Vol 2, No. 1, November 2007

Page 1

BerGERAK

Vol 1, No.2, September 2005

Berita PERGERAKAN

ISSN 1858-0807


Salam pergerakan! Kawan-kawan, Pada edisi ini, BERGERAK mengangkat topik Kaderisasi bagi Organisasi Rakyat. Kaderisasi menjadi salah satu prasyarat penting bagi sebuah organisasi gerakan yang menginginkan perubahan sosial. Makna kaderisasi disini bukan sekdar sebuah instrumen organisasi yang mengatur hal-hal teknis belaka, namun juga berkaitan dengan kohesifitas dan basis ideologi yang kokoh sebagai dasar sebuah organisasi rakyat. Membangun sebuah sistem kaderisasi berarti tidak hanya terfokus pada mekanisme internal organisasi gerakan tersebut. Lebih luas, sistem kaderisasi harus mampu membangun sebuah jaringan gerakan yang lebih luas dan radikal dalam upayanya menantang setiap kekausaan yang menghalangi upaya menuju perubahan perubahan yang lebih baik. Karena itulah pencapaian atas kualitas organisasi menjadi sangat tergantung dari bagaimana organisasi tersebut melakukan sejumlah pentahapan perjuangan dan melakukan perubahan watak radikal para kader. menata ulang tatanan sosial yang demokratis berkeadilan berarti juga upaya radikal menata tujuan dan trayek perjuangan organisasi. Atas dara itulah maka, kami mengahdirkan edisi ini. Kami mohon maaf atas segala keterlamabatan dan kekurangan edisi kali ini. Segala kritik dan saran kawan-kawan tetap kami butuhkan. salam

Daftar isi:

Pengembangan Sistem Pendidikan Kader di Organisasi-Organisasi Rakyat..............1

Meletakkan Kaderisasi dalam Wacana Praksis Gerakan Rakyat............3

Menyiapkan Desain Kaderisasi OR yang Radikal.........9

Organisasi Tani Sebagai Ujung Tombak Perubahan Sosial.......13

Saatnya Membangun Kekuatan Politik Organisasi Rakyat........17 Hal-hal yang Patut Diwaspadai dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Program “Reformasi Agraria� ala SBY........22

Penanggung Jawab: Sapei Rusin; Pemimpin Redaksi: Fajar Irawan; Redaksi : Hilma Safitri, Fajar Irawan, Janjan Eka Saputra, Daus, Mulyadi, tata letak: Tri Agung Cara mendapatkan Bulletin BERGERAK Kirimkan identitas dan nama organisasi anda, akan kami kirimkan secara gratis. Informasi di Bergerak dapat dikutip tanpa ijin asal menyebut sumber. Apabila anda memiliki informasi tentang organisasi rakyat dan advokasi kerakyatan yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat silakan kirim dan akan kami muat. Anda dapat menghubungi kami melalui alamat: PERGERAKAN Jl. Cigadung Selatan I No.31 Bandung 40191 Indonesia; Ph/Fax: 62-22-2505531 email: pergerakan@ pergerakan.com dan website http://www.pergerakan.com


Berita utama

Pengembangan Sistem Pendidikan Kader

di Organisasi-Organisasi Rakyat

Pengembangan sistem pendidikan kader di organisasiorganisasi rakyat untuk memperkuat kerja-kerja pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok rakyat marjinal, berkaitan dengan upaya PERGERAKAN untuk memperjelas usaha organisasi rakyat dalam melakukan penataan sistem kaderisasi organisasinya. Program ini telah berlangsung dari Bulan April hingga Desember 2006. Program ini diarahkan untuk mengoptimalkan kerja-kerja pengorganisasian organisasi rakyat sehingga memperjelas wilayah pemberdayaan kelompok rakyat marjinal. Sebagai suatu upaya memperjelas, maka program ini telah menjalankan aktivitas dan memfasilitasi agenda-agenda kegiatan yang tentu disertai beberapa perubahan bentuk atau format, alokasi waktu kegiatan maupun formasi para pihak yang terlibat karena mengikuti perkembangan aktual dan konteks strategis yang sedang dilalui Pergerakan bersama lima organisasi rakyat yang terlibat dan juga telah menjadi anggotanya. Program ini mengacu pada beberapa isu pokok yang menjadi fokus perhatian, yakni 1). Terorganisirnya komunitaskomunitas rakyat miskin dan perempuan. 2). Meningkatkan produktifitas atau basis produksi organisasi maupun anggota-anggotanya, dan 3). Program ini juga sedianya akan membantu OR agar memiliki posisi tawar dalam meraih akses terhadap sumberdaya politik. Oleh sebab itu, mengutip Talcot Parsons (Teori Sosiologi Modern – George Ritzer dan Douglas J Goodman Edisi Keenam, Kencana 2004) yang menyatakan bahwa sistem mesti memiliki empat fungsi imperatif agar tetap dapat bertahan. Dengan begitu, maka program penataan sistem kaderisasi diarahkan pada empat (4) kemampuan fungsional yang mesti dimiliki suatu sistem organisasi, sebagai berikut: 1. Adaption, yakni sistem kaderisasi OR harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat, sistem harus menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan menyesuaikan situasi lingkungan itu dengan kebutuhannya. 2. Goal Attainment atau pencapaian tujuan berupa suatu sistem yang berlandaskan pada satu tujuan utama yang ajeg, karena ia merupakan hasil pendefinisiaan subyektif maupun obyektif dari kombinasi arah organisasi dan gerakan. 3. Integration yakni suatu sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem ini juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi lainnya (AGL). 4. Latency atau latensi atau pemeliharaan pola – sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Mengacu pada empat fungsi imperatif di atas, di awal pelaksanaan program ini, kelima organisasi rakyat diajak untuk meninjau kembali definisi organisasi rakyat sebagai organisasi (baca: berbasis) kader maupun kaderisasinya. Pemaknaan ulang secara ideologis terhadap definisi kader dan kaderisasi mendapatkan curahan pikiran dan energi yang lebih besar dibandingkan isu atau fokus awal, yakni yang berhubungan dengan metodologi penilaian kritis atau assessmen serta parameternya, hingga menyusun skema atau guidline sebagai rujukan bagi arah, strategi dan metode dalam penyelenggaraan pendidikan kader secara lebih sistematis dan berkelanjutan, dan mengembangkan sistem informasi sebagai media untuk menjamin kerberlangsungan komunikasi intensif, baik antara organisasi dengan para kader, antara kader satu komunitas dengan komunitas lainnya, maupun antara kader dengan komunitas-komunitas basisnya (lihat notulen Lokakarya pertama). Pilihan untuk mendefinisikan ulang beberapa pengertian (misalnya istilah kader dan kaderisasi) dipahami bukan bermaksud menjelaskan hal-hal yang bersifat instrumental belaka, tapi juga bagian dari upaya membangun kohesifitas dan ideologisasi gerakan rakyat, baik dikaitkan dengan situasi subyektif maupun kondisi empiris yang dihadapi organisasi rakyat. Selain tentunya, ideologisasi di atas mesti dipahami sebagai usaha mengatasi persoalan regenerasi

1


Berita Utama kepemimpinan dan aktivis organisasi rakyat untuk menjaga keberlanjutan gerakan sosial di berbagai sektor dan isu. Program penguatan sistem kaderisasi Organisasi Rakyat ini melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Assessment Potensi dan Permasalahan Kaderisasi di Organisasi Rakyat Marjinal dan Komunitas-komunitas Basis Anggota Organisasi ; 2) Perumusan Sistem Pendidikan Kader di Organisasi Rakyat Marjinal; 3) Pendidikan (TOT) untuk Mengoperasikan Sistem Kaderisasi di Tingkat Komunitas; 4) Lokakarya Tambahan Penataan Sistem Kaderisasi Bagi Organisasi Rakyat; 5) Pelaksanaan: a) Persiapan Panduan Kajian Sistem Kaderisasi Organisasi Rakyat, b) Kajian Sistem Kaderisasi Organisasi Rakyat di lima organisasi rakyat, c) Lokakarya Pembahasan Hasil Kajian Sistem Kaderisasi di lima organisasi rakyat, d) Kursus Penggerak Kader, e) Pertemuan Refleksi, f) Lokakarya Mengembangkan Penataan Sistem Kaderisasi Organisasi Rakyat Pada tahap akhir proses ini, PERGERAKAN memfasilitasi dua agenda secara paralel. Pertama, asistensi penyusunan buku “Penataan Sistem Kaderisasi Organisasi Rakyat” yang melibatkan lima (5) OR yakni, SPP, FSBKU, Hapsari, Perekat Ombara dan SRB-SPK. Sedangkan agenda kedua berkaitan dengan usaha penyebarluasan gagasan, motivasi dan ancang tindak penataan sistem kaderisasi melalui Lokakarya Tambahan “Diseminasi Penataan Sistem Kaderisasi Organisasi Rakyat” yang diikuti oleh seluruh anggota PERGERAKAN. Para aktivis yang mewakili masing-masing OR, baik dalam asistensi penyusunan buku dan berbagai lokakarya pembahasan melakukan sejumlah penilaian kritis terhadap hasil internalisasi maupun eksternalisasi kaderisasi. Gambaran internalisasi maupun eksternalisasi menyangkut kurikulum yang dipergunakan, referensi pengetahuan, narasumber dan fasilitator yang terlibat, metode pendidikan, sistem pengawalan, data base kader yang dihasilkan serta peranan terkininya, dan catatan evaluasi-evaluasi yang pernah dilakukan terhadap proses-proses pendidikan tersebut. Kedua, daftar kader-kader, baik yang dimiliki oleh/ berasal dari komunitas-komunitas basis anggota organisasi maupun yang berasal dari luar komunitas basis anggota. Dan menurut amatan perpanjangan masa pelaksanaan telah menampakkan dampak signifikan, yakni, seluruh organisasi rakyat yang bergabung dalam PERGERAKAN menetapkan bahwa kaderisasi merupakan suatu proses untuk menjadikan seseorang sebagai bagian dari sekelompok orang yang “menjaga keberlangsungan” hidupnya suatu “keyakinan” tertentu, sehingga ia selalu terkait dengan “keyakinan” atau “ideologi”(sasi), yakni penanaman nilai-nilai/ideologi tertentu (indoktrinasi). Penetapan bahwa kaderisasi merupakan wilayah ideologisasi semakna dengan pemahaman organisasi rakyat terhadap pengertian kader itu sendiri. Umumnya kami menemukan bahwa pemaknaan kader sangat dipengaruhi oleh orientasi individual maupun organisasional. Berangkat dari orientasi

