7 minute read

Hasil & Pembahasan

Next Article
Kesimpulan

Kesimpulan

Sementara itu, untuk sebaran asal daerah responden, penelitian ini berhasil mengumpulkan responden secara representatif, dimana setiap kabupaten/kota mengirimkan suaranya untuk didengar.

Kota Banda Aceh unggul cukup signifikan dengan 25,87 persentase suara, hal ini bukan suatu yang mengejutkan mengingat ini adalah survei online dimana faktor perkembangan teknologi menjadi sangat berpengaruh. Bisa dinyatakan bahwasanya Kota Banda Aceh memiliki masyarakat yang paling melek teknologi karena didukung oleh infrastruktur yang memadai, sementara daerah lain belum merasakan infrastruktur teknologi yang stabil dan merata.

Advertisement

Kemudian untuk peringkat selanjutnya, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Tamiang adalah dua penyumbang responden yang berhasil membentuk dua digit angka, masing-masing sama besarnya yaitu 16,60%. Sisanya bervariatif dari 5,41% hingga 0,77%, untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada diagram berikut;

Diagram 3. Asal Kabupaten/Kota Responden

Adapun tingkat pendidikan masyarakat yang berpartisipasi dalam survei ini didominasi oleh mereka yang berpendidikan tinggi, bahkan tidak ada satupun dari responden yang tidak menamatkan jenjang pendidikan. Responden dengan gelar S1 memberikan lebih dari setengah jumlah suara (53,28%).

Disusul oleh mereka yang sudah menyandang gelar S2/S3 yaitu sebanyak 28,96% suara. Sisanya adalah SMA/Sederajat (12,74%), Diploma (4,63%), dan SMP/Sederajat (0,39%) sebagai penyumbang suara terendah.

Diagram 4. Tingkat Pendidikan Responden

Masuk pada pembahasan utama. Terkait dengan wacana penutupan lingkungan pemukiman, sebagian besar (61.39%) masyarakat Aceh setuju dengan kemungkinan penutupan lingkungan pemukiman. Kemudian terdapat 28.95% yang tidak setuju, dan sisanya 9.65% menyatakan netral. Kemudian masuk

Diagram 5. Penutupan Lingkungan Pemukiman

Pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu penghentian sementara kegiatan diluar rumah, artinya keluarmasuk lingkungan pemukiman menjadi lebih ketat.

Reaksi responden menunjukan hasil yang hampir sama, yaitu sebagian besar (61.39%) masyarakat Aceh setuju dengan penghentian kegiatan diluar rumah. Kemudian, masih terdapat 27.80% yang tidak setuju, dan sisanya 10.81% menyatakan netral.

Berkaca pada himbauan pemerintah untuk melakukan Work From Home (WFH) bagi pekerja kantoran, sebenarnya disambut dengan sangat baik oleh mereka, karena dengan begitu mereka yang selama ini berjibaku dengan jam kantor mempunyai waktu lebih yang bisa dihabiskan bersama keluarga.

Namun, bagi tenaga kerja nonformal tentu ini adalah pilihan yang sangat sulit dimana mereka menggantungkan nafkah diluar rumah, dengan begitu pemerintah perlu mencarikan jalan keluar agar penghentian kegiatan diluar rumah tidak menjadi “simalakama”, keluar rumah mati karena corona, di dalam rumah mati karena kelaparan.

Diagram 6. Penghentian Kegiatan Diluar Rumah

Berbanding terbalik dengan dua pernyataan sebelumnya, ternyata jumlah masyarakat yang tidak setuju (46.72%) dengan himbauan penghentian kegiatan peribadatan diluar rumah jauh lebih banyak dari jumlah masyarakat yang setuju (34.36%) dengan ibadah bersama keluarga dirumah.

Jumlah yang menyatakan netral (18,92%) terhadap ibadah di rumah saja juga tidak sedikit.

Respon ini bisa dimaklumi karena karakter masyarakat Aceh yang sudah terbentuk dan terikat dengan nilai-nilai syariat, dimana menunaikan shalat di masjid memang dinilai lebih utama.

