3 minute read
Sebuah pengantar
Hormat Kepada Kegilaan
“… kegilaan dirampok dari kebenarannya yang kecil sebagai kegilaan, jika disebut sebagai karya seni.” (Michel Foucault)
Advertisement
Nawa Tunggal (49) menafsir ada pesan tersembunyi dari kutipan di atas, yakni kegilaan dan karya seni memiliki kesamaan. Karena itulah kegilaan bisa dirampok dari kebenarannya yang kecil, dan disebut sebagai karya seni. Di balik itu, ada sesuatu yang sifatnya mendalam. Nawa menangkap ada pesan Foucault yang lain, yaitu agar kegilaan juga dihormati sama halnya dengan karya seni. Di dalam bukunya yang berjudul, Kegilaan dan Peradaban (1961), Foucault juga menuliskan bahwa kegilaan bukan kejatuhan, bukan aib, melainkan sebuah tatanan baru untuk dimengerti.
Nawa berusaha untuk mengerti tentang kegilaan dan membuat sebuah penghormatan terhadap kegilaan kakak kandungnya, Dwi Putro (59). Ia mengajak Pak Wi, sapaan akrab Dwi Putro, untuk melukis. Melukis menjadi kegemaran Pak Wi. Bahkan, katarsisme Pak Wi tidak pernah pupus. Ia akan terus-menerus melukis, selagi ada cat dan bidang gambarnya.
Dari katarsisme Pak Wi yang melukis tidak pernah pupus, Nawa memahami apa yang disebut Foucault sebagai kegilaan. Lukisan-lukisan yang dihasilkan Pak Wi inilah kegilaan. Lukisan-lukisan Pak Wi yang begitu melimpah seperti terlahir dari rahim Gendari yang membuahkan 100 Kurawa dalam satu persalinan. Karya-karya Pak Wi seperti ini mungkin saja tidak akan terlahir, jika tanpa kegilaan.
Tanpa disadari, Nawa sering memamerkan karya-karya kegilaan Pak Wi di ruang publik maupun media sosial dan menyebutnya sebagai karya seni. Hingga titik waktu terkini Nawa menyadari hal ini sama halnya dengan merampok kegilaan Pak Wi. Nawa merampok kegilaan dan berusaha mengenakan baju kolaborasi seni rupa Dwi Tunggal, kolaborasi antara Dwi Putro dan Nawa Tunggal. Dwi Tunggal menjadi perpaduan kedua nama itu. Mungkin saja ini sudah ditakdirkan untuk saling melebur.
Kolaborasi Dwi Tunggal mengesampingkan kemurnian dari perluasan mazhab seni rupa Barat yang menjadi kanon art brut atau outsider art. Art brut atau outsider art disematkan bagi karya-karya artistik yang dilakukan penyandang gangguan mental. Bagi karya Pak Wi, kritik yang terjadi adalah munculnya campur tangan orang lain, yaitu Nawa. Pada akhirnya, karya artistik Pak Wi dianggap tidak murni lagi sebagai art brut atau outsider art. Ini menuntun dan memberikan baju kolaborasi Dwi Tunggal. Tidak ada lagi label art brut atau outsider art. Begitu pula, kolaborasi Dwi Tunggal menjauhkan diri dari konsep terapi seni, karena Nawa tidak tahu sebenarnya siapa yang harus diterapi. Dengan demikian, kolaborasi Dwi Tunggal berpijak pada konsep kesetaraan. Kesetaraan bukan kesamaan, tetapi dua hal berbeda untuk saling melengkapi demi meraih keinginan bersama.
Pak Wi memiliki karunia gangguan mental, rungu, dan wicara semenjak masa remaja. Manifestasi gangguan mentalnya sampai sekarang di tahun 2023 ini masih terlihat di saat menulis kata yang melompat-lompat. Tampak gejala skizofrenia residual. Pada awalnya, pendengarannya terganggu. Seorang dokter pernah memeriksa selaput gendang telinga Pak Wi tersobek sekitar 80 persen. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebabnya : benturan, demam dengan panas tubuh terlalu tinggi, atau memang organnya terlalu rentan. Gangguan pendengaran ini berdampak pada keengganannya untuk berbicara.
Satu dua patah kata masih bisa diucapkan Pak Wi dengan gagu. Biasanya, Pak Wi mengucapkannya ketika meminta warna cat lukis tertentu yang sudah habis. Di saat melukis, Dwi Putro selalu meminta iringan lagu dari siaran radio. Ini menunjukkan gendang telinganya masih berfungsi sebagian.
Gangguan pendengaran ini ditengarai terjadi di saat Pak Wi duduk di bangku SD kelas 3 atau sekitar usia 9 tahun. Pak Wi kemudian berpindah ke Sekolah Luar Biasa (SLB) khusus tunarungu. Ketika menjelang usia dewasa sekitar 17 tahun, gangguan otak terjadi dan inilah yang kemudian secara awam disebut sebagai gangguan mental yang menetap hingga saat ini. Gangguan otak inilah yang memengaruhi perilaku Pak Wi yang tidak lazim seperti orang kebanyakan, termasuk melukis tak henti-hentinya setiap waktu. Di sinilah kegilaan itu.
Melalui pameran karya kolaborasi Dwi Tunggal ini menghadirkan secara visual antara kegilaan dan karya seni. Masyarakat seni rupa, maupun masyarakat luas semoga bisa memetik hikmah dan pengetahuan baru. Diawali karya Merampok Kegilaan (2023). Ini sebuah instalasi gambar atau drawing dengan media berukuran kecil yang jumlahnya mencapai 960 lembar dengan cat air gouache di atas kertas 9,1 X 13 Cm. Lukisannya wajah-wajah orang. Di antara wajah-wajah itu mulai tampak rona bahagia dan senyuman. Sebelum itu, Pak Wi biasanya melukis wajah dengan seringai kemarahan. Anak kecil sering takut menatap lukisan wajah yang terkesan marah itu.
Bidang karya Merampok Kegilaan dibagi dua bagian. Satu bagian di atas dengan satu gambar yang dibingkai sebagai artwork atau karya seni. Jika tanpa melihat bagian berikutnya, mudah dimaklumi ini satu karya ini sebagai karya seni. Ketika melihat bagian berikutnya, berupa kumpulan gambar yang mirip di atasnya dengan jumlah banyak itu akan lebih mudah menggiring kepada permakluman sebagai madness atau kegilaan. Mungkin saja akan muncul ungkapan, “Gila!” Di sinilah pengertian kegilaan dan karya seni terbentang. Karya seni dari merampok kegilaan.
Karya-karya berikutnya menunjukkan gejala sama. Intensitas karyanya memang tidak sebanyak gambar wajah, tetapi dengan ukuran media lebih besar. Ada pengelompokan. Untuk karya Arjuna Menyusui, Hendra Gunawan dan Cicak, serta Mandi di Sungai, menjadi kelompok karya lukisan Pak Wi yang mencontoh lukisan-lukisan Hendra Gunawan (1918—1983). Medianya menggunakan cat air dan pastel di atas kertas berukuran 35 kali 49 Cm.
Pengelompokan berikutnya pada karya lukisan bunga. Medianya cat minyak di atas kanvas berukuran 45 kali 57 Cm. Emosi Pak Wi lebih terasa pada kuasan cat minyak ini. Kemudian pengelompokan lukisan mobil dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 42 kali 59 Cm dan media cat minyak di atas kanvas berukuran 93 kali 140 Cm. Nawa memiliki kesan tersendiri tentang mobil-mobil ini. Semasa kecil, Nawa sering memerhatikan Pak Wi corat-coret di atas kertas dan menggambar mobil-mobil balap yang futuristik itu.
Lukisan seri potret diri berjudul, Ada Nasi Ada Hari, menampilkan Pak Wi sedang makan. Pak Wi melukis dari foto dirinya yang sedang makan. Demikianlah pameran ini menyajikan dualisme kegilaan dan karya seni dengan harapan untuk kita makin hormat terhadap kegilaan.
Bintaro, 27 Juni 2023
Nawa Tunggal
Adik, pengiring Dwi Putro