2

tersebut, maka paling tidak ada tiga kategori kader, yakni sebgai berikut: • Orang yang mau mengabdikan seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya untuk organisasi, yang mempunyai kesadaran lebih dibanding anggota, mempunyai potensi dan siap berjuang, dan selalu terlibat dalam kerja-kerja organisasi” [kesadaran untuk bekerja lebih] • Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki semangat dan militansi tanpa pamrih, keinginan serta kemauan untuk maju dan berkembang, yang muncul dari diri sendiri tanpa dipaksa, serta dapat menjaga nama baik organisasi” [pengembangan diri] • Orang yang mengabdikan dirinya untuk tujuantujuan perjuangan, mau melakukan pendapaian cita-cita organisasi baik secara alami maupun melalui proses formal” [kesadaran untuk mengabdi] Di bawah penilaian ideologis seperti yang telah disinggung di atas, maka para aktivis OR dibentuk untuk menjadi pelaku atau aktor gerakan rakyat yang sesungguhnya. Para kader dipersiapkan langsung memperkuat kerja-kerja pengorganisasian agenda pengkaderan dan pemberdayaan manajemen tata kaderisasi rakyat marjinal. Kedua fungsi ini nantinya akan selalu mengembangkan dirinya sebagai suatu mekanisme memilih-rekruitmen anggota organisasi menjadi kader gerakan, mekanisme didik atau penguatan kapasitas dan ideologisasi kader sebagai agensi organisasi (proponent obligation) maupun gerakan hingga mekanisme ikat atau mengelola keberadaan dan kemampuan agensinya untuk memperluas wilayah gerakan dan memperbesar pengaruh gerakan hingga melampaui sekat-sekat sektor, isu dan aspek ekonomi-politik, sosial hingga tatanan budaya (adat-kelokalan). Secara tidak langsung proses ini telah meminimalisir kesenjangan kapasitas dan peran antara daerah dengan “pusat” (Jakarta, Bandung, Surabaya), mengurangi kesenjangan antara wilayah atau kantong-kantong basis, bahkan antar generasi dalam satu organisasi. Oleh sebab itu, maka seyogyanya penataan sistem kaderisasi ini dipahami pula sebagai mekanisme penumbuhan agensi bagi perubahan sosial yang tidak hanya berorientasi jangka pendek, tidak semata-mata disebabkan alasan politik (driven by context)., tapi juga ekonomi-politik pengembangan organisasi rakyat itu sendiri, yakni pengolahan basis sumebr daya dan basis produksi untuk kelangsungan organisasi. Dalam kontek tindakan afirmasi itulah, maka rantai penataan sistem kaderisasi dalam keseluruhan organisasi rakyat menjadi berdayaguna. Dalam area asistensi atau fasilitasi kerja maupun agenda penataan sistem kaderisasi, PERGERAKAN senyatanya membangun program-program organisasinya menjadi bentuk pemanfaatan sumberdaya yang mengikat aktivis-aktivis organisasi rakyat untuk lebih bereproduksi.[]


Berita Utama Tulisan ini merupakan bagian PROLOG buku “KADERISASI DI ORGANISASI RAKYAT: Pengalaman 4 Organisasi rakyat menata sistem Kaderisasi”, terbitan Garis Pergerakan 2006.

Meletakkan Kaderisasi Dalam Wacana dan Praksis Gerakan Rakyat Oleh: Nana Sukarna (Anggota Dewan Pengarah PERGERAKAN)

Perubahan politik Indonesia pada akhir dekade 90-an menandai beberapa fenomena penting dalam perjalanan sejarah perlawanan rakyat atas ketertindasan yang dialaminya. Runtuhnya rezim yang segera diikuti oleh berbagai perubahan tatanan politik orde reformasi berlangsung cepat dan hampir tak dapat diikuti dalam kerangka perlawanan rakyat. Demikianlah, meski perubahan politik itu lebih banyak menghasilkan fantasi janji dan harapan perubahan sosial yang mendasar, terutama dalam relasi kuasa antara rakyat dan negara, namun kehadirannya tak bisa diabaikan dalam perjalanan sejarah perlawanan rakyat. Persoalannya, dalam berbagai wacana yang berkembang lebih banyak pihak sependapat bahwa penyebab keruntuhan rezim tersebut adalah karena faktor tekanan ekonomi makro yang kemudian diakhiri oleh rangkaian demonstrasi massa di ibukota dan berbagai kota besar lainnya.1 Munculnya berbagai tokoh kelas

1 Arus Baru ini berbeda dengan Gerakan Sosial Baru (New Social Movement/NSM) yang membedakan antara tuntutan kolektif dengan identitas kolektif. namun NSM melihat hubungannya terletak pada bagaimana organisasi membagi pengalaman, interpretasi dan kerja-kerja dalam konteks interaksi kelompok, New Social Movement From Ideologi to identity , Enrique Larana (eds), Temple University Press, Philadelphia (1994). p.24. Lihat juga analisa

menengah dan tergalangnya massa rakyat perkotaan (tepat di jantung kekuasaan negara) menyisakan suatu pertanyaan besar: Apakah itu menandai suatu fase kematangan gerakan perlawanan rakyat? Atau, sebetulnya tak ada hubungan antara berbagai peristiwa tersebut dengan gerakan perlawanan rakyat yang nota bene berlangsung di pinggiran? Pada kurun waktu yang sama, wacana gerakan sosial baru saja dihangatkan oleh munculnya pola gerakan sosial baru2. Sederhananya, gerakan sosial ini tak lagi seperti

Vincent Boudreau “State Repression and Democracy Protest in Three Southeast Asian Countries” dalam buku Social Movement; Identity, Culture, and the State (2002) 2 Arus gerakan sosial yang memiliki dua mata pisau. sisi pertama, memberikan kontribusi pengetahuan baru bagi gerakan sosial kontemporer dengan fokus pada perubahan makna dalam struktur dan aksi gerakan sosial, terkait dengan transformasi struktural dalam masyarakat secara keseluruhan. Sisi keduanya, cenderung untuk “menangkap” esensi dari semua bentuk baru aksi-aksi kolektif, New Social Movement From Ideologi to identity, Enrique Larana

3


Berita Utama pendahulunya yang malu-malu, ragu-ragu, atau bahkan alergi terhadap politik sebagai arus gerakan sosial yang dilakukan. Di Indonesia sendiri, gerakan sosial baru ini (meski tak selalu disebut demikian) ditandai dengan dua fenomena penting: 1) membaurnya LSM-LSM sebagai pelaku gerakan sosial dengan berbagai kerja-kerja organisasi rakyat yang sebelumnya relatif bekerja sendirian, dan 2) masuknya berbagai agenda politik kekuasaan pada kerja-kerja gerakan sosial, seperti; menempatkan calon-calon dalam pilkada, dll. Dari dua fenomena tersebut penting untuk dicermati bahwa secara bersamaan perkembangan kuatitas organisasi rakyat meningkat fantastis. Mobilisasi massa dalam aksi-aksi demonstrasi rakyat maupun dalam kerja-kerja organisasional lainnya membuat gerakan sosial kini tak lagi cukup ditandai hanya lewat isu-isu sosial yang diusungnya, melainkan juga pada jumlah rakyat yang terlibat di dalamnya.3 Dari mana datangnya massa rakyat itu, sementara sebelumnya mereka tak bergeming pada berbagai ajakan partisipasi yang digalang oleh berbagai pelaku gerakan sosial? Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya berbagai organisasi rakyat di berbagai wilayah Indonesia, terutama dari kaum tani, buruh, nelayan, perempuan dan masyarakat adat. Organisasi-organisasi tersebut muncul ke permukaan, baik dari yang semula sudah ada (tapi bergerak di akar rumput saja) maupun organisasi baru yang terbentuk dengan atau tanpa campur tangan (kepedulian dan sumberdaya) pihak di luar kaum tersebut. Perdebatan tentang organisasi rakyat mana yang paling tepat menyandang gerakan perlawanan rakyat tentu saja harus mendapatkan tempatnya sendiri, bukan di sini. Terlepas dari itu, yang mendesak untuk dipahami adalah; Bagaimana perkembangan kuantitas massa rakyat itu bisa terjadi sedemikian rupa? Apakah itu merupakan buah dari kerja panjang yang selama ini dilakukan oleh aktivis dan organisasi rakyat yang bergerak di akar rumput semata, atau karena pembauran mereka dengan kerja-kerja LSM yang lebih terbuka manajemennya? Apakah pertumbuhan jumlah anggota di setiap organisasi rakyat mencerminkan kehadiran suatu sistem kaderisasi gerakan? Jika semua itu terjawab, maka barangkali hubungan antara peristiwa-peristiwa politik di negeri ini dengan peningkatan perlawanan rakyat menjadi jelas. Rakyat mestinya tak lagi dibuat bingung dan gagap ketika berurusan dengan kekuasaan dan kedaulatannya atas negara. Gerakan sosial; dari basis isu ke basis massa Dalam wacana, gerakan sosial lebih dikenal ketimbang

(eds), Temple University Press, Philadelphia (1994) 3 Kemunculan Dua hal ini (isu dan massa) secara bersamaan dalam satu gerakan mungkin tidak memiliki makna penting kecuali jika keduanya dikonfrontir dalam dua paradigma yang berbeda. Gerakan sosial berbasis isu tak mempersoalkan kelas, sedangkan gerakan sosial berbasis massa menyandang karakter politik kelas (bukan/belum ideologi kelas) pada setiap penggalangan massa yang dilakukannya.