Asalkan jamaah tetap bisa shalat di masjid dengan menjalankan protokol pencegahan Covid-19 seperti mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan menjaga jarak sepertinya ibadah di masjid masih mungkin dilakukan. Terlebih lagi Aceh saat ini belum masuk zona merah, dan belum ada laporan bahwa seseorang tertular virus corona karena pulang ibadah dari masjid.

Diagram 7. Penghentian Ibadah Diluar Rumah

Solidaritas masyarakat Aceh dalam menghadapi pandemic Covid-19 diyakini masih tetap tinggi, dimana mayoritas menyatakan akan tetap mengulurkan tangannya untuk terus saling membantu dalam meringankan beban saudaranya yang membutuhkan.

Disini terdapat dua macam bantuan, yaitu bantuan pemenuhan kebutuhan pokok (beras, telur, minyak, dsb) dan bantuan non-materil (tenaga, perhatian, dsb).

Sebanyak 55,21% setuju untuk berbagi kebutuhan pokok, hanya sedikit (12,74%) yang menyatakan ketidaksiapannya dalam membantu, lalu sisanya (32,05%) masih ragu-ragu.

Sementara itu persentase kesiapan dalam bantuan non-materil jauh lebih tinggi dimana menyentuh angka 77,23%, dengan hanya segelintir (3,47%) yang menyatakan ketidaksediannya, juga masih ada sisa 19,31% yang netral.

Selama pandemi bisa kita lihat banyak sekali masyarakat baik secara personal maupun kelompok mengadakan penggalangan dana untuk mereka yang terdampak virus corona, mulai dari sumbangan Alat Pelindung Diri (APD) dan nutrisi (susu, buah, vitamin, dsb) untuk tenaga medis, bagi-bagi masker gratis di jalanan, pembuatan hand sanitizer untuk didistribusikan secara gratis, hingga bagi-bagi sembako bagi masyarakat yang kehilangan mata pencarian, dan beberapa aksi kemanusian lainnya.

Diagram 8. Bantuan Kebutuhan Pokok dan Non-Materi

Sejak diberlakukannya tindakan antisipatif darurat corona di Aceh akhir Maret lalu, dimana sejumlah institusi menggalakkan belajar dan bekerja dari rumah, masyarakat menyatakan bahwa keadaan tersebut menjadikan mereka menjadi lebih jarang keluar (84.56%) dari daerah domisili, hanya sedikit yang masih memberanikan diri untuk keluar daerah (15,44%).

Itupun dengan berbagai alasan yang masih rasional seperti bekerja, berobat, menjemput anak/kerabat. Lebih lanjut, tingkat mawas masyarakat juga lebih tinggi dengan tidak menerima tamu (90,35%) dari luar daerah, dan sisanya (9,65%) masih ada yang menerima tamu dari luar daerah.

Diagram 9. Aktivitas Keluar Daerah dan Menerima Tamu Luar Daerah

Melihat dua pernyataan diatas, mengindikasikan bahwasanya masyarakat patuh dan taat terhadap himbauan dari pemerintah, mereka juga lebih waspada terhadap berbagai macam kemungkinan cara penularan, sehingga mencoba untuk tidak keluar daerah dan tidak menerima tamu dari luar daerah selama masa himbauan untuk tidak keluar rumah.

Lebih lanjut, ketika ditanya seberapa besar tingkat kepatuhan mereka untuk mentaati berbagai macam kemungkinan kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam menanggulangi bencana Covid19, maka hampir seluruhnya menyatakan bahwa mereka adalah masyarakat yang taat (90,73%) kepada pemimpin. Kemudian hanya sedikit (3,09) yang mengidentifikasi diri untuk tidak patuh, lalu sisanya (6,18%) menyatakan netral.

Diagram 10. Tingkat Kepatuhan Masyarakat

Berbicara lebih jauh terkait kepatuhan, masyarakat juga ditanyai terkait hal apa yang membuat meresa bisa kooperatif dalam mematuhi petunjuk yang diberikan pemerintah, apakah karena ketakutan terhadap aparat keamanan atau karena adanya hukuman denda yang diberikan. Mayoritas (90,35%) menyatakan patuh karena adanya arahan dari aparat keamanan, hanya segelintir (1,93%) yang tidak khawatir akan ditindak oleh pihak keamanan, lalu selebihnya (7,72%) menyatakan netral.

