e-NAFIRI GKY BSD | JUN 2020 | TH17

Page 1


Pembaca ‘Nafiri’ terkasih,

Tanpa terasa sudah beberapa bulan ya sebagian besar dari kita ‘terkunci’ di rumah. Segala kegiatan menjadi sangat terbatas untuk dilakukan, bahkan beberapa teman mengatakan, kalau bisa jalan ke mal aja rasanya udah ‘wah’ banget. Dalam keadaan seperti ini, apa yang paling sering kita lakukan? Buka handphone, lihat isi WhatsApp dan berita-berita seputar Covid-19, baik hoaks, fakta, ataupun berbagai tips. Tiap hari kita dijejali dan disuguhi berita-berita ini. Sudah jenuhkah? Mengerti akan hal tersebut, Nafiri edisi kali ini rindu untuk muncul secara berbeda, tidak dalam bentuk cetakan buku atau buku e-Nafiri secara keseluruhan, tetapi tiap artikel akan muncul secara satuan sekitar empat artikel per minggu. Daripada kita hanya membaca banyak konten yang justru membuat kita takut dan gentar, mengapa kita tidak mengisi pikiran kita dengan bacaan-bacaan bermutu, artikel dan kesaksian yang justru bisa menguatkan kita semua sebagai jemaat Tuhan?


Nantikan kata-kata dari Pak Gembala kita di “Pastoral Notes”, “Kesaksian” dari berbagai jemaat kita yang telah melalui ujian Covid-19 dalam keluarganya, “Rekomendasi Lagu”, “Quote (dari) 2 Zaman” yang berbeda, “Teropong” mengenai wabah dari masa ke masa, ataupun foto-foto peristiwa, dan masih banyak tulisantulisan lain yang sangat menarik untuk dibaca dalam edisi artikel satuan ini. Tidak semuanya serba serius, kita perlu juga tertawa, karena hati yang gembira adalah obat yang mujarab. Komedian zaman dahulu berkata, “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” “Komik Sentilan Si Ucil” dan “Taman Ketawa” yang selalu setia, akan hadir juga untuk menggelitik hati kita. Santai sejenak dan mari tertawa bersama. “Bersaksi Meskipun dari Balik Tembok Rumah”, rasanya topik ini cukup tepat untuk saat-saat seperti sekarang ini. Mari kita nikmati momen #dirumahsaja bersama tulisan dan gambar yang akan terbit di artikel-artikel satuan berikutnya yang akan kami kirimkan. Selamat membaca dan menikmati sajian kami pada edisi kali ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Salam, Redaksi


Penasehat Pdt Gabriel Kadarusman Gofar Pembina GI Feri Irawan, M.Div. Majelis sub. bid. Literatur Yahya Soewandono Pemimpin Redaksi Humprey Wakil Pemimpin Redaksi Pingkan I Palilingan Editor Hendro Suwito, Titus Jonathan Proof Reader Yati Alfian Creative Design Arina R Palilingan, Juliani Agus, Christina Citrayani, Glory Amadea, Nerissa, Novita C Handoko Illustrator Ricky Pramudita, Thomdean, Shannon Ariella Fotografer Yahya Soewandono Tim Dokumentasi GKY BSD Penulis Anton Utomo, Edna C Pattisina, Hendro Suwito, Elasa Noviani, Feri Irawan, Humprey, Lily Ekawati, Lislianty Lahmudin, Maya Marpaung, Nico T Tjhin, Pingkan I Palilingan, Sarah A Palilingan, Thomdean, Titus Jonathan, Liany Suwito, Elizabeth Wahyuni Kontributor Aysha Sukirdjadjaya, GI Alexander Semuel Hermawan, GI Peter Farrand Alamat Redaksi Sub bidang literatur GKY BSD Jl. Nusaloka E8/7 BSD Tangerang Telp/ Fax: 021-5382274 Email: nafiri@gkybsd.org

Kirimkan KRITIK, SARAN, SURAT PEMBACA dan ARTIKEL anda ke alamat redaksi ataupun lewat e-mail di atas


“You Only Live Twice� – Mengenang Joyce dan Tobi

/ Hendro Suwito

You only live twice. Seperti judul film di masa lalu. Tetapi, bukankah sebagai pengikut Kristus kita memang seharusnya mempunyai hak untuk hidup dua kali: sekarang dan nanti bersama Tuhan dalam kekekalan? Masalahnya adalah apa yang sedang kita hadapi di sini. Saat ini. Waktu yang masih terbentang antara hidup kita sekarang dan kehidupan kekal. Apa yang harus kita lakukan untuk mengisi hari-hari yang masih dipercayakan Tuhan selama masih di dunia ini? Daripada membombardir pikiran Anda dengan ide-ide dan konsep-konsep yang bisa mengurangi jumlah rambut di kepala, lebih baik kita berkenalan dengan dua pribadi yang bisa menginspirasi cara kita mengisi hari-hari kehidupan kita. Tanggal 12 Mei 2020 lalu, matahari baru saja terbit ketika Joyce Lin meninggal dunia. Pesawat ringan Kodiak 100 yang dia piloti jatuh ke Danau Sentani di Papua. Tubuhnya ditemukan di kedalaman dua belas meter dua–tiga jam kemudian.


Joyce Lin? Siapa dia? Setelah kecelakaan ini, barulah berita dan komentar-komentar bermunculan di media. Dan, kita pun makin terpesona oleh dara dari Ohio-Amerika ini. Joyce (40) adalah lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT), sekolah teknik paling top di Amerika. Dengan ilmunya, dia masuk ke dunia komersial dan meniti karir yang sangat menjanjikan. Tetapi, hatinya gelisah. Bagaimana seharusnya hidup ini harus dijalani dan dimaknai? Dia memutuskan studi lagi di bidang teologi di Gordon-Conwell Theological Seminary. Suatu hari, dia membaca leaflet tentang penerbangan misi Mission Aviation Fellowship. “That’s it! Ini yang aku cari.� Sebuah pelayanan yang menggabungkan bidang teknik dan kerinduannya untuk masuk ke ladang misi. Musim panas 2009, Joyce pun tiba di Jayapura, Papua. Dia menjadi volunter di MAF. Beberapa bulan di Papua semakin memantapkan langkahnya. Pilot misi Tahun-tahun setelah itu, dia menyelesaikan studi teologi, bergabung dengan MAF dan mulai menjalani pendidikan tentang seluk-beluk pesawat serta berlatih menjadi pilot. Dia lulus sebagai pilot pesawat komersial dan bahkan lulus sebagai instruktur. Papua memanggil-manggil jiwanya. Dia pun kembali ke Indonesia untuk melayani sebagai pilot misi. Dia tinggal dulu setahun di Salatiga untuk belajar bahasa dan budaya. Dia dikenal sangat ramah di lingkungan kosnya di Krajan.


Dia bergabung dengan vocal group di gereja dan mengiringi dengan petikan gitarnya. Pada paruh kedua 2009, Joyce pun tiba di kantor MAF di Sentani. Dia mulai terbang didampingi oleh instruktur MAF yang sudah berpengalaman di Papua. Mereka terbang ke puluhan desa terpencil di Pegunungan Jayawijaya, yang terletak antara 1.500 hingga 3.000 meter di atas permukaan laut. Tidak ada jaringan jalan ke banyak desa di sana. Pesawat MAF adalah satu-satunya sarana yang bisa mengangkut penduduk dan memasok barangbarang yang dibutuhkan mereka. MAF mengoperasikan pesawat-pesawat kecil yang bisa mengangkut 4–6 orang atau membawa barang kurang dari satu ton. Setelah beberapa bulan terbang ditemani oleh instruktur, Maret lalu Joyce mendapat clearance untuk terbang solo ke dua puluh desa. Dia menuliskan pengalaman pertamanya terbang solo ke Desa Mamit dalam situs MAF dengan tulisan berjudul “Solo!”. Sebuah ungkapan sukacita karena impiannya akhirnya tercapai. “For me, this solo was the culmination of a 10-years journey to become a missionary pilot. So many people have helped me over the span of a decade to reach this point, and I am so thankful!”


Kedatangannya ke desa-desa terpecil demikian ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Dia sangat akrab dengan mereka. Pada satu kesempatan, dia sempat menerbangkan seorang penduduk yang sakit parah agar dapat mengakses pengobatan di kota. Pada pagi yang nahas itu, Joyce akan ke Desa Mamit menerbangkan perlengkapan sekolah dan peralatan untuk rapid test virus Corona. MAF mengatur kebaktian streaming pelepasan dan pemakaman Joyce agar dapat diikuti oleh keluarga dan sobat-sobatnya. Ratusan orang ikut mengirimkan teks ungkapan rasa duka. Di antaranya termasuk teman-teman kuliahnya di Amerika, keluarga tempat dia kos di Salatiga, warga kampung Krajan, dan penduduk desa Mamit juga mengungkapkan duka mereka. Belasan ribu orang mengikuti acara kebaktian streaming ini. Joyce pun dimakamkan di tepi Danau Sentani, danau paling indah yang penulis


pernah saksikan setelah mengunjungi banyak provinsi di Indonesia. Pelayanan Joyce terasa demikian singkat. Hanya beberapa bulan menjadi pilot misi di Papua. Tetapi, demikian banyak orang yang merasa kehilangan dan sangat tersentuh oleh hidupnya. “Our respect to Captain Joyce from Washington DC. She is an absolute inspiration to us all and our kids.” Tulis seorang simpatisan dari Amerika. Tak heran jika nantinya akan muncul ‘Joyce-Joyce’ lain yang mengikuti jejaknya. “If I die I will die doing what God has called me to do,” Joyce pernah mengungkapkan. Harapannya terpenuhi. Dan, kita percaya bahwa Joyce sudah memasuki kehidupannya yang kedua—dalam kekekalan—bersama Tuhan.


Lulus Terbaik Pribadi kedua adalah Tobias Prawira. Kami sekeluarga tahun lalu menghadiri pemberkatan pernikahannya dengan Voni di Bandung. Tobi menyelesaikan S-1 dan S-2 teknik mesin di Institut Teknologi Bandung. Dia lulus terbaik dan sejak itu menjadi dosen di sana. Dia sedang menjalani program S-3 dan selangkah lagi akan meraih gelar doktor. Perjalanannya terhenti menjelang subuh 19 April 2020 di RS Hasan Sadikin, Bandung. Usianya baru 33 tahun. Dia dimakamkan dengan prosedur Covid-19. Beberapa waktu sebelumnya, Pak James Tumbuan dan Bu Titie, orang tuanya di Jakarta, jatuh sakit setelah ikut merawat kakak Bu Titie. Kakak Bu Titie—dan juga mamanya—akhirnya meninggal dengan dugaan terpapar virus corona. Mengetahui orang tuanya sakit, dengan kesadaran penuh akan risikonya, Tobi pulang untuk ikut merawat mereka. Papa dan mamanya akhirnya bisa melewati masa kritisnya. Sekembalinya ke Bandung, dia sakit. Setelah dirawat di rumah sakit swasta beberapa hari, kondisinya semakin menurun dan dipindah ke Hasan Sadikin yang punya ventilator. Tuhan


punya rancangan lain dan memanggil dia pulang. “Apa dosa kami, Tuhan, hingga badai ini menimpa keluarga kami?” Pak James sempat bertanya-tanya dalam doanya. “Mengapa kami Engkau beri kesempatan untuk bertahan, tetapi Tobi Engkau panggil pulang?” Kesaksian Bu Titie lewat media sosial mendekatkan kita pada pribadi Tobi. “Saat masih SMA, dia menjadi volunter mengajar anak-anak jalanan di Klender. Tobi bilang, ‘Seorang guru harus bisa mengubah dan menggali potensi anak didiknya. Aku harus coba.’ Ternyata, ada seorang anak yang sangat termotivasi dan akhirnya memutuskan untuk kuliah.” Setelah menyelesaikan S-2 di ITB dan menjadi asisten dosen, Tobi membantu membimbing dua mahasiswa program S-2 yang kuliah sambil bekerja. Mereka berdua akhirnya lulus dengan baik. Sebagai ungkapan terima kasih, mereka memberi laptop canggih pada Tobi. Dia mengembalikan laptop itu dengan catatan, “Seorang guru tidak menerima hadiah dan imbalan … kalau cuma nasi Padang bolehlah.” Sebelumnya, setelah selesai S-1, Tobi mendapati ada tujuh teman SMA-nya yang terancam dropout karena tugas akhirnya macet. Dia mengumpulkan teman-temannya dan bilang, “Ayo kita sama-sama kerja keras. Kita semua harus lulus!” Dia memeriksa tugas akhir teman-temannya dan memberi masukan apa yang harus diperbaiki. Mereka semua akhirnya lulus dengan baik.


Masih Punya Waktu Seorang sobatnya yang lain, panggil saja Mas Bro, juga nyaris DO. Ketika Tobi bertanya pada dosen pembimbingnya, dia menjawab, “Terpaksa Mas Bro harus kami DO. Hari ini dia pulang ke Jawa Timur.” Ternyata sebenarnya Mas Bro masih punya waktu tiga hari. Tobi pun segera ke stasiun mengejar Mas Bro. “Mas Bro … jangan pulang. Ayo kita kerja lagi. Masih ada waktu tiga hari.” Mas Bro batal pulang. Didampingi Tobi, dia berjibaku siang malam untuk memperbaiki tugas akhirnya. Dia pun lulus dan mentraktir sobat sejatinya makan nasi Padang. Saat wisuda, ayah Mas Bro, seorang peternak sapi, menemui Tobi. Dia ingin memberikan seekor sapi. Tobi menolak. “Sesama teman harus saling membantu, Pak ….” “Bagaimana kalau bapak belikan motor saja,” desak ayah Mas Bro. “Ooo jangan Pak. Saya ke kampus biasa naik sepeda.” Mas Bro akhirnya berkarir sangat baik di Jawa Timur. Kalau sedang ke Bandung, dia pun tertawa-tawa bersama Tobi sambil menikmati kuliner kesukaan mereka. Seorang teman sempat nyeletuk ketika mendengar kabar duka tentang Tobi. “Kok umurnya sama dengan Tuhan Yesus ketika Dia disalib menebus kita, ya.” Dalam skala lebih terbatas, Tobi, yang meneladani iman pada Kristus dari kedua orang tuanya, juga telah menjadi inspirasi dan mengisi kehidupan orang-orang di sekitarnya.


