1 RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR ....TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang
:
a. bahwa Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; b. bahwa Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjelaskan Pemerintahan Aceh diberi kewenangan untuk melaksanakan keistimewaan Aceh dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam; c. bahwa masyarakat Aceh dalam mengatur, membina dan melaksanakan hubungan keluarga mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan Syariat Islam; d. bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan yang sudah ada dan berlaku secara nasional belum mampu mengatur, membina, menjamin hak-hak dan menyelesaikan berbagai persoalan keluarga secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat Aceh; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga (Fiqh Munakahat).
Mengingat
:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103); 3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1974 Tahun 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019; 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara
2 Nomor 5078) sebagaimana telah diubah kedua kali denganUndang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5078); 5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893); 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4633); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 nomor.......; 9. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH dan GUBERNUR ACEH MEMUTUSKAN: Menetapkan :
QANUN ACEH MUNAKAHAT).
TENTANG
HUKUM
BAB I KETENTUAN UMUM
KELUARGA
(FIQH
3
Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan keluarga dalam bidang pernikahan, perceraian, perwalian, hibah, wasiat, dan kewarisan. Fiqh munakahat adalah ketentuan-ketentuan, norma-norma, kaidah-kaidah yang mengatur hubungan kekeluargaan dalam bidang pernikahan, perceraian, perwalian, hibah, wasiat, dan kewarisan. Pernikahan adalah ikatan suci antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, warahmah berdasarkan syariat Islam. Nikah hamil adalah ikatan nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita yang sedang hamil di luar nikah baik dikawini oleh pria yang menghamilinya maupun oleh pria yang bukan menghamilinya. Nikah Mut’ah adalah nikah yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita dengan mas kawin tertentu dalam waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya waktu tersebut Nikah Cina Buta adalah nikah antara seorang pria dengan wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya untuk jangka waktu tertentu. Nikah Tahlil (muhallil) adalah nikah antara seorang pria dengan wanita yang sudah di talak tiga sesudah lepas masa iddahnya atau sesudah digaulinya, kemudian ditalak lagi untuk menghalalkan untuk suami pertama. Kafaah adalah kesetaraan antara seorang pria dengan wanita dalam keluarga. Pencatatan Pernikahan adalah Nikah Sirri adalah nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita secara diamdiam dan terdaftar di Kantor Urusan Agama di tempat dilangsungkan perkawinan. Nikah Dibawah Tangan adalah nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita secara diam-diam dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama di tempat dilangsungkan perkawinan. Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah untuk dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Pembatalan nikah adalah pembatalan hubungan suami isteri setelah dilangsungkan akad nikah Perjanjian Pernikahan adalah perjanjian yang dibuat antara seorang pria dengan seorang wanita sebelum dilangsungkan akad nikah. Monogami adalah dalam waktu bersamaan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang wanita sebagai isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai dengan seorang pria sebagai suami. Poligami adalah dalam waktu bersamaan seorang pria boleh menikahi lebih dari seorang wanita sebagai isteri dan tidak melebihi empat orang isteri. Poliandri adalah dalam waktu bersamaan seorang wanita menikahi lebih dari seorang pria. Badan Penasehat Pernikahan dan Perceraian adalah badan-badan yang dibentuk memediasi masalah Pernikahan dan Perceraian baik di tingkat Gampong dan Mukim Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga, baik oleh suami, isteri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan dalam rumah tangga.
4 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
Putusnya Ikatan Nikah adalah berakhirnya hubungan suami isteri dalam sebuah rumah tangga. Thalak adalah ikrar suami kepada isteri untuk memutuskan hubungan ikatan nikah dengan alasan yang diterima secara syar’i. (Thalak 1, 2, 3) Gugat Cerai adalah gugatan isteri untuk memutuskan hubungan ikatan nikah dengan suaminya Fasakh adalah membatalkan ikatan perkawinan melalui kuasa qadhi atau hakim syar’i karena suatu sebab atau kecacatan yang ada pada suami atau isteri. Khulu’ adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah yang dapat digunakan oleh isteri dengan cara membayar ganti rugi (tebusan) kepada suaminya sehingga suaminya. Illa’ adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah berupa sumpah suami dengan menyebut nama Allah untuk tidak mendekati isterinya selama jangka waktu 4 (empat) bulan atau lebih. Li’an adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah berupa ucapan tertentu yang digunakan suami untuk menuduh isteri melakukan perbuatan yang mengotori dirinya atau berzina. Zhihar salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah berupa perkataan suami yang mengharamkan isterinya bagi dirinya dengan menyerupakan keharamannya seperti ibunya atau saudara perempuannya atau mahramnya. Syiqaq adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah dikarenakan adanya perseteruan terus menerus dari suami isteri yang sulit didamaikan. Ta’lik Thalaq adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah dikarenakan pelanggaran atas ucapan atau janji yang telah diucapkan suami setelah ijab kabul. Cerai Putusan Pengadilan adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah dikarenakan putusan pengadilan. Itsbat Thalak adalah permohonan pengesahan cerai/thalak yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah untuk dinyatakan sahnya perceraian dan memiliki kekuatan hukum. Iddah adalah masa tunggu bekas isteri untuk melangsungkan perkawinan berikutnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh syara’. Ruju’ adalah pernyataan suami untuk kembali kepada isterinya dalam membina mahligai rumah tangga dalam masa iddah. Nafkah adalah kewajiban suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Nafkah Iddah adalah kewajiban bekas suami kepada bekas isteri selama masa iddah. Qiswah adalah nafkah pemberian bekas suami kepada bekas isteri dalam waktu-waktu tertentu. Maskan adalah penyediaan tempat tinggal bekas isteri oleh suami yang layak selama masa iddah. Hadhanah adalah tanggung jawab orang tua terhadap nafkah untuk kelangsungan hidup anak sampai anak dewasa. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri yang diperoleh sebelum pernikahan berlangsung. Harta bersama adalah harta yang diperoleh dan dimiliki oleh suami isteri selama perkawinan. Harta anak adalah harta yang dimiliki oleh anak baik yang berasal dari pemberian maupun dari hasil jerih payah anak. Anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari suatu pernikahan yang sah. Anak tiri adalah anak suami atau anak isteri yang dilahirkan dari pernikahan sebelumnya.
5 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.
59. 60. 61. 62. 63. 64. 65.
Anak angkat adalah anak yang dilahirkan dalam keluarga lain dan mendapatkan pengasuhan oleh orang tua angkat. Anak sesusuan adalah anak yang dilahirkan oleh keluarga lain dan disusui oleh ibu susuan. Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Perwalian adalah suatu perbuatan mengurus kepentingan orang lain. Wali adalah seseorang yang dipilih untuk menjadi wakil atas dirinya atau orang lain terhadap hal-hal yang diwakilinya. Mumayyiz adalah anak yang belum mencapai umur 10 (sepuluh) tahun. Warisan adalah pengalihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris karena pewaris meninggal dunia. Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia. Ahli Waris (Ashabah) adalah orang yang berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Mafquth adalah bagian harta waris bagi ahli waris yang dianggap hilang. Hibah adalah pemberian harta oleh pemiliknya secara sukarela kepada orang lain sebelum pemberi hibah meninggal dunia dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syara’. Wasiat adalah pemberian harta oleh pemiliknya kepada orang lain secara sukarela, baik dalam bentuk rahasia maupun dalam bentuk terang-terangan yang dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Wasiat Wajibah adalah wasiat yang dalam pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang per seorangan dalam hubungan kekeluargaan mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau penggunaan harta benda dan atau hak dan kewajiban. Konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara satu pihak dengan pihak lain dan atau antara satu keluarga dengan keluarga yang lain mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau penggunaan harta benda dan atau hak dan kewajiban. Perkara adalah sengketa dan atau konflik mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau penggunaan harta benda yang dilakukan melalui Badan Peradilan Penyelesaian Sengketa adalah proses penyelesaian perselisihan atas sengketa dan atau konflik yang dilakukan melalui non-litigasi dan atau proses litigasi. Sanksi adalah tanggungan berupa tindakan dan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan yang diatur dalam qanun ini. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Mahkamah Syar’iyah, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
6 66. 67. 68. 69. 70. 71.
72. 73. 74. 75. 76.
77.
Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Mahkamah. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya. Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan. Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. BAB II ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM KELUARGA Pasal 2 Hukum keluarga dilaksanakan berdasarkan asas: a. Keislaman; b. Keadilan; c. Kemanfaatan; d. Kapastian hukum; e. Musyawarah;
Pasal 3 Hukum keluarga bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia, kekal, berdasarkan nilai ilahiyah serta untuk memberikan kepastian hukum;
7 Pasal 4 Ruang lingkup Hukum Keluarga meliputi: a. Perkawinan; b. Perceraian; c. Anak; d. Harta; e. Hadanah; f. Warisan; g. Hibah; h. Wasiat; i. Wakaf. BAB III PERKAWINAN Bagian Kesatu Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 5 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan khalidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 6 Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Pasal 7 Perkawinan dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam. Bagian Kedua Pencatatan Perkawinan Pasal 8 (1) Untuk terjamin ketertiban perkawinan, maka setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. (3) Untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (4) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. (1) Setiap orang pencatat Nikah.
Pasal 8 dilarang melangsungkan perkawinan di luar pengawasan Pegawai
8 (2) Pernikahan dan pencatatan perkawinan dilarang dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. (3) Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) akan dikenakan sanksi denda. Pasal 9 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah pda Kantor Urusan Agama. (2) Selain akta nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan bukti perkawinan. (3) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Mahkamah Syar’iyah. (4) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan; (5) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. (6) Pengajuan itsbat nikah, terhadap nikah diluar pengawasan pegawai pencatat nikah yang terjadi setelah berlaku Qanun ini tidak menghilangkan sanksi denda. Bagian Ketiga Peminangan Pasal 10 (1) Dalam satu perkawinan, sebelum dilangsungkan akad nikah, didahului oleh acara peminangan. (2) Peminangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, dapat juga dilakukan oleh orang tua/keluarga dekat atau dapat pula dilakukan oleh perantara yang dipercaya. Pasal 11 (1) Peminangan hanya dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. (2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang. (3) Peminangan terhadap janda yang bercerai dengan suaminya, hanya dibenarkan terhadap janda yang telah jelas status perceraiannya yang dibuktikan dengan Putusan Mahkamah Syar’iyah.
9 (4) Peminangan dilarang meminang wanita yang sedang dipinang oleh pria lain, kecuali pinangan tersebut sudah putus. (5) Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan putusnya hubungan pinangan dari pihak pria baik dinyatakan dengan tegas atau meninggalkan wanita yang dipinang selama 6 (enam) bulan berturut-turut tanpa berita. (1) (2) (3) (4) (5)
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 12 Peminangan dilakukan dengan memberikan tanda oleh pihak pria kepada pihak wanita yang dipinang. Tanda Peminangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan cincin emas dalam jumlah tertentu atau bentuk lainnya sebagai tanda ikatan oleh pihak pria kepada wanita. Pemberian tanda peminangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah mempunyai akibat hukum. Wanita yang sudah dipinang wajib memakai cincin atau tanda lain pinangannya. Setiap pria maupun wanita yang sudah terikat pinangan wajib menjaga etika dalam pergaulan. Pasal 13 Apabila pria yang sudah mengikat hubungan pinangannya memutuskan hubungan pinangan, akibat hukumnya cincin emas atau bentuk lainnya sebagai tanda yang telah diberikan kepada wanita tidak dapat diminta kembali. Apabila seorang wanita yang sudah terikat hubungan pinangan memutuskan hubungan pinangannya, akibat hukumnya cincin emas atau bentuk lainnya yang telah diberikan oleh pihak pria harus dikembalikan atau sesuai dengan diperjanjikan atau sesuai hasil musyawarah. Selama ikatan pinangan para pihak bebas memutuskan hubungan pinangan. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan cara-cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama, adat istiadat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. Bagian Keempat Persiapan Pernikahan Pasal 14
(1) Setiap pasangan yang akan melangsungkan akad nikah, wajib mempersiapkan diri untuk dapat dinikahkan. (2) Calon pasangan mempelai wajib mengikuti bimbingan atau kursus perkawinan yang diadakan oleh Dinas Syari’at Islam Kabupaten-Kota/Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam wilayah tempat tinggalnya. (3) Dinas Syari’at Islam Kabupaten-Kota/Kantor Urusan Agama Kecamatan wajib menyelenggarakan bimbingan atau kursus perkawinan untuk calon pasangan mempelai sebelum akad nikah. (4) Bimbingan perkawinan atau kursus dibuat secara terencana dan terstruktur dengan materi berkaitan dengan hukum Islam, akhlak, hukum perkawinan, adat istiadat dan budaya yang berkaitan dengan pembentukan sebuah rumah tangga.
10 (5) Materi bimbingan atau kursus harus dibuat oleh Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh yang dikirim kepada seluruh Kantor Urusan Agama dalam Provinsi Aceh. (6) Pada akhir bimbingan atau kursus dibuat ujian sebagai evaluasi untuk mengetahui sejauh mana para peserta bimbingan atau kursus sudah memahami materi yang disajikan. (7) Peserta yang tidak bisa tulis baca ujian dibuat secara lisan; (8) Kepada peserta bimbingan atau kursus yang lulus evaluasi akhir diberikan sertifikat sebagai bukti telah mengikuti bimbingan atau kursus perkawinan. (9) Bagi pasangan colon mempelai yang membutuhkan perlakuan khusus wajib disediakan pendampingan. Pasal 15 (1) Sebelum melangsungkan akad nikah pasangan calon mempelai di samping kewajiban mengikuti bimbingan atau kursus perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 juga wajib melakukan tes NAPZA, tes HIV/AIDS dan tes kehamilan bagi calon mempelai perempuan. (2) Apabila salah satu dari calon mempelai terindikasi ada penyakit HIV/AIDS dan NAPZA sedangkan yang lainnya tidak terindikasi HIV/AIDS dan NAPZA tidak boleh dinikahkan. (3) Apabila kedua-dua calon mempelai sama-sama terjangkit penyakit HIV/AIDS dan NAPZA boleh dinikahkan; (4) Apabila calon mempelai wanita hasil tes menunjukkan ada kehamilan akibat hubungan bebas antara keduanya, maka boleh dinikahkan untuk menentukan hubungan biologis dan hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya; (5) Setelah lahir anak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasangan tersebut harus dinikahkan kembali untuk kesucian terhadap anak-anak yang lahir selanjutnya. (6) Apabila calon mempelai wanita hasil tes menunjukkan ada kehamilan akibat hubungan bebas dengan orang lain atau pemerkosaan, maka tidak boleh dinikahkan hingga melahirkan. Bagian Kelima Persyaratan Perkawinan Pasal 16 (1) Untuk dapat melangsungkan pernikahan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) wajib dilampirkan syarat-syarat sebagai berikut: a. calon mempelai pria sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; b. calon mempelai wanita sekurang-kurangnya berusia 19 (sembilan belas) tahun; c. Akte kelahiran atau alat bukti lain yang sah; d. sertifikat telah lulus bimbingan atau kursus perkawinan; e. surat keterangan tes kesehatan yang terdiri dari: kehamilan, keperawanan, bebas HIV/AIDS, tes NAPZA dari RSUD setempat; (2) Tes keperawanan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e hanya diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan yang akan menikah pertama kali. (3) Tes bebas HIV/AIDS dan NAPZA juga berlaku untuk calon mempelai pria.
11 (4) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b untuk melangsungkan perkawinan harus mendapat izin dari orang tua/wali. (5) Pegawai Pencatat Nikah dilarang menikahkan pasangan calon mempelai yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1). (6) Apabila Pegawai Pencatat Nikah menikahkan pasangan calon mempelai yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1), dikenakan sanksi. Pasal 17 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas, dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, dapat juga berupa diam selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 18 (1) Sebelum dilangsungkan akad nikah, Pegawai Pencatat Nikah atau yang mewakilinya yang ditunjuk menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua orang saksi. (2) apabila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, akad nikah perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tunadaksa atau kekurangan lainnya persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. (4) Akad nikah akan dilangsungkan apabila tidak ada terdapat halangan perkawinan. BAB IV RUKUN PERKAWINAN Pasal 19 Untuk melaksanakan perkawinan, harus memenuhi rukun yang meliputi: a. calon suami; b. calon isteri; c. wali nikah; d. dua orang saksi; e. ijab dan kabul; Bagian Kesatu Calon Suami dan Calon Isteri Pasal 20 (1) Calon suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, yaitu: a. harus jelas pria; b. beragama Islam; c. tidak beristeri lebih dari empat;
12 (2) Calon Isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, yaitu: a. harus jelas perempuan; b. beragama Islam; c. tidak sedang dalam pinangan orang lain; d. tidak berstatus sebagai isteri orang lain. Bagian Kedua Wali Nikah Pasal 20 (1) Wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah merupakan rukun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, harus memenuhi syarat hukum Islam yaitu laki-laki, muslim, adil, aqil dan baligh. (2) Adapun wali nikah sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas: a. Wali nasab; b. Wali hakim. Paragraf 1 Wali Nasab Pasal 21 (1) Wali nasab sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (2) huruf a, terdiri dari 4 (empat) kelompok sesuai dengan urutan kedudukannya sebagai berikut: a. Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya; b. Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki; c. Kelompok ketiga adalah kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki; d. Kelompok keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki. (2) Kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. (3) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (4) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah, (5) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama derajat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunadaksa atau kekurangan lainnya, maka
13 hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut dekatnya derajat berikutnya. Paragraf 2 Wali Hakim Pasal 23 (1) Apabila calon mempelai perempuan tidak mempunyai wali nasab sebagaimana dimaksud Pasal 21, maka wali nikahnya bergeser kepada wali hakim. (2) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila: a. wali nasab tidak ada; atau b. tidak mungkin menghindarkannya; atau c. wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya. (3) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Mahkamah Syar’iyah tentang wali tersebut. (4) Akad nikah dilarang dilangsungkan tanpa ada wali nikah. (5) Akad nikah yang dilakukan tanpa ada wali menyebabkan akad nikah tersebut tidak sah. Bagian Ketiga Saksi Nikah Pasal 24 (1) Setiap pernikahan harus mempunyai saksi nikah. (2) Saksi dalam akad nikah merupakan rukun pelaksaan akad nikah. (3) Setiap pelaksanaan akad nikah harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat. (4) Syarat untuk menjadi saksi dalam akad nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu: a. laki-laki muslim; b. adil; c. aqil baligh; d. tidak terganggu ingatan; dan e. tidak tunadaksa. (5) Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung, mendengar ucapan ijab qabul dalam aqad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. (6) Akad nikah dilarang dilangsungkan tanpa ada saksi. (7) Akad nikah yang dilakukan tanpa ada saksi menyebabkan akad nikah tersebut tidak sah. Bagian Kelima Akad Nikah dan Ijab Qabul Pasal 26 (1) Akad nikah dapat dilakukan di Mesjid, Kantor Urusan Agama, rumah calon mempelai wanita, rumah calon mempelai pria atau tempat lain yang tidak mengurangi makna pernikahan dan nilai-nilai islami.
14 (2) Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nasab yang bersangkutan. (3) Wali nasab dapat mewakilkan kepada Pejabat Pencatat Nikah atau kepada orang lain yang memenuhi persyaratannya menurut hukum Islam.
Pasal 27 (1) Ijab qabul dalam akad nikah dilakukan oleh wali calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria di hadapan Penjabat Pencatat Nikah dan disaksikan oleh dua orang saksi. (2) Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan tidak berselang waktu. (3) Saksi wajib meminta kepada wali nikah atau qadhi nikah untuk mengulangi ijab dan qabul bila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 28 (1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara langsung. (2) Dalam hal tertentu ucapan qabul dalam akad nikah dapat diwakilkan kepada orang lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa secara khusus dan tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu untuk dirinya. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. BAB V MAHAR Pasal 29 (1) Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan dan disepekati oleh kedua belah pihak dengan melibatkan orang tua atau wali dari masingmasing pihak. (3) Penentuan mahar sebagaimana dimaksud ayat (2) didasarkan pada azas kesederhanaan dan kemudahan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. (4) Mahar diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada pihak calon mempelai wanita. (5) Mahar yang sudah diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kepada calon mempelai wanita menjadi hak pribadinya. (6) Mahar dapat diserahkan dengan cara tunai atau cicilan atau ditangguhkan. (7) Apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar tidak sekaligus, dapat ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. (8) Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria dan wajib ditunaikan sesuai yang disepakati. (9) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
15 (10) Kelalaian menyebut jumlah dan jenis mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. (11) Mahar yang masih terutang tidak mengurangi sahnya akad nikah. (12) Penggunaan mahar untuk kebutuhan kanduri atau kebutuhan lainnya untuk keperluan mempelai dibenarkan sepanjang adanya persetujuan calon mempelai wanita. Pasal 30 (1) Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, maka mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. (2) Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, diselesaikan dengan musyawarah. (3) Apabila musyawarah sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian diajukan ke Mahkamah Syar’iyah. Pasal 31 (1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, namun calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. (2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami wajib menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. (3) Selama penggantinya belum diserahkan, mahar masih dianngap belum terbayar. Pasal 31 (1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam aqad nikah. (2) Apabila suami meninggal qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya. (3) Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mistil. (penjelasan Pasal ) BAB VI LARANGAN KAWIN Pasal 32 (1) Perkawinan dilarang antara pria dengan wanita yang disebabkan: a. pertalian nasab; b. pertalian kerabat semenda; c.pertalian sesusuan. (2) Larangan perkawianan karena pertalian nasab sebagaimana dimaksud ayat (1), meliputi: a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c.dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
16 (3) Larangan perkawinan karena pertalian kerabat semenda sebagaimana dimaksud ayat (1), yaitu: a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. dengan seorang wanita bekas isteri yang menurunkannya; c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (4) Larangan perkawinan karena pertalian susuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c.dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah; d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke bawah; e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 33 Perkawinan juga dilarang selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 32, antara pria dengan wanita karena keadaan tertentu, yaitu: a. wanita yang bersangkutan masih terikat tali perkawinan dengan pria lain; b. perceraian terjadi di luar Mahkamah Syar’iyah; c. belum ada putusan Mahkamah Syariyah tentang perceraiannya yang telah berkekuatan hukum tetap; d. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; e. seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 34 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya, yaitu: a. saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya; b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj‘i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 34 Seorang pria yang sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam masa iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i, dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita lain. Pasal 35
17
(c.1) Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan: a. wanita bekas isterinya yang sudah ditalak 3 (tiga) kali; atau b. wanita bekas isterinya yang di li’an. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isterinya telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya. (3) Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.
BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 36 (1) Perjanjian perkawinan dapat dilakukan antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita. (2) Perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk : a. taklik talak; dan b. perjanjian lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 37 (1) Isi taklik talak sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya putus ikatan perkawinan. (3) Putusnya ikatan perkawinan karena melanggar taklik talak tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi isteri harus mengajukan persoalan tersebut ke Mahkamas Syar’iyah untuk mendapat putusannya. (4) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap akad nikah. (5) Taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 39 (1) Pada waktu atau sebelum akad nikah dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjajian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum islam.
18 (3) Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), juga boleh dibuat perjanjian tentang kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan Hak Pertanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta seuharkat. Pasal 40 (1) Perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta seharkat tidak menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah telah terjadi pemisahan harta bersama atau harta seharkat dengan kewajiban suami menanggung biaya rumah tangga. Pasal 41 (1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik harta yang diperoleh sebelum perkawinan dibawa ke dalam perkawinan, maupun harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1), dapat juga diperjanjiakan bahwa percampuran harta pribadi hanya sebatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsunkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 42 (1) Perjanjian harta perkawinan, mengikat semua pihak terhitung mulai tanggal dilangsungkan akad nikah di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perjanjian harta perkawinan, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat akad nikah dilangsungkan. (3) Sejak pendataran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pencabutan telah mengikat kepada suami isteri, sedangkan kepada pihak ke tiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh sumi isteri dalam suatu surat kabar. (4) Dalam waktu 6 (enam) bulan suami isteri tidak mengumumkan pendataran pencabutan perjanjian perkawinan, maka pendaftaran pencabutan perjanjian perkawinan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 43 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada suami atau isteri untuk minta pembatalan nikah atau dapat menjadi alasan gugatan perceraian ke Mahkamah Syar’iyah. Pasal 44 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahi.
19
BAB VII KAWIN HAMIL Pasal 45 (1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak yang bersangkutan. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, maka untuk kemslahatan dan kesucian perkawinan perlu dinikah ulang setelah anak yang dikandung lahir. (4) Apabila kehamilan sebagai akibat pemerkosaan, maka pria yang menghamilinya harus diproses hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku meskipun pria tersebut telah menikahi wanita yang dihamilinya, (5) Apabila kehamilan terjadi akibat perbuatan suka sama suka, maka kedua-duanya harus diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku, meskipun sudah dinikahkannya. Pasal 46 (1) Seseorang selama masih menjalankan ibadah ihram, tidak boleh melangsungkan pernikahan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi pernikahan dalam keadaan menjalankan ibadah ihram atau menjadi wali nikah masih berada dalam keadaan menjalankan ibadah ihram, pernikahan tersebut tidak sah. BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG Pasal 47 (1) Seorang sumi dalam waktu yang bersamaan boleh beristeri lebih dari satu orang dan tidak boleh lebih dari empat orang. (2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang harus punya kemampuan baik lahir maupun batin dan mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. (3) Kemampuan lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan perumahan untuk kehidupan isteri-isteri dan anak-anaknya. (4) Kemampuan tersebut harus dibuktikan dengan sejumlah penghasilan yang diperoleh setiap bulan dari hasil pekerjaan baik sebagai PNS, pengusaha/wiraswasta, pedagang, petani maupun pelaut atau pekerjaan lainnya yang sah. (5) Kemampuan batin sebagaiman dimaksud pada ayat (2) adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis terhadap lebih dari seorang isteri. (6) Apabila syarat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, seorang suami dilarang beristeri lebih dari satu orang. Pasal 48
20
(1) Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Mahkamah Syar’iyah. (2) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat tanpa izin Mahkamah Syar’iyah, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 49 (1) Mahkamah Syar’iyah hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu syarat terpenuhi seorang suami sudah dapat mengajukan permohonan beristeri lebih dari satu orang meskipun isteri atau isteri-isteri sebelumnya tidak menyetujui, Mahkamah Syar’iyah dapat memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari satu orang.
Pasal 50 (1) Selain syarat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), untuk memperoleh izin Mahkamah Syar’iyah harus pula dipenuhi syarat-syarat: a. Adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetuan isteri atau isteri-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan. (3) Persetuan lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh isteri di hadapan sidang Mahkamah Syar’iyah. (4) Persetujuan sebagaimana pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada khabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat pertimbangan hakim. Pasal 51 (1) Dalam hal isteri atau isteri-isteri tidak mau memberikan persetujuan, sedangkan suami yang mengajukan permohonan izin beristeri lebih dari seorang sudah mampu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, hakim perlu mempertimbangkan untuk memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang. (2) Ketentuan standar kemampuan suami dan tata cara mengajukan permohonan beristeri lebih dari seorang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Gubernur.
21 BAB IX PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 52 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 (1) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah; b. saudara; c. wali nikah; d. wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. (2) Pencegahan perkawinan juga dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dan akan melangsungka perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami (3) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain. (4) Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi. Pasal 54 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah dalam daerah hukum perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah. (2) Pegawai Pencatat Nikah memberitahukan kepada calon mempelai mengenai adanya permohonan pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Calon suami dan calon isteri yang memaksakan Perkawinan tidak dapat dilangsungkan sebelum adanya pencabutan pencegahan perkawinan. Pasal 55 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan kepada Mahkamah Syar’iyah oleh yang mencegah atau dengan putusan Mahkamah Syar’iyah. Pasal 56 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan akad nikah bila ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 57
22
(1) Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, maka menolak untuk melangsungkan akad nikah. (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan surat keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah Pegawai Pencatat Nikah mengadakan penolakan berwenang untuk memberi keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut. (4) Mahkamah Syar’iyah akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dalam bentuk ketetapan, berupa menerima atau tidak menerima permohonan pemcegahan perkawinan. (5) Apabila Mahkamah Syar’iyah menerima permohonan pencegahan perkawinan, perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan. (6) Apabila Mahkamah Syar’iyah menolak permohonan pencegahan perkawinan, perkawinan tersebut dapat dilaksanakan. (7) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. Pasal 58 (1) Calon suami dan calon isteri tidak dibenarkan melangsungkan akad nikah jika mengetahui menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terdapat larangan kawin. (2) Apabila akad nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilaksanakan, kepada pasangan tersebut dikenakan sanksi. (3) Pegawai Pencatat Nikah yang membantu melangsungkan akad nikah, padahal ia mengetahui adanya larangan kawin bagi calon suami dan calon isteri yang bersangkutan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan atau sedang dalam proses pengajuan permohonan pencegahan perkawinan, juga akan dikenakan sanksi. BAB X BATALNYA PERKAWINAN Pasal 59 Perkawinan batal apabila : a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah memiliki empat orang isteri, meskipun salah satu dari empat isterinya itu dalam iddah talak raj’i; b. bekas suami menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya; c. bekas suami menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak, kecuali bila bekas isteri yang bersangkutan pernah menikah dengan pria lain yang kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
23 d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, hubungan semenda dan hubungan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan, yaitu : 1. adanya hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas; 2. adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri; 4. adanya hubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Isteri saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isteri. Pasal 60 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami beristeri lebih dari satu orang tanpa izin Mahkamah Syar’iyah; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagimana dimaksud dalam Pasal 16. e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang terjadi karena paksaan. Pasal 61 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 62 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undangundang; d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 63
24 (1) Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Mahkamah Syar’iyah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 64 (1) Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c.perkawinan yang tidak diketahui adanya larangan perkawinan disaat akad nikah dilangsungkan; d. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikat baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (2) Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara orang tua dengan anak. BAB XI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagain kesatu Umum Pasal 65 (1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat. (2)Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (4) Suami isteri wajib memelihara kehormatan pasangan, kerahasiaan rumah tangga. (5) jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat menempuh penyelesaian sebagai berikut: a. menyampaikan persoalan tersebut kepada orang tua masing-masing pihak; b. apabila orang tua kedua belah pihak tidak mampu memediasi maka persoalan tersebut disampaikan kepada pemangku adat gampong; c. apabila pemangku adat gampong juga tidak mampu melakukan mediasi, diajukan lagi kepada pemangku adat mukim; d. apabila pemangku adat mukim masih juga belum mampu memediasi, maka persoalan itu dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah. Pasal 66 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami isteri bersama-sama. Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri
25
Pasal 67 (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (4) Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh istri harus dengan sepengetahuan suami. Bagian Ketiga Kewajiban Suami Pasal 68 (1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan anggota keluarga dalam suatu rumah tangganya. (2) Apabila ada urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. (3) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala kebutuhan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (4) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (5) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung nafkah yang meliputi: a. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak-anaknya. b. biaya pendididkan bagi anak-anaknya. (6) kiswah dan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya. (7) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (5) mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (8) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (5). (9) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (6) gugur apabila isteri nusyuz. Bagian Keempat Tempat Kediaman (1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 69 Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteridan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram; Tempat kediaman berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
26
Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang Pasal 70 (1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Suami wajib pulang kepada istri-istri secara bergiliran yang adil, kecuali salah satu istri merelakan suami menetap pada istri yang lain lebih lama; (3) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. Bagian Keenam Kewajiban Isteri Pasal 71 (1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. (3) Istri yang bekerja dapat membantu kebutuhan rumah tangga.
