e-NAFIRI GKYBSD | OKT 2020 | TH17

Page 1


Pembaca ‘Nafiri’ terkasih,

Bosen di rumah. Gak bisa usaha, gimana bisa dapat uang kalau PSBB terus? Mungkin itu keluh kesah sebagian dari kita akhirakhir ini. Tidak ada kepastian kapan pandemi virus Covid-19 ini akan berakhir atau bahkan membaik. Adakah harapan kondisi kembali seperti sediakala? Sebagai orang Kristen, kita kiranya senantiasa menanamkan harapan bahwa kondisi pasti akan membaik pada waktunya. Mengapa? Kita percaya bahwa hal ini semua terjadi karena rajutan asa dari rancangan Tuhan atas kita semua. Tuhan pasti memiliki rencana yang indah di balik kisah-kisah pandemi ini. Sambil kita belajar untuk mengerti rajutan asa Tuhan, yuk mari kita membaca tulisantulisan yang dapat menguatkan kita. Cerita mengenai seorang mata-mata yang ketahuan dan dikejar mafia, lalu melompat ke jurang; akankah ia putus asa atau masih apakah ada harapan yang tersisa baginya? Yuk, kita lihat di rubrik “Fokus�.


Bagaimana cerita Mak Hwa yang saat ini sudah berumur 87 tahun dan penulis “Percikan” memuji rancangan Allah dalam kehidupan keluarga suaminya? Sungguh seorang saksi hidup kebaikan Tuhan bagi keluarga penulis. Jangan kehilangan harapan. Harapan membuat ayah penulis kisah di rubrik “Enlightenment” memiliki kekuatan untuk mempertahankan nyawa anaknya. Harapan membuat keluarganya mengalahkan Covid-19. Penulis menggunakan kutipan Martin Luther King, Jr. berikut untuk merangkum rubrik tersebut “But I know, somehow, that only when it is dark enough can you see the stars.” Masih banyak tulisan-tulisan menarik yang dapat kita nikmati. Tidak semuanya serba serius, ada cerita jenaka di “Taman Ketawa”, ada komik “Sentilan Ucil”, ada karikatur “Bang Arif”, dan ada penuturan polos anak-anak Sekolah Minggu. Mari kita nikmati semua dalam edisi yang terbit mingguan secara digital ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Salam, Redaksi


Penasihat Pdt Gabriel Kadarusman Gofar Pembina GI Feri Irawan Majelis sub. bid. Literatur Yahya Soewandono Pemimpin Redaksi Humprey Wakil Pemimpin Redaksi Maya Marpaung Editor Titus Jonathan, Pingkan Isabella Palilingan Proof Reader Yati Alfian, Sarah Amanda Palilingan Creative Design Arina Renata Palilingan, Juliani Agus, Christina Citrayani, Glory Amadea, Nerissa, Novita C Handoko Illustrator Ricky Pramudita, Thomdean, Shannon Ariella Fotografer Yahya Soewandono, Tim Dokumentasi GKY BSD Penulis Anton Utomo, Edna C Pattisina, Hendro Suwito, Elasa Noviani, GI Feri Irawan, Humprey, Lily Ekawati, Lislianty Lahmudin, Maya Marpaung, Sarah Amanda Palilingan, Pingkan Isabella Palilingan, Thomdean, Titus Jonathan, Liany Suwito, Elizabeth Wahyuni, Yahya Soewandono, Erwin Tenggono Kontributor Nico T Tjhin, GI Wendy, Clarissa Theodora Alamat Redaksi Sub bidang literatur GKY BSD Jl. Nusaloka E8/7 BSD Tangerang Telp/ Fax: 021-5382274 Email: nafiri@gkybsd.org

Kirimkan KRITIK, SARAN, SURAT PEMBACA dan ARTIKEL anda ke alamat redaksi ataupun lewat e-mail di atas


Sukacita

di Tengah Pandemi,

MUNGKINKAH?

Liany D. Suwito


Apakah beberapa bulan belakangan ini Anda sering merasa khawatir, takut, sedih, gundah, bingung, bahkan stres dan depresi? Seakan hidup saat ini hanya dipenuhi dengan hal-hal yang negatif? Kalau iya, jangan sungkan dan malu untuk menjawabnya, karena kenyataannya hampir separuh dari seluruh penduduk dunia juga sedang merasakan hal yang sama.


Perasaan campur aduk akibat ketidakpastian: baik itu secara ekonomi, kesehatan diri dan keluarga, serta masa depan; sudah sewajarnya menambah beban pikiran kita. Bahkan PBB sejak bulan Mei 2020 telah mengeluarkan laporan yang menekankan pentingnya ada aksi nyata dalam melindungi kesehatan mental masyarakat di masa pandemi. Dalam laporannya, PBB sendiri mengakui bahwa kesehatan mental adalah salah satu area kesehatan yang paling terpinggirkan dan tidak dianggap. Padahal kesehatan mental adalah modal utama bagi manusia untuk bisa meningkatkan kualitas hidup dan bertahan di tengah situasi apa pun. Peran penting ini terbukti dengan munculnya pandemi global yang menjadi stressor (pemicu stres) utama dalam kehidupan kita. Laporan PBB ini juga menunjukkan hasil survei nasional dimana sebanyak 35 persen penduduk Tiongkok, 60 persen penduduk Iran, dan 45 persen penduduk Amerika saat ini sedang mengalami stres akibat pandemi yang sedang terjadi.


Tak hanya di negara luar, Himpunan Psikologi Indonesia pada bulan Juni 2020 lalu juga mengeluarkan TOR (Term of Reference) mengenai kesehatan jiwa pascapandemi di Indonesia. Dalam TOR ini diulas sebuah survei yang menunjukkan bahwa dari total 1.319 partisipan masyarakat, 27 persen di antaranya mengalami stres akut akibat: pembatasan sosial, kekurangan kebutuhan dasar, ancaman terinfeksi, dan penyesuaian perilaku. Tidak menutup kemungkinan kalau saat ini kita juga termasuk di dalamnya.


Lantas, bagaimana? Mampukah kita terus bertahan di tengah gempuran tantangan yang semakin lama semakin dahsyat ini? Sendiri, tentu kita tak akan mampu; tapi bila bersama Tuhan, tentu lain ceritanya. Bimbang Pada dasarnya, memiliki teman atau keluarga untuk sekadar bertegur sapa, bertanya kabar dan bahkan saling menolong atau mendoakan adalah salah satu modal manusia untuk bertahan. Karena kita manusia adalah makhluk sosial yang tak mungkin hidup seorang diri. Kita selalu membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan kesulitan-kesulitan kita dan memberikan nasihat serta arahan saat kita bimbang. Namun, bila kita tidak memiliki teman atau keluarga, janganlah khawatir karena kita selalu memiliki Tuhan. Dan di sinilah kedekatan hati kita dengan Tuhan juga diuji. Bagaimana kita mengimani bahwa Tuhan selalu bekerja secara nyata dalam kehidupan kita masing-masing. Bahwa menyandarkan hidup sepenuhnya


pada Tuhanlah satu-satunya jalan untuk membuat hidup merasa tenang. Sosok yang kokoh dan setia itu takkan meninggalkan kita dalam masa sesulit apa pun. Seperti janji-Nya dalam 1 Korintus 10: 13: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.�


Memang, mungkin masa depan yang sebelumnya sudah kita rancang sedemikian rupa, sekarang harus ambyar, berantakan karena pandemi. Tapi mungkinkah ini sebenarnya menandakan bahwa Tuhan menginginkan kita menjadi manusia yang juga fokus pada masa sekarang? Tidak hanya mengejar ambisi dan keinginan; namun juga menikmati berkat yang Ia berikan dari hari ke hari, dari menit ke menit, detik ke detik. Namun, untuk bisa menikmati itu, manusia memerlukan kesadaran: Kesadaran terhadap berbagai hal yang ada dalam kehidupan kita. Momen-Momen Ajaib Saya pernah bertanya pada salah seorang sahabat, apa hal-hal yang biasanya ia doakan sehari-hari. Ia pun dengan tenang menjawab, “Setiap pagi aku selalu bersyukur, ‘Terima kasih Tuhan masih memberikanku hari yang baru, masih diberikan napas yang baik, diberi udara yang sejuk, dan sinar mentari pagi.’� Menjadi sadar, lalu bersyukur dan


bersukacita memang merupakan hal-hal yang tak terpisahkan. Sadari dan syukuri perasaan dan momen-momen ajaib yang kadang muncul secara tak terduga atau bahkan momen-momen biasa (yang sebenarnya juga luar biasa) yang sering kita temui setiap hari. Menyadari kebaikan Tuhan melalui udara yang tiap kali kita hirup, melalui nyanyian kicauan burung, melalui istirahat yang tenang, pikiran yang sehat, kehadiran teman dan keluarga untuk bertukar pikiran dan berbagi. Hal-hal yang mungkin dulu terlihat sederhana dan jarang kita sadari dan apresiasi ini sebenarnya adalah berkat yang belum tentu dirasakan oleh banyak orang lainnya. Bahkan ketika ada orang-orang di sekitar yang ingin menolong kita, janganlah kita merasa malu atau rendah diri. Karena mungkin saja Tuhan sedang memakai mereka untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk mengasihi kita. Sebaliknya, kita pun harus makin peka untuk mengulurkan tangan membantu orang lain yang sedang sangat terpuruk hidupnya.


Dalam segala keadaan, termasuk dalam badai pandemi ini, hendaklah kita bersukacita senantiasa, karena menjadi bahagia tidak selalu harus didasarkan pada apa yang kita terima atau alami. Dalam kesusahan sekalipun kita tetap bisa menjadi orang paling bahagia di dunia karena kebahagiaan dan kasih yang asalnya dari Tuhan tidaklah terbatas. Oleh karena itu, dalam kondisi sesulit apa pun, bahkan ketika kita tak lagi dapat membayangkan apa yang ada di masa depan, tetaplah ingat bahwa masa depan itu sebenarnya sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang (Amsal 23: 18). ***


TAMAN KETAWA

Thomdean

SESUATU DI DALAM ALKITAB TUA Benny membuka Alkitab besar dan tua milik keluarga. Dengan penasaran, dia melihat halaman demi halaman. Kemudian sesuatu jatuh dari Alkitab itu dan ia mengambil dan melihat dari dekat. Ternyata itu adalah daun tua dari pohon yang telah terjepit di antara lembaran halaman Alkitab. “Mama, lihat apa yang saya temukan,” Kata Benny. “Apa yang kamu temukan, Sayang?” tanya ibunya. Dengan bersemangat Benny menjawab, “Ini kayaknya pakaian Adam!”


Nama bayi “Wah selamat ya bro! Anakmu lahir dengan selamat. Mau dikasih nama siapa? Apa mau dikasih nama sesuai musim pandemi ini? Banyak yang unik-unik loh …,” tanya Ucup kepada Ucok sahabatnya. “Aku ambil dari Alkitab saja bro, namanya Dian,” jawab si Ucok. Si Ucup termenung sejenak. “Perasaan ngga ada deh nama itu ….” “Ada kok. Aku ambil dari kitab KejaDIAN.”

pendeta & pilot Dua sahabat, yang lama tidak bersua, bertemu di bandara. Steven, pendeta dari Manado, bertanya kepada Jeffrey si pilot: Steven : “So brapa lama ngana jadi pilot?” Jeffrey : “So 34 taong ....” Steven : “Coba ngana kase bajalang mundur tu pesawat …?” (sambil ngakak) Jeffrey ngga mau kalah, nanya balik ke Steven, Jeffrey :“So brapa lama ngana jadi pendeta?” Steven : “So 20 taong ....” Jeffrey : “Coba ngana berdoa Bapa Kami mulai dari ‘Amin’ …?” Steven : $%#!@????


kisah bapak & anak Marco Tomato (88) seorang imigran Italia, tinggal seorang diri di New Jersey. Suatu hari dia ingin sekali menanam tomat di pekarangan rumahnya bersama anak tunggalnya Roberto. Tetapi apa daya si anak masih menjalani hukuman di penjara. Marco tua akhirnya menulis surat kepada anaknya. Dear Roberto, Papa sedih sekali karena tidak bisa menanam tomat di pekarangan bersamamu seperti dulu sering kita lakukan setiap tahun. Sekarang papa sudah tua, untuk mencangkul saja sudah tidak kuat. Apalagi tanahnya keras. Andai saja kamu sudah bebas dan ada di sini, pasti kita bisa menanam tomat bersama. Papa tahu kamu pasti senang sekali bisa mencangkul untuk papa seperti dulu ‌. Love, Papa Marco Beberapa hari kemudian, Marco menerima balasan surat dari anaknya: Dear papa, Tolong jangan cangkul pekarangan rumah, di situ ada mayat dikubur. Bahaya. With Love, Robert Besok paginya sekitar jam empat subuh, agen FBI dan polisi lokal datang mendadak ke rumah Marco Tomato dan mereka menggali hampir semua area di pekarangan rumah Marco. Tapi sayangnya mereka tidak menemukan apa pun. Akhirnya mereka memohon maaf kepada Marco dan pergi. Hari itu juga datang lagi surat untuk Marco dari Roberto. Dear Papa, nah‌ sekarang papa bisa menanam tomat ‌. Inilah yang terbaik yang bisa aku lakukan untuk papa selama masih di penjara. GBU, Robert *** Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu (Amsal 6: 20)

Adaptasi dari berbagai sumber


GI. Wendy

Merajut Asa


S

ebuah film aksi menampilkan adegan seorang agen—yang identitasnya sebagai matamata telah terungkap—sedang diburu oleh sekelompok anak buah sebuah organisasi mafia nomor satu di sana. Akhirnya, agen rahasia tersebut sampai di sebuah pinggir jurang, sedangkan kaki tangan mafia di belakangnya terus mengejar sambil menembakkan senjata api. Di ujung jurang, agen tersebut diperhadapkan pada beberapa pilihan: [1] menembak dirinya sendiri supaya dia tidak perlu disiksa hingga membocorkan identitasnya; [2] menyerahkan dirinya, kemudian disiksa, bahkan dibunuh; atau [3] lompat ke dalam jurang apa pun risikonya. Tidak bisa lama berpikir, karena para mafia hampir menangkapnya, agen pun segera menjatuhkan diri ke dalam jurang. Karena tidak dapat mengikuti jejak sang agen, para mafia pun menghentikan pengejarannya dan melaporkan ke atasan mereka bahwa agen tersebut sudah mati dengan melompat bunuh diri.


Tapi kenyataannya, agen tersebut selamat dan dapat kembali ke markasnya untuk melaporkan semua informasi selama dia ditugaskan menjadi mata-mata. Apa yang telah terjadi? Ternyata, ketika agen tersebut melompat ke dalam jurang, terdapat sungai besar yang tidak terlihat dari atas jurang. Di tengah keputusasaan di ambang kematiannya saat sedang di tepi jurang, harapan agen itu muncul ketika samarsamar mendengar suara arus air yang ada di bawah jurang. Harapan inilah yang mendorong agen itu untuk berani menjatuhkan diri dan memilih untuk tidak menyerah.