Tobi bersama Voni, istrinya, dan kedua orang tuanya

Pak James dan Bu Titie mengungkapkan rasa bangga atas semangat Tobi untuk menolong orang lain. “Dia selalu berkorban untuk orang lain tanpa pamrih. Dia selalu memikirkan kebahagiaan orang lain daripada dirinya sendiri,” tandas Pak James, mantan Direktur Nasional World Vision Indonesia. “We always love you and remembering you lovingly,” tulis Bu Titie. “Rest in peace, son ….” Setelah melewati masa grieving yang sangat dalam atas berpulangnya Tobi, mereka mulai menatap ke depan. “Masa sedih itu sudah kami lewati. Kini kami bertanya-tanya pada Tuhan apa yang Dia masih ingin kami lakukan,” ujar Pak James. You only live twice. Tobi sudah bersama Tuhan menikmati kehidupannya yang kedua ... dalam kekekalan. Tugas Joyce dan Tobi pada kehidupannya yang pertama sudah selesai … dengan prima. Bagaimana dengan kita? •


Membutuhkan Tim

/ Erwin Tenggono


A

pa yang terjadi saat ini? Covid-19, bekerja dirumah aja, jaga jarak, belajar dari rumah, dan apapun istilah yang ada saat ini, seakan menjadi sesuatu norma baru dalam kehidupan. Bagi sebagian orang hal ini seakan asyik-asyik aja, tetapi bagi sebagian yang lain semacam mimpi gelap. Ada yang menjadi sangat ketakutan, namun ada juga yang tidak terlalu peduli. Sebagai seorang pemimpin, tentunya tidak mudah. Saya sendiri, berusaha berpikir positif. Tapi kadangkala saya juga berteriak dan bertanya kepada Tuhan. Mau sampai berapa lama? Saya memotivasi team, tetapi kadang kala saya juga bosan, kesal dan frustasi dengan semua keadaan. Didalam perusahaan, kadangkala ada pemimpin yang peduli, tetapi ada juga yang tidak terlalu memikirkan dan menganggap kita kuatir berlebihan. Saya tidak tahu bagaimana kehidupan pemimpin lain, tetapi itulah yang saya alami.


Di tengah situasi ini, saya teringat pada pergumulan Musa di Bilangan 11, yang mengeluh dan berteriak kepada Tuhan. Bahkan Musa mengeluh dan seakan tidak bisa menerima murka Tuhan dan hukuman yang diberikan kepada bangsa Israel. Musa protes keras seperti tertulis pada Bilangan 11:11 tertulis, “Lalu berkatalah Musa kepada TUHAN: “Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia di mata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas seluruh bangsa ini?” Dalam kehidupan seorang pemimpin, itulah realita yang kita hadapi dan saya hadapi. Kita protes dan kadangkala sebagai pemimpin, beban itu begitu besar, dan kita benar-benar tidak kuat, merasa sendiri dan lelah. Beberapa pemimpin bahkan telah menjerit seperti Musa dalam Bilangan 11:14 “Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku.” Apa yang saya pelajari dalam pergumulan saya sebagai seorang pemimpin, Tuhan memberikan jawaban yang begitu indah. Dalam pasal 16 dan seterusnya.


Dalam sebuah kepemimpinan dibutuhkan satu tim yang dapat menanggung beban bersama. Tim itu kita butuhkan. Dan saya sangat percaya, tim itu bisa berasal dari rekan sekerja kita, ataupun komunitas kita maupun rekan seiman dan seperjalanan kita. Dalam situasi pandemic Covid-19 ini, kita diingatkan untuk tidak merasa sendiri. Bukankah dalam dunia manajemen ada satu kalimat dari Steve Jobs “ Great thing in business are never done by one person. They’re done by a team of people � Ayo, kita mulai mengajak tim kita, komunitas kita untuk mendiskusikan bersama beban kita. Berdoa bersama, maka Tuhan akan memampukan kita semua. Tuhan yang memberi hikmat pada Musa dan timnya adalah Tuhan yang sama yang akan memampukan kita . Pembatasan jarak, bekerja dari rumah, intinya janganlah menjauhkan kita dari komunitas seiman dan tim kita. Dan terpenting, mendekatlah pada Tuhan seperti Musa, dan merasakan kasih karunia dan kehadiran Tuhan dan jawaban Tuhan dalam situasi yang kita hadapi. Tuhan memilih kita menjadi pemimpin. Dia akan memampukan kita. Karena semua adalah Anugrah dari Dia. ***


Membesarkan

Anak dengan

Cara Allah BAGIAN 1

/ GI Alexander Semuel Hermawan


K

ita hidup di dalam dunia yang sudah sangat mudah untuk mendapatkan informasi tentang segala hal. Hanya dalam hitungan detik; ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribuan informasi dapat kita akses di ujung jari kita. Mulai dari resep masak sampai resep bahan bakar roket ada di internet, asalkan kita tahu cara mencarinya, semua informasi dengan mudah bisa kita dapatkan ... termasuk ‘resep’ tentang membesarkan anak (parenting). parenting parenting). Ada banyak sekali ‘resep’, nasihat, dan tips tentang parenting. Akan tetapi saking banyaknya, terkadang justru membuat kita bingung. Sebenarnya bagaimana sih parenting yang benar itu? Diperparah lagi, kadang informasi yang satu justru kontradiksi dengan informasi yang lain. Misalnya: The cry-it-out method vs the no-cry method dalam menidurkan anak. Kesulitannya lagi dalam parenting adalah di dunia ini tidak ada ‘ilmu’ yang secara khusus mengajarkan parenting. Kebanyakan dari kita belajar parenting dari pengalaman dan orang tua kita. Kita ini adalah produk dari parenting orang tua kita, begitu juga dengan anak kita nantinya akan menjadi


produk dari parenting kita. Karena itu mungkin kita selalu bertanya, “Parenting yang benar itu seperti apa sih?� Karena kita takut salah dalam parenting atau takut mengulang kesalahan yang sama dengan parenting yang dilakukan orang tua kita kepada kita. Sebagai orang yang percaya pada Yesus Kristus, tentu saja kita bersyukur telah diberikan Alkitab yang menjadi dasar atau pedoman dari parenting kita. Karena itu pada artikel kali ini, kita akan melihat dasar pemikiran dari buku Membesarkan Anak dengan Cara Allah.


Dasar-Dasar Pemikiran Dalam surat 2 Korintus 5: 18–20 Paulus dengan jelas membeberkan salah satu tugas dari setiap murid Kristus adalah pelayanan pendamaian. Maksudnya adalah sama seperti Kristus sudah mendamaikan kita dengan diri-Nya, kita pun memiliki tugas untuk mendamaikan orang lain dengan Kristus. Alangkah baiknya bukan kalau ‘orang’ yang kita bawa berdamai itu dimulai dari anak kita sendiri? Dengan kata lain, tugas orang tua adalah ‘mendamaikan’ anak dengan Kristus; membawa mereka untuk mengenal Tuhan. Dan mengapa kita melakukan ini? Karena kelak, kita semua akan diminta pertanggungjawaban mengenai anak-anak yang Tuhan sudah titipkan kepada kita. Tetapi bagaimana kita membawa anak kita untuk berdamai dengan Allah? Jawabannya bisa kita temukan dalam Alkitab. Alkitab memang tidak secara harafiah mengatur bagaimana kita sebagai orang tua harus membesarkan anak. Akan tetapi,


Alkitab menyatakan dengan tegas standarstandar etika yang diperlukan untuk memiliki kehidupan yang sukses. Dari standar-standar tersebut muncul perintah moral yang jelas, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus� (1 Petrus 1: 16). Kekudusan bukan hanya sebuah anjuran, melainkan ini harus menjadi gaya hidup. Tentulah gaya hidup yang bermoral ini harus diajarkan dan dihidupi oleh orang tua dan diteladankan kepada anak-anaknya. Pendidikan moral dalam rumah tangga


Kristen harus sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Alkitabiah. Ini berarti mengkomunikasikan bukan saja kehendak Allah, melainkan juga karakter Allah. Dengan kata lain, kita mendidik anak-anak kita dengan standar Alkitab, bukan hanya sekadar menahan timbulnya niat hati yang berdosa, tetapi juga untuk menyatakan karakter dan kasih karunia Tuhan kepada anak-anak kita. Yesus Kristus menginginkan hati anak Anda, bukan hanya pikirannya. Karena itu penting sekali bagi kita untuk selalu memastikan bahwa anak kita bukan cuma sekadar tahu secara pengetahuan di kepala dan pengakuan dalam pikiran yang diberikan oleh anak-anak dalam hidupnya kepada Tuhan. Kristus menuntut penyerahan segenap jiwa dan seluruh kehidupan agar kita dapat sungguhsungguh dilahirkan kembali. Maka itu anak kita perlu diselamatkan dengan cara Tuhan. Mengapa? Karena tanpa lahir baru, orang tua tidak akan dapat menghasilkan anak yang ‘ilahi’ ((godly children). Tanpa lahir baru, makna dan tujuan hidup itu akan selalu diragukan, motif maupun realitas


dari kebenaran selalu dipertanyakan. Kebenaran apa? Yaitu satu-satunya standar benar atau salah, yang baik atau yang jahat harus dilihat dari standar Tuhan. Karena itulah kita sebagai orang tua harus mulai memperkenalkan Tuhan kepada anakanak kita sedini mungkin. Jangan hanya menunggu anugerah Allah terjadi dalam hidup anak kita, barulah kita ajarkan apa yang Tuhan mau. Kita perlu memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak kita sekaligus apa yang Tuhan harapkan bagi anak-anak kita tentang bagaimana mereka harus menjalani hidupnya, karena karakter Tuhan dinyatakan melalui hukum moral-Nya.


Inilah yang menjadi dasar pemikiran cara membesarkan anak dengan cara Allah. 1. Sasaran utama kita sebagai orang tua adalah menghasilkan, melalui keselamatan, seorang anak yang memiliki tanggung jawab moral dan tanggap terhadap firman Tuhan. 2. Alkitab tidak menerangkan secara terperinci dan persis bagaimana mendidik dan melatih anak, tetapi Alkitab memberikan prinsip-prinsip moral agar menghasilkan kehidupan yang saleh. 3. Allah menginginkan hati anak, bukan hanya pikirannya. Allah menginginkan ketaatan yang dari hati, bukan hanya apa yang terlihat taat di luarnya saja.

Disadur dari buku ‘Membesarkan Anak dengan Cara Allah’ oleh Ezzo & Ezzo


Harap Harap Cemas Pada Masa Depan

/ Liany Dianita Suwito


B

elakangan ini saya rasa pasti banyak di antara kita yang merenungkan, apa yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Bagaimana kehidupan berjalan setelah pandemi ini berakhir? Apakah dunia akan kembali normal seperti sediakala? Atau apakah justru mengalami perubahan drastis dan mengubah keseluruhan hidup manusia? Hati kita pasti galau dan merasa ‘harap-harap cemas’ ketika memikirkan halhal ini. Namun kita sebenarnya tidak perlu terlalu mencemaskannya, karena manusia memiliki kemampuan yang luar biasa dalam bertahan hidup, yaitu dengan beradaptasi. Beradaptasi menjadi kemampuan dasar yang sangat dibutuhkan dalam masamasa krisis seperti ini. Bahkan ketika dunia mengharuskan kita mengubah perilaku, sifat, dan kebiasaan kita. Dunia yang baru akan muncul. Seorang peneliti ekonomi bernama Simon Mair menuliskan dalam artikelnya yang berjudul “How Will Coronavirus Change the World� bahwa perekonomian dunia memiliki empat kemungkinan masa depan, di antaranya state capitalism, barbarism, state socialism, dan mutual aid. State capitalism mungkin terjadi pada negara-negara maju dimana negara dan pemerintah akan menyokong kebutuhan rakyatnya dalam masa krisis seperti yang


terjadi di beberapa negara Eropa saat ini. Kemudian barbarism adalah masa depan terburuk yang bisa terbayangkan, dimana krisis akan membawa kejatuhan dan membuat kekacauan akibat kemiskinan dan kelaparan berkepanjangan. Lalu state socialism adalah masa depan dimana negara dan pemerintahan dapat mengamankan perekonomian yang benar-benar esensial atau dibutuhkan dalam hidup. Di antaranya yaitu industri makanan, kesehatan, dan energi untuk sekedar bertahan hidup dan tidak untuk mendapatkan keuntungan. Kemudian yang terakhir yaitu, mutual aid, dimana individu dan komunitas-komunitas akan bermunculan untuk mengusahakan dan mencukupi kebutuhan di wilayah mereka masing-masing.


Dunia yang Baru Itulah empat kemungkinan masa depan manusia, bila nantinya pandemi ini menjadi hal yang normal bagi kita. Tentunya, bisa saja muncul kemungkinan-kemungkinan lainnya yang belum terpikirkan saat ini. Namun sebagaimana perubahan secara alami terjadi, manusia akan juga secara alami beradaptasi dalam situasi yang baru. Ketika dunia yang baru muncul, maka kita pun harus siap untuk menjadi manusiamanusia yang baru. Karena bila kita tidak berhasil bertahan dan berubah, sangat mungkin kita akan berakhir pada masa depan barbarism dimana dunia menjadi kacau dan kehilangan keseimbangannya. Situasi dimana orang-orang akan menjadi kalap dan hanya berusaha mempertahankan dirinya sendiri.


Namun bila kita berhasil berubah dengan memperbaiki fokus kita dalam hidup dan mengarahkannya pada hal-hal yang benarbenar penting, masa depan akan menjadi lebih indah. Bayangkan bila semua manusia di segala penjuru bumi bersatu untuk berhenti melakukan hal-hal buruk. Seperti kejahatan, peperangan, keinginan-keinginan untuk menguasai dan mencari keuntungan atau kepuasan diri, serta eksploitasi dan konsumsi berlebih. Alangkah indahnya dunia di masa depan dimana alam menjadi seimbang dan dunia penuh kedamaian. Maka sebenarnya masa pandemi ini bisa dimaknai sebagai bukan sekadar teguran bagi manusia. Masa ini bisa jadi adalah kesempatan terakhir bagi kita untuk berubah. Untuk membuktikan bahwa manusia masih memiliki hati dan sifat baik yang pantas untuk dipertahankan. Untuk membuktikan bahwa kita memang betul ciptaan yang serupa dengan Allah meski dosa terus menghantui kita. Untuk membuktikan bahwa kita masih bisa berubah menjadi manusia baru yang mau berbagi bahkan berkorban demi kesejahteraan bersama. Bayangkan bagaimana dunia menjadi bersih, tidak hanya dari virus-virus, tetapi juga dari dosa. Itulah hasrat hati Tuhan ketika Ia menyelamatkan kita dari dosa. Seperti nasihat Paulus pada jemaat di Efesus, bahwa orang-orang yang mengenal


Tuhan harus menanggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan (Efesus 4: 17– 32). Inilah saatnya kita menanggalkan fokus lama kita yang seringkali melupakan Tuhan dan mengejar ambisi-ambisi pribadi yang tak tak punya nilai dalam kekekalan.

Kesalahan yang Sama Karena awalnya dunia ini indah saat diciptakan, maka alangkah baiknya bila kita manusia pun ketika akhirnya harus berpulang juga dapat mengembalikan dunia yang indah pada Tuhan. Itulah pesanNya saat Ia menitipkan bumi ini pada kita manusia untuk dirawat dan dipelihara. Jadi sudah menjadi tugas kita untuk menjaganya dengan sebaik mungkin.


Walaupun bila suatu saat nanti dunia ini kembali normal, janganlah biarkan itu membuat kita lengah dan kembali menjadi manusia lama. Karena sebenarnya pandemi akibat virus seperti corona ini pun sudah pernah terjadi di masa lalu. Dan kini terjadi lagi karena kita mengulangi kesalahan yang sama dengan mengeksploitasi satwa liar dan alam. Pandemi ini mengingatkan kita bahwa waktunya telah datang bagi manusia untuk bangkit dan mengenakan manusia baru. Manusia baru yang diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4: 24). Hanya dengan kesadaran dan kesediaan untuk menjadi manusia baru seperti ini, kita dapat menyambut masa depan pasti dan tanpa ‘harap-harap cemas’. Kita tahu dengan pasti bahwa Tuhan menyediakan semua yang terbaik bagi anak-anakNya di tengah segala badai kehidupan. ***


Refleksi Teologis Selama Pandemi Corona

/ GI. Peter Farrand


S

ejak akhir tahun lalu hingga pertengahan tahun 2020 ini, dunia dikejutkan oleh virus Korona yang menyebar dengan begitu cepat. Penyebaran virus ini menyebabkan terjadinya guncangan yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Perubahan sangat signifikan dan sangat mendadak, misalnya, adalah harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama. Berbagai pekerjaan harus dikerjakan di rumah bahkan sampai ibadah pun harus dilakukan dari rumah. Semua ini tentu membutuhkan perjuangan agar kita semua dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah drastis seperti ini. Banyak aspek dalam kehidupan manusia yang perlu mendapat perhatian lebih dan diperjuangkan. Salah satu aspek yang penulis ingin soroti dalam refleksi ini adalah aspek iman orang percaya. Aspek iman sangat penting karena berbicara mengenai relasi antara seseorang dengan Allah dan sesama; dan juga mempengaruhi aspek kehidupan kita yang lain. Pada kondisi sekarang ini, iman kita diuji dan diasah pada saat yang bersamaan.


Sebelum virus Korona menyebar ke mana-mana, kita semua beribadah secara konvensional dimana kita berkumpul di gedung menikmati ibadah bersama dengan saudarasaudara seiman. Namun, sekarang semua itu berubah seketika. Saat ini, kita beribadah secara online di tempat kita masing-masing.

Dalam transisi mendadak ini, iman orang percaya diuji dan diasah; diuji apakah ia benarbenar telah memiliki iman yang bertumbuh di dalam Tuhan. Seseorang yang telah memiliki iman yang bertumbuh di dalam Tuhan pasti akan terus rindu mencari Tuhan. Hal ini dikarenakan ia haus dan lapar akan firman Tuhan dan memiliki kerinduan yang dalam untuk dapat bersekutu dengan Tuhan. Kerinduan yang dalam ini tercermin dari tindakannya yang mencari cara untuk tetap dapat beribadah, mencari, dan berusaha untuk mengenal Tuhan lebih dalam lagi.


Iman seorang percaya juga akan terasah menjadi semakin tajam dan bertumbuh dengan baik. Pada masa seperti sekarang ini, orang percaya akan berjuang dalam iman untuk mencari dan lebih mengenal Tuhan. Perjuangan yang dilakukannya ini akan semakin mempertajam imannya kepada Tuhan dan semakin peka dengan suara Tuhan. Bukan hanya itu saja, pertumbuhan imannya juga semakin nyata dalam kehidupannya seharihari. Iman seperti ini akan menjadi berkat untuk orang lain dan bahkan dapat juga ‘memicu’ saudara seiman lainnya untuk semakin bertumbuh pula di dalam iman.

Kondisi seperti itu dapat tercapai ketika seorang percaya dapat melewati permasalahan yang dihadapinya dalam iman. Sering kali orang percaya beranggapan bahwa ia berjalan sendirian. Namun sesungguhnya, dalam perjuangan menghadapi pergumulan dalam dunia ini, kita memiliki persekutuan dengan saudara seiman dan kita adalah satu kesatuan anggota tubuh Kristus (1 Korintus 12: 26–27).


Menyegarkan Jiwa

Persekutuan kita ini adalah persekutuan yang memiliki pengharapan kekal. Penulis meminjam istilah yang digunakan oleh Michael F. Bird dalam salah satu bukunya, yaitu An Eschatological Community. Maksudnya adalah komunitas orang percaya merupakan komunitas yang memiliki pengharapan di akhir zaman. Pengharapan itu adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya dan akan merestorasi segala sesuatu dan menyempurnakan karya-Nya. Yesus akan merestorasi jiwa kita yang remuk dan iman yang goyah oleh karena beratnya pergumulan hidup yang kita alami. Segala duka akan digantikan dengan sukacita. Air mata kita akan digantikan dengan air yang menyegarkan jiwa kita (Wahyu 7: 17). Ia akan menyempurnakan kita, sehingga kita bersama dengan saudarasaudara seiman dapat bersekutu dengan Yesus selamanya (1 Tesalonika 4: 17). Ini adalah pengharapan kita sebagai orang percaya kepada Yesus. Bagaimanapun kondisi kita, kedatangan dan penggenapan karya-Nya akan tetap terjadi. Oleh karena itu, pengharapan ini dapat memberi kita kekuatan untuk menjalani hari-hari kita di depan. Meski hari-hari di depan kita terlihat ‘gelap’, kita memiliki saudara-saudara seiman yang siap berbagi iman dan pengharapan yang sama, sehingga kita dapat berjuang bersama-sama dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di hadapan kita.


Pada saat ini, kita memasuki fase new normal atau fase kehidupan normal yang baru sampai vaksin ditemukan dan tersedia di sekitar kita. Setelah vaksin ditemukan dan tersedia, kita mungkin akan mengalami fase yang baru lagi. Hal ini menyadarkan kita bahwa kita tidak tahu masa depan dan tidak dapat mengendalikannya. Meski demikian, sebagai satu kesatuan tubuh Kristus, kita dapat saling mendoakan. Selain itu, kita juga dapat saling membantu dalam mencari solusi untuk permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan demikian, iman kita sebagai orang percaya dapat tetap teguh. Keteguhan iman kita bukan karena perjuangan kita sendiri, melainkan karena kita saling menguatkan sebagai kesatuan Tubuh Kristus. Tuhan akan menopang dan menguatkan kita melalui persekutuan kita sebagai anggota Tubuh-Nya. ***



Paid It All

/ Maya Marpaung


P

ada tahun 1865, John Grape bekerja sebagai pemusik di sebuah gereja Metodis di Kota Baltimore. Suatu hari, ketika sedang berlatih di depan organ gereja, serangkaian melodi terus timbul di pikirannya. John langsung menulis dan merangkai melodi-melodi itu hingga menjadi karya yang indah. Namun John merasa ada sesuatu yang kurang: Syair. Melodi yang indah terasa hambar tanpa diisi syair yang kuat.

Bukan merupakan kebetulan bahwa Elvina Hall merupakan jemaat gereja yang sama dengan John. Di Minggu pagi, ketika mendengarkan khotbah tentang karya salib, Elvina mulai merefleksikan pengorbanan Tuhan Yesus untuk dirinya


Tiba-tiba rangkaian demi rangkaian kata memenuhi pikirannya, dan Elvina merangkai kata-kata itu menjadi sebuah puisi yang indah. Elvina menuliskan puisi itu di buku himnenya. Sesaat kemudian, Elvina merasa bersalah telah melakukan sesuatu hal yang lain selama pendeta berkhotbah. Ia kemudian datang ke pendeta untuk meminta maaf. Alih-alih marah, sang pendeta kagum akan keindahan puisi Elvina dan mencari jalan agar puisi tersebut dapat dipakai lebih untuk kemuliaan Tuhan. Sang pendeta kemudian ingat bahwa sang pemusik gereja, John Grape, sedang mencari syair untuk melodi yang dia ciptakan. Benar saja, John juga kagum akan keindahan puisi yang diciptakan Elvina. Lalu ketika mereka mulai memasukkan syair itu ke melodi, keduanya sangat cocok. John kemudian menambahkan refrain ke dalam lagu itu untuk menjadi karya himne yang sempurna. Karya Tuhan memang luar biasa. Tuhan sudah memakai John dan Elvina, di tempat dan saat yang berbeda untuk merangkai sebuah himne yang sangat indah dan hingga saat ini menyentuh jiwa-jiwa untuk menyaksikan karya keselamatan Tuhan di kayu salib.


Jesus Paid It All I hear the Savior say, “Thy strength indeed is small. Child of weakness, watch and pray, Find in Me thine all in all.” REFRAIN Jesus paid it all, all to Him I owe; Sin had left a crimson stain, He washed it white as snow. Lord, now indeed I find Thy pow’r, and Thine alone, Can change the leper’s spots And melt the heart of stone. For nothing good have I Whereby Thy grace to claim; I’ll wash my garments white In the blood of Calv’ry’s Lamb. And when, before the throne, I stand in Him complete, “Jesus died my soul to save,” My lips shall still repeat. ***


/ Titus Jonathan

Ketika Tagar

#DiRumahAja Menyapa Tuhan


R

umah bercat serba putih itu tampak sepi ketika pada suatu pagi Tuhan datang mengetuk pintunya. Seorang pembantu tergopohgopoh menghampiri pintu dan membukanya sejengkal, pas sekali dengan ukuran kepalanya hingga lehernya bisa terjulur keluar menyapa Tuhan. “Bapak sudah berangkat sejam tadi,” kata pembantu itu datar. “Kalau Ibu?” tanya Tuhan. “Di kamar, sedang dandan.” Ketika Tuhan hendak bertanya lagi, pembantu itu bicara lagi, “Tapi bentar lagi Ibu juga akan pergi, udah ditungguin taksi, tuh..,” katanya sambil menunjuk taksi berwarna biru yang berhenti di depan pagar rumah bercat serba putih itu. Tuhan tersenyum, lalu mengangguk dan pamit. Dan pintu rumah itu ditutup. Setelah berjalan beberapa langkah, Tuhan berhenti di depan rumah bercat coklat muda. Ia mengetuk pintunya, tetapi hanya disambut suara anjing menyalak dari dalam rumah. Ada sekitar 3 – 4 anjing bersahutan seperti koor acapella. Tuhan berjalan lagi. Kali ini Ia berhenti di rumah bercat hijau yang di halamannya ada pohon mangga. Ia mengamati sejenak buah-buah mangga yang tergantung dan mulai ranum. Setelah menelan ludah, Ia mengetuk pintu. Ditunggu-Nya pintu itu terbuka


dengan harapan pemilik rumahnya membuka dan menyambut-Nya, tetapi tak ada jawaban apaapa. Rumah itu tampaknya kosong. Ia menjauhi pintu rumah itu sambil melirik buah-buah mangga yang bergelantungan seakan menantang untuk dipetik. Tuhan berlalu sambil menelan ludah. Tuhan berjalan di antara lalu-lalang orangorang yang bergegas. Sandal kulit-Nya menyaruk debu dan kerikil. Matahari semakin naik tinggi, dan Tuhan terus melangkah dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, hingga tak terasa sorepun tiba. Tetapi hingga matahari turun ke Barat - dan tak kurang dari seratus rumah yang Ia kunjungi – tak dapat satu penghunipun Ia berhasil temui. Semua pergi. Rumah menjadi istana bagi pembantu dan tukang kebon. “Ah, mungkin mereka semua sedang sibuk bekerja. Aku akan berkunjung di malam hari,” gumam Tuhan seorang diri. Ia berjalan menuju sebuah cafe di seberang jalan. Dihampirinya seorang satpam di pos security sedang memencet-mencet handphone-nya dengan jempolnya. “Sudah jam 5 sore, Bapak belum pulang?” tanya Tuhan kepada satpam itu. “Mana bisa pulang jam segini? Justru sebentar lagi café akan ramai. Kan bubaran kantor?” jawab satpam itu tanpa menoleh. Jempolnya terus menari di atas handphone-nya. “Hmm.. ini café khusus orang kantoran?”


