logis,

postulat-postulat

epistomologis dan perangkat konseptual dari para pemikir yang sama. Sekarang ini historisitas merupakan keharusan, karena pemikiran Islam kontemporer sedang mengalami perubahan historis yang tidak terduga, baru dan hal yang serupa tidak pernah terjadi pada era ijtihad permulaan. Karena setiap masa memiliki kesulitan dan persoalannya sendiri, demikian juga memiliki metode dan sikap intelektual yang sesuai dengan masanya, maka pemikiran Islam saat ini diharuskan memikirkan dan menulis kembali pertanyan-pertanyaan tentang ijtihad dan segala hal yang berkaitan dengan kritisisme pengetahuan serta landasan-landasannya. Arkoun yakin bahwa korpus pengetahuan Islam tradisional yang bertahan hingga saat sekarang dibangun berdasarkan sistem kognitif secara gradual, dan dikembangkan sebagai respon terhadap kondisi sosio ekonomi dan politik pada abad awal Islam. Bertahannya sistem kognitif ini, menurutnya bukan disebabkan oleh validitas epistemologisnya yang luar biasa atau ketergantungan ontologis yang tak tertandingi sebagai penalaran keagamaan yang diyakini masyarakat, tetapi lebih karena adanya kontiniuitas kondisi sosio ekonomi dan politik yang telah membangun pemikiran dalam masyarakat Arab. Sistem kognitif ini dapat menetapkan membentuk

parameter-parameter perangkat

mental

yang dan

"terpikirkan" mekanisme

(le

pensible),

linguistik

dan untuk

mengungkapkannya secara jelas. Arkoun mendefinisikan pemikiran "yang terpikirkan" sebagai berikut :264 " Yang terpikirkan (thinkable) dari suatu komunitas linguistik dalam suatu periode tertentu adalah apa yang mungkin dipikirkan dan menjadikannya eksplisit dengan bantuan perangkat mental yang tersedia." Oleh karena itu, apa "yang tak terpikirkan" (unthinkable) adalah apa yang "tak mungkin dipikirkan", karena beberapa hal ; diungkapkan secara eksplisit dalam periode dan wilayah sosiokultural yang sama ; adanya keterbatasan sistem kognitif dan mode kecerdasan saat itu ; adanya tekanan ideologis yang mengandung resiko perpecahan kecuali jika seseorang bersedia membayar harganya ; dan karena intensitas pemikiran yang mencapai wilayah " yang tidak 264

Ibid., h. 40

154


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

dapat salah " atau "yang sangat sulit dipahami" seperti dalam wacana kenabian atau puitik. 265 Contoh wilayah pemikiran Arab-Islam "yang tidak terpikirkan" yang diberikan oleh Arkoun mencakup studi kritis misalnya, terhadap al-Qur'an setelah "dikanosisasikan" oleh 'Ustman, koleksi hadits Imam Bukhari dan Muslim yang telah diterima, dan syari'ah setelah Imam Syafi'i meletakkan prinsip-prinsip jurisprudensi Islam. Meski begitu, Arkoun menambahkan bahwa apa "yang tidak terpikirkan" dalam suatu waktu atau kondisi tertentu, dapat menjadi "terpikirkan" ketika tekanan ideologis disingkirkan dan syarat-syarat penelitian bebas yang ilmiah dapat direalisasikan.� 266 Akhirnya ijtihad menjadi mungkin sebagaimana di era modern, tetapi dia yakin didunia Arab saat ini, kehendak politik dan keyakinan masyarakat yang telah berakar kuat telah menghalangi pemikiran bebas. Wilayah "yang tidak terpikirkan" merupakan suatu wilayah yang luas serta penting yang harus dieksplorasi oleh pemikir-pemikir modern. Pemikir-pemikir modern inilah yang sekarang memiliki pendekatan metodologis dan konseptual baru untuk mencapai horizon baru dalam memahami kebudayaan Arab-Islam dan sejarah C. SEMIOTIKA DAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM 1. Semiotika Mempertalikan semiotika dan bahasa nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan bahasa. Dan semiotika dipercaya sebagai salah satu model rujukan untuk membantu melacak keberadaan misteri tersebut. Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Persoalan tanda ini secara lebih serius terangkum dalam satu disiplin yang 265 266

