Ketika Hukum Rimba Jadi Anutan

Page 1

SENIN, 8 APRIL 2013

Jangan Anggap Rakyat Bodoh Teknik dan bobot komunikasi para pemimpin tersimak nyata di tengah pembicaraan publik terkait dengan penyikapan dan penanganan Tragedi Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman. Banyak yang seakan-akan tidak memahami, betapa sumber-sumber informasi sekarang sudah makin beragam dengan ketercukupan akses lewat teknologi informasi. Rakyat masih diposisikan sebagai objek yang dipandang mudah disubordinasi dengan penalaran informasi tidak berbobot.

Kita mendapat pelajaran berharga dari teknik-teknik berkomunikasi, misalnya bagaimana seharusnya bersikap "menunggu sejenak" ketimbang secara reaktif dan defensif menyimpulkan institusi tertentu sama sekali tidak terlibat. Juga kurang elok menjustifikasi jiwa korsa sebagai motif di balik pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan. Lalu menyebut kejadian itu sebagai respons spontan, apalagi menganggap pengakuan oknum Kopassus sebagai sikap kesatria.

Kita seperti diajak kembali memasuki lorong waktu ke era otoritarian Orde Baru, ketika informasi menjadi suatu "kebenaran tunggal", yang telah ter-setting dalam pola "interaksi positif" antara pemerintah, pers, dan masyarakat. Kata "interaksi positif" saat itu lebih berkonotasi pada bobot kepentingan dan kebutuhan pemerintah, sehingga informasi atas peristiwa sekritis apa pun akan bersifat "given", dan rakyat didoktrin untuk memahaminya sebagai suatu "kebenaran".

Orientasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan adalah untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, melalui keamanahan sikap dalam pelayanan kebutuhan sosialekonomi dan jaminan keamanan kehidupan keseharian. Semua itu dibingkai dengan memosisikan hukum sebagai panglima, karena idealnya tidak ada negara demokrasi yang tidak memahkotakan hukum. Seharusnyalah, pengungkapan Tragedi Cebongan ini juga berorientasi pada kepentingan rakyat.

Kini, misalnya, publik mudah mendapat ragam pembandingan untuk menarik kesimpulan dengan logika-logikanya. Boleh jadi akan ada semacam "buku putih" versi TNI, atau penyelidikan resmi kepolisian, tetapi di sisi lain bisa dibandingkan dengan hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan koalisi masyarakat sipil. Walaupun telah disimpulkan siapa pelaku, motif, dan modusnya, tetap saja sisi-sisi kritis disimak masyarakat sebagai hak untuk menyikapi informasi.

Pernyataan-pernyataan dan sikap yang cenderung menganggap rakyat bisa dikuasai lewat opini yang bersifat "given", sama artinya dengan membodohi. Bobot keberpihakan kepada rakyat itu akan terasa dari kemampuan mengemas sikap kenegarawanan, bukan mengutamakan korps. Skeptisitas terhadap proses hukum kasus ini jelas merefleksikan harapan sejauh mana rasa keadilan akan dipancarkan sebagai jaminan hukum betul-betul tidak mengenal sekat apa pun.

Semargres, Lebih dari Sekadar Diskon Semarang Great Sale (Semargres) telah dibuka dan akan berlangsung selama sebulan sejak 7 April hingga 7 Mei. Program yang pertama kali digagas Kadin Jateng pada 2010 itu terbukti telah bergulir menjadi program reguler tahunan yang dari waktu ke waktu kian terasa gregetnya. Semargres tidak lagi hanya berwujud ”bulan diskon” beragam produk, tetapi sudah bermetamorfosa menjadi sebuah program multievents dari berbagai sektor.

Tidak boleh dilupakan bahwa Semarang pernah berjaya sebagai kota dengan kegiatan internasional yang tidak digelar di kota-kota lain di Indonesia, bahkan di Asia. Kita bisa menyebut Koloniale Tentoonstelling pada 1914 (penduduk lokal Semarang menyebutnya Sentiling), yang merupakan pameran terbesar di Asia pada waktu itu. Di kota ini pula untuk pertama kalinya terbit koran berbahasa Melayu berhuruf latin pada 1860.