“Kagak khusus sih, tapi kebanyakan orang kantoran kemari abis pulang kerja. Nongkrong sampai café tutup.” “Ada wi-fi nggak di dalam?” tanya Tuhan. “Yaa..elaahhh, hari gini mana ada café tanpa wi-fi sih? Kayak dari planet lain aja kagak tau perkembangan jaman.” Beberapa saat kemudian berdatanganlah orangorang masuk ke café itu, ada yang berdua-dua, ada yang rombongan, dan ada juga yang datang seorang diri. Tuhan juga masuk ke café itu. Ia celingukan mencari tempat duduk tapi tak ada kursi yang kosong. Lalu Ia keluar. Di halaman dilihatnya satpam itu sibuk mengatur mobil-mobil untuk parkir. Lampu-lampu kota sudah mulai menyala, jalanan makin terang-benderang mengalahkan hitamnya langit. Tuhan menyusuri trotoar. Di sebelah kiri berderet kantor-kantor yang lampunya masih menyala, menandakan banyak orang yang masih belum selesai dengan kesibukannya. Di ujung jalan Tuhan melihat kerumunan orang. Ia mendekat kesana, ternyata orang-orang sedang antri makan bubur Cirebon sambil bersenda-gurau.

Illustration by: Beng Rahardian


Malam merambat. Sudah jam 9. Tuhan bergegas menuju ke arah Ia datang di pagi hari tadi. Pada rumah bercat serba putih Ia berhenti dan mengetuk pintu. Pintu dibuka sejengkal dan wajah pembantu yang tadi pagi terjulur ke luar. “Ahh.. sampeyan lagi. Sampeyan yang tadi pagi datang kan?” tanya pembantu itu dengan muka masam. “Iya. Bapak sudah pulang?” jawab Tuhan. “Jam segini? Ini masih terlalu sore.” “Kalau Ibu?” “Ibu sudah datang sore tadi, tapi pergi lagi dijemput temannya.” “Hmm, baiklah. Permisi…,” pamit Tuhan dengan sopan. Pintu ditutup di belakang punggung Tuhan. Dan Tuhan berjalan menuju rumah bercat coklat muda. Ketukan pintunya disambut oleh salak anjing yang nyaring tetapi kemudian berhenti ketika sebuah suara anak kecil di dalam rumah memerintahkan anjing-anjing itu diam. Pintu dibuka. Dua anak kecil – berumur 10 tahun dan 5 tahun – menyapa-Nya sambil menggendong boneka panda. “Papa ada?” tanya Tuhan tersenyum sambil menyentuh hidung panda itu. “Belum pulang,” jawab anak yang besar. “Kalau mama?” “Ehmmm… di kamar, lagi telepon sama papa. Mama nangis…” jawab anak yang kecil.


“Oh,” gumam Tuhan sambil menatap kedua anak itu. Dipegangnya rambut kedua anak itu. “Ya sudah. Ayok masuk sana, besok pagi sekolah kan?” kata Tuhan. Lalu Tuhan melangkah keluar. Pada rumah bercat hijau, Tuhan mampir. Ia melihat-lihat dengan kagum buah-buah mangga yang bergelantungan sambil menahan air liurnya. “Kalau mau, petik saja satu. Tapi pilih yang sudah tua ya, jangan yang masih mentah,” kata sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Seorang laki-laki dengan pakaian rapi berdiri, tangannya menarik sebuah koper besar. Dalam keremangan halaman rumah itu, kalung salib emas yang melingkar di lehernya berpendar mengkilat tertimpa sinar lampu teras rumah. “Terimakasih,” kata Tuhan. “Tetapi..hmm.. maksud saya…” “Enggak apa-apa, petik saja. Kalau satu masih kurang, ambil lagi dua atau tiga, asal jangan yang masih mentah. Banyak orang kampung belakang suka kesini minta mangga kok,” kata laki-laki itu sambil melangkah terburu-buru. “Tapi, Pak, Hmm.. saya hanya ingin mampir dan ngobr…” “Ngobrol? maaf,” kata laki-laki itu menyela. “Saya buru-buru, takut ketinggalan pesawat,” katanya sambil ngeloyor. Tuhan memandangi tubuh laki-laki itu lenyap di dalam mobil yang langsung menderu pergi.


“Suami saya super sibuk. Undangan untuk berkhotbah terus datang, dari luar kota, bahkan sampai luar negeri,” tiba-tiba sebuah suara perempuan menyapa Tuhan yang sedang terpaku di bawah pohon mangga itu. “Oh, suami Ibu seorang pengkhotbah ya?” tanya Tuhan. “Hm. Dia lebih suka disebut Hamba Tuhan. Misinya cuma satu. Bagaimana agar orang-orang yang belum mengenal Tuhan jadi kenal sama Tuhan. Makanya kemanapun ia jalani, asal banyak orang bisa mengenal Tuhan,” jawab perempuan itu. “Ohh.. begitu,” kata Tuhan lirih, hampir tak kedengaran. “Sudah malam. Jangan lupa petik mangganya yang sudah tua, jangan yang masih mentah. Selamat malam.” Perempuan itu menutup pintu, membiarkan Tuhan terpaku sendiri di kegelapan rimbun pohon mangga itu. Saat perempuan itu menutup pintu, sepintas Tuhan melihat gambar Tubuh-Nya yang terpaku di kayu salib terpajang di ruang tamu. Lalu Tuhan melangkah pergi. Sepanjang hari itu tak ada satu rumahpun yang mempersilakan-Nya untuk duduk dan mengobrol


Betapa mahalnya waktu. Betapa rakusnya kesibukan. Tuhan menuju stasiun Gambir. Di ruang tunggu Ia duduk. Gerimis turun dan Ia melihat butiran air hujan menitik di kaca kereta api yang bersiap berangkat. Saat itulah Ia merasa begitu sentimentil. Ingatan-Nya melayang ke masa lampau, ketika Ia disambut dengan hangat oleh dua bersaudara Maria dan Marta di rumah mereka di Betania. Tak hanya itu. Ia dijamu dengan meriah oleh Zakheus di rumahnya yang mewah di Yerikho. Dan ketika Ia melintasi daerah Samaria dan bertemu dengan seorang perempuan di tepi perigi, Ia tidak hanya diminta untuk mampir sebentar, tetapi tinggal di kampung itu selama dua hari. Betapa indah masamasa itu. Dan peluit panjang dari petugas stasiun berbunyi nyaring, membuyarkan lamunan Tuhan. Tuhan meninggalkan kota itu, entah kemana. Beberapa bulan kemudian..Tiba-tiba dunia dikejutkan oleh sebuah virus yang dinamai corona. Banyak orang yang terpaksa tinggal di rumah karena virus itu begitu merajalela dari orang ke orang, dari kota ke kota, dari negara ke negara, membunuh siapapun tanpa ampun. Tagar #dirumahaja jadi trending topic di media sosial. Negara demi negara mengunci pintu. Kota demi kota mengunci pintu. Rumah demi rumah mengunci pintu. Di setiap rumah, orang-orang memanggilmanggil Tuhan, dan bertanya


“Dimanakah Engkau Tuhan? Engkau tidak peduli kalau kami binasa?” Dari kamar-Nya yang lokasinya tak terlacak, demi membaca tagar #dirumahaja maka Tuhan pun bersiap. Ia menyambar celana jeans belel dan kaos oblong Giordano dari kapstok, lalu mengenakannya dan berjalan keluar rumah dengan bersandal kulit. Pada sebuah rumah bercat serba putih, terdengar suara sepasang suami-istri bertengkar. Tuhan berhenti dan mengetuk pintu. Tetapi dari dalam rumah terdengar jawaban, “Inaaahh.. kalau orang nggak kenal jangan bukain pintu! Janganjangan bawa virus corona lagi!!!” Tuhan berlalu dan mampir ke rumah bercat coklat muda. Ketika tangan-Nya mengetuk pintu, dua anak kecil – berumur 10 tahun dan 5 tahun – datang menyambut-Nya. Anak yang besar berkata, “Sekarang mama dan papa suka tinggal di rumah, dan enggak pernah berantem lagi.” Adiknya menimpali, “Aku ingin ada corona terus, biar mama dan papa betah di rumah.”


Tuhan tersenyum, membelai rambut anakanak itu, lalu pergi.Di rumah bercat hijau Tuhan berhenti. Mata-Nya melirik buah-buah mangga yang bergelantungan, makin ranum dan menggoda. Lalu Ia mengetuk pintu. Pintu dibuka. Di ruang tamu Tuhan melihat gambar Tubuh-Nya yang terpaku di kayu salib terpajang di dinding. Seorang laki-laki berkalung salib emas menyapaNya, “Maaf. Anda siapa?” ***

“God often visit us, but most of the time we are not at home.” Philibert Joseph Roux


PARENTING BAGIAN 2

Menapak Jalur Remaja:

Awas

Ranjau Sosmed!

/ GI Alexander Semuel Hermawan


“Tunggu saja sampai kau menjadi orang tua dari remaja.� Pernah dengar yang itu? Itu adalah observasi klasik yang ringan dari para orang tua yang berpengalaman, ngobrol dengan orang tua yang lebih muda. Apa pun situasinya, pesannya tetap sama: Kamu mungkin pikir kamu sudah mahir menjadi orang tua sekarang, tetapi pekerjaan sesungguhnya belum juga dimulai. Sementara setiap tahapan mengasuh anak punya tantangannya tersendiri, ada sesuatu yang unik dan menantang tentang proses menuju kedewasaan anak. Banyak orang tua mengingat masa-masa remajanya yang membingungkan. Mereka bertanya kalau mereka sudah siap untuk berjalan bersama dengan anak-anak mereka melewati semua drama emosional: soal percakapan tentang seks dan pacaran, dan tantangan untuk menahan pengaruh dari budaya sekular yang terkorupsi. Tetapi ini pasti akan terjadi juga, entah kita siap atau tidak. Anak-anak Anda sedang bertumbuh, mereka menjadi dewasa


dalam pikiran dan tubuh mereka yang dipenuhi hormon mendorong mereka menuju kepada kedewasaan. Selagi Anda mempersiapkan mereka untuk masuk dalam tahun-tahun remaja, Anda bisa memperlengkapi mereka untuk memiliki kestabilan dan arah tujuan dalam masamasa perubahan ini, bukan hanya untuk bertahan melewati masa remaja, tetapi juga berkembang dengan baik. Hal ini dimulai dengan membantu anak muda mengerti dan mengapresiasi tiga kebenaran yang penting: Kebenaran tentang Teknologi Betapa mobile phone telah merubah kehidupan. Smartphone telah menjadi sesuatu yang hampir tidak dapat dipisahkan dari banyak remaja, seringkali mengkonsumsi hidup mereka dan menyerap waktu dan bandwidth dari relasi dan aktivitas yang lebih berarti. Alat mobile juga berpotensi menciptakan gerbang untuk pengaruh negatif. Smartphone sering mengisolasi para remaja dari relasi yang sehat: mereka bisa jadi korban dari bullying di dunia


maya (cyberbullying), pesan-pesan yang terdistorsi, dan tingkah laku yang berisiko. Pandangan yang sehat seorang anak tentang penggunaan teknologi dimulai dari atas. Sebagai orang tua, kita dapat memberikan anak praremaja kita batasanbatasan yang sehat untuk alat-alat mereka dan menjadi contoh terhadap batasanbatasan tersebut dengan alat-alat yang kita miliki. Kita juga bisa memimpin mereka dalam mengeksplorasi potensi dari teknologi untuk kreativitas dan produktivitas dalam subjek-subjek yang mereka tertarik untuk pelajari. Anak-anak muda yang mengembangkan relasi yang sehat dengan teknologi


mengerti bahwa mereka bukan hanya menjadi konsumer tetapi juga produser— diciptakan oleh Allah untuk melakukan halhal besar untuk kemuliaan-Nya. Pencipta menciptakan musik daripada hanya mendengarkan lagu. Mereka menciptakan foto-foto, daripada menghabiskan berjamjam melihat foto dan status temanteman di Instagram. Mereka ikut dalam Perjalanan Misi (Mission Trip) daripada mengikuti perjalanan wisata orang lain. Kita punya tanggung jawab yang penting dan kesempatan untuk membantu anak-anak kita untuk mengenal dan mengeksplorasi kesenangan dari petualangan dalam dunia nyata yang ada di sekitar mereka. Menghabiskan waktu texting, menonton video, atau menjelajahi media sosial tidak selalu tidak sehat; tetapi orang-orang muda kita harus waspada supaya mereka tidak menjadi ketagihan dengan platformplatform ini. Saat texting dan media sosial tidak lagi memberikan penambahan kualitas kehidupan mereka, mereka perlu mengevaluasi bagaimana mereka menggunakan waktu mereka.


Sudahkah anak remaja Anda secara periodik memeriksa penggunaan waktu mereka? Kita bisa lakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan pada mereka: Apakah waktu yang saya habiskan membuat saya lebih baik? Apakah mereka memajukan hati saya atau karakter saya? Apakah mereka membantu saya untuk menjadi seorang yang lebih pintar, kuat, dan tangguh? Ajarkan anak praremaja Anda sebelum mereka menyalakan layar, mereka perlu mempertimbangkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang akan membantu mereka menjawab “iya� pada pertanyaan-pertanyaan di atas.


Kebenaran Firman Tuhan:

Mazmur 51: 10 “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.”

Roma 12: 2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.”

Efesus 2: 10 “Karena kita ini buatan Allah diciptakan dalam Kristus Yesus untuk suatu pekerjaan yang baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”


Taman Ketawa A N O R O C I S EDI

NAMA Suatu hari di tahun 2026 di sekolah dasar Ora et Labora beberapa siswa baru saling berkenalan di hari pertama mereka masuk sekolah. “Nama saya Daud Bintang Covid!“ “ Namaku Elisa Korona ... biasa dipanggil Nona ….“ “ Namaku Masker Hazmat ... panggil aku Max ....“ “Aku Korry Karantina ….” “Kalau aku Sosial Distancy … panggil aja Susy ….” ”Nama aku Lawan Korona Bu … panggilannya Wawan....” Setelah bu guru Nina meneliti tahun lahir mereka, ternyata mereka sama-sama lahir pada paruh pertama tahun 2020.