(1) (2) (3) (4)
Pasal 72 Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah . Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada ayat (1) tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku kembali sesudah isteri tidak lagi nusyuz. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 73 Harta kekayaan dalam perkawinanatau harta seharkat adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Pasal 74 (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
27
Pasal 75 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedeqah atau lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam, adat istiadat dan peraturan perundang-undangan. Pasal 76 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaiannya sebagai berikut : a. Dilakukan melalui musyawarah antara isteri dengan suami; b. Apabila musyawarah antara suami isteri tidak menghasilkan kata sepakat, maka memohon bantuan orang tua/keluarga dari para pihak untuk melakukan mediasi; c. Apabila mediasi oleh orang tua/keluarga tidak menghasilkan kata sepakat, dimohonkan bantuan pemangku adat gampong; d. Apabila mediasi oleh pemangku adat gampong juga tidak menghasilkan kata sepakat, dimohonkan pada pemangku adat mukim untuk melakukan mediasi secara adat; e. Apabila mediasi oleh pemangku adat mukim masih belum menemukan kata sepakat, maka permasalahan tersebut di bawa keranah hukum kepada Mahkamah Syar’iyah. Pasal 77 (1) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. (2) Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 78 (1) Suami dan isteri dilarang menyalahgunakan kekuasaannya dalam mengurus harta bersama, harta isteri, harta suami, dan harta sendiri. (2) Apabila suami atau isteri menyalahi kewenangannya dalam mengurus harta sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) dan (2), maka kewenangannya dapat dicabut. Pasal 79 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 73 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. (2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Pasal 80 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 81
28 1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masingmasing. 2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri Pasal 82 1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang ,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Pasal 83 (a.i.1) Mahkamah Syar’iyah dapat meletakkan sita jaminan untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. (a.i.2) Sita Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila salah satu dari suami atau istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. (a.i.3) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Mahkamah Syar’iyah. Pasal 84 (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya memiliki hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Mahkamah Syar’iyah. Pasal 85 Janda atau duda cerai, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK Pasal 86 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau masih dalam status pelajar/mahasiswa atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Mahkamah Syar’iyah. (3) Apabila kedua orang tuanya tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai orang tua, maka Mahkamah Syar’iyah dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
29 Pasal 87 Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat, setelah mendapat istbat nikah orang tuanya dari Mahkamah Syar’iyah; c. anak hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 88 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 89 Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an. Pasal 90 (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Mahkamah Syar’iyah dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Syar’iyah. (2) Isteri dapat memohon kepada Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan tes DNA terhadap anak yang dilahirkan dan suami yang melakukan pengingkaran anak untuk memperoleh kepastian terhadap status anaknya; (3) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterima. Pasal 91 (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya yang yang sah. (2) Bila akta kelahiranatau alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada, maka Mahkamah Syar’iyah dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Mahkamah Syar’iyah tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Pasal 92 (1) Semua biaya penyusuan anak menjadi tanggung jawab ayahnya. (2) Apabila ayahnya telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan tidak mampu, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling singkat satu tahun dan paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dan tidak membahayakan bagi anak dengan persetujuan ayah dan ibunya. Pasal 93 Dalam hal terjadinya perceraian:
30 a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, kecuali ibunya dalam keadaan tidak sehat akal dan pikiran atau faktor lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Pasal 94 Ayah yang tidak bertanggung jawab terhadap biaya penyusuan dan pemeliharaan anak dapat dikenakan sanksi, kecuali ayah berada dalam keadaan tidak sehat akal dan pikiran atau faktor lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 95 (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya. (2) Apabila ada keperluan yang mendesak untuk kepentingan dan keselamatan anak atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi maka harta anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapatdimanfaatkan. (3) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XV PERWALIAN Pasal 96 (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau masih dalam status pelajar/mahasiswa atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Mahkamah Syar’iyah dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Pasal 97 (1) Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. (2) Wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis. (3) Wasiat secara lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai oleh 2 (dua) orang saksi. (4) Wasiat secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan baik dengan akta otentik atau akta dibawah tangan. Pasal 98 Mahkamah Syar’iyah dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
31 penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Pasal 99 (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, menjaga kesehatan, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. (5) Pertanggungjawaban wali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali. Pasal 100 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menyelesaikan pendidikan ditingkat SMA atau strata 1 atau telah menikah. (2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Mahkamah Syar’iyah berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Pasal 101 Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir. Pasal 102 (1) Setiap orang yang menerima penitipan anak wajib menjaga, memelihara dan merawat dengan baik seperti anaknya sendiri; (2) Anak yang dititip pada anggota keluarga atau orang lain yang dipercaya wajib menjaga, memelihara, merawat, memberikan makan dan minum, memberi pendidikan dan kebutuhan lainnya untuk si anak tersebut sampai orang tua kandung dapat mengurus sendiri anaknya; (3) Orang tua bertanggung jawab terhadap biaya pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2); (4) Orang yang menerima penitipan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) apabila melalaikan kewajibannya akan dikenakan sanksi kukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (5) Orang yang dengan sengaja menyiksa anak yang berada dibawah titipannya dan menyebabkan anak itu cacat dikenakan hukuman sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAB XVI
32 PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 103 Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Pasal 114 Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Mahkamah Syar’iyah baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak. Pasal 115 (1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 114 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Mahkamah Syar’iyah. (2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Mahkamah Syar’iyah. Pasal 116 Dalam hal terjadi perselisihan antara suami isteri dalam rumah tangga, maka harus diselesaikan terlebih dahulu melalui : a. musyawarah antara keduanya; b. Apabila musyawarah antara keduanya tidak tercapai kata sepakat, maka dimohon kepada orang tuanya atau keluarga dekatnya untuk melakukan perdamaian; c. Apabila orang tua atau keluarga dekat suami isteri tidak mampu mendamaikannya, maka dimohon kepada pemangku adat gampong untuk mendamaikannya; d. Apabila pemangku adat gampong juga tidak mampu mendamaikannya, maka dimohonkan kepada pemangku adat mukim untuk berupaya mendamaikannya; e. Apabila pemangku adat mukim masih belum mampu mendamaikan pasangan suami isteri tersebut, dimohonkan kepada BP4 untuk mendamaikannya; f. Apabila BP4 juga belum mampu mendamaikan pasangan suami isteri yang berselisih, maka persoalan rumah tangga dibawa ke Mahkamah Syar’iyah. Pasal 115 (1) Setiap orang dilarang membantu atau menganjurkan kepada pasangan suami isteri yang sedang menghadapi perselisihan rumah tangga untuk melakukan perceraian di luar proses hukum Mahkamah Syar’iyah; (2) Setiap orang yang ikut terlibat dalam mendamaikan pasangan suami isteri yang sedang terjadi perselisihan, apabila tidak dapat didamaikannya sesuai dengan tahab-tahab sebagaimana dimaksud dalam pasal 114 wajib menganjurkan kepada pasangan suami isteri tersebut untuk menyelesaikan melalui jalur hukum ke Mahkamah Syar’iyah. (3) Setiap orang yang membantu atau menganjurkan pasangan suami isteri yang sedang berselisih dalam rumah tangga untuk melakukan perceraian di luar Mahkamah Syar’iyah akan dikenakan sanksi.
