Jalan Panjang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Palu: Dari Peduli Dhuafa ke Zero Poverty

Page 1

Jalan Panjang Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Palu dari Peduli Dhuafa ke Zero Poverty

BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT I


Jalan Panjang Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Palu dari Peduli Dhuafa ke Zero Poverty

BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT III


Jalan Panjang Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Palu dari Peduli Dhuafa ke Zero Poverty Cetakan Pertama Desember, 2014 Editor M. Isnaeni Ruslan Sangadji Tim Penyusun Gugus Tugas Pemberdayaan Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu

V


Diperkenalkan Wali kota Palu Rusdi Mastura dalam Festival Kawasan Timur Indonesia VI, di Kota Palu, 24 September 2012

Diluncurkan di Taman Vatulemo oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, 23 April 2014

PADAT KARYA

PDPM

KURDA

BERBASIS RUMAH TANGGA

BERBASIS KELOMPOK

BERBASIS USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

VI


ANGGARAN PDPM TAHUN 2008 – 2013

RP. 16.712.054.000

Rp. 4.317,5 milyar Rp. 2.725 milyar Rp. 2.647 milyar Rp. 2.150 milyar Rp. 2.722,5 milyar Rp. 2.150 milyar

2008

2009

2010

2011

2012

2013

7 persen adalah Grovic Poor (ambang batas kemiskinan)

31,29

7,24 2013

8,58 2012

9,24

2011

9,98

2010

9,19

2009

10,10

2008

9,73

2007

2006

2005

10,49

Persentase Angka Kemiskinan Kota Palu 2006 – 2013

2015 Oktober

2014

INTERNALISASI DAN IMPLEMENTASI Implementasi Program dan Kegiatan (Pro Poor, Pro Job, Pro Growth, Pro Enviromnmet) Monev

PENYIAPAN DAN PENETAPAN INDIKATOR KEMISKINAN

2013

Participatory Poverty Assessment (PPA) Penyusunan Peta Sebaran Kemiskinan Kota Palu Pendampingan SKPD untuk Penyusunan Integrasi Program Penyusunan Implementasi CSR Penyiapan Community Trust Fund Monev

PERSIAPAN

2012

Review Dokumen SPKD Penyusunan RAD Penanggulangan Kemiskinan Koordinasi dan Sosialisasi “Zero Poverty” Inisiasi Pengembangan Kerjasama dan Dukungan Para Pihak

VII


Daftar Singkatan

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKM: Badan Keswadayaan Masyarakat BPM: Badan Pemberdayaan Masyarakat BPS: Badan Pusat Statistik DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KMS: Kelompok Masyarakat Setempat KURDA: Kredit Usaha Rakyat Daerah LPJ: Laporan Pertanggung Jawaban LPM: Lembaga Perwakilan Masyarakat TNP2K: Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan TKPKD: Tim Koordinasi Penangulangan Kemiskinan Daerah P2KP: Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan PAD: Pendapatan Asli Daerah Perpres: Peraturan Presiden PJOK: Penanggung Jawab Operasional Kegiatan PDPM: Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat PNPM: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Ranperda: Rancangan Peraturan Daerah RAPBD: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah RAPBN: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara RKA: Rencana Kerja Anggaran RTM: Rumah Tangga Miskin SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah UPSK: Unit Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan

VIII


IX


1


PRAKATA

2


3


TAHUN 2015 adalah tahun penting bagi perjalanan Wali Kota Rusdi Mastura dan Wakil Wali Kota Andi Mulhanan Tombolotutu memimpin Kota Palu. Dari ketika catatanv ini tengah dibuat, tahun yang dimaksud itu sudah di depan mata, akan segera berganti dalam hitungan hari. Ada dua hal yang menjadi arti penting di tahun 2015 itu. Pertama karena duet kepemimpinan itu memasuki fase tahun terakhir dari kepemimpinan mereka, dan kedua karena salah satu dari sekian kebijakan utama dan strategis yang digagas keduanya, pun memasuki fase penting. Kebijakan yang dimaksud adalah Zero Poverty. Cudi dan Toni, dua nama yang terasa lebih akrab di telinga dan dalam penyebutan sehari-hari warga kota, bercita-cita, Zero Poverty bermuara pada jaminan bagi terpenuhinya akses kebutuhan dasar kehidupan bagi seluruh warga kota, terlebih warga miskin, dan berkurangnya angka warga miskin itu dengan pendekatan pemberdayaan melalui kegiatan, yang diharapkan dapat mengubah tidak saja wajah kota tetapi juga menjadi senyum dari wajah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kota bersih dan hijau, infrastruktur kota terawat dan dilindungi, kemudahan akses kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, dan pendapatan warga miskin meningkat. Dua hal yang saling berkaitan itu, suksesi kepemimpinan dan Zero Poverty, menjadi penting dibicarakan karena dua hal itu akan berdampak pada soal

4


penting berikutnya: komitmen kelangsungan, keberlanjutan (sustainability) dari Zero Poverty sebagai gerakan bersama antara Pemerintah Kota Palu, masyarakat, dan swasta. Perihal kebijakan Zero Poverty, secara teknis sudah dilaksanakan sejak kegiatan Padat Karya diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola pada 23 April 2014 lalu. Secara teknis pula kegiatan itu memasuki tahap akhir hingga Desember 2014. Dalam kebijakan yang diharapkan dapat diterjemahkan sebagai gerakan bersama itu terdapat tiga kegiatan utama: Padat Karya, Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM), dan Kredit Usaha Daerah (Kurda). Secara de facto, PDPM yang berbasis komunal telah digagas dan dimulakan sejak tahun 2008 –bahkan sebelumnya di periode pertama kepemimpinan Wali Kota Rusdi Mastura, upaya penanggulangan kemiskinan telah melembaga dalam program Peduli Dhuafa. Tiga dari kegiatan utama Zero Poverty itu menyisakan satu kegiatan yang baru akan efektif dimulai pada tahun 2015, Kurda. Zero Poverty adalah aksi bagi bermuaranya seluruh program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) baik dinas, kantor, badan, dan inisiatif masyarakat dalam upaya-upaya pemberdayaan, termasuk di dalamnya tanggung jawab sosial perusahaan (swasta) yang berinvestasi di Kota Palu. Zero Poverty yang digagas oleh Rusdi Mastura bersimbiosis dengan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang diketuai oleh Andi Mulhanan Tombolotutu sebagai representasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. Dalam kebijakan nasional, program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di masing-masing kementerian dan badan telah diterjemahkan oleh daerah dan secara teknis telah diaplikasikan pula pelaksanaannya di daerah oleh SKPD di semua jenjang daerah sejak propinsi, kota, dan kabupaten. Dalam kaitannya dengan Kota Palu, program dan kegiatan di level nasional itu disinergikan dengan Zero Poverty. Bentuk sinergi awal yang menjadi pijakan dasar bekerja adalah data. Koordinasi yang diharapkan terjadi di antara semua pemangku kepentingan ada di pokok soal itu: data. Data akan menjadikan gerakan bersama ini dapat diukur keberhasilannya, kendalanya, tantangannya, termasuk tentu saja, kelemahannya. Dari data yang sama, pendekatan pengelompokan (cluster) dalam upaya mengurangi angka kemiskinan melalui kegiatan-kegiatan utama Zero Poverty itu dapat berjalan optimal, komprehensif, dan tidak tumpang tindih.

5


Atas kepentingan itulah, segala hal yang terkait pelaksanaan Zero Poverty dirasakan perlu untuk dicatatkan. Upaya mendokumentasikan semua pembicaraan itu dalam buku adalah salah satu upaya memberi legitimasi bagi harapan berlanjutnya Zero Poverty di periode kepemimpinan Kota Palu selanjutnya, siapa pun wali kota yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan. Upaya lainnya adalah pertimbangan historis, bahwa setiap gagasan untuk kebaikan bersama mesti dicatat untuk perbaikannya di suatu waktu yang sama kita sebut sebagai masa depan. Hal pertama sebagai insiatif pemerintah daerah yang telah dilakukan adalah komitmen anggaran untuk pelaksanaannya tahun 2015. Hal lain yang sedang berjalan adalah penyusunan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang penanggulangan kemiskinan, sebagai landasan hukum yang akan melembagakan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Palu. Zero Poverty, akhirnya mesti dipahami sebagai cara Cudi dan Toni keluar dari pakem birokrasi yang rutin oleh program dan kegiatan vertikal (pusat) dan horizontal (daerah) untuk pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan, Sebagai hal yang terberi (taken for granted) dilaksanakan dalam politik anggaran yang berpihak pada yang dimarjinalkan (pro poor) dalam proses pembangunan. Jika ada yang baru dari sana, sebut saja komitmen. Jika tak ada, mari kita lihat apa yang sudah dilakukan dari komitmen itu di dalam buku ini. Selamat membaca.

Tim Penyusun

6


SAMBUTAN WALI KOTA PALU

PERTAMA-tama saya menyampaikan apresiasi yang baik atas inisiasi penyusunan buku profil Palu 2015; Zero Poverty ini, sebagai rangkaian dari seluruh siklus program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kota Palu. Bahwa strategi penanggulangan kemiskinan mutlak dilaksanakan oleh seluruh komponen bangsa, tak terkecuali Pemerintah Kota Palu bersama masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Pokok Pikiran pertama dinyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran inilah yang memberikan inspirasi bagi saya untuk membuat dan menyusun konsep program-program penanggulangan kemiskinan, sebagai bentuk tanggung jawab dan meneguhkan komitmen dengan harapan dan cita-cita kesejahteraan masyarakat miskin dapat terwujud. Tantangan terberat kita adalah upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals, MDGs), yang telah dideklarasikan dan telah menjadi kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, dengan pencapaian target kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat di tahun 2015, melalui delapan butir strategi pencapaian program yang bermuara

7


pada pengentasan dan penurunan angka kemiskinan. Sebagai wujud dari komitmen MDG’s tersebut, maka saya menetapkan Program Palu 2015; Zero Poverty yang bertujuan untuk membangun akses bagi masyarakat miskin perkotaan terhadap kebutuhan dasar (basic need) mereka, walaupun langkah untuk menuju cita-cita tersebut tidaklah mudah, semudah kita membalikan telapak tangan. Ini akan berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang saya harapkan ke depannya akan menjadi lebih meningkat dan berdampak langsung pada Program Zero Poverty. Peningkatan PAD itu diharapkan akan menjawab intervensi kita mengurangi angka kemiskinan, dalam hal meningkatkan jumlah penerima manfaat program Zero Poverty dan mempercepat penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Jika niat dan keinginan tersebut mampu kita wujudkan maka intervensi program Zero Poverty di masa yang akan datang akan mampu mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan gender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3, dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih serta terciptanya sistem sanitasi dan kesehatan lingkungan berbasis pemberdayaan dan partisipasi. Semoga niat baik kita senantiasa diridhoi Allah SWT, Tuhan YME agar tujuan dari seluruh program penanggulangan kemiskinan yang telah digagas dan sedang dilaksanakan dapat memberikan dampak positif bagi penghidupan masyarakat Kota Palu yang lebih baik. Fastabikhull Khairaat, Malintinuvu, Nosarara Nosabatutu

H. Rusdi Mastura

8


SAMBUTAN KETUA TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA PALU

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh TIM Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dibentuk atas amanat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010. Tim ini merupakan tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat Kota Palu, untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan. Struktur kelembagaan dan mekanisme kerja TKPKD kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 42 Tahun 2010. TKPKD menurut peraturan itu, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan koordinasi penanggulangan kemiskinan dan mengendalikan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di daerah. Dengan tugas dan tanggung jawab itu, TKPKD dapat diibaratkan sebuah “dapur” yang siap menyajikan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan. Saya melihat, interaksi antara “dapur”, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan kelompok masyarakat lainnya sudah sangat baik dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kunci sukses TKPKD adalah dukungan yang baik, terutama dukungan dari para pemangku kepentingan yang luar biasa dan adanya keterbukaan birokrasi,

9


sehingga TKPKD memiliki kemampuan evidence-base policy making (kebijakan yang berbasis kerja). Saya mengapresiasi penerbitan buku ini, karena buku ini selain sebagai sosialisasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Kota Palu, juga adalah upaya untuk mengabarkan kepada khalayak mengenai perjalanan panjang upaya Pemerintah Kota Palu menghapus kemiskinan di kota ini. Memang, ada kalangan berpendapat, program Penanggulangan Kemiskinan di Kota Palu sejak dari Peduli Kaum Dhuafa hingga Zero Poverty, adalah program khayalan Pemerintah Kota Palu. Tetapi, saya melihat bahwa program yang dilaksanakan Pemerintah Kota Palu itu telah memberikan dampak yang sangat signifikan. Penurunan angka penduduk miskin di Kota Palu, dari waktu ke waktu telah nyata adanya. Itu karena upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kota Palu, telah menjadi langkah strategis dan mendasar yang dilakukan secara sistemik dan konvergen, guna mencapai pertumbuhan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Maka dengan membaca buku ini, saya berharap semoga ada peningkatan kesadaran kolektif antar pemangku kepentingan di Kota Palu, agar mampu mereduksi berbagai ketimpangan, terutama ego sektoral. “Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia.. Tuhan bersemayam di gubuk Si Miskin.� (Bung Karno, 23 Oktober 1946). Terima kasih Wassalam

H. A. Mulhanan Tombolotutu, SH

10


SAMBUTAN KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALU

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera bagi kita sekalian Saya menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi atas terbitnya buku, yang dapat memberikan gambaran proses upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Palu. Tidak banyak daerah yang mampu menginisiasi program-program cerdas dan kreatif seperti ini, yang mampu memberikan efek terhadap pengurangan angka kemiskinan secara signifikan sampai pada angka 7,24 persen pada tahun 2013, sebagaimana yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik Kota Palu. Ini sebuah pertanda bahwa Pemerintah Kota Palu mempunyai komitmen dan konsistensi untuk membangun program yang bersifat pro poor. Sebagai bagian dari pemerintah daerah, DPRD Kota Palu juga akan terus berkomitmen membangun dan mendukung program-program yang secara nyata berpihak pada kepentingan masyarakat miskin, terutama yang menyentuh kebutuhan dasar berupa pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan peningkatankesejahteraan umum. Begitu banyak program dan kegiatan yang telah dilaksanakan pemerintah secara