I N G I N

M A T I

S A J A

Pernahkah kita merasa putus asa? Pernahkah kita kehilangan harapan akan sesuatu dan mendapati diri kita berada di ujung jurang; seakan tidak ada lagi jalan keluar? Pilihan apa saja tampaknya buntu, rasanya ingin mati saja supaya semuanya segera selesai. Terkhusus di masa pandemi Covid-19 ini, sebagian orang mulai merasakan yang namanya putus asa. Beberapa karena kehilangan pekerjaan, kesulitan menafkahi keluarga dan membiayai anak sekolah, konflik antara suamiistri-anak, kehilangan orang yang dikasihi, menderita sakit-penyakit, omzet bisnis dan usaha menurun sehingga harus ditutup, dan lain sebagainya. Apakah dari hal-hal ini sudah atau sedang kita alami saat ini?


Keputusasaan seperti ini juga dialami oleh Ayub di dalam penderitaannya. “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” [ Ayub 3: 11 ]

“Kiranya Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia melepaskan tangan-Nya dan menghabisi nyawaku!” [ Ayub 6: 9 ]

“Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selamalamanya. Biarkanlah aku, karena hari-hariku hanya seperti hembusan napas saja.” [ Ayub 7: 16 ]

Sampai tiga kali Ayub berkata ingin mati saja. Bagaimana tidak; dalam beberapa hari saja Ayub telah kehilangan semua hartanya, anakanaknya, bahkan kesehatannya. Ayub kehilangan semuanya kecuali nyawanya. Namun kita tahu, sampai di akhir kisah Ayub, dia tidak berbuat dosa dengan bibirnya, yang berarti Ayub ditemukan tetap benar di hadapan Allah (Ayub 42: 7). Apa saja yang telah Ayub lakukan di tengah penderitaan yang demikian berat?


N A I K

B A N D I N G

“Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” [ Ayub 2: 10 ]

Di dalam penderitaannya, Ayub tidak sekali pun berpaling dari Allah, dia tidak membelakangi dan meninggalkan Allah, melainkan dengan setia menghadapkan wajahnya kepada Allah. Apa yang Ayub lakukan? Ayub mengajukan pertanyaanpertanyaan, Ayub mengajukan keberatan, Ayub naik banding seperti orang di dalam persidangan kepada Sang Hakim, Ayub mengajukan permohonan kepada Allah. Dan dalam semua tindakan ini, Ayub tidak sekali pun berpaling dari Allah atau menghujat Allah; tetapi tetap menyadari posisinya sebagai ciptaan dan Allah adalah Pencipta yang berdaulat, yang Mahatahu, yang Mahakasih. Ayub berkata, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal .... Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” [ Ayub 42: 1, 6].


Kita melihat, Ayub bukan pasrah atau diam saja. Di dalam penderitaan, dia bergumul dengan Allah, meminta penjelasan dan pengertian, bahkan naik banding yang bernada mengajukan tuntutan. Tapi dari semua tindakannya itu, tidak sekali pun Ayub membelakangi Allah, tidak sekali pun dia menghujat Allah. Dia dengan setia bergumul dan menanti, karena dia tahu harapannya bukan pada manusia, tetapi pada Allah. Melalui pergumulan ini juga Ayub akhirnya mengenal Allah bukan dari perkataan orang saja, tetapi matanya sendiri memandang Allah (Ayub 42: 5). Bagaimana dengan kita? Ketika kita saat ini menghadapi penderitaan, apakah kita juga dapat berkata sama seperti Ayub, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?� Tetaplah berharap pada Allah, dengan cara setia menghadapkan wajah kita pada Allah. Berserulah, berdoalah, menangislah, berlututlah, memohonlah kepada Allah karena kita tahu pemulihan datang dari Allah. Karena kita tahu Allah Pencipta langit dan bumi mengenal anakanakNya dan mengizinkan kita mengalami pencobaan sesuai dengan kemampuan kita untuk kebaikan kita (Ayub 2: 3; 42: 5). Dan selalu ingat untuk jangan pernah membelakangi Allah atau bahkan meninggalkan Dia karena harapan dan pemulihan kita yang sejati hanya ada pada-Nya. ***


Elasa Noviani

Mak Hwa


“Saya mau jenang sumsum” kata Johanes, suamiku. “Saya mau merah delima,” kata Irene keponakan Johanes yang tinggal di rumah kami. “Aku mau ketan hitam, bubur kacang ijo, dan merah delima,” teriak saya tak mau kalah, rakus, laper mata, di tengah suasana adem sehabis hujan sore itu. Jadilah kami menikmati takjil bersama dengan Mak Hwa—panggilan akrab mama Johanes (87 tahun) yang tinggal bersama kami sejak sembilan tahun yang lalu. Seperti biasa, Mak Hwa nyaris tidak pernah memilih apa yang akan dia makan. “Kalau makan bubur seperti ini, tiba-tiba mama jadi inget waktu mama kecil,” kata Mak Hwa memecah suasana santap takjil kami. “Waktu mama masih SD, papah (kakek Johanes) sakit sampai tiga bulan lebih. Jadi tidak ada penghasilan dalam keluarga sama sekali, sampaisampai mamah (nenek Johanes) menjual dipan dan barang-barang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” Mak Hwa mengawali ceritanya. “Beras yang ada harus dimasak menjadi bubur supaya cukup untuk makan sekeluarga (yaitu kedua orang tua beserta enam anak kecil).


Dan kami hanya makan bubur dengan kecap atau garam,� lanjut Mak Hwa dengan mata menerawang mengenang delapan puluh tahun yang lalu di masa kecilnya yang sulit. “Kami tinggal di rumah sewaan yang sempit dan tidur berdesakan hanya beralaskan kasur lipat yang digelar di atas lantai. Suatu hari ketika mamah memasak, kasur kami terciprat api, sehingga terbakar. Kami yang masih kecil sangat sedih melihatnya. Bersyukur tidak ada korban jiwa, dan api cepat dapat dipadamkan,� kata Mak Hwa membuat kami semua termenung. Di tengah pandemi Covid-19 dimana Johanes, Irene, dan saya sudah lebih dari tiga bulan WFH (working from home); ada sosok Mak Hwa yang tampaknya benar-benar merasa terberkati dengan kehadiran kami di rumah sepanjang hari. Bagaimana tidak, sebelum Covid-19, semua orang sibuk sendiri-sendiri. Senin sampai Jumat, kami semua setiap pagi berangkat ke kantor, buru-buru, dan pulang ke rumah sore atau malam hari. Biasanya Mak Hwa menunggu kami pulang dari kantor untuk sekadar berbincangbincang, sambil menemani kami makan malam sebelum Mak Hwa berangkat tidur jam sembilan. Nyaris hanya Painemlah yang menjadi teman setia Mak Hwa di siang hari. Barulah di Sabtu dan Minggu kami bisa menemani Mak Hwa sepanjang hari untuk berjalan-jalan ke mal. Awal-awal kami WFH, Mak Hwa terus bertanyatanya keheranan, kenapa kami tidak berangkat ke


tempat kerja? Kenapa Sabtu tidak berjalan-jalan ke mal, kenapa Minggu tidak berangkat ke gereja? Kenapa Stanley dan Elena datang dari USA tidak menginap di rumah kami? Mengapa setiap orang yang mengantar sesuatu ke rumah hanya berdiri di depan pintu saja, melambai-lambai dari jauh, kakak-kakak saya juga tidak memeluk Mak Hwa seperti yang sudahsudah? Kenapa di siang hari kami turun makan siang dengan dandanan yang sangat aneh? (atasan baju resmi dan bawahan celana tidur, yang warnanya ngga nyambung) Hampir setiap pagi Mak Hwa akan bertanya dengan ekspresi wajah waswas apakah hari ini kami ke kantor atau tidak. Sepertinya Mak Hwa terlalu bahagia kami ada di rumah sepanjang hari. Walau kami sangat sibuk dengan urusan


masing-masing, tetapi mengetahui bahwa kami semua berada di rumah sudah membuat dia tenang. Paling tidak setiap makan pagi, siang, dan malam kami selalu bersama-sama. Kami juga menikmati mendengarkan ceritacerita masa lampau Mak Hwa yang kadang cukup mengejutkan dan mengharukan. Bahkan Johanes sebagai anaknya kadang-kadang baru mendengar cerita itu untuk pertama kalinya, sebab keluarga suami saya ini memang sangat jarang mengobrol—sangat bertolak belakang dengan keluarga saya kalau kami reuni selalu ramai sekali mengobrol ngalor-ngidul sampaisampai sangat sulit ketika diminta untuk tenang sejenak. Kami menemukan bahwa hampir semua ceritacerita lama Mak Hwa, dia ingat betul secara detail; tetapi sebaliknya perbincangan tentang hal-hal yang baru berselang satu atau dua hari saja, malah sering dia lupa. Rupanya cerita masa lalu yang sudah mengendap di dasar memori Mak Hwa selama lebih dari delapan puluh tahun itu, bisa tiba-tiba muncul ke permukaan, biasanya kalau ada trigger-nya, seperti cerita di atas tentang makan bubur.


Saya sering memancing Mak Hwa untuk bercerita sembari kami duduk makan, dan semua ceritanya adalah mengenai masa lalu, kalau itu merupakan cerita favorit maka akan diceritakan sampai berulang-ulang. Mak Hwa pernah bercerita ketika mamahnya sedang mengandung Ku Hong (adik kandung Mak Hwa). Malam itu mati lampu. Di zaman itu mereka memasang teplok (lampu yang bersumbu dan menggunakan bahan bakar minyak - Red), tetapi tanpa sengaja perut mamanya tersiram oleh minyak panas teplok tersebut. Hal itu terjadi tepat sehari sebelum persalinan. Bersyukur Ku Hong lahir dengan selamat. Saya menghela napas, kami semua tahu, di kemudian hari, Ku Hong ini adalah sosok penting yang dipakai Tuhan untuk membiayai sekolah keponakankeponakannya (termasuk sekolah Johanes sampai selesai kuliah). Saya mengagumi ketajaman memori mertua saya di usianya yang sudah senja ini. Mak Hwa juga bercerita ketika akan melahirkan anak pertamanya, dia sangat kesakitan, sehingga dokter melakukan operasi. Dokter itu berpesan bahwa kalau nanti anak keduanya juga lahir dengan operasi maka kandungan Mak Hwa harus diangkat, jadi tidak akan bisa punya anak lagi. Bersyukur anak kedua lahir normal dengan lancar—tanpa operasi, sehingga Mak Hwa masih bisa melahirkan empat orang anak lagi. Johanes adalah anak Mak Hwa yang ketiga.


Kembali saya menghela napas mendengar cerita itu, mensyukuri bahwa seorang Johanes boleh dilahirkan. Melalui berbincang-bincang dengan Mak Hwa, saya sering memuji Allah atas rancanganNya yang ajaib di dalam kehidupan keluarga suami saya. Latar belakang keluarga yang sangat sederhana telah membentuk mereka menjadi pekerja yang tangguh, tekun, dan sangat berhemat. Baik Mak Hwa maupun suami saya sangat terampil melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, apa pun itu, seolah tidak ada kata ogah untuk melakukannya. Memang sekarang Mak Hwa sudah sangat banyak keterbatasan. Tetapi kami masih sangat menikmati kemandiriannya. Dalam usianya yang ke-87 ini; Mak Hwa masih bisa berjalan, bisa memasak masakan sederhana, mandi sendiri bahkan masuk ke dalam mobil pun bisa dia lakukan tanpa bantuan orang lain, kami hanya


mengawasi. Mungkin banyak yang iri karena saya mempunyai mertua yang tidak suka menuntut dan sangat senang berhemat. Saya memang sangat bersyukur karena berkat Tuhan ini. Walau tidak terlalu mudah untuk membuat Mak Hwa menikmati sesuatu karena semuanya ingin dihemat. Atau lebih tepatnya, saya menyimpulkan bahwa Mak Hwa tidak peduli kepada tren. Mak Hwa tidak peduli merek atau harga suatu kado, kadang dia lebih sibuk dan ribet mengurusi tas kertas yang dipakai untuk menenteng belanjaan atau pita pembungkus kadonya daripada isi atau harganya. Dia lebih peduli apakah kita memberikannya dengan senyuman dan senang hati atau dengan niat yang tidak tulus. Dalam kesederhanaannya, Mak Hwa tidak pernah membanggakan kesuksesan anakanaknya. Dia bahkan tampaknya tidak pernah mau mengerti mengenai semua prestasi mereka. Lagi-lagi, ini sangat berbeda dengan keluarga orang tua saya yang cenderung menuntut anak-anaknya untuk berprestasi. Sewaktu saya menunjukkan koran yang memberitakan mengenai Johanes atau kadang mengenai kakaknya yang kedua-duanya memegang tampuk pimpinan di perusahaan tempat mereka bekerja, Mak Hwa menanggapi dengan biasa-biasa saja. Ketika orang-orang heboh mengagumi kehebatan adik Johanes yang menjadi dokter di Papua;


Mak Hwa tenang-tenang saja, cuek, dan tanpa ekspresi. Maksimal dia hanya menjawab, “Itu semua berkat Tuhan.” Saya jadi teringat ketika masih berpacaran dengan Johanes, dan saya test the water hati Mak Hwa (waktu itu beliau masih ‘calon mertua’ saya), saya katakan, “Mantan pacar Johanes lebih cantikcantik daripada saya.” Tanggapan Mak Hwa saat itu tidak pernah saya lupakan, dia menjawab dengan tenang, “Kan Tuhan tidak melihat rupa.” Saya langsung lega dan teringat kepada ayat hafalan yang pernah diajarkan kepada saya dari 1 Samuel 16: 7. Hidup dengan Mak Hwa membuat saya banyak belajar melihat pembuktian kebenaran prinsip firman Tuhan. Saya mungkin tidak akan benarbenar mengerti tentang prinsip “dunia ini bukan rumah kita” sebelum melihat sendiri kehidupan Mak Hwa yang memang dari kecil tidak pernah sekali pun memiliki rumah sendiri, tetapi dipelihara oleh Tuhan. Saya mungkin tidak bisa benar-benar mengerti arti “Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” sebelum mendengar cerita bagaimana Mak Hwa berpuluh-puluh tahun berjuang hidup berjualan makanan, dari toko ke toko, berdesak-desakan di dalam bis


kota, dan tetap dicukupkan. Saya tidak pernah lupa bagaimana Mak Hwa setiap kali menikmati sesuatu yang baru baginya, akan berulang kali berterima kasih sambil berkata, “Di tempat Ela dan Hai Djiang (maksudnya Johanes) ini, Mama mencoba makanan yang belum pernah Mama cobain sebelumnya.� Sukacita seperti anak kecil selalu terpancar dari wajahnya. Mak Hwa tidak sempurna dan tidak selalu bersikap rohani. Dia kadang mengeluh karena kakinya sakit, atau tidak bisa menahan diri ketika menginginkan sesuatu; tetapi ketika diberi pengertian, dia menerima dengan rendah hati. Mak Hwa mengajar saya untuk menjadi seorang murid yang senang diajar. Mak Hwa mungkin tidak bisa mengoperasikan komputer, tangannya tremor kalau menekan tombol handphone, pendengarannya menurun, dan matanya pedih untuk membaca lama-lama. Tetapi dia suka berdoa, doa tidak membutuhkan keahlian teknologi, doa mampu menembus kemampuan berkomunikasi apa pun. Kami sangat bersyukur kepada Tuhan masih diberi kesempatan untuk belajar dari seorang Mak Hwa, saksi hidup kebaikan Tuhan di depan mata kami. ***


Ada Tuhan di antara

SAYA DAN COVID-19

Clarissa Theodora


Tahun 2020 merupakan tahun yang spesial. Bukan hanya tahun dimana saya memulai kehidupan rumah tangga baru, namun juga tahun dimana saya dan seluruh tenaga kesehatan diperhadapkan dengan tantangan besar di dalam pekerjaan kami.


Akhir dari bulan Januari 2020 terdengar kabar bahwa di Tiongkok telah terjadi lonjakan kasus penyakit infeksi baru yang penyebabnya dikenal dengan virus Corona. Tidak pernah terbesit dalam pikiran saya bahwa virus ini akan menyebar sampai ke Indonesia dan menyebabkan kekacauan secara global baik dalam sektor kesehatan maupun ekonomi. Selang kurang lebih tiga bulan setelah virus ini mengepung Kota Wuhan di Tiongkok, Indonesia menerima kabar bahwa telah ditemukan satu kasus terkonfirmasi virus Corona di daerah Jakarta. Saat itu saya sedang bekerja di rumah sakit swasta di daerah Jakarta Selatan. Sistem dan protokol yang baru segera diberlakukan demi meminimalkan penyebaran virus Corona lebih lanjut: yaitu seperti pengadaan screening suhu dan gejala batuk pilek sebelum masuk gedung rumah sakit, pemisahan ruangan instalasi gawat darurat, dan juga pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Sejujurnya, saya sebagai tenaga kesehatan tidak pernah dipersiapkan untuk menghadapi kasus pandemi semacam


ini, ditambah lagi dengan adanya virus Corona (sekarang disebut Covid-19/SARSCoV-2) merupakan jenis virus baru yang belum pernah saya pelajari sebelumnya selama masa pendidikan (atau lebih tepatnya belum ada ilmunya karena belum ditemukan sebelumnya). Di awal melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia, banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh pasien maupun rekan/ keluarga kepada saya sehubungan dengan virus ini. Beberapa jurnal penelitian saya pelajari dan beragam seminar daring


(online) kedokteran saya hadiri untuk bisa tetap up to date mengenal kasus ini lebih dalam dan dapat memberikan penjelasan yang benar kepada mereka yang bertanya. Dalam benak saya, selain mengobati, seorang dokter harus sadar bahwa dirinya diberikan tanggung jawab yang besar oleh Tuhan untuk selalu mengembangkan ilmu dan memberikan informasi kesehatan yang benar dan terkini kepada pasien ataupun rekan/keluarganya. Saya percaya di masa pandemi ini kita semua merasakan adanya impak dalam kehidupan, baik yang ringan maupun berat. Demikianlah yang terjadi dengan beberapa pasien yang saya jumpai di rumah sakit. Mereka yang diketahui terkonfirmasi infeksi virus Covid-19 memiliki kisah perjalanan hidup yang berbeda. Seorang bapak usia paruh baya datang dengan keluhan yang tidak biasa, dan hasil pemeriksaan menyatakan bahwa beliau terinfeksi Covid-19. Pada saat datang beliau terkesan bugar, namun selang tiga hari setelahnya terjadi pemburukan sehingga diperlukan perawatan yang lebih advance di ruang intensif (ICU). Hati saya terkejut dan sedih


mendengar bahwa bapak tersebut akhirnya meninggal dalam waktu yang singkat. Keluarganya pun tidak bisa menemani di sebelah beliau saat menjalani masa kritisnya. Pasien selanjutnya yang saya jumpai adalah seorang ibu pekerja swasta yang datang dengan keluhan sesak, demam, dan batuk. Sang ibu merasa khawatir akan gejalanya karena memiliki dua orang anak dan ingin memeriksakan diri ke dokter. Alhasil memang benar sang ibu positif terinfeksi virus Covid-19. Kesedihan melanda hati saya di saat ibu tersebut akhirnya dirawat di ruang isolasi dan dipisahkan dari kedua anak dan suaminya sampai dinyatakan sembuh dan bebas dari virus Covid-19. Selang dua minggu setelah perawatan, sang ibu mengalami perbaikan kondisi dan akhirnya dapat kembali bertemu dengan keluarganya setelah hasil pemeriksaan terakhir dinyatakan negatif. Kisah yang hampir serupa juga dialami oleh seorang ibu hamil yang datang ke rumah sakit diantar suaminya untuk melahirkan. Persalinan berjalan lancar dan ibu beserta bayinya tampak sehat.


Akan tetapi sang suami atau ayah dari bayi tersebut dikabarkan positif Covid-19. Oleh karena itu ketiganya harus dipisahkan terlebih dahulu untuk mencegah penularan hingga hasil pemeriksaan ulangan dinyatakan negatif. Di saat itu saya membayangkan betapa beratnya hati seorang ibu dan ayah yang tidak bisa memeluk dan mencium anaknya yang baru saja lahir. Seorang ibu selayaknya dapat menyusui bayinya secara langsung, namun dalam kondisi ini sang ibu hanya bisa menitipkan ASI perahnya kepada suster untuk diberikan kepada anaknya. Puji Tuhan akhirnya setelah kurang lebih dua minggu setelah dinyatakan sehat, seluruh anggota keluarga dapat berkumpul kembali. Akhir-akhir ini lebih banyak berita negatif yang kita dengar sehari-hari. Mungkin tidak sedikit pegawai yang di-PHK ataupun pengusaha yang usahanya mengalami kerugian. Saya pun sebagai tenaga medis banyak mengalami pergumulan, mulai dari meningkatnya jam kerja oleh karena ada sebagian rekan yang harus dirumahkan akibat terpapar Covid-19 dan juga karena


adanya penambahan ruangan jaga akibat sistem pemisahan kasus infeksi dan non-infeksi. Belum lagi protokol yang mewajibkan dokter menggunakan APD lengkap berlapis-lapis, sepatu boot, dan masker N95 yang sangat tidak nyaman. Untuk makan, minum, ataupun ke kamar mandi pun menjadi hal yang sulit dilakukan saat bertugas menjaga unit gawat darurat khusus Covid-19. Beberapa kali saya sempat tidak enak badan karena kelelahan, dan tidak jarang timbul ketakutan bahwa saya mungkin tertular pasien. Terkadang ingin rasanya menjalani work from home (WFH) seperti


teman-teman saya di rumah selama masa PSBB. Namun di balik perasaan tersebut, ada suara hati yang mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban saya untuk melakukan tugas ini. Tanggung jawab kami sebagai dokter dalam menjalani pekerjaan tidak lain hanyalah untuk menolong dan membantu pasien dalam kondisi apa pun. Sudah terlalu banyak berkat dari Tuhan yang saya terima, walaupun menjadi dokter merupakan suatu pekerjaan namun saya selalu menjalankannya sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan di dalam hidup saya.


Tidak ada yang bisa menduga peristiwa yang akan terjadi di dalam hidup manusia. Ada kutipan ayat Alkitab yang saya ingat dari Yesaya 41: 10 yang mengatakan, “Janganlah takut sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu, Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau ‌.â€? Saya menikmati hari-hari yang diberikan Tuhan walaupun setiap hari diperhadapkan tantangan dan kesulitan yang berbeda. Pada akhirnya ada ketenangan yang saya rasakan ketika mengetahui bahwa Tuhan selalu menyertai dan menolong saya. Bukti nyata penyertaan Tuhan kepada saya adalah melalui pemberian hikmat, kebijaksanaan, dan kesehatan selama hampir tujuh bulan saya menjalani kehidupan dan pekerjaan ini. Dukungan dan doa keluarga serta teman-teman menjadi penghiburan dan juga merupakan wujud kepedulian Allah yang saya syukuri setiap hari. Saya berharap kondisi negara kita ini cepat pulih. Peristiwa meresahkan yang ditimbulkan akibat virus Covid-19


memang nyata namun hendaknya kita sebagai umat Kristiani selalu memiliki pengharapan, hikmat, dan kebijaksanaan. Percayalah pada akhirnya selalu ada Tuhan yang menyertai dan turut bekerja dalam segala sesuatu yang terjadi. Tetap ingat dan laksanakan protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah dan para ahli.

Keep safe, smart, positive, and always have faith in Jesus.



PARENTING

i a s i r e P a u D di Masa Pandemi

Pada topik “Parenting� kali ini Nafiri membagikan dua hal yang perlu kita miliki sebagai perisaidi masa pandemi Covid-19.

Lislianty Lahmudin


Pengendalian Diri: Tembok Pertahanan Diri Di rumah saja, seharusnya kita bisa mengatur kegiatan kita lebih leluasa. Tapi mengapa kenyataannya banyak rencana kita tidak dikerjakan juga? Mengapa hal ini terjadi? Ternyata banyak hal yang tidak perlu yang kita lakukan, seperti misalnya menonton drama Korea berjamjam sampai subuh. Ada sembilan rasa dalam buah roh, diawali dengan kasih, diakhiri dengan pengendalian diri. Pengendalian diri adalah bagian dari disiplin. Sebagai manusia kita memiliki keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Ketiga hal ini adalah keinginan dunia, dan merupakan pintu dosa karena bertolak belakang dengan keinginan Tuhan. Keinginan daging adalah lawan dari keinginan roh. Ketika kita menuruti kedagingan kita maka kita akan didorong untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan hawa nafsu kita. Ketika Anda buka mata di pagi hari, Anda punya pilihan: Mau bangun sekarang atau lima menit lagi? Tapi akhirnya malah tertidur lagi sampai satu, dua jam. Kita ingin melakukan yang mengenakan bagi kita. Saat ada pembatasan sosial tidak boleh ke mal dan restoran, kita tetap melanggar. Masalah pengendalian diri bukan hanya berhubungan dengan keinginan-keinginan dan kecenderungan, tetapi berhubungan dengan ketergantungan. Ketika seseorang punya ketergantungan terhadap sesuatu, maka sulit


untuk dapat mengendalikan diri. Contoh: ketergantungan menonton. Walaupun mata sudah lelah, tapi karena ini film serial Anda memaksakan diri menonton sampai subuh. Kemudian ketika bangun Anda sakit kepala kemudian marahmarah. Jadi pengendalian diri sangat penting, karena berhubungan dengan keterikatan dan keterkaitan. Seharusnya keterikatan kita hanyalah kepada Tuhan. Hukum pertama dari Sepuluh Hukum yang Allah berikan, “Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku.� Jadi kalau kita tidak terikat pada Allah, maka kita terikat kepada ilah. Apa yang menjadi ilah Anda saat ini?


Belanja? Berapa jam yang Anda habiskan untuk online, mencari barang sale sampai 1–2 jam berlalu? Ingat, waktu adalah kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada kita untuk kita kelola. Kita harus bertanggung jawab. Anda punya waktu 24 jam, bagaimana Anda menggunakannya? Bagaimana Anda melaluinya? Itu tanggung jawab Anda di hadapan Tuhan. Ketika anak-anak melihat kita tidak bisa mengendalikan diri; di situlah mereka belajar juga untuk tidak dapat mengontrol diri mereka. Bagaimana halnya dengan emosi? Kita berbicara tentang hati Anda. Ketika Anda marah, ada kata-kata pedas yang terlontar, kemudian Anda berkata toh setelah selesai cukup minta maaf. Masalahnya di sini adalah Anda telah ‘melukai’ orang lain. Amsal 25: 28 mengingatkan kita, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.� Jadi kalau tembok yang adalah benteng pertahanan kota lalu roboh, maka tidak ada lagi yang bisa dilindungi; pasti akan kalah. Itulah orang yang tidak dapat mengendalikan dirinya. Mari di saat-saat seperti ini justru karakter pengendalian diri sangat penting, dari mana kita dimampukan, kecuali kita memiliki kasih? Disiplin tanpa kasih adalah kejam. Kasih tanpa disiplin adalah memanjakan. Kasih itu harus dengan disiplin, dan disiplin buahnya adalah pengendalian diri.


Kalau Anda mengasihi Tuhan maka Anda mengasihi diri sendiri dan keluarga Anda. Pasti Anda termotivasi untuk mengendalikan diri; mengendalikan diri dari hobi Anda yang tidak membangun dan merusak, juga mengendalikan diri dari sikap emosional. Mungkin ada kata-kata yang melukai hati orang lain yang berasal dari hati Anda yang terluka. Kendalikan hati, pikiran, mulut, mata, tangan, dan kaki Anda; maka anak-anak akan melihat dan belajar bagaimana caranya untuk mengendalikan diri. Tabah: Bertahan dan Berjuang Hingga Akhir Di masa pandemi seperti sekarang ini kita semua merasa kesulitan dan terdampak. Bagaimana seharusnya kita merespons? Apa yang harus kita lakukan? Kita harus tabah.


Tabah selalu dikaitkan dengan kesulitan, bukan dengan kemudahan. Ketabahan diperlukan ketika kita mengalami penderitaan, mengapa? Hidup manusia lebih banyak susahnya daripada senangnya. Lawan dari ketabahan adalah gampang menyerah. Ketika kita mudah menyerah, maka kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah sampai tuntas. Segala sesuatu yang dipertahankan dengan segala upaya kita, hasilnya akan luar biasa. Seperti sebuah pernikahan, tidak akan bisa bertahan sampai akhir, sampai maut memisahkan jika kita mudah menyerah dengan konflik-konflik, atau perselingkuhan. Roma 5: 3–4, “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu; bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.� Sumber pengharapan dan kekuatan kita hanya satu: yaitu TUHAN. Jadi kesengsaraan itu baik, karena ujungnya adalah pengharapan. Tapi untuk menuju pengharapan harus ada ketekunan dan tahan uji. Bagaimana seseorang disebut tahan uji? Yaitu ketika ia diuji tapi bisa bertahan. Ibarat gelas yang dikatakan tahan banting, ketika dibanting maka gelas tidak pecah. Demikian juga dengan hidup kita. Ketika Tuhan mau kita berangsur-angsur kuat, Ia akan menguji kita.


Seperti ketabahan dan ketahanan Ayub, membuatnya bisa mengatakan, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau� (Ayub 42: 5) Bukankah di dalam kesulitan, Anda mengalami Tuhan? Ketika Anda mengalami Tuhan, itu yang akan membawa kepada pemahaman dan pengenalan Anda kepada Tuhan semakin dalam. Bukankah itu yang indah di dalam hidup? Ketika Anda bisa berjalan bersama Tuhan di dalam kesulitan. Ayo kita mengajak anak-anak kita, “Jangan menyerah! Coba lagi! Kalau jatuh, ayo bangun lagi! Kalau gagal, ulang lagi!� Kita akan mengajarkan anak untuk tabah. Dengan cara apa?


Apakah kita memberikan ‘kesulitan’? Ya. Tapi jangan sengaja mempersulit, karena anak akan sakit hati. Kesulitan tidak perlu dicari. Biarkan anak-anak menghadapi kesulitan yang datang dengan sendirinya. Misalnya, ketika memang anak harus mandiri, ia harus mencoba, tidak perlu ditolong, dikasihani; supaya anak-anak bisa bertumbuh. Anak-anak itu bertumbuh melalui kesulitan, ketika ia berjalan saat awal hidupnya ia akan jatuh. Jika anda terus menggendongnya, kapan anak bisa berjalan atau berlari? Jadi kesulitan adalah sesuatu yang wajar yang memang harus mereka hadapi, bahkan ketika anak menghadapi kematian orang tua, itu tidak apa-apa. Itulah realitas yang harus dihadapi, biarkan mereka belajar menerima. Kalau kesulitan yang dicari seperti misalnya Anda sebagai orang tua bercerai, anak pasti akan sakit hati. Kita tidak memilih untuk hidup sulit, tapi kita mengajar anak untuk menghadapi kesulitan, melewati kesusahan, dan bertahan sampai akhir. Setelah anak-anak memiliki daya tahan baru mereka akan memiliki daya juang.