Ibid., h. 42 Ibid., h. 46-47

155


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

disebut sebagai semiologi atau semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai teks. Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these system.267 Saussure mendefinisikan semiotika sebagai "Ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. "268 Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri dari penanda (Signifier/hal yang menandai sesuatu) dan petanda (Signified/referent yang diacu atau dituju oleh tanda tertentu). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak mungkin dipisahkan. Kesatuan antara keduanya itulah sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial, sehingga suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa. Dalam konteks bahasa sebagai sistem tanda, aspek penandanya berupa kata yang dapat dibaca, sementara petandanya berupa makna dari kata tersebut. Contohnya, kata ibu merupakan penanda yang mengacu kepada manusia jenis perempuan yang melahirkan kita sebagai petandanya, bunga mawar merah merupakan penanda dari pernyataan cinta (petandanya). Dalam kajian sastra Indonesia, misalnya baris-baris puisi Chairil Anwar, misalnya merupakan penanda yang mengacu pada makna yang berkaitan dengan pengakuan seorang manusia untuk menyerahkan diri kepada Tuhan setelah lelah mengembara dan menderita.269 ‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha 267

Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, (California: Sage Publications, Beverly Hills, 1982), h. 16. 268 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256. 269 Selengkapnya puisi Chairil Anwar dapat dibaca dalam judul "Aku Binatang Jalang"

156


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstualitas. Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.270 Dengan demikian, peran pemaknaan oleh "Pembaca" menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dipermukaan, ibarat sebuah gunung es yang mana bagian bawahnya jauh lebih besar daripada permukaan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang seringkali tidak terlihat disebut sebagai "memaknai". Menurut penulis, terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain diluar bahasa. Dalam arti, suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsepkonsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang 270

Dalam hemat penulis, setidaknya terdapat dua model utama dari penelitian yang akrab digunakan untuk melihat bagaimana cara kerja ideologi melalui teks, yakni analisis semiotika dan analisis wacana kritis. Analisis wacana barangkali merupakan kelanjutan dari analisis semiotika, karena secara historis memang lahirnya didahului oleh analisis semiotika. Dalam perkembangannya, analisis wacana memang cenderung untuk mengambil posisi sebagai metode penggali kerja ideologi dan hubungan kekuasaan dalam teks. Kendati demikian, banyak istilah yang secara mendasar diambil dari tradisi semiotika. Dalam beberapa hal, analisis semiotika berkemungkinan untuk menggali ideologi di balik teks, sehingga batas yang tegas antara kedua jenis analisis itu memang agak kabur. Preskripsi sederhana untuk memperlihatkan perbedaan keduanya kira-kira adalah bahwa analisis semiotika berupaya melihat aspek ‘what’ dan ‘how’ dari teks, sementara analisis wacana cenderung kepada menjawab pertanyaan tentang ‘ how’ dan ‘why’ dari teks.

157


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Kontribusi semiotika dalam kajian al-Qur'an meminimalisir kesalahan, dikarenakan dalam semiotika makna suatu tanda tidak ditemukan dalam objek (penanda/signifie)

yang

tampak

dirujuknya,

tetapi

dalam

konsep

(petanda/significant) yang bekerja didalam suatu sistem yang terbentuk secara budayawi. Oleh karenanya, al-Qur'an merupakan kitab wahyu yang berisi sejumlah pemaknaan atau penandaan potensial yang diusulkan Tuhan kepada segenap manusia. Ayat-ayat al-Qur'an ada yang berfungsi menjadi lambang (simbol), tanda (sign) dan sinyal (signal). Bahkan kata ayat sendiri secara harfiah bermakna tandatanda. Karena itu, pengetahuan tentang kode mutlak (qua non) diperlukan dalam membaca teks al-Qur'an, sehingga optimalisasi bagi setiap

kemungkinan

terjadinya produksi makna menjadi terbuka luas. Berikut ini penulis nukil pendekatan semiotik yang lebih bersifat aplikatif, yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) dan disadur oleh Wiyatmi dalam kitabnya; Tahap pertama memahami sebuah teks secara semiotik adalah dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya secara referensial menurut kemampuan bahasanya yang mendasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala luar. Tahap ini olehnya disebut tahap pembacaan heuristic. Setelah itu, pembacaan dan pemaknaan harus ditingkatkan pada tahap semiotik,yaitu membongkar kode-kode sastra secara struktural, atas dasar significance (makna) nya, penyimpangan dari kode bahasa, dari makna biasa yang olehnya disebut ungrammaticalities. Tahap kedua inilah yang disebut dengan tahap pemaknaan secara semiotic atau hermeneutic. 271 Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem tanda dan penanda sangat dekat dengan kehidupan sosial manusia. Dari tanda inilah muncul berbagai meaning (makna) yang memungkinkan kita memaknainya.

271

Wiyatmi, Pengantar Kajian Sastra (Yogyakarta: Pustaka, 2006), h. 95-96

158


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

2. Antropologi Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).272 Jadi, obyek kajian ilmu ini adalah membahas tentang segala aspek manusia dalam hubungan antara kebudayaaan dan masyarakat. Secara epitemologis, antropologi mempelajari berbagai hal mengenai manusia secara empirik dalam hubungannya sebagai makhluk biologis dan sebagai makhluk sosial (dalam arti hidup didalam masyarakat). Masyarakat secara biologis berbeda warna kulit, bentuk tubuh dan sifat fisik lainnya, namun didalam fisik, manusia mulai lahir dan tumbuh besar dalam kelompok masyarakat. Masingmasing kelompok memiliki cara hidup yang berbeda-beda yang disebut kebudayaan. Dalam cara hidup yang berbeda itulah tersimpul sebuah sistem nilai, pengetahuan yang khas dari kelompok tersebut.273 Pendekatan Antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama akan tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dalam antropologi modern, kata kunci terpenting adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktek-praktek sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial sebagai praktek yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Sejak abad 19 disiplin ilmu antropologi mendapatkan perhatian serius, diantaranya digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal-usul manusia. Penelitian ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, mengkaji spesies binatang yang terdekat dengan manusia, dan meneliti masyarakat manusia. Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.274 Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, antropologi sebagai ilmu yang 272

Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam Today", dalam Charles Kurzman (ed)., Liberal Islam : A Source Book (New York: Oxford University Press, 1988), h. 206 273 TO. Ihromi, ed., Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: PT. Gramedia, 1980), h. 1 274 David N. Gellner dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: Lkis, 2002), h. 15

159


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat menemukan

perbedaan kebudayaan manusia. Dengan demikian, terdapat

relevansi yang kuat antara antropologi dengan studi al-Qur'an, karena al-Qur'an pada hakekatnya diturunkan kepada manusia, tentunya membicarakan tentang manusia terutama terkait dengan nilai, dan sistem yang diinginkan Allah didalam masyarakat muslim. Dengan memahami setting sosial budaya inilah diharapkan melahirkan penafsiran yang lebih dinamis, holistik-komprehensif dan tidak tercerabut dari faktor sejarah. D. ANTROPOLOGI AL-QUR'AN : KAJIAN TAFSIR IDEOLOGISHUMANIS Al-Qur'an sebagai sumber primer ajaran Islam dan salah satu teks keagamaan terpenting, mengandung bahasa-bahasa simbolis yang kaya akan analisis-analisis tematik konseptual. Analisis itu tidak melemahkan jaringan hubungan antar kata, tetapi justru memperkaya dan memperluas lewat metaforisasi, simbolisasi, dan mitisasi (bukan mitologisasi). Semua itu adalah lahan subur dalam penggunaan teori-teori modern yang secara semiotik dan antropologis

mendahului

dan

melampaui

bangunan

teologi

yangbisa

membebaskan dari dogmatisme-dogmatisme tradisional. Sebab selama itu, teksteks suci keagamaan telah berkembang dengan klaim-klaim kebenaran tunggal sehingga ia menjadi terlalu hegemonik, mendominasi, menindas, tidak kontekstual dan membelenggu kebebasan. Sedangkan upaya Arkoun untuk menerapkan berbagai teori modern adalah untuk membebaskan wacana Qur'aniyah dari belenggu-belenggu tafsir ideologis tersebut. Proyek pembebasan teks keagamaan semacam itu diterapkan oleh Arkoun dalam kajian teks al-Qur'an khusunya melalui penerapan semiotika dan antropologi. Menurutnya, ayat al-Qur'an secara semiotis mempunyai cakupan dan jangkauan makna tak terbatas, baik ayat tentang fenomena alam maupun ayat yang berkaitan dengan fenomena sosial.275 Makna hakiki keberagaman manusia terletak sejauh mana mereka mampu melakukan interpretasi dan menyelami pengalaman dalam beragama. Oleh karena 275

Akbar S. Ahmed Nunding Ram (terj), Citra Muslim : Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Airlangga, 1992), h. 180

160


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

itu, antropologi sangat diperlukan untuk mengkaji Islam sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan keberagaman agamanya. Dengan mengutip pendapat Brian Morris, Jamhari

276

berpendapat bahwa kajian agama secara

antropologis dapat dikategorikan dalam empat teori ; intellectual, functionalist, structuralist dan symbolist. Keempat teori ini berupaya mengkaji agama dalam kerangka sosial empiris bahwa agama dipandang sebagai bagian kehidupan manusia secara realitas dapat dilihat dan diteliti. Penafsiran al-Qur'an yang bersifat lexiografis, kata perkata, kalimat per kalimat, ayat dengan ayat, tanpa terlalu memperdulikan konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya ketika ayat itu turun dan kondisi saat sekarang adalah pola dan metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai corpus "tertutup", ahistoris sehingga dihasilkan produk tafsir yang re-productive. Dengan demikian,

dibutuhkan

upaya

mencari

pendekatan

yang

mampu

mengkomunikasikan pemaknaan teks al-Qur'an dan realitas, apalagi secara tegas dikatakan bahwa al-Qur'an merupakan kitab hidayah bagi manusia. Kebutuhan ini makin dipertegas adanya gelombang modernitas yang telah melahirkan banyak tuntutan baru bagi agama untuk melakukan redefinisi "agama" atau lebih spesifik peran agama, terutama dalam kaitannya dengan respon agama terhadap narasi-narasi besar seperti pluralisme, feminisme atau bahkan sekularisme. Menurut Arkoun, ketika seorang membaca al-Qur'an, dan tujuan pokok sebenarnya yang ingin dicapai, yakni untuk mengerti (comprendre) atau agar suatu pembacaan bisa sampai pada makna memahami arti teks secara maksimal. Cara pembacaan Arkoun tersebut tidak dapat dilepaskan dari metode yang ditawarkannya, yakni linguistik, atau lebih tepatnya semiotik. Untuk menelusuri konsep antropologi, Arkoun menawarkan konsep "tanda" sebagai kata simbol yang menjamin secara logis dan konkret kebahasaan mitos. Menurutnya, dalam al-Qur'an, kebahasaan semacam ini menunjukkan hal-

276

Jamhari, "Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam," dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed), Problem dan prospek IAIN : Ontologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Dirbinperta Islam Depag RI, 2000), h. 169

161


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

hal berikut 277: a. Kebenaran karena ia sangat berguna pada hari nurani manusia dan dari perspektif yang sama, tidak ada lagi kebahasaan mitos yang bisa menandinginya b. Penuh kegunaan karena ia mengikat pada masa primordial dari kreasi sehingga dengan sendirinya ia membuka sebuah waktu permulaan yang utama, yakni masa pewahyuan, masa Nabi Muhammad dan masa orangorang yang saleh terdahulu c. Spontanitas yakni pemaparan yang kontinyu dari gambaran-gambaran yang tidak demonstratif, tetapi benar-benar didasarkan atas kedalaman gelora semangat manusia d. Bernilai simbolis, misalnya "gambaran realitas" tentang surga dan neraka yang mengarah ketujuan yang sama, yakni kisah tentang orang-orang yang suci, seperti para Nabi dan sahabat, serta contoh orang yang terselamatkan ataupun terkutuk. Dalam menggunakan pendekatan antropologis ini, Arkoun ingin menggali faktor-faktor umum kemanusiaan, budaya dan agama masyarakat Timur Tengah, Mediteranian Kuno, yang telah melahirkan tiga wahyu monoteisme dan agama besar. Pendekatan antropologis dalam kajian al-Qur'an ini dimaksudkan untuk menawarkan studi al-Qur'an kepada seluruh umat manusia secara efektif, dialogis, terbuka dan inklusif tanpa batas timur dan barat, terutama integrasi dalam perangkat yang menggerakkan secara umum terhadap riset dan pemikiran saat ini. Uraian tentang kajian ini tampak ketika

memahami

konsep Nasikh

Mansukh (pemaknaan surat al-Baqarah : 106) secara utuh, dalam metode Tadarruj Syar'i (tahapan pensyaria'atan hukum Islam) layak menjadi contoh dalam hal ini seperti proses pengharaman khamr, yakni melalui proses Enkulturasi budaya. Jika diruntut sejarah perkembangan ilmu keislaman, apa yang digagas oleh Arkoun sudah lama digulirkan oleh para sarjana muslim klasik, terutama mereka yang menekuni bidang sastra Arab. Diantara tokoh muslim klasik yang berbicara

277

Baedhawi, Antropologi al-Qur'an (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 204

162


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

tentang semiotik adalah Abdul Qahir al-Jurjani278 dalam karya Magnum Opusnya yang berjudul Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I'jaz.

