Namaste indonesia 3

Page 1


2

Namaste Indonesia,

waktu yang lalu nasionalisme bangsa kita terusik oleh tetangga dekat kita.

Namaste‌.Namaste‌.Namaste‌.

Selain itu, redaktur juga mengangkat tema Hari Batik yang jatuh pada bulan Oktober ini. Setahun sudah Batik Indonesia menjadi salah satu warisan budaya dunia, ketika pada 2 Oktober 2009 ditetapkan menjadi salah satu dari World Heritage oleh UNESCO. Dukungan kami atas penetapan ini juga menjadi alasan kami menulis kisah sejarah dari batik pada edisi kali ini.

Bukan, sapaan 3 kali Namaste pada awal redaksi bukanlah bentuk kegembiraan yang sederhana melainkan kegembiraan yang luar biasa mengingat konsistensi dan semangat menerbitkan majalah bulanan Namaste Indonesia tidak sedikitpun luntur. Puji syukur atas rahmat Tuhan YME, Namaste Indonesia memasuki edisi ketiga yang sengaja akan diterbitkan pada tanggal 3 pula. Sumpah pemuda, Batik dan pengalaman ke-India-an beberapa kerabat di India merupakan 3 topik utama edisi Namaste Indonesia kita kali ini; yang akan dilengkapi dengan tulisan-tulisan kreatif para pemuda Indonesia lainnya. Tak luput para redaktur ikut berjuang menjaga rasa nasionalis pemuda Indonesia terhadap tanah air Indonesia melalui tulisan sebagai wujud apresiasi terhadap Para pejuang dan pemuda terdahulu yang telah bersumpah untuk bertumpah darah satu, berbahasa satu, dan berbangsa satu, Indonesia. Rasa itu juga terbangun semakin erat setelah beberapa

Namaste Indonesia – Oktober 2010

Dengan semangat pemuda yang membara, redaktur menyampaikan beribu banyak terima kasih atas support dan kontribusi dari para pembaca yang telah berjalan selama 3 bulan ini. Harapan kami majalah Namaste Indonesia tidak hanya bisa memberikan manfaatkan kepada para mahasiswa Indonesia yang ada diluar negeri melainkan juga semua masyarakat Indonesia yang ada dimuka bumi ini. Selamat hari sumpah pemuda bagi para putra putri bangsa Indonesia, semoga nasionalisme yang cerdas selalu akan terbangun di setiap masa pertumbuhan bangsa kita. REDAKSI NAMASTE INDONESIA


3S

Batik: Warisan Budaya Dunia

etahun sudah sejak UNESCO menetapkan Batik, yang berasal dari Indonesia, sebagai salah satu Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Penetapan ini adalah suatu momen yang membanggakan bagi bangsa Indonesia, sehingga harus terus kita jaga. UNESCO sendiri tepatnya menetapkan Batik menjadi salah satu warisan budaya dunia tersebut pada tanggal 2 Oktober 2009. Akhirnya, masyarakat Indonesia sendiri memperingati tanggal 2 Oktober sebagai “Hari Batik�. Sejarah batik di Indonesia terkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masamasa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

keluarga serta para pembesar. Oleh kerana banyak dari pembesar tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar dari kraton dan dihasilkan pula ditempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat jelata dan selanjutnya meluas sehingga menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangga mereka untuk mengisi waktu lapang. Antara bahan-bahan pewarna yang dipakai adalah tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Jadi, kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Kesenian batik ini secara umumnya meluas di Indonesia, khususnya suku Jawa, setelah akhir abad keXVIII atau awal abad ke-XIX. Bagaimanapun, teknik batik itu sendiri telah diketahui selama lebih dari ratusan tahun yang lalu, kemungkinannya berasal dari Mesir kuno atau Sumeria. Ia terdapat secara meluas di beberapa negara di Afrika Barat, seperti Nigeria, Kamerun dan Mali, atau di Asia, seperti India, Sri Langka, Bangladesh, Iran, Thailang, Malaysia dan Indonesia. Batik yang dihasilkan adalah semuanya batik tulis sehingga awal abad ke-XX dan batik cap hanya baru dikenali setelah Perang Dunia pertama berakhir atau sekitar tahun 1920. Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya aktifitas membuat batik hanya terbatas dalam kraton saja dan ia dihasilkan untuk pakaian raja dan

Batik model Parang Rusak

Sejarah Teknik Batik Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninkedan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada Namaste Indonesia – Oktober 2010


semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an. Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Sri Langka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim, yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India, agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir, serasah itu ditafsirkan sebagai batik. Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873, seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Namaste Indonesia – Oktober 2010

4

Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Corak Batik “Megamendung�

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa


5

motif batik tradisional hanya dipakai keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

oleh

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB. Corak batik Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar,

seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. Adi Atiasa (dari berbagai sumber) Mahasiswa BA di Osmania University

TRANSFORMASI : Sebuah Perjalanan Psikologis Kembali Ke Tanah Air Tahun 2008, adalah tahun pertama bagi saya untuk meninggalkan tanah air tercinta. Ya, meninggalkan tanah air pada saat itu adalah pengalaman pertama bagi saya. Apalagi sudah selama 22 tahun sejak saya lahir saya tinggal dan menetap di sebuah kota tradisional yang sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh dan tradisi, yaitu Yogyakarta yang sangat terkenal dengan ke-Jawa-annya. India bagi saya saat itu hanyalah sebuah tempat yang saya kenal melalui layar kaca dengan drama-drama Bollywoodnya, fiksi-fiksi yang penuh dengan romantika dan dramatisasi, dengan aktor dan aktrisnya yang rupawan dan lagu-lagunya yang syahdu dengan syair yang mendalam maknanya. Ya, hanya itu saja. Mendapatkan sebuah kesempatan belajar gratis di India, pada awalnya memang tidak ada dalam benak saya. Tetapi mendapatkannya, saya merasa bersyukur, karena berarti saya telah diberi kesempatan untuk melanjutkan studi saya pada tingkat yang lebih tinggi dan yang lebih penting lagi, kesempatan belajar mengenai makna kehidupan di negara lain, yang pada akhirnya saya sadari telah membuat saya menjadi lebih mengenal negara saya sendiri. Selama dua tahun saya tinggal dan belajar di India, di sebuah kota yang padat penduduk dan hirukpikuk. Delhi, sebuah kota pemerintahan sekaligus ibu kota negara di India. Perjuangan hidup yang keras dan sangat menantang ketika tinggal di sana membuat saya harus melakukan banyak penyesuaian. Penipuanpenipuan kecil yang sering dihadapi oleh para mahasiswa maupun pendatang dari berbagai negara, membuat saya menjadi harus lebih struggle dalam mempertahankan hak-hak hidup saya. Kelambatankelambatan dalam proses administrasi kampus yang seringkali harus membuat saya menahan napas, memaksa saya belajar berargumentasi dan mengumpulkan bukti-bukti yang relevan, (bersambung ke halaman 10) Namaste Indonesia – Oktober 2010


Menyoal Wacana Subyektifitas dan Representasi Dalam Film dan Musik Bollywood: Sebuah Pendekatan Cultural Studies Oleh: Rozin Muhammad * Bollywood adalah industri perfilman terbesar di dunia dalam hal jumlah film yang diproduksi setiap tahunnya. Tahun 2005 Bollywood memproduksi 1100 film, lebih banyak daripada Hollywood yang hanya memproduksi 800 film pada tahun yang sama (Tirumala, 2009). Film dan musik Bollywood juga dinikmati di berbagai belahan dunia antara lain di beberapa kawasan di Asia, Timur tengah, beberapa Negara di benua Afrika, Rusia, Amerika, Inggris, Australia juga beberapa negara di selat Karibia. Dalam beberapa tahun terakhir, sering kita jumpai pemandangan yang agak berbeda tatkala sedang menikmati musik-musik ala Bollywood. Pemandangan yang belum pernah kita jumpai pada masa-masa sebelumnya. Saat ini sering kita saksikan munculnya para penari latar perempuan berambut pirang mengiringi aktor-aktor Bollywood yang sedang bernyanyi. Ya, kehadiran ‘bule-bule’ nan cantik dan aduhai itu seperti semakin menambah gemerlap dunia Bollywood. Aksi-aksi mereka bisa kita saksikan misalnya dalam video klip lagu wake up sid (2009), Aai Paapi (2008), Ae ganpat (2007) Housefull Dhanno (2010), Maa da laadla (2008) juga di banyak video klip lain yang serupa. Fakta bahwa musik-musik yang menjadi sound-track selalu sudah dirilis sebelum film mununjukkan musik adalah salah satu bagian vital yang dianggap mampu mendongkrak popularitas film tersebut. Lebih daripada itu, kualitas musik juga seringkali menjadi barometer layak atau tidaknya film tersebut untuk ditonton. Tulisan pendek ini mencoba untuk membaca fenomena baru tersebut melalui kacamata Cultural studies, sebuah bingkai penelitian multidisipliner yang memusatkan kajiannya pada isu-isu seputar kekuasaan, politik dan perubahan sosial. Cultural studies merupakan pendekatan eklektik yang melibatkan berbagai disiplin ilmu lain seperti Sosiologi, Kritik sastra, Filsafat, studi media, Sejarah dan juga Namaste Indonesia – Oktober 2010