Sumber: YouTube Charlotte Priatna, Direktur Sekolah Athalia Ditulis oleh: Lislianty Lahmudin


Hendro Suwito


Akhir 1998. Bayi Kenneth baru berusia tiga bulan ketika badannya mendadak kejangkejang. Walaupun Fanda Bachtiar, mamanya, seorang dokter dan papanya, Handi Widjaja Chuhairy juga seorang yang sangat cool, tetap saja mereka berdua dilanda kepanikan luar biasa. Apalagi, pasangan muda ini sudah merindukan kehadiran seorang anak selama lima tahun sebelum akhirnya Kenneth lahir ditengah keluarga mereka. Mereka segera membawa Kenneth ke rumah sakit agar mendapat pertolongan untuk melewati masa kritisnya. Bayi mungil ini menjalani macam-macam pemeriksaan, tetapi dokter belum juga menemukan apa yang menjadi sebab kejang-kejang yang dia derita. Dia pun diobati untuk mengurangi penderitaannya.


Pada saat yang sangat sulit ini, Fanda mengajak Handi untuk konsultasi dengan hamba Tuhan, Pdt Joshua Lie yang pernah membimbing Fanda saat kuliah kedokteran di Universitas Brawijaya di Malang. Mereka berdua berbincang panjang-lebar dengan Pdt Joshua sampai pada suatu titik tibatiba Pdt Joshua melontarkan pertanyaan,

“Apa ada janji pada Tuhan yang saat ini belum dipenuhi?”

Jantung Handi seakan berhenti. Dia pun teringat pada janji yang pernah dia lantunkan dalam doanya pada Tuhan bahwa dia akan terjun melayani Tuhan jika nantinya dikaruniai seorang anak. Handi pun mohon pengampunan Tuhan dan memperbaharui komitmennya untuk terjun dalam pelayanan. Tak lama, bayi Kenneth pun sembuh total dan tumbuh dengan kesehatan prima. Pada mulanya Handi dan Fanda masih berbeda aspirasi dan setiap Minggu selangseling menghadiri tiga gereja yang berbeda. Mereka akhirnya membuat keputusan untuk berjemaat di satu gereja saja. Dengan masukan dari Fanda, mereka sepakat bergereja di Pos PI GKJMB (yang kemudian berganti nama jadi GKY) di Rawa Buntu, Serpong. “Saya ikut katekisasi tiga bulan dibimbing GI Agus M. Susanto,” kenang Handi. Dia akhirnya dibaptis sidi dan langsung ‘ditodong’ menjadi anggota tim KKP (Kelompok Pekerja Pos).


Rekan pelayanannya antara lain Henry Swabawa, Sadikin Kuswanto, Subandi dan Juan Panca Wijaya. Tiga tahun penuh dia mendukung KKP.

Hukuman atau anugerah?

Di rumah yang diubah jadi pos PI ini, ruang rapatnya sangat kecil, padahal rapat biasa berlangsung berjam-jam. “Kadang saya bercanda kok mau ya hari Minggu siang rapat di ruangan sempit sampai lama sekali. Kok bisa saya ‘terdampar’ di sini,” canda Handi. “Ini hukuman atau anugerah Tuhan?”

Namun, lulusan Teknik Sipil Universitas Parahyangan dan MBA dari Prasetya Mulya ini sepenuhnya menyadari bahwa apa yang dia alami adalah bukti betapa baiknya Tuhan pada diri dan keluarganya. “Tuhan itu sangat baik… Semua yang sudah terjadi pada saya sepertinya mustahil, tetapi terjadi dan saya bersyukur dapat mengalami semua ini.” Pelayanan yang dimulai pada tahun 1999 ini menjadi awal perjalanan panjang Handi bersama Tuhan di lingkungan GKY.


Dia dipilih jadi anggota majelis tahun 20032009 dan pada tahun 2012 hingga 2018 bahkan dipercaya menjadi ketua majelis. Saat ini, Tuhan bahkan menghantar pria energik kelahiran Tangerang ini melayani di tingkat Sinode di Badan Pekerja Majelis yang menangani tata gereja dan bidang hukum. “Saya berharap dapat ikut membantu GKY agar terus dikelola secara benar dan transparan. Selain itu juga agar GKY boleh terus menjadi berkat dengan ajaran-ajaran yang sepenuhnya didasarkan pada Alkitab.� Handi, yang bertahun-tahun terjun dalam bisnis konstruksi, sejak akhir 2019 mulai mengurangi aktivitas bisnis di bidang ini. Dia mulai lebih banyak mendukung Fanda, khususnya dalam proses produksi sejumlah produk-produk kecantikan Fandaesthetic, seperti sabun, obat jerawat, cleansing cream, moisturizer, aging serum, suncare gel, squalene oil, dan lain-lain. Fanda, yang berasal dari Surabaya, sempat bekerja selama lima tahun di bidang kecantikan di Ristra House dan aktif mendalami dunia kecantikan melalui berbagai pelatihan. Pada tahun 2000 dia membuka Fanda Beauty Clinic (FBC) di BSD dan kemudian juga membuka cabang di Gading Serpong. Sejalan dengan kemajuan kliniknya, FBC mulai memproduksi sendiri produk-produk kecantikan untuk digunakan di kliniknya dan dipasarkan secara lebih luas. “Kami bekerjasama dengan lima pabrik yang mempunyai reputasi baik dalam pembuatan produk-produk kecantikan ini.


Semua resep untuk produk-produk itu dan mereknya kami yang menentukan. Pabriknya tinggal membantu mengolah dan mengemas produk-produk kami,” kata Handi. Pandemi Covid-19 ikut mengguncang FBC. Klinik ini sempat ditutup oleh Fanda pada pertengahan Maret 2020 sebelum mulai buka lagi secara terbatas sejak April. “Awalnya kami tidak membuka layanan langsung karena layanan kecantikan harus ada kontak fisik. Kami hanya membuka layanan pembelian produkproduk kecantikan saja termasuk pemesanan online,” kata Handi. Mayoritas karyawan dirumahkan karena kegiatan di klinik sangat minimal. “Perusahaan mengalami bleeding karena omzet bisnis anjlok hingga kurang dari 30 persen. Bersyukur sampai bulan September kami bertahan untuk tidak melakukan PHK.” Handi dan Fanda berdialog dengan para karyawan dan semua sepakat mereka ada di ‘kapal yang sama’ yang sedang dihempas badai. Itu sebabnya, karyawan sepakat gajinya dikurangi di masa yang sulit ini asal tidak di-PHK. “Kerelaan… Ini nilai yang samasama kami jalani dalam beberapa bulan ini,” ujar Handi.


“Mereka sudah cukup lama berjasa bagi perusahaan di waktu lalu. Kini saatnya kami juga berusaha sejauh mungkin untuk menghargai kontribusi mereka. Inilah nilai yang diajarkan Tuhan pada kami pada masa pandemi ini, yaitu bagaimana kami bisa tetap berlaku adil kepada para karyawan.� Walaupun sangat berisiko, Fanda juga selalu hadir di klinik untuk mendukung para karyawan yang bertugas. Tentunya, Fanda dan para karyawan menerapkan protokol kesehatan sangat ketat. Komitmen dokter yang hobby membaca buku kesehatan, kecantikan dan buku-buku rohani ini sangat dihargai oleh para karyawan. Handi juga sempat merumahkan supir untuk sementara agar sopirnya yang sudah tua tidak tertular Covid-19. Handi sendiri yang mengantar dan menjemput Fanda jika tidak ada urusan sangat urgent. “Aktivitas layanan di klinik perlahan-lahan semakin meningkat akhir-akhir ini walau masih jauh dari normal.� Handi dan Fanda berharap pandemi akan cepat berakhir sehingga FBC bisa beroperasi dengan lancar lagi.

Double degree

Bagaimana kabarnya dengan bayi Kenneth yang pernah kejang-kejang? Kenneth Samuel Chuhairy (22) baru saja meraih BA di bidang Industrial Engineering dari University of Minnesota di America Serikat. Pada semester kedua 2020 ini, dia melanjutkan kuliah di Cornell University di Ithaca, New York. Jika semua lancar, dia akan meraih double degree sebagai Master of Engineering di bidang-


di bidang Operations Research dan Master in Business Administration. Melalui kontakkontak video call dengan papa dan mamanya, Kenneth sangat gembira karena walaupun berada di belahan dunia yang lain, dia tetap bisa mengikuti ibadah-ibadah streaming yang diadakan oleh GKY BSD. “Saya sangat bersyukur Kenneth bisa terus menjaga imannya pada Tuhan,� kata Fanda. Handi dan Fanda menikah tahun 1993. Setelah beberapa tahun, Fanda belum juga hamil. Mereka terus memohon agar Tuhan mengaruniakan seorang anak. Pada Juni 1997, hamba Tuhan Daniel Alexander dan istrinya, yang sudah lama mereka kenal, datang dan menginap di rumah mereka di BSD. Paginya, dia berkata pada Handi dan Fanda bahwa Tuhan berbicara dalam doanya kalau mereka akan dikaruniai seorang anak.


Handi yang awalnya masih skeptis dan terkejut ketika menjelang libur akhir tahun Fanda menelepon memberitahukan kalau dia melakukan tes kehamilan di rumah dan hasilnya positif. Handi sampai minta Fanda tes sekali lagi untuk memastikan. Tetap positif. Handi pun mengajak Fanda ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya. “Ketika anak kami lahir, kami beri nama tengah Samuel karena itu adalah anak yang telah kami minta pada Tuhan (dan Dia mendengar serta mengabulkan).� Handi bersyukur dia mendapat kesempatan banyak sekali untuk mendampingi Kenneth pada masa mudanya. Dan banyak kesempatan itu terjadi di lapangan golf. Sejak 2002, Handi mulai menekuni olahraga golf. Ketika Kenneth masih enam tahun, dia mulai sering diajak ke lapangan golf. Usia delapan, dia mulai belajar memukul-mukul bola golf dan pada usia 11 dia sudah bisa bersaing dengan ayahnya. Selama bertahun-tahun, pengagum Tiger Woods ini secara khusus meluangkan waktu berjam-jam untuk mendampingi Kenneth bermain golf berdua sehingga mereka dapat membangun hubungan yang sangat erat. Teman-teman saya sampai menyesal karena mereka lebih banyak memuaskan diri sendiri di lapangan golf dan kurang membina hubungan dengan anak-anak mereka.� Fanda dan Handi terus menyerahkan masa depan Kenneth pada pengaturan Tuhan. “Kami hanya bisa meyakini Tuhan punya rancangan terbaik bagi Kenneth,� Fanda berbagi.


“Semula Kenneth berancang-ancang setelah dapat BA dia akan lanjut kuliah di Georgia University di Atlanta.” Ternyata Tuhan punya rancangan lain. Kenneth justru diterima lebih dulu di Cornell University, universitas terkemuka di Amerika. “Tuhan memberikan yang tidak pernah kami bayangkan.” Fanda dan Handi hanya dapat berdoa agar Tuhan terus memimpin dan memakai kehidupan Kenneth. Sejak Kenneth di luar negeri, Handi dan Fanda terus menikmati kebersamaan sebagai pasangan. Pada akhir pekan, mereka rajin jalan kaki atau bersepeda keliling komplek rumahnya di BSD atau di Alam Sutera. Vitamin D dan kesehatan yang prima sangat penting untuk melawan Covid-19, bukan? Ayo ikut rajin berjemur dan berolahraga seperti Handi dan Fanda. ***



Jutaan Kenangan Tersimpan di

Hagia

Sophia

Anton Utomo

Kabar mengejutkan datang dari Turki pada bulan Juli lalu. Museum Hagia Sophia yang terletak di Kota Istanbul resmi diubah kembali menjadi masjid setelah hampir seratus tahun berfungsi sebagai salah satu museum paling terkenal di Turki, bahkan di seluruh dunia.


Sikap masyarakat dunia kembali terbelah dengan keputusan ini, sebagian bersorak gembira, namun tak sedikit yang geram dan berteriak protes. Pemimpin Gereja Ortodoks di Yunani paling lantang menyampaikan penolakan, sedangkan Paus Francis dengan lirih berkata, bahwa hatinya ‘sangat sakit’. Bagaimana dengan pemimpin gereja-gereja protestan? Apakah tidak seharusnya ‘nasib malang’ yang menimpa gereja antik dan sarat sejarah ini diratapi umat Kristiani di seluruh dunia? Mari kita telusuri riwayat Hagia Sophia, sebuah gedung dengan desain arsitektur paling ikonik yang terus menginspirasi dan menuai kekaguman sepanjang zaman.

Bizantium, Tonggak Kekristenan Selama Sebelas Abad Mari sejenak membayangkan kita menjadi Konstantin I, kaisar Romawi pertama yang memeluk agama Kristen. Setelah menyatukan Romawi Barat dan Timur lewat peperangan dan penaklukan, ia memilih Bizantium, saat itu sebuah desa di perbatasan Eropa dan Asia, menjadi ibukota Romawi selanjutnya, dan menamainya Konstantinopel (Constantinople), sesuai dengan namanya sendiri. Mengapa tempat itu yang dipilihnya? Mengapa tidak tetap di Roma, ‘ibukota dan kiblat dunia’ kala itu?


SEA of MARMARA

Bila kita pernah berkunjung ke Istanbul (nama Kota Konstantinopel sekarang), maka kita pun akan sepakat dengan Konstantin. Amati baik-baik peta Konstantinopel abad keempat. Terletak di sebuah tanjung kecil yang mirip tanduk, area itu dikelilingi lautan di ketiga sisinya: Laut Marmara di selatan, Selat Bosporus di timur, dan selat kecil Golden Horn (Tanduk Emas) di utara. Hanya sisi barat yang bersambung dengan daratan luas Eropa. Selain memiliki pemandangan yang indah menawan di semua sisinya, kota ini juga menyediakan perlindungan alam yang sangat kuat. Apalagi ketika Tembok Konstantinopel dibangun di sisi barat dan sekeliling kota pada tahun 330, kemudian Tembok Theodosius di sebelah luarnya didirikan seratus tahun kemudian, maka sempurnalah Kota Konstantinopel menjadi benteng pertahanan yang tak terkalahkan.


Diawali Bangunan Sederhana Beratap Kayu Riwayat Hagia Sophia identik dengan kisah panjang Bizantium (Romawi Timur). Sama seperti Daud yang gagal mendirikan bait Allah, Kaisar Konstantin I juga tidak tercatat mendirikan gereja megah untuk beribadah. Adalah anaknya, Konstantinus, yang pertama kali mendirikan kompleks peribadatan (disebut basilika) di area bekas kuil Romawi pada tahun 360, awalnya hanya berdinding dan beratapkan kayu


dan kemudian dinamai Hagia Sophia (orang Turki menyebutnya Aya Sofya), yang berarti holy wisdom. Namun, bukan di tahun ini orang kemudian mengingat berdirinya Hagia Sophia, karena bangunan kayu itu sempat terbakar dan hancur berulang kali akibat bencana alam maupun kerusuhan dan pemberontakan. Barulah sekitar dua ratus tahun kemudian, pada masa pemerintahan Justinian I, Hagia Sophia dibangun dengan spektakuler. Justinian dan permaisurinya Theodora adalah salah satu pasangan raja dan ratu Romawi Timur (Bizantium) yang paling dikenang sepanjang sejarah. Sempat terkena wabah pes namun selamat (lihat artikel Nafiri daring edisi lalu: “Wabah Melintas Sejarah�), Justinian juga lolos dari berbagai pemberontakan yang menyerang kerajaannya. Pemberontakan terbesar yang pernah terjadi adalah Revolusi Nika yang hampir-hampir menjatuhkan Justinian dari takhtanya. Bersama Theodora, pemberontakan Nika bisa dikalahkan, namun Hagia Sophia terbakar dan rusak berat.


Mendapati Hagia Sophia sangat parah kondisinya, gereja itu kemudian diratakan dengan tanah pada tahun 532. Kemudian, hanya dalam lima tahun, sebuah bangunan megah dengan desain ikonik hasil karya dua arsitek kenamaan yang juga ahli mekanika dan matematika, berhasil didirikan dengan kokohnya. Anthemius dan Isodorus, kedua arsitek pilihan Justinian, meletakkan struktur kubah (dom) di puncak gedung, disangga oleh struktur persegi empat


yang disebut pendentives dan dua semidome di kanan dan kirinya. Dengan desain ini, diperoleh ruang interior yang lega dengan atap yang tinggi dan bebas pilar. Untuk menyempurnakannya, bahan bangunan dan interior didatangkan khusus dari berbagai penjuru negeri. Marmer untuk lantai dan langit-langit dikirim dari Anatolia dan Syria, sementara batu bata untuk dinding datang dari Afrika Utara, kemudian seratus empat kolom dikirim khusus dari reruntuhan kuil Artemis di Efesus. Marmer ukuran besar untuk interior dirancang begitu indahnya sehingga menyerupai air mengalir. Mosaik yang menggambarkan malaikat, figur raja-raja masa itu dan sebelumnya, serta tokoh-tokoh Alkitab, termasuk Maria dan Yesus, mewarnai dinding dan kubah. Yang luar biasa, pembangunan gereja megah itu diselesaikan hanya dalam lima tahun, sehingga pada 27 Desember 537 diresmikan oleh Justinian dengan upacara mahamegah. Saat itu, Justinian dikisahkan bersyukur dalam doanya, �O Tuhan, terima kasih telah memberiku kesempatan membangun tempat ibadah seindah ini.� Namun,


ia juga dilaporkan menengadah dan berkata lantang, �Hai Salomo, aku telah melebihimu!� Bagaimanapun, gedung gereja yang dibangun jauh lebih awal dibandingkan gedung-gedung gereja megah di Eropa Barat itu memang pantas dikagumi siapa pun. Sebagai perbandingan, Gereja Notre Dame di Paris dibangun enam ratus tahun kemudian (1163) dan pembangunannya membutuhkan waktu hampir satu abad.

Demikianlah, sejak tanggal peresmian oleh Justinian, Hagia Sophia mulai menghitung sejarahnya sebagai gereja sampai sembilan ratus tahun kemudian. Bila dapat bercerita; dinding gereja megah itu akan mengisahkan jutaan kisah indah yang mengharukan tentang para raja, imam dan uskup, maupun rakyat jelata yang pernah singgah dan menikmati kehangatan dan kemegahan Hagia Sophia. Di batu altar yang


masih ada sampai sekarang, raja demi raja yang jumlahnya puluhan, telah ditahbiskan; anggota paduan suara yang konon mencapai 170 orang di abad ketujuh, melantunkan litani dan puji-pujian nan syahdu di sudut yang lain; pembaptisan dan pemberkatan pernikahan sebagian besar warga Kota Konstantinopel juga dilakukan di Hagia Sophia. Pendeknya, selama hampir seribu tahun usianya, ketika puluhan generasi silih berganti, setiap orang di kerajaan Bizantium tentu memiliki kenangan indah tak terlupakan di Hagia Sophia; lebih dari sekadar gemerlapnya cahaya lilin saat senja, atau parade ikon (tradisi Gereja Ortodoks), maupun harum bakaran kemenyan yang dibawa para imam.


Mehmed II Sang Penakluk Bizantium Sepanjang sejarah, tak terhitung banyaknya penyerbuan dan pengepungan Kota Konstantinopel oleh pasukan musuh. Sejak masa awal Islam, bahkan tentara Arab sudah sampai di pintu gerbang kota, namun gagal mendobrak kubu pertahanan tentara Bizantium yang kokoh. Berulang kali penyerbuan musuh dari Asia maupun Eropa dapat digagalkan, hingga kisah keperkasaan benteng Kota Konstantinopel melegenda dan mitos benteng yang tak terkalahkan menyebar ke seluruh dunia. Selama itu pula Hagia Sophia, katedral utama masyarakat Bizantium tetap berfungsi menjadi gereja induk bagi seluruh umat Kristen Ortodoks. Namun, ternyata ada masa singkat dimana gereja itu


berubah menjadi Gereja Katolik, yaitu pada masa Pasukan Salib dari Eropa Barat menjarah dan menguasai Kota Konstantinopel (1204–1261). ‘Saudara seiman’ yang dikirim oleh Paus dan rajaraja Eropa Barat ternyata berperilaku tak kalah ganas dibandingkan musuh utama mereka dari Timur. Sejak awal Perang Salib berkecamuk pada abad kesebelas, pamor Bizantium terus melorot. Masa keemasan kala dipimpin Justinian yang menguasai area luas di Eropa Timur, Asia Kecil, Mesir, dan Afrika Utara; semakin lama semakin menyusut. Sementara itu, bangsa-bangsa pengembara dari Asia Tengah, salah satunya bangsa Turki, semakin kuat dan terus menggerogoti lahan milik Bizantium. Akhir kisah kekaisaran Bizantium (penerus Romawi) terjadi saat bangsa Turki Utsmani (Ottoman) dipimpin Mehmed II (Muhammad al-Fatih), sultan yang masih remaja saat


menggantikan takhta sang ayah. Saat itu, Bizantium bagai kakek renta, daerah kekuasaannya hanya seputaran Benteng Konstantinopel ditambah secuil daratan Eropa. Area di seberang Selat Bosphorus yang dulu disebut Asia kecil telah jatuh satu per satu ke tangan Turki Utsmani. Jadi, saat itu, Bizantium dan Turki telah berhadapan ‘muka dengan muka’. Awalnya, Sultan Mehmed pun tak menyangka bisa menembus pertahanan Kota Konstantinopel yang dianggapnya tak pernah dapat ditembus musuh, seperti yang sudah dibuktikan oleh para leluhurnya. Namun, seorang tamu yang datang dari Hongaria (Eropa Timur), mengubah segalanya. Orban, nama tamu itu, adalah seorang pandai besi dan insinyur yang menawarkan cara pembuatan senjata artileri kelas berat semacam meriam untuk digunakan dalam pengepungan Benteng Konstantinopel. Tentu saja, motivasinya semata-mata untuk uang. Ironisnya, setahun sebelumnya, ia bertandang ke Konstantinopel dan menawarkan senjata yang sama kepada Konstantin XI, penguasa Bizantium pada masa itu. Namun, Bizantium tak memiliki uang untuk dihamburkan membeli senjata mewah. Lagipula, Konstantin XI terlalu percaya diri akan benteng kotanya yang sudah bertahan lebih dari seribu tahun. Maka, selanjutnya adalah sejarah. Walaupun dibantu ‘meriam’ buatan Orban yang ditarik 60 sapi, sambil mengerahkan 200 ribu tentara, dan


320 kapal mengepung Konstantinopel dari segala penjuru mata angin; tetap saja butuh kesabaran dan daya tahan yang tinggi untuk menembus Benteng Konstantinopel. Diperlukan waktu 57 hari pengepungan, sejak awal April, sampai 29 Mei 1453, sebelum tembok Kota Konstantinopel dapat ditembus tentara Turki. Kala tentara elite Turki yang disebut Janissary berhamburan memasuki gerbang Kota Konstantinopel, maka berakhirlah kisah penerus kekaisaran Romawi yang berdiri sejak tahun 330, demikian juga berakhirlah kisah Hagia Sophia sebagai katedral utama Kristen Ortodoks. Konstantin XI turut tewas dengan gagah perkasa saat mempertahankan kota dan kerajaannya. Keluarganya dan sebagian besar rakyat ditahan dan kemudian dijadikan budak oleh penguasa Turki. Sultan Mehmed II dilaporkan langsung mengunjungi Hagia Sophia. Ia pun terpesona oleh kemegahan gedung tua itu dan serta merta mendeklarasikannya sebagai masjid tanpa menghancurkan interior di


dalamnya. Bahkan, sebagian besar mosaik tidak dihapus, hanya ditutup dengan bahan cat yang bisa dikupas. Itulah sebabnya sampai saat ini kita masih bisa melihat sebagian lukisan mosaik di dinding. Memang ada banyak perubahan dilakukan: di antaranya pembangunan empat menara setinggi enam puluh meter (minaret) di keempat sisi gedung, penambahan mimbar dan mihrab (petunjuk arah kiblat dan tempat imam memimpin shalat), serta empat monogram besar bertuliskan empat khalifah. Masa Depan Hagia Sophia Sejak dikuasai oleh Turki, Konstantinopel dijadikan ibukota Turki dan namanya diubah menjadi Istanbul. Hagia Sophia berubah menjadi masjid sampai masa Turki modern di tahun 1935. Di tahun itu, Kemal Ataturk, Bapak Turki Modern yang telah mengganti sistem pemerintahan dari kekhalifahan menjadi republik, secara resmi mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Namun, perubahan iklim politik di Turki yang awalnya sekuler namun kini semakin religius—terutama setelah partai AKP pimpinan Erdogan menang pemilu pada dua dekade lalu— menyebabkan tuntutan perubahan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid kembali menguat. Presiden Erdogan, yang beberapa tahun lalu mengabaikan tuntutan ini, bahkan pernah berkata bahwa Hagia Sophia akan tetap berdiri sebagai museum


sampai kapan pun, telah mengubah pendiriannya demi merebut hati para pendukungnya. Apalagi, tahun lalu, kandidat walikota Istanbul pilihan AKP dikalahkan oleh lawan politik mereka yang sekuler. Itulah sebabnya, banyak pengamat politik di dalam dan luar negeri Turki mengatakan bahwa Hagia Sophia telah menjadi korban pertarungan politik penguasa dan oposisi. Yunani yang gerejanya memiliki ikatan kuat dengan Hagia Sophia merasa paling terpukul dan langsung menyiapkan tindakan balasan, misalnya menunda peresmian masjid di Yunani. Paus Francis yang juga menyampaikan keprihatinan, langsung dibalas dengan sindiran oleh pihak Turki, bahwa mereka juga pernah mengubah Hagia Sophia menjadi katedral Katolik ratusan tahun yang lalu, malah diwarnai kekerasan dan penjarahan di sana sini. Gereja-gereja Protestan yang tak memiliki ‘ikatan batin’ dengan Hagia Sophia memang tak terdengar menyampaikan protes. Namun, bila perubahan fungsi museum Hagia Sophia hanyalah sebuah agenda politik, mengapa kita harus terpancing untuk menyampaikan protes berlebihan? Bila Tuhan berkehendak, saat iklim politik berubah lagi, bukan tak mungkin Hagia Sophia kembali menjadi museum bahkan gereja seperti aslinya dulu.


Mungkin banyak kenangan indah tersimpan di Hagia Sophia atau gedung gereja yang lain, namun iman kita tentu tidak terikat kepada gedung, seberapa pun megahnya. Sebagaimana pujian yang sering kita lantunkan saat ulang tahun gereja, “Kitalah gereja, umat pilihan, setia memberitakan firman-Nya ‌.â€? Tanpa gedung, seperti di masa pandemi saat ini, kita tidak kehilangan hakikat sebagai gereja dan umat Tuhan, yang bersama saudara seiman lain tetap dapat beribadah bersama di mana pun, dengan bantuan teknologi yang mengagumkan.

Sumber : 1. https://www.history.com/topics/ancient-greece/hagiasophia 2. https://www.pallasweb.com/deesis/hagiasophia.html 3. https://www.britannica.com/topic/Hagia-Sophia 4. https://www.livescience.com/27574-hagia-sophia.html 5. https://en.wikipedia.org/wiki/Hagia_Sophia 6. https://www.dw.com/en/turkeys-hagia-sophia-becomes-apolitical-battleground/a-54018499 7. https://www.nytimes.com/2020/07/14/opinion/hagiasophia-turkey-mosque.html


SETITIK BARA, Sepotong Harapan Titus Jonathan

“You can cut all the flowers but you cannot keep spring from coming” – Pablo Neruda


S

eperti musim semi, demikianlah harapan harusnya mewujud. Musim semi menggantikan kebekuan musim dingin. Ia menumbuhkan tunastunas kecil pada ranting yang daunnya meranggas. Lalu helai demi helai daun bermunculan, dan warna-warni bunga setelahnya. Alam selalu patuh pada waktu dan sabar menunggu gilirannya. Musim semi selalu menghembuskan kehangatan dan membawa perubahan. Ia menerbitkan harapan. “When flowers bloom, so does hope,� kata tulisan di sebuah tembok kota. Ada yang bilang, jangan pernah kehilangan harapan, karena ada saatnya dalam suatu episode hidup, tiba-tiba kita terseret masuk dalam kegelapan, bahkan kegelapan yang paling pekat. Jika kita tak mampu menghalau petaka menghabiskan segala yang kita miliki, sisakan harapan. Itulah yang diceritakan oleh ayah saya tentang harapan yang dimilikinya. Waktu itu saya masih berumur empat tahun. Saya sendiri tak pernah ingat peristiwa ini jika bukan ayah saya yang menceritakannya setelah saya beranjak dewasa. Di usia sangat muda itu—bahkan saya belum sekolah—saya sakit. Perut saya mengeras. Seharihari hanya menangis saja yang bisa saya lakukan. Dengan uang yang ada, ayah saya membawa saya berobat ke sana kemari, tetapi saya tak kunjung sembuh. Perut saya semakin mengeras. Kalau dipegang seperti batu, kata ayah saya. Dan


akhirnya uang ayah yang tidak seberapa itu ludes. “Lalu, apa yang Papa lakukan saat itu?” tanya saya. “Bingung. Uang ludes, tapi kamu belum sembuh, bahkan kondisimu makin parah,” jawab ayah saya. “Benar-benar ludes? Habis-habisan? Nggak punya apa-apa lagi?” sergah saya. “Masih ada ... hmm ....” “Punyanya apa? Berapa?” “Ini!” jawab ayah saya sambil meraba dadanya. Saya tidak menangkap maksudnya. Tapi sebelum saya bertanya lagi, sepertinya saya mengerti bahwa yang sebenarnya ia maksud adalah harapan. Ia tak berkata apa-apa untuk menjelaskan, tetapi pandangan matanya seakan menyampaikan pesan, “That’s all I have.” Lalu ayah saya menceritakan bagaimana setelahnya ia hanya bisa mengunci diri di kamar dan berdoa, sementara saya dibaringkan di tempat tidur, dengan isak tangis yang tak berhenti.


“Memang Papa tidak berdoa sebelumnya?” tanya saya. “Berdoa juga, tapi sambil lalu,” jawabnya. “Dan berdoa sambil lalu sama saja dengan tidak berdoa,” katanya. Uang di kantongnya itulah yang membuatnya overconfident, sok gagah, sombong. Disangkanya uangnya bisa membeli kesembuhan saya. “Waktu itu apakah Papa menyangka saya bakal ‘lewat’?” tanya saya. “Tidak. Papa yakin kamu sembuh.” “Kenapa?” Ia tak menjawab, mungkin tak tahu bagaimana harus menjawab, atau tak mampu membahasakan apa yang ingin ia ucapkan. Tetapi seandainya ia pandai bicara, seolah-olah ia ingin mengatakan, “Harapan itu masih papa simpan, walaupun tinggal sisa-sisa.” Betapa kuatnya sebuah harapan. Ia tak tunduk pada kegelapan. Justru dalam kegelapanlah setitik cahaya paling kecil sekalipun akan tampak. Kirakira sekecil itu harapan yang dimiliki ayah saya. Dan itu sudah cukup. Maka dengan menggenggam harapan itu, ayah membawa saya ke dokter, dengan saku yang kosong. Dibaringkannya tubuh saya di depan dokter itu. Dokter itu cuma mengelus-elus perut saya yang keras, di sela-sela tangis saya. “Rapopo … sesuk bocah iki waras (tidak apa-apa, besok anak ini sembuh) ...,” kata dokter itu. Lalu ayah membawa saya pulang.


“Besoknya kamu sudah lompat-lompat dan larilari,” kata ayah. Ayah sudah pulang ke rumah kekalnya di tahun 2004, membawa harapannya. Ia memberikan sepotong kecil harapan yang ia miliki, sebelum ia berpulang. Walaupun hanya sepotong, harapan itu seperti bara api. Saya simpan di sebuah sudut di hati saya, dan selalu saya bawa mengembara ke mana pun. Di kemudian hari ketika saya mulai bekerja dan membangun keluarga, harapan itulah yang mengajar saya arti dari kesabaran dan ketekunan dalam menjalani kehidupan. Pada saat saya dalam kegelapan, bara itu memercikkan api. Ketika bulan Juli yang lalu saya mendapat kabar tentang kakak saya yang tinggal di Sidoarjo dinyatakan positif Covid-19, saya mengingatkannya tentang harapan. Ia dirawat di Rumah Sakit RKZ di Surabaya. “Kayak mau mati .… Aku gak kuat …,” itulah pesan WhatsApp yang saya terima. Melalui video call, saya menghubunginya.


Selang oksigen menancap di lubang hidungnya, napasnya ngos-ngosan, cepat. Saya lihat berat sekali, sampai tak mampu bicara. Akhirnya saya minta ia mendengarkan saja dan hanya menjawab dengan isyarat. Saya sampaikan, “Jangan kehilangan harapan.” Hanya itu yang berulang kali saya sampaikan, lalu saya ajak berdoa melalui video call itu. Keesokan harinya, anaknya menelepon saya. “Dokter menyarankan transfusi plasma darah dari penderita Covid-19 yang telah sembuh, bagaimana Engku?” tanyanya. Saya jawab, ikuti saja saran dokter. Saya berdoa dari Serpong untuknya. Setelah transfusi kantong pertama, keadaannya berangsur-angsur membaik. Anaknya chat ke saya, “Mami sudah mulai mau makan, walaupun masih sedikit,” katanya. Memang sebelumnya ia tak mau makan apa-apa, karena tenggorokannya sakit sekali. Keesokan harinya, ia mendapatkan lagi transfusi dengan plasma darah kantong kedua, lalu ketiga. Ketika masih menunggu pemulihan di rumah sakit, anaknya yang pertama positif Covid. Tak pelak lagi, menyusullah ia ke RKZ, dirawat di dalam kamar yang sama. Anaknya yang kedua mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mama dan kakaknya. Dan pada saat keduanya sembuh dan keluar dari RKZ, gantian anaknya yang kedua masuk RKZ sebagai pasien Covid. “Jangan pernah kehilangan harapan,” pesan


saya kepada mereka. Sekarang ketiga-tiganya sudah sehat. Virus yang dinamai Covid-19 ini memang rakus sekali. Setelah gentayangan ke sana kemari, ia datang meminta tubuh. Setelah dikasih tubuh, ia meminta nyawa. Tak hanya tubuh dan nyawa, ia merampas segala-galanya: bisnis, pekerjaan, nafkah, rencana, dan cita-cita; apa lagi? Kecantikan pun ikut terampas karena lenyap dari pandangan sehari-hari lantaran tertutup masker. Betapa kegelapan ini masih merajai. Masih adakah bara api tersimpan di hati? Jika bara itu mati, betapa gelapnya kegelapan itu. Harapan membuat ayah saya memiliki kekuatan untuk mempertahankan nyawa saya. Harapan membuat kakak saya dan dua anaknya mengalahkan Covid. Karena harapan, Winston Churchill berseru, “We shall never surrender!� di saat paling gelap dan kritis di hadapan parlemen Inggris dan mengubah Dunkirk yang akan dijadikan kuburan massal oleh Hitler menjadi pantai kemenangan bagi rakyat Inggris (cerita ini dapat ditonton di film Darkest Hour yang rilis di tahun


2017, disutradarai oleh Joe Wright). Harapan itulah yang membuat Ayub—orang yang kita anggap sebagai orang yang paling malang dalam sejarah—justru berkata, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah.” (Ayub 19: 25–26). Kalimat macam apakah itu jika bukan keluar dari hati yang masih menyimpan bara api? Jangan pernah kehilangan harapan, karena ia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang membiarkannya pergi. Demikianlah kita harusnya mengerti, pada akhirnya akan tinggal ketiga hal ini: yaitu iman, pengharapan, dan kasih. Walaupun dari ketiga hal ini yang terbesar adalah kasih, tetapi harapan akan abadi, seabadi ayah saya yang telah pergi. “But I know, somehow, that only when it is dark enough can you see the stars.” – Martin Luther King, Jr. ***


Respons Seorang Pemimpin Ditengah Pandemi

Erwin Tenggono


Pandemi Covid-19 di negara kita telah berjalan tujuh bulan dan banyak hal yang telah berubah. Bekerja di rumah, memakai masker, anak-anak belajar di rumah, juga kerinduan untuk berlibur; semuanya mewarnai kehidupan setiap keluarga. Secara spiritual, ada sekelompok orang yang menikmati ibadah dari rumah, tidak perlu mandi, sambil makan bakmi dan ngopi. Tetapi, ada yang begitu kehilangan momentum ibadah yang sesungguhnya dalam perjumpaan dengan Kristus, baik itu di rumah maupun di gereja. Bagi rekan-rekan di dunia profesional; ada yang kehilangan pekerjaan, bisnis yang tidak menentu, gaji karyawan yang harus dibayar, hingga adanya undang-undang cipta kerja yang harus direspons. Namun, ada juga yang mendapatkan momentum baru dalam bisnis. Di tengah semua situasi ini, di manakah posisi kita sebagai pemimpin, baik itu di perusahaan ataupun di dalam rumah tangga? Bagi saya, semua bermula dari respons individu, yaitu pemimpin itu sendiri. Yang menarik saat ini adalah secara tidak langsung respons kita kian dikaitkan dengan kematian dan nyawa. Memang jarang sekali kita menemukan momen dimana seorang pemimpin


dihadapkan dengan situasi yang, seolah-olah, mengancam nyawa. “Anak-anak saya berkata, situasi Covid-19 ini seperti plot film zombi atau film fiksi ilmiah dimana bumi diserang alien. Lalu, respons orang pun beragam: mulai dari yang takut sekali, ada pihak yang menjadi hero, ada yang mati konyol, ada yang menangis, dan ada yang sangat kuat untuk fight back,� seseorang berbagi kepada saya. Ada sebuah kutipan dari John Maxwell, �Great leaders understand that the right attitude will set the right atmosphere, which enables the right response from others.� Apa sikap kita saat ini yang telah mencerminkan diri kita sebagai leader? Apakah kita panik dan kesal ataukah kita jadi sangat penakut dan cari aman? Mungkin ada dari kita yang menyalahkan situasi, atau justru menikmati situasi ini. Lalu, apakah kita belajar dari situasi saat ini dan melihat peluang ke depan? Dan seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk memahami keluarga kita, memikirkan orang lain, tim dan pegawai kita, sekaligus mereka yang tidak mampu atau bahkan lebih kesulitan dari kita? Semua sikap kita menentukan atmosfer yang akan kita ciptakan. Ya, sebagai seorang pemimpin, sikap kita tentu akan menentukan atmosfer lingkungan sekitar dan kemudian akan mempengaruhi respons orang lain yang berada


di dalam lingkungan sekeliling kita. Tak dapat dipungkiri; respons kita merupakan cerminan dari apa yang kita imani mengenai berkat, kehidupan, dan kematian. Respons kita berbicara mengenai kedaulatan Allah dalam kehidupan kita dalam segala situasi dan kehidupan kita, bagaimana kita sebagai anakanak terang dan kita semua yang dipanggil dalam peran sebagai pemimpin. Biarlah respons kita mencerminkan terang-Nya.

Seperti yang tertulis untuk kita semua di dalam surat Yakobus 1: 17, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.�


Terang Bapa begitu sempurna, anugerah-Nya nyata selama ini sejak awal hingga sekarang. Terang itu begitu terang sehingga tidak akan menimbulkan satu bayangan apa pun, termasuk bayangan yang berupa keraguan kita.

Kedaulatan Bapa serta pemberian terbaik yang telah Tuhan berikan melalui karya keselamatan dan hidup yang telah kita lalui begitu nyata dan besar. Jikalau kita fokus dan mengimani terang tersebut serta percaya bahwa pemberian terbaik dan anugerah sempurna dari Tuhan adalah selamanya, seharusnya kita tidak dibayangi ketakutan dalam merespons Covid-19, melainkan mencari makna bersama Tuhan sebagai terang: Apa saja hal baik yang Bapa ingin kita lakukan dalam masa pandemi? Kiranya kita mengganti fokus kita; dari yang sebelumnya kian fokus pada diri sendiri, sekarang terarah kepada fokus yang baru yaitu Kristus sebagai terang yang sempurna di dalam kehidupan kita. Tuhan Yesus memberkati. ***


P E L A Y A N A N D I A K O NI A

Pembuatan pompa air tanah buat jemaat yg membutuhkan (Ibu Maria Hianti), lokasi di belakang sekolah Ora et Labora. - 26 Okt 2020


Membantu jemaat yang membutuhkan (Bapak Irawan, bersama sang Ibu Lolo Allo), sekarangpulang kampung ke Sulawesi untuk berkebun. Bapak Irawan adalah jemaat kita sejak masih di Rawa Buntu. - 26 Okt 2020


P E N E GU H A N PE N G U R U S



B A P T IS , S ID I, D AN AT ES T AS I




JUDUL LAGU:

NICO TANLES TJHIN

God of This City:

Greater Things Have Yet to Come • Artis • Penulis • Durasi • Album

: Chris Tomlin : Aaron Boyd (Bluetree) : 5:06 : Hello Love (2008)

Mengalami pandemi yang tak kunjung berakhir membuat kita merefleksikan kembali dimana dan kepada siapa pengharapan saya berada. Lagu “God of This City” yang dipopulerkan oleh Chris Tomlin dapat membantu kita mengingatkan akan Dia yang adalah Allah, Raja, dan Tuhan yang berkuasa atas negeri ini. Bukan hanya perkara virus Covid-19, penduduk dari kota/negara yang bergumul dengan perkara lainnya, seperti kelaparan, child labor, prostitusi, korupsi, genosida, dan lain-lain juga boleh dikuatkan dengan lagu ini. Sungguh benar adanya bahwa kita dapat mengandalkan Kristus sebagai sumber pengharapan, terang, dan damai di tengah-tengah situasi yang sulit. Bagian refrain dari lagu yang kemudian menjadi theme song di konferensi internasional “The Passion”, menyatakan bahwa pekerjaan Tuhan di bumi ini belum selesai. Tuhan akan menjadikan rancangan-Nya indah dan sempurna. Kiranya lantunan lagu lama ini dapat memberikan pengharapan yang baru bagi kita semua! Sumber: https://www.songfacts.com/facts/chris-tomlin/god-of-this-city https://www.amazon.com/God-This-City-Greater-Things/dp/0830752234


God’s Voice in the Midst of Pandemic Raphael Christie


Bagi saya, menjadi dokter di tengah pandemi yang sedang terjadi saat ini bukan hanya merupakan suatu tantangan, tapi juga hak istimewa di waktu yang bersamaan. Covid-19, yang awalnya terasa jauh di negeri Cina, tiba-tiba hadir di tengah kita saat kasus pertama diumumkan di negeri ini.


Setelah itu, transmisi lokal Covid-19 terjadi dengan cepat dan kasus pun mulai bertebaran juga di Tangerang, daerah tempat saya kerja saat ini. Penyakit ini semakin nyata di depan mata. Pada tanggal 21 Maret 2020, oleh karena saya terus bertemu dengan pasien suspek dan probable Covid; saya memutuskan keluar dari rumah untuk mengisolasi diri agar menghindarkan putra saya Aldridge, istri saya Marlene, kedua orang tua dan kedua adik dari kemungkinan terpapar virus ini. Keputusan ini sangat sulit mengingat ketidakjelasan kapan masa pandemi ini akan berakhir. Apabila ingin bertemu anak dan istri, saya harus menggunakan masker dengan sebaik-baiknya demi mencegah


penularan seandainya saya sudah tertular. Waktu pun terus berjalan dan semuanya semakin tidak mudah. Sesungguhnya, menurut saya, Covid-19 ini adalah penyakit yang paling merepotkan secara emosi dan tenaga. Covid-19 ini tidak memiliki gejala yang khas yang bisa segera membedakan penyakit ini dari penyakit lain. Penyakit ini tidak memiliki standar pemeriksaan yang cepat dan tepat untuk menegakkan diagnosis; hasil swab juga harus menunggu hingga 1–2 minggu pada awal-awal pandemi. Tata laksana pengobatannya pun harus terus disempurnakan seiring dengan berjalannya waktu. Bayangkan, penyakit yang belum terang benderang ini harus dijelaskan kepada masyarakat yang tingkat sosial dan pendidikannya belum tinggi. Belum masalah-masalah psikososial mengenai Covid-19, isu-isu konspirasi global, RS meng-Covid-kan pasien, tenaga medis mendapatkan uang bila meng-Covidkan pasien, masker menghilangkan hak masyarakat untuk mendapat oksigen, dan isu-isu lain yang membuat tugas kami di rumah sakit sangat amat sulit.


