Sekaca Cempaka dan “Mati Jadi Hantu” Kebudayaan Kita (Catatan Kecil Selepas Diskusi Novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF) Oleh: M. Nahdiansyah Abdi Sebuah novel, niscaya, dapat dimasuki lewat pintu mana saja. Seorang pembaca memiliki kecenderungan dan minat terhadap sesuatu hal, dan dengan “sesuatu hal” itulah ia melakukan pembacaan. Barangkali demikianlah kesimpulan dari diskusi novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF di Aula Perpustarda Kota Banjarbaru, Jum’at malam, 6 September 2014. Menjadi sah-sah saja ketika Dewi Alfianti mengupasnya lewat wacana-wacana gender, yang lain menyorot lokalitasnya, atau ada beberapa peserta yang merasa terganggu dengan label sastra Islaminya. Tentu, tak ketinggalan, ada juga peserta yang gatal dengan soal-soal teknis. Malam itu, semua hibuk jadi satu. Dan semua berawal dari Sekaca Cempaka. Dari sekaca cempakalah novel ini merangkai konflik. Bunga abadi dalam botol berisi air itu telah menjadi pertaruhan pengarang untuk menguak batin tokohtokohnya dan membongkar situasi sosial yang melingkupinya. Cerita tak akan terbangun seandainya tak ada mitos yang hadir di sekitar keberadaan sekaca cempaka. Ya, mitos. Sederhananya, ini cerita tentang pertarungan mitos dengan rasionalitas. Mitos sekaca cempaka, di novel ini, dibangun di atas kisah-kisah kehidupan perkawinan dalam budaya Banjar. Sepasang sekaca cempaka menjadi simbol keabadian cinta. Ketakterpisahannya menjadi sugesti akan sebuah kesetiaan dan kebersamaan selamanya. Saya agak tercenung ketika ada peserta diskusi yang mengatakan bahwa di tengah kecenderungan orang Banjar untuk beristri banyak, ternyata tidak membuat wanita Banjar menjadi lemah. Mereka sangat kuat, bebernya, tak ada cerita seorang perempuan Banjar bunuh diri karena dimadu atau ditinggal oleh suaminya. Mereka selalu bangkit. Sejenak saya menyetujuinya. Tapi sepertinya ada yang terlewat. Dengan menyetujuinya berarti saya melewatkan sebuah kenyataan lain. Bukankah kebudayaan kita juga penuh dengan cerita perempuan-perempuan yang kehilangan rasionalitasnya lalu pergi mengaji ilmu hitam? Didasari oleh sakit hati atau ketakutan akan ditinggalkan, mereka menempuh jalan yang kata orangtua kita dulu, jika kita mencobanya, bakal “mati jadi hantu”. Ah, bukankah ini sama parahnya dengan bunuh diri. Peristiwa menanggalkan rasionalitas demi sesuatu yang dianggap penting secara sosial adalah bunuh diri yang paling konyol. Betapa sebuah relasi menjadi sangat penting dan berharga untuk diperjuangkan di mata segelintir perempuan, sekalipun dengan menggadaikan akal sehatnya. Kita sering berpikir bahwa mitos selalu dibangun di atas irrasionalitas. Kita dapat menyerah begitu saja saat berhadapan dengan istilah-istilah bercitarasa mistik macam “santet” atau “guna-guna”. Kita mengalihkan rasa ketidakberdayaan kita menghadapi “situasi-situasi aneh” dengan mengatakan istilah berbau kebudayaan lama itu. Situasi ini digambarkan secara sempurna dalam novel Sekaca Cempaka. Ada saat ketika tokoh-tokohnya menimpakan kesalahan ke luar dirinya, kepada simbol-simbol guna-guna. Pemindahtempatan ini merupakan mekanisme pertahanan ego untuk meredakan kecemasan dan mendapatkan penerimaan sosial. Ketidakmampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi dialihkan keluar sedemikian rupa untuk mendapatkan pembenaran dan simpati sosial. Mitos telah diterima secara bersama. Menjadi jalan keluar paling aman dan terbuka lebar untuk dimasuki. Adakah penjelasan tentang cara kerja mitos mempengaruhi manusia? Barangkali, ia semacam sugesti massa yang dilesakkan lewat jalur-jalur kebudayaan, baik lisan maupun tertulis. Tingkat keberakarannya ditentukan oleh situasi sosial-budaya yang melingkupi individu-individunya. Pertemuan antar kebudayaan menjadi sumber retakan. Membuat mitos-mitos dipertanyakan. Dan bukankah santet dan guna-guna adalah juga permainan pikiran, adalah sugesti yang dilesakkan. Pikiran yang kuat akan memangsa pikiran yang lemah. Pikiran dapat menembus waktu, melesat ke berbagai tempat. Pikiran
yang kuat dan terfokus, dapat disiarkan keluar dan mendorong orang untuk berbuat meskipun tidak dibahasakan lewat verbal maupun non-verbal. Rahasia membutuhkan kata, demikian bunyi sajak Subagio Sastrowardojo, apatah lagi mitos. Dan sepanjang menyangkut kata, kita akan berhadapan dengan sugestinya. Emosi kita bergerak-gerak mengikuti irama kata. Semakin tajam kata yang kita lesakkan ke bawah sadar, semakin emosional kita. Tingkat kesediaan kita menerima mitos ditentukan oleh diri kita sendiri. Tingkat keterbelengguan kita pada mitos juga ditentukan oleh diri kita sendiri. Dan bisakah sekaca cempaka keluar dari mitosnya, sebagaimana kain sasirangan yang tempo dulu disakralkan dan pakai untuk pengobatan namun sekarang berubah menjadi sekedar pakaian khas suatu daerah? Tentu bisa. Sekaca cempaka hanya media. Ia menjadi tempat interaksi antara dua pikiran, yaitu pikiran pembuatnya dan pikiran pembeli/pemakainya. Saya selalu beranggapan ada pikiran dan suasana batin yang mungkin tertinggal dari suatu benda yang dibuat, entah disengaja ataupun tidak. Pikiran itu bisa baik, bisa jahat, bisa bermotif mistis, bisa bermotif ekonomi, bisa kuat dan sugestif, bisa juga lemah, bisa mengandung kesedihan, bisa pula memancarkan aura kebahagiaan. Pikiran dan suasana batin si pembuat akan bersentuhan dengan pikiran pembeli/pemakainya lewat benda yang dibuat itu. Pikiran mereka saling berinteraksi, mungkin membangun komunikasi dan kompromi, namun tak jarang juga bersiteru dan saling jegal. Atau bisa juga tak ada interaksi apapun karena lemahnya masing-masing pikiran, hanya memenuhi tujuan pragmatis saja dari penciptaan benda-benda itu. Namun apakah mitos dan irrasionalitas dengan demikian tertolak? Tentu tidak. Ia juga memiliki fungsi sosial. Mitos hanyalah saat ketika kita berhenti bertanya, berhenti bersikap kritis. Seseorang barangkali perlu menjenguknya untuk menyelami alam pikiran yang lian. Dan bukan untuk meredakan ketegangan dan kecemasan. Irrasionalitas juga bukan hal yang buruk. Setidaknya demikian menurut Jung. Ada saat-saat ketika kita harus berdamai dengan irrasionalitas. Barangkali saja ia hanyalah sesuatu yang belum saatnya kita pahami. Persis seperti pertanyaan-pertanyaan Nabi Musa yang bernada kegelisahan saat mendapati perilaku di luar “tata hukum syariat” seorang Khidir. Setidaknya Nai sudah mengalahkan mitos dalam dirinya. Mitos yang bernama kemalasan dan keterbatasan diri. Lalu lahirlah Sekaca Cempaka. Ia membuat tantangan terbuka kepada siapa pun, termasuk Nai sendiri, untuk dipatahkan. Jangan sampai kemalasan menjadi “arwah gentayangan” dalam kebudayaan kita. Jangan sampai kita “mati jadi hantu” dalam ketidakkritisan. Kepada Nai, selamat! Kepada sumber pendorongnya: suami dan anak-anaknya, juga selamat! Saya yakin, ini adalah pencapaian sebuah keluarga. Bukan begitu, Nai? Loktabat Utara, 11 September 2014