Kemampuannya dalam

menjelaskan struktur bahasa Arab, terutama dalam kitab Asrar al-Balaghah menempatkannya sebagai Pioner Ilmu Bayan. Pada abad kelima, syair menjadi sorotan eksplorasi al Jurjani. Maka mulai saat itu, ilmu ini mulai berkembang dikalangan sastrawan terlebih tasybih, isti'arah dan majaz, meskipun ada beberapa sastrawan yang menganggap bahwa syair beserta bagian-bagiannya sangat berkaitan sekali dengan kebohongan, tapi menurutnya meski syair meletakan suatu kata tidak pada posisinya, tetapi ia memakai hal tersebut karena adanya relevansi makna, baik itu dari asasnya ataupun dari cabang-cabangnya.279 Menurut Al Jurjani syair yang bermutu adalah syair yang mempunyai daya sentuh dan dihasilkan dari pengamatan yang mendalam terhadap suatu peristiwa, seperti peristiwa terbit dan terbenamnya matahari yang disaksikan oleh seluruh umat manusia. Dari sini dapat dilihat, bagaimana seorang penyair yang handal dapat mengamati gerakan-gerakan tersebut secara mendetail, yang tidak hanya melihat dari globalnya saja, tetapi juga melihat ke bagian-bagian partikularnya, dan menuangkannya dalam kata-kata yang indah hingga dapat dinikmati oleh khalayak ramai.280 Apabila kita mengeksplorasi ilmu bayan lebih dalam, maka kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya gagasan dan ide tersebut sudah ada, bahkan sebelum datangnya Islam, yakni sejak masa Aristoteles. Akan tetapi gagasan tersebut belum matang hingga Abu Ubaidah yang merupakan murid Khalil Ahmad menuangkannya dalam bukunya.

Akan tetapi, karya tersebut belum

sempurna, hingga diracik dan dimatangkan kembali oleh Abdul Qahir Al Jurjani.281 Adapun para sastrawan yang hadir setelah Al-Jurjani hanya menambah dan mengisi kekurangan dari manuskrip Al Jurjani. 278 Bernama lengkap Abu Bakar Abd al-QÄ hir bin Abd ar-Rahman bin Muhammad alJurjÄ ni, seorang sastrawan Persia yang lahir pada abad keempat hijriyah, tepatnya pada tahun 377 H di kota Gorgan, Iran. Ahmad Mathlub, Al-Jurja>ni; Bala>ghatuh wa Naqduh (Beirut: Waka>lat Al-Matbu’a>t, tth), h. 11. 279 Jabir Ahmad Ushfur, al-S{u>rah al-Fanniyyah (Mesir: Dar al-Ma'arif, 1998), h. 142 280 Ibid., h. 205 281 Ahmad al-Hasyimi, Jawa>hir al-Bala>ghah (Mesir: Muassasah al-Mukhta>r, 1989), h. 205

