NAFIRI GKY BSD | DES 2019 | TH16

Page 1


Pembaca Nafiri terkasih, Media sosial (medsos) makin akrab di kehidupan kita sehari-hari. Dan kita tahu kalau medsos adalah pedang bermata dua. Medsos seperti sebuah pasar malam yang mana pembeli dan penjual saling bertemu. Pembeli bisa mendapatkan kebutuhan yang diperlukan. Tetapi, jika tidak waspada; dia juga bisa disesatkan oleh penjual minyak ular, penipu, perayu, dan penyesat lainnya. Yuk jadi lebih bijak dan waspada. Mari simak rubrik “Fokus”. Banyak warga suku Nduga di pegunungan Papua tersingkir dari desa-desanya akibat konflik sporadis yang masih terjadi. Mereka mengungsi bersama anakanaknya agar tidak menjadi korban peluru nyasar. Ikuti kisahnya di “Serpihan Perjalanan” dan jangan lupa mendukung dalam doa agar Tuhan menghadirkan keamanan dan kedamaian di kampung halaman mereka. Jangan lewatkan rubrik “Kesaksian”. Ikuti tuturan Ratna Khouw yang divonis terkena diabetes sejak 23 tahun lalu ketika usianya baru 19 tahun. “Kadang saya berontak dan mikir, ‘Tuhan yang kasih penyakit ini ... kalo Tuhan mau sembuhkan ya sembuhin aja ...’,” ujar Ratna. Hidup dengan diabetes ternyata amat sangat sulit walau senyum tak pernah sirna dari wajahnya. Di rubrik “Shoot Majelis”, Ria Yoe bercerita mengenai tantangan terbesarnya, yaitu proses regenerasi. Sudah saatnya ada regenerasi pelayanan bidang ibadah kepada younger generation. Pengalihan tongkat estafet masih lamban sehingga orangnya ya ‘itu-itu’ juga. “Masih sibuk pelayanan lain” atau “belum berani” adalah alasan utamanya. Ayo dukung Ria dan kawan-kawan .... Jangan ketinggalan komik “Sentilan Si Ucil” dan “Taman Ketawa” yang senantiasa menggelitik hati kita yang sering terlalu serius menjalani kehidupan. Santai dulu dan mari menghibur diri sejenak. Banyak lagi percikan tulisan yang sangat menggugah untuk diteropong agar iman kita semakin dikuatkan. Selamat menikmati sajian kami pada edisi akhir 2019 ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Selamat Natal dan Tahun Baru.

Salam, Redaksi 2

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA

Penasehat Pdt Gabriel Kadarusman Gofar Pembina GI Feri Irawan, M.Div. Majelis sub. bid. Literatur Yahya Soewandono Pemimpin Redaksi Humprey Wakil Pemimpin Redaksi Pingkan I Palilingan Editor Hendro Suwito, Titus Jonathan Proof Reader Yati Alfian Creative Design Arina R Palilingan, Juliani Agus Christina Citrayani, Glory Amadea, Nerissa, Novita C Handoko Illustrator Ricky Pramudita, Thomdean, Shannon Ariella Fotografer Yahya Soewandono Tim Dokumentasi GKY BSD Penulis Anton Utomo, Edna C Pattisina, Elasa Noviani, Feri Irawan, Humprey, Lily Ekawati, Lislianty Lahmudin, Maya Marpaung, Nico T Tjhin, Pingkan I Palilingan, Sarah A Palilingan, Thomdean, Timothy Lie, Titus Jonathan Kontributor Aysha Sukirdjadjaya, Pdt Jadi S. Lima, Liany Suwito Alamat Redaksi Sub bidang literatur GKY BSD Jl. Nusaloka E8/7 BSD Tangerang Telp/ Fax: 021-5382274 Email: nafiri@gkybsd.org

Kirimkan KRITIK, SARAN, SURAT PEMBACA dan ARTIKEL anda ke alamat redaksi ataupun lewat e-mail di atas


Fokus

44 MEDIA SOSIAL:

PEDANG BERMATA

122 English Corner To Hustle or To Serve?

8

ht

Alex nanlohy 4 8 16 54 68 82 90 98 102 116 128 132

The Pastoral Notes Ada “gadget” di antara kita dan Allah Thought pemuridan kaum muda harus let’s go! Capture yongki D. ramlan Potret KOSASIH dan Dian Kesaksian dua puluh tiga tahun Hidup dengan Diabetes Teropong SANG PELINDUNG YESUS KECIL Percikan pria dari gua View Point sudahkah kita merasa cukup? Liputan Khusus Pembajeman GKY Pamulang Perspektif pergeseran Fokus Kita di Era digital Mandarin Corner

真正的圣诞节

e

66

Yongki D Ramlan 66 Quote 2 Zaman Lagu 135 ALL HAIL THE POWER OF JESUS’ NAME! Komik 96 Bang ARIF 97 Sentilan 40 TAMAN KETAWA 108 110 112 114

Event Notes HUT komisi kaleb mission trip: madiun hut komisi wanita sacred rhythm

Shoot Majelis

AndriAni Yuwana

Nafiri DESEMBER 2019

3


Ada di Antara &

4

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ PDT. GABRIEL GOH /

R

iset yang dilakukan oleh Google, Temasek, BVain & Company pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai country with the most engagement mobile internet. Penggunaan mobile internet rata-rata per orang di Indonesia mencapai 4 jam 35 menit. Sedangkan rata-rata di dunia adalah 3 jam 13 menit. Dengan perkembangan zaman ini, medsos (media sosial) sudah menjadi sarana yang sangat digemari dan mendunia dewasa ini. Setiap orang— terutama generasi muda—sudah terpapar bahkan teradiksi terhadap medsos. Gereja perlu menyadari bahwa pengaruh medsos bisa dari dua sisi: positif dan negatif. Dari sisi positif, medsos bisa menjadi sarana yang sangat efektif bagi penginjilan, untuk menjangkau kalangan baby buster dan millennials.

Gereja yang ingin berdampak besar dalam menjangkau mereka harus memanfaatkan sarana ini. Tugas gereja adalah untuk memberikan materi dan pengajaran yang baik: seperti perenungan Alkitab, kutipankutipan dari buku-buku yang mengajar, video-video yang baik; untuk mengimbangi ajaranajaran dari nilai-nilai dunia. Selain itu, kesaksian-kesaksian yang di upload di medsos juga bisa berdampak luas. Banyak orang yang dikuatkan dan diberkati oleh kesaksiankesaksian yang baik: misalnya tentang pertobatan, penginjilan, dan lain-lain. Namun kita juga tetap harus bijak dan berhati-hati dan peka dalam menyajikannya, supaya tidak terlalu tajam atau ofensif terhadap hal-hal yang sensitif di masyarakat.


Kita sebagai pengguna medsos juga harus bisa mengontrol emosi kita. Kadang-kadang kalau kita membaca sesuatu yang jahat, atau yang jelas-jelas penipuan atau sebuah berita yang memfitnah, emosi kita bisa terpancing untuk marah. Dalam keadaan yang seperti itu, kita harus berhati-hati kalau ingin ikut berkomentar. Kita harus minta hikmat Tuhan supaya jangan sembarangan, dan dimampukan untuk menyampaikan komentar dengan bijak. Hal positif lainnya dari medsos adalah: Sekarang ini kita bisa dengan mudah membaca banyak informasi yang dulunya harus membayar mahal untuk mendapatkannya, misalnya buku-buku import berbahasa Inggris yang dijual dengan harga dalam dollar AS, mahal sekali. Namun sekarang banyak buku yang bisa kita download softcopy-nya secara gratis. Banyak link dan aplikasi yang bagus yang bisa membantu kita untuk mengerti firman Tuhan lebih mendalam, sehingga memperkaya pertumbuhan iman kita. Beberapa yang menjadi favorit saya, misalnya: Desiring God, Christianity Today, Abide, Alkitab dengan tafsiran, dan konkordansi. Bahkan ada Alkitab karaoke yang menyajikan Alkitab dalam bentuk audio, hal ini menolong kita untuk mempraktikkan Lectio Divina dimana kita menggunakan indera mata untuk membaca yang tertulis dan telinga untuk mendengarkan. Selain hal-hal yang positif dan bermanfaat, medsos juga banyak memberikan dampak negatif. Banyak orang yang melakukan penipuan melalui medsos. Ada contoh kasus di sebuah gereja yang anggota grup medsos gerejanya di-hack. Kemungkinan hacker-nya juga bagian dari jemaat. Hacker tersebut memakai nama jemaat untuk menipu sesama anggota jemaat, yaitu dengan berpura-pura menjadi salah seorang jemaat dan meminjam uang ke anggota jemaat yang lain, sehingga akhirnya ada beberapa jemaat yang tertipu. Kita juga harus berhati-hati kalau ingin memaparkan informasi mengenai diri sendiri ataupun keluarga kita, sebab mungkin bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin mengincar keluarga kita. Sebaiknya kita juga selektif dalam memilih (add) teman,

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


misalnya dengan membatasi supaya yang bisa melihat profil kita hanya orang-orang yang cukup bisa dipercaya, dan tidak sembarangan. Selain itu juga untuk menyaring berita-berita yang tidak berkenan kepada Tuhan. Biasanya kalau ada teman yang ‘nakal’, maka followers-nya juga condong kepada yang tidak baik. Untuk menjagai anak-anak dari terpapar hal-hal yang kurang baik: misalnya pengajaran yang salah, radikalisme, pornografi, LGBT, dan lain-lain; maka kita harus terus-menerus mengingatkan mereka akan prinsip firman Tuhan:

“… pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” (1 Korintus 15: 33). Ajak anak-anak untuk selalu terbuka terhadap orang tua, waspada, dan hanya mengunjungi link-link yang baik. Seperti hasil riset yang dituliskan di atas, harus disadari bahwa memakai HP dan medsos bisa membuat orang addicted. Oleh karena itu, kita perlu membatasi diri, dan bisa mengontrol waktu supaya tidak terikat. Saya sering sedih kalau sedang beribadah melihat orang yang bermain-main dengan HP-nya—entah itu sedang memakai medsos atau game—hal itu tentu saja merupakan sesuatu yang tidak pantas. Sebab ketika kita menyembah Tuhan, kita harus menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4: 23). Worship is all about Him. Jadi fokus kita adalah Allah, oleh sebab itu, tidaklah pantas apabila ada sesuatu yang lain di antara kita dengan Tuhan, termasuk gadget kita yang merampas konsentrasi kita. Saya berharap seluruh jemaat GKY BSD semakin menyadari untuk dapat menggunakan gadget untuk hal-hal yang berkenan kepada Tuhan.

Selamat Natal *) Dituliskan oleh Elasa Noviani


Alex Nanlohy:

Pemuridan Untuk Kaum Muda Harus ‘Let’s Go!’ MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ MAYA MARPAUNG /

Alexander Agust Elias Nanlohy, yang lebih dikenal dengan nama Alex Nanlohy, adalah seorang pelayan Tuhan yang sudah lama bergabung dan melayani bersama Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas). Pria kelahiran Makassar awal 1974 ini dikenal oleh sobat-sobat dan adik-adik yang dia layani sebagai seorang yang punya semangat luar biasa dalam pelayanan, khususnya di antara generasi muda. Setelah lulus SMA di Makassar pada 1992, Alex kuliah di FISIP-UI di Jakarta. Semasa kuliah, dia bergabung dan aktif dalam persekutuan mahasiswa dan dipercaya sebagai koordinator (1995-1996). Pada saat yang sama, dia juga mulai aktif dalam tim untuk membimbing kehidupan dan spiritualitas siswa untuk wilayah Jakarta Pusat dan Timur. Alex selalu penuh dengan enerji. Semangatnya dalam pelayanan persekutuan di kampus dan di antara para siswa sangat luar biasa. Itulah sebabnya, teman-teman dan adik-adik yang dia dampingi sampai memberikan julukan: ‘Ayam jago dari Timur’ sebagai apresiasi atas perjuangannya yang tak kenal lelah. Setelah lulus pada 1997 dan sempat sebentar kerja kantoran, maka pada awal 1998 Alex bergabung sebagai staf Perkantas. Dia diterjunkan dalam pelayanan bagi mahasiswa dan siswa yang dia jalani hingga kini. Pelayanan bagi siswa SMA adalah passion utama Alex yang pada 2005 meraih gelar MA di bidang misiologi dari Redcliffe College di Inggris. Nafiri DESEMBER 2019

9


Alex Nanlohy ditahbiskan sebagai pendeta oleh Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia pada September 2019. Suami Fransisca Debby Pandegirot ini hingga sekarang menjadi salah satu pengurus Perkantas Nasional. Saya pribadi mengenal ‘Bang Alex’ dan pelayanannya yang luar biasa ketika saya bergabung dalam persekutuan Perkantas saat masih kuliah di UI. Itulah sebabnya, saya sangat senang ketika diminta Tim Redaksi ‘Nafiri’ untuk mewawancarai Bang Alex. Perbincangan pun akhirnya tidak lari jauh dari passion dan fokus pelayanannya: Pemuridan untuk kaum muda.

Nafiri (NF): Kapan Bang Alex memutuskan untuk menjadi Hamba Tuhan full-time? Alex Nanlohy (AN): Masuk sebagai staf (Perkantas) itu pada 1998. Setelah selesai menjadi Koordinator di Persekutuan Mahasiswa Kristen di FISIP UI dan lulus kuliah, saya sempat kerja di bank selama enam bulan. Namun panggilan menjadi Hamba Tuhan sangat kuat dan akhirnya membawa saya ke Perkantas sebagai seorang staf. NF: Kenapa menjadi staf Perkantas yang berkonsentrasi di pelayanan siswa SMA? AN: Saya bertobat ketika di SMA dan bertumbuh di kelompok kecil sewaktu di SMAN 1 Makassar. Jadi in a way saya merasa berhutang nyawa dengan pelayanan siswa. Pas sekali ketika masa-masa akhir kuliah, sedang ada perintisan pelayanan siswa di Depok. Jadi saya bantu di sana. Tapi pada awal pelayanan di Perkantas, saya ditempatkan sebagai staf untuk pelayanan bagi mahasiswa selama empat tahun. Baru pada 2002, saya ditempatkan sebagai Koordinator Pelayanan Siswa di Jakarta, dan hingga sekarang terus melayani di Perkantas Nasional. NF: Apakah ada perbedaan karakter dari siswa di 1998 dengan siswa saat ini? Dan apa perbedaan yang paling menonjol? 10

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


AN: Ya pasti ada. Setiap generasi pasti punya karakter yang berbeda. Siswa saat ini punya potensi yang besar sekali, tapi pada saat yang sama juga banyak kerapuhan yang mereka miliki. Mereka hidup dalam banyak kenyamanan dan kemudahan, namun banyak saya temukan siswa tersebut juga mudah menyerah, kecewa, dan putus asa. NF: Banyak yang bilang, bahwa anak sekarang kurang tangguh, kurang berani ‘membayar harga’ dalam pelayanan. Apa benar begitu? AN: Ya dari dulu juga ada, tapi memang sekarang lebih terlihat dan banyak. Namun pada saat yang sama, potensi yang ada juga sangat meningkat. NF: Apakah perubahan karakter pada generasi muda yang ada ini ikut mengubah pendekatan yang dilakukan di pelayanan siswa dan mahasiswa (oleh Perkantas)? AN: Pasti, pendekatan yang kami lakukan berbeda. Kalau bicara pendekatan, biasanya kita langsung lari ke metode. Kami pernah, setelah evaluasi, mengubah metode yang lebih up-to-date. Namun ternyata ini bukan hanya masalah metode baru. Kami melihat yang sebenarnya harus disegarkan dari orang-orang yang melayani kaum muda adalah attitude. Tanpa attitude yang benar, percuma menelurkan metode-metode kreatif untuk kaum muda. Nafiri DESEMBER 2019

11


NF: Bisa dijabarkan lebih jauh tentang attitude yang benar dari pelayan bagi kaum muda? AN: Ya, Tuhan Yesus sebenarnya sudah jelas memberikan gambaran tentang attitude pelayan. Kami waktu itu melakukan Pemahaman Alkitab dari Lukas 24 tentang perjalanan Tuhan Yesus dengan dua murid ke Emmaus. Bagaimana Tuhan Yesus tertarik dengan percakapan murid, dan Tuhan datang dan masuk ke dalam percakapan mereka. Dia mendengar, walaupun Dia Maha Tahu. Dan Tuhan juga tetap bertanya pada murid itu, “Apa sih yang kamu bicarakan?� Berdasar teladan ini, kami akhirnya merumuskan secara nasional tentang attitude apa yang harus ada dalam diri orang yang melayani kaum muda. Rumusan ini kami singkat dengan istilah: LET’S GO (Listening, Engaged, Trustworthy, Selfless, Genuine, Obedient). NF: Jadi apakah kita tidak usah mengubah metode? AN: Kita harus mengubah attitude kita dulu, baru kita bicara metode. Dengan kita melakukan LET’S GO, kita akan dapat membangun relasi yang baik dengan kaum muda. Dan dengan lebih mengenal, maka kita akan dapat merumuskan metode yang lebih tepat. Kita seringkali memberikan label pada generasi post-modern ini dengan tidak/ kurang komitmen, tidak (mau) bayar harga, dan lain sebagainya. Nah kalau kita sudah memandang negatif pada generasi ini, kita tidak akan bisa melayani mereka. Mereka itu anak kita sendiri. Apakah kita 12

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


sudah mencoba mendengarkan mereka? Dan masuk, engage, pada dunia mereka? NF: Apa sih yang mereka rasakan tentang generasi sebelum mereka? AN: Ya, ketika kami teliti secara mendalam, mereka (generasi muda) katakan, bahwa mereka kehilangan keteladanan dari generasi sebelumnya. Misalnya, mereka lihat papa-mama mereka ke gereja, tapi tidak hidup dalam integritas sebagai seorang Kristen. Hidupnya tidak bisa jadi teladan buat anak-anaknya. Jadi mereka butuh orang yang dapat mereka percaya, yang berintegritas baik: Trustworthy. NF: Dengan berubahnya gaya pengajaran di sekolah yang berbasis kompetensi, anak aktif, apakah itu juga berpengaruh pada pelayanan gereja/parachurch bagi generasi muda? AN: Bayangkan saja bagaimana anak yang sudah terbiasa mandiri, yang dilatih untuk terus berpendapat, yang aktif, kemudian harus mendengarkan ibadah persekutuan yang polanya hanya satu arah? Mereka harus dilibatkan; kalau tidak ya mereka akan mencari cara untuk aktif sendiri, seperti membuka gadget dan asyik di dunia mereka sendiri. Jadi tidak bisa persekutuan itu hanya rely on ibadah Jumat di sekolah/kampus. Kami di Perkantas juga mengevaluasi bahan PA kami, yang cenderung berpusat pada pemimpin PA dan kurang melibatkan anggota kelompok secara aktif. Nafiri DESEMBER 2019

13


NF: Apa lagi karakter anak muda yang sangat kental yang Bang Alex temukan di pelayanan selama ini? AN: Anak muda ini senang didengarkan, dilibatkan, diajak kolaborasi, sharing. Makanya kenapa Instagram sangat diminati? Di IG ada fiturfitur yang tidak dimiliki gereja. Ada ““Ask me a question”, lalu mereka bisa “Share stories”. Ini yang mereka bilang tidak mereka dapatkan di keluarga dan gereja. Masalah inter-generational gap ini memang adalah masalah besar dan penting untuk ditangani. Ini termasuk masalah yang tingkat urgensinya tertinggi dalam pelayanan generasi muda di Asia. Satu buku yang sedang kami garap terjemahannya adalah ‘Passion Generation yang ditulis adalah pendeta injili usia milenial. Buku itu intinya adalah ingin memperkecil inter-generational gap. Tesisnya sangat menarik: The church does not have a millenial problem, but the church has discipleship problem. Memang benar, karena nanti ada lagi label-label lain. Anakmu mungkin generasi alpha, dan lain sebagainya. Kita harus berhenti melabelkan orang, dan mulai memberi waktu, tenaga, hati, dan hidup kita untuk memuridkan. Buku itu seperti berkata: Please, older generation, disciple the young generation; and young generation, please actively search for your mentors. 14

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


NF: Sebenarnya, yang paling efektif juga adalah orang tua yang memuridkan anak-Nya dong ya? AN: (tersenyum) Ya, itu harus ditulis. Itu sangat penting. Pemuridan itu harus aktif dikerjakan dari awal. Remaja harus benar-benar diperhatikan. Komunikasi antar kelompok gereja harus dibenahi. Pembimbing remaja juga harus memiliki komunikasi yang baik dengan para orang tua, menjadi partner untuk memuridkan anakanak. Ini perlu, karena jangan salah, anak-anak juga melabelkan orang tua mereka: Generasi tua, tidak mengerti jaman, dan lain-lain. Nah ini bisa dijembatani oleh mentor yang melayani remaja, menjadi koko dan cici buat mereka. Jadi kita sama-sama mengisi gudang moral anak-anak ini.

Jakarta - BSD over Skype, 11 November 2019 Nafiri DESEMBER 2019

15


/ TITUS JONATHAN /

Yongki D. Ramlan:

Mencintai Tuhan dengan Musik yang Indah 16

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Nama Yongki Ramlan sebagai musisi cukup populer di era 1980-an, tetapi sekitar dua dekade setelahnya namanya tiba-tiba menghilang pelan-pelan. Di manakah dia? Jika kita tanya Google dengan keyword “Yongki Ramlan”, justru yang muncul adalah deretan situs tentang Lydia Nursaid, sang istri. Dan kalau kita klik situs-situs tersebut, barulah muncul kisah Yongki yang diceritakan oleh istrinya. Yongki Ramlan seolah bersembunyi, jauh dari hiruk pikuk. Namun, baru-baru ini Nafiri menemukannya di sebuah dunia yang sunyi, dan berkesempatan berbincang-bincang walau terpisah jarak yang jauh. Seperti yang diceritakannya kepada Nafiri, Yongki terlahir bukan dari keluarga Kristen. Orang tuanya memeluk Buddha. Tetapi untunglah, orang tua Yongki yang menyayanginya mengirim Yongki untuk bersekolah sejak TK di BPK Penabur, sebuah sekolah Kristen di Tasikmalaya, kota kelahirannya. Dari ruang kelas di sana, Yongki dididik dan diajar nilai-nilai kekristenan. Sekolah ini mendorong dan membimbing murid-murid untuk mengikuti sekolah minggu di gereja. Melalui sekolah minggu itulah Yongki mengenal Kristus. “Seingat saya, cerita-cerita Alkitab ketika itu membuat saya mulai percaya pada Yesus meskipun kepercayaan itu masih sebatas nalar seorang anak kecil. Namun hal itu sangat membekas dalam hati saya,” ujarnya. Betapa sederhananya cara Tuhan memanggil dan menangkap seseorang. Cerita Alkitab yang disampaikan oleh guru-guru sekolah minggunya membuat Yongki jatuh cinta dan mengagumi Tuhan Yesus. Benih iman yang tertabur di hatinya tumbuh dan berkembang, hingga pada suatu waktu ia begitu mantap dan yakin akan keselamatan yang dijanjikan oleh Yesus Kristus atas hidupnya. Ia menjadi pengikut Kristus. Darah Seni, Talenta Musik Sejak kecil Yongki sudah memainkan alat musik, tetapi secara sembunyi-sembunyi karena takut kepada ayahnya. Walaupun ayahnya sendiri adalah pemain musik, ayahnya melarang Yongki untuk bersentuhan dengan musik karena khawatir studinya terganggu. Tetapi darah seni yang mengalir di dalam diri Yongki tak mampu menghalanginya untuk terus belajar memainkan musik. Hingga akhirnya, pada usianya yang keenam belas tahun, Yongki mendapat ‘restu’ dari ayahnya untuk menekuni musik.

Nafiri DESEMBER 2019

17


Restu itu diberikan sesaat sebelum ayahnya meninggal dunia. “Setelah kejadian itu saya sangat menghargai dan tidak menyianyiakan kesempatan untuk serius belajar tentang musik sebagai talenta yang Tuhan izinkan mengalir dalam darah saya,� kata Yongki. Karir sebagai musisi itu di kemudian hari mengantarnya untuk berkenalan dengan Lydia Nursaid, seorang penyanyi pop yang kemudian dinikahinya. Kepada Nafiri Yongki mengisahkan, “Kami bertemu ketika sama-sama bekerja sebagai pekerja seni (musik) di salah satu pub di Jakarta sekitar awal tahun delapan puluhan. Pertemanan itu akhirnya berlanjut kepada hubungan yang lebih serius, namun terhalang oleh masalah agama karena istri saya pada waktu itu memeluk Islam. Melewati pergumulan yang cukup panjang dan tidak mudah akhirnya kami menikah setelah istri saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya secara pribadi.� Yongki yang dikaruniai tiga anak perempuan dari pernikahannya dengan Lydia bertumbuh semakin matang dalam iman dan pengenalannya kepada Kristus. Sehari-hari; ia masih tetap menjalankan aktivitas sebagai pemusik, baik sebagai arranger, programmer, gitaris dalam grup band maupun gitaris solo. Ia banyak terlibat dalam pelayanan musik di gereja dan selalu setia melayani bersama-sama istrinya itu ke mana pun.

Yongki Ramlan dan Keluarga

18

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Jika bermusik untuk mendukung profesinya saja ia tekuni dengan sungguhsungguh, ia berprinsip bahwa bermusik untuk melayani Tuhan harus lebih lagi. Selain disebabkan adanya kerinduan untuk mengungkapkan syukur kepada Tuhan melalui talenta musik yang sudah Tuhan berikan kepadanya, ia meyakini bahwa pelayanan musik dalam suatu gereja sangatlah penting dalam ibadah. Yongki mengatakan, “Tidak ada alasan bagi kita untuk menyepelekan atau main-main dalam menyuguhkan pujian atau musik dalam gereja. Seperti kita tahu, musik tak dapat dipisahkan dengan liturgi denominasi gereja apa pun di dunia ini.” Yongki juga menjelaskan bahwa musik, seperti ditekankan dalam firman Tuhan, merupakan mazmur pujian yang menjadi ‘alat’ bagi kita untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah di dalam Kristus; rasa syukur karena perbuatanNya yang baik telah membawa kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. “Sebagai musisi, saya memotivasi para pelayan ibadah, juga anak-anak muda, khususnya yang mau dan

sudah melayani musik di gereja agar memainkan musik tidak secara asal-asalan, apalagi untuk Tuhan. Semua pelayan Tuhan harus serius belajar dan bermain musik dengan benar. Selain itu, peralatan musik pun juga harus yang baik, para pelayan musik dan pujian pun seharusnya dipilih orang-orang yang terbaik, dan mau mempersiapkan diri dengan baik, mengingat musik gereja sebagai korban syukur bagi Tuhan Yesus yang telah memberikan yang terbaik bagi kita.” katanya. Bagi Yongki, ada sesuatu yang berbeda dari musik gereja (lagu-lagu rohani Kristen) dibandingkan musik di luar gereja.

Nafiri DESEMBER 2019

19


Disamping konten lirik yang menunjukkan bahwa sebuah lagu adalah lagu pujian, peranan orang yang menyajikannya pun bisa membuat sebuah musik gereja menjadi lebih bermakna dan mempunyai kuasa sehingga dampak terhadap orang yang mendengar pun sangat berbeda dengan musik lain. Sayangnya, menurut Yongki, sekarang ini industri musik gereja dan juga musik di Indonesia pada umumnya sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan dekade sembilan puluhan sampai awal tahun dua ribuan. Tidak dapat dipungkiri begitu banyak produsen musik rohani maupun sekuler yang ‘gulung tikar’, dan terjadi seleksi alam. “Namun sebenarnya kondisi ini bukan merupakan alasan untuk mengurangi kesempatan anak-anak Tuhan dalam mendengarkan pujian, sebab lewat media yang sudah semakin modern nyatanya semakin memudahkan anak-anak Tuhan untuk mengakses lagulagu gerejawi dengan cara membeli lewat media online atau mendengarkan langsung melalui cara-cara lainnya seperti siaran radio Kristen, aplikasi musik, YouTube, dan lain-lain,” katanya. Yongki meyakini bahwa musik dan pujian atau penyembahan kepada Tuhan adalah salah satu cara bagi kita untuk mengucap syukur kepada Tuhan, terlepas apa pun jenis musik dan lagunya. Akan halnya lagu-lagu himne,Yongki begitu mengaguminya. “Meskipun merupakan produk zaman dahulu namun lagu-lagu himne memiliki nilai tersendiri, disamping harmoni yang disuguhkan begitu kaya dan tidak sembarangan, demikian juga jika dilihat dari latar belakang penulisannya lebih banyak merupakan pengalaman pribadi sang penulis dalam hubungannya dengan Tuhan. Disamping itu lirik dari lagu-lagu himne ini memiliki kandungan nilai teologis yang tidak perlu diragukan lagi, paling tidak zaman telah menguji dan membuktikannya bahwa lagu himne memiliki nilai keabadian,” pujinya.

20

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Melompat jauh ke masa kini, Yongki mengatakan bahwa lagu-lagu kontemporer zaman sekarang pun sebenarnya cukup banyak yang bermutu. Namun demikian tak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit dari lagu-lagu ini lebih mempertimbangkan nilai komersialnya, mengingat musik kontemporer tidak bisa dilepaskan dari industri musik. “Banyak penulis lagu rohani kontemporer yang juga berangkat dari motivasi yang komersial. Disamping itu kenyataannya banyak penulisan lirik lagu rohani kontemporer yang tidak didukung oleh pengertian yang benar secara teologis, dan juga pengetahuan musik yang belum mumpuni dan masih terbatas,� katanya.

Keluarga yang Cinta Musik, Cinta Tuhan Yongki dan Lydia mendidik ketiga anak perempuan mereka untuk selalu hidup takut akan Tuhan dan selalu mengandalkan Tuhan dalam semua aspek. Bagi Yongki dan Lydia, kepercayaan, keterbukaan dan terutama kasih sayang yang tulus di antara anggota keluarga harus menjadi prioritas. “Kami tidak pernah tabu dengan konflik yang bisa saja terjadi dalam keluarga, tetapi selama ada kasih di dalam keluarga, semua itu bagi kami justru menjadi perekat karena kami menjadi

Nafiri DESEMBER 2019

21


semakin mengerti kepribadian masing-masing anggota keluarga yang adakalanya berbeda satu sama lain,� kata Yongki. Yongki dan Lydia tidak pernah lupa ketika dalam suatu peristiwa, anak bungsu mereka menderita penyakit lupus, tetapi atas kemurahan Tuhan anak mereka disembuhkan total. Ketiganya—Atalya Hana Christina Ramlan, Alvinna Gracia Christina Ramlan, Almeida Kezia Christina Ramlan—semuanya kini sudah berkeluarga dan mandiri. Tetapi mereka selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi paling tidak melalui alat-alat teknologi. Ketika ditanya kesannya tentang Natal, Yongki yang sekarang menjadi seorang penginjil, mengatakan kesan mendalam tentang Natal justru paling dia rasakan di masa kanak-kanak ketika pertama kalinya mengenal Yesus sebagai Juru Selamat di sekolah minggu. Meskipun waktu itu ia belum mengerti makna Natal secara teologis, namun kesan yang dihasilkan dari kidung-kidung Natal lengkap dengan drama kelahiran bayi Yesus sangat membekas di dalam hatinya sebagai anak kecil. 22

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Saya akan tetap setia melaksanakan Amanat Agung Tuhan kita Yesus Kristus dan hidup selalu menjadi berkat dan memuliakan nama Tuhan

Melaksanakan Amanat Agung Sekarang Yongki dan Lydia aktif dalam pelayanan yang lebih bersifat interdenominasi yang meliputi pelayanan mimbar, music ministry maupun penginjilan ke luar daerah. “Kami tidak secara langsung diutus oleh sebuah institusi gereja, meskipun secara resmi saya berstatus sebagai utusan Injil dari sebuah gereja Indonesia beraliran Injili yang sinodenya berkedudukan di Amerika Serikat,” Yongki menjelaskan pelayanannya. “Saya akan tetap setia melaksanakan Amanat Agung Tuhan kita Yesus Kristus dan hidup selalu menjadi berkat dan memuliakan nama Tuhan. Soli Deo gloria,” katanya menutup wawancara. Semoga Yongki dan Lydia terus dipakai oleh Tuhan sebagai alat-Nya untuk mengabarkan Injil dan memenangkan banyak orang bagi Kerajaan Surga. *** Nafiri DESEMBER 2019

23


Ketika Ada

Tubuh Kristus

tersakiti 24

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ Edna C. Pattisina /

Suatu sore, saya bercerita pada seorang teman tentang perjalanan saya ke Nduga, Papua, akhir bulan Agustus 2019. Saya bercerita suku Nduga hampir seratus persen beragama Kristen. Mereka tersingkir dari desa-desanya. Banyak yang mati karena kena peluru nyasar. Yang mengejutkan dan membuat saya marah, cerita itu dijadikan bahan candaan olehnya. “Jadi kamu ikut nembak-nembakin …?” katanya merasa lucu. Luar biasa. Urusan nyawa, sesama tubuh Kristus dijadikan bahan bercanda. Saya jadi khawatir, ada banyak orang Kristen yang seperti dia. Oleh karena itu, saya menulis artikel ini agar kita tahu, orang-orang Nduga yang hitam dan keriting dan tidak pernah kita lihat itu adalah bagian dari tubuh yang sama, yaitu tubuh Kristus. Salah satu bagian tersakiti, semua ikut merasakan. Dalam 1 Korintus 12: 12 disebutkan, “Tubuh itu satu dan anggotaanggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.” Nafiri DESEMBER 2019

25


Sebuah Awal Perjalanan ke Nduga selama seminggu lebih di akhir Agustus– awal September adalah perjalanan saya paling penting tahun 2019. Cerita tentang orang-orang Nduga yang mengungsi berawal dari insiden saat Organisasi Papua Merdeka (OPM) menembak dua belas karyawan PT Istaka Karya yang sedang membangun jalan. Gara-gara itu, aparat lalu ditugaskan memburu OPM. Dalam keadaan ini, masyarakat lari mengungsi. Mereka harus melewati sungai, gunung, dan hutan, berjalan dengan kaki telanjang. Bayi-bayi dimasukkan ke dalam noken— tas tradisional berbentuk seperti jala terbuat dari tali atau akar pohon—lalu dikerek dengan tali melewati sungai yang lebarnya lebih dari dua puluh meter. Tidak jarang mereka harus melewati tebing-tebing batu Pegunungan Jayawijaya yang puncaknya ada salju abadi, sehingga terbayang betapa dinginnya. Ibu-ibu hamil berjalan perlahan, banyak yang meninggal di perjalanan—di antaranya karena melahirkan. Lansia-lansia yang masih bisa berjalan digendong. Yang sudah tidak mampu, ditinggal di rumah. Entah bagaimana nasibnya. Itu belum kalau mereka kelaparan. Ubi-ubi di hutan tidak bisa memberi makan terus-menerus ribuan orang. Kalau berjalan sendiri, bisa sial karena jika bertemu aparat dikira OPM, bertemu OPM dikira mata-mata aparat. Para pengungsi lari pontang-panting, tidak membawa apa-apa dari rumah. Banyak yang tewas karena kelaparan, kedinginan, dan sakit di perjalanan. Awalnya saya hanya mendengar cerita-cerita ini. Lalu timbul keinginan untuk melihat sendiri. Akan tetapi, masuk ke Nduga itu sulit. Pertama, soal biaya. Pesawat pulang pergi Jakarta-TimikaNduga-Timika-Jakarta jauh lebih mahal dari pesawat JakartaAmsterdam pp. Jadwal pesawat tidak pasti karena penerbangan 26

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Timika-Nduga tergantung cuaca. Kedua, urusan keamanan. Asisten bupati Nduga yang saya kontak serta-merta menolak. “Maaf, kami tidak berani menjamin keselamatan Mbak. Bisa ada pihak-pihak yang kami pun tidak tahu memanfaatkan, terus terjadi apa-apa dengan Mbak. Kondisi jadi lebih parah,� katanya. Di tengah pikiran itu, saya diajak teman makan. Ia mengajak salah seorang teman lain, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) khusus Papua. Spontan saya bercerita saya ingin ke Nduga. Tapi mungkin nanti. Masalahnya, kaki saya baru saja dioperasi. Jalan pun masih pincang dan pelan-pelan. Makanya saya pun menolak untuk berangkat ke Papua minggu depannya bersama dia. Tapi kami lalu saling bertukar kontak. Dan dalam beberapa hari, tanpa direncanakan saya bertemu dengan beberapa orang Nduga. Semua menceritakan keadaan pengungsian yang tidak ditangani. Usai bertemu mereka, saya nongkrong di tempat favorit saya di Plaza Senayan. Saat itu, semua terasa hambar. Perjalanan Di luar dugaan, kantor menugaskan saya untuk meliput ke Nduga. Saya bersedia, asalkan saya mendapatkan orang untuk membawa saya ke sana. Kebetulan, teman saya, dosen di Universitas Kristen Indonesia Antie Solaiman punya sahabat di Nduga. Namanya, Diaz Gwijangge. Kami sepakat untuk bertemu di Timika, sebelum mencari tiket pesawat berbaling-baling satu ke Nduga. Satu hal yang kami waspadai, tidak banyak orang yang boleh mengetahui identitas saya sebagai wartawan. Banyak orang yang tidak ingin ada wartawan masuk ke Nduga dan bertemu dengan masyarakat yang mengungsi. Saya pun mengganti telepon genggam, meninggalkan laptop, mengganti sepatu dengan sandal, Nafiri DESEMBER 2019

27


mengganti celana jins dengan kulot, mengganti ransel dengan tas besar emak-emak, dan membeli baju-baju yang lebih sederhana. Satu lagi. Tas saya berisi baju dan Alkitab serta beberapa buku bacaan Kristen. Bukannya saya alim. Tapi itu demi penyamaran sebagai perwakilan gereja. Perjalanan cukup lancar, dan berkat saudara Pak Diaz yang mau merelakan tiketnya untuk saya pakai, kami bisa terbang keesokan harinya. Mendarat di Nduga, dua kejutan menunggu. Ternyata, di Nduga tidak ada bandara. Jadi dari pesawat langsung turun, lima langkah kemudian sudah di jalan raya utama kota. Walau barangbarang kali ini tidak digeledah seperti biasa, enam polisi Brimob dengan senjata laras panjang siaga di tepi-tepi landasan. Saya baru ingat, tahun lalu pesawat dengan baling-baling satu ditembak OPM saat mau mendarat di Nduga. Kami langsung ke hotel. Jangan bayangkan hotel itu gedung. Hotel adalah rumah biasa yang kamarnya disewakan. Tapi buat saya sudah lebih dari cukup. Apalagi, hotel itu ada generator

28

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


sehingga tidak seperti masyarakat lain yang harus mati listrik mulai pukul dua belas malam sampai enam sore. Ada juga yang aneh di Nduga. Jalan utamanya aspal sangat lebar, bisa dua belas meter. Tapi, hampir semua orang berjalan kaki. Para Pengungsi Keesokan harinya saya bertemu pengungsi-pengungsi. Sulit mendeteksi keberadaan mereka kalau kita tidak sampai masuk ke rumah-rumah penduduk karena mereka kini hidup menumpang. Ariknap Wandigbo mengisahkan perjalanannya selama tiga hari tiga malam dari Mapenduma, Nduga, Papua, ke Kenyam, ibu kota Nduga. Selama tiga hari, ia memeluk anaknya yang paling kecil. Mereka melewati gunung, hutan, dan tiga sungai besar: yaitu

Nafiri DESEMBER 2019

29


Yuguru, Lowe, dan Kenyam.”Anak-anak yang bayi dimasukkan ke besar,” cerita Ariknap. Ariknap meninggalkan rumah dan tabungan dua belas ekor babi miliknya di Mapenduma, saat mendengar kabar bahwa Pendeta Geyimin Nirigi dibunuh pada 4 Desember 2018. Pendeta Geyimin Nigiri adalah tokoh penting karena dia yang menerjemahkan Alkitab ke bahasa Nduga.”Kami punya hamba Tuhan saja dibunuh, apalagi kami masyarakat biasa,” ujarnya. Pendeta Saul Kogeya (61), yang strok beberapa tahun lalu, digendong anaknya berjalan kaki dari Yigi ke Mbua, lebih dari tiga hari tiga malam. Ia melihat, ada masyarakat yang tertembak saat keluar

30

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


dari honai. Pendeta Sampa Ondigbo menuturkan, ada sepuluh orang lanjut usia yang ditinggalkan di kampungnya pada Januari lalu. Ia tidak tahu bagaimana kini nasib mereka karena beberapa orang hanya bisa berbaring. Sesampai di Kenyam, Saul dan keluarganya menjebol salah satu rumah pegawai Pemda yang tidak terpakai. Ia tidak berbekal apa pun. Saat ini, mereka makan dari menanam pisang dan ubi di sekitar rumah itu. Sementara itu, babinya yang berjumlah sebelas ekor di Yigi tentu sudah hilang ke hutan. Padahal, babi adalah mata uang bagi masyarakat. Seekor babi kecil dihargai Rp5 juta. Sementara yang sudah keluar taringnya bisa dijual Rp20 juta–Rp30 juta tiap ekor. Sampa dan rombongannya kini tinggal menumpang di rumah keluarga mereka di Kenyam. Ia bercerita, gagal bertemu Bupati Nduga setelah menunggu dua hari di rumah Bupati. Sampa pun hanya bisa mengharapkan bantuan dari keluarga yang ia tumpangi. Di rumah yang saat ini ia tempati, ada tujuh keluarga. �Masih banyak juga yang di hutan, tidak tahu bagaimana nasibnya. Bapak Presiden, tolonglah dengarkan kami. Kami hanya ingin pulang,� katanya. Anak-anak pengungsi kehilangan kesempatan sekolah. Beberapa masih berusaha untuk menitipkan anaknya di SD di Kenyam. Kris, kepala sekolah di Mbua, mengatakan, dari seratus empat muridnya, yang kini berada di Kenyam hanya sebelas orang. Sementara Pater John Jonga, pastor gereja Katolik di Wamena, Papua mengatakan, ada sekitar delapan ratus anak usia sekolah yang nasibnya terkatung-katung di pengungsian di Wamena.

