Deforestasi dan Perubahan Lingkungan Tata Air di Indonesia

Page 1


exUntuk Ibuku Sukarni, yang telah berjuang membesarkan dengan penuh kasih….. My effort is to create a man Who is not partial Who is total. Whole, holy A man should be all three together: He should be as accurate and objective as a scientist As sensitive, as full of the heart as the poet and As rooted deep down in his being as the mystic He should not choose He should allow these three dimensions To exist together Bhaqwan Shree Rajneesh “The Book og the Book” Poona, 8 July, 1979


CATATAN EDITOR MITOS, konon, bisa memebuat orang kepada hal-hal yang sebenarnya bersifat logis dan rasional. Tetapi melalui mitos pula, orang lantas dengan mudahnya menjadi yakin, yang tanpa alasan, sekalipun itu penuh resiko, karena mitos tidak membutuhkan pengkajian. Mitos diterima apa adanya, dan bersifat universal turun- temurun. Mitos bukan pula monopoli alam/ilmu kegaiban tetapi dunia yang teramat kasad mata seperti dunia kehutanan pun juga memiliki mitos sendiri. jika dulu dikatakan bahwa hutan sering diembeli dengan atribut sebagai dunia yang gelap tak dikenal, liar, sunyi, angker, wingit, namun sekarang ia dijualbeli mansia masa kini yang, bukan saja sekedar buat mencari sesuap nasi, malah bersuap-suap nasi dari hasil produk kayunya. dalam dunia kehutanan, secara khusus, mitos hanya bisa dipatahkan dengan pengkajian yang bersifat ilmiah, yakni riset. ia tidak bisa dikalahkan dengan mitos yang lain, dan ini, agaknya hanya akan membuang-buang waktu. Mitos, dalam lingkup kajian kehutanan, yang paling sering di dengar dan dipercaya terutama oleh masyarakat pada umumnya adalah mitos yang berkaitan dengan deforestasi (baca: degradasi hutan, perambahan/ penebangan kayu. perusakan hutan) dan reforestasi (reboisasi). tak jarang dua kata ini sering pula dipakai oleh para pejabat yang akan meresmikan bangunan dan pengendali banjir, waduk atau sewaktu pencanangan program penghijauan misalnya, dengan penjelasan yang salah kaprah. Benarkah deforestasi bisa digeneralisir sebagai penyebab terjadinya banjir? sebaliknya, benarkah pula reboisasi bisa digeneralisir mampu menangkal banjir? bagaimana ia bisa menjadi justifikasi mitos masyarakat, baik ilmiah maupun awam, untuk kemudian dirujuk menjadi sesuatu istilah yang selalu jelas garis batasnya, bahwa deforestasi = merusak [tata air] dan reboisasi (reforestasi) = memperbaiki [tata air]?!. Tiadakah yang berpihak pada temuan-temuan baru dalam bidang tata air tanah di hutan tropika basah selain daripada sekedar mitos? Atau, mungkin, oleh karena sedemikian ruwet dan


kompleksnya masalah ini buat diperdebatkan, sehingga orang memilih jatuh pada kesimpulan yang keliru, meski hipotesisnya sendiri ia yakini kebe-narannya; melakukan error beta dalam istilah statistik? Terkadang memang, atau malah sering, orang hanya mencari mudahnya saja. Dalam hal demikian, apapun akan dianggap benar manakala itu juga benar menurut pemahaman umum. Sebagai contoh dalam hal ini, orang sangat meyakini bahwa terjadinya luapan air (banjir) yang menggenangi daerahnya yang dekat hilir sungai pasti akibat terjadinya penebangan atau perusakan hutan yang dilakukan di daerah hulu. Atau banyak orang percaya, dalam sebuah sistem besar DAS, bahwa hujan besar yang terjadi di daerah hulu pasti menyebabkan terjadinya banjir di daerah hilir. Banyak juga, malah dari masyarakat akademis, yang masih demikian yakin (berdasar ilmu yang telah dicerapnya) bahwa evapotranspirasi yang terjadi pada hutan primer pasti lebih besar daripada hutan bekas tebangan. Dalam hal demikian patut digarisbawahi bahwa berbicara dengan kata 'ke-pastian', terkhusus dalam ranah lingkungan tata air tanah, tidaklah bisa dijadikan acuan pengambilan kesimpulan, bahwa yang A pasti benar dan yang B pasti salah. Keberadaan air memang amat mutlak bagi kehidupan. Namun sering orang tidak tertarik membicarakannya, mungkin karena melihat begitu melimpahnya air di bumi kita ini. Kita bertanya, dalam kualitas bagaimana air yang dikatakan melimpah itu? Ketertarikan orang membicarakan masalah air hanya akan terjadi ketika diketahui bahwa air di sumur-sumur mereka mulai surut; atau ketika diketahui saudaranya tertimpa bencana banjir dan tanah longsor; atau ketika para pencari ikan merasa resah manakala air danau atau waduk yang biasa ia kunjungi hanya menyisakan sedikit air bercampur lumpur. Hanya dalam kasus-kasus itulah, biasanya, orang baru merasakan betapa pentingnya air. Karena memang bencana air ini memiliki dampak sosial dan lingkungan sangat luas. Buku ini sengaja ditulis untuk menunjukkan—dalam cakupan ilmu kehutanan—bahwa justifikasi yang hanya berdasar mitos ternyata tertolak oleh justifikasi kuantitatif-empiris. Di sini ditunjukkan komplfiksitas elemen yang perlu dikaji hanya untuk membuktikan bahwa


deforestasi tidak selalu sama dengan perusakan dan reboisasi tidak lelalu sama dengan perbaikan, jika dikaitkan dengan perubahan tata air

hutan! Buku ini sebisanya akan memberikan penjelasan yang memadai Itil hal hal yang menyangkut tata-pikir yang sebenarnya keliru tentang 'l.mipak/implikasi deforestasi dan reboisasi terhadap tata air hutan, yang, sekali lagi, terlanjur sudah menjadi mitos masyarakat itu. Satu kata kunci, dalam buku ini, sebagai pegangan ulasan masalahnya adalah quot erat demonstradum =demikian sudah dibuktikan! Artinya, s e m u a yang diulas mendasarkan pada hasil-hasil riset paling penting pada ranah lingkungan tata air hutan.! Pengungkapan masalah didesain dalam wacana tanya-jawab a n t a r a seorang pemudi cerdas bernama Widya dengan seorang pakar lingkungan tata air (hidrologi) hutan bernama Iswara, sehingga buku ini akan menawarkan suasana lain yang lebih daripada sekedar buku teks biasa. Pada bagian awal dan akhir paragraf dalam setiap babnya, penulis menyisipkan beberapa paragraf penghubung (berupa cerita kcadaan masing-masing pada saat itu, tentang keindahan alam, kupasan berita keadaan cuaca pada saat itu dll.), sebelum memasuki atau keluar dari inti masalah yang diperbincangkan. Dengan demikian, ini memberikan suasana yang santai karena pembaca tidak dibuat tagang terus-menerus dari awal hingga akhir bab. Sebagai tambahan, penerbit sengaja mencetak angka dalam tanda kurung ini—[‌]— yang diletakkan dalam bentuk superscript untuk menunjukkan pustaka yang dirujuk penulis. Sedangkan angka tanpa tanda kurung yang ditempatkan juga dalam bentuk superscript menunjukkan Catatan kaki. Daftar pustaka dan catatan kaki ini ditempatkan pada akhir setiap bab. Akhir kata, selamat membaca. Yogyakarta, April 2001 Editor


PENGANTAR Kepala Pusat Diklat Kehutanan

TELAH lama disadari adanya jurang pemisah (gap) yang lebar antara dunia penelitian dan kehidupan nyata. Para peneliti selama ini begitu asyik di dunianya. Merupakan suatu kepuasan tertinggi bagi seorang peneliti jika hasil karyanya dipublikasikan di suatu jurnal penelitian atau sebuah seminar bergengsi bertaraf internasional. Beberapa diantaranya mungkin akan terpampang di berbagai pustakaan, seminar internasional, dan mungkin juga akan banyak diikuti oleh para pakar. Namun demikian, timbul pertanyaan: sudah Optimalkah proses sosialisasi dari suatu hasil penelitian yang mungkin menyerap dana masyarakat yang tidak sedikit itu? Di lain pihak, para penentu kebijakan pun begitu asyik dengan dunianya sendiri. Mereka ini biasanya tergolong sebagai makhluk super sibuk, sehingga amat jarang yang bisa meluangkan waktunya nongkrong di perpustakaan untuk membaca hasil-hasil penelitian yang mungkin nantinya bisa dijadikan referensi dalam penentuan suatu kebijakan. Lebih-lebih hasil penelitian biasa ditulis dengan bahasa i l m i a h yang selain kurang menarik juga mungkin tidak selalu mudah dipahami. Selain itu suatu penelitian biasanya memiliki lawas (scoupe) yang terbatas, sehingga untuk mendapatkan benang merah dari suatu masalah perlu membaca berbagai hasil penelitian sejenis lain yang dipublikasi oleh berbagai media. Di lain pihak, dunia kebijakan memiliki waktu yang terbatas. Mereka dihadapkan pada problem yang bersifat mendesak. Akhirnya, berbagai kebijakan yang dikeluarkan sering kurang bertumpu pada pemahaman yang benar bahkan tidak jarang yang hanya semata berdasar pada personal feeling, an sich. Kondisi sebagaimana tergambar di atas telah membuat kurang Optimalnya peranan litbang sebagai ujung tombak pembangunan. sekarang yang menjadi pertanyaan: How to bridge the gap? Salah satu jawabannya adalah perlu adanya suatu review dari suatu topik penel i t i a n . Hasil review ini selain bermanfaat bagi para peneliti (misal: agar tidak terjadi duplikasi penelitian), tentu sangat bermanfaat bagi penentu kebijakan, pemerhati, dosen, mahasiswa,


dan terkhusus bermanfaat pula bagi para widyaiswara di berbagai kampus Balai Latihan Kehutanan yang kemudian mengkomunikasikan ke para penyuluh. Hasil akhirnya adalah pencer-dasan masyarakat. Adapun para reviewer alias pe-review ini bisa berasal dari kalangan peneliti atau kalangan pemerhati termasuk kalangan widyaiswara. Buku ini merupakan 'a state of knowledge review' yang cukup manis, berbobot ilmiah tetapi mudah dimengerti, karena ditulis dengan bahasa sederhana serta yang paling mengesankan buku ini telah berusaha mencari-jawab atas berbagai kegundahan masyarakat terhadap peranan hutan (forest influences) di tengah kondisi lingkungan yang berubah cepat. Penulisnya kebetulan adalah seorang widyaiswara karier yang telah lama makan asam-garam dunia penelitian dan pelatihan kehutanan, sekaligus telah lama mendalami substansi yang dia tulis, yakni masalah deforestasi yang dikupas dengan pisau analisis hidrologi tata lingkungan (environmental hydrology), suatu bidang kajian yang masih cukup langka di Indonesia. Hasilnya, sebagaimana bisa dibaca, penulis telah berhasil memberikan banyak pencerahan terhadap berbagai pemahaman konvensional kita terhadap aspek hidrologis hutan tropika basah. Akhirnya, saya sungguh menyambut gembira atas terbitnya buku ini, selamat kepada penulis yang telah merubah kesempatan yang dimiliki menjadi suatu prestasi. Ucapan yang sama saya sampaikan kepada penerbit BIGRAF Publishing yang telah menerbitkan buku ini. Bogor, April2001 Ir. E. Kosasih


Sekapur Sirih

SEKITAR dua dasawarsa terakhir ini masalah tata air (hydrology) hutan tropika basah (moist humid tropical forest) telah menjadi topik yang selalu hangat dan menarik untuk dibicarakan. Kini telah cukup banyak penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah tropika basah (humid tropics) untuk mengetahui berbagai dampak konversi hutan terhadap karakteristik lingkungan tata air, namun tidak jarang hasil -hasil penelitian tersebut kontroversial satu sama lain [1). Lebih-lebih mengingat hutan tropika basah saat ini telah menjadi ajang kepentingan berbagai pihak, sering terlontar berbagai pernyataan .atau kesimpulan yang kurang tepat, generalisasi yang berlebihan, maupun kurang mendasarkan kepada pemahaman secara cermat dan menyeluruh terhadap keterkaitan proses yang terjadi di alam. Kondisi ini seperti yang disinyalir oleh Lawrence S. Hamilton[5], telah menyebabkan informasi aspek lingkungan tata air hutan tropika basah dirundung penyakit 4 M yaitu, Misinformation, Misinterpretation, Misunderstanding, dan Mitos (myth). Sayangnya masih banyak pihak yang menerima begitu saja bergai informasi (hasil penelitian maupun sekedar penyataan), kekemudian mcngekstrapolasi hasil tersebut, tanpa mengkaji terlebih dahulu prosedur pengambilan dan pengolahan data, dalam kondisi lingkungan bagaimana penelitian tersebut dilakukan, sumber ketidaktelitian dan metode, teknik atau model yang digunakan, serta mengkaji sumber kontroversi berbagai hasil penelitian dari tempat dan metode yang berlainan untuk kemudian dicari benang merahnya. Untuk melakukan hal tersebut memang diperlukan waktu, ke-tekunan dan ketersediaan informasi yang memadai, yaitu berbagai penelitian yang dipublikasikan di sejumlah jurnal, hasil simposium, buku. tesis, disertasi pada berbagai disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan tata air hutan tropika basah baik dari dalam maupun luar negeri. Seringkali informasi semacam ini belum sepenuhnya tersedia pada sebagian besar perpustakaan di Indonesia.


Banyak di antara mereka yang berkecimpung di bidang ini, karena terlalu banyak tugas, sering mengalami keterbatasan waktu untuk melakukannya. Dalam buku ini, penulis mencoba untuk mensarikan status pemahaman terakhir tentang resiko, implikasi dan sekaligus pelurusan berbagai mitos deforestasi hutan tropika basah terhadap perubahan lingkungan tata air dengan penekanan khusus karakter deforestasi, kondisi iklim maupun biofisiografi di Indonesia. Lebih dari itu juga diungkapkan berbagai prinsip pengukuran parameter yang berkaitan erat dengan kegiatan penelitian bidang ini di Indonesia. Kemudian pentingnya menginterpretasi, mengakomodasikan berbagai informasi ilmiah yang berkaitan dengan topik tersebut dalam konteks pemahaman dan pengelolaan hutan tropika basah di Indonesia. Berbagai bahan di atas sengaja diramu secara bersama dalam buku ini. Agar ramuan ini tidak terasa "pahit" serta mampu meng akomodasikan dan menjangkau selera khalayak pembaca seluasluasnya, yang tentunya memiliki latar belakang disiplin ilmu, tingkat pendidikan dan profesi yang beragam, maka buku ini sengaja ditulis secara ilmiah populer. Ringkas dan padat, diusahakan cukup ringan, enak dibaca dan mudah dicerna, namun tetap kaya dengan informasi ilmiah terbaru yang penting diketahui baik oleh kalangan ilmiah, praktisi maupun pemerhati. Ucapan terima kasih secara khusus ditujukan kepada sahabat dan guru penulis, yaitu: Dr. Leendert Adriaan (Sampumo) Bruijnzeel (Faculty of Earth Science, Vrije Universiteit, Amster-dam), seorang ahli hidrologi tata lingkungan (Environmental Hydrologist) yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan bidang ini di Indonesia, khususnya atas perhatian dan limpahan informasi yang diberikan baik berupa berbagai publikasi ilmiah, maupun waktu yang disediakan secara khusus untuk berdiskusi secara langsung selama penulis menyiapkan buku ini di Negeri Belanda. Akhirnya, mengingat masih langkanya buku yang membahas topik ini dalam bahasa maupun konteks situasi Indonesia, yang notabene memiliki hutan tropika basah urutan ketiga di dunia (setelah Brazil dan Zaire [3,4,6]) dan mengalami laju deforestasi tertinggi di


kawasan Asia Pasifik serta menduduki urutan kedua di dunia (setelah Brazil [2,6], buku ini diharapkan mampu membuka secercah kejelasan, membuat berbagai pihak, baik pengelola, peneliti, pengajar, maha s iswa, pemerhati, pembela dan pencinta lingkungan, semakin wellinformed terhadap pemahaman masalah ini. Selamat mengikuti...... Bogor, April 2001 Penulis


PUSTAKA [1] Bruijnzeel, L.A., 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Converson: A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological Programme, Paris. 224 hal, halaman 13- 15. [2] FAO, 1989, Yearbook of Forest Products, 1987. FAO, Rome. [3] Grainger, A., 1983. Improving the Monitoring of Deforestation in the Humid Tropics. Dalam Sutton, S.L., Whitemore, T.C. & (Chadwick, A.C. (eds), Tropical Rain Forest - Ecology and Management, Oxford : Blackwell Scientific Publications. [4] Grainger, A., 1993. Controlling Tropical Deforestation. Earthscan Publications Ltd. [5] Hamilton, L.S., 1985. Overcoming Myths About Soil and Water Impacts of Tropical Forest Land Uses. Dalam S.A. El-Swaifty et al (eds), Soil Erosion and Conservation. Hal 680 - 690, Reprint No. 86, Environment and Policy Institute, East-West Center, Honolulu, Hawaii. [6] Myers, N., 1989. Deforestation Rates in Tropical Forests and their Cimatic Implications, London : FOE (UK).


DAFTAR ISI

Catatan Editor I'engantar Kepala Pusat Diklat Kehutanan Sekapur Sirih

vii xi xiii

• Bab 1

Pendahuluan • Bab 2 Lestarikan Tropical Montane Cloud Forests • Bab 3 Kemarau Di Hutan Tropika • Bab 4 Deforestasi dan Debit Musim Kemarau • Bab 5 Konsumsi Air Hutan Tropika • Bab 6 Dampak Tata Air Kegiatan Logging • Bab 7 Mitos Deforestasi dan Reboisasi • Bab 8 Kesimpulan

Tentang Penulis

185

Index

187

1 7 33 53 75 115 149 173


BAB 1 PENDAHULUAN Berbagai bencana ekologi yang disebabkan oleh lingkungan tata air selama sekitar dua dasarsa terakhir di negeri ini, tak luput telah mengusik perhatian kita. Sebut saja diantaranya:hutan hujan tropika di Kalimantan tahun 1983, dan terus berlangsung hampir setiap tahun mulai tahun 1990, serta sempat menggemparkan dunia pada tahun 1997/1998. Kemudian banjir bandang yang melanda beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS)1 di Sumatera dan Jawa (1991/1992), kemarau panjang (tahun 1982/1983, 1986/1987, 1997/1998 dan 2000), dan melonjaknya laju erosi dan sedimentasi serta berbagai fenomena dan peristiwa lainnya. Adakah berbagai bencana ekologi tersebut merupakan implikasi percepatan laju deforestasi selama beberapa dasawarsa terakhir ini? Sebuah tinjauan eco-hydrology yang dihimpun dari informasi yang 'berserakan' di berbagai jurnal, laporan, buku maupun disertasi terhadap pertanyaan di atas menjadi sajian utama buku ini. Berdasarkan pengelompokan isu dan topik utama yang mendasari setiap uraian, buku ini terbagai ke dalam 7 bab ditambah satu bab kesimpulan (Bab 8). Mulai Bab 2 sengaja disajikan secara khusus,berlatar belakang sebuah diskusi atau lebih tepatnya tanyajawab antara widya, seorang peserta pelatihan di Pusat Diklat Kehutanan dan Perkebunan dan Iswara, pengajar atau lebih tepatnya Widyaiswara eco-hydrologi (hidrologi tata lingkungan) pada lembaga tersebut. Setiap bab dalam sajian utama di atas juga berlatar belakang musim tertentu yaitu akhir musim hujan (Bab 2), awal musim kemarau (Bab 3), akhir musim kemarau (Bab 4), awal musim hujan (Bab 5),


pertengahan musim hujan (Bab 6) dan puncak musim hujan (Bab 7).

Gambar 1. Daerah Aliran Sungai Bab 2 diawali dengan pencerahan beberapa terminologi, dimulai dengan pembahasan hutan tropika basah, hutan hujan tropika, deforestasi, desertifikasi, iklim tropika basah serta klasifikasi iklim secara makro di Indonesia. Pembahasan dilanjutkan dengan hubungan keberadaan hutan dan tingginya curah hujan suatu wilayah serta pentingnya pelestarian dan besarnya resiko yang ditimbulkan oleh menyusutnya Tropical Montane Cloud Forests (Lestarikan Tropical Montane Cloud Forests) Hubungan hutan dan curah hujan dikaji lebih lanjut pada bab berikutnya. Benarkah deforestasi berdampak terhadap semakin panjangnya musim kemarau? Fenomena apa yang melatar belakangi terjadinya kebakaran hutan seluas Âą 4 juta hektar di Kalimantan pada tahun 1983 dan Âą 10 juta hektar pada tahun 1997/98? [51 Peranan kebakaran hutan terhadap proses deforestasi di Indonesia, serta bagaimana resiko dan implikasi penyusutan hutan tropika basah terhadap perubahan iklim. Bahasan atas pertanyaan tersebut disajikan pada Bab 3 (Kemarau di Hutan Tropika). Telah lama hutan dipercaya rnampu menyerap dan menyimpan


kelimpahan air di musim hujan serta melepaskan alirannya di musim kemarau (sponge effect), karenanya DAS berhutan dikenal memiliki fluktuasi debit yang rendah [4]. Timbul pertanyaan: Apakah tingginya fluktuasi debit, yaitu meluapnya sungai di musim hujan dan menipisnya aliran di musim kemarau seperti yang terjadi pada beberapa DAS di Indonesia saat ini merupakan implikasi kemerosotan kualitas hutan tropika basah di wilayah hulu? Jawaban tersebut disajikan dalam Bab 4 (deforestasi dan Debit Musim Kemarau), yang membahas musabab kemerosotan debit di musim kemarau menyusul proses deforestasi. Bab tersebut juga dilengkapi dengan pembahasan berbagai metode penelitian pengaruh perlakuan hutan terhadap tata air, sumber ketidaktelitianya, serta ihwal timbulnya berbagai kontroversi penafsiran hasil penelitian yang sering terjadi. Hutan selain dipuja sebagai penutupan lahan yang memiliki berbagai kelebihan, tak dapat dipungkiri juga memiliki sisi ‘negatif’ dari spek hasil air (water yield), mengingat dominasi vegetasi berkayu dengan ketinggian rata-rata lebih dari sepuluh meter tersebut ternyata relatif boros air dibandingkan penutupan vegetasi pendek. Buktinya, di Jawa telah beredar isu yang mengkaitkan kemerosotan hasil air terhadap penutupan hutan dengan jenis tertentu (Pinus spp.){2] Kemudian telah lama juga Eucalyptus spp. dituding sebagai "pohon penguras air’'[1], isu tersebut tak dapat dielakkan telah merembet ke Indonesia, mengingat penanaman jenis tersebut kini dilakukan secara besar-besaran di luar Jawa dalam konteks pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTT)[3]. Bagaimana upaya untuk menangkal resiko keborosan airnya? Mengapa dan sampai seberapa tingkat keborosan air hutan tropika basah? Bagaimana implikasi berbagai konversi hutan terhadap hasil air? Berbagai aspek masalah ini, termasuk berbagai metode penelitian yang telah dan sedang dilakukan di Indonesia mengenai topik ini dibahas secara cukup panjang pada Bab 5 (Konsumsi Air Hutan Tropika). Tentunya uraian dampak tata air atas proses deforestasi ini belum lengkap apabila tidak membahas kegiatan eksploitasinya secara mekanis. Bagaimana hiruk pikuk pengusahaan hutan tropika basah saat ini dipandang dari ilmu budidaya hutan (silvikultur), bagaimana dampaknya terhadap hasil air, erosi, sedimentasi maupun kemerosotan kualitas sumberdaya lahan. Tentang kegiatan Hak Pengusahaan Hutan


(HPH) ini dibahas pada Bab 6, yang ditutup dengan prinsip pengendalian dampak tata air pada kegiatan logging (reduced impact logging). Bab selanjutnya membahas berbagai ke-salah-kaprah-an. pemahaman dampak deforestasi dan reboisasi dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Tidak jarang kita mendengar dan membaca berbagai pernyataan seperti ini, "Deforestasi berakibat banjir", atau sebaliknya "Reboisasi menangkal banjir", bahkan pernyataan ini kadang dilanjutkan "Hutan lebih handal menangkal banjir daripada bendungan", "Reboisasi dan penghijauan menurunkan laju sedimentasi di wilayah hilir", juga pernyataan yang menuding "Kerusakan hutan disebabkan oleh perladangan berpindah". Bab 7 (Mitos Deforestasi dan Reboisasi) berupaya mendudukkan secara proporsional berbagai mitos atau setidak- nya generalisasi yang berlebihan (overgeneralization) seputar dampak perubahan tata air atas proses deforestasi dan reboisasi. Akhirnya buku ini ditutup oleh 35 butir kesimpulan yang se- kaligus juga merupakan ringkasan pembahasan Bab 2 hingga Bab 7. Itulah sajian utama buku ini, perlu sedikit penjelasan tambahan bahwa seluruh uraian dalam buku ini semata diabdikan untuk kepentingan il- miah, khususnya perluasan dan pelurusan informasi dalam rangka mengantisipasi cepatnya laju perubahan lahan yang perlu dicermati secara dini oleh berbagai pihak. Sebagaimana layaknya sebuah sajian ilmiah, seluruh informasi, pernyataan dan gagasan yang dipetik dari suatu buku, artikel, jurnal atau laporan ilmiah, baik yang dipublikasikan atau tidak, disajikan pada daftar pustaka yang ditampilkan pada setiap akhir bab. Khusus beberapa pustaka berbahasa Belanda yang diduga sudah cukup asing bagi sebagian besar pembaca, judul aslinya disertai dengan terjemahan secara bebas dalam bahasa Indonesia. Kemudian apabila suatu informasi diperoleh berdasarkan komunikasi langsung dengan seorang pakar dengan tidak tertulis, dicantumkan sebagai komunikasi pribadi, misalnya [Dr. L.A. Bruijnzeel, 1994 Kom. Prib.]. Topik bahasan dan peristilahan yang memerlukan penjelasan tambahan(catatan kaki) agar lebih mudah dibaca disajikan pada bagian akhir setiap bab. Berbagai peristilahan yang berkaitan dengan disiplin ilmu ekologi, meteorologi (klimatologi), silvikultur, hidrologi, geologi (geo-morfologi)


dan pedologi, terkadang sengaja dibiarkan sesuai dengan aslinya, dengan penjelasan khusus pada awal penggunaan istilah tersebut. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk menghindarkan kesalah-pahaman, mengingat belum adanya kesepakatan (pembakuan) bebe-rapa istilah tersebut dalam bahasa Indonesia, juga hitung-hitung ada keutungannya yaitu untuk membuat para pembaca (di luar disiplin ilmu diatas) tidak "canggung" terhadap peristilahan yang ada, apabila suatu saat mereka akan mengkaji berbagai hal yang disampaikan dalam buku ini secara lebih mendalam dari teks berbahasa Inggris.*

Catatan kaki: 1

Apakah yang dimaksud Daerah Aliran Sungai (DAS) ?.

DAS [watershed, catchment area, drainage (river) basin] adalah wilayanh yang memberikan kontrobusi pada aliran sungai (river) dan anak sungai (stream atau creek). batas DAS dapat dideliniasi dengan menghubungkan titiktitik tertinggi di sekitar sungai dan anak sungai (batas topografi), dimana air mulai mengalir pada saat terjadi hujan. Batas DAS merupakan batas alam dan tidak berkaitan dengan batas administratif. Dengan cara berbeda tetapi dengan maksud yang sama DAS dapat pula di definisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas totografi dimana air hujan yang jatuh di wilayah tersebut mengalir ke sungai-sungai kecil (stream atau creek) menuju ke sungai besar (river), hingga sungai utama yang kemudian mengalir kedanau atau luat. DAS merupakan suatu unit hidrologi, suatu DAS terbagi ke dalam beberapa puluh atau ratus sub DAS. Secara teoritis seluruh wilayah di permukaan bumi terbagi habis dalam wilayah DAS.


PUSTAKA [1] Calder, I.R., 1992. WaterUse of Eucalypts-a review. Dalam I.R. Calder., R.L. Hal & P.G. Adlard (ed), Growth and Water Use of Forest Plantations. John Willey & Sons. Hal 167 – 179 [2] Edi Purwanto, 1992. Melacak Karakteristik Hidrologi Tegakan Pinus Dalam Suatu Daerah Aliran Sungai. Duta Rimba No. 147 148/XV1II/1992. Hal 39-44 [3] Edi Purwanto, 1993. Pembangunan Hutan Tanaman di Luar Jawa. Harian Kompas, Sabtu, 7 Agustus 1993. Halaman4-5 [4] Whitmore, T.C., 1990. An Introduction to Tropical Rain Forests, Clarendon Press. Oxford. Hal 180 [5] Walhi, 1999. Prediksi Walhi terhadap Masalah Lingkungan Hidup tahun 2000: Investasi vs Lingkungan Hidup?, Jakarta.


BAB 2 LESTARIKAN TROPICAL MONTANE CLOUD FORESTS Kota Bogor selain dikenal sebagai kota hujan, juga dapat dikatakan sebagai pusat informasi pertanian dan kehutanan. Di kota ini selain bercokol universitas ter- besar yang mengkhususkan bidang pertanian, juga terletak berbagai pusat lembaga penelitian maupun pelatihan, diantaranya adalah Pusat Pendidikan dan pelatihan Kehutanan (Pusdiklat Kehutanan), yaitu lem- baga pendidikan teknis dan manajerial bagi pegawai Departemen Kehutanan, yang berdiri sejak tahun lima puluhan. Di antara berbagai pelatihan reguler yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Kehutanan adalah pelatihan pengelolaan dan konservasi alam yang sering dikenal dengan sebutan SECM (School of Environ- mental (SwwMfon Management). Pelatihan tersebut diselenggarakan setiap tahun dengan lama sepuluh bulan. Dari peserta yang berjumlah 30 orang di antaranya ada peserta wanita yang bernama Widya, seorang sarjana biologi, sekaligus juga seorang karyawati yang rajin, enerjik dan cerdas. Sayang, mungkin dapat dikatan begitu, bahwa potensinya tersebut belum sepenuhnya termanfaatkan secara optimal oleh tuntutan pekerjaannya, karena se- lama sepuluh tahun bekerja ia lebih banyak berkutat di bidang adminis- trasi keproyekan, ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah praktis hampir tak termanfaatkan, sehingga telah banyak terlupakan. Beruntung kali ini Widya ditugaskan untuk ngangsu ilmu di Pusdiklat Kehutanan. Dari tempat tugasnya di daerah ia telah berniat menggunakan kesempatan ini untuk


"mengisi baterai" mengasah otak, menimba ilmu dan mengejar ketertinggalan. Harapan Widya tersebut tentunya tidak berlebihan mengingat SECM merupakan pelatihan teknis unggulan Pusdiklat Kehutanan dan bahkan merupakan sebuah pelatihan yang cukup terpandang di kawasan Asia-Pasifrk, pelatihan ini diasuh oleh delapan tenaga pengajar tetap yang cukup berpengalaman di bidangnya, di antaranya bernama (Pak) Iswara, seorang dosen (widyaiswara) muda bergelar Doktor yang bertugas sebagai penjaga gawang mata ajaran hidrologi tata lingkungan. Walaupun Widya baru bertemu muka dengan Iswara beberapa hari yang lalu, namun sebelumnya Widya telah lama rajin menyimak tulisantulisan ilmiah populer Iswara di beberapa surat kabar dan majalah kehutanan yang banyak mengupas masalah lingkungan tata air, suatu topik yang secara kebetulan sangat diminati oleh Widya. Di-dorong semangatnya yang tinggi untuk mengejar keter- tinggalannya, Widya berniat untuk menimba berbagai topik aktual yang berkaitan dengan masalah tersebut secara langsung dengan Iswara. Akhirnya, di suatu sore selepas waktu ashar, di asrama tempat berlangsungnya pelatihan, di tengah situasi hujan lebat yang mulai mereda, Widya dan Iswara berbincang-bincang. Dengan suguhan makanan kecil berupa ubi rebus dan bajigur (sejenis minuman khas) dari penjaja makanan yang kebetulan mampir karena kehujanan, mereka mengawali rangkaian diskusinya. ***

Widya (W) : Begini pak Iswara, akhir-akhir ini banyak beredar isu lingkungan sehubungan dengan degradasi dan kemerosotan hutan tropika basa dunia. Di antaranya berbagai resiko dan implikasi yang banyak terungkap, yang paling meresahkan hati saya adalah bahwa proses deforstasi dikabarkan berdampak terhadap proses desertifikasi (pembentukan padang pasir). Mengingat genderang deforestasi telah dltabuh bertalu-talu sejak awal tahun tujuh puluhan di negeri ini. Adakah kepulauan Nusantara yang hingga pertengahan abad ini


sering dipuja sebagai untaian zamrud mutu manikam di khatulistiwa sertakeperkasaan hutan tropika sering disebut dengan "tambang emas hijau", maupun hamparan "padang pasir hijau" tersebut akan berganti wujud menjadi untaian padang pasir yang kering kerontang,"tambang petaka, kemiskinan dan kenestapaan". Maaf... mungkin kekhawatiran ini terlalu berlebihan, namun terus terang saya risau, prihatin dengan semaki porak-porandanya ekosistem hutan kita, lebih-lebih apabila sinyalemen tersebut menjadi kenyataan ...... Iswara (I) : Saya bisa memahami kekhawatiran yang kamu ungkapkan secara menggebu-gebu dan emosional tadi, memang kita semua yang cinta dengan bumi pertiwi ini tentunya tidak ingin melihat dam- pak: lingkungan yang mengerikan tersebut. Tentunya kamu ingin me- ngetahui sampai seberapa tingkat kebenaran sinyalemen yang banyak beredae tersebut? Nah... untuk itu saya ingin menjawab pertanyaanmu yang nampaknya juga cukup mewakili kekhawatiran banyak orang itu dengan menjelaskan ketiga peristilahan yang kamu gunakan tadi secara agak sedikit mendalam, pertama hutan tropika basah, kedua de- forestasi dan ketiga adalah desertifikasi. Kejelasan batasan suatu per- istilahan itu amat penting, karena penggunaan istilah yang tak ter- spesifikasi secara jelas, sering berakibat terhadap ketidakjelasan infor- masi yang akhirnya mengaburkan inti permasalahan. Walaupun sebagian yang hendak saya ungkapkan ini mungkin telah kamu ketahui, namun tidak ada salahnya kalau saya segarkan kembali, hitung-hitung sebagai bekal untuk mendasari rangkaian penjelasan saya berikutnya. Begini, secara geografis Hutan Tropika Basah (HTB) berada di sekitar garis peredaran matahari (ekuator), yaitu antara 23째 - 30째 Lintang Utara/LU (Tropic of Cancer) dan 23째 - 30째 Lintang Selatan/LS (Tropic of Capricorn). Ada lebih dari 60 negara yang memiliki HTB di wilayah ini, luas HTB diperkirakan sekitar 10% dari permukaan bumi dan sekitar 30% dari seluruh lahan berhutan. Secara kuantitatif hutan tersebut kini diperkirakan seluas 1.000 juta hek- tar. atau kurang lebih seluas negara Amerika Serikat. HTB dapat berupa hutan dengan tajuk tertutup (closed forests) maupun terbuka (open forests). Hutan tajuk tertutup memiliki ke-


npatan tegakan yang tinggi sehingga tajuknya terus-menerus (tertutup), sebagaimana hutan hujan tropika (HHT) maupun HTB menggugurkan daun (hutan musim). Sedangkan hutan tajuk terbuka (open forests) merupakan hutan dengan tegakan jarang yang tersebar di anta-ra padang rumput, karenanya tajuknya terbuka sebagaimana hutan savana (savanna woodlands)[10).

Sumber : Grainger, 1993)

BR

Hutan hujan tropika (termasuk hutan hujan tropika pegunungan) (;lil;;lj

Hutan tropika

menggugurkan daun (termasuk beberapa hutan hujan subtropika) Gambar 2.1. Penyebaran Hutan Tropika Basah Dunia

HTB yang merupakan 40% dari hutan tajuk tertutup dunia, sekitar dua pertiganya merupakan HHT, ekosistem HHT tersebut merupakan salah satu dari 12 tipe ekosistem dunia, karenanya tipe ekosistem ini dikenal sebagai gudang sumberdaya genetik bumi1. Dalam skala global kekayaan sumberdaya genetik meningkat dari arah kutub ke ekuator serta mencapai puncaknya pada ekosistem HHT. Setengah dari kekayaan jenis kehidupan liar atau sekitar dua hingga lima juta jenis tumbuhan dan satwa berkembang di ekosistem initl0!. Istilah HHT pertama diperkenalkan A.F.W. Schimper (seorang ahli botani berkebangsaan Jerman) pada tahun 1898 dalam bukunya yang pada tahun 1903 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul 'Plant geography upon an ecological basis'. Schimper menggunakan istilah trophise Regenwalt yang kemudian


diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai tropical rain forests, yang berarti hutan yang selalu basah, artinya tidak pernah, jarang atau hanya secara musiman meng-alami kekurangan air [20i. HHT di berbagai wilayah tropika basah bukanlah merupakan suatu hamparan hutan yang homogen, setiap wilayah memiliki struktur dan komposisi vegetasi yang khas, memiliki dominasi famili, genus dan spesies serta proporsi sub-sub tipe hutan yang berbeda pl}. HHT da- pat dikelompokkan ke dalam tiga blok besar, yaitu HHT blok Amer- ika (American/Neotropical rainforest), HHT Afrika (African rain forest) dan HHT Indo-Malaya (Indo Malayan/Eastern/Malesia rain forest). HHT blok Amerika terletak di Amerika Latin (Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kepulauan Karibia) serta terpusat di lembah sungai Amazon dan Orinoco. Blok HHT terbesar yang luasnya sekitar tiga perlima HHT bumi ini sebagian besar bercokol di Brazil, yang sekaligus juga merupakan negara pemilik HHT terluas di dunia. Selain itu HHT blok ini juga menyebar ke wilayah Amerika Selatan lainnya seperti Kolumbia, Venezuela, Bolivia, Peru, Guyana, Ekuador, ke- mudian ke wilayah Amerika Tengah sebelah timur khususnya Costa rica, Nicaragua, Honduras dan kepulauan Karibia (lihat Gambar 2.1). Blok kedua adalah HHT Afrika yang proporsinya kurang dari seperlima HHT bumi yang berkembang di Afrika Tengah serta ter konsentrasi di lembah Kongo/Zaire. Sedangkan HHT Indo-Malaya berada di kawasan Asia Pasifik, terpusat di Indonesia (Malaysia),membentang ke daratan Asia hingga Thailand, Birma, Vietnam, India,tesebar ke arah timur hingga mencapai kepulauan Pasifik (Bismark) dan Australia (Queensland Utara). HHT yang luasnya seperempat dari total HHT bumi ini, sebagian besar berada di Indonesia yang sekaligus kini menduduki urutan ketiga negara pemilik HHT terluas di dunia [1°16,17,201, sekitar 90% dari HTB di Indonesia merupakan HHT. HHT inilah yang kini terancam kelestariannya oleh proses deforestasi sebagaimana kamu ungkapkan tadi. Celakanya HHT di Indonesia (blok Indo-Malaya) memiliki kekayaan jenis tertinggi di dunia, jauh lebih tinggi bila dibandingkan


dengan HHT Neotropika, apalagi HHT Afrika yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati terendah. HHT Indonesia merupakan habitat dari 10% spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang mamalia (menyusui), 17% burung, 25% ikan dan 15% serangga. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai mega diversity spesies hayati dan merupakan mega center keanekaragaman hayati dunia. Sebagaimana namanya, iklim tropika basah tempat "kerajaan" HHT ini memiliki dua ciri utama, yaitu melimpahnya sinar matahari ("tropics") dan tingginya kelembaban udara ("humid") sepanjang tahun. Kondisi ini selain berpengaruh terhadap tingginya keanekaragaman hayati sebagaimana diuraikan di atas, juga menyebabkan HHT memiliki berbagai karakteristik biologi lain yang bersifat khas, yaitu dominasi pohon yang selalu hijau dan tidak menggugurkan daun (evergreen), unsur hara yang terkonsentrasi pada biomas hutan, dan siklus unsur hara yang cepat dan efisien dan hampir tertutup [22] yang mampu mempertahankan kelestarian ekosistemnya, serta memiliki stratifikasi tajuk yang jelas, khususnya pada HHT dataran rendah. Posisi geografis wilayahnya menjadi sebab utama tingginya limpahan curah hujan, hal ini secara umum bisa dijelaskan melalui dua mekanisme pergerakan udara dan uap air sebagai berikut, pertama : tingginya kelembaban udara dan intensitas radiasi matahari menyebabkan terangkatnya udara lembab dan panas yang kemudian membentuk menara awan panas (hot towers) cumulo-nimbus yang merupakan sumber curah hujan tipe konvektif dan orografik. Kedua, wilayah ini merupakan pertemuan dua arus angin (trade wind) dari wilayah sub tropika (30° - 40° LU/LS), yaitu arus angin timur laut yang berasal dari belahan bumi utara dan arus angin tenggara yang berasal dari belahan bumi selatan yang banyak membawa uap air. Wilayah ini rata-rata mendapat curahan hujan antara 1800 hingga 4000 mm per tahun, musim kemarau atau bulan kering dalam kondisi normal tidak lebih dari empat bulan. Itulah informasi dasar yang perlu dipahami mengenai HTB dan HHT, hal kedua yang ingin saya perjelas adalah pengertian deforestasi. Banyak di antara kita yang menggunakan istilah generik


deforestasi tersebut secara umum, yaitu perubahan tata guna lahan baik bersifat sementara maupun permanen dari hutan menjadi non hutan titik [l41, tanpa memberikan penjelasan secara jelas hutan menjadi lahan pertanian, areal perladangan, hutan menjadi perkampungan, perkotaan atau lahan alang-alang dan sebagainya. Seluruh kegiatan konversi hutan menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan hanya diwakili oleh istilah deforestasi, sehingga tidak terspesifikasi secara jelas, deforestasi tipe yang mana? Spesifikasi konversi hutan itu penting, karena setiap konversi hutan menjadi penutupan dan peruntukan lahan tertentu, memberikan dampak lingkungan yang bersifat spesifik. Sehingga penggunaan istilah umum deforestasi untuk setiap bentuk konversi hutan jelas kurang informatif. Berdasarkan besarnya intensitas gangguan, setidaknya bisa dibedakan tiga bentuk deforestasi, pertama adalah deforestasi intensitas ringan misalnya tumbangnya pohon oleh sambaran petir, tanah longsor atau mati secara alami, hingga penebangan hutan skala terbatas. Ke- dua deforestasi intensitas menengah, misalnya (eksploitasi hutan) dengan sistem silvikultur tebang pilih, kebakaran hutan, dan perla- dangan berpindah tradisional. Ketiga adalah deforestasi intensitas berat misalnya pembalakan hutan dengan sistem (silvikultur) tebang habis, perladangan berpindah non-tradisional, konversi hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman (areal transmigrasi), perkebunan, hutan tanaman dan sebagainya [11]. Terlepas perbedaan resiko dan implikasi perubahan lingkungan antara wilayah tropika dan nirtropika terhadap proses deforestasi, tak dapat dipungkiri bahwa proses deforestasi intensitas menengah dan berat ini bukan semata terjadi di wilayah tropika saja. Bahkan timbulnya mungkin tidak terpaut lama dengan kehadiran spesies manusia di bumi ini. Terbukti sebagian besar hutan perawan (virgin forest) dunia telah lama punah baik untuk dieksploitasi kayunya maupun untuk keperluan lain. Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara misalnya, dapat dikatakan bahwa hutan alamnya sudah hampir habis. Singkatnya proses deforestasi ini baik di wilayah tropika maupun nirtropika sama saja. Perbedaannya, gemuruh deforestasi di wilayah tropika, baru secara gencar terjadi beberapa dasawarsa terakhir ini


saja, yaitu seiring dengan menggeliatnya kesadaran dunia akan pentingnya kelestarian lingkungan, khususnya peranan hutan tropika baik sebagai sumber plasma nutfah maupun sistem pendukung kehidupan dunia. Tentunya bukan berarti proses deforestasi di wilayah tropika tidak perlu dikendalikan, kemerosotan HTB secara drastis selama beberapa puluh tahun terakhir ini perlu mendapatkan perhatian dunia secara serius. Berdasarkan hasil pendugaan luas HTB tahun 1983, HTB di Indonesia seluas 113,6 juta hektar atau 43% dari luas HTB kawasan Asia Pasifik serta menduduki urutan kedua negara pemilik HTB terluas di dunia setelah Brazil (331,8 juta Ha)[10]. Gencarnya proses deforestasi di negeri ini telah menyebabkan percepatan pemerosotan luas HTB, terbukti pada tahun 1989 luas HTB telah anjlok menjadi 86 juta ha atau 41% dari luas HTB kawasan Asia Pasifik sehingga posisi Indonesia sebagai pemilik HTB urutan kedua digeser oleh Zaire (100 juta ha)[171. Laju deforestasi di Indonesia antara tahun 1976 - 1980 diduga sebesar 550.000 ha per tahun, laju ini kemudian membengkak menjadi 1,2 juta ha per tahun pada akhir tahun 80-an[101, bahkan data dari FAO menyebutkan bahwa laju deforestasi pada periode 1982-1993 mencapai 2,4 juta hektar per tahun. Menurut penelitian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), pada tahun 1997, luas hutan alam Indonesia hanya tinggal seluas 37 juta hektar2, sedangkan World Resources Institute (WRI) menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan 72% hutan alamnya. Hingga kini belum ada kesepakatan angka dugaan laju deforestasi HTB dunia, mengingat lebarnya kisaran (variasi) angka pendugaan yang dilaporkan oleh berbagai sumber, yaitu dari 9-15 juta ha per tahun [18], 17 juta ha per tahun[14], hingga 24,5 juta per tahun [16]. Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh perbedaan data dasar yang digunakan sebagai landasan pendugaan, nampaknya juga oleh perbedaan interpretasi istilah "HTB" maupun "deforestasi" itu sendiri [12]. Hal ketiga yang hendak saya perjelas adalah konteks pemahaman istilah desertifikasi di wilayah ini. Ada kesalahpahaman bahwa desertifikasi di wilayah tropika basah merupakan proses pembentukan gurun pasir sebagaimana yang misalnya terjadi di


wilayah beriklim tropika kering (iklim padang pasir panas//hot arid maupun semi arid) di Afrika Utara (gurun Sahara, kawasan Sahel), maupun di wilayah beriklim pegunungan tinggi seperti di Himalaya dan padang pasir dingin (cold arid) sebagaimana di Gurun Gobi. Gambaran demikian tentu saja kurang tepat mengingat sebagaimana yang saya uraikan di depan, bahwa iklim tropika basah karena posisi geografisnya menerima limpahan curah hujan yang tinggi. Dengan demikian istilah desertifikasi selayaknya diartikan dalam tanda kutip ("desertifikasi"), maksudnya adalah penggundulan hutan itu dikhawatirkan akan menimbulkan kemerosotan curah hujan serta menimbulkan kemarau panjang di wilayah tropika basah. W: Wuah, cukup panjang lebar penjelasan Bapak, sebelum berkembang jauh, mohon dijelaskan secara lebih terperinci tentang definisi iklim tropika basah, mengingat bervariasinya definisi tersebut. I : Ya, iklim tropika basah memang bisa didefinisikan secara bervariasi, tergantung pada tujuannya. Selama ini kita telah mengenal beberapa klasifikasi iklim baik yang dikembangkan oleh Wladimir Koppen (1936), maupun Thornthwaite (1948), yang hingga kini masih menjadi sumber rujukan penting di dunia. Di Indonesia kita mengenal klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson (1951), Mohr (1933), Oldeman (1975) yang ditujukan untuk kepentingan pertanian. Dalam konteks tata air di daerah tropika basah, para ahli akhir-akhir ini banyak merujuk klasifikasi iklim yang dikembangkan oleh Chang dan Lau (1983, 1993), di mana daerah tropika basah didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki suhu terendah rata-rata lebih besar dari 18°C3 serta me- miliki bulan basah (100 mm) selama lebih dari 4,5 bulan. Iklim tropika basah dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan lamanya bulan basah, yaitu wet (9,5 - 12 bulan basah), subhumid (7 9,5 bulan basah) dan wet-dry (4,5 - 7 bulan basah). Bulan basah memiliki ketebalan huj- an lebih besar dari 100 mm, bulan setengah basah antara 60 - 100 mm, dan bulan kering kurang dari 60 mm[7 & 8 ]. W: berdasarkan kriteria tersebut berapa luas wilayah permukaan bumi yang beriklim tropika basah? I : Seluas 29,4 juta km2, atau sekitar 22% dari luas permukaan


bumi, yang tersebar di benua Amerika (44%), Afrika (32%), Asia ( 18 %) dan Oceania (6%) [6]. Seluruh kepulauan di Indonesia masuk dalam wilayah beriklim tropika basah. W: Tropika basah tipe yang mana? I : Indonesia yang merupakan negara kepulauan karakteristik iklimnya selain dipengaruhi oleh posisi geografisnya secara global, juga oleh posisinya secara regional yang dikelilingi oleh lautan (maritime continent), sehingga sebagian besar Indonesia masuk dalam iklim tropika basah tipe wet, kecuali Jawa Timur, Nusatenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan sebagian Irian Jaya bagian selatan (sekitar Merauke) yang masuk dalam tipe iklim tropika basah subhumid [6]. Secara kasar Kalimantan dan Sumatera menerima ratarata curah hujan (Âą 2600 mm), sedang wilayah kepulauan Indonesia Timur (tidak termasuk kepulauan Maluku dan sebagian besar wilayah Irian Jaya), seperti Sulawesi (Âą 2300 mm), dan Nusa Tenggara Timur (< 1500 mm) menerima curah hujan yang jauh lebih rendah. Rendah-

Sumber : Chang. 1992 Gambar 2.2 Wilayah Tropika Basah di Asia Selatan dan Tenggara


nya curah hujan di wilayah ini terutama disebabkan oleh kedekatan posisi geografisnya dengan wilayah beriklim arid (gurun pasir) di Australia Utara. Pada iklim tropika basah tipe wet, HTB didominasi oleh hutan hujan tropika (HHT), sedangkan pada iklim tropika basah tipe subhumid, HTB didominasi oleh hutan musim (menggugurkan daun) dan savana. Khusus untuk daerah Nusa Tenggara Timur seperti Pulau Sabu, Roti dan Alor yang hanya memiliki curah hujan tahunan rendah (sekitar 1000 mm), selain hal tersebut di atas diduga juga di sebabkan oleh tidak adanya gunung (dataran tinggi) yang mampu menimbulkan curah hujan tipe orografik4 [6]. W: Kembali ke topik "desertifikasi". Apakah keberadaan HTB diketahui secara jelas berpengaruh terhadap melimpahnya curah hujan di suatu wilayah? I: Mitos lama memang menyatakan bahwa keberadaan hutan di suatu wilayah mampu meningkatkan curah hujan, mitos ini berawal da-ri hipotesis Christopher Columbus, yang.menemukan perbedaan ting-ginya curah hujan di India Barat yang hutannya masih utuh, dengan kepulauan Kanari5 yang mengalami deforestasi secara hebat[I4). Hipotesis tersebut kini banyak diragukan dan hal tersebut memang belum sepenuhnya diketahui, terus terang bagai menjawab pertanyaan mana yang lebih dahulu antara ayam dan telur, HTB menyebabkan tingginya curah hujan atau karena curah hujan yang tinggi lalu berkembang HTB yang luas seperti HHT di berbagai belahan dunia sebagaimana yang telah dijelaskan tadi. Hingga saat ini belum ada bukti kuat bahwa HTB berpengaruh terhadap besarnya curah hujan pada suatu wilayah m. Berbagai data yang menyebutkan tingginya curah hujan pada suatu wilayah yang berhutan itu nampaknya disebabkan oleh dua sebab pokok. Pertama, hutan biasanya terletak di daerah hulu suatu DAS yang memiliki elevasi tinggi, yang pada DAS yang terletak di daerah windward (arah datangnya angin yang banyak membawa uap air), besarnya curah hujan di daerah ini lebih dipengaruhi oleh hujan orografik (faktor topografi, elevasi dan posisi suatu tempat) daripada keberadaan hutan. Kedua, pengaruh turbulensi angin pada penakar curah hujan (rain gauge) di daerah yang berhutan biasanya relatif lebih kecil daripada


lahan terbuka. Hal ini disebabkan oleh wind shielding effect, yaitu Wind Shielding Effect

Hutan

Penakar hujan

Hutan

nakar hujan di daerah berhutan biasanya ditempatkan pada suatu wilayah hutan yang relatif terbuka (celah hutan), yang pengaruh turbulensi angin kecil, karena terlindung oleh tegakan hutan. Wind shielding effect ini selanjutnya berpengaruh terhadap efektifitas daya tangkap butir hujan dari suatu penakar, sehingga hujan dengan ketebalan (mm) yang sama akan tercatat lebih tinggi oleh penakar hujan di hutan dibandingkan dengan penakar di daerah terbuka di wilayah yang tidak berhutan [l41.


W: Jadi keberadaan HTB tidak berpengaruh terhadap kuantitas curah hujan di suatu wilayah! I: Tunggu dulu .... penjelasan saya belum selesai, ungkapan di atas tadi adalah kondisi hutan secara umum, namun dalam kondisi khu-sus, artinya secara geografis, yaitu apabila hutan terletak di daerah yang berkabut atau sering tertutup awan seperti hutan pegunungan di Gunung Rakata (anak Gunung Krakatau), serta hutanhutan pegunungan (montane rain forest) seperti gunung Tangkuban Perahu di hulu DAS Cikapundung, Gunung Gede di hulu DAS Cimandiri, Gunung Sawal di hulu DAS Citanduy, Gunung Kerinci di hulu DAS Batanghari, Gunung Arjuna di Hulu DAS Brantas dan sebagainya. Hutanhutan tersebut kini diketahui secara pasti mampu meningkatkan curah hujan yang sampai ke lantai hutan. Selain itu juga hutan yang amat


luas, yang meliputi wilayah lebih besar dari 1.000 km2 hingga 10.000 km2, sebagaimana HTB di Amazon, yang berdasarkan penelitian terakhir keberadaannya diketahui mampu meningkatkan kuantitas curah hujan di suatu wilayah [u. W: Saya beberapa kali pergi ke Gunung Gede, saya lihat hutan di sana sering diselimuti kabut, tetapi apa hubungan kabut, hutan dan tingginya curah hujan? I : Hutan yang berada di pinggir pantai, di suatu pulau kecil, gunung di pinggir pantai, pulau pegunungan atau pada daerah pe-gunungan di wilayah pedalaman dengan ketinggian tertentu (> 1.500 m dari permukaan laut/dpl.), biasanya sering atau secara menerus di-

Foto: Bruijnzeel. 1990 Gambar 2.3.

2

Hutan dengan luas antara 1.000 km hingga 10.000 km1 diduga berperan terhadap besarnya ketebalan curah hujan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa evapotranspirasi dari kawasan hutan yang luas menjadi sumber dari tingginya curah hujan di wilayahnya.

liputi oleh awan dan kabut baik di musim hujan maupun kemarau. Di situ daun-daun, ranting, lumut, epifit, pohon dan seluruh biomas hutan menjadi penghalang dan sekaligus penyerap kabut, yang kemudian diketahui dalam


situasi macam ini hutan mampu berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus), yang menyebabkan mencairnya awan dan kabut yang kemudian menetes sebagai butir-butir air di lantai hutan (fog incidence). Mengingat besarnya biomas hutan, bisa digambarkan besarnya kontribusi proses ini terhadap peningkatan ke-tebalan net precipitation, yaitu curah hujan yang sampai di lantai hutan (forest floor), yang tentunya secara nyata melampaui besarnya curah hujan yang turun di luar tegakan hutan. Kemampuan hutan untuk "menangkap kabut" (fog/cloud stripping) dari arah horizontal (horizontal interception), diketahui mampu meningkatkan jumlah air yang sampai ke lantai hutan (net-precipitation) sebesar 10% hingga 20% di musim penghujan, hingga lebih dari 100% dari rata-rata curah hujan di musim kemarau [2].

Gambar 2.5. Distribusi hutan berkabut di wilayah tropika dan sub tropika (Bruijnzeel & Hamilton, 2000)[10]

W: Cukup besar juga ya..., jadi konkretnya seandainya rata-rata curah hujan di musim hujan pada lahan nir-hutan di Hulu DAS Ciliwung-Cisadane yang berhulu di Gunung Gede-Pangrango sebesar 300 mm, maka dalam tegakan hutan akan mampu menerima 330 mm hingga 360 mm. Kemudian di musim kemarau yang di luar hutan hanya menerima sekitar 60 mm, maka di dalam hutan akan mampu menerima 120 mm atau lebih ... I: Betul! Hutan macam inilah yang sering disebut oleh para ahli lingkungan tata air (environmental hydrologist) sebagai Cloud Forests (CF) atau Occult Forests, untuk sementara diterjemahkan dengan isti-


lah Hutan Berawan atau Hutan Berkabut. Mengingat sering atau menerusnya penutupan awan dan kabut, kondisinya sangat lembab sehingga batang dan rantingnya banyak diliputi oleh lumut, para ahli biologi lingkungan (environmental biologist) menyebutnya sebagai hutan berlumut (mossy forests, elfin woodlands, elfin cloud forest, dwarf cloud forest, montane thicket). Bagi mereka yang bergerak di bidang pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed Management) tentu sangat berkepentingan terhadap keberadaan CF ini, khususnya yang berada di pegunungan seperti di Gunung (G) Gede, G. Pangrango, G. Salak, G. Sawal, G. Kawi, G. Arjuno, G. Bromo, G. Semeru, Pegunungan (P) G. Kerinci, P. Schwaner, P. Muller, G. Klabat, G. Tangkoko, hutan ini sering dikenal dengan sebutan Tropical Montane Cloud Forests (TMCF)1221 atau Hutan Berawan Pegunungan Tropika (HBPT). W : Pada ketinggian berapa TMCF biasa dijumpai dan bagaimana karakteristik tegakannya? I : TMCF biasanya berada pada ketinggian antara 1200 m 2.500 m dpi, sedangkan batas atas ketinggian dpi keberadaannya adalah antara 2.400 - 3.300 m, pada daerah tertentu bisa dijumpai pada wilayah yang lebih rendah. TMCF ini memiliki struktur, fisiognomi (kenampakan) dan floristik yang khas, yaitu pohon yang kerdil (6 m10 m), intensitas percabangan tinggi, batang dan cabang yang bengkok-bengkok. Daun kecil, tebal dan keras (scleropyl/microphylls/xero-morphic). Tajuk yang kompak, dengan stratifikasi sederhana, hampir tidak ditemui liana. Banyak terdapat lumut (bog moss/ sphagnum) dan epifit (bryophytes), lichens (simbiosa alga dan jamur), serta paku-pakuan. Mengingat lantai hutan TMCF biasanya selalu tergenang air (water-logging) maka proses dekomposisi seresah hutan berjalan lam-bat sehingga lantai hutannya merupakan lahan bergambut [9. 13, 20]. W : Menarik sekali, mungkin bisa dijelaskan secara lebih mendalam, fenomena alam yang melatarbelakangi karakteristik TMCF

yang sangat berbeda dengan vegetasi hutan pegunungan dataran rendah tersebut. I : Ya, keunikan TMCF tersebut dikarenakan oleh letaknya yang cukup tinggi dari permukaan laut, secara geografis TMCF bisa dikla-sifikasikan


dalam hutan pegunungan bawah, atas dan subalphine6. Pada hutan pegunungan di wilayah tropika basah, semakin tinggi letak suatu hutan dari permukaan laut, semakin rendah ketinggian pohon (forest strature) serta semakin mengecil ukuran daunnya. Fenomena ini dise-babkan oleh pengaruh penutupan awan dan kabut yang semakin besar dengan bertambahnya elevasi.

Gambar 2.4. Generalisasi formasi hutan tropika dan dataran rendah hingga tinggi (Bruijnzeel & Hamilton, 2000)[10]

W : Ya, tetapi apa hubungan penutupan kabut dengan proses fisiologi tanaman yang menyebabkan timbulnya keunikan tersebut? I : Hingga kini belum sepenuhnya diketahui mekanisme yang melatarbelakanginya dan tetap menjadi semacam teka-teki yang meng-ganggu di kalangan para ilmuwan[20,4]. Jawaban ilmiah yang sering diungkapkan oleh para ahli ekologi cukup bervariasi, namun apabila disarikan dapat dikelompokkan ke dalam lima butir [4J: pertama, keku-rangan air secara periodik (walaupun sering tertutup awan), khususnya TMCF yang berada pada lereng pegunungan berbatu dengan jeluk (kedalaman) tanah dangkal. Kedua, tanah TMCF biasanya selalu jenuh air, sehingga menghambat proses transpirasi perakaran pohon, ketiga rendahnya temperatur daun yang disebabkan oleh rendahnya intensitas radiasi matahari, keempat keterbukaan tegakannya terhadap arus atau kecepatan angin yang tinggi. Kelima,


rendahnya penyerapan unsur hara yang dikarenakan oleh : (1) tingginya keasaman atau rendahnya kesuburan tanah atau kombinasi keduanya, (2) rendahnya laju dekomposisi dan mineralisasi, (3) rendahnya laju transpirasi.

Foto : Bruijnzeel, 1990

Gambar 2.6. TMCF pada ketinggian 2400 m dpi di Sabah, Malaysia

W: Rendahnya transpirasi? I: Ya, secara umum semakin tinggi suatu tempat semakin menurun laju evapotranspirasi (ET)-nya, karena semakin rendahnya temperatur, radiasi dan semakin tingginya kelembapan relatif (lihat Bab 5). Penurunan ini semakin besar apabila hutan tersebut diselimuti oleh kabut sebagaimana halnya TMCF. Laju ET (baca : konsumsi air) TMCF diketahui hanya sekitar sepertiga dari ET tanaman pertanian dan setengah dari ET HTB pegunungan yang tidak diselimuti kabut, serta tiga perempat ET HTB dataran rendah [3]. Jelasnya keberadaan TMCF di hulu suatu DAS selain meningkatkan jumlah curah hujan yang sampai ke lantai hutan, juga memiliki laju konsumsi air yang jauh Iebih rendah, bila dibandingkan penutupan vegetasi non-TMCF. W : Jadi keberadaan TMCF di hulu suatu DAS secara mutlak perlu dilindungi?


I: Tepat sekali! Deforestasi harus diupayakan sejauh mungkin untuk tidak menjamah TMCF. Karena pertama dan mungkin sekaligus yang terpenting, deforestasi akan membah pola pengisian air tanah dan konsekuensinya adalah kemerosotan debit sungai khususnya di musim kemarau, yang boleh jadi tak terpulihkan mengingat ekosistem ini merniliki kerentanan yang tinggi. Kasus dari Sri Langka yang mela-kukan konversi TMCF secara besar-besaran menjadi kebun teh, telah memberikan dampak secara nyata terhadap kemerosotan hasil air [8]. Kedua, TMCF merniliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa endemik yang tinggi7 Ketiga, TMCF berfungsi sebagai tempat perlin-dungan terakhir bagi berbagai jenis flora dan fauna yang telah tergusur habitatnya di ekosistem dataran rendah. Keempat, keberadaan TMCF ini hanya sekitar 5% (sekitar 500.000 km2/50 juta ha) dari HTB pe-rawan (primer) yang ada di dunia pada tahun 1974 (4]. Saat ini tentunya sudah jauh lebih rendah dari luas tersebut, mengingat laju deforestasi TMCF per tahun diperkirakan sebesar 1,1 % (antara tahun 1981-1990 [81).8 Kelima, dari segi ilmu pengetahuan, berbagai fenomena dalam TMCF masih belum banyak diketahui di kalangan para ilmuwan [4,5]. Dari kelima alasan di atas, nampaknya cukup beralasan untuk meles-tarikan keberadaan TMCF dari segala bentuk konversi. W : Yang banyak terjadi TMCF dikonversi untuk kepentingan apa? I: Di wilayah yang padat penduduk dan merniliki keterjangkauan yang tinggi, biasanya konversi ke lahan pertanian adalah yang paling banyak dilakukan, mengingat kesesuaiannya yang tinggi untuk berbagai jenis tanaman daerah dingin (temperate crops), seperti kobis, kentang, bawang merah, bawang putih, asparagus dan sebagainya. Tentunya wilayah ini juga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam padat modal, perumahan mewah (villa) dan sebagainya. Hal tersebut jelas merupakan ancaman baik secara aktual maupun potensial terhadap kelestarian TMCF yang masih tersisa di pulau Jawa, maupun daerah padat penduduk lainnya.


W: Bagaimana dengan bahaya penebangan hutan (logging) secara komersial di luar Jawa? I: Jenis-jenis komersial yang dikenal saat ini seperti jenis Dipterocarpaceae sp., tidak terdapat pada TMCF, sehingga logikanya kegiatan logging tidak mencapai kawasan ini, karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Namun tidak menutup kemungkinan penebangan hutan di daerah dataran tinggi (baik sengaja atau tidak) merambah kawasan TMCF. W: Beralih ke CF yang berada di dataran rendah.... I: Walaupun relevansinya terhadap tata air tidak setinggi dibandingkan dengan CF di dataran tinggi (TMCF), namun CF ini memiliki keunikan biologis, yaitu kondisi fisiognomi dan floristiknya memiliki kesesuaian dengan kondisi TMCF, hal tersebut disebabkan oleh sering atau menerusnya penutupan awan dan kabut di wilayah pantai yang memiliki kandungan uap air yang tinggi[3,16]. Hutan jenis ini di wilayah tropika basah banyak terdapat pada pulau-pulau kecil, lereng maupun puncak gunung yang berada di pantai dengan ketinggian 550 -880 m[18! atau lebih rendah9, serta pulau gunung seperti Gunung Tinggi (pulau Bawean), Gunung Ranai (Pulau Natuna), Gunung Rakata dan sebagainya. Namun biasanya tidak terdapat pada wilayah tropikan basah yang bertipe subhumid dan wet dry seperti Nusa Tenggara Timur dan sebagainya [19.51]. Selain memiliki keanekaragaman jenis endemik yang tinggi, dari aspek ilmu pengetahuan sebagaimana TMCF, CF jenis ini juga belum banyak diketahui. Oleh karena itu keberadaannya di beberapa tempat perlu dilindungi. W: Lalu HTB di dataran Amazon tadi bagaimana? I : Yang ini masih belum sejelas TMCF, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil bukan dari pengukuran langsung, melainkan dari modelling. W : Modelling?? Nampaknya pendekatan ini semakin banyak digunakan. I: Betul, hal tersebut seiring dengan semakin canggihnya teknologi komputer. Modelling sebetulnya adalah semacam


penyederhanaan proses yang terjadi di alam dengan menggunakan berbagai formulasi matematis dari yang sederhana sampai yang ruwet, ingat semakin ru-wet tidak menjamin semakin baiknya model! Dengan modelling se-suatu yang sulit diukur atau diduga karena terlalu banyaknya faktor yang berpengaruh bisa dicoba untuk dikuantifikasi, atau setidaknya disambarkan proses yang terjadi. Dengan demikian, modelling selalu menggunakan berbagai asumsi. Oleh karena itu hasil pendugaan yang diperoleh dari suatu obyek atau fenomena yang memiliki proses alam yang sama, namun diduga dengan model yang berlainan akan menghasilkan nilai atau output yang berbeda, karena perbedaan asumsi yang mendasari atau penggunaan input parameter yang berbeda. Dengan demikian kita jangan begitu mudah menerima hasil kuantifikasi dari model, harus kita periksa dengan teliti, apa asumsi yang mendasari dari model yang digunakan hingga keluar hasil tertentu, lebih-lebih bagai-manapun bagusnya suatu model, akhirnya ketelitian hasilnya ditentu-kan oleh data yang digunakan, kalau data yang digunakan adalah sampah (garbage) keluarnya juga sampah, istilah populernya GIGO alias Garbage in Garbage Out. Juga bagaimanapun baiknya model dan data yang digunakan, hasilnya harus dipertimbangkan sebagai perkiraan awal (first approximation). Lebih dari itu parameterparameter dari model biasanya juga tidak berlaku secara global, harus diperiksa dengan teliti dalam kondisi yang bagaimana parameter model tersebut dibuat, tanpa memeriksa itu semua dan asal pakai saja, yang bergengsi hanyalah namanya 'modelling' namun hasilnya bisa jadi menyesatkan. W : Lalu permodelan HTB di Amazon tadi maksudnya bagaimana? I : Gambarannya secara ringkas adalah demikian : dengan membagi dataran Amazon dari arah timur ke barat menjadi beberapa jalur, di mana setiap jalurnya sepanjang 330 km, dan menggunakan isotop alami (oksigen 18) sebagai detektor. Dari konsentrasi isotop yang semakin menurun ke arah pedalaman, disimpulkan bahwa 50% dari curah hujan di suatu jalur tertentu adalah berasal dari proses evapotranspirasi hutan dari jalur tersebut, 50% sisanya berasal dari


jalur sebelah timumya. Dari pemodelan ini, diketahui bahwa keberadaan HTB di daerah tersebut menyumbang 50% dari curah hujan di wilayahnya, berarti dalam kasus ini benar bahwa hutan berperanan terhadap besarnya curah hujan suatu wilayah. Namun hasil ini juga tidak lepas dari kondisi geoklimatik wilayah Amazon yang memang mendukung, yaitu bentuk pulaunya yang menyerupai tapal kuda, yang terbuka bagi aliran uap air yang dibawa oleh trade wind dari arah timur, yang secara efektif kemudian ditangkap oleh rangkaian pegunungan dan dataran tinggi di sebelah barat, utara dan selatan. Selain itu mengingat data hidrologi dan meteorologi daerah Amazon masih sangat kurang, kesimpulan tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati[1 & 2]. Jadi kalau boleh saya tekankan di sini, selain dalam kasus TMCF, pengaruh hutan terhadap besarnya curah hujan suatu wilayah masih belum diketahui secara pasti! *** Kalimat terakhir tadi diucapkan pak Iswara dengan sangat jelas dan mantap dengan gayanya yang sangat khas, yang membuat Widya secara tidak sadar manggut-manggut. Sebenarnya masih banyak per-tanyaan yang ingin diungkapkan, namun pak Iswara nampaknya ingin segera pulang, karena hujan telah reda dan hari mulai gelap. Sebelum berpisah mereka sepakat suatu saat bertemu lagi, untuk membahas lebih lanjut aspek lingkungan tata air HTB. "Pulang naik apa Pak?", tanya Widya basa-basi, "Pakai kendaraan umum", jawab pak Iswara singkat. Setelah mengantarkan pak Iswara sampai pintu gerbang dan meminjamkan payung seandainya nanti turun hujan lagi di jalan, Widya segera bergegas menuju ke kamarnya untuk mencatat inti penjelasan pak Iswara di bukunya, selesai mencatat dia masih perlu menempelkan stiker besar di meja belajarnya yang bertuliskan "Lestarikan Tropical Montane Cloud Forest..."..



Catatan Kaki: 1.

2.

3. 4. 5. 6.

7.

8. 9.

Ada 12 tipe utama ekosistem dunia yaitu : (1) kutub (2) tundra dan alphine (3) hutan boreal (taiga) (4) hutan temperate (5) padang rumput temperate (6) pegunungan (7) arid (padang pasir) dan semi arid (8) HHT (9) hutan tropika berduri (10) hutan savana (11) hutan musim (12) hutan mediteran [21]. Luas hutan primer dan sekunder secara aktual, sehingga dapat dimaklumi apabila Iuasnya jauh berbeda dengan luas hutan yang sering disebut oleh Departemen Kehutanan yang mendasarkan pada konsep 'kawasan hutan', yaitu wilayah yang ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan, yang notabene kini sebagian besar wilayahnya sudah tidak berhutan! Batasan tersebut berlaku untuk daerah tropika basah dataran rendah (lowlands) Karakteristik hujan secara lokal selain ditentukan oleh interaksi daratan dan lautan (land and sea) juga oleh interaksi gunung (bukit) dan lembah (hill-valley interactions) Kepulauan Canary terletak pada 28° Lintang Utara dan 13-14° Bujur Barat (antara Spanyol dan Maroko). Hutan hujan pegunungan rendah (lower montane rainforest) terletak pada ketinggian 700 m - 1.500 m, hutan hujan pegunungan atas (antara 1.500 m -3000 m), dan hutan Subalphine antara 3000 - 3500 m dpl [20] Walaupun keanekaragaman jenis pohon dan liana menurun dengan semakin tingginya suaru tempat dari permukaan laut, namun keanekaragaman jenis epifit, semak, herba dan paku-pakuan di wilayah tropika basah meningkat dengan semakin tingginya elevasi. Persentase tumbuhan dan satwa endemik juga semakin tinggi dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut |11|. Jenis endemik adalah jenis yang memiliki penyebaran terbatas (hanya terdapat pada kisaran wilayah tertentu). Lebih besar dari laju deforestasi HTB secara umum yang diperkirakan sebesar 0,8 % pertahun [9]. Misalnya Gunung Payung (500m) yang terletak di Taman Nasional Ujung Kulon, CF dijumpai pada ketinggian 400 m [5,12]. Pembentukan kabut dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu suhu dan kelembaban udara, pada wilayah tropika basah tipe wet, semakin dekat dengan laut udara semakin basah sehingga CF sering


ditemukan di wilayah pantai. Pada pegunungan yang mencakup wilayah yang luas (misalnya pegunungan bukit barisan) diduga CF berada pada ketinggian yang jauh lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh besarnya masa udara yang terangkat di lereng pegunungan yang luas serta intensifnya radiasi matahari yang diterima pada saat langit cerah, yang mampu meningkatkan besarnya panas yang disimpan oleh udara (laten heat), sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk proses kondensasi (pem-bentukan kabut). Dalam konteks pembahasan CF, fenomena tersebut dikenal sebagai Massenerhebung effect (bhs Jerman) (mass elevation effect, telescoping effect) atau pengaruh pengangkatan massa udara yang menyebabkan semakin tingginya (dpl) keberadaan CF. 10. Gambar/ilustrasi diambil dari Bruijnzeel, L.A. And L.S. Hamilton, 2000, Decision Time for Cloud Forest. UNESCO, Paris.


PUSTAKA [1]

[2] [3] [4]

[5]

[6] [7]

[8]

[9]

Bruijnzeel, LA, 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effects of Conservation : A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological Programme, Paris. 224 hal, ha-laman 13 - 15. Bruijnzeel, LA., 1986. Environmental Impacts of (De) foresta-tion in the humid Tropics A Watershed Perspective. Wallaceana 46:3 13, halaman4. Bruijnzeel, LA, and E.J Veneklaas, 1994. Climatic Conditions and Tropical Montane Forest Productivity : The Fog has not lifted yet, belum diterbitkan. Bruijnzeel, LA and J. Proctor, 1993. Hydrology and Biogeochemistry of Tropical Montane Cloud Forest: What di we really know! hal 25 - 46. Dalam L.S. Hamilton, J.O. Juvik & F.N. Scatena editors. Tropical Montane Cloud Forests. East West Center Honolulu. Bruijnzeel, LA. M.J. Waterloo, J. Proctor, AT. Kuistera, B. Kotterink, 1993. Hydrological Observations in Montane Rain Forests in Gunung Silam, Sabah Malaysia, with special reference to the 'Massenerhebung' effect. Journal of ecology 81, 145 - 167. Carson, B. 1989. Soil Conservation Strategies for Upland Areas of Indonesia. East-West Environmental and Policy Institute Occasional Pape No. 9. Chang, J.H. 1993. Hydrology in Humid Tropical Asia. Dalam Michael Bonnell, Maynard M. Hutfshmidt and John S. Gladwell (eds), Hydrology and Water Management in the Tropics, Hydrological research issues and strategies for water management. UNESCO & Cambridge University Press. Cambridge. Chang, J.H. and L.S. Lau, 1993. Definition of Humid Tropics, Appdndix A. dalam Michael Bonell, Maynard M. Hufschmidt and John S. GladWell (eds), Hydrology and Water Management in the Tropics, Hydrological research issues and Strategies for water management. UNESCO & Cambridge University Press. Cambridge. Doumenge, C, Don Gilmour, Manuel Ruiz Perez, Jill Block-hus, 1993. Tropical Montane Cloud Forests : Conservation Status and Management Issues. Hal 17-24 dalam L.S. Hamilton, J.O. Juvik & F.N. Scatena, editors. Tropical Montane Cloud Forests. East-West


Center. Honolulu [10] Grainger, A., 1993. Controlling Tropical Deforestation. Earth-scan Publication Ltd. London. [11] Hamilton, L.S. James O. Juvik, Fred N. Scatena, 1993. The Puerto Rico Tropical Cloud Forest Symposium : Introduction and Workshop Synthesis. Hal 1-16. dalam L.S. Hamilton, J.O. Juvik & F.N. Scatena, editors. Tropical Montane Cloud Forests. East-West Center. Honolulu [12] Hommel, P.F. M., 1987. Landscape Ecology of Ujung Kulon (West Java, Indonesia). PhD thesis, Wageningen Agricultural University, Wageningen. [13] Kitayama, K., 1993 Biophysical conditions of the montane Cloud Forest of Mount Kinabalu, Sabah, Malaysia. Hal 115 — 125. dalam L.S. Hamilton, J.O. Juvik & F.N. Scatena, editors. Tropical Montane Cloud Forests. East-West Center. Honolulu [14] Lanly, J.P., 1982. Tropical Forest Resources, FAO Forestry Papper No. 30, Rome FAO [15] McCulloh, J. S.G. and Mark Robinson, 1993. History of Forest Hydrology. Journal of Hydrology, 150 (1993) 189 – 216 [16] Myers, N. 1986. Tropical Deforestation and a Mega-extinction Spasm. Dalam Soule, M. (ed), Conservation Biologyc : The Science of Scarcity and Diversity. Sunderland Massachusetts : Sinauer Associates. [17] Myers, N., 1989 Deforestation Rates in Tropical Forests and Their Climatic Implication, London. FOE (UK). [18] Seiler, W. & Crutzen, P.J., 1980 Estimates of Gross and Net Fluxes of Carbon Between the Biosphere and the Atmosphere From Biomass Burning. Climatic Change 2 : Hal 207 - 247 [19] Van Steenis, C.G.G.J., 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden; E.J. Bril. [20] Whitmore, T. C. 1990. An Introduction to Tropical Rain Forests Clarendon Press. Oxford. 226 hal. [21] Whittaker, R.H. 1975. Communities and Ecosystems, London Collier Macmillan


BAB 3 KEMARAU DI HUTAN TROPIKA Musim kemarau telah datang, musim panas (summer) yang terjadi di belahan bumi utara dan musim dingin (winter) yang berlangsung di belahan bumi selatan sekitar bulan Mei hingga Okto-ber, telah membuat angin muson (monsoon) yang bertiup sepanjang musim berganti haluan. Dari muson barat laut yang banyak membawa uap air karena melintasi samudera luas, menjadi muson tenggara, yang karena tidak cukup bekal uap air dari benua Australia telah menyebabkan musim kemarau di sebagian besar Indonesia. Kota Bogor yang hingga kini masih dikenal sebagai kota hujan, di masa tempo doeloe dikenal dengan sebutan Buiten Zorg (tempat mereka yang ingin melepaskan sejenak kepenatan kota), yang hingga akhir tahun tujuh puluhan masih dingin dan berhawa segar, kali ini juga tak luput dari sambaran muson tenggara tersebut. Kota yang kini telah sangat padat dan penuh kemacetan lalu lintas itu, kini telah hampir satu bulan tak mendapatkan tetesan air dari langit, sehingga udara Bogor terasa kering dan panas. Di angkutan kota, bus umum, terminal, kereta Jabotabek, bus-bus jemputan pegawai, hingga kantor-kantor, terdengar keluh kesah dari penghuni berbagai kompleks perumahan baru yang selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini berkembang sangat pesat di dalam dan sekitar kota Bogor, bahwa pagi itu mereka kekurangan air karena sumurnya mengering. Mereka harus berlangganan air PAM, atau setidaknya segera mendalamkan sumurnya beberapa meter lagi untuk menjangkau air tanah,


yang sungguh aneh di kota sebasah Bogor ini, barang tersebut terkadang mulai langka dan tak ramah hanya karena hampir satu bulan tidak hujan. Pak Iswara yang juga pqnghuni kompleks perumahan baru di bilangan Taman Cimanggu pagi itu juga sempat tidak mandi. Sebelum berangkat ke kantor hanya sempat gosok gigi dan cuci muka saja, karena sumurnya juga lagi ngambek. Niat berlangganan air PAM terpaksa harus ditunda sementara waktu, karena lagi tanggal tua. Maklum pegawai negeri, uang gaji yang tersisa hanya pas-pasan untuk menyangga kepulan asap dapur hingga gajian mendatang. Bagi pegawai negeri setingkat Pak Iswara, yang tidak pernah bersentuhan dengan hiruk pikuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), umumnya tanggal tua memang berarti paceklik alias kemarau juga. Tidak sebagaimana jabatan struktural pemerintahan yang saat ini masih banyak diburu orang, jabatan widyaiswara (pendidik/pelatih), walau secara retorik sering dipandang berperanan strategis dalam pengembangan sumberdaya manusia, namun masih dipandang sebelah mata oleh tenaga terbaik yang dimiliki oleh suatu departemen. Apalagi diisi oleh seorang yang relatif masih muda dan telah menyandang gelar akademik tertinggi sebagaimana Pak Iswara. Pak Iswara sendiri memang tidak begitu ambil pusing dengan jabatan, kedudukan, maupun titel akademik di manapun dia ditugaskan akan dilaksanakan dengan penuh pengabdian dan kesungguhan. Ungkapan terakhir ini memang masih banyak menghiasi berbagai teks pidato pejabat baik dari masa Orde Baru hingga reformasi. Namun sungguh, etos kerja pegawai negeri yang dilandasi oleh spirit pengabdian, apalagi demi kepentingan bangsa, rasanya semakin langka, mungkin selangka Harimau atau Badak Jawa yang hingga kini belum diketahui jumlah populasinya. Hari ini Pak Iswara sibuk mengajar dan membimbing praktik dari pagi hingga sore. Baru setelah lewat jam empat sore, Pak Iswara kelihatan mulai menurunkan tempo aktifitasnya, duduk di meja kerjanya sambil membuka-buka halaman koran pagi yang belum sempat dibacanya, karena memang sejak pagi perhatiannya dicurahkan secara penuh kepada tugasnya. Beberapa saat kemudian datang Widya, peserta pelatihan di Pusat Diklat yang kini telah menginjak bulan ketiga, dan


seperti biasa mereka berdua kelihatan asyik berbincang-bincang. *** W: Pak Is kok baru kelihatan,...kemana saja selama ini? I : Dua bulan terakhir ini saya berada di Kalimantan Timur, membimbing Praktik Inventarisasi Tegakan Tinggi (ITT) siswa Wirawana dan baru dua hari yang lalu saya pulang dari sana... W : Banyak pengalaman dong,... maaf kalau boleh, apa yang paling berkesan selama dua bulan di sana? I : Wuah,... panasnya bukan main, kebetulan lagi musim kemarau panjang di sana, dan areal praktek kita memang berada di hutan sekunder bekas tebangan HPH tahun lalu, jadi bisa dibayangkan panasnya. Udaranya kering dan panas di siang hari, kemudian dingin di malam hari apalagi pada dini hari1. Ini pengalaman penting bagi kami di sini, bahwa praktik tersebut kurang optimal dilaksanakan di musim kemarau. Di samping itu praktik ITT ini seharusnya dilakukan pada lokasi penebangan 4-5 tahun yang lalu. Hal ini khususnya untuk inventarisasi permudaan alam, sebab untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae, bijinya biasanya dalam kondisi dormant (tidak aktif) dalam jangka 1 - 2 tahun setelah penebangan, sehingga pada lokasi bekas tebangan berumur 1-2 tahun, kesannya tidak ada permudaan alam. [Prof. Dr. Djoko Marsono, 1998 Kom. Prib], Untung kita membawa praktek anak-anak muda belasan tahun, sehingga walaupun berat namun materi praktek bisa diselesaikan, kamu bisa lihat muka para siswa tersebut pada gosong semua,... W : Alaah... begitu saja kok dipermasalahkan, mereka itu kan calon rimbawan lapangan, ... mereka nanti akan bekerja dalam lingkungan seperti itu... ya .. kecuali kalau mereka hanya ingin menjadi rimbawan salon sebagaimana sebagian besar sarjana kehutanan Indonesia saat ini. I : Betul, tapi rimbawan kan manusia juga yang sebagaimana layaknya, mereka juga perlu kenyamanan dalam bekerja. Artinya diperlukan ketersediaan fasilitas yang memadai dan situasi yang menun-


jang aktifitas dan produktifitas kerja mereka apabila dituntut suatu hasil kerja atau hasil pengawasan yang optimal. Bukan berarti mentangmentang rimbawan mereka harus menderita atau harus bekerja dengan kondisi fasilitas yang tidak memadai. Kondisi semacam ini mungkin bisa diterapkan untuk rimbawan tempo doeloe di mana kondisi sosial dan ekonominya serta berbagai permasalahan yang dihadapi sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi jaman ini. W : Akur deh.., tapi ngomong-ngomong Hutan Hujan Tropika (HHT) yang dulu dikatakan sebagai tempat terbasah di dunia karena limpahan curah hujan yang begitu tinggi,... kenapa kok sekarang sering didera kemarau panjang apa itu karena dampak deforestasi selama tiga puluh tahun terakhir ini? I: Nah Iho, saya sudah duga arah pertanyaanmu mesti ke situ. Proses deforestasi tentunya tidak terjadi selama tiga puluh tahun terakhir ini saja, namun telah terjadi jauh sebelumnya, bahkan begitu manusia menduduki suatu wilayah, pada saat itu juga jelas proses deforestasi tak terelakkan. Di jaman Belanda penebangan hutan tropika basah di luar Jawa telah berlangsung dengan sistem panglong (kudakuda, lihat Bab 6) yang antara lain sebagaimana yang dilaporkan oleh P. Van Jon (1976) [24] berlangsung dengan laju yang cukup tinggi di wilayah pantai timur Sumatera. Bahkan Groeneveldt, W. pada tahun 1973 [10] melaporkan seriusnya proses deforestasi di luar Jawa selama dua puluh tahun terakhir yang disebabkan oleh konversi hutan alam menjadi lahan pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa deforestasi bukan hanya fenomena beberapa puluh tahun terakhir ini saja atau dalam konteks Indonesia mulai masa Orde Baru. Tetapi apabila yang kamu maksud adalah deforestasi intensitas sedang dan berat secara serentak di berbagai wilayah secara besar-besaran dengan peralatan berat, mekanis, canggih dan mampu membabat hutan secara cepat dalam waktu yang relatif singkat, memang benar baru dimulai setelah adanya sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1970-an dan sejak saat itu laju penyusutan hutan meningkat drastis. Adapun apakah proses tersebut berdampak terhadap perubahan iklim, jawaban saya,... mungkin juga. W:.. Lho kok hanya mungkin?! I: Tentunya saya tidak ingin menjawab secara gegabah, apalagi


dengan menunjuk suatu sebab tertentu yang belum terbukti secara ilmiah. Jawaban ringkasnya, secara teoritis hal tersebut bisa diterima, namun hingga kini belum ada penelitian empiris yang mampu membuktikannya. W: Wan,... kok saya jadi nggak habis pikir,... masak membuktikan sesuatu yang bisa dirasakan dan diukur, tidak mampu dilakukan di suatu jaman yang serba canggih ini... I : Kecanggihan itu belum sepenuhnya mampu menjawab berbagai fenomena alam di sekitar kita, sebagaimana pengaruh penurunan luas hutan tropika basah terhadap perubahan iklim secara lokal, regional maupun global yang akhir-akhir ini memang banyak disorot di forum internasional baik yang bersifat ilmiah maupun politis. Diakui, ilmu yang mendasari masalah ini (meteorologi) telah banyak meng-alami kemajuan sejak dua dasawarsa terakhir, namun hingga kini be-berapa fenomena yang terjadi belum sepenuhnya terjawab dengan tun-tas sehingga masih menjadi semacam misteri. Mengingat proses yang terjadi di alam ini sungguh sangat komplek. Iklim adalah suatu proses alam global yang amat kompleks, karena merupakan hasil interaksi berbagai sistem baik di permukaan bumi, atmosfir maupun lautan, yang pada wilayah sekitar peredaran matahari (tropika), kondisi tersebut semakin rumit, mengingat wilayah ini merupakan sumber penggerak peredaran udara di atmosfer. Karenanya kondisi meteorologinya sangat kaya variasi baik harian (diurnal, misalnya hujan konvektif), mingguan (weekly, misalnya timbulnya angin ribut), musiman (seasonal, misalnya perubahan arah angin muson) maupun tahunan (inter/multi-annual, misalnya timbulnya ENSO, akan dijelaskan kemudian). Sehingga bisa dimaklumi apabila perkiraan cuaca atau estimasi musim hujan dan kemarau di Indonesia sering melenceng. W : Ya, tetapi yang ingin saya tanyakan, seberapa besar pengaruh penurunan luas HHT terhadap perubahan iklim yang terjadi? I: Seperti yang telah saya jelaskan tadi, pertanyaan tersebut belum bisa dijawab secara jelas. Mengingat penutupan lahan hanya salah satu faktor di antara sekian banyak faktor yang diduga berpengaruh secara dominan. Secara statistik memang bisa dilakukan eva-


luasi, misalnya membandingkan penyusutan luas hutan tropika basah dengan kecenderungan perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka panjang, namun seandainya hubungan ini memang ada, kita juga tidak bisa menentukan secara pasti bahwa sebab utamanya adalah proses deforestasi. Mengingat seringnya terjadi penyimpangan (anomali) peredaran udara global yang berakibat kemarau panjang, di wilayah tropika khususnya di Indonesia, kita mengenal tahun ENSO, yaitu tahun dengan musim kemarau panjang yang disebabkan oleh ENSO. Dengan demikian apabila dilakukan analisa statistik dan ditemukan korelasi yang tinggi antara penurunan luas hutan dan meningkatnya frekuensi timbulnya kemarau panjang sulit disimpulkan pengaruh deforestasinya sendiri, mengingat bertumpang tindihnya berbagai faktor lain. W: ENSO?! ... rasanya saya sering mendengar istilah tersebut, bisa dijelaskan .... I : ENSO adalah singkatan dari El Nino Southern Oscilation, sering disebut sebagai El Nino saja. El Nino pada awalnya adalah nama arus laut lokal yang berdampak pada menghangatnya suhu air laut di pantai barat Amerika Selatan (sekitar Peru) yang terjadi secara reguler pada setiap perayaan hari natal, serta berdampak merosotnya hasil tangkapan ikan. Oleh karenanya, para nelayan Peru menyebutnya "Corriente del Nino" yang dalam bahasa Spanyol berarti "Arus laut dari anak laki-laki", pengertian dari anak laki-laki disitu adalah Kristus[9]. Kini sebutan El Nino mengalami perluasan arti yang menunjuk pada penyimpangan pergerakan (osilasi) arus laut di belahan bumi selatan (southern oscilation) yang berakibat pada penyimpangan iklim di berbagai wilayah secara telekoneksi, yaitu penyimpangan iklim yang terjadi secara sporadis di berbagai wilayah yang berjauhan namun berkaitan satu sama lain. Mekanisme keterjadian ENSO juga masih belum sepenuhnya diketahui, namun interaksi global antara atmosfer dan lautan diduga memberikan peranan penting terhadap timbulnya fenomena tersebut[l2]. W: Apa setiap ENSO memiliki karakteristik yang sama? I: Tidak, setiap ENSO selalu bersifat khas dan memberikan dampak yang bervariasi. ENSO yang terjadi pada tahun 1982 - 1983 merupakan ENSO yang terparah di sepanjang sejarah, temperatur


permukaan laut di Samudera Pasifik dilaporkan meningkat sebesar 6oC(10]. Di Indonesia berakibat bencana kemarau panjang (catastropic droughts), yang antara lain berdampak terhadap kebakaran hutan tropika basah di Kalimantan. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1997 1998. W : Jadi kebakaran hutan di Kalimantan pada tahun 1983 dan 1998 yang sering dilaporkan sebagai bencana ekologi terbesar abad ini tersebut semata karena ENSO? I: Kemarau panjang memang merupakan prakondisi utama dari kebakaran hutan, karena selama musim kemarau tersebut terkumpul berbagai bahan bakar yang sangat sensitif terhadap api, seperti daundaun kering, ranting, seresah dan tentunya yang tak bisa diabaikan dalam konteks ini adalah berbagai limbah eksploitasi hutan di wilayah bekas tebangan baru. Juga jalan-jalan logging yang dibangun oleh HPH telah membuka isolasi hutan yang menarik datangnya para peladang. Dari sini diduga kemungkinan besar api pertama berasal, khususnya pembakaran hutan musim kemarau yang berkaitan erat dengan kegiatan pembukaan lahan [21. Jadi penyebab kebakaran tersebut selain faktor alam (meteorologi) juga faktor manusia (deforestasi) atau kombinasi antara keduanya[21. Studi yang dilakukan oleh kantor Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1998 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997-1998 sebagian besar diakibatkan oleh pembukaan hutan alam melalui sistem HPH, HTI dan sistem perkebunan besar. W: Bisa dijelaskan kronologis terjadinya kebakaran? I: OK, Saya ambil kasus kebakaran hutan tahun 1983. Dilaporkan bahwa antara bulan Juli 1982 hingga April 1983, curah hujan di Kalimantan Timur merosot drastis, berdasarkan pengukuran curah hujan yang dilakukan di Kota Bangun, wilayah ini hanya menerima sekitar 32% dari curah hujan tahunan rata-ratanya (1820 mm)[141. Kemarau panjang tersebut telah meningkatkan sensitifitas biomas hutan terhadap api, sehingga pada tahun 1983 mulai terjadi kebakaran hutan yang melahap lebih dari 3 juta hektar di Kalimantan Timur dan sekitar 1 juta hektar di wilayah Sabah[3,231. Penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa dari areal yang terbakar sekitar 85% di Sabah dan 36% di


Kalimantan Timur merupakan lahan bekas tebangan yang penuh dengan limbah eksploitasi yang mudah terbakar [13,231. Khusus di Kalimantan Timur, kebakaran tersebut selain melahap hutan bekas tebangan juga meludeskan sekitar 24% hutan primer dataran rendah, 23% wilayah perladangan berpindah dan 17% hutan rawa bergam-but[21]. Selain kebakaran hutan, hembusan ENSO di Kalimantan juga berdampak pada kematian pohon seluas 100.000 ha yang disebabkan oleh kekeringan[13,23]. W; Apa kebakaran tersebut hanya terjadi di Kalimantan? I: Pada saat yang sama sebenarnya juga terjadi kebakaran hutan rawa gambut di Sumatera yang menyebabkan menggantungnya asap kabut tebal di sekitar Singapura yang menimbulkan gangguan serius terhadap penerbangan pesawat udara di lapangan udara Changi, sekitar 150 Km dari tempat kebakaran[231. Walaupun demikian Kalimantan secara geografis memang dikenal sebagai daerah yang rawan terhadap sambaran ENSO. Berdasarkan hasil penelitian, kemarau panjang tahun 1982 - 1983 di kawasan tersebut jelas bukan pertama kali terjadi, setidaknya telah terjadi sekitar dua hingga tiga kali pada abad XX. Terbukti di Sabah diketemukan padang alang-alang seluas 80.000 ha yang berasal dari bekas kebakaran hutan yang ditimbulkan oleh kemarau panjang di sekitar awal abad XX[23]. Namun mengingat kejadian pada waktu yang Ialu semata disebabkan oleh bencana alam, maka dampaknya tidak sebesar kebakaran pada tahun 1983 yang dipengaruhi oleh proses deforestasi. W : Dampak sambaran ENSO terhadap kemarau panjang dan kebakaran hutan benar-benar mengenaskan... I: Lho, ... ENSO bukan cuma berakibat terhadap timbulnya kemarau panjang, melainkan juga banjir dan angin ribut di wilayah lain. Selain di Indonesia, ENSO tahun 1982 - 1983 juga menyebabkan kemarau panjang di Sri Langka, India Selatan, Philipina, Hawaii dan Panama. Di wilayah lain ENSO justru berakibat luapan air bah sebagaimana banjir besar yang melanda Peru, Ekuador, Bolivia dan Brazil Selatan. Kemudian timbulnya angin ribut di Polenesia, Hawaii, lautan Atlantik, bahkan diduga juga berakibat memanasnya musim dingin di wilayah berlintang tinggi19].


W: Setiap periode berapa tahunan keterjadiannya? I: ENSO memang terjadi hampir secara periodik, dengan periode ulang 2-10 tahun[2) hingga kini telah dicatat beberapa kejadian ENSO, yaitu pada tahun 1891, 1925, 1934-1941, 1965, 1972-1973, 1982-1983, 1986-1987, 1993 dan 1997-1998. W: Untuk menghindari jatuhnya banyak korban, timbulnya ENSO apa tidak bisa diantisipasi secara dini? I: Hingga kini belum bisa diprediksi secara teliti kapan, di mana dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh ENSO yang akan datang[9,181. Berbagai fenomena alam terkadang bisa digunakan sebagai indikator timbulnya ENSO, misalnya singgahnya burung Pranticoles di Jakarta yang habitat asalnya di Asia Utara hingga India sering diduga merupakan tanda kedatangan ENSO, sebagaimana kedatangan burung ini sebelum timbulnya ENSO tahun 1982-1983. Pada awal tahun 1991 burung ini muncul kembali di perairan Jakarta, sehingga memperkuat dugaan timbulnya ENSO yang berakibat kemarau panjang pada tahun 1991-1992 di Indonesia[1]. Dugaan tersebut ternyata meleset, mengingat tahun 1991- 1992 justru merupakan tahun sangat basah, bahkan tahun tersebut mencatat berbagai kejadian banjir besar di Jawa dan Sumatera sebagaimana kondisi di penghujung tahun 2000. Sekali lagi fenomena alam memang sangat kompleks, sehingga kecanggihan teknologi belum mampu sepenuhnya membedah berbagai misteri yang terjadi. W: Bagaimana dampak kebakaran hutan tahun 1997-1998? I : Kebakaran hutan tahun 1997/1998 dilaporkan telah menghancurkan 10 juta hektar hutan dengan kerugian akibat langsung dari kehilangan kayu sebesar 60 trilyun (Rp. 6 juta per hektar) atau sebesar US$ 8,5 milyar[26]. Kerugian ini belum termasuk musnahnya keanekaragaman hayati, meningkatnya laju erosi dan pelepasan emisi karbon. Studi yang dilaksanakan oleh Economy and Environment Program for Southeast Asia dan WWF Indonesia bulan Oktober 1997 memperkirakan bahwa kerugian yang timbul, berdasarkan perkiraan konvensional, adalah sebesar US $ 1,4 milyar di Indonesia, Malaysia dan Singapura. W : Bagaimana kecenderungan kejadian ENSO dari tahun ke tahun?


I: Semakin menguat, diduga fenomena ini berkaitan dengan semakin membengkaknya akumulasi gas rumah kaca (greenhouse gasses)2, walaupun mekanisme keterkaitannya belum diketahui [8,15] W: Bagaimana keterkaitan akumulasi gas rumah kaca dengan perubahan iklim global? I: Efek rumah kaca (greenhouse effect) menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi, sehingga fenomena ini dikenal juga sebagai pemanasan global, yang merupakan pemicu terjadinya perubahan iklim. Walaupun belum ada kepastian kebenaran akan terjadinya pemanasan global ini, tetapi bila hal ini memang terjadi, dampaknya sangat buruk terhadap peradaban manusia. Perubahan suhu dan curah hujan dapat mempengaruhi ekosistem alami, produksi pertanian, maupun mengancam pemukiman. Walaupun belum pasti seberapa besar perubahan curah hujan dan naiknya permukaan laut yang bakal terjadi, yang pasti adalah perubahan tersebut akan berjalan sangat cepat. Sedemikian cepat perubahannya, sehingga hutan misalnya tidak mampu untuk ''bermigrasi" lebih cepat dibanding laju pemanasan global. Banyak ekosistem lainnya yang tidak mungkin bermigrasi mengikuti pergeseran suhu di muka bumi. Ekosistem akan punah bila iklim baru tidak sesuai lagi, atau paling tidak berubah struktur dan komposisinya. Kenaikan suhu sebesar 3°C dan curah hujan berkurang 10% berpengaruh negatif pada pertanian di Amerika Serikat bagian tengah. Di negara-negara Eurasia seperti Swedia, Finlandia dan Rusia, daerah yang cocok bagi pertanian akan bergeser ke sebelah utara. Di berbagai negara tropis, beberapa kawasan akan semakin kering. Sementara lainnya menjadi lebih basah. Kesemuanya juga menyebabkan meningkat-nya frekuensi dan intensitas badai tropis. Kenaikan permukaan laut mengancam tenggelamnya wilayah pemukiman yang terletak di wilayah pesisir, seperti Belanda, Bangladesh, Thailand dan negara atol Pasifik semacam Maladewa dan Fiji. Di Indonesia sendiri, kota pantai seperti Jakarta, Pontianak dan Banjarmasin terancam tenggelam bila tinggi permukaan laut terus meningkat. Naiknya permukaan laut juga membawa implikasi lain, seperti terjadinya abrasi wilayah pesisir, kerusakan hutan bakau dan terumbu karang, naiknya salinitas daerah estuaria, perubahan sedimentasi, berkurangnya intensitas cahaya di


dalam laut serta meningkatnya tinggi gelombang. Kini, setelah hampir satu dasawarsa pasca Earth Summit (KTT Bumi) di Rio de Jeneiro, ternyata keadaan bumi tidak semakin membaik dan bahkan sebaliknya. Kesepakatan untuk mempertahankan emisi berbagai gas rumah kaca pada tingkat tahun 1990 hingga setidaknya tahun 2000 dalam KTT tersebut terbukti tidak terpenuhi mengingat pada tahun 1994 tercatat bahwa emisi C02 telah naik lima persen dibanding tahun 1990. Kebakaran hutan yang semakin sering terjadi saat ini selain melonjakkan emisi karbon, kemampuan hutan sebagai penyerap C02 juga merosot demikian pula konversi hutan satu juta hektar di Kalimantan Tengah menjadi lahan terdegradasi. W: Sebagai pemilik hutan alam terluas ketiga di dunia, mestinya Indonesia dapat berperan besar dalam penyerapan C02 dunia .... I : Ya, Indonesia harus aktif meyakinkan dunia untuk memperoleh dana bantuan dari beberapa negara industri maju yang dikenal sebagai emiter C02 untuk mengembangkan program reboisasi di lahan kritis yang arealnya sangat luas (carbon trading). Dalam Kyoto Protocol telah diatur bahwa negara industri maju dapat mengurangi emisinya dengan cara membangun hutan di negara berkembang (Clean Devel-opment Mechanism/CDM). Sebagaimana diketahui, bila lahan kritis ditanami dengan jenis tanaman yang pertumbuhannya cepat, penyerapan karbondioksida dari atmosfir juga berlangsung cepat. Karbon yang disimpan dalam biomas HT1 akan lebih besar dibanding hutan yang rusak. Hasil produksi HTI selanjutnya perlu diolah menjadi bahan jadi yang awet, seperti bahan bangunan dan mebel. Melalui mekanisme semacam ini, C02 dipindahkan dari udara ke hutan dan selanjutnya ke produk awet tersebut. W : Kembali ke hubungan antara deforestasi dan perubahan iklim, apakah tidak bisa diduga dengan menggunakan modelling? I: Tentu saja bisa dan telah banyak dilakukan, namun seperti yang telah saya jelaskan, setiap model memberikan hasil estimasi yang sangat bervariasi, karena antara lain disebabkan oleh perbedaan asumsi yang mendasari model tersebut, sehingga menyulitkan penyimpulannya. Selain itu pemodelan karakteristik meteorologi di wilayah tropika biasanya sering menghadapi permasalahan keterbatasan


dan keakuratan data, khususnya data kecepatan angin dan curah hujan di wilayah lautan. Walaupun sejak sekitar dua dasawarsa terakhir, masalah tersebut mulai terpecahkan dengan aktifnya lembaga Internasional di wilayah tropika seperti Tropical Ocean Global Atmosphere (TOGA) yang secara khusus mengamati karakteristik angin muson dan ENSO, lalu kerjasama penelitian USA-Jepang dalam Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang memberikan penekanan khusus terhadap ketersediaan data curah hujan lautan yang telah mulai aktif sejak tahun 1990, ditambah dengan hasil liputan satelit cuaca seperti NO A A (US National Oceanographic and Atmospheric Administration) maupun GMS (Japanese Geostationary Meteorological Satellite). W : Bagaimana upaya pemodelan dampak deforestasi terhadap kemarau panjang? I: Kekurangan data memang masih merupakan kendala utama, khususnya untuk HHT di Afrika dan Indo-Malayan, mengingat perubahan iklim yang disebabkan oleh suatu bentuk deforestasi idealnya diperlukan ketersediaan data mikro-meteorologi baik pada lahan bekas tebangan maupun di atas tajuk tegakan HHT yang masih utuh[4), dengan demikian diperlukan instrumentasi peralatan canggih dengan biaya tinggi. W : OK, kalau dampak deforestasi terhadap perubahan iklim secara global atau regional sulit dibuktikan karena berbagai keterbatasan di atas, kita kan masih bisa melihat secara lokal, misalnya yang paling sederhana pengaruh keberadaan hutan terhadap iklim mikro dibandingkan penutupan nirhutan. I: Pengaruh hutan terhadap iklim mikro memang sudah sangat jelas, bandingkan saja bedanya duduk di bawah pohon dan ditengah teriknya matahari. Sepuluh tahun lalu ketika ruangan ini masih dikelilingi oleh pohon-pohon Agathis yang rindang, wah... nyaman sekali bekerja di ruangan ini dengan jendela terbuka dan angin sepoi-sepoi.... Tapi mana kini, setelah pohon-pohon tersebut ditebang untuk pelebaran tempat parkir, pengunjung perpustakaan ini tidak betah duduk berlama-lama seandainya tanpa Air Condition (AC). W : Nah,... kondisi tersebut kan bisa diekstrapolasi, yaitu se-


andainya terjadi perubahan secara besar-besaran yang mencakup areal yang luas. I : Itu yang hendak saya jelaskan. Begini, hutan nampak gelap dalam citra foto udara. LANDSAT, maupun SPOT. Hal ini disebabkan hutan menyerap lebih banyak radiasi matahari (solar radiation, incident radiation) daripada tipe vegetasi atau penutupan lahan nirhutan, dengan kata lain hutan sedikit memantulkan radiasi gelombang pendek atau memiliki albedo yang rendah, yaitu sekitar 12%, bandingkan dengan semak dan rumput-rumputan yang memantulkan radiasi gelombang pendek antara 16 - 20%, tanaman semusim tahunan 20% dan lahan terbuka 35 % [4,7,17]. Sehingga deforestasi akan berakibat per-ubahan neraca panas (heat balance) lapisan atmosfir bagian bawah, ka-rena setiap kegiatan konversi hutan menjadi penutupan vegetasi lain berarti meningkatkan albedo, sehingga deforestasi diduga mampu menyebabkan perubahan iklim baik secara lokal maupun regional. W: Bagaimana mekanismenya? I: Semakin tinggi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh tanaman, semakin rendah energi panas (latent heat) yang tersedia untuk proses evapotranspirasi (proses penguapan air oleh tanaman), di lain pihak semakin besar kontribusinya terhadap pemanasan udara sekitar (sensible heat). Dengan demikian konversi hutan HHT menjadi tanaman pertanian semusim misalnya, akan berakibat kenaikan refleksi gelombang pendek sebesar 8%, kenaikan tersebut akan berdampak pada merosotnya laju evapotranspirasi (karena semakin sedikit radiasi gelombang pendek yang tersedia untuk proses evapotranspirasi) dan semakin memanasnya suhu di sekitarnya (sensible heat, karena semakin besar refleksi gelombang pendek ke udara). Adapun kemerosotan laju evapotranspirasi ini bukan semata disebabkan oleh kenaikan refleksi gelombang pendek saja, melainkan juga oleh laju evapotranspirasi hutan yang lebih tinggi karena perakarannya yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan tanaman semusim. Selanjutnya berkurangnya laju evapotranspirasi akan berakibat merosotnya kandungan uap air di udara, artinya udara menjadi lebih kering. Kondisi ini jika terjadi pada wilayah yang luas akan mengganggu proses pembentukan awan (karena berkurangnya uap air di udara) dan sirkulasi udara[4,5]. Dampaknya


antara lain adalah meningkatnya suhu udara dan semakin panjangnya musim kemarau. W : Bagaimana kalau konversi hutan menjadi tanaman keras macam karet dan kelapa sawit, misalnya? I : Tanaman keras macam itu diketahui memiliki karakteristik refleksi gelombang pendek dan evapotranspirasi yang hampir mendekati hutan, sehingga pengaruhnya jelas tidak sedrastis seperti pada kasus tanaman semusim[41. Itulah pentingnya memberikan spesifikasi secara jelas terhadap proses deforestasi sebagaimana yang telah saya sampaikan pada diskusi kita yang pertama. W: Selanjutnya mungkin Pak Is bisa mengungkapkan hasil yang diperoleh dari modelling tentang masalah ini.... I: Sebagian besar publikasi hasil penelitian topik ini memang dari model simulasi dengan obyek utama HHT di wilayah Amazon (Amerika Selatan). Dua model yang banyak digunakan saat ini adalah Global Circulation Model (GCM)3 dan Land Surface Parametrisation (LSP). Saya tidak bisa ungkapkan semua hasilnya, karena saya tidak ingin uraian ini jadi terlalu rumit. Saya pilihkan saja suatu hasil model simulasi yang kini dianggap paling baik yang dilaporkan oleh J. Shukla dengan rekan-rekannya pada tahun 1990 di majalah Science[20]. Gambaran ringkasnya adalah sebagai berikut: dengan menggunakan model GCM dan LSP, mereka mensimulasikan perubahan hutan tropika basah Amazon menjadi semak dan alang-alang (padang rumput) terdegradasi. Hasil yang diperoleh adalah peningkatan suhu menjadi 2,5°C hingga 3,5°C, penyusutan evapotranspirasi sebesar 26%, dan curah hujan berkurang sebesar 30%. Seandainya hasil tersebut benar adanya, perubahan tersebut akan mampu menimbulkan dampak ekologis yang sangat luas. Karena pengalaman musim kemarau di Amazon Tengah


saat ini, sudah mendekati batas maksimum yang mana ekosistem hutan tropika basah masih mampu bertahan. Apabila terjadi musim kemarau yang lebih panjang dari saat ini diperkirakan akan menimbulkan bencana ekologi yaitu berupa bahaya kebakaran hutan serta berbagai perubahan ekologis yang tak terpulihkan.

Gambar 3. Prediksi perubahan iklim sebagai dampak konversi hutan hujan tropika Amazon menjadi padang rumput (Shukla, et.al., 1990)

W : Kebakaran hutan ternyata memiliki peranan yang sangat tinggi terhadap perubahan ekologi di HHT.


I: Tepat sekali. Bencana kebakaran hutan di Kalimantan Timur, kebakaran hutan yang melahap jutaan hektar HHT di Amazon Selatan pada tahun 1987, telah merubah pemahaman kita tentang peranan kemarau panjang dan kebakaran hutan terhadap perubahan ekologis, yang sebelumnya dianggap bahwa kebakaran hutan bukanlah suatu faktor ekologis penting di HHT'[5]. Hal tersebut diperkuat dengan penemuan arang dalam tanah pada awal tahun 1980-an di hutan Amazon Tengah bagian Utara. Dari hasil radiocarbon dating4 menunjukkan se-ringnya kejadian kebakaran hutan yang terjadi sejak 6.240 tahun yang lalu hingga pertengahan abad Holocen5, beberapa di antaranya bersesuaian dengan kemarau panjang[23]. W: Semakin banyak yang Pak Is jelaskan, rasanya semakin sadar betapa sedikitnya pengetahuan yang saya miliki saat ini, sehingga rasanya semakin banyak yang ingin saya tanyakan. Namun apa Pak Is kali ini masih punya waktu? I: Yaa,... lima menit lagi, karena sebelum pulang saya mau man-di dan bawa air ke rumah, maklura sumur di rumah lagi kering. W: Kekeringan?, waduh,... ngomong-ngomong ini gejala apa? I: Gejala biasa,... seperti yang telah banyak kamu baca di koran. Pertama adalah meningkatnya kebutuhan air yang disebabkan oleh berkembangnya kawasan industri dan perumahan yang sangat cepat. Dalam kasus Bogor, setelah jalan Tol Jagorawi dibuka akhir tahun 70 an, jarak Jakarta-Bogor memendek, sehingga penduduk Bogor meningkat sangat pesat yang tercermin dari meluasnya kawasan pemukiman di daerah ini yang tentu saja meningkatkan kebutuhan air tanah. Kedua, konversi lahan pertanian sebagai akibat meluasnya lahan perumahan telah menyebabkan laju pengisian air tanah (recharge area) merosot ta-jam, sehingga akibatnya seperti yang kita rasakan sekarang, air tanah begitu responsif terhadap musim kemarau, hal ini juga terjadi pada kota-kota lain di Jawa, seperti Jakarta, Bandung dan sebagainya. Masa-lah ini nampaknya akan berkembang dengan laju yang amat cepat dan secara pasti akan menjadi masalah lingkungan serius di pulau Jawa pa-da era milenium ke tiga. ***


Sejenak Widya terkesima oleh penjelasan Pak Iswara yang amat jelas dan memikat itu, dibenaknya semakin bermunculan berbagai per-tanyaan yang ingin segera ditumpahkan ke hadapan Pak Iswara, namun sayang waktu lima menit yang dijanjikan Pak Iswara telah berlalu. Mereka segera berpisah, Pak Iswara bersiap-siap untuk mengambil air dan pergi ke kamar mandi, sedang Widya segera bergabung dengan teman-temannya yang telah siap untuk berangkat shopping. Mereka hendak belanja makanan, minuman dan beberapa peralatan untuk bekal praktek lapangan di Balai Taman Nasional Bromo Tengger-Semeru selama dua minggu.*


Catatan Kaki: 1. Di musim kemarau, udara kering dan langit cerah. Di malam hari biasanya terjadi re-radiasi (eradiation, emission/cmisi) gelombang panjang (invisible long-wave infra-red radiation) secara berlebihan, yang menyebabkan udara permukaan bumi menjadi dingin, khususnya pada tengah malam hingga pagi hari, di mana kehilangan panas permukaan bumi mencapai puncaknya. 2. Radiasi matahari (gelombang pendek) yang menembus rumah kaca (greenhouse) akan dipantulkan sebagai gelombang panjang yang tidak mampu menembus kaca, sehingga rumah kaca tersebut memanas. CO,, methana, dan berbagai nitrogen oksida serta berbagai gas tertentu pada atmosfir bagian bawah memiliki karakteristik yang serupa dengan kaca dan berlaku sebagai penghalang pantulan radiasi gelombang panjang. Sehingga peningkatan kandungan gas tersebut di atmosfir akan meningkatkan pemanasan bumi. Sekitar 50% dari gas rumah kaca terdiri atas C02, sisanya terdiri atas Cfs (Chlorofluorocarbons), CH4 (methane), N20 (nitrous oxide), dan 03 (tropospheric ozone). Sebagian besar gas rumah kaca berasal dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Deforestasi selain berpengaruh terhadap peningkatan kadar C02, misalnya melalui kebakaran atau pembakaran hutan (C02, NOx), peningkatan oksidasi humus tanah hutan dan sebagainya, juga mengurangi penyerapan C02. 3. Laporan dari UNEP menyebutkan, bahwa peningkatan gas C02 sebesar dua kali lipat, di Indonesia diduga akan berakibat peningkatan suhu udara sebesar 1 hingga 1,4% (3,0°-4,2"C), kenaikan permukaan laut (transgresi) setinggi 1 meter, serta kemerosotan maupun peningkatan curah hujan di beberapa wilayah1221. Namun demikian, mengingat masih banyaknya ketidak-pastian, hasil pendugaan yang dihasilkan dari permodelan GCM tersebut diketahui memiliki ketelitian yang kurang memadai, sehingga belum bisa dipastikan apakah perubahan iklim yang akan datang akan menyebabkan peningkatan atau kemerosotan curah hujan di suatu wilayah18,161., 4. Radicarbon dating, C02 di atmosfir terdiri atas campuran 12C dan isotop radioaktif yang tidak stabil 14C yang memiliki umur paruh (half life) 5600 tahun. Tanaman yang mati, jumlah 14C-nya secara terus-menerus berkurang, sehingga rasio 14C terhadap 12C dapat digunakan oleh para ahli geologi untuk mengukur umur sepotong kayu atau bekas-bekas tanaman yang memfosil. Abad Holocene sekitar 10 juta tahun yang lalu (10 ka BP), pertengahan Holocene (middle/mid Holocene) berarti sekitar 5 juta tahun yang lalu.


PUSTAKA [1] [2]

Anonimous, 1991. Oceanologist Predict El Nino to Hit Indonesia This Year. The Indonesia Times, 8 Januari 1991. Allan, Robert., 1988 El Nino Southern Oscillation Influences in the Australian Region. Progress in Physical Geography, Vol 12. Hal. 313 - 348.

[3]

Beaman, R.S. Beaman, J.H., Marsh, C.W., Woods PV 1985. Drought and Forest in Sabah in 1983. Sabah Society Journal, 8, hal 10 - 30.

[4]

Bruijnzeel, L.A 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effects of Conservation : A State ofKnowledgereview. UNESCO International Hydrological Programe, Pariis. 224 hal. Hal 71 -79 dan hal 145.

[5]

Bruijnzeel, LA, 1993 Land Use and Hydrology in Warm Humid Regions : Where do we stand? dalam John Stuart Gladwell (ed) Hydrology of Warm Humid Region. The International Association Hydrological Sciences Publication No. 216. Brijnzeel, LA., 1994 Watershe Management I (HD 412). LandUse Hydrology (tidak diterbitkan). Dickinson, RE & Henderson-sellers, A., 1988. Modelling Tropical Deforestation : a Study of GCM land Surface parametri-zation. Quartly Journal of the royal Meteorological Society 114 : 439-462.

[6] [7]

[8]

[9]

Folland, C.K & D.E. Parker, 1990. Observed Variations of Sea Surface Temperature. Dalam ME. Schlesinger (ed) Climate -ocean interaction. The Kluwer Academic Publisher North Atlantic Treaty organization Commision of the European Communities. The Netherlands. Hal 21 - 52. Glantz. M.H., 1984. Floods, Fires and Famine : Is El Nino to Blame Oceanus Vol. 27. No 2 Hal 5 - 12.

[10] Groeneveldt, W., 1937. Boschvernieling in Netherlands chIndie, special in deforestasi buitengewesten (Deforestasi di Indonesia, khususnya di luar Jawa). Landbouwkunding Tijd-


schrift Volume 49. Hal 318 - 336. [11] Harrison, D.E. & M.A. Cane, 1984. Changes in the Pasific During the 1982 -1983 Event. Oceanus Vol. 27., No 2. Hal 2128. [12] Harsono, 2000. Pelaksanaan Reboisasi diserahkan ke Propinsi. Pembakar Hutan akan didenda. Harian Media Indonesia., Jumat 9 Juni 2000. [13] Latif, M. 1990 ENSO Modelling at MP1. Climate-Ocean Interaction. M.E. Schlesinger (ed) Climate - Ocean Interaction. Kluwer Academic Publisher North Atlantic Treaty Organization Commision of the European Communities. The Netherlands. Hal 173- 191. [14] Leighton, M. & Wirawan, N. 1986. Catastropic Drought and Fire in Borneo Tropical Rain Forest Associated with the 1982 1983 El Nino Southern Oscilation Event. Dalam G.T. Prance (ed). Tropical Rain Forest and The World Atmosphere. Westview, boulder. Hal 75 - 102. [15] Lonnertz, R & Panzer, K.F., 1983. Preliminary Assessment of the Drought and Forest Fire Damage in Kalimantan Timur. DFS German Forest Inventory Service. [16] Montan, M.J. and Bonell, M. 1993. Climate and Rainfall Variability in the Humid Tropics. Dalam M. Bonell, M.M. Huf-schmidt and J.S. Gladwell (ed), Hydrology and Water Management in the Humid Tropics - Hydrological Research Issues and Strategies for Water Management. UNESCOCambridge University Press, Cambridge, hal. 13-33. [17] Peerrbolte, EB., 1993. Sea-level Rise and Safety. A Consideration of safety impacts in low-lying coasstal areas with particular reference to the Netherlands, PhD-Thesis, Universiteit Twente-Enschede. [18] Potter, G.L. Elsasser, H.W., MacCracken, M.C. and Ellis. J.J., 1981. Albedo Change by Man; Test of Climatic Effects. Nature, 291.hal 47-50.


[19] Ramusson, E.M. 1984. El Nino ; The Ocean/Atmosphere Connection. Oceanus Vol. 27, No. 2. Hal 5-12. [20] Sanford R.L., Saldarriaga, J. Clark, K.E. Uhl. C, Herrera, R. 1985. Amazon Rain Forest Fire. Science, 227. Hal 53-55. [21] Sukla, J., Nobre, C. & Sellers, P.J. 1990. Amazon Deforestation and Climatic Change. Science 247 : 1322 - 11325. [22] Stadtmueller, T., 1990. Soil Erosion in East Kalimantan, Indonesia. Dalam R.R. Ziemer, C.L. O'loughlin & L.S. Hamilton (ed) Research Needs and Aplication to Reduce Erosion and Sedimentation in Tropical Steeplands. International Association of Hydrological Sciences. IHAS Publication No. 192. [23] UNEP, 1993. The Potential Socio Economic Effects of Climate Change in South East Asia, Bab IV. 1. : Assessment of SocioEconomic Impacts of Climate Change in Indonesia. Global Environment Monitoring System (GEMS). United Nations Environment Programme (UNEP), hal. 31 - 54. [24] Whitmore, T.C., 1990. An Introduction to Tropical Rain Forests. Clarendon Press-Oxford. 226 hal. [25] Zon, P. Van., 1917. Bijdrage tot deforestasi kennis der boschgesteldheh.il van deforestasi Residence deforestasi Ooskust van Sumatera (Kontribusi terhadap pengetahuan kondisi hutan di wilayah pantai Sumatera Sebelah Timur) Tectona Volume IX. Hal 251 - 268.



BAB 4 DEFORESTASI DAN DEBIT MUSIM KEMARAU Musim kemarau masih terus berlanjut, penduduk di beberapa daerah nampak mulai resah, terdengar jeritan dan keluhan yang semakin keras tentang bahaya kebakaran hutan, kekurangan air, kekurangan pangan dan munculnya berbagai wabah penyakit. Di beberapa daerah minus di Jawa bagian selatan, yang pada awal tahun 90-an dikenal sebagai daerah kantong kemiskinan[1], musim kemarau empat bulan ter-akhir ini telah mendatangkan semacam paceklik, begitu mereka biasa menyebut musim kemarau yang menimbulkan kelangkaan air dan bahan makanan. Andalan mereka hanya ketela pohon yang mampu tumbuh secara paspasan di tengah kegersangan. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sekitarnya yang paling menderita oleh deraan kemarau telah mulai melakukan sembahyang minta hujan di lapangan-lapangan berumput kering dan berdebu di tengah hari. Koran Jakarta Post [2] pernah memberitakan bahwa para pawang hujan di Wonogiri, yang dipercaya mampu menghalau turunnya hujan di bulan-bulan orang banyak hajatan, mendapat himbauan khusus dari pejabat setempat untuk menghentikan aktifitasnya. Di lahan-lahan pertanian yang kebanyakan mengandung kadar liat yang tinggi telah kering kerontang dan retak-retak. Hutan jati di Jawa telah meluruhkan seluruh daunnya. Sedangkan di lahan-lahan bekas tebangan HPH maupun perladangan berpindah di siang hari nampak gersang, kering dan panas. HTB yang dalam kondisi utuh menyimpan ketenangan, kesegaran dan pemandangan ijo royo-royo ini, setelah dibabat dan dibiarkan tak terawat, di musim kemarau


seakan telah menjelma menjadi semacam lahan "perapian" yang maha luas tak bertepi. Mata air dan sungai-sungai di bagian hulu telah menyusut airnya, sebagian telah mengering dan meninggalkan alur-alur kering, sedangkan sungai-sungai yang biasanya meluap di waktu musim hujan hanya menyisakan aliran rata-rata sekitar seperlima volume bentangan sungainya. Balok-balok kayu (log) hasil tebangan dari daerah hulu yang dihanyutkan lewat aliran sungai teronggok kandas dan sementara tidak mampu melanjutkan perjalanan. Air bersih di kota semakin mahal, PAM di beberapa kota besar hanya mampu mengucurkan air pada jam-jam tertentu karena merosot-nya pasokan debit air, sedangkan arus barisan sampan yang banyak memadati aliran sungai di bagian hilir kini telah macet total, yang seakan telah mengubah badan sungai menjadi aliran buangan sampah ter-panjang, daripada fungsi alaminya. Di pemukiman kumuh di kota-kota besar yang jauh dari hembusan Air Condition, pada siang hari penghuninya sudah tidak nyaman lagi mengenakan baju, sedang di desa-desa yang lebih leluasa pun, biasanya laki-laki hanya pakai celana kolor pendek dan ngligo saliro (tak pakai baju), perempuan hanya pakai kain, sayak (rok bawah) dan kutang. Ternak mereka semacam kambing, sapi dan kerbau tampak sudah mulai loyo dan semakin kurus. *** Sore ini Pak Iswara baru saja menyelesaikan kuliahnya tentang Forest Hydrology (FH) selama delapanjam di pelatihan SECM, yang disampaikan langsung secara non-stop selama satu hari penuh dari jam delapan pagi hingga jam lima sore dengan hanya istirahat snack pagi dan sore serta makan siang. Sayang, mata kuliah FH yang sesungguhnya amat menarik dan cukup panjang itu, di pelatihan ini tidak mendapatkan alokasi waktu yang memadai. Hal ini nampaknya dapat dimaklumi karena pelatihan


ini memang memberikan penekanan khusus kepada manajemen kawas-an konservasi dan pelestarian satwa liar (Management Conservation Area and Wildlife), sehingga pelajaran FH yang membahas pengaruh hutan terhadap tata air hanya masuk dalam kelompok penunjang, dengan catatan peserta yang merasa belum puas dengan penjelasan di kelas bisa berhubungan langsung dengan Pak Iswara, kapan dan di mana saja. Widya yang kini telah semakin akrab dengan masalah tata air HTB maupun dengan Pak Iswara pribadi, sudah barang tentu termasuk salah seorang di antara himpunan peserta yang merasa belum puas dengan penjelasan kuliah FH di kelas, yang menurut bisik-bisik, Pak Iswara adalah seorang pengajar yang sangat baik. Karena selain dia menguasai materi, nampaknya ia juga memiliki bakat alam sebagai guru yang mampu mengekspresikan pemikirannya secara jelas dan teratur sehingga mudah dipahami. Selama delapan jam tadi peserta pelatihan benar-benar dibuat hanyut oleh penjelasan Pak Iswara yang menggebu-gebu dan selalu menarik untuk disimak, yang membuat peserta pelatihan tak sempat sedikitpun terlelap dalam kantuk yang biasanya datang pada saat menjelang dan setelah makan siang. Setelah kuliah diakhiri, Widya yang siang itu sengaja duduk di bangku terdepan, segera bergegas untuk mem-booking sisa waktu Pak wara di malam hari, maklum Pak Iswara yang work-aholic alias keijingan kerja ini memang biasa ngelembur hingga jam sembilan malam. Hal ini bukan karena Pak Iswara kebanjiran pekerjaan proyek di luar kantor yang harus segera diselesaikan, namun semata Pak Iswara suka menulis dengan menggunakan fasilitas komputer di kantor yang biasanya baru leluasa digunakan setelah jam kantor. Maklum saja karena sampai dengan saat ini Pak Iswara belum mampu menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli komputer. Kebetulan malam ini tidak ada tulisan yang mendesak untuk segera diselesaikan, sehingga permintaan Widya tersebut langsung disanggupi, "Habis maghrib ya" janjinya pada Widya. Tepat jam enam seperempat mereka berdua bertemu lagi di ruang tamu asrama. Widya nampak segar setelah mandi, tidak perlu


ber-up tentunya, hanya bibirnya dilapisi oleh pewarna bibir tipiis mondo-mondo. Sedangkan Pak Iswara walaupun belum sempat mandi namun baru saja mengambil air wudlu untuk sembahyang magrib, sehingga nampak bersih dan cerah wajahnya. Lebih-lebih rambutnya yang basah oleh air wudlu itu disisir ke belakang yang mana rambut bagian depan disisir ke samping untuk menyelamatkan "kepala bidangnya" (jidatnya. yang agak lebar) dengan rambut berjambul model tahun enam puluhan. Model sisiran berjambul itu memang merupakan salah satu penampilan khas yang dimiliki oleh Pak Iswara. Sambil membuka buku catatannya yang khusus disediakan untuk merekam penjelasan Pak Iswara, Widya mulai merangkai kalimat tanyanya yang pertama. *** W : Di kelas tadi Pak Is wanti-wanti (berpesan), untuk secara hati-hati menafsirkan berbagai hasil penelitian yang menyangkut tata air HTB. Kita perlu menelusuri secara cermat dari mana suatu hasil atau kesimpulan diperoleh, khususnya dalam kondisi alam yang bagaimana dan dengan metode apa penelitian itu dilakukan. Penjelasan Pak Is tersebut walaupun telah saya catat, namun belum sepenuhnya saya cerna maksudnya. Bisa dijelaskan secara lebih gamblang (jelas) lagi? I : Inti pesan saya tadi, kita memang perlu secara hati-hati menafsirkan hasil penelitian tata-air HTB, kekuranghati-hatian dalam menelaah suatu hasil penelitian, akan berakibat pada pemahaman yang keliru, yaitu menyebabkan timbulnya misunderstanding (M) dan misinterpretation (M) terhadap proses yang sebenarnya terjadi di alam. Dua M tersebut sering menjadi sebab timbulnya dua M berikutnya yaitu misinformation dan mitos (myth) yang membuat semakin kabumya informasi bidang ini. Hal di atas bisa dicegah dengan cara menelaah berbagai hasil penelitian tentang tata air HTB yang sering secara sepintas nampak kontroversial tersebut secara lebih kritis dan jernih.


W: Apa latar belakang terjadinya berbagai kontroversi hasil penelitian tata air HTB tersebut? I: Saya akan mengawali jawaban pertanyaanmu tersebut dengan memberikan sedikit gambaran tentang tujuan utama penelitian bidang ini dan sifat DAS itu sendiri, supaya penjelasan saya nanti lebih mudah dipahami. Penelitian bidang ini biasanya bertujuan untuk mengetahui dampak konversi hutan terhadap aspek tata air dalam unit DAS, misalnya pengaruh deforestasi, reboisasi, penjarangan (thinning) dan sebagainya. Penelitian tersebut walau secara sepintas kelihatan cukup sederhana namun kenyataannya tidak demikian. Hal ini dikarenakan suatu DAS baik itu berukuran ratusan kilometer persegi (large catchment), atau sekedar beberapa puluh hektar saja (small catchment), me-rupakan suatu sistem yang kompleks. Karakteristik tata air DAS di-tentukan oleh kondisi berbagai aspek biofisik pembentuknya, seperti iklim, geologi, geomorfologi, pedologi (tanah), topografi maupun pe-nutupan lahannya itu sendiri, yang mana kombinasi berbagai aspek tersebut di setiap DAS sangat bervariasi yang menyebabkan setiap DAS memiliki respon yang unik atau khas terhadap input curah hujan. W: Jadi setiap DAS itu bersifat unik dan khas, artinya tidak ada DAS kembar yang karakter biofisik penyusunnya persis sama, sehingga konsekuensinya setiap DAS memiliki karakter tata air yang khas pula....


I: Persis! Mungkin sebagaimana sebuah gurauan yang sering diucapkan oleh para pria, bahwa setiap wanita itu unik atau khas katanya... W: Wuuuah, khas dalam hal apanya nih... wah Pak Is kok bisabisanya Iho... bukanhanya setiap wanita saja dong ..., tetapi setiap ma-nusia itu memiliki kekhasan masing-masing, memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu mereka saling membutuhkan satu sama lain, dan perlu bekerja sama untuk saling melengkapi. Tapi ngomong-ngomong, apa konsekuensi kekhasan setiap DAS terhadap timbulnya kontroversi hasil penelitian? I: Banyak penelitian tata-air HTB yang dilakukan pada DAS tunggal (single catchment) hanya memberikan tekanan pada karakter penutupan vegetasinya saja, tanpa mengkaji secara proporsional aspek-aspek fisik lain yang saya sebutkan tadi. Hal ini nampaknya telah menjadi sebab timbulnya kontroversi tersebut. Sering secara sepintas perlakuan yang sama memberikan dampak tata air yang bervariasi, misalnya deforestasi pada beberapa DAS diketahui mampu meningkatkan debit sungai (water yield), namun pada DAS lain justru menurunkan debit sungai. Sebaliknya reboisasi, pada beberapa DAS diketahui ber-akibat kemerosotan debit sungai, namun pada beberapa DAS lain diketemukan justru meningkatkan


debit sungai. Kontroversi ini disebab-kan oleh kurang dibahasnya berbagai faktor yang mempengaruhi tata air suatu DAS secara menyeluruh (full picture). Apabila hasil penelitian pada DAS tunggal tersebut ditelusuri secara lebih mendalam de-ngan memperhatikan berbagai variabel lain yaitu, karakteristik hujan selama penelitian, kondisi tanahnya, geologinya, kelerengannya, perbedaan luasan DASnya, serta yang tidak kalah penting adalah kondisi penutupan awal, perlakuan pada saat dan pasca konversi, maka hasil yang nampak secara sepintas bersifat kontroversi tersebut akhirnya bisa dimaklumi dan diketahui latar belakang sebabnya[4,5]. W: Lalu masalah metode yang digunakan tadi...? I: Dalam disiplin ilmu ini, atau mungkin di berbagai disiplin ilmu yang lain juga, tidak ada metode yang benar-benar terbebas dari peluang ketidaktelitian hasil. Kelemahan dari setiap metode ini perlu dikenali betul, supaya bisa diperkirakan tingkat akurasi dari estimasi yang dihasilkan. Karena obyek dan proses yang sama sering memberikan hasil yang berbeda apabila diteliti dengan metode yang berlainan, hal ini sekali lagi disebabkan oleh tingkat akurasi ketelitian yang berbeda, selain perbedaan asumsi yang mendasari setiap metode tersebut. Oleh karena itu dalam membandingkan berbagai hasil penelitian perlu diper-timbangkan betul metode yang digunakan, supaya bisa ditafsirkan tingkat akurasinya. W: Bisa beri ilustrasi secara konkret? I: Contohnya yang paling sederhana adalah pendugaan laju evapotranspirasi (konsumsi air) aktual suatu jenis tegakan hutan di suatu DAS. Metode yang banyak digunakan adalah neraca air (water balance method) yang rumus sederhananya ET = P - Q; yakni evapotranspirasi aktual (ET, mm) sama dengan curah hujan rata-rata yang jatuh pada suatu DAS (P, mm) dikurangi debit sungai yang mengalir dan diukur pada outlet (saluran pelepas) DAS tersebut (Q, mm) pada waktu ter-tentu. Nah ..kelemahan utama metode ini adalah kebocoran DAS (catchment leakage). W: Kebocoran?! Wah... ternyata bukan uang BULOG saja yang bocor sebanyak Rp. 35 milyar, tetapi yang namanya DAS bocor juga ya... lalu yang bocor di bagian mana itu?


I: Pada suatu DAS kecil yang terletak di daerah hulu atau di sekitar mata air (small head water catchment), biasanya alur sungainya masih dangkal, sehingga tidak sepenuhnya memotong lapisan pelapukan batuan yang dilalui sungai tersebut. Karena lapisan batuan yang telah melapuk ini biasanya memiliki permeabilitas yang tinggi, kondisi ini menyebabkan sebagian aliran tersebut meresap secara vertikal ke dalam lapisan tersebut. Sedangkan pada sungai (DAS) besar biasanya aliran airnya merembes secara horizontal ke daerah bantaran banjirnya (floodplains) yang memiliki permeabilitas yang tinggi (endapan aluvial) pula. Kedua kondisi di atas menyebabkan debit air yang tercatat pada outlet suatu DAS underestimate atau lebih rendah dari aliran sebenarnya. Selain itu batas geologi DAS biasanya tidak persis sama dengan batas topografi yang bisa dikenali di permukaan, sehingga sangat dimungkinkan aliran bawah tanah (subterannean water transfer) suatu DAS mendapat masukan aliran (gain) atau justru mengalir ke DAS di sampingnya (loose), hal ini biasa terjadi pada DAS yang terletak di daerah vulkanik k atau daerah kars (kapur)[5]. Sayangnya besar nya kebocoran ini mustahil untuk bisa diukur, sehingga aliran tersebut merupakan aliran yang tak tercatat (unrecorded flow). W: Lalu apa hubungannya dengan ketidaktelitian pendugaan? I: Tentu saja adanya berbagai aliran yang tak tercatat tersebut mempengaruhi ketelitian pendugaan ET, karena debit yang diukur pada suatu titik di bagian hilir tidak menggambarkan nilai Q sebenarnya. Nilai dugaan Q lebih rendah dalam kasus kehilangan air (loose) dan lebih tinggi dalam kasus ketambahan air (gain), konsekuensinya ET dugaan juga menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari ET sebenarnya (ET = P - Q). Hal Iain yang perlu diperhatikan bahwa curah hujan di daerah tropika basah sulit diduga besarnya secara teliti karena hujan di daerah ini didominasi oleh tipe hujan konvektif yang memiliki intensitas tinggi, berlangsung dalam waktu pendek dan yang paling penting di sini adalah banyaknya hujan yang bersifat lokal (isolated shower)1. Kondisi terakhir ini telah menyulitkan estimasi rata-rata curah hujan wilayah suatu DAS, khususnya pada DAS-DAS besar (> 25 Km2) yang jaringan penakar hujannya tidak me...haiiising (bersin) madai...dan biasanya memang demikian, maaf....


W: Yang barusan ini tadi memang benar-benar hujan lokal, untung duduk saya tidak terlalu dekat. Makanya kalau boleh saya ingat kan, jaga kesehatan baik-baik! Jangan terlalu banyak nglembur, jangan terlalu capek, jangan terlalu ngoyo nanti sakit, kerja keras itu baik namun jangan terlalu... ingat kesehatan adalah segalanya lho! Lain bagaimana cara meningkatkan akurasinya? I: Pemilihan DAS harus dilakukan secara teliti, yaitu sejauli mungkin dipilih DAS yang tidak bocor (watertight) dan sebaiknya di lakukan pada DAS kecil (beberapa km2, untuk mengurangi besarnya kebocoran), namun dalam kondisi inipun, ketelitian metode ini masih cukup rendah, yaitu minimal sekitar 15%[5]. W : Lantas apa tidak ada metode alternatif selain neraca air tei sebut? I : Banyak! Salah satu metode yang biasa diterapkan di bidang, kehutanan di Indonesia hingga saat ini, selain metode di atas adalah metode lisimeter (lysimetry). W: Lisimeter? Rasanya kok pernah dengar kata tersebut, mungkin dulu waktu kuliah tidak begitu jelas maksudnya dan sekarang ketambahan lupa...lagi. I: Metode ini juga mendasarkan pada prinsip neraca air dengan skala yang lebih kecil, bukan DAS melainkan bejana yang berukuran beberapa puluh hingga ratusan meter persegi, yang diisi dan ditanam di bawah tanah, permukaannya ditanami oleh jenis tanaman yang hendak diketahui laju ET-nya, bejana inilah yang disebut dengan lisimeter. Dengan menggunakan lisimeter P dan Q, bisa diukur lebih akurat, ka-rena selain arealnya kecil juga tidak ada lagi kebocoran, sehingga ET bisa diukur secara lebih teliti. W: Metode mana yang memberikan ketelitian yang tinggi? I: Untuk bidang kehutanan, metode lisimeter ini kurang sesuai. W.Lho,... kok? I: Karena persyaratan utama pengukuran dengan alat ini biasanya jarang terpenuhi. Persyaratan tersebut, pertama : kondisi tanah dan iklim mikro (suhu, radiasi, kelembaban relatif dan kecepatan angin)


harus mewakili lingkungan di sekitar lisimeter, kedua : sampel vegetasi yang diamati dalam lisimeter harus dalam kondisi yang sama dengan vegetasi (tegakan) di sekitarnya baik jenisnya, ketinggiannya, kerapa-tannya dan kondisi pertumbuhannya, ketiga : dalam konteks tanaman kehutanan lisimeter tersebut harus cukup luas dan dalam. Penelitian selama ini nampaknya tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan tersebut, sering vegetasi yang ditanam di atas lisimeter sangat ber-lainan dengan karakteristik tegakan di sekitarnya. Kondisi ini pertama: menyebabkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju ET seperti temperatur, radiasi, kelembaban relatif dan kecepatan angin lebih di-tentukan oleh vegetasi di sekitar lisimeter dari pada tanaman yang menjadi obyek pengamatan pada lisimeter[9]. Kedua : air hujan yang diserap oleh tanah pada lisimeter yang notabene kedalamannya hanya sekitar 2 meter tersebut dimungkinkan terakumulasi di dalam dasar bejana, yang menyebabkan timbulnya semacam air tanah lokal (perched aquifer) atau buatan (artificial ground water table) yang menyebabkan anomali pertumbuhan akar tanaman yang diamati, sehingga berbeda dengan kondisi pertumbuhan alaminya. Kesimpulan-nya, metode lisimeter yang memang dikenal sangat sesuai untuk mengukur ET pada tanaman pertanian (karena perakarannya pendek), nampaknya kurang sesuai untuk tanaman kehutanan, kecuali apabila dilakukan pada lisimeter yang berukuran besar [Dr. Bruijnzeel, 1994, Kom.Prib]. Hasil pengukuran Litbang kehutanan dengan metode ini di Bogor dan Ciwidey (Bandung Selatan) [13 &14] setelah di bandingkan dengan pengukuran di beberapa tempat lain, serta mempertimbangkan kodisi meteorologi setempat, diketahui bahwa hasilnya overestimate[3]. W : Lalu metode apa dong yang paling cocok, semua kok banyak kelemahannya? I : Makanya harus sabar......, memilih itu memang tidak gampang, harus di teliti betul kelemahan dan kelebihannya. Teliti sebelum membeli, sekali salah memilih bisa menyesal seumur hidup. W : Lhoh... memangnya memilih pasang hidup! Enak-enak bicara tata-air kok tiba-tiba ngelantur ke tata-hidup segala ....


I : Oke,... sekarang kembal ke tata-air lagi. Metode yang kini dianggap paling baik adalah DAS berpasangan (pair catchments method). W: Berpasangan?! DAS ini binatang apa sih... tadi katanya sifatnya khas, lalu bisa bocor, eh... kini berpasangan..he..he..he. bisa dijelaskan lebih lanjut? I : Prinsipnya adalah perbandingan kondisi tata air pada dua DAS atau lebih yang memiliki luas, kondisi geologi, tanah dan penutupan lahan (land cover) yang hampir sama. DAS yang pertama dijadikan sebagai DAS kontrol (Control basin) yang tidak dapat dirubah kondisi penutupan awalnya, sedangkan DAS yang kedua, ketiga dan seterusnya di jadikan sebagai DAS perlakuan (experimental atau treatment basin). Perbandingan karakteristik tata air tersebut dilakukan baik pada masa kalibrasi maupun pada saat perlakuan[4, 9]. W: Lalu bagaimana mengatasi peluang timbulnya kebocoran DAS tadi? I: Justru metode ini merupakan jawaban terhadap peluang timbulnya kebocoran DAS tadi. Tidak jadi soal berapa besarnya kebocoran dari setiap DAS, karena hubungan regresi yang diperoleh pada masa kalibrasi merupakan sebuah formulasi bagaimana debit pada DAS A diekspresikan terhadap DAS B atau DAS C dan seterusnya. Tentunya dengan asumsi bahwa besarnya kebocoran setiap DAS tersebut konstan. Penyimpangan atau deviasi dari hubungan regresi awal yang terjadi pada pasca perlakuakan, merupakan indikator besarnya perubahan karakteristik tata air DAS sebgai respon terhadap perlakuan tersebut.


Sumber : Hewlett & Fortson, 1983

Gambar 4.1 Metode DAS Berpasangan

Sumber : Hsia & Koh, 1983

Gambar 4.2 Evaluasi dampak perlakuan dengan analisa statistik (A) regresi linier (B) kurva masa ganda

W : cukup jelas, lalu apa metode ini memiliki ketelitian yang cukup tinggi? I : Ya, tetapi konsekuensinya memerlukan wkatu pengamatan yang cukup lama, instrumentasi, masa kalibrasi, pembukaan hutan, pe-nanaman dengan jenis tertentu, hingga sampai tanaman tersebut


mencapai umur atau kematangan tertentu[4&9]. W : Waduh... kalau ngambil dolter (S3) dengan topik ini bisabisasampai nenek-nenek belum selesai juga. Lalu apa di daerah tropika basah metode ini telah banyak diterapkan? I : sudah cukup banyak, misalnya di australia (Babinda-Queensland), Malayasia (sungai Tekam-Paninsular, Bukit Berembun), Philipina (angat), india (Ootacamund, Dehra Dun, Rajpur), Zambia (Luano), Kenya (Kericho), Taiwan (Lien-Hua-Chi), Guyana (St. Elie) dan sebagainya[5]. Di Indonesia telah dicoba (setidaknya) di dua tempat, yaiut di Gunung Walat, Cibadak-sukabumi dan di Lereng Gunung Cijambu,Sub DAS Genteng (KPH Sumedang). Lokasi yang pertama merupakan unit pengamatan Badan Litbang Kehutanan bekerja sama dengan Perum Perhutani, Puslitbang Pengairan Bandung dan Vrije Universiteit (VU)-Amsterdam [7]. W : Kembali ke berbagai hasil penelitian tentang dampak konversi HTB terhadap debit musim kemarau yang telah banyak diungkapkan di kelas tadi. Terus terang saya masih belum paham mengapa deforetasi dalam berbagai penelitian diketahui mampu meningkatkan debit sungai di musim kemarau, sedangkan reboisasi justru berakibat terhadap anjloknya debit sungai di musim kemarau? I : kembali ke rumus awal tadi yaitu ET = P – Q atau Q – P – ET. Hutan secara umum memang memiliki konsumsi air (ET) yang lebih tinggi dari pada semak, rumput-rumputan maupun tanaman pertanian, uraian ini secara lebih mendalam akan kita bahas pada diskusi mendatang. Sementara kita terima dulu bahwa hutan memiliki konsum-si air yang lebih tinggi daripada penutupan non-hutan. Logika sederha-nanya penebangan hutan akan mengurangi jumlah konsumsi air yang tinggi dari pohon-pohonan (ET), sehingga meningkat jumlah air yang meresap dan kemudian mengalir di sungai (Q), yang pada akhirnya mampu mempertahankan kesetablian debit sungai di musim kemarau. Sebaliknya reboisasi akan meningkatkan jumlah konsumsi air (ET) sehingga akan berdampak penurunan jumlah air yang meresap ke dalam tanah dan selanjutnya berkurang debir air yang mengalir (Q), termasuk kemerosotan debit di musim kemarau. W : apa logika sederhana tersebut sering terbukti dilapangan?


I : Yang banyak terbukti di wilayah tropika bahwa deforestasi meningkatkan debit puncak banjir (Qp, peak discharge), laju erosi serta sedimentasi sungai (Qs, sediment discharge). Hasil air secara total (water yield) memang meningkat, namun peningkatan ini tidak seimbang dengan harga yang harus dibayar terhadap peningkatan laju erosi dan sedimentasi serta berbagai degradasi on-site selama dan pasca deforestasi. Lebih-lebih peningkatan debit yang tidak diimbangi oleh distribusinya secara seimbang, justru akan menimbulkan bencana banjir di musim hujan. W: Lantas dalam kondisi macam apa, deforestasi mampu meningkatkan hasil air yang terdistribusi secara seimbang, sehingga mampu menjaga kestabilan debit sungai di musim kemarau? I: Pada suatu kasus di mana penebangan hutan terkontrol dengan baik, sehingga kerusakan tanah bisa dibatasi seminimal mungkin, kemudian diikuti oleh upaya pemeliharaan kapasitas infiltrasi topsoil pada masa setelah deforestasi. Dalam kasus seperti ini, penurunan laju konsumsi air (ET) yang disebabkan oleh deforestasi akan terinfiltrasi2, kemudian terperkolasi3 menjadi cadangan air tanah (ground water storage) yang akan dialirkan di musim kemarau, sehingga mampu meningkatkan debit musim kemarau. Namun apabila kapasitas infiltrasi topsoil tersebut tidak terjaga, maka penurunan laju ET tersebut tidak tersimpan sebagai cadangan air tanah melainkan dialirkan langsung sebagai aliran permukaan (stormflow) pada musim hujan, dalam kondisi ini deforestasi berdampak pada kemerosotan debit di musim kemarau dan banjir pada musim penghujan. W: Jadi peningkatan debit sungai di musim kemarau sebetulnya dapat diupayakan dengan cara modifikasi penutupan lahan secara terkontrol, yang diikuti dengan tindakan konservasi tanah untuk memelihara kapasitas infiltrasi topsoil?


Sumber: RIN, 1985; Bruijraeel, 1990; Edi Purwanto, 1996

Gambar 4.3. Kemerosotan debit sungai di musim kemarau di DAS Kali Konto (233 km2), Malang, Jawa Timur sebagai dampak konversi 34% hutan alam menjadi pertanian lahan kering dan sawah

I: Betul, kombinasi tersebut merupakan salah satu kiat yang potensial dalam pengelolaan DAS di daerah tropika basah dengan tujuan utama meningkatkan hasil air[151. Walaupun kondisi ini sekali lagi jarang terjadi di wilayah bekas tebangan (logged over forest) di wilayah tropika basah[161. Karena biasanya selain eksploitasi hutan dilakukan secara serampangan, setelah hutan dieksploitasi areal bekas tebangannya tidak dipelihara dengan baik atau justru mengalami kerusakan yang semakin parah oleh okupasi dan berbagai perlakuan atau kegiatan pasca deforestasi. W: Jadi pemeliharaan kapasitas infiltrasi topsoil selama dan pasca deforestasi ini sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan debit di musim kemarau? I: Tentu, hal tersebut sekaligus juga merupakan jawab dari kontroversi berbagai penelitian yang dilakukan pada DAS tunggal, yaitu kenapa pada suatu kasus penelitian deforestasi meningkatkan debit sungai di musim kemarau, sedangkan pada kasus lain justru berdampak pada kemerosotan debit di musim kemarau. Hal ini semata disebabkan oleh intensitas pemeliharaan topsoil yang berbeda dari kedua penelitian tersebut. Apabila bukan karena hal itu, bisa dimungkinkan


oleh perbedaan karakteristik DAS, misalnya perbedaan tingkat kebocoran DAS[51, perbedaan akurasi metode yang digunakan, dan sebagainya. W: Lalu seberapa besar dampak deforestasi, khususnya dalam hal ini kegiatan logging, yang tidak ditindaklanjuti oleh kegiatan pengembalian kapasitas infiltrasi topsoill? I: Sebetulnya walaupun tanpa pemeliharaan secara khusus, secara alami hutan bekas tebangan di daerah tropika basah tersebut, kecuali pada tempat-tempat tertentu yang mengalami kerusakan berat hingga sangat berat seperti tempat pengumpulan kayu, jalan utama dan jalan cabang, akan mengalami proses suksesi yang relatif cepat yang disebabkan oleh lama dan tingginya intensitas penyinaran matahari4 dan ketebalan curah hujan. Semak-semak dan pohonpohonan akan segera tumbuh pada tempat-tempat yang relatif terbuka yang biasa disebut sebagai vegetasi sekunder (secondary vegetation). Keberadaan vegetasi macam ini sering dilaporkan cukup mampu memberi penutupan lahan secara rapat dan cukup efektif melindunginya dari pukulan air hujan (raindrop impact) maupun menghambat aliran permukaan (sur- face runoff). Dengan demikian dilihat dari aspek tata air, kehadiran vegetasi sekunder pasca deforestasi tersebut telah mampu memberikan pengaruh yang hampir bersesuaian dengan tegakan semula[16]. W : Lalu apa dong penyebab utama dari kemerosotan debit sungai di musim kemarau? I : Yang sering terjadi, hutan bekas tebangan yang nampak tak terurus dan memiliki daya keterjangkauan (accessibility) tinggi oleh kegiatan pembukaan wilayah hutan pada masa logging, biasanya menarik okupasi penduduk yang diikuti dengan berbagai usaha pertanian gurem (miskin dan subsisten) yang karena rendahnya tingkat pengetahuan dan modal dapat dimaklumi bahwa sistem bercocok tanamnya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Kondisi ini berakibat semakin parahnya kerusakan lahan, sehingga kondisi tata air lahan bekas tebangan merosot drastis. Akibatnya adalah semakin terbukanya tanah dan semakin merosotnya kapasitas infiltrasi, sehingga terjadi lonjakan aliran dan erosi permukaan, peningkatan aliran sedimen,


debit sungai di musim hujan yang kemudian diikuti oleh kemerosotan debit sungai di musim kemarau. W : Jadi keteledoran pengelolaan lahan bekas tebangan tersebut yang rupanya menjadi penyebab utama gangguan tata air HTB... I: Tepat sekali. Deforestasi dalam hal ini logging memang menjadi kunci awal kemerosotan kondisi tata air DAS, namun yang menjadi penyebab utamanya atau mungkin ungkapan yang lebih proporsional yang memperparah kemerosotan kondisi tata air, biasanya justru berbagai perlakuan pasca deforestasi yang tidak memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan[14,16]. Dengan kata lain deforestasi atau penebangan pohon itu sendiri sebetulnya tidak terlalu membahayakan kondisi tata air, apabila pelaksanaan penebangannya dilakukan dengan hati-hati dan diikuti oleh kegiatan konservasi lahan secara tepat pada periode pasca deforestasi. W : Apa berarti bisa diambil kesimpulan bahwa deforestasi atau penebangan hutan itu sebetulnya tidak membahayakan dan tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan? I : Deforestasi yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol jelas suatu proses yang sangat membahayakan baik terhadap tata air DAS maupun berbagai kepentingan lain, seperti kemerosotan keanekaragaman jenis yang tak ternilai harganya di mana sebagian besar belum sempat dimanfaatkan oleh kepentingan umat manusia. Oleh karena itu deforestasi dengan tujuan dan untuk peruntukan apapun, harus benar-benar dianalisa melalui proses penelaahan dampak lingkungan secara jujur, teliti dan bersungguhsungguh. Proses deforestasi yang berakibat menyusutnya luas HTB dunia secara drastis selama beberapa dasawarsa terakhir ini jelas tidak kita inginkan dan tentunya menjadi kekhawatiran maupun keprihatinan kita bersama. Namun masalah di belakang proses deforestasi memang kompleks, hal ini nampaknya tidak bisa diselesaikan oleh negara pemilik sumberdaya HTB saja, melainkan diperlukan ketulusan negara maju untuk memperbaiki sistem perdagangan kayu tropika, mendukung upaya negara tropika untuk meningkatkan usaha pertanian yang menjamin kelestarian sumberdaya lahan, serta memberikan dukungan yang lebih kuat terhadap usaha


perbaikan pengelolaan hutan dan konservasi alam. Kehadiran gerakan conservasionist baik di luar maupun di dalam negeri sebagai perwuju dan rasa keberpihakan terhadap nasib hutan tropika jelas dapat dimaklumi. Yang perlu diingat selain gerakan tersebut harus memberikan sumbangan riil terhadap pengendalian proses deforestasi, seyogyanya juga mampu menyuguhkan argumen yang rasional, akurat dan edukatif tentang pentingnya pelestarian hutan tropika, sekaligus menjauhkan diri dari gerakan propaganda melalui informasi yang kurang proporsional. Nampaknya kemampuan kita bekerja sama secara tulus antara pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat di sekitar hutan dalam melestarikan sumberdaya pinjaman dari anak cucu ini memang sedang diuji!

***

Kalimat Pak Iswara terakhir tadi diucapkan bersamaan dengan berderingnya bel dari ruang makan asrama, sebagai tanda waktu makan malam. Dari pintu asrama keluar tiga peserta yang kemudian bersama-sama Widya meminta kesediaan Pak Iswara untuk makan malam bersama mereka, tawaran tersebut tentu saja diterima oleh Pak Iswara dengan senang hati, yang memang sebetulnya sejak awal diskusi ini perutnya sudah mulai sedikit protes. Walaupun (relatif) masih muda, namun mengingat posisi Pak Iswara adalah guru, maka peserta segan untuk mendahului, mereka menyilakan Pak Iswara untuk mengambil makanan duluan. Malam ini menunya Soto Kediri yang segar, lengkap dengan bihun, telur godog, kerupuk udang, sambel cabe rebus, jeruk nipis dan goreng paru. Tidak terlalu mewah tetapi cukup mengundang selera. Sambil menikmati sajian yang diayun-ayun oleh alunan degung Sunda sayub-sayub dari loud-speaker yang berada di empat penjuru ruangan dan pesawat televisi 24 inch yang ada di tengah ruangan, ingatan Pak Iswara tiba-tiba menerawang jauh kebelakang, di saat ia masih berumur belasan tahun di dusun kelahirannya yang terletak di


pinggir hutan jati Kabupaten Trenggalek, yang pada waktu tahuntahun itu masih dikenal sebagai daerah terminus di Jawa Timur yang sering dilanda paceklik. Di setiap musim kemarau yang mana cadangan beras di lumbung sudah habis, pengganti makanan pokoknya adalah thiwul yang berasal dari ketela yang dikeringkan (gaplek). Karena SM A Pak Iswara berjarak sekitar 15 kilometer dari rumahnya dan harus ditempuh dengan sepeda onthel, dapat dibayangkan bahwa di tengah perjalanan pulang, perutnya sudah mulai keroncongan. Oleh karena itu simbok-nya selalu memberi bekal thiwul yang dibungkus dengan daun pisang, lalu biasanya ditambah dengan bungkusan daun jati yang berisi sayur nangka muda atau terong bercampur dengan kacang tholo, yang pedesnya minta ampun. Bungkusan tersebut dimasukan di dalam tas ranselnya dan biasa disantap di tengah perjalanan pulang, sekitar jam setengah dua siang, di suatu cakruk (pos keamanan di pinggir jalan), tempat Pak Iswara muda dulu biasa ber teduh melepas lelah, ... rasanya nikmaat sekali, beberapa kali lebih nikmat dari hidangan yang disantap malam ini. Lamunan Pak Iswara mendadak buyar, setelah mendengar siaran berita yang disiarkan oleh salah satu TV swasta, yang antara lain meliput pertemuan pejabat tinggi Departemen Kehutanan dengan para wakil Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM, NGOs) yang bergerak di bidang pelestarian HTB. Malah bukan hanya Pak Iswara saja, seluruh peserta yang sedang menikmati hidangan mendadak berhenti dan memperhatikan berita tersebut secara seksama. Bagi mereka yang memiliki rasa keberpihakan terhadapan nasib hutan hujan tropika, berita pertemuan antara pejabat tinggi Departemen Kehutanan dengan LSM tersebut memang cukup melegakan. Sungguh sudah saatnya dijalin suatu hubungan yang semakin erat dan harmonis, khususnya antara pemerintah dengan LSM, dengan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan, dengan para pengusaha dan negara-negara importir kayu tropika, tentunya dengan target utama yang sama, yaitu konservasi hutan tropika,... demi kelangsungan ekosistem bumi yang hanya satu ini.....


Catatan Kaki: Sebagian besar hujan terjadi pada sore dan malam hari. Rata-rata lamanya hujan di Indonesia cukup konstan yaitu sekitar 3,5 jam setiap kejadian hujan. Jakarta tercatat memiliki lama hujan terpendek yaitu sekitar 2,4 jam. Intensitas hujan di Indonesia berkisar antara 2,7 - 3,9 mm per jam. Berdasarkan penelitian di pulau Jawa 22% dari hujan tahunan berupa cloud-burts, yaitu curah hujan yang memiliki intensitas minimal sebesar 1 mm/menit dalam waktu tidak lebih dari 5 menit. Ada kecenderungan menurunnya intensitas hujan dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut, intensitas hujan juga menurun pada wilayah dataran yang dikelilingi oleh pegunungan (Bandung, Bukittinggi) [ 1 1 ] . Hujan biasanya bersifat lokal, hanya turun pada luasan terbatas, penelitian di DAS Bengawan Solo hulu dilaporkan bahwa radius ratarata hujan kurang dari 2 km [12]. Di Jawa, yang terhitung jaringan penakar hujannya relatif paling bagus dibandingkan wilayah lain di Indonesia setiap penakar hujan mewakili wilayah antara 6,35 - 110,28 km2 [15], mengingat tingginya dominasi hujan lokal, kerapatan jaringan penakar hujan di wilayah ini masih belum mampu mewakili tingginya keragaman distribusi hujan. 2. Infiltrasi adalah proses peresapan air ke dalam tanah, kondisi ini ditentukan oleh kualitas topsoil, atau lapisan tanah bagian atas. 3. Perkolasi adalah proses gerakan air dari lapisan tanah atas menuju ke muka air tanah (groundwater table). 4. Dataran rendah di Indonesia menerima rata-rata 120-300 jam penyinaran matahari atau 2.000-3.000 jam/tahun. Di dataran tinggi jumlah penyinaran matahari sekitar 1.300 jam per tahun. Di wilayah Indonesia bagian timur (Ujung Pandang, Kupang) jumlah rata-rata penyinaran matahari cenderung lebih besar, yaitu sekitar 300 jam/bulan atau lebih besar dari 3.000 jam/tahun [11]. 1.


PUSTAKA [1]

Anonimous, 1993. Kantong Kemiskinan. Laporan Utama Tempo (September). [2] Anonimous, 1989. When rain does not come. Odd World, Jakarta Post (Januari). [3] Bruijnzeel, L.A., 1988. Estimates of Evaporation in Plantation of Agathis Dammara Warb. In-Ssouth-Central Java, Indonesia, Journal of Tropical Forest Science 1 (3) : 145 - 161 [4] Bruijnzeel, L.A., 1988. (De) forestation and Dry Season Flow in the Tropics : A Closer Look. Journal of Tropical Forest Science 1 (3) : 229 - 243. [5] Bruijnzeel, L.A., 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion. A State Knowledge Review. UNESCO International Hydrological Programme. 224 halaman. [6] Bruijnzeel, L.A., 1993. Land Use and Hydrology in Warm Humid Regions : where do we stand? Hydrology of Warm Humid Region (Proceedings of the Yokohama Symposium, July 1993), IAHS Publ. No. 216. [7] Bons, C.A., 1990. Accelerated Erosion Due to Clearcuting of Plantation Forest and Subsequent “Taungya � Cultivation in Upland West-Java, Indonesia. International Association of Hydro- logical Sciences Publication 192 : 279 - 288. [8] Carson, B, 1989. Soil Conservation Strategies for Upland Areas of Indonesia. East - West Environmental and Policy Institute Occasional No. 9. Honolulu, Hawaii. 120 hal, hal 7. [9] Edi Purwanto, 1992. Melacak Karakteristik Hidrologi Tegakan Pinus Dalam Suatu Daerah Aliran Sungai. Duta Rimba 147 148/XVIII/1992. Hal 39 - 44. [10] Hamilton, L.S., 1987. Tropical Watershed Forestry-Aiming for Greater Accuracy. Comment. Ambio Vol. 16. No. 6. [11] Mohr, E.C.J., F.A., Van Baren, J. Van Scuylenborgh, 1972. Tropical Soil, A Comprehensive Study of Their Genesis. Mouton - Ichtiar Baru - Van Hoeve. The Hague Paris- Jakarta. [12] Pramono Hadi, 1990. Hydrological Study of the Upper Bengawan Solo Catchment, Indonesia. A Contribution to the Hydro- logycal


[13]

[14] [15] [16]

Modelling, Water Resources Management and Development Planning. MSc Thesis, ITC-Enschede. The Netherlands (tidak dipublikasikan). Pudjiharta, A., 1986a. Respon Dari Beberapa Jenis Tegakan Terhadap Pengawetan Air di Ciwidey, Bandung Selatan. Forest Research Bulletin (Bogor) 472 : 41 - 57. Smiet, A.C., 1989. Tropical Watershed Forestry Under Attack. Ambio 16 : 156-158. Sri Harto, 1987. Karakter Hujan di Indonesia. Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu Teknik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wiersum, K.F., 1979. Intoduction to Principles of Forest Hydrology and Erosion With Special Reference to Indonesia. Institute of Ecology. Padjajaran Universuty, Bandung.


BAB 5 KONSUMSI AIR HUTAN TRDPIKA Hujan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang membasahi bumi, meresap ke dalam dan mampu mengendorkan tanah yang mengkerut dan retakretak di musim kemarau. Rembesan air tersebut kemudian mendesak udara yang ada di dalam tanah. Udara yang keluar menghadirkan kehangatan serta aroma yang khas dari permukaan tanah kering yang baru disiram hujan. Selain mengusir udara di celah-celah bongkahan tanah, rembesan air yang meresap di permukaan kulit bumi tersebut juga mampu menggugah berjuta-juta serangga dari tempat “pertapaannya�, mereka keluar dari liangnya, terbang ke udara dengan mengeluarkan suarasuara yang khas dan mendatangi sumber-sumber cahaya di kegelapan malam. Para penghuni rumah di malam hari terkadang merasa terganggu oleh satwa-satwa kecil yang tak diundang tersebut. Untuk mengusirnya, mereka perlu mematikan lampu sejenak, bahkan di pedusunan mereka sering mengusirnya dengan membakar rumput dan daun padi, bahkan kotoran sapi yang masih lembab supaya keluar banyak asap yang akan memenuhi rumah dan mencegah masuknya serangga. Asap yang keluar dari rumah-rumah tersebut akhirnya menggantung dengan jarak tertentu dari permukaan tanah, karena tertahan oleh udara lembab yang keluar dari tanahI30]. Awal musim hujan juga sering ditandai dengan kemunculan laron, sejenis serangga yang merupakan bentuk dewasa


dari rayap (Calotermis militaris). Kehadirannya menimbulkan kesibukan sesaat bagi anak-anak di pedesaan. Mereka beramai-ramai keluar rumah di malam atau pagi hari, membawa tampah (penampi) yang mereka letakkan di bawah konsentrasi laron. Di tengah-tengah tampah mereka tempatkan lampu teplok (lampu minyak) yang di satu sisi mereka tutup dengan kertas atau daun jati, supaya apinya tidak mati tertiup angin. Terkadang masih ditambah dengan baskom (mangkuk) berisi air. Laron akan tertarik oleh cahaya, beterbangan mengitari lampu, jatuh di tampah kemudian diuyek atau langsung dimasukkan ke dalam baskom untuk melepaskan sayap-sayapnya. Walaupun tidak semua orang suka makan laron, namun di pedesaan (khususnya di Jawa) merupakan makanan yang amat lezat dan bergizi di musim ini. Diolah menjadi berbagai penganan, seperti sambal goreng laron, bothok laron, rempeyek laron atau sekedar di goreng sangan saja dengan sedikit garam, dimakan dengan nasi putih yang hangat, .... sedap sekali1301. Kesegaran di awal musim hujan selain memberikan kenyamanan udara, juga telah membangkitkan kesuburan dan kehidupan baru bagi berbagai biji-bijian dan spora yang istirahat (dormant) di musim kemarau. Beraneka ragam flora dan fauna serta berbagai mikro organisme di dalam tanah, di atap-atap rumah, serta pohon-pohonan di pekarangan, di dalam hutan. Semua bangun, bangkit, beraktifitas, bersemi, merajut kehidupan, untuk melestarikan eksistensi jenisnya.

***

Tidak seperti biasa, Pak Iswara pagi ini bangun agak kesiangan, karena hujan yang turun amat deras menjelang pagi tadi membawa kesegaran udara yang menyebabkan pulas tidur. Waker yang berdering- dering sekitar jam setengah lima dimatikannya secara


tidak sadar, baru mendadak sontak bangun setelah cahaya matahari pagi mulai menyentuh jendela kamarnya. Pagi ini ia terpaksa terlambat sembah yang subuh. Setelah berada di angkutan kota yang selalu dijejali penumpang di pagi hari, Pak Iswara baru sadar bahwa bukan hanya dirinya yang bangun kesiangan pagi ini, karena banyaknya obrolan masalah ke- siangan yang diungkapkan para penumpang selama di perjalanan. Sesampai ditempat kerjanya, ia langsung bergegas ke ruang perpustakaan di mana Widya tentunya telah menunggu, karena Pak Iswara terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Namun di luar pagi itu, sungguh Pak Iswara selalu berusaha semaksimal mungkin untuk tepat waktu, bahkan ia berusaha telah siap lima menit sebelum waktu yang ditentukan. Di jaman serba sibuk ini, ketepatan waktu memang menjadi sebuah kebutuhan penting, sekaligus menjadi indikator dari suatu kata yang akhir-akhir ini sering kita baca dan dengar, yaitu ‘profesionalisme’. Sesuai yang telah dijanjikan pada diskusi ketiga, pada kesempatan ini Pak Iswara akan mengupas masalah konsumsi air (proses evapotranspirasi) HTB. Suatu topik yang amat menarik, yang sering menjadi isu penyebab kelangkaan maupun kelimpahan air suatu wilayah.

***

W: Pertama yang ingin saya perjelas adalah apa peranan proses evapotranspirasi terhadap kehilangan air di suatu wilayah? I: Istilah “kehilangan� ini tentunya merujuk pada nilai guna bagi manusia, artinya curah hujan yang terevaporasi tidak sempat dimanfaatkan. Peranannya terhadap kehilangan air tersebut memang sangat besar yaitu hingga 100% di wilayah beriklim arid panas


(padang pasir), dan sebesar 50% di daerah tropika basah. W: Bisa memberi ilustrasi secara kuantitatif? I: Dalam satu tahun, permukaan bumi menerima limpahan curah hujan yang sangat besar, yaitu 125.000 km3, sebesar 83.000 km3 (66,66%) kembali lagi ke atmosfir melalui proses evapo-transpirasi, yang tentunya tidak bisa digunakan untuk kepentingan manusia. Sisanya sebesar 14.000 km3 (11,1%) meresap ke dalam tanah, sedangkan 28.000 km3 mengalir ke danau, sungai dan lautan, kedua jumlah terakhir tersebut secara teoritis bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia[34]. W : Dalam konteks di Indonesia? I : Sebagai contoh, dari curah hujan rata-rata per tahun di Pulau Jawa antara 2.400 - 2.600 mm, sekitar 1.200 mm kembali lagi ke udara oleh proses evapotranspirasi[37], di semenanjung Malaya (Malaysia) dari curah hujan rata-rata per tahun sebesar 2.500 mm, sekitar 1.750 mm “lenyap� melalui proses evapotranspirasi[24]. W : Dalam membahas tata air HTB, apa pokok perhatian kita? I : Tentunya kita tidak tertarik terhadap besarnya air yang hilang, namun lebih pada air yang sampai ke lantai hutan sebagaimana telah kita singgung pada diskusi kita yang pertama yaitu net precipitation. W : Mohon dijelaskan definisi dan posisi net precipitation terhadap sebagian proses daur hidrologi pada lahan yang berhutan. I : Dalam konteks pembahasan tata air hutan, ketebalan curah hujan1 yang turun sebelum menyentuh tajuk hutan disebut sebagai Gross {incident) precipitation (rainfall) yang disingkat dengan Pg. Pg biasa diukur oleh penakar hujan yang diletakkan pada celah hutan, atau oleh alat mikro-meteorologi yang dipasang di atas tajuk hutan. Setelah menyentuh tajuk hutan, curah hujan akan terdistribusi, sebagian akan terintersepsi (tertahan) oleh tajuk yang kemudian akan segera diuapkan


ke udara selama dan setelah hujan yang disebut sebagai interception loss (Ei). Sisanya sampai ke lantai hutan lewat tetesan tajuk atau crown drip (cd), dan aliran batang atau stemflow (sf), khususnya setelah tajuk hutan jenuh air. Selain itu curah hujan juga menetes ke lantai hutan melewati celah-celah tajuk, yang di sebut lolosan tajuk atau throughfall (tf). Total cd + tf + sf inilah yang disebut sebagai net precipitation yang disingkat dengan Pn.


Evapotranspirasi

Gambar 5. Distribusi aliran (uap) air (siklus hidrologi) pada suatu lereng lahan berhutan


W: Jadi untuk menduga besarnya Pn, kita harus mengukur tf, sf dan cdt 1: Dalam konteks pengukuran di lapangan, cd dan tf tidak bisa diukur secara terpisah, sehingga digabung menjadi tf saja. Namun pemisahan tersebut penting untuk keperluan pemodelan proses intersepsi[6]. W : Bagaimana dengan evapotranspirasi (ET)? I: ET sama dengan Ei di tambah dengan penguapan yang terjadi pada saat tajuk hutan dalam kondisi kering (transpirasi/Et), serta penguapan lantai hutan (Es). Mengingat Es pada hutan dataran rendah, dan lebih-lebih pada hutan dataran tinggi sangat kecil, nilai Es biasanya diabaikan. Sehingga ET = Ei + Et. W: Sekarang menuju ke inti permasalahnnya yang telah disinggung secara sepintas oleh Pak Is pada diskusi ketiga, yaitu kenapa hutan atau pohon-pohonan diketahui memiliki laju ET yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman nirhutan (rumputrumputan, semak- semak dan tanaman pertanian yang berukuran pendek)? I: Tunggu dulu,... sebelum sampai ke masalah tersebut, perlu dipahami benar faktor-faktor yang mempengaruhi proses ET itu sendiri. W: Wah, betul juga ya.... I : Tinggi rendahnya ET ditentukan oleh tiga faktor utama, pertama; adalah ketersediaan air di dalam tanah (lengas tanah, soil moisture), kedua; proses fisiologi tanaman dan ketiga; kondisi meteorologi, yang terdiri atas radiasi, temperatur, kelembaban relatif (RH) dan kecepatan angin. W: Bagaimana hubungan setiap parameter meteorologi tersebut terhadap laju EH I : Untuk mengubah 1 gram air dari bentuk cair menjadi gas (uap) dibutuhkan sekitar 590 kalori, energi tersebut sebagian diperoleh dari radiasi matahari[37], sehingga semakin besar radiasi, semakin besar ketersediaan energi untuk penguapan (ET). Kemudian udara memiliki sifat untuk menyerap uap air[38], oleh karena itu kelancaran evaporasi juga ditentukan oleh ketersediaan ruang di udara, semakin longgar ruang di udara semakin tinggi laju


evaporasi, dan semakin sesak ruang di udara semakin rendah laju evaporasi. Apabila udara telah jenuh uap air maka evaporasi akan berhenti. Indikator keleluasaan ruang di udara ditunjukkan oleh nilai relative (ambient) humidity (RH) atau vapour pressure deficit (VPD) yang merupakan rasio (dalam persen) kelembaban saat ini (actual humidity) dengan kelembaban jenuhnya (saturat- ed humidity) pada suatu suhu tertentu. ET semakin besar dengan semakin rendahnya RH. W: Kok ada embel-embel-nya suhu tertentu segala? I : Karena kapasitas udara untuk menampung uap air ditentukan oleh suhu. Semakin tinggi suhu udara semakin besar kapasitas tampung udara[38]. Oleh karena itu semakin tinggi suhu, semakin kering udara, semakin menggelembung kapasitas tampung uap airnya, sehingga semakin tinggi daya tarik udara terhadap uap air. W: Lalu hubungannya dengan kecepatan angin? I: Angin menggantikan udara lembab di sekitar tanaman dengan udara kering, sehingga gradien RH terjaga[37], dengan kata lain menyebabkan udara di sekitar tanaman tidak mencapai kejenuhan atau nilai RH-nya tetap berada di bawah 100%. Semakin tinggi kecepatan angin semakin besar pasokan udara kering, sehingga semakin besar laju ET. Kondisi ini tidak selalu terjadi, pada suatu saat faktor fisiologi tanaman berpengaruh sangat dominan sehingga peningkatan kecepatan angin tidak berpengaruh terhadap lonjakan ET. W : Kondisi meteorologi yang sama nampaknya memberikan implikasi laju penguapan yang berbeda antara tegakan hutan dan nirhutan.... I : Tingginya ukuran vegetasi dan besarnya biomas tajuk hutan dibandingkan dengan tanaman nirhutan telah menyebabkan laju ET pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju ET tanaman nirhutan pada kondisi yang sama. W : Mungkin dikarenakan pada saat tajuk hutan basah, selain terjadi proses intersepsi juga berlangsung proses transpirasi, yang menyebabkan kehilangan air yang jauh lebih besar dari


tanaman nirhutan? I: Bukan, anggapan itu tidak benar! Ingat pada saat tajuk hutan dalam kondisi kering ET hanya terdiri atas proses transpirasi saja, sedangkan pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah, transpirasi berhenti secara total dan ET hanya semata proses intersepsi saja. Oleh karenanya transpirasi identik dengan evaporasi pada saat tajuk hutan dalam kondisi kering, sedangkan intersepsi adalah evaporasi pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah. W: Lalu kenapa intersepsi disebut dengan istilah interception loss, bukankah proses intersepsi dapat dipandang sebagai kompensasi terhentinya transpirasi pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah? I : Saya tahu maksudmu, terhentinya transpirasi pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah berarti energi yang tersedia untuk transpirasi digunakan untuk proses intersepsi, sehingga selama intersepsi berlangsung tanaman tidak kehilangan air[6], sehingga istilah loss tersebut kurang tepat. Namun dari sisi lain, penggunaan istilah loss tersebut sangat beralasan, mengingat bahwa pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah, laju evaporasi jauh lebih besar dibandingkan pada saat tajuk hutan dalam kondisi kering. Ini terjadi terutama pada hutan beriklim sedang. W: Maksudnya? 1: Pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah, walaupun transpirasi berhenti secara total, namun laju ET hutan (intersepsi) melonjak sekitar 2-5 kali lipat besarnya ET hutan pada saat tajuknya dalam kondisi kering (transpirasi)[12, 141. Sebaliknya tanaman nirhutan, karena memiliki laju intersepsi yang sangat rendah, maka laju evaporasinya dalam kondisi basah akan anjlok hingga mendekati 0[121. Sebagai ilustrasi, seandainya tajuk hutan dalam kondisi kering, katakanlah memiliki laju evaporasi sebesar 0,2 mm per jam, dalam kondisi basah akan meningkat hingga 0,4 1 mm per jam. Sedangkan tanaman nirhutan pada saat yang sama justru mendekati 0.


W: Wuah... nyata benar bedanya! Lalu apa dong sebabnya? I: Tanaman hutan yang berukuran tinggi memiliki respon kekasaran permukaan yang jauh lebih besar terhadap aliran angin, dibandingkan dengan tanaman nirhutan. Tingginya kekasaran permukaan tersebut telah menimbulkan turbulensi (eddy current) angin yang tinggi pada tajuk hutan. Kondisi tersebut selanjutnya sangat kondusif terhadap proses pemindahan panas (dari angin yang membawa udara kering dari tempat lain ke tajuk hutan) secara efektif. Energi panas tersebut selanjutnya tersedia untuk menguapkan butir-butir air yang berada di permukaan daun ke atmosfir. W : Seberapa besar tingkat kekasaran permukaan lahan berhutan, dibandingkan penutupan lahan nirhutan? I : Kekasaran permukaan lahan berhutan sekitar 10 kali lipat dibandingkan tanaman pertanian, 100 kali lipat dibandingkan rumput rumputan dan 1.000 kali lipat dibandingkan permukaan air[28]. W : Lalu apa konsekuensinya terhadap tingginya laju ET pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah? I: Tingginya kekasaran permukaan tersebut berpengaruh terha-


dap rendahnya nilai aerodynamic resistance(ra), yaitu resistensi (daya tahan) tanaman untuk mempertahankan butir-butir air yang menempel di permukaannya. Semakin rendah nilai ra2, berarti semakin cepat dan mudah butir-butir air tersebut menguap. Besarnya nilai ra ditentukan oleh kecepatan angin. Semakin tinggi kecepatan angin, semakin rendah nilai ra, dan semakin besar kehilangan air tajuk hutan oleh proses intersepsi. W: Berapa besarnya nilai ra HTB?

I : Berdasarkan penelitian yang dilakukan di HHT dataran rendah di Cagar Alam Janlapa (Jasinga) Bogor, nilai r a sekitar 4 - 1 0 detik/m[13,27). Bandingkan dengan vegetasi sekunder (semak belukar) bekas tebangan hutan pinus di lereng Gunung Cijambu-Sumedang yang nilai r a-nya antara 14 - 24 detik/m[35]. Tanaman pertanian (di daerah beriklim sedang3) sebesar 50 detik/m, dan tubuh air terbuka sebesar 200 detik/m4


W : Mengingat proses intersepsi sangat boros air, sehingga makin sering dan lama tajuk hutan dalam kondisi basah semakin besar laju evapotranspirasi hutan? I: Tepat sekali, semakin besarnya proses intersepsi berarti semakin rendahnya ketebalan curah hujan yang sampai di lantai hutan (Pn), sehingga semakin besar pengaruh hutan terhadap hasil air suatu DAS. W : Selain faktor meteorologi, apa jenis pohon juga mempengaruhi besarnya laju intersepsi? / : Tentu ! Karena setiap jenis pohon memiliki jumlah, luas permukaan dan bentuk daun, konfigurasi percabangan serta arsitektur tajuk yang khas. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi besarnya nilai kejenuhan tajuk (canopy saturation value, atau S), tf maupun sf. Sebagai contoh ekstrim, perbedaan nilai S antara pohon berdaun lebar dan berdaun jarum (konifer). Daun konifer berukuran kecil dan berjumlah banyak, sehingga luas permukaannya (surface area) jauh lebih besar daripada pohon berdaun lebar pada suatu volume daun yang sama (ingat, pada suatu volume yang sama, semakin kecil suatu benda semakin luas permukaannya). Kemudian pohon berdaun lebar orientasi percabangannya menghadap ke atas sehingga akan memiliki


aliran batang yang tinggi (S dan Ei relatif lebih kecil), sedangkan pohon berdaun jarum arah percabangannya biasanya ke bawah (S dan Ei relatif lebih tinggi). Dari berbagai pengukuran nilai S, jenis konifer memiliki nilai rata-rata sebesar 1 - 2 mm, sedangkan daun lebar memiliki nilai rata- rata sebesar 0,5 - 1,0 mm128'. W: Dengan demikian jenis konifer memiliki laju intersepsi yang lebih tinggi dibandingkan jenis daun lebar. Perbedaan tersebut tentunya semakin mencolok pada hutan beriklim sedang di mana jenis konifer (evergreen) tidak merontokkan daunnya di musim dingin (winter), sehingga proses intersepsi dan transparasi berlangsung sepanjang tahun..... I: Jenis daun lebar di hutan beriklim sedang memang merontokkan daun, sebagai respon merosotnya suhu tanah dan perubahan lama penyinaran matahari (foto-periodisity). Di hutan tropika fenomena in hanya jelas ditunjukkan oleh Jati (Tectona grandis) yang merontokkan daun di musim kemarau (untuk memperkecil laju kehilangan air melalui proses transpirasi), sebagai respon menipisnya persediaan air (lengas tanah). Dalam kasus hutan beriklim sedang, proses perontokan daun lebar di musim dingin ternyata tidak berpengaruh banyak terhadap perbedaan laju intersepsi antara daun lebar dan jarum, mengingat pada saat musim dingin ET sangat rendah. W: Apa kehilangan air melalui proses intersepsi ini lebih besar dibandingkan dengan proses transpirasi ? I : Tergantung posisi geografisnya. Di HTB laju kehilangan air melalui proses transpirasi lebih besar daripada intersepsi. Tetapi di hutan beriklim sedang, laju kehilangan air melalui proses intersepsi memang lebih besar daripada transpirasi. W: Bisa dijelaskan latar belakangnya? I: Pertama, adalah perbedaan kecepatan angin, di mana di daerah tropika lebih rendah dibandingkan dengan daerah beriklim sedang. Kondisi ini mempengaruhi lebih tingginya nilai ra di daerah beriklim sedang. Bandingkan nilai ra hutan tropika di atas dengan nilai ra hutan beriklim sedang yang nilainya antara 2 - 3,5 detik/m (di Belanda)[9]. Kedua, adalah perbedaan karakter curah hujan. Hujan konvektif yang memiliki intensitas tinggi dan memiliki frekuensi


cloudbursts yang relatif tinggi menyebabkan tajuk hutan cepat menjadi jenuh, frekuensi cloudburts di Indonesia berkisar antara 1015 kali lebih besar dibandingkan di wilayah beriklim sedang, kondisi ini berakibat sebagian besar hujan yang jatuh akan

sampai di lantai hutan. Hujan konvektif biasanya berlangsung dalam waktu pendek dan mempengaruhi singkatnya pembasahan tajuk. Kemudian tingginya radiasi dan temperatur udara menyebabkan tajuk hutan tersebut cepat kering. Hal ini berbeda dengan daerah beriklim sedang, di mana curah hujannya didominasi oleh tipe frontal (cyclonic), yang memiliki intensitas rendah serta waktu yang panjang. Rendahnya intensitas hujan menyebabkan lamanya tajuk hutan mencapai kejenuhan, sehingga sebagian besar hujan yang jatuh tertahan oleh tajuk kemudian terevaporasi. Lamanya waktu hujan menyebabkan panjangnya waktu kebasahan tajuk yang berakibat semakin tingginya kehilangan air, hal ini didukung oleh rendahnya suhu dan radiasi matahari yang menyebabkan semakin lamanya proses pengeringan tajuk hutan. W: Tunggu dulu.... besarnya produksi daun HTB apa tidak berpengaruh terhadap besarnya intersepsi? I : Melimpahnya sinar matahari dan proses fotosintesa yang


mampu berlangsung sepanjang tahun memang berpengaruh terhadap tingginya Net Primary Productivity (NPP)5 yang kemudian berakibat membengkaknya produksi daun HTB, karena hasil fotosintesanya memang lebih banyak disimpan di daun daripada di kayu[21]. Dengan demikian hutan tropika memang memiliki biomas daun yang lebih besar, sehingga berakibat lebih besarnya kapasitas kejenuhan tajuk (S)6. Namun dalam kasus ini nampaknya karakteristik meteorologi berpengaruh lebih dominan dibandingkan nilai 5, sehingga besarnya persentase intersepsi HTB terhadap curah hujan diketahui lebih rendah dibandingkan dengan hutan beriklim sedang. Walaupun secara absolut intersepsi HTB bisa sama atau lebih besar, karena tingginya curah hujan di daerah tropika basah. W: Konkretnya...? I: Nilai Ei HTB secara kasar berkisar antara 10-20% dari Pg. Di dataran rendah rata-rata sebesar 13% dari Pg, sedang pada HTB pegunungan rata-rata sebesar 18%[6]. Ambil rata-rata curah hujannya sebesar 2.500 mm maka besarnya intersepsi adalah antara 325 mm 450 mm. Intersepsi di wilayah temperate sebesar 30 - 40% dari Pg. Ambil rata-rata curah hujannya sebesar 1.000 mm, maka besarnya intersepsi berkisar antara 300 mm hingga 400 mm. W: Jadi Ei HTB dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dataran rendah? I: Ya, karena intensitas hujan di dataran tinggi umumnya lebih rendah daripada dataran rendah. W : Lalu, apa bervariasinya kondisi iklim mikro suatu wilayah juga mempengaruhi laju intersepsi? I: Tentu, misalnya hutan yang berbatasan dengan tubuh air (danau, laut) atau permukaan lahan bervegetasi pendek (padang alangalang, semak belukar) yang luas. Pada saat hujan, hutan relatif lebih cepat dingin daripada permukaan tubuh air atau permukaan lahan bervegetasi pendek. Kondisi ini menyebabkan perbedaan suhu udara antara hutan dan di luar hutan. Energi panas tersebut terbawa oleh angin yang menerpa tajuk hutan, sehingga meningkatkan ketersediaan energi panas untuk proses intersepsi. Selain itu pada saat hujan, tajuk hutan juga lebih cepat dingin daripada lapisan udara di atasnya, perbedaan suhu udara ini juga menyebabkan tersedianya energi ekstra


yang mempengaruhi semakin tingginya laju intersepsi. Aliran energi (udara lebih kering) dari sekitar hutan (termasuk dari lembah, pada kasus hutan pegunungan) yang berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan energi untuk proses intersepi ini sering disebut sebagai pengaruh adveksi (advection / advective effect). Proses ini mampu meningkatkan laju intersepsi secara mencolok pada saat hujan besar (big storm)[6]. Pengaruh adveksi ini di wilayah tropika sangat penting mengingat curah hujannya bersifat lokal yang menyebabkan bervariasinya tingkat kebasahan tajuk hutan. W: Jadi selain perbedaan kapasitas kejenuhan tajuk hutan, posisi suatu tempat, besarnya curah hujan dan luasan penyebarannya berpengaruh terhadap besarnya laju intersepsi? I : Betul! Sehingga dalam konteks analisa hasil penelitian ET, sangat dimungkinkan ditemukannya ET dari jenis tegakan yang sama dengan kondisi meteorologi yang relatif sama, kemudian memiliki laju ET yang cukup berbeda. Hal tersebut antara lain bisa disebabkan oleh perbedaan pengaruh batas (edge effects) yang menyebabkan perbedaan intensitas pengaruh adveksi. W: Wah rumit juga...ya. I: Sekali lagi, perlu betul-betul mempertimbangkan seluruh faktor yang berpengaruh secara cermat untuk menghindari pengambilan kesimpulan yang keliru! W: Semakin jelas maksudnya... lalu bagaimana cara pengukuran besarnya intersepsi tersebut di lapangan? I: Nilai ini selalu diukur secara tidak langsung, sehingga biasanya memiliki ketelitian yang rendah, karena hasilnya merupakan akumulasi kekurangakuratan pengukuran Pg dan Pn. Intersepsi merupakan selisih antara Pg dan Pn (Ei = Pg - Pn; Pn = tf + sf), tf diukur dengan memasang penakar curah hujan di bawah tegakan hutan atau dengan menggunakan bak penampang (trough) yang kapasitasnya setara dengan sejumlah tertentu penakar hujan standar. Pada HTB yang tidak terganggu besarnya tf berkisar antara 60 - 90% dari Pg [25], sedangkan sf biasanya sekitar 1 - 2 % dari Pg[8] 7. Sf diukur dengan mengalirkan aliran batang selama hujan ke suatu penakar. Tf dan sf bisa diukur secara bersama-sama dengan menutup lantai hutan


dengan plastik dan mengalirkan air yang tertampung pada suatu penakar (plastic gauge). W: Wah...sederhana sekali. I: Ya, namun dalam kenyataannya sulit melakukan pengukuran yang memiliki akurasi yang tinggi, khususnya untuk menduga tf yang nilainya sangat bervariasi di bawah tegakan hutan, malah terkadang diketemukan nilai (/'jauh lebih besar dari Pg. Hal ini sering disebabkan oleh pengaruh tetesan setempat yang cukup tinggi karena konfigurasi percabangannya yang sedemikian rupa sehingga aliran batangnya terakumulasi di suatu tempat (drip-points)[3,4]. W: Bagaimana cara mengatasinya? I : Dengan cara menempatkan penakar tf secara random, lalu memindahkan posisinya secara random setiap selesai hujan atau setiap jangka waktu tertentu secara reguler. Kiat pengukuran tf semacam ini masih jarang dilakukan di hutan tropika, walau telah terbukti mampu mengurangi nilai standar deviasi pendugaan tf [3,4]. W: Lalu bagaimana mendapatkan data secara menerus, khususnya pada periode tidak ada pengukuran Pn? I: Berbagai model intersepsi kini telah tersedia, dari yang paling sederhana berupa hubungan regresi yang bersifat empiris, hingga yang canggih dan memerlukan banyak data lapangan (physically-based)8 yang dikembangkan oleh Rutter (1975), model ini selanjutnya dikembangkan menjadi model analitik yang memerlukan lebih sedikit data lapangan oleh Gash. Model yang terakhir ini kini banyak digunakan dan dikenal dengan Gash's Analytical Interception Model (GAIM)[22]. Di Indonesia telah dicoba untuk menduga laju intersepsi hutan tanaman muda jenis Accacia auriculiformis A. Cunn Ubrug Jatiluhur. Dengan periode pengu-kuran selama dua kali musim hujan, dapat ditentukan berbagai parameter model, di mana setelah diverifikasi dengan menggunakan sebagian data yang diperoleh dari pengukuran langsung pada lantai hutan, bisa digunakan untuk mengekstrapolasi data intersepsi pada saat tidak ada pengukuran Pn [3] . W: Lanjut ke proses transpirasi, apakah proses ini juga banyak dipengaruhi oleh kondisi meteorologi?


I: Jelas, faktor meteorologi yang mempengaruhi intersepsi juga berpengaruh pada proses transpirasi, bedanya pada proses intersepsi hutan bersifat pasif9 dan menjadi obyek dari kondisi meteorologi setempat. Sedangkan dalam transpirasi, proses fisiologi tanaman cukup aktif mengatur laju penguapannya, yaitu dengan mekanisme pembukaan dan penutupan stomata. Stomata adalah lubang-lubang yang berada di atas dan di bawah permukaan daun. Permukaan daun bagian bawah (abaxial) biasanya memiliki jumlah stomata yang jauh lebih besar dari permukaan bagian atas (adaxial) yang biasanya tertutup oleh lapisan lilin atau bulu-bulu halus. Pada kebanyakan jenis tanaman stomata hanya membuka pada siang hari. W: Faktor apa yang mempengaruhi mekanisme pembukaan dan penutupan stomata? I: Pertama adalah rangsangan cahaya tampak (visible light, 0,4 - 0 , 7 um), kedua adalah RH, ketiga adalah ketersediaan air tanah (lengas tanah). Ketiga faktor tersebut mempengaruhi kelulusan stomata (stomatal conductance) maupun resistensi stomata (stomatal resistence)10. W: Bagaimana hubungan konkretnya? I: Stomata akan membuka dengan rangsangan cahaya (radiasi matahari), semakin tinggi intensitas cahaya semakin besar pembukaan stomata, sehingga semakin tinggi transpirasi, yang disebabkan semakin tingginya kelulusan (atau semakin rendahnya resistensi) stomata. Semakin tinggi radiasi matahari, berakibat semakin panas dan sekaligus semakin keringnya udara yang menyebabkan semakin merosotnya nilai RH. Apabila kemerosotan RH telah mencapai titik tertentu, stomata akan tertutup rapat. Pada kondisi ini stomata sudah tidak dipengaruhi oleh radiasi, suhu udara maupun kecepatan angin. Walaupun ketiga parameter meteorologi tersebut semakin tinggi, stomata tetap tertutup rapat dan menolak transpirasi lebih lanjut (negative feedback me- channism). W: Mekanisme konservasi air secara alami.... I : Ya, sehingga bervariasinya kondisi klimatologi setempat sering tidak berpengaruh banyak terhadap laju kehilangan air tanaman, karena sempitnya laju kisaran transparansi. W: Lalu hubungannya dengan kondisi lengas tanah? I: Air yang tersedia bagi tanaman berkisar antara kapasitas lapang (fteld


capacity) dan titik layu permanen (permanent wilting point). Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Air yang dapat ditahan oleh tanah tersebut terus-menerus diserap oleh akar tanam-tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama semakin kering. Pada suatu saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tersebut sehingga tanaman menjadi layu. Kandungan air tanah di mana akar-akar tanaman mulai tidak mampu lagi menyerap air tanah sehingga tanaman menjadi layu baik pada siang maupun malam hari ini disebut kandungan air tanah pada titik layu permanen. Biasanya 25% sebelum titik layu permanen dicapai stomata akan tertutup rapat sehingga tanaman tidak akan sampai mengalami kelayuan secara permanen [1,9]. W : Bagaimana hubungannya dengan besarnya luas permukaan daun? I : Luas permukaan daun atau sering juga dikenal dengan istilah L e a f Area Index ( L A I ) , yaitu luas permukaan daun per luas areal, dinyatakan dengan satuan m2/m2. Parameter ini jelas mempengaruhi laju transpirasi, karena semakin luas permukaan daun semakin banyak jumlah stomata sehingga semakin besar bidang evaporasinya. W : Apa berarti hutan yang dijarangi atau dikonversi menjadi hutan sekunder merosot laju transpirasinya? I : Laju intersepsi jelas berkurang, namun laju transpirasi mungkin tidak banyak berubah [Dr. Bruijnzeel, 1994 Kom. Prib]. W: Lho, jumlah daunnya kan jauh berkurang? I: Jumlah daunnya memang berkurang sehingga laju transpirasi tajuk pohon berkurang. Namun pada hutan yang terbuka, intensitas sinar matahari yang mampu menembus lantai hutan melonjak, sehingga merangsang pertumbuhan tumbuhan bawah dan anakan pohon, di mana secara totalitas luas LAI pohon + LAI vegetasi sekunder tersebut biasanya hampir bersesuaian dengan LAI hutan dalam kondisi utuh. W: Wah... semakin lama nampaknya semakin menarik sekaligus juga semakin ruwet. Lalu bagaimana mengukur laju transpirasi di lapangan? I: Sangat bervariasi sekali. Secara umum hingga kini, metode yang banyak digunakan di HTB adalah metode neraca air dengan


skala DAS kecil, yaitu dengan mengukur laju intersepsi maka Et = ET- Ei, dengan mengabaikan laju evapotranspirasi lantai hutan yang biasanya sangat kecil pada HTB primer. Metode ini sebetulnya kurang teliti, mengingat berbagai kelemahan yang telah kita bahas pada diskusi ketiga (kebocoran DAS dan sebagainya). W: Bagaimana di Indonesia? I: Penelitian ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Hingga tahun 80-an penelitian klasik dari Coster11 masih merupakan satusatunya sumber utama bidang ini di Indonesia[5]. Sekitar awal tahun 1980-an Litbang Kehutanan memulai penelitian ini dengan menggunakan metode neraca air skala lisimeter, seperti yang telah kita bahas pada diskusi ketiga. Lalu diikuti dengan berbagai penelitian lain yang umumnya menggunakan metode penelitian yang biasa dilakukan di hutan beriklim sedang. W : Bisa dijelaskan berbagai penelitian yang telah dilakukan di Indonesia? I: Saya mulai dari penelitian Coster, ia mempelajari laju transpirasi berbagai jenis tanaman dari hutan alam pegunungan, tanaman perkebunan (teh, karet), sampai jenis vegetasi sekunder (kirinyu, alang-alang). Metode yang digunakan berdasar pada metode fisiologi tanaman, yaitu teknik fotometri dengan pendekatan desorbsi (desorbtive approach)12. Prinsipnya adalah mencatat penurunan berat tanaman, yaitu ranting dan cabang-cabang berdaun dari pohon (kecil) yang baru dipotong, perubahan berat dari satu kondisi segar hingga sebelum layu, diasumsikan sebagai kehilangan air dari proses transpirasi tanaman yang dinyatakan dalam gr per cm2 luas permukaan daun per jam. Dengan menduga luas seluruh daun pada suatu unit contoh (komunitas), maka dapat diduga laju transpirasinya1[18,5]. Mengingat Coster menggunakan cabang (ranting) sebagai satuan pengamatan, maka penelitian laju Et ala Coster ini juga sering dikenal dengan metode pengamatan cabang (twig observations method). W: Apakah metode tersebut cukup teliti? I: Ketelitiannya kurang bisa diandalkan, hal ini disebabkan pertama; pengukuran hanya dapat dilakukan pada waktu yang singkat. Kedua; pemotongan secara drastis memberikan peluang


timbulnya shock yang mengakibatkan melencengnya laju Et dari kondisi alaminya. Ketiga; ketelitian proses penimbangan. Penimbangan selain harus dilakukan secara teliti, juga perlu alat yang sangat sensitif terhadap perubahan berat[35]. W : Hasilnya? I : Bervariasi dari yang cukup masuk akal seperti potensi transpirasi13 ekosistem hutan pegunungan (740 mm/tahun), perkebunan teh (900 mm/tahun), hingga yang kurang masuk akal seperti Et vegetasi sekunder yang didominasi oleh Kirinyu (Eupatorium pallescens) yang diduga memiliki laju potensi-transpirasi sebesar 2.900 mm/tahun, di mana laju Et tersebut sangat jauh melampaui potensi laju penguapan setempat yang hanya sebesar 1.200 mm. Hal tersebut setelah diteliti ulang oleh Wasser (1988) dengan metode Penman-Monteith (akan dibahas), ternyata diperoleh hasil yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 847 mm/tahun. Untuk menduga laju transpirasi jenis Kirinyu nampaknya metode fotometri tersebut kurang cocok, mengingat terlalu cepatnya tanaman tersebut layu setelah dipotong[5,35]. W: Bagaimana dengan metode yang diadaptasi dari daerah beriklim sedang? I: Ada tiga. Pertama; metode penurunan laju lengas tanah (soil moisture depletion), kedua; mikro-meteorologi dan ketiga; Model Penman-Monteith. Ketiganya telah dicoba di Cagar Alam Janlapa (Jasinga-Bogor) oleh jurusan Geofisika dan Meteorologi-Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Institute of Hydrology Walingford.[13,35] W: Bisa dijelaskan secara singkat? I : Saya mulai dari metode penurunan lengas tanah yang telah dicoba di Cagar Alam Janlapa dan vegetasi sekunder bekas tebangan hutan pinus di lereng Gunung Cijambu (Sumedang) oleh Perum Perhutani bekerja sama dengan Vrije Universiteit (VU), Amsterdam [35]. Prinsip metode tersebut adalah mengukur kemerosotan lengas tanah pada suatu plot (Âą 100 m2) yang diisolasi dengan cara menutup permukaan tanahnya dengan plastik (seperti pada pengukuran Pn) dan menggali sekeliling batas plot dengan kedalaman minimal 3 m (mengingat pohon diketahui mampu menyerap air antara kedalaman (1,5 m - 5 m)[6]. Dalam kondisi ini, tidak ada input curah hujan maupun aliran air dari arah samping (lateral), sehingga penurunan lengas tanah yang diamati pada periode tertentu dengan menggunakan


neutron probe14 merupakan laju konsumsi air oleh proses transpirasi. W: Peluang penerapannya secara luas di Indonesia? I: Di Indonesia, metode ini sesuai diterapkan pada wilayah tropika basah tipe subhumid yang memiliki musim kemarau secara tegas. Namun di daerah yang sepanjang tahun hampir selalu basah seperti di Jawa Barat dan daerah beriklim tropika basah tipe wet lainnya, metode ini sulit diterapkan secara teliti mengingat adanya peluang masukan curah hujan maupun adanya input air tanah yang masih mampu dijangkau oleh akar pohon. W: Lanjut ke metode mikro-meteorologi... I: Metode ini mengukur berbagai parameter meteorologi yang mempengaruhi proses evaporasi di dalam dan di atas tajuk hutan. Peralatan mikro-meteorologi terdiri atas beberapa stasiun pengukur cuaca otomatis (automatic weather stations/AWS) yang diinstrumentasikan pada suatu menara pada berbagai ketinggian. Parameter meteorologi yang diukur pada periode tertentu tersebut selanjutnya bisa digunakan untuk pemodelan intersepsi (GAIM) maupun model evapotranspirasi Penman-Monteith. AWS tersebut terdiri atas solarimeter, net radiometer (pengukur radiasi), temperatur bola basah dan bola kering (pengukur RH), anemometer (pengukur arah dan kecepatan angin), serta penakar hujan otomatis. W: Tingkat kesesuaiannya dengan kondisi di Indonesia? I: Pertama; metode ini jelas memerlukan biaya instrumentasi peralatan yang cukup tinggi. Kedua; pengukuran secara teliti dengan metode ini memerlukan persyaratan konfigurasi lahan hutan yang tidak bergelombang (datar, untuk menghindari pengaruh fetc15). Ketiga; aplikasinya di HTB cukup rumit, mengingat kondisi alamnya jauh lebih berat dari kondisi alam hutan beriklim sedang. Di Indonesia metode ini nampaknya hanya sesuai diterapkan pada suatu penelitian khusus, yaitu apabila tersedia cukup dana dan ditemukan kondisi lapangan yang memenuhi syarat untuk penerapannya. Metode ini telah digunakan untuk penelitian laju evapotranspirasi hutan tropis di Kalimantan Timur oleh Pak Chay Asdak (1998) dari Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran, juga telah saya coba untuk meneliti laju konsumsi air hutan rakyat dan pertanian lahan kering di desa Cilampuyang - Malangbong - Garut.


W : Instrumentasi peralatan tersebut di hutan tropika cukup rumit... I : Ya, misalnya tingginya frekuensi kilat dan petir di daerah tropika jelas memberikan gangguan kelancaran sistem elektronik AWS. Lalu tingginya intensitas curah hujan yang mudah merusak berbagai peralatan tersebut apabila diinstrumentasikan di atas tajuk hutan. Kemudian serangan rayap terhadap kabel-kabel. Lebih-lebih apabila alat ini harus dipasang pada hutan tropika pegunungan dengan medan yang cukup berat, maka selain membawanya harus hati-hati, pemasangannya juga tidak mudah. Faktor ini nampaknya menjadi penyebab utama mengapa pengukuran proses evapotranspirasi di HTB hingga kini belum bisa dilakukan seteliti di daerah beriklim sedang[13]. W: Cukup jelas, lanjut ke model Penman-Monteith... I: Model ini juga dikenal dengan sebutan Big Leaf Model, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari rumus Penman. Sebagaimana diketahui bahwa rumus Penman mendasarkan pada pengukuran laju evaporasi permukaan air. Hasil pendugaannya setara dengan laju ET tanaman (rumput) yang pertumbuhannya baik dan cukup air, nilai tersebut sekaligus dijadikan sebagai laju potensi evapotranspirasi rujukan (reference potential evapotranspiration/Eo). Tanaman lain diduga laju ET-nya dengan mengunakan nilai Kc (Crop-coeficient/f, crop factor16) terhadap nilai Eo. Perlu diingat bahwa konsep Kc (f) ini hanya sesuai diterapkan pada tanaman nirhutan (pertanian) dan tidak bisa digunakan untuk tanaman kehutanan. Hal ini mengingat laju evaporasi pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah jauh lebih besar daripada saat tajuk hutan dalam kondisi kering. Rumus tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Monteith (1965), sehingga mampu menduga laju ET permukaan berbagai vegetasi, dengan menambahkan tiga parameter pada rumus Penman yaitu, koefisien refleksi vegetasi/ra (di mana pada rumus Penman berdasarkan refleksi air 0,06), dan rs atau surface resistence. Permukaan evaporasi vegetasi diasumsikan diwakili oleh lapisan tajuk tunggal (single layer) yang luas permukaannya sama dengan total luas permukaan seluruh daun, karenanya model ini


sering dikenal sebagai Big Leaf Model. Model ini terbukti kehandalannya di daerah beriklim sedang baik untuk menduga laju transpirasi maupun intersepsi. Di daerah tropika basah telah mulai digunakan dan memberikan hasil yang cukup akurat[6]. W: Kesulitannya? I: Pertama; adalah mengekstrapolasi hasil pengukuran tersebut (dari suatu plot kecil dengan luasan tertentu), ke dalam luasan hutan, maupun luasan DAS[1]. Kedua; penentuan parameter rs khususnya LAI17. Untuk mengukur luas permukaan daun (LAI) biasanya dilakukan dengan metode destructive sampling, yaitu dengan menebang pohon yang kemudian diambil daunnya sebagai sampel perhitungan luas. Penerapan metode ini di HTB, selain cukup berat juga memberikan ketelitian yang rendah, mengingat HTB memiliki keanekaragaman jenis pohon yang tinggi serta memiliki tajuk berlapis. Selain metode tersebut memang masih ada berbagai metode lain untuk perhitungan LAI, seperti vertical photography, light attenuation dan sebagainya, namun penerapannya dengan ketelitian yang memadai di HTB masih cukup sulit. Jelasnya kesulitan pendugaan LAI tersebut merupakan kelemahan utama pendugaan ET dengan rumus ini, lebih-lebih informasi (referensi) tentang LAI di daerah tropika basah masih langka[6,1]. W: Mungkin ada metode yang lebih sederhana, misalnya dengan prinsip fisiologi tanaman dengan menggunakan pelacakan radioaktif? I: Ada. Dan metode tersebut di akhir tahun 80-an (1986 - 1990) ini telah banyak digunakan untuk menduga laju transpirasi hutan tanaman Eucalyptus sp. di daerah beriklim tropika basah tipe “subhumid� di India. Metode ini memang cukup menjanjikan dan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode yang telah kita bahas sebelumnya. Beberapa keunggulan metode ini, pertama; tidak memerlukan persyaratan khusus konfigurasi lahan hutan, seperti pada metode mikro-meteorologi, kedua; mengukur laju transpirasi per pohon, ketiga; ketidak-telitian pada metode kemerosotan laju lengas tanah seperti yang telah dijelaskan di atas bisa dihindarkan[15]. Metode serupa telah dicoba pada penelitian hidrologi di Gunung


Rakata (Krakatau) oleh Herbarium Bogoriense bekerja sama dengan University of Oxford18. W: Bagaimana prinsip pengukurannya? I: Deuterium oksida (oxide) atau bahan radio aktif lain (misalnya, tritium) dengan volume tertentu diinjeksikan pada batang bagian bawah suatu pohon, bahan radioaktif tersebut tentunya akan mengalir melalui batang untuk kemudian diuapkan lewat daun. Beberapa kelompok daun pohon tersebut diambil sebagai sampel (contoh), dengan menutup ranting dan daunnya dengan kantong plastik (biasanya berjumlah sembilan sampel). Pengamatan biasanya dilakukan selama 10 hari, butir-butir air yang teruapkan lewat daun serta mengembun pada kantong plastik tersebut diamati setiap hari. Selama 10 hari akan diperoleh 90 sampel (9 X 10), dari pengamatan sampel tersebut dapat diketahui laju transpirasi rata-rata tertimbang, yang digunakan sebagai dasar untuk menduga laju transpirasi suatu jenis pohon[15]. W: Nampaknya secara teknis jauh lebih mudah dari metode sebelumnya... I: Ya, tetapi perlu diingat bahwa metode ini hanya mengukur laju transpirasi per pohon, sehingga hasilnya tidak langsung di terapkan ke dalam Et hutan. Kesulitan ekstrapolasi ini yang merupakan kelemahan pokok penerapan metode ini dibandingkan metode yang telah diuraikan sebelumnya[6]. W : Alam tropika memang kaya sekaligus kompleks yang menyebabkan rumitnya pendugaan berbagai fenomena yang ada di dalamnya secara teliti. Lalu berapa rata-rata laju transpirasi HTB? I : Sekitar 1.000 mm pada iklim tropika basah tipe wet sedangkan daerah yang memiliki iklim tropika basah tipe subhumid sekitar 600 mm[7]. Laju Et menurun dengan meningkatnya ketinggian tempat dari permukaan laut, mengingat semakin rendahnya suhu, radiasi matahari dan semakin tingginya kelembaban relatif19. Namun berdasarkan data Et yang diukur dari berbagai wilayah tropika hingga saat ini, belum bisa dirumuskan hubungan antara ketinggian suatu tempat dengan besarnya Et per tahun[6]. W : Berapa ET hutan dan seberapa besar bedanya dengan ET


tanaman pertanian? I : Rata-rata ET per tahun HTB dataran rendah, yang berada sekitar 100 meter dari permukaan laut sebesar 1.415 m, sedangkan HTB pegunungan yang terletak pada ketinggian sekitar 1.750 m dari permukaan laut sebesar 1.225 mm. Sedangkan TMCF hanya sekitar 308 mm hingga 392 mm per tahun20 [6]. Rata-rata ET tanaman pertanian per tahun antara 1.100 - 1.200 mm[17], sehingga konversi HTB menjadi tanaman pertanian di dataran rendah mengurangi laju ET sekitar 200 - 300 mm per tahun. Kondisi ini lebih rendah untuk dataran tinggi, kemudian justru meningkatkan ET apabila mengkonversi TMCF menjadi lahan pertanian! W : Laju ET TMCF jauh lebih rendah dibandingkan dengan HTB dataran rendah maupun dataran tinggi yang tidak diselimuti kabut? I: Ya, hal itu disebabkan oleh kombinasi antara rendahnya ketersediaan radiasi matahari (yang berpengaruh pada rendahnya energi untuk transpirasi) kemudian rendahnya suhu, serta tingginya kelembaban udara. Rendahnya laju ET TMCF dan kemampuannya untuk meningkatkan net-precipitation, seperti yang telah kita bahas pada diskusi pertama (Bab 2), merupakan bukti besarnya peranan TMCF terhadap ketersediaan sumberdaya air suatu DAS. W : Setelah cukup banyak membahas masalah ET HTB, sebaiknya kini meningkat pada pembahasan berbagai isu tingginya konsumsi air HTB monokultur. Pertama adalah pinus, nampaknya merupakan jenis tanaman penghijauan yang sangat disukai!!? I : Betul, kini diperkirakan terdapat sekitar 750.000 ha hutan pinus (Pinus merkusii Jungh & De Vriese) di Indonesia, sekitar setengahnya berada di Pulau Jawa[23 daiam 26]. Pinus merkusii merupakan jenis asli Indonesia, awalnya berkembang secara alami di Sumatera Utara, kemudian menjadi tanaman reboisasi yang disukai mengingat tanaman ini selain memiliki kisaran ketinggian tempat tumbuh yang amat lebar (3 m - 4.000 m dpi), juga mampu tumbuh pada lahan yang tidak subur. Akar tanaman ini memang memiliki hubungan istimewa (simbiosa) dengan bakteri dan jamur. Simbiosa akar pinus dengan bakteri membentuk bintil akar, yang mampu menambat N2


(Nitrogen) dari atmosfer, sedangkan simbiosa akar pinus dengan jamur membentuk mycorriza yang antara lain berperan penting sebagai pemecah senyawa P (Phosphor) yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. Dengan demikian sifat kepioneran pinus ini disebabkan oleh kebutuhan dasar pertumbuhannya, khususnya N dan P telah terpenuhi[29-20] W: Tetapi jenis tersebut dikenal boros air.... I : Pinus merupakan jenis konifer, sesuai pembahasan di atas maka jenis ini memiliki laju ET yang lebih besar dari jenis daun lebar. Hasil dugaan laju ET jenis ini di wilayah tropika basah sangat bervariasi, beberapa angka dugaan yang diperoleh dari beberapa tempat dari yang terendah, yaitu 900 mm (Pinus merkusii, umur 29 tahun di Jawa Barat), 1.160 mm (Pinus patulata, Kenya), 1.610 mm (Pinus patulata, umur 4-10 tahun di Madagaskar), 1.665 mm (Pinus merkusii, umur 9-17 tahun di Jawa Barat), 1.850 mm (Pinus caribeae, umur 18 tahun di Jamaica), 1.975 mm (Pinus merkusii, umur 1-8 tahun di Jawa Barat)[4]. Bervariasinya hasil tersebut selain disebabkan oleh perbedaan umur tegakan, kondisi iklim (meteorologi) setempat, juga oleh perbedaan metode dan berbagai kelemahan yang mungkin terjadi seperti yang telah dibahas sebelumnya, walaupun demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa tanaman tersebut memang memiliki laju konsumsi air yang tinggi. Dengan demikian reboisasi dengan jenis ini harus dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan hanya menanam jenis tersebut di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, serta perlu dipertimbangkan betul penanamannya di wilayah tropika basah tipe subhumid seperti di Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan sebagian wilayah Irian Jaya bagian selatan (sekitar Merauke).


W : Lalu bagaimana dengan Eucalyptus sp.? I: Eucalyptus sp memang sering dilaporkan sebagai jenis yang mengkonsumsi air dalam jumlah besar. Di India sering dijuluki sebagai pohon serakah air (voracious consumers), bahkan pohon penguras air (water mining). Kekhawatiran tersebut dapat dimaklumi, mengingat tegakan ini sering digunakan sebagai pereklamasi daerah rawa (marsh reclaimer), misalnya di sekitar Roma pada abad 18 dan 19, kemudian di Uganda dan Israel di abad ini. Bahkan saat ini, di beberapa daerah di Australia, sengaja membudidayakan Eucalyptus sp dengan tujuan khusus untuk “memompa air�, yaitu untuk menurunkan permukaan air tanah yang sering menimbulkan bahaya salinisasi (penggaraman)[14]. Reboisasi dengan jenis Eucalyptus grandis di Afrika Selatan juga dilaporkan telah menyebabkan kemerosotan debit sungai secara cepat dan lebih awal dibandingkan dengan reboisasi dengan jenis Pinus patulata, walaupun jenis ini jelas memiliki laju intersepsi[19] yang lebih tinggi daripada Eucalyptus sp.[33,7]. W : Jadi kalau begitu Eucalyptus sp. memiliki laju transpirasi yang sangat tinggi? I: Ya, tetapi tingginya laju transpirasi tersebut ditentukan oleh


tingkat pertumbuhan, ketersediaan air tanah, dan perlakuan tegakannya. W: Maksudnya? I: Apabila jenis ini ditanam pada suatu wilayah yang cukup air serta terjangkau oleh sistem perakarannya pada tingkat pertumbuhan tertentu, maka jenis tanaman yang dikenal tidak melakukan pengaturan stomata sebagai respon rendahnya kelembaban relatif ini memiliki laju transpirasi yang sangat tinggi dan membuktikan reputasinya sebagai pohon penguras air[14]. Konsumsi airnya juga semakin menggelembung, apabila tegakan Eucalyptus sp. yang telah mencapai umur dewasa dipangkas (coppice) [20,7]. Namun apabila ditanam pada daerah yang kurang air atau sistem perakarannya tidak mampu menjangkau air tanah (karena dalamnya muka air tanah atau perakarannya belum mampu menjangkau karena masih dalam tingkat pertumbuhan awal), laju transpirasinya adalah sama dengan jenis pohon lain21 [l4,7, 16]. W; Jadi bagaimana untuk mengendalikan konsumsi airnya yang berlebihan? I: Jenis ini disarankan tidak ditanam pada daerah yang memiliki air tanah dangkal, seperti daerah lembah, cekungan, sepanjang sungai dan sebagainya, serta yang tak kalah penting adalah tidak melakukan pemangkasan setelah pohon tersebut mencapai umur dewasa22 [7].


W: Secara umum bagaimana pengaruh deforestasi terhadap hasil air? I: Dari 94 percobaan DAS yang tersebar di seluruh dunia yang tidak hanya terbatas pada wilayah tropika basah, serta bertujuan untuk mengetahui respon deforestasi dan reboisasi terhadap hasil air, disimpulkan bahwa deforestasi berpengaruh terhadap peningkatan hasil air, sebaliknya tidak ada percobaan reboisasi yang berpengaruh terhadap kenaikan hasil air. Walaupun peningkatan hasil air tersebut sangat bervariasi tergantung kondisi klimatis dan fisiografi DAS. Terdapat kecenderungan umum bahwa penebangan jenis konifer dan Eucalyptus sp. sebesar 10% dari luas tegakan menghasilkan kenaikan hasil air tahunan sebesar 40 mm, penebangan dengan intensitas yang sama untuk jenis daun lebar berpengaruh terhadap peningkatan hasil air tahunan sebesar 10 mm. Diperoleh pula suatu kesimpulan kasar bahwa penebangan semak belukar dengan intensitas 20% hingga 100% mampu meningkatkan hasil air antara 20% hingga 110% (r sebesar 0,340)23, penebangan dengan intensitas yang sama terhadap pohon berdaun lebar berdampak peningkatan hasil air sebesar 100 hingga 220% (r sebesar 0,506), dan untuk daun jarum meningkat antara 100 hingga 380% (r sebesar 0,650)[2]. W: Secara khusus pada HTB?


I : Perlakuan tebang habis (clear cutting) pada HTB dataran rendah diketahui meningkatkan hasil air sebesar 400 - 450 mm, tergantung pada karakteristik curah hujannya. Yang menarik peningkatan hasil air tersebut setara dengan besarnya air yang dikonsumsi pada saat tajuk hutan dalam kondisi basah (intersepsi). Peningkatan hasil air tertinggi biasanya diamati pada tahun pertama setelah penebangan hutan, kemudian diikuti dengan penurunan hasil air secara beraturan, sejalan dengan pertumbuhan hutan sekunder[5,6]. W: Apabila dikonversi menjadi penutupan lahan nirhutan? I: Konversi hutan alam menjadi tanaman semusim, rumput, semak belukar, perkebunan teh, karet maupun cokelat akan meningkatkan hasil air secara tidak beraturan, ditentukan oleh tingkat-tingkat penutupan tajuk tanaman dan curah hujan. Walaupun hingga tanaman baru tersebut mencapai penutupan tajuk maksimum, biasanya hasil airnya masih lebih tinggi daripada penutupan hutan alam, yaitu sekitar 300 mm per tahun lebih besar. Khusus konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit, hasil airnya biasanya kembali ke penutupan semula, pada saat tanaman tersebut mencapai umur dewasa [7]. W: Bagaimana kalau dikonversi menjadi lahan HTI? I: Sebagaimana halnya konversi ke perkebunan kelapa sawit, konversi hutan alam ke tanaman HTI jenis eksotik, cepat tumbuh (nirpinus & Eucalyptus sp.) akan mengembalikan air ke penutupan semula setelah tanaman HTI berumur antara 5 hingga 10 tahun, pada saat tajuk tanaman mulai menutup rapat[7]. W : Terakhir, bagaimana dampak konversi lahan terlantar (semak belukar) menjadi HTI? I: Penelitian di Viti Levu (Fiji) yang dilakukan pada awal tahun 1990-an, melaporkan bahwa konversi lahan pertanian atau semak belukar menjadi lahan HTI (Pinus caribaea) pada dataran tinggi berdampak pada penurunan hasil air sebesar 100 - 200 mm per tahun, hal ini terjadi pada saat tajuk hutannya mulai tertutup rapat, penurunan ini jelas lebih besar pada lahan HTI yang terletak di dataran rendah24.[36]


*** Pembicaraan terhenti sampai di sini, karena cuaca yang kurang cerah dan mendung yang menggantung sejak pagi tadi tertumpah menjadi hujan yang cukup deras. Widya segera berlari ke asrama untuk menyelamatkan jemuran bajunya, sedang Pak Iswara bersiapsiap untuk menghadiri rapat pembahasan kurikulum Pelatihan Perencanaan Hutan Tanaman Industri, di mana ia bertugas menyusun draft awalnya. Dalam usulan (draft) kurikulum pelatihan tersebut mata ajaran Konsumsi Air Hutan Tropika masuk dalam pelajaran kelompok inti yang mendasari mata ajaran Perencanaan Pemilihan Jenis Tanaman HTI di Wilayah Tropika. Pak Iswara juga telah merancang berbagai skenario argumentasi seandainya dalam forum pembahasan nanti ada yang mempertanyakan relevansi mata ajaran tersebut dalam pelatihan ini. Singkatnya ia akan menjelaskan sebaik-baiknya dan berusaha untuk memasukkan aspek tata air hutan tropika dalam perencanaan HTI yang terintegrasi dengan perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembangunan HTI secara besar-besaran di wilayah beriklim tropika basah di luar Jawa, dengan jenis eksotik, monokultur, cepat tumbuh dan berotasi pendek tersebut memang harus direncanakan secara matang dengan memperhatikan berbagai aspek, selain memperhatikan tiga aspek kelayakan utama, yaitu finansial, ekonomi dan silvikultur, tentunya juga tidak melupakan aspek kelestarian sumberdaya air... yang jelas merupakan life-blood ofliving organisms...*


Catatan Kaki: 1.

2.

3. 4.

5.

6. 7.

8.

9.

10.

Ketebalan curah hujan (rainfall depth) diukur dengan satuan mm, yang menunjukkan tebal atau dalamnya akumulasi air, apabila tidak ada proses penguapan, pengaliran dan peresapan. ra diukur dengan satuan detik/m, apabila ra = 100, berarti diperlukan waktu 100 detik untuk menguapkan butir-butir air tersebut sejarak 1 m dari permukaan tajuk hutan. Iklim sedang (temperĂłte), daerah berlintang tinggi (high lattitudes), yang memiliki empat musim. Mengingat kecepatan angin di daerah tropika jauh lebih rendah dari daerah beriklim sedang, nilai tersebut di daerah tropika akan lebih besar. NPP merupakan takaran bahan organik yang disintesakan dalam bentuk biomas per satuan waktu. Koponen produksi bersih ini mencakup daun, kayu, akar, buah, tunas. Dan zat organik yang dikeluarkan tanaman[21]. Nilai S tertinggi hutan tropika antara 2,2 hingga 8,3 mm [13]. Sedangkan, hutan beriklim sedang hanya antara 1-2 mm [9]. Nilai tf dan sf terhadap pg tergantung pada karakteristik tajuk dan LAI dari jenis yang dominan. Laporan lain menyebutkan bahwa nilai sf memiliki rata- rata sebesar 10% dari pg. Bahkan berbagai sumber menunjukkan bahwa sf berkisar antara 5 - 25 % dari pg [25]. Model empiris adalah black-box model, karenanya hanya bisa diaplikasikan secara teliti pada suatu wilayah yang memiliki kondisi (dalam konteks ini adalah meteorologi dan struktur tajuk) yang bersesuaian dengan tempat di mana model tersebut pertama dikembangkan. Berbeda dengan physically based model yang mengkuantifikasi berbagai faktor yang berpengaruh sesuai dengan proses yang terjadi di alam (grey-box model). Penerapan berbagai grey-box model yang berbeda pada suatu obyek yang sama sering menghasilkan nilai dugaan yang sangat bervariasi, mengingat berbagai proses yang terkait sulit tercakup secara lengkap dalam model yang dibuat. Dalam kenyataannya tidak ada model yang benar-benar white-box model. Mengingat karakteristik vegetasi hutan, seperti ketinggian, kekasaran permukaan, ukuran, konfigurasi tajuk dan besarnya biomas merupakan faktor vegetasi yang bersifat pasif. Resistensi stomata (gs), diukur dengan menggunakan porometer, dengan satuan mm/detik, berdasarkan hasil pengukuran pada HTB dataran rendah di Cagar alam Janlappa Jasinga Bogor, pada


11.

12.

13. 14.

15.

16.

seluruh lapisan tajuk selama dua hari menghasilkan nilai gs ratarata sebesar = 4,25 mm/detik [27]. Penelitian Coster dipublikasikan pada tahun 1937 oleh Journal Kehutanan Tectona. Journal ini diterbitkan oleh Litbang Kehutanan (“Dienst Van Het Boschwezen�) dari tahun 1908 (Vol I) - 1955 (Vol XXXXIII?). Banyak publikasi yang dimuat oleh Journal tersebut hingga kini masih menjadi rujukan penting (misalnya: Coster, 1938, Gonggrijp, 1941a, 1941b, Japing, H. W., 1932 Haan, J. H. deforestasi 1928, 1931, 1933a, 1933b, 1934, 1942, 1946, 1955 dan sebagainya). Pada metode photometry, juga dapat dilakukan pendekatan absorbsi, setelah tanaman dipotong langsung dimasukkan ke dalam wadah berisi cairan. Laju absorbsi cairan tersebut merupakan laju transpirasi dari tanaman, metode ini sering dianggap lebih akurat daripada pendekatan desorbsi [35]. Potensial transpirasi (potential transpiration) adalah laju transpirasi dari suatu vegetasi apabila tersedia cukup air. Neutron phobe adalah alat pengukur lengas tanah dengan menggunakan bahan radio aktif (neutron). Prinsip kerjanya adalah pelepasan neutron yang bergerak secara cepat dari suatu pipa (access tube) yang ditancapkan pada suatu titik dalam profil tanah. Neutron tersebut selanjutnya akan bertumbukan dengan atom-atom hidrogen (dari air/H20) yang akhirnya akan memperlambat gerak neutron. Laju gerak neutron tersebut diukur oleh suatu detektor, semakin lambat tentunya semakin tinggi lengas tanahnya dan semakin cepat berarti semakin rendah lengas tanahnya. Alat tersebut dikalibrasi melalui pengukuran konvensional (grafimetrik/volumetrik). Kelebihan alat ini terletak pada kemampuannya mengukur kadar lengas tanah secara on-site (di tempat) pada berbagai titik yang dinginkan dalam profil tanah secara cepat, tanpa mengganggu kondisi alami tanah yang diukur. Selain neutron phobe, kini telah mulai tersedia di pasaran bahan non-radioaktif, capacitance probe[6] Fetek adalah ketidak-seragaman karakteristik aliran angin antara permukaan tanah dan permukaan tajuk, yang biasa terjadi pada lahan yang bertopografi bergelombang. Pendugaan Eo secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan alat evaporimeter (Class A Pan Evaporimeter), sebuah bejana (panci) yang terbuat dari bahan yang tahan karat dengan diameter 121 cm dan kedalaman 25.5 cm yang diisi air hingga 5 cm di bawah permukaan atas bejana dan diletakkan di


17.

18.

19.

20.

atas papan kayu setinggi 15 cm. Penurunan air dalam bejana merupakan nilai Eo setelah dikalikan dengan koefisien bejana yang berkisar antara 0,6 - 0,8. Laju evaporasi di Jawa dengan menggunakan alat tersebut telah dilaporkan oleh Braak (1928) maupun Oldeman & Frere (1982), menurut Braak (1928), nilainya berkisar antara 0,9 mm/hari (580 mm/tahun) di Pacet hingga 3,6 mm/hari (1.310 mm/tahun) di Pasuruan. Sedangkan Oldeman melaporkan bahwa rata-rata Eo di dataran rendah di Jawa sebesar mm/hari di musim hujan dan sekitar 4,2 mm/hari di musim kemarau. Nilai Kc telah dikembangkan oleh Doorenbos J, dan W.O. Pruit (1977), Blackie (1979), Sindhu et. al. (1980) untuk tanaman pertanian. Beberapa nilai Kc juga telah dikembangkan di Indonesia oleh Gonggrijp (1941), yaitu untuk kebun campuran (Kc = 0,7) dan kawasan pemukiman (Kc = 0,5), lalu Wasser (1988) menentukan nilai Kc untuk semak belukr sebesar 0,8 [19]. Nilai LAI pada hutan hujan dataran rendah dan pegunungan bawah diperkirakan berkisar antara 5-8 m2/m2 (di Janlappa = 4,7 [27] ). Nilai tersebut sangat bervariasi, bahkan sering dilaporkan berkisar antara 7 - 2 8 m2/m2 [23]. Semakin tinggi suatu tempat, semakin besar frekuensi dan lamanya penutupan kabut, semakin sedikit produksi biomas dan semakin kecil ukuran daun, sehingga LAI menurun. Nilai LAI TMCF diperkirakan sebasar 2 m2/nr pada TMCF [l0]. Heat Pulse Technique, metode ini mengukur laju pergerakan air dalam batang (kayu gubal = sap-wood) dengan menginjeksi pulsa panas pada batang dan mencatat laju pelepasannya pada suatu titik tertentu. Metode ini tentunya hanya diterapkan pada vegetasi berkayu (pohon). Telah dicoba di Gunung Rakata, untuk mengukur laju transpirasi dari pohon Neonauclea calysina [10] dan di Malangbong Garut. Hubungan suhu dengan letak ketinggian tempat di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, telah diteliti oleh Braak (1921-1928), yaitu T = 26,3 - 0,0061h, di mana T adalah suhu rata-rata tahunan (°C) dan h = ketinggian tempat dari rata-rata permukaan laut (m). Berdasarkan perumusan tersebut rata-rata suhu menurun 0,6°C setiap naik 100 m [35]. Sedangkan lama penyinaran matahari di dataran tinggi sekitar 50 jam per bulan lebih rendah dibandingkan dengan dataran tinggi (lihat Bab 4). Nilai ET yang diduga dengan metode neraca air (ET = Pg-Q). Dalam kasus TMCF, Pn > > Pg, mengingat Pn = PI + Po. Pl adalah curah hujan dari langit yang sampai ke lantai hutan, dan


21.

22.

23.

24.

Po adalah curah hujan yang berasal dari hasil pencairan kabut (cloud stripping) oleh TMCF (occult precipitation). Dalam penelitian ini Po tidak diukur, sehingga hasil ET underestimate, karena input curah hujan jauh lebih rendah dari Pn sebetulnya. Dalam penelitian ET di TMCF, Po harus diukur dan digunakan untuk mengoreksi nilai ET dari rumus di atas (ET koreksi = ET + Po). Dengan mengoreksi ET dengan Po, diperkirakan ET TMCF antara 570 mm - 775 mm[5]. Ei TMCF berkisar antara 200 - 400 mm per tahun, sedangkan Et berkisar antara 250 - 300 mm per tahun [10]. Pengukuran Po selain biasa dilakukan dengan menggunakan “fog catcher", yakni dengan melengkapi penakar hujan dengan alat penangkap kabut yang terbuat dari kawat kasa yang berbentuk silinder (gauze cylinder). Laju intersepsi Eucalypthus sp. diduga lebih rendah dari jenis pohon lainnya yang memiliki tinggi dan kerapatan (jarak tanam) yang sama, mengingat nilai LAI Eucalypthus sp. lebih rendah, yang kurang dari setengah rata-rata pohon jenis lain [14]. Penelitian konsumsi air Ecalypthus sp. di wilayah sub humid dilndia selatan dengan curah hujan tahunan sebesar 800 mm, melaporkan bahwa laju transpirasi jenis ini merosot tajam dalam kondisi tanah yang mengalami kekurangan air (moisture stress). Penelitian di tempat yang sama juga menunjukkan bahwa Eucalypthus sp. globulus yang mencapai umur dewasa sebelum dipangkas konsumsi airnya cukup normal, namun begitu dipangkas konsumsi airnya langsung melonjak, dan berakibat kemerosotan hasil air hingga 285 mm/tahun [7,16]. r adalah koefisien korelasi (corelation coefficient), yaitu nilai kuantitatif yang menggambarkan kekuatan hubungan antara kedua variabel. Dalam hal ini adalah hubungan antara penebangan hutan/semak (sebagai veriabel pertama) terhadap peningkatan hasil air (variabel kedua). Nilai r berkisar antara -1 atau +1, tanda (+) berarti berbanding lurus dan tanda (-) berarti berbanding terbalik. Nilai r disebut lemah apabila terletak dalam kisaran 0 s | r | s 0,5 dan disebut kuat apabila 0,8 s | r | s 1. | r | berarti berlaku baik pada nilai r (-) atau (+). Mengingat nilai r di atas berkisar antara 0,34 hingga 0,65 maka kesimpulan tersebut kurang kuat alias kasar. Di Fiji besarnya konsumsi air antara rumput-rumputan dan pinus sangat mencolok di musim kemarau,[36]. Mengingat di musim ini sebagian besar rumput-rumputan mati karena perakarannya yang kurang dari 0,7 m tidak mampu menjangkau air tanah, daundaunnya yang kering tidak mengkonsumsi air sama sekali, selain


itu secara efektif menutup tanah sehingga berfungsi semacam mulsa yang mampu menahan laju evaporasi permukaan tanah. Sedangkan Pinus caribaea yang memiliki perakaran sedalam 1 2 m secara terus menerus masih mampu menyerap air dari dalam tanah. Mengingat di musim kemarau semak dan rumputrumputan di Indonesia masih mampu mempertahankan diri, sehingga masih mampu menyerap air, maka perubahan semak belukar menjadi lahan HTI nampaknya tidak menimbulkan dampak perubahan hasil air sebesar kasus di Fiji tersebut.


PUSTAKA [1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

Boneil, M. and J. Balek, 1993. Recent Scientific Developments and Research Needs in Hydrological Processes of the Humid Tropics. Dalam Michael Bonell.Maymard M. Hufschmidt and John S. Gladwell (ed) Hydrology and Water Management in the Humid Tropics, Hydrological research issue and strategies for water management. UNESCO and Cambridge University Press, Cambridge. Bosch, J.M. & Hwelett, J.D., 1982. A Review of Catchment Experiments to Determine the Effect of Vegetation Changes ion Water Yield and Evapotranspiration. Journal of Hydrology 55 : Hal 3 - 23. Bruijnzeel, L.A., and Wiersumm K.F., 1987. Rainfall Interception by a Young Acacia auliculiformis A. Cunn. Plantation Forst in West Java, Indonesia : Application of Gash's Analytical Model. Hydrological Processes 1: 309 - 319. Bruijnzeel, L.A., 1988. Estimates of Evaporation in Plantations of Agathis Dammar a Warb in South Central Java, Indonesia. Journal of tropical forest Sciences 1 (2) : 145 - 161. Bruijnzeel, L.A., 1987. Forest Hydrology in Indonesia; Challenges and Opportunities with special reference to the effect of land ues on water yield. Hal 55 - 76. Proceeding of the workshop on results of Hydrological and erosion research whithin the Frame work of watershed management. Project Communication No. 7. Konto River Project, Malang Indonesia. Bruijnzeel, L.A., 1990. Hydrology of Moist tropical Forest and effects of conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO IHP, Humid Tropics Programme, Paris. Bruijnzeel, L. A., 1993. Land Use and Hydrology in warm humid Regions : Where do we stand ? Keynote Paper dalam John Stuart Gladwell (ed) Hydrology of Warm Humid regions. Proceeding of International Symposium Yokohama, Japan, 13 15 July 1993. IAHS, UNESCO. Bruijnzeel, L.A., and J. Proctor, 1993. Hydrology and Biogeochemistry of Tropical Montane Cloud Forests : What do really


[9] [10]

[11]

[12] [13]

[14]

[15]

[16]

[17]

[18]

know ? Hal 25 - 46 dalam L.S.. Hamilton, J.O. Juvik & F.N. Scatena, editors. Tropical Montane Cloud Forests. East-West Center. Honolulu Bruijnzeel, L.A., 1994. Watershed Management I (Land -Use Hydrology), Lecture Note. Free University, Amsterdam. 112 hal. Bruijnzeel, L.A., and E.J. Veneklaas, 1994. Climatic Conditions and Tropical Montance Forest Productivity : The fog Has Not Lifted yet. Belum diterbitkan. Calder, I.R. Murdiyarso, D. ad Wright, I.R. 1981. IH-IPB Study of Evaporation from Lowland Tropical Rain Forest, Java. Progress Report No. 1, Institute of Hydrology, Walingford, 12 hal Calder, I.R. 1982. Forest Evaporation. Canadian Hydrology Symposium, June 14-16. New Brunswick. Calder, I.R., Wright, I.R., Murdiyarso, D. 1986. A Study of Evaporation from Tropical Rain Forest-West Java. Journal Hydrology, 89 : 13-31 Calder, I.R., 1993. Water Use of Eucalypts-A Review. Dalam I.R. Calder, R.L. Hall and P.G. Adlerd (ed). Growth and Water Use of Forest Plantations. John Wiley & Sons. Calder, I.R., 1993 Development of the Deuterium Tracking Method for Estimation of Transpiration Rates and Transpiration Parameters of Trees. Dalam I.R. Calder, R.L. Hall and P.G. Adlerd (ed). Growth and Water Use of Forest Plantations. John Wiley & Sons. Calder, I.R. R.L. Hall and K.T. Prasanna, 1993. Hydrological Impact of Eucalypthus Plantation in India. Journal of Hydrology Vol 150 (1993) 635 - 648. Chang, J.H. and L.S. Lau, 1993. Definition of the Humid Tropics. Dalam Michael Bonell, Maymard M. Hufscmidt and John S. Glad well (ed) Hydrology and Water Management in the Humid Tropics, Hydrological Research Issue and Strategies for Water Management, UNESCO and Cambridge University Press, Cambridge. Costar, Ch., 1937. De verdamping van verschillende vegetatievormen op Java (Transpirasi berbagai jenis vegetasi di Jawa). Tectona Volume XXX, hal 103 - 112.


[19] Edi Purwanto, 1999. Erosion, Sediment Delivery and Soil Con-

[20]

[21] [22]

[23]

[24]

[25]

[26]

[27]

[28]

[29]

servation in an Upland Agricultural Catchment in West Java, Indonesia : a Hydrological approach in a socio-econmic content. PhD thesis Vrije Universiteit, Amsterdam. Edi Purwanto, 1993. Melacak Karakteristik Hidrologi Tegakan Pinus Dalam Suatu Daerah Aliran Sungai. Duta Rimba No. 147 — 148/XVIII/1992. Hal 39 -44. Edi Purwanto, 1993. Pembangunan Hutan Tanaman di Luar Jawa. Harian KOMPAS, Sabtu 7 Agustus 1993. Hal 4 dan 5. Gash, J.H.C., 1979. An Analitical Model of Rainfall Interception by Forests, Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society 105, 43-55. Gunadi, B., 1994. Decomposition and Nutrient Flow in a Pine Forest Plantation in Central Java. PhD Thesis, Vrije Universiteit. The Netherlands. Kenworthy, J.B., 1970. Water and Nutrient Cycling in a Tropical Rain Forest. Dalam Flenley, J.R. (ed), The Water Relations of Malesian Forests, Micellaneous Series II, Department of Geography, University of Hull. Lai, R., 1993. Challenges in Agriculture and Forest Hydrology in the Humid Tropics. Dalam Michael Bonell, Maymard M. Hufchmidt and John S. Gladwell (ed). Hydrology and Water Management in the Humid tropics, Hydrological research issues and strategies for water management, UNESCO and Cambridge University Press, Cambridge. Mangundikoro, A. 1983. Pola dan Strategi Pengembangan Hutan Tanaman Pinus Merkusii. Proceeding Simposium Pinus 1983 (ed. Anonimous). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Perum Perhutani. Murdiyarso, D., 1985. Forest Transpiration and Evaporation. PhD thesis (tidak diterbitkan), Department of Meteorology, University of Reading. 197 hal. Pearce and Rowe, 1979. Forest Management Effects on Interception, Evaporation, and Water Yield. Journal of Hydrology (N.Z.), 18 hal 73 - 87. Poerwowidodo, 1992. Gatra Tanah Dalam Pengembangan


Hutan Tanaman. Penerbit Rajawali Press. Jakarta. [30] Pramoedibyo, R.I.S., ................. Dari Bawah Naungan Hutan. Jakarta. 169 hal. [31] Rutter, A.J., Morton, A.J. and Robins, P.C., 1975. A Predictive Model of Rainfall Interception in Forest. I. Model and Comparison with Observations in Some Coniferous and Hardwood Stands, Journal of Applied Ecology, 12 367 - 380. [32] Rutter, A.J., Morton, A.J., 1977. A Predictive Model of Rainfall Interception in forests III. Sensitivity of the model to stand parameters and and meteorological data. J. Appl. Ecol 14 : 567 588. [33] Smith R.E. & Scot, D.F., 1992. The Effects of Afforestation on Low Flows in Various Regions of South Africa. Water SA 18, hal 185 - 194. [34] Tejwani, K.G., 1993. Water Management Issues : Population, Agriculture and Forests-A Focus on Watershed Management. Dalam Michael Bonell, Maymard M. Hufschmidt and John S. Gladwell (ed). Hydrology and Water Management in the Humid Tropics, Hydrological research issues and strategies for water management, UNESCO and Cambridge University Press, Cambridge. [35] Wasser, H.J., 1987. Evaporation Estimates for One-year-old Successional Vegetation and Mature Plantation Forest of Pinus merkusii in Upland West Java Indonesia. MSc. Thesis, Free University, Amsterdam. [36] Waterloo, M.J., Beekman, F.J., Bruijnzeel, L.A., Frumau, R.F.A., Harkema, E. Opdam, H.J., Schellekens, J., Vugts, H.F., 1883. The Impact of Converting Grassland to Pine Forest on Water Yield in Viti Levu, Fiji. Dalam John Stuart Gladwell (ed) Hydrology of Warm Humid regions. Proceeding of International Symposium Yokohama, Japan, 13-15 July 1993. IAHS, UNESCO. [37] Wiersum, K.F., 1979. Introduction to Principles of Forest Hydrology and Erosion, with special references to Indonesia. Institute of Ecology, Padjajaran University. Bandung. [38] Wilson, E.M., 1974. Enginering Hydrology. Second Edition.


The Macmillan Press LTD, London.


BAB 6 D A M P A K TATA A I R KEGIATAN LDGGING Musim hujan terus berlanjut, setiap jam tiga sore biasanya langit telah mulai gelap karena tertutup oleh barisan awan cumulo nimbus. Sekitar setengah jam kemudian hujan turun dengan amat deras diselingi oleh kilauan cahaya kilat dan halilintar yang menggelegar, bergemuruh bersautsautan. Mereka yang sedang bersepeda atau jalan kaki kemudian pada lari terbirit- birit untuk segera mencari tempat berteduh. Di daerah hulu, limpahan air tersebut sebelum sampai ke sungai sempat menggenangi lahan-lahan kering dan menjadi media pertumbuhan padi sawah Para petani mulai menarik napas lega, sejauh mata memandang adalah warna kuning padi yang mulai merundukkan batangnya. Beberapa saat lagi mereka akan panen padi, sudah tergambar berapa karung, gerobak, kuintal atau ton gabah yang hendak mereka peroleh. Hasilnya selain disimpan di lumbung juga dijual untuk mendapatkan uang tunai buat bekal keperluan hidup sehari-hari serta bekal anakanak mereka yang bersekolah di kota. Ada segenggam harapan, mudah-mudahan harga gabah tidak jatuh di musim ini ... Anak-anak petani yang masih tinggal di desanya, di siang hari mulai bergilir menunggu tanaman padinya dari gangguan burung. Mereka duduk di gubuk kecil di tengah sawah serta berteriak-teriak setiap ada kawanan burung yang hinggap sambil menarik jaringan tali-tali rafia di permukaan rumpun padi. Terkadang mereka juga tertidur, tidak kuat menahan kantuk yang dihembus oleh angin semilir dari hamparan padi yang luas itu.


Musim hujan juga mendatangkan berkah musim buah, kini penduduk di sekitar hutan sedang panen buah, hasilnya selain dinikmati sendiri juga dijual; ada manggis (Garcinia mangostana), duku (Lancium domesticum), salak (Salaca edulis) dan tentu saja duren (Durio zibethinus) yang hasilnya selalu melimpah dan disukai orang. Buah duren yang memiliki aroma khas, dan daging buahnya halus dan lunak tersebut mulai dijajakan dijalan antar kota, dari jalan Trans Sumatera, Trans Sulawesi, hingga jalan Tol Cikampek dan Jagorawi. Sebagian yang tidak terjual dibikin dodol duren yang lebih awet dan tak kalah rasa lezatnya, bijinya dibikin campuran sayur lodeh, atau digoreng sangan... guriiih sekali. Pasar buah di kota selain dijejali oleh buah duren, juga dibanjiri oleh berbagai jenis buah mangga (Mangifera indica), ada podang, gadung, manalagi, golek, wah.... Yang muda nampak segarsegar dan yang tua muanis-muanis. Di pinggir hutan jati, musim mangga juga telah menambah aktifitas anak-anak penggembala ternak. Dengan senjata plinthengan (ketapel) yang selalu dikalungkan di leher, mereka mulai mengincar mangga-mangga muda yang ada di perkampungan di sekitar hutan. Mangga yang terkumpul di-rujak bersama-sama, dengan bumbu garam, gula jawa dan cabe rawit. Setelah melahap rujak, mereka selain kepedasan juga kekenyangan, kemudian jatuh tertidur di atas seresah di bawah hutan jati yang rindang. *** Widya yang baru saja pulang praktek dari Taman Nasional Kerinci Seblat, Propinsi Jambi, juga bawa oleh-oleh dodol duren banyak sekali. Buah tangan tersebut kemudian dibagi-bagi, sebagian untuk para juru masak asrama, para petugas pembersih kamar, para satpam dan tentu- nya juga untuk Pak Iswara. Pagi itu sambil menyampaikan oleh-oleh, Widya meminta kesediaan Pak Iswara untuk melanjutkan perbincangan mereka. Seperti biasa permintaan tersebut disambut dengan anggukan kepala oleh Pak Iswara. Selanjutnya bertempat di ruangan staf widyaiswara Pusat


Diklat yang banyak dihiasi oleh gambar tumbuhan dan satwa yang dilindungi, mereka berbincang tentang dampak tata air kegiatan logging. *** W: Dalam praktek kemarin selama satu minggu kami singgah di wilayah kerja HPH, untuk melakukan pengamatan secara sepintas dampak lingkungan penebangan (eksploitasi) hutan (logging) dengan sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI). Bagaimana posisi TPTI terhadap keseluruhan sistem silvikultur yang biasa diterapkan di HHT I: Begini, silvikultur atau pembinaan hutan yaitu ilmu dan seni tentang budidaya hutan. Aplikasi ekologi dalam praktek silvikultur hutan alam di wilayah tropika biasa dilakukan melalui usaha manipulasi penutupan tajuk, yang dilakukan dengan penciptaan celah tajuk dengan ukuran tertentu untuk merangsang pertumbuhan jenisjenis yang membutuhkan cahaya (light demanding/intolerant). Semakin lebar celah tajuk semakin banyak jenis suka cahaya yang tumbuh. Praktek ini telah dilakukan di Eropa (Jerman) sejak abad ke12, jauh sebelum berkembangnya ilmu ekologi, praktek tersebut akhirnya berkembang ke wilayah tropika, seperti India, Birma dan Malaysia. Silvikultur hutan alam tropika basah terdiri atas dua sistem, yaitu polisiklik (polysyclic) dan monosiklik (monocyclic). W: Bagaimana prinsip kedua sistem tersebut? 1: Polisiklik merupakan penebangan hutan secara berulang dalam suatu rangkaian siklus penebangan, yang rotasinya lebih pendek dari waktu yang dibutuhkan oleh pohon untuk mencapai daur masak tebangnya. Sistem ini menebang pohon-pohon dewasa berumur sekitar tiga perempat umur daur masak tebangnya, sebelum pohon tersebut mengalami kemerosotan laju pertumbuhan (riap, increment) yang biasa terjadi setelah mencapai umur tertentu, sekaligus juga meningkatkan kualitas tempat tumbuh pohon-pohon setengah umur daur dari persaingan tempat tumbuh. Mengingat HHT sangat kaya akan jenis, dan jenis komersial pada suatu saat biasanya cukup


terbatas, eksploitasi hutan dengan sistem polisiklik menghasilkan rangkaian celah tajuk secara sporadis, sistem silvikultur TPTI mendasarkan pada sistem ini. Sistem ini secara teoritis hanya berakibat menurunnya kualitas (degradasi) hutan dan tidak sampai berakibat secara langsung pada proses deforestasi, mengingat sistem ini hanya menebang 3-20 jenis pohon komersial per hektar dari ratarata potensinya sekitar 200 - 300 jenis pohon. Sebaliknya, monosiklik menebang seluruh jenis pohon yang laku dijual secara serentak dengan rotasi yang kurang lebih sama dengan daur masak tebangnya. Tebangan berikutnya mengandalkan secara penuh pada anakan pohon[35]. Sistim monosiklik ini biasanya mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih tinggi dari sistem polisiklik dan tergolong pada deforestasi intensitas berat. W: Saya kira keduanya berpotensi untuk menimbulkan kerusakan hutan I : Ya, sebetulnya hutan perawan yang belum pernah dijamah sekalipun, secara alami dalam skala terbatas mengalami kerusakan atau katakanlah deforestasi skala mikro, beberapa pohon akan tumbang, baik oleh bencana alam seperti sambaran petir, badai, tanah longsor


atau mati secara alami karena umur yang terlalu tua (over maturity). Tajuk yang terbuka kemudian akan merangsang pertumbuhan jenisjenis pioner atau pohon anakan suka cahaya secara cepat. Dengan demikian hutan alam yang tidak terganggu sekalipun mengalami dinamika perubahan dan terdiri dari berbagai mosaik tingkat pertumbuhan, di mana tingkat kekasaran mosaiknya ditentukan oleh frekuensi dan intensitas berbagai gangguan alaminya[35]. Dengan demikian penerapan sistem silvikultur penebangan hutan tersebut didasarkan pada usaha peningkatan efisiensi dari ke-�mubazir�-an proses alamiah, walaupun itu semua akhirnya memang tergantung pelaksanaannya di lapangan. W: Berapa tahun rotasi tebangnya? I : Bervariasi, misalnya sistim polisiklik di Indonesia selama 35 tahun, Malaysia khususnya di Semenanjung Malaya, rotasi tebangnya selama 30 tahun, sedangkan di Serawak 25 tahun, Philipina 30-45 tahun, Suriname 20 tahun, sedangkan di Queensland-Australia antara 40 - 50 tahun. Sistem monosiklik di Malaysia (Sabah) yang merupakan modifikasi Malaysian Uniform System (MUS)1 berotasi antara 60 - 80 tahun. Kelebihan dari sistem polisiklik (tebang pilih), rotasi tebangnya lebih pendek, per-tumbuhan jenis non komersial cepat tumbuh dibatasi, serta dampak kerusakan ekosistem hutan secara teoritis dapat ditekan serendah mungkin. Kelemahannya pohon-pohon diameter rendah dan non komersial dimungkinkan banyak menderita kerusakan selama kegiatan berlangsung, resiko semakin menipisnya jenis komersial dengan penebangan secara menerus, serta untuk mengambil sejumlah volume kayu yang sama diperlukan luasan hutan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem monosiklik. Penentuan daur atau rotasi tebang inilah yang harus diteliti lebih mendalam lagi[18]. W : Tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan logging di ekosistem HHT telah menimbulkan berbagai gangguan lingkungan yang cukup serius, sehingga pemanfaatannya secara menerus dalam jangka panjang masih merupakan tanda tanya besar. Apakah ekosistem ini me-


mang bisa dibudidayakan secara lestari? I : Sebetulnya, HHT khususnya yang berada di wilayah IndoMalayan sering disebut sebagai impian para ahli silvikultur, artinya sangat ideal dibudidayakan. Dominasi famili Dipterocarpaceae (Diterocarpus spp. Shorea spp. Gonystylus spp dsb) merupakan kelebihan

Foto : A. Bmijnzeel, 1990

Gambar 6.1. Penggunaan alat berat dalam kegiatan logging berdampak pada kerusakan permukaan tanah

utama yang menyebabkan HHT di Indonesia bernilai jauh lebih tinggi dari HHT di blok Amerika dan Afrika. Sekitar lima hingga sepuluh tahun sekali (biasanya setelah musim kemarau panjang) terjadi pembungaan dan pembuahan secara besar-besaran, sehingga lantai hutan dipadati oleh hamparan anakan pohon (seedling), di mana berdasarkan penelitian di Kalimantan Utara memiliki kerapatan lebih besar dari 25.000 anakan per hektar[27]. Selain itu hutan di Indonesia, khususnya di sebelah barat garis Wallace (Indo-Malayan Barat) diketahui memiliki kerapatan2 dan kekayaan jenis komersial tertinggi di dunia, jumlah jenis komersial per hektar sekitar sepuluh kali lipat jumlah jenis komersial yang terdapat pada HHT di blok Amerika dan Afrika. Di wilayah ini diketahui ada 8.000 jenis tanaman berbunga,


2.500 jenis di antaranya tanaman berkayu, di mana hanya sekitar 700 jenis mencapai ukuran layak eksploitasi, dan kini setidaknya terdapat sekitar 150 jenis yang layak eksploitasi[3]. Tingginya jenis komersial menyebabkan kegiatan logging di wilayah ini jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan kegiatan yang sama pada HHT di blok Amerika dan Afrika, kondisi ini telah menyebabkan kapasitas produksi kayu komersial di wilayah ini jauh melampaui HHT Amerika dan Afrika, hal inilah yang melatarbelakangi melimpahnya produksi kayu tropika di wilayah ini, sehingga antara pertengahan tahun 70-an hingga akhir 80-an, untuk sementara Indonesia mampu merajai pasaran kayu tropika dunia[35]. Pada tahun 80-an ekspor kayu dari Indonesia dan Malaysia sekitar 95 % ekspor kayu tropika Asia dan 78% dari seluruh ekspor kayu tropika dunia. Sayangnya penerapan sistem silvikultur polisiklik di Indonesia tidak dilaksanakan secara tertib, baik tidak dipatuhinya ketentuan batas diameter (> 50 cm) maupun tingginya dampak kegiatan logging. Pelanggaran lain juga sering terjadi seperti tebang di luar blok, tebang cuci mangkok (relogging) maupun rendahnya pengelolaan lahan pasca logging. Sebagian besar kegiatan logging hanya dilakukan semata hanya untuk kepentingan eksploitasi hutan daripada suatu upaya budidaya hutan untuk kelestariannya. Hal ini menyebabkan sebagian besar hutan di Indonesia mengalami over-eksploitasi yang pada akhirnya membahayakan kelestarian hasilnya pada rotasi tebang berikutnya. W: Secara umum, seberapa besar dampak kegiatan logging? I . Tergantung pada sistem silvikultur dan teknik penyaradan kayunya. Di wilayah HHT, setidaknya dikenal tiga teknik penyaradan, pertama; adalah penyaradan darat (skidding) baik menggunakan traktor3 maupun winch lorry4 . Kedua, penyaradan kabel (yarding, overhead cable) baik high-lead yarding maupun skyline5, sistem ini digunakan pada beberapa wilayah di Malaysia. Ketiga, penyaradan udara dengan menggunakan helikopter, cara ini masih sangat jarang diterapkan. Di wilayah HHT (termasuk di Indonesia) skidding6 memang paling banyak digunakan. W: Dampak penyaradan secara on-site tentunya cukup besar.... I: Kegiatan tersebut jelas memberikan kerusakan topsoil dan


vegetasi yang cukup besar, khususnya di HHT Indonesia yang memiliki kekayaan jenis yang tinggi. Penelitian yang dilakukan di Malaysia dengan sistem silvikultur MUS dengan penyaradan darat (traktor), diketahui berdampak terhadap ludesnya (kematian dan kerusakan) 40 hingga 60% pohon ber-dbh lebih besar 10 cm. Kerusakan dalam proporsi yang sama juga dialami oleh pohon yang memiliki dbh kurang dari 10 cm. Kemudian antara 12% hingga 30% dari lahan hutan rusak berat, karena pembangunan jalan utama, jalan cabang, jalan sarad (skid trail, snig track), tempat pengumpulan kayu maupun base-camp [8]. W: Bagaimana dengan sistem polisiklik? I: Degradasi hutan memang tak terelakkan, secara umum dapat dikatakan bahwa setiap menebang satu pohon berdampak kematian pohon kedua dan kerusakan pohon ketiga[35]. Di Kalimantan Timur sistem TPTI berdampak terbukanya hutan sekitar 30% [30]. Di Queensland (Australia Utara), penebangan 10% jenis komersial dengan dbh 20 cm meludeskan lebih dari 60% populasi seluruh jenis komersial. Penebangan 5% jenis komersial berdiameter > 20 cm mematikan 13% dan merusakan 20% dari seluruh jenis komersial[35]. Di Suriname, pemanenan sebesar 15 m3/ha menyebabkan kerusakan 16% dari seluruh pohon ber-dbh lebih besar 5 cm, sedangkan pemanenan sebesar 46 m3/ha menyebabkan kerusakan sebesar 28%. Di tempat yang sama, pemanenan 15 m3/ha menimbulkan celah tajuk sebesar 25%, yaitu 20% oleh penebangan pohon dan 5% untuk jalan sarad. Sedangkan pemanenan 46 m3/ha mengakibatkan celah hutan sebesar 56%, yaitu 38% oleh penebangan pohon dan 18% untuk jalan sarad. Sebagai perbandingan, hutan primer celah tajuknya berkisar antara 5 - 9 % [8,22]. W : Nampaknya tingginya intensitas penebangan tidak berbanding lurus dengan besarnya kerusakan .... I : Betul. Karena pada intensitas rendah setiap pohon yang ditebang menimbulkan dampak kerusakan baru, kemudian jalan sarad tidak digunakan secara intensif. Peningkatan intensitas pemanenan berarti bahwa (tajuk) pohon yang ditebang akan tumbang pada celah hutan yang telah ada, sehingga tidak selalu menimbulkan kerusakan baru, selain itu jalan sarad dapat dimanfaatkan secara lebih intensif [22


,8]

.

W : Selain merusak vegetasi tentunya juga memberikan gangguan tanah yang cukup serius... I: Khususnya pemadatan tanah yang berakibat pada kemerosotan laju infiltrasi, hal ini ditunjukkan oleh melonjaknya nilai berat jenis (BD) tanah7. Penelitian yang dilakukan di Sabah-Malaysia di wilayah bekas tebang pilih yang berumur 12 tahun menyebutkan bahwa nilai BD yang diukur pada kedalaman 0 - 30 cm di wilayah bekas jalur traktor sebesar 1,31 - 1,37 g/cm3. Bandingkan dengan nilai BD di tempat yang sama pada hutan yang tidak terganggu sebesar 0,98 - 1,26 g/cm3 serta 1,11 - 1,35 g/cm3 pada wilayah bekas tebang pilih di luar jalur traktor. Laju infiltrasi8 dilaporkan sebesar 15 mm/jam pada wilayah bekas jalur traktor, 73 mm/jam pada wilayah di luar jalur traktor, sedangkan pada wilayah yang tidak terganggu sebesar 88 mm/jam. Jelas bahwa kegiatan logging memberikan gangguan sifat fisik tanah secara serius, dampak tersebut bahkan belum pulih setelah 12 tahun hutan dibiarkan mengalami proses suksesi alam[31].

W : Lantas untuk pulih ke kondisi semula, diperlukan berapa tahun? I : Sayangnya belum ada informasi tentang hal tersebut, bebe-


rapa penelitian di hutan beriklim sedang menyebutkan minimal dibutuhkan waktu 20 tahun untuk pulih ke kondisi semula[21]. Mengingat cepatnya pertumbuhan vegetasi di wilayah tropika, logikanya di wilayah ini lebih pendek dari 20 tahun, apabila kerusakan hutannya tidak terlalu parah. W : Mungkin penyaradan kabel memberikan alternatif yang lebih baik .... I : Memang mampu mengurangi kerusakan sifat fisik tanah, namun sayangnya teknik ini berdampak pada kerusakan vegetasi yang jauh lebih tinggi dari penyaradan darat, khususnya pada penyaradan high-lead yarding yang berakibat kerusakan vegetasi di sepanjang jalur kabel, bahkan pada radius 40 - 50 m di sekitar tiang pancang kabel (spar trees /poles), tanah dan vegetasi menderita kerusakan berat. Diperkirakan dampak kerusakan yang ditimbulkan sekitar 30% dari luas hutan yang dieksploitasi. Dalam suatu penelitian seluas 30 ha di Malaysia, disimpulkan bahwa perbandingan kerusakan yang ditimbulkan antara penyaradan kabel dan darat adalah 22,5% berbanding 18% [18].

Gambar 6.2. Dalam kegiatan pembalakan hutan, jalan merupakan sumber aliran permukaan dan erosi, dengan demikian perlu diusahakan agar jalan yang dibuat seminimal mungkin memotong aliran (anak) sungai.


W: Lalu teknik apa dong yang mampu meminimasi kerusakan? I: Penyaradan kabel dengan sky-line, maupun penyaradan udara dengan helikopter. Teknik kedua (dengan helikopter) ini dengan skala terbatas telah dicoba di Philipina dan Papua New Guinea[7], namun tentunya dengan konsekuensi biaya logging akan melambung jauh dibandingkan dengan metode yang telah disampaikan sebelumnya[7]. W : Gangguan sifat fisik tanah dan vegetasi tentunya berakibat lebih lanjut terhadap perubahan tata air.... I: Tentu, walaupun dampaknya cukup beragam. Mengingat aliran air pada suatu lereng pada saat dan setelah hujan di daerah yang berhutan sangat bervariasi serta ditentukan oleh interaksi berbagai faktor, baik besarnya curah hujan, kondisi geologi, tanah dan topografinya. Interaksi berbagai faktor tersebut menentukan dominasi jenis aliran permukaan yang terjadi, yang selanjutnya berpengaruh terhadap besarnya quick-flow/Qf (aliran langsung yang berdampak pada peningkatan debit sungai yang terjadi selama dan setelah hujan) dan base- flow/Qb (aliran dasar, yang berasal dari pelepasan aliran air tanah), serta besarnya peak flow/Qp (debit puncak banjir), maupun besarnya laju sedimen dan unsur hara terlarut dalam aliran permukaan. W: Secara teoritis bagaimana proses timbulnya aliran permukaan pada lahan berhutan? I: Berdasarkan proses keterjadiannya, ada dua jenis aliran permukaan, yaitu Hortonian overlandflow (HOF) dan saturation overland flow (SOF). HOF terjadi apabila intensitas hujan yang sampai di lantai hutan (net rainfall, Pn) melampaui kapasitas infiltrasinya. Pada DAS berhutan yang masih utuh, HOF biasanya jarang ditemukan walaupun intensitas hujannya lebih dari 200 mm per jam [4] 9, kecuali pada lereng hutan yang terjal maupun jalan-jalan setapak (trail) yang tak bervegetasi yang mana secara umum diperkirakan hanya sekitar 1 % dari Pn. Sebaliknya, pada hutan yang dieksploitasi HOF cukup dominan dan terjadi di seluruh areal yang


mengalami pemadatan seperti jalan utama, jalan cabang, jalan sarad, tempat pengumpulan kayu, base camp dan sebagainya. W: Bagaimana dengan SOF? I: Apabila tanah hutan cukup dalam dan memiliki permeabilitas tinggi, air hujan yang sampai di lantai hutan terperkolasi hingga mencapai air tanah (saturation zone) dan kemudian mengalir secara horizontal menuju ke lembah (anak sungai) sebagai aliran air tanah (Qg). Pada umumnya, permeabilitas tanah menurun dengan semakin dalamnya ketebalan tanah, sehingga sebagian air akan terperkolasi hingga mencapai lapisan impermeable (tak tembus air) yang dapat berupa lapisan liat, lapisan lateritik maupun batuan dasar (bedrock) yang belum sepenuhnya terlapukkan. Keberadaan lapisan tak tembus air tersebut merubah arah aliran dari vertikal menjadi lateral (horizontal). Istilah umum yang biasa dipakai untuk menunjuk aliran lateral bawah permukaan sebelum mencapai air tanah ini adalah throughflow atau sub surface flow (Qt, SSF). Qt biasanya mengalir dengan laju yang amat lambat, namun apabila dalam lapisan tanah terdapat pipa alami atau pori-pori besar, Qt bisa mengalir secara cepat menuju aliran sungai. Qt yang mengalir relatif cepat, sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap Qf disebut sub surface stormflow (SSSF). Dalam kondisi tidak ditemukannya pipa-pipa alami maupun pori-pori besar pada lapisan tanah, timbulnya SSSF dijelaskan melalui mekanisme pushthrough atau translatory flow, yaitu peresapan air hujan baru ke dalam tanah mendorong air lama dalam volume yang sama untuk keluar dari suatu lereng yang kondisi tanahnya dalam keadaan basah (melebihi kapasitas lapang). SSSF tersebut keluar pada cekungancekungan lembah (concavity), maupun pada dinding-dinding badan sungai. Kemunculan kembali aliran yang telah meresap ke dalam tanah ini disebut return flow (RF). Mengingat seluruh aliran baik di atas maupun di dalam tanah menuju ke arah lembah (ripariam groundwater ridge), maka wilayah di sekitar ini di musim hujan dalam kondisi jenuh air. Dengan demikian curah hujan yang jatuh di wilayah tersebut tidak akan terinfiltrasi melainkan langsung mengalir sebagai aliran permukaan.


Aliran inilah yang disebut sebagai saturation (saturated) overland flow (SOF), dengan demikian SOF terdiri atas dua jenis aliran yaitu return flow dan curah hujan yang jatuh di wilayah yang telah jenuh air (direct precipitation on the saturated surface/ DP; SOF = RF + DP). Luasan wilayah yang menghasilkan SOF pada suatu DAS yang berhutan bisa mengembang maupun menyusut tergantung besarnya lengas tanah sebelum terjadinya hujan (antecedent moisture condition/AMC) maupun intensitas dan lamanya hujan [5,8,15,16,32]. Kegiatan logging meningkatkan curah hujan yang sampai ke lantai hutan, sehingga meningkatkan kebasahan tanah. Tanah yang basah memiliki hydraulic conductivity yang tinggi10, sehingga memperlancar aliran bawah permukaan yang menuju ke arah lembah. Semakin basahnya wilayah di sekitar lembah men-ingkatkan besarnya proporsi SOF terhadap curah hujan yang jatuh, sehingga kegiatan logging berdampak pada meluasnya wilayah keterjadian SOF dalam suatu DAS.

Gambar 6.3.

Berbagai sumber aliran dari streamflow, Qp adalah curah hujan yang langsung jatuh ke permukaan air, Qo adalah Hortonian Overland Flow (HOF), Qt adalah throughfall dan Qg adalah aliran air tanah, Qo (s) adalah Saturation Overland Flow (SOF) (Ward & Robinson, 1990).


W : Rupanya meningkatnya HOF dan SOF tersebut berdampak lebih lanjut terhadap peningkatan hasil air DAS berhutan yang ditebang... I: Hasil air merupakan total aliran sungai (stream-flow) yang keluar dari suatu DAS, sehingga peningkatan aliran permukaan berarti menaikkan hasil air, walaupun biasanya diikuti oleh penurunan tingkat kualitas dan distribusinya secara merata sepanjang musim. Sayangnya hingga saat ini penelitian dampak logging terhadap perubahan tata air masih terhitung langka baik di Indonesia maupun di wilayah HTB lainnya. Di antara penelitian yang sangat terbatas ini, akan saya ungkapkan hasil penelitian yang selain cukup menyeluruh dan menggunakan metode yang kini dikenal cukup baik (DAS berpasangan), juga terletak pada suatu hutan yang memiliki kondisi yang sama dengan sebagian hutan di Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan di Sabah (Bukit Berembun) Malaysia. Penelitian ini menggunakan tiga DAS kecil berukuran antara 4,6 - 30,8 ha, di daerah vulkanik dengan rata-rata curah hujan sebesar 2,125 mm. Jenis tanahnya oxisol (latosol) dan ultisol (podsolik merah kuning) dengan tekstur liat berpasir hingga liat berlempung, topografi bergelombang, didominasi oleh jenis meranti merah (Shorea leprosula dan S. acuminata) serta memiliki aliran sungai secara menerus (perennial flow). Sebelum perlakuan, ketiga DAS tersebut dikalibrasi selama tiga tahun. DAS Cl kegiatan logging-nya dilakukan oleh HPH, dengan menebang 40% jenis komersial (dengan batas diameter 60 cm untuk jenis Dipterocarpaceae dan 45 cm untuk jenis nir-Dipterocarpaceae). DAS C3 penebangannya dilakukan secara terkontrol (survised logging), yaitu dengan menyisakan selebar 20 m sebagai kawasan penyangga di kiri kanan sungai serta layout jalan hutan yang tidak memotong alur air (apabila terpaksa menggunakan gorong-gorong). Penebangan dilakukan pada 33% dari jenis komersial dengan batas diameter 90 cm untuk jenis Dipterocarpaceae dan 60 cm terhadap jenis non- Dipterocarpaceae. DAS C2 dibiarkan utuh seperti semula dan berfungsi sebagai DAS


kontrol. Operasi logging terbagi dalam tiga tahap, pertama; menebang hutan dengan menggunakan gergaji rantai (chainsaw), kedua; menyarad log dengan traktor, ketiga; mengangkut ke tempat pengumpulan kayu dengan sistem san tai wong [1,8]. W: Hasilnya? I : Pengamatan hingga empat tahun setelah kegiatan logging menunjukkan peningkatan hasil air secara nyata dari kedua DAS yang ditebang, yaitu sebesar 70% dari DAS Cl dan 40% dari DAS C3. Kemudian juga tidak ada kecenderungan kemerosotan hasil air, yang berarti bahwa ET dari vegetasi sekunder masih lebih rendah dari ET vegetasi awal. Yang menarik kedua DAS tersebut juga tidak mengalami kenaikan HOF, berarti kenaikan debit alirannya terjadi di musim kemarau [I-8]. 9A W: Mungkin dalam kasus ini logging dilakukan dengan cukup hati-hati, penurunan konsumsi air terinfiltrasi ke dalam tanah, sehingga mampu meningkatkan debit musim kemarau. Lalu bagaimana dampaknya terhadap peningkatan debit puncak banjir? I: Betapapun kecilnya dampak yang ditimbulkan, kegiatan eksploitasi hutan selalu berdampak pada peningkatan debit puncak banjir selama beberapa tahun. Debit puncak banjir tersebut kemudian menurun lagi sejalan dengan pertumbuhan vegetasi sekunder pasca eksploitasi. Pada suatu kasus yang mana bekas kegiatan eksploitasi tidak menderita kerusakan yang berarti, penurunan ET oleh kegiatan penebangan hutan berakibat peni-ngkatan kebasahan tanah, sehingga peningkatan debit puncak banjir lebih disebabkan oleh peningkatan SSSF dan SOF. Pada kasus lain di mana areal bekas tebangan menderita kerusakan parah, peni-ngkatan debit puncak banjir lebih disebabkan oleh peningkatan HOF. Kondisi ini memberikan implikasi terhadap semakin keringnya tanah hutan yang disebabkan oleh kombinasi proses insolasi (insolation = incoming solar radiation. tingginya intensitas sinar matahari yang diterima oleh permukaan tanah) serta rendahnya laju infiltrasi oleh pemadatan tanah. Tinggi rendahnya peningkatan debit puncak banjir selama dan beberapa tahun setelah kegiatan pene-bangan hutan ditentukan oleh kecermatan pelaksanaannya, inten-sitas penebangan dan besarnya


kerusakan, serta yang tidak kalah penting adalah layout jalan hutan dan arah jalan sarad, yaitu penyaradan ke atas atau ke bawah. W: Maksudnya? I: Apabila jalan hutan dibuat menyusur punggung bukit, maka sebagian besar penyaradan kayu akan mengarah ke atas bukit (uphill). Sebaliknya, apabila jalan hutan dibuat menyusur lembah maka keseluruhan penyaradan kayu akan mengarah ke lembah (downhill). Secara hidrologis, penyaradan ke atas bukit jauh lebih baik daripada ke arah lembah. Dalam kasus penyaradan ke atas, aliran permukaan relatif lebih lambat daripada penyaradan ke bawah, sehingga relatif tersedia cukup waktu untuk proses infiltrasi. Sebaliknya pada penyaradan ke lembah aliran air di sepanjang jalan sarad akan terkumpul dan mengalir deras menuju ke lembah, sehingga meningkatkan laju erosi di sepanjang jalan sarad [8]. W: Jadi untuk menekan aliran dan erosi permukaan, selama memungkinkan, sebaiknya jalan logging merupakan jalan punggung bukit dan penyaradan kayu mengarah ke atas bukit... I: Ya, walaupun tentunya berdampak terhadap ongkos eksploitasi hutan yang lebih tinggi, mengingat jalan punggung bukit memerlukan banyak jembatan, kemudian penyaradan ke atas tentunya diperlukan lebih banyak energi daripada penyaradan ke bawah yang dibantu oleh gaya berat. Selain itu jalan punggung bukit juga kurang layak pada wilayah dengan kelerengan sangat curam (30°) mengingat jalan macam ini akan menimbulkan bahaya longsoran pada lereng di bawahnya. W: O ya, lalu bagaimana hasil penelitian dari Bukit Berembun tadi? I: DAS Cl dan C3 memang menunjukkan peningkatan debit puncak banjir dibandingkan DAS C2, yang mana Cl lebih besar peningkatannya daripada C3, namun peningkatan tersebut memang cukup kecil. W: Hasil penelitian tersebut nampaknya kurang mewakili kondisi yang biasa terjadi di lapangan... I: Setuju. Dalam penelitian tersebut maupun mungkin juga berbagai penelitian yang lain, HPH biasanya mengetahui batas wilayah


kerjanya yang dimonitor dari karakteristik tata airnya, sehingga dimungkinkan pada wilayah tersebut kegiatan logging dilakukan secara cermat untuk meminimasi kerusakan. Namun demikian hasil di atas setidaknya memberikan bukti apabila kegiatan logging dilakukan dengan cermat dampak tata air dapat dikendalikan dengan baik[l8]. W: Bagaimana dampaknya terhadap debit musim kemarau? I: Sebagaimana yang telah kita bahas pada diskusi ketiga (Bab 4), besarnya dampak tentunya selalu tergantung pada kece-rmatan pelaksanaannya. Apabila penutupan vegetasi masih cukup baik dan sebagian besar kapasitas topsoil tidak terganggu, kegiatan logging justru mampu meningkatkan debit musim kemarau. Apabila tanah dan vegetasi menderita kerusakan berat, meningkatnya hasil air oleh penurunan laju ET akan terbuang percuma (dialirkan) pada musim hujan yang berdampak pada peningkatan debit puncak banjir, sedangkan di musim kemarau debit sungai akan menyusut mengingat merosotnya penyerapan air selama musim hujan[7]. W: Dampaknya terhadap proses erosi dan sedimentasi? I : Kegiatan ini jelas meningkatkan laju erosi, baik erosi permukaan (surface erosion), erosi jurang (gully erosion) maupun gerakan masa tanah (mass-wasting). Kedua bentuk erosi terakhir tersebut banyak terjadi di jalan sarad, jalan cabang maupun jalan utama. Jalan


sarad biasanya menjadi alur aliran air yang penuh lumpur setelah beberapa jam hujan, juga jalan utama maupun jalan cabang yang sering menjadi semacam kubangan yang penuh lumpur di musim hujan. Sayangnya pendugaan laju erosi secara on-site sebagai dampak kegiatan ini sulit dilakukan secara teliti, mengingat tingginya variasi laju erosi dalam suatu areal, maupun bervariasi kombinasi berbagai faktor pembentuk DAS. Laju erosi pada lahan berhutan yang dieksploitasi berkisar dari 0,4 ton/ha/tahun pada logging yang dilakukan secara manual (panglong), hingga 155 ton/ha/tahun pada kegiatan logging secara mekanis dengan menggunakan traktor11[30]. Rendahnya laju erosi permukaan pada lahan berhutan lebih disebabkan oleh penutupan seresah dan tumbuhan bawah yang berkembang sangat baik di bawah tegakan hutan daripada keberadaan pohonnya itu sendiri. Pengukuran laju erosi maksimum pada hutan alam dengan penutupan seresah dan tumbuhan bawah baik hanya berkisar dari 0,03 - 0,3 ton/ha/tahun, sedangkan pada hutan yang seresah dan tumbuhan bawahnya dibakar, laju erosinya bisa melonjak antara 5,9 hingga 105 ton/ha/tahun [36]. W: Jadi pemadatan tanah dan kerusakan tumbuhan bawah nampaknya menjadi sebab peningkatan laju erosi? I: Selain itu juga pembuatan jalan hutan, pemotongan tebing


dan pekerjaan tanah lainnya yang banyak mengganggu kestabilan tanah, yang memberikan implikasi lebih lanjut terhadap timbulnya erosi jurang maupun pergerakan massa tanah yang terkadang justru semakin parah setelah kegiatan ini usai. Singkatnya, untuk mengendalikan laju erosi, selain gangguan penutupan seresah dan tumbuhan bawah harus dibatasi seminim mungkin, jalan-jalan hutan harus dilengkapi dengan gorong-gorong yang memadai untuk mengalirkan aliran permukaan dan di beberapa tempat idealnya juga dibangun dam-dam pengendali (check dam) untuk men-gendalikan aliran permukaan pada saat hujan dan mengendapkan hasil sedimen, lebih dari itu pekerjaan tanah harus dilakukan secara terencana, dilaksanakan secara penuh hati-hati serta hanya dilakukan pada musim kemarau. W : Erosi tentunya juga berdampak pada kemerosotan tingkat kesuburan lahan hutan ... I: Ya, hal ini diperparah oleh miskinnya hara mineral dari lahan hutan di luar Jawa. Kondisi inilah yang menyebabkan konversi lahan hutan ke peruntukan lahan pertanian maupun usaha budidaya lainnya di luar Jawa memiliki resiko kegagalan yang tinggi apabila pelaksanaannya tidak dibarengi dengan kegiatan konservasi tanah dan air secara intensif. W: Konkretnya? I: Begini, kegiatan logging menimbulkan limbah pene-bangan, yaitu daun, ranting, kulit kayu, potongan-potongan kayu yang tidak terangkut oleh proses eksploitasi hutan. Bahan-bahan tersebut memberikan pasokan seresah organik yang sangat besar secara mendadak pada lantai hutan. Di samping itu kegiatan ini juga meningkatkan intensitas penyinaran matahari dan curah hujan yang sampai ke lantai hutan, sehingga proses dekomposisi seresah organik tersebut berjalan cepat. Proses dekomposisi selanjutnya berdampak pada terlepasnya unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya, sehingga untuk sementara lantai hutan mengalami surplus unsur hara. Mengingat kapasitas serap unsur hara dari pohon maupun vegetasi hutan bekas tebangan lebih rendah dari ketersediaan unsur hara, maka unsurunsur hara yang tidak sempat terserap akan tercuci secara besar-


besaran oleh air hujan dan proses erosi permukaan yang meningkat drastis pada saat dan setelah kegiatan logging. Lahan hutan yang telah mengalami pencucian hebat tak lebih dari lahan-lahan kurus, mengingat sebagian besar lahan hutan di luar Jawa telah mengalami kemiskinan pelapukan hara mineral dari batuan pembentuknya. W: Bagaimana profil sumberdaya lahan kita di luar Jawa? I: Lahan HTB di luar Jawa dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama; lahan kering yang umumnya terdiri atas tanah ultisol dan oksisol. Kedua; daerah rawa-rawa umumnya terdiri atas taah Histosol (tanah gambut, tanah organik), dan tanah sulfat masam (sulfaquent, sulfaquept). Tanah Ultisol (Podsolik merah kuning) dan Oksisol (laterit) adalah tanah tua12 yang telah mengalami proses pencucian lanjut. Tanah ini bereaksi masam, kandungan Al tinggi, unsur hara rendah sehingga pembudi-dayaannya memerlukan tindakan pengapuran dan pemupukan serta pengelolaan yang baik agar tanah menjadi produktif dan tidak rusak. Daerah rawa yang terdiri atas tanah Histosol (gambut) dan tanah-tanah sulfat masam, pembudidayaannya memerlukan perbaikan drainase, dengan pembuatan saluran-saluran pengatus untuk membuang unsur-unsur beracun. Tanah gambut mempunyai sifat dapat menyusut, tidak boleh kering karena dapat sulit menyerap air dan mudah terbakar. Tanah ini biasanya memiliki kandungan unsur mikro yang rendah, sedangkan tanah sulfat masam mengandung lapisan sulfida, bila teroksidasi berubah menjadi sulfat yang sangat masam dan dapat mematikan tanaman[19,17]. W :Tetapi kenyataannya HTB mampu tumbuh subur di tanah tersebut... I: Keperkasaan HTB tersebut bukan disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata oleh adanya siklus hara hampir tertutup yang mampu memasok kebutuhan hara tanaman hutan dari lantai hutan dalam waktu singkat dan hampir tidak ada kebocoran. Perjalanan suksesi hutan menuju keadaan klimaks, pada hakekatnya merupakan proses pembangunan ekosistem. Pada saat suksesi itu mencapai klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada dalam keadaan baik. Tanaman-tanaman yang tumbuh dalam keadaan


ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling optimal. Kegiatan logging pada hakekatnya memundurkan perjalanan suksesi dari keadaan klimaks[28,17]. W: Hal ini juga terjadi pada hutan beriklim sedang. I: Ya, tetapi dampaknya tidak separah pada HTB, mengingat sebagian besar unsur hara hutan tropika terletak pada biomasnya, sehingga kegiatan logging memberikan dampak kemerosotan yang amat drastis terhadap ketersediaan unsur hara. Hal ini berbeda dengan hutan di wilayah beriklim sedang yang sebagian besar unsur haranya terletak pada lantai hutan. W : Mengapa demikian? I : Pertama, banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara yang ada di dalam hutan tersimpan pada biomas tanaman. Sedangkan di wilayah beriklim sedang selain pembentukan daun tidak begitu tinggi, juga dikarenakan adanya proses pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguguran daun. Kedua, tingginya laju proses dekomposisi seresah hutan di wilayah tropika basah yang menyebabkan hasilnya terserap kembali oleh tanaman dalam mekanisme siklus hara (hampir) tertutup. Pada tanah Ultisol dan Oksisol kehilangan unsur hara dalam kegiatan eksploitasi hutan sebagaimana yang telah diuraikan di atas akan berakibat fatal, karena kekurang-berdayaan tanah untuk mengembalikan unsur hara secara alami, yang sekali lagi disebabkan oleh miskinnya pelapukan hara mineral dari batuan induknya. Pembangunan HTI pada tanah seperti ini secara monokultur dan berotasi pendek, akan semakin menguruskan hara tanah; mungkin pada rotasi pertama tanaman hutan masih mampu tumbuh secara paspasan, namun pada rotasi kedua dan selanjutnya kondisi inipun belum tentu dapat dicapai. W: Jadi bagaimana untuk meningkatkan peluang keberhasilan HTI? I : Usaha ini harus dilakukan secara intensif. Upaya pertama dapat dilakukan dengan merancang bangun unit-unit ekologis berdasarkan kemiripan dalam hal jenis tanah, regim lengas tanah dan bentuk


lahan. Pada lahan dengan unit ekologis yang sama akan dipilih jenis-jenis tanaman dengan perlakuan yang sama pula. Pengelola HTI harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap status hara lahan. Pendapat yang menyatakan tidak diperlukannya upaya pemupukan lahan hutan, seyogyanya harus dirubah dalam pengelolaan HTI di tanah marjinal di luar Jawa [28,17]. Berbagai penelitian di wilayah tropika basah secara jelas menyimpulkan bahwa pengusahaan HTI tak akan dapat dilakukan secara lestari tanpa pemupukan, sebagaimana yang telah biasa dilakukan pada perkebunan kelapa sawit maupun karet. Bahkan pada lahan yang relatif suburpun pemupukan masih diperlukan, apabila suatu jenis tanaman yang dibudidayakan memerlukan unsur hara kunci tertentu dalam jumlah yang relatif besar [6]. W : OK, sekarang beralih pada dampak kegiatan logging terhadap laju sedimentasi. I: Pertama, sebagaimana erosi, hasil sedimen suatu DAS (dalam kondisi tak terganggu sekalipun) memiliki laju yang sangat bervariasi yang desebabkan oleh bervariasinya berbagai faktor pembentuk DAS (kondisi geologi, pedologi, topografi) maupun curah hujan13 . Kedua, laju sedimentasi di wilayah tropika basah sulit diukur secara teliti. W: Sebabnya? I: Pertama, bervariasinya hasil sedimen (sediment yield) setiap tahun, di mana kondisi tersebut terkadang sering lebih ditentukan oleh karakteristik curah hujan dan banjir yang terjadi daripada proses perubahan lahannya. Sering laju hasil sedimen suatu wilayah melonjak drastis hanya karena timbulnya hujan dan banjir pada suatu saat tertentu yang mengangkut sejumlah besar sedimen yang ada pada badan sungai dan sekitarnya. Kedua, tebalnya lapisan tanah yang tererosi secara on-site tidak selalu berdampak peningkatan hasil sedimen yang diukur pada outlet suatu DAS, mengingat hasil erosi tersebut sering tidak langsung dialirkan oleh aliran sungai, melainkan mengendap di kaki bukit (foot slope), daerah cekungan (depression), bantaran banjir (floodplains), pinggir saluran dan sebagainya. Dengan demikian observasi secara cermat


dan menyeluruh terhadap totalitas proses yang terjadi perlu dilakukan untuk memahami hubungan proses erosi dan sedimentasi pada suatu DAS, serta tidak cukup hanya mengandalkan interpretasi data plot erosi secara on-site maupun laju sedimen secara off- site. Ketiga, pengambilan contoh laju sedimen sering tidak dilakukan secara representatif yang menye-babkan terlalu rendahnya hasil pendugaan. W: Jelasnya bagaimana? I: Begini, fluktuasi laju sedimen diduga berdasarkan pengukuran debit sungai secara menerus dengan menggunakan sediment rating curve (kurva aliran sedimen/S7?C). SRC adalah kurva hubungan antara debit sungai (m3/detik) dengan hasil sedimen (gram/m3), sehingga apabila diketahui debit sungainya, maka dapat diduga kandungan sedimennya. SRC dibuat berdasarkan pengambilan contoh kandungan hasil sedimen sungai secara teratur yang dikorelasikan dengan besarnya debit pada saat pengambilan contoh hasil sedimen. Celakanya sifat aliran sungai di wilayah tropika basah sangat berfluktuasi, di mana debit puncak banjir yang membawa aliran sedimen dengan konsentrasi tinggi justru sering terjadi di malam hari yang tentunya selain tidak teramati juga tidak terambil contohnya. Penelitian di Sub DAS berhutan di Kali Konto (Sayang) menunjukkan bahwa SRC yang dibuat berdasarkan data sedimen yang diambil pada siang hari saja, menghasilkan nilai pendugaan laju sedimentasi 33% lebih rendah dibandingkan pendugaan laju sedimen dengan menggunakan SRC yang dibuat berdasarkan pengambilan contoh sedimen pada siang dan malam hari. Berdasarkan penelitian di Kali Konto juga diketahui bahwa prosedur umum pendugaan laju sedimentasi sungai di Indonesia juga menghasilkan nilai dugaan yang underestimate[23,29]. W: Maksudnya? I: Prosedur yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut, debit sungai rata-rata harian diduga berdasarkan nilai tinggi muka air ratarata harian yang diperoleh dari grafik alat pencatat tinggi muka air otomatis (AWLR) yang dikonversi ke debit melalui discharge rating curve/DRC14. Nilai debit dugaan rata-rata harian tersebut selanjutnya digunakan sebagai data masukan pada SRC untuk menduga debit


rata- rata sedimen harian. Hasil pendugaan dengan menggunakan nilai debit rata-rata harian ini diketahui menghasilkan nilai dugaan yang underestimate, di mana nilai kesalahannya semakin besar, mengingat kedua kurva aliran (SRC & DRC) tersebut merupakan fungsi logaritmik. Be- samya underestimate ditentukan oleh bentuk weir/flume (bangunan penampang sungai untuk mengukur debit secara teliti) serta keruncingan (peakedness) hidrograf harian. Hasil penelitian di Kali Konto dengan menggunakan hasil rata-rata debit per jam (bukan harian) untuk menduga laju sedimentasi berdasarkan data pengukuran tinggi muka air tahun 1988/1989 di Sub DAS Sayang, menyimpulkan bahwa prosedur pengukuran yang biasa dilakukan di atas underestimate sebesar 43% [23,29]. W: Jadi prosedur pengukuran dan pendugaan laju hasil sedimen yang biasa dilakukan saat ini masih perlu diperbaiki, apabila diinginkan data pendugaan sedimen yang lebih teliti. I: Tepat sekali. Di lain pihak perlu hati-hati membandingkan laju sedimen dari tempat yang berlainan, khususnya dalam konteks penelitian yang bertujuan untuk mngetahui dampak penutupan lahan terhadap penurunan laju sedimen. Mengingat tingkat ke-akuratan data sekunder di Indonesia sangat bervariasi serta sangat ditentukan oleh teknik pengukuran, prosedur pendugaan dan fra-kuensi pengambilan contoh[8] W: Cukup jelas, lanjut ke pendugaan kuantitatif dampak logging terhadap peningkatan hasil sedimen? I: Kegiatan ini berdampak pada lonjakan hasil sedimen secara drastis. Penelitian di Ulu Segama, Sabah (Malaysia) dengan metode DAS berpasangan diketahui bahwa perbandingan hasil sedimen antara DAS Steyshen Baru dan DAS W8S5 (DAS kontrol) pada saat sebelum kegiatan tebang pilih adalah hampir 1:1, setelah jalan hutan dibangun memotong DAS Steyshen Baru perban-dingannya meningkat menjadi 4:1, pada saat tebang pilih mencapai 37 meter dari jalan utama perbandingannya menjadi 5:1, kemudian setelah seluruh wilayah DAS Steyshen Baru ditebang pilih perbandingannya melonjak drastis menjadi 18:1 [13]. Penelitian dari Bukit Berembun dengan sistem tebang pilih de-


ngan menggunakan metode DAS tunggal juga menunjukkan hasil yang bersesuaian, pada saat sebelum logging laju sedimentasi sebesar 24 ton/km2/tahun, satu tahun setelah logging meningkat menjadi 189 ton/ km2/tahun, penelitian pada tahun ke empat setelah logging ternyata juga masih cukup tinggi yaitu sebesar 84 ton/km2/tahun [1]. Penelitian yang sama di wilayah tropika basah di Babinda, Queensland utara menunjukkan bahwa kegiatan tebang pilih meningkatkan kandungan sedimen tersuspensi (suspended load)15 dua kali lipat, sedangkan kegiatan tebang habis di wilayah yang sama meningkatkan kandungan sedimen tersuspensi sepuluh kali lipatI18]. W: Secara umum? I: Kegiatan pembuatan jalan meningkatkan hasil sedimen sekital 2 hingga 10 kali lipat, diikuti dengan lonjakan sementara hingga 20 kali lipat pada saat penebangan hutan, kemudian menyusut secara tidak beraturan hingga sampai beberapa kali lipat'besarnya hasil sedimen semula, yaitu pada saat jalan sarad mulai tertutup oleh vegetasi[7]. Penelitian di Pulau Laut (Kalimantan Selatan) menunjukkan apabila penutupan vegetasi bekas jalan sarad berkembang dengan baik, setelail dua tahun laju erosi menyusut hingga hanya setengah lebih tinggi, kemudian hanya sekitar seperempat lebih tinggi daripada laju erosi semula pada tahun ketiga.[30] W: Secara ringkas bagaimana prinsip pengendalian dampak tata air kegiatan logging. I: Pertama, melakukan observasi secara teliti terhadap batasbatas sub DAS, pemetaan berbagai alur-alur sungai baik yang mengalir secara musiman maupun menerus, melakukan zonasi terhadap wilayah yang peka terhadap gangguan, seperti daerah rawan longsor, perbukitan, kelerengan tinggi, wilayah (minimal) sepanjang 20 meter dari kiri dan kanan aliran sungai baik yang alirannya musiman maupun menerus (kakisu), serta tentunya pemetaan hutan Kerangas (heath- forest)16. Seluruh daerah rawan gangguan tersebut harus dikeluarkan dari wilayah efektif peng-usahaan, serta berfungsi sebagai kantong-kantong konservasi. Kedua, letak jalan utama, jalan cabang, jalan sarad, tempat penim-bunan kayu dan prasarana logging


lainnya diusahakan berjarak sejauh mungkin dari alur-alur pengaliran air (sungai), serta pem-bangunannya dilakukan pada musim kemarau. Ketiga, setiap jalan harus dilengkapi dengan gorong-gorong yang cukup lebar dan dalam untuk mengalirkan aliran permukaan secara cepat, mengingat keparahan erosi suatu wilayah sebagian besar disebabkan oleh tidak tepatnya penyaluran air permukaan. Keempat, selama memung-kinkan, diusahakan untuk melakukan penyaradan ke atas bukit dengan menggunakan winch ropes daripada traktor. Kelima, penentuan arah rebah pohon harus menuju ke celah hutan yang telah terbentuk sebelumnya, serta gangguan lapisan seresah, tumbuhan bawah dan topsoil harus diupayakan seminim mungkin. Keenam, memelihara wilayah penyangga di sekitar kakisu (ripa-rian buffer zones) yang berfungsi sebagai penahan pengaliran sedi-men ke aliran sungai, perlindungan ekosistem perairan, sekaligus juga sebagai koridor pergerakan satwa. Ketujuh, penerapan sistem silvikultur HTB secara intensif dengan memanipulasi (regenerasi) pertumbuhan pohon segera setelah kegiatan logging [8,25]. W: Nampaknya sederhana saja... I: Lho, sederhana kan tidak selalu berarti mudah dilaksanakan. Prinsipnya, apabila hutan tropika basah benar-benar diharapkan hasilnya secara menerus, kegiatan logging sudah selayaknya hanya dilakukan jika dan hanya jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi!

***

Pembicaraan terhenti karena aroma dodol duren yang ada di ruangan telah menggelitik syaraf hidung rekan-rekan Pak Iswara, mereka sepakat untuk segera menyantap makanan tersebut. Sebelum beranjak dari ruangan Pak Iswara sempat menerima teman yang mengembalikan setumpuk seri manual kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yang diterbitkan oleh ITTO [17] dan CIFOR [18] yang dipinjam dari Pak Iswara. Berbagai pe-doman


yang dikeluarkan oleh lembaga internasional tersebut, kalau dicermati dengan baik, sebetulnya bukan barang baru, setidaknya berbagai hal yang ada pada pedoman tersebut telah dikenal dalam peraturan yang sebelumnya telah ada jauh sebelum munculnya berbagai pedoman tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa kini yang ditunggu-tunggu sebetulnya adalah pelaksanaannya secara tertib dan bertanggung jawab dari berbagai pedoman dan peraturan yang ada. Kiranya berbagai pihak harus memahami bahwa hutan bersama- sama dengan komponen ekosistem lainnya sebagai pabrik kayu berbeda dengan pabrik sepatu. Kalau pabrik sepatu yang dijual adalah sepatunya (produknya) sedangkan pabriknya tetap berdiri, tetapi kalau kita menebang kayu, menjualnya, maka sebenarnya kita menjual kayu yang dalam hal ini merupakan produk dan sekaligus pabriknya. Karena kayu sebagai salah satu komponen ekosistem kalau ditebang akan mengganggu komponen ekosistem lainnya. Kalau penebangan dilakukan secara sembrono akan dapat menimbulkan bencana ekologis sebagaimana telah dibahas dalam bab ini. Kapankah antara pedoman dan pelaksanaan berjalan seiring di bumi pertiwi ini.... ?!• Catatan Kaki: 1. Malayan Uniform System telah berkembang sejak tahun 1950-an di Seme-

2.

3.

nanjung Malaya (Malaysia). Silvikultur ini bertujuan untuk menghasilkan tegakan jenis komersial yang memiliki kelas umur seragam pada rotasi kedua (dan rotasi tebang berikutnya). Rotasi tebangnya 70 tahun. Pertumbuhan anakan (seedling) dan pohon sapihan (sapling) jenis yang diinginkan dirangsang dengan tajuk secara ekstensif. Enam tahun sebelum penebangan pohon-pohon jenis komersial, pohon-pohon berukuran kecil dan sedang dimatikan. Jenisjenis pohon yang tak disukai diracun. MUS telah sukses dilaksanakan pada HHT dataran rendah di Semanjung Malaya yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, namun kurang sesuai diterapkan pada HHT dataran tinggi. HHT di Indonesia (Indo-Malaya) rata-rata memiliki 400-700 pohon/ha dengan diameter setinggi dada (diamater at brast hight/dbh) > 10 cm, serta 200 - 300 pohon/ha dengan dbh rata-rata > 50 cm. Bandingkan dengan HHT di Blok Amerika dan Afrika yang mana rata-rata memiliki 350 - 500 pohon/ ha dengan dbh > 10 cm [34]. Ada dua jenis rantai, yaitu yang beroda rantai baja (tractors) dan beroda karet (wheeled skidders), traktor beroda karet justru sering dilaporkan memberi dampak pemadatan tanah yang lebih tinggi.


4.

5.

6.

7.

8.

9.

Teknik penyaradan tersebut di Malaysia sering disebut dengan san tai wang, yaitu sejenis truk militer dengan mesin penarik (derek). Penyaradan dilakukan dengan cara menarik log dari tempat asal pohon yang ditebang dengan tambang baja yang digerakkan oleh mesin derek ke posisi san tai wong winch lorry, kemudian oleh alat yang sama diangkut ke tempat pengumpulan kayu (log-yard). Penyaradan ini memberikan kerusakan yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan traktor. High-lead yarding, penyaradan kabel dengan mengaitkan salah satu ujung log pada kabel, sedangkan ujung lainnya menggantung berayunayun yang menyebabkan kerusakan vegetasi di sekitar jalur kabel. Sedangkan sky-line, mengaitkan kedua ujung log pada kabel, penyaradan jenis ini tentunya kurang memberikan dampak kerusakan dibandingkan dengan high-lead yarding. Selain menggunakan traktor dan winch lorry, juga ada penyaradan sistem kuda-kuda (panglong, hand-logging). Penyaradan ini banyak dilakukan di luar Jawa pada jaman penjajahan hingga sebelum HPH masuk. Kini hanya di pakai di hutan jati di Jawa. Teknik ini menyarad kayu secara manual dengan alat kuda-kuda (semacam tangga horisontal terbuat dari kayu di mana log diletakkan) yang didorong secara beramai-ramai pada suatu rel kayu ukuran kecil yang berjarak 30 cm. Satu kuda-kuda biasanya didorong oleh 12 orang. Sistem penyaradan ini cukup murah dan tidak banyak menimbulkan kerusakan. Tetapi (selain kurang manusiawi) tentunya kurang cepat dan tidak bisa dioperasikan pada wilayah bertopografi berat. Bulk density merupakan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-porinya. Makin padat suatu tanah makin tinggi BD-nya (mengingat volumenya semakin rendah), yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar 3tanaman. Pada umumnya BD tanah berkisar antara 1,1 - 1,6 gram/cm [l9]. Beberapa jenis tanah mempunyai BD kurang dari 0,85 gram/cm 1, misalnya tanah gambut. Laju infiltrasi tanah biasa diukur dengan portable double-ring infiltrometer, yang berupa dua ring dengan diameter 14 cm dan 21 cm yang ditancapkan ke permukaan tanah yang hendak diukur laju infiltrasinya sedalam 5 cm. Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi tanah, biasanya nilainya sangat bervariasi sekali, oleh karena itu pengukurannya harus dilakukan pada banyak titik (secara sistematik) yang mewakili keragaman kondisi permukaan tanah yang hendak diketahui laju infiltrasinya. Biasanya kapasitas infiltrasi hutan sangat tinggi yang disebabkan oleh ketebalan seresah, berkembangnya agregat tanah, dan banyaknya saluran-saluran pori ukuran besar yang ditimbulkan oleh perakaran pohon dan aktifitas mikro organisme tanah.


9A. Kasus lain pada suatu DAS percobaan seluas 1,34 km 2 di sungai Tekam, tebang habis seluas 0,97 km2 pada DAS bagian bawah, meningkatkan hasil air pada periode pasca logging sebesar 85 % pada tahun pertama, 147 % pada tahun kedua, dan 97% pada tahun ketiga. Pada tahun keempat DAS berhutan tersebut ditebang seratus persen, yang berdampak terhadap peningkatan hasil air sebesar 420% [5]. 10. Hydraulic conductivity, kemampuan lapisan tanah mengalirkan air mencapai maksimum pada saat tanah mencapai atau mendekati kejenuhan, serta menurun dengan merosotnya kandungan air tanah. Pada saat jenuh air seluruh pori tanah terisi oleh butir-butir air sehingga berperanan secara efektif untuk melancarkan aliran air, mengingat aliran air dalam tanah tergantung oleh keberadaan lapisan air di antara butir-butir tanah. Sebaliknya, pada kondisi tanah tidak jenuh, sebagian pori-pori tanah diisi oleh udara yang merupakan faktor penghambat aliran air [36]. 11. Pengukuran dilakukan pada bekas jalan sarad yang sedang (baru) digunakan di pulau Laut, Kalimantan Selatan. 12. Berdasarkan perkembangannya, tanah dibedakan menjadi tanah muda (immature atau young soil, misal : Entisol/Aluvial, Regosol, tanah dewasa (mature soil, misal : Inceptisol, latosol cokelat, andosol dsb, vertisol, Mollisol dan sebagainya) dan tanah tua (old soil). Kualitas menerus berubah sebagai akibat pelapukan mineral dan pencucian basa-basa secara terus menerus, di mana di wilayah tropika basah aktifitasnya berjalan intensif mengingat melimpahnya sinar matahari dan curah hujan. Semakin tua, kondisi tanah semakin kurus. Mineral yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan sehingga tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa yang tinggal di dalam tanah, tanah macam ini selain kurus juga bereaksi masam [19]. Sebagian besar tanah di wilayah tropika bereaksi masam dan mengalami defisiensi unsur pospor dan nitrogen. Peningkatan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan cara pengapuran dan pemupukan khususnya untuk menginjeksi unsur N dan P. Tingginya aktifitas gunung api di Jawa telah secara terus-menerus memudahkan kembali perkembangan tanahnya. Hal ini merupakan sebab kenapa tanah di wilayah ini berbeda dengan sebagian besar tanah di luar Jawa. 13. Ilustrasi bervariasinya laju sedimentasi pada DAS yang berhutan yang belum terganggu di wilayah tropika basah; DAS Sungai Gombak (Malaysia, luas (1): 25 km2, geologi (g): granit, curah hujan (ch): 2.459 mm) laju sedimentasinya (ls) = 25 ton/km2/tahun; DAS Ei Creek (Papua New Guinea, 1:16 km2, g:philit, ch: 2.700 mm) ls = 36 ton/ km2/tahun. DAS Rambut (Jawa Tengah 1: 45 km2, g:: vulkanik, ch : 3.500 mm) ls = 530 ton/ km2/tahun, DAS Cacaban (Jawa Tengah, l; 79 km2, g : napal, ch =3.500 mm) ls = 660 ton/km2 /tahun [8].


14.

15.

16.

17.

18.

DRC (kurva aliran), kurva hubungan tinggi muka air sungai (m) dengan debit sungai (m3/detik). Pendugaan debit sungai biasanya berdasarkan pada data pengukuran tinggi muka air yang diperoleh dari alat pengukur tinggi muka air otomatis (AWLR). Hasil pengukuran tinggi muka air ini (m) kemudian di konversi ke debit sungai (m3/detik) dengan menggunakan kurva DR C tersebut. Suspendel load. Hasil sedimen yang dialirkan oleh sungai biasanya dibedakan menjadi dua kategori, yaitu suspended load dan bedload. Suspended load adalah partikel berukuran 63 micron (debu/silt) yang secara permanen dalam kondisi tersuspensi. Pada sungai-sungai yang alirannya turbulen (memusar), sebagaimana sungai-sungai di Indonesia, konsentrasinya pada suatu penampang melintang sungai tidak begitu bervariasi. Bedload (aliran dasar) adalah partikel sedimen yang berukuran besar yang melompat serta merayap pada dasar saluran serta tidak pernah tersuspensi. Hutan kerangas (heath forest) hutan yang tumbuh pada tanah pasir yang mengalami podzolisasi (podzol), sangat asam (pH < 4), kesuburan rendah (oligotrophy), kadang bergambut. Hutan ini memiliki fisiognomi yang serupa dengan TMCF yaitu, pohon kerdil, tajuk rata, tidak berstrata, daun kecil (microplylls/scerophyllous), banyak epifit. Hutan ini merupakan ekosistem yang rawan terhadap kerusakan, sekali ditebang (dibakar), kondisi tanahnya akan merosot cepat. Lapisan humus akan segera tererosi, terbakar atau teroksidasi. Kandungan liat yang cukup rendah pada tanah tersebut akan segera tercuci dan menyisakan pasir silika murni dengan kesuburan yang sangat rendah. Hutan ini banyak dijumpai pada wilayah beriklim per- humid (terus-menerus basah). Di Indonesia hutan ini banyak terdapat di Kalimantan, yang disebut dengan hutan Kerangas, yang berarti lahan hutan yang tidak cocok untuk tanaman padi. ITTO, International Tropical Timber Organization, organisasi negara penghasil dan pengguna kayu tropika yang berdiri sejak tahun 1983. Organisasi ini bertujuan meningkatkan perdagangan kayu antar negara produsen dan konsumen, .serta membina kelestarian hutan produksi di wilayah tropika. Beranggotakan 25 negara konsumen dan 21 negara produsen yang menghasilkan 95 % dari pasaran kayu keras tropika (tropical hardwood) di dunia. Organisasi ini bermarkas di Yokohama – Jepang, yang notabene merupakan negara konsumen terbesar yang menyerap lebih dari separoh produksi kayu tropika dunia. Pada sidang ITTO kedelapan di Bali pada bulan Mei 1990 menghasilkan komitmen yang kini dikenal dengan "Target tahun 2000", yang mana mulai tahun tersebut kayu tropika yang diekspor harus dihasilkan dari usaha pengelolaan hutan yang lestari. CIFOR, Center for International Forestry Research, Lembaga ini antara lain telah mengembangkan, menguji dan menyeleksi kriteria dan indikator


pengelolaan hutan secara lestari dan mengemas seluruh informasi menjadi semacam tool box dalam suatu CD-ROM.


PUSTAKA Abdul Rahim, N., 1990. Effects of Selective Logging Methods on Hydrological Parameters in Peninsular Malaysia. PhD thesis, University College of North Wales, Bangor, Wales, United Kingdom. [2] Bons, C.A., 1990. Accelerated Erosion Due to Clearcutting of Plantation Forest and Subsequent Taungya Cultivation in Upland WestJava, Indonesia. Dalam R.R. Ziemer, C.LO'Loughlin 7 L.S. Hamilton. Research and Applications to Reduce Erosion and Sedimentation in Tropical Steeplands. IAHS Publication No. 192. Hal 279 - 288. [3] Burgess, P.F., 1971. The Effect of Logging on Hill Dipterocarp Forests. Malay. Nat. J. 24 : Hal 231 - 237. [4] Briujnzeel, L.A., 1983. Hydrological and Biogeochemical Aspects ofManmade Forests in South-Central Java-lndonesia. PhD thesis, Free University, Amsterdam, 256 hal. [5] Bruijnzeel, L. A., 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion : A State of Knowledge Review. UNES- CO-Paris. 224 hal. [6] Bruijnzeel, L.A., 1992. Sustainability of Forest-Growing Plantation Forests in the humid Tropics with Particular Reference to Nutrients. Dalam Carl F. Jordan, Jiragorn Gajaseni & Hirokuyi Watanabe (eds), Taungnya : Forest Plantations with Agriculture in Southeast Asia. C.A.B. International. [7] Bruijnzeel, L.A., 1993. Land Use and Hydrology in Warm Humid Regions : Where do we Stand ? dalam John Stuart Gladwell (edj Hydrology of warm Humid Regions. IAHS. Hal 3-34. [8] Bruijnzeel, L.A., 1992. Managing Tropical Forest Watersheds For Production : Where Contradictictory Theiry and Practice Co- Exist. Dalam F.R. Miller & K.L. Adam, Wise Management of Tropical Forests 1992, Oxford Forestry Institute, Oxford. United Kingdom. Hal 37-75. [9] Bruijnzeel, L. A., 1991. Hydrological Impacts of Tropical Forest Conversion. Nature & Resources, Vol. 27. No. 2. Hal 36-46. [10] Couper, D.C., Lai. R. Classesn, S.L., 1981. Land Clearing and Development for Agricultural Purposes. Dalam. R. Lai & E.W. Russel, Tropical Agricultural Hydrology. John Willey, New York. Hal 119-130. [11] Delft Hydraulics, 1989. Cisadane-Cimanuk Integrated Water Resources Development (BTA-155) volume IX - X (Erosion). Delft Hydraulics, Delf and Pusat Litbang Pengairan, Bandung, Indonesia. [12] Douglas, I., T. Greer, Kawi Bidin & Waidi Sinun , 1993. Impact of Roads and Compacted Ground on post Logging Sediment Yield in a Small Drainage Basin, Sabah, Malaysia. Dalam John Stuart Glad well (ed) Hydrology of Warm Humid Regions . IAHS. Hal 213-218. [13] Douglas, I. Tom Spenser, Tony Greer, Kawi Bidin, Waidi Sinun & Wong Wai Meng. The Impact of Selective Commercial Logging on stream Hydrology, Chemistry and Sediment Loads in the Ulu Segama Rain Forest, Sabah, Malaysia. Dalam A.G. Marshall & M.D. Swaine, Tropical Rain Forest: Disturbance and Recovery. Proceeding os A [1]


Royal Society Discussion Meeting 18 - 119 September 1991. The Royal Society, London. Hal 397 - 406. [14] Dunne, T. and Black, R.D.r 1970. An Experimental Investigation of Runoff Production in Permeable Soils. Water Resources Res. 6, 478 490. [15] Dunne T., 1978a, Field Studies ofHillslope Flow Processes. Dalam M.J. Kirkby (ed) Hillslope Hydrology. J. Willey. New York. Hal 227 - 293. [16] Dunne T. and L.B. Leopold, 1978b. Water in Environmental Planning. W.H. Freeman and Company. San Francisco. [17] Edi Purwanto, 1993. Pembangunan Hutan Tanaman di Luar Ja- wa. KOMPAS, Sabtu 7 Agustus 1993. Hal 4 - 5 . [18] Gilmour, D.A., Cassels, D.S. & Bonell, M, 1982. Hydrological Research in the Tropical Rainforests of North Queensland: Some Implications for Land Use Management. Dalam E.M. O'Loughlin & L.J. Bren, The First National Symposium on Forest> Hydrology. Melboum 11-13 Mei 1982. National Conference] Publication No. 82/6. The Institution of Engineers, Australia. Hal 145 - 152. [19] Hardjowigeno, S., 1989. Ilmu Tanah. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. [20] International Tropical Timber Organization (ITTO), 1990. ITTO Action Plan/Criteria and Priority Areas for Programme Development and Project Work. Int'l Tropical Timber Council, Ninth Session, Yokohama, 16 - 23 Nov 1990. [21] Hatchell, G.E. & Rllston, C.W., 1971. Natural Recovery of Surface Soils Disturbed in Logging. Tree Planters notes 22, hal 5-9. [22] JonkersW.B., 1987, Vegetation Structure, logging Damage and Silviculture in a Tropical Rain Forest in Suriname. PhD thesis, Agricultural University, Wageningen, 172 halaman [23] Kaatee, E.G., 1989. Short-term Rainy Season Sediment Yields in the Sayang Basin, uper Konto Watershed, East Java, Indonesia. MSc. Thesis (tidak dipubilkasikan), Free University, Amsterdam. [24] Kimmins, S.P., 1997. Forest Ecology : A Foundation for Sustainable Management. Prentice-Hall Inc. New Jersey [25] Lai, F.S., 1993. Sediment Yield From Logged, Steep Upland Catchments in Paninsular Malaysia. Dalam John Stuart Gladwell (ed) Hydrology of warm Humid Regions. IAHS. Hal 219 - 229. [26] Megahan, W. & Schweuthelm, J.W., 1983. Guidelines for Reducing Negative Impacts of Logging. Appendix C dalam L.S. Hamilton & P.N. King. Tropical Forested Watershed Hydrologic and Soil Response to Major Uses and Conversions. Westview Press, Boulder. Hal 143 - 154. [27] Nicholson, D.I., 1958. Natural Regeneration of Logged Tropical Rain Forest, North Borneo, Malaysian Forester, 21. Hal 65 - 71. [28] Poerwoeidodo, 1992. Gatra Tanah Dalam Pembangunan Hutan Tanaman. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta. [29] Rijsdijk, A. & Bruijnzeel, L.A., 1990, 1991. Erosion, Sedimen Yield and Land-Use Pattems in The Upper Konto Watershed, East Java,


Indonesia. Konto River Project Communication No. 18,3 Volume, Konto River Project, Malang, Indonesia, 58, 150 dan 59 hal. [30] Ruslan & Manan, S., 1980. Pengaruh Jalan Sarad Terhadap Ero- si dan Aliran Permukaan di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Ma- kalah Seminar Pengembangan Pengelolaan DAS dan Hidrologi, Juni 1980, Surakarta. [31] Stadmueller, 1990. Soil Erosion in East Kalimantan. DalamR.R. Ziemer, C.L. O'loughlin & L.S. Hamilton, Research Needs and Aplications to Reduce Erosion and Sedimentation in Tropical Steeplands. International Association of Hydrological Science (IAHS) Publication No. 192. [32] VanderPlas, M.C. andL.A. Bruijnzeel, 1993. Impact of Mechanized Selective Logging of Rain Forest on Topsoil Infiltrability in the Upper Segama Area, Sabah, Malaysia. Dalam John Stuart Gladwell (ed) Hydrology of Warm Humid Regions. IAHS. Hal 203 -211. [33] Ward, R.C., 1984. On The Response to Precipitation of Headwaters in Humid Areas. Journal of Hydrology 74; hal 171 - 189. [34] Ward R.C. and Robinson, 1989. Principles of Hydrology. Third Edition. McGraw-Hill Book Company (UK) Limited. Maiden- head-BerkshireEnglan. Hal 147. [35] Whitemore, T.C., 1990. An Introduction to Tropical Rain Forests. Oxford University Press. New York. Hal 128. [36] Wiersum, K.F., 1984. Surface Erosion Under Various Tropical Agroforestry System. Dalam C.L. O'Loughlin & A.J. Pearce (eds). Proceeding Symposium on Effests of Forest Land Use on Erosion and Slope Stability, May 1984. Honolulu. Hal 231 - 239.



BA B 7 MI TOS DEF ORE STA SI DA N RE BOISA SI Ini adalah sebuah kisah kepahitan hidup di wilayah tropika basah. Belum lama berselang, siksaan kemarau panjang yang menimbulkan dampak ekologi, ekonomi dan sosial budaya yang besar. Deraan tersebut reda setelah turunnya hujan, namun beberapa bulan kemudian setelah musim hujan datang, seakan baru saja bernafas, telah timbul musibah baru berupa banjir dan tanah longsor yang memberikan dampak ekologi dan sosial yang tak kalah menyedihkan dengan bencana musim kemarau. Para petani dan kaum papa lainnya memang sering menjadi korban utama kedua bencana yang datang silih berganti, yang mana di beberapa wilayah terkadang hampir terjadi secara rutin. Entah berapa korban yang jatuh dalam bencana ini, berapa ribu hektar sawah yang telah siap tuai tertimbun air, belum lagi ternak, gedung, perumahan, waduk, jalan maupun jembatan yang lintang pukang diterjang oleh amukan banjir. Bahkan banjir tidak pilih kasih, dia melabrak siapa dan di mana saja, bukan hanya wilayah pelosok, tetapi juga melanda kota- kota besar yang sering membuat berbagai kegiatan beberapa saat macet total. Banjir1, walaupun bukan hal yang tak jarang terjadi, namun setiap kejadian tersebut muncul, selalu menyedot perhatian serta simpati banyak orang. Bahkan seluruh koran hari ini hampir menghabiskan halaman pertamanya untuk meliput masalah banjir dan tanah longsor yang melanda berbagai wilayah di Indonesia. *** Widya yang hari itu amat santai, karena seluruh kegiatan pelatihan sudah usai dan tinggal menunggu hari “H� nya penutupan resmi, berada di perpustakaan sambil membaca beberapa koran pagi. Ketika membaca masalah banjir, seolah mendapat pasokan inspirasi untuk menuntaskan rangkaian perbincangannya dengan Pak Iswara. W: Apakah bencana banjir selalu berkaitan erat dengan proses


deforestasi di wilayah hulu? I: Wilayah hulu (upstream) dan hilir (downstream) memang memiliki keterkaitan hidrologi yang sangat erat. Telah lama disadari bahwa degradasi ekologi secara on-site di wilayah hulu berdampak secara off-site di wilayah hilir, dalam konteks ini air memang berperanan sebagai faktor pengikat hubungan antara hulu dan hilir, dampak on-site dan off-site. Berbagai keterkaitan tersebut memang sangat mudah dilihat dengan menggunakan satuan DAS, karena itu DAS sebagai unit hidrologi memang sangat ideal digunakan sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya hutan, tanah dan air. Deforestasi di wilayah hulu memang selalu dipandang sebagai penyebab utama terjadinya banjir besar di wilayah hilir, pandangan tersebut bukan hanya di Indonesia saja, melainkan juga di berbagai negara yang sering dilanda banjir seperti [17] Cina, Thailand, India Utara, Bangladesh, Philipina dan sebagainya . Sebaliknya telah menjadi semacam keyakinan banyak pihak bahwa reboisasi (reforestation)2 dianggap sebagai obat mujarab untuk menangkalnya. Penutupan hutan secara umum memang menjanjikan perbaikan karakteristik tata air tanah terbaik yang mungkin bisa dicapai[38]. Di lain pihak, seperti yang telah saya jelaskan pada diskusi yang lalu, bahwa konversi hutan menjadi penutupan nirhutan menurunkan ET. Kemudian pemadatan tanah dan pembakaran pada umumnya berdampak pada peningkatan aliran permukaan serta penurunan aliran bawah permukaan. Perubahan dominasi aliran, dari aliran bawah permukaan menjadi aliran permukaan ini, selanjutnya berdampak pada peningkatan debit puncak banjir di musim hujan. W : Bagaimana apabila deforestasi tersebut dilakukan secara hati-hati dan terencana? I: Deforestasi yang dilakukan secara hati-hati dan terencana memang mampu mengendalikan pemadatan dan kerusakan tanah sehingga peningkatan aliran permukaan dapat dikendalikan sampai batas minimum. Namun upaya tersebut tetap tidak mampu membendung peningkatan debit puncak banjir, mengingat peng-urangan ET berdampak semakin basahnya lantai hutan dan berakibat semakin responsifnya debit puncak banjir terhadap curah hujan [5]. W: Semakin tinggi curah hujan tentunya semakin besar pengaruh deforestasi terhadap peningkatan debit puncak banjir. I : Sepintas nampaknya demikian, namun yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya. Berdasarkan 2berbagai penelitian pada DAS kecil berukuran kurang dari 25 km dampak deforestasi terhadap peningkatan debit puncak banjir tersebut semakin tinggi dengan semakin rendahnya curah hujan. Untuk curah hujan rendah (sekitar 5 mm), peningkatan aliran langsung (Qf) dan debit puncak banjir (Qp) sebesar satu setengah hingga dua kali lipat, untuk curah hujan sedang (15 - 30 mm), Qf dan Qp meningkat sekitar setengahnya, untuk hujan besar (sekitar 75 mm) Qf dan Qp meningkat antara sepersepuluh hingga seperempatnya, sedangkan pada hujan ekstrim Qf dan Qp


hanya [5]meningkat kurang dari sepersepuluh debit puncak banjir semula . Mengingat semakin besar curah hujan, semakin mampu melampaui keterbatasan hutan untuk menahan laju air, sehingga pada saat terjadi hujan yang sangat ekstrim3 dimungkinkan besarnya banjir adalah sama antara wilayah berhutan dan tidak berhutan. W : Ya, tetapi deforestasi jelas berdampak pada peningkatan debit puncak banjir sekaligus juga banjir. I : Begini, debit puncak banjir dari sungai utama pada suatu DAS yang berukuran besar (> 1000 km2) merupakan akumulasi debit aliran dari berpuluh-puluh atau beratus-ratus sungai dari sub DAS kecil yang bermuara pada sungai tersebut[13]. Selama proses deforestasi hanya terjadi pada suatu wilayah yang terbatas, tingginya aliran permukaan pada suatu DAS yang mengalami deforestasi di wilayah hulu tidak langsung berakibat pada peningkatan debit banjir pada sungai besar, karena berbagai DAS yang mengalirkan air pada sungai tersebut memiliki tenggang waktu4 yang bervariasi untuk sampai pada suatu titik tertentu di daerah hilir

Debit yang tinggi dari suatu sungai yang keluar dari suatu sub DAS, tidak nampak pada sungai utama di wilayah hilir, seandainya sungai dari sub DAS-sub DAS lainnya pada saat yang sama tidak memberikan respon debit yang sama tingginya. Namun apabila hujan dengan intensitas yang tinggi terjadi secara merata dalam waktu yang lama, atau pola pengaliran sungainya sedemikian rupa sehingga hujan yang terjadi tersebut memiliki tenggang waktu yang sama atau cepat terakumulasi ke suatu titik di bagian hilir, maka luapan air dari bentangan sungai utama di bagian hilir benar-benar akan terjadi. Dengan demikian banjir yang terjadi dalam skala regional; intensitas hujan,


distribusi ruang hujan, lama hujan dan pola aliran sungai biasanya merupakan sebab yang lebih dominan dari perubahan lahan yang terjadi. Banjir yang terjadi pada puncak musim hujan pada suatu DAS yang penutupan lahannya masih baik sering disebabkan oleh telah jenuhnya tanah terhadap curah hujan yang turun secara terus-menerus, dalam kasus ini banjir sering disebabkan oleh terbatasnya daya tampung tanah daripada keterbatasan laju infiltrasi. Namun apabila deforestasi atau lebih tepatnya degradasi lahan meliputi sebagian besar dari DAS, terbatasnya kapasitas infiltrasi berakibat timbulnya akumulasi debit puncak banjir yang tinggi dari sebagian besar sub DAS. Dalam kasus ini deforestasi memang menjadi penyebab yang sama dominannya dengan faktor-faktor penyebab banjir lainnya. W : Jelasnya deforestasi tidak selalu menjadi biang timbulnya banjir? I: Ya, sekaligus juga merupakan jawaban, kenapa suatu DAS yang penutupan hutannya masih baik toh tak luput dari bencana banjir. Contohnya DAS Batanghari, pada awal tahun 1992 terjadi banjir besar dan sebagaimana biasa diduga erat kaitannya dengan proses deforestasi besar-besaran di wilayah hulu, tetapi kenapa pada tahun 1950-an sungai Batanghari juga meluap dan memberikan dampak kerusakan yang sama atau mungkin lebih besar dari banjir tahun 1992, padahal pada tahun 1950-an tentunya penutupan hutannya masih cukup baik. Kemudian banjir di Jawa Tengah pada awal tahun 1992, juga sering dikaitkan dengan proses degradasi lahan di wilayah hulu, tetapi mengapa banjir di tempat yang sama juga terjadi pada awal tahun 1861 sebagaimana yang dilaporkan oleh majalah dua mingguan berbahasa Belanda Java Bode, padahal pada waktu itu, tentunya penutupan lahan di wilayah tersebut masih cukup baik. Dalam sebuah artikel berjudul Overstrooming te Banyumas den 21 tot 23 February 1861 di majalah tersebut, antara lain dilaporkan bahwa banjir yang terjadi pada 22 Pebruari 1861 dipicu oleh hujan besar yang terjadi secara terus-menerus selama tiga hari. Dari Yogyakarta dilaporkan bahwa antara jam empat hingga malam hari pada tanggal tersebut, terjadi hujan sangat ekstrem hingga mencapai ketebalan sekitar 800 mm, kemudian di sekitar dataran tinggi Dieng antara tanggal 19 hingga 23 Pebruari juga tercatat curah hujan tidak kurang dari 1.000 mm. Pada saat kejadian banjir, tinggi muka sungai Serayu pada jam lima sore mulai meningkat dengan cepat, kemudian banjir mulai meluap sekitar jam sepuluh malam yang menyebabkan penggenangan air hingga 10 meter di wilayah Banyumas[14]. Beberapa kejadian di atas merupakan bukti bahwa peristiwa banjir besar tidak selalu berkorelasi dengan proses deforestasi di wilayah hulu. Sehingga anggapan bahwa deforestasi merupakan penyebab terjadinya banjir merupakan suatu generalisasi yang berlebihan! W: Iklim di wilayah tropika nampaknya sering dilanda berbagai kejadian ekstrim...


I : Bisa jadi demikian, misalnya curah hujan harian rata-rata di musim hujan memiliki ketebalan 10 mm - 20 mm, namun banjir yang terjadi di awal tahun 1992 di Jawa Tengah, disebabkan oleh curah hujan ekstrim yang terjadi hingga setebal 250 mm per hari, ketebalan ini hampir sama dengan rata-rata curah hujan bulanan di wilayah tersebut. Bayangkan hujan yang pada kondisi biasa terdistribusi selama satu bulan, dalam kondisi ekstrim tercurah dalam beberapa jam. Curah hujan harian tertinggi di Indonesia selama tahun 18791941 tercatat setebal 702 mm (terjadi di Ambon), berdasarkan pengamatan selama periode tersebut juga tercatat 6 stasiun yang menerima curah hujan harian antara 600 - 700 mm dan 12 stasiun antara 500 mm hingga 600 mm [2]. Dalam kondisi curah hujan seperti ini apapun penutupan lahannya tidak akan mampu membendung luapan aliran permukaan, karena curahan air telah benar-benar melampaui kapasitas maksimum tanah memegang air, sehingga ungkapan bahwa reboisasi mampu menangkal banjir, lagi-lagi juga merupakan sebuah generalisasi yang berlebihan. Dengan tidak mengurangi arti positif kegiatan reboisasi, lembaga yang mengeluarkan pernyataan, atau proyek yang mengatasnamakan kepentingan tersebut dikhawatirkan akan kehilangan kredibilitas, apabila banjir masih terus datang walaupun reboisasi telah dilakukan [4]. W : Menghadapi kejadian ekstrim memang repot, karenanya berbagai bangunan sipil teknis pengairan macam waduk, bendungan dan sebagainya diperlukan sebagai penahan banjir, di samping penutupan lahan yang baik di wilayah hulu. I: Tentu, lebih-lebih mengingat bahwa dalam kondisi fisiografi tertentu, penutupan hutan terkadang juga tidak lebih baik dalam mengendalikan banjir dibandingkan penutupan lahan nirhutan. W: Lho, tadi dikatakan bahwa hutan memberikan kemungkinan sifat hidrologi tanah terbaik yang dapat dicapai?! I: Tetapi hutan tidak mampu merubah keterbatasan seluruh karakteristik hidrologi tanah yang tidak menguntungkan [37]. Misalnya, apabila hutan terletak pada suatu tanah yang tipis di atas batuan yang kedap air. Dalam kondisi semacam ini bagaimanapun bagusnya penutupan hutan, aliran permukaan lantai hutan (SOF) tetap tinggi, mengingat kapasitas tanah untuk menyimpan air sangat terbatas. Dengan demikian penutupan hutan tidak berpengaruh terhadap penutupan debit puncak banjir. Singkatnya dalam kondisi semacam ini ada atau tidak ada hutan laju aliran permukaan dan debit puncak banjir tetap tinggi, sehingga reboisasi tidak berpengaruh terhadap penurunan banjir dan deforestasi tidak berakibat pada peningkatan banjir. Walaupun kegiatan reboisasi dan deforestasi tetap berpengaruh terhadap penurunan dan peningkatan proses erosi dan sedimentasi. W : Lantas dalam kondisi yang bagaimana hutan berpengaruh secara optimal pada seluruh aspek hidrologi? I: Pada wilayah yang berjeluk tanah cukup dalam (> 3 m). Da-


lam kondisi ini hutan akan mampu berpengaruh secara efektif terhadap seluruh aspek hidrologi. Hutan macam inilah yang dikenal memiliki sifat sponge effect, yaitu meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan memelihara kestabilan aliran air pada musim kemarau. Kegiatan reboisasi pada lahan semacam ini memberikan dampak yang sangat ideal, yaitu penurunan aliran langsung (Qf), debit puncak banjir (Qp), serta laju erosi dan sedimentasi. Sebaliknya deforestasi akan berdampak kemerosotan seluruh aspek tata air secara drastis. W: Semakin jelas bahwa berbagai aspek yang berkaitan dengan proses deforestasi dan reboisasi terhadap tata air harus selalu dilihat secara kasus per kasus, serta dievaluasi segala aspek yang berpengaruh secara menyeluruh. I: Persis, nampaknya kamu telah paham betul terhadap suatu hal yang sering saya tekankan sejak awal diskusi ini. Di samping itu perlu dipahami bahwa diperlukan sikap dan tindakan yang sangat hati-hati dalam mengelola hutan tropis. Hal ini disebabkan oleh karena kayu sebagai produk sekaligus sebagai pabrik. Berbeda den-gan kasus pabrik sepatu, misalnya, seperti telah dijelaskan terdahulu. W: Lalu bagaimana pengaruh bentuk pengaliran sungai terhadap banjir? I: Karakteristik percabangan sungai mempengaruhi kerentanan suatu DAS terhadap banjir, masalah ini hampir selalu dijelaskan dalam setiap buku teks hidrologi. Contoh ekstrimnya adalah banjir yang sering terjadi di Bangladesh, yaitu wilayah pertemuan antara sungai Gangga dan Brahmaputra. Debit sungai Gangga yang lebih besar sering menahan debit sungai Brahmaputra, sehingga tertahan alirannya dan berakibat pada timbulnya backwater effect, yaitu peningkatan tinggi permukaan air karena aliran airnya terhambat masuk. Kondisi ini berdampak terhadap kenaikan tinggi permukaan air dari sungai Brahmaputra hingga 100 km dari pertemuan sungai tersebut,yang berakibat banjir dan peningkatan sedimentasi sungai[5]. W : Terkadang perbaikan pengaliran sungai dilakukan dengan cara pelurusan alur-alur sungai. I : Ya, walaupun cara ini terkadang justru sering berakibat semakin parahnya banjir, mengingat hal tersebut berdampak pada penciutan badan sungai alaminya. Apalagi seiring dengan menciutnya sungai, biasanya dibarengi dengan merebaknya pemukiman di sekit-ar atau bekas badan sungai tersebut. W: Semakin merebaknya pemukiman di sekitar bantaran banjir ini telah memberikan implikasi penting terhadap semakin mencoloknya bencana banjir I: Tentu, sebagaimana yang terjadi di Ambon, Jawa dan di beberapa wilayah di Sumatera yang bantaran banjirnya telah dipadati oleh kawasan pemukiman. W : Sekarang beralih ke dampak deforestasi dan reboisasi terhadap peluang timbulnya tanah longsor.


I : Sebagaimana yang telah saya singgung pada diskusi yang lalu (Bab 6), erosi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu erosi permukaan (\embar/sheet + alur/riil), erosi jurang (gully erosion) dan erosi massa (mass wasting). Erosi jurang, erosi tebing sungai (river bank erosion), erosi jalan (road erosion) dan pergerakan tanah (mass movement/wasting), macam tanah longsor, hingga aktifitas gunung api sering dikelompokkan ke dalam jenis morphoerosi (morphoerosion). Dalam membahas pengaruh deforestasi dan reboisasi terhadap berbagai bencana tanah longsor perlu dibedakan antara tanah longsor dangkal (shallow landslide, <1 m) dan tanah longsor dalam (deep landslide, >3 m), mengingat terbatasnya jangkauan perakaran pohon, maka pengaruh hutan terhadap bahaya ini bervariasi, yaitu dari tidak berpengaruh sama sekali dalam kasus tanah longsor dalam, hingga berpengaruh cukup besar pada kasus tanah longsor dangkal[5]. W: Dengan demikian kegiatan reboisasi mampu mengendalikan timbulnya bahaya tanah longsor dangkal. Lalu bagaimana dengan tanah longsor dalam? I: Tanah longsor sebagaimana yang banyak terjadi pada penghujung tahun 2000 lalu biasanya lebih disebabkan oleh kondisi tektonik (geologi) setempat yang dipicu oleh tingginya curah hujan (klimatik). Walaupun di wilayah tertentu, bencana ini memang sering dipacu oleh proses deforestasi, misalnya kegiatan logging, pembuatan jalan utama, jalan cabang, jalan sarad atau pembuatan jalan pada wilayah yang rawan gerakan tanah seperti peristiwa tanah longsor yang sering terjadi pada alur Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Wilayah tektonik aktif ini biasanya berada di daerah yang terbentuk oleh endapan vulkanik muda. W: Kenapa demikian? I: Tanah yang berkembang dari endapan lahar atau abu vulkanik baik basaltik maupun andesetik, merupakan tanah yang sangat subur dan kaya unsur hara (kecuali nitrogen). Bertekstur pasir halus hingga lempung berpasir dengan kadar liat yang rendah, sehingga kapasitas infiltrasinya sangat tinggi. Tanah ini biasanya banyak didasari oleh lapisan-lapisan padas (hardpan)5 yang tak tembus air. Apabila tanah semacam ini terjenuhi oleh hujan yang turun secara terus-menerus hingga melampaui batas konsistensi maksimumnya (batas mengalir ÂĄliquid limitf, maka kesetabilan agregatnya terganggu sehingga menjadi labil, lapisan padas yang tak tembus air menjadi semacam bidang luncur dari gerakan tanah dan terjadilah bencana tanah longsor. Bahaya longsor ini sering timbul bahkan pada saat penutupan hutan di atasnya masih utuh. W: Jadi kegiatan konservasi tanah yang biasa dilakukan saat ini tidak mampu menangkal tingginya laju hasil sedimen pada wilayah yang proses erosinya didominasi oleh morpho-erosi? I: Kegiatan konservasi tanah yang biasa dilakukan berupa penterasan lahan dan penghijauan (afforestation, penanaman pohon-pohonan


di luar kawasan hutan), memang mampu menekan laju erosi permukaan dan mempertahankan kesuburan lahan pertanian secara on- site, serta mampu menekan dampaknya secara off-site, di mana kedua dampak erosi permukaan tersebut apabila tidak dikendalikan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Diduga kerugian yang ditimbulkan oleh kemerosotan kesuburan tanah secara on-site sebesar 400 juta US Dollar per tahun, sedangkan kerugian off-site sebesar 100 juta US dollar per tahun, keduanya dihitung berdasarkan kondisi di Pulau Jawa[23]. Di lain pihak, jangan heran kalau kegiatan penanggulangan tersebut di wilayah tektonik aktif, hampir tidak berpengaruh terhadap penurunan laju sedimentasi sungai (waduk). Di Indonesia, kasus ini sangat mencolok di beberapa wilayah tektonik aktif di Pulau Jawa. W: Buktinya? I : Begini, pendugaan kuantitatif laju erosi permukaan dengan unit DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 50-an yang melaporkan bahwa 50% hingga 65% dari lahan berkelerengan lebih dari 8% di Jawa memiliki permasalahan erosi permukaan secara serius [l7]. Akhir tahun 80-an dilakukan pendugaan yang sama dan disimpulkan bahwa hanya 5 % dari lahan berkelerengan lebih dari 8 % memiliki permasalahan erosi permukaaan secara serius [27]. Dengan demikian kontribusi erosi permukaan terhadap proses sedimentasi jelas tidak sedrastis empat dasawarsa yang lalu. Kini diperkirakan 75% dari lahan budidaya pertanian di DAS hulu telah diteras, dengan demikian laju erosi permukaan di Jawa seharusnya telah menurun, lebih-lebih pertanian beririgasi terus meningkat. Namun ironisnya laju sedimentasi masih tetap tinggi, bahkan masih di antara yang tertinggi di dunia!7[27,9]. Kondisi serupa dengan skala yang berbeda diduga juga terjadi pada beberapa wilayah tektonik aktif lain di Indonesia, seperti Sumatera, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Alor dan sebagainya. Walaupun sumber sedimen di wilayah tektonik aktif tidak merata ke seluruh DAS sebagaimana umumnya erosi permukaan serta hanya terbatas pada tempat tertentu saja (hot-spot), namun kontribusinya, terhadap total sedimentasi sungai (waduk) terkadang bisa mencapai sekitar 80 - 90 persen!8 W: Wah, begitu besarkah laju sedimentasi yang ditimbulkan oleh morpho-erosi ini? I: Ambil contoh ekstrim sedimentasi letusan gunung api (lahar dan


hujan abulash rains). Sejarah mencatat bahwa semburan sedimen Gunung Salak yang meletus tahun 1699 dan dialirkan oleh sungai Ciliwung telah menyebabkan sedimentasi besar-besaran yang berakibat pendangkalan pelabuhan Batavia. Pendangkalan ini mengakibatkan dipindahnya pelabuhan tersebut ke Tanjung Priok [28]. Dalam kurun sembilan dasawarsa terakhir, telah dicatat tidak kurang dari enam letusan gunung api dengan semburan muatan sedimen sebesar 512 juta m3 atau rata-rata sekitar 5 juta m3 per tahun.Erupsi gunung Krakatau pada tahun 1963 dan 1973 memuntahkan muatan sedimen sebesar 12 juta m3, Bromo pada tahun 1972 sebesar 1,4 juta m3, Kelud pada tahun 1901, 1951, 1966, 1990 sebesar 346 m3, Merapi pada tahun 1973 sebesar 4,5 juta m3 [22]. Sedangkan erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 telah menyemburkan muatan sedimen sebesar 150 juta m3 dan berdampak pada peningkatan sedimentasi di sungai Cimanuk sebesar dua kali lipat [15] . Dalam kondisi ini kegiatan penghijauan dan reboisasi jelas hampir tidak berpengaruh terhadap penurunan laju sedimentasi, sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa penghijauan dan reboisasi menurunkan laju sedimentasi hanya berlaku pada wilayah tektonik tidak aktif. W : B i s a dijelaskan yang disebutkan terakhir tadi? I: Ngaguguntur (bahasa sunda) adalah perluasan sawah yang dilakukan dengan cara menggempur dinding tebing di sekitarnya, kemudian tanah hasil gempuran tersebut dihanyutkan melalui alur-alur air yang telah ada atau sengaja dibuat untuk menghanyutkan gundukan tanah tersebut, sampai seberapa kontribusi ngaguguntur terhadap tingginya proses sedimentasi di Jawa, secara kuantitatif belum diketahui. Namun dengan memperhitungkan bahwa 23% atau sekitar satu juta hektar sawah di Jawa terletak di daerah perbukitan dengan rata-rata kelerengan lebih dari 30%, maka dapat diperkirakan bahwa dampak ngaguguntur terhadap laju sedimentasi ini cukup tinggi [9,10, 11]. Kemudian pertumbuhan jaringan jalan secara pesat baik diperkeras maupun tidak di wilayah ini jelas meningkatkan kontribusi laju sedimentasi. Kerapatan jalan sebesar 20 m/ha dilaporkan mampu memproduksi hasil sedimen sebesar 500 m3/tahun [27, 12]. Berdasarkan data statistik tahun 1987, jaringan jalan diperkeras di Jawa memiliki kerapatan sekitar 20 m/ha[1], sedangkan jaringan jalan yang tidak diperkeras kurang lebih adalah sama. Dengan demikian morpho-erosi jalan sebagai sumber sedimentasi jelas tidak dapat diabaikan. W: Jadi dalam menganalisa pengaruh dampak kegiatan reboisasi


dan penghijauan terhadap penurunan laju sedimentasi, perlu dibedakan antara wilayah tektonik aktif dan non-aktif. Selanjutnya apakah di wilayah tektonik non-aktif, kegiatan reboisasi dan penghijauan mampu secara cepat menurunkan laju hasil sedimen? I: Biasanya dampaknya jangka panjang, artinya bukan tahunan namun setidaknya sepuluh tahunan. Lihat saja kasus di Cina untuk mengurangi 30% hasil sedimen dari DAS seluas 100.000 km2 diperlukan waktu selama 20 tahun [25]. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya beban hasil sedimen yang diangkut oleh sungai yang dihasilkan oleh proses erosi dari kurun waktu sebelumnya. Bahkan sering besarnya laju sedimen yang terukur pada outlet suatu DAS tidak mencerminkan berbagai perbaikan maupun perusakan di wilayah hulu. Mengingat banyaknya sedimen yang teronggok sementara (temporary storage) baik di kaki bukit, di dekat sungai, di pinggir sungai, di badan sungai, di mana pengangkutannya ke wilayah hilir ditentukan oleh tingginya debit sungai. Hasil sedimen yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan perusakan di wilayah hulu ekstrimnya bisa terangkut ke hilir dalam waktu beberapa jam maupun beberapa puluh tahun kemudian, tergantung proses pengendapan yang terjadi maupun aliran pengangkutnya. Sehingga keberhasilan reboisasi dan penghijauan di daerah hulu sering tidak memberikan dampak secara cepat terhadap penurunan laju sedimentasi di wilayah hilir. W : Jadi diperlukan jangka waktu sekitar sepuluh tahunan atau lebih untuk mengevaluasi dampak kegiatan konservasi tanah di wilayah hulu. I: Ya, masalah waktu ini perlu disadari betul agar perencanaan program reboisasi dan penghijauan di wilayah hulu ini mampu memasang target yang realistik. W: O ya,... berarti kegiatan penghijauan tidak juga mampu merehabilitasi maupun mengendalikan perluasan erosi jurang? I : Kegiatan penghijauan dengan penanaman jenis pohon cepat tumbuh maupun rumput-rumputan sering harus dibarengi dengan tindakan teknik sipil, misalnya mencegah pengaliran air baik pada ujung jurang (gully head) maupun dinding-dinding jurang (gully wali). Untuk mencegah merembetnya pembentukan jurang pembuatan dam-dam pe-


ngendali kecil sering diperlukan. Dengan demikian pengendalian perluasan erosi jurang pada suatu wilayah perlu dilakukan secara multidisiplin, idealnya oleh ahli geomorfologi, kehutanan dan teknik sipil. Rehabilitasi erosi jurang sering cukup kompleks dan memerlukan biaya tinggi, oleh karena itu proses pembentukannya harus ditekan semaksimal mungkin [4]. W: Bagaimana sebetulnya prinsip pelaksanaan penghijauan dan reboisasi yang mampu menekan laju erosi permukaan? I : Yang jelas tidak sekedar menanam pohon, melainkan yang harus diperhatikan adalah terbentuknya seresah dan tumbuhan bawah di lantai hutan. Kelebihan hutan dibandingkan dengan penutupan nir- hutan dalam menahan laju erosi adalah terletak pada penutupan ganda hutan, khususnya kemampuan hutan untuk menghasilkan seresah dan tumbuhan bawah yang biasanya cukup lebat di bawah naungan hutan dengan tajuk yang agak terbuka. Penutupan pohon tanpa diimbangi oleh terbentuknya seresah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan. Mengingat enerji kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crowndrip) memperoleh kembali enerji kinetiknya sebesar 90% dari enerji kinetik semula, di samping itu butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leaf-drip) yang lebih besar, sehingga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan[l9,10]. Berbagai penelitian dengan menggunakan splash-cup9 menunjukkan bahwa butirbutir air yang jatuh di bawah tegakan hutan menghasilkan dampak erosi percikan (splash erosion) yang lebih besar dibandingkan butir air hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Implikasinya, kegiatan pengambilan seresah hutan sebagai pengganti bahan bakar kayu atau untuk keperluan lainnya, serta pem(ke)bakaran hutan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan erosi permukaan [4]. W : Kegiatan reboisasi sering dipandang sebagai alternatif terbaik dalam memperbaiki kondisi tata air DAS .... I : Pada wilayah yang ditinggalkan dan tidak dibudidayakan, reboisasi memang memberikan alternatif terbaik mengingat penutupan hutan memiliki batas keamanan ekologi tertinggi, walau dalam kondisi terdegradasi sekalipun [30,5]. Namun di wilayah yang mana tekanan


penduduk terhadap sumberdaya lahan cukup tinggi (lapar lahan) maka penekanan harus diberikan pada upaya perbaikan sistem pertaniannya daripada usaha reboisasi, yang mana dalam kondisi ini sering menimbulkan konflik sosial yang cukup pelik [37]. W : Sekarang beralih pada isu lain, sekitar 90% dari konversi hutan menjadi lahan pertanian di luar Jawa, diusahakan dengan sistem perladangan berpindah [6], bagaimana sistem ini dipandang dari segi tata air? I : Perladangan berpindah merupakan usaha pertanian yang paling banyak menimbulkan kesalahpahaman. Secara tradisional perladangan berpindah merupakan sistem penebangan hutan, penanaman, dan pemberaan yang sifatnya dapat dilakukan secara terus-menerus. Sistem ini selain dipraktekkan di Indonesia juga telah lama dilakukan di Afrika Utara, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah, teknologi sederhana, dan usaha pertanian subsisten, walaupun terjadi pengurasan unsur hara pada saat pembakaran dan penanaman, sistem ini memang merupakan suatu alternatif usaha pertanian biaya rendah pada lahan marjinal di wilayah alam tropika basah yang alamnya berbukit-bukit, curah hujannya tinggi, kesuburan tanahnya rendah, dan ketersediaan unsur hara yang sangat erat kaitannya dengan keberadaan ekosistem hutan, sistem ini biasanya dapat dilakukan secara lestari. Jadi sepanjang pembukaan hutan dilakukan dengan luasan terbatas (1-2 hektar per keluarga) dan masa beranya cukup panjang (1520 tahun atau lebih panjang) yang memungkinkan terbentuknya hutan sekunder (vegetasi berkayu), lenyapnya gulma tanaman dan pulihnya kesuburan lahan bekas perladangan sebelum akhirnya ditebang dengan sistem tebas-bakar10 pada masa penanaman berikutnya, sebagaimana yang hingga kini di antaranya masih dilakukan oleh suku Dayak di dataran Apo Kayan, dari segi tata tanah dan air cukup baik [31,32]. W: Ya, namun perladangan berpindah jelas lebih merusak daripada pertanian menetap. I: Pada lahan marjinal di luar Jawa, yang mana petaninya tidak mampu melakukan konservasi tanah dan air secara baik, justru pertanian menetap sering menimbulkan dampak kerusakan yang lebih berat[32], yang mana sering setelah tanah tersebut tidak lagi bisa menghasilkan mereka akhirnya kembali atau menjadi peladang berpindah. Walaupun


suatu sistem pertanian menetap yang dilakukan dengan memperhatikan kelas kemampuan lahan, dan konservasi tanah dan air secara tepat tentunya memang lebih baik dari perladangan berpindah. W : Lalu kenapa sistem ini sering dipandang sebagai biang kerusakan HTB? I : Hal tersebut sebagian dikarenakan oleh kesalah-fahaman, sebagian memang disebabkan oleh munculnya perladangan berpindah model baru... W: Maksudnya? I: Walaupun aliran permukaan dan laju erosi jelas meningkat pada saat penanaman, namun dampak hidrologinya tetap tidak seberapa mengingat biasanya hanya dilakukan pada wilayah yang terbatas. Namun apabila sistem ini diterapkan pada wilayah yang luas dengan masa bera yang pendek proses degradasi lahan memang tak terhindarkan, nampaknya kondisi ini yang mulai merebak di beberapa wilayah di luar Jawa. Menyusutnya HTB secara drastis selama beberapa dasawarsa terakhir, kemudian meningkatnya tekanan penduduk di lain pihak, telah menyebabkan siklus perladangan berpindah memendek menjadi 3-4 tahun" . Selain itu juga munculnya sistem perladangan berpindah nontradisional yang diusahakan secara komersial untuk menghasilkan tanaman niaga. Perladangan berpindah model ini telah bersentuhan dengan teknologi maju macam gergaji rantai, motor tempel dan sebagainya [31]. Peladang berpindah membuka hutan besar-besaran, kemudian mengusahakan lahan hutan hingga habis-habisan sebelum pindah ke tempat lain. Kemunculan sistem perladangan berpindah model baru ini tak tertutup kemungkinan berawal dari beberapa kasus kegagalan transmigrasi. W: Lho.. bukankah para transmigran telah mendapat jatah perumahan dan lahan yang siap tanam? I: Transmigrasi yang saya maksudkan tidak selalu berarti program pemerintah, namun lebih ke fenomena perpindahan penduduk dengan maupun tanpa campur tangan pemerintah. Sebagaimana yang telah kita bahas pada diskusi lalu (Bab 6) bahwa sebagian besar lahan di luar Jawa berupa lahan marjinal, yang mana konservasi hara secara alami dilakukan oleh keberadaan akar-akar halus vegetasi pada lapisan topsoil. Kegiatan penyiapan lahan transmigrasi yang biasa dilakukan dengan alat berat dan


pembakaran berdampak terhadap pemadatan tanah dan tersapunya lapisan topsoil beserta jaringan akar-akar halus yang berada di permukaan. Hal ini berdampak terhadap derasnya pencucian hara pada saat dan setelah kegiatan penyiapan lahan, bahkan terkadang lahan telah terlanjur menjadi kurus sebelum lahan tersebut sempat ditanami. Absennya kegiatan konservasi tanah pada saat masa budidaya lahan berakibat lebih lanjut terhadap melonjaknya laju erosi dan degradasi yang, lagi-lagi, bermuara kepada semakin merosotnya kesuburan tanah. Dengan terbatasnya pilihan upaya mempertahankan hidup, mereka menjadi peladang berpindah dengan siklus perladangan pendek (kurang dari 4 tahun)[29]. Proses di atas secara sosial, ekonomi maupun ekologi sungguh memprihatinkan, kerusakan lahan terjadi secara cepat dan terkadang tak terpulihkan [34]. W: Bagaimana karakteristik tata air wilayah bekas perladangan berpindah maupun pertanian menetap yang ditinggalkan? I: Tergantung tingkat kesuburan lahan pada saat ditinggalkan. Pada lahan yang tidak terlalu merosot hutan sekunder akan segera terbentuk, jenis-jenis pioner seperti Trema orientalis, Duabanga moluccana, Mallotus paniculatus, Macaranga spp. dan berbagai pisang liar macam Musa malaccensis dan M. Truncata akan berkembang, sehingga antara 5 hingga 10 tahun kemudian kondisi hidrologinya akan pulih ke kondisi semula. Sedangkan pada wilayah yang telah merosot drastis, hanya jenis semak dan rumput-rumputan saja yang mampu berkembang macam Lantana camar a, Eupatorium spp, Melastoma spp, Imperata cilindrica, Sacharum spontaneum dan sebagainya [37]. Oleh karenanya dominasi vegetasi ini merupakan indikator rendahnya kesuburan tanah, anjloknya pH (kebasaan tanah), tingginya pencucian hara mineral dan menipisnya bahan organik. Walaupun semak dan rumput-rumputan mampu melindungi tanah dengan baik, vegetasi ini tidak mampu secara cepat memperbaiki kondisi tanah yang terdegra- dasi. Konsekuensinya laju aliran permukaan dan erosi melonjak. TV: Secara ekologi sangat rentan... I: Ya, karena sangat peka terhadap kebakaran yang menyebabkan semakin merosotnya kesuburan tanah dan tata airnya. Alang-alang dikenal memiliki akar (rhyzoma) yang tertancap kuat di tanah, serta mengeluarkan zat beracun yang menahan pertumbuhan vegetasi lain


(allelopathy) [7]. Tanaman ini merupakan pesaing berat vegetasi lain, sehingga sering menjadi gulma yang sulit dibasmi, tentunya juga merupakan penghalang keberhasilan kegiatan reboisasi. W : O...ya, bagaimana karakteristik hidrologi lahan bekas kebakaran hutan....? I: Hasil air jelas meningkat mengingat merosotnya konsumsi air dan melonjaknya aliran permukaan. Seiring dengan itu juga terjadi pencucian besar-besaran unsur hara terlarut yang berasal dari abu sisa kebakaran. Kemudian laju erosi melonjak drastis, mengingat api tidak hanya membakar seresah pelindung permukaan tanah, melainkan juga membakar lapisan tanah bagian atas yang berakibat terhadap anjloknya laju infiltrasi. W: Sangat memprihatinkan..., lalu bagaimana upaya pemulihannya melalui kegiatan konservasi tanah...? I: Di luar Jawa dalam skala tertentu kegiatan tersebut telah dimulai, namun tentunya cukup berat. Pertama: rendahnya kepadatan penduduk; kedua: tingginya laju perluasan lahan-lahan rusak dan tak terurus baik oleh kegiatan logging, pertanian, kebakaran hutan, dan perluasan alang-alang. Memang betul sungguh memprihatinkan.... yaa... inilah alam tropika basah, wilayah ini memang kaya namun sekaligus juga rapuh, rentan terhadap perubahan. Segala perlakuan terhadap sumberdaya di wilayah ini perlu dilakukan dengan cermat dan terencana, tentunya kita semua tidak ingin maksud using tropical rain forest jadi terpeleset ke dalam kubangan abusing tropical rain forest. Apabila hal tersebut memang telah terjadi harus segera kita perbaiki. Nampaknya sudah saatnya kita harus benar-benar'mulai berbenah diri, setidaknya berupaya untuk mengerem meluasnya kerusakan lahan serta semaksimal mungkin mendekatkan jurang pemisah antara teori dan praktek, agar pewaris kita di kemudian hari tidak menuai petaka...mudahmudahan kita belum terlambat.... ***

Dua hari kemudian pelatihan tersebut ditutup secara resmi, setelah didahului oleh acara malam perpisahan yang amat meriah. Seusai


penutupan, Widya hendak langsung kembali ke tempat tugasnya. Sebelum pulang ia sengaja menyempatkan diri menemui Pak Iswara untuk menyampaikan ucapan terima kasih serta sebuah kenang-kenangan yang terbungkus rapi. Setelah Widya berlalu, kenang-kenangan tersebut segera dibuka oleh Pak Iswara, ternyata isinya sebuah buku setebal 100 halaman berjudul “Rekaman Penjelasan Pak Iswara Seputar Dampak Deforestasi Terhadap Tata Air” yang diketik sangat rapi oleh penulisnya, yang tak lain adalah Widya sendiri. Di halaman terdepan bagian atas buku tersebut tertera sebuah tulisan, “Teruntuk seseorang, yang menyinari kehidupan dengan ilmu", Pak Iswara tersenyum-senyum simpul membacanya, sambil menghela napas cukup panjang hatinya berkata “Matur nuwun Jeng Widya... ”•


Catatan Kaki: 1.

2.

3.

4.

5.

Istilah banjir dalam tulisan ini berarti luapan air yang tidak tertampung oleh badan sungai (banjir bandang, flash flood, torrent). Dalam hidrologi, istilah banjir juga berarti puncak hidrograf (peningkatan muka air sungai hingga mencapai ketinggian tertentu), yang tidak selalu berasosiasi dengan bencana. Untuk membedakan dengan pengertian yang pertama, dalam konteks kedua tersebut digunakan istilah debit puncak banjir (peak flow). Hidrograf (hydrograph) adalah grafik hubungan antara laju debit aliran (m3/detik) dengan waktu (jam). Reboisasi (reforestation), semula berarti pulihnya pertumbuhan pohon-pohon di kawasan hutan baik secara alami maupun oleh pengaruh manusia (buatan). Namun saat ini istilah tersebut terbatas pada kegiatan penanaman pohon pada kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah yang secara hukum berstatus (ditetapkan) sebagai hutan. Hujan biasanya dikatakan ekstrim apabila memiliki periode ulang keterjadian > 10 tahun, dan disebut sangat ekstrim apabila terjadi dengan periode ulang > 100 tahun. Tenggang waktu tersebut dalam analisa hidrologi dapat dibedakan menjadi tiga macam, pertama adalah lag-time (L); interval waktu antara pertengahan kedalaman hujan lebih (rainfall exess, excess rainfall) hingga ke titik puncak hydrograph, kedua time to peak (tp); interval waktu antara timbulnya hujan lebih hingga ke titik puncak hydrograph, ketiga time of concentration (tc); interval waktu antara berhentinya hujan lebih ke titik balik penurunan laju hydrograph (inflection point), atau waktu terpanjang yang dibutuhkan oleh aliran permukaan dalam suatu DAS untuk mencapai ke outlet[36]. Padas (pan) merupakan bagian tanah yang mengeras dan padat sehingga tidak dapat ditembus akar tanaman ataupun air. Pada tanah vulkanik muda padas terbentuk oleh berbagai macam sebab, dapat berupa padas besi (“iron- padas”) yang berwarna cokelat kemerahmerahan yang berasal dari akumulasi mineral besi, padas semen (“cementpadas”) berupa partikel tanah yang diikat oleh mineral silika biasanya berwarna kelabu, juga lapisan putih vulkanik yang sulit melapuk dan hampir tidak mengandung kadar liat yang disebut padas debu (“dustpadas”). Kadang-kadang juga bisa berupa batuan kedap air (“stone padas”). Di sepanjang lapisan lahar yang terendapkan pada periode yang berbeda juga sering terdapat padas pasir (“sandpadas”)[33].


7.

8.

9. 10.

Konsentrasi tanah (soil consistency), merupakan variasi sifat mekanis tanah yang ditentukan oleh kandungan kadar airnya. Kadar air tanah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sifat mekanis tanah, khususnya apabila terdapat partikel liat (clay) dalam jumlah yang cukup besar di dalam tanah. Berdasarkan kandungan kadar airnya, tanah bisa dalam kondisi padat (solid state), yaitu pada saat kering; kondisi plastik (plastic state), yaitu pada saat tanah cukup basah, dan dalam kondisi cair (liquid state) yaitu saat kadar air tanah cukup tinggi sehingga tanah berupa cairan yang kental. Dalam analisis tanah, kadar air yang diperlukan untuk merubah tanah dari bentuk padat menjadi plastik (plastic limit) dan dari plastik menjadi cair (liquid limit) dari suatu jenis tanah tertentu dapat dilakukan dengan analisa Atterberg. Laju sedimentasi di Jawa : Ciliwung 250 - 375 t/km2/th, Citarum 800 1200 t/km2/th, Cimanuk 1000 - 2000 t/km2/th, Cilamaya 2500-3500 t/ km2/th, Cilutung 7500 t/km2/th, Cigulung 1085 t/km2/th, Cikeruh (Cirebon) 11.200 t/km2/th [34]. K. Tandjum 750-1000 t/km2/th, K.Lusi 2500-3500 t/km2/th, K. Serayu 3500-4500 t/km2/th, K..Jragung 40006250 t/km2/th, K. Cacaban 6.600 t/km2/th, K Pengaron (dekat semarang) 9250-12.500 t/ knr/th, K. Brantas 875-1500 t/km2/th, K. Rambut 532 t/km2/th, K. Banyuputih 750-1000 t/km2/th [22]. Sedimentasi di Segara Anakan 2,63 juta t/th [8], Wonogiri 6.800 (6,5 kali dari yang diduga semula) ,[26]. Bendungan Wlingi 7 juta m3/th (lima kali dari pendugaan semula) [16]. Bendungan Ka- rangkates sebesar 6 juta m3/th (18 kali pendugaan semula) [3]. Kondisi tersebut misalnya di DAS Cimanuk, sumber sedimennya didominasi oleh lahar dan hujan abu Gunung Galunggung. DAS Brantas, sumber sedimennya didominasi oleh lahar dan hujan abu Gunung Kelud. Kondisi yang sama juga terjadi pada DAS di sekitar Gunung Merapi dan Semeru, serta berbagai DAS lainnya yang memiliki gunung api aktif. Pembangunan dam-dam penampung lahar dan sedimen (sabo dam) memang diperlukan untuk mengendalikan tingginya laju sedimentasi. Di wilayah tektonik (vulkanik) tidak aktif dan tata guna lahannya masih cukup baik kontribusi morpho-erosi terhadap hasil sedimen hanya sekitar 1 - 1 0 % . Misalnya DAS Konto yang mana dua pertiga wilayahnya masih tertutup hutan kontribusi morpho-erosinya hanya sekitar 6% terhadap total hasil sedimen [5]. Sehingga 94% dari hasil sedimen berasal dari erosi permukaan, dalam kasus ini kegiatan reboisasi dan penghijauan jelas mampu mengendalikan laju sedimentasi secara cukup berarti. Splash-cup wadah berisi tanah yang digunakan untuk mengetahui pengaruh erosi percikan tanah pada berbagai penutupan lahan. Sistem tebas bakar (slash and burn), pembukaan hutan dalam sistem


11.

perladangan berpindah dilakukan secara tebas bakar, yaitu hutan yang ditebang dibiarkan hingga mengering. Kegiatan pembakaran dilakukan beberapa saat sebelum musim hujan, yang diikuti dengan penanaman di musim hujan yang dilakukan secara cepat pada wilayah bekas abu pembakaran. Setelah satu atau dua kali penanaman (1-2 tahun), hasil pemanenannya biasanya merosot drastis, kemudian lahan tersebut ditinggalkan sehingga menghutan kembali. Peladang selanjutnya berpindah ke kawasan hutan lainnya dan siklus perladangan berlanjut. Mengingat lebih mudah menebang dan membakar hutan sekunder daripada primer, maka biasanya terjadi siklus penggunaan lahan yang sama secara menerus. Masa bera bervariasi tergantung kondisi iklim dan tanah, namun secara umum seharusnya tidak lebih pendek dari 10 tahun[38]. Rata-rata masa bera di Kalimantan sekitar 48 tahun, Sumatera, Maluku dan Irian Jaya sekitar 22 tahun, sedangkan Nusa Tenggara dan Sulawesi hanya sekitar 3 tahun[21]. Apabila data tersebut bisa dipercaya keakuratannya maka dampak perladangan berpindah di Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur jelas amat serius.


PUSTAKA [1] Anonimous, 1987. Statistical Yearbook of Indonesia 1987. Biro Pusat Statistik Jakarta. 566 halaman. [2] Berlage, H.P., 1949. Rainfall in Indonesia; Mean Rainfall Figures for 4399 Rainfall Stations in Indonesia, 1879-194l.verh. Kon. Magn &Meteor. Obs., Batavia No. 37, 212 halaman. [3] Brabben, T.E., 1979. Reservoir Sedimentation Study, Selorejo, East Java, Indonesia reservoir Survey and field data. Hidraulic research Station Report, OD 15, HRS, Walingford. [4] Bruijnzeel, L.A., 1986. Environmental Impacts of (De) forestation in the Humi Tropics : A Watershed Perspective. Wala- ceana 46. [5] Bruijnzeel, L. A. ,1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion : a state of Knowledge Review. UNESCO. Paris. [6] Bruijnzeel, L.A., 1993. Land Use and Hydrology in Warm humid Regions : Wheredo we stand ? Keynote papper dalam John Stuart Glewell (ed.) Hydrologi of warm Humid Regions. IAHS Publication No. 216 [7] Donner, W., 1987. Land Use and Environment in Indonesia. Hurst & Co., London. [8]

[9]

[10]

[11]

ECI (Enginering Concultant. Inc), 1987. Segara Anakan Engineering Measures Study. Ministry of Public Works, Directorate General of Water Resources Development. Republik of Indonesia. Edi Purwanto, 1991a. Morpho-erosi di Jawa. Suatu Fenomena yang Harus diperhitungkan Dalam Perhitungan Laju Erosi Dengan Unit DAS di Wilayah Tektonik Aktif. Majalah Kehutanan Indonesia Nomor 9 tahun 1991/1992, Departemen Kehutanan. Jakarta. Edi Purwanto, 199lb. Pemantauan dan Evaluasi DAS dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. Majalah Kehutanan Indonesia Nomor 10 tahun 1991/1992, Departemen Kehutanan, Jakarta. Edi Purwanto, 1992. Pemikiran Perubahan Kurikulum Pelatihan Management. Majalah Kehutanan Indonesia Nomor 1 tahun 1993/1994. Departemen Kehutanan. Jakarta.


[12]

[13]

[14]

[15]

[16] [17]

[18]

[19] [20] [21]

[22]

[23]

Edi Purwanto, 1993. Profil Kurikulum Baru : Perencanaan Bangunan Konservasi Tanah. Majalah Kehutanan Indonesia Nomor 2 tahun 1993/1994. Departemen Kehutanan. Jakarta. Edi Purwanto, 1999. Erosian, Sediment Delivery and Soil Conservation in Upland Agricultural Catchment in WestJava - PhD Thesis Vrije Universiteis Amsterdam, The Nedherlands. Enk, D.C. Van, 1983. Hydrology and Sediment Production of the Serayu Valley Basin, Central Java, Indonesia. Tidak diterbitkan. EXSA International, 1989. The Study for Upland Soil and Water Conservation of the catchment Area of the Proposed Jatigede Reservoir. Draft Interim Report. Departemen Kehutanan. Fish, I.L., 1983. Reservoir Sedimentation Study, Wlingi, East Java, Indonesia Hydraulics research Wallungford. Hamilton, L.S. & King., 1983. Tropical Forested Watersheds. Hydrologic and Soil Response to Major Uses or Conversions. Westview Press, Boulder, Colorado. Haan, J.H. de, 1955. HetBoschwezen en de Erosie Bestridjding in Indonesie (Kehutanan dan Penanggulangan Erosi di Indonesia). Tectona XXXXIII: hal 211 - 218. Hardjowigeno, S. Ilmu Tanah. PT. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta. FAO, 1989. Watershed Management Field Manual. FAO Conservation Guide 13/5. Rome. Ingram, C.D., Constantinn, L.F. & Munir Mansyur, 1989. Statistical Onformation Related to the Indonesian Forestry Sector. Working Paper No. 5, UTF/INS : Forestry Studies. Ministry of Forestry, Government of Indonesia, Jakarta. Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunung Api Indonesia; Catalogue of References on Indonesian Volcanoes With Eruptions in Historical Time. Volcanol. Surv. of London Magrath, W. & P. Arens, 1989. The Costs of Soil Erosion on Java : A Natural Resource Accounting Approach Environmental


[24] [25]

[26]

[27]

[28]

Departement Work. Paper 18. The World Bank Policy Planning and research Staff. Meijerink, A.M.J., 1977. A Hydrological Reconnaissance Survey of the Serayu River Basin, ITC-Journal, 1977-4, hal 646 -674. Mou, J., 1986. Comprehensive Improvement Through Soil Conservation and its Effects on sediment Yield in the middle Reaches of the Yellow River. Journal of Water Resources, 5, Hal 419 - 435. Puslitbang Pengairan (PU), 1988. Monitoring Erosi DAS Waduk Wonogiri, Final Report, Departemen Pekerjaan Umum (PU)Proyek Wilayah Sungai Bengawan Solo. SECM, 1990. Re-Thinking Erosion on Java. Special Publication Number 5. School of Environmental Conservation Management, Balai Latihan Kehutanan Bogor, Bogor. Scidmore E. R., 1899. Java the Garden of the east. Diterbitkan kembali oleh Oxford University Press, 1986.

[29] Secrett, C., 1986. The Environmental Impact of Transmigration. The Ecologist 16, hal 77 - 88.

[30]

Smiet, A.C., 1987. Tropical Watershed Forestry Under Attack. Ambio 16 : hal 156-158.

[31]

[32]

Stadmueller, T., 1990. Soil Erosion in East Kalimantan, Indonesia. Dalam Ziemer, R.R., C.L. 0'Loughlin& L.S. Hamilton. Research Needs and Applications to Reduce Erosion and Sedimentation in Tropical Steeplands. IAHS Publication No. 192. Tejwani, K.G., 1993. Water Management Issues : Population, Agriculture and Forests-A Focus on Watershed Management. Dalam

Michael Bonell, Maynard M. Hufschmidt & John S. Gladwell (ed.), Hydrology and Water Management in the Humid Tropics. UNESCO - Cambridge University Press. [33] Veen, R. Van Der, 1938. De Raoeng Gronden in het gebeit van de Besoeki Tabakscultur (Kondisi Tanah Gunung Raung, Wila- yah Perkebunan Tembakau)- Mededeelingen van het Besoekisch Proefstation No. 60, Dalam Chin A Tam, S.M. Bibliography of Soil Science in Indonesia

1890 —1963. DLO-Insitute for Soil Fertility Research (IBDLO), Haren (Groningen), The Netherlands. [34]

Voss, F., 1979. Natural Resources Inventory. East Kalimantan. TAD-Report No.


9

[35] [36]

Walling, D.E., 1982. Physical Hydrology. Prog.Phys. Geog. 6 Hal 122 - 133. Wanielista, M., 1990. Hydrology and Water Quantity Control. John Wiley & Sons.

[37]

[38]

Wiersum, K.F., 1979. Introduction to Principles of Forest Hydrology and Erosion, With Special Reference to Indonesia. Institute of Ecology, Padjajaran University. Whitmore, T.C., 1990. An Introduction to Tropical Rain Forests. Clarendon Press Oxford 226 hal.



BAB 8 KESIMPULAN

1.

2.

3.

Mengingat setiap konversi hutan menjadi suatu bentuk penutupan lahan non-hutan memberikan dampak lingkungan tata air yang spesifik, maka penggunaan istilah generik deforestasi untuk menggambarkan seluruh proses perubahan lahan baik sementara maupun permanen dari hutan menjadi non-hutan, tanpa memberikan spesifikasi jenis perubahan lahan pasca konversi secara jelas (misalnya menjadi lahan pertanian, perkebunan, areal perladangan, HTI, kawasan pemukiman dsb.), tidak memberikan kejelasan informasi tentang perubahan tata guna lahan aktual maupun perubahan kualitas lingkungan tata air yang sedang berlangsung. Berdasarkan besarnya intensitas gangguan, deforestasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu intensitas ringan sedang dan berat. Deforestasi intensitas ringan misalnya tumbangnya pohon oleh sambaran petir, tanah longsor atau mati secara alami, hingga penebangan hutan skala terbatas. Deforestasi intensitas menengah misalnya logging dengan sistem silvikultur tebang pilih, kebakaran hutan, dan perladangan berpindah tradisional. Sedangkan deforestasi intensitas berat misalnya logging dengan sistem silvikultur tebang habis, perladangan berpindah non-tradisional, konversi hutan menjadi areal transmigrasi, perkebunan, HTI monokultur dengan jenis eksotik, cepat tumbuh dan sebagainya. Dugaan yang menyebutkan bahwa proses deforestasi berdampak pada proses desertifikasi (pembentukan padang pasir), seyogyanya tidak ditafsirkan sebagaimana proses pembentukan padang pasir yang terjadi di wilayah beriklim arid dan semi arid. Mengingat iklim tropika basah menerima limpahan curah hujan yang tinggi. Dengan demikian, istilah desertifikasi selayaknya diartikan dalam tanda kutif, maksudnya proses deforestasi dikhawatirkan akan menimbulkan dampak kemerosotan curah hujan serta kemarau panjang di wilayah tropika basah.


4.

5.

6.

Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, maka karakteristik iklimnya selain dipengaruhi oleh posisi geografinya secara global, juga oleh posisinya secara regional yang dikelilingi oleh lautan (’’maritime continent"), sehingga sebagian besar Indonesia beriklim tropika basah tipe “wet”, kecuali Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan sebagian kecil Irian Jaya bagian selatan (sekitar Merauke) yang beriklim tropika basah “subhumid”. Rendahnya curah hujan di wilayah ini terutama disebabkan oleh kedekatan posisi geografisnya dengan wilayah beriklim arid di Australia Utara. Pada iklim tropika basah tipe “wet”, hutan tropika basah (HTB) didominasi oleh hutan hujan tropika (HHT), sedangkan pada iklim tropika basah tipe “subhumid”, HTB berupa hutan musim dan hutan savana. Khusus untuk daerah Nusa Tenggara Timur seperti Pulau Sabu, Roti dan Alor yang memiliki curah hujan tahunan sekitar 1000 mm, selain hal di atas diduga juga disebabkan oleh tidak adanya gunung (dataran tinggi) yang mampu menimbulkan curah hujan tipe orographik. Keberadaan HTB di suatu wilayah tidak berpengaruh terhadap besarnya curah hujan, kecuali apabila terletak pada wilayah yang sering atau secara menerus tertutup kabut (awan), sebagaimana wilayah di pinggir pantai, gunung di pinggir pantai, pulau pegunungan, dan pegunungan di wilayah pedalaman. Keberadaan hutan diduga berpengaruh terhadap besarnya curah hujan apabila penutupannya mencakup wilayah yang amat luas(> 1000 km 2 10.000 km2), seperti HTB di lembah Amazon. Hutan pegunungan yang sering atau secara menerus diliputi oleh awan (kabut) baik di musim hujan maupun kemarau dikenal dengan sebutan Tropical Montane Cloud Forests (TMCF). TMCF biasanya berada pada ketinggian lebih dari 1200 m dpi. Hutan ini memiliki struktur, fisiognomi dan floristik yang khas, yaitu pohon kerdil (6 - 10 m), intensitas percabangan tinggi, batang dan cabang bengkok- bengkok. Daun kecil, tebal dan keras. Tajuk kompak dengan stratifikasi sederhana, hampir tidak ditemui liana. Banyak terdapat lumut, epihit, lichens, serta paku-pakuan. Mengingat lantai hutan


7.

8.

9.

TMCF biasanya selalu tergenang air maka proses dekomposisi serasah hutan berjalan lambat sehingga lantai hutannya bergambut. Kelebihan TMCF dari segi tata air terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan jumlah air yang sampai ke lantai hutan, yang diduga sekitar 10% - 20 % lebih tinggi dari rata-rata curah hujan di musim hujan, bahkan lebih dari 100 % dari rata-rata curah hujan di musim kemarau. Kemampuan TMCF untuk “menangkap� kabut (mencairnya awan dan kabut yang kemudian menetes sebagai butir- butir air di lantai hutan), berperanan sangat besar terhadap proses pengisian air di wilayah hulu DAS. Mengingat besarnya peranan TMCF terhadap pengaturan tata air serta kerentanan ekosistem ini terhadap perubahan, konversi TMCF ke penutupan lain akan merubah pola pengisian air tanah dan konsekuensinya adalah kemerosotan debit sungai khususnya di musim kemarau, yang boleh jadi tak terpulihkan. Hingga kini belum diketahui secara pasti dampak deforestasi terhadap memanjangnya musim kemarau, mengingat penutupan hutan hanya salah satu faktor diantara sekian banyak faktor yang diduga berpengaruh terhadap kemerosotan laju evapotranspirasi (ET) dan semakin memanasnya suhu udara. Berkurangnya laju ET berakibat merosotnya kandungan uap air di udara, kondisi ini jika terjadi pada wilayah yang luas diduga akan menganggu proses pembentukan awan dan sirkulasi udara. Kemarau panjang pada tahun 1982-1983 yang menyebabkan kebakaran HHT di Kalimantan pada tahun 1983, secara pasti disebabkan oleh ENSO (El Nino/Southern Oscilation). Kebakaran hutan di Kalimantan Timur seluas 3 juta hektar tersebut selain disebabkan oleh faktor alam (ENSO) juga faktor manusia (deforestasi) atau kombinasi antara keduanya. ENSO adalah penyimpangan pergerakan arus laut di belahan bumi selatan yang disebabkan oleh memanasnya suhu permukaan laut di wilayah tropika bagian tenggara dari Samudra Pasifik. ENSO terjadi hampir secara periodik (2 - 10 tahun) dan berakibat terhadap penyimpangan iklim global secara telekoneksi, khusus di Indonesia berakibat timbulnya kemarau panjang.


10. Berbagai kontroversi hasil penelitian implikasi konversi HTB terhadap perubahan tata air sering disebabkan oleh tidak dilihatnya seluruh faktor yang berpengaruh dalam suatu DAS secara menyeluruh, yang meliputi karakteristik curah hujan selama penelitian, kondisi tanahnya, geologinya, kelerengannya, perbedaan luasan DASnya, akurasi metode yang digunakan, tingkat kebocoran DAS, serta yang tidak kalah penting adalah kondisi penutupan awal, perlakuan pada saat dan pasca konversi. Apabila hasil penelitian tersebut ditelusuri secara lebih mendalam dengan memperhatikan berbagai faktor tersebut di atas, maka hasil yang nampak secara sepintas bersifat kontroversi tersebut akhirnya bisa dimaklumi dan diketahui latar belakang sebabnya. 11. Kelemahan penelitian implikasi konversi HTB terhadap perubahan tata air dengan menggunakan DAS tunggal adalah peluang timbulnya kebocoran DAS. Kebocoran ini bisa dihindarkan dengan metode lisimeter, namun metode ini diketahui kurang sesuai untuk tanaman kehutanan yang berakar panjang, kecuali apabila menggunakan lisimeter yang cukup luas dan dalam. Metode penelitian terbaik saat ini, adalah DAS berpasangan. Sayangnya metode ini membutuhkan waktu penelitian yang cukup lama, yaitu sekitar 10 tahun atau lebih, terhitung dari pemilihan DAS, instrumentasi, masa kalibrasi, pembukaan hutan, penanaman dengan jenis tertentu, hingga sampai tanaman baru mencapai umur atau kematangan tertentu. 12. Kemerosotan debit musim kemarau pasca deforestasi, lebih diakibatkan oleh keteledoran pelaksanaan kegiatan logging dan pengelolaan lahan bekas tebangan daripada penebangan pohon itu sendiri. Penebangan hutan yang dilakukan secara cermat yang diikuti dengan pengelolaan lahan pasca tebangan dengan baik sebetulnya justru mampu meningkatkan debit musim kemarau, walaupun hal ini sangat jarang terjadi di wilayah tropika basah, khususnya di Indonesia. 13. Lahan berhutan memiliki laju ET yang lebih tinggi dibandingkan lahan non-hutan mengingat, pertama, hutan menyerap lebih banyak radiasi gelombang pendek dibandingkan dengan tanaman non-hutan sehingga tersedia enerji yang lebih tinggi untuk proses evapotranspirasi, kedua; hutan memiliki kekasaran permukaan yang


lebih tinggi, sehingga memiliki daya tahan yang rendah untuk mempertahankan butir-butir air yang menempel di tajuk hutan ketiga; hutan lebih banyak dipengaruhi oleh adveksi, yaitu aliran enerji dari sekitar tajuk hutan yang berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan enerji untuk proses intersepsi keempat; hutan memiliki perakaran yang lebih dalam sehingga mampu menjangkau butir-butir air di dalam tanah untuk proses evapotranspirasi, dimana tanaman berakar pendek telah berhenti bereva- potranspirasi dan kelima; besarnya luas permukaan daun yang berpengaruh terhadap luasnya bidang penguapan. 14. Rata-rata ET per tahun HTB dataran rendah, yang berada sekitar 100 m dpi. Sebesar 1.415 mm, HTB pegunungan yang terletak pada ketinggian sekitar 1.750 m dpi. Sebesar 1.225 mm. Sedangkan TMCF hanya sekitar 308 mm hingga 392 mm per tahun. Rata- rata ET tanaman pertanian per tahun antara 1.100-1.200 mm, sehingga konversi HTB menjadi tanaman pertanian di dataran rendah mengurangi laju ET sekitar 200 - 300 mm per tahun, besarnya penurunan ET tersebut lebih rendah pada hutan dataran tinggi. Sedangkan konversi TMCF menjadi lahan pertanian justru meningkatkan ET. 15. Jenis konifer (daun jarum, Pinus sp. dsb.) memiliki laju ET yang lebih besar dari jenis daun lebar, sehingga reboisasi dengan jenis ini seyogyanya hanya dilakukan di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Di Indonesia penanaman jenis tersebut seyogyanya hanya dilakukan di wilayah beriklim tropika basah tipe “wet�, serta tidak dilakukan di wilayah “subhumid�. 16. Eucalyptus sp, yang sering dilaporkan sebagai pohon penguras air sebetulnya memiliki laju intersepsi normal, namun fisiografi tempat tumbuhnya dan perlakuan pada saat umur dewasa diketahui dapat mengakibatkan lonjakan laju transpirasi yang luar biasa. Apabila jenis ini ditanam pada wilayah yang cukup air serta mampu dijangkau oleh sistem perakarannya, maka tanaman ini benar- benar membuktikan reputasinya sebagai pohon dengan konsumsi air tinggi, lebih-lebih apabila dilakukan pemangkasan pada umur dewasa. Namun apabila ditanam di wilayah yang ketersediaan airnya pas-pasan atau sistem perakarannya tidak mampu men-


jangkau air tanah, jenis ini memiliki laju transpirasi biasa. Sehingga untuk menghindarkan konsumsi air tanah dangkal, seperti daerah lembah, sepanjang sungai dan sebagainya, serta tidak melakukan pemangkasan setelah mencapai umur dewasa. 17. Dalam membahas pengaruh konversi hutan terhadap hasil air, perlu dibedakan dampak konversi terhadap hasil air (water yield) dan fluktuasi hasil air musiman (flow regime). Pada prinsipnya deforestasi berdampak pada peningkatan hasil air, sedangkan reboisasi berakibat penurunan hasil air, khususnya pada saat tajuk tanaman reboisasi mulai menutup permukaan lahan. Besarnya peningkatan dan penurunan hasil air sangat bervariasi tergantung kondisi klimatis, fisiografi DAS, jenis tanaman, jarak tanam dan perlakuan silvikultur. 18. Penebangan jenis koniferdan Eucalyptus sp. Sebesar 10% dari luas tegakan berpengaruh terhadap kenaikan hasil air tahunan sebesar 40 mm, kemudian penebangan dengan intensitas yang sama untuk jenis daun lebar berdampak peningkatan hasil air tahunan sebesar 10 mm. Penebangan semak-belukar dengan intensitas 20% hingga 100 % meningkatkan hasil air antara 20% hingga 110 %. Penebangan dengan intensitas yang sama untuk pohon berdaun lebar berpengauh terhadap lonjakan hasil air sebesar 100 hingga 220 %, sedangkan untuk daun jarum meningkat antara 100 hingga 380 %. 19. Perlakuan tebang habis pada HTB meningkatan hasil air antara 400 450 mm atau setara dengan konsumsi air yang dibutuhkan untuk proses interepsi. Variasi besarnya peningkatan tergantung pada karakteristik curah hujannya. Peningkatan hasil air tertinggi terjadi pada tahun pertama setelah penebangan hutan, kemudian diikuti dengan penurunan hasil air secara beraturan, sejalan dengan pertumbuhan hutan sekunder. 20. Konversi hutan alam menjadi tanaman semusim, rumput, semak belukar, perkebunan teh, karet maupun coklat, akan meningkatkan hasil air secara beragam, tergantung tingkat penutupan tajuk tanaman serta besarnya curah hujan. Hingga tanaman baru tersebut mencapai penutupan tajuk maksimum. Khusus konversi hutan alam menjadi kelapa sawit, hasil airnya akan kembali ke penutupan semula, pada saat tanaman tersebut mencapai umur dewasa.


21. Konversi hutan alam ke tanaman HTI jenis eksotik, cepat tumbuh (diluar jenis Pinus sp. & Eucalyptus sp.), hasil airnya akan pulih ke penutupan semula setelah tanaman HTI berumur antara 5 hingga 10 tahun, yaitu pada saat tajuk tanaman mulai menutup rapat. Konversi lahan pertanian atau semak belukar menjadi lahan HTI di dataran tinggi berdampak pada penurunan hasil air sebesar 100 - 200 mm per tahun, hal ini terjadi pada saat tajuk hutannya mulai tertutup rapat. Penurunan ini tentunya lebih besar pada lahan HTI yang terletak di dataran rendah. 22. Kegiatan logging secara mekanis selain berakibat terhadap kerusakan vegetasi, juga berakibat terhadap pemadatan tanah yang berdampak lebih lanjut pada kemerosotan kapasitas infiltrasi. Fenomena ini dicirikan oleh kenaikan nilai BD tanah. Dampak logging terhadap gangguan karakteristik tata air topsoil masih cukup besar setelah 12 tahun terjadi suksesi hutan secara alami pada lahan bekas tebangan. Di wilayah tropika basah hingga kini belum ada informasi tentang waktu yang dibutuhkan untuk pulih ke kondisi semula, beberapa penelitian di hutan beriklim sedang menyebutkan minimal dibutuhkan waktu 20 tahun untuk pulih ke kondisi semula. 23. Dalam kegiatan logging, penyaradan ke atas bukit memberikan dampak tata air yang jauh lebih kecil dari pda penyaradan ke arah lembah. Pada penyaradan ke atas, aliran permukaan relatif lebih lambat dari pada penyaradan ke bawah, sehingga relatif tersedia cukup waktu untuk proses infiltrasi. Sebaliknya pada penyaradan ke arah lembah aliran air di sepanjang jalan sarad akan terkumpul dan mengalir deras menuju ke lembah, sehingga meningkatkan laju erosi disepanjang jalan sarad. 24. Tingginya proses pengurasan hara tanah pada saat dan pasca kegiatan logging, serta rendahnya kesuburan tanah hutan di luar Jawa (miskinnya pelakukan hara mineral dari batuan pembentuknya), memberikan implikasi ketidak lestarian pengusahaan HTI, kecuali apabila dilakukan dengan input pemupukan, sebagaimana yang telah biasa dilakukan pada perkebunan kelapa sawit dan karet. Bahkan pada lahan yang relatif suburpun pemupukan masih diperlukan, khususnya pada HTI monokultur dengan jenis tanaman tertentu yang memerlukan unsur hara kunci dalam jumlah yang relatif besar.


25. Eksploitasi hutan berdampak pada lonjakan hasil sedimen secara drastis. Pembuatan jalan logging meningkatkan hasil sedimen j sekitar 2 hingga 10 kali lipat, diikuti dengan lonjakan sementara hingga 20 kali lipat pada saat penebangan hutan, kemudian menyusut secara tidak beraturan hingga sampai beberapa kali lipat sebelum kegiatan logging, yaitu pada saat jalan sarad mulai tertutup oleh vegetasi. 26. Perlu hati-hati membandingkan laju sedimen dari tempat yang berlainan dalam konteks penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dampak penutupan hutan terhadap penurunan laju sedimen. Mengingat pendugaan hasil sedimen di Indonesia biasanya underestimate, serta tingkat keakuratannya sangat bervariasi yang ditentukan oleh teknik pengukuran, prosedur pendugaan dan frekuensi pengambilan contoh. Pengandaian berlebihan terhadap data sekunder dikhawatirkan menghasilkan kesimpulan hasil penelitian yang tidak benar. 27. Selama proses deforestasi hanya terjadi pada wilayah terbatas, maka intensitas, distribusi ruang, dan lamanya curah hujan serta pola aliran sungainya sering menjadi sebab yang lebih dominan terhadap bencana banjir yang terjadi pada skala regional dari pada proses deforestasi. Tingginya aliran permukaan beberapa Sub DAS yang mengalami deforestasi di wilayah hulu tidak berakibat terhadap peningkatan debit puncak banjir pada sungai besar di wilayah hilir. Mengingat berbagai Sub DAS yang mengalirkan air pada sungai tersebut memiliki tenggang waktu yang bervariasi untuk sampai pada suatu titik tertentu di wilayah hilir. Lonjakan debit sungai dari beberapa sub DAS yang mengalami deforestasi, tidak nampak pada sungai utama di wilayah hilir, seandainya sungai dari Sub DAS-SubDAS lainnya pada saat yang sama tidak memberikan respon lonjakan debit. 28. Apabila deforestasi (baca: degradasi lahan) merupakan fenomena dominan pada suatu DAS, baik oleh kegiatan logging, landclearing, maupun konversi ke penutupan lahan lainnya. Te-rbatasnya kapasitas infiltrasi dari lahan yang terdegradasi akan memberikan implikasi terhadap melejitnya akumulasi debit puncak banjir dari sebagian besar sub DAS. Dalam kasus ini


29.

30.

31.

32.

deforestasi menjadi penyebab banjir yang sama dominannya dengan tingginya curah hujan, distribusi ruangnya, dan lamanya serta pola aliran sungainya. Walaupun hutan memberikan peluang perbaikan karakteristik tata air terbaik yang mungkin dicapai oleh suatu jenis tanah, tetapi hutan tidak mampu merubah keterbatasan seluruh karakteristik hidrologi tanah. Dalam kondisi hutan terletak pada suatu tanah yang tipis di atas batuan yang kedap air, bagaimanapun bagusnya penutupan hutan, aliran permukaan lantai hutan tetap tinggi yang disebabkan oleh keterbatasan daya tampungnya. Dalam kondisi semacam ini ada atau tidak ada hutan laju aliran permukaan dan debit puncak banjir tetap tinggi, sehingga reboisasi tidak berpengaruh terhadap penurunan banjir dan deforestasi tidak berakibat pada peningkatan banjir. Kegiatan reboisasi dan deforestasi lebih berpengaruh terhadap penurunan dan peningkatan laju erosi dan sedimentasi. Kegiatan konservasi tanah berupa penterasan lahan dan penghijauan diketahui mampu menekan laju erosi permukaan serta mempertahankan kesuburan lahan pertanian secara onsite. Di lain pihak kegiatan ini hampir tidak berpengaruh terhadap penurunan laju sedimentasi sungai dan waduk di wilayah tektonik aktif. Di Indonesia, kasus ini sangat mencolok pada beberapa wilayah di Jawa, misalnya di DAS Cimanuk (tingginya hasil sedimen letusan Gunung Galungggung), DAS Brantas (tingginya hasil sedimen letusan Gunung Kelud). Dampak konservasi tanah terhadap penurunan hasil sedimen bersifat jangka panjang. Mengingat tingginya beban sedimen sungai yang dihasilkan oleh proses pengendapan sebelumnya. Selanjutnya tinggi rendahnya hasil sedimen yang terukur pada outlet suatu DAS tidak selalu mencerminkan proses kerusakan maupun perbaikan yang terjadi di wilayah hulu. Mengingat sebagian besar hasil sedimen tidak langsung dialirkan ke sungai, melainkan tertahan sementara (temporary storage) baik di kaki bukit, di dekat sungai, di pinggir sungai, di badan sungai, dan sebagainya. Kelebihan hutan dibandingkan dengan penutupan non-hutan


33.

34.

35.

dalam mengendalikan laju erosi permukaan terletak pada penutupan ganda hutan, khususnya kemampuan hutan untuk menghasilkan sera- sah dan tumbuhan bawah. Penutupan pohon tanpa diimbangi oleh terbentuknya serasah dan tumbuhan bawah justru meningkatkan laju erosi. Mengingat pohon yang memiliki ketinggian lebih dari 7 meter justru diketahui mampu meningkatkan enerji kinetik tetesan hujan yang sampai ke lantai hutan. Karena air hujan yang bertahan oleh tajuk, apabila jatuh akan memperoleh kembali enerji kinetiknya sebesar 90% dari enerji semula, di samping itu butir-butir air yang bertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butir- butir tetesan air (leaf-drip) yang lebih besar, sehingga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan. Pada wilayah yang ditinggalkan dan tidak dibudidayan reboisasi memberikan alternatif terbaik mengingat penutupan hutan memiliki batas keamanan ekologi tertinggi, walau hutan tersebut dalam kondisi terdegradasi sekalipun. Namun di wilayah dimana tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan cukup tinggi (lapar lahan) maka penekanan harus diberikan pada upaya perbaikan sistem pertanian daripada reboisasi, di mana dalam kondisi ini sering menimbulkan konflik sosial yang cukup pelik. Perlagangan berpindah, sepanjang masa beranya cukup panjang (15-50 tahun) yang memungkinkan terbentuknya hutan sekunder (vegetasi berkayu), lenyapnya gulma tanaman dan pulihnya kesuburan lahan bekas perladangan, sebelum akhirnya ditebang dengan cara pembakaran (tebas-bakar), sebetulnya tidak memberikan dampak tata air yang berarti. Namun fenomena memendeknya siklus perladangan (3-4 tahun), serta timbulnya perladangan berpindah non-tradisional berdampak terhadap kerusakan lahan yang terjadi dengan laju yang amat cepat. Deforestasi secara umum memberikan dampak yang serius terhadap kemerosotan unsur hara, baik melalui pelenyapan biomasa HTB (dimana sebagian besar unsur hara terdapat) maupun peningkatan pencucian hara dan lonjakan laju erosi pada saat danpasca deforestasi, sehingga usaha pertanian yang dilakukan tanpa konservasi tanah secara intensif baik pada tahap persiapan


lahan maupun masa budidaya memiliki resiko kegagalan yang tinggi.*



Tentang Penulis

1 EDI PURWANTO lahir di Kediri pada tanggal 27 Juni 1964. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kotanya, ia kemudian melanjutkan ke Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan spesialisasi Konservasi Sumberdaya Hutan (KS- DH). Pada tahun 1987 ia bekerja sebagai counterpart di School of Environmental Conservation Management (SECM)-Vmzt Pendidikan dan Latihan Kehutanan yang berkedudukan di Bogor. Antara tahun 1988 hingga 1990 ia menempuh S2 di bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed Management) di International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC)-Enchede-Belanda. Setelah mendapat master, ia kembali bekerja di SECM sebagai dosen (widyaiswara) mata ajaran Hidrologi Hutan (Forest Hydrology) dan Hidrologi Daerah Aliran Sungai (Watershed Hydrology). Pada tahun 1995 ia melanjutkan pendidikan S3 bidang hidrologi tata lingkungan (Environmental hydrology) di Faculty of Earth Sciences - Vrije JJniversiteit Amsterdam (VUA). Pada tahun 1999 ia berhasil menyelesaikan studi S3-nya dengan thesis berjudul Erosion, Sediment Delivery and Soil Conservation in Upland Agricultural Catchment in West-Java, Indonesia. A hydrological approach in a socio-economic context. Sebagai pengamat lingkungan, tulisan-tulisannya banyak menghiasi Majalah Duta Rimba (Perum Perhutani-Jakarta) dan Kehutanan Indonesia (Dephut-Jakarta) serta Harian Pikiran Rakyat (Bandung). Kini ia bekerja sebagai widyaiswara di Pusat Diklat Kehutanan, Bogor. Alamat saat ini : Taman Cimanggu, Jl. Akasia III no. 4-5, Bogor. Telp. (0251) 343184; 334143. E-mail:dikhutan@indo.net.id.


2 EKO WARSITO dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 10 April 1961. Pendidikan dasar dan lanjutannya diselesaikan di kota kelahirannya, SD Wonogiri VIII lulus tahun 1972, SMP Negeri I Wonogiri lulus tahun 1975 dan SMA Negeri I Wonogiri Jurusan IPA lulus tahun 1979. Pendidikan tingginya diselesaikan di Universitas Gadjah Mada. Program SI Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM (1979 - 1984), S2-nya diselesaikan di Program Pasca Sarjana UGM Bidang Ilmu Kehutanan, spesialisasi Budidaya Hutan (1990 - 1992) dan S3- nya (Doktor) diselesaikan di Program Pasca Sarjana UGM dalam ilmu Kehutanan Spesialisasi Ekologi Hutan Tropika (1995 - 1999). Disertasi yang berhasil dipertahankan di hadapan rapat senat terbatas UGM berjudul : Kajian Klasifikasi Ekologis Hutan Tropis : Studi Kasus di Lombok Barat. Ketiga pendidikan tinggi di atas lulus dengan predikat Cum Laude. Setelah lulus SI bekerja di Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Dodokan Moyosari - NTB sampai dengan tahun 1989. Setelah lulus program S2 kembali ke NTB sebagai Kepala Seksi Konservasi Kawasan Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi NTB sampai dengan tahun 1995. Selama di Mataram, NTB juga menjadi staf pengajar di Jurusan Biologi IKIP Mataram dan Jurusan Kehutanan Universitas 45 Mataram. Saat ini bekerja kembali di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, yaitu di Pusat Diklat Kehutanan dan Perkebunan, Bogor.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.