Buletin Ulul Albab Hima Persis (April 2013)

Page 1

Edisi April 2013

ULUL

albab

tiada yang dapat mengambil pelajaran kecuali mereka yang berpikir

APATISME

KAUM INTELEKTUAL Oleh: Azhar Lujjatul Widad kehidupan bangsa ini, saya justru melihat Ketua PW Hima Persis Jakarta, paradoks yang nyata. Di tengah banyaknya Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. kaum intelektual di negeri ini, distorsi sosial, patologi sosial, dan kesenjangan sosial justru ak, belajar yang bener. Jangan menyerang sendi-sendi kehidupan di negeri sampai putus sekolah ya. Belajarlah ini. Negeri yang katanya menganut asas terus sampai kau jadi sarjana. demokrasi ini ternyata telah berubah menjadi Itulah perkataan yang sering negara feodal. Semua ini terjadi karena apatisme diungkapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Kata-kata itu kurenungi. Lalu sebagian kaum intelektual terhadap kondisi aku melihat realitas. Memang telah banyak sosial yang ada. Mereka masih bingung, anak-anak yang telah memenuhi harapan dengan seperangkat teori dan konsep yang orang tuanya itu. Mereka bekesempatan mereka miliki, ketika dihadapkan problematika mengenyam pendidikan formal sampai meraih bangsa ini. Mereka mendalami ilmu hanya untuk gelar sarjana, magister, bahkan doktor hingga memperoleh jabatan guru besar. Mereka lalu kepentingan pribadi. Ilmu yang mereka pelajari muncul sebagai kaum intelektual. hanya agar mereka bisa bekerja, hidup nyaman; Kenyataan di atas sekaligus membantah tanpa peduli dengan orang lain, tanoa peduli pendapat umum publik dunia tentang dengan apa yang terjadi di lingkungan mereka Indonesia. Banyak orang mengatakan bahwa sendiri. Otak mereka penuh dengan teori negeri kita masih terbelakang dan tertinggal dari negara-negara maju. Tidak sedikit pelajar dan konsep tetapi hati mereka kosong dari yang telah mengharumkan bangsa Indonesia kepedulian terhadap sesama. “Ironi� itulah kata dengan menjuarai berbagai kompetisi di tingkat yang tepat untuk mengungkapkan fenomena tersebut. Entah sampai kapan apatisme internasional, misalnya olimpiade fisika. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam sebagian kaum intelektual ini akan berakhir. tubuh bangsa ini masih terdapat warga Apakah harapan munculnya kepeduliaan kamu negara yang memiliki perhatian terhadap dunia intelektual hanya sekedar utopia semata? pendidikan intelektual. Namun saat aku melihat Wallahu A’lam.

N

Buletin Ulul Albab -

1


Siasat Politik Kaum Buruh dan

Doels Actie;

Visi Perjuangan

Soekarno

Oleh: Yoga Zara Andritra Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Suna Gunung Djati Bandung. Ketua Bidang Kajian Ilmiah PW Hima Persis Jabar

tulisan ini adalah ikhtiar penulis memahami pokokpokok pikiran Sukarno dalam 5 artikel lainnya yang dihimpun ke dalam bukunya “di Bawah Bendera Revolusi (disingkat DBR)”. 5 artikel itu diantaranya adalah, (1) Jawab Saya pada etertarikan saya pada Marxisme sama Saudara Hatta (DBR Jilid I, hlm. 207), (2) Sekali besarnya dengan ketertarikan saya lagi: Bukan “Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah!”, pada Eksistensialisme Sartre. Keduanya Tetapi “Banyak Bicara, Banyak Bekerjalah!” (DBR tidak lantas saya pertentangkan seolah Jilid I, hlm. 215), (3) Memperingati 50 Tahun keduanya saling menegasikan, seperti kebanyakan Wafatnya Karl Marx (DBR Jilid I, hlm. 219), orang berpendapat. Eksistensialisme Sartre (4) Reform Actie dan Doels Actie (DBR Jilid I, saya posisikan sebagai ajaran moral yang hlm. 223), dan (5) Bolehkah Syarikat Sekerja Berpolitik? (DBR Jilid I, hlm. 227). membebaskan sedangkan "Dalam pandangan Terutama pokok pikiran yang Marxisme sebagai metode ia eksplisitkan dalam artikelnya berpikir sekaligus bertindak Sukarno keterwakilan berjudul “Jawab Saya pada sehingga revolusi sosial Hindia Belanda di Saudara Hatta”. Di artikel ini jadi jelas referennya, tidak parlemen Belanda (di menjadi jelaslah posisi politik gegabah (reaktif, spontan/ tidak terorganisir sehingga Den Hag) bisa dibilang Sukarno vis a vis Belanda, yaitu mudah dipatahkan, dan adalah suatu kemunduran nasionalist non-cooperator. tidak pula tak berpijak. Oleh Sebagaimana ia kemukakan perdjoangan" karenanya menjadi jelas pula, sendiri “Perkara non-koperasi moral revolusi yang digadangbukanlah perkara perdjoangan gadang Sartre melalui sastera dalam la sahadja, perkara non-koperasi adalah perkara literature engage. azas perdjoangan. Azas perdjoangan inilah Seharusnya bermuara ke suatu revolusi yang harus kita pegang teguh sebisa-bisanja. sosial yang darinya masyarakat tanpa kelas Azas perdjoangan inilah yang tidak mengizinkan terwujud, bukan ke arah revolusi sunyi sendirian seorang nationalist non cooperator pergi ke itu. Den Hag”3. Namun, ketertarikan saya terhadap Dalam pandangan Sukarno keterwakilan pemikiran Marx tidak lantas membuat saya Hindia Belanda di parlemen Belanda (di Den alpa membaca Sukarno. Sebab rupanya Hag) bisa dibilang adalah suatu kemunduran Marxisme sudah inheren dalam ajaran Sukarno, perdjoangan. Sebab dengan begitu, artinya seperti bisa kita lihat dalam artikelnya berjudul kita tengah mengafirmasi kelemahan bangsa “Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx” sendiri dan kealpaan untuk menyusun kekuatan yang dimuat di koran Pikiran Rakyat tahun 1933. (membangun Gedong Kemerdekaan). Dan Artikel itu juga dimuat dalam bukunya berjudul apa yang dilakukan Hatta juga sama. Meski Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama. Pun Sukarno sendiri tidak sampai menyebut Hatta

