Bunga mawar kuning tercinta

Page 1


Bunga Mawar Kuning Tercinta Oleh: Basuki Soedjatmiko Novel ini pernah diterbitkan pada tahun 1978.

Tepuk tangan hadiri yang penuh sesak itu berlangsung lama ketika Nancy yang penyair itu selesai membacakan sajaknya yang diberi berjudul : The Lovely Yellow Rose Ia membawakan begitu anggun dan Basri yang duduk dideretan paling belakang itu sempat memperhatikan hadirin terpukau ketika sang penyair sampai pada baitnya She opened her eyes She was a little moved She looked at me gloomily I looked back at her Slowly I kissed her forehead “I love you dearie,” I said. “I do, too, sweetheart,” she breathed. The Lovely yellow rose was the eyewitness. Ketika hadirin satu persatu mulai meninggalkan tempat, karena acara pembacaan puisi oleh Nancy sudah selesai, Basri masih susuk membuka lembaran buku acara. Disana dibacanya secara tellilti keterangan tentang pribadi Nancy, sang penyair. Nancy, di lahirkan di pekalongan tanggal 21 September 1955….. Ketika ia hendak membaca lebih lanjut dilihatnya Nancy mengemasi map yang berisi lembaran2 puisinya. Basri segera beranjak dari tempat duduknya. Betul juga. Nancy segera hendak meninggalkan ruangan itu. “Nona Nancy,” panggilnya. Yang dipanggil menghentikan langkahnya menengok sejenak, lalu tersenyum sambil mengangguk. “Anda tentu, Basri, bukan? Terimakasih untuk kehadiran anda,” katanya sambil mengulurkan tanganya “Anda tahu nama saya?” tanya Basri terkejut. “Tadi seorang rekan penyair mengatakan bahwa yang duduk dibelakang adalah Basri Siregar, pengkritik seni yang paling terkenal dikota ini. Sampai gemetar membawakan puisi saya ketika tahu anda hadir. Namun demikian kehadiran anda merupakan kehormatan besar bagi saya……” Basri tertawa pendengar pujian itu. “Anda ada2 saja. Ada waktu kalau kita omong-omong?” tanyanya. “Anda ingin mengadakan wawancara?’’, tanya Nancy.“Kita sebut saja cuma sekedar omongomong. Wawancara terlalu keren kedengarannya.” Anda ada waktu?” desak Basri. “Bagimana kalau kita omong2 ditempat lain sambil minum?” “Anda yang traktir?” 1


“Oklah,, tapi jangan anggap traktiran itu sebagai pungli…” keduanya tertawa…. Basri, sebgai pengarang dan wartawan sudah banyak pengalaman. Sudah puluhan novelnya yang dibukukan dan ratusan essay yang ditulisnya. Mungkin pula sudah ribuan orang yang diwawancaainya selama sepuluh tahun pengalaman didunia surat kabar. Tapi berhadapan dengan penyair satu ini, ada rasa lain daidalam hatinya. Katakan perasaan suka pada pandangan pertma. Mungkin juga kesederhanaan Nancy yang menarik perhatiannya. Atau mungkinjuga Nancy adalah identik dengan tokoh wanita dalam ceritanya yang paling baru: Sepatu Tua Seorang Perjurit. Semula Nancy ingin mengajaknya minum dikedai dekat gedung pertemuan itu. Namun Basri mengajaknya kelapangan kotamadya. “Bakwan disana, enak,” katanya. “Ada yang jual kikil?.” tanya Nancy seraya memperhatikan Basri menstart scooternya. “Mungkin ada. Tapi percayalah, bakwan disana enak betul. Aku yang traktir dan kau yang traktir es campurnya.” Dalam sekejap mereka tidak sudah meras asing lagi. Rasanya sebagai dua sahabat yang sudah lama bertemu dan berkenalan. Dilapangan dekat pompa bensin Basri menghentikan kendaraannya. Ia segera menuju kerombong bakwan yang sudah jadi langgananya. Perempuan muda yang penjual bakwan menyambut Basri dengan ramah. “Sekarang aku tahu mengapa anda datang kesini,” ujar Nancy, O.K.?” “O.K.” Dua porsi bakwan yang sudah di pesan cepat terhidangkandimuka mereka dan es campur yang dipesan juga sudah datang. Di luar dugaan Basri, Nancy makan dengan lahapnya. Gadis ini segera memesan seporsi lagi…dan ….seporsi lagi. “Makanmu banyak,” kata Basri heran. “Ini karena kau yang bayar. Kau tahu, duit honorium baca puisi cuma sepuluh ribu. Itupun untuk keperluan lain. Yang sisa sekarang cuma ratusan logam dua buah ini,” lalu Nancy mengeluarkan dua keping logam dari saku gaunnya. Basri tersenyum. Ditatapnya gadis yang duduk di mukanya. Tidak begitu cantik sebagai seorang perempuan tetapi tetap menyenangkan untuk dipandang. Wajah itu serasa tersenyum terus menerus. “OK sekarang kau boleh tanya apa saja. Kalau perut kenyang, sampai jamberapa saja aku kuat bergadang”’ ujar Nancy seraya mengusap usap kedua belah tangannya. “Thank you untuk traktiranmu ini. Nikmat sekali. Kau betul, bakwan disini memang enak ….,” sambungnya. Keduanya tersenyum. Basri mengajak Nancy untuk duduk di dekat air mancur yang sudah tidak memencurkan airnya lagi. Scooter dititipkan kepada perempuan penjual bakkwan yang memandangi kepergian mereka berdua mungkin penuh dengan perasaan iri alam hati. “Mengapa kau bawakan puisi2mu dalam bahasa Inggris,” tanya Basri ketika mereka berdua duduk diatas rumput dekat air mancur. “Semua orang bertanya demikian. Aku memang lebih mampu membuat sajak dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia.” “Mengapa? Apakah bahasa kita miskin?” “Entahlah, Tapi serasa dalam bahasa Inggris, apa yang ingin kutuangkan lebih dapat diresapkan.” “Siapa bilang?” “Apa yang kau maksud?” “Siapa bilang kalau kita mengungkapkan sesuatu lebih dapat dirasakan kalau diungkapkan dalam bahasa Inggris. Aku kira dalam bahas Indonesia ia akan lebih indah…..” 2


“Aku tak mampu.” “Apa semua sajak2mu dalam bahasa Inggris?” “Ya.” “Coba lihat yang tadi itu.” “Yang mana.” “Tentang bunga mawar kuning itu.” “Oh tentang The Lovely Yellow Rose?” “Ya.” Nancy lalu membuka mapnya, mengeluarkan lembaran kertas yang berisikan sajak yang dimaksud. Diberikan itu kepada Basri. “The lovely yellow Rose,” gumam Basri lalu katanya: “Apa salahnya kalau ia diberi judul : Bunga Mawar Kuning Tercinta. Lalu sambungnya: “She stood in a bedroom corner -Getting dressed I Helped pull up the zipper Mengapa kita tidak mengatakan : Ia berdiri disudut kamar -berpakaian aku bantu menarik naik ritsluitingnya lalu : Then I kissed here nape While whispering “Dearie….. Close your eyes, I’ ve got a present for you kita jadikan : Lalu kau cium bulu kuduknya seraya berbisik: “Sayang Pejamkan matamu, aku ada hadiah untukmu….” Apakah itu kurang bisa mengetengahkan apa yang kau maksud? Aku justru beranggapan bahwa ungkapan yang dalam bahasa Indonesia lebih kena…” “Teruskan.” Basri memandang heran. Tapi Nancy tak pernah sadar bahwa nada suaranya yang terakhir itu bernada memerintah. “Teruskan apa?” tanya Basri. “Teruskan kau terjemahkan sajak itu….” “She closed her eyes And bent submissively -I Turned her body I brought the yellow rose in my hand Close to her face…. Kita jadikan : Ia memejamkan matanya menunduk pasrah -ku balik tubuhnya Bunga mawar kuning yang kubawa kudekatkan ke wajahnya 3


Then I Wishpered again : “Dearie, Take this My love to you menjadi: Aku lalu berbisik lagi: “Sayang” terimalah ini, tanda cintaku padamu….. Coba kau perhatikan : Take this , my love to you bukanlah lebih kena kalau kita ungkapkan dalam bahasa kita sendiri: Terimalah ini, tanda cintaku padamu…” Nancy tak memberikan reaksi. Hanya tanpa sadar ia berkata: “Teruskan” Lagi sekali Basri menatap wajah gadis ini yang memandang jauh kedepan. “She openedher eyes She was a little moved She looked at me gloomily Ilooked back at her Slowly Ikissed her forehead “I love you, diarie,” I said. “I do, too, sweethert,” she breathed The lovely yellow rose was the eyewitness…. Ia membuka matanya Ada secercah tanda haru dikalbunya Ia memandangku dengan sayu Aku balas menatapnya Perlahan kukecup keningnya “Aku cinta padamu, sayang,” kataku. “Aku juga, sayang, desisnya. Bunga mawar kuning tercinta jadi saksi….” Keduanya membisu. Basri sendiri terbawa oleh keindahan sajak itu. Terlalu sentimentil. Ia ingin mengetahui lebih lanjut tentang latar belakang penulisan itu. “Apa yang ingi kau ceritakan,” tanyanya. “Hem,” tiba2 saja Nancy menengoknya terkejut. “Apa sesungguhnya yang ingin kau ceritakan lewat sajak itu?” “Oh, itu. Cuma cerita tentang laki perempuan. Hidup kebersamaan menurut hematku bukan cuma asal keduanya sama2 puas. Saling bergelut dan saling berpeluh. Hidup kebersamaan bukan yang rutine. Selesai berbuat demikian yang perempuan berdiri, memakai pakaianya dan yang laki2 membalik mendengkur kecapaian. Mengapa tidak ada segi romantisnya yang lain seperti yang kutulis. Hidup kebersamaan menurut hematku lebih dari itu. Ada yang indah didalamnya, yakni cinta. Bukan cuma sekedar bertemunya dua badan…..” “Kau sudah bersuami?” “Pacarpun aku belum punya. Aku sebenarnya seorang pelukis. Namun rasanya aku lebih berhasil mengungkapkan lewat bait2 sajak. Aku menulis berdasarkan pengalaman istri2, perempuan2 yang bercerita tentang kebersamaan yang mereka alami secara rutine dan membosankan setelah keduanya jadi suami istri. Mungkin kau betul. Sajakku menjadi tambah indah ketika kau terjemahkan. Tapi aku tak mungkin mampu mengungkapkannya seindah apa yang kau ungkapkan tadi. Mengapa kau sendiri tidak menulis sajak, Basri. kau pasti mampu membuat sajak yang hebat2…” 4


“Dulu akupun menulis sajak. Tapi dengan sajak kita tudak bisa hidup. Sajak tadi tidak bisa dijual di Indonesia. Aku lalu beralih menjadi pengarang dan wartawan. Orang harus hidup dan untuk itu perlu duit dan untuk mendapatkan duit orang orang tak bisa berkreasi semaunya tapi harus berkreasi apa yang laku… Mengapa kamu tak mampu mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia?” “Sepuluh tahun aku di Amerika. Aku menghayati kehidupan disana. Aku berpikir seperti orang sana. Sebuah sajak disana bis alaku 50 dollar. Aku sudah biasa mengungkapkannya dalam bahasa asing. Disini, sebuah penerbitan pernah memberikan cuma 500 rupiah untuk sebuah sajak….” “Itulah sebabnya kukatakan tadi, sajak tak laku di Indonesia. Di jadikan bukupun lakunya payah.” “Sekalipun itu karya Rendra?” “Ya. Buku Rendra laku di luar negeri, laris tapi disini kembang kempis. Orang kadang membeli buku sajak2 nya Rendra bukan karena sajak2nya itu baik, tapi karena nama Rendra sendiri.” Nancy cuma manggut. Ia serasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Selama tiga tahun kembali di Indonesia ia mengalami kebenaran apa yang diucapkan Basri. Itu dulu juga sudah didengarnya di Amerika ketika ia menyatakan diri hendak pulang ke Indonesia. Seniman tak bisa hidup di Indonesia. Dulu ia tak mau percaya. Ia ingin berada ditengah rakyatnya sendiri. Seniman adalah bagian dari rakyatnya dan ia harus bisa hidup. Tapi apa yang hendak diungkapkan, tak mampu diungkapkan lewat goresan2 cat2nya diatas kanvas. Ia lebih mampu lewat bait2 sajaknya. Dua tahun ia tak pernah menghasilkan sebuah lukisanpun. Puluhan sajak lahir sebagai gantinya. Namun apa yang ia dapat dari puluhan sajak2 itu? Uang tabungan hasil lukisan tiap bulan tambah menipis sehingga akhirnya ia cuma mampu hidup dari hasil ceramah sana, ceramah sini, diskusi sana, diskusi sini, baca puisi sana, baca puisi disini, Bukan hidup dari hasil karyanya sendiri, tapi hidup dari hasil bicara tentang karyanya. Suatu ironi dalam kehidupannya sebagai seorang seniwati. Ini untuk pertama kalinya ia berhadapan pula dengan seorang seniman. Seorang pengarang, wartawan yang punya nama. Ia tadi sudah gemetar ketika orang mengatakan Basri Siregar hadir dalam pembacaan puisinya. Ia cuma mengenalri Siregar sebagai seorang pengarang. Untuk berterus terang, tidak satu novelpun yang dibacanya. Tak pernah terpikirkan bahwa Basri yang sudah punya nama besar adalah seorang laki2 yang menyenangkan. Masih muda lagi. Tiba2 lewat pengeras suara terdengar pengumuman yang meminta agar orang2 yang berada didalam halaman kotamadya keluar karena sudah larut malam. Basri menengok arlojinya. Persis jam 11 malam. Tak terasa waktu berjalan begini cepat. “Dimana kau bermalam?” tanyanya. “Aku segera pulang ke Malang malam ini juga….” “Malam ini juga?” “Ya. Ada bis aku naik bis. Ada colt naik colt, ada trukpun aku naik truk. Kau tahu Basri, aku pernah naik truk dari Denpasar sampai Surabaya…..” ujar Nancy tersenyum. “Kau bermalamlah di Surabaya malam ini?” “Kau gila. Tadi aku sudah bilang, uangku cuma tinggal sepuluh ribu dan dua ratus rupiah yang sudah habis untuk bayar es campur. Yang sepuluh ribu ini guna keperluan tersendiri. Antarkan saja aku ke terminal….” “Kau menginaplah ditempatku kalau kau tak keberatan” “Bermalam di tempatmu? Apa kata istrimu nanti? Aku tinggal sendirian? Sendirian?” “Ya.” “Kau belum beristri?” “Ayolah kita pulang….”

5


Sampai ditempat tinggal Basri dijalan Perak Timur, Basri segera mengeluarkan kunci pavilyun rumah yan disewanya dan di huninya sendirian. Pavilyun itu cuma terdiri dari dari dua ruangan. Sebuah ruang tamu merangkap ruang makan dan sebuah lagi kamar tidur yang tak ada tempat tidurnya. Cuma sebuah kasur, tergelar, bantal dan guling. Dua buah mesin tik ada di samping kasur itu. Di situlah Basri beristirahat da bekerja. Macam-macam buku berserakan diatas kasur dan diluarnya. “Maafkan tempatku tak karuan,” ujar Basri seraya mengambil gitar yang tergolek di lantai, di tengah jalan menuju kamar mandi. Di atas rak buku, satu-satunya tempat yang paling teratur dalam ruangan itu terletak hasil karya Basri yang sudah dibukukan. Nancy menghitungya. Semuanya dua puluh delapan buku saku. “Banyak benar yang sudah kau hasilkan,” ujarnya kemudian . “Ah, jumlahnya tak sebanyak yang kau hitung. Itu termasuk yang cetak ulang sampai lima kali. Total jendral baru dua puluh yang aku hasilkan, dan yangg satu ini belum selesai-selesai juga…,” jawab Basri seraya mengemasi kertas-kertas tiknya. “Biarkan saja disana. Aku tidur diluar, di kursi ujar Nancy. “Kita tidur bersama di sini. Apakah kau takut aku perkosa?” Basri kemudian membuka lemari pakaiannya. Mengambil piyama dan baju. “Kau pakailah untuk malam ini,” katanya seraya menyerahkan piyama dan baju itu pada Nancy. “Mandilah dulu,” katanya lagi. Seperti seorang anak yang penurut, Nancy mengiayakan kata-kata Basri. Ia beranjak menuju ke kamar mandi, dan menghidupkan lampu. Selesai menyiramkan siraman air yang terakhir ia berteriak: “Kau punya handuk, Basri?” Basri yang masih sibuk mengemasi tempat tidur segera mengambil handuk dan melemparkan ke tangan Nancy yang di ulurkan keluar. Ketika gadis itu keluar ia tertegun. Wajah itu sekarang nampak segar dan polos. Ia nampaknya jadi lucu dalam semua pakaian kebesaran. “Kau istirahatlah dulu,” kata Basri kemudian seraya melemparkan bantal guling ke sudut kasur di lantai. “OK,” jawab Nancy seraya mengikat rambutnya dengan gelang karet yang di dapatnya di tepi kasur. Ia segera merebahkan diri diatas kasur itu. Telentang seraya menyilangkan kedua belah tangannya sebagai alas kepala diatas bantalnya. Ia lalu bergumam sendiri : The lovely yellow Rose, bunga mawar kuning tercinta….hem…boleh juga. Bunga Mawar Kuning Tercinta. Tiba-tiba ia bangkit kembali. Mengambil map yang tadi diletakkan di muka, di ruang tamu. Diambilnya lembaran kertas yang ada sajaknya yang berjudul : The Lovely Yellow Rose. Kemudian di ambilnya sehelai kertas tik. Dicobanya mengingat semua terjemahan sajaknya yang tadi dilakukan Basri. Dua sampai tiga kali ia mencoba namun belum juga ia berhasil. Sampai keempat kalinya baru berhasil. Basri sendiri yang sudah ganti pakaian tidur, duduk disampingnya. “Begini bagus?” tanya Nancy. Basri menyambut kertas yang diulurkan kepadanya, membacanya sejenak lalu katanya: “Ya, begini kebih bagus, daripad bahasa Inggrisnya….” Ia lalu meletakkan kertas itu di atas kasur, merebahkan diri di sudut yang lain berbantalan selimut tebal warna merah. Nancy ikut merebahkan dirinya di tempatnya, terpisah setengah meter dari tubuh Basri yang terlentang. 6


“Kau hidup seorang diri di sini, Basri?” tanyanya. “Ya.” “Kau tak kesepian?” “Yang kau maksudkan?” “Apakah kau tak memerlukan wanita sebagai temanmu?” Basri tersenyum. “Maksudmu soal sex?” “Ya.” “Sex bagiku adalah kebutuhan, sama seperti aku butuh mengertik untuk bisa hidup. Kau sendiri?” “Mengapa kau tak kawin?” tanya Nancy mengelak pertanyaan Basri yang terakhir. “Aku tanya kau sendiri. Apa pendapatmu soal sex?” desak Basri. Nancy tak memberikan jawaban. Ia tak itahu apa yang harus dijawabnya. “Kau masih perawan?” tanya Basri kemudian. “Apa arti keperawanan pada saat ini. Apa arti perkawinan kalau kehidupan perkawinan itu sendiritidak membahagiakan kita. Sex bagiku bukan apa-apa, Basri. Aku jenuh melihat sex…..” “Aku cuma tanya, kau masih perawan?” “Ya…” “Sudahlah, mari kita tidur….” Basri lalu membalik membelakangi Nancy yang masih terbengong. “Selamat malam,” katanya “Selamat malam,” Nampaknya apa yang terjadi sekarang ini pada diri Nancy dan Basri seolah pada mimpi. Kejadianya terlalu cepat. Mereka berkenalan dalam suatu pembacaan puisi, lalu jadi akrab di taman dimuka kotamadya Surabaya dan kemudian tidur bersama. Ini nampaknya satu hal yang mustahil. Justru di sinilah uniknya dunia seniman itu. Mreka hidup dengan serba bebas, jauh dari sikap munafik. Apa yang mereka rasakan dalam hati begitu saja dikerjakan tanpa tedeng aling-aling lagi. Keperawanan itu sendiri penting artinya bagi Basri. Mungkin selama ini sudah terlalu sering jatuh dalam pelukan perempuan yang satu ke perempuan yang lainnnya. Tapi salah satu hal yang yang masih dijunjungnya tinggi yakni : Soal keprawanan. Ia tak ingin menodai seorang gadis yang masih perawan….. Tengah malam, ketika Basri terjaga dari tidurnya ia membalik dan memperhatikan gadis yang tidur nyenyak didekatnya. Napas yang turun naik dengan teratur dan bibir yang merah tanpa lipstik itu membuat ia jadi terharu. Perlahan ia duduk. Selimut merah tebal itu kemudian perlahan-lahan diselimutkan ke tubuh nancy. Kemudian ia merebahkan dirinya kembali tanpa beralaskan apa-apa di kepalanya…… Keesokan harinya keduanya terbangun ketika mendengar pintu dimuka diketuk. Nancy yang pertama kali bangun. Dilihatnya jam dinding sudah, menunjukkan pukul setengah delapan. Ketika melihat Basri masih tidur dan ketukan diluar masih terdengar ia segera menjagakan Basri. “Ada orang mengetuk……” “Biarkan,” jawab Basri yang rupanya masih ngantuk. “Kau bangunlah, ada yang mengetuk sejak tadi….” “Siapa?” “Mana aku tahu, kau bukakan, aku mandi dulu.”

7


Mau tak mau Basri bangkit menuju ke muka dan ketika gorden dibuka dilihatnya seorang wanita yang sudah terbiasa datang hampir setiap pagi ke rumahnya. Ia kemarin lupa melepaskan anak kunci pavilyunnya. Wanita itu segera masuk, menutup gorden kembali dan segera ia melingkarkan tanganya memeluk Basri. Mengecupnya dengan penuh kehangatan. Tapi ketika matanya beradu dengan setumpuk pakaian perempuan, ia segera melepaskan pelukannya lalu masuk kedalam. “Siapa di dalam?” tanyanya dengan nada cemburu. “Seorang sahabat yang kebetulan nginap semalam,” jawab Basri acuh. “Siapa dia?” “Perempuan. Tapi bukan seperti kau. Ia masih perawan!” jawab Basri kasar. Nyonya Santoso, namun perempuan itu nampaknya tidak tersinggung oleh jawaban Basri yang kasar. Ia cuma mendongkol ketika Basri mengemasi pakaian wanita itu dan membawanya ke kamar mandi. Mengetuk pintu dan mengulurkan pakaian itu kedalam. Nyonya Santoso sendiri sekarang mendongkol duduk di kursi tamu. Ketika dilihatnya Basri mendekat ia bertanya lagi: “Siapa dia?” “Ia seorang penyair yang kukenal kemarin, Ia terlambat untuk pulang ke Malang dan kuajak bermalam disini.” “Cantikkah dia?” “Kau lihat sendiri nanti.” Ada sebercik rasa cemburu pada hati perempuan yang satu ini. Ingin rasanya, seperti biasanya, ia menggeluti laki-laki itu dan kemudian menghempaskan dirinya setelah butirbutir keringat keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya. Tapi sekarang? Ia tak bisa segera berbuat demikian dan ia harus mampu menghadapi kenyataan bahwa ada perempuan lain dalam kamar laki-laki yang dicintainya itu. Di saat keduanya terbenam dalam khayal masing-masing, Nancy muncul dengan rambut yang disisir sekenanya dan wajahnya yang cerah habis mandi. “Maafkan aku menggangu’, lalu ia menghampiri nyonya Santosa, mengulurkan tangannya memberi salam perkenalan. “Nancy.” “Nyonya Santoso.” “Aku berangkat sekarang,” kata Nancy seraya memandang Basri. “Nanti saja sesudah kita makan pagi,” jawab Basri. “Biarlah nanti aku jajan diluar. Sekarang masih kenyang akibat makan bakwan semalam,” Lagi-lagi senyum manis menghias wajah Nancy. Senyum yang memperlihatkan kepolosan hatinya yang membuat wajahnya jadi cerah dan sedap dipandang mata. “Kalau kalau boleh aku pinjam uang seribu rupiah,” kata Nancy kepada Basri. Basri tahu mengapa Nancy mau meminjam duit. Ia tak menanyakan lagi unatuk apa. “Kau pakailah ini,” katanya kemudian setelah kembali dari kamar mengambil uang lima ribuan dari dalam lemarinya. “Aku cuma butuh seribu.” “Sudahlah kau pakai saja” “Aku cuma butuh seribu.” “Sudahlah kau pakai saja” “Aku cuma butuh seribu! Nanti sore aku ada ceramah di sebuah SMA swasta di Malang. Mungkin aku bisa dapat duit lagi. Bukan mungkin, pasti!” Basri cuma menggelengkan kepala. Ia kembali lagi ke kamar tidur mengambil uang seribu. “Satu kehormatan bagiku untuk bertemu dengan Kau,

8


Basri….,” ujar Nancy memandang wajah Basri, kemudian memandang wajah nyonya Santosa penuh arti. Ia sudah hendak keluar, tetapi kemudian kembali lagi untuk mengambil map dan kertas yang berisikan terjemahan sajaknya di atas kasur. “Kalau kau tiak keberatan tolong kau bubuhi namamu sebagai penterjemahan sajakku. Ini merupakan kehormatan bagiku bahwa seorang pengarang terkenal sudi menterjemahkan sajakku…” Basri tersenyum. Ia kembali kekamar tidurnya, mencari ballpoint dan kemudian membubuhkan namanya: Basri Siregar, di bawah sajak yang terjemahannya kemarin malam di ketik Nancy. “Terimakasih buat semuanya,” lalu dijabatnya tangan Basri dan nyonya Santosa yang duduk bengong melihat semua adegan keakraban itu. Basri mengantarkan di muka, memanggilakan sebuah becak langgananya yang beroprasi disekitar situ. Diberikanya becak seratus rupiah untuk membawa Nancy ke terminal bis kota. Ketika masuk kembali dan mengunci pintu pavilyunnya, Basri segera rebah kembali di atas kasurnya. Angan-angannya melayang jauh. Terasa kehadiran Nancy yang begitu singkat dalam hidupnya membekas dalam. Gadis itu sangat polos. Tiba-tiba ia merasakan kancing bajunya dibuka dan sebuah kecupan membara terasakan didadanya. Basri tersentak dari lamunanya ketika ciuman itu merayap terus ke lehernya. “Kau jangan tinggalkan aku, Basri,” desis perempuan itu. Basri diam membisu. Ia cuma membalas memeluknya, lalu keduanya bergumul jadi satu, saling berkulum lidah, meskipun Basri pagi jelas belum gosok gigi. ***

Hidup kebersamaan selesai dan ketika melihat perempuan itu tergolek lemas kepuasan, Basri teringat akan sajak Nancy: The Lovely Yellow Rose. Benar apa yang diutarakan penyiar itu. Cinta manusia sebenarnya bukanlah hanya terwujud pada hidup kebersamaan yang rutine seperti ini. Di mana sesedah peluj jadi satu dan kenikmatan tercapai lalu selesai. Titik. Mengapa tidak ada belaian mesra sesudah hidup kebersaman itu. Mengapa keduanya saling terkapar keletihan. Mengapa tidak ada segi romantisnya. Nancy mengutarakanya dengan persembahan sekuntum mawar kuning ketika sang lelaki melihat perempuan berpakaian. Alangkah romantisnya jika hidup bisa demikian. Alangkah tingginya nilai hidup kebersamaan jika bisa demikian. Tapi adakah manusia berbuat demikian seperti yang dikhayalkan seorang penyair? Angan-anganya menerawang jauh mengingat kembali perkenalannya dengan nyonya Santoso lima tahun yang lalu. Perempuan yang sekarang berusia 35 tahun ini dikenalnya di suatu pertunjukan drama untuk amal yang kebetulan memutuskan cerita yang diadopsi dari naskah novelnya yang sudah dibukukan. Ia sendiri waktu itu seorang pengarang yang karya-karyanya baru berhasil dibukukan dan laris. Tanpa terasakan, di pagi hari itu ada rasa keharuan dalam hati Basri. Hubungan kebersamaannya selama ini hanya berjalan begitu rutine. Mengakui kebenaran apa yang di tulis Nancy ia merasaka salah. Perempuan ini sudah terbiasa untuk tergolek begitu saja sampai sadar sendiri dari tidur yang lelap. Ia sekarang membalik memperhatikan tubuh terbujur lurus itu. Mata terpejam. Perlahan diraihnya selimut dan ditutupnya tubuh yang telanjang itu sebatas dada. Diciumnya kening perempuan itu dengan mesra. Terasa butiran keringat masih membasah di kening. Perempuan itu menggerakkan tubuhnya dan tangannya tiba-tiba saja memeluk laki-laki itu ketika dilihatnya laki-laki itu

9


berada disampingnya. Waktu membuka matanya ia merasakan ada yang mencium keningnya. Keduanys bergumulan lagi dan adegan yang baru saja berlangsung kini terjadi lagi……….

Dengan bis kota, Nancy berhasil sampai di Waru. Dari sana ia berusaha mendapatkan kendaraan lewat menyetop mobil preman yang lewat. Sebuah sedan dan yang ditumpangi laki perempuan , berbaik hati untuk berhenti melihat isyaratnya. “Bisa ikut ke Malang?” tanya Nancy tak lupa melempar senyum yang selalu menghias wajahnya yang polos. Laki-laki yang menyetir mobil menggelengkan kepala. “Kami hendak ke Jember,” katanya. “Maafkan,” jawab Nancy agak kecewa. Mimik wajahnya memperlihatkan kesedihannya. Orang ini suda begitu baik hati untuk berhenti, tapi sayang tujuan tidak sama. Perempuan yang duduk disebelah laki-laki itu, dan mereka nampaknya suami istri, segera berkata: “Ikutlah sampai Gempol’’. Nancy berfikir sejenak. Mungkin memangg lebih baik ia ikut sampai Gempol lalu dari sana ia bisa menyetop kendaraan lain. “Baiklah, terimakasih,” katanya seraya membuka pintu mobil setelah alat pengunci mobil ditarik oleh si lelaki. Ia duduk di sudut tak banyak bicara. Sedan itu melaju dengan cepatnya dan tak terasa, tak sampai serengah jam jembatan Porong terlewati dan Nancy turun di persimpangan jalan menuju ke arah Bangil. Kebetulan ada bia, ia segera ikut menuju ke Malang. Uang logam limapuluh diserahkan kepada kondektur tanpa meminta karcis. Pemraktekan satu kebudayaan yang jelek semestinya, tapi Nancy tak peduli. Duduk di bangku belakang, ia segera melayangkan pikirannya ke Nini, anak tetangganya di Malang yang paling manja padanya. Cacat, fisiknya. Sekarang ia mempunyai uang sepuluh ribu rupiah. Sekarang dapat membelikan boneka seperti yang diharapkan bocah cilik itu. Ah alangkah bahagia hati Nini jika ia datang membawa boneka, dan uang sepuluh ribu pastilah cukup.

Sampai di Malang, masuk di sebuah toko yang khusus menjual mainan, Nancy kecewa. Harga boneka yang besar semuanya di atas sepuluh ribu. Ingin rasanya ia menjual sajak-sajaknya, seandainya saja laku, kepada si pemilik toko. Tapi tidak! Untung ini ia masih punya harga diri. Ia tak mau menjual sajak-sajaknya, pada orang-orang yang tak mengerti. Kepada penjaga toko itu akhirnya ia minta ditemukan dengan pemilik toko. “Saya menyukai boneka yang bapak jual, tapi uang saya kurang. Dapatkah sisanya saya bayar sore nanti. Ah, jangan sore, malam nanti.” Pemilik toko itu tidak segera memberikan jawaban, cuma dipandangnya perempuan yang menurut pendapatnya aneh ini. “Boneka yang mana?” akhirnya ia bertanya. “Boneka beruang.” “Berapa harganya?” “Enambelas setengah ribu. Saya baru punya uang sepuluh ribu…” “Tanggungannya?” Pertanyaan itu menyentak hati nuranu Nancy. Mungkin ia agak tersinggung. 10


Tapi di depannya segera terbayang wajah bocah perempuan kecil yang cacat. Ia membayangkan betapa gembiranya bocah itu seandainya ia berhasil memberikan sebuah boneka beruang seperti yang sudah lama diimpikannya. Bocah itu sudah begitu lama mendambakan beruang2an, karena ia tak bisa membayangkan bagaimana rupa beruang seperti yang sering diceritakan ibu atau dirinya kalau sedang bercerita pada Nini. Ingat semuanya itu, ia tak jadi tersinggung dan senyum yang cerah kembali menghiasi wajahnya. “Seandainya saya jaminkan nama saya, bapak tokh tidak akan mau. Saya jaminkan harga diri saya pada bapak sampai malam nanti, bagaimana,� katanya dengan senyum manis tetap menghias wajahnya yang polos. Pemilik toko itu memperlihatkan wajah sinis. Namun akhirnya ia memperbolehkan juga, setelah mencatat dan nama dan alamat Nancy. Malam hari, waktu toko itu mau tutup dan Nancy benar-benar datang, pemilik toko itu tak bisa berkata-kata lagi. Ia menerima tambahan yang enam setengah ribu rupiah berupa selembar uang puluhan ribu. Akhirnya, entah kenapa apa, ia mengembalikan lima ribu. Nancy juga tak berkata apa-apa. Cuma senyum manis menghias wajahnya yang polos. Tiga hari setelah pembacaa sajaknya di Surabaya Nancy menerima surat dari Basri yang mengatakan bahwa tanggal 25 Basri akan datang ke Malang dan mengharapkan Nancy tak pergi ken mana-mana. Melihat tanggalan pada jam dinding Nancy sadar bahwa justru hari ini tanggal 25. Siang itu khusus ia bekerja keras untuk menjadikan pavilyun yang disewanya, yang lebih kecil dari pavilyun yang disewa Basri, bersih dan teratur. Segalanya di bersuhkan dengan bulu-bulu dikebutnya semua debu yang melekat pada buku-buku dan barang-barangnya. Ia nampaknya jadi kikuk dengan keadaan tempat tinggalnya. Biasanya ia serba masa bodoh. Persetan dengan kebersihan! Entah mengapa, menerima surat itu ia ingin rumahnya jadi bersih dan teratur. Ia kemudian berusaha memilih pakaiannyang terbaik. Biasanya untuk memberikan ceramah atau membaca sajaknya ia tak pernah memilih pakaian. Biasanya apa yang nampak di muka matanya itu yang dipakainya. Ia tak pernah memilih lagi. Tapi kali ini, entah mengapa menerima surat dari Basri, ia nampaknya ingin semuanya serba indah, termasuk dirinya. Satu cuma yang tidak terlintas alam pikirannya, yaitu bersolek. Untuk yang satu ini ia tak pernah memikirkan. Atau mungkin juga ia sudah lupa bahwa perwmpuan untuk nampak cantik harus bersolek biarpun sedikit. Syuku, alam telah membekali dirinya cukup sempurna. Bibirnya selalu berwarna merah, meskipun tidak pernah bersentuhan dengan lipstik. Juga pipinya bersemu merah kena hangat matahari kota Malang, dan haw pegunungan yang sejuk. Rambutnya yang dikepang dua membuat wajahnya yang selalu terhias senyum manis seperti anak2. Sepintas orang takkan menduga bahwa ia sebenarnya seorang seniwati yang mungkin belum populer di negerinya sendiri tetapi berkat buku-bukunya yang sudah diterbitkan, sangat terkenal sebagai seorang penyair di luar negeri. Tidak seperti biasanya, hatinya gelisah menunggu kedatangan Basri. Maukah Basri benar-benar berkunjung ke rumahnya? Maukah Basri benar-benar datang ke kotanya? Apakah Basri datang khusus untuk dirinya? Untuk menengoknya? Bermacam-macam pertanyaan timbul dalam alam pikirannya. Tiba-tiba saj ia tertawa sendirian. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berkaca sendiri sambil bergumam “Apakah aku jatuh cinta pada Basri?� 11


Serentak terlintas dalam bayangan kaca itu wajah cantik dari nyonya Santoso. Ia sudah bisa menebak 100% siapa nyonya Santoso itu. Mereka berdua pasti sudah akrab sejak lama. Apa sekarang ini yang ia miliki untuk bersaing dengan nyonya yang satu itu? Bentuk badan? Ah, bentuk badanya cuma tinggi semampai, tidak padat berisi seperti bentuk tubuh nyonya Santoso. Ia kemudian memegang jedua payudaranya yang kecil, yang sangat berbeda jauh dengan bentuk payudara nyonya Santoso yang menantang. Akhirnya Nancy cuma hanya bisa menggigit bibirnya. “Tidak!” jeritnya dalam hati,”Basri pasti tak datang. Ia pasti cuma mau menyenangkan hatiku saja. Apa arti diriku bagi Basri? Basri sebagai seniman besar sudah terbiasa dikelilingi perempuan-perempuan cantik.” “Bibi Nancy,” tiba-tiba teriak seorang bocah dari luar. Nancy segera berlari ke muka. Dilihatnya Nini dalam dukungan ibunya sedang membawa boneka beruangnya yang besar. “Oh, sayangku,” kata Nancy seraya mengambil bocah kecil itu dari dukungan ibunya. Dikecupnya pipi bocah yang montok itu. “Mama nakal,” kata Nini manja. “Ada apa sayang?” tanya Nancy Bu Hardjo, ibu Nini yang dosen sejarah di IKIP Malang segera memotong : “Coba Nan, setelah ia punya boneka ini, kemana saja dibawa. ke kamar mandipin dibawa dan kalau tidak boleh dia menangis. Coba kau katakan kalau boneka ini mahal” Nancy tersenyum oleh jawaban itu. ”Bapaknya bilang, boneka ini paling murah duapuluh ribu,” tukas bu Hardjo lagi. “Ah, tidak semahal itu, kak,” jawab Nancy. “Bibi tidak marah pada Nini, bukan?” tanya Nini manja. “Tentu tidak sayang. Bibi pasti tidak marah padamu. Kau anak baik. Dan karena kau anak baik, kau harus turut kata ibumu…….” Bocah itu berusaha mendapatkan boneka yang dipegang oleh ibunya. Nancy menurunkan bocah itu dari dukungannya, dan bermainlah bocah usia delapan tahun yang masih tidak bisas berjalan itu dengan mesranya. Boneka dicium, ditarik telinganya, didorong dengan segala keriangannya. Kedua perempuan itu kemudian berbincang dengan akrab. “Kudengar kau kembali ke Amerika,” tanya bu Hardjo. “Itulah sulitnya, kak. Aku bisa hidupn disini. Aku tak bisa berkarya disini. Bahasa Inggris masih menjadi bahasa elite, sedangkan aku tak bisa mencipta sajak dalam bahasa Indonesia,” “Mengapa? Kau fasih berbicara bahasa Indonesia. Kau orang Indonesia. Mestinya lebih dapat kau resapi penghayatan lewat bahasa itu dan bukan bahsa Inggris…..” “Kadang aku berfikir bahasa Indonesia agak miskin, Ada ungkapan-ungkapan yang tidak bisa tepat diutarakan dalam bahasa Indonesia, tetapi yang bisa aku ungkapkan lewlat bahasa Inggris.” “Bukankah sajakmu The Lovely Yellow Rose tetap baik setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Aku kira: Bunga Mawar Kuning Tercinta tidak kalah puitisnya….” Mendengar omongan itu Nancy segera teringat lagi pada Basri. “Tapi itu bukan aku yang menterjemahka,” jawabnya lirih. “Adakah sesuatu yang kau risaukan Nan?” tanya bu Hardjo. Perempuan ini memang banyak melihat perubahan pada diri Nancy, tetangga dan sahabatnya yang akrab sejak Nancy tinggal di pavilyun itu. Perubahan itu menyolok sekali sejak terakhir Nancy mengadakan pembacaan puisi di Surabaya tiga hari yang lalu. Gadis yang riang gembira itu sekarang sering dililhatnya termenung. “Adakah sesuatu yang menyakitkan hatimu?” tanya Bu Hardjo lagi. 12


Nancy menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba terdengar bunyi rem becak yang panjang. Hati Nancy berdebar. Ia masih sempat berdoa : “Oh, Tuhan, mudah-mudahan itu Basri,” Aneh, meskipun sudah jarang ia berdoa, doanya kali ini dikabulkan Tuhan. Basri turun dari becak dan Nancy segera berlari menyambutnya, lupa akan kehadiran bu Hardjo dan Nini. Ia melompat begitu saja sampai lupa memakai sandalnya. “Oh, Basri ! Aku kira kau tak datang. Sudah lama aku menunggu”’ katanya seraya memegang lengan Basri dengan kasih sayang. Perempuan bagaimanapun juga tidaklah akan mampu menutupi jika ia sedang jatuh cinta. Apa yang terjadi itu diamati diam-diam oleh bu Hardjo dan ia pun tersenyum. Ia segera mengambil anaknya yang bermain di lantai, mendukungnya lalu berpamit pulang tanpa Nancy sempat mengenalkan Basri kepadanya. ***

“Kau terima suratku?” tanya Basri seraya meletkkan kopernya yang besar di atas meja. “Kawanmu memang brengsek. Baru tadi pagi ia menyampaikan surat itu kepadaku” “Aku khawatir kau ke luar kota. Perempuan seperti kau ini sulit di duga di mana berada,” jawab Basri seraya membuka kopernya. Didalamnya yang di lihat Nancy cuma ada bungkusan plastik dan ketika ia mengetahui isinya ia berteriak kegirangan. Ternyata yang di bawa Basri dalam kopernya yang besar itu cuma dua kuntum bunga mawar kuning yang sedang mekar-mekarnya. “Ini ku persembahkan untukmu, sebagai penyair, dan aku seorang pengagummu,” ujar Basri seraya menyerahkan bunga-bunga itu. “Oh, terimakasih. Terimakasih Basri !” Nancy tak dapat berkata apa-apa lagi. Bunga itu didekapkan ke dadanya dengan tangan kirinya dan dengan tangan kananya ia memegang bahu Basri lalu tiba-tiba saja ia mengecup pipi laki-laki itu. Basri jadi bengong sesaat. Tapi setelah kesadarannya pulih ia segra menarik tubuh gadis dimukanya itu, didekapnya lalu diciumnya dengan sepuas hati. Yang terdengar cuma gumam Nancy yang kalang kabut : Hem…hem…hem sambil mengelengkan kepala berusaha untuk membebaskan diri dari pagutan ciuman Basri yang membara. Tapi akhirnya ia tak membantah lagi. Tanpa disadarinya bunga yang dipegangnya terjatuh dan ia melingkarkan tangannya ke bahu Basri. Kini keduanya berpagutan dengan mesra, melepas rasa rindu berpisah tiga hari yang penu kenang-kenangan. Puas melepas rasa rindu keduanya diam membisu. Basri duduk di kursi, menutup wajahnya dengan kedua tangannya seraya berkata : “Maafkan, maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat demikian.” “Kenapa, kenapa Basri?” ujar Nancy berlutut di depan Basri berusaha melepaskan telapak tangan yang menutup wajah laki-laki itu. “Mengapa kau meminta maaf?” tanyanya dengan penuh haru. Basri memandangnya dengan syahdu.

13


“Tidak Basri. Kau tak salah. Kalau ada diantara kita yang salah, maka yang bersalah adalah aku sendiri. Aku yang memulai mencium kau,” ujar Nancy kembali seraya merebahkan kepalanya ke pangkuan Basri. Basri mengusap rambutnya dengan sayang. Tiba-tiba saja basah mata laki-laki itu. Air mata menitik peralahan jatuh di rambut Nancy yang di kepang dua. Ada rasa haru dalan hatinya. Perasaan ini merupakan perasaan yang asing baginya. Biasanya wanita-wanita bersimpuh di hadapanya meratap memohon belasa kasihannya, agar di puasi napsu mereka. Sekarang ini keadaannya justru lain, secuilpun napsupun tak ada pada dirinya. Tak ada napsu untuk meniduri gadis yang bersimpuh dimukanya dan rambutnya ia belai dengan sayang. Ia takut kehilangan gadis ini. Untuk pertama kalinya sekaranh ini ia mengharapkan cinta kasih sepranh perempuan. Biasanya, perempuanlah yang mengharapkan cinta kasihnya. Untuk pertama kalinya sebagai lelaki ia sekarang ini betul-betul mengenal apa arti cinta itu yang sebenarnya. Dulunya, ia cuma sering menulis kisah2 cinta dalam novelnya. Cinta itu begini, cinta itu begitu. Sesudah mengalami sendiri baru tahu bahwa cinta itu adalah sesuatu yang lain daripada yang lain. Tak dapat diutarakan dengan kata-kata, hanya dapat dirasakan dalam hati. Satu cuma yang ia yakin kebenaranya bahwa cinta itu adalah sepahit empedu semanis madu. Ini ia rasakan sendiri selama tiga hari ini. Selama tiga hari ia terbenam dalam khayalalan sendiri. Tak sepotong kalimatpun yang dapat ditulis untuk meneruskan novel yang sudah lama terbengkelai. “Kau tahu hotel yang paling dekat dengan rumahmu ini?” tiba-tiba tanya Basri. Amboi, juga wajahnya penuh dengan air mata kebahagiaan. “Kau mau menginap di hotel?” “Seadanya saja, losmen juga boleh” “Seadanya?” “Ya” “Kalau demikian kau menginaplah di sini saja. Aku pernah menginap di rumahmu. Kau juga harus mau menginap di rumahku…… Ia lalu senyum lagi, justru senyum ini yang tidak bisa dilupakan Basri. Senyum yang tidak dibuat-buat. Senyum yang polos. “Di saat seperti sekarang ini aku bisa mencipta sebuah sajak,” katanya “Cobalah….” “Mau kau dengar?” Nancy kemudian memandang langit-langita rumah. Perlahan ia berkata: There are days full of bitterness There are days full of failures But, There are always days full of love At those moments the word looks beautiful Flowers seem to be blooming And Birds are call chirping

At such moments When two people meet Everything looks intimate

14


The touch of fingertips Is felt deep in the heart The touch of breath on the neck Makes the body limp At such moments When days are full of love And two people meet There is just one thing HAPPINESS Setelah mengucapkan sajaknya yang baru, yang muncul begitu saja karena kegembiraan hatinya, Nancy memandang wajah Basri tajam-tajam. Yang di pandang balas memandang. Dua pasang mata beradu pandang. Lalu keduanya tertawa sambil saling menggengam tangan. “Kau tulislah sajak itu biar tidak lupa,” ujar Basri dengan nada yang penuh kasih sayang. “Kau menterjemahkannya?” Basri mengangguk. Nancy segera berdiri, mengambil mesin tiknya dan ia segera mengetik setelah memasukan sehelai kertas. Apa yang tadi dibacanya diketiknya dengan cepat. Setelah selesai kertas itu segera dilepas. Sajak itu diberi judul : Days full of love. Menerima lembaran kertas itu Basri segera menuju ke tempat mesin ketik. Duduk dimukanya dan dan mulai mengetik. Dan dalam waktu yang singkat ia berhasil menterjemahkan sajak tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Bukan karena ia mahir dalam bahasa Inggris, melainkan karena mampu meresapi isi sajak yang sangat melankolis itu. Setelah selelsai disodorkannya kepada Nancy yang segera membacanya: Hari-hari penuh cinta. Ada hari-hari penuh kegetiran Ada hari-hari penuh kegagalan Tetapi, selalu ada hari-hari penuh cinta Disaat itu dunia nampak indah Bunga- bunga seolah mekar dan burung-burung berkicau semua. Pada saat saat seperti itu Jika dua insan bertemu semua nampak mesra Pada saat-saat seperti itu di mana hari-hari penuh cinta dan dua insan bertemu Yang ada cuma satu KEBAHAGIAAN Selesai membacakan sajak terjemahan itu Nancy jadi sangat bahagia. “Oh, basri, sajakku jadi amat indah di tanganmu. Terima kasih,” lalu ia memeluk Basri dengan penuh perasaan dan merebahkan kepalanya kedada Basri yang bidang. 15


Kau mau bukan bermalam di sini?” tiba-tiba ujar Nancy setelah keduanya hening sejenak. “Aku mungkin lama di kota ini, aku ingin menyelesaikan naskahku.” “Tambah lama kau disini, aku tambah senang. Mau, bukan? Cuma bagaimana dengan nyonya Santosomu?.” Pertanyaan itu sebenarnya biasa saja dan Nancy sama sekali tak ada maksud untuk menyakiti hati Basri. Hanya bagi Basri pertanyaan itu ibarat tombak yang menghujam ke ulu hatinya. Kenyataan itu memang merupakan noda hitam dalam penghidupannya dan itulah yang membuat hatinya risau selama tiga hari ini. Basri yakin bahwa Nancy sebagai seorang seniwati mengetahui apa makna kehadiran nyonya Santoso dipagi hari itu. Dari perkenalan yang sangat singkat ia mengetahui bahwa Nancy meskipun pernah hidup lama di Amerika tetapi tetap membatasi kebebasannya pada hal-hal yang positif. Nancy melihat kekecewaan hati Basri dengan pertanyaannya yang tidak disengaja itu. Ia merasa bersalah. “Mari aku kemasi pakaian-pakaianmu,” katanya akhirnya berusaha mengalihkan pembicaraan seraya membuka tas kecil yang tadi di bawa Basri. Koper tempat bunga mawar kuning itu ditutupnya lalu disimpan di dalam dan bunga mawar kuning itu diambilnya kembali, mengambil gelas minum, karena ia tak mempunyai tempat bunga, Basri masih termenung duduk. “Kita lupakan semuanya,” hibur Nancy mencoba menggembirakan Basri kembali, sambil duduk di sisi Basri. Basri mencoba semyum, tapi getir. “Kau menyesal karena hubunganku dengan nyonya Santoso?.” Tiba-tiba tanya Basri. “Mengapa aku harus menyesal. Aku baru mengenalmu tiga hari yang lalu. Sedang dengan nyonya Santoso kau tentunya sudah kenal lama. Apakah ia seorang janda?” “Tidak, ia masih bersuami dan mempunyai dua orang anak. Aku memang sudah mengenalnya sejak lama.” “Apakah kau mencintai perempuan itu?.” Di luar dugaan Nancy, Basri tidak marah mendengar pertanyaan itu. “Aku gembira kau mengajukan pertanyaan karena ia memberikan kesempatan bagiku untuk menjawabnya. “Katakan aku ini laki-laki yang buruk. Aku butuh pelampiasan sex untuk mampu menulis. Tanpa perempuan disekitarku aku tidak bisa menulis. Kepala ini terasa pusing. Selama ini silih berganti perempuan datang. Dalam prinsip hidupku, perempuan adalah mahluk yang cuma boleh dipandang indah dan dinikmati. Tidak pernah terpikirkan olehku untuk mencintai seorang perempuan. Tapi sejak aku mengenal kau, keadaanku menjadi lain. Memang, pada awalnya aku masih bisa lari pada perempuan lain, tapi selama tiga hari ini aku banyak menderita. Aku cuma ingin dekat dirimu. Tidak lebih dari itu. Aku merasakan kedamaian melihat senyummu….” “kau tidak ingin sama aku?” tanya Nancy menggoda. Basri diam. Sama sekali tidak ada keberaniannya untuk menggoda Nancy, entah apa sebabnya. “He, mengapa kau diam, karena aku jelek ya. Karena tidak montok seperti …….,” tapi sebelum ia menyelesaikan kalimatnya Basri menepuk-nepuk telapak tangannya. “Kau jangan menyakiti hatiku,” kata Basri perlahan. “Kita ini lucu ya. Jumpa tanpa ada orang yang memperkenalkan. Lalu tiba-tiba saja kita tidur sekasur tanpa terjadi apa-apa. Adakah orang yang percaya kau tidak berbuat apa-apa Basri?” “Kau sendiri, mengapa kau mau waktu kuajak bermalam di rumahku.” 16


“Aku sudah biasa. Aku bisa tidur di mana saja dan dengan siapa saja. Aku tidak pernah peduli apa kata orang. Yang penting adalah pertanggungan jawabku atas tingkah lakuku sendiri. Sex bagiku bukan satu tuntutan mutlak. Lain dengan kau….” “Lalu mengapa kau berani mengundangku untuk bermalam di tempatmu?” “Karena aku percaya kau, Basri. Kau seorang seniman dan aku sendiri menggolongkan diriku sebagai seniwati. Bagi kita ini apa artinya norma-norma susila kalu kita sendiri bersikaf munafik. Selama kita bersikap wajar, maka semuanya juga akan berjalan dengan wjar. Aku sering menginap di rumah teman laki-laki. Tapi aku tidak pernah menggoda mereka dan merekapun tidak berani menggoda diriku, ada batas antara laki-laki dan perempuan, selama masing-masing tidak memberi kesempatan, maka tidak akan tejadi apa-apa. Tapi sudahlah, mari kita bicara soal lain,”ujar Nancy.

Tiba-tiba muncul pembantu Bu Hardjo. Melihat kedatangannya Nancy segera menyambutnya di luar, karena dia sudah tahu apa maksud kedatangan pembantu rumah tangga bu Hardjo itu. Tak lain untuk mengajaknya makan malam. Persahabatnya dengan keluarga itu sudah sedemikian mendalamnya sehingga setiap siang dan malam hari ia selalu makan siang dan malam bersama mereka. Sebagai gantinya ia selalu menjaga Nini kalau kedua orang tuanya berangkat mengajar. Itulah sebabnya Nini lebih dekat kepada Nancy dari pada dengan ibunya sendiri. “Katakan kepada ibu, saya makan di luar sama tamu yang datang,” katanya. Si pembantu kemudian meminta diri dengan sopan. Sebelum Basri bertanya, Nancy menjelaskan : “Itu tadi pembantu rumah tangga ibu bersama anaknya yang ada disini ketika kau datang. Aku biasa makan malam di rumah mereka. Karena ada kau, maka aku kira kau akan traktir aku makan malam nanti?” “Marilah sekarang kita makan malam kalau ini sudah waktumu untuk makan malam?.” “Oh nanti saja, aku belum lapar.” Nancy kemudian bercerita banyak tntang keluarga Hardjo. Tentang anaknya yang cacat tak bisa jalan yang sangat manja kepadanya. “Jadi semua honormu kau belikan boneka untuknya?” tanya Basri. “Ya. Aku ingin membelikan boneka dengan uangku sendiri. Orang tuanya sudah terlalu memanjakan Nini. Tapi ia paling senang kalau aku yang membelikan sesuatu. Sudah sering ayah ibunya sendiri yang membelikan dikatakan aku sekedar agar ia lebih senang. Entah mengapa ia sangat dekat padaku.” “Kau mencintai Nini?.” “Ya. Kau sendiri pasti menyukainya kalau kau sudah mengenalny. Ia bocah yang lucu. Banyak sajak-sajak lahir diilhami kehadiranya. Ia cacat tetap riang gembira. Mungkin karena ia masih kecil. Aku mencoba untuk menjaga agar sifat itu menjadi wataknya sampai kelak ia jadi besar. Mungkin seluruh hidupnya kelak akan dilewatinya di atas kursi roda…… ***

Tiga hari sudah Basri ada di Malang. Selama itu mereka pergi menginap si Selecta, Songgoriti dan ke tempat rekreasi Wendit. Nampaknya sebagai dua sejoli yang saling mencinta. Bergandengan tangan dan berbicara sselalu hampir berbisik. Nancy banyak membuat sketsa. Di hari keempat ketika Basri menyatakan ingin kembali ke Surabaya mulailah awan gelap meliputi hati ke duanya. Orang yang mengenal Basri akan terkejut 17


seandainya mengetahui selama itu Nancy tetap Nancy yang dulu. Seperti waktu Nancy menginap di rumah Basri, keduanya tidur satu ranjang. Tapi tak ada keinginan hati Basri untuk meniduri gadis ini. Ia sudah merasa bahagia dapat berada di dekat gadis ini dan karenanya ketika ia hendak kembali ke Surabaya timbul rasa hampa dalam dirinya. Kosong ! “Kau ikutlah aku ke Surabaya,” pintanya pada Nancy. Gadis itu didekapnya dengan sayang. “Aku ingin dapat memenuhi ajakanmu, Basri, tapi aku tak dapat. Untuk sementara aku harus berada terus di kota ini demi Nini. Kau lihat sendiri betapa akrapnya dia padaku. Ia akan sangat kehilangan seorang sahabat jika aku meninggalkan bocah cacat seperti ia mempunyai perasaan yang amat peka. Jika ia tahu aku ke Surabaya karena kau, maka ia akan benci padamu. Biarlah aku di sini dulu. Kapan-kapan aku pasti ke Surabaya lagi.” “Janji?.” “Janji!.” “Kapan?” “Aku tak berani janji,” “Aku memerlukan kau, Nancy. Aku cinta padamu……” kata-kata terakhir yang merupakan kata-kata yang paling tidak asing dalam novel Basri: kini akhirnya keluar juga dari mulut Basri sendiri. Sejak lama ia ingin mengeluarkan kata-kata itu, tapi terus saja tersimpan dalam hatinya. “Aku banyak berfikir selama tiga hari ini, Basri,” kata Nancy perlahan. “Kau adalah laki-laki yang paling baik yang pernah kukenal. Katakan juga aku mencintaidirimu. Tapi kau adalah milik perempuan lain……” Dekapan pada gadis itu tiba-tiba dilepas Basri. Seperti yang pernah ku katakan padaku, sex bagimu merupakan satu kebutuhan yang sama pentingnya seperti kebutuhanmu untuk menulis. Aku sama sekali tidak salahkan kau.” “Itu dulu, Nancy. Dulu ketika aku belum mengenalmu. Tapi sejak aku mengenalmu, aku mengenal sesuatu yang lebih indah dari sex yakni cinta. Semula kukira apa yang kurasakan itu cuma sebuah ilusi belaka. Aku berusaha untuk mencari pelepasan pada perempuan lain. Mulanya memeang dapat,tapi kemudian aku tak mampu melakukan kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Aku tak mampu, karena aki selalu ingat pada bayang-bayangmu. Tiada ada gairah dalam diriku kepada perempuan lain. Satu keanehan, aku sudah merasa sangat bahagia kalau kita dekat bersama, berjalan bersama dan berbincang bersama. Aku jadi seperti anak muda yang sudah puas kalau begadang bersama tanpa melakukan hidup kebersamaan.” “Aku tahu semuanya itu Basri. Kau selama ini memperlakukan diriku sebagai bidadari. Kau tak berbuat lain kecuali menciumku dengan sayang …..” “Itu karena aku cinta padamu.” “Tapi dunia kita berbeda Basri. Aku memang seorang seniwati san kau seorang seniman. Tapi pandangan kita berbeda seni berlainan. Kau mencipta seperti mesin. Aku tidak. Aku mencipta sesuai dengan gejolak yang ada pada diriku….” “Tapi kita saling mencinta, bukan?” “Untuk berterus terang , ya. Tapi kau belum menyelami hidupku aku mengingini kebebasan dalam hidupku. Hidupku berkelana dari kota kekota dan hanya karena ada Nini aku meneatp di Malang ini. Ayahnya kukenal sewaktu ia study di Amerika kami kemudian bersahabat dan ketika ia tahu aku kembali ke Indonesia ia mengajakku tinggal di rumahnya. Aku menolak da sebagia gantinya aku sewa kamar di dekat rumahnya. Dengan anaknya aku kemudian bersahabat akrab. Aku menjaga dia kalau pagi kedua orang tuanya pergi mengajar…..” Nancy tahu bahw apa yang diutarakan itu merupakan peperangan dalam batinnya. Di satu pihak ia mengakui bahwa ia menyukai laki-laki ini, tetapi di lain pihak ia juga mengakui bahwa laki-laki ini adalah milik perempuan lain, sah atau tidak sah, resmi atau tidak resmi. 18


Sekilas pandang ia dulu dapat melihat kehadiran nyonya Santoso besar artinya bagi Basri dan rupanya juga Basri mencintai perempuan itu. Basri sendiri menyadari bahwa kehadiran nyonya Santoso merupakan rintangan baginya untuk mendapatkan cinta kasih Nancy. Selama tiga hari ia berkumpul sudah berusaha sedapatnya untuk menerangkan duduk perkaranya yang sebenarnya. Tapi ia juga bis menipu dirinya sendiri. Sebelum kehadiran Nancy, nyonya Santoso adalah segalanya baginya. Ia mengasihi, bahkan mungkin juga mencintai perempuan itu biarpun istri orang lain. Sekarang, tiba-tiba saja ia jatuh cinta pada seorang gadis. Mungkinkah dalam waktu yang singkat ini ia bisa menghapus kenangan lamanya? Kenangan yang bukan cuma setahun-dua tahun , tapi lima tahun lebih. Ia akhirnya tak hendak berbantah dengan Nancy mengenai persoalan itu. Ia segera mengalihkan ke persoalan lain. “Kau benar-benar berjanji untuk datang ke Surabaya lagi?” tanyanya. “Aku janji !” “Boleh aku menciumu sebagai tanda selamat tinggal?” tanyanya pula. Nancy tersenyum Ia segera mengulurkan tangannya memeluk Basri. “Oh. Basri, andai kita tidak perlu berpisah …,” bisiknya. “Kita seharusnya memang bisa tidak berpisah,” jawab Basri sambil mengecuo kening Nancy. Sesaat kemudian Basri meninggalkan rumah itu. Sepeninggal Basri, suasana terasa kosong di dalam hati Nancy. Tiba-tiba saja ia berlari ke tempat tidurnya. Melempar tubuhnya dan menangis terisak-isak. “Aku cinta padamu, Basri. Aku cinta padamu,” jerit hatinya. Jeritan itu tak mungkin didengar oleh Basri yang juga merasakn suatu kekosongan, duduk dalam becak seorang diri. Kosong dan hampa sekali ia rasakan dalam hatinya. Ia seolah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya…..’ ***

Nyonya Santoso memang mempunyai kunci pavilyun Basri. Hari itu hari keempat ia menunggu kedatangan Basri yang tak diketahui ke mana perginya. Surat-surat kabar dan majalah di mana Basri biasanya menulis didatangi untuk mencari keterangan di mana gerangan Basri berada. Namun demikian tak sebuah informasipun yang didapatnya. Semuanya tak ada yang tahu ke mana Basri pergi akhir-akhir ini. Nyonya Santoso biasanya datang pada pagi hari. Selama empat hari ini ia menunggu hingga sore. Hatinya berdetak keras ketika dilihatnya Basri turun dari Becak. Buku novel karangan Basri yang diambilnya dari rak buku, yang dibacanya untuk kesekian kalinya guna melewatkan sang waktu diletakkan di atas meja. Ia kemudain ke luar menyambut kedatangan Basri yang sama sekali tidak terkejut melihat kehadirannya. “Sudah lama kau di sini?” tanya Basri. Nyonya Santoso tidak memberikan jawaban, ia hanya memandang Basri dengan perasaan yang penuh tanda tanya. Apakah laki-laki ini marah padanya? Enam hari yang lalu ketika mereka hendak melakukan hidup kebersamaan, tiba-tiba Basri tak mempunyai kemampuan sama sekali. Ia waktu itu masih agak memaksa, meskipun pada akhirnya tokh juda Basri tak mampu melakukanny. Itu awal dari malapetaka yang menghantui hidup Basri. Kemarinnya ia masih mampu. Tapi hari itu dan keesokan harinya sama saja, Basri sama sekali tiak mempunyai kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai laki-laki. Saat itu pasa hari ke dua, nyonya Santoso mulai prihatin.

19


Namun di saat ia sedang prihatin, Basri meninggalkannya begitu saja dan baru pada hari keempat ini ia pulang. “Kau marah padaku Basri?” tanya nyonya Santoso. Basri menggelengkan kepalanya. “Mengapa kau pergi tanpa pamit?” tanya nyonya Santoso duduk di samping Basri. “Aaku capai. Kau janganlah bertanya soal yang tidak-tiak. Tak ada persoalan apa-apa antara kita.” Lalu Basri menuju ke kasurnya dan merebahkan dirinya untuk tidur. “Kau membaliklah biar aku kupijat,” Basri menurut dan ia mebalik. Nyonya Santoso menyuruhnya membalik lagi telentang. Ikat pinggang dilepas dan kancing celana Basri dibukanya dan dengan susah payah ia apat lepas celana panjang itu. “Nah kini membaliklah,” ujarnya seraya menepuk paha Basri dengan sayang. Ia kemudian memijat dengan sepenuh perasaanya. Basri merasakan kenikmatannya. Akhirnya mungkin karena letih nyonya Santoso merebahkan tubuhnya di atas punggung Basri. “Kau marah padaku?” bisik nyonya Santoso lirih. Basri yang hampir terlelap tidur cuma mendengus : “Hemmm,” lalu ia membalikan tubuhnya. Nyonya Santoso mendapatkan dirinya di sisi Basri, tertelungkup dengan siku tangan menopang kepalanya sambil memandang Basri dengan penuh rasa cinta. “Aku capai…..” áku menunggumu bukan karena sex, Basri. Aku sangat khawatir akan dirimu.belum pernah aku serisau beberapa hari ini: sejak kepergianmu yang tanpa pamit. Mau kau janji tidak akan pergi tanpa pamit lagi?” lalu dibelainya wajah Basri yang kasar ditumbuhi kumis yang rupanya tidak dicukur selama beberapa hari ini. “Aku sayang, padamu Basri,” kata nyonya Santoso kembali ketika melihat Basri tetap diam sambil memejamkan matanya. “Mau kau janji, Basri?” Basri akhirnya membuka matanya dan memandang nyonya Santoso dengan tatapan hampa. “Mengapa kau sekarang begini dingin padaku, Basri?” tanya nyonya Santoso mengiba. Ditanya begitu Basri tak tahu apa yang harus dijawabny. Bencikah ia pada perempuan ini? Atau cintakah ia padanya? Lalu terbayang kembali wajah Nancy yang sangat polos. Tibap-tiba saja wajah nyonya Santoso baginya seolah wajah Nancy dan tanpa terasa ia mengulurkan tangannya mendekap perempuan itu, merebahkan kepalanya di dadanya yang bidang. Cuma sejenak bayangan itu muncul kemudian hilang kembali. Ia merasakan kekosongan dalam hidupnya biarpun dipeluknya rebah seorang perempuan penuh kemesraan. Nyonya Santoso merasakan perubahan itu. Kehangatan pelukan Basri cuma dirasakan sejenak dan sambutanya kemudian dingin sekali. Apakah betul gadis yang dulu dijumpai bermalam di rumah Basri yang membuat laki-laki ini berubah? “Kau sudah tidak suka padaku karena kau mencintai gadis lain, Basri?” tanya nyonya Santoso seraya duduk. “Katakan Basri. Katakan yang jujur padaku,” desaknya. Tapi Basri tetap diam. “Aku tahu kalau kau cuma menganggap aku ini perempuan murahan. Perempuan yang cari kesenangan dengan laki-laki lain selain suaminya. Aku memang tiak layak kau cintai, aku cuma layak kau nikmati,” lalu tanpa dapat dicegah lagi isak yang tertahan membuat tubuh nyonya Santoso berguncang. “Selama ini kau pergi menjumpai dia, bukan?” “Menjumpai siapa?” tanya Basri akhirnya. “Gadis yang dulu bermalam di rumah ini. Siapa namanya? 20


Nan……Nancy, bukan?” Basri diam. “Kau jumpai dia bukan?” “Ya.” Lalu keadaan hening. Perempuan dimanapun juga sama. Meskipun jawaban Basri adalah untuk menjawab pertanyaan sendiri, namun kehadiran wanita lain dalam kehidupan laki-laki yang dicintai tetap membuat hatinya jadi cemburu. “Ia memang lebih muda dari dirikku,” katanya kemudian seraya berdiri hendk meninggalkan tempat tidur. “Mau kemana kau?” tanya Basri. “Pulang,” jawabnya agak ketus. Ketika nyonya Santoso membulatkan tekadnya untuk pulang dan baru membuka kunci pintu Basri ikut berdiri dan berseru memanggil perempuan itu dengan nama kecilnya : “Erna!” Nyonya Santoso tersentak diam dengan panggilan itu. “Kau duduklah dulu. Kita omong-omong secara baik-baik,” kata Basri lagi. “Buat apa? Apa artinya aku ini dalam hidupmu? Untuk seorang gadis lain kau bersedia menyakiti hatiku. Kau kejam! Kau kejam Basri!” isaknya tertahan di pintu. Ia menyandarkan kepalanya ke dan pintu seraya mengisak dengan hebatnya. Basri mendekatinya kemudian memegang bahunya yang bergetar karena isaknya. “Kau duduklah.” Katanya seraya membimbing tubuh nyonya Santoso duduk di kursi. Permpuan itu seolah tak mampu mengendalikan pikirannya. Ia mandah saja di papah duduk di kursi. Masih terisak. “Aku memang sampah. Aku tak ada artinya bagimu. Aku perempuan serong,” katanya. “Tidak. Kau salah menilai diriku kalau kau beranggapan aku menilai dirimu demikain.” “Lalu apa artinya aku ini sekarang bagimu?” Ditantang demikian Basri diam membisu lagi. “Apa artinya aku ini sekarang bagimu…, Basri?” tanya nyonya Santoso kembali. Kini dengan nada yang penuh emosi. “Aku tak ada artinya lagi sekarang, bukan?” tanyanya ketika Basri tetap membisu. “Kau telah banyak memberi arti pada hidupku,” ujar Basri akhirnya. “Aku tanya sekarang, sekarang, Basri ! apa yang mau kau katakan? Aku memang merasakan kehangatan cintamu. Tapi aku tanya sekarang, apa artinya aku bagimu sekarang!” “Kau jangan desak aku.” “Kau harus memberikan jawaban yang jujur. Jika memang kau tidak menyukai diriku. Ok, demi kepentinganmu aku akan menyingkir. Tapi aku ingin ketegasanmu. Aku tak mau kau permainkan seperti beberapa hari ini. Aku serara gila memikirkan dirimu.” “Aku tidak merasa mempermainkan dirimu.” Lalu apa namanya tindakanmu empat hari yang lalu itu?” “Aku malu padamu….” “Karena yang dulu itu?” “Ya!” “Kau salah kalau demikian Basri. Aku sama sekali tidak menyesali dirimu atashal itu. Aku tahu kau sendiri kaget pada waktu itu. Mungkin juga aku yang salah karena terlalu agresif. Tapi aku tahu dengan pasti bahwa apa yang menghinggapi dirimu itu bukan satu kelemahan. Kau hanya merasa jijik padaku dan kau pikirkan perempuan lain yang lebih sempurna, yang lebih pantas kau cintai. Itulah sebabnya kau lari padanya….” 21


“Tidak, aku tidak lari. Aku datang kepadanya…..” Pengakuan ini lebih-lebih menyakitkan hati nyonya Santoso sebagai seorang perempuan . lima tahun yang lalu ia mengenal laki-laki. Perkenalan biasa tetapi kemudian berubah jadi memuja setelah dibaca novel-novelnya. Ia jadi gandrung kepadanya dan diam-diam ia mencintainya. Suatu hari ketika Basri mengajaknya ke Bali untuk sehari pulang balik dengan pesawat, mereka menyewa kamar untuk melepas lelah di siang hari di sebuah hptel di Sanur. Lalu terjadilah semuanya. Kesetiaanya kepada suaminya jatuh berkeping-keping saat itu. Celakanya, setelah mengenal Basri dan merasakan kenikmatan di hotel Sanur itu, kejadian itu terus berulang terus…….. dan itu berlangsung lima tahun lamanya. Ia seolah sudsah merasa milik Basri dan suaminya cumalah sekedar pelengkap sosial melulu. Lima tahun lamanya ia hidup dalam dunia ganda. Di satu pihak sebagai istri dan ibu yang baik, dan di lain pihak sebagai seorang kekasih pengarang. Tak pernah terlintas dalam hidupnya untuk mengawini Basri sebelumnya. Ia tahu bahwa usianya jauh lebih tua dan Basri yang baru duapuluh delapan, sedangkan dirinya sendiri sudah tigapuluh lima. Ia cuma tahu bahwa ia sangat mencintai Basri lebih dari ia mencintai suaminya. Bahkan lebih dari ia mencintai anak-anaknya. Menyadari bahwa sex bagi Basri adalah segalannya, ia sampai2 mengunkan jamu-jamuan kalau mau menstruasi. Masa yang seharusnya berlangsung 4 sampai 5 hari diiusahakannya sehingga cuma berlangsung dua hari saja. Itu semua di lakukannya bukan karena ia sendiri haus akan sex, melainkan karena ia tahu arti sex bagi Basri. Basri tak dapat berpikir jika ia belum melakukan hubungan sex dan tidak mampu berfikir bagi basri adalah sama dengan tidak mampu mencipta. Sebagian besar dari karya-karya Basri lahir setelah persahabatan mereka . bahkan novel-novelnya yang mendapat penghargaan negara : Kemelut di Bromo merupakan sebuah cerita yang dihayati bersama di tempat kejadian sesungguhnya. Ia ikut menghayati kehidupan rakyat di sana sampai tiga hari lamanya, karen aitulah batas waktu yang diutarakan kepada suaminya dengan alasan ikut tour. Mulanya memang ikut tour, tapi sampai di tempat tujuan ia bergabung dengan Basri, lalu ikut hidup di tengah rakyat di sana dengan segala suka-dukanya ; ia saeorang perempuan yang sudah terbiasa di manj aoleh kemewahan. Konsep naskah Basri ikut di koreksinya dan ia begitu bangga ketika Basri mendapat penghargaan negara karena atulisannya itu. Sedikitnya ia merasa punya andil atas kesuksesan Basri. Selama ini ia pun menyadari bahwa banyak wanita yang jatuh kepelukan Basri. Tapi selama itu tak pernah terbit rasa cemburunya. Lebih-lebih karena ia menyadari bahwa sex bagi Basri adalah segalanya untuk dapat melahirkan karyanya yang baik; meskipun kadang ia harus mengakui ia tak mampu mengatasinya. Ia tetap sadar bahwa pada akhirnya kalau kebosanan sudah menghinggapi diri Basri, laki-laki itu akan kembali lagi ke dalam pelukannya. Tapi kali ini tidak, dengan gadis yang bernama Nancy, persoalanya jadi lain. Menurut cerita Basri, mereka tidur sekamar dan Basri sama sekallil tildk menidurinya. Satu hal yalng luar biasa! Bahkan Basri mengejarnya sampai ke Malang selama empat hari . luar biasa daya tarik gadis it bagi Basri. Akhirnya ia cuma bertanya perlahan: “Kau masih cinta padaku, Basri?” “Kau tahu bahwa aku selalu mencintai dirimu. Kau tahu itu dan karenanya tak perlu kau tanya lagi.” “Apa yang kau kehendaki sekarng?”tanyanya. “Aku ingin kau duduk dan kita bicara baik-baik,” jawab Basri. Nyonya Santoso menurut. Ia duduk dan memandang Basri. “Apakah kita harus hidup begini terus?” tiba-tiba tanya Basri. “Apa yang kau maksud?” 22


“Kau istri laki-laki lain . punya anak………” “Kenapa?” “Itulah masalahnya ! kita tidak bis hidup terus begini. Pada akhirnya suamimu pasti akan mencium perbuatan kita” “Mengapa kau baru merisaukan hal ini sekarang? Mengapa tidak dulu-dulu? Mengapa sesudah berlangsung lima tahun? lima tahun Basri, dan itu bukan waktu yang pendek !” “Aku tahu.” “Bagaiman sikapmu sendiri?” “Aku rela diceraikan. Tapi selama ini aku masih mampu mengatur semuanya sehingga ia sama sekali tidak mencurigai hubungan kita. Tapi seandainya benar2 ia menceraikan aku, maukah kau menikahi diriku?” Basri tidak menjawab. “Seandainya benar demikian, apakah kau mau menikahi diriku, Basri?” “Kau tahu aku tak menyukai lembaga perkawinan. Mengapa laki-laki dan perempuan harus diikat jadi satu hanya karena keduanya saling mencintai?” “Laki-laki mungkin dapat berfikir seperti cara berfikirmu itu. Tapi perempuan memerlukan sebuah status.” “Status yang gila !! kau istri orang. Kau terikat pada perkawinan tapi kau jatuh cinta pada laki-laki lain dan kami saling mencintai. Siapa yang salah? Tidak ada ! Tidak ada hukum apapun yang melarang orang saling jatuh cinta. Yang salah adalah lembaga perkawinan itu sendiri, dan karenanya aku tidak menyukainya……” “Kau akan terus begini, Basri? hidup dari pelukan wanita yang satu kewanita yang lain. Apakah seniman memang hidupnya harus demikian? apakah Tuhan memang menciptakan seniman untuk menodai mahluk yang lemah?” “Kau jangan bawa nama Tuhan dalam kasus ini!” “Lalu apa yang harus kita bicarakan Basri? Kau selalu marah-marah sejak tadi.Apa sekarng yang ingin kau bicarakan?” Kalau kau memang kau mencintaiku, mengapa sejak dulu-dulu kau tidak minta cerai?” “Karena aku tahu kau tidak akan menikahi diriku. Tapi seandainya kau bersedia, detik ini juga aku akan minta cerai?” usia kita pun berbed jauh. Aku lebih tau tujuh tahun dari kau. Aku bagimu cumalah satu kerikil dalam hidupmu, padahal besar artunya kau bagiku” “Kau jangan membohongi dirimu sendiri” “Tidak Basri, aku tidak membohongi diriku sendiri. Orang boleh menilai diriku tidak bermoral karena hubungan kita ini. Tapi aku tak pernah jatuh ke pelukan laki-laki lain. Cuma kau seorang” “Jika tokh kau anggap aku sering lari kepelukan laki-laki lain, itu cuma pelarianku. Aku benci meluhat kau berada dalam pelukan perempuan lain. Tapi demi Tuhan semuanya cuma terbatas pada persahabatan melulu. Tidak lebih dari itu. Kau pun pastimenyadari bahwa seandainya aku mau diajak ke pesta oleh rekan-rekan suamiku, itu semua karena pelarianku akibat tingkahh polahmu. Dan seandainya kelak suatu hari mereka berhasil mendapatkan diriku, maka mereka itu cuma dapat menikmati diriku dan tidak mungkin mendapatkan cintaku. Cintaku hanya untukmu, Basri dan itu kau pasti tahu.” Basri tunduk termenung. Apa yang diucapkan perempuan ini semuanya benar. Dengan perempuan2 lain ia tidak perduli. Mereka itu menurut prinsipnya pantas untuk dinikmati tubuhnya. Tapi dengan nyonya Santoso, lain halnya. Ia harus mengakui bahwa selama lima 23


tahun ini ia sangat mencintai perempuan ini. Ini dirasakannya dengan adanya rasa cemburu kalau ia kebetulan menilpon rumah nyonya Santoso dan pembantu mengatakan nyonya Santoso pergi dengan seorang teman laki-laki. Mengapa ia merasa tidak tentram dalam hatinya kalau mendengar keterangan itu? Bukankah ini tanda cinta? Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke kamar tidurnya, lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Nyonya Santoso mengikutinya dan duduk di sisi Basri. Pada diri perempuan itu sekarang timbul banyak kemelut. Terlampau banyak pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh Basri sebagai tanda bahwa Basri sebenarnya ragu-ragu dalam mengambil keputusannya. Melihat wajah Basri yang murung ia akhirnya jadi iba dalam hatinya. Ia mendekat dan mencium bibir Basri. “Kau maafkan aku” suaranya mengiba. “Tak ada yang perlu kumaafkan. Kau tidak salah apa-apa,” jawab Basriseraya melingkarkan tangannya memeluk leher nyonya Santoso yang kemudian merbahkan kepalanya di dada Basri yang bidang. “Aku bermalam di sini” bisiknya lirih “Suamimu?” “Ke luar kota.” Mendengar jawaban itu Basri tak heran lagi. Perempuan ini setiap suaminya ke luar kota selalu menginap di rumahnya. “Boleh aku menginap disini?” ?Mengapa kau tanya?” “Aku tak ingin menginap jika kau tidak suka…..” Mendengar jawaban itu dengan gemas Basri memeluk nyonya Santoso. Dalam rangsangan pelukan dan kecupan yang ketat itu sesaat kelaki-lakian Basri timbul lagi. Tapi cuma sesaat, kemudian terkulai lemas lagi waktu bayangan Nancy lewat di depannya. “Mengapa Basri?” tanya nyonya Santoso ketika pelukan Basri dikendorkan. “Aku sekarang memang tak sanggup, aku tak sanggup……! “Haruskah setiap kali kita berkumpul lita melakukan hal itu, Basri? Kau mungkin cuam capai. Tidurlah dulu…..” “Aku sekarang memang tak sanggup,” desis Basri seolah pada diri sendiri. “Aku mencintaimu Basri. Apabila aku suka kita melakukan hidup kebersamaan, itu disebabkan karena aku tau kau menyukainya. Tanpa itu akupun mencintaimu. Jika aku bianl dalam pelukanmu itu bukanlah karena sifatku memang demikian, tapi aku ingin memuaskan dirimu. Lain tidak.” “Aku tahu itu…..,” lalu dalam kemelut rasa harunya Basri meemluk kembali nyonya Santoso. Wajah perempuan yang dipeluknya sekarang ini dalam bayangan Basri bukan lagi perempuan yang bernama Erna atau nyonya Santoso, tapi wajah seoang gadis yang masih muda: Nancy. Menghayalkan bayangan gadis itu semangat kelaki-lakianya timbul kembali. Ia kemudian merebahkan nyonya Santoso, dan tangan nya mencari dada nyonya Santoso yang kencang. “Oh Basri,” desisi nyonya Santoso, yang kemudian dengan refleks membuka pakaiannya yang sesaat kemudian mereka bergumul jadi satu. “Oh , Basri kau masih mampu, kau ternyata tidak sakit,” batin nyonya Santoso. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bagi Basri perempuan yang digumulinya sekarang bukanlah ia, tetapi Nancy…… Tapi apa artinya semuanya itu baginya. Laki-laki dimana saja semua sama. Serba munafik, dalam kenikmatan bergumjul dengn istri mereka, kadang-kadang yang terlintas dalam otaknya bukanlah perempuan yang sedang digumulinya,tapi perempuan lain yang lebih dapat merangsang kelaki-lakiannya. Kemunafikan memang terjadi di mana-mana. 24


Namun disaat kesadaranya pulih kembali akan kenyataaa bahwa perempuan yang digumulinya ini bukan Nancy, Basi tersentak dan tiba-tiba saja ia jadi lemas terkulai. Ia mencoba memulihkan kesadarannya, tapi tugas itu tak pernah dapat diselesaikannya. Ia terkulai lemas, membalik, membelakangi nyonya Santoso… menitikkan air mata. Ketika nyonya Santoso memeluk bahunya dan mencium pipinya Basri berkata: “Maafkan aku. Aku terlalu sering mengecewakan kau…” “Aku tak apa-apa, Basri. Betul-betul aku tidak kecewa, sayang,” bisik nyonya Santoso seraya mencium leher Basri. “Aku harus segera berobat,” ujar Basri perlahan. “Tidak. Kau tidak sakit. Cuma ada kemelut dalam pikiranmu. Kau tidak ingin menghianati cintamu pada gadis itu,” tiba-tiba jawab nyonya Santoso yang sangat mengejutkan hati Basri. Rahasianya kini terbongkar. Apa yang dikatakan perempuan ini seratus persen benar. Ia jadi merasa berdosa terhadap perempuan itu. Ia tahu apa artinya hidup kebersamaan yang tidak selesai bagi seorang perempuan. “Kau benar,” ujarnya membalik. Ditatapnya wajah perempuan itu dengan tatapan yang mesra. “Kau benar-benar tak salahkan aku?” tanyanya. Nyonya Santoso tersenyum. “Aku tidak apa-apa,” jawababnya. “benar?’ “Kau ini ada saja. Sudah tentu aku akan lebih senang jika kau mampu menyelesaikannya,” goda nyonya Santoso, lalu secara bertubi-tubi di ciuminya Basri. Untuk kesekian kalinya Basri hanyyut. Kini ia tak berani memejamkan matanya. Takut khayal bayangan Nancy lewat kembali. Ia membuka matanya terus menatap wajah nyonya Santoso yang sexy. Dan ketika semangat kelaki-lakiannya tombul kembali ia tetap tak memejamkan matanya . pandangannya terus diarahkan menatap wajah nyonya Santoso yang kemudian digumulinya dengan penuh napsu sampai titik yang terakhir…………. ***

Tuan Santoso melihat banyak perubahan pada istrinya akhir-akhir ini. Ia sudah lama mengetahu bahwa istrinya akrab denga seorang pengarang. Ia tahu semuanya itu, namun selama ini ia hanya berdiam diri menutup mata seolah tak tahu akan sepak terjang isterinya. Selama itu istrinya masih tetap melakukan tugas kewajibannya sebagai istri dan ibu yang baik… ia cuma beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh istrinya itu cumalah suatu petualangan seorang wanita yang mencapai umur tigapuluhlimaan. Masa ranum-ranumnya sebagai seorang permpuan. Tapi-tapi akhir ini tidak. Isterinya jarang sekali pulang siang hari dan selalu ada-ada saja alasanya. Alasan yang menurut pendapatnya terlalu dicar-cari. Mau tak mau, meskipun dalam hatinya ia tetap ingin mempertahankan lembaga perkawinan mereka, akhirnya tokh ia terpaksa menegur isterinya ketika dilihatnya baru sore isterinya pulang. Namun teguran itupun dilakukannya dengan sangat hati-hati. Betapapun juga ia tahu bahwa suksesnay di dunia bisnis sekarang ini adalah justru karena modal yang didapat isterinya dari orang tuanya. Memang ia mampu mengembangkan modal itu belipat ganda. Tapi bukanlah ia tidak boleh melupakan masa lalunya ketika hidupnya belum menikah, tak punya modal sepeserpun? 25


Bukankah pada awal kemajuan usahanya itu juga ditopang oleh kelincahan isterinya bergaul dalam masarakat sehingga akhirnya ia berhasil menangani proyek2 besar? “Kau dari mana?” tanyany perlahan. “Dari Basri,” jawab nyonya Santoso jujur. Jawaban ini benar-benar diluar dugaan tuan Santoso. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa isterinya akan memberikan jawaba begitu terbuka. “Lalu apa kerjamu di sana?” tanyanya. “Aku tidur. Tak ada apa-ap yang kukerjakan disana. Aku hanya merasa damai dalam ruamah Basri.” “Adakah kekurangan dalam rumah tangga kita?” “Tidak” “Lalu mengapa kau sering meninggalkan rumah ini?” “Aku butuh kedamaian ……” “Mengapa kau mencari di rumah orang lain?” nyonya Santoso tidak memberikan jawaban. Ia menatap wajah suaminya seolah menantang. “Kau cinta padanya?” tanya tuan Santoso. “Kau tentu tahu apa artinya bagi seorang perempuan jika ia merasa tentram di dekat seorang laki-laki.” “Jadi kau benar-benar cinta padanya?” “Ya!” kata terakhir ini diucapkan nyonya Santoso dengan menahan emosi hatinya. Sekarang sudah tiba baginya untuk berterus -terang kepada suaminya bahwa ia telah mencintai laki-laki lain. Ia harus mendapat kepastian bagi hidupnya. Ia tidak ingin hidup terombang-ambing tak keruan. Bisa gila rasanya. Apakah pergaulanmu sudah melewati batas-batas kesopanan?” “Kau tak perlu tanya demikian, karena jawabannya akan menyakitkan hatimu.” “Aku tanya apakah kau sudah menodai kesucian perkawianan kita?” “Apakah kau sendiri tidak pernah menodai kesucian perkawinan kita?” balas nyonya Santoso menantang. Keduanya membisu, hening. “Lima tahun Santoso, lima tahun aku menunggu ketegasanmu seperti ini. Tapi kau tidak pernah bertindak sebagai laki-laki jantan. Kau membiarkan. Dan setelah aku larut kedalamnya kau baru sekarang mengur. Andai saja pada awalnya kau menegur aku, maka keadaan kita tidak akan separah ini,” cetus nyonya Santoso, membuat suaminya menunduk. Laki-laki ini memang merasa salah. Dulu, pada awal persahabatan isterinya dengan Basri, banyak sahabat sudah menegurnya. Tapi ia tak mempunyai keberanian untuk menegur isterinya. “Itu karena aku terlalu cinta padamu. Aku takut kehilangan kau,” jawabnya kemudain. “Tidak. Kau bukan cinta padaku. Kau cuma mencintai hartaku. Kau takut kehlangan harta. Diluar tahuku, kau, kau sering bermain dengan perempuan lain.” “Itu karena kau yang memulai dulu.” “Tidak. Jauh sebelum aku mengenal Basri aku sudah tahu akan keadaan dirimu. Kau memelihara sekretarismu. Kau belikan rumah dengan perabotan lengkap. Aku tahu semuanya itu. Tapi aku diam saja. Aku cuam ingin tahu sampai di mana ketegasanmu sebagai seorang laki-laki kalau tahu isterinya bersahabat dengan laki-laki lain….” Ketika melihat suaminya diam nyonya Santoso melanjutkan:

26


“Persahabatanku dengan Basri pad awalnya cumalah pelarianku gara-gara tingkah polahmu. Tapi kemudian aku mengenal laki-laki itu jauh lebih baik daripada dirimu. Aku kemudian mencintainya…………” “Kau pergilah kepadanyajika ia sudi mengawinimu?” bentak tuan Santoso marah, kehilangan kontrol dirinya. “Ia sudi mengawini aku atau tidak itu bukan urusanmu.” Tiba-tiba tuan Santoso menempeleng isterinya dengan penuh emosi. Nonya Santoso menjadi kaget. Ini adalah yang pertama kalinya, sejak perkawinan mereka yang sudah lebih dari empat belas tahun itu, ia ditempeleng oleh suaminya. “Kau pengecut ! kau cuma berani sama perempuan! Mengapa kau tidak pernah berani mandatangi Basri dan secara terang-terangan menegurnya karena ia merebut wanita yang jadi istrimu. Kau pengecut!” lalu nyonya Santoso lari kekamarnya terisak. Ketika mendengar suaminya mengetuk pintu kamarnya yang dikuncinya, ia diam saja. Hatinya sakit karena tamparan suaminya. Meskipun dalam hati ia harus mengakui bahwa dalam kasus ini dirinya yang salah. Ia terlalu membakar rasa cemburu hati suaminya. Tapi dalam hubungannya dengan Basri ia tak merasa dalah. Ia terlalu mencintai laki-laki itu. Suaminya yang terlebih dahulu menyakiti hatinya. Ingat semuanya ini ia kemudian membuka lemari pakaiannya lalu memasukan kedalam tas. Bulat tekadnya untuk meninggalkan rumah malam ini juga. Bagaimana nanti dengan anak-anaknya? Tegakah ia meninggalkan mereka? Akh, soal ini dapat diurusnya nanti. Anak-anaknya tokh mempunyai suster yang merawat dan mengasuh mereka. Malam ini juga ia harus meninggalkan rumah ini. Ia sudah muak dengan segalanya. Ketika ia keluar membuka pintu dilihatnya suaminya yang berdiri di muka pintu nampak terkejut melihat ia keluar ddengan mwmbawa sebuah tas. “Kau hendak pergi kemana?” “Itu bukan urusanmu!” teriak nyonya Santoso histeris. “Aku suamimu ! Aku berhak tahu ke mana kau pergi!” “Sejak saat ini kau kuanggap bukan lagi sebagai suamiku. Kau cuma patung! Beri aku surat cerai dan kau boleh ambil semua harta benda selama perkawinan kita. Aku akan keluar dengan keadaan seperti ini….” “Kau ampunilah sikapku tadi,” mohon tuan Santoso seraya memegang bahu istrinya. Tapi istrinya segera menepiskan tangannya. “Biarkan aku pergi !” bentaknya. Lalu ia beranjak untuk memaksa lewat, tetapi suaminya segera memegang bahunya dan menariknya. “Maafkan. Aku tak sengaja menempelengmu. Aku sungguh menyesal…..” “Tidak . Aku memang berhak kau tempeleng. Aku memang istri yang tidak setia…..” “Aku akan menceraikanmu jika Basri memang benar-benar mau mengawinimu,” tiba-tiba tuan Santoso berkata. Ia sendiri sampai terkejut akan apa yang dikatakan itu. “Basri mau mengawini aku atau tidak, itu bukan urusanmu. Mengapa tidak kau tanyakan sendiri kepadanya?” “Aku akan menanyakan besok….” “Sekali lagi Santoso, Basri mau atau tidak, itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah untuk menceraikan diriku. Katakan saja aku telah derong dan aku akan mengakui di depan sidang pengadilan. Besok kau uruslah sama notaris untuk membalik semua nama perusahaan atas namamu sendiri . aku relakan semuanya.” 27


“Kau bersungguh hati ingin bercerai?” tanya tuan Santoso masih tak percaya akan kebulatan tekad istrinya. Lalu sambungnya: “Apakah karena aku tanya ke mana saja kau, lalu kau ingin minta cerai?” “Buat apa kita saling menipu diri sendiri. Kau membiarkan aku lari ke pelukan laki-laki lain agar supaya lau sendiri bebas mengeluti sekretarismu. Aku tak suka laki-laki yang pengecut sebagai kau.” Lalu dengan tergesa-gesa ia meninggalkan rumah itu, hendak memanggil sebuah becak. Kali ini yang hendak dituju bukanlah rumah Basri tetapi sebuah hotel. Tapi ia tak sempat melaksanakan niatnya itu, kaena tuan Santoso segera mengejarnya dan menariknya masuk kembali ke rumah. Terjadi saling tarik menarik yang seru. Melihat kenekadanya tuan Santoso naik pitam lagi. Untuk kedu kalinya pipi istrinya ditampar kanan kiri. Kini dengan amarah yang meluap-luap. “Kau wanita iblis!” bentaknya seraya menarik tubuh istrinya masuk kembali ke rumah. Tidak pernah menerima perlakuan suaminya yang begini kasarnya, nyonya Santoso jadi bengong dan terpaku. Ia kemudian ikut masuk dan sudah siap untuk menerima nasib apa saja yang bakal menimpanya. Kini, untuk matipun siap. Ketika melihat istrinya duduk tegak di kursi tamu, tuan Santoso berkata: “Kau boleh tuduh aku apa saja. Pengecut, laki-laki tak punya guna, da apa saja semaumu. Tapi kau harus ingat bahwa aku sekarang ini tetap suamimu dan kau adalah istriku yang sah. Kau tidak bisa berbuat semaumu…..” Nyonya Santoso diam. Kini untuk pertama kalinya ia melihat suaminya marah. Sejak lama ia sebenarnya mengharapkan amarah suaminya ini. Harapan itu justru dinantikannya pada awal persahabatanya dengan Basri. Kini masalahnya sudah terlambat. Apa yang terjalin antara dirinya dan Basri sekarang ini sudah demikian mendalamnya. Tak mungkin dipisahkan lagi dan iapun tak mungkin kembali. Andai saja hal ini terjadi awal persahabatannya, tentunya semuanya mudah diatur. “Lima tahun aku berdiam diri. Karena selama itu kau masih tetap melakukan tugasmu sebagai seorang ostri dan ibu. Tapi akhir-akhir ini, kau pikir sendiri tentang kelakuanmu. Kalau aku bepergian, kau tidak pernah berdiam diri di rumah. Aku di rumahpun kau baru sore, kadang-kadang malam, baru pulang,” ujar tuan Santoso mencoba berlaku sabar, meskipun dalam hati masih mendidih amarahnya. “Tapi sudah kaukatakan, buat apa diulang-ulang kembali?” bentak nyonya Santoso. “Kau bisa diajak berunding atau tidak?” “Apakah begitu caranya orang berunding. Aku sudah bilang padamu =, aku mencintai lakilaki lain. Aku ingin cerai!” “Perceraian terlalu mengenakkan dirimu. Kau tidak akan kuceraikan !” Nyonya Santoso kaget oleh keputusan suaminya. “Apa maumu?” tanyanya. “Kau telah berlaku kejam terhadap diriku, suamimu sendiri. Akupun bisa berbuat yang sama. Mulai sekarang aku larang kau keluar rumah seorang diri.” “Kau tidak berhak melarangku, “ teriak nyonya Santoso. “Aku punya hak, karena aku suamimu dan kau istriku.” “Tidak. Kau tidak berhak menyebut dirimu sebagai suamiku. Kau laki-laki pengecut. Kau pengecut!” “Persetan dengan segala pendapatmu. Tapi ini sudah keputusanku. Hendaknya kau sadari, jika skandal rumah tangga ini sampai bocor ke luar, maka nama baik Basri sebagai pengarang akan tersangkut pula…..” 28


“Kau jangan mengancam aku,. Seujung rambut sajakau sakiti Basri, aku akan membunuh kedua anakmu dan kemudian aku sendiri akan bunuh diri. Kau camkan baik-baik omonganku ini. Aku bukan cum asok mengertak. Jika kau larang aku keluar rumah…..” “Kau benar-benar wanita berhati iblis,” tukas tuan Santoso memotong omongan istrinya. Apa yang dikatakan istrinya itu benar-benar berada di luar dugaannya. Tak disangka bahwa istrinya akan mau berbuat sekekam itu. “Aku memang wanita iblis karenanya ceraikan aku…..!” “Cerai? cerai? oh, tidak ! kau tidak akan mendapat apa yang kau kehendaki itu.” Habis bicara demikian tiba-tiba saja tuan Santoso tertawa menyeramkan…… ***

Malam itu selesai makan bersama, Nancy diajak duduk di ruang tamu oleh pak Hardjo. Lakilaki yang berusia hampir setengan abad ini sudah menganggap Nancy sebagai anaknya sendiri. Apalagi ketika mereka dulu pertama kali berkenalan di Amerika, Nancy baru berusia 17 tahun. Dari istrinya ia mendapat laporan bahwa keadaan Nancy tambah lama menjadi tambah parah. Suka melamun, terutama setelah kedatangan pengarang yang bernama Basri seminggu yang lalu. “Coba kau ceritakan, apa masalahmu akhir-akhir ini?” ujar pak Hardjo memulai pembicaraan. “Tidak apa-apa” jawab Nancy seraya tersenyum. “Kau jangan mengelabuhi kami berdua. Kami melihat perubahan yang menyolok pada dirimu.” “Aku betul2 tak apa-apa. Besok aku akan ke Semarang.” “Untuk membaca puisi lagi?” “Ya dan diskusi sastra dengan mahasiswa jurusan sastra Indonesia di sana.” “Lalu bagaimana hubungan dengan sahabatmu itu. Siapa namanya, Basri?.” “Betul. Tidak ada apa-apa antara kami, cuma sekedar sahabat baik.” “Ia mwnulis tentang dirimu bagus sekali. Apakah kau tersinggung dengan kritiknya terhadap sajak-sajakmu?” “Itu memang haknya untuk mengulas. Aku sama sekali tidak tersinggung.” “Apakah ia sudah beristri?” “Belum” “Nah tunggu apa lagi? Kaupun sudah tiba waktunya untuk menikah.” “Kok segampang itu,” jawab Nancyy tersenyum cerah. “Lalu mau tunggu apa lagi? kau tidak dapat menipu mata kami berdua. Kau jatuh cinta padanya.” “Ajaklah ia kemari lagi, biar kami yang mengatur semuanya,” ujar bu Hardjo tiba-tiba ikut menimbrung dalam pembicaraan. “Kau jangan menipu kami Nan. Aku tahu kau sangat mencintai nya. Sepanjang hari kau melamun terus” sambung bu Hardjo. “Aku bukan melamun, aku mencari ilham.’ Jawaban itu membuat kedua suami-istri itu tertawa. Nancy jadi kikuk dengan sendirinya. “Kau mampirlah ke Surabaya kalau mau ke Semarang. Mungkin ia dapat mengawanimu. Siapa tahu dengan saling mengenal lebih akrab kalian bisa saling mengetahui persaan masing-msing.,” ujar pak Hardjo. Nancy sangat berterimakasih kepada suami istri yang sangat memperhatikan dirinya ini. 29


Di sinilah hatinya selalu berontak. Mengapa suami -istri yang begini baik oleh Tuhan diberi percobaan yang maha berat dengan dikarunia seorang anak cacat. Ia tak habis mengerti di mana letak keadilan Tuhan itu. “Nancy, tahukah bahwa sebenarnya kau adalah seoang gadis yang cantik?” tiba-tiba kat pak Hardjo. “Siapa bilang Nancy jelek? bantah bu Hardjo. “Karena itulah aku bilang Nancy sebenarnya seorang gadis yang cantik,” ujar pak Hardjo, lalu sambungnya: “Cuma, kau terlalu masa bodoh dalam merawat dirimu. Kau kenakan pakaian seenakmu sendiri. Pakai jeans, kaos, sudah. Pada hal kita ini hidup di bumi Indonesia dimana wanita diukur dari kecantikannya dan bukan dari kepandaian otaknya. Kau harus memaklumi keadaan di sini. Kau berhiaslah sedikit-sedikit.” Nancy tersenyum. “Apakah artinya kecantikan bagi seorang gadis seperti aku ini? Selalu gelisah. Aku ingin menghayati kehidupan ini seperti apa adanya….” “Tapii kau mencintai seoang laki-laki dan itu berarti kau terjun ke dalam kancah persaingan,” ujar pak Hardjo. “Manusia seperti Basri pasti dikerubuti banyak wanita. Ia masih muda, punya nama dan wajah yang cakap lagi,” tambah bu Hardjo. “Lalu apa yang harus saya perbuat? jawab Nancy seolah putus asa. “Cinta itu memang datangnya seperti pencuri di malam hari. Ia datang dengan tiba-tiba saja. Kita tidak bisa menduga terlebih dahulu. Meskipun demikian untuk mendapatkan cinta kit aharus berjuang, merebutnya, dan karena itu kita harus menghadapi lawan-lawan kita,” ujar pak Hardjo seraya menatap wajah Nancy dengan penuh pengertian. “Mengapa kau menolak ketika ia mengajakmu pindah ke Surabaya?” tiba-tiba tanya bu Hardjo. “Seperti yang kukatakan, ada wanita lain,” jawab Nancy. “Tapi wanita itu punya suami; berarti istri laki-laki lain. Apa yang ada sekarang ini cuma sekedar keisengan melulu. Kau jangan terlalu memeikirkan masalah itu. Apalagi Basri memang orang pengarang. Kelemahan seniman adalah justru dalam masalah sex. Kau harus dapat memaklumi hal itu,” ujar bu Hardjo. “Aku tak sependapat jika masalah sex menjadi masalah yang utama bagi setiap seniman. Yang terang tidak padaku sendiri. Sex bagiku adalah sesuatu yang suci yang tidak bisa diobrak begitu saja. Sex memiliki keluruhan tersendiri,” bantah Nancy. “Kau boleh berpendapat demikian. Tapi yang kau hadapi dalah seorang seniman yang sudah jadi. Basri sudah membangun dirinya dan ia sudah terbentuk. Ia tak mungkin lagi mengikuti jalan pikiranmu. Kau yang harus menuruti jalan pikirannya. Inilah memang nasib kaum wanita. Harus berdiri di belakang jalan pikiran sang lelaki,” ujar bu Hardjo dengan sabar. “Mungkin aku memang mencintai Basri. Tapi dunia kita saling berbeda…..,” ujar Nancy. “Mengapa bisa demikian. Yang satu seniman yang satu seniwati. Apa bedanya?’ bantah pak Hardjo. “Di situlah justru problemnya. Kami mempunyai kegiatab masing-masing. Ia beanggapan bahwa manusia seperti diriku ini harus berkarya, mencipta terus-meneerus untuk bis hidup. Sedangkan menurut pendapatku, seniman tidak seharusnya bebuat demikian. Apa artinya uang jika kita tidak merasa bahagia?” jawab Nancy. Pak Hardjo tidap dapat berkata apa-apa lagi. Alasan itu sudah diketahui lewat istrinya. Nancy sudah pernah bercerita yang demikian pada istrinya. Dalam hati kecilnya ia sebenarnya membenarkan apa yang diutarakan oleh Basri. Seniman betapapun juga adalah manusia dan sebagai manusia ia butuh hidup dan untuk bisa hidup orang memerlukan uang. 30


Sedangkan uang bagi seorang seniman baru didapat kalau ia berkarya. Kalau tidak, apa yang mau dijualnya? Tapi iapun tidak dapat menyalahkan sepenuhnya pendapat Nancy. Pengarang-pengarang novel di Indonesia sudah memberikan bukti. Mereka berkarya asal berkarya dan akibatnya novel-novel yang diterbitkan di Indonesia sangat miskin nilainya. Tidak ada bobot sama sekali. Missi yang dibawanya tidak jelas asal jadi. “Okelah besok aku mampir dulu ke Surabaya sebelum ke Semarang,” jawab Nancy akhirnya. Kedua suami-istri itu tersenyum penuh pengertian. ***

Ketika keesokan harinya jam sepuluh pagi Nancy sampai di rumah Basri, rumah itu kosong tertutup. Ia mengetuk, tak ada jawaban. “Basri pasti pergi,” keluhnya dalam hati. Ia kemudian duduk di teras muka menunggu. Konsep ceramah yang akan dibawakan di Semarang di bacanya untuk melewatkan waktunya. Sejam, dua jam sampai tiga jam ia menunggu, tapi Basri tak kunjung tiba. Ia masih hendak menunggu terus, tapi perutnya merasa lapar. Ia segera beranjak dari tempat duduknya di teras muka lalu berjalan melihat keadaan tetangga Basri. Tak ada seorangpun yang berjualan. Seorang tukang becak yang kebetulan lewat distopnya. “Bang , apa di dekat sini ada orang jual makanan?” tanyanya. Pertanyaan itu sudah barang tentu mengherankan bang becak. “dekat situ ada yang jual nasi pecel,” jawabnya masih diliputi rasa heran. “Jauh?” “Tidak. Paling-paling cuma sepuluh rumah dari sini. Yang cat hijau itu. Atau marilah naik,” ujar bang becak menawarkan jasa baiknya. “Biarlah aku jalan saja.” “Naik sajalah,” ujar bang becak menawarkan jasa bauknya. Nnancy tak membantah lagi. Ia duduk di becak dan bang becak mengayuhkan becaknya ke depan. Sebentar saja sudah sampai. “Nah di sini tempatnya,” katanya. “Berapa bang?” tanya Nancy. “Tak usahlah,” kata bang becak. Nancy cuma senyum, penuh perasaan terima kasih. Di kota besar seperti Surabya ini masih menjumpai orang-orang yang penuh dengan cinta kasih terhadap sesamanya. Justru itulah sebabnya ia kian merasa dekat dengan rakyat jelata dan ingin secara akrab mendalami kehidupan mereka. Memasuki warung nasi pecel itu Nancy segera memesan seporsi sambil makan ia bertanya: “Berapa seporsi ini, bu,” tanyanya “Enampuluh rupiah sama tehnya.” Jawaban ini benar-benar diluar dugaan Nancy, Ia semula menduga bahwa harga seporsi paling murah seratus limapuluh rupiah. Seporsi ia sudah merasa kenyang dan ia segera teringat akan anjuran hidup sederhana yang didengungkan oleh pejabat yang memerintah di republik ini. Seandainya semua orang memang mau hiduo sederhana, pastilah korupsi tidak membudaya di republik ini. Seandainya……… Selesai makan, Nancy kembali ke pavilyun Basri. 31


Ia duduk di lantai bersandarkan dinding jendela. Sejam lagi ia menunggu, tapi Basri juga belum pulang. Sejam lagi ia juga pulang. Akhirnya ia diserang rasa ingin tidur yang luar biasa. Ia memejamkan matanya dan tanpa terasa ia tidur dengan lelapnya. *** Basri hari ini baru pulang setengah lima sore. Ia sibuk sekali hari ini. Ia harus menyerahkan naskah untuk mengisi ruangan di hari-harian yang diasuhnya dan mengambil honorariumnya di berbagai surat kabar. Nampaknya memang cuma pekerjaan yang gampang, mengambil honorarium. Tapi dengan redaktur-redaktur surat kabar yang sudah dikenalnya dengan baik ia tak bisa meminta begitu saja lalu pulang. Alangkah terkejut hatinya ketika dilihatnya Nancy tertidur bersandar ke didinding jendela rumahnya begitu saja. Ia hendak segera memanggil gadis itu, tetapi ketika dilihatnya betapa lelapnya gadis itu ia tak tega membangunkan. Pintu pavilyunnya segera dibuka kemudian dengn sangat hati-hati didukungnya Nancy masuk lalu direbahkan di atas kasurnya. Gadis itu masih juga tidak terjaga. Alangkah lelapnya ia tertidur. Membuka map yang dibawa Nancy dilihatnya secarik karcis bis, dilihatnya jam berangkat dari Malang pukul setengah tujuh pagi. “Ia menunggu terlalu lama,” gumamnya seorang diri. Dengan hati-hati sekali ia melepas sepatunya takut membuat berisik yang bisa membuat gadis itu terjaga. Ia kemudian merebahkan diri di sisi gadis itu. Dipandanginga tanpa jemu-jemu wajah yang gadis yang dicintainya. Setengah jam kemudian Nancy mulai sadar. Ia sangat terkejut ketika dilihatnya Basri di dekatnya dan ia tertidur di kasur. Ia segera bangkit dan duduk sehingga membuat Basri terkejut. “Bagaiman aku bisa di sini?” tanyanya seolah pada diri sendiri. “Aku mendukungmu kemari. Kau tertidur di luar seperti orang bambungan tadi,” jawab Basri. “Oh,” cuma itu yang dapat dikatakan Nancy sambil lemudian ia merebahkan kembali tubuhnya. “Lama kau menunggu diluar?” “Aku tadi datang pukul sepuluh.” “Maaf aku membuat lama menunggu,” ujar Basri seraya memegang jari tangan Nancy. “Aku yang salah. Aku tak sempat mengabarimu. Tapi ini kan dalam rangka memenuhi janjiku bahwa aku pasti datang lagi ke Surabaya?” Basri tersenyum. Tiba-tiba Nancy bergerak duduk lagi. “jam berapa sekarang?’ tanyanya. Basri terkejut untuk kesekian kalinya. Sambil menengok arlojinya ia berkata : “Jam lima lewat lima menit. Menapa?’’ “Oh, aku harus cepat-cepat, kalau tidak aku terlambat pegi ke Semarang,” kata Nancy seraya melompat bangun. Ia berkaca untuk membetulkan letak rambutnya dan ketika hendak ke ruang muka mencari mapnya Basri menarik tangannya. “Kau mau kemana?” tanyannya. “Semarang.” 32


“Gila kau. Masa datang ke Surabaya cuma sejam dua jam.” Aku memang cuma singgah sebentar di sini. Maksudku untuk melewatkan waktu sejak pagi tadi bersama kau. Tapi kau tidak pulang-pulang. Aku harus membeli karcis bis ke Semarang, kalau tidak aku bisa kehabisan tempat……” “Haruskah kau ke Semarang hari ini juga?’’ “Ya. Malam besok aku ada ceramah dan diskusi puisi” “Persetan dengan segala macam diskusi dan ceramah,” kata Basri seraya menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia tidak mencium gadis ini, melainkan mendekapkan kepala Nancy ke dadanya. “Aku gembira kau mau datang,” bisiknya. Nancy tetap diam. Ia tak tahu kemelut apa yang ada da;am hatinya. Haruskah ia gembira, bahagia ataukah menyesal telah datang ke tempat Basri? “Aku harus berangkat Basri,” bisiknya lirih. “Mengapa harus sekarang? kau berangkatlah besok. Kita sama-sama berangkat dengan pesawat. Bukankah ceramahmu malam hari?” “Kau benar-benar hendak mengantarkan aku ke Semarang?” “Tentu.” Lalu keduanya terbuai dalam pelukan dan kecupan yamg mesra. *** Keesokan harinya mereka bangun pagi-pagi, karena informasi didapat mereka semalam, penerbangan ke Semarang cuma dua kli sehari. Pertama pukul tujuh lewat lima belas menit dan pukul empat sore hari. Jam lima Nancy sudah siap. Ketika mereka mau berangkat, tiba-tiba terdengar jeritan rem becak yang berhenti di depan rumah dan bang becak yang nampaknya ragu-ragu mendatangi mereka. “Ini betul alamat tuan Basri?” tanyanya. “Betul,” jawab Basri. “Ini ada surat buat tuan,” kata bang becak. “Dari?” “Dari nyonya Santoso……..” Baik Basri maupun Nancy terkejut. Basri terkejut karena sudah agak lama nyonya Santoso tidak muncul dan kini tiba-tiba saja mengirim surat. Sedangkan Nancy terkejut dan ia selalu selalu terkejut kalau mendengar nama itu. Basri segera menerima sura itu, membuka dan membacanya. Setelah membaca ia segera berkata: “Sampaikan pada nyonya Santoso suratnya sudah kuterima dan aku mengerti isinya.” Bank becak segera meninggalkan pavilyun itu. Wajah Basri beubah sesudah membaca surat itu. “Ada persoalan?” tanya Nancy. “Kau bacalah sendiri,” lalu surat itu dibeikan kepada Nancy. Mula-mula Nancy segan membaca, Tapi Basri mendesaknya sehingga akhirnya mau juga ia membaca : “Basri yang kucinta, Suamiku marah karena hubungan kita. Aku tidak diperbolehkan keluar akhir-akhir ini. Iapun tak mau menceraikan diriku sengaja untuk menyakiti hatiku. Sore nanti aku ke dokter gigi langganan kita itu. Jumpai aku disana, jangan tidak. Erna !

33


Nancy jadi lemas setelah membaca surat itu. Namun sedapatnya ia berusaha menguasai gejolak hatinya. “biarlah aku beangkat sendiri. Kau uruslah dia,” katanyan memecah kesunyian. Basri ak segera memberikan reaksi. Ia masih bingung untuk memilih. Akhirnya berkata: “Kau berangkatlah dulu hari ini. Besok aku susul kau. Menginaplah di hotel Telomoyo” Nancy tersenyum getir. “Baiklah kau selesaikan urusanmu di Surabaya dulu,” katanya kemudian. Ketika dilihatnya Basri tetap membisu Nancy berkata lagi: “Kau sih ada-ada saja.” “Apanya yang ada-ada?” balas Basri bertanya. “Dengan nyonya Santosoitu. Padanya tentu kau perna berkata bahwa kau sangat mencintainya dan padaku kata-kata yang sama sudah terlalu banyak kauhamburkan.” “Aku memang benar-benar mencintaimu, Nancy” “Lalu nyonya Santoso itu mau kau apakan? Apapun sebutan nya untuk dirinya, tidak pantas kau cuma meninggalkannyabegitu saja. Lebih-lebih pada saat seperti sekarang ini di mana kemelut telah melanda rumah tangganya.” “Kau angan membingungkan aku.” “aku tidak membingungkan kau. Itu cuma soal kenyataan. Kau harus berani menghadapi kenyataan. Kau jangan sibukkan dirimu dalam soalku. Soalku gampang saja. Tidak ada kemelut.” Berkata sampai di situ Nancy menghentikan kalimatnya. Benarkah kau tidak ada kemelut dalam dirinya menghadapi laki-laki ini. Bukankah kemelut itu justru yang membuat hidupnya terombang-ambing akhir-akhir ini? Sesaat kemudian taxi yang kemarin dipesan tiba dimuka rumah. “Aku beangkat dulu,” kata Nancy, Ia hendak cepat-cepat pergi dari tempat yang penuh dengan kemelut ini. Tapi Basri segera berkata: “Aku antarkan kau ke airport.” “Biarlah aku pergi sendiri,” jawab Nancy. Ingin sebenarnya berangkat sendiri” agar ia bisa menentramkan diri. Tapi ia juga tahu bahwa Basri pasti akan mengantarkan karena ia memang tidak mempunyai uang intuk membeli tiket. Dan Basri janji akan membelikan Ah, mengapa ia kemarin mau ketika diusulkan untuk naik pesawat andai ia jadi berangkat kemarin dan tidak menunggu sampai Basri pulang, bukankah tidak akan terjadi seperti sekarang ini? Bukankah ia tidak akan tahu kalau ada kemelut pada diri nyonya Santoso? Sekarang ia mau tak mau harus tahu dan sebagai sesama wanita, lebih-lebih sebagai seorang seniwati, ia memaklumi bagaimana pusingnya menghadapi kemelut seperti yang dihadapi nyonya Santoso. Sampai saat ini ia masih tidak dapat memberikan keputusan yang tepat, apakah orang-orang seperti nyonya Santoso itu pantas dijuluki sampah masyarakat atau tidak. Menurut Basri, nyonya Santoso adalah seorang wanita yang kaya, punya suami dan anak, dari luar nampaknya bahagia, apa lagi sekarang yang dikejar oleh seorang perempuan kalau ia sudah punya rumah tangga, suami yang baik dan anak-anak yang sehat. Apalagi yang dicari perempuan itu pada Basri, perempuan itu telah memperolehnya dari suaminya. Apa sekarang? Kehangatan cinta. Basri dengan segala sifatnya yang masa bodoh, dengan bicaranya yang blak-blakan membuat wanita menyukainya. Kalau seandainya benar apa yang didambakan pada diri Basri cumalah sekedar satu kehangatan cinta, maka pantaskah

34


perempuan itu dicap sebagai sampah masyarakat? Bukankah itu hak setiap manusia untuk mereguk kehangatan cinta? Nancy tidak bisa meneruskan khayalanny, karena Basri setelah selesai berpakaian mengambil uang segera mengajaknya berangkat. Dalam perjalanan yamg memakan waktu hampir tigapuluh menit keduanya membisu. Basri hanya mengenggam tangan Nancy. Takut rasanya ia kehilangan gadis ini karena ulahnya sendiri di masa yang lalu. Ketika sampai di pompa bensin dekat rumah makan Aloha mobil belok ke arah kiri menuju ke Airport baru Nancy bertanya: “Bagaimana dulunya kau bis aterlibat dengan seorang wanita istri orang, Basri?” Basri tertegun mendengar pertanyaan itu. “Ya, bagaimana dulunya cerita itu terjadi sehingga ia sampai terlibat? “Andai aku bukan seorang pengarang, keadaanya tidak akan sampai jadi begini,” jawabnya. “Mengapa?” “Aku memikirkan terlalu mendalam. Dalam hidupku selama ini perempuan menurut hematku cuma pantas dinikmati. Pada diri nyonya Santoso aku bukan cuma sekedar ingin menikmati. Tapi juga memiliki. Karena ingin memiliki aku melibatkan diri teru dalam persoalan itu. Takut kehilangan dia. Bukan takut aku ditinggalkan, tapi takut jika ia jatuh ke pelukan lakilaki yang satu ke laki-laki lain.” “Ah, itu cuma argumentasi yang kau cari-cari. Kalau demikian mengapa kau sejak dulu tidak mencari seorang wanita yang kaucintai, yang bukan istri orang lain, lalu kau kawin secara sah? Bukankah dengan demikian masalahnya akan jadi selesai? Dalam kasus nyonya Santoso ini, Basri, aku lebih condong untuk menyalahkan kau. Karenanya aku mengharapkan kau bertanggung jawab atas dirinya.” “Mengapa kau katakan alasanku dicari-cari?’’ “Bukankah masalahnya tidak ada sangkut-pautnya jika ia jatuh dari pelukan lelaki yang satu ke lelaki yang lainnya. Bukankah itu jusrtru urusanya sendiri, dan bukankah tiap rumah tangga punya salib sendirisendiri.” Basri hendak membantah, tapi taxi yang mereka tumpangi sudah sampai di tempat tujuan. Kepada sopir taxi dikatakan agar ia mau menunggu karena ia akan memakainya pulang kembali ke Surabaya. Ia meminta nomer taxi itu, mencatatnya di buku notesnya kemudian mengajak Nancy untuk membeli tiket. Tidak ada kesulitan untuk mendapatkan tiket ke Semara0ng. Meskipun tidak ikut terbang dengan pesawat pagi itu, Basri membeli dua buah airport fee. Dengan tanda masuk itu ia dapat masuk ke ruang tunggu yang tidak terganggu oleh caloncalon penumpang dan pengantar yang lain. Masih ada waktu kurang lebih tiga perempat jam sebelum pesawat berangkat ke Semarang. Jadi masih cukup waktu untuk berbincang bagi keduanya. Basri menyerahkan sejumlah uang kepada Nancy. “Untuk apa?” “Kau bawalah ke Semarang dan menginaplah di hotel yang kukatakan tadi. Aku besok menyusulmu ke sana.” “Seandainya kau jadi aku Nancy, apa sikapmu menghadapi persoalan ini?” tanya Basri serius. “Aku tak mungkin jadi kau. Maksudku, aku tak mungkin menghadapi kemelut seperti kau sekarang ini. Aku tak mungkin mencintai laki-laki suami orang lain. Kesalahanmu yang pertama dan paling utama adalah justru di situ. Kau bermain cinta dengan seorang wanita yang sudah bersuami. Kau main api ! Aku tak dapat salahkan nyonya Santoso. Kau masih bujang.” “Mengapa kau salahkan aku terus dalam kemelut ini?” jawab Basri jengkel. 35


“Persoalanmu sekarang ini bukan persoalan biasa, basri. Di sini terletak persoalan moral. Kau bilang dulu, bahwa jatuh cinta tidak ada yang melarang. Tapi aku bilang, kalau kau jatuh cinta pada istri orang lain, maka di sinilah moral akan berbicara. Apakah Tuhan ini memang menciptakan kita-kita ini yang mengaku sebagai seniman sebagai manusia yang mempersetankan moral. Tidak basri, justru kita-kita ini yang harus menjunjung tinggi moral.” “Okelah aku yang bersalah, tapi cobalah kau berikan saran apa yang seharusnya kuperbuat.” “Kau pasti bisa menemukannya sendiri, Basri, kemelut yang ada ini adalah seperti ceritacerita dalam novelmu. Kau pasti punya akal untuk mencari jalan keluarnya.” Basri jadi jengkel dengan jawaban itu. Kemudian mengajak Nancy untuk minum kopi di cafetaria. Dua bungkus lemper di lahap Nancy, sesudah itu mereka kemabali lagi duduk di ruang tunggu. “aku cuma inginkan satu, Basri, kau jangan hidup berpetualang untuk mendapatkan bahan bagi cerita-ceritamu. Tidak adil kita sebagai seniman membuat sesama manusia sebagai eksperimen kita.” “Kau ini ada saja. Kau pikir semua novel-novelku itu berdasarkan pengalaman semuanya? Gila kalau kau beranggapan demikian.” “Mungkin tidak seluruhnya. Tapi seniman mencipta sedikitnya berdasarkanb pengalaman dan penghayatan hidupnya sendiri. “Kau tidak dapat menipu diriku.” “Kau sendiri menulis berdasar pengalaman?” “Ya. Kalau kehidupan itu kuhayati sendiri, maka sajak-sajakku akan terasa hidup dan manis lalu satu soal yang ingin kukatakan, tapi jangan marah, ya?” “Apa?” “Dalam menyelesiakan kemelut nyonya Santoso kau jangan masukkan diriku dalam hitunganmu. Kau selesaikan saja seolah aku ini tak pernah ada dalam hidupmu. “Seolah aku tidak pernah bertemu dengan aku dan kau tidak pernah menyatakan cinta padamu? Apa kau anggap pernyataan cintaku padamu sesuatu yang murah?” sindir Basri. “Ya,” jawab Nancy lirih. Mau rasanya Nancy menitikkan air mata. Tapi ia tahu kini bukan waktunya untukmenangis. “Seandainya aku benar-benar tidak pernah ada dalam hidupmu, Basri, apakah kau juga akan merasa sulit memecahkan kemelut itu?” tanyanya kemudian. “Ya. Suatu perkawinan tidak mungkin si antara kami, ia lebih tua tujuh tahun. Aku memang tak berniat untuk mengawininya,” jawab Basri terus- terang. Jawaban ini benar-beanr di luar dugaan Nancy. “Alangkah rendahnya kalau demikian moralmu,” katanya seraya menatap wajah Basri dengan penuh penyesalan. “Tidakkah terselip dalam lubuk hatimu Basri,” sambungnya.” Bahwa nyonya Santoso rusak hidupnya gara-garamu dan bukan gara-garanya?” “Aku memang tidak menyukai lembaga perkawinan !” bantah Basri keras. “Lalu apa maumu?” “Mengapa dua orang yang saling menyinta harus diikat oleh lembaga itu? kau lihat sendiri berapa banyak perkawinan yang hancur berantakan tetapi dipertahankan terus sekedar untuk memenuhi status suami-istri saja? Apakah yang dituntut dari perkawinan itu selain kebahagiaan. Mengapa untuk mencapai itu saja manusia harus diikat oleh sebuah lembaga yang gila?” “entahlah jika kau beranggapan demikian. Aku kira kau munafik. Mengapa dalam novelnovelmu dan dalam essay-essaymu kau junjung tinggi soal moral, etika dan lai-lainnya, tapi dalam kehidupanmu sendiridemikian ini? lagi pula dalam dua hal orang bercinta, kalau lahir anak-anak, tidaklah mereka berhak akan status hukum?” 36


“Sebelum aku datang, kaumencintainya bukan?” sambung Nancy. Basri diam. Pendapatnya tentang perkawinan pernah ia utarakan pada nyonya Santoso. “Jawab yang jujur, Basri!” “YA,” jawab Basri perlahan. “Sama seperti sekarang kau cinta padaku?” “Lain ! cintaku padanya lain dengan cintaku padamu. Cintaku padamu suci. Tidak terselip sedikitpun soal sex di dalamnya. Cintaku padanya cuma didasari pada soal sex melulu…..” “Lalu dapatkah cinta hidup tanpa sex, Basri?” Dikejar dengan pertanyaan itu, Basri yang biasnaya lancar dalam menuliskan kata-kata di dalam novelnya kini terpojok. “Seandainya kit bertemu dan di antara kita tidak pernah ada orang ketiga. Apakah kau juga akan mengawini aku secara sah, Basri?” tiba-tiba Nancy menyerang lagi. Basri tersentak dengan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang polos tetapi sangat menghujam hatinya. “Jika sesaat ini juga kau bersedia kujadikan istri, maka kau akan kujadikan istri yang sah, dengan syarat apa saja yang kau kehendaki……” Nancy tertawa sambil berkata: “Tadi kau bilang kau tak menyukai lembaga perkawinan. mengapa ksu kemudian meu kawin denganku?’ Sebelum Basri menjawab, tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa calon penumpang jurusan Semarang dipersilahkan masuk ke ruang tunggu di mana sekarang meeka berada. “Aku sudah billang, kau ini lain. Aku mencintaimu dan aku ingin kau jadi ibu anak-anakku kelak” Lagi-lagi Nancy tertawa mendengar jawaban Basri dan ini membuat Basri gemas. “Mengapa kau tertawa?’ “Karena aku benar-benar tidak mengerti cara berfikirmu. Di satu pihak kau tidak mau mengawini nyonya Santoso, di pihak lainnya kau mencintai dan ingin memilikinya. Lalu kau mencintai aku dan ingin membuat aku jadi ibu anak-anakmu. Apakah kalau kita kawin kau hendak membuat aku menderita karena tahu bahwa suamiku masih berhubungan dan cinta pada wanita lain? Tidak Basri, seperti yang kukatakan, sebaiknya kau anggap aku tak pernah ada. Selesaikan persoalan nyonya Santoso dan untuk penyelesaian itu aku ingin kau memperlihatkan kebesaran hatimu. Kita akan berbicara lagi mengenai hubungan kita sendiri kalau persoalanmu sudah selesai!” Bertepatan itu ada pengumuman lagi yang meminta calon penumpang yang sudah menunggu agar menaiki bis yang sudah disediakan. Nancy berdiri, mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Basri. Tapi Bari tak menerima uluran tangan itu. Ia bahkan menarik nya dan memeluk Nancy dalam dekapannya. Di sinilah kehangatan Basri sebagai seorang laki-laki. Ia kadang-kadang bertinfak di luar daya pikir perempuan yang sedang dihadapinya. Nancy jadi bingung, Betapapun juga, meskipun ia pernah tinggal lama di Amerika ia sudah menghayati kembali kehidupan di tanah airnya. Ia jadi measa kikuk dengan sendirinya dipeluk di muka orang banyak meskipun hati kecilnya sangat suka. “Kau tunggu aku besok di hotel, dan kau jangan pergi-pergi.” “Aku tidak janji……” Basri terkejut. “Kau harus janji, Nancy. Aku pasti datang besok.”

37


“Kita jangan mendahului kehendak Tuhan. Kemarinpun kau sudah bertekad untuk bersama. Kemudian timbul persoalan. Besok kalau Tuhan memang 0menghendaki kita akan bertemu kembali….,” lalu Nancy segera melepaskan diri dari pelukan Basri, karena kini adalah gilirannya yang terakhir untuk masuk ke dalam bis yang akan mengantarkannya ke pesawat. Ia berlari menuju ke pintu dan berteriak: “Sampai besok!” Tapi Nancy tak manjawabnya. Cuma melambaikan tangannya. Sesudah bayangan bis yang membawa Nancy lenyap dari pandangannya, baru Basri meningalkan ruang tunggu itu. Ia segera menuju ke taxi box. Minta tolong di panggikan taxi box itu. Kemudian diberikan kepada gadis manis penjaga box itu. Kemudian ia pilang ke Surabaya. Dalam perjalanan pulang seorang diri ia mencoba merenungkan semua pembicaraan Nancy. Ia tak mampu untuk mengnalisa, apakah Nancy benar-benar cinta padanya atau tidak. Masakah gadis polos itu mempermaikannya? Mengapa Nancy menghendaki agar ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan kemelut persoalan nyonya Santoso? Apakah yang dimaksud dengan bertanggungjawab? Apakah itu berarti bahwa ia harus berani mengawini perempuan itu jika seandainya suami-istri bercerai? tiba-tiba dengan mengingat semuanya timbul rasa cemas dalam hatinya. Jangan-jangan besok ia tidak bisa bersuai kembali dengan Nancy. Ya, ia sadar skarang bahwa dalam hal ini Nancy hendak bekoban untuk dirinya dan nyonya Santoso. Gadis itu rela memendam rasa cintanya demi kebahagiaan perempuan lain. Oh, alangkah luhurnya budi Nancy. *** Naik ke pesawat dan duduk di kursi yang sesuai dengan nomor tiketnya, Nancy melamun. Ia menyematkan sabuk pengamannya dan tiba-tiba saja air matanya menitik jatuh. Ia tadi sudah bersikap sedemikian rupa untuk menguatkan hatinya berhadapan dengn Basri dalam menghadapi masalah nyonya Santoso. Ia tadi berusaha tertawa dan menggoda, padahal dalam hatinya ia menangis. Semestinya ia tak sanggup untuk bersikap seperti tadi. Ia sendiri heran mengapa ia tadi bisa besrikap setegas itu dan menggunakan otak dingin. Ketika pesawat tinggal landas ia sudah tak merasakan lagi. Pikirannya melayang jauh entah kemana. Ia sekarang teringat kepada Hardjo suami istri. Andai saja ia tak menuruti saran kedau suami istri itu, pastilah keaadaanya tidak sepertim sekarang ini, ia pasti tidak akan menderita batin seberat ini. Tiba-tiba rasa kasihannya terhadap Basri. Laki-laki seperti Basri ini sebenarnya harus bisa hidup bahagia. Ia seorang pengarang, masih muda, honorariumnya tinggi, mau apa lagi? Tapi mengapa Ttuhan memberikan kehidupan yang tak karuan kepadanya? Mengapa Tuhan tidak memberikannya ketenangan agar ia lebih mampu menciptakan karyakarya besarnya. “Oh, Basri, andai kau tahu perasaanku sekarang ini.” Keluhnya dalam hati. Lalu air matanya berderai lagi. Keadaanya ini menarik perhatian laki-laki setengah baya yang duduk di sampingnya. “Maaf, nona, apa anda sakit?” tegur nya. “Tidak. Tidak. Saya tidak apa-apa,” jawab Nancy seraya menyeka air matanya. “Mengapa anda menangis?”

38


“Adakah kesusahan yang lebih dalam daripada kepidihan hati karena melihat orang yang kita cintai menderita?” tanya Nancy sebagai jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. Laki-laki itu bengong, tak dapat memberikan jawaban. Ia cuma bergumam sendiri mengulangi pertanyaan Nancy: “Adakah kesusahan yang lebih dalam daripada kepedihan hati karena melihat orang yang kita cintai menderita?” “Adakah suami sakit?” tanyanya kemudian. “Saya belum bersuami.” “Oh, lalu adakah kekasihmu menderita?” “Ya, karena ia mencintai perempuan lain dan juga mencintai diri saya” Sekali lagi laki-laki itu bengong. Kini ditatapnya gadis yang duduk disampingnya itu. Tidak ada keanehan pada diri gadis ini kecuali kesederhanaannya. “Anda masih kuliah?” tanyanya. “Saya seorang penyair” lagi-lagi jawaban ini membengongkan hati laki-laki ini. Ah, kini ia dapat memaklumi mengapa sifat gadis yang duduk di sampingnya ini aneh. Menurut jalan pikirannya, penyair adalah sama dengan pengarang, penyanyi, yang mempunyai sifat aneh-aneh. Ia kemudian tak memperdulikan gadis itu lagi, karena lewat corong di dalam pesawat itu terdengar pengumuman agar sabuk pengaman dipakai dan rokok-rokok dimatikan. Ia segera menggunakan sabuk pengamannya. Pesawat tak berapa lagi mulai landing di pelabuhan udara Semarang. Dalam perjalanan yang singkat itu Nancy sudah memutuskan bahwa ia tidak akan bermalam di hotel telomoyo seperti yang disepakati bersama dengan Basri. Ia sudah memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Basri, apapun juga akibat yang bakal dihadapinya, meskipun ia menyadarinjuga bhwa kelakuannya itu akan membuat hati Basri jadi lebih sedih. Ini lebih baik menurut pendapatnya daripada kalau persoalan persahabatanya dengan Basri sudah berlarut-larut. Dengan sebuah taxi ia menuju ke rumah david, aktivis mehasisiwa Semarang yang mengundangny, yang sangat terkejut melihat wajahnya yang pucat. “Kau sakit?” tanya david. “Tidak, aku mabuk udara” jawab Nancy berusaha untuk senyum lalu keduanya berjabatan tangan secara akrab. David kemudian mengajak Nancy masuk ke rumah orang tuanya. Ia melihat perubahan yang menyolok pada diri penyair ini. Biasanya Nancy penuh dengan tawa riang gembira. Kehadirannya sekarang ini tidak. Nampak seperti ada pa-apa yang terpendam dalam hatinya. “Bagaimana kalau ceramah nanti malam dibatalkan, Vid,” tiba-tiba tanya Nanacy. “Apa?” jawab David terkejut. “Aku sebenarnya ingin membatalkan ceramah nanti malam. Aku ingin tidur terus sehari ini. Capai………….” “Gila kau ! undangan sudah tersebar sejak lima yang hari lalu. Rektorpun janji mau datang.” “Kalau bisa tolong batalkan …….,” pinta Nancy. David sekarang terkejut. Ia tak menduga bahwa Nancy serius. “Kau istirahatlah dulu, ibuku sudah menyediakan kamar untukmu. Mari kuantarkan.” Nancy menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dulu denganmu. Mau kau menemani aku?” “Kau tamuku dan aku siap,” jawab David berusaha untuk membuat suasana jadi kocak. Tapi ia tak berhasil. Pada wajah Nancy masih membayangkan satu kemelut. “Kau pernah jatuh cinta, Vid?” tiba-tiba tanya Nancy mengejutkan David. 39


Ia menggelengkan kepalanya. “Benar kau tak pernah jatuh cinta?” “Aku cinta pada rakyatku,” jawab David. Nancy tersenyum. David memang dikenalnya sebagai seorang mahasiswa yang akrab dengan rakyatnya. Ia populer di kalangan masyarakat sebagai seorang aktivis mahasisa yang brilyan. Tulisannya yang menunjukan kebobrokan dalam masyarakat sering dimuat di harian-harian pusat. Beda dengan aktivis-aktivia mahasiswa lainnya, Davis bukan cuma sekedar mengeritik. Tapi ia mampu memberikan jalan keluar mengatasi persoalan yang dikemukakannya. Sebagai mahasiswa tingkat terakhir jurusan ekonomi, memang otaknya brilyan. Setingkat dulu Nancy kagum pada David. “Kau sekarang mungkin sedang jatuh cinta?” tanya David. Nancy tersenyum lagi. Kini mulai cerah wajahnya, terhias senyumnya yang polos. “Aku menderita karena jatuh cinta, Vid,” jawab Nancy jujur. “Kaumencintai laki-laki yang sudah beristri?” “Bukan, tapi laki-laki itu mencintai perempuan yang sudah bersuami……….” “Apa salahnya? kejar terus!” “Kau enak saja kalau bicara. Kau sendiri pasti pusing kalau menghadapi persoalan seperti diriku sekarang….” “Inilah keuntunganku sebagai laki-laki yang tak pernah jatuh cinta. Aku melihat semua wanita itu bagus-bagus. Aku sulit memilihnya…….” “Kau tokh pada akhirnya harus beristri juga?” “Nanti sajalah kalau studiku saudah selesai. Lalu omong-omong, siapa laki-laki yang mempesona dirimu itu? “Kau mungkin sudah pernah mendengar namanya : Basri Siregar.” “Basri Siregar? Pengarang dari Surabaya itu? Apakah ia belum beristri?” “Belum. Aku kira ia sudah tua” “Umurnya baru dua delapan” “Hem semuda itu dan kau tertarik padanya. Lucu !” “Apanya yang lucu?” “Aku katakan lucu, karena Benny, mahasiswa jurusan teknik yang pernah menyatakan cinta padamu, kau tolak.” “Benny tidak mencintai diriku, Vid. Ia laki-laki yang penuh dengan petualangan. Kau sendiri tentu tahu berapa banyak mahasiswi yang jadi korban kegantengannya……..” “Ia memang playboy. Lalu apa pengarangmu itu juga bukan seorang playboy?” Nancy menggelengkan kepalanya. “Kau katakan tadi ia mencintai perempuan yang sudah bersuami?” “Ya” “Itu kan namanya skandal” “Nancy menundukkan kepalanya. Ia termenung mendengar jawaban David. “Skandal? ya memang. Itu sebuah skandal,” keluhnya dalam hati lalu suara batinya membantah lagi: “Tapi mereka saling mencinta……” “Manusia ini lahir karena cinta kasih. Kita tak mungkin mati karena cinta. Santai-santai sajalah….” Ujar David kemudian. Lalu sambungnya. “Kau istirahatlah dulu……” ***

40


Malam itu untuk sesaat Nancy dapat melupakan derita hidupnya ketika ia berada di tengahtengah mahasiswa dan mahasiswi Semarang yang asyik mendengarkan ia membaca sajak. Lebih-lebih ketika sang playboy Benny naik juga ke atas pentas bersama gitarnya dan mengiringi pembacaan Nancy. Suasana jadi hangat oleh tepukan tangan para hadirin. Benny memang top di kalangan mahasiswa dan mahasiswi. Benny yang playboy tetapi kocak itu segera meminta Nancy untuk membacakan sajaknya bersamaan. Nancy yang membcakan dalam bahasa Inggris dan Benny yang membawakan dalam bahasa Indonesia, kalimat demi kalimat. Permintaan Benny kepada Nancy itu mendapat sambutan luar biasa. Nancy kemudian memilih sajaknya yang pernah diterjemahkan oleh Basri untuk pertama kalinya, sajaknya yang penuh kenang-kenangan pada laki-laki yang bernama Basri disaksikan air mancur di kotamadya Surabaya yang sudah tidak memancurkan airnya itu. Benny yang memang punya suara bagus mendeklamasikan sajak itu dengan penuh perasaan diiringi petikan gitarnya. Hadirin bertepuk tangan dan Nancy selesai membacakab sajaknya menunduk menghormat, tapi detik itu juga air matanya neitik jatuh. Yang tahu akan perubahan ini cuma David yang duduk di samping Rektor. Ia segera naik keatas panggung dan membawa Nancy turun untuk diperkenalkan pada Rektor. “Kau jangan menangis. Kukenalkan dengan big boss,” bisik David. Benny yang tak tahu apa-apa jadi kesima. Nancy kemudian ikut duduk di samping Rektor memperhatikan pembacaan sajak-sajak protes yang dibacakan oleh para mahasiswa dari berbagai jurudan universitas itu. Cuma sesaat Nancy dapat bergembira. Ketika acara itu selesai jam sepuluh malam, hatinya jadi kosong kembali. Ingatannya melayang ke Surabaya penuh dengan pertanyaan : “Masihkah Basri berbincang dengan nyonya Santoso saat ini?” Kekawatirannya sebenarnya tak perlu, karena basri justru telah berada di luar kampus sekarang menunggunya selesai membacakan sajaknya dan bukan di Surabaya…… ***

Sesampainya ia di rumah habis mengantarkan Nancy ke airport, Basri merebahkan diri kembali ke atas kasurnya. Dalam pikirannya berkecamuk macam-macam persoalan yang rumit. Bukan persoalan nyonya Santoso yang dipikirkan. Tapi Nancy. Gadis ini seolah memberikan bayangan yang samar-samar bahwa ia akan mengelak untuk bertemu kembali di Semarang. Ia jadi kawatir akan nasib gadis itu. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, memakai bajunya lalu dengan becak ia menuju ke kantor tilpon di Jembatan Merah. Dari sana ditilponnya rumah Nyonya Santoso. Kebetulan nyonya Santoso sendiri yang menerima. Mendengar suaranya nyonya Santoso segera bertanya: “Kau di mana sekarang?” Basri tak memberikan jawaban atas pertanyaan. Ia segera berkata: “Kau datanglah kerumahku. Sore nanti aku harus ke luar kota” “Aku tak bisa ke luar, Basri.” “Usahakanlah kau datang pagi ini. Carilah akal,” desak Basri . “Basri….aku …..,” tapi tilpon itu kemudian ditutup oleh Basri dan iapun pulang. Inilah kelebihan Basri dari laki-laki lai. Terhadap wanita ia bisa memaksa tanpa orang yang dipaksakannya merasa. Nyonya Santoso jadi jengkel ketika hubungan tilpon diputuskan oleh Basri. 41


Sulitnya sekarang, ia tak tahu darimana Basri menilponya. Basri, Ia memang memerlukan lelaki itu untuk merundingkan persoalannya. ***

Tiba di rumah Basri, nyonya Santoso menjumpai laki-laki itu sedang mengetik. “Kau mau ke mana sore nanti?” tanyanya. “Ke Jakarta,” jawab Basri. Ia tak hendak memberitahukan kemana ia sesungguhnya hendak pergi. “Basri, aku sudah mengakui semua pada suamiku tentang hubungan kita,” kata nyonya Santoso. “Lalu?” tanya Basri seenaknya. “Sebagai hukumannya aku dilarang ke luar rumah. Sekarang inipun aku mencuri-curi ke luar. Setiap saat ia selalu menilpon pembantu untuk menanyakan aku ada di rumah atau tidak. Aku tadi bilang sama pembantu ke luar sebentar….” “Sekarang apa yang mau kau bicarakan sore nanti,” “Itulah, suamiku sudah tahu.” “suamimu bukan tahu, tapi kau beritahu, bukan?” “Ya.” “Kau memang perempuan gila, sinting ! Hidup seperti kita ini yang nyrempet-nyrempet bahaya seharusnya saling dirahasiakan. Tapi kau, diobralkan saja.” “aku terdesak basri” “Kau bukan tipe perempuan yang mudah terdesak. Kau pandai, kau licin!” “Kau marah padaku, Basri?” “Aku cuma bilang kau sinting dengan semua ceritamu tentang hubungan kita kepada suamimu,” kata basri ketus. “Aku bahagia hidup bersamamu,” Basri, oleh karena itu aku ingin semua orang tahu bahwa aku bahagia bersamamu, bela nyonya Santoso mengiba. “Kau bukan ingin semua orang tahhu kalau kau bahagia. Kau cuma ingin membuat hati suamimu cemburu, lain tidak !” “Itu tidak beanr, Basri ! Aku justru membuka semua persoalan karena aku sudah muak melihat suamiku. Aku ingin ia marah dan menceraikan diriku.” “Tapi kau semestinya tahu bahwa ia takkan menceraikan dirimu. Bahwa ia sampai membiarkan dirimu bergaul dengan diriku selama lima tahun ini, sudah cukup buat kau mengerti bahwa ia tidak menginginkan perceraian. Lalu buat apa kau bongkar semua urusan kita. Kau benar-benar perempuan sinting !” kata Basri marah. “Kau tidak mengetahui situasiku saat ini. Aku terpojok sehingga pada akhirnya aku tidak bisa membela diri” “Tidak ! Tidak ! kau tidak pernah bisa dipojokkan. Andaikan suamimu mampu memojokkan dirimu, maka hubungan kita tidak akan berlarut-larut seperti sekarang. Kau memang sengaja. Mungkin juga kau sengaja untuk membalas dendam padaku karena kau tahu aku mencintai gadis lain.” “Basri !,” jerit nyonya Santoso putus asa. Hatinya sakit dituduh seendah itu oleh Basri. Tak pernah terbetik dalam pikirannya untuk membalas dendam pada Basri. Bahkan jika seujung rambut saja Basri di ganggu oleh suaminya ia rela membunuh kedua anaknya lalu membunuh dirinya pula. Bukankah ini suatu tanda bahwa ia tidak dendam, malahan cinta pada Basri? 42


“sesukamulah kau mau menuduh apa aku ini,” katanya akhirnya dengan nada yang sedih. Lalu sambungnya: “Mungkin juga aku salah. Aku memang tak berhak menuntut cinta dari kau. Biarlah aku pulang.” Nyonya Santoso kemudian hendak beranjak pulang, tapi Basri menahannya. “Kau duduklah dan bicara apa yang mau kaubicarakan dalam suratmu tadi pagi” “Apa lagi yang mesti kubicarakan jika kau sudah salah mengerti begitu?” “Ok lah aku dengarkan,” kata Basri. Nyonya Santoso senyum. Manis sekali dan matanya liar memandang Basri. “Aku inginkan perceraian, Basri. Dapatkah kau memberi aku jalan bagaimana perceraian itu harus diurus?” “aku bukan seorang pengacara,” “aku sudah tanya pada pengacara, tapi jalannya sulit. Semua tugas kewajiiban suamiku sebagai seorang suami sudah dilakukan dengan baik. Ia tak mempunyai kesalahan apa-apa yang bisa dituntut untuk suatu perceraian. Tunjukkan aku jalan.” “Mana aku bisa? Atau aku datang kerumahmu lalu kita berhubungan kemudian tertangkap basah oleh suamimu? tanya Basri sinis. Nyonya Santoso sedih mendengar jawaban Basri yang sinis. “Seandainya aku becerai aku tidak menuntut kau mengawini diriku, Basri. Ini daja asal kau tahu” “Mengapa kau berubah pikiran terhadap diriku?” “Aku tidak berubah. Cuma dalam pembicaraan kita dulu, aku menyadari bahwa kau sesungguhnya memang tidak berniat untuk mengawini diriku. Aku tidak salahkan kau. Kau memang lebih muda dan untuk itu kau butuh perempuan yang lebih muda lagi. Bukan tipe aku,” jawab nyonya Santoso sedih. “Lalu mengapa kau ingin cerai?” “Aku sudah membulatkan tekadku. Aku akhirnya sependapat dengan pendapatmu, buat apa lembaga perkawinan kita pertahankan jika tujuannya cuma untuk mengejar status saja.” “Anak-anakmu?” “Sesuai dengan hukum, anak-anakku pasti harus ikut aku karena mereka belum dewasa. Aku akan hidup untuk anak-anakku sesudah cerai.” “demi mereka kau pikirkanlah sekali lagi niatmu untuk bercerai.” “Tidak Basri, berapa hari ini aku sudah merenung baik-baik, sudah kukaji untung ruginya dan aku akhirnya sampai pada pemikiran bahwa perceraian adalah jalan yang terbaik untukku dan anak-anakku.” Nyonya Santoso diam sesaat. Lalu sambungnya. “Jangan seperti sekarang. Aku masih terikat pada status perkawinan sebagai istri orang, tapi aku mencintai laki-laki lain.” “Maksudmu kalau sudah bercerai kau bebasa begitu?” “Bukan. Demi cintaku padamu, aku harus mengakhiri persahabatan kita ini. Aku tahu bahwa kau mencintai gadis lain yang lebih punya arti daripada diriku. Sesudah bercerai aku akan menganggap apa yang terjadi di antara kita ini cumalah satu mimpi yang buruk. Percayalah, aku tidak akan jatuh ke pelukan laki-laki lain. Satu saja sudah membuat kepalaku pusing sampai hampir gila.” Basri jadi heran. Tidak sampai satu hari ia menghadapi dua orang perempuan yang rela berkorban untuk kepentingannya. Nyonya Santoso bersedia berkorban agar ia bisa kawin dengan Nancy. Sebelumnya, Nancypun bersedia berkorban agar ia dapat kawin sengan nyonya Santoso. Ingat semuanya ini ia menganggap hidup ini sangat lucu dan tanpa terasa ia senyum sendiri.

43


“Mengapa kau senyum? Kau tak percaya akan apa yang kuucapkan tadi,” tanyan nyonya Santoso. “O, tidak, tidak” jawab Basri cepat setelah ia sadar dari lamunannya. “Lalu mengapa kau senyum sendirian? Menertawakan aku?’ “Aku jadi geli mengahadapi hidup ini. Seperti mimpi saja layaknya.” “Hidup ini bukan seperti mimpi Basri. Terkurang dalam rumah beberapa hari ini aku mempunyai kesempatan untuk berpikir, bahwa apa yang terjadi selama ini antara kita adalah salah. Yang kita kejar selama ini cuma kepuasan masing-masing saja. Kita sampai-sampai tidak memperhitungkan moral lagi. Meskipun demikian aku tak menyesal telah menjalani hidup yang sedemikian itu, karena aku bahagia bersama kau. Seandainya waktu ini bisa kembali, tisak ingin mengulanginya lagi.” “Kalau kau tak ingin mengulanginya lagi, mengapa perceraian yang kau tuntut. Mengapa kau tidak kembali ke suamimu dan menjalani kehidupan seperti sebelum kau mengenal aku.” “Itu tak mungkin. Kami masing-masing sudah punya noda. Tak mungkin ada kejujuran lagi dalam hidup kami.” “Lalu sesudah perceraian itu kau mau apa?” “Aku akan berusaha untuk hidup yang wajar sebagai seorang janda, membawa kenangankenangan manis dari hidup bersamamu dan bahagia melihat kau bahagia,” jawab nyonya Santoso seraya memandang jauh ke langit-langit kamar. Sambungnya kemudian: “Cuma aku tak yakin, apakah suamiku mau menceraikan diriku atau tidak, itu aku belum pasti. Di sinilah kelemahan kami kaum wanita. Kalau kami salah, gampang saja kami diceraikan, tapi kalau kami yang inginkan perceraian repotnya seperti memindahkan gunung Semeru.” “Bagaiman dengan hubungan kita?” tanya Basri. Pertanyaan ini yang paling ditakutkan nyonya Santoso. Ia mungkin memberikan jawaban yang bertentangan dengan hati nuraninya. Ap yang dikemukakan di atas itupun sebenarnya merupakan perjuangan batinnya. Betapapun juga ia sangat mencintai basri dan setelah peceraian dengan suaminya sudah barang tentu ia menginginkan perkawinan dengan Basri. Namun ia sadar. Ia tak mungkin. Ia lebih tua dan Basri pasti tak mau. Lalu apakah hubungan mereka harus tetap sama seperti hubungan selama lima tahun ini. Akhirnya sambil menguatkan hati ia berkata : “Aku cinta padamu, Basri. Aku bahagia bersamamu, tapi tidak akan ada kebahagiaan yang lebih besar pada diriku selain melihat kau bahagia, meskipun kebahagiaan dirimu itu dengan gadis lain.” Ia berusaha untuk tidak menitikkan air matanya. Ia menguatkan hatinya. Basri betapapun juga adalah manusia yang punya perasaan. Betapapun ia sudah bertekad untuk meninggalkan nyonya Santoso dan lari kepada Nancy, namun ia tak mampu menahan gejolak hatinya mendengar semua omongan nyonya Santoso yang berkisar rela mundur demi kebahagiaannya. Ia mengulurkan tangannya memeluk nyonya Santoso. “Maafkan, aku terlampau sering menyakiti hatimu,” katanya berbisik. “Tidak. Kau tidak pernah menyakiti hatiku. Aku bahagia bersamamu.” Ia membalas memeluk dan menangis dalam pelukan Basri. “Aku akan datang pada suamimu untuk memintamu,” tiba-tiba Basri berkata yang sangat mengejutkan hati nyonya Santoso. “jangan Basri. Jangan !,” ujar nyonya Santoso seraya melepaskan pelukannya. Di pegangnya kedua tangan Basri dengan perasaan sayang . “Jangan,” katanya lagi. 44


“Mengapa?” “Aku tak ingin kau terlibat dalam urusanku.” “Itu bukan cuma urusanmu. Ini urusan kita” Berkata sampai di situ Basri segera teringat kata-kata Nancy: “Tidakkah terselip dalam lubuk hatimu, bahwa nyonya Santoso rusak hidupnya gara-garamu dan bukan gara-garanya?’ kalimat ini seolah berdentang di telinganya. Nyonya Santoso yang juga terkejut mendengar kalimat Basri yang terakhir memandang lakilaki itu dengan mata yang terbuka lebar. “Benarkah kau anggap ini urusan kita, Basri?” “Oh, Basri, Basri,” lalu ia nubruk Basri. “Aku sangat cinta padamu. Justru sifatmu inlah yang membuat aku tidak bisa lupa padamu. Aku sayang padamu…….”

*** Hari itu juga, dengan pesawat sore Basri terbang ke Semarang perjalanan yang cuma setengah jam itu dilewatkan dengan duduk melamun. Entah apa yang dilamunkannya. Macam-macam persoalan berkecamuk dalam batinnya. Sesampainya di Semarang dengan sebuah taxi ia minta diantarkan ke hotel Telomoyo. Di sana hatinya tersentak. Ketika ia menanyakan nomer kamar Nancy ia bukan mendapat jawaban yang diminta, melainkan sampul surat yang kata resepsionis itu titipan dari seorang gadis yang datang siang tadi bersama seorang pemuda. Sampul itu segera dibukannya. Di dalamnya dijumpai uang lima puluh ribu yang tadi pagi diberikannya kepada Nancy dan sepucuk surat. Surat itu segera dibuka dan dibacanya: Basri, Kau jangan terkejut kalau kau tidak menjumpai ddiriku di sini. Aku sudah berfikir panjang selama setengah hari ini. Aku sebagiknya menghilang dari perjalanan hidupmu. Kau jangan mikir aku, doakan aku tabah menghadapi percobaan hidup ini. Sahabatmu Nancy. Surat itu kemudian diremasnya dengan geram. “Gila !’’ katanya dalam hati. Ke mana ia sekarang harus mencari Nancy. Tadi pagi ia lupa untuk menanyakan di kampus mana Nancy akan membacakan sajak-sajaknya. Sedangkan berapa kampus yang ada di Semarang? Mengapa orang-orang ini sudah jadi gila semua, pikirnya dalam hati. Tapi manusia seperti Basri tak kekurangan akal. Ia segera meminta pinjam buku telpon dan dicatatnya alamat semua perguruan tinggi yang ada di Semarang. Ia yakin di salah satu tempat itu Nancy pasti berada. Ia masih ingat Nancy menyebutkan pembacaan sajaknya akan diadakan di dalam kampus. Catatan alamat itu kemudian diberikan kepada sopir taxi yang ada di muka hotel. “Datangi semua alamat yang di situ,” katanya pendek lali masuk ke dalam mobil. Sejam ia berkeliling tapi hasil yang didapatnya masih nihil. Jam sekarang menunjukkan pukul enam sore. Pembacaan sajak akan dimulai pukul tujuh. Celakanya, jarak kampus yang satu ke kampus yang lain cukup jauh sehingga memakan waktu banyak.

45


Sampai jam setengah delapan malam akhirnya ia berhasil menemukan di mana Nancy mengadakan pembacaan sajak. Ia sengaja tak masuk tapi menunggu di luar kampus. Taksi yang dicaternya disuruhnya pergi setelah dibayarnya. Lama ia menunggu dengan sabar, ketika mahasiswa-mahasiswi sudah banyaj yang ke luar ia melihat arlojinya. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ia masih menunggu. Tapi Nancy belum muncul juga. Baru sesaat kemudian Nancy muncul dalam sebuah mobil Citroen warna putih. Kebetulan Nancy sedang mendekatkan kepalanya dekat jendela mobil untuk membalas salam mahasisiwa-mahasisiwi yang menyapanya. Pandangannya segera tertumbuk pada tubuh Basri yang berdiri dekat gapura. Sekejap ia tak mempercayai apa yang dilihatnya. Ia sampaii memejamkan matanya untuk kemudian memperhatikan baik-baik figur laki-laki dekat gapura itu. Ketika ia sudah pasti ia segera berkata kepada David yang menyetir mobil: “Vid, aku berhenti di sini saja.” “Mengapa?” “Itu Basri, dia datang,” jawab Nancy menunjuk ke arah Basri. David dan Benny segera menengok ke arah yang ditunjuk Nancy. Keduanya melihat seorang laki-laki dekat gapura. “Kau ajaklah dia ikut,” ujar David seraya membuka pintu lalu lari ke arah Basri. “Mengapa kau di sini?” tanyanya. Basri cuma diam memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. “Ada yang aneh pada diriku? oh, mari kau kenalkan kepada teman-temanku,” lalu ditariknya tangan Basri yang mau tak mau harus ikut menuju ke mobil di mana David dan Benny menunggu. Ketika melihat Nancy kembali, kedua pemuda itu turun. Keduanya segera diperkenalkan oleh Nancy kepada Basri. “Mengapa anda tidak masuk tadi,” ujar David seraya menjabat tangan Basri. Andai anda masuk, tentu ramai pertemuan kita tadi,” ujar Benny menimbrung. Ketiganya lalu bercakap-cakap penuh dengan keintiman. “Marilah ikut kita semobil,” ujar David menawarkan jasa baiknya. “Biarlah, aku ingin menikmati udara malam kota Semarang bersama Nancy, andai ia tak keberatan,” jawab Basri seraya menatap wajah Nancy yang menunduk. “Biarlah aku jalan sama Basri. Besok kita akan ke rumahmu?” ujar Nancy kemudian ketika David dan Benny masih mengajak Basri untuk ikut dalam mobilnya. “Ok lah kalau begitu.” Mereka bersalaman lagi dan David menstart mobilnya. Belum jauh mobil itu melaju mendadak berhenti lagi. David menoleh ke belakang seraya memanggil Nancy yang segera berlari mengahampiri. Agak berbisik ia menggodanya: “He, air matamu tadi pagi itu air mata buaya, ya?” “Busyek kau !” seru Nancy tertahan seraya memukul lengan David yang bersandar di jendela mobil. “Asyiik,” ujar Benny ikut menggoda. “Ok, sampai besok,” kata David seraya menjalankan mobilnya lagi. “Sampai besok,” ujar Nancy seraya melambaikan tangannya. Ia kemudian kembali ke Basri, yang nampaknya sangat lesu malam itu. “kau sudah lama menunggu?” tanya Nancy.

46


Basri tak menjawab, hanya memanggil sebuah becak dan dimintanya untuk mengantarkan ke hotel Telomoyo. Keduanya membisu agak lama. Nancy memang sengaja tidak ingin memulai pembicaraan. Ia sudah yakin bahwa Basri sudah datang ke hotel di mana ia menitipkan surat dan sejumlah uang yang diterimanya dari Basri pagi tadi. Surat itu diantarkan bersama David siang tadi. Basripun diam membisu. Tak ada hasrat untuk memulai pembicaraan. Jalan agak jauh, Nancy yang memang punya sifat periang agak canggung dengan keadaan yang diam membisu ini. Ia akhirnya mau juga memulai pembicaraan: “Kau sudah makan malam ini?” basri masih diam membisu. “Kau sudah makan?” “Makan angin ya?” jawab Basri masa bodoh. “Mengapa kau nampaknya marah padaku, Basri?’’ “Oh, jadi aku mesti senyum padamu, merangkulmu dengan penuh kasih sayang sesudah kau menyakiti hatiku seperti sekarang ini?” jawab basri agak keras. “Hsstt, jangan keras-keras Basri. Bang becak ini nanti bisa tahu kalau kita bertengkar. Laginya apa sih yang harus kita tengkarkan? “Memang tidak ada.” “Menurutku juga memang tidak ada,” jawab Nancy. Jawaban itu membuat hati Basri jadi geram. Tapi ia tak bisa marah. “Tadi ada mahasiswi yang mengarng sajak begini, Basri,” lalu Nancy mencoba mengingat ingat apa yang didengarnya tadi: rafika Duri berpendapat : Cinta itu seperti air surgawi Cinta tak pilih kasih Cinta itu buta Cinta itu kejam tapi aku bilang: Cinta itu ya rindu ya benci……. Masih juga Basri diam. “Ok lah kalau kau tidak mau diajak bicara,” jawab Nancy akhirnya jengkel juga. Biar periang bagaimanapun juga iapun termasuk manusia yang keras hatinya. Lalu ia diam memeluk kedua lengannya memandang jauh ke depan. “Kalau kau anggap aku bersalah padamu, Ok lah aku minta maaf. Tapi kau juga punya salah dan kau harus minta maaf padaku,” kata Nancy kemudian setengah jengkelnya agak reda. “mengapa aku harus minta maaf padamu, aku tak pernah merasa salah padamu,” jawab Basri yang mau tak mau akhirnya harus juga bicara. “Enakmu. Yang salah jadi aku terus. Perempuan. Jadi perempuan itu salah terus. Yang lakilaki betul terus.” “Apa salahku?” “Terkalah sendiri !” “Nancy, kau bisa diajak bicara baik-baik atau tidak.” “Nah, jengkel bukan kalau kita dimasa bodohkan orang. Tapi aku bicara kau diam saja. Apa aku tidak jengkel? lalu kalau kau yang bicara dan aku tidak menjawab kau marah. Mana rasa keadilanmu?” “Karena itu aku tanya apa salahku. Kalau memang benar aku bersalah aku akan minta maaf. Tapi kau sendiri, apakah kau tahu apa salahmu padaku?’ 47


“Aku sudah meminta maaf, dan itu untuk semua kesalahan yang mungkin aku akan perbuat dengan sengaja atau tidak. Jadi aku tak perlu tahu apa kesalahanku padamu, dan kalau kau ingin tahu apa kesalahanmu,maka kesalahanmu cumalah satu yakni : Kau sama sekali tidak ambil perhatian terhadap apa yang sudah dilakukan malam ini. Mestinya kau tanya. Sukseskah pembacaan sajak-sajakmu. Banyakah yang datang?” “Gila, seperti anak-anak remaja saja. Kita sudah sama-sama tua begini masih mau pakai basabasian segala.” “Nah, sekarang mau minta maaf atau tidak” “Tidak, Aku cuma tak perduli dengan segala pembacaan sajak dengan sehala ceramah sastra dan lainnya. Yang kubutuhkan sekarang adalah kau sebagai perempuan.” “Ngebet benar kau ini,” lalu telapak tangannya dirabakan kedada Basri. “Wuih, detaknya keras, Kau ini marah atau napsu, Bas?” katanya lagi. Tapi ia tak sempat menggoda Basri terus karena becak yang mereka tumpangi tanpa terasa sudah memasuki halaman hotel. *** Nancy, Tak seorangpun sekarang ini yang mengetahui betapa gejolak yang ada pada diri gadis ini. Sejak pandangannya bertemu dengan Basri yang menunggu di luar kampus, pikirannya sudah berkecamuk tak karuan. Siang tadi ia sudah memutuskan untuk menerima saja tawaran dari Ford Foundation untuk menyelidiki perkembangan puisi di Thailand. Tawaran itu sebenarnya sudah pernah ditawarkan setahun yang lalu. Kalau malam ini ia masih mampu bergurau dengan Basri itu semua hanyalah karena keteguhan hatinya saja. Ia tak tahu mana ia pilih nomor satu. Jauh? Dekat? Ah, itulah sebabnya ia tadi mengatakan bahwa cinta itu ya rindu ya benci. Apalagi jika ia melihat keadaan Basri yang lesu sama sekali malam ini. Ia tak tahu lagi, apa yang harus diperbuatnya. Tekadnya siang tadi hancur berantakan…… Di hotel Basri segera memesan sebuah kamar yang ber AC. Sebelumnya ia memanggil dulu tukang jual sate ayam. Dipesannya limapuluh tusuk. Cuma sisa itu. Masuk kamar Basri segera membuka kran air panas dan dingin untuk mandi merendam diri. Kemudian ia membuka bajunya. Nancy tak melihat ia membuka kran. Yang dilihatnya cuma Basri membuka bajunya. Ia agak terkejut. “Mau apa Basri ini?” pikirnya dalam hati. Basri sendiri kemudian membuka celananya dan tinggalah ia dengan celana dalam dan baju singletnya saja. “Kau mau apa? “ tanya Nancy heran. “Apa segala gerak gerikku harus kulaporkan padamu? aku mau mandi.” “Oh,” desis Nancy reda kagetnya. “Aku kira kau mau apa,” gerutuku seoalah pada diri sendiri kemudian ia merebahkan dirinya begitu saja ke atas ranjang yang kasurnya dingin. Ingat bahwa basri memesan sate ia segera berdiri hendak ke luar. Sebelumnya ia berpamitan dulu: “Akuk ke luar dulu.” Mendengar itu, Basri yang sudah mau masuk ke badkuip keluar lagi dari kamar mandi. “Mau ke luar? ke mana?” “Duduk di muka kamar, tunggu sate. Kau cepat mandi” 48


Basri masuk kembali ke kamar mandi dengan hati yang lega. Benar juga, di muka kamar dilihat Nancy tukang sate sedang membakar pesanan mereka. Dilihatnya juga ada orang berjualan buah duren yang nampaknya sangat ramun. “Bang, duren di sini harganya berapa? tanyanya pada tukang sate. “Lihat-lihat barangnya, bu. Rata-rata seribuan.” “Mahal betul?” Tapi duren sini begini,” jawab situkang sate seraya mengacungkan ibu jarinya. Ia segera mengambil amplop dalam saku gaunnya. Uang di dalamnya dihitung. Semuanya duapuluh lima ribu untuk honorarium dan transport pembacaan sajak. Ia pikir dengan uang itu ia bisa sampai di Jakarta. Di sana ia nanti bisa menjual sajaksajaknya pad aharian Sinar Harapan atau Kompas yang memang sudah sering membelinya kalau kebetulan ia di Jakarta dan butuh uang. Ia heran melihat kehidupan kota Semarang ini. Pukul sebelas lebih masih ada orang berjualan duren di hotel. Nampaknya orang-orang Semarang memang gemar makan enak. Ia segera memanggil penjual durren itu yang segera membawa bakulnya ke dekat Nancy. “Berapa sebuah bang? tanyannya. “Yang mana?” “Terserahlah yang mana asal pilihkan yang manis-manis.” “Jangan kuatir. Semua duren-duren ini manis-manis. Lihat !” lalu sang penjual mendemonstrasikan barang dagangannya yang kuning langsat. “Tiga biji itu berapa?” “Lima ribu…..” “Lima ribu?” “Ya.” “Kalau begitu besok-besok sajalah saya beli kalau punya uang.” Jawab Nancy jengkel. “Berapa?” “Seribu.” “Yang benar saja. Masa duren tiga seribu” “Lha situ yang keterlaluan, masa duren tiga limaribu. Berapalah pantasnya?” “sudah begini saja. Tidak ditawarkan lagi. Tiga ribu pas.” “Masih terlalu mahal. Kalau boleh separohnya.” “wah, tidak bisa.” “Berapa?” “Itu harga pas.” “Sudah dua ribu” “Nggak bisa” persetan pikir nancy, duren tida buah duaribu tidak boleh. Ia tak hendak menaikan tawarannya lagi. Penjual itu rupanya tahu kalau tawarannya sudah paling top. “Tambah sedikit” “Tidak !” Penjual itu bergumam sendiri yang tak terdengar oleh Nancy. “Baiklah untuk pelaris malam hari……..” Penjual itu kemudian memilihkan tiga buah duren yang sudah dibukannya terlebih dahulu sehingga dagingnya yang tebal dan kuning langsat. Nancy mengeluarkan sampul uangnya lagi. Diambilnya uang lima ribuan. “Satenya berapa?” tanyanya. “Seribu, bu lontongnya sudah habis” 49


Uang lima ribu diberikan kepada penjual duren. “Kembali dua ribu sama satenya.” Uang kembalian itu kemudian dimasukkan lagi ke dalam sampul lalu dimasukkan ke dalam saku gaunnya. Ia kemudian membuka sebuah duren dan kemudian memakannya dureb dengan lahap. Duren Semarang memang lain dengan duren Suraya atau Malang. Duren Semarang penyh daging dan bijinya kecil-kecil. Sate yang sudah selesai dibakar dibiarkan saja di meja. Ia sibuk memakan durennya sehingga dalam waktu sekejap sebuah duren habis dilahapnya. Ia kemudian masuk untuk mencuci tangan dan berkumur. Dilihatnya basri masih tetap di kamar mandi. Ia memukul pintu kamar dengan genggaman tangannya. “Kau tidur atau mandi?” tanya, ’’ Satenya sudah siap.” Basri yang merebahkan dirinya di badkuip dan sengaja santai dalam air yang hangat jadi terkejut. “Kau makanlah dulu,” teriaknya dari dalam. Ia kemudian merendam dirinya kembali secara relax dan memejamkan matanya. Rasa capainya sekarang mulai hilang kena sengatan air panas. Nancy sendiri kemudian kembali ke luar. Sate itu dimakan tiap dua tusuk sekali lahap. Tenang-tenang ia makan, sehingga tanpa terasa sudah tigapuluh tusuk sate ia makan. Sampai tusuk keempatpuluh ia baru sadar bahwa ia harus berbagi dengan Basri. Saat ia terkejut sendiri karena tanpa terasa ia sudah menghabiskan empatpuluh tusuk, Basri muncul dengan rambut yang belum disisir dan rupanya cuma dibereskan dengan tangannya saja. “Sory Basri. Tinggal sepuluh.” Basri duduk sambil memandang piring sate yang tinggal sepuluh tusuk itu. Sejak siang tadi ia belum makan sampai malam ini. “Mana lontongnya?” “Habis. Tapi bukan aku yang menghabiskannya. Penjualnya bilang lontongnya sudah habis.” Basri tak bertanya lagi. Sepuluh sate itu kemudian dimakannya. “Kau lapar?” tanya Nancy ketika melihat betapa asyiknya basri memakan satenya. “Aku memang belum makan.” “Aku betul-betul sorry, Basri. Aku ini memang keterlaluan kalau menghadapi makanan. Selalu mau makan saja.” “kau makan banyak tetapi mengapa tubuhmu kerempeng begitu?” “Inilah karena tuhan terlalu cinta padaku. Ada orang yang makan sedikit saja berat badannya naik. Tapi aku? terus begini sejak dulu” “ada yang jual apa lagi di luar?” tanya basri. Nancy beranjak daru duduknya dan menuju ke halaman. Diperhatikan sekeliling. Yang ada cuma orang berjual sate kambing. Ia segera kembali. “Kau mau sate kambing, biar hot?” “aku tak suka. Ini duren punya siapa?” “Punyaku. Makanlah” lalu keduanya dengan asyik memakan duren. Kali ini juga Basri yang kalah. Nancy makan begitu cepat sehingga dalam waktu singkat dua buah duren itupun jadi ludes. Setelah itu keduanya masuk kembali ke dalam kamar sesudah meminta kepada pelayan hotel yang kebetulan lewat untuk membuang biji duren dan kulitnya. Ada dua buah tempat tidur dalam kamr itu. Nancy mengambilnya yang sebelah kiri. Mula-mula ia agak kaget lagi ketika dilihatnya basri membuka baju dan celananya. 50


Kemudian ia baru ingat bahwa Basri berbuat demikian karena ia tidak membawa pakaian lain untuk ganti besok pagi. “Mengapa kau kembalikan uang yang kuberikan kepadamu?” tanya Basri setelah memasukkan tubuhnya dalam selimut. “Karena itu uangmu,” jawab Nancy. “Laginya, aku tak menginap di hotel ini. Kalau ke Semarang aku biasa menginap di rumah David,” sambung Nancy. “Aku sering membaca tulisan David di harian-harian Jakarta. Kau kenal dia sudah lama?” “Sudah, sejak aku kembali dari Amerika. Ia seorang aktivis yang militan. Aku mengenalnya sejak ia masih di tingkay dua. Kau suka dia Basri?” “Aku bukan homo.” Nancy jadi tertawa oleh jawaban itu. “Kau sendiri. Kau suka padanya?” tanya Basri. “Kau cemburu ya?” “Katanaya ya. Apa tadi yang dia bilang waktu memanggil kau.” “Oh, jadinya kau cemburu betul-betul ya. Ia tadi bilang : Aku cinta padamu, aku sayang padamu, Nancy.” Meskipun tahu bahwa jawaban Nancy itu mungkin untuk menggodanya tapi hati Basri tersendat juga mendengarnya. Laki-laki betapapun dalam bercinta memiliki sikap yang agak egoistis. Sama sekali tak mau jika perempuan yang dicintainya ada hubungan dengan lakilaki lain. Padahal laki-laki nsendiri, sudah punya istri cantik, mata masih hijau jika melihat perempuan jalan sendirian. Melihat Basri diam, Nancy tak tega menggodanya terus. Ia tahu, bahwa seperti dirinya sendiri Basri berusaha untuk tidak membicarakan hal-hal yang dapat membuat suasana jadi panas. Ia menghampiri tempat tidur Basri lali ia duduk di sebelah pinggang Basri. “Tidak begitu. Demi Tuhan ia cuma menertawakan diriku. Katanya air mataku pagi tadi cuma air mata buaya…..” “Kau sendiri bagaimana, Basri?” sambungnya…..” “Menurut kau sendiri bagaimana aku ini sekarang,” tanya Basri seraya memegang tangan Nancy. “Kau nampak lesu tadi.” “Sekarang?” “Lapar.” “Oh, Basri. Aku sungguh sorry telah menghabiskan satemu.” Jawab Nancy seraya merebahkan kepalanya ke tubuh Basri. “Mengapa kau berkorban sedemikian besarnya untukku,” bisiknya kemudian. “Itu karena aku cinta padamu.” “Jangan bicara soal cinta malam ini, Basri. Kita bicara soal lainsaja. Cinta membuat hatiku pedih.” “Itulah sebabnya, karena aku tahu bahwa kau bakal sedih aku datang.” “Aku tahu itu.” “Kau menyesal aku datang?” “Tidak. Tapi aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kau selalu muncul dengan tiba-tiba tanpa dapat kuduga semula. Kau memang laki-laki yang bisa menhanyutkan hati perempuan. Aku tak salahkan kau jika karenanya banyak perempuan jatuh cinta padamu.” Basri membelai rambut Nancy dengan penuh kasih sayang. “Kau jangan tinggalkan akau. Aku butuh kau, Nancy,” ujarnya.

51


Nancy tak menjawab. Diam-diam ia menitikkan air mata. Tapi itu kemudian ditahannya. Dikuatkan hatinya untuk tidak menangis dan tidak hanyut dalam rayuan Basri. Akhirnya ia berpikir, lebih baik masalahnya dibicarakan malam ini juga dari pada menunggu sampai besok. “Bagaimana dengan persoalan nyonya Santoso? kau janji sore tadi bukan?” tanyanya memulai membuka persoalan yang sejak tadi ditakutinya. Petanyaan itu bagi Basri membuat hatinya plong. Ia sendiri tadi ragu-ragu untuk memulai membicarakan persoalan nyonya santoso. Kini syukur nancy yang memulai terlebih dahulu. “aku sudah berbicara tadi pagi, karena aku sudah mengambil keputusan untuk terbang ke Semarang sorenya. Aku mendapat firasat bahwa kau pasti mau menghilang” “Lalu keputusannya?” “Ia telah menceritakan semua hubungan kami kepada suaminya.” “Mengapa ia berbuat demikian?” “Itulah sulitnya hati perempuan tak dapat diraba. Hal yang mestinya ditutup rapat-rapat, dirahasiakan, tambah dibuka lebar-lebar. Bahkan maunya supaya seluruh dunia tahu…….” “Ia tentunya punya alasan” “Ia memang punya alasan. Tapi baiklah kita tak perlu menyembunyikan persoalan itu. Kejadian itu sudah terbuka, menyesalpun tak ada gunanya. Ia ingin serai dari suaminya, tetapi suaminya takmau menceraikannya. “Lalu sesudah cerai? kau akan mengawininya?” “Ia tak menuntut itu. Ia tahu kalau aku mencintai kau gadis yang leboh muda darinya.” “Lalu?” “Cuma berkisar pad itu saja pembicaraan kami. Aku cuma janji akan mendatangi suaminya setelah kembali nanti.” “Mengapa akan kau lakukan itu?” “Itu karena aku menganggap pendapatmu benar, bahwa aku harus bertanggungjawab atas kemelut yang terjadi dalam rumah tangga itu.” “Kau mau jadi juru damai?” “Perkawinan itu tak mungkin diutuhkan lagi, masing-masing sudah punya noda. Aku tak bisa mengatakan apa yang akan kulakukan jika aku berhadapan dengan suaminya. Aku akan berbuat sesuai dengan keadaan nanti. Nah cuma itu persoalan nyonya Santoso. Sekarang persoalanmu sendiri. Maukah kau kawin jika kita pulang ke Surabaya?” Nancy menarik kepalanya dari pelukan Basri. Ia duduk dan memandang Basri tajam-tajam. “Berilah kesempatan berpikir samai besok,” katanya kemudian. “Mengapa kau harus berpikir lagi. Bukankah kau juga cinta padaku?” “Justru di situlah Basri. Seperti yang pernah kukatakan waktu aku tidur bersamamu untuk pertama kalinya dulu. Apa arti perkawinan kalau kehidupan perkawinan itu sendiri tidak membahagiakan kita. Kau ingat itu?” “Ya, bahkan kau bilang bahwa sex bukan apa-apa bagimy.” “Itulah sebabnya. Aku jenuh melihat perkawinan yang cuma didasarkan pada sex melulu.” “Kasarnya kau menolak diriku karena kau beranggapan aku terlalu berpikir pada soal sex?” “Bukan Basri, bukan !” “Lalu kaukira jika aku kawin padamu itu juga kudasarkan pada segi sexnya melulu? ketahuilah Nancy. Tidak pernah terpercik dalam benakku untuk meniduri dirimu. Aku hanya ingin mencintai dirimu.” “Aku yang tidak mau.” Basri kaget dan ia termakan oleh gurauan Nancy. “Mengapa kau tak mau?” “Karena kalau aku kawin dengan seseorang, akupun mau dalam soal sex itu”

52


Basri jadi gemas. Dipeluknya gadis itu. Tapi Nancy cepat mengelak dan berkata sambil pindah ke tempat tidurnya sendiri: “Berilah waktu aku berpikir sampai besok.” Basri tak menjawab, dan ketika ia memperhatikan Nancy yang rebah dengan gaun yang agak tersingkap, meskipun kemudian tubuh itu berselimut, sempat juga mengelitik rasa kelakilakiannya. Ketika semangat kelaki-lakiannya sudah tak dapat ditahan lagi, ia segera meloncat dari tempat tidurnya dan dengan celana dalamnya ia menceburkan diri dalam baskuip yang sudah berisi air yang tadi disediakannya untuk Nancy. Rasa air yang dingin menetralisir semuanya…. Dan ia jadi lega. Keesokannya harinya Nancy yang terjaga duluan. Dilihatnya Basri masih tidur nyenyak. Arloji Basri yang terletak di meja kecil di antara ranjang mereka dilihatnya. Hampir setengah delapan. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Celakanya sekarang ini mereka tidak mempunyai sisir. Semua perbekalannya ada di rumah David. Basri ditinggalkan tidur terlelap begitu saja. Sesampainya di rumah David, dijumpainya David duduk di kursi kebun dengan sebuah gitar dan secangkir kopi di mejanya. Turun dari becak ia segera menghampiri David yang rupanya tak tahu akan kehadirannya. “Santai benar kau,” tegur Nancy. David yang sedang memusatkan perhatiannya kepada gitarnya terkejut. “Oh, kau. Mana Basri?” jawabnya seraya meletakkan gitarnya. “He, Vid. Aku mau mandi dulu ,” kata Nancy. “Kau nginap di mana?” “Telomoyo ,” jawab Nancy seraya mengikuti David masuk ke rumah. :Ibumu ada di dalam ,” sambungnya. “Ke pasar. Lega hati Nancy mendengarnya. Kalau ayah David ia sudah tahu kebiasaanya. Ayahnya selalu berangkat pagi-pagi ke kantor, biarpun perusahaannya itu miliknya sendiri. Sambil mengeluarkan pakaiannya dari tas ia berkata David : “Vid, ia mengajakku kawin sepulang dari sini.” “Well, aku harus mengucapkan selamat.” “Gila kau ! Kau jangan bergurau terus. Berilah aku nasehat apa yang seharusnya keperbuat.” “Lalu tunggu apa lagi? Kaupun cinta padanya. Iapun cinta padamu. Itu sudah dibuktikannya dengan kehadirannya malam kemarin di Semarang. Ok lah kau mandi dulu.” Nancy mengiyakan. Ia kemudian mengambil pakaiannya dan menuju ke kamar mandi. Sambil mengguyur badannya dengan air dingin ia mencoba berpikir apa yang dikatakan David : “Itu sudah dibuktinya dengan kehadirannya malam kemarin di Semarang.” Memang betul juga. Kehadiran Basri kemarin adalah tanda cintanya. Ia tak bisa menyangkal hal itu. Yang merisaukan hatinya tetaplah satu. Ia tidak ingin kawin dengan seorang laki-laki yang membagi cintanya dengan perempuan di masa lampau. Ketika menjumpai David di ruang makan, ia segera mengambil roti yang sudah tersedia dan melahapnya. “Apakah ia serius?” tanya David. “Nampaknya demikian. Aku yakin ia mencintai diriku, Vid. Tapi persoalan masa lampaunya yang mengerikan diriku.”