11


berjenjang dan dalam kurun waktu yang cukup lama, untuk memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan. Usaha yang panjang tersebut telah memberikan gambaran bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang mampu melakukan penurunan angka kemiskinan. Mudah-mudahan dengan adanya Program Palu 2015; Zero Poverty merupakan the second wave bagi penanggulangan kemiskinan dengan mengartikulasikan bahwa masyarakat miskin di Kota Palu dapat mengakses pada kebutuhan dasar mereka. Semua ini harus menjadi spirit kolektif dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dalam tiga kerangka sudut tanggung jawab bersama yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Apresiasi positif perlu disematkan atas inisiasi Pemerintah Kota Palu terhadap program penanggulangan kemiskinan, yang dimulai dari Peduli Kaum Dhuafa di tahun 2005 sampai pada Palu 2015; Zero Poverty, sebagai sebuah perjalanan panjang mencapai cita-cita mulia untuk kemuliaan masyarakat Kota Palu yang berdaya dan mandiri. Semoga buku ini mampu memberikan inspirasi bagi sebuah totalitas perjuangan anak bangsa di Kota Palu untuk Indonesia. Wassalam,

M. Iqbal Andi Magga, SH

12


SAMBUTAN KEPALA BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOTA PALU

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh SALAH satu agenda global di bidang sosial adalah penanggulangan kemiskinan, terutama pada negara berkembang termasuk Indonesia. Hingga saat ini, beragam program yang telah diluncurkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia pada semua tingkatan, belum mampu menjawab dan menyelesaikan problem kemiskinan, walaupun tren penurunan angka kemiskinan di beberapa daerah cukup mengalami kemajuan. Di Kota Palu, hingga Tahun 2013, angka kemiskinan menurun pada angka 7,24 persen. Pencapaian angka itu pada empat tahun terakhir, diperoleh dengan berbagai intervensi program yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2008 hingga tahun 2014, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM), Jaminan Kesehatan (JAMKESDA), Bantuan Operasional Siswa (BOS), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Percepatan Pengembangan dan Pembangunan Infrastruktur Perkotaan (P4IP), Beras untuk Masyarakat Miskin (RASKIN), yang keseluruhan pembiayaannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi maupun Kota Palu. Dimulai dari Program Peduli Kaum Dhuafa tahun 2005, sebagai bentuk

13


komitmen dan konsistensi Pemerintah Kota Palu di bawah kepemimpinan H. Rusdy Mastura terus meningkatkan kualitas sistem dan desain program penanggulangan kemiskinan. Hingga tahun 2012, Pemerintah Kota Palu mendeklarasikan Program Palu 2015; Zero Poverty. Program tersebut bertujuan untuk memberikan akses bagi masyarakat miskin perkotaan terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi dan lingkungan permukiman yang baik, serta peningkatan pendapatan warga miskin. Strategi pencapaiannya dengan menggunakan pendekatan berbasis Rumah Tangga Miskin (RTM) dan kelompok masyarakat yang mempunyai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Buku yang ada di tangan Anda sekarang adalah sebagai bagian dari evaluasi dan sosialiasi Program Palu 2015; Zero Poverty. Buku ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi kita, untuk membangun spirit, empati, dan partisipasi dalam proses penanggulangan kemiskinan di Kota Palu, sehingga citacita masyarakat sejahtera dapat kita wujudkan dengan semboyan BERUSAHA, BERDAYA, MANDIRI. Wassalam, Sudaryano R. Lamangkona, S.Sos, M.Si

14


15


SEJARAH PANJANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

16


Radar Sulteng 24/04/14

17


DARI PEDULI DHUAFA KE ZERO POVERTY DALAM sepuluh tahun terakhir, Pemerintah Kota Palu terbilang sangat serius dan makin peduli dengan problem penanggulangan kemiskinan. Walau terdapat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Perkotaan, namun Pemerintah Kota Palu tetap menunjukkan komitmennya, khususnya dalam hal pengarusutamaan kebijakan (mainstreaming of policy) penanggulangan kemiskinan dengan sejumlah program yang berorientasi untuk percepatan peningkatan kesejahteraan warganya. Buah dari konsistensi mainstreaming of policy itu berimplikasi terhadap turunnya angka kemiskinan secara signifikan dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada awal tahun 2005, penduduk miskin berada pada kisaran angka 31,39 persen. Pada akhir 2013, angka kemiskinan turun drastis menjadi 7,24 persen. Penurunan angka kemiskinan itu, tidak terlepas dari adanya komitmen dan

18


kebijakan makro Pemerintah Kota Palu, khususnya program penanggulangan kemiskinan dengan ragam program dan metode pendekatanya, juga adanya sinergitas parapihak yang terlibat secara langsung dalam mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Palu. Momentum penanganan program penanggulangan kemiskinan terangkat menjadi isu utama pada periode Pemerintah Kota Palu 2005-2010 karena jumlah penduduk miskin terbilang sangat tinggi. Pada awal tahun 2005, penduduk miskin di Kota Palu berada pada kisaran angka 31,39 persen. Jumlah penduduk ketika itu 256.037 jiwa. Dari jumlah itu, 80.380 jiwa di antaranya terkategori sebagai masyarakat miskin dengan konsentrasi terbesar di Kecamatan Palu Utara 52,98 persen dan terendah di Kecamatan Palu Timur 23,83 persen. Jika dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2013, angka kemiskinan di Kota Palu tersisa 7,24 persen. Sebuah lompatan progres yang terbilang sukses. Dari data tersebut juga mengindikasikan, masih dibutuhkan sejumlah strategi pendekatan maupun kebijakan Pemerintah Kota Palu, yang bermuara menurunkan angka kemiskinan. Untuk itu, sasaran dalam program penanggulangan kemiskinan baik dalam dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) maupun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palu, harus diintegrasikan agar Rencana Kerja Anggaran (RKA) masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Palu akan makin fokus dan tersegmentasi ke dalam strata sosial masyarakat yang membutuhkan penanganan cepat.

19


Berdasarkan dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kota Palu, dengan merujuk sejumlah indikator angka-angka kemiskinan, setidaknya terdapat empat dimensi kemiskinan yang menonjol dan membutuhkan penanganan segera, seperti: 1. Kemiskinan Pendidikan; 2. Kemiskinan Kesehatan; 3. Kemiskinan ketenagakerjaan; 4. Kemiskinan Infrastruktur. Empat dimensi kemiskinan tersebut, membutuhkan strategi penanganganan berupa payung kebijakan yang memungkinkan terintegrasinya sinergi parapihak dalam mendorong percepatan penanganan penanggulangan kemiskinan di Kota Palu. Berdasarkan analisis isu strategis seperti terdapat dalam RPJMD Kota Palu tahun 2010-2015, digambarkan permasalahan utama pembangunan Kota Palu belum beranjak dari sejumlah problem dasar masyarakat, seperti: 1. Masih terbatasnya infrastruktur kota; 2. Terbatasnya anggaran belanja daerah dalam mendukung percepatan pembangunan Kota Palu; 3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih rendah; 4. Belanja aparatur lebih besar dari belanja langsung; 5. Biaya pendidikan relatif mahal; 6. Tingkat pendidikan dan kompetensi tenaga pendidik yang belum merata; 7. Belum tumbuh-kembangnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di kalangan masyarakat Kota; 8. Tata ruang kota yang masih semrawut; 9. Belum optimalnya pengelolaan masalah persampahan dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan ketertiban ternak; 10. Pemukiman kumuh di wilayah bantaran Sungai Palu; 11. Banjir sering terjadi pada musim penghujan karena pengelolaan drainase belum optimal; 12. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia aparatur pemerintah; 13. Belum optimalnya tata kelola pemerintahan (good governance); 14. Aktivitas pertambangan rakyat berdampak pada terganggunya keseimbangan fungsi lingkungan hidup; 15. Kesemrautan pelayanan jasa transportasi; 16. Penerapan teknologi komunikasi dan informasi di lingkungan Pemerintah Kota Palu belum optimal; 17. Infrastruktur di tingkat kelurahan dan kecamatan belum

20


sepenuhnya memadai untuk mendukung visi Kota Palu sebagai Kota Teluk Berbasis Jasa Pariwisata, Industri, Dan Perdagangan Berwawasan Ekologis; 18. Keterbatasan sumber energi listrik untuk menunjang pengembangan kebutuhan Terwujudnya visi tersebut. Dari 18 problem dasar pembangunan di Kota Palu tersebut, semuanya memiliki korelasi dengan persoalan kemiskinan yang masih melilit 7,24 persen warga miskin di Kota Palu. Isu utama tersebut adalah permasalahan yang berkesinambungan dari tahun sebelumnya, yang selama ini belum tertangani secara terintegrasi dan fokus pada penanganan problem dasar yang harus segera ditangani. Untuk mencapai angka kemiskinan pada titik terendah di Kota Palu seperti yang dicapai saat ini, Pemerintah Kota Palu mendesain sejumlah program penanggulangan kemiskinan dengan bentuk dan mekanisme kerja yang berbeda, namun intinya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk penurunan angka kemiskinan. Wakil Wali kota Palu Andi Mulhanan Tombolotutu pada pembukaan Pelatihan Tim Teknis dan Stakeholder Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) Kota Pada pada 31 Oktober 2013 lalu mengatakan, pengarusutamaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kota Palu diinspirasi oleh adanya program PNPM Mandiri Perkotaan, yang sebelumnya bernama P2KP. Apalagi kata Mulhanan, peresminan PNPM Mandiri secara nasional dilaksanakan di Kota Palu, maka wajib hukumnya Pemerintah Kota Palu menyukseskan program penanggulangan kemiskinan dengan sasaran utama menurunkan angka kemiskinan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Palu. Untuk itu, lanjut Wakil Wali Kota Palu Andi Mulhanan Tombolotutu, Pemerintah Kota Palu membuat kebijakan program maupun kebijakan penganggaran yang sasarannya untuk penanggulangan kemiskinan dengan ragam pendekatannya. Semua program tersebut mendapat dukungan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Palu. Kebijakan Program dan Penganggaran Pengarusutamaan kebijakan untuk isu-isu penanggulangan kemiskinan di Kota Palu mengemuka pada periode pertama perintahan Rusdi Mastura (20052010), kemudian diteruskan pada periode kedua (2010-2015). Sebelumnya, Pemerintah Kota Palu hanya mendukung sejumlah program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat seperti Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) kemudian berubah nama menjadi Program

21


Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Sejumlah kebijakan program penanggulangan kemiskinan maupun sistem penganggarannya terurai sebagi berikut: Periode Tahun 2007: Program Peduli Kaum Dhuafa. Program Peduli Kaum Dhuafa digagas oleh Wali Kota Rusdi Mastura pada periode pertama pemerintahannya di tahun 2005-2010. Program ini mendapat dukungan sepenuhnya dari DPRD Kota Palu yang di ketuai saat itu oleh Andi MulhananTombolotutu. Strategi dari pelaksanaan Program Peduli Kaum Dhuafa lebih diorientasikan pada program Satuan Kerja Perangkat Pemerintah Daerah (SKPD). Mengingat APBD yang masih terbatas ketika itu, maka kebijakan DPRD Kota Palu ketika itu hanya mendukung program SPKD yang berorientasi untuk kaum dhuafa atau warga miskin. Ketua DPRD Kota Palu Andi Mulhanan Tombolotutu ketika itu mengatakan, program peduli dhuafa merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan terendah, sekaligus untuk mendukung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Dukungan pada Program Peduli Dhuafa itu, kebijakan DPRD Kota Palu terbilang esktrim, jika ada instansi yang mengajukan program yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin, maka secara otomatis DPRD Kota Palu akan langsung memangkas programnya. Wali Kota Palu, Rusdi Mastura ketika itu juga mengatakan bahwa program Peduli Dhuafa merupakan program unggulan Pemerintah Kota Palu yang harus terus dipertahankan. Dukungan Pemerintah Kota Palu pada program penanggulangan kemiskinan ketika itu mendapat respon dari kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dengan menetapkan Kota Palu sebagai salah satu daerah di Indonesia yang menjadi percontohan untuk Lembaga Trust Fund atau Lembaga Keuangan Amanah. Sayangnya program ini tak berkelanjutan, mungkin salah urus. Untuk menyukseskan Program Peduli Dhuafa, Wali Kota Palu Rusdi Mastura menegaskan kepada seluruh aparat Pemerintah Kota Palu untuk mengubah paradigma dengan membuka kepekaan. Wali Kota Palu menegaskan, kekuasaan harus digunakan sepenuhnya untuk melayani publik, khususnya untuk masyarakat miskin. Periode Tahun 2008: Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) Setelah Program Peduli Dhuafa dilaksanakan dengan mengaitkan program penanggulangan kemiskinan melalui program SKPD, maka pada periode selanjut-

22


nya, Pemerintah Kota Palu mencanangkan PDPM. Kebijakan Pemerintah Kota Palu tentang PDPM lahir dari gagasan untuk melibatkan secara langsung masyarakat dalam program penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan infrastruktur dasar di kelurahan. Model-model perencanaan partisipatif yang selama ini dipraktekkan pada PNPM Mandiri Perkotaan diadopsi ke dalam PDPM, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring, serta evaluasi, semuanya dilaksanakan oleh masyarakat. Program ini lahir karena adanya komitmen Pemerintah Kota Palu dalam mendorong kreatifitas masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam proses pembangunan yang berkelanjutan melalui program penanggulangan kemiskinan di bawah kendali Lurah sebagai ujung tombak. PDPM didukung sepenuhnya oleh dana yang bersumber dari APBD Kota Palu. Harapannya, melalui PDPM ada pelibatan sektor swasta dan kelompok-kelompok peduli maupun individu peduli dalam program penanggulangan kemiskinan. PDPM telah berjalan dari tahun 2008 sampai tahun 2014 dengan dukungan dana berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp. 16.712.054.000.Periode Tahun 2012 : Palu 2015: Zero Poverty. SETELAH PDPM, Pemerintah Kota Palu kembali mencanangkan Program Palu 2015: Zero Poverty. Gagasan ini pertama kali disampaikan Wali Kota Palu Rusdi Mastura saat acara Festival Forum Kawasan Timur Indonesia VI yang diselenggarakan di Kota Palu pada 24 September 2012. Dihadapan sejumlah lembaga Donor Internasional, Wali Kota Palu menyampaikan gagasannya Palu 2015: Zero Poverty. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari Kementerian Kesejahteraan Sosial juga dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Wali Kota Palu Rusdi Mastura pada Seminar dan Lokakarya, Palu 2015: Zero Poverty pada 19 Oktober 2012 mengatakan, program Palu 2015: Zero Poverty bukan berarti target tahun 2015 nol angka kemiskinan. Namun yang ditargetkan Pemerintah Kota Palu adalah pada tahun 2015, semua warga miskin mendapat akses dan terpenuhinya kebutuhan pelayanan dasar seperti tersedianya kebutuhan sarana infrastruktur dasar maupun perlindungan sosial maupun pendidikan. Untuk mencapai gagasan tersebut, sejumlah strategi telah disiapkan Pemerintah Kota Palu, termasuk adanya dukungan anggaran yang bersumber dari APBD Kota Palu tahun 2014 sebesar sebesar Rp 20 milyar. Implementasi dari Program Palu 2015: Zero Povety tersebut melahirkan dua program utama, yang pertama penyediaan sarana infrastruktur dasar mas-

23


yarakat miskin dengan memakai pendekatan perencanaan partisipatif warga yang direncanakan dan dikerjakan dari dan untuk masyarakat melalui PDPM. Kedua, pelibatan masyarakat miskin dalam kegiatan Padat Karya berupa pemeliharaan kebersihan dan penghijauan kota. Masyarakat miskin yang terlibat dalam program tersebut adalah yang terdapat di masing masing kelurahan yang datanya bersumber dari basis data terpadu sasaran program Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang kemudian divalidasi dan diverifikasi secara partisipatif di level kelurahan se Kota Palu dengan melibatkan unsur kelembagaan masyarakat sebagai perwakilan. Hasilnya dibangun kesepakatan untuk pemutakhiran data dan penentuan ranking prioritas warga miskin yang dilibatkan pada kegiatan Padat Karya untuk tahun anggaran 2014. Proses verifikasi dan validasi data maupun penentuan prioritas sasaran melibatkan parapihak, dari, dan untuk masyarakat maupun aparat Pemerintah Kota Palu dan kelompok-kelompok peduli. Dalam tiga tahun ke depan, Pemerintah Kota Palu menargetkan angka kemiskinan bisa ditekan di bawah lima persen. Target tersebut adalah sesuatu yang tak berlebihan, karena pada akhir tahun 2013 angka kemiskinan di Kota Palu tersisa 7,24 persen. Angka ini bisa ditekan jika komitmen dan kebijakan makro Pemerintah Kota Palu dalam penanggulangan kemiskinan tidak berubah, termasuk sinergitas parapihak yang mau terlibat dan bekerja secara bersama-sama.

24


25


26


Radar Sulteng 22/09/14

DI BULAN KEDUA PADAT KARYA TAHUN 2014 TIDAK terasa, hampir dua bulan kegiatan Padat Karya berjalan. Masa panjang sejak 19 Oktober 2012 digodok oleh kelompok akademisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, pemerhati pemberdayaan, di Hotel Swissbell seperti berlangsung sekejap. Sejak cetak biru Zero Poverty ditelurkan di Bappeda Kota Palu, bahasa langit kegiatan Padat Karya dalam payung program Zero Poverty terkesan sangat keren: Cash for Work alias kerja tiga bulan justru lebih panjang lagi hingga 9 bulan. Perdebatan demi perdebatan di antara tujuh anggota tim penyusun cetak biru itu berlangsung sangat alot. Seorang anggotanya sampai harus keluar karena perbedaan visi yang tidak pernah bertemu dalam satu titik persimpangan (rendez-vous) yang memisahkan anggota tim berbasis keinginan menggapai modal-modal dan anggota tim berbasis menggapai modal sosial. Dari perpustakaan komunitas Nemu Buku di jalan Tanjung Tururuka, panduan Padat Karya lahir bersamaan dengan panduan Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat tahun 2014. Pada Senin, 26 Mei bertemu dengan mereka tepat di depan kantor BPM Jalan Tangkasi. Dari hasil obrolan ringan dengan mereka, serta pengawas lapangan asal kelurahan Birobuli Selatan, saya mencatat bahwa rupanya Rumah Tangga Miskin (RTM) ini didomi-

27


nasi penduduk yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Saat mereka hendak mencairkan balas jasa bulan April di rekeningnya melalui petugas Badan Pemberdayaan masyarakat dan petugas Bank Sulteng, mereka harus mengeluarkan uang Rp.20.000,bagi selembar keterangan domisili asli. Tentu saja Rp. 450.000,- yang mereka terima atas balas jasa di bulan April harus terpotong lagi sehingga tinggal Rp. 430.000,- setelah dikurangi pula tabungan yang disisihkan bagi tabungan akhir tahun 2014 yang besaran tiap bulannya Rp. 50.000,-. Saya segera mengontak Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu dan dibalas melalui pesan pendek, “Ya ,akan kita bicarakan kembali dengan pihak PT. Bank Sulteng dan salah satunya kita mintakan pihak Dinas Dukcapil untuk keluarkan KTP gratis bagi warga miskin penerima Padat Karya.” Sampai saat ini, saya belum mendapat hasil bagaimana jalan keluarnya karena rapat koordinasi setiap hari kamis di BPM pada Kamis, 29 Mei 2014 lalu tidak sempat saya hadiri karena tenggelam dalam pengolahan basis data terpadu yang diverifikasi, validasi TNP2K. Walaupun Rp. 20.000,- namun rata-rata bagi warga miskin ini memberatkan dan gugus tugas pemberdayaan mencoba mencarikan jalan keluarnya. Rabu, 28 Mei 2014, penulis sempat bertemu RTM Padat Karya di Jalan Purnawirawan, Kelurahan Tatura Utara. Berbeda dengan RTM Birobuli Selatan yang jumlah mereka berimbang antara laki-laki dan perempuan, di Tatura Utara justru didominasi para ibu yang tentunya diperkenankan saling bergantian dengan suaminya dalam menjalankan kegiatan Padat Karya. Setelah membersihkan perempatan dan drainase di Jalan Basuki Rahmat dan Emi Saelan, terlontarlah di mulut ibu-ibu ini ucapan terima kasih pada Pemerintah Kota Palu. “Rania panggavia kami, pak. Nosibantu ante berei langgai.”

“Rania panggavia kami, pak. Nosibantu ante berei langgai.”

Banyak RTM yang berminat bukan karena hanya semata-mata balas jasa, tetapi karena mereka termotivasi membersihkan lorong, jalan, pemilik rumah ikut-ikutan juga, walapun misi penghijauannya belum ada pada dua bulan itu. Saya mendapat masukan berharga dari pengawas lapangan. Di Tipo, kuota RTM peserta Padat Karya melebihi 1 KK. Padahal Sang Kepala Keluarga ini sudah ikut serta dalam kegiatan Padat Karya. Saat sesi foto untuk kartu identitas mereka, barulah ketahuan. Lebih menyedihkan lagi seorang ini berasal dari RW III Liku yang sejak saya bekerja di PNPM-Perkotaan, mereka inilah RTM yang termarjinalkan dari pembangunan kota. Alhamdulilah, ada saja jalan keluarnya karena ada 4 KK di kelurahan lain yang belum mulai bekerja pada bulan April, maka alokasi ini dapat digunakan. Namun, BPM tetap berkoordinasi dengan Kelurahan Tipo, 4 RTM di kelurahan lain tadi sudah bekerja di bulan Mei. Saat ini pula, ada kartu identitas mereka yang belum selesai. Padahal, sejak peluncuran kegiatan Padat Karya pada 23 April 2014, mereka sangat mengharapkannya sebagai tanda pengenal. Kekurangan lainnya adalah koordinasi antara kegiatan Padat Karya dan

28


Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang belum berjalan optimal, khususnya koordinasi untuk angkutan sampah. Di sepanjang jalan seperti di Jalan Soekarno-Hatta, Talise Valangguni, RTM peserta Padat Karya akhirnya membakar sampah yang mereka kumpulkan. Hal lain, tanah hasil kerukan drainase masih terlihat di sepanjang jalan, padahal ini dapat menjadi timbunan kawasan perumahan maupun niaga. Di tengah-tengah berjalannya kegiatan Padat Karya ini, beberapa anggota masyarakat yang saya temui sangat bersyukur. Tentu saja masih banyak kekurangan yang masih harus dibenahi termasuk para pengawas yang belum bersahabat dengan model laporan pemberdayaan. Walaupun kegiatan Padat Karya memasuki bulan kedua, dan di saat yang bersamaan, gugus tugas pemberdayaan masih membenahi kekurangannya. Wali Kota menantang lima orang gugus tugas melalui rencana beliau menambah RTM dari 2.165 KK menjadi 5.000 KK. Jadilah gugus tugas harus memeras otak menelaah lagi basis data terpadu sasaran program Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan (TNP2K) yang sudah terkumpul untuk diverifikasi dan divalidasi bersama lembaga-lembaga yang ada di masyarakat. Gugus Tugas lebih memprioritas kegiatan Padat Karya dan lalu akan memenuhi keinginan Wali Kota untuk mempersiapkan dokumen bagi rencana 5.000 KK RTM di tahun 2015, sekaligus sebagai upaya penghijauan Kota Palu demi menggapai penghargaan Adipura. Bila ini terlaksana, maka masih tersisa 8.676 RTM klaster I yang harus didorong melampaui garis kemiskinan Kota Palu, Insya Allah. Tentu saja gugus tugas harus mengantisipasi pula jam kerja di bulan Ramadhan nantinya.

29


30


SEORANG tua renta, berkopiah pudar, dan berkemeja lusuh, secara tiba-tiba menghampiri dan tanpa rasa sungkan, duduk bersama kami di sebuah warung kopi di jalan Diponegoro, Palu, tadi siang. Tak seorang pun di antara kami berempat yang sedang asyik menikmati kopi, mengetahui arah datangnya orang tua tersebut. “Pak tolong tambahkan uangku untuk beli obat. Saya sakit Pak. Kalau bapak tidak percaya ini buktinya,� kata orang tua tersebut, sambil mengangkat kakinya. Kami terkejut. Kaki orang tua itu luka dan sudah bernanah, bau. Tanpa bertanya lagi, kami pun memberikan beberapa lembar uang kepada orang tua itu sekadar membantunya untuk membeli obat atau pergi berobat ke puskesmas, yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari warung kopi. Orang tua itu lalu pamit dan berjalan sedikit pincang dikarenakan luka di kakinya. Sepenggal cerita di atas mungkin tidak terlalu berlebihan sebagai upaya untuk mendramatisir keadaan kemudian membangun sikap empati bagi kita, karena kejadian seperti itu banyak pula terjadi di banyak tempat. Pesan dari cerita di atas adalah bagaimana problem kehidupan rakyat kecil yang hingga saat ini belum terekam dengan baik, kemudian bisa terpecahkan melalui bangunan empati sosial yang dimiliki orang lain. Keberanian orang tua renta itu untuk meminta, mungkin karena sudah terdesak dengan kondisi sakit yang dihadapinya. “Terima kasih, pak, sudah mau membantu saya. Semoga Allah SWT akan membalas semuanya,� ucapnya, sambil berdoa. Kami lalu mengucapkan amin di setiap akhir kalimat doa yang terlontar dari mulut orang tua itu. Dalam hati, saya bergumam, semoga Allah SWT dapat meringankan penderitaan orang tua ini, dan memberikan kepadanya kekuatan dalam menghadapi sakitnya. Ternyata masih banyak problem sosial yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua: bagi pemerintah, bagi orang-orang kaya, bagi yang dianugerahi kenikmatan, kekuatan, dan bagi semua yang berakal dan berpikir. Kita sama tahu, bahwa orang yang mendustakan agama adalah mereka yang termasuk tidak memperhatikan orang-orang miskin dan yatim piatu. Tuhan dengan sangat jelas memberikan penekanan tanggug jawab bagi setiap manusia memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian kepada manusia lainnya yang tergolong miskin. Problem kemiskinan perkotaan memang agak spesifik dibandingkan kemiskinan yang berada di wilayah pedesaan. Kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingginya angka perpindahan penduduk dari desa ke kota, karena faktor tersedianya berbagai fasilitas dan sarana. Selain itu adalah terbukanya peluang untuk bekerja, sementara sumber daya yang ada tidak berdaya saing oleh rendahnya keterampilan. Daya saing menjadi tinggi seiring kebutuhan tenaga kerja yang mem-

31


butuhkan tingkat pendidikan, keahlian, dan kekhususan pada bidang tertentu. Rendahnya strata pendidikan yang dimiliki karena hampir rata-rata tamatan SMA dan sederajat. Akibat dari faktor-faktor tersebut, berimplikasi pada kondisi sosiologis dengan munculnya berbagai kejahatan dan penyakit sosial lainnya. Pemerintah dalam seluruh jenjang dan jajarannya harus segera melakukan terapi strategi dengan menyusun program dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, di samping intervensi program dan kegiatan, juga dilakukan analisis berbagai kebijakan baik yang bersifat administratif dan politis terhadap pelbagai kebijakan pembangunan yang kurang mengakomodasi kepentingan golongan miskin serta melibatkan mereka dalam proses perencanaan. Sehingga terapi atas permasalahan menjadi tepat dan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam situs TNP2K dilansir data Worldfactbook, BPS, dan World Bank yang mencatat telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibandingkan negara lainnya di dunia. Tercatat pada rentang 2005 – 2009 Indonesia mampu menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar 0,8%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per tahun. Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin. Jika kita melihat data tersebut, maka sangat jelas terlihat bahwa selama ini pemerintah telah melakukan berbagai dan beragam upaya untuk menggenjot laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Tidak mustahil pada suatu saat jumlah kemiskinan di Indonesia secara nasional akan berada pada titik 5%, jika upaya itu dilakukan secara simultan dan berkesinambungan dan dilandasi komitmen dan niat yang baik. Sehingga cita-cita The Founding Fathers sebagaimana termaktub dalam pembukaan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Pokok Pikiran pertama dinyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Insya Allah. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu Sudaryano Lamangkona

32


Radar Sulteng 10/06/14

33


PROFIL KEMISKINAN DI KOTA PALU

34


Radar Sulteng 02/05/14

35


BERAGAM WAJAH KEMISKINAN DI KOTA PALU

DATA aktual Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masih ada 9.24 persen (2011), 8,58 persen (2012) dan 7,24 persen (2013) penduduk miskin dari total penduduk Kota Palu. Siapakah mereka, berapa anggota keluarganya, di mana mereka tinggal, sudah lamakah mereka demikian, apa pekerjaannya merupakan pertanyaan yang butuh data. Kota Palu mempunyai data lengkap untuk menjawabnya. Pada tahun 2012, sesuai basis data terpadu yang bersumber dari Unit Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan (UPSK) untuk program Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), penduduk miskin di Kota Palu berjumlah 74.165 jiwa tercakup dalam 15.196 kepala keluarga (KK). Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Palu Barat yang mencapai 23.192 jiwa (31.27 persen) disusul oleh Kecamatan Palu Selatan mencapai 20.440 jiwa (27.56 persen), Palu Utara mencapai 17.793 jiwa, serta Palu Timur mencapai 12.740 jiwa. Sampai tahun 2012, penduduk miskin yang tidak bekerja mencapai 51.542 jiwa yang

36


proporsinya mencapai 69.50 persen dari penduduk miskin. Inilah yang menjadi titik sentral Palu 2015; Zero Poverty karena orang miskin penganggur dapat menjadi masalah utama di Kota Palu seperti kerawanan konflik horisontal, rawan terjerumus dalam kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Di Kota Palu, terdapat 2.696 Rumah Tangga yang dikepalai oleh perempuan atau proporsinya mencapai 17.74 persen. Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan sebagai kepala Rumah Tangga berada di Kecamatan Palu Barat sebanyak 852 Kepala RT perempuan (31.60 persen), diikuti oleh kepala RT perempuan di Kecamatan Palu Selatan yang mencapai 792 kepala RT (29.38 persen). Dengan meletakkan dasar pemberdayaan masyarakat pada kaum perempuan, mereka dapat mengangkat harkat ekonomi keluarga. Psikologi ekonomi menyatakan bahwa ketika kaum perempuan menerima dana apapun, pemikiran mereka langsung pada distribusi dana tersebut dalam kebutuhan rumah tangga. Pikiran mereka langsung kepada kebutuhan anggota keluarga. Berbeda dengan kepala RT lelaki, pikiran mereka tertuju pada kebutuhan diri sendiri, karena egonya dominan (Muhammad Yunus, 2006). Kemiskinan Pendidikan Di Kota Palu, dari 74.165 jiwa penduduk miskin dan nyaris miskin, 36.055 jiwa berada pada usia 15 sampai di bawah 45 tahun atau proporsinya mencapai 48.61 persen dari keseluruhan penduduk miskin. Sedangkan proporsi kedua ditempati oleh penduduk miskin usia 6 tahun sampai dengan usia di bawah 15 tahun atau usia anak-anak SD dan SMP yang jumlahnya mencapai 16.812 jiwa atau proporsinya mencapai 22.69 persen. Di Kota Palu, terdapat 16.721 anak dari keluarga miskin yang masih duduk di bangku sekolah atau proporsinya mencapai 86.93 persen dari jumlah total anak keluarga miskin yang bersekolah ...Zero Poverty diarahkan untuk dan tidak bersekolah. Masih ada 2.514 mempertahankan agar 16.721 (86.93 jiwa anak penduduk miskin yang tidak persen dari jumlah keseluruhan anak bersekolah dari 19.235 anak penduusia sekolah) anak dari keluarga miskin tetap bersekolah... duk miskin atau proporsinya mencapai 13.07 persen. Ini seharusnya menjadi program utama bagi Dinas Pendidikan Kota Palu mendatanya dan menyekolahnya melalui Sistem Pendidikan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Di Kecamatan Palu Barat, jumlah anak yang tidak bersekolah dari keluarga miskin menempati urutan pertama yang mencapai 968 anak atau proporsinya mencapai 38.50 persen. Jumlah tersebut diikuti oleh anak asal keluarga miskin yang tidak bersekolah di Kecamatan Palu Selatan dan Palu Utara

37


yang masing-masing mencapai 580 anak dan 577 anak. Proporsi anak asal keluarga miskin yang bersekolah pada jenjang pendidikan SD/ MI sederajat mencapai 12.288 anak atau proporsinya mencapai 63.88 persen. Jumlah tersebut diikuti oleh anak dari penduduk miskin yang mengenyam pendidikan SMP sederajat mencapai 4.101 anak atau proporsinya mencapai 21.32 persen. Sedangkan anak asal keluarga miskin yang duduk di bangku SMA sederajat dan melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi masing-masing mencapai 2.641 anak dan 493 anak atau proporsinya masing-masing 13.73 dan 2.56 persen. Di bidang pendidikan secara makro, implementasi program Palu 2015; Zero Poverty diarahkan untuk mempertahankan agar 16.721 (86.93 persen dari jumlah keseluruhan anak usia sekolah) anak dari keluarga miskin tetap bersekolah dan mempertahankan jumlah tersebut tetap bersekolah sampai pada jenjang yang lebih tinggi. Mendata secara mendalam siapa-siapa yang termasuk 2.514 siswa yang putus sekolah tersebut untuk disekolahkan kembali. Caranya adalah memberikan beasiswa baik APBN/P dan APBD secara tepat kepada 16.721 anak asal keluarga miskin tersebut. Mengusulkan kepada BUMN, Swasta, Perguruan Tinggi menjadi orang tua asuh bagi mereka yang terancam putus sekolah dan putus sekolah. Berbarengan dengan wajib belajar (wajar) sembilan dan dua belas tahun, semua dimulai dari data yang dapat kita sebut Sistem Informasi Pendidikan berbasis Masyarakat Kota Palu (SIPBM). Di bawah koordinasi Bappeda dan Dinas Pendidikan Kota Palu, kedua SKPD ini harus melakukan pendataan yang melibatkan kelurahan, BKM, LSM, imam masjid selain mendata 2.514 anak putus sekolah, dilakukan juga pendataan terhadap 16.721 orang siswa miskin agar mereka jangan sampai menjadi putus sekolah karena berbagai pertimbangan khususnya kemampuan ekonomi. Pendataan ini berbasis pada indikator RT, kondisi sosial ekonomi keluarga, alasan putus sekolah, dan sebagainya. Melalui pendekatan persuasif pada orang tua penduduk miskin tersebut diajak anaknya bersekolah kembali. Bila alasan utamanya karena ketidakmampuan membeli seragam sekolah, maka Pemerintah Kota Palu dapat membebaskan anak putus sekolah ini dari berseragam. Bila kebutuhan alat tulis menjadi masalah, maka dapat ditunjang dengan penyediaan alat tulis, termasuk pemberian beasiswa yang selama ini masih belum tepat sasaran. Sedangkan terhadap 16.721 siswa asal keluarga miskin yang masih tetap duduk di bangku sekolah harus dilakukan perlakuan khusus seperti pemberian kegiatan cash for work pada kepala RT agar memiliki lapangan pekerjaan tetap yang dapat membiayai kehidupan, pemberian bantuan modal usaha, pemberian beasiswa, kerjasama

38


dengan pihak perguruan tinggi di Kota Palu agar lulusan SMA/SMK ini mendapat perlakuan khusus seperti bebas tes UMPTN, bidik misi, dan beasiswa sampai mereka menyelesaikan jenjang S1. Ini dimaksudkan agar 16.721 siswa tadi tetap dalam proporsi yang sama sampai mereka menyandang sarjana. Hal ini beralasan karena dari basis data terpadu TNP2K, hanya 33.37 persen anak lulusan SD/MI asal keluarga miskin melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. Selanjutnya, dari 64.40 persen anak keluarga miskin yang duduk di SMP/MTs melanjutkan ke jenjang SMA/SMK/MAN atau hanya 21.49 persen dari anak keluarga miskin lulusan SD/MI yang melanjutkan ke jenjang SMA/SMK/MAN. Selanjutnya, hanya 18.67 persen (493 siswa) anak lulusan SMA/SMK/MAN melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi atau hanya 4.01 persen lulusan SD/MI keluarga miskin di Kota Palu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Berkaitan dengan peningkatan akses pada pendidikan bagi penduduk miskin Kota Palu, selain melengkapi secara rutin infrastruktur sekolah, pemberian subsidi pada Kepala Sekolah/guru daerah terpencil di Kota Palu, biaya operasional/ transportasi mengajar termasuk pengawasan dari cabang dinas pendidikan kecamatan mutlak dibutuhkan. Di samping itu, agar Dinas Pendidikan Kota Palu fokus pada peningkatan kualitas pendidikan semua jenjang, berkaitan dengan peningkatan infrastruktur fisik sekolah di Kota Palu, hendaknya diserahkan saja pada Dinas PU Kota Palu. Di samping itu, melalui tanggung jawab sosial korporasi, koordinasi TKPKD dalam temu atau bursa Corporate Social Responsibility (CSR), pihak swasta yang peduli pada pendidikan dapat berkiprah dengan mendukung kesinambungan pendidikan 16.721 anak sekolah asal keluarga miskin melalui beasiswa, bantuan seragam, alat tulis maupun rehabilitasi sekolah yang tentunya tidak tumpang tindih dengan program rutin SKPD. Zero Poverty bukan berarti tidak ada orang miskin di Kota Palu, tetapi esensi Zero Poverty terletak pada pemberian akses seluas-luasnya pada penduduk miskin Kota Palu dalam layanan dasar khususnya pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Mendata dan menyekolahkan kembali 2.514 anak putus sekolah di Kota Palu dan mempertahankan agar 16.721 siswa miskin tetap dengan jumlah yang sama sampai mereka tamat perguruan tinggi merupakan bagian daripada misi mulia Zero Poverty ini, Insya Allah. Kemiskinan Kesehatan Di Kota Palu, penduduk cacat yang berasal dari keluarga miskin mencapai 659 jiwa atau proporsinya dalam tanggungan rumah tangga mencapai 4.34%. dari

39


jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat sebanyak 191 jiwa, di Palu Selatan sebanyak 177 jiwa, serta di Kecamatan Palu Timur yang tersedikit jumlah hanya 118 jiwa. Penduduk miskin Kota Palu yang mengidap penyakit kronis seperti hipertensi dan persendian, dan lain-lain mencapai 3.119 jiwa yang tersebar di Kecamatan Palu Barat sebanyak 1.062 jiwa dan proporsi tersedikit di Kecamatan Palu Utara sebanyak 558 jiwa. Kesehatan untuk semua adalah masalah kita semua dan capaian kita semua. Bila ada masalah kesehatan, bukan saja urusan Dinas Kesehatan semata. Artinya dominasi munculnya masalah kesehatan justru berasal dari lingkungan penduduk, penanganannya berbasis pada lingkungan penduduk. Bagaimanapun intensnya petugas puskesmas berkeliling di wilayah kerjanya melakukan deteksi dini kesehatan (early warning health), bila masyarakatnya belum berubah perilakunya, maka hanya menjadi nonsen semata. Kemiskinan Ketenagakerjaan Proporsi Penduduk miskin Kota Palu yang bekerja mencapai 22.623 jiwa. Dari jumlah tersebut, penduduk miskin yang bekerja di sektor bangunan/konstruksi merupakan proporsi terbesar yang mencapai 5.368 jiwa atau proporsi 23.73 persen. Lalu diikuti oleh penduduk miskin yang bekerja di ...penduduk miskin di Kota Palu sektor jasa mencapai 3.517 jiwa atau proporsinyang menggunakan tempat pemya mencapai 15.55 persen. Sedangkan penduduk buangan air tinja menggunakan miskin yang bekerja di sektor pertambangan/ tangki/SPAL mencapai 10.080 penggalian hanya mencapai 753 jiwa atau proRT... porsi mencapai 3.33 persen dari total penduduk miskin yang bekerja atau 1.02 persen dari penduduk miskin. Jadi tidak beralasan bagi Pemerintah Kota Palu maupun Propinsi Sulawesi Tengah untuk tidak segera menutup area pertambangan Poboya apalagi dipenuhi oleh pendatang dari luar Palu. Penduduk miskin Kota Palu paling sedikit bekerja di sektor perikanan budidaya yang jumlahnya hanya mencapai 26 jiwa. Jumlah kepala RT miskin yang bekerja menurut pekerjaan utama kepala RT didominasi oleh kepala RT yang bekerja di sektor bangunan/konstruksi yang mencapai 3.766 jiwa atau proporsinya mencapai 27.92 persen dari kepala RT miskin total yang bekerja. Proporsi kedua ditempati oleh kepala RT miskin yang bekerja di sektor transportasi dan pergudangan yang mencapai 1.914 jiwa atau proporsinya mencapai 14.19 persen dari kepala RT miskin total yang bekerja. Jumlah kepala RT miskin yang bekerja di sektor perikanan budidaya merupakan proporsi tersedikit yang hanya mencapai 12 jiwa.

40


Bagaimanakah bila tidak ada lagi pekerjaan di sektor konstruksi? Tidak ada jalan lain selain lapangan pekerjaan berbasis jasa dan perdagangan. Ini belum termasuk memikirkan penerimaan penduduk cacat Kota Palu dalam lapangan pekerjaan. Boleh jadi fisik mereka cacat, tetapi daya pikir mereka lebih maju daripada penduduk normal. Kemiskinan Infrastruktur Dari 15.196 RT miskin, 9.595 memiliki tempat tinggal milik sendiri atau proporsinya mencapai 63.14 persen. Terdapat 5.471 RT miskin masih mengontrak rumah orang lain atau proporsinya mencapai 36.03 persen. Proporsi terbesar RT miskin yang hidup mengontrak rumah berada di Kecamatan Palu Selatan sebanyak 1.897 RT atau proporsi mencapai 34.67 persen. Sedangkan proporsi terbesar kedua di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 1.723 RT. Terdapat 6.770 rumah tangga atau 44.55 persen rumah tangga miskin menggunakan sumber air yang tidak terlindungi. Sisanya menggunakan air kemasan, air ledeng, sumber air terlindungi. RT miskin yang menggunakan sumber penerangan utama yang bersumber dari PLN mencapai 14.083 RT atau proporsinya terhadap RT miskin di Kota Palu mencapai 92.68 persen. Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 4.266 RT, RT di kecamatan Palu Selatan mencapai 4.104 RT. Sebaliknya, RT miskin yang menggunakan sumber penerangan utama non PLN mencapai 433 RT atau proporsinya mencapai 2.85 persen dan RT miskin yang tidak mempunyai sumber penerangan utama listrik sebanyak 680 RT atau proporsinya mencapai 4.47 persen dari total RT miskin di Kota Palu. Jumlah RT miskin yang menggunakan bahan bakar utama untuk memasak seperti listrik/gas/elpiji hanya mencapai 146 KK atau proporsinya hanya mencapai 0.96%. Sedangkan RT miskin yang menggunakan bahan bakar utama selain listrik/gas/elpiji mencapai 15.050 KK atau proporsinya mencapai 99.04 persen. Jumlah RT miskin yang memiliki fasilitas tempat buang air besar mencapai 5.800 RT atau proporsinya mencapai 38.17 persen yang dominan berada di Kecamatan Palu Selatan. Sedangkan RT miskin yang menggunakan fasilitas WC bersama/umum mencapai 5.936 RT. Jumlah RT miskin yang sama sekali tidak mempunyai fasilitas WC mencapai 3.451 RT atau proporsinya mencapai 22.71 persen yang dominan merupakan RT miskin yang berada di Kecamatan Palu Utara yaitu sebanyak 1.525 RT. Oleh karena itu, benar adanya bahwa sungai-sungai di Kota Palu menjadi WC umum terpanjang saban pukul 7 pagi karena dipenuhi oleh penduduk yang membuang hajat (Gunawan, 2012). Jumlah penduduk miskin di Kota Palu yang menggunakan tempat pembuangan

41


air tinja menggunakan tangki/SPAL mencapai 10.080 RT atau proporsi mencapai 66.33 persen yang dominan berada di Kecamatan Palu Selatan sebanyak 3.259 RT. Sedangkan RT miskin yang menggunakan tempat pembuangan air tinja lainnya sebanyak 5.116 RT atau proporsinya mencapai 33.67 persen yang dominan berada di Kecamatan Palu Utara sebanyak 1.704 RT. Kemiskinan merupakan masalah kita. Di hadapan kita, tentu kita menganggap kemiskinan sebagai bahaya laten. Hal itu akan membuat kita bersatu padu membuat gerakan anti kemiskinan yang melibatkan semua pihak. Bukankah kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran?

42


MBOK YA, POTRET SI MISKIN DI KOTA PALU HARI masih pagi. Rinai hujan sedang membasahi Kota Palu. Lalulintas sedang ramai-ramainya, karena memang warga kota sedang sibuk dalam aktivitas menuju tempat kerja. Di sudut yang lain, ada beberapa kelompok warga yang mulai bekerja. Dengan peralatan sube (cungkil) dan sapu, mereka membersihkan rumput di tepi jalan. Mereka adalah warga Palu yang terlibat dalam kegiatan Padat Karya, bagian dari Program Palu 2015; Zero Poverty. Salah satu kegiatan yang digalakkan Pemerintah Kota Palu untuk penanggulangan kemiskinan. Mbok Ya, seorang dari puluhan warga yang hari ini sedang bekerja. Perempuan tua itu mengaku tidak tahu nama aslinya. Selama ini ia hanya dipanggil

43


Mbok Ya oleh keluarganya. Bukan hanya itu, Mbok Ya yang tidak bisa tulis baca ini, juga buta sama sekali akan tanggal lahirnya. Ia hanya mengingat cerita dari sanak saudara di Kediri, Jawa Timur, bahwa ia dilahirkan di zaman perang, ketika di akhir-akhir Belanda menjajah Nusantara. Mbok Ya adalah warga tertua dari ribuan penerima manfaat dari Program Palu 2015; Zero Poverty. Kepada saya Mbok Ya bercerita, ia adalah warga pendatang. Sudah 15 tahun ia menjadi warga Kota Palu. Karena kesulitan hidup di kampung halamannya, Mbok Ya kemudian menyusul kedua anaknya yang sudah lebih dahulu mencari hidup di Palu. Kedua anaknya bukanlah pekerja kantoran. Anak perempuan Mbok Ya hanya bekerja menjual sayuran, sedangkan anak laki-lakinya menjadi pemulung (mengumpulkan plastik bekas). Tidak tega melihat kesulitan hidup yang melilit kedua anaknya, Mbok Ya kemudian memilih tinggal sendiri. Ia tidak mau menjadi beban hidup bagi kedua anaknya. Mbok Ya memutuskan tinggal sendiri. Berkat bantuan warga di Jalan Ki Maja, Kelurahan Besusu Barat, ia dibangunkan pondok kecil berukuran sekitar 4 x 6 meter. Yang penting cukup buat melindungi dirinya dari hujan dan panas. Mbok Ya harus bisa bertahan hidup di tengah belenggu kefakiran itu. Maka jualan kacang sangrai dan pisang di malam hari, menjadi pilihannya. Apes baginya, modal usahanya yang hanya Rp 50 ribu harus raib, karena ditipu orang. Ia tak mau menerima belas kasihan orang untuk bertahan hidup. Tak putus asa, Mbok Ya harus terus bekerja agar bisa makan, minimal dua kali sehari. Sudah belasan tahun ia berjualan kacang sangrai dan pisang di malam hari. Pendapatannya fluktuatif setiap malamnya. Kadang-kadang ia hanya mendapat untung Rp 10 ribu, bahkan tidak ada sama sekali, karena sepinya pembeli. Mbok Ya mengaku jualannya lebih banyak yang tidak laku. Padahal, ia selain untuk bisa makan, ia juga harus membantu sekolah tiga cucunya. Bernapas Lega Sampai akhirnya, Pemerintah Kota Palu meluncurkan Program Zero Poverty – orang sering salah menyebut Zero Property. Program itu diperkenalkan untuk kali pertama dalam pertemuan Forum KTI (Kawasan Timur Indonesia) di Palu pada September 2012 oleh Wali Kota Palu, H. Rusdy Mastura. Tapi program yang dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu ini, baru diluncurkan pada April 2014. Program Palu 2015; Zero Poverty ini, merupakan program penanggulangan kemiskinan dengan ciri khas yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Pro-

44


gram ini menjadi sebuah gerakan dan upaya mendinamisasi beragam program penanggulangan kemiskinan yang selama ini telah dilakukan Pemerintah Kota Palu. Kegiatan ini juga merupakan extraordinary serta sebagai supporting policy program percepatan penanggulangan kemiskinan Kota Palu, dengan melibatkan segenap unsur yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat, baik praktisi maupun akademisi dalam hal perencanaan sampai dengan implementasinya. Program yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan di Palu itu akan dilakukan dalam tiga kegiatan: Padat Karya, Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM), dan Kredit Usaha Rakyat Daerah (Kurda). Terkecuali PDPM yang telah dilaksanakan sejak 2008 hingga sekarang, dua kegiatan lain dalam program itu adalah kegiatan baru yang salah satunya –Padat Karya akan segera dilaksanakan selama 9 bulan sepanjang April hingga Desember 2014. Telah ditetapkan angka 2.165 rumah tangga miskin sasaran kegiatan Padat Karya dari 45 kelurahan se Kota Palu. Angka di setiap kelurahan beragam, dari yang terendah, 13 rumah tangga miskin (Poboya dan Siranindi), sampai yang tertinggi di Birobuli Utara (95 rumah tangga miskin). Setiap rumah tangga sasaran itu akan mendapatkan dana setiap bulan 500 ribu, setiap kepala rumah tangga sasaran itu akan bekerja di masing-masing wilayah domisili (kelurahan) untuk tiga hal: kebersihan, penghijauan, dan perawatan infrastruktur. Tiga hal itu menjadi pilihan (opsi) bagi penerima dana dan dalam prosesnya selama 9 bulan yang akan diawasi oleh kelurahan. Khusus kegiatan Padat Karya, kini telah berjalan. Setiap rumah tangga miskin mendapatkan Rp 500 ribu setiap bulannya. Tapi mereka hanya menerima Rp 450 ribu, sedangkan Rp 50 ribu menjadi tabungan mereka di Bank Sulteng. Di kolom opini portal berita milik Radar Sulteng (radarsulteng.co.id) Dr. Suparman, Dosen Fakultas Ekonomi dan Peneliti Pusat Studi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi (PSKPE) Universitas Tadulako berpendapat, pandangan yang pro dengan Program Zero Poverty, berkeyakinan ide ini dapat diwujudkan. Alasannya, data dan informasi yang dimiliki dengan strategi dan kebijakan yang digagas melalui Zero Poverty sudah cukup baik. Mereka percaya masalah kemiskinan di Kota Palu dapat diselesaikan. Di pihak yang kontra, dapat saja menganggap Zero Poverty, sebagai khalayan atau angan-angan bagi penanggulangan kemiskinan. Alasannya, selama ini gagasan dan ide penanggulangan kemiskinan, hanya muncul seketika seperti bunyi gong, dan lalu hilang ditelan bumi. Kondisi ini yang kita tidak mau terulang kembali.

...gagasan dan ide penanggulangan kemiskinan, hanya muncul seketika seperti bunyi gong, dan lalu hilang ditelan bumi. Kondisi ini yang kita tidak mau terulang kembali. ~ Dr. Suparman

45


Ide cemerlang semacam itu, seperti ide-ide yang sudah ada, tidak dapat diwujudkan dan tidak dapat diaplikasikan menjadi program dan kegiatan yang manjur. Sudah bertumpuk-tumpuk konsep dan ide penanggulangan kemiskinan, hanya marak dan hadir di ruang-ruang seminar dan lokakarya, sekedar menjadi wacana dan perdebatan, tapi justru gagal dalam implementasi. Berbagai alasan atas kegagalan dikemukakan, entah itu karena alasan kesalahan pada level kebijakan, program, dan kegiatan yang tidak aplikatif, atau pada level para pihak yang terlibat. Menurut Suparman, dengan Palu 2015; Zero Poverty, juga harus dimulai dari sikap dan tindakan dari para pejabat dan parapihak yang terlibat dalam progam ini. Kepercayaan akan keberhasilan ide ini, hanya bisa diwujudkan dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dibarengi sikap dan tindakan nyata yang benar-benar diwujudkan. Sebagus dan sehebat apapun strategi dan kebijakan, program dan kegiatan untuk Palu 2015; Zero Poverty, hanya dapat terwujud kalau komitmen dan konsistensi pelaksanaannya benar-benar tinggi. Kegagalan berbagai strategi dan kebijakan, program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan, banyak disebabkan oleh lemah dan rendahnya komitmen dan konsistensi. Kritik pedas dari Kristian Niemietzec, di jurnal Economic Affairs tahun 2010, mengenai Zero Poverty di Eropa, karena rendahnya konsistensi dalam pelaksanaannya. Berbagai definisi kemiskinan dan kebijakan yang tidak saling terkait satu sama lainnya, juga menjadi kendala utama pelaksanaanya. Warga kota Palu dan kita semua, sangat berharap Palu 2015; Zero Poverty dilaksanakan dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi. Sehingga kelak kita bisa menilai, Palu 2015; Zero Poverty, sebagai realitas atau khayalan semata? Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Prof. Dr. H. Zainal Abidin mengatakan, Program Zero Poverty menjadi bukti betapa Pemerintah Kota Palu di bawah kepemimpinan Rusdi Mastura dan Andi Mulhanan Tombolotutu, telah menunjukkan keberpihakan mereka kepada kaum dhuafa. Program itu sangat mendidik, karena tidak memanjakan warga, tetapi mengajarkan seseorang harus bekerja dan menikmati hasil keringatnya sendiri.

46

Program itu sangat mendidik, karena tidak memanjakan warga, tetapi mengajarkan seseorang harus bekerja dan menikmati hasil keringatnya sendiri. ~ Prof. Dr. H. Zainal Abidin


Agama tidak mengajarkan seseorang menjadi peminta-minta dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Agama justru mengajarkan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Pemerintah Kota Palu telah mengimplementasikan ajaran agama itu. Maka tak ada kata lain, setiap orang punya kewajiban yang sama untuk ikut membantu menyukseskan program ini. Mbok Ya termasuk salah seorang dari ribuan warga miskin yang dilibatkan dalam kegiatan Padat Karya itu. Paling tidak, perempuan tua yang tak lagi bersuami ini sudah dapat bernapas lega. Ia sudah dapat membantu biaya pendidikan tiga cucunya. Ia juga mengaku, beban hidupnya sedikitnya dapat teratasi. Tapi, bagi perempuan tua yang sudah sakit-sakitan ini, jualan kacang sangrai dan pisang di malam hari juga harus terus berjalan.

47


Radar Sulteng 01/05/14

48


Radar Sulteng 27/04/14

49


KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

50


51


ZERO POVERTY DI KOTA PALU TIDAK terasa, Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) di Kota Palu telah memasuki tahun ketujuh. PDPM yang dimulai sejak tahun 2008 disiapkan sebagai pengganti Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan yang berakhir pada 2015 seiring berakhirnya Millenium Development Goals (MDGs). Berbeda dengan PNPM Perkotaan yang meletakkan dasar utama pemberdayaan masyarakat di tingkat masyarakat melalui lembaga Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), PDPM justru ingin mengembalikan kewibawaan kelurahan yang selama ini terabaikan perannya dalam PNPM Perkotaan. Siklus program PDPM mulai dari empat tahapan Libu yang merupakan sekolah pemberdayaan berbasis inisiatif masyarakat. Sayangnya, upaya Pemerintah Kota Palu tidak mudah, karena sangat sedikit aparat kelurahan yang belum memahami esensi gagasan dari wali kota. Mungkin saja, PDPM dipandang dapat mengurangi porsi waktu kegiatan kelurahan, apalagi program ini dipandang banyak melibatkan masyarakat miskin melalui siklus-siklus PDPM tanpa manfaat berarti bagi aparat kelurahan. Inisiatif

52


Kota Palu patut kita apresiasi, karena daerah lain baik kota dan kabupaten di Indonesia ada yang “tunggu petunjuk” atau “tunggu anggaran”. Padahal jika anggaran turun justru tiba masa hilang akal dalam pelaksanaan program. Berkaitan dengan PDPM, saat ini, Kota Palu selangkah lebih maju, karena sejak tahun ini telah menyiapkan “Peta Jalan Kota Palu Menuju Palu 2015; Zero Poverty”. Dokumen ini bercita-cita meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi warga miskin, menurunkan jumlah warga miskin, meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikan warga miskin serta meningkatkan ketersediaan infrastruktur dasar bagi warga miskin Kota Palu. Adapun sasaran Palu 2015; Zero Poverty, mencakup meningkatnya pendapatan per kapita warga miskin Kota Palu, menurunnya angka persentase warga miskin di Kota Palu hingga di bawah 5 persen pada tahun 2015, meningkatnya akses pelayanan kesehatan dasar bagi warga miskin Kota Palu sesuai dengan target MDG’s, meningkatnya akses layanan pendidikan dasar bagi warga miskin Kota Palu sesuai dengan target MDG’s, meningkatnya ketersediaan sarana perumahan, air bersih, sanitasi, dan energi (listrik dan Bahan Bakar Minyak/Bahan Bakar Gas) bagi warga miskin Kota. Warga miskin yang menjadi sasaran Palu 2015: Zero Poverty adalah warga miskin di Kota Palu yang ditentukan berdasarkan indikator kemiskinan yang disusun sesuai dengan kriteria miskin menurut versi Kota Palu dan setelah dilakukan proses verifikasi dan validasi warga miskin berdasarkan basis data terpadu sasaran program Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Sayang, dokumen Palu 2015; Zero Poverty, PDPM akan menjadi sia-sia bila hingga saat ini belum ada gerakan baik dari tingkat wali kota sendiri maupun di tingkat kelurahan untuk melakukan verifikasi dan validasi lagi data basis data terpadu TNP2K tersebut. Akibatnya sudah jelas, di berbagai daerah terjadi kesalahan sasaran Bantuan Langsung Sementara (BLSM). Hal ini bukan karena kesalahan konsep, tetapi semata-mata kesalahan pemerintah daerah yang tidak melakukan verifikasi dan validasi basis data terpadu orang/keluarga miskin (TNP2K) telah diserahkan oleh pemerintah pusat pada November 2011. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan PDPM Kota Palu? Komitmen jelas sangat tinggi. Namun, hal ini tidak cukup. Saat ini sinergitas antar SKPD belum optimal. Tinggal koordinasi rutin di tingkat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kota Palu saja yang diintensifkan. Selama ini ajang koordinasi hanya di kantor wali kota. TKPKD sendiri belum mempunyai sekretariat. Leading sector PDPM yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM), telah bekerja secara profesional. Sinergi antara Gugus Tugas Pemberdayaan, Tim Pendamping Masyarakat

53


(TPM) dan BPM berjalan dengan baik. Tantangan terbesar di Kota Palu adalah menjadikan dokumen Palu 2015; Zero Poverty sebagai dokumen membumi, yang diketahui oleh seluruh SKPD, masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan yang saat ini penduduk miskin dan hampir miskin berjumlah 74.165 jiwa (TNP2K) tercakup dalam 15.169 KK. Saatnya bagi kita melakukan verifikasi dan validasi basis data trpadu sasaran program TNP2K, yang melibatkan semua pemangku kepentingan di tingkat kelurahan termasuk imam masjid, pendeta, RT/RW, LPM, BPM, TPM, Gugus Tugas Pemberdayaan, Kecamatan, SKPD teknis terkait, BKM dan kelembagaan masyarakat lainnya. Di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, tantangan terbesar dalam penanggulangan kemiskinan, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan menjadi 0.27 persen dari September 2012 ke Maret 2013 atau dari 14.94 persen menjadi 14.67 persen atau hanya turun sebanyak 4.180 jiwa.