“Nama baik patut lebih didambakan daripada banyak harta, dihargai orang lebih baik daripada perak dan emas.” (Amsal 22: 1)


PENENANG Pasien: “Dok, saya perlu obat penenang. Tiga minggu di rumah saja, saya mulai ngomong sama kasur, tembok, rice cooker.” Dokter: “Terus, mereka bilang apa?” Pasien: “Mereka mana bisa ngomong, Dok.” Dokter: “Oh, Bapak masih sehat kok. Nanti kalau mereka sudah mulai menyahut. Telepon saya lagi di rumah sakit jiwa.” “Saudaraku yang kukasihi, aku berdoa semoga kamu baik-baik saja dalam segala hal, semoga tubuhmu sehat, sama seperti jiwamu juga sehat.” (3 Yohanes 1: 2)

Kontak Covid-19 Seorang istri sedang mengecek ponsel suaminya. Dia menemukan di dalam kontak suaminya ada nama “COVID-19”. Karena penasaran, akhirnya dia menelepon nomor tersebut. Ternyata, yang berdering a d a l a h hape-nya sang istri itu sendiri. Sejak saat itu, nama sang suami di hape-nya diganti dengan “ISOLASI”. “Namun, biarlah masing-masing kamu mengasihi istrimu seperti dirimu sendiri dan istri harus menghormati suaminya.” (Efesus 5: 33)


BERKENALAN Di salah satu pelabuhan laut di Tanah Papua, sedang berbincang tiga orang pria yang sedang menunggu datangnya kapal penumpang untuk menjemput sanak familinya. Ketiga pria tersebut berasal dari daerah yang berbeda: yaitu dari Ambon, Medan, dan Manado. Sebelum perbincangan dimulai, ketiganya memperkenalkan diri masing-masing sambil bersalaman. Maklum baru saja kenal. Pria yang dari Ambon memperkenalkan dirinya kepada pria yang asal Medan, “Bakarbessy,” sambil menjabat tangan. Pria Medan menjawab sambil jabat tangan pula dengan menyebut dirinya, “Batubara.” Pria yang asal Manado ini sambil kebingungan melihat kiri dan kanan, setelah mendengar kedua rekannya tadi masing-masing menyebut barang panas. Tanpa berpikir banyak, pria Manado tadi sambil jabat tangan mengucapkan, “Air Mandidi.” “Dia yang menahan perkataannya memiliki pengetahuan, dan dia yang berpengertian memiliki roh yang tenang.” (Amsal 17: 27)

//


SAHABAT Joni menghampiri anaknya dan temannya yang sedang menangis keras, mencucurkan air mata dengan deras. Mengira bahwa mereka mungkin sakit, Joni bertanya, “Apa kalian baik-baik saja?” Masih dengan tersedu-sedu, Gina mengangkat bonekanya. “Lengan bayiku lepas,” katanya. Joni mengambil boneka itu dan lengannya yang lepas. Setelah sedikit usaha dan keberuntungan, boneka itu kembali utuh. “Terima kasih Pah ...,” bisiknya. Kemudian, dia melihat ke mata Dini, teman bermain Gina, yang penuh air mata, “Kalau kamu kenapa, Gadis Kecil?” Dia menyeka pipinya. “Aku membantunya menangis,” katanya. “Seorang sahabat mengasihi setiap waktu, dan dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17: 17)

//

(dari berbagai sumber)


Quote 2 Zaman / Hendro Suwito

Uang bukanlah yang terpenting melainkan kesejahteraan karyawan dan bangsa. Bisnis harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan bangsa.

— William Soeryadjaya


William Soeryadjaya

William Soeryadjaya (20 Desember 1922– 2 April 2010), biasa dipanggil Om William, lahir di Majalengka, Jawa Barat. Anak kedua dari enam bersaudara ini kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal pada tahun yang sama (1934). Sebagai anak laki-laki paling besar, walau usianya baru dua belas tahun, William harus meneruskan bisnis ayahnya berjualan hasil bumi. Kesulitan hidup telah membentuk William menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab. Tahun 1957, di usia 35 tahun, bersama adik dan temannya, dia mendirikan Astra yang memasuki bisnis ekspor-impor minuman dan hasil bumi. Tahun 1968/1969, Astra masuk ke bisnis otomotif dan berkembang menjadi perusahaan otomotif terbesar di Indonesia. Toyota Kijang adalah merek mobil yang lahir dari arahan Om William dalam kerja sama dengan Toyota, Jepang.


Pada masa jayanya, kelompok Astra memiliki tiga ratus perusahaan di berbagai bidang. Ini sejalan dengan impian suami Lily Anwar Oei ini untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya guna mendorong peningkatan kesejahteraan bangsanya. Om William banyak mengembangkan dan mendelegasikan otoritas secara penuh pada anak buahnya sehingga banyak dari mereka tumbuh menjadi pebisnis-pebisnis ulet dan berintegritas. Cukup banyak dari mereka yang sekarang ada di jajaran pengusaha kelas atas di Indonesia. Tahun 1992, saat bank milik salah satu anaknya bangkrut, Om William dengan besar hati melepaskan kepemilikannya di Astra untuk mengganti dana nasabah yang dipercayakan di bank itu. Iman Om William yang teguh pada kasih Kristus, dan integritas yang selalu dia terapkan dalam kehidupan, ada di atas segalanya. Om William menjalani hidup secara sederhana. Tahun 1947, dia dan Lily naik becak pergi-pulang untuk meresmikan pernikahannya di catatan sipil di Bandung. Tidak ada fotografer yang mendokumentasikan pernikahan mereka.


Hardja Priatna

Pada kesempatan peringatan HUT yang ke-9 sekaligus menjadi jemaat yang lebih dewasa, tema “Tambah Cinta Yesus” ini akan membuat kita jemaat GKJMB (sekarang GKY – Red) BSD mendapatkan obat infus atau makanan suplemen yang dari Allah sendiri sehingga dapat saling menguatkan, mengingatkan orang-orang yang sudah kekurangan cinta. Kemudian gereja kita dapat menjadi rumah sakit bagi orang-orang yang membutuhkan cinta kasih, bahkan jemaat membawa obat ini keluar dan membagikan-Nya kepada orang yang membutuhkan.

dr. Hardja Priatna (Ketua Panitia HUT dan Perwilayahan GKJMB BSD ketika status gereja ditingkatkan dari Pos PI menjadi Gereja Wilayah; seperti dikutip dari ‘Nafiri’ edisi perdana yang diterbitkan pada bulan Februari 2002). ***


Danny dan dan

Pencerahan Tuhan bagi bagi Nerissa

Hidupku

Seperti dituturkan pada Pingkan Palilingan

/ Pingkan Palilingan


Ketidakpastian selama pandemi tidak hanya membuat banyak orang kalut, namun juga jenuh dan frustrasi. Seringkali kekesalan tersebut terlampiaskan dengan sikap tidak bersyukur. Padahal, di luar sana masih banyak orang yang jauh lebih kurang beruntung. Nerissa, 27 tahun, mengajarkan pada kita bagaimana bersyukur dalam situasi apa pun. Kepada ‘Nafiri’, guru sekolah minggu sekaligus salah satu desainer ‘Nafiri’ ini bercerita bagaimana ia bertahan dalam situasi pandemi demi merawat adiknya yang berkebutuhan khusus. Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa Tuhan masih ada dan bekerja bahkan di saat terkelam sekalipun.


Saya mempunyai seorang adik, namanya Danny, usianya 25 tahun. Danny adalah seorang anak spesial dengan ADHD dan retardasi mental. Namun, satu hal yang kuingat adalah dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Saat berbicara pasti gigi-giginya akan terlihat. Walau sering dimarahi, sesekali dipukul, tetap saja dia akan tertawa. Rumah kami pasti selalu ramai setiap ada Danny. Tapi perubahan besar terjadi saat mama saya mendapat serangan strok yang membuatnya lumpuh separuh badan dan sulit bicara di Februari 2020, beberapa hari sebelum Imlek. Papa saya sangat syok dan seketika itu depresi sehingga jadi kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari: seperti makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Danny yang biasanya mendapatkan perhatian dan asuhan penuh dari kedua orang tua saya pun jadi terlantar. Akhirnya keluarga dengan berat hati menitipkan Danny di panti rehabilitasi Bethesda yang dikelola oleh Ps. Irwan Silaban, MARS (Manajemen RS) di Bogor. Namun belum juga genap satu bulan, kami sudah dihubungi pihak panti untuk menjemput


Nerissa (tengah), Danny (ujung kanan) dan keluarga.

Danny di RSJ Marzoeki Mahdi (RSMM). Alasannya karena sudah lebih dari empat hari ia tidak mampu makan sehingga badannya melemah. Itu membuat dia diinfus dan perlu menerima asupan dari selang makan. Kondisinya pun kian memburuk. Berbekal info tersebut, saya dan Indra, suami saya, akhirnya pergi mengunjunginya. Kami menemukan Danny terbaring lemas dan sulit bergerak serta tidak bisa bicara. Tawanya berganti dengan erangan tertahan. Sekujur tubuhnya terdapat memar, bahkan didapati adanya kerusakan fungsi hati. Akhirnya kami


putuskan agar Danny dirawat sementara di RSMM hingga pulih. Sebenarnya kami cukup waswas karena perkembangan Covid-19 makin mengkhawatirkan dan RSMM pun sempat menerima PDP Covid-19. Pada tanggal 10 April, akhirnya Danny diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit karena kecukupan gizi dan fungsi vital organ-organ lainnya sudah stabil. ‘Bayi Besar’ Karena kondisi orang tua kami tidak memungkinkan untuk merawat Danny, maka saya dan suami sepakat merawat dia di rumah kami. Sangat tidak mudah awalnya, karena kami memang tidak dilengkapi dengan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana merawat orang sakit atau home care. Di tahun ketiga pernikahan kami, di saat kami mengharapkan adanya bayi di tengah keluarga kecil kami, kami seolaholah mendapatkan ‘bayi besar’ yang setiap hari harus diberi susu, diganti popoknya, dimandikan, dijemur, dan perawatan khusus lainnya.


Tapi anugerah Tuhan tidak ada habisnya. Saya belajar banyak dari perawat di rumah sakit hingga akhirnya mampu merawat Danny. Beberapa di antaranya: memasang selang NGT (nasogastric tube) pada Danny, memandikannya di tempat tidur, membersihkan mulut dengan kasa, juga mengganti popok dengan benar. Saya juga bersyukur bahwa suami siap sedia membantu dan mendukung walau awal mula ketika Danny datang kami cukup sering bertengkar. Karena selain kesulitan merawat Danny, kami juga memikirkan kedua orang tua kami yang rapuh di tengah masa pandemi, yang hanya dirawat oleh adik lelaki saya di rumah orang tua saya di Tangerang. Tak pelak kami khawatir akan kesehatan mereka sekaligus apakah adik saya sanggup merawat mereka seorang diri. Di tengah situasi ini, ada masa ketika saya merasa sangat tertekan. Saya tidak bisa melihat penyertaan Tuhan dan rasanya ingin mati saja. Namun, dengan segala cara yang ajaib Tuhan merengkuh saya kembali. Ketika adik dirawat di RSMM, diketahui


ada indikasi pendarahan di otaknya serta cedera lainnya. Namun, kami tidak pernah menyangka bahwa bahu kanannya mengalami dislokasi dan mengalami patah tulang/fraktur terbuka (open fracture). Kami menyadarinya sekitar akhir April, ketika ada memar di bahu kanan Danny. Memar ini berujung pada pembengkakan dan sepsis (nanah yg sudah menginfeksi seluruh tubuh) pada tanggal 2 Mei. Kami segera membawa Danny ke RS Medika BSD untuk mendapat penanganan pertama. Pihak RS menyatakan bahwa Danny harus segera dirawat di ICU dan dioperasi, tapi pada saat itu tidak ada ruangan yang tersedia. Terpaksa kami harus menunggu tiga hari untuk mendapat rujukan. Tak hanya itu, kami juga dihadapkan dengan fakta lain. Danny sempat melalui rapid test Covid-19 dan CT-Scan paru-paru. Hasil CT-Scan menunjukkan ground-glass opacification opacification/ opacity (GGO), sebuah indikasi kuat adanya infeksi Covid-19. Kami berusaha menghubungi seluruh rumah sakit rujukan di Jakarta, tetapi sebagian besar menolak karena


kompleksnya kondisi Danny: anak berkebutuhan khusus, suspect Covid-19, mengalami fraktur terbuka pada bahu, serta sepsis. Akhirnya pihak RS Medika menyarankan agar kami membawanya langsung ke RSUP Fatmawati yang memiliki fasilitas lebih lengkap.

Danny di RS Fatmawati

Berkurang Drastis Tanggal 5 Mei 2020, akhirnya kami memindahkan Danny sendiri—tanpa ambulans —ke IGD RSUP Fatmawati. Sungguh karena anugerah Tuhan, keesokan harinya adik saya bisa mendapatkan ruang ICU.


Akan tetapi perjalanan belum berakhir. Danny membutuhkan darah karena sel darah putihnya semakin meningkat akibat infeksi sehingga sel darah merah berkurang drastis. Sangat berisiko jika ia dioperasi tanpa ada transfusi darah. Karena tidak ada stok di Palang Merah Indonesia (PMI) pusat, awalnya kami ragu bisa mendapatkan donor darah dengan cepat. Terlebih lagi pandemi saat ini membuat banyak orang enggan menjadi pendonor. Namun jalan Tuhan tidak pernah buntu. Lewat pesan broadcast di Twitter, Instagram, dan grup WhatsApp, serta bantuan dari rekan-rekan sewaktu di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dulu; akhirnya kami bisa mendapatkan pendonor sesuai kebutuhan. Pihak RS membutuhkan minimal tiga orang sebagai pendonor tapi nyatanya Tuhan yang Maha Murah menyediakan hingga empat orang Dia seolah-olah ingin menyampaikan bahwa rencana-Nya bagi Danny masih belum usai. Akan tetapi ‌ ternyata Tuhan lebih


menyayangi Danny. Dia memanggil Danny pulang ke pangkuan-Nya tanggal 8 Mei 2020, pukul 7 pagi. Sekarang adik kami tersayang tidak lagi merasakan sakit dan sesak. Dia bisa tertawa lagi bersama Bapa di surga. Pemakamannya sungguh sepi: tiada musik, tiada karangan bunga, tiada arakarakan; bahkan kami pun tidak sempat memberikan penghormatan terakhir. Tapi kami yakin Allah Bapa telah menyiapkan pesta meriah untuk kepulangannya. Dia ditolak dunia, tapi tangan Bapa terbuka lebar untuk Danny. Awalnya saya bertanya-tanya apa tujuan Tuhan menghadirkan Danny di dunia ini? Mengapa Tuhan izinkan dia ‘berbeda’? Kini saya mengerti bahwa lewat Danny Tuhan telah mengajarkan pada saya untuk bisa mengasihi tanpa syarat kepada siapa pun juga, sesulit apa pun situasinya. Walau hidupnya singkat, tak pelak memberikan kesan yang dalam terutama bagi saya. Saya tak akan pernah lupa pelajaran hidup yang saya dapat dari adik saya yang spesial ini.


Nerissa di samping makam Danny

Paling Beruntung Saya pribadi sangat bersyukur atas setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup saya. Bahkan sampai saat ini pun saya merasa sebagai orang yang paling beruntung. Di tengah situasi yang luar biasa sulit, Tuhan yang penuh kuasa memberikan individu-individu yang lebih luar biasa lagi. Mereka telah dipakai-Nya menjadi perpanjangan tangan-Nya. Suami saya, Indra, juga sangat luar biasa sabar mendampingi saya, terus mendukung pada masa-masa terkelam


hidup saya. Dia tetap mengasihi saya dalam kondisi apa pun. Sungguh saya amat beruntung dan dikasihi karena memiliki dia sebagai pasangan hidup. Mertua saya sekeluarga juga sangat luar biasa mendukung kami, baik secara fisik maupun mental. Papa dan mama mertua saya sungguh tiada bandingannya. Sekarang, saya lebih mengerti dari mana kebaikan suami saya berasal. Saya sangat beruntung dan bersyukur bisa memanggil mereka papa dan mama juga. Keluarga kecil saya di Sekolah Minggu GKY BSD, terlebih lagi Laoshi Wiwik sebagai pembina dan juga partner saya di kelas dua siang, sungguh luar biasa mendedikasikan apa yang mereka mampu kerjakan dan miliki untuk mendukung saya. Rasa terima kasih saya pada mereka tidak pernah cukup. Setiap chat chat, telepon, dukungan dana dan bahan pangan sehari-hari serta semua bentuk perhatian dari kalian semua bagai lilin-lilin kecil yang menerangi hati saya yang gelap di tengah keterpurukan. Kelompok kecil saya sejak di PMK kampus, walau sekarang tinggal di tempat-tempat yang jauh, tapi Tuhan


selalu mendekatkan hati kami. Aksi dan kepedulian mereka merasuk sampai ke dasar hati saya. Bahkan Tuhan bisa memakai mereka yang belum percaya dan orang-orang yang baru saya kenal lewat media sosial. Mereka memberi bantuan dana dan bahkan siap menjadi pendonor bagi Danny. Tuhan juga demikian baik dengan mengaruniakan seorang atasan yang peduli dan penuh pengertian. Beliau terus mendukung saya yang sedang terpuruk; dan tanggung jawab pekerjaan saya dilonggarkan ketika sedang merawat Danny. Saya tahu Covid-19 tidak bisa dianggap remeh, tapi saya lebih tahu bahwa Tuhan Yesus Kristus jauh lebih hebat dari virus tersebut. Di atas segala-galanya, Dialah tabib segala tabib yang mampu menyelamatkan tak hanya fisik, namun jiwa kita pun sanggup Ia selamatkan. Ayub 1: 21 (TB) berkata, “Dengan telanjang aku ke luar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!â€?


Keberanian Seorang Pemimpin / Erwin Tenggono


Pandemi virus Korona mulai membawa dampak sangat signifikan pada berbagai bidang usaha. Dan dalam banyak kasus, banyak kegiatan bisnis sedang sangat terpukul dan sulit untuk survive. Banyak pemilik perusahaan pun mulai bertanyatanya:

Apa yang harus saya lakukan pada saat yang sangat kritis ini? Perlukah saya mengubah business model atau mengadopsi pendekatan yang baru? Semua sebenarnya sudah online, apa kita masih perlu berubah tidak ya? Apakah sudah harus ada skenario untuk pengurangan pegawai? Bagaimana cara mengkomunikasikannya? Bagaimana situasi ekonomi ke depan? Kondisi keuangan perusahaan bagaimana ya? Apakah cicilan bank akan mampu kita bayar? Perlu tidak kita melakukan restrukturisasi keuangan? Dan banyak lagi pertanyaan akibat berbagai ketidakpastian.


Itu semua adalah diskusi yang sedang banyak terjadi di kalangan pemimpin perusahaan saat ini. Berbagai video call, chat dan diskusi-diskusi dipenuhi oleh topik-topik di atas. Dari melihat peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan perusahaan, dan unsur-unsur terkait lainnya semua membaur menjadi satu. Mereka bergumul dalam menjalani tugas yang dipercayakan kepadanya. Seorang pemimpin memang dibutuhkan untuk membuat keputusan-keputusan besar dan strategis. Dan untuk membuat keputusan semacam itu memang sangat dibutuhkan keberanian. Masalahnya, sering tidak mudah untuk mendapatkan keberanian, apalagi kalau keputusan itu sangat pahit akibatnya. John Maxwell dalam bukunya The 21 Indispensable Qualities of a Leader menuliskan beberapa hal mengenai keberanian seorang pemimpin. Ada dua hal yang saya ingin bagikan di sini, yakni:


a.

Keberanian dimulai dengan peperangan dalam diri seorang pemimpin. Keberanian bukan merupakan ketidakhadiran ketakutan. Keberanian justru melakukan apa yang Anda takut lakukan, karena Anda tahu itu harus Anda lakukan. b. Keberanian adalah suatu proses untuk meluruskan sesuatu ke arah yang benar, bukan melancarkan sesuatu yang telah ada. Martin Luther King Jr. pernah menulis satu pernyataan bahwa ukuran seorang manusia akan dibuktikan bukan dimana ia berpihak pada masa kenyamanan dan kemudahan yang ada; melainkan dimana ia berpihak pada masa yang penuh tantangan, keadaan yang berbeda, dan sangat sulit.


Sebagai pemimpin, kita memang harus mengambil keputusan. Dibutuhkan keberanian dan memang tidak mudah untuk mengambil keputusan yang akan membawa ketidaknyamanan bagi orang lain. Namun, itu harus dilakukan walaupun sangat sulit. Bagi kita sebagai pemimpin Kristen, biarlah keputusan yang kita lakukan tidak hanya berdasarkan pada hikmat kita sendiri. Kita harus selalu membawa pergumulan kita pada Tuhan. Biarlah Tuhan mendengar semua permasalahan dan kesulitan yang sedang kita hadapi dan memampukan kita untuk membuat keputusan yang paling tepat. Seperti tertulis dalam Amsal 16:3, “Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.� Keberanian memutuskan untuk sesuatu yang lebih baik bagi masa yang akan datang sering tidak mudah dilakukan oleh seorang pemimpin, khususnya kalau keputusan itu sangat berat dampaknya. Kita kadang ragu dan bahkan gentar. Bagaimanakah hasilnya? Apa dampaknya? Dan seterusnya.


Namun, kita harus percaya bahwa keputusan yang sudah kita gumuli bersama Tuhan akan membawa kebaikan. Tuhan akan menyertai setiap langkah yang kita jalani ke depan. Kadang saya berpikir bahwa Yosua juga pasti menghadapi kesulitan yang sama ketika dia mendapat mandat untuk melanjutkan kepemimpinan Musa. Dia dihadapkan pada situasi yang serba tidak pasti yang ada di depan. Tetapi, kita melihat dampak yang positif pada kepemimpinan Yosua karena semua dilakukan dalam tuntunan dan kasih karunia Tuhan. Seperti apa yang Musa sampaikan kepada Yosua dalam Ulangan 31: 7-8, “... Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu …. Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.”

Kita pasti akan mampu membuat keputusan paling tepat jika kita sepenuhnya menjalaninya bersama Tuhan. “Every leader has the courage to make decisions, no decision is usually the worst decision.” — Orrin Woodward

***



baru normal / Humprey

S

eorang anak lelaki nampak berjalan santai di suatu siang yang teduh. Ia sedang menenteng tas sekolahnya setelah turun dari kendaraan umum di halte. Memang jarak dari halte ke rumahnya kirakira masih satu kilometer lagi. Remaja ini menikmati perjalanannya setiap hari sambil menikmati pemandangan serentetan tokotoko, trotoar yang naik turun, dan gerobak makanan yang menawarkan dagangannya. Dia sudah lapar dan ingin cepat sampai di rumah.


Dari arah berlawanan, di kejauhan, ia melihat sesosok perempuan berambut panjang yang langkahnya lenggak-lenggok menarik perhatian. Karena masih jauh, remaja lelaki ini masih cuek aja. Semakin dekat, semakin dekat …. Jaraknya tinggal seratus meteran. Jantung remaja lelaki ini mulai berdebar. Makin dekat semakin kencang. Sosok perempuan ini memakai pakaian compang-camping, mukanya jauh dari kata bersih, dan tanpa alas kaki …. Dia memegang tongkat bambu panjang di tangan kanannya. Astaga! Melirik sekilas, remaja ini berusaha tidak beradu mata dan berusaha tetap tenang. Bukan apa-apalah, ga usah terlalu dekat dan jangan dilihat, ntar salah sangka. Jarak tinggal kurang dari lima puluh meter, remaja ini mulai sedikit menjaga jarak. Dari sudut matanya, ia melihat perempuan yang memegang bambu panjang ini mengayunkan tongkat panjangnya dan bersiap memutar-mutar tongkatnya ala Jet Li! Siapa sasarannya? Perempuan itu tiba-tiba melotot ke arah remaja itu dan segera berlari mendekat sambil memutar-mutar tongkat panjangnya. Refleks, remaja ini cepat-cepat balik badan dan lari ... dan terus lari sampai jauhhhh …. Semangat banget perempuan ini mengejar … sampai akhirnya dia ngos-ngosan dan berhenti. Di ujung jalan, remaja yang malu bercampur letih ini, bertanya iseng pada tukang gorengan, “Kenapa ya itu orang?” Dijawab iseng juga oleh tukang gorengan, “Ga apa-apa kayaknya, hanya kurang ‘se-ons’ (ga normal) aja.” Dia pun terkekeh-kekeh. Siapa remaja itu? Saya ... dulu.


‘Terjebak’ di Rumah Oke … demikian cerita “Ga Normal”. Sekarang kita ngobrolin istilah baru di zaman pandemi: “New Normal” (Eh, sebelumnya, menurut Oxford English Dictionary, “normal” adalah keadaan yang “sesuai dengan standar” ya). Bagi seorang berlidah lokal, saya terjemahkan asal saja: “baru normal” atau “normal baru”. Berarti sebelumnya ga normal? Ya, memang begitu. Sudah hampir empat bulan ini sebagian besar dari kita ‘terjebak’ di rumah kita masing-masing, takut ke luar rumah karena adanya virus Covid-19. Kantor, sekolah, gereja, dan tempattempat umum ditutup sementara. Walau begitu, tetap saja banyak juga orang yang tidak peduli, tidak mengenakan masker sambil ngantri berhimpitan saat pizza diskon (eeeh? :p), dan lain-lain. Apanya yang ‘baru normal’? Protokol kesehatannya ... guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Mengapa saya bilang baru normal? Karena dulu kita ga normal. Di negara lain, seperti di Eropa, orang lebih sadar akan kebersihan, buang sampah pada tempatnya, cuci tangan secara teratur, dan sebagainya. Tapi di negara kita dulu biasanya kita lebih jorok kan? Hehehe … Mana ada dulu hand sanitizer di manamana, orang cuci tangan setiap habis memegang barang, mandi sehabis ke luar rumah .... Kayaknya dulu enggak deh. Nah kalau kita sudah bisa beraktivitas kembali seperti biasa di luar rumah dengan lebih menjaga kebersihan atau kesehatan masing-masing dengan protokol yang baru, itulah yang saya bilang kita ‘baru normal’.


Kalau kita visualisasikan, mungkin ini contoh lain keadaan ‘baru normal’ yang saya maksud:

Mencet ATM, tombol lift, tombol parkiran di mal, memegang gagang pintu mungkin sekarang harus pakai alat.

Wawancara kandidat pada saat Covid, restoran dan kafe masih tutup. Ada jarak dan pakai masker.

(Sumber : https://nasional.kompas.com/image/2020/05/27/11485161/bersiap-new-normal-ini-6-tipsmakan-di-restoran-saat-pandemi-covid-19?page=1)

Makan di restoran di balik pagar plastik saat pandemi masih rawan.


Lalu apakah ada hubungan antara ‘baru normal’ ini dengan kita sebagai orang Kristen? Sebagaimana kita mengharapkan keadaan yang berangsur-angsur normal dengan berbagai macam penyesuaian barunya, kita juga diingatkan kembali dengan kata-kata Nabi Yeremia mengenai pemulihan perjanjian Allah, yaitu Perjanjian Baru yang tengah berjalan untuk menyelamatkan manusia. Siapakah pusatnya? Yesus Kristus. Ia yang memerdekakan kita dari dosa, dari hidup yang lama dan menanti kita untuk membuka lembaran yang baru: Lembaran kehidupan normal yang baru bersama Kristus. Di Roma 7: 6 tertulis,

� Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat. �

Bila kita diperkenankan Tuhan untuk bisa kembali beribadah bersama-sama lagi di gedung gereja, yang saya rindukan selain ibadahnya adalah bersekutu di lantai empat sehabis ibadah.


Dulu saya kadang malas bersosialisasi dan lebih sibuk main handphone sambil menikmati berbagai jajanan. Setelah ada pandemi ini; mudah-mudahan kita bisa mengobrol dengan lebih akrab ya Bapak, Ibu, dan teman-teman semua, walau mungkin kita belum bisa ngobrol-ngobrol dengan bebas karena masih dalam kondisi pandemi dan kondisi pascapandemi ya. Sampai kapan keadaan ‘baru normal’ ini masih harus kita jalani? Apakah nanti kita semua akan kembali slebor dan tidak lagi menjaga kebersihan secara ketat seperti pada masa-masa sebelum ada pandemi? Hanya Tuhan yang tahu. Tapi, untuk saat ini baiknya kita tetap semangat dan terus menjaga kesehatan saja dulu agar virus Covid-19 tidak punya peluang untuk merusak kesehatan kita. Tuhan Yesus menyertai kita semua. God bless you.


PA R E N T I N G BAGIAN 3

/ Alexander S Hermawan

Siapa Teman Mereka?

Apakah kadangkala kelihatannya temanteman anak Anda menjadi lebih penting daripada makan dan bernapas? Proses kedewasaan memunculkan keinginan yang besar untuk diterima oleh teman-temannya.


Ini sangat alami. Tuhan mendesain kita untuk berelasi. Tetapi anak-anak remaja kita butuh bimbingan untuk mengembangkan pertemanan. Adalah hal yang penting untuk orang muda kita untuk mengenal teman-teman sebaya yang dapat dipercaya dan yang akan membantu mereka untuk bertumbuh dan menghindari pengaruh yang buruk yang akan melukai mereka di waktu mendatang.

Bantulah praremaja Anda untuk mengenal pergumulan ini: Dalam berusaha untuk diterima oleh teman, kita mungkin tergoda untuk mengkhianati seperti apa pertemanan sejati itu, bahkan mengkhianati siapa diri kita sebenarnya. Para remaja merindukan sebuah komunitas, untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok. Tapi keinginan yang sehat dan natural ini bisa terdistorsi ketika dalam usaha mereka untuk diterima, mereka mengganti diri mereka sendiri untuk menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang menjadi idola. Tanyakan pada praremaja Anda, “Apakah kamu benar-benar diterima oleh sekelompok teman kalau kamu sedang menunjukkan versi diri yang lain, yang bukan dirimu sebenarnya?�


Bantu mereka untuk melihat bahwa teman sebayanya dapat membawa mereka dalam masalah dengan mempengaruhi mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka tahu tidak seharusnya mereka lakukan. Sementara teman yang baik akan mengarahkan mereka kepada tingkah laku yang baik, nasihat yang bijaksana, dan keputusan yang masuk akal. Tidak Sendirian Anak Anda juga harus diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian dalam pergumulan ini. Bagikan pengalaman Anda—bagaimana Anda mengatasi tekanan untuk diterima dalam kelompok—supaya anak Anda mengetahui bahwa mereka tidak sendirian dalam tantangan mereka.

Illustrations by: Debora Emmanuel


Orang tua juga dapat membantu anakanak mereka melihat pandangan yang lebih asli akan pertemanan dengan secara sengaja mencari komunitas yang sehat yang menerima orang muda apa adanya. Tumbuhkan sebuah komunitas yang terdiri dari keluarga, klub ekstrakurikuler dan gereja yang memberikan anak-anak cinta kasih dan menerima mereka dan membantu mereka untuk melewati tantangan kehidupan. Para remaja dapat mengembangkan rasa penerimaan komunitas saat mereka sadar kalau mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mereka secara alami dibuat untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan orang lain. Orang tua punya kesempatan yang besar untuk membantu anak-anak menemukan lingkungan-lingkungan ini dan aktivitas-aktivitas yang cocok untuk kepribadian, talenta, dan ketertarikan anak masing-masing yang unik. Saat orang muda bekerja bersama dengan teman sebaya dalam tujuan yang bervariasi, mereka memenuhi kebutuhannya untuk menjadi bagian dari kelompok tanpa harus menyerah terhadap tekanan untuk merubah diri mereka sendiri hanya semata-mata agar bisa diterima menjadi bagian dari kelompok. (https://www.focusonthefamily.com/parenting/three-principles-to-helpyour-kids-launch-into-the-teen-years/)


KEBENARAN FIRMAN TUHAN:

Amsal 13: 20

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.”

Amsal 22: 24–25

“Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan seorang pemarah; supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan memasang jerat bagi dirimu sendiri.”

Matius 22: 37–39

“Jawab Yesus kepadanya, ’Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’”

1 Korintus 15: 33

“Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.”


Judul Buku : Don’t Give Up (Jangan Menyerah) Penulis : Kyle Idleman Penerbit : Literatur Perkantas Jatim Jumlah Halaman : 233

/ Lily Ekawati


Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan tantangan yang tiba-tiba harus kita hadapi, tidaklah mudah untuk tetap berpegang erat pada janji-janji Tuhan yang banyak kita temukan dalam Alkitab. Tidak mudah juga untuk tetap fokus pada kasih, kebaikan, dan kesetiaan Tuhan ketika di sekitar kita melihat banyak sekali kepedihan, duka, dan derita bahkan untuk umat Kristen yang taat dan setia. Kyle menulis buku ini dan mengangkat kisah-kisah Alkitab dan kesaksian-kesaksian mengenai orang-orang yang berani untuk menyerahkan segala kekhawatiran mereka kepada Tuhan, percaya penuh pada kasih dan waktu-Nya yang tepat. Merupakan penghiburan yang tepat di saat ini, jika kita mau meluangkan waktu untuk membaca dan belajar dari semua kisah yang dituliskan dalam buku ini. Salah satu saksi iman yang tertulis di surat Ibrani adalah Abraham. Ia diminta Allah untuk meninggalkan tanah kelahirannya, berangkat menuju negeri yang akan diterima menjadi milik pusaka, dan ia berangkat tanpa tahu tempat tujuannya. Abraham punya iman untuk melangkah maju. Ketika kemudian Tuhan berjanji bahwa Abraham akan memiliki keturunan sebanyak bintangbintang di langit, bahkan saat itu ia dan Sara sudah lewat usianya, namun Abraham tetap


percaya pada Tuhan, sekalipun tidak ada dasar untuk berharap. Kisah ini masih berlanjut, dan pastinya kita sudah hafal ketika Tuhan meminta Abraham mempersembahkan Ishak, ia pun taat dan percaya. Florence Chadwick seorang perenang pertama yang melintasi Selat Channel Inggris bolak-balik. Awal ketidakberhasilannya adalah kabut yang membuatnya tidak dapat melihat garis pantai dan terpaksa berhenti. Ketika naik kapal ia diberitahu bahwa jaraknya kurang satu mil saja dari pantai. Seandainya ia tahu betapa dekatnya, ia pasti akan bertahan lebih lama, sebaliknya ia kehilangan perspektif dan menyerah. Di tengah situasi yang menyakitkan kita sering kehilangan iman karena kita kehilangan perspektif. Salah satu cara paling efektif untuk menjaga perspektif adalah menyadari betapa banyak hal yang bisa kita syukuri. Paulus dihakimi dengan tidak adil, dan ketika dipenjara ia menulis, �Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan bersukacitalah!� Tetap jaga perspektif, miliki iman, dan jangan menyerah. Dua pengusaha memiliki investor dan pasar yang sama, tapi yang satu menghasilkan miliaran sementara yang lain bangkrut. Dua pasangan menikah mengawali dengan teladan rohani dan akar keluarga kristiani yang


sama, tapi tiga puluh tahun kemudian hanya satu pasangan yang berbahagia dan yang lain bercerai. Dua atlet yang punya kemampuan sama bergabung di tim kampus yang sama, namun hanya satu yang melaju dan meraih karir sedangkan yang lain berakhir di jalanan. Apa faktor yang membedakan? Faktor terpenting adalah kegigihan, keteguhan, kebulatan tekad, dan ketetapan hati untuk tetap bertahan. Dia tidak takut pada rintangan atau terintimidasi oleh tantangan, dia punya keyakinan untuk tetap percaya dan keberanian untuk terus maju. Paulus terus berlari dalam perlombaan yang disediakan baginya, �Sebab kasih Kristus yang menguasai kami� (2 Korintus 5: 14a). Dalam hidup, ketika kesulitan dan rintangan menghadang kita, kasih-Nya begitu menggenggam kita sehingga kita tidak bisa berhenti dan tidak ingin berhenti, meski kita bisa melakukannya, kasih-Nya tidak mengizinkan kita untuk menyerah. Kasih yang memberi energi dan kekuatan ketika kita berpikir bahwa kita tidak punya apa-apa lagi, tidak berdaya menghadapi semua perubahan dunia, dan pergumulan yang tak kunjung usai. Namun kasih Yesus lebih dari semua pergumulan yang sementara ini. Bacalah buku ini dan bersiaplah untuk terus maju, dan tidak menyerah. ***


EVENT NOTES

RAPAT PERDANA SATGAS

PUJIAN SANCTUS


PERSEKUTUAN

CGF PATMOS

RAPAT HT


aksos Diakonia

B



K

linik

halom

S

ber-apd


esaksian Pujian

K

cgf patmos


wabah

dalam lintasan

sejarah Memupus Harapan, Mengikis Iman?

/Anton Utomo


Ketika artikel ini sampai ke tangan pembaca; pastilah kita telah menjalani kehidupan “New Normal”, kenormalan baru, tatanan baru, gaya hidup baru, atau entah apa pun namanya. Tak seorang pun mengira bahwa warga dunia akan menjalani kehidupan ‘aneh’ seperti sekarang: saat kita memperlihatkan kasih kepada orang tua dengan tidak memeluk bahkan tidak menjenguknya, ketika kita menunjukkan bakti untuk negeri dengan “tetap tinggal di rumah”, atau kala kita lebih panik ketinggalan masker ketimbang dompet saat bepergian. Apakah pandemi yang mengubah tatanan kehidupan kita ini pernah terjadi sebelumnya? Ada sekitar lima–enam pandemi yang pernah mengguncang dunia, dan bila dipilih lagi, ada tiga yang dampaknya begitu besar bagi kehidupan umat manusia.


Wabah Justinian (541–549)—Pandemi Pertama yang Tercatat Sejarah Justinian I (memerintah pada 527–565 M) sebenarnya adalah salah satu kaisar Byzantium yang meninggalkan kenangan berharga bagi rakyatnya. Bersama permaisurinya yang terkenal, Theodora, ia berharap dapat membangkitkan kembali kejayaan Romawi di masa lalu. Satu per satu daerah yang dulu lepas dari kekuasaan Romawi, direbutnya kembali. Termasuk di antaranya Mesir, lumbung pangan penting bagi kota metropolitan Konstantinopel, ibu kota Byzantium yang padat penduduk. Namun, tanpa diduga, dari Mesir pula ancaman mematikan bagi penduduk

Kaisar Justinian


Konstantinopel maupun kota-kota di sekitar Laut Mediterania datang mengintai, lewat pengiriman gandum dan biji-bijian hasil panen lainnya yang diangkut dengan kapal dari Pelabuhan Pelusium, dekat Suez, di Mesir. Melalui kapal yang mengangkut hasil panen itu turut terbawa pula bakteri mematikan yang kelak dinamakan Yersinia pestis, yang hidup di antara tikus-tikus yang terinfeksi lebih dulu. Awalnya hanya orangorang di pelabuhan dan pinggiran kota saja yang terinfeksi; namun dengan perantaraan kutu tikus wabah pes menyebar dengan cepatnya ke seluruh dataran Eropa, Mediterania, bahkan sampai ke Arabia. Penyakit—yang ditandai dengan pembengkakan kelenjar getah bening (lymph nodes) berupa benjolan kehitaman di ketiak dan lipatan paha, demam tinggi, dan batuk darah—ini segera saja merenggut jutaan jiwa dengan cepat. Orang sehat yang bersentuhan dengan si sakit dapat tertular dan meninggal hanya dalam hitungan hari. Seorang sejarawan menuliskan kesaksiannya, di saat puncak pendemi setiap hari ada lima ribu orang


meninggal di Kota Konstantinopel dan pada akhirnya kota pusat kekristenan di Timur itu kehilangan setengah penduduknya. Orang-orang tergeletak mati di tepi jalan, kemudian dikuburkan massal tanpa ritual. Kaisar Justinian I bahkan tertular pula walau akhirnya sembuh karena perawatan yang intensif. Karena dimulai dari Byzantium maka wabah ini kelak dinamakan Wabah Justinian, mengikuti nama kaisar yang memerintah. Diperkirakan 30 sampai 50 juta orang kehilangan nyawa, atau sekitar 25 persen penduduk dunia pada masa itu. Pandemi berakhir sendiri setelah menelan demikan banyak korban dan sisanya sembuh dan menjadi imun.


Akibat pandemi itu, dua kekuatan besar yang berkuasa di Eropa dan Mediterania,

yaitu Byzantium dan Persia, mengalami pukulan yang sangat besar. Goyahnya dua superpower ini memberikan kesempatan bagi munculnya kekuatan baru di abad selanjutnya, yaitu Islam. Di pihak lain, kekristenan juga merebak dengan makin pesat di Eropa Utara dan Timur. Suasana penuh ketakutan akan kematian menyebabkan orang membutuhkan pegangan hidup dan pengharapan, sehingga Injil lebih mudah diberitakan.