163


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Dari paparan di atas, dapat digambarkan Al-Jurjani sebagai seorang sastrawan besar yang banyak menghasilkan konstribusi bagi ilmu retorika bahasa, diantaranya :1). Pengeksplorasiaan dalam karakteristik metafora dalam sastra arab. 2). Pemecahan Isti’arah menjadi bagian yang bermutu dan bagian yang kurang baik 3). Klasifikasi jenis Isti’arah (Menjadikan pembahasan Isti'arah mengkristal terutama pada abad kelima) 4). Menghasilkan konsep konsistenitas dalam Isti'arah yang tidak berbeda dengan para sastrawan sebelumnnya, tapi dengan konsep yang lebih matang.282 F. PENUTUP Meski banyak yang dapat dikritik dari Arkoun, tanpa bisa dipungkiri dia telah berhasil menarik minat kebanyakan orientalis untuk mengkaji al-Qur'an. Misi yang ia usung, membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap apriori teologis terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan piranti keilmuan modern, yakni perpaduan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat modern. Ia berhasil dengan baik menyuguhkan sudut pandang Islam yang dapat diterima lingkungan ilmiah barat, meskipun dalam beberapa pemaparannya ia terlihat inkosistensi dan melakukan lompatan definisi dalam memaknai makna term-term tertentu sesuai sudut pandangnya, seperti anggapan adanya unsur mitos dalam al-Qur'an. Diapun telah mencapai kesimpulan yang tepat dalam beberapa kritiknya terhadap cara berpikir ahli fiqh konvensional Islam. Sentral pemikiran Arkoun pada analisa semiotika al-Qur'an, ia berupaya keras untuk melihat setiap teks dalam konteksnya masing-masing. Karena teks alQur'an tidak hanya bisa dilihat dari individualitasnya, teks selalu berada dalam jaringan terbuka yang merupakan infinitas tertinggi bahasa dan terstruktur terusmenerus. Al-Qur'an telah berdialog dengan realitas, menciptakan perubahan makna yang ditransformasikan dari makna linguistik dalam bahasa Arab kepada makna baru, dengan demikian teks telah merekonstruksi dan mentransformasikan sistem budaya tempat ia sebelumnya terbentuk. Karenanya, tidak diperkenankan

282

Jabir Ahmad, al-S{urah‌h. 272

164


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

adanya gerakan ideologis yang mendukung dan mengesahkan kehendak kekuatan berbagai kelompok sosial yang bersaing untuk memperoleh kekuasaan De jure, karena teks al-Qur'an tidak mungkin disempitkan menjadi sebuah ideologi. Melalui pendekatan antropologis, diharapkan mampu menampilkan esensi ayat al-Qur'an yang tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Ayat al-Qur'an tidak lagi menjadi teks langit tapi al-Qur'an adalah teks bumi karena menggunakan bahasa bumi dan tentunya untuk kepentingan penduduk bumi. Dengan pendekatan modern ini, akan tergali faktor-faktor umum kemanusiaan, budaya dan agama khususnya masyarakat Arab saat itu sehingga dihasilkan bentuk tafsir yang lebih humanis dan multidisipliner.

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Arkoun, Mohammad, Exploration and Responses : New Pespective for a JewishCristian-Moslem Dialogue, dalam Journal of Ecumenical Studies, 26:3 (summer 1989). __________________, Al-Fikr al-Islami Naqd wa Ijtihad, terj. Hasyim Shalih (London: Dar as-Saqi, 1990) __________________, Rethinking Islam : common Questions, Uncommon Answer (Boulder: Westview Press, 1994). __________________, Tarikhiyyah al-Fikr al-'Arabi al-Islami, terj, Hasyim Shalih, (Beirut : Markaz al-Inma' al-Qaumi, 1986). __________________, Gagasan tentang Wahyu : dari Ahl al-Kita sampai Masyarakat Kitab," Dalam H.Chambert dan N.J.G. terj. Rahayu S.Hidayat (Jakarta : INIS, 1993) __________________, Al-Fikr al-Islami Naqd wa Ijtihad, terj. Hasyim Shalih (London: Dar as-Saqi, 1990). Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: Lkis, 2002) Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Balaghah (Mesir: Muassasah al-Mukhtar, 1989)

165


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

Ihromi, TO, ed., Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: PT. Gramedia, 1980) Jamhari, "Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam," dalam Qomaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed), Problem dan prospek IAIN : Ontologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Dirbinperta Islam Depag RI, 2000). Kurzman, Charles Kurzman (ed)., Liberal Islam : A Source Book (New York: Oxford University Press, 1988) Malti , Fedwa - Douglas, "Muhammad Arkoun", dalam John L.Eposito (ed). The Oxford Enclycopedia of the modern Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 1995). Mathlub, Ahmad, Al-Jurjani; Balaghatuh wa Naqduh ( Beirut: Wakalat AlMathbu’at, tth). Meuleman, Johan Hendrik, Nalar Islami dan Nalar Modern : Memperkenalkan Pemikiran Mohammad Arkoun dalam Ulumul Qur'an No. 4 Vil.IV tahun 1993. __________________, "Pengantar" dalam Mohamad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern : berbagai tantangan dan Jalan Baru, terj, Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994). Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003) Ushfur, Jabir Ahmad Ushfur, al-S{urah al-Fanniyyah (Mesir: Dar al-Ma'arif, 1998) Wiyatmi, Pengantar Kajian Sastra (Yogyakarta: Pustaka, 2006)

166


MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015

167


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.