Rintik November

Page 1


“Rintik November”

Fuan

2022

Memori yang tertelan, ia muntahkan lagi ketika ilusi kekasihnya hilang di balik rintik hujan bulan November


Mendung

3


Sedetik Kedip, lirik, napas, renjana hanya butuh sedetik. “Hanya sedetik?” Jika kamu tak ripuh.

4


Beranjak Mata kita pergi beranjak menghilang, mencoba menepis hembus angin surga. Apakah aku; yang kehilangan gairahnya? Atau Kamu; sedang pelik hatinya?

5


Pena Hadiah Satu koin berdua Mengundi nasib di atas yang meluncur menentu arah. Lima puluh tiket; dua pena Untukmu hijau Untukku abu-abu Dalam poket aku simpan Dalam tas kamu tahan Dalam masa aku kenang Dalam mimpi kamu genggam Mau main lagi minggu depan? Apa yang tersimpan menjadi seutas kenang.

6


Lelah Malam ini. Aku kembali rebah Bersama dengan anak-anak waktu yang melemah di jam-jam sepi Selimut biru mengombak Meruntuhkan dinding kerajaan di bawah kedua mata Sehangat kesedihan, ialah kibasan angin malam yang menyusutkan kepercayaan Kepalaku menyukainya, lembut bantal yang menadah ingatan yang lepas kepingannya; yang menyala semalaman; yang menuai kesalahan; dan mencabik keberanian Saat malam merekah, tapak-tapak kepedihan berjalan dengan tegas Mengentak-entak Menyalak Aku; yang hanya ingin rebah dan membuang lelah dengan telak

7


Pesisir Debur ombak menata biramanya di jam-jam lemah, setiap ketukan mendayung kembali cerita usang yang belum tuntas alurnya. Hamparan pasir membentang di balik tembok agung mulia menimbun selara yang memerihkan hati Sang Jelita.

8


Daun Malam Malam; rapatkan gorden di ruang tengah. sembunyikan sendi kaku daun jendela. Selangkah dari perjamuan, seseorang bernapaskan abu kesepian; ialah aku yang henti. menjadi daun ranggas yang memberi arti.

9


Monokrom \hitam’ \abu’ \putih’

inilah palet warna. Milik pelukis renta yang lebur di atas kanvas miliknya.

10


Penutup Cerita Singkat adalah aku yang akan menggenggam tanganmu di akhir perjalanan.

11


Sederhana Bertemu sambil bertukar kata sapa. Menuang kabar hari kita dalam tungku cinta. Melebur dalam hangat teras rumah. Adalah hal paling sederhana dalam bercinta.

12


19 bukan lagi refleksi memori yang menawan, cahaya di depan cermin tak kunjung kembali dalam pelukan.

13


Siapa yang hidup di koda cerita? ; kau aku

?

14


Rintik

15


Sepatah Kata Pukul dua, tapi mataku masih menyala menilik patahan luka di atas sofa hijau tua. Serpih-serpih daun bambu yang berserakan di beranda dijerat sinar rembulan yang bungkam menatap sendiriku.

Kuterimakan tawar yang bukanku damba dan dingin yang suka tiba, di ujung bibirku yang ingin mengucapkan sepatah kata

16


Teluk Rindu Kalimat rinduku dipecah oleh karang menjadi serpihan frasa dan akhirnya jatuh menetes di atas keningmu yang menengadah tepat saat

17


kamu duduk pada singgasanamu yang megah berdiri di depan teluk rindu yang dikelilingi lautan aksara

18


Rintik November /1/ Memori yang tertelan, ia muntahkan lagi ketika ilusi kekasihnya hilang di balik rintik hujan bulan November

/2/ rintik yang semakin deras mengalun, dibungkam musik sendu dalam jemala.

/3/ Berakhirlah; Ia menggantung diri di atas kening Sang Penguasa

19


Mimpi Ia mati tertimbun dalam perjalanan pulang yang membekukan mulut seseorang yang menggandengnya

‘Memang saatnya ia mati sebelum hari esok’

20


Erat Sewarna jingga langit di hari itu menuang syahdu di atas buku. Segerak jiwa menanggalkan tirai di antara mata Yang ada hanya kembang tanpa kelopak di taman Dan denting dadaku mengeras segenap kamu datang mendekap. Walau tanpa kamu isyaratkan, aku menjawab.

Gema denting terbagi berdua. Tumpahkan harmoni di antara rundukan cemara

Kita adalah satu catatan yang sama di atas buku.

Menjadi histori di titik taman kota itu.

21


sebelum pesan ini berakhir; untukmu malang bersembunyi di balik kelopak matamu yang daunnya meranggas; kehilangan mata air selembut kecup Sang Putri, usap-usaplah keningmu yang menanggung kekecewaan angin mendesah, panas meluber di atas genteng, merabun semua harap yang kamu tulis diam-diam di balik buku hijau pemberian tersayang sepanjang jalan yang tak pernah terukur, /sepanjang itulah jalanmu untuk mengais kasih yang tersemai di tepian Agh, kamu berdecit meringkuk menepis penyesalan; tak sempat membuka sematan kasih yang terselip di balik kata sebelum pesan ini berakhir.

22


Keliling Kelingking Di teras rumah, temukan jemari kita beradu.

Menyadap tetes kenangan yang terbungkam jarak yang dilantunkan oleh panjang ari perjalanan.

Lengkung kelingking kita menumpang dalam impian, kasihku.

Dimabuk lirik air mata yang dibagi dalam dua keliling kelingking. nan erat menahan bentang malam yang sesak.

23


Patetis Kicau kemalangan sedang ramai di pekarangan, asyik menertawakan pribadi yang rumit di atas pembaringan.

24


Adalah Kedaluwarsa yang disimpan sendiri

lapuk dan busuk tatkala ada yang enggan merunduk

‘masih boleh disimpan Kan?’

.....

‘sayang’

25


Untuk Hidup Dalam sekali putaran bumi, kita patahkan panjang jarum jam. Menghilangkan setengah sisi waktu. Mengikis diri sendiri, demi bayang esok hari.

26


Berjarak kata antara; Membeda isi matamu. yang bungkam menatap sendiriku.

Di sini, aku masih mencari tahu.

“Manakah jarak yang berdiri pongah menghalangi aku?”

Di saat rindu.

Kemuncak dalam hati.

Melarung aku dalam sepi.

27


Pengantar Di saat matahari terkatup, tangkainya rebah bangun di antara telapak tanganku. Putik pendarnya memenuhi tubuhku, semata berpadu menjelma satu. Setitik air dari hulu, mengangkat kedahagaan dalam hatiku. Sesaat pagi malam rengkuh, matahari mengecup dahiku, “Kasih. Aku menyukai kelembutan dirimu dalam butir-butir embun yang dimahkotakan pada subuh.

Namun, Ketahuilah bahwa aku hanya sebuah pengantar dalam kisah indahmu.”

28


Rintik Kata Bergelayut jatuh di bawah bibirmu Rintik itu tidak lekas lalu.

Celaka.

setumbuh mau di balik mendung Tak kuasa membendung, Rintik kata; yang menyusup di antara ciumanmu

29


Loker 357 di dendamku, menghantu,

sebuah

nama

tak

lagi

hanya gema sepatu tersisa di antara rak-rak penuh Foucault.

kunci untuk loker itu, selip di sendirimu yang simpannya rahasia dariku.

kecup artifisial di meja pustaka tak lagi menggigilku,

yang hangat kini ujung lidahku bersama air gairahmu.

; dari debu-debu kata pengantar, “Kukira mati di tumpukan buku bukanlah hal buruk.”

30


Rantau jala samar di basah Kertajaya merefleksi pijar setahun, tirai awan yang sembunyikannya masa lalu; menutup konstelasi pertemuan kita. /tumbuh sejengkal dari lentik matamu, remang cahaya melimpah segala cinta memadat, sebelum takluk pada trotoar sunyi di Kertajaya

31


Hujan

32


Harap Nyatanya kamu sedang mencoba menyalakan bara yang setengah menyala.