Black Death (1347–1352)—Pandemi Paling Mematikan Sepanjang Sejarah Sekitar delapan ratus tahun kemudian, wabah yang sama (akibat bakteri Yersinia pestis) terjadi kembali, dengan tingkat penyebaran yang lebih luas dan korban lebih banyak.

Lagi-lagi kisahnya dimulai dari pelabuhan. Kali ini di Pelabuhan Messina di Sicilia pada Oktober 1347. Kegemparan terjadi saat orang-orang berkerumun melihat dua belas kapal dari Asia yang berlabuh di pelabuhan. Mereka terperangah melihat para awak kapal


bergelimpangan, sebagian besar sudah meninggal. Yang masih hidup mengerang kesakitan dengan tubuh diselimuti gumpalan hitam berisi darah dan nanah. Syahbandar pelabuhan segera memerintahkan penyegelan dan pengusiran kapal-kapal itu. Tapi semuanya sudah terlambat: Dalam lima tahun berikutnya 20 juta orang Eropa kehilangan nyawa akibat pandemi ini (sekitar sepertiga jumlah penduduk saat itu). Total kematian di seluruh dunia diperkirakan 75–200 juta. Perlu dua ratus tahun lagi bagi benua Eropa untuk mencapai jumlah penduduk yang sama seperti sebelum wabah terjadi.

Walaupun sudah berubah banyak sejak wabah delapan ratus tahun sebelumnya,


pengetahuan medis belum mengalami banyak kemajuan, sehingga korban masih banyak berjatuhan. Namun, secara sederhana mereka sudah menerapkan beberapa kebijakan yang mirip kita lakukan: seperti pemakaian masker yang bentuknya aneh (lihat gambar), social distancing, dan karantina.

Di Venesia, setiap pelaut harus diam di kapalnya selama tiga puluh hari sebelum diizinkan turun ke darat. Peraturan itu disebut “Trentino�. Karena dirasa kurang, isolasi dibuat selama empat puluh hari, disebut “Quarantino�. Itulah istilah yang sampai saat ini kita gunakan untuk


melakukan isolasi, walaupun lamanya tidak harus empat puluh hari. Masker yang aneh dan seram karena berbentuk pelatuk (paruh) ternyata diisi ramuan herbal (wewangian) di ‘paruh’-nya agar orang yang memakai merasa nyaman. ‘Black death’ mengubah wajah Eropa secara drastis. Semua bidang kehidupan sangat terdampak akibat wabah ini: baik sisi sosial, ekonomi, maupun rohani. Sebelum pandemi, masyarakat Eropa terbagi secara tegas oleh kelas-kelas: raja, bangsawan, rohaniwan (uskup, imam), dan rakyat jelata. Rakyat jelata hanya sebagai penggarap dan tidak pernah memiliki tanah seumur hidupnya. Namun, karena para bangsawan dan rohaniwan pemilik tanah banyak yang meninggal akibat wabah, banyak tanah yang tak jelas kepemilikannya dan akhirnya dibagi merata kepada rakyat kecil. Struktur sosial masyarakat mulai berubah, persamaan hak semakin menonjol. Kreativitas di segala bidang semakin berkembang, apalagi setelah rakyat biasa juga bisa memperoleh pendidikan dan akses ekonomi yang lebih besar. Abad


kegelapan segera berakhir dan abad Renaisans datang menjelang. Kehidupan rohani masyarakat juga mulai berubah. Kepercayaan kepada uskup dan imam mulai goyah karena dianggap tidak mampu menghentikan pandemi walaupun mereka telah menaikkan doa-doa kepada Tuhan untuk memohon pengampunan dosa-dosa. Sebagian besar orang zaman itu menganggap wabah adalah hukuman dari Tuhan, sehingga mereka meminta para rohaniwan untuk minta pengampunan. Ketika wabah tak juga kunjung berhenti, mereka mulai mencari ‘kambing hitam’ dan mulai menganiaya orang-orang Yahudi karena dianggap sebagai penyalib Kristus yang membuat Tuhan murka. Akibatnya, banyak orang Yahudi yang melarikan diri ke Eropa Timur yang penduduknya sedikit populasinya dan lebih sepi. Masih didasari pemahaman rohani yang sederhana, sebagian warga kelas atas juga ada yang berkeliling negeri sambil mencambuki dirinya sendiri sampai tubuh mereka berdarah-darah. Mereka berharap Tuhan berbelas kasih menghentikan pandemi yang melanda seluruh Eropa dan


dunia. Krisis kepercayaan kepada gereja dan pejabat gereja terus berlanjut sampai kemunculan Protestan di awal abad ke-16. Spanish Flu (1918–1919)—‘Kakak’ Covid-19 Seperti Wabah Justinian yang serupa dengan Black Death (disebabkan bakteri), Spanish Flu hadir seratus tahun lalu sebagai pendahulu Covid-19 yang kita hadapi sekarang (keduanya disebabkan virus). Mirip situasi sekarang, sebagian besar pemerintahan di saat itu juga kurang siap dan awalnya menganggap penyakit ini hanya influenza biasa. Kisahnya dimulai saat Perang Dunia Pertama hampir berakhir dan pergerakan pasukan antar negara semakin masif. Dalam kapal atau kereta api yang berdesakan, para tentara yang baru saja menunaikan tugas ke berbagai negara kini mulai kembali ke negaranya masingmasing. Sebagian mereka bukan hanya membawa oleh-oleh untuk orang yang dikasihinya, tapi ada juga yang membawa virus mematikan dalam tubuhnya. Oleh karena itu, tak seorang pun dapat


memastikan dari mana Spanish Flu sebenarnya berasal. Apakah bukan dari Spain (Spanyol) seperti namanya? Ternyata sama sekali bukan. Ada penjelasan yang masuk akal mengapa dinamai Spanish Flu. Pada saat Perang Dunia I (1914–1918), Spanyol adalah negara netral, ia bukan kelompok sekutu (AS dan kawan-kawan) atau kelompok lawannya (Jerman dan kawankawan). Sebagai negara netral, Spanyol tidak merahasiakan data kepada media, sehingga pengumuman tentang korban flu diumumkan setiap hari seperti layaknya saat ini di sebagian besar negara dunia. Karena diberitakan setiap hari, maka flu ini


kemudian lebih terkenal sebagai Spanish Flu. Kenyataannya, wabah segera melanda dunia tanpa jeda, termasuk ke negara kita yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Tak kurang dari 500 juta orang terdampak di seluruh dunia (sepertiga total penduduk), membunuh 20–50 juta orang, termasuk 700 ribu penduduk Amerika Serikat. Sama seperti Covid-19, kebanyakan yang meninggal karena kegagalan sistem pernapasan dan memiliki riwayat penyakit komorbiditas (penyerta). Sama seperti saat ini, di Amerika Serikat gereja-gereja juga tidak mengadakan ibadah. Namun, mereka tidak menutup pintu, tetap membukanya dan sebagian mengubahnya menjadi tempat perawatan. Jemaat terjun menolong para korban yang terdampak, baik secara medis maupun secara ekonomi. Covid-19 dan Masa Depan Kita Saat ini sudah lewat dari sepuluh juta orang yang terpapar Covid-19 di seluruh dunia, dengan lebih dari 500 ribu kematian. Georg Hegel, seorang filsuf Jerman pernah


berkata, “We learn from history that we do not learn from history,� bermakna “sejarah selalu berulang karena kita seringkali tidak belajar dari kesalahan sebelumnya�. Seratus tahun lalu, otoritas di Amerika Serikat sampai Hindia Belanda mengabaikan bahaya yang mengancam rakyatnya, dan menganggap itu hanya flu biasa yang akan berlalu dalam beberapa hari. Kenyataannya, virus tak kasat mata ini telah mengguncang kehidupan kita, memupus harapan orang-orang yang kehilangan kekasih-kekasih tercinta atau pekerjaan mereka yang berharga. Bencana ini bahkan mengikis iman sebagian orang karena tak kunjung datang pertolongan Tuhan. Namun, ketika kita menengok sejarah, tampaklah jejak karya Allah menuntun anak-anakNya menyongsong kehidupan dalam tatanan yang baru. Wabah Justinian menuntun penyebaran Injil kepada bangsa-bangsa Eropa Utara seperti Viking dan lainnya. Wabah Black Death telah menuntun Eropa meninggalkan abad kegelapan dan membuka jalan bagi munculnya ajaran Protestan. Spanish Flu


mempercepat ditemukannya antivirus bagi beragam penyakit dan membuka jalan bagi gereja-gereja di Amerika Serikat merangkul orang-orang yang menderita. Apa yang dirancang Tuhan di balik pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia saat ini? Kita semua sedang menjadi saksi mata terkuaknya rahasia Ilahi di balik bencana ini.

Sumber : 1.https://www.history.com/news/pandemics-endplague-cholera-black-death-smallpox 2.https://www.history.com/topics/middle-ages/ pandemics-timeline 3.https://sspx.org/en/news-events/news/church-andplague-medieval-and-modern-times-part-threefour-56811 4.https://www.history.com/topics/middle-ages/blackdeath#section_2 5.https://www.history.com/topics/world-war-i/1918flu-pandemic?li_source=LI&li_medium=m2m-rcwhistory 6.https://en.wikipedia.org/wiki/Plague_of_Justinian 7.https://en.wikipedia.org/wiki/Black_Death


PA R E N T I N G BAGIAN 4 / Alexander S Hermawan

Identitasku Berdasarkan Kebenaran, Bukan Perasaan


Semua orang merasa buruk tentang diri mereka sendiri dari waktu ke waktu. Untuk para remaja, perasaan-perasaan itu respons yang wajar (bahkan terkadang sangat dramatis) dari tantangan kehidupan. Tetapi ketika remaja merasa buruk dalam sesuatu yang tidak familier atau situasi yang tidak nyaman, perasaan mereka bisa menjadi tidak terkendala. Hal ini bisa membelokkan perspektif mereka.

Terkadang perasaan-perasaan ini berada bersama mereka dalam waktu yang lama, menyebabkan anak-anak untuk percaya akan kebohongan-kebohongan yang serius tentang diri mereka sendiri. Kamu bodoh. Jelek. Seorang pecundang. Anak-anak bukan saja mulai percaya kebohongan ini, tetapi juga mulai mengenakan label pada diri mereka, yang jika dibiarkan akan menjadi sesuatu yang tidak dapat mereka singkirkan. Bantulah praremaja Anda untuk mengenali dua fakta yang kelihatannya kontradiksi tentang perasaan: Ia berguna, tetapi seringkali menipu kita. Perasaan adalah sedikit seperti kulit, yaitu memperingatkan kita saat sesuatu yang kita sentuh terlalu panas atau ketika ada laba-laba


yang merayap diri kita. Saat seorang teman bertingkah tidak setia, perasaan tidak aman memperingatkan anak Anda bahwa relasi sedang tidak aman. Mereka mungkin perlu menjaga jarak dengan teman tersebut dan nongkrong dengan teman yang lain. Perasaan tidak aman tidaklah nyaman, tetapi sebagai alat, itu bisa membantu para remaja untuk membuat keputusan. Perasaan dapat juga merusak para remaja kalau mereka tidak mengerti kekuatan dari perasaan yang mengarahkan pikiran kepada halhal yang tidak benar. Saat remaja menghadapi situasi baru dan tantangan, emosi mereka seringkali bergerak naik dan turun dengan cepat, karena mencoba untuk mengatasi pengalaman baru. Mereka merasa bahagia satu menit dan sangat kecewa menit yang lain.


Kebenaran Mengalahkan Perasaan Bantu anak Anda mengenal bahwa ketika dia membandingkan dirinya dengan orangorang di sekitarnya, bahwa dia tidak sedang melihat kebenaran tentang dirinya atau kebenaran tentang siapa teman sebayanya yang sesungguhnya. Para remaja dapat mengendalikan perasaan naik turun ini dengan melihat kepada kebenaran yang lebih besar tentang siapa diri mereka yang sesungguhnya. Sebagai orang tua, kita harus secara konsisten membantu anak-anak kita mengenal bahwa situasi yang sulit dan perasaan penuh goncangan tidak merubah kebenaran yang besar akan identitas mereka. Kuatkan mereka, ajarkan mereka bahwa apa yang mereka rasakan tidak menentukan siapa diri mereka. Tetapi, identitas mereka yang sesungguhnya tertanam dalam apa yang Tuhan katakan tentang mereka—bahwa mereka adalah karya yang sempurna yang dipilih Allah untuk melakukan pekerjaan yang baik untuk memperluas Kerajaan Allah. Pencipta alam semesta mengasihi mereka tanpa terkecuali. Ulangi dan kuatkan kebenaran ini kepada anak-anak Anda sesering mungkin supaya mereka mengenal kebenaran tentang siapa diri mereka agar mereka siap saat badai perasaan mereka mengancam untuk menghanyutkan perspektif mereka.


KEBENARAN FIRMAN TUHAN: Mazmur 139: 14 “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” 2 Korintus 5: 17 “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” 1 Petrus 2: 9 “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatanperbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:” Yakobus 1: 5 “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah—yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit—maka hal itu akan diberikan kepadanya.”


Melesat! Anak Anda akan menghadapi banyak tantangan selagi mereka melesat kepada tahuntahun remaja, tapi dengan mengajari mereka prinsip-prinsip inti ini, Anda dapat membantu mereka melihat kalau: Kehidupan nyata lebih baik dari pada tenggelam dalam media dan teknologi. Teman sejati akan menerima mereka apa adanya. Identitas mereka ditentukan oleh Tuhan, bukan dari perasaan mereka. Dengan kebenaran ini, orang-orang muda dapat mengembangkan disiplin diri dan penghargaan terhadap diri sendiri yang dibutuhkan untuk berkembang dengan baik selama tahun-tahun remajanya. (https://www.focusonthefamily.com/parenting/threeprinciples-to-help-your-kids-launch-into-the-teenyears/)


Sampai jumpa di edisi selanjutnya! Stay safe and healthy...


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.