54


55


TAHUN 2015, PALU ZERO POVERTY ORIENTASI pembangunan Kota Palu dalam penanggulangan kemiskinan tanpa terasa telah berjalan sejak tahun 2004, dimana Kota Palu menjadi sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) tahap II. Seiring capaian positif program tersebut, diluncurkanlah PNPM Mandiri Perkotaan secara nasional di Kota Palu tahun 2007. Konsep PNPM Mandiri Perkotaan yang berorientasi pada penyadaran kritis dengan pendekatan program di level pemerintah dan masyarakat, berdampak pada perubahan paradigma pembangunan di Kota Palu, sehingga pada tahun 2008 diluncurkan lagi Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) sebagai bentuk komitmen dan konsistensi kebijakan Pemerintah Kota Palu yang berpihak pada masyarakat. Pro Poor Policy, Pro Poor Budgeting dan Pro Poor Programing, telah memberi harapan besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam menekan penurunan angka kemiskinan. Berdasarkan sumber data BPS tahun 2008, tingkat kemiskinan Kota Palu adalah 10,10 persen dan pada tahun 2013, berhasil ditekan hingga 7,24 persen. Penurunan tingkat kemiskinan dalam rent-

56


ang waktu 5 tahun terakhir, memberi gambaran bahwa efektifitas dan relevansi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di Kota Palu relatif baik. Bentuk keseriusan Pemerintah Kota Palu sesuai amanat UUD 1945 serta Perpres No. 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan, maka pada tanggal 24 September 2012, Pemerintah Kota Palu mendeklarasikan Palu 2015; Zero Poverty di depan Forum Kawasan Timur Indonesia (FKTI) VI. Hadir dalam kesempatan itu Deputi Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, seluruh kepala daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) se Sulawesi Tengah dan Lembaga-lembaga donor, baik dalam maupun luar negeri. Palu 2015; Zero Poverty sebagai gerakan dalam penanggulangan kemiskinan, yang tujuannya mendinamisasi program penanggulangan kemiskinan, serta menjadi payung kebijakan program-program penanggulangan kemiskinan di Kota Palu, yang juga telah menjadi instrumen kunci dalam akselerasi percepatan penanggulangan kemiskinan di Kota Palu, menargetkan pada 2015 tidak ada lagi warga miskin yang tidak dapat mengakses pelayanan dasar, di antaranya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, meningkatnya partisipasi masyarakat, serta integrasi program penanggulangan kemiskinan. Palu 2015; Zero Poverty sebagai aksi langsung penanggulangan kemiskinan (direct attack poverty) merupakan solusi konkret dalam percepatan penanggulangan kemiskinan yang selama ini berjalan lamban, karena hanya sebatas harapan pada rembesan (trickle down effect) yang tidak pernah menjadi prioritas riil dalam pembangunan daerah. Upaya penanggulangan kemiskinan dalam kerangka Palu 2015; Zero Poverty, telah didesain dalam beberapa ruang lingkup, yaitu peningkatan kapasitas lembaga pelaksana, dukungan pihak swasta, penyepakatan fokus penerima manfaat, kebijakan pengembangannya, dan asessment kemiskinan yang partisipatif. Pelaksanaan ruang lingkup gerakan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena butuh komitmen dan konsistensi yang kuat, khususnya pemimpin Kota Palu guna menyukseskan gerakan penanggulangan kemiskinan. Dalam perkembangan paradigma pembangunan dewasa ini, lebih diarahkan pada pembangunan manusia. Puncak kesadaran manusia adalah ketika sudah sampai pada keyakinan, bahwa tujuan hidupnya adalah untuk membangun harkat dan martabat sebagai kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu, pembangunan manusia dipandang sebagai cara yang efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Kendala dan tantangan yang dihadapi pemerintah adalah keterbatasan anggaran untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, sehingga

57


diperlukan kemauan politik (political will)Â yang cukup kuat dari pemerintah serta kemitraan (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan realita penanggulangan kemiskinan yang masih berporos pada paradigma lama penanggulangan kemiskinan, yaitu dengan konsep pertolongan (kedermawanan) yang pada kenyataannya hanya memberikan solusi jangka pendek, maka sudah seharusnya daerah ini beranjak kepada paradigma baru yang lebih berpusat pada manusia, melalui konsep pemberdayaan sumber daya manusia. Palu 2015; Zero Poverty lahir dari Komitmen Pemerintah Kota Palu yang lebih cepat melakukan rekonstruksi paradigma penanggulangan kemiskinan, yang dulunya diterapkan lebih pada konsep pertolongan (charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia, karena persoalan kualitas sumber daya manusia merupakan hal fundamental yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan, masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan. Namun sebaliknya, masyarakat ikut berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Mengeluarkan suatu kebijakan, ibarat melemparkan batu ke dalam air, pasti akan menimbulkan riak. Namun riak air akan hilang ketika batu telah sampai ke dasar atau kedalaman tertentu. Begitupun kebijakan Palu 2015; Zero Poverty, yang akan menimbulkan pro dan kontra sebagai suatu konsekuensi logis yang harus disikapi oleh seluruh masyarakat menuju proses pendewasaan.

58


59


MANFAAT DAN KEBERLANJUTAN PROGRAM PENURUNAN angka kemiskinan di Kota Palu dari waktu ke waktu semakin signifikan. Kondisi ini disinyalir bahwa dengan hadirnya Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) dan Padat Karya serta program lainnya di Kota Palu telah memberikan manfaat positif bagi pengurangan angka kemiskinan. Pada tahun 2006 angka kemiskinan di Kota Palu mencapai 10, 49 persen, sementara pada tahun 2007 terus mengalami penurunan hingga mencapai 9,73 persen, dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 75,67. Upaya pemberdayaan warga miskin di Kota Palu terus digalakkan, baik melalui program yang didanai oleh APBN maupun pembiayaan melalui APBD. Persoalan yang dihadapi pada tahun 2008, adalah krisis ekonomi nasional sehingga memengaruhi kondisi ekonomi masyarakat di Kota Palu, terutama angka kemiskinan mengalami kenaikan hingga mencapai 10,10 %, akan tetapi angka IPM terus naik hingga mencapai 76,40. Meskipun pada tahun 2008, upaya pemberdayaan di Kota Palu terkena imbas dari krisis ekonomi nasional, tetapi Pemerintah Kota Palu tidak tinggal diam berpangku tangan. Dengan kata lain, upaya pemberdayaan warga miskin lebih dioptimalkan dengan mensosialisasikan bahwa masalah kemiskinan adalah

60


tanggaung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan tersosialisasikannya prinsip bersama dalam penanggulangan kemiskinan, maka lahirlah satu gerakan penanggulangan kemiskinan di antara SKPD-SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Palu yang dikoordinir oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kota Palu. Dengan misi penanggulangan kemiskinan sebagai gerakan bersama di bawah satu atap, yakni �Peduli Kaum Duafa� sehingga membawa dampak positif terhadap upaya percepatan penanggulangan kemiskinan di Kota Palu. Upaya ini terbukti pada 2009, angka kemiskinan di Kota Palu telah menembus angka 9,19 persen, dengan angka IPM mencapai 75,99. Meskipun pada tahun 2010, angka kemiskinan di Kota Palu kembali mengalami kenaikan hingga mencapai 9,98 persen sebagai akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) secara nasional, angka IPM Kota Palu tetap pada angka yang signifikan, yakni mencapai 76,40. Memang cukup disadari, bahwa kenaikan harga BBM yang terjadi pada tahun 2010 tersebut cukup signifikan memengaruhi kehidupan warga miskin di Kota Palu saat itu. Memerhatikan dan mempelajari dampak kenaikan harga BBM pada tahun 2010 tersebut, Pemerintah Kota Palu melalui peran aktif TKPKD Kota Palu dalam mengkoordinasikan berbagai program pemberdayaan warga miskin, yang difasilitasi oleh berbagai lembaga baik pemerintah dan swasta di level kota, maupun para pelaku di tingkat masyarakat kelurahan cenderung semakin mendorong percepatan upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Palu. Upaya tersebut terbukti dengan menurunnya angka kemiskinan di Kota Palu pada tahun 2011 hingga mencapai 9,24 persen. Meskipun penurunan angka kemiskinan di tahun 2011 itu cukup menggembirakan, Pemerintah Kota Palu melalui peran TKPKD justru melahirkan sebuah program daerah yang dikenal dengan sebutan Palu 2015; Zero Poverty. Secara implementatif Palu 2015; Zero Poverty dilaksanakan dalam bentuk Padat Karya, PDPM, dan Kredit Usaha Daerah (KURDA), yang dimulai pada tahun 2012. Zero Poverty merupakan payung program penanggulangan kemiskinan daerah. Sebagai bukti nyata bahwa sampai dengan tahun 2012, penurunan angka kemiskinan di Kota Palu mencapai 8,58 persen, dan pada tahun 2013 penurunan angka kemiskinan di Kota Palu diprediksi dapat menembus angka 7,24 persen. Manfaat program pemberdayaan masyarakat yang berada di bawah payung Zero Poverty, maka perlu adanya regulasi yang mengatur program dan dijadikan landasan yuridis formal bagi semua komponen pelaku.

61


Keberlanjutan Program Semua kegiatan pemberdayaan masyarakat memiliki tantangan berat untuk turut berkontribusi mengurangi angka kemiskinan 8 – 10 persen sesuai target RPJMN 2010 – 2014. Aspek utama yang dapat dilakukan, adalah pengembangan kelembagaan, program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan secara sistemik dan berkelanjutan. Keberlanjutan yang berfokus pada penguatan kelembagaan masyarakat, yaitu Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Kelompok Masyarakat Setempat (KMS). Hal tersebut dimaksudkan untuk membangun tata kelola yang baik (good governance) dan kepercayaan (trust) masyarakat pada program penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian kelembagaan masyarakat diharapkan kian mendapatkan kepercayaan, bersifat inklusif, transparan, dan akuntabel, sebagai modal untuk bermitra dengan lembaga pemerintah, swasta, perguruan tinggi, maupun lembaga-lembaga donor lainnya. Jika kita cermati, intervensi kegiatan pemberdayaan melalui PDPM, Padat Karya dan kegiatan lainnya di Kota Palu hingga tahun 2014, maka target pengurangan angka kemiskinan telah menyentuh angka yang ideal, sekalipun tingkat kualitas (kedalaman dan keparahan) kemiskinan belum sampai pada level itu. Dibutuhkan strategi keberlanjutan untuk menjawab tantangan masa depan. Ke depan, kita harus mampu memastikan bahwa Badan Keswadayaan Masyaraat (BKM), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Kelompok Masyarakat Setempat (KMS) dan kelompok peduli lainnya, merupakan lembaga yang kita anggap mampu memelihara asas transparansi dan akuntabilitas benar-benar telah berstatus mandiri. Kemandirian lembaga-lembaga tersebut, dapat diukur dari sejumlah ciri yang melekat pada lembaga itu sendiri, yaitu kemampuannya dalam melembagakan mekanisme pemilihan anggota/pengurus; meningkatkan partisipasi penduduk dewasa, mendorong peran lembaga sebagai pengarah (steering), dan fasilitator (fasilitasi) bukan pelaksana (operator), dan mendorong masyarakat untuk mengakses sumber daya luar melalui kegiatan channeling program dan kemitraan. Lembaga-lembaga yang berstatus mandiri juga diuji, sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam melakukan kemitraan (linkage) dengan lembaga keuangan, guna memperkuat usaha mikro masyarakat yang dilaksanakan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), memperkuat tim operasional dan pemeliharaan, agar infrastruktur yang dibangun dapat memberikan manfaat maksimal, optimalisasi hasil (outcome) terhadap pelaksanaan pembangunan lingkungan dan permukiman.

62


Selain itu, lembaga-lembaga yang benar-benar mandiri mampu mengembangkan usaha ekonomi masyarakat miskin, khususnya yang masuk dalam kategori pra-sejahtera; melalui kolaborasi dan integrasi program dengan pemerintah daerah, swasta dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga pada limit waktu tertentu, program penanggulangan kemiskinan di Kota Palu dapat mencapai target yang diharapkan, yakni “angka nol kemiskinan� dalam artian, bahwa seluruh warga pra-sejahtera mendapatkan akses terhadap semua sumber daya, sehinga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup di masa yang akan datang.