6

Antropologi budaya. Bagi Cultural studies, teks dapat berwujud dalam kata-kata, tulisan, atau citraan visual, yang disebut tanda. Tanda inilah yang mewakili konsep dan hubungan konseptual antartanda itu yang menyusun sistem pemaknaan kita. Di sinilah,film serta video klip musik sebagai bahasa memberikan tandatanda tempat makna diproduksi. Singkatnya, citraan visual dalam film dan viedo klip musik Bollywood merupakan konsep-konsep yang akan dipertukarkan dalam praktik-praktik pemaknaan (signifying practices). Dengan demikian melalui kacamata Cultural Studies, fenomena ini dilihat tidak semata sebagai upaya untuk mendongkrak popularitas musik dan film Bollywood, tetapi lebih dari itu ada alasan ideologis yang terselubung. Lalu apa arti kehadiran ‘bule-bule’ tersebut? Setidaknya ada dua hal penting yang bisa kita baca dari fenomena ini, pertama: Para pelaku industri Bollywood ingin menunjukkan eksistensi Bollywood dalam kancah perfilman global. Tentu saja kehadiran ‘bule-bule’ itu sebagai indikasi dan tolok ukurnya. Kedua: dengan menjadikan mereka sebagai tolok ukur, maka (secara sadar ataupun tidak) wacana subyektifitas Barat yang ideal merupakan praktik pemaknaan yang terus-menerus diartikulasikan. Tentang Wacana Subyektifitas Woodward berpendapat bahwa subyektifitas adalah menyangkut diri (pribadi) seseorang yang didalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Ia juga berkaitan dengan alam kesadaran dan alam bawah sadar seseorang. Maka, menampilkan para penari kulit putih dalam video klip musik produksi Bollywood merupakan bentuk penetrasi alam bawah sadar yang kemudian secara ampuh mengkonstruksi Barat (the west) sebagai subyek yang ideal. Dalam hal ini, sebagai bentuk konstruksi ideologis, wacana ‘Barat’ sebagai subyek yang ideal hendaknya dipahami sebagai usaha membentuk cara pandang, mindset dan mentalitas para pemirsa Bollywood bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia Barat selalu dianggap lebih hebat, lebih berbudaya, lebih maju, lebih kaya, lebih pintar, lebih cantik dan ganteng dan segala bentuk kelebihan-kelebihan lainnya.


7

Kecantikan ideal yang mengacu pada dunia Barat (para penari kulit putih) dan ras Kaukasia diidealkan melalui kuasa media massa, dalam hal ini industri film dan musik Bollywood. Para pelaku industri di Bollywood dengan jeli menangkap fenomena tersebut dan menjadikannya kualitas utama dalam menjual film dan musik yang mereka produksi. Semua bentuk pencitraan ini sebenarnya juga sangat dipengaruhi oleh proses ‘peradaban’ kolonialisasi. Kontak budaya yang terjalin selama beratus-ratus tahun antara Inggris dan India selama masa kolonial, menjadikan mindset, mentalitas dan cara pandang orang India condong pada cita-rasa ke-inggris-an. Hal ini ditegaskan oleh Macaulay dalam “Minute on Indian Education” (seperti dikutip oleh Gayatri C. Spivak dalam artikelnya “Can the Subaltern Speak?”-1988): "We must at present do our best to form a class who may be interpreters between us and the millions whom we govern; a class of persons, Indian in blood and colour, but English in taste, in opinions, in morals, and in intellect… “. Inilah bentuk neo-kolonialisme bawah sadar yang diselubungkan dan dibenamkan kedalam alam bawah sadar pemirsa oleh dan melalui representasi media (para pelaku industri Bollywood). Tentang Representasi Etnis Sebenarnya, Bollywood adalah nama tidak resmi yang populer digunakan untuk menamai film berbahasa Hindi yang berbasis di Mumbai, ibukota negara bagian Maharashtra. Jadi, Bollywood bukanlah representasi total keseluruhan industri perfilman India. Selain Bollywood, ada beberapa industri film regional lainnya yang umumnya berdasarkan bahasa dan etnisitas seperti Kollywood (Industri film berbahasa Tamil berbasis di Chennai-Tamil Nadu), Tollywood (film

berbahasa Telugu berbasis di Hyderabad-Andhra Pradesh), dan Malayalam Cinema (film berbahasa Malayalam). Dalam sebuah Negara multi-lingual seperti India, bahasa memang selalu menjadi masalah yang sensitif. Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa masing-masing etnis yang berbeda bahasa membuat film mereka sendiri sebagai bentuk representasi kelompok mereka. Kelompok-kelompok etnis yang kuat secara politik dan ekonomi tentu saja mampu mendirikan industri perfilman sebagai media berbicara dan representasi, lalu bagaimana dengan nasib kelompok-kelompok etnis yang minoritas? Bahasa Hindi yang merupakan salah satu dari 22 bahasa resmi (India tidak mempunyai bahasa nasional) yang termaktub dalam konstitusi India, secara otomatis menjadi dominan dan pada gilirannya menjadi linguafranca karena merupakan bahasa dari kelompok etnis dominan yaitu IndoAryan yang berjumlah sekitar 72% (lebih 41% diantaranya berbahasa Hindi sebagai bahasa ibu) dari total populasi di India. Bollywood yang merupakan industri film berbahasa Hindi menjadi semacam representasi hegemoni etnis Indo-Aryan atas kelompok-kelompok etnis lainnya seperti etnis Dravidian (menghuni daerah bagian selatan India) yang berjumlah sekitar 25% dari total populasi, dan etnis Mongoloid (menghuni daerah bagian timur laut India) yang hanya berjumlah sekitar 3% dari total populasi diIndia. Walaupun jumlah etnis Dravidian tidak sebanyak etnis Indo-Aryan, tetapi secara politik dan ekonomi mereka cukup kuat, terbukti dengan film-film berbahasa Tamil, Telugu, dan Malayalam yang mereka buat. Lalu bagaimana dengan etnis Mongoloid? Etnis Mongoloid yang hanya berjumlah 3% dari populasi India praktis menjadi minoritas. Status minoritas mereka berimplikasi terhadap Namaste Indonesia – Oktober 2010


ketidakberuntungan mereka secara politik dan ekonomi. Negara-negara bagian dimana mereka bermukim seperti Manipur, Nagaland, Assam, Tripura dll. selalu menempati urutan bawah dalam indeks pertumbuhan ekonomi. Selain itu daerah-daerah tersebut juga menjadi langganan konflik vertikal yang tidak pernah berkesudahan antara kelompok separatis dan pemerintah. Representasi adalah praktik-praktik pemaknaan (signifying practices) tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada kita. Representasi selalu tentang oposisi biner, siapa yang termasuk “kita” dan yang “bukan kita” alias “mereka” (the other). Atau dengan kata lain, seperti yang dikemukakan Barker, representasi selalu melibatkan pertimbangan yang berciri inklusif dan eksklusif yang selalu terkait dengan masalah kuasa. Masalah serius yang selalu terkandung dalam representasi adalah tentang stereotip terhadap yang “bukan kita”. Stereotip adalah bentuk representasi gamblang tetapi sederhana yang mereduksi orang kedalam sekumpulan cirri-ciri negatif yang berlebihan. Atribusi stereotip ini juga dialami oleh etnis Mongoloid. Mereka, misalnya, sering dipanggil dengan sebutan “northeast” (mengacu pada letak geografis wilayah dimana mereka tinggal), padahal orang-orang Dravidian yang berasal dari selatan India tidak pernah dipanggil “south” ataupun “southern”, juga orang Indo-Aryan yang menempati wilyah bagian utara India tidak pernah dipanggil “North” atau “Northern”. Karena diartikulasikan secara terus menerus, sebutan northeast seolah-olah adalah sesuatu yang natural dan wajar, padahal tidak. Karena sebutan itu erat kaitannya dengan masalah kuasa dan stereotip. Bentuk stereotip lainnya kepada etnis Mongoloid misalnya, mereka sering dipanggil secara konotatif yang bernada mengolok dengan sebutan “chinky” yang secara literal berarti bermata sipit. Contoh stereotip lainnya adalah cara berpakaian para perempuan mongoloid sering dianggap terlalu vulgar, mereka juga dianggap merayakan seks bebas dll, bentuk stereotip yang tentu saja sangat reduksionis. Seperti telah diungkapkan diatas, masalah representasi selalu melibatkan oposisi biner tentang Namaste Indonesia – Oktober 2010

8

siapa yang termasuk “kita” dan yang “bukan kita”. Dengan demikian, ketidaktampakan etnis Mongoloid dalam Bollywood -sebagai media- bukan hanya tidak sesuai dengan peran demokrasi media, tetapi juga mendorong ketidakpedulian etnis Indo-Aryan yang mayoritas, terhadap etnis Mongoloid beserta budaya dan adat istiadat mereka. Sebagai salah satu media yang berpengaruh, Bollywood telah gagal melakukan perannya sebagai ruang publik demokratis yang bertugas menyajikan realitas India yang sesungguhnya. Kegagalan ini tampak misalnya, ketika kita mahasiswa Indonesia (mungkin juga mahasiswa asing lainnya) yang baru saja menginjakkan kaki di India kaget setelah mengetahui bahwa ternyata ada penduduk India yang mempunyai ciri-ciri fisik yang mirip dengan kita. Ini dikarenakan film-film Bollywood sebagai satu satunya media yang bisa diakses oleh masyarakat awam di Indonesia (juga masyarakat awam di beberapa Negara dimana Bollywood diekspor) tidak pernah menampilkan etnis Mongoloid sebagai pemain. Dengan mengabaikan etnis Mongoloid, Bollywood (sebagai representasi etnis Indo-Aryan) menempatkan etnis Mongoloid diluar masyarakat umum, mengkonstruksi mereka sebagai kelompok pinggiran dan tidak relevan. Meminjam bahasanya Spivak, etnis Mongoloid sebagai subaltern tidak mampu berbicara tentang diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai media sebagai ruang untuk merepresentasikan identititas dan keberadaan mereka. *Mahasiswa M.A. Linguistics (Final) – University of Delhi