Nafiri DE

019

31


Tubuh Kristus Bertemu dengan pengungsi tidak selalu mudah. Aparat ada di mana-mana. Orang Nduga juga tidak serta-merta percaya pada orang luar. Sebagaimana orang Papua yang lain, orang Nduga kritis dan egaliter. Semua orang boleh mengemukakan pendapatnya. Saat saya masuk gereja hari Minggu saja, berebutan orang maju terus terang. Saat seorang pemudi bercerita tentang kakaknya yang bayinya meninggal dalam kandungan, air matanya menetes tapi ia bersaksi kalau Tuhan menguatkan keluarganya. Mereka bernyanyi dengan bersemangat dengan liturgi yang sama dengan gereja-gereja lain di Indonesia. Lagu-lagunya pun sama. Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia, kecuali pada saat khotbah. Alkitab yang digunakan sama persis, bahkan Alkitab Nduga lebih menarik dengan gambar-gambar. Yang seru, saat 32

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


persembahan, kantong persembahan bentuknya tas noken besar. y

g

g

y

seperti ubi, ketela, buah, sampai biskuit Roma dan susu. Kita tidak sadar, banyak juga bagian dari tubuh Kristus yang lebih tersakiti. Pengertian tubuh Kristus adalah lahir dari Allah yang sama (Yohanes 1: 12–13), dibeli dengan harga yang sama (I Korintus 6: 20), tubuh yang sama (Roma 12: 5), ahli waris atas warisan yang sama (Roma 8: 17), dan bersaudara (Matius 23: 8). Sudah menjadi rahasia umum kalau di Papua begitu banyak konflik. Sudah beberapa generasi tewas sia-sia. Orang Papua tidak diberi ruang hidup yang cukup. Sakit yang mereka rasakan seharusnya menjadi sakit yang kita rasakan. Tidak cukup hanya dengan doa, bantuan nyata juga dibutuhkan terutama untuk masa depan anak-anak Nduga. ***

Nafiri DESEMBER 2019

33


Gereja dan Wabah Akun Satire di Medsos

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ NICO TANLES TJHIN /

Belakangan ini semakin banyak akun satire gereja di media sosial bermunculan. Bisa coba lihat akun Instagram @gerejapalsu, @jemaat_gerejapalsu, @pastorinstyle, dan banyak lainnya. Posting-an mereka mengundang berbagai macam pemikiran, celetukan, dan humor di dunia maya; sampai-sampai saya dan teman-teman di gereja sering menjadikannya topik pembicaraan yang sangat sering saking serunya.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “satireâ€? /sa¡ti¡re/ n. memiliki arti 1. gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang; 2. sindiran atau ejekan. Satire ini hanyalah salah satu majas yang digunakan untuk menyindir, bukan satu-satunya. Biasanya kita juga sering menggunakan juga majas ironi, sinisme, innuendo, serta sarkasme untuk menyindir suatu keadaan atau seseorang. Penggunaan majas satire mirip dengan sarkasme, namun yang membedakan adalah satire cenderung menggunakan ungkapan untuk menyindir; bukan dengan kata-kata kasar, keras, atau pedas seperti majas sarkasme. Nafiri DESEMBER 2019

35


Secara psikologis, manusia memang suka menyindir. Buktinya hampir setiap hari kita mendengar sindiran di sekitar kita—apa pun itu bentuknya—baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan kedagingan kita pun sangat menikmatinya, bukan? Apalagi kalau sindiran ini terjadi di media sosial, dimana kita tidak perlu berhadapan muka dengan orang lain. Ketika identitas pribadi tidak terekspos, maka tidak perlu ada risiko yang kita harus tanggung. Di situlah bola-bola satire akan semakin terlihat seru dilempar sana sini. Tidak heran jumlah followers akun-akun tersebut bisa mencapai puluhan ribu. Saya dan beberapa teman memang suka membahas teologi sedalam dan seluas mungkin. Kami cukup risih ketika ada gerejagereja yang secara doktrin mengajarkan hal-hal yang melenceng dari kebenaran firman Tuhan. Kami cukup terganggu ketika tidak ada jemaat yang terganggu terhadap praktik gereja mereka yang ngaco. Kami jadi penasaran, segila apa sih praktik gereja sesat yang sudah masuk ke Indonesia saat ini? Alhasil sebagian besar dari teman saya yang Kristen pasti follow akun tersebut, atau setidaknya ‘pernah’ follow akun tersebut. Loh, kenapa ‘pernah’? Kita bakal sama-sama cari tau di artikel ini hehehe …. Awal mulanya, akun-akun satire gereja dibuat untuk memberi kritik (bahkan kecaman) kepada pemimpin-pemimpin gereja yang dianggap melenceng dari kebenaran Alkitab. Mereka ingin para pengikutnya dan orang-orang Kristen terbangun dan sadar akan penyesatan yang dipraktikkan, sehingga tidak terbutakan oleh pengajaran tokoh pemimpin tersebut. Namun ternyata, berbicara soal kebenaran tidak pernah sesederhana hitam putih. Postingan akun satire semakin banyak menimbulkan kontroversi. Kalau kita coba telusuri kolom komentarnya; maka dengan mudah kita akan temukan cacian, makian, hinaan, dan berbagai kata-kata kasar lainnya sebagai bentuk respons pengecaman kepada oknum 36

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


penyesat yang diliput dalam posting-an. Saya tidak dapat pastikan mereka yang melontarkan kata-kata negatif di luar satire itu adalah seratus persen orang Kristen. Tetapi logika saya adalah ketika mereka memberikan komentar, apa pun itu, artinya mereka ada rasa peduli, dan ketika mereka peduli maka kemungkinan besar mereka adalah orang Kristen yang kesal atau tidak terima gereja disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini membuat saya berpikir, “Bagaimana mungkin anak Tuhan membela kebenaran-Nya dengan cara yang tidak benar?” Hal ini membuat saya semakin gelisah karena akun satire yang tujuan awalnya adalah baik, akhirnya melahirkan polemik baru. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Bagaimana seharusnya orang Kristen bersikap terhadap akun satire gereja?” Perlu diketahui bahwa Tuhan Yesus pun pada masa pelayanan-Nya di bumi ini pernah beberapa kali menggunakan gaya bahasa satire (Matius 7: 1–5; 23: 1–6). Mengkritik orang di depan umum juga belum tentu salah. Paulus sendiri pernah menegur Petrus dan Barnabas di ranah publik (Galatia 2: 11–14) sehingga akun-akun satire itu tidak perlu kita permasalahkan. Tapi yang bisa kita evaluasi adalah diri kita sendiri dalam merespons posting-an akun-akun satire. Pendeta Yakub Tri Handoko, Th.M., melalui artikel yang pernah ia tulis di situs web Reformed Exodus Community Community, mengangkat enam poin yang bisa dijadikan sorotan kita bersama dalam merespons akun satire. Pertama, jika kita memang tertarik dan follow akun-akun satire, maka kita perlu jujur terhadap diri sendiri akan motivasi kita. Apakah kritikan kita dilandaskan oleh kasih dan kerinduan agar orang lain berubah semakin serupa Kristus? Atau hanya sekadar ingin mendiskreditkan orang lain di depan umum? Apakah tujuannya untuk memuliakan Allah atau hanya sekadar bikin heboh mencari sensasi? Nafiri DESEMBER 2019

37


Kedua, bagaimana persepsi kita terhadap diri sendiri? Apakah kita sebagai pengkritik, atau bahkan sebatas pengamat, sudah merasa lebih baik atau sama-sama berdosa? Jangan sampai kita jatuh ke dalam dosa menghakimi, karena merasa diri lebih baik menyiratkan penghakiman. Perlu diingat bahwa kita semua bersalah dalam banyak hal di mata Tuhan (Yakobus 3: 2). Ketiga, apakah kita sudah memikirkan variasi lain dalam menyampaikan kritik yang membangun? Seperti yang sudah saya sebutkan di atas bahwa satire hanyalah salah satu gaya bahasa dari sekian banyak jenis yang dapat digunakan untuk teknik komunikasi yang efektif. Tuhan Yesus sendiri menggunakan berbagai macam cara untuk orang dan konteks yang berbeda-beda. Sudahkah kita mempertimbangkan cara-cara personal sebelum membawanya ke ranah publik? (Matius 18: 15–17). Keempat, sudahkah kita pastikan bahwa tingkat akurasi dalam mengumpulkan data di lapangan terjamin? Apakah kritikan yang dilontarkan sudah sesuai kenyataan? Apakah klarifikasi sudah dilakukan? Apakah interpretasi terhadap kenyataan beserta konteks tidak bias? Kelima, bahasa berkaitan dengan budaya, dan tidak semua budaya mampu mengapresiasi gaya bahasa tertentu. Banyak faktor yang perlu diperhatikan. Bagi yang tidak (belum) memahaminya, sebuah gaya bisa ditafsirkan secara berbeda, sehingga tidak ada relevansi atau bahkan menjadi batu sandungan. Bukankah Alkitab mengajarkan kepada kita untuk sebisa mungkin tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain (1 Korintus 8:1–13)? Bukankah hati nurani orang lain juga perlu dipertimbangkan (1 Korintus 10:29–30)? 38

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Keenam, berbicara soal hasil dari tujuan baik yang pernah ditentukan sejak awal. Apakah hasil dari tujuan tersebut sudah dievaluasi? Apakah cara penyampaian dengan gaya satire sudah efektif membuka perspektif orang? Atau bahkan semakin menyempitkan perspektif orang? Jika suatu cara tidak efektif dalam mencapai tujuan, untuk apa dipertahankan? Setelah merefleksikan keenam poin ini, harapan saya kita semua mendapatkan pencerahan bagaimana seharusnya bersikap terhadap fenomena akun satire gereja. Sebagian orang yang saya kenal memutuskan untuk unfollow akun tersebut dan memilih belajar kebenaran firman Tuhan dengan cara lain. Hal yang paling penting adalah bukan masalah kita follow atau tidak follow akun satire, melainkan bagaimana kita menjaga sikap hati kita dalam belajar serta bertumbuh di dalam kebenaran dan kasih Kristus. Jangan sampai terseret arus penghakiman dengan gaya bahasa satire, sekalipun tujuannya mulia. ***

Nafiri DESEMBER 2019

39


DOMBA yang TERSESAT Setelah membaca ayat kitab suci yang berbunyi, “Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya hilang?” Maka timbullah komentar bermacam-macam orang:

Mahasiswi fakultas peternakan: “Ya sudah tidak apa-apa. Toh yang sembilan puluh sembilan ekor masih bisa beranak!” Ahli filsafat: “Apakah artinya satu dibanding sembilan puluh sembilan?” Profesor ekonomi: “Dalam hal ini prinsip ekonomi harus dipakai. Biaya untuk mencari mungkin lebih besardaripada harga domba yang hilang itu. Kalau saja yang hilang sepuluh ekor ... bolehlah dicari ….” Hakim: “Karena yang satu itu minoritas, maka kita harus mengutamakan kepentingan mayoritas, yaitu yang sembilan puluh sembilan ekor!” Tetapi Yesus, Sang Gembala yang Agung, akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor dan pergi mencari seekor domba yang tersesat itu.

40

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


SUDAH dan BELUM

/ Thomdean /

Nasruddin Hodja, seorang guru, sedang malas mengajar. Maka dia berkata kepada murid-muridnya yang sudah siap menerima pelajaran. “Kalian sudah tahu apa yang akan saya ajarkan?” “Beluuum!” jawab murid-murid serentak. “Kalau begitu percuma saya mengajar nanti kalian tidak bisa mengikuti ….” Keesokan harinya, Nasruddin masih tetap malas mengajar dan berkata lagi: “Kalian sudah tahu apa yang akan saya ajarkan?” “Sudaaaah!” jawab murid-murid serentak. “Kalau begitu untuk apa saya mengajar. Toh kalian sudah tahu ….” Hari berikutnya Nasruddin bertanya lagi: “Kalian sudah tahu apa yang akan saya ajarkan?” Sebagian murid menjawab “sudah”, sebagian lagi menjawab “belum”. “Nah, kalau begitu yang sudah tahu silakan mengajari yang belum tahu!” Banyak alasan untuk tidak melakukan tugas yang tidak disenangi.

“Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut atau berbantah-bantahan” - Filipi 2: 14 Nafiri DESEMBER 2019

41


DOA yang KERAS gat dimanja oleh kakeknya berdoa kerasm kamarnya, i Natal besok, berilah saya sebatang coklat n enaakk …!” berkata,

riakannya, ibunya datang dari dapur dan dak perlu berdoa sekeras itu. Dengan berberan sudah mendengarnya!” enar Bu, tapi kalau tidak keras-keras, kakek i ruang tamu tidak bisa mendengarnya!”

PELUPA Johnny adalah orang yang sangat pelupa. Setiap hari jika pergi ke kantor dengan membawa payung, ia pasti lupa membawa turun payungnya dari bus kota. Pada suatu hari istrinya mengingatkan dia untuk kesekian kalinya, “John, harga payung kan mahal, dan kamu harus beli setiap minggu. Ingat-ingatlah payungmu jika kamu akan turun dari bus!” Maka ketika melihat sebuah payung dalam bus yang mengantarnya pulang, Johnny segera mengambil dan membawanya ke rumah. “Ini hari istimewa, aku tidak lupa membawa pulang payungku!” serunya kepada istrinya. Istri menepuk jidat, “John, tadi pagi kamu kan tidak bawa payung ke kantor. Jadi itu payung orang lain!” 42

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


SINYAL Pada tanggal 25 Desember yang berkabut, sebuah kapal pesiar besar menabrak kapal lain yang lebih kecil. Kapal kecil mengalami kerusakan yang cukup parah dan terpaksa harus ditinggalkan oleh pemiliknya. Pemilik kapal kecil itu lalu mengadukan perkara tabrakan tersebut ke pengadilan. Para saksi mata melihat bahwa kapal pesiar besar itu menabrak kapal kecil. Tetapi kapten kapal besar mengatakan bahwa beberapa saat sebelum terjadi tabrakan, kapalnya telah mengirimkan sinyal kepada kapal kecil. Hakim bertanya, “Siapa yang bertugas mengirim sinyal?” Seorang kelasi muda maju dan berkata, “Saya, Pak Hakim ....” “Coba beritahu saya, apa isi sinyal yang saudara kirimkan?” tanya Hakim. Kelasi muda menjawab dengan muka merah,

MERRY CHRISTMAS AND HAPPY NEW YEAR ((Adaptasi dari buku ‘Kumpulan Anekdot: Seandainya Mereka Bisa Ketawa’, penyusun: Lukas Setia Atmaja)

Nafiri DESEMBER 2019

43


Media Sosial: Pedang Bermata Dua? / Pdt. Jadi S. Lima, M.Th /

44

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


M

anusia diciptakan untuk berelasi. Salah satu buktinya adalah bahwa masalah relasi adalah akar dari banyak masalah serius dalam kehidupan. Menurut skala stress HolmesRahe, lima besar ranking teratas dari tekanan hidup paling berat dalam hidup seseorang semuanya berurusan dengan relasi: kematian pasangan, perceraian, perpisahan tanpa perceraian, dipenjarakan, dan kematian anggota keluarga dekat.1

Teknologi Mengubah Relasi Relasi kita, seperti juga segala aspek lain dalam hidup manusia, sangatlah dipengaruhi oleh teknologi. Ketika teknologi mengalami perubahan dramatis relasi-relasi kita akan mengikutinya. Misalnya ketika Inggris mengalami industrialisasi pada tahun 1776. Saat itu pola produksi berubah dengan drastis. Hal ini membuat penduduk desa berbondongbondong pindah ke kota, mereka hidup berdempet-dempet dalam pemukiman-pemukiman kumuh yang kemudian menjadi lahan subur bagi berbagai masalah sosial

seperti perkelahian, perceraian, perselingkuhan, tindak kriminal, dan aneka ragam socio-pathology lainnya 2 Jika teknologi produksi dapat mengubah pola-pola relasi dengan demikian dramatis, apalagi revolusi teknologi informasi yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sosial kita, yakni media sosial. Facebook tentu saja bukan media sosial pertama, tetapi sejak munculnya, ia dapat dikatakan telah mendominasi kehidupan sosial kita – dan merevolusinya. Tahukah anda bahwa Facebook memiliki pengguna aktif sebanyak 2.2 milyar – ini berarti ia memiliki pengikut sebanyak kekristenan! 3 Bagaimanakah media sosial mengubah cara-cara kita berelasi? Menurut saya ada beberapa karakteristik dari media sosial elektronik yang berbeda dari caracara kita berelasi secara offline, misalnya: di internet anda dapat lebih mudah memisahkan salah satu aspek dari diri anda dengan keseluruhan diri anda secara utuh, biasanya aspek visual. Dalam dunia nyata diri anda diwakili dengan kehadiran tubuh, suara, gestur, bau, sentuhan, selain juga visual. Tentu saja lebih mudah melakukan Nafiri DESEMBER 2019

45


‘pencitraan’ jika orang tidak melihat aspek-aspek lain dari diri anda secara langsung. Bukan hanya mengenai manusia, hal ini juga berlaku bagi benda-benda. Ingat saja bagaimana terkadang anda kecewa dengan sepatu, baju, dan produkproduk lain yang anda beli secara online tanpa pernah menyentuhnya langsung! Bayangkan apa yang terjadi ketika orang menjalin ‘relasi sosial’ secara online tanpa pernah ‘kopi darat’ dengan temannya itu. Seperti yang terjadi ketika anda ‘menjalin relasi’ dengan produkproduk yang anda ‘incar’ di toko-toko online – hati anda terjerat dengan hal-hal yang sesungguhnya anda tidak kenal di dalam keutuhan aspeknya. Jadi apa yang membuat anda tertarik dengan produk atau temanteman virtual anda itu jika bukan hal-hal itu sendiri? Menurut hemat saya fenomena ini sesungguhnya mirip dengan apa yang terjadi ketika anda merasa tertarik dengan seseorang tetapi kemudian kehilangan rasa tertarik itu (apa yang anak-anak muda sebut sebagai ‘ilfil’ - ilang feeling feeling) – anda hanya tertarik dengan proyeksi anda pada orang tersebut. Rasa tertarik itu segera menguap ketika proyeksi itu digantikan dengan kenyataan – yang muncul di dalam proses pengenalan yang lebih mendalam. Dengan kata lain di dalam internet topengtopeng sosial kita akan lebih tebal dan berlapis-lapis dan lebih sulit untuk diverifikasi. Apa yang salah dengan ini? Semua orang memakai topeng bukan? Setidaknya kita semua memakai baju – yaitu kebudayaan. Tanpa kebudayaan dan peradaban kita adalah orang-orang barbar. Tentu saja, setiap relasi sosial mengandung potensi kepura-puraan. Itu namanya sopan-santun dan kesusilaan. Kita tidak mengatakan kepada seseorang yang telah susah payah memasak untuk kita: “Soto buatanmu ini rasanya seperti kencing 46

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


kucing yang diberi garam,� atau kepada seorang anak kecil yang dengan bangga memamerkan gambarnya yang nggak bagus-bagus amat kepada kita: “Jangan harap saya memuji gambarmu yang klise itu ya, kamu itu jangan mimpi jadi Leonardo da Vinci!�

Pencitraan, Narsisme Tentu saja menjadi jujur dan otentik tidak sama dengan menjadi kasar dan biadab dengan kata-kata kita. Tetapi sebuah relasi yang sejati dan diharapkan untuk dapat bertahan lama tentu mengasumsikan pula relasi antar-substansi dan bukan secetek lapisan luar saja. Media sosial mempercantik lapisan-lapisan luar ini. Hal ini tentu tidak apa-apa jika saja lapisan-lapisan luar yang tidak tentu sesuai kenyataan ini tidak mempengaruhi relasi kita dan bagaimana kita memperlakukan seseorang. Jika efek dari lapisan luar ini tidak sedemikian kuat maka tentu saja kita tidak terlalu perlu untuk memusingkan urusan jarak antara citra visual dan kenyataannya. Masalahnya, citra-citra visual ini sangatlah kuat memengaruhi kita di dalam menilai seseorang – seperti yang sehari-hari disaksikan oleh para pembuat iklan dan tim sukses para politisi. Baru-baru ini Facebook sendiri menghadapi skandal sehubungan dengan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Big Data, yakni Cambridge Analytica yang disinyalir memakai data-data para pengguna media sosial tersebut untuk memengaruhi persepsi para peserta pemilu untuk dicondongkan secara kuat demi meningkatkan elektabilitas kontestan

Nafiri DESEMBER 2019

47


yang membayar jasa perusahaan tersebut. Pencitraan yang digabungkan dengan pengetahuan mendalam akan diri seseorang hampir-hampir tidak menyisakan ruang kebebasan bagi orang yang ditarget – anda pasti akan menyukai apa yang si pengiklan ingin anda sukai dan semakin membenci atau jijik dengan apa yang si pengiklan ingin anda untuk jijik. Media sosial memanfaatkan efek gelembung wawasan (epistemic bubble) yang mengurung anda di dalam realitas buatan yang semakin mengonfirmasi apa yang sedari semula memang anda inginkan untuk menjadi kenyataan. Media sosial adalah surga bagi apa yang disebut sebagai confirmation bias oleh Daniel Kahnemann dan Amos Tversky – anda akan menemukan bahwa selama ini anda ternyata benar.4 Itulah sebabnya media sosial bukanlah tempat terbaik untuk belajar mengenai kenyataan – karena pengetahuan membutuhkan daya48

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


daya kritis untuk justru melakukan falsifikasi. Seperti diutarakan oleh Karl Popper, sains yang sejati menuntut kita untuk menguji pengetahuan kita secara negatif – bukan justru mencari-cari pembenarannya.5 Misalnya anda punya suatu anggapan tentang keadaan sosial kita, kinerja pemerintah, mengenai siapa yang dapat disalahkan karena kegagalan anda, atau mengenai ketakutan-ketakutan anda – maka internet hanya akan menjadi tempat yang cenderung menguatkan asumsi-asumsi atau kecenderungan-kecenderungan anda selama ini.6 Salah satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Google adalah mengatakan apa yang salah dengan anggapan-anggapan anda. Demikianlah media sosial menyuburkan narsisme. Bagi anda yang tidak akrab dengan istilah ini, narsisme adalah suatu gejala kejiwaan dimana penderitanya melihat dirinya sendiri (atau kelompoknya) sebagai pusat dari alam semesta dan tentu saja lebih unggul, lebih baik, dan lebih penting daripada orang-orang lain. 7 Pada akhirnya pola inkuiri pengetahuan yang hanya mengonfirmasi bias,

prasangka buruk kepada orangorang yang tidak sama dengan golongan ‘kita’, dan apa yang kita harapkan untuk jadi kenyataan semacam ini akan menguatkan polarisasi di dalam masyarakat yang terkotak-kotak di dalam ‘ruang gema’ mereka masing-masing. 8 Kebencian dan kecurigaan kepada mereka yang berseberangan dengan kita akan menguat, sementara fanatisme kepada yang segolongan dengan kita akan meningkat juga. Cinta kepada diri sendiri akan menguat, sementara cinta kepada sesama yang berbeda akan semakin sulit. Gejala semacam ini disuburkan oleh media sosial – tetapi tentu saja media sosial tidaklah hanya memiliki dampak negatif. Bagaimanapun teknologi adalah alat buatan manusia yang memiliki dampak negatif maupun positif.