33


Malam Pinggir Kayan A5 ‘kapan kamu kembali lagi?’ Ketika yang tertinggal cukup untuk menarikku lagi kembali duduk di antara bambu dan kali \ ‘mulanya, apa yang selaras sudah hilang?’ Ini yang berpacu melawan sesak dinding yang kian menyepi dan menepikan segala yang ada di depan mata / ‘lekas mengapa tidak bersama selama-lama?’ Ini akhir. lepas dan gembira bersulang merangkul duka dan berteriak, pun aku ingin kembali

23.37

34


jangan coba kau ubah isi naskah ini. ini naskah terakhir untuk kita mainkan berdua di atas panggung sandiwara yang berdiri megah disangga khayalan tentang masa tua. benang merah cerita mengikat kita untuk berdansa di atas duri-duri bahagia. gemulai irama napasku, napasmu, berebut dibalik tirai sandiwara. berbagi peran di antara aksara yang tertahan di ujung lidah. sepakat kita cipta dunia yang sempurna dalam naskah. mari berbahagia Kasihku. mari berbahagia. mari. ma ri.

35


Memburu I Semalam. Di atas lembar putih. Aku menulis satu sajak panjang. Kuletakkan dalam sebuah poket dalam liang Semoga menghapus rabun bentang senyum yang berkalang

II Matahari amber di tanah yang malang merampas mimpi yang masih berhambur di belakang. Yang menetas di pagi hari ialah potongan tubuhku nan kaku separuh. Bibirku memburu kecup manis sebuah sepi, dalam gelap yang meraup huruf-huruf menebal dalam kubangan.

III Setangkup warna biru menghilang dalam lamunan; kemarau di bibir melindas basah ucapanku yang engkau anggap bualan; bahwasanya aku kembali

36


memburu malam yang engkau rampas dari pekarangan.

IV Dilumat sepi adalah arti; dari sebuah tanah kosong di pekarangan. Dengan harap yang lapang, engkau patut hadir dalam penantian. Membuka sajak panjang yang aku tulis semalam.

37


Perapian Sekarang; aku adalah pintu yang tertutup. Menepis segala tamu bumi yang ingin singgah menghangatkan diri di perapian. Kaki tertekuk, diikat oleh lengan. Seorang saja; menikmati kayu yang mekar bersama dengan api di ruang tengah.

38


Jamuan Terakhir di Atas Meja Di atas meja kayu, ada banyak ingatan yang disajikan berurutan. Mulai ujung kanan; adalah jajaran kepala orang-orang yang engkau cintai. ‘Ah, sungguh. Mereka adalah orang-orang tersayang’. Dilanjutkan dengan jantung-jantung mereka yang masih berdetak di atas piring; ialah ketulusan hati mereka yang hadir di setiap detik detaknya. ‘Oh, lihat. Ini milik kekasihku, aku ingat tempo detak jantungnya ketika ia berada di pelukanku.’ Di tengah; bola-bola mata disajikan dalam mangkuk berwarna biru; inilah mata-mata yang belum sempat melihat jasadnya. ‘Baru kali ini aku lihat tatapan kosong dari mata-mata; tiada jiwa, harap, dan rasa yang tergambar dalam tiap sudutnya’ Berakhir di ujung kiri; segelas merah menampung kehangatan. Selapis roti engkau siapkan, dengan selai stroberi kesukaan. ‘Mari menikmati jamuan terakhir kita!’ Dan jasad-jasad tersenyum kelimpungan.

39


Tumpuk Pertama Dua musim berganti, sudah. Kamu tak lagi datang. Aku rebah di atas tumpukan sweter, pasrah. I ‘paling kuingat saat malam akhir 2019. ialah sweter pertama yang kau lepas di pangkuan; kamar menghampa. tersisa napas kita yang berebut di balik tirai a n g k u h s a n g K a l a . Selembut bulir buah delima; manis membekas di ujung lidah. Seindah iris kedua mata; kita bertukar jendela, saling membaca rasa, sama-sama. II dan itu kali pertama kamu meninggalkan sweter jingga. Di tepi lemari cokelat tua, terlipat rata. Selaras dengan kroma pakaian yang ada.

III Wangi Musk tergantung. Mendayung setiap indra kembali merasa ciprat manis yang menepis cemas dan mati rasa.

40


IV Hari ini. Kamu memilih tiada. melangkah tak berkawan; hangus setelah persimpangan. Jalanan tahun akhir; sesak dengan sekam. meredam; sembunyikan luka

s

e

o

r

a

n

41

g

.


Sore. Taman Trunojoyo “Pulang. ayo pulang.” Selangkah kaki kita melaras jalanan kota. Seirama. Sendiri-sendiri; memanggul beban pikiran.

Kala usai usia sekolah di hari Senin.

Di bawah pohon yang menunduk; duduk bersebelahan. berdua; jagung lima ribuan. Di taman; menyeka buku pelajaran. Dijeda oleh masa, Kita memilih diam; dalam singkat sebuah perjalanan. Seperti kita; bunga taman yang kuyu di sore itu, membayang di antara jalan pinggir taman. Dan sore. Selelah; hempaskan napas, bentangkan mimpi akhir cerita bersama. Mimpi. Apakah hanya? Mimpi. ialah kita

42


Sebelum Pergi Di saat angin rindu melabuh kembali membawa aku menemu kamu di beranda. Setengah dirimu; menghapus rinai tawa. Seperti penggalan kata cinta yang menggelinding di atas meja. Aku. Kamu. menggulung jaraknya. Menerka-nerka titik temu di antara kisah kita.

‘katakan saja bahwa kita sudah sama-sama lelah.’

: ialah kalimat yang tak kunjung reda.

43


Sebuah Buku Lampu terang; di meja makan. Sebuah buku tergeletak sendirian. bersama penanda di badan. Sebenar-benarnya:

Aku suka berada di halaman depan.

Lindap bersama kata-kata pengantar yang dilupakan semua orang.

Sedang kamu. bersembunyi di antara halaman belakang. Berselimut koda cerita; senyapkan luka meradang.

44


Jumpa Lagi Ajari aku cara menghapus dahaga. Karena jarak mengeringkan bibir kita sebagai insan yang kehilangan arti pertemuan. adalah kita yang kehabisan kata di antara percakapan. saling menunduk kehilangan pandang di meja pertemuan menyisakan hati yang dirundung bungkam menyatakan perasaan. Dan kita berakhir mengendap dalam keheningan. Beginikah cara untuk berjumpa lagi?

45


Rintik November: 2 /1/ Ketika aku mencoba menerka arti hujan di bulan November. Semua kenangan hilang maknanya. Kisah-kisah yang mulai berkecambah di tanah, lepas tercerabut semua.

/2/ Ada kalanya soneta-soneta Pablo Neruda membantu aku mengucap kata cinta. Menerjemahkan isi hati yang susah untuk diwakili sebuah kalimat pembuka.

/3/ Seandainya, aku pergi di suatu masa. Maukah kamu mencari aku di balik lembut rintik November?

46


Eklips Senama; itu disebut Pelik. di landaian sayap kupu disembunyikannya perih bersarang. di atas putik manis parau suaranya, dilantun sayang-sayang.

‘tidak.’ . dalam mata kancing yang terisakisak

‘bukan.’ . dalam hening yang terkoyak-koyak.

tidak. bukan. Seperti yang engkau pikirkan

47


Kenjeran dilipat ombak jemariku. hilang setengah raba dirasaku. bukan lagi biru yang melipat tubuhku, melain sisa dari rabamu.

48


Pemuja warna kita berkelindan dari langit lembut sebelum hujan digores kita oleh ciuman yang sederhana dalam ingatan.

kebenaran itu manis di wajahmu, dari deram pagi yang menggebu. disusun kita oleh rindu yang dipuja dalam selalu.

manis tersisa di langit kita, dari rongga kata sebelum cinta ditepuk kita dengan senada yang rekah dalam mata.

49


Kenangan Buruk Katanya segala senyum yang patah; kau coba susun kembali bersama jari-jari yang kebas sejak kau bermalam dengannya; dan saat itu, retak tak terpisahkan dari lebar bibir yang mengembang.

terendam di tengkuk danau, bergumullah di muka sebuah kepak kata yang membisu. berdenyut terpejam di kejauhan, bayangnya hadir sekedipan.

“Mengapa aku ada dalam perburuan?”

50


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.