33 Pasal 116 (1) Setiap orang yang mengetahui adanya perceraian diluar Mahkamah Syar’iyah wajib memberitahukan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan. (2) Kantor Urusan Agama setelah menerima pemberitahuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, wajib memanggil pasangan suami istri tersebut unuk dilakukan pemeriksaannya. (3) Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa pasangan suami istri itu sudah melakukan perceraian, Kantor Urusan Agama wajib menyampaikan laporan kepada Mahkamah Syar’iyah. (4) Mahkamah Syar’iyah setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib memanggil, memeriksa, mengadili sesuai dengan proses persidangan biasa. (5) Barang siapa yang mengetahui terjadi perceraian di luar Mahkamah Syar’iyah, tetapi tidak melapor kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi. Pasal 117 (1) Setiap pasangan suami isteri yang berselisih dalam rumah tangga dilarang melakukan perceraian diluar proses hukum Mahkamah Syar’iyah; (2) Apabila suami terlanjur melakukan ikrar talak di luar proses hukum Mahkamah Syar’iyah akan dikenakan sanksi. (3) Suami yang sudah terlanjur melakukan ikrar talak kepada isterinya di luar Mahkamah Syar’iyah wajib memohon kepada Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan istbat talak; (4) Mahkamah Syar’iyah setelah melakukan pemeriksaan terhadap permohonan istbat talak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jika talak yang telah diikrarkan oleh suami kepada isterinya telah sah menurut hukum islam, maka hakim akan melakukan istbat talak; (5) Istbat talak yang diterima dan diputuskan oleh hakim Mahkamah Syar’iyah untuk mengesahkan perceraian tidak menghilangkan proses hukum untuk memberikan sanksi kepada suami. Pasal 118 (1) Isteri yang sedang menghadapi perselisihan dalam rumah tangga dengan suaminya dilarang meminta suami untuk menceraikannya di luar Mahkamah Syar’iyah. (2) Istri dilarang melakukan fasah terhadap suami diluar Mahkamah Syar’iyah. (3) Apabila isteri terbukti memaksa suaminya untuk menceraikannya di luar Mahkamah Syar’iyah, maka isteri juga dapat dikenakan sanksi. Pasal 119 (1) Setiap orang dilarang mengakui dan/atau mengeluarkan surat keterangan fasah yang terjadi diluar Mahkamah Syar’iyah. (2) setiap orang yang mengakui dan/atau mengeluarkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenakan sanksi.
34 Pasal 120 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 121 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah setelah hakim Mahkamah Syar’iyah tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 122 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. i. suami telah melakukan ikrar talak kepada isterinya di luar Mahkamah Syar’iyah. Pasal 123 (1) Talak adalah ucapan suami untuk menceraikan istri yang menyebabkan putusnya perkawinan. (2) Talak baru memiliki kekuatan hukum setelah ada putusan Mahkamah Syar’iyah. Pasal 124 Talak terdiri dari: a. Talak Raj’i; b. Talak Ba’in; c. Talak Sunny; d. Talak Bid’i. Pasal 125 (1) Talak Raj`I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf a adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. (2) Talak Ba`in sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf b terdiri dari: d.i.1.a. Talak Ba’in Shugraa d.i.1.b. Talak Ba’in Kubraa (3) Talak Bain Shughraa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. (4) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a yaitu:
35
(5) (6)
(7) (8)
a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atau khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah. Talak Ba`in Kubraa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak Ba`in Kubraa sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan habis masa iddahnya. Talak sunny sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf c adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Talak bid`I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf d adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 126 (1) Putusnya perkawinan karena perceraian terhitungsejak putusanMahkamahSyar’iyah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan suami istri yang bersangkutan tinggal secara terpisah. (3) Putusnya perkawinan karena talak terhitung sejak dilakukan ikrar talak oleh suam terhadap istrinya. Pasal 127 (1) Putusnya perkawinan juga dapat terjadi karena Li’an. (2) Li`an disebabkan suami menuduh isteri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Pasal 128 (1) Tata cara li`an sebagai berikut: a. suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta” b. isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an. (2) Li`an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Mahkamah Syar’iyah. Bagian Kedua Tata Cara Perceraian Pasal 129
36 (1) Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. (2) Bagi seorang suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya di luar Mahkamah Syar’iyah waji mengajukan permohonan Istbat talak kepada Mahkamah Syar’iyah baik secara lisan maupun tertulis dengan mengajukan bukti-buktinya Pasal 130 (1) Mahkamah Syar’iyah dapat mengabulkan atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129. (2) Terhadap Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. Pasal 131 (1) Mahkamah Syar’iyah yang bersangkutan mempelajari permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. (2) Setelah Mahkamah Syar’iyahmenerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (1) tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Mahkamah Syar’iyah menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. (3) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan sidang Mahkamah Syar iah, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. (4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Mahkamah Syar’iyah tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh. (5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Mahkamah Syar’iyah membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Mahkamah Syar’iyah Pasal 132 (1) Setelah Mahkamah Syar’iyahmenerima permohonan Istbat talak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2), ternyata talah yang dijatuhkan diluar Mahkamah Syar’iyah telah sah menurut hukum Islam, maka Mahkamah Syar’iyah menjatuhkan putusannya bahwa talak tersebut sah. (2) Apabila Mahkamah Syar’iyah setelah memeriksa pemohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2), talak yang telah dijatuhkan diluar Mahkamah Syar’iyah tenyata tidak sah, maka hakim wajib mendamaikan agar pasangan suami istri yang bersangkutan untuk kembali hidup bersama dalam rumah tangga. (3) Apabila upaya perdamaian tidak berhasil maka proses persidangan dilanjutkan melalui acara biasa.
37
Bagian Ketiga Gugatan Perceraian Pasal 133 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Mahkamah Syar’iyah, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. (2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Mahkamah Syar’iyah memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 134 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 122 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan penggugat atau meninggalkan rumah tangga. (2) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama. Pasal 135 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 122 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Mahkamah Syar’iyah mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 122 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 136 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Mahkamah Syar’iyah dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Mahkamah Syar’iyah dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri (3) Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Mahkamah Syar’iyah mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 137 1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
38 pengumuman di Mahkamah Syar’iyah dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar ataumedia massa lain yang ditetapkan oleh Mahkamah Syar’iyah. 2. Pengumuman melalui surat kabar atau media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. 3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 138 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat Pasal 139 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. (2) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah. Pasal 140 (1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datingsendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. (2) Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 141 (1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. (3) Apabila dalam proses perkara gugatan perceraian, istri menyatakan bahwa dia sudah pernah dijatuhkan talak oleh suami sebelum diajukan gugatan ke Mahkamah Syar’iyah, maka hakim wajib memeriksa tata cara penjatuhan talak tersebut. (4) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan penjatuhan talak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sah menurut ketentuan hukum Islam, hakim harus menjatuhkan putusan istbat talak, dengan ketentuan suami dikenakan hukuman denda. (5) Apabila penjatuhan talak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sah menurut ketentuan hukum Islam, hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara melalui acara biasa. Pasal 142
39 (1) Apabila terjadi perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dan (2), maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. (2) Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 143 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Mahkamah Syar’iyah yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (1) (2)
(3) (4)
(5)
(6)
Pasal 144 Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Mahkamah Syar’iyah menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan. Panitera Mahkamah Syar’iyah berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Mahkamah Syar’iyah yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan. Panitera Mahkamah Syar’iyah mengirimkan surat keterangan kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. Panitera Mahkamah Syar’iyah membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Pasal 145 (1) Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya. (2) Mahkamah Syar’iyah selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing. (3) Dalam persidangan tersebut Mahkamah Syar’iyah memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya. (4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Mahkamah Syar’iyah memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Mahkamah Syar’iyah. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. (5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5).
40 (6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. BAB XVII AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Talak Pasal 146 Perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul; b. memberi nafkah, makan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al dukhul; d. memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun c. Talak yang terjadi di luar Mahakamah Syar’iyah, bekas suami disamping kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d juga kewajiban membayar denda sesuai dengan putusan Mahkamah Syar’iyah. Pasal 147 (1) Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. (2) rujuk yang dilakukan oleh bekas suaminya yang melakukan perceraian di luar mahkamah Syar’iyah, tidak menghapuskan proses hukum untuk pembayaran denda. (3) Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. (4) Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. Bagian Kedua Waktu Tunggu Pasal 148 (1) Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. (2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. (3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. (4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
41 sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. (5) Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. (6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Pasal 149 Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6), di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Pasal 150 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak. Bagian Ketiga Akibat Perceraian Pasal 151 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Mahkamah Syar’iyah dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Mahkamah Syar’iyah memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d); f. Mahkamah dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. g. kewajiban hadhanah sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, e, dan f dihitung semenjak terjadi ikrar talak oleh suami kepada isterinya, baik melalui Mahkamah maupun diluar Mahkamah; h. terhadap talak yang terjadi di luar Mahkamah jika suami isteri tidak melaksanakan kewajiban hadhanah kepada anaknya dapat dikenakan hukuman denda dan ditambah hukuman denda kepada suami karena menjatuhkan talak diluar Mahkamah. Pasal 157
42 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 dan Pasal 85. Bagian Keempat Mut`ah Pasal 158 Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. Pasal 159 Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158. Pasal 160 Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Bagian Kelima Akibat Khuluk Pasal 161 Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk Bagian Keenam Akibat Li`an Pasal 162 Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII RUJUK Bagian Kesatu Umum Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. (3) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
43 a.
putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qabla al dukhul; b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan Mahkamahatau putusnya perkawinan karena talak yang dijatuhkan diluar Mahkamah dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. c. talak yang terjadi diluar Mahkamah meskipun dilakukan rujuk tidak mengurangi hukuman denda. Pasal 164 Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi Pasal 165 (1) Rujuk harus dilakukan dengan sepengetahuan bekas istri. (2) Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah. (3) Setiap rujuk harus dilaporkan ke Kantor Urusan Agama oleh pasangan yang telah rujuk dan harus dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk. (4) Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk harus diberikan kepada pasangan yang telah melakukan rujuk sebagai alat bukti. (5) Apabila bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula. Bagian Kedua Tata Cara Rujuk Pasal 166 (1) Bekas Suami yang hendak merujuk isterinya wajib memberitahukan kepada pemangku adat gampong. (2) Pemangku adat gampong memanggil istri untuk didengar keterangannya. (3) Apabila istri setuju atas permintaan suami untuk rujuk maka suami mengucapkan rujuk di hadapan orang tua dan pemangku adat gampong. (4) Pemangku adat gampong memeriksa dan menyelidiki syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya. (5) Pemangku adat gampong mengeluarkan surat keterangan rujuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) yang ditandatangani suami isteri dan saksi-saksi, mengetahui keuchik atau nama lain (6) Pemangku adat gampong memberikan nasehat kepada suami isteri yang telah rujuk tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. (7) Untuk memperoleh kekuatan hukum Suami bersama isteri menghadap pengawai pencatat nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah rujuk dilakukan dengan membawa surat keterangan rujuk yang telah ditandatanganinya dan mengetahui keuchik atau nama lain untuk didaftarkan. Pasal 168
44 (1) pendaftaran rujuk dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama dalam Wilayah Hukum tempat tinggalnya. (2) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Mahkamah Syar’iyah ditempat berlangsungnya talak atau berlangsungnya istbat talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masingmasing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. (3) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Mahkamah Syar’iyah di tempat berlangsungnya talak atau istbat talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Mahkamah Syar’iyah dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk. (4) Surat keterangansebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. BAB XIX MASA BERKABUNG Pasal 170 (1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. (2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
BAB XX SANKSI Pasal 171 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, 16, 58, 94, 102, 115, 116, 117, 118, 119 akan dikenakan sanksi denda paling rendah sebesar 15 (lima belas) gram emas murni 24 karat dan paling tinggi 100 (lima belas) gram emas murni 24 karat. (2) besarnya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat tergantung tingkat kesalahan yang dilakukan oleh bekas suami atau bekas istri. (3) apabila tidak membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diganti dengan hukuman cambuk serendah-rendahnya 10 (sepuluh) kali cambuk dan setinggitingginya 25 (dua puluh lima) kali cambuk. (4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)masuk dalam kas negara dan akan digunakan untuk pemberdayaan janda-janda dan anak-anak yang diterlantarkan oleh bekas suaminya dan/atau orang tuanya yang melakukan perceraian di luar Mahlamah Syar’iyah
BAB XXI
45
HUKUM KEWARISAN Bagian kesatu Umum Pasal 172 (1) Harta warisan harus segera dibagi setelah pewaris meninggal dunia, kecuali ada halhal yang menghalangi pembagian harta warisan harus segera. (2) Pembagian harta warisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lama 120 (seratus dua puluh) hari setelah pewaris meninggal dunia. (3) Sebelum dilakukan pembagian harta warisan, ahli waris wajib menyelesaikan hutang pewaris. Pasal 173 (1) Pembagian harta warisan terlebih dahulu diselesaikan melalui musyawarah keluarga. (2) Apabila musyawarah keluarga tidak mencapai kata sepakat, diselesaikan melalui pemangku adat gampong dan pemangku adat mukim. (3) Apabila penyelesaian melalui pemangku adat gampong dan pemangku adat mukim tidak mencapai kata sepakat, diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah. Bagian Kedua Ahli Waris Pasal 172 Syarat-syarat menjadi Ahli waris adalah: d.i.1.b.i.1.a. beragama Islam yang dibuktikan dengan Kartu TandaPenduduk (KTP); d.i.1.b.i.1.b. pengakuan atau amalan atau kesaksian; d.i.1.b.i.1.c. bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Pasal 173 (1) Setiap orang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan, . (2) Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terhalang apabila a. Keluar dari agama Islam (murtad); b. Adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: b.i.1. telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b.i.2. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Pasal 174 (1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
46 a. Menurut hubungan darah: 1. golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. 2. golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. (2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. (3) Apabila anak pewaris meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka harta warisan tersebut beralih kepada cucunya atau janda atau duda sebagai ahli waris pengganti. Pasal 175 (1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai; b. menyelesaikan baik hutang-hutang maupun menagih piutang; c. menyelesaikan wasiat; d. apabila masih ada sisa dari harta setelah membayar hutang pewaris, maka harta warisan tersebut dibagi kepada ahli waris yang berhak. (2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Bahagian Ketiga Besarnya Bahagian Pasal 176 (1) Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat ½ (seperdua) bagian. (2) Apabila dua orang atau lebih anak perempuan mereka bersama-sama mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian. (3) Apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah 2 (dua) berbanding 1 (satu) dengan anak perempuan. (4) Apabila pewaris hanya meninggalkan anak perempuan, dan dia mengurus pewaris semasa hidupnya hingga meninggal, maka semua harta warisan dapat diwarisi kepada anak perempuan tersebut. (5) Ahli waris lain selain ayah atau ibu tidak berhak atas harta warisan dari pewaris apabila ahli waris tersebut tidak pernah menghiraukan pewaris semasa hidup hingga meninggal. Pasal 177 Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat 1/6 (seperenam) bagian. Pasal 178 (1) Ibu mendapat 1/6 (seperenam) bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ibu mendapat 1/3 (sepertiga) bagian. (2) Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179
47 Duda mendapat ½ (setengah) bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat Ÿ (seperempat) bagian. Pasal 180 Janda mendapat Ÿ (seperempat) bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian. Pasal 181 (1) Seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat 1/6 (seperenam) bagian. (2) Apabila seorang meninggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meninggalkan 2 (dua) orang atau lebih maka bersama-sama mendapat 1/3 (sepertiga) bagian. Pasal 182 (1) Pewaris tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat ½ (setengah) bagian. (2) Apabila saudara perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka bersamasama mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian. (3) Apabila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki 2 (dua) berbanding 1 (satu) dengan saudara perempuan. Pasal 183 (1) Para ahli waris dalam melakukan pembagian harta warisan dapat melakukan penyimpangan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 176, 177,178, 179, 180,181, dan 182 asal ada kesepakatan antara para ahli waris; (2) Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Pasal 184 (1) Bagi ahli waris yang belum dewasa atau masih dalam kandungan ibu atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga. (2) Terhadap ahli waris yang masih dalam kandungan si ibu harus diperhitungkan sebagai anak laki-laki Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pasal 186 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Pasal 187
48 (1) Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas: a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang; b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c. (2) Sisa dari pengeluaran dimaksud pada ayat (1) merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Pasal 188 (1) Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. (2) Apabila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan penyelesaian kepada pemangku adat gampong. (3) Apabila putusan pemangku adat gampong tentang pembagian harta warisan tidak dapat diterima oleh para pihak, maka diajukan kepada pemangku adat mukim. (4) Apabila putusan pemangku adat mukim tentang pembagian harta warisan tidak dapat diterima para pihak, maka diajukan gugatan melalui Mahkamah Syar’iyah. (5) Apabila para pihak sudah menerima putusan pemangku adat gampong atau pemangku adat mukim, maka putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Pasal 189 (1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, dapat dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. (2) Apabila warisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. Pasal 190 Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas harta seharkat dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya. Pasal 191 Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Mahkamah Syar’iyah diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum. Bahagian Keempat Aul dan Rad Pasal 192 Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang.
49
Pasal 193 Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka. Sanksi Pasal 194 (1) Ahli waris yang menunda-nunda pembagian harta warisan dikenakan sanksi pidana. (2) Ahli waris yang menjual harta warisan tanpa sepengetahuan ahli waris lain dikenakan sanksi pidana. (3) Ahli waris yang menggelapkan harta warisan dikenakan sanksi pidana. BAB XXII WASIAT Pasal 194 (1) Setiap orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah kawin, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga pendidikan atau keagamaan. (2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hartamilik dari pewasiat. (3) Pemilikan terhadap harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Pasal 195 (1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. (2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. (3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. (4) Pernyataan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris. Pasal 196 Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Pasal 197 (1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat; b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
50 c.
dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat. (2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. (3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. Pasal 198 Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. Pasal 199 (1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakanpersetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali. (2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atautertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiatterdahulu dibuat secara lisan. (3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris. (4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte Notaris. Pasal 200 Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Pasal 201 Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya. Pasal 202 Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya. Pasal 203 (1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya. (2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
51
Pasal 204 (1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu. (2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini. (3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya. Pasal 205 Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Pasal 206 Setiap orang yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Pasal 207 (1) Wasiat tidak sah apabila si pewasiat sudah dalam keadaan tidak sadar. (2) Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Pasal 208 Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut. Pasal 209 (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta wasiat anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya.
BAB XXIII HIBAH Pasal 210
52 (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah kawin, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada orang lain atau lembaga yang bergerak dibidang pendidikan, keagamaan dan sosial di hadapan dua orang saksi untuk dimanfaatkan. (2) Harta yang dihibahkan harus merupakan hak milik dari penghibah. (1) (2) (3)
Pasal 211 Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan setelah orang tua meninggal dunia. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah dapat ditarik kembali apabila harta hibah tidak difungsikan sebagaimana yang diperjanjikan dalam pejanjian hibah.
Pasal 212 Hibah yang dilakukan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit berat, maka harus mendapat persetujuan dari keluarga terdekat. Pasal 213 (1) Setiap warga negara Indonesia atau warga negara asing dapat menghibahkan hartanya untuk kepentingan pendidikan, keagamaan dan sosial di Aceh. (2) Warga negara Indonesiayang berada di negara asing atau warga negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan ini.
BAB XXIV PERWAKAFAN Bagian Kesatu Umum Pasal 214 (1) Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariat Islam. (2) Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. (3) Wakaf harta benda hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya yang sah. (4) Wakaf dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai harta lebih. (5) Wakaf harta benda tidak boleh mengakibatkan kehidupan keluarga menjadi mudharat. Bagian Kedua Tujuan Dan Fungsi Wakaf Pasal 215 (1) Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. (2) Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. (3) Harta benda wakaf wajib dimanfaatkan sesuai denga tujuan dan fungsi wakaf
53
Pasal 216 (1) Apabila harta benda wakaf ingin dialihfungsikan kepada fungsi yang lain yang menyimpang dari maksud wakif dalam melakukan wakaf, maka harus diminta persetujuan wakif atau ahli warisnya. (2) Apabila harta benda wakaf tidak difungsikan atau tidak diusahakan sesuai dengan fungsi sebagaimana dimaksud pada pasal 215, maka wakif dapat mengajukan keberatan kepada badan wakaf. Bagian Ketiga Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf Pasal 217 (1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah para pihak untuk mencapai mufakat. (2) Apabila musyawarah para pihak tidak mencapai mufakat, maka penyelesaian sengketa wakaf diajukan ke pemangku adat gampong. (3) Apabila penyelesaian melalui pemangku adat gampong tidak mencapai kesepakatan, diajukan ke pemangku adat mukim. (4) Apabila putusan pemangku adat gampong atau pemangku adat mukim diterima oleh para pihak, maka putusan tersebut bersifat final dan mengikat. (5) Apabila penyelesaian melalui pemangku adat mukim tidak mencapai kesepakatan, maka diajukan ke Mahkamah Syar’iyah. Bagian Ketiga Pengawasan Pasal 227 Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Pemangku adat gampong dan mukim, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahinya. BAB XXV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 228 Hal-hal lain tentang wakaf yang belum diatur dalam Qanun ini berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Di tetapkan di Banda Aceh pada tanggal Desember 2016 M Safar 1438 H GUBERNUR ACEH, Zaini Abdullah
54
Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal Desember 2016 M ........... 1438 H SEKRETARIS DAERAH ACEH, DERMAWAN LEMBARAN ACEH TAHUN 2016 NOMOR ....