Berkaitan dengan penerapan denda bagi yang melanggar, ternyata tingkat kepatuhannya sedikit lebih rendah daripada karena adanya teguran pihak aparat, yaitu sebesar 80,31%. Tingkat ketidakpatuhannya malah sedikit lebih tinggi yaitu 7,34%, lalu selebihnya 12,36% menjawab netral. Bisa dilihat ketika pemberlakuan jam malam yang dikawal oleh pihak TNI/Polri beberapa pekan yang lalu, terlihat efektif dalam hal ketertiban, masyarakat cenderung patuh dan tidak ada perlawanan. Namun beda halnya dengan aturan denda bagi yang tidak pakai masker, sejak diberlakukan masih tetap ada masyarakat yang kurang menghimbau aturan ini.

Diagram 10. Tingkat Kepatuhan Masyarakat

Pemerintah senantiasa meningkatkan langkah-langkah terpadu dalam menangani pandemi global dari Covid-19. Seperti membentuk gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 yang dikomandoi oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Gugus tugas ini telah bekerja secara efektif dalam menyinergikan kekuatan nasional baik di pusat maupun di daerah, melibatkan semua unsur yang berkompeten.

Mengingat luasnya sebaran wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan, maka tingkat penyebaran Covid-19 pun akan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Disini kepala daerah berperan penting dalam menelaah setiap situasi kebijakan yang bisa diambil.

Ketika ditanyai kapabilitas pemerintah di setiap level dalam mengendalikan wabah virus corona, maka penilaian yang diberikan oleh masyarakat Aceh ikut berbeda-beda.

Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah pusat hanya 46,33%, jumlah yang tidak percaya ternyata lumayan tinggi yaitu 30,88%, dan sisanya (22,78%) menyatakan netral.

Tingkat kepercayaan kinerja pemerintah provinsi ternyata sedikit lebih tinggi (56,38%), hanya sedikit yang menaruh rasa pesimistisnya (19,69%), lalu sisanya menyatakan ragu-ragu atau netral (23,94%).

Dukungan terhadap pemerintah kabupaten/kota ternyata juga sama baiknya, dimana sebanyak 51,73% menaruh tingkat kepercayaan yang tinggi, walaupun masih terdapat pihak yang menyatakan tingkat kepercayaan yang rendah (21,23%). Dan sisa (27,03%) masyarakat yang netral juga tidak kalah banyak.

Diagram 12. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah Pusat

Diagram 13. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah Propinsi

Diagram 14. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota

Lebih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah daripada pemerintah pusat bisa dimaklumi apabila dinilai dari langkah antisipatif awal yang pernah mereka lakukan.

Pemerintah pusat terkesan lambat dalam bereaksi, bisa dilihat diawal-awal kemunculan pandemi ini pemerintah pusat malah menganggap remeh dengan menyatakan Indonesia aman dari bahaya corona. Bukannya menuntup bandara namun malah gencar promosi wisata.

Barulah 2 Maret 2020 pemerintah sadar dan menentukan sikap karena sudah ada warganya yang terpapar virus corona. Namun, berbeda halnya dengan pemerintah daerah (Aceh) yang sigap mengambil langkah. Seperti gerak cepat dalam mengirimkan bantuan logistik dan evakuasi mahasiswa Aceh yang belajar di Wuhan – China.

Lalu juga pada pertengahan Maret, ketika Aceh masih nol kasus, pemerintah tidak menunggu adanya korban positif baru mengambil langkah antisipatif. Pemerintah Aceh langsung mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan segala aktivitas yang mengumpulkan orang banyak. Maka oleh karena itu tidak mengherankan apabila melihat masyarakat lebih banyak memberikan reaksi positif terhadap pemerintah daerah daripada pemerintah pusat.

This article is from: