JURUSELAMAT
YANG
Tak Terduga
Hati Allah dalam Pribadi Yesus
pengantar
Juruselamat yang Tak Terduga
Hati Bapa dalam Pribadi Yesus
Ada suatu lagu lawas berjudul misterius:
“Questions 67 and 68”. Saya pikir dalam lagunya pasti ada petunjuk tentang pertanyaan 1–66, tetapi saya tidak menemukannya. Saya bahkan tidak paham apa pertanyaan 67 dan 68 itu sendiri. Bisa dibilang, saya mempertanyakan pertanyaanpertanyaannya.
Jujur saja, kita semua punya pertanyaan tentang pertanyaan—terutama pertanyaan-pertanyaan besar yang muncul di masa krisis. Apa yang kita lakukan atau katakan, misalnya, ketika melihat sebuah keluarga bergumul dengan penyakit yang berkepanjangan, atau krisis keuangan, atau peristiwa kematian yang mendadak?
Apa yang dapat kita katakan kepada mereka yang tinggal di daerah yang dilanda bencana alam atau perang?
Apa yang kita lakukan ketika bencana menimpa? Kita bertanya-tanya: Mengapa ini terjadi? Apakah Allah ada? Apakah Dia peduli? Mengapa kita ada di sini? Dari manakah kita berasal? Apakah semua ini ada maknanya?
Kita tidak membutuhkan jawaban yang basa-basi. Kita ingin tahu alasannya. Mengapa orang baik menderita lalu meninggalkan kita? Mengapa para orangtua tunggal dibiarkan bergumul sendirian? Mengapa Allah membiarkan bangsa-bangsa tertentu dihancurkan oleh peristiwa-peristiwa di luar kendali mereka? Mengapa?
Bertanya “mengapa” dalam hidup ini bukan hal baru. Bayangkan apa rasanya berada di Israel abad pertama, ketika seorang rabi yang revolusioner muncul dari Galilea. Yesus melakukan dan mengatakan berbagai hal revolusioner yang membuat orang terkejut dan bertanyatanya. Yesus menguatkan sekaligus menggegerkan. Mengapa? Karena Dia meluluhlantakkan perilaku dan praktik yang telah lama tertanam dalam diri orang Yahudi sejak hukum Musa diberikan.
Orang-orang menanyai Yesus dalam upaya memahami-Nya. Kita melihatnya terutama dalam catatan kehidupan Yesus yang berjalan cepat di Markus 2. Empat kali Yesus ditanya alasan dari tindakan-Nya. Mereka bertanya tentang diri-Nya dan maksud perbuatan-Nya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kita kupas di sini.
Bill Crowder
daftar isi
EDITOR: Tim Gustafson, J.R. Hudberg, Alyson Kieda, Peggy Willison
GAMBAR SAMPUL: © Thinkstock Photos / Dmytro Shestakov
PERANCANG SAMPUL: Stan Myers
PERANCANG INTERIOR: Steve Gier
PENERJEMAH: Arvin Saputra
EDITOR TERJEMAHAN: Dwiyanto Fadjaray, Rosi L. Simamora
PENYELARAS BAHASA: Bungaran Gultom
PENATA LETAK: Mary Chang
GAMBAR ISI: (hlm.1) © Thinkstock Photos / Dmytro Shestakov; (hlm.5) Herman Hooyschuur via Freeimages.com; (hlm.13) Griszka Niewiadomski via Freeimages.com; (hlm.19) Spiz via Freeimages. com; (hlm.23) Benjamin Balazs via Pixabay.com
Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974
© 2020 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia.
Indonesian Discovery Series “Surprising Savior”
Memangnya Siapa Dia?
• Kemudian, sesudah lewat beberapa hari, waktu Yesus datang lagi ke Kapernaum, tersiarlah kabar, bahwa Ia ada di rumah. Maka datanglah orang-orang berkerumun sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintupun tidak. Sementara Ia memberitakan firman kepada mereka, ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” Tetapi di situ ada juga duduk beberapa ahli Taurat, mereka berpikir dalam hatinya: “Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” (MARKUS 2:1-7; PENEKANAN DITAMBAHKAN)
Ada dua aspek utama dalam misi Yesus. Dia
menyatakan salah satunya saat berkata, “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (LUKAS 19:10) . Misi-Nya adalah untuk menyelamatkan umat manusia yang terhilang dan akan binasa.
Aspek kedua misi Yesus muncul dalam kitab Ibrani, ketika dikatakan bahwa Kristus adalah “gambar wujud Allah [Bapa]” (IBRANI 1:3) . Di dalam diri Yesus, Sang Anak, kita melihat hati Allah Bapa.
Aspek misi Yesus inilah yang membingkai Injil Yohanes, yang mendeklarasikan, “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (YOHANES 1:18)� Yesus, Firman yang menjadi manusia (YOHANES 1:14), datang untuk menyatakan Sang Bapa kepada kita— untuk membukakan mata dan hati kita terhadap hati sang Pencipta�
Apakah Yesus berhasil menunaikan misi tersebut?