Meski ”bulan diskon” tetap menjadi ciri khas utama Semargres, berbagai acara mulai dari Semarang Night Carnival, Tugumuda Bike Week, hingga acara kuliner bakal menghangatkan suasana Kota Semarang selama sebulan ini. Semarang yang memiliki potensi luar biasa itu sudah seharusnya semakin tergugah dengan kemeriahan Semargres. Itu pula yang menjadi target akhir, yakni membangkitkan Semarang sebagai pusat bisnis dan event.

Belajar dari sejarah, Semarang bukan sebuah ”kota tanpa jiwa”, bukan pula sebuah ”kantong komunitas yang sulit” seperti anggapan banyak orang di luar Semarang. Kota ini adalah sebuah melting pot yang tidak ada duanya di Indonesia, tempat paling ideal bagi keragaman dan kehidupan harmonis multiulturmultietnis. Sangat menggembirakan bahwa ajang Semargres 2013 juga dirancang untuk menyedot pengunjung dari luar kota dan luar negeri.

Dengan demikian, jangan sampai acara seperti Semargres berhenti setelah berlangsung satu bulan. Semargres ibarat modal bergulir, yang mendorong aktivitas dan dinamika ekonomi Kota Semarang sekaligus menggairahkan denyut nadi kehidupan urban. Slogan ”Semarang Setara” harus benar-benar terwujud karena sudah terlalu kota ini tidur dan seolah-olah tidak mampu lepas dari problem klasik kota ini seperti banjir dan pengelolaan infrastruktur.

Makna dari semua itu sudah jelas, bahwa semua elemen di Semarang jangan berpuas diri dengan penyelenggaraan Semargres, tetapi harus terus berinovasi dengan program itu dari tahun ke tahun. Kadin Jateng dan Kadin Kota Semarang perlu menggandeng segenap unsur agar Semargres di tahun mendatang lebih bersinar dan bergulir lebih luas sehingga kita tidak perlu lama menunggu untuk melihat Semarang sebagai sebuah metropolitan maju dan sejahtera.

Bibit Waluyo akan dekati Rustriningsih. Telat pak, sudah keduluan mas Sonny... * * * Ganjar temui petani dan pedagang bawang. Inilah musim ketika petani dibutuhkan...

(Butuh petani karena tergantung nasi)

Terbit sejak 11 Februari 1950

PT Suara Merdeka Press Pendiri : H Hetami Komisaris Utama : Ir Budi Santoso Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono Pemimpin Redaksi : Amir Machmud NS Direktur Operasional : Hendro Basuki Direktur Pemberitaan : Sasongko Tedjo Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri

Bahaya Etnis Bersenjata Oleh Heni Purwono TEPAT rasanya bila jurnalis yang juga pengamat militer Indria Samego dan peneliti senior militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jalswari Pramodyawardani menyebut Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai etnis tersendiri. Kenyataannya memang demikian. Beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh personel TNI, menunjukkan dan dipicu oleh solidaritas korps satuan (korsa) karena salah satu anggota diusik oleh pihak lain. Tak salah bila masyarakat mengatakan sebagai kekeliruan pemaknaan tentang esprit de corps. Dalam kasus penyerangan di Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatra Selatan beberapa waktu lalu misalnya, motif sejumlah anggota TNI adalah balas dendam akibat salah satu anggota tewas tertembak anggota Satlantas. Pun demikian dalam kasus penyerangan LP Kelas II Cebongan Kabupaten Sleman DIY yang dilakukan oleh 11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Fenomena itu makin meneguhkan bahwa TNI merupakan etnis tersendiri. Sebagai ’’etnis’’, sebenarnya manakala jiwa korsa TNI diletakkan pada tempatnya, itu menjadi hal positif. Namun manakala tidak diletakkan pada tempatnya, hal itu akan menjadi sangat berbahaya karena mereka merupakan ’’etnis bersenjata’’. Sisi positif ’’etnis’’TNI, di negara kita yang plural telah teruji oleh zaman. TNI menjadi lembaga yang sangat fleksibel terhadap pluralitas. Istilah Jawa dan luar Jawa sebagai sebuah isu seksi dalam politik sipil untuk menentukan kepemimpinan, tidak berlaku sama sekali dalam TNI. Pasukan militer yang beranggotakan etnis tertentu sangat terbiasa dipimpin oleh nama bermarga atau dari fam yang berbeda, dan

sebagainya. Itulah sebabnya sosok militer acap dianggap lebih bisa diterima dalam pluralitas masyarakat . Bagi sosok militer yang ingin berpolitik maka kelebihan ini sering kali dijadikan modal ampuh untuk merangkul pemilih yang memiliki pluralitas tinggi. Terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia, terdapat pola bahwa rakyat cenderung memilih pemimpin dari kalangan militer karena dianggap lebih menjanjikan kepemimpinan yang berdisiplin (Arbi Sanit, 1984). Namun nilai positif yang ada dalam tubuh TNI akan memudar, bahkan sirna manakala kejadian-kejadian yang menodai rekam jejak TNI, pelanggaran HAM, terus terjadi. Untuk itu, seperti pada kasus Cebongan maka pihak TNI dan pemerintah tentu, harus benar-benar menuntaskan penyelesaian kasus i n i

jika tidak ingin kehilangan kepercayaan masyarakat. Solusi jangka pendek, pengadilan militer rasanya tidak cukup karena kasus Cebongan telah menjadi pantauan internasional. Harus ada pula pengadilan hak asasi manusia karena ada pelanggaran HAM. Hukuman setimpal harus diterima oleh pelaku karena selain membawa nama pribadi, mereka bagian dari institusi militer. Solusi jangka panjang, pemerintah

perlu membentuk lembaga independen dengan kekuatan hukum nyata, yang mampu menjadi pengadil bagi TNI, termasuk Polri. Tentara Sejati Selama ini peradilan internal lembaga tersebut, selain tidak memuaskan semua pihak, tertutup bagi publik, juga terkesan keputusan yang ada selalu menguntungkan sekaligus menyelamatkan nama baik korps masingmasing. Hasilnya, karena peradilan berlangsung setengah hati maka sangat mungkin kejadian serupa kembali berulang karena tidak mampu membuat efek jera. Terakhir, perlu ada komitmen tulus dari TNI untuk benar-benar secara konsekuen melaksanakan reformasi, kembali ke barak. Reformasi mereka yang digagas pada awal reformasi tidak boleh bersifat hangat-hangat tahi ayam. Sampai sekarang semangat reformasi harus terus digelorakan, agar tercipta tentara nasional yang sejati, profesional sebagaimana cita-cita Jenderal Soedirman sebagai founding father. Juga pesan founding father negara kita Soekarno dalam peringatan HUT Ke-8 RI pada 17 Agustus 1953. Waktu itu, Bung Karno mengatakan, ’’ Angkatan Pe-rang (TNIRed) tidak boleh ikut-ikut politik. Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan Perang harus berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa, tapi ia tidak boleh ikut-ikut politik. Ayo bangsa Indonesia, dengan jiwa berseriseri mari berjalan terus, jangan berhenti. Revolusimu belum selesai. Jangan berhenti. Sebab siapa yang berhenti akan diseret oleh sejarah. Dan siapa yang menentang corak dan arahnya sejarah, tidak peduli tiada bangsa apapun, ia akan digiling digilas oleh sejarah itu sama sekali.’’(Arsip Nasional RI). Rakyat butuh atmosfer rasa aman, jaminan penegakan hukum, dan tidak ada pihak mana pun yang berhak unjuk kekuatan lewat kekuasaaan ataupun senapan. (10) – Heni Purwono, peminat Sejarah Militer pada Magister Ilmu Sejarah PPs Undip, mahasiswa Penerima Beasiswa S-2 Kepengawasan Sekolah P2TK Dikmen Kemendikbud pada Magister Manajemen Pendidikan PPs Unnes

Ketika Hukum Rimba Jadi Anutan ’’HOMO homini lupus,’’ kata Thomas Hobbes (5 April 1588-4 Desember 1679). Artinya, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Ternyata, teori itu hingga kini masih berlaku, termasuk di Indonesia yang konon adalah negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum, bukan negara kekuasaan atau negara yang mendasarkan diri pada hukum rimba seperti yang digambarkan Thomas Hobbes: siapa yang kuat dialah yang menang. Lihat saja, dalam waktu kurang dari sebulan terdapat sejumlah kasus yang memperlihatkan secara telanjang kepada kita tentang masih berlakunya hukum rimba itu. Kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), adalah salah satunya. Segerombolan orang bersenjatakan bedil laras panjang, pistol, dan granat, menyerang LP Cebongan, Sabtu dini hari, 23 Maret 2013. Mereka memberondong empat tahanan di sel 5A, yakni Hendrik Angel Sahetapy alias Deki, Adrianus Candra Galaga, Yohanes Juan Mambait, dan Gameliel Yermiayanto Rohi Riwu. Mereka adalah tersangka penusukan Sersan Satu Santosa, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), di Hugo’s Cafe, DIY, 19 Maret 2013. Pihak TNI AD telah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus ini. Menurut Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo, tim investigasi itu dibentuk atas dasar dugaan keterlibatan anggota militer. Dalam perkembangannya, tim investigasi menyatakan kepada publik ada keterlibatan 11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Kabupaten Sukoharjo (SM, 5/3/13). Sebelumnya, pada 7 Maret 2013 ada penyerangan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, juga diduga melibatkan oknum-oknum tentara, kali ini dari Batalyon Armed 76/15 Martapura, karena merasa tidak puas atas penanganan kasus penembakan rekan mereka oleh seorang anggota Satlantas. Menurut KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo, anggota TNI yang diduga terlibat kasus ini sudah diproses dan tinggal menunggu persidangan. Di sisi lain, ada pula polisi yang menjadi sasaran amuk massa. Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Yonas Siahaan meninggal dunia setelah dianiaya massa di Desa Butu Bayu Panei Raja, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Saat kejadian, pada Rabu malam 27 Maret

Oleh Sumaryoto

Pemerintah pernah berjanji tidak akan pernah kalah terhadap segala bentuk kekerasan. Tapi, apa yang kemudian terjadi?

2013, Kepolsek dan tiga anggotanya sedang berupaya menangkap bandar judi. Puluhan tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini. Tidak itu saja. Seorang perwira Polda Aceh, AKP Suhardiman (45), juga tewas ditikam oleh tetangganya sendiri, JB, pada Rabu 27 Maret 2013, karena masalah pribadi. Soal amuk massa, yang teranyar adalah pembakaran gedung-gedung pemerintah, partai politik, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kota Palopo, Sulawesi Selatan,pada Minggu 31 Maret 2013, terkait pemilihan wali kota. Jalan Pintas Sebelumnya, kasus main hakim sendiri, baik oleh anggota masyarakat maupun aparat keamanan dan

penegak hukum sudah kerap terjadi. Mengapa mereka menempuh jalan pintas dengan menjadi jaksa, hakim, sekaligus eksekutor? Tidak berlebihan bila dikatakan karena kepercayaan mereka terhadap aparat penegak hukum sudah mencapai titik nadir. Maklum, proses peradilan selama ini banyak yang memperlihatkan belum berpihaknya aparat penegak hukum pada rasa keadilan masyarakat. Contoh paling gamblang adalah peradilan terhadap Rasyid Rajasa (22). Putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang menyebabkan dua nyawa melayang dalam kecelakaan lalu lintas pada tahun baru 2013 di jalan tol Jagorawi ini divonis ’’hanya’’ enam bulan percobaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada Senin 25 Maret 2013. Banyak vonis hakim lain yang memperlihatkan bahwa hukum ibarat pedang bermata tunggal yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum juga ibarat jaring laba-laba yang hanya bisa menjerat serangga kecil, tapi tidak berdaya menghadapi serangga besar. Maka, mereka pun menempuh jalan pintas: main hakim sendiri. Hukum rimba menjadi anutan. Dalam konteks ini, Indonesia telah gagal membuktikan diri sebagai negara hukum. Indonesia, dalam hal ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga telah gagal membuktikan janji tidak menyerah terhadap premanisme. Pemerintah pernah berjanji tidak akan pernah kalah terhadap segala bentuk kekerasan. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Janji itu ternyata tinggal janji. Jika kasus kekerasan yang juga menyerang simbol-simbol negara ini terus dibiarkan, jangan berharap supremasi hukum di Indonesia akan berdiri tegak. Kasus-kasus ini juga akan menimbulkan balas dendam atau aksi balasan. Homo homini lupus akan terus berkibar. (10) – Drs H Sumaryoto, anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan

Email Baru Berhubung email lama mengalami gangguan, kini kirimkan artikel wacana nasional (hal 6) ke: wacana_nasional@suaramerdeka.com. Panjang maksimal 7.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai. (Red)

Wakil Pemimpin Redaksi : Gunawan Permadi. Redaktur Senior: Sri Mulyadi, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo. Redaktur Pelaksana : Ananto Pradono, Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo. Koordinator Liputan: Hartono, Edy Muspriyanto. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, ZaenalAbidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, MuhammadAli, DwiAni Retnowulan, Bambang Tri Subeno, Hermanto, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Mohammad Saronji,Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Nugroho DwiAdiseno, Nasrudin, M.Asmu’i,AliArifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto,Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch,Agus FathudinYusuf, Petrus Heru Subono,Tavif Rudiyanto, DwiAriadi, M Jokomono, SaroniAsikin, PurwokoAdi Seno, Karyadi, ArswindaAyu Rusmaladewi, Maratun Nashihah, Mundaru Karya, Sarby SB Wietha, MohamadAnnas, KunadiAhmad, Ida Nursanti,Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Surya Yuli P, A Adib, Noviar Yudho P, Yunantyo Adi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Dian Chandra TB, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Tri Budianto. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data & Analisa: Djito Patiatmodjo (Kepala). Personalia:Sri Mulyadi (Kepala), Priyonggo. RedakturArtistik: Putut Wahyu Widodo (Koordinator),TotoTri Nugroho, Joko Sunarto, Djoko Susilo, SigitAnugroho. Reporter Biro Semarang : Edi Indarto ( Kepala), Widodo Prasetyo (wakil), Sutomo, IrawanAryanto, Moh. Kundori, Adhitia Armitrianto, Rosyid Ridho,Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, FaniAyudea, Hartatik, LeonardoAgung Budi Prasetya, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra, Wahyu Wijayanto. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Wagiman Sidharta, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Budi Cahyono ( Kepala ), Won Poerwono, SubaktiASidik, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo, Anindito, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa,Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo,Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, KhalidYogi Putranto, Budi Santoso. Biro Banyumas :Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono Toepra, Muhammad Burhan, MAchid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, DjamalAG, Urip Daryanto, Sukardi,Abdul Muiz,Anton Wahyu Hartono, Mulyanto Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Sholahudin, Nur Kholiq, Amelia Hapsari, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta: Sugiarto, Asril Sutan Marajo, Agung Priyo Wicaksono, Juili Nugroho. Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118. Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605. Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241.Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: BerkahYuliarto, Manajer Riset dan Pengembangan :Agus Widyanto. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum :Adi P. Manajer Produksi: Bambang Chadar. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241.Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM024-8454333 ■REDAKSI:(024) 6580900 Faks (024) 6580605 e-mail: redaksi@suaramerdeka.info. Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.