53


“Prinsip hidupmu itu harus kau buang jauh. Dulu dengan Benny kau tak mau kerena ia seorang playboy. Ketahuilah olehmu, tiap laki-laki punya cerita sendiri tentang masa lalunya.” “Apakah kau juga punya masa lalu yang penuh dengan kabut hitam?” Aku cuma kebetulan seoang laki-laki yang patah hati. Seandainya aku mampu menindas kenangan masa laluku dan kutemui gadis yang cocok, maka aku akan kebut sampai dapat. Aku tak salahkan Basri, jika ia mengejarmu. Cinta memanglah demikian. Ia ibarat layanglayang yang putus. Datangnya dengan tiba-tiba, tapi untuk mendapatkannya kita harus mengejarnya dengan segala cara. Kalau perlu berebutan dengan kekerasan. Omong kosong, kalian sudah pernah intim?’ “Apa yang kau maksud?” “Apakah kalian sudah melakukan kehidupan suami-istri?” Nancy menggeleng cepat. “Kok bisa begitu. Kau bilang bagi dia sex adalag segala-galanya. Mengapa kau didiamkan saja” “Menurut pendapatnya, meskipun ia termasuk laki-laki jalang, tapi tak pernah meniduri seorang perawan. Oh, ya Vid. Boleh kuminta rotimu ini untuknya? Ia sejak malam kemarin belum makan. Cuma sepuluh tusuk sate yang di makannya.” “Tentu, mari kita ke sana.” *** Sesampainya di hotel dilihatnya makanan pagi yang disediakan oleh hotel diletakkan di muka kamar. Detak jantung Nancy berpacu lebih kencang. Apakah Basri pergi? ke mana? Ia menbuka pintu kamar, tapi terkunci. Segera diketuknya. Basri yang masih tidur terjaga. “Siapa?” tanyanya. “Busyek kau ! kuncinya kan kau bawa?!” teriak Basri. Nancy kini sadar. Ia tadimemang mengunci pintu kamar itu dari luar. Ia segera berlari ke arah mobil David yang baru diparkir. “ Vid. Aku mau ambil barang-barangku. Kuncinya terbawa aku ,” ujarnya. Kemudian ia mengambil tasnya, mengambil gaun yang dipakainya tadi malam dan betul juga, di dana diketemukannya kunci kamar hotel. Nancy kemudian berlari lagi, membuka pintu kamar dan segera menghampiri Basri yang berada di bawah selimut. “Maafkan kau, Basri. Aku lupa kalau kunci kubawa.” “Kukira kau sengaja berbuat demikian agar aku tidak menghilang.” “ Huh enakmu. Apa urusanku, kau menghilang atau tidak?” jawab Naancy cemberut. Lalu katanya lagi. “Kau mandilah, ada David di muka” “Suruhlah ia masuk” “Kau mandilah dulu, aku bawakan kau roti, tapi di muka ada nasi goreng. Kau mau yang mana?” jawab Nancy seraya menarik selimut yang dipakai Basri. Tapi ia segera berteriak terkejut ketika dilihatnya Basri telanjang di bawah selimut. “ Kau gila-gilaan apa lagi ini? tidur telanjang !” Nancy tak pernah tahu betapa laki-laki ini dalam usahanya menetralisir gairah kelakilakiannya terpaksa harus berendam di air dingin semalam. Lengkap dengan celana dalamnya…….. 54


Basri segera menarik tangan Nancy dan didekapnya gadis itu. “Aku kemarin napsu melihat kau ,” bisiknya seraya mengecup bibir Nancy. “Basri, ada David di luar” “Biarkan. Siapa suruh dia kemari “ “Basri ! kau mandilah dulu ’’, ujar Nancy seraya melepaskan diri dari dekapan Basri. “Kau mandilah dulu’’, ujarnya lagi memohon. Lalu ditinggalkan Basri sendirian. Ia keluar untuk menjumpai David. “Masih tidur?’’ tanya david. ”Mau mandi,” jawab Nancy lalu sambungnya,” kau mau nasi goreng?’’ ’’kapan kau pulang?” “Aku kira sore nanti.” “Kau harus baik-baik memberikan keputusanmu. Jangan turutkan emosimu. Cuma aku ingin pesankan satu Nancy. Jangan kau jauhkan dirimu dari rakyatmu.” “Mengapa kau pesan demikian?” “Aku ingin berkata yang sebenarnya padamu. Novel Basri populer di kalangan mahasiswa. Tapi menurutku, novel-novelnya yang terakhir tidak sebaik novel-novelnya yang pertama. Aku tak tahu sebabnya. Tapi dari pertemuan malam kemarin dan hari ini, mengetahui dai mana ia menginap, aku condong mengatakan bahwa ia telah meninggalkan rakyatnya. Kalian sewa kamar yang pakai AC, sedangkan rakyat cuma ber AC kan alam. Bagaimana penghayatan tentang suka dan duka rakyat dapat ditulis jika kalian hidup dalam kamar yang ber AC?” “ Ah, kau terlalu emosionil, Vid. Akupun baru kali ini sejak di Indonesia hidup dalam kamar yang ber AC. Mahasiswa-mahasiswa sendiripun yang berjuang dengan gigih menuntut perbaikan rakyat banyak juga yang terlalu dari kalangan anak-anak orang berada. Mereka turun ke jalan, makan nasi bungkusan, mungkin juga mereka kalau di rumah untuk melepaskan capai mandi susu dan makan bistik. AC sekarang ini bukan barang yang mewah…..,” bantah Nancy. “ Nah, ini juga tanda kau cinta pada Basri. Kau bela dia mati-matian . aku juga cuma ingin tahu apa pendapatmu. Sekarang terbuka bukan?” “ Untuk selanjutnya kau harus mengikuti perkembangan novelnya, Nan. Apa yang kukatakan tadi adalah benar. Menurutku, bobot novelnya menurun sekarang.” “ Kau membacanya?” “ Aku membaca semua novel yang terbit di Indonesia. Itu hobbyku satu-satunya di samping menulis.” “ Jadi kau sudah kenal Basri lama?” “ Ya, lewat karya-karyanya dan gambar-gambar yang sering dimuat di harian dan majalah. Orangnya menyenangkan. Aku menyukainya.” “ Benar kau menyukainya?” “ Seandainya aku wanita aku akan mencintainya dan mengejarnya.” Nancy terdiam. Segampang itu? David kemudian meneruskan : “ Mengapa kau bimbang? Terimalah lamaranya dengan syarat-syarat tertentu. “ Syarat apa?” “ Pindah ke kota lain dan hidup dalam udara yang baru, misalnya.” “ Aku mungkin akan menambahnya dengan syarat yang lain.” “ Apa? Kau harus hati-hati dalam mengemukakan syaatmu agar dia tak tersinggung.” “ Kau tahu Basri. Dalam menghadapi perempuan Basri sangat labil. Ia mudaj sekali jatuh cinta.” “ Aku akan meminta syaratnya agar ia menyatukan kembali nyonya Santoso dengan suaminya. Tanpa itu tidak mungkin. Aku tahu Vid. Ia hanya tegas jika ada aku di 55


hadapannya. Tapi jika kemudian masih muncul lagi nyonya Santoso maka kebulatan tekadnya itu akan berantakan.” “ Mampukah ia memenuhi syaratmu itu?” “ Ia harus mampu !” “ Kau tidak bisa mendesaknya demikian, Nan. Tiap laki-laki punya harga diri. Ia bisa marah.” “ Itu akan kutanggung. Aku benar-benar tidak akan kawin dengannya jika nyonya Santoso tidak kembali kepada suaminya. Ini syarat mutlak.” Nancy masih hendak melanjutkan pembicaraannya, tapi Basri nampak ke luar dari kamarnya. “ selamat pagi ,” sapanya pada David. Basri lalu meminum kopi yang sudah disediakan sejak tadi. Terasa nyaman di tenggorokannya biarpun kopi itu sudah dingin. “ Aku sangat mengharapkan kau datang jika kami melangsungkan pernikahan. Aku ingin kau jadi saksi ,” kata Basri kembali. Nancy terkejut dengan permintaan itu. “ Itu jika Nancy tidak menolak lamaranku ssemalam ,” kata Basri kembali ketika melihat perubahan pada wajah Nancy. David jadi bingung. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan. Apa yang diminta oleh Basi benar-benar di luar dugaannya. Tapi akhirnya ia berkata kepada Nancy: “ Mau kau masuk sebentar?” Ketika melihat Nancy beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar, kini giliran Basri yang heran melihat sikap Nancy yang sangat taat. Nancy sendiri tak tahu mengapa ia mengiakan saja permintaan David. Satu cuma yang ia yakin bahwa David pasti akan berada di pihaknya. “ Aku sudah mengetahui lamaramnu tadi malam ,” kata David kemudian setelah Nancy masuk ke dalam kamar. “ Apa yang dikatakannya?” “ Ia tak mengatakan apa-apa. Cuma dari pembicaraan kemarin pagi, aku tahu dengan pasti bahwa ia mencintaimu juga.” “ Lalu?” “ Tapi ia juga tidak menyukai cara hidupmu ,” kata David terus terang. Basri memandang tajam laki-laki ini. “ Yang kau maksudkan?” “ Tentang hubunganmu dengan nyonya Santoso itu. Ia merasa cintamu terbagi dua.” “ Itu tidak betul.” “ Itu betul,” jawab david singkat. Lagi-lagi Basri terkejut. Laki-laki ini seperti dia saja. Bicaranya polos dan blak-blakan. “ Apa hubunganmu dengan Nancy?” tanyanya kemudian. “ Kau jangan cemburu. Antara aku dan Nancy cuma terbatas pada teman melulu. Tidak ada persoalan apa-apa antara kami berdua, kecuali ada sahabatku dulu yang mencintainya tetapi ditolaknya karena sahabatku memang terkenal sebagai seorang playboy. Aku menyukai Nancy sebagai teman. Mungkin juga sebagai saudara meskipun usia kami sama. Karenanya kaupun kuanggap sebagai sahabat juga. Apa yang kukatakan tadi benar. Ia masig ragu-ragu terhadap dirimu karena masa lalumu.” “ Dapatkah masa lalu dihapus demikian saja dalam kehidupan kita?” “ Aku memahami kesulitanmu. Tapi bagi Nancy soalnya lain. Ia sangat mencintai dirimu. Tapi lebih dari itu, ia sangat mengharapkan kebahagiaan dari perkawinannya. Kau tahu tentang riwayatnya?” 56


“ Belum “ “ Ia lari ke Amerika dalam usia yang masih sangat muda, ketika diketahui bahwa ayahnya kawin lagi dan melihat ibunya menderita. Orang tuanya sampai sekarang adalah pedagang batik di pekalongan. Ia banyak menerima uang saku dari ayahnya tapi semuanya dikembalikan. Sebagai gantinya ia hidup berkelana dari satu kota ke kota lai untuk membacakan sajak-sajaknya dan berdiskusi tentang sastra.” “ Ia memang gadis yang keras kepala.” “ Ia tidak keras kepala. Kau mungkin belum mengenalnya lama. Ia gadia yang paling periang yang pernah kukenal. Pandangan hidupnya tentang perkawinan sangat konvensionil, meskipun ia terbilang seniwati yang punya nama. Ayahku dan ayahnya bersahabt sejak lama…….” Latar belakang kehidupannya Nancy tak pernah diketahui oleh Basri. Ia dulu tak pernah menanyakan kepada Nancy dan Nancypun tak pernah menceritakan kepadanya. “ Apa lagi yang di katakan padamu? Ujar basri kemudian setelah diam sesaat. “ Tidak ada, kecuali ia meminta syarat agar kau mengembalikan nyonya Santoso kepada suaminya.” “ Itu satu hal yang tidak mungkin. Ia menghendaki perceraian !” “ Tapi itu syaratnya. Ok lah kau rundingkan sendiri. Aku pulang duluan ,” kata David. Basri mencegahnya. “ Kita berunding bertiga.” “ Kalian berunding sendiri ,” jawab Davisi seraya mengetuk jendela kamar yang tertutup. Dari dalam terdengar suara Nancy menyahut yang kemudian ke luar. “ Aku pulang dulu ,” kata David pada Nancy. Lalu diulurkan tangannya pada Basri yang segera menjabatnya dengan penuh perasaan terima kasih. “ Aku antarkan David ,” kata Nancy pada Basri. Yang terakhir ini sebenarnya ingin mengantarkan David sampai ke mobilnya. Tapi diurungkannya melihat Nancy rupanya hendak mengutarakan sesuatu pada David. Ketika berjalan menuju ke mobil Nancy bertanya : “ Bagaiman?” “ Semuanya tergantung padamu sendiri. Aku lihat ia cukup baik untuk jadi suamimu. Jauh lebih baik dar benny yang pernah kukenalkan padamu. Cuma kau jangan mendesaknya. Saat sekarng ini, ia benar-benar seorang laki-laki yang bimbang.” “ Aku betul-betul bingung menghadapinya, Vid. Cobalah katakan apa yang harus kuperbuat sekarang?’ “ Kau terimalah lamarannya dengan syarat kalian harus melangsungkan pernikahan kalau masalah nyonya Santoso sudah beres’’. “ Itu menurutmu jalan yang terbaik?” “ Ya “ “ Oh David. Terima kasih buat semuanya. Sampaikan salamku kepada ayah ibumu “ davidd kemudian memasuki mobilnya. Menstartnya dan meninggalkan halaman hotel. Nancy measih berdiri terpaku. Setelah sadar sesaat kemudian ia menghampiri Basri, yang duduk memakan nasi goreng. “ Kau sudah memikirakan apa yang kukatkan kemarin?” tanya basri ketika dilihatnya Nancy duduk. “ Sudah “ “ Keputusanmu?” “ Kau tentunya tahu apa keputusanku ,” jawab Nancy menunduk. “ Jadi kau menolaknya? ujar Basri datar. Nancy terkejut oleh pertanyaan Basri. 57


“ Pernahkah aku tidak menurut kata-katamu? Aku cuma ….” “ aku tahu apa syaratmu itu. David sudah mengatakan padaku” jawab basri cepat. “ Apa yang dikatakan David?” “ Banyak” “ Dari syarat yang diutarakan David itu kau beranggapan bahwa aku menolak lamaranmu?” “ Aku tidak beranggapan demikian. Cuma kau meminta syarat yang tak mungkin kup[enuhi. Kedua suami-istri itu tidak mungkin disatukan kembali.” “ Itu cuma pendapatmu, Basri. Kau belum mendengar sendiri apa yang jadi pndirian tuan santoso. Kau cuma mendengar selama ini dari nyonya santoso. Dalam hal ini kita tidak bisa berpegang pada keterangan sepihak saja…….” Aku mengenal nyonya Santoso lama, Nancy. Aku tahu apa yang jadi pendiriannya akan tetap jadi pendiriannya. Ia kaku. Kau iktulah kalau aku menjumpai Santoso” “ Mengapa aku harus ikut?” “Supaya kau tahu bahwa aku tidak main-main” “ Aku mempercayaimu, Basri. Kau selesaikanlah sendiri. Kau sendiri? bagaimana kau akan menghadapi tuan Santoso? Konrontasi?” “ Aku kira sebaiknya aku datang sebagai sahabat. Menurut pendapatmu sendiri apa yang harus kuperbuat?” “ Kau harus datang tanpa prasangka. Sebagai laki-laki ia tentunya punya pendirian sendiri dalam membina rumah tangganya. Kalau toch selama ini ia membiarkan kehidupan istrinya yang serba tak menentu, itupun kukira ada alasannya. Kau harus banyak mendengar saja.” “ Kalau ia tanya tentang hubunganku dengan istrinya?” “ Kau batasi dengan keterangan hnaya sebagai sahabat.” “ Ia takkan percaya .” “ Itu salahnya sendiri jika ia bertanya terlalu mendalam. Prinsip kita tidak mau menyakiti hatinya sebagai lelaki. Aku kira ia juga tidak akan bertanya sedalam itu.” “ Seandainya ia tak mau berbicara apa-apa” “ Yang kutakutkan justru bukan itu.” “ Apa?” “ Seandainya ia menantang kau untuk mengambil istrinya?” “ Aku akan pukul dia. Kalau sampai menawarkan sedemikian, maka ia berarti dia laki-laki yang tidak punya moral. Sama sekali tidak berbudi. Betapapun rendahnya seorang istri, ia bukanlah barng dagangan yang bisa dioperkan begitu saja kepada orang lain. “ Kau jangan terklu emosionil. Kau sendiri cerita padaku bahwa istrinya pernah berkata kalau suaminya akan merelakan jika kau bersedia menerimanya.” “ Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat jika suaminya bersikap serendah itu. Betapun juga, aku mengenal nyonya Santoso cukup lama. Tali perrsahabatan ada di antara kami. Aku tak bis aberbuat lain daripada membenarkan perceraiana itu.” Nancy menyadari mengapa Basri menjawab demikian itu.” Kini ia makin respek terhadap laki-laki ini. Seandainya di depanya Basri mengatakan : “itu bukan urusanku ,” maka ia takkan percaya. Ia lebih menyukai keterusterangan Basri ini. “ Aku hargai pendapatmu itu ,” katanya. Lalu sambungnya : “ Apakah sebenarnya pendapatmu tentang perkawinan Basri?” “ Seperti kau, aku juga punya penilaian yang tersendiri terhadap perkawinan. Perkawinan membawa kehidupan yang rutine kepada kita dan aku tidak menyukai itu. Lebih-lebih seperti pendapatmu, jika perkawinan itu sendiri tidak membahagiakan hidup kita, buat apa 58


perkawinan itu dipertahankan. Buat paa kita saling menghukum diri sendiri dalam ketidakbahagiaan dan dalam kerutinan yang selalu mengahantui kehidupan kita. Dalam situasi yang sedemikian aku condong untuk menyetujui adanya perceraian.” Tiba-tiba saja terlintas dala benak Nancy apa yang pernah diutaakan oleh David. Cinta itu datangnya seperti layang-layang yang putus. Ia datang dengan tiba-tiba di muka kita. Tetapi untuk mendapatkannya kita harus berjuang keras, kalau perlu dengan kekerasan. Ia jadi termenung dengan sendirinya. Andai kata ia sendiri yang berada di tempat Basri, ia bisa gila menghadapi semuanya ini. “ Aku meminta pengertianmu Nancy. Kau jawablah yang jujur. Apakah kau juga mencintai diriku?” tanya Basri. Nancy masih tetap menunduk termenung. “ aku jga cinta padamu ,” jawabnya kemudian perlahan. “ Itu cukup buatku. Aku akan menghadapi persoalan nyonya Santoso dengan dada yang lapang. Demi kau dan demi kehidupan kita bersama nanti. Aku akan menghadapinya secara jantan. Sedapatnya aku akan memenuhi persyaratanmu. Tapi jika itu tidak mungkin, apakah kita masing-masing harus saling menderita?” “ Aku tak tahu Basri. Aku hanya punya bayangan yang menakutkan, selama nyonya Santoso tidak kembali kepada suaminya secara rela, maka ia akan selalu jadi bayangan yang menakutkan dalam hidupku. Ia segalanya lebih dari aku……” “ itu tidak benar !” bantah basri cepat. “ Aku tidak pernah membandingkan dirimu dengan perempuan yang lainnya” sambungnya. “ Tapi itu kenyataan, Basri. Ia lebih dalam segalanya jika dibandingkan dengan diriku. Segalanya. Kau sekarng ini sedang jatuh cinta padaku. Semuanya namapaknya indah. Tapi kelak, seperti yang kau katakan sendiri, kaupun juga akan dihinggapi oleh kerutinan yang membosankan.” “Itu tak mungkin. Selama ini aku selalu senang pada perempuan, tapi tak pernah terkilas dalam ingatanku untuk memilikinya, hanya sekedar untuk menikmatinya. Tapi pada kau lain. Aku ingin memiliki dan ingin memujamu.” “Aku juga Basri. Aku ingin memilikimu dan ingin mengabdimu. Oleh karena itu aku takut pada bayang-bayang yang mengancam kebahagiaan itu tadi.” Keduanya diam membisu.” Basri sendiri lalu teringat pada ucapanya yang terakhir pada nyonya Santoso dan merasa betapa bodohnya ia dengan mengatakan bahwa urusannya nyonya Santoso itu adalah urusan KITA. Mengapa hatinya dulu itu begitu lemah sehingga terhanyut oleh emosi? Bukankah ia sependapat dengan pepatah yang mengatakan bahwa tiap rumah tangga mempunyai salibnya sendiri-sendiri?  Nyonya Santoso pagi itu duduk sendirian di ruang tamu membac majalah. Anak-anaknya, Eva dan Dewi hari itu libur sekolah. Keduanya bermain di dekatnya. Kehadiran anak-anaknya ini membuat hatinya agak terhibur. Hatinya memang sudah plong, ketika Basri tidak meninggalkannya begitu saja. Basri ternyata mau bertanggung-jawab dan menganggap bahwa apa yang telah terjadi selama ini bukan cuma persoalannya sendiri saja. Kemarin hatinya masih sedih. Tapi sekarang ia sedah jadi lega. Ia tak merasa seorang diri lagi. Tiba-tiba saja ia mendengar anaknya yang bungsu berteriak. 59


“Mama, mama, kakak nakal,” lalu berlarilah dewi berlindung di pelukannya dari kejaran kakaknya. “Dewi nakal, mama,” ujar Eva membela diri ketika dilihatnya ibunya memandangnya penuh tanda tanya. “Tidak mama, kakak yang nakal.” Nah, semua nakal sekarang. Apa yang kalian perbuat. Coba Eva, kau ceritakan dulu,” kata nyonya Santoso seraya membelai rambut anak bungsunya. “Eva membuat rumah-rumahan, mama. Dewi tak bisa membuat yang sama bagusnya lalu punya Eva ditubrukkan sehingga berantakan’’ ujar Eva. “Oh, kau yang nakal sayang?” “Kakak tidak mau membantu, mama. Dewi tidak bisa membuat yang sebagus kakak,” jawab Dewi manja. Anak ini memang manja terhadap ibunya. Mereka semuanya manja dan tak tahu kemelut apa yang sekarang ada pada diri ibunya dan juga mereka tidak menyadari bahwa kemelut itu juga tak lama lagi akan menimpa diri mereka jika sampai ayah-ibu mereka bercerai. “Mari mama bantu,” jawab nyonya Santoso sambil meletekkan majalah yang tadi dibacanya. Dewi segera berlari mengambil mainan legonya. Anak ini sangat gembira ketika ibunya mau membantu membangun sebuah rumah, mungkin lebih bagus dari pekerjaan kakaknya. Melihat kebahagiaan yang membayang pada wajah anak-anaknya ketika ia bersedia membantu dan ikut bermain, hati nyonya Santoso terpukul sebagai seorang ibu. Tiba-tiba saja ia bertanya sendiri dalam hati : “Bukankah semestinya hidupnya bahagia?” Ia lalu melihat sekeliling rumahnya. Keadaannya cukup membuat iri hati perempuanperempuan yang lain. Perabotan rumah tangganya boleh dikatakan serba lux. Ada dua mobil yang siap dipakai untuk keperluan keluarganya. Lalu mengapa ia mencari di tempat lain? Bukankah suaminua sebenarnya tidak sejelek yang diduganya sekarng ini? Bukankah pada awal perkawinan mereka ia dahulu bahagia bukankah suaminya tak ada kekurangannya sebagai seorang laki-laki? Tentang Basri sekarang, ini yang membuat hatinya jadi sedih. Betapapun juga ia mencintai keluarganya, dalam hatinya ia tetap mencintai laki-laki itu. Basri adalah segalanya baginya. Oh, jauh bedanya jika antara Basri hendak dibandingkan dengan suaminya. Bukan saja ada perbedaan umur, tetapi pada Basri dijumpai semua kelengkapan tentang apa yang disebut seorang laki-laki. Basri bisa keras, bisa juga lembit. Basri orangnya romantis dan ia menyukai hal itu. Pada diri suaminya ada segi kerutinan dalam kehidupan suami istri. Mereka melakukannya karena merasa bahwa semuanya itu adalah kewajiban mereka sebagai suami istri. Pada diri Basri selalu ada kejutan kejutan baru dalam kehidupannya. Ada-ada saja caranya untuk mengelitik hati keperempuannya yang sama sekali tidak dijumpainya pada diri suaminya. Ini yang membuat kehidupannya bersama suaminya jadi hambar dan ia kian terikat kepada Basri. “Mama, salah !” tiba-tiba tegur Dewi menyadarkan lamunannya. “Oh, iya sayang, mestinya yang ini ya, yang berwarna merah….” Lalu ia memusatkan perhatiannya pada batangan-batangan lego untuk membentuk sebuah rumah yang sebagus milik anaknya yang tertua Dalam sekejap ia mampu menciptakan sebuah bangunan rumah.

60


Dewi sangat gembira karena ia sekarang juga mempunyai bangunan rumah yang tak kalah bagusnya milik kakaknya. Sambil membawa bangunan rumah itu ia mengecup pipi ibunya. Ketika anak itu mencium pipinya ia segera mendekapnya dengan penuh perasaan sayang. dalam hati ia menangis. “Mama, mengapa mama menangis?” tanya Eva polos ketika ia melihat ibunya menitikkan air mata seraya mendekap adiknya. “Mama sakit?” tanyanya seraya menghampiri ibunya. Anaknya inipun dipeluk oleh nyonya Santoso. Ia akhirnya tak kuat menahan turunnya air mata. “Tidak sayang, ibu tidak sakit. Kalian baik-baiklah bermain, jangan bertengkar lagi,” katanya seraya menghapus air matanya. Kedua naknya yang masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, melepaskan diri dari pelukannya dan berlari dengan gembira membawakan mainannya………. Sambil menyeka air mata nyonya Santoso mengambil kembali majalahnya untuk menyelesaikan membaca cerita bersambung karangan Ia Rose. Namun ia tak mampu membaca. Apa yang dibacanya sama sekali tidak masuk keotaknya. Pikirannya melayang jauh, tetap berkisar antara kedua laki-laki : suaminya dan Basri. Diteruskan lamunnanya yang tadi terputus oleh kehadiran anak-anaknya. Suaminya selalu membawanya ke tempat-tempat yang mewah. Kalau ulang tahunnya tiba, ia dibawanya ke rumah makan kelas sau bersama rekan-rekannya merayakan dengan meriah. Adakah ia merasakan kebahagiaan makan bersama di rumah kelas satu ini? Mengapa ia merasa lebih bahagia kalau Basri mengajaknya nongkrong makan tahu campur di jalan Embong Malang di muka bioskop President? Satu waktu lagi, kalau Basri baru mengambil honorariumya mengajaknya makan kepiting di Porong ia merasa begitu bahagia. Terasa ada variasi dalam hidup ini. Tidak terus brlangsung dengan naa yang sama. Ah, terlalu banyak kenangan manisnya dengan Basri. Dapatkah ia menipu dirinya sendiri untuk mencoba melupakan semuanya itu? tidak mungkin. Apa yang pernah dinikmati bersama Basri terlalu indah untuk bisa dilupakan begitu saja. Hatinya lebih-lebih terikat pada Basri ketika secara spontan kemarin Basri mengatakan bahwa urusannya sendiri, tetapi juga urusan Basri sebagai seorang laki-laki? sebuah klakson mobil di muka pintu pagar rumahnya tiba-tiba mengejutkan hatinya. Ketika ia menengok ke luar dilihatnya ayah ibunya datang. Ia segera berlari membukakan pintu halaman. Wajah kedua orang tuanya kali ini tidak seperti biasanya. Rasanya ada kemelut dalam hati mereka. “dimana Santoso?” tanya ayahnya sesudah mereka sampai di ruang tamu. “Di kantor, kenapa ayah?” sang ayah cuma mengelengkan kepala, lalu duduk. “Kau ini mau apa-apaan, Sudah tua, sudah punya anak sekarang mau cerai. Maunya apa?” tiba-tiba saja ibunya menyerangnya tanpa basa-basi lagi. Meskipun sudah menyadari bahwa ibunya bertemperamen keras, tapi nyonya Santoso sama sekali tidak menduga kalau kedatangan kedatangan kedua orang tuanya justru untuk mengurus persoalannya. Ini benar-benar di luar dugaannya. Pasti suaminya sudah menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya. Kebencian kepada suaminya kian mendalam. Nyonya Santoso hendak segera menjawab, tapi kakek dan nenek itu ribut dengan kedua cucu yang berebutan menciumi mereka. 61


Setelah menaruh Eva dan Dewi bermain kembali ia bertanya : “Santoso sudah cerita semua pada ayah dan ibu?” Sang ayah tak menjawab. Tapi sang ibu segera mewakili : “Kau marah lagi pada Santoso karena menceritakan semuanya kepada kami?” “Itu memang haknya untuk bercerita pada ayah dan ibu. Tapi ayah dan ibu harus pula mengetahui persoalan itu dari pandangan Erna sendiri.” “Kau selamanya tidak pernah bercerita apa-apa kepada kami. Semua kau simpan sendiri,” sela ibunya. “Haruskah semua kejadian dalam rumah tangga ini dilaporkan pada ayah dan ibu? persoalan ini adalah persoalan rumah tangga kami sendiri……..” “Tidak,” sela sang ibu agak keras. “Kali ini bukan urusan rumah tangga kalian saja. Urasan kamu juga, karena kau adalah anak kami. Tidak ada dala keluarga kami yang bercerai, lebih-lebih jika perceraian itu didasarkan akibat satu pihak serong. Kau seperti melempari muka orang tuamu dengan kotoran,” melihat ibunya marah, nyonya Santoso diam, Ia memang tidak hendak berbantah dengan ibunya. Ia akhirnya cuma berkata “Ayah ibu datang untuk berunding atau untuk memfonis?” Ditanya begitu kedua orang tua itu diam. Terasa mereka terlalu menurutkan emosi hati dalam menghadapi anaknya. Betapapun juga, Erna adalah anak tunggal mereka. Namun jika apa yang diutarakan oleh Santoso adalah benar, maka anaknya sudah bertindak terlalu jauh. “Kau sekarang yang cerita,” kata sang ayah kemudian. “Erna, erna. Sudah empat belas tahun kalian hidup bersama, mengapa sampai ada kemelut separah ini?” ujar sang ibu seraya menghela napas. “Sudah, biar Erna cerita dulu,” tegur sang ayah kepada istrinya. “Kukira semuanya yang diutarakan oleh Santoso itu betul semua. Perkawinan kami sudah tak mungkin dipertautkan kembali.” Jawab nyonya Santoso kemudian. “Dan kau hendak lari kepada pengarang itu? kau rela tinggalkan anak-anakmu dan semua harta bendamu demi seorang pengarang? Apa arti seorang pengarang jika dibandingkan dengan suamimu?” kata sang ibu dengan nada mengejek. “Memang bu. Memang. Antara keduanya tidak bisa dibandingkan. Jika toch mau dibandingkan sama Santoso, menantu ibu kalah 1000X,” jawab nyonya Santoso emosi. “biarlah anak kita bicara dulu.” “Sudahlah, kalau aku tidak boleh ikut bicara, kalian bicaralah sendiri. Inilah jadinya kalau anak terus kau manja,” ujar sang ibu marah lalu meninggalkan mereka berdua menuju ke tempat cucunya bermain-main. Setelah ibunya pergi nyonya Santoso berkata : “Maafkan, Erna ayah. Tidak ada maksud dalam hati untuk menyakiti ayah dan ibu” “Taapi kau sudah membuat hati kami sedih” Nyonya Santoso menunduk oleh jawaban ayahnya. “Soalnya sudah lama ayah. Sudah lima tahun. Andai Santoso tegas pada awalnya, kejadiannya tidak akan sampai seperti sekarang. Dulu pada awalnya, lima tahun yang lalau, ia terlibat dengan sekretarisnya. Untuk melipur hati karena ingat kepentingan anak-anak aku coba menghibur diri berkenalan dengan seorang pengarang. Persahabatan itu, persahabatan itu….” nyonya Santoso tidak bisa meneruskan kata-katanya. Ia terisak. “Lalu apa yang terjadi?” tanya sang ayah dengan nada sabar.

62


“Lalu terjadilah semuanya. Semuanya seperti sekarang ini. Rasanya sudah tidak dapat ditolong lagi.” “Apakah ia sudah beristri?” “Belum. Tapi ia lebih muda…..” “Mengapa Erna, mengapa kau sampai terlibat dengan seorang pemuda yang lebih muda usianya daripada dirimu sendiri. Mengapa?” Ketika melihat anaknya diam sang ayah berkata lagi: “Apalagi dengan seorang pengarang. Kau kan tahu bagaimana kehidupan seniman itu. Kau pada akhirnya hanya akan dibuat sebagai barang mainan saja.” “Tidak ayah. Basri tidak demikian” “siapa namanya, Basri?” “Basri Siregar.” “O, yang buku-bukunya selalu kau kirimkan kepada ayah itu?” “Ya,” “Lebih-lebih dengan dia. Jika sampai persoalan ini terbongkar maka akan merupakan skandal yang besar di republik ini. Seorang istri pengusaha besar terlibat affair dengan seorang pengarang top. Apa jadinya jika ceritamu itu masuk majalah gosip? Tidak malu? Ingat Erna. Ingat kepentingan anak-anakmu. Gadis-gadis merala itu. Apa tidak malu mereka itu jika mengetahui ibunya terlibat skandal dengan seorang pengarang? Cobalah kau pikirkan masak-masak demi kepentingan anakanakmu. Jangan kau bawakan adatmu yang jelek.” Bukan barang baru apa yang diutarakan oleh ayah itu. Santoso sendiri pernah menyinggung soal skandal itu. Tapi karena kali ini yang bicara ayahnya, nyonya Santoso diam menunduk dan diam-diam air matanya menitik. “Salahkah jika saya jatuh cinta?” “Tidak, kau tidak salah jika kau jatuh cinta. Tapi kau sudah punya suami. Kesalahanmu justru adalah, kau jatuh cinta pada laki-laki yang bukan suamimu” “Apa yang harus kuperbuat sekarang?” tanya nyonya Santoso dengan nada yang datar. Ia seolah tak tahu apa yang harus diperbuatnya sekarang ini. “Kau kembalilah kepada suamimu. Bukan demi dia, tapi demi anak-anakmu. Pikirkanlah sebelumkau bertindak lebih para lagi. Percayalah, sebagai orang tua aku menyalahkan kau, tetapi sebagai sesama manusia aku tak menyalahkan kau. Memang sulit untuk menghapus kenangan terhadap orang yang kita cintai. Terlalu banyak cerita yang indah untuk dikenang. Tapi saarlah, semuanya itu bukan bagian dari hidupmu. Ia cuma bunga hidupmu yang bisa layu dan membusuk” Nyonya Santoso segera teringat bahwa apa yang diucapkan oleh ayahnya itu adalah bagian dari kalimat-kalimat yang pernah ditulis oleh Basri dalam sebuah novelnya. Ayahnya memang termasuk seorang di antara sekian juta orang yang mengagumi tulisan Basri Ia tak tahu bagaimana perasaannya sekarang ini. Geli? Gembira? Sedih? Semuanya bercampur jadi satu. Geli dan gembira karena ia bangga tulisan Basri sehingga tanpa sadar kalimat itu dioper seolah jadi milik ayahnya sendiri, karena ia merasakan apa yang diucapkan oleh ayahnya itu benar belaka. “Seandainya basri mau bertanggung -jawab dan ia bersedia kawin, apakah ayah keberatan bermantukan dia?” tanya nyonya Santoso memandang ayahnya yang nampaknya sangat terkejut melihat keberanian anaknya ini. Namun demikian secara bijaksana ia menjawab : “Ayah tak keberatan jika hal itu memang mampu membahagiakan dirimu. Tapi kau harusa ingat, dalam perkawinan yang harus dijaga bukanlah kebahagiaan diri sendiri, tapi juga kebahagiaan orang lain yang kita cintai. Bahkan yang terakhir ini yang lebih penting. Jika kau 63


memang mencintai basri dengan setulus hatimu, tidak ada jalan lain bagimu selain meninggalkan dirinya. Memberikan kesempatan ia mengembangkan karirnya tanpa diberati oleh berbagai masalah yang penuh dengan kemelut. Cobalah sekali lagi kau pikir. Sekarang ini usiamu sudah tigapuluh lima. Sepuluh tahun lagi, apakah kau sama menariknya seperti sekarang ini? seddangkan dia, sepuluh tahun lagi, ia mungkin baru tumbuh sebagai seorang laki-laki sejati. Ingatlah Erna, usiamu sudah tidak muda lagi. Bukan waktunya untuk jatuh cinta lagi bagi seorang perempuan seusiamu itu. Waktumu sekarang adalah untuk menjaga anak-anakmu. Membesarkannya dengan penuh cinta kasih agar mereka dapat tumbuh jadi manusia yang berguna.” Keduanya diam sejenak. Nyonya Santoso kemudian berkata perlahan: “Rasanya berat untuk kembali lagi, ayah” “Kau harus Erna, demi anak-anakmu. Laginya ayah sudah tua, ayah ingin kalian hidup bahagia,” jawab ayah dengan nada sabar. “Lima tahun kau katakan tadi?” sambungnya. “satu jangka waktu yang lama. Mengapa bisa berlarut-larut sejauh itu? Apakah suamimu tak pernah tahu tentang hubunganmu itu?” “Mungkin ia tahu. Mereka dulu pernah berkenalan ketika Santoso menyemporsori sandiwara yang mementaskan lakon berdasarkan novelnya. Justru di situlah kesalahannya ayah. Santoso selalu membiarkan keadaan sampai berlarut. Kalau sudah sekarang, ia marah-marah. Mengapa tidak dari dulu ia marah?” “Mungkin karena ia masih mengharapkan kesadaran itu datangnya dari dirimu sendiri tanpa perlu ia menegurmu” “Tidak. Bukan itu. Persoalannya supaya ayah tahu saja, Ialah agar ia bebas bermain cinta dengan sekretarisnya……..” “Kau terlalu berprasangka” “Itu kenyataan ayah. Ia membelikan rumah untuk sekretarisnya. Sebenarnya perceraian ini sudah harus terjadi lima tahun yang lalu” “Ayahnya tidak menanggapi kata-kata nyonya Santoso dan meneruskan,” kau masih sering bertemu dengan Basri?” Nyonya Santoso tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya. “Kapan yang terakhir?” “Kemarin” “Kemarin?” “Ya. Dan Basri berniat untuk mendatangi Santoso sekembalinya ia dari Jakarta” “Apa?” tanya sang ayah terkejut. “Ia mau mendatangi Santoso untuk berbicara dari hati-ke hati” “Apa maksudnya?” “Entahlah. Tapi secara jantan ia mengatakan bahwa urusan kemelut yang ada dalam diriku bukanlah dianggap cuma kemelut diriku sendiri, tetapi juga merupakan kemelut dirinya. Dalam rangka ikut bertanggung jawab ia akan mendatangi Santoso.” “Dan kau memperbolehkannya?” “Apa salahnya ayah? Santoso harus tahu bagaimana seharusnya seorang laki-laki bersikap…….” “Nah, itu dia. Kalau kau masih mengharapkan Santoso sadar bagaimana ia harus bersikap itu tandanya bahwa kau masih mengharapkan ia berubah” Nyonya Santoso terkejut mendengar omongan ayahnya. Tak pernah terlintas dalam ingatannya bahwa ayahnya akan sekritis itu dalam menilai tiaptiap kalimatnya. 64


Ia jadi terpojok dengan sendirinya. Mau tak mau ia harus mengakui kebenaran omongan ayahnya. Ia masih mengharapkan Santoso berubah dan tahu bagaiman bersikap sebagai seorang laki-laki. Apakah tandanya bahwa sebenarnya dalam hati kecilnya ia mengharapkan Santoso kembali sebagai laki-laki idamannya? Ah, ia jadi bingung sekarang. Ia tak mampu berpikir lagi. Akhirnya ia cuma berkata: “Berilah aku kesempatan untuk berpikir sendiri, ayah.” “Dalam situasi seperti keaadaanmu sekarang, kau tidak mungkin bisa berpikir. Kau harus mempercayai seseorang untuk kau ajak bicara. Bicaralah padaku apa yang kau pikirkan sekarang. Mungkin aku dapat menolongmu” Nyonya Santoso memandang wajah ayahnya dengan sayu. Ia sebenarnya sama sekali tidak ingin menyakiti hati ayahnya yang dicintainya lebih daripada ibunya. Kini nasi sudah menjadadi bubur. Orang tuanya telah mengetahui kemelut apa yang melanda rumah tangganya. Iapun menyadari bahwa sesabar bagaimanapun juga ayahnya, namun kehendak ayahnya sekarang ini sudah pasti : Ia harus kembali kepada suaminya. Tidak ada pilihan lainnya lagi. Ayahnya sekarang ini mengharapkan ia mempercayai seseorang. Seseorang itu hanya ia jumpai pada diri Basri. Mungkinkah sekarang ini ia mempercayakan semua persoalannya kepada Basri seperti dulu-dulu, setelah ia menyadari kebenarankebenaran apa yang dikatakan ayahnya. Ia memang tak mungkin kawin dengan Basri. Lima tahun lagi usianya sudah memasuki empatpuluh tahun. Terlalu tua untuk mendampingi seorang laki-laki yang penuh dengan gairah seperti Basri. “Kau jangan menemui Basri lagi,” tiba-tiba kata sang ayah. Nyonya Santoso tetap membisu. Ia cuma tersentak sejenak lalu bertanya: “Apa?” “Kau jangan menemui Basri lagi ! untuk sementara kau pergilah menjauhinya.” “Tapi Basri akan menemui Santoso begitu ia pulang dari jakarta.” “Kau uahakanlah agar pertemuan itu tidak terjadi. Ajaklah Santoso pergi berlibur. Jika kau memang masih ada sedikit rasa cinta terhadap suamimu, kau harus membatalkan pertemuan itu. Betapapun juga, pertemuan itu cuma akan menyedihkan hati suamimu” “Ayah, katakan terus terang, apa yang harus kuperbuat jika Basri memang bersedia untuk memperistri diriku?” tanya nyonya Santoso. Sang ayah tidak segera menjawab. Tidak pernah diduganya bahwa rasa cinta anaknya terhadap pengarang itu sudah sedemikian mendalamnya. Iapun nerasakan betapa kepedihan yang sekarang ini melanda hati anaknya terhadap pengarang itu sudah sedemikian mendalamnya. Iapun merasakan betapa kepedihan yang sekarang ini melanda hati anaknya yang tercinta. Tapa apa yang harus diperbuatnya selain menasehati agar anaknya kembali ke jalan yang benar. Betapapun juga ia menyadari bahwa kemelut sekarang ini justru anaknyalah yang salah. “Ayah, cobalah ayah katakan secara jujur, jika Basri mau menikahiku, apakah harus saya tolak?” desak nyonya Santoso ketika melihat ayahnua diam. Dengan menekan perasaannya sendiri akhirnya sang ayah berkata : “Ya, kau harus menolaknya.” Jawaban itu diberikannya dengan hati yang berat. Betapapun juga sebagai manusia sang ayah mengakui betapa beratnya problim yang dihadapi anaknya gadisnya ini. Seandainya ia berada di tempat anaknya, ia mungkin juga akan memilih Basri. 65


Santoso memang dikenalnya sebagai menantu yang lemah dalam pendirianya. Meskipun demikian, di pihak lainnya ia harus mengakui bahwa Santoso adalah seorang laki-laki yang ulet dalam bekerja. Tanpa keuletan itu tidak mungkin ia mampu membesarkan usaha yang dimulainya dengan modal nol, kecuali oleh bantuan keuangannya pada awal pendiriannya.sekarang perusahaan itu telah tumbuh menjadi perusahaan raksasa dan punya banyak cabang di kota-kota lainnya. Dalam hal ini ia tidak sependapat dengan istrinya yang beranggapan bahwa usaha yang sekarang tumbuh seperti raksasa milik Santoso adalah berkat pertolongan mereka. Menurut pendapatnya, itu adalah usaha Santoso sendiri. Meskipun modal disediakan, tetapi jika Santoso tidak pandai memutarkan, maka sejumlah besar uangpun akan percuma. Di sini keberhasilan Santoso tetap harus diakui. Kelemahannya terhadap istrinya memang sudah bukan barang yang baru lagi. Sejak awal perkawinan anaknya, menantunya sudah menunjukkan sikap seorang laki-laki yang selalu menurut akan kehendak istrinya, meskipun kadang-kadang itu berlawanan dengan hati nuraninya sendiri. “Ayah tidak jujur,” kata nyonya Santoso mengejutkan ayahnya. “Apakah aku harus mengatakan bahwa kau harus ikut Basri padahal aku tahu dengan pasti semuanya pada akhirnya akan membuatmu menderita?” Balas sang ayah bertanya. “Bukannya kebahagiaan hidup yang pendek lebih punya arti daripada hidup lama dengan penuh kekecewaan?” ujar nyonya Santoso perlahan seolah pada diri sendiri. “Cobalah kau pandang ayah, Erna. Tidakkah kau kasihan ayahmu sudah tua ini? Tegakah kau membiarkan ayahmu menderita karena tingkah polahmu?” Nyonya Santoso tak dapat tak dapat menahan emosinya lagi mendengar kata-kata ayahnya itu. Laki-laki tua itu ditubruknya, lalu ia menangis terisak dalam pelukan ayahnya yang sangat dicintainya. “O, ayah. Maafkan anakmu ini. Maafkan,” keluhnya dengan sedih. “Kau sabarlah. Pikirkan yang terbaik untukmu. Jika menurut pendapatmu bahwa kau akan bahagia dengan Basri kau turutlah dia. Tapi ketahuilah jika jalan yang kau pilih, maka kau telah memilih jalan yang salah bkan hanya untuk hidupmu sendiri tapi juga bagi anakanakmu……..” *** Tuan Santoso sendiri heran atas kelakuan istrinya akhir-akhir ini. Sejak pertengkaran mereka yang terbuka malam itu, istrinya jadi penurut diam di rumah. Malam ini, ketika dari anak-anaknya ia mengetahui bahwa kedua mertuanya tadi pagi datang dan melihat istrinya sejak sore tadi duduk termenung, ia akhirnya jadi iba. Betapapun juga, ia masih sangat mencintai istrnya. Tidak ada niat untuk menceraikannya. Bahkan mengenai skandal hidupnya sendiri. Itu semua sudah diakhiri kira-kira tiga tahun yang lalu, ketika ia mulai menyadari bahwa kehidupannya sedemikian itu tidak baik untuknya, lebih-lebih bagi anak-anaknya. Ia menyetujui prinsip hidup kawan-kawannya. Bahwa dengan uang ia bisa membeli perempuan. Buat apa bersusah payah untuk memeliharanya. Sejak tiga tahun yang lalu hubungannya dengan sekretarisnya sudah putus. Ini mungkin yang tidak diketahui oleh istrinya. Yang diketahui cuma waktu ia terlibat. Demi anak-anaknya ia sudah mengakhiri semuanya. Oleh karena itu, meskipun marah sikap dan perbuatan istrinya, dalam hatinya ia tetap bersedia untuk menerima kembali istrinya, asal

66


istrinya mau melupakan segala petualangan hidupnya, mengakhiri seperti ia juga sudah mengakhiri petualangannya. Malam itu ia duduk di kursi di muka istrinya. Biasanya istrinya selalu mengunci diri dalam kamar. Kini untuk pertama kalinya ia melihat istrinya duduk termenung di ruang tamu. “Kau sakit?” tanyanya. Nyonya Santoso diam. Ia seolah tak mendengar pertanyaan suaminya. Perhatiannya seolah terpukau pada majalah yang dipangkunya, yang cuma dipandangi gambarnya dengan pandangan yang hampa. “Erna, kau sakit?” tanya tuan Santoso lagi. Nyonya Santoso akhirnya menggelengkan kepalanya. “Tadi ayah dan ibumu kemari?” tanya tuan Santoso lagi ketika istrinya mau memberikan reaksinya atas pertanyaannya biarpun hanya berupa gelengan kepala saja. “Sudah kau adukan aku, buat apa kau bertanya lagi?” “Aku tak mengadukan dirimu. Aku cuma menceritakan apa yang terjadi di antara kita. Mereka berhak tahu. Mereka sudah tua dan kejadian yang menimpa diri kita sekarang membuat ayahku sedih. Kau pasti tahu itu. Lagi, kau sengaja bercerita untuk mencuci bersih dirimu sendiri. Kau takut disalahkan.” Tuan Santoso terdiam dengan jawaban istrinya. Apa yang diutarakan istrinya itu persisi seperti apa yang diperkirakan semula. Ia memang takut jika ia yang dianggap sebagai biang-keladi kemelut rumah tangganya, karena ia mendahulu bercerita. “Maafkan kalau aku salah.” Ia lalu memandang wajah istrinya. Masih cantik dan masih menggairahkan sebagai seorang wanita. Ia masih ingat betapa ketika untuk pertama kaliya ia jatuh cinta pada sekretarisnya semua sahabat-sahabatnya menyalahkan. “Kau laki-laki goblok,” kata Herman, sahabat kentalnya,” kalau kau menyeleweng carilah perempuan yang lebih dari istrimu. Kalau ia masih di bawah istrimu, buat apa kau repot-repot memeliharanya. Dengan uang lima ribu kau bisa dapat perempuan yang 1000 X lebih cantik dari sekretarismu.” Teman lainnya yang sama-sama pedagang menganjurkan dia untuk “jajan” saja di luar. Bisa cari yang baru. Tapi waktu itu, semua nasehat-nasehat itu tak ada gunanya. Ia masih bergumul terus dengan sekretarisnya sehingga akhirnya bocor kr telinga istrinya. Sebenarnya bagi laki-laki seperti dia yang sudah di ambang pintu umur 40 tahunan, bukanlah cum sekedar sex yang dicari. Bukan seperti anak-anak muda. Yang ia perlukan adalah situasi yang relax di mana ia bisa berbohong kepada seorang wanita dengan bercerita yang semacam itu kepada istrinya tentunya tahu siapa dirinya. Tapi pada sekretarisnya, yang melihatnya sebagai boss di dalam kantor sudah barang tentu senang mendengarkan ceritanya. Lelaki memang selamanya paling suka membohongi perempuan dan celakanya juga perempuan paling suka dibohongi lelaki. Mungkin pula ini sebabnya pelacuran, baik yang terang-terangan mauoun yang tersembunyi untuk selamanya akan tetap ada. Bukan karena lelaki terlalu membutuhkan sex, tetapi karena disana lelaki bisa berbohong dengan sepuas hatinya. Tanpa terasa kaki istrinya yang mulus dipandangnya. Terus ke atas dan gairahnya sebagai seorang lelaki timbul kembali. Sudah lama ia tak pernah menggumuli istrinya sejak pertengkaran mereka yang memuncak pada malam hari itu. Malam ini, ketika melihat untuk pertama kalinya istrinya berada di luar kamarnya setelah insiden mealam dulu itu, ada rasa keinginan untuk menggumuli istrinya sendiri.” Mari kita lupakan semuanya yang sudah terjadi,” katanya mencoba berbaik dengan istrinya. 67


Maksud baiknya ini jusrtru mendapat tanggapan yang sebaliknya dari nyonya Santoso, yang mengira bahwa ide ini tentunya datang dari kedua orang tuanya yang menyuruh Santoso berlaku terhadap dirinya. Sikap yang semacam ini ia tidak suka. Kalau memang hendak berbaik mengapa harus menunggu sampai mendapat nasehat dari kedua orang tuanya. Mengapa tidak timbul dari inisiatipnya sendiri. Dengan laki-laki semacam inikah ia harus kembali, bersatu lagi seperti yang di kehendaki ayahnya demi masa depan anak-anaknya? haruskah ia menderita untuk jangka waktu yang sepanjang sisa hidupnya mulai sekarang, terus berdampingan dengan laki-laki yang tak punya pendirian ini? Setiap igat suaminya ia selalu ingat Basri. Alangkah bedanya suaminya dengan Basri. Kalau ia boleh berterus-terang, bukan soal sex yang diutamakan dalam persabatannya dengan Basri. Suaminya sendiri bukan tergolong orang yang lemah. Semangatnya menggebu-gebu. Dalam hal ini saja ada perbedaannya dengan Basri. Suaminya terlalu egois. Apa yang dilakukan dalam hidup kebersamaan mereka cuka didasarkan kepada kepentingan diri sendiri. Puas, selesai dan tidur ! Tidak perduli lagi, apakah istrinya juga sudah dalam perjalanan yang sama. Tak perduli apakah sang istri masih di tengah jalan atau tidak. Tapi pada Basri ada seni tersendiri. Kegagalan tiap laki-laki dan hidup kebersamaan dengan istri mereka justru di sini. Mereka tidak pernah memikirkan kepentingan orang lain. Tahap pertama memang didapati kepuasan dari kehidupan kebersamaan dengan suaminya, tetapi dalam mengahadapi tahap kedua, ia sering tertinggal di tengah jalan. Ini yang membuatnya kecewa dan hal semacam initak pernah dialaminya jika hal yang sama dilakukannya bersama Basri. Kepuasan itu justru didapatnya dalam tahap yang bermacammacam dengan klimaks yang makin meningkat, bukan main menurun. Bukan cuma soal sex saja yang membuatnya dengan basri terikat satu sama lain. Ada soal lain yang ia senangi pada diri Basri yang sama sekali tidak terdapat pada diri suaminya. Ia menjumpai seorang laki-laki yang penuh dengan kebimbangan. Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dari keluarga kaya. Yang biasa termanja ia sudah biasa hidup membawa maunya sendiri. Ia butuh seorang laki-laki yang tegas, keras tapi bukan egois. Laki yang mampu menentukan ia harus berbuat ini atau itutanpa ia sendiri merasa dipaksa untuk berbuat demikian. Pada diri Basri ia menemukan semuanya dan karenanya ia merasa aman hidup di samping Basri. Bahkan dalam menanti kedatangan Basri ia measakan adanya keresahan, jika misalnya ia datang ke rumah Basri dan Basri sedang ke luar. Ini yang dirasakannya, yang sama sekali tidak pernah ia rasakan jika suaminya sedang bepergian. Ia tak pernah merasa resah jika harus berdiam seorang diri di rumah dan suaminya sedang melakukan bisnis keluar kota atau ke luar negeri. Ia menganggapnya sebagai satu hal yang wajar. Ia tak merasa kehilangan. Namun juka ia ddatang ke rumah Basri dan menjumpai rumah itu kosong, hatinya jadi syahdu, terasa kosong sekali dalam hatinya. Melihat istrinya diam termenung, tuan santoso menduga bahwa ia sudah mulai bersikap lunak. Ia sama seklai tidak pernah menduga bahwa justru dalam alam pikiran istrinya sekarang ini berkecamuk persoalan-persoalan yang berkenan dengan dirinya sendiri. “Maukah kau makan di luar?� tanyanya. Pertanyaan itu menimbulkan perbandingan lagi dalam benak nyonya Santoso. Suaminya selalu bertanya kalau mengajaknya makan di luar atau apa saja. Pada diri Basri lain. Untuk hal yang sama Basri akan berkata : “Sisirlah rambutmu, kita makan di luar.�

68


Kalau sudah begitu, ia tak mempunyai kesempatan untuk menolak. Ia menurut dan menyisir rambutnya, membetulkan gaunya dan kemudian mereka ke luar untuk makan di laur. Akhirnya ia cuma menggelengkan kepalanya lagi. Ia berusaha untuk membunuh pikiran yang serba membandingkan itu. Ia sebenarnya tak ingin membandingkan suaminya dengan Basri. Namun pikiran itu datang dengan begitu saja. Ia berusaha untuk menyakini bahwa apa yang dikatakan ayahnya itu benar, ialah jalan yang paling baik baginya adalah kembali kepada suaminya lagi. Tiba-tiba saja terlintas pertanyaan dalam hatinya: “Apakah pada saat seperti sekarang ini Basri juga ingat padanya?” “Kau marah karena aku cerita persoalan kita kepada orangtuamu?” tanya tuan Santoso. Nyonya Santoso hendak membisu, tetapi akhirnya ia berkata juga : “Itu hakmu untuk berbicara meskipun seperti kataku tadi : itu semua tidak perlu. Persoalan ini adalah persoalanlu dan persoalanmu, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, siapapun !” “Maafkan aku kalau demikian. Tidak ada maksud dalam hatiku untuk mengadu, aku hanya hendak memohon bantuan mereka.” “Sudahlah, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Ayahku sudah sedih mendengar semuanya. Mampukah kau membuat ayahku tidak bersedih lagi?” ‘Ayahmu pasti gembira jika melihat kau dan aku hidup rukun kembali” “Masih adakah kesempatan bagi kita untuk rukun kembali? Bukankah sekarang ini juga seperti katamu, kau henak menhukum diriu dengan jalan tidak menceraikan diriku?” “Kau harus menyadari mengapa aku berkata demikian, Erna. Aku seorang laki-laki. Dan betapapun kau pandang rendah aku, aku tetaplah lelaki. Hati lelaki siapa yang tidak menjadi marah kalau mendenggar sendiri, istrinya mencintai laki-laki lain? malam itu kau terlalu menyakiti htaiku.” Nyonya Santoso diam. Ia menyadari sepenuhnya atas kesalahannya itu . Basri endiri sudah menegurnya mengenai persoalan ini. Hal ini sepenuhnya justru harus dirahasiakannya. “Marilah kita memulai hidup yang baru. Aku akan melupakan semua apa yang telah terjadi. Supaya kau tahu juga, apa yang telah terjadi. Supaya kau tahu juga, pa yang telah terjadi antara aku dan sekretarisku itu, seperti tuduhanmu itu, semuanya sebenarnya sudah berakhir tiga tahun yang lalu. Itupun sudak kuaktakan kepada ayahmu ketika siang tadi ia menilponku setelah ia mendengar skandal itu darimu. Aku sumpah tidak ada persoalan pa-apa lagi. Semuanya sudah lewat. Marilah kita memulai hubungan yang baru, demi anak-anak kita……” Mendengar semuanya itu nyonya Santoso tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang ini. “Biarlah aku berpikir sendiri,” katanya seraya berdiri, menuju ke kamar di sebelah kamar suaminya di mana mereka dulu tidur bersama. Kini ia mengunci diri lagi seperti beberapa malam belakangan ini. Tinggal tuan Santoso yang duduk termenung melihat kekerasan adat istrinya. *** Dalam perjalanan pulang dengan pesawat dari semarang ke Surabaya, Nancy sibuk membenamkan diri membaca novel Basri yang baru dibukukan : Nyonya Mary. Ia membaca buku bukian karena diberi oleh Basri, tetapi dengan membeli di kios buku di airport Semarang. Basri sebenarnya sudah melarangnya, karena ia mempunyai sebagai koleksi di rumahnya. Nancy memaksa dan dibelinya buku itu dengan harga seribu duaratus limapuluh rupiah. Ini adalah untuk pertama kalinya Nancy tertarik untuk membaca novel. 69


Namun skarang, karena mengetahui bahwa David dan mahasiswa-mahasiswa yang lain sama-sama mengagumi Basri sebagai pengarang, akhirnya ia ingin tahu juga apa saka yang ditulis oleh Basri. Membaca sampai tiga puluh halaman ia bertanya pada Basri yang duduk diam memandang ke luar lewat jendela pesawat : “Apakah dalam semua novelmu kaum wanita kau rendahkan?” Basri terkejut. “Apa?” tanyanya. “Aku cuma tanya, apakah dalam semua novelmu kaum wanita itu kau rendahkan derajatnya?” “Aku tak pernah merendahkan kaum wanita. Aku kagum pada mereka. Mereka membutuhkan sex. Kalu mereka mendapatnya terlalu mini dari suami meeka mak mereka berjuang untuk mendapatkan di tempat yang lain. Cara itu sudah barang tentu salah. Namun harus tetap diakui sebagai suatu usaha…” “Gila kau ! Enak saja kau omong. Dengan cerita seperti ini memang bukumu bisa laku. Tapi aku tak menyukainya,” ujar Nancy seraya melemparkannya buku itu kepangkuan Basri. Basri tersenyum. ia sama sekali tidak tersinggung. “Aku kan tadi sudah bilang kau jangan beli,” jawabnya seraya melamparkan kembali buku itu kepangkuan Nancy. Ia kemudian menyandarkan kepalanya mencoba untuk tidur barang semenit. Nancy mau tak mau meneruskan bacaannya. Akhirnya tidak terasa ia hanyut di dalamnya. Basri memang pandai menuliskan ceritanya. “He, kau lancar mengarang ini begini, apa semua ini pengalamanmu ya?” tanya Nancy seraya menyikut lengan Basri. “Apa?” “Yang kautulis ini pengalamanmu semua, ya?” “Katakan saja, ya.,” jawab Basri jengkel karena ia yang sudah hampir terlena terjaga kembali hanya oleh pertanyaan yang sinting itu. “Serem kalau begitu pengalaman hidupmu…….” Basri hendak membetulkan letak duduknya, tapi lewat pengeras suara didengarnya pengumuman bahwa tak lama lagi pesawat akan landing di lapangan terbang Juanda. Ia mengikatkan sabuk pengaman sesuai dengan instruksi. “Mulai nanti semua buku-bukumu akan kubaca,” ujar Nancy “Untuk apa?” tanya Basri heran. “Aku mau tahu apakah semua bukumu tentang sex.” “Kalau ya?” “semua lembarang naskahmu yang belum kaubukukan akan ku baca. Dan kalau masih bersentuhan dengan sex aku akan merobek-robeknya…..” “Kalau demikian aku akan menulis tentang sex melulu, karena itu berarti kau akan selalu di sampingku untuk merobeknya” Nancy memandang ke arah Basri. Laki-laki ini napaknya tenang saja. “Aku tidak bergurau, Basri !” “Aku juga tidak. Kan kita selamanya bicara serius. Hanya kau yang kadang-kadang agak sinting kalau bertanya.” “Oklah kalau begitu. Aku tanya serius sekarang. Apakah semua karya-karyamu berkisar pada soal-soal sex?” “Tidak.” “Nah, begitu. Aku puas sekarang dan aku percaya.” Basri jadi bingung. *** 70


Sampai di airport Juanda, Basri masih diam membisu. Tak ada seleranya untuk bicara. Apalagi sekarang Nancy terbenam dalam bacaanya. Buku yang tadi sudah hampir saja tidak dibacanya karena di dalamnya penuh dengan sex melulu kini dibacanya halaman demi halaman. Ketika mereka manaiki taksipun ia tetap membaca. Sekarang ia harus mengakui akan kemampuan Basri untuk menulis. Kelincahannya dalannya dalam mempermainkan kata-kata yang sederhana. Caranya ia mencapai tujuannya bercerita sungguh mengagumkan. Basri sendiri sekarang terbenam dalam khayalannya sendiri. Besok ia harus menjumpai tuan Santoso. Ia masih tidak bisa meraba bagaimana besok ia harus bersikap. Hidup ini ternyata tidak segampang seperti yang ditulisnya dalam novel-novel nya. Keputusan sekarang ini menurut pendapatnya bukan pada diri tuan Santoso. Ia harus menjumpai nyonya Santoso sekali lagi. Bukan cuma sekedar agar dengan demikian ia dapat memenuhi syarat yang diberikan oleh Nancy, yaitu nyonya Santoso kembali kepada suaminya, tetapi setelah dipikirnya masakmasak, mrmang jika nyonya Santoso dapat kembali kepada suaminya, itu adalah jalan keluar yang paling baik bagi semuanya, terutama baginya sendiri. “Besok aku mungkin menjumpai tuan Santoso,” ujarnya tiba-tiba ketika mereka duduk di pavilyunnya. Nancy jadi terkejut. Buku yang dibacanya diletakkan di pangkuannya kemudian ia memandang Basri. “Aku akan menjumpai nyonya Santoso terlebih dahulu. Habis itu ak baru akan bertemu dengan Santoso.” “Sesukamulah,” jawab Nancy masa bodoh seraya mengambil kembali bukunya. “Nancy. Persolan ini adalah persoalan kita berdua. Kau ikutlah berpikir untuk memecahkannya dan jangan kau mau enaknya saja,” kata Basri jengkel. “Kau yang punya problim. kau yang bikin gara-gara. Kau yang main api sendiri. Apa hubungannya dengan diriku?” balas Nancy bertanya. Tanpa disadari ada rasa cemburu dalam hati ketika ia mendengar bahwa Basri akan menjumpai nyonya Santoso lagi. Mengapa perasaan itu tiba saja muncul ia sendiri tidak mmengetahui. Apakah itu tandanya bahwa cintanya pada laki-laki yang bernama Basri ini sudah mulai mendalam? Setiap nama nyonya Santoso disebut ia merasakan hal yang aneh dalam perasaanya. Tiba-tiba Basri merebut buku novel yang sedang dibacanya. “Kau dengarkan aku Nancy! Apakah tepat aku menjumpai nyonya Santoso sekali lagi baru tuan Santoso? Apa pendapatmu?” “mengapa kau hendak menjumpai nyonya Santoso lagi? Kangen?” “aku pikir sebaiknya aku bicara sekali lagi padanya. Aku akan berusaha untuk membujuknya kembali pada suaminya, baru kemudian aku bicara dengan suaminya” “Itu yang terbaik menurut pendapatmu?” “Menurut kau?” “Menurutku kau sebaiknya jangan menemuinya lagi. Tiap perjumpaan pastilah membawa kenangan tersendiri. Itu nanti akan tambah melukainya kalau ia tahu kau mencintai orang lain.” “Aku telah melakukan kesalahan, Nancy, ialah dengan mengatakan bahwa urusannya adalah urusanku juga. Ini bisa ditafsirkan yang tidak-tidak. Aku yakin ia menafsirkan salah. Padahal

71


meksudku dengan urusan kita, adalah bahwa aku bersedia untuk bertanggung jawab dengan pengertian bahwa aku akan mendatangi suaminya……………..” “Kau memang sengaja Basri.kau selalu memberi harapan kosong pada kaum wanita, karena kaum wanita tidak ada artinya bagimu. Aku condong kau suka kau suka menipu mereka. Apa arti dari bertanggung jawab jika tidak dengan pengertian bersedia untuk mengambilnya sebagai istri?” “aku berbuatdemikian karena aku menuruti nasehatmu. Bukankah kau dulu mengatakan bahwa aku harus bertanggung jawab?” “Tanggung jawab untuk tidak ada pilihan lain, Basri, selain mengawininya. Dan bukan di di satu pihak bertanggung jawab tetapi dipihak lainnya kau mencintai gadis lain, aku!” “Aku benar-benar tidak bermaksud mempermainkan. Aku benar-benar cinta padamu” “Aku tahu, namun di damping itu juga aku tak ingin kau mempermainkan seorang perempuan lainnya dengan memberikan haapan-harapan yang kosong. Kau harus memilih salah satu. Aku atau nyonya Santoso. Kau tidak bisa melibatkan kami dua-dua dalam kehidupanmu,” jawab Nancy seraya memandang Basri. Kali ini ia ingin mengembalikan kepribadian Basri. Ia melihat sejak di Semarang kemarin Basri seolah kehilangan kepribadiannya sampai-sampai david mengatakan bahwa ia tidak boleh bersikap keras kepada Basri. Ia ingin Basri bersikap tegas dalam menentukan masa depannya dan tidak terombang-ambing dalam kehidupannya sendiri. Alangkah bedanya Basri yang dukenalnya pertama kali sehabis pembacaan sajak-sajaknya dulu dengan Basri yang sekarang. Basri yang dulu nampak penuh dengan semangat, tetapi basri yang sekarang seolah manusia yang tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Nancy sendiri mengetahui bahwa selama ini Basri tak banyak berkarya. Ia hanya menulis essei-essei di surat kabar dan sama sekali tak mapu menyelesaikan novelnya. Tak ada gairahnya untuk menulis. Di sinilah sebenarnya kesalahan yang fatal dari nyonya santoso. Ia melihat Basri sebagai seorang “hero” karena memperbandingkannya dengan suaminya. Padahal dalam keadaan yang wajar, tanpa memperbandingkan dengan siapa-siapa Basri tetaplah seorang mahluk Tuhan yang mempunyai kelemahan-kelemahan seperti yang sekarang dijumpai oleh Nancy. Sayangnya, sikap suka memperbandingkan ini sudah melembaga dalam kehidupan manusia jaman sekarang. Padahal sesungguhnya justru sikap itu yang membuat manusia tidak tentram dan tidak bahagia hidupnya. Sikap memperbandingkan pada akhirnya akan melahirkan sikap iri hati yang membuahkan rasa kebencian terhadap seseorang. Basri tersentak. Ia terkejut dengan kata-kata Nancy yang menyuruhnya memilih satu di antara dua. Mengapa gadis ini sampai hati untuk menyuruhnya berbuat demikian? “Mengapa aku harus memilih antara kau atau nyonya Santoso, Nancy?” katanya kemudian. “Kau mulai sekarang harus menetapkan satu garis pemisah yang tebal, Basri. Inidemi kepentinganmu sendiri.” “Kau tahu bahwa keputusanku seudah pasti bahwa aku sangat mencintai dirimu” “Aku tahu itu Basri, tapi aku tahu juga bahwa dalam hatimu sekarang ini masih ada kemelut mengenai persoalan nyonya Santoso. Sebagai seorang pengarangpun kau semestinya mengetahui, bahwa perempuan seperti nyonya santoso itupun bukannya tidak tahu bahwa apa yang dilakukan sekarang ini merupakan suatu skandal. Ia hanya tak mungkin melupakan. Setiap perjumpaan membuka kenangan lama. Oleh karena itulah aku berpikir, ada baiknya jika kau tidak menjumpainya lagi dan biarlah ia kembali kepada suaminya atas kesadarannya sendiri dan bukan kerena desakanmu. Kalau ia kembali pada suaminya karena desakanmu,

72


maka seumurnya ia akan menderita. Percayalah Basri, dalam hal ini aku sebagai wanita pasti akan dapat lebih mmenyelami perasaanya.” Basri mengakui bahwa apa yang dikatakan Nancy itu benar. Setahun yang lalu, mereka sudah hampir putus. keduanya sudah berusaha untuk saling melupakan. Tapi karena pada suatu hari mereka bertemu tanpa diduga, maka terjalin kembali hubungan itu sampai sekarang. Usahauntuk saling melupakan nampaknya sia-sia belaka. Sehingga pada akhirnya nyonya Santoso pernah berkata padanya : “Aku tak kan mebcoba untuk melupakan dirimu. Percuma, Aku menderita sekian waktu lamanya dalam usahaku untuk melupakan dirimu, tapi akhirnya kalau kita sudah bertemu akhirnya begini lagi………” “Kaupun kalau bertemu dengna tuan Santoso janagan mengatakan kalau kau telah mencintai diriku. Kau harus menunjukkan bahwa dirimu masih bebas dan atas kesadaranmu sendiri kau ingin nyonya Santoso kembali pada suaminya,” ujar Nancy lagi. “Mengapa aku tk boleh memberitahukannya?” “Karena itu dapat dipergunakan untuk mengejek istrinya. Kita berdua masih tidak mengetahui bagaimana watak tuan Santoso itu yang sebenarnya.” Basri yang sangat berterimakasih kepada Nancy. Gadis ini yang dalam keadaanya yang wajar suka sekali dalam setiap pembicaraannya. Akhirnya mempu juga untuk berfikir secara serius. Respeknya terhadap Nancy ini makin bertambah dan hasratnya untuk menikahi gadis ini lebih besar lagi. Ia pasti dapat menjadi seorang istri yang bijaksana. Nancy sendiri masih sangat gembira bahwa pikirannya diterima oleh Basri. Oleh karena itu kemudian berkata : “Nah, sekarang kau mandilah dulu, biar aku selesaikan novelmu ini,” lalu ia membaca kembali tanpa memperdulikan Basri lagi. Basri sendiri tidak segera mandi. Ia menganbil map yang berisikan sajak-sajak Nancy yang dibacakan di Semarang. Perhatiannya tertumbuk kepada sebuah sajak yang berjudul : The New Gown Told a Story. “Kau mau membacakan untukku?” tanya Basri. “Apa?” tanya Nancy tanpa menoleh. Perhatiannya masih terpaku pada novel yang dibacanya. “Sajakmu ini. Aku ingin mendengarkannya.” Tiap seniman betapapun juga akan tertarik kalau ada orang yang membicarakan hasil karyanya. Oleh karena itu ketika melihat Basri membolak-balik sajaknya Nancy jadi tertarik. Ia memperhatikan lembaran kertas-kertas yang berisikan sajaknya yang dipegang Basri. Ia segera mengulurkan tangannya untuk mengambil. Ketika melihat judul sajaknya itu jadi tertawa sendiri. Sajaknya itu justru diciptakan untuk menceritakan seorang gadis, yang kemudian bersuami tetapi yang tidak mendapat perhatian dari suaminya sehingga pada akhirnya menemukan kebahagiaannya dengan sang kekasih. Ia sendiri jadi heran waktu menciptakan sajaknya itu, mengapa ia menyukai tema “backstreet.” Apakah ini karena penghayatannya atas kehidupan nyonya Santoso? “Kau pernah membelikan gaun nyonya Santoso?” tiba-tiba tanyanya? Basri mengelengkan kepalanya. “Kalau demikian sajak ini bukan mengenai dirimu,” kata Nancy kembali. “Jadi tadinya kau ingin menulis tentang diriku?” tanya Basri menyelidik. “Tidak. Aku cuma mungkin terpengaruh oleh gaya hidupmu yang seperti gipsy, yang punya kekasih. Lalu aku coba memandangnya dari sudut sang kekasih yang usianya lebih tua. Baiklah aku akan membacakannya :

73


The New Gown Told a Story. When she was still a little girl, Every time her birthday came She wore a new gown -Made by her own motherWhen she grew up to be young girl Every time her birthday came She never wore a new gown -Purchased at fashionable boutiguesWhen she got to be beloved wife Every time her birthday came She never wore a new gown Because her birthday went be just like ordinary days And nobody rembered them any more. Then………. Came she felt she was a happy woman She put on the gown her love gave her When her birthday came. She stood alone in front of a mirror And asked, Am I still beautiful? As when I was seventeen? She turned herself alone in front of the mirror And asked, Am I still beautiful? Do I look good in this new gown? She answered it herself, Thought this body has withered with age it.s this heart that counts. While pacing both her hands on her bosom. Then, she dreamed in front of the mirror Watching her boy in the new gown And shispered, Thanks, darling Your gown is so beautiful But what is important, I know You love me too……

Then tears of happiness trickled down Drop by drop On her new gown…………… 74


Selesai Nancy membacakan sajaknya, Basri jadi tertegun sendiri. Betapa gampangnya sebuah cerita yang bertema panjang di tangan seorang novelist bisa jadi begitu singkat di tangan seorang penyair. Ia sendiri akan memerlukan puluhan halaman kertas tik untuk bisa melukiskan sebuah sajak namun mencakup segalanya. Ia tak bisa mengerti betapa hakekat kehidupan ini dapat dihayati oleh seorang penyair begitu singkat dan tepat. Lagi-lagi ia jadi kagum. Ia jadi merasa sayang bahwa justru di Republik ini nasib kaum penyair tidak punya masa depan. Yang dipunya cuma ketenaran nama. Tiap ditilik dari segi komersiilnya semuanya rata-rata nol. “Menurut nasehatmu, semua sajak-sajakku kubuat dalam dua bahasa. Cuma entah bagaimana dengan terjemahannya ini. Kalau memang baik, aku akan mencoba untuk mencipta dalam bahasa Indonesia,” kata nancy ketika melihat Basri diam. Ia tak tahu apa yang dipikirkan laki-laki ini. “Kau yang baca,” kata Nancy pula seraya mengulurkan lembaran kertas yang berisikan terjemahan sajaknya. Basri menerimanya dan ia mulai membaca : Gaun yang Baru Punya Kisah. Membaca judul itu Basri bergumam sendiri : “Boleh juga kau menterjemahkannya. Gaun yang Baru Punya Kisah,” lalu sambungnya. Ketika ia masih kecil setiap ulang tahunnya ia mengenakan gaun yang baru -dibuat oleh ibunya sendiriKetika ia tumbuh sebagai remaja putri setiap ulang tahunnya ia mengenkan gaunnya yang baru -yang dibelinya di butik terkenalKetika ia jadi istri “tercinta” setiap ulang tahunnya ia tak pernah mengenakan gaun yang baru karena hari-hari ulang tahunnya berjalan secara rutine dan tak seorang lagi yang mengingatnya kemudian…… datang seorang kekasih dan ia merasa sebagai perempuan yang bahagia gaun baru pemberian kekasih dikenakan ketika ulang tahunnya tiba Ia berkaca seorang diri dan bertanya: apakah aku masih tetap cantik? seperti dulu ketika berusia tujuh belas tahun? Ia memutar diri di muka kaca sendirian apakah aku masih cantik? 75


apakah aku pantas dengan gaun baru ini? Ia menjawab sendiri : biarkah tubuh ini sudah termakan usia yang penting hati ini sambil meletakkan kedua telapak tangan di dadanya lalu ia termenung di muka kaca memandang tubuh bergaun baru seraya berbisik : terima kasih darling gaunmu sangat indah tapi yang penting aku tahu kau juga cinta padaku…….. lalu air mata kebahagiaan menitik jatuh satu satu di gaunnya yang baru

Selesai membaca Basri berkata: “Sipa bilang sajakmu lebih baik dalam bahasa inggris. Dalam bahasa Indonesia” “Aku akan mancoba” “Kau tahu Nancy, satu waktu aku akan membuat kejutan untuk pembaca-pembacaku” “Kejutan apa?” “Aku akan membuat sanjag juga……..” Nancy tertawa lebar. Polos dan dalam tertawanya ia memang sangat menarik. Ia memang punya daya tarik tersendiri dalam tertawanya yang lepas. *** Keesokan harinya Nancy pulang kembali ke Malang untuk memberi kesempatan Basri mengurus persolannya dengan tuan Santoso. Basri berjanji setelah selesai ia akan segera ke Malang. Siang itu dilewatkan Nancy bersama Nini. Ia membelikan sebuah harmonika untuk anak itu. Nancy yang memang pandai membunyikan harmonika mulai mengajar gadis cilik itu bagaimana melagukannya. Nini sangat genbira mencoba-coba alat musiknya yang baru. Sore harinya ia mulai menantikan Basri sesuai janji Basri yang katnya akan segera ke Malang. Ia mengharapkan kedatangannya sekitar pukul empat sore. Namun sampai jam lima ia menunggu, Basri tak kunjung datang. Hatinya mulai risau. Macam-macam pertanyaan berkecamuk dalam hatinya. Apakah tuan Santoso marah pada basri karena kehadirannya, lalu memukylnya sehingga Basri luka-luka? Tapi segera pikiran ini dibantahnya sendiri. Tak mungkin. Basri sudah berjanji untuk datang secara baik-baik. Nancy sekarang untuk pertama kalinya merasakan bagaimana rasanya ornag bercinta. Ia merasakan sesuatu dalam hatinya yang ia sendiri tak tahu bagaimana. Ia hanya dapat merasakan tanpa dapat mengatakan.

76


Perasaan semacam ini pernah dialaminya ketika untuk pertama kalinya ia menerima surat Basri yng bahwa berisikan berita kedatangan laki-laki itu. Ia masih ingat betapa waktu itu ia menyibukkan dirinya untuk mempersiapkan semuanya menjadi derba bersih dan indah. Ia juga ingat kembali betapa Basri yang datang dari surabaya membawa koper yang isinya hanya dua kuntum mawar kuning. Ah, alangkah romantisnya Basri saat itu. Tiba-tiba sebuah becak berhenti. Nancy berlari karena yakin bahwa itu pasti Basri yang datang. Namun alangkah terkejutnya ia ketika melihat siapa yang turun dari becak. Seorang laki-laki tua yang dikenalnya dengan baik tapi sudah lam tak dijumpai : pak Rachmat, ayahnya sendiri. Ia berteriak kegirangan melihat ayahnya datang. “Ayah,” serunya sambil berlari menuju ke ayahnya “Kenapa ayah tak memberi kabar?” sapanya seraya memegang lengan ayahnya, mengajaknya masuk. Sang ayah tak berkata apa-apa. Diawasinya pavilyun yang disewa anaknya dan kerika ia masuk ke dalam, hatinya terpukul melihat keadaan yang terlalu sederhana itu. Sederhana menurut ukurannya seorang pedagang batik besar di Pekalongan, tapi yang terasa biasa bagi Nancy seorang penyair. Ia duduk menghempaskan diri di kursi plstik yang ada di ruang tamu kemudian memandang wajah anaknya tajam-tajam. Ya, wajah ini adalah wajah anaknya yang sudah lama dirindukannya. Wajah anak tunggalnya yang lama menghilang dari kehidupannya selama ini selalu membuat hatinya sedih. Melihat ayahnya termenung Nancy teringat akan perselisihannya dengan ayahnya yang kemudian menyebabkan ia pergi ke Amerika untuk ikut pamannya di sana. “Dari siapa ayah tahu alamat Nancy?” tanyanya kemudian. “David. David menilponku kemarin dan mengatakan bahwa kau akan menikah. Benarkah kabar itu?” Nancy termenung mendengar pertanyaan ayahnya. Ia tak dapat segera menjawab. Ia cuma menggangukan kepalanya. Ia kemudian menyeret sebuah kursi dan meletakkan di muka ayahnya kemudian duduk. “Nancy sangat senang ayah datang,” katanya seraya memegang kedua tangan ayahnya dengan sayang. “Apakah selama ini kau hidup seperti ini?” tanya sang ayah seraya memperhatikan keadaan sekeliling kamar itu. Ia nampaknya masih tidak bisa mengerti betapa anaknya bisa hidup da;am tempat yang sesempit ini, Lagi sekali Nancy mengganguk. Ia memahami keheranan ayahnya. Ayahnya yang pedagang batik terbesar di Pekalongan mempunyai rumah yang besar dengan kamar-kamar yang luas. Mungkin kamar pembantunya di rumah masih lebih besar jika dibandingkan dengan pavilyun yang disewanya ini. Untuk melegakan ayahnya ia berkata: “Nancy bahagia di tempat ini, ayah” Sekarang ayahnya yang mengangguk-anggukan kepala. “Kapan kalian kawin dan mana calon suamimu?” tanya sang ayah. Nancy tertawa. “Waktunya belum ditentukan karena akupun mungkin takan kawin,” jawab Nancy mengejutkan hati orang tua itu. “Apa maksudmu?” 77


“David memang ada-ada saja. Ia mwmberitahukan terlalu cepat kepada ayah. Calon menantu ayah adalah seorang pengarang. Ini kalau kami memang berjodoh’’. “Pengarang?” tanya sang ayah terkejut. Dalam benak, orang tua ini tidak bisa mengerti mengapa anaknya sampai bisa jatuh cinta pada seorang pengarang. Pengarang menurut pendapatnya hanyalah tukang melamun, yang hidup nyentrik, yang sama sekali tidak bisa mendatangkan duit. Sebagai seorang pedagang, calon yang terbaik untuk anaknya menurut hematnya adalah juga seorang peedagang. Untuk ini ia punya banyak calon. “Apa yang salah, ayah? Mengapa ayah nampaknya heran waktu kusebutkan bahwa calon menantu ayah seorang pengarang?” tanya Nancy heran. Ditanya begitu sang ayah tak dapat memberikan jawaban. Betapapun juga ia tak ingin anak gadisnya tersinggung. “Apakah kau menintainya?” Pertanyaan ini lagi-lagi membuat Nancy tertawa. “Sudah barang tenti saya mencintainya,” jawabnya. “Ayah tak perlu khawatir. Pengarang sekarng ini banyak duitnya,” sambungnya. Keterangan ini bagi sang ayah sama sekali tidak ada artinya. Sebagai seorang pedagang yang membenamkan diri dalam macam-macam urusan bisnisnya ia sama sekali tidak pernah mengetahui perubahan-perubahan yang membawa nasib baik bagi seorang pengarang di Republik ini sekarang. Ia tak pernah mengetahui bahw adengan banyaknya novel-novel yang diterbitkan maka kehidupan pengarang dewasa ini boleh dikatakan top. Nancy sendiri memang tidakk pernah mengetahui berapa honorarium yang didapat Basri untuk cetakan pertama karyanya yang dibukukan. Yang diketahuo hanyalah bahwa sehelai kertas tik dihargai oleh penerbit dengan harga antara empat sampai lima ribu. Sedangkan novel Basri kebanyakan memakan halaman ketik sampai duaratus limapuluh folio. “Kau sudah lama mengenalnya?” “Baru sebulan,” jawan Nancy yang lagi-lagi membuat ayahnya jadi terperanjat. “Jadi kalian baru berkenalan sebulan yang lalu mau kawin?” “Apa salahnya, ayah?” tanya Nancy. Ia mulai merasakn bahwa ayahnya rupanya tak setuju dengan rencana perkawinanya dengan seorang pengarang. “Apakah david sudah menceritakan semuanya? Apakah david bercerita kalau Basri terlibat dengan nyonya Santoso?” demikian tanyanya dalam hati kecilnya. Pertanyaan itu kemudian dibantahnya sendiri. Ia yakin bahwa David pasti cuma memberitahukan tentang rencana perkawinan itu saja, lain tidak. David mungkin merasakan bawha inilah saat yang terbaik untuk membuat ayah dan anak bersatu kembali. Sering memang David setiap mereka bertemu menasehatinya untuk kembali kepada keluarganya di Pekalongan. Kini menghadapi ayahnya yang sudah lama tidak dijumpainya ingin sebenarnya ia bercengkerama dengan ayahnya dari hati ke hati. Sayang, rupanya ayahnya khusus datang untuk membicarakan soal perkawinannya. Sedangkan soal perkawinannya itu sendiri sekarang baginya masih mentah. Ayahnya tak mengetahui betapa reshnya hatinya memikirkan Basri yang tak kunjung tiba. Sekarang persoalanya justru, apakah ia masih menarapkan kedatangan Basri setelah ayahnya datang. Diam-diam ia kini bersyukur kepada Tuhan bahwa Basri tidak datang sesuai rencana semula yakni kira-kira pukuul empat sore tadi. Andai Basri datang jam itu, pasti ayahnya akan mengetahui bahwa Basri datang menginap di rumahnya. Kalau sampai begitu, meskipun 78


antara keduanya tidak pernah terjadi hal-hal yang berda di luar batas pergaulan umum, pastulah ayahnya menjadi sedih. Pasti ayahnya mengira bahwa pergaulannya sudah sedemikian bebasnya setelah bermukim beberapa tahun di Amerika. Kenyataan ini akan membuat ayahnya sedih dan tidak menghendakinya. Sekarang ini ia justru mengharapkan agar Basri tidak datang saat ini. Meskipun ini bertenangan dengan hati nuraninya. “Ayah menginap di mana?” tanyanya. “Barang-barang ayah ada di hotel” “Ayah menginaplah di sini, Nancy bisa tidur di rumah tetangga.” Ialalu menceritakan kepada ayahnya tentang nini, sahabat kecilnya yang amat manja kepadanya. Ingat ayahnya yang kaya raya Nancy berkata dengan penuh harap: “Apakah menurut ayah kelumpuhan kaki Nini bisa disembuhkan di luar negeri?” “Bagaimana di Amerika sendiri? Kau pasti tahu keadaan di sana.” “Amerika terlalu jauh ayah. Mahal laginya. Masiuknya juga tidak gampang, kecuali ada sponsor. Seorang dokter pernah mengatkan bahwa kemungkinan sembuh cuma dengan operasi saraf. Mungkin di jepang ada harapan. Maukah ayah membiayai pengobatan itu demi Nancy?” sang ayah heran. Ini adalah pertama kalinya anaknya meminta sesuatu kepadanya. Biasanya sang anak justru benci pada kekayaan mereka. Melihat ayahnya diam Nancy segera berkata: “Mari ayah, mari kita pergi ke rumah keluarga hardjo. Sang ayah tidak dapat menolak. Di sana dijumpainya seorang bocah perempuan yang usianya delapan tahun yang sangat cantik wajanhya tetapi cacat tubuhnya. Nancy memang dengaja mengalihkan pembicaraan ke soal Nini. Di samping ia memang ingin menolong keluarga Hardjo yang sangat baik hati kepadanya, ia juga hendak mengalihkan pembicaraan ayahnya tentang perkawinannya. Ia membiarkan ayahnya berbicara dengan Hardjo suami-istri. Ia sendiri menyibukkan diri bermain dengan Nini di luar. Sebenarnya ada maksudnya mengajak Nini bermain di luar. Ia masih tetap menantikan kedatangan Basri. Hatinya mulai tidak tentram ketika dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, dan Basri juga belum muncul. Tiba-tiba menyelinap sebuah pertanyaan yang menghantuinya : “Apakah Basri mengalami kecelakaan dalam perjalanan?” kekawatirannya ini bukannya tidak beralasan. Banyaknya colt yang lari dengan kecepatan tinggi membuat setiap saat selalu ada kecelakaan antara Malang Surabaya. Selalu ada korban yang menderita luka-luka meninggal dunia. Hatinya diam-diam jadi resah. Ia jadi teringat akan sajak yang digubahnya ketika Basri datang untuk pertama kalinya ke rumahnya. Days Full of Love, dan Basri menyebutkan dengan judul : Hari-hari Penuh Cinta. Ia jadi teringat akan terjemahan Basri: Ada hari-hari penuh kegetiran Ada hari-hari penuh kegagalan Tetapi, Selalu ada hari-hari penuh cinta. Nancy tak dapat meneruskan kaimat sajaknya. Hatinya terasa kosong sekali. Cinta memang aneh! Seperti David, cinta datangnya seperti kehadiran layang-layang yang putus. ia datang dengan tiba-tiba, tapi untuk mendapatkannya orang harus bekerja keras, berjuang kalau perlu 79


dengan kekrasan. Sekarang yang dirasakan bukanlah mendapatkan cinta itu sendiri. Ia sekarang ini merasakann kekosongan justru karena ia telah mendapatkan cinta itu. Seandaniya cinta itu tidak pernah hadir dalam kehidupanya yang sekarang ini tentu merasa gembira dengan kehadiran ayahnya. Bukankah ini yang pertama kalinya sang ayah mau menengoknya? Bukankah ini berarti bahwa selama ini sang ayah masih selalu mencintainya? Meskioun ia sendiri pernah membenci ayahnya ketika ayahnya lawin lagi yang menyebabkan ibunya menderita dan meninggal dunia? Ingin sekali rasanya ia sekarang ini pergi ke Surabaya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada diri Basri. Tapi bagaimana dengan ayahnya? Akhirnya, Nancy cuma dapat memeluk Nini, menciumnya dengan sayang dan menukungnya masuk ke dalam. Malam itu Basri memang tidak datang. Malam itu bukan ayahnya yang menginap di rumahnya, melainkan nancy sendiri yang diajak untuk ikut bermalam di hotel. Ayahnya masih hendak berbincang banyak. Nancy tahu, njelimetnya sang ayah bertanya adalah karena sang ayah masih meragukan apakah ia dapat didup bahagia di samping seorang pengarang. Sayangnya, ayahnya sama sekali tidak mempunyai bayangan tentang bagaimana kehidupan seorang pengarang masa ini. Bayangan yang ada ialah, bahwa pengarang itu malarat, hidup mau seenaknya sendiri dan lebih dari itu, pengarang menurut kaca mata ayahnya adalah lakilaki tukang kawin. Mau rasanya ia tertawa mendengar semua pendapat ayahnya itu. Hanya melihat keseriusan ayahnya ia tak berani bergurau. “Kau pulanglah ke Pekalongan,” kata ayahnya kemudian. Nancy senyum. Apa yang akan ia lakukan di sana. Sedangkan di kota besar saja penyair hampir-hampir tak bisa hidup, apalagi di kota kecil seperti Pekalongan. Dalam hal ni Nancy sebenarnya tidak jujur. Ia kurang tekun dalam mencipta. Seprti yang pernah dikatakan oleh Basri, mencipta bagi seorang seniman harusla seperti orang bekerja. Harus ada jadwal yang teratur, seperti orang masuk kerja di kantor. Kesalahan seniman masuk di Indonesia adalah, kadang-kadang mereka itu terpaku pada sebutan seniman itu sendiri dan kemudain tidak mau mencipta lagi. Alasannya tidak ada inspirasi! Ia merasakan kebenaran dari apa yang diutarakan Basri ini meskipun dulu ditentangnya. Seperti ia sendiri. Ia banyak membuat sketsa lukisan tentang tempat-tempat yang pernah di kunjungi bersama Basri. Namun sampai sekarang tidak sebuah lukisanpun yang jadi. Solanya ia memang kurang tekun. “Sebelum kawin, Nancy akan pulang dulu’’, katanya kemudian kepada ayahnya. “Kau ikutlah ayah besok pulang.” “Jangan ayah, jangan besok. Masih ada persolan yang harus Nancy urus. Nancy berjanji benar-benar akan pulang dan menjumpai…….ibu” inilah yang pertama kalinya ia mau menyebut istri kedua ayahnya dengan sebutan “ibu.” Banyak tahun ia membenci perempuan itu karena menurut anggapannya perempuan itu merebut cinta kasih ayahnya dari ibunya sendiri. Pada saat ia mengucapkan kata ibu ada secercah rasa bahagia pada wajah ayahnya. “Ia tidak sejelek yang kau duga,” kata sang ayah. “Nancy tahu. Maafkan Nancy, ayah.” “Ayah ak salahkan kau.uma kalau kau tidak mau pulang kau membuat ayahmu menderita. Ayah sudah tua, Nancy.” “Nancy pasti pulang, ayah” jawab Nancy pasti. “Untuk menetap?” 80


Mendengar pertanyaan ayahnya mau rasanya menangis. Ia saat ini merasakan hatinya hampa tanpa kehadiran Basri. Ia tak mungkin menetap bersama ayahnya. Basri pasti tidak menyukainya. Mengapa ia akhir-akhir ini dihadapkan kepada persoalan yang serba penuh dengan kemelut? Satu persoalan yang belumselesai, yakni persoalannya dengan Basri, kini muncul lagi persoalan ayahnya. Kesuanya sangat dicintainya. Apa yang harus dilakukan sehingga iia tidak menyakiti hati ayahnya yang mendambakan ia kembali ke dalam lingkungan keluarga? “Satu hari, Nancy pasti kembali, ayah,” katanya kemudian. Ia tahu bahwa jawabnya itu sama sekali tidak memuaskan hati ayahya. Ia melihat ayahnya menghwla napas. Sang ayah kemudian berkata: “Beri kesempatan ayah dan ibumu merayakan pesta perkawinan di rumah……” “Seandainya perkawinan itu terjadi ayah pasti Nancy gembira merayakan di kota kelahiran sendiri,” jawab Nancy. Entah mengapa, sekarng ini dalam hati ada perasaan yang aneh. Ia merasa Basri talah meninggalkannya dengan tidah hadirnya Basri sore tadi. Ia sudah berusaha untuk menghibur diri, namun hatinya tambah sedih. Ia merasakan sesuatu. Firasat yang jelek tenang masa depannya bersama Basri. Ia merasa Basri jauh dari dirinya dan dalam khayalnya membentang gambarang nyonya Santoso. Ia mau menangis rasanya. Syukur ayahnya segera mematikan lampu kamar sehingga ia tak tahu perubahan yang terjadi pada dirinya. Ia membenamkan wajahnya dalam bantal, menangis perlahan tanpa disadarinya. Oh, cinta……………….! ***

Tuan Santoso sebenarnya sudah tahu bahwa cepat atau lambat Basri Siregar pasti akan menjumpainya. Namun ia tak menduga bahwa Basri akan datang secepat itu. Ketika sekretaris penerima tamu memberitahukan kedatangan seoang laki-laki bernama Basri Siregar, ia tersentak sejenak. Hatinya memukul keras. “Baiklah nanti kupanggil,” katanya pada sekretarisnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Marah pada k]laki-laki yang secara kurang ajar telah berani main api dengan istrinya? Atau menyerahkan istrinya pada laki-laki ini seperti pernah dilontarkan kepada Erna ketika marah-marh dulu itu? Tidak! I tidak akan memberikan istrinya pada laki-laki itu! Betapapun juga ia masih mencintainya dan ia masih terus akan berusaha intuk memulihkan keadaan rumah tangganya. Tuan Santoso tidak pernah tahu betapa berat Basri harus berjuang mengalahkanperasaanya sendiri untuk datang ini. Tuan Santoso hanya melihat kedatangan Basri sebagai tindakan jantan seorang laki-laki. Tuan Santoso tidak pernah mengira bahwa Basripun dipenuhi dengan berbagai kemelut, maju mundur sebelum pada akhirnya ia bisa membulatkan tekadnya untuk pergi menjumpai suami perempuan yang pernah digaulinya selama lima tahun lebih itu. Apalagi setelah Nancy pulang ke Malang. Seorang diri ia mendapatkan dirinya sebagai pengarang mencoba menganalisa sgala persoalan dan kemelut ini dari banyak segi seperti biasanya ia mengatur tokoh-tokoh dalam novel-novelnya. Tapi berhadapan dengan

81


kehidupannya sendiri, ia merasa tak mampu! Tubuhnya basah oleh peluh singin dan kepalanya jadi pusing sekali. Rasanya, masalah ini terlalu kompleks baginya. Yang sekarang ditakutkannya justru kalau tuan Santoso menantangnya dengan rela menyerahkan istrinya padanya. Pada Nancy ia memang bilang bahwa hal itu tak mungkin terjadi dan ia akan memukul tuan Santoso jika seandainya laki-laki ini sampai berbuat demikian. Tapi seandainya terjadi seperti itu, apakah ia betul akan memukul tuan Santoso? Apakah haknya untuk memukul? Bukankah ia dipihak yang salah dan pemukulannya akan membuat skandalnya terbongkar ke luar? Basri…..oh Basri! Mengapa sekarang ia jadi begini? Terjepit antara dua cinta yang sulit diselesaikan? Ibarat makan buah simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu mati. Ia jadi serba salah. Basri, yang selama ini punya kesanggupan mendalangi puluhan tokoh dalam cerita novelnya dan mampu membentuk manusia- manusia “hero,” sekarang tak berdaya mendalangi kehidupannya sendiri. Amboi Basri! Di mana letak kejantananya yang membuat nyonya Santoso menjatuhkkan pilihannya atas dirinya dan mengabaikan suami sendiri yang telah sah disaksikan langit dan bumi pada malam pengantin mereka? Menanti hampir sepuluh menit Basri jadi resah sekali. Ruangan yang dingin oleh AC tetap membuatnya berkeringat dan sekretaris yang manis yang duduk dengan anggun di kursinya tidak membuat hatinya tergerak. Gadis itupun tampak gelisah. Sejenak-jenak ia memandang kearah Basri. Akhirnya diambilnya buku novel dari tasnya. Buku yang sama seperti yang dibaca Nancy di pesawat : Nyonya Mary, Ia kemudian berdiri dan menghampiri Basri. “Anda penulis buku ini, bukan?” tanyanya dengan keraguan. Basri tersentak dari lamunannya. Ia menengadah memandang wajah gadis itu, lalu diterimanya buku yang diulurkan padanya. Ia kemudian menganggukkan kepalanya. “Saya sangat senang dapat bertemu dengan anda,” ujar sigadis kembali lalu memperkenalkan dirinya dengan nama Lastri. Basri menjabat tangan si gadis dengan penuh kehangatan. “Kalau boleh, saya ingin mendapatkan tanda tangan anda,” katanya lagi. Setelah mendapatkan tanda tangan di halaman dalam buku novel yang baru kemarin dibelinya, Lastri hendak kembali ke tempatnya seraya berkata : “Maafkan, karena tugas saya, saya tak dapat menemani anda duduk di sini” Ia lalu kembali duduk di kursinya. Basri berdiri. Ia menghampiri meja gadis itu. “Karen anda tak dapat duduk menemani saya, birlah saya yang duduk menemani anda,” lalu ditariknya kursi yang ada dimuka meja gadis itu. Lastri jadi tersipu-sipu. Wajahnya yang memang cantik jadi tambah cantik. “Semua buku anda telah saya baca,” katanya. “Saya sangat gembira mendengarnya. Anda sudah lama bekerja di sini?” “Baru setahun. Anda bertempat tinggal di Surabaya?” Basri menganggukan kepalanya lagi. Lastri ingin sekali berbicara banyak. Tapi mulutnya serasa terkunci. Perjumpaan yang tibatiba dengan pengarang pujaannya ini benar-benar sangat menggembirakan hatinya. Ah, apa kata teman-temannya nanti kalau mereka mendengar bahwa ia telah berkenalan dengan Basri Siregar, bahkan mamperoleh tanda tangannya sekaligus. Iapun nanti akan bercerita bahwa Basri Siregar adalah seorang pengarang yang masih muda dan berwajah tampan.

82


Pada menit ke delapanbelas intercome di meja Lastri berbunyi dan terdengar suara tuan Santoso memberitahukan bahwa sekarang ia siap untuk menerima tamunya. “Mari,” kata Lastri berdiri. Basripun berdiri lalu mengikuti gadis itu. Diperhatikannya kaki itu yang bersepatu hak tinggi. Tapi cepat ia membuang jauh-jauh pikirannya itu. Persoalanya yang satu belum selesai, masa ia mau melibatkan diri dengan masalah baru? Sampai di muka kamar tuan Santoso, Lastri mengetuk. Tanpa menunggu jawaban pintu di dorongnya dan ia mempersilahkkan Basri masuk. Sampai di dalam Basri tertegun sejenak. Lukisan yang tergantung pada dinding. Sepintas ia bisa melihat selera pemilihan lukisannya bagus. “Maafkan, anda harus menunggu agak lama,” kata tuan Santoso berdiri dari kursinya dan mengulurkan tangan. Basri menjabatnya tak bersuara. “Silahkan duduk,” katanya kemudian seraya mempersilahkan Basri duduk. Basri baru kedua kalinya ini bertemu dengan tuan Santoso. Dulu lima tahun yang lalu mereka bertemu di gedung Mitra ketika pementasan drama yang diangkat dari novel karangannya. Dulu ia tak begitu menaruh perhatian kepada tuan Santoso. Tapi ekarang ditatapnya wajah laki-laki ini. Tidak terlalu tampan sebagi seorang laki-laki. Meskipun demikian, kekurangannya itu tidak membuatnya kurang berwibawa. Mungkin ini ditopang oleh sikapnya sebagai usahawan yang berhasil dan keaadan ruangan yang besar ber AC dan perabotan yang serba lux. Keduanya sama-sama membisu. Basrilah yang kemudian memulai pembicaraan : “Kedatangan saya adalah berkenaan dengan istri anda. Maafkan jika saya becara terus terang.” “Saya tahu, istri saya sudah cerita bahwa anda akan datang,” jawab tuan Santoso cepat. Dijawab demikian Basri tak bisa meneruskan pembicaraannya. Ia merasa serba salah. “Apakah anda mencintai Erna?” tanya tuan Santoso tiba-tiba mengejutkan Basri. Basri kini yakin bahwa ia telah memperoleh gambaran yang salah tentang pribadi laki-laki yang sekarang duduk di mukanya. Pertanyaan laki-laki itu yang serba terus terang, tanpa tedeng aling-aling, membuktikan bahwa ia seorang yang terbuka dan tidak munafik. “Mengapa anda bertanya demikian?’ balas tanyanya. “Erna mengatakan bahwa ia mencintai anda dan untuk itu ia menuntut perceraian.” Kalimat ini diucapkan oleh tuan Santoso dengan agak gemetar menahan emosi hatinya. “Jadi anda berkesimpulan bahwa istri anda meminta cerai gara-gara ia mencintai saya?” “Ya” “Itu tidak benar! Diantara kami sulit untuk dikatakan saling mencinta. Saya dari semula sudah tahu ia istri orang. Usianya lebih tua dari usia saya. Ia cuma menemukan kedamaian di tempat saya, lain tidak. Rasa damai yang tidak ditemui di rumahnya sendiri. Soal cinta di sini adalah faktor kedua, mungkin juga ketiga atau keempat” Tuan Santoso tidak memberikan reaksi. Ia hanya menggelengkan kepalanya. “Ia memang benar-benar mencintai anda,” katanya kemudian. “Seandainya ya, iapun tahu dengan pasti bahwa saya tak mungkin memperistrinya.” “Itupun ia maklumi,” kata tuan Santoso seolah tak akan pernah kehilangan keseimbangan dirinya. Melihat nada pembicaraan yang tidak mengarah pada satu titik tetapi justru bisa membuka lebar luka lama, Basri akhirnya memutuskan untuksegera bicara langsung.

83


“Saya datang kemari bukan untuk mendengar semua itu. Saya datang kemari hanya ingin satu jawaban dari anda, apakah anda sendiri masih mencintai Erna sebagai istri anda?” tanyanya. Tuan Santoso bersandar di kursinya. Wajahnya tenang dan tak terbaca oleh Basri pikiran apa yang ada dibenaknya. “Adakah seorang suami yang tidak mencintai istrinya setelah mereka kawin untuk banyak tahun?” tanyanya. “Kita sebaiknya saling berterus terang. Saya datang kemari bukan untuk berkonfortasi. Saya datang sebagai seorang sahabat. Jika kalian memang masih saling mencinta, saya akan mundur. Ini dengan pengertian bahwa saya akan pindah ke luar kota, entah ke mana. Karena selama saya tetap bertempat tinggal di Surabaya, kemelut ini akan tetap ada. Oleh karena itu, saya ingin jawaban yang jujur. Apakah anda masih mencinta istri anda?” Tuan Santoso memberikan jawaban yang pasti : “Ya!” “Itu cukup bagi saya,” jawab Basri. Ia nampaknya ingin berdiri untukmeminta diri. Tapi tuan Santoso mendesaknya untuk tetap dudul. “Apakah saya harus tetap memenuhi keinginannya untuk bercerai?” tanya tuan Santoso. Pertanyaan yang konyol sebenarnya. Namun karena pertanyaan itu dikemukakan dengan penuh kepasrahan Basri takk ingin menjawabnya secara sinis. “Jika anda masih mencintainya, sebaiknya anda tidak menuruti kemauannya yang hanya didorong oleh emosi melulu.” “Apa yang harus saya perbuat? Ia nampaknya bersikeras untuk bercerai.” Basri tak dapat memberikan jawaban. Bukan ia tak mau, tapi ia benar-benar tidak tahu apa yang semestinya dikatakannya. “Saya kuatirkan, dalam rangka melupakan anda, ia akan mencari pelarian kepada laki-laki lain” “Anda semestinya tahu bahwa perempuan seperti istri anda bukan tipe perempuan yang sedemikian itu,” bela Basri. Pembelaannya ini bukan cuma basa-basinya saja. Tapi ia yakin bahwa nyonya Santoso bukanlah tipe perempuan seperti itu. Ia mungkin saja lari kepada laki-laki lain, tanpa jelas bukan untuk sex. Nyonya Santoso sendiri pernah mengaku dalam hal ini dulu ketikka Basri masih suka berpetualang dengan perempuan- perempuan lain, nyonya ini suka pergi ke pesta dengan perempuan lain rekan-rekan suaminya. Tapi semuanya itu cuma sekedar satu pelarian, meskipun satu pelarian yang sangat berbahaya. Cuma sekedar untuk membuat Basri cemburu. Tapi batas antara hubungan laki-laki dan perempuan sangat tipis. Setipis kain sutera. Di satu pihak nyonya Santoso mugkin tak akan tergoda karena ia memang mempunyai tujuan tertentu. Tapi pihak lain, bagi sang lelaki, ia mudah sekali terperangkap. Apalagi nyonya Santoso bukan perempuan yang tidak mempunyai daya tarik. Daya tarik terhadap lelaki sangat hebat. Dan jika dua insan sudah terlalu sering bertemu, maka batas hubungan yang sangat tipis itu akan kian mengabur dan akhirnya hilang sama sekali. Meskipun demikian, Basri sesadarnya bahwa nyonya Santoso bukanlah tipe perempuan seperti yang digambarkan oleh suaminya. Oleh karenanya ia berani memberikan pembelaannya. “Hubungan kami, kalau boleh itu dikatakan sebagai sahabat, hanyalah terbatas pada sikap saling menghormat. Hal yang sama harus anda miliki. Anda harus menghormati posisinya sebagai wanita, yang mendambakan kedamaian dalam rumah tangganya. Anda tak mungkin menuntut hal itu terlebih dulu darinya. Sikap itu harus datang dari pihak anda. Percayalah, kalau tokh ada rasa cinta pada diri istri anda terhadap diri daya, itu cumalah sekedar satu ilusi yang segera akan lenyap jika ia menemukan kembali kebahagiaan di tengah keluarganya.

84


Anda terlalu memojokkan dirinya dengan mengatakan bahwa anda bersedia melepasnya jika saya mau mengawininya. Dengan pernyataan anda itu merasa bahwa di mata anda, ia sama sekali tidak ada artinya. Kalau ia sudah beranggapan sedemikian, bagaimana rasa hormat terhadap diri anda bisa timbul?” Basri kemudian melanjutkan: “Sebagai seorang pengarang yang menggeluti kehidupan ini secara akrab saya ingin mengatakan terus terang pada anda, bahwa anda telah melakukan banyak kesalahan sebagai seorang suami. Anda telah memboarkan hubungan ini berlarut-larut tanpa mengambil satu sikap yang tegas pada awalnya. Kemudian anda menentukan sikapa yang terlalu keras, yang terasakan aneh bagi istri anda” “Saya terlalu sibuk, perusahaan ini sedang maju-majunya di tahun-tahun terakhir ini.” “Inilah justru kesalahan kalian sebagai pengusaha. Yang dicari adalah uang melulu dan akhirnya rumah tangga berantakan. Anda beranggapan bahwa materi akan memuaskan hati wanita. Padahal pendapat itu tidak benar. Perempuan itu aneh sifatnya. Ia mengabdikan dirinya dengan pasrah kepada keluarganya. Apapun dikorbankannya bagi suami dan anak-anaknya. Tapi begitu anak-anak sudah agak besar dan tidak memerlukan perawatannya dan suami sibuk sendiri dengan pekerjaannya, ia merasa perawatannya dan suami sibuk sendiri dengan pekerjaanya, ia merasa tersisihkan dan merasa tidk dibutuhkan lagi. Bukannya ia tak tahu bahwa semua kesibukan suami itu akhirnya juga demi kesejahteraan keluarga. Tapi ia lebih bahagia kalau keluarganya membutuhkan dirinya sehingga ia merasa bahwa hidupnya ini punya arti ……….. Berapa juta dari rakyat kita hisup dalam kemelaratan, tapi mereka hidup bahagia sebagi suami- istri, karena saling menghormat dan saling membutuhkan dalam kemelaratan mereka?” “Apakah ia menceritakan pada anda persoalan itu?” tanya Santoso. Ya dan tidak. Laki-laki mengerti perasaan perempuan. Dan saya kira kesalahan fatal anda justru di sini. Anda telah melukai perasaan kewanitaannya, seolah perempuan itu boleh dioperkan begitu saja……..” “Ia sebenarnya harus tahu bahwa waktu itu saya sedang emosi” ujar tuan Santoso membela diri. Basri diam. Ia tak perlu berbantah lagi mengenai persoalan itu. Yang penting ialah tuan Santoso harus tahu apa yang membuat istrinya marah. “Anda akan pindah ke mana?” tanya tuuan Santoso kemudian. “Saya sendiri belum mengambil keputusan, tetapi selambatnya besok saya akan meninggalkan kota tercinta ini. Bagi saya dimanapun juga saya akan bisa menempatkan diri.” “Anda berkorban terlalu besar untuk keluarga kami” “Mungkin kepergian saya memang bisa dianggap satu pengorbanan, tapi saya akan sangat berbahagia jika kalian bisa hidup rukun kembali tanpa kehadiran orang ketiga. Saya tahu bahwa kehidupan selama ini menyusahkan hati anda, untuk semuanya itu saya minta maaf,” ujar Basri seraya mengullurkan tangannya. Tuan Santoso menyambut uluran tangan itu. Menggengamnya erat-erat. “Sebenarnya anda tak perlu pindah. Asal saya dapat menyadarkan istri saya anda dapat tinggal di Surabaya dankita menjadi sahabat……..” Basri segera teringat pada Nancy. Kehadiran nyonya Santoso betpapun juga merupakan duri dalam hatinya. “Satu saat saya akan menikah……”

85


Ia hendak melanjutkan keterangannya dengan menyatakan bahwa kehadiran nyonya Santoso pasti akan membawa kemelut pada keluarganya nanti. Tapi omongan itu tidak sampai diucapkan. Disimpannya dalamm hati. Ia masih ingat kata-kata Nancy yang mencegahnya untuk menceritakan rencana perawinan mereka agar dengan demikian tidak dapat dipakai oleh tuan Santoso mengejek istrinya. “Satu hal yang hendaknya anda ketahui, bahwa saya tidak pernah menyalahkan anda” kata tuan Santoso. Lalau lanjutnya: “Saya tahu bahwa yang salah dalam hal ini adalah istri saya sendiri. Ia terlalu sering mengganggu pekerjaaan anda.” Pada bayangan tuan Santoso sekarang ini ada perasaan menyesal di hati. Setelah berhadapan dengan Basri ia mengambil kesimpulan bahwa Basri bukanlah tipe lakilaki yang suka mempermainkan istri orang. Kini gara-gara kemelut keluarganya Basri ingin pindah ke kota lain. Sebagai laki-laki ia mengetahui betapa situasi Basri yang serba sulit menghadapi istrinya . laki-laki siapa yang tidak akan tergoda kalau setiap saat seorang perempuan datang kepadanya. Iapun bisa memaklumi jika seandainya antara Basri dan istrinya sudah terjadi hal-hal yang berada di luar garis sopan-santun. Ia bisa memaafkannya sekarang. Bukan cuma pada lahirnya tapi dalam batinnya ia bisa memaklumi semuanya dan ia merasakan ssekarang betapa ia bisa memaklumi semuanyya dan ia merasakan sekarang betapa kesalahan yang utama sebenarnya ada pada dirinya sendiri. Baik istrinya maupun Basri sudah mengatakan bahwa ia terlampau lemah pada awal persahabatan mereka. Andai ia bersikap tegas pada awalnya, ah. Semuanya akam tidak akan terjadi seperti sekarang ini. “Jangan katakan pada istri anda kalau saya akan meninggalkan kota ini,” kata Basri tiba-tiba. “Sebaiknya anda juga tidak menceritakan bahwa saya telah datang ke tempat anda. Biar ia beranggapan bahwa saya pengecut, takut menemui anda dan karenanya lari keluar dari kota ini” Tuan Santoso tidak memberikan jawaban. *** siang itu Basri memutuskan untuk menyelesaikan semua persoalanya yang ada di Surabaya, sehingga besok ia dapat ke Malang, lalu pergi entah ke mana bersama Nancy. Hari itu Basri hendak menjadi seorang sinterklaas. Ia menyusun sebuah dafatar yang panjang berisikan kepada siapa barang-barang yang ada dalam pavilyunnya itu harus diberikan. Koleksi buku bahasa Inggris tentang kesusteraan dan filsafat disumbangkannya kepada sebauh perguruan tinggi swasta. Koleksi buku karangannya sendiri diberikan kepada alma-maternya, sebuah SMA negeri di kota Suabaya. Pavilyunnya itu sendiri hendak diwariskannya kepada seorang sahabatnya, seorang pelukis di kota ini yang juga akan dimintai tolong untuk menyelesaikan segala urusan sesuai dengan catatannya. Pevilyun yang disewanya ini masih sisa tiga tahun. Sesudah mencatat semuanya ia merencanakan untuk segera ke Malang. Tapi ia kemudian ingat bahwa uangnya selama ini disimpan di Bank. Ia tak mungkin mengambilnya sekarang. Karena itu diputuskannya untuk berangkat ke Malang besok setelah ia menyelesaikan semua rekening banknya yang sampai saat ini berjumlah delapan juta tiga ratus ribu, hasil honor dari novel-novelnya yang sudah diterbitkan.

86


Sore dan malam harinya dilewatkan keliling kota untuk menawarkan Vespanya yang laku empat ratus ribu. Larut malam Basri pulang. Pagi harinya jam delapan pagi ia baru terjaga dan alangkah terkejutnya ketika dilihatnya Nyonya Santoso duduk di pojok kasurnya. Mimpipun tidak Basri, kalau kehadiran nyonya Santoso di pavilyunnya pagi itu justru membawa bencana bagi kehidupannya. Bencana yang akan menentukan hidupnya yang lain dari apa yang pernah diimpikannya. “Nyenyak benar tidurmu,” tegur Nyonya Santoso ketika diihatnya Basri membuka matanya. Melihat Basri heran akan kedatangannya, nyonya Santoso segera berkata lagi: “Mengapa? Kauu terkejut akau datang?” Basri segera duduk. Ia tak segera memberikan jawaban. Hanya dipandanginya wajah perempuan itu tajam-tajam. “Mengapa kau datang?” tanyanya. “Mengapa aku tidak boleh tahu bahwa kau sudah datang ke suamiku, Basri?” balas nyonya santoso bertanya. Basri tersentak. Kemarin ia sudah meminta kepada tuan Santoso agar kehadirannya di kantornya dirahasiakan. Dan tuan Santoso pun mrnyetujuinya. Dalam hati ia kini jadi marah pada suami wanita ini. “Suamimu sudah bercerita semua?” tanyannya. “Ya, semuanya.” Mendengar jawaban itu, Basri jadi geram dalam hati. Tanpa disadarinya ia berguman sendiri, mengumpat: “Bajingan!” Nyonya Santoso menyadari bahwa Basri kini marah kepada suaminya. Ia lalu beranya: “Mengapa, Basri? Mengapa kau marah kalau suamiku menceritakan semuanya kepadaku? Mengapa kau justru ingin agar suamiku tidak menceritakan bahwa kau sudah datang kepadanya?” Ketika dilihatnya Basri diam, ia mwlanjutkan lagi: “Mengapa kau akan meninggalkan kota ini hanya demi aku?” “Aku memang akan pindah, mungkin ke Jakarta,” jawab Basri. “Tidak Basri! Sebelumnya aku tahu kau tidak ada niatan untuk pindah. Kau hanya berkorban untuk kami berdua.” Nyonya Santoso lalu teringat betapa kemarin malam ketika mereka makan, suaminya berkata : “aku tidak salahkan kau kalau kau bersahabat dengan Basri. Ia memang seorang laki-laki yang baik.” Tuan Santoso sendiri waktu itu sangat terkejut mendengar omongannya sendiri. Semuanya meluncur begitu saja dari mulutnya, tanpa disadarinya. “Basri sudah datang ketempatmu?” tanya nyonya Santoso. Sang suami kini tak dapat berbohong lagi. Ia cuma mampu menggangukkan kepalanya. Ia sekarang ini merasa berdosa bahwa ia telah menghianati Basri dengan menceritakan kedatangannya kepada istrinya, padahal telh disepakati bersama untuk tidak diceritakannya. Tuan Santoso memaklumi meksud baik dari Basri dengan melarang ia menceritakan kedatangannya. Dengan demikian istrinya akan beranggapan bahwa Basri seorang pengecut. Ia beranggapan bahwa apa yang dipikirkan Basri itu merupakan jalan keluar yang paling baik untuk istrinya. Oleh karena itu ia tak habis menyesali dirinya sendiri. Menagpa ia sampai membuka rahasia kehadiran Basri di kantornya denganberkata pada istrinya seperti di atas tadi. 87


Akhirnya, karena semuanya sudah terlanjur, ia menjawab semua pertanyaan istrinya berkenaan dengan kedatangannya Basri. Ia juga menceritakan bahwa basri akan pindah ke luar kota…….. Malam tiu juga nyonya Santoso sebenarnya hendak ke rumah Basri. Tapi ia pikir belum tentu Basri ada. Karenanya ia memutuskan untuk datang esok saja. Andai basri sore itu benar-benar berangkat ke Malang, ia mungkin takkan akan berjumpa dengan nyonya Santoso dan kedatangan nyonya Santoso pagi harinya tidak akan merupakan bencana bagi kehidupannya sendiri. Apa mau dikata, semuanya sudah jadi satu kemelut. “Suamimu tidaklah sejelek yang kau ceritikan padaku,” ujar Basri tiba-tiba menyadarkan nyonya Santoso dari lamunanya. “Maksudmu?” “Maksudku, aku tidaklah lebih baik dari pribadinya. Aku lihat ia cukup baik sebagai seorang laki-laki.” “Jadi kau kemudian salahkan aku? Mengapa aku sudah punya suami baik masih mencari kesenangan padamu?” tanya nyonya Santoso emosi. Melihat Basri diam, sekali lagi nyonya Santoso berkata: “Jadi kau salahkan aku?” “Tidak! Seperti yang kemarin aku katakan kepada suamimu, kealahan yang utama adalah pada diri suamimu. Ia terlalu serius mengurus bisnisnya sehingga dirimu terabaikan. Padahal aku katakan juga padanya, perempuan ingin merasa bahwa hidupnya dibutuhkan. Dalam kasusmu, kau merasa tidak dibutuhkan oleh suamimu dan kau beranggapan bahwa aku membutuhkan dirimu.” “Apakah itu tidak benar? Apakah selama ini salah kalau aku beranggapan kau sangat membutuhkan diriku seperti yang sering kaubisikkan kalau kita melakukan hidup kebersamaan?” Basri membisu. Ia sekarang ini hendak membatasi diri untuk tidak banyak berbicara. Ia takut jika sampai salah omong akhirnya keme;lut akan tambah parah. Sekarng ini menurut pedapatnya ia sebaiknya bersikap sebagi laki-laki yang bodoh. Ia harus menanamkan rasa kebencian perempuan ini atas dirinya jika ia benar-benar ingin perempuan ini kembali ke keluarganya. “Kau mencintai perempuan lain, bukan? Tanya nyonya Santoso. Kini Basri tidak ingin membisu lagi. Ia ingin semua orang tahu bahwa ia mencintai Nancy, dengan segenap jiwa dan raganya. “Ya,” jawabnya mantap. “Dengan penyair itu?” “Ya!” “Ia memang seorang gadis yang baik. Polos laginya. Kau benar-benar menyintainya?” tanya nyonya Santoso yang membuat Basri heran. “Mengapa kau tanya demikian?” “Karena aku tahu ia bukan gadis idamanmu. Tipe gadis seperti penyair itu semestinya bukan gadis tipe idamanmu” “Adakah di dunia ini orang selalu menikah dengan pasangan ideal sesuai dengan idamanya?” balas Basri bertanya. Nyonya Santoso tidakmembantah. Iapun dahulu mengimpikan seorang pemuda yang mempunyai wajah seperti James Dean, bintang film yang sangat terkenal menjelang tahun enampuluhan. Tapi akhirnya ia ketemu dengan suaminya yang sekarang. Laki-laki yang mendekati pria idamanya, bukan dalam wajah tapi dalam watak ia temukan dalam diri Basri.

88


“Kau jangan pindah ke luar kota. Tepaplah kau di sini. Kita akan jadi sahabat-sahabat yang baik,” katanya meminta. “Aku sudah memutuskan untuk pindah. Katakan memangnya kepindahanku ini ada hubungannya dengan persoalan kalian, tapi sesungguhnya dan sejudurnya kukatakan padamu, bahwa semuanya itu adalah juga untuk kepentinganku sendiri.” “Apakah gadismu itu cemburu padaku?” Basri tidak memberikan jawaban. Pertanyaan itu sebanarnya tidak seharusnya diajukan kepadanya. Perempuan ini seharusnya sudah mengetahui bahwa kehadirannya akan merupakan bahaya bagi setiap ketentraman rumah tangga di mana dan siapapun mereka itu. “Apakah ia cemburu padaku?” tanya nyonya Santoso sekali lagi. Ketika dilihatnya Basri tidak menjawab ia berkata lagi. “Aku bertekad untuk kembali kepada suamiku merupakan jalan yang terbaik untuk diriku dan dirimu, maka aku akan kembali.” Basri masih diam membisu dan ini membuat hati nyonya Santoso jengkel. “Kau dengar apa yang kukatakan, Basri?” tanyanya. Basri tiba-tiba menatap wajah nyonya Santoso. Tapi tatapan itu terasa kosong, hampa. Dalam hatinya ia merasakan sesuatu yang membuatnya gelisah dan tidak tentram. Ia seolah mempunyai firasat, bahwa sesuatu yang gawat pasti terjadi. Tapi entah apa kegelisahan Basri kan adanya firasat yang ia sendiri tidak tahu apa maknanya ini membuat nyonya Santoso salah tafsir. Ia menduga bahwa Basri masih berat untuk meninggalkannya. Karenanya ia segera memegang tangan Basri dengan sayang. “Percayalah, Basri. Aku akan sangat bahagiia jika kau merasa bahagia dengan gadis itu. Aku cuma ingin, janganlah kita berpisah sebagai musuh. Marilah kita berpisah sebagai sahabat. Tidak saling menyakiti, biarpun dalam hati tetap harus kita akui bersama bahwa kita masih saling menyinta.” Sampai di sini nyonya Santoso tidak dapat menahan dirinya lagi. Air mata mulai membasahi kedua maanya. Ia lalu teringat apa yang dikatakan suaminya kemarin malam: “Jika kau memang mencintai Basri, kau berilah kesempatan padanya untuk mencintai perempuan lain dan hidup bahagia dengan pilihannya. Aku tahu ia seorang laki-laki yang baik. Aku tak salahkan kau jika kau bersahat dengannya. Tapi jalan yang terbaik untukmu ialah menjauhinya………” Saat itu ia tak membantah omongan suaminya sehingga suaminya kemudian melanjutkan: “Kuakui bahwa aku telah berlaku salah padamu. Aku belajar banyak dari pertemuanku dengan Basri. Beri au kesempatan untuk menjadi suami yang baik. Kembalilah kepadaku dan kita lupakan semuanya……..” Saat itu ia membiarkan suaminya memeluk dirinya dan , ia merasakan air mata suaminya menitik jatuh satu-satu ketika ia membiarkan dirinya di peluk. Tekadnya saat itu sudah pasti, ia akan kembali ke pada suaminya, bukan karena cintanya pada suaminya sudah pulih kembali, tapi demi cintanya kepada Basri. Ia ingin memberikan kesempatan pada Basri untuk memilih hidupnya sendiri. Tapi jika Basri sampai pindah ke kota lain, itu yang membuat hatinya sedih. Bukan karena dengan demikian Basri jauh dari jangkauannya, melainkan karena ia tahu apa arti kota Surabaya bagi Basri. Dulu ia pernah bertanya, mengapa Basri tidak pindah ke Jakarta. Di sana kesempatan untuk jadi terkenal lebih besar. mungkin ia bisa terjun ke dunia pilem. Waktu itu Basri memberikan jawaban: “Tidak, betapapun semrawutnya kota ini, tapi di sinilah aku mulai jadi besar. aku bangga dengan sebutan pengarang dari Surabaya……” Itulah sebabnya jiwanya berontak ketika kemarin suaminya menceritakan bahwa Basri akan pindah sebagai pengorbanan untuk kepentingan mereka. 89


Setelah hening sesaat, nyonya Santoso berbisik kembali: “Basri, tahukan kau satu hal yang tidak ingin kubagi dalam dunia ini?” “Apa?” tanya Basri. “Cintaku padamu. Aku tak ingin membagi cintaku padamu dan demikian jugaakutak ingin berbagi cinta dengan perempuan lain dalam hal mencintai dirimu. Tapi sekarang aku sadar, bahwa hal tersebut tak mungkin lagi. Kau justru sekarang yang tidak mau berbagi cinta…..,” kata nyoya Santoso perlahan. Hati perempuan ini sekarang terasa seperti diiris-iris. Pedih sekali rasanya. Laki-laki yang sekarang ini didekapnya, yang masih begitu dicintainya, terasa begitu jauh. Kenangan yang ada dengan laki-laki ini terlalu banyak yang manis. Yang tak mungkin di;upakan begitu saja, tetapi yang harus dilupakan demi laki-laki yang dicintai ini. “Apakah keputusanmu itu tak dapat diubah lagi, Basri?” tanyanya denganpenuh harapan. Basri cuma mengelengkan kepalanya. Betapapun juga, keputusannya untuk pindah sudah merupakan keputusan yang bulat. Apa yang diambilnya adalah demi Nancy, bukan demi nyonya Santoso. Nancy sendiri yang pasti tidak menghendaki jika mereka bertempat tinggal di tempat ini. Terlampau banyak kenangan yang mengahntuinya berkenaan dengan kehidupannya bersama nyonya Santoso di hati Nancy di tempat ini. Ia tak ingin hal itu menghantui kekasihnya untuk selamanya. Ia ingin Nancy bahagia. “Aku cuma bisa mengharapkan kau bahagia, Basri. Biarlah aku pulang sekarang,” kata nyonya Santoso, melepaskan dekapannya lalu menyeka air matanya. Ia kemudian memaki sepatunya dan berdiri hendak melangkah pulang. Basri memandangnya dengan pandangan yang tetap hampa. Ketika nyonya Santoso sampai di pintu muka , ia mengejarnya. Ia menarik tangan perempuan. Mendekapnya seraya berbisik: “Apa yang telah terjadi biarlah jadi kenangan manis. Kau akan selalu kuingat sebagai perempuan yang telah banyak memberi arti pada hidupku” “Oh, Basri, Basri,” isak nyonya Santoso. Hatinya luluh kembali. “Semoga kaupun hidup bahagia bersama keluargamu,” bisik Basri. “Aku akan mencoba. Aku akan mencoba,” jawab nyonya Santoso. Cepat ia kemudian melepaskan dekapannya. Dengantergesa ia membuka pintu kemudian lari ke mobilnya. Tapi sesaat kemudian ia balik kembali untuk menyerahkan kunci duplikat pavilyun itu. Ia kemudian lari lagi. Kuatir hatinya melemah lagi untuk meninggalkan Basri. Ia menstart mobilnya dan ia pulang dengan hati yang tak terbilang kacaunya. Basri sendiri berdiri bengong melihat semuanya. Di sinilah kekurangan setiap lelaki. Hatinya selalu bimbang jika ada air mata perempuan. Atau inikah kebenaran pendapat bahwa sesungguhnya kaum lelaki itu berjiwa poligami? Basri kemudian membasuh mukanya. Ia berniat untuk ke Malang segera setelah membereskan masalah keuangannya, menjumpai Nancy dan kemudian memulai kehidupan baru. Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa Nancy justru telah datang ke Surabaya, sampai di pavilyunnya ia menjumpai sebuah mobil diparkir di muka pavilyunya. Nancy merasa pasti itu mobil nyonya Santoso, karena mobil itu persisi seperti mobil yang pernah dilihatnya pertama kali ketika ia bermalam di rumah Basri……….. Malam itu,semalam suntuk Nancy tak dapat tidur. Bukan karena terganggu oleh dengku ayahnya, melainkan karena kerisauan hatinya mengingat Basri yang tidak datang. Kepada keluarga Hardjo sudah dipesankan seandainya Basri datang agar segera menjumpainya di hotel di mana ia meninap bersama ayahnya. Jam dua pagi kedua matanya masih terang. Ia menharapkan pagi hari segera tiba. Hatinya tak dapat menerka apakah geranganyang 90


menimpa diri Basri sesudah pertemuanya dengan tuan Santoso, yang menyebabkan Basri tidak datang ke Malang. Sayup-sayup ia kemudian mendengar lonceng berdentang tiga kali. Ia juga masih terjaga. Akhirnya menjelang jam empat ia sudah tak dapat mengendalikan hatinya lagi. Ia segera menulis sebuah catatan untuk ayahnya bahwa ia pagi itu akan ke Surabaya dan mengharapkan ayahnya menunggu sampai sore nanti. Di pagi hari yang masih gelap ia mencari becak untukke pavilyunnya. Masih ia berharap dalam hati untuk bisa menjumpai Basri di sana. Ia masih mempunyai sedikit harapan bahwa Basri mungkin segan untuk menjumpai ayahnya dan karenanya bermalam di pavilyunnya yang kuni duplikatnya sudah diserahkannya kepada keluarga Hardjo. Sesampainya di pavilyunya dan menjumpai rumah itu kosong, hatinya terasa hampa. Kini bulat tekatnya untuk ke Surabaya. Ia segera mengenakan jeans dan memaki jaket. Dengan becak yang tadinya ditumpangi ia menuju ke terminal bis. Mencari tumpangan colt yang akan membawa ke Surabaya. Uang simpananya yang masih berjumlah senampuluh ribu dibawanya semua. Ia seolah memperoleh firasat bahwa ia akan memerlukan banyak uang. Di sinilah bermula bencana kehidupannya. Andai saja ia tidak ke Surabaya dadn menunggu Basri datang ke Malang, maka paling lambat siang hari Basri pasti sudah sampai di tempatnya. Tapi karena ia tak mau menahan gejolak hatinya ia pergi ke Suabaya pagi-pagi dan sesampainya di sana ia mejumpai mobil nyonya Santoso di muka pavilyun Basri. Pandangannya seraya gelap. Ia seolah tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kenyataan bahwa nyonya Santoso masih mengunjungi Basri, merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Nancy. Ia yang memang mencintai Basri dengan segenap jiwa raganya terpukul oleh kenyataan itu. Ia tak bisa menerima dengan hati yang tabah. Lalu kembali muncul satu kahayalan yang sangat menyakitkan hatinya. Jangan-jangan nyonya Santoso sudah berada di pavilyun Basri sejak kemarin, sehingga dengan demikan Basri lupa akan janjinya untuk datang ke Malang. Oh, ingat semuanya ini, hatinya jadi sangat sedih. Ia tak tahu harus ke mana ia sekarang. Ketika bang becak bertanya ia cuma menjawab : ke taman Kotamadya Surabaya. Bang becak jadi heran, namun demikian becak itu dikayuhnya juga ke tempay yang ditunjuk Nancy. Laki-laki penarik becak itu heran. Ia cuma menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dalam hati kecilnya ia sebenarnya ingin mengetahui kemelut apa yang sedang dihadapi oleh penumpangnya ini. Seorang gadis manis yang nampaknya sangat sedih, menyimpan suatu penderitaan yang amat hebat dalam batinnya. Tapi ia tak mempunyai keberanian untuk bertanya. Belum sampai di tempat tujuan, Nancy bertanya lagi: “Di mana kantor tilpon, bang?” “Dekat Jembatan Merah.” “Antarkan saya ke sana.” Bang becak mengiakan. Setibanya di sana, jam menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. Nancy meminta bang becak untuk menunggunya. Segera ia menaiki gedung bertingkat itu dan kemudian ia meminta untuk disambungkan dengan Semarang. Ia hendak berbicara dengan David. Dalam hati ia berdoa semoga David ada di rumah. 91