Redaksi Namaste Indonesia, mengundang segenap masyarakat Indonesia, dimanapun, untuk ikut berpartisipasi aktif dalam majalah online PPI India ini. Anda dapat mengirimkan tulisan Anda dalam bentuk opini, tulisan ilmiah, resensi buku, resensi film, cerita pendek, dll, melalui alamat email: namaste@ppiindia.org


9

Pemalas Belajar dari Semut untuk Menjadi Kaya

Mungkin kita sering menanyakan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri ”Apakah saya seorang pemalas atau tidak?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita jabarkan sifat dari seorang pemalas, seorang pemalas memiliki sifat tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring. Jika Anda memiliki sifat seperti itu maka Anda masuk ke dalam daftar orang malas, tetapi jika sifat itu tidak ada pada diri Anda maka beruntunglah Anda tidak masuk dalam daftar orang malas. Setelah mengetahui diri kita berada dalam posisi orang malas atau tidak, maka akan muncul pertanyaan lagi ”Kalau menjadi orang malas apa ruginya?” . Sifat pemalas akan memberikan dampak negatif bagi diri sendiri dan diri orang lain. Dampak negatif bagi diri sendiri adalah kekurangan atau kemiskinan. Dampak negatif bagi orang lain adalah menjadi beban, kita pasti pernah merasakan pedihnya mata karena asap, begitulah si pemalas bagi orang yang menyuruhnya. Sekarang kita sudah mengetahui bahwa kemiskinan terjadi karena kemalasan, pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita berikutnya adalah ”Bagaimana caranya menghilangkan sifat malas supaya tidak menimbulkan kemiskinan?”. Caranya adalah ”Belajar dari semut”. Setelah mengetahui caranya kita akan bertanya lagi ”Kenapa harus semut?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita bahas mengenai semut, semut merupakan binatang yang ”biarpun tidak memiliki pemimpin tetapi menyediakan makanannya pada musim panas dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen”. Sifat dari semut inilah yang sering dilupakan oleh manusia, yaitu: 1. Ketika pemimpin tidak ditempat kita tidak bekerja atau bersantai-santai dan ketika pemimpin datang baru bekerja.

2. Ketika gajian atau waktu panen datang kita tidak menyisihkan gaji atau hasil panen di dalam rekening atau lumbung. Biasanya kalau gajian atau panen tiba kita akan langsung belanja ini dan itu tanpa mempertimbangkan musim panas yang akan dilewati sebelum gajian atau panen berikutnya. 3. Ketika musim panas atau waktu sebelum gajian berlangsung, kita sering membatasi segala pengeluaran bahkan jatah makan jadi dikurangi karena boros. Mulai sekarang marilah kita orang-orang yang masuk kategori pemalas untuk mengimplementasikan sifat yang dimiliki oleh semut supaya kemiskinan menjauh dari kehidupan kita. Bangsa Indonesia terkenal akan sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya banyak yang hidup dalam garis kemiskinan. Mari kita perbaiki citra bangsa ini dengan terlebih dahulu mengubah sifat malas dari diri kita sendiri menjadi sifat yang rajin bekerja dan menabung. Mari kita bangun dari tidur kita dan hayalan kita, kita harus percaya ”dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka mendatangkan kekurangan saja”. Oleh: Hendra Manto Sitorus hendramanto@gmail.com

Namaste Indonesia – Oktober 2010


(sambungan dari halaman 5) sepantasnya saya dapatkan. Kompetisi yang untuk mendapatkan sesuatu yang memang sudah sangat ketat di kelas membuat saya belajar untuk lebih berani dan percaya diri, mendorong saya untuk lebih banyak membaca dan membaca, membenahi diri untuk menulis, dan lebih banyak bersuara. Tidak hanya pada budaya dan komunitas India saja saya harus melakukan penyesuaian. Terhadap komunitas mahasiswa asing, bahkan juga dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berasal dari berbagai suku dengan berbagai pengalaman hidup yang berbeda. Penyesuaian terhadap bahasa, bahkan cara berpikir dan cara pandang terhadap sebuah peristiwa. Belajar menjadi lebih bijak dan lebih memiliki pemahaman terhadap perbedaan. Dua tahun berada di sebuah negara yang mengurangi waktu saya berbicara dengan menggunakan bahasa nasional saya, bahkan meminimalkan kesempatan saya berbicara dengan bahasa ibu, yaitu bahasa Jawa yang sebelumnya saya gunakan hampir setiap waktu ketika berada di Yogyakarta. Dua tahun tersebut telah membuat saya sedikit merasa asing ketika pada saat perjalanan pulang dari India ke Indonesia saya sempat singgah di Malaysia selama satu minggu. Mendengar bahasa Melayu yang mirip dengan bahasa Indonesia itu digunakan oleh sebagian besar masyarakat saat saya berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Kuala Lumpur membuat hati saya terhenyak sebentar. Sempat saya mengatakan pada seorang teman, bahwa saya merasa asing. Asing, sementara jarak saya saat itu hanya tiga jam perjalanan dari kampung halaman saya. Perasaan asing semaking mendera hati ketika saya berada di bandara Kuala Lumpur dan mendengar beberapa calon penumpang fasih menggunakan bahasa Jawa saat bercakap-cakap. Berada di dunia manakah saya? Saya semakin kagok ketika harus berbincang dengan seorang penumpang yang duduk di Namaste Indonesia – Oktober 2010

10

sebelah saya dengan menggunakan bahasa Jawa. Pengalaman tersebut semakin terasa ketika saya menginjakkan kaki di Yogyakarta pada akhir Juni 2010. Keluarga saya sempat terbengong-bengong ketika melihat saya menawar barang di lapak pedagang kaki lima di Jalan Malioboro. Mereka mengatakan pada saya bahwa harga yang saya tawar terlalu rendah, dengan cara yang agak sedikit memaksa dan, khususnya bagi keluarga saya, agak kasar, dan lebih aneh lagi bagi mereka, saya menawar dengan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Mendengar opini dari keluarga saya tersebut, saya merefleksi diri. Pada suatu pagi saya menyadari bahwa senyum yang biasa menjadi simbol keramahan di kota saya cukup jarang mengembang di wajah saya. Dahi saya lebih sering mengernyit, sehingga saya perlu untuk melatih otot-otot di wajah saya supaya terlihat lebih cerah, ceria, dan selalu dihiasi dengan senyuman. Benar, saya menyadari bahwa telah banyak terdapat perubahan dalam diri saya. Dan, sekali lagi, saya harus melakukan penyesuaian diri. Ya, penyesuaian diri pada sebuah budaya yang telah membesarkan diri saya sejak lahir. Pada saat itulah saya mulai memahami bahwa diri saya telah mengalami sebuah proses yang dikenal dengan label “akulturasi�. Konsep akulturasi ini menjelaskan mengenai pertemuan lebih dari satu budaya yang menghasilkan suatu perubahan, baik dalam level individual maupun komunitas. Dalam konteks pendidikan internasional, Sam & Berry (2006) dalam pendahuluan buku mereka Acculturation Psychology bahkan menyebutkan bahwa akulturasi merupakan sebuah konsekuensi baik bagi pelajar maupun institusi tempat belajar. Pengalaman saya ketika belajar di India selama dua tahun telah membawa saya pada diri yang bertransformasi dari seseorang yang memiliki karakter ke-Jawa-an menjadi seseorang yang berbeda, setelah adanya pengaruh dari karakter dan budaya India


11

khususnya di Delhi. Kehidupan yang relatif lebih keras membuat saya menjadi seorang yang lebih berani, dan kompetisi yang sangat ketat membuat saya menjadi lebih percaya diri dalam mengungkapkan pendapat. Hal inilah yang disebut oleh David Pollock dan Ruth E. Van Reken (2009) dalam buku Third Culture Kids sebagai salah satu konsekuensi dari perilaku blending in yang dilakukan oleh seorang pendatang pada sebuah budaya dan tempat yang berbeda. Dalam buku tersebut, Pollock dan Van Reken menjelaskan bahwa seseorang yang masuk ke dalam budaya yang berbeda dari budayanya sebelumnya, maka ia dapat memilih untuk melakukan proses blending in, yaitu sikap menyesuaikan dengan budaya baru, atau justru semakin menunjukkan indentitas lamanya dan menolak untuk dipengaruhi oleh budaya yang baru. Namun demikian, mengingat bahwa perilaku (behavior) merupakan fungsi dari individu (person) dan lingkungannya (environment) atau yang biasanya dirumuskan sebagai B = f (P,E), maka setiap tindakan yang dipilih oleh seseorang ketika berada di luar negaranya akan tetap mempengaruhi sikap dan pemikirannya. Sebagai sebuah konsekuensi, tentunya pengalaman saya hanyalah merupakan salah satu dari sedemikian banyak pengalaman akulturasi yang dialami oleh para mahasiswa asing maupun berbagai komunitas asing lainnya yang tersebar di berbagai negara di dunia. Tercatat oleh sebuah lembaga yang bernama Open Doors bahwa terdapat hingga satu juta orang yang diestimasikan belajar di luar negeri pada setiap tahunnya di seluruh dunia (Sam & Berry, 2006). Sebuah penelitian disertasi yang dilakukan oleh Yuniarti (2004) pada kelompok mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman pun menunjukkan hal yang serupa. Mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman juga mengalami akulturasi perilaku yang disebut sebagai pembelajaran budaya (culture learning) meskipun hal tersebut tidak mempengaruhi indentifikasi sosial mereka sebagai komunitas yang berbudaya Asia. Dalam Human Development Report yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2009 bahkan

perkembangan dan mobilitas manusia dianggap sebagai salah satu fokus utama, dan disebutkan bahwa mobilitas tersebut memiliki konsekuensi yang bersifat psikologis, selain tentunya memiliki efek yang signifikan terhadap bidang ekonomi dan moneter di dunia (Carr, 2010). Pengalaman akulturasi ini tentunya mendorong seseorang untuk lebih memahami mengenai budaya aslinya sekaligus budaya-budaya baru yang telah mempengaruhi dirinya secara personal. Sebagai seorang individu yang selalu ingin mengembangkan diri, tentunya kita harus terus-menerus belajar untuk memilah hal-hal mana yang sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan diri ke arah yang lebih baik, dan hal-hal mana yang sebaiknya ditinggalkan. Sebagai contoh pada pengalaman akulturasi yang saya alami, tentunya keberanian untuk bersikap dan berpendapat merupakan dua hal dari berbagai hal positif yang patut untuk dikembangkan. Akan tetapi, mungkin saya harus kembali belajar untuk membawa diri secara tepat pada setiap situasi di daerah tempat saya tinggal sekarang. Proses ini adalah sebuah proses yang saya sebut sebagai “transformasi�, yaitu perubahan menjadi sesuatu yang lain, dari diri saya sebelumnya. Dan yang lebih penting dari itu, proses transformasi ini tidak akan hanya terjadi satu kali saja dalam hidup, karena setiap peristiwa yang kita alami dalam kehidupan mengandung aspek individu dan lingkungan, yang tanpa disadari dapat menciptakan perubahan dalam diri kita, sehingga kita harus terus-menerus bertransformasi.

Yopina G. Pertiwi Asisten Pengelola Magister Sains Psikologi UGM, Penerima Beasiswa ICCR 2008 – 2010, Alumnus M.A. with Psychology, University of Delhi, Ketua Umum PPIIndia 2009 –2010

Namaste Indonesia – Oktober 2010


Incredible India, Incredible Learning Spirit Hari itu aku berada di toko buku langgananku di Bungalow Road Jawahar Nagar, sekitar Kamla Nagar yang lokasinya tidak jauh dari kampusku di University

of Delhi. Aku berniat untuk mencari tambahan materi bagi projek penelitianku. Ada cerita mengapa aku sering ke sana. Toko buku itu sebenarnya juga merupakan kantor penerbit yang mengkhususkan diri pada buku-buku tentang Indologi, ilmu kajian tentang India, namanya Motilal Banarsidass (MBD). Sebenarnya sejak di UGM aku sudah memakai buku-buku MBD sebagai referensi utamaku, baik untuk skripsi maupun tesis. Buku-buku ini ada di perpustakaan UGM hasil sumbangan dari Kedutaan Besar India Jakarta pada sekitar tahun 1950-60an. Ini salah satu alasan mengapa aku memilih studi di India karena merasa terkesan pada buku-buku sumbangan pemerintah India tersebut. Setelah puas dengan buku-buku di MBD, aku keluar dari toko buku dan berniat untuk berjalan ke Kamla Nagar tempat teman-teman Indonesia tinggal. Karena masih di lingkungan kampus DU, di sepanjang Bungalow Road banyak toko buku yang menyediakan bahan-bahan perkuliahan untuk para mahasiswa. Walaupun tidak selengkap Nai Sarak di Old Delhi maupun Sunday Market di sepanjang Darya Ganj, Delhi Namaste Indonesia – Oktober 2010

12

dalam menyediakan buku-buku bacaan, kawasan ini cukup ramai dan sering dijadikan rujukan untuk mendapatkan buku-buku teks kuliah. Sepanjang jalan banyak orang melakukan aktivas ekonomi dengan menawarkan berbagai barang jasa. Kawasan Kamla Nagar merupakan salah satu pusat perekonomian di kota Delhi bagian utara. Banyak orang yang berjualan buku, pakaian, makanan, cinderamata, dan lain sebagainya. Di Delhi ada bisnis jasa yang belum lazim di Indonesia yakni bisnis timbang badan. Jadi dengan membayar satu atau dua rupee (sekitar Rp 200 – Rp 400) kita bisa mengetahui berat badan kita. Hanya dengan bermodalkan timbangan badan seseorang bisa memulai usaha ini. Ini tidak mahal serta mudah. Suatu usaha yang bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan oleh orang yang sudah sangat tua atau anak-anak sekalipun. Entah mengapa, sore itu pandanganku tertuju pada seorang anak perempuan yang sedang duduk di hadapan timbangan dengan tangan sedang tertunduk sepertinya sedang melakukan sesuatu, di depan sebuah toko yang menjual buku-buku kuliah di Bungalow Road, Kamla Nagar. Aku penasaran sedang apa dia? Ternyata ia

sedang menyalin sesuatu dari buku teks ke dalam buku tulisnya. Aku amati anak ini sekian lama apa sesungguhnya yang ia lakukan dan mengabadikannya dalam beberapa kilatan kamera. Sampai akhirnya aku berkesimpulan, jadi sambil menunggu orang yang berniat memakai jasanya untuk menimbang badan, ia


13

gunakan waktu yang ada untuk belajar atau mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Aku sesungguhnya sangat prihatin, kemiskinan telah memaksa anak-anak ini untuk bekerja mencari nafkah dan kehilangan kesempatan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak. Walaupun secara legal mempekerjakan anak dilarang, namun kenyataannya hal ini sudah menjadi pemandangan umum di India. Namun demikian aku salut atas semangat anak-anak ini dalam belajar. Di tengah-tengah keterbatasan yang ada mereka tetap berusaha belajar dengan tekun dan keras. Melihat hal ini terus terang aku malu pada diriku sendiri. Betapa selama ini aku telah mendapatkan lebih banyak nikmat dibandingkan dengan mereka. Aku harus lebih bersyukur atas keadaanku sekarang. Mereka menya-darkan aku untuk lebih bisa mempertang-gungjawabkan berbagai kesem-patan dan kemudahan yang telah diberikan padaku. Ini adalah contoh terekstrim yang pernah kulihat betapa kerasnya orang-orang India dalam belajar atau menuntut ilmu. Sebelumnya sudah banyak kutemui orang-orang India menghabiskan waktu dengan membaca di manapun mereka berada. Jika kita menggunakan Metro (MRT di Delhi) tidak sedikit dari mereka yang mengisi waktunya dengan membaca. Kadang aku penasaran, apa sih yang mereka baca? Ternyata mereka membaca bacaan ‘serius’, entah itu novel, buku teks kuliah dan sebagainya, bukan sebangsa koran gosip atau komik. Aku belum tiga bulan di Delhi, tapi aku bisa melihat bahwa secara umum orang India lebih gemar membaca daripada orang Indonesia. Mungkin bacaan anak-anak SMA di India lebih baik secara kualitas dan kuantitas daripada bacaan mahasiswa Indonesia. Aku melihat teman-teman mahasiswa Indonesia di India harus bekerja ekstra keras untuk mengimbangi kawan

India mereka. Ini bukan karena orang India lebih pintar tapi lebih disebabkan karena orang India lebih banyak membaca daripada teman-teman mahasiswa Indonesia. Terus terang aku salut atas perjuangan para mahasiswa Indonesia di India yang bekerja lebih keras daripada teman-teman mereka di tanah air. Sampai di rumah aku lalu berpikir apa yang membuat orang India demikian keras dalam belajar? Apa yang menjadi dasar dari hal yang menurutku sangat luar biasa (incredible) tersebut? Mengapa mereka sedemikian terobsesi dengan belajar dan pengetahuan? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tadi, aku melakukan perenungan untuk memahami dasar dari pandangan hidup mereka dengan perspektif bidang keahlianku. Jika dilacak sampai jauh ribuan tahun ke belakang, maka ‘pengetahuan’ merupakan kata kunci dari peradaban India kuno, yang tetap terlembagakan dalam agama dan filsafat yang mereka anut hingga saat ini. Pengetahuan bisa dikatakan adalah segalanya bagi orang India. Menurut mereka, bila orang ingin selamat ia memerlukan pengetahuan; bila ingin bahagia ia membutuhkan pengetahuan juga, semuanya bergantung pada pengetahuan. Oleh karena itu dalam Bhagawatgita mereka mengenal adanya jalan pengetahuan atau ‘jnana marga’ sebagai salah satu dari tiga jalan dalam menjalani hidup. Kita tentu mengenal stratifikasi masyarakat India atau yang lebih dikenal sistem kasta dalam Hinduisme. Kita mengenal bahwa kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dibandingkan ketiga kasta yang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankan kekuasaan ada di tangan kasta ksatria? Atau kekayaan ada di kasta Waisya? Walaupun kekuasaan ada di tangan para ksatria dan kekayaan ada di genggaman Waisya namun pengetahuan dan kebijaksanaan ada di tangan kaum Brahmin. Ini menunjukkan superioritas pengetahuan di Namaste Indonesia – Oktober 2010