K

Buletin Ulul Albab -

2


telah menyimpang dari posisi politik yang nasionalist non cooperator. Sukarno menyebut Hatta sebagai nasionalist non cooperator yang sudah tidak 100 % lagi atau nationalist non cooperator yang sudah tidak prinsipil lagi. Karena apa yang akan dilakukan Hatta memilih jalur perdjoangan parlementer di Den Hag bukanlah taktik yang terpaksa dilakukan karena situasi “kepepet” atau situasi mandek yang membuat perdjoangan tidak akan lanjut jika tak memilih jalur itu. Ketidak-kepepet-an situasi itulah yang menjadi dasar Sukarno menyebut Hatta sebagai nationalist non cooperator yang sudah tidak prisipil lagi. Sebab taktik macam itu hanya boleh dilakukan dalam suasana “kepepet”. Artinya pada titik ini, Soekarno hendak mengatakan bahwa ada hal yang lebih penting dari taktik yang dipilih Hatta, yaitu membangun kekuatan diri sendiri dengan menyusun gedung kemerdekaan secara jasmani maupun rohani. Maka taktik non koperasi itu dijalankan terutama sekali untuk menyusun rohaninya gedung kemerdekaan kita, untuk revolutionaire lading masyarakat kita. Begitulah agaknya, dalam pandangan Sukarno, sendi-sendi perdjoangan itu mesti didahului dengan menyusun kekuatan sendiri secara mantap.

Perdjoangan itu Menuntut Bukan Meminta-minta bak Pengemis

Posisi radikal Sukarno tidak hanya tersirat dalam artikel yang ditulisnya untuk mengkritisi Hatta, melainkan juga tersirat dalam artikelnya sebagai respon terhadap argumentasi “Tuan S” yang menolak partisipasi kaum buruh di ranah politik. Soekarno menulis “Perkumpulan sekerdja harus terlepas dari politik. Pun ini ada perlunja supaja permintaan perobahan nasib pada kaum madjikan tidak lantas kena tjap “politik”, sehingga onderhandelingen tertutup. Perlawanan yang sehat sekalipun, akan kurang harganja djikalau ada alasan bisa dikenakan tuduhan politik jang mendjadi dasar”. Asumsi yang mencita-citakan harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh adalah ideologi yang dilesatkan kaum borjuis kepada kaum buruh. Agar kaum buruh tidak melakukan apaapa dan membiarkan dirinya dieksploitasi habishabisan oleh kaum modal demi kesejahteraan segelintir kaum modal. Tak heran jika pemikiran

yang lahir adalah pemikiran anti-politik. Pada gilirannya pemikiran ini menumbuhkembangkan mentalitas pengemis. Bahwa biarlah politik dipegang oleh kaum modal saja, tidak oleh kaum buruh. Konsekuensi dari dipegangnya kendali politik oleh kaum modal adalah kaum buruh akan tetap terpuruk di sudut-sudut kamar kerja mereka, dan satu-satunya kerja membebaskan adalah berdoa seraya berharap doanya dikabulkan oleh majikan. Wajar jika kaum buruh tak punya posisi tawar di mata majikan, meski jumlah kaum buruh lebih banyak dibandingkan kaum modal. Karena kekuatan kaum buruh diisolir dalam rantai ideologi palsu yang termanifestasi dalam ajaran tentang harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh, ajaran tentang “berpolitik” akan mematahkan ikhtiar doa kaum buruh kepada kaum modal. Oleh karena itu segera buang jauhjauh ajaran yang menipu itu. Sukarno bilang ganti ajaran yang salah itu dengan ajaran akal dialektik. Di mana antara modal dan kerja selalu ada tabrakan kebutuhan. Dan kaum buruh mestinya mengambil peranan yang revolusioner. Kaum buruh mesti mengorganisir diri secara mantap, masuk ke berbagai ranah perdjoangan, tak terkecuali politik, seperti yang tertera dalam keputusan kongres buruh di Surabaya tanggal 4-7 Mei 1933: “Mempertahankan dan memperbaiki nasib kaum Buruh Indonesia di segala lapangan (baik sosial, ekonomi, maupun politik)”. Dengan masuknya kaum buruh ke ranah perdjoangan politik, kesempatan mewujudkan keputusan penting lainnya yang dihasilkan kongres yaitu “Menuntut cara menghasilkan barang-barang secara sosialistis (menggunakan modus produksi yang sosialistis)” menjadi terbuka lebar besar-besar. Menjadi teranglah bahwa perdjoangan kaum buruh itu bukan meminta-minta atau mengemis-ngemis pada kaum modal yang bila dikabul syukur dan bila tidak diam saja. Perdjoangan itu mesti menuntut, yang bila disepakati berarti serikat buruh amatlah kuat vis a vis kaum modal dan bila tidak disepakati berarti kaum buruh masih kalah kuat berhadapan dengan power-nya kaum majikan. Oleh karena itu kaum buruh mesti berbenah diri bukan malah diam saja. Dan pemikiran anti politik adalah pemikiran yang menyamarkan perdjoangan menuntut hak kaum buruh. Oleh karena itu pemikiran anti

Buletin Ulul Albab -

3


politik mestilah dienyahkan dari akal budi kaum buruh.

Berdjoang untuk Masa Kini Masa Depan

dan

Ada dua golongan pergerakan di Indonesia yang disindir oleh Soekarno dalam artikelnya berjudul Reform Actie dan Doels Actie. Reform Actie adalah tipe gerakan macam ini menurut Soekarno adalah tipe gerakan yang beraksi untuk kepentingan saat ini saja (jangka pendek), seperti aksi menuntut turunnya pajak dan tambahnya sekolahan. Turunnya pajak untuk turunnya pajak semata dan tambahnya sekolah untuk tambahnya sekolah semata. Tidak mau mementingkan aksi maksud tertinggi seperti aksi Indonesia Merdeka dan tumbangnya tatanan dunia yang kapitalistik. Yang kedua, Doels Actie adalah pergerakan yang hanya mementingkan aksi besar yaitu Indonesia Merdeka dan tumbangnya tatanan dunia yang Kapitalistik seraya tidak mau tahu aksi kecil-kecilan seperti yang dikerjakan kaum reformis. Konsepsi Sukarno tentang Doels Actie rupanya senada dengan sub judul dalam bukunya Martin Suryajaya “Materialisme Dialektis” berjudul Moral Revolusi dan Komunisme Surgawi. Bahwa gerakan yang bercorak Doels Actie (dalam bahasa Martin, Kaum Otonomis) biasanya gerakan yang sukanya mengisolir diri di tempat yang jauh dari riuh rendah, dan carut marutnya tatanan sosial, ekonomi dan politik. Mereka mengambil posisi aman di tempat terjauh yang tidak ada orang mau mengusik keasyikannya bergumul dengan cita-cita adiluhung yang mereka yakini. Sebut saja mereka terobsesi pada citacita murni tanpa mau menapaki langkah demi langkah perdjoangan kecil-kecilan masuk ke gelanggang perdjoangan politik dan ekonomi yang ada di sekeliling mereka. Di gelanggang politik, mereka adalah sekelompok orang yang sukanya menutup mata saja pada situasi

realpolitik yang ada. Karena bagi mereka, perdjoangan politik adalah sebentuk kompromi dengan kaum borjuis yang menguasai negara. Total distrust (ketidakpercayaan penuh) pada politik adalah satu-satunya ideologi politik yang benar buat mereka. Seperti kata Martin, Marx menyebut mereka sedang mengoperasikan satu mode indiferentisme politik: “Demikian telah jelas bahwa tendensi kaum otonomis kontemporer untuk mereduksi ekonomi ke politik pada akhirnya justru bermuara pada indiferentisme politik, pada sikap apolitis. Sebabnya jelas: begitu ekonomi dibaca secara politis tanpa melihat realitas materi yang mendasarinya namun sekaligus politik riil ditolak karena penuh representasi, maka kesimpulannya tak lain adalah sembunyi ke dalam imajinasi politik yang akan berakhir dalam politik imajinasi, dalam politik sebagai hobi dan kenalakalan remaja”. Dalam konteks mewujudkan perdjoangan masyarakat yang tanpa kelas, misalnya, di ranah gagasan, mereka telah mendistorsi ajaran Marx tentang diktator proletariat. Negara berargumen, dengan menapaki jalan sosialisme sesungguhnya kita sedang mengafirmasi kapitalisme juga, kapitalisme monopoli-negara. Oleh karenanya revolusi sosialis dan diktator proletariat mesti dilompati saja dan kita langsung membentuk komunisme. Caranya dengan memplesetkan ajaran Marx tentang pembebasan kerja jadi pembebasan dari kerja. Karena kerja pula dianggap representasi dari kapitalisme. Karena banyak menolak riil situasi akhirnya mereka tak melakukan apa-apa untuk mengupayakan emansipasi secara material, emansipasi bagi mereka hanya sebatas afirmasi diri. Mengenai Reform Doels, saya akan kutipkan kalimat Sukarno di akhir artikelnya ini: “Dan politik reformisme harus kita enyahkan ke dalam kabutnya ketiadaan, kita usir ke dalam liang kuburnya kematian melalui kumidi bodor ketawaan rakyat”.

Buletin Ulul Albab -

4


Reformasi & Demokrasi;

di Persimpangan

Jalan Oleh: Nizar A. Saputra politik dan nafsu kroni-kroninya. Praktek politik Ketua I Bidang Internal PP. Hima Persis menindas itulah yang kemudian dianggap menjadi sumber atau akar masalah praktek perekonomian udah hampir 15 tahun reformasi di Indonesia yang tidak sehat. Hal itu juga menyuburkan praktek bergulir. Sebuah proses dan perjuangan monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme yang yang cukup panjang, penuh lika-liku, bahkan mengakibatkan kesengsaraan berkepanjangan bagi sampai harus ada pertumpahan darah. rakyat. Reformasi di bidang ekonomi menjadi sangat Reformasi yang digagas dan dipelopori mahasiswa sulit dilakukan—untuk tidak mengatakan mustahil— bermula dari rasa keprihatinan moral yang sangat apabila sistem politiknya tidak berubah. Perubahan mendalam atas berbagai krisis yang terjadi saat di bidang ekonomi harus ditentukan oleh perubahan itu. Sebagai intelektual yang peduli terhadap nasib di bidang politik. Oleh karena itu kebijakan di bidang bangsanya, mahasiswa pada saat itu melakukan ekonomi memerlukan sebuah keputusan politik. gerakan protes terhadap penguasa orde baru untuk Reformasi di bidang politik memang sangat segera menyelesaikan krisis dan membawa bangsa penting. Adalah wajar jika tuntutan utama gerakan ini keluar dari kemelut berkepanjangan. Reformasi reformasi saat itu adalah reformasi politik. Sistem lahir dari panggilan nurani mahasiswa yang ingin politik yang kacau akan berdampak pada kekacauan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bagi di bidang lainnya. Apabila hukum tidak diiringi dengan bangsa ini.Reformasi berawal dari akumulasi krisis politik sehat, maka hukum akan ikut sakit. Kondisi yang diabaikan oleh penguasa orde baru. Berawal sosial akan ikut sakit jika dibangun di atas sistem dari krisis moneter kemudian merambah ke krisis politik yang sakit. Begitu juga dunia pendidikan dan lainnya. Meskipun bermula dari krisis ekonomi, bola ekonomi. Oleh karena itu reformasi politik menjadi tuntutan reformasi bergulir deras ke bidang politik. prioritas utama sebelum melakukan reformasi di Tuntutan reformasi di bidang politik menjadi arus bidang lainnya. utama dalam gerakan reformasi. Sebab akar dari Dengan demikian kita bisa memahami semua krisis yang menimpa Indonesia saat itu adalah mengapa reformasi tidak banyak membawa perubahan sistem politik yang ‘amburadul’. Politik otoriter yang yang signifikan ke arah yang lebih baik. Hal itu terjadi mengebiri hak-hak politik rakyat. karena sistem politiknya tidak jauh berbeda dengan Sistem politik pada saat itu dibangun dan sistem politik di era Orde Baru. Yang terjadi hanya diciptakan untuk melanggengkan penguasa, dalam hal perubahan nama tanpa subtansi dan realisasi. Alihini Soeharto. Oleh karena itu tuntutan reformasi yang alih menjadi lebih baik, saat ini kondisinya justru lebih sangat dominan pada saat itu adalah menurunkan buruk. Contoh yang paling nyata adalah merajalela Soeharto dari tampuk kekuasaannya—presiden. praktek korupsi. Jika korupsi di era Orde Baru Harus diakui bahwa Soeharto dalam beberapa hal hanya dilakukan oleh elit pemerintahan nasional— memang berhasil melakukan pembangunan bangsa keluarga penguasa dan kroni-kroninya—saat ini Indonesia, termasuk pembangunan ekonomi. Namun, korupsi mengalami ‘desentralisasi’ terjadi hingga pembangunan ekonomi dan berbagai bidang lainnya pemerintah daerah. Bahkan korupsi saat ini telah itu dibangun di atas praktek kejahatan-kejahatan dilakukan secara berjama’ah. Begitu juga dengan

S

Buletin Ulul Albab -

5


praktek nepotisme. Hubungan kekeluargaan dan persahabatan menjadi hal yang lumrah untuk menjadi syarat kemudahan masuknya seseorang di instansi pemerintah. Bahkan reformasi telah menciptakan kekuasaan dinasti. Di beberapa daerah, seorang gubernur atau bupati, misalnya, seringkali digantikan oleh anggota keluarganya setelah periode jabatannya habis. Kekuasaan dinasti juga dipraktekan di tingkat pemerintahan pusat. Nepotisme dalam batas-batas tertentu sebenarnya tidak menjadi masalah selama prosedur yang benar tetap ditempu, sekaligus ditunjang dengan kapasitas dan kualitas yang bersangkutan. Namun hal tersebut tak pernah terjadi dalam praktek rekrutmen kepegawaian. Seseorang direkrut hanya karena ia memiliki akses atau hubungan keluarga dengan ‘orang dalam’. Kekuasaan dinasti pasca reformasi merupakan sebuah ironi sebab reformasi justru muncul dengan semangat pemberatasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Cita-Cita Tak Sampai

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa cita-cita reformasi belum memiliki sebuah konsep yang matang dan utuh, dan hanya bermodal semangat saja. Paling tidak ada enam cita-cita—tuntutan— reformasi itu, antara lain (1) adili Soeharto dan kronikroninya, (2) laksanakan amandemen UUD 1945, (3) hapuskan Dwi Fungsi ABRI, (4) laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, (5) tegakkan supremasi hukum, dan (6) ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Dari enam tuntutan reformasi tersebut nampaknya hanya tiga tuntutan yang baru terwujud, yaitu amandemen UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, dan pelaksanaan otonomi daerah. Sisanya masih belum terealisasi. Seoharto dan kronikroninya belum diadili, bahkan Soeharto terlanjur meninggal. Begitu juga tuntutan penegakkan hukum. Yang terjadi justru sebaliknya; saat hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Program otonomi daerah sebenarnya sudah terealisasi. Akan tetapi masih memerlukan konsep yang lebih matang. Sebab dalam konteks praktek korupsi, otonomi daerah justru menjadi jalan bagi desentralisasi korupsi itu sendiri. Kita tentu tidak menafikan berbagai keberhasilan gerakan reformasi, seperti kebebasan masyarakat dalam menentukan sikap politik, kebebasan berkumpul dan berpendapat, dan seterusnya. Akan tetapi kita juga tidak boleh menutup

mata pada realitas yang terjadi. Banyak hal yang tidak jauh berbeda antara kondisi pada era Orde Baru dengan era Reformasi. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme justru lebih parah. Hasil survei LSI tahun 2008 menunjukan fakta memprihatinkan. 53.3 persen responden merasa kurang puas dengan pelaksanaan reformasi. Publik bahkan menilai kondisi saat ini—reformasi— lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada masa Orde Baru. Bahkan 58.3% responden menilai kondisi terbaik adalah kondisi pada masa Orde Baru. Data ini membuktikan bahwa reformasi belum banyak dirasakan manfaatnya oleh publik. Mengapa publik masa Orde Baru dipilih sebagai kondisi terbaik bangsa ini? Sebab reformasi tidak berdampak langsung pada kesejahteraan mereka. Nampak ada yang salah dengan proses reformasi yang telah bergulir lebih dari 15 tahun ini. Jangan-jangan ada kesalahfahaman di berbagai kalangan, terutama di kalangan mahasiswa. Janganjangan reformasi hanya difahami sebagai gerakan meruntuhkan Soeharto saja. Persepsi minimalis itu tentu saja salah besar. Tugas reformasi tidak sekedar meruntuhkan sebuah rezim dan selesai. Gerakan reformasi tidak berhenti hanya sampai di sana. Gerakan reformasi tidak hanya sekedar mengganti rezim tetapi juga sistem.