Ketika Yohanes Pembaptis melihat Yesus pada awal pelayanan-Nya, ia berkata, “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia!” (YOHANES 1:29) . Yohanes
Pembaptis sedang memperkenalkan Yesus kepada dunia. Tiga tahun kemudian, di ruang atas pada malam
sebelum Yesus disalibkan, murid-Nya yang bernama Filipus meminta kepada-Nya, “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami” (YOHANES 14:8) . Tuhan memberi tahu Filipus, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (AY.9) . Inilah misi yang
membingkai pelayanan Yesus pada awal maupun akhirnya, yaitu untuk membuat Allah Bapa dikenal oleh ciptaan-Nya.
Ruang atas adalah tempat Yesus mengajar murid-murid-Nya tentang kepemimpinan berhati hamba dengan cara membasuh kaki mereka� Di sinilah Dia menikmati Perjamuan Terakhir bersama mereka, dan juga memberikan roti yang dicelup dalam cawan kepada Yudas sebagai indikasi bahwa Yudas akan mengkhianati Dia (YOHANES 13:5-26)�
Jadi, Yesus datang ke dunia, antara lain, untuk menyingkapkan hati Bapa kepada kita. Bagaimana hal itu mempengaruhi apa yang kita lihat dalam Markus 2?
Bagaimana Yesus menyatakan Bapa kepada kita lewat segala ucapan dan perbuatan-Nya?
Ketika mengamati seseorang yang bertingkah pongah, tidak heran kita mendengar ada orang lain yang menantangnya, dengan berkata, “Memangnya siapa kamu?” atau mungkin, “Siapa yang memberimu hak melakukan itu?” Kita menganggap individu yang ditantang itu terlalu tinggi memandang dirinya sendiri, sehingga pandangan yang keliru itu perlu dikoreksi.
Anggapan tentang gambar diri yang tidak akurat itulah yang menjadi inti pertanyaan “mengapa” pertama yang kita jumpai dalam Markus 2. Sambil mengamati dan mendengarkan segala yang terjadi, para pemimpin agama saat itu bertanya-tanya dengan dongkol tentang apa kata Yesus tentang diri-Nya sendiri. Bayangkan adegannya: Yesus sedang berkhotbah dan mengajar di sebuah rumah yang penuh sesak di Kapernaum, ketika tiba-tiba atapnya dibuka di atas kepala orang banyak. Tampaklah
Memangnya Siapa Dia?
langit biru menggantikan lapisan langit-langit, dan usungan berisi seorang lumpuh diturunkan ke dalam rumah. Yesus menanggapi iman orang-orang yang telah mengambil langkah ekstrem demi mengantarkan teman mereka kepada-Nya dengan berkata kepada si lumpuh itu, “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” (AY.5) .
Bayangkan Anda adalah salah seorang dari keempat teman si lumpuh tersebut.
Anda telah mengangkat beban yang berat, hingga mempreteli atap rumah orang lain. Anda membawa teman Anda kepada
Yesus, jelas-jelas berharap Dia akan menyembuhkannya. Sangat mungkin perkataan, “Dosamu sudah diampuni” bukanlah yang
“Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami” (YOHANES 14:8).
Tuhan memberi tahu Filipus, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (AY.9).
Anda harap atau ingin didengar. Namun, perkataan Yesus itu tidak saja memicu kekecewaan yang dapat dimaklumi. Pernyataan tersebut mendorong para ahli Taurat (pakar hukum agama) untuk mengajukan pertanyaan besar yang langsung membidik identitas Yesus:
“Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah.
Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” (AY.7) .
Jelas mereka merasa Yesus tidak berhak melakukan apa yang baru saja Dia lakukan, yakni memberikan pengampunan atas dosa. Para guru agama ini mempelajari Kitab Suci dengan giat, dan mereka sangat percaya hanya Allah yang dapat sepenuhnya mengampuni dan membebaskan seseorang dari dosa. Intinya, pertanyaan mereka adalah, “Memangnya siapa Dia?” Jika sang Guru mengaku berotoritas untuk melakukan apa yang hanya dapat dilakukan Allah, pastilah Dia bersalah atas tindakan penghujatan, karena mereka yakin tidak mungkin Yesus adalah Allah. Mengaku diri sebagai Allah adalah kejahatan berat yang harus dihukum mati dengan dirajam. Memangnya siapa Dia?
Dalam pengertian luas, menghujat berarti menghina atau merendahkan sesama manusia� Namun, istilah ini dalam Kitab Suci dipakai untuk mengacu pada penghujatan terhadap Allah, dan oleh karenanya dianggap sebagai dosa yang terberat dan paling serius�
Yesus menanggapi pertanyaan mereka dengan melakukan sesuatu yang kelihatan untuk mengesahkan kesanggupan-Nya melakukan sesuatu yang tidak kelihatan . Tidak ada manusia biasa yang dapat mengampuni dosa, tetapi tidak ada juga manusia biasa yang dapat menyembuhkan seorang lumpuh hanya dengan perkataan. Yesus mengemukakan fakta ini dengan menekankan apa yang sudah jelas. Klaim kesanggupan untuk mengampuni
Memangnya Siapa Dia?
dosa tidaklah mungkin dibuktikan atau disahkan secara empiris. Jauh lebih mudah “mengatakan” dosa orang tersebut sudah diampuni. Jauh lebih sulit untuk mengatakan “bangunlah dan berjalanlah” dengan harapan orang yang lumpuh itu akan tiba-tiba dan secara ajaib sembuh. Hal itu akan terjadi atau tidak sama sekali. Yesus memang berotoritas seperti yang Dia nyatakan, atau Dia tidak berotoritas sama sekali.
Mazmur 51 adalah mazmur terkenal yang berisi penyesalan
Raja Daud setelah perbuatan dosanya terhadap Batsyeba� Ketika ia menyatakan, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa,” (ay�6) ia sedang mengakui bahwa segala dosa pada dasarnya adalah melawan Allah� Oleh karenanya, dosa itu membutuhkan pengampunan dari Allah, walaupun Daud juga berdosa terhadap manusia� Allah saja yang benar-benar membebaskan manusia dari dosa�
Jadi, Yesus mendemonstrasikan otoritas-Nya untuk melakukan hal yang satu (mengampuni) dengan melakukan hal yang lain (menyembuhkan). Sang Guru mengundang si lumpuh untuk bangun dan berjalan— dan orang lumpuh itu melakukannya! Bukti kasatmata ini adalah bukti dari pengakuan yang tidak kasatmata, yaitu bahwa Yesus berhak mengampuni dosa, seperti yang dilakukan Bapa-Nya.
Yesus mengampuni kita demi menyingkapkan hati Bapa yang mengampuni sepenuhnya dan dengan cumacuma. Yesus juga memperlihatkan hati yang mengampuni itu dengan menyerahkan diri-Nya untuk disalib. Itulah
kabar baik bagi kita semua. Siapakah dari kita yang belum pernah tertindih beban kegagalan, kesalahan, dan dosa?
Begitu kuatnya dampak rasa bersalah dan malu di dunia kita, sampai-sampai pengampunan sejati tampak mustahil. Di hadapan hambatan yang luar biasa tersebut, kita bertemu dengan Allah yang rindu mengampuni kita—untuk mematahkan belenggu rasa bersalah kita dan membebaskan kita dari rasa malu serta kegagalankegagalan yang memperbudak kita.
Penyelamatan yang Yesus sediakan lewat kematian dan kebangkitan-Nya memungkinkan pengampunan ini hadir, dan pengampunan yang Dia tawarkan kepada orang lumpuh itu hadir dalam penantian terhadap puncak karya penyelamatan yang hendak Yesus selesaikan di atas salib.
Memangnya Siapa Dia?
• Melihat kepercayaan dan keyakinan para ahli Taurat, mengapa respons mereka terhadap pengakuan Yesus tersebut bisa dimaklumi? Mengapa itu juga berbahaya?
• Apa bedanya pengampunan yang kita berikan kepada orang yang bersalah kepada kita dengan pembebasan dari dosa yang ditawarkan Tuhan Yesus kepada seseorang?
• Bagaimana respons Anda seandainya Anda membawa seorang teman kepada Yesus untuk disembuhkan, tetapi yang diberikan Yesus justru pengampunan?
• Mengapa perbedaan antara yang kelihatan dan yang tidak kelihatan itu sangat penting bagi tindakan Yesus atas orang lumpuh tersebut?
Memangnya Siapa Dia?
dua Memangnya Siapa Mereka di Mata-Nya?
• Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya, lalu Ia mengajar mereka.
Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!” Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia.
Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-mruid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia. Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (MARKUS 2:13-17, PENEKANAN DITAMBAHKAN)
Ketika beranjak dewasa, banyak musik pop yang saya dengar bercerita tentang menemukan cinta di tengah perbedaan kelas sosial. Kidung-kidung itu berisi kisah para kekasih yang berjuang mengatasi rintangan-rintangan sosial yang memisahkan mereka.
Bukan hal yang aneh kalau dalam setiap masyarakat terdapat semacam sistem kasta. Sejak masa sekolah pun itu sudah terasa. Murid kaya versus murid miskin. Yang cantik versus yang kurang cantik. Yang gaul versus yang kuper. Kita versus mereka. Pembedaan seperti itu bisa menghancurkan orang lain serta mengungkapkan adanya cara pandang diri yang menyimpang dan berlebihan. Israel pada abad pertama pun tidak berbeda.
Kategorinya adalah “orang benar” versus “orang berdosa.” Yang taat hukum versus yang melanggar hukum. Pertanyaan “mengapa” kedua dari Markus 2 lahir dari persepsi ini.
Dalam Markus 2:13-17, Yesus memanggil Lewi (yang juga dinamai Matius), si pemungut cukai, untuk bergabung dengan murid-murid-Nya. Kemungkinan besar hal itu mengejutkan pengikut-pengikut-Nya yang lain.
Para pemungut cukai dibenci karena dua alasan. Pertama, mereka berkolaborasi dengan pemerintah Romawi yang menjajah Israel pada waktu itu. Kedua, mereka menjadi kaya di atas penderitaan bangsa sendiri, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka terima dari Romawi.
Di mata para pemimpin agama, sungguh tak terbayangkan bahwa seorang nabi yang benar rela merusak reputasinya lewat pergaulannya dengan pemungut cukai.
Para nelayan yang menjadi murid Yesus pun bisa jadi tidak
terlalu senang dengan Matius. Pasti selama bertahun-tahun ini Matius banyak memeras mereka.
Pemilihan Matius tentu paling sulit diterima oleh
Simon orang Zelot. Orang Zelot adalah pemberontak yang mendukung penggulingan kekuasaan Romawi
dengan kekerasan, jadi bergaul dengan kolaborator seperti pemungut cukai pasti menciptakan ketegangan dalam kelompok murid Yesus.
Orang Yahudi memandang rendah orang sebangsanya yang menjadi pemungut cukai karena bersekongkol dengan kekuasaan penindas (baik Romawi maupun raja-raja boneka mereka, seperti Herodes Antipas), dan reputasi mereka yang tidak jujur serta korup�
Pemerasan sangat lazim, karena pemungut cukai mencari nafkah dari uang yang dapat mereka pungut melampaui pajak terutang�
Kitab Mishnah bahkan melarang menerima sedekah dari pemungut cukai, karena dianggap uangnya didapat secara ilegal� Seandainya pemungut cukai masuk ke sebuah rumah, segala sesuatu dalam rumah tersebut menjadi najis� Oleh para rabi, seseorang diizinkan berbohong kepada pemungut cukai demi melindungi hartanya�
Orang banyak makin marah ketika Yesus pergi ke rumah Lewi untuk makan bersama anggota masyarakat
Yahudi yang dipandang paling rendah. Mereka disebut “pemungut cukai dan orang berdosa”. Orang-orang ini dianggap sebagai sampah masyarakat. Maka muncullah pertanyaan: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (AY.16) .
Lagi-lagi, pertanyaan ini datang dari para ahli Taurat, yaitu para pakar dalam hukum agama Yahudi.
Memangnya Siapa Mereka di Mata-Nya?
Menurut mereka, makan bukan semata soal menyantap makanan, melainkan memiliki implikasi terhadap kesucian seremonial seseorang. Cara tangan dibasuh, cara makanan disiapkan, cara piring dan panci dibersihkan, dan juga siapa yang duduk bersama Anda di meja, semua itu akan memiliki implikasi penting terhadap kesucian seseorang. Kesucian seremonial itu mempengaruhi langsung kesempatan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di bait suci atau sinagoga.
Mungkin saja Lewi memang berasal dari suku Lewi (keturunan Lewi anak Yakub, yang sukunya diserahi tanggung jawab melayani di bait suci; Bilangan 1:50; 3:12, dsb�), karena sebagian besar orang bernama “Lewi” pada abad pertama memang dari suku Lewi� Jika Lewi dalam Injil Markus adalah seorang Lewi, pastilah ia semakin dipandang rendah oleh saudara sebangsanya karena lebih memilih profesi yang sedemikian hina daripada melayani di tempat ibadah�
Para pemimpin agama itu pada dasarnya bertanya, “Memangnya siapa mereka di mata-Nya?” Bagaimana mungkin seorang yang katanya nabi bisa begitu bodoh untuk bergaul dekat dengan orang-orang itu ?
Yesus menjawab dengan menekankan bahwa kebutuhan orang banyak itulah prioritas-Nya. Dengan itu Dia menyingkapkan hati Allah Bapa yang penuh penerimaan dan terbuka menyambut siapa saja yang datang pada-Nya untuk masuk ke dalam rumah-Nya. Pendekatan inklusif yang Allah lakukan untuk menjangkau kita lebih dari sekadar pengamatan yang jeli, sebab Allah memperhatikan segala sesuatu dengan sistem nilai yang berbeda.
Dalam kitab 1 Samuel, kita membaca kisah tentang bagaimana Nabi Samuel memilih penerus untuk menggantikan Raja Saul yang telah ditolak Tuhan. Allah menyuruh Samuel menemui Isai di Betlehem dan mengurapi salah seorang anaknya sebagai raja berikutnya. Isai membawa anaknya satu demi satu kepada Samuel, tetapi tidak seorang pun dari tujuh anak tertua itu dipilih Allah untuk menjadi raja. Anak kedelapanlah, yang sedang di ladang menggembalakan domba, yang dipilih Allah. Tuhan memberi tahu Samuel, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (1 SAMUEL 16:7) .
Tuhan Yesus melihat hati, dan Dia melihat orangorang yang sangat membutuhkan Dia. Kerelaan-Nya menjadi “sahabat orang berdosa” begitu nyata, begitu terang-terangan, sampai-sampai kita dapat melihat hati
Bapa di dalamnya. Membayangkan Allah yang suci, yang menciptakan dan memerintah alam semesta, mau memberi tempat di dalam keluarga-Nya bagi setiap dari kita, jelas menunjukkan bagaimana pandangan-Nya terhadap kita. Kita adalah makhluk berdosa dan rusak; tetapi kita telah dijadikan menurut gambar Allah sendiri (LIHAT KEJADIAN 1:26-27) dan merupakan objek kasih penyelamatan-Nya yang dahsyat. Bukan karena kita sehat, melainkan karena kita teramat membutuhkan Dia.
Sekarang kita pun masih hidup dalam dunia yang membeda-bedakan golongan. Kita menciptakan penghalang demi melindungi diri dan reputasi kita, dengan mengorbankan jiwa-jiwa yang hendak
Memangnya Siapa Mereka di Mata-Nya?
diselamatkan Yesus lewat kematian-Nya. Ketika Yohanes menulis “begitu besar kasih Allah akan dunia ini” (3:16), yang dimaksud bukanlah dunia dengan orang-orang yang dianggap layak secara sosial atau yang baik secara moral, melainkan dunia dari orang-orang yang cenderung kita singkirkan. Sikap Yesus yang sengaja merangkul orangorang yang terpinggirkan itu merupakan pertentangan yang terang-terangan terhadap “mentalitas sempit” yang dianut banyak gereja, termasuk kita sendiri.
Orang Kristen sering bertanya, “Apa yang akan Yesus lakukan?” Sayangnya, itu bukan pertanyaan yang tepat. Kita patut bertanya: Apa yang telah Yesus lakukan? Dia menjangkau semua orang, mencerminkan hati Bapa-Nya, dan memberi teladan yang patut kita ikuti dalam generasi kita yang terpecah-belah dan membeda-bedakan orang.
Memangnya Siapa Mereka di Mata-Nya?
• Pernahkah Anda mengalami pembeda-bedaan seperti sistem kasta? Dalam golongan dan tingkat apakah Anda ditempatkan? Seperti apa rasanya?
• Yesus menghargai manusia dalam pelayanan-Nya. Dengan cara apa saja Dia menunjukkan harga diri seseorang?
• Apa buktinya penggolong-golongan sosial menjadi bagian dari keyakinan para pemimpin agama saat itu? Pandangan agamawi apa yang tecermin dari perilaku mereka?
• Apakah kita melihat penggolongan serupa terjadi di gereja-gereja kita? Bagaimana kita dapat membantu mengatasinya?
Mengapa Dia Berpesta dan Tidak Berpuasa?
• Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orangorang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi muridmurid-Mu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang.
Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula”. (MARKUS 2:18-22; PENEKANAN DITAMBAHKAN)
Ketika Anda melihat iklan yang memuat kata “baru” di sana-sini, apa yang sebenarnya ingin disampaikan pembuat iklan itu? Pernahkah
Anda menemukan bahwa ternyata produk-produk “baru” itu sama sekali bukan baru? Kita mudah sekali bersikap skeptis terhadap tawaran semacam itu.
Ketika Vantage Point dirilis pada tahun 2008, film itu menawarkan pendekatan yang benar-benar baru dalam alur penceritaannya. Cerita yang sama disampaikan berulang-ulang, tetapi dari delapan perspektif yang berbeda. Setiap kali diceritakan ulang, tersingkap pulalah informasi-informasi baru. Setiap kali Anda merasa sudah tahu apa yang sesungguhnya terjadi, perspektif berikutnya menunjukkan kekeliruan asumsi tersebut. Baru pada akhirnya, kebenaran pun tersingkap ketika setiap sudut pandang itu membentuk satu benang merah. Film itu benar-benar berbeda dan bisa disebut baru sama sekali.
Masalahnya, sesuatu yang benar-benar baru dapat membuat kita bingung. Kita kesulitan memahami perubahan dramatis yang terjadi. Demikianlah masalah yang melahirkan pertanyaan “mengapa” ketiga dari Markus 2.
Kali ini, pertanyaannya datang dari orang banyak, bukan dari para pemimpin agama (MARKUS 2:18-22) . Orang-orang itu tampaknya bukan sedang menguji atau
menyerang Yesus, melainkan benar-benar bingung. Mereka menyaksikan dua contoh bentuk relasi dengan Allah yang sangat bertolak belakang. Para pengikut Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa. Sebaliknya, Yesus dan murid-murid-Nya berpesta.
Pertanyaan ini menyusul tuduhan sebelumnya terhadap Yesus: Dia bergaul dengan “para pendosa”. Dia berpesta dengan orang-orang yang tidak suci. “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (AY.16) . Pertanyaan berikutnya menusuk lebih dalam. Mengapa Dia makan? Orang-orang bertanya: “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (AY.18) . Walaupun di tempat lain Yesus mengakui ada waktu dan tempat yang pantas untuk berpuasa, respons-Nya di sini menggambarkan realitas yang jelas-jelas gagal dilihat oleh orang banyak. Sesuatu yang baru sedang berlangsung dan itu pantas dirayakan! Baru seperti pengantin yang dirayakan dalam pesta pernikahan. Baru seperti pakaian yang masih bagus. Baru seperti anggur segar dalam kantong anggur yang belum pernah dipakai.
The International Standard Bible Encyclopedia menguraikan tentang pemakaian kantong anggur di sini: “Dari bagian-bagian
Perjanjian Baru, dapat dijelaskan bahwa anggur baru, karena kemungkinan masih terus berfermentasi, biasanya disimpan dalam kantong baru yang masih lentur, bukan kantong lama yang getas�”
Dalam hal ini, terjadi sesuatu yang tidak dipahami orang-orang. Melalui Yesus Kristus, Allah Bapa sedang
Mengapa Dia Berpesta dan Tidak Berpuasa?
berkarya menjadikan segala sesuatunya baru. Realitas itu berlangsung dalam seluruh
Perjanjian Baru. Hati manusia
dijadikan baru (2 KORINTUS 5:17) .
Relasi-relasi yang berakar dalam kasih-Nya diperbarui (YOHANES 13:34) . Suatu hari nanti, segala sesuatu di alam ciptaan pun akan
dijadikan baru (WAHYU 21:1-4) .
Pantas saja Allah kita berfirman, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (WAHYU 21:5) . Yesus berpesta karena pembaruan yang
sedang Allah kerjakan tersebut pantas dirayakan. Bahkan, Allah
Bapa sendiri merayakannya. Lukas 15 memberi kita tiga kisah tentang hal-hal yang tadinya hilang lalu
ditemukan. Bisa dikatakan bahwa hal-hal tersebut diperbarui, dan menjadi gambaran dari makhluk ciptaan Allah yang terhilang (kita) dan yang “ditemukan” kembali.
Yesus Kristus sedang berkarya menjadikan segala sesuatunya baru. Hati manusia dijadikan baru. Relasi-relasi yang berakar dalam kasih-Nya diperbarui. Suatu hari nanti, segala sesuatu di alam ciptaan pun akan dijadikan baru.
Yesus menegaskan, “Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat” (LUKAS 15:10) .
Siapakah yang bersama para malaikat? Bukankah Sang Bapa? Bukankah Dia sedang merayakan bagaimana yang
terhilang ditemukan dan yang lama dijadikan baru?
Yesus berpesta bersama murid-murid-Nya untuk merayakan hal baru dan agung yang sedang dikerjakan Bapa—dan Dia menikmatinya! Sungguh menakjubkan
membayangkan bahwa Allah kita bukan saja menjadikan segalanya baru, melainkan juga merayakan pembaruan yang sedang Dia kerjakan di dalam kita dan bagi kita. Kita pun patut merayakannya.
“Yang baru” memang bisa membingungkan, tetapi ketika Allah melakukan sesuatu yang baru, terutama dalam hidup orang-orang yang dikasihi-Nya, kita dapat dan patut ikut merayakan bersama Dia.
Mengapa Dia Berpesta dan Tidak Berpuasa?
• Apakah mengalami sesuatu yang baru membuat Anda gembira? Atau justru membuat Anda bingung dan gelisah? Mengapa?
• Dalam pembaruan yang dikerjakan Tuhan atas diri Anda, manakah yang terasa mudah Anda terima? Manakah yang terasa sulit? Mengapa?
• Bagaimana sukacita Allah atas hal-hal yang baru tampak dalam karya-Nya memperbarui segala sesuatu?
Mengapa Dia Berpesta dan Tidak Berpuasa?
empat
Mengapa Dia Melanggar Hukum Sabat?
• Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum. Maka kata orang-orang Farisi kepadaNya: “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat? ” Jawab-Nya kepada mereka: “Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu— yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam—dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (MARKUS 2:23-28; PENEKANAN DITAMBAHKAN)
Apa maksudnya “memancing” seseorang?
Artinya kita sedang sengaja menarik mereka untuk masuk dalam perdebatan, bahkan mungkin konflik. Kita melihat “pancingan” dalam pertandingan tinju ketika seorang atlet berusaha memancing lawan untuk meninjunya. Kita melihatnya dalam politik, ketika pihak yang satu sengaja memancing yang lain, supaya tersingkap pandangan atau opini yang akan merugikan mereka di media atau di mata publik.
Biasanya kita menganggap tindakan memancing orang lain sebagai hal yang licik. Namun, bagaimana jika Yesus yang melakukan pancingan? Bagaimana kita memandang hal itu? Menurut saya, itulah situasi yang terjadi saat kita bertemu dengan pertanyaan “mengapa” terakhir dari Markus 2.
Banyak sekali perbuatan kontroversial Yesus yang terjadi pada hari Sabat. Karenanya sulit untuk tidak menganggap pola itu sebagai strategi yang disengaja oleh-Nya. Di sini, Yesus dan para pengikut-Nya sedang berjalan di ladang dan memetik bulir gandum, tindakan yang dianggap sebagai “pekerjaan” menurut definisi orang Farisi. Muridmurid itu menggerus bulir gandum di tangan mereka (bekerja lagi), lalu memakannya. Menuai cukup banyak gandum untuk dimakan dari ladang orang memang diperbolehkan oleh hukum, tetapi kali ini semua itu terjadi pada hari Sabat. Hukum Musa dengan ketat mengatur apa yang boleh dan, kebanyakan tidak boleh, dilakukan pada hari yang dikhususkan untuk istirahat itu.
Tradisi Yahudi menyatakan ada tiga puluh sembilan tindakan
yang dilarang ketat dilakukan pada hari Sabat. Tradisi itu juga memberitahukan umat, bahkan sangat teperinci, seberapa jauh mereka boleh berjalan pada hari Sabat (2�000 hasta, berdasarkan
Yosua 3:4)� Singkatnya, Hari Sabat telah menjadi beban yang sangat berat, suatu simbol perbudakan agama yang begitu menyulitkan dan membelenggu bangsa Yahudi�
Orang Farisi yang tampaknya selalu hadir ke mana pun Yesus pergi sedang mengamati peristiwa itu. Mungkin Yesus sengaja melakukannya justru untuk menciptakan ketegangan dengan mereka. Dengan kata lain, Dia sedang memancing mereka. Orang Farisi merasa bahwa misi nomor satu mereka adalah membela hukum Musa dan menentang segala tindakan yang mengancam kepatuhan terhadap hukum tersebut. Mereka sangat yakin mereka harus memberikan respons.
Panduan tentang Sabat hanyalah sebagian kecil dari ketentuan dan aturan yang telah mendominasi pemikiran mereka tentang Hukum Taurat dan perintah-perintah di dalamnya. Orang Farisi benar-benar merasa berhak menegur keras pelanggaran terang-terangan terhadap hukum Sabat tersebut. Maka untuk ketiga kalinya dalam pasal ini, para perwakilan komunitas agama mengajukan pertanyaan mengapa: “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat? ” (AY.24) .
Bagaimana mungkin Yesus berpikir bahwa Dia boleh meniadakan hukum Musa? Ini membawa kita kembali ke pertanyaan pertama, “Memangnya siapa Dia?”
Mengapa Dia Melanggar Hukum Sabat?
Hukum Musa adalah kontrak yang selamanya mengikat Allah dan umat Israel. Jika Yesus ingin menjadi guru/rabi atas orang
Yahudi, bagaimana mungkin Dia mengabaikan sesuatu yang begitu mendasar bagi jati diri orang
Yahudi? Mereka adalah umat pilihan Allah dan harus hidup menurut hukum-Nya.
Yesus menanggapi dengan sebuah kisah dari Kitab Suci.
Dia mengingatkan bagaimana
Daud dan anak buahnya, ketika
Yesus menarik
kita keluar dari sistem keharusan dan larangan.
Sebagai gantinya, Dia membiarkan kita melihat apa yang menjadi fokus Bapa kita di sorga: hati-Nya yang pemurah dan pengasih tertuju pada manusia.
mereka sedang diburu Raja Saul, mengambil roti sajian dari kemah suci. Roti ini adalah persembahan yang kudus bagi Tuhan, dan hanya para imam yang boleh memakannya. Daud dan anak buahnya begitu kelaparan dalam upaya mereka melarikan diri, sehingga mereka memakan roti itu. Yesus berkata bahwa perbuatan mereka tidaklah menodai nama Allah.
Dengan ini, Yesus menyatakan bahwa Dia dan muridmurid-Nya diperbolehkan melakukan hal serupa.
Hukum Sabat dimaksudkan untuk kebaikan, dan bukan mencelakakan manusia. Hukum itu dimaksudkan untuk menolong dan menguatkan, bukan mendominasi atau
mengendalikan; dimaksudkan untuk membebaskan, bukan memperbudak. Jadi, Yesus merespons tuduhan orang Farisi itu secara frontal: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (AY.27-28) .
The Bible Knowledge Commentary berkata, “Yesus menggunakan tindakan yang tidak dihukum Allah ini, untuk menunjukkan bahwa penafsiran sempit orang Farisi terhadap Hukum itu justru mengaburkan maksud Allah. Maksud di balik Hukum yang berhubungan dengan kebutuhan manusia itu perlu diprioritaskan daripada aturan-aturan seremonialnya.”
Intinya, Allah mempunyai hati yang mengutamakan kebaikan dan kesejahteraan manusia, bukan ritual. Daud menyatakan ini dalam mazmur pertobatannya:
Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban
sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban
sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (MAZMUR 51:18-19)
Yesus menegaskan bahwa prioritas hati Bapa bukanlah kepada hal seremonial, melainkan tertuju kepada mereka yang sedang terluka dan apa yang mereka butuhkan. Sekali lagi, kita dibawa menjauhi jebakan agama yang kaku dan legalistik. Yesus menarik kita keluar dari sistem yang didasari kepatuhan terhadap perintah dan larangan. Sebagai gantinya, Dia mengajak kita melihat apa
yang menjadi fokus Bapa kita di sorga: hati-Nya penuh kemurahan dan kasih kepada manusia.
Mengapa Dia Melanggar Hukum Sabat?
• Pernahkah Anda merasa dipancing untuk berbuat sesuatu?
Apa yang terjadi, dan apa yang Anda rasakan?
• Apa sajakah pengalaman Anda yang mungkin mirip dengan hukum Sabat orang Yahudi?
• Mengapa kita sering lebih mementingkan ketaatan kepada peraturan daripada hubungan dengan sesama?
• Mengapa Alkitab sedemikian kuat membedakan antara kepatuhan kepada ritual agama dan hubungan dengan Allah? Bagaimana perbedaan besar itu terlihat di sini?
Jadi, Pertanyaan yang Benar adalah . . .
Apa maksud Yesus ketika Dia hidup di dunia? Di satu sisi, keempat pertanyaan “mengapa” yang muncul cukup awal di Injil Markus itu menjadi landasan bagi catatan selanjutnya tentang kehidupan Yesus. Markus, yang diyakini menuliskan pengalaman Simon Petrus bersama Kristus, menyajikan sosok Yesus sebagai Mesias. Sang Mesias telah datang untuk menyelamatkan kita semua, karena Allah lebih menghargai manusia daripada ritual, dan Dia sedang melakukan sesuatu yang baru melalui
Yesus Kristus. Isi Injil Markus selanjutnya menjadi penjabaran dari konsep-konsep yang sangat penting ini.
Bukan itu saja. Yesus sengaja mengguncang orangorang sezaman-Nya dan meruntuhkan keyakinan yang selama ini mereka pegang dengan maksud untuk memberikan gambaran yang akurat tentang diri Allah.
Dengan mengaitkan kisah-kisah ini, kita melihat hati Allah Bapa kita yang mengutus Anak-Nya untuk mengampuni dosa manusia, menyambut orang yang terbuang, merayakan hidup baru, dan membawa manusia kepada kebenaran yang melampaui sekat-sekat agama. Kita melihat begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal kepada kita.
Dalam keempat kisah tadi kita belajar empat hal penting tentang Allah Bapa:
• Hati Bapa adalah hati yang pengampun;
• Hati Bapa adalah hati yang terbuka dan menerima;
• Hati Bapa sedang mengerjakan hal-hal baru;
• Hati Bapa lebih menghargai manusia daripada ritual.
Yesus datang untuk menanggung dampak penuh dari akibat-akibat pemberontakan kita terhadap Allah. Kepada kita, Dia menunjukkan hati Sang Bapa yang begitu rindu mengatasi, mengampuni, dan membuat kita dan segala sesuatu yang ada menjadi baru.
Ayah Anda di dunia mungkin mengagumkan, atau sebaliknya, kurang memenuhi harapan Anda. Mungkin ada di antara Anda yang bahkan tidak pernah mengenal ayah Anda. Bagaimanapun situasi Anda, Yesus mengarahkan kita kepada Bapa yang lebih besar dan lebih baik—Bapa-Nya sendiri. Yesus datang untuk menyiapkan
Mengapa Dia Melanggar Hukum Sabat?
tempat bagi kita di dalam rumah Bapa-Nya. Dia menunjukkan Sang Bapa kepada kita, dan menolong kita memahami Dia dengan lebih utuh. Kita belajar dari Yesus bahwa kerinduan hati Bapa atas kita sungguh melebihi segala yang pernah dan dapat kita bayangkan.
PT Duta Harapan Dunia
Rukan Daan Mogot Baru Jl. Tampak Siring Blok KJC No. 10
Jakarta Barat 11840
Tel.: (021) 2902-8955 | WhatsApp: 0895-202-202-95
orders@dhdindonesia.com
ANDA DAPAT MEMBERI DAMPAK YANG BERARTI!
Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami.
Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening
a/n YAYASAN ODB INDONESIA
Green Garden 253-300-2510
Daan Mogot Baru 0000-570195
Taman Semanan Indah 118-000-6070-162
Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet.
Yayasan ODB Indonesia
Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui: WhatsApp: 0878-7878-9978
E-mail: indonesia@odb.org
Dukung kami dengan klik di sini.
Memangnya Siapa Dia?
Yesus sering membuat bingung dan marah para pemuka agama pada zaman-Nya. Dia mengesampingkan ritual yang mereka buat, bahkan mendekatkan diri kepada orang-orang yang dianggap tidak pantas menerima perhatian dari siapa pun, termasuk dari Tuhan. Namun, justru Yesus bertindak layaknya Allah! Dia bukan hanya melakukan sesuatu yang berbeda, tetapi Dia menunjukkan bahwa pembaruan sedang terjadi. Buklet ini membawa Anda melihat lebih dekat kontroversi-kontroversi yang Tuhan Yesus alami
dan memberikan jawaban atas empat pertanyaan tentang kerinduan hati Allah yang sejati.
Rev. Bill Crowder bergabung dengan Our Daily Bread Ministries setelah melayani sebagai gembala gereja selama lebih dari 20 tahun. Sekarang Bill adalah wakil presiden Our Daily Bread Ministries dalam bidang pengajaran.
Selain membawakan program radio Discover the Word dan menulis renungan untuk Our Daily Bread, sebagian besar waktunya digunakan untuk mengajar dalam Bible Conference di berbagai negara.