Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND) 2017

Page 1



Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017



i

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Diterbirkan di Bandung oleh Penerbit ITB Jalan Ganesha 10 Bandung Anggota Ikapi No. 043/JBA (1) Telp: 022-2504257, Faks: 022-2534155 Email: itbpress@penerbit.itb.ac.id

ISBN 978-602-5417-37-5

Editor Utama: Ketut Wikantika Editor: Farah Nafisa Ariadji dan Prila Ayu Dwi Prastiwi Penelaah Makalah: Ketut Wikantika, Fenny M. Dwivany, Deni Suwardhi, Neni Nurainy, Topik Hidayat, Novriana Sumarti, Karlia Meitha, Sastia Prama Putri, Husna Nugrahapraja, Intan Muchtadi-Alamsyah Desain Sampul: Tombayu Amadeo Hidayat Cetakan Pertama: Oktober 2017

Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND) http://www.formind.or.id

Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak Sebagaian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran. Hak Cipta dan Hak Terkait sebagaimana pada ayat(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

ii

Kata Pengantar Setiap tanggal 28 Oktober, Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND) melaksanakan kegiatan pertemuan tahunannya. Tahun 2017 ini, kegiatan ForMIND dipusatkan di Sorong, Papua Barat. Adalah sebuah hal yang sangat menyenangkan akhirnya kegiatan ForMIND dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia Timur, di Tanah Papua. Kegiatan ForMIND tahun 2017 agak berbeda dengan kegiatan sebelumnya karena diisi dengan pelaksanaan International Conference bekerjasama dengan Center for Remote Sensing (CRS) dan Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain itu kegiatan rutin yang dilakukan adalah penerbitan Buku Bunga Rampai ForMIND. Untuk penerbitan tahun 2017 ini kontribusi penulis dari berbagai lembaga dan perguruan tinggi semakin beragam yang berasal dari dalam dan luar negeri. Para penulis berasal dari lembaga riset seperti Biofarma, perguruan tinggi selain ITB yang berpartisipasi adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjajaran, Universitas Riau, Universitas Yasri, UIN Ar-Raniry, Universitas Hasanuddin. Sedangkan dari luar negeri adalah Universitas Osaka (Jepang) dan Universitas Strasbourg (Perancis). Bidang ilmu dalam makalah juga semakin beragam mulai dari bidang kesehatan, biologi, geomatika, penginderaan jauh, lingkungan, biodiversitas, farmasi bahkan rekayasa keuangan dan sosial-politik. Ini menunjukkan bahwa buku Bunga Rampai ForMIND menunjukkan identitasnya sebagai salah satu sumber alternatif referensi berbagai macam bidang keilmuan dan aplikasinya saat kini dan ke depan di Indonesia. Paling lambat tahun depan, diharapkan para penulis bisa bekerjasama dalam melakukan riset dan selanjutnya dapat berkontribusi makalah yang menunjukkan hasil dari kerjasama riset tersebut. Kami ucapkan terimakasih banyak kepada semua para kontributor atas makalahnya, para reviewer, dan para editor sehingga Buku Bunga Rampai ForMIND dapat diterbitkan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Sekali lagi kami mengundang partisipasi rekan-rekan semua, para peneliti untuk menyumbangkan makalahnya pada penerbitan Buku Bunga Rampai tahun 2018. Semoga buku ini memberi manfaat kepada para insan peneliti, pendidik, praktisi, pemerintah, lembaga lain serta industri khususnya yang ada di Indonesia. Bandung, 28 Oktober 2017

Ketut Wikantika Editor Utama



Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

iv

Daftar Isi Review Article Pentingnya Data Pisang Indonesia ................................................................ 1 Long noncoding RNA (lncRNA) pada Tumbuhan .......................................... 8 Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Tanaman ............................. 24 Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Pangan dan Mikrobiologi ... 39 Analisis Hasil Metode Pencarian Potensi Minyak Bumi dengan Teknologi STeP (Sub-Terrain Prospecting) (Studi Kasus: Blok Lampung) .................. 50 Peranan Teknologi Penginderaan Jauh Pada Kegiatan Minyak dan Gas Bumi ................................................................................................................... 66

Article Penerapan Real Option Analysis dengan Perubahan Volatilitas dalam Menentukan Nilai Proyek Pertambangan .................................................... 95 Penentuan Porsi dalam Skema Profit-Loss Sharing Investasi Syariah ........ 110 Resonansi: Suatu Perspektif Dalam Kajian Gerakan Politik-Keagamaan Ikhwanul Muslimin Di Indonesia .............................................................. 120 Kajian Faktor Kesiapan Lingkungan Dalam Rangka Peningkatan Implementasi E-Goverment Indonesia Yang Lebih Baik ........................... 143 Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Ekstrak Metanol Daun Kemangi (Ocimum Citriodorum) .............................................................. 154 Pengembangan Vaksin Hepatitis B Generasi Ke Tiga dan Vaksin Terapi Berbasis Protein Rekombinan Subunit Indonesia ...................................... 166 Polimorfisme Gen N-Asetiltransferase 2 (NAT2) dan Implementasi Farmakogenomik dalam pengobatan Tuberkulosis .................................... 181 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Batang Tumbuhan Sarang Semut (Myrmecodia Pendens Merr. & L. M. Perry) Terhadap Pseudomonas Aeruginosa Dan Staphylococcus Aureus ................................................... 191 Aplikasi Smartphone dalam Pembelajaran Biologi.................................... 201 Budaya Ekologi Suku Talang Mamak Dalam Pengelolaan Hutan .............. 209 Pemetaan Bangunan Tiga Dimensi Untuk Pemodelan Jalur Evakuasi Darurat ................................................................................................................. 217


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

v

Teknik Pencocokan Citra dalam Fotogrametri untuk Dokumentasi Cagar Budaya ..................................................................................................... 236 Pemanfaatan Teknologi Light Detection And Ranging (Lidar) Dalam Pemodelan Banjir Akibat Luapan Air Sungai ............................................ 255 Identifikasi Kerusakan Pasca Gempa Menggunakan Metode Object Based Image Analysist(OBIA) (Studi Kasus: Pidie Jaya, Aceh) ........................... 272 Identifikasi dan Estimasi Biomassa Hutan Mangrove dengan Menggunakan Citra Landsat (Studi Kasus : Kabupaten Subang, Jawa Barat) ................... 286



Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1

Review Article Pentingnya Data Pisang Indonesia Fenny Dwivany dan Anniza Nurrahmah ForMIND Institute Bali International Research Center for Banana (BIRCB) Banana Group, InstitutTeknologi Bandung e-mail: fenny@sith.itb.ac.id

Abstrak Indonesia tidak hanya kaya akan keragaman pisang namun juga menjadi pusat penyebaran pisang. Produksi pisang di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Namun dari hasil produksi yang besar, 90% hasil produksi baru dimanfaatkan di skala nasional saja. Selain tingkat kualitas pisang dari hulu ke hilir, salah satu faktor yang menyebabkan ekspor pisang dari Indonesia kecil adalah tidak tersedianya data komprehensif mengenai pisangpisang Indonesia. Data komprehensif yang lengkap, melingkupi data biologis, molekuler, biogeografi, dan etnobotani pisang yang terangkum dalam suatu wadah akan memudahkan peneliti atau petani pisang untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Data-data yang terkumpul dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensial buah pisang. Salah satu studi yang tengah berkembang adalah studi tentang nutrigenomik dan nutrigenetik. Studi nutrigenetik dan nutrigenomik memanfaatkan informasi-informasi molekuler dan omics buah pisang yang telah dikumpulkan untuk dikembangkan menjadi suatu penemuan yang dapat bermanfaat, terutama yang berhubungan dengan ilmu gizi dan industri makanan contohnya seperti, personalized diet. Saat ini baru terdapat dua situs yang memiliki arsip geragaman genetik pisang yaitu The Banana Genome Hub dan MusaNet. Aliansi peneliti pisang di Indonesia yang tergabung dalam “Bali International Research Center of Banana� (www.big.or.id) telah mengumpulkan data pisang Indonesia. Data pisang Indonesia diharapkan membantu perkembangan industri pangan berbasis pisang, agroindustri, industri kreatif, dan produk-produk berbasis pisang Indonesia. Diharapkan kedepannya, dengan data yang telah dikumpulkan, seluruh bagian tanaman pisang Indonesia dapat dijadikan suatu produk yang bermanfaat bagi masyarakat luas, sekaligus mendukung perekonomian Indonesia. Kata kunci: pisang, Indonesia, big data, omics, nutrigenetik, nutrigenomik Abstract Indonesia is not only rich in banana diversity, but also is a center of banana’s distribution. Banana production in Indonesia is one of the largest in the world. However, 90% of the products are used on national scale only. In addition to the quality of bananas from every


2

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

level of distribution, one of the factors affecting the numbers of exported banana in Indonesia is the unavailability of comprehensive data on Indonesia bananas. The comprehensive data, encompassing biological, molecular, omics, biogeographic, and ethnobotany aspect summarized in a vessel, will allow researcher or banana farmers to obtain the required data. The collected data can be utilized to maximize the potential of Indonesia bananas. The study of nutrigenetics and nutrigenomics become very popular nowadays. These studies utilize the molecular and omics information of bananas, that have been collected to be developed into useful inventions, particularly those related to nutritional science and the food industry, such as personalized diet. Currently, there are only two sites that contain the genetic information about bananas in this world. Those are The Banana Genome Hub and MusaNet. Alliance of banana researchers in Indonesia incorporated in the “Bali International Research Center of Banana� (www.big.or.id). They have collected data on Indonesian bananas from all over Indonesia. These data is expected to help the development of the banana-based food industry, agroindustry, creative industries, and other Indonesian banana-based products. Hopefully in the future, with these data collected, all parts of Indonesia banana plant become useful products for the community, and also supporting the Indonesia economy. Keywords: banana, Indonesia, big data, omics, nutrigenetics, nutrigenomics 1.

PENDAHULUAN

Indonesia tidak hanya kaya akan keragaman pisang namun juga menjadi pusat penyebaran pisang (De Langhe et al., 2009). Hampir seluruh jenis pisang yang dapat dimakan berasal dari dua spesies pisang yang liar, yaitu M. Acuminata dan M. balbisiana. M. acuminata pertama kali didomestikasi di dataran rendah di area timur Indonesia dan Papua Nugini, sekitar 5000 SM. Pisang-pisang tersebut kemudian mengalami hibridisasi dengan spesies M. acuminata dan M. balbisiana dari beragam daerah di Asia Tenggara dan Melanesia, menghasilkan beragam kultivar diploid dan triploid yang dapat ditemukan saat ini. Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 1000 kultivar pisang yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Saat ini baru 300 kultivar pisang yang telah berhasil diidentifikasi. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, produksi pisang tersebar dari barat sampai timur Indonesia dan Indonesia termasuk salah satu penghasil buah pisang terbesar di dunia. Namun, dari hasil produksi pisang Indonesia, hanya 10% yang dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor, sedangkan 90% lainnya hanya digunakan sebagai komoditas dalam negeri saja (Nuryati&Noviati, 2014). Banyak faktor yang menyebabkan produksi pisang di Indonesia yang besar tidak sebanding dengan daya ekspornya. Selain kualitas pisang dari hulu ke hilir, penyebab lainnya adalah tidak tersedianya data komprehensif mengenai pisang yang dapat digunakan oleh petani, pelaku agroindustri dan peneliti pisang. Data yang komprehensif dapat terdiri dari data biogeografi (daerah penyebaran pisang, habitat yang sesuai bagi berbagai jenis pisang), keragaman genetik dan manfaat pisang sebagai pangan fungsional, kegunaan untuk kepentingan kegiatan adat dan budaya, serta kegunaan bagian pohon pisang selain buah pisang.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

2.

3

DATA PISANG DAN APLIKASINYA

Pengetahuan dan penemuan tentang system biology yang berlandaskan Central dogma biology kini semakin berkembang karena adanya teknologi Omics. Teknologi Omics yang melingkupi studi genomik, protemik, metabolomik, dan transkriptomik serta turunannya menghasilkan data besar yang dapat mengungkapkan suatu dimensi baru informasi biologis (Franklin & Vondriska, 2011).

Gambar 1. Hubungan antara Central Dogma Biology dan studi Omics (Diadaptasi dari Patti, et al., 2012).

Hingga saat ini terdapat beberapa situs yang dikhususkan untuk menyimpan data keragaman genetik pisang. Salah satunya adalah The Banana Genome Hub yang dikhususkan sebagai basis data untuk data genetic dan genomik kultivar pisang. Data yang telah tersedia di arsip ini adalah sekuens lengkap genom Musa, struktur gen, informasi mengenai produk gen, metabolisme, famili gen, transkriptomik (ESTs, RNA-Seq), marker genetik (SSR, DArT, SNPs), dan peta genetik. Pembuatan peta genetik dapat membantu peneliti untuk mengetahui dan memberikan tanda pada gen-gen sebagai gen penanda yang dapat meningkatkan kualitas panen. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk melakukan perbaikan genetik pisang melalui persilangan maupun pembuatan tanaman transgenic (Mazur & Tingey, 1995). Selain Banana Genome Hub, salah satu situs lain yang juga menyediakan akses ke data genetik dan genomik Musa adalah MusaNet. MusaNet dibentuk untuk memberi wadah kerjasama antara peneliti dari seluruh dunia dan meningkatkan pemanfaatan sumber daya genetik Musa secara global. Situs ini dibuat agar para peneliti pisang dapat mengakses data genetik dan genomik yang telah tersedia pada situs ini (https://sites.google.com/a/cgxchange.org/musanet/home). Aplikasi data genom pisang dapat dimanfaatkan untuk berbagai studi, antara lain biokonservasi dan perbaikan genetik pisang melalui persilangan. Selain itu, studi yang terkait dapat pula difokuskan untuk mempelajari hubungan nutrisi pisang dengan kesehatan manusia. Banyak aplikasi-aplikasi yang didapatkan dari data-data yang telah dikumpulkan, salah satunya adalah rekonstruksi jalur metabolisme dari genom yang telah disekuensi. Pengetahuan tentang jalur metabolisme ini dapat melihat kemiripan antara satu spesies dengan yang lain, sekaligus membuat gen penanda yang berpengaruh pada suatu sifat fisiologis pada organisme (Ma & Zeng, 2003). Selain itu, pemetaan jalur metabolisme ini juga dapat membantu memberikan pemahaman pada penyakit yang mungkin menyerang organisme.


4

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Saat ini sudah berkembang studi nutrigenomik dan nutrigenetik yang merupakan multidisiplin ilmu antara lain ilmu gizi, bioinformatika, dan studi tentang omics. Dengan memahami nutrigenomik dan nutrigenetik peneliti dapat memahami hubungan antara gen-gen manusia dengan pola metabolism setiap individu dan hubungan nutrisi dalam suatu diet dengan ekspresi fungsi gen. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mendesain nutrisi personal (personalized diet) yang didasari oleh genotip setiap individu. Menurut Simopoulos dan Milner (2010), studi tentang nutrigenomik telah banyak membantu proses penyembuhan dan pemulihan berbagai penyakit, mulai dari obesitas, penyakit kardiovaskular, hingga kanker. Buah pisang merupakan buah yang digemari oleh banyak orang dan juga memiliki kandungan nutrisi yang lengkap. Dewasa ini masyarakat semakin peduli dengan makanan yang mereka konsumsi. Hasil dari penelitian nutrigenomik pisang dapat memberikan beberapa informasi yang dibutuhkan dalam ilmu gizi dan juga industri makanan untuk menentukan jenis pisang yang paling sesuai untuk konsumennya. Panduan diet personal yang telah disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu dapat membantu proses pemulihan serta menjaga kondisi kesehatan tubuh. Menurut Farhud et al. (2010), nutrisi dan genom dapat berinteraksi pada dua tingkatan: nutrisi dapat menginduksi ekspresi gen, sehingga dapat mengubah fenotip; sebaliknya, Single Nucleotide Polymorphisme (SNP) dapat pula mengubah bioaktivitas jalur metabolism, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan nutrisi untuk bereaksi dengan metabolism tersebut. Dengan adanya data omics, SNP yang terjadi pada genom pisang dapat diketahui, dan datanya dapat diteliti lebih lanjut untuk pengetahuan nutigenetik dan nutrigenomik pisang.

Gambar 2. Interaksi antar gen dengan komponen makanan dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan dan nutrisi tubuh. (Diadaptasi dari Farhud et al., 2010)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

5

2.1 Data Pisang Indonesia Saat ini, data pisang Indonesia belum terintegrasi dan dikumpulkan oleh institusi yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, aliansi peneliti pisang Indonesia yang tergabung di “Bali International Research Center of Banana� (www.big.or.id) telah mengumpulkan data pisang Indonesia menggunakan beberapa metode diantaranya menggunakan studi biogeografi dan biodiversity menggunakan teknologi remote sensing; teknologi genetika molekuler (contoh: NGS/next generation sequencing) untuk mempelajari genom, ekspresi gen, nutrigenomik dan lain–lain; studi terkait desain kreatif yang menggunakan pisang sebagai bahan dasar untuk produk olahan. Data pisang Indonesia diharapkan dapat membantu perkembangan industri pangan berbasis pisang, agroindustri, industri kreatif dan produk berbasis pisang lainnya yang lebih terarah di seluruh Indonesia. Sebagai contoh produk turunan pisang yang dapat dimanfaatkan saat ini yaitu pembuatan material peredam suara dari pelepah pisang yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal (Permanasari et al., 2014). Pemanfaatan seluruh bagian tanaman pisang dapat dimanfaatkan dalam upaya mengaplikasikan zero waste pada industri pisang dan meningkatkan pendapatan Indonesia sebagai salah satu penghasil pisang terbesar di dunia.

3.

METODE

Metode yang akan digunakan untuk mengambil data pisang Indonesia diantaranya: teknologi remote sensing untuk mengambil informasi mengenai suatu area atau objek dengan menggunakan satelit atau pesawat tanpa awak. Data yang diambil dapat digunakan untuk memperkirakan kondisi area di sekitar perkebunan pisang. Data genomik pisang didapatkan dengan menggunakan metode next generation sequencing (NGS). NGS merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan gabungan metode-metode sekuensing dan profil genom untuk mendapatkan data yang menyeluruh. Selain itu dilakukan pula wawancara kepada penduduk lokal untuk mendapatkan data etnobotani pisang Indonesia. 4.

PENUTUP

Buah pisang merupakan salah satu komoditas buah di Indonesia yang memiiki potensi untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sayangnya hingga saat ini, buah pisang kebanyakan hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kini peneliti telah mampu mendapatkan banyak informasi genetik, omics dan molekuler dari suatu organisme. Informasi tersebut dapat ditelusuri lebih lanjut untuk mendapatkan suatu pengetahuan baru tentang pisang-pisang Indonesia. Pengambilan big data pisang Indonesia menjadi penting, karena dengan mengetahui data-data pisang Indonesia, peneliti pisang Indonesia dapat memaksimalkan potensi pisang Indonesia, sekaligus menjaga keanekaragaman pisang Indonesia.

DAFTAR REFERENSI De Langhe, Edmond.,Vyrdaghs, Luc., de Maret, Pierre., Denham, Tim. (2009). Why Bananas Matter: An introduction to the history of banana domestication. Ethnobotany Research and Applications.7: 165-177.


6

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Farhud, DD., Yeganeh, M. Zarif. (2010). Nutrigenomics and Nutrigenetics. Iran J. Public Health. 39(4):1-14. Franklin, Sarah. Vondriska, Thomas M. (2011). Genomes, Proteomes and the Cental Dogma.Circ. Cardiovasc. Genet.4(5): 576. Ma, Hongwu., Zeng, An-Ping. (2003). Reconstruction of metabolic networks from genome data and analysis of their global structure for various organism. Bioinformatics. 19(2): 270-277. Mazur, Barbara., Tingey, Scott V. (1995). Genetic mapping and introgression of genes of agronomic importance. Current Biology. 6:175-182. MusaNet. https://sites.google.com/a/cgxchange.org/musanet/home. Diakses pada September 2017. Nuryanti, L., Novianti. (2014). Outlook Komoditi Pisang. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Sekertariat Jenderal Kementrian Pertanian. Patti, Gary.,Yanes, Oscar, dan Gary Siuzdak. (2012). Innovation: Metabolomics: the apogee of the omics trilogy. Nature Reviews Molecular Cell Biology. 13: 263-269. Permanasari, M.D., Larasati, D., Widiawati, D. (2014). Banana Bark as A Part of Acoustic Design Unit by Hybrid Unit Technology Application. Journal of Visual Art and Design.6(2). Simopoulos, A. & John Milner. (2010). Personalized Nutrition: Translating Nutrigenetic/Nutrigenomic Research Into Dietary Guidelines. Karger: Switzerland. The Banana Genome Hub.“Musa Genomes- Overview�. http://banana-genome-hub.southgreen.fr/organism/Musa/acuminata-ssp.-zebrina. Diakses pada September 2017

BIOGRAFI PENULIS Fenny M. Dwivany, Ph.D Fenny Dwivany menyelesaikan studi tingkat doctoral bidang Biologi di The University of Melbourne pada tahun 2003. Saat ini menjadi staf pengajar dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) InstitutTeknologi Bandung (ITB) Selain itu, bersama Banana Group (www.thebananagroup.org) dan Bali Internasional Research Center for Banana (BIRCB) aktif melakukan riset dengan pisang sebagai model. Riset yang dilakukan antara lain studi penyakit dan pematangan buah menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu antara lain biogeografi dan biodiversitas, genetika, fisiologi tanaman, space biology, material sains, dan desain produk. Tim risetnya terlibat riset Space biology sejak 2017 bersama LAPAN, Indonesia dan JAXA, Jepang. Pada tahun 2011 tim ini berhasil mengirimkan biji tomat Indonesia ke stasiun luar angkasa (ISS) dan meneliti pertumbuhan tanaman tomat sebagai eksperimen space biology pertama di Indonesia. Kecintaannya terhadap penelitian menjadikan Fenny


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

7

sebagai salah satu pendiri Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND: www.formind.or.id). Beberapa penghargaan terpenting yang diterima yaitu Bogasari Riset Nugraha 2004, International Unesco-L’Oreal for Women in Science Fellowship (2007), Australian Endeavour Award (2010) dan Schlumberger Faculty for the Future Award (2011), penghargaan Riset dan Teknologi 2012 dari Kementrian Ristek, Karya Inovasi 2015 dari Institut Teknologi Bandung, Inspiring Woman Indonesia dari Femina, CLARA magazine, TEMPO, NOVA dan CLARA magazine.

Anniza Nurrahmah Anniza Nurrahmah menyelesaikan studi tingkat sarjana bidang biologi di Institut Teknologi Bandung pada tahun 2017. Saat ini menjadi asisten riset di Banana Group ITB (www.thebananagroup.org). Semasa kuliah sempat bergabung dengan tim asisten praktikum Genetika dan aktif di Himpunan Mahasiswa Biologi ITB “Nymphaea”. Pada tahun 2017, menjadi pembicara pada Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni yang diselenggarakan oleh LPPM ITB.


8

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article Long noncoding RNA (lncRNA) pada Tumbuhan Muhammad Mar'i Ma'ruf 1,2 dan Husna Nugrahapraja 1,2* 1

Banana Research Group, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi

Bandung 2

ForMIND Institute, Bandung 40135

email : 1muhammadmarimaruf@gmail.com, 2nugrahapraja@sith.itb.ac.id Abstrak Dogma sentral biologi molekuler yang diawali dari penemuan DNA pada tahun 1970 membuka pemahaman keilmuan bahwa sel pada makhluk hidup dapat dianalisis pada mekanisme transkripsi RNA dan translasi protein. Meskipun demikian, perkembangan teknologi genom menunjukkan bahwa mekanisme molekuler tidak hanya ditentukan dari protein yang dihasilkan, namun dipengaruhi juga oleh molekul RNA lainnya yang disebut sebagai non-coding RNA. Non-coding RNA telah dideskripsikan sebagai molekul RNA yang dihasilkan oleh mesin transkripsi namun tidak melalui proses translasi. Molekul RNA tersebut termasuk small nuclear RNA (snRNA), snoRNA (tRNA dan rRNA), small RNA (miRNA, piRNA dan siRNA), serta longnon coding RNA (lncRNA). Secara khusus, banyak penelitian sekarang ini yang difokuskan pada lncRNA. Pada awalnya, lncRNA dikatakan sebagai suatu “black matter� di dalam sel karena fungsinya masih belum diketahui. Studi lebih lanjut menyatakan bahwa lncRNA banyak terlibat dalam meregulasi proses biologis, seperti siklus sel, transkripsi, post-transkripsi, dan translasi. Karakteristik utama dari lncRNA yang membedakannya dengan RNA lainnya adalah lncRNA memiliki panjang lebih dari 200 bp, tidak mengodekan suatu protein dan memiliki open reading frame (ORF) yang sangat pendek. Jika dibandingkan dengan small RNA dan gen pengkode protein, sekuen lncRNA bersifat tidak lestari. Pada tumbuhan, lncRNA pada tumbuhan telah diketahui berasosiasi dengan beberapa mekanisme fisiologis tumbuhan, diantaranya


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

9

lncRNA berhubungan dengan stres biotik dan abiotik serta penyakit pada tumbuhan. Diskursus mengenai pengaruh fungsi lncRNA terhadap mekanisme regulasi ekspresi gen pada tumbuhan dibahas secara umum. Kata kunci: long non-coding RNA (lncRNA), mekanisme molekuler, tumbuhan, regulasi ekspresi gen. Abstract The discovery of DNA molecule in 1970 followed by the central dogma of molecular biology opened the scientific understanding that cells in living things can be analyzed in RNA and protein level. Nevertheless, the development of genome project demonstrated that molecular mechanisms not only determined by protein, but also influenced by other RNA molecules so called non-coding RNA. Non-coding RNA has been described as an RNA molecule produced by a transcription machinery but not translated into proteins. Those RNA molecules include small nuclear RNA (snRNA), snoRNA (tRNA and rRNA), small RNA (miRNA, piRNA and siRNA), and long-non coding RNA (lncRNA). Currently, many researches focusing on lncRNA. In the beginning, lncRNA was mentioned as a black matter in the cell due to unknown function. Further studies suggesting lncRNA is involves in many biological processes, such as cell cycle, transcription, post-transcription, translation and post-translation. lncRNA can be distinguished from other non-coding RNAs because encode more than 200 nt in length, and has short open reading frame (ORF). Compared with small RNA and protein-coding genes, lncRNA sequences are less conserved. In plants, lncRNAs have been associated with several plant physiological mechanisms, such as plant disease, biotic and abiotic stresses. Here, we described the effect of lncRNA function on the regulation of gene expression in plants. Keywords: lncRNA, molecular mechanism, plant, regulation of gene expression 1.

PENDAHULUAN

Penemuan molekul DNA pada tahun 1870 melalui penelitian yang dilakukan oleh Frederich Miescher terkait susunan kimia dari nukleus sel dan kemudian disempurnakan oleh Watson-Crick (1953) dan Wilkins (1961) telah membuka pemahaman


10

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

terkait dogma central biologi molekuler. Dogma central dalam biologi molekuler menjelaskan bagaimana suatu DNA menjadi RNA, dan RNA menjadi suatu protein. Namun, perkembangan teknologi genom menunjukkan bahwa mekanisme molekuler tidak hanya dtentukan dari protein yang dihasilkan, namun juga dipengaruhi oleh molekul RNA lainnya. Molekul RNA dapat berupa coding RNA dan non-coding RNA, yang ditentukan berdasarkan kemampuan mereka dalam menghasilkan suatu protein dalam sel. Genome eukariotik memiliki kompleksitas yang sangat tinggi dan dapat mentranskripsikan molekul RNA yang bervariasi dalam panjang, kelimpahan dan potensi untuk menghasilkan protein. Molekul RNA dengan kelimpahan yang besar ini seringkali disisipkan ataupun saling tumpang tindih dalam genome (Ponting et al., 2009). Akibatnya, sebagian besar dari kita hanya mengenal beberapa molekul RNA yang ikut terlibat dan berperan dalam meregulasi ekspresi gen pada makhluk hidup, di antaranya adalah messanger RNA (mRNA), transfer RNA (tRNA), ribosomal RNA (rRNA), small nuclear RNA (snRNA), micro RNA (miRNA), dan small interfering RNA (siRNA). Namun, dengan perkembangan teknologi sekuensing berbasis pengetahuan bioinformatika melalui pendekatan cDNA/EST in silico, telah didefinisikan suatu molekul RNA baru yang berperan sebagai molekul peregulasi dalam ekspresi gen, yang dikenal sebagai long non-coding RNA (lncRNA) (Li et al., 2014). Teknologi ini mampu mengidentifikasi sekitar 10.000 lncRNA pada manusia (Derrien et al., 2012), 23.324 lncRNA pada Medicago truncatula (Wang et al., 2015), 1565 kandidat lncRNA pada tomat (Wang et al., 2015), 20.163 lncRNA pada jagung (Li et al., 2014) dan 2.224 lncRNA pada padi (Zhang et al., 2013). 2.

DEFINISI, KARAKERISTIK DAN KLASIFIKASI lncRNA

lncRNA merupakan molekul RNA yang dihasilkan oleh mesin transkripsi RNA Pol II dan kadang-kadang RNA Pol III untuk beberapa lncRNA baru (Dieci et al., 2007; Zhang et al., 2013). Seperti halnya mRNA, lncRNA mengalami modifikasi pada ujung- 5' dan poliadenilasi pada ujung-3'. Berbeda dengan mRNA, lncRNA masih mengandung 40-50% intron dalam strukturnya dan biosintesisnya membutuhkan faktor transkripsi, kompleks mediator dan faktor elongasi yang bersifat spesifik


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

11

(Guttman & Rinn, 2012; Liu et al., 2015). lncRNA yang ditranskripsikan oleh mesin RNA Pol. II dan/atau RNA Pol. III memiliki karakteristik panjang lebih dari 200 bp, mengandung sedikit/tidak sama sekali open reading frame (ORF), serta tidak mengkodekan suatu protein (Ma et al., 2012; Li et al., 2014) . Selain itu, lncRNA kurang lestari dalam sel makhluk hidup dan memilik eskpresi yang rendah jika dibandingkan dengan RNA lainnya (Wang et al., 2015) . lncRNA dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berdasarkan interaksi dan orientasi mereka dengan gen pengode protein terdekat (Ponting et al., 2009), diantaranya 1) Sense/antisense, dimana lncRNA terletak pada untaian yang sama atau berlawanan terhadap gen pengode protein terdekat; 2) Bidirectional, dimana lncRNA dan gen pengode protein terdekat yang terletak pada untaian yang berlawanan, mulai diekspresikan pada suatu “close genomic� terdekat, sehingga mereka diekspresikan dalam dua arah yang berbeda; 3) Intronik/eksonik, dimana letak lncRNA berada pada posisi intron atau ekson dari gen; 4) Overlapping, dimana lncRNA terletak pada daerah yang tumpang tindih antara wilayah genik dan non-genik. Berdasarkan kelimpahannya (Gambar 1, Rulli, 2015), lncRNA banyak ditemukan di daerah Intergenik (64%), Intronik (19%), Eksonik (16%), dan daerah Overlapping.


12

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Struktur genomik dan persentase lncRNA di dalam genom (Rulli,2015)

3.

IDENTIFIKASI lncRNA PADA TUMBUHAN

lncRNA pada tumbuhan dapat dikatakan masih kurang terkarakterisasi jika dibandingkan dengan lncRNA yang telah teridentifikasi pada hewan. Teknologi sekuensing berbasis in silico telah mengidentifikasi beberapa jenis lncRNA yang terekspresi dan ikut terlibat dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan. Tabel 1 berikut ini menunjukkan lncRNA yang telah teridentifikasi pada spesies tumbuhan.


13

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1. lncRNA yang teridentifikasi pada spesies tumbuhan

4.

No.

Jenis lncRNA

Spesies

Referensi

1.

GmENOD40

Glycine max (L.)

Yang et al., 1993

2.

MtENOD40

Medicago

Crespi et al., 1994

3.

TPS11

Solanum lycopersicum

Liu et al., 1997

4.

OsENOD40

Oryza sativa

Kouchi et al., 1999

5.

AtIPS1

Arabidopsis

Martín et al., 2000; FrancoZorrilla et al., 2002

6.

OsPI1

O. sativa

Wasaki et al., 2003

7.

COOLAIR

Arabidopsis

Swiezewski et al., 2009

8.

COLDAIR

Arabidopsis

Heo & Sung, 2011

9.

HvISP1

Hordeum spp.

Huang et al., 2011

10.

LDMAR

O. sativa

Ding et al., 2012; Zhou et al., 2012

11.

PlantNATsDB

Ditemukan pada 70 spesies tumbuhan

Chen et al., 2012

12.

PLncDB

Arabidopsis thaliana

Jin et al., 2013

13.

NONCODE 2016

A. thaliana

Zhao et al., 2016

14.

PNRD

A. thaliana, O. sativa, Populus trichocarpa, Zea mays

Yi et al., 2015

15.

LncRNAdb v2.0

A. thaliana, O. sativa, Medicago truncatulas, Brassica rapa, G. max

Quek et al., 2015

16.

PLNlncRbase

Ditemukan pada 43 spesies tumbuhan

Xuan et al., 2015

17.

GreeNC

Ditemukan pada 37 spesies tumbuhan tingkat tinggi dan 6 alga

Paytuví Gallart et al., 2016

18.

CANTATAdb

Amborella trichopoda, A. thaliana, Chlamydomona sreinhardtii, G. max, O. sativa, Solanum tuberosum

Szcześniak et al., 2016

20.

DsTRD

Salvia miltiorrhiza

Shao et al., 2016

FUNGSI DAN MEKANISME KERJA lncRNA PADA TUMBUHAN

Pada awalnya, lncRNA dianggap sebagai materi gelap (dark matter) dalam sel makhluk hidup. Hal ini disebabkan karena fungsi dan mekanisme kerja dari lncRNA baik pada tumbuhan maupun hewan belum diketahui. Perkembangan dalam teknologi sekuensing berbasis in silico telah memberikan titik terang terkait fungsi lncRNA, dimana lncRNA diketahui terlibat dalam berbagai proses biologis yang meliputi regulasi siklus


14

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

sel, transkripsi, pasca-transkripsi dan pasca-translasi (Kim & Sung, 2012). lncRNA pada tumbuhan telah diketahui berfungsi dalam pembentukan nodul, perbungaan, homeostasis pengambilan fosfat, resistensi terhadap penyakit, cekaman lingkungan dan pertumbuhan dengan cara meregulasi ekspresi gen dan protein di dalam sel (Zhang et al., 2013; Liu et al., 2015) . 4.1 lncRNA bertindak sebagai regulator transkripsi lncRNA dapat berperan sebagai regulator transkripsi dengan beberapa cara, misalnya mendorong terjadinya dimerisasi, trimerisasi, fosforilasi serta lokalisasi faktor transkripsi di nukleus, bertindak sebagai molekul aktivator/respresor dan meregulasi modifikasi histon (Liu et al., 2015). lncRNA dapat bekerja pada level transkripsi dengan cara membentuk suatu struktur RNA-DNA tripleks atau hibrid DNA-RNA sehingga mendorong pembentukan ikatan yang lebih spesifik antara faktor transkripsi dengan promotor untuk menginisiasi transkripsi. Pada Arabidopsis telah diketahui bahwa lncRNA dapat mengendalikan transkripsi dari beberapa gen yang terlibat dalam perbungaan dengan cara membentuk hibrid DNA dan struktur R-loop (DNA untai tunggal) dari DNA untai ganda pada promotor COOLAIR dari FLC (FLOWERING LOCUS). Struktur R-loop ini dapat berikatan dengan faktor transkrips AtNDX dan menyebabkan penghambatan pada gen COOLAIR yang terlibat dalam perbungaan Arabidopsis (Sun et al., 2013).

Gambar 2. Sistem kerja lncRNA dalam meregulasi transkripsi (Liu et al., 2014)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4.2

15

lncRNA bertindak sebagai regulator pasca-transkripsi

Proses ekspresi gen tidak hanya bergantung terhadap dua proses utama, yaitu transkripsi dan translasi, melainkan juga bergantung pada regulasi pasca-transkripsi yang menentukan bagaimana pemrosesan RNA selanjutnya. lncRNA memiliki peran sebagai regulator pasca transkripsi melalui regulasi pemrosesan RNA (Liu et al., 2015). Dalam proses pematangan pre-mRNA menjadi mRNA, proses awal yang terjadi adalah adanya 'alternative splicing', dimana intron akan dihilangkan dalam struktur mRNA dan menyebabkan adanya celah (gap) diantara dua exon (Lorković et al., 2000; Liu et al., 2015). Celah tersebut dapat menimbulkan masalah pada ekspresi gen, sehingga lncRNA yang sebelumnya telah membentuk duplex akan harus mengestimasi dan menandai titik-titik antara dua exon tersebut melalui sekuens komplemennya (Liu et al., 2015)(Liu et al., 2015). Sebagai contoh, lncRNA pada tumbuhan dapat memodulasi 'intron splicing' selama berlangsungnya pembentukan meristem lateral akar dengan cara berinteraksi dengan 'nuclear speckle RNA-binding protein (NSR)' yang berperan sebagai regulator untuk 'alternative splicing'. Berikut adalah gambaran bagaimana proses 'intron splicing' yang terjadi pada Arabidopsis yang melibatkan interaksi antara ASCO-lncRNA (alternative splicing competitor- lncRNA) dengan NSR, yang ditunjukkan pada Gambar 3 (Bardou et al., 2014).

Gambar 3. Interaksi antara ASCO-lncRNA dengan NSR dalam pasca-transkripsi (Bardou et al., 2014)


16

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4.3 lncRNA bertindak sebagai mediator pasca-translasi lncRNA menjalankan fungsinya sebagai mediator pasca-translasi dengan cara berinteraksi dengan RBP (RNA-binding protein) sehingga menyebabkan terjadinya re-lokalisasi protein, modifikasi protein, dan adanya interaksi antar-protein (Yang et al., 2011; Audas et al., 2012; Wang et al., 2014b, d, c,a). Pada tanaman kedelai (Glycine max) dan Medicago sativa, telah diketahui bahwa lncRNA yang disebut sebagai Enod40 terlibat dalam regulasi pasca-translasi. Hal ini dibuktikan kembali pada tanaman Medicago truncatula, di mana Enod40 diketahui berinteraksi dengan MtRBP1 (Medicago truncatula RNA-binding protein-1) dan menyebabkan terjadinya re-lokalisasi protein MtRBP1 selama proses pembentukan nodul. Lokalisasi protein ini berlangsung dari nukleus menuju ke granula sitoplasma sel M. truncatula (Zhu & Wang, 2012). 4.4 lncRNA berperan dalam menjaga homeostasis sel Dalam menjaga homeostasis atau keseimbangan proses pertumbuhan, perkembangan dan fisiologis sel, lncRNA akan berinteraksi dengan miRNA untuk mencegah interaksi miRNA dengan target alaminya (Gupta, 2015). Pada dasarnya, miRNA akan berinteraksi dengan target alaminya yang dapat berupa protein, faktor transkripsi, mRNA atau pun suatu gen. Prinsip yang terlibat dalam fungsi miRNA dan target nya adalah ketika terjadi sintesis miRNA dan terbentuk miRNA matang, maka miRNA akan dimuat ke protein AGO (Argonout) untuk membentuk RISC (RNA-induced silencing complex). Kemudian RISC akan berasosiasi dengan target alaminya karena memiliki urutan basa yang cocok. Interaksi tersebut akan menyebabkan degradasi atau inhibisi ekspresi pada targetnya. Ketika miRNA berasosiasi dengan lncRNA maka lncRNA tidak terdegradasi atau terinhibisi karena interaksi miRNA dan lncRNA akan membentuk suatu 'bulge' (mirip struktur hairpin) atau adanya mismatch. Impikasi dari interaksi antara miRNA dan lncRNA adalah miRNA akan terekspresi pada tingkat yang rendah atau menghalangi miRNA untuk berfungsi, sehingga target alami dari miRNA dapat melakukan fungsinya (Gupta, 2015).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

17

Pada tumbuhan, fosfat merupakan makronutrien yang sangat esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan. Namun, konsentrasi fosfat yang terlalu rendah atau tinggi dapat menyebabkan masalah bagi tumbuhan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu mekanisme homeostasis fosfat itu sendiri. Pada beberapa spesies tumbuhan, mekanisme homeostasis ini dilakukan dengan melibatkan peran lncRNA dan miRNA. Ketika konsentrasi fosfat pada sistem pucuk tumbuhan sangat rendah, famili miRNA yang dikenal sebagai miR399 akan diinduksi oleh suatu faktor transkripsi, PHR1, yang akan menyebabkan peningkatan ekspresi dari miR399. Selanjutnya, miR399 akan mengalami re-lokalisasi ke bagian akar dan menghambat atau mendegradasi gen PHO2 untuk meningkatkan konsentrasi fosfat di pucuk. Peningkatan konsentrasi fosfat yang berlebihan dapat menimbulkan pengaruh toksik bagi tumbuhan itu sendiri, sehingga lncRNA, yang dikenal sebagai IPS1 dan At4 akan berikatan dengan miR399. Interaksi ini akan menurunkan ekspresi miR399 dan mengarahkan homeostasis fosfat pada sistem pucuk dan akar (Gupta, 2015). 5. FUNGSI LAIN lncRNA DALAM RISET BOTANI Penelitian tentang lncRNA masih sangat minim pada tumbuhan, sehingga hanya beberapa lncRNA yang telah dikarakterisasi dan diketahui fungsinya pada tumbuhan, misalnya perkembangan serat pada Gossypium spp. (Wang et al., 2015b), stres osmotik pada Medicago truncutula (Wang et al., 2015c), vernalisasi Arabidopsis (Liu et al., 2015) dan resistensi penyakit TYLCV pada tomat (Wang et al., 2015a). Dalam perkembangan serat pada Gossypium spp. diduga bahwa lncRNA meregulasi perkembangan serabut serat dan serat halus dengan cara berikatan dengan miR397, yang menyebabkan miR397 tidak dapat mendegradasi target alaminya, LAC4. Selanjutnya, LAC4 yang tidak terdegradasi mendorong pembentukan lignin (lignifikasi) secara kontinu dan menghasilkan akumulasi lignin yang berperan dalam terbentuknya serat pada kapas (Wang et al., 2015a). Pada stres osmotik yang dialami Medicago truncatula, diketahui bahwa lncRNA akan meregulasi 13 gen pengode protein yang terlibat dalam reaksi redoks, transkripsi, pensinyalan, dan sintesis energi ketika terjadi stres garam pada daun M. truncatula.


18

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Sedangkan, ketika terjadi stres osmotik pada akar, lncRNA akan berperan sebagai regulator dari sitokrom450, sehingga terjadi regulasi protein transmembran (Wang et al., 2015c). Pada vernalisasi Arabidopsis, lncRNA yang disebut sebagai COOLAIR dan COLDAIR yang dihasilkan secara independen pada daerah intronik FLC (FLOWERING LOCUS C), berperan dalam modifikasi histon. Hal ini berasosiasi dengan keadaan represi dan aktivasi dari FLC. Ketika histon H3 lisin 9 dan histon H3 lisin 27 diregulasi, maka akan berasosiasi dengan represi expresi LFC. Sedangkan ketika histon H3 lisin 4 dan histon H3 lisin 36 ada, maka secara positif akan berasosiasi dengan aktivasi ekpresi FLC (Liu et al., 2015). Pada penelitian yang dilakukan oleh Wang et al., (2015a), terkait pengaruh lncRNA pada tanaman tomat yang terserang TYLCV (tomato yellow leaf curl virus), ternyata lncRNA yang disebut sebagai slylnc0049 memiliki eskpresi yang signifikan dan selalu “upragulated� ketika tanaman tomat terinfeksi TYLCV. Kemudian Wang et al., (2015a) mengonfirmasi fungsi lncRNA tersebut dengan menyisipkan fragmen slylnc0049 ke dalam vektor TRV2 dan mentransfromasikannya dengan teknik agroinfiltrasi pada tumbuhan yang terinfeksi TYLCV. Hasilnya adalah akumulasi virus TYLCV akan meningkat ketika terjadi pembungkaman (silencing) pada tomat yang terinfeksi. Artinya, lncRNA slylnc0049 ikut terlibat dalam infeksi TYLCV (Wang et al., 2015a). 6.

KESIMPULAN

Long non coding RNA merupakan molekul RNA dengan panjang lebih dari 200 bp dan tidak mengodekan suatu protein, namun memiliki pengaruh dalam berbagai proses biologis tumbuhan, termasuk transkripsi, post-transkripsi, translasi, homeostasis sel , dan fisiologis sel tumbuhan itu sendiri DAFTAR REFERENSI Audas TE, Jacob MD, Lee S. 2012. Immobilization of proteins in the nucleolus by ribosomal intergenic spacer noncoding RNA. Molecular cell 45: 147–57. Bardou F, Ariel F, Simpson CG, Romero-Barrios N, Laporte P, Balzergue S, Brown JWS,


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

19

Crespi M. 2014. Long noncoding RNA modulates alternative splicing regulators in Arabidopsis. Developmental cell 30: 166–76. Chen D, Yuan C, Zhang J, Zhang Z, Bai L, Meng Y, Chen L-L, Chen M. 2012. PlantNATsDB: a comprehensive database of plant natural antisense transcripts. Nucleic Acids Research 40: D1187–D1193. Crespi MD, Jurkevitch E, Poiret M, D’Aubenton-Carafa Y, Petrovics G, Kondorosi E, Kondorosi A. 1994. enod40, a gene expressed during nodule organogenesis, codes for a nontranslatable RNA involved in plant growth. The EMBO journal 13: 5099–112. Dieci G, Fiorino G, Castelnuovo M, Teichmann M, Pagano A. 2007. The expanding RNA polymerase III transcriptome. Trends in genetics : TIG 23: 614–22. Ding J, Lu Q, Ouyang Y, Mao H, Zhang P, Yao J, Xu C, Li X, Xiao J, Zhang Q. 2012. A long noncoding RNA regulates photoperiod-sensitive male sterility, an essential component of hybrid rice. Proceedings of the National Academy of Sciences 109: 2654–2659. Franco-Zorrilla JM, Martin AC, Solano R, Rubio V, Leyva A, Paz-Ares J. 2002. Mutations at CRE1 impair cytokinin-induced repression of phosphate starvation responses in Arabidopsis. The Plant journal : for cell and molecular biology 32: 353–60. Gupta PK. 2015. MicroRNAs and target mimics for crop improvement. Current Science 108: 1624–1633. Guttman M, Rinn JL. 2012. Modular regulatory principles of large non-coding RNAs. Nature 482: 339–46. Heo JB, Sung S. 2011. Vernalization-mediated epigenetic silencing by a long intronic noncoding RNA. Science (New York, N.Y.) 331: 76–9. Huang CY, Shirley N, Genc Y, Shi B, Langridge P. 2011. Phosphate Utilization Efficiency Correlates with Expression of Low-Affinity Phosphate Transporters and Noncoding RNA, IPS1, in Barley. PLANT PHYSIOLOGY 156: 1217–1229. Jin J, Liu J, Wang H, Wong L, Chua N-H. 2013. PLncDB: plant long non-coding RNA database. Bioinformatics (Oxford, England) 29: 1068–71. Kim ED, Sung S. 2012. Long noncoding RNA: Unveiling hidden layer of gene regulatory


20

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

networks. Trends in Plant Science 17: 16–21. Kouchi H, Takane K, So RB, Ladha JK, Reddy PM. 1999. Rice ENOD40: isolation and expression analysis in rice and transgenic soybean root nodules. The Plant journal : for cell and molecular biology 18: 121–9. Li L, Eichten SR, Shimizu R, Petsch K, Yeh C, Wu W, Chettoor AM, Givan SA, Cole R a, Fowler JE, et al. 2014. Genome-wide discovery and characterization of maize long noncoding RNAs. Genome biology 15: R40. Liu C, Muchhal US, Raghothama KG. 1997. Differential expression of TPS11, a phosphate starvation-induced gene in tomato. Plant molecular biology 33: 867–74. Liu J, Wang H, Chua N-H. 2015. Long noncoding RNA transcriptome of plants. Plant biotechnology journal 13: 319–28. Lorković ZJ, Wieczorek Kirk DA, Lambermon MH, Filipowicz W. 2000. Pre-mRNA splicing in higher plants. Trends in plant science 5: 160–7. Ma H, Hao Y, Dong X, Gong Q, Chen J, Zhang J, Tian W. 2012. Molecular Mechanisms and Function Prediction of Long Noncoding RNA. The Scientific World Journal 2012: 1–11. Martín AC, del Pozo JC, Iglesias J, Rubio V, Solano R, de La Peña A, Leyva A, Paz-Ares J. 2000. Influence of cytokinins on the expression of phosphate starvation responsive genes in Arabidopsis. The Plant journal : for cell and molecular biology 24: 559–67. Paytuví Gallart A, Hermoso Pulido A, Anzar Martínez de Lagrán I, Sanseverino W, Aiese Cigliano R. 2016. GREENC: a Wiki-based database of plant lncRNAs. Nucleic Acids Research 44: D1161–D1166. Ponting CP, Oliver PL, Reik W. 2009. Evolution and Functions of Long Noncoding RNAs. Cell 136: 629–641. Quek XC, Thomson DW, Maag JL V, Bartonicek N, Signal B, Clark MB, Gloss BS, Dinger ME. 2015. lncRNAdb v2.0: expanding the reference database for functional long noncoding RNAs. Nucleic acids research 43: D168-73. Rulli SJ. 2015. Long Non-coding RNAs ( lncRNAs ) as Novel Circulating Biomarkers : Profiling and Detection. : 1–28.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

21

Shao Y, Wei J, Wu F, Zhang H, Yang D, Liang Z, Jin W. 2016. DsTRD: Danshen Transcriptional Resource Database. PloS one 11: e0149747. Sun Q, Csorba T, Skourti-Stathaki K, Proudfoot NJ, Dean C. 2013. R-loop stabilization represses antisense transcription at the Arabidopsis FLC locus. Science (New York, N.Y.) 340: 619–21. Swiezewski S, Liu F, Magusin A, Dean C. 2009. Cold-induced silencing by long antisense transcripts of an Arabidopsis Polycomb target. Nature 462: 799–802. Szcześniak MW, Rosikiewicz W, Makałowska I. 2016. CANTATAdb: A Collection of Plant Long Non-Coding RNAs. Plant & cell physiology 57: e8. Wang Y, Fan X, Lin F, He G, Terzaghi W, Zhu D, Deng XW. 2014a. Arabidopsis noncoding RNA mediates control of photomorphogenesis by red light. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 111: 10359–64. Wang T-Z, Liu M, Zhao M-G, Chen R, Zhang W-H. 2015. Identification and characterization of long non-coding RNAs involved in osmotic and salt stress in Medicago truncatula using genome-wide high-throughput sequencing. BMC plant biology 15: 131. Wang Y, Wang X, Deng W, Fan X, Liu T-T, He G, Chen R, Terzaghi W, Zhu D, Deng XW. 2014b. Genomic features and regulatory roles of intermediate-sized non-coding RNAs in Arabidopsis. Molecular plant 7: 514–27. Wang Z-W, Wu Z, Raitskin O, Sun Q, Dean C. 2014c. Antisense-mediated FLC transcriptional repression requires the P-TEFb transcription elongation factor. Proceedings of the National Academy of Sciences 111: 7468–7473. Wang P, Xue Y, Han Y, Lin L, Wu C, Xu S, Jiang Z, Xu J, Liu Q, Cao X. 2014d. The STAT3binding long noncoding RNA lnc-DC controls human dendritic cell differentiation. Science (New York, N.Y.) 344: 310–3. Wasaki J, Yonetani R, Shinano T, Kai M, Osaki M. 2003. Expression of the OsPI1 gene, cloned from rice roots using cDNA microarray, rapidly responds to phosphorus status. New Phytologist 158: 239–248. Xuan H, Zhang L, Liu X, Han G, Li J, Li X, Liu A, Liao M, Zhang S. 2015. PLNlncRbase: A


22

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

resource for experimentally identified lncRNAs in plants. Gene 573: 328–32. Yang WC, Katinakis P, Hendriks P, Smolders A, de Vries F, Spee J, van Kammen A, Bisseling T, Franssen H. 1993. Characterization of GmENOD40, a gene showing novel patterns of cell-specific expression during soybean nodule development. The Plant journal : for cell and molecular biology 3: 573–85. Yang L, Lin C, Liu W, Zhang J, Ohgi KA, Grinstein JD, Dorrestein PC, Rosenfeld MG. 2011. ncRNA- and Pc2 methylation-dependent gene relocation between nuclear structures mediates gene activation programs. Cell 147: 773–88. Yi X, Zhang Z, Ling Y, Xu W, Su Z. 2015. PNRD: a plant non-coding RNA database. Nucleic Acids Research 43: D982–D989. Zhang J, Mujahid H, Hou Y, Nallamilli BR, Peng Z. 2013. Plant Long ncRNAs: A New Frontier for Gene Regulatory Control. American Journal of Plant Sciences 4: 1038–1045. Zhao Y, Li H, Fang S, Kang Y, Wu W, Hao Y, Li Z, Bu D, Sun N, Zhang MQ, et al. 2016. NONCODE 2016: an informative and valuable data source of long non-coding RNAs. Nucleic Acids Research 44: D203–D208. Zhou H, Liu Q, Li J, Jiang D, Zhou L, Wu P, Lu S, Li F, Zhu L, Liu Z, et al. 2012. Photoperiodand thermo-sensitive genic male sterility in rice are caused by a point mutation in a novel noncoding RNA that produces a small RNA. Cell research 22: 649–60. Zhu Q-H, Wang M-B. 2012. Molecular Functions of Long Non-Coding RNAs in Plants. Genes 3: 176–190.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

23

BIOGRAFI PENULIS Muhammad Mar’i Ma’ruf Muhammad Mar'i Ma'ruf menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Biologi,

pada tahun 2017, di Sekolah

Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung. Fokus riset Mar'i di bidang Bioinformatika terkait analisis long non-coding (lncRNA) pada tumbuhan, khususnya pada tanaman cabai dan pisang cavendish. Saat ini Mar'i bergabung dengan Banana Research Group – ITB sebagai Asisten Riset. Selain menjadi asisten riset di Banana Group, Mar'i masih aktif sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah Biosistematik

Husna Nugrahapraja Husna Nugrahapraja menyelesaikan program studi doktor nya dengan tesis yang berjudul “Genetic and molecular analysis of the cross-incompatibility (CI) phenomenon in maize” dari Scuola Superiore Sant'Anna Pisa, Italia, pada tahun 2015. Saat ini, penelitiannya difokuskan pada analisis data molekuler yang berasal dari data Next-Generation Sequencing (NGS), Genomics dan Transcriptomics, serta Identifikasi dan Karakterisasi dari molekul lncRNA (long non-coding RNA).


24

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Tanaman Anjaritha Aulia Rizky Parijadi1, Sastia Prama Putri1,2,3* 1

Department of Biotechnology, Graduate School of Engineering, Osaka University

2-1 Yamadaoka, Suita, Osaka, Jepang 565081 2

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,Institut Teknologi Bandung.

Jl. Ganesa 10, Bandung, Indonesia 40132 3

Formind Institute, Indonesia

email : 1anjaritha_aulia@bio.eng.osaka-u.ac.jp, 2sastia_putri@bio.eng.osaka-u.ac.jp (corresponding author) Abstrak Metabolomik adalah studi interdisipliner yang melibatkan profil kuantitatif metabolit yang berperan dalam proses metabolisme dalam suatu organisme dengan menggunakan instrumentasi analitik terkini seperti kromatografi dan mass spektrometri. Metabolomik merupakan metode yang sangat berguna untuk membedakan perbedaan dari profil metabolit total dari suatu sampel biologis secara komprehensif dan mampu mendeteksi perubahan biologis yang kompleks dengan menggunakan metode statistik multivariate yakni kemometrik. Artikel ini menggambarkan prinsip dasar metabolomik dan aplikasinya di bidang ilmu tanaman. Kata kunci: Metabolomik, Ilmu Tanaman, Bioteknologi, Metabolit Abstract Metabolomics is an interdisciplinary study that involves the exhaustive quantitative profiling of metabolites in a target organism using sophisticated analytical technologies. It is a powerful approach that allows researchers to examine variation in total metabolite profiles, and is capable of detecting complex biological changes using statistical multivariate pattern recognition methods (chemometrics). This article provides a summary of metabolomics application in the field of plant sciences. Keywords: Metabolomics. Plant Sciences, Biotechnology, Metabolites


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

25

1. PENDAHULUAN Metabolomik merupakan salah satu teknologi yang melibatkan multidisiplin ilmu untuk menyediakan pendekatan sistematik dalam mempelajari sistem biologi dan hubungannya. Metabolomik merupakan studi yang mempelajari mengenai metabolit yang terkandung dalam suatu organisme sebagai salah satu produk akhir dari proses sintesis sel dan level dari metabolomik diketahui sebagai hasil akhir dari sistem biologi terhadap perubahan genetik dan lingkungan sekitar dari organisme tersebut(Putri, Nakayama, et al., 2013; Putri, Yamamoto, Tsugawa, & Fukusaki, 2013). Sejalan dengan transkriptom dan proteom, metabolit yang disintesis dari suatu organisme menjelaskan metabolom. Sama seperti definisi dari transkriptom dan proteome, metabolome dapat mendefinisikan berbagai macam level kompleksitas seperti organisme, jaringan, sel, dan bagian-bagian terkecil dari sel. Hal tersebut didukung dengan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi beberapa penelitian yang berkaitan dengan biologi dasar yang membutuhkan data yang cukup detail(Shiratake & Suzuki, 2016; Verpoorte, Choi, & Kim, 2010).

Gambar 1. Metabolomik adalah studi mengenai metabolit yang dapat menjelaskan fenomena yang terjadi terhadap ekspresi fenotip

Pengetahuan ilmu biologi dasar mengenai tanaman sendiri mencakup anatomi, fisiologis, genetik, genomik, proteomik, biologi perkembangan, biologi sel, dan interaksi tanaman dengan lingkungannya. Semua pengetahuan itu akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya masing-masing disiplin ilmu.tanaman itu sendiri. Berkembangnya masing-masing disiplin ilmu ini lebih dikarenakan masih besarnya black box yang tersisa dari tanaman secara keseluruhan. Besarnya black box tersebut


26

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dikarenakan kondisi metabolit dari tanaman diatur secara dinamis sebagai akibat dari respons yang mereka dapat di lingkungan tanaman itu sendiri(Fiehn, 2002; Jansen, Smit, Hoefsloot, & Smilde, 2010). Studi metabolomik menawarkan investigasi lebih mendalam mengenai perubahan-perubahan metabolit yang terjadi dalam sistem tanaman itu sendiri. Studi mengenai sistem metabolit tanaman yang berubah secara dinamis masih menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti yang berkecimpung di bidang metabolit tanaman. Akan tetapi, metabolomik menawarkan strategi menjanjikan untuk meninjau secara global ekspresi gen, dan akumulasi metabolit untuk memperkirakan mekanisme yang terjadi dalam suatu sistem biologi dalam hal ini tanaman. 2. CONTOH APLIKASI METABOLOMIK DI BIDANG ILMU TANAMAN Beberapa aplikasi awal metabolomik yang diintegrasikan bersama dengan beberapa studi lainnya seperti metabolomik-genomik sudah dilakukan untuk melakukan tinjauan mengenai mekanisme yang terjadi pada tanaman yang mengalami stres seperti biotik (Tenenboim & Brotman, 2016) maupun abiotik (Rudell et al. 2011; B. Zhang et al. 2011; AntĂłnio et al. 2016). Analisis terintegrasi ini menghasilkan bahwa metabolit primer dan sekunder terkoordinasi satu sama lain akibat adanya induksi stres kekurangan nutrient sulfur pada tanah(Hirai et al., 2004; Nikiforova et al., 2005). Tak hanya untuk mengetahui beberapa metabolit yang berpengaruh kepada beberapa stress biotik dan abiotik tetapi juga diskriminasi perbedaan-perbedaan nutrien yang berada pada tanaman dengan lokasi geografis yang berbeda menjadi salah satu penggunaan studi metabolomik dalam pemetan nutrisi dari masing-masing asal geografis dari tanaman-tanaman itu(Kobayashi et al., 2012; Tianniam, Tarachiwin, Bamba, Kobayashi, & Fukusaki, 2008; Wahyuni et al., 2013). Aplikasi metabolomik juga bisa digunakan untuk menentukan peringkat dari suatu produk pertanian yang diperlombakan setiap tahunnya seperti teh hijau yang berasal dari Jepang. Beberapa riset sebelumnya pun menunjukan bahwa metabolomik mampu menginvestigasi metabolit apa yang berpengaruh kepada tinggi nya peringkat yang diperoleh dari suatu produk pertanian. Sehingga hasil dari metabolomik itu dapat digunakan untuk peningkatan kualitas dan nutrisi yang dibutuhkan suatu tanaman


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

27

produk pertaniannya (Jumtee, Komura, Bamba, & Fukusaki, 2011). Perkembangan studi metabolomik yang telah dibuktikan sebagai produk akhir dari suatu sistem biologi seperti proses pematangan buah. Proses pematangan buah merupakan salah satu fenomena yang melibatkan genetika, ekologi, transkriptomik, hingga fisiologis. Akan tetapi proses pematangan buah ini belum sepenuhnya dipahami dikarenakan masih banyaknya black box yang masih tidak bisa dijelaskan menggunakan pendekatan genomik ataupun transkriptomik (Asif et al., 2014; Dussert et al., 2013; Gapper, Giovannoni, & Watkins, 2014; Karlova et al., 2014; Pirrello, 2009). Metabolomik dalam hal ini menyediakan beberapa pendekatan dan memberikan petunjuk terhadap black box tersebut dikarenakan pendekatan metabolomik merupakan pendekatan yang cukup dekat dengan ekspresi fenotip yang bisa diamati dengan kasat mata dalam hal ini seperti warna, kekerasan, rasa manis atau asam dari buah itu sendiri . Studi mengenai pematangan buah sendiri sudah banyak dilakukan dengan menggunakan pendekatan metabolomik baik buah klimakterik ataupun non-klimaterik. Sejauh ini, studi mengenai pamatangan buah hanya fokus kepada perubahan secara genetik dan fenotip yang dapat diamati secara kasat mata. Sedangkan perkembangan studi mengenai pematangan buah sendiri dibutuhkan untuk meningkatkan teknologi pasca-panen dalam memperlambat umur simpan buah agar dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama dengan metode yang efektif dan efisien. Efektif dan efisien yang dimaksud disini adalah bahwa buah yang sudah diberi perlakuan tidak mengalami perubahan rasa atau struktur, tetapi juga memerlukan biaya yang cukup mudah dijangkau untuk semua kalangan. Studi pematangan buah menggunakan metabolomik menjelaskan adanya perbedaan antara buah klimakterik dan non-klimakterik. Buah klimakterik merupakan buah yang pematangannya dipengaruhi oleh keberadaan gas etilen disekitar lingkungan buah. Sedangkan buah non-klimakterik adalah buah yang pematangannya tidak dipengaruhi oleh keberadaan gas etilen disekitar lingkungannya. Beberapa contoh buah klimakterik adalah tomat (Solanum lycopersicum) (Fatima, Sobolev, Teasdale, & K., 2016), alpukat (Prunus americana) (Hurtado-Fer, Bajoub, Morales, Fer Andez-GutĂ­ Errez,


28

&

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Carrasco-Pancorbo,

2015;

Hurtado-FernĂĄndez,

Pacchiarotta,

Mayboroda,

FernĂĄndez-GutiĂŠrrez, & Carrasco-Pancorbo, 2015), mangga (Mangifera indica) (White, Blake, Taylor, & Monks, 2016), buah persik (Prunus persica) (Sebastian Klie et al., 2014; Lombardo et al., 2011; R. Tosetti, Martinelli, Tonutti, & Barupal, 2012; Roberta Tosetti et al., 2014), manggis (Garcinia mangostana) (Parijadi, Putri, Ridwani, Dwivany, & Fukusaki, 2017). Sedangkan untuk contoh buah non-klimakterik adalah strawberry (Fragaria ananassa) (Zhang et al., 2011), paprika (Capsicum chilense) (Aizat, Able, Stangoulis, & Able, n.d.; Sebastian Klie et al., 2014; Osorio et al., 2012; Wahyuni et al., 2013), dan anggur (Vitis vinifera)(S. Klie et al., 2013) . Studi metabolomik mengenai pematangan buah menjelaskan beberapa metabolit yang memiliki korelasi positif atau intensitasnya terus meningkat dan terakumulasi pada tahap akhir dari pematangan buah tersebut. Studi komperatif antara kedua jenis buah juga dilakukan oleh Klie et al (2013) memperlihatkan adanya pebedaan metabolites di kedua jenis buah tersebut. Studi yang menjelaskan korelasi antara warna dan perubahan metabolit yang terjadi selama pematangan buah juga dilakukan oleh grup kami pada buah manggis (Garcinia mangostana) oleh Parijadi et al (2017). Studi mengenai hubungan perubahan warna dan perubahan metabolit berhasil dijelaskan melalui penggambaran model statistic PLS (Projection to latent square) dengan beberapa kandidat metabolit yang berkorelasi secara positif di ketiga bagian dari manggis diantaranya adalah bagian kulit buah, daging buah, dan biji dari buah manggis sendiri. Studi serupa juga dilakukan oleh Yamamoto et al (*unpublished data) dengan menggunakan perlakuan kitosan untuk memperpanjang umur simpan buah pisang Cavendish (Musa acuminate CV AAA). Pendekatan metabolomik menjelaskan bahwa perlakuan kitosan berhasil memperpanjang umur simpan buah pisang apabila ditinjau oleh perubahan metabolit yang terjadi. Selain itu, adanya temuan bahwa ACC (1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid) terakumulasi dan tidak diubah menjadi gas etilen.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

29

Gambar 2. Metode kerja metabolomik dalam investigasi perubahan metabolit pada pematangan buah manggis (Garcinia mangostana) (Parijadi, Putri, Ridwani, Dwivany, & Fukusaki, 2017)

Studi metabolomik pada buah sendiri bisa digunakan untuk mengetahui kandungan metabolit yang ada di dalam biji buah. Analisis metabolomik pada biji memiliki tujuan untuk mempermudah proses pemuliaan tanaman khususnya untuk tanaman yang memiliki kesulitan untuk berkembang biak memiliki biji dikarenakan kondisi cuaca yang terlalu ekstrim atau hasil dari pembuahan yang menyebabkan beberapa gen tidak bisa berfungsi secara normal. Studi metabolomik pada bagian biji suatu tanaman juga dikarenakan biji tanaman tersebut menghasilkan bahan produksi makanan/biofuel yang sangat dibutuhkan untuk diproduksi dalam jumlah banyak dalam hal ini seperti kedelai, cokelat, dan kelapa sawit. Studi metabolomik terhadap biji berhasil menjelaskan perubahan metabolit pada biji buah manggis (Garcinia mangostana), biji cokelat (Theobroma cacao)(Wang et al., 2016), kedelai (Glycine max)(Lin et al., 2014), dan biji kelapa sawit (Elaais guineensis) (Fang Teh et al., 2013; Kok, Namasivayam, Ee, & Ong-Abdullah, 2013). Hasil dari penelitian dengan pendekatan metabolomik dari biji tanaman diharapkan dapat menjadi dasar ilmu untuk perubahan metabolit yang terjadi dan mempermudah rekayasa metabolit untuk peningkatan kualitas dari biji yang diinginkan.


30

3.

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

TAHAPAN KERJA DAN TEKNIK METABOLOMIK

Upaya peningkatan serta pengembangan teknik analisis metabolomik pun terus dilakukan untuk meningkatkan jumlah metabolit yang bisa dideteksi mengingat banyaknya metabolit yang dihasilkan oleh suatu organisme khususnya oleh tanaman. Tanaman sendiri akan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia yang sangat berguna untuk mekanisme pertahanan diri, pembentukan senyawa-senyawa yang berfungsi dalam bidang farmasi, ataupun menyediakan informasi mendalam mengenai produksi metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman. Studi ini diperlukan mengingat banyaknya peneliti yang memanfaatkan produksi senyawa metabolit sekunder untuk meningkatkan produksinya dalam jumlah yang banyak. Produk metabolit sekunder yang cukup penting dalam produksi senyawa yang bermanfaat, metabolomik menawarkan tiga jenis data yang dibutuhkan untuk menjelaskan struktur metabolit dari senyawa metabolit sekunder tersebut. Pertama, kita harus menggunakan tandem mass (MS/MS) data spektrum untuk menjelaskan struktur metabolit yang kita inginkan. Kedua, kita membutuhkan data base spectrum berat dari senyawa kimia yang kita inginkan meskipun diperlukan usaha yang cukup besar untuk membuat database dari MS/MS data. Langkah lanjutan untuk memperkaya database ini masih diperlukan untuk menjelaskan struktur dengan jangkauan metabolit yang lebih luas. Ketiga, kita memerlukan metode untuk menentukan kemungkinan kesalahan yang terjadi apabila akan diproduksi dalam skala besar. Beragamnya senyawa metabolit sekunder yang ada di tanaman memerlukan perkembangan yang lebih lanjut dalam hal database dan metode yang digunakan. Hal ini yang akan menjadi tantangan selanjutnya dalam perkembangan teknologi metabolomik itu sendiri. Studi metabolomik sendiri terdiri dari beberapa tahapan diantaranya preparasi sampel, ekstraksi, analisis metabolit menggunakan beberapa jenis instrumen, analisa data dan interpretasi data. Penjelasan mendalam mengenai masing-masing tahapan akan dijelaskan per point di bawah ini: 1. Preparasi sampel Preparasi sampel merupakan salah satu tahap yang ditentukan oleh tujuan penelitian yang sudah didesain sebelumnya. Dinamisnya perubahan metabolit yang terjadi di


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

31

organisme tanaman membuat penelitian di bidang metabolomik tanaman harus dengan cepat menangkap fenomena yang terjadi. Salah satu metode yang umum digunakan adalah metode quenching dengan cara mencelupkan sampel yang akan dianalisis ke dalam cairan nitrogen cair selama beberapa menit. Metode ini dipercaya dapat menangkap profil metabolit yang terjadi pada saat proses koleksi sampel. Setelah itu, proses homogenisasi dilakukan dengan tujuan agar sampel yang akan dianalisis terhomogenisasi dan dapat menjelaskan keseluruhan organisme yang akan dianalisa menggunakan pendekatan metabolomik (Ernst, Silva, Silva, Encio, & Lopes, 2014; Kim & Verpoorte, 2010). 2. Ekstraksi Setelah dilakukan proses preparasi dan homogenisasi, sampel yang berhasil di�tangkap� tersebut kemudian akan melalui proses ekstraksi. Proses ini bertujuan untuk mengekstraksi metabolit yang ada disampel tersebut sebanyak-banyaknya. Proses ekstraksi ini umumnya menggunakan larutan campuran dengan perbandingan antara metanol (pure), klorofom, dan air sebanyak 5/2/2. Metanol dan air yang berada dalam larutan campuran tersebut berfungsi untuk mengikat senyawa-senyawa polar yang berada di dalam sampel, sedangkan klorofom berfungsi untuk mengikat senyawa-senyawa non-polar di dalam sampel. Proses ekstraksi ini sangat ditentukan oleh jenis instrument yang akan digunakan dalam menganalisa metabolit yang diinginkan dalam sampel (Ernst et al., 2014; Kim & Verpoorte, 2010; Putri, Yamamoto, et al., 2013). 3. Analisis metabolit menggunakan pendekatan metabolomik Setelah dilakukan proses ekstraksi, beberapa instrument untuk menganalisis metabolit yang terkandung di dalam sampel menggunakan pendekatan metabolomik. Beberapa di antaranya adalah GC-MS (Gas Chromatography-Mass spectrometry), LC-MS (Liquid Chromatography-Mass spectrometry), NMR (Nuclear Magnetic Resonance), FT-NIR (Fourier-Transform Near Infrared), ICP-MS (Inductively Couple PlasmaMass Spectrometry), dan CE (Capillary electrophoresis). Masing-masing instrument memiliki kelebihan dan kekurangan dalam proses menganalisis. Hal ini dikarenakan tujuan metabolit yang akan dianalisa yang berbeda dalam setiap instrumennya


32

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(Allwood & Goodacre, 2010; Kim & Verpoorte, 2010; Lisec, Schauer, Kopka, Willmitzer, & Fernie, 2006). 4. Analisa data dan interpretasi data Tahap akhir dari studi metabolomik tanaman adalah analisa data dan interpretasi data. Hasil dari analisa menggunakan beberapa aplikasi instrument metabolomik dapat diinterpretasikan menggunakan beberapa pendekatan statistik multivariate diantaranya adalah PCA (Principal Component Analysis), PLS (Projection to latent square/Partial least squares), HCA (Hierarchical Cluster Analysis), OPLS-DA (Orthogonal Projection to Latent Squares-Discriminant Analysis). Perbedaan masing-masing pendekatan statistik untuk menginterpretasi data studi metabolomik adalah adanya explanatory variable atau biasa disebut dengan parameter yang bisa dijadikan acuan perbedaan antara satu sampel dengan sampel lainnya. Penggunaan explanatory variable untuk interpretasi data metabolomik adalah dengan menggunakan analisa statistik PLS dan OPLS-DA, sedangkan untuk PCA dan HCA adalah analisa statistik yang tidak memerlukan supervisi berupa explanatory variable dan mengelompokkan beberapa jenis sampel yang memiliki kecenderungan metabolit yang sama menjadi satu kelompok(An, Yamaguchi, Bamba, & Fukusaki, 2014; Worley & Powers, 2013) (An et al. 2014; Worley & Powers 2013).


33

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Berikut beberapa rangkuman mengenai penelitian metabolomik yang menggunakan beberapa tanaman sebagai objek penelitian: Tabel 1. aplikasi metabolomik menggunakan beberapa bagian tanaman sebagai objek penelitian Bagian yang Pendekatan metaboNama Spesies Metode yang digunakan digunakan lomik Kedelai (Gly- Biji Supercritical Fluid Chromatography PCA, Heat-map mecine max) (SFC), GC-MS, Ultra-performance tabolit, PLS-DA, liquid chromatography-tandem mass Karakterisasi/anotasi spectrometry (UPLC-MS) kandungan lipid Tomat (Sola- Akar; kese- GC-MS; LC-QTOF (Liquid chroma- OPLS-DA; PLS-DA; num lycopersi- luruhan tana- tography-quadrupole time-of-flight); RKN (Root-knot nemacum) man; buah NMR spectroscopy tode); ANOVA; CCA (Canonical correlation Analysis); PCA; Heatmap metabolites; Network based analysis by R software

Aplikasi

Ref.

Analisis kandungan lipid di dalam (Lee et al., 2012; kedelai, Analisis perbedaan metabolit Lin et al., 2014) di cultivar kedelai yang berbeda Metabolit yang berkorelasi dengan nematoda yang hidup bersama dengan tanaman tomat; Mendeskripsikan jaringan perubahan metabolit yang terjadi beserta hubungannya setelah dilakukan perlakuan dengan genotip dan kondisi lingkungan yang berbeda.; Visualisasi perubahan metabolit yang mempunya korelasi terhadap pematangan buah.

(Eloh, Sasanelli, Maxia, & Caboni, 2016; Fatima et al., 2016; Osorio et al., 2012)


34

4.

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 KESIMPULAN

Seperti yang sudah diuraikan diatas, metabolomik merupakan salah satu teknologi terkini yang amat berguna dalam aplikasi di bidang ilmu tanaman. Secara garis besar, aplikasi metabolomik dalam bidang ilmu tanaman mencakup diantaranya studi tentang pengaruh stress abiotik maupun biotik terhadap fisiologis tanaman, prediksi kualitas produk agrikultur, studi tentang proses pematangan buah dan upaya untuk meningkatkan kualitas dan waktu simpan dari buah-buahan.Studi metabolomik sendiri terdiri dari beberapa tahapan diantaranya preparasi sampel, ekstraksi, analisis metabolit menggunakan beberapa jenis instrumen, analisa data dan interpretasi data.

DAFTAR REFERENSI Aizat, W. M., Able, J. A., Stangoulis, J. C., & Able, A. J. (n.d.). Characterisation of ethylene pathway components in non-climacteric capsicum. Allwood, J. W., & Goodacre, R. (2010). An introduction to liquid chromatography-mass spectrometry instrumentation applied in plant metabolomic analyses. Phytochemical Analysis, 21(1), 33–47. https://doi.org/10.1002/pca.1187 An, P. N. T., Yamaguchi, M., Bamba, T., & Fukusaki, E. (2014). Metabolome analysis of Drosophila melanogaster during embryogenesis. PloS One, 9(8), e99519. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0099519 Asif, M. H., Lakhwani, D., Pathak, S., Gupta, P., Bag, S. K., Nath, P., & Trivedi, P. K. (2014). Transcriptome analysis of ripe and unripe fruit tissue of banana identifies major metabolic networks involved in fruit ripening process. BMC Plant Biology, 14(1), 316. https://doi.org/10.1186/s12870-014-0316-1 Dussert, S., Guerin, C., Andersson, M., Joet, T., Tranbarger, T. J., Pizot, M., … Morcillo, F. (2013). Comparative Transcriptome Analysis of Three Oil Palm Fruit and Seed Tissues That Differ in Oil Content and Fatty Acid Composition. Plant Physiology, 162(3), 1337–1358. https://doi.org/10.1104/pp.113.220525 Eloh, K., Sasanelli, N., Maxia, A., & Caboni, P. (2016). Untargeted Metabolomics of Tomato Plants after Root-Knot Nematode Infestation. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 64, 5963– 5968. https://doi.org/10.1021/acs.jafc.6b02181 Ernst, M., Silva, D. B., Silva, R. R., Encio, R. Z. N., & Lopes, N. P. (2014). Mass spectrometry in plant metabolomics strategies: from analytical platforms to data acquisition and processing. Natural Product Rep., 31, 784–806. https://doi.org/10.1039/c3np70086k Fang Teh, H., Neoh, B. K., Ping, M., Hong, L., Yoke, J., Low, S., … Appleton, D. R. (2013). Differential Metabolite Profiles during Fruit Development in High-Yielding Oil Palm Mesocarp. PLoS ONE, 8(4). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0061344 Fatima, T., Sobolev, A. P., Teasdale, J., & K., A. (2016). Fruit metabolite networks in engineered and non-engineered tomato genotypes reveal fluidity in a hormone and agroecosystem specific manner. Metabolomics, 12(103). Fiehn, O. (2002). Metabolomics - the link between genotyopes and phenotypes. Plant Molecular Biology, 48, 155–171.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

35

Gapper, N. E., Giovannoni, J. J., & Watkins, C. B. (2014). Understanding development and ripening of fruit crops in an “omics” era. Horticulture Research, 1(May), 14034. https://doi.org/10.1038/hortres.2014.34 Hirai, M. Y., Yano, M., Goodenowe, D. B., Kanaya, S., Kimura, T., Awazuhara, M., … Montagu, M. C. E. Van. (2004). Integration of transcriptomics and metabolomics for understanding of global responses to nutritional stresses in Arabidopsis thaliana. PNAS, 101(27). Retrieved from http://www.pnas.org/content/101/27/10205.full.pdf?with-ds=yes Hurtado-Fer, E., Bajoub, A., Morales, J. C., Fer Andez-Gutí Errez, A., & Carrasco-Pancorbo, A. (2015). Exploratory analysis of avocado extracts by GC-MS: new insights into the avocado fruit ripening process. Anal. Methods, 7, 7318. https://doi.org/10.1039/c5ay00767d Hurtado-Fernández, E., Pacchiarotta, T., Mayboroda, O. A., Fernández-Gutiérrez, A., & CarrascoPancorbo, A. (2015). Metabolomic analysis of avocado fruits by GC-APCI-TOF MS: effects of ripening degrees and fruit varieties. Anal Bioanal Chem, 407, 547–555. https://doi.org/10.1007/s00216-014-8283-9 Jansen, J. J., Smit, S., Hoefsloot, H. C. J., & Smilde, A. K. (2010). The photographer and the greenhouse: How to analyse plant metabolomics data. Phytochemical Analysis, 21(1), 48–60. https://doi.org/10.1002/pca.1181 Jumtee, K., Komura, H., Bamba, T., & Fukusaki, E. (2011). Predication of Japanese green tea (Sencha) ranking by volatile profiling using gas chromatography mass spectrometry and multivariate analysis. JBIOSC, 112, 252–255. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2011.05.008 Karlova, R., Chapman, N., David, K., Angenent, G. C., Seymour, G. B., & De Maagd, R. A. (2014). Transcriptional control of fleshy fruit development and ripening. Journal of Experimental Botany, 65(16), 4527–4541. https://doi.org/10.1093/jxb/eru316 Kim, H. K., & Verpoorte, R. (2010). Sample preparation for plant metabolomics. Phytochemical Analysis, 21(1), 4–13. https://doi.org/10.1002/pca.1188 Klie, S., Osorio, S., Tohge, T., Drincovich, M. F., Fait, A., Giovannoni, J. J., … Nikoloski, Z. (2014). Conserved changes in the dynamics of metabolic processes during fruit development and ripening across species. Plant Physiology, 164(1), 55–68. https://doi.org/10.1104/pp.113.226142 Klie, S., Osorio, S., Tohge, T., Drincovich, M. F., Fait, a., Giovannoni, J. J., … Nikoloski, Z. (2013). Conserved Changes in the Dynamics of Metabolic Processes during Fruit Development and Ripening across Species. Plant Physiology, 164(1), 55–68. https://doi.org/10.1104/pp.113.226142 Kobayashi, S., Nagasawa, S., Yamamoto, Y., Donghyo, K., Bamba, T., & Fukusaki, E. (2012). Metabolic profiling and identification of the genetic varieties and agricultural origin of Cnidium officinale and Ligusticum chuanxiong. Journal of Bioscience and Bioengineering, 114(1), 86– 91. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2012.02.015 Kok, S.-Y., Namasivayam, P., Ee, G. C.-L., & Ong-Abdullah, M. (2013). Biochemical characterisation during seed development of oil palm (Elaeis guineensis). Journal of Plant Research, 126(4), 539–47. https://doi.org/10.1007/s10265-013-0560-8 Lee, J. W., Uchikata, T., Matsubara, A., Nakamura, T., Fukusaki, E., & Bamba, T. (2012). Application of supercritical fluid chromatography/mass spectrometry to lipid profiling of soybean. JBIOSC, 113, 262–268. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2011.10.009


36

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Lin, H., Rao, J., Shi, J., Hu, C., Cheng, F., Wilson, Z. A., … Quan, S. (2014). Seed metabolomic study reveals significant metabolite variations and correlations among different soybean cultivars. Journal of Integrative Plant Biology, 56(9), 826–836. https://doi.org/10.1111/jipb.12228 Lisec, J., Schauer, N., Kopka, J., Willmitzer, L., & Fernie, A. R. (2006). Gas chromatography mass spectrometry–based metabolite profiling in plants. Nature Protocols, 1(1). https://doi.org/10.1038/nprot.2006.59 Lombardo, V. a., Osorio, S., Borsani, J., Lauxmann, M. a., Bustamante, C. a., Budde, C. O., … Drincovich, M. F. (2011). Metabolic Profiling during Peach Fruit Development and Ripening Reveals the Metabolic Networks That Underpin Each Developmental Stage. Plant Physiology, 157(4), 1696–1710. https://doi.org/10.1104/pp.111.186064 Nikiforova, V. J., Kopka, J., Tolstikov, V., Fiehn, O., Hopkins, L., Hawkesford, M. J., … Hoefgen, R. (2005). Systems Rebalancing of Metabolism in Response to Sulfur Deprivation, as Revealed by Metabolome Analysis of Arabidopsis Plants 1[w]. Plant Physiology, 138, 304–318. https://doi.org/10.1104/pp.104.053793 Osorio, S., Alba, R., Nikoloski, Z., Kochevenko, a., Fernie, a. R., & Giovannoni, J. J. (2012). Integrative Comparative Analyses of Transcript and Metabolite Profiles from Pepper and Tomato Ripening and Development Stages Uncovers Species-Specific Patterns of Network Regulatory Behavior. Plant Physiology, 159(4), 1713–1729. https://doi.org/10.1104/pp.112.199711 Parijadi, A. A. R., Putri, S. P., Ridwani, S., Dwivany, F. M., & Fukusaki, E. (2017). Metabolic profiling of Garcinia mangostana (mangosteen) based on ripening stages. Journal of Bioscience and Bioengineering, 1–7. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2017.08.013 Pirrello, J. (2009). Regulation of tomato fruit ripening. CAB Reviews: Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources, 4(51), 1–14. https://doi.org/10.1079/PAVSNNR20094051 Putri, S. P., Nakayama, Y., Matsuda, F., Uchikata, T., Kobayashi, S., Matsubara, A., & Fukusaki, E. (2013). Current metabolomics: Practical applications. Journal of Bioscience and Bioengineering, 115, 579–589. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2012.12.007 Putri, S. P., Yamamoto, S., Tsugawa, H., & Fukusaki, E. (2013). Current metabolomics: Technological advances. Journal of Bioscience and Bioengineering, 116(1), 9–16. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2013.01.004 Shiratake, K., & Suzuki, M. (2016). Omics studies of citrus, grape and rosaceae fruit trees. Breeding Science, 66, 122–138. Tianniam, S., Tarachiwin, L., Bamba, T., Kobayashi, A., & Fukusaki, E. (2008). Metabolic profiling of Angelica acutiloba roots utilizing gas chromatography-time-of-flight-mass spectrometry for quality assessment based on cultivation area and cultivar via multivariate pattern recognition. Journal of Bioscience and Bioengineering, 105(6), 655–659. https://doi.org/10.1263/jbb.105.655 Tosetti, R., Martinelli, F., Tonutti, P., & Barupal, D. K. (2012). Metabolomics approach to studying minimally processed peach (Prunus persica) fruit. Acta Horticulturae, 934, 1017–1022. Tosetti, R., Tardelli, F., Tadiello, A., Zaffalon, V., Giorgi, F. M., Guidi, L., … Tonutti, P. (2014). Molecular and biochemical responses to wounding in mesocarp of ripe peach (Prunus persica L. Batsch) fruit. Postharvest Biology and Technology, 90, 40–51.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

37

https://doi.org/10.1016/j.postharvbio.2013.12.001 Verpoorte, R., Choi, Y. H., & Kim, H. K. (2010). Metabolomics: Will it stay? Phytochemical Analysis, 21(1), 2–3. https://doi.org/10.1002/pca.1191 Wahyuni, Y., Ballester, A.-R., Yury, @bullet, @bullet, T., De Vos, R. C. H., Koen, @bullet, … Bino, R. J. (2013). Metabolomics and molecular marker analysis to explore pepper (Capsicum sp.) biodiversity. Metabolomics, 9, 130–144. https://doi.org/10.1007/s11306-012-0432-6 Wang, L., Nagele, T., Doerfler, H., Fragner, L., Chaturvedi, P., Nukarinen, E., … and other 3 authors. (2016). System level analysis of cacao seed ripening reveals a sequential interplay of primary and secondary metabolism leading to polyphenol accumulation and preparation of stress resistance. The Plant Journal : For Cell and Molecular Biology, 87(3), 318–332. https://doi.org/10.1111/tpj.13201 White, I. R., Blake, R. S., Taylor, A. J., & Monks, P. S. (2016). Metabolite profiling of the ripening of Mangoes Mangifera indica L. cv. “Tommy Atkins” by real-time measurement of volatile organic compounds. Metabolomics. https://doi.org/10.1007/s11306-016-0973-1 Worley, B., & Powers, R. (2013). Multivariate Analysis in Metabolomics. Curr Metabolomics, 1(1), 92–107. https://doi.org/10.2174/2213235X11301010092 Zhang, J., Wang, X., Yu, O., Tang, J., Gu, X., Wan, X., & Fang, C. (2011). Metabolic profiling of strawberry (Fragaria3ananassa Duch.) during fruit development and maturation. Journal of Experimental Botany, 62(3), 1103–1118. https://doi.org/10.1093/jxb/erq343

BIOGRAFI PENULIS Anjaritha Aulia Rizky Parijadi, M.Eng., S.Si Anjaritha Aulia Rizky Parijadi adalah mahasiswa doktor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University. Anjaritha mendapatkan gelar masternya di bidang Bioteknologi pada tahun 2016 yang didanai oleh pemerintah Jepang melalui beasiswa Monbukagakusho/MEXT. Topik riset doktoral Anjaritha adalah aplikasi metabolomik untuk studi pematangan buah klimaterik, yakin manggis dan pisang. Anjaritha saat ini berperan sebagai salah satu team leader di grup riset Ibu Sastia Putri tentang aplikasi metabolomik untuk produk pangan khas Indonesia dan Jepang.


38

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Dr. Sastia Prama Putri, M.Eng., S.Si Sastia Prama Putri adalah Assistant Professor di Departemen Bioteknologi, Fakultasi Teknik, Osaka University dan dosen luar biasa di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Sastia mendapatkan gelar doktornya di bidang Bioteknologi di tahun 2010 dari International Center for Biotechnology, Osaka University. Saat ini Sastia memimpin grup aplikasi metabolomik untuk bioteknologi mikroba khususnya untuk produksi biofuel dan untuk produk pangan khas Indonesia. Sastia bekerja di bawah naungan mentor Prof. Eiichiro Fukusaki yang merupakan salah satu pioneer metabolomik di ilmu pangan. Ia turut mendirikan Formind Institute di tahun 2016 dan saat ini aktif menjadi board member dari International Metabolomics Society sejak tahun 2013. Ia memenangkan penghargaan L’Oreal for Women in Science di tahun 2015 untuk riset tentang aplikasi metabolomik untuk kopi Indonesia.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

39

Review Article Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Pangan dan Mikrobiologi Sastia Prama Putri1,2,3, Filemon Jalu Putra Nusantara1,, Safira Erlangga Putri1, 1 Department of Biotechnology, Graduate School of Engineering, Osaka University 2-1 Yamadaoka, Suita, Osaka, Jepang 565081 2 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl. Ganesa 10, Bandung, Indonesia 40132 3 Formind Institute, Indonesia email :,1sastia_putri@bio.eng.osaka-u.ac.jp (Corresponding author),2filemon_jalu@bio.eng.osaka-u.ac.jp, 3safira_putri@bio.eng.osaka-u.ac.jp Abstrak Metabolomik, penilaian kuantitatif secara global terhadap metabolit dalam sistem biologis, telah memainkan peran penting dalam berbagai bidang sains di era pasca genomik ini. Metabolit adalah hasil interaksi genom sistem dengan lingkungannya dan bukan hanya produk akhir dari ekspresi gen, namun juga merupakan bagian dari sistem yang berlangsung secara terpadu dan terintegrasi. Metabolomik melengkapi studi omik lainnya, seperti genomik, transkriptomik dan proteomik yang merupakan hasil 'turunan' dari ekspresi gen, maka perubahan di tingkat metabolome dianggap akurat untuk menggambarkan aktivitas sel pada tingkat fungsional. Sebagai salah satu teknologi omik, metabolomik memiliki aplikasi yang menarik di berbagai bidang, termasuk ilmu kedokteran, ilmu biologi, farmasi, dan pemodelan prediktif sistem tumbuhan, hewan dan mikroba. Selain itu, aplikasi terintegrasi dengan genomik, transkriptomik, dan proteomik memberikan pemahaman yang lebih besar tentang sistem biologi global. Artikel ini memaparkan prinsip dasar metabolomik dan terapannya di bidang ilmu pangan dan mikrobiologi. Kata kunci: Metabolomik, Mikrobiologi, Ilmu Pangan, Bioteknologi, Metabolit Abstract Metabolomics is the study of global quantitative assessment of metabolites in a biological system. Metabolites are the result of the interaction of the system’s genome with its environment and are not merely the end product of gene expression but also form part of the regulatory system in an integrated manner. As one of the “omics� technology, metabolomics has exciting applications in varied fields, including medical science, synthetic biology, medicine, and predictive modeling of plant, animal and microbial systems. Integrated applications with genomics, transcriptomics, and proteomics provide greater understanding of global system biology. Here, we review the basic principles of metabolomics and its applications in microbiology and food sciences.


40

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Keywords: Metabolomics. Microbiology, Food Sciences Biotechnology, Metabolites 1. PENDAHULUAN Metabolomik merupakan bidang ilmu yang melibatkan pengukuran metabolit secara komprehensif dan merupakan studi ilmu yang menggabungkan ilmu biologi, kimia analitik dan bioinformatik. Ada tiga pendekatan utama yang digunakan dalam metabolomik: (i) Targeted approach yakni analisis yang ditargetkan komponen metabolitnya (pengukuran kuantitatif dan tepat dari konsentrasi metabolit yang diketahui), (ii) Untargeted approach (pengukuran metabolomik secara komprehensif), dan (iii) Metabolite fingerprinting (pengukuran cepat, evaluasi total biochemical fingerprint untuk diskriminasi sampel yang berbeda dimana identifikasi metabolit tidak diperlukan). Kekuatan metabolomik terletak pada perolehan data analitik dimana metabolit dalam sistem seluler dihitung secara keseluruhan, dan ekstraksi elemen data yang paling berperan pada sampel dengan menggunakan berbagai jenis analisis data menggunakan pendekatan statistik. Bidang metabolomik terus bertumbuh dengan cepat selama dekade terakhir dan telah terbukti menjadi teknologi yang sangat kuat dalam memprediksi dan menjelaskan fenotip kompleks dalam sistem biologis yang beragam. Penerapan teknologi metabolomik di bidang biologi mencakup (i) analisis informatif untuk mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa yang diinginkan (disebut sebagai “metabolomik informatif�), (ii) prediksi berbagai fenotip melalui analisis multivariat dengan menggunakan data metabolom sebagai variabel penjelas (di sini disebut "metabolomik prediktif") dan (iii) metabolomik komparatif untuk menentukan metabolit yang bertanggung jawab untuk klasifikasi sampel menurut jenis atau untuk tujuan diskriminatif. Secara umum, alur kerja metabolomik terdiri dari pembuatan rancanngan penelitian, persiapan sampel biologis, analisis dengan menggunakan berbagai instrumen, pengolahan data dan analisis data. 2.

APLIKASI METABOLOMIK DI BIDANG ILMU PANGAN

Aplikasi teknologi metabolomik dalam ilmu pangan meliputi analisis informatif untuk mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa target, memprediksi nilai kuantitatif fungsi pangan dengan bantuan analisis multivariat (metabolomik prediktif) dan metabolomik komparatif untuk menentukan metabolit yang bertanggung jawab dalam pengelompokkan sampel (diskriminatif) (Cevallos-Cevallos et al, 2009). Berikut ini akan dibahas mengenai aplikasi metabolomik prediktif dan komparatif dalam memprediksi karakteristik sensori dan diskriminasi produk pangan. 3.1

Metabolomik Model Prediktif

Uji sensori atau organoleptik merupakan proses ilmiah dalam membangkitkan, mengukur, menganalisis, dan menginterpretasikan sebuah produk sebagai bentuk respon dari kelima panca indra, yang meliputi indra penglihatan, penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Uji sensori memainkan peranan penting dalam industri makanan karena berpengaruh besar terhadap penentuan harga serta kualitas dari produk-produk makanan. Namun, reprodusibilitas uji sensori sangat bergantung kepada kemampuan panelis. Terlebih, pelatihan untuk panelis membutuhkan banyak waktu, perhatian dan biaya yang tidak sedikit. Menyiasati masalah tersebut, sebuah alternatif berupa protokol berbasis instrumen yang lebih objektif dan efisien dirancang untuk menyempurnakan data uji sensori.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

41

Dalam beberapa dekade terakhir, usaha yang signifikan telah dilakukan untuk mengembangkan prosedur analisis kualitas produk pangan dan minuman dengan menggunakan data instrumen, dimana data tersebut dapat berfungsi sebagai data penyempurna ataupun data yang dapat menggantikan uji sensori. Akibat dari tingginya kompleksitas produk pangan, penggunaan metode matematika sederhana seperti analisis regresi tidak cocok bila digunakan dalam mengkontrol kualitas makanan. Namun, pemanfaatan perkembangan instrumen analitik yang dikombinasikan dengan metode pengenalan pola multivariat (chemometric), memungkinkan kita untuk memahami kompleksitas sampel dan mengekstrak elemen terpenting untuk analisis. Analisis multivariat yang paling umum digunakan untuk analisis prediktif adalah pendekatan berbasis Projection to Latent Structure (PLS) yang meliputi Partial Least Square-Discriminative Analysis (PLS-DA), PLS orthogonal, dan lain-lain. Metode-metode tersebut mendeskripsikan variasi yang terdapat dalam matriks variabel respon (Y) dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari variabel penjelas. Jika matriks Y memiliki variabel yang spesifik, seperti evaluasi kualitas makanan dengan uji sensori, maka pendekatan PLS sangat membantu dalam mengekstrak metabolit penting yang berkaitan dengan variabel Y (Putri et al, 2013). Prediksi berbasis PLS yang menggunakan data metabolom sangat berguna dalam memprediksi atribut sensori dari berbagai macam sampel makanan seperti teh hijau (Pongsuwan et al, 2007), keju (Ochi et al, 2012), kecap (Song et al, 2010; Yamamoto et al, 2012) ataupun produk laut seperti udang. Prinsip dari permodelan prediktif sensori untuk makanan, terletak pada penggunaan model statistik dimana profil metabolit berperan sebagai variabel penjelas dan atribut sensori sebagai variabel respon. Data metabolom yang di plot sebagai variabel penjelas dapat diperoleh dengan metode analisis target (pengukuran secara kuantitatif kelompok metabolit tertentu), pemrofilan metabolit (identifikasi metabolit yang belum diketahui) dan sidik jari metabolit (evaluasi sidik jari biokimia tanpa memerlukan identifikasi metabolit) (Putri et al, 2013). Kerangka kerja utama dari studi ini meliputi beberapa poin, dimulai dari melakukan analisis metabolit dengan menggunakan instrumen analitik dan analisis multivariat; membuat pemodelan prediktif sensori yang menjelaskan keterkaitan antara analisis sensori deskriptif dan set data metabolit; dan mengklasifikasi komponenkomponen yang berkontribusi terhadap model prediktif. Meskipun pendekatan metode analisis target dapat berguna dalam memprediksi atribut sensori makanan, pemahaman yang komprehensif mengenai hubungan antara komposisi kimia keseluruhan dan karakteristik sensori sulit untuk dicapai sebagai akibat banyaknya komponen di dalam makanan yang dapat mempengaruhi rasa dan karakteristiknya (Cevallos-Cevallos dan Reyes-De-Corcuera, 2012). Di sisi lain, pemrofilan metabolit (analisis tanpa target) dapat menawarkan karakterisasi properti makanan yang komprehensif dan memungkinkan pengidentifikasian senyawa baru terkait dengan karakteristik makanan tersebut tanpa bias. Studi yang dilakukan oleh Ochiet al, dapat mengilustrasikan dengan jelas, bagaimana cara memprediksi karakteristik sensori dari proses pematangan keju menggunakan prinsip metabolomik (Ochi H et al, 2012). GC-MS TOF digunakan untuk pemrofilan metabolit (tanpa target) yang bersifat hidrofilik dan bermassa molekul rendah, seperti asam amino,


42

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

asam lemak, asam organik, dan sakarida dalam keju. PLS kemudian dikonstruksi untuk memprediksi hubungan antara profil metabolit dan atribut sensori, dimana model tersebut membantu dalam mengidentifikasi metabolit yang berhubungan dengan rasa yang spesifik. Konsep yang sama juga dilakukan untuk memprediksi kualitas udang putih (L. vannamei) yang diekspor dari Indonesia ke Jepang. Tingginya permintaan udang dan ketatnya persaingan antara negara pengekspor udang ke Jepang menjadikan re-evaluasi kualitas udang ekspor hal yang penting. Variabel respon yang diperoleh dari data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) akan diprediksi menggunakan PLS. Analisis korelasi antara matriks profil metabolit dan data QDA akan menunjukkan senyawa utama yang berkontribusi terhadap cita rasa udang dan terkorelasi erat dengan data QDA. Metabolit tersebut merupakan marka yang dapat digunakan sebagai umpan balik dalam hal mendesain kualitas udang serta manajemen budidayanya. 2.2

Metabolomik Diskriminatif

Analisis diskriminatif digunakan untuk membedakan populasi-populasi sampel tanpa memanfaatkan model statistik ataupun evaluasi pathway hipotetik(Cevallos-Cevallos dan Reyes-De-Corcuera, 2012). Secara umum, kerangka kerja utama studi ini adalah untuk; melakukan pemrofilan metabolik atau sidik jari metabolit menggunakan instrumen analitik; memvisualisasikan struktur data dan mengidentifikasi faktor yang memungkinkan pengklasifikasian sampel dengan menggunakan analisis multivariat; dan mengidentifikasi biomarker untuk klasifikasi. Analisis multivariat merupakan metode paling umum yang dimanfaatkan dalam mendiskriminasi sampel, dimana Principal Component Analysis (PCA) merupakan metode visualisasi yang paling banyak digunakan. PCA merupakan pendekatan unsupervised dan berguna dalam mengeksplorasi struktur data yang diperoleh dari instrumen analitik. Pendekatan supervised yang meliputi PLS-DA) atau ortogonal PLS-DA merupakan metode analisis multivariat yang paling umum digunakan dalam mengidentifikasi besarnya signifikansi perbedaan antar marker secara statistik (Kobayashi et al, 2012). Metabolomik diskriminatif telah banyak diaplikasikan dalam mengevaluasi kualitas makanan, keamanan pangan, dan menentukan perbedaan antar varietas atau habitat asli (origin) (Cevallos-Cevallos et al, 2009). Aplikasi terbaru dalam metabolomik diskriminatif meliputi studi mengenai nutrisi (nutrimetabolomics) dan evaluasi produk hasil rekayasa genetika terkait dengan keamanan pangan regulasi (GarcĂ­a-CaĂąas et al, 2011). Autentikasi pangan juga merupakan salah satu aplikasi penting dari metabolomik diskriminatif. Contoh aplikasinya adalah pemrofilan metabolit berbasis NMR untuk autentikasi keju mozarela dan sample wine dengan menggunakan PCA dan Discriminative analysis (DA)-analisis multivariat (Cevallos-Cevallos dan Reyes-De-Corcuera, 2012). Metode pengenalan pola multivariat atau chemometrics merupakan metode yang sangat bermanfaat dalam mengkarakterisasi dan mengautentikasi pangan dikarenakan kelebihannya dalam mengkategorikan dan memprediksi kelompok-kelompok pangan berdasarkan tipe, varietas, asal geografis, bahkan mendeteksi adulterasi pada produk pangan. Dari semua metode yang digunakan, PLS-DA (metode diskriminasi) merupakan metode klasifikasi paling populer dikarenakan potensi dan kegunaannya (Bosque-Sendra et al, 2012).


43

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 3.

APLIKASI METABOLOMIK DI BIDANG ILMU MIKROBIOLOGI

Mikroorganisme merupakan sampel yang sangat penting dalam bidang metabolomik, karena banyak digunakan sebagai organisme modeluntuk pengembangan teknik metabolomik. Studi metabolomik merupakan analisis metabolit yang sangat akurat dan memerlukan kondisi penelitian yang terkendalikan dengan baik serta optimum. Contoh dari kondisi yang harus sangat dikontrol ketika melakukan metabolomik menggunakan mikroba adalah kondisi pertumbuhan saat kultivasi harus terjaga agar selalu konstan. Oleh karena itu, validasi metode serta optimasi kondisi pertumbuhan mikroorganisme sangat penting untuk mengetahui metabolisme suatu mikroba secara menyeluruh dan optimum, terutama untuk preparasi sampel (Putri et.al, 2013). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengoptimalkan preparasi sampel menggunakan mikoorganisme dalam studi metabolomik (Winder et.al, 2008). Ada 2 proses penting dalam preparasi sampel, yaitu Quenching (proses untuk menghentikan proses metabolism secara cepat) dan ekstraksi. Quenching atau pendinginan sampel merupakan proses penghentian secara menyeluruh reaksi biologis yang terjadi didalam sel dan yang kedua adalah proses ekstraksi sel mikroorganisme untuk mengekstrak metabolit dari suatu mikroorganisme secara menyeluruh. Pada tahapan awal perkembangan studi metabolomik, metabolomik digunakan untuk studi diskriminasi berbagai mikroorganisme yang memliki perbedaan karakteristik. Diskriminasi ini dapat dilakukan dengan melakukan komparasi metabolit secara menyeluruh yang ada dalam mikroorganisme yang berbeda (Raamsdonk et.al, 2001). Melalui berbagai penelitian sebelumnya, ada korelasi yang sangat erat antara karakter dari mikroorganisme tertentu dengan kandungan profil metabolitnya. Proses pendinginan dan ekstraksi sampel sangatlah penting untuk mengukur kuantitas sebenarnya metabolisme dalam suatu sel berdasarkan periode waktu tertentu. Dan metode quenching juga harus dilakukan secara cepat agar keakuratan waktu serta metabolisme yang diproduksi oleh mikroorganisme dapat terlihat. Ada dua jenis metode quenching yang paling umum digunakan: Tabel 1. Metode quenching Metode Pendinginan dengan filter

Kegunaan Sample diperoleh dengan mengunakan filter membran dan dilakukan pendinginan secara cepat

Kelebihan Reproduksibilitas tinggi

kekurangan Memakan waktu lebih lama

penerapan Untuk prokariotik organisme i.e E. coli

Pendinginan dengan injeksi

Sampel langsung diinjeksikan ke dalam larutan pendingin dan disentrifugasi

Cepat

Metabolit yang hilang atau tidak dapat terdeteksi

Banyak digunakan untuk S. cerevisiae

Pemilihan metode ekstraksi yang tepat amat harus dipertimbangkan kaitannya dengan sifat sel mikroorganisme, seperti jenis membran sel, sifat kimia dari analit dan reaktivitas target dari enzim. Metode yang paling umum adalah ekstraksi dengan pelarut organik, menggunakan metanol dan kloroform dan perlakuan kondisi lain seperti suhu yang tinggi atau suhu yang sangat rendah turut digunakan. Dalam studi awal ekstraksi metabolit dari


44

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Escherichia coli menggunakan metanol dingin (-40o) menunjukan hasil yang lebih baik daripada menggunakan metanol panas, ethanol panas, asam perklorat atau metanol/kloroform. Hal ini berdasarkan pertimbangan reproduksibilitas, kemudahan, serta jumlah metabolit yang data terdeteksi. Metode ekstraksi lain juga dapat dikembangkan dan disesusaikan dengan target analisis serta mikroorganisme yang akan diteliti. Seperti untuk Saccharomyces cerevisiae, metode dengan menggunakan kloroform dan metanol panas lebih baik karena lebih efisien dalam mendapatkan metabolit dari sel dibandingkan dengan ekstraksi metanol dingin dan asetonitril-metanol (Maharjan et.al, 2003). Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam studi metabolomik saat ini adalah E. coli. Studi sebelumnya dikenal dengan metode TLC (Thin layer chromatography) atau kromatografi lapis tipis dan 14C-glucose yang digunakan untuk menganalisa hubungan antara metabolisme sel dan regulasinya secara menyeluruh. Studi tersebut menjelaskan ragam metabolit seperti glutamat, aspartat, trehalosa, adenosin, gula-UDP dan putresin dalam variasi tingkatan dengan perbedaan spesifik tingkat pertumbuhan di bawah kondisi chemostat. Hubungan antara asimilasi amonia dan perturbasi nutrisi dipelajari dengan kombinasi dari kuantifikasi absolut dan simulasi fluks (Yukihira et.al, 2010). Studi ini melaporkan dua senyawa penting yakni 2-oksoglutarat dan glutamin untuk asimilasi amonia. Baru-baru ini, beberapa penelitian dari grup kami melaporkan penggunaan teknik metabolomik untuk pengembangan produktivitas mikroba yang digunakan sebagai cell-factory. Pada umumnya, mikroba yang berperan dalam proses industri terus dikembangkan karakteristiknya agar lebih produktif dan efisien dalam memproduksi senyawa biokimia ataupun biofuel di industri. Secara konvensional, proses pengembangan dan peningkatan produktivitas strain dapat dilakukan melalui metode pendekatan rasional, dimana metabolisme suatu mikroba direkayasa sedemikian rupa berdasarkan pengetahuan tentang proses biokimia, komponen genetika dan teknologi fermentasi mikroba. Pada umumnya proses ini berlangsung lama dan seringkali tidak sesuai dengan harapan. Pendekatan kedua adalah pendekatan non rasional, dimana proses pengembangan strain dilakukan secara random lewat metode mutagenesis dimana proses pengembangan dapat dilakukan secara cepat namun mekanisme secara detil tentang bagaimana fenotip baru dapat dihasilkan tidak dapat diketahui. Pendekatan yang berada di antara kedua pendekatan yang telah dijabarkan diatas adalah pendekatan semi rasional, seperti contohnya pendekatan menggunakan bidang ilmu omik. Pendekatan metabolomik untuk pengembangan mikroba yang digunakan sebagai cell factory merupakan salah satu aplikasi metabolomik yang paling terbaru. Pendekatan ini berdasarkan analisa komparatif di level omik, seperti genomik, transkriptomik, proteomik ataupun metabolomik. Perbedaan di level omik ini bisa dengan cepat memberikan informasi perbedaan signifikan antar dua mikroorganisme yang pada akhirnya bisa ditelaah lebih lanjut untuk menentukan target gen untuk peningkatan fenotip ataupun karakteristik dari mikroorganisme tersebut. Kombinasi data metabolom dan analisis data multivariat seperti Principal Component Analysis atau Partial Least Square regression dapat menunjukkan metabolit-metabolit mana yang paling banyak memberikan kontribusi pada fenotip tertentu (Nitta et.al, 2017). Oleh karena itu, konsentrasi metabolit dapat bertindak sebagai variabel prediktor kuantitatif untuk fenotip-fenotip penting terkait mikrobiologi industri. Contoh penggunaan analisis metabolom non-target untuk peningkatan fenotip yang penting untuk industri, yakni toleransi terhadap


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

45

pelarut kimia, dilaporkan dalam makalah terbaru kami. Secara singkat, berbagai strain mutan delesi tunggal S. cerevisiae dikultivasi di dalam cekaman 1-butanol untuk mengukur toleransi mereka terhadap 1-butanol. Strain ini juga dikultivasi di bawah kondisi non-stres untuk analisis metabolom. Data metabolisme dan toleransi digabungkan untuk membangun model regresi, yang memberikan informasi tentang metabolit yang sangat terkait dengan toleransi. Dengan asumsi bahwa metabolit memiliki hubungan kausal dengan toleransi, target gen yang diprediksi untuk dapat mengubah pool metabolit di dalam sel yang pada akhirnya bisa meningkatkan tingkat toleransi terhadap 1-butanol dapat diidentifikasi. Akhirnya, strain delesi baru diperoleh, dan tingkat toleransi dan metabolitnya diukur untuk memvalidasi model yang telah dibuat sebelumnya. Strain baru menunjukkan tingkat toleransi terhadap 1-butanol yang lebih tinggi, sehingga memvalidasi hubungan antara metabolit ini dan toleransi 1-butanol. Gambaran tentang penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ilustrasi pendekatan metabolomik untuk mengidentifikasi gen untuk strain improvement (1). http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/

Pendekatan berbasis metabolomik lainnya untuk mengidentifikasi target gen adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang ditargetkan (quantitative and targeted approach) untuk pengukuran dengan resolusi yang lebih tinggi. Bila sudah ditentukan pathway di dalam alur metabolisme yang penting untuk peningkatan produksi senyawa tertentu, maka pengukuran konsentrasi absolut senyawa intermediet di pathway tersebut dapat memberi wawasan yang kuat mengenai langkah pembatas laju di jalur. Selanjutnya, penggunaan profil kinetik seperti metabolite turnover analysis (3) sangat berguna untuk mengamati dinamika seluler untuk optimasi pathway. Salah satu contoh strategi tersebut dijelaskan dalam laporan lain (4) di mana penggunaa analisis target kuantitatif dan profil kinetik difokuskan kepada


46

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

senyawa intermediet yang penting untuk mengidentifikasi langkah pembatas laju dalam sistem rekayasa untuk produksi 1-butanol dalam cyanobacteria. Produksi 1-butanol di mikroorganisme fotosintetik cyanobacteria merupakan sistem model penting untuk konversi langsung CO2 ke bahan bakar dan bahan kimia. Produksi 1-butanol dicapai dengan memperkenalkan pathway Koenzim A (CoA) yang dimodifikasi dari spesies Clostridium yang menghasilkan rekayasa genetika Synechococcus elongatus yang dapat mengubah CO2 di atmosfer menjadi 1-butanol (Toshiyuki et.al, 2017). Upaya untuk meningkatkan titer masih terfokus pada jalur CoA, oleh karena itu, pendekatan yang ditargetkan untuk menguji intermediet CoA menghasilkan wawasan yang sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas 1-butanol. Kesimpulannya, pendekatan berbasis metabolisme sangat bermanfaat untuk mengembangkan strategi untuk mengoptimalkan kinerja jalur dalam produksi kimia mikroba. Metabolomik untuk studi sistem biologis masih memiliki masa yang panjang dalam pengembangannya sebelum mencapai kedewasaan sebagai bidang ilmu. Di masa depan, analisis metabolisme dari mikroorganisme akan tetap ada dan tak ternilai harganya 4.

PROSPEK MASA DEPAN STUDI METABOLOMIK

Identifikasi atau anotasi senyawa adalah salah satu masalah yang harus diselesaikan untuk pengembangan lebih lanjut dari penelitian metabolomik. Saat ini, identifikasi metabolit yang tidak diketahui merupakan hambatan utama di bidang metabolomik. Meskipun ada ratusan sampai ribuan metabolit yang terdeteksi, kebanyakan dari metabolit tetap tidak dikenal karena keterbatasan informasi metabolit di pustaka metabolit dan tidak tersedianya referensi terstandardisasi. Oleh karena itu, terlepas dari kemajuan teknologi terkini dalam bidang kimia analitik dan pengolahan data, masih banyak masalah yang harus diatasi untuk membuat metabolomik menjadi studi yang sangat berguna bagi peneliti. Walaupun profil LC/MS sekarang lebih informatif karena sensitivitas yang lebih tinggi dari instrumen MS yang baru dirilis, hanya sebagian kecil dari metabolit yang dapat diidentifikasi dan digunakan untuk interpretasi biologi di antara ribuan sinyal yang terdeteksi. Upaya saat ini untuk memecahkan masalah ini melibatkan penambahan informasi dalam library, penggunaan ataupun gabungan berbagai platform instrumentalia (LC-NMR, LCTOFMS, GCTOF-MS13, CE-TOFMS14,15), pengembangan algoritma untuk perhitungan retention index dan software untuk prediksi senyama secara in-silico.

DAFTAR REFERENSI Atkinson, P. M. dan A. R. L. Tatnall. 1997. Neural Networks in Remote Sensing. International Journal of Remote Sensing. Vol. 18, No. 4: hal. 699-709. Bosque-Sendra, JM., Cuadros- Rodriguez, L., Ruiz-Samblas, C., de la Mata, P. 2012. Combining chromatography and chemometrics for the characterization and authentication of fats and oils from triacylglycerol compositional data –a review. Anal. Chim. Acta. Vol 724: hal 1–11. Cevallos-Cevallos, JM., dan Reyes-De-Corcuera, JI. 2012. Metabolomics in food science. Advance


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

47

in Food and Nutrition Research. Vol 67: hal 1–24 (2012). Cevallos-Cevallos, JM., Reyes-De-Corcuera, JI., Etxeberria E, Danyluk MD., Rodrick GE. 2009. Metabolomic analysis in food science: a review. Trends Food Science and Technology. Vol 20: hal 557–566. García-Cañas, V., Simó, C., León, C., Ibáñez, E., Cifuentes, A.2011. MS- based analytical methodologies to characterize genetically modified crops. Mass Spectrometry Review. Vol 30: hal 396–416. Katsuaki, N., Walter, A. L., Sammy, P., James, C. L., Putri, S. P., Eiichiro, F. 2017. Orthogonal partial least squares/projections to latent structures regression-basedmetabolomics approach for identification of gene targets for improvement of1-butanol production in Escherichia coli. Journal Bioscience and Bioengineering http://dx.doi.org/10.1016/j.jbiosc.2017.05.015. Kobayashi, S., Putri, SP., Yamamoto, Y., Donghyo, K., Bamba, T., Fukusaki, E. 2012. Gas chromatography-mass spectrometry based metabolic profiling for the identification of discrimination markers of Angelicae Radix and its application to gas chromatography–flame ionization detector system. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 114: hal 232–236 Maharjan, R. P. dan Ferenci, T. 2003. Global metabolite analysis: the influence ofextraction methodology on metabolome profiles of Escherichia coli, Analytical Biochemistry. Vol 313: hal 145-154. Ochi, H., Naito, H., Iwatsuki, K., Bamba, T., Fukusaki, E., 2012. Metabolomics-based component profiling of hard and semi-hard natural cheeses with gas chromatography/time-of-flightmass spectrometry, and its application to sensory predictive modeling. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 113: hal 751–758. Pongsuwan, W., Fukusaki, E., Bamba, T., Yonetani, T., Yamahara, T., Kobayashi, A. 2007. Prediction of Japanese Green tea ranking by gas chromatography/mass spectrometry-based hydrophilic metabolite fingerprinting. Journal of Agriculture and Food Chemistry. Vol 55: hal 231–236 Putri, S. P., Yasumune, N., Fumio, M., Takato, U., Shizu, K., Atsuki, M., Fukusaki, E. 2013. Current metabolomics: practical applications. Journal Bioscience and Bioengineering. Vol 115, No. 6: hal 579-589. Putri, SP., Yamamoto, S., Tsugawa, H., Fukusaki, E. 2013. Current metabolomics: technological advances. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 116: hal 9–16. Raamsdonk, L. M., Teusink, B., Broadhurst, D., Zhang, N., Hayes, A.,Walsh, M. C., Berden, J. A., Brindle, K. M., Kell, D. B., Rowland, J. J. 2001. A functional genomics strategy that uses metabolome data toreveal the phenotype of silent mutations, Nature Biotechnology. Vol 19: hal. 45-50. Song, S., Zhang, X., Hayat, K., et al. 2010. Contribution of beef base to aroma characteristics of beeflike process flavour assessed by descriptive sensory analysis and gas chromatography olfactometry and partial least squares regression. Journal of Chromatography A. Vol 1217: hal 7788–7799. Toshiyuki, O., Sammy, P., Walter, A. L., James, C. L., Putri, S. P., Eiichiro, F. 2017. Metabolomicsdriven approach to solving a CoA imbalance for improved 1-butanol production in Escherichia coli. Metabolic Engineering. Vol 41: hal 135-143. Winder, C. L., Dunn, W. B., Schuler, S., Broadhurst, D., Jarvis, R.,Stephens, G.M., Goodacre, R. 2008. Global metabolic profiling of Escherichiacoli cultures: an evaluation of methods for


48

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 quenching and extraction ofintracellular metabolites. Analytical Chemistry. Vol 80: hal. 2939-2948.

Yamamoto, S., Bamba, T., Sano, A., et al. 2012 Metabolite profiling of soy sauce using gas chromatography with time-of-flight mass spectrometry and analysis of correlation with quantitative descriptive analysis. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 114: hal 170–175 Yukihira, D., Miura, D., Saito, K., Takahashi, K., Wariishi, H. 2010. MALDI-MS-based high throughput metabolite analysis for intracellularmetabolic dynamics. Analytical Chemistry. Vol 82: hal 4278-4282.

BIOGRAFI PENULIS Dr. Sastia Prama Putri, M.Eng., S.Si Sastia Prama Putri adalah Assistant Professor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University dan dosen luar biasa di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Sastia mendapatkan gelar doktornya di bidang Bioteknologi di tahun 2010 dari International Center for Biotechnology, Osaka University. Saat ini Sastia memimpin grup aplikasi metabolomik untuk bioteknologi mikroba khususnya untuk produksi biofuel dan untuk produk pangan khas Indonesia. Sastia bekerja di bawah naungan mentor Prof. Eiichiro Fukusaki yang merupakan salah satu pioneer metabolomik di ilmu pangan. Ia turut mendirikan Formind Institute di tahun 2016 dan saat ini aktif menjadi board member dari International Metabolomics Society sejak tahun 2013. Ia memenangkan penghargaan L’Oreal for Women in Science di tahun 2015 untuk riset tentang aplikasi metabolomik untuk kopi Indonesia. Filemon Jalu Nusantara Putra, S.Si Filemon Jalu Nusantara Putra adalah mahasiswa paska sarjana di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University dan merupakan lulusan sarjana S1 Biologi dari Universitas Diponegoro, Semarang. Ia sempat bekerja sebagai peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) selama 2 tahun di laboratorium Biokatalis dan Fermentasi, Pusat Penelitian Bioteknologi, Cibinong.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

49

Safira Erlangga Putri, S.T Safira Latifa Erlangga Putri adalah mahasiswa paska sarjana tingkat 2 di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University dan merupakan lulusan sarjana S1 Teknik Kimia dari Universitas Indonesia, Depok. Saat ini ia sedang meneliti kualitas udang vannamei berdasarkan aspek metabolomik.


50

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article Analisis Hasil Metode Pencarian Potensi Minyak Bumi dengan Teknologi STeP (Sub-Terrain Prospecting) (Studi Kasus: Blok Lampung) Farah Nafisa Ariadji1, Ketut Wikantika2, Tutuka Ariadji3 1 Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 2 Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 3 Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Indonesia email : 1farah.ariadji@gmail.com, 2wikantika.ketut@gmail.com, 3tutukaariadji@gmail.com Abstrak Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terus dilakukan demi tersedianya cadangan minyak bumi. Namun, di sisi lain angka penemuan sumber daya minyak bumi di Indonesia dari tahun ke tahun kian menurun. Belum lagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tidak selalu membawa keberhasilan (dry hole). STeP (Sub-Terrain Prospecting) adalah sebuah teknologi yang merupakan kombinasi penginderaan jauh dan analitik dengan tujuan memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan eksplorasi tersebut melalui interpretasi dan kuantifikasi berbagai pengaruh yang terjadi pada sub-permukaan Bumi untuk menilai dan menentukan adanya struktur hidrokarbon. Teknologi STeP ini terdiri dari empat tahapan analisis yaitu analisis litodinamik, analisis struktur geodinamik, analisis spektrometri, dan analisis strukturometri. Keempat tahapan ini dikombinasi untuk menghasilkan sebuah model dengan gambaran wilayah paling berprospek dengan hidrokarbon. Setelah menghasilkan sebuah model, untuk meningkatkan tingkat keakuratan daerah potensi sumber minyak bumi perlu dilakukan survei tambahan seperti survei seismik. Teknologi STeP memiliki keunggulan dalam mempersempit wilayah yang diduga mengandung minyak, sehingga biaya eksplorasi geologi yang dikeluarkan akan menurun. Kata kunci: Sub-permukaan, Hidrokarbon, Litodinamik, Geodinamik, Spektrometri, Strukturometrik Abstract Exploration and exploitation activities continue to be done for the availability of petroleum reserves. On the other hand, the rate of discovery of petroleum resources in Indonesia from year to year is declining. Not to mention exploration and exploitation activities that do not always bring success (dry hole). STeP (Sub-Terrain Prospecting) is a remote sensing technology and analytics which interprets and quantifies the effects of subsurface on the Earth’s surface to assess and determine the presence of a hydrocarbon structure. STeP technology consists of four stages, namely lithodynamic analysis, geodynamic structure analysis, spectrometry analysis, and structurometric analysis. These four stages are combined to produce


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

51

a model with an overview of the most prospective area with hydrocarbons. After generating a model, to improve the accuracy of local potential petroleum source, additional survey should be conducted, such as seismic surveys. STeP technology has the advantage of narrowing the suspected areas that contain oil, therefore the cost of geological exploration will decrease. Keywords: sub-terrain, hydrocarbon, lithodynamic, geodynamic, spectrometry, structurometry

1.

PENDAHULUAN

Kebutuhan dunia akan minyak bumi terus meningkat menjadikan peranan eksploitasi sangat penting demi tetap tersedianya cadangan minyak bumi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi tidak dilakukan secara langsung namun terlebih dahulu dilakukan interpretasi secara geologi dan geofisika untuk mencari titik potensi sumber minyak. Pada prakteknya, hasil kegiatan eksplorasi ini tidak selalu membawa keberhasilan, dimana tidak terdapat sumber minyak bumi pada titik potensi sumber minyak yang dimaksud (dry hole). Secara lebih detil pada Laporan Tahunan SKK MIGAS Tahun 2016, disebutkan bahwa semenjak tahun 2012 pengeboran eksplorasi migas di Indonesia kian menurun. Tahun 2016, jumlah sumur yang ditajak dan selesai sebanyak 23 sumur dari total sumur sebanyak 34 dengan success ratio sebesar 65%. Angka success ratio ini menurun drastis jika dibandingkan dengan tahun 2015, yaitu sebesar 82% (Gambar 1).

Gambar 1. Pengeboran eksplorasi migas di Indonesia tahun 2002-2016 (Sumber: Laporan Tahunan SKK MIGAS 2016)

Dengan kemajuan teknologi dan gabungan dari berbagai disiplin ilmu, angka potensi cadangan minyak bumi di Indonesia dapat ditingkatkan. STeP adalah teknologi baru yang belum banyak dipakai di industri minyak dan gas bumi. STeP adalah sebuah teknologi


52

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

penginderaan jauh dan analitik yang menginterpretasi dan mengkuantifikasi berbagai fenomena alam pada permukaan bumi menggunakan pemodelan dan algoritma canggih.Teknologi STeP menawarkan alternatif teknologi yang terintegrasi guna meningkatkan akurasi untuk penentuan potensi hidrokarbon dan diperkirakan lebih murah biayanya serta lebih cepat dalam pemrosesan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis teknologi STeP sebagai alternatif dalam pencarian sumber cadangan minyak bumi dan sebagai referensi bagi para pemangku kepentingan sebelum melakukan eksplorasi migas. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi referensi. 2.

METODE DAN DATA

2.1 Geologi Regional Sumatera Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng IndoAustralia, Eurasia, dan lempeng Pasifik. Pulau Sumatera secara fisiografi berorientasi barat laut dan terletak di bagian barat Paparan Sunda dan di selatan Lempeng Eurasia. Pulau ini memiliki panjang sekitar 1.760 km dan lebar 400 km dengan kisaran luas 435.000 km2. Gambaran umum (trendline) fisiografi Pulau Sumatera adalah bagian belakangnya (backbone) dibentuk oleh Pegunungan Bukit Barisan sepanjang sisi barat. Daerah ini membagi daerah pantai bagian barat dan timur (Bemmelen, 1949). 2.1.1

Geologi Cekungan Sumatera Selatan

Daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan belakang busur berumur Tersier. Cekungan ini terbentuk akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera Hindia. Daerah cekungan ini dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur, Pegunungan Tigapuluh di sebelah barat, dan Tinggian Lampung ke arah tenggara. Struktur geologi di daerah Cekungan Sumatera Selatan memiliki sejarah perkembangan evolusi cekungan yang lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatera. Pada umumnya, struktur geologi Cekungan Sumatera ditunjukkan oleh dua komponen utama, yaitu (1) batuan dasar pre-Tersier yang membentuk half graben, horst, dan blok sesar (de Coster, 1974), dan (2) elemen struktur berarah baratlaut-tenggara dan struktur depresi di timurlaut yang keduanya terbentuk sebagai akibat dari orogen PlioPlistosen (de Coster, 1974).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

53

Gambar 2.. Daerah studi kasus (Wulyadi dkk., 2010)

2.1.2

Indikasi Terdapatnya Cekungan Tersier

Berdasarkan studi geologi dan geofisika yang dilakukan oleh LAPI ITB tahun 2007, didapatkan data gaya berat yang menunjukkan adanya “cekungan sedimen� yang ditandai dengan tinggian dan rendahan di Blok Lampung (Gambar 4). Semakin tinggi densitas gaya berat pada suatu daerah, maka akan semakin kecil sedimen yang terkandung dalam daerah tersebut.Berdasarkan Gambar 5, dengan pola Sumatera (NW-SE) terlihat tiga dalaman (cekungan).

Gambar 3. Peta Anomali Bouger yang memperlihatkan pola tinggian dan dalaman yang dapat ditafsirkan sebagai tinggian dan cekungan (LAPI ITB dan Pertamina, 2007 dalam Wulyadi dkk., 2010)


54

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 4. Model Geologi berdasarkan data Bouger yang memperlihatkan adanya struktur graben (LAPI ITB& Pertamina, 2007 dalam Wulyadi dkk., 2010)

2.2 Data Penginderaan Jauh untuk Analisis dan Identifikasi Hidrokarbon Pekerjaan ini menggunakan data satelit Lansdsat-ETM dan NOAA-AVHRR, yang keduanya memiliki perbedaan resolusi spasial yang besar. Citra NOAA-AVHRR digunakan unttuk analisis yang bersifat global, sedangkan Landsat-ETM digunakan untuk analisis yang lebih detil. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis citra satelit tersebut. 2.2.1

Sistem Satelit Landsat

Satelit Landsat adalah satelit yang diluncurkan oleh U.S. Geological Survey (USGS) dan National Aeronautics and Space Administration (NASA), untuk mengeluarkan citra daratan dari luar angkasa secara rutin.Landsat 7 membawa sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+), dengan resolusi spasial 30 meter pada panjang gelombang cahaya tampak, NIR, SWIR, resolusi spasial sebesar 60 meter pada band termal, dan resolusi spasial 15 meter pada band pankromatik. Landsat 7 terdiri dari 8 band dan karakteristik dari ke8 band memvisualisasikan objek-objek di permukaan bumi sesuai dengan panjang gelombangnya (USGS EROS, 2012) Citra Landsat yang telah diproses dapat digunakan untuk menentukan daerah anomali spektral jika di overlay dengan DEM untuk meningkatkan visualisasi terrain. Fitur geologi yang telah ditingkatkan menggunakan rasio band citra Landsat berguna untuk memisahkan dan mengidentifikasi material yang berbeda, namun bermasalah dalam menghubungkan fitur paleochannel pada sub-permukaan. Citra yang telah diproses dapat disampirkan di atas DEM, peta geologi, dan data citra NOAA-AVHRR untuk meningkatkan interpretasi paleochannel(Hou dan Mauger, 2005).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 2.2.2

55

Sistem Satelit NOAA-AVHRR

Sensor Advanced very-high-resolution radiometer (AVHRR) adalah tipe sensor yang dapat digunakan untuk menentukan tutupan awan dan suhu permukaan. Permukaan dapat berupa permukaan bumi, permukaan awan, atau permukaan badan air. Sensor NOAAAVHRR menggunakan 6 detektor yang mengumpulkan berbagai radiasi band pada panjang gelombang tertentu. Citra NOAA-AVHRR pada umumnya digunakan untuk aplikasi atmosferik tetapi dapat diaplikasikan pada permukaan tanah. Karena memiliki cakupan area yang global, citra NOAA-AVHRR sering digunakan untuk studi fitur geologi atau fisiografi, kondisi vegetasi dan tren di tingkat global, analisis kelembapan tanah, dan lain-lain (Le Moigne dan Cromp, 1999). Suhu radiasi yang dicatat oleh citra NOAA-AVHRR adalah hasil dari suhu kinetik dan emisivitas material, yang merupakan ukuran kemampuan untuk menyerap dan memancarkan kembali energi panas (Kahle, 1080 dalam Hou dan Mauger, 2005). Pendeteksi dan konfigurasi orbit pada data malam hari citra NOAA-AVHRR berguna untuk mendeteksi variasi temperatur dalam sedimen paleochannel yang berkaitan dengan kadar kelembapan pada channel tersebut (Hou dan Mauger, 2005) 2.3 Teknologi Sub-Terrain Prospecting(STeP) Terra Insight Services adalah sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi serta mineral dimana para ahlinya mengembangkan teknologi Sub-Terrain Prospecting (STeP). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grossneft Technology pada tahun 2009, setiap metode yang tercakup dalam STeP adalah berdasarkan fakta bahwa banyak proses penting geologi yang terjadi di sub-permukaan (sub-soil) yang ditunjukkan secara beragam diatas permukaan bumi atau ditunjukkan dengan bentuk-bentuk relief atau dalam bentuk anomali bidang fisis seperti termal, gravitasi, dan magnet. Pada paruh kedua abad ke-20, muncul sebuah peluang hasil pengamatan bumi secara konstan dari ruang angkasa dengan data pengukuran suara (remote sounding data). Saat ini, pengolahan remote sounding data dan metode matematis yang dikembangkan dan direalisasikan dalam perangkat lunak memungkinkan identifikasi atribut khusus, contohnya geoinformation anomalies.Anomali-anomali ini menyimpan banyak informasi dan mencerminkan struktur dan fitur kerak Bumi. Teknologi STeP terdiri dari empat tahapan untuk meneliti kerak bumi dengan tujuan mengidentifikasi inter-relasi antar proses endogenetik dan kemunculanya pada permukaan bumi. Secara diagram alir dijelaskan sebagai berikut.


56

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 5. Diagram alir tahapan teknologi STeP (diadaptasi dari Wulyadi dkk, 2010) 2.3.1

Analisis Litodinamik

Tujuan analisis litodinamik adalah menganalisis hubungan bentuk-bentuk relief pada permukaan dengan proses endogen di bawah permukaan. Kajian dilakukan dengan mentransformasi peta topografi dengan skala berbeda menggunakan teknologi relief plastisitas (relief plasticity). Tahapan pertama adalah rekonstruksi paleo dari aliran litodinamik.Aliran litodinamik mencerminkan cara migrasi hidrokarbon dalam kerangka waktu jutaan tahun. Area-area yang berhubungan dengan sistem aliran, biasanya berpotensi membuat zona tektonik tidak stabil. Selanjutnya adalah tahap pembuatan peta struktur paleodeltas. Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur umur delta. Dengan adanya paleodeltas akan terungkap cekungan-cekungan dengan umur yang berbeda-beda. Pembuatan peta struktur anular tektonik adalah tahapan selanjutnya, dimana anular akan mencerminkan struktur tektonik zona aktif dimana mineral terbentuk (Wulyadi dkk., 2010). Tahapan akhir dari analisis litodinamik adalah pembuatan peta prediksi wilayah potensi minyak dan gas sebagai hasil analisis tahapan-tahapan sebelumnya.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 2.3.2

57

Analisis Struktur Geodinamik

Geodinamika menerapkan ilmu fisika, kimia, dan matematis untuk memahami konveksi mantel yang berhubungan dengan lempeng tektonik dan pergeseran benua, termasuk fenomena geologis seperti pembentukan gunung, gunung berapi, gempa bumi, cekungan sedimen, patahan, dan lain-lain (Turcotte, 2002).Analisis struktur geodinamik ditujukan untuk mengkaji hubungan struktur-struktur tektonik, wilayah tegangan tektonik, dan parameter – parameter yang terkait. Lebih jauh, analisis struktur geodinamik dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi prospek mineral dan lokalisasi daerah yang berpotensi terdapat sumber daya alam. Metode analisis geodinamik struktural menggunakan relasi spasial area yang diduga mengandung minyak dan gas dengan pendekatan geodinamik dari bentuk-bentuk garis struktur konsentris. Berdasarkan kombinasi karakteristik geodinamik dan geologi, dapat diidentifikasi fitur geologi unik yang mengindikasikan syarat-syarat diketemukannya minyak bumi, yaitu batuan induk, reservoir, cap rock, tipe-tipe jebakan, dan zona-zona akumulasi (Li dkk, 2014). 2.3.3

Analisis Spektrometri

Analisis spektrometri dilakukan untuk mengkaji komposisi batuan dalam rentang spektrum yang beragam, menaksir sifat aliran termal serta penyebarannya di antara struktur geologis. Pengetahuan mengenai tingkat kecerahan spektral (spectral brightness) pada batuan membantu proses interpretasi citra. Batuan memiliki berbagai nilai spectral brightness. Citra satelit merefleksikan fitur-fitur geologi dengan tingkat kontras yang tergantung pada fitur spektralnya, oleh karena itu diperlukan pembuatan spectral libraries khusus. Tahapan awal adalah melakukan pre-processing pada data citra satelit, kemudian membuat peta tematik dengan memilih kombinasi band/channel yang sesuai untuk mencari geoinformation anomalies. Setelah pembuatan beberapa peta tematik, dilakukan analisis data multi-skala dan analisis struktur-metrik, yaitu hasil rekonstruksi geodinamik. Hasil akhir berupa pengungkapan geoinformation anomalies yang mengandung hidrokarbon. 2.3.4

Analisis Strukturometri

Tujuan dilakukan analisis strukturometrik adalah untuk mengkaji fitur geologis yang tersusun berdasarkan suatu algoritma dan hukum fisika mengenai fluida yang terkandung dalam fitur tersebut. Tahap awal yaitu mengidentifikasi awal wilayah kajian dengan tujuan mengestimasi prospek minyak dan kandungan gas. Data yang digunakan adalah citra dua dimensi yang kemudian di transformasi menggunakan algoritma fraktal geometri untuk menjadi model vektor multi-dimensi. Tahap ini memungkinkan semua obyek hasil interaksi endogen dapat terindentifikasi. Teknologi ini mengidentifikasi dua tipe anomali, yaitu sistem patahan dan sistem struktur anular. Setelah tahapan transformasi citra dilakukan, selanjutnya adalah mengungkap fitur geologis dan pencarian medan tegangan (stress fields). Ketidakseragaman medan tegangan memungkinkan terjadinya migrasi hidrokarbon pada daerah tersebut. Tahapan terakhir adalah membentuk skema bidang-bidang tekanan tektonik yang diduga mengandung hidrokarbon.


58

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1

Hasil Analisis Litodinamik

Peta aliran litodinamik digunakan sebagai dasar analisa prospek minyak dan gas bumi wilayah Blok Lampung. Tahapan pertama adalah membuat peta relief plastisitas untuk menunjukkan aliran-aliran litodinamik. Peta relief plastisitas dibuat menggunakan peta topografi skala 1:200.000. Hasil peta relief plastisitas ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 6. Peta relief plastisitas wilayah Blok Lampung 1:200.000. Aliran litodinamik ditunjukkan dalam warna jingga.

Aliran litodinamik pada Gambar 7 ditunjukkan dengan tanda panah biru, adalah contoh beberapa aliran litodinamik utama pada wilayah Blok Lampung. Awal dari aliran ini berujung pada daerah berpoligon biru, dimana menjadi daerah dugaan terakumulasinya hidrokarbon.Berdasarkan data anomali gaya yang dilakukan oleh LAPI ITB tahun 2007, memperlihatkan adanya cekungan sedimen yang ditunjukkan dengan adanya tinggian dan rendahan di Blok Lampung. Warna jingga menunjukkan tinggian dan warna hijau menunjukkan rendahan.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

59

Gambar 7. Pembanding peta rekonstruksi paleo (kiri) (Wulyadi dkk., 2010) dan peta anomali gaya berat (kanan) Blok Lampung (PT LAPI ITB, 2007 dalam Wulyadi dkk., 2010)

Pada peta anomali gaya berat, zona A merupakan daerah tinggian, dan jika dibandingkan dengan peta rekonstruksi paleo, zona A juga merupakan daerah yang diduga tempat terakumulasinya hidrokarbon. Zona B dan zona C juga menunjukkan daerah tinggian pada peta anomali gaya berat. Pada peta rekonstruksi paleo, zona B dan C memperlihatkan cabang-cabang yang berkumpul sehingga diduga daerah tersebut mengandung hidrokarbon. 3.2

Hasil Analisis Struktur Geodinamik

Metode analisis struktur geodinamik menjelaskan terjadinya dislokasi tektonik di wilayah bagian timur Blok Lampung yang mencakup beberapa potensi struktur. Setiap struktur dimungkinkan mempunyai potensi terdapatnya sumber daya minyak dan gas. Dengan menggunakan prosedur yang disebutkan di Bab 2 dihasilkan daerah-daerah potensi berjarak kurang lebih 10 km dari episenter. Penentuan episenter ini dihasilkan dari analisis geodinamik. Gambar 9 menunjukkan hasil lintasan batas daerah-daerah berpotensi.


60

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 8. Batas daerah berpotensi mengandung hidrokarbon terletak pada bagian timur Blok Lampung

3.3

Hasil Analisis Spektrometri

Pada tahapan ini, dibuat peta-peta tematik setelah citra satelit yang digunakan telah dilakukan pre-processing. Peta-peta tematik dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ScanEx NeRIS dimana dipilih channel yang paling sesuai untuk mencari geoinformation anomalies. Gambar 10 menunjukkan beberapa citra hasil kombinasi band untuk diinterpretasi hasil akhirnya.

(a) Kombinasi channel 70/40/10


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(b) Kombinasi channel 30/20/10

(c) Kombinasi channel 62/70/50

(d) Kombinasi band near-infrared, middle-infrared, dan cahaya tampak Gambar 9. Citra hasil kombinasi channel (a, b,c,d)

61


62

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 10 menunjukkan beberapa hasil kombinasi channel pada citra dengan tujuan untuk menonjolkan fitur-fitur geologi menggunakan spectral libraries khusus. Beberapa objek yang dapat teridentifikasi adalah vegetasi, tubuh air, pemukiman, dan lahan kosong. Sebagai hasil dari proses matematika terhadap citra satelit, didalam batasan analisa spektral, potensial anomali diungkapkan dan terhubung dengan lokasi hidrokarbon seperti Gambar 11 (a). Semua kemungkinan daerah yang mengandung hidrokarbon diberikan penomoran dari nomor 1 sampai 18.

Gambar 10. Identifikasi struktur berdasarkan analisis spektrometri (kiri), kemungkinan sumber hidrokarbon (kanan)

3.4

Hasil Analisis Strukturometri

Pada tahap ini, pencarian dan pemetaan dilakukan pada geoinformation anomalies yang disebabkan oleh penimbunan fluida pada lapisan bumi, dan menggunakan data yang diperoleh pada tahapan sebelumnya sebagai referensi. Gambar 3.9 menunjukkan daerah Blok Lampung dengan garis-garis prediksi skema tekanan regional. Pencarian minyak dan gas bumi dilakukan pada zona yang aktif secara tektonik.

Gambar 11. Prediksi skema tekanan regional pada Blok Lampung


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

63

Arah tekanan ini dicurigai sebagai zona patahan tektonik dimana menguntungkan untuk migrasi hidrokarbon. Garis-garis yang tergambarkan sebagai arah tekanan tektonik wilayah Blok Lampung menghasilkan prediksi zona yang memiliki prospek hidrokarbon terbesar. Zona 3, daerah ini dilewati oleh dua patahan tektonik first priority yang saling bedekatan dan beberapa patahan tektonik second dan third priority. Zona 4 dilewati oleh banyak patahan tektonik second dan third priority tetapi juga bersinggungan dengan patahan tektonik first priority. Jika disimpulkan, Zona 3 memiliki tingkat probabilitas daerah berprospek hidrokarbon paling tinggi. 3.5 Hasil Kombinasi Analisis STeP Daerah paling berprospek mengandung hidrokarbon pada Blok Lampung adalah Zona 3 (Gambar 13). Zona ini diidentifikasi memiliki hasil yang positif berdasarkan hasil dari tiga metodologi yang digunakan yang menyatakan terdapat kemungkinan kolam hidrokarbon di wilayah tersebut. Sedangkan rekomendasi profil seismik untuk Zona 3 di Blok Lampung ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 12. Kombinasi hasil analisis STeP

Gambar 13. Rekomendasi profil Seismik area 3 di Blok Lampung


64

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil dari proses analisis litodinamik, struktur geodinamik, spektrometri, dan strukturometrik menunjukkan adanya beberapa anomali dan potensi daerah berprospek hidrokarbon. Ada empat wilayah potensial dimana fitur struktur geologinya membuat penelitian ini akan memberikan hasil yang baik. Satu diantaranya dapat dipertimbangkan sebagai wilayah penelitian seismik (selanjutnya). Metode analisis lithodinamik memunculkan potensi anomali bentang alam yang terhubung dengan potensi endogen minyak dan gas dalam konteks struktur. Metode analisis struktur geodinamik mengungkap wilayah yang mengalami perpindahan di bagian timur dari wilayah Blok Lampung termasuk beberapa potensi struktur. Setiap struktur dapat menampakkan minyak atau gas. Sedangkan metode analisis spektrometer di wilayah Blok Lampung mengungkap 18 potensial fitur geologi yang berhubungan dengan kemungkinan adanya ladang hidrokarbon. Dan metode analisis strukturometrik mengikuti bangunan skema bidang patahan tektonik, mengidentifikasi di antara empat wilayah yang paling berprospek untuk kegiatan survei lapangan. Hasil ini menunjukkan STeP memiliki keunggulan dalam mempersempit wilayah yang diduga mengandung minyak, artinya jika dilakukan survei seismik terhadap wilayah tersebut, maka biaya yang dikeluarkan akan menurun. DAFTAR REFERENSI De Coster, G. L. 1974. The Geology of the Central and South Sumatra Basin, Proceedings 3rdAnnual Convention IPA, Juni 1974, Jakarta. Grossneft Technology. 2009. Complex of Wave Technologies: Search for New Fields, Increasing Oild Production, Well Drilling Cost Reduction, Moskow. Hou, B., Mauger, A. 2005. How Well does Remote Sensing Aid Paleochannel Identification – an example from the Harris Greenstone Belt, Mathematics in Engineering, Science and Aerospace (MESA) Journal 38. Le Moigne, J., Cromp, R. F. 1999. The Measurement, Instrumentation, and Sensors :Satellite Imaging and Sensing, CRC Press LLC, Florida Li, Z., Wan, L., Liu, J., dkk. 2014. Geodynamic Characteristics and Their Effect on the Petroleum Geology Conditions for Passive Rift Basin in Central-Western African Region. Search and Discovery Article #10644 NOAA - AVHRR, http://noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html (diakses pada 1 Agustus 2017). USGS EROS. 2012. Landsat-A Global Land-Imaging Mission, https://pubs.usgs.gov/fs/2012/3072/fs2012-3072.pdf (diakses pada 1 Agustus 2017) van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff. The Haque, Netherland. Wulyadi, Hasanuddin, W., Chaniago, I. 2010. Laporan Tahap Akhir:Studi Terrain Propecting area Lampung dengan Teknologi Penginderaan dan Integrasi Data Lapangan, PT. Wahana Petranusa, Jakarta.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

65

BIOGRAFI PENULIS Farah Nafisa Ariadji Farah Nafisa Ariadji lahir di College Station, USA pada 11 Juli 1995. Ketertarikan penulis pada bidang penginderaan jauh membawa penulis menjadi asisten mata kuliah Penginderaan Jauh masa kuliah 2016-2017. Penelitian tugas akhir penulis berjudul “Analisis Hasil Metode Pencarian Potensi Minyak Bumi dengan Teknologi STeP (Sub-Terrain Prospecting) Studi Kasus: Blok Lampung�. Saat ini penulis masih menyelesaikan pendidikan tahap sarjana di Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng. Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND). Prof. Dr. Ir. Tutuka Ariadji, M.Sc. Tutuka Ariadji lahir di Solo, 26 Agustus 1964. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung tahun 1988, beliau memulai karirnya sebagai asisten dosen di Teknik Perminyakan ITB. Pada tahun 1990, beliau melanjutkan studi master dan doktoral di Texas A&M University, USA dan selesai pada tahun 1996. Saat ini beliau aktif sebagai dosen di Teknik Perminyakan ITB khususnya pada bidang Teknik Pemboran, Produksi, dan Manajemen Minyak dan Gas.


66

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article Peranan Teknologi Penginderaan Jauh Pada Kegiatan Minyak dan Gas Bumi Tri Muji Susantoro1,2* dan Ketut Wikantika1,3,4 1 Center for Remote Sensing (CRS), Institut Teknologi Bandung (ITB) 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS� 3 Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB) 4 ForMIND Institute (Indonesian Young Researcher Forum) *) E-mail: trimuji_s@yahoo.com

Abstrak Penginderaan jauh berkembang pesat sejak tahun 1972 dengan diluncurkannya satelit Landsat. Aplikasi penginderaan jauh untuk kegiatan migas mulai saat itu juga berkembang dengan pesat. Secara umum penginderaan jauh terbukti berperan mulai dari tahap awal eksplorasi sampai kegiatan produksi dan monitoringnya. Paper ini membahas mengenai pemanfaatan penginderaan jauh untuk kegiatan pemetaan geologi dan rembesan migas dalam rangka eksplorasi migas. Pemanfaatan lain dari penginderaan jauh dapat digunakan untuk penilaian cekungan, pemetaan awal target eksplorasi, rona awal lingkungan sebelum kegiatan eksplorasi migas, identifikasi potensi jebakan migas, logistic support, perencanaan jalur pipa, monitoring lingkungan dan deformasi lapangan migas. Kata Kunci: Penginderaan Jauh, Minyak dan Gas Bumi, Satelit, Eksplorasi, Eksploitasi, Enhanced Oil Recovery, Deformasi

Abstract Remote sensing is growing rapidly since 1972 with the launch of Landsat satellite. The application of remote sensing for oil and gas activities began at that time also growing rapidly. Generally, remote sensing are evident from early stage to production and monitoring of oil and gas activities. This paper discusses the use of remote sensing for geological and seepage mapping within the framework of oil and gas exploration. Remote sensing also can be used for basin reconnaissance, preliminary mapping of exploration targets, environmental baseline assessment prior to oil and gas exploration activities, the possibility of oil and gas traps, logistical support, pipeline planning, environmental monitoring and oil and gas field deformation. Keywords: Remote Sensing, Oil and Gas, Satellite, Exploration, Exploitation, Enhanced Oil Recovery, Deformation


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

67

1. PENDAHULUAN Istilah “Remote Sensing atau Penginderaan Jauh� dikenalkan oleh Evelyn Pruitt pada tahun 1950 dari US Office of Naval Research. Penginderaan jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu atau seni untuk mengidentifikasi, mengamati dan mengukur suatu obyek tanpa kontak langsung dengan obyek tersebut. Proses yang terjadi di dalamnya termasuk deteksi dan pengukuran dari radiasi panjang gelombang yang berbeda yang dipantulkan atau dipancarkan dari suatu obyek atau material tertentu, yang dengannya memungkinkan untuk diidentifikasi dan dikategorikan dalam kelas/tipe, bahan yang ada dan distribusi spasialnya (Mauger, 2014). Sejak awal tahun 1960an sejumlah satelit beserta sensosrnya telah diluncurkan pada orbitnya untuk mengamati dan memonitor bumi dan lingkungannya. Awalnya sensor satelit ini digunakan untuk tujuan meteorologi. Satelit Landsat merupakan satelit sumber daya bumi yang pertama kali diluncurkan pada bulan Juli 1972 dengan tujuan utama untuk pemetaan dan monitoring tutupan lahan. Sampai tahun 1999 belasan sensor satelit telah diluncurkan dari berbagai tipe untuk menyediakan data penting dalam meningkatkan pengetahuan di bidang atmosfer, kelautan, es dan salju serta daratan (Levin, 1999). Perkembangan sensor satelit baik sistem pasif seperti Landsat dan SPOT serta generasinya, ASTER, IKONOS, ALOS, Quickbird, Worldview, Orbview maupun sistem aktif seperti Radarsat, Jers, PALSAR, Sentinel dan yang lainnya mulai berkembang pesat setelah itu. Sejak Landsat diluncurkan kemudian diikuti dengan SPOT, JERS-1 serta yang lainnya penginderaan jauh mulai berkontribusi dalam bidang eksplorasi migas. Awalnya aplikasi penginderaan jauh untuk minyak dan gas bumi (migas) bertujuan untuk aplikasi geologi (Rivereau dan Fontanel, 1976; Maruyama, 1994; Halbouty, 1980 dalam Meer dkk., 2002). Lasica (2015) dan Lehman (2014) memanfaatkan aplikasi penginderaan jauh telah digunakan untuk kegiatan migas dalam 30 -40 dekade terakhir. Namun belum dilakukan secara luas untuk analisis bawah permukaan. Di Indonesia penginderaan jauh untk eksplorasi migas pertama kali digunakan pada tahun 1935 untuk pemetaan geologi dengan foto udara di Irian Jaya (Sudrajat, 1990). Tahun 1972 dilakukan kajian interpretasi geologi dengan Landsat di Rembang untuk mengidentifikasi Tinggian Pati, Antiklinorum Rembang dan Zona Kendeng dengan citra komposit 754 RGB (Rivereau dan Fontanel, 1976). Perkembangan pemanfaatan data penginderaan jauh baik sistem pasif maupun sistem aktif untuk kegiatan migas selanjutnya dilakukan untuk semua fase kegiatan migas mulai dari penilaian cekungan (Suliantara dkk., 2010; Manning 2017), pemetaan awal target eksplorasi (Susantoro dan Suliantara, 2014), pemetaan rembesan alamiah dalam rangka eksplorasi migas (Saunders dkk., 1999; Yang dkk., 2000; Meer dkk., 2002; NASA, 2011; Abdulraziq, 2012; Joshua, 2015), rona awal lingkungan sebelum kegiatan eksplorasi migas (Susantoro dkk., 2016), identifikasi potensi jebakan dengan pendekatan anomali topografi (Crystiana dkk., 2014; Crystiana dkk., 2015), analisis spektral mudvolcano (Susantoro dkk., 2016), logistic support dalam mendukung rencana seismik 3D (Susantoro dkk., 2005), perencanaan jalur pipa (Susantoro dan Suliantara, 2010), monitoring lingkungan akibat kegiatan migas


68

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

seperti tragedi lumpur sidoarjo (Susantoro dan Febriono, 2011; Febriono dkk., 2010), deformasi lapangan migas (Staples dkk., 2013: Deguchi dan Narita, 2015), monitoring Enhanced Oil Recovery (EOR) ( Ji dkk., 2016), Tumpahan minyak (Susantoro dkk., 2010) dan permasalahan sosial pada pengembangan lapangan migas (Crystiana dan Susantoro, 2013). Mengingat pentingnya penggunaan data penginderaan jauh pada kegiatan migas di Indonesia dikeluarkan regulasi berupa Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1519 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengawasan dan Pemantauan Kegiatan Pertambangan dan Energi. Khusus untuk kegiatan rona awal lingkungan pada kegiatan migas di Indonesia dibuat Pedoman Tata Kerja Nomor PTK045/BP00000/2011 (Revisi-0) tentang Environmental Baseline Assessment (EBA) yang mengharuskan memanfaatkan data penginderaan jauh untuk pemetaan penutup lahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun tujuan utama dari makalah ini untuk membahas secara komprehensif peranan penginderaan jauh dalam mendukung kegiatan migas. 2. SIKLUS KEGIATAN MIGAS Adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengatur kegiatan hulu migas dan gas metana batubara, dimana kegiatan migas merupakan usaha untuk mengambil migas melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi merupakan kegiatan pencarian migas untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi dalam rangka menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Sedangkan eksploitasi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Kegiatan eksploitasi dilakukan mulai dari pengeboran, penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian migas di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. Secara umum langkah-langkah dalam kegiatan migas ada tujuh tahap utama. Adapun langkah-langkah tersebut meliputi pencarian, penyewaan lahan atau kebutuhan akses, operasi pemboran, pengembangan dan produksi, transportasi, pengolahan dan pengilangan serta pemasaran. Tiga tahap pertama disebut juga tahap eksplorasi, sedangkan empat tahap terakhir disebut tahap produksi atau ekstraksi (Taylor, 2004). Di Indonesia secara khusus untuk kegiatan migas ada 3 alur utama, yaitu resources, reserves dan production (Gambar 1). Kegiatan eksplorasi secara umum akan menghasilkan resources. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan survei geologi dan geofisika, pemboran eksplorasi dan studi geologi dan geofisika. Kegiatan yang menghasilkan reserves merupakan kegiatan transisi antara eksplorasi dan produksi. Pada kegiatan ini dilakukan pemboran sumur deliniasi untuk memperhitung cadangan migas, sertifikasi cadangan, penyusunan Plan of Development (PoD). Kegiatan produksi merupakan kegiatan pengangkatan migas di bawah permukaan bumi untuk diproduksikan secara komersial (SKK Migas, 2013).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

69

Gambar 1. Alur pikir kegiatan migas (SKK Migas, 2013)

Pada eksplorasi migas ada tiga metode utama yang biasa digunakan/ ketiga metode tersebut saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Adapun metode tersebut meliputi penginderaan jauh, geofisika dan pemboran wildcat. Teknologi penginderaan jauh pada eksplorasi migas dapat dilakukan di onshore dan offshore. Metode ini pendekatan pendekatan interpretasi litologi dan struktur telah dapat menemukan migas di Makran, Kirthar dan Sulaiman. Adapun di offshore metode penginderaan jauh untuk eksplorasi migas dapat dilakukan melalui deteksi rembesan minyak (oil seeps) dengan satelit radar (Williams, 2000). 2.1 Tahapan Kegiatan Migas di Indonesia Di Indonesia detil kegiatan migas terdiri dari studi geologi regional, evaluasi geologi, konsesi area, survei geologi dan geofisika, analisis/evaluasi lead dan prospek, pemboran sumur eksplorasi dan analisisnya, analisis kelayakan dan keekonomian, pemboran sumur pengembangan, pembangunan fasilitas dan infrastruktur dan produksi hidrokarbon serta peningkatan rasio pengambilan migas melalui Enhanced Oil Recovery (EOR) dan terakhir penutupan lapangan melalui reklamasi/ decommisioning atau dialihkan untuk pemanfaatan lainnya. Tahap awal untuk mendapatkan wilayah kerja migas baru di Indonesia dilakukan melalui studi geologi regional. Kajian penginderaan jauh, geologi dan geofisika dilakukan untuk mengidentifikasi potensi adanya migas. pada kajian ini diharapkan dapat mengidentifikasi potensi batuan sumber (sources rock), kematangan batuan, migrasi migas, batuan reservoir dan tudung (seal). Adanya Seepages memperkuat indikasi telah terbentuknya migas di wilayah yang dikaji. Potensi migas ditunjukkan dengan adanya reservoir batu pasir atau batugamping, adanya batuan induk yang berupa shale dan serpih yang diperkirakan sudah matang, adanya model-model perangkap dan tudung (seal) serta diperkirakan migrasi sudah berjalan. Pengambilan wilayah kerja secara kelembagaan dilakukan melalui kontrak dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.


70

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Survei dan kajian geologi dan geofisika dilakukan untuk menentukan target eksplorasi. Pemetaan lead dan prospek dilakukan untuk memperkirakan volume inplace resources. Keyakinan geologi (Geological Chance Factor/GCF) dilakukan untuk membuat ranking target pemboran. Penginderaan jauh pada tahap ini berperan untuk pemetaan rembesan, perencanaan survei lapangan dan pemetaan geologi. Pemboran eksplorasi (wildcat) biasanya dilakukan pada prospek volumenya dan GCF besar . Pada rencana pemboran penginderaan jauh berperan untuk memetakan rute dalam mobilisasi alat berat ke lokasi pemboran. Apabila ditemukan migas yang mengalir, bukan hanya indikasi (shows) maka dilakukan pemboran delineasi untuk menghitung total cadangan (reserves). Analisis keekonomian dan kelayakan hasil pemboran diperlukan untuk dapat diproduksikan atau dikenal dengan istilah Plan of Development (PoD). PoD merupakan rencana pengembangan satu atau lebih lapangan migas secara integrasi dalam rangka memproduksikan cadangan hidrokarbon yang optimal dengan mempertimbangkan keteknikan, keekonomian dan aspek Health, Safety and Environment (HSE) (Wahyono, 2003). PoD untuk lapangan pertama di suatu wilayah migas harus mendapat persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Undang-Undang No 22 tahun 2001, pasal 21). Pemboran sumur pengembangan, fasilitas dan infrastruktur merupakan hal mutlak yang dilakukan dalam pengembangan lapangan. Perencanaan kegiatan tersebut tercantum dalam PoD. Kegiatan ini terdiri dari pembangunan fasilitas produksi baik di onshore maupun offshore. Fasilitas tersebut berupa pembangunan jalur pipa, tempat penyimpanan hidrokarbon, fasilitas pembuangan, jalan untuk mobilisasi personnil dan peralatan dan fasilitas pendukung lainnya. Pada awal produksi, energi untuk mengangkat hidrokarbon terpenuhi secara alamiah dari bawah permukaan bumi, misalnya karena tekanan yang tinggi (primary production). Energi di dalam bumi secara alamiah akan mengalami penurunan sehingga diperlukan energi lain untuk mengangkat hidrokarbon. Biasanya pada kondisi ini dilakukan injeksi dengan fluida, gas alam atau air. Proses ini dilakukan untuk memelihara tekanan dari reservoir (secondary recovery process). Tertiary recovery processes diperlukan apabila proses kedua tidak berjalan efektif dengan mempertimbangkan kondisi reservoirnya. Proses ketiga ini disebut Enhanced Oil Recovery (EOR). EOR dapat dilakukan dengan empat kategori, yaitu miscible flooding processes dengan miscible displacement termasuk didalamnya single contact dan multiple contact miscible processes; chemical flooding processes dengan polimer, micellar polimer atau alkaline flooding; thermal processes dengan air panas, steam dan pembakaran in situ; dan microbial processes menggunakan mikroorganisme (Terry, 2001). Akibat eksploitasi migas dan EOR dapat terjadi deformasi permukaan lapangan migas. deformasi tersebut dapat dilakukan pemantauan dengan penginderaan jauh. Estimasi deformasi ini dilakukan berdasarkan citra penginderaan jauh gelombang mikro yang berpasangan (Francescheti dan Lanari, 1999). Adapun setelah masa eksploitasi/produksi berakhir dilakukan penutupan lapangan dan reklamasi. Reklamasi diperlukan untuk mengembalikan kondisi habitat dan ekosistemnya. Reklamasi merupakan suatu tindakan usaha untuk mendatangkan manfaat dengan pembaharuan atau pemulihan lahan atau air yang diakibatkan dari eksplorasi atau pengembangan mineral, pertambangan atau tempat operasi pengolahan dan pembuangan sampah dengan jalan mencegah atau mengontrol kerusakan lingkungan secara


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

71

in situ dan eks situ (Andersen dkk., 2009). Pemanfaatan penginderaan jauh pada reklamasi migas digunakan untuk memetakan kondisi awal sebelum adanya kegiatan eksplorasi, kondisi vegetasi pada saat reklamasi dan perubahan temporalnya. Adapun tahap kegiatan migas secara detil dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia (dimodifikasi dari Maruyama, 1994).


72

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3. PEMETAAN GEOLOGI Pemahaman geologi sangat penting untuk pembangunan wilayah agar lebih terencana dan berhasil (Susantoro, 2009). Pada kegiatan migas pemetaan geologi permukaan menjadi langkah awal dalam kegiatan eksplorasi. Perkembangan penginderaan jauh secara menerus dari tahun 1970an mulai dari Landsat MSS, TM, SPOT dan sistem radar telah digunakan untuk memetakan geologi dan identifikasi prospek migas. Khusus citra radar dan SAR telah dapat digunakan untuk menajamkan ekspresi bawah permukaan bumi. secara umum aplikasi penginderaan jauh menjadi kunci sukses dalam eksplorasi hidrokarbon dengan integrasi data lainnya seperti seismik, sumur, graviti dan magnetik (Yang dkk., 2000). Pada proses pemetaan geologi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dapat dilakukan melalui interpretasi secara visual maupun digital. 3.1 Interpretasi Geologi secara Visual Interpretasi geologi secara visual dengan foto udara atau citra penginderaan jauh secara umum ada 4 tahapan, yaitu 1) deteksi kenampakan obyek pada citra berdasarkan resolusi spasial, pola pantulan dan emisi panjang gelombang yang digunakan; (2) pengenalan dan identifikasi obyek, dimana kenampakan yang diamati diidentifikasi dan dikelaskan sebagai kategori yang diketahui; (3) proses interpretasi sebagai analisis berdasarkan pola yang dibentuk pada kenampakan obyek. Pada tahap ini citra hasil analisis didelineasi berdasarkan karakteristik tertentu yang tampak secara individual. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan kategori yang diketahui; (4) proses akhir interpretasi untuk memastikan dan mengidentifikasi semua area dengan klas-klas. Pada banyak kasus metode induksi dan deduksi dilibatkan pada hasil final dan pada tahap ini cek lapangan harus dilakukan (Verstappen, 1978). Interpretasi geologi secara manual/visual teknisnya ada dua tahap. Pertama dilakukan interpretasi batas perlapisan (bedding) yang jelas dan tegas. Tujuannya agar saat melakukan penarikan garis batas perlapisan batuan tidak terjadi kekacauan arah batas. Hasilnya didetilkan dengan penarikan garis putus-putus pada bedding yang tidak jelas dengan arah trend geologi mengikuti bedding yang telah ditarik pertama. Garis putus – putus bedding menunjukkan bahwa bedding yang ditentukan masih diperkirakan sekaligus untuk menandai perbedaan satuan unit. Interpretasi struktur pada tahap ini berupa penarikan kelurusan kelurusan yang ada. Biasanya untuk kekar, kelurusan yang ada relatif pendek, sedangkan untuk sesar relatif panjang. Tahap kedua merupakan tahap interpretasi analisis, yaitu untuk studi batuan dan studi struktural (Setiawan, 2004). 3.2 Pengolahan Data Penginderaan Jauh pada Interpretasi Geologi Pengolahan data penginderaan jauh untuk menajamkan kenampakan geologi dapat dilakukan dengan metode komposit warna (Red Green Blue=RGB), Optimum Index Factor (OIF), Principle Component Analysis (PCA), model topografi, tumpangsusun data penginderaan jauh aktif dan pasif, penisbahan saluran (band ratio) dan filtering untuk menajamkan batas tepi dan kelurusan (lineament). Prinsip dasar pengolahan dan analisis data penginderaan jauh dilakukan untuk menajamkan kenampakan suatu bentuk secara lebih jelas, penyajian grafis atau analisis kuantitatif dan penggunaan karakteristik warna atau tone dalam rangka membuat variabel dari peta topografi dan atau mengekstrak banyak informasi


73

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 dari citra penginderaan jauh (Bjornerud dan Boyer, 1996).

Pengolahan data penginderaan jauh dengan citra komposit warna 457 RGB dan PCA dapat dilakukan untuk menghasilkan peta bentuklahan, litologi dan struktur geologi untuk pencarian awal jebakan migasi (Franto, 2003). Pemetaan geologi dengan metode OIF pada Landsat TM untuk menghasilkan komposit warna 457 RGB dan filter undirectional dan directional dapat dilakukan untuk mempertegas kelurusan dan satuan batuan (Setianto, 2003). Aplikasi penginderaan jauh untuk pemetaan geologi dapat dilakukan dengan kombinasi data penginderan jauh sistem aktif dan pasif (Havid, 1998), Pengolahan data Digital Elevation Model (DEM) dapat dilakukan dengan teknik shaded relief jika tidak tersedia data penginderaan jauh (Sarapirome dkk., 2002), pengolahan DEM dari data penginderaan jauh untuk analisis geomorfologi (Kamp dkk., 2003) atau ekstraksi secara otomatis dengan klasifikasi berbasis obyek dari data penginderaan jauh sistem aktif (Gloaguen dkk., 2007). Pengolahan PCA untuk pemetaan geologi bertujuan untuk meningkatkan sebaran data melalui pendistribusian kembali dengan setting yang lain pada multidimensi ruang dengan memaksimalkan pemisahan perbedaan pada data (Drury, 1987). Adapun hasil pada Landsat TM menunjukkan citra PC pertama merupakan 97% variasi dari enam saluran (3 saluran tampak dan 2 saluran inframerah) dengan didominasi oleh topografi, sedangkan Citra PC kedua didominasi oleh perbedaan albedo yang berkorelasi antar saluran (Sabin, 1987). Citra pertama mempunyai kontras yang besar dan kualitasnya tinggi sehingga baik untuk penajaman tepi dan interpretasi struktur (Drury, 1987). Adapun citra PC ketiga secara umum merupakan gambaran perbedaan kelas vegetasi (Short, 2008). Penisbahan saluran (band ratio) merupakan salah satu metode yang sering digunakan pada pemetaan geologi. Metode ini dilakukan dengan kombinasi antar saluran melalui perbandingan untuk menghasilkan nilai digital yang baru (Drury, 1987). Secara khusus metode ini digunakan untuk mengekspresikan informasi tertentu. Beberapa perbandingan yang sering digunakan seperti pada Landsat TM perbandingan saluran 3 dan saluran 1 menajamkan oksida besi (Ouattara dkk., 2004); perbandingan saluran 5 dengan saluran 7 untuk menajamkan mineral lempung (Sabin 1987). Penggunaan band ratio dapat dikombinasikan dengan komposit warna, seperti band ratio 3/1, 5/7 dan 3/5 (RGB) pada Landsat TM lebih mengekspresikan informasi geologi dan mempunyak kontras yang besar diantara unit batuan dibandingkan dengan citra komposit konvensional maupun OIF (Sabin, 1987). Adapun logaritma yang sering digunakan pada pemetaan geologi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Algoritma yang Sering Digunakan dalam Pemetaan Geologi dan Mineral pada ASTER 1

Ferric (Fe3+)

Ion

2

Ferrous Iron (Fe2+)

đ??ľ2 đ??ľ1 đ??ľ5 đ??ľ1 + đ??ľ3 đ??ľ2

Rowan & Mars, 2003 Hewson dkk., 2001, 2004


74

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 3

Ferric Oxides

4

Amphibole

5

Dolomite

6

Carbonate

7

Kaolinite

8

Clay

9

Alteration

10

Host Rock

11

Quartz-rich rocks

12

Silica

đ??ľ4 đ??ľ3 đ??ľ6 đ??ľ8 đ??ľ6 + đ??ľ8 đ??ľ7 đ??ľ13 đ??ľ14 đ??ľ7 đ??ľ5 đ??ľ5đ?‘Ľđ??ľ7 đ??ľ6đ?‘Ľđ??ľ6 đ??ľ4 đ??ľ5 đ??ľ5 đ??ľ6 đ??ľ14 đ??ľ2 đ??ľ11 đ?‘Ľ đ??ľ11 đ??ľ10/đ??ľ12 đ??ľ11 đ??ľ10

atau

đ??ľ11 đ??ľ12

Hewson dkk., 2001, 2004 Bierwith, 2002 Ninomiya, 2002 Hewson dkk., 2001, 2004 Hewson dkk., 2001, 2004 Bierwith, 2002 Volesky dkk., 2003 Volesky dkk., 2003 Rowan & Mars, 2003 Bierwith, 2002

atau

đ??ľ13 đ??ľ10

Hewson dkk., 2001, 2004

Tabel 2. Indeks-Indeks yang Sering Digunakan dalam Pemetaan Geologi dan Mineral pada Landsat No

Indeks

Band/Ratio

1

Indeks Mineral Lempung (SRCI/Simple Ratio Clay Index)

2

Normalized Difference Clay Index (NDCI)

đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… đ??ź đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… 2 đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… đ??ź − đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… 2 đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… 1 + đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… 2

3

Indeks Oksida Besi

4

Indeks Mineral Ferrous

đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ đ?‘†đ?‘Šđ??źđ?‘… đ??ź đ?‘ đ??źđ?‘…

Referensi Drury, 1987, Sabins, 1987

Drury, 1987 Drury, 1987

Penggunaan data ASTER semakin memungkinkan untuk mengenali komposisi mineral secara spesifik (Everett dkk., 2002). Pemanfaatan data Hyperspektral untuk pemetaan geologi dapat lebih detil untuk memetakan material di permukaan dan sang penting untuk eksplorasi mineral atau alterasi batuan. Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan contoh-contoh interpretasi geologi dari berbagai citra penginderaan jauh. Akuisisi dan pengolahan data


75

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

penginderaan jauh untuk eksplorasi migas akan mengurangi resiko eksplorasi dan mengurangi biaya (Satellite Imaging Corporation, 2016).

a.

d.

Landsat TM 123 (normal b. color image)

Citra TM Band Ratio 5/7, Warna Merah Kaya akan Alunite dan Clay

e.

Peta Geologi

c.

Citra TM Band Ratio 5/7

Citra TM Band Ratio 3/1, Warna Merah Berkorelasi dengan Batuan Alterasi

f.

Citra Hyperspektral; Biru= Illite, Hijau= Alunite, Merah= Kaolinite, Kaolinite + Alunite= Kuning dan Kaolinite + Illite= Hijau

Gambar 3. Contoh Pemetaan Geologi/Mineral di Goldfield, Nevada dengan Landsat dan Hyperspektral (Sabins, 1999)


76

a.

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Komposit Warna PCA Landsat TM: PC3,PC2, PC1 RGB

b.

Komposit Warna PCA Quickbird: PC3,PC2, PC1 RGB

c. Peta Geologi Hasil klasifikasi dengan metode Spectral Angle Mapper (SAM) dari 8 endmember pada Landsat TM

d.

Peta Geologi Hasil klasifikasi dengan metode Spectral Angle Mapper (SAM) dari 8 endmember pada Quickbird

Gambar 4. Perbandingan Pemetaan Geologi Menggunakan Landsat TM dan Quickbird, dimana Landsat TM Menghasilkan Peta Geologi yang lebih Baik daripada Quickbird (Girouard dkk., 2017)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

77

4. Eksplorasi Migas Melalui Anomali Permukaan Eksplorasi migas pada tahap awal dilakukan melalui pencarian fenomena di permukaan bumi yang mengindikasikan adanya sumberdaya migas. Pemetaan ini merupakan reconnaissance dengan mencari indikasi adanya migas yang berupa rembesan, potensi batuan resevoar, batuan tudung dan batuan induk. Teknologi penginderaan jauh efektif untuik mengkaji fenomena –fenomena permukaan yang mendukung kegiatan eksplorasi tersebut. 4.1 Anomali Kondisi Tanah dan Mineral Fenomena permukaan yang terjadi sebagai akibat adanya migas di bawahnya berupa peningkatan mineral lempung, peningkatan ferrous dan penurunan ferric (iron ion), peningkatan carbon di tepi lapangan (delta carbon), radiometric, geobotany, soil gas dan geomorphic high (Yang, 1999; Saunders dkk., 1999). Pada jangka panjang adanya rembesan hidrokarbon menyebabkan anomali sehingga terjadi perubahan mineral dan kimia di permukaan tanah. Bakteri mengoksidasi hidrokarbon yang mempengaruhi pH disekitarnya. Hal ini akan mengubah kandungan mineral lempung, oksida besi dan sulfida besi (Schumacher, 1996). Pemetaan mineral lempung dapat dilakukan menggunakan data ASTER, Landsat ataupun hiperspektral. indeks mineral lempung pada citra penginderaan jauh ASTER, Adapun formula yang dapat digunakan dengan perbandingan (B4/B5)(B8/B6) untuk kaolinit, (B7/B5)(B7/B8) untuk alunit dan (B6/B8)(B9/B8) untuk kalsit (Ninomiya, 2003; Gabr dkk., 2010).

Gambar 5. Hubungan adanya migas dengan kondisi permukaan (Yang Hong, 1999)

ASTER dapat mengidentifikasi oksida besi secara kualitatif dengan perbandingan B2/B1 sehingga dapat diidentifikasi zona oksida besi (Rowan dan Mars, 2003). Hidrokarbon dapat mereduksi kondisi lingkungan dengan mentransformasi ion sulfat menjadi ion sulfida yang


78

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

mengakibatkan pengurangan hematit menjadi pirit. Atom hidrogen yang dilepaskan dari reaksi ini akan bereaksi dengan feldspars yang ada mengakibatkan presipitasi kaolinit. Kondisi ini mendukung reaksi antara ion bikarbonat dan ion Ca yang menyebabkan pengendapan kalsit pada pori-pori yang terbuka setelah pengurangan dan pengangkatan hematit (Petrovic dkk., 2012). Adapun pantulan oksida besi dan mineral lempung dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Profil pantulan pada gelombang tampak dan IR pada tanah yang berasosiasi dengan material besi dan lempung (Soe dkk., 2005).

Perbandingan panjang gelombang 0,63 -0,69 Îźm dengan 0,45 -0,52 Îźm pada landsat 7 dapat memberikan gambaran kualitatif zona perubahan hematitic (Ouattara dkk., 2004). Di tanah, karbondioksida yang berbentuk asam karbonat dapat bereaksi dengan mineral lempung dan membentuk pengendapan kalsium karbonat sekunder dan silifikasi. Pada kondisi asam dihasilkan oksidasi hidrokarbon oleh mikroba, pelapukan secara diagenesa dari feldspar menjadi lempung, pencucian pottasium dan elemen radioaktif dari lempung dan konversi smektit ke karbonat besi yang dikenal dengan istilah “delta Câ€?. Kondisi delta C pada struktur migas menunjukkan tinggi di tepi akumulasi migas (Salati, 2014). Reaksi antara hidrogen sulfida dan oksida besi dapat menghasilkan anomali magnetite, maghemite, pyrhotite dan greigite di lapangan migas. Namun demikian anomali tersebut terkadang kontroversi, karena peningkatan rasio magnetik di tanah dapat berhubungan dengan curah hujan dan iklim (Liu dkk., 1994; Maher dan Thompson, 1992). 4.2 Anomali Kondisi Vegetasi Rembesan migas dapat mempengaruhi kesehatan vegetasi dan menyebabkan vegetasi menjadi stress (Li dkk., 2012). Vegetasi stress merupakan semua gangguan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Jackson, 1986). Gangguan tersebut merupakan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti kekurangan nutrisi, kekurangan air, penyakit, kerusakan oleh serangga dan polusi (Sanches dkk., 2013). Gas karbondioksida yang berlebih pada lapangan migas akan mengakibatkan kandungan klorofil menjadi berkurang dan daun berwarna kekuningan (Lakkaraju dkk., 2010). Berbagai indeks vegetasi telah dikembangkan untuk pemetaan vegetasi secara umum, termasuk didalamnya untuk kesehatan vegetasi. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan standar algoritma yang digunakan


79

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

untuk memetakan kuantitas dan distribusi vegetasi (Brantley dkk., 2011). Berbagai indeks vegetasi lainnya berkembang untuk tujuan memetakan vegetasi, seperti Simpel Ratio Index (SR), Difference Vegetation Index (DVI), Green Difference Vegetation Index (GDVI), Green Normalized Difference Vegetation Index (GNDVI), Enhanced Vegetation Index (EVI), Ratio Vegetation Index (RVI) dan lainnya. Pada dasarnya analisis indeks vegetasi memanfaatkan panjang gelombang biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Adanya penurunan kesehatan vegetasi (seperti vegetasi stress) akibat gangguan dari akumulasi rembesan migas ataupun gangguan lainnya akan mengubah pola spektral yang menjadi turun pada Inframerah dekat (Yang, 1999; Noomen, 2007; Omodanisi dan Salami, 2014). Selain itu pada panjang gelombang tampak pantulan meningkat dan berubah dari posisi yang seharusnya sehingga terjadi pergeseran batas tepi panjang gelombang merah (Smith dkk., 2004). Indikasi gangguan pada vegetasi dapat menyebabkan rendahnya nilai indeks vegetasi di sekitar sumur migas sebagai pengaruh dari lapangan migas yang ada (Susantoro dkk., 2017). Adapun jenis-jenis indeks vegetasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Indeks Vegetasi yang Biasa Digunakan untuk Pemetaan Kondisi Vegetasi No

Indeks Vegetasi

Rumus

Referensi

1

Atmospherically Resistant Vegetation Index (ARVI)

đ?‘ đ??źđ?‘… − (đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ − đ?›ž(đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) đ?‘ đ??źđ?‘… + (đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ − đ?›ž(đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Kaufman dan Tanre, 1992

2

Difference Vegetation Index (DVI)

đ?‘ đ??źđ?‘… − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘

3

Enhanced Vegetation Index (EVI)

4

Global Environmental Monitoring Index (GEMI)

2.5 +

(đ?‘ đ??źđ?‘… − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (đ?‘ đ??źđ?‘… + 6 ∗ đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ − 7.5 ∗ đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ + 1)

đ??şđ??¸đ?‘€đ??ź = đ?‘’đ?‘Ąđ?‘Ž(1 − 0.25 ∗ đ?‘’đ?‘Ąđ?‘Ž) + eta =

Tucker, 1979

(đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ − 0.125) (1 − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

2(đ?‘ đ??źđ?‘… 2 − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘2 ) + 1.5 ∗ NIR + 0.5 ∗ Red đ?‘ đ??źđ?‘… + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ + 0.5 đ?‘ đ??źđ?‘… − (đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘› − đ?›ž(đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) đ?‘ đ??źđ?‘… + (đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘› − đ?›ž(đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’ − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Huete dkk., 2002 Pinty dan Verstraete, 1992

5

Green Atmospherically Resistant Index (GARI)

Gitelson dan Merzlyak, 1996

6

Green Difference Vegetation Index (GDVI)

đ?‘ đ??źđ?‘… − đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘›

Sripada dkk., 2006

7

Green Normalized Dif-

đ?‘ đ??źđ?‘… − đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘› đ?‘ đ??źđ?‘… + đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘›

Gitelson dan Merzlyak,


80

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 ference Vegetation Index (GNDVI) 8

Green Ratio Vegetation Index (GRVI)

9

Green Vegetation Index (GVI)

1996

đ?‘ đ??źđ?‘… đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘› (−0.2848 ∗ đ?‘‡đ?‘€1) + (−0.2435 ∗ đ?‘‡đ?‘€2) + (−0.5436 ∗ đ?‘‡đ?‘€3 + (0.7243 ∗ đ?‘‡đ?‘€4) + (0.0840 ∗ đ?‘‡đ?‘€5) + (−0.1800 ∗ đ?‘‡đ?‘€7

Sripada dkk., 2006 Kauth dan Thomas, 1979

10

Infrared Percentage Vegetation Index (IPVI)

đ?‘ đ??źđ?‘… đ?‘ đ??źđ?‘… + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘

11

Leaf Area Index (LAI)

3.618 ∗ đ??¸đ?‘‰đ??ź − 0.118

Boegh dkk., 2002

12

Modified NonLinear Index (MNLI)

(đ?‘ đ??źđ?‘… 2 − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) ∗ (1 + đ??ż) đ?‘ đ??źđ?‘…2 + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ + đ??ż

Yang dkk., 2008

13

Modified Simple Ratio (MSR)

NIR √(đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) − 1 NIR √(đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) + 1

14

Non-Linear Index (NLI)

(đ?‘ đ??źđ?‘… 2 − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (đ?‘ đ??źđ?‘…2 + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Goel dan Qin, 1994

15

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

(NIR − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (NIR + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Rouse dkk., 1973

16

Optimized Soil Adjusted Vegetation Index (OSAVI)

1.5 ∗ (NIR − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (NIR + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) + 0.16

Rondeaux dkk., 1996

17

Renormalized Difference Vegetation Index (RDVI)

(NIR − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Roujean dan Breon, 1995

√(NIR + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

18

Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI)

1.5 ∗ (NIR − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (NIR + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) + 0.5

19

Simple Ratio (SR)

đ?‘ đ??źđ?‘… đ?‘…đ?‘’đ?‘‘

Crippen, 1990

Chen, 1996

Huete, 1988 Birth dan McVey, 1968


81

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 đ??şđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘’đ?‘› − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ Green + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘ − đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’

Gitelson dkk., 2002

(NIR − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (NIR + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Bannari dkk., 2002

20

Visible Atmospherically Resistant Index (VARI)

21

Transformed Difference Vegetation Index (TDVI)

22

WorldView Improved Vegetation Index (WV-VI)

(NIR2 − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘) (NIR2 + đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Wolf, 2010

23

Structurally Independent Pigment Index (SIPI)

(NIR − đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’) (NIR − đ?‘…đ?‘’đ?‘‘)

Penuelas dkk., 1995

24

Enhanced Normalized Difference Vegetation Index (ENDVI)

((NIR + Green) − (2 ∗ đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’) ((NIR + Green) + (2 ∗ đ??ľđ?‘™đ?‘˘đ?‘’)

Maxmax, 2015

√0.5 +

4.3 Anomali Geomorfologi Pemetaan geomorphic high dapat dilakukan pembuatan Principal Component Analysis (PCA), band ratio, Optimum Index Factor (OIF) yang kemudian dilakukan pemodelan topografi melalui merging dengan data DEM (Susantoro, 2009). Selain itu dilakukan juga pengolahan data menggunakan metode Opennes menggambarkan beda tinggi antar permukaan bumi (Yokoyama dkk., 2002). Gambar 7 merupakan contoh model openess.