Democracy at the Crossroads

Lalu sistem politik seperti apa yang dicitacitakan gerakan reformasi itu? Jawabannya tentu saja adalah sistem politik yang demokratis. Hingga saat ini demokrasi masih diyakini sebagai sistem paling ideal, dan bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi hampir setiap negara dunia. Demokrasi digadanggadang sebagai sistem politik pamungkas dalam perjalanan sejarah dunia—the end of history. Sebab demokrasi diyakini mampu mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa dan negara. Namun, demokrasi Indonesia dalam prakteknya tidak seperti cita-cita ideal demokrasi. Memang antara konsep ideal dengan kenyataan seringkali bertolak belakang. Oleh karena itu tidak berlebihan jika ada yang menilai Indonesia sebagai negara yang paling ahli berbicara tentang demokrasi, namun paling amatir dalam pelaksanaannya. Demokrasi yang diyakini mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat justru sering dijadikan justifikasi oleh para penguasa untuk melanggengkan Buletin Ulul Albab -

6


kekuasaannya. Soekarno, misalnya, secara teoritis mengemukakan gagasan demokrasi yang sangat hebat. Insiyur teknik ini mengkritisi demokrasi ala Barat yang hanya didasarkan pada politik saja—demokrasi politik—tanpa memperhatikan aspek ekonomi—demokrasi ekonomi. Demokrasi ala Barat mengakui persamaan hak politik tetapi melakukan diskriminasi dalam bidang ekonomi. Atas dasar kritiknya itu, Soekarno lalu merumuskan konsep demokrasi terpimpin. Konsepnya ini jutru berbanding terbalik dengan gagasan demokrasi politik dan ekonominya sendiri. Sebab melalui demokrasi terpimpin itu Soekarno dinilai menempatkan dirinya sebagai satu-satunya pusat kekuatan politik bangsa Indonesia. Soekarno ingin menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup Indonesia. Hal ini tentu saja bertentangan dengan makna demokrasi itu sendiri. Di bawah bendera “demokrasi terpimpin”—guided demodracy, situasi Indonesia justru semakin terpuruk di setiap sektor kehidupan. Sektor ekonomi diambang kehancuran. Stabilitas keamanan tidak terkendali. Singkat kata, rezim Demokrasi Terpimpin terbukti tidak mampu mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seoharto, sebagai suksesor Soekarno, juga tidak begitu berhasil mewujudkan konsep ideal demokrasi. Rumusan demokrasi yang dipropagandakan Soeharto adalah Demokrasi Pancasila. Baginya pancasila merupakan ideologi dan pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu demokrasi harus berjalan selaras dengan lima nilai-nilai luhur Pancasila. Demokrasi harus tumbuh sesuai dengan moral agama dan nilai-nilai ketuhanan—sila pertama. Demokrasi harus selaras dengan etika ketimuran dan nilai-nilai kemanusiaan— sila kedua. Demokrasi harus digalang melalui semangat persatuan—sila ketiga. Demokrasi harus berjalan di atas komitmen bersama atas dasar asas musyawarah mufakat—sila keempat. Dan demokrasi harus ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia—sila kelima. Akan tetapi dalam prakteknya demokrasi

pancasila tidak berjalan sesuai dengan konsep idealnya. Tanpa menafikan jasa besarnya dalam membangun perekonomian nasional, rezim Demokrasi Pancasila juga menjadi dalang dari mewabahnya virus laten korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Diberlakukannya Undang-Undang Anti Subversi dan pembatasan kebebasan pers telah memberangus kehidupan demokrasi di bidang sosial. Pasca keruntuhan rezim Orde Baru, Indonesia mencoba resep baru melalui “Demokrasi Terbuka”. “Demokrasi Terbuka” diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Akan tetapi harus diakui bahwa penerapan demokrasi terbuka sesungguhnya merupakan keputusan politik yang cukup berani. Sebab mayoritas rakyat Indonesia belum begitu paham dengan dengan rumusan baru tersebut. Akibatnya demokrasi berjalan tanpa arah dan tanpa kendali.Kran kebebasan yang dibuka seluas-luasnya justru mendorong aksi demonstrasi, unjuk rasa, dan pengarahan massa yang berujung kekerasan. Berbagai konflik sosial ataupun etnis menjadi fenomena baru di era “Demokrasi Terbuka” ini. Demikianlah, reformasi dan demokrasi bangsa ini masih berada di persimpangan jalan (crossroad). Berjalan tak tentu arah dan semakin melangkah jauh dari cita-cita awalnya. Meskipun gelombang reformasi dimotori oleh mahasiswa tetapi kita tidak bisa membebankan semua persoalan pada mahasiswa saja. Ini menjadi tanggung jawab bersama. Hanya saja para mahasiswa generasi ‘98 mempunyai tanggungjawab moral yang sangat tinggi atas semua ini. Sementara itu mahasiswa generasi selanjutnya —yang mewarisi perjuangan mahasiswa ’98—berkewajiban untuk melanjutkan cita-cita reformasi yang belum terwujud. Gerakan reformasi—meskipun tak kunjung membuahkan hasil—tidak perlu digugat. Sebab sejarah tidak bisa disalahkan dan digugat. Ia hanya bisa diluruskan dan diperbaiki. Itulah tugas mahasiswa generasi saat ini dan generasi-generasi selanjutnya. Allaahu A’lam. Buletin Ulul Albab -

7


DAKWAH SEBAGAI SOLUSI

PROBLEMATIKA Dilan Imam Adilan Ketua PK Hima Persis STAIPI Garut. Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits.

S

UMAT

uatu saat guru saya memberi nasihat. “Jika sehari-hari kita beraktivitas selalu sempat atau bahkan rutin membaca koran, maka yang akan memenuhi otak kita hanya berbagai permasalahan, baik masalah sosial, politik, pendidikan, dan moral. Tetapi jika kita mengisi harihari kita dengan membaca Al Qur’an maka kita sudah memegang kunci berbagai persoalan.” (KH. M. Romli) Pesan Kyai Romli sederhana; kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah. Dua warisan nabi itu adalah solusi dari segala persoalan. Berbagai pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik, semuanya hampir menyangkut persoalan duniawi semata. Umat Islam sudah sampai pada titik jenuh karena setiap hari hanya dijejali masalah-masalah yang menerpa bangsa Indonesia. Kondisi itu diperburuk oleh sorotan media terhadap perilaku-perilaku kriminal dan amoral masyarakat. Kontinyuitas itu berefek jahat pada masyarakat, semakin zaman berkembang semakin bobrok pula moral dan intelegensi masyarakat karena dijejali ‘sampah informasi’ setiap hari. Sedikit sekali konten media yang bersifat edukatif dan mencerdaskan umat Islam. Saat ini peradaban dunia Islam tengah dikuasai dan kalah dari peradaban Barat, khususnya Amerika. Merekalah yang memimpin peradaban dunia. Oleh karena itu negara-negara Islam cenderung berlomba-lomba berbagai aspek peradaban Barat, misalnya dalam aspek gaya hidup, praktek politik, sistem ekonomi, sistem ketatanegaraan, jenis musik, makanan, pakaian, bahkan cara memahami agama mereka sendiri, yaitu Islam. Konsep-konsep ala Barat tentang agama Islam menguasai umat Islam, khususnya golongan para cendekiawan. Kondisi tersebut diperparah oleh merosotnya pamor ilmu agama di kalangan umat Islam. Mulai

berkurangnya para ulama menjadi faktor utama. Selain itu, lemahnya kaderisasi umat dalam menciptakan kader-kader ulama, yang mampu memberikan pendekatan, pembinaan, dan pendidika pada umat, juga ikut andil dalam kemerosotan pamor dan peran ilmu agama di kalangan umat. Padahal, Syed Muhammad Naquib Al Attas telah memperingatkan bahwa antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu. Perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.

Jeratan Persoalan Bangsa Indonesia

Apa permasalahan utama yang menimpa bangsa Indonesia? Masalah utama adalah rapuhnya sistem hukum. Hal tersebut bisa kita lihat, salah satunya, dalam praktek pemberian sanksi yang terbutki tidak memberikan efek jera. Kita bisa melirik pada komitmen China dalam pemberantasan korupsi. Sanksi yang diberikan pemerintahan China terbukti mampu meminimalisir para koruptor di sana. Oleh karena itu pemerintah Indonesia memerlukan keberanian. Keberanian ini harus mampu diwujudkan dalam sistem hukum kenegaraan, baik melalui proses legislasi (perundang-undangna), kebijakan eksekutif (Presiden), dan lain sebagainya. Meskipun institusi pemerintahan Islam tidak ada, nilai-nilai luhur dalam pemerintahan Islam tetap mampu diterapkan dalam sistem hukum kenegaraan di Indonesia. Why Not? Itu semua bisa dilakukan. Syaratnya hanya satu. Rakyat memiliki keberanian untuk kembali merevolusi pemerintahan Indonesia. Wallahu a’lam. Sistem politik negara ini menjadi masalah selanjutnya. Sistem politik demokrasi yang selama ini

Buletin Ulul Albab -

8


kita junjung tinggi harus dirubah menjadi sistem politik Islam—kekhalifahan. Diperlukan beberapa kondisi sehingga sistem politik Islam bisa direalisasikan, salah satunya tingginya angka golput dalam sebuah pemilihan umum, baik di pusat, tingkat daerah, sampai tingkat kecamatan. Tingginya angka golput mengindikasikan umat Islam sudah tidak percaya lagi pada para pemimpin yang dihasilkan sistem politik demokrasi. Akan tetapi, golongan golput ini juga belum tentu memiliki kepercayaan bahwa sistem politik Islam akan memberikan solusi bagi persoalan bangsa ini. Carut-marutnya kehidupan bangsa ini, mulai dari praktek korupsi elit negara, persoalan pendidikan, pendidikan, ekonomi hingga moral berakar pada gagalnya sistem kenegaraan dalam menjalankan fungsinya.

Jatuhnya Sebuah Peradaban

Agama (ad diin) merupakan apa-apa yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya yang bijaksana dan Sunnah nabi-Nya yang shahih, baik berupa perintah, larangan, maupun petunjuk untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Islam sebagai agama pembawa kebenaran dan rahmatan lil alamin, salah satu fungsinya adalah untuk menyelesaikan berbagai problematika masyarakat. Sebab Islam adalah satusatunya agama wahyu, otentik, dan sudah final. Selama berabad-abad lamanya Islam memimpin dunia dan menjadi solusi umat manusia. Islamlah jalan keluar dari seluruh persoalan umat manusia. Ibnu Khaldun merinci sepuluh hal sebagai syarat jatuhnya sebuah peradaban, yaitu (1) rusaknya moralitas penguasa, (2) penindasan penguasa dan ketidakadilan, (3) despotisme atau kezhaliman, (4) orientasi kemewahan masyarakat, (5) egoisme, (6) oportunisme, (7) penarikan pajak secara berlebihan, (8) keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat, (9) rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama, dan (10) penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat. Kunci dari kesepuluh poin tersebut ada pada moralitas masyarakat, khususnya penguasa. Ibnu Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kehancuran moral akan berdampak signifikan pada kehancuran di bidang lainnya, mulai dari politik, hingga pendidikan sekalgus kemerosotan dalam aktiftas intelektual dan para saintis. Islam sebagai ad diin sejatinya telah memiliki konsep tentang peradaban. Sebab kata ad diin itu sendiri

telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang menaati hokum, serta memilih pemerintah yang adil. Singkat kata, dalam kata ad diin tersimpan suatu sistem kehidupan. Ketika ad diin yang bernama Islam ini telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu dinamai madinatun. Kata “madana” yang berarti “membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan, dan memartabat” seakar dengan kata ad diin dan madiinatun Kondisi umat Islam saat ini secara umum tidaklah seburuk kondisi umat Islam pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Akan tetapi jika dibandingkan umat Islam saat itu, prestasi umat Islam saat ini belum ada apa-apanya. Nampak hanya baru mencoba merangkak dan kembali membangun peradaban Islam. Oleha karena itu sebagai mahasiswa aktifis gerakan dakwah kita memiliki tanggung jawab dalam gerakan membangun kembali peradaban Islam itu. Dan tugas kita sederhana; belajar ilmu agama yang benar—sebagai asas dari seluruh ilmu—, karena kewajiban belajar ilmu agama itu fardhu ain. Ilmu agama yang telah kita pelajari itulah yang nantinya akan kita gunakan sebagai dasar dalam membina.

Sinergitas Gerakan Dakwah Islam

Di tengah kegagalan sistem kenegaraan tersebut, saat ini muncul gerakan yang mengkampanyekan konsep negara Islam—khilafah—, yaitu Hizbut Tahrir. Namun, teriakan “Khilafah! Khilafah!” yang selalu disampaikan dalam setiap kesempatan nampak hanya berhenti sampai sebatas wacana saja. Di lain pihak, organisasi massa Islam seperti Persis, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdhatul Ulama (NU), dan Muhammadiyyah tidak menjadikan “negara Islam” sebagai final destination gerakan mereka. Ormas-ormas mainstream ini lebih berkonsentrasi pada gerakan dakwah melalui pendidikan dan sosial. Adapula gerakan Islam yang tidak dikenal secara institusional, tetapi popularitasnya cukup tinggi di kalangan umat Islam, yaitu gerakan salafi. Konsentrasi gerakan mereka antara lain pemurnian aqidah, akhlaq, dan ibadah. Sasaran dakwah mereka baru sampai pada masyarakat biasa belum sampai pada elite partai politik. Mereka juga belum berhasil

Buletin Ulul Albab -

9


menjangkau para wakil rakyat yang sedang duduk manis di parlemen. Gerakan salafi juga belum mampu sampai pada tegaknya syariat Islam atau beridirinya negara Islam. Mereka masih berpijak pada sebuah dalil bahwa pemimpin yang tidak kufur dan tidak memerintahkan kemaksiatan wajib ditaati. Dan jika di kemudian hari terjadi persoalan maka wajib sabar, melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan tidak khuruj—gerakan separatisme—pada pemerintah. Sinergitas antar gerakan Islam di atas bisa menjadi kekuatan besar, hanya jika mereka memiliki cita-cita, visi, dan misi yang sama, yaitu da’wah islamiyyah, apapun jalannya, baik pendidikan, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Jika hal itu terwujud maka kebangkitan umat Islam berdasarkan sistem nilai-nilai Islam akan menjadi kenyataan. Kebangkitan umat Islam ini akan membawa bangsa ini ke gerbang baru kehidupan yang lebih baik. Tetapi gerakan dakwah ini harus bersih dari kepentingan-kepentingan politik, khususnya partai politik Islam yang ternyata jauh dari cita-cita mulia dinul islam . Misalnya salah satu partai Islam yang pernah dijuluki New Ikhwanul Muslimin. Dugaan kasus korupsi yang melibatkan para petinggi partai itu adalah buktinya.

Dakwah Islam Sebagai Solusi

Permasalahan yang terjadi dalam tubuh umat Islam merupakan tanggung jawab setiap aktifis dakwah. Persoalan dalam ruang lingkup kenegaraan bisa kita amanatkan pada orang lain. Aristoteles dalam La Politica berpendapat bahwa inti dari berbagai unsur negara adalah rakyat—umat. Dalam perspektif periodesasi sejarah Islam, apa yang tengah kita alami sekarang adalah periode jahiliyah. Merespon kejahiliyahan umatnya, Rasulullah SAW mulai membenahi tatanan tauhid dan

akhlaq (moralitas) mereka. Pembenahan tauhid dan akhlaq ini berlangsung selama 10 tahun. Rasulullah lalu membenahi hukum dan muamalah selama 13 tahun di Madinah. Oleh karena itu jantung dari persoalan umat Islam adalah tingkat ketakwaan mereka. Berbagai tindakan kejahatan, korupsi, misalnya, akan mampu dihindari jika ketakwaan umat terhadap Allah SWT berada pada tingkatan yang optimal. Masyarakat yang bertakwa tentu tidak akan melahirkan pemimpin yang rajin korupsi. Hal ini bisa diwujudkan dengan merevitalisasi peran dakwah para ulama di tengah-tengah masyarakat. Bahw para kandidat yang tengah mengikuti sebuah pemilihan, baik daerah maupun pusat, seringkali mendatangi para ulama untuk mendongkrak elektabilitasnya merupakan satu bukti nyata betapa ulama memiliki pengaruh bagi masyarakat. Peran vital ulama juga perlu diimbangi dengan masyarakat yang memiliki fondasi finansial yang kuat untuk menopang gerakan dakwah. Rasulullah memperingatkan bahwa terjadinya kiamat diawali dengan dicabutnya ilmu—dengan hilangnya vitalitas peran ulama—sehingga kebodohan menjadi fenomena biasa. Akhirnya para pemimpin memutuskan sesuatu tanpa dasar ilmu—agama yang shahih.

Rasulullah memperingatkan bahwa terjadinya kiamat diawali dengan dicabutnya ilmu, dengan hilangnya vitalitas peran ulama, sehingga kebodohan menjadi fenomena biasa.

Referensi Al Qur’an Al Kariim Henri Shalahudin, Al Qur’an Dihujat. Jakarta: Gema Insani Press. 2007. Hamid Fahmi Zarkasyi, dkk., Membangun Peradaban dengan Ilmu. Depok; KALAM Ilmu Indonesia. 2010. Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2010 Aceng Zakaria, Al Hidayah (Edisi Kompilasi). Garut: Ibnu Azka. 2003.

Buletin Ulul Albab -

10


Pesan dari

Pilgub Jabar 2013 untuk

Pilpres 2014 Oleh: Hilman Al-Rasyid Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia ‘10-Ketua HIMA Persis PK UPI.

D

emokrasi di Indonesia telah mengalami proses transisi, mulai dari demokrasi revolusioner ala Soekarno, demokrasidevelopmentalisme ala Soeharto, dan demokrasi ala zaman reformasi. Setiap masa transisi tersebut tentu memiliki gairah zamannya masing-masing untuk membawa bangsa Indonesia ke kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Demikian juga demokrasi ala reformasi. Ia hadir dengan membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi ternyata rakyat masih gelisah karena perubahan ke arah yang lebih baik itu tak kunjung datang. Rakyat sudah bosan pada situasi politik yang semakin kacau. Mereka lalu menyangsikan keberpihakan para politisi dan partai politik pada mereka. keduanya—politisi dan partai politik—malah berbuat nista. Mereka justru melukai hati rakyat dengan merampok uang negara. Tanggal 22 Februari 2013 kita dikejutkan pemberitaan media tentang dugaan korupsi yang dilakukan oleh ketua umum sebuah partai besar. Sebelumnya kita juga telah dikejutkan; presiden salah salah satu partai Islam juga terjerat kasus korupsi. Yasraf Amir Pilliang (2004) mengungkapkan bahwa wajah demokrasi kita saat ini hanyalah demokrasi citra (the image of democracy). Demokrasi citra tidak jauh berbeda dengan anarkisme, yang seolah-olah demokratis, ternyata anarkis, seolah-olah moralis, ternyata amoralis. Demokrasi citra telah mengaburkan batasan-batasan antara

yang asli dan yang palsu, yang benar dan yang bohong, yang beradab dan yang biadab, seorang penjahat dan penegak keadilan, dan seterusnya. Oleh karen itu tidak aneh jika terjadi apatisme publik terhadap politik. Apatisme ini dipicu oleh kekecewaan publik terhadap para politis dan partai politik itu sendiri, yang hanya mengumbar janji—ketika kampanye—tanpa realisasi. Apatisme ini juga terjadi di Jawa Barat. Sebagian penduduknya lebih memilih untuk mencari penghidupan yang lebih layak di daerah lain daripada harus berharap pada sesuatu yang sudah terbukti berkali-kali mengingkari janji. Pergantian kepemimpinan di Jawa Barat mereka nilai tidak akan memengaruhi kesejahteraan kehidupan mereka. Mereka nampaknya sudah menganggap bahwa ‘politik’ apalagi ‘ideologi’ merupakan racun, makhluk kotor yang menjijikkan. Jawa Barat merupakan provinsi pertama di Indonesia. Pembentukannya dilakukan hanya dua hari setelah Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI. Hal ini memperlihatkan adanya relasi politis dan ikatan emosional yang kental antara Jawa Barat dengan situasi politik yang ada di ibu kota Jakarta. Tangga 24 Februari 2013 merupakan momen paling istimewa dan bersejarah bagi para kelima pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Barat. Pasalnya pada hari itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi Jawa Barat sedang sibuk menggelar pesta demokrasi rakyat Jawa Bara—pilkada propinsi. Melalui pagelaran pesta demokrasi ini setiap rakyat Jawa Barat mendambakan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik, lebih adil dan sejahtera. Sementara itu di tingkat perpolitikan nasional, pilpres akan Buletin Ulul Albab -

11


segera diselenggarakan tahun 2014. Dari proses pelaksanaan pilgub Jabar tersebut tentu saja ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil untuk menyongsong pilpres 2014 tersebut. Pelajaran pokok dari pilgub Jabar adalah urgensi pengawasan terhadap proses kampanye dan dan pemilihan di TPS. Praktikpraktik kotor (money politic) harus disikapi secara preventif. Politik uang akan mencederai sistem demokrasi yang kita agung-agungkan selama ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus selalu bersikap profesional, merdeka, dan independen. Di pihak lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus selalu siap memantau dan mengawasi jalannya pesta demokrasi dengan ketat. Sumber aliran dana kampanye para calon harus diketahui transparan sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Namun langkah di atas belum cukup. Perlu dilakukan pencerdasan masyarakat lewat pendidikan politik. Upaya ini dilakukan untuk mengikis mental ‘mata duitan’ rakyat Indonesia sekalgus kecerdasan mereka dalam menjatuhkan pilihan. Peran signifikan berbagai pihak, baik partai politik, organisa massa, maupun organisasi kepemudaan perlu ditingkatkan dalam melakukan gerakan penyadaran masyarakat terhadap politik bersih. Publik harus menjatuhkan pilihannya padapemimpin dengan moralitas tinggi sehingga kesejahteraan rakyat bisa terwujud. Jika masyarakata masih memilih pemimpin hanya karena sang calon memberi uang maka hal tersebut hanya akan menjadi kebahagiaan sesaat.

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Ilahi Rabbi, dengan segala usaha yang telah dilakukan, buletin ini dapat terbit secara digital. Semoga menjadi suplemen bagi jiwa-jiwa kerontang aktifis di era reformasi ini. Ditengah pergerakan mahasiswi aktifis yang kadang sudah tidak ideologis, masih ada kader-kader kita yang menulis dengan lugas, menoreh goresan-goresan intelektualitas. Semoga bermanfaat! ### DITERBITKAN OLEH PENGURUS PUSAT HIMPUNAN MAHASISWA PERSATUAN ISLAM PENANGGUNG JAWAB: Mohammad Reza Ansori. PEMIMPIN REDAKSI: Diponegoro REDAKTUR: Jajang Suhendar, Ayipudin, Irwan Sholeh, Nizar Ahmad Saputra, Imam Sofyan Abbas. PERWAJAHAN: Muhammad Ryan Alviana. ALAMAT REDAKSI: Jalan Perintis Kemerdekaan No. 2-4 Lt.5 , Viaduct, Bandung, 40117, Jawa Barat, Indonesia. EMAIL: redaksi@himapersis.com. WEBSITE: www.himapersis.com. Redaksi menerima artikel atau opini mengenai berbagai isu yang berkembang. Artikel diketik dalam format .rtf maksimal 3000 karakter. Anda juga dapat mengirim tanggapan, saran, kritik, maupun surat pembaca.

Buletin Ulul Albab -

12


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.