Dampak Positif Media Sosial Di atas saya lebih banyak menyoroti dampak atau potensi negatif dari media sosial – sekarang kita akan membicarakan potensinya bagi kebaikan. Media sosial dapat menyebarluaskan informasi dengan cepat, menghubungkan temanteman yang telah lama Nafiri DESEMBER 2019

49


tidak kita dengar kabarnya, dan memberikan update kepada kita secara cepat mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam lingkaran sosial kita. Media sosial juga memampukan seniman-seniman yang tadinya harus melewati gunung monopoli studio-studio besar agar dapat ‘terlihat’ oleh publik – untuk berkarya secara lebih mandiri dan kreatif. Proyek-proyek menarik yang tidak mainstream juga jadi lebih mudah mendapatkan pendanaan lewat crowdfunding: misalnya the Bible Project yang telah menjadi pertolongan bagi jutaan orang untuk lebih memahami dan mencintai Alkitab di dalam segala kerumitan dan keindahan dan kedalamannya. Jadi barangkali anda dapat membayangkan media sosial sebagai semacam pasar malam di mana anda harus berhati-hati dengan segala penjual minyak ular,

50

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


penipu, perayu, penyesat, dan lain sebagainya – tetapi sebagai sebuah pasar ia juga berpotensi untuk mempertemukan pembeli dan penjual, dan segala macam jenis orang yang dalam kehidupan sehari-hari tidak mungkin untuk berinteraksi. Ada tembok-tembok dan pintu-pintu yang berbeda di dalam dunia maya. Asalkan anda mengenali media komunikasi yang anda pakai, saya kira media sosial dapat menjadi alat bagi kebaikan – walaupun untuk mencari teman, mencari orang baik – apalagi mencari sahabat – saya kira media sosial bukanlah tempat yang cocok untuk itu – kecuali jika anda ingin berteman dengan skenario iklan. Nasihat saya seperti Popper: ujilah pengetahuan, anggapan, dan segala kecondongan yang anda jumpai di dalam internet dan media sosial dengan membaca-baca artikel yang secara frontal berseberangan dengan anggapan anda. Misalnya, jika anda seorang penganut paham liberal maka carilah tulisan-tulisan orang konservatif yang terbaik di internet untuk menantang gagasan-gagasan anda dan bacalah dengan pikiran terbuka. Demikian sebaliknya, jika anda menganggap diri anda konservatif, maka carilah tulisan-tulisan terbaik dari orang-orang yang berpandangan liberal untuk menantang anggapan-anggapan anda sendiri. Falsifikasikan anggapan-anggapan anda. Jika anggapan-anggapan anda itu memang benar, dia tidak akan gugur di dalam pengujian itu – tetapi jika ia salah, maka anda akan mengetahui dalam hal apa anda selama ini telah menganggap benar hal yang sesungguhnya salah.

Jangan Terkurung Oleh Media Sosial Hampiri orang-orang yang berbeda dengan anda dengan pikiran terbuka – bersiaplah untuk menertawai kepicikan anda sendiri ketika berjumpa dengan orang-orang asing atau musuh yang biasanya anda pahami hanya

Nafiri DESEMBER 2019

51


dari sisi buruknya saja. Bersiap-siaplah untuk terkejut ketika anda bersikap terbuka di dalam membaca, mendengarkan, bergaul, berselancar di internet, dan macam-macam interaksi sosial lainnya. Para penulis Injil banyak melukiskan potret Yesus Nazaret yang seperti ini. Misalnya saja ketika Ia meminta air kepada seorang perempuan Samaria (“laki-laki Yahudi macam apa yang meminta air kepada orang Samaria, apalagi perempuan Samaria!� - Yoh. 4: 4-26), ketika Ia ‘membela’ Maria yang duduk di kaki-Nya sementara kakak perempuannya sibuk melayani (Pada saat itu tidak lazim seorang perempuan menjadi murid Rabbi, hanya lelaki yang mendengarkan kuliah-kuliah teologi semacam itu - Luk. 10: 38-42), dan juga bagaimana Yesus tidak mengecualikan orang Romawi, orang lepra, dan para pemungut cukai di dalam pergaulannya. Yesus tidak membiarkan diri-Nya terkurung di dalam ruang gema yang hanya menggaungkan prasangka-prasangka buruk dari kelompoknya sendiri. Demikian kita sebagai muridmurid Yesus, tentu saja kita dapat melangkah bersama

52

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


dengan Guru Agung kita itu di dalam menerobos batasbatas ruang gema itu dan bertualang di dalam perjalanan mengikut Tuhan yang sedang mengubah dunia ini! *** Penulis lulus M.A. (Phil.) dari Vrije Universiteit, Amsterdam tahun 2010 dan M.Th. dari STTRII Jakarta tahun 2012.

1 “Stress-Inventory-1.Pdf,” accessed October 21, 2019, https://www.stress. org/wp-content/uploads/2019/04/stress-inventory-1.pdf. 2 Frank W. Young, “Durkheim and Development Theory,” Sociological Theory 12, no. 1 (1994): 73–82. 3 Priit Kallas, “Top 10 Social Networking Sites by Market Share Statistics [2019],” DreamGrow, July 3, 2019, https://www.dreamgrow.com/top-10social-networking-sites-market-share-of-visits/. Menurut website CIA factbook, kekristenan memiliki juga 2.2 milyar pengikut.“Field Listing :: Religions — The World Factbook - Central Intelligence Agency,” accessed October 21, 2019, https://www.cia.gov/library/publications/resources/theworld-factbook/fields/401.html. 4 Amos Tversky and Daniel Kahneman, “Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases,” Science 185, no. 4157 (1974): 1124–31. 5 Gavin Ardley, “The Principle of Falsification,” Philosophical Studies 9, no. n/a (1959): 66–72. 6 Boaz Miller and Isaac Record, “Responsible Epistemic Technologies: A Social-Epistemological Analysis of Autocompleted Web Search,” New Media and Society 19, no. 12 (2017): 1945–63. 7 S. Freud, “On Narcissism:,” The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud Volume XIV (1914-1916): On the History of the Psycho-Analytic Movement, Papers on Metapsychology and Other Works, 1914, https://www.pep-web.org/document. php?id=se.014.0067a. 8 A. Nguyen and H. T. Vu, “Testing Popular News Discourse on the ‘Echo Chamber’ Effect: Does Political Polarisation Occur among Those Relying on Social Media as Their Primary Politics News Source?,” First Monday 24 (June 3, 2019), https://firstmonday.org/ojs/index.php/fm/index.

Nafiri DESEMBER 2019

53


54

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ Pingkan Palilingan /

KU TAHU, KU PASTI

Sempurna NANTI

Kosasih dan Dian Sedikit demi sedikit, tiap hari tiap sifat, Yesus mengubahku! Dia ubahku! Sejak ku kenal Dia, hidup dalam anugerah-Nya. Yesus mengubahku! Dia ubahku, oh Juru Selamat. Ku tidak seperti yang dulu lagi. Meskipun nampak lambat, namun ku tahu, ku pasti sempurna nanti!

Nafiri DE

019

55


Petikan lagu “Sedikit Demi Sedikit” seakan merangkum kehidupan Dian Titi Lestari dan Kwe Kosasih: iman orang percaya akan melalui penempaan seumur hidup. Mengutip kata Kosasih, “Ini adalah proses seumur hidup. Kami jatuh bangun berkali-kali. Sampai sekarang pun masih jatuh bangun.” Di tengah teriknya matahari Tangerang, kafe sederhana Dian dan Kosasih di daerah Pagedangan menaungi tim Nafiri untuk sebuah jamuan kecil yang tak terduga. Bubur “Pak Gendut” yang terkenal, sepiring penuh siomai lezat buatan Dian, serta es kopi susu racikan Kosasih menemani perbincangan kami di siang itu. Antara Rumah dan Gereja “Ketika saya masih balita, ayah saya pergi kuliah ke Jerman. Di sana, ayah saya—yang semula belum Kristen—mengenal dan memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus,” kata Dian yang berdarah Jawa. “Pilihan ayah ini akhirnya mewarnai kehidupan keluarga kami.” Saat itu Dian masih balita. Dia ingat orang tuanya rajin membawa dia ke sekolah minggu. Dian kecil dan keluarganya tinggal di Rawamangun. Mereka bergereja di GPIB Nazareth di dekat rumahnya. Orang tuanya aktif dalam pelayanan dan membiasakan anak-anaknya ke sekolah minggu. Tak heran, setelah beranjak dewasa, Dian pun aktif melayani sebagai guru sekolah minggu. “Dulu dunia saya adalah antara rumah dan gereja,” ujarnya. Saking 56

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


seringnya pergi ke gereja, setiap Dian ke luar rumah di luar hari sekolah, para tetangga sering mengira dia hendak pergi ke gereja. “Jadi sudah terkenal gitu, kalau saya ngacir, pokoknya pasti ke gereja. Saya terlatih di rumah, pokoknya tidak boleh bolos gereja.” Kedua orang tuanya aktivis gereja: sang ibu sempat melayani sebagai ketua komisi wanita, sementara sang ayah sebagai majelis. Sementara itu, Kosasih mengaku bahwa ia tumbuh di lingkungan keluarga yang menganut Konghucu dan Buddhisme. “Agama dan adat istiadat campur aduklah,” ujarnya. Ia ingat kebiasaan keluarganya pergi ke vihara; selain itu ia ingat persis ada meja abu/ altar untuk penghormatan leluhur di rumahnya. Tetapi orang tua tidak pernah memaksakan anak-anaknya dalam beragama. Pada saat itu Kosasih pun belum begitu memedulikan kepercayaannya; pengetahuan tentang agama Kristen hingga Islam ia dapat dari mata pelajaran sekolah dan kuliah. “Kalau saya mah dulu gado-gadolah, campur aduk,” Kosasih menggambarkan kepercayaannya saat itu. Dian bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan ternama. Kosasih pun bekerja di perusahaan yang sama. Dua insan muda ini semakin dekat akibat sering dipasangkan untuk tugas-tugas kantor. Akhirnya, Dian dan Kosasih pun mulai saling tertarik dan jatuh cinta. Ketika hubungan mereka makin serius, Dian menegaskan kepada kekasihnya: Ia tidak mau menikah dengan seseorang yang bukan Kristen. “Begitu ketetapan saya. Kalau Kosasih mau (menikah, tapi agama kita tetap berbeda), saya bilang saya sudah salah memilih dia sebagai pasangan,” ujar Dian. “Eh ... besok paginya dia telepon saya dan bilang bahwa saya tidak salah sudah memilih dia. Itulah jawaban yang Tuhan berikan kepada saya.” Dengan segera, Kosasih mendaftar untuk ikut kelas katekisasi Nafiri DE

019

57


di GKY Green Ville (dulu GKJMB) dan mengikuti kelas selama enam bulan. Mengapa GKY Green Ville? Karena kakak iparnya bergereja di sana (meskipun saat itu kakaknya Kosasih masih belum jadi pengikut Kristus). Di bawah bimbingan Pendeta Gunawan Tanu, akhirnya Kosasih menyelesaikan kelasnya. Dia dibaptis dan diteguhkan tahun 1996 oleh Pendeta William Ho. Akhirnya, pada tahun 1997, Kosasih dan Dian pun menikah dan diberkati di GPIB Nazareth. Komunitas yang Menguatkan Usai menikah, pasangan ini pindah ke Serpong. Uniknya, mereka masih ke GKY Green Ville dan belum tahu mengenai GKY BSD yang saat itu masih di Jalan Rawa Buntu. Maka dimulailah rutinitas hari Minggu mereka yang tak pernah berubah selama beberapa tahun: kebaktian di Green Ville, lalu kunjungan ke orang tua Kosasih di Kebayoran Lama selama 2–3 jam, kemudian kunjungan ke rumah orang tua Dian di Rawamangun selama 2–3 jam, dan diakhiri dengan perjalanan pulang ke Serpong. Itu berarti mereka sampai di rumah larut malam. Kosasih dan Dian memandang orang tua lebih penting dibanding quality time mereka berdua. Saking rajinnya mengunjungi orang tua mereka, ibu Dian pun sempat merasa kasihan kepada anaknya. “Kasian ibu lihat kamu capek, besok harus masuk kerja lagi,” katanya mengutip kata-kata sang ibu. Beberapa tetangga di sekitar rumah orang tua Dian pun sampai mengaku betapa rindunya mereka untuk dikunjungi anak-anaknya seperti apa yang dilakukan oleh Dian dan Kosasih. Rasa sayang dan hormat terhadap orang tua yang dipelihara oleh Dian dan Kosasih tercermin dari minimnya konflik keluarga yang terjadi. Dalam rumah tangga pun sama, meskipun karakter 58

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


pasangan ini sangat berbeda, mereka saling melengkapi dan terus belajar dari sifat satu sama lain. Setelah beberapa tahun di Serpong, Dian akhirnya mendengar tentang GKY jemaat BSD. Meski butuh usaha ekstra menemukan GKY BSD yang pada saat itu masih berupa rumah—yang membuat mereka sempat berputar-putar dan nyasar—Dian dan Kosasih senang sekaligus lega menemukan gereja yang lebih dekat jaraknya dari rumah. Siapa sangka, Tuhan justru mempertemukan mereka dengan komunitas baru di BSD yang tali kekeluargaannya sangat erat. Pasangan ini bergabung dengan Caring Group Fellowship (dahulu disebut PRT) setelah diajak dan didorong oleh Djenny Tanius dan Hardja Priatna. “Setelah bergabung dengan kelompok sel itu, saya merasa bertumbuh bukan sekadar dari segi pengetahuan saja. Kelompok itu menguatkan iman saya. Melalui interaksi dalam kelompok, kami sama-sama belajar, termasuk dari kesaksian teman-teman,� kata Dian. Komunitas ini juga menguatkan Dian dan Kosasih ketika sedang mengalami pergumulan dalam kehidupan mereka, Nafiri DE

019


termasuk dalam pekerjaan mereka. Banyak sekali tantangan dalam dunia kerja yang sering menggoda mereka sebagai anak Tuhan untuk berkompromi. Contohnya, sebagai seorang sekretaris, Dian banyak berurusan dengan proyek perizinan dengan beberapa instansi dan pihak asing. “Mau enggak mau di situ ketemu dengan metode-metode under the table,” kata Dian mengingat masa-masa kerjanya di kantor. “Satu-satunya jalan ya dengan berdoa agar saya tidak sampai harus berurusan dengan hal seperti itu.” Senjata utamanya adalah tekun berdoa dan mohon kekuatan agar tidak tergoda berkompromi dengan hal-hal yang ‘menjual’ keimanan saya. Kesabaran Dian pun diuji. Salah satunya ketika ia bekerja di bawah seorang atasan, seorang asing, yang kepribadiannya meledak-ledak. “(Dia) bisa melempar-lempar kertas, berkata kasar, melecehkan, dan membuat harga diri kita tertekan habis-habisan.” Itu adalah proses belajar yang harus dijalani Dian. “Saya bisa melewati itu karena Tuhan selalu bersama dan menguatkan saya,” katanya melihat sisi positifnya. Kosasih pun mengalami hal yang sama. Pekerjaannya di bagian purchasing di bidang peleburan logam membuatnya menangani jumlah uang yang sangat besar. Dia harus sering berjumpa dengan banyak pihak. Gratifikasi seakan menjadi hal yang normatif di lingkungannya, bahkan beberapa kali ada individu yang berusaha memberi ‘pelicin’ kepada Kosasih. Kosasih dan Dian sampai menjadi was-was untuk membagikan alamat rumah mereka kepada orang lain, karena takut menerima kiriman hadiah atau bingkisan sebagai pelicin proyek. Lembaran Baru 60

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Pada awal tahun 2000, Kosasih harus pindah lokasi kerja. Pabrik yang tadinya berada di Tangerang dipindah ke Pulogadung. Itu dia jalani hingga tahun 2012. Bukannya semakin dekat, pabrik tempatnya bekerja justru dipindah ke Karawang. Kosasih berusaha bertahan menempuh perjalanan dari Serpong ke Karawang setiap harinya, dengan pikiran toh ini tidak akan berlangsung lama karena ia akan pensiun tahun 2019. Dia biasa berangkat pukul 4.30 dini hari agar sampai di kantor tepat waktu. Tahun 2017, kesabarannya semakin menipis. Jalan tol semakin macet karena ada pembangunan infrastruktur Jalan Tol Japek Elevated, juga LRT, dan kereta cepat. Meski sudah berangkat lebih pagi, macet masih tidak terhindarkan. “Sampai kantor sudah tidak ada tenaga. Boro-boro niat kerja,� ujarnya. Dia pulang semakin malam, bahkan pernah baru jalan pulang pukul 22.30. Suatu hari, Kosasih merasa ngos-ngosan ketika naik tangga. Ditambah lagi, ia batuk selama tiga bulan tanpa henti. Ia jadi khawatir akan kondisi kesehatannya. Setelah berkonsultasi dengan Dian, yang saat itu sudah pensiun lebih dahulu, Kosasih akhirnya memutuskan mengundurkan diri pada pertengahan 2018. Padahal, tinggal delapan bulan lagi ia pensiun. Setelah pensiun pun masalah belum hilang. Dadanya kembali panas. Diduga karena GERD atau masalah jantung. Tetapi, Kosasih tahu pasti bahwa akar permasalahannya adalah stres. “Kami sudah biasa ada uang masuk ke rekening selama sekitar tiga puluh tahun bekerja. Sekarang pengeluaran jalan terus, duit enggak masuk,� kata Kosasih. Akhirnya dia sadar untuk menerima kenyataan kalau dia sekarang tidak punya penghasilan. Sejak itu, Kosasih dan Dian berusaha memotong pengeluaran. Hingga suatu hari mereka teringat pada tanah miliknya di Nafiri DE

019

61


Pagedangan, di dekat ICE BSD, yang tidak dimanfaatkan bertahun-tahun lamanya. Dengan spontan tercetuslah ide untuk membuka warung makan. Kosasih dan Dian memutuskan membuka “kafe bubur� yang menjajakan Bubur Pak Gendut. Sebagai pemula dalam bisnis kuliner, pasangan ini berusaha keras untuk membuat kafenya ramai. Mereka memutar otak untuk strategi berjualan, dibantu dengan masukan dari Pak Gendut. Hari-hari awal membuka kafe ternyata tidak mudah. Ada beberapa warga yang agak menentang dan mempertanyakan kehalalan makanan yang dijual di kafe, apalagi ketika mengetahui Kosasih berdarah Tionghoa. Mereka sempat khawatir dengan kelangsungan kafenya. Tetapi, Dian merasa dikuatkan melalui kebaktian doa ketika Mushi Gabriel berkata bahwa anak Tuhan harus bisa masuk di mana saja mereka berada: baik di kantor, di bidang hiburan, dan lainnya. Dian mengajak Kosasih untuk terus berusaha menjadi contoh bagi lingkungan di sekitar kafenya. “Inilah apa yang Tuhan telah berikan kepada kita dan kita harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kita dirikan agar membawa manfaat bagi orang lain,� tandas Dian. Tuhan menjawab doa mereka. Satu bulan kemudian, ketua RW datang untuk meminjam kafe mereka untuk kegiatan sosialisasi. Seorang anggota DPRD pun juga meminjam kafe mereka untuk sosialisasi. Warga pun meminjam lahan parkir milik kafe untuk menambah tempat parkir saat sembahyang Jumat di masjid yang letaknya di seberang kafe. Kosasih dan Dian menyambut semua ini dengan positif. Itu menjadi salah satu cara mereka melayani tetangga-tetangga barunya, yaitu dengan menyediakan tempat. Mereka juga selalu menjaga kebersihan dan kenyamanan 62

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


“Inilah apa yang Tuhan telah berikan kepada kita dan kita harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kita dirikan agar membawa manfaat bagi orang lain,”

kafenya. Upaya mereka untuk selalu membersihkan pekarangan kafe, misalnya, ternyata menjadi perhatian warga sekitar. Tetangganya secara terbuka memuji kebersihan kafe Dian dan Kosasih. Dan hal-hal kecil seperti ini akhirnya menjadi jalan untuk membangun hubungan yang semakin akrab dengan para tetangga. Betul-Betul Ditempa “Kami terus mengingat sebagai orang percaya, kami harus menjaga sikap kami,” kata Dian yang lebih banyak berada di dapur untuk menyiapkan makanan yang akan dijual. Kosasih lebih banyak bertugas melayani tamu bersama dengan seorang pegawai. Di dapur, Dian juga terus bergumul dalam doa dengan Tuhan. “Kadang, bahkan sudah seperti sedang KKR saja sama Tuhan. Saya meminta Tuhan memberikan kekuatan, ketekunan, dan kesabaran karena ada rasa kecil hati juga jika penjualan tidak seperti yang kami harapkan.” Nafiri DESEMBER 2019

63


Melalui bisnis ini mereka betul-betul ditempa untuk sepenuhnya percaya kepada Tuhan. Mereka mengalami perubahan drastis; tadinya menerima pemasukan rutin, sekarang harus bersusah payah mencari uang. Pendapatan harian tidak pernah terduga, bahkan sekedar mendapatkan Rp100 ribu saja perlu kerja ekstra keras. Tetapi, pengalaman ini tidak membuat mereka semakin ‘cinta uang’. Malah mereka makin menyadari bahwa segala sesuatunya adalah sia-sia kalau tidak melibatkan Kristus. Bahwa pekerjaan mereka selama beberapa dekade, juga uang tabungan yang sempat terkumpul selama ini, semuanya sia-sia jika Kristus tidak hadir di dalam hidup mereka. Apa gunanya kestabilan finansial bila tidak ada Kristus di dalam hidup kita? Apa makna keberhasilan jika kita tidak memiliki Kristus di dalam hati kita? Kilas balik hidup Kosasih dan Dian menjadi pengingat manis bahwa Tuhan itu setia. Namun, kerap kali kita harus menempuh jalan berkelok, terhempas ke dalam jurang masalah, untuk bisa sungguh-sungguh mengalami kesetiaan penyertaan Tuhan. Iman anak-anak Tuhan akan terus-menerus ditempa. “Ini adalah proses seumur hidup. Kami jatuh bangun berkalikali. Sampai sekarang pun, detik ini pun, kami masih diproses,” kata Kosasih. Mengutip lirik lagu “Sedikit Demi Sedikit”, Yesus mengubah kita setiap harinya, meski sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti. Kita pun bisa berbahagia menyadari bahwa pada akhirnya nanti, Yesus akan menyempurnakan kita di penghujung jalan.

Foto oleh Pingkan, Djenny & dok. pribadi.

64

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Biodata

Nama Lengkap Suami : Kwe Kosasih Nama Panggilan : Kosasih Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 16 April 1964 Nama Lengkap Istri Nama Panggilan Tempat/Tanggal Lahir

: Dian Titi Lestari : Dian : Jakarta, 16 November 1960

Riwayat Pendidikan Kosasih SD SD Rawa Kemiri SMP SMP Kebayoran Lama SMA SMA 6 Blok M Kebayoran Baru Perguruan Tinggi S1 Universitas Indonesia Perguruan Tinggi S2 Universitas Indonesia

Fakultas Teknik Metalurgi Fakultas Teknik Metalurgi

Riwayat Pendidikan Dian SD SD Fransiskus I, Kramat Jaya, Jakarta Pusat SMP SMP Fransiskus I, Kramat Jaya, Jakarta Pusat SMA SMAN VI, Jakarta Pusat Perguruan Tinggi IKIP Jakarta Fakultas Bahasa & Seni (Bahasa Perancis) Riwayat Pekerjaan Kosasih PT Astra Autopart 1989-2018 Engineering dan R&D Jakarta & Cikarang

Riwayat Pekerjaan Dian Astra Group 1988-1996 Jakarta & Tangerang Arai Rubber Seal Indonesia 1996-2011 Tangerang Rejeki Inti Logam Jaya 2011-2017 Tangerang

Riwayat Pelayanan Kosasih Bidang Misi GKY BSD Pengajar PAS GKY BSD

Riwayat Pelayanan Dian Pengurus KW GKY BSD 2018-sekarang

Nafiri DE

019

65


Si Tou Timou Tumou Tou. Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.

Sam Ratulangi 1890–1949

Sam Ratulangi atau nama lengkapnya Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi adalah pahlawan nasional yang lahir di Tondano, kota kecil nan sejuk di Sulawesi Utara. Dia dikenal sebagai seorang pembelajar yang cerdas. Dia belajar di sekolah setingkat SMA di Batavia dan melanjutkan kuliah di bidang pengajaran dan sains di Universitas Amsterdam, Belanda. Sam studi lanjut dan meraih pendidikan tingkat master dan doktor di bidang Sains/Fisika di University of Zurich, Swiss. Bung Karno pernah menyebut Sam sebagai orang yang mempopulerkan kata “Indonesia” melalui nama perusahaannya di Bandung, jauh sebelum negara Indonesia diproklamirkan. Dia adalah salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyusun Undang Undang Dasar 1945. Bung Karno mengangkat Sam sebagai Gubernur Sulawesi yang pertama. Dia sangat berjasa dalam memajukan pulau tempat kelahirannya, khususnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan. Moto hidupnya di atas terus memacu semangat Sam dalam perjuangannya untuk menjadi garam dan terang dengan ‘memanusiakan’ orang-orang lain. 66

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Sam ditangkap oleh pasukan Belanda tahun 1948 pada masa aksi militer. Selama dalam tahanan, kesehatannya merosot dan dia akhirnya meninggal bulan Januari 1949. Berkat jasa-jasanya, Sam Ratulangi akhirnya dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Namanya diabadikan sebagai nama bandara dan universitas di Manado. Kita dapat mengenal wajahnya melalui lembaran uang Rp20 ribu emisi tahun 2016.

Saya melihat, pada zaman sekarang ini—jika kita membicarakan pertumbuhan rohani—tidak bisa dipisahkan dari pemahaman psikiatri-psikologi. Bukan berarti kita jadi berorientasi ke situ. Tetapi psikologi menolong kita melihat hal-hal tertentu yang menghambat pertumbuhan rohani seseorang. Dengan pemahaman akan hal ini, kita akan lebih mudah memahami apa yang sedang kita layani. Sebagai contoh: Anak-anak yang lahir dalam keluarga yang tidak punya pengalaman cukup dengan kasih, umumnya akan kesulitan ketika berbicara tentang kasih Allah. Mereka tidak punya pengalaman personal yang membuat pemahaman akan kasih Allah bisa dijembatani.

Pdt. Yohan Candawasa Dikutip dari wawancara yang dipublikasikan dalam kolom “Thought” pada ‘Nafiri’ edisi Maret 2012 Nafiri DESEMBER 2019

67


Rat na Khouw

Dua Puluh Tiga Tahun

Hidup

dengan

Diabetes MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ Lily Ekawati /

Jemaat GKY BSD pasti sudah tidak asing dengan sosok perempuan langsing yang selalu penuh senyum ini. Tetapi, bisa jadi belum banyak yang mengenalnya secara pribadi karena tampilannya yang kalem dan jauh dari kesan ekstrover. Namanya Khouw Pue Pue. Tetapi, dia lebih akrab dipanggil dengan nama Ratna Khouw.

Tim Nafiri khusus berkunjung ke rumahnya di Villa Melati Mas suatu sore beberapa waktu lalu untuk mengenal Ratna lebih dekat. Kami disambut oleh Ratna sendiri bersama mamanya. Redaksi Nafiri merasa sangat terinspirasi untuk mengangkat kisah hidup Ratna yang sangat luar biasa: dia sudah hidup dengan diabetes selama 23 tahun namun tetap bisa demikian semangat menjalani hari-harinya. Nafiri DESEMBER 2019

69


Sebelum divonis menderita diabetes, Ratna sangat aktif dalam berbagai kegiatan di sekolah dan dia juga pecinta olahraga. “Sehari saya bisa makan 6–7 kali tapi tetep ceking; pikirnya karena semua makanan ke luar jadi energi aja ya. Suatu hari, saya berasa lemas, ngantuk, ga kenyang-kenyang, selalu haus padahal dah minum banyak dan sering. Dan kok lidah seperti jamuran. Saya kira sariawan. Akhirnya cek ke dokter karena libur kuliah juga sudah mau abis,”,” kenang Ratna. Apa yang disampaikan oleh dokter membuat Ratna sekeluarga syok. Hasil laboratorium menunjukkan kadar gula di atas enam ratus dan kolestrol diatas dua ratus sehingga saat itu juga dokter tidak memperbolehkan Ratna pulang dan harus langsung opname. Dia terkena diabetes tipe-1 yaitu diabetes karena faktor genetik di usia sangat muda—19 tahun!—padahal masa depannya terasa masih demikian panjang.

70

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA

Selama di RS dia dilatih untuk menyuntik diri sendiri sampai bisa. Setelah itu dia baru diperbolehkan pulang. “Zaman itu obat suntik masih butuh suhu dingin sehingga saya mengalami kerepotan untuk menjaga kondisi obat agar tetap bagus. Saat kuliah beberapa kali harus izin ke kantin untuk membeli es karena kalo kepanasan obatnya langsung keruh. Itu artinya dah rusak dan tidak bisa dipakai lagi,” cerita Ratna. Pergumulan dan kesulitan yang dia lewati pada dua tahun awal setelah divonis terkena diabetes sangatlah berat. Selain harus mengatur keseimbangan antara asupan jumlah dan jenis makanan, kegiatan, dan istirahat; Ratna masih harus menghadapi candaan dan godaan dari lingkungan sekitar. Teman-teman kuliahnya belum tahu kalau dia menderita diabetes.


Mereka, yang melihat Ratna datang ke kampus dengan berbekal jarum suntik dan obat, ada yang berpikir bahwa dia ‘‘junkies’/kecanduan narkoba.” Namun lama-kelamaan Ratna menghadapi semuanya dengan santai, “Kalo denger gitu saya berusaha cueklah, masuk kuping kanan keluar kuping kiri; kan memang mereka becanda aja,” ujarnya penuh senyum. Sangat Tidak Mudah Hidup dengan diabetes ternyata sangat sulit. “Berat banget. Awalnya saya susah sekali terima, apalagi kan memang saya suka banget makan. Sehari bisa makan berkali-kali plus snack es krim, black forest, dan kue-kue lain. Semua harus saya tinggalin.” “Makan nasi dan lauk-pauk harus ditimbang ... jenisnya juga diatur. Sebelum makan harus dicek dulu berapa tinggi kadar gula di badan, habis makan dua jam dicek lagi . Padahal masih harus sibuk juga dengan kuliah,” kenang Ratna. Dokter menyarankan Ratna agar tidak mudah stres, karena tingkat stres juga mempengaruhi kadar gula. Tentunya saran dokter ini sangat tidak mudah untuk dijalankan. “Saya juga ga mau stres,” kata Ratna. “Tapi kan waktu dirawat di RS sampai sepuluh hari dan ketinggalan banyak tugas, siapa yang tidak stres ... apalagi kalo belum selesai mengerjakan tugas mana bisa ikut ujian .... Masih bersyukur ketika saya cerita ke dosen-dosen, beberapa dosen kasih keringanan.” Ada momen-momen dimana Ratna merasa sangat kesal dengan kondisi tubuhnya dan bertanya pada Tuhan kenapa harus diberi sakit seperti ini. Penghiburan dia dapatkan dari kakaknya Santy, yang sempat bilang sama Ratna, ”Kenapa sih kamu yang dikasih sakit ginian? Karena kalo saya yang dikasih sama Tuhan, saya ga bakal kuat.” Saat itu, dalam keluarga, yang sudah percaya pada Tuhan Yesus dan ke gereja baru mereka berdua. Nafiri DESEMBER 2019

71


Dukungan luar biasa dia dapatkan dari mamanya yang mengusahakan berbagai obat yang diinfokan oleh keluarga dan temantemannya. Dari obat China yang direbus sampai hitam seperti oli, dan obat modern; apa pun diminumkan pada Ratna. Mamanya bahkan ikut minum untuk menemani Ratna, khususnya untuk obat-obat yang sulit dia telan. “Kadang saya berontak dan mikir,, Tuhan yang kasih penyakit mikir ini kalo Tuhan mau sembuhkan kan ya sembuhin aja ga usah pake minum obat dan usaha apa-apa ,” ujar Ratna. Tapi seiring waktu, dia berusaha menerima sakit yang Tuhan izinkan, dan akhirnya Ratna merasa lebih enteng dalam menjalani segala larangan dan aturan yang harus dipatuhi. Ratna tidak pernah lagi mengeluh kenapa saudaranya boleh makan makanan enak tapi dia tidak. Kadang ... ketika dia ingin mencicipi satu jenis makanan, kakaknya kasihan sehingga dia kasih

72

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA

sedikit ke Ratna untuk sekadar mencicipi dan kemudian dilepehkan tanpa ditelan. “Kalau Tuhan izinkan kondisi seperti ini, pasti Tuhan juga yang kuatkan dan beneran sekarang saya lebih ringan menjalani semua,” ujar Ratna dengan senyum mengembang. Bertahun-tahun hidup bersama diabetes membuat Ratna menjadi hafal dan otomatis dalam menghitung berapa besar dosis obat yang harus dia suntikkan, makanan apa dalam sehari yang boleh masuk ke tubuhnya dan seberapa banyak istirahat yang dia butuhkan. Dari frekuensi suntik sehari tiga kali menjadi empat kali, mau tidak mau hal ini dilalui dengan rela oleh Ratna karena memang jenis pengobatan yang paling cocok untuk tubuhnya adalah lewat suntik. Dia sudah jarang datang kontrol ke dokter karena tidak ada masalah, dan Ratna sudah menjadi ‘ahli’ diabetes; paling tidak untuk dirinya sendiri.


Bablas Pingsan Lima tahun lalu, tiba-tiba Ratna jatuh pingsan. Saat itu dia sedang padat aktivitas, kecapaian kerja, kurang makan dan istirahat. Ratna menyuntik dengan dosis seperti biasa ... seperti sudah otomatis. Insulin masuk ke tubuh terlalu banyak dibanding dengan asupan makanan yang masuk menyebabkan kadar gula di tubuhnya langsung drop “Waktu itu saya sedang menjaga keponakan saya, anak adik; adik dan istrinya sedang pergi. Saya berasa lemas dan ngantuk jadi saya pikir dah saya bawa tidur saja . Ternyata bablas pingsan. Saya sendiri ga sadar kalo saya pingsan, tau-tau sudah ada di RS,” kata Ratna. Kala itu hasil cek di RS menunjukkan kadar gula Ratna tinggal tujuh belas, sehingga langsung disuntik dua ampul glukosa supaya kadar gula cepat naik. Ratna mengingat mengingat insiden pingsan itu sebagai anugerah dan berkat Tuhan. “Kalau saya pikir, saya masih ada sampai hari ini hanya karena penyertaan Tuhan. Waktu itu kalau saya pingsan dengan mata terpejam pasti dikira sedang tidur oleh adik saya ... dan tidak dibawa ke RS,” katanya. “Bisa juga dia baru pulang setelah saya pingsan lebih dari empat jam ... yang bagi orang diabetes sangat bahaya. Tapi hari itu dia pulang ga terlalu malam. Lihat saya terbaring di tempat tidur dengan mata terbuka tapi dipanggil dan diajak bicara sudah tidak ada respons sama sekali, maka langsung saya dilarikan ke RS Eka,” tutur Ratna. Dua minggu kemudian ia pingsan untuk kedua kali. Masuk lagi ke UGD. Setelah kejadian itu Ratna mulai mencari dokter lagi untuk mengatur ulang pola hidupnya dan dosis obatnya. Dari dokter terakhir inilah Ratna baru mengetahui bahwa fungsi pankreasnya hanyalah 0.0001 alias tidak berfungsi sama sekali.

Nafiri DESEMBER 2019

73


Dokter ini mengharuskan dia untuk membuat grafik kadar gula puasa, dua jam setelah makan dan sore hari sebelum makan; dan kontrol sebulan sekali. Dan setelah kejadian pingsan ini, Ratna menemukan tanda-tanda apakah kadar gula terlalu tinggi atau terlalu rendah makin tidak terasa, sehingga dia lakukan tes sendiri dengan alat tes gula darah untuk meyakinkan. Ketika Nafiri menanyakan apakah fungsi tubuh yang lain seperti ginjal masih normal sampai sekarang, Ratna menjawab sambil tertawa, ”Puji Tuhan semua masih normal, hanya kena sedikit ke mata. Sekarang kalau kadar gula lagi tinggi, pandangan saya agak buram .... Jadi kalo pas di gereja ada yang saya lewatin tanpa tegur bukannya sombong ya ... tapi karena ga ngliat ....” Menjalani 23 tahun dengan menjaga kedisiplinan terhadap makanan, istirahat, dan aktivitas, dan harus bergantung sepenuhnya pada obat bukan hal yang mudah. Namun

74

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA

Ratna berhasil melakukan dan tetap melayani semaksimal yang dia bisa. Dia bahkan pernah melayani sebagai guru sekolah minggu dan juga bekerja. Sampai hari ini dia kadang masih menebak-nebak maksud Tuhan, mengapa Dia mengizinkan diabetes tinggal di tubuhnya. Karena sehari-hari Ratna masih selalu terlihat energik dan penuh senyum, banyak orang yang tidak tahu kalau dia sudah hidup dengan diabetes demikian lama. Mereka baru terkaget-kaget dan merasa sangat heran setelah tahu apa yang telah diderita oleh Ratna selama ini. “Saya pikir-pikir, apakah ini salah satu maksud Tuhan ... supaya saya menguatkan orang-orang di sekitar saya dengan keberadaan saya dan penyakit ini; karena di lingkungan kerja mereka kenal saya tapi sering ga nyangka bahwa saya ini punya penyakit.” Senyum manisnya menutup perbincangan kami di senja hari itu •


“

Saya pikir ... ini salah satu maksud Tuhan ... supaya saya menguatkan orang-orang di sekitar saya dengan keberadaan saya dan penyakit ini ...�

Nafiri DESEMBER 2019

75


Mati Gaya

76

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ HUMPREY /

“Buseeeetttt dahhhhh,� gue mati gaya nih, keluh seorang karyawan yang sedang menjaga sebuah kios pulsa seluler. Mau ngapa-ngapain aja bingung, listrik mati, hape (handphone) lowbat, pulsa cekak, gajian masih lama. Hueeehhhh mau ngapain guaa coba??? Mati gaya bukanlah suatu arti mati alias meninggal seperti yang umum terjadi dalam siklus hidup manusia. Bukan kematian secara fisik yang merupakan akhir jiwa manusia, namun hanya merupakan keadaan dimana seseorang tidak memiliki kesanggupan untuk berbuat, kehabisan ide atau akal, tidak berkutik dan sebagainya. Istilah mati gaya dalam bahasa Indonesia merupakan gaya bahasa pergaulan yang berkembang di masyarakat sehingga belum masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia resmi. (https://www.kanalinfo. web.id/apakah-arti-mati-gaya) Mau tahu apa contohnya? Kebetulan bulan Oktober 2019 saya menghadiri pernikahan teman baik saya di Belitung (Belitong). Berhubung ini pertama kalinya saya pergi ke pulau tersebut, saya memang belum memahami kondisi wilayah tersebut, dan memang saat itu saya tidak banyak browsing untuk mencari info di internet. Karena kali ini saya hanya pergi seorang sendiri tanpa keluarga, saya memutuskan hanya pergi pp (pulang pergi), pergi pagi pulang sore. Nafiri DE

019

77


Sesampainya saya di bandara Belitong, kalau ga salah namanya bandara H.A.S. Hanandjoeddin, saya dan seorang teman yang kebetulan bertemu di bandara sama-sama dijemput oleh seorang sopir yang disiapkan oleh teman saya. Kesan pertama saya, kotanya tenang sekali dan jalannya berliku-liku serta panjang-panjang ya … asyik juga ... haha …. Tapi … mau ngapain aja ya kalau berada di kota ini lama-lama? Karena saya tidak memesan hotel, dan kebetulan teman saya memesan hotel, kami diantar langsung ke hotel tersebut. Saya menunggu di lobi, dan ternyata teman saya yang katanya menaruh barang di kamar jatuh tertidur. Oke, tiga puluh menit belum turun juga nih, mobil yang tadi mengantar sudah jalan kembali untuk mengurus berbagai keperluan teman yang hendak menikah. Lalu mau ngapain gue di sini yah? Oh nge-charge hp dulu deh di lobi … hehe …. Hmmm … satu jam teman saya masih belum turun juga dari kamar hotel. Oh ya ini hotelnya di pinggir pantai ya, Pantai Tanjung Kelayang kalau ga salah ingat. Denger-denger sih ada ojek online sini, coba gue pesan ah tuk jalan-jalan ke kota. Pertama kita coba si Gojek, oke deh aplikasinya tampak menghitung biayanya … wew … 120 ribu, ok daripada di sini ga bisa ngapa-ngapain alias mati gaya, kita coba deh. 78

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Wah ternyata aplikasinya muter-muter doang, alias ga dapat-dapat pengemudi yang mau ambil rute tersebut. Kita coba aplikasi ojek online si Grab, ehmmm … sama aja, ga dapat-dapat pengemudi alias ga nongol-nongol di layar hp pengemudi ojeknya … gawat … bisa mati gaya nih lama-lama … wkwkwkwk …. Akhirnya teman saya yang hendak menikah mengirimkan mobil yang bisa kami pinjam sejenak sebelum acara pernikahan. Horee … kami pikir asyik juga keliling-keliling nih sambil nunggu. Tapi lalu dia bilang, tolong isikan bensin ya, kemarin belum sempat, udah kritis nih. Baiklah, gue pikir, ga masalah. Pertanyaannya di mana pom bensinnya ya? Cari di Google Maps … ah ada. Sekitar tiga puluh menit kami mencari pom bensin … yeyyyy … ketemu …. Tapi mana petugasnya ya? Hanya ada sekitar lima puluh jerigen yang bertumpuk-tumpuk, tanpa ada yang menjaga. Seorang bapak yang kebetulan ikut menaruh jerigen, berkata, ”Oh biasanya petugas pom bensinnya datang siang Pak, bersama dengan bensinnya yang belum datang.” Alamakkk … ini bensin udah cekak … bisa-bisa pake bensin campur nih alias campur dorong alias mogok nih … beneran bingung mau ngapain … haha ….

Nafiri DE

019

79


Singkat cerita, akhirnya kami mencari lagi, di jarak 45 menit ada sebuah pom bensin mini, biasa disebut Pertamini, di sebuah warung … selamat deh … akhirnya bisa deh beli oleh-oleh dan muter-muter sedikit di Belitong. Di perjalanan sesudah acara pemberkatan dan sambil kembali menuju bandara, saya bertanya pada sopir yang tadi pagi mengantar kami …. ”Pak, kalau malam hari atau akhir minggu, orang-orang sini biasanya ngapain?” Di sini saya lihat banyak rumahrumah walau jaraknya berjauhan, tapi orangnya kok ga ada yang keliatan? Sopirnya hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Bawel kali pikirnya ini penumpang, pikir saya … haha … Eiittt … emangnya saya mau bahas tentang Belitong? Cek di Google aja ya kalau emang mau tahu detailnya ya hehe …. Ngomongngomong, pengalaman ampir mati gaya sehari ini membuat saya teringat dengan kegiatan dan keadaan kita di Jakarta. Sungguh jauh berbeda. Di Jakarta kita hampir ga mungkin mati gaya … malah bisa mungkin kebanyakan gaya. Kita bisa super sibuk, mal dan hiburan banyak sekali, serta apa pun serba ada. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengisi hari-hari kita, namun pertanyaannya, apakah yang justru kita isi? Belajar, bekerja, lalu apalagi lagi? Waktu rasanya cepat berlalu bila kita di Jakarta. Namun sudahkah kita mengisi waktu kita untuk beribadah, bersekutu dengan Tuhan, mohon pimpinan Tuhan? 80

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana,�

Demikian yang tertera di Mazmur 90: 12. Bila masyarakat di Belitong mungkin memiliki waktu yang lebih leluasa, kiranya kita yang di Jakarta dan sekitarnya senantiasa dapat membagi waktu untuk tetap dapat melayani-Nya. Daripada di waktu senggang, kita mati gaya, yuk kita bersaat teduh dan ikut persekutuan doa. Tuhan memberkati kita semua. ***

Nafiri DE

019

81


/ ANTON UTOMO /

Sang Pelindung Yesus Kecil Riwayat Bangsa Koptik Mesir sejak Abad Pertama Kisahnya sudah sangat akrab di telinga kita: Seorang ayah memboyong isteri dan anaknya mengungsi ke Mesir demi menghindari ancaman raja yang kejam. Ia patuh kepada malaikat yang menyampaikan perintah itu dalam mimpinya.

82

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Sebelumnya, malaikat yang sama telah meredakan kekacauan hatinya manakala ia mendapati sang kekasih hamil sebelum dinikahinya. Tatkala pria muda yang bijak ini mempertimbangkan untuk menceraikan tunangannya dengan diam-diam agar berita itu tidak menjadi trending topic di kota kecil Nazaret, sang malaikat malah menyuruhnya menikahi Maria, tunangannya itu, karena anak yang dikandungnya adalah benih dari Roh Kudus sendiri. Kini, saat anaknya masih sangat belia, keluarga muda ini harus menyingkir ke tanah asing di luar daerah kekuasaan Raja Herodes yang bengis, yang telah memerintahkan pembunuhan anak-anak di bawah usia dua tahun. Ke mana mereka mengungsi di Mesir? Siapa yang menerima mereka? Di mana mereka tinggal? Injil Matius tidak mencatat secara rinci, tapi rupanya ‘kunjungan singkat’ itu sangat berbekas bagi orang Mesir, terbukti dari berbagai jejak peninggalan mereka yang masih ada sampai sekarang. Inilah kisah bangsa Koptik, suku bangsa ‘pribumi’ Mesir keturunan para Firaun yang tetap menggenggam erat iman Kristen sejak Injil tersebar di Mesir pada pertengahan abad pertama. Yesus dan Keluarga di Mesir

Nafiri DE

019

83


Bangsa Tertua di Dunia Ketika membicarakan sejarah Mesir, waktu harus diputar sangat jauh ke belakang. Pemukiman pertama di lembah sungai Nil yang subur telah dimulai pada 7000 SM. Pembangunan berbagai piramid raksasa yang masih ada sampai sekarang, dikerjakan oleh para ahli bangunan Mesir sekitar tahun 2500 SM. Ketika bangsa-bangsa lain masih hidup dalam zaman ‘kegelapan’, bangsa Mesir telah mengukir sejarahnya sendiri; lewat tulisan hieroglif yang mirip lukisan warna-warni, kita bisa mempelajari kebudayaan Mesir yang tua dan unggul. Melalui kitab Kejadian dan Keluaran kita juga banyak memperoleh informasi tentang bangsa Mesir, khususnya pada era Yusuf dan Musa. Pada masa itu, Kerajaan Mesir masih berada pada puncak keagungannya. Namun, dengan berjalannya waktu, semaraknya mulai redup seiring dengan bangkitnya kekuatan bangsa-bangsa besar lainnya: seperti Babel, Persia, Yunani, dan belakangan Romawi. Kisah romantis Cleopatra dan Markus Antonius yang berakhir tragis—keduanya bunuh diri pada tahun 30 SM—menandai berakhirnya perjalanan ribuan tahun Kerajaan Mesir.

Peta Perjalanan Keluarga Kudus di Mesir

Setelah masa itu, rakyat Mesir langsung berada di bawah jajahan Kekaisaran Romawi, sama seperti bangsa Yahudi di Israel. Ketika the Holy Family (Yusuf, Maria, dan Yesus kecil) mengungsi ke Mesir di sekitar tahun pertama Masehi, tentu Firaun Mesir sudah tidak ada. Injil Matius tak mencatat berapa lama “Keluarga Kudus” 84

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


berada di Mesir, namun orang Mesir punya catatan sendiri yang amat rinci, ditandai dengan berbagai gereja dibangun di tempat-tempat yang diklaim pernah didatangi mereka. Bahkan mereka mencatat keluarga Yesus tinggal selama tiga setengah tahun di Mesir, berkelana menyusuri upper dan lower Egypt (menyusuri Sungai Nil, dari utara ke selatan). Kendati banyak bercampur mitos, kisah itu berkembang dari generasi ke generasi, terutama setelah mayoritas bangsa Mesir menerima Injil pada abad ke-4 M. Sejarah mencatat, kekristenan di Mesir sebagai salah satu komunitas Kristen tertua di dunia yang masih bertahan sampai saat ini.

Injil Masuk Tanah Mesir Di masa lalu Mesir disebut Aigyptos oleh orang Yunani, dan akhirnya Egypt menjadi nama resmi negara Mesir hingga sekarang. Dari kata Gypt/Kipt itulah istilah Coptic /Koptik berasal, merujuk kepada bangsa asli Mesir dan belakangan juga menunjuk agama Kristen Koptik, yang dianut mayoritas mereka. Sedangkan kata “Mesir” muncul dalam Kitab Suci Alquran untuk menunjuk negeri yang disebut Egypt itu, sehingga saat ini nama Mesir dan Egypt digunakan secara bersamaan.

Markus sang penginjil

Siapa yang pertama kali membawa berita Injil ke Mesir? Yohanes Markus (penulis Injil) adalah penginjil yang pertama kali mengunjungi Alexandria, kota terbesar di Mesir sebelum muncul Kairo, dan mendirikan gereja di sana dan terus bertahan hingga kini menjadi Gereja Ortodoks Koptik Alexandria. Sama seperti gereja Ortodoks Suriah dan Armenia, mereka memisahkan diri dari arus besar kekristenan saat Konsili Chalcedon tahun 451 (lebih jauh tentang “perselisihan doktrin” silakan baca kembali “Teropong” tentang Suriah dalam Nafiri edisi Maret 2016). Nafiri DE

019

85


Markus memulai penginjilan di Alexandria sekitar tahun 43, dan secara tradisi dipercaya mati martir pada tahun 68. Bila Petrus menjadi Paus pertama di Gereja Katolik Roma, Markus juga diangkat menjadi Paus pertama di Gereja Koptik Mesir. Saat ini Gereja Koptik Mesir dipimpin oleh Tawadros II yang diangkat pada tahun 2012, menduduki “Takhta Suci Markus� sebagai Paus ke-118. Penginjilan di sepanjang lembah Sungai Nil berlangsung cukup cepat. Walaupun mendapat tekanan dari penguasa lokal maupun Romawi, pada abad ke-4 diperkirakan mayoritas penduduk Mesir telah menerima Kristus sebagai Juru Selamat mereka. Setelah Kaisar bengis Diokletanus mangkat, masa penganiayaan terbesar bagi umat Kristen berlalu sudah. Kaisar penggantinya, Konstantinus, bahkan dikemudian hari menjadi kaisar Kristen pertama. Setelah masa itu, umat Kristen di Mesir berkembang dengan pesat, beragam budaya Mesir kuno yang bertentangan dengan iman Kristen, seperti mumifikasi (mayat yang diawetkan sebagai mumi), mulai ditinggalkan. Kekristenan mengalami masa keemasannya, walaupun untuk waktu yang amat singkat, sampai tibanya penguasa baru yang perkasa dari tanah Arab.

Wajah Mesir Berubah Total Sebenarnya bukan hanya wajah Mesir yang berubah total, tapi seluruh Timur Tengah dan Asia Barat di abad ke-7 mengalami perubahan ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gelombang penaklukan oleh bangsa Arab di bawah pimpinan Nabi Muhammad dan kemudian diteruskan oleh para penggantinya, yang kemudian dikenal sebagai Kekhalifahan Rasyidin (empat khalifah pertama) tak terbendung oleh kekuatan apa pun. Hanya beberapa puluh tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 622, Islam telah menguasai bukan hanya semenjang Arab, tapi juga Palestina, Persia, Asia Kecil (Turki sekarang), juga Afrika Utara dan Mesir. Kekuatan utama yang sebelumnya ditakuti, seperti Byzantium dan Persia, kini hanya jadi penguasa pinggiran saja. Persia bahkan tumbang dan sepenuhnya dikuasai tentara Arab. Penaklukan Mesir mulai dilakukan tahun 639 dengan pengepungan Alexandria, kemudian diikuti oleh penyerangan ke selatan sepanjang Sungai Nil.

86

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Gelombang dahsyat tentara Arab bukan hanya membawa agama Islam; tapi juga bahasa, tulisan, dan segenap kebudayaannya. Kebudayaan di Iran dan Mesir masa pra-Islam kini dapat dikatakan tak banyak yang tersisa; digantikan oleh agama, bahasa, tulisan, dan beragam budaya masa Islam. Beragam dinasti Islam yang berbeda-beda kemudian bergiliran menguasai Mesir. Aliran imigran dari tanah Arab dan sekitarnya kemudian mulai membanjiri Mesir, terutama di sekitar lembah Sungai Nil yang subur. Kota Kairo didirikan sebagai ibu kota pengganti Aleksandria yang letaknya terlalu terbuka (di tepi Laut Mediterania). Penduduk asli Mesir, suku bangsa Koptik pelan-pelan mulai tersingkir dari segala peran kehidupan dalam masyarakat Mesir. Sebagai umat Nasrani, mereka dilarang bergabung sebagai tentara dan diwajibkan membayar pajak khusus jisya. Pajak ini baru dihapuskan pada pertengahan abad ke-19. Bahasa dan budaya Arab pun akhirnya menjadi bagian hidup mereka. Liturgi di gereja tak lagi menggunakan bahasa Koptik, tapi digantikan dengan bahasa Arab. Bahasa, tulisan, dan budaya mereka akhirnya tak berbeda dengan penduduk mayoritas. Hanya iman kepercayaan mereka yang tak berubah. Penindasan, ancaman, diskriminasi, membuat mereka terbiasa dan iman mereka menjadi semakin kuat. Kini diperkirakan ada 15–20 juta penganut Kristen di Mesir, kebanyakan anggota gereja Koptik. Jumlah itu tetap minoritas, karena total penduduk Mesir mencapai 95–100 juta orang.

Tetap Bertahan Dalam Tekanan Ketika gelombang the Arab Spring yang dimulai dari Tunisia mengguncang Timur Tengah pada 2011, segera saja gerakan itu melanda Mesir pula. Muhammad Mursi, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, naik menjabat sebagai Presiden Mesir menggantikan Hosni Mubarak setelah masa kekacauan di Mesir. Hanya berlangsung setahun, gelombang protes dan demo kembali terjadi, menyusul kemudian kudeta militer oleh Jendral Sisi yang bukan hanya menjatuhkan Mursi, tapi juga membawanya ke tahanan dengan ancaman pengadilan.

Nafiri DE

019

87


Teror Minggu Palma di Gereja Koptik Alexandria

Akibatnya sudah diduga, terjadi lagi protes dan demo balasan oleh pendukung Mursi. Kambing hitamnya dapat dengan mudah dicari, yaitu orang Koptik, kaum minoritas yang dianggap pendukung militer. Puluhan gereja diserang dan dihancurkan; ratusan orang dianiaya, diculik, dan dibunuh; ribuan warga mengungsi. Seperti masih belum cukup, penderitaan Koptik Mesir semakin berat saat kelompok eksrim ISIS menguasai perbatasan Suriah dan Irak. Puncaknya adalah pada Minggu Palem tahun 2017, tepatnya pada 9 April 2017, bom bunuh diri meledak di dua gereja di Mesir: Saint Mark’s Coptic Orthodox Cathedral di Alexandria dan Gereja St. George di Tampa, kota di delta Sungai Nil. Sedikitnya 45 jemaat kehilangan nyawa akibat kedua bom bunuh diri tersebut. 88

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA

Benteng Alexandria

Salib Koptik yang unik - segitiga di setiap sudut melambangkan Trinitas


Gereja Koptik di Kairo

Tapi orang Koptik bukanlah warga negara yang mudah menyerah. Penderitaan panjang telah menempa mereka, sehingga menjadikan mereka umat yang berani dan tangguh. Walaupun minoritas, mereka tetap tampil penuh percaya diri. Ketika terjadi penganiayaan, mereka turun ke jalan, berdemo menuntut ketegasan pemerintah dan polisi. Salib Koptik yang unik menjadi kebanggan mereka, kendati di masa lalu lambang itu ditorehkan di kulit mereka oleh penguasa sebagai pembeda. Kunjungan Yesus di masa lalu juga menjadi kebanggaan dan kekuatan tersendiri bagi mereka, karena hanya satu negara di luar Israel yang pernah dikunjungi Yesus semasa hidup-Nya. Orang Kristen di Mesir percaya penuh Allah akan terus memelihara mereka sebagai kelompok Kristen terbesar di Timur Tengah, sebagaimana peneguhan yang tertulis dalam Yesaya 19: 19,

“Pada waktu itu akan ada mezbah bagi TUHAN di tengah-tengah tanah Mesir dan tugu peringatan bagi TUHAN pada perbatasannya.� *** Sumber : 1. https://orthodoxwiki.org/The_Holy_Family_in_Egypt 2. http://www.coptic.net/EncyclopediaCoptica/ 3. https://en.wikipedia.org/wiki/Copts_in_Egypt 4. https://en.wikipedia.org/wiki/Coptic_Orthodox_Church_of_ Alexandria#Apostolic_foundation 5. https://en.wikipedia.org/wiki/2011_Alexandria_bombing

Nafiri DE

019

89


PRIA DARI GUA MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ Humprey /

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya ‌.â€? Demikian yang kita baca di Kejadian 1 di Alkitab mengenai penciptaan dunia ini. Kegelapan seringkali menimbulkan konotasi negatif bagi sebagian besar orang, bahkan banyak pula yang takut pada kegelapan. Tidak jarang ada orang yang minta ditemani saat melewati atau tinggal di daerah yang gelap. Namun, ada pula yang menganggap kegelapan itu sebagai sesuatu yang keren walaupun misterius, seperti cerita komik superhero Batman, seorang Dark Knight yang memberantas kejahatan dengan beraksi di malam hari. Nafiri DE

019

91


Beberapa waktu lalu, kita sempat mengalami kegelapan, yaitu listrik mati di hari Minggu. Saat itu kami sekeluarga sedang mengikuti kebaktian kedua jam sepuluh pagi. Tanpa menyadari bahwa mati listrik itu akan berkepanjangan, seusai kebaktian berangkatlah kami ke mal untuk makan dan berjalan-jalan. Tak terasa saat itu telah pukul dua siang. Kami memeriksa WhatsApp dari grup kompleks, ternyata lampu saat itu belum menyala. Tumben? Pikir kami, jadi ya kami lanjutkan saja jalan-jalan di mal, berbelanja, makan dan makan haha …. Sampai pukul enam sore, kami mengecek kembali di grup WhatsApp, dan ternyata lampu masih belum juga menyala, saudara-saudara! :p Tidak semua merasa rugi. Ada juga cerita-cerita penjual yang kebanjiran rejeki saat gelap lampu kali ini, yaitu penjual genset yang pembelinya datang membawa uang cash jutaan! Ada juga minimarket yang memasang tulisan di kacanya: “Maaf, lilin habis!”. Penuh Sesak Eh tunggu, siapa bilang saya mau cerita mengenai mati listrik? Hal unik yang saya justru alami adalah saat kami killing time alias menghabiskan waktu sebelum makan malam di area makanan Waroeng Boengkoes, dekat wilayah ‘perburuan’ sushi di Mal Aeon BSD. Seorang pria berkebangsaan asing (biasa kita sebut “bule”) datang ke tempat itu. Karena penuh sesaknya area makan, dia beberapa kali mencari tempat duduk dan tidak berhasil. Memang budaya kita kan selalu ‘nge-tag’ alias nge-booking tempat duduk walaupun kosong, dengan muka masam atau muka nyengir, maklum penduduk perkotaan hehe …. Kebetulan istri saya melihatnya dan meminta saya menawarkan 92

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


untuk duduk bersama kami. Jadi dengan kode isyarat saya memberitahukannya untuk duduk di samping saya yang kebetulan ada satu kursi kosong. Pria “bule” ini tampak lapar dan saya membiarkannya makan beberapa saat sebelum saya pikir lumayan juga sekadar ber-say hi sambil ngobrol pakai bahasa Inggris. “Hi, where do you come from?” tanyaku sambil putar otak memikirkan grammar apa yang cocok untuk berbicara dengannya. “California,” sahutnya, sambil terus mengunyah sushi, dan menawarkannya kepada kami. Mulailah kami bercakap-cakap dan saling bertanya. Pria ini ternyata adalah seorang guru bahasa Inggris yang mengajar di sebuah sekolah national plus di Serpong ini. Kalau tidak salah ingat, sudah sembilan tahun dia mengajar di sekolah itu dan tinggal tak jauh dari tempatnya mengajar. Yang justru unik alias tak disangka-sangka adalah pria ini ternyata sangat jarang sekali ke luar rumah. “I am a home guy, so is my child. We don’t like to go outside. This time I’m going out because I have work to do in school today. And I feel hungry so I think I’ll have something to eat here.” Ngalor-ngidul, begitu istilah orang Bandung biasa ngomong, alias ngobrol ke sana kemari dengan berbagai topik. Dari pertanyaan pria bule ini tentang mengapa mati listrik begitu lama, perbincangan mengenai politik, kelebihan dan kekurangan Trump vs Obama, sampai akhirnya masuk ke pembicaraan mengenai keluarga. Pria ini menikah dengan penduduk lokal dan mereka sepertinya tidak beribadah ke mana-mana. Titik Balik Tiba-tiba ‘antena’ EE (Evangelism Explosion) saya menyala. Ini kesempatan, manusia yang jarang ke luar dari ‘gua’ (rumah) tibaNafiri DE

019

93


tiba ada di sebelah gue dan saat ini dia ga beribadah. Coba saya korek-korek dulu. Ternyata pria ini sejak kecil dididik secara Kristen walaupun tidak pernah mengalami pengalaman rohani yang dramatis selama hidupnya. “I hope I can feel it,” he said. Mulailah saya mengingat-ingat kelas EE dan khotbah-khotbah yang pernah disampaikan, sambil saya meng-sharing-kan pengalaman-pengalaman rohani saat saya mengalami titik balik: Dari keluarga Kristen sejak kecil hingga menjadi orang Kristen yang lahir baru di tahun 1999. Itu terjadi saat keluarga kami mengalami goncangan maha dahsyat karena meninggalnya tulang punggung keluarga. Badai keuangan yang sangat hebat pun melanda kehidupan kami. Jauh di dalam hatinya, yang dapat saya rasakan, pria ini mengerti siapa itu Yesus. Dan saat saya mengajaknya ke gereja, nampaknya pria ini masih banyak berpikir soal itu. “Biar mikir soal imannya ntar malem saya kasih beberapa pertanyaan dan sharing ” pikir saya, hehe …. Selanjutnya, biar Roh Kudus yang bekerja kan ^_^. Tidak terasa sudah dua jam lebih kami berbincang-bincang, dan sushi-nya baru habis. Pria ini sangat senang berbicara sampai sulit rasanya mengakhiri pembicaraan. “It’s nice we can talk like this, and realize not everyone always talk with their cellular phone,” he said. Ya memang di sekeliling kami, semua orang terlihat sibuk dengan handphone-nya masingmasing. 94

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Pria ini ternyata memilih tidak menggunakan handphone. Dia sebenarnya memiliki handphone yang tidak pernah diisi pulsa atau kuota data. PIhak sekolahnya kadang mengeluh kesulitan menghubungi dia, namun dia berdalih, “Hey, at working hours I’m here and I know when you need me. I don’t need a mobile phone.” Kembali ke pembicaraan mengenai iman, saya mengucapkan kata-kata penutup, ”There’s a time for everyone, you will ‘feel Him’ someday.” Saya memberikan kartu nama, dan meminta dia menghubungi bila butuh sesuatu. “By the way, what’s your name?” tanya saya. Dia pun menyebutkan namanya. Dasar pembicaraan antar cowok, nanya nama aja belakangan haha …. Membagikan kasih dan penebusan Kristus tidak mengenal waktu dan tempat. Masih banyak ‘pria-pria gua’ lain yang masih bersembunyi di kelamnya kegelapan, di ‘gua-gua’ yang mungkin tak jauh dari kita. Kapankah kita mau hadir dan berbagi terang Kristus ke dalam hati mereka? Kiranya Tuhan senantiasa mengaktifkan ‘antena EE’ kita semua. GBU. ***

Nafiri DE

019

95


96

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Nafiri DESEMBER 2019

97


/ LIANY SUWITO /

Sudahkah Kita Merasa Cukup? 9

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


“Kami pemuda-pemudi lintas iman bersumpah untuk melestarikan tanah dan air yang satu, bumi Indonesia.� Itulah sebuah sumpah yang saya dan teman-teman lain sebutkan dalam sebuah pertemuan yang bernama Temu Orang Muda Lintas Iman Peduli Lingkungan di awal bulan November 2019 lalu. Kegiatan yang diadakan dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda oleh organisasi dan komunitas peduli lingkungan dan sampah ini memang menjangkau peserta dari beragam latarbelakang agama - mengingat permasalahan lingkungan bukanlah masalah yang dialami satu agama saja, melainkan setiap manusia dan setiap makhluk hidup yang ada di bumi. Selama dua hari satu malam, kami dipaparkan dengan banyak hal mengenai isu lingkungan. Mulai dari permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia, perubahan iklim di dunia, hingga berbagai gerakan peduli lingkungan yang diinisiasi oleh orang-orang muda Indonesia. Namun dari beberapa pertemuan mengenai lingkungan yang pernah saya ikuti, hal yang selalu diungkit adalah bagaimana manusia sebagai makhluk hidup di bumi selalu menjadi juara. Ya juaranya dalam berkontribusi merusak lingkungan, dimana saya dan Anda (mungkin) termasuk di dalamnya.