atas kekuasaan dan kekayaan. Pengetahuan adalah kebijaksanaan, kuasa dan kekayaan sekaligus. Biar bagaimanapun kekuasaan membutuhkan pengetahuan, bagaimana mungkin seseorang berkuasa atau memerintah tanpa dibimbing oleh suatu pengetahuan?; demikian pula halnya dengan hubungan antara kekayaan dan pengetahuan. Jika dalam Hinduisme begitu lalu bagaimana dengan tradisi Buddhis yang juga berasal dari India? Inti ajaran Buddha memandang bahwa penderitaan adalah suatu yang eksistensial dalam hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran ini ingin membantu manusia melenyapkan penderitaan. Apa yang menjadi akar dari segala penderitaan? Buddhisme menjawab ‘kebodohan’. Bagaimana mengatasi hal ini? Tentu saja pertama-tama diawali dengan ‘pengetahuan yang benar’, kemudian diikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki tempat yang pertama dan utama. Kedua hal tersebut belum cukup memuaskanku. Aku mencoba melacak lebih jauh kali ini dengan menggunakan penyelidikan pada bahasa. Bahasa bisa dikatakan merupakan suatu konstruksi bagaimana suatu bangsa memandang dunianya. Dalam hal ini aku ingin melihat seberapa pentingnya kata ‘pengetahuan’ itu? Di sini aku memakai ‘A Dictionary English and Sanskrit’ dari M. Monier Williams. Aku ingin tahu berapa padanan kata untuk kata kerja ‘to know’ dan kata benda ‘knowledge’ dalam bahasa Sanskrta, bahasa India kuno yang menjadi dasar dari kebudayaan India. Hasilnya cukup mengejutkan. Untuk verba ‘to know’ (mengetahui) ditemukan 28 padanan kata Sanskrta. Sedangkan untuk nomina ‘knowledge’ (pengetahuan) terdapat 81 padanan kata. Ini menandakan mereka begitu rigid dan terperinci dalam menjabarkan dan memaknai kata ‘pengetahuan’. Sekali lagi memperlihatkan bahwa pengetahuan adalah Namaste Indonesia – Oktober 2010

14

kunci dari peradaban mereka. Tidak itu saja, hal tersebut mereka wariskan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran berharga dari mereka. Kita tentu tahu, banyak hal-hal buruk dari orang India yang tentunya tidak perlu kita tiru. Namun ada hal positif yang perlu kita teladani pada diri mereka, yakni semangat dalam belajar atau obsesi terhadap pengetahuan yang luar biasa. Bangsa kita tidak kalah pintar dari orang India. Yang perlu kita dorong adalah semangat untuk terus belajar dan bekerja keras, karena kita sering terlena oleh kemudahan dan karunia kekayaan alam yang Tuhan berikan kepada kita. Novian Widiadharma Mahasiswa S3 program Filsafat University of Delhi


15

Trik Sulap Mendapatkan Nomor Handphone

Ditranslasikan dan dikembangkan dari Jay Sankey : Firestarter oleh Wiku Pulangasih the Online Magician

Ambil pula remasan kertas yang sudah anda persiapkan, dalam posisi finger palm sehingga penonton tidak bisa melihatnya. 3. Suruh sang penonton menuliskan nomor handphonenya di kertas yang ia pilih.

Deskripsi : Anda bisa mendapatkan nomor handphone salah satu penonton sulap anda. Trik ini sangat simpel, hanya mengandalkan Finger Palming dan Switching. Persiapan: 1. Potong-potong sebuah kertas menjadi beberapa bagian seperti berikut. Lebih baik

pilih kertas yang agak tebal. 2. Ambil salah satu potongan kertas, remas-remas menjadi bola, masukkan ke saku celana kanan anda bersama sebuah pulpen (pilih pulpen yang tidak terlalu tebal dan tidak menembus kertas).

Performance: 1. Tunjukkan pada salah satu penonton bahwa anda memiliki banyak potongan kertas (tidak usah sebutkan jumlahnya). Minta ia mengambil satu potongan kertas. 2. Setelah itu, ambil spidol di saku kanan anda.

4. Remas-remas kertas lain yang tidak dipilih penonton menjadi berbentuk bola.biarkan di atas meja Hati-hati, jangan sampai kertas di tangan kanan anda terlihat. 5. Minta penonton meremas kertas yang bertuliskan nomor handphonenya menjadi seperti bola. 6. Ambil kertas dari tangan penonton dengan tangan kanan anda. Tukar kertas tersebut dengan kertas yang telah anda finger palm sebelumnya. (lihat gambar)

7. Jatuhkan kertas yang anda tukar ke remasan kertas yang lain. Penonton mengira itu adalah kertas yang bertuliskan nomor handphone-nya. Padahal, kertas itu ada di tangan anda, dalam posisi finger palm. 8. Ambil spidol dari penonton, masukkan kembali Namaste Indonesia – Oktober 2010


ke saku celana anda. Sambil memasukkan spidol, masukkan pula remasan kertas yang di dalamnya terdapat nomor handphone penonton.

16

kertas itu kosong, dan anda berhasil mengambil kertas yang bertuliskan nomor kontak penonton.

Notes :  Cocok dimainkan sebagai penutup pertunjukan.  Gunakan ukuran kertas yang lebih kecil dari contoh di gambar, untuk menghindari kemungkinan penonton melihat kertas duplikat di tangan anda.  Apabila penonton tidak mau menuliskan nomor handphone-nya, jangan memaksa. Suruh ia menulis alamat email sebagai gantinya, karena email bersifat lebih umum dan tidak terlalu pribadi. Wiku Pulangasih www.wikumagic.org

9. Penonton masih mengira bahwa kertas yang bertuliskan nomor handphone-nya masih di atas meja, di antara remasan kertas lain. Katakan bahwa anda akan mencoba menebak kertas mana yang bertuliskan nomor handphone penonton. Minta ia mengacak remasan-remasan kertas itu. 10. Ambil kertas yang mana saja,masukkan ke saku, setelah itu tinggalkan penonton dengan gaya se-cool mungkin. Penonton pasti akan penasaran dan membuka remasan kertas yang lain. Meraka pasti akan terkejut bahwa kertas

Redaksi Namaste Indonesia mengucapkan selamat atas terpilihnya:

SDR. MOSES SARAGIH Sebagai Ketua PPI India Komisariat PuneMumbai Dan

SDR. HABIBI SUBANDI Sebagai Ketua PPI India Komisariat New Delhi

Semoga PPI Komisariat Pune-Mumbai dan PPI Komisariat New Delhi semakin giat dan professional dalam menjalankan tugas mulianya. Selamat Bekerja, REDAKSI NAMASTE INDONESIA Namaste Indonesia – Oktober 2010


17

YANG MENJADIKAN DOA TERJAWAB

(Inspired by Mario Teguh, The Golden Ways)

P

ertama melihat judul dari acara Mario Teguh, edisi 29 Agustus 2010 yang hadir di Metro TV tiap malam Senin ini..sudah membuat saya penasaran dan ingin tahu. Apa-apa saja sih yang bisa membuat doa-doa terjawab (walau sudah sering mendengar syarat-syarat tekabulnya doa, ya namanya manusia lancer kaji karena diulang kan), dan siapa tahu ada jalan pintasnya (hehhe, mau shortcut aja). Bicara masalah doa siapa sih didunia ini yang gak punya doa yang erat kaitannya dengan harapan, impian, dan cita-cita tentunya. Mario Teguh memulai acara tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka seperti; apakah kepandaian bisa diminta? (bisa, jawab para penonton). Kemudian Mario bertanya lagi apakah wibawa dan kasih sayang orang kepada kita juga bisa diminta? (kembali para penonton menjawab, bisa). Jadi, seperti biasa Mario pun memulai pembahasan topic dari pertanyaan-pertanyaan ini (warming-up question). Menariknya bahwa beliau menekankan pada hubungan SEBAB-AKIBAT. Wah, menurut saya ini satu konsep yang baru dalam hal doa. Mario mencoba membuat audience paham dari dua hubungan sebab akibat ini melalui contoh-contoh. Berapa banyak dari kita yang meminta uang (yang katanya Pak Mario ini adalah akibat) tapi bukankah uang tersebut bisa kita dapat dari sayangnya orang kepada kita (dan yang ini adalah sebab). Masih belum terlalu clear ini dikepala saya. Banyak dari kita tidak mengerti logika bahwa apabila kita meminta sebab maka kita akan mendapatkan akibat sebagai bonusnya. Tapi pada realitanya kita lebih banyak meminta akibat langsung tanpa mau menjalani sebab dulu (lagi-lagi jalan pintas ya). Mau jadi juara kelas, mintanya langsung “Ya Allah jadikan aku juara kelas”. Padahal ini adalah “akibat”

dari bekerja keras tentunya. Sedikit dari kita yang mungkin meminta, ”Ya Allah jadikan aku seorang yang pekerja keras dan anak yang Rajin” (sebab untuk bisa menjadi juara). Jadi, dari sini kita bisa ambil kesimpulan dan evaluasi, mengapa doa-doa kita yang mungkin sudah kita panjatkan siang dan malam, belum juga terkabul. Mungkin selain karena evaluasi secara sudut pandang sebab-sebab tidak dikabulkannya doa, ditambah mungkin banyak dari kita yang meminta akibat dari pada sebab. Menurut Mario, seseorang yang benar-benar berdoa dan menginginkan doa nya terkabul adalah “orang yang menjadikan dirinya terlibat dan mendukung doa-doanya terkabul (dihijabah)”. Mau pintar, ya ada usaha untu mendapatkan kepintaran tersebut; dengan belajar tentunya. Mau bijaksana, belajar untuk bijaksana (posisikan diri jadi bijaksana), dan lainnya. “Dan dia yang ingin menjadi yang betul-betul dikasihi Tuhan, dia menjadikan kehidupannya sebagai doanya agar ia menjadi pelayan bagi pemuliaan kehidupan sesamanya dan sebagai pelestari dari keindahan semua ciptaan tuhan dialam” Jika kita berdoa ingin menjadi orang pandai, maka pikirannya diisi dengan ilmu dan hatinya diisi dengan penghormatan kepada guru. Mau dihormati, menghormati orang lain dulu. Menghormati orang lain jangan diukur dari besarnya dan tingginya jabatan orang, tapi dari besarnya hati yang dibutuhkan untuk menghormati orang kecil. “Semoga kita menjadi jiwa yang tidak harus meminta untuk diberi karena keseluruhan kehidupan kita adalah doa, lalu kita tutup dengan keikhlasan yang sangat dalam, dengan satu kata yang sangat penting sekali, Amin”

Bening Jiwa, Oct 2, 2010 Namaste Indonesia – Oktober 2010


Indianness and Satire of History in Salman Rushdie’s The Moor’s Last Sigh Christian, Portuguese and Jews; Chinese tiles promoting godless views; pushy ladies, skirts-not-saris, Spanish shenanigans, Moorish crowns. . . can this really be India?

Salman Rushdie, The Moor’s Last Sigh

The Moor's Last Sigh (1995) is a part of the historiographic trilogy of Salman Rushdie along with Midnight's Children (1981) and Shame (1983). Rushdie is renowned for his brilliant political satire and most of his fiction is set in Indian subcontinent. He is also concerned with the issue of migrant’s quest of identity. Besides historical allegory, The Moor’s Last Sigh can also be read as a family saga. We see the Independence struggle, the Partition and the Emergency era and how these events are inserted into and mutually affect the characters in this novel. In this novel we can see the complexity of India as a nationstate from the aspect of its history as depicted in the novel and how Rushdie satirizes Indian history through intertwining the protagonist’s personal life and historical events. The common technique Rushdie uses in Midnight's Children and The Moor's Last Sigh is the sophisticated connection between India and the main character's life journey. In the first novel, Saleem Sinai’s birth coincides with the birth of the nation, on the Independence Day, while in the latter India's plot movement is in sync with the experience of Moor's family. The story in The Moor’s Last Sigh covers the life of four generations, from the nineteenth century to the present, and is set in Bombay and Cochin. It is narrated by a Christian Portuguese-Jewish named Namaste Indonesia – Oktober 2010

18

Moraes (‘Moor’) Zogoiby. In his narration, the Moor tells about the history of ‘India’ as he remembers it. History is maintained and modified from time to time. The writing of history in Rushdie’s novel more or less resembles what the Moor says about his mother’s family conflict, 'I tell them as they have come down to me, polished and fantasticated by many re-tellings.

The play with history is evident in Aurora’s paintings. When her talent is first discovered by her father, she draws history on the walls, starting from King Gondophares and St Thomas the Apostle, the building of the Taj Mahal, the battle of Srirangapatnam, the modern history including the Congress and Muslim League, to, most importantly Catholic Portuguese Vasco da Gama's first setting his foot in India. Moreover, her bloodline as a Da Gama also formed India in the past, thus she has the sense of Indianness.

Plural India Indianness is a plural and unstable idea. India is a multilingual, multicultural and multi-religious country. Purity of race is rendered as impossible. In Imagined Communities, Benedict Anderson states that nation, nationality and nationalism are difficult to define (3). We need to see the historical context of those concepts because the meanings change over time. Flory Zogoiby, who is a Jew, objects her son’s choice of woman, the Portuguese Aurora da Gama because of religion and nationality difference. However, it is later revealed that Flory's bloodline is from Boabdil the Misfortunate, in Moorish tongue, El Zogoybi (83). The term ‘Moor’ itself is difficult to define. It is a loose category in terms of ethnic group, ancient or modern. Besides Hindu, Islam and Christian, other religions in India include Sikh, Buddhism and Jainism. India is also plural in terms of language. In the novel, the demand of the people for the departure of the British was proclaimed ‘in Malayalam, Kannada, Tulu, Konkani, Tamil, Telugu and English’ (31). We can see the complexity of identity in, for example, Francisco. Political preference is only one side of Francisco.


19

Beneath his determination of the end of the British Empire, he loves English literature and can recite with deep sentiment Andrew Marvell's 'On a Drop of Dew'.

Family Entity as a Nation The nation as a family is something that India is familiar with. This can be seen from the term 'Mother India'. First, Mother India is the embodied in Isabella, 'who loved and betrayed and ate and destroyed and gain loved her children, and with whom the children's passionate conjoining and eternal quarrel stretched long beyond the grave' (60-1). Then, the embodiment shifts to her daughter, Aurora. She resembles her mother so much—beautiful and sharp-tongued—that Camoens could not even bear to look at her daughter. The Abraham-Aurora family in a way represents India. The couple is full of hatred and vengeance. However, they love each other. The Hindu-Muslim conflict is something that lingers in Indian history. Referring to one of the major incidents is the 16th-century Babri Masjid riot, Moraes comments, ‘They surge among us, left and right, Hindu and Muslim, knife and pistol, killing, burning, looting, and raising into the smoky air their clenched and bloody fists’ (365). Moraes says that ‘motherness… is a big idea in India, maybe our biggest: the land as mother, the mother as land, as the firm ground beneath our feet’ (137). The concept of mother goddess is a combination of Hindu religious feeling and patriotic fanaticism, linking to the idea of the nation as a political entity (Mukherjee 49). We are reminded of Mother India, a mega movie directed by Mehboob Khan and produced in 1957. The epic movie portrays poverty in agricultural India and the protagonist, Radha—a willful mother who ploughs the soil, raises her two sons by herself and being exploited by a moneylender—clearly stands for India. The Moor’s Last Sigh also deals with the issue of incest. The relationship between Birju and Nargis is an example of Freudian Oedipus complex and this is even more obvious in Moraes and Aurora. The Moor is the

mother’s object in her series of paintings. She transforms his deformed limb into art. In “To Die upon a Kiss” painting, Aurora is portrayed as Desdemona and the Moor Othello. She is jealous of Moor’s lover, the sculptor Uma. The symbol of the country as motherland was confirmed during the nationalist movement. On one side of Aurora is that she is an ordinary wife, ‘a woman of her generation’ (222). Aurora ignores Abraham for his love affairs because he is the breadwinner of the family. But she goes into arts and become very famous. Intertwining history and personal life is also made possible by creating larger-than-life characters and placing them to actual time and place. Aurora is an apt example. She has several affairs, including with ‘Pandit Nehru’, the Prime Minister of India. There is even a suggestion that Moraes is his son. Moreover, Moraes is a descendant of Portuguese navigator Vasco da Gama.

Identity and India’s Secularism Moraes in a way represents India. He is a big man, six feet and a half. In terms of size, India is vast and is a subcontinent. Moraes has misshapen right hand. Moreover, his greatest anomaly is that his body appears twice as old as his real age. Based on age, Gediman compares Moraes to India and says that the two grow too fast. The Partition took place soon after Indian independence in 1947. Indianness can also be built by the sense of nationalism. Critics view that Rushdie’s nationalism tends to be that of Jawaharlal Nehru. The Da Gamas support secularity for “Mother India”. Francisco, Camoens and Abraham seem to fall in the same group. Francisco believes that the British must go, while Epifania thinks that the British has been doing some good to the 'Empire's children'. She believes the British have given civilization, law and order. (continued to page 24).

Namaste Indonesia – Oktober 2010


Wala Tai Asu Oleh: Faizal Makhrus* Tubuhku terasa kaku, dingin, dan tak berdaya, terombang-ambing di awang-awang menuju lubang gelap yang menakutkan. Aku terakhir kali mengingat bahwa tubuh ini sedang tertidur di dipan ditemani anak-anak yang sedang membaca tahlil. Dan beberapa saat kemudian, saat yang menakutkan tiba ketika tubuhku serasa tercabik ribuan pedang, tersambar sosok yang mengerikan, datang secara tiba-tiba dari pintu tanpa menyapa terlebih dahulu. Dia memukulku keras-keras dengan gada yang membara hingga nyawaku terpental dari jasadku. Sakit...sakit sekali...sesakit apa yang telah dipersaksikan oleh Nabiku. Aku tercekik, nafas sudah tersengal, dan tiada. Baru kemudian, lubang hitam itu menganga dan sosok yang mengerikan itu menarikku ke dalamnya dengan memaksa. Aku gelisah karena tak bisa menghadap ke belakang. Aku ingin melihat apa yang sudah terjadi hingga aku mendiami kegelapan ini. Tiba-tiba sosok tadi memberiku cermin. Sebuah cermin yang mengajakku melihat peristiwa semasa hidupku, sebelum nyawa ini tercabut. Aku melihat diriku muda di dalamnya.