63


64


65


APA KATA MEREKA

66


67


PENANGGULANGAN KEMISKINAN, KISAH YANG TAK PERNAH USAI KISAH tentang masyarakat miskin selalu menjadi menarik di media massa, layaknya pasang surut sebuah gelombang di lautan. Beritanya klise namun selalu aktual. Kita pernah membaca seorang ibu di Makassar yang tengah hamil tujuh bulan dan memiliki seorang anak berusia lima tahun, harus meregang nyawa karena kelaparan. Sungguh menyayat hati memang. Tentu saja masalah yang paling mendasar adalah ekonomi. Dapat kita lihat saat ini dari harga kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari dan lainnya,naik tanpa kompromi. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut membuat masyarakat sulit untuk menjangkaunya dari hari ke hari. Terlebih pada masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah dan semua lapisan masyarakat tentu tidak menghendaki kemiskinan dalam hidupnya. Oleh karena itu pemerintah pun telah berusaha meminimalisir angka kemiskinan, dan masyarakat pun tengah bersusah payah keluar dari bayang-bayang kemiskinan. Harus kita akui, bahwa kemiskinan muncul bukan lantaran persoalan ekonomi saja, tapi karena persoalan di semua bidang: struk-

68


tural (baca: birokrasi), politik, sosial, dan kultural, dan bahkan pemahaman agama. Kita pun tahu dampak dari adanya kemiskinan ini, seperti kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, patologi, dan lain sebagainya, di mana semua itu semakin hari semakin meningkat saja intensitasnya di sekitar kita. Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan untuk mengatasinya. Diperlukan semua segi, di antaranya ekonomi, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, teknologi, dan tentu saja, ketenagakerjaan. Selain itu ada segi lain yang tak boleh kita lupakan juga dalam mengatasi masalah ini, yaitu agama. Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kaca mata dan sudut mana pun, seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang peradaban Barat Kapitalis, pengemban sistem ekonomi kapitalistik, memiliki gambaran atau fakta tentang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap, kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka mereka menganggap usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun mengalami perkembangan dan perbedaan. Akibatnya, standar kemiskinan atau kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki batasan-batasa yang fixed. Di Amerika atau di negara-negara Eropa Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Pada saat yang sama, di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir atau miskin. Perbedaan-perbedaan ini meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja di manapun, akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan masalah kemiskinan. Di Kota Palu, Program Penanggulangan Kemiskinan sudah berjalan sejak lama. Dimulai dari Program Peduli Dhuafa, hingga sekarang Zero Poverty. Bahkan, program penanggulangan kemiskinan di Kota Palu, telah menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya di Indonesia.

69


70


MEREKA BICARA ZERO POVERTY (BAGIAN 1) BANYAK pihak memberikan tanggapan berbeda mengenai Program Zero Poverty. Meski berbeda, tapi semuanya menyatakan program ini sangat positif yang harus mendapat dukungan semua pihak. Dr. Irwan Waris, salah seorang dosen pasca sarjana Universitas Tadulako berpendapat, Program Zero Poverty itu itu sangat bagus. Itu wujud kepedulian kepada masyarakat yang kurang beruntung. Bahwa masyarakat yang berada di lapis bawah membutuhkan bantuan itu. Jaring pengaman sosial itu juga yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu dan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Program tersebut sebagai bentuk bahwa pemerintah berusaha merasakan denyut nadi masyarakat yang kurang beruntung. Untuk menyiapkan masyarakat miskin agar berdaya, maka bentuk-bentuk kegiatan yang sifatnya memberdayakan secara ekonomi mutlak dilakukan. Zero Poverty merupakan perpaduan antara social safety net dan meminta sumbangsih tenaga masyarakat. Masyarakat, jika langsung diberikan uang, nanti akan manja dan terus berharap. Itu yang harus dihindari. Ada edukasi yang tampak dalam program Zero Poverty (Padat Karya).

71


Ke depan, program-program seperti PNPM Mandiri harus tetap digairahkan, Pemerintah Kota Palu harus menyertakan modal di kegiatan PNPM Mandiri. Program ini diharap dapat membimbing masyarakat sehingga mereka betul-betul berdaya. Drs. Hary Azis, MAP, Sekretaris Jurusan Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik memandang Program Zero Poverty dengan sangat sederhana. Dia berpendapat, pelibatan masyarakat sangat terlihat dan tepat sasaran. Beberapa tetangganya yang memang benar-benar kurang mampu secara ekonomi, terlibat di dalam program Padat Karya. Ia sangat mengapresiasi pola rekrutmen yang betul-betul tepat sasaran itu. Saya melihat mereka sangat bersemangat, bangun pagi untuk membersihkan jalan di depan rumah warga.

...mereka sangat bersemangat, bangun pagi untuk membersihkan jalan di depan rumah warga. ~ Drs. Hary Azis, MAP

Dengan pelibatan seperti itu, mereka telah merasa menjadi bagian dari warga kota, sehingga ada rasa memiliki terhadap kota ini. Pemerintah Kota Palu masih menganggap mereka yang kurang mampu ini ada. Mereka tidak dipinggirkan oleh kebijakan kota. Disadari atau tidak, ada sebagian orang yang merasa bahwa mereka telah tergerus oleh kebijakan pemerintah, mereka terpinggirkan, mereka termarjinalkan, karena kebijakan tidak berpihak ke mereka. Berbeda dengan Pemerintah Kota Palu yang melihat ada warganya yang dilibatkan dalam kebijakan pemerintah. Bagi pegiat pembelajar masyarakat Andi Nur Fitri Balasong yang tinggal di Makassar, Palu 2015; Zero Poverty adalah program yang bombastis dan cukup berani. Sebagai orang yang kerap mendokumentasikan berbagai praktik-praktik unggulan, menurutnya hal tersebut sangat sistematis dan sangat memperhitungkan aspek keberlanjutan. Tetapi dengan strategi-strategi yang dilakukan oleh segenap Pemerintah Kota Palu, program ini tampaknya akan menuai hasil. Kita lihat tahun depan, katanya menambahkan, dan satu catatan penting dari sana adalah menjadi pemimpin di era kini, memang harus berani. Dari sisi pelayanan publik, Ketua Ombudsman Sulawesi Tengah, Sofyan Farid Lembah, SH, MH menilai, Zero Poverty itu merupakan terobosan Pemerintah Kota Palu yang patut didukung. Dia berharap, jangan lagi program itu hanya

72


ada di pemerintahan saat ini saja, tapi harus berkesinambungan. Walau berganti pemimpin, program itu harus tetap berjalan. Penanggulangan kemiskinan itu tidaklah semudah membalik telapak tangan, tapi membutuhkan waktu yang panjang. Program Zero Poverty itu justru mematahkan pendapat bahwa pemerintah hanya seperti pemadam kebakaran dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dia berharap, program itu harus didukung oleh sektor perbankan dan swasta yang lain. Walau demikian, dia menyarankan agar perlu dikembangkan keterampilan sehingga masyarakat dapat mandiri. Masyarakat harus diberi modal yang cukup untuk usaha kecil. Di situlah peran sektor perbankan dan swasta lainnya. Tidak cukup hanya pemerintah saja yang berperan, tetapi semua pihak harus turut andil secara aktif.

...kehadiran HIPMI Peduli, arahnya adalah untuk membantu kelompok masyarakat termarjinalkan... ~ Astrid Sandagang

Ketua Umum Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD HIPMI) Sulawesi Tengah) Astrid Sandagang memandang, program Zero Poverty sebagai wujud keseriusan pemerintah Kota Palu memihak pada kelompok masyarakat marjinal. Masyarakat marjinal ini seringkali dikaitkan dengan masyarakat kecil yang terpinggirkan. Masyarakat tersebut terpinggirkan karena keadaan ekonomi. Masyarakat tersebut adalah mereka yang memiliki pendapatan pas-pasan atau bahkan serba kekurangan.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban bersama setiap individu harus dapat membantu orang miskin. Ada tiga pihak yang berkewajiban untuk penanggulangan kemiskinan, yakni kewajiban setiap individu, sesama manusia, dan kewajiban pemerintah. Program Zero Poverty, merupakan wujud tanggung jawab pemerintah, yang perlu mendapat apresiasi semua pihak. Maka kehadiran HIPMI Peduli, arahnya adalah untuk membantu kelompok masyarakat termarjinalkan itu, sekaligus sebagai wujud partisipasi dalam program tersebut. Ketua DPRD Kota Palu, Iqbal Andi Magga, SH berpandangan, Zero Poverty ini harus menjadi gerakan bersama semua pihak. Ini merupakan gerakan sadar peduli dhuafa yang harus menjadi komitmen bersama. Program itu menjadi ke-

73


wajiban pemerintah untuk peduli pada orang miskin sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Meski begitu, bukan berarti kewajiban itu harus ditimpakan seluruhnya kepada pemerintah saja, tapi masyarakat yang punya kelebihan secara ekonomi, baik itu perorangan maupun sektor swasta lainnya juga memiliki kewajiban yang sama. Saya hanya berharap, jangan pernah berhenti untuk peduli pada si miskin. Maka, DPRD dengan hak budgetingnya, akan terus mendorong program ini. Drs Irwan Karim, M.Si dari Universitas Tadulako punya pandangan berbeda. Dia mengatakan, Program Zero Poverty melalui Kegiatan Padat Karya, justru menguburkan budaya gotong royong di masyarakat. Soal rekrutmen juga menjadi masalah, karena outputnya belum jelas standarnya. Tapi, dia menganggap, secara obyektif program ini dapat memberdayakan masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah, Dedi Askary, SH menilai program Zero Poverty yang dilaksanakan Pemerintah Kota Palu, harus diapresiasi secara positif oleh semua pihak (masyarakat, kalangan usaha, dan stakeholder lainnya). Ini program mulia, program penghapusan kemiskinan, program nol kemiskinan. Ini namanya program memanusiakan-manusia. Dalam konteks tanggung jawab negara (Pemerintah Kota Palu) khususnya dari prespekIni namanya program metif HAM, ini merupakan wujud tanggung jawab manusiakan manusia. negara dalam pemenuhan Hak Ekonomi, So~ Dedi Askary, SH sial dan Budaya (Hak Ekosob). Dalam prespektif pemenuham HAM bidang Ekosob, intervensi negara adalah sebuah keharusan, berbanding terbalik dengan pemenuhan Hak Sosial dan Politik, intervensi negara mutlak dikurangi. Rendy Mertadiwangsa dalam wawancaranya di portal berita metrosulawesi.com Senin (1/12/2014) menilai, Pemerintah Kota Palu terus berupaya menuntaskan kemiskinan dengan salah satu program andalannya Zero Poverty. Sejak dirilis di Lapangan Vatulemo Palu, 24 April 2014 lalu, hingga saat ini program tersebut terus berjalan. Salah satu kegiatannya yaitu Padat Karya, Pemerintah Kota Palu

74


berupaya menjaring ribuan masyarakat miskin untuk diikutkan kegiatan Padat Karya dan diberikan insentif Rp 500 ribu per bulannya. Tetapi semua itu, kata dia, belum mampu menuntaskan kemiskinan di Kota Palu. Menurutnya, upaya pemerintah itu memanglah sangat positif dan terbukti semakin memerhatikan warga miskin. Namun upah Rp. 500 ribu dianggapnya sangat kurang dan tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk keluarga penerima. Dia bahkan mempertanyakan,mengapa Pemerintah Kota Palu tidak memberikan modal kepada masyarakat lokal demi kreativitasnya dalam membuat produk lokal? dengan begitu, Kota Palu menjadi lebih baik, punya jati diri dan mampu berinovasi. Rendi menyarankan agar Pemkot Palu lebih selektif memutuskan program kerjanya, sehingga ke depannya, upaya untuk meminimalisir penduduk miskin dapat terlaksana bahkan mampu mengembangkan aset warga dengan dukungan pemerintah. Awir U. Lagaga, Koordinator Forum Badan Keswadayaan Masyarakat (FBKM) Kota Palu, sebagai masyarakat saya melihat Program Zero Poverty, khususnya kegiatan Padat Karya, sangat bermanfaat. Selain kebersihan Kota Palu terjaga, penghijauan juga terjaga, masyarakat miskin juga dapat diberdayakan, karena punya pendapatan dari pekerjaan mereka. Intervensi program, PDPM terkait dengan kegiatan infrastruktur, bantuan sosial dan ekonomi sangat dirasakan oleh masyarakat. Tinggal ditambah lagi dengan Kredit Usaha Rakyat Daerah (kurda) , maka itu akan sangat komprehensif dalam penanggulangan kemiskinan. Target perbaikan perlindungan sosial, peningkatan akses terhadap pelayanan dasar, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan inklusif, itu juga sudah sangat dirasakan oleh masyarakat. Program yang terintegarasi itu perlu dilakukan secara berkesinambungan. Tapi yang paling penting dari semua itu adalah, adanya akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, dan pembangunan. Tidak seperti sebelumnya, masyarakat hanya menunggu bantuan setiap bulan tanpa bekerja, sehingga membuat mereka manja. Zero Poverty, justru mengajarkan masyarakat untuk semangat bekerja. Sebab, tanpa bekerja, mereka tidak akan mendapatkan akses pada modal. Ini yang sangat positif.

75


76


MEREKA BICARA ZERO POVERTY (BAGIAN 2) SUKSES tidaknya kegiatan-kegiatan pemberdayaan akan sangat ditentukan oleh salah satu faktor pentingnya yakni fasilitator, orang yang bekerja untuk memfasilitasi semua tahapan-tahapan sebagai proses dalam kegiatan pemberdayaan. Semacam jembatan yang menghubungkan antara satu hal dan hal yang lain. Antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak yang lain. Dibutuhkan kecakapan tertentu sebagai klasifikasi dasar yang mesti dimiliki oleh seorang fasilitator yang mesti memahami tidak saja aspek sosial budaya masyarakat yang difasilitasinya, tetapi juga substansi kegiatan, termasuk makna filosofis pemberdayaan. Gambaran kerja yang demikian menjadikan fasilitator adalah pribadi yang memiliki kemampuan menjadi pemecah kebuntuan (ice breaker) di tengah tingginya apatisme masyarakat. Inisiatif, adalah kata kunci yang merepresentasi, merangkum semua penjelasan tentang fasilitator. Dalam konteks Zero Poverty, fasilitator disebut sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat atau disingkat TPM. TPM bekerja untuk Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM), mengarahkan kebijakan alokasi anggaran agar da-

77


lam penyusunan dari usulan masyarakat tidak dilandasi oleh keinginan individual tetapi kebutuhan bersama warga. Tahapan-tahapan selama setahun dalam kegiatan PDPM yang disebut Libu adalah bagian dari kerja TPM, yang memfasilitasi masyarakat yang diwakili oleh Kelompok Masyarakat Setempat (KMS) di tingkat kelurahan dengan pihak kelurahan di mana Lurah adalah Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK). Ada 45 kelurahan se Kota Palu yang terbagi dari 8 kecamatan. Itu berarti ada 45 TPM yang bekerja untuk masing-masing kelurahan. TPM secara teknis berada di bawah koordinasi 8 koordinator kecamatan (korcam) dan 1 koordinator kota (korkot). Andi Yusuf TPM Kelurahan Baiya, Kecamatan Tawaeli Di Baiya, kami berfokus pada peningkatan kapasitas warga untuk menjadi tenaga keamanan (sekuriti). Kebutuhan itu dirasakan tinggi di tengah banyaknya pabrik dari industri-industri berskala besar yang dekat dari Pelabuhan Pantoloan. Alokasi anggaran PDPM di sektor sosial, kami fokuskan kesana, selain tentu saja pengembangan aspek lingkungan dan ekonomi yang telah dikerjakan PDPM di tahun-tahun sebelumnya. Ninik Sulistia Ariani TPM Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Mantikulore Saya melakukan pendekatan ke warga, itu seperti falsafah menarik rambut dari tepung. Tepungnya tidak berhamburan, tetapi rambutnya bisa kita keluarkan dari sana. Artinya, masalah bisa kita pecahkan bersama. Di kelurahan saya bagian pesisir, usulan yang ingin saya sebut menjadi fokus kami adalah pembangunan talud. Muhamad Syarif TPM Kelurahan Siranindi, Kecamatan Palu Barat Di Siranindi, saya mesti menjelaskan kepada warga saat Libu, hal-hal yang sudah ditetapkan sebagai yang tidak bisa dikerjakan (negative list) dalam PDPM, karena beberapa hal yang menjadi usulan warga setelah diverifikasi adalah yang cenderung menyangkut keinginan pribadi.

78


Sri Munawarah Budianti, SE TPM Kelurahan Pantoloan, Kecamatan Tawaeli Saya, di tahun sebelumnya (2013), pernah sampai harus mempertanggungjawabkan berulang-ulang hasil kegiatan PDPM. Laporan Pertanggungjawaban (LPj) saya ditolak masyarakat. Saya mesti lima kali mengulang LPj, karena masyarakat tidak menerima hasil laporan dari kegiatan PDPM yang sudah dikerjakan. Ini menjadi pengalaman saya yang paling berharga di tahun berikutnya, untuk lebih memperbaiki proses Libu awal, ketika usulan-usulan dari warga, didiskusikan dan untuk selanjutnya disepakati. Tahun ini, kami menganggarkan pembelian kursi dan tenda untuk acara yang manajemennya akan dikelola oleh Kelompok Masyarakat Setempat (KMS).

79


80


MEREKA BICARA ZERO POVERTY (BAGIAN 3) Marni Lamahung Warga Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur Saya tidak punya rumah sendiri. Selama ini saya hanya tinggal di kos. Saya salah seorang yang bekerja di kegiatan Padat Karya. Saya mendapat insentif Rp 500 ribu setiap bulan, tapi saya hanya terima Rp 450 ribu, karena sisanya disimpan di bank. Alhamdulillah, sekarang saya sudah bisa jualan binte dan mie kuah, sayur dan ikan masak di malam hari. Modalnya hanya Rp 300 ribu yang saya sisihkan dari insentif setiap bulan itu.

81


Andi Darwati Warga Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur Alhamdulillah, saya senang bekerja di kegiatan Padat Karya ini. Selain menerima upah dari hasil kerja, saya juga dapat bersilaturahmi setiap hari dengan warga lainnya. Saya juga sehat, karena setiap pagi saya sudah bekerja membersihkan rumput di jalan. Itu juga olahraga. Dulu sebelum saya ikut kegiatan ini, rasanya susah sekali membiayai tiga anak saya. Alhamdulillah, sekarang saya tidak pusing lagi. Setelah ini, saya rencana akan berusaha kecil-kecilan dari upah yang saya terima setiap bulan dari kerja Padat Karya ini.

82


83


PENUTUP

84


85


RUSDI Mastura, sang Walikota pencetus ide Peduli dhuafa hingga Zero Poverty ini, pernah bercerita satu saat dalam pidatonya. Beliau berkisah tentang satu kota kecil di Filipina yang kondisi geografinya terdiri dari batu karang. Sangatlah tidak mungkin pertanian berkembang di situ. Tapi, kota batu karang tersebut malah menjadi penghasil tanaman sayuran yang sangat populer di Filipina. Ternyata, penanamnya adalah para ibu rumah tangga. Lahan atau kebunnya hanyalah dalam bentuk pot atau yang populer dikenal dengan istilah Tabula Pot. Cudi, panggilan akrab Rusdi Mastura, kemudian melanjutkan pidatonya, bahwa di Palu pun, beliau sering melihat Tabula Pot serupa, ada di pameran. Namun, saat mengunjungi desa dan kelurahan beliau tidak melihat Tabula Pot itu ada di sana. Ilustrasi nyata dari hasil kunjungan ke Filipina tersebut menjadi penting saat kita hendak menyatukan dua kekuatan. Kekuatan yang pertama bernama Modal (fisik dan finansial), dan yang kedua, kita kenal dengan Model (manusia, kebijakan, dan keteladanan). Tanah yang terdiri dari batu karang, pastilah bukan modal fisik yang baik untuk mengembangkan pertanian. Tapi bahwa pertanian ternyata berkembang, itu karena ada faktor model yang ikut serta. Tentu, kebijakan dan kemauan yang kuat dari manusia (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) ikut berperan.

86


Kurang apa Kota Palu dibanding kota karang yang ada di Filipina tersebut? Kota ini punya semua, mulai dari bentang alam, gunung, sungai, dan laut. Kota Palu juga punya curahan surya berlimpah sebagai elemen penting dalam proses fotosintesis tanaman untuk produksi karbohidrat pembentuk gula. Inilah sebabnya, mengapa buah-buahan yang diproduksi di lembah ini amat manis rasanya. Dahulu, kota lembah ini merupakan kota kebun bernuansa ekologis. Buktinya, hampir semua kampung bernama tanaman dalam sebutan Bahasa Indonesia dan bahasa lokal. Sebutlah beberapa contoh seperti Bumi Nyiur, Bumi Sagu, Taipa (mangga), Kamonji (sukun), dan Talise (ketapang). Dengan potensi ini, kita seolah tidak punya alasan untuk memiliki orang miskin dibanding kota karang yang miskin hara tapi sejahtera seperti kisah di Filipina itu.

Beberapa komoditi yang pernah berjaya di kota Palu dan menjadi sumber ekonomi masyarakat setempat, bahkan terkenal dengan label Palu di belakangnya. Komoditas tersebut antara lain Jeruk Palu, Mangga Palu, Nangka Palu, Serikaya Palu, dan Anggur Palu. Di era 80an, anggur tersebut menghiasi hampir seluruh pekarangan rumah tangga masyarakat Palu. Pohon Sagu sebagai komoditas pangan yang berfungsi dalam ekosistem sebagai penjaga daur hidrologi, juga menjadi komoditas penciri kota. Di banyak tempat yang ada pohon sagunya, masyarakat menjadikannya sebagai tempat mandi, cuci, dan bahkan sebagai sumber air minum. Saat ini, tinggal ada beberapa rumpun yang boleh

87


jadi, itulah rumpun yang penghabisan. Beberapa komoditas yang lain pun mulai hilang untuk tidak menyebutnya punah. Di saat bersamaan, alih fungsi lahan berlangsung progresif, seiring dengan tergusurnya pemilik asli akibat desakan ekonomi. Beton, jalan dan bangunan mengambil alih ruang yang sebelumnya didominasi oleh vegetasi. Padahal, itulah pelunak iklim mikro yang sangat alamiah di kota lembah yang terkenal panas dengan curah hujan kurang dari 1000 mm per tahun ini. Begitulah keniscayaan dari perkembangan kota Palu yang kini telah memasuki kategori kota menengah dengan jumlah penduduk di atas 500 ribu jiwa. Bila tidak diantisipasi, tren ini akan terus berlangsung dengan akselerasi yang lebih cepat. Atau, dengan daya

rusak yang semakin besar dalam dimensi waktu yang semakin singkat. Bagaikan laron yang mengerumuni lampu pijar, patut diakui bahwa perkembangan Kota Palu yang pesat menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini mengundang masuknya para pihak untuk tinggal, bekerja, dan atau menanam modal. Mereka (kaum muhajirin) tersebut, menurut hukum alam pasti atau biasanya memiliki modal yang lebih kuat dan atau spirit juang yang lebih tinggi untuk bertahan hidup (survive). Mereka pastilah sudah siap bertahan di kota yang umumnya berkarakter jasa dan perdagangan. Kota dengan karakter tersebut akan menjadi

88


pusat pertumbuhan dengan serapan konsumsi dan persaingan yang tinggi. Masyarakat lokal yang tidak sanggup berdaptasi pada perubahan tersebut akan dengan mudah melego aset hidupnya. Rumah dan lahan dalam kota maupun di luar kota akan beralih status kepemilikan. Sayangnya, ditenggarai modal yang lahir dari proses transaksi ini habis untuk kepentingan konsumtif. Kabarnya, ada penduduk lokal berpindah domisili ke perumahan BTN setelah menjual rumah dan tanah miliknya. Bahkan, terdapat kasus di mana mereka tidak mampu membeli atau menyicil BTN dan akhirnya pindah ke tempat kost. Terlepas dari insiatif pemerintah membangun Rusunawa dan sejenisnya untuk meringankan beban rakyat. Namun, proses peralihan tersebut harus dicatat sebagai bom sosiologis yang sewaktu-waktu sumbunya berasap dan siap memproduksi ledakan sosial (social explotion) atas nama kecemburuan sosial. Belajar dari kota karang yang ada di Filipina, sesungguhnya Kota Palu lebih beruntung karena selain bentang alamnya, kota ini juga masih menyimpan potensi lahan pertanian dan peternakan di kawasan pinggiran. Sawah irigasi, ladang bawang merah dan kacang tanah masih tumbuh subur. Sapi, kambing dan domba, juga masih berkeliaran dan dipandu Sang Gembala. Bahkan, domba Palu termasuk salah satu domba endemik (satu satunya atau unik) yang dimiliki Indonesia. Sayang, lokasi pengembalaannya kian lama kian berkurang dan terus menciut. Prosesnya bersamaan dengan lepasnya status kepemilikan pada para pengusaha atau masyarakat umum, diikuti dengan makin menyusutnya jumlah ternak lokal tersebut. Apriori, bisa dipastikan meskipun tidak lagi 100 porsen, aset produksi di kawasan penggiran kota masih dimiliki masyarakat lokal. Dan karena itu maka, ke sanalah pemberdayaan diarahkan. Jangan biarkan masyarakat pinggiran ini beralih sekonyong-konyong ke dunia jasa dengan cara melepas aset produksi, padahal mereka akan kalah bersaing lantaran tidak siap. Untuk itu, perlu revitalisasi atau penguatan sektor pertanian pinggiran kota (agriculture periurban) termasuk di pegunungan (up land). Informasi tentang banyaknya petani pinggiran (hinterland) beralih profesi menjadi pemulung dan tukang ojek hingga peminta-minta, harus segera diakhiri. Kabar tentang adanya petani pinggiran kota yang memanen cabe dengan cara mencabut pohon cabe adalah bukti lemahnya pembinaan. Berita bahwa mereka ditolak di dunia kerja lantaran memiliki daya nalar rendah karena berpendidikan tidak memadai, harus diantisipasi. Ke depan, berbagai upaya masih harus dilakukan secara sistimatis dan sebaiknya diinisiasi oleh pemerintah pada tahap awal. Mulai dengan menginventarisir data potensi sumber daya. Gairahkan dunia penyuluhan dan dorong para penyuluh untuk menggerakan ekonomi pertanian pinggiran. Di sanalah bermukim banyak

89


kaum marjinal. Bila mereka ini berdaya, mereka menjadi produsen pemasok bahan pangan, buah- buahan, dan sayuran bagi kawasan pusat kota yang sedang tumbuh pesat. Sarana dan prasarana produksi diperhatikan untuk mendukung pertanian ramah lingkungan sehingga dapat memasok bahan baku untuk rumah tangga maupun industri. Terjalinlah relasi hulu-hilir di mana kota sebagai mesin pertumbuhan, konsumsinya disokong daerah belakang (hinterland) secara lestari dan berkelanjutan. Perkuat juga sektor tengah yaitu UMKM yang dapat berfungsi mentransformasikan bahan baku menjadi bahan jadi dengan nilai tambah ekonomi. Makanan ringan yang menguasai pangsa pasar Kota Palu saat ini, sebagai contoh, umumnya (80 persen) dipasok dari luar. Padahal, bahan bakunya berlimpah tersedia di sini. Dorong perubahan pola pikir (mindset) sampai mereka benar-benar layak menerima bantuan peralatan dan modal kerja. Perkuat perusahaan daerah untuk mengambil peran penyokong atau penghubung yang efektif dengan dunia perbankan. Di sektor pendidikan, dorong anak-anak mereka memasuki dunia edukasi berbasis keterampilan (SMK dan diploma) yang lebih mungkin untuk diserap lebih cepat di dunia kerja atau bahkan mempu membuka lapangan kerja. Sekolah-sekolah SMK yang berjalur linear hingga ke Sekolah Tinggi, Politeknik, dan Akademi harus mendapat perhatian afirmatif untuk penyelamatan generasi. Melalui program CSR, dunia usaha perlu membuka diri untuk proyek kolaborasi secara terintegrasi. Hal yang berkait dengan pendidikan ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Karena ketika generasi berganti, kesejahteran telah menanti. Bukan kemiskinan diwariskan karena generasi tidak disiapkan dengan pendidkkan dan keterampilan yang memadai. Akhirnya, Rusdi Mastura dan Andi Mulhanan Tombolotutu telah beriktiar dengan berbagai model, mulai dari “Peduli Dhuafa hingga Zero Poverty�, tapi kerja belum selesai. Masih banyak hal yang perlu ditindaklanjuti secara berkualitas. Oleh karena itu, semua elemen arus bertanggung jawab dan mau mengambil peran. Partisipasi publik secara luas harus didorong secara sistimatis dan terus menerus, termasuk dalam hal ini kaum miskin dan kelompok penyandang disabilitas (cacat), anak-anak, dan orang tua. Para pekerja sosial, fasilitator masyarakat, dan atau penyuluh lapangan perlu ditempatkan pada posisi yang strategis sebagai penggerak masyarakat. Mereka harus diberi ruang dan atau menciptakan ruang agar masyarakat dan pemerintah tidak kehilangan partner. Pemerintahan dengan aparatur yang responsif dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, harus diciptakan. Dukungan dunia usaha dan kaum ilmuwan juga harus terasa kehadirannya secara kongkrit. Mengapa ? Karena, sendiri kita hanyalah setetes air, tapi bersama kita akan bisa menciptakan lautan. “Individually we are just a drop, but together we can make an ocean�.

90


TIM PENYUSUN Husin Alwi, ST Ibnu Mundzir, SP. M.Eng I Ketut Sucipta, SH Dr. Ir. Mohd. Nur Sangadji, DEA Moh. Ahlis Djirimu, SE, DEA, Ph.D M. Isnaeni Ruslan Sangadji Sudaryano Lamangkona, M.Si Sudirman K. Udja Drs. Tasrif Siara

91


92


93


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.