Gambar 7. Pemodelan Openness untuk Mengidentifikasi Perbedaan Tinggi (Geomorphic High) (Yokoyama dkk., 2002).

Pemetaan geomorfologi dan geologi permukaan dapat menggunakan citra komposit dari perbandingan saluran 3/1, 5/7 dan 3/5 pada Landsat TM berturut-turut digabung sebagai RGB


82

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

menghasilkan citra komposit yang lebih mengekspresikan informasi geomorfologi dan geologi dan mempunyai kontras yang besar diantara unit batuan dibanding citra komposit konvensional (Sabin, 1987). Perbandingan ketiga saluran tersebut apabila digabungkan dengan data SRTM akan semakin baik untuk pemetaan geomorfologi dan geologi. Hasil kajian menunjukkan bahwa komposit dari perbandingan saluran tersebut yang digabung dengan SRTM merupakan metode yang paling baik untuk pemetaan geomorfologi dan geologi. Kenampakan relief, tekstur, kesan 3 dimensi dan resistensi batuan yang tampak tajam dan tegas (Susantoro, 2009). Hal ini karena efek topografi hanya bersumber pada SRTM dan efek topografi dari citra Landsat 7 ETM+ telah dieliminasi melalui proses perbandingan saluran itu sendiri sehingga tidak terjadi noise. Adapun contoh hasil pengolahan dengan metode tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil Pengolahan Landsat 7 ETM+ merging dengan SRTM pada Struktur Lipatan Antiklin Asimetri di Kawengan, Cepu, Jawa Tengah (Susantoro, 2009).

5. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Kegiatan Migas Lainnya Kegiatan migas merupakan pekerjaan yang padat modal, teknologi dan beresiko tinggi. Perencanaan sangat penting untuk kelancaran setiap pekerjaannya. Kondisi eksplorasi dan eksploitasi migas yang terkadang di lokasi yang terpencil dan infrastruktur belum ada membutuhkan perencanaan dan pemahaman mengenai kondisi lokasi dengan baik. Penginderaan jauh merupakan salah satu solusi untuk dapat memahami lokasi tersebut. Penginderaan jauh selain untuk pemetaan geologi dan rembesan migas dalam mendukung kegiatan eksplorasi juga berperan dalam kajian rona awal lingkungan, perencanaan dan logistic support, pengembangan lapangan migas serta monitoring.

5.1 Rona Awal Lingkungan Rona awal lingkungan merupakan bagian penting sebelum kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh kualitas dan kuantitas dari kondisi awal baik biotik, abiotik, maupun sosial budaya sehingga memudahkan menyusun suatu rencana kerja dan pengelolaan wilayah kerja yang terpadu. Tujuan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

83

utama dari seluruh rangkaian kegiatan studi ini adalah sebagai bahan masukan dan data dasar dalam usaha menjaga kinerja pengelolaan lingkungan yang baik dan berkelanjutan; menilai kualitas lingkungan yang ada dan sensitivitas sekaligus dampak terhadap lingkungan dari kegiatan migas yang akan dilakukan; mengidentifikasi faktor-faktor penting lingkungan atau daerah geografis pada suatu wilayah kerja sehingga dapat mencegah pembangunan dengan resiko lingkungan yang buruk dan memberikan informasi sebagai dasar dalam menetapkan pemenuhan kebutuhan eksplorasi dan eksploitasi migas (Baradinamika Citra Lestari, 2015). Pada kajian rona awal lingkungan pemetaan kawasan sensitif sangat penting untuk dilakukan. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang rentan untuk dilakukan aktivitas kegiatan migas. Pedoman Tata Kerja PTK-045/BP0000/2011 (revisi -0) tentang Environmnetal Baseline Assessment menyerbutkan kawasan sensitif merupakan kawasan lindung yang meliputi kawasan yang memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya (kawasan hutan lindung, bergambut, dan kawasan resapan air), Kawasan Perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/ waduk, dan sekitar mata air), Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya, dan Kawasan Rawan Bencana Alam; kawasan dengan intensitas aktivitas sosial ekonomi di wilayah tersebut, seperti keberadaan pemukiman, potensi konflik, kegiatan penangkapan ikan, jalur pelayaran, dan sebagainya atau kawasan dengan kondisi rona lingkungan yang memiliki karakteristik dan fungsi khusus secara ekologi, misalnya kondisi kualitas air sungai yang sudah tergolong tercemar berat. Penginderaan jauh pada kajian rona awal lingkungan terutama untuk pemetaan penggunaan lahan/tutupan lahan dan juga untuk mengkaji kondisi topografinya (Murali dkk., 2010). Tata guna/tutupan lahan merupakan komponen penting dari rona awal lingkungan. Tata guna/tutupan lahan merupakan hasil interaksi antara sosial budaya, keadaan dan kondisi fisik serta potensi alamiah lahannya (Balak dan Kolarkar, 1993 dalam Rawat dkk., 2013). Penggunaan penginderaan jauh untuk tata guna lahan/tutupan lahan telah berkembang pesat baik dalam hal resolusi spasial, spektral maupun teknik pengolahan datanya. Interpretasi data penginderaan jauh dapat dilakukan secara manual melalui interpretasi visual maupun interpretasi digital (Susantoro dkk., 2016). Interpretasi digital dapat dilakukan dengan metode klasifikasi tidak terbimbing, klasifikasi terbimbing, PCA, klasifikasi secara hibrid dan fuzzy (Butt dkk., 2015). 5.2 Logistic Support Aplikasi penginderaan jauh berperan sebagai logistic support untuk mendukung kegiatan seismik, pemboran sumur migas dan pengembangan lapangan. Logistic Support secara khusus didefinisikan sebagai peta hasil interpretasi data penginderaan jauh dan telah diverifikasi melalui survei lapangan yang dapat memberikan informasi tentang kondisi suatu daerah untuk membantu perencanaan dalam survei seismik (Susantoro, 2005). Pada survei seismik, terutama seismik 3D diperlukan informasi yang akurat dan presisi untuk meminimalkan biaya dan dampak negatif atau konflik dengan penduduk setempat. Data-data yang dibutuhkan meliputi jalan dan infrastrukturnya untuk mobilisasi alat, sungai dan sungai purba untuk kebutuhan air, data tutupan lahan, bangunan, fasilitas publik, data demografi dan administrasi untuk memperkirakan kompensasi ganti untung. Penginderaan jauh dapat digunakan untuk kegiatan tersebut (Susantoro, dkk, 2005).


84

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Survei seismik harus menghindari lokasi-lokasi yang sensitif baik secara sosial maupun fisik. Hal ini karena akan menimbulkan dampak yang komplek. Pada daerah-daerah tersebut diperlukan pembuatan buffer. Lokasi-lokasi yang sensitif meliputi permukiman, pemakaman, jalan perkerasan, jaringan listrik tegangan tinggi, bangunan keagamaan, jalan utama, fasilitas migas dan dam (Susantoro, 2005). Pada permukiman aktivitas seismik dapat mempengaruhi kondisi bangunan seperti halnya efek gempa bumi, terutama pada bungan dengan pondasi yang dangkal (Dashti dkk., 2010). 5.3 Perencanaan Jalur Pipa Pada perencanaan jalur pipa membutuhkan informasi kondisi permukaan bumi yang terbaru. Informasi tersebut secara efektif dan efisien dapat diperoleh dari data penginderaan jauh, Peta Topografi dan survei lapangan. Pada perencanaan jalur pipa secara umum digunakan analisis jarak terdekat. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis hambatan pada jalur tersebut sehingga dapat ditentukan alternatif jalurnya. Selain itu diperlukan data keberadaan fasilitas umum, fasilitas khusus, fasilitas sosial, situs/arkeologi, informasi aksesibilitas, penggunaan lahan dan morfologi daerah rencana jalur pipa. Data-data tersebut sangat diperlukan untuk dikaji mengenai kemungkinan bisa atau tidak dilewati jalur pipa. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah analisis peraturan perundangan yang terkait dengan rencana jalur pipa. Analisis dilakukan agar perencanaan jalur pipa tersebut memenuhi regulasi yang ada. (Susantoro 2010). Dampak yang paling berbahaya dalam operasi jalur pipa berupa pecahnya pipa tersebut karena medan yang tidak stabil atau bahaya geologi. Synthetic Aperture Radar (SAR) dan citra penginderaan jauh sistem optik yang terintegrasi dengan GIS, merupakan rangkaian teknologi untuk mendukung penentuan jalur pipa dan mitigasi terhadap risiko bencana yang efektif (MDA, 2017). Penginderaan jauh dan citra foto juga menyediakan informasi yang bermanfaat untuk updating peta tutupan lahan, deteksi perubahan bentuklahan, program rencana survei lapangan dan lokasi lingkungan yang sensitif serta kondisi daerahnya. Pada level detil diperlukan panjang jalur pipa yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh. Penggunaan penginderaan jauh tersebut efektif dan efisien secara biaya pada investigasi lapangan (Johnson and Petterson, 1986). 5.4 Deformasi Lapangan Migas Deformasi, baik pengangkatan muka tanah maupun penurunan muka tanah dapat terjadi di lapangan migas. Pengangkatan muka tanah dapat terjadi karena injeksi air (Klemm dkk., 2010), pengisian air tanah secara alami (Zhou dkk., 2009; Teatini dkk., 2011), injeksi uap air panas (Khakim, 2012) atau injeksi cairan secara umum (Teatini dkk., 2010). Adapun penurunan muka tanah pada lapangan migas terjadi karena kosongnya reservoir akibat pengambilan migas yang menerus (Klemm dkk., 2010). Pengukuran deformasi pada suatu reservoir dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi secara konsisten dan koheren perubahan volume dan distorsinya. Adapun pengukuran deformasi di permukaan atau pada kedalaman tertentu dapat digunakan berbagai variasi teknologi yang berbeda secara biaya, kemudahan data koleksi, presisi, area yang tercover dan lainnya (Dusseault dan Rothenburg, 2002). Penginderaan jauh merupakan salah satu metode permukaan yang baik untuk mengkaji deformasi. Adapun pemantauan deformasi


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

85

dapat dilakukan dengan metode permanent scatterer interferometric syntetic aperture radar (PSInSAR) (Klemm dkk., 2010), Ground Based SAR (GBSAR) (Monserrat dkk., 2014) atau teknik differential SAR interferometry (DInSAR) (Sansosti dkk., 2015). Adapun model penurunan muka tanah pada lapangan migas dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Efek Geomekanik pada Reservoir yang telah kosong sehingga mengakibatkan penurunan muka tanah yang disertai pergerakan horisontal permukaan. Hal ini memungkinkan mengaktifkan sesar yang dapat merusak sumur migas atau fasilitas di permukaannya (Klemm dkk., 2010)

6. KESIMPULAN Kegiatan migas yang padat modal, teknologi tinggi dan beresiko tinggi dan terkadang harus dilakukan pada daerah yang terpencil membutuhkan efisiensi dalam setiap langkahnya. Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif teknologi yang dapat digunakan untuk efisiensi kegiatan migas dalam setiap fase kegiatannya. Hal ini didukung oleh perkembangan penginderaan jauh yang pesat baik dari segi resolusi spasial, resolusi spektral dan temporal memudahkan dalam pemanfaatannya untuk kegiatan migas. Pemanfaatan tersebut dapat dioptimalkan baik dari awal pencarian migas sampai produksi dan monitoringnya. DAFTAR REFERENSI Abdulraziq A. M. M. A., (2012): Remote Sensing Petroleum Seepages Detection. City and Regional Planning. King Fahd University of Petroleum Minerals. Arab Saudi. Andersen M., Coupal R. And White B., (2009): Reclamation Cost and regulation of Oil and Gas Development with Application to Wyoming. Western Eeconomic Forum, Spring. Pp 40-48. Bannari, A., Asalhi, H. dan Teillet, P., (2002): Transformed Difference Vegetation Index (TDVI) for Vegetation Cover Mapping. Proceedings of the Geoscience and Remote Sensing Symposium, IGARSS 2002, IEEE International, Volume 5. Baradinamika Citra Lestari, (2015): Environmental Baseline Assessment Wilayah Kerja Bengara II, Kabupaten Bulungan , Provinsi Kalimantan Utara.


86

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Bierwith, P., (2002): Evaluation of ASTER satellite data for geological applications. Consultancy report to Geoscience Australia. Birth, G. dan McVey, G., (1968): Measuring the Color of Growing Turf with a Reflectance Spectrophotometer. Agronomy Journal 60: 640-643. Bjonerud M.G. and Boyer B., (1996). Image Analysis in Structural Geology Using NIH Image in Paor D.G.D. (Editor)., (1996): Structural Geology and Personnal Computer. Computer Methods in the Geosciences. Pergamon. Elsevier Sciences Ltd. Boegh, E., Soegaard, H., Broge, N., Hasager, C., Jensen, N., Schelde, K. dan Thomsen. A., (2002): Airborne Multi-spectral Data for Quantifying Leaf Area Index, Nitrogen Concentration and Photosynthetic Efficiency in Agriculture. Remote Sensing of Environment 81, no. 2-3: 179193. Brantley S.T., J.C. Zinnert J.C. and D.R. Young, 2011. Application of Hyperspectral Vegetation Indices to Detect Variations in High Leaf Area Index Temperate Shrub Thicket Canopies. Remote Sensing of Environment. 115. Pp 514-523. Butt, A., R. Shabbir, S.S. Ahmad and N. Aziz., 2015. Landuse Change Mapping and Analysis Using Remote Sensing and GIS: A Case Study of Simly Watershed, Islamabad, Pakistan. The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences 18. 251-259. www.elsevier.com/locate/ejrs. Chen, J., (1996): Evaluation of Vegetation Indices and Modified Simple Ratio for Boreal Applications. Canadian Journal of Remote Sensing 22: 229-242. Crippen, R., (1990): Calculating the Vegetation Index Faster. Remote Sensing of Environment 34: 7173. Crystiana I., Susantoro T.M. dan Junaedi T., (2014): Identifikasi Potensi Migas melalui Citra Satelit dengan Pendekatan Anomali Topografi (Studi Kasus Daerah Indramayu dan Sekitarnya. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol. 48. No 2. ISSN: 2089-3396. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Jakarta. Crystiana I., Susantoro T.M. dan Firdaus N., (2015): Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol. 49. No 1. ISSN: 2089-3396. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Jakarta. Crystiana I. Dan Susantoro T.M., (2013). Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol 47. No. 2. Jakarta. Dashti S., Bray J.D., Pestana J.M., Riemer M., Wilson D., (2010): Mechanisms of Seismivally Induced Setllemetn of Buildings with Shallow Foundation on Liquefiable Soil. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering. ASCE. 136(1). Pp 151-164. Deguchi T. dan Narita T, (2015): Monitoring of Land Deformation Due to Oil Production by INSAR Time Series Analysis Using Palsar Data in Bolivarian Republic of Venezuela. Prooceding Fringe 2015 Workshop. Frascati, Italy. 23-27 March 2015. Drury, S.A.1987. Image Interpretation in Geology. Department of Earth Sciences. The Open University. Allen & Unwin. London.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

87

Dusseault M.B. and Rothenburg L., (2002): Analysis of Deformation Measurements for Reservoir Management. Oil and Gas Science and Technology-Rev. IFP. Vol 57. Pp 539-554. Everett J.R., Staskowaski R.J. and Jengo C., (2002). Remote Sensing and GIS Enable Future Exploration Success. World Oil. Nov. 2002. Vol. 223 No 11. Febriono D.P., Susantoro T.M. dan Suliantara, (2010): Monitoring Semburan Lumpur Sidoarjo. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII. Bogor. Franto, 2003, Pemanfaatan Citra Landsat TM Digital untuk Survei Pendahuluan Pencarian Struktur Jebakan Minyakbumi, Studi Kasus di Cepu dan Sekitarnya, Tesis S2, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Franceschetti G. and Lanari R., (1999): Synthetic Aperture Radar Processing. CRC. Boca Raton. Girouard G., Bannari A., El-Harti A. And Desrochers A., (2017): Validated Spectral Angle Mapper Algorithm for Geological Mapping: Comparative Study between Quickbird and Landsat TM. Ottawa-Carleton Geoscience Center. Ottawa. Gitelson, A.A., Kaufman, Y. dan Merzylak, M., (1996): Use of a Green Channel in Remote Sensing of Global Vegetation from EOS-MODIS. Remote Sensing of Environment 58: 289-298. Gitelson, A.A., Strark, R., Grits, u., Rundquist, D., Kaufman dan Derry, D., (2002): Vegetation and Soil Lines in Visible Spectral Space: A Concept and Technique for Remote Estimation of Vegetation Fraction. International Journal of Remote Sensing 23: 2537−2562 Gloaguen, R., P. R. Marpu and I. Niemeyer, 2007. Automatic Extraction of Faults and Fractal Analysis from Remote Sensing Data. Nonlin Processes Geophys., 14. 131- 138. Goel, N. dan Qin, W., (1994): Influences of Canopy Architecture on Relationships Between Various Vegetation Indices and LAI and Fpar: A Computer Simulation. Remote Sensing Reviews 10: 309-347. Havid, 1998. Pemanfaatan citra ERS-1 (SAR) dan Citra Landsat Thematic mapper untuk Kajian Struktur Geologi. Studi Kasus di Daerah Ungaran – Salatiga Jawa Tengah, Tesis S2, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hewson, R.D., Cudahy, T.J., and Huntington, J. F., (2001): Geologic and alteration mapping at Mt Fitton, South Australia, using ASTER satellite-borne data: Proceedings of the IEEE 2001 International Geoscience and Remote Sensing Symposium, Sydney, N.S.W., 2001. Hewson, R.D., Cudahy, T.J., Burtt, A.C., Okada, K., and Mauger, A.J., (2004), Assessment of ASTER imagery for geological mapping within the Broken Hill and Olary Domains: 12th Australasian Remote Sensing and Photogrammetric Conference Proceedings, Perth, W.A., 2004. Huete, A., Didan, K., Miura, T. dan Ferreira, L.G., (2002): Overview of the Radiometric and Biophysical Performance of the MODIS Vegetation Indices. Remote Sensing of Environment 83:195–213. Huete, A., (1988): A Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI). Remote Sensing of Environment 25: 295-309. Ji L., Zhang Y., Wang Q., Xin Y. dan Li J., (2016). Detecting Uplift Associated with Enhanced Oil Recovery Using INSAR in the Karamay Oil Field, Xinjiang, China. International Journal of Remote Sensing. Volume 37, 2016 - Issue 7.


88

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Johnson and Petterson (Editors). (1986): Geotechnical Application of Remote Sensing and Remote Data Transmission. A. Symposium on Soil and Rock. Cocoa Beach. Florida 31 Januari1Febuari. American Society for Testing and Materials. Joshua J., (2015): Hyperspectral Remote Sensing for Oil Exploration. Published in Science. http://www.slideshare.net/serjiojayanthjoshua/hyperspectral-remote-sensing-for-oilexploration. Diunduh tanggal 2 April 2016. Kamp, U., T. Bolch and J. Olsenholler, 2003. DEM Generation from Aster Satellite Dara for Geomorphometric Analysis of Cerro Sillajhuay, Chile/Bolivia. ASPRS Annual Confrence Proceddings. www.pcigeomatics.com/services/support_center/tech papers /dem_aster.pdf. Kaufman, Y., dan Tanre, D., (1992): Atmospherically Resistant Vegetation Index (ARVI) for EOSMODIS. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing 30, No. 2: 261-270. Kauth, R. dan Thomas, G., (1979): The Tasselled Cap-A Graphic Description of the SpectralTemporal Development of Agricultural Crops as Seen By Landsat In Proceedings of the LARS 1976 Symposium of Machine Processing of Remotely-Sensed Data, West Lafayette, IN: Purdue University, pp. 4B41-4B51. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1519.K/20/MPE/1999 tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengawasan dan Pemantauan Kegiatan Pertambangan dan Energi. Khakim M.Y.N., Tsuji T. and Matsuoka T., Geomechanical Modeling for InSAR-Derived Surface Deformation at Steam-Injection Oil Sand Fields. Journal of Petroleum Science and Engineering.96-97. Pp 152-161. Klemm H., Quseimi I., Novali F., Ferretti A. And Tamburini A., (2010): Monitoring Horizontal and Vertical Surface Deformation Over a Hydrocarbon Reservoir by PSInSAR. First Break Vol. 28. Techincal Article. Pp 29-37. Lakkaraju, V.R., Zhou, X., Apple, M.E., Chunningham, A. dan Dobeck, L.M., (2010): Studying the Vegetation Response to Simulated Leakage of Sequestered CO2 Using Spectral Vegetation Indices. Economic Informatics. Elsevier. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII part B8. Beijing. Lasica R., (2015): A New Age for Oil and Gas Exploration: Remote Sensing Data and Analytics Are Changing the Industry. http://eijournal.com/print/ articles/a-new-age-for-oil-and-gasexploration-remote-sensing-data-and-analytics-are-changing-the-industry. Diunduh tanggal 2 April 2016. Lehman A., (2014): Remote Sensing for Oil and Gas: Modern Data & Analytics for the New Age of Surface and Above-Surface Exploration, Operations, Environmental Monitoring, and Health and Safety Applications. http://www.harrisgeospatial.com/Home/NewsUpdates/TabId /170/ArtMID/735/ArticleID/13902/Remote-Sensing-for-Oil--Gas.aspx. Diunduh tanggal 2 April 2016. Levin N., (1999): Fundamentals of Remote Sensing. Remote Sensing Laboratory, Geography Department, Tel Aviv University. Israel. Li, Q., Chen, X., Liu, X., Mao, B. dan Ni, G., (2012): Study on Oil and Gas Exploration in Sparse Vegetation Areas by Hyperspectral Remote Sensing Data. Chinese Optic Letter. Col 10 (Suppl), S11004 (2012).


89

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Liu X.m., Bloemendal, J. dan Rolph, T., (1994): Pedogenesis and Paleoclimate Interpretations of Magnetic Susceptibility Record of Chinese Loses-Paleosol Sequences: Geology V. 22. Macdonal Dettwiller and Associated (MDA), (2017). Pipeline Route Selection Support. http://mdacorporation.com/geospatial/international/markets/oil-and-gas/pipeline/pipelineroute-selection-support. Maher, B.A. dan Thompson, R., (1992): Paleoclimate Significace of Mineral Magnetic of The Chinese Loses and Paleosols. Quaternary Research. C. 37 Manning, J. (2017). Remote Sensing of Infrastructure Assets. Space for Smarter Government Programme (SSGP). Space Application & Remote Sensing in Suppport of UK National Energy & Infrastructure Delivery. ARUP. Maruyama Y., (1994): How to Apply the Remote Sensing for Oil and Gas Exploration. Proceeding LEMIGAS-JICA Seminar 2. Remote Sensing Technology for Development of Natural Resources. Jakarta June 15, 1994. Mauger A.J., (2014): History of Remote Sensing in Geological Exploration. Makalah ini dipresentasikan pada AIG Remote Sensing and Interpretation Conference, Buswood on Swan Convention Centre, 10 March 2014. Maxmax, (2015): Enhanced Normalized https://www.maxmax.com/endvi.htm

Difference

Vegetation

Index

(ENDVI).

Meer F.V.D., van Dijk P., Werff H.V.D. dan Yang H., (2002): Remote Sensing adn Petroleum Seepage: a Review and Case Study. Terra Nova, 14. Blackwell cience Ltd. Monserrat O., Crosetto M. and Luzi G., (2014): A Review of Ground-Based SAR Interferometry for Deformation. ISPRS Journal of Phogrametry and Remote Sensing.93. 40-48. Murali, M., K. Ramakrishna, U.K. Saha and G. Sarvesam., (2010): Application of Remote Sensing and GIS in Seismic Surveys in KG Basin. 8th Biennial International Conference & Exposition on Petroleum Geophysics. Hyderabad 2010. NASA,

(2011): Finding Oil and Gas from Space. https://apollomapping.com/wpcontent/user_uploads/2011/11/NASA_Remote_Sensing_Tutorial_Oil_and_Gas.pdf. Diunduh tanggal 2 April 2016.

Ninomiya, Y., Fu, B., and Cudahy, T.J., 2005, Detecting lithology with Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) multispectral thermal infrared “radiance-at-sensor� data. Remote Sensing of Environment, 99, 127-139. Noomen, (2007): Hyperspectral Reflectance of Vegetation Affected by Underground Hydrocarbon Seepage. Dissertation. International Institute for Geo-information Science & Earth Observation. Enschede, The Netherlands (ITC). Omodanisi, E.O. dan Salami, A.T., (2014): An Assessment of the Spectra Characteristics of Vegetation on South Western Nigeria. International Conference on Environment Systems Science and Engineering. IERI Procedia 9 (2014) 26-32. Ouattara, T., R. Couture, P.T. Bobrowsky and A. More, 2004. Remote Sensing and Geosciences. Geological Survey of Canada. Ottawa. Pedoman Tata Kerja Nomor PTK-045/BP00000/2011 (Revisi-0) tentang Environmental Baseline Assessment (EBA). Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Jakarta.


90

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Penuelas, J., Baret, F. dan Filella, I., (1995): Semi-Empirical Indices to Assess Carotenoids/Chlorophyll-a Ratio from Leaf Spectral Reflectance. Photosynthetica 31: 221230.

Petrovic, A., Khan, S.D. dan Thurmond, A.K., (2012): Integrated Hyperspectral Remote Sensing, Geochemical and Isotopic Studies for Understanding Hydrocarbon-Induced Rock Alterations. Journal of Marine and Petroleum Geology 35 (2012). Pp 292-308. Pinty, B. dan Verstraete, M., (1992): GEMI: a Non-Linear Index to Monitor Global Vegetation From Satellites. Vegetation 10: 15-20. Rawat, J.S., V. Biswas and M. Kumar., 2013. Change in Landuse/Landcover Using Geospatial Techniques: A Case Study of Ramnagar Town Area, District Nainital, Uttarakhand, India. The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences 16. 111. Rivereau J.C. dan Fontanel A., 1976. Remote Sensing as an Aid to Petroleum and Mining Exploration. Proceeding Indonesian Petroleum Association. Fifth Annual Convention, June 1976. Pp 133-149. Rondeaux, G., Steven, M. dan Baret, F., (1996): Optimization of Soil-Adjusted Vegetation Indices. Remote Sensing of Environment 55: 95-107. Roujean, J. dan Breon, F., (1995): Estimating PAR Absorbed by Vegetation from Bidirectional Reflectance Measurements. Remote Sensing of Environment 51: 375-384. Rouse J., Haas R., Schell J. and Deering D., (1973): Monitoring Vegetation Systems in the Great Plains with ERTS. Third ERTS Symposium, NASA. pp 309-317. Rowan, L.C., and Mars, J.C., (2003): Lithologic mapping in the Mountain Pass, California area using Advanced Spaceborne Thermal Emission and Refl ection Radiometer (ASTER) data. Remote Sensing of Environment, 84, 350-366. Sabin, F.F. 1987. Remote Sensing Principles and Interpretation. W. H. Freeman and Company. New York. Sabins, F.F., 1999, Remote sensing for mineral exploration, Ore Geology Reviews 14, 157-183. Salati, S., (2014): Characterization and Remote Detection of Onshore Hydrocarbon Seep Induced Alteration. Dissertation. Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation. Univesity of Twente. Enschede, The Netherlands. Sanches, I.D., Filho, C.R.S., Magalhaes, L.A., Quiterio, G.C.M., Alves, M.N. dan Oliveira, W.J., (2013): Assessing the Impact of Hydrocarbon Leakages on Vegetation Uisng Reflectance Spectroscopy. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 78. Elsevier. Sansosti, E., Manunta, M., Casu, F., Bonano, M., Ojha C., Marsella, M. and Lanari, R., (2015). Radar Remote Sensing from Space for Surface Deformation Analysis: Present and Future Opportunities from the New SAR Sensor Generation. Rend. Fis. Acc. Lincei 26 (Suppl) 1: S75-S84. Sarapirome, S., A. Surinkum, P. Sasutthipong, 2002. Application of DEM Data to Geological Interpretation: Thong Pha Phum Area, Thailand. 23rd Asian Conference on Remote Sensing. November 25-29. Birendra International Convention Centre. Kathmandu, Nepal. Sarp, G., 2005. Lineament Analysis from Satellite Images, North-West of Ankara, Thesis. The Graduate School of Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University. http.etd.lib.metu.edu.tr/upload/12606520/index.pdf.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

91

Satellite Imaging Corporation, (2016): Satellite Images for Oil and Gas exploration. Manor Spring Court. Tomball. USA. http://www.satimagingcorp.com /applications/energy/exploration/oil-exploration/. Diunduh tanggal 2 April 2016. Schumacher, D., (1996): Hydrocarbon induced Alteration of Soil and Sediments, Hydrocarbon Migration and its Near-Surface Expression (D. Schumacher dan M.A. Abrams, Eds.). Mem. Am. Ass. Petrol. Geology., 66, 71-89. Setianto, A., 2003. Geologi Daerah Mountain Front Block, Cekungan Sumatera Tengah, Riau Berdasarkan Citra Landsat Thematic Mapper, Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Setiawan, H. L., 2004. Aplikasi Citra Ikonos untuk Analisis Geologi Permukaan dan Hubungannya dengan Kondisi Bawah Permukaan dalam Rangka Identifikasi Potensi Hidrokarbon. Studi Kasus Daerah kawengan dan Sekitarnya, Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur. Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Saunders D.F., Burson K.R. dan Thompson C.K., (1999): Model for Hydrocarbon Microseepages and Related Near-Surface Alteration. Bull. Am. Ass. Petrol. Geology. 83. 170-185. Short, N. M., 2008. Remote Sensing Tutorial. National Aeronautics and Space Administration. http://rst.gsfc.nasa.gov. Smith, K.L., Steven, M.D. dan Colls, J.J., (2004): Spectral Responses of Pot Grown Plants to Displacement of Soil Oxigen. International Journal of Remote Sensing. 25 (20): 4395-4410. SKK Migas, (2013): Buku Laporan Tahunan. SKK MIGAS. Jakarta. Soe, M., Kyaw, T.A. dan Takashima, I., (2005): Application of Remote Sensing Technique on Iron Oxide Detection from ASTER and Landsat Images of Tanintharyi Coastal Area, Myanmar. Akita University. Sripada, R.P., Heinigerb, R.W., Whitec, J.G. dan Meijer, A.D., (2006): Aerial Color Infrared Photography for Determining Early In-season Nitrogen Requirements in Corn." Agronomy Journal 98: 968-977. Sudrajat, (1990):. Petunjuk dalam Penafsiran Geologi Potret Udara. Diktat Kuliah. Pusat Pendidikan Interpretasi Foto Udara, Pasca Sarjana Angkatan II. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suliantara, Doma F.P., Isnawati dan Trimuji, S., (2010): Remote Sensing Geology of South Upper Kutei Basin, East Kalimantan Based on Palsar Imagery. Proceeding PIT IAGI LOMBOK 2010. The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition. Susantoro, T.M., (2009): Optimalisasi Data Landsat 7 ETM+ dan SRTM untuk Revisi Peta Geologi Lembar Bojonegoro. Thesis. Program Studi Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Susantoro T.M. dan Doma F.P., (2011): Identifikasi Kondisi Terkini Semburan Lumpur Sidoarjo dari Citra Penginderaan Jauh. Jurnal Inderaja. Volume II. No. 2 Juli 2011. LAPAN-Jakarta. Susantoro T.M., Alia S.P. dan Ketut W., (2016): Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices. Seminar Nasional Penginderaan Jauh – Sinas Inderaja. Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN. The Margo Hotel Depok, 27 Juli 2016.


92

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Susantoro T.M., Puspitasari A.S. dan Wikantika K., (2016): Environmental Baseline Assessment in Oil and Gas Activities in Indonesia Using Remote Sensing. Proceeding GEOSEA XIV and 45th IAGI Annual Convention (GIC 2016). Bandung October 10-13, 2016. Susantoro, T.M., Ketut, W., Alia, S.P dan Asep, P., (2017): Impact of Oil and Gas Gield in Sugar Cane Condition Using Landsat 8 in Indramayu Area and its Surrounding, West Java Province, Republic of Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 54 (2017) 012019. Susantoro T.M. dan Suliantara, (2014): Pemetaan Migas pada Cekungan Frontier Memberamo dengan Citra Satelit dan Didukung Data Subsurface Regional. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol 48 No. 3. ISSN: 2089-3396. Susantoro T.M. dan Suliantara, (2010): Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Perencanaan Jalur Pipa. Lembaran Publikasi LEMIGAS. No. 1 / Vol.44 / April 2010. Susantoro T.M., Suliantara and Sunarjanto D., (2010), Oil Spill Pollution Detection Using PALSAR Data in Timor Sea, LEMIGAS Scientific Contributions to Petroleum Science & Technology Volume 33, Number 2, September 2010, ISSN : 0126-3501. Susantoro T.M., Tjiptono A.G. and Suliantara, (2005): Use of High-Resolution Satellite Data (IKONOS Imagery) for Logistic Support. Lemigas Scientific Contribution. October 2005. Taylor I. L., (2004): Methods of Exploration and Production Petroleum Resources. Geology/ Vol. V. Encyclopedia Support Systems (EOLSS). U.S. Geological Survey. Reston. Virginia. USA. Teatini P., Castelletto N., Ferronato M., Gambolati G., Janna C., Cairo E., Marzorati D., Colombo D., Ferreti A., Bagliani A. And Bottazzi F., (2011). Geomechanical Response to Seasnal Gas Storage in Depleted Reservoirs: A Case Study in the Po River Basin, Italy. Journal of Geophysischal Research. Vol 116. F02002. Teatini P., Gambolati G., Ferronato M., Settari A. And Walters D., (2010). Land Uplift Due To Subsurface Fluid Injection. Journal of Geodynamics. Elsevier. Vol 51. Terry R.E., (2001). Enhanced Oil Recovery. Encyclopedia of Physical Science and Tehcnology. 3rd Edition. Vol. 18. Robert A. Meyers Ed., Academic Press. Pp 503-518. Tucker, C., (1979): Red and Photographic Infrared Linear Combinations for Monitoring Vegetation. Remote Sensing of Environment 8: 127–150. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Verstappen, H.Th., 1978. Remote Sensing in Geomorphology. International Institute of Aerial Survey and Earth Science (I.T.C.) Elsevier Scientific Publishing Company. Enchede, The Netherlands. Volesky, J.C., Stern, R.J., and Johnson, P.R., 2003, Geological control of massive sulfi de mineralization in the Neoproterozoic Wadi Bidah shear zone, southwestern Saudi Arabia, inferences from orbital remote sensing and field studies. Precambrian Research, 123, 235247 Wahyono M. (Advisor), (2003). Plan of Development 2003. Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Migas. Jakarta. Williams A. K., (2000): The Role of Satellite Exploration in the Search for New Petroleum Reserves in South Asia; NPA Paper, Proceedings of SPE-PAPG Annual Technical Conference, Islamabad, November 9-10, 2000.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

93

Wolf, A., (2010): Using WorldView 2 Vis-NIR MSI Imagery to Support Land Mapping and Feature Extraction Using Normalized Difference Index Ratios. Unpublished report, Longmont, CO: DigitalGlobe. Yang H., (1999): Imaging spectrometry for hydrocarbon microseepage. Dissertation. TU Delft. Master of Science in Geology. ITC Publication Nuumber 76. Yang H., Meer F.V.D., Zhang J. dan Kroonenberg S.B., (2000): Direct Detection of Onshore Hydrocarbon Microseepages by Remote Sensing Techniques. Remote Sensing Review. https://www.researchgate.net/publication /232910686. Research gate. DOI: 10.1080/027572500 095323 81. Yang H., Meer F.D.V. and Zhang J., (2000). Aerospace Detection of Hydrocarbon-Induced Alteration in Geochemical Remote Sensing of the Subsurface Hale M. (editor). Handbook of Exploration Geochemistry. Vol. 7 Elsevier Science B.V. Yang, Z., Willis, P. dan Mueller, R., (2008): Impact of Band-Ratio Enhanced AWIFS Image to Crop Classification Accuracy. Proceedings of the Pecora 17 Remote Sensing Symposium (2008), Denver, CO. Yokoyama, R., Shirasawa, M. dan Pike, R. J., (2002): Visualizing Topography by Openness: A New Application of Image Processing to Digital Elevation Models. Journal of Photogrammetric Engineering & Remote Sensing. Vol 68. No. 3. American Society for Photogrammetry and Remote Sensing Zhau x., Chang N.B. and Li S., (2009). Application of SAR Interferometry in Earth and Environmental Science Research: Review. Sensors. 9. 1876-1912. ISSN. 1424-8220. doi:10.3390/s90301876.

BIOGRAFI PENULIS Tri Muji Susantoro, S.T., M.Sc.

Tri Muji Susantoro merupakan peneliti muda bidang penginderaan jauh di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS�. Lulusan Sarjana Teknik Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Diponegoro tahun 2000 dan Master of Science Universitas Gadjah Mada tahun 2009 ini menekuni dunia penginderaan jauh, terutama kaitannya dengan eksplorasi migas dan kajian pendukungnya. Sepanjang karir penelitiannya telah melakukan berbagai kajian meliputi kajian perubahan luasan lahan, pengolahan data penginderaan jauh untuk interpetasi geologi, akuisisi dan pengolahan data satelit resolusi tinggi, rona awal lingkungan, law and regulation compliance for oil and gas field development, aplikasi penginderaan jauh dan SIG untuk program community development, monitoring kesesuaian lahan Jarak Pagar, kajian revitalisasi pelaporan migas, pemetaan rembesan migas, penginderaan jauh untuk logistic support pada seismik 3D, screening dan rangking cekungan untuk eksplorasi migas dan yang lainnya. Lebih dari 40 makalah ilmiah yang telah ditulis dan diterbitkan baik di prosiding nasional, prosiding internasional dan jurnal nasional. Demikian pula berbagai pelatihan dan seminar


94

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

di bidang penginderaan jauh dan minyak dan gas bumi telah diikuti untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Tahun 2015 sampai sekarang, Tri Muji mengambil studi doktoral di Program Studi Geodesi dan Geomatika dengan bidang minat Penginderaan Jauh dan bergabung di Center for Remote Sensing- Institut Teknologi Bandung. Prof. Ketut Wikantika Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

95

Penerapan Real Option Analysis dengan Perubahan Volatilitas dalam Menentukan Nilai Proyek Pertambangan Dean Andrean, Rio Nur Arifin, Novriana Sumarti Matematika Industri dan Keuangan, Fakultas MIPA ITB Gedung CAS lt 4, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 novriana@math.itb.ac.id Abstrak Dalam menghadapi kondisi pasar yang tidak menentu, sebuah perusahaan memerlukan sebuah proses evaluasi nilai proyek yang dapat mengikutsertakan ketidakpastian yang timbul oleh kondisi pasar tersebut, agar perusahaan dapat memaksimalkan keuntungan dan membatasi kerugian yang mungkin timbul. Metode Real Option merupakan metode valuasi proyek yang dapat mengandung unsur ketidakpastian dan juga strategi investasi perusahaan pada proyek yang akan dijalankan. Ketidakpastian ini ditandai dengan adanya perubahan nilai proyek dari waktu ke waktu, dimana dalam makalah ini akan dimodelkan oleh Metode Lattice. Salah satu parameter yang diperlukan dalam metode ini adalah volatilitas yang menunjukkan cukup atau kurangnya informasi yang dimiliki mengenai perkembangan nilai proyek tersebut di masa yang akan datang. Makalah ini membahas tentang Real Option menggunakan model trinomial lattice yang dimodifikasi dengan perubahan volatilitas berdasarkan Haahtela. Model Real Option dengan perubahan volatilitas tersebut diterapkan pada masalah valuasi nilai proyek pertambangan perak. Hasil analisis menunjukkan nilai proyek yang positif sehingga proyek ini akan menguntungkan untuk dijalankan. Kata kunci: Evaluasi Nilai Proyek, Metode Lattice, Metode Trinomial, Real Option Abstract In facing uncertain market conditions, a company needs a project value valuation process that may involve uncertainty arising from such market conditions, in order for the company to maximize profits and limit losses that may arise. Real Option method is a method of valuation of projects that can contain elements of uncertainty and also the company's investment strategy on the project to be run. This uncertainty is marked by the change of project’s value from time to time, which in this paper will be modeled by the lattice Method. One of the parameters required in this method is the volatility indicating sufficient or insufficient information about the development of the project’s value in the future. This paper discusses Real Option using modified trinomial lattice model with volatility changes based on Haahtela. The Real Option model with such volatility changes is applied to the valuation of the value of the silver mining project. The result show positive value of this project so the project is worthed to run. Keywords: Project Valuation Method, Method Lattice, Method Trinomial, Real Option 1. PENDAHULUAN Ketika keadaan pasar global semakin tidak menentu dan dinamis, fleksibilitas untuk


96

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

menghadapi perubahan dari seorang manajer menjadi sesuatu yang penting bagi perusahaan dalam menghadapi persaingan bisnis, memaksimalkan keuntungan, dan membatasi kerugian yang mungkin terjadi dari perkembangan pasar. Dengan memandang peluang investasi di masa depan sebagai ‘Real Option’ akan memberikan wawasan baru terhadap alokasi sumber daya perusahaan. Metode penentuan harga opsi saham merupakan gagasan utama dari penggunaan metode Real Option dalam perhitungan nilai proyek. Sebelum metode Real Option dikenal, salah satu metode tradisional dalam perhitungan nilai proyek adalah metode Disconted Cash Flow (DCF) dimana metode ini menggunakan perkiraan aliran kas pada masa depan yang didiskontokan (Benninga, 2014). Perusahaan memerlukan nilai Net Present Value (NPV) yang lebih besar dari nol yang untuk menjalankan sebuah proyek, jika tidak maka perusahaan perlu mengambil keputusan untuk memperbaiki situasi supaya proyek dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau perusahaan tidak jadi menjalankan proyek tersebut. Penggunaan metode DCF ini mengabaikan ketidakpastian dan dinamika yang terjadi di pasar, sehingga NPV atau nilai proyek dari perusahaan tersebut tidak mampu menangkap peluang investasi yang tersedia dengan baik. Sebagai contoh, sebuah perusahaan dapat menghentikan proyek yang sedang dijalankan jika ternyata proyek tersebut tidak memberikan keuntungan yang diharapkan. Jika nilai proyek ini dihitung menggunakan metode DCF, pilihan menghentikan proyek tadi tidak masuk dalam penilaian perusahaan yang mengakibatkan perusahaan tidak mengambil keputusan untuk menghentikan proyek sehingga perusahaan tidak mampu membatasi kerugian yang timbul. Real Option memperkenalkan wawasan baru mengenai peran dan dampak dari ketidakpastian dari nilai peluang investasi yang berlawanan dengan pemikiran konvensional (Trigeorgis, 2002). Manajer perusahaan akan menghadapi situasi untuk memaksimalkan keuntungan dari pergerakan naik nilai proyek, dan membatasi kerugian dari pergerakan turun nilai proyek. Ketidakpastian yang terjadi karena kondisi pasar yang tidak menentu membuat proyek lebih bernilai jika dilihat menggunakan Real Option. Perhitungan Real Option dalam menghitung nilai proyek tidak lepas dari metode penentuan harga opsi saham. Salah satu metode yang sering digunakan dalam menentukan harga saham adalah binomial dan trinomial lattice. Dengan mengikuti analogi penentuan harga opsi saham, yang menjadi parameter untuk harga saham adalah nilai proyek yang dihitung menggunakan metode DCF mengikuti asumsi Market Asset Disclaimer (MAD). Kemudian, parameter strike price pada Real Option merupakan tindakan-tindakan yang akan diambil perusahaan terhadap proyek tersebut jika dijalankan. Perhitungan Real Option mirip seperti opsi Amerika yang dapat dievaluasi tiap tahun dan memiliki kesempatan untuk melakukan early exercise. Menggunakan model binomial lattice yang sudah dimodifikasi supaya cocok untuk diterapkan pada penilaian proyek, BrandĂŁo, Dyer, dan Hahn (2005) mengemukakan ide untuk menggunakan cash flow payout ratio dalam membangun nilai proyek pada masa yang akan datang. Selanjutnya, keputusan-keputusan yang akan diambil oleh perusahaan saat periode ke-i terhadap investasi mereka pada proyek tersebut dimasukaan dalam proses valuasi. Nilai proyek yang dihasilkan merupakan hasil evaluasi dari nilai yang dihasilkan oleh keputusankeputusan perusahaan yang dihitung menggunakan proses backward steps.


97

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Metode Real Option yang biasa diterapkan pada perhitungan nilai proyek menggunakan volatilitas yang konstan. Guthrie (2010) mengemukakan model binomial lattice dengan perubahan volatilitas yang memasukkan learning options dalam proses perhitungan nilai proyeknya. Pada model ini, perubahan volatilitas timbul karena learning options memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memperoleh informasi baru terhadap proyek yang sedang dijalankan. Ketidakpastian yang tinggi di pasar akan membuat manajer melakukan survei serta research and development (R&D) atas keadaan pasar sebelum melaksanakan proyek. Kesempatan untuk melakukan riset ini membuat perusahaan lebih memahami karakteristik proyek sehingga ketidakpastian yang awalnya tinggi akan berkurang nilainya. Karena ketidakpastian tersebut sejalan dengan volatilitas maka nilai volatilitas akan menjadi berkurang. Learning options akan memberikan perusahaan waktu terbaik untuk melaksanakan investasi atau tidak sama sekali. Selain menggunakan metode binomial lattice, Real Option juga dapat dihitung menggunakan trinomial lattice. Metode trinomial lattice bertujuan untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan dari model binomial lattice. Haahtela (2010) mengemukakan model trinomial lattice modifikasi. Perubahan volatilitas dimodelkan dengan perubahan peluang transisi sementara selang antara tiap periode pada pohon trinomialnya tetap. Miranda dan BrandĂŁo dan Miranda (2013) melakukan valuasi terhadap sebuah proyek pertambangan dengan melakukan simulasi Monte Carlo untuk mendapatkan parameter drift dan volatilitasnya. Pada makalah ini, valuasi tersebut akan dilihat menggunakan Real Option dengan perubahan volatilitas menggunakan model trinomial modifikasi, kemudian akan dilihat parameter apa saja yang mempengaruhi nilai proyek tersebut. 2. MODEL DISKRIT UNTUK ANALISIS REAL OPTION Metode evaluasi Real Option dengan model waktu yang kontinu memiliki keterbatasan pada praktiknya. Kondisi pasar yang tidak lengkap untuk sebagian besar proyek, dan bahkan ketika kondisi ideal itu memang tersedia akan sangat sulit untuk menentukan portofolio yang memiliki korelasi kuat dengan risiko proyek. Sehingga mungkin hal ini tidak praktis untuk menentukan discounted rate yang tepat untuk masing-masing proyek (BrandĂŁo dan Dyer. 2005), (Smith, 2005) dan (BrandĂŁo, Dyer dan Hahn, 2005). Menurut (BrandĂŁo dan Dyer. 2005), model analisis Real Option yang dikemukakan oleh Copeland dan Antikarov menggunakan dua asumsi. Asumsi pertama dikenal sebagai Market Asset Disclaimer (MAD), yang menyatakan present value dari proyek tanpa opsi diasumsikan sebagai nilai pasar dari proyek saat itu, seolah-olah proyek tersebut terlihat seperti asset yang diperdagangkan. Asumsi kedua adalah variansi dari return proyek mengikuti random walk. Misalkan Vi menyatakan nilai dari proyek pada periode ke-i dan

��+� ��

menyatakan return

antara periode ke-i dengan periode ke- (đ?‘– + 1). Karena geraknya diasumsikan mengikuti đ?‘‰ random walk, maka ln ( đ?‘–+1 ) akan berdistribusi normal, dengan mean v dan variansi đ?œŽ 2 . đ?‘‰đ?‘–

Untuk ∆đ?‘Ą → 0 model stokastik ini dapat dinyatakan sebagai gerak Brown yaitu


98

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

đ?‘‘lnđ?‘‰ = đ?‘Łđ?‘‘đ?‘Ą + đ?œŽđ?‘‘đ?‘§ , đ?‘‘đ?‘§ = đ?œ€âˆšđ?‘‘đ?‘Ą , đ?œ€~đ?‘ (0,1) Untuk asumsi yang menyatakan bahwa distribusi logaritma dari return proyek pada setiap periode akan membuat distribusi dari nilai proyek pada setiap periode mengkitui distribusi lognormal. Berdasarkan hal ini, perubahan nilai đ?‘‰đ?‘– akan mengikuti distribusi lognormal, dan dapat dimodelkan mengikuti Geometric Brownian Motion (GBM) yang dinyatakan oleh 1 đ?œ‡ = đ?‘Ł + đ?œŽ 2. 2 Berbagai jenis ketidakpastian dalam proyek akan rumit dimodelkan. Asumsi kedua ini memungkinkan beberapa ketidakpastian yang ada dalam proyek untuk dikombinasikan kedalam suatu ketidakpastian yang mewakili yang lainnya. Ketidakpastian tersebut terkait dengan proses stokastik dari nilai proyek V, dan parameter dari dalam proses ini dapat diperoleh menggunakan simulasi Monte Carlo dari arus kas proyek. Kemudian dapat dilihat bahwa model waktu diskrit yang menggunakan model trinomial lattice dapat menaksir nilai dari proyek yang berjalan dengan waktu kontinu. đ?‘‘đ?‘‰ = đ?œ‡đ?‘‰đ?‘‘đ?‘Ą + đ?œŽđ?‘‰đ?‘‘đ?‘§,

2.1 Expected Cash Flow Present value dari proyek pada saat t=0, V0, menyatakan nilai proyek yang dihitung menggunakan metode DCF berdasarkan ekpektasi aliran kasnya yaitu {đ??śđ?‘– , đ?‘– = 1,2, ‌ , đ?‘š}. Arus kas ini selanjutnya akan didiskontokan menggunakan risk-adjusted discount rate đ?œ‡ untuk mendapatkan present value dari proyek di tiap periodenya (BrandĂŁo dan Dyer. 2005). Model ini dinyatakan oleh persamaan : đ?‘š

đ?‘‰đ?‘– = ∑ đ?‘Ą=đ?‘–

2.1.1

đ??śđ?‘Ą (1 + đ?œ‡)đ?‘Ąâˆ’đ?‘–

Simulasi Monte Carlo

Distribusi lognormal dari nilai proyek dapat sepenuhnya didefinisikan sebagai mean dan standar deviasi dari return. Menggunakan asumsi bahwa pasar itu efisien, pembelian proyek pada harga tersebut perlu jaminan bahwa NPV akan bernilai nol atau positif dan expected return dari proyek ini akan sama dengan nilai dari risk-adjusted discount rate đ?œ‡. Standar deviasi, atau volatilitas dari proyek dapat ditentukan menggunakan simulasi Monte Carlo dari Gerak Brown Aritmatik terhadap return proyek yang dinyatakan oleh đ?‘‘lnđ?‘‰ = đ?‘Łđ?‘‘đ?‘Ą + đ?œŽđ?‘‘đ?‘§. Dampak ketidakpastian yang mempengaruhi variabel proyek yang relevan pada terhadap return ditentukan dengan mensimulasikan masing-masing proses stokastik variable tersebut, dan sebagai hasilnya, arus kas proyek akan bersifat stokastik (BrandĂŁo dan Dyer. 2005). Setiap iterasi pada simulasi Monte Carlo akan menghasilkan arus kas yang baru untuk masa yang kan datang dari nilai proyek yang baru V1 untuk setiap akhir periode ke-1. Kemudian sampel dari peubah acak đ?‘‰Ěƒ1 đ?‘ŁĚƒ = ln( ) đ?‘‰0


99

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dimana đ??¸[đ?‘ŁĚƒ] = đ?‘Ł. Simulasi ini akan menghasilkan himpunan peubah acak đ?‘ŁĚƒ dari volatilitas proyek yang dihitung. Kemudian volatilitas đ?œŽ didefinisikan sebagai standar deviasi dari return proyek pertahun. 3. REAL OPTION DENGAN PERUBAHAN VOLATILITAS 3.1 Trinomial Lattice Model trinomial diperkenalkan pertama kali oleh Boyle pada tahun 1986. Model ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan yang dimiliki oleh model binomial lattice (Haahtela, 2010). Trinomial lattice memiliki tiga perameter untuk menentukan nilai pada periode berikutnya, yaitu u untuk factor naik, d untuk factor turun, dan m yang menyakan nilai aset tidak berubah, dengan peluang masing-masing kejadian adalah đ?‘?đ?‘˘ , đ?‘?đ?‘‘, đ?‘?đ?‘š dimana đ?‘?đ?‘š = 1 − đ?‘?đ?‘˘ − đ?‘?đ?‘‘ . Oleh karena itu ada lima parameter yang tidak diketahui dari pohon trinomial ini yaitu, yaitu: đ?‘?đ?‘˘ , đ?‘?đ?‘‘ , đ?‘†đ?‘˘ , đ?‘†đ?‘‘ dan đ?‘†đ?‘š . Jika ditinjau model binomial Lattice dua periode dengan volatilitas yang konstan, maka didapat model trinomial untuk satu periode. Sebagai contohnya, dapat dilihat dengan menggunakan model binomial CRR yaitu (Haahtela, 2010); đ?‘†đ?‘˘ = đ?‘†đ?‘’ đ?œŽâˆš2Δđ?‘Ą đ?‘†đ?‘š = đ?‘† đ?‘†đ?‘‘ = đ?‘†đ?‘’ −đ?œŽâˆš2Δđ?‘Ą đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą/2 − đ?‘’ −đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą/2

2

) đ?‘?đ?‘˘ = ( đ?‘’ đ?œŽÎ”đ?‘Ą/2 − đ?‘’ −đ?œŽâˆšÎ”t/2 đ?‘’ đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą/2 − đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą/2

2

) đ?‘?đ?‘‘ = ( đ?‘’ đ?œŽÎ”đ?‘Ą/2 − đ?‘’ −đ?œŽâˆšÎ”t/2 đ?‘?đ?‘š = 1 − đ?‘?đ?‘˘ − đ?‘?đ?‘‘ Pohon trinomial juga dapat dimodelkan dengan menggunakan asumsi yang dasar yang sama dan batasan yang digunakan pada model binomial lattice. Peluang transisi bernilai antara 0 dan 1 dan jika dijumlahkan harus bernilai satu, mean dari distribusi diskrit sama dengan mean dari distribusi kontinu yang mengikuti distribusi lognormal, dan variansi yang sama dengan variansi dari distribusi kontinu. đ?‘?đ?‘˘ + đ?‘?đ?‘š + đ?‘?đ?‘‘ = 1,

0<đ?‘?<1

đ?‘?đ?‘˘ đ?‘†đ?‘˘ + đ?‘?đ?‘š đ?‘†đ?‘š + đ?‘?đ?‘‘ đ?‘†đ?‘‘ = đ?‘†đ?‘€ đ?‘?đ?‘˘ (đ?‘† 2 đ?‘˘2 − đ?‘† 2 đ?‘š 2 ) + đ?‘?đ?‘š (đ?‘† 2 đ?‘š 2 − đ?‘† 2 đ?‘€2 ) + đ?‘?đ?‘‘ (đ?‘† 2 đ?‘‘2 − đ?‘† 2 đ?‘€2 ) = đ?‘† 2 đ?‘‰ dengan đ?‘€ = đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą dan đ?‘‰ = đ?‘’ đ?œŽ

2 Δ�

.

(3.1) (3.2) (3.3)


100

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Boyle memperluas model di atas. Menggunakan persamaan (3.1 – 3.3) dan memilih u.d = 1, Boyle menyatakan peluang transisi ke dalam persamaan đ?‘?đ?‘˘ = đ?‘?đ?‘‘ =

(đ?‘‰ + đ?‘€2 − đ?‘€)đ?‘˘ − (đ?‘€ − 1) (đ?‘˘ − 1)(đ?‘˘2 − 1)

đ?‘˘2 (đ?‘‰ + đ?‘€2 − đ?‘€) − đ?‘˘3 (đ?‘€ − 1) (đ?‘˘ − 1)(đ?‘˘2 − 1)

dan đ?‘?đ?‘š = 1 − đ?‘?đ?‘˘ − đ?‘?đ?‘‘ Jika parameter yang ada pada model CRR untuk u dan d digunakan, dan memilih m = 1, maka akan ada peluang dari kejadian tersebut yang tidak berada diantara 0 dan 1. Oleh karena itu, Boyle menggunakan parameter disperse đ?œ† > 1 untuk meningkatkan nilai u dan mengurangi nilai d (Haahtela, 2010). Sehingga nilai u dan d menjadi đ?‘˘ = đ?‘’ đ?œ†đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą đ?‘‘ = đ?‘’ −đ?œ†đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą Model yang dikemukan oleh Boyle ini memberikan nilai peluang transisi yang negatif untuk nilai đ?œ† yang kecil. Dengan mencoba berbagai nilai untuk đ?œ† maka diperoleh rentang nilai untuk đ?‘˘ dan interval yang memberikan peluang transisi untuk menentukan nilai asetnya (Haahtela, 2010). 3.2 Model dengan Perubahan Volatilitas Dengan mengalikan persamaan (3.2) dengan 1/S dan persamaan (3.3) dengan 1/S2. Persamaan (3.1) dapat digunakan untuk mengeliminasi đ?‘?đ?‘š pada persamaan (3.2) dan (3.3). Kemudian dari persamaan (3.2) baik đ?‘?đ?‘˘ ataupun đ?‘?đ?‘‘ dapat disubstitusikan kedalam persamaan (3.3). Nilai untuk đ?‘?đ?‘˘ , đ?‘?đ?‘š dan đ?‘?đ?‘‘ sebagai berikut: đ?‘€2 đ?‘‰ − đ?‘€đ?‘‘ − đ?‘€đ?‘š + đ?‘šđ?‘‘ đ?‘˘2 + đ?‘šđ?‘‘ − đ?‘˘đ?‘š − đ?‘˘đ?‘‘ đ?‘šâˆ’đ?‘˘ đ?‘€âˆ’đ?‘š )+( đ?‘?đ?‘‘ = đ?‘?đ?‘˘ ( ) đ?‘‘−đ?‘š đ?‘‘−đ?‘š

đ?‘?đ?‘˘ =

đ?‘?đ?‘š = 1 − đ?‘?đ?‘˘ − đ?‘?đ?‘‘ đ?œŽ 2Δđ?‘Ą

dengan đ?‘€ = đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą dan đ?‘‰ = đ?‘’ dan memilih u.d=m2 untuk trinomial recombining-nya. Dermand menyatakan bahwa pada trinomial lattice dengan volatilitas konstan berlaku (Haahtela, 2010) đ?‘†đ?‘˘ = đ?‘†đ?‘’ đ?œ‹Î”đ?‘Ą+đ?œ†đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą đ?‘†đ?‘‘ = đ?‘†đ?‘’ đ?œ‹Î”đ?‘Ąâˆ’đ?œ†đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą đ?‘†đ?‘˘đ?‘‘ = đ?‘†đ?‘‘đ?‘˘ = đ?‘†đ?‘’ 2đ?œ‹Î”đ?‘Ą


101

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

untuk đ?œ† > 1 dan semua nilai đ?œ‹ yang memungkinkan. Mengikuti asumsi risk-neutral, nilai dasar aset akan meningkat seiring dengan meningkatnya suku bunga bebas risiko. Begitu juga karena đ?‘˘ > đ?‘š > đ?‘‘ maka dipilih đ?‘š = đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą dengan đ?œ‹ = đ?‘&#x;. Menurut (Haahtela, 2010), untuk đ?œ†đ?œŽâˆšÎ”đ?‘Ą yang memiliki parameter dispersi đ?œ† > 1 . Nilai đ?œ† berada diantara 1.2 dan √3. Semakin kecil nilai parameter dispersinya maka semakin kecil juga nilai pergerakan naik dan turunnya nilai aset. Semakin dekat nilai đ?œ† menuju 1, maka peluang nilai aset untuk berada pada simpul yang di tengah dari pohon trinomial akan menuju 0. Jika dipilih đ?œ† = 1.50.5 ~1,2247 akan membuat nilai peluang transisinya menjadi 1/3 ketika Δđ?‘Ą menuju 0. Untuk itu, nilai dari đ?œ† harus berada antara 1 dan 1.50.5. Tidak ada cara yang tepat untuk menentukan đ?œ†. Untuk đ?œ† =1,12 akan memberikan peluang transisi yang lebih baik untuk model ini. Jika dipilih parameter dispersi yang lebih kecil, maka akan sangat kecil peluang transisi dari nilai aset untuk menuju simpul tengah dari pohon trinomial. 2 Modifikasi selanjutnya adalah dengan menggunakan hampiran √đ?‘’ đ?œŽ Δđ?‘Ą − 1 untuk đ?œŽÎ”đ?‘Ą. Parameter yang terdapat dalam model trinomial akan menjadi đ?‘š 2 (đ?‘‰ − 1) đ?‘˘2 + đ?‘šđ?‘‘ − đ?‘˘đ?‘š − đ?‘˘đ?‘‘ đ?‘šâˆ’đ?‘˘ ) đ?‘?đ?‘‘ = đ?‘?đ?‘˘ ( đ?‘‘−đ?‘š đ?‘?đ?‘š = 1 − đ?‘?đ?‘˘ − đ?‘?đ?‘‘

đ?‘?đ?‘˘ =

đ?‘˘ = đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą+

(3.4) (3.5) (3.6)

√đ?‘’ (đ?œ†đ?œŽ)2Δđ?‘Ą −1

(3.7)

√đ?‘’ (đ?œ†đ?œŽ)2 Δđ?‘Ą −1

(3.8)

đ?‘‘ = đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ąâˆ’

Gerakan naik dan turun dihitung menggunakan volatilitas terbesar selama investasi yaitu đ?œŽ = đ?œŽđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ . Nilai u dan d digunakan untuk semua periode waktu terlepas dari perubahan volatilitasnya. Namun peluang transisi yang dihitung menggunakan persamaan (3.4 – 3.6) hanya berlaku untuk periode dengan volatilitas tertinggi. Peluang transisi untuk periode lainnya dihitung sehingga persamaan (3.2) berlaku untuk nilai yang diperkirakan dan persamaan (3.3) untuk volatilitas lokalnya. Menggunakan persamaan (3.4 – 3.6) untuk đ?‘?đ?‘˘ , đ?‘?đ?‘‘ dan đ?‘?đ?‘š yang berlaku untuk periode dengan volatilitas tertinggi, kita dapat menghitung nilai peluang transisi untuk periode ke-i menggunakan đ?‘?đ?‘˘đ?‘– = đ?‘?đ?‘˘ (

đ?œŽđ?‘– đ?œŽđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘

2

)

(3.9)

2

(3.10)

đ?‘– đ?‘?đ?‘š = 1 − đ?‘?đ?‘˘đ?‘– − đ?‘?đ?‘‘đ?‘–

(3.11)

đ?‘?đ?‘‘đ?‘– = đ?‘?đ?‘‘ (

đ?œŽđ?‘– đ?œŽđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘

)


102

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Sebagai hasilnya, kita memiliki parameterisasi yang tersedia untuk membangun pohon trinomial recombining dengan perubahan volatilitas. Setelah nilai underlying asset dibangun menggunakan persamaan (3.7) dan (3.8), payoff dari opsi dimasukaan ke dalam model. Kemudian pohon opsi tersebut dihitung menggunakan backward-steps sesuai dengan peluang risk-neutral pada persamaan (3.9 – 3.11). Nilai dari opsi đ?‘‰đ?‘Ą diketahui pada akhir peride T, dengan strike price I, dan untuk opsi call akan bernilai đ?‘‰đ?‘Ą = đ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ {đ?‘†đ?‘Ą − đ??ź, 0} dan untuk opsi Put akan bernilai đ?‘‰đ?‘Ą = đ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ {đ??źâˆ’đ?‘†đ?‘Ą , 0}. Berdasarkan asumsi risk-neutral nilai dari setiap simpul dapat dihitung menggunakan persamaan đ?‘†đ?‘Ąâˆ’1 =

đ?‘?đ?‘˘ đ?‘†đ?‘Ą,đ?‘˘ + đ?‘?đ?‘š đ?‘†đ?‘Ą,đ?‘š + đ?‘?đ?‘‘ đ?‘†đ?‘Ą,đ?‘‘ đ?‘’ đ?‘&#x;Δđ?‘Ą

(3.12)

3.3 Parameterisasi Pohon Trinomial Berdasarkan Perhitungan Arus Kas Volatilitas dari proyek mungkin saja tidak diketahui sementara standar deviasinya tersedia. Berdasarkan Geometric Brownian Motion (GBM), standar deviasi dari S dari waktu ke waktu diberikan oleh persamaan berikut. đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘(đ?‘†) = đ?‘†đ?‘’ đ?‘&#x;đ?‘Ą √đ?‘’ đ?œŽ

2đ?‘Ą

2

− 1 = đ?‘†đ?‘’ đ?‘&#x;đ?‘Ą √đ?‘’ ∑ đ?œŽđ?‘– đ?‘Ąđ?‘– − 1

Oleh karena itu, jika standar deviasi dari proses underlying asset pada titik waktu tertentu diketahui, maka akan dapat dihitung volatilitas rata-rata untuk setiap periode waktu. Mulai dari awal proses, masing-masing đ?œŽđ?‘– dapat dihitung sebagai berikut 2

đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘ (đ?‘†đ?‘– ) 2 đ?‘™đ?‘› [( ) + 1] − ∑đ?‘–−1 đ?‘–=0 đ?œŽđ?‘– đ?‘Ąđ?‘– đ?‘†0 đ?‘’ đ?‘&#x;đ?‘Ą √ đ?œŽđ?‘– = đ?‘Ąđ?‘–

(3.13)

Jika standar deviasi juga tidak diketahui, maka nilainya harus ditaksir terlebuh dahulu. Beberapa penulis mengemukakan cara yang berbeda dalam menerapkan simulasi Monte Carlo untuk mengestimasi volatilitas. Menurut (Haahtela, 2010), metode estimasi volatilitas berdasarkan arus kas diantaranya; pendekatan logaritmik nilai sekarang oleh Copeland & Antikarov (2001), pendekatan logaritmik nilai sekarang bersyarat oleh BrandĂŁo, Dyer & Hahn (2005), simulasi dua tingkat dan metode regresi kuadrat terkecil oleh Godinho (2006) . Semua metode ini memiliki ide dasar yang sama. Simulasi Monte Carlo pada arus kas mengkonsolidasikan proses stokastik berdimensi tinggi dari beberapa variabel yang berkorelasi ke dalam proses GBM berdimensi rendah. Nilai volatilitas đ?œŽ dari underlying asset dapat diestimasi dengan menghitung standar deviasi dari distribusi peluang yang disimulasikan untuk laju return. 4. IMPLEMENTASI MODEL DAN HASIL Penerapan ini diambil dari (BrandĂŁo dan Miranda.2013) berdasarkan situasi nyata dari sebuah perusahaan Peruvian di Peru, sebut saja perusahaan ABC. Perusahaan ini memiliki beberapa proyek pertambangan, tapi hanya satu dari mereka yang akan dihitung nilai


103

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

proyeknya. Bagaimanapun, mengingat bahwa 80% dari produk potensialnya adalah perak, logam ini akan dijadikan logam yang mempengaruhi nilai proyek. Pertambangan ini adalah milik sebuah grup investasi dan bisnis utamanya adalah untuk berinvestasi dalam pengembangan tambang pada tahap ekplorasi dan menjualnya saat produksi tambang sudah stabil. Oleh karena itu diperkirakan perusahaan bisa mencapai kestabilannya dalam lima tahun, yang mana hal itu adalah waktu yang digunakan untuk menganalisa proyek. Berdasarkan simulasi pada (BrandĂŁo dan Miranda.2013), nilai mean dan standar deviasinya adalah 11,60% dan 39,80% per tahun. Tabel 4.1 memperlihatkan rata-rata harga perak untuk 5 tahun yang akan datang. Rata-rata harga perak ini melalui simulasi Monte Carlo dengan 5.000 iterasi. Tabel 4.1 Rata-rata Perkiraan Harga Perak (BrandĂŁo dan Miranda.2013)

(USD/Ounce

Tahun 1

Tahun 2

Tahun 3

Tahun 4

Tahun 5

Harga perak

$21,28

$24,40

$27,93

$30,56

$34,07

Perusahaan tersebut memiliki potensi untuk memproduksi perak, seng, dan timbal. Namun produk utama dari pertambangan ini adalah perak, dimana volumenya mencapai 80% hasil produksi. Sehingga perak menjadi satu-satunya logam yang diikutkan dalam dalam evaluasi ini. Dalam studi kelayakan yang dilakukan oleh perusahaan, biaya produksi dinyatakan dalam bentuk ons per perak. Sebagai contoh, meskipun pertambangan bisa menghasilkan tiga jenis logam, perusahaan hanya menggunakan perak sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi kelayakan finansial proyek. Tingkat perkiraan produksi perak untuk tahun-tahun yang akan datang dapat dilihat pada Tabel 4.2. Produksi awal perak adalah 0,051 juta Ons pada tahun pertama dan naik hingga 3,416 juta ons pada akhir tahun kelima. Total jumlah produksi perak hingga akhir tahun kelima adalah 9,647 juta ons. Untuk tujuan penilaian proyek, diasumsikan bahwa biaya produksi adalah konstan selama lima tahun ke depan. Biaya produksi tersebut diperkirakan sebesar $15 per ons per perak yang diproduksi. Bagaimanapun, biaya dapat berubah tergantung pada faktor-faktor yang tidak dipertimbangkan dalam proyek ini. Tabel 4.2 Perkiraan Produksi Perak dalam 5 Tahun (BrandĂŁo dan Miranda.2013) Tahun

Bijih Tambang

Tingkat Perak (G/T)

Tingkat Timbal

Tingkat Seng

Produksi Perak

(%)

(%)

(Juta Ons)

1

11.316

129

0,63

1,73

0,051

2

97.886

244

1,71

2,61

0,842

3

170.872

332

1,66

3,27

2,001

4

259.160

365

1,77

3,05

3,337


104

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

5

283.979

341

1,44

2,18

3,416

Tabel 4.3 menjelaskan arus kas dan nilai awal dari proyek yang diperoleh dari simulasi oleh (BrandĂŁo dan Miranda, 2013). Berdasarkan Tabel 4.3 mengikuti asumsi Market Asset Disclaimer (MAD), nilai awal proyek adalah $47,07 juta yang dihitung menggunakan metode DCF. Tabel 4.3 Simulasi Arus Kas Proyek (BrandĂŁo dan Miranda, 2013) 2014

2015

2016

2017

2018

2019

Harga perak (USD/ons)

30,68

25,06

45,89

98,20

112,66

Total Pendapatan Kotor

1,58

21,11

91,82

327,65

384,83

Biaya perawatan per tahun (Juta Dolar)

0,77

12,64

30,02

50,05

51,24

Total pendapatan bersih (Juta Dolar)

0,81

8,47

61,81

277,60

333,60

226,81

272,17

325,63

381,99

409,83

246,52

47,07

55,45

68,23

72,63

67,88

43,58

PV NPV

Misalkan diketahui standar deviasi nilai proyek đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘(đ?‘†)1 = 19.80, đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘(đ?‘†)2 = 21.72, đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘(đ?‘†)3 = 23.19, đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘(đ?‘†)4 = 24.31 đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘ (đ?‘†)5 = 25.02 dan dengan volatilitas proyek yang sama dengan yang digunakan oleh model sebelumnya yaitu 0,3980, persamaan (3.13) memberikan volatilitas untuk empat tahun berikutnya secara berturut-turut yaitu 0,1560 0,1327 , 0,1095 dan 0,0730. Dengan suku bunga bebas risiko đ?‘&#x; = 0,015 dan nilai đ?œ† = 1,12. Proyek ini akan dijalankan selama 5 tahun dengan banyak langkah yang ditetapkan yaitu sebanyak 5 langkah. Besarnya kenaikan (u) dan penurunan (d) untuk tahun pertama nilai aset pada pohon trinomial dapat dihitung menggunakan persamaan (4.7) dan persamaan (4.8), diperoleh u = 1,6223 dan d = 0,6164 adalah. Nilai u dan d tersebut dihitung dengan volatilitas đ?œŽđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ = 0,3980 . Menggunakan persamaan (4.9 – 4.11) maka akan diperoleh nilai peluang pada Tabel 4.4. Pertumbuhan nilai aset dari proyek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.4 Nilai Peluang untuk Model Trinomial Waktu

1

2

3

4

5

đ?’‘đ?’Šđ?’–

0.2951

0.0453

0.0328

0.0223

0.0099

đ?’‘đ?’Šđ?’Ž

0.2333

0.8822

0.9148

0.9420

0.9742

đ?’‘đ?’Šđ?’…

0.4716

0.0725

0.0524

0.0357

0.0159


105

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Tabel 4.5 Pertumbuhan Nilai Aset Pada Pohon Trinomial đ?‘˝(đ?’Š, đ?’?)

0

1

2

3

4

5

47.0700

76.3619

123.8823

200.9748

326.0424

528.9403

47.7814

77.5160

125.7545

204.0122

330.9699

29.8979

48.5035

78.6875

127.6551

207.0954

30.3497

49.2365

79.8767

129.5843

18.9905

30.8084

49.9806

81.0838

19.2775

31.2740

50.7360

12.0624

19.5689

31.7467

12.2447

19.8646

7.6618

12.4297 7.7776 4.8666

Tabel 4.6 Nilai Proyek Menggunakan Model Trinomial đ?‘­(đ?’Š, đ?’?)

0

1

2

3

4

5

10.4241

31.3100

77.9949

154.3934

278.7571

480.9403

5.0402

31.6774

79.1731

156.7268

282.9699

0.3532

4.1558

32.1150

80.3697

159.0954

0.1925

3.4548

32.5913

81.5843

0.0034

0.0897

2.9493

33.0838

0.0006

0.0268

2.7360

0

0

0

0

0

0

0 0 0

Dengan nilai investasi sebesar $48 juta, maka imbal hasil dari proyek tersebut adalah đ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ {đ?‘‰ − đ??ź} dengan V adalah nilai asset pada Tabel 4.5. Selanjutnya untuk menghitung nilai proyek pada saat ini digunakan proses backwardsteps dengan persamaan (3.12). Perhitungan nilai proyek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.6. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai proyek tersebut menggunakan model trinomial modifikasi Haahtela adalah $10,4241 juta.


106

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Jika standar deviasi tidak diketahui, maka nilainya diperoleh dari simulasi aliran kas pada masa yang akan datang menggunakan simulasi Monte Carlo, dari simulasi sebanyak 10000 untuk nilai awal proyek tersebut diperoleh đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘ (đ?‘†)1 = 18.3754, đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘ (đ?‘†)2 = 22.4187, đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘(đ?‘†)3 = 24.7561, đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘ (đ?‘†)4 = 26.3537 dan đ?‘ đ?‘Ąđ?‘‘ (đ?‘†)5 = 27.60 dengan drift dan volatilitas proyek yang sama dengan model sebelumnya yaitu 0.1160 dan 0,3980, persamaan (3.13) akan memberikan volatilitas untuk empat tahun berikutnya secara berturut-turut yaitu 0,1877, 0,1782 , 0,1412 dan 0,1180. Dengan suku bunga bebas risiko đ?‘&#x; = 0,015 dan nilai đ?œ† = 1,12. Proyek ini akan dijalankan selama 5 tahun dengan banyak langkah yang ditetapkan yaitu sebanyak 5 langkah. Besarnya kenaikan (u) dan penurunan (d) untuk tahun pertama nilai aset pada pohon trinomial dapat dihitung menggunakan persamaan (3.7) dan persamaan (3.8), diperoleh u = 1,6223 dan d = 0,6164 adalah. Nilai u dan d tersebut dihitung dengan volatilitas đ?œŽđ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ = 0,3980 . Menggunakan persamaan (3.9 – 3.11) maka akan diperoleh nilai peluang pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Nilai Peluang Trinomial berdasarkan standar deviasi yang diperoleh dari simulasi Waktu

1

2

3

4

5

đ?’‘đ?’Šđ?’–

0.2951

0.0656

0.0592

0.0371

0.0259

đ?’‘đ?’Šđ?’Ž

0.2333

0.8295

0.8463

0.9035

0.9326

đ?’‘đ?’Šđ?’…

0.4716

0.1049

0.0945

0.0594

0.0415

Dengan nilai investasi sebesar $48 juta, maka imbal hasil (payoff) dari proyek tersebut adalah đ?‘šđ?‘Žđ?‘˜đ?‘ {đ?‘‰ − đ??ź} dengan V adalah nilai asset pada Tabel (4.5). Selanjutnya untuk menghitung nilai proyek pada saat ini digunakan proses backwardsteps dengan persamaan (3.12). Perhitungan nilai proyek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Nilai Proyek dengan standar deviasi dari simulas i đ?‘­(đ?’Š, đ?’?)

0

1

2

3

4

5

10.9880

31.5861

77.9980

154.3934

278.7571

480.9403

6.4940

31.8030

79.1731

156.7268

282.9699

0.6749

5.3806

32.1449

80.3697

159.0954

0.3985

4.1862

32.5913

81.5843

0.0129

0.1851

3.3590

33.0838

0.0026

0.0699

2.7360

0

0

0

0

0

0

0 0 0


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

107

Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa nilai proyek tersebut menggunakan model trinomial modifikasi adalah $10,9880 juta. Gambar 4.1 memperlihatkan pengaruh nilai proyek terhadap suku bunga bebas risiko (r). Semakin besar nilai suku bunga bebas risiko maka nilai proyek akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan suku bunga bebas risiko yang tinggi akan menjadikan nilai aset tumbuh lebih cepat.

Gambar 4.1 Nilai Proyek dengan Trinomial terhadap Suku Bunga

Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa untuk banyak langkah yang semakin banyak pada periode yang tetap, nilai proyek tersebut akan konvegen ke $9,8 juta.

Gambar 4.2 Nilai Proyek dengan Trinomial terhadap banyaknya langkah.


108

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

5. KESIMPULAN Perhitungan nilai proyek dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya adalah metode Discounted Cash Flow (DCF) dan metode Real Option. Pada proses perhitungan nilai proyek dalam pembahasan sebelumnya, tampak bahwa nilai proyek yang dihasilkan menggunakan metode DCF adalah sebesar $47,07 juta - $48 juta = -0,93 juta, dimana $47,07 juta adalah nilai proyek yang dihitung tanpa menggunakan opsi. Mengikuti landasan penerapan metode DCF, maka seharusnya proyek ini tidak dijalankan karena diperkirakan akan mengalami kerugian. Dengan menggunakan model trinomial yang dimodifikasi untuk skenario dengan standar deviasi diberikan, nilai proyek yang diperoleh adalah sebesar $10,4241 juta. Sedangkan nilai proyek yang diperoleh untuk skenario standar deviasi yang tidak diketahui adalah $10,9880 juta. Dengan demikian, perusahaan akan melaksanakan proyek ini karena valuasi nilai proyeknya positif. DAFTAR REFERENSI LE Brandão dan JS Dyer. 2005. “Decision analysis and Real Option: A discrete time approach to real option valuation”. Annals of Operations Research 135 (1), 21-39. LE Brandão, JS Dyer dan WJ Hahn.2005. “Response to Comments on Brandão et al.” Decision Analysis 2 (2), 103-109. LE Brandão, JS Dyer, dan WJ Hahn. 2005. “Using binomial decision trees to solve real-option valuation problems”. Decision Analysis 2 (2), 69-88. LE Brandão dan O Miranda.2013. “A real option model to value an exploration mining project: an application”.Rio de Janeiro: Pontificia Universidade Catolica do Rio de Janeiro. S. Benninga, 2014.“Financial Modeling 4th edition”. London:The MIT Press Cambridge. G. Guthrie, 2010. Learning options and binomial trees” .Wilmott Journal 3 (1), 1-23 TJ Haahtela, 2010. “Recombining trinomial tree for real option valuation with changing volatility”. JE Smith, 2005. “Alternative approaches for solving real-options problems (Comment on Brandão et al. 2005)”.Decision Analysis 2 (2), 89-102. Trigeorgis,L. 2002. “Real Option and Investment Under Uncertainty: What do We Know?”.National Bank of Belgium.

BIOGRAFI PENULIS Dean Andrean, S.Si. Lulus dari SMA Negeri 1 Solok pada tahun 2013 lalu melanjutkan pendidikan Sarjana Matematika di ITB dan lulus tahun 2017. Makalah ini merupakan bagian dari Tugas Akhir yang dikerjakan sebagai syarat kelulusan Sarjana.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Rio Nur Arifin, S.Si. Lulus dari SMA Negeri Banyumas dan melanjutkan pendidikan Sarjana Matematika di ITB dengan kelulusan tahun 2017. Makalah ini merupakan bagian dari Tugas Akhir yang dikerjakan sebagai syarat kelulusan Sarjana.

Novriana Sumarti, Ph.D. Lulus Sarjana dan Magister dari Matematika ITB tahun 1995 dan 1998, Master of Advanced Studies dari University of Cambridge, United of Kingdom tahun 2001, dan Ph.D. Numerical Analysis dari Imperial College London, United of Kingdom tahun 2005. Sejak kecil memiliki cita-cita menjadi guru, dan sekarang terwujud sebagai staf pengajar di Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Bidang penelitiannya adalah Numerical Analysis, Mathematical Finance, dan Optimization.

109


110

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Penentuan Porsi dalam Skema Profit-Loss Sharing Investasi Syariah Novriana Sumarti Matematika Industri dan Keuangan, Fakultas MIPA ITB Gedung CAS lt 4, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 novriana@math.itb.ac.id Abstrak Perkembangan perbankan syariah marak terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Bank syariah pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1992. Sesuai peraturan Bank Indonesia No 23 Tahun 1999, diperbaiki dalam Peraturan No. 3 Tahun 2004, bank Syariah dan konvensional diperbolehkan untuk beroperasi di Indonesia. Sekarang terdapat 11 (sebelas) bank syariah dan sekitar lima puluhan unit usaha dan office channeling dari bank konvensional yang menerapkan sistem syariah. Pada makalah ini, penelitian tentang pasar saham syariah dan perbankan syariah akan dibahas. Salah satu penelitiannya adalah penerapan skema Bagi Untung dan Rugi yang merupakan ciri khas ekonomi syariah dengan menggunakan optimisasi dalam Matematika. Optimisasi dilakukan untuk mendapatkan porsi bagi untung yang dapat menguntungkan baik bagi pemberi modal investasi maupun penerima modal. Kata kunci: Ekonomi Syariah, Optimisasi, Skema Bagi Hasil Untung dan Rugi. Abstract The development of Islamic banking is rife in many countries, including Indonesia. The first Islamic bank in Indonesia was established in 1992. According to the regulation of Bank Indonesia No. 23 of 1999, amended in Regulation No. 3 In 2004, both Islamic and conventional banks are allowed to operate in Indonesia. Now there are 11 (eleven) Islamic banks, and about five dozens of business units and office channeling of conventional banks that implement the sharia system. In this paper, the research on the stock market of sharia and Islamic banking will be discussed. One of the studies is the application of Profit - Loss scheme, which is the hallmark of Islamic economic, using optimization in Mathematics. Optimization is done to get a portion of the profit that can be beneficial for both the owner and recipient of capital investment capital. Keywords: Islamic Economics, optimization, Profit-Loss Sharing scheme, 1. PENDAHULUAN Sejak beberapa tahun terakhir, bank-bank syariah, yaitu institusi bank yang beroperasi berdasarkan syariat Islam, telah memperlihatkan eksistensinya dalam percaturan ekonomi dan perbankan di Indonesia. Bank syariah pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Bank Indonesia, regulator bank di Indonesia, telah menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah� tahun 2007 dengan kerangka waktu perencanaan selama sepuluh tahun. Cetak biru tersebut meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman para stakeholder perbankan syariah


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

111

(Dep. Keu, 2007). Sebenarnya apakah Ekonomi Syariah itu? Ekonomi Syariah adalah juripredensi (Hukum) ekonomi yang diatur oleh al-Quran dan al-Hadits. Terdapat definisi dari jenis akad, yaitu kesepakatan dalam suatu perjanjian antara 2 pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Klasifikasi akad ini berdasarkan tujuan, keabsahannya dan pelaksanaannya. Misalkan berdasarkan tujuan, kegiatan ekonomi itu dapat berupa kegiatan derma (non-profit) atau kegiatan profit. Dalam Islam, peminjaman uang merupakan derma dan tidak boleh menjadi kegiatan profit. Karena sesuai dengan Hadist Nabi, penukaran emas/perak dengan emas/perak harus dalam jumlah yang sama, tidak boleh ada penambahan. Dalam hal ini, uang memiliki fungsi yang sama dengan emas/perak pada jaman dahulu. Apakah ini artinya Islam menentang investasi, di mana seseorang meminjamkan uangnya untuk pelaksanaan kegiatan ekonomi dengan harapan untuk mendapat untung? Sebaliknya, beberapa hukum menerangkan tentang investasi melalui kontrak-kontrak kerjasama dengan pembagian keuntungan (profit sharing). Misalnya Mudharabah, yaitu investasi antara pemilik modal dan pengusaha, dimana modal diberikan seluruhnya oleh pemilik modal, dan keuntungan dibagi dua dalam porsi tertentu antara 2 pihak, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Contoh lain adalah Musyarakah, dimana modal diberikan oleh pemilik modal dan pengusaha, sehingga harta modal bercampur sehingga tidak dapat dibedakan kepemilikannya. Keuntungan dan kerugian dibagi dua dalam porsi tertentu untuk kedua pihak. Untuk pembagian keuntungan investasi, terdapat bagi hasil (profit loss sharing). Pembagian hasil sesuai dengan persentase jatah bagi hasil (nisbah) sesuai dengan kesepakatan ke dua belah pihak. Perlu ditekankan di sini, keuntungan yang diperoleh dari investasi yang dibagi antara pemberi modal dan pengusaha, besarnya bukan sejumlah bagian (porsi) dari besar uang yang dititipkan pemberi modal kepada pengusaha. Beberapa penelitian mengenai ekonomi syariah sudah dilakukan. Dalam bagian 2, beberapa penelitian mengenai analisis kebenaran dari keunggulan investasi berasaskan Syariah, terutama pada pasar keuangan dan perbankan syariah. Bagian 3 berisi penelitian mengenai sistem bagi hasil laba-rugi dalam investasi kecil yang dideskripsikan sebagai model matematika yang mendefinisikan hubungan antara jumlah dana angsuran yang harus diserahkan pada setiap periode dengan beberapa unsur seperti laba keuntungan pedagang dan proposi keuntungan yang dibagikan kepada peminjam dana. Model matematika tersebut dianalisis sehingga didapatkan proporsi bagi hasil yang optimal sehingga mikrokredit ini dapat menjadi suatu investasi yang menguntungkan bagi pemiliki dana dan juga bagi pemilik usaha. 2. PASAR SAHAM DAN PERBANKAN SYARIAH Semula pasar modal dan saham banyak dihindari masyarakat muslim karena anggapan bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pasar tersebut menerapkan riba. Seiring berkembang pesatnya pasar modal, investor muslim sangat berharap dapat berperan dalam memanfaatkan perkembangan ini. Tahun 1987, tim yang terdiri dari Muhammad Taqi Usmani (Pakistan), Saleh Tug (Turki) dan Sheikh Mohammad Al-Tayyeb Al-Najar (Mesir) membuat Kriteria Seleksi Syariah (Shariah Screening Criteria) yang memungkinkan muslim dapat berinvestasi pada pasar modal (Adam, 2014). Biasanya seleksi yang digunakan berada dalam dua fokus utama: kegiatan bisnis dan rasio keuangan. Seleksi bisnis (kadang-kadang


112

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dikenal sebagai seleksi kualitatif atau sektoral) dilakukan untuk menyelidiki sifat dari bisnis inti. Misalnya, tidak diperbolehkan memiliki bisnis inti yang melibatkan produk mengandung alkohol, tembakau, babi, entertainment (hotel, perjudian, pornografi dan lain-lain); Seleksi dari rasio keuangan adalah pemeriksaan sumber pendapatan dari perusahaan bukan dari kegiatan yang dilarang dalam syariah, atau bersumber hanya sebagian kecil (di bawah rasio yang ditetapkan oleh Dewan Syariah) dari kegiatan usaha tersebut. Ashraf (2014) membuktikan kebenaran bahwa ekuitas berasaskan prinsip-prinsip investasi Islam tampil lebih baik dari ekuitas konvensional selama fase menurun (downmarket) dari pasar modal. Dalam investasi reksa dana Syariah, kinerja yang lebih baik ini dapat dikaitkan dengan kriteria seleksi berdasarkan syariah yang secara khusus melarang investasi di saham perusahaan-perusahaan yang bergantung secara berlebihan dan/atau terlibat dalam kegiatan perkreditan. Penelitian ini mengkaji sejauh mana klaim ini berlaku dengan membandingkan kinerja indeks global dan regional dari IEIs (Islamic Equity Indices) dengan indeks saham konvensional selama dekade terakhir. Model statistik yang digunakan dalam perbandingan adalah LSTAR (Logistic Smooth Transition Autoregressive) yang lebih unggul daripada model kuadrat terkecil biasa karena model ini memungkinkan untuk transisi yang mulus dari 'downmarket' ke 'up market', yang bukan perubahan secara tiba-tiba. Data yang digunakan dalam (Ashraf, 2014) adalah harga per bulan dari bulan Juni 2002 sampai Mei 2012. Secara umum hasil empiris selama periode 2002 sampai 2012 menunjukkan bahwa IEIs memiliki rata-rata volatilitas rendah dibandingkan dengan indeks benchmark selama periode sampel. Perubahan return dari indeks konvensional benchmark diterjemahkan menjadi perubahan return yang kecil di IEIs. Hasil ini menarik bagi akademisi dan masyarakat umum karena penelitian ini memberikan bukti bahwa IEIs relatif kurang berisiko daripada indeks konvensional yang dijadikan sebagai benchmark, sehingga IEIs dapat memberikan kesempatan perlindungan (hedging) selama masa kejatuhan pasar modal. Beberapa penelitian lain mengenai perbandingan antara investasi syariah dan konvensional, diantaranya (Al-Khazali, 2014) yang menggunakan analisis Stochastic Dominance (SD), sedangkan (Ho, 2014) menggunakan model regresi linier CAPM (Capital Asset Pricing Model) diperumum dan alat perbandingannya adalah Sharpe Ratio (SR), Treynor Index (TI) dan Jensen's Alpha (JA). Bagaimana halnya dengan Perbankan Syariah? Imam (2016) mendapati bahwa sebagian besar negara-negara dengan mayoritas populasi muslim memiliki penghasilan rata-rata rendah sehingga sistem keuangan negara-negara tersebut belum berkembang. Perbankan syariah tampaknya memiliki karakteristik unik yang mudah beradaptasi dengan karakteristik yang berlaku di negara-negara miskin di Timur Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia. Makalah tersebut bertujuan menilai apakah perkembangan perbankan syariah baik untuk pertumbuhan ekonomi di 52 negara dengan data yang mencakup periode 1990-2010. Beberapa kelemahan dari Bank Syariah diantaranya adalah lack of economy dan lack of liquid instruments. Dalam lack of economy, bank-bank tersebut lebih baru dan lebih kecil dari bank konvensional, dengan operasionalnya masih di bawah skala optimal, sehingga memiliki struktur biaya yang lebih tinggi. Kedua, kurangnya alat likuid, di mana tidak ada pasar sekunder untuk produk pendapatan tetap Islam, memaksa bank-bank Islam untuk memiliki cadangan likuiditas yang besar, sehingga dapat tidak dapat maksimal menempatkan pembiayaan dalam dunia investasi relatif dibandingkan dengan bank konvensional. Beberapa


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

113

indikator yang digunakan untuk mengukur perkembangan perbankan syariah adalah rasio kredit yang diberikan untuk sektor swasta terhadap nominal PDB (Pendapatan Domestik Bruto), rasio aset terhadap PDB dan rasio deposito terhadap PDB. Indikator dari pertumbuhan ekonomi adalah PDB riil per kapita, inflasi, konsumsi pemerintah, pendidikan, keterbukaan perdagangan, dan peraturan perdagangan. Menggunakan teknik empiris, mereka mengklaim negara yang mengembangkan perbankan syariah mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari yang lain, dengan asumsi bahwa tingkat perkembangan keuangan dan faktor-faktor penentu pertumbuhan lainnya diadakan sebagai konstan. Bahkan, penerapan peraturan keuangan perbankan syariah oleh negara-negara nonIslam dapat memberikan energi baru pada pertumbuhan ekonomi. Beberapa penelitian lain yang juga mendukung manfaat perbankan syariah adalah (Kumru, 2016) dan (Gheeraert, 2014). Pada (Gheeraert,, 2014), keberadaan sistem perbankan syariah dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dan meningkatkan kesejahteraan secara substansial pada negara-negara yang sejumlah besar penduduk muslimnya tidak percaya kepada perbankan konvensional karena tidak beroperasi sesuai dengan keyakinan agama mereka. 3. OPTIMISASI PORSI BAGI HASIL DALAM INVESTASI Dalam makalah (Sumarti, 2014, 2015), (Lazulfa, 2015) dan (Murniati, 2015), suatu model matematika skema pembagian laba-rugi dibangun untuk melihat bagaimana skema ini dapat menggantikan praktek tradisional meminjamkan uang terhadap bunga tinggi oleh rentenir. Skema pembagian ini mengambil ide bersumber dari metode musyarakah dalam Syariah dan model ini diterapkan untuk investasi skala kecil pedagang tradisional pasar. Mereka biasanya merupakan target dari rentenir, sehingga mereka mungkin dapat menjadi lebih miskin dari keadaan sebelumnya. Tujuan utama dari model ini adalah untuk menemukan porsi pembagian yang tepat dari laba, sehingga investasi ini dapat menguntungkan untuk investor dan juga untuk pedagang. Ada tiga persoalan utama dalam proses perumusan model matematika dan menemukan hasil yang optimal. Persoalannya adalah pembangkitan data simulasi yang cukup mewakili data riil pedagang, penentuan fungsi tujuan untuk optimalisasi porsi bagi hasil, dan penentuan nilai parameter yang sesuai untuk jenis tertentu pedagang. 3.1 Model Profit-and-Loss Sharing (PLS) Penerapan model PLS dalam penyertaan modal usaha mikro membutuhkan beberapa asumsi yang dipenuhi seperti dalam (Sumarti, 2014) : 

Pinjaman diberikan kepada peminjam (pedagang/pelaku usaha mikro) yang sebelumnya sudah melakukan kegiatan jual beli, sehingga modal pinjaman ini bukan merupakan modal awal pedagang dalam aktivitas jual beli.  Pedagang dipercaya untuk mencatat laba setiap hari selama periode peminjaman.  Pinjaman dipergunakan untuk meningkatkan pendapatan bukan untuk konsumsi sendiri. Dalam model ini, investor memberikan dana investasi sebesar A. Pedagang diharuskan mengembalikan dana tersebut setiap hari secara angsuran dan terdapat porsi bagi hasil di


114

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dalamnya. Periode pengembalian ditetapkan selama T hari. Proses angsuran yang di dalamnya terdapat bagi hasil laba ini disebut Musyarakah (Sumarti, 2014). Keuntungan usaha yang diperoleh harus dibagi sesuai kesepakatan yang telah diikrarkan di awal akad. Total angsuran yang dibayarkan hari ke-t dinotasikan dengan đ?‘†(đ?‘Ą) dimana đ?‘†(đ?‘Ą) = đ??ź (đ?‘Ą) + đ??ľ(đ?‘Ą) + đ??ś (đ?‘Ą) , đ?‘Ą = 1,2, ‌ , đ?‘‡

(1)

dengan đ?‘†(đ?‘Ą) angsuran yang dibayarkan pedagang pada hari ke-t, đ??ź(đ?‘Ą) angsuran pokok yang dibayarkan pada hari ke-t, yang besarnya adalah pembagian đ??´ dengan đ?‘‡. Kemudian đ??ś (đ?‘Ą) adalah cicilan yang dibayarkan hari ke-t untuk membayar angsuran hari sebelumnya. Hutang angsuran terjadi saat pedagang mengalami kerugian sehingga tidak dapat membayar angsuran. Perhatikan bahwa model ini mensyaratkan dana investasi harus dibayar lunas. Besarnya bagi hasil đ??ľ(đ?‘Ą) dengan nilai porsi bagi hasil đ?‘? > 0 adalah sebagai berikut : đ?‘?(đ?‘¤(đ?‘Ą) − đ??ź(đ?‘Ą) − đ??ś(đ?‘Ą)) ; đ?‘¤(đ?‘Ą) − đ??ź(đ?‘Ą) − đ??ś(đ?‘Ą) > 0, đ??ľ(đ?‘Ą) = { 0 ; đ?‘¤(đ?‘Ą) − đ??ź(đ?‘Ą) − đ??ś(đ?‘Ą) ≤ 0,

dimana đ?‘¤(đ?‘Ą) laba bersih hari ke-t. Jika dalam kondisi untung, atau đ?‘¤(đ?‘Ą) > 0 dan terdapat sisa laba setelah dikurangi angsuran dan hutang, sebanyak đ?‘? bagian diserahkan untuk investor. Penentuan nilai porsi bagi hasil đ?‘? akan dibahas lebih lanjut pada bagian penentuan porsi bagi hasil. Skema model PLS ini dianalisis dengan menghitung parameter yang mengindikasikan perolehan yang didapat oleh investor dan pedagang. Perolehan investor ditunjukkan oleh nilai dari parameter rate of return investor, dinyatakan dengan rs ( p) , menggunakan cashflow analysis. Sedangkan parameter untuk menentukan besarnya keuntungan atau perolehan pedagang dinyatakan dengan parameter đ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘?đ?‘’đ?‘‘đ?‘ đ?‘Śđ?‘Žđ?‘&#x; yang merupakan rasio perbandingan antara total uang yang dibawa pulang (take-home), dengan total laba bersih selama periode pengembalian đ?‘¤. 3.2 Pembangkitan Laba Bersih Harian Pedagang Untuk proses implementasi, data asli laba pedagang digunakan, yang kemudian dibangkitkan secara numerik. Data asli didapatkan dari pedagang kecil yang telah berdagang sebelumnya. Para pedagang tersebut diharuskan mencatat hasil laba yang mereka peroleh setiap harinya. .Untuk membangkitkan data, penentuan distribusi untuk setiap laba bersih pedagang dengan menggunakan software Easyfit. Software ini merupakan salah satu software aplikasi simulasi dan analisis data yang dapat memberikan gambaran distribusi sesuai dengan data yang diberikan. Hasil yang didapat dari Easyfit terdiri atas 3 bagian untuk setiap data, yaitu: graphs, summary dan goodness of fit. Graphs memberikan grafik data sesuai dengan distribusi yang memenuhi. Summary memberikan distribusi beserta parameter yang sesuai dengan data. Sedangkan goodness of fit memberikan hasil pengujian berupa hasil numerik dan peringkat berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, Anderson Darling dan Chi-Squares. Peringkat pada bagian inilah yang digunakan untuk memilih distribusi yang paling cocok dengan data asli. Distribusi data pada (Lazulfa, 2015) diasumsikan lognormal, sedangkan distribusi data pada


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

115

(Murniati, 2015) berupa Weibull dan Gamma. Setelah menetapkan distribusi setiap data, dilakukan pembangkitan data menggunakan MatlabR2009i sesuai dengan asumsi distribusi yang digunakan. 3.3 Fungsi obyektif untuk masalah pengoptimalan Model keoptimalan untuk investasi dibentuk berdasarkan loss function dalam ekonomi makro. Fungsi obyektif yang digunakan adalah persamaan berikut max F ( p)  (rs ( p)  rBI )( ss ( p)  su ) (4) p

Fungsi di atas menyatakan payoff yang akan diperoleh investor dengan model syariah. Fungsi g ( p)  ss ( p)  su menyatakan payoff yang akan diterima pedagang apabila menggunakan model syariah. Dalam praktiknya, memaksimumkan đ??š (đ?‘?) merupakan memaksimumkan jarak antara rs ( p) dan đ?‘&#x;đ??ľđ??ź dan juga memaksimumkan jarak ss ( p) dan suatu batas atas su . Dengan kata lain, nilai đ?‘&#x;đ?‘ đ?‘Śđ?‘Žđ?‘&#x; dibuat sejauh mungkin dari đ?‘&#x;đ??ľđ??ź . Demikian juga untuk ss ( p) terhadap su . 4. IMPLEMENTASI MODEL DAN HASIL Model (1) dengan optimisasi menggunakan fungsi tujuan (2) sudah dimplementasikan menggunakan data laba harian yang diambil dari beberapa jenis pedagang kecil di suatu pasar tradisional. Hasil implementasi diambil dari (Sumarti, 2015). Dana investasi yang dipinjamkan adalah A  ď Ą T w , dimana w adalah nilai rata-rata dari laba harian pedagang w(t ) , dan ď Ą  , , , , ,1, . Nilai ď Ą 

1 1 1 2 3

3

3

4 3 2 3 4

2

2

tidak dipertimbangkan karena membuat nilai

ss ( p ) menjadi negatif untuk semua jenis pedagang. Periode waktu T adalah 52, 90 dan 180

hari. Untuk pasangan A dan T, hasil optimal diperoleh dari nilai-nilai tertentu dari p, rs ( p) dan ss ( p) . Perhitungan numerik diulangi sebanyak 1000 kali lalu nilai rata-rata diambil dari hasil tersebut.

Gambar 1. Pedagang 1 dengan T = 52 dan variasi nilai A.


116

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pada Gambar 1, dimana skala pada sumbu vertical disesuaikan, peningkatan modal A membuat nilai dari porsi p meningkat.Sebaliknya, nilai ss ( p ) menjadi menurun. Nilai-nilai rs ( p) meningkat dari awal interval, lalu kemudian menurun mulai dari 

2

. Kita dapat menyim-

3

pulkan bahwa nilai optimal rs ( p) akan terjadi saat 

2 3

or

A

2

Tw

. Perilaku fungsi p,

3

rs ( p) dan ss ( p) serupa untuk semua jenis pedagang.

Pada gambar 2-4, nilai optimal untuk rs ( p) untuk setiap pegadang ditunjukkan untuk semua nilai A dan T. Nilai rs ( p) lebih besar untuk periode waktu pendek. Nilai maksimumnya yang dilingkari pada gambar. Nilai-nilai maksimum dari rs ( p) untuk setiap nilai T , untuk parameter terkait p dan ss ( p) , ditunjukkan di Tabel 1. Semakin lama periode T menyebabkan penurunan nilai p dan ss ( p) tetapi kenaikan untuk ss ( p) .

Gambar 2. Nilai rs untuk pedagang tipe 1 dengan nilai variasi A dan T.

Gambar 3. Nilai rs untuk pedagang tipe 2 dengan nilai variasi A dan T.


117

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 4. Nilai rs untuk pedagang tipe 3 dengan nilai variasi A dan T.

Tabel 1. Nilai-nilai parameter untuk vasiasi nilai T. Trader

T=52 P

1

rs ( p ) ss ( p ) P

2

rs ( p ) ss ( p ) P

3

rs ( p ) ss ( p )

A

0,13657 0,00538

0,00307

0,37559

0,00335

0,38933

0,00341

1 Tw 2

0,00167

1 Tw 2

0,53488

0,11292 2 Tw 3

0,00144

0,11263 1 Tw 2

0,53241

0,18154

A

0,61418

0,10914 2 Tw 3

T=180 0,08584

2 Tw 3

0,47196

0,19186

0,00579

A

0,13188 2 Tw 3

0,46022

0,00577

T=90

0,11478 1 Tw 2

0,53224

0,00170

1 Tw 2

0,54360

5. KESIMPULAN Ekonomi syariah memberi pandangan baru yang baik dalam pasar keuangan dan perbankan, menurut beberapa referensi. Model matematika dalam makalah ini dibuat untuk menentukan porsi bagi hasil antara investor dan pedagang kecil di pasar tradisional. Untuk suatu periode waktu tertentu T, semakin besar nilai modal A maka semakin besar porsi p yang dibagikan kepada investor. Dari Tabel 2, nilai return untuk investor rs ( p) akan menurun seiring semakin panangnya periode waktu T,namun porsi laba pedagang ss ( p ) akan meningkat. Artinya, model ini menguntungkan pedagang bila waktunya diperpanjang. Tabel 2. Besar modal A (rupiah) berdasarkan nilai optimal dari rs ( p) . Trader

w

T=52

T=90

T=180

1

268.288

9.300.651

16.097.280

24.145.920

2

57.884

2.006.645

2.604.780

5.209.560


118

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 3

48.480

1.680.640

2.181.600

4.363.200

Tabel 2 menunjukkan nilai optimal dari modal A untuk tiap tipe pedagang yang lebih besar daripada modal dari model asli dalam (Sumarti, 2014) yaitu Rp. 1.000.000 IDR. Artinya para pedagang memiliki kapabilitas untuk mengelola dana investasi yang lebih besar, dengan asumsi tidak ada kasus yang mengganggu laba hariannya. Semakin besar modal untuk investasi akan membuat lebih baik untuk ekonomi secara umum. Model matematika ini dapat dikembangkan untuk investasi pada jenis pengusaha yang lain. Masalah mengenai ekonomi syariah pada lembaga keuangan seperti bank akan menarik diteliti agar porsi bagi hasil atau nisbah yang optimal bagi nasabah dan pemilik bank dapat ditentukan.

DAFTAR REFERENSI Adam,N.L., Bakar, N.A., 2014. Shariah Screening Process in Malaysia, Procedia - Social and Behavioral Sciences 121, pp. 113 – 123. Ashraf,D. and Mohammad, N. 2014. Matching perception with the reality—Performance of Islamic equity investments, Pacific-Basin Finance Journal 28 (2014) pp. 175–189. Al-Khazali, O., Lean,H.H., Samet,A. 2014. Do Islamic stock indexes outperform conventional stock indexes? A stochastic dominance approach, Pacific-Basin Finance Journal Vol. 28, pp. 29–46. Departemen Keuangan, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, 2009. http://www.perpustakaan.depkeu.go.id/FOLDEREBOOK/Cetak%20Biru%20Pengembangan%20Perbankan%20Syariah%20Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 15 September 2016. Gheeraert, L. 2014. Does Islamic finance spur banking sector development? Journal of Economic Behavior & Organization, Volume 103, Supplement, July 2014, Pages S4– S20. Ho, C.S.F., Rahman, N.A.A., Yusuf, N.H.M., Zamzamin, S. 2014. Performance of global Islamic versus conventional share indices: International evidence. Pacific-Basin Finance Journal 28 (2014) 110–121. Imam,P., Kpodar,K., 2016. Islamic banking: Good for growth?. Economic Modelling, Volume 59, December 2016, Pages 387–401. Kumru, C.S., Sarntisart, S. 2016. Banking for those unwilling to bank: Implications of Islamic banking systems, Economic Modelling, Volume 54, April 2016, Pages 1–12. Lazulfa,I. dan Sumarti, N. 2015. Penerapan Metode Simulated Annealing pada Penentuan Dana Tabarru dalam Model Profit and Loss Sharing pada Investasi Syariah. Disubmit ke Jurnal Matematika & Sains (JMS). Murniati, W. dan Sumarti, N. 2015. Simulasi Variasi Jumlah Dan Periode Investasi Dalam


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

119

Model Profit-Loss Sharing Dengan Dana Tabarru’, disubmit ke Jurnal Ekonomi dan Keuangan (EKUITAS), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA), Surabaya. Sumarti, N., Fitriyani, V., Damayanti, M., 2014, A Mathematical Model of the Profit-Loss Sharing (PLS) Scheme, Science Direct Elsevier: Procedia – Social and Behavioral Sciences, 115, (2014), 131 – 137. Sumarti, N., Sidarto,K.A., Syamsuddin,M., Mardiyyah, V,F, and Rizal,A. 2015, Some Problems on the Making of Mathematical Modelling of a Profit-Loss Sharing Scheme Using Data Simulation, J. Math. Fund. Sci. Vol. 47, No. 1, (2015), 1 – 11. BIOGRAFI PENULIS Novriana Sumarti, Ph.D. Lulus Sarjana dan Magister dari Matematika ITB tahun 1995 dan 1998, Master of Advanced Studies dari University of Cambridge, United of Kingdom tahun 2001, dan Ph.D. Numerical Analysis dari Imperial College London, United of Kingdom tahun 2005. Sejak kecil memiliki cita-cita menjadi guru, dan sekarang terwujud sebagai staf pengajar di Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Bidang penelitiannya adalah Numerical Analysis, Mathematical Finance, dan Optimization


120

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Resonansi: Suatu Perspektif Dalam Kajian Gerakan PolitikKeagamaan Ikhwanul Muslimin Di Indonesia Siti Khoirnafiya Mahasiswa Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia Email: irna.antropolog@gmail.com

Abstrak Istilah “Resonansi� biasanya identik dengan ilmu alam (fisika dan kimia). Jika garpu tala dengan frekuensi tertentu dibunyikan di atas kolom udara, kemudian kolom udara digerakkan naik turun, maka suatu saat terdengar bunyi yang lebih keras dari bunyi aslinya secara berulang-ulang. Peristiwa resonansi terjadi ketika terdengar bunyi yang keras dari bunyi aslinya. Dalam ilmu sosial dan politik, konsep resonansi berkembang dalam teori gerakan sosial global dan berkelidan wacana radikalisme. Pemikiran Cunningham (2000), Merry (2006) dan Coleman (2014) dapat digunakan untuk menelisik isu gerakan politik-keagamaan di Indonesia seperti Ikhwanul Muslimin (IM). Pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan metode integrasi antara offline dan online dalam tulisan ini menjadi pendekatan kritik etnografi dalam antropologi. Dari kajian ini dapat dikatakan bahwa gerakan IM yang bertransformasi menjadi Gerakan Tarbiyah berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan bentuk resonansi yang dipahami lebih luas secara budaya terkait kondisi konteks sosial dan politik. Kata Kunci: Resonansi, Gerakan sosial, Ikhwanul Muslimin, Gerakan Tarbiyah

Abstract The term of Resonance is usually identical to the natural sciences (physics and chemistry). If a tuning fork with a certain frequency is vibrated above the air column, and the air column is moved up and down, then the resulted sound is heard repeatedly and louder than the original sound. The resonance event occurs when there is an additional sound louder than the original sound. In the social and political sciences, the concept of resonance evolved into social movements theory of global eras and radicalism discourse. The concepts analysis of Cunningham (2000), Merry (2006) and Coleman (2014) can be used to examine the political-religious movements issue in Indonesia such as the Muslim Brotherhood (IM). The qualitative approach from the integration method between offline and online in this paper is used as an approach to ethnographic criticism in anthropology. From this study it can be said that the transformed IM movement towards the Tarbiyah Movement affiliated with the Prosperous Justice Party (Partai Keadilan Sejahtera-PKS) is a widely understood cultural resonance in terms of social and political context. Keywords: Resonance, Social Movement, the Muslim Brotherhood (IM), the Tarbiyah Movement

1. PENDAHULUAN Cuningham (2000) mengingatkan kita kembali tentang gagasan Profesor Ebihara bagaimana intelektual dapat dimasukkan dalam semacam "hegemoni atmosfer" karena dapat mendominasi imajinasi ilmiah, seperti udara yang akan tetap terhirup dalam kesadaran


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

121

intelektual. Globalisasi nampaknya sejalan dengan evolusi menangkap imajinasi intelektual. Globalisasi seperti udara. Ia mampu termanifestasikan dalam gerakan agama sekalipun. Cunningham melalui kajiannya tentang gerakan religio-politik AS kontemporer berkontribusi secara teoritis dengan mengangkat isu globalisasi sebagai sebuah proses di mana beragam aktor sosial muncul sesuai dengan citra global dan retorika untuk membuat bentuk-bentuk baru aktivisme. Ada kontradiksi identitas transnasional yang ia ungkap. Global membangun identitas dan praktik politik. Globalisasi memberikan konsekuensi tidak sekedar mencerminkan realitas-struktural dari serangkaian proses dan relasi budaya, politik, dan ekonomi tetapi juga proses simbolik, adanya imajinasi sebagai makhluk kontemporer. Dengan proses simbolik inilah, Cunningham mendefinisikan kemampuan globalisasi yang tidak mudah diprediksikan karena terkait dengan subjek yang berpartisipasi dalam konstruksi identitas transnasional dan realitasnya. Globalisasi dengan praktik yang beragam dengan berbagai cara baru nampak memberikan pengaruh yang besar termasuk dalam gerakan politik-keagamaan. Pendekatan yang diadopsi oleh Cunningham tersebut adalah dengan mengeksplorasi globalisasi sebagai konstruksi identitas sosial baru dalam konteks sejarah dan sumber daya simbolik. Pendekatan itu ia gunakan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana berbagai kelompok sosial saat ini mendefinisikan diri mereka sebagai aktor global dalam penelitian terhadap Gerakan Sanctuary Amerika Serikat. Cunningham mengakui posisinya dalam perdebatan isu globalisasi pada bidang antropologi, ia bukan mengeksplorasi implikasi teoritis dan metodologis dari postmodernitas, tetapi tidak juga berada pada post-strukturalisme yang menganggap gerakan baru akan muncul karena adanya struktur masyarakatnya sendiri. Ia tidak memisahkan secara kontraversi (oposisi biner) antara gerakan sekuler dan agama. Cermin refleksi dari gerakan pada globalisasi ini adalah adanya konstruksi identitas yang beragam. Kegagalan gerakan radikal di (Guatamala) Amerika Tengah yang dideportasi menjadi contoh pentingnya bereksistensi dengan identitas yang bukan tunggal. Gerakan Sanctuary bermotif untuk melawan hegemoni gereja. Namun, mereka menggunakan strategi yang unik dengan menyadari posisi mereka berada di lintas batas (melintasi pengungsi Amerika Tengah dari Meksiko ke Rumah Aman di Amerika Serikat) dengan simbolik yang kompleks. Ideologi Sanctuary berada pada unsur-unsur khas dari bagaimana anggota memahami diri menjadi global. Sementara itu, Merry (2006) secara khusus berfokus pada isu pengaruh ide-ide transnasional pada gerakan perempuan. Ia menjelajahi praktik hak asasi manusia, berfokus pada di mana dan bagaimana konsep hak asasi manusia dan lembaga-lembaga diproduksi, bagaimana mereka beredar, dan bagaimana mereka membentuk kehidupan sehari-hari dan tindakan. Kontribusinya terhadap antropologi dalam perdebatan universalisme-relativisme. Merry menggunakan contoh empiris apropriasi hak asasi manusia perempuan untuk menganalisis proses dimana hak asasi manusia yang dibuat ulang dalam bahasa. Ia berkontribusi terhadap pengembangan etnografi dari praktik hak asasi manusia. Bagaimana penyebab kekerasan ini bersifat sosial, ekonomi, dan politik, sering melibatkan transformasi kemiskinan, konflik bersenjata, dan kebijakan negara, kelas sosial, pendidikan, perjalanan, dan kesadaran transnasional. Idenya mengetengahkan konteks lokal-global melampaui spasial. Dengan mempertimbangkan kedua pendekatan tersebut, nampaknya gerakan politik-keagamaan di Indonesia dapat menjadi wacana tersendiri. Gerakan Sanctuary di Amerika Serikat berstrategi hingga melintas batas negara untuk kelangsungannya menggunakan retorika


122

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

globalisasi meskipun nampak adanya bentuk-bentuk baru aktivisme tetapi tidak mentransformasi dalam nama dan model gerakan baru. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin di Indonesia nampaknya memilih nama Gerakan Tarbiyah yang berafiliasi dengan Partai Keadilan Sosial (PK/PKS) dengan strategi yang disebut secara ‘lokal’ gerakan liqa. Meskipun demikian, ide-ide dan gagasan gerakan Tarbiyah sebagian besar berasal gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir. Keragaman gerakan Ikhwanul Muslimn salah satunya dapat dilihat dalam praktiknya di Indonesia dan bagaimana kompleksitas ide-ide gagasan Ikhwanul Muslimin terimplikasi dalam praktik gerakan Tarbiyah? Bagaimana gerakan ini berkontestasi dengan gerakan lain seperti Hizbut At-Tahrir dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia, sebuah organisasi masyarakat yang telah dicabut Badan Hukumnya tahun juli 2017 lalu? Dengan konsep-konsep dasar antropologi kajian gerakan sosial, penulis bermaksud menyumbangkan pikiran dengan menganalisis isu/wacana tersebut. Ini menjadi penting karena wacana gerakan politik-keagamaan global yang sering dikenal dengan gerakan transnasional ini telah ‘asyik’ diperbincangkan bersamaan dengan isu radikalisme dan terorisme. Dengan pemahaman tentang adanya resonansi dalam gerakan, kita akan setidaknya dapat menganalisis pertanyaan-pertanyaan tersebut. Resonansi memerlukan penerjemahan dan proses vernakulasi. Dalam vernakulasi ini akan ada proses replika dan hibriditas (Merry, 2006). Dengan keterbatasannya, tulisan ini merupakan refleksi penulis dari penelitian gerakan Hizbut Tahrir Indonesia 12 tahun lalu dan Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam 6 tahun lalu, bahan referensi kuliah terkini, serta keterlibatan penulis dalam penelitian kampus terkait dengan radikalisme. Selain tujuan teoritis tersebut, penulis berharap berkontribusi dalam praksis keilmuwan yang membuka ruang multidipliner, di mana resonansi yang biasanya digunakan dalam keilmuwan alam atau yang berbasis teknologi juga memberikan kontribusi teoritis bagi keilmuwan sosial-politik-keagamaan. Hal ini menunjukkan adanya trans-scientific dan keberagaman dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan metode integrasi antara offline dan online. Metode sekaligus bagi pendekatan kritik etnografi yang cukup relevan untuk peka terhadap wacana gerakan pemuda dan konteks perjuangan mereka di era globalisasi (Wilson, 2006). Pendekatan integrasi (offline dan online) berimplikasi pada metode dalam tulisan ini. Penelusuran melalui internet untuk membandingkan ide dan praktik dari aktivisme gerakan pemuda, termasuk Ikhwanul Muslimin dan hubungannya dengan gerakan Tarbiyah, bagaimana masyarakat di luar gerakan dan gerakan lain memberikan pandangan terhadap mereka dan bagaimana gerakan ini menjawab tantangan dari pandangan-pandangan mereka. Wawancara terhadap tokoh dan penyelenggara sosial media dari gerakan Tarbiyah belum bisa dilakukan secara mendalam tetapi referensi terkait dengan gerakan ini cukup banyak. Observasi pada even besar gerakan ini dan pengalaman peneliti dalam penelitian dalam proses terus menerus berefleksi terhadap wacana ini. Beberapa referensi dan pengalaman menjadi titik tolak memperbicangkan wacana gerakan dalam fokus tema tulisan ini. 2. RESONANSI DALAM KAJIAN GERAKAN SOSIAL Resonansi biasanya identik dengan ilmu alam (fisika dan kimia). Jika garpu tala dengan frekuensi tertentu dibunyikan di atas kolom udara, kemudian kolom udara digerakkan naik


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

123

turun, maka suatu saat terdengar bunyi yang lebih keras dari bunyi aslinya secara berulangulang. Peristiwa resonansi terjadi ketika terdengar bunyi yang keras dari bunyi aslinya dalam kolom udara. Resonansi adalah peristiwa ikut bergetarnya suatu benda akibat benda lain yang bergetar karena keduanya memiliki frekuensi yang sama atau memiliki frekuensi yang merupakan bilangan bulat dari frekuensi salah satu benda bergetar. Resonansi bunyi pada kolom udara juga dimanfaatkan untuk menghasilkan bunyi pada alat musik. Alat- alat musik memiliki lubang udara sehingga terjadi resonansi udara dan menghasilkan suara yang merdu. Misalnya : bunyi merdu pada gitar dihasilkan oleh resonansi antara dawai dan kotak resonansi. Ketika gitar di petik, udara di dalam kotak resonansi bergetar dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi dawai. Udara yang berada di dalam kendang juga ikut bergetar ketika kendang dipukul. Jika tidak ada kolom udara pada alat musik, kita tidak dapat mendengar merdunya suara musik. Bunyi yang dihasilkan garpu tala sebenarnya tidak terlalu keras. Namun, ketika terjadi resonansi dengan kolom udara, suara garpu tala menjadi cukup nyaring terdengar. Di sekitar selaput suara manusia terdapat udara. Ketika selaput suara bergetar, udara ini akan ikut bergetar. Getaran udara ini akan mengakibatkan suara manusia terdengar nyaring. Namun, tidak selamanya resonansi menguntungkan. Bunyi ledakan bom yang sangat keras dapat menimbulkan getaran yang dapat meruntuhkan gedung-gedung. Getaran dari bagian bagian rumah yang ada di pinggir rel ikut bergetar takkala kereta api lewat. Jika hal ini terjadi terusmenerus dan dalam waktu yang lama maka rumah akan cepat rusak karena proses resonansi. Jembatan gantung daoat roboh akibat resonansi apabila frekuensi alami jembatan sama dengan frekuensi langkah kaki sekelompok orang yang berjalan di atas jembatan. Resonansi dapat memecahkan kaca jendela jika ada suara petir yang sangat keras. Hal ini karena ketika ada petir maka frekuensi alami petir kaca sama dengan frekuensi petir sehingga kaca akan ikut bergetar. Dalam ilmu sosio-budaya-politik, resonansi ini beberapa kali dimuat untuk menunjukkan adanya pengaruh suatu gejala/fenomena diakibatkan getaran yang ditimbulkan oleh suatu gejala yang digetarkan. Kata resonansi bahkan bagian menarik dalam kolom republika.com. Dalam pertemuan dan pembicaraan penulis Resonansi ini, Azyumardi Azra (Kamis, 13 April 2017, 06:00 WIB, Red: Maman Sudiaman) mengangkat isu Terorisme dan Islamofobia. Kata resonansi juga menjadi judul dalam kolom di Jawa Post (20 Februari 2017) yang ditulis oleh Redi Panuju Dekan Komunikasi Unitomo yang berjudul “Resonansi Komunikasi JokowiSBY� yang membahas memprediksi konstalasi Pilkada Jakarta 2017. Sementara itu dalam kajian gerakan sosial, resonansi gerakan IM yang menjelma dalam gerakan tarbiyah jika menggunakan pemikiran Coleman (2014) dapat ditelisik dalam 5 hal. 1) Bagaimana fenomena resonansi dikonseptualisasikan dan didefinisikan? 2) Apa saja mekanisme mediasi yang terkait dengan resonansi (dari fisik-saraf ke sosial-budaya) pada tingkat analisis yang berbeda? 3) Apa yang tampaknya menjadi syarat pendahuluan yang diperlukan dan cukup untuk terjadi resonansi? 4) Bagaimana resonansi diidentifikasi, terdeteksi atau diukur dan bagaimana metode penilaian? 5) Dapatkah resonansi dikelola, dipupuk atau dikendalikan dengan cara tertentu? Jika ya, bagaimana? Praktik apa yang terkait dengan ini? 6) Apa dinamika dan hasil utama yang terkait dengan resonansi (positif dan negatif)?


124

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pertama, dari beberapa referensi rujukan dari Colemann, ada kecenderungan kognitif dan tindakan yang diaktualisasikan melalui situasi resonansi sangat menonjol dalam penelitian tentang gerakan sosial dan resonansi bingkai. Resonansi tersebut memberi semangat dan memobilisasi orang untuk mendukung pergerakan dan tujuan gerakan tersebut. Pendefinisian resonance frame sebagai sejauh mana kta dapat mengidentifikasi dengan posisi bingkai yang dinyatakan. Gerakan dianggap bisa mencapai tujuannya dengan resonansi. Gerakan revolusioner tidak menyebar oleh kontaminasi tapi dengan resonansi. Sesuatu yang terbentuk di sini bergema dengan gelombang kejut yang dipancarkan oleh sesuatu terbentuk di sana. Rasa resonansi antara unsur-unsur saling tergantung diyakini penting bagi keberlanjutan dan fungsi anggota gerakan. Resonansi dalam sistem sosial adalah bentuk energi emosi, kognitif, fisik atau sosial yang meningkat, bersama (kongruen) melalui beberapa proses (seperti cerminan syaraf, simpati, empati, , sinkron, aliran, hubungan baik, harmoni, seni, insentif, dan struktur) menghasilkan perasaan dan menemukan koneksi dan koherensi. Konsep resonansi menjadi kompleks untuk diperbicangkan. Namun, pada intinya, resonansi adalah bentuk energi tinggi yang mendorong peningkatan koherensi yang memberikan rasa berbagi arah dan makna dalam sistem sosial termasuk dalam gerakan. Kedua, mekanisme resonansi dapat dijelaskan bahwa ketika satu objek bergetar pada frekuensi alami yang sama dari benda kedua memaksa benda kedua tersebut menjadi gerakan getaran. Oleh sebab itu, ada mekanisme utamanya, yaitu frekuensi alami suatu objek dan interkoneksi dengan objek lain di mana objek kedua memiliki frekuensi yang sama. Pekerjaan pada resonansi motor, misalnya, terlihat sebagai cermin neuron sebagai mekanisme otomatis yang memungkinkan resonansi. Selain itu, resonansi kopling saraf, dua atau lebih otak terhubung, atau selaras, melalui komunikasi terjadi hubungan emosional. Adanya peningkatan oksitosin neuropeptida memainkan peran kunci dalam ikatan sosial dan keterikatan. Mekanisme semacam ini seperti konsep intersubjektivity. Mekanisme resonansi dalam Golemann dapat dilihat dalam empat dimensi : kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan. Dengan kata lain, keadaan resonansi antara individu bukanlah hasil kausalitas, tapi adanya 'penyetelan' atau 'attunement'. Resonansi terkait dengan seberapa penting gagasan, kepercayaan dan nilai bagi kehidupan seseorang, kesesuaian pengalaman dan seberapa selarasnya bingkai dengan narasi dan pemahaman budaya seseorang. Dalam perspektif ilmu sosial, resonansi bisa menjadi kompleks dan dinamis. Seperangkat elemen yang berubah seiring waktu karena setiap elemen menyesuaikan diri dengan berbagai pengaruh dari elemen lain yang membentuk sistem. Unsur-unsur ini bisa berupa pikiran, perasaan, dan tindakan pada tingkat individu, orang, kelompok dan norma di tingkat sosial, atau berbagai institusi seperti keluarga, media, organisasi keagamaan, sekolah, dan lain-lain pada tingkat struktural yang lebih luas. Bahkan elemen ini dapat dihambat melalui penghambatan umpan balik di mana satu elemen menghambat yang lain. Dengan demikian, pemahaman potensi dalam sistem sosial untuk resonansi berkenaan dengan gagasan atau tindakan tertentu mungkin memerlukan pemahaman yang cukup mengenai struktur jaringan dari loop umpan balik yang membentuk sistem. Ketiga, di berbagai bidang dan disiplin ilmu, kondisi yang diperlukan dan cukup kondusif untuk resonansi bervariasi sesuai dengan tingkat analisis yang berbeda. Dalam fisika,


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

125

resonansi terjadi ketika sebuah sistem mampu menyimpan dan mentransfer energi dengan mudah antara dua atau lebih mode penyimpanan yang berbeda (seperti energi kinetik dan energi potensial dalam kasus bandul). Pada tingkat intrapersonal, resonansi lebih mungkin terjadi ketika orang memegang nilai bersama dari dorongan dan belas kasihan karena mereka dapat mempengaruhi intensitas resonansi antara preferensi ideologis dan ciri kepribadian. Interpersonal, resonansi telah terbukti lebih mungkin terjadi ketika individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan dan merasakan apa yang orang lain rasakan, bukti kesadaran diri dan peraturan diri sendiri dan menunjukkan tingkat empati dan reaktivitas emosional yang tinggi karena mempengaruhi perilaku subyektif subyektif terhadap situasi eksternal yang dianggap positif atau negatif. Tingkat self-tuning dan keterbukaan diri yang tinggi untuk menerima pola resonansi, simpati yang mengarah pada respons emosional, empati atau kemampuan untuk menyesuaikan pola resonansi dalam imajinasi, dan hubungan baik yang menghasilkan resonansi harmonis pada berbagai tingkat sistemik hingga dihubungkan dengan resonansi. Selain itu, tingkat koneksi empati yang tinggi sebagai akibat kesadaran akan faktor nonverbal, terutama refleksi postural, gestural, dan wajah, attunement emosional dan kapasitas untuk mengartikulasikan pengalaman emosional, sentuhan fisik, mendengarkan, tubuh, emosional, dan kesadaran spasial kesadaran akan keadaan kognitif dan emosional internal dan eksternal dan attunement terhadap 'lapangan interaktif' fenomena objektif subjektif dan luar subjektif telah ditemukan untuk meningkatkan resonansi interpersonal. Dalam beberapa kelompok, beberapa faktor meningkatkan resonansi intragroup, termasuk berbagi pemahaman identitas multidimensional dan refleksif yang mencakup kedua faktor vertikal, seperti warisan budaya, bahasa, dan sejarah leluhur, dan faktor horizontal yang terkait dengan situasi dan hubungan individu saat ini dalam kehidupan sehari-hari. Perspektif lainnya, resonansi antarkelompok tergantung pada kapasitas kesadaran diri sendiri dan pengaturan status emosional yang memungkinkan penilaian negara lain dan penggunaan strategi untuk mengatasi tekanan dalam cara-cara pro-sosial. Teori resonansi morfologi mengatributkan munculnya kasus telepati spontan dan 'keengganan yang jauh' dengan adanya medan morfogenetik kolektif yang berisi memori kolektif atau gabungan yang mendorong organisme untuk memilih pikiran dan perilaku yang telah dipilih paling sering. Dengan kata lain, konsep kunci resonansi morfik adalah bahwa hal serupa mempengaruhi hal yang sama baik pada ruang dan waktu, dan jumlah pengaruhnya bergantung pada tingkat kesamaan. Dalam 'intentionality', sistem makna organik dapat menghasilkan bentuk resonansi yang memotivasi mobilisasi dan perubahan sosial Keempat, pengukuran resonansi juga beragam. Resonansi dapat diukur sebagai sejauh mana fisiologis individu bereaksi serupa dengan pengalaman orang lain. Resonansi juga bisa diukur seperti metafora antara orang tua dan anaknya sebagai resonansi ideo afektif, yaitu antara respon dan keyakinan ideologis. Resonansi dapat dinilai sebagai pengalaman keadaan kesadaran yang berubah, sinkronisasi pola gerakan, tanggapan spontan langsung terhadap ekspresi perasaan klien, dan merasakan sensasi tubuh. Resonansi dapat dinilai dengan memperhatikan dampak kampanye demokratis, membandingkan hasil analisis konten informasi yang digunakan dalam kampanye, dan membandingkannya dengan data kependudukan yang menilai maksud pemungutan suara. Pengukuran resonansi dalam praktik mikro, perlu menggunakan keterampilan pelacakan intuitif untuk merasakan pergeseran dalam energinya. Pengukuran sejauh mana seseorang menunjukkan resonansi


126

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dapat dilakukan dengan perspektif tertentu melalui menceritakan kembali pengalaman seseorang. Resonansi dalam kelompok dapat diperhatikan dengan menganaliisi interaksi dan relasi anggotanya bagaimana anggota membingkai ulang terkait dengan identitas mereka, bagaimana mereka menjalin dan bergabung, bagaimana mereka mengenal dan menerima satu sama lain dalam identitasnya. Pengukuran resonansi sebagai munculnya" ruang dialogis umum "yang bergeser dari dialog tentang posisi atau kepentingan. Bagaimana menganalisis antar anggota bertindak dengan anggapa selaras. Jika dikaitkan dengan resonansi frame, tidak hanya bergantung pada faktor internal organisasi, tetapi tergantung pada legitimasi dan kredibilitas pembuat klaim yang berbeda dalam konteks tertentu. Kelima, meski ada perbedaan dalam konseptualisasi resonansi dalam antar disiplin ilmu, tetapi nampaknya ada ada kesamaan di antara perspektifnya. Karakterisasi resonansi sebagai fenomena yang dinamis. Resonansi dapat menjadi strategi untuk meningkatkan pengaturan diri, atau kemampuan individu untuk mengendalikan keterampilan, proses emosional dan afektif, dan tingkat kesadaran sosial. Resonasi berfungsi untuk meningkatkan regulasi diri sebagai suatu pemahaman. Resonansi ‘menuntut’ konteks bagaimana penggunanya secara emosional menciptakan koneksi yang memungkinkan. Dengan demikian ada sebuah kesadaran dinamis dalam praktiknya yang mungkin sangat berbeda dengan keadaan yang sebenarnya, selain dialog ada juga bingkai ulang. Posisi antagonis versus refleksivitas, meskipun terasa jauh tetapi sangatlah dekat. Keenam, resonansi bisa menjadi mesin yang luar biasa jika dikaitkan dengan manfaat di berbagai pengalaman. Ada sinkronitas (termasuk gerakan) yang dapat meningkatkan kepercayaan dan kerja sama satu sama lain. Resonansi secara positif mendorong pertumbuhan, ketahanan, dan momen keintiman. Resonansi dianggap penetral dari suatu yang berkonflik. Sebaliknya secara negatif, resonansi dapat berbahaya karena dapat dipandang sebagai antagonime ataupun anti sosial. Resonansi sering kali menjadi konsep ekslusif yang manipualsi oleh aktor pemilik kuasa. 3. FREKUENSI IKHWANUL MUSLIMIN (IM) DI INDONESIA Frekuensi dalam konteks sosial-budaya-politik memiliki pemahaman yang cukup luas dari arti kekerapan. Dalam bagian ini frekuensi penulis gunakan untuk memberikan pengertian refleksi dari sinyal getaran keberadaan pemikiran Ikhwanul Muslimin di Indonesia dan hubungannya dengan kesejarahannya serta bagaimana aktivitas mereka. Fenomena globalisasi tidak berhenti dengan memisahkan isu keagamaan dengan sosio-politik. Meski terlihat dengan berbagai pro dan kontra mendekatkan konsep agama (religi) dengan aspek sosio-politik, tetapi faktanya agama tidak akan terlepas dari kehidupan manusia.1 Dalam pandangan gerakan politik-keagamaan yaitu Islam, penolakan terhadap sekularisme yang dianggap berasal dari gagasan masyarakat Barat justru menjadi gagasan berdiri 1

Setidaknya inilah isu yang dikait-kaitan sebagian orang mengenai berkembangnya simbol agama di ruang publik, aksi dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2 Desember 2016. Sebuah prediksi pun terlontar menjelang Pilkada 2017 dan pemilu 2019 nanti diduga isu agama akan selalu dibawa-bawa ke ranah politik untuk menggalang dukungan massa. Kedua aspek itu pada akhirnya saling memengaruhi, bahkan tak terpisahkan. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang senantiasa menyatu (Hidayat, 2017). Secara sosial, agama mempunyai wajah ganda, di satu sisi agama menumbuhkan keteraturan sosial, di sisi lain Yunaato dalam tulisan tentang radikalisasi mengatakan bahwa


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

127

dan keberlanjutannya gerakan kontemporer transnasional. Gagasan sekularisme dianggap menyebabkan kapitalisme, kolonialisme, dan imperalisme di zaman modern ini. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan al-Qur’an dan syari’at Islam yang mengakibatkan kemunduran umat (Abdullah, 2016). Di Indonesia, gerakan sosio-politik Islam berideologi transnasional muncul dipopulerkan pertama kali oleh Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi (yang wafat 16 Maret 2017) pada pertengahan 2007 silam. Istilah ini merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja diimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia. 2 Menariknya, ideolog ini menurut Hasyim Muzadi tidak hanya datang dari Timur Tengah, tapi juga dari Barat. Jika secara substansial, pengertian transnasional sejalan dengan Islamisme, maka fenomena gerakan ini bisa ditarik ke belakang pada akar sejarah kebangkitan dan pembaruan Islam yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-18. Gerakan yang dikembangkan Abdul Wahab untuk kembali pada ajaran “Islam asli” ini membayang-bayangi lahirnya Ikhwanul Muslimin (IM) oleh Hassan al-Banna di Mesir pada 1928. Setelah kematiannya di akhir 50an, gagasan ideologi selanjutnya dikobarkan oleh Sayyid Qutb.3 Referensi lain juga menyebutkan bahwa Hizbt Tahrir (Hizb al Tahrir) merupakan pecahan dari Ikhwanul Muslimin (IM). Pintu utama bagi mengalirnya pengaruh mereka dianggap menyebarkan Wahabisme ke Indonesia melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang didirikan oleh Mohammad Nasir (1908-1993), dan para mantan pemimpin Masyumi lainnya pada tahun 1967. Melalui jaringan da‟i dan masjid mereka menyebarkan gagasan Ikhwanul Muslimin dan Jama‟at Islamiyah, yang diwakili oleh tulisan-tulisan para ideolog Islamis. DDII kemudian mulai berani mengkritik secara terbuka kebijakan-kebijakan rezim Soeharto (Sholahuddin 2013). Setelah mampu meningkatkan revitalisasi Islam, DDII melakukan kegiatan lanjutan yaitu membidik kampus-kampus universitas sebagai target dakwah yang sangat penting. Kader DDII yang umumnya alumni universitas-universitas agama juga menciptakan perang dan revolus meski menganjurkan praktik-praktk moralitas yang baik denngan adanya kesadaran kolektif (Yunanto, 2017:73). 2 Kelompok yang bersifat transnasional mempunyai arti bersifat transnasional dengan pertimbangan, yaitu Ideologi gerakan tidak lagi bertumpu pada konsep nation-state, melainkan konsep umat, didominasi oleh corak pemikiran skripturalis, fundamentalisme atau radikal, secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern. Menurut edaran dari Badan Intelijen Negara (BIN), setidaknya ada enam kelompok keislaman yang termasuk dalam kategori Islam Transnasional, yakni; Ikhwanul Muslimin (IM), Kelompok Jihadi, Hizbut Tahrir (HT), Kelompok Salafi, Jamaah Tabligh (gerakan Dakwah), serta Syiah. 3 Dalam kaitannya dengan politik, kekuatan politik Islam di Indonesia pun berevolusi dalam bentuk munculnya dua kubu gerakan yang saling berkompetisi keras untuk memperebutkan dukungan dan simpati umat (massa) sebanyak-banyaknya, yaitu Islam politik dan Islam Kultural. Kelompok Islam di Indonesia menggunakan konsepsi politik dalam pergerakaannya sebut saja misalnya gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan Ikhwanul muslimin dengan konteks Indonesia gerakan Tarbiyah. Selain itu, hampir dari semua kelompok Islam tersebut mengklaim diri mereka sebagai bagian dari salaf al shalih (generasi dahulu yang shalih) yaitu generasi tabi’it al-tabi’in yang hidup dan berguru kepada generasi tabi’in sebagai pengikut para nabi Allah. Tiga generasi tersebut (sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in) dianggap sebagai generasi yang memiliki akidah dan manhaj serta pengetahuan tentang Islam yang murni karena mereka bersentuhan langsung dengan orisinalitas Islam. Arti kaum salafi adalah orang yang berusaha untuk menjaga Islam dengan mengggunakan properti intelektual dari kaum muslimin (Sholahuddin, 2013 : 52). Nama gerakan salafi kontemporer di dunia Islam tidak tunggal melainkan bermacam-macam (Meijer, 2009: 7 dalam Sholahuddin 2013).


128

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

di Timur Tengah berperan dalam Program bina masjid kampus. Mereka memberikan program latihan kepada mahasiswa dan memperkenalkan kepada mereka pemikiran para ideologi Islamis terkemuka secara lebih sistematis. Dari masjid kampus ini, lahir gerakan Harakah Tarbiyah dengan tokoh seperti Abu Ridho. Muncul Hizbut Tahrir yang diperkenalkan oleh Abdurrahman alBaghdadi, seorang aktivis dari Australia. Juga muncul gerakan Jamaah Tabligh dan gerakan NII (Negara Islam Indonesia) (Noorhaidi Hasan, 2008 dalam Sholahuddin 2013). Tumbangnya Orde Baru Soeharto yang membendung kelompok formalis bermain dalam kancah politik memunculkan beberapa partai Islam, organisasi-organisasi Islam dan maraknya gerakan Islam radikal seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan lain sebagainya yang menyuarakan penegakan sharî’ah Islam dan bersuara keras terhadap paham-paham dan pemikiran yang mereka anggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam seperti Ahmadîyah dan Shîah Mereka meggunakan konsepsi jihad dalam pergerakannya. Jihad, hal ini dapat dipahami dari corak pemikiran para intelektual Muslim yang beragam. Masing-masing punya kecenderungan sesuai dengan masalah dan tantangan yang dihadapi umat Islam dalam menawarkan konsepsi jihad (Anwar, 2014). Ikhwanul Muslimin dianggap merupakan gerakan dengan jejaring transnasional. Nama gerakannya berbeda-beda di setiap negara, tetapi disatukan oleh pemikiran dan metodologi Ikhwan. 4 Kekuatan utama gerakan ini ada pada kelompok-kelompok pengajian (halaqoh). Menurut BIN Persebarannya IM kurang lebih di 70 negara, mulai dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara hingga Amerika Serikat dan Kanada. Hingga kini pusat jaringan di IM Mesir. Secara umum, gerakan Ikhwan sekarang ini terbelah dalam dua arus besar, yaitu Ikhwan Tarbiyah dan Ikhwan Jihad. Ikhwan versi tarbiyah merupakan tidak terlalu radikal,t etap memiliki tujuan utama untuk membentuk “daulah Islamiyah” dengan cara non-kekerasan dan memanfaatkan instrumen demokrasi untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Efektivitas melalui bahwa jalur tarbiyah, moderat dan parlementarian dapat dilihat dari momentum penting kemenangan partai Ikhwan di Aljazair, FIS. 5 Pada tahun 16 Oktober 1945 di Gedung Jami’ah Sjubban Muslimin Kairo (Pusat Perhimpunan Pemuda Islam) berkumpul wakil organisasi sosial dan politik Mesir. Perkumpulan itu mendirikan Lajnatud Difa’I’an Indonesia (Komite Pembela Indonesia), sebuah organisasi yang menghimpun dukungan rakyat Mesir bagi kemerdekaan indonesia. Salah satu anggota Komite Pembela Indonesia adalah Taufik Syawi, ulama dan cendekiawaan dari Ikhwanul Muslimin. Lihat Tempo, 30 September 2001, hal 82. Sebagai organisasi yang salah satu tujuannya adalah melawan kolonialisme barat, Ikhwan menaruh perhatian pada Indonesia. Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwan, yang menemui Sutan Syahrir dan H. Agus Salim ketika keduanya berkunjung ke Mesir. Itulah persinggungan pertama ikhwan dengan Indonesia. 5 Model tarbiyah kemudian diterima secara luas di beberapa negara, termasuk di Indonesia. sekarang menjadi katup penyelamat penting, tatkala Ikhwan Jihadi sedang terpukul di beberapa negara. Perkembangan mutakhir memperlihatkan, gerakan Ikhwan Tarbiyah telah memperoleh kursi di parlemen secara cukup meyakinkan; diantaranya adalah : Mesir, 88 kursi (20 persen), Aljazair, 38 kursi (7 persen), Bahrain, 4 kursi dari 12 kursi (33 persen), Jordania, 20 kursi dari 84 kursi (23 persen), Kurdistan, 13 persen dari 275 (5 persen), Kuwait, 4 kursi dari 50 ( 8 persen), Maroko, 42 kursi dari 325 ( 13 persen), Palestina, 74 kursi dari 132 (56 persen), Tunisia, (14 persen), Yaman, 46 kursi dari 301 (22,6 persen), Turki, (34 persen), Bangladesh, 18 dari 300 kursi (6 persen), Indonesia, 45 kursi dari 550 kursi (8 persen). Jalur Tarbiyah memasuki Indonesia pada dekade 1980-an. Tokoh penting yang mengusung jalur ini adalah Rahmat Abdullah dan Hilmi Aminudin Hasan. Ada tiga jalur penting pengembangan Ikhwan Tarbiyah di Indonesia, Kelompok Usroh di kampus, alumni Timur Tengah, Alumni LPPIA. Pertemuan tiga jalur inilah yang selanjutnya melahirkan PKS sekarang ini. Di Kampus IPB 4


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

129

Gerakan Tarbiyah disebut-sebut memiliki korelasi yang kuat dengnan Ikhwanul Muslimin. Dalam sejarahnya, terdapat perubahan-perubahan metode, materi dan nama atas identitas gerakan tarbiyah ini, terutama sebelum reformasi berlangsung (Qodir, 2008). 6 Selanjutnya pada 1998 pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagian pemimpinnya mendirikan PKS, dulu Partai Keadilan. Menurut Nuryaddin (2005), keterkaitan atau antara gerakan Tarbiyah dengan Ikhwanul Muslimin dapat dilihat dari doktrin dan pengorganisasiannya, hubungan organisasi, program-program yang dilaksanakan dan transformasinya dalam pembentukan PKS7. Sementara itu Akbar (2002), dibentuknya Partai Keadilan sebagai tranformasi gerakan dakwahnya dengan pertimbangan momentum reformasi Partai Keadilan sering disebut sebagai Ikhwanul Musliminnya Indonesia karena dinilai memiliki berbagai kesamaan dalam beberapa hal, seperti konsep pemikiran, sistem kaderisasi, periode pergerakan, jenjang keanggotaan, serta sikap terhadap politik dan sistem kepartaian. Gerakan Tarbiyah sebagai sebutan dari Ikhwanul Muslimin Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Doktrin, Konsep Pemikiran, dan Sikap Meski dinyatakan oleh beberapa informan bahwa pemikiran Hassan Al-Banna (1905-1949) bukan satu-satunya rujukan bagi pembinaan tarbiyah, tetapi buku tentang pemikiran Al Banna pendiri Ikhwanul Muslimin (1928) menjadi referensi penting dalam diskusi dalam liqo’ (pertemuan untuk pembinaan) lanjutan dari anggota gerakan Tarbiyah. 8 Al Banna telah mewariskan sejumlah karya, dua diantaranya adalah : Mudzakiraat Ad-Dakwah wa Da’iyah dan Majmu’ah Rasail. Ia menjelaskan kaitan antara aqidah dan aktivitas politik. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsanya ( Ruslan, 2000). Upaya memikirkan persoalan internal dan eksternal umat, memberikan perhatian kepadanya, dan bekerja demi kebaikan seluruhnya merupakan definisi politik. Ia berkaitan dengan aqidah dan akhlak serta bertujuan untuk melakukan perubahan melalui dakwah islamiyah bahwa Islam adalah nilai yang komprehensif mencakup seluruh dimensi kehidupan. Asas-asas masyarakat muslim sebagai dasar tersebut nama IPB AM Saefuddin dan Soleh Widodo. Lihat Makalah Diskusi Serial Terbatas Islam, Ham Dan Gerakan Sosial Di Indonesia Gerakan Islam Politik Kontemporer di Indonesia Oleh: Zuly Qodir Yogyakarta, 13 – 14 Agustus 2008. 6 Dalam masa Orde Baru, aktivis jamaah Tarbiyah terjaring penangkapan dan penyiksaan, misalnya Wahyono Syafii, Nurfalah, Slamet Riyanto, Sujiman, Suyud bin Rahmat. Selain itu, Shabarin Syakur seorang mahasiswa UGM berusia 28 tahun dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dengan tuduhan mengedarkan bulletin Al-Ikhwan. Gerakan ini di Indonesia menggunakan perangkat pergerakan seperti pembentukan media Islam, seperti Sabili, Inthilaq, Islah, dan Ummi; lembaga pendidikan seperti Nurul Fikri; Lembaga Dakwah yaitu Lembaga pengkajian dan Pengembangan Da’wah Khairu Ummah (LPPD Khairu Umma/KU; SIDIK, Al-Hikmah dan Al-Mannar, dan lembaga kemahasiswaan KAMMI (Akbar, 2002). 7 Lihat Nuryaddin, Eko. 2005. Partai Keadilan Sejahterah: Studi Keterkaitan Antara Ikhwanul Muslimin dengan Gerakan Tarbiyah. Skripsi. Depok: UI 8 Ikhwanul Muslimin memiliki Lambang Organisasi berupa dua pedang melintang menyangga al-Qur’an terdapat lafaz ‫واعدوا‬,‫ حق‬,‫ ق وة‬, ‫ حري ة‬. Terdapat dua pedang tersebut melambangkan bahwa gerakan ini siap mengangkat senjata untuk berjihad kapan saja dan dimana saja demi berdirinya negara Islam.8 Lihat Zusiana Elly Triantini, Mengenal Lebih Dekat Gerakan Islam Mesir : Ikhwanul Muslimin, Jurnal AL-A’RAF Vol.III, N0. 2 JanJuni 2007


130

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 reformasi sosial. 9 Penekanan terhadap pendidikan (tarbiyah) adalah jalan utama (thariq asasi) untuk mewujudkan masyarakat muslim. 10 Proses tarbiyah terjadi terus menerus dimana para anggota akan dididik melalui proses pendidikan sampai pada tingkatan anggota tertinggi yang siap menjalankan tugas yang lebih besar. Selain itu, para kader yang telah akan menjadi penyeru sekaligus pendidik (murabbi) Islam di lingkungannya. Melalui tarbiyah yang sistematis dan berkesinambungan dengan berpedoman pada Al Quran, Hadis, dan kehidupan para salafus sholih (orang saleh terdahulu), serta berpegang pada ushul fiqih (dasar-dasar hukum fiqih) dan qowa’id syar’iyyah (kaidah syariah) diharapkan dapat membentuk suatu kebangkitan dan kekuatan umat untuk mengibarkan fikroh (pemikiran) Islam. Sikap gerakan terhadap pemerintahan, berkaitan erat dengan pemahaman akan esensi Islam dan aqidahnya. Pemerintahan Islam sebagai salah satu pilarnya sebagai konsekuensi penolakan ide pemisahan antara agama dengan negara, atau dengan politik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Pilar pemerintahan Islam mengacu pada tanggung jawab pemerintah kepada Allah, kesatuan umat, dan penghormatan terhadap aspirasi rakyat. Degan pandangan tersebut mereka meyakini bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan. 11 Dengan demikian maka sistem politik atau pemerintahan diselenggarakan sesuai dengan kerangka landasan musyawarah (syura), kebebasan (hurriyah), persamaan (musawah), keadilan (adl), kepatuhan (ta’ah), dan amar ma’ruf nahi munkar (Ruslan, 2000). Kekuasaan negara menurut pandangan Ikhwan, kekuasaan negara (Islam) ada lima, yaitu eksekutif (tanfidziyah ), legislatif (tasyri’iyah), yudikatif (qhadaiyah), kekuasaan kontrol dan evaluasi, serta kekuasaan moneter. Eksekutif dijabat oleh presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para menteri yang membawahi berbagai departemen. Presiden bisa saja disebut hakim, imam, atau khalifah. Penegakan kepala negara adalah fardhu Kifayah. tindakan-tindakannya dalam mengurus negara dari kepala negara, baik secara politik maupun secara hukum dipertanggungjawabkan kepada Dewan Umat. Ikhwan menyebutkan bahwa kepala negara adalah wakil. Karena itu, bila ia tidak memenuhi syarat wakalah (perwakilan), sepantasnya diturunkan dari jabatannya (Ruslan, 2000). 2. Organisasi dan Jejaringnya Hai’ah Ta’sisiyah atau Dewan Pendiri adalah dewan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Al Ikhwan Al-Muslimun, dalam organisasi lain setara dengan Jam’iyah ‘Umumiyah yang merupakan Dewan Syuro Umum. Dewan ini terdiri atas anggota Al-Ikhwan AlMuslimun yang telah lama berjuang dalam dakwah. Tugasnya

9

Hasan Al-Banna. 2001. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata. Solo:Intermedia Hasan Al-Banna. 2005. Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna, Khozin, penj. Jakarta: Al-I’Tishom Cahaya Umat 11 Muhammad Ma’mun Hudaiby. 2013. Politik Islam Dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin. Bandung: PT.Syamil Cipta Media 10


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

131

mengawasi secara umum perjalanan Al-Ikhwan Al-Muslimun, memiliki anggota Maktab Al-Irsyad, memilih pengawas keuangan, dan lain-lain. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui gerakan tarbiyahnya di Indonesia dianggap paling banyak mengambil konsep perjuangan, sistem gerakan, dan pola pikir Ikhwanul Muslimin. Selain tarbiyah, ada beberapa aspek gerakan Ikhwanul Muslimun yang ditiru oleh PKS, diantaranya adalah: Syarikat ekonomi, tarikat sunnah, fikrah kemasyarakatan, institusi politik, organisasi ilmiah dan pengetahuan, klub olahraga, dakwah salafiyah, dan hakikat sufi. Masjid Kampus adalah salah satu aspek utama dalam jaringan Tarbiyah PKS. Masjid kampus menjadi fokus kelembagaan jejaring sosial dan keagamaan jemaah Tarbiyah. Tumbuhnya minat dalam mempelajari agama dan meperaktikannya bisa difasilitasi melalui masjid kampus. Namun, dalam akhir 10 tahun ini, masjid bukan satu-satunya kelembagaan dan instansi menjadi bagian membangun jejaring antar jamaah Tarbiyah. Kampus misalnya dengan pemberian beasiswa ke luar negeri terutama ke Timur Tengah pengkaderan Tarbiyah dijalankan karena mereka diikat untuk kembali di Indonesia dan mengajarkan pengetahuannya, sementara itu terdapat wacana bagaimana sistem seleksi dosen di dalamnya yang mengindikasi kemungkinan besar akan lulus jika mereka telah mengetahui bahkan memahami pembinaan Tarbiyah atau bergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Selain itu jejaring Tarbiyah juga dilakukan dengan pembentukan KAMMI (Kesatuan Aski mahasiswa Islam) sebagai bentuk perjuangan dalam institusi formal kemahasiswaan. 3. Pola gerakan dan Strateginya Pola gerakan dan strategi gerakan Gerakan Tarbiyah yang berkembang pesat khususnya di kampus dapat digambarkan sebagai berikut. a. Strategi pengkaderan melalui pembinaan (halaqah) Intensif. Strategi kaderisasi, yakni dengan melakukan pertemuan intensif untuk anak-anak, remaja, mahasiswa, dan masyarakat. Komunikasi secara intensif antar anggota (murabbi) dan calon anggota dilakukan melalui halaqah dengan liqo nya. Halaqah inilah adalah strategi utama dalam transmisi ide pemikiran tentang pendidikan islam (tarbiyah), dari murabbi (pembina) dan mutarabbi (yang dibina). Halaqah merupakan strategi kaderisasi yang berbeda dengan organisasi intra kampus seperti MAPABA oleh PMII, LK oleh HMI. Pembinaan intensif, seperti pemberian materi tentang ibadah hingga tajwid dan iqro. Jamaah tarbiyah menyediakan pendidik-pendidik Iqra untuk anak-anak, guru-guru TK, SD dan SMP sampai juru masak untuk ibu-ibu dan remaja muslim. Salah satu cara untuk mengimplementasikan tarbiyah yakni dengan melaksanakan halaqoh. Halaqoh berasal dari kata liqo yang berarti pertemuan atau perjumpaan. Pada dasarnya, halaqoh adalah kelompok pembinaan yang dilakukan untuk mengkader orang-orang yang mau untuk ikut mempelajari Islam dengan jumlah yang terbatas, biasanya satu kelompok itu 10-12 orang, dibimbing oleh satu fasilitator yang disebut dengan murabbi. Halaqoh berfungsi sebagai sarana pembinaan


132

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 akidah, ibadah, akhlak, dan wawasan seseorang sehingga dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Dalam setiap halaqoh biasanya terdapat murabbi yang berperan sebagai pemimpin dan pembina halaqoh, dan mutarabbi yang berperan sebagai peserta didik. Oleh karena itu, halaqoh dapat berperan seperti keluarga, sekolah, maupun kelompok pergaulan. Biasanya halaqoh berdurasi 2 hingga 3 jam diisi dengan pembacaan Al Quran, pemberian materi oleh murabbi, dan penyampaian tausiyah (nasihat). Halaqoh ini dapat dilaksanakan di masjid, kelas, taman, ataupun rumah anggotanya secara bergantian. Metode halaqoh ini mirip dengan metode usrah yang diadopsi dari IM karena tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan Tarbiyah banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran-pemikiran IM. b. Membuat Program tarbiyah (pendidikan) Gerakan yang mereka lakukan dengan cara peneyelenggaraan program pendidikan, seperti training keislaman di sekolah-sekolah, pelatihan Islam awal mula (training islam for beginner), kajian fikih perempuan (fikh nissa), bimbingan belajar, kursuskursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku-buku dan memberikan ceramah-ceramah (gratis), menyediakan khotib siapa pakai, pembinaan anak-anak (TK-SD), mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK Islam Terpadu) memberikan kursus-kursus pada ibu-ibu rumah tangga, kursus-kursus untuk remaja muslim, pengiriman buku-buku, stiker, selebaran pada masyarakat (ke rumah-rumah), penterjemahan buku-buku berbahasa arab, dokumentasi kegiatan, dan kosnultasi-konsultasi. Di kampus, Lembaga Dakwah kampus menjadi aktivis tarbiyah juga masuk dengan memanfaatkan organisasi internal kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasisw (DPM) kampus. c. Media Massa untuk Mensosialisasi Gagasan Gerakan tarbiyah menggunakan media massa untuk mensosialisasikan gagasan-gagasannya. Gerakan tarbiyah membuat penerbitan seperti majalah, Hidayatullah, An Nida, Ummi, dan An Nissa, Sabili, penerbitan Gema Insyani Press, Pustaka AlKautsar, Robbani Press, Al-Ishlahy Press, I’Tishom, Era Intermedia, dan AsSyamil. Para aktivisnya juga menyamoaikan pemikirannya melalu media sosial seperti facebook dan twitter. Media massa menjadi penting dalam proses penyebaran gagasan. Dalam tulisan Benedict Anderson, media massa dengan bahasa massalnya menjadi katalis penting dalam print capitalism pada era modern, karena mempunyai kemampuan membangun nasionalisme dengan konsepsi imajined community, komunitas terbayang yang dibayangkan. Media massa adalah medan komunikasi anggota kelompok dengan bahasa yang relatif stabil memungkinkan reproduksi teks melintasi ruang dan waktu (Anderson, 1991). Dengan pemahaman ini media massa bagi gerakan Tarbiyah difungsikan untuk berdakwah dan membangun kesadaran pendidikan ummah yang islami, pembangunan identitas Muslim, dan mengingatkan kembali akan kemakmuran umat Islam masa Rasulullah dan kekhalifahannya.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

133

Banyak dari informan dari jamaah Tarbiyah yang membagi berita dari tokoh PKS, misalnya pemikiran dari eramuslim.com. Ini menunjukkan bahwa media difungsikan sebagai PKS Lovers yang juga memiliki kepercayaan loyal terhadap pemimpin partai. Meskipun juga m,emunculkan PKS haters menilai bahwa PKS Lovers ini terlalu berlebihan, mereka selalu mengkritisi tindakan dari PKS Lovers, memposting yang berseberangan dengan masuk dalam komentar PKS Lovers. d. Masjid sebagai instrumen pengembangan jejaring Dalam kampus ditengarahi menggunakan masjid untuk mengembangkan jejaring gerakan masjid disebut sebagai sarana ibadah sekaligus jaringan organik yang menghubungkan komunitas Tarbiyah dari berbagai tempat. Keterlibatan komunitas Tarbiyah dengan masjid berawal dari hubungan emosional dan personal antara kader dan pengurus masjid. Jika dilihat dari sejarahnya contoh Masjid Salman menjadi penting dalam pengembangan dakwahnya di kampus. Meskipun pada faktanya misalnya periode 2002-2006 dan 2009-2010 pada penelitian saya mereka dalam masjid dan musalla Universitas Indonesia juga berada dalam ‘kebersamaan dengan jamaah Hizbut Tahrir Indonesia dan Salafi Dakwah. Bangunan dalam antropologi bukan sekedar materi tanpa fungsi, tetapi cultural material dengan design arsitekturnya dalam antropologi berperan sebagai simbol sekaligus identitas. Begitu pula masjid adalah materi budaya bagi keagamaan kaum muslim. Dalam pandangan jamaah tarbiyah, eksistensi masjid perlu direkonstruksi sebagaimana pernan amasjid dalam zaman Rasulullah Muhammad SAW. Masjid zaman itu memiliki banyak nilai strategis sebagai pusat peradaban.masjid berperan penting dalam upaya pendidikan umat. Masjid juga merepresentasikan integrasi dari penyelesaian konflik pemikiran. Masjid kampus adalah jejaring Tarbiyah. e. Memanfaatkan relasi personal (Pertemanan dan Keluarga) Hubungan personal, baik pertemanan mapun keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap ketersediaan anggota gerakan Tarbiyah. Pendekatan yang dilakukan dengan berbagai bentuk, sharing pengalaman pribadi misalnya awal ketertarikan ikut dalam pembinaan tarbiyah hingga pinjam meminjam buku juga sms (short message system) pengingat untuk berperangai islami. Sementara itu hubungan keluarga seringkali dengan proses ta’aruf, yang akan memungkinkan munculnya pernikahan anggota gerakan Tarbiyah. Selain itu kader juga diminta mensosislisasi ide pemikiran Tarbiyah khususnya pemikiran Hasan Al-Banna ke keluarganya dan teman-temannya di kosan dan tempat lainnya bahkan para dosennya. Meskipun ini terlihat bukan luar biasa, tetapi relasi personal inilah menjadi dasar emosional dan pskologi dari para anggota untuk terus berlanjut bersama-sama dakwah Tarbiyah. Relasi personal tidak sekedar mengikat rasionalitas pengetahuan tetapi mengikat pengetahuan tentang rasionalitas kebersamaan mereka. Bahkan, konsepsi ta’aruf menjadi konsep elegan dari kebersamaan. Ta’aruf yang biasanya dilandasai dengan kata pernikahan sekufu yang diartikan sebagai sepemahaman da-


134

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 lam konteks agama inilah menjadi trend baik di antara mereka. Ibarat bangunan kinship terjalin dengan aspek lainnya, dalam pandangan fungsionaisme Malinowski atau functional theory of culture ini menciptakan keteraturan yang kuat (solid). .

4. RESONANSI GERAKAN IKHWANUL MUSLIMIN DI INDONESIA? Untuk menjelaskan posisi gerakan Ikhwanul Muslimin, kita perlu menempatkan konsep globalisasi secara dinamis. Dinamisasi ini berkelidan dengan konteks dan proses. Lalu, bagaimana dengan resonansi Gerakan Ikhwanul Muslimin? Berdasarkan pemikiran Coleman, Cunningham, dan Merry, maka resonansi IM di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Berbagai Perspektif Ikhwanul Muslimin di Indonesia Salah satu pandangan tentang IM versi tarbiyah Indonesia muncul dari Randi MU/randi96 di kompasiana.com (3 November 2016, 17:22:56) yang memberi judul tulisannya “Ambiguitas Visi Dakwah Parpol Tarbiyah”, judul lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “ Hai Para Pendakwah Hindari Sifat-sifat Golongan Perusak Agama”. Tulisan yang diakui oleh penulisanya sebuah uneg-uneg yang dituangkan dalam sebuah tulisan dari sebuah pengalaman penulis selama mengemban sebagai pendakwah tarbiyah. Ada banyak hal yang menurut pengamatan dan pengalaman Randi sangatlah kontradiktif dengan pesan luhur dakwah itu sendiri sehingga membuat ia keluar dari barisan dakwah tarbiyah ini. Ia menyampaikan bahwa dengan mengikuti sistem pengkaderan ala Ikhwanul Muslimin di Mesir seperti yang akrab dikalangan mereka disebut halaqah, daurah, liqa’, ta’lim, mukhayyam, mabit dan juga usroh, organisasi ini cukup mampu menarik minat (atau bisa juga dikatakan ‘ditarik’) mahasiswa untuk ikut bergabung. Randi menyampaikan bahwa gerakan tarbiyah ini sejatinya merupakan alat untuk pemanfaatan politik, hal ini dikarenakan gerakan tarbiyah sebenarnya ialah gerakan politik berbasis dakwah, bukan gerakan dakwah berbasis politik seperti yang selama ini orang-orang awam mengira. Karena gerakan tarbiyah ini merupakan gerakan politik, maka tujuan akhirnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencari simpati publik untuk meraih kekuasaan. Sementara aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para kader-kadernya tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebagai alat atau kedok untuk meraih hati orang-orang agar bersimpati. Ambiguitas para aktivis dakwah tarbiyah ini semakin terasa kental disaat mereka selalu meneriakkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan visi mereka untuk menjadikan masyarakat yang madani dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman di segala sendi kehidupan mereka, lagi-lagi kenyataan di lapangan dalam membimbing binaannya tak sejalan. Al-Qur’an dan Hadits yang selama ini dikatakan sebagai acuan dalam berkehidupan agar terhindar dari kesesatan, namun ternyata banyak dari aktivis mereka yang malah terjebak dalam lingkaran yang seharusnya dihindari oleh umat Islam semisalnya saja ‘virus TBC (tahayul, bid’ah dan churafat)’. Sementara itu, tanggapan berbeda muncul dari Facebook dari penelusuran "KATAKATA HIKMAH" menerbitkan sebuah catatan pada 11 September 2013 pukul 13:58; dengan judul MENGENAL IKHWANUL MUSLIMIN. Pandangan yang


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

135

mengomentari pandangan miring—dalam komentar ditulis fitnah—terhadap gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin) yang didirikan oleh Hasan Al-Banna. Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyyah, Mesir pada tahun 1928 yaitu 4 tahun selepas kejatuhan sistem khalifah Islam terakhir yaitu Khalifah Turki Uthmaniyyah oleh Hasan Al-Banna. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. Di berbagai media khususnya media negara-negara Barat, Ikhwanul Muslimin sering dikait-kaitkan dengan Al-Qaeda. Pada faktanya, AlQaeda berbeda dengan Ikhwanul Muslimin. Ideologi, sarana, dan aksi yang dilakukan oleh Al-Qaeda secara tegas ditolak oleh pimpinan Ikhwanul Muslimin. Kekerasan atau radikalisme bukan jalan perjuangan Ikhwanul Muslimin, kecuali jika negara tempat Ikhwanul Muslimin berada terancam penjajahan dari bangsa lain. Kedua pandangan tersebut adalah realitas yang muncul dari hampir sebagian besar gerakan dalam dinamikanya. Pro dan kontra terhadap aktivisme nya menjadi hal yang dianggap lumrah. Namun, jika kita tanyakan secara langsung dari para aktivisme gerakan, sisi murabbi (mentor) dan mutarabbi (menti), tentu keberagaman jawaban pun akan kita akan peroleh. Ini relevan jika kita mencoba menganalisisnya dengan resonansi gerakan bukan tanpa kompleksitas. Keberagaman pandangan teersebut tidak hanya terjadi pada orang di luar gerakan tarbiyah tetapi juga internal, pengalaman mengikuti kajian liqo, terdapat bervariasi pemahaman tentang gerakan ini terutama ketika awal halaqoh. 2. Gerakan Tarbiyah adalah Replikasi IM yang hibrid Resonansi menempatkan sebuah replika tetapi bersifat hibrid. Standar-standar internasional, ide gagasan dan praktik Ikhwanul Muslimin di Mesir bergetar tidak secara homogen tetapi heterogen yang nampak di Indonesia. Kontekstualisasi dalam ranah nasional dan lokal akan terjadi karena proses vernakulasi, ini akan nampak jika melihat keragaman aktivisme IM di antara kampus negeri di Indonesia semisal UI dan IPB, membandingkan dengan kampus berbasis agama, membandingkan dengan di sekolah-sekolah, membandingkan dalam politik kota dan desa, serta membandingkannya dalam konteks sosial lainnya. Penerjemahan dari para aktivisme yang bereksistensi dalam gerakan ini menjadi penting untuk dilihatnya. Dengan peran merekalah kita akan dapat melihat bentuk transformasi gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Identitas Ikhwanul Muslim yang dalam fase sejarah terdahulu tidak diakui oleh para aktivisi gerakan Tarbiyah karena terkait dengan strategi gerakan. Gerakan Tarbiyah dalam fase sejarah terdahulu mempunyai ‘perbedaan’ sekaligus persamaan dengan yang saat ini. Perbedaannya di Indonesia gerakan ini bernama gerakan Tarbiyah bukan Gerakan Ikhwanul Muslimin tetapi ide gagasannya diakui sebagian besar berasal dari ide-ide gerakan IM. Gerakan Tarbiyah di Indonesia merupakan kebangkitan Islam untuk gerakan kembali pada islam sejati atau murni. Dalam Yavuz dikatakan bahwa tidak


136

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 ada yang namanya Islam 'murni' yang ada di luar proses perkembangan sejarah. Pengalaman hidup sejati Islam selalu secara kultural dan historis spesifik dan terikat oleh keadaan langsung lokasinya di tempat dan waktu (Yavuz, 2013). Pengakuan ini muncul dari artikel yang berjudul “Ikhwanul Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah” di Jarimanis Indonesia, 5 years ago, tentang Syaikhut Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah: Dalam publikasi acara Seminar Nasional “Tarbiyah di Era Baru” di Masjid UI, Kampus UI Depok, ustadz keturunan Betawi ini ditetapkan sebagai pembicara utama (keynote speaker) serta disebut sebagai Syaikhut Tarbiyah; sebuah jabatan yang belum populer di telinga masyarakat, termasuk di kalangan aktivis da’wah dan harakah (pergerakan) selama ini. Mengingat di kepengurusan Partai Keadilan (PK) Rahmat memegang amanat sebagai Ketua Majelis Syuro dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Seperti dimaklumi, PK didirikan dan disokong oleh para kader Tarbiyah. Rahmat mengawali acara dengan orasi bertajuk “Kilas Balik 20 Tahun Tarbiyah Islamiyah di Indonesia dan Langkah Pasti Menyongsong Masa Depan” pada seminar nasional yang dihadiri ribuan aktivis dan simpatisan Tarbiyah. Dalam kesempatan tersebut dicanangkan tahun 1422 H ini sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di Indonesia. Dalam kancah pergerakan Islam di Indonesia, nama gerakan Tarbiyah belum populer di kalangan masyarakat awam. Kata dilekatkan orang pada sebuah ormas Islam yang berbasis di Sumatera Barat dan pernah menjadi partai Islam yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Namun bagi orang yang akrab dengan gerakan da’wah kampus, tidaklah merasa asing dengan sebutan itu. Karena akrabnya aktivis Tarbiyah dengan manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin, di era ’80-an dan ’90-an gerakan ini kerap juga disebut Ikhwan, sebuah gerakan Islam di Mesir yang pengaruhnya telah mendunia. Dituliskan bahwa tentu saja itu semua bukan cuma hasil kerja Rahmat Abdullah dan kawan-kawan seperjuangannya di Tarbiyah. Tapi harus diakui bahwa perjalanan da’wah yang mengesankan di zamrud katulistiwa tercinta ini adalah saham harakah Tarbiyah bersama harakah-harakah lain telah memberi itsar (bekas). Bagaimana sejarah bermulanya harakah ini? Apakah benar terkait dengan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir? Kiai yang ramah ini membeberkannya kepada Saiful Hamiwanto, Pambudi Utomo dan Deka Kurniawan dari Sahid, yang bertandang ke rumahnya yang sederhana nan asri di Kompleks Islamic Village Iqro’, Pondok Gede, Bekasi, Dari hasil wawancara dengan tokoh Tarbiyah tersebut kutipan dari sekitar tiga jam perbincangan. Namun, dalam perbincangan tersebut, ada beberapa hal yang bisa diungkapkan. Pertama, bahwa dilihat dari referensi dari gerakan ini memang di antaranya merujuk kepada gerakan yang berkembang di Mesir melalui buku-buku yang dibawa mahasiswa yang belajar di sana yang dikirimkan di pesantren-pesantren di Indonesia. Misalnya tiga kitab risalah Hasan Al-Banna, yaitu Bainal Amsi wal Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini), Da’watuna (Dakwah Kami di Era Baru) dan Risalah Ta’lim. Kedua, gerakan tarbiyah bukan hanya gerakan agama tetapi politik dengan pandangan dakwah sebagai bentuk pengaturan masyarakat adalah politik. Ketiga, bahwa IM berdasarkan buku tulisan Yusuf Qaradhawi adalah imtidad yaitu jamaah wahidah yang diikat oleh rabithul aqidah, di manapun mereka


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

137

berada tetap dalam satu ikatan yang kokoh dengan semangat. Namun, di luar negeri seperti di Yordan dan Sudan, Ikhwanul Muslimin bergerak dengan bendera formal, tetapi di sebagian negeri yang lain tidak menggunakan nama Ikhwanul Muslimin. Gerakan Tarbiyah, tidak pernah diperkenalkan dengan satu tokoh, berbeda dengan IM di Mesir sebagai monumen tempat lahirnya gerakan yang tidak tersembunyi untuk eksistensi jama’ah. 3. Gerakan versi Tarbiyah-PKS di Indonesia adalah bentuk Resonansi Gerakan IM Gerakan Tarbiyah jika menggunakan pemikiran Coleman (2014) maka akan nampak sebuah resonansi. Getaran tentang Ikhwanul Muslimin terasa karena dikaitkan dengan isu radikalisme, getaran ini merujuk ada kesejarahan mengeksplorasi keberadaannya meski pendirinya telah tiada. Intelektualitas dalam era globalisasi juga membawa mereka dalam perdebatan yang tak berhenti, media yang mengaitkan dengan gerakan Islam transnasional lainnya, mengkomparasikan di antara mereka, yang intinya justru membuat kuasa wacana mereka kuat di Indonesia meski dalam bentuknya yang tersamar, dengan perspektif cultural relativism. Getaran dari gerakan Ikhwanul Muslimin nampaknya begitu terasa dalam gerakan Tarbiyah atau yang dikenali kader PKS. Meskipun ada analisis yang bervariasi terhadap gerakan tarbiyah ini tetapi nampaknya semangat dan mobilisasi (misalnya aksi ke jalan) yang dilakukan oleh gerakan ini bertujuan seperti halnya yang ada dalam gagasan Ikhwanul Muslimin. Karakter dan cara-cara yang berasal dari gagasan Hassan Al Banna menjadi pemikiran dari gerakan Tarbiyah. Meskipun sulit mengukur sejauh mana para anggotanya mengindetifikasi persis sama dengan Ikhwanul Muslimin Mesir dan negara lainnya-- dalam keterbatasan tulisan ini-- karena pasti ada variasinya tetapi sebagian anggota liqo dalam pengajaran dan diskusikan akan ditanamkan sisi positif dari figure Hassan Al Banna dan rekanrekan dari gerakan. Tentu saja menjadi keyakinan oleh para anggota karena mereka hampir setiap waktu menerima wacana ini. Seperti sebuah gelombang, gema gerakan IM terpancar oleh para anggota gerakan tarbiyah khususnya yang telah diakui sebagai kader “setia” . Tidak hanya energi kognisi yang terisi karena “sharing” ilmu tentang gagasan dan gerak dari IM tetapi emosi dan persaudaraan di antara mereka terasa lekat melintasi batas wilayah lokal, nasional, dan regional. Sinkronisasi gerakan hingga sampai tingkat lokal mereka upayakan bersifat harmoni. Intinya rasa kebersamaan diusahakan oleh anggota gerakan tarbiyah berkoherensi dengan gerakan IM. Nampaknya sekali para aktivisme gerakan Tarbiyah yang terkonektivitas dengan gerakan IM. Gagasan persaudaraan muslim dunia nampak ketika umat muslim mengalamai ‘musibah’ dan mereka harus ditolong. Seperti sebuah cermin, aktivis gerakan tarbiyah mencoba selaras dengan para aktivsime IM di seluruh dunia. Komunikasi yang mereka jalankan tidak hanya berbentuk materi uang tetapi emosi keagamaan dari mereka. Keterikatan mereka akan semakin meningkat manakala aktivis IM di luar Indonesa mengalami keterancaman. Kesadaran untuk menjadi bagian dari gagasan IM, memanajemen diri seperti tidak nampak berbeda dengan IM. Gerakan Tarbiyah pun seperti halnya gerakan Ikhwanul Muslimin adalah gerakan


138

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintahan Islami. Selain tujuan, taktik dan beberapa atribut dari gerakan Tarbiyah serupa dengan Ikhwanul Muslimin Kemampuan untuk ‘bermanuver’, membangun basis dukungan dengan kesabaran, memilih di antara moderat atau penggunaan ‘kekerasan’ dan taktik mobilisasi (Rubbin, 2010). Gerakan Tarbiyah di Indonesia yang pernah peroleh selama bergaul dan ikut serta dalam liqa, nampak membawa misi persaudaraan seperti halnya Ikhwanul Muslimin di Mesir, pada titik-titik tertentu, kegiatan media harus disensor agar sesuai dengan pandangan dan pendidikan Islami. Demikian juga, kontruksi perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga di rumah meskipun sebagian juga menduduki sebagai wakil rakyat dengan dukungan PKS. Prinsip-prinsip Islamisme menjadi dasar untuk gerakan Tarbiyah. Namun, karena sejarah juga ikut serta melakukan perubahan, dinamisasi dan kompleksitasnya bukan hanya sebuah kausalitas. Pengaturan suatu negara yang berbeda juga akan berdampak yang berbeda. Dulu para aktivime gerakan tarbiyah akan mencoba menolak bahwa mereka bukan anggota IM karena konteks maka tentu saja akan berbeda dengan waktu yang sekarang. Apakah selalu demikian? Internalisasi keluarga yang multietnis dan institusinaliasi pendidikan tentu berbeda satu sama lain antara aktivisme gerakan Tarbiyah tentu memungkinkan adanya perbedaan dalam bentuk resonansinya, belum lagi sebagian dari yang mereka yang berada dalam pembinaan memasuki beberapa organisasi lain yang menjadi keputusan personal individu. Gerakan Tarbiyah mungkin saja selaras dengan gerakan IM, tetapi dalam beberapa waktu seringkali aktivisme gerakan Tabiyah mempunyai kekhasan yang tidak ada di gerakan IM Mesir. Nilai-nilai yang sama sebagai anutan para aktivisme gerakan Tarbiyah, tetapi kemampuan gerakan Tarbiyah kemungkinan berbeda dengan gerakan IM di negara lain. Proses adaptasi juga mempengaruhi pola-pola aktivisme gerakan Tarbiyah. Ini juga ditunjang dari kesadaran dari para aktivis dari gerakan rabiyah itu sendiri. Isu Indonesia menjadi salah satu partikular dari gerakan Tarbiyah. Apakah konsep reaksi gerakan Tarbiyah sama persis dengan gerakan IM di Mesir yang juga diikuti oleh gerakan IM di negera lain? Sebagai gerakan yang ingin dianggap istiqomah, nampaknya gerakan Tarbiyah akan mencoba mensikronisasi pola gerakannya dengan gerakan IM di Mesir dan di tempat yang lain, tetapi sebagai sebuah anak yang mengalami masa pertumbuhan dan pematangan maka akan mencoba ingin seperti ayah ibunya, bahkan ingin menjalin hubungan yang intim dengan para saudara sekandung dan kerabatnya. Ini miri[ dengan hubungan mereka dalam sebuah kinship. Jika saudara kandung dan para kerabatnya terluka mereka pun ikutserta membantu dan mengobati lukanya. Tentu saja jika mengikuti dinamika kinship itu sendiri, tidak semua saudara kandung dan kerabat tanpa konflik, tetapi jika pun itu terjadi maka kalimat indah adalah “ janganlah memakan daging dan meminum saudaranya, satu keturunan harus saling menjaga. Pengaturan ini nampaknya


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

139

semacam koneksi emosi yang mencoba menselaraskan antara kondisi ideal dan praktiknya. Dialog terjadi dalam satu buah bingkai foto. Bentuk keselarasan gerakan tarbiyah dan gerakan IM di Mesir menjadi daya kekuatan sendiri. Kebersatuan mereka dalam dunia global menjadi semakin meningkatkan kepercayaan dan kerja sama di antara mereka, seindah hubungan teman sejati. Lalu apakah hubungan ini juga seperti hubungan patron-klien? Mungkin, jika patron klien dipahami dinamis, Ketergantungan gerakan Tarbiyah terhadap gerakan IM di Mesir mungkin terjadi, artinya jika para aktivis gerakan Tarbiyah ingin dikatakan dari bagian dari gerakan IM dengan gagasan yang sama maka tidak hanya gagasan dan cara beraktivis yang harus diminta tetapi dukungan lain pun juga. Namun, ibarat seorang penerjemah, aktivisme gerakan Tarbiyah mempunyai peran ganda dan dilemma. Ia dapat saja menjadi penerjemah yang baik jika ia mampu menggunakan wacana lokal, nasional, sekaligus transnasional. Ia juga harus menerjemahkan dengan baik ide gagasan dari gerakan Tarbiyah jika aktivis mereka ingin diklaim beridentitas sama dengan IM dan tidak dikatakan sebagai ambigu dalam praktik akvisme gerakannya. Ini seperti yang diinginkan oleh Randi, mantan aktivis gerakan tarbiyah yang keluar dari gerakan ini karena dianggap ambigu. Agar terjadi kesamaan tentang mabda (ideologi) dan Manhaj (konsep)nya gerakan IM maka mereka tidak boleh memutuskan hubungan pemahaman aktivis gerakan Tarbiyah tidak ambigu. Namun, identitas Tarbiyah akan menjadi identitas tersendiri yang mungkin akan berbeda dengan Ikhwanul Muslimin jika memang para aktivis gerakan Tarbiyah ingin mencipatkan identitas baru yang lebih terlihat lebih dari sekedar resonansi. Seperti halnya konsepsi disonansi nampaknya gerakan Tarbiyah mencoba mengkombinasikan beberapa gagasan IM dengan praktik gerakan Tarbiyah di Indonesia sendiri tetapi belum ada semacam protes dari para aktivis gerakan Tarbiyah terhadap gagasan gerakan IM di Mesir, jika pun ada itu justru diakui sebagai ‘mantan’ gerakan Tarbiyah sebagai kegagalan aktivis gerakan tarbiyah ketidakmampuannya untuk menerjemahkan mabda (ideologi) dan Manhaj (konsep) nya gerakan IM sehingga serasa ambigu. Sentimen semacam itu mengidentifiaksi bahwa keharusan aktivis gerakan Tarbiyah yang lebih banyak belajar lagi tentang gagasan IM dengan ‘benar’. Variasi yang muncul gerakan IM misalnya di Aljazair, yang ada di beberapa negara diakui karena latar belakang sejarah dan budaya. Gerakan Tarbiyah di Indonesia bukan penganut arus besar madrasah hudaybiyah yang tidak begitu radikal dengan komando gerakannya di Mesir dan bukan madasrah quthbiyah yang radikal. Aktivis gerakan Tarbiyah di Indonesia nampak seperti Ikhwan Hudaybiyah yang tetap mau menerima sebagian sistem modern, seperti partai politik dan organisasi meskipun dengan cita-cita politik Islam tanpa kompromi, yaitu Daulah Islamiyah. Namun, cara yang di tempuh bersifat non kekerasan dan terlihat masih tersamar. Mereka memanfaatkan instrumen demokrasi untuk mewujudkan cita-cita gerakan.


140

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Selain itu, para aktivis inti dengan metode salah sau dengan liqo nya terus senantiasa mengupayakan aktivisme gerakannya selaras dengan pemikiran IM dan bukan menampakkan bukan perwujudan ketidaksesuaian dengan IM di Mesir. Jikapun strategi yang digunakan berbeda bukan dalam bentuk defleksi, simpulannya tetap memungkinkan untuk sejajar dengan ideologinya. Jika pun memang memungkinkan perlu dibuktikan dengan penelitian yang mengisyaratkan adanya penyimpangan, perbedaan mendasar kedua hal. Ideologi menjadi proses bingkai yang senatiasa dilakukan sebagai upaya hegemoni terjadi, membangun semangat dan motivasi untuk proses mobilisasi massa,

5. KESIMPULAN Wacana gerakan Islam akan terus muncul karena akan terus menarik untuk dikaji. Gerakan Tarbiyah adalah salah satu wujud praksis di mana wacana itu muncul dalam globalisasi. Seperti udara, gerakan semacam ini sulit diprediksikan kapan berakhirnya tetapi akan semakin lebih mudah jika kita mampu memahami efek dari konsep resonansi. Resonansi meskipun nampak seperti konsep alamiah, tetapi dalam praktiknya dapat didopsi dalam kajian ilmu sosial budaya. Dalam pemahaman terhadap konsep tersimpan banyak refleksi dari para aktivis dan para peneliti untuk mencoba memperkaya konsep ini. Resonansi meskipun seringkali tidak dapat dilepaskan dengan konsep disonansi karena ada banyak hal yang memungkinkan tetapi untuk kasus gerakan Tarbiyah saat ini nampaknya resonansi lebih memungkinkan untuk menjelaskan fenomena kemunculannya dan gerakannya. DAFTAR REFERENSI Adamec, Ludwig W. 1992. Historical Dictionary of Islam. United States of America: Scarecrow Press, Inc. Anderson, B. 1991. “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism”. New York, Verso: 48-59. Armajani, Jon. 2012. Modern Islamist Movements: history, religion, and politics. USA: Blackwell Publishing Berbrier Mitch. 1998. “Half the Battle’: Cultural Resonance, Framing Processes, and Ethnic Affectations in Contemporary White Separatist Rhetoric.” Social Problems 45:431–50 Byman, Daniel. 2015. Al Qaeda, the Islamic State, and the Global Jihadist Movement. New York: Oxford University Press Castells, M. 2010. Volume II: The Power of Identity. 2nd Ed. West Sussex: Blackwell Publishing. Coleman P. T., Mazzaro K., Ben-Yehuda R., Redding N., Burns D., Bartoli A., Yee A. 2014. “Resonance in complex social systems”. Manuscript in preparation. Retrieved form Google Scholar on ……2017. Cunningham, H. 1999. “The ethnography of transnational social activism: understanding the global as local practice.” American Ethnologist 26 (3): 583-604. Daniels, Timothy. P (Peny). Islamic Law and Sociological Processes. New York: Palgrave Macmillan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

141

Merry, S. E. 2006. “Transnational Human Rights and Local Activism: Mapping the Middle”, American Anthropologist 108 (1): 38-51 Moghadam, Valentine M., 2009. Globalization and Social Movements: Islamism, Feminism, And The Global Justic Movement. United States of America: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Nuryaddin, Eko. 2005. Partai Keadilan Sejahterah: Studi Keterkaitan Antara Ikhwanul Muslimin dengan Gerakan Tarbiyah. Skripsi. Depok: UI

Rosyad, Rifki. 1995. A Quest for True Islam: A study of the Islamic resurgance movement among the youth in Bandung, Indonesia. Canberra: The Australian National University E- Press Rubin, Barry. 2010. The Muslim Brotherhood: The Organization and Policies of A Global Islamist Movement. The United State: Palgrave Macmillan Saifuddin. 2011. “Radikalisme Islam Di Kalangan Mahasiswa (Sebuah Metamorfosa Baru) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Analisis”,Volume XI, Nomor 1, Juni 2011 Scott, J.C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Connecticut: Yale University Tarrow, S. G. 2011. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge: Cambridge University Press. . 3rd Edision. Introduction; Contentious Politics and Social Movements; Part I the birth of the modern Social Movement: hal 1 – 91. Wilson, B. 2006. “Ethnography, the internet, and Youth Culture: Strategies for examining social resistance and “online-offline” relationships” , Canadian Journal of Education 29 (1): 307-328. Yavuz, M. Hakan. 2013. Toward an Islamic Enlightenment: The Gülen movement. New York: Oxford University Press Zakariyya, Fouad. 2005. Myth and Reality In The Contemporary Islamist Movement London: Pluto Press

https://satuislam.org/opini/agama-di-ruang-publik/ diakses pada tanggal 21 Juli 2017 https://profkomar.wordpress.com/2017/01/ diakses pada tanggal 10 Mei 2017 http://www.muslimat-nu.com/hti-studi-kasus-di-jawa-barat/ diakses pada tanggal 18 Juli 2017


142

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

BIOGRAFI PENULIS Siti Khoirnafiya Siti Khoirnafiya disapa Irna lahir pada 8 September 1983. Ia merupakan lulusan S1 dan S2 Antropologi Universitas Indonesia (UI) dengan predikat cum laude. Kini, ia melanjutkan S3 Antropologi UI kembali. Kajian yang diminatinya adalah terkait dengan antropologi religi khususnya gerakan sosial tema tesis S1 tentang Hizbut tahrir Indonesia (HTI) dan S2 tentang Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Sewaktu S1, ia aktif di dalam dan di luar organisasi kampus, mengikuti kompetisi MaPres, FISIP Award, dan lomba penulisan (esai) serta menjadi panelis (juri) di beberapa kompetisi debat. Lulus S1, ia bekerja sebagai editor buku di Penerbit Yudhistira Ghalia dan PustakaWidyautama. Di sela-sela itu ia mengajar di Universitas Jakarta dan berkesempatan menulis Buku Antropolgi untuk SMA. Kini ia bekerja di institusi bidang kebudayaan, dengan rutinitasnya, meluangkan waktu menulis di blog dan majalah/jurnal seperti Museografia, sesekali dilibatkan dalam penelitian terkait, dan membantu mengkoordinir kegiatan di unit kerjanya. Kini, harapannya, ia dapat meluangkan kebersamaan dengan anak-anaknya yang masih kecil dan menambah referensi dengan Tugas Belajar nya di S3 Antropologi UI.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

143

Kajian Faktor Kesiapan Lingkungan Dalam Rangka Peningkatan Implementasi E-Goverment Indonesia Yang Lebih Baik 1

Rika Yuliana1 UIN Ar-Raniry, Kopelma, Darussalam, Banda Aceh Email: 1rika.yuliana03@gmail.com Abstrak

Sangat mengejutkan melihat fakta bahwa Indonesia menempati peringkat EGDI (E-Goverment Development Index) ke 116 berdasarkan survey yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turun 10 peringkat dari tahun 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa ada asumsi dan aktivitas implementasi yang belum tepat dalam proses transformasi digital di Pemerintahan, khususnya dalam skala nasional. Oleh karena itu, artikel ini dibuat dengan tujuan mengkaji kembali faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tersebut dengan metode riset kepustakaan (library research), khususnya faktor-faktor kesiapan lingkungan, sehingga dapat dijadikan pedoman oleh Pemerintah. Dengan asumsi dasar bahwa Indonesia sebagai negara berkembang, maka dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen tersebut terdiri dari kualitas sistem, politik, sosial, ekonomi, teknologi dan demografi. Dalam masingmasing komponen tersebut mengandung beberapa variabel dan parameter yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai efisiensi dan efektifitas dari proses kesiapan lingkungan dalam rangka pengembangan implementasi e-goverment di Indonesia. Kata kunci: Pengembangan Implementasi E-Goverment, Indonesia, Kesiapan Lingkungan Abstract It is very surprising to see the fact that Indonesia is ranked as the 116th of EGDI (E-Government Development Index) based on a survey conducted by United Nations (UN), moved down 10 ratings from 2014. This indicates that there are improper implementation and activities in the process of digital transformation in Government, especially on a national scale. Therefore, this article was created with the aim of reviewing the influencing factors in the process through library research method, especially the factors of environmental readiness, so that it can be used as a guide by the Government. With the basic assumption that Indonesia as a developing country, it can be concluded that these components consist of system quality, politics, social, economics, technology and demography. In each component contains several variables and parameters used as a benchmark to assess the efficiency and effectiveness of the environmental preparedness process in order to develop the implementation of e-Government in Indonesian. Keywords: development of the E-Goverment implementation, Indonesia, Environmental Readiness


144

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN Lembaga-lembaga yang bernaung di bawah pemerintahan Indonesia dituntut mampu menghasilkan layanan dan kebijakan kepada publik secara efektif, efisien, akuntabel dan transparan melalui penerapan digital goverment (e-goverment) secara sinergis. Namun, Indonesia menempati peringkat EGDI (E-Goverment Development Index) ke 116 berdasarkan survey yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turun 10 peringkat dari tahun 2014. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi belum memberikan pengaruh positif terhadapnya karena tidak dilakukan secara bersinergi dan berkesinambungan/bertahap (Yuliana, 2017). Oleh karena itu, artikel ini menitikberatkan pada upaya peningkatan implementasi e-goverment di Indonesia ke arah yang lebih baik, khususnya dalam hal kesiapan lingkungan pemerintahan. Teknologi digital menawarkan peluang yang signifikan dan luas untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, tetapi menyadari peluang tersebut berarti mengevaluasi tantangan yang akan ditimbulkan oleh teknologi baru. Dengan memperhatikan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, beserta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam proses implementasi e-goverment maka Indonesia perlu melakukan penyesuaian dalam menyusun tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pemerintah dalam skala nasional. Jurriens & Tapsell (2017) juga berpendapat bahwa langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meletakkan gagasan "revolusi" teknologi ke dalam perspektif kritis dengan memposisikan realitas dunia digital dalam konteks perpaduan antara lingkungan sosial-politik, budaya dan alam. Salah satu tantangan terbesar di Indonesia adalah memastikan bahwa internet tidak semakin mengarah pada masyarakat yang ‘terbagi-bagi’ (divide) dan tidak merata, karena pengguna di daerah perkotaan dengan akses yang lebih baik ke internet berkecepatan tinggi beradaptasi dengan dunia digital lebih cepat daripada sesama warga di daerah pedesaan. Tantangan lain yang ditimbulkan oleh digitalisasi dalam bentuk konektivitas yang luas dan intensif adalah dapat memunculkan informasi yang keliru, miskomunikasi dan perbedaan sosial-politik. Sebuah riset yang dilakukan oleh Wang, Sun & Yan (2012) membuktikan bahwa kapabilitas tata kelola e-goverment, kesiapan lingkungan, dan dukungan organisasi berkorelasi positif dengan efektivitas pelaksanaan e-goverment. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Gichoya (2005), Gil-Garcia (2005), Seddon (1997) melaporkan bahwa efektivitas penerapan e-goverment mengacu pada kualitas sistem dan efisiensi dalam implementasi e-goverment pada organisasi pemerintahan. Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa efektivitas dari pelaksanaan e-government dipengaruhi oleh berbagai faktor baik di dalam (internal) maupun di luar (eksternal) organisasi. Kesiapan lingkungan eksternal mengacu pada kesiapan faktor politik, sosial, ekonomi, teknologi dan faktor lainnya di luar organisasi pemerintah. Seddon (1997), Gil-Garcia (2005), Gichoya (2005), Kraemer (1979) dan Perry (1980) berpikir bahwa faktor eksternal dibentuk oleh orientasi kebijakan pada otoritas yang lebih tinggi, yaitu pada tingkat ekonomi regional, sehingga pengembangan standar teknis dan lainnya akan berdampak pada penerapan efektifitas teknologi informasi dalam organisasi pemerintah. Tingkat dukungan lingkungan internal terhadap pelaksanaan e-government mengacu pada tingkat dukungan dari kepala eksekutif, lingkungan manajemen informasi, sumber informasi, dan berbagai personil manajemen di dalam organisasi pemerintah (Wang, Sun, & Yan,


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

145

2012). Kamal (2006) dan Svara (2008) berpendapat bahwa lingkungan organisasi internal seperti dukungan dari semua jenis peran dalam organisasi dan status kepemilikan sumber informasi dalam organisasi memiliki pengaruh penting terhadap efektivitas pelaksanaan egovernment. 2. KUALITAS SISTEM Kualitas sistem dalam implementasi e-goverment terkait dengan tingkat/level hasil pengukuran berbagai komponen dari sistem tersebut terhadap parameter kualitas sistem (Tabel 1). Adapun komponen sistem e-goverment terdiri dari Legal Framework untuk mendukung ETransactions, keamanan informasi, Application dan Services, teknologi dan metodologi (Yung, 2003). Sedangkan ukuran parameter kualitas e-goverment terdiri dari Process Performance, System Performance, Site Quality, Customer Satisfaction (Halaris, Magoutas, Papadomichelaki, & Mentzas, 2007). Kondisi e-goverment yang berkualitas tercermin dari e-goverment maturity level. Jika e-goverment maturity level tinggi, ini berarti implementasi e-goverment tersebut memiliki standar kualitas yang tinggi dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, peningkatan implementasi e-goverment harus dilakukan secara menyeluruh dengan memperhatikan semua komponen/faktor yang terkait dalam sistem tersebut. 3. KESIAPAN LINGKUNGAN EKSTERNAL Kesiapan lingkungan eksternal yang berkaitan dengan faktor politik, ekonomi, sosial, teknologi dan demografi akan dijelaskan secara rinci beserta ukuran parameternya masingmasing. 3.1 Politik Tan, Zhao & Zhang (2016) menemukan bahwa implementasi teknologi informasi dalam organisasi pemerintah adalah proses mikro politik dengan karakteristik situasional praktis yang kuat. Yakni, berpusat pada proposisi organisasi untuk mengatasi ketidakpastian teknologi informasi, pelaku inti dalam tingkat yang berbeda membentuk kognisi dasar tentang teknologi informasi, dan melaksanakan interaksi strategis dalam hubungan kekuasaan (power) yang kompleks, sehingga membentuk ruang lingkup aplikasi dan pengaruh terhadap teknologi informasi. Bagi aktor yang berbeda, teknologi informasi memiliki arti yang berbeda, sehingga dapat membentuk kognisi subyektif dan penilaian yang berbeda.


146

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1. Penggerak Nilai, Dimensi Kualitas dan Level Analisis (Misuraca & Viscusi, 2014) Penggerak Nilai Kinerja

Dimensi Kualitas Efisiensi

Level Analisis Legal framework Layanan Teknologi

Effektifitas

Layanan Organisasi

Openness

Transparansi

Layanan Organisasi

Akuntabilitas

Organisasi Legal framework

Accessibility

Organisasi Informasi Teknologi

Inclusion

Accessibility

Layanan Teknologi

Equity

Organisasi Informasi

Kepemimpinan politik sangat mempengaruhi perkembangan implementasi e-goverment di beberapa negara. Hal ini disebabkan olek kebijakan (policy) dan peraturan perundangundangan (legal) yang dibuat. Adapun peran dari politisi umumnya sebagai pengambil keputusan melalui kebijakan dan peraturan menurut Omar, Weerakkody & Millard (2016), secara rinci dapat dilihat sebagai berikut: -

Mengkaji bersama pengguna terkait transformasi yang diinginkan

-

Membuat indikasi dari milestone proyek sehingga akan membantu semua pihak untuk memiliki pemahaman yang sama terhadap kemajuan proyek dan tindakan yang diperlukan

-

Memiliki definisi pelaksana dan pengguna yang lebih luas, untuk memasukkan semua aktor potensial dan juga mengukur persyaratan yang berbeda

-

Melibatkan pelaksana dan pengguna dalam perancangan proyek, untuk menghasilkan struktur dan pengambilalihan yang sesuai dengan rencana

-

Mengembangkan pemahaman bersama antara pengambil keputusan, pelaksana dan pengguna dengan cara memiliki sebuah platform komunikasi yang resmi


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

147

-

Mengevaluasi dan mengenali tantangan potensial dalam program transformasi dengan mengadakan proyek percontohan dan studi kelayakan sebelum pelaksanaan proyek

-

Menetapkan dukungan (contohnya informasi, teknologi, keterampilan) untuk pelaksana dan pengguna

-

Membuat kemitraan dengan instansi pemerintah daerah atau perwakilan dalam mengembangkan program transformasi yang terkait dengan mereka untuk meningkatkan pengambil-alihan dan pengaruh dari sumber daya selama proses institusionalisasi

-

Mempromosikan berbagi pengetahuan sebagai 'mekanisme belajar mandiri'.

-

Menetapkan kesepakatan atau target dengan pelaksana tentang format, metodologi dan deliverables dari program transformasi.

-

Menentukan kepemilikan program.

3.2 Sosial Pemerintah di seluruh dunia berusaha untuk memahami, memanfaatkan dan mengelola sistem sosio-teknis secara proaktif agar lebih efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. E-goverment harus memiliki potensi dan menjamin “sistem-sistem yang bermunculan�, khususnya konsep “mesin sosial�, dalam rangka untuk lebih menanggapi sifat dinamis masyarakat dan untuk mengakomodasi kompleksitas dari interaksi dan jasa yang dibutuhkan (Tiropanis, Rowland-Campbell, & Hall, 2014). Singh (2013) mengatakan bahwa sistem sosio-teknik sebagai sistem cyber-fisik multipihak. Gagasan-gagasan dari para pemangku kepentingan yang dimodelkan sebagai prinsipil otonom berdasar pada norma-norma, yang diwakili secara komputasi sebagai agen yang melakukan interaksi gabungan. Oleh karena itu, tata kelola diperlukan untuk mempertimbangkan berbagai kepentingan (interest) dalam sistem e-goverment sehingga mampu mengurangi terjadinya konflik. Secara umum, konsep ini dapat dilihat pada Gambar 1.


148

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Model konseptual sederhana yang berpusat pada pemerintah (Singh, 2013)

Permasalahan sosial dalam e-goverment juga diperkuat dengan penrnyataan GrundĂŠn (2009) bahwa peningkatan pengetahuan tentang aspek dan dampak sosial dapat diintegrasikan dalam proses pengembangan dan implementasi oleh penyedia (serta kelompok kepentingan lainnya), untuk menghindari masalah sosial terkait pelaksanaan e-Government. Dalam konteks negara Indonesia, aspek sosial ini berkaitan dengan asas negara kita yang berbentuk negara demokrasi. Gruden juga mengidentifikasi beberapa problem sosial yang terkait dalam implementasi e-goverment: 1. Meningkatnya strategi dalam penanganan dan pelaksanaan oleh personil seiring dengan meningkatnya stres/tekanan selama proses implementasi. 2. Kecenderungan meningkatnya kesenjangan digital internal dan eksternal antar kelompok yang berbeda. 3. Meningkatnya fokus manajemen pada aspek efisiensi dalam membuat tujuan lain sebagai tujuan sekunder (seperti kualitas layanan kepada klien dan kualitas situasi kerja untuk staf). 3.3 Ekonomi Faktor ekonomi secara keseluruhan terdiri dari dua komponen, yaitu ekonomi konvensional dan ekonomi digital. Zhao, Wallis, & Singh (2015) menemukan bahwa faktor ekonomi yang diukur melalui GNI perkapita dan secara signifikan mempengaruhi pengembangan implementasi e-goverment, bukanlah faktor yang utama. Hal tersebut dapat disebabkan faktor ekonomi dapat digantikan atau berperan secara tidak langsung terhadap pengembangan e-goverment dibandingkan dengan faktor lain, yaitu efektivitas pemerintah, usia penduduk, dan budaya. Dengan kata lain, kekayaan secara ekonomi belum tentu mengarah pada pengembangan e-government. Fenomena ini mungkin mencerminkan sifat multidimensional dari pengembangan e-government di mana banyak faktor cenderung berperan dan beberapa lainnya lebih utama daripada yang lain. Disamping faktor ekonomi konvensional, e-goverment juga dipengaruhi oleh beberapa variabel ekonomi digital (Tabel


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

149

2), antara lain: konektivitas dan infrastruktur teknologi; lingkungan bisnis; lingkungan sosial dan budaya; lingkungan hukum; kebijakan dan visi pemerintah; dan daya serap konsumen dan bisnis. Tabel 2. Ringkasan Dari Ukuran-Ukuran Yang Digunakan Oleh EIU Untuk Peringkat Ekonomi Digital Variabel

Indikator Utama

Konektivitas dan infrastruktur teknologi

Penetrasi broadband, penetrasi ponsel, penetrasi pengguna internet

Lingkungan bisnis

Lingkungan makro ekonomi, peluang pasar, pasar tenaga kerja

Lingkungan sosial dan budaya

Tingkat pendidikan, tingkat kewiraswastaan dan inovasi, tingkat literasi internet

Lingkungan hukum

Efektivitas kerangka hukum tradisional, hukum yang mencakup internet

Kebijakan dan visi pemerintah

Belanja pemerintah untuk ICT sebagai bagian dari PDB, strategi pengembangan digital

Daya serap konsumen dan bisnis

Penggunaan internet oleh konsumen, penggunaan layanan online oleh warga negara dan pelaku usaha

Sumber: Economist Intelligence Unit (2010)

3.4 Teknologi Keberhasilan implementasi e-government bergantung pada penilaian kesiapan dari aspek teknologi guna merealisasikan manfaat e-government dan mengurangi potensi kegagalan implementasi e-government. Faktor kesiapan dari teknologi untuk e-government adalah: Software; perangkat keras; komunikasi; operasi; keamanan; dukungan teknis; tingkat kesenjangan digital (digital divide); komputasi awan; pusat data; dan standar teknologi informasi (Tabel 3). Diperkirakan bahwa faktor teknologi tersebut akan membantu pemerintah untuk mengidentifikasi dan memahami aspek teknologi yang harus dipertimbangkan saat menilai situasi terkait dengan penerapan inisiatif e-government dari perspektif teknologi. Selain itu, daftar faktor kesiapan teknologi dapat digunakan oleh perancang, pengembang dan peneliti sebagai pedoman untuk mengidentifikasi kebutuhan teknologi yang diperlukan untuk implementasi e-government. (M. Baeuo, Binti AB. Rahim, & Alaraibi, 2017).


150

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 3. Faktor-Faktor Dari Teknologi Beserta Deskripsinya (M. Baeuo, Binti AB. Rahim & Alaraibi, 2017) Faktor-faktor Teknologi

Deskripsi

Software

Program atau sumber daya soft computing yang tersedia melalui komputer atau teknologi informasi dan komunikasi

Hardware

Peralatan fisik komputer dan periferal yang terkait.

Communication

Kumpulan link terminal yang terhubung untuk memungkinkan komunikasi antara orang-orang. Hal ini dapat mendukung organisasi yang berusaha untuk meningkatkan kehidupan dalam hal kekuatan komunikasi melalui router dan server yang berdedikasi.

Operations

Kumpulan proses yang menyediakan pekerjaan sehari-hari yang dibutuhkan untuk memantau dan memelihara infrastruktur dan sistem operasi TIK secara terus menerus.

Security

Keamanan adalah tingkat resistensi terhadap, atau perlindungan dari, serangan digital.

Technical support expertise

and

Bantuan untuk individu yang memiliki masalah teknis dengan perangkat elektronik seperti komputer dan produk perangkat lunak, dan keahlian teknis yang mencakup apapun dari tips dan saran hingga eksploitasi dan pengoptimalan.

Digital divide

Berarti kesenjangan antara orang-orang yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang tidak.

Cloud computing

Sebuah model untuk memberikan layanan teknologi informasi di mana sumber dayanya diambil dari internet melalui alat dan aplikasi berbasis web, bukan koneksi langsung ke server.

Data centers

Sebuah repositori terpusat, baik fisik maupun virtual, untuk penyimpanan, pengelolaan, dan penyebaran data dan informasi yang diatur berada di sekitar body of knowledge tertentu atau yang berkaitan dengan bisnis tertentu.

Standar Teknologi Informasi

Varietas dan perkembangan teknologi informasi yang terus berlanjut yang dapat menyebabkan berbagai organisasi berpotensi mengadopsi jenis teknologi yang berbeda.

3.5 Demografi Zhao, Wallis & Singh (2015) memverifikasi secara empiris bahwa faktor demografi yang


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

151

diukur berdasarkan struktur umur secara signifikan mempengaruhi perkembangan egovernment. Dengan kata lain, populasi orang dengan persentase yang tinggi antara usia 15 dan 64 adalah faktor kontekstual utama terhadap digitalisasi layanan pemerintah. Namun, mereka tidak menemukan bahwa gender memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan e-government. Temuan yang tidak konsisten dari studi tersebut dapat dijelaskan dengan perbedaan antara penggunaan Internet secara umum dan penggunaan egovernment serta faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya. Williams & Dwived (2007) menyimpulkan bahwa karakteristik demografi seperti usia dan pendidikan memiliki peran penting dalam membantu memahami tingkat adopsi dari layanan e-government yang muncul. Temuan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa terdapat adopsi yang tidak setara atau heterogen (atau perbedaan digital) dalam berbagai dimensi demografis termasuk usia dan pendidikan. 4. PENGARUH FAKTOR KESIAPAN LINGKUNGAN UNTUK PENINGKATAN IMPLEMENTASI E-GOVERMENT DI PEMERINTAHAN NASIONAL INDONESIA Kondisi pemerintahaan indonesia saat ini berada dalam tahap pengembangan menuju implementasi e-goverment yang lebih baik. Hal ini terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah seperti membuat layanan-layanan konvensional menjadi berbentuk digital. Namun demikian, sampai saat ini upaya tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan sebagaimana terlihat dalam peringkat EGDI. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya tingkat daya dukung dari faktor kesiapan lingkungan dalam proses transformasi digital di Pemerintah Indonesia secara nasional. Oleh karena itu, Pemerintah harus memperhatikan bagaimana tingkat kesiapan linkungan dapat meningkatkan implementasi e-goverment di Indonesia dengan cara menelaah kembali bagaimana kualitas sistem pemerintahan dan pengaruh faktor politik, sosial, ekonomi, teknologi dan demografi dapat secara sinergi dan berkesinambungan dalam meningkatkan implementasi e-goverment di Indonesia. Hal ini harus dilakukan secara menyeluruh oleh semua kementerian/lembaga yang terkait agar dapat menyajikan informasi/layanan/kebijakan yang transparan dan produktif. Apabila tingkat kesiapan lingkungan tinggi, maka Pemerintah dapat dengan mudah mencapai tujuan tersebut. 5. KESIMPULAN Faktor kesiapan lingkungan dalam pemerintahan skala nasional sangat berpengaruh terhadap pengembangan implementasi e-goverment di Indonesia. Dengan memperhatikan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, maka hal ini menjadi ciri khas tersendiri yang membutuhkan pertimbangan khusus untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah sebagai pondasi/asumsi dasar dari aktivitas pengembangan di masa depan. Komponen-komponen dari faktor kesiapan lingkungan ini tidak bisa berdiri sendiri, mereka terkait satu sama lain saling mendukung untuk mampu berkontribusi positif dalam pengembagan implementasi egoverment di Indonesia. Komponen-komponen tersebut terdiri dari kualitas sistem, politik, sosial, ekonomi, teknologi dan demografi. Dalam masing-masing komponen tersebut mengandung beberapa variabel dan parameter yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai efisiensi dan efektifitas dari proses kesiapan lingkungan dalam rangka


152

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

pengembangan implementasi e-goverment di Indonesia. DAFTAR REFERENSI Gichoya, D. (2005). Factors Affecting The Successful Implementation Of ICT Projects In Goverment. Electronic Journal Of E-Government 3(4), 175–184. Gil-Garcia, J. P. (2005). E-government success factors: Mapping practical tools to theoretical foundations. Government Information Quarterly 22(2), 187–216. Grundén, K. (2009). A Social Perspective on Implementation of e-Government - a Longitudinal Study at the County Administration of Sweden. Electronic Journal of e-Government Volume 7 Issue 1, 65-76. Halaris, C., Magoutas, B., Papadomichelaki, X., & Mentzas, G. (2007). Classification and synthesis of quality approaches in e-government services. Internet Research, 378-401. Jurriens, E., & Tapsell, R. (2017). Challenges and Opportunities of The Digital 'Revolution' in Indonesia. In E. Jurriens, & R. Tapsell, Digital Indonesia: Connectivity and Dovergence (pp. 1-20). Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute. Kamal, M. (2006). IT innovation adoption in the government sector: identifying the critical success factors. Journal of Enterprise Information Management 19(2), 192–222. Kraemer, K. P. (1979). The federal push to bring computer applications to local goverments. Public Administration Review, 260–270. M. Baeuo, M. O., Binti AB. Rahim, N. Z., & Alaraibi, A. A. (2017). Technology FactorsInfluencing E-Goverment Readiness. Journal of Theoretical and Applied Information Technology Vol 95 no.8, 1637 -1645. Misuraca, G., & Viscusi, G. (2014). Digital governance in the public sector: challenging the policymaker's innovation dilemma. 8th International Conference on Theory and Practice of Electronic Governance (pp. 146-154). Guimaraes, Portugal: ACM. Omar, A., Weerakkody, V., & Millard, J. (2016). Digital-enabled Service Transformation in Public Sector: Institutionalization as a Product of Interplay Between Actors and Structures During Organisational Change. 9th International Conference on Theory and Practice of Electronic Governance (pp. 305-312). Montevideo, Uruguay: ACM. Perry, J. D. (1980). The Adoptability of Inno Va Tions: An Empirical Assessment of Computer Applications in Local Governments. Administration & Society 11(4), 461. Seddon, P. (1997). A respecification and extension of the DeLone and McLean model of IS Success. Information Systems Research 8(3), 240–253 . Singh, M. P. (2013). Norms as a basis for governing sociotechnical systems. ACM Transactions on Intelligent Systems and Technology (TIST) , Volume 5 Issue 1 Article no.21. Svara, J. (2008). Strengthening Local Government Leadership and Performance: Reexamining and Updating the Winter Commission Goals. Public Administration Review 68, 537–549. Tan, H., Zhao, X., & Zhang, N. (2016). Technology Symbolization: Exploring the Political Mechanism of IT Implementation in Local e-Government Projects. 17th International Digital Government Research Conference on Digital Government Research (pp. 12-19). Shanghai, China: ACM.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

153

Tiropanis, T., Rowland-Campbell, A., & Hall, W. (2014). Government as a Social Machine in an Ecosystem. 23rd International Conference on World Wide Web (pp. 903-904). Seoul, Korea: ACM. Wang, T., Sun, B., & Yan, Z. (2012). IT Governance: The Key Factor of E-Government Implementation in China. In Z. D. Shaw M. J., Web-Enabled Convergence of Commerce, Work and Social Life. WEB 2011. Lecture Notes in Business Information Processing (Vol. 108, pp. 274-285). Berlin, Heidelberg: Springer. Williams, M., & Dwived, Y. (2007). The Influence of Demographic Variables on Citizens' Adoption of E-Government. Americas Conference on Information Systems (p. 309). AIS Electronic Library (AISeL). Yuliana, R. (2017). Prinsip Dasar Tata Kelola TIK di Pemerintahan Tingkat Nasional Indonesia. In A. A. all, Bunga Rampai Semangat Publikasi Dalam Membangun Peradaban Negeri (pp. 186194). Jawa Timur: Penerbit Wade. Yung, M. (2003, June 3). e-Government System - A Practitioner Perspective. Retrieved September 11, 2017, from isaca: http://www.isaca.org.hk/document/cisa_slide/ISACA%20egov%20seminar/ Zhao, F., Wallis, J., & Singh, M. (2015). E-government development and the digital economy: a reciprocal relationship. Internet Research, Vol. 25 Issue: 5, 734-766.

BIOGRAFI PENULIS Rika Yuliana, MT Rika Yuliana menyelesaikan studi tingkat master bidang Teknik Informatika di Institut Teknologi Bandung pada tahun 2012 dan sarjana bidang Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Saat ini aktif menjadi staf pengajar dan peneliti di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Islam negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Bidang riset yang dilakukan antara lain Arsitektur Teknologi Informasi di Organisasi baik Perusahaan maupun Pemerintahan.


154

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Ekstrak Metanol Daun Kemangi (Ocimum Citriodorum) Yusnita Rifai1,Mirna Makmur1 Mufidah2 1 Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin 2 Laboratorium Farmakognosi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin email : 1yusnita@fmipa.unhas.ac.id Abstrak Nanopartikel perak telah disintesis menggunakan metode reduksi. Dalam penelitian ini, ekstrak metanol daun Kemangi (Ocimum citriodorum) digunakan sebagai agen pereduksi untuk prekursor AgNO3. Sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan mencampurkan larutan AgNO3 1mM dengan filtrat ekstrak daun kemangi. Hasil karakterisasi UV-Vis menunjukkan bahwa nilai absorbansi meningkat dengan meningkatnya waktu kontak reaksi. Puncak absorbansi spektrum UV-Vis dari sampel biosintesis nanopartikel perak berkisar pada 427-439 nm selama 1 hari dengan pengadukan dan penyimpanan. Ukuran nanopartikel perak ditentukan menggunakan Pengukur Ukuran Partikel (PSA) dengan rata-rata distribusi ukuran partikel sebesar 57,38 nm. Efek mekanik dalam proses biosintesis nanopartikel perak cenderung mempercepat pembentukan nanopartikel perak. Hasil karakterisasi menggunakan Difraksi Sinar-X (XRD) diketahui kristalit yang terbentuk memiliki intensitas terbesar pada sudut 38° dengan nilai FWHM 0,66310 (ukuran 0,3 nm) dalam sistem kristal kubik. Kata kunci: Biosintesis, Nanopartikel Perak, Ocimum citriodorum, Karakterisasi Abstract Synthesis of silver nanoparticles by using the reduction method with methanol extract basil (Ocimum citriodorum) leaves, which acted as a reducing agent for AgNO3 precursor have been conducted. Synthesis nanoparticles was carried out by mixing the solution of AgNO 3 1mM with filtrate extract of Ocimum leaves. The results of characterization showed that absorbance values increased with the increase in reaction time. Peak of UV-Vis absorption spectrum of biosynthesis sample of silver nanoparticles with stirring and storage each at a wavelength 427-439 nm for 1 day. Silver nanoparticles size was determined by using PSA (Particles Size Analyzer) with an average particle size distribution of 57,38 nm. Mechanical effect in biosynthesis process of silver nanoparticles tends to speed up the formation of silver nanoparticles. The result of characterization by using X-Ray Diffraction (XRD) described that the formed crystal had the angle of 38° with the value of FWHM 0,66310 (sixe 0.3 nm) in cubic crystal system. Key word: Biosynthesis, Silver Nanoparticles, Ocimum citriodorum, Characterization.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

155

1. PENDAHULUAN Selama satu dekade terakhir ini, penelitian di bidang nanopartikel menjadi topik yang sangat populer. Nanopartikel adalah partikel yang sangat halus berukuran orde nanometer atau partikel yang ukurannya dalam interval 1-100 nm dan minimal dalam satu dimensi. Nanopartikel tersebut dapat berupa logam, oksida logam, semikonduktor, polimer, material karbon, senyawa organik, dan biologi seperti DNA, protein, atau enzim (1). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk sintesis nanopartikel, diantaranya dari logam mulia, seperti emas, perak, dan platina (2). Nanopartikel perak merupakan salah satu logam yang paling intensif dikaji pada bidang nanoteknologi karena telah diketahui efektif untuk aplikasi biomedis (3). Aplikasi nanopartikel perak dalam bidang medis akhir-akhir ini banyak dikembangkan berkaitan dengan sifat antimikroba (4). Nanopartikel perak umumnya lebih kecil dari 100 nm dan mengandung 20-15.000 atom. Pada skala nanometer, perak memiliki sifat fisik, kimia dan biologis yang khas dan aktivitas anti bakteri (5). Secara garis besar, sintesis nanopartikel perak dapat dilakukan dengan metode top-down (fisika) dan metode bottom-up (kimia). Metode top-down yaitu reduksi ukuran partikel menjadi nanopartikel secara mekanik. Sedangkan metode bottom-up dimulai dari molekulmolekul yang direaksikan atau dikembangkan menjadi nanopartikel (6). Selama satu dekade ini, mulai dikembangkan pemanfaatan agen biologis seperti tanaman dan mikroorganisme untuk sintesis nanopartikel logam. Sintesis nanopartikel logam menggunakan mikroorganisme memiliki kelemahan, seperti pemeliharaan kultur yang sulit dan waktu sintesis yang lama. Sedangkan sintesis menggunakan ekstrak tanaman saat ini banyak dimanfaatkan (7). Keuntungan menggunakan tanaman untuk sintesis nanopatikel yaitu mudah tersedia, aman untuk ditangani, dan dapat menjadi produksi nanopartikel yang ramah lingkungan karena mampu meminimalisir penggunaan bahan-bahan anorganik yang berbahaya dan sekaligus limbahnya (8). Beberapa tanaman yang berhasil digunakan untuk sintesis nanopartikel misalnya getah Jatropha curcas (9), ekstrak daun Acalypha indica (10), dan ekstrak daun selasih Ocimum basillicum (11) untuk sintesis nanopartikel perak. Metode tersebut ternyata dapat menjadi alternatif produksi nanopartikel yang ramah lingkungan, biaya rendah, dan tidak perlu tekanan energi, dan temperatur yang tinggi, serta tidak perlu bahan kimia yang beracun (12). Peneliti sebelumnya melakukan penelitian tentang sintesis nanopartikel logam dengan memanfaatkan tanaman yang berperan sebagai pereduksi, seperti daun Mimba (Azadirachta indica) yang mengandung flavonoid atau terpenoid yang terabsorbsi pada permukaan nanopartikel logam (13).Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman Kemangi (Ocimum citriodorum) yaitu berupa senyawa flavonoid, saponin, polivenol dan minyak atsiri (14). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah yang timbul apakah metode yang digunakan mampu mereduksi ukuran nanopartikel perak. Untuk itu telah dilakukan sintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum citriodorum)


156

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dengan tujuan untuk mensintesis nanopartikel perak sehingga dapat digunakan untuk proses uji aktivitas antibakteri, bioavailabilitas dan formulasi. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pengaduk, beaker gelas, botol semprot, cawan petri, cawan porselin, corong, erlenmeyer, gelas arloji, gelas ukur, kamera digital, kuvet, pipet tetes, pot sampel, sendok tanduk, vial, timbangan analitik serta alat-alat ukur seperti Spektrofotometer UV-Vis, Particle Size Analysis (PSA) dan X-Ray Diffraction (XRD) Bahan yang digunakan adalah aquadest, air irigasi, ekstrak serbuk kering daun kemangi (Ocimum citriodorum), kertas saring Whatman no. 1, perak nitrat (AgNO 3). 2.2 Metode Kerja 2.2.1 Persiapan Sampel Sampel yang digunakan diperoleh dari ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum cotriodorum). Ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum citriodorum) adalah koleksi Laboratorium Biofarmaka Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin dalam bentuk ekstrak serbuk kering. 2.2.2

Pembuatan Larutan Stok 1 mM AgNO3 (8)

Larutan stok AgNO3 1 mM dibuat dengan menimbang 0,085 g serbuk AgNO 3 (Dhucefa Biochemies), kemudian dilarutkan ke dalam 500 mL air irigasi lalu dikocok. Selanjutnya, larutan perak nitrat dapat digunakan langsung atau disimpan dalam lemari es ketika tidak dipakai. 2.2.3

Pembuatan filtrate ekstrak daun kemangi (11)

Ekstrak serbuk kering daun kemangi ditimbang sebanyak 10 gram, lalu ditambahkan 100 ml aquades dalam erlenmeyer kemudian dipanaskan selama 10 menit pada suhu 800C. Setelah mencapai waktu yang ditentukan air pemanasan dituang dan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 1. Filtrat air selanjutnya disimpan selama 1 hari. 2.2.4 Sintesis nanopartikel perak (2,11) Sebanyak 90 ml larutan AgNO3 1 mM dicampurkan dengan 10 ml filtrat esktrak daun kemangi dalam erlenmeyer. Campuran filtrat ekstrak kemangi dan AgNO 3 diaduk dengan magnetik stirrer selama 1-2 jam (8). Larutan perak yang dihasilkan menunjukkan terbentuk nanopartikel perak. Inilah yang diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis. Selanjutnya larutan warna coklat ditampung, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit dan suspense yang dihasilkan didispersikan kembali dalam 10 ml


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

157

air suling steril. Proses sentrifugasi dan pendispersian diulang sebanyak tiga kali. Endapan dan supernatan kemudian diliofilisasi untuk mendapatkan serbuk kering. Nanopartikel kering yang diperoleh digunakan untuk pengukuran pada X-Ray Difraction (XRD). 2.2.5 Pengukuran dengan Spektrofotometer UV-Vis Pengukuran spektroskopi UV-Vis dilakukan untuk melihat serapan-serapan utama dari senyawa nanopartikel yang terbentuk. Setelah 1 jam, 2 jam (saat pengadukan) dan setelah disimpan selama 24 jam. Nanopartikel perak yang terbentuk pada spektrum UV-Vis berada pada kisaran panjang gelombang 400 – 500 nm (31). 2.2.6 Pengukuran dengan Particle Size Analyzer (PSA) Uji ukuran partikel dilakukan menggunakan mikroskop digital serta pengujian Particle Size Analyzer (PSA). Sampel larutan diambil kemudian dimasukan ke dalam tabung dengan tinggi larutan maksimum 15 mm. Lalu sampel diukur distribusi diameternya menggunakan VASCO Nano Particle Analyzer. 2.2.7 Pengukuran dengan X-Ray Diffraction (XRD) Setelah terbentuk serbuk nanopartikel, struktur dan komposisi nanopartikel perak dapat dianalisis dengan XRD. Pengukuran dilakukan pada 2θ. Ukuran kristal diperoleh dari lebar puncak difraksi sinar-X, menggunakan rumus Debye Scherrer’s Keterangan: D : rata-rata ukuran kristal tegak lurus yang mencerminkan puncak XRD λ : panjang gelombang sinar-X (1,54056 Å) β : total lebar pada setengah maksimum (FWHM) θ : sudut difraksi 2.2.8 Pengumpulan dan Analisis Data Data berupa retensi waktu, λ max dari spektrum UV-Vis, distribusi ukuran partikel dari PSA dan lebar puncak dari XRD dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan software MATCH. 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan sebagai pemodelan untuk mereduksi ukuran ekstrak serta mengetahui kemampuannya dalam mensintesis nanopartikel perak (NPP) terhadap ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum citriodorum). Ekstrak yang dipilih berdasarkan penelitian sebelumya tentang sintesis nanopartikel perak menggunakan air rebusan ekstrak daun selasih (Ocimum basillicum). Diharapkan ekstrak yang dipilih dari spesies Ocimum lainnya dapat memiliki potensi yang sama (11). Tahapan awal dalam penelitian ini adalah pembuatan nanopartikel perak dengan memanfaatkan ekstrak sebagai reduktor. Sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan mencampurkan larutan AgNO3 1 mM dengan filtrat ekstrak daun kemangi pada perbandingan 1:9.


158

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Sebelum pencampuran; (a) larutan AgNO3 1mM; (b) filtrat ekstrak daun kemangi

Terbentuknya nanopartikel perak secara umum ditandai dengan adanya perubahan warna bening menjadi kuning hingga coklat pekat dari waktu ke waktu (9,13). Larutan AgNO 3 dengan filtrat ekstrak metanol daun kemangi pada awal pencampuran (5 menit) berwarna kuning terang.Setelah pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 1 jam dan 2 jam warna larutan berubah. Seiring berjalannya waktu, proses perubahan warna terlihat lebih jelas setelah disimpan selama 24 jam. Perubahan warna yang terjadi pada proses pencampuran AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi disebabkan karena proses reduksi ion perak, sehingga terbentuk nanopartikel perak (Gambar 1). 5 menit

1 jam

2 jam 24 jam

Gambar 2. Proses perubahan warna dari waktu ke waktu pada sintesis nanopartikel perak dari campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi; (a) campuran pada waktu 5 menit pertama, (b) proses pengadukan selama 1 jam, (c) proses pengadukan selama 2 jam, (c) penyimpanan selama 24 jam.

Terbentuknya nanopartikel perak tidak hanya ditandai dengan perubahan warna larutan, namun juga dengan munculnya puncak absorbansi pada kisaran Îťmaks 400-500 nm pada spektrum UV-Vis (15). Karakterisasi spektrum serapan nanoparikel perak dilakukan seiring orde waktu saat 5 menit, pengadukan selama 1 jam, 2 jam, dan disimpan selama 24 jam setelah pencampuran. Berdasarkan spektrum absorbansi UV-Vis, larutan AgNO3 1 mM sebelum direaksikan memiliki puncak spektrum pada daerah 263 nm, sedangkan filtrat ekstrak metanol daun kemangi hanya memiliki puncak spektrum pada daerah 291 nm (Gambar 2).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

159

Gambar 3. Hasil spektrum UV-Vis AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi saat sebelum pencampuran

Setelah kedua larutan dicampurkan, pada saat 5 menit pencampuran, absorbansi pada daerah 400-500 nm belum terbentuk. Setelah mengalami proses pengadukan selama 1 jam, 2 jam dan penyimpanan selama 24 jam spektrum absorbansi semakin meningkat masing-masing pada daerah 427 nm, 431 nm, dan 439 nm (Gambar 3).

Gambar 4. Hasil spektrum UV-Vis pencampuran AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi pada saat pengadukan 1 jam, 2 jam dan penyimpanan 24 jam

Hasil tersebut sesuai dengan hasil pada daerah absorbsi nanopartikel perak (15). Waktu reaksi sangat mempengaruhi nanopartikel perak yang terbentuk. Absorbansi semakin membesar dengan pertambahan waktu. Besar absorbansi berhubungan dengan jumlah nanopartikel perak yang terbentuk, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses reaksi pembentukan nanopartikel perak dengan metode biosintesis menggunakan filtrat daun kemangi mempunyai orde waktu (8).


160

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Konfirmasi terbentuknya NPP berdasarkan korelasi Îťmaks pada spektrum UV-Vis juga dipastikan dengan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) (Gambar 4). Tabel 1. Analisis hasil spektrum UV-Vis nanopartikel perak ekstrak daun kemangi


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

161

Gambar 5. Hasil distribusi nanopartikel perak menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)

Berdasarkan Gambar 5, terbukti bahwa terdapat korelasi antara Îťmaks dengan ukuran nanopartikel perak. Dari spektrum absorbansi nanopartikel perak hasil sintesis, diperoleh panjang gelombang pada absorbansi maksimum 423-441 nm, diperkirakan memiliki ukuran partikel 50-60 nm (16). Hasil spektrum campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi memiliki panjang gelombang maksimum 427-439 nm dengan hasil analisis PSA selama 1 hari, diketahui rata-rata distribusi ukuran partikel sebesar 57,38 nm. Pengujian XRD dilakukan untuk memperoleh data kualitatif dan kuantitattif dari sampel uji nanopartikel perak. Dengan pengujian difraksi sinar-X dapat diketahui struktur kristal, menganalisis komposisi fasa, ukuran dan bentuk kristal, dan bidang kisi dari suatu sampel. Sampel uji XRD meliputi sampel hasil proses pengeringan (Freeze dryer) dari supernatan dan endapan hasil sentrifus pencampuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi


162

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dan digunakan sampel awal berupa serbuk kering ekstrak daun kemangi sebagai pembanding. Untuk pengujian XRD dibutuhkan sampel berupa serbuk minimal 500 mg. Dengan mengetahui posisi 2θ pada tiap puncak yang terdeteksi oleh XRD, maka dapat diketahui senyawa apa yang terbentuk dari hasil sintesis yang dilakukan. Dengan menggunakan program Match Yang menggunakan Crystallography Open Database (COD) sebagai referensi database kisi kristal berbagai senyawa, maka diperoleh nilai 2 theta yang bersesuaian untuk masingmasing kristal. Dengan menggunakan panjang gelombang yang disesuaikan dengan alat XRD yaitu sebesar 1,5406 Angstrom. Salah satu karakteristik pola difraksi sinar-X dimana material menunjukkan sifat kekristalannya adalah bentuk puncak difraksi yang tinggi dan tajam, sedangkan untuk material yang bersifat amorf, bentuk puncak difraksi akan cenderung melebar. Dari hasil difraktogram sampel ekstrak awal, terlihat dari hasil peaknya masih dalam bentuk amorf, sedangkan untuk supernatan dan endapan hasil sentrifus campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi terlihat bahwa peak yang terbentuk dalam bentuk kristal (Gambar 6).

Gambar 6. Difraktogram XRD; ekstrak awal daun kemangi, supernatan dan endapan hasil pencampuran AgNO3 dan filtrat ekstrak metanol daun kemangi

Dengan analisis data menggunakan program Match dari XRD menunjukkan bahwa kristal pada endapan kemangi terdeteksi adanya senyawa logam perak (Ag) sedangkan pada supernatan tidak terdeteksi adanya perak (Ag). Hal tersebut terbukti dari kemunculan puncak-puncak difraksi dengan bidang hkl (Indeks Miller) (111), (200), (202), dan (311) (Gambar 7).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

163

Gambar 7. Pola peak fasa Ag dengan bidang hkl dari endapan hasil sentrifus campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi dari data XRD

Dari data XRD dapat diketahui juga nilai FWHM (Full Width of Half Maksimum) yang merupakan lebar puncak pada setengah maksimum dan sudut yang terbentuk Tabel 2. Analisis data XRD dan ukuran kristal pada endapan hasil sentrifus campuran larutan AgNO3 + filtrat ekstrak daun kemangi

Kristalit dengan intensitas terbesar untuk keseluruhan data terdeteksi pada sudut 38° dengan nilai FWHM 0,66310. Dari hasil analisis data tersebut dapat dihitung ukuran kristal menggunakan persamaan Scherrer. Didapatkan ukuran kristal nanopartikel perak dari intensitas yang tertinggi yaitu sebesar 0,3 nm (Tabel 2).


164

4

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa nopartikel perak (NPP) dapat disintesis dengan metode reduksi menggunakan ekstrak serbuk kering daun kemangi (Ocimum citriodorum). Ukuran kristal nanopartikel perak dengan peak yang tertinggi yaitu 0,3 nm dengan sistem kristal berbentuk kubik.

DAFTAR REFERENSI Anonim. Determinasi Tanaman. Kota batu. UPT Materia Medica Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2012 Bar, H., Bhui, D. K., Sahoo, G.P., Sarkar, P., De, S. P. Dan Misra, A. Green synthesis of silver nanoparicles using latex of Jatropha curcas. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects,. 2009. 339. Hal. 134–139 Chudasama, B. Vala, A.K. Andhariya, N. Mehta, R.V. Upadhyay, R.V. Highly bacterial resistant silver nanoparticles: synthesis and antibacterial activities, J Nanopart Res. (12). Hal. 2861– 2868 Duran, N. Antibacterial Effect of Silver Nanoparticles Produced by Fungal Process on Textile Fabrics and Their Effluent Treatment. Journal of Biomedical Nanotechnology, Vol 3. 2007. Hal. 203– 208 Elumalai, E.K., et al. A Bird’s Eye View on Biogenic Silver Nanoparticles and Their Applications. Der Chemica Sinic. 2011. 2 (2). Hal. 88–97 Handayani, W., et al. Potensi Ekstrak Beberapa Jenis Tumbuhan sebagai Agen Pereduki untuk Biosintesis Nanopartikel Perak. Seminar Nasional Biologi, Fakultas Biologi UGM. Bandung. 2010. Hal. 15 Korbekandi, H and Siavash Iravani. Silver Nanoparticles. Isfahan University of Medical Sciences. Iran. 2012. Hal. 3 Krishnaraj, C., Jagan, E.G., Rajasekar, S., Selvaumar, P., Kalaichelvan , P.T., Mohan, N., Synthesis of silver nanoparticles using Acalypa Indica leaf extracts and its antibacteial activity against water borne pathogenesis. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 2010. 76. Hal. 50–56 KS, Mukunthan, Elumalai EK, Trupti N Patel, and V Ramachandra Mutty. Catharanthus roseus: a natural source for the synthesis of ilver nanoparticles. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 2011. 1(4). Hal. 270-274 Leela, A. Dan Vivekanandan, M. Tapping the unexploited plant resources for the synthesis of silver nanoparticles. African Journal of Biotechnology. 2008. Hal. 3162–3165 Nagarajan, R. and T.A. Hatton (eds.). Nanoparticles: Synthesis, Stabilization, Passivation, and Functionalization. DC: American Chemical Society. Washington. 2008. Hal. 1–14. Shankar, S.S., Rai, A., Ahmad, A., dan Sasty, M. Rapid synthesis of Au, Ag, and bimetallic Au coreAg shell nanoparticles using Neem (Azadirachta indica) leaf broth. Journal of colloid and interface science. 2004. 275(4). Hal. 496–502. Sivaranjani, K and M. Meenakshisundaram. Biological synthesis of silver nanoparticles using Ocimum Basillicum leaf extract and their antimicrobial activity. International Research Journal of Pharmacy. 2013. 4(1). Hal. 225–229 Skoog, D. A., West, D. M., dan Holler, F. J. Fundamentals of Analytical Chemistry. Edisi ke-7. Sounders College. USA. 1996. Hal. 22–26 Solomon, S.D., M. Bahadory., A.V. Jeyarajasingam., S.A. Rutkowsky. C. Boritz., and L. Mulfinger. Synthesis and study of silver nanoparticles. Journal of Chemical Education. 2007. 84(2). Hal. 322–325.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

165

Theivasanthi, T and M. Alagar. Journal: Anti-bacterial Studies of Silver Nanoparticles. India. 2008. Hal. 1–5

BIOGRAFI PENULIS Yusnita Rifai, M.Pharm., Ph.D., Apt. Penulis menyelesaikan S2 dan S3 masing-masing di Flinders University (Australia) dan Chiba University (Japan) dan memiliki kompetensi keilmuan bidang sintesis obat terkait natural product chemistry. Materi biosintesis nanopartikel adalah salah satu roadmap yang telah dikembangkan oleh laboratorium kimia farmasi fakultas farmasi Universitas Hasanuddin sejak tahun 2012.


166

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pengembangan Vaksin Hepatitis B Generasi Ke Tiga dan Vaksin Terapi Berbasis Protein Rekombinan Subunit Indonesia Neni Nurainy1,2,3) Dicky M. Taryono1) Acep R. Wijayadikusumah1) Eka Ramadhani1) Faisal Assegaf1) 4) David H. Muljono Turyadi 4) Meta Dewi Tedja4) Susan Irawati4) Tarwadi5) Danang Waluyo 5) Vanny Narita5,6) Ernawati Arifin Giri Rahman7) Debbie Soffie Retnoningrum7) Dessy Natalia7) Fernita Puspasari7) 1)

PT. Bio Farma (Persero), Jalan Pasteur No. 28, Bandung, Jawa Barat 40171, Indonesia. 2) ForMIND Institute, Jalan Dago Barat, Bandung, Jawa Barat 3) ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia), Jalan Medan Merdeka Sel. No 11, Gambir, DKI Jakarta 10110 4) Lembaga Eijkman, Jl. P. Diponegoro No.69, RW. 5, Kenari, Senen, RW.5, Kenari, Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10430, Indonesia. 5) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jl. M.H. Thamrin No.8, RT.8/RW.10, Kp. Bali, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10340, Indonesia. 6) Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), Jl. Hang Lekiu I No.6A Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12120, Indonesia. 7) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jl. Ganesha No.10, Lb. Siliwangi, Coblong, Bandung, Jawa Barat 40132, Indonesia email : 1nur.ainy@biofarma.co.id, Abstrak Dalam rangka penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) melalui peningkatan sinergi, produktivitas, dan pendayagunaan sumberdaya litbang nasional, serta peningkatan peran sektor produksi/swasta dalam program litbang terutama dalam bidang kesehatan, telah terbentuk konsorsium riset vaksin Hepatitis B (Hep B). Konsorsium ini merupakan kolaborasi dari beberapa institusi yang terdiri dari PT Bio Farma (Persero), Lembaga Eijkman, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, dan ITB. Pengembangan dan produksi vaksin Hepatitis B generasi ke tiga dan vaksin terapi berbasis protein subunit rekombinan ini adalah kegiatan multi-years. Konsorsium Hep B melakukan pengembangan lanjut dari hasil penelitian sebelumnya (periode tahun 2012-2014) yang telah menghasilkan vaksin generasi ke dua Hepatitis B berupa small Hepatitis B antigen (sHBsAg). Penelitian dimulai pada tahun 2015 dengan pembuatan konstruksi klon di Pichia pastoris untuk vaksin Hep B generasi ke tiga berupa Middle (M) dan Large (L)-HBsAg serta vaksin Hepatitis B untuk terapi menggunakan kombinasi HBsAg dan Hepatitis B core Antigen (HBcAg). Pada tahun 2016, hasil menunjukkan bahwa protein M dan L HBsAg dapat terekspresi di Pichia pastoris dan HBcAg di E.coli dan telah dilakukan validasi karakterisasi protein M/L-HBsAg dan HBcAg. Pada tahun 2017, Konsorsium sedang melakukan tahap purifikasi lanjut protein, formulasi


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

167

dengan adjuvant dan uji in vitro serta in vivo pada hewan model. Sasaran luaran yang ditargetkan adalah tersedianya kandidat vaksin Hepatitis B generasi ke tiga dan vaksin terapetik yang siap diserap oleh industri. Vaksin yang dikembangkan akan meningkatkan kemandirian Indonesia dalam menghadapi Hepatitis. Selain itu produksi vaksin Hepatitis B memiliki potensi keuntungan ekonomi karena dapat dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan baik di dalam dan luar negeri. Kata kunci:Vaksin Hepatitis B, Protein rekombinan, sHBsAg, HBcAg, M HBsAg, L HBsAg, Pichia pastoris, E.coli. Abstract In strengthening National Innovation System (Sistem Inovasi Nasional, SINas) through improvement of synergy, productivity and utilization of national resources as well as partnerships with industry/private sector in research and development particularly in health sector, a hepatitis B consortium has been established. This consortium is a collaboration between several institutions including PT. Bio Farma (Persero), Lembaga Eijkman, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, and ITB. Development and production of recombinant proteinbased hepatitis B vaccines in this consortium is a multi-year program where in 2012-2014 periods it has generated the second generation of hepatitis B vaccines. As a continuation of the program, construction of clones for expression of M HBsAg and L HBsAg in Pichia pastoris for the third generation of hepatitis B vaccines, and development of a therapeutic hepatitis B vaccine comprising of HBsAg and HBcAg were done in 2015. Expression of M and L HBsAg in Pichia pastoris and HBcAg in E. coli and characterization of these proteins were then completed in 2016. In 2017, the purification of the proteins, formulation development involving adjuvants, in vitro and in vivo evaluations of the formulation in animal model were performed. The expected outcome of the program is to generate the second-generation vaccine and therapeutic vaccine candidates against hepatitis B, which could be transferred to industrial applications. The vaccines that are being developed are essential in enhancing Indonesian self-reliance in combating hepatitis B disease. Besides, production of these vaccines offers enormous economical benefits since the products can be marketed to fulfill both national and global demands. Keywords: Hepatitis B vaccine, Recombinant Protein, sHBsAg, HBcAg, M HBsAg, L HBsAg, Pichia pastoris, E.coli.

1. PENDAHULUAN Hepatitis B merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di dunia, termasuk juga di Indonesia. Pada skala global, WHO melaporkan diperkirakan sepertiga dari populasi di dunia terinfeksi virus Hepatitis B (VHB). Di Indonesia, karier Hepatitis dilaporkan berkisar antara 4 sampai 20,3% [Khan et al 2004, Mulyanto et al 2009]. Vaksinasi merupakan usaha preventif paling efektif dan terbukti dapat mengurangi jumlah penderita hepatitis B. Di Indonesia, vaksinasi telah dimulai sejak tahun 1997 dan telah menjadi program imunisasi nasional [Shepard et al 2006]. Pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan Program Indonesia Sehat yang bebas dari Hepatitis B [Depkes RI 2014]. Meskipun demikian, Indonesia


168

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

belum dapat memproduksi vaksin Hepatitis B lokal, meskipun negara dengan populasi 250 juta jiwa seharusnya memiliki vaksin hepatitis B lokal seperti yang direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF [WHO, 2017]. Berdasarkan fakta tersebut, dilakukan usaha untuk mengembangkan vaksin Hepatitis lokal berbasis rekombinan Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg) untuk vaksin yang selama ini diimpor. Imunisasi dan proteksi terhadap VHB yang efektif diperoleh melalui vaksinasi intramuscular yeast-derived recombinant smallHepatitis B Surface Antigen (s-HBsAg). S-HBsAg merupakan protein permukaan pada virus hepatitis B, dan agar memiliki sifat imunogenik, polipeptida s-HBsAg harus membentuk Virus Like Particles (VLP) dengan diameter 20–22 nm [Cabral et al 1978]. VLP s-HBsAg tidak dapat dihasilkan di Escherichia coli (E.coli) [Charnay et al 1980, Edman et al 1981, Fujisawa et al 1983], namun dapat dihasilkan di ragi [Vietheer et al 2007]. Dalam beberapa tahun terakhir, ragi methylotrophic Pichiap pastoris (P. pastoris) telah menjadi sistem yang unggul untuk produksi tinggi beberapa protein rekombinan. Sistem ini dapat menghasilkan ekspresi yang tinggi dengan regulasi ketat menggunakan induksi metanol pada promoter alkohol (AOX1) [Cheregino et al 2000]. Oleh karena itu, merupakan suatu keuntungan untuk mengembangkan sistem P.pastoris yang ekonomis untuk produksi vaksin Hepatitis B dalam skala besar [Bo et al 2005, Vassileva et al 2001]. Hingga saat ini, tiga generasi teknologi pembuatan vaksin hepatitis B telah dikembangkan. Penelitian yang dilakukan oleh Krugman yang menemukan tentang tingginya immunogenisitas dari HBsAg dan daya proteksi dari antibodi anti-HBsAg dalam melawan hepatitis B menginisiasi pembuatan vaksin hepatitis B generasi pertama [Edey et al 2010] yang mengandung protein HBsAg yang diisolasi dari plasma darah penderita hepatitis B. Vaksin ini dibuat oleh Merck dan Pasteur institute yang kemudian dilisensikan untuk digunakan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat pada tahun 1981 [Edey et al 2010]. Adanya teknologi DNA rekombinan mengawali munculnya vaksin hepatitis B generasi kedua yang mengandung HBsAg diekspresikan pada sel ragi Saccharomyces cerevisiae [Rezaee-Zavareh et al 2014]. Vaksin hepatitis B yang banyak digunakan saat ini termasuk pada kategori vaksin generasi kedua ini. Vaksin hepatitis B generasi ketiga mengandung tiga komponen antigen yaitu HBsAg, pre-S1 dan pre-S2 yang memiliki immunogenisitas lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin generasi sebelumnya. Antigen-antigen tersebut dihasilkan menggunakan teknologi DNA rekombinan [Edey et al 2010, Aspinnal et al 2011]. Sci-B-VacŽ merupakan vaksin dari generasi ketiga yang telah mendapat approval untuk digunakan di Israel dan 14 negara lainnya [Shouval et al 2015]. Pengembangan dan produksi vaksin Hepatitis B generasi berbasis protein subunit rekombinan telah dilakukan oleh Konsorsium Hepatitis B dan dimulai sejak tahun 2012 melalui pendanaan InSinas. Konsorsium Hepatitis B merupakan kolaborasi dari beberapa institusi yang terdiri dari PT Bio Farma, Lembaga Eijkman, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, ITB dan Universitas Al Azhar Indonesia (pada awal pendirian). Sinergi antara pemerintah, akademisi dan bisnis dilakukan dalam rangka percepatan pengembangan vaksin Hepatitis B di Indonesia. Program penelitian Konsorsium Hepatitis B merupakan kegiatan multi-years. Pada tahun


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

169

2012 sampai 2014 telah dihasilkan vaksin Hep B generasi ke dua sHBsAg yang diekspresikan pada Pichia pastoris. Karakterisasi genetik clone dan karakterisasi protein telah memenuhi persyaratan regulasi WHO untuk produk protein rekombinan, namun dari segi hasil (yield) masih rendah jika dibandingkan klon yang dihasilkan pada Hansenulla polymorpha. Konsorsium Hepatitis B kemudian melakukan penelitian lanjutan untuk periode Insinas 2015-2017 dengan tujuan untuk menghasilkan vaksin generasi ketiga Hep B berupa M/LHBsAg dan vaksin terapetik yang merupakan gabungan antigen HBsAg dan HBcAg. Vaksin generasi ketiga ini diberikan pada individu yang memiliki toleransi terhadap vaksin generasi kedua dan tidak membentuk titer antibodi yang baik, dan ditemui pada 5% partisipan yang disebut sebagai non-responder [Poland et al 2004]. Vaksin terapetik ditujukan untuk memperbaiki sel imun pada penderita hepatitis B kronis, sehingga bila digunakan pada pasien tersebut akan memperbaiki kemampuan sel T dalam menyerang VHB [Kutscher et al 2012]. Pada tahun 2015 telah berhasil dilakukan deteksi, isolasi, dan karakterisasi molekuler gen Pre-S1 dan Pre-S2 Hepatitis B dalam rangka persiapan target gen untuk vaksin Hepatitis B generasi ketiga serta konstruksi klon M/L HBsAg di P.pastoris dan klon HBcAg di E.coli. Pada tahun 2016, ekspresi protein M/L-HBsAg di P. pastoris telah berhasil dilakukan dan diperoleh target protein M/L-HBsAg. Ekspresi protein HBcAg di E.coli telah diperoleh dan dilakukan karakterisasi protein yang memenuhi persyaratan. Pada tahun 2017 sedang dilakukan penelitian lanjutan dengan target keluaran sebagai berikut: 1) Produksi dan purifikasi protein M/L-HBsAg di Pichia pastoris dan karakterisasi lanjut , 2) Produksi dan purifikasi protein HBcAg, 3) Formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant, 4) Karakterisasi hasil formulasi, dan 5) Uji repon imun humoral dan selular pada hewan model. Pada penelitian pengembangan vaksin Hep B ini, Konsorsium dihadapkan dengan tantangan yaitu telah dipatenkannya sebagian besar proses dan dirasakan menghambat penelitian yang sedang berlangsung, oleh karena itu kemampuan untuk mengkonstruksi dan memiliki paten vektor ekspresi dan galur-galur sel inang sangatlah penting untuk kemandirian bangsa. Terlebih diprediksikan biaya produksi vaksin di Indonesia akan menjadi sangat tinggi karena keharusan membayar royalti paten vektor dan galur sel inang. Kenyataan yang harus diterima adalah hampir semua konstruk vektor dan galur telah dipatenkan oleh negara lain. Namun di pihak lain, Indonesia memiliki sumber daya genetika mikroba yang sangat tinggi dan merupakan nilai tambah yang harus dimanfaatkan. Dengan demikian pada tahun 2015 ini salah satu satu tujuan penelitian adalah melakukan rekayasa genetik sel inang Hansenula polymorpha (H.polymorpha) untuk ekspresi protein rekombinan khususnya HBsAg. Pada capaian penelitian tahun 2015 Konsorsium Hepatitis B telah berhasil mengkonstruksi dan membuat sintetis vektor terkait promoter dan marker yang sesuai dengan sel inang H.polymorpha dan genetically modified H.polymorpha yang dapat digunakan sebagai sistem ekspresi protein rekombinan. Dalam rangka percepatan penguasaan teknologi pengembangan vaksin Hepatitis B patut dipertimbangkan langkah strategis berupa akuisisi satu atau lebih teknologi yang telah terbukti keuntungannya baik secara ekonomis maupun leverage know how pada kemampuan peneliti dalam penguasaan suatu teknologi. Cara ini dimungkinkan dengan adanya transfer teknologi maupun pembelian license pada satu atau lebih teknologi yang dimiliki hak kekayaan intelektualnya oleh seseorang atau suatu institusi. Diharapkan dengan cara ini didapatkan suatu


170

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

lompatan yang signifikan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari teknologi yang telah ada. Licencing pada pengembangan vaksin Hepatitis B ini dapat berupa pembelian sebagian teknologi atau secara seluruhnya dengan mempertimbangkan aspek keilmuan dan teknologi maupun aspek komersialisasi. Dalam makalah ini akan dibahas metode kerja sinergi antar institusi, hasil yang diperoleh dan saran untuk kegiatan lanjutan dari Konsorsium Hepatitis B. 2

METODE 2.2 Deteksi, isolasi, dan karakterisasi molekuler gen Pre-S1, Pre-S2, dan Core Protein virus Hepatitis B

Virus akan diisolasi dan diamplifikasi dari serum pasien asal isolat Indonesia. Karakterisasi sampai tingkat molekuler dilakukan terhadap semua isolat yang mewakili setiap kelompok antigen. Hasil karakterisasi molekular akan dijadikan dasar untuk memilih galur dan sekuens gen Pre-S1, Pre-S2, dan Core yang dianggap paling sesuai maupun untuk penyusunan sekuens konsensus untuk pengembangan benih protein Pre-S1, Pre-S2, dan Core untuk vaksin rekombinan. Isolasi, amplifikasi, dan karakterisasi isolat virus Hepatitis B telah dilakukan di fasilitas kultur sel Lembaga Eijkman. Kloning, sekuensing dan analisa gen akan dilakukan oleh tim peneliti Lembaga Eijkman. 2.3 Konstruksi rekombinan M /L-HBsAg dan HBcAg pada shuttle vector ekspesi di Escherichia coli Kloning M-HBsAg dan L-HBsAg pada shuttle vector di Escherichia coli sebagai langkah awal untuk mengoptimalkan ekspresi antigen vaksin Hepatitis B generasi baru. Dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan kloning sHBsAg, pada tahun 2015 konstruksi rekombinan M dan L-HBsAg pada shuttle vector pJ902-AOX1-zeodi E.coli dengan satu kaset M dan L-HBsAg. Diharapkan dengan diperolehnya rekombinan satu kaset di tahun itu, peningkatan jumlah kaset ekspresi dapat ditingkatkan pada tahun berikutnya. Kloning single copy dan multi copy M-HBsAg dan L-HBsAg pada plasmid pJ902-AOX1-zeo di Escherichia coli akan dilakukan oleh tim peneliti dari ITB dan BPPT. Sedangkan untuk HBcAg dilakukan oleh tim peneliti ITB. Pendekatan lain untuk vaksin terapetik adalah berbasis peptida HBcAg yang dilakukan oleh tim peneliti Lembaga Eijkman. 2.4 Produksi M/L-HBsAg dalam Pichia pastoris melalui optimasi kultivasi, ekspresi dan purifikasi Setelah pada tahun 2015 didapatkan Klon gen Hepatitis B (S, PreS1 dan PreS2 VHB) yang berasal dari strain VHB asli Indonesia yang ditransformasi ke dalam Pichia pastoris (P. pastoris), selanjutnya pada tahun 2016, dalam rangka untuk mendapatkan transforman dengan ekspresi tinggi, akan dilakukan kembali transformasi ke P. pastoris dengan 1 sampai 4 kaset ekspresi M/L-HBsAg Indonesia dengan kondisi yang telah diperoleh sebelumnya. Analisis awal integrasi multi kaset ekspresi M/L-HBsAg pada yeast dan stabilitasnya dilakukan menggunakan metode southern blot. Selanjtnya dilakukan pula pemodelan kultivasi dan overekspresi P. pastoris terintegrasi multi kaset M/L-HBsAg, hal ini dilakukan untuk mendapatkan model bagi kondisi dan strategi kultivasi P. pastoris-M/L-HBsAg yang dapat


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

171

diterapkan pada proses kultivasi skala pilot. Ekspresi, purifikasi dan verifikasi awal telah dilakukan oleh tim peneliti ITB, BPPT dan PT. Bio Farma. 2.5 Produksi HBcAg pada E.coli melalui optimasi kultivasi, ekspresi dan purifikasi Setelah pada tahun pertama 2015 didapatkan Klon gen Hepatitis B yang berasal dari strain virus Hepatitis B asli Indonesia yang ditransformasi ke dalam E.coli selanjutnya pada tahun 2016 telah dilakukan pemodelan kultivasi dan overekspresi HBcAg di E.coli hal ini dilakukan untuk mendapatkan model bagi kondisi dan strategi kultivasi HBcAg/E.coli yang dapat diterapkan pada proses kultivasi skala pilot. Ekspresi, purifikasi dan verifikasi awal akan telah dilakukan oleh tim peneliti ITB dan PT. Bio Farma. 2.6 Tahap formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant untuk mendapatkan kandidat vaksin terapetik Hepatitis B Dalam rangka percepatan penelitian vaksin Hepatitis B sampai di industri, PT Bio Farma akan mengambil langkah Licensing terhadap suatu teknologi proses produksi atau sebagian produk. Proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang akan mendukung dalam pengambilan keputusan licensing tersebut, diantaranya: Penelusuran komprehensif pada paten/IP yang menjadi acuan secara internasional terhadap penelitian vaksin Hepatitis B, juga dengan mempertimbangkan kebutuhan akan penguasaan teknologi yang tidak bisa didapatkan pada konsorsium karena terkait patent issue dan penelaahan secara menyeluruh pada aspek komersial dan kesiapan kontribusi PT Bio Farma pada teknologi yang akan diambil. Bekerjasama dengan University of Melbourne, PT Bio Farma melakukan pengembangan adjuvant yang berperan dalam meningkatkan respon imun humoral dan selular vaksin terapetik. Adjuvant yang digunakan adalah turunan Pam2Cys yang merupakan Toll-Like Receptor 2 (TLR2) agonist yang dapat mengantarkan antigen ke sel dendritik dan mengaktifkan respon imun yang spesifik [Chua et al 2011]. Formulasi masing-masing antigen HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant Pam2Cys serta antigen dalam bentuk kombinasi sedang dioptimasi pada tahun 2017 melalui karakterisasi fisikokimia dan uji respon imun secara in vivo pada hewan model. Hasil uji respon humoral dan selular pada formulasi terpilih pada hewan uji menunjukkan formulasi dengan adjuvant berpotensi untuk menghasilkan kandidat vaksin yang baik untuk profilaktik maupun terapetik Hepatitis B. 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luaran utama dari penelitian tahun 2015-2017 adalah tersedianya protein M/LHBsAg hasil ekspresi dan purifikasi dari inang yang sesuai sebagai bahan antigen yang akan dijadikan kandidat vaksin rekombinan Hepatitis B generasi ketiga. Selain itu ditargetkan tersedianya klon HBcAg yang diekspresikan dan dipurifikasi pada sel E.coli serta tersedianya kandidat formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant sebagai kandidat vaksin terapeutik. Adapun indikator luaran adalah sebagai berikut: minimal 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin Hepatitis B Generasi 3 dan 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin Terapetik Hepatitis B serta proses teknologi Kultivasi dan purifikasi protein rekombinan khususnya untuk vaksin Hepatitis B. Berikut adalah hasil penelitian dari masing-masing institusi.


172

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.2 PT. Bio Farma Optimasi ekspresi protein HBcAg Hingga bulan Juli 2017, telah dilakukan beberapa optimasi kultivasi E. Coli/HBcAg sebanyak 6 batch. Kultivasi E. coli dilakukan dengan menggunakan klon E.coliBL21(DE3)/pET28a-HBcAg pada fermentor 5 L. Media yang digunakan untuk kultivasi adalah media cair LB yang telah ditambahkan antibiotik kanamisin. Pada fermentor, kultur E. coli ditumbuhkan hingga nilai OD mencapai 0,5-0,6. Setelah itu, dilakukan induksi dengan penambahan IPTG dengan konsentrasi tertentu. Sesaat sebelum induksi, sebagian kultur dikeluarkan dari fermentor dan kembali ditumbuhkan pada labu Erlenmeyer sehingga dapat diamati perbedaan profil pertumbuhan E. coli antara yang diinduksi dengan yang tidak. Pellet sel E. coli hasil induksi yang didapat selanjutnya diproses ke tahap purifikasi. Profil pertumbuhan E. coli pada keseluruhan batch kultivasi dapat dilihat pada gambar 1. Pellet hasil kultivasi selanjutnya di-lisis secara enzimatik. Hasil lisat selanjutnya dianalisis dengan SDS PAGE untuk menentukan keberadaan protein HBcAg.

Gambar 1. Kurva pertumbuhan E.coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dan induksi ekspresi protein

Analisis SDS PAGE menunjukkan keberadaan pita protein pada posisi yang sama dengan pita kontrol positif HBcAg. Pita ini diharapkan merupakan pita protein HBcAg. Pellet hasil kultivasi selanjutnya diproses untuk purifikasi protein HBcAg. Optimasi Purifikasi Protein HBcAg Proses purifikasi Hepatitis B core Antigen (HBcAg) dalam E.coli diawali dengan proses lisis sel. Pada jumlah sel E. coli yang masih relatif sedikit (hasil kultivasi 1 L), proses lisis dapat menggunakan metode enzimatik. Pellet E. coli ditambahkan buffer lysis yang terdiri dari cell lytic B, 10X buffer stock, lysozyme, protease inhibitor, dan benzonase. Proses lisis


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

173

berlangsung dengan inkubasi pada roller mixer sekitar 3 jam – 5 jam untuk memperoleh sel yang terlisis sempurna. Indikator proses lisis yang baik yaitu setelah proses inkubasi akan terlihat DNA kemudian ditambahkan benzonase nuclease untuk menghilangkan DNA yang ada. Campuran lisis diperoleh berwarna bening kekuningan. Campuran lisis disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pellet. Target HBcAg terdapat dalam supernatan lisat.

Gambar 2. Hasil purifikasi protein HBcAg menggunakan single step purifikasi purifikasi menghasilkan protein yang cukup murni. Tanda kotak pada gambar menunjukkan pita protein target HBcAg.

Supernatan lisat berisi target protein HBcAg ditambahkan ammonium sulfat sebesar 30% (g/v). Penghitungan bobot ammonium sulfat sesuai perhitungan online ammonium sulfate calculator (www.proteinchemist.com/cgi-bin/s2.pl) dengan target konsentrasi akhir ammonium sulfat adalah 30% dalam 40 ml, sehingga bobot yang ditimbang sebanyak 6,56 gram. Penambahan ammonium sulfat berfungsi untuk membersihkan protein pengotor yang berasal dari sel inang E. coli. Penambahan ammonium sulfat dengan konsentrasi 30% (g/v) dilakukan atas dasar percobaan optimasi. Proses presipitasi menghasilkan pellet yang berisi protein target HBcAg. Pellet berwarna putih dan supernatan yang berwarna kekuningan menunjukkan proses purifikasi berjalan baik. Pellet berisi protein target HBcAg dilarutkan dengan Buffer A untuk dilanjutkan dalam proses kromatografi. Ion Exchange Chromatography (Anion Exchange) digunakan sebagai tahap purifikasi selanjutnya sebab sesuai dengan karakter HBcAg, memiliki titik Isoelektrik sebesar 4.7 [Zheng et al 1992]. Prinsip kromatografi penukar ion yang digunakan khususnya Anion Exchange yaitu pada pH sampel, pH 8,0, protein target bermuatan negatif sehingga akan berinteraksi dengan resin kolom kromatografi DEAE Sepharose yang bermuatan positif dan akan turun saat dielusi dengan Buffer B. Hasil purifikasi menggunakan IEC menghasilkan protein dengan tingkat kemurnian di atas 85%. Telah diperoleh formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant untuk kandidat vaksin terapeutik dan menghasilkan respon imun humoral dan selular yang diperlukan untuk mengontrol dan mengeliminasi virus Hep B pada model hewan uji dengan Hepatitis B


174

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

chronis (data tidak disampaikan pada makalah ini). 3.3 Lembaga Eijkman Dalam studi ini telah di dapat informasi sekuens Pre-S1, Pre-S2 dan Core dari 44 isolat dari Indonesia wilayah Barat, Tengah dan Timur. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan sekuens yang representatif dari isolat Indonesia untuk dijadikan acuan dalam pembuatan vaksin rekombinan. Berdasarkan studi di tahun 2012, genotipe adw-B3 isolat Indonesia dijadikan acuan untuk pembuatan s-HBsAg. Demikian pula untuk sekuens Pre-S1 dan Pre-S2 genotipe B-3 dijadikan untuk konstruksi gen vaksin Hepatitis B generasi ketiga. Data sekuens gen core yang menyandi protein HBcAg dari sampel VHB isolat Indonesia yang telah diketahui genotipe dan subtipenya digunakan untuk memprediksi peptida-peptida nanomer dan dekamer dengan affinitas terhadap molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I yang dilaporkan di Indonesia pada penelitian sebelumnya (Yuliwulandari et al., 2009; Angelina, 2011; Wijaya, 2012, unpublished data) dengan menggunakan perangkat lunak NetCTLpan, IEDB, dan netMHCI. Peptida dipilih berdasarkan penilaian algoritme dan IC50 yang kurang dari 50nM. Hasil dari prediksi ini selanjutnya dilakukan uji binding affinity pada HLA II menggunakan perangkat lunak net MHCII untuk menghitung nilai peptide binding probability. Hasil sekuens peptida hasil seleksi dilakukan uji kemiripan dengan sekuens peptida manusia dengan perangkat BLAST. Peptida yang mirip disingkirkan karena berpotensi menimbulkan autoimun. Peptida terpilih dipetakan pada posisi asam amino HBcAg, dan konservasi maupun variasi dari epitop yang dipetakan tersebut dianalisa dengan menggunakan perangkat BioEdit, untuk menyeleksi epitop dengan IC50 yang relatif konsisten walaupun dengan variasi sampel.Lebih lanjut lagi, juga dipilih epitop yang memiliki nilai population coverage tertinggi dengan perangkat IEDB.

Gambar 3. Sebaran sampel untuk isolasi gen Pre-S1 dan Pre-S2 virus Hepatitis B di Indonesia. Sampel berasal dari 44 isolat dari berbagai wilayah di Indonesia. Lingkaran biru menunjukkan genotipe B, merah genotipe C dan kuning genotipe D.

Pengujian kandidat peptida untuk vaksin terapeutik menggunakan test pada sampel darah tepi atau Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) dari individu penderita hepatitis B akut yang telah dinyatakan sembuh secara klinis. Untuk sampel darah tepi, akan dilakukan pemeriksaan lanjutan tanpa prosedur tambahan. Untuk siapan PBMC, diperlukan metode isolasi PBMC dengan menggunakan Ficoll paque. Selain itu dilakukan uji tantang menggunakan peptida terpilih terhadap sediaan darah tepi atau PBMC dengan inkubasi 6 – 18 jam dengan beberapa konsentrasi berbeda. Keberadaan CTL spesifik VHB diperiksa


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

175

dengan metode flow cytometry. Hasil menunjukkan ada enam kandidat peptida yang sangat penting dan berpotensi untuk digunakan pada vaksin Hep B terapetik. 3.4 ITB Sintesis, Konstruksi dan Transformasi HBcAg di E.coli Berdasarkan urutan HBcAg virus Hepatitis B isolate Indonesia yang diperoleh dari Lembaga Eijkman, telah dilakukan optimasi kodon, Analisis TSS (Transcription Start Site), RBS dan Analisis Kemungkinan Terbentuknya Struktur Sekunder mRNA (Efisiensi Inisiasi Translasi), telah didapatkan konstruk pada pET28a (resistensi kanamisin) dan pET16b (resistensi ampisilin). Setelah diperoleh konstruksi hasil sintesis tersebut oleh Genscript, kemudian dilakukan perbanyakan pada E.coli TOP10/E.coli DH5Îą. Plasmid kemudian diisolasi dan dikonfirmasi ulang urutan nukleotidanya menggunakan analisis sekuensing (Macrogen). Hasil sekuensing menunjukkan bahwa rekombinan tersebut mengandung DNA pengkode HBcAg dan asam amino yang 100% identik dengan desain sebelumnya. Konstruksi yang sudah diidentifikasi memiliki urutan nukleotida yang sesuai dengan desain semula, kemudian digunakan untuk transformasi E. coli BL21(DE3). Hasil transformasi kemudian dikonfirm kembali dengan PCR, untuk mengetahui apakah E.coli tersebut sudah mengandung plasmid konstruksi tersebut. Hasil menunjukkan bahwa amplifikasi dengan PCR menghasilkan pita dengan yang sesuai dengan kontrol positif masing-masing konstruksi. Hal ini menunjukkan bahwa E.coli BL21(DE3) telah berhasil ditransformasi oleh pET28a-HBcAg (Gambar 4) dan pET16b-HBcAg (Gambar 5).

Gambar 4. Konfirmasi hasil transformasi E.coli BL21(DE3) dengan konstruksi pET28a-HBcAg


176

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 5. Konfirmasi hasil transformasi E.coli BL21(DE3) dengan konstruksi pET16b-HBcAg

Sintesis, Konstruksi dan Transformasi multi-copy L HBsAg di Pichia Pastoris Konstruksi multi-copy L-HBsAg telah dicoba dilakukan dengan beberapa kondisi ligasi dengan transfromasi menggunakan metode heat shock dan electroporation. Telah diperoleh kandidat klon yang mengandung dua multikaset L-HBsAg yang telah diverifikasi menggunakan analysis enzim restriksi.

3.5 BPPT Sintesis, Konstruksi dan Transformasi M-HBsAg di Pichia pastoris Konstruksi multi-copy M-HBsAg telah dicoba dilakukan dengan beberapa kondisi ligasi dengan transfromasi menggunakan metode heat shock dan electroporation.Telah diperoleh kandidat klon yang mengandung dua multikaset M-HBsAg dan telah diverifikasi menggunakan analysis enzim restriksi.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

177

Gambar 6. Hasil purifikasi L-HBsAg dengan SEC menggunakan AKTA Purifer Keterangan: lajur M (marker); lajur 1-14 (fraksi-fraksi SEC)

Optimasi ekspresi dan purifikasi L-HBsAg Dalam rangka optimasi kondisi purifikasi protein L-HBsAg rekombinan, pada tahap pertama dilakukan persiapan produksi biomasa mikroba Pichia pastoris rekombinan yang mengekspresikan protein L-HBsAg. Kemudian dilakukan optimasi purifikasi HBsAg meliputi optimasi lisis sel, optimasi purifikasi menggunakan kolom kromatografi dengan metode IEC dan SEC (Size Exclusion Gel Chromatography). Hasil menunjukkan tingkat kemurnian L-HBsAg sesuai persyaratan seperti yang digambarkan pada gambar 6. KESIMPULAN DAN SARAN

4

Pada program InSinas 2015-2017, Konsorsium Hepatitis B telah memperoleh capaian yang diharapkan yaitu minimal 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin Generasi 3 Hepatitis B (diperoleh 4 klone yaitu M dan L-HBsAg masing-masing single dan multi-copy) dan 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin Terapetik Hepatitis B dan proses dari teknologi kultivasi dan purifikasi protein rekombinan khususnya pada proses produksi antigen untuk vaksin terapeutik Hepatitis B. Selain itu diperoleh luaran tambahan berupa 1 publikasi international, 2 publikasi national, 6 proceeding international. Makalah dipublikasi international adalah sebagai berikut: 1. Christian Heryakusuma, Fernita Puspasari, Ihsanawati Ihsanawati, Ernawati Arifin Giri Rahman, Neni Nurainy, Dessy Natalia. Cloning and Expression of Small Hepatitis B Surface Antigen (sHBsAg) In Hansenula polymorpha. Microbiology Indonesia,Vol 10, No 4 (2016). 2.

Ernawati Arifin Giri-Rachman Indah Woro Utami, Shinta Kusumawardani, Debbie Soefie Retnoningrum, Dessy Natalia, Nurfitriani, Gilang Nadia, Patricia Gita Naully, Neni Nurainy. Construction and expression of Multicassettes Encoding Indonesian Small Hepatitis B Surface Antigen (s-HBsAg) in Methylotropic Yeast


178

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Pichia pastoris. Biotechnology, 2015. DOI: 10.3923/biotech.2015

Adapun kandidat patent yang telah didaftarkan ke Dirjen HKI adalah sebagai berikut: 1. Vektor ekspresi rekombinan untuk produksi berlebih HBsAg di Hansenula polymorpha, telah didaftarkan di Dirjen HKI dengan nomor P00201407051 2. Produksi protein Small Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)-Virus Like Particle di pichia pastoris, telah didaftarkan di Dirjen HKI dengan nomor P00201504908 3. Plasmid rekombinan yang berfungsi sebagai vektor expresi untuk produksi middle dan large Hepatitis B surface antigen (M-HBsAg dan L-HBsAg) spesifik Indonesia di P.pastoris (telah didaftarkan no masih dalam konfirmasi) 4. Drafting untuk genetic modified organism (GMO)Hansenula polimorpha untuk ekspresi protein rekombinan Ucapan Terima Kasih Penelitian ini di biayai dengan Dana Insentif Riset Nasional 2015-2017 dari Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan PT. Bio Farma (Persero).

DAFTAR REFERENSI Aspinall EJ, Hawkins G, Fraser A, Hutchinson SJ, Goldberg D. Hepatitis B prevention, diagnosis, treatment and care: a review. Occup Med (Lond). 2011; 61 (8): 531–40. doi: 10.1093/occmed/kqr136. Bo, H., Minjian, L., Guoqiang, L., Zhaoxia, L., Zhenyu, Z., and Lin, L., (2005) Expression of Hepatitis B Virus S Gene in P.pastoris and Application of the Product for Detection of Anti-HBs Antibody. Journal of Biochemistry and Molecular Biology : 38 (3) : 294-299. DOI : 10.5483/BMBRep.2005.38.6.683. Cabral GA, Marciano-Cabral F, Funk GA, Sanchez Y, Hollinger FB, Melnick JL.1978. Cellular and humoral immunity in guinea pigs to two major polypeptides derived from hepatitis B surface antigen. Journal of General Virology : 38:339-350. doi:10.1099/0022-1317-38-2-339. Charnay, P., Gervais, M., Louise, A., Galibert, F., and Tiollais, P.1980. Biosynthesis of hepatitis B virus surface antigen in Escherichia coli. Nature 286, 893–895.doi:10.1038/286893a0. Cheregino, J.L., dan Cregg, J.M. 2000. Heterologous Protein Expression in The Methylotrophic Yeast P.pastoris.FMES Microbiology Reviews 24: 45-66.DOI: 10.1111/j.15746976.2000.tb00532.x. Chua BY, Pejoski D, Turner SJ, Zeng W, Jackson DC. Soluble proteins induce strong CD8+ T cell and antibody responses through electrostatic association with simple cationic or anionic lipopeptides that target TLR2. J Immunol 2011; 187: 1692–1701.doi:10.4049/jimmunol.1100486. Depkes RI. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.Situasi dan Analisis Hepatitis.http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hepatitis.pdf. Diakses pada tanggal 13 September 2017.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

179

Edey M, Barraclough K, Johnson DW. Review article: Hepatitis B and dialysis. Nephrology (Carlton). 2010;15(2):137–45. doi: 10.1111/j.1440-1797.2009.01268.x Edman, J. C., Hallewell, R. A., Valenzuela, P., Goodman, H. M., and Rutter, W. J.1981.Synthesis of hepatitis B surface and core antigens in E. coli.Nature 291, 503–506. DOI: 10.1038/291503a0. Fujisawa, Y., Ito, Y., Sasada, R., Ono, Y., Igarashi, K., Marumoto, R., Kikuchi, M., and Sugino, Y. 1983. Direct expression of hepatitis B surface antigen gene in E. coli. Nucleic Acids Res. 11, 3581–3591.https://doi.org/10.1093/nar/11.11.3581 Khan M, Dong JJ, Acharya SK, Dhagwahdorj Y, Abbas Z, Jafri SMW, Mulyono DH, Tozun N, Sarin SK. 2004. Hepatology issues in Asia: perspectives from regional leaders. J Gastroenterol Hepatol 19:S419–S430.doi: 10.1111/j.1440-1746.2004.03728.x. Mulyanto, Depamede SN, Surayah K, Tsuda F, Ichiyama K, Takahashi M, Okamoto H. A nationwide molecular epidemiological study on hepatitis B virus in Indonesia: identification of two novel subgenotypes, B8 and C7. 2009. Arch Virol. 154(7):1047-59. Epub 2009 Jun 5.doi: 10.1007/s00705-009-0406-9. Poland GA, Jacobson RM. Clinical practice: prevention of hepatitis B with the hepatitis B vaccine. 2004. New England Journal of Medicine 351: 2832-2838. DOI:10.1056/NEJMcp041507. Rezaee-Zavareh, M. S., & Einollahi, B. (2014). Hepatitis B Vaccination: Needs a Revision. Hepatitis Monthly, 14(3), e17461. http://doi.org/10.5812/hepatmon.17461 Sarah Kutscher, Tanja Bauer, Claudia Dembek, Martin Sprinzl and Ulrike Protzer. 2012. Design of therapeutic vaccines: hepatitis B as an example. Microbial Biotechnology 5(2), 270–282. doi: 10.1111/j.1751-7915.2011.00303.x Shepard, CW. Simard, EP, Finelli, L, Fiore AF and Bell BP. 2006. Hepatitis B Virus Infection: Epidemiology and Vaccination. Epidemiol Rev 28 (1): 112-125.doi: 10.1093/epirev/mxj009. Shouval, D., Roggendorf, H., & Roggendorf, M. (2015). Enhanced immune response to hepatitis B vaccination through immunization with a Pre-S1/Pre-S2/S Vaccine. Medical Microbiology and Immunology, 204, 57–68. http://doi.org/10.1007/s00430-014-0374-x Vassileva, A., Chugh, D.A., Swaminathan, S., Khanna, N. 2001. Effect of Copy Number on the Expression Levels of Hepatitis B Surface Antigen in the Methylotrophic Yeast P.pastoris.Protein Expression and Purification21 :71–80. DOI:10.1006/prep.2000.1335 Vietheer PT, Boo I, Drummer HE, Netter HJ. (2007). Immunizations with chimeric hepatitis B viruslike particles to induce potential anti-hepatitis C virus neutralizing antibodies.Antivir. ther. 12(4):477-87. WHO. 2013. Hepatitis. http://www.who.int/immunization/topics/hepatitis/en/. Diakses pada tanggal 13 September 2017. WHO. 2017. Hepatitis B. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/. Diakses pada tanggal 13 September 2017. Zheng J., Schodel F., Peterson D. L. 1992. The Structure of Hepadnaviral Core Antigens. Identification of free thiols and determination of the disulfide bonding pattern. The journal of Biological Chemistry. Vol. 267, No. 13 Issue May 5, pp 9422-9429.


180

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

BIOGRAFI PENULIS DR. Neni Nurainy, Apt Neni Nurainy adalah ahli vaksionologi dan saat ini bekerja sebagai Project Integration Manager Research and Development Division PT. Bio Farma dan merupakan lulusan Sarjana Farmasi dan Apoteker di ITB pada tahun 1996, Doktor bidang Ilmu Biomedik Fakultas Kedoketeran Universitas Indonesia tahun 2005, dan Post Doctoral Research Fellow di University of Meulborne pada tahun 2009. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan adalah Cloning and Expression of Small Hepatitis B Surface Antigen (sHBsAg) in Hansenula polymorpha, dan Cloning, Intracellular Expression, and Characterization of Recombinant mHBsAg from Hepatitis B Virus Isolate Indonesia in Pichia pastoris. Ia pernah memenangkan Bronze Innovation Award untuk kategori pengembangan dari PT. Bio Farma dan Gold Innovation Award untuk kategori riset dari PT. Bio Farma pada tahun 2016. Saat ini Neni aktif di penelitian mengenai new TB vaccine, Hepatitis B therapeutic vaccine, Dengue vaccine, Protein therapeutic, dan Monoclonal Antibody.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

181

Polimorfisme Gen N-Asetiltransferase 2 (NAT2) dan Implementasi Farmakogenomik dalam pengobatan Tuberkulosis Rika Yuliwulandari1,2, Kinasih Prayuni2 Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 2 Pusat Penelitian Genetik, YARSI Research Institute, Universitas YARSI, Jakarta Pusat, DKI Jakarta email :1rika.yuliwulandari@yarsi.ac.id, 2kinasih.prayuni@yarsi.ac.id

1

Abstrak Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Enzim N-asetiltransferase 2 (NAT2) telah diketahui memainkan peranan penting dalam proses metabolism obat anti tuberkulosis, terutama Isoniazid. Polimorfisme NAT2 dilaporkan memiliki asosiasi dengan resiko toksisitas obat dan perkembangan berbagai penyakit. Anti-TuberculosisDruginduced liver injury (AT-DILI) merupakan efek samping yang biasanya terjadi pada pengobatan tuberkulosis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan fenotipe asetilator NAT2 lambat sangat rentan terhadap perkembangan AT-DILI. Penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa frekuensi asetilator NAT2 lambat di Indonesia cukup tinggi, pada etnis Jawa-sunda sebesar 33% dan pada etnis Melayu 38%. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat terhadap kerentanan AT-DILI harus di tingkatkan. Penelitian kami terbaru menunjukkan bahwa NAT2*6A, yang merupakan alel asetilator lambat, memiliki asosiasi yang signifikan terhadap AT-DILI (p=7.7×10−4, odds ratio (OR)=4.75 (1.8–12.55)). Selain itu, pasien dengan fenotipe asetilator lambat menunjukkan risiko AT-DILI lebih tinggi dibandingkan pasien dengan fenotipe cepat atau intermediet (p = 1,7 × 10-4, OR = 3,45 (1,79-6,67)). Farmakogenomik merupakan suatu studi variasi ekspresi gen individu terkait kerentanan terhadap penyakit dan respon terhadap obat baik pada individu itu sendiri maupun pada populasi. Penelitian dan penerapan farmakogenomik dapat membantu menentukan pengobatan yang terbaik untuk pasien dan memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, kita perlu mendorong pengembangan penelitian farmakogenomik, mengusulkan kolaborasi baik secara nasional maupun internasional dan membuat masyarakat Indonesia menyadari betapa pentingnya penerapan farmakogenomik dalam kehidupan mereka. Kata kunci: NAT2, Asetilator lambat, AT-DILI, Farmakogenomik Abstract Tuberculosis (TB) is still remains as a major health problem in Indonesia. The enzyme NAcetyltransferase 2 (NAT2) has been known to play an important role in metabolizing antituberculosis drugs, especially isoniazid. Polymorphisms of NAT2 are reportedly associated with the risk of drug toxicities and development of various diseases. Anti-Tuberculosis Druginduced liver injury (AT-DILI) is the most common adverse drug reaction in the treatment


182

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

of tuberculosis (TB). Several studies showed that a patient with slow acetylator phenotype has a high susceptibility to AT-DILI. Our research on the Indonesian population, in Javanese and Sundanese dan Malay ethnics showed 33% and 38% NAT2 slow acetylator phenotype, respectively. Therefore, Indonesia populations have to be aware with the development of AT-DILI. Our recent study showed thatNAT2*6A as a slow acetylator allele was significantly associated with AT-DILI (P=7.7×10−4, odds ratio (OR)=4.75 (1.8–12.55)). Additionally, patients with slow acetylator phenotype showed higher risk of AT-DILI than patients with the rapid acetylator or intermediate acetylator phenotypes (P=1.7×10−4,OR=3.45 (1.79–6.67)). Pharmacogenomics is a study of the variation of individual gene expression related to susceptibility to disease and response to drugs both in the individual itself and population. Pharmacogenomics research and implementation can help to select the best therapeutic option for patients suffering from certain diseases that are both cost effective and having higher chance of success. Therefore, we need to foster pharmacogenomics research development, propose collaboration both nationally and internationally and make the Indonesia society realize how important pharmacogenomics implementation is in their life. Keywords: NAT2, Slow acetylator, AT-DILI, Pharmacogenomics

1.

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit infeksi dengan insiden tertinggi di dunia. Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) melaporkan terjadinya kasus TB baru pada sekitar 10.4 juta orang. Indonesia menjadi negara terbesar kedua dalam hal insiden TB dan menyumbang sekitar 60% kasus TB baru di dunia (World Health Organization, 2016). Regimen standar lini pertama untuk pengobatan TB terdiri dari pemakaian kombinasi isoniazid, rifampicin, pirazinamid, dan ethambutol (World Health Organization, 2010). Penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) tersebut dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan yaitu drug-induced liver injury (DILI) atau hepatotoksisitas (Saukkonen et al., 2006). Beberapa gen telah dilaporkan terkait dengan resiko DILI karena penggunaan OAT (AT-DILI), yaitu N-acetyltransferase 2 (NAT2) (Leiro-Fernandez et al. 2011; Teixeira et al. 2011; Huang et al. 2002; Santos et al. 2013), cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) ( Huang et al., 2003; Santos et al., 2013; Tang et al., 2012; Teixeira et al., 2011), dan glutathione Stransferase mu-1/glutathione S-transferase theta (GSTM1/GSTT) (Kim et al., 2010; Tang et al., 2012; Teixeira et al., 2011). Diantara obat TB lini pertama, Isoniazid (INH) merupakan penyebab utama timbulnya hepatotoksisitas. Jalur metabolisme utama dari INH adalah asetilasi oleh NAT2 (Gambar 1).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

183

Gambar 1. Jalur metabolism Isoniazid oleh NAT2 (Roy et al., 2008)

Metabolisme utama INH dilakukan melalui proses asetilasi yang berlangsung terutama di hati dan mukosa usus oleh NAT2 menghasilkan asetilisoniazid yang kemudian dihidrolisis menjadi asam isonikotinik dan monoasetilhidrazin (MAH). Isoniazid juga mengalami reaksi hidrolisis yang dikatalisasi oleh isoniazid hidrolase dan membentuk hidrazin, yang kemudian dimetabolisme menjadi MAH oleh NAT2. Monoasetilhidrazim dapat diasetilasi menjadi diasetilhidrazin yang merupakan senyawa tidak beracun atau dioksidasi oleh cytochrome P4502E1 (CYP2E1) menjadi senyawa intermediet beracun pada hati. Asetilhidrazin dapat dihidrolisis menjadi hidrazin yang dapat menginduksi CYP2E1 dan meningkatkan produksi metabolit beracun. Hidrazin, MAH, dan asam isonikotik merupakan metabolit beracun yang potensial dihasilkan pada metabolism INH. Akumulasi dari senyawa beracun tersebut dapat menyebabkan efek samping yang merugikan dan dikenal sebagai AT-DILI (Roy et al, 2008). Polimorfisme NAT2 telah banyak dilaporkan terkait erat dengan timbulnya AT-DILI di berbagai populasi dunia. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa single nucleotide polymorphism (SNP) gen NAT2 pada daerah ekson, yang menyebabkan fenotipe asetilator lambat, memiliki kerentanan lebih besar untuk berkembang menjadi AT-DILI (Ohno et al. 2000; Fountain et al. 2005; Khalili et al. 2011; Leiro-Fernandez et al. 2011; Du et al. 2013; Singla et al. 2014). Di Indonesia sendiri polimorfisme gen NAT2 telah dipetakan pada populasi suku


184

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Jawa dan Sunda (Yuliwulandari et al., 2008)serta Melayu (Susilowati et al., 2017) dan diketahui bahwa genotipe asetilator lambat terkait kuat dengan AT-DILI (Yuliwulandari et al., 2016). Dengan adanya data tersebut, pengembangan metode NAT2 genotyping mungkin akan bermanfaat untuk memprediksi kerentanan pasien terhadap AT-DILI sebelum pengobatan sehingga efek samping yang tidak diinginkan dapat dihindari selama pengobatan tuberkulosis. Hal ini juga mendukung upaya implementasi farmakogenomik menuju personalized medicine di Indonesia. Selain itu pemetaan pada etnis lain di Indonesia menjadi sangat penting sehingga didapatkan data yang komprehensif terkait polimorfisme NAT2 di Indonesia. Hal tersebut mendorong pengembangan database dan kit yang komprehensif untuk populasi Indonesia. 2.

GEN N-ASETILTRANSFERASE 2

Gen arylamine N-acetyltransferase 2 (NAT2) merupakan gen yang terlibat dalam respon fisiologi manusia untuk metabolism berbagai senyawa xenobiotik termasuk obat yang berguna secara klinis dan berbagai senyawa kimia eksogenous dalam makanan dan lingkungan. Gen NAT2 terletak pada posisi kromosom 8p22 dan memiliki ukuran 870 bp. Gen ini memiliki 2 ekson, namun hanya 1 ekson yang mengkode protein (Gambar 1). Ekspresi gen NAT2 ditemukan terutama di hati, usus kecil, dan jaringan usus besar dan dianggap sebagai enzim yang khas untuk metabolism senyawa xenobiotik. Meskipun demikian level mRNA NAT2 basal dapat ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh.

Gambar 2. Struktur gen NAT2 (dimodifikasi dari Yuliwulandari et. al, 2008)

Polimorfisme genetik pada lokus NAT2 mempengaruhi variasi individu dalam kerentanan terhadap kanker, respon pada racun lingkungan, dan efektivitas pengobatan yang diresepkan.Di samping relevansi terhadap bidang medis, NAT2 juga dipertimbangkan untuk digunakan dalam bidang genetik evolusi dan beberapa penelitian telah berusaha untuk menguraikan peran NAT2 pada sejarah populasi dan seleksi alam dalam membentuk variasi genetik. Polimorfisme NAT2 bertanggung jawab atas variasi kemampuan dalam proses asetilasi. Berdasarkan kemampuan asetilasi, maka polimorfisme NAT2 dapat dibagi menjadi beberapa fenotipe yang dapat diklasifikasikan secara bimodal maupun trimodal. Klasifikasi secara bimodal membagi fenotipe NAT2 menjadi dua bagian, yaitu asetilator cepat dan lambat, sedangkan klasifikasi secara trimodal membagi fenotipe NAT2 menjadi 3 asetilator cepat, menengah, dan lambat. Fenotipe asetilator NAT2 ditentukan dari genotipe NAT2. Genotipe NAT2 sendiri terdiri dari dua alel NAT2 yang merupakan kombinasi SNP tertentu, yang disebut dengan haplotipe (Kuznetsov et al., 2009). SNP yang biasanya digunakan untuk menentukan alel adalah 7 SNP sebagai berikut: rs1041983, rs1801280, rs1799929,


185

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

rs1799930, rs1208 dan rs1799931. Beberapa kombinasi SNP (haplotipe) yang menentukan alel NAT2 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kombinasi SNP pada NAT2 yang menentukan alel NAT2 pada individu* rs1041983

Kombinasi SNP (Haplotipe) rs1801280 rs1799929 rs1799930

rs1208

rs1799931

Alel NAT2

C

T

C

G

A

G

NAT2*4

C

T

C

G

G

G

NAT2*12A

C

T

C

A

A

G

NAT2*6B

C

C

T

G

G

G

NAT2*5B

T

T

C

G

A

G

NAT2*13

T

T

C

G

A

A

NAT2*7B

T T C *dimodifikasi dari Susilowati et al, 2017

A

A

G

NAT2*6A

Fenotipe asetilator NAT2 ditentukan berdasarkan konfigurasi dua alel NAT2 yang dinamakan diplotipe. Diplotipe homozigot dari dua alel asetilator cepat, yaitu NAT2*4, diklasifikasikan sebagai asetilator cepat dan merupakan alel wild type. Diplotipe heterozigot yang terdiri dari satu alel cepat dan satu alel lambat diklasifikasikan sebagai asetilator intermediet dalam klasifikasi trimodal. Diplotipe homozigot dari dua alel NAT2 asetilator lambat diklasifikasikan sebagai asetilator lambat.Seiring dengan perkembangan dalam penelitian NAT2, ditemukan alel-alelcepat lainnya selain NAT2*4 yang diantaranya yaitu NAT2*11A, NAT2*12A, NAT2*13A dan NAT2*18. Beberapa contoh fenotipe asetilator lambat yang ditemukan di dunia adalah NAT2*5A, NAT2*6A, NAT2*7B (NAT2 database, http://nat.mbg.duth.gr/Human%20NAT2%20alleles_2013.htm). 3.

NAT2 PADA SUKU JAWA-SUNDA DAN MELAYU DI INDONESIA

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 300 bahasa yang berasosiasi dengan etnis tertentu. Setidaknya terdapat 6 suku besar di Indonesia dengan komposisi sebagai berikut: Jawa (40%), Sunda (15.50%), Melayu (3.7%), Batak (3.58%), Madura (3 %), dan Betawi (2,88%) (Ananta et al., 2010). Keragaman etnis tersebut memberikan kesempatan untuk mempelajari keragaman genetik dari masing-masing etnis, terutama yang terkait dengan penyakit dan kerentanan terhadap efek samping obat tertentu, salah satunya gen NAT2. Pemetaan keragaman genetik NAT2 telah dilakukan oleh Yuliwulandari et al(2008) dan Susilowati et al (2017) pada suku Jawa-Sunda dan Melayu. Berdasarkan distribusi trimodal, frekuensi dari fenotipe asetilator cepat, intermediet dan lambat pada etnis Jawa-Sunda adalah 13,6%, 50.8%, dan 35.6% (Yuliwulandari et al., 2008). Pada suku Melayu, komposisi asetilator cepat, intermediet dan lambat adalah 10%, 52%, dan 38%.Frekuensi fenotipe asetilator lambat yang ditemukan di Indonesia cukup besar, sehingga harus menjadi pertimbangan untuk mencegah terjadinya hepatotoksisitas dalam pengobatan TB. Dalam beberapa penelitian


186

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

diketahui bahwa individu dengan fenotipe asetilator lambat memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena hepatotoksisitas yang diinduksi oleh isoniazid (Huang et al.,2002). Pola distribusi asetilator lambat di Indonesia memiliki kemiripan dengan yang ada pada populasi di Asia Tenggara lainnya, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Distribution of NAT2 alleles in various human population

1

Populasi

SA1

NAT2*4

NAT2*5

NAT2*6

NAT2*7

Alel Lainnya

n2

Melayu Indonesia

0,38

0,31

0,07

0,39

0,18

0,05

100

Jawa-Sunda

0,36

0,37

0,09

0,37

0,15

0,02

424

Thai

0,36

0,38

0,04

0,33

0,20

0,005

470

Melayu Malaysia

0,35

0,41

0,12

0,38

0,09

-

292

Filipino

0,37

0,40

0,07

0,36

0,18

-

200

Indian

0,31

0,44

0,20

0,32

0,04

-

278

Korean

0,10

0,66

0,02

0,20

0,12

0,01

2000

Chinese

0,17

0,64

0,03

0,21

0,12

-

240

Japanese

0,11

0,65

0,01

0,25

0,06

0,03

218

Egyptian

0,92

0,215

0,497

0,260

0,028

-

400

Moroccan

0,72

-

0,53

0,25

0,02

0,04

326

Black South African

0,40

0,13

0,32

0,19

-

0,36

202

Argentina

0,54

0,30

0,37

0,26

0,08

0,01

370

Portuguese

0,64

0,211

0,433

0,328

0,027

-

256

UK Caucasian

0,66

0,20

0,52

0,25

0,02

0,01

224

SA: Fenotipe asetilator lambat

2

n: Total alel dalam penelitian

4.

NAT2 DAN IMPLEMENTASI FARMAKOGENOMIK

Selesainya era Human Genome Project (Lander et al., 2001; Venter et al., 2001) dan HapMap Project (The International HapMap Consortium, 2007), menjadi awal derasnya informasi terkait kerentanan genetik terhadap berbagai penyakit dan variasi genetik terhadap respon obat. Hal ini membuat peneliti di bidang biomedis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap hal tersebut. Data genomik menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengembangan obat modern. Istilah farmakogenomik dan farmakogenetik dalam penelitian biomedis menjadi tidak asing dan menjadi dasar dalam penerapan personalize medicine. Istilah farmakogenomik diperkenalkan pada akhir tahun 1990 dalam dunia medis. Pada saat itu tidak ada definisi yang pasti mengenai farmakogenomik dan istilah ini sering digunakan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

187

bergantian dengan istilah farmakogenetik (Mini & Nobili, 2009). The European Agency for the Evaluation of Medicinal Products (EMEA) mendefinisikan farmakogenetik sebagai studi variasi interindividu pada sekuen DNA yang terkait dengan respon terhadap obat dan farmakogenomik sebagai studi dari variasi ekspresi gen individu terkait kerentanan terhadap penyakit dan respon obat pada tingkat sel dan jaringan pada tingkatan individu atau populasi. Dari definisi tersebut farmakogenomik dapat disimpulkan sebagai evolusi farmakogenetik dalam skala genomik. Penelitian awal terkait NAT2 sebagai faktor resiko DILI yang disebabkan isoniazid melaporkan peningkatan insiden DILI karena isoniazid pada tipe asetilator lambat dan beberapa pada asetialtor cepat. Penelitian tersebut hanya menentukan fenotipe NAT2 tetapi penelitian selanjutnya melibatkan metode genotyping yang mengkonfirmasi bahwa asetilator lambat menunjukkan peningkatan terhadap resiko DILI karena isoniazid. Penelitian percobaan klinis di Jepang melibatkan dosis isoniazid yang berbeda berdasarkan genotipe NAT2, dan hasilnya dilaporkan bahwa insiden AT-DILI berkurang ketika asetilator lambat diberikan dosis yang rendah dari standar normal dosis rekomendasi WHO (Ohno et al., 2000; Azuma et al., 2012). Penelitian DILI yang disebabkan isoniazid dan terkait dengan asetilator lambat di Indonesia telah dilakukan oleh Yuliwulandari et al (2016). Yuliwulandari et al (2006) melaporkan bahwa NAT2*6A memiliki keterkaitan signifikan terhadap DILI yang diinduksi isoniazid (P=7.7×10−4, odds ratio (OR)=4.75 (1.8–12.55)). Penelitian juga menunjukkan bahwa pasien dengan TB dan memiliki fenotipe asetilator lambat lebih memiliki kecenderungan untuk mengembangkan DILI dibandingkan pasien dengan fenotipe asetilator intermediet dan asetilator (P=1.7×10−4,OR=3.45 (1.79–6.67)). Implementasi farmakogenomik terkait NAT2 sangat penting untuk diterapkan di Indonesia.Dengan demikian pengembangan kit diagnostic terkait polimorfisme NAT2 perlu segera dilakukan. Kit tersebut akan memudahkan klinisi dalam memprediksi resiko pasien yang akan diberikan pengobatan tuberkulosis sehingga akan membantu dalam pemilihan terapi yang tepat dan aman untuk pasien, yang mendukung proses kemajuan pengobatan klinis Indonesia kearah personalized medicine. 5.

KESIMPULAN

Penelitian terkait polimorfisme genetik NAT2 sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya efek obat yang tidak diinginkan pada pasien tuberkulosis di Indonesia.Individu dengan fenotipe asetilator lambat di Indonesia memiliki frekuensi cukup tinggi dan individu tersebut memiliki resiko lebih tinggi untuk mengembangkan AT-DILI. Oleh karena itu, pengembangan kit diagnostik dari penelitian tersebut sangat mendesak untuk dilakukan karena bermanfaat sebagai prediktor untuk pasien yang rentan terhadap AT-DILI. DAFTAR REFERENSI Ananta, A., Arifin, E. N., Hasbullah, M. S., Handayani, N. B., dan Pramono. 2013. A. Changing Ethnic Composition: Indonesia, 2000-2010. Proceeding of The XXVII IUSSP International Population Conference, Busan, Korea:26–31 August 2013.


188

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Azuma, J., Ohno, M., Kubota, R., Yokota, S., Nagai, T., Tsuyuguchi, K., Okuda, Y., Takashima, T., Kamimura, S., Fujio, Y., dan Kawase, I. 2013. NAT2 genotype guided regimen reduces isoniazid-induced liver injury and early treatment failure in the 6-month four-drug standard treatment of tuberculosis: A randomized controlled trial for pharmacogenetics-based therapy. European Journal of Clinical Pharmacology. Vol. 69: hal. 1091-1101. http://doi.org/10.1007/s00228-012-1429-9 Du, H., Chen, X., Fang, Y., Yan, O., Xu, H., Li, L., dan Huang, W. 2013. Slow N-acetyltransferase 2 genotype contributes to anti-tuberculosis drug-induced hepatotoxicity: a meta-analysis. Molecular Biology Reports.Vol. 40, No. 5: hal. 3591–3596. http://doi.org/10.1007/s11033-0122433-y Fountain, F. F., Tolley, E., Chrisman, C. R., dan Self, T. H. 2005. Isoniazid hepatotoxicity associated with treatment of latent tuberculosis infection: a 7-year evaluation from a public health tuberculosis clinic. Chest.Vol. 128, No. 1: hal. 116–123. http://doi.org/10.1378/chest.128.1.116 Huang, Y. S., Chern, H. D., Su, W. J., Wu, J. C., Chang, S. C., Chiang, C. H., Chang, F. Y., dan Lee, S. D. 2003. Cytochrome P450 2E1 genotype and the susceptibility to antituberculosis druginduced hepatitis. Hepatology. Vol.37, No. 4: hal. 924–930. http://doi.org/10.1053/jhep.2003.50144 Huang, Y.S., Chern, H. D., Su, W. J., Wu, J. C., Lai, S. L., Yang, S. Y., Chang, F. Y., dan Lee, S. D. 2002. Polymorphism of the N-acetyltransferase 2 gene as a susceptibility risk factor for antituberculosis drug-induced hepatitis. Hepatology. Vol. 35, No. 4: hal. 883–889. http://doi.org/10.1016/j.patbio.2011.07.001 Khalili, H., Fouladdel, S., Sistanizad, M., Hajiabdolbaghi, M., dan Azizi, E. 2011. Association of Nacetyltransferase-2 genotypes and anti-tuberculosis induced liver injury; first case-controlled study from Iran. Current Drug Safety. Vol. 6, No. 1: hal. 17–22. http://10.2174/157488611794479946 Kim, S. H., Kim, S. H., Yoon, H. J., Shin, D. H., Park, S. S., Kim, Y. S., Park, J. S., dan Jee, Y. K. 2010. GSTT1 and GSTM1 null mutations and adverse reactions induced by antituberculosis drugs in Koreans. Tuberculosis. Vol. 90, No. 1: hal. 39–43. http://doi.org/10.1016/j.tube.2009.12.001 Leiro-Fernandez, V., Valverde, D., Vázquez-Gallardo, R., Botana-Rial, M., Constenla, L., Agúndez, J. A., dan Fernández-Villar, A. 2011. N-acetyltransferase 2 polymorphisms and risk of antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in Caucasians. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Vol. , No. 10: hal. 1403–1408. http://doi.org/10.5588/ijtld.10.0648 Mini, E. dan Nobili, S. 2009. Pharmacogenetics: implementing personalized medicine.Clinical Cases in Mineral and Bone Metabolism. Vol. 6, No. 1: hal. 17-24. Ohno, M., Yamaguchi, I., Yamamoto, I., Fukuda, T., Yokota, S., Maekura, R., Ito, M. Yamamoto, Y., Ogura, T., Maeda, K., Komuta, K., Igarashi, T., dan Azuma, J. 2000. Slow N-acetyltransferase 2 genotype affects the incidence of isoniazid and rifampicin-induced hepatotoxicity. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Vol. 4, No. 3: hal. 256–261. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10751073 Roy, P. Das, Majumder, M., dan Roy, B. 2008. Pharmacogenomics of anti-TB drugs-related hepatotoxicity. Pharmacogenomics. Vol.9, No. 3: hal. 311–321. http://doi.org/ 10.2217/14622416.9.3.311


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

189

Santos, N. P., Callegari-Jacques, S. M., Ribeiro Dos Santos, A. K, Silva, C. A, Vallinoto, A. C., Fernandes, D. C., de Carvalho, D. C., Santos, S. E., dan Hutz, M. H. 2013) N-acetyl transferase 2 and cytochrome P450 2E1 genes and isoniazid-induced hepatotoxicity in Brazilian patients. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Vol.17, No. 4: hal. 499–504. http://doi.org/10.5588/ijtld.12.0645 Saukkonen, J. J., Cohn, D. L., Jasmer, R. M., Schenker, S., Jereb, J. A., Nolan, C. M., Peloquin, C. A., Gordin, F. M., Nunes, D., Strader, D. B., Bernardo, J., Venkataramanan, R., dan Sterling, T. R. 2006. An official ATS statement: Hepatotoxicity of antituberculosis therapy. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. Vol. 174, No. 8: hal. 935–952. http://doi.org/10.1164/rccm.200510-1666ST Singla, N., Gupta, D., Birbian, N., dan Singh, J. (2014). Association of NAT2, GST and CYP2E1 polymorphisms and anti-tuberculosis drug-induced hepatotoxicity. Tuberculosis. Vol. 94, No. 3: hal. 293–298. http://doi.org/10.1016/j.tube.2014.02.003 Susilowati, R. W., Prayuni, K., Razari, I., Bahri, S., dan Yuliwulandari, R. 2017. High frequency of NAT2 acetylator alleles in Malay Population of Indonesia: an awareness to the anti-tuberculosis drug induced liver injury and cancer. Medical Journal od Indonesia. Vol. 26, No. 1: 713. http://dx.doi.org/10.13181/mji.v26i1.1563 Tang, S. W., Lv, X. Z., Zhang, Y., Wu, S. S., Yang, Z. R., Xia, Y. Y., Tu, D. H., Deng, P. Y., Ma, Y., Chen, D. F., Zhan, S. Y. 2012. CYP2E1, GSTM1 and GSTT1 genetic polymorphisms and susceptibility to antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: A nested case-control study. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. Vol. 37, No. 5: hal. 588–593. http://doi.org/10.1111/j.1365-2710.2012.01334.x Teixeira, R. L. D. F., Morato, R. G., Cabello, P. H., Muniz, L. M. K., Moreira, A. D. S. R., Kritski, A. L., Mello, F. C., Suffys, P. N., Miranda, A. B., dan Santos, A. R. 2011. Genetic polymorphisms of NAT2, CYP2E1 and GST enzymes and the occurrence of antituberculosis druginduced hepatitis in Brazilian TB patients. Memorias Do Instituto Oswaldo Cruz. Vol.106, No. 6: hal. 716–724. http://dx.doi.org/10.1590/S0074-02762011000600011 World Health Organization. 2010. Treatment of tuberculosis: guidelines (4Th Edition). Geneva, Switzerland. World Health Organization. 2016.Global Tuberculosis Report 2016. Geneva, Switzerland. Yuliwulandari, R., Sachrowardi, Q., Nishida, N., Takasu, M., Batubara, L., Susmiarsih, T. P., Rochani, J.T., Wikaningrum, R., Miyashita, R., Miyagawa, T., Sofro, A.S.M., Tokunaga, K. 2008. Polymorphisms of promoter and coding regions of the arylamine N-acetyltransferase 2 (NAT2) gene in the Indonesian population: Proposal for a new nomenclature. Journal of Human Genetics, Vol. 53, No. 3: hal. 201–209. http://doi.org/10.1007/s10038-007-0237-z Yuliwulandari, R., Susilowati, R. W., Wicaksono, B. D., Viyati, K., Prayuni, K., Razari, I., Kristin, E., Diana, E.S., Setiawati, A., Ariyani, A. Mahasirimongkol, S., Yanai, H., Mushiroda, T., Tokunaga, K. 2016. NAT2 variants are associated with drug-induced liver injury caused by anti-tuberculosis drugs in Indonesian patients with tuberculosis. Journal of Human Genetics, Vol. 61, No. 6: hal. 533–537. http://doi.org/10.1038/jhg.2016.10


190

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

BIOGRAFI PENULIS dr. Rika Yuliwulandari, Ph.D dr. Hj. Rika Yuliwulandari, Ph.D merupakan alumnus S1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, S2 dan S3 Department of Human Genetics, Graduate School of Medicine, The University of Tokyo. Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI dan ketua Pusat Penelitian Genetik/Genomik, YARSI Research Institute serta aktif sebagai pengajar Farmakologi dan peneliti. Bidang riset yang ditekuni adalah genomic medicine dengan spesifikasi farmakogenetik dan farmakogenomik. Riset yang telah dilakukan antara lain studi populasi pada sukusuku besar di Indonesia (Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Bugis) terkait gen-gen yang berperan dalam metabolisme obat tuberkulosis dan Human Leukocyte Antigen (HLA), studi gen terkait efek samping obat, studi asosiasi, dan database genomik. Kinasih Prayuni, M.Si Kinasih Prayuni, M.Si, menyelesaikan program Sarjana Biologi (2008) di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia dan program Master Bioteknologi (2014) di Sekolah Ilmu Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Sempat bergabung dengan PT. Pandu Biosains yang merupakan distributor Illumina, memberikan keahlian dalam menjalankan Next generation Sequencing. Saat ini aktif sebagai asisten riset pada Pusat Penelitian Genetik/Genomik, YARSI Research Institute, Universitas YARSI dengan fokus penelitian di bidang farmakogenetik dan farmakogenomik.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

191

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Batang Tumbuhan Sarang Semut (Myrmecodia Pendens Merr. & L. M. Perry) Terhadap Pseudomonas Aeruginosa Dan Staphylococcus Aureus Ardianti Febriana1, Sulistianingsih2,Yasmiwar Susilawati3 Fakultas Farmasi, Konsentrasi Biologi Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor Sumedang 2 Fakultas Farmasi, Departemen Biologi Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor – Sumedang 3 Fakultas Farmasi, Departemen Biologi Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor Sumedang 1 email : ardianti.febriana@yahoo.com 1

Abstrak Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) secara empiris digunakan sebagai obat yang memiliki aktivitas antibakteri. Namun, belum pernah diteliti mengenai aktivitas antibakteri tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif yaitu Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, menentukan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM), dan nilai banding aktivitas antibakterinya terhadap tetrasiklin-HCl. Hasil pengujian aktivitas antibakteri umbi batang sarang semut menunjukkan bahwa ekstrak umbi batang sarang semut memiliki aktivitas antibakteri terhadap kedua bakteri tersebut. Konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) ekstrak umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) terhadap Pseudomonas aeruginosa terletak pada konsentrasi 0,83 % , sedangkan pada Staphylococcus aureus terletak pada konsentrasi 0,8 %. Hasil uji banding ekstrak umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) dengan tetrasiklin-HCl terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus berturut-turut sebesar 1 : 6,709 x 10-4 dan 1 : 1,038 x 10-5. Penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) mengandung flavonoid dan polifenol. Kata kunci: Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry, Aktivitas antibakteri, Pseudomonas, Staphylococcus ABSTRACT The ant plant (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) is one of plant applied as traditional medicine. Empirically, the tuber of the ant plant have antibacterial activity. However, the examination of antimicrobial activity from extract of the tuber has never been reported. The research was done to know the activity of antimcrobial againts Gram positive and Gram negatif bacteria such as Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus, to determine Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the tuber, and comparative value antibacterial activity with tetracycline-HCl. The result revealed that the tuber of the ant plant (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) has antibacterial activity againts those bacteria. The Min-


192

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

imum Inhibitory Concentration of extract from the tuber of ant plant to Pseudomonas aeruginosa was in range 8,2x103-8,3x103 ppm of concentration, and to Staphylococcus aureus was in range 7,5x103-8x103 ppm of concentration. Comparative value of extract from the tuber of ant plant with tetracycline-HCl againts Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus were respective 1:.6.709 x 10-4 and :1.038 x 10-5. Phytochemical screening showed that the extract of the tuber contains flavonoid and polifenol. Keywords: Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry, Antibacterial activity, Pseudomonas, Staphylococcus 1. PENDAHULUAN Di samping kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia karena dengan kondisi kesehatan yang baik dan kondisi tubuh yang prima, manusia dapat melaksanakan proses kehidupan, tumbuh dan menjalankan aktivitasnya dengan baik. Apabila terjadi suatu keadaan sakit atau gangguan kesehatanmaka obat akan menjadi suatu bagian penting yang berperan dalam upaya pemulihan kondisi sakit tersebut (Maheshwari, 2002). Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri adalah salah satu ancaman terbesar di bidang kesehatan di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, antara lain Pseudomonas aeruginosa dan Staphyloccus aureus(Utama, 2006). Salah satu bahan alam yang telah diteliti aktivitas antimikrobanya adalah tumbuhan sarang semut. Menurut penelitian tersebut, spesies Hydnophytum formicarum Jack. memiliki aktivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri Gram positif dan Gram negatif (Prachayasittikul, et al., 2008). Dari literatur tercatat hanya ada satu spesies Hydnophytum dan satu spesies Myrmecodia yang digunakan sebagai bahan obat oleh penduduk lokal suatu daerah tertentu di Asia Tenggara, yaitu Hydnophytum formicarum Jack. dan Myrmecodia tuberosa Jack. Di Indonesia, Hydnophytum formicarum bentuk pastanya digunakan untuk mengobati pembengkakan, sakit kepala dan rematik. Sedangkan air rebusannya digunakan untuk mengobati hernia dan maag. Di Filipina, air rebusannya digunakan untuk mengobati liver dan masalah pencernaan. Di Thailand, serbuknya digunakan untuk antelmintik (obat cacing), tonik jantung, penyakit tulang, penyakit kulit, penyakit paru-paru, sakit di persendian dan sebagai bahan campuran untuk obat antidiabetes. Di Malaysia, air rebusannya digunakan untuk mengobati kanker. Di Vietnam, tumbuhan ini digunakan untuk mengobati hepatitis, rematik dan diare. Di Indonesia pasta dari spesies Myrmecodia tuberosa digunakan untuk mengobati pembengkakan dan sakit kepala. Selain itu, spesies lain Myrmecodia pendens juga digunakan secara tradisional oleh penduduk lokal tertentu di Papua untuk menyembuhkan beragam gangguan kesehatan, namun tidak jelas jenis-jenis penyakit yang dapat disembuhkan oleh sarang semut jenis ini (Subroto, 2009).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

193

Sarang semut (Myrmecodia) merupakan salah satu tumbuhan epifit dari Hydnophytinae (Rubiaceae) yang dapat berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini bersifat epifit, artinya tumbuhan yang menempel pada tumbuhan lain, tetapi tidak hidup secara parasit pada tumbuhan inangnya, hanya sebagai tempat menempel (Subroto dan Saputro, 2006). Uji penapisan kimia dari tumbuhan Myrmecodia pendens menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang merupakan pigmen tumbuhan. Fungsi flavanoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan, melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Subroto dan Saputro, 2006). Staphylococcus aureus adalah spesies yang merupakan kelompok genus stafilokokus. Ciri khas organisme stafilokokus adalah sel sferis Gram-positif, biasanya terdapat dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur, tidak motil dan tidak membentuk spora. Hal yang membedakan antara S.aureus dengan spesies lainnya adalah sifat koagulase positifnya. S.aureus merupakan flora normal kulit dan membran mukosa manusia (Brooks et al., 2007; Pelczar dan Chan, 2006). Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk batang (basil), motil, bersifat aerob danbanyak ditemukan di tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan binatang. P.aeruginosa adalah bakteri obligat aerob yang dapat tumbuh dengan mudah pada banyak jenis medium biakan. P.aeruginosa sering terdapat di dalam flora normal usus dan pada kulit manusia dalam jumlah kecil serta merupakan patogen utama dalam kelompok Pseudomonas (Brooks, et al., 2007). Berdasarkan kandungan flavonoidnya yang dapat berfungsi sebagai antibiotik dan hasil penelitian aktivitas antimikroba terhadap spesies Hydonophytum formicarum Jack. (Prachayasittikul, et al., 2008) maka muncul hipotesis bahwa spesies Myrmecodia pendens kemungkinan juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Sehingga, tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas antibakteri umbi batang tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr.& Perry) terhadap kedua bakteri tersebut. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah simplisia umbi batang tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry). Simplisia ini didapatkan dari perkebunan di Wamena, Papua. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus yang diperoleh dari Bagian Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bakteri-bakteri ini ditumbuhkan dalam medium agar nutrien/NA (Pronadisa) dengan konsentrasi 23 g/l dan kaldu nutrien/NB (Pronadisa) dengan konsentrasi 8 g/l. Antibiotika pembanding yang digunakan adalah antibiotika tetrasiklin-HCl (Sanbe).


194 2.2

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Pengumpulan Bahan dan Determinasi Tumbuhan

Sampel berupa simplisia umbi batang tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr.& Perry) yang diperoleh dari perkebunan di Wamena, Papua.Determinasi sarang semut (Myrmecodia pendens Merr.& Perry) dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Gambar 1. Simplisia umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry)

2.3

Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi atau perendaman. Metode ini dipilih untuk mencegah kerusakan senyawa-senyawa komponen oleh suhu tinggi. Pelarut yang digunakan adalah pelarut etanol yang merupakan pelarut umum untuk menarik senyawa polar dan nonpolar. Proses ini dilakukan dengan perendaman serbuk simplisia sarang semut selama 3x24 jam dalam maserator dengan penggantian pelarut setiap 24 jam. Ekstrak ditampung dalam labu dasar bundar, kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu kurang dari 600C.

Gambar 2. Ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

2.4

195

Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak sarang semut. Kandungan yang diperiksa adalah golongan alkaloid, flavanoid, kuinon, polifenol, saponin, tanin, triterpenoid, steroid, monoterpenoid, dan seskuiterpenoid. 2.5

Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum

Penetapan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) dilakukan dengan metode difusi agar terhadap ekstrak etanol dari umbi batang tumbuhan sarang semut. Pada proses penetapan KHTM, dibuat larutan sampel dengan beberapa variasi konsentrasi terkecil yang masih memiliki aktivitas. Suspensi bakteri digoreskan ke dalam cawan petri yang telah berisi campuran media dan ekstrak dengan variasi konsentrasi tertentu kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam dan diamati pertumbuhan bakterinya. 2.6

Uji Banding Aktivitas Antibakteri

Uji banding dilakukan terhadap sampel yang memiliki aktivitas antibakteri dan tetrasiklin dengan variasi konsentrasi. Kemudian ekstrak dan tetrasiklin-HCl dimasukkan ke dalam lubang yang terdapat pada media uji dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.Nilai uji banding diperoleh dengan membandingkan respon berupa nilai hambatan pertumbuhan bakteri dari sampel terhadap respon zat pembanding pada kondisi dan perlakuan yang sama. Lalu diukur diameter dari zona bening yang dihasilkan dan dibuat grafik log konsesntrasi terhadap diameter hambat. 3. HASIL Dari hasil ekstraksi dengan menggunakan simplisia sebanyak 370,25 g diperoleh ekstrak kering sebanyak 51, 836 g sehingga rendemennya adalah 14,00%. Adapun karakteristik dari ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut adalah kering, berwarna merah kecoklatan. 3.1

Penapisan Fitokimia

Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Umbi Batang Tumbuhan Sarang Semut Golongan Senyawa Alkaloid Flavonoid Kuinon Polifenol Saponin Tanin Triterpenoid Steroid Monoterpen & Seskuiterpen

Ekstrak + + -


196

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Keterangan : + = terdeteksi - = tidak terdeteksi

Gambar 3. Hasil penapisan fitokimia (a) blanko, (b) kuinon, (c) polifenol, (d) tanin, (e) saponin, (f) flavonoid

3.2

Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak

Tabel 2. Hasil Uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak terhadap Pseudomonas aeruginosa Konsentrasi Ekstrak (ppm) 6000 8000 8100 8200 8300 8400

Hasil Uji + + + + -

Keterangan : + = ada pertumbuhan bakteri - = tidak ada pertumbuhan bakteri Tabel 3. Hasil Uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak terhadap Staphylococcus aureus Konsentrasi Ekstrak (ppm) 6500 7000 7500 8000 8200

Hasil Uji + + + -


197

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Keterangan : + = ada pertumbuhan bakteri - = tidak ada pertumbuhan bakteri Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Baku Pembanding Tetrasiklin-HCl Tabel 4. Hasil Penetapan Diameter Hambat Tetrasiklin-HCl terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa Konsentrasi Tetrasiklin-HCl (ppm) Konsentrasi Log Konsentrasi 100 2 120 2,079 140 2,146 160 2,204 180 2,255

Diameter Hambat (mm) 14,34 14,86 15,26 15,92 16,14

Tabel 5. Hasil Penetapan Diameter Hambat Tetrasiklin-HCl terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Konsentrasi Tetrasiklin-HCl (ppm) Konsentrasi Log Konsentrasi 1 0 2 0,301 3 0,477 4 0,602 5 0,699

(a)

Diameter Hambat (mm) 12,02 15,50 17,02 18.50 20,02

(b)

Gambar 4. Hasil uji banding ekstrak dengan tetrasiklin-HCl terhadap (a) Pseudomonas aeruginosa dan (b) Staphylococcus aureus


198

Diameter Hambat (mm)

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Log Konsentrasi (ppm)

Diameter Hambat (ppm)

Gambar 1. Kurva hubungan antara logaritma konsentrasi (ppm) tetrasiklin-HCl dengan diameter daya hambat (mm) tetrasiklin-HCl terhadap Pseudomonas aeruginosa dengan persamaan y = 7,319x - 0,335 dan r = 0,993

Log Konsentrasi

Gambar 2. Kurva hubungan antara logaritma konsentrasi (ppm) tetrasiklin-HCl dengan diameter daya hambat (mm) tetrasiklin-HCl terhadap Staphylococcus aureus dengan persamaan y = 12,001x + 11,089 dan r = 0,997

Tabel 6. Hasil Pengukuran Diameter Daya Hambat Ekstrak Umbi Batang Tumbuhan Sarang Semut terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus Konsentrasi (ppm) 500.000 Rata-rata

Diameter Hambat (mm) Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus 17,54 19,6 18.3 19,86 18,6 19,6 18,15 19,67


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

199

Dari data Tabel 6 pada konsentrasi 500.000 ppm ekstrak umbi batang sarang semut memberikan diameter hambat rata-rata terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa sebesar 18,15 mm. Nilai ini kemudian distubtitusikan dengan menggunakan persamaan Gambar 4.1 didapatkan nilai x = 18,15 dan antilog = 335,443 sehingga didapatkan data bahwa 1 bagian ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa yang setara dengan 6,709 x 10-4 bagian tetrasiklin-HCl. Nilai banding ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut dengan tetrasiklin-HCl terhadap Pseudomonas aeruginosa adalah 1:6,709 x 10-4, yang artinya untuk menghasilkan diameter hambat yang sama, 1 bagian ekstrak sebanding dengan 6,709x 10-4 bagian tetrasiklin-HCl. Dengan menggunakan cara yang sama, dari Tabel 6 pada konsentrasi 500.000 ppm ekstrak umbi batang sarang semut memberikan rata-rata diameter hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureussebesar 19,67 mm. Nilai ini kemudian distubtitusikan dengan menggunakan persamaan Gambar 4.2 didapatkan nilai x = 0,715 dan anti log = 5,188 sehingga didapatkan data bahwa ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut memiliki aktivitas antibakteri terhadapStaphylococcus aureus yang setara dengan 1,038 x 10-5 bagian tetrasiklin-HCl. Nilai banding ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut dengan tetrasiklin-HCl terhadap Staphylococcus aureus adalah 1:1,038 x 10-5, yang artinya untuk menghasilkan diameter hambat yang sama, 1 bagian ekstrak sebanding dengan 1, 038 x 10-5 bagian tetrasiklin-HCl. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry)memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Konsentrasi hambat minimum ekstrak umbi batang sarang semut terhadap Pseudomonas aeruginosa terletak pada rentang konsentrasi 8200-8300 ppm sedangkan pada Staphylococcus aureus terletak pada konsentrasi 7500-8000 ppm. Hasil uji banding aktivitas ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut dengan tetrasiklin-HCl terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus berturut-turut sebesar 1:6,709 x 10-4 dan 1:1,038 x 10-5. Hasil penapisan fitokimia dari ekstrak etanolumbi batang sarang semut mengandung flavonoid dan polifenol. DAFTAR REFERENSI Brooks, G. F., J. S. Butel., and S. A. Morse. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Diterjemahkan oleh Huriawati Hertanto, Chaerunnisa Rachman,Alifa Dimanti, Aryana Diani. EGC. Jakarta. hlm. 149-160,169-170,25-231,266-268. Brooks, G. F., J. S. Butel., and L. N. Ornston. 1996. Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. Diterjemahkan oleh Edi Nugroho, RF Maulany. EGC. Jakarta. hlm. 155 Maheshwari, Hera. 2002. Pemanfaatan Obat Alami: Potensi dan Prospek Pengembangannya. Tersedia di: http://rufyct.com[Diakses tanggal 23 Desember 2009]. Pelczar, M. J. Dan E. C. S. Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi I. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 100-101; 169-170; 175; 225-231; 266-268. Pelczar, M. J. Dan E. C. S. Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi II. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 452-454.


200

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Prachayasittikul, Supaluk., P. Buraparuangsang., A. Worachartcheewan., C. Isarankura-Na-Ayudhya., S. Ruchirawat and V. Prachayasittikul. Antimicrobial and Antioxidative Activities of Bioactive Constituents from Hydnophytum formicarum Jack. Molecules 2008. 13 (4) : 904-921. Available at: http://www.mdpi.com [Diakses tanggal 13 November 2009]. Subroto, M. Ahkam. 2009. Obat Alternatif: Sarang Semut Penakluk Penyakit Maut. Tersedia di: http://kajuali.com[Diakses tanggal 23 Desember 2009]. Subroto, M. Ahkam dan Hendro Saputro. 2006. Gempur Penyakit dengan Sarang Semut. Penebar Swadaya. Jakarta. hlm. 11-15; 27-30; 41-46. Utama, H. W. 2006. Infeksi Nosokomial. Tersedia di: http://rudyct.com[Diakses tanggal 23 Desember 2009].

BIOGRAFI PENULIS Dra. Rr. Sulistiyaningsih, M.Kes., Apt Dra. Rr. Sulistiyaningsih, M.Kes., Apt merupakan Lektor pada Departemen Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran yang menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi dan pasca sarjana di Fakultas Kedokteran, Ilmu Kesehatan Dasar, Universitas Padjadjaran. Dr. Yasmiwar Susilawati, M.Si., Apt. Dr. Yasmiwar Susilawati, M.Si., Apt.merupakan Lektor pada Departemen Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran yang menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran dan pasca sarjana Program Magister&Doktor di Fakultas Farmasi, Institut Teknologi Bandung.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

201

Aplikasi Smartphone dalam Pembelajaran Biologi Iwan Setia Kurniawan1 dan Topik Hidayat2 Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Pasundan, Bandung 2 Departemen Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung email : 1iwansetiakurniawan@yahoo.com, 2topikhidayat@upi.edu 1

Abstrak Ulasan ini menginformasikan mengenai penggunaan aplikasi smartphone dalam pembelajaran. ulasan ini mencakup tiga bahasan utama yaitu: aplikasi smartphone, kemampuan identifikasi dan literasi konservasi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan aplikasi smartphone yang diintegrasikan dalam pembelajaran lebih baik daripada pembelajaran dengan cara tradisional. Selain itu aplikasi smartphone efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan kolaborasi, meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran, meningkatkan pemahaman konseptual, meningkatkan kemampuan identifikasi siswa mengenai berbagai spesies dan meningkatkan literasi konservasi serta membantu mempermudah akses materi pembelajaran secara online. Aplikasi smartphone yang dikembangkan dengan prosedur yang tepat akan membantu dalam pembelajaran. Dalam hal ini, beberapa penelitian menunjukan dengan menggunakan aplikasi smartphone siswa memiliki kemampuan identifikasi yang baik, hal ini penting karena kemampuan identifikasi sangat dibutuhkan dalam upaya konservasi. Pembelajaran inovatif sudah seharusnya mengembangkan teknologi khususnya smartphone untuk menunjang pembelajaran. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan berbagai aplikasi smartphone dalam pembelajaran. Kata kunci: Aplikasi Smartphone, Inovasi Pembelajaran, Keterampilan Identifikasi, Literasi Konservasi Abstract This review informs about the use of smartphone applications in learning. This review covers three main topics, namely: applications of smartphones, the ability of identification and conservation literacy. Some studies showed that the use of smartphone applications that are integrated in learning is better than learning in a traditional way. In addition, smartphone applications are effectively able to improve student learning outcomes, collaboration, student motivation in learning, conceptual understanding, identification skill of students on a variety of species conservation, and promote literacy and facilitate access to online learning materials. Smartphone applications developed with proper procedures will assist in learning. In this regard, several studies have shown using smartphone applications students have proper identification ability, this is important because the ability of identification is required in conservation efforts. Innovative learning should develop technologies to support learning, especially smartphone. Further studies are needed to develop a variety of smartphone applications in learning. Keywords: Conservation Literacy, Identification Skills, Innovative Learning, Smartphone Applications,


202

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN Kemajuan teknologi telepon seluler pada saat ini terjadi begitu pesat secara tidak langsung berpengaruh pada semua aspek kehidupan. Salah satu contohnya kemunculan beberapa smartphone dengan berbagai bentuk dan ukuran yang dilengkapi dengan berbagai fitur-fitur yang semakin lengkap dan canggih. Kecanggihan fitur dalam smartphone tentu saja memiliki tujuan untuk mempermudah pengguna dalam segala hal, secara khusus bertujuan untuk memberikan kepuasan kepada pengguna. Berbagai aplikasi dengan mudah dapat diunduh pada konten-konten yang tersedia seperti pada Google Play Store atau Apps Store. Namun, penggunaan fitur-fitur canggih dalam smartphone belum maksimal terutama yang berhubungan dengan pembelajaran. Beberapa aplikasi dalam smartphone lebih banyak digunakan sebagai alat komunikasi atau media sosial (facebook, twiter, whatsapp, line, messenger, dll.). Kurangnya penggunaan aplikasi smartphone dalam pembelajaran tentu saja sangat merugikan, seharusnya beberapa aplikasi dalam smartphone dapat digunakan dalam menunjang pembelajaran di kelas bahkan dapat dijadikan sebagai metode pembelajaran inovatif dengan mengintegrasikan kemajuan teknologi. Ekologi merupakan cabang ilmu biologi yang berhubungan langsung dengan alam. Pada kegiatan perkuliahan, mempelajari ekologi sering dilakukan dengan metode langsung yaitu kuliah lapangan. Kuliah lapangan (fieldtrip) merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang berhubungan langsung dengan alam. Dalam pembelajaran sains khususnya biologi, kegiatan kuliah lapangan sudah menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan karena biologi berhubungan dengan kehidupan mahluk hidup yang berada di alam. Kegiatan kuliah lapangan sudah seharusnya dikembangkan dengan berbagai metode atau pendekatan baru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan untuk kemajuan ilmu pengetahuan, ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Salah satunya dengan menggunakan dan mengembangkan aplikasi smartphone. Dengan demikian kegiatan kuliah lapangan dapat memberikan suasana baru yang lebih inovatif dari yang biasanya dilakukan. Kuliah lapangan ekologi dengan menggunakan aplikasi smartphone akan mempermudah mahasiswa dalam melakukan identifikasi dan klasifikasi dari beberapa spesies, contohnya burung. Kemampuan identifikasi dan klasifikasi mahasiswa dalam ekologi sangat dibutuhkan karena akan menunjang dalam upaya konservasi. Dengan bekal kuliah lapangan dimana mahasiswa akan langsung berhubungan dengan alam diharapkan dapat memiliki literasi konservasi yang baik sehingga dapat menunjang upaya konservasi khususnya konservasi burung. Proses identifikasi dan klasifikasi dengan menggunakan aplikasi smartphone diharapkan dapat membantu mengetahui status beberapa burung dengan cepat dan efektif. 2

SMARTPHONE DALAM PEMBELAJARAN

Pembelajaran abad 21 mengharuskan adanya integrasi teknologi dalam proses pembelajaran. Smartphone dan perangkat digital lainnya dapat dijadikan sumber yang cukup potensial dalam menunjang pembelajaran. Perangkat mobile seperti laptop, smartphone, digital assistant memiliki potensi besar dalam menunjang pembelajaran di dalam dan di luar kelas (Sung et al., 2015). Hal ini tentu saja jika aplikasi smartphone diimplementasikan dalam pembelajaran lebih menguntungkan dari pada pembelaran secara tradisional, secara tidak langsung akan meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Aplikasi smartphone


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

203

dapat membantu siswa dengan cepat untuk memahami konsep baru secara jelas dan meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dibandingkan dengan daripada siswa yang mendapatkan pembelaran secara tradisional, menggabungkan aplikasi smartphone dalam pembelajaran memiliki potensi positif yang dapat mempengaruhi belajar siswa (Shih et al., 2006). Sejumlah aplikasi smartphone dapat menyelaraskan kerjasama antar kelompok dalam pembelajaran, menambah pengalaman dan membantu siswa dalam meningkatkan pembelajaran kolaboratif. Selain itu smartphone dapat digunakan untuk mencari referensi dalam pembelajaran sains yang tepat sehingga membantu mahasiswa membangun profesionalisme guru (Alqaryan et al., 2016; Zhai et al., 2016). Biologi merupakan cabang ilmu pengetahuan alam yang berhubungan langsung dengan mahluk hidup yang berada di alam. Keterkaitan biologi dengan alam mengharuskan siswa/mahasiswa belajar langsung dengan alam. Selain akan memberikan pengalaman belajar yang baik, kuliah lapangan juga akan memberikan efek positif bagi siswa/mahasiswa. Kuliah lapangan banyak memberikan manfaat positif bagi mahasiswa karena secara langsung mahasiswa dapat mengamati objek yang sebenarnya yang dapat mereka temukan dilapangan (Thomas & Fellowes, 2016). Di era yang serba canggih ini sudah selayaknya aplikasi smartphone dapat diimplementasikan dalam praktek lapangan secara maksimal, tentu saja harus dikembangkan terlebih dahulu sesuai dengan konteksnya. Aplikasi smartphone dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan platform untuk meningkatkan pembelajaran sehinggga proses pembelajaran akan lebih cepat dan efektif (Li et al., 2016). Kemajuan dalam teknologi digital salah satunya teknologi mobile dapat dikembangkan untuk membantu siswa dalam melakukan eksperimen penyelidikan berbasis lingkungan, memfasisitasi belajar siswa sehingga dapat meningkatkan kinerja belajar kelompok eksperimen dan mengembangkan sikap positif dalam penyelidikan (Ahmed & Parsons, 2013). Selain memberikan pengalaman baru dengan mengintegrasikan aplikasi smartphone, siswa/mahasiswa juga akan lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran sehingga dapat meningkatkan keterlibatan merekan dalam pembelajaran. pengembangan aplikasi smartphone banyak dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai spesies atau ekosistem di alam. Hal ini akan lebih menarik bagi siswa/mahasiswa sehingga pemahaman mereka akan lebih baik. Penggunaan aplikasi smartphone dalam pembelajaran biologi untuk mengidentifikasi beberapa spesies dapat meningkatkan prestasi dan motivasi siswa dibandingkan dengan siswa yang menggunakan buku teks (Jeno et al., 2017). Beberapa aplikasi dirancang dan dikembangkan untuk membantu praktek lapangan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap ekosistem salahsatunya dengan aplikasi Ecomobile (Kamarainen et al., 2013). Selain itu, aplikasi mobile dapat dikembangkan dengan aplikasi mobile 3D untuk meningkatkan hasil belajar yang lebih baik daripada metode standard dan dapat diintegrasikan dalam kurikulum (Noguera et al., 2013). Efektifitas penggunaan aplikasi smartphone secara umum dari beberapa penelitian mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pembelajaran secara tradisional. Selain itu terjadi peningkatan prestasi dan motivasi dalam belajar. Motivasi siswa akan meningkat dengan sebuah metode pembelajaran baru, dengan meningkatnya motivasi dalam belajar maka akan mendorong prestasi yang lebih baik (Su & Cheng, 2015) membangun motivasi dan kompetensi siswa kearah yang lebih baik (Jeno et al., 2017) dan


204

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

membatu meningkatkan melek digital, inkuiri serta kemampuan berpikir kritis siswa (Marty et al., 2013). Dampak lain yang dapat dirasakan dengan menggunakan aplikasi smartphone dalam pembelajaran yaitu peningkatan kepercayaan diri pada siswa, mampu mempelajarai materi baru dengan lebih cepat dan efektif. Aplikasi smartphone akan membantu siswa lebih cepat mempelajari konsep baru dan meningkatkan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka untuk materi baru sehingga proses belajar akan lebih cepat dan efektif (Shih et al., 2006; Noguera et al., 2013; Li et al., 2016). Salah satu contoh integrasi smartphone di dalam pembelajaran yaitu dengan Mobilized 5E (Engagement/Exploration/Explanation/Elaboration/Evaluation) Science Curriculum (M5ESC) (Looi et al., 2014). Prinsip yang dikembangkan oleh M5ESC di antarannya: a. Engagement (keterlibatan) Akses untuk mengetahui pengetahuan siswa dan keterlibatan siswa dalam fenomena ilmu pengetahuan. b. Exploration (eksplorasi) Peluang yang disediakan bagi siswa untuk menyelidiki fenomena ilmu pengetahuan atau prinsip dari ilmu pengetahuan. c. Explanation (penjelasan) Siswa didorong untuk menafsirkan pemahaman mereka tentang fenomena ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip atau konsep yang relevan. d. Elaboration (elaborasi) Pemahaman siswa dari fenomena ilmu pengetahuan yang diperdalam melalui sebuah pengalaman baru. e. Evaluation (evaluasi) Pemahaman siswa dinilai dengan metode penilaian yang tepat. Prinsip 5E ini dapat dimodifikasi dengan mengintegrasikan smartphone dalam pembelajaran sebagaimana disajikan menggunakan media tools seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. MyDesk Portal Guru (kiri) dan Mydesk Modul Siswa (kanan)


205

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tools yang tersedia pada smartphone dikembangkan dalam pembelajaran dengan menggunakan prinsip M5ESC (Looi et al., 2014) seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Tools pembelajaran pada sistem pembelajaran Mydesk Tools

Fungsi

Aktifitas Mobile

Sebuah alat refleksi diri mendukung yang siswa untuk memikirkan mengenai proses belajar dan perubahan konseptual dengan menanggapi pertanyaan (yaitu apa yang saya sudah tahu? apa yang saya ingin tahu? Apa yang telah saya pelajari?). Untuk memungkinkan siswa untuk belajar dalam selfregulated

Engagement: siswa menanggapi “apa yang saya sudah tahu” di KWL.

Sketchbook

Animasi/gambar dan gambar anotasi alat untuk membantu siswa membangun hubungan antara pengetahuan yang dipelajari di kelas dan pengetahuan diterapkan di luar kelas.

Engagement: siswa mencatat setiap perubahan menggunakan Sketchbook.

Map It

Sebuah alat peta konsep yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemahaman konseptual melalui kreasi, sharing, dan mengeksplorasi peta konsep.

Elabortion: siswa menggambar peta konsep menggunakan MapIt

Blurb

Sebuah alat konfigurasi pertanyaan yang memfasilitasi guru untuk mengatur pertanyaan khusus untuk meminta siswa untuk memberikan pendapat singkat atau umpan balik pada kegiatan penyelidikan mereka atau pemahaman mereka tentang pengetahuan

Eksploration: siswa menanggapi pertanyaan-pertanyaan pada Blurb

Recorder

Sebuah alat perekam suara bagi siswa untuk merekam proses eksperimen, fieldtrip dan pengamatan demonstrasi guru, dan refleksi serta kesimpulan, siswa juga dicatat sebagai data untuk guru untuk meninjau kemajuan dan perbaikan dalam penyelidikan.

Eksploration: siswa mencatat pertanyaan mereka ketika mengamati dengan menggunakan perekam (Recorder).

Notepad

Sebuah alat perekaman data bagi siswa untuk mencatat hasil atau proses eksperimen, fieldtrip, dan observasi guru demonstrasi.

Engagement: siswa menuliskan hasil pengamatan dengan menggunakan Notepad.

KWL

3

Exploration: siswa menanggapi “apa yang saya ingin tahu” di KWL. Evaluation: siswa menanggapi “Apa yang telah saya pelajari”

IMPLIKASI APLIKASI SMARTPHONE

Aplikasi smartphone pada beberapa penelitian cukup efektif untuk mencapai tujuan dalam


206

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

pembelajaran. Aplikasi smartphone dapat dikembangkan untuk meningkatkan pembelajaran sehinggga proses pembelajaran akan lebih cepat dan efektif, memiliki potensi besar dalam menunjang pembelajaran di dalam dan di luar kelas, meningkatkan prestasi dan motivasi siswa, efektifitas praktik atau pembelajaran inovatif memberikan implikasi positif dalam pembelajaran di masa yang akan datang (Looi et al., 2014; Sung et al., 2015; Li et al., 2016; Jeno et al., 2017). Selain itu, aplikasi mobile dapat membantu siswa dengan cepat untuk memahami konsep baru secara jelas dan meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi, untuk meningkatkan hasil belajar yang lebih baik, membantu siswa dalam mempelajari dan berpartisipasi dalam penyelidikan ilmiah yang langsung berhubungan dengan lingkungan, meningkatkan keterampilan mendokumentasikan hasil penyelidikan ilmiah dan meningkatkan melek digital siswa (Shih et al., 2006; Marty et al., 2013; Noguera et al., 2013). Dalam perspektif pembelajaran abad 21, perangkat yang lebih mudah digunakan dan kompatibel dengan tugas-tugas belajar akan berdampak positif terhadap motivasi siswa untuk menggunakan perangkat mobile seperti laptop, smartphone, digital assistant memiliki potensi besar dalam menunjang pembelajaran di dalam dan di luar kelas (Sung et al., 2015; Hopkins et al., 2016). Smartphone sangat membantu dalam mencari berbagai informasi dan referensi untuk menunjang kebutuhan dalam pembelajaran. Smartphone banyak digunakan untuk mencari referensi yang tepat sehingga membantu mahasiswa membangun profesionalisme, mengakses sumber daya dan dan komunitas peneliti dengan topik yang lebih luas sehingga dapat memunculkan berbagai ide dan membangun pengetahuan baru, membantu mahasiswa dalam pembelajaran sains (Alqaryan et al., 2016; Jackson et al., 2016; Zhai et al., 2016). Untuk itu potensi smartphone disaran kan untuk diintegrasikan dan dikembangkan dalam kurikulum. Inovasi kurikuler menggunakan perangkat mobile telah dikembangkan dalam konteks belajar satu kelas dan evaluasi empiris kurikulum yang dimobilisasi telah menunjukkan potensinya untuk efektivitas belajar, membantu untuk membangun dasar yang kuat untuk tetap belajar pada abad 21 dengan mengembangkan desain perangkat lunak untuk merancang aplikasi pendidikan dengan tujuan meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan metode tradisional (Looi et al., 2014; Perry & Klopfer, 2014; So, 2016; Papadakis et al., 2017). 4

PENUTUP

Aplikasi smartphone dapat dikembangkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa, evaluasi, game atau simulasi interaktif, motivasi siswa dan memupuk kerjasama. Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan aplikasi smartphone dapat meningkatkan kemampuan identifikasi siswa terhadap berbagai spesies dengan baik. Kemampuan identifikasi sangat menunjang dalam upaya konservasi, dengan asumsi bahwa kemampuan identifikasi yang baik akan meningkatkan literasi konservasi. Penelitian lebih lanjut diperlukan terutama pada kajian konservasi. Bagaimana aplikasi smartphone dapat memberikan konstribusi positif terhadap upaya konservasi khususnya konservasi beberapa spesies yang terancam punah. Selain itu, bagaimana aplikasi smartphone dapat dapat dikembangkan untuk meningkatkan literasi konservasi terhadap siswa dan masyarakat pada umumnya. Semua ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam yang semakin terancam dari tahun ke tahun.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

207

DAFTAR REFERENSI Ahmed, S., & Parsons, D. (2013). Abductive science inquiry using mobile devices in the classroom. Computers and Education, 63, 62–72. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2012.11.017. Alqaryan, S., Alkhalifa, M., Alharbi, M., Alabaishi, S., & Aldrees, T. (2016). Smartphones and professionalism : A cross-sectional study on interns and final-year medical students, (5), 198–202. France, D., Powell, V., Mauchline, A. L., Welsh, K., Park, J., Whalley, W. B., & Rewhorn, S. (2016). Ability of students to recognize the relationship between using mobile apps for learning during fieldwork and the development of graduate attributes. Journal of Geography in Higher Education, 8265(March), 1–11. https://doi.org/10.1080/03098265.2016.1154931 Hopkins, N., Tate, M., Sylvester, A., & Johnstone, D. (2016). Motivations for 21st century school children to bring their own device to school. Information Systems Frontiers, (Douglas 2011), 1–13. https://doi.org/10.1007/s10796-016-9644-z Jackson, E. A., Sc, B., Gardens, A., & Da, K. (2016). M-Learning devices and thier impact on postgraduate researchers scope for improved intergration in the research community. The Online Journal of New Horizons in Education, 6(1), 104–113. Jeno, L. M., Grytnes, J.-A., & Vandvik, V. (2017). The effect of a mobile-application tool on biology students’ motivation and achievement in species identification: A Self-Determination Theory perspective. Computers & Education, 107, 1–12. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2016.12.011 Kamarainen, A. M., Metcalf, S., Grotzer, T., Browne, A., Mazzuca, D., Tutwiler, M. S., & Dede, C. (2013). EcoMOBILE: Integrating augmented reality and probeware with environmental education field trips. Computers and Education, 68, 545–556. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2013.02.018 Li, Y., Guo, A., Ling Chin, C., & Lim, J.-H. (2016). A platform for creating Smartphone apps to enhance Chinese learning using augmented reality. Scientific Phone Apps and Mobile Devices. https://doi.org/10.1186/s41070-016-0007-4 Looi, C. K., Sun, D., Wu, L., Seow, P., Chia, G., Wong, L. H., & Norris, C. (2014). Implementing mobile learning curricula in a grade level: Empirical study of learning effectiveness at scale. Computers and Education, 77, 101–115. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2014.04.011 Marty, P. F., Alemanne, N. D., Mendenhall, A., Maurya, M., Southerland, S. A., Sampson, V., … Schellinger, J. (2013). Scientific inquiry, digital literacy, and mobile computing in informal learning environments. Learning, Media & Technology, 38(4), 407–428. https://doi.org/10.1080/17439884.2013.783596 Noguera, J. M., Jiménez, J. J., & Osuna-Pérez, M. C. (2013). Development and evaluation of a 3D mobile application for learning manual therapy in the physiotherapy laboratory. Computers & Education, 69, 96–108. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2013.07.007 Papadakis, S., Kalogiannakis, M., & Zaranis, N. (2017). Designing and creating an educational app rubric for preschool teachers. Education and Information Technologies, 1–19. https://doi.org/10.1007/s10639-017-9579-0 Perry, J., & Klopfer, E. (2014). UbiqBio: Adoptions and Outcomes of Mobile Biology Games in the Ecology of School. Computers in the Schools, 31(1/2), 43–64. https://doi.org/10.1080/07380569.2014.879771


208

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Shih, B.-Y., Chen, C.-Y., & Chen, Z.-S. (2006). An Empirical Study of an Internet Marketing Strategy for Search Engine Optimization. Human Factors and Ergonomics in Manufacturing, 16(1), 61–81. https://doi.org/10.1002/hfm So, S. (2016). Mobile instant messaging support for teaching and learning in higher education. The Internet and Higher Education, 31, 32–42. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2016.06.001 Su, C. H., & Cheng, C. H. (2015). A mobile gamification learning system for improving the learning motivation and achievements. Journal of Computer Assisted Learning, 31(3), 268–286. https://doi.org/10.1111/jcal.12088 Sung, Y.-T., Chang, K.-E., & Liu, T.-C. (2015). The Effects of Integrating Mobile Devices with Teaching and Learning on Students’ Learning Performance: A Meta-Analysis and Research Synthesis. Computers & Education, 94, 252–275. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2015.11.008 Thomas, R. L., & Fellowes, M. D. E. (2016). Effectiveness of mobile apps in teaching field-based identification skills. Journal of Biological Education, 9266(July), 1–8. https://doi.org/10.1080/00219266.2016.1177573 Zhai, X., Zhang, M., & Li, M. (2016). One-to-one mobile technology in high school physics classrooms: Understanding its use and outcome. British Journal of Educational Technology, 0(0). https://doi.org/10.1111/bjet.12539

BIOGRAFI PENULIS Iwan Setia Kurniawan, MPd Iwan Setia Kurniawan, MPd merupakan staf dosen di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pasundan, Bandung. Gelar SPd dan MPd diselesaikan masing-masing di Universitas Pasundan dan Universitas Pendidikan Indonesia. Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana UPI. Tema riset disertasi yang diambil adalah Aplikasi IT dalam perkuliahan Zoologi di bawah bimbingan Topik Hidayat, PhD.

Topik Hidayat, PhD Topik Hidayat, PhD merupakan staf dosen di Departemen Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Gelar Sarjana diraih tahun 1995di bidang Pendidikan Biologi, IKIP Bandung. Gelar Magister penulis diperoleh dari ITB Bandung di bidang Biologi (2001). Gelar Ph.D. diraih penulis pada tahun 2005 dari The University of Tokyo, Japan di bidang Botani. Minat riset meliputi biosistematik molekuler, biologi evolusi, biomarker, bioteknologi dan pendidikan Biologi.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

209

Budaya Ekologi Suku Talang Mamak Dalam Pengelolaan Hutan Mohd. Yunus Pusat Studi Lingkungan Hidup-Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru 28293, Riau, Indonesia email: mohdyunus@asia.com Abstrak Degradasi lingkungan yang terjadi selama ini bermuara kepada manusia, baik sebagai penyebab maupun sebagai penerima dampak. Kajian mengenai praktik-praktik berkelanjutan yang dilaksanakan dengan mengintegrasikan antara budaya dan ekologi mutlak diperlukan, salah satunya Suku Talang Mamak. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Talang Gedabu, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengungkap, menelaah dan memahami gejala-gejala dalam penelitian. Komponen pengelolaan meliputi: (a) perencanaan; (b) pemanfaatan; (c) pengendalian; (d) pemeliharaan; (e) pengawasan; (f) penegakan hukum. Budaya ekologi Suku Talang Mamak dalam pengelolaan hutan mengandung berbagai nilai-nilai yang meliputi pengetahuan lokal dalam aspek perencanaan. Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan. Pengendalian meliputi upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan melalui pantang larang dengan kendali pimpinan adat. Pemeliharaan meliputi upaya konservasi, pencadangan dan pelestarian hutan melalui sistem kerja gotong royong dan kepercayaan akan mitos dan adanya hukum adat yang mengatur tentang keberadaan tanah keramat. Kata kunci: Adat, Budaya ekologi, Pengelolaan hutan, Suku Talang Mamak

Abstract Environmental degradation that occurred during this time leads to humans, both as the cause and as the recipient of the impact. A study of sustainable practices implemented by integrating culture and ecology is absolutely necessary, one of which is Suku Talang Mamak. This research was conducted in Talang Gedabu Village, Rakit Kulim Sub-district, Indragiri Hulu Regency, Riau Province from October 2016 until January 2017. This research was conducted by survey method, interview, Focus Group Discussion (FGD) and literature study. Data obtained then analyzed descriptively to reveal, review and understand the symptoms in the study. Management components include: (a) planning; (b) utilization; (c) control; (d) maintenance; (e) supervision; (f) law enforcement. The ecological culture of Suku Talang Mamak in forest management contains various values that include local knowledge in the planning aspect. Utilization of forest resources is carried out by considering the sustainability, function, and productivity of forests. Control includes prevention, mitigation, and re-


210

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

covery through prohibition with the control of adat leaders. Maintenance includes conservation, reserve and forest conservation through a system of mutual cooperation and belief in the myth and the existence of customary law governing the existence of sacred land (tanah keramat). Keywords: Customs, Cultural ecology, Forest management, Talang Mamak

1

PENDAHULUAN

Kajian mengenai hubungan antara budaya dan lingkungan menjadi sangat penting untuk memahami dan menemukan solusi terhadap permasalahan kontemporer yang terjadi saat. Isu deforestasi (Margono et al 2014), hilangnya spesies (Jenkins et al, 2016; Uryu et al, 2008), kelangkaan sumber daya air (Fulazzaky, 2014), dan degradasi ekosistem gambut (Miettinen & Liew, 2010) berkaitan erat dengan manusia, baik sebagai penyebab maupun sebagai penerima dampak. Praktik-praktik pemanfaatan yang dilakukan selama ini jauh dari prinsip keberlanjutan. Kita perlu merenung dan menyadari bahwa kita memiliki posisi yang sama dengan alam, perpaduan antara fisik dan jiwa. Provinsi Riau merupakan wilayah yang di lingkupi suatu adat tradisi yang berkembang secara turun temurun. Salah satu suku yang tetap memegang teguh sistem tersebut adalah Suku Talang Mamak (Melalatoa, 1995). Interaksi yang sangat kuat dan lama antara masyarakat Suku Talang Mamak dengan lingkungannya memunculkan suatu budaya lokal yang sesuai dengan lingkungannya. Masyarakat Suku Talang Mamak menggantungkan hidupnya dari mengelola dan memanfaatkan hutan. Hutan menurut mereka berfungsi sebagai habitat warisan yang harus dipertahankan. Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi kelangsungan komunitas tersebut, sehingga berkembang budaya ekologi yang dijadikan pedoman dalam pengelolaan hutan. 2

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Talang Gedabu, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengungkap, menelaah dan memahami gejala-gejala dalam penelitian. Komponen pengelolaan meliputi: (a) perencanaan; (b) pemanfaatan; (c) pengendalian; (d) pemeliharaan; (e) pengawasan; (f) penegakan hukum. 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Budaya ekologi yang berkembang pada Suku Talang Mamak merupakan sistem nilai dan norma yang mengedepankan aspek keberlanjutan dan merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini terjadi karena ketergantungan mereka yang sangat tinggi terhadap sumber daya hutan. Pengelolaan hutan berbasis budaya ekologi ini merupakan warisan budaya yang menjunjung asas saling percaya, asas timbal balik serta norma umum lain yang merupakan unsur modal sosial yang diperlukan bagi kelangsungan suatu tatanan pengelolaan yang baik.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

211

Budaya ekologi Suku Talang Mamak dalam pengelolaan hutan dapat dibagi menjadi beberapa komponen, antara lain: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Budaya Ekologi Suku Talang Mamak Dalam Pengelolaan Hutan No. 1

Komponen Perencanaan

2

Pemanfaatan

3

Pengendalian

4

Pemeliharaan

5 6

Pengawasan Penegakan Hukum

Deskripsi Masyarakat Talang Mamak memiliki pengetahuan lokal (tata ruang lahan yaitu permukiman, perladangan, perkebunan dan tanah keramat dan kalender musim tradisional) Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan (sistem agroforestry) Adanya upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan melalui pantang larang dengan kendali pimpinan adat. Adanya upaya konservasi, pencadangan dan pelestarian hutan melalui sistem kerja gotong royong dan kepercayaan akan mitos Struktur dan fungsi pimpinan adat Hukum adat Talang Mamak mengatur tentang keberadaan tanah keramat

Masyarakat Suku Talang Mamak menganggap bahwa hutan beserta isinya bukan hanya sekadar sumber nafkah, tetapi juga menjadi sumber budaya dan simbol-simbol falsafah, bahkan menjadi “jati diri� dan “marwah�nya. Unsur budaya dan simbol-simbolnya menunjukkan bersatunya mereka dengan alam, yang mereka terjemahkan dengan berbagai ungkapan adat, upacara, dan tradisi. Perencanaan dan konsep dalam pengelolaan hutan berbasis budaya dapat dilihat dari tata guna lahan Suku Talang Mamak, yang meliputi permukiman, perladangan, perkebunan, dan tanah keramat. Tata guna ini didasarkan pada pengaturan hak, nilai penting sejarah dan budaya, sifat ekologis serta pemanfaatan ekonomi dan spiritual. Keberadaan hutan dengan status seperti tanah keramat di Suku Talang Mamak ini kerap dijumpai di daerah lain, seperti hutan keramat Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat (Wadley & Colfer, 2004), masyarakat Baduy di Banten (Senoaji, 2004), Ethiopia (Woods et al, 2017), dan India (Ormsby & Bhagwat, 2010). Kawasan hutan ini memiliki daya akses minimal, sehingga gangguan terhadap struktur dan fungsi ekosistemnya dapat dicegah. Hal ini penting, mengingat fungsi hutan sebagai penunjang produktivitas mereka dan habitat warisan yang harus dipertahankan. Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan. Salah satu upaya yang dilakukan Suku Talang Mamak adalah membuat kebun campuran dengan tanaman hutan, atau dalam istilah ilmiah disebut agroforestry. Kebun campuran ini terbentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar. Pada awal musim hujan, lahan ditanami padi yang disisipi tanaman semusim lainnya (misalnya


212

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

jagung, ubi, mentimun dan cabai). Setelah itu, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet atau tanaman keras lainnya. Pada saat pohon sudah dewasa, masyarakat Suku Talang Mamak memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya. Tumbuhan asli asal hutan yang bermanfaat tetap dibiarkan kembali tumbuh secara alami, dan dipelihara di antara tanaman utama. Integrasi antara perladangan, perkebunan dan hutan pada sistem agroforestry memungkinkan terjadinya berbagai interaksi positif, antara lain: (a) daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyediaan hara yang berguna bagi tanaman semusim; (b) akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (Rowe et al, 1998; Suprayogo et al, 2010); (c) menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada musim kemarau mengurangi risiko kebakaran karena kelembaban yang lebih terjaga; (d) menjaga kestabilan iklim mikro (mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial); (e) mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah, sehingga dapat mengurangi bahaya erosi (Atangana et al, 2014). Hampir seluruh aspek kehidupan Suku Talang Mamak selalu berkaitan dengan hasil hutan, baik untuk kebutuhan primer seperti pangan dan tempat tinggal maupun kebutuhan sekunder seperti anyaman, perkakas dan ritual adat. Berbagai sumber daya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Talang Mamak ini dihasilkan dari tanah keramat dan lahan bera, yaitu lahan pertanian yang sedang tidak ditanami pada periode tertentu, dengan tujuan mengembalikan kesuburannya. Sebagian besar pemanfaatan hanya bersifat subsisten (dipergunakan hanya untuk keperluan sehari-hari). Hal ini secara tidak langsung akan menjamin keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan. Karena tidak terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan. Pengendalian dalam pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Talang Mamak melibatkan semua komponen masyarakat dan pimpinan adat. Pengendalian ini dipimpin oleh Batin dan jajarannya. Batin memegang peranan penting seperti dalam ungkapan berikut “menjernihkan yang keruh, menyelesaikan yang kusut, meluruskan yang bengkok, menarah yang berbongkol, mengampelas yang kesat�. Sebelumnya, yang memegang peranan penting dalam adat adalah Patih, namun pada pewarisan selanjutnya, setelah generasi ketiga (cucu Datuk Perpatih nan Sebatang), terjadi perubahan di mana pola kepemimpinannya diwariskan tidak melalui anak lagi, melainkan melalui jalur keponakannya, maka gelar tertinggi pemimpin tidak lagi Patih melainkan berubah menjadi Batin. Batin yang ada di komunitas Talang Mamak sekitar 29 orang, diantaranya Gajian (Batin Gedabu), Irasan (Batin Paret) dan Iskandar (Batin Pejangki). Upaya pencegahan seperti dilarang menebang pohon yang sedang berbunga dan berbuah, pohon yang jenisnya tinggal sedikit dan pohon sialang. Hal ini didasari kesadaran mereka bahwa segala sumber daya hutan ini merupakan titipan leluhur dan akan diwariskan kepada keturunan mereka. Upaya penanggulangan seperti pantang larang dalam berladang yang sebagian besar menggunakan lahan di areal hutan, pembukaan dan pemanfaatan lahan harus meminimalisir terjadinya kerusakan. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya perladangan yang merupakan inti budaya mereka.


213

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Perkakas dan peralatan yang digunakan masyarakat Suku Talang Mamak dalam bekerja telah dirancang dan digunakan dengan sudut pandang yang berwawasan alam. Perkakas dan peralatan yang digunakan seperti beliung (untuk menebang), kampak (untuk membelah), parang (untuk menebas), tajak (untuk menyiang), sabit (untuk memotong rumput) dan tembilang (untuk menggali). Perkakas dan peralatan ini tidak ada yang berpotensi merusak lingkungan, sebab kemampuan daya jangkaunya yang sangat sederhana dan ditentukan oleh tenaga manusia yang menggunakannya.

(a)

(b)

Gambar 1. Pemanfaatan (a) melambas (b) sistem kerja basolang menugal

Mitos yang terkait pengelolaan hutan dapat dilihat dari berbagai ritual yang mereka laksanakan seperti melambas untuk membuka lahan, yaitu membakar kemenyan dan meletakkan sajian di lokasi yang akan dibersihkan dan dibiarkan selama tiga hari. Jika sajian tetap utuh, maka tandanya diperbolehkan untuk membersihkan lahan. Mitos juga mengiringi kelestarian berbagai jenis pohon sialang, jenis pohon ini sangat dilindungi bahkan seringkali dipercaya sebagai tempat keramat. Masyarakat Suku Talang Mamak percaya bahwa hanya pohon-pohon yang ada “penunggu”nya (yang dihuni makhluk halus) yang akan di datangi lebah untuk membuat sarang, “penunggu” itulah yang melindungi sarang-sarang lebah dari gangguan. Oleh karena itu, ketika masyarakat Suku Talang Mamak melaksanakan kegiatan menjumbai (pemanenan madu), harus mendapat izin pimpinan adat dan pelaksanaannya dipimpin oleh juagan. Dalam praktik pengerjaan ladang, Suku Talang Mamak selalu bergotong royong, di dalam istilah mereka disebut dengan Basolang menugal yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat pada awal pembukaan lahan sampai selesai. Masyarakat Suku Talang Mamak berpegang teguh pada adat istiadat dan tradisi leluhur dalam mengelola hutan sebagai sumber kehidupan. Suku Talang Mamak memiliki pemimpin yang disebut Batin, Batin dan jajarannya bertindak sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan menentukan segala peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Gelar Batin diwariskan kepada kemenakan atau cucu yang memiliki tanda-tanda atau disebut “pulai berpangkat naik, tinggal ruas dengan buku, manusia berpangkat turun, tinggal aras dan pepatah, yang bertunas tabu itam, aur tumbuh dimatonyo, karambia tumbuh dijurungnya”, maksudnya orang yang menjadi pewaris gelar tersebut sudah dapat dilihat dari ciri-ciri pribadinya dan


214

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

tidak setiap orang bisa menjadi Batin. Sistem nilai Suku Talang Mamak bertumpu kepada adat dan resam (tradisi). Adat dilindungi oleh lembaga adat yang dipimpin oleh Batin dengan jajaran Ketua Adat yang membantunya. Adat yang sudah diwariskan secara turun temurun ini terdiri dari norma dan sanksi dan dilaksanakan dengan asas “berjenjang naik bertangga turun�. Maksudnya, tiap perkara harus lebih dahulu diselesaikan di lapisan kekuasaan yang paling bawah/rendah. Jika tidak selesai, maka dilanjutkan ke jenjang di atasnya. Kepemilikan bersama (common property) tidak serta merta membuat sumber daya hutan memiliki akses yang terbuka. Lembaga adat Suku Talang Mamak memenuhi prasyarat mendasar mengenai pengelolaan sumber daya alam milik bersama yang dirumuskan oleh Ostrom (1990) yaitu: (1) tapal batas yang jelas; (2) aturan mengenai pengelolaan sesuai dengan kondisi setempat dan (3) sejumlah sanksi diterapkan jika ada pelanggaran aturan. Hukum adat Suku Talang Mamak menjelaskan bahwa untuk memutuskan sesuatu harus melalui musyawarah dan mufakat oleh pimpinan adat yang berhak untuk menolak atau menerima suatu putusan, dan inilah yang disebut dalam ungkapan adat "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah". Setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji kebenarannya, adil, patut atau pantas, sehingga pemimpin tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, maka seorang pemimpin/penguasa yang adil dan patut atau pantas dalam memutuskan disebutkan dalam adat "kalau bulat dapat digulingkan, pipih dapat dilayangkan, putih berkeadaan, merah dapat dilihat, panjang dapat diukur, berat dapat ditimbang". Hukum adat diberlakukan sangat ketat dan berlaku tetap (tidak turun tidak naik). Hukum adat Suku Talang Mamak berupa aturan tertulis dan verbal (petatah petitih). Masyarakat yang melakukan perusakan hutan seperti penebangan, pembukaan lahan maupun perburuan hewan liar secara berlebihan akan dilakukan penindakan dan diproses secara bertingkat mulai dari tingkat desa sampai tingkat adat. Hukum adat Suku Talang Mamak mengatur tentang keberadaan tanah keramat, bagi yang mengambil hasil hutan atau menebang pohon akan dikenakan denda yang disebut pancung alas. 4

KESIMPULAN DAN SARAN

Budaya ekologi Suku Talang Mamak dalam pengelolaan hutan mengandung berbagai nilainilai yang meliputi pengetahuan lokal dalam aspek perencanaan. Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan. Pengendalian meliputi upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan melalui pantang larang dengan kendali pimpinan adat. Pemeliharaan meliputi upaya konservasi, pencadangan dan pelestarian hutan melalui sistem kerja gotong royong dan kepercayaan akan mitos dan adanya Hukum adat Talang Mamak yang mengatur tentang keberadaan tanah keramat. Budaya ekologi STM ini merupakan warisan yang harus kita lestarikan, kita bisa mengambil pelajaran dari nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya untuk kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyadari bahwa keserakahan telah menyengsarakan kita semua, egosentrisme telah membuat kita lupa dan “membelakangi� alam. Dalam tataran teknis, kita perlu melakukan revitalisasi terhadap berbagai budaya ekologi yang tersebar di Indonesia. Database kearifan lokal, etnoekologi, etnobotani, dan aspek


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

215

terkait lainnya bisa dimanfaatkan untuk menyarikan praktik-praktik terbaik dalam mengelola lingkungan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. DAFTAR REFERENSI Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Ecological Interactions and Productivity in Agroforestry Systems. In Tropical Agroforestry (pp. 151–172). Dordrecht: Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-94-007-7723-1_7 Fulazzaky, M. A. 2014. Challenges of Integrated Water Resources Management in Indonesia. Water, 6(7), 2000–2020. https://doi.org/10.3390/w6072000 Jenkins, C. N., Vijay, V., Pimm, S. L., Jenkins, C. N., & Smith, S. J. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss, (October), 1–19. https://doi.org/10.5061/dryad.2v77j Margono, B. A., Potapov, P. V, Turubanova, S., Stolle, F., & Hansen, M. C. 2014. Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change, 4(June), 1–6. https://doi.org/10.1038/NCLIMATE2277 Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal 817-819 Miettinen, J., &Liew, S. C. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in Sumatra and Kalimantan. AMBIO: A Journal of the Human Environment, 39(5–6), 394–401. https://doi.org/10.1007/s13280-010-0051-2 Ormsby, A. A., &Bhagwat, S. A. (2010). Sacred forests of India: a strong tradition of communitybased natural resource management. Environmental Conservation, 37(3), 320–326. https://doi.org/10.1017/S0376892910000561 Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Political Economy of Institutions and Decisions. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/DOI: 10.1017/CBO9780511807763 Rowe, E. C., Hairiah, K., Giller, K. E., Van Noordwijk, M., & Cadisch, G. (1998). Testing the safetynet role of hedgerow tree roots by 15N placement at different soil depths. Agroforestry Systems, 43(1), 81–93. https://doi.org/10.1023/A:1022123020738 Senoaji, G. (2004). Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten Selatan. Manusia Dan Lingkungan, XI(3), 143–149. Suprayogo, D., Hairiah, K., Noordwijk, M. Van, & Cadisch, G. (2010). Agroforestry Interactions in Rainfed Agriculture : Can Hedgerow Intercropping Systems Sustain Crop Yield on an Ultisol in Lampung ( Indonesia )? Agrivita, 32(3), 205–216. Uryu, Y., Mott, C., Foead, N., Yulianto, K., Budiman, A., Takakai, F., …Stüwe, M. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia. WWF Indonesia Technical Report. Jakarta. Retrieved from http://assets.panda.org/downloads/riau_co2_report__wwf_id_27feb08_en_lr_.pdf Wadley, R. L., &Colfer, C. J. P. (2004). Sacred Forest, Hunting, and Conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology, 32(3), 313–338. https://doi.org/10.1023/B:HUEC.0000028084.30742.d0 Woods, C. L., Cardelús, C. L., Scull, P., Wassie, A., Baez, M., &Klepeis, P. (2017). Stone walls and


216

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 sacred forest conservation in Ethiopia. Biodiversity and Conservation, 26(1), 209–221. https://doi.org/10.1007/s10531-016-1239-y

BIOGRAFI PENULIS Mohd. Yunus, S. Pd MOHD. YUNUS lahir di Sei. Gergaji, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau pada tanggal 05 Januari 1992. Ia menempuh pendidikan S-1 di Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Riau (2010-2014).Setelah lulus, ia bekerja sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup, LPPM Universitas Riau (2014sekarang). Penulis memiliki perhatian terhadap penelitian dengan tema kebijakan lingkungan, khususnya pengelolaan hutan. Berbagai tulisannya telah dipublikasikan di dalam buku, jurnal ilmiah, dan prosiding. Penulis juga pernah mengikuti berbagai seminar dan konferensi di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Penulis juga terlibat di dalam berbagai organisasi profesi dan keahlian, seperti Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia, Himpunan Pendidik dan Peneliti Biologi Indonesia, World Association for Scientific Research and Technical Innovation (WASRTI), dan Global Association for Humanities and Social Science Research (GAHSSR)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

217

Pemetaan Bangunan Tiga Dimensi Untuk Pemodelan Jalur Evakuasi Darurat Debby Nurliza Ulhaq1, Budhy Soeksmantono2, Ketut Wikantika2 1

Teknik Geodesi dan Geomatika, Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Institut Teknologi Bandung 2

Centre for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung

1

derlizau@gmail.com, 2budhy4771@gmail.com, 2wikantika.ketut@gmail.com Abstrak

Mitigasi bencana merupakan salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan terutama dalam konstruksi bangunan karena hal tersebut cukup rumit terlebih apabila dikaitkan dengan fakta tidak adanya informasi yang dapat digunakan untuk orang-orang menyelamatkan diri mereka sendiri. Maka dari itu, makalah ilmiah ini memperkenalkan mengenai network analysist untuk rute evakuasi darurat yang bertujuan untuk mencari rute terbaik menuju tempat aman seperti titik berkumpul tergantung pada situasi terkini. Pembuatan keputusan berdasarkan rute yang tepat akan dipilih berdasarkan kategori usia korban dan kondisi saat bencana terjadi, sehingga dapat mengurangi dampak buruk yang akan muncul. Algoritma Dijkstra menunjukan suatu algoritma perncarian rute terpendek antara gedung dan titik berkumpul dengan menghubungkan keduanya melalui data jalan. Model rute evakuasi ini dibentuk dengan menggunakan kombinasi antara model bangunan tiga dimensi yang dibangun dari data LiDAR, orthophoto, dan data lainnya yang berkaitan dengan pemodelan. Bangunan tiga dimensi dapat digunakan dalam manajemen bencana dan respon darurat karena dapat menyediakan informasi penting seperti lokasi bangunan. Evaluasi dari model yang diajukan meningkatkan kemampuan penyelamatan diri sendiri yang mengarah pada berkurangnya dampak buruk yang akan terjadi. Kata kunci: Evakuasi Darurat, Algoritma Dijkstra, LiDAR, pemodelan bangunan 3D

Abstract Mitigation is an important thing to be considered especially in building construction because it is quite complicated due to the fact that much of the information is unavailable for people to rescue themselves. Hence, this paper introduces about network analysis for evacuation emergency route which aims at finding the best route to the secured place such as the closest assembly point depends on the situation. Thus, decision making regarding the proper route to be chosen depends of the victim age category and current condition to minimize impact that can be generated. Dijkstra’s Algorithm is presented an algorithm for finding the shortest paths between building and assembly point by linking them through road data. This emergency evacuation route model is constructed by combining with three dimensional building model which constructed by using LiDAR data, orthophoto, and the other related


218

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

data. Three dimensional geo data can be used in disaster management and emergency response because they may provide valuable information such as location of the building. The evaluation of the proposed model for a case study building improve self-sustaining which lead to chances of less adverse effects can appear. Keywords: Emergency Evacuation, Dijkstra’s Algorithm, LiDAR, 3D building model 1. PENDAHULUAN Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi kerugian baik properti maupun hilangnya nyawa dengan mengurangi dampak bencana, untuk mengurangi kerugian tersebut dilakukan analisis risiko, pengurangan risiko, dan pemastian penanggulangan risiko. Penting untuk diketahui bahwa bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja dan jika persiapannya tidak baik, ini akan berakibat fatal (FEMA, 2017). Maka dari itu, mitigasi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan terutama dalam pembangunan gedung karena cukup rumit dan berdasarkan fakta banyak informasi yang tidak tersedia bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri. Pengembangan infrastruktur bangunan merupakan indikator yang mengindikasikan bahwa bangunan mengalami peningkatan dalam hal kualitas dan juga harus didukung dengan perencanaan mitigasi yang lebih baik seperti pemodelan rute evakuasi darurat, oleh karena itu dampak pengembangan infrastruktur terhadap keselamatan masyarakat dapat diatasi (Tang et al., 2014). Hal tersebut dikarenakan walaupun sudah banyak penelitian yang mengkaji terkait evakuasi dalam bangunan, tidak hanya model evakuasi yang menyediakan informasi penting yang diabaikan, namun juga tidak seluruh orang mengetahui posisi mereka dan harus kemana saat bencana terjadi, terlebih miskomunikasi sering terjadi. Maka dari itu rute evakuasi ini diharapkan dapat membantu orang-orang mengevakuasi diri mereka menuju tempat aman dengan cepat karena faktanya kurangnya manajemen waktu dapat mengurangi kemampuan persiapan untuk bertindak cepat saat bencana terjadi (Tashakkori dkk. 2016), serta rute evakuasi tersebut dapat pula digunakan oleh regu penyelamat untuk mengevakuasi korban, sehingga hal tersebut dapat membuat evakuasi berjalan lebih cepat dan kesempatan untuk menyelamatkan lebih banyak korban akan meningkat (Tashakkori dkk. 2015). Model bangunan 3D dapat digunakan dalam manajemen bencana dan tanggap darurat karena dapat memberikan informasi yang berguna. Berdasarkan keuntungan penggunaan model bangunan 3D untuk pemodelan rute evakuasi darurat, makalah ilmiah ini diharapkan dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait dengan sistem pengembangan mitigasi atau mungkin dapat menjadi salah satu solusi yang disarankan untuk memodelkan masalah rute evakuasi darurat. 2. METODE DAN DATA Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan 3D bangunan dengan menggunaka data LiDAR. Data LiDAR tersebut diklasifikasikan menjadi titik ground dan bangunan, lalu selanjutnya dilakukan pemodelan bangunan 3D dengan bantuan ortofoto. Bangunan hasil pemodelan 3D selanjutnya dikombinasikan dengan data jalan, titik berkumpul, kategori usia, dan Digital Terrain Model (DTM) untuk memodelkan rute


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

219

evakuasi darurat menggunakan Algoritma Dijkstra. Alur dari metodologi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penelitian


220

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

2.1Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sensor aktif yang memancarkan pulsa laser dan mengukur waktu dari dipancarkannya pulsa hingga kembalinya pulsa tersebut kepada sensor menggunakan jam dengan akurasi sangat tinggi. Ketika laser dipantulkan oleh target, posisi horizontal dan vertikal dari laser dikunci dan koordinat vertikal akan dikoreksi selanjutnya. Prinsip kerja dari LiDAR sendiri adalah pulsa akan dikirimkan menuju objek dan waktu akan direkam dengan jam presisi, ketika pulsa mengenai objek maka pulsa akan dipantulkan balik menuju sensor dan selang waktu tersebut akan digunakan untuk menghitung jarak miring dari objek menuju sensor karena pemancaran pulsa menggunakan kecepatan yang konstan yaitu kecepatan cahaya, lalu akan dikonversikan menjadi jarak vertikal dengan bantuan Inertival Navigation System (INS). Jarak vertikal akan digunakan untuk mengoreksi koordinat Z dari GPS. Prinsip kerja dari LiDAR ditunjukan pada Gambar 2. Pulsa-pulsa hasil pantulan dari targetlah yang disebut dengan point clouds.

Gambar 2. Ilustrasi prinsip kerja LiDAR (Source: LIDAR.ihrc.fiu.edu)

Sistem laser dapat mengakuisisi data siang dan malam dan dapat melakukan pengukuran pada area apapun selama cahaya dapat menembus area tersebut. Secara teori, LiDAR dapat digunakan selama 24 jam setiap harinya, namun LiDAR tidak dapat digunakan diatas awan yang tertutup oleh kabut, asap, hujan, dan badai salju. Kualitas dari sebaik apa representasi objek bergantung kepada resolusi. Resolusi LiDAR menunjukan jumlah pulsa per satuan meter persegi (densitas point cloud), semakin tinggi jumlah point clouds per satuan unit area maka semakin tinggi resolusi yang dihasilkan begitu pula sebaliknya. Laser scanner, Global Positioning System (GPS), dan Inertial Navigation System (INS) merupakan tiga komponen utama dari Airborne Laser Scanner (ALS). Laser scanner dipasang di pesawat, helikopter, atau satelit dan memancarkan pulsa menuju objek di permukaan bumi. INS digunakan untuk mengoreksi pergerakan wahana yaitu pitch, roll, dan yaw. Sehingga ketelitian dari koordinat masing-masing tinggi (koordinat Z) sangat dipengaruhi oleh seberapa teliti GPS dan INS.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

221

Perbedaan waktu antara waktu pemancaran pulsa dan kembalinya pulsa tersebut pada sensor akan dihitung menggunakan perangkat lunak khusus untuk mengonversi data tersebut menjadi jarak terukur (Center, 2012) dengan formula (1): D = c. Δt/2

(1)

dimana D = jarak antara objek dan sensor di wahana; c= kecepatan cahaya (3x10 8m/s); t= total waktu tempuh. 2.2Model Permukaan Digital Surface Model (DSM) yang sering disebut sebagai model permukaan bumi yang mencakup fitur medan, bangunan, vegetasi, dan saluran listrik dll, oleh karena itu DSM dapat merepresentasikan topografi dari permukaan bumi. Sedangkan, Digital Terrain Model (DTM) digunakan untuk mewakili permukaan terrain dari bumi atau permukaan tanah. DTM merupakan representasi statistik permukaan kontinu tanah dari sekumpulan besar titik yang terpilih dengan koordinat x, y, z dengan referensit tertentu (Kennie dan Petrie, 1990). Perbedaan antara DSM dan DTM dalam merepresentasikan objek di lapangan dapat dilihat pada Gambar 3. DSM merepresentasikan seluruh objek di atas permukaan tanah sedangkan DTM hanya merepresentasikan permukaan tanah saja.

Gambar 3. Ilustrasi dari DSM dan DTM (Source: http://www.uav-indonesia.com)

2.3Data dan Wilayah Studi Wilayah studi terletak di Institut Teknologi Bandung, Lebak Siliwangi, Coblong Jawa Barat, Indonesia seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 4, Gambar 4 menunjukkan data ortofoto daerah studi dengan format .ecw. Data diperoleh dari PT Karvak Nusa Geomatika yang diakuisisi pada bulan Mei 2013 dengan format .las, data terdiri dari titik mentah awan yang berarti belum diklasifikasikan. Kepadatan titik adalah Âą 2-3 points/ m2.


222

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1.Spesifikasi data LiDAR dan koordinat area penelitian Koordinat Area Penelitian 6° 53' 34.44" S 107° 36' 39.6"E Spesifikasi Data PT Karvak Nusa Geomatika ¹ 2-3 points/m2 Mei 2013 2.534.054 points WGS84 Meters 33,06 Hectare meter

Lintang Bujur Sumber data Densitas titik Waktu akuisisi Jumlah titik Datum Satuan Luas Rata-rata elevasi (ellipsoid)

Gambar 4. Data orthofoto dari area studi

2.4 Pengolahan Data LiDAR Pengolahan data LiDAR terdiri dari dua tahapan pengolahan utama yaitu klasifikasi titik dan pemodelan bangunan 3D. Pengolahan tersebut dijelaskan sebaagai berikut: a. Klasifikasi point clouds Klasifikasi terbagi menjadi dua jenis yaitu klasifikasi semi otomatis dan manual. Klasifikasi semi otomatis dilakukan oleh perangkat lunak karenanya diperlukan input parameter. Klasifikasi semi otomatis memiliki kekurangan yaitu dapat terjadi kesalahan dalam pengklasifikasian titik sesuai kelas yang seharusnya, maka harus dilakukan klasifikasi manual. Klasifikasi manual dilakukan untuk memastikan bahwa setiap titik telah masuk ke dalam kelas yang seharusnya. Klasifikasi ground harus dilakukan pertama kali sebagai acuan dari klasifikasi bangunan. Hasil dari klasifikasi ground dan bangunan ditunjukan oleh Gambar 5.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

223

(a). Hasil klasifikasi ground

(b) Hasil klasifikasi bangunan

Gambar 5. Hasil klasifikasi (a) ground dan (b) bangunan

b. Model bangunan 3D Proses utama yang dilakukan dalam pembentukkan model bangunan tiga dimensi adalah dengan interseksi dari muka bidang, yang memiliki rangkain proses pendeteksian dari muka bidang atap, interseksi dari muka atap, penentuan kerangka atap (Maas dan Vosselman, 1999). Pendeteksian yang digunakan dengan menentukan cluster dari setiap muka bidang. Proses clustering didasarkan pada pembentukan dari TIN pada bidang atap. Semua TIN yang merupakan bagian dari muka atap yang sama merupakan sekelompok bidang yang sama, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.


224

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 6. Clustering dan menghubungkan komponen dengan menggunakan TIN (Maas dan Vosselman, 1999)

Terdapat dua garis besar dalam interseksi antar muka, yang pertama adalah menyatukan perpotongan tepi atap yang berada pada cluster berbeda dan tepi yang perpotongan langsung dengan objek yang lain atau biasa disebut kerangka atap. Untuk menggabungkan persimpangan antara tepi atap pada setiap cluster, persimpangan yang berisi titik yang terletak pada batas antar kelompok harus didefinisikan terlebih dahulu. Dari titik batas yang berada di tepi cluster akan terhubung ke cluster berikutnya. Setelah semua cluster saling terhubung satu sama lain, formasi rangka atap dilakukan dan karena diasumsikan bahwa tembok tersebut terletak persis di persimpangan antara atap tepi dan ujung tanah, model bangunan tiga dimensi sudah selesai. Proses pembentukan rangka atap ditunjukkan pada Gambar 7, pada bagian kiri saat atap sudah terhubung, bagian tengah pada saat pendekatan dengan aproksimasi titik tepi, dan bagian kanan setelah dilakukan penghalusan titik kerangka atap menggunakan metode perataan kuadrat terkecil.

Gambar 7. Ilustrasi aproksomasi pembentukan model atap (tampak atas) (Maas dan Vosselman, 1999)

2.5 Algoritma Dijkstra Algoritma Dijkstra adalah algoritma untuk mencari jalur terpendek antara node dalam grafik dengan nilai positif, yang dapat mewakili, misalnya jaringan jalan. Untuk sumber node dalam grafik, algoritma menemukan jalur terpendek antara node tersebut dan lainnya (Mehlhorn & Sanders, 2008) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Ini juga dapat


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

225

digunakan untuk menemukan jalur terpendek dari node tunggal ke node tujuan tunggal dengan menghentikan algoritma setelah jalur terpendek ke node tujuan yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, algoritma ini digunakan untuk menentukan rute terpendek (rute evakuasi darurat) antara satu bangunan dan titik berkumpul terdekat. Jika node mewakili bangunan dan titik berkumpul dan garis mewakili jarak dan waktu antara bangunan dan titik berkumpul yang dihubungkan oleh jalan (garis) secara langsung.

Gambar 8. Contoh pencarian rute dengan menggunakan Algoritma Dijkstra (Sumber: Wikipedia.com)

Algoritma Dijkstra akan menetapkan beberapa nilai jarak awal dan akan mencoba memperbaikinya secara bertahap. Langkah-langkah dari algoritma Dijkstra sendiri ialah sebagai berikut: 1. Tetapkan nilai jarak tentatif dari setiap node: set ke nol untuk node awal dan tak terhingga untuk semua node lainnya. 2. Tetapkan node awal sebagai node terkini. Tandai semua node lain yang belum dikunjungi. Buat satu set node-node yang belum dikunjungi sebagai himpunan yang belum dikunjungi. 3. Untuk node terkini, pertimbangkan semua node tetangganya dan hitung jarak tentatifnya. Bandingkan jarak tentatif yang baru dihitung dengan nilai yang ditetapkan saat ini dan tetapkan yang lebih kecil. Misalnya, jika node terkini bernilai 3 ditandai dengan jarak 9, dan garis yang menghubungkannya dengan node tetangga 6 memiliki panjang 2, maka jarak ke 6 (sampai 3) akan menjadi 9 + 2 = 11. Jika sebelumnya node 6 ditandai dengan jarak yang lebih besar dari 11 maka ubah menjadi 11. Jika tidak, simpan nilai saat ini.. 4. Ketika telah selesai menentukan node lanjutan dari node terkini, tandai node lanjutan tersebut menjadi node terkunjungi dan hapus node tersebut dari himpunan node belum terkunjungi. 5. Jika node tujuan telah ditandai dikunjungi (saat merencanakan rute antara dua node tertentu) atau jika jarak tentatif terkecil diantara node dalam himpunan yang tidak dikunjungi tidak terhingga (saat merencanakan traversal yang lengkap; terjadi bila


226

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

tidak ada hubungan antara node awal dan node yang belum dikunjungi), maka berhenti. Sebuah algoritma telah selesai. 6. Jika tidak, pilih node yang belum dikunjungi yang ditandai dengan jarak tentatif terkecil, tetapkan sebagai "node terkini" baru, dan kembali ke langkah 3. 2.6 Uji Cooper Uji Cooper adalah tes kebugaran fisik dan dirancang oleh Kenneth H. Cooper pada tahun 1968 untuk penggunaan militer AS (Cooper, 1969). Tes ini dimaksudkan untuk mengukur kondisi orang yang menjalani tes tersebut dan oleh karena itu seharusnya dijalankan dengan kecepatan tetap. Uji Cooper yang digunakan adalah 2,4 km lari dengan interpretasi tabel hasil ditunjukkan pada Tabel 2. Hasilnya akan digunakan sebagai kategori umur untuk parameter waktu kedatangan dalam analisis jaringan. Kategori umur dibagi menjadi 6 kelas (kategori usia A hingga kategori usia F) dan untuk kebutuhan perhitungan, nilai yang digunakan adalah kategori wanita dengan klasifikasi very poor karena untuk evakuasi darurat diasumsikan bahwa waktu kedatangan menunjukkan waktu terakhir untuk mengevakuasi orang sehingga digunakan klasifikasi terlama dan untuk faktor keamanan. Tabel 2. Cooper 2.4 km uji coba dengan unit menit dan detik (Sumber: http://www.topendsports.com) A (..’..�) (13-19 y.o)

B (..’..�) (20-29 y.o)

Very Poor Poor Average Good Very Good Excellent

>15 31 12 11 -15 30 10 49-12 10 09 41-10 48 08 37 -09 40 <08 37

>16 01 14 01-16 00 12 01-14 00 10 46-12 00 09 45-10 45 <09 45

Very Poor Poor Average Good Very Good Excellent

>18 31 16 55-18 30 14 31-16 54 12 30-14 30 11 50-12 29 <11 50

>19 01 18 31-19 00 15 55-18 30 13 31-15 54 12 30-13 30 <12 30

Klasifikasi

Pria C (..’..�) (30-39 y.o) >16 31 14 45 -16 30 12 31-14 45 11 01-12 30 10 00-11 00 <10 00 Wanita >19 31 19 01-19 30 16 31-19 00 14 31-16 30 13 00-14 30 <13 00

D (..’..�) (40-49 y.o)

E (..’..�) (50-59 y.o)

F (..’..�) (>60 y.o)

>17 31 15 36-17 30 13 10-15 35 11 31-13 00 10 30-11 30 <10 30

>19 01 17 01-19 00 14 31-17 00 12 31-14 30 11 00-12 30 <11 00

>20 00 19 01-20 00 16 16-19 00 14 00-16 15 11 15-13 59 <11 15

>20 01 19 31-20 00 17 31-19 30 15 56-17 30 13 45-15 55 <13 45

>20 31 20 01-20 30 19 01-20 00 16 31-19 00 14 30-16 30 <14 40

>21 01 21 31-21 00 19 31-20 30 17 31-19 30 16 30-17 30 <16 30

Untuk kebutuhan perhitungan, nilai waktu pada Tabel 2 harus diubah menjadi kecepatan dengan menggunakan persamaan (2) dan hasil kecepatan setiap kategori umur ditunjukkan pada Tabel 3.

đ?‘?=

đ?‘‘ đ?‘Ą

(2)

Dimana c = kecepatan (meter / menit), d = jarak (2,4 km = 2400 meter), dan t = waktu (menit).


227

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 3. Hasil kecepatan setiap kategori umur Kategori Usia

A

B

C

D

E

F

Waktu (..'..") Waktu dalam desimal

18’31”

19’01”

19’31”

20’01”

20’31”

21’01”

18.51667

19.01667

19.51667

20.01667

20.51667

21.01667

kecepatan (m/min)

129.6130

126.2051

122.9718

119.9001

116.9781

114.1951

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 LiDAR Data Processing Result Hasil Klasifikasi Point Clouds Pada awalnya data point cloud LiDAR terklasifikasikan pada kelas default, baru selanjutnya diklasifikasikan menjadi kelas ground dan bangunan. Kelas default dari area penelitian ditunjukan pada Gambar 9.

Gambar 9. Data LiDAR area studi dalam kelas default

Hasil dari Pemodelan Bangunan 3D Setelah dilakukan klasifikaasi semi otomatis dan manual, dilakukan pemodelan bangunan 3D dengan menggunakan kelas bangunan. Input parameter untuk pemodelan 3D tergantung pada jenis bangunan pada area penelitian dan hasil dari pemodelan bangunan 3D (vektorisasi bangunan) ditunjukan pada Gambar 10.


228

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 10. Hasil dari vektorisasi bangunnan

Tidak seluruh hasil vektorisasi bangunan pada Gambar 10 serupa dengan bentuk asli bangunan tersebut, maka harus dilakukan pemeriksaan secara manual dari masing-masing bangunan dengan manual checking. Kesalahan tersebut dapat dikarenakan oleh densitas titik yang kurang memadai, klasifikasi titik yang tidak cukup detail, parameter yang tidak sesuai dengan karakteristik bangunan, dan lain lain. Pemeriksaan secara manual dapat dilakukan dengan bantuan ortofoto untuk interpretasi bangunan. Proses dari pemeriksaan manual dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Proses Manual checking dari model bangunan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

229

Pembuatan Digital Terrain Model (DTM) Sebelum pembuatan DTM, produksi Triangulated Irregular Network (TIN) harus dilakukan sebelumnya. TIN dibentuk untuk menghubungkan data point clouds pada kelas ground, point clouds tersebut membentuk jaringan segi tiga untuk merepresentasikan permukaan rupa bumi (terrain). Hasil dari pembuatan TIN ditampilkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil pembuatan TIN Hasil dari Tumpang Tindih DTM, Model Bangunan 3D, dan Ortofoto Hasil dari pembuatan DTM akan digunakan untuk proses tumpang tindih antara ortofoto dan model bangunan 3D. Tujuannya adalah untuk mengetahui kesesuaian antara model permukaan (terrain) dan model bangunan.Hasil dari tumpang tindih data dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.

Gambar 13. Hasil dari tumpang tindih antara model bangunan dan model permukaan


230

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 14. Hasil dari tumpang tindih data DTM, ortofoto, dan model bangunan 3D

3.2 Hasil Pemodelan Rute Evakuasi Darurat Hasil akhir dari pemodelan bangunan 3D terdiri dari 4 layer yaitu titik, polyline, poligon, dan multipatch seperti yang ditampilkan pada Gambar 15. Namun untuk pemodelan rute, layer yang digunakan adalah multipatch karena menunjukan dimensi padat dari model bangunan 3D. Layer tersebut digabungkan dengan data DTM, data jalan, kategori usia, dan data titik kumpul terdekat untuk digunakan pada pemodelan rute evakuasi darurat. Pemodelan rute evakuasi darurat menggunakan network analyst tool dengan metode Dijkstra Algoritma. Pada penelitian ini, pemodelan rute evakuasi didasari oleh parameter jarak (panjang) dan waktu yang berasal dari kategori usia. Hasil dari pemodelan rute evakuasi adalah rute evakuasi dan waktu kedatangan di titik berkumpul, hasil dari rute evakuasi sendiri dapat dilihat pada Gambar 16. Pada satu rute yang sama dapat dihasilkan waktu kedatangan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukan pada Tabel 4 dari rute pada Gambar 16.

(a) Model bangunan dengan layer lengkap


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(b) Model bangunan dengan multipatch layer Gambar 15. Model bangunan dengan layer (a) lengkap dan (b) multipatch

(a) Hasil rute evakuasi dalam visualisasi 2D

(b) Hasil rute evakuasi dalam visualisasi 3D Gambar 16. Hasil rute evakuasi dalam visuaslisasi (a) 2D and (b) 3D

231


232

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 4. Waktu kedatangan berdasarkan kategori usia pada rute yang sama Kategori Usia Waktu kedatangan Akumulasi waktu (min)

A (13-19 tahun)

B (20-29 tahun)

C (30-39 tahun)

D (40-49 tahun)

E (50-59 tahun)

F (>60 tahun)

08:05:43 AM

08:05:52 AM

08:06:01 AM

08:06:11 AM

08:06:20 AM

08:06:29 AM

5.716641

5.869767

6.023073

6.1773799

6.331685

6.48599

3.3 Pembahasan Pada penelitian ini, densitas point clouds yang digunakan adalah 2 points/m2 , sedangkan untuk pemodelan bangunan 3D yang lebih detail atau pemodelan vegetasi densitas yang harus digunakan berada pada rentang 5-6 points/m2 (Vosselman dan Dijkman, 2001). Hal tersebut dikarenakan semakin rapat densitas point clouds yang digunakan maka semakin detail model yang dapat direpresentasikan sesuai dengan model asli di lapangan, terlebih dalam mengidentifikasi batas di sekitar bangunan atau vegetasi tinggi. Untuk menjaga kualitas dari hasil pemodelan, harus digunakan data tambahan yang dapat memudahkan dalam interpretasi objek seperti ortofoto dari daerah penelitian. Dalam pemodelan bangunan 3D terdapat kesulitan dalam pemodelan atap berbentuk kurva karena belum ada persamaan yang cukup baik dalam mendeskripsikan atap kurva terutama di area perkotaan, terkecuali geometri standar seperti silinder, kerucut, dan bola. Hingga sekarang belum ada solusi otomatis yang dapat digunakan, sehingga solusi satu-satunya adalah melakukan pemeriksaan secara manual (HUANG, 2013). Penggunaan data jalan harus sangat memerhatikan penggunaan segmen (arc). Hal tersebut dikarenakan node harus bertemu lagi dengan node lainnya dan tidak boleh ada percabangan yang tidak menggunakan node sebagai penghubung antar segmen karena hal tersebut dapat berdampak pada rute yang dihasilkan serta waktu kedatangan. Segmen sendiri terdiri dari 2 node yaitu pada bagian awal segmen dan akhir segmen. Setiap segmen memiliki nilai panjang masing-masing dan akan memengaruhi dalam perhitungan jarak total dari rute serta waktu kedatangan. Diasumsikan bahwa setiap bangunan telah memiliki titik berkumpul terdekat dengan radius 100 meter, namun bukan berarti bangunan yang memiliki lebih dari satu titik berkumpul memiliki rute yang harus melalui seluruh titik berkumpul tersebut, Algoritma Dijkstra dapat digunakan untuk mencari rute terpendek dari satu titik ke satu tujuan yang telah ditentukan dengan menghentikan algoritma ketika titik tujuan telah dilalui. Pemodelan rute evakuasi ini merupakan kelanjutan dari Search and Rescue Procedures (SRP). Prosedur pencarian dan penyelamatan didefinisikan sebagai rute optimum untuk jumlah minimum responden utama yang mencari dan menjelajahi semua titik di dalam gedung untuk menyelamatkan korban dalam waktu tercepat (Tashakkori, 2016). Jadi setelah berhasil keluar dari gedung, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pergi ke tempat aman terdekat seperti titik berkumpul. Hasil kedatangan waktu dalam satu rute akan berbeda di setiap kategori umur karena masing-masing kategori umur memiliki kecepatan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

233

sendiri, hasilnya dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan dimana titik berkumpul yang cukup sesuai untuk kondisi saat bencana terjadi. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Data LiDAR dan ortofoto dapat digunakan dalam pemodelan bangunan 3D, untuk daerah perkotaan densitas point clouds sebaiknya dalam rentang 5-6 points/m2 dan pada penelitian ini digunakan densitas point clouds 2-3 point/m2. Hal tersebut yang menyebabkan pemodelan atap berbentuk kurva cukup sulit dilakukan, tidak hanya karena densitas titik yang tidak cukup rapat, namun juga karena belum ada model matematika yang dapat mendeskripsikan bentuk atap tersebut dengan baik. Disamping itu pemodelan bangunan 3D pada daerah penelitian ini dapat dikatakan cukup baik dikarenakan tata letak bangunan di daerah penelitian yang tidak terlalu padat, terstruktur, dan cukup besar. Sehingga dengan densitas point clouds 2 points/m2 dan bantuan ortofoto sudah cukup untuk memodelkan bangunan 3D pada daerah penelitian. Hasil dari pemodelan bangunan 3D digabungkan dengan data DTM, titik berkumpul, kategori usia, dan data jalan dari daerah penelitian. Hasil pemodelan rute evakuasi dapat dikatakan sebagai lanjutan dari SRP. Pemodelan rute pada penelitian ini menggunakan Algoritma Dijkstra, sehingga rute hasil pemodelan merupakan jalur terpendek dari bangunan menuju tempat aman seperti titik berkumpul. Jalur terpendek dipercaya dapat digunakan untuk membantu para korban mengevakuasi diri mereka masing-masing. Hasil dari model rute evakuasi sendiri ialah rute itu sendiri dan waktu keatangan. Waktu kedatangan untuk satu rute yang sama akan berbeda-beda tergantung kategori usia karena setiap kategori usia memiliki kecepatan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4. 4.2 Saran Untuk mendapatkan hasil pemodelan bangunan 3D yang lebih detail terutama di daerah perkotaan disarankan menggunakan densitas point clouds 5-6 points/m2. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan resolusi, mempermudah konstruksi model, dan lebih merepresentasikan model bangunan 3D dengan bentuk asli di lapangan. Data tambahan juga dapat membantu dalam melakukan pemodelan yang lebih baik, tidak hanya ortofoto, namun juga dapat berupa peta 2D seperti peta kadaster, peta topografi atau data lainnya. Untuk data ortofoto, semakin besar resolusi dari data ortofoto maka semakin memudahkan dalam melakukan interpretasi objek. Untuk melengkapi pemodelan rute, Search and Rescue Procedures (SRP) atau model evakuasi dalam bangunan lainnya disarankan dilakukan sehingga dapat menjadi satu kesatuan model evakuasi yang utuh. Rute evakuasi dalam bangunan membutuhkan data lengkap terkait tangga, lantai bangunan, ruangan, jendela, and aspek lainnya di dalam bangunan dan koordinat presisi dari setiap objek tersebut. Maka dari itu Level of Detail dari model evakuasi dalam gedung adalah LoD 4. Sehingga, hasil dari pemodelan rute dapat akurat, terpercaya, dan dapat digunakan untuk menjadi salah satu pertimbangan terkait aspek mitigasi.


234

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

DAFTAR PUSTAKA Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications. Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center. Cooper, Kenneth H. (1969). Aerobics. Bantam Books. ISBN 978-0-553-14490-1. FEMA. (2017). What is Mitigation?. https://www.fema.gov/what-mitigation. Accessed at August, 12th 2017. International Hurricane Research Center. (-). LiDAR Techology. http:// LIDAR.ihrc.fiu.edu. Accessed at January, 20th 2017. Kennie, T.J., and Petrie, G. (1990). Engineering Survey Technology. Blackie, Glasgow. Mehlhorn, Kurt and Sanders, Peter (2008). Algorithms and Data Structures: The Basic Toolbox. Springer. Tashakkori, H., A. Rajabifard, and M. Kalantari. (2016). Facilitating the 3D Indoor Search and Rescue Problem: An Overview of the Problem and an Ant Colony Solution Approach. ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume IV-2/W1, 2016 11th 3D Geoinfo Conference, 20-21 October 2016. Athens, Greece. Tashakkori, H., A. Rajabifard, and M. Kalantari. (2015). A New 3D Indoor/ Outdoor Spatial Model for Indoor Emergency Response Facilitation. Building and Environment, 89, 170– 182. Vosselman, G. (1999). Building Reconstruction using Planar Faces in Very High Density Height Data. International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing, 87-92.

BIOGRAFI PENULIS Debby Nurliza Ulhaq Penulis lahir di Bandung, 10 Desember 1996 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2013, penulis lulus dari SMAN 11 Bandung dan pada tahun 2017 penulis menjadi lulusan Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung. Penulis merupakan Ketua Divisi Hubungan Alumni Badan Pengurus Harian Ikatan Mahasiswa Geodesi (IMG)-ITB periode 2016-2017 dan merupakan Ketua Divisi Acara pada Rangkaian Acara Wisuda IMG-ITB pada tahun 2015.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

235

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng. Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).


236

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Teknik Pencocokan Citra dalam Fotogrametri untuk Dokumentasi Cagar Budaya Arnadi D. Murtiyoso1, 2 dan Deni Suwardhi2 Grup Fotogrametri Arsitektural dan Geomatika, Laboratorium ICube UMR 7357 INSA Strasbourg, 24 Boulevard de la Victoire, 67084 Strasbourg, Perancis 2 Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesa 24, Bandung, Indonesia email: arnadi.murtiyoso@insa-strasbourg.fr, deni@gd.itb.ac.id

1

Abstrak Dewasa ini teknik pencocokan citra banyak dimanfaatkan dalam fotogrametri. Metode yang berasal dari ranah penglihatan komputer ini dapat mempermudah sejumlah tugas dalam fotogrametri yang sebelumnya harus dikerjakan secara manual. Fotogrametri sendiri merupakan teknik yang sering digunakan dalam dokumentasi cagar budaya dan arkeologi untuk menghasilkan model trimatra (3D). Fotogrametri dapat menjadi alternatif ataupun komplemen dari teknik pemindaian laser dalam menghasilkan model 3D yang akurat. Makalah ini bermaksud merangkum secara umum teknik pencocokan citra otomatis yang banyak digunakan di perangkat lunak fotogrametri modern, dengan menyertakan sejumlah contoh kasus untuk penggunaannya dalam rangka dokumentasi cagar budaya. Kata kunci: Pencocokan Citra, Fotogrametri, Cagar Budaya, Dokumentasi, Model 3D Abstract Today the image matching technique is used extensively in photogrammetry. This method, which originated from the computer vision domain, facilitates several tasks within the photogrammetric workflow which previously had to be performed manually. Photogrammetry itself is a technique which is often employed in the documentation of heritage as well as archaeology in order to create 3D models. Photogrammetry can be an alternative or a complement to laser scanning in producing accurate and reality-based 3D models. This paper will summarize the state of the art of the image matching technique often used in modern photogrammetry software packages. Several case studies of its use in the area of heritage documentation will also be presented. Keywords: Image Matching, Photogrammetry, Heritage, Documentation, 3D Model

1.

PENDAHULUAN

Saat ini dokumentasi cagar budaya semakin penting untuk dilakukan, terutama dengan semakin banyaknya situs bersejarah yang terancam. Ancaman ini dapat bersifat antropologis (Grussenmeyer dan Al Khalil, 2017) maupun alamiah (Achille et al., 2015; Baiocchi et al., 2013). Untuk itu, rekonstruksi trimatra (3D) dari objek-objek bersejarah perlu dilakukan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

237

agar dapat dilakukan analisa dan interpretasi, dan jika dibutuhkan rekonstruksi fisik (Barsanti et al., 2014). Dewasa ini pekerjaan dokumentasi 3D untuk keperluan cagar budaya dilakukan dengan menggunakan teknik berbasis jarak seperti pemindai laser terestris, atau teknik berbasis citra seperti fotogrametri (Remondino et al., 2012). Fotogrametri merupakan teknik yang telah lama digunakan untuk mendokumentasikan cagar budaya (Grussenmeyer et al., 2002). Teknik penginderaan jauh ini mampu menghasilkan data 3D dari citra dwimatra (2D). Fotogrametri sering menjadi alternatif dari pemindaian laser, atau bisa juga melengkapi teknik tersebut (GrenzdĂśrffer et al., 2015; Grussenmeyer et al., 2010; Remondino, 2011). Melalui perkembangan yang pesat di bidang penglihatan komputer, fotogrametri semakin lama semakin marak digunakan karena kemampuannya untuk menghasilkan produk 3D yang teliti. Selain itu, dengan menggunakan algoritma pencocokan rapat, fotogrametri mampu menyaingi pemindai laser dalam perihal menghasilkan awan titik 3D untuk objek yang kompleks (Remondino et al., 2013). Perkembangan di bidang penglihatan komputer telah banyak membantu dan melengkapi teknik fotogrametri klasik. Teknik pencocokan citra memungkinkan dilakukannya tugastugas dalam fotogrametri yang sebelumnya harus dilakukan secara manual, misalnya saja pemilihan titik ikat. Selain itu, teknik pencocokan rapat juga semakin maju dan memungkinkan dilakukannya rekonstruksi 3D suatu objek dalam bentuk awan titik rapat. Makalah ini akan menjelaskan secara umum mengenai teknik pencocokan citra dalam kaitannya dengan fotogrametri, dengan tujuan utama dokumentasi cagar budaya. Selain itu sejumlah contoh perangkat lunak fotogrametri modern yang menerapkan teknik ini, baik yang bersifat komersil maupun sumber terbuka, akan dijelaskan. Terakhir, sejumlah contoh kasus akan disajikan di akhir makalah. 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fotogrametri Dalam alur kerja fotogrametri yang sering ditemui dalam perangkat lunak modern, umumnya dimulai dengan pencarian dan pencocokan titik ikat berdasarkan fitur secara otomatis. Dalam hal ini fitur yang dimaksud merupakan deskriptor dari sebuah titik pada sebuah citra (Lowe, 2004). Hal ini dilanjutkan oleh deteksi dan eliminasi ketat titik-titik pencilan, serta perataan berkas untuk menghitung posisi dan orientasi dari setiap kamera (Chiabrando et al., 2015; Remondino et al., 2012). Kemudian tahap ini dapat dilanjutkan dengan penerapan algoritma pencocokan rapat untuk menghasilkan awan titik rapat, sampai dengan satu titik untuk setiap piksel (Achille et al., 2015). Bagian penting dari alur kerja fotogrametri adalah orientasi luar (Gambar ) atau triangulasi udara, yang bertujuan menentukan hubungan antara sistem citra dan sistem objek. Hubungan ini digambarkan oleh posisi dan orientasi pusat proyeksi kamera dalam sistem koordinat objek (Schenk, 2005). Secara matematik, hubungan ini dinyatakan dalam enam parameter orientasi luar: 3 translasi (đ?‘‹đ?‘š , đ?‘Œđ?‘š , đ?‘?đ?‘š ) dan 3 rotasi (Ξ, Ρ, Îś).


238

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Ilustrasi orientasi luar, disadur dari Luhmann et al. (2014)

Perlu dicatat bahwa dalam bidang penglihatan komputer, keenam parameter orientasi luar ini juga dikenal sebagai parameter ekstrinsik (Granshaw, 2016). Terdapat sejumlah pendekatan yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah orientasi luar, diantaranya: 1. Persamaan kesegarisan: Persamaan kesegarisan merupakan relasi matematik yang menghubungkan sebuah titik dalam sistem objek, proyeksi citranya, dan pusat proyeksi citra dalam sebuah garis yang sama. Secara matematik, kondisi kesegarisan ini dijabarkan dalam kedua persamaan dalam Persamaan (1) (Fraser, 2013; Hastedt dan Luhmann, 2015; Wolf et al., 2014): đ?‘Ľ ′ + ∆đ?‘Ľ = đ?‘Ľ0 − đ?‘“.

đ?‘&#x;11 (đ?‘‹ − đ?‘‹đ?‘ ) + đ?‘&#x;12 (đ?‘Œ − đ?‘Œđ?‘ ) + đ?‘&#x;13 (đ?‘? − đ?‘?đ?‘ ) đ?‘&#x;31 (đ?‘‹ − đ?‘‹đ?‘ ) + đ?‘&#x;32 (đ?‘Œ − đ?‘Œđ?‘ ) + đ?‘&#x;33 (đ?‘? − đ?‘?đ?‘ )

đ?‘&#x;21 (đ?‘‹ − đ?‘‹đ?‘ ) + đ?‘&#x;22 (đ?‘Œ − đ?‘Œđ?‘ ) + đ?‘&#x;23 (đ?‘? − đ?‘?đ?‘ ) đ?‘Ś + ∆đ?‘Ś = đ?‘Ś0 − đ?‘“. đ?‘&#x;31 (đ?‘‹ − đ?‘‹đ?‘ ) + đ?‘&#x;32 (đ?‘Œ − đ?‘Œđ?‘ ) + đ?‘&#x;33 (đ?‘? − đ?‘?đ?‘ )

(1)

′

Di mana : đ?‘“ : panjang fokal lensa đ?‘Ľ0 , đ?‘Ś0 : koordinat titik pusat proyeksi citra đ?‘Ľ ′ , đ?‘Śâ€˛ : koordinat titik pada sistem koordinat citra ∆đ?‘Ľ, ∆đ?‘Ś : parameter koreksi terhadap distorsi lensa đ?‘&#x; : matriks rotasi đ?‘‹, đ?‘Œ, đ?‘? : koordinat titik pada sistem koordinat objek đ?‘‹đ?‘ , đ?‘Œđ?‘ , đ?‘?đ?‘ : koordinat pusat proyeksi citra pada sistem koordinat objek Perlu dicatat bahwa Persamaan (1) tidak linier sehingga dalam perhitungan perataan berkas dibutuhkan nilai pendekatan untuk setiap parameter yang dicari. Selain itu, Persamaan (1) merupakan persamaan kesegarisan “kedangâ€? yang mencakup di dalamnya parameter orientasi dalam (atau parameter kalibrasi) seperti koefisien


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

239

distorsi lensa. 2. Persamaan kesebidangan: Dalam kebanyakan proyek fotogrametri, sebuah titik akan diproyeksikan pada dua citra atau lebih. Untuk dua citra yang bertampalan, kedua berkas yang keluar dari titik objek yang sama ke arah proyeksinya di tiap citra membentuk sebuah bidang koplanar. Formulasi matematik dari kondisi ini terkandung di dalam persamaan kesebidangan, seperti terlihat dalam Persamaan (2). Persamaan ini sering digunakan dalam melakukan orientasi relatif antara dua citra (Grussenmeyer dan Al Khalil, 2002; Luhmann et al., 2014). (đ?‘? Ă— đ?‘&#x; ′ ) ∙ đ?‘&#x;" = 0

(2)

Di mana : đ?‘? đ?‘&#x;′ đ?‘&#x;"

: vektor basis citra antara foto 1 dan foto 2 : vektor antara pusat proyeksi foto 1 ke titik objek : vektor antara pusat proyeksi foto 2 ke titik objek

Dalam bidang penglihatan komputer, permasalahan orientasi luar dipecahkan dengan melalui matriks fundamental (F). Matriks fundamental merupakan representasi aljabar dari geometri kesebidangan (Hartley dan Zisserman, 2003), sehingga dapat dikatakan kurang lebih analog dengan prinsip kesebidangan dalam fotogrametri klasik (Granshaw, 2016). Konsep yang masih berhubungan dengan matriks fundamental yakni matriks esensiil (E). Perbedaan utama diantara keduanya adalah keberadaan matriks kalibrasi (K) dalam matriks F. Hubungan matematis yang melibatkan matriks F dan koordinat citra dapat dilihat pada Persamaan (3) (Hartley dan Zisserman, 2003; Luhmann et al., 2014). (3)

đ?‘Ľâ€˛đ?‘‡ đ??šđ?‘Ľ = 0

Di mana : đ?‘Ľ đ?‘Ľâ€˛ đ??š

: vektor koordinat homolog titik dalam sistem citra 1 : vektor koordinat homolog titik dalam sistem citra 2 : matriks fundamental (3x3)

Orientasi luar untuk banyak citra umumnya dipecahkan dengan menggunakan metode perataan berkas (Luhmann et al., 2014; Wolf et al., 2014). Metode perataan berkas klasik merupakan suatu bentuk dari perataan kuadrat terkecil sebagaimana dijabarkan dalam algoritma Gauss-Markov. Namun demikian, pendekatan ini terkadang tidak cukup untuk menghasilkan konvergensi dalam proses iterasi. Untuk itu, modifikasi pada algoritma GaussMarkov dapat dilakukan dalam rangka mengurangi risiko divergensi. Beberapa modifikasi dari algoritma dasar Gauss-Markov misalnya metode Gauss-Newton-Armijo, LevenbergMarquadt, ataupun Levenberg-Marquadt dengan tambahan Powell (BĂśrlin dan Grussenmeyer, 2013). 2.2 Pencocokan Citra Sebagian besar perangkat lunak yang melakukan rekonstruksi 3D berbasis citra dilengkapi dengan fitur pencocokan citra otomatis. Dari sejumlah besar algoritma pencocokan citra yang ada, Remondino et al. (2014, 2013) telah berusaha mengklasifikasikannya. Klasifikasi yang paling dasar meliputi pencocokan yang berbasis fitur (dengan kata lain, perbandingan


240

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

deskriptor) dan pencocokan yang berbasis nilai abu piksel dalam sebuah jendela pencarian. Setelah pencocokan dilakukan, perhitungan ikatan ke muka sederhana dapat dilakukan untuk memperoleh koordinat 3D dari titik-titik tersebut. Algoritma untuk pencocokan berbasis area (PBA) mampu mencapai ketelitian hingga 1/50 piksel. Namun demikian, PBA membutuhkan objek yang bertekstur dan nilai pendekatan untuk melakukan pencocokan. Sebaliknya, pencocokan berbasis fitur (PBF) tidak terlalu tergantung pada tekstur objek, namun awan titik yang dihasilkan seringkali tidak cukup rapat. Gambar 2 menunjukkan klasifikasi umum ini dalam bentuk skema.

Gambar 2. Klasifikasi metode pencocokan citra, disadur dari Remondino et al. (2014, 2013); Szeliski (2010)

2.2.1

Pencocokan Berbasis Fitur (PBF)

Sejumlah contoh pencocokan citra berbasis fitur antara lain metode Harris (Harris dan Stephens, 1988), metode SIFT (Scale Invariant Feature Transform) (Lowe, 2004), ataupun SURF (Speeded Up Robust Features) (Bay et al., 2006). Metode Harris merupakan perbaikan dari metode Moravec, yang menghitung nilai minimal dalam sebuah jendela piksel dan membandingkannya terhadap sebuah nilai ambang. SIFT melakukan ekstrasi titik fitur melalui empat tahapan utama. Pertama, algoritma ini menghitung diferensial dari fungsi Gauss untuk mengidentifikasi kandidat titik fitur. Selanjutnya penyaringan dilakukan; titik dengan kontras yang lemah akan dihapus. Kemudian matriks Hessian digunakan untuk menghitung nilai kelengkungan dari setiap titik. Sebuah nilai ambang untuk kelengkungan digunakan untuk menjaring sekali lagi kandidat fitur. Selanjutnya, histogram arah dihasilkan dari gradien arah untuk daerah di sekitar setiap titik. Dari histogram ini, sebuah vektor arah dihasilkan untuk tiap titik yang kemudian menjadi deskriptor titik tersebut. Namun demikian, SIFT dapat memakan waktu yang cukup lama. Untuk itu, SURF dikembangkan dengan tujuan utama mempercepat proses pencocokan. SURF melakukan ini dengan menambahkan sejumlah parameter seperti penggunaan matriks Laplacian. SURF mampu melakukan pencocokan hingga tiga kali lebih cepat dibandingkan SIFT. SURF lebih cocok digunakan untuk citra yang buram atau terputar, namun kurang baik


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

241

untuk perubahan mendadak dari posisi pengambilan citra atau pencahayaan (Chiabrando et al., 2015). 2.2.2

Pencocokan Berbasis Area (PBA)

PBF dapat digunakan untuk menghasilkan awan titik renggang, yang kemudian dapat digunakan sebagai nilai pendekatan untuk pencocokan rapat dengan menggunakan pendekatan pencocokan berbasis area (PBA) (Szeliski, 2010). Dilihat dari sistem ruang mana yang digunakan, terdapat dua sub-kategori PBA. Sub-kategori yang pertama menggunakan garis-garis epipolar pada sistem citra untuk melakukan pencocokan. Terdapat pendekatan lokal dan global dalam sub-kategori ini. Dalam pendekatan lokal (didasarkan atas penggunaan jendela pencarian), nilai paralaks untuk setiap piksel dihitung. Penggunaan jendela pencarian mengimplikasikan proses penghalusan, yang mengakibatkan tepian-tepian objek menjadi terlalu halus (HirschmĂźller, 2011). Sebaliknya pendekatan global menghitung minimalisasi energi pada keseluruhan citra, dengan penghalusan eksplisit. Selain itu terdapat pula metode pencocokan semi-global (PSG) yang dikembangkan oleh HirschmĂźller (2005). Metode ini menghitung minimalisasi energi pada garis epipolar dan empat arah lainnya di sekitar piksel. Sub-kategori lainnya dalam PBA melakukan pencocokan pada sistem objek. Dalam subkategori ini, awan titik renggang harus diperoleh terlebih dahulu untuk dijadikan nilai pendekatan. Ketika awan titik renggang tersedia, pendekatan ini akan mengklasifikasikan setiap citra berdasarkan posisinya relatif terhadap objek. Kemudian pencocokan rapat dilakukan pada sebuah petak pada objek yang terlihat oleh salah satu kelompok citra (Furukawa dan Ponce, 2009). Prosedur ini kemudian diulangi untuk petak-petak lainnya sehingga melingkupi seluruh objek. 2.3 Dokumentasi Cagar Budaya Dokumentasi adalah proses penting dalam konservasi cagar budaya. Pencatatan, dokumentasi, dan survei terhadap bangunan dan benda-benda cagar budaya adalah penting dalam rangka menunjang riset, pelestarian, dan konservasi. Dokumentasi yang mendetail secara 3D adalah prasyarat untuk berbagai analisis dan interpretasi lebih lanjut (Barsanti et al., 2014). Hal ini juga tertuang secara resmi dalam Kesepakatan Venesia (1964) pasal 16, yang utamanya menyatakan bahwa dalam setiap pekerjaan pelestarian, restorasi, dan ekskavasi monumen bersejarah, harus senantiasa disertai oleh dokumentasi yang teliti (ICOMOS, 1964). Terdapat tiga metode utama yang umumnya digunakan dalam dokumentasi cagar budaya secara 3D: pemindaian laser, fotogrametri rentang dekat, atau gabungan keduanya (Lerma et al., 2010). Makalah ini akan berfokus kepada teknik fotogrametri, yakni teknik yang berdasarkan pada citra. Namun demikian, perlu dicatat bahwa penggunaan metode gabungan (fotogrametri dan pemindaian laser) sangat umum dilakukan (GrenzdĂśrffer et al., 2015; Grussenmeyer et al., 2008; Lerma et al., 2010; Remondino, 2011) . Metode fotogrametri sendiri telah banyak dimanfaatkan dalam banyak jenis cagar budaya, misalnya saja dokumentasi artefak (Lachat et al., 2015), monumen (Barsanti et al., 2014), bangunan (Achille et al., 2015; GrenzdĂśrffer et al., 2015; Murtiyoso et al., 2017a, 2016), situs-situs di bawah tanah (Grussenmeyer et al., 2012; Lerma et al., 2010; Murtiyoso et al.,


242

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

2017b) maupun keseluruhan kompleks bersejarah (Chiabrando et al., 2015; von Schwerin et al., 2013). Di Indonesia, beberapa contoh situs bersejarah yang telah didokumentasikan dengan menggunakan teknik fotogrametri diantaranya Candi Borobudur (Suwardhi et al., 2015) dan perkampungan Batak Toba (Hanan et al., 2015). Terdapat beberapa contoh protokol pengambilan dan pengolahan data yang dapat ditemukan dalam literatur yang berkaitan dengan pemanfaatan fotogrametri untuk dokumentasi cagar budaya (lihat juga Gambar ), misalnya peraturan 3x3 dari CIPA (Waldhäusl et al., 2013), TAPENADE (Tools and Acquisition Protocols for Enhancing Artifacts Documentation) (Nony et al., 2012), dan protokol “One panorama each stepâ€? (Wenzel et al., 2013a). Ketiga protokol ini memiliki sejumlah persamaan. Pertama, kalibrasi kamera dengan menggunakan jaringan konvergen senantiasa dianjurkan dibanding kalibrasi diri in situ. Kedua, dokumentasi prosedural seperti sketsa situasi dan metadata objek cagar budaya juga merupakan sesuatu yang penting namun sering dilupakan. Ketiga, semua protokol menganjurkan dua jenis pengambilan citra; citra umum atau global dengan sudut-sudut yang konvergen untuk membantu proses perataan berkas, dan citra detil dengan persentase pertampalan besar yang bertujuan untuk membantu proses pencocokan rapat.

Gambar 3. Contoh protokol pengambilan dan pengolahan data fotogrametri untuk dokumentasi cagar budaya.

3.

CONTOH PERANGKAT LUNAK

3.1 Komersil 3.1.1

Agisoft Photoscan1

Agisoft Photoscan (PS) adalah sebuah perangkat lunak yang melakukan pengolahan fotogrametri dengan tujuan menghasilkan data 3D. Berbasis di St. Petersburg, Rusia,


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

243

perusahaan Agisoft didirikan pada tahun 2006 sebagai perusahan yang berfokus di penglihatan komputer. Perangkat lunak Photoscan merupakan produk utamanya, dan dapat digunakan untuk citra udara maupun terestris. Penggunaan PS cukup sederhana; hal ini bisa menjadi kelebihan bagi banyak pengguna awam namun kekurangan bagi pengguna yang memiliki kebutuhan lebih spesifik. Karena sifatnya yang “kotak hitam�, algoritma yang digunakan PS sulit untuk dipelajari. Namun demikian beberapa aspek dari algoritma PS dapat disimpulkan dari pengamatan empiris. Misalnya saja, penggunaan metode serupa PSG dalam algoritma pencocokan rapat PS dan diikuti oleh penyaringan berdasarkan konstrain sebidangan, senada dengan pengamatan Remondino et al. (2014). Selain itu, PS nampaknya menggunakan metode Poisson untuk menghasilkan model 3D jaring. 3.1.2

EcoSystems Photomodeler2

Perangkat lunak Photomodeler (PM) dikembangkan oleh perusahaan asal Kanada EosSystems. Perangkat lunak ini cukup dikenal untuk aplikasinya di bidang arkeologi dan arsitektur (Grussenmeyer et al., 2002). Dengan basis utama di bidang fotogrametri, perangkat lunak ini memberikan kontrol yang lebih leluasa bagi pengguna dalam menghasilkan data 3D (Remondino et al., 2012). Sejak tahun 2014, PM dilengkapi dengan modul pencocokan citra, baik PBF untuk orientasi luar maupun PBA untuk pencocokan rapat. Selain itu, PM memungkinkan pengguna untuk melakukan pemodelan 3D melalui digitalisasi objek vektor langsung pada citra (Remondino, 2011; Remondino et al., 2011). Cukup unik di antara perangkat lunak lainnya, PM juga memungkinkan pengguna untuk memilih algoritma pencocokan rapat yang ingin diterapkan. PM memiliki modul pencocokan rapat berbasis pasangan stereo (mirip dengan metode PSG) dan modul lain yang berbasis objek (mirip dengan metode PMVS). 3.1.3

Pix4D3

Perangkat lunak Pix4D (P4D) dikembangkan oleh sebuah perusahaan sempalan dari Ecole Polytechnique FĂŠdĂŠrale de Lausanne (EPFL), Swiss. Perangkat lunak ini memiliki sejumlah modul dengan sejumlah spesialisasi, khususnya untuk penggunaan dalam bidang pertanian. Sebagai perangkat lunak komersil, algoritma P4D disembunyikan dan tidak dapat dipelajari secara langsung. Namun demikian, P4D menghasilkan laporan hasil yang cukup lengkap di akhir setiap tahapan pemrosesan. Laporan ini dapat digunakan untuk melakukan verifikasi hasil dan kontrol kualitas. Dalam hal pencocokan rapat, P4D kemungkinan menggunakan pendekatan yang menyerupai metode berbasis petak, dengan metode PSG tersedia dalam bentuk fungsi tambahan.

1

http://www.agisoft.com/ diakses 13 Juli 2017

2

http://www.photomodeler.com/ diakses 13 Juli 2017

3

https://pix4d.com/ diakses 13 Juli 2017


244

3.1.4

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

SURE4

SURE adalah sebuah perangkat lunak pencocokan rapat yang dikembangkan oleh Institut Fotogrametri Universitas Stuttgart (IfP Stuttgart). Perangkat lunak ini memiliki tujuan utama untuk melakukan pencocokan rapat berkualitas tinggi dengan memanfaatkan citracitra dengan daerah pertampalan yang besar serta parameter orientasi luar mereka (Wenzel et al., 2013b). SURE menggunakan pendekatan PSG yang dimodifikasi agar dapat mempercepat waktu pemrosesan (Remondino et al., 2014). SURE merupakan perangkat lunak yang berfokus pada pencocokan rapat; oleh karena itu informasi mengenai parameter orientasi luar setiap citra harus diperoleh melalui perangkat lunak perataan berkas pihak ketiga (contoh: PS, VisualSFM, Inpho, dll.). SURE merupakan perangkat lunak komersil, namun lembaga-lembaga riset dapat meminta lisensi tanpa bayar untuk tujuan penelitian. 3.2 Sumber Terbuka 3.2.1

Apero dan MicMac5

Apero (AP) dan MicMac (MM) adalah kumpulan perangkat lunak yang dikembangkan oleh laboratorium MATIS dari badan pemetaan nasional Perancis IGN (Institut National de l’Information Géographique et Forestière). AP terdiri dari modul Pastis yang bertujuan melakukan pencocokan citra secara PBF. AP sendiri memiliki tujuan utama untuk melakukan perataan berkas dengan memanfaatkan metode Levenberg-Marquadt dengan menggunakan titik-titik ikat yang telah dihitung oleh Pastis (Pierrot-Deseilligny dan Clery, 2012). Hasil dari AP kemudian dapat digunakan oleh MM untuk melakukan pencocokan rapat. MM menggunakan pendekatan “kasar ke halus”; citra yang tersedia pertama-tama melalui proses pengurangan resolusi dalam beberapa tingkat sehingga menciptakan struktur piramid citra. Pencocokan rapat dilakukan pertama-tama terhadap citra dengan resolusi paling rendah, kemudian hasilnya digunakan untuk memandu proses pencocokan rapat di tingkat piramid berikutnya, dan demikian seterusnya (PierrotDeseilligny et al., 2011; Remondino et al., 2014). 3.2.2

GRAPHOS6

GRAPHOS merupakan proyek penelitian yang didukung oleh Inisiatif Sains ISPRS. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah solusi sumber terbuka untuk fotogrametri yang mengutamakan otomatisasi melalui antarmuka grafis yang mudah digunakan, fleksibilitas penggunaan, kualitas dan ketelitian hasil, serta keandalan fotogrametri sebagai sebuah teknik. GRAPHOS menawarkan sejumlah algoritma prapengolahan citra seperti misalnya penyaringan Wallis, sejumlah metode PBF seperti SIFT, ASIF, dan MSD, algoritma perataan berkas, serta dua metode pencocokan rapat (dengan mengintegrasikan MM dan PMVS). GRAPHOS juga memungkinkan integrasi dengan SURE apabila pengguna memiliki akun lisensi penggunaannya (GonzálezAguilera et al., 2016). 4

http://www.nframes.com/ diakses 13 Juli 2017

5

http://logiciels.ign.fr/?Micmac diakses 13 Juli 2017

6

https://github.com/itos3d/GRAPHOS diakses 13 Juli 2017


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.2.3

245

VisualSFM7 dan PMVS8

VisualSFM (VSFM) merupakan perangkat lunak sumber terbuka yang dikembangkan oleh Changchang Wu. Perangkat lunak ini pada dasarnya merupakan antarmuka grafis untuk algoritma PBF SIFT, yang kemudian dilanjutkan oleh proses perataan berkas. PMVS (Patch-Based Multi-View Stereo) sendiri merupakan algoritma pencocokan rapat yang menggunakan pendekatan petak-petak. Pencocokan dimulai dari hasil SIFT dari VSFM yang digunakan sebagai nilai pendekatan. PBA kemudian dilakukan untuk setiap “petak” di sekitar setiap titik ikat SIFT. “Petak-petak” ini kemudian semakin lama semakin diperbesar sampai dengan memenuhi keseluruhan objek yang akan direkonstruksi (Furukawa dan Ponce, 2009). 4.

CONTOH KASUS

4.1 Arca Ganesa, Bandung, Indonesia Data pertama merupakan sebuah Arca Ganesa yang terletak di Jalan Dago, Bandung, Indonesia. Arca ini difoto dengan menggunakan kamera Panasonic DMC-LX3 dengan panjang fokal 5 mm dan ukuran piksel 3 mikron. Foto diambil dari jarak kurang lebih antara 1 sampai 2 meter dari objek, sehingga ukuran piksel-objek rata-rata adalah 1 mm. Objek ini dipilih untuk merepresentasikan sistem jaringan kamera konvergen, yang sering kali ditemukan dalam rekonstruksi 3D artefak atau monumen. Terhadap data ini, perangkat lunak PS, AP/MM, VSFM/PMVS dan SURE digunakan sebagai ujicoba. Untuk SURE, data parameter orientasi luar yang digunakan adalah hasil dari PS. Untuk keperluan analisis, perangkat lunak CloudCompare digunakan. Parameter pencocokan rapat merupakan hal yang cukup sulit untuk dibandingkan, namun demikian dalam analisis ini parameter dari keempat perangkat lunak diusahakan agar semirip mungkin (lihat juga Murtiyoso dan Grussenmeyer (2017) untuk referensi lebih lanjut). Sebagai data referensi, permukaan rerata untuk keempat hasil dihasilkan dengan cara membuat model jaring Poisson dari gabungan seluruh data. Hasil dari masing-masing perangkat lunak kemudian dibandingkan terhadap model jaring referensi ini untuk melihat ketelitian mereka. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 4.

7

http://ccwu.me/vsfm/ diakses 13 Juli 2017

8

http://www.di.ens.fr/pmvs/ diakses 13 Juli 2017


246

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Model jaring bertekstur (PS)

PS, μ= 0.0 mm, σ = 0.4 mm

PMVS, μ= 0.1 mm, σ = 0.8 mm

MM, μ= 0.1 mm, σ = 0.6 mm

SURE, μ= 0.0 mm, σ = 0.5 mm

Gambar 4. Perbandingan hasil pencocokan rapat untuk data Ganesa dari empat perangkat lunak yang diujicobakan terhadap permukaan rerata; μ adalah kesalahan rerata dan σ adalah simpangan baku.

Terlihat bahwa keempat perangkat lunak yang diujicobakan semuanya mampu mencapai ketelitian yang tinggi jika dibandingkan dengan ukuran piksel-objek (1 mm). PS dan SURE memberikan hasil terbaik diantara keempatnya, dengan MM dan PMVS hanya sedikit saja di belakang. Namun demikian, dari sisi densitas awan titik, tampak bahwa PS memberikan hasil paling rapat dan PMVS paling renggang. Baik SURE maupun MM menunjukkan beberapa area yang kosong. Perangkat lunak komersil seperti PS terkadang memiliki pengolahan data terselubung seperti ekstrapolasi dan/atau interpolasi, sehingga pengguna sebaiknya berhati-hati dalam pemakaiannya untuk proyek yang membutuhkan ketelitian tinggi (Lachat et al., 2017).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4.2

247

Relief Awalokiteswara, Candi Sewu, Indonesia

Data kedua yang dianalisis adalah sebuah relief sisi utara candi perwara no. 72 kompleks Candi Sewu. Relief ini menggambarkan Bodhisatwa Awalokiteswara dan dibuat pada abad ke-8 Masehi. Candi perwara no. 72 adalah salah satu dari candi yang masih utuh di kompleks Candi Sewu, dan relief ini dapat menjadi studi kasus untuk sistem jaringan kamera paralel dalam fotogrametri rentang dekat. Konfigurasi paralel ini lebih sering digunakan dalam fotogrametri udara, namun dalam konteks fotogrametri arsitektural konfigurasi ini sering digunakan untuk mendokumentasikan fasad bangunan. Kamera yang digunakan dalam data ini adalah Nikon D3200 dengan panjang fokal lensa 23 mm dan ukuran piksel 7 mikron. Ukuran piksel-objek rata-rata berdasarkan jarak kamera ke objek (antara 2 dan 3 meter) ialah 0.7 mm. Seperti halnya data Ganesa, data ini diolah dengan menggunakan perangkat lunak PS, AP/MM, VSFM/PMVS, dan SURE. Serupa juga dengan data Ganesa, sebuah permukaan referensi dihasilkan dengan membuat model jaring Poisson dari gabungan awan titik yang dihasilkan keempat perangkat lunak. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 1.

Model jaring bertekstur (PS)

PS, Îź= 0.1 mm, Ďƒ = 2.3 mm

MM, Îź= 0.1 mm, Ďƒ = 2.7 mm


248

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

PMVS, μ= 0.9 mm, σ = 4.2 mm

SURE, μ= 0.0 mm, σ = 1.9 mm

Gambar 1. Perbandingan hasil pencocokan rapat untuk data Sewu dari empat perangkat lunak yang diujicobakan terhadap permukaan rerata; μ adalah kesalahan rerata dan σ adalah simpangan baku.

Dalam kasus ini, PMVS menunjukkan hasil yang paling buruk dengan adanya kesalahan sistematik hingga 0.9 mm. Nilai simpangan baku untuk PMVS juga menunjukkan nilai yang cukup tinggi yakni 4.2 mm. Sedangkan PS dan MM menghasilkan nilai yang cukup serupa, dan SURE sedikit lebih teliti dari keduanya. Sekali lagi PS menghasilkan awan titik yang lebih lengkap dibandingkan MM dan SURE (perhatikan bagian atas dan samping relief). Selain itu, awan titik yang dihasilkan oleh PMVS jauh lebih renggang dibandingkan hasil yang lainnya. Ini dapat dijelaskan melalui perbedaan pendekatan PMVS dalam melakukan pencocokan rapat, dimana PMVS menggunakan pendekatan pencocokan pada sistem objek sedangkan PS, MM dan SURE pada sistem citra (lihat Gambar 2). 4.3

Gerbang Barat Laut Katedral, Reims, Perancis

Data ketiga diambil di Gereja Katedral Notre-Dame de Reims, Perancis yang dibangun pada abad ke-13 Masehi. Data diambil dari gerbang barat laut gereja ini yang memiliki ukiran, patung, dan relief yang kompleks. Foto diambil dengan menggunakan kamera Nikon D3200 dengan panjang fokal lensa 23 mm dan ukuran piksel 7 mikron. Jarak rerata dari objek ke kamera adalah sekitar 5 meter, sehingga ukuran piksel-objek rata-rata yang dapat diperoleh dari data ini adalah 1.5 mm. Pada data ini, perangkat lunak yang diujicobakan yaitu PS, AP, PM, dan VSFM. Analisis dilakukan tidak terhadap hasil pencocokan rapat, melainkan pada hasil PBF dari masing-masing perangkat lunak. Sebagai data referensi, hasil PBF dari keempat perangkat lunak digabungkan dan dibentuk menjadi model jaring.

PS, μ= 1.3 cm, σ = 5.6 cm


249

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Model jaring bertekstur (PS)

PM, μ= 0.5 mm, σ = 5.1 mm

AP, μ= 0.8 cm, σ = 11.6 mm

VSFM, μ= 1.8 mm, σ = 7.6 mm

Gambar 2. Perbandingan hasil pencocokan berbasis fitur untuk data Reims dari empat perangkat lunak yang diujicobakan terhadap permukaan rerata; μ adalah kesalahan rerata dan σ adalah simpangan baku.

Terlihat pada Gambar 6, PS dan VSFM meberikan hasil yang cukup serupa. Dari sisi kesalahan rerata, AP dan PM memberikan hasil yang paling baik, namun demikian AP menghasilkan persebaran yang lebih luas, dengan nilai standar deviasi lebih dari 10 mm. Sebaliknya PM memiliki nilai standar deviasi yang lebih rendah, namun hal ini juga disebabkan oleh kurangnya titik di beberapa bagian fasad. PS dan VSFM menghasilkan awan titik yang lebih bersih dengan persebaran yang relatif rendah, namun demikian kesalahan sistematik pada kedua kasus ini cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kesalahan rerata yang mencapai 1.8 mm untuk VSFM). 5.

KESIMPULAN

Teknik pencocokan citra merupakan kemajuan teknologi yang sangat penting dalam ranah ilmu fotogrametri dan penglihatan komputer. Teknik ini memungkinkan dihasilkannya awan titik rapat yang berasal dari citra 2D. Dalam konteks dokumentasi cagar budaya, teknik ini membuka peluang untuk dilakukannya dokumentasi 3D dari benda-benda cagar budaya; hal yang selama ini lebih sering dilakukan secara 2D (melalui gambar, sketsa, foto, dll.). Lebih jauh, kemungkinkan untuk menggunakan perangkat yang relatif berbiaya rendah membuka peluang bagi konservator, surveyor, atau arkeolog untuk melakukan dokumentasi dengan mudah. Dalam hal ini peralatan minimal yang dibutuhkan adalah kamera, komputer, dan alat pengukur untuk memberikan faktor skala pada objek. Hal ini merupakan terobosan besar dalam ranah dokumentasi 3D, sebagai alternatif (atau komplemen) terhadap teknik pemindaian laser. Seperti dapat terlihat dalam makalah ini, teknik korespondensi citra sendiri terbagi dalam beberapa kategori seperti PBF dan PBA. Penggunaan untuk masing-masing kategori perlu disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Selain itu, protokol pengambilan dan pengolahan data juga merupakan bagian penting dari sebuah proyek dokumentasi cagar budaya. Protokol yang sistematis dapat membantu agar pelaksanaan proyek berjalan lancar, tanpa perlu pengambilan ulang data ke lapangan. Berbagai solusi perangkat lunak pencocokan citra dapat ditemui di pasaran, seperti telah dibahas dalam makalah ini. Beberapa diantaranya bersifat komersil dan menawarkan solusi


250

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

yang cepat, namun demikian pengguna sebaiknya tetap berhati-hati dalam pemakaiannya. Di lain pihak, sejumlah perangkat lunak sumber terbuka juga dapat memberikan hasil yang sangat baik dan sebanding dengan hasil dari perangkat lunak komersil. Dengan demikian, pemilihan perangkat lunak yang digunakan dalam sebuah proyek dokumentasi cagar budaya harus disesuaikan dengan kebutuhan dengan melihat sejumlah faktor seperti anggaran, tingkat kemampuan pengguna, ataupun hasil akhir yang diinginkan. DAFTAR ISTILAH DAN PADANAN KATA awan titik pencocokan berbasis area pencocokan berbasis fitur pencocokan citra pencocokan rapat pencocokan semi-global model jaring pemindai laser terestris penglihatan komputer persamaan kesebidangan persamaan kesegarisan ukuran piksel-objek

: point cloud : Area-Based Matching (ABM) : Feature-Based Matching (FBM) : image matching : dense matching : Semi-Global Matching (SGM) : mesh model : terrestrial laser scanner (TLS) : computer vision : coplanarity equation : colinearity equation : Ground Sampling Distance (GSD)

DAFTAR REFERENSI Achille, C., Adami, A., Chiarini, S., Cremonesi, S., Fassi, F., Fregonese, L., Taffurelli, L., 2015. UAVbased photogrammetry and integrated technologies for architectural applications methodological strategies for the after-quake survey of vertical structures in Mantua (Italy). Sensors (Switzerland) 15, 15520–15539. Baiocchi, V., Dominici, D., Mormile, M., 2013. UAV application in post-seismic environment. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-1/W2, 21–25. Barsanti, S.G., Remondino, F., Fenández-Palacios, B.J., Visintini, D., 2014. Critical factors and guidelines for 3D surveying and modelling in Cultural Heritage. International Journal of Heritage in the Digital Era 3, 141–158. Bay, H., Tuytelaars, T., Van Gool, L., 2006. SURF: Speeded up robust features. Lecture Notes in Computer Science 3951 LNCS, 404–417. Börlin, N., Grussenmeyer, P., 2013. Bundle adjustment with and without damping. Photogrammetric Record 28, 396–415. Chiabrando, F., Donadio, E., Rinaudo, F., 2015. SfM for orthophoto generation: a winning approach for cultural heritage knowledge. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-5/W7, 91–98. Fraser, C., 2013. Automatic Camera Calibration in Close Range Photogrammetry. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 79, 381–388. Furukawa, Y., Ponce, J., 2009. Accurate, dense, and robust multi-view stereopsis. IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence 32, 1362–1376.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

251

González-Aguilera, D., López-Fernández, L., Rodriguez-Gonzalvez, P., Guerrero, D., HernandezLopez, D., Remondino, F., Menna, F., Nocerino, E., Toschi, I., Ballabeni, A., Gaiani, M., 2016. Development of an all-purpose free photogrammetric tool. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives 41, 31– 38. Granshaw, S.I., 2016. Photogrammetric Terminology: Third Edition. The Photogrammetric Record 31, 210–252. Grenzdörffer, G.J., Naumann, M., Niemeyer, F., Frank, A., 2015. Symbiosis of UAS Photogrammetry and TLS for Surveying and 3D Modeling of Cultural Heritage Monuments - a Case Study About the Cathedral of St. Nicholas in the City of Greifswald. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-1/W4, 91–96. Grussenmeyer, P., Al Khalil, O., 2017. From metric image archives to point cloud reconstruction: case study of the Great Mosque of Aleppo in Syria, in: Proceedings of the 26th CIPA Symposium, 28th August - 1st September 2017, Ottawa, Canada. Grussenmeyer, P., Al Khalil, O., 2002. Solutions for exterior orientation in photogrammetry: a review. The Photogrammetric Record 17, 615–634. Grussenmeyer, P., Burens, A., Moisan, E., Guillemin, S., Carozza, L., Bourrillon, R., Petrognani, S., 2012. 3D multi-scale scanning of the archaeological cave les Fraux in Dordogne (France). Lecture Notes in Computer Science (including subseries Lecture Notes in Artificial Intelligence and Lecture Notes in Bioinformatics) 7616 LNCS, 388–395. Grussenmeyer, P., Hanke, K., Streilein, A., 2002. Architectural Photogrammety, in: Kasser, M., Egels, Y. (Ed.), Digital Photogrammetry. Taylor & Francis, hal. 300–339. Grussenmeyer, P., Landes, T., Alby, E., Carozza, L., 2010. High Resolution 3D Recording and Modelling of the Bronze Age Cave “Les Fraux” in Perigord (France). Proceedings of the Isprs Commission V Mid-Term Symposium Close Range Image Measurement Techniques 38, 262– 267. Grussenmeyer, P., Landes, T., Voegtle, T., Ringle, K., 2008. Comparison methods of terrestrial laser scanning, photogrammetry and tachometry data for recording of cultural heritage buildings. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives Vol. XXXVI, 213–218. Hanan, H., Suwardhi, D., Nurhasanah, T., Bukit, E.S., 2015. Batak Toba Cultural Heritage and Closerange Photogrammetry. Procedia - Social and Behavioral Sciences 184, 187–195. Harris, C., Stephens, M., 1988. A Combined Corner and Edge Detector. Procedings of the Alvey Vision Conference 1988 147–151. Hartley, R., Zisserman, A., 2003. Multiple View Geometry in Computer Vision, 2nd ed. Cambridge University Press. Hastedt, H., Luhmann, T., 2015. Investigations on the Quality of the Interior Orientation and Its Impact in Object Space for UAV Photogrammetry. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-1/W4, 321–328. Hirschmüller, H., 2011. Semi-Global Matching Motivation, Developments and Applications. Photogrammetric Week 173–184. Hirschmüller, H., 2005. Accurate and efficient stereo processing by semi-global matching and mutual information. IEEE International Conference on Computer Vision and Pattern Recognition 2,


252

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

807–814. ICOMOS, 1964. The Venice Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. Lachat, E., Landes, T., Grussenmeyer, P., 2017. First Experiences with the Trimble SX10 Scanning Total Station for Building Facade Survey. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Lachat, E., Macher, H., Mittet, M.A., Landes, T., Grussenmeyer, P., 2015. First experiences with kinect V2 sensor for close range 3D modelling. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives 40, 93–100. doi:10.5194/isprsarchives-XL-5-W4-93-2015 Lerma, J.L., Navarro, S., Cabrelles, M., Villaverde, V., 2010. Terrestrial laser scanning and close range photogrammetry for 3D archaeological documentation: the Upper Palaeolithic Cave of Parpallo as a case study. Journal of Archaeological Science 37, 499–507. Lowe, D.G., 2004. Distinctive image features from scale invariant keypoints. International Journal of Computer Vision 60, 91–110. Luhmann, T., Robson, S., Kyle, S., Boehm, J., 2014. Close-Range Photogrammetry and 3D Imaging, 2nd ed. De Gruyter. Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., 2017. Documentation of Heritage Buildings using Close Range UAV Images: Dense Matching Issues, Comparison, and Case Studies. The Photogrammetric Record 32. Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., Freville, T., 2017a. Close Range UAV Accurate Recording and Modeling of St-Pierre-le-Jeune Neo-Romanesque Church in Strasbourg (France). ISPRS International Archives of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XLII-2/W3, 519–526. Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., Guillemin, S., Prilaux, G., 2017b. Centenary of the Battle of Vimy (France, 1917): Preserving the Memory of the Great War Through 3D Recording of the Maison Blanche Souterraine, in: Proceedings of the 26th CIPA Symposium, 28th August - 1st September 2017, Ottawa, Canada. Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., Koehl, M., Freville, T., 2016. Acquisition and Processing Experiences of Close Range UAV Images for the 3D Modeling of Heritage Buildings, in: Ioannides, M., Fink, E., Moropoulou, A., Hagedorn-Saupe, M., Fresa, A., Liestøl, G., Rajcic, V., Grussenmeyer, P. (Ed.), Digital Heritage. Progress in Cultural Heritage: Documentation, Preservation, and Protection: 6th International Conference, EuroMed 2016, Nicosia, Cyprus, October 31 -- November 5, 2016, Proceedings, Part I. Springer International Publishing, hal. 420–431. Nony, N., De Luca, L., Godet, A., Pierrot-Deseilligny, M., Remondino, F., Van Dongen, A., Vincitore, M., 2012. Protocols and assisted tools for effective image-based modeling of architectural elements. Progress in Cultural Heritage Preservation 7616 LNCS, 432–439. Pierrot-Deseilligny, M., Clery, I., 2012. Apero, an Open Source Bundle Adjusment Software for Automatic Calibration and Orientation of Set of Images. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XXXVIII, 269–276. Pierrot-Deseilligny, M., De Luca, L., Remondino, F., 2011. Automated image-based procedures for accurate artifacts 3D modeling and orthoimage generation. Proceedings of the XXIIIrd International CIPA Symposium.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

253

Remondino, F., 2011. Heritage recording and 3D modeling with photogrammetry and 3D scanning. Remote Sensing 3, 1104–1138. Remondino, F., Barazzetti, L., Nex, F., Scaioni, M., Sarazzi, D., 2011. UAV photogrammetry for mapping and 3D modeling - current status and future perspectives. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XXXVIII, 25–31. Remondino, F., Del Pizzo, S., Kersten, T.P., Troisi, S., 2012. Low-cost and open-source solutions for automated image orientation–a critical overview. Progress in Cultural Heritage Preservation 7616 LNCS, 40–54. Remondino, F., Spera, M.G., Nocerino, E., Menna, F., Nex, F., 2014. State of the art in high density image matching. The Photogrammetric Record 29, 144–166. Remondino, F., Spera, M.G., Nocerino, E., Menna, F., Nex, F., Gonizzi-Barsanti, S., 2013. Dense image matching: Comparisons and analyses. Proceedings of the Digital Heritage 2013 1, 47– 54. Schenk, T., 2005. Introduction to Photogrammetry. Department of Civil and Environmental Engineering and Geodetic Science, The Ohio State University. Suwardhi, D., Menna, F., Remondino, F., Hanke, K., Akmalia, R., 2015. Digital 3D Borobudur Integration of 3D Surveying and Modeling Techniques. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-5/W7, 417–423. Szeliski, R., 2010. Computer Vision : Algorithms and Applications. Springer. von Schwerin, J., Richards-Rissetto, H., Remondino, F., Agugiaro, G., Girardi, G., 2013. The MayaArch3D project: A 3D webGIS for analyzing ancient architecture and landscapes. Literary and Linguistic Computing 28, 736–753. Waldhäusl, P., Ogleby, C., Lerma, J.L., Georgopoulos, A., 2013. 3 x 3 rules for simple photogrammetric documentation of architecture. Wenzel, K., Rothermel, M., Fritsch, D., Haala, N., 2013a. Image acquisition and model selection for multi-view stereo. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL, 251–258. Wenzel, K., Rothermel, M., Haala, N., Fritsch, D., 2013b. SURE – The IfP software for dense image matching. Photogrammetric Week 2013 59–70. Wolf, P., DeWitt, B., Wilkinson, B., 2014. Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, 4th ed. McGraw-Hill Education.


254

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

BIOGRAFI PENULIS Arnadi Dhestaratri Murtiyoso Lulus dari program S-1 Teknik Geodesi dan Geomatika ITB (Institut Teknologi Bandung) pada tahun 2011 dan kemudian menyelesaikan program Diplôme d’ingÊnieur topographe dari Institut Nasional untuk Sains Terapan (INSA) Strasbourg (Perancis) pada tahun 2016. Saat ini tengah menjalani studi doktoral di Universitas Strasbourg (Perancis) di bidang fotogrametri arsitektural dan geomatika. Bidang riset yang diminati mencakup dokumentasi cagar budaya, fotogrametri, pemindaian laser, dan Historical Building Infomation Modeling (HBIM).