Aku dahulu adalah seorang pemuda yang taat beribadah. Aku tahu sekali bahwa hidup di dunia adalah untuk bekal kematian. Hari-hari kuhabiskan dengan sholat, mengaji, puasa, dan tholabul 'ilmi. Usahaku yang sukses juga tak menyilaukanku terhadap harta dunia, sehingga aku memilih untuk hidup sederhana dan memperbanyak sedekah dengan hartaku itu. Kebaikan-kebaikan itu tergambar jelas di dalam cermin yang mampu berkata-kata dengan Namaste Indonesia – Oktober 2010

20

bahasanya. Perbuatan baik yang terus aku lakukan pun diganjar oleh Allah dengan anugerah yang sangat berarti. Aku akhirnya menikah dengan seorang wanita yang sholehah, rupawan, dan pandai. Darinya aku dikaruniai 2 orang putera dan 1 orang puteri yang melengkapi kebahagiaanku. Aku sangat mencintai keluargaku, terutama istriku. Dia selalu menerangi hatiku di kala aku lengah dari petunjuk. Dia juga selalu bisa menjadi penyejuk ketika aku terasa kehausan akan kasih sayang. Dia menjaga keimananku, keistiqomahanku, ibadahibadahku, dan kedermawaanku. Dia pula yang mendidik buah hatiku hingga mereka menjadi penerus yang mampu membuat perubahan yang baik kelak. Tiada anugerah seindah dia, yang mampu lebih mendekatkanku kepada Sang Pencipta untuk selalu bisa mensyukuri nikmatNya. Gambaran masa muda di cermin mengkabur dan berganti dengan suatu peristiwa yang tergambar jelas, ketika aku sedang berkendara motor sepulang dari kantor. Tak biasanya jalan yang rutin aku lewati ditutup, sehingga aku harus mencari jalur lain untuk menuju ke rumah. Hari itu hujan, sepanjang jalan aku tidak bisa melihat detail jalanan yang aku lewati. Dan tiba-tiba, motorku terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. Aku terpelanting dan terjerembab lalu taksadarkan diri. Aku menggigil, basah di tubuhku dan suhu ruangan yang dingin membuatku menggigil dan semakin menggigil karena aku terus kehilangan darah, malam itu akhirnya aku dirawat di rumah sakit. Esok hari, aku terbangun di bangsal karena mencium harum teh buatan istriku dan colekan mesranya supaya aku segera terjaga. Aku tahu biasanya teh itu ditemani dengan beberapa biji kurma sebagai pendamping. Sungguh cara jitu untuk mengusir kantuk sebelum memulai sholat subuh. Meski dengan kondisi yang pening di kepala dan linu di sana sini aku mencoba bangkit untuk bersiap sholat. Tapi aku sedikit


21

terkejut ketika kondisi kamar yang gelap gulita, teh yang tersaji, dan sapaan hangat istri, bagaimana ia beraktifitas di dalam kondisi gelap gulita. Aku pun memintanya untuk menghidupkan lampu terlebih dahulu, agar aku tidak menabrak sesuatu. Tapi justru suara sesenggukan yang aku dengar. Aku menjadi gelisah, kegelapan dan suara tangis yang tertahan itu membuatku pada beberapa konklusi. Aku didekapnya erat-erat, tapi lagi-lagi aku heran, bagaimana ia bisa menemukan posisiku tanpa meraba di kegelapan. Dan bisiknya pun memperkuat konklusiku bahwa aku tak lagi mampu melihat. Tak hanya itu saja, linu yang kurasakan merupakan pertanda bahwa tubuh ini lumpuh. Ya, aku tak bisa lagi berjalan. Hatiku meronta, aku sedih, pikiranku kacau, kalut rasanya namun aku tidak bisa melampiaskannya. Secepat reaksi kekecewaanku mendengar kenyataan buruk itu, istriku segera membisikkan kata-kata yang tiba-tiba mampu menyangga segala kesedihanku "Ingatlah bahwa Allah hendak mencobamu Suamiku, sesungguhnya yang Dia harapkan adalah kamu bersabar". Aku teringat dosa-dosa lalu. Meski tergolong rajin ibadah, aku pun tak luput dari dosadosa kecil yg menumpuk. Mungkin ini pula ganjaran atas dosa-dosaku sebagaimana Allah telah mengganjar kebaikan-kebaikanku. Hari-hari aku lalui dengan terduduk, menghabiskan waktu dengan menghafal al quran, dzikir, dan menghafal hadits. Usahaku yang telah mencapai sukses kini dibantu oleh sepupu. Di tengah kondisi nikmat tercabut, aku merasakan nikmat lain yang luar biasa. Seorang istri yang selalu setia mendampingiku meski aku cacat. Dia mengurusi semua kebutuhanku layaknya itu kebutuhannya. Dia pun rela mengurangi pekerjaannya di luar untuk bisa merawatku. Di depanku, dia tak pernah memperlihatkan kekecewaannya dengan kondisiku yang berubah 180 derajat. Aku bersyukur mempunyai seorang istri seperti dia. Setiap malam, kami biasa sholat tahajud di ruang yang terpisah. Di waktu itu, aku sering mendengarnya menangis, dari tarikan nafasnya yang terhalang ingus. Tangisan itu mulai sering kudengar

semenjak kecelakaan itu. Untuk apa dia menangis jika bukan karena aku. Dia mengadu kepada Sang khalik akan keadaanku yang juga mempengaruhi keadaannya. Pikirku selama ini, istriku tercinta tidak pernah berbuat dosa yang nyata, namun kurang tahu tentang dosa di hatinya. Tapi, sesenggukannya menandakan kesedihan yang mendalam. Dan itu pasti karena aku. Dalam hatiku berkata "Wahai istriku, tak adil rasanya aku berbahagia karenamu namun engkau bersedih karenaku. Engkau wanita sholehah di hadapanku. Tangismu sekarang adalah kebahagiaanmu kelak. Karena aku menjamin surgamu atas kehendak Allah. Jika kau tiada sekarang tentulah predikat istri yang sholelah berhak kausandang dan aku mempersaksikannya". Saban hari, aku melihatnya ceria melayaniku. Keikhlasan yang tiada tara itu bukti kasih sayangnya yang mendalam kepadaku. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak untuk membahagiakannya dalam kondisi fisikku yang tidak memungkinkan. Dahulu aku sering mengajaknya jogging tiap pagi, jalan-jalan di malam minggu, menggandengnya di jalan menuju masjid, dan hal-hal kecil lain yang kusebut itu kasih sayang. Tapi sekarang, aku hanya mampu duduk dan berjalanpun terpapah. Ibarat dua sisi mata uang, kebahagiaanku memiliki istri seperti dia sangat erat dengan kesedihanku karena aku tidak bisa membahagiakannya. Ketika malam tiba, hatiku kembali tersayat mendengar tangisnya yang disembunyikan. Dan tiap malam itu pula, aku selalu mempersaksikan diriku akan kesholehahan istriku tercinta kepada Allah Ta'ala. Hingga suatu malam, entah pikiranku ke mana, terbersit niat untuk mengakhiri hidup istriku tercinta. Aku berencana, bahwa jika dia meninggal saat itu, aku masih bisa mempersaksikan diriku atas kesolehan istriku. Dan semoga Allah menjamin surga karenanya. Lalu kemudian aku menghabiskan hidupku dengan bertaubat akan perbuatan jahatku. Pikiranku menguat, aku tak menghiraukan lagi keadaan anak-anakku. Bagiku mutiara hati itu sudah dewasa dan kelak bisa mengukir masa depannya dengan bekal yang sudah diberikan oleh ibunda mereka. Namaste Indonesia – Oktober 2010


Seusai sholat malam, aku sempatkan berbaring bersama istriku. Kuusap penuh kasih rambutnya dan meraba wajahnya supaya kuingat terus hingga akhir hayatku. Belaian perpisahan itu diakhiri dengan tertancapnya pisau tepat di jantungnya. Dia kesakitan dan segera kudekap. Ajal pun menghampirinya dan sempat kubisikkan lirih ucapan tahlil berkali-kali sambil menangis karena harus berpisah. Akhirnya dia meninggal dengan ucapan terakhirnya berupa tahlil. Aku sedih namun bahagia, sedih karena tak lagi bisa merasakan kasih sayangnya namun bahagia karena pengharapan dia bakal masuk surga. Setelah peristiwa itu, aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku di penjara hingga 10 tahun. Aku pun menjalani rutinitas ibadah dan taubat karena aku telah membunuh istriku. Hidupku di penjara benar-benar berat karena aku dijauhi oleh anak-anakku sehingga kesepian semakin kuat kurasakan. Namun itu konsekuensiku dalam mengantarkan ibunda mereka ke surga dan kuanggap ini adalah proses hukumanku. Hari-hari di penjara diliputi perasaan menyesal kepada Allah. Aku menyesal telah melakukan dosa besar dan berharap mendapatkan pengampunan. Itulah kenapa waktu-waktuku dihabiskan dengan beribadah, terus tak kenal lelah karena aku tahu bahwa membunuh bukan perkara yang mudah dimaafkan. Selepas dari penjara, anak-anakku mulai terbuka hatinya. Meski mereka tidak tahu motif pembunuhan yang aku lakukan namun mereka mengetahui bahwa ayahnya telah menyesal dan akulah orang tua yang tersisa. Hidupku waktu itu aku habiskan sama seperti hidupku di penjara. Tak jauh dari ibadah dan taubat. Tiap kali aku teringat istriku, aku pun bersegera untuk beribadah dan disusul dengan doa kepadanya sesuai janjiku untuk mempersaksikannya bahwa dia berhak akan surganya. Hidupku ternyata tak lama, hanya berselang 2 tahun setelah bebas dari penjara, aku sakit keras diakibatkan kehidupan di penjara yang tidak sehat. Aku menderita komplikasi, hingga akhirnya aku dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan. Di rumah sakit, Namaste Indonesia – Oktober 2010

22

kesehatanku tak segera pulih dan akhirnya diputuskan untuk dibawa pulang ke rumah anakku yang sulung. Di sana, di atas dipan berkasur itu aku dijemput ajal. Namun penjemputan itu tidak seperti yang kuharapkan. Aku selalu beribadah dan sudah bertaubat terhadap dosa besarku yaitu membunuh istriku. Namun penjemputanku oleh malaikat maut ini pertanda bahwa ke depan prosesku ke surga akan sulit. Pertanyaan besarku muncul, apakah taubatku tidak diterima? Atau ibadahku sia-sia. Tiba-tiba cermin berkata-kata dengan bahasanya itu menghilang. Kini hanya aku dan malaikat maut. Dengan suara yang lantang dan menggetarkan hati malaikat itu menjawab pertanyaanku "Ibadahmu diterima oleh Allah dan juga taubatmu karena membunuh istrimu, namun kamu tidak pernah bertaubat akan keputusasaanmu sampai-sampai kamu membunuh istrimu. Kamu telah memutus doa seorang ibu terhadap anak-anaknya, kamu juga telah memutus kasih sayang seorang ibu yang menjadi hak anakanakmu, kamu pun telah menyiksa diri sendiri. Itu semua akibat keputusasaanmu dan kamu tidak pernah bertaubat karenanya". Sungguh penyesalan yang dalam hadir di hatiku. Tapi apalah guna, jika sekarang janji-janji Allah setelah kematian benar-benar kubuktikan. *tulisan ini aku dedikasikan kepada pembaca dan saya sendiri untuk selalu ingat akan ayat-ayat Allah: 1. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (12:87) 2. Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat. (15:56) 3. Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (39:53) *Mahasiswa M.Sc. Osmania University


23

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA Djakarta, 28 Oktober 1928

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Mungkin sebagian dari kita lupa atau bahkan tidak ingat sama sekali bahwa setiap tanggal 28 Oktober kita memperingati hari Sumpah Pemuda. Dan tidak dapat dipungkiri juga bahwa hampir sebagai besar warga Indonsia sudah lupa isi sumpah pemuda itu sendiri. Hal ini sangat ironis mengingat arti dan makna sumpah pemuda yang sangat mendalam bagi para generasi penerus bangsa ini. Makna mendalam sumpah pemuda berisi ikrar bersatunya dan disatukannya tunas-tunas bangsa oleh kesamaan tanah air, bangsa dan bahasa. Seharusnya ini bisa menjadi pemicu semangat para generasi muda untuk mengingatkan kembali tugas-tugas mereka dalam membangun dan senantiasa menjaga dan mempertahankan NKRI dari segala macam faktor pecahnya kesatuan NKRI. Dengan merayakan hari sumpah pemuda ini, dengan atau tanpa kita sadari sudah selayaknya kita mengingat kembali tugas dan tanggung jawab kita sebagai pemuda yang mempunyai satu tujuan bersatu dan memperkuat ikatan satu sama lain agar Indonesia tetap kokoh dan mampu survive ditengah krisis global yang sedang mengancam kestabilan perekonomian Indonesia yang sedang terjadi saat ini. Hari Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tanggal 28 Oktober itu tidak muncul dengan sendirinya. Bila dilihat dari sejarahnya, Sumpah

Pemuda dimulai ketika sekelompok pemuda merasa perlu ada sebuah perekat dan pemersatu agar bangsa kita lebih kuat untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Kongres Pemuda Indonesia Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia dari hasil rumusan kerapatan pemuda-pemudi Indonesia atau yang dikenal dengan Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II. Melalui kongres itulah kita bisa mengenal Sumpah Pemuda. Kongres Pemuda I berlangsung di Jakarta, 30 April – 2 Mei 1926. Di kongres itu, mereka membicarakan pentingnya persatuan bangsa bagi perjuangan menuju kemerdekaan. Pada 27 – 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia kembali mengadakan Kongres Pemuda II dan tepat pada 28 Oktober, seluruh peserta membacakan Sumpah Pemuda sehingga momen bersejarah tersebut ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Rumusan Sumpah Pemuda Rumusan itu ditulis Mohammad Yamin di sebuah kertas saat mendengarkan pidato dari Mr Sunario pada hari terakhir kongres. Inti dari isi Sumpah Pemuda itu adalah Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Inilah yang selalu menjiwai pemuda-pemudi Indonesia dalam merebut dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Indonesia. Tokoh yang terlibat Banyak tokoh yang menjadi peserta dalam Kongres Pemuda I dan II. Mereka datang mewakili berbagai organisasi pemuda yang ada saat itu. Di antaranya ada yang menjadi pengurus, seperti Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan PelajarPelajar Indonesia (PPPI) sebagi ketua dan wakilnya, RM Djoko Marsaid (Jong Java). Sementara Mohammad Yamin dari Jong Sumateranen Bond sebagai sekretaris dan bendaharanya Amin Sjarifuddin (Jong Bataks Bond). Namaste Indonesia – Oktober 2010


Mereka juga dibantu Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), R Katja Soengkana (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), Johanes Leimena (Jong Ambon) dan Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi). Sumpah Pemuda pun kemudian menjadi senjata ampuh untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, kesadaran para pemuda Indonesia saat itu pun semakin kuat karena mereka tidak berjuang sendiri. Maka tak heran, Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak sejarah kemerdekaan Indonesia. Maka dengan di peringatinya hari sumpah pemuda ini, kita sebagai generasi penerus bangsa langsung mulailah berpikir, bertindak, berkarya untuk kesatuan kemajuan NKRI. SEMANGAT WAHAI KAU PARA PEMUDA BANGSA INDONESIA. Samaludi Bate’e Mahasiswa BA di English and Foreign Language University dan Adi Atiasa Mahasiswa BA di Osmania Unvirsity

(from page 19)

The character Raman Fielding stands for pro-Hindu element and is based on Bal Thakeray. He is contrasted with Abraham, who is for secularism. Fielding is on Indira Gandhi ‘s side in terms of preferring the Hindu god Rama. He is longing for Bombay’s past, “the golden age ‘before the invasions’ when good Hindu men and women could roam free”. (299). Rushdie seems to propagate humanism, that underneath social differences, we are all humans. In the mean time, Bombay—Rushdie’s hometown—is a microcosm for India. Bombay is the heart of India because it is central geographically. It is ‘the bastard child of a Portuguese-English wedding, and yet the most Indian of Indian cities’. Rushdie is for Nehru’s vision of a secular India. The ambiguity of India’s secularism can be seen in the speech of Shiv Sena chief Fielding that every community—Christians, Parsis, Jains, Sikhs, Buddhists—must have its own place. This is acceptable to the majority Hindus. However, he implies that if Hindu places is disturbed, the minority shall obey the majority. Rushdie’s in-betweenness in terms of cultural identity (hybrid) makes him concern about Indianness and nation-state issues. In the end of the novel, Moraes departs to Granada in search of his mother’s painting “The Moor’s Last Sigh”. He feels that he detaches the place, language, people and customs he knew. The language in the novel is not quite English: there are indigenous languages and colloquial conversations. This also shows postcolonial impact on India in connection with English as the language that unites the nation. Moraes does not speak Spanish and does not know the places. Indah Lestari Jawaharlal Nehru University

Namaste Indonesia – Oktober 2010

24

In spite of the claim of secularism, India is still seen as a Hindu country, and as we can see in the novel, this is what causes the Ayodhya affair changes Moraes’ life.


25

Namaste Indonesia – Oktober 2010


Cara Terampil untuk Bicara dengan Orang

Ketika anda berbicara dengan orang, ambillah topik yang paling menarik bagi mereka untuk dibicarakan. Apa topik yang paling menarik bagi mereka di dunia ini?

'DIRI MEREKA'

Ketika anda berbicara pada mereka tentang diri mereka, mereka akan tertarik dan amat terpesona. Mereka akan berpikir baik tentang anda karena melakukan hal ini. Ketika anda berbicara dengan orang tentang diri mereka, and a mengusap mereka dengan cara yang benar, anda bekerja dengan kodrat manusia. Ketika anda berbicara dengan orang tentang diri anda sendiri, anda mengusap mereka dengan cara yang salah dan bekerja melawan kodrat anda. Singkirkan tiga kata ini dari kosa kata anda : "Saya, Aku, Milikku" Gantilah tiga kata itu dengan satu kata, kata paling penuh daya yang diucapkan oleh lidah manusia : "Anda" Misalnya, "ini untuk ANDA", "ANDA akan beruntung jika Anda melakukan hal ini", "ini akan Namaste Indonesia – Oktober 2010

26

menyenangkan keluarga ANDA, "ANDA mendapatkan dua keuntungan itu", dsb.

Singkatnya, jika ANDA mengorbankan kepuasan yang ANDA peoleh dari berbicara tentang DIRI ANDA SENDIRI, dan yang ANDA peroleh dari pemakaian kata "Saya, Aku, Milikku", kecakapan kepribadian ANDA dan pengaruh serta kekuatan ANDA akan meningkat secara luar biasa. Cara lain yang baik untuk memanfaatkan ketertarikan orang pada diri mereka sendiri dalam sebuah percakapan adalah memancing mereka untuk berbicara tentang diri mereka. Anda akan mendapati bahwa orang lebihcenderung memberikan diri mereka daripada topik lain apapun juga. Jika anda bisa mengarahkan orang untuk membecirakan diri mereka, mereka akan sangat menyutujui anda. Ini dilakukan dengan megajukan pertanyaan mengenai diri mereka. Kebanyakan dari kita tidak cakap atau tidak mengesankan di mata orang lain karena kita sibuk memikirkan dan membicarakan diri kita sendiri. Yang perlu diingat adalah bukan bagaimana anda menyukai pendapat dan topik anda, tetapi bagaimana pendengar anda menyukai hal itu. Jadi ketika berbicara dengan orang lain, bicaralah tentang mereka. Dan pancinglah mereka untuk bicara tentang diri mereka. Dengan cara itulah anda bisa menjadi seorang pembicara yang paling menarik! (Atiasa). Source: Les Giblin


27

Namaste Indonesia – Oktober 2010


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.