Nafiri DESEMBER 2019

99


Semua karena keserakahan yang menjadi biang kerusakan lingkungan dan bumi kita bahkan kehidupan kita sendiri. Hal ini terbukti dari Earth Overshoot Day yang semakin maju tiap tahunnya dan sudah kita alami tahun ini pada akhir bulan Juli 2019. Earth Overshoot hoot Day yang diinisiasi oleh Global Footprint Network adalah hari melampaui batas, dimana sumber daya yang kita konsumsi pada tahun ini melebihi batas dari apa yang bisa dihasilkan alam dalam satu tahun ini. Semakin maju harinya maka menandakan bahwa semakin banyak kita berhutang dan meminjam sumber daya yang seharusnya kita nikmati di masa depan. Bayangkan saja dengan keadaan kita saat ini, berarti kita telah memakai hampir 1,5 kali bumi untuk mencukupi kebutuhan kita tahun ini. Padahal satu bumi seharusnya sudah sangat lebih dari cukup bila setiap manusia hanya mengkonsumsi apa yang kita butuhan saja dan bukan semua yang kita inginkan. Ya terlalu banyak memang kerusakan yang sudah kita hasilkan, yang mungkin kalau dijabarkan seribu buku pun tidak akan cukup. Tapi huru-hara ini sebenarnya sudah berawal dari Adam dan Hawa memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Jika saja Adam dan Hawa sudah puas dengan buah-buahan lain, mungkin mereka tidak merasa perlu memakan buah itu.

Manusia bisa apa? Manusia memang berada di puncak rantai makanan dan diminta Tuhan untuk berkuasa atas bumi. Tapi manusia kenyataannya bisa bebas bernafas menghirup oksigen berkat bantuan pohon-pohon dan tumbuhan, dan phytoplankphytoplank ton-phytoplankton di laut yang sudah diciptakan Tuhan untuk memproduksi oksigen yang dibutuhkan setiap makhluk hidup. Ilustrasi Rantai Makanan

100 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Jadi kita tidak boleh lupa bahwa realitanya manusia bisa hidup saat ini berkat alam yang sudah dirancang Tuhan untuk mencukupi kebutuhan kita. Tapi patut diakui juga, saat ini semakin banyak manusia yang memerhatikan dan peduli akan kelestarian alam sehingga semakin banyak gerakan-gerakan positif yang muncul. Kita pun sebagai umat Kristen tidak boleh kalah dan lemah, karena menjadi baik dan benar selalu mulai dari diri sendiri. Apakah kita mau meluangkan sedikit waktu di akhir pekan untuk menanam pohon? Apakah kita mau meluangkan sedikit tenaga untuk memilah sampah? Apakah kita mau meluangkan pikiran untuk mengendalikan konsumsi kita dan tidak membuang-buang makanan? Atau apakah kita mau meluangkan hati kita untuk lebih peduli pada tanah, air, langit, tumbuhan, hewan, dan juga manusia yang ada di sekitar kita? Karena semua itu indah dan baik adanya saat Tuhan menjadikannya, janganlah kita yang akhirnya menjadi perusaknya. Marilah kita sambut tahun yang baru dengan menjadi manusia yang baru. Manusia yang bisa berkata cukup untuk dirinya dan mulai bekerja untuk manusia dan alam di sekitarnya. ***

Nafiri DESEMBER 2019

101


Minggu, 27 Oktober 2019, menjadi titik sejarah baru bagi penantian panjang GKY Pamulang selama 26 tahun. Sekitar pukul 5 sore, lagu “We Are Church” yang dinyanyikan oleh Paduan Suara Sanctus GKY Pamulang menjadi pembuka kebaktian peningkatan status GKY Pamulang dari pos menjadi bakal jemaat. Dalam kesempatan kebaktian khusus ini, pesan firman Tuhan yang dibagikan oleh Pdt. Gabriel Goh mengajak jemaat untuk belajar dari kitab Yosua mengenai ‘kaki’. Pertama, kaki tanpa alas (bare feet) sebagai simbol agar jemaat menghormati kekudusan Tuhan ketika datang menghampiri hadiratNya; dan kedua, kaki yang basah (wet feet) sebagai simbol ketaatan pada perintah Tuhan. Prosesi peningkatan status menjadi Bakal Jemaat dibuka dengan pembacaan surat persetujuan dari Sinode oleh Sekretaris Majelis GKY BSD yang dilanjutkan dengan pengguntingan pita oleh Gembala GKY BSD, Ketua Majelis GKY BSD, Gembala GKY Pamulang, dan perwakilan BP Sinode GKY; sebagai penanda disahkannya GKY Pamulang sebagai 102 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Akhir Penantian 26 Tahun

/ GI. FERI IRAWAN /

(Pembajeman GKY Pamulang)

Bakal Jemaat. Dalam kesempatan yang sama sekaligus dilakukan pelantikan Pjs Badan Pengurus Bakal Jemaat periode 2019–2020 dimana GI. Laazar Manuain diangkat sebagai Pjs Ketua. Dalam sambutannya, Bapak Tazri Gunarso, selaku Ketua Majelis GKY BSD mengharapkan agar perjalanan GKY Pamulang tidak berhenti pada status Bakal Jemaat, melainkan ke depan bisa didewasakan menjadi Jemaat penuh, mengingat potensi pertumbuhan gereja yang masih cukup besar. Tidak lupa, paduan suara dari anak-anak dan remaja GKY Pamulang turut mempersembahkan pujian “Shine Jesus Shine” sebagai kobaran semangat bagi jemaat agar bersinar bagi Kristus dalam dunia, dan Paduan Suara Sanctus-1 GKY BSD yang turut memuji lewat lagu “In Christ Alone”. Selamat untuk GKY Bakal Jemaat Pamulang. Kiranya salib Kristus makin ditinggikan dan nama Yesus makin dimasyurkan lewat Gereja-Nya.

Nafiri DE

019

103


Napak Tilas GKY Pamulang

Mission Trip

HUT ke-26

Youth GKY Pamulang

Pendewasaan GKY Pamulang 27 Oktober 2019

GKY Pamulang Photo source: gky.or.id

104 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Persekutuan Doa yang diadakan di Perumahan Reni Jaya Blok S4 No. 15, Pamulang, Tangerang Selatan; adalah cikal bakal berdirinya GKY Pos PI Pamulang. Di tempat ini pula lokasi gereja—yang statusnya baru saja ditingkatkan menjadi bakal jemaat—berada sampai sekarang. Sejarah berdirinya GKY Pamulang mengisahkan pernyertaan dan kasih-setia Tuhan terhadap Gereja-Nya.

Awal Perintisan

Semua ini bermula dari kerinduan seorang ibu yang bernama Ibu Sumiati yang kala itu membeli beberapa rumah di kawasan Perumahan Reni Jaya yang sedang berkembang. Beliau rindu agar salah satu rumahnya dipakai untuk persekutuan doa dan untuk jangka panjang bisa dijadikan rumah ibadah atau gereja. Tanggal 14 Juli 1991, Pdt. Denis Condro sekeluarga yang ada di Kalimantan diundang oleh Ibu Sumiati untuk menangani Persekutuan Doa tersebut. Pada tahun pertama perintisan ini begitu banyak tantangan. Ada penolakan dari beberapa tetangga terhadap keberadaan Persekutuan Doa ini. Namun hal ini tidak berlangsung lama dan kehadiran PD ini pun dapat diterima dengan terbuka oleh warga. Pada saat yang sama ada mukjizat Tuhan yang terjadi. Ada orangorang yang sakit fisik didoakan dan sembuh; ada juga seorang yang sakit jiwa yang mengalami kesembuhan setelah didoakan. Mereka juga diinjili untuk percaya pada kasih dan keselamatan dalam Tuhan Yesus. Tuhan terus berkarya melalui Persekutuan Doa ini.

Bergabung dengan GKJMB

Setelah hampir dua tahun berjalan, Tuhan menambahkan jiwajiwa baru di Persekutuan Doa tersebut. Akhirnya PD yang sudah berjalan baik ini rindu menjadi Pos PI dari salah satu gereja. GKJMB menjadi pilihan untuk bergabung. Yayasan Misi GKJMB yang saat itu dipercaya untuk membuka Pos PI meresmikan Persekutuan Doa ini menjadi Gereja pada tanggal 14 Februari 1993. Pdt. Albert Sutanto yang kala itu sebagai Gembala Yayasan Misi GKJMB bersama Tim Yayasan Misi meresmikan PD ini menjadi GKJMB Pos PI Pamulang. Tanggal 25 Oktober 1993, ibu Sumiati menghibahkan rumah dan sertifikatnya kepada Yayasan Misi GKJMB sebagai tempat ibadah yang tetap sampai saat ini.

Nafiri DESEMBER 2019

105


Dalam Naungan GKY Jemaat BSD

Sementara itu, GKJMB terus bertumbuh dan diberkati Tuhan dengan jumlah jemaat yang semakin besar. Akhirnya GKJMB membentuk Sinode tersendiri dan diberi nama Gereja Kristus Yesus (GKY) pada tanggal 03 Juni 2002. Dengan bersinode sendiri maka ada pemetaan kembali jemaat dewasa dan pos agar ada perhatian secara merata dari jemaat dewasa terhadap pos. Puji Tuhan GKY BSD saat itu sudah mandiri sehingga tahun 2003, GKY Pos PI Pamulang diputuskan berada dalam naungan dan dukungan dari GKY Jemaat BSD. Pengaturan ini terus berlaku sampai saat ini.

Menjadi Bakal Jemaat

Melewati perjalanan pelayanan yang panjang akhirnya tanggal 27 Oktober 2019, GKY Pamulang ditingkatkan statusnya dari Pos PI menjadi Bakal Jemaat. Dengan bertambahnya jemaat maka sejak tanggal 06 April 2019 ada penambahan satu kali Kebaktian Umum pada hari Minggu menjadi tiga kali Ibadah yakni: jam 08.00, 10.00, 17.00. Kebaktian Umum I Khotbahnya diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke Mandarin atau sebaliknya. Saat ini jumlah jemaat dewasa yang setia beribadah kurang lebih dua ratus orang. Kiranya memasuki usia yang akan datang gereja boleh terus bertumbuh, makin mandiri, dan menjadi jemaat dewasa.

Mission Trip

106 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Dua puluh enam tahun telah berlalu namun kasih setia Tuhan tidak pernah berkesudahan. Tuhan menjaga Gereja-Nya sampai saat ini. Hamba Tuhan silih berganti, KPP dan BPP terus berganti; tetapi gereja terus eksis dan terus setia pada tugas panggilan-Nya di tengah dunia ini. Kiranya Tuhan sebagai kepala Gereja terus memimpin dan menopang GKY Pamulang dalam memasuki tahun-tahun pelayanan yang akan datang. Soli Deo gloria.

Profil Gembala GKY Pamulang Nama Tempat/Tgl. Lahir Nama Istri Nama Anak

: GI. Laazar Manuain : Soe/NTT, 07 Juni 1964 : Eni Purwaningsih : Yemima Manuain (2001) : Jessica Manuain (2003) : Yolanda Manuain (2006)

Selain Pdt. Denis Condro yang merintis GKY Pamulang, hamba Tuhan lain yang paling lama melayani di GKY Pamulang adalah GI. Laazar Manuain. Pelayanan di GKY Pamulang sejak jadi Mahasiswa STT Bandung. Juni–Juli 1994 Praktik dua bulan di GKY Pamulang, utusan dari STT Bandung 1997–1998 Pembina Komisi SM, Komisi Remaja, Komisi Pemuda di GKY Pos PI Grendeng 1998–2000 Pembina Komisi SM, Komisi Remaja, Komisi Pemuda di GKY Pos PI Pamulang 2000–2002 Gembala GKY Pos PI Pontianak 2002–2005 Pembina Komisi Remaja dan Komisi Pemuda di GKY Pos PI Pamulang 2005–saat ini Gembala GKY Pos PI Pamulang dan Pembina Komisi Kaleb. Dengan demikian perjalan pelayanan GI. Laazar Manuain sebagian besar waktunya melayani di GKY Pamulang. Segala kemuliaan bagi Tuhan yang memberikan kekuatan dan kemampuan untuk terus melayani sampai saat ini. Nafiri DESEMBER 2019

107


HUT Komisi Kaleb ke-22 14 November 2019

108 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Nafiri DESEMBER 2019

109


Mission Trip: Madiun 18 Oktober 2019

110 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Nafiri DESEMBER 2019

111


HUT Komisi Wanita ke-26 27 September 2019

112 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Nafiri DESEMBER 2019

113


Retreat Spiritualitas SACRED RHYTHM GKY BSD 27-28 Sep 2019

Dalam retreat ini peserta diajarkan untuk bermeditasi. Meditasi yang biasanya dikenal kerap dibungkus dalam program spiritualitas dengan tujuan untuk memperoleh peristirahatan temuan manusia, yang bermuara pada kepuasan dan kemuliaan diri. Akan tetapi, di dalam meditasi di retreat ini, setiap peserta diajak untuk mengetahui dari mana asal peristirahatan sejati, yaitu hanya di dalam Tuhan. Selanjutnya kita dibangun untuk mempunyai hati yang rindu untuk diberikan kelegaan dan menikmati kepenuhan melalui alam ciptaan dari Tuhan, sehingga setiap peserta dapat disegarkan dan bertumbuh dalam relasinya dengan Tuhan. Harapan dari retreat semalam Sacred Rhythm ini adalah peserta membawa pulang keahlian ini untuk dijalankan dalam keseharian sehingga pengalaman yang indah terus dapat terjalin bersama Tuhan.

114 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA

Pembicara: Pdt. Hendra G. Mulia.


3G Resort Gadog - Bogor

Nafiri DESEMBER 2019

115


Pergeseran di Fokus Kita Era Digital

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ TIMOTHY LIE / Serbuan budaya digital di zaman ini telah mengubah sebagian besar cara hidup masyarakat. Namun, tidak seperti negaranegara Barat yang sudah memiliki budaya baca-tulis yang kuat sebelumnya, di Indonesia yang budaya baca-tulisnya belum mengakar, budaya digital menimbulkan goncangan yang mungkin lebih berdampak negatif bagi para pemakainya. Jutaan orang di negeri ini berbondong-bondong ikut menikmati asyiknya berselancar di dunia maya, tapi sayangnya tanpa didukung oleh etika yang benar dan sikap yang bijak. Situasi ini melahirkan suatu sikap berlebihan dalam memakai dan memanfaatkan teknologi, di antaranya adalah dalam menggunakan media sosial sebagai salah satu produk teknologi di era digital. Media sosial memang sudah menjadi primadona di masa kini. Kehadirannya telah menyita ribuan jam dari keseharian hidup masyarakat sejak mulai bangun tidur di pagi hari hingga kembali tidur di malam hari. Apalagi dengan kemunculan smartphone yang memungkinkan setiap penggunanya untuk daring di mana saja, maka yang terjadi adalah perpindahan fokus perhatian secara terus-menerus dari dunia nyata ke dunia maya. Bahkan di saat berkumpul dengan teman atau keluarga pun fokus perhatian masing-masing individu bisa terarah kepada gawai di tangan daripada individu-individu lain yang ada di sekitarnya. Ini merupakan suatu bentuk virtualisasi yang sempat disinggung dalam buku Future Minds karya Richard Watson “Virtualization is removing the necessity of direct human contact and this is breeding a generation that prefers to deal with a machine than a human�. Nafiri DESEMBER 2019

117


Berjam-jam waktu dihabiskan untuk memelototi layar komputer atau gawai yang sebagian besarnya hanya untuk urusan hiburan dan bersenang-senang. Seakan-akan diri dituntut untuk selalu available secara daring, terlepas dari ada atau tidaknya hal penting untuk dilakukan. Ketergantungan atau kecanduan gawai sudah menyaingi kecanduan terhadap rokok atau minuman keras. Dan semakin seringnya bersentuhan dengan segala macam konten di dunia maya, maka kian deras pula pengaruhnya terhadap kehidupan iman Kristen. Media Sosial yang Memengaruhi Perilaku Pencitraan menjadi isu yang lantas berkembang. Secara sadar maupun tidak, baik individu atau institusi berupaya membentuk suatu citra diri terbaik yang bertujuan menimbulkan kesan positif tertentu. Dalam hal ini seseorang dapat mencitrakan dirinya sebagai sosok yang religius, dermawan, populer, sukses, kaya, terpelajar, keren, atau yang lainnya; lewat segala hal yang ditampilkannya di media sosial dalam bentuk foto, status, komentar, dan sebagainya. Maka hidup menjadi suatu hal yang artifisial alias serba dibuat-buat, penuh kepalsuan, dan menipu diri sendiri. Salah satu hal yang jadi ukuran popularitas dan kepuasan di media sosial adalah jumlah teman atau pengikut yang berlimpahlimpah. Padahal, memiliki ratusan hingga ribuan teman merupakan hal yang tidak realistis. Robin Dunbar, seorang psikolog dan antropolog Inggris, mengatakan bahwa rata-rata setiap orang paling banyak dapat mengenal sekitar 150 orang dalam suatu komunitas, itu pun dengan relasi yang sangat longgar. Jumlah lima puluh orang dianggap masih memungkinkan memiliki relasi pertemanan yang lebih baik. Tapi relasi yang lebih nyata ada pada kumpulan lima belas orang teman. Dan lingkaran terdalam yang paling umum dimiliki seseorang hanyalah sekitar lima orang saja. 118 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Orientasi kepada kehidupan nyata beserta manusia yang ada di dalamnya telah bergeser kepada dunia maya yang melampaui batasbatas geografis dan fisik. Kita bisa dengan mudah tergerak untuk menunjukkan simpati kepada anjing terlantar di belahan dunia lain yang foto dan beritanya diunggah di internet, padahal di dunia nyata kita mungkin tak pernah menggubris teman, tetangga, atau jemaat gereja di sekitar kita yang dalam pergumulan dan sedang membutuhkan dukungan doa dan moril. Simpati dan kepedulian yang semu telah menggantikan yang sejati. Selain itu, bak seorang ahli, kita begitu mudah mengomentari isu-isu politik, hukum, agama, atau bidang-bidang tertentu tanpa benar-benar memahami bidang-bidang itu. Dengan entengnya, kita menuliskan komentar-komentar itu sambil duduk santai di ruang berpendingin udara ditemani sebungkus camilan atau sambil menyeruput kopi panas di depan laptop. Kita berubah menjadi pakarpakar dadakan yang merasa tahu solusi berbagai masalah, menyaingi pakar-pakar yang sesungguhnya yang harus belajar bertahun-tahun di bidangnya. Ini menjadi salah satu poin keprihatinan Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise. Hal lain yang banyak terjadi di media sosial adalah sikap tak dapat menahan keinginan untuk memamerkan sesuatu: baik dalam bentuk barang, kekayaan, prestasi, kesuksesan, atau bahkan kemesraan dengan pasangan. Kemudahan mengunggah foto di media sosial kian menggencarkan hal ini. Di sisi lain, muncul pula sikap suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Tak jarang iri hati menguasai diri saat melihat orang lain yang lebih sukses. Maka timbullah persaingan terselubung yang ujung-ujungnya bisa membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi stres dan frustrasi lantaran merasa diri menjadi orang yang gagal dan tertinggal dalam berbagai hal.

Nafiri DESEMBER 2019

119


Fokus Hidup: Kristus atau Diri Sendiri? Segala hal yang disebutkan di atas pada dasarnya dihasilkan dari suatu kehidupan yang berfokus kepada diri sendiri. Bukan Kristus yang menjadi fokusnya, sekalipun mungkin gagasan-gagasan tentang Kristus kerap muncul lewat unggahan yang dilakukan. Maka kalau fokus hidup sudah dikuasai oleh diri sendiri, tak ada tempat bagi Kristus di sana. Karena tidak memungkinkan bagi kehidupan untuk memiliki lebih dari satu fokus seperti halnya kacamata atau kamera multifokus zaman sekarang. Ketika fokus hidup diarahkan kepada diri sendiri, maka segala sesuatu akan dinilai berdasarkan ego. Semangat persaudaraan dan kebersamaan melayani dalam tubuh Kristus tergantikan oleh semangat persaingan dan iri hati. Daya tarik media sosial dan bentuk teknologi lainnya telah menimbulkan pelupaan diri sebagai orang Kristen, sehingga dari perilaku yang ditunjukkan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Kristus. Teknologi, atau dalam hal ini khususnya media sosial, seharusnya diposisikan sebagai alat bantu atau sarana yang dengannya kita bisa menjangkau hal-hal yang tak terjangkau di dunia nyata, bukan sebagai tujuan itu sendiri. Kita perlu memandang teknologi sebagaimana harta benda atau talenta yang semuanya diberikan Tuhan untuk kita pakai dengan suatu konsep stewardship atau penatalayanan. Konsep ini mengandung arti bahwa kita diizinkan untuk memakai semua itu dengan sikap bertanggung jawab kepada Tuhan dan tak lepas dari tujuan Tuhan. Kita sekadar berperan sebagai steward, bukan owner; sebagai pengelola, bukan pemilik.

120 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Hidup bagi para pengikut Kristus bukan lagi hidup yang terfokus pada diri sendiri. Ini bukan tentang kita dan segala pencapaian kita. Bukan pula tentang segala apa yang kita sukai dan ingini. Kehidupan Kristen adalah tentang bagaimana relasi kita dengan Tuhan Yesus dan bagaimana kita melakukan kehendak-Nya. Maka seharusnya kehidupan di dunia nyata dalam relasi personal dengan Kristus itulah yang memengaruhi aktivitas di dunia maya, bukan sebaliknya. Diperlukan hikmat dari Tuhan sendiri agar kita dapat menggunakan teknologi, khususnya media sosial, dengan bijak dan tidak berlebihan apalagi menyimpang dari nilai-nilai Alkitabiah dan identitas kita sebagai para pengikut Kristus yang membawa nama-Nya dalam setiap perilaku, perkataan, dan perbuatan kita. ***

Nafiri DESEMBER 2019

121


To Hustle or To Serve?

122 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ Sarah Amanda Palilingan /

O

n a short talk with a friend, she shared a story about how bonuses and overtime are the two things people often boast about. “I went home at nine yesterday, because there was an ongoing project that needs my attention.”, “I enjoy getting bonuses from my boss by volunteering during the weekends.”, “She’s such a boss-lady! She’s the only one who stays at her cubicle when everyone’s gone!” This rooted idea of wanting to be a hustler and a money-making machine is something most of us are probably unaware of. Max Weber, a German sociologist and political economist explained that the idea of “time is money” is the clearest expression of capitalism. Time is wasted if we’re idle, and productivity means using the time we have to produce profit. We are accustomed to value ourselves based on numbers. From good grades, GPA, the amount of money we make per month, the bonuses we get from our overtime, etc. Often time, intelligence and productivity is synonymous with straight A’s, or a 3.8 GPA. Other

Nafiri DE

019

123


times, it’s a so and so-digit salary and bonuses we get for hustling on the weekends. It’s not something we choose to be defined as, but something reinforced since we’re at a very young age. The praises, popularity, and even presents we received during elementary school for getting higher grades than other kids, is no different than adults who got promoted for exceeding the targeted revenues faster than others. We’re being rewarded for behaviors that promote success, not failure. Is it a bad thing? Not entirely. Society has succeeded and gone far on reinforcing good traits such as determination, patience, responsible, hardworking, by setting targets for us to achieve whether it is at work, school, home, etc. However, how successful and desirable must we become for us to be worthy enough in the eyes of our boss, teachers, colleagues, and ourselves? How do we stay faithful in our calling if we live in a world that value how much we make instead of how 124 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


content we are spiritually? How does God’s love take part in a world that demands us to hustle? Working is a blessed activity, in fact since the beginning of time God’s mandate to Adam was to work (cultivate and maintain the garden of Eden, Genesis 2: 8). Other examples are Euodia and Syntyche, who were said to labor side-by-side for the gospel (Philippians 4: 2–3). Tabitha, a disciple from Joppa who was said to have good works and helped the poor (Acts 9: 36). The opposite of work is idleness. In 2 Thessalonians 3: 6, Paul mentioned, “If anyone is not willing to work, let him not eat. For we hear that some among you walk in idleness, not busy at work, but busybodies.” 1 Peter 4: 1–11 is titled “Living for God”, and in it explains how we should use the gifts we have to serve one another, as faithful stewards of God’s grace in its various forms (1 Peter 4: 10). “Use” means to utilize what we have to achieve a certain goal or purpose. So the purpose of using our talents is to serve people and God, not for our own benefits. However, it is no doubt we still need to make money for a living. Besides, enjoying God’s blessings is not a sin, in fact it is a good thing.

This is what I have observed to be good: that it is appropriate for a person to eat, to drink and to find satisfaction in their toilsome labor under the sun during the few days of life God has given them—for this is their lot. Moreover, when God gives someone wealth and possessions, and the ability to enjoy them, to accept their lot and be happy in their toil—this is a gift of God. Ecclesiates 5: 18–20 Nafiri DE

019

125


However, working hard and hustle is a totally different idea. Hustle literally means “pushing someone roughly”, to “hurry in doing something”, “to do something with a lot of energy and determination”, especially to obtain money and businesses. Working hard and serving His people are beautiful, but when our focus is mainly on making money, being known for how much we make, getting that iPhone 11, or simply being better than our colleagues, we’ve lost our focus on God’s will. Determination, grit, and ambition are wonderful traits, but so are modesty, compassion, kindness, and gentleness. In a world that so often teaches us to step on other people in order to grow, and achieve as much as we can on a short time frame, we are called to serve humbly and faithfully before God.

126 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


“Whatever you do, work at it with all your heart, as working for the Lord, not for human masters, since you know that you will receive an inheritance from the Lord as a reward. It is the Lord Christ you are serving.” Colossians 3: 23–24 vvIt is countercultural in this world to have compassion to our clients, meditate on God’s words and sacrifice a little bit of our leisurely activities, support and pray for our colleagues, love those who cause so many pressures to us at work, but it is important to always remember our value and mandates in Christ. This Christmas, let us remember our roots as children who are redeemed by the blood of Christ. Jesus died for us, when we are still sinners and doomed to hell. In all literal sense, Jesus came as an innocent baby and grows into adulthood just to die for His people. God didn’t go all the way sending His only Son to save us, just for us to think that we’re as worthy as how much we make or how good our sales are. The world may not see our worth, but it is our responsibility to remind ourselves daily that no matter how small and worthless we feel, we are worthy in His eyes... Because, He first loved us. ***

Nafiri DE

019

127


真正

真正的圣诞节 真正 的圣诞节 圣诞是上帝表达最伟大的爱并是上帝赐给最宝贵的 恩典。“那天使对他们说 :不要惧怕 ! 我报给你们大喜 的信息,是关乎万民的。 因今天在大卫的城里,为你们 生了救主,就是主基督“ (路 2:10-11)。

128 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


大j

j j

/ Aysha Sukirdjadjaja /

11)。 陈淑颜

圣诞是关于耶稣基督降生十分奇妙的事。太初耶稣 基督是道,道与上帝同在, 道是上帝。这意味着耶稣基 督是上帝。然后道成了肉身。 耶稣基督的母亲马利亚已 经许配了约瑟,还没有迎娶,马利亚就从圣灵怀了孕 。 这意味着耶稣基督不是从血气生的,不是从情欲生的, 也不是从人意生的,乃是从神生的。主的使者向约瑟梦 中显现说他要给童女玛利亚怀孕而生的子起名叫耶稣, 因他要将自己的百姓从罪恶里救出来。这意味着耶稣基 督就是救主。

Nafiri DESEMBER 2019

129


救主降生了! 这是圣诞的中心。耶稣基督不但愿 意来到并住在人中间, 甚至愿意舍命为了成为世上罪人 的救主,叫一切信祂的不至灭亡,反得永生。 这是上帝 最伟大的爱并是上帝最宝贵的恩典。这是给万民大喜的 信息! 圣诞节快到了。现代的圣诞节庆祝得越来越热闹 : 到处布置得丰富多彩,圣诞树上上下下悬挂着亮晶晶的 华彩, 各式各样的节目举办得非常有趣,在豪华的饭店 吃喝玩乐等等。 问题是那些是真正的圣诞节吗? 我们千 万不要被表面现象所蒙蔽。与耶稣基督无关的圣诞节不 是真正的圣诞节。 真正的圣诞节必须与耶稣基督有关。 真正的圣诞节的重点就是主基督。因此,所有庆祝圣诞 节的活动肯定要传扬上帝给万民大喜的信息, 就是耶稣 基督 - 世上的救主降生了, 让万民在主基督里因着信可 以享受真实的喜乐, 平安,盼望,和永生。

130 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


我们要将圣诞大喜的信息传遍世界各个角落 : “救主降生了!“ 哈利路亚。祝大家圣诞快乐!

Penulis lulus sebagai Sarjana Teologia dari SAAT Malang (th 2000) dan saat ini melayani sebagai Kids Pastor di GKBJ Taman Kencana, Cengkareng.

Nafiri DESEMBER 2019

131


/ Lislianty Lahmudin /

1

MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Kita Kekurangan

Pelayan Ibadah,

Terutama dari

Para Pemuda Siapa yang tak kenal dengan wanita berwajah manis dan bersuara merdu ini. Seringkali ia menjadi liturgis dan praibadah, juga melayani dalam Paduan Suara Sanctus-2. Ia adalah Andriani Yuwana, wanita ramah yang biasa dipanggil dengan sapaan “Ria�.

Nafiri DESEMBER 2019

133


Sejak remaja, kerinduannya sangat mendalam di bidang pelayanan paduan suara. Di kota asalnya, Malang, ia melayani di Gereja Kristen Kalam Kudus sebagai anggota paduan suara, juga sebagai ketua komisi pemuda. Pada bulan Maret tahun 2003, Ia pindah ke Jakarta untuk bekerja di PT. Grand Multi Chemicals. Ia melayani di GKKK Tangki sebagai pelatih paduan suara anak. Ia bertemu dengan Chandra pada awal 2004 di Jakarta dan bulan Juli 2005 menikah dan tinggal di Kencana Loka, kemudian pindah ke Vila Melati Mas. Mulai di tahun 2006 mereka beribadah di GKY BSD dan langsung ikut melayani di Paduan Suara Sanctus-1.

Ria mengajar bahasa Inggris di SMP Falatehan, Serpong— pelayanannya yang lain di Peduli Anak Serpong (PAS). Pada akhirnya, mereka sekeluarga, termasuk kedua mertua dari Semarang, atestasi masuk GKY BSD di bulan Juni 2012. Kesibukannya sehari-hari bekerja di PT. Symrise Indonesia saat itu menjadi pergumulannya apakah ia akan menerima pelayanan sebagai majelis atau tidak. Ia merasa Tuhan telah memberi kesempatan dan waktu untuk belajar melayani; Tuhan tuntun tiap langkah sehingga akhirnya Ia menjawab panggilan pelayanan sebagai majelis di bidang Kebaktian Doa dan Kebaktian Khusus. 134 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Anugerah ini sesuai dengan passionnya di bidang ibadah (dan bidang misi sebenarnya). Saat ini Ria memegang dua subbidang yaitu Litmus (Liturgi dan Musik) dan Kebaktian Doa. Program di subbidang litmus terutama untuk memperlengkapi semua pelayan ibadah (melingkupi liturgis, pemimpin praibadah dan worship leader, paduan suara, pelayan musik, dan juga tim drama sebagai bagian dari creative ministry). Program di subbidang Litmus yang sudah dikerjakan Ria di antaranya adalah: - Pembinaan pemimpin pujian: Bagaimana seorang pemimpin pujian menyanyi sehingga pujian yang akan dinyanyikan menjadi ‘powerful’. - Mengadakan workshop untuk para liturgis: Bagaimana memilih kata dan kalimat; sehingga ‘meaningful’ dan ‘powerful’ dan bisa menjadi kekuatan, penghiburan, dan nasihat bagi setiap jemaat. - Pembinaan untuk semua pelayan ibadah mengenai penyembahan yang beresensi (essential worship). Nafiri DESEMBER 2019

135


Ria memiliki kerinduan yang sangat mendalam bagi semua pelayan (tanpa terkecuali) dan jemaat Tuhan, agar menyadari betapa pentingnya berdoa, baik secara pribadi atau komunal. Menurut Ria, berhenti berdoa berarti berhenti bernapas, karena doa adalah napas anak-anak Tuhan, dan cara bagaimana anak-anak Tuhan selalu connected dengan Bapa di Surga. Pentingnya doa secara komunal yaitu melalui Kebaktian Doa untuk membangun spirit bersama mendoakan dunia, bangsa (Indonesia), gereja Tuhan termasuk GKY BSD dan keluarga lain, serta keluarga kita. Akan ada persekutuan bersama sebagai anggota keluarga Tuhan. Bidang Ibadah juga mengadakan Ibadah Intergenerasi setiap minggu ke-1, yaitu semua generasi yang meliputi: sekolah minggu (kelas 3–6), remaja, youth, serta dewasa beribadah dan melayani bersama. Ada beberapa hal yang dilihat Ria menjadi ‘challenge’ misalnya dalam pelayanan di kebaktian doa, yaitu kurangnya kesadaran jemaat mengenai doa secara komunal, dengan pandangan “Ah, toh sama saja aku berdoa di rumah, ngapain aku ikut kebaktian/ persekutuan doa?” Ria ingin memberi penekanan pentingnya Kebaktian Doa setiap hari Rabu, karena ini adalah ibadah di tengah minggu, untuk merecharge hati kita mendapatkan kekuatan dari Tuhan yang selalu baru tiap hari. Doa secara komunal ini boleh menjadi satu alat dan wadah untuk mempererat ‘bounding’ kita dengan Bapa dan semua jemaat yang seia sekata mendoakan banyak hal bagi negara, gereja dan pekerjaan misi-Nya, dan sesama kita. Sedangkan tantangan dalam pelayanan Litmus di antaranya adalah: - Bagaimana menjaga agar warna musik dan ibadah GKY BSD 136 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


tetap autentik sebagai gereja Injili dan dapat merangkul semua jemaat, termasuk teman-teman kaum muda (young people) yang secara demografi saat ini bertumbuh sangat pesat. Sedangkan di luaran GKY BSD, begitu banyak ibadah yang ‘menawarkan’ warna musik yang modern dan sesuai ekspektasi kebanyakan orang. - Secara internal, perlu adanya kesadaran dan komitmen yang teguh dari pelayan ibadah untuk meningkatkan atau melatih skill/talenta pelayanan. Tantangan terbesar saat ini adalah proses regenerasi. Sudah saatnya melakukan regenerasi pelayanan ibadah kepada young generation, namun karena kesibukan anak-anak muda dan juga merasa ‘belum berani’; maka proses pengalihan tongkat estafet pelayanan itu agak lambat, atau akhirnya yang memimpin ibadah orangnya ya ‘itu-itu’ juga. Satu pelayan bisa melayani di beberapa bidang. Mengapa? Hal ini karena kurangnya ‘pelayan’. Oleh karena itu, inilah saatnya generasi muda memberanikan dan memberikan dirinya untuk menerima tongkat estafet pelayanan ini. Menutup percakapan dengan Ria, ada beberapa hal yang ia harapkan: - Tak henti-hentinya mengajak semua jemaat untuk mengalami keindahan berdoa secara komunal dalam Kebaktian Doa Rabu dan Sabtu; rasakanlah persekutuan dalam berdoa bersama, tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk banyak hal. - Mengajak semua jemaat senantiasa rindu untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam ibadah kita setiap hari Minggu. Mari teman-teman pemuda! kita melayani bersama dalam Litmus dan siap menerima tongkat estafet untuk pelayanan di bidang ibadah. *** Nafiri DESEMBER 2019

137


ALL HAIL THE POWER OF JESUS’ NAME!

‘Lagu Kebangsaan’ Umat Kristen 138 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


/ MAYA MARPAUNG /

L

agu “All Hail the Power of Jesus’ Name” atau yang kita kenal dengan judul “Agungkan Kuasa Nama-Nya” dalam versi bahasa Indonesia adalah salah satu himne yang sangat indah dan agung. Lagu karya Edward Perronet ini bahkan sering disebut-sebut sebagai ‘lagu kebangsaan’ bagi umat Kristen.

“ All hail the power of Jesus’ name, Let angels prostrate fall. Bring forth the royal diadem, and crown him Lord of all. Bring forth the royal diadem, and crown him Lord of all! Agungkan kuasa Nama-Nya, Malaikat bersujud. Nobatkan Raja mulia dan puji Tuhanmu. Nobatkan Raja mulia dan puji Yesus Tuhanmu! ” Nafiri DESEMBER 2019

139


lahir di Sundridge, Inggris, pada tahun 1726. Dia adalah cucu seorang imigran Perancis. Ayahnya, Vincent, adalah seorang pendeta di gereja Inggris dan teman dekat dari tokoh Kristen John dan Charles Wesley. Kehidupan dan pelayanan Vincent sebagai pendeta dan persahabatannya dengan keluarga Wesley membawa pengaruh signifikan bagi Edward pada masa mudanya. Dia pun akhirnya mengabdikan dirinya sebagai hamba Tuhan dan melayani di gereja Metodis. Selama melayani di gereja Metodis, sebagai seorang pemuda yang memiliki jiwa seni, Edward dikenal sebagai seorang yang agak emosional sehingga sempat mengalami gesekan dengan pengurus gereja. Dia akhirnya memilih untuk menggembalakan gerejanya sendiri yang sejalan dengan gerakan yang dirintis oleh Charles Wesley. Selain melayani jemaat sebagai gembala, Edward juga memiliki talenta dalam bidang tulis-menulis dan musik. Pada tahun 1779, saat usianya 53 tahun, Edward menerbitkan serangkaian himne hasil komposisinya. Salah satu dari kumpulan himnenya adalah “On the Resurrection, the Lord is King” yang sekarang dikenal dengan nama “All Hail the Power of Jesus’ Name”. Edward dengan setia melayani Tuhan melalui gerejanya hingga dia meninggal di Canterbury pada tahun 1792. Lagu “All Hail The Power of Jesus’ Name” terus mengisi dan memberkati kehidupan umat Kristen hingga jauh setelah Edward meninggal. Himne yang sangat istimewa ini bahkan membawa mukjizat bagi pelayanan misionaris EP Scott yang melayani di India pada tahun 1800-an. Seperti dikisahkan di beberapa situs daring, Scott, yang melayani di daerah Bangalore, suatu hari bertemu dengan seorang suku pedalaman dengan mata yang terlihat ‘menyala’. Setelah bertanya-tanya pada beberapa orang, dia menemukan bahwa orang itu datang dari pegunungan dan sekali-sekali turun ke kota untuk menjual barang-barang dari desanya. dia mendapat informasi bahwa suku ini masih sangat terasing dan belum pernah mendengar kabar tentang karya keselamatan dalam Kristus. Setelah bergumul, EP Scott akhirnya memutuskan untuk mendatangi suku terasing ini walau risikonya sangat tinggi. Selain secara geografis sulit dicapai, suku ini juga masih menutup diri dari orang luar. 140 MEDSOS: PISAU BERMATA DUA


Setelah berdoa dan berkemas, dan membawa biola kesayangannya, Scott pun berangkat ke pedalaman untuk mewartakan kasih Kristus bagi suku ini. Dia terinspirasi oleh kisah panggilan Paulus untuk melayani di Makedonia (Kisah Para Rasul 16: 9) … ”Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” Teman-temannya sangat khawatir pada keselamatan Scott. “Kami tidak akan pernah melihatmu lagi. Kamu memang gila untuk memulai perjalanan yang sangat berbahaya ini.” Scott berjalan dua hari penuh dan nyaris tidak bertemu manusia. Akhirnya dia sampai di daerah pegunungan dan bertemu dengan para jagoan dari suku terasing ini. Mereka siap menusukkan tombaknya ke jantung tamu tak diundang ini. Pasrah dan tak berdaya, Scott hanya bisa berdoa dan mulai mengeluarkan biolanya. Dengan mata tertutup, dialunkannya: “All Hail the Power of Jesus’ Name”. Notasi demi notasi dimainkannya, hingga akhirnya dia menyanyikan bait: “Let every tribe and every tongue Before Him prostrate fall. And shout in universal song The crownèd Lord of all. And shout in universal song The crownèd Lord of all.” Ketika dia selesai menyanyikan bait ini, dia membuka matanya dan menemukan keajaiban Tuhan: Tombak-tombak para jagoan itu tak lagi dalam posisi menyerang, dan air mata pun mengalir di wajah-wajah mereka. Para pemuka suku ini akhirnya mengundang Scott untuk masuk ke desa dan menerimanya di rumah mereka. Scott tinggal bersama suku terasing ini selama dua setengah tahun. Melalui pelayanannya, banyak warga suku ini yang diubahkan kehidupannya oleh kasih dan penebusan Kristus. Himne “All Hail the Power of Jesus’ Name” karya Edward Perronet ini telah dipakai Tuhan sebagai kunci untuk membuka pelayanan EP Scott bagi suku pedalaman ini. ***

Nafiri DESEMBER 2019

141



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.