Deni Suwardhi Lulus dari program S-1 Teknik Geodesi dan Geomatika ITB pada tahun 1993. Pada tahun 1996 mendapatkan gelar Magister di bidang Teknik Informatika ITB. Gelar Doktor kemudian diperoleh pada tahun 2008 dari Universiti Teknologi Malaysia, Johor Bahru, Malaysia. Bidang riset yang diminati yaitu pengembangan metode untuk survei, pemodelan, penyimpanan, analisis, dan visualisasi spasial, temporal, dan semantik beresolusi tinggi. Sejak 1996 menjabat sebagai dosen di Kelompok Keahlian Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis ITB, dan pernah menjadi peneliti pasca-doktoral di Unit Survei dan Geoinformasi Universitas Innsbruck, Austria pada tahun 2013.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

255

Pemanfaatan Teknologi Light Detection And Ranging (Lidar) Dalam Pemodelan Banjir Akibat Luapan Air Sungai Nur Asriyah1, Agung Budi Harto1,2, Ketut Wikantika1,2 1 Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung 2 Center for Remote Sensing (CRS), Institut Teknologi Bandung email : 1nurasriyah@s.itb.ac.id, 2agung@gd.itb.ac.id, 3ketut@gd.itb.ac.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuat model genangan banjir akibat luapan air sungai Cikapundung dari data DEM hasil pengukuran teknologi LIDAR untuk menunjukkan kawasan berpotensi banjir sehingga dapat membantu dalam upaya mitigasi bencana banjir.Analisis pemodelan banjir memerlukan data topografi yang akurat untuk mendukung kualitas hasil pemodelan banjir. Saat ini, LIDAR merupakan teknologi penginderaan jauh terbaik yang digunakan untuk membuat relief permukaan bumi dalam bentuk tiga dimensi yang dimana sering disebut sebagai DEM (Digital Elevation Model). Tugas akhir ini membahas tentang pemanfaatan teknologi LIDAR dalam analisis genangan banjir akibat luapan sungai berdasarkan simulasi model hidrodinamik. Pemetaan genangan banjir berdasarkan simulasi model hidrodinamik dapat memberikan gambaran yang cukup baik mengenai daerah-daerah di sekitar sungai yang berpotensi tergenang banjir. Hasil pemetaan genangan banjir dalam penelitian ini sangat bermanfaat untuk upaya mitigasi bencana banjir pada daerah studi. Kata kunci: LIDAR, DEM, Simulasi model hidrodinamik. Abstract The purpose of this thesis is to create a model of flooding caused by flood waters of Cikapundung River from DEM data of LIDAR technology measurement to show potential flood areas so that it can assist in mitigation of flood disaster.Flood analysis requires accurate topographic data to obtain a good overview of flood inundation. At this time, LIDAR is the best technology of remote sensing for collecting elevation data from earth surface. This elevation data can be used to create relief of the earth’s surface in three-dimensional format which is often referred to as a DEM. This undergraduate thesis dealt with the utilization of LIDAR technology in analysis of flood inundation due to overflowing river based on simulation of hydrodynamic model. The flood inundation map based on simulation of hydrodynamic model can show the potential flood areas around the river pretty good. The result of flood inundation map in this thesis can be used for flood disaster mitigation on study area. Keywords: LIDAR, DEM, Simulation of hydrodynamic model. 1. PENDAHULUAN Bencana banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi pada kota-kota besar di Indonesia. Hal ini menunjukkan kurangnya penanggulangan dari pihak pemerintah selaku


256

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

pengelola area. Selain itu bencana banjir tentunya menyebabkan kerugian seperti terjadinya kerusakan infrastruktur, kerusakan lingkungan, kerusakan pemukiman dan lain-lain (Al Amin, 2015). Seiring dengan kejadian tersebut, diperlukan sebuah rencana mitigasi yang tepat agar musibah banjir tidak terjadi lagi. Salah satu upaya untuk merencanakan mitigasi bencana banjir adalah dengan melakukan serangkaian analisis mengenai dampak genangan banjir terhadap daerah-daerah di sekitar sungai. Untuk melakukan hal itu diperlukan sebuah model banjir yang didasari oleh data DEM di kawasan terkait. Peta DEM dapat menunjukkan relief permukaan bumi serta dapat memberikan geometri penampang sungai dan daerah-daerah di sekitar sungai. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membuat peta DEM, diantaranya pengukuran manual di lapangan, penggunaan citra satelit seperti SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dan ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer), teknologi IFSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar), dan LIDAR. Namun kelemahan pengukuran manual adalah membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh hasil yang cukup akurat, sedangkan kelemahan citra satelit SRTM dan ASTER adalah resolusi yang relatif rendah untuk analisis genangan banjir yang detil, yaitu hanya berkisar 30 m x 30 m. Teknologi IFSAR dapat menghasilkan DEM dengan resolusi yang akurat, namun umumnya digunakan untuk daerah yang cukup luas. Untuk daerah yang lebih spesifik, terutama dengan tingkat densitas vegetasi yang cukup tinggi, IFSAR tidak dapat digunakan (Mercer, 2001; Hodgson, et al., 2003; National Research Council of The National Academies, 2007). Pada saat ini, teknologi LIDAR dianggap yang terbaik dalam menghasilkan peta DEM yang akurat dengan resolusi yang sangat tinggi, yaitu dapat mencapai 1 m x 1 m dan bahkan kurang dari 1 m. (Al Amin, 2015) Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan pembuatan DEM dan model banjir akibat luapan air sungai dengan menggunakan teknologi LIDAR. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam mencari solusi untuk mitigasi bencana banjir. 2

METODE DAN DATA

Secara umum, metodologi penelitian yang dilakukan dalam pembuatan tugas akhir ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1.1 Diagram alur penelitian

257


258

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. Data-data titik ketinggian LIDAR diperoleh berdasarkan data point cloud yang telah diukur oleh PT Karvak sebelumnya. Data LIDAR tersebut perlu dilakukan koreksi atau kliring data agar data point cloud yang eror dapat dihilangkan sehingga diperoleh data LIDAR yang lebih akurat. 2. Pembuatan DEM dilakukan menggunakan perangkat lunak Global mapper 16 berdasarkan titik-titik ketinggian untuk klasifikasi ground pada data LIDAR. DEM yang telah dibuat selanjutnya diekspor ke dalam format raster dengan ekstensi *.GeoTiff. 3. DEM yang telah dibuat selanjutnya dibuka pada perangkat lunak ArcGIS 10. Modul HEC-GeoRAS yang telah diinstal di ArcGIS 10 digunakan untuk membuat model geometri sungai, di antaranya alur saluran utama dan bantaran sungai, serta penampang melintang sungai. 4. Model geometri sungai disimulasikan menggunakan perangkat lunak HEC-RAS 4.0. Simulasi dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi tertentu seperti nilai kekasaran manning untuk setiap land use, dan nilai variasi debit banjir. 5. Hasil simulasi profil banjir untuk setiap debit banjir selanjutnya diimpor ke dalam HEC-GeoRAS sehingga diperoleh batas-batas dan kedalaman genangan banjir. 6. Hasil delineasi genangan banjir selanjutnya di-overlay dengan foto udara yang sudah ortofoto sehingga dapat diperoleh gambaran daerah-daerah di sekitar sungai yang tergenang banjir. 2.2 Light Detection and Ranging (LIDAR) LIDAR merupakan suatu sistem pengindraan jauh dengan sensor aktif yang mengukur pantulan cahaya untuk mencari jangkauan dan jarak dari suatu target (Measures, 1984). LIDAR memiliki efisiensi dan validitas yang baik sebagai sumber data untuk ketinggian medan rupa bumi. (Center, 2012).Terdapat 3 komponen utama dalam sistem LIDAR, yaitu Sensor LIDAR, GPS (Global Positioning System), dan IMU (Inertial Measuring Unit) (Vannessyardi, 2011).Pemetaan mengunakan data LIDAR merupakan suatu metode yang diterima dalam mengumpulkan informasi spasial secara presisi dan langsung tergeoreferensi mengenai karakteristik objek dan permukaan bumi (Center, 2012). Cakupan area yang luas dalam sekali pengambilan data pun turut menjadi poin lebih dari pemanfaatan LIDAR. Hal ini akan memberi banyak keuntungan terutama dalam efektivitas biaya maupun volume kerja dari suatu proyek. Secara umum prinsip kerja LIDAR adalah gelombang laser memancarkan pulsa dan memindai objek pada permukaan bumi, kemudian akan diukur waktu tempuh pulsa laser menuju suatu objek sampai kembali ke sensor. Hasil ukuran waktu tempuh tersebut dapat digunakan untuk menghitung jarak sensor ke objek. Setelah itu nilai jarak dan sudut pancaran akan dikoreksi menggunakan IMU untuk mendapatkan koreksi pergerakan wahana. Posisi tiga dimensi setiap titik yang direkam datanya akan didapatkan dari IMU yang diintegrasikan dengan GPS. GPS digunakan untuk terus mengatur ulang IMU agar mampu mendapatkan posisi dengan akurasi tinggi. Posisi GPS telah diikatkan pada sebuah stasiun pengamat, dan stasiun ini memberikan faktor koreksi bagi unit GPS yang terpasang di wahana. Ilustrasi prinsip kerja LIDAR ditunjukan pada Gambar 1.2.


259

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1.2 Ilustrasi prinsip kerja LIDAR (Center, 2012)

Perbedaan waktu antara ketika sinar laser dipancarkan dan ketika sinar laser diterima oleh receiver optis dikalkulasi oleh perangkat lunak khusus untuk memproses dan mengkonversi data tersebut menjadi jarak terukur (Center, 2012): đ??ˇ = đ?‘?. ∆đ?‘Ą/2

(1.1)

Pada persamaan (1.1) diketahui bahwa D adalah jarak antara sensor dan objek yang diukur, c merupakan kecepatan cahaya, dan t adalah jarak tempuh sinyal pada pengukuran dengan pulsa laser. LIDAR dapat menghasilkan kerapatan titik (point cloud) 1-9 titik/đ?‘š 2, hal ini bergantung dari beberapa faktor, di antaranya adalah metode akuisi (tinggi terbang, jenis konfigurasi sensor dan jenis permukaan), sudut pandang sensor ke permukaan bumi (field of view) (Kandia, 2012). Akurasi vertikal dari data LIDAR adalah kurang dari 20 cm dan untuk horizontalnya adalah 30-50 cm dalam range 15-24 cm dan horizontal 30-64 cm (Center, 2012). 2.3 Pengolahan Data LIDAR dan Pembentukan Model DTM Pada tugas akhir ini, data LIDAR diolah untuk menghasilkan DTM yaitu suatu model tiga dimensi yang menggambarkan permukaan tanah dari area studi tersebut. Model ini nantinya digunakan untuk membuat model dataran banjir akibat luapan air sungai. Sebelum mencapai hasil akhir tersebut diperlukan proses panjang untuk data mentah LIDAR yang digunakan. Beberapa tahapan dilakukan penulis dalam tugas akhir ini antara lain klasifikasi titik dan pembentukan model DTM. Pada intinya melakukan klasifikasi pada penelitian ini adalah membedakan kelas ground dengan kelas non ground. Terdapat parameter-parameter yang digunakan sebagai ambang batas penentuan titik mana yang diklasifikasikan sebagai ground dan non ground. Setelah penentuan parameter tersebut maka proses iterasi akan terus dilakukan sampai semua titik telah terklasifikasi sebagai ground dan non ground. Dalam penelitian ini klasifikasi dilakukan dengan dua tahapan yaitu klasifikasi semi-automatis dan manual. Parameter-parameter yang digunakan dalam melakukan klasifikasi ke dalam kelas ground ditunjukkan dalam Tabel 1.1


260

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1.1 Nilai parameter dalam klasifikasi semi-automatis untuk kelas ground Parameter

Value

Minimum Height Departure from Local Mean

0.25 Meters

Maximum Height Delta

100 Meters

Terrain Slope

5 Degrees

Nilai-nilai parameter tersebut di atas akan menentukan kualitas dari hasil klasifikasi. Nilainilai tersebut didapatkan setelah dilakukan beberapa kali iterasi hingga didapat hasil klasifikasi yang terbaik. Hasil dari Klasifikasi Semi-automatis adalah data point clouds terbagi ke dalam kelas-kelas ground dan non ground berdasarkan kesamaan karakteristik titik-titik tersebut. Namun dari hasil klasifikasi tersebut terlihat masih ada beberapa titik yang dianggap tidak sesuai dengan kelas di sekitarnya. Untuk mengantisipasi hasil klasifikasi semi-automatis yang belum seluruhnya benar, maka diperlukan suatu proses pengecekan ulang terhadap klasifikasi data point clouds yang dilakukan secara manual. Biasanya manual classification dilakukan dengan menyandingkan potongan melintang dari area studi dengan ortofoto yang ada agar bisa dilihat kesesuaian pembagian kelas dengan keadaan sebenarnya. Data point clouds yang telah terklasifikasi menjadi kelas ground akan dibentuk menjadi DTM. Dari hasil tersebut maka bentuk geometri dari area studi dapat terlihat. DTM diperoleh melalui interpolasi titik-titik ground tersebut. 2.3 Pembuatan Model Dataran Banjir Dalam penelitian ini pembuatan model dataran banjir akibat luapan air sungai dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap pembuatan model geometri sungai, serta tahap pembuatan model hidrodinamik. Model geometri sungai dalam penelitian ini meliputi panjang alur utama sungai, bantaran sungai, serta elevasi untuk setiap penampang melintang sungai. Pembuatan model geometri sungai dilakukan menggunakan modul HEC-GeoRAS 10.1 yang dipasang dalam perangkat lunak ArcGIS 10. Pembuatan model geometri sungai diawali dengan impor DTM ke dalam ArcGIS 10. Selanjutnya dilakukan digitasi alur utama sungai, dan bantaran kiri serta kanan sungai. Kemudian dilakukan digitasi kembali untuk penampang-penampang melintang sungai. Alur dan penampang sungai secara otomatis akan mengikuti topografi dari DEM yang telah diimpor sebelumnya. Data geometri sungai seperti stasiun, panjang, dan elevasi untuk setiap penampang sungai secara otomatis dibuat berdasarkan hasil digitasi. Selain data geometri sungai, pada tahap ini juga diperlukan data landuse yang memiliki nilai kekasaran manning. Data ini diperlukan karena pada saat simulasi profil muka air banjir dilakukan, kecepatan aliran air dari luapan sungai akan dipengaruhi oleh nilai kekasaran manning tersebut. Di Baldassarre (2012) menjelaskan bahwa HEC-RAS merupakan salah satu model hidrodinamik yang dapat digunakan untuk simulasi hidrolika profil aliran dan dataran banjir dengan penerapannya pada sungai dengan panjang puluhan sampai dengan ratusan kilometer


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

261

tergantung pada ukuran daerah aliran sungai (DAS). Al Amin, et al. (2015) menjelaskan potensi genangan banjir di sepanjang sungai dapat divisualisasikan melalui penelusuran banjir di sepanjang sungai menggunakan HEC-RAS. Luasan genangan banjir dimodelkan sebagai tampungan reservoir, dimana geometrinya didefinisikan menggunakan hubungan level muka air terhadap volume. 2.4 Pemetaan Genangan Banjir Batas-batas genangan banjir yang telah diperoleh dapat digunakan untuk pemetaan genangan banjir. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat overlay antara batas-batasgenangan dengan foto udara. Foto udara yang digunakan harus ortofo yaitu hasil foto udara yang sudah melalui proses sehingga proyeksinya ortogonal. Selanjutnya pemetaan genangan banjir dibuat dengan mengikuti kaidah kartografi agar informasi lokasi genangan banjir dapat tersampaikan dengan baik melalui peta tersebut sehingga dapat memberikan gambaran mengenai daerah-daerah di sekitar sungai yang berpotensi tergenang banjir. 2.5 Area Studi dan Data Penelitian Penelitian ini berlokasi diKota Bandung di wilayah kecamatan Coblong dan Cihampelas dimana pada area tersebut terdapat anak Sungai Cikapundung. Seperti diitunjukkan pada Gambar 1.3 berikut adalah lokasi area penelitian dalam tugas akhir ini.

Gambar 1.3 Area lokasi penelitian dilakukan


262

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Data yang diperlukan dalam penelitian No. 1.

Data Yang Diperlukan Data LIDAR

Sumber Data

Kegunaan

Keterangan

PT Karvak

Untuk membuat model DTM

Waktu akuisisi data: tahun 2012 Kerapatan: Âą 1-2 points/m2 Referensi koordinat: WGS84 UTM Zona 48S

2.

Ortofoto

PT Karvak

Untuk uji kualitas DTM, untuk membantu dalam pembuatan model geometri sungai, untuk pemetaan genangan banjir.

Waktu akuisisi data: Tahun 2012 Resolusi: 0.1 x 0.1 meter Referensi koordinat: WGS84 UTM Zona 48S

3.

3

Nilai kekasaran manning dari landuse area studi

Digitasi sendiri

Untuk pemodelan geometri sungai dan hidrodinamik

Digitasi dilakukan menggunakan Software ArcGIS dan nilai kekasaran manning didapatkan dari literatur-literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Klasifikasi Point Clouds LIDAR Pada tahap klasifikasi point clouds mengalami dua jenis klasifikasi yaitu klasifikasi semiautomatis dan klasifikasi manual. Point clouds dibagi menjadi dua kelas yaitu non ground dan ground. Terlihat pada Gambar 3.1 di bahwa dimana titik-titik berwarna coklat menunjukkan kelas ground dan warna abu menunjukkan kelas non ground.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

263

Gambar 3.1 Gambaran titik-titik hasil klasifikasi pada area studi

3.2 Hasil Pembentukan Model DTM Selanjutnya setelah titik-titik terklasifikasi sebagai kelas ground dan non ground akan dibentuk suatu model DTM yang berasal dari kelas ground. Model DTM yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan model DTM dalam bentuk Grid. Untuk DTM yang dihasilkan oleh struktur data grid ditunjukkan pada Gambar 3.2. Warna berada pada tampilan greyscale yang mana semakin gelap maka semakin menujukkan area dengan nilai ketinggian lebih kecil.

Gambar 3.2 Hasil model DTM dalam bentuk grid

3.3 Hasil Pemodelan Geometri Sungai Setelah DTM dari area studi terbentuk, DTM digunakan dalam pembuatan model geometri sungai pada area studi. DTM di-overlay dengan ortofoto area studi untuk memudahkan dalam melakukan digitasi geometri sungai seperti alur utama sungai, bantaran sungai, dan penampang melintang sungai. Gambar 3.3 menunjukkan hasil digitasi alur dan penampang sungai.


264

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(b)

(a)

Gambar 3.3 (a) Hasil digitasi alur dan penampang sungai di HEC-GeoRAS 10.1, dan (b) model geometri sungai di HEC-RAS 4.1

3.4 Hasil Pemodelan Hidrodinamik Hasil pemodelan geometri sungai selanjutnya digunakan untuk membuat pemodelan hidrodinamik yaitu simulasi profil muka air banjir dari luapan air sungai menggunakan HEC-RAS 4.1. Untuk melakukan simulasi profil muka air banjir tersebut dibutuhkan data debit air dan kemiringan topografi rata-rata sepanjang sungai. Kemiringan topografi rata-rata sepanjang sungai didapat sebesar 0.0125. Nilai kemiringan topografi rata-rata tersebut didapat darii hasil perhitungan manual oleh penulis. Pada tahap ini telah dilakukan iterasi untuk melihat nilai debit air pada saat air memenuhi sungai, pada saat air mulai meluap dan pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai. Setelah dilakukan iterasi untuk beberapa nilai debit air, didapat nilai debit air pada saat air memenuhi sungai adalah sebesar 20 m3/s, nilai debit air pada saat air mulai meluap adalah sebesar 25 m3/s dan nilai debit air pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai adalah sebesar 110 m3/s. Hasil simulasi profil muka air banjir untuk penampang melintang salah satu crossline dan perspektif tiga dimensi di sepanjang sungai untuk masing-masing debit ditunjukkan dalam Gambar 3.4

(a)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

265

(b)

(c) Gambar 3.4. Tinggi muka air banjir di penampang melintang sungai salah satu crossline (a) saat debit air sungai 20 m3/s, (b) saat debit air sungai 25 m3/s, dan (c) saat debit air sungai 110 m3/s

3.5 Hasil Delineasi Genangan Banjir Profil muka air banjir yang telah disimulasikan selanjutnya diimpor ke dalam HECGeoRAS, sehingga dapat dilakukan delineasi genangan banjir berdasarkan ketinggian muka air di sepanjang sungai. Delineasi genangan banjir menghasilkan batas-batas dan kedalaman genangan banjir. Hasil delineasi genangan banjir ditunjukkan pada Gambar 3.5.

(a)

(b)


266

Gambar 3.5.

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(c) Hasil delineasi genangan banjir untuk debit air sebesar (a) 20 m3/s, (b) 25 m3/s dan (c) 110 m3/s

3.6 Hasil Pemetaan Genangan Banjir Batas-batas genangan yang telah diperoleh dari proses delineasi genangan banjir dapat digunakan untuk membuat peta genangan banjir.Hal ini dapat dilakukan dengan membuat overlay antara batas-batas genangan dengan foto udara. Gambar 3.6 di bawah ini menunjukkan hasil pemetaan genangan banjir.

(a)

(b)


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

267

(c) Gambar 3.6.

Hasil pemetaan genangan banjir untuk debit air sebesar (a) 20 m3/s, (b) 25 m3/s dan (c) 110 m3/s

3.7 Analisis Titik-titik di dalam area penelitian ini dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas ground dan non ground. Namun dari hasil klasifikasi semi-automatis masih sering ditemukan kesalahan pengklasifikasian. Ada titik-titik yang seharusnya masuk ke dalam kelas ground namun masuk ke dalam kelas non ground, ataupun sebaliknya. Hal tersebut disebabkan oleh nilai-nilai parameter yang belum tentu sesuai di seluruh area. Maka perlu dilakukan klasifikasi jenis kedua yaitu secara manual. Klasifikasi manual dilakukan dengan memanfaatkan potongan melintang suatu bagian dari area kemudian menyandingkan potongan melintang dari area tersebut dengan ortofoto yang ada agar bisa dilihat kesesuaian pembagian kelas dengan keadaan sebenarnya. Klasifikasi manual akan rentan terhadap kesalahan operator apabila tidak secara cermat menandai titik mana yang dianggap salah kelas. Secara keseluruhan dengan menggunakan data LIDAR dan perangkat lunak pengolah data LIDAR pembagian kelas untuk area yang relatif luas lebih mudah dilakukan. Selain itu dengan adanya dua tahapan dalam melakukan klasifikasi maka hasil klasifikasi menjadi lebih akurat serta lebih efektif jika dilihat dari segi waktu pengerjaan. DTM yang dihasilkan akan erat kaitannya dengan hasil klasifikasi yang dilakukan sebelumnya. Apabila masih terdapat titik-titik yang masuk ke dalam kelas yang salah dapat menimbulkan beberapa spikes dan mengakibatkan DTM yang dihasilkan tidak mendekati bentuk permukaan yang sebenarnya. Bentuk DTM yang dihasilkan kemudian dicocokan dengan orthophoto yang ada. Hasil pun menunjukkan bahwa DTM menyerupai keadaan permukaan bumi yang sebenarnya namun belum secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan nilai kerapatan data LIDAR yang hanya sebesar Âą 1-2 points/m2 kurang mendukung dalam pembuatan model DTM yang lebih akurat dan lebih detail. Namun hasil model DTM dirasa cukup mewakili untuk dijadikan data dalam penelitian.


268

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pemodelan geometri sungai seperti alur utama sungai, bantaran sungai, dan penampang melintang sungai dilakukan dengan cara digitasi manual oleh penulis. Dalam hal ini proses digitasi dibantu dengan menggunakan ortofoto agar posisi dan bentuk sungai dapat terlihat lebih jelas dan detail. Proses digitasi dilakukan dengan menggunakan aturan-aturan tertentu agar hasil yang didapat dapat merepresentasikan kondisi sungai dan topografi sekitar sungai dengan baik. Aturan-aturan tersebut memberikan pengaruh yang cukup siginifikan terhadap hasil pemodelan geometri sungai. Dalam penelitian ini penulis telah melakukan digitasi mengikuti aturan-aturan yang ada sehingga hasil pemodelan geometri sungai cukup merepresentasikan kondisi sungai dan topografi sekitar sungai yang sebenarnya. Namun pada beberapa lokasi terdapat digitasi batas sungai yang masih belum sesuai dengan kondisi sungai sebenarnya, hal ini dikarenakan ketelitian penulis dalam melakukan digitasi masih belum baik serta terdapat batas sungai yang terhalangi oleh pepohonan pada ortofoto. Setelah dilakukan proses pemodelan hidrodinamik didapat nilai debit air pada saat air memenuhi sungai adalah sebesar 20 m3/s, nilai debit air pada saat air mulai meluap adalah 25 m3/s serta nilai debit air pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai dari hulu hingga hilir adalah sebesar 110 m3/s. Data debit ini bermanfaat untuk upaya mitigasi bencana yaitu mengevaluasi dan memonitor data curah hujan dan debit air. Selain itu, dapat dilihat pada Gambar 3.4 profil muka air banjir pada saat debit 20 m3/s berada hampir tepat dengan batas sungai yang ditandai oleh titik dan garis merah, hal ini menunjukkan air sudah mencapai batas sungai namun belum meluap. Sedangkan profil muka air banjir pada saat debit 25 m3/s berada mulai melebihi batas sungai. Selain itu profil muka air banjir pada saat debit 110 m3/s berada diatas garis batas sungai, hal ini menunjukkan air telah meluap dari hulu sampai hilir. Hasil delineasi genangan banjir menunjukkan bagian genangan dari yang terdalam sampai terdangkal. Kemudian penulis melakukan pengecekan kebenaran hasil delineasi tersebut dengan melihat profil penampang melintang dari beberapa crossline untuk mengecek apakah variasi kedalaman genangan hasil pemodelan telah sesuai dengan kondisi topografi sungai dan sekitarnya. Setelah dilakukan pengecekan, hasil delineasi genangan banjir pada penelitian ini telah sesuai dengan kondisi topografi sungai pada DTM yang telah dibuat sebelumnya. Hasil pemetaan genangan banjir yang telah di-overlay dengan ortofoto menunjukkan daerah mana saja yang tergenang dan berpotensi terkena banjir. Pada penelitian ini dihasilkan pemetaan genangan banjir dengan debit 20 m3/s, 25 m3/s dan 110 m3/s. Setelah dilakukan pengecekan secara manual terhadap hasil pemetaan genangan banjir saat debit sebesar 110 m3/s, terdapat sekitar 108 rumah warga yang terendam oleh genangan banjir dengan jarak genangan dari batas sungai sepanjang 1 hingga 16 meter. Hal ini tentunya menjadi perhatian warga sekitar untuk melakukan mitigasi bencana banjir sedini mungkin terutama pada kawasan berpotensi banjir yang berada di sepanjang pesisir sungai. 3.8 Validasi Hasil pemodelan genangan banjir perlu divalidasi untuk memperoleh gambaran apakah hasil pemodelan sudah representatif. Validasi hasil pemodelan pada penelitian ini dilakukan dengan cara membuat pemodelan menggunakan data debit sungai Cikapundung yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat. Karena data LIDAR dan foto udara yang digunakan dalam penelitian diambil pada tahun 2012, maka data debit sungai Cikapundung yang digunakan merupakan data debit tahun 2012.


269

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, selama tahun 2012 debit terbesar sungai Cikapundung sebesar 22.83 m3/s namun belum pernah ada bencana banjir di daerah studi selama tahun 2012. Pada tahap validasi dibuat model genangan banjir dengan debit sebesar 22.83 m3/s kemudian dilakukan pengecekan pada hasil pemodelan apakah genangan meluap dari sungai atau tidak. Hasil pemodelan dikatakan masih menyimpang atau belum 100% representatif apabila hasil pemodelan menunjukkan adanya luapan air sungai di sekitar sungai pada daerah studi. Untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan pada hasil pemodelan dalam penelitian ini, maka digunakan metode perhitungan RMSE (Root Mean Square Error). Perhitungan RMSE dilakukan dengan cara menghitung beda jarak antara batas genangan yang meluap dengan batas sungai pada beberapa titik sebagai sampel. Perhitungan jarak dilakukan secara manual oleh penulis menggunakan tool measure pada perangkat lunak ArcGIS. Setelah dilakukan perhitungan jarak tersebut didapat 60 data beda jarak. Kemudian dilakukan perhitungan RMSE dengan persamaan sebagai berikut RMSE2 = ÎŁ (d2) / n

(3.1)

Dimana d adalah besar beda jarak dalam satuan meter dan n adalah jumlah sampel. Setelah dilakukan perhitungan RMSE berdasarkan perasamaan (3.1), didapat nilai RMSE adalah sebesar Âą 1.97 meter. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemodelan dalam penelitian ini memiliki standar deviasi atau penyimpangan sebesar Âą 1.97 meter. 4

KESIMPULAN DAN SARAN 4.2 Kesimpulan

Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan kesimpulan, yaitu: a) Data LIDAR dalam penelitian ini dapat digunakan untuk membuat DTM dengan ketelitian yang cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mendukung pembuatan pemodelan banjir akibat luapan air sungai. Namun akan lebih baik jika digunakan data LIDAR dengan nilai kerapatan yang lebih besar agar DTM yang dihasilkan lebih akurat dan detail. Selain data LIDAR, data ortofoto yang digunakan dalam penelitian ini juga sangat berfungsi untuk membantu dalam tahap klasifikasi titik LIDAR serta pembuatan alur sungai secara cepat dan akurat. Klasifikasi terhadap data LIDAR juga turut mempengaruhi bentuk permukaan DTM yang dihasilkan. b) Setelah dilakukan proses pemodelan hidrodinamik didapat nilai debit air pada saat air memenuhi sungai adalah sebesar 20 m3/s, nilai debit air pada saat air sungai mulai meluap adalah sebesar 25 m3/s, dan nilai debit air pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai dari hulu hingga hilir adalah sebesar 110 m3/s. c) Pemetaan genangan banjir berdasarkan simulasi model hidrodinamik dapat memberikan gambaran yang cukup baik mengenai daerah-daerah di sekitar sungai yang berpotensi tergenang banjir. Maka dari itu hasil pemetaan genangan banjir dalam penelitian ini sangat bermanfaat untuk upaya mitigasi bencana banjir pada daerah studi. d) Hasil pemodelan dalam penelitian memiliki nilai standar deviasi atau penyimpangan


270

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

sebesar Âą 1.97 meter. Penyimpangan tersebut dapat dikarenakan data LIDAR yang digunakan hanya memiliki nilai kerapatan kecil sehingga DTM yang dihasilkan belum memiliki ketelitian yang sangat baik dan masih kurang detail, ketelitian pada saat dilakukan digitasi batas sungai masih kurang, serta masih kurangnya ketelitian pada saat digitasi landuse untuk nilai kekasaran manning. 4.3 Saran Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan saran, yaitu: a)

Sebaiknya data LIDAR yang digunakan memiliki nilai kerapatan yang lebih besar agar DTM yang dihasilkan lebih akurat dan detail.

b) Dalam tahap klasifikasi titik LIDAR perlu dilakukan uji coba lebih banyak dalam mencari nilai parameter-parameter yang dimasukkan ketika melakukan klasifikasi. Hal ini dikarenakan kesesuaian nilai parameter akan berpengaruh terhadap pembagian kelas ground dan non ground dan tentu saja berkaitan dengan pembentukan permukaan DTM yang dihasilkan. c) Lebih baik jika ditunjang dengan data terestris yang telah dilakukan di area penelitian sebelumnya. Agar dapat digunakan sebagai data pembanding sehingga keakuratan data lebih terjamin kualitasnya. DAFTAR PUSTAKA Al Amin, M.B. (2015). Pemanfaatan Teknologi LIDAR dalam Analisis Genangan Banjir Akibat Luapan Air Sungai Berdasarkan Simulasi Model Hidrodinamik. INFO TEKNIK Vol. 16 N0. 1. Al Amin, M.B. (2015). Visualisasi Potensi Genangan Banjir di Sungai Lambidaro Melalui Penelusuran Aliran Menggunakan HEC-RAS (Studi Pendahuluan Pengendalian Banjir Berwawasan Lingkungan). Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil I (SeNaTS I), Denpasar, pp. 123132. Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications. Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center. Di Baldassare, G. (2012). Floods in a Changing Climate: Inundation Modeling. Cambridge University Press, New York. Kandia, P. (2012). Pembentukan Model untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data Light Detection and Ranging (LIDAR). Bandung: Institut Teknologi Bandung. Measures, R. (1984). Laser Remote Sensing. Krieger Publishing Company. Meiza, A. (2009). Teknologi LIDAR dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Mercer, B. (2001. Comparing LIDAR and IFSAR: What Can You Expect?. Proceedings of Photogrammetric Week, Stuttgart. National Research Council of The National Academies. (2007). Elevation Data for Floodplain Mapping, The National Academies Press, Washington, D.C. Merwade, V., 2012, Tutorial on Using HEC-GeoRAS with ArcGIS 10 and HEC-RAS Modeling, School of Civil Engineering, Purdue University.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

271

Vannessyardi, M. A. (2011). LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi (Studi Kasus: Kota Davao, Filipina). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

BIOGRAFI PENULIS Nur Asriyah Nur Asriyah lahir di Sukabumi pada tanggal 27 September 1995. Selama kuliah penulis juga aktif berkegiatan organisasi dan kepanitiaan khususnya kegiatan di himpunan, selain itu penulis juga pernah memiliki pengalaman sebagai asisten praktikum mata kuliah Fotogrametri I, serta memiliki pengalaman kerja praktik di PT Pertamina UTC. Penulis menyelesaikan studi sarjananya di Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng. Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).


272

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Identifikasi Kerusakan Pasca Gempa Menggunakan Metode Object Based Image Analysist(Obia) (Studi Kasus: Pidie Jaya, Aceh) Prila Ayu Dwi Prastiwi1, Riantini Vitriana2, Dandy Aditya N.2, Agung Budi Harto2, Ketut Wikantika2 Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 1 Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung, Indonesia2 Jalan Ganesha No.10, Kota Bandung, Jawa Barat 40132 Indonesia e-mail: prilaayu@gmail.com Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui oleh pertemuan tiga lempeng aktif, yaituLempeng Indo-Australia, Lempeng Euro-Asia, danLempengPasifik. Kondisiitumenjadisalahsatupenyebab seringterjadinyabencanaalam, khususnyagempabumi. Padatanggal 7 Desember 2016 Kota Aceh kembali diguncang gempa bumi dengan kekuatan 6,5 skala richter. Gempa bumi tersebut mengakibat ratusan bangunan mengalami kerusakan. Saat ini teknologi penginderaan jauh sangat berperan dalam melakukan identifikasi kerusakan akibat gempa. Penelitian kali ini akan berfokus pada identifikasi kerusakan bangunan yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan menggunakan citra satelit beresolusi tinggi, yaitu citra Pleiades yang diambil tanggal 7 Desember 2016. Metode yang digunakan untuk identifikasi kerusakan bangunan adalah metode Object Based Image Analysist (OBIA). Pada proses klasifikasi, metode OBIA memandang objek tidak hanya berdasarkan nilai piksel saja melainkan berdasarkan bentuk, luasan, dan tekstur disekitarnya. Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa metode OBIA terbukti dapat mengidentifikasi kerusakan bangunan pasca gempa bumi secara cepat. Kata kunci: OBIA, Citra satelit, Klasifikasi, Kerusakan pasca gempa bumi Abstract Indonesia is located in a meeting point of three active tectonic plates, the Indo-Australian Plate, Euro-Asia Plate, and the Pacific Plate. This condition causes frequent occurrence of natural disasters, especially earthquakes. On December 7, 2016 Aceh was hit by an earthquake with a magnitude of 6.5 richter scale. The earthquake affected damaged hundreds of buldings. Nowadays remote sensing technology can be used to identify damage caused by the earthquake. This research is focused on post-earthquake damage identification using high resolution satellite imagery, the Pleiades image taken on December 7, 2016. The method used to identify the damaged buildings is the Object Based Image Analysist (OBIA) method. In the classification process, the OBIA method distinguish objects not only based on pixel values but also on the basis of the shape, area, and texture around them. This research has proven that OBIA method quickly identifies the damage buildings caused by the earthquake. Keywords: OBIA, Satellite Imagery, Classification, Post-Earthquake Damage


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

273

1. PENDAHULUAN Secara geologi, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) lempeng Indo-Australia yang bergerak relative ke utara dengan lempeng Eurasia yang berkerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Hal tersebut yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara yang berada diwilayahring of fire, yaituwilayah yang seringterjadibencanagempabumi(Amri, dkk. 2016). Aceh merupakan salah satu provinsi yang paling sering mengalami bencana gempa bumi. Masih teringat gempabumi yang mengguncang Aceh pada tahun 2004 yang disusul dengan tsunami setelahnya. Pada tanggal 7 Desember 2016 gempabumi kembali mengguncang Aceh, tepatnya di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Menurut Djatmiko (2016), gempabumi berkekuatan 6.5 skala richter ini berpusat di koordinat 5.25° LU dan 96.24° BT dengan kedalamam 15 km. Pusat gempa yang berada di daratan menyebabkan gempa bumi ini tidak menimbulkan tsunami. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sedikitnya 104 orang meninggal akibat gempa ini. Selain korban jiwa, gempa bumi ini juga menyebabkan berbagai properti, seperti rumah, ruko, sarana dan prasarana mengalami kerusakan yang cukup parah. Saat ini, teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk melakukan pengambilan data dalam penentuan keputusan secara cepat tanpa melakukan peninjauan langsung ke lokasi bencana. . Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui dampak dari gempa bumi, analisis bahaya, kerentanan, hingga resiko tsunami. Pemanfaatan data penginderaan jauh dapat menampilkan hampir semua hal yang tampak di permukaan bumi, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk analisis fisik alam dan buatan yang dapat menggambarkan kondisi kerusakan pasca bencana (Kardono, dkk. 2010). Saat ini terdapat berbagai macam citra satelit beresolusi tinggi yang dapat menghasilkan informasi secara visual mengenai daerah pasca gempa yang diinginkan, seperti citra satelit Pleiades dan citra SPOT-6. Namun, diperlukan sebuah interpretasi untuk menampilkan hasil visual dari citra tersebut sehingga diperoleh informasi mengenai daerah bahaya dan kerusakan akibat bencana. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang dapat memberikan intepretasi secara otomatis dari citra yang dihasilkan untuk identifikasi kerusakan pasca gempa. Metode yang dapat digunakan untuk identifikasi kerusakan pasca gempa adalah metode Object Based Image Analysis (OBIA). Metode OBIA merupakan suatu pendekatan yang proses klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral, melainkan aspek spasial objek pun dimasukkan kedalamnya. Secara umum proses klasifikasi dengan metode OBIA dilakukan dengakan dua tahapan utama, yaitu segmentasi citra dan klasifikasi tiap segmen (Xiaoxia et al,. 2004). Berdasarkan hal tersebut, ini bertujuan untuk mengidentifikasi bangunan yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi dari citra satelit resolusi tinggi yaitu Pleiades dengan metode OBIA.


274

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

2. METODOLOGI Metodologi penelitian yang digunakan adalah dengan pengumpulan data dari pihak terkait, dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis data dengan menggunakan perangkat lunak e-Cognition, ENVI Classic, dan Arc GIS 10.3. Tahap awal yang akan dilakukan adalah pengadaan data dengan mengumpulkan data citra satelit Pleiades, citra SPOT-6, dan peta citra satelit daerah terdampak gempa bumi Kabupaten Pidie Jaya. Tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Pada penelitian ini, pengolahan data dibagi menjadi lima tahap yaitu pra pengolahan citra, segmentasi, pengambilan training sample, klasifikasi, dan validasi data. Proses pra pengolahan citra yang dilakukan adalah koreksi geometrik, pemotongan area citra, dan peningkatan kualitas citra. Setelah dilakukan kelima tahap tersebut dapat dihasilkan Peta Penilaian Kerusakan Pasca Gempa Bumi.Untuk mengetahui tahapan yang lebih jelas mengenai prosedur penelitian, berikut ditampilkan diagram alur penelitian pada Gambar 2.1.

Gambar 1.

Diagram alir penelitian


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.

DATA DAN AREA PENELITIAN

3.1

Data Penelitian

275

Data yang digunakan dalan penelitian Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut: a. Citra satelit Pleiades tanggal 7 Desember 2016 (pasca gempa bumi) untuk wilayah Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Data tersebut telah mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem koordinat geografik WGS 1984. Data citra yang diperoleh terdiri atas 3 band visible light (merah, hijau, dan biru) dan 1 band infrared (near infrared). b. Citra satelit SPOT-6 tanggal 10 September 2016 (sebelum gempa bumi) untuk wilayah Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Data tersebut mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem proyeksi Universal Transverse Mercator zona 47 bagian utara. Data citra yang diperoleh terdiri atas 3 band visible light (merah, hijau, dan biru) dan 1 band infrared (near infrared). c. Peta Citra Satelit Daerah Terdampak Gempa Bumi Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang didapatkan dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). 3.2

Area Penelitian

Daerah penelitian yang dilakukan pada studi kasus ini adalah daerah Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Kabupaten Pidie Jaya terletak di koordinat 04° 06ʹ - 04° 47ʹ LU dan 95° 56ʹ - 96° 30ʹ BT. Area penelitian yang terpilih merupakan area yang mengalami kerusakan yang cukup parah, yaitu Gampong Keude Ulee Glee dan Gampong Muko Kuthang, kedua gampong tersebut berada di Kecamatan Bandar Dua. Lokasi dari area penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini.

Gambar 2.

Area Penelitian


276

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4. PENGOLAHAN DATA Secara umum, prosedur dari metode OBIA adalah sebagai berikut: (1) Pra Pengolahan Citra, (2) Segmentasi, (3) Pengambilan Sampel, (4) Penentuan Parameter Klasifikasi, (5) Klasifikasi, dan (6) Validasi Data (Marpu, et al. 2006). 4.1 Pra Pengolahan Citra Pra pengolahan citra merupakan tahapan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan proses pengklasifikasian. Pada metode OBIA, tahapan ini diperlukan untuk menghilangkan kesalahan sistematis dari citra dan mempunyai bentuk yang sedekat mungkin dengan bentuk aslinya di permukaan bumi. Pada penelitian ini, tahapan pra pengolahan citra yang dilakukan adalah koreksi geometrik, pemotongan citra, dan peningkatan kualitas citra. Koreksi geometrik dilakukan agar bentuk dijital dari citra dapat lebih representatif dan memiliki sistem koordinat yang terkait dengan bumi itu sendiri. Pada penelitian ini koreksi geometrik dilakukan dengan metode image to image rectification, yaitu proses membandingkan pasangan titik-titik pada objek yang dapat diidentifikasi dengan mudah pada kedua citra. Objek yang dipilih pada proses rektifikasi ini biasanya adalah objek yang mudah diidentifikasi, seperti bangunan, ujung jalan, atau objek lainnya. Tingkat ketelitian dari koreksi geometrik yang telah dilakukan dapat diketahui dengan menghitung nilai root mean square (RSMe). Nilai RMSe dapat mengindikasikan akurasi dari citra yang telah dikoreksi terhadap nilai koordinat geografik yang dianggap benar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan perangkat lunak, ENVI, didapatkan nilai RMS Error nya sebesar 0.441722. . Secara umum RSMe memiliki nilai kurang dari 1 piksel dan apabila nilai RMSe lebih dari 1 piksel kemungkinan bahwa citra tersebut masih mengalami distorsi (Purwadhi, dkk. 2008). Peningkatan kualitas foto adalah suatu proses untuk mengubah sebuah foto menjadi foto baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Peningkatan kualitas citra yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses peregangan kontras (contrass strecthing) (Lillesand dan Ralph, 1994). Hal ini dilakukan untuk mengatur kontras dari keseluruhan citra/foto sehingga didapatkan citra yang lebih baik. 4.2 Segmentasi Pada metode OBIA, segmentasi merupakan tahapan pertama dan paling penting yang akan menentuntukan proses pengklasifikasian selanjutnya. Segmentasi dilakukan dengan membedakan objek pada citra menjadi area-area yang terpisah dalam bentuk poligon sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.Pada penelitian ini proses segmentasi dibagi menjadi dua, yaitu segmentasi berbasis piksel dan segmentasi berbasis objek. Segmentasi berbasis piksel dilakukan dengan ini menggunakan algoritma multiresolution segmentation. Segmentasi multiresolusi merupakan suatu prosedur optimasi heuristik yang secara lokal meminimumkan rata-rata heterogenitas objek-objek pada citra untuk suatu resolusi tertentu (Parsa, 2013). Parameter yang digunakan dalam prosedur segmentasi multiresolusi antara lain scale, shape dan compactness. Parameter yang paling penting adalah scale parameter dimana parameter ini menentukan seberapa banyak jumlah piksel yang menyusun satu buah objek (Parsa, 2013).


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

277

Segmentasi berbasis objek pada dasarnya menggunakan hasil dari segmentasi berbasis piksel. Pada tahap ini semua objek yang tersegmentasi pada level berbasis piksel akan diproses kembali untuk menghasilkan objek yang baru. Tahap segmentasi ini termasuk kedalam proses generalisasi objek, yaitu akan dilakukan perbandingan suatu objek dengan sekitarnya untuk mengetahatui apakah objek tersebut adalah objek yang sama atau tidak. Metode yang digunakan pada segmentasi ini adalah metode spectral difference segmentation (SDS). Menurut Wasil (2013), metode spectral difference segmentation akan menyatukan image object yang telahterbentuk berdasarkan kemiripan nilai spektralnya. Image object dengan nilai batastertentu akan dikelompokkan menjadi satu poligon yang sama. Tujuan diterapkannya metode ini yaitu agar terbentuknya suatu kesatuan objek yang utuh berdasarkan nilai spektralnya. 4.3 Pengambilan Sampel Pemilihan training sample ini dilakukan secara visual dengan memilih beberapa objek hasil segmentasi yang dapat diidentifikasi jenis objeknya secara jelas. Pemilihan training sample harus mewakili berbagai macam karakteristik dari objek, karena sangat berpengaruh untuk keberhasilan dari klasifikasi (Lumbantobing, dkk. 2010). Pada penelitian ini, acuan dari pemilihan training sample didasarkan pada data Peta Citra Satelit Daerah Terdampak Gempa Kabupatern Pidie Jaya, Aceh.

Gambar 3.

Peta Citra Satelit Daerah Terdampak Gempa Bumi, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh


278

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4.5 Klasifikasi Tahapan paling utama dan terpenting dari metode OBIA ini adalah tahap klasifikasi. Klasifikasi bertujuan untuk mengidentifikasi suatu objek agar dihasilkan objek unik yang berbeda dengan objek lainnya. Proses klasifikasi menggunakan metode OBIA berbasis pada karakteristik setiap objek yang akan diklasifikasikan. Pada metode ini karakteristik objek citra dapat terlihat tidak hanya dari nilai digital number saja, melainkan terdapat beberapa parameter lainnya yang digunakan seperti bentuk, ukuran, luas, dan lain-lain. Pada penelitian ini, klasifikasi yang dilakukan berdasarkan jenis tutupan lahan dari wilaya, yaitu lahan vegetasi dan lahan non vegetasi. Setelah itu dilakukan pemilihan training sample area. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode nearest neighbor, dimana klasifikasi dilihat berdasarkan kedekatan nilai parameter-parameter dari training sample yang dipilih. Parameter yang digunakan pada tahap klasifikasi ini adalah parameter transformasi spektral, layer value, dan geometry.Data diproses menggunakan sofware Ecognition Developer 8.7. 4.6 Validasi Data Tahapan uji akurasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kebenaran klasifikasi yang dilakukan dengan metode klasifikasi OBIA dengan kondisi sebenarnya. Uji akurasi yang benar dilakukan dengan cara menumpangsusunkan peta hasil klasifikasi dengan peta referensi yang dijadikan sebagai acuan. Metode yang dilakukan pada tahapan uji akurasi ini adalah metode koefisien Kappa, yaitu membandingkan hasil klasifikasi pada masing-masing citra dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Pemilihan koefisien ini didasarkan pada dua sisi, yaitu producer’s accuracy (sisi penghasil peta) dan user’s accuracy (sisi pengguna peta). 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Segmentasi Pada penelitian ini terdapat dua hasil segmentasi, yaitu hasil segmentasi berbasis piksel dan segmentasi berbasis objek. Segmentasi terbaik pada penelitian ini berada pada set Level 50B yaitu dengan nilai parameter yang tertera pada Tabel 1. Pada set level tersebut didapatkan segmentasi objek sebanyak 6.402. Pada tahap segmentasi ini, parameter yang paling memengaruhi proses ini adalah scale parameter dan color. Color akan mendefinisikan jumlah poligon berdasarkan heterogenitas warna. Semakin besar nilai color, maka semakin peka poligon yang terbuat berdasarkan perbedaan nilai warna atau rona. . Pada penelitian ini nilai color yang digunakan sebesar 0.5 karena jika dipilih nilai tertinggi, yaitu 0.9, maka satu objek yang sama akan terbagi menjadi beberapa segmen. Begitupun sebaliknya jika dipilih nilai terendah, yaitu 0.1, maka segmentasi antar objek menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa objek yang berbeda berada dalam satu segmen yang sama. Oleh karena itu, pemilihan nilai tengah pada range color ini digunakan untuk menghasilkan proses segmentasi yang terbaik untuk semua objek penelitian.


279

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1. Kombinasi parameter kombinasi Level

Scale

Color

Shape

Compactness

A B

35 50

10% 50%

10% 50%

10% 50%

C

75

90%

90%

90%

Setelah dilakukan segmentasi berbasi piksel dilanjutkan dengan segmentasi berbasis objek. Hasil dari segmentasi berbasis piksel dilakukan pengolahan data kembali karena ada beberapa objek yang sama tersusun dari beberapa segmentasi. Objek yang dimaksud paling banyak ditemukan pada kelas hutan, sawah, dan jalan. Oleh karena itu, untuk memudahkan proses klasifikasi dilakukan segmentasi lanjutan berbasis objek dengan menggunakan metode Spectral Difference Segmentation (SDS). Hasil dari segmentasi objek ini adalah objek-objek yang memiliki nilai spektral yang sama tergabung kedalam satu segmentasi, sehingga objek segmentasi yang dihasilkan sebanyak 5.761 objek. Nilai spectral difference yang terbaik pada penelitian ini sebesar 15. Pada nilai tersebut objek sawah dan hutan masing-masing tergabung kedalam satu area yang lebih besar, sehingga dapat memudahkan dalam proses klasifikasi. Perbedaan dari hasil segmentasi berbasi piksel dan segmentasi berbasis objek dapat terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4.

5.2

Perbedaan Segmentasi Berbasis Piksel (Kiri) dan Segmentasi Berbasis Objek (Kanan)

Hasil Klasifikasi

Pada tahap klasifikasi pertama dilakukan pemisahan antara objek vegetasi dengan non vegetasi. Pengkalsifikasian ini didasarkan pada perhitungan nilai NDVI. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diklasifikasikan bahwa untuk area vegetasi memiliki nilai NDVI lebih besar atau sama dengan 0.23, sedangkan untuk area non vegetasi memiliki nilai NDVI lebih kecil dari 0.23. Hasil pengklasifikasian objek berdasarkan jenis areanya, yaitu vegetasi dan non vegetasi dapat terlihat pada Gambar 5.3.


280

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 5.

Hasil Klasifikasi Berdasarkan Jenis Lahan

Pada penelitian ini objek sawah terklasifikasi menjadi lahan non vegetasi karena memiliki nilai NDVI dibawah 0.23. Jika dilihat secara visualisasi langsung pada citra, area sawah memiliki tingkat kehijauan sedikit dan hampir tidak ada. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa objek sawah adalah objek temporal coverage. Tahap selanjutnya adalah pemisahan objek berdasarkan jenis dari lahan tersebut. Lahan vegetasi tidak dilakukan pemisahan objek, sementara lahan non vegetasi dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan jenis dari lahannya. Pada tahap klasifikasi ini digunakan training sample yang telah dilakukan setelah tahap segmentasi. Setelah dilakukan pengambilan training sample selanjutnya adalah ditetapkan pemilihan parameter-parameter yang dapat mengklasifikasikan objek sesuai dengan kelas-kelasnya. Parameter yang digunakan pada proses klasifikasi ini adalah parameter layer value dan geometry. Parameter geometry yang digunakan yaitu area, length, width, length/width, border length, shape index, compactness, dan average length of edges. Sedangkan untuk parameter layer value sendiri terdiri dari mean setiap band (Red, Green, Blue, NIR) , standard deviation setiap band (Red, Green, Blue, NIR), brigthness value. Sifat fisis suatu objek menjadi salah satu dasar penentuan paramater klasifikasi yang akan dilakukan. Kombinasi dari berbagai parameter dapat merepresentasikan objek-objek sesuai dengan kelasnya masing-masing. Oleh karena itu, pemilihan parameter ini menjadi hal yang cukup penting pada tahap klasifikasi. Berdasarkan hasil yang ada, didapatkan kombinasi parameter beserta nilai ambang batas yang dapat mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan karakteristiknya seperti pada Tabel 2. dan Tabel 3.


281

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 2. Ambang Batas Nilai Klasifikasi Bangunan Rusak Parameter

Nilai Tertinggi 3166

Area Length Width Length/Width Border Length Shape Index Average Length of Edges

Tabel 3.

Nilai Terendah 400

162 70.5 3 404 3.6 12.15

28 33.82 1 98 1.15 4.85

Ambang Batas Nilai Klasifikasi Bangunan

Parameter Area

Nilai Tertinggi 4897

Length Width Length/Width Border Length Shape Index

157 70 3.87 394 2.6

Nilai Terendah 330 20 30.5 1 24 1

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa penentuan parameter penyusun objek bangunan rusak dan bangunan tidak rusak hampir sama, karena kedua objek tersebut memiliki karakteristik yang tidak begitu jauh. Hal yang membedakan antara bangunan rusak dan bangunan tidak rusak terletak dari adanya parameter tambahan berupa average length of edges. Parameter average length of edges merupakan parameter yang memberikan nilai ketidakteraturan bentuk suatu objek. Karena bentuk dari bangunan rusak memiliki bentuk yang tidak teratur dibandingkan bangunan tidak rusak, maka parameter ini dapat dijadikan sebagai salah satu parameter acuan untuk proses klasifikasi bangunan rusak. Selain itu, nilai yang berbeda dari dua pengklasifikasian objek di atas terlihat pada parameter border length dan shape index. Kedua parameter tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi untuk objek bangunan rusak daripada objek bangunan tidak rusak. Hal tersebut disebabkan karena tingkat kompleksitas bentuk dari bangunan rusak lebih tinggi dengan bentuk yang lebih tidak teratur. 5.3

Uji Akurasi

Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah hasil klasifiaksi didapat adalah perhitungan akurasi. Perhitungan akurasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar seberapa besar tingkat kebenaran klasifikasi yang dilakukan menggunakan metode klasifikasi OBIA dengan kondisi sebenarnya. Uji akurasi dilakukan dengan cara mengambil titik-titik sampel objek pada peta referensi yang dijadikan sebagai acuan, sampel yang diambil berupa semua objek yang di klasifikasi. Kemudian sampel titik-titik tersebut dibandingkan dengan hasil klasifikasi pada OBIA yang disajikan pada matriks kesalahan di bawah ini.


282

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 4.

Matriks Kesalahan Validasi Hasil Klasifikasi

Hasil Klasifikasi

Data Acuan (diambil kembali dari sampel) Bangunan Rusak Bangunan Sawah Jalan Sungai Bangunan Rusak

Total Baris

89 9

6

0

1

0

96

85

4

0

0

98

Sawah

0

4

32

0

0

36

Jalan

0

0

2

3

20

Sungai

0

0

1

15 2

12

15

Total Kolom

98

95

39

18

15

265

Bangunan

Berdasarkan matriks kesalahan tersebut dapat dilakukan perhitungan nilai producer accuracy, user, accuracy, overall accuracy, hingga koefisien kappa. Nilai overall accuracy yang dihasilkan pada penelitian ini adalah sebesar 88% dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,8287. Untuk nilai producer dan user accuracy masing-masing objek dapat terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Perhitungan Producer dan User Accuracy Kelas Producer Accuracy (%) User Accuracy (%) Bangunan Rusak 91 93 Bangunan Tidak Rusak 89 87 Sawah 82 89 Jalan 83 75 Perairan (Sungai) 80 80 Pada tabel di atas dapat terlihat bahwa pada kelas bangunan rusak memiliki nilai yang tertinggi dibandingkan dengan kelas lainnya baik pada akurasi penghasil peta maupun akurasi pengguna peta. Hal tersebut berarti tingkat ketepatan klasifikasi menggunakan metode OBIA untuk objek bangunan rusak cukup tinggi, walaupun masih terdapat beberapa objek diluar bangunan rusak yang teridentifikasi sebagai bangunan rusak. Producer accuracy memperlihatkan seberapa besar kemungkinan lahan di lapangan terklasifikasi ssecara tepat di dalam citra. Sedangkan user accuracy memperlihatkan seberapa besar kemungkinan klasifikasi dalam citra terklasifikasi secara tepat di lapangan (Wasil, 2012). Setelah tahap uji akurasi dilakukan, hasil klasifikasi disusun menjadi sebuah peta yaitu Peta Penilaian Kerusakan Pasca Gempa Bumi seperti pada gambar 7 di bawah ini.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 6. 6. 6.1

283

Peta Penilaian Kerusakan Pasca Gempa Bumi Pidie Jaya

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1) Metode OBIA dapat digunakan sebagai salah satu metode yang cukup akurat dan cepat untuk identifikasi kerusakan pasca bencana. Namun terdapat beberapa syarat seperti citra yang digunakan berupa citra satelit resolusi tinggi dengan kondisi yang terbebas dari gangguan seperti awan dan kondisi wilayah, khususnya pemukiman yang homogen. Kondisi tersebut akan memudahkan proses segmentasi dan klasifikasi dengan metode OBIA. 2) Hasil dari klasifikasi sangat dipengaruhi oleh segmentasi yang dibentuk. Oleh karena itu, untuk identifikasi objek yang sedikit kompleks seperti bangunan rusak diperlukan kombinasi segmentasi pada level data yang berbeda. Hal tersebut bertujuan agar hasil segmentasi dapat membagi secara tepat setiap objek yang akan diklasifikasi. 6.2

Saran

1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penambahan data DEM dan DSM, sehingga dapat diketahui perbedaan objek bangunan rusak dan bangunan tidak rusak. 2) Penentuan parameter klasifkasi beserta rentang nilainya perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk meminimalisir terjadinya missed classification.


284

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

DAFTAR REFERENSI Amri, M. Robi., Yulianti, Gita., dkk. 2016. Risiko Bencana Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jakarta Djatmiko, Hary Tirto. 2016. Gempabumi Kuat M=6.5 Guncang Pidie Jaya Provinsi Aceh Dipicu Akibat Aktivitas Sesar Aktif. http://www.bmkg.go.id/press-release/ (diakses tanggal 01 Juni 2017) Kardono, P. dan P, Sridewanto Edi. 2010. Penginderaan Jauh Untuk Penanggulangan Bencana. Jurnal Dialog PenanggulanganBencana, Vol.1, No.2. Lillesand, M. T., & Kiefer Ralph, W. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation ( Third Edition ed.). New York: John Wiley & Son, Inc. Lumantobing, Marlonroi., Wikantika, Ketut., dan Harto, Agung Budi. 2010. Peningkatan Akurasi Interpretasi Foto Udara Menggunakan Metoda Pembobotan Berbasis Objek untuk Pembuatan Peta 1:5000. Bandung. Marpu Prashanth R., Nussbaum Sven, dan Niemeyer Irmgard. 2006. Towards Automation in ObjectBased Classification. India Parsa M., 2013. Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Citra Satelit Landsat (Studi Kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat Dan Tanggamus, Lampung, Jurnal Inderaja dan Lahta Citra Digital, Vol.10, No.1, pp.31-39. Purwadhi, Sri Hardiyanti dan Sanjoto, Tjaturahono Budi. 2008. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Jakarta. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang. Wasil A.R. 2012. Identification of Paddy Field from very high resolution image using object based image analysis method (A case study iniRancaekek, Bandung, West Java, Indonesia). Bandung: Institut Teknologi Bandung. Wasil, R. A. (2013): Kombinasi Pohon Keputusan dan Analisis Citra Hirarki Berbasiskan Objek untuk Pemetaan Tutupan Lahan sesuai SNI 7645:2010, Tesis Magister Teknik, Institut Teknologi Bandung. Xiaoxia, S., Jixian, Z., dan Zhengjun, L., 2004. A Comparison of Object-Oriented and PixelBased Classification Approachs Using Quickbird Imagery.Chinese Academy of Surveying and MappingďźŒBeijing, China.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

285

BIOGRAFI PENULIS Prila Ayu Dwi Prastiwi Penulis bernama Prila Ayu Dwi Prastiwi, lahir di Bandung pada tanggal 25 Mei 1994. Saat ini penulis sedang menyelesaikan pendidikan tahap sarjana di Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung. Penelitian Tugas Akhir yang diambil penulis untuk meraih gelar sarjana adalah “Identifikasi Kerusakan Pasca Gempa Menggunakan Metode OBIA�. Pada tahun 2016 penulis mendapatkan kesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh Lingkungan. Saat ini, penulis sedang melakukan penelitian ilmiah mengenai identifikasi vegetasi menggunakan metode OBIA untuk area penelitian Desa Sayang.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng. Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).


286

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Identifikasi dan Estimasi Biomassa Hutan Mangrove dengan Menggunakan Citra Landsat (Studi Kasus : Kabupaten Subang, Jawa Barat) Saddam Chair1, Ketut Wikantika2, Soni Darmawan3 Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung 2 Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung 3 Teknik Geodesi, ITENAS 1 saddamchair03@gmail.com, 2ketut@gd.itb.ac.id, 3soni_darmawan@yahoo.com 1

Abstrak Hutan mangrove memiliki kandungan hutan terpadat di wilayah tropis. Biomassa berhubungan dengan perubahna iklim dan memiliki peran penting dalam siklus karbon. Kerusakan mangrove mengakibatkan bertambahnya kandungan karbon pada atmosfer. Karena itu diperlukan analisis lahan mangrove dan biomassanya untuk mengurangi dampak kerusakan mangrove. Penelitian dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing untuk mendapatkan luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993, 2003 dan 2013. Metode klasifikasi terbimbing yang digunakan adalah Support Vector Machine karena memiliki akurasi terbaik. Estimasi biomassa dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik dari nilai NDVI mangrove untuk dilihat persebarannya pada Kabupaten Subang. Hasil penelitian menunjukkan penurunan luas hutan mangrove dari tahun 1993 dibandingkan dengan tahun 2003 dan tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2003. Rata-rata biomassa hutan mangrove pada Kabupaten subang pada tahun 1993, 2003 dan 2013 berkisar antara 4-5 ton/hektar. Kata kunci: Mangrove, Biomassa, Landsat, Kabupaten Subang, NDVI. Abstract Mangrove is the most carbon-rich forest in tropical area. Biomass is related to climate change and has an important role in carbon cycle. Damage to mangrove can increase the amount of carbon in the atmosfer. It is important to analyze mangrove forest and estimate the biomass to reduce the impact of mangrove forest. This research use supervised classification to get mangrove area in Subang regency from 1993, 2003 and 2013. Support vector machine is used because it has the highest accuracy between the other supervised classification. Allometrik equation that based on NDVI is used to estimate the biomass of mangrove. The research result shows mangrove forest in Subamg regency is decreased from 1993 to 2013. The biomass average in Subang regency is ranged between 4-5 ton/hectare. Keywords: Mangrove, Biomass, Landsat, Subang regency, NDVI.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

287

1. PENDAHULUAN Hutan mangrove merupakan hutan dengan kandungan karbon terpadat di wilayah tropis. Lahan ini menyimpan lebih dari tiga kali rata-rata karbon per hektar hutan tropis daratan (Donato dkk., 2011). Namun banyaknya spesies dan besarnya kapasitas hutan mangrove dalam menyimpan karbon tidak sebanding dengan fakta bahwa dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% hutan mangrove atau sekitar 1% pertahunnya (FAO, 2007) yang berarti Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia (Campbell & Brown, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Novianty dkk (2011) didapatkan bahwa vegetasi mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang kondisinya rusak dengan 2 faktor utama penyebab kerusakannya adalah manusia dan alam. Biomassa berhubungan dengan isu perubahan iklim dan memiliki peran penting dalam siklus karbon. Jika terjadi kerusakan hutan, permbakaran, pembalakan dan sebagainya yang merusak hutan, akan mengeluarkan karbon yang berlebih yang berada pada atmosfer. Biomassa merupakan total bahan organik yang dihasilkan oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat kering persatuan luas (Brown, 1997). Untuk keselarasan lingkungan dari emisi karbon yang berlebihan, diperlukan stok karbon pada suatu vegetasi khususnya pohon, karena pohon dan organisme foto-ototrof lainnya mengalami proses fotosintesis pada siang hari, dan proses tersebut memerlukan komponen penting yaitu CO2 dari atmosfer. Oleh karena itu hutan dianggap menjadi salah satu komponen dalam mekanisme pengurangan emisi (mitigasi) karbon jika dilakukan secara lestari karena hutan sebagai sistem yang dinamis memiliki peranan yang sangat besar terhadap lingkungan (Frananda dkk.,2015). Penginderaan jauh dapat dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi hutan mangrove, hal ini didasarkan pada dua sifat penting bahwa mangrove memiliki zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh pada wilayah pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas yaitu klorofil dapat menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan kuat spektrum hijau (Susilo, 2000). Estimasi biomassa menggunakan teknologi penginderaan jauh dapat dilakukan dengan pendekatan indeks vegetasi. Indeks vegetasi memiliki nilai yang dapat menginterpretasikan objek vegetasi dan non-vegetasi, nilai dari indeks vegetasi memiliki hubungan yang erat dengan biomassa, dengan meningkatnya nilai indeks vegetasi maka akan semakin besar biomassanya. Dengan begitu dapat dibuat model persamaan allometrik untuk menyusun hubungan indeks vegetasi dengan biomassa (Yusandi, 2015). Banyaknya manfaat hutan mangrove terutama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia membuat pengelolaan berkelanjutan menjadi sangat penting. Dalam pengelolaan hutan mangrove diperlukan suatu metode untuk mengidentifikasi daerah hutan mangrove dan perhitungan luasnya. Berdasarkan fakta berkurangnya hutan mangrove di Indonesia yang mencapai 40% dalam tiga dekade terakhir (FAO, 2007) maka diperlukan pehitungan mengenai perubahan luas daerah hutan mangrove agar dapat dijadikan pertimbangan untuk pengelolaan lebih lanjut. Biomassa berhubungan dengan siklus karbon, kadar karbon yang tinggi dalam atmosfer dapat berba-


288

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

haya bagi manusia. Karena itu diperlukan estimasi biomassa untuk melihat kemampuan dari hutan mangrove dalam menyimpan karbon. Pembuatan peta persebaran biomassa juga diperlukan untuk melihat dimana hutan mangrove dengan biomassa rendah dan tinggi sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan menggunakan citra Landsat dan menghitung perubahan luas daerah mangrove dari tahun 1993, 2003 dan 2013 dengan menggunakan citra Landsat 5 dan 7 ETM+ serta Landsat 8 OLI/TIRS. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan estimasi biomassa mangrove dan persebarannya dari tahun 1993, 2003 dan 2013 pada Kabupaten Subang, Jawa Barat. 2 DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa citra Landsat 8 OLI (Operational Land Imager)/TIRS (Thermal Infrared Sensor), Landsat 5 dan 7 ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) yang didapat dari situs https://earthexplorer.usgs.gov/ serta citra dari perangkat lunak Google Earth. Daerah studi kasus dari penelitan ini yaitu pada Kabupaten Subang, Jawa Barat yang terbentang dari

6°17'5.19" LS ̶ 107°38'9.14" BT hingga 6°9'59.49" LS ̶ 107°56'56.02" BT.Kabupaten Subang terletak pada Provinsi Jawa Barat dengan dibatasi Laut Jawa dibagian utara, Kabupaten Indramayu dibagian timur, Kabupaten Sumedang dibagian tenggara, Kabupaten Bandung Barat dibagian selatan dan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang dibagian Barat. Wilayah Kabupaten Subang terbagi menjadi 3 bagian wilayah, yaitu wilayah selatan, wilayah tengah dan wilayah utara. Bagian selatan wilayah Kabupaten Subang terdiri atas dataran tinggi/pegunungan, bagian tengah wilayah Kabupaten Subang berupa daratan, sedangkan bagian Utara merupakan dataran rendah yang mengarah langsung ke Laut Jawa. Wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Studi wilayah penelitian

Untuk melakukan identifikasi dan estimasi biomassa hutan mangrove dengan menggunakan citra Landsat, diperlukan beberapa langkah pengolahan. Pengolahan citra dibagi menjadi 2 bagian utama; yaitu pra-pengolahan data dan pengolahan data.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

289

Pra-pengolahan data kali ini hanya meliputi koreksi atmosferik saja karena citra Landsat yang digunakan merupakan level L1T dan untuk citra Landsat 7 tidak terdapat gangguan SLC-OFF. Proses pengolahan data meliputi pemilihan metode klasifikasi yang menghasilkan akurasi terbaik, identifikasi kawasan mangrove dengan menggunakan NDVI dan estimasi nilai biomassa serta pembuatan peta persebaran biomassa di wilayah studi. 2.1

Pra-pengolahan Data

Rekaman nilai piksel pada suatu daerah yang diamati dengan penginderaan jauh bukan merupakan nilai tanah sebenarnya pada saat perekaman. Sinyal yang dipantulkan tanah akan mengalami atenuasi akibat kemampuan absorbsi dari atmosfer. Arah dari penghamburan sinyal pun akan berubah. Sensor dari wahana penginderaan jauh dapat menerima komponen sinyal yang bukan merupakan benda aslinya. Semua sinyal yang terlihat berasal dari satu titik pengamatan pada kenyataannya juga merupakan pantulan sinyal dari benda-benda di sekitarnya. Benda-benda disekitar titik pengamatan dapat memancarkan energi yang dapat diterima sensor wahana pengamatan sehingga dapat mengurangi akurasi, energi hamburan ini biasa disebut dengan environmental radiance (Mather, 2004). FLAASH merupakan alat pemodelan koreksi atmosfer untuk mengambil reflektansi spektral dari pancaran citra. Metode ini dapat secara akuran mengimbangi efek atmosfer, mengoreksi panjang gelombang yang terlihat melalui near-infrared hingga 3 milimeter dan menghitung visibilitas tampilan rata-rata (aerosol / jumlah kabut). FLAASH merupakan teknik paling canggih untuk menangani khususnya menekankan kondisi atmosfer, seperti adanya awan (ENVI, 2009). Model FLAASH ini menurut modul FLAASH menggunakan persamaan standar dari radiansi spektral piksel yang diterima dengan lambertian planar standard yang mengacu kepada spektrum matahari oleh sensor yang ditulis pada persamaan (1) sebagai berikut : đ??ż=(

đ??´Ď 1−đ?œŒeđ?‘

)+(

đ??ľĎ 1−đ?œŒeđ?‘

) + LÉ‘

Dengan : L = Radiansi spektral pada sensor Ď = Reflektansi permukaan pada piksel Ď e= Rata – rata reflektansi permukaan S = Albedo pada atmosfer LÉ‘ = Radiansi hamburan balik atmosfer A,B= Koefisien dari kondisi atmosfer dan geometrik đ??´Ď 1−đ?œŒeđ?‘ đ??ľĎ 1−đ?œŒeđ?‘

= Energi radiansi yang dipantulkan dari objek = Energi radiansi yang dihamburkan oleh atmosfer

(1)


290

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Nilai A, B dan S ditentukan dari perhitungan MODTRAN4 yang menggunakan sudut pengamatan, sudut matahari dan ketinggian. FLAASH menggunakan rata-rata radiansi untuk memperkirakan reflektansi dengan persamaan : đ??że = (

(đ??´+đ??ľ)Ď e 1−đ?œŒeđ?‘

) + LÉ‘

(2)

Model atmosfer yang digunakan pada FLAASH merupakan model atmosfer standar dari metode MODTRAN4 (ENVI, 2009). 2.2

Klasifikasi Terbimbing

Metode klasifikasi terbimbing didasari dengan pengetahuan luar mengenai daerah penelitian. Klasifikasi terbimbing membutuhkan masukan dari pengguna sebelum menggunakan algoritma yang dipilih. Masukan ini dapat berupa hasil lapangan, analisis foto udara, laporan, atau hasil studi daerah penelitian. Implementasi dari klasifikasi terbimbing menggunakan algoritma statistikal dan algoritma neural. Algoritma statistikal menggunakan parameter yang didapat dari sampel data dalam bentuk training classes, seperti nilai minimum dan maksimum dari fitur, atau nilai rata-rata dari individu klaster, atau matriks mean dan variansi-kovariansi dari masing-masing kelas. Metode neural tidak bergantung kepada informasi statistikal dari sampel data, namun diambil sampel dari datanya langsung. Semua metode klasifikasi menggunakan training sample untuk mempertimbangkan karakteristik data (Mather, 2004). Penelitian kali ini dilakukan dengan membandingkan tiga metode klasifikasi terbimbing untuk dipilih metode terbaik. Tiga metode klasifikasi terbimbing yang digunakan yaitu support vector machine, mahalanobis distance dan maximum likelihood. Metode klasifiksi terbaik memiliki tingkat akurasi tertinggi setelah dilakukan uji akurasi dengan confusion matrix untuk mendapatkan overall accuracy dan kappa koefisiennya. Metode klasifikasi terbimbing terbaik digunakan pada proses selanjutnya untuk mendapatkan luas hutan mangrove. 2.3

Estimasi Biomassa

Dalam melakukan estimasi biomassa pada penelitian ini, digunakan persamaan allometrik yang menggunakan NDVI dalam perhitungannya. Penetapan persamaan allometrik yang digunakan dalam estimasi biomassa merupakan salah satu tahapan yang penting. Setiap persamaan allometrik dikembangkan sesuai dengan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pemakaian suatu persamaan yang digunakan pada suatu lokasi tertentu belum tentu cocok apabila diterapkan pada lokasi lain. Sebagai contoh, persamaan-persamaan yang digunakan dan dikembangkan pada wilayah yang memiliki iklim sedang dengan komposisi vegetasi cenderung homogen akan kurang tepat jika diterapkan pada daerah tropika yang memiliki variasi spesies tinggi. Persamaan yang digunakan dan dikembangkan pada daerah lembab/basah juga tidak cocok bila diterapan di daerah kering atau sebaliknya (Sutaryo, 2009). Nilai indeks vegetasi adalah suatu formula yang digunakan agar dapat menggam-


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

291

barkan keadaan vegetasi lebih baik. Selama ini umumnya digunakan nilai indeks vegetasi yang dikenal dengan NDVI. Penggunaan NDVI selama ini dianggap mampu menjelaskan dengan baik karakteristik vegetasi yang diamati, seperti kerapatan, biomassa, dan LAI (Leaf Area Index). Salah satu persamaan allometrik yang menggunakan NDVI adalah (Budi, 2000).

y=

6,3601029-10,209898NDVI 1-0,72390943NDVI-1,4204177NDVI2

(3)

dengan : Y = Biomassa (Ton/ha) Nilai R2 dari persamaan allometrik ini sebesar 83,7%. Nilai R 2 mencerminkan besarnya variasi peubah indeks vegetasi dalam menerangkan peubah biomassa. Semakin tinggi nilai R2 ini maka model akan semaik handal (Budi, 2000). Dengan menggunakan persamaan allometrik ini didapatkan bahwa semakin kecil nilai NDVI akan memberikan nilai biomassa yang semakin besar. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1

Uji Akurasi Geometrik

Uji akurasi geometrik menggunakan metode image to image dengan citra Landsat 8 sebagai acuannya. Dalam uji akurasi digunakan Independent Control Point (ICP) yang tersebarkan secara merata pada citra. Uji akurasi geometrik pertama yaitu Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dengan Landsat 8 OLI/TIRS sebagai acuannya. ICP yang digunakan sebanyak 11 titik yang tersebar merata pada citra. Berdasarlkan hasil perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) dihasilkan nilai sebesar 20,01 meter. Resolusi dari citra Landsat yang digunakan adalah 30 meter untuk 1 pikselnya, dengan hasil RMSE sebesar 20,01 meter maka dapat dianggap citra terbebas dari kesalahan geometrik. Uji akurasi geometrik kedua yaitu Landsat 5 TM tahun 1993 dengan Landsat 8 OLI/TIRS sebagai acuannya. ICP yang digunakan sebanyak 14 titik yang tersebar merata pada citra. Berdasarkan hasil perhitungan RMSE dihasilkan nilai sebesar 19,80 meter. Oleh karena itu citra dapat dianggap bebas dari kesalahan geometrik. 3.2

Koreksi Atmosferik

Koreksi atmosferik yang dilakukan menggunakan metode FLAASH (Fast Line-ofsight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes). Hasil dari koreksi atmosferik citra tahun 2013 ditunjukkan pada Gambar 2, tahun 2003 pada Gambar 3, dan tahun 1993 pada Gambar 4.


292

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(a)

(b) Gambar 2. Citra tahun 2013 sebelum(a) dan sesudah (b) koreksi atmosferik

(a)

(b) Gambar 3. Citra tahun 2003 sebelum (a) dan sesudah (a) koreksi atmosferik


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

293

(a)

(b) Gambar 4. Citra tahun 1993 sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi atmosferik

Berdasarkan hasil statistik semua band pada semua citra memiliki nilai antara 0 sampai 1 yang berarti citra sudah terbebas dari gangguan atmosferik. Berdasarkan visual juga dapat dilihat tampilan citra menjadi lebih jelas setelah dilakukan koreksi atmosferik sehingga menjadi lebih mudah untuk dilakukan interpretasi pada citra. 3.3

Proses Klasifikasi Terbimbing

Identifikasi kawasan mangrove dilakukan melalui proses klasifikasi dengan menggunakan nilai NDVI sebagai acuannya. Proses klasifikasi dilakukan dengan memilih metode klasifikasi yang terbaik dengan membandingkan 3 metode klasifikasi terbimbing yaitu Support Vector Machine (SVM), Mahalanobis Distance dan Maximum Likelihood. Dalam memilih metode klasifikasi termbimbing terbaik digunakan citra Landsat 5 TM tahun 1993 kawasan Kabupaten Subang. Klasifikasi dilakukan dengan mengambil training sampel berdasarkan nilai NDVI. Klasifikasi dibagi menjadi 4 kelas yaitu mangrove, vegetasi non-mangrove, pemukiman dan perairan. Hasil klasifikasi ketiga metode ditunjukkan pada gambar 5.


294

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(a)

(b)

(c) Gambar 5.Hasil klasifikasi metode SVM (a), mahalanobis distance (b), dan maximum likelihood (c).

Selanjutnya dilakukan uji akurasi dengan membandingkan hasil klasifikasi ketiga metode menggunakan nilai NDVI, dengan ground truth menggunakan citra google earth wilayah Kabupaten Subang. Uji akurasi dilakukan dengan menghitung confusion matrix dari ketiga metode. Hasil akurasi ketiga metode ditunjukkan pada Tabel 1.


295

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1. Perbandingan Akurasi Ketiga Metode Klasifikasi

Overal Accuracy (%)

Kappa Coefficient

SVM

92,78

0,8813

Maximum Likelihood

89,27

0,8256

Mahalanobis Distance

85,98

0,7713

Dengan metode SVM menghasilkan nilai akurasi terbaik, maka untuk klasifikasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dan Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2013 akan menggunakan metode SVM. Dari hasil perhitungan confusion matrix didapatkan akurasi keseluruhan dari tahun 2003 sebesar 84,42% dengan koefisien kappa 0,7567, sedangkan untuk tahun 2013 menghasilkan akurasi keseluruhan sebesar 85,44% dengan koefisien kappa sebesar 0,7648. Perhitungan tersebut menghasilkan nilai presentasi yang tinggi dengan koefisien kappa yang mendekati 1, oleh karena itu hasil klasifikasi dapat diterima untuk pengolahan selanjutnya. 3.4 Perubahan Luas Hutan Mangrove Setelah dilakukan klasifikasi pada citra tahun 1993, 2003 dan 2013, dilihat persebaran hutan mangrove pada Kabupaten Subang dari tahun 1993, 2003 dan 2013 untuk dilakukan analisis perubahan hutan mangrove. Selain dengan melihat perubahan persebaran hutan mangrove, perhitungan perubahan luas hutan mangrove juga dapat dilakukan untuk menganalisis. Perhitungan luas dilakukan dengan membandingkan luas hutan mangrove dari tahun 1993, 2003 dan 2013. Hasil perhitungan luas hutan

mangrove diberikan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Luas Hutan Mangrove Kabupaten Subang Tahun

Luas Hutan Mangrove (ha)

1993

3985,74

2003

3223,62

2013

1496,43

Hasil perhitungan luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993, 2003 dan 2013 menunjukan tahun 1993 memiliki luas hutan mangrove terbesar dengan luas 3985,74 hektar dan tahun 2013 memiliki luas hutan mangrove paling kecil dengan luas 1496,43 hektar. Grafik perubahan luas hutan mangrove ditunjukan pada Gambar 6untuk melihat tren perubahannya. Sumbu-X menunjukan tahun sedangkan sumbuY menunjukan luas hutan mangrove.


296

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

6000

Perubahan Luas Hutan Mangrove (Ha)

4000 2000 0 1993

2003

2013

Gambar 6. Grafik perubahan luas hutan mangrove Kabupaten Subang

Grafik perubahan luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993, 2003 dan 2013 menunjukan tren yang menurun. Hal ini menunjukan dalam 20 tahun, luas hutan mangrove pada Kabupaten Subang terus menurun. Pada tahun 2003 luas hutan mangrove menurun sebesar 19,12% atau 762,12 hektar dari tahun 1993, sedangkan pada tahun 2013 luas hutan mangrove menurun sebesar 53,58% atau 1727,19 hektar dari tahun 2003 dan berkurang sebesar 2489,31 hektar atau 62,46% dari tahun 1993. Tahun 2013 menunjukan nilai penurunan luas hutan mangrove yang cukup tinggi hingga lebih dari 50% luas hutan mangrove pada 2003, hal ini dikarenakan banyak kawasan mangrove di Kabupaten Subang yang dijadikan tambak dan peternakan udang. Perubahan menjadi kawasan tambak ini juga dapat dilihat dari nilai NDVI pada kawasan yang secara visual menunjukan warna hijau namun memiliki nilai NDVI mendekati 0 hingga -1 yang menunjukan daerah perairan. Kurangnya perawatan dan tinggina aktivitas masyarakat sekitar khususnya di wilayah pesisir juga turur berpengaruh dalam mengurangnya kawasan mangrove pada Kabupaten Subang. 3.5

Estimasi Biomassa Mangrove

Setelah didapatkan persebaran hutan mangrove Kabupaten Subang tahun 1993, 2003 dan 2013, dilakukan estimasi nilai biomassa dari hutan mangrove tersebut. Estimasi biomassa dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik dengan nilai NDVI. Tahun 1993, 2003 dan 2013 memiliki interval nilai NDVI yang berbeda-beda. Nilai NDVI mangrove pada Kabupaten Subang tahun 1993, 2003 dan 2013 ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai NDVI Mangrove Tahun

NDVI Minimum

Maksimum

2013

0,15

0,79

2003

0,21

0,73

1993

0,18

0,83

Dengan dilakukan perhitungan biomassa dari citra pada tahun 1993, 2003 dan 2013 dan di tumpang-tindihkan dengan tutupan lahan hutan mangrove, didapatkan rata-


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

297

rata estimasi biomassa dari hutan mangrove pada Kabupaten Subang untuk tahun 1993, 2003 dan 2013 dalam Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Biomassa Mangrove Tahun

Rata-rata Biomassa (Ton/ha)

1993

4,914

2003

4,803

2013

4,344

Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata biomassa mangrove pada Kabupaten Subang tahun 1993, 2003 dan 2013 didapatkan bahwa tahun 2013 memiliki nilai rata-rata paling tinggi sedangkan tahun 1993 memiliki nilai rata-rata paling rendah. 3.6 Persebaran Biomassa Mangrove Sebaran biomassa hutan mangrove Kabupaten Subang dilakukan dengan membagi nilai biomassa mangrove menjadi 3 kelas dengan interval sama yaitu kelas pertama dengan nilai biomassa 0-5 ton/hektar, kelas kedua dengan nilai biomassa 5-10 ton/hektar, kelas ketiga dengan nilai biomassa >10 ton/hektar. Distribusi biomassa mangrove Kabupaten Subang tahun 1993 ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Distribusi biomassa mangrove Kabupaten Subang tahun 1993

Pada tahun 1993 distribusi biomassa mangrove terbanyak berada pada range 0 – 5 ton/ha jika dilihat visualisasinya, sedangkan terendah berada pada range> 10 ton/ha karena tidak terlihat secara kasat mata. Jika dihitung luas dari setiap kelas nilai biomassa didapatkan nilai yang ditunjukkan pada Tabel 5.


298

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 Tabel 5. Biomassa Mangrove dan Luas Tahun 1993 Range Biomassa ( Ton/ha )

Luas ( ha )

0-5

2364,93

5-10

1620,54

>10

0

Selanjutnya dilanjutkan dengan melihat persebaran biomassa hutan mangrove pada tahun 2003. Distribusi biomassa mangrove pada tahun 2003 ditunjukan pada Gambar 8.

Gambar 8. Distribusi biomassa tahun 2003 Kabupaten Subang

Distribusi biomassa mangrove pada tahun 2003 ini memiliki visualisasi yang serupa dengan tahun 1993 yaitu range 0–5 ton/ha memiliki jumlah kawasan yang paling besar, begitu pula dengan range >10 ton/ha yang tidak tampak visualisasinya. Dari hasil perhitungan luas berdasarkan range biomassanya, didapatkan luas masing-masing range biomassa ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Biomassa Mangrove dan Luas Tahun 2003 Range Biomassa ( Ton/ha )

Luas ( ha )

0-5

2271,42

5-10

948,51

>10

0,81

Untuk persebaran biomassa tahun 2013 diguanakan range nilai biomassa yang sama dengan tahun 1993 dan 2003 yaitu 0 hingga 5 ton/hektar, 5 hingga 10 ton/hektar dan >10 ton/hektar. Hasil distribusi biomassa hutan mangrove pada Kabupaten Subang tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 9.


299

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 9. Distribusi biomassa tahun 2013 Kabupaten Subang

Dari hasil distibusi biomassa mangrove tahun 2013 didapatkan secara visualisasi, pada bagian timur wilayah lebih banyak mangrove dengan nilai biomassa 0–5 ton/ha, sedangkan mangrove dengan biomassa > 10 ton/ha tidak terlihat secara kasat mata. Dari hasil perhitungan luas mangrove berdasarkan range biomassa didapatkan pada Tabel 7. Tabel 7. Biomassa Mangrove dan Luas Tahun 2013 Range Biomassa (Ton/ha)

4

Luas (ha)

0-5

1449

5-10

41,31

>10

2,25

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Citra Landsat dapat digunakan untuk identifikasi hutan mangrove dengan metode klasifikasi terbimbing. Metode klasifikasi terbimbing terbaik yaitu Support Vector Machine (SVM) dengan Overall Accuracy sebesar 92,78% dan koefisien kappa 0,8813. 2. Luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993 sebesar 3985,74 hektar sedangkan pada tahun 2003 sebesar 3223,62 hektar dan 1496,43 hektar pada tahun 2013. Terjadi penurunan luas hutan mangrove sebesar 19,12% pada tahun 2003 jika dibandingkan dengan tahun 1993 dan terjadi penurunan sebesar 53,58% luas hutan mangrove pada tahun 2013 jika dibandingkan dengan tahun 2003. 3. Pada tahun 1993 rata-rata biomassa hutan mangrove sebesar 4,914 ton/ha sedangakan pada tahun 2003 rata-rata biomassa mangrove mengalami


300

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 penurunan yaitu menjadi 4,803 ton/ha dan pada tahun 2013 rata-rata biomassa hutan mangrove kembali mengalami penurunan yaitu menjadi 4,334 ton/ha. 4. Pada tahun 1993 dan 2003 nilai biomassa mangrove terbanyak berada pada range 0 – 5 ton/ha dengan 2364,93 hektar pada tahun 1993 dan 2271,42 hektar pada tahun 2003. Pada tahun 2013 nilai biomassa terbanyak berada pada range 0 – 5 ton/ha dengan luas 1449 hektar.

DAFTAR REFERENSI Budi, Chandra. 2000. Model Penduga Biomassa dan Indeks Luas Daun Menggunakan Data Landsat iThematic Mapper (TM) dan SPOT Multispektral (XS) Di Hutan Mangrove (Studi Kasus Segara Anakan, Cilacap). Bogor: Program Pascasarjana IPB. Brown, Sandra. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. (FAO Forestry Paper - 134). Roma : FAO. Donato, Daniel C., J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham, and Markku Kanninen. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forest in the tropics. Macmillan Publishers Limited. ENVI. 2009. Atmospheric Correction Module : QUAC and FLAASH User's Guide. ENVI. FAO. 2007. The World's Mangroves 1980-2005. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Frananda, Hendry, Hartono, and Retnadi Heru Jatmiko. 2015. “Komparasi Indeks Vegetasi Untuk Estimasi Stok Karbon Hutan Mangrove Kawasan Segoro Anak Pada Kawasa Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi, Jawa Timur.” 113-123. Mather, Paul M. 2004. Computer Processing of Remotely-Sensed Images. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Novianty, Riny, Sukaya Sastrawibawa, and Donny Juliandri Prihadi. 2011. Identifikasi Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang. Paper, Jatinangor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran. Susilo, S. B. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sutaryo, Dandun. 2009. Penghitungan Biomassa : Sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Yusandi, Sendi. 2015. Model Penduga Biomassa Hutan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Sedang Di Areal Kerja BSN Group Kalimantan Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan.


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

301

BIOGRAFI PENULIS Saddam Chair Saddam Chair lahir di Surakarta (21) saat ini sedang menjalani studi sarjana di Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Penginderaan Jauh pada program studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng. Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatanpendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).


302

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.