“Diduga” Covid-19 Namun, di tengah kegalauan saya, Tuhan berbicara. Suatu hari, saya menerima pasien seorang ibu yang mengalami demam dan sesak napas. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap, pasien ini dicurigai Covid-19. Saya memberi penjelasan kepada suaminya mengenai penyakit istrinya dan mengusulkan untuk rawat inap. Suaminya menjawab, “Saya percaya Tuhan Yesus mampu menyembuhkan istri saya. Saya percaya istri saya tidak terkena Covid.” Saat itu saya mengatakan, “Bapak, seandainya istri saya sendiri yang sedang ada dalam keadaan seperti ini, saya akan merelakan istri saya dirawat, walaupun saya tidak dapat menemani.” “Di rumah, Bapak tidak bisa memberikan oksigen, antibiotik infus, dan obat-obatan infus yang dibutuhkan istri Bapak. Tuhan juga bisa memakai tenaga medis untuk membantu kesembuhan istri Bapak.” Walaupun bisa jadi itu adalah kesempatan terakhir sang suami bertemu istrinya jika dia tidak tertolong.


Akhirnya, dia merelakan istrinya dirawat. Beberapa hari kemudian, di akhir masa perawatan pasien itu (yang memang akhirnya terkonfirmasi positif Covid), tidak sengaja saya berpapasan dengan suami dari pasien ini. Dia sangat berterima kasih dan berkata, “Dokter, terima kasih sekali. Karena Dokter, istri saya boleh dirawat dan saat ini sudah boleh pulang. Saya selalu berdoa agar Dokter dan tim medis semua selamat dan dijaga dari penyakit ini.� Dia lalu menyerahkan satu kantong plastik berisi susu untuk mengungkapkan rasa syukurnya. Apa yang sudah terjadi pada pasien saya itu, bukanlah soal kemampuan edukasi atau kemampuan saya bicara untuk menyampaikan informasi, sehingga bapak ini memutuskan untuk merelakan istrinya dirawat. Saya percaya Allah sendiri yang berkuasa mengubah hati manusia. Doa dan juga ’susu’ yang diberikan adalah cara Allah mengingatkan saya bahwa Allah akan menyertai saya. Bukan artinya saya pasti tidak akan terkena


Covid-19; namun Tuhan akan menyertai saya, keluarga saya, dan kehidupan saya. Ke Medan Perang Kembali ke pengalaman memasuki awal pandemi, saya merasakan kesulitan APD (Alat Pelindung Diri) yang juga dialami oleh teman-teman sejawat di fasilitas kesehatan yang lain. Namun saya juga merasakan halhal yang luar biasa dimana Tuhan memakai rekan-rekan pelayanan dan gereja untuk


membantu menyediakan APD, baik di rumah sakit tempat saya bekerja atau di fasilitas kesehatan yang lain. Untuk kami tenaga medis; pemberian APD yang memadai itu layaknya seperti prajurit yang akan ke medan perang diperlengkapi dengan ketopong, perisai, ikat pinggang, kasut, pedang, dan baju zirah. Terdengar familier bukan? Tentu saja kita teringat akan perikop dalam Efesus 6: 10–20. Bagi kami para tenaga medis, menggunakan APD berlapis-lapis itu sangat gerah dan tidak nyaman. Belum lagi, cara memasang dan melepasnya juga sangat menjelimet. Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi teman-teman tenaga medis yang harus bekerja full-time menggunakan APD lengkap. Itu bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Tetapi, semua itu harus dilakukan agar virus pada pasien tidak menulari petugas kesehatan. Apa yang harus dijalani oleh para tenaga medis dengan APD lengkapnya menurut saya juga sama dengan kehidupan


rohani kita. Kita diingatkan bahwa dalam peperangan rohani lawan kita bukanlah darah dan daging, tapi roh-roh jahat di udara. Karena itu kita memerlukan ‘APD’ Allah yang lengkap untuk menghadapi lawan yang sangat berbahaya ini. Kita harus berdiri tegap berikatpinggangkan kebenaran, berbajuzirahkan keadilan, berkasut kerelaan memberitakan Injil, memegang perisai iman, memasang ketopong keselamatan, dan menyiapkan pedang Roh yaitu firman Allah. Saya rasa sama seperti APD kesehatan, ‘APD’ rohani ini sangat tidak nyaman digunakan, untuk memakainya pun banyak pengorbanan dan tenaga yang harus dikeluarkan. Namun, apabila kita paham tentang lawan kita yang demikian ganas, betapa berbahaya virus “Si Jahat” yang beterbangan di udara, saya percaya kita pasti akan menggunakan ‘APD’ Allah ini sebaik dan serapat mungkin walau kita merasa sesak dan panas hingga bercucuran keringat.


Jangan kendurkan ‘APD’ rohani kita. Terus bergantung dan mencari kebenaran Allah. Terus bertindak adil, rela dan bersiap memberitakan Injil. Terus bertumbuh dalam iman dan keselamatan, dan terus menggali firman Allah. Bila kita menyadari bahwa lawan kita adalah roh-roh jahat di udara yang mudah sekali merusak jiwa-jiwa yang tidak menggunakan ‘APD’ lengkap dengan baik dan benar, maka kita pasti akan menggunakan ‘APD’ spiritual kita dengan sebaik-baiknya. Bila kita lengah, ‘virus’ jahat yang sangat ganas ini dengan mudah akan


masuk dan merusak ‘paru-paru’ rohani kita hingga akhirnya membunuh iman kita. Berbeda dengan pandemi Covid-19 yang saya percaya suatu saat akan berakhir, tidaklah demikian dengan peperangan kita dengan roh jahat. Peperangan ini tidak akan berakhir. Itu sebabnya, kita harus selalu waspada dan memakai segenap perlengkapan ‘APD’ rohani kita dengan sebaik-baiknya. Pandemi Covid-19 yang sedang kita alami ini memang berat. Dampaknya masif di bidang ekonomi, psikososial, psikis, fisik, dan banyak lagi. Sebab itu, mari kita berpegang teguh pada penyertaan Tuhan. Dia tak pernah berjanji langit selalu biru, namun Dia berjanji, “Dia sendiri akan berjalan di depanmu. Dia sendiri akan menyertai engkau. Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.”


Bersama Allah, mari kita hadapi pandemi ini. Bagaimanapun, ini hanyalah satu fase dalam perjalanan kita di dunia ini. Melalui pandemi ini, kita sedang dilatih agar kita semakin mengenal dan lebih sungguhsungguh bersandar pada Allah yang hidup. Soli deo Gloria! *) dr. Raphael Christie bekerja dan melayani masyarakat di RSUD Balaraja, Tangerang.


All is from Him, by Him, and for Him

Maya Marpaung


Saya akan awali sharing saya dengan kesimpulan: All is from Him, by Him, and for Him. Wah, saya sangat menikmati binaan Tuhan melalui perjalanan saya menimba ilmu di Belanda.


Perjalanan itu dimulai dari keputusasaan saya dalam mendapatkan anak. Bagi para pasangan suami istri yang lama atau tidak memiliki keturunan, pasti mengetahui betapa beratnya tekanan sosial yang harus dihadapi. Dari keputusasaan itu, saya ingin mendapatkan penghiburan dengan mencari kesempatan bersekolah dan bahkan tinggal permanen di luar negeri. Dari berbagai proposal penelitian yang saya sebarkan, salah satu yang memanggil saya adalah Profesor Machiel Naeije dari University of Amsterdam. Setelah melewati wawancara, ternyata yang mereka butuhkan adalah mahasiswa PhD dari jurusan matematika atau teknik untuk merancang sendi rahang buatan dan menganalisa gaya-gaya di sendi rahang. Sedangkan saya adalah dokter gigi spesialis yang sangat alergi dengan rumus matematika. Saya menghela napas panjang, tapi saya ngotot untuk bisa belajar di bawah bimbingannya. Ketika Chiel, nama panggilannya, menawarkan saya untuk mengambil program spesialis agar saya mengerti area penelitian lebih dalam, saya hanya bisa


berkata, “I don’t have the money to pay for the program.” Saya tidak punya uang untuk membayar program spesialis tersebut. Mengambil program spesialis di Eropa itu sangat mahal, saya hanya mau melakukan penelitian di sana. Maka datanglah kemurahan Tuhan. “Saya rasa kita bisa fleksibel,” itu yang Chiel katakan kepada direktur sekolah spesialis saat itu, Professor Frank Lobbezoo. Fleksibel? Orang Belanda? Sejak kapan? Mereka terkenal dengan sifatnya yang sangat kaku pada peraturan. Namun, hanya karena kemurahan Tuhan, akhirnya saya dapat menjalani sekolah spesialis secara gratis. Saya hanya membayarnya dengan


bekerja setengah hari per minggu di klinik spesialis sebagai asisten dokter gigi dan kemudian sebagai dokter gigi. Kesempatan ini tidak pernah ditawarkan ke mahasiswa lain. Ya, saya mau. 
 Hari-hari menjalani pendidikan sebagai residen (peserta pendidikan spesialis) tidaklah mudah. Saya adalah satu-satunya mahasiswa spesialis di bagian saya yang berasal dari Asia. Bukan saja saya harus beradaptasi dengan ritme dan gaya hidup orang Belanda yang cenderung kaku, tepat waktu, efisien, dan sangat to the point, tapi saya juga mahasiswa yang paling pendek . Bulan-bulan pertama banyak diisi dengan tangisan dan rasa lapar. Lapar? Ya, karena saya harus hidup irit. Suami saya masih tinggal di Indonesia, dan saya bertekad untuk hidup seirit mungkin. Namun lagi-lagi datanglah kemurahan Tuhan dengan diizinkannya saya menikmati I Raja-raja 17: 1–7. Tidak hanya satu dua

“Jangan khawatir, kerjakan saja porsimu dengan maksimal, Tuhan akan cukupkan kebutuhanmu untuk hidup.�


kali; ketika perut sedang lapar, ada saja telepon dari Kak Novi senior saya di pelayanan mahasiswa UI: “May, kamu di mana?” “Di asrama Kak.” “Aku baru dari Oriental, kamu butuh mi instan? Merek apa?” Lalu datanglah Kak Novi dengan satu dus mi instan. Langsung ditaruh saja di kamar asrama saya. Tanpa perlu membayar apa pun. “Lah, murah kok, May. Tenang aja,” kata Kak Novi. Musim dingin, makan mi kuah, nikmatnya bukan main. Banyak lagi kesempatan-kesempatan yang Tuhan berikan untuk memenuhi kebutuhan saya. Secara jelas Tuhan ajarkan: Jangan khawatir, kerjakan saja porsimu dengan maksimal, Tuhan akan cukupkan kebutuhanmu untuk hidup. Tahun kedua, saya diizinkan untuk keluar dari asrama dan berbagi apartemen dengan teman satu kampus: Hasti Parvaneh. Hasti adalah seorang ateis yang baru saja putus dengan kekasihnya yang telah tinggal bersamanya selama sepuluh tahun. Saat itu saya melihat bagaimana bahayanya seorang ateis ketika mengalami


goncangan hidup. Dari histeris, menangis tanpa henti, muntah-muntah, tertidur di WC; itu semua saya saksikan selama beberapa bulan. Saya mengajak Hasti berdoa, dan ia selalu berkata ya. Sepertinya ia menikmati perhatian, kasih sayang, dan kepastian iman yang saya miliki. Suatu saat, ketika saya bersama suami hendak makan malam, Hasti meminta kami berdoa. “Saya selalu menikmati doa-doa kalian. Saya rasa saya tidak lagi ateis, saya tidak tahu apakah saya siap untuk tiap minggu ke gereja, tapi paling tidak saya percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang harus saya pegang. Seperti kalian,� katanya. Puji Tuhan. Oh ya, suami saya, Asido, sudah bekerja di Eropa di tahun kedua saya di Belanda. Satu kemurahan Tuhan yang kembali saya nikmati. Tahun ketiga adalah tahun yang unik. Di tahun inilah kami diberikan satu kemurahan lagi. Saya mengandung. Sesuatu yang kami dapatkan di saat kami tidak memikirkan tentang keturunan. Saya menjalani tahun terakhir saya sebagai residen dengan perut yang membesar,


namun tidak ada satu kesulitan pun yang saya alami dalam proses kehamilan ini. Saya masih bisa naik sepeda, lari-lari mengejar kereta, menjalankan stase klinik di kota-kota lain dengan sangat lancar. Di tahun terakhir ini saya menjalankan dua stase di luar Amsterdam, yaitu Nijmegen (Belanda) dan Malmรณ (Swedia). Kalau diingat sekarang, kok ya bisa? Tapi apa yang tidak bisa bagi Tuhan? Lalu selesailah episode pertama perjalanan saya. Saya berhasil lulus program spesialis yang ditawarkan ke saya oleh Chiel, tanpa harus membayar. Namun proyek penelitian saya masih belum jelas, ditambah berakhirnya masa kerja Chiel, alias pensiun. Wah Tuhan, bagaimana


ini? Saya bisa sekolah karena profesor ini senang dengan kerja saya, tapi sekarang tanpa dia, siapa yang mau membimbing saya? Tiba-tiba, Prof. Frank Lobbezoo memanggil saya untuk rapat. Saat itu ia sudah menjabat sebagai ketua departemen. Saya sudah pasrah, siap untuk meninggalkan mimpi saya mengejar studi doktoral. Ketika masuk ke ruang rapat, saya heran karena ada satu staf peneliti yang sudah duduk di ruangan. Saya sampaikan bahwa saya berniat untuk pamit karena sudah lulus. Lalu datanglah kemurahan Tuhan: “Kamu berminat untuk studi epidemiologi di anak dan remaja?� tanya Frank. Aah, tentu saja inilah alasan kenapa Maurits, staf peneliti itu duduk di ruangan ini. Ia adalah peneliti kelainan rahang pada anak dan remaja dan ia membutuhkan mahasiswa PhD untuk menjalankan proyekproyeknya. Saya hanya bisa mengangguk dan bersyukur. Siapa saya sehingga ditawarkan proyek penelitian ini? Yang lebih melegakan lagi, saya dapat mengambil


subjek penelitian di Indonesia tepat di saat Asido sudah selesai menjalankan masa kerjanya dan harus kembali ke Indonesia. Promotor dan kopromotor langsung ditentukan, dan saya mulai menjalankan program PhD secara jarak jauh. Saya melakukan supervisi secara online melalui email dan 1–2 kali setahun datang ke Amsterdam untuk presentasi dan rapat dengan lebih banyak orang. Tentu saja seperti studi doktoral lainnya, perjalanan ini juga tidak mudah. Program jarak jauh mengharuskan saya untuk lebih mandiri dalam mengisi otak saya agar layak memenuhi harapan mereka. Apalagi syarat PhD di kampus saya adalah lima publikasi internasional di jurnal ilmiah peringkat Q1. Apa maksudnya Q1? Itu adalah peringkat tertinggi dari jurnal ilmiah. Saya benarbenar belajar dengan berat agar bisa menulis dengan baik. Maka di akhir tahun 2018, saya menyelesaikan episode kedua perjalanan saya, yaitu dengan mempertahankan disertasi saya yang berjudul “Temporomandibular Disorders and Bruxism in Children and Adolescents�. Ibu,


“Ah, tapi lagi-lagi tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Ini semua hanya karena berkat Tuhan.“ suami, dan anak saya ikut menghadiri promosi doktoral saya yang diadakan di Agnietenkapel, Amsterdam. Saya selalu bermimpi untuk dapat berdiri di podium aula lantai dua gedung ini, dan Tuhan memberikan hadiah itu di tanggal 19 Desember 2018. Ketika menonton kembali rekaman promosi itu, saya tercengang. Saya begitu tenang, sambil tertawa, bahkan dapat melontarkan humor kepada barisan oponen-oponen yang semua mengenakan jubah hitam panjang menyeramkan. Kok bisa? Ah, tapi lagi-lagi tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Ini semua hanya karena berkat Tuhan. Satu hari setelah promosi, Frank— begitu saya memanggil promotor saya— memanggil saya untuk rapat di ruangannya. Sama seperti dulu ketika saya memulai trajectory PhD saya. Kali ini ada seorang staf peneliti lain yang duduk di ruangannya, Ghizlane Aarab. Ternyata kemurahan


Tuhan belum selesai: “Apakah kamu bisa melakukan proyek postdoc dengan membimbing satu mahasiswa PhD?� tanya Frank. Tawaran menjadi kopromotor itu kembali hanya bisa saya tanggapi dengan mengangguk dan bersyukur. Sama persis ketika saya menanggapi tawaran menjadi mahasiswa PhD. Kali ini saya tidak lagi menanyakan siapa saya sehingga saya layak. Karena saya tahu saya tidak layak. Ini semua adalah dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan.


Lily Ekawati

Encounters with Jesus

J

U

D

U

L

B

U

K

U

Encounters With Jesus P

E

N

G

A

R

A

N

G

Timothy Keller P

E

N

E

R

B

I

T

Literatur Perkantas Jatim J

U

M

L

A

H

H

A

188

L

A

M

A

N


Buku ini bercerita tentang perjumpaan Yesus dan percakapan penting dengan beberapa tokoh Alkitab yang pasti namanya tidak asing bagi kita: antara lain Nikodemus, Maria dan Martha, Maria Magdalena, Natanael, pengantin dari Kana, dan juga perempuan Samaria. Terdiri dari sepuluh bab yang disusun dengan menarik, buku ini menceritakan tentang perubahan hidup yang terjadi pada mereka setelah berjumpa dengan Yesus. Cerita tentang kasih karunia dan kuasa-Nya yang mengubah kehidupan mereka tetap relevan dengan kehidupan kita di masa sekarang ini.


Salah satu yang sangat menarik adalah tulisan tentang perbincangan antara Yesus dengan seorang wanita pendosa di tepi sebuah sumur. Pada suatu siang Yesus haus dan tidak bisa mendapatkan air dari sumur karena tidak punya wadah, lalu Ia berkata pada seorang wanita yang datang ke sumur itu, �Berilah Aku minum.� Dari satu kalimat ini muncullah percakapan cukup panjang yang dimuat di kitab Yohanes 4. Sikap Yesus yang radikal dengan memulai percakapan, di suatu masa ketika orang Yahudi dan Samaria adalah musuh bebuyutan, dan rentan skandal ketika seorang pria Yahudi bicara dengan wanita asing mana pun di depan publik. Yesus melewati hampir semua halangan yang dibuat manusia: halangan ras, budaya, gender, dan moral. Dan Ia membuat perempuan itu kagum. Perempuan itu kagum karena meski Yesus terbuka dan hangat terhadapnya, Yesus tetap menegurnya dengan lembut dan elegan, �Jika kamu tahu siapa Aku, kamu pasti akan meminta air kehidupan dari Aku, dan jika kamu minum air itu kamu tidak akan haus lagi.�


Metafora air hidup punya makna lebih dari sekadar air untuk mengobati dahaga fisik, namun sesuatu yang menyelamatkan hidup dan memuaskan dari dalam, kepuasan jiwa yang mendalam yang luar biasa dan tidak tergantung pada apa yang sedang terjadi di luar kita. Akhir dari kisah perempuan itu, ia mengakui pengetahuan dan pemahaman Yesus terhadap kehidupannya kemudian bersaksi pada temantemannya bahwa ia telah menemukan Mesias. Penggalan cerita sebelumnya di Yohanes 3 adalah tentang perjumpaan Yesus dengan Nikodemus, seorang Farisi pemimpin agama yang sangat penting dan tokoh masyarakat. Yesus tidak memulai dengan teguran lembut, namun kalimat yang keras, �Kamu harus dilahirkan kembali.� Mengatakan hal seperti ini kepada orang seperti Nikodemus adalah sesuatu yang luar biasa. Yesus ingin mengatakan bahwa orang luar seperti pelacur di jalan—secara rohani—berada di posisi yang sama dengan Nikodemus, seorang yang penuh dengan pencapaian moral dan rohani. Keduanya samasama terhilang. Keduanya harus memulai dari awal dan dilahirkan kembali, sama-sama berdosa dan butuh kasih karunia. Untuk dapat


dilahirkan kembali bukan hasil kita bekerja keras, atau karena perencanaan kita yang terampil, namun adalah pemberian yang cumacuma. Keselamatan ini melalui kasih karunia dan tidak ada usaha moral apa pun untuk menghasilkannya. Mengapa Nikodemus dianggap orang berdosa yang butuh keselamatan? Karena dosa mencari sesuatu yang lain di luar Allah sebagai keselamatan: mengejar kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Konteks percakapan ini masih relevan dengan kehidupan kita di zaman sekarang. Ketika kita bertanya pada diri sendiri, apa yang benarbenar bisa memberikan kepuasan dalam hidup kita. Harapan yang tertambat pada cinta, karier, politik, atau uang dan apa yang bisa diberikan uang bagi kita. Dan ternyata tidak sedikit orang yang pada akhirnya berhasil menggenggam semua impian itu, menyadari bahwa tetap ada kekosongan dan ketidakpuasan dalam dirinya. Banyak sekali contoh bintang film dan penyanyi terkenal yang bunuh diri, punya segalanya namun tidak bahagia. Setiap orang harus hidup untuk tujuan tertentu, dan Yesus berkata jika bukan Dia tujuan itu, maka kita tidak akan pernah puas. Tujuan itu hanya akan memperbudak serta mendorong kita untuk harus memilikinya atau tidak akan ada masa depan.


Jika ada apa pun yang mengancamnya kita akan menjadi sangat takut, jika ada yang menghalanginya kita menjadi sangat marah, jika kita gagal mencapainya maka kita tidak akan bisa memaafkan diri kita. Jika kita tidak menjadikan Allah sebagai pusat hidup kita, kita sama berdosanya seperti Nikodemus dan perempuan Samaria itu. Kita sedang berpura-pura menjadi juru selamat dan tuan atas diri kita sendiri. Masih banyak pertanyaan dan percakapan penting dalam buku ini yang bisa menjawab pertanyaan serta keraguan kita dalam konteks zaman ini. Selamat membaca dan menikmati jawaban-jawaban yang mengubah hidup kita. ____

Timothy Keller adalah pendeta pendiri Redeemer Presbyterian Church di New York City. Ia telah menolong pendirian gereja baru lebih dari 250 gereja di seluruh dunia. Dia sekaligus juga penulis best seller beberapa buku seperti Counterfeit God, Every Good Endeavor, dan Prayer.

***


Olivia dan Shandy adalah pasangan suami istri yang berprofesi dokter gigi. Keduanya aktif menjalankan pelayanan praktik kedokteran gigi di masa pandemi. Transmisi virus Corona yang sebagian besar melalui droplet saliva membuat Olivia dan Shandy—seperti juga semua dokter gigi—sangat rentan terpapar virus.

Pergumulan

Dokter Gigi

di Masa Pandemi

Maya Marpaung


Bagaimana mereka menjalankan tugas pelayanan sebagai tenaga kesehatan? Berikut kesaksian Olivia: Pada awal merebaknya kasus Covid-19 di Indonesia, kami sempat tidak praktik selama tiga bulan. Ketidakjelasan aturan berpraktik untuk keselamatan pasien dan tenaga kerja di awal masa pandemi membuat kami ragu untuk memulai bekerja kembali. Takut? Lebih tepatnya waswas. Kami tidak bisa seratus persen yakin bahwa pasien yang datang bebas dari virus Corona. Mungkin saja mereka adalah OTG (Orang Tanpa Gejala) yang butuh perawatan kedokteran gigi. Kami hanya bisa mengandalkan screening subjektif dan pemeriksaan suhu pasien, dan berharap semua pasien jujur dalam menjawab pertanyaan screening. Apa yang mendorong kami mulai bekerja? Kebutuhan hidup sehari-hari dan tanggung jawab kepada pasien kami dari sebelum masa pandemi. Pasien-pasien juga tentunya waswas untuk berobat dan bahkan ada yang sampai menahan sakit karena takut berobat. Tugas kami sebagai tenaga medis yang harus menciptakan ruang dan cara kerja yang aman untuk kami dan juga pasien. Kami mulai bekerja karena juga berpikir bahwa virus Corona tidak akan hilang dalam waktu dekat. Vaksin masih dalam proses uji coba akhir, dan belum ada kepastian penanggulangan yang tepat untuk masyarakat luas. Jadi ya we have to deal with this situation that God has given to us.


“Covid ini mengajarkan kita untuk bersiap-siap akan kedatangan Tuhan Yesusyangkeduakalinya;sepertisimulasi. Sama seperti kita tidak tahu kapan dan bagaimanaTuhanYesusdatangkembali, kita juga tidak tahu apakah pasien kita berikutnya membawa virus Corona atau tidak. Jadi kita harus berjaga-jaga.�


Percaya dengan pemeliharaan Tuhan; bahwa jika Tuhan mengizinkan pandemi ini terjadi, maka Ia akan memelihara. Jadi, dengan gentar namun percaya, kami melangkah lagi masuk dalam panggilan ini dengan paradigma dan protokol kerja yang baru. Saya sering berkata dalam hati, “Covid ini mengajarkan kita untuk bersiap-siap akan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya; seperti simulasi. Sama seperti kita tidak tahu kapan dan bagaimana Tuhan Yesus datang kembali, kita juga tidak tahu apakah pasien kita berikutnya membawa virus Corona atau tidak. Jadi kita harus berjaga-jaga.� Dalam hal berjaga-jaga itulah; sesuai dengan protokol keamanan kerja praktik dokter gigi yang dikeluarkan WHO, pemerintah, dan asosiasi kedokteran gigi; kami praktik dengan ‘new normal’. Kami memakai APD level-3, langsung mandi dan keramas setiap selesai praktik, sterilisasi ruang kerja dengan lampu UVC, dan lebih menjaga kesehatan diri sendiri. Namun, bagaimanapun ketatnya kami menjaga diri sebagai dokter gigi kami sadar bahwa profesi kami sangat rentan untuk terpapar virus. Jadi kalau kami bisa lolos dari paparan virus, ini murni adalah anugerah Tuhan semata. Tuhan masih mengasihani kami. Hal lain yang berbeda dari hidup sebelum dan saat pandemi adalah hubungan kami dengan orang tua. Jangan sampai kami menjadi pembawa virus untuk mereka. Oleh karena itu, kami menjaga jarak dengan orang tua, selalu memakai masker ketika berbicara dengan mereka,


juga memisahkan peralatan makan yang dipakai. Repot? Tentu saja. Tapi kami anggap ini adalah risiko pekerjaan dan kami laksanakan dengan sukacita. Hal terakhir adalah harapan kami pada pemerintah Indonesia. Pemerintah harus memperbaiki 3T (Testing, Tracing, dan Treatment). Jangan hanya fokus dengan vaksin namun kecolongan dalam penyebaran virus yang masif ini. Juga, tentu saja, harapan agar masyarakat kita lebih sadar dan mawas diri dalam melaksanakan protokol kesehatan. Sekali kita kendur menjalankan protokol yang ketat, maka meningkatlah kasus baru Covid-19. Semoga melalui masa pandemi ini, kita semua juga belajar hal-hal mendasar: seperti menghargai bumi, tidak mengeksploitasi hasil bumi, dan menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungannya. Virus Corona bukanlah rancangan Tuhan, karena rancangan-Nya adalah baik. Ini adalah ulah dan tanggung jawab kita sebagai penghuni bumi yang sudah diciptakan secara sempurna oleh Tuhan.


Sarah Amanda K. Palilingan

ENGLISH CORNER

Hope & Anxiety Day by day numbers of new cases and deaths by Covid-19 increase drastically. The Corona virus takes lives blindly and continues to do so despite the measures that have been taken to stop it from spreading. A few weeks ago, I came across a video on social media of a girl who shared her experience with Covid-19. Prior to testing positive for corona virus, she has taken precautionary measures such as social distancing, washing her hands for twenty seconds, taking vitamins on daily basis, and anything good you can think of. One day she went out cycling after not going out of the house for a long time and a few days later she was ill and tested positive for Covid-19. The highlight of her sharing was how careful she had been since the start of the pandemic but somehow still got infected. The story triggered me into thinking, “No matter how careful we are, there are many variables in our lives that are simply out of our hands.�


These times of uncertainty have brought us feelings of insecurity, hopelessness, and anxiety. Because when we expect things will soon get better, the morning news proves us wrong. When a lot of us have tried our best to tackle the virus, things got worse and don’t go as planned. Waves of bad news and constant unkempt promises of a cure have left some of us drained and eventually decided to stop looking for a silver lining. At the same time, feeling of isolation starts to emerge within us during quarantine because our source of the outside world is only through our screens. A recent report from CDC shows that symptoms of depression have increased up to thirty one percent and stress-related disorders are up to 16 percent in the United States on June 2020. An article posted by thehill.com on 8th October 2020 titled “The decline of our mental health during this pandemic� explained that while older people and those with life-threatening co morbidities are most at risk by the virus, everyone is at risk from our responses to the virus. Quarantine and social distancing are good responses/solutions to lessen our exposure to the virus. However, at the same time they have come forth with another issue which is the declining of our mental wellbeing. The pandemic has stolen our basic needs to socialize freely and interact with one another.


During quarantine our communications are limited, we can no longer talk face-toface with our colleagues, hug our relatives that we haven’t seen in such a long time, and visit our grandparents as often as before. Looking back to the days before pandemic, we often take things for granted. The days where we go to church with our family friends’ sitting on our left and right listening to the sermon, days where we hang out with our best friends to catch up on life, commuting to work or simply going to school, seem so precious now that they are taken away from us. In John 16: 33 he said, “You will have suffering in this world.” He didn’t say you might—he said it is going to happen. As people, we are inclined to find the logic in our pain and suffering. Because not being able to understand the reason of bad things that occur in our life put us in an uncomfortable and unsecured position. However, it is written in Hebrews 6: 19, we have this hope as an anchor for the soul, firm and secure. The word reminds us that our hope in Jesus is what keeps us going. Anchor is used for keeping the ships at bay and to prevent the ship from drifting away due to the wind or current. “ So do not fear, for I am with you; do not be dismayed for I am your God. I will strengthen you and help you; I will uphold you with my righteous right hand. ” Isaiah 41: 10


The world may continue to crumble, but our hope and faith in God shouldn’t because He is the only one who provides certainty in this ever-changing world. Being hopeful doesn’t mean we’re sure that things will always go right or as planned, but understanding that whatever happens the story isn’t over yet. “ He will wipe away every tear from their eyes, and there will be no more death or mourning or crying or pain, for the former things have passed away. ” Revelation 21: 4 We may not know what will happen tomorrow, next year, or let alone seconds from now! But rest assured that His promises transcend time and space. The God who rescues the Israelites from Egypt is the same God that listens to our prayers every night, the God that parts the Red Sea for the Israelites is the same God that watches over your loved ones battling illness at the ICU, the God that died on the cross and risen is the same God that will come once more to wipe away our suffering, restore mankind, and stay with His children for good. ***


Terima kasih telah membaca

Nafiri Oktober 2020 #DiRumahAja

See you in our next edition!


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.