3 minute read

Catatan Kuratorial

Next Article
Sebuah pengantar

Sebuah pengantar

Dalam Pusaran Kegilaan

Seorang gubernur di ujung timur Indonesia ditangkap komisi antirasuah lantaran menggelapkan uang rakyat. Dalam sehari dia menghabiskan dana Rp 1 miliar hanya untuk biaya makan-makan. Padahal kemiskinan di kota tempat dia berkantor mencapai 41.000 jiwa.

Advertisement

Hampir bersamaan dengan itu, seorang Menteri dicopot dan jadi pesakitan atas dugaan korupsi Rp 8 triliun. Mungkin sebagian orang belum bisa membayangkan visual uang sebanyak Rp 8 triliun itu. Rp 1 miliar sama dengan 9,4 kg atau Rp 1 triliun sama dengan 94 tom jika menggunakan pecahan seratusan ribu. Artinya, Uang Rp 8 triliun setara dengan 75,2 ton.

Mari kita coba tumpuk uang itu. Selembar uang seratus ribu memiliki ketebalan 0,01 cm. Jika uang Rp 8 triliun itu ditumpuk, tingginya mencapai 8 km. Tinggi Monas, Menara Eifel, Menara Petronas, hingga bangunan tertinggi di dunia Burj Khalifa yang hanya 828 meter tentu kalah tinggi dengan tumpukan uang hasil korupsi tersebut.

Dulu, orang akan berkomentar “gila” terhadap peristiwa ini. Mungkin juga hari ini beberapa orang masih menganggapnya gila. Itu tadi hanya dua contoh dari sekian ratus atau bahkan ribu tindak korupsi oleh orang-orang yang memiliki (akses) kekuasaan. Maka, hari-hari ini, jika ada penguasa yang sengaja tidak korupsi, dia bisa dianggap liyan, aneh.

Kita sama-sama paham tentang kecenderungan korup itu, hingga muncul anggapan bahwa pejabat yang ditangkap karena korupsi hanya karena sial atau tentang “dikerjai” oleh lawan politiknya. Para tersangka yang akhirnya jadi terpidana pun terus terang dan lantang berteriak tak pernah korupsi. Bahkan bisa jadi, setelah usai menjalani hukuman pidana, dia kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kepala daerah.

Michel Foucault, filsuf, sejarawan, ahli teori sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra menyebut bahwa konsepsi kegilaan lebih mungkin dilihat sebagai bentuk penyimpangan dan kecenderungan mayoritas masyarakat. Seseorang dianggap gila jika berpikir dan bertindak melawan atau tak sesuai dengan kelaziman, cara berpikir, dan logika mayoritas. Dengan kata lain, ketika kegilaan itu dilakukan bersama-sama dan menjadi ulah mayoritas, maka tidak lagi disebut kegilaan, justru menjadi kewarasan.

Dalam konteks itulah, ramalan Rangawarsito dalam Serat Kalatidha tampak nyata. Amenangi jaman edan. Ewuh aya ing pambudi melu edan ora tahan. Yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik… katanya zaman edan, kalau tidak ikut edan, tidak kebagian.

Hari-hari ini, negeri ini tengah menuju pesta pora keedanan, kegilaan. Menjelang pemilu, tiba-tiba banyak sekali orang berubah jadi baik. Meskipun sebelumnya mungkin kita tak mengenalnya atau dia pura-pura tak mengenal kita. Nanti setelah pemilu, mereka kembali melupakan kita dan tenggelam dalam kegilaannya.

Pada saat bersamaan, ada orang-orang seperti Pak Wi (59) yang telah lama dicap gila oleh mayoritas karena tingkah, cara berpikir, cara bertutur, dan pola interaksinya tidak sesuai standard mayoritas. Orang-orang pengidap Skizofreia seperti Pak Wi ini, banyak sekali yang masih mengalami pemasungan fisik sebagaimana terjadi di Eropa pada era sebelum abad ke-19. Sebagian besar lainnya harus tunduk di bawah kuasa psikiater, terapis atau dokter.

Para psikiater, terapis atau dokter tadi mempunyai kuasa penuh atas orang-orang yang kemudian dilabeli gila ini. Mere- ka diisolasi dalam keheningan rumah sakit jiwa yang kadang riuh tapi sepi, sepi dari sentuhan cinta. Mereka dengan halus atau kasar dipaksa mengakui kegilaannya sebelum dipaksa mengikuti serangkaian terapi dan jadwal minum obat yang ketat untuk mengoreksi kegilaannya. Itu proses panjang yang menyiksa.

Nawa Tunggal menolak itu dengan memperlakukan Pak Wi bukan sebagai orang gila. Baginya, Pak Wi butuh ditemani dan dicurahi kasih sayang. Maka sejak 23 tahun yang lalau Nawa Tunggal mencoba membaca dan memahami dorongan dalam diri Pak Wi yang tidak pernah terkatakan dengan jelas. Sebab Pak Wi yang mengidap skizofrenia residual ini punya kendala wicara dan pendengarannya hanya berfungsi tak lebih dari 20 persen. Rasa cinta sebagai adiklah yang menuntun Nawa untuk memahami Pak Wi dan selama itu pula dia mencurahkan pikiran, tenaga, dan sumber daya demi Pak Wi.

Nawa Tunggal mendorong agar energi dalam diri Pak Wi tersalurkan dengan benar. Pada satu titik, Nawa melihat Pak Wi menemukan dirinya ketika mencorat-coret dengan arang atau menorehkan kuas dan cat di atas canvas. Itu bisa sampai 24 jam tanpa henti jika kanvas atau cat belum habis. Kegilaan Pak Wi bertransfomasi menjadi karya seni yang tulus, jujur, dan tanpa pretensi kecuali mengikuti dorongan dalam diri.

Lambat laun Pak Wi seperti menemukan dirinya dan bisa menyesuaikan dengan kecenderungan mayoritas. Dia tertib mandi, berpakaian layaknya orang kebanyakan, dan bahkan berinteraksi dengan orang lain meski masih terbatas. Dengan kata lain, Pak Wi belajar mengoreksi diri untuk bisa diterima mayoritas. Pak Wi sedang menuju batas-batas kegilaan yang disandangkan kepadanya dengan melakukan kegilaan yang lain, yakni melukis tiada henti.

Melihat perkembangan itu, pada level tertentu Nawa merasa telah merampok kegilaan Pak Wi. Apalagi sampai memamerkan karya-karya Pak Wi, sesuatu yang tidak pernah terbayang oleh nawa, apalagi Pak Wi, pada 20an tahun lalu ketika masa awal Nawa amengajak Pak Wi mentas dari jalanan. Nawa boleh saja “menyalahkan diri” atas tindakannya itu sebagai bentuk pencarian eksistensial atau upaya mencari titik keseimbangan antara praktik mencintai kakak dan berkesenian. Namun dalam level lain, perampokan kegilaan ini wujud cinta itu sendiri. Kehadiran Pak Wi berikut karya-karyanya di ruang publik memberi energi besar yang mendorong mereka untuk tumbuh dan berkembang sebagai dua figur inspiratif.

Karya-karya dalam pameran Merampok Kegilaan ini menjadi bukti nyata perjalanan panjang tersebut. Mencintai dan menemani Pak Wi, adalah proyek tanpa akhir. Proyek sepanjang hayat. Tentu saja nilainya mulia sekali, berbeda dengan proyek-proyek rebutan uang rakyat di atas. Dalam pameran ini kita lalu merenung, siapa yang sebenarnya gila?

Rangawarsito bilang, begja begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. Betapa pun bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang ingat dan waspada. Nawa adalah sedikit dari orang yang ingat dan waspada itu, sementara Pak Wi turut menjadi bagian penting dalam proses tersebut.

Bintaro,

3 Juli 2023

Hilmi Faiq

(Kurator Bentara Budaya Jakarta)

This article is from: