20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Page 1


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

i

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia Membangun Ketahanan terhadap Bencana


ii

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Profil Singkat Proyek Oxfam memulai Proyek Membangun Ketahanan terhadap Bencana di kawasan timur Indonesia (meliputi 16 kabupaten) sejak Juni 2009 sampai dengan 2012. Ini merupakan upaya pengurangan risiko bencana yang didanai oleh lembaga bantuan internasional Pemerintah Australia (AusAID) melalui Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR). Mitra-mitra lokal Oxfam pelaksana proyek ini adalah: Yayasan JAMBATA di Donggala, KELOLA di Sangihe, PMPB di Timor, YPPS di Flores Timur, LP2DER di Bima, KOSLATA di Lombok Utara, KONSEPSI di Lombok Timur, KOMPAK di Nabire, dan PERDU di Manokwari.

Tim Membangun Ketahanan terhadap Bencana: Ade Reno Sudiarno - Ihwana Musfata - Sunarso - Dheni Ardhian Natalia Tehuajo - Fredy Chandra - Lukman Hakim Cici Riesmasari - Vina Titaley - Yenny Widjaja

Oxfam di Indonesia Jl. Taman Margasatwa No. 26A Ragunan, Jakarta Selatan 12550 T.: 021 7811827 F.: 021 7812321 Email: jakarta@oxfam.org.uk Š Oxfam 2012


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

iii

Kata Pengantar Buku ini merupakan kumpulan 20 cerita sukses dari Proyek Membangun Ketahanan terhadap Bencana di Indonesia bagian timur yang berjalan sejak 2009 sampai dengan 2012. Buku ini memberikan perwakilan beberapa cerita sukses dari setiap kabupaten di mana Oxfam dan mitra-mitra lokalnya bekerja. Sebuah cerita komunitas yang sudah menjadi lebih waspada terhadap ancaman bencana di sekitar mereka dan memiliki sistem peringatan dini yang disepakati bersama (Bong, Teriakan Kesiapsiagaan Masyarakat Natakoli), bagaimana warga sekolah sudah menjadi siaga juga jika terjadi bencana (Bala? Sa Sudah Tidak Takut Lagi!), munculnya sekumpulan kelompok kerja dan/atau forum pengurangan risiko bencana (PRB) di berbagai daerah dampingan mitra-mitra Oxfam, dan cerita-cerita lainnya. Dalam proses pengambilan cerita-cerita ini, kunjungan lapangan telah dilakukan wawancara jarak jauh dilakukan untuk daerah-daerah yang tidak dikunjungi. Tim penulis dan Oxfam berterima kasih kepada staf mitra-mitra Oxfam yang telah mendukung proses pengumpulan informasi di lapangan. Semoga buku ini dapat menjadi media untuk berbagi pengalaman terkait dengan PRB di kawasan timur Indonesia, tidak hanya untuk pelaku-pelaku PRB itu sendiri, tetapi juga masyarakat umum yang tidak terkait dengan kerjakerja PRB secara langsung. Mudahan-mudahan tulisan-tulisan yang dikemas dengan bahasa ringan dan populer ini dapat meningkatkan kesadaran terkait dengan pentingnya kesiapsiagaan akan bencana bagi para pembacanya. Salam,

Tim Membangun Ketahanan terhadap Bencana


iv

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Daftar Isi Profil Singkat Proyek..................................................................................... ii Kata Pengantar ............................................................................................ iii Daftar Isi ...................................................................................................... iv 1. Pokja Peduli Bencana Lamalohot Flores Timur: Berendah Hati untuk Bekerja Sama ............................................................................... 1 2. Upaya Bersama Simpan Pinjam: Berdaya dalam Ekonomi, Tangguh Menghadapi Bencana ....………………................................................... 5 3. Ternak Ayam Flamboyan: Mengikis Risau di Musim Kemarau .............. 9 4. Bong, Teriakan Kesiapsiagaan Masyarakat Natakoli ..………….....…. 12 5. Grup Facebook: Cara Berbagi dan Menggali Rasa Peduli ....….....…...15 6. Parit Swadaya Masyarakat: Semangat Desa Pajinian Bentengi Banjir .....................................................................................................19 7. Fasilitator Masyarakat: Partisipasi dari Hati .....………………………… 23 8. Desa Tanali: Upaya Penuh Meningkatkan Ketahanan …….………….. 26 9. Kandang Babi Tahan Banjir, Sebuah Upaya Sederhana Bersiaga ...... 30 10. Tak Lagi Kuatir Banjir ................…….………….…………….................. 33 11. Jejaring Guru Peduli Bencana Sangihe: Membawa Teori Menjejak Bumi ….................................................................................................. 36 12. Jaringan Komunikasi Terpadu Sepuluh Desa Kabupaten Lombok Utara ..................................................................................................... 39 13. Tim Siaga Bencana Desa: Penggerak untuk Pengurangan Risiko Desa ..................................................................................................... 42 14. Bala*?Sa Sudah Tidak Takut Lagi! ........……………………………….... 45 15. LP2DER Mendorong Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Penanggulangan Bencana di Kabupaten Bima ….......…. 48 16. Sekolah dan Masyarakat Samabusa: Fondasi Bangunan Ketahanan Bersama ............................................................................................... 51 17. Ketika Emas “Membanjiri” Kampung-Kampung di Nabire Barat ..….… 55 18. Peta Risiko Bencana Provinsi Papua, Instrumen Utama Menghadang Bencana Partisipasi Aktif Masyarakat dan Perjalanan Pemetaan ............................................................................................. 59 19. Masyarakat Lembah Baliem: Perang Melawan Bencana . ................... 63 20. Tim Siaga Distrik: Tujuh Kampung Pantai Utara Manokwari Bersiaga Bersama................................................................................................ 66


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

1

Pokja Peduli Bencana Lamalohot Flores Timur: Berendah Hati untuk Bekerja Sama

K

eberadaan Flores Timur yang terletak dalam kawasan cincin api membuat kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut dilingkupi ancaman letusan gunung api. Wilayah yang berpenduduk 220.000 jiwa ini memiliki empat gunung berapi aktif. Letusan gunung api ternyata bukan ancaman satu-satunya, iklim yang tidak stabil serta topografi yang berbukit juga menyodorkan ancaman lain. Jika diidentifikasi, kerawanannya mulai dari banjir, tanah longsor, kekeringan sampai kelangkaan pangan. Oleh karena itu, perlu adanya kesejalanan antara masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan daya tahan dan ketangguhan dalam menangkal ancaman-ancaman bencana tersebut. Harmoni pemahaman kesiapsiagaan antara dua level ini adalah keharusan. Oleh karena itu, untuk merangkainya diperlukan kerja bersama. Program Membangun Ketahanan terhadap Bencana kerja sama Yayasan Pengkajian Pengembangan Sosial (YPPS) bersama Oxfam diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan untuk membangun sinergi tersebut. Program ini menjembatani kepedulian banyak pihak, baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah, untuk bersama-sama melakukan kajian kerawanan, kapasitas, dan ancaman bencana yang ada di Flores Timur. Lantas, semua kajian itu akan disusun menjadi sebuah kebijakan di level pemerintah kabupaten yang akan dijadikan landasan berbagai upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Gagasan untuk membentuk sebuah kelompok kerja (Pokja) tercetus saat diselenggarakan Disaster Management Training di Weri, Larantuka, pada Januari 2010. Gagasan ini segera ditindaklanjuti dengan diresmikannya Pokja Peduli Bencana Lamalohot Flores Timur, pada tanggal 6 Februari 2010. Pokja Peduli Bencana tersebut beranggotakan perwakilan dari pelbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki visi sama.


2

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Pada tahun pertama, Pokja Peduli Bencana lebih memusatkan perhatian pada pengorganisasi kelompok dan penguatan kapasitas para anggotanya. Sejumlah pelatihan dan lokakarya diselenggarakan untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep pengurangan risiko bencana. Selanjutnya, pada tahun kedua, kegiatan Pokja Peduli Bencana lebih mengarah pada perancangan konsep Peraturan Daerah (Perda) tentang kebencanaan dan mendorong terbentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Flores Timur. Dalam proses ini, YPPS dan Pokja Peduli Bencana mengupayakan adanya integrasi prinsip pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan dan pengalokasian anggaran belanja daerah. “Proses ini tidak akan selesai hanya dengan gagasan. Perlu keterpanggilan dan kepedulian semua pihak, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, untuk bersama-sama mewujudkannya dan itu berhasil dilakukan dengan kehadiran Pokja Peduli Bencana,� ujar Benediktus Waza Diaz dari Badan Lingkungan Hidup, yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Pokja Peduli Bencana.

Benediktus Waza Diaz dari Badan Lingkungan Hidup, Ketua Pokja, berharap adanya kepedulian semua pihak. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Pokja Peduli Bencana telah memberi sumbangsih besar terhadap peningkatan kapasitas pemerintah Kabupaten Flores Timur di bidang penanganan bencana. Sejak pembentukannya di tahun 2010, Pokja Peduli Bencana telah mendorong beragam kemajuan. Capaian luar biasa yang dibuat Pemerintah Kabupaten Flores bersama Pokja Peduli Bencana di


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

3

Suasana diskusi Pokja Pengurangan Risiko Bencana di Larantuka. (Cici Riesmasari/Oxfam)

antaranya adalah dorongan besar pada pemerintah daerah untuk segera membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Flores Timur. Melalui beberapa pertemuan dan lokakarya yang melibatkan seluruh SKPD beserta para perwakilan LSM, data-data tentang kebencanaan dikumpulkan dan dikaji secara mendalam sebagai bahan rujukan untuk menyusun Naskah Akademik dan rancangan Peraturan Daerah Penanggulangan Bencana. Berikutnya adalah diselenggarakannya seminar mengenai tata organisasi dan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) kelembagaan untuk BPBD. Capaian ini tidaklah diraih dengan gampang. Tantangan utama adalah untuk mengubah paradigma penanganan bencana dari berorientasi pada tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana. �Banyak yang berpandangan bahwa penanggulangan bencana hanya dilakukan pada saat terjadinya kedaruratan bencana, demikian juga pemahaman di tingkat pemerintahan. Padahal, yang perlu digarisbawahi adalah dengan kesiapsiagaan yang baik, dampak bencana dapat dikurangi,� Mikael Sugi Wungubelen dari Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglimas) menambahkan. Kendala lain adalah masih belum memadainya pengetahuan dan pemahaman tentang kebencanaan yang dimiliki para anggota. Untuk itu, serangkaian pelatihan pun diselenggarakan dengan difasilitasi oleh YPPS dan Oxfam, misal Pelatihan Sphere, untuk memperkenalkan standar yang digunakan dalam penanganan tanggap darurat. Meski telah dilandasi oleh tekad yang sama, tetapi membangun kepercayaan di antara sesama penggiat Pokja Peduli Bencana juga


4

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

memberikan tantangan tersendiri. Untuk membangun kepercayaan perlu kesediaan untuk menepis kecurigaan. Bagi sebagian besar staf pemerintahan, para aktivis LSM dianggap sebagai pihak yang kurang kooperatif dan enggan berkompromi dengan birokrasi. Kecurigaan ini sempat menjadi ganjalan dalam masa-masa awal pembentukan Pokja. Namun, melalui beberapa kali pertemuan awal, komunikasi dapat dibangun dengan baik. Perlahan tapi pasti, rasa curiga mampu ditepis. “Pokja berhasil menghapus dikotomi LSM dan pemerintah,� tutur Mikael penuh keyakinan.

Mikael Sugi Wungubelen dari Kesbanglimas percaya jika kesiapsiagaan yang baik dapat mengurangi dampak bencana. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Harus diakui bahwa Pokja Peduli Bencana Flores Timur telah memainkan peran yang signifikan sebagai mitra pendamping pemerintah dalam mengawal pelaksanaan pengurangan risiko bencana. Kehadirannya di masa datang masih akan terus dibutuhkan. Mikael, lagi-lagi menuturkan, �Sebuah tantangan bagi kami untuk tetap menjaga keberadaan Pokja Peduli Bencana karena bagaimana pun Pokja sangat membantu untuk menopang kerja BPBD yang masih tergolong muda.� Penanggulangan bencana adalah sebuah tanggung jawab besar. Kerendahan hati untuk membuka diri terhadap kerja sama dengan pelbagai pihak terbukti membawa kemajuan besar. Tentu saja pembentukan BPBD Flores Timur baru sebuah awal. Namun, sebuah fondasi telah ditanam. Pilar-pilar segera ditegakkan. Jalan panjang siap dijelang untuk membangun ketahanan yang sistematis. Perlu kesigapan dan kepedulian dari para penggiat yang menukanginya.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

5

Usaha Bersama Simpan Pinjam: Berdaya dalam Ekonomi, Tangguh Menghadapi Bencana

T

eras depan rumah kepala Dusun II, Desa Nurri, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, ramai sekali. Sebagian warga berkumpul dan bercakap-cakap riuh rendah dan kesemuanya membawa buku anggota UBSP (Usaha Bersama Simpan Pinjam). Buku yang lembar demi lembarnya ditulis tangan ini memuat sederetan angka dalam sebuah tabel sederhana, beserta catatan-catatan kecil. Iuran sukarela 3 ribu. Angsuran pinjaman lunas. Angsuran megaphone lunas, demikian yang tertulis di buku Mama Yuliana Ura. Ibu berusia 43 tahun ini tercatat telah melunasi pinjaman sejumlah 400 ribu yang diangsur selama enam bulan. “Saya gunakan usaha anakan ternak babi, untuk menambah modal membeli pakannya,” Mama Yuliana menerangkan dengan bersemangat. ”Ini sudah yang kedua kali saya meminjam dari UBSP,” tambahnya. Hari itu, acara dimulai seusai makan siang ketika semua anggota telah berkumpul. Ke-24 anggota UBSP duduk mengelilingi sebuah meja kursi tempat Asumpta Liwo Puka sebagai wakil bendahara dan Leonardus Kedang sebagai sekretaris duduk. Keduanya sedang menekuni sebuah buku besar bertuliskan ‘Buku Kontrol UBSP TSBD Riang Au’, yang merupakan buku rangkuman transaksi semua anggota. Sejurus kemudian, anggota dipanggil untuk duduk bersama meng­hitung jumlah uang yang harus dibayar. Tentu saja sesuai dengan jumlah angsuran pinjaman bulanan, iuran sukarela, dan angsuran biaya keperluan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) lain. Biaya keperluan lain, contohnya pem­belian alat pengeras suara. Karena merasa membutuhkan untuk ke­­giat­an ke­siapsiagaan, tim bersepakat menggunakan Sisa Hasil Usaha (SHU) tahun 2011 untuk


6

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Buku kontrol UBSP milik kelompok TSBD Desa Nurri, Flores Timur, NTT. (Cici Riesmasari/ Oxfam)

membeli alat pengeras suara seharga 650 ribu. Ini selanjutnya dianggap sebagai pinjaman semua anggota dan akan diangsur selama tiga bulan. Satu demi satu anggota menyerahkan kewajibannya. Mereka meletak­ kan uang ke dalam baskom yang disediakan di atas meja. Setelah semua pembayaran selesai, sekretaris, bendahara, dan Benediktus Boli Witi sebagai ketua UBSP melakukan penghitungan. “Total uang keseluruhan dalam pertemuan bulan ini berjumlah 1.024.000 rupiah,” Benekdiktus mengumumkan. ”Sekarang, kita beri kesempatan pada anggota yang mau pinjam,” sambungnya. Diskusi menjadi hangat ketika penentuan peminjaman berlangsung. Walaupun prioritas pertama diberikan kepada anggota yang belum pernah meminjam, namun anggota yang telah melunasi pinjaman ternyata memiliki kebutuhan mendesak. Di sini, terjadi negosiasi yang dinamis, terlebih lagi anggota merasa modal terkumpul seharusnya lebih banyak, hanya saja ada beberapa peminjam yang menunggak. Modal yang bergulir di UBSP ini memang sangat bergantung dari kedisiplinan anggota dalam mengangsur dan membayar bunga pinjaman sebesar 5 persen setiap bulannya. Dengan demikian, memungkinkan secara bergiliran semua anggota melakukan peminjaman. Uang yang berhasil terkumpul dari pembayaran angsuran, maupun iuran sukarela harus habis bersih dipinjam oleh anggota. Sistem keuangan ini biasa disebut “sistem uang habis di meja atau sistem kas kosong”. Tim sepenuhnya menyadari sistem kas kosong dimaksudkan untuk transparansi manajemen keuangan


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

7

karena uang diatur dan dikontrol bersama sehingga penyalahgunaan uang dapat dihindarkan. Unit Bersama Simpan Pinjam ini didirikan pada bulan November 2010. Melalui sebuah pengkajian risiko, kerentanan, dan kapasitas (PCVA) yang dilakukan masyarakat bersama Yayasan Pengkajian Pengembangan Sosial (YPPS) dan Oxfam. Warga desa lereng Gunung Lewotobi pun membedah diri. Salah satu kerentanan yang ditemukan adalah tingkat penghasilan warga yang rendah diikuti kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan uang. Hal ini kemudian mendorong warga menjalankan sebuah unit simpan pinjam yang dikelola oleh TSBD desa Nurri. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan perekonomian secara bersama. Modal awal pendirian UBSP dimulai dengan mengumpulkan simpanan 10 ribu rupiah per anggota. Berawal dari 240 ribu rupiah, uang pun digulirkan dalam bentuk simpan pinjam dan sekarang modal yang berputar di UBSP telah mencapai 2,7 juta. Sistem yang didasari dengan kebersamaan ini manfaatnya telah dirasakan oleh anggota. Sebagian besar pinjaman dipakai untuk modal usaha, seperti ternak babi, usaha kios, berjualan ikan, dan sebagian lagi untuk kebutuhan rumah tangga serta biaya anak sekolah. Kendati ada sejumlah kecil pinjaman yang macet, warga menyikapinya dengan positif. “Ada macet dan tersendat angsuran, bisa jadi karena kondisi penghasilan yang bersangkutan sedang tidak baik. Seperti pada bulan-bulan ini, penghasilan dari laut berkurang karena cuaca buruk,� ujar Benekdiktus. �Tetapi, ini tidak akan lama,� tambahnya dengan yakin.

Suasana anggota TSBD Desa Nurri di suatu Minggu ketika melakukan aktivitas UBSP. Sekretaris dan Bendahara melakukan input data di hadapan anggota UBSP lainnya. (Cici Riesmasari/Oxfam)


8

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Tim Siaga Bencana Desa Nurri sepenuhnya sadar bahwa desanya tidak hanya menghadapi ancaman gunung berapi, gempa, dan kebakaran hutan, tetapi juga masalah perekonomian. Maka, UBSP adalah sebuah upaya nyata TSBD agar masyarakat lebih berdaya dalam ekonomi. Tim penggerak kesiapsiagaan bencana desa ini optimis, ke depan, pengembangannya akan mampu menjadi simbol sebuah bangunan ketahanan yang kokoh bagi seluruh masyarakat desa dalam menghadapi bencana.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

9

Ternak Ayam Flamboyan: Mengikis Risau di Musim Kemarau

“K

etika kemarau datang, biasanya kami hanya di rumah saja, tidak bekerja. Tapi kini tidak lagi,� ucap Ibu Albertha Jaga Tukan, 46 tahun, salah satu anggota kelompok Ternak Ayam Flamboyan.

Sudah sejak Oktober 2011, sekelompok ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Dasawisma Flamboyan ini disibukkan dengan mengurus 100 ekor anak ayam. Mereka bahu-membahu membangun kandang dari bilah-bilah bambu yang mereka kumpulkan bersama-sama. Tidak tanggungtanggung, 7 perempuan dibantu 5 laki-laki dari keluarga mereka, rela menempuh 2 kilometer naik-turun bukit untuk memotong dan menggotong bambu. Dua bulan mereka lewatkan untuk benar-benar menyelesaikan kandang beratap rumput yang berukuran 2,5 x 4 meter2 itu. “Ini adalah pertama kalinya kami mencoba beternak ayam potong,� Ibu yang setiap kali berbicara selalu menyunggingkan senyum itu berkisah. Waijarang adalah sebuah desa berpenduduk 602 jiwa di Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sebagaimana wilayah yang dibentuk oleh program transmigrasi, penduduk desa ini memiliki latar belakang budaya yang beragam, mulai dari agama, bahasa, dan etnis. Salah satu mata pencaharian utama penduduk desa adalah bertani, selain melaut bagi mereka yang berada di wilayah pesisir. Bagi Desa Waijarang yang bertumpu pada sektor pertanian, kemarau panjang merupakan masa yang membawa begitu banyak ancaman setiap tahunnya. Ancaman tersebut mulai dari menipisnya pasokan air bersih, cuaca panas yang kerap menimbulkan kebakaran lahan hingga munculnya masalah kesehatan sebagai akibat dari sarana air dan sanitasi yang kurang memadai. Belum lagi, dengan curah hujan yang rendah, tak jarang petani harus mengalami gagal panen.


10

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

“Kami berladang hanya di musim hujan. Di saat musim kemarau, sebagian perempuan ada yang membuat tenun ikat, tetapi sebagian dari kami di rumah saja. Ada juga yang bekerja menjadi buruh harian di luar kota,” ujar Ibu Albertha lagi. Ladang yang menjadi salah satu tumpuan pendapatan tidak cukup bisa diandalkan di musim kemarau. Namun, kondisi tersebut berangsur berubah. Melalui pelaksanaan program Membangun Ketahanan terhadap Bencana di Indonesia Timur oleh Oxfam dan Yayasan Bina Sejahtera sebagai mitra lokal di Desa Waijarang, warga desa didorong menelaah lebih jauh mengenai kebencanaan di tingkat lokal. Para ibu rumah tangga ini juga diajak mengkaji kembali kerentanan yang dimiliki, kemudian menilik peluang untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga kesulitan yang ada dapat dihadapi. “Di desa kami, kebutuhan ayam potong cukup tinggi, apalagi jika menjelang perayaan hari keagamaan, seperti paskah dan untuk upacaraupacara adat. Oleh karena itu, muncullah usulan untuk mengembangkan ternak ayam potong di desa kami. Karena baru memulai, sementara ini kami ingin beternak untuk memenuhi kebutuhan kampung kami dulu.” ungkap Natalia Boyang, 42 tahun, mengenai peluang untuk usaha beternak ayam di desa Waijarang. Kelompok ternak ayam beranggotakan sembilan ibu rumah tangga ini memperoleh dukungan modal dari dana hibah 3.500.000 rupiah untuk memulai usahanya. ” Dana tersebut kami pakai untuk membeli anakan ayam, obat-obatan, pakan, dan sedikit biaya untuk pembuatan kandang,” Sesilia Nopi salah satu anggota kelompok yang lain menambahkan.

Anggota kelompok Flamboyan berdiri di depan kandang anakan ayam yang dibangun bersama dengan warga Desa Waijarang. (Cici Riesmasari/Oxfam)


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

11

Para anggota kelompok perempuan Flamboyan Desa Waijarang. Kelompok ini memutuskan untuk usaha anakan ayam agar di saat musim kemarau, mereka tetap bisa beraktivitas karena ladang mereka adalah ladang basah. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Kendati demikian, upaya ini tidak begitu saja berjalan mulus. Meskipun telah berhasil 2 kali panen dalam kurun 5 bulan, namun mereka harus mengalami kerugian di masa ternak pertama. Kurangnya pengalaman serta masih terbatasnya pengetahuan menjadi salah satu penyebabnya. “Waktu itu, kami terlalu banyak memberikan pakan. Sampai habis 5 karung. Seharusnya 4 karung saja sudah cukup, sampai masa panen. Kami juga belum bisa mengolah pakan sendiri sehingga kami harus selalu membeli.� Ibu Albertha berbagi pengalamannya. Kerugian ini tidak lantas menyurutkan semangat mereka. Belajar dari kelemahan di masa ternak yang pertama, para ibu ini kemudian berlatih membuat pakan dari bahan-bahan lokal yang difasilitasi oleh petugas penyuluh peternakan di wilayah setempat. Selama masa ternak kedua, secara intensif mereka juga memperoleh pendampingan dari petugas penyuluh dalam pencampuran pakan dan obat-obatan. Hasilnya, di upaya kedua ini mereka pun menuai untung bersih kurang lebih 1.145.000 rupiah. Dari sisi besarannya, angka keuntungan di masa ternak kedua ini mungkin belum menjadi capaian yang fantastis. Namun, sebuah langkah besar telah dicapai oleh kelompok ternak ayam Flamboyan bahwa segala keterbatasan yang dihadapinya tidak memupuskan kemauan mereka untuk berusaha. Dengan usaha ini, di saat kemarau, mereka kini memiliki kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga. Mereka telah membangun sebuah pintu baru sebagai jalan keluar untuk tetap bertahan mengatasi ancaman musim kering.


12

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Bong, Teriakan Kesiapsiagaan Masyarakat Natakoli

awe-sawe diri! Jaga ilin gai bitak!!” Teriakan itu terdengar secara berantai di sebuah desa di lereng gunung Egon. Mendengar suara yang bersahut-sahutan, masyarakat segera berlari me­ nuju ke tempat evakuasi bersama di Sekolah Dasar Umatawu, Natakoli.

“S

Ini adalah gambaran suasana di Desa Natakoli, Kecamatan Mapitara, Nusa Tenggara Timur, jika Gunung Egon meletus. Teriakan dalam bahasa lokal yang berarti ‘Semua dengar! Awas hati-hati gunung mau meletus!’ disepakati oleh warga sebagai tanda bahwa kondisi gunung setinggi 1.703 dpl tersebut tengah beraktivitas mengeluarkan lava pijar yang berbahaya bagi keselamatan mereka. Bong adalah model penyampaian pesan menggunakan teriakan secara beruntun, dari kepala desa ke ketua rukun tetangga (RT) dan selanjutnya dari ketua RT kepada warganya. Informasi yang disebarkan bisa berupa ajakan untuk warga menghadiri pertemuan bersama, atau berupa pengumuman hasil kesepakatan rapat desa. Kondisi geografis desa ini berbukit-bukit dengan jarak antardusun berjauhan. Di sini, jaringan telepon atau radio belum tersedia sehingga hanya jalan antardusun lah yang menjadi satu-satunya penghubung antarwarga di sejumlah 10 RT ini. Maka, pola penyampaian informasi secara tradisional berupa teriakan adalah sistem yang paling sesuai. “Setelah berteriak di satu RT, lalu saya pindah ke RT lainnya,” tutur Maria Nona Rensiana, salah seorang ketua rukun warga (RW). Tak jarang ia meng­ habiskan waktu tempuh yang relatif lama untuk memberikan pengumuman bahwa akan ada pertemuan desa kepada warga wilayahnya. Satu-satunya ketua RW perempuan ini harus berjalan kaki menyusuri jalan dalam menunaikan tugas tersebut. “Dari satu dusun ke dusun lainnya bisa 6 hingga 7 jam karena jauh,” jelas ibu dari 7 anak ini.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

13

Namun, kondisi geografis yang tidak menguntungkan ini tidak menyurutkan warga Natakoli untuk melakukan usaha pengurangan risiko bencana. Bong sebagai media penyampaian pesan di antara warga desa dimanfaatkan pula untuk memberikan peringatan bahaya ketika gunung Egon dalam keadaan aktif dan berpotensi mengeluarkan lava. “Pesan ini disampaikan secara berantai oleh warga,â€? terang Yusuf Tefbana, koordinator Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Ini sudah dilakukan warga saat erupsi Gunung Egon pada April tahun 2008 silam. Material letusan Gunung Egon membubung hingga 4.000 meter dari kawah gunung serta menimbulkan suara gemuruh. Diceritakan Yusuf bahwa saat kejadian, sekitar 600 orang penduduk dari desa Egon Gahar yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari kawah Gunung Egon, mengungsi ke Natakoli. Natakoli hanya berjarak sekitar 7 km dari Gunung Egon. Tidak hanya gunung berapi, desa yang 95 persen penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani ini juga memiliki beberapa ancaman, antara lain gempa bumi, kemarau, angin kencang, dan longsor. Usaha untuk mengurangi risiko bencana tersebut telah dilakukan bersama-sama oleh warga 4 desa lainnya di lereng Gunung Egon, yaitu Nenbura, Hale, Hebing, Egon Gahar, dan Natakoli. Kondisi geografis di desadesa tersebut juga tidak jauh berbeda. Dengan dibantu oleh fasilitator dalam sebuah pelatihan Pengurangan Risiko Bencana, warga menyusun sebuah data analisis sederhana mengenai kerentanan, kapasitas, dan rencana aksi di masing-masing wilayah 4 desa tersebut.

Yusuf Tefbana, (Cici Riesmasari/Oxfam)


14

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Maria Nona Rensiana menceritakan dengan semangat bagaimana beliau tergerak untuk terlibat ke dalam program peningkatan kesadaran terhadap kesiapsiagaan bencana masyarakatnya. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Melalui analisa ini, warga kini sudah bisa mengidentifikasi potensi bencana yang mengancam desa mereka sekaligus sumber daya serta potensi untuk mengurangi risikonya. Di dokumen ini pula warga mencatat hal-hal yang berhubungan dengan persiapan apabila bencana terjadi, mulai dari menentukan tempat dan jalur evakuasi, mempersiapkan bahan makanan dan obat-obatan hingga bagaimana menyimpan surat-surat berharga yang mereka miliki. Natakoli sendiri memang ditetapkan sebagai zona aman I yang akan menjadi titik evakuasi bagi masyarakat Desa Hebing dan sebagian masyarakat Desa Hale. Beberapa tempat yang disepakati, antara lain adalah halaman Kantor Desa dan bangunan Sekolah Dasar di Desa Umatawu yang di depannya terdapat ruangan luas terbuka berupa lapangan untuk dijadikan titik aman apabila terjadi situasi darurat bencana. Bong menunjukkan kegigihan masyarakat Natakoli di tengah terbatasnya sarana komunikasi untuk menyiagakan diri menghadapi ancaman bencana gunung berapi. Warga desa yang berpenduduk 1.332 jiwa ini bersama TSBD menjaga kearifan lokal terus menjadi salah satu komponen kesiapsiagaan bencana. “Jika dibandingkan dengan erupsi sebelumnya, warga kini lebih siap me­ lakukan langkah-langkah penyelamatan,â€? tandas Thomas Aguinas dengan nada penuh keyakinan.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

15

Grup Facebook: Cara Berbagi dan Menggali Rasa Peduli

“K

ebersihan lingkungan sekitar adalah tanggung jawab bersama. Kejadian banjir di pasar Ruteng, kemarin sore, adalah tanggung jawab kita semua, bukan hanya pekerjaan rumah Pemda saja. Sebagai warga, bisakah kita memulai untuk peduli?” Kalimat ini terpampang menjadi salah satu newsfeed di dinding grup jejaring sosial kondang facebook Forum Pengurangan Risiko Bencana Manggarai (F-PRB Manggarai). Ferdy Ampur, administrator sekaligus pendiri grup, menjelaskan bahwa grup F-PRB Manggarai di jejaring sosial Facebook ini berangkat dari kegelisahan para penggerak Forum Pengurangan Risiko Bencana Manggarai. Kenyataan bahwa Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, adalah wilayah yang berisiko tinggi terhadap bencana, mulai dari tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir hingga puting beliung, tidak bisa dimungkiri lagi. Namun, ironisnya, kesadaran masyarakat mengenai kebencanaan masih rendah. Sebagai bagian dari program Membangun Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana di Kawasan Timur Indonesia yang diinisiasi oleh Oxfam dan LRM sebagai mitra lokal, Forum PRB diawali dengan pembentukan Kelompok Kerja Pengurangan Risiko Bencana (Pokja PRB). Pokja PRB beranggotakan per­wakilan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kabupaten dan para pe­merhati pengurangan risiko bencana. Dalam waktu cukup singkat, terbukti tim kerja ini telah menjadi motor penggerak tangguh yang menggiring tercetusnya kebijakan “sadar bencana” pemerintah daerah Manggarai. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Manggarai pun dibentuk pada tahun 2008, yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya Perda Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Manggarai pada tahun 2010.


16

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana Manggarai. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Namun, Perda ini tidak lantas seketika meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengurangan risiko. “Tugas belum selesai dan perjalanan masih panjang untuk menjadikan isu PRB ini sebagai isu prioritas bagi semua pihak,” Ferdy Ampur menegaskan. “Langkah kami selanjutnya adalah menebarkan pengetahuan dan kesadaran tentang pengurangan risiko bencana ini ke seluruh lapisan masyarakat.” Maka untuk menampung lebih banyak masukan dari berbagai sudut, tidak hanya pihak instansi pemerintah, ruang lingkup Pokja diperluas menjadi sebuah forum yang lebih terbuka. Kini, Forum PRB merambah Lembaga Swadaya Masyarakat lokal lain, pihak sekolah dan masyarakat luas. “Kami perlu membuka diri dan menjembatani informasi seluas-luasnya sehingga isu PRB tidak sebatas menjadi wacana di tingkat Pokja.” Sementara itu, kegiatan inti mengawal pemerintah daerah terus dikuatkan, penyebarluasan PRB di kalangan masyarakat umum juga digalakkan. Be­ ragam cara ditempuh, mulai dari menyelenggarakan pelatihan bagi para staf SKPD Kabupaten, talkshow di radio dan merintis sekolah sebagai agenagen penyebaran. Pembuatan grup di Facebook diharapkan menjadi wadah masyarakat, baik di dalam maupun di luar Manggarai, menjalin komunikasi dan menggali informasi dari semua pihak guna mendorong upaya-upaya pengurangan risiko bencana di Manggarai. “Pengguna Facebook di Kabupaten Manggarai mulai meningkat. Pembuatan grup ini bukan semata-mata ditujukan untuk masyarakat lo­


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

17

kal Ruteng dan Manggarai, melainkan masyarakat yang berada di luar daerah. Banyak penduduk Manggarai yang hijrah dan tinggal di wilayah lain di Indonesia, bahkan di luar negeri. Kami belum melihat cara lain untuk menjembatani kepedulian mereka kepada kampung halaman selain melalui Facebook ini,� Ferdy menandaskan. Gerakan berjejaring sosial tersebut ternyata membawa hasil sangat mengesankan. Dari sejak terbentuk pada bulan September 2011, grup ini sudah menarik lebih dari 1.700 anggota yang berasal dari pelbagai wilayah di Indonesia bahkan sampai luar negeri. Setiap hari, baik dari anggota maupun anggota administrator grup melakukan pemutakhiran kabar serta menggulirkan perkembangan-perkembangan terbaru terkait PRB. Selain aktivitas internal Forum PRB, seperti undangan pertemuan anggota, evaluasi kegiatan hingga laporan kegiatan diunggah, sering topik-topik utama seputar pengurangan risiko pun dilontarkan, contohnya kajian kebijakan pemerintah ini, kemudian menjadi diskusi berbobot yang menyegarkan. Bahkan, kendati tidak menjadi tujuan utamanya, grup ini telah menjadi sarana penggalangan bantuan bagi korban bencana di wilayah Kabupaten Manggarai dan sekitarnya. Contohnya saat terjadi kebakaran di Desa Benteng Tubi, Kecamatan Rahong Utara, melalui grup F-PRB sejumlah 7.400.000 rupiah dan 3.000 potong pakaian bekas layak pakai berhasil dikumpulkan. Forum PRB sendirilah yang kemudian membagikan secara langsung kepada korban.

Ferdy Ampur, ketua Forum PRB Manggarai, selalu aktif memberikan posting terkait informasi PRB di account FB mereka. (Cici Riesmasari/Oxfam)


18

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Forum PRB memahami betul bahwa “pekerjaan rumah� mereka masih banyak, salah satunya adalah pemantapan struktur organisasi. Kendati berawal dengan sebentuk kegelisahan, namun karena diikuti dengan sejumput semangat, pengembangan isu PRB di Kabupaten Manggarai mulai terlihat bergerak sejalan dengan laju pembangunan daerah. Berbalut dengan niat kuat tetap menjadi pendorong, forum ini sadar bahwa jalur yang ditempuh tidak bisa melalui advokasi di pemerintahan saja karena letak kuncinya pada masyarakat umum. “Masyarakat yang sudah sadar bencana pasti mendorong pemerintah daerah untuk membuat kebijakan sadar bencana. Hal itu yang kami yakini betul, toh manajemen perencanaan pembangunan daerah dimulai dari desa, dari Musrenbang desa,� tandas Ferdy Ampur yang diamini oleh anggota forum ini dengan mantab. Mereka tak kenal menyerah guna memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi tanggung jawab bersama. Sebagaimana tujuan Forum PRB yang tercantum dalam profile grupnya; Menciptakan masyarakat Manggarai yang tangguh dalam menghadapi bencana.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

19

Parit Swadaya Masyarakat: Semangat Desa Pajinian Bentengi Banjir

H

ujan mengguyur Desa Pajinian cukup deras siang itu, warga desa di Pulau Adonara, kabupaten Flores Timur ini telah cukup paham dengan ancaman yang menyertai guyuran air dari langit tersebut. Musim hujan bagi petani adalah berkah besar, tetapi hujan pernah membawa permasalahan cukup pelik di sini. Warga desa selalu direpotkan dengan luapan air dari kali Waikoak dan beberapa kali mati di wilayah perbukitan. Hujan lebat terus menerus selama 4-5 jam saja akan meningkatkan debit air sungai bahkan membuatnya meluap ke perkebunan dan perumahan warga. Banjir akan menggenangi jalan dan rumah kadang sampai setinggi lutut. Hampir seluruh wilayah akan ter­genang dan berlumpur. Namun, warga desa di bagian selatan yakni di wilayah dusun II yang akan merasakan dampak terparah. Sekitar 80 rumah warga selalu jadi sasaran luapan air. Dusun ini memang tidak memiliki saluran air permanen yang me­mungkinkan air dialirkan ke luar wi­ layahnya. “Urutan pertama yang terkena banjir adalah rumah saya karena posisinya paling deket lokasi sungai,” ujar Karilus Paun, Kepala Sekolah Dasar Pajinian,

Warga Desa Pajinian sedang bergotong royong membangun parit untuk membentengi desa mereka dari banjir. (YPPS)


20

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

yang rumahnya berada di wilayah RT 05 Dusun II dan ber­jarak sekitar 120 meter dari aliran kali Waikoak. “Kalau banjir datang biasanya saya mengungsi ke tetangga yang posisi rumahnya lebih tinggi atau ke balai desa.”

Elias Cana, fasilitator Desa Pajinian, Flores Timur, NTT. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Sebenarnya dalam menghadapi ancaman banjir, warga desa telah me­ lakukan berbagai upaya. Menyadari jalan keluarnya adalah menyalurkan luapan air ke laut, maka pembangunan parit untuk membuat jalur aliran air adalah prioritas utama. Warga kemudian melakukan pembangunan parit dengan sumber daya yang ada ada. “Kami membangun parit darurat, tetapi tidak kuat. Hanya terkena hujan sekali saja parit sudah ambrol,” Elias Cana, fasilitator desa, menerangkan.

Kendati demikian warga ti­dak putus asa, mereka kembali merencanakan untuk membangun parit yang lebih kuat. Warga bersepakat sedikit demi sedikit dilakukan pengumpulan batu, sebagai bahan dasar. “Kami sudah rencanakan membuat parit dan menguatkan dindingnya. Jadi kami berencana untuk kumpul batu, dan sudah ada satu tumpukan. Tapi pengerjaannya belum dimulai,” Cerita Karilus Paun. Ini dikarenakan terkendala oleh keterbatasan dana, dan tentu bahan batu saja tidak cukup. Maka bagai gayung bersambut, ketika Desa Pajinian menjadi desa dampingan program Membangun Ketahanan terhadap Bencana, pembuatan parit permanen pun dikemukakan masyarakat sebagai salah satu kegiatan utama pengurangan risiko bencana. Yayasan Pengkajian Pengembangan Sosial (YPPS) dan Oxfam menjadi saksi semangat besar warga desa dalam setiap kegiatan. Dimulai dengan kajian risiko, kerentanan dan kapasitas yang digarap dengan bersungguh-sungguh, pembentukan Tim Siaga Bencana Desa, sosialisasi kebencanaan sampai dengan pemasangan tanda-tanda jalur evakuasi. Pembangunan parit permanen di­kerjakan oleh seluruh elemen desa se­cara bergotong-royong. “Semua bapak-bapak turun tangan, dan ibuibu juga ikut membantu, mereka memasak makanan dan minuman untuk


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

21

yang sedang bekerja,” ujar Elias Cana. “Kami bekerja bersama dengan satu koordinasi dari kepala desa sehingga tidak perlu pakai ‘tukang’.” David Sanga Kepala Desa Pajinian, menambahkan. ”Swadaya masyarakat dimulai dari keputusan mengenai bahan lokal. Melalui ke­se­pakatan, penyediaan bahan lo­kal adalah tanggung jawab ma­ sing-masing dusun sehingga da­na yang ada difokuskan untuk mem­ David Sanga, Kepala Desa Pajinian. (Cici Riesmasari/ beli bahan yang tidak bisa di­dapat Oxfam) secara lokal, seperti semen.” Masih terdengar intonasi suara yang ber­semangat dari laki-laki berusia 51 tahun ini. Gerakan bersama tersebut membuahkan hasil berarti. Parit permanen sepanjang 237 meter yang telah lama diidamkan pun diselesaikan hanya dalam waktu 13 hari. Semangat berswadaya dan saling membantu di desa dengan penduduk 1446 jiwa ini menguat didasari kemauan besar lepas dari kesulitan terus menerus dilanda banjir. Hujan memang dinanti oleh petani, tetapi banjir yang ditimbulkan telah mengikis humus tanah dan mengurangi pendapatan petani karena tanamannya tidak berbuah. Kini, meski hujan siang itu deras dan konstan mengguyur dari pagi, tetapi warga terlihat aman duduk-duduk di dalam rumah. “Sekarang setelah ada parit, biar pun hujan agak lama kami masih bisa tidur dengan tenang,” Kata Elias Cana tersenyum, ”Ditambah setelah tahu bagaimana cara menghadapi banjir. Anggota TSBD sudah bersiaga di posisi masing-masing.”

Parit swadaya warga Desa Pajinian berhasil mengurangi luapan air menggenangi rumah-rumah dan ladang-ladang mereka. (Cici Riesmasari/Oxfam)

Dominicus Nebon, mantan kepala desa juga yang tergabung dalam TSBD mengungkapkan per­setujuannya, ”Dulu kami lari pontang-panting ke bukit, tanpa tahu hal itu benar atau tidak. Sekarang, su­dah ada jalurjalur yang pas­ti dan aman, dan


22

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

sudah ter­pasang tanda-tandanya.” Ia menambahkan, ”Setiap hujan tim selalu mengecek ke­tinggian air di parit, kami telah menyepakati batas-batas ber­ba­hayanya se­hing­ ga ke­mudian jadi tahu apa yang harus dilakukan.” Sebenarnya parit yang diba­ ngun belum melindungi 100 persen warga dari banjir. Ke depan warga masih memiliki keinginan mem­per­ Dominicus Nebon, mantan Kepala Desa Pajinian, pun panjang parit permanen sampai bergabung dalam TSBD Pajinian agar bisa ikut andil dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana di desanya. (Cici satu kilometer sehingga air me­ Riesmasari/Oxfam) ngalir langsung ke laut. Namun, kesiapsiagaan Desa Pajinian yang di­dasarkan sepenuhnya pada pengetahuan yang baik mengenai kebencanaan terbukti telah membentengi warga. Apalagi dipadukan dengan semangat besar, tak ayal lagi ini telah menjadi upaya konsisten warga Desa Pajinian yang kokoh dalam pengurangan risiko bencana.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

23

Fasilitator Masyarakat: Partisipasi dari Hati

N

usa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi yang terkenal keelokan alamnya, tetapi juga kerap dilanda bencana. Bencana tersebut bermacam-macam bentuknya, seperti kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Berulangnya bencana hampir setiap tahun mengakibatkan berkurangnya persediaan bahan pangan sehingga berujung pada kelaparan. Provinsi yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini karakter wilayahnya semi-arid, jumlah bulan kering lebih panjang, yaitu sekitar delapan hingga sembilan bulan. Sementara bulan basah hanya berkisar selama tiga sampai empat bulan. Karena kondisi inilah sebagian daerahnya mengalami kekeringan. Dua kabupaten dengan kondisi tersebut di atas, yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS). Dua wilayah langganan bencana yang selain mengalami kekeringan juga mengalami banjir. Padahal, sebagian besar mata pencarian penduduk adalah petani lahan tadah hujan. Dalam menghadapi ancaman bencana ini, masyarakat belum sepenuhnya memahami dampak yang ditimbulkan sesungguhnya bisa diantisipasi dan diminimalisir. Ada paradigma lama yang masih tertanam di benak masyarakat bahwa bencana adalah peristiwa tiba-tiba, semata-mata kejadian alam dan sebuah peristiwa yang memang harus terjadi. Karena itu, ketika Perhimpunan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) dan Oxfam menjalankan program Pengurangan Risiko Bencana di dua kabupaten itu, mengubah pemahaman tersebut menjadi agenda pertama. Walau tidak mudah, beberapa pendekatan pun dirancang. Pendekatan diawali dengan sosialisasi terlebih dahulu melalui fasilitator masyarakat atau Community Organizer (CO).


24

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Para CO ini berasal dari 14 desa dampingan program di Kabupaten TTS dan TTU yang diharapkan akan lebih memahami karakter dan kebiasaan di daerah masing-masing. Pemilihannya dilakukan melalui musyawarah. Usulan nama oleh masyarakat disepakati dalam pertemuan desa sehingga yang terpilih merasa bertanggung jawab secara moral menjalankan peran dan fungsinya untuk masyarakat yang mengutusnya. CO ini kemudian mendapatkan beberapa pelatihan peningkatan kapasitas dalam pengurangan risiko bencana. Selain itu, di tingkat desa juga dibentuk Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Tim ini berjumlah 42 orang yang terdiri dari beberapa unsur masyarakat, antara lain kader posyandu, ibu-ibu PKK, pemuda desa, dan tokoh masyarakat. TSBD menjalankan peran penting. “Anggota TSBD di setiap desa ini nantinya diharapkan bisa melanjutkan aktivitas pengurangan risiko bencana meskipun sudah tidak didukung oleh PMPB dan Oxfam lagi�, jelas Anton Community Officer PMPB yang mengkoordinir para CO. Sebagai bekal berlindung dari dampak buruk bencana, anggota TSBD bersama masyarakat menguraikan faktor-faktor risiko, kerentanan dan kapasitas daerahnya secara spesifik. Contohnya Desa Oeperigi, kecamatan Noemuti, kabupaten TTU, TSBD dan masyarakat menganalisis kejadian kekeringan yang dialami selama 10 tahun terakhir. Dampak penurunan ketersediaan pangan salah satunya disebabkan kurangnya perlindungan terhadap sumber air sehingga kesadaran melestarikan hutan dengan kegiatan penghijauan perlu ditingkatkan. Hal tersebut menjadi satu dari beberapa hasil diskusi yang kemudian disusun menjadi sebuah dokumen analisis PRB. Selanjutnya, untuk mencegah timbulnya dampak yang lebih parah karena kekeringan, warga dibantu pemerintah sepakat untuk membangun saluran irigasi, embung, dan cekdam di beberapa titik rawan bencana. Selain itu, lumbung pangan yang merupakan kearifan lokal kembali diaktifkan supaya masyarakat mempunyai simpanan bahan makanan yang cukup sehingga kelaparan saat kemarau panjang dapat dihindari. “Kemampuan mengidentifikasi ancaman dan kerentanan akan membantu kita memperkirakan risiko�, jelas Yos Boli Sura, Program Manager PMPB dalam pelatihan Pengurangan Risiko Bencana yang diadakan di Balai Desa Oeprigi. Jika Desa Oeprigi memiliki masalah dengan musim kering, lain halnya dengan Desa Pene Utara di Kabupaten TTS. Daerah ini menjadi langganan banjir. Sungai Benanain yang melintasi Desa Pene Utara merupakan ancaman utama. Hasil pertanian masyarakat, seperti sayur dan kacang-kacangan yang ditanam di bibir sungai rusak karena tanahnya terkikis banjir.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

25

Konsistensi CO dan TSBD memotivasi masyarakat mengembangkan kesadaran mengenai kebencanaan terus dikuatkan dengan kegiatan bersama. Yunus Nitbani, sang Kepala Desa Pene Utara selalu terlibat langsung dalam sosialisasi PRB di berbagai kesempatan, terutama saat pertemuan rutin desa. Bahkan, ia tak segan membersihkan halaman warganya yang kotor sekedar memberi contoh bahwa menjaga kebersihan merupakan salah satu cara sederhana untuk mencegah banjir. “Intinya membangun dengan memberikan contoh yang baik,� tutur Yunus. Berbagai partisipasi masyarakat pun muncul seiring meningkatnya pemahaman dan kesadaran. Tak hanya menjaga kebersihan, warga sepakat untuk menanam anakan pohon di sepanjang aliran sungai Benenain sebagai salah satu usaha mengurangi risiko bencana banjir. Jenis yang ditanam, antara lain mahoni, bambu, kaswari, dan beringin. Pohon yang ditanam nantinya akan menjadi pelindung tanggul dan penyerap air yang berlebihan karena hujan. “Kita berdoa saja, semoga anakan yang kita tanam ini dapat membantu. Paling tidak, mengurangi sedikit risiko ancaman yang ada di daerah kami ini� kata Mama Monika Kamlas, warga Desa Pene Utara dengan penuh optimis. Kesadaran mengenai pengurangan risiko bencana memang tidak serta merta terbangun. Diperlukan usaha yang tak putus dalam menginformasikan kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan upaya memperkecil resiko bencana di sekitar mereka. Setelah itu, peningkatan kapasitas baik secara perorangan maupun kelompok menjadi pijakan untuk mengembangkan kesadaran yang membuahkan partisipasi dari hati setiap masyarakat itu sendiri.


26

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Desa Tanali: Upaya Penuh Meningkatkan Ketahanan

S

iang hari itu, suara kentongan dengan irama cepat sebagai tanda bahaya memecah kegiatan sehari-hari warga. Dengan sigap Tim Siaga Bencana Desa berkumpul dan berkoordinasi di halaman rumah adat Desa Tanali dan bersiap-siap melaksanakan evakuasi karena sungai Lowodaga mulai meluap dan banjir akan melanda. Warga berlarian keluar rumah dan berkumpul di depan rumah adat yang telah disepakati sebagai titik kumpul saat bencana. Meski ini hanya simulasi bencana, namun masyarakat melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Pengalaman banjir yang pernah dirasakan sebelumnya membuat mereka ingin lebih siaga terhadap kemungkinan terjadinya bencana. “Dulu saat banjir terjadi banyak hewan dan manusia terbawa arus. Pada waktu itu kita hanya menyelamatkan diri masing-masing tanpa sempat memikirkan saudara-saudara yang lain,� Domunggus Kamelgagani, Kepala Desa Tanali bercerita. Letak Desa Tanali di hilir Sungai Lowodaga membuatnya rentan terhadap luapan air setiap musim penghujan. Banjir yang berulang-ulang membuat warga tidak dapat menggarap tanah mereka secara maksimal padahal tanahnya tergolong subur. Oleh karena itu, program “Membangun Ketahanan terhadap Bencana� kerja sama Flores Institute of Resources Development (FIRD), Yayasan Tani Membangun (Yastim) dan Oxfam disambut Desa Tanali dengan baik. Selain Desa Tanali, dua desa di aliran sungai yang sama, yaitu Desa Golulada dan Mautenda Barat juga dijadikan desa dampingan. Melalui program ini, warga mendapatkan berbagai pelatihan mengenai pengelolaan bencana, pemetaan risiko bencana, bagaimana mencegah dan


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

27

Ketua Tim Siaga Bencana sedang memberikan arahan kepada anggotanya. (Dheni Ardhian/Oxfam)

mengatasinya, serta menyusun rencana strategis desa yang sadar bencana. Pemahaman mengenai bencana dan risiko bencana dimaksudkan agar warga lebih siaga bencana, serta bertindak secara nyata untuk mengurangi risikonya. Langkah selanjutnya adalah pembentukan tim siaga bencana desa. Salah satu fungsi tim pada masa darurat adalah sebagai penggerak respons bencana, termasuk melaksanakan pertolongan pertama, pencarian dan penyelamatan korban, pengkajian cepat, memobilisasi masyarakat di masa evakuasi dan lainnya. “Sebelum tim dibentuk, kita kelihatan sangat semerawut dan tidak ada yang mengkoordinasi,� Domunggus menjelaskan. Lewat simulasi bencana yang bukan hanya sekali diujicobakan di Desa Tanali seperti siang itu, kesiapsiagaan masyarakat dan kegesitan tim siaga bencana terus diperkuat. “Simulasi ini sudah sering kami lakukan sehingga kami sudah paham benar apa yang akan kami lakukan jika banjir datang,� kata Darius Gare, koordinator tim siaga bencana Desa Tanali. Tim siaga dibentuk bukan hanya untuk berfungsi di masa darurat. Selama pelaksanaan program, tim ini melakukan sosialisasi dalam berbagai kesempatan serta memelopori upaya mitigasi. Sesuai dengan hasil pengkajian risiko, kerentanan dan kapasitas disepakati untuk membangun bronjong serta menanam pohon duri dan bambu di pinggir sungai sepanjang dua kilometer. Selain itu, untuk mengurangi risiko kekurangan air bersih selama masa banjir, dibangun sumur sehat yang letaknya terhindar dari dampak banjir dan airnya dapat tetap digunakan meski banjir melanda. Kesemua pembangunan fisik ini dikerjakan warga secara bergotong royong dengan koordinasi dari Tim Siaga Bencana desa.


28

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Setelah upaya internal Desa diselesaikan, tidaklah lengkap jika akar permasalahan tidak dituntaskan. Kerentanan Desa Tanali terhadap banjir sesungguhnya disebabkan terutama karena warga Desa Golulada yang terletak di hulu melakukan penebangan hutan. Warga desa tersebut menganggap bertani dengan cara ladang berpindah yang mereka lakukan turun-temurun semata-mata sebagai mata pencarian. Mereka tidak menyadari akibatnya bagi saudara-saudara mereka di hilir. Permasalahan ini dinegosiasikan warga kedua desa dengan menggali kembali akar kearifan lokal dan hubungan kekerabatan. Sebagai desa dampingan program juga, warga Desa Golulada pun menjalankan langkah demi langkah kegiatan program yang sama sehingga mereka mengerti akibat pembabatan hutan yang mereka lakukan terhadap kehidupan saudarasaudara mereka di hilir. Tidak mudah bagi warga Desa Golulada mengubah kebiasaan tersebut, terutama karena merasa mata pencarian mereka terancam. Namun, setelah diskusi antardua desa secara intensif, muncullah solusi yang positif untuk kedua belah pihak. Warga Desa Goluladu tetap bisa berladang tanpa membuka lahan secara sembarangan. “Kami sudah buat kesepakatan bersama. Warga hulu tidak boleh lagi buka lahan sembarangan. Setiap pembukaan lahan harus sepengetahuan warga hilir sebab ada titik hutan yang tidak boleh dibuka,� kata Dominggus Kemalgelgani, Kepala Desa Tanali bernafas lega. “Dengan proses pendampingan ini, kami jadi tahu bagaimana mengambil keputusan secara bersama,� tambahnya.

Simulasi masyarakat Desa Tanali, Kabupaten Ende. (Dheni Ardhian/Oxfam)


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

29

Keputusan bersama ini merupakan hukum adat yang harus ditaati, bahkan telah diperkuat oleh sebuah peraturan desa. Pelanggar dikenai sanksi adat yaitu menyetor babi atau kerbau sejumlah yang ditentukan kepala adat, tergantung pada besar kecilnya bentuk pelanggaran. Pendekatan secara adat ini berhasil mengatasi masalah banjir secara perlahan-lahan. Kini, masyarakat Desa Tanali bukan hanya secara mandiri menjadi lebih siaga, mereka telah berinisiatif mengambil tindakan bersama desa lain untuk mengurangi risiko bencana. Upaya peningkatan pemahaman, mitigasi dan bahkan mengatasi akar permasalahannya pun telah dilakukan waga desa ini. Sebuah upaya penuh masyarakat bersiaga terhadap bencana.


30

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Kandang Babi Tahan Banjir, Sebuah Upaya Sederhana Bersiaga

B

anjir, bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Desa Lasaen, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Belu. Dalam setahun desa di tepi Sungai Benanain tersebut bisa diterjang banjir sampai puluhan kali. Setiap debit air sungai naik maka luapan air pertama akan masuk ke desa ini sebelum ke desa-desa lain di sekitarnya. Banjir langganan tersebut selalu memberikan dampak buruk. Lahan pertanian, rumah penduduk, sarana prasarana umum rusak adalah permasalahan yang ditinggalkan banjir. Dan satu permasalahan lagi adalah ternak babi yang hilang. Jika banjir datang kandang babi terendam banjir atau hanyut, sehingga babi hilang bahkan mati. Bagi masyarakat Desa Lasaen ternak babi adalah sumber nafkah, hampir semua warga memiliki kandang babi di sekitar rumah. Maka pasca banjir seperti itu, masyarakat akan sibuk berkeliling desa mencari-cari ternak babi dan berupaya keras untuk menyelamatkan. Babi memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi masyarakat Desa Lasaen. Di samping menjadi sumber perekonomian keluarga, babi juga mempunyai manfaat sosial dan budaya. Secara ekonomis, babi menjadi sumber pendapatan dan sekaligus berfungsi sebagai tabungan. Biasanya satu keluarga memelihara 2 sampai 4 ekor babi yang akan dijual jika ada kebutuhan uang cukup besar, seperti mendaftarkan anak ke sekolah. Sebagai fungsi sosial budaya, babi digunakan untuk kegiatan upacara-upacara tradisional seperti pernikahan, kematian dan kelahiran. Tiap keluarga sebagai bagian dari sebuah suku akan menyumbang babi atau ternak yang lain kepada keluarga yang menyelenggarakan upacara.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

31

Kandang babi yang sudah diperbaiki dan lebih aman dari banjir. (Oxfam)

Tidak seperti rumah warga desa Lasaen yang dibangun di atas panggung, kandang babi dulunya hanya dibangun langsung di atas permukaan tanah. Ini yang membuat ternak babi berisiko tinggi hanyut jika banjir datang. Hilangnya atau matinya babi berarti berkurang pula tersedianya uang untuk membeli bahan pangan atau membayar biaya sekolah anak. Sejak tahun 2007, Oxfam bersama mitranya, Perkumpulan Masyarakat Penanggulangan Bencana (PMPB) melalui program PRIME (Preparedness and Response, Reducing risk, Influencing policy, a Model for Emergency), proyek kesiapsiagaan yang didanai beberapa badan international memperkenalkan konstruksi kandang tahan banjir kepada masyarakat desa Lasaen. Pembangunan konstruksi kandang yang tahan banjir dimaksudkan agar masyarakat tetap bisa mempertahankan sumber penghidupannya ketika banjir menerpa desa. Kemudian 2009, dilanjutkan dengan proyek Membangun Ketahanan Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia pada 2009 yang didanai oleh Australia-Indonesia Facility for Disaster Risk (AIFDR). Kandang tahan banjir sesuai dengan hasil diskusi warga dibangun di atas panggung dengan menggunakan kerangka kayu dan atap dari seng. Masyarakat desa Lasaen sangat antusias dengan pembangunan kandang tahan banjir tersebut. Mereka telah lelah harus kehilangan ternak babi setiap kali ada banjir. Kandang babi tahan banjir yang menggantikan kandang babi lama tersebut dikerjakan secara Hakawak, bahasa setempat untuk gotong royong. Mereka menentukan lokasi yang paling tepat bagi setiap keluarga untuk membangun kandang babi. Kandang biasanya dibangun di


32

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

bagian belakang rumah dan dipilih lokasi tanah yang paling tinggi. Dengan membangun kandang babi bersama-sama, 1 kandang bisa diselesaikan dalam 3 sampai 4 hari. Tinggi panggung kandang di desa Lasaen berbeda-beda di setiap dusun. Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) dan warga bersama-sama menentukan tinggi panggung yang diperlukan berdasarkan sejarah tingginya air banjir yang masuk ke wilayah mereka. Kandang babi harus dibangun lebih tinggi daripada air banjir yang biasa masuk di sekitarnya. Khusus bagi masyarakat yang tinggal dekat dengan bibir sungai, kandang babi dibangun di atas kerangka kayu setinggi hampir 2 meter. Ini karena banjir yang masuk biasanya mencapai ketinggian 1,5 meter. Desa Lasaen kaya akan bahan-bahan alami yang dibutuhkan untuk pembangunan kandang, sehingga ini sangat memudahkan warga. Bahanbahan didapat dengan mengumpulkan kayu dari kebun-kebun dan pesisir sungai. Dan, untuk atap kandang babi, sebagai ganti seng, warga juga memakai daun gewang atau kelapa yang banyak tumbuh di sekitar rumah. Pembangunan kandang babi di desa Lasaen selesai cepat. Dalam tahun yang sama, semua kandang telah diganti dengan kandang baru dengan rancangan khusus siaga banjir. Sejak itu, kendati puluhan kali diterjang banjir, kandang babi mampu tetap berdiri dengan kokoh. Tidak ada lagi babi yang hanyut atau mati diterjang banjir. Babi-babi peliharaan masyarakat desa Lasaen, bisa tetap tinggal di kandang mereka walaupun air banjir memasuki desa. Masyarakat pun tidak perlu kuatir akan kehilangan sumber penghidupan. Masyarakat tidak perlu berlari-lari mengejar babi di tengah air banjir atau bersedih karena babi mereka mati tenggelam. Kandang tahan banjir telah membuat masyarakat lega ketika banjir datang. Sambil duduk di rumah panggung mereka, warga bisa mengamati babi peliharaan yang makan di dalam kandang dan seakan tidak peduli dengan air banjir yang mengalir di bawahnya.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

33

Tak Lagi Kuatir Banjir

Masyarakat dan Pemerintah dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana

B

ukan hanya oleh masyarakat, namun sebuah usaha pengurangan risiko bencana tentunya tidak akan berjalan tanpa dukungan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah merupakan dua komponen penting yang sudah seharusnya bekerja sama. Seperti halnya bencana yang lain, dampak kerusakan dan kerugian akibat banjir bisa dikurangi dan dikendalikan. Tentunya dengan melakukan persiapan yang efektif dan terpadu sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan cepat dan tepat secara mandiri. Kabupaten Donggala (sesudah 2009 menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan Sigi) merupakan daerah di Sulawesi Tengah yang langganan banjir. Daerah dengan luas lebih dari 10 ribu meter persegi ini kerap menghiasi media elektronik maupun cetak dengan kejadian banjir yang mengakibatkan kerugian. Pada tahun 2007, Yayasan JAMBATA dan Relawan untuk Orang Alam (ROA) bekerja sama dengan Oxfam melakukan pengkajian risiko di 9 kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Hasilnya memang sama dengan kenyataan di lapangan bahwa Kabupaten Donggala menempati urutan pertama wilayah dengan risiko bencana tertinggi. Tanpa pikir panjang, temuan ini segera ditindaklanjuti dengan program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM). Karena berbasis masyarakat, Yayasan JAMBATA mencoba menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memahami dengan baik mengenai tatanan sosial, budaya, dan politiknya. Pemahaman tersebut diharapkan dapat mempermudah fasilitator dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat.


34

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Setelah tumbuh kepercayaan, barulah dilakukan pengorganisasian dan mobilisasi. Langkah ini dilakukan agar masyarakat terlibat dalam tahapantahapan PRBBM selanjutnya. Keterlibatan serta partisipasi aktif masyarakat senantiasa memperhatikan keterwakilan seluruh komponen termasuk lakilaki, perempuan, dan kelompok rentan. PRBBM dijalankan di 14 Desa yang memiliki tingkat risiko tinggi sesuai dengan kajian risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Batusuya Go’o misalnya, entah sudah berapa kali daerah ini dihantam banjir. Desa yang terletak di Kecamatan Sindue Tambusabora ini memiliki relief bentang alam yang bervariasi dan beberapa sungai yang mengalir sepanjang tahun. Hal itu menjadikan daerah ini sasaran empuk air bah. Belum lagi peningkatan jumlah penduduk tiap tahun yang secara tidak langsung meyebabkan alih fungsi hutan menjadi kebun dan pemukiman. Upaya terdekat yang dapat dilakukan adalah membangun sistem peringatan dini berbasis masyarakat. Ada beberapa pengetahuan masyarakat yang berasal dari pengalaman secara turun-temurun untuk mengenali tandatanda akan terjadi banjir, di antaranya adalah munculnya awan hitam di hulu sungai sebagai tanda akan terjadi banjir besar. Apabila tanda tersebut muncul, warga akan segera melakukan perannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam Sistem Peringatan Dini. Kelompok Peduli Bencana akan mengamati perkembangan awan hujan di daerah hulu dan peningkatan debit air dan kekeruhan sungai. Sementara itu, kepala desa menginformasikan situasi dan mengimbau masyarakat untuk bersiap ke titik kumpul atau tempat evakuasi. Tak ketinggalan, pemuka agama pun turut membunyikan lonceng gereja atau menyampaikan pengumuman melalui pengeras suara masjid. Dengan begitu, tak ada yang terlewat mendapatkan peringatan tanda bahaya ini karena informasi yang diberikan berasal dari dan untuk seluruh lapisan masyarakat. Selain Batusuya Go’o, ada pula Desa Omu. Pada tahun 2007, tercatat ada sedikitnya 14 titik longsoran di desa yang dilalui oleh Sungai Omu dan Sungai Miu ini. Hujan yang turun tak lebih dari 3 jam saja langsung mengakibatkan sebagian besar pemukiman di daerah ini terendam air. Didorong oleh rasa kuatir akan makin banyaknya korban, warga memiliki keinginan untuk mengelola bencana yang melanda wilayahnya. Dari sekedar pembicaraan antartetangga, warga sepakat menyampaikan usulan kegiatan pengurangan resiko bencana ini pada Musyawarah Rencana Pembangunan Desa.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

35

Bak gayung bersambut, apa yang mereka sampaikan ternyata mendapat dukungan positif. Ini karena bagi pemerintah desa sendiri, mitigasi merupakan bagian dari program pembangunan desa. Salah satu hasilnya pada tahun 2009 lalu telah diterbitkan Peraturan Desa tentang Penanggulangan Bencana. Ini berarti dukungan yang diberikan tak hanya pada masalah teknis namun dari segi pendanaan, pemerintah daerah berkomitmen untuk menyukseskan program ini. Tak jauh beda dengan Batusuya Go’o dan Omu, keberhasilan program PRBBM terasa juga di Desa Pakuli. Meskipun desa yang juga rentan banjir ini tak sampai memiliki Perdes tentang PRB, namun pemerintah desa setempat telah menetapkan anggaran rutin tahunan untuk kepentingan penanggulangan bencana. Kelompok Peduli Bencana yang ada di Desa Pakuli memperoleh sekitar dua persen dari anggaran Alokasi Dana Desa. Tak terlalu besar memang, namun ini merupakan bukti bahwa telah ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat, yang merupakan faktor utama demi keberlanjutan program di masa depan. Program PRB yang dilakukan secara berkelanjutan di Desa Batusuya Go’o, Omu, dan Pakuli merupakan bukti bahwa Pengurangan Resiko Bencana merupakan tanggung jawab bersama. Meskipun berbasis masyarakat, namun tanpa dukungan pemerintah, sebuah program PRB akan timpang. Pemerintah dan masyarakat adalah dua sisi mata uang yang sudah semestinya bersinergi demi mencapai tujuan bersama. Begitu pula di sebelas desa lainnya yang menjadi lokasi program, yaitu Salubomba, Towale, Labean, Tambu, Mantikole, Sidondo II, Tuwa, Salua, Bolapapu, Mataue, dan Sungku. Dengan adanya program PRBBM, masyarakat di desa-desa tersebut tak lagi resah. Mereka makin menyadari bahwa bencana banjir bukan berarti sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Warga kini tak lagi khawatir akan datangnya banjir karena ternyata, dampak serta kerugiannya bisa dikurangi dengan kapasitas yang sudah mereka miliki.


36

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Jejaring Guru Peduli Bencana Sangihe: Membawa Teori Menjejak Bumi

“S

iswa kami tidak masuk sekolah karena sekolah tergenang.” kenang Witri Lambanaung, Kepala Sekolah Dasar Negero Bahembang Raku, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Sangihe tentang kejadian banjir bandang yang disaksikannya melanda sekolahnya di tahun 2007. Masih lekat dalam ingatannya teriakan kepanikan orang-orang ketika muntahan air bah melanda. “Kami, para guru, tidak tahu mesti melakukan apa. Anak-anak juga tidak masuk sekolah saat itu. Mereka tetap berada di pengungsian, menunggu sampai air surut. Di sekolah pun tidak ada koordinasi yang jelas. Dalam situasi itu, orang tua juga ragu untuk membiarkan anak mereka tetap ke sekolah,” ujarnya. Dampak bencana terhadap sekolah, seperti yang dialami SDN Bahembang Raku di tahun 2007 tersebut, tentunya perlu memperoleh perhatian khusus. Rendahnya pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana juga kian melemahkan ketahanan sekolah terhadap bencana.”Ketidaksiapan sekolah terhadap bencana akan membawa risiko terhadap keselamatan warga sekolah, di samping kemungkinan terkendalanya kegiatan pembelajaran bagi siswa. Oleh karenanya, program pengurangan risiko bencana di sekolah sudah menjadi keharusan. Terlebih, sekolah adalah tempatnya anak-anak, yang pastinya lebih rentan dibanding para orang dewasa. ” ujar Helda, staf KELOLA. Ini mendorong dijalankannya sebuah program Pengurangan Risiko Bencana di kalangan sekolah-sekolah dan masyarakat di Kabupaten Sangihe. Program ‘Membangun Ketahanan terhadap Bencana’ dilaksanakan oleh KELOLA dan Oxfam dan menjangkau 4 kecamatan, 14 kelurahan/kampung serta 23 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Kabupaten Sangihe.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

37

Dalam menguatkan ketahanan sekolah ter­hadap bencana, para guru memerankan fungsi yang sangat krusial. “Peran guru sebagai pendidik sangatlah signifikan. Melalui mereka pengetahuan ten­tang pe­ ngurangan risiko ben­cana tersampaikan kepada sis­wa. Keahliannya dalam sist­em pembelajaran me­ru­pakan fak­tor penting untuk memastikan ke­ber­­hasilan program,” Helda mengungkapkan. Program tentang pengurangan risiko bencana di sekolah ini disambut baik oleh pihak sekolah, dan juga oleh para guru. Secara partisipatif, dengan melibatkan Mikden Salasa, Koordinator Jejaring Guru pelbagai pemangku kepentingan dalam Peduli Bencana. (KELOLA) bidang pendidikan, setiap sekolah mem­ buat rencana aksi sekolah baik dalam bersiaga maupun mengurangi risiko bencana. Para guru memperoleh pelatihan khusus untuk meningkatkan pemahaman dasar tentang kebencanaan. Hasilnya? Julista Lisade mantan Kepala SDN Kalurae, Kecamatan Tabukan Utara yang menjadi sekolah dampingan program, menceritakan pengalamannya “Di saat banjir Desember 2011, sekolah kami menjadi tempat pengungsian. Lokasi sekolah kami yang berada di ketinggian memang cukup memadai sebagai tempat mengevakuasi korban.” Kemudian secara detil, Julista yang kini menjabat Kepala SDN Naha, Kecamatan Tabukan Utara, memaparkan bahwa simulasi bencana yang sebelumnya dilakukan di sekolah benar-benar membawa aksi positif di kalangan guru dan siswa. “Mereka kini memahami hal-hal yang harus dilakukan ketika melihat permukaan air mulai meninggi. Selain tidak lagi panik ataupun takut, mereka segera menyelamatkan barang berharga dan dokumen penting, dan melakukan evakuasi ke titik berkumpul yang telah disepakati. Dan, para guru sigap melakukan tindakan sesuai dengan pentunjuk pelaksanaan yang telah kami buat,” Upaya pengurangan risiko bencana tidaklah berhenti begitu saja. Para guru yang telah menerima pelatihan melalui program ini berinisiatif untuk membentuk sebuah forum komunikasi guru, yang dinamai Jejaring Guru Peduli Bencana Sangihe. Inisiatif pembentukan jejaring guru muncul dalam pelaksanaan lokakarya PRB bagi guru pada tanggal 28 Februari 2009. Sejumlah 22 peserta lokakarya, bersepakat untuk merintis pembentukan jejaring guru dari sekolah-sekolah di Sangihe.


38

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

“Kami merasa perlu adanya sebuah forum untuk menjembatani komunikasi para guru, sehingga secara bersama-sama guru dapat memikirkan langkahlangkah dalam menggalakkan pengurangan risiko bencana di sekolah,” ujar Mikden Salasa, Koordinator Jejaring Guru Peduli Bencana. “Terlebih, kami semua menyadari bahwa sekitar 35% lokasi sekolah berada di lokasi rawan bencana, seperti di lereng gunung dan yang berdekatan dengan sungai,” Ia menekankan Terbentuk di tahun 2009 dengan anggota awal 20 orang, Jejaring Guru Peduli Bencana Sangihe kini telah berkembang. Kini anggotanya berjumlah 120 orang. Para anggotanya yang telah terlatih kini aktif memfasilitasi kegiatan pengurangan risiko bencana ke sekolah-sekolah lain. “Kami melatih dan membina guru-guru di sekolah lain agar mampu memfasilitasi pengembangan kegiatan pengurangan risiko bencana untuk para siswanya. Kami juga merencanakan untuk melakukan pelatihan penyegaran bagi para anggota lama,” sambung Mikden tentang kegiatan Jejaring Guru. Jejaring Guru juga melakukan proses integrasi pengetahuan kebencanaan ke dalam kurikulum melalui penambahan muatan mata pelajaran sekolah dengan menggunakan modul Lingkungan Hidup dan Kesiapsiagaan Bencana. Pengintegrasian ini tidak mengubah kurikulum, tetapi disampaikan melalui mata pelajaran yang telah ada seperti IPA, IPS, dan Pengembangan Diri. Di samping melakukan pelatihan dan integrasi materi kebencanaan ke dalam mata pelajaran, Jejaring Guru Peduli Bencana Sangihe juga aktif dalam melakukan advokasi ke Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sangihe. Advokasi ini telah membawa hasil dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Tim Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana Sangihe. Tim Sosialisasi ini terdiri dari para anggota Jejaring Guru. Sekolah merupakan wilayah strategis dalam meningkatkan ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Kemampuan dan kemauan guru dalam mengusung program kebencanaan berperan besar dalam membangun ketahanan siswa dalam menghadapi bencana. Jejaring Guru Peduli Bencana Sangihe bukanlah bentuk forum diskusi semata. Ia adalah wujud sebuah komitmen untuk membawa teori turun menjejak bumi.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

39

Jaringan Komunikasi Terpadu Sepuluh Desa Kabupaten Lombok Utara

P

ukul 10 pagi, gerimis masih turun di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, ketika Asdianto (39), koordinator tim, tiba di bruga (balaibalai) depan rumah Noviyanti, salah seorang fasilitator masyarakat desa. Mereka sedang bersiap untuk berkoordinasi dengan anggota Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) lainnya. Selama tiga hari terakhir, Asdianto memantau bencana tanah longsor yang memutus sisi timur jalur utama transportasi ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram, ke Kabupaten Lombok Utara. “Sudah dua malam terakhir ini, saya memantau melalui radio Handy Talkie (HT) perkembangan di sana,” ujarnya. Tampak radio genggam terselip di pinggangnya. “Teman-teman TSBD selalu memberikan informasi terbaru perkembangan kejadian bencana tanah longsor” tambahnya. Putusnya jalur berdampak perjalanan warga Desa Bentek baik dari maupun ke ibu kota provinsi harus memutar melalui jalur Senggigi sehingga memakan waktu lebih lama. Bahkan, beberapa pengangkutan terhenti, “Kalau Desa Pemenang Barat di Pusuk longsor, truk besar tronton pengangkut hasil kelapa ladang desa, tidak bisa lewat. Mereka tidak berani jika harus lewat jalur Senggigi karena banyak tanjakan tajam,” jelasnya. Desa Bentek, seperti pada umumnya desa-desa di Kabupaten Lombok Utara berada di daerah perbukitan dengan kontur kemiringan lereng yang tinggi sehingga menjadikannya rawan bencana tanah longsor. Selain itu, desa yang mayoritas penduduknya petani tersebut dibelah oleh Sungai Segara. Hal ini juga menjadikannya rawan bencana banjir. Masrudin (43) warga Bentek yang tergabung dalam TSBD menyampaikan ingatannya tentang banjir bandang terakhir yang meluluhlantakkan pemukiman dan persawahan warga. “Terjadi di tahun 2009, banjir membawa material dan pohon kelapa tercabut dari akarnya,” kenangnya.


40

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Kini TSBD telah 1,5 tahun dibentuk masyarakat bersama Yayasan KOSLATA dan Oxfam dalam Program Membangun Ketahanan terhadap Bencana (Building Resilience). Beranggotakan duapuluh satu orang, tim terlihat solid karena terdiri dari berbagai unsur perangkat desa, seperti kepala dusun, perwakilan pemuda, dan perwakilan perempuan dari anggota posyandu. Demi pengurangan risiko bencana, sebuah sosialisasi kebencanaan secara konsisten dilakukan melalui kelompok tani atau banjar. Kemudian, berlanjut pada simulasi bencana banjir bandang yang dengan antusias diikuti oleh seluruh warga desa. Desa Bentek tidak sendirian, ada sembilan desa lain di Kabupaten Lombok Utara yang melakukan proses demi proses dalam upaya meningkatkan ketahanan terhadap bencana. Desa ini, antara lain; Rente, Bentek, Jenggala, Pemenang Barat, Pemenang Timur, Tegal Maja, Senaru, Mumbulsari, Gumantar, dan Talud. Kesepuluh desa ini memiliki kemiripan permasalahan, dan secara geografis dihubungkan oleh sungai-sungai, baik yang sudah mati atau masih mengalir dalam wilayah pegunungan Rinjani. Demi pengurangan risiko bencana maka penguatan koordinasi mutlak dilakukan. Berdasarkan kajian yang dilakukan, alat komunikasi yang dirasakan paling efektif adalah radio komunikasi genggam (HT). Sistem informasi menggunakan frekuensi radio jauh lebih efektif karena banyak daerah di Kabupaten Lombok Utara yang tidak dijangkau oleh sinyal telepon selular. Sekarang, di sepuluh desa tersebut telah dilengkapi dengan peralatan radio HT. Setelah peralatan radio terpasang, TSBD kemudian mendapatkan pelatihan penggunaan radio dan etika berkomunikasi dari ORARI dan BPBD Provinsi. Hal tersebut ditujukan untuk mendukung mekanisme koordinasi baik antar desa juga dengan badan pemerintah. Tujuh desa bahkan sudah dapat berkoordinasi hingga tingkat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi, sedangkan tiga desa lain masih membutuhkan antena pengarah tambahan untuk memperkuat penerimaan sinyal. Namun ke depan, dengan dukungan pemerintah, pihak BPBD berencana untuk membangun antena pemancar luar agar ketiga desa ini segera dapat berada dalam jangkauan koordinasi juga. TSBD secara rutin melaporkan situasi dan kondisi daerah mereka kepada BPBD Kabupaten Lombok Utara, terutama apabila iklim dan curah hujan meningkat serta berpotensi terjadi bencana banjir atau tanah longsor. Selain itu, penyebaran informasi nontanggap darurat juga tidak ketinggalan, seperti kegiatan penghijauan massal di mata air dan hutan adat.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

41

Koordinasi melalui radio ini terbukti cepat dan efisien. Informasi mengenai bencana di desa sampai ke pemerintah dengan cepat, pun sebaliknya sehingga tanggap darurat dapat segera dilakukan. Selain peristiwa longsor yang dipantau oleh TSBD Bentek, ketika terjadi bencana rob (air pasang) di desa Pemenang Barat, TSBD langsung melaporkan kejadian tersebut ke BPBD Kabupaten Lombok Utara. Kemudian, informasi diteruskan ke BPBD Provinsi. Hasilnya, dalam waktu 1 kali 24 jam bantuan logistik langsung turun ke masyarakat. TSBD yang sigap dan selalu berkoordinasi antardesa membuat BPBD berusaha keras pula mendukung agar koordinasi tidak terputus. Farauq, KOSLATA menyatakan, “BPBD sendiri telah merencanakan untuk membangun antena pemancar untuk menjangkau seluruh area di Kabupaten Lombok Utara ini.� Tidak bisa dipungkiri, sebuah pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat yang terkoordinasikan baik, bisa menjadi sebuah bangunan ketahanan utuh mulai dari tingkat desa sampai wilayah kabupaten.


42

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Tim Siaga Bencana Desa: Penggerak untuk Pengurangan Risiko Desa

“S

ekarang, warga sudah tidak mendirikan kandang ternak atau rumah di tepi sungai. Semua karena mendapatkan penyuluhan dan himbauan dari Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) mengenai Pengurangan Risiko Bencana.� ujar Irati, kepala desa Obel Obel, suatu siang di balai desa. “ Dulu, ketika terjadi banjir tahun 2006, banyak kandang dan perumahan warga hanyut, korban ternak paling banyak di dusun Beburung. Alhamdulillah tidak ada korban jiwa.� kenangnya. Desa Obel Obel berjarak kurang lebih 89 kilometer dari Tanjung, ibukota Kabupaten Lombok Timur, dan terbagi atas empat dusun. Secara geografis berbentuk dataran perbukitan memanjang dari timur ke barat dengan luas 5.641 Ha. Kendati berbatasan dengan gunung Rinjani tetapi juga tidak jauh dari bibir pantai Laut Jawa. Tak pelak lagi membuat desa dengan pemandangan eksotis ini dikategorikan sebagai desa rawan bencana alam. Tahun 2006 terjadi banjir bandang yang merendam pemukiman warga, termasuk areal persawahan siap panen milik warga. Pemukiman yang terendam banjir bandang tersebut khususnya yang berada di bantaran dan terletak lebih rendah dari permukaan sungai Lokok Belek. Banjir umumnya ditandai dengan hujan deras dua sampai tiga hari berturut turut di desa atau di wilayah pegunungan Batu Empak yang tidak jauh dari desa. Jika warna sungai berubah kecoklatan, warga akan segera tahu banjir telah mengancam. Banjir biasanya terjadi sekitar bulan DesemberMaret setiap tahunnya. Dan berdasarkan pengalaman, air akan menggenang selama 2-7 jam. Namun, di beberapa dusun air bisa bertahan hingga tujuh hari.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

43

Difasilitasi oleh KONSEPSI dan Oxfam dalam kerangka program Membangun Ketahanan Masyarakat, TSBD dibentuk dengan beranggotakan 20 orang dari warga, tokoh masyarakat, dan aparat desa. Sejak terbentuk tahun 2010, tim ini secara rutin melakukan sosialisasi dan simulasi bencana yang melibatkan warga desa, khususnya masyarakat rentan yaitu orang tua, perempuan, dan anak anak. Irati menuturkan bahwa setelah simulasi bencana di desa dijalankan, ada perubahan signifikan yang terlihat.� Sekarang, masyarakat sudah paham bagaimana melakukan tindakan menyelamatkan diri ketika terjadi banjir.� ungkapnya. Dia menambahkan bahwa TSBD juga menggerakkan masyarakat untuk kembali menanam pohon, khususnya tanaman keras. Kegiatan sosialisasi PRB oleh TSBD Obel Obel terus dilakukan secara ajeg. Sekarang, dalam perkembangannya, jumlah anggota TSBD ini meningkat menjadi 25 orang. Mereka pun kerap berbagi tugas untuk melakukan penyuluhan di berbagai tempat dan kegiatan desa. �Selain ke perkumpulan masyarakat, kami juga masuk ke sekolah-sekolah dan POSYANDU.� Dedi, salah satu anggota TSBD menerangkan. Lebih jauh TSBD berhasil memasukkan mitigasi struktural menjadi bagian dari program rencana aksi desa untuk pengurangan risiko bencana. Di desa Obel Obel misalnya, dengan semangat gotong royong tinggi, pembuatan bronjong sepanjang 500 meter untuk memperkuat bantaran sungai desa dibangun secara swadaya. Sementara di Desa Belanting, salah satu permasalahan terbesarnya adalah pengadaan air bersih. Masyarakat desa menggunakan Sungai Salud sebagai sumber utama air bersih. Jika musim hujan dan banjir, air sungai keruh dan kotor sehingga tidak dapat dikonsumsi masyarakat. Atas kebutuhan mendesak ini, TSBD menggagas pembangunan bak penampungan air dengan kapasitas 5 ribu liter. Bak ini akan digunakan masyarakat sebagai penampungan air bersih yang dikirim oleh Pemerintah daerah, sehingga air bersih dapat dikonsumsi bersama. Paham bahwa ada salah satu dusun di desa yaitu dusun Kokok Nangka, tidak terjangkau air bersih, maka dilakukan juga program pipanisasi sepanjang 1,5 km. Sebenarnya ada mata air di daerah atas desa, sehingga air ini dialirkan ke 350 kk di dusun tersebut. Ini didanai dengan dana small grant dari program, ditambah swadaya masyarakat. Tidak hanya menjadi penggerak desanya masing masing, TSBD juga membantu desa di sekitarnya baik tanggap darurat maupun kegiatan pengurangan risiko bencana. Mawardi, koordinator TSBD Desa Belanting menyampaikan bahwa timnya membantu desa Sugian ketika terjadi banjir


44

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

diawal tahun 2010 lalu. “Ketika diawal tahun 2010 Desa Sugian terkena banjir, tim dari sini berangkat untuk membantu evakuasi,� ujarnya. Desa Sugian adalah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Belanting bagian timur. Untuk membantu kerja tim, pihak desa kemudian mengeluarkan Surat Keputusan desa yang kemudian diteruskan ke pemerintah kecamatan dan kabupaten. Subhan, Fasilitator Masyarakat dari KONSEPSI menyampaikan bahwa gerakan TSBD telah berkelanjutan. Sekarang tim yang solid ini turut memberikan rekomendasi terhadap proses pembangunan infrastruktur desa yang lebih sadar bencana. “Perwakilan TSBD selalu ikut di pertemuan desa untuk menentukan prioritas pembangunan desa,� jelasnya. Tim Siaga Bencana Desa adalah hasil nyata proses berdemokrasi dimasyarakat. TSBD juga merupakan bentuk pengabdian dan partisipasi masyarakat dalam membangun ketahanan secara mandiri untuk daerahnya. TSBD adalah wadah informasi dan koordinasi warga desa untuk pengurangan risiko bencana. Karena pada akhirnya, warga desalah yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di daerahnya.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

45

Bala? Sa Sudah Tidak Takut Lagi! *Bala: Bencana

S

ekolah Dasar Inpres 1 Rite itu berjarak tidak sampai 50 meter dari bibir Sungai Kole yang mengalir deras di batas Desa Kole, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Bangunan sekolah berbentuk bagaikan terasering sawah dengan tangga batu menghubungkan tiga tingkatnya, terasa begitu menyatu dengan alam. Bahkan dari belakang bangunan, perbukitan pun tampak dekat. Dari Ibukota Kabupaten Bima untuk mencapai Desa Kole diperlukan waktu dua jam melewati jalan berkelok nan curam di pegunungan bebatuan keras. Disini, bencana, terutama banjir, bukan sesuatu yang langka. Setiap tahun desa ini menjadi langganan banjir yang biasanya diawali oleh hujan deras di bagian hulu sungai. Bencana banjir bandang terbesar yang meluluhlantakkan persawahan dan pemukiman warga desa, terjadi pada tahun 2006. Rafiq, salah seorang tenaga pengajar di sekolah menyampaikan betapa masyarakat sangat panik dan tidak tahu harus berbuat apa. “Kejadiannya sekitar pukul tiga pagi. Sebelumnya, hujan deras turun dua hari berturut turut” ujarnya lirih mengenang peristiwa. Tidak hanya banjir saja yang dialami, tetapi juga gempa bumi. Gempa bumi terakhir di Kabupaten Bima terjadi bulan November 2009 silam. Getarannya mengguncang Desa Kole dan membuat masyarakat panik. “Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan,” Kepala Sekolah Anwar bercerita. Nawir (11), siswa kelas VI pun masih ingat ketika terjadi gempa bumi tiga tahun silam. “Mama teriak epu epu na’atta (gempa besar gempa besar)!” ceritanya dengan suara perlahan. Mereka sekeluarga bersembunyi di kolong tempat tidur, setelah gempa mereda, baru lari ke jalan desa. “Saya menangis terus malam itu,” kenangnya.


46

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Program Membangun Ketahanan terhadap Bencana (Building Resilience) untuk Pengurangan Risiko Bencana pun kemudian digagas oleh Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) bekerjasama dengan Oxfam untuk masyarakat Kabupaten Bima. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah menjadikan sekolah mampu mengelola risiko bencana di lingkungannya. Di sekolah yang berjumlah 149 siswa dengan tujuh tenaga pengajar ini misalnya, berbagai kegiatan telah dilakukan untuk memberikan bekal pengetahuan kebencanaan kepada siswa maupun perangkat sekolah. Salah satunya diadakan simulasi bencana banjir dan gempa bumi. Ilham (11), menyampaikan pengalamannya mengikuti simulasi bencana banjir di desanya. “Kami simulasi banjir di dekat jembatan desa. Ada yang jadi korban lalu diangkat pakai tandu ke tenda,� jelasnya dengan suara lantang. Siswa kelas VI yang bercita cita menjadi dokter ini lalu menambahkan pentingnya belajar tentang kesiapsiagaan bencana. “Untuk mengetahui cara menghindari bencana,� teriaknya lantang. Simulasi membuat anak-anak mudah memahami apa dan bagaimana jika bencana terjadi. Selain itu sebagai pengingat, berbagai poster menarik tentang pengurangan risiko bencana banjir dan gempa bumi, dipampang di dinding sekolah. Tidak hanya melakukan simulasi, pelatihan pengintegrasian unsurunsur pengurangan risiko bencana kepada tenaga pengajar pun dilakukan. Hasilnya, guru dapat menyisipkan isu pengurangan risiko bencana dalam mata pelajaran yang diampunya. Sekarang, Ilham dan teman temannya dapat memperoleh pengetahuan tentang jenis bencana, penyebab terjadinya

Murid-murid sedang mendapatkan pelatihan bagaimana cara berlindung yang baik jika terjadi gempa. (LP2DER)


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

47

bencana dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Bahkan dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) simulasi bencana kecil-kecilan diulang. Pun tidak berhenti sam­ pai di situ, kegiatan PRB diintegrasikan dalam kebijakan sekolah. Langkah selanjutnya Anwar melakukan pendekatan kepada komite sekolah agar Kegiatan simulasi bencana di Sekolah Dasar Inpres 1 Rite, kegiatan PRB dapat di­ma­suk­ Desa Kole, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, NTB. Siswa kan dalam Rencana Ang­garan membuat tandu darurat. (LP2DER) Pengeluaran dan Belanja Sekolah (RAPBS). Bak penampungan air setinggi tiga meter yang berada di sisi timur bangunan utama sekolah adalah salah satu bukti kebijakan sekolah yang sadar bencana. Pendidikan kebencanaan sejak dini memang adalah pendekatan awal penciptaan upaya PRB yang sangat efektif. Ilham menjelaskan, ”Kalau di kelas, bersembunyi di bawah meja. Lalu lari menuju ke lapangan depan sekolah.” Dengan semangat ia menambahkan, “Kalau di rumah, bersembunyi di bawah tempat tidur lalu lari ke halaman rumah.” Informasi ini tentu akan dibagi pada anggota keluarga yang lain dan pada akhirnya akan dibawa hingga usia dewasa. Kini, Ilham dan Nawir serta teman temanya sudah tidak takut lagi terhadap bencana. Mereka dengan mudah dapat menunjukkan tempat aman di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah baik ketika terjadi gempa maupun banjir. Ayo kita siaga! Kalau kita siaga, pasti tak takut lagi!


48

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

LP2DER Mendorong Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Penanggulangan Bencana Kabupaten Bima

K

abupaten Bima merupakan salah satu dari 10 kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap dampak bencana alam. Terletak di jalur patahan lempeng Australia, kabupaten dengan jumlah penduduk lebih dari 430.000 jiwa ini dapat dikategorikan sebagai daerah rawan gempa tingkat tinggi. Warga Desa Nipa, Kecamatan Ambalawi adalah saksi nyata betapa gempa besar berkekuatan 6,8 SR yang menghantam daerah mereka pada November 2009 meluluhlantakkan desa. Tidak hanya gempa, Kabupaten Bima juga rawan terhadap bencana banjir bandang. Desa Rite pun pernah menjadi korban banjir bandang yang menghanyutkan perumahan warga. Pada akhir bulan Desember 2010, Badan Penanggulangan Bencana Daerah resmi di bentuk oleh pemerintah Kabupaten Bima. Namun, beberapa pihak menilai bahwa pembentukan badan resmi pemerintah yang bermandat terhadap upaya penanggulangan bencana ini dianggap belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan penanggulangan bencana di daerah. Pada berbagai kejadian bencana di kabupaten ini, terlihat masih perlu peningkatan koordinasi, kebersamaan, dan kesamaan langkah dalam menghadapinya. Oleh karena itu, Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) bekerja sama dengan Oxfam dalam kerangka Program Membangun Ketahanan terhadap Bencana kemudian memfasilitasi perumusan rancangan Peraturan Daerah (PERDA) Penanggulangan Bencana di Kabupaten Bima. Tim perumus draft ini terdiri dari perwakilan BAPPEDA, LP2DER, Bagian Hukum Setda, BPBD, Akademisi, dan Praktisi hukum independen.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

49

Gagasan penyusunan rencana PERDA Penanggulangan Bencana mulai digaungkan sejak pemerintah daerah memasukkan unsur penanggulangan bencana ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bima tahun 2010. “Masalah penanggulangan bencana dimasukkan ke dalam dokumen RPJMD Kabupaten Bima dan hal ini merupakan sejarah baru dalam hal penanggulangan bencana di daerah,� kata Bambang Yusuf, Direktur LP2DER. Dalam rencana peraturan daerah ini, memuat berbagai pasal mengenai sistem penanggulangan bencana. Salah satunya adalah bagaimana peran serta masyarakat dan lembaga dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Bahkan, di pasal 63 ayat 4 tercantum perihal perlunya mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi melalui organisasi yang ada di desa, yaitu Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Tersedianya peraturan daerah penanggulangan bencana ini diharapkan akan dapat mengefektifkan koordinasi antar-Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD). Sebelumnya, dalam mengatasi permasalahan penanggulangan bencana berbagai dinas melakukannya secara sporadis, tidak terkoordinasi antardinas dan membuka peluang terjadinya tumpang tindih anggaran. Perda ini juga diyakini dapat membantu proses transparansi dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan anggaran dan kerja sama dalam penanggulangan bencana. Di awal penyusunannya, tantangan yang dihadapi adalah di beberapa bagian terdapat konflik antarperaturan dan kelembagaan di daerah serta adanya anggapan bahwa penyelenggaraan peraturan daerah untuk penanggulangan bencana belum merupakan kebutuhan. Namun sekarang, pro-kontra tersebut sudah mulai mencair. “Adanya konsultasi publik rancangan peraturan daerah penanggulangan bencana dan naskah akademik kabupaten bima yang dilaksanakan pada 17 september 2011 lalu merupakan satu langkah maju dalam rangka penanggulangan bencana,� ungkap M Yamin, Manajer Program Pengurangan Risiko Bencana LP2DER. Dalam upaya membangun sistem Penanggulangan Bencana secara integral ini, LP2DER lalu mendorong upaya konsultasi publik yang menghadirkan berbagai lapisan masyarakat, seperti kepala desa daerah rawan bencana, BMKG, SAR, camat, dan pers. Hal itu dilakukan agar publik dapat memberikan saran terkait isi dari Rancangan Peraturan Daerah Penanggulangan Bencana yang telah disusun oleh tim perumus. Konsultasi publik ini pula dijadikan satu wadah bersama guna penyempurnaan


50

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

rancangan peraturan daerah tersebut untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima. LP2DER menyadari bahwa konsultasi publik terhadap sebuah rancangan peraturan daerah bukan merupakan akhir dari sebuah proses dalam mendorong komitmen bersama terhadap penanggulangan bencana. Melakukan sosialisasi isi Perda tersebut adalah tantangan berikutnya yang harus dilaksanakan segera setelah Raperda tersebut disetujui oleh tingkatan legislatif. Tentunya oleh semua pihak yang terkait dan berkomitmen untuk memberi perlindungan kepada masyarakat. Kini dalam perjalanannya, proses penetapan peraturan daerah ini telah tiba pada dengar pendapat dengan Komisi III DPRD Kabupaten Bima. Tinggal selangkah lagi untuk penanggulangan bencana yang lebih baik di kabupaten Bima. Terbukti, keterlibatan masyarakat yang aktif adalah sebuah dorongan yang kuat untuk menciptakan ketangguhan dalam menghadapi bencana.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

51

Sekolah dan Masyarakat Samabusa: Fondasi Bangunan Ketahanan Bersama

H

ati-hati kalau ada gempa! Kawan-kawan jangan dulu berlari Taruh tas di kepala

Berlindung di bawah meja Hati-hati kalau ada gempa! Tepuk tangan tiga kali penuh semangat mengiringi setiap akhir syair lagu, sehingga menciptakan ritme yang rancak. Selanjutnya, teriakan yel-yel yang bergaya ceria anak-anak menjadi penutupnya. Ada panik.

gempa?

Seharusnya

jangan

Cari tempat yang aman. Yes! Waspada gempa? SD Siloam gitu loh. Yang lain? Enggak deeeh.. Siswa-siswi SD YPBI Siloam, Kampung Samabusa, Distrik Teluk Kimi, Nabire Barat, bukan hanya hafal irama dan syair lagu tersebut, tetapi juga paham betul maknanya. Tinggal di wilayah rawan bencana menjadikan Cindy Elisabet, siswa kelas VI ini sejak kecil sudah kenal gempa. Salah

Cindy Elisabeth, siswi kelas enam. (Amalia Soemantri untuk Oxfam)


52

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

satu pengalamannya itu ia ceritakan dengan polos, ”Waktu itu sedang dudukduduk di teras rumah, ketika tiba-tiba goncangan datang, kami langsung lari ke dapur. Semua barang jatuh, kaki saya terluka. Akhirnya, sekeluarga lari keluar rumah.” Saat itu, ia belum tahu cara menghadapi gempa. Ketidaktahuan ini tercermin juga pada sebagian besar siswa-siswi sekolah. Petrus Pali, Kepala Sekolah Dasar YPBI Siloam menyatakan kalau ada goyangan gempa anak-anak lari tabrak sana, tabrak sini, sembarangan, tidak tahu harus lari ke mana. Tetapi kemudian, ia menuturkan sebuah perubahan yang terjadi sejak akhir 2011. “Setelah simulasi bencana, sekarang mereka jadi tahu harus lari ke mana dan harus bagaimana jika gempa terjadi,” ujarnya. Secara konsisten, sosialisasi ke­bencanaan di SD Siloam dilakukan pada 157 muridnya. Ini merupakan bagian dari program Sekolah Siaga Bencana (SSB) kerja sama Kon­sorsium Masyarakat Papua untuk Kemanusiaan (KOMPAK) dan Oxfam. Salah satu kegiatan utamanya adalah menggelar simulasi bencana dengan melibatkan seluruh siswa, guru, dan perangkat sekolah. Saat simulasi berlangsung, wa­lau­pun mempraktikkan kondisi darurat, anak-anak melewatkannya denga­n keceriaan. Ketika bel sekolah dibunyikan beruntun sebagai pertanda dan terdengar teriakan “Gempa! Gempa!” seluruh siswa serentak segera berlindung di bawah meja. Setelah gempa mereda, cepat, tapi tertib dengan tas di atas kepala, mereka berlari keluar kelas menuju titik aman, tidak ada lagi saling tabrakan. Dalam hitungan menit setelah tanda gempa dibunyikan, mereka telah duduk ber­

Simulasi SD YTBI, Siloam Samabusa. (Kompak)


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

53

kumpul di lapangan terbuka, sebagai tepat aman yang sudah ditentukan. Sejalan dengan kesiapsiagaan di sekolah, di masyarakat upaya serupa juga digalakkan. Tim Siaga Kampung (TSK) Samabusa berkoordinasi dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat, bergerak melakukan kajian risiko, ke­ rentanan dan kapasitas. Langkah beri­ kut, untuk menyosialisasikannya di ma­ syarakat, sebuah simulasi dengan skala yang lebih besar daripada simulasi di sekolah pun digelar. Simulasi ini melibatkan semua warga, instansi dan tak ketinggalan semua sekolah di Kampung Samabusa. Bagi murid SD YPBI Siloam, ini adalah Abednego Matolessy, siswa kelas lima. (Amalia simulasi bencana ulang­an, jadi tentu saja Soemantri untuk Oxfam) mereka sudah lebih paham caranya. Karena itu, siswa-siswi ini dijadikan agen-agen yang “disusupkan” di setiap rumah warga Samabusa. Mereka ditempatkan secara random. Karena Samabusa adalah kampung mereka sendiri serta sebagian besar sudah saling mengenal, proses pertukaran informasi menjadi lebih luwes. Abednego Matolessy siswa kelas V ke bagian rumah temannya yang beranggotakan bapak, ibu, dan dua orang anak. “Nanti kalau ada gempa, jangan langsung lari. Berlindung dulu di bawah meja, taruh tas di kepala. Kalau gempa sudah reda baru lari ke lapangan,” demikian yang ia pesankan kepada keluarga itu. “Anak-anak itu bikin orang tua lebih bersemangat. Mereka tahu lebih dulu di sekolah dan kemudian mengajari bagaimana menyelamatkan diri, kalau gempa nanti begini-begitu. Orang tua jadi merasa lucu,” ujar Mama Rebeka, koordinator TSK Samabusa dengan tawa yang renyah mengenang hal itu. Simulasi di kampung yang dilaksanakan tanggal 19 November 2011digarap sangat serius. Semua tahap-tahapnya dijalankan dengan tertib, termasuk pertolongan pertama kegawatdaruratan untuk membantu jika ada korban. Tak ketinggalan dapur umum, sebagaimana layaknya masa darurat, dapur umum didirikan. Bahan makanan dimasak dan dikonsumsi bersama, walau kali ini untuk peserta simulasi.


54

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Mama Rebeka, koordinator tim siaga Desa Samabusa.(Amalia Soemantri untuk Oxfam)

Kerja sama masyarakat kampung Samabusa dan lembaga pendidikan tidak hanya berhenti pada simulasi. Langkah integrasi pun dilanjutkan dengan implementasi Rencana Aksi Sekolah (RAS) berupa pembuatan Penampungan Air Hujan (PAH) dengan kapasitas 1.100 liter dan pembuatan 8 kran air di SD YPBI Siloam. PAH selain bisa dimanfaatkan pihak sekolah untuk menjamin ketersediaan air bersih di masa aman, nantinya akan sangat bermanfaat untuk seluruh Kampung Samabusa di masa darurat. SD YPBI Siloam diidentifikasi sebagai tempat evakuasi yang mudah dijangkau jika bencana terjadi. Maka pada saat kritis dan masyarakat mengungsi ke sekolah ini, sarana air bersih akan mudah didapat. KOMPAK dan Oxfam menjadi saksi bahwa sebuah kombinasi utuh gerakan masyarakat mengurangi risiko bencana telah terbentuk. Lembaga pendidikan menciptakan pion-pion yang sadar bencana, sementara secara paralel masyarakat paralel menciptakan lingkungan kampung yang siaga. Tak pelak lagi, inilah sebuah fondasi bangunan ketahanan bencana masyarakat yang kokoh.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

55

Ketika Emas “Membanjiri” Kampung-Kampung di Nabire Barat

S

iang itu di sebuah kedai tempat penjualan emas di Topo, Distrik Uwapa, sejumput emas ditimbang. “2.8 gram ya,” ujar sang pembeli. Setelah harga disepakati, emas pun dibayar. Sang Penambang emas merasa puas dengan uang di tangannya lantas beranjak pergi. Ia berharap esok akan lebih banyak lagi emas yang didapatkan dari hasil berjibaku dengan tanah dan lumpur di bukit-bukit di sepanjang hulu sungai Kalibumi. Sementara itu, ekspresi wajah yang kontras dengan sang penambang yang puas terlihat pada anggota gabungan Tim Siaga Kampung (TSK) lima kampung di Nabire Barat. Mereka mengkhususkan datang ke wilayah Topo bukan untuk ikut menggali tanah dan menambang emas, melainkan untuk menggali akar permasalahan bencana banjir yang terus menerus terjadi dan merusak di wilayah kampung-kampung sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Kalibumi.

Beti Fiolita, anggota TSK Bumi Raya. (Amalia Soemantri untuk Oxfam)

“Bergidik melihat bukit setinggi 8 meter dikikis habis dengan cara disemprot air, lumpur berwarna coklat mengalir ke sungai. Pohon-pohon tumbang terbawa air dan menumpuk di bendungan,” ujar Ibu Marike anggota TSK Waroki.


56

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

“Jika ini tidak ditangani, mungkin suatu saat nanti bendungan tidak dapat bertahan dan akan jebol menerjang habis kami yang berada di bawahnya,” gumam Ibu Beti Fiolita, anggota TSK kampung Bumi Raya yang kampungnya berjarak 6,5 km dari bendungan. Bendungan Kalibumi dengan luas areal 6.400 ha, didirikan pada 1996 dengan maksud untuk melancarkan sistem irigasi di wilayah Distrik Nabire Barat. Tetapi, sejak tahun 2006 bendungan ini malah menjadi ancaman bagi lima kampung yang berada di bawahnya karena banjir menjadi lebih sering menyatroni mereka. Terjangan banjir tidak hanya merusak sawah warga, tetapi juga menggenangi pemukiman. Lima kampung tersebut secara berurutan Anton Suparno, ketua TSK Bumi Raya. (Amalia Soemantri untuk Oxfam) adalah Bumi Raya, Wadio, Gerbang Sadu, Kalisemen, dan Waroki. Kampung terakhir, yaitu Waroki berada di tepi laut dan berjarak 13 km dari bendungan. Banjir terjadi selain karena curah hujan tinggi dan sistem drainase yang kurang baik, disinyalir penyebab utamanya adalah pendangkalan bendungan karena penumpukan kayu dan lumpur. Dalam peninjauan bersama TSK ke bendungan Anton Suparno, Ketua TSK Bumi Raya mendapati fakta tersebut dari pengukuran langsung di satu sisinya, ”Lihat, kedalamannya sekarang tidak lebih dari 40 cm.” Ia menunjukkan ranting yang dicelupkan dalam air dan saat itu ia duduk di atas tumpukan kayu. ”Padahal, kedalamannya seharusnya 11 meter. Di bawah ini, kayu dan lumpur menumpuk dan mendangkalkan bendungan.” “Di Waroki, laut kami pun sudah tidak lagi berwarna biru jernih, tetapi bercampur warna coklat karena banyaknya lumpur,” Mama Paulina Ketua TSK Waroki menambahkan. Aktivitas pendulangan emas yang dilakukan masyarakat di Topo, hulu Sungai Kalibumi, membawa sedimen lumpur ke bendungan. Hal ini sekaligus juga membawa bangkai-bangkai pohon dari kecil sampai yang besar melalui aliran sungai dan bermuara di bendungan. Sepanjang mata memandang, bendungan tak ubah layaknya sebuah kubangan air besar berwana coklat penuh dengan batang-batang pohon yang berserakan.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

57

Kunjungan TSK lima kampung ini sebenarnya untuk mencari akar permasalahan banjir dalam rangka kajian kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana di wilayah kampung. Karena terhubung oleh aliran permasalahan yang sama, mereka kemudian mengokohkannya menjadi satu aksi bersama. Dengan difasilitasi oleh KOMPAK dan Oxfam berbagai permasalahan kebencanaan dirinci dan sebuah Rencana Aksi Masyarakat (RAM) dalam pengurangannya pun disusun dan diimplementasikan. Melihat fakta yang ada, sebuah aksi besar berupa pembersihan bangkai pohon di bendungan dan perawatannya menjadi salah satu RAM bersama yang harus segera diwujudkan. Ini sebuah aksi besar yang tentu saja tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi membutuhkan keterlibatan pemerintah. Untuk itu, masyarakat memutuskan mendatangi dinas terkait memaparkan kondisi yang mereka hadapi dan mendorong tindakan nyata sesegera mungkin dari pemerintah. “Bapak, kami di kampung-kampung sekitar bendungan ini setiap kali hujan terjadi banjir. Karena banjir itu pengaruh dari bendungan yang dangkal, bagaimana jika bendungan itu dibersihkan? Kayu-kayu bahkan lumpur dibersihkan sehingga air dapat lancar. Kami takut seperti kejadian banjir bandang di Wasior dulu, kalau bendungan sudah tidak kuat dan jebol, air akan turun menerjang habis kampung kami,” begitu pernyataan jujur Mama Paulina dalam kunjungannya bersama Ibu Beti Fiolita dan Ibu Marike, pada saat mereka bertindak sebagai perwakilan warga dalam dialog dengan Bupati, kepala dinas BMKG, BPBD, Dinas PU, dan BAPPEDA. Niat kuat para ibu anggota TSK dengan mengetok pintu demi pintu instansi dinas yang berwenang untuk menyelamatkan kampung me­­reka membuahkan ha­sil berarti. Tarik ulur per­ masalahan perawatan ben­ dungan antara pemerintah propinsi dan daerah ter­ nyata menjadi penyebab ter­­tundanya proses pember­ sihan bendungan. Tiga bu­ lan setelah TSK datang ke­­­empat istansi terkait bah­ kan sampai ke Bupati dan mengungkapkan bahwa ter­ tun­danya pembersihan ber­ arti meletakkan keselamatan lima kampung sebagai ta­ ruhannya, pe­me­rintah dae­ Mama Paulina, Ketua TSK Waroki. (Amalia Soemantri untuk Oxfam)


58

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Sungai Kalibumi (Amalia Soemantri untuk Oxfam)

rah pun bertindak. Pemerintah daerah menu­run­kan dana untuk suku Mee pemilik hak ulayat wi­layah bendungan untuk mem­ber­sihkan bendungan dan me­ngawasi proses pem­bersihannya agar sesuai de­ngan target. “Setelah bendungan di­ber­­sihkan walaupun hu­jan selama 2–3 hari kami masih tenang. Tidak seperti sebelumnya, hujan satu ha­ri satu malam sudah pa­nik karena banjir pasti da­tang. Kami senang karena tanah di dekat sungai lumayan kering dan bisa untuk tanam singkong,” cerita Ibu Paulina sambil bersantai di halaman rumahnya yang teduh dinaungi pohon. Kini, lima kampung yang berada di DAS Kalibumi sudah dapat bernafas lega. Sembari terus menjalankan RAM di kampung masing-masing, mereka saling berkoordinasi untuk tetap menyatukan aksi. Tidak berhenti sampai situ, warga meminta pengawasan bendungan Kalibumi diperketat sehingga dapat segera dibersihkan setiap kali ada bangkai kayu lagi. Masyarakat DAS Kalibumi sadar, walaupun mereka tidak bisa menghentikan pendulangan emas di hulu sungai karena tidak memiliki wewenang, mereka tetap bisa meminimalisasi dampaknya. Ini merupakan satu langkah besar aksi PRB secara bersama. Terbukti, masyarakat di Nabire Barat ini telah mampu memberikan tenaga dorong yang tangguh untuk kebijakan pemerintah sadar bencana di daerahnya.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

59

Peta Risiko Bencana Provinsi Papua, Instrumen Utama Menghadang Bencana Partisipasi Aktif Masyarakat dan Perjalanan Pemetaan

O

xfam bekerja sama dengan mitra-mitranya juga dengan pemangku kepentingan lainnya, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan juga jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya dalam memetakan risiko bencana di Provinsi Papua. Berikut pengalaman para pelaku pemetaan, penuh pastisipatif masyarakat itu bercerita. Partisipasi Aktif Masyarakat dan Perjalanan Pemetaan Rakit bambu tradisional pesanan tim pemetaan telah disiapkan warga di Kampung Yalengga sebagai titik awal perjalanan menyusuri Sungai Baliem. Wahana yang menantang, tetapi paling praktis ini akan membawa tim pemetaan gabungan Oxfam, Yayasan Tali sebagai mitra lokal, dan staf Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengarungi jeram, menjelajah kampung-kampung di tepian sungai Baliem. Perjalanan tersebut untuk mendapatkan gambaran utuh pemetaan titik demi titik rawan bencana di Kabupaten Jayawijaya. Tak surut oleh kondisi alam yang sulit, diawali dari bolakme (hulu) hingga kurima (hilir), kampung demi kampung pun secara mendetail dicatat kerentanan, risiko, dan kapasitasnya. Lembah Baliem selama ini dikenal sangat rawan bencana banjir. Warga kampung tepian sungai Baliem pun secara aktif mengidentifikasikan kondisi di kampung masing-masing. Mereka, sebagai insan yang telah punya ikatan erat dengan alam dan semua gejalagejalanya menjadi narasumber kunci. Setiap melihat ada kampung, kami menyandarkan rakit dan bertemu dengan warga. Fredy Chandra, Program Officer Oxfam, menuturkan kisah­ nya, “Di kampung Holasisi contohnya, dari seorang Mama didapatkan


60

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

informasi bahwa tinggi banjir dapat mencapai dua meter untuk daerah 0–100 meter dari pinggir sungai dan mencapai setengah meter untuk daerah 100– 500 meter. Ini artinya, seluruh pemukiman dan 90 persen dari kebun warga tergenang banjir.” Tim mencermati fakta yang dipaparkan warga, seperti tentang batasbatas banjir dan berapa lama banjir menggenangi pemukiman mereka. Selain informasi lisan, tim meminta warga untuk membantu menandai titiktitik aset penting, seperti jembatan, hosili (kumpulan rumah dalam kampung), dan kebun. “Kami memperlihatkan lembaran peta dasar lapangan, kemudian warga menunjukkan lokasi keberadaan aset-aset tersebut,” ujar Fredy menerangkan. Semua informasi tersebut dimasukkan ke dalam sebuah peta seutuhnya dari hulu hingga hilir Lembah Baliem. Proses pemetaan risiko banjir Lembah Baliem total dilakukan selama sepuluh hari, dua hari dengan menggunakan rakit, sisanya dengan berjalan kaki menyusuri seluruh bagian kiri kanan Sungai Baliem. Kabupaten Jayawijaya bukan satu-satunya target, dua kabupaten lain, yaitu Nabire dan Manokwari, juga ditelaah secara mendetail oleh tim pemetaan dengan komposisi anggota yang kurang lebih sama. Hendrik Leopatty, staf BMKG sebagai anggota tim pemetaan di Manokwari menuturkan dalam perjalanan di lapangan selama empat hari, ia juga mendapatkan banyak masukan dari warga. Kabupaten Manokwari rawan akan bencana gempa bumi dan tsunami terutama di daerah pesisir pantai.

Seorang warga menunjukkan batas ketinggian air saat banjir Sungai Baliem (Oxfam).

“Kami menyisir sekitar 80 persen kampung di tepi pantai Kabupaten Manokwari. Di bebe­rapa kampung, ka­ mi mendapat sam­butan ha­ ngat,” de­ngan antusias ia me­nambahkan. “Ter­nya­­ta, me­­re­­ka te­lah me­miliki kajian ri­siko masing-masing. Me­reka me­nun­­jukkan ja­­lur evakuasi dan ram­­­bu-rambunya. Di­­­tam­ bah, mereka pu­nya sis­­tem peringatan dini tradisional dari lon­­ceng se­derhana. Mereka pun melakukan si­mulasi jarak tempuh dari de­kat pesisir


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

61

ke lokasi evakuasi. Kami melakukan uji coba dan ternyata tidak meleset,� katanya lagi. Tim pemetaan yang di Manokwari beranggotakan Oxfam, Yayasan Perdu sebagai mitra lokal, dan Hendrix Leopatty sebagai perwakilan BMKG menyusuri kampung di Manokwari Timur dan Utara. Di setiap kampung, sama seperti di Kabupaten Jayawijaya, warga menjadi narasumber kunci dan keberadaan tim siaga kampung menunjukkan peran aktifnya. Tak berbeda dengan proses pemetaan di dua kabupaten lain, Tim Pemetaan di Nabire yang terdiri atas Kompak, Primary (jaringan LSM), Oxfam, dan BPBD Nabire, mendapatkan kondisi partisipasi warga yang aktif pula. Ancaman di kabupaten ini adalah bencana gempa dan tsunami. Selanjutnya, tim pun mengkaji dan mengolah semua data yang telah terkumpul dari semua kampung target menjadi sebuah rangkuman besar Pemetaan Tingkat Risiko Bencana Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang mendetail. Tentu saja dengan tipe bencana sesuai dengan kondisi masing-masing kabupaten. Untuk Kabupaten Jayawijaya tingkat risiko terhadap banjir, sementara Kabupaten Nabire dan Manokwari tingkat risiko terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Advokasi Forum PRB Papua dan Pemaparan Peta Risiko Bencana Sementara itu, secara paralel Forum Pengurangan Risiko Bencana tiap kabupaten diinisiasi. Di tiap kabupaten kerja sama multipihak antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dikerucutkan pada penyadaran PRB dalam berbagai kebijakan. Tingkat provinsi pun tidak mau tertinggal. Pada tingkat ini, Oxfam bekerja secara erat dengan KIPRA dan melakukan serangkaian pertemuan dengan multipihak untuk mendorong terbentuknya forum PRB Papua. Koordinasi dan advokasi di tingkat pemerintahan melalui SKPD dan lembaga pemerintah terkait terus dilakukan. Forum PRB Papua akhirnya dideklarasikan pada bulan Oktober 2011 dalam Kongres I dan disepakati esensi forum PRB ini sebagai mekanisme koordinasi yang memberikan dukungan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah tingkat propinsi. Selain KIPRA dan Oxfam sebagai penggerak utama, Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses ini BPBD, BMKG, Dinas Pendidikan, Dinas Kesejahteraan Sosial, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda), Dinas Kesehatan, Palang Merah Indonesia (PMI), Radio Republik Indonesia (RRI), beberapa lembaga PBB, lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik lokal maupun internasional, seperti World Vision, Jaringan Kristen untuk Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK),


62

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

dan perusahaan asing.

swasta

“Fungsi forum adalah konsolidasasi dan koordinasi untuk mengawal kebijakan. Forum bermitra dengan BPBD provinsi,” tutur Markus Kajoi, Direktur KIPRA yang sekaligus Ketua Forum PRB. “Yang ki­ta ke­jar adalah peru­bahan pola pikir di level pemerintahan dan orga­ni­sasi Tim pemetaan risiko bencana partisipatif di Nabire (Oxfam). masyarakat sipil agar dalam perencanaan-perencanaan pemba­ngun­an selalu terinteg­ra­si dengan PRB. Dengan demikian, konsep PRB ini menjadi milik banyak pihak,” sambungnya. Kongress Forum PRB I yang dilaksanakan pada tanggal 27–28 Oktober 2011 di Jayapura ini melibatkan 84 peserta yang mewakili 56 lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Selain deklarasi Forum PRB, digelar juga serangkaian seminar dan diskusi dengan topik Pengurangan Risiko Bencana. Dalam salah satu sesinya adalah pemaparan Peta Risiko Bencana Papua dan Papua Barat oleh tim pemetaan, yaitu Oxfam dan staf BMKG ini meliputi Kabupaten Nabire, Jayawijaya, dan Kabupaten Manokwari. Dalam paparan tersebut, gamblang tergambar wilayah mana saja yang berisiko tinggi terhadap bencana sekaligus kapasitas yang dimiliki warganya. Ini sebuah acuan nyata bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk kemudian mengintegrasikannya dalam banyak kebijakan pembangunan daerah sehingga dalam setiap geliat pembangunan nuansa pengurangan risiko bencana akan terasa lebih kental dalam semua aspek. Markus Kajoi sebagai perwakilan forum PRB menanamkan harapan bersama, “Ke depan, tujuan jangka panjangnya diharapkan peta risiko yang telah dibuat di tiga kabupaten ini akan direplikasi oleh kabupaten lain, dan menjadi arah semua kebijakan pembangunan provinsi.” Forum PRB tidak berhenti pada kongresnya yang pertama, dorongan demi dorongan terus dilancarkan secara aktif dengan menguatkan jaringan multipihak untuk membangun ketahanan masyarakat. Tak bisa dielakkan, Peta Risiko Bencana yang mendetail adalah sebuah instrumen yang akurat untuk menelurkan setiap kebijakan pembangunan yang mampu menghadang bencana.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

63

Masyarakat Lembah Baliem: Perang Melawan Bencana

P

erang adalah lambang kesuburan, jaminan panen akan berhasil dan ternak babi berkembang biak di masa mendatang. Perang dipercaya karena mendatangkan kesuburan bagi pertanian hipere (ubi jalar) dari darah yang ditumpahkan di tanah kelahiran. Perang memastikan bertambahnya jumlah ternak (wam). Wim (Kepala Perang), hipere dan wam adalah kesatuan yang utuh dalam kelangsungan kehidupan di Lembah Baliem. (National Geographic Traveler, edisi maret 2012, Saat Perang Berseru di Lembah Baliem, Martin Hardiono) Tertulis pula dalam artikel tersebut bahwa perang di antara suku di Pegunungan Tengah, Kabupaten Jayawijaya, Papua, sudah menjadi bagian dari kehidupan suku sejak ratusan tahun. Perang digambarkan terbuka dan massal dengan menggunakan senjata sege (tombak panjang berujung runcing) dan wayeske (busur dan anak panah). Pertempuran akan berhenti setelah korban antara kedua belah pihak berjumlah sama. Untunglah kengerian perang ini tinggal menjadi sejarah. Pada tahun 1993, tujuh konfederasi perang di Lembah Baliem mengikrarkan perdamaian secara sukarela. Kendati masyarakat Lembah Baliem tidak lagi berperang antarsuku, sesungguhnya perang di lembah yang terkenal indah karena dikelilingi deretan gunung berpuncak salju abadi ini, belumlah usai. Ada satu kondisi yang tetap harus diperangi, yaitu banjir. Lembah ini dialiri oleh Sungai Baliem yang melintas di lima distrik (kecamatan) dan puluhan kampung di sekitarnya. Sungai induk ini menjadi muara puluhan sungai besar dan kecil yang saling menyilang. Buruknya lagi, setiap tahun, pada puncak musim hujan, air sungai meluap dan membanjiri kampung-kampung di sepanjang alirannya. Sebaran


64

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

luas air banjir bisa mencapai 2 km, dihitung dari bibir sungai ke arah kiri dan kanan dengan ketinggian mencapai 0,5–1,5 m. Masyarakat Jayawijaya di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Baliem umumnya bermata pencaharian petani dengan kebun-kebun ubi yang berdekatan dengan sungai. Bagi mereka, banjir adalah anugerah karena endapan lumpur banjir membawa kesuburan bagi lahan, mempertinggi kualitas, mempercepat masa panen ubi dan ini mempengaruhi perkembangan babi. Karena mengonsumsi hasil tanam-tanaman yang baik, babi menjadi cepat bertumbuh besar dan gemuk. Selain itu, saat banjir, masyarakat mendapat tambahan makanan berupa ikan-ikan yang masuk sampai ke genangan air dekat pemukiman dan kebun. Ironisnya, setiap tahun luapan air sungai juga merusak dan merendam ubi. Pada saat kritis seperti ini, masyarakat menggunakan perahu kecil dan menyelam untuk memetik molo (ubi muda) yang belum siap panen. Ubi yang masih baik dikeringkan untuk dijadikan persediaan makanan 1–2 minggu selama masa pengungsian, sedangkan yang busuk dijadikan makanan babi. Banjir jelas menciptakan masa langka pangan, ditambah lagi kerugian karena babi yang mati ataupun hanyut dibawa banjir. Namun, saking lumrahnya dialami, tidaklah mudah menanamkan bahwa banjir ibarat musuh yang harus diperangi, dikurangi risiko, dan diminimalisir dampaknya. Ini menjadi tantangan besar bagi Yayasan Tangan Peduli (TALI) dan Oxfam, ketika menjalankan program Membangun Ketahanan terhadap Bencana di sepuluh kampung sepanjang aliran Sungai Baliem. Sebenarnya, melalui kajian risiko, kerentanan, dan kapasitas bersama masyarakat, ditemukan banyak catatan tentang ketangguhan masyarakat lembah ini. Ketahanan pada masa kritis ditunjang oleh kuatnya sistem sosial kekerabatan. Jika honai (rumah tradisional) hancur karena banjir, mereka akan mengungsi sementara ke kerabat. Segera setelah banjir surut, honai akan dibangun kembali dan mereka hidup layaknya seperti sebelum banjir. Sistem adaptasi yang tinggi, baik dalam aktivitas keseharian maupun saat bencana, dipengaruhi juga oleh kedekatan dengan alam. Selain itu, faktor tersebut memberikan kemampuan memprediksi terjadinya bencana dengan membaca tanda-tanda alam yang diyakini sebagai sinyal adanya ancaman. Pemahaman ini juga terlihat dari struktur masyarakat, selain memiliki kepala suku, mereka juga memiliki panglima perang. Berbeda dengan kepala suku yang tugasnya mengatur kehidupan di kampung, panglima perang bertanggung jawab memberi perintah kepada seluruh masyarakat, baik untuk mulai perang, berhenti perang, atau bersiaga menghadapi ancaman. Kedudukan penting panglima perang tersebut menunjukkan tingginya tingkat


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

65

kewaspadaan masyarakat terhadap berbagai gangguan termasuk bencana alam. Kekuatan-kekuatan ini menjadi dasar penggerak masyarakat Lembah Baliem menjalankan program secara konsisten. Sepuluh kampung dalam tiga kecamatan, yaitu Asolokobal, Asologaima, dan Musatfak mengawalinya dengan pembicaraan demi pembicaraan serius di lapangan terbuka. Demi mendapatkan suara perempuan, pertemuan dipilih bukan di honai adat mengingat honai adat hanya boleh dimasuki oleh laki-laki dan Tim Siaga Bencana Kampung (TSBK) pun terbentuk. TSBK kemudian bersinergi dengan sistem masyarakat, merancang strategi yang secara nyata. Ini berujung pada berbagai kesepakatan antarsuku bergerak bersama dalam pengurangan risiko bencana. Salah satunya, empat puluh dua tokoh masyarakat di Distrik Asologaima sepakat merevitalisasi regulasi adat dan menerapkan secara ketat aturan-aturan yang sangat sadar bencana. Misalnya, disepakati jika menebang satu pohon harus menanam sepuluh pohon pengganti. Menyadari saat bencana sebuah areal besar untuk relokasi adalah keharusan, tiga kampung, yaitu Kosili, Waima dan Bambak pun berunding. Walaupun tanah bagi sebuah suku adalah sakral, tetapi masyarakat Bambak setuju tanah adatnya seluas 3 hektar dijadikan tempat relokasi. Kepala Suku sekaligus Panglima perang Bambak, Kelly Wandikbo menyatakan, “Perlu ada tempat agar masyarakat bisa mengungsi dan dievakuasi ke sana, ini penting untuk upaya menyelamatkan diri saat banjir melanda kampung.“ Ia menambahkan, “Sejak dulu orang di sini tidak peduli dengan bencana banjir yang datang. Orang merasa bahwa itu kejadian biasa saja. Namun, setelah ada korban 4 orang anak yang meninggal terseret banjir, barulah masyarakat sadar.� Dahulu, terbunuhnya salah satu warga dapat memicu perang diteriakkan dan tidak akan berhenti sampai jatuh korban dalam jumlah sama di pihak musuh. Korban banjir telah membuat Kepala Suku Perang Bambak mengobarkan kembali perang, kali ini perang melawan banjir. Ia pulalah yang akan meneriakkan peringatan dini agar warganya lebih siaga jika banjir datang mengancam. Dengan berdiri di tengah lapang, tempat biasa perang dikumandangkan, ia kini meneriakkan kesiapsiagaan.


66

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

Tim Siaga Distrik: Tujuh Kampung Pantai Utara Manokwari Bersiaga Bersama

B

unyi Sirine dari sebuah pengeras suara meraung-raung di Kampung Menyumfoka, Distrik Manokwari Utara, Kabupatan Manokwari, Minggu 23/01, sekitar pukul 15.15 WIT. Suara saling bersahutan itu menyadarkan puluhan warga kampung akan adanya gempa bumi dan tsunami. Dalam sekejap, warga mengambil tas siaga yang berisi barang bawaan, seperti dokumen penting, pakaian, dan makanan secukupnya, lalu berlari. (Cahaya Papua, Selasa 25 Januari 2011) Ini bukanlah peristiwa sebenarnya, melainkan sebuah simulasi tanggap bencana yang digelar oleh warga Kampung Menyumfoka bersama Perdu dan Oxfam dalam program Membangun Ketahanan Masyarakat. Simulasi ini digelar untuk melatih kesiapsiagaan warga di sekitar pantai utara Manokwari jika terjadi gempa dan tsunami. Adegan demi adegan dalam simulasi tanggap bencana di kampung ini berlangsung serius dengan partisipasi aktif masyarakat. Kabupaten Manokwari merupakan wilayah rawan bencana, antara lain gempa, longsor, banjir, dan tsunami. Kerawanan terhadap gempa terutama karena Manokwari berada di dua jalur patahan. Pertama, patahan Sesar Sorong yang melintasi wilayah Jayapura-Nabire-Manokwari-Sorong. Patahan kedua adalah jalur yang berada di lautan sebelah Utara Pulau Papua, membentang dari Timur hingga Barat, melalui Laut Utara Jayapura– Biak–Nabire–Oransbari–Manokwari–Sorong. Tercatat, gempa berskala tinggi terakhir terjadi pada tanggal 4 Januari 2009, sementara tsunami terakhir terjadi pada tahun 1996 saat kejadian gempa dan tsunami di Biak. Menyadari akan kerawanan tersebut, warga kampung pesisir pantai berupaya menggalakkan berbagai rangkaian pengurangan risikonya.


20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

67

Sebelum simulasi digelar, Tim Siaga Kampung (TSK) dibentuk. Kemudian, tim bersama dengan warga me­netapkan sebuah sistem tanggap bencana berupa membuat jalur evakuasi, memasang rambu-rambu yang akan dilewati warga untuk menyelamatkan diri, membuat sis­tem peringatan dini, menetapkan wi­­ layah pengungsian, dan mem­pe­rsiapkan sistem penanganan m­a­sa darurat. Kesiapsiagaan ter­ha­dap bencana juga dilengkapi de­ngan diadakannya pelatihan par­tisipatif tim pertolongan pertama, tim logistik, serta dapur umum yang nantinya bertugas mengelola dan menyiapkan kebutuhan warga dalam pengungsian. Mama Sada salah satu warga yang juga anggota Mama Sada menunjukkan tas siaga yang selalu Menyumfoka siap dibawa jika terjadi keadaan darurat. (Amalia TSK menerangkan bahwa banyak Soemantri untuk Oxfam) pengetahuan baru soal Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan soal bencana yang didapat sesudah pelatihan. Ia menambahkan,”Kami pun jadi tahu pentingnya menyiapkan tas siaga di rumah. Isinya surat-surat penting, air, bahan makanan, korek, dan senter. Semua itu akan kami butuhkan saat darurat. Anak-anak saya pun mengerti setiap saat tas siaga disandang dan dibawa pergi berarti adalah saatnya menuju lokasi evakuasi setelah gempa terjadi.” Selain di Menyumfoka, berbagai rencana aksi kampung tersebut diimplementasikan di sebelas kampung lain yang terletak di bibir Pantai Manokwari dan berada di tiga distrik yaitu Distrik Manokwari Utara, Manokwari Barat, dan Manokwari Selatan. Dengan rincian; tujuh kampung di Manokwari Utara, empat kampung di Distrik Manokwari Barat, dan satu kampung di Manokwari selatan. Khusus di wilayah Distrik Manokwari Utara, kemiripan kondisi geografis di tujuh kampung pesisir pantai itu membuat mereka dapat menyamakan langkah untuk membangun upaya-upaya pengurangan risiko bencana ke depan. Selain dibentuk tim siaga kampung (TSK), demi membangun jaringan kesiapsiagaan digagas pula Tim Siaga Distrik. Secara bersama, tujuh kampung di pesisir pantai utara yaitu Kampung Yoom, Menyumfoka, Lebau, Tanah Rubuh, Mubraidiba, Asai 1 dan Idou-ofa menyatukan berbagai


68

20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia

kegiatan PRB kampungnya menjadi satu kegiatan terangkai. TSK berinisiatif mengoordinir warga untuk melakukan pertemuan. Hal ini dikuatkan pula oleh camat (kepala distrik) yang sangat membuka diri terhadap berbagai kegiatan PRB. Pihak distrik menganggap hal ini penting untuk warganya. Pertemuan bersama biasa dilakukan di kantor distrik dengan keterlibatan pihak distrik. Pak Marten, ketua TSK Kampung Yoom pun dipilih sebagai Ketua Tim Siaga Distrik dan secara hierarki bertanggung jawab kepada Bapak Camat. Langkah berikut adalah mengatasi kesulitan bersama yang menghambat upaya PRB terpadu di sini. Berdasarkan kajian yang dilakukan, kesulitan utama yang dihadapi adalah masalah komunikasi. Kampung-kampung tersebut tidak terjangkau sinyal telepon selular sehingga sangat menyulitkan koordinasi. Karena itu, pemasangan radio komunikasi genggam (HT) dirasakan akan mampu memecahkan permasalahan tersebut. Sistem informasi menggunakan frekuensi radio jauh lebih efektif. Satu demi satu, tujuh kampung mulai dilengkapi dengan peralatan radio HT. Setelah peralatan radio terpasang, TSK kemudian mendapatkan pelatihan penggunaan radio dan etika berkomunikasi dari PERDU dan ORARI. Ke depan, ini adalah sebuah terobosan untuk selalu menyelaraskan upaya PRB antarkampung sehingga dipastikan akan menjadi hadangan yang lebih tangguh terhadap bencana. Jika sebelumnya warga kampung pesisir pantai utara Manokwari bisa berkata, “Dorang pu kampung sekarang sudah makin siaga�. Ke depan, mereka akan dapat lebih lantang menyerukan, “Dorang pu distrik juga sudah siaga!�

Mama Sada sedang menunjukkan arah evakuasi jika terjadi tsunami. (Amalia Soemantri untuk Oxfam)



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.