Seperempat jam ia menunggu dan akhirnya hatinya jadi lega ketika ia mendengar suara David sendiri yang menerimanya. “Kau di mana?” tanya David dengan nada heran. Tak pernah sebelumnya Nancy menilponya dari jarak jauh. “Aku di Surabaya Vid. Aku tak tahu apa yang sekarang harus kuperbuat,” kata Nancy membuat David yang di sebrang sana jadi heran. “Ayahmu sudah menemuimu?” tanya david. “Sudah. beliau sekarang ada di Malang. Vid, katakan sekarang padaku apa yang harus keperbuat……….” “Kau ini ada-ada saja. Bagaimana aku harus menentukan sikap untukmu jika aku tak tahu apa yang menjadi persoalanmu. Kau bertengkar dengan Basri?” “Bukan bertengkar Vid. Ia kemarin berjanji mau datang ke Malang sore hari selesai ia bertemu dengan tuan Santoso. Tetapi kemudian ia tak datang. Apgi ini aku susul dia ke Surabaya dan ternyata nyonya Santoso di rumahnya. Apa sekarang yang harus keperbuat Vid? Aku banar-benar membutuhkan nasehatmu.” David tidak segera memberikan reaksi. “Kau di mana sekarang ini? Tanyanya. “Di kantor tilpon.” “Kau tenanglah, Nan. Jangan kau bawakan emosimu……” “Aku tidak emosi Vid. Ini kenyataan yang terlampau pahit bagiku. Aku mencintainya. Tapi aku benar-benar tidak mau ia membagi cinta dengan perempuan lain. Mungkin aku memang terlalu egois …… Apa sekarang yang harus kuperbuat? Apa?” ujar Nancy dengan nada keputus asaanya. “Kau dulu pernah berkata padaku, bahwa bagi seorang perempuan perkawinan itu memang perlu. Tapi jika memang perkawinan itu ternyata tidak dapat membahagiakan dirimu, maka untuk apa ada perkawinan….” “Itu dulu Vid. Dulu sebelum aku jatuh cinta. Tapi sekarang aku benar-benar mencintainya dan ternyata ia menghianati diriku…..” keluh Nancy hampir menangis. “Ia belum tentu menghianati dirimu. Kau tenanglah. Beri ia kesempatan untuk menerangkan duduk perkaranya……” “Aku tak bisa Vid. Aku tak berdaya jika sudah dihadapannya. Ia punya dalih seribu macam alasan untuk membela dirinya. Tapi apa yang telah kujumpai pagi ini adalah suatu kenyataan. Kenyataan Vid…!” “Kau tenanglah……” “Bagaimana aku bisa tenang? Aku sekarang ini benar-benar tak tahu apa yang harus keperbuat.” “Kau pulanglah kembali ke Malang. Aku akan segera menyusulmu kesana. Kita bersikap bersama. Yakinlah ini cuma salah pengertian melulu….” “Aku tak bisa kembali ke Malangg, Vid.” “Mengapa?” “Aku tak tahu. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kukerjakan ……” “Kau turutlah nasehatku sekali ini, Nan. Kau pulang ke Malang. Temani ayahmu dan aku akan segera menyusulmu. Sore nanti aku pasti ada di Malang. Kita bicara dengan tenang nanti. Kau mau bukan berjanji untuk pulang ke Malang?” “Aku tak tahu Vid. Aku tak tahu.” Nancy tak sapat meneruskan kata-katanya. Air matanya membasahi kelopak matanya. Hatinya jadi pedih kalau ingat Basri. Tanpa disadari tilpon kemudian diputuskannya. Setelah membayar ia turun kembali dan mendatangi bang becak yang menunggunya. 92


Tinggal David di ujung sana yang berusaha memanggil-manggil. Tapi hubungan itu sudah putus. David kini sangat mengkawatirkan keslamatan Nancy. Ia tahu, sahabatnya ini sangat keras kepala. Dulu gara-gara ayahnya kawin lagi, ia rela meninggalkan ayahnya untuk ikut pamannya ke Amerika. Tapi apa dayanya? Jarak Semarang-Malang bukan jarak yang dekat. Meskipun demikian ia segera memutuskan untuk berangkat saat itu juga ke Malang setelah ia pamit kepada kedua orang tuanya yang terheran-heran melihat kelakuannya. Sesampai di Malang sore hari setelah ngebut beberapa jamlamanya ia menjumpai pavilyun Nancy terkunci. Ia segera teringat tetangga Nancy, Hardjo yang sering diceritakan Nancy. Keluarga itu segera didatangi dan di sana dijumpainya ayah Nancy. Setelah memberi hormat kepada orang tua itu ia segera bertanya: “Mana Nancy, pak?” “Inilah sulitnya. Kami sendiri tak tahu ke mana ia sekarang ini. Tadi pagi ketika bapak menjumpai surat ini.” Lalu orang tua yang nampaknya sangat letih karena memikirkan anaknya segera mengeluarkan secarik kertas yang tadi pagi ditulis oleh Nancy yang menyatakan bahwa bahwa ia pergi ke Surabaya. Nyonya Hardjo yang ikut menemani pembicaraan itu segera menceritakan bahwa siang tadi Basri datang dan ketika tahu bahwa Nancy ke Surabaya, Basri segera meninggalkan Malang untuk kembali ke Surabaya. “Ibu tahu alamat Basri?” tanyanya. Bu Hardjo segera berdiri untuk mengambil catatan nama dan alamat-alamat. Nancy dulu pernah memberikan alamat Basri sebagai alamatnya kalau ia berada di Surabaya. David kemudian menyatakan ingin ke Surabaya. Ayah Nancy hendak ikut. Tapi David melarangnya. “Urusan ini adalah urusan anak muda, pak. Biarkah saya menyelesaikannya. Percayalah. Anak baoak akan saya bawa kembali ke Pekalongan……..” Untung sang ayah mau mengerti meskipun pad awalnya ia masih memaksa untuk ikut. “Kalau tidak ada urusan di Malang, Bapak pulanglah dulu. Saya pasti akan membawanya ke Pekalongan,” ujar David memastikan. Memasuki kota Surabaya hampir puku tujuh malam, David neuju ke hotel terdekat yang ditemuinya, hotel Mirama. Ia segera memesan sebuah kamar. Mimpipun ia tidak, bahwa gadis yang dicarinya itu justru berada di dalamsebauh kamar yang bersebekahan dengan kamarnya di tingkat tiga. Kalau memang kehidupan ini adalah satu kebetulan, maka kebetulan yang terjadi kali ini adalah kebetulan yang paling menjengkelkan. Setelah mandi dan berendam air hangat ia merasakan tubuhnya segar kembali. Ia segera bermaksud menuju tempat Basri. Di tempat ia tak menjumpai Basri. Yang di temui adalah seorang laki-laki berambut gondrong dan berjambang lebat. David segera memperkanlkan diri sebagai sahabat Basri. Laki-laki itu ternyata adalah Sukirno, seorang pelukis yang oleh Basri diwarisi pavilyunnya. “Kau tunggulah di sini. Basri berpesan agar setiap temannya yang datang disuruh menunggu,” ujar Sukirno. “Sudah lama ia pergi?” “Mulai sore tadi. Munkin tak lama lagi ia akan datang.” David kemudian bertanya apakah hari itu ada seorang gadis yang mencari Basri. David kemudian mencoba untuk memberikan gambaran diri Nancy. Sukirno menggelengkan kepalanya. Gadis itu juga yang dicari Basri. Ia juga merasa heran, mengapa Basri yang sudah memutuskan untuk meninggalkan Surabaya. Basri juga tadi bertanya apakah ada seorang gadis yang mencarinya. Gadis yang dicari Basri 93


adalah sama dengan gadis yang dicari tamunya kali ini berdasarkan keterangan yang diberikan David. “Mengapa kalian berdua saling mencari gadis itu?” tanya Sukirno ingin tahu . keinginanya tahu itu sebetulnya tidak aneh, karena ia benar-benar heran akan sikaf gelisah yang ada pada diri Basri ketika ia memberikan keterangan bahwa tak ada seorang gadis yang datang setelah Basri berangkat ke Malang. “Kau ak pernah mengenal gadis itu?” tanya David. Sukirno menggelengkan kepalanya. “Ia pacar Basri, keduanya berniat untuk menempuh hidup bersama. Tapi tadi pagi ia menyusul kemari dan menjumpai ada perempuan lain di tempat ini.” “Oh, jadi begitu duduk perkaranya,” ujar Sukirno seolah pada dirinya sendiri. Sebagai seorang pelukis ia pribadi tak pernah mau direpotkan oelh urusan perempuan. Jika ia ingin perempuan ia membelinya di tempat yang khusus. Tak pernah ia bercinta dengan seorang perempuan. Sikapnya selama ini selalu jadi bahan ejekan Basri. Basri selalu mengatakan mengapa kita harus membeli cinta jika cinta itu sendiri bisa kita dapat secara gratis. Ia memang mengakui kelebihan Basri di bidang ini. Sebagai seorang pengarang novel, basri punya banyak pengagum dan diantar pengagumpengagum itu memang ada yang ingin bermain cinta dan Basri selalu menyambutnya dengan tangan terbuka asal mereka itu bukan perawan. “Kau tak pernah mengenal gadis itu?” tanya David. “Basri tak pernah cerita kalau ia mencintai seorang perempuan. Ia hanya mengatakan bahwa ia hendak menikah. Itu saja. Cantikkah gadis itu?” “Cantik adalah urusan selera. Kau pernah tahu akan hubungan Basri dengan nyonya Santoso?” “Terlalu banyak perempuan yang hadir dalamkehidupan Basri. Aku sampai tak pernah tahu siapa nama-nama mereka itu.” David jadi tertegun oleh jawaban itu. Begitu jorokkah cara hidup Basri selama ini? Dan mengapa seorang gadis seperti Nancy yang punya pandangan khusus terhadap cinta dan perkawinan bisa jatuh cinta pada laki-laki semacam ini? Dulu ia menolak Benny karena diketahuinya bahw aBenny adalah seorang playboy. Dan memang Benny tidak terlalu serius dalam mencintainya. Tapi apa beda Benny dengan Basri sendiri selama ini seperti yang diuatarakan sahabatnya begitu bejat? “Apakah Basri tak pernah jatuh cinta sebelumnya?” tanya David kemudian. “Cinta?” jawab sukirno senyum,” apa artinya bagi laki-laki semacam Basri? Perempuan baginya adalah merupakan kebutuhannya seperti ia butuh mandi. Dalam ketersendiriannya ia mungkin dapat menyelesaikan sebuah novelnya hanya dalam dua bulan saja. Apakah gadis itu juga mencintai Basri?” David mengangguk. “Kalau demikian, ia baru mengenal Basri pad kulitnya saja. Ia belum mengenal Basri dalam artian yang sesungguhnya. Lalu bagaimana ia bisa jatuh cinta pada Basri?” Kita tidak bisa bicara banyak kalau cinta sudah menghingapi dua insan.” David tak sempat memberikan pendapatnya lebih jauh lagi, karena ia melihat Basri turun dari sebuah becak. Ia kemudian menyongsongnya. Basri nampak terkejut melihat kehadiran David. Ada secercah harapan bahwa Nancy sudah ditemukan. Tapi ketika david bertanya apakah Nancy sudah di temukan, ia jadi lemas dan tak tahu apa yang harus dibicarkan.

94


Ia cuma menjabat tangan David dengan lunglai, masuk kepavilyunnya lalu duduk seraya menutup mukanya dengan kedua belah telapak tangannya. “Maunya apa dengan menghilang begini? Kemarin kita sudah berunding matang untuk pindah ke kota lain,” ujarnya. “Karena kemarin kau tak datang, pagi tadi ia menyusul kau ke Surbaya dan setibanya di sini ia melihat mobil nyonya Santoso di muka rumah ini.” Jika ada halilintar saat itu Basri mungkin tidak akan terkejut meskipun langit tampat terang benderang dengan bintang-bintang. Tapi apa yang diutarakan oleh David benar-benar diluar dugaannya. Ia jadi jengkel dengan sendirinya. Dengan penuh emosi dipukulnya lututnya sendiri. David membirakan Basri melepas emosinya. Ketika dilihatnya laki-laki itu sudah mulai tentram ia beranya lagi: Apa sesungguhnya yang telah terjadi? Benarkah nyonya Santoso pagi tadi msih datang keamri?” “Ia memang datang. Tapi tak ada apa-apa antara kami berdua. Ia dtang untuk mencegah aku meninggalkan kota ini. Kepada suaminya aku mengatakan bahwa aku akan pindah. Suaminya itu yang bangsat. Kurang ajar! Kami sudah sepakat bersama untuk tidak menceritakan kedatanganku kepada istrinya, tapi toh ia cerita juga.” “Lali mengapa kau tidak datang ke Malang kemarin?” Ditanya demkain Basri memandang David. “kemarin aku menyelesaikan semua urusanku kepada badan-badan tertentu. Pavilyunya inipun aku berikan kepada Kirno. Kemudian aku baru ingat aku masih harus mengurus uangku di bank. Apa salahya jika kedatanganku ke Malang aku tunda semalam saja?” David kini tak dapat berkata apa-apa lagi. Seperti yang diduga semula pasri terselip salah pengertian dalam hal ini. Salah pengertian yang seharusnya gampang sekali untuk diselesaikan jika orang-orang yang bersangkutan tidak membawa emosinya sendiri-sendiri. “Kau sendiri bagaimana bisa tahu bahwa Nancy menghilang?” tanya Basri. “Ia tadi pagi menilponku dan menceritkan semuanya. Aku sudah menyuruhnya kembali ke Malang. Tapi ia tiba-tiba memutuskan hubungan tilpon. Kau sendiri tahu kira-kira ke mana ia pergi?” Basri menggelengkan kepalanya. “Aku sudah mencari kemana-mana,” katanya putus asa. “Aku sampai-ssampai mencarinya di rumah sakit,” sambungnya. Sukirno yang tak tahu apa-apa jadi bengong dengan sendirinya. “mungkinkah ia sekarang di Malang?” tiba-tiba tanya Basri. “Aku kira tak mungkin,” jawab David. “Di mana kau duga sekerang berada?” “Aku tak berani memastikan. Perempuan seperti Nancy sulit untuk di duga. Ia sudah terbiasa untuk membawa sikapnya sendiri. Seperti yang kukatakan, ketika ayahnya kawin lagi ia lari ke Amerika. Kini mungkin ia juga sudah di Jakarta.” “Tak mungkin,” jawab Basri seolah memastikan. Ia ak percaya kalau Nancy akan begitu tega hati untuk meninggalkannya setelah ia berusaha untuk mengikuti semua syarat-syarat yang diminta. Ia sudah berusaha untuk mengembalikan nyonya Santoso kepada suaminya dan nampaknya berasil. Iapun sudah berusaha untuk pindah ke luar kota, berdiam di suatu tempat di mana tidak mungkin lagi ada yang mengingatkan mereka pada masa lampau yang penuh dengan kabut hitam.

95


“Aku yakin ia masih di Malang. Ia terlalu mencintai Nini, lebih dari segalanya. Ia tak mungkin meninggalkan bocah cilik itu sendirian.” “Kau belum mengenal Nancy. Ia keras kepala. Nini sudah ditipkan kepada ayahnya dan ayahnya bersedia untuk membiayai pengobatannya ke Jepang. Itulah yang diceritakan ibunya kepadaku tadi,” jawab David. Nyonya Hardjo tadi memang sepintas menceritakan kepadanya bahwa malam hari sebelum kepergiannya ke Surabaya, Nancy sudah meminta ayahnya untuk membeayai pengobatan anaknya di Jepang nanti. “Aku mengenal Nancy cukup lama. Ia lain dari perempuan lain,” sambung David. Mendengar semuanya itu kemarahan Basri sekarang ini tertumpah kepada tuan Santoso. Jika tidak gara-gara laki-laki itu, nyonya Santoso tidak akan muncul pagi itu. Dan jika nyonya Santoso tidak muncul, maka tidak akan terjadi kemelut yang cuma berdasarkan salah pengertian ini. “Aku menginap di Mirama. Mau kau ikut?” tanya David. Basri yang tahu apa yang seharusnya di perbuat sekarang setuju dengan ajakan sahabatnya itu. Kepada Sukirno dipesannya agar segera membawa Nancy ke Mirama jika seandainya gadis itu muncul. Ia lalu ikut David ke Mirama. Dua menit setelah ia memasuki kamar yang disewa David di tingkat tiga, Nancy muncul ke luar dari kamarnya. Oh, nasib. Betapa pandainya ia mempermainkan hati manusia. *** Sehabis menilpon David pagi itu, Nancy meminta bang becak untuk membawanya ke Kotamadya Surabaya. Di sana ia hendak mengenang pertemuannya dengan Basri. Tapi ditengah jalan, niat itu diurungkan kembali. Ia meminta bang becak untuk mengantarkannya ke sebuah hotel. Nama hotol yang diingatnya cuma Mirama. Hotel itu saja yang dikenalnya. Bukan karena ia pernah menginap, tetapi ia melihat gedung bertingkat itu ketika dulu ia membacakan puisinya di sekolah SMA Santa Maria yangterletak bersebrangan dengan hotl itu. Bang becak menurut saja. Sesampainya di sana ia segera memesan sebuah kamar dan diperolehnya sebuah kamar di tingkat tiga. Bang becak yang sudah berbaik hati mengantarkannya selama ini diberinya upah lima ribu. Ketika ia menolak dan bang becak itu hendak memberikan kembaliannya ia menolak dan bang becak itu tertegun akan keberuntungannya di pagi hari ini. Lalu berkali-kali mengucapkan terima kasihnya. mimpipun ia tak pernah bahwa dari seorang gadis ia dapat menerima uang sebesar lima ribu rupiah yang akan banyak artinya bagi anak istrinya di rumah. Apa yang kemudian dapat dilakukannya dalam kamar yang ber AC itu cumalah menangis dan menangis. Ia menyesali mengapa nasib mempermainkannya begitu kejam. Mengapa ia yang delama ini tak pernah jatuh cinta, kini dengan tiba-tiba saja dapat jatuh cinta dan terombang-ambing dalam kebimbangan yang dahsyat. Dulu ia setuju dengan pendapat yang mengatakan bahw acinta itu datangnya ibarat layanglayang yang putus. ia datang dengan tiba-tiba, tapi untuk mendapatkannya orang harus mengejarnya dengan kekerasan. Kini ia sadar bahwa pendapa itu tidak seratus persen benar. 96


Layang-layang diperebutkan dengan kekerasan akan robek dan tidak ada artinya lagi. Apakah cinta itu memang demikian? Dalam keletihannya karena semalam suntuk tidak tidur, akhirnya ia terlena dengan sendirinya. Dan aneh. Dalam tidurnya yang gelisah ia bermimipi jumpa Basri. Cuma aneh. Yang dilihatnya sekarang ini bukan Basri yang cinta kepadanya, tetapi Basri yang bergelut mesra dengan nyonya Santsoso. Setelah selesai menggumuli nyonya Santoso ia melihat Basri mendekatinya. bukan untuk menyatakan maafnya atas apa yang telah dilakukannya tetapi justru untuk mengelutinya juga. Mula-mula ia pasrah. Tapi kemudian ia berontak dan tanpa disadarinya ia berteriak : jangan‌‌‌.! Ia kemudian terjaga dari mimpinya yang buruk itu. Keringat mengucur dari seluruh tubuhnya meskipun hawa kamar dingin ber AC. Ia duduk menopangkan kepalanya di atas kedua lututnya dan meratap sendiri : “Oh, Tuhan mengapa aku harus menjalani kehidupan yang seperti ini karena dosaku membenci ayahku yang kawin lagi?â€? Ingat ayahnya ia segera teringat pada ayahnya yang ditinggalkannya begitu saja di kamar hotel di Malang. Lalu terbayang lagi wajah bocah umur delapan tahun yang cacat : Nini. Siapa lagi yang akan memanjakan anak itu kalau ia tak mau kembali ke Malang. Hatinya jadi sedikit terhibur ingat betapa kemarin malam ayahnya berjanji untuk membeayai pengobatan Nini. Ayahnya pasti tak akan mengecawakan keluarga Hardjo. Ia tahu sifat ayahnya. Apa yang sudah dikatakan takkan ditarik kembali, apapun alasannya. Rupanya kekerasan hatinya ini juga merupakan warisan dari ayahnya. Tidak mempu menguasai dirinya, tiba-tiba saja Nancy ingin meneguk minuman keras. Segera dipesannya sebotol Johnny Walker. Setelah pesanan itu tiba, ia menuangkan ke dalam sebuah gelas minum dan tanpa dirasakan lagi minuman itu diteguknya seperti orang minum air. Rasa mual terasa dalam perutnya karena sadar tadi belum makan. Rasa mual itu tambah menghebat disertai kepalanya yang mulai pusing. Wajahnya tidak bersemu merah tapi pucat. Ia segera menuju ke wastafel dan tiba-tiba saja ia memuntahkan semua minuman yang baru diminumnya. Kakinya tiba-tiba terasa lemas. Ia tak kuasa mengendalikan dirinya lagi. Ia terjatuh di depan tempat mencuci tangan itu. Tergeletak begitu saja napasnya mengerang karena tenggorokannya terasa terbakar. Ia kemudian membiarkan dirinya rebah begitu saja. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Oh, cinta. Kau mampu membuat orang jadi bahagia, tapi kau juga mampu mempermainkan orang membuatnya menderita. Malam hari jam setengah delapan ia baru terjaga. Perutnya terasa lapar. Ia jadi terkejut melihat dirinya rebah tertidur di lantai. Ia mencoba mengingat semuanya dan akhirnya ia sadar bahwa ia telah minum wiski terlalu banyak. Roti, makanan paginya yang tergeletak di meja diambilnya dan ia mulai makan. Cuma separuh mampu ditekannya. Ia sudah merasa kenyang. Tak ada napsunya untuk makan. Ia kemudian menuju ke kamar mandi, membuka semua pakaiannya dan merendam diri di air yang hangat. Kini ia mukai merasa segar. Termenung sendiri dalam rendaman air ia mulai berusaha untuk mencari kepribadiannya sendiri yang sudah hancur berantakan oleh kenyataan yang dilihatnya tadi pagi, bahw kekasihnya bersama perempuan lain. 97


Selesai mandi, ia tak tahu apa yang harus dikerjakan kemudian. Buku bacaan ia tak punya, majalah juga tak ada. Akhirnya ia memutuskan untuk ke taman Kotamadya Surabaya. Ia ingin mengenang sendirian tempat dimana ia dan basri untuk pertama kali jadi akrab. Ketika ia mengunci pintu kamar, tak pernah diduganya, bahkan tak pernah diimpikan sebelumnya, bahwa dua menit yang lalu Basri dan davidi memasuki kamar di sebelah kananya. Sesampainya di taman di muka Kota madya Surabaya Nancy duduk di tempat dulu ia pernah duduk bersama Basri. Kenangnya membawa ia kepada hari-hari yang indah bersama Basri. Ditempat itu untuk pertama kalinya Basri menterjemahka sajaknya yang berjudul: The lovely yellow rose. Ia teringat akan bait terakhir dari sajaknya yang diterjemahkan Basri. Diam-diam ia bergumam: Ia membuka matanya Ada secercah tanda haru di kalbunya. Ia memandangku dengan sayu Aku membalas menatapnya Perlahan kukecup keningnya “Aku cinta padamu, sayang,” kataku “Aku juga, sayang,” desisnya. Bunga mawar kuning tercinta jadi saksi……. Diam-diam ia jadi terharu sendiri. Alangkah polosnya Basri dulu ketika mereka untuk pertama kalinya berkenalan. Tapi sekarng apa yang telah terjadi? Ternyata basri tidaklah sehebat yang disangkanya. Basri adalah tetap laki-laki yang punya kelemahan terutama terhadap perempuan. Di satu pihak ia mampu menyatakan cintanya dan mendambakan balasan cinta, tetapi di lain pihak hatinya masih terikat pada perempuan lain. Tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki menhampirinya dan mencoba menyapanya. Ia sama sekali tak memberikan reaksi. Cuma sekarng diperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia melihat banyak perempuan di tempat itu dan di sana-sini dilihatnya laki-laki yang berjalan sendirian. Ia segera sadar bahwa tempat ini kalau malam merupakan tempat pertemuan antara pasangan manusia-manusia iseng. Ia jadi terkejut. Dulu ia bersama Basri, keadaan ini tak dijumpainya. Oh, mungkin dulu waktunya sudah hampir larut malam. Ia tak mengacuhkan laki-laki yang menyapanya itu. Ia terus memandang ke depan dan lakilaki itu tersipu-sipu dengan sendirinya, pergi! Tenang kembali seorang diri, ia mencoba untuk membentuk gambaran tentang Basri. Kini hati kecilnya membantah pendapatnya yang semula bahw abasri adalah sama dengan laki-laki lainya. Hati kecilnya sekarang ini menjerit: Tidak! Basri tidak sama dengan laki-laki lainnya. Pada diri Basri ada kehangatan seorang laki-laki. Perempuan merasa aman di dekatnya. Ia begitu tegas dalam tindakannya. Lain! Lain sekali Basri dengan David. Pada diri David orang menemukan pancaran seorang intelektual muda. Orang tahu kalau David seorang yang pandai. Oarang segan padanya. Tapi pada diri Basri, orang tiba-tiba saja mwrasa sayang. tatapan matanya yang penuh dengan kehangatan. Kehangatan seorang laki-laki. Ia tiba-tib asaja teringat nasehat bu Hardjo: 98


“Dalam perkawinan perempuan itu ibarat air yang mengalir di sungai. Ia tak mungkin bisa menentukan arah alirannya. Alirannya sudah ditentukan hukum alam. Ia harus mengalir dari atas ke bawah. Dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Oleh kerena itu perempuan harus menerima……” Tidak! Ia tidak setuju dengan pendapat itu. Mengapa perempuan harus rela dirinya diikat oleh perkawinan jika perkawinan itu sendiri tidak membahagiakan dirinya? Mengapa perempuan harus selalu mengabdi kepada kepentingan laki-laki? Menjaganya agar sang suami bahagia, tanpa memperdulikan kebahagiaannya sendiri? Apakah perempuan tidak mempunyai hak untuk merasakan kebahagiaan dalam hidup perkawinannya? Ia sendiri dulu sudah bertekad utnuk tidak jatuh cinta setelah ia melihat betapa hidup ibunya menjadi sengsara akibat ayahnya kawin lagi. Mengapa ia tiba-tiba saja bisa jatuh cinta pada Basri? Mengapa? Tak mampu menjawab semuanya itu ia jadi letih sendiri. Rasa pening di kepalanya akibat terlalu banyak minum wiski mulai terasa lagi. Akhirnya ia berdiri menuju ke tempat orang jual bakwan. Terlalu banyak orang yang berjualan di situ. Ia sudah lupa dimana dulu ia makan bakwan bersama Basri. Ia memilih salah satu, memesannya semangkok. Tapi lagi-lagi ia tak mampu menghabiskan semangkok bakwan itu. Baru lima biji ia sudah merasa kenyang. Alangkah beda suasana yang sekarang dengan dulu. Makan bakwan bersama Basri terasa begitu nikmat, dan sekarang ia merasakan sendirian. Dalam perjalanan pulang ke hotel ia mulai membulatkan tekadnya. Ia akan menerima tawaran tawaran dari Ford Foundation untuk mengadakan penyelidikan di luar negeri. Jika diperbolehkan ia akan mengadakan penyelidikan yang jauh dari Indonesia. Mungkin ke Afrika. Di sana ia mungkin dapat melupakan segalanya. Meskipun sudah di usahakan untuk melupakan Basri, masih saja membayang wajah laki-laki itu. Apakah gerangan sekarnag yang dilakukan Basri? Dan David? Ya, David sekarang ini pasti di Malang. Sahabatnya itu pasti kecewa atas tindakannya yang tidak mau menuruti nasehatnya untuk segera kembali ke Malang. Bicara dengan David pasti akan lebih menyedihkan hatinya. David munkin akan menyalahkan dirinya. David sebagai laki-laki tak mungkin mampu menyelami jiwanya sebagai seorang perempuan yang pada dasarnya tak ingin membagi cinta lelaki dengan perempuan lain. Seminggu lamanya Basri dan David berusaha mencari Nancy. Tiga hari terakhir ini mereka lewati di Jakarta. Pada hari kedelapan setelah “Hilang”nya Nancy baru tercium kabar yang agak memggembirakan. Harian terbesar di Indonesia, KOMPAS, memuat dalam ruang budayanya sajak-sajak Nancy yang terbaru. Basri segera mendatangi kantor redaksi surat kabar itu. Tapi betapa kecewa hatinya ketika mendengar bahwa Nancy sama sekali tidak meninggalkan alamat di Jakarta. Namun hatinya agak lega ketika ia tahu bahwa baru tiga hari yang lalu Nancy datang meyerahkan sajaksajaknya itu. Jadi mestinya Ia masih ada di Jakarta, sekarang. Basri lalu ingat apa yang pernah dikatakan Nancy ketika dulu mereka pesir di berbagai obyek pariwisata di sekitar Malang: “Aku tak pernah menjual sajak-sajakku. Kalau tokh akhirnya sajak-sajak itu sampai muncul di suratbkabar, itu berarti aku kekurangan uang.” Basri jadi sangat iba pada nasib gadis ini. Hanya kerena salah pengertian saja keadaan bisa jadi seperti sekarng ini. 99


David akhirnya yang sadar bahwa besar kemungkinan Nancy akan berbuat nekad untuk kembali ke Amerika Serikat selalu menjadi sasaran dia pemuda itu, terutama ketika mereka tahu bahwa Nancy sekarang ini memang sedang mengurus visa untuk ke Pilipina. Dari kantor kedutaan itulah diperoleh keterangan bahwa Nancy sekarang ini sedang mengurus beaya untuk program penyelidikan di Pilipina. Namun sejauh itu mereka tetap tidak menemukan hasil akhirnya di hari kelima belas sejak “hilang”nya Nancy, melalui seorang rekan mahasiswa UI, David berhasil mendapatka alamat di mana Nancy menginap selama ini, segera alamat itupun dituju. David meminta kepada Basri untuk tidak ikut menemui Nancy. Menurut pendapatnya sebaiknya ia sendiri yang bicara dahulu. Basri tetap bersitegang untuk ikut. David berkukuh. “Percayalah padaku. Missiki cuma satu, ingin kalian bahagia.” Akhirnya ujar David ketika dilihatnya Basri ngotot saja mau menemui Nancy. Ia sadar dengan kekerasan kepala Nancy, keadaan akan jadi tambah berantakan jika Basri hadir. Betapapun juga, hati perempuan itu sudah luka. Akhirnya setelah melalui perdebatan yang sengit, Basri mau juga mengalah, Ia mananti di sebuah restoran dekat simpang jalan yang tak jauh dari rumah di mana Nancy menginap. Tiba-tiba di tempat Nancy, David menjumpai gadis itu duduk di teras muka seorang siri. Nancy sangat terkejut melihat kehadiran David. Ia masih sempat memperhatika keadaan di luar untuk mengetahui apakah David datang sendirian atau tidak. David juga terkejut melihat keadaan Nancy. Dalam waktu setengah bulan ini nampak sangat kurus. Nancy berdiri menyambut kedatangan David segera berkata: “Maafkan aku Vid. Bagaimana ayahku?” “Ayahmu baik-baik saja. Beliau sudah pulang ke Pekalongan. Aku berjanji untuk membawamu pulang.” Nancy tak memberikan jawaban. Ia cuma senyum. Masih manis seperti dulu meskipun sekarang nampak kurus. Ingin rasanya Nancy bertanya bagaimana keadaan Basri sekarang. Tapi pertanyaan itu disimpannya saja dalam hati. Selama ini ia sudah berusaha untuk mematikan semua kenangan manis masa lalunya dengan Basri. “Kau jangan minta maaf padaku. Kau harus minta maaf pada seseorang,” ujar David seraya duduk. Nancy diam. “Kau terlalu emosi waktu itu. Sudah kukatakan dulu, sebaiknya kau pulang ke Malang. Andai kau pulang ke sana, maka semuanya akan berjalan lancar” “Aku sudah melihat kenyataan Vid, Kenyataan yang pahit dalam hidupku.” “Kau cuma melihat kulitnya. Kau tidak tahu isinya. Seperti durian, kulitnya sakit kalau mengena tangan. Tapi isinya manis.” “Kau ada-ada saja. Kau enak bicara demikian karena kau tidak mengalami.” “Aku sekarang ini justru ingin mengatakan bahwa kau ini perempuan yang palin bodoh. Kau menyakiti hatimu sendiri, padahal kenyataannya tidak sejelek yang kau lihat. Kau cuma melihat nyonya Santoso hadir. Tapi kau tidak tahu mengapa? Kau cuma tahu Basri tidak datang ke Malang sore harinya tapi kau tidak tahu mengapa?” “Sekarang aku tak perlu tahu.” “Sekarang, kau justru harus tahu!” Davi kemudian menceritakan apa yang selama ini didengarnya dari Basri. Semuanya diceritakan satu persatu. Bagaimana Basri bertemu dengan tuan Santoso dan bagaimana keduanya sudah sepakat untuk tidak menceritakan kepada nyonya santoso, tertapi kemudian tuan Santoso membocorkan juga pada istrinya. Bagaimana Basri mengurus spavilyunnya, menyerahkan barang-barangnya karena ia berniat untuk segera meninggalkan 100


kota Surabaya. Juga mengurus soal keuangannya yang ada di sebuah bank yang baru bisa dibereskan keesokan harinya. “Bukankah gila kalau kau beranggapan Basri menghianati cintanya?” akhirnya David menutup panjelasannya. Nancy diam menunduk. “Sekarang jawablah, siapa yang salah dalam hal ini?” tanya David lagi ketika dilihatnya Nancy membisu. “Semuanya sudah terlambat Vid,” akhirnya Nancy berkata. “Terlambat?” tanya David heran. “Ya, besok aku akan berangkat ke Pilipina.” “Gila kau!” “Itu benar. Ayah Lisa yang menguruskan semuanya.” Nancy lalu menceritakan bagaimana denganbantuan ayah Lisa, sahabatnya, ia berhasil mendapat bantuan dari Ford Foundation untyk mengadakan penyelidikan sastra di Pilipina. “Mati aku!” ujar David seraya menepuk-nepuk dahi sendiri. Akhirnya ia cuma dapat berkata. “Kau temui lah Basri di restoran di ujung jalan itu” “Basri juga datang?” tanya Nancy. “temilah di sana. Kutunggu di sini, dan jika sepuluh menit kau tidak kembali aku akan pulang sendiri. Katakan pada Basri bahwa aku akan segera pulang ke semarang” “Kau katakan saja bahwa kau tidak ketemu aku di sini,” kata Nancy. Lalu lanjutnya : “Aku tak ingin menyakiti hatinya lagi.” “Temuilah dia,” desak David.” Ayoh temui dia! Atau mestikah kau antar?” Akhirnya mau tak mau Nancy bersiri. Ia masuk sejenak untuk meminta diri pada nyonya rumah. Ia keluar bersama seorang gadis yang cantik, Lisa. “Ini David yang sering kuceritakan padamu. David cuma senyum-senyum ketika ia hampir meninggalkan halaman rumah itu, Nancy memanggil David. Segera ia berbisik di telinga David: “Aku tahu Lisa adalah tipe gadis isealmu. Manis dia bukan?” “Temui dulu Basri,” ujar David menepuk pantat Nancy. Hanya sesaat itu Nancy kembali kepada kepribadiannya yang asli, riang gembira. Tapi ketika harus berjalan menghadap Basri. Bukankah tekadnya sudah pasti untuk meninggalkan lakilaki ini? Basri yang memang dari kejauhan sedang menantikan segera menyongsong kedatangannya. Tidak seperti dalam cerita-cerita pilem, mereka tidak saling berpelukan ketika bertemu, tapi salling membisu. “Hai,” cuma ini yang keluar dari mulut Nancy, kemudian tunduk lagi. Basripun tidak berbicara, sebuah taksi yang kebetulan lewat distopnya, kemudian ditariknya tangan Nancy, memasuki taksi itu. “kau mau kemana?” tanya Nancy heran. Basri tetap diam. Sesaat kemudian secara tiba-tiba saja ia menyuruh sopir taksi membawanya ke hotel Borobudur. Selama perjalanan yang memakan waktu tigapuluh menit itu tak seorangpun di antara keduanya yang berbicara. Sampai di kamar di tingkat lima keduanya tetap membisu. Sesudah mengunci kamar baru Basri berkata: “Nah, sekarang kau marahlah padaku.” Kalimat yang keluar dari mulut Basri ini benar-benar di luar dugaan Nancy. 101


“Aku kira kau jadi bisu tadi. Nyatanya kau masih bisa berbicara juga,” jawab Nancy. Kata-kata itu juga mengejutkan Basri. Ia tadinya menduga bahwa Nancy masih marah padanya. “marahlah jika kau masih marah padaku tetapi jangan bersikap sebagai anak kecil.” “Siapa yang bersikap sebagai anak kecil?” “Kau! Tanpa mengetahui duduk perkaranya, minggat!” “Siapa yang minggat. Baru kemarin aku datang dari Malang. Aku pulang untuk menjumpai dan pamit pada Nini karena aku mau pergi jauh.” “Jadi benar berita yang kudapat bahwa kau akan ke Pilipina?” “Ya.” “Persetan dengan semuanya!” teriak Basri “Tidak Basri! Tidak! Antara kita tidak ada persoalan yang………..” Nancy tak bisa meneruskankata-katanya karena tiba-tiba saja Basri mengguncang-guncang bahunya dan berkata geram. “Katakan kau tidak cinta padaku, dan katakan kau tidak tahu kalau aku cinta padamu!” Ketika dilihatnya Nancy tak memberikan jawaban, tapi dari sela-sela kedua celah matanya menitik air mata, Basri jadi iba. Bari sekarang ini dilihatnya betapa kurus keadaan Nancy. Pipinya jadi cekung. “Oh, Nancy,” ujarnya seraya mendekap Nancy. Nancy diam saj tidak balas memeluk. Dikuat-kuatkannya hatinya. Sekarang tiba saat ia menentukan nasibnya di kemudian hari. Jika ia ingin di kemudian hari hidup bahagia dengan laki-laki ini, maka sekarang waktunya bertindak tegas. Laki-laki seperti Basri harus tahu bahwa tidak semua perempuan bertekuklutut di hadapannya. Dengan mengigit bibirnya Nancy berusaha menahan gejolak hatinya. “Aku besok harus berangkat…..” “Persetan dengan semuanya!” “Tidak Basri! Aku tak bisa membatalkan semuanya, setelah banyak orang bersusah payah menguruskan semuanya untukku,” kata Nancy seraya melepaskan diri dari dekapan Basri. Ketika dilihatnya Nancy bersikap serius Basri kini sadar bahwa gadis ini benar-benar masih marah padanya. “Apakah kau masih marah padaku?” tanyanya. “Tidak! Aku sudah mendengar semuanya dari David. Tapi hatiku sudah terlanjur luka. Beri aku kesempatan untuk berpikir Basri, berpikir di tempat yang jauh dan di tempat yang jauh itu aku akan selalu berpikir tentang dirimu.” “Kau gila! Mengapa kita harus saling menyiksa diri” “Aku pasti akan kembali padamu jika hatiku sudah tentram. Aku ingin kembali padamu bukan dalam keadaan emosi seperti sekarang, tapi dengan hati yang tulus dan ikhlas.” “Berapa lama kau akan pergi?” “Dua tahun” “Dua tahun?” “Ya” “Kau tahu apa artinya dua tahun itu Nancy? Itu berarti duapuluh empat bulan.” “Aku tahu.” Basri tak bisa berkutik lagi. Akhirnya sambil duduk di ranjang ia berkata. “Aku tahu kau membenci kehidupan masa lampauki. Tapi jangan kau menghukum diriku sekejam itu.”

102


“Aku tak menghukum kau, Basri. Kita masing-masing membutuhkan eaktu untuk bisa saling mengenal dengan baik,” jawab nancy seraya duduk di sisi lain dari tempat tidur itu. “Kau katakan tidak menyiksa? Kau tahu bahwa aku sudah bertekad untuk menghapus semua kenangan masa lampauku. Aku ingin hidup wajar sebagai seorang laki-laki. Tapi untuk menantimu selama dua tahun, kau sendiri pasti mengetahui bahwa itu tak mungkin bagiku.” Nancy segera teringat betapa artinya sex bagi Basri. Secara terus terang Basri pernah mengatakan bahwa sex adalah segalanya baginya. Bahkan denganjujur pernah dikatakan, tanpa sex Basri tidak mampu mencipta. Secara sadar iapu sekarang ini tahu bahwa adalah tugasnya untuk mwmbantu Basri tidak terbenam dalam pelukan perempuan-perempuan lain. Namun demikian dalam hati kecilnya ia bertanya sendiri. “Mampukah Basri mengatasi kelemahannya itu? Apakah ia puas dengan seorang perempuan saja?” Bunga Mawar Kuning tercinta Ia berdiri disudut kamar -berpakaianaku bantu menarik naik ritsliutingnya Lalu aku cium bulu kudunya Seraya berbisik: “Sayang……… Pejamkan matamu, aku adalah hadiah untukmu” Ia memjamkan matanya menunduk pasrah -kubalik tubuhnyaBunga mawar kuning yang kubawa kudekatkan ke wajahnya. Aku lalu berbisik lagi: “Sayang terimalah ini, tanda cintaku padamu……” Ia membuka matanya Ada secercah tanda haru dikabulnya Ia memandangku dengan sayu Aku balas menatapnya Perlahan kukecup keningnya “Aku cinta padamu, sayang,” kataku “Aku juga, sayang,” desisnya Bunga mawar kuning tercinta jadi saksi. The Lovely yellow rose She stood in bedroom corner -Getting dressedI helped pull up the zipper 103


Then I kissed her nape While whispering: “Dearie……. Close your eyes, I’ve got a present for you.” She closed her eyes And bent submissively -I turned her bodyI brought the yellow rose in my hand Close to her face. Then I whispered again: “Dearie, Take this, My love to you….” She opened her eyes She was a little moved she looked at me gloomily I looked at me gloomily I looked back at her Slowly I kissed her forehead “I love you, dearie, “ I said “I di, too, swaetheart,” she breathed. The lovely yellow rose was the eyewitness.

Hari hari penuh cinta Ada hari hari penuh kegetiran ada hari hari penuh kegagalan tapi, selalu ada hari hari penuh cinta Disaat itu dunia nampak indah Bunga bunga seolah mekar dan burung burung berkicau semua pada saat saat seperti itu jika dua insan bertemu semua nampak mesra

104


Sentuhan ujung ujung jari terasa sampai kehati, Sentuhan napas pada leher membuat tubuh jadi lemas Pada saat saat seperti dimana hari hari penuh cinta dan dua insan bertemu yang ada cuma satu KEBAHAGIAAN

105


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.