4

gerakan rakyat, terindikasi dari banyaknya referensi yang mengulas hal itu. Wacana itu dihadirkan sekilas di sini untuk menjadi rambu pencegah ketergesa-gesaan menyamakan gerakan sosial dengan gerakan perlawanan rakyat. Atau, sama berbahayanya, mempertentangkan secara membabibuta di antara keduanya. Penghadiran gerakan sosial dalam buku ini ditujukan untuk memberi konteks bagi relevansi Organisasi Rakyat dalam menata sistem kaderisasinya. Seperti dijelaskan di awal, angin pembaruan dalam gerakan sosial baru telah membawa berbagai perspektif dan agenda politik kepada kerja-kerja gerakan sosial maupun organisasiorganisasi rakyat. Sejauh ini belum ada analisis mendalam tentang hubungan dari perubahan tersebut dengan berbagai peristiwa politik di negara ini. Satu-satunya indikasi diperlihatkan pada penguatan basis-basis massa dalam gerakan sosial baru, menandingi basis isu yang sebelumnya mendominasi gerakan sosial. Berbagai kerja advokasi tematik yang menandai gerakan sosial konvensional kini menjadi lazim diwarnai oleh pelibatan massa rakyat. Bersamaan dengan itu, Pergerakan kemudian merilis suatu genre baru advokasi bertajuk advokasi kerakyatan yang dimaknai sebagai “sebuah proses politik yang terorganisasikan, melibatkan usaha rakyat yang terkoordinasi, sistematis dan berkelanjutan untuk mengubah kebijakan, praktek, gagasan dan nilai yang melanggengkan ketimpangan dan penyingkiran. Advokasi ini memperkuat kapasitas rakyat sebagai pembuat keputusan dan membangun lembaga kekuasaan yang lebih bertanggung jawab serta adil”.4 Gerakan sosial merupakan respon atas situasi sosial dan dimaksudkan untuk mencapai situasi sosial baru yang dianggap lebih baik. Oleh karena itu, gerakan sosial –sebagaimana dikritik beberapa pemikir- memang tidak memiliki “nature” untuk terlembaga secara permanen (institutionalized). Berbagai kalangan sering memperdebatkan, bahwa dengan demikian gerakan sosial tidak mungkin (baca; tidak tepat, tidak lazim) untuk terorganisasi secara permanen. Salah satu kritik tajam adalah bahwa mengganggap organisasi rakyat sebagai wujud pelembagaan gerakan sosial adalah utopia. Pandangan seperti itu tentu saja berdasarkan pada keyakinan bahwa setiap gerakan sosial lahir dari suatu kondisi hubungan-bebas (tak terikat satu dengan lainnya) di antara rakyat. Keterikatan baru terbentuk kemudian karena kerja penumbuhan kepedulian pada satu atau beberapa isu, dilanjutkan dengan kerja pengorganisasian (sebagaimana kemudian dikenal sebagai Advokasi). Pencapaian keberhasilan isu yang diperjuangkan kemudian menjadi upacara pembubaran gerakan itu sendiri, dan tidak ada waktu untuk “rakyat-terorganisasi” tersebut berubah menjadi organisasi rakyat. Kalaupun ada tindakantindakan pelembagaan, terutama dalam bentuk pembuatan organisasi, itu lebih dianggap sebagai hasil atau lanjutan dari

4 Lihat Dianto Bachriadi, “Konteks Perubahan di Indonesia” dalam Laporan\ Pertanggungjawaban ketua Badan Pelaksana dan Ketua Dewan Pengarah kadersasOrgansasRakyat PERGERAKAN Peroide transisi, 2003-2004


Berita Utama kerja-kerja di luar gerakan sosial itu sendiri, alih-alih sebagai tujuan dari gerakan. Fenomena pertumbuhan organisasiorganisasi rakyat dengan demikian tidak serta-merta dapat dianggap sebagai representasi dari gerakan sosial. Tetapi, lagi-lagi, kenyataan bahwa semakin banyak organisasi rakyat terlibat secara terbuka dalam gerakan sosial yang semula didominasi LSM-LSM dan aktivis kelas menengah perkotaan, dalam jumlah massa rakyat yang besar, tak lagi memadai jika hanya dipahami dalam kerangka fikir tersebut. Apakah “nature” gerakan sosial memang berubah? Atau, gerakan perlawanan rakyatlah yang tengah mencapai fase tertentu sebelum sampai tujuannya: kedaulatan rakyat? Terlepas dari semua itu, urgensi gerakan tak diragukan lagi di kalangan aktivis gerakan perlawanan rakyat. Noor Fauzi dan Dadang Juliantara menyebutkan dalam Menyatakan Keadilan Agraria; Manual Kursus Intensif Untuk Aktivis Gerakan Pembaruan Agraria (Bandung, 2000), bahwa; “Posisi penting kehadiran suatu gerakan, antara lain: a. meneguhkan bahwa “usaha” [langkah gerakan] merupakan jalan yang paling mungkin untuk mendorong suatu perubahan kepada keadaan yang lebih baik dan bermakna; b. kondisi yang ada tidak lagi bisa dipertahankan, gerakan merupakan jawaban konkrit untuk menuju perubahan; c. memberikan jaminan kepada pencapaian keadaan sebagaimana yang hendak dituju, dengan arah yang sudah ditetapkan sejak awal – perubahan bukan kebetulan tanpa kepastian- memperkecil peluang pengkhianatan.” Logika sederhana yang dapat ditarik dari urgensi gerakan adalah bahwa setiap perubahan ke arah yang lebih baik membutuhkan gerakan sebagai jaminan pencapaiannya. Di sisi lain, setiap gerakan perlawanan rakyat ditujukan pada suatu kondisi lebih baik dalam wujud kedaulatan rakyat. Kebaikan-kebaikan yang diperoleh dari setiap pencapaian gerakan sosial dalam memperjuangkan isu demi isu, bukan sekadar tidak cukup tapi bisa jadi pada titik tertentu dapat menghambat pencapaian kedaulatan rakyat secara keseluruhan, sebagai kebaikan yang dituju oleh gerakan perlawanan rakyat. Maka, kesimpulannya adalah bahwa pencapaian kedaulatan rakyat harus dijamin oleh gerakan perlawanan rakyat yang diwujudkan dalam kerjakerja organisasi rakyat, yang bukan semata-mata melengkapi satu-persatu pencapaian keberhasilan perjuangan isu-isu tertentu. Pergerakan secara jelas menegaskan bahwa jika pada masa lalu pengorganisasian rakyat di dalam rangkaian kerja advokasi lebih banyak ditujukan untuk menggalang kekuatan penekan kepada para pembentuk kebijakan dan seringkali sifatnya adalah pengorganisasian yang bersifat jangka pendek dan berbasis pada kasus, maka saat ini kerjakerja pengorganisasian rakyat harus “dikembalikan” fungsinya sebagai basis dari gerakan sosial yang bertujuan untuk menggalang kekuatan bagi perubahan sosial. Maksudnya kerja-kerja pengorganisasian yang selama ini berbasis kasus harus diperlebar jangkauannya kepada pengorganisasian

kepentingan yang berbasis kepada pengelompokkan sosial, baik berbasis wilayah maupun yang berbasis kelas. Hal itu dilakukan dengan menempatkan kembali kerja-kerja pengorganisasian sebagai kerja-kerja garis depan. Persoalannya, apakah keinginan itu sudah terjawab oleh organisasi-organisasi rakyat? Apakah organisasi rakyat sudah terbiasa menata sistem kaderisasi, dan bukan hanya menonjolkan kerja pengorganisasian semata? Satu titik terang yang baru diperoleh pada bagian ini adalah bahwa konteks gerakan sosial yang dilekatkan pada keberadaan organisasi rakyat membutuhkan perubahan mendasar: dari basis-basis isu ke basis massa yang jelas! Karena dengan begitu, gerakan sosial memberi jaminan kepada gerakan perlawanan rakyat dalam mencapai kedaulatan rakyat sebagai tujuannya. Organisasi Rakyat; Jaminan bagi Regenerasi Gerakan Perlawanan Rakyat Perjalanan sejarah gerakan dan organisasi gerakan rakyat direpresentasikan oleh sistem kaderisasi, karena sistem kaderisasi menghasilkan -dan dilakukan oleh- para pelaku sejarah tersebut. Sejarah organisasi gerakan rakyat dalam latar gerakan perlawanan rakyat dapat dibagi dua fase berdasarkan seting politik eksternal yang mempengaruhi gerakan, yakni fase rezim otoriter orde baru dan paska kejatuhannya. Kedua fase itu mempengaruhi dua karakter sistem kaderisasi yang berbeda, yakni kaderisasi tertutup dan kaderisasi terbuka. Memang, karena relativitas berbagai faktor dalam dua fase sejarah tersebut, seperti tingkat represi terhadap gerakan, pilihan ideologi gerakan, dan lainnya, membuat perbedaan dua karakter kaderisasi. Sebagai contoh, dalam fase orde baru yang mendorong gerakan melakukan sistem kaderisasi tertutup sesungguhnya masih dapat ditemukan beberapa praktek kaderisasi yang terbuka. Sebaliknya, dalam fase keterbukaan, masih dapat dijumpai kaderisasi-kaderisasi yang tertutup. Sejarah juga membuktikan bahwa kematian suatu gerakan ditandai oleh berhentinya kelahiran kader gerakan. Setiap kematian gerakan perlawanan rakyat memang bisa dimulai oleh represi yang luar biasa dari rezim penguasa atau karena faktor-faktor eksternal lainnya, tetapi ia selalu diakhiri dengan ketiadaan kader yang meregenerasi gerakan perlawanan rakyat. Jadi, terbuka atau tertutupnya suatu sistem kaderisasi bukanlah persoalan, sepanjang dia tetap memberi jaminan keberadaan kader-kader baru. Ketika gerakan perlawanan tersebut manifest dalam wujud organisasi rakyat, maka persoalan jaminan regenerasi tersebut dijawab dalam sistem kaderisasi yang menjadi lebih terbuka. Tetapi, bagaimana kemudian menjelaskan kenyataan bahwa tidak mungkin sebuah organisasi yang nota bene muncul dari ideologiperlawanan dan perlawanan-ideologis itu memanifestasikan sistem kaderisasinya secara telanjang? Buku ini tidak berpretensi menjawab hal itu, kecuali menghadirkan suatu asumsi bahwa batas ketertutupan suatu sistem kaderisasi dalam organisasi gerakan tak lain merupakan faktor subjektivitas dari sistem tersebut. Alih-alih memperdebatkan hal tersebut sebagai suatu rahasia, maka nalar kita bisa

5


Berita Utama menerima bahwa subjektifitas dalam berbagai bentuknya pada suatu sistem kaderisasi adalah niscaya. Bagian ini harus ditutup dengan peringatan: bahwa ketika Organisasi Rakyat menghadapi dilema manajerial, ketika harus menata organisasinya dan mengatur pengkaderannya secara sistematis, maka dia dapat menghindarkannya dengan menggunakan nalar yang menerima subjektifitas. Mengandalkan diri pada kerahasiaan, sebagaimana menjadi corak sistem kaderisasi yang tertutup, berarti memelihara pisau bermata dua; dia melukai lawan-lawannya, tapi juga dapat melukai dirinya sendiri. Organisasi-organisasi rakyat yang belakangan ini mulai akrab dengan manajemen organisasi modern berikut segala sistematikanya dengan demikian dapat tetap menjaga cita-cita ideologisnya, sekaligus menjawab tantangan jaman: terutama, jaminan regenerasi gerakan perlawanan rakyat. Memaknai (lagi) Sistem Kaderisasi Secara sederhana, bagian ini merupakan upaya konseptualisasi sistem kaderisasi yang dihasilkan oleh proses belajar bersama yang diinisiasi oleh dan dalam Pergerakan. Oleh karena itu, konsep-konsep yang digunakan bukanlah konsep teoritis yang berkembang dalam berbagai diskursus, melainkan sedapat mungkin ditarik dari berbagai kerja pemaknaan atas praksis yang terjadi di “lapangan�. Namun demikian, beberapa konsep dasar yang datang dari luar praksis gerakan tidak bisa dihindarkan karena konsep-konsep tersebut diyakini merupakan konsep inisial yang dibawa dari luar kedalam praksis gerakan oleh para perintisnya. Di dalam praktek, kebutuhan untuk menjadi sistematis seringkali mendahului dan lebih besar daripada kebutuhan akan sistem itu sendiri. Artinya, yang lebih penting adalah bagaimana mengenali karakteristik dari sistem agar dapat menggunakan fungsinya, ketimbang mengenali keseluruhan dari sistem itu sendiri. Bagi aktivis, kader, atau anggota organisasi rakyat, kebutuhan akan sistem kaderisasi yang baik akan lebih mudah diterima dari sisi manfaat atau fungsi dari karakter sistem itu, yakni; sistematis. Pengaturan atas berbagai faktor yang saling berhubungan berkenaan dengan kader (menjadi sistematis) adalah karakter fungsional pertamatama yang diharapkan manfaatnya dari sistem kaderisasi. Karakter fungsional berikutnya adalah bahwa keteraturan yang terkandung dalam sistem kaderisasi merupakan jaminan keberlangsungan dan keberlanjutan proses kaderisasi. Sementara, proses kaderisasi yang berlangsung teratur merupakan jaminan keberlanjutan bagi organisasi rakyat. Oleh karena itu, pengertian sistem kaderisasi dapat dikatakan sementara ini adalah: keteraturan yang tetap namun tak baku atas berbagai hal yang saling berkaitan mengenai kader, yang responsif namun tak reaktif atas dinamika internal dan eksternalnya, dan memiliki daya dukung terhadap kehidupan organisasi secara keseluruhan. Sistem kaderisasi dalam teori dan prakteknya senantiasa diwarnai oleh ideologi dan politik organisasi. Pada buku ini

6

memang tidak akan dibahas secara khusus, namun perlu dicatat bahwa pengabaian atas warna ideologi dan politik dalam organisasi rakyat dapat menyesatkan pemahaman lebih jauh atas sistem kaderisasinya. Ideologi adalah mainstream of ideas5 yang berkembang di antara para pelaku gerakan dan organisasi rakyat, sehingga dalam konteks sistem kaderisasi dia menandakan bangunan cita-cita yang diabdi oleh sistem kaderisasi. Sedangkan politik menggambarkan susunan kuasa dan kepentingan yang dikelola gerakan dan organisasi rakyat, sehingga dalam konteks sistem kaderisasi dia mendudukkan strategi dan pencapaian arah dari organisasi yang berkenaan dengan kekuatan para pelakunya (manpower). Oleh karena itu, dalam suatu sistem kaderisasi mestinya dapat ditelusuri keberadaan ideologi, baik dalam pemunculannya sebagai materi-materi pendidikan, pengaruhnya terhadap bentuk dan cara kerja kaderisasi, atau terhadap hasil-hasil yang melekat pada peserta dan pelaku kaderisasi. Memahami kehadiran ideologi dalam sistem kaderisasi berarti juga menegaskan fungsi transformasi sosial gerakan. “Dalam pemahaman umum, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi tertentu. Reaksi tersebut tidak mengabdi kepada reaksi, melainkan dimaksudkan untuk mengubah kondisi tersebut, kepada suatu keadaan baru, yang dipandang lebih baik dan bermakna. Gerakan dengan demikian dapat dipahami sebagai usaha untuk mengubah situasi (kondisi) kepada keadaan baru. Dalam kerangka pembaruan agraria, maka gerakan tidak lain dari berbagai upaya yang memaksudkan untuk mengubah tatanan agraria yang tidak adil, menuju sebuah tata baru agraria, yang pada gilirannya akan menjadi landasan bagi perubahan sosial yang lebih mendasar.� (Noor Fauzi dan Dadang Juliantara, Menyatakan Keadilan Agraria; Manual Kursus Intensif Untuk Aktivis Gerakan Pembaruan Agraria, Bandung, 2000). Kutipan tersebut dihadirkan untuk menandai suatu makna penting dari konsep transformasi sosial. Dalam hal ini, pemahaman inti atas transformasi sosial ditekankan pada perubahan situasi/kondisi sosial dari “yang sedang berlangsung, tapi tidak diinginkan� kepada “yang diinginkan, tapi belum terjadi�. Demikianlah gerakan rakyat dimaknai dan diyakini, sekurangkurangnya oleh para pegiatnya sendiri. Dengan menggunakan pendekatan fungsional sebagaimana dijelaskan di depan, maka sistem kaderisasi dapat dijelaskan

5 Dalam berbagai teori kelompok dijelaskan bahwa ideologi merupakan hasil yang dapat diperbaharui dalam proses pertukaran ideas (cita-cita) yang terjadi pada sebuah kelompok. Para penggagas teori ini percaya bahwa cita-cita terkuat akan menarik cita-cita lainnya kedalam suatu arus besar cita-cita yang sudah menampung rasa kebersamaan dari citacita kelompok. Demikianlah, Marxisme tidak akan pernah jadi suatu ideologi sepanjang dimiliki secara ekslusif oleh seorang Karl Marx tanpa proses-proses pertukaran cita-cita dalam kelompok.


Berita Utama sebagai: a) bagian dari sistem organisasi: Artinya, sistem kaderisasi mengabdi pada suatu keteraturan yang lebih besar lagi, yakni sistem organisasi. Dengan begitu, sistem kaderisasi menjadi subsistem yang semestinya terhubung dengan subsistemsubsistem lainnya dalam keteraturan organisasi. Tidak ada batasan yang baku untuk menunjuk subsistem apa saja yang mesti terhubung dengan sistem kaderisasi, bahkan seberapa banyak dan apa saja subsistem yang mestinya ada dalam kendali sistem organisasi. Untuk sekadar memudahkan pengenalan dapat saja disebut beberapa subsistem sebagai berikut: sistem keuangan, sistem informasi, sistem pemrograman (penataan program), dan seterusnya. Dalam konteks payung sistem organisasi, penyebutan secara khusus kaderisasi menjadi suatu sistem berarti mengandaikan sekurang-kurangnya salah satu dari tiga contoh di atas sebagai suatu sistem juga. Karena cuma dengan begitu hubungan kaderisasi dengan salah satu dari 3 contoh tersebut menjadi jelas. Dengan kata lain, kaderisasi harus dapat menjelaskan dan dijelaskan dalam hubungannya dengan sistem keuangan, sistem pemrograman, sistem informasi, atau sistem lainnya yang terdapat dalam sistem organisasi. Hubungan-hubungan tersebut bersifat horisontal, untuk menggambarkan kesejajaran dari masing-masing sistem dalam sistem organisasi. Sebagai bagian dari sistem organisasi, kaderisasi juga berada pada suatu posisi yang sesungguhnya terhubung dengan posisi-posisi lain di atas atau di bawahnya, atau katakanlah bahwa dia berada dalam suatu hubungan vertikal. Biasanya, posisi yang berada di atas sistem kaderisasi diisi oleh persoalan-persoalan kepemimpinan, platform organisasi, dan hal-hal lainnya yang bersifat visioner. Sedangkan di bawah posisi sistem kaderisasi diisi oleh instrumentasi dan berbagai technicalities yang mendukung secara ekslusif --namun bukan bagian utama dari-- terselenggaranya sistem kaderisasi. b) meliputi sistem pendidikan kader: Sistem kaderisasi bukan cuma pendidikan kader, tapi pendidikan kader memang urusan yang paling penting dan eksplisit dalam sistem kaderisasi. Bagian-bagian dalam sistem kaderisasi yang BUKAN mengenai pendidikan kader biasanya tertutup dan sensitif bagi sebuah organisasi, bahkan di antara sesama anggotanya sekalipun. Pendidikan kader dalam sistem kader ibarat “ON Air�-nya, sedangkan bagian lainnya ibarat “OFF Air�. Misalnya urusan pemastian rekruitmen dan penempatan yang biasanya dilakukan oleh kolektif (dalam gerakan buruh), bisa digeneralisasi sebagai persoalan rekruitmen dan penempatan. Contoh lain, pengaturan logistik kaderisasi. Sistem kaderisasi harus meliputi sistem pendidikan kader,

karena jika tidak maka ia hanya merupakan sistem semu yang hanya terisi oleh berbagai abstrak dari berbagai konsep, visi, dan kepentingan-kepentingan yang secara langsung mengoperasikan berbagai sumberdaya organisasi tanpa ukuran-ukuran yang jelas. Dengan menggunakan gambaran posisi hubungan vertikal yang dibahas sebelumnya, kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa cita-cita, visi, dan berbagai kepentingan yang merupakan super-ordinat sistem kaderisasi “bersekutu� langsung dengan berbagai sumberdaya dan technicallities yang merupakan sub-ordinat sistem kaderisasi. Tiga urusan dalam sistem kaderisasi: Pilih, Didik, Ikat! Di dalam setiap sistem kaderisasi, baik yang sederhana maupun yang rumit, senantiasa terdapat tiga urusan mendasar yang dihadapi, yakni urusan memilih, mendidik, dan mengikat kader. Istilah “pilih� dan “ikat� di sini sebetulnya melulu sebagai penyederhanaan dari berbagai tindakan yang bermakna “menentukan, menghadirkan, mengadakan� di satu sisi, dan “menjaga, memelihara, menempatkan� di sisi lain, terhadap orang-orang yang kemudian disebut kader dalam organisasi. Pada prakteknya, masing-masing urusan ini memang tidak senantiasa berdiri sendiri secara tegas, sehingga dapat dibedakan satu dengan lainnya. Urusan memilih kerapkali masih berlangsung pada proses mendidik dan mengikat, demikian pula urusan mengikat bisa terjadi dalam proses memilih dan mendidik, dan seterusnya. Ketiga urusan tersebut di sini ditandai seperti itu lebih sebagai upaya untuk mempermudah pemahaman dan pelaksanaan sistem kaderisasi. 1) Hal ikhwal Memilih. Pada organisasi modern hal ini dapat segera diidentikkan dengan proses seleksi atau perekrutan seseorang menjadi bagian dari tim/organisasi. Namun tidak demikian halnya dalam konteks sistem kaderisasi gerakan dan organisasi gerakan rakyat. Memilih adalah tindakan penting pertama yang mendahului berbagai tindakan penting berikutnya, karena bergabungnya seseorang menjadi kader didahului oleh-- dan segera akan diikuti dengan proses-proses ideologis atau politis yang tidak mudah diterjemahkan secara konkrit untuk dijadikan ukuran-ukuran dalam mengawasi atau mengevaluasi kesertaan sang kader dalam gerakan atau organisasi gerakan. Memilih (-kader) bukanlah tindakan yang terjadi dalam ruang hampa (vacuum). Pemimpin organisasi tani tidak berhadapan dengan situasi seperti manajer klub sepakbola baru yang untuk mengisi tim-nya (yang semula kosong) dia dapat dengan bebas memilih pemain-pemain hebat (meskipun dengan bayaran tinggi!). Pemimpin organisasi tani

7


Berita Utama menyadari betul bahwa ketika dia membangun organisasi tani, sudah ada jutaan petani dan bahkan sebagian sudah terlibat dalam aksi-aksi yang kemudian melatari kelahiran organisasi tani tersebut. Dengan begitu, urusan memilih di sini berkembang menjadi bukan saja sekadar memilih untuk mengadakan, melainkan juga mungkin memilih untuk meniadakan. Bayangkan, kalau dari para petani itu ada yang bertentangan dengan perjuangan organisasinya tetapi dia/ mereka berkepentingan untuk bertahan dalam organisasi! Pada peristiwa berikutnya, tindakan memilih di antara para kader yang sudah ada untuk sebuah urusan penting tertentu (menempatkan dalam posisi pengurus, menunjuk pemimpinpemimpin lapangan dalam sebuah aksi, menunjuk seorang petugas untuk negosiasi, dll.) juga akan berhadapan dengan situasi dilematis antara “lebih mempertimbangkan eksistensi sang kader� atau “lebih mengutamakan esensi kebutuhan dari urusan penting tersebut�. Demikianlah, pada kesehariannya urusan memilih ini dapat dipahami sebagai rangkaian tindakan penuh pertimbangan dan kompromi. Pada tataran ideologis, urusan memilih ini merupakan pembukaan suatu ruang asosiasi, yakni dimana organisasi –melalui para pemimpinnya-- menciptakan ruang yang memungkinkan kader mengasosiasikan dirinya pada proses perumusan cita-cita (ideas) yang dibangun dalam organisasi atau gerakan. Sebagai pengikut (follower), kader sudah pasti tertinggal dalam babak-babak awal terbentuknya mainstream of ideas di organisasi atau gerakan yang dimasukinya, sehingga ia harus mulai dari suatu ruang cita-cita yang definitif yang telah terlebih dahulu diperdebatkan oleh para pendahulunya. Oleh karena itu, urusan memilih dalam hal ini tidak sama dengan: “organisasi yang berideologi A memilih calon-calon kader yang juga berideologi A�, tidak senaif itu! 6 Dapat dipahami kemudian bahwa di jaman ini organisasi rakyat tidak lagi mengeksplisitkan secara baku sebuah garis ideologi dalam organisasinya, terutama dalam konteks kaderisasi ini, meskipun represi ideologi-tunggal dari negara sudah tidak begitu terasa. Mereka lebih percaya pada pendekatan-pendekatan asosiatif yang memungkinkan kader atau calon kader untuk mendekatkan diri pada ideologi

6 Di sini sebetulnya terbuka peluang untuk terjadinya suatu fenomena yang disebut “margin of the objective�, yakni suatu proses terbentuknya selisih atau ruang-pinggir yang muncul karena perbedaan luas dari cita-cita yang dimiliki oleh para pemimpin – organisasi – dan kader. Dalam bentuk negatif, ketika ruang tersebut diisi oleh kepentingan dan keuntungan pribadi, lahirlah para pemimpin yang korup secara ideologis dan politis, yakni dimana mereka dapat menikmati “kelebihan� pencapaian cita-cita organisasi. Suatu contoh, para kader yang tidak memahami bahwa keuntungan yang diperoleh dari pencapaian kolektivitas cita-cita itu salah satunya adalah kolektivitas itu sendiri, tidak akan pernah paham bahwa sang pemimpin dapat saja menikmati kolektivitas yang terbangun itu sendirian!

8

organisasi sebagai arus besar cita-cita para anggotanya. 2) Hal ikhwal Mendidik. Inilah yang populer disebut sebagai pendidikan kader. Namun sebelum terabaikan, perlu diingat bahwa pendidikan di sini meliputi segala tindakan sadar yang dimaksudkan untuk mendidik kader, dengan berbagai bentuk dan cara yang dipergunakan. Berbeda dengan persoalan dalam pendidikan secara umum, hal-ikhwal mendidik kader bagaimanapun lebih mengabdi pada cita-cita ideologis dan segenap turunannya ketimbang pada kader pendidikan berikut segala perubahan yang dialaminya. Singkatnya, setiap pendidikan bercorak humanistik (mengabdi pada kemanusiaan sang manusia yang dididik), sedangkan pendidikan kaderisasi bercorak politis dan mengabdi pada cita-cita ideologis gerakan. 3) Hal ikhwal Mengikat. Dalam hal ini bukan semata menjelaskan tentang penempatan kader, baik dalam posisi-posisi struktural maupun dalam program atau kegiatan tertentu, melainkan juga menyangkut segala sesuatu yang ditujukan untukatau berdampak pada terbentuknya keterikatan-keterikatan kader pada organisasinya. Ini adalah cara pandang yang disodorkan dalam memaknai tindakan-tindakan organisasi kepada kadernya. Sebuah organisasi rakyat boleh jadi memutuskan seorang kader untuk ditempatkan pada posisi tertentu, baik dalam struktur organisasinya maupun pada jabatan-jabatan publik di luar organisasinya. Dari sudut pandang kaderisasi penempatan atau penugasan tertentu adalah perwujudan dari upaya mengikat kader tersebut pada tujuan organisasinya. Dalam analisis sederhana atas tindakan organisasi-organisasi rakyat yang menugaskan kadernya untuk menduduki jabatan-jabatan publik seperti BPD, Kepala Desa, Bupati, atau Anggota DPD, diperoleh konfirmasi bahwa hal itu memang ditujukan untuk mengikat kader tersebut pada cita-cita organisasi. Urgensi Sistem Kaderisasi Dengan penjelasan-penjelasan makna (pendefinisian) di atas kiranya dapat digambarkan nilai penting (urgensi) sistem organisasi bagi gerakan dan organisasi rakyat. Untuk memperoleh alamat yang tepat berikut ini akan dipaparkan beberapa urgensi sistem kaderisasi berdasarkan konteks yang menyertai gerakan dan organisasi rakyat. Pertama, dalam konteks tatanan (masyarakat) baru yang diperjuangkan oleh gerakan rakyat. Setiap gerakan rakyat mendambakan perubahan sosial ke arah tatanan baru. Ketika gerakan itu bermetamorfosa menjadi organisasi gerakan, atau organisasi rakyat, dia bukan hanya sedang berusaha mengorganisasi perjuangannya, melainkan juga sedang menata organisasi masyarakat yang didambakannya; pemimpin yang bijak, rakyat yang cerdas, dan tata hubungan yang adil. Oleh karena itu, bayangkanlah, misalnya cita-cita yang diperjuangkan itu berhasil, maka sistem kaderisasi akan setara dengan sistem pendidikan (nasional) baru! Sistematisasi dalam proses pengkaderan dengan sendirinya mengikuti kehendak tersebut.


Artikel Khusus

Menyiapkan Desain Kaderisasi OR yang Radikal Oleh: Fajar Irawan (Deputi Penguatan Kapasitas Organisasi dan kerja-kerja Politik Bp-PERGERAKAN)

Mengatasi paradoks gerakan sosial Tatkala gerakan sosial melahirkan beribu perlawanan, gerakan sosial tidak sedang mengabdikan diri pada proses perlawanannya. Tapi memastikan agar arus perlawanan mendorong perubahan-perubahan yang merevitalisasi kekuatan-kekuatan rakyat, yang dibangun dalam bentuk organisasi rakyat. Ini berarti gerakan sosial tidak selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan sosial-politik yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi sosial-politik tertentu. Sebab reaksi yang dibangun gerakan sosial tidak mengabdi kepada reaksi, melainkan dimaksudkan untuk mengubah atau memulihkan kondisi tersebut, kepada suatu keadaan baru. Keadaan yang dipandang lebih baik dan bermakna. Oleh karena itu, pembangunan sosial dan ekonomi-politik gerakan sosial mesti menempatkan organorgan pendukungnya dalam sistem ideologi, kolektifitas dan garis massa yang meneguhkan perjuangan dalam sistem keorganisasiannya. Uraian di atas menempatkan gerakan sosial sebagai upayaupaya penuh kesadaran dan dilakukan secara kolektif dan terorganisir untuk mendorong perubahan social dengan menggunakan taktik-taktik non-institusional. Sementara jika dikaitkan dengan langkah-langkah transformasi sosial, maka keberlangsungan gerakan sosial tergantung pada proses regenrasi yang tumbuh dalam organisasi rakyat. Regenerasi para kader harus dijawab dengan cepat dan tepat. Sayangnya belakangan ini, kecenderungan yang kerap teramati lebih banyak menampilkan keadaan organisasiorganisasi rakyat yang akrab dengan manajemen organisasi modern berikut segala sistematikanya, menghadapi dilema manajerial dan mungkin pula lupa, arah mana yang henda dituju. Karena lebih banyak mengurus berbagai rupa proyek-proyek pembangunan masyarakat. Kini nampak sulit membedakan antara organisasi rakyat dengan organisasi non-pemerintah/LSM. Semaoen menerangkan tiga model persatuan – gerakan perjuangan rakyat sebagai alat pengorganisasian diri dan

penguatan kepemimpinan rakyat. Pertama, organisasi perdagangan (koperasi). Kedua, organisasi buruh (sektor). dan ketiga organisasi politik (partai). Namun Semaoen memberikan beberapa catatan penting berkenaan dengan organisasi perdagangan maupun organisasi politik. Baginya kedua organisasi tersebut memiliki persoalan yang lebih kompleks dibandingkan organisasi sektor. Organisasi perdagangan memang baik untuk menciptakan kemandirian ekonomi rakyat, tapi model ini dianggap terlalu lamban, bahkan memiliki masa hidup singkat untuk bisa diharapkan dapat membangun perlawanan. Kenapa, penjelasan pertama karena kapitalis (sebagai lawan gerakan sosial) lebih cepat melakukan akumulasi modal. Kedua, organisasi yang berbasis perdagangan, relatif lemah dalam menantang lawannya, sebab terganjal oleh satu mekanisme pembagian keuntungan, yang jika tidak memuaskan beberapa pihak, umumnya organisasi bisa bubar di tengah perjalanan. (Semaoen – Hikajat Kadiroen Hal. 116). Lantas oganisasi politik, model ini mengundang resiko yang sangat berat. Sebab tujuan utamanya adalah menantang kekuasaan, lebih jauh lagi akan merebut kekuasaan politik, melalui cara mengambil alih kekuasaan pemerintah atau negara. Untuk mencapainya diperlukan infrastruktur yang memadai, mulai dari kepemimpinan politik yang teruji dan terpercaya, struktur gerakan yang tersentralisasi, adanya kekuatan massa yang tangguh dan militan serta tidak mudah dicederai (dipecah-belah) – (Bab 2 Tentang “ Tiga Matjam Perkoempoelan Jang Penting�, Semaoen, Penoentoen Kaoem Boeroeh dari Hal Sarekat Sekerdja, Soerakarta: Pesindo, 1920-

9


Artikel Khusus 1946, hal. 10). Jadi cara rakyat membangun perubahan sosial yang berkeadilan adalah menggunakan cara membangun menantang kekuasaan yang dzalim melalui organisasi sektor. Pilihan ini dianggap mampu mendorong perlawanan yang paling efektif dan mengundang resiko lebih kecil. Argumennya ialah, kelompok-kelompok rakyat lebih mudah bersatu karena kesamaan profesi dan kesamaan nasib sepenanggungan. Kemudian, aktivitas dalam organisasi sejalan dengan pekerjaan di masing-masing lahan kerjanya, bahkan dipandang tidak akan mengganggu relasi sosial di antara mereka, baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerja.

yang mengembangkan politisisasi organisasi. Bagimana mengelola tingkatan atau ruang–ruang yang mengayakan peran komunitas-kader, selain tetap dinamis, dan meluas hingga berlanjut pada khalayak luas. Radikalisasi dan kaderisasi tidak cukup, jika terlokalisir pada batas keorganisasian tertentu. Tak akan mungikin Organisasi rakyat melakukan perlawanan terhadap penindasan–baca:kapitalis dan neoliberal, jika terusmenerus bersifat sektoral. Perlawanan sekaligus penataan juga mesti mengorganisir diri pada wilayah (teritorial) dimana kader itu hidup, untuk mengkoordinasikan gerakan perlawanan dan menyatukan persepsi tentang semangat – idelogi gerakan sosial. Menyiapkan

Itu pula sebabnya, kenapa kita mesti ada garis tegas antara organisasi rakyat dengan organisasi non pemerintah/LSM. Sebab dari cita-cita dan wataknya, jelas bahwa organisasi pertama mengandalkan sejumlah basis massa yang jelas dan terukur. Lahir dari komunitas yang mengalami marjinalisasi, itu oula sebabnya ada relasi mandat dari basis massa yang mendukungnya. Organisasi ini juga cenderung mengandalkan keswadayaan, dan umumnya memiliki rentang hidup lebih lama. Sedangkan tipikal organisasi non pemerintah/LSM sangat mengandalkan logistik, itulah sebabnya organisasi dihidupi oleh aneka rupa proyek-proyek pembangunan masyarakat. Ciri paling mudah dikenali, organisasi ini tidak memiliki garis massa, karena tidak memiliki mandat dari komunitas apapun. Jelas tidak membasis, sehingga rentang hidupnya lebih terbatas.

Catatan pada bagian ini ingin menunjukkan bagaimana gerakan sosial menempatkan perlawanan dengan bertumpu pada penataan organisasi yang mengkombinasikan pembangunan gerakan berbasis sektor, sekaligus menguasai teritorialnya. Catatan ini juga mengharapkan proses kaderisasi, selain memastikan radikalisasi pada basis massa organisasinya, sekaligus akan semakin memperbesar dan meluaskan wilayah rekruimen dan penugasan peran kader, melibatkan massa non-anggota, melalui aksi-aksi kolektif yang melebar baik dalam setiap tingkat kepemimpinan maupun tahap-tahap perjuangan gerakan. Lebih jauh lagi, bekerjanya kombinasi sektor dan teritorial ini diperhitungkan dapat menjaga berkembangnya organisasi yang mendorong terbentuknya relasi sosial kolektif dan tumbuhnya vitalitas politik massa rakyat.

Jelas sudah bahwa gerakan sosial lebih memerlukan keberadaan organisasi rakyat yang berakar pada massa yang militan dan menempatkan basis massa sebagai tulang punggung organisasi (frontliner). Organisasi rakyat menyediakan ruang terbuka yang dapat diikuti oleh seluruh anggotanya, merangsang terjadinya tukar pikir-pengalaman, atau menjadi tempat berlangsungnya diskusi-diskusi masalah teoritis dan praktis. Organisasi lebih banyak mengembangkan dirinya menjadi tempat penempaan peran politik komunitaskomunitas miskin marjinal. Sedang peran politik itu akan mengisi baik di jaringan politik internal gerakan hingga di institusi-institusi politik seperti parlemen, pemerintahan di berbagai tingkatan, partai politik hingga institusi-institusi sosial lainnya.

Ikhtiar untuk menyiapkan kaderisasi yang radikal dalam suatu organisasi rakyat utamanya adalah berasaskan pada integrasi organisasi dengan massa rakyat. Pertama, menyiapkan skema politik kader yakni kesetiaan tanpa batas, dilandasi terjalinnya hubungan dengan massa, berkemampuan bekerja mandiri dalam kendali organisasi, atau menjaga ketaatan kepada disiplin organisasi. Politik kader tidak semata-mata diperoleh dari struktur kepemimpinan maupun unit kerja atau unit program. Tidak semata-mata terbentuk sendirinya, setelah organisasi rakyat membentuk inti pimpinan yang disertai dengan susunan kriteria dan indikator atau ukuran bagi sekelompok orang dan pimpinan inti sehingga bisa diikuti seruan dan tindakannya. Politik kader dihasilkan dari sistem organisasi yang menjalankan tugas pokok seperti pengorganisiran, produksi, penataan- baca: pendidikan, berikut disertai korektif-konstruktif atau kritik oto kritik pada pekerjaan, apakah untuk memeriksa kader atau untuk kepentingan hal-hal lainnya.

Namun Kecenderungan sebaliknya dapat terjadi, apabila para pimpinan organisasi, memiliki kecenderungan mempertahankan dirinya agar tetap bisa berkuasa, kemudian mereka berusaha mentransformasikan dirinya sebagai perwakilan kepentingan tertentu dalam basis massa organisasinya. Organisasi–organisasi rakyat akan terjebak dalam dinamika politik yang berlangsung stagnan dan sarat pragmatisme. Hal itu ditandai oleh terpolarisasinya perjuangan organisasi rakyat dalam sejumlah kekuatan faksional, hal ini jelas akan mengancam keberadaan gerakan sosial yang otonom mendorong perkuatan basis-basis penggeakan rakyat. Itulah sebabnya suatu organisasi rakyat harus mempertahankan radikalisasi kader dengan tetap melanjutkan kepemimpinan

10

kaderisasi yang radikal mengandaikan suatu tahapan yang mendorong orang atau komunitas membentuk sikap yang korektif-konstruktif menyesuaikan diri pada ruang-ruang politik yang tersedia. Korektif berarti kesanggupan mengubah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sedangkan konstruktif dimaksudkan dengan kesediaan untuk menjalani dan menempatkan kekuatan-kekuatan yang menegakkan dan memperluas wilayah transformasi. Kedua, mengintegrasikan proses membangun hubungan antara kader organisasi dengan massa yang menjadi basis


Artikel Khusus organisasinya. Di sini integrasi merupakan peleburan jarak komunikasi antara organisasi rakyat dengan komunitas. Diarahkan untuk menggali harapan-harapan, aspirasi, kesulitan-kesulitan hidup untuk saling memperkuat diri. Relasi komunikasi menjadi instrumen kader untuk memahami budaya, sejarah, ekonomi, kepemimpinan, gaya hidup komunitas sehingga diperoleh suatu cara untuk membangun kepercayaan dan kerjasama antara organisasi rakyat dengan massa rakyat. Integrasi antara organisasi dengan massa rakyat, memadukan kepentingan umum dengan kebijakan organisasi atau tuntunan khusus, melalui pertautan kelompok inti (umumnya terdiri dari pimpinan organisasi dan kader-kader teruji dan militan) dalam organisasi rakyat dengan massa luas. Integrasi ini memastikan terorganisirnya massa rakyat. sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam berbagai kegiatan social-ekonomi baik formal maupun informal bersama komunitas. Sehingga tugas kaderisasi ialah memperbarui dan menggalang semua kekuatan, agar organisasi dapat bertindak sesuai dengan garis massa. Jangan mencampurkan adukkan proses integrasi dalam kerangka kaderisasi dengan pengorganisasian advokasi kasus tertentu. Pengorganisasian massa dalam kerangka advokasi oleh kader dipahami sebagai proses mobilisasi massa, Sedangkan dalam kerangka kaderisasi diarahkan sebagai proses transformasi keorganisasian aksi-aksi kolektif berbasis komunitas yang menghilangkan dikotomi antara aktivis pelajar-kota progresif dengan dengan massa rakyat. Kedua asas itulah yang mendasari desain kaderisasi yang sistematis sekaligus menumbuhkan proses radikalisasi kader dan massa rakyatnya. Radikalisasi sekaligus kaderisasi menjadi suatu wilayah di mana perjuangan orang-orang yang ditindas bisa menemukan muaranya. Lalu bersedia menempatkan organisasi, bahkan cita-cita politik sebagai arena perjuangan, sembari memperluas keterlibatan mayoritas kaum miskin dan tertindas masuk ke wilayah politik dengan memperjuangkan seluruh kepentingan dan kebutuhannya. Di manapun saja pada umumnya massa terdiri dari tiga bagian; yang relatif aktif, yang setengah-setengah dan yang pasif. Maka itu pemimpin harus selalu tergerak mempersatukan elemen-elemen aktif yang kecil jumlahnya sebagai tulang punggung untuk menggerakkannya, lantas menetapkan kewenangan kepada mereka sehingga dapat meningkatkan taraf elemen-elemen yang setengah-setengah dan menarik elemen pasif. Sekelompok inti orang dan pemimpin yang didudukkan sebagai tulang punggung yang benar-benar sepaham dan berhubungan dengan massa hanya bisa terbentuk secara berangsur-angsur dalam perjuangan massa dan tidak bisa terbentuk lepas dari perjuangan massa. Dalam banyak hal, Sekelompok inti orang dan pemimpin yang didudukkan sebagai tulang punggung tidak seharusnya dan juga tidak mungkin tetap sama seluruhnya pada tingkat permulaan, tingkat pertengahan dan tingkat terakhir dalam suatu proses perjuangan besar; aktivis-aktivis yang muncul dalam perjuangan harus terus menerus dipromosikan untuk menggantikan elemen-elemen dalam semula yang telah

menjadi kurang baik dibanding dengan orang sebelumnya, atau orang-orang yang telah merosot semangat dan kualitas kerjanya. Semakin jelas bahwa sistem kaderisasi menjadi suatu kebutuhan yang mesti dikokohkan dalam suatu organisasi rakyat, apapun bentuknya asalkan tidak beranjak dari tata kolektif organisasi gerakan sosial. Semakin jelas pula bahwa tanpa menjaga radikalisasi, maka pengkaderan dalam organisasi rakyat, tidak lebih dengan menempatkan kader hanya sebagai satu aspek dalam manajemen organisasi, yakni tenaga kerja atau sumberdaya manusia. Menyiapkan radikalisasi dalam sistem kaderisasi suatu organisasi rakyat mesti dilakukan atas dasar kesadaran dan asas kolektif dari berbagai organisasi rakyat –paling tidak yang saat ini berada dalam naungan Pergerakan. Sedagkan radikalisasi itu sendiri nantinya akan lebih banyak ditentukan pada level kesadaran, organisasi rakyat akan menentukan hidup matinya keyakinan dan cita-cita yang diperjuangkannya sendiri. Sedangkan asas kolektif ini menanamkan pemahaman politik-organisasional bahwa kader merupakan unsur paling penting dan strategis yang menentukan hidup matinya organisasi rakyat. Menurut argumen di atas, maka organisasi yang radikal melalui Kader yang radikal sama dengan menjaga proses perlawanan yang radikal disertai dengan pembentukan karakter orang agar ia memiliki keyakinan yang radikal pada perjuangan rakyat, tidak hanya di dalam kelompoknya. Kader pula yang menjaga agar setiap orang-komunitas saling memahami kepentingan personal maupun organisasional satu sama lain, dan belajar menyikapi masalah-masalah bersama dalam dinamika organisasinya(kolektif ). Kaderisasi yang radikal juga menjaga kesinambungan organisasi tatkala dalam dinamika perlawanan, pengorganisasian maupun dinamika penataan organisasi. Kondisi demikian menghadapkan para kader dalam organisasi rakyat dengan preferensi terbatas yakni keluar dan tidak menjadi duri dalam daging, atau tetap menjaga citacita ideologisnya, sekaligus menjawab tantangan organisasi, melakukan regenerasi gerakan perlawanan rakyat. Berbicara radikalisasi dalam sistem kaderisasi organisasi rakyat menjadi tidak hanya terbatas pada buku panduan pendidikan, kurikulum, modul dan penyelenggaraan pendidikan dalam kelas atau luar saja. Namun lebih dari itu sistem kaderisasi berkaitan dengan berbagai aspek dalam organisasi. Mulai dari ideologi atau keyakinan yang dianut oleh satu organisasi, strategi, taktik dan agenda-agenda organisasi, kepemimpinan, sumberdaya logistik, sistem informasi, serta proses-proses penugasan, penempatan dan pengawalan Menyiapkan sistem kaderisasi yang radikal mesti dilakukan atas dasar kesadaran dan asas kolektif dari berbagai pihak organisasi rakyat. Organisasi rakyat akan ditentukan hidup matinya keyakinan dan cita-cita yang diperjuangkannya secara radikal. Sedangkan asas kolektif ini menanamkan pemahaman politik-organisasional bahwa kader merupakan unsur paling penting dan strategis yang menentukan hidup matinya organisasi rakyat.

11


Artikel Khusus Berdasarkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari pengalaman Pergerakan mendukung agenda penataan kaderisasi di lima organisasi rakyat dari berbagai sektor, Pergerakan menemukan setidak-tidaknya ada lima sendi keorganisasian untuk menjaga kaderisasi seiring dengan radikalisasi, yaitu: pertama, Kejelasan, kesadaran serta keteguhan atas cita-cita politik kolektif; kedua, adanya perlindungan kebijakan internal organisasi yang secara tegas menjamin dan mengembangkan agenda-agenda kaderisasi secara konsisten; ketiga, adanya sinergi dari para pimpinan sentral organisasi, para pimpinan-pimpinan kelompok basis dan anggota organisasi rakyat untuk menjalankan agendaagenda kaderisasi; keempat, adanya data dan informasi yang baik mengenai objek dan subjek penggerak proses kaderisasi; kelima, dukungan basis produksi-keswadayaan anggota sebagai penunjang keberlangsungan dan kesinambungan implementasi proses kaderisasi. Keempat prasyarat itu tidak bisa dikesampingkan jika benar-benar organisasi rakyat ingin memiliki daya hidup yang lebih panjang. Radikalisasi menjadi dasar argumentasi yang menempatkan kaderisasi sebagai konsepsi determinan. Radikalisasi harus memenuhi representasi solusi atas semua problem keorganisasian, seperti politik, sosial dan ekonomi. Sehingga kaderisasi paling tidak akan menjadi suatu rangkaian peristiwa atau aktivitas yang tidak linear. Karena kaderisasi mirip dengan menyusun sebuah sejarah. Walaupun fleksibel dan tidak linear, kaderisasi harus terlindungi dari gesekan kepentingan antarindividu atau pimpinan-pimpinannya, yang dapat dipastikan membawa motif-motif tertentu yang mempengaruhinya. Sehingga kaderisasi dapat saja diatur baku sebagai suatu urutan yang teratur. Yakni suatu mekanisme yang mengatur dan menata peran orang-orang untuk mewujudkan cita-cita suatu organisasi rakyat. secara umum fleksibilitas pada sistem kaderisasi yang diatur secara baku dapat dikenali dalam beberapa tahap, yakni tahap mencari dan memilih kader, tahap mendidik-mengayakan keyakinan, pengetahuan dan kecakapan, serta tahap penugasan dan penempatan sebagai upaya ’pengikatan’ para kader untuk menjalankan sistem keyakinan dan citacita yang diusung organisasi rakyat. Berbagai tahap tadi, terutama terkait penugasan dan penempatan, dilindungi oleh mekanisme pengawalan kader dan aktivitasnya. Pengawalan ini menjadi salah satu bagian vital, karena berfungsi meluruskan sistem kaderisasi yang dapat saja menumpulkan proses radikalisasi. Selanjutnya saat dipraktekkan, penyiapan sistem kaderisasi yang menempa radikalisasi organisasi ditentukan oleh beberapa langkah. Langkah pertama yang utama ialah meninjau orientasi – watak ideal kader dan bentuk kaderisasi dapat diawali dengan mengidentifikasi dan menilai kembali sasaran-sasaran kaderisasi. Sasaran-sasaran tersebut, sudah tentu yang diyakini dapat secara konsisten, permanen dan nyata meningkatkan kekuatan dari dalam organisasi dan tidak justru menggantung kekuatan gerakan dengan unsur atau kekuatan dari luar. Kemampuan kader yang berwatak inilah yang mestinya dibentuk dan diperkuat dalam kaderisasi. Pada akhirnya kader memiliki kesadaran akan posisi dan

12

kondisi kekuatan dari organisasi dan gerakan, yang nantinya juga ikut menjadi faktor pokok yang menentukan bentuk dan rute perjalanan gerakan. Langkah kedua, mengindentifikasi dan menilai kembali strategi kaderisasi sebagai jalan pembelajaran kader, sembari jalan penguatan kapasitas sosial-politik organisasi hingga strategi organsasi yang hendak ditempuh. Langkah ini selain berbasis pada pemahaman ideal atas tujuan yang hendak dicapai, juga harus diimbangi dengan pengetahuan obyektif atas tujuan ideal yang hendak dicapai itu. Hindari subyektifitas dan menyikapi situasi secara pragmatis. Sebab pada bagian kedua ini, potensi-potensi kepemimpinan ari para kader gerakan sosial yang ada di organisasi rakyat akan tersemai dan mulai diarahkan agar dapat menjadi faktorfaktor pendukung maupun bagian regenerasi penting dari pelapisan kerja advokasi dan kepemimpinan politik rakyat. Selanjutnya, beralih pada langkah Ketiga, organisasi tidak boleh mengabaikan lingkungan sosial-politik massa rakyat. Organisasi melalui sistem kaderisasi, selalu menilai dan menimbang kembali tingkat penerimaan sosial (social acceptability) dari basis massa kepada organisasinya. Hasil penilaian dan pertimbangan, hendaknya dijadikan sebagai stimulan para kader untuk berkembang menjadi penggerak gerakan tidak hanya di dalam organisasi, tapi termasuk di masyarakatnya. Menggerakkan massa di luar organisasinya, berarti melanjutkan proses konsolidasi dan penguatan organisasi melebar, melintasi lingkar-lingkar lain dari gerakan sosial. Pada sisi lain, menilai tingkat penerimaan sosial sama artinya dengan memperbesar kemampuan untuk mengindentifikasi musuh taktis dan musuh strategis. Dengan kata lain, menyiapkan desain kaderisasi organisasi rakyat yang radikal, tidak cukup diukur dengan kecanggihan sistematikanya saja, tidak cukup dengan tertatanya rangkaian proses pemilihan-rekruitmen, pendidikan-pengayaan, serta penugasan dan pengawalan kader-kader organisasi rakyat, jika tidak menjamin terjadinya peningkatan kualitas pentahapan perjuangan dan kapasitas demokrasi dalam organisasi. Tidak juga memberikan jaminan terbentuknya watak radikal dari kader-kader organisasi bersangkutan. Karena pencapaian atas kualitas pentahapan perjuangan dan pembentukan watak radikal para kader, maka tidak terjadi pencapaian radikal organisasi, dan organisasi tidak akan mampu bertahan dalam trayek perjuangannya, menata ulang tatanan sosial yang demokratis berkeadilan.[]


Berita Khusus

ORGANISASI TANI SEBAGAI UJuNG ToMBAK uNtuK PERuBAHAN SoSIAL Pengalaman 14 Organisasi Petanidi Indonesia untuk Membangun Kekuatan Bersama Hilma Safitri (Penanggung Jawab Sekolah Politik Untuk Reforma Agraria/SPORA)

Berangkat dari kebutuhan untuk melakukan proses memperkuat organisasi tani di Indonesia, SPP bekerjasama dengan KPA dan Pergerakan sejak tahun 2005 berinisiatif untuk membangun satu wadah agar organisasi tani di Indonesia bisa melakukan perlawanan secara “bersama-sama”1. Baik berdasarkan hasil asesment maupun penuturan secara umum seluruh peserta SPORA angkatan I ini, bahwa aliansi maupun wadah yang ada belum mampu memberikan fungsi yang sebenarnya, minimal untuk menyuarakan aspirasi petani. Sebut saja salah satu fungsi yang diharapkan dari didirikannya wadah nasional organisasi tani, yaitu sebagai mediator antara anggota-anggota organisasi petani maupun petani pada umumnya dengan para birokrat di tingkat nasional. Dan banyak fungsi-fungsi lain yang belum dirasakan maksimal oleh organisasi tani di Indonesia dengan keberadaan wadah organisasi tani nasional di Indonesia 2.

1 Tulisan ini merupakan catatan dari pelaksanaan SPORA Angkatan I , Maret 2007. 2 Ada 14 pimpinan orgnisasi tani yang menjadi peserta SPORA angkatan I, yaitu (1) SPP- Jawa Barat (Serikat Petani Pasundan), (2) STKS – Jawa Barat (Serikat Rani Kabupaten Sumedang), (3) PPRTS – Jawa Barat (Persatuan Perjuangan Rakyat dan Tani Subang) , (4) APSS –Sumatera Utara (Aliansi Petani Siantar Simalungun), BPRPI – Sumatera Utara (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia), (5) PPJ (Persatuan Petani Jambi) – Jambi , (6) STAB – Bengkulu (Serikat tani Bengkulu), (7) IPL – Lampung (Ikatan Petan Lampung), (8) ORTAJA – Jawa Tengah (Organisasi tani Jawa Tengah), (9) PPAB –Jawa Timur (Persatuan Petani aryo Blitar), (10) SRKB – Jawa Timur (Serikat Rakayat Mandiri Bersama), (11) STKS – Nusa Tenggara Timur (Serkat Tani Kabupaten Sikka), (12) SPM – Nusa Tenggara Timur (Serikat Petani Manggarai), (13) SPN ToliToli – Sulawesi Tengah (Serikat Petani dan Nelayan

Inisiatif ini kemudian disebut SPORA (Sekolah Politik untuk Reforma Agraria), diinisiatifi oleh SPP (Serikat Petani Pasundan), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)3 dan Pergerakan4. SPP, salah satu serikat tani (terbesar) di Indonesia, merupakan anggota KPA dan Pergerakan, secara intensif melakukan pembicaraan tentang visi dan misi inisiatif SPORA. Tidak dapat dipungkiri, pembicaraannya sangat diwarnai dengan pengalaman berbagai pengalaman pengorganisasian secara masif yang dilakukan oleh serikat / organisasi di negara lain. Bukan bermaksud untuk memberikan tawaran utuh terhadap satu pengalaman dari satu negara tetapi SPORA mencoba menawarkan kepada seluruh peserta model pengorganisasian

Toli-Toli), (14) SPP QT – Jawa Tengah (Serikat Petani Paguyuban Qariyah Tayibah). 3 (KPA – Konsorsium Pembaruan Agraria/ Consortium for Agrarian Reform). Salah satu Organisasi nasional yang memperhatikan masalah Gerakan Reforma Agraria. . 4 PERGERAKAN – People Centered Advocacy Institute, Organisasi nasional di Indonesia yang fokus pada Penguatan Organsasi rakyat.

13


Berita Khusus

yang umumnya adalah pimpinan organisasi petani di Indonesia menilai bahwa masing-masing organisasi yang dipimpinnya mempunyai karakter yang sama sekali berbeda dengan HKTI5 maupun organisasi petani lainnya yang terus berkembang saat ini dimana ada campur tangan pemerintah didalamnya. Keyakinan ini merupakan modal besar bagi seluruh peserta untuk menterjemahkan sejumlah pengalaman MST di Indonesia, karena hampir seluruh organisasi petani yang menjadi peserta merupakan bentukan atau akumulasi dari permasalahan yang dihadapi petani tak bertanah, dimana mereka tidak memiliki alat produksi yaitu tanah, baik karena haknya dirampas atau disebabkan karena ketiadaan akses terhadap tanah.

yang kira-kira ideal bagi pengorganisasian masa petani di Indonesia. Salah satu yang paling menjadi inspirasi bagi SPORA ini adalah pengalaman pengorganisasian organisasi petani di Brazil, yaitu MST. Disadari penuh bahwa ada beberapa konteks maupun latar belakang yang tidak dapat dipersamakan dengan keberadaan organisasi petani di Indonesia. Lagi-lagi, yang ingin ditegaskan didalam SPORA adalah bahwa pengalaman MST didalam pengorganisasiannya dapat ditarik pelajaran penting, yaitu struktur pengorganisasian yang sistematis dan terukur untuk satu tujuan pembentukan komunitas/ masyarakat baru. Pertanyaan pentingnya adalah Bagaimana di Indonesia? Dengan keberadaan organisasi petani yang beragam (baik pola pengorganisasian yang sudah berjalan maupun strategi perjuangan yang sedang dilakukan) dan tersebar di berbagai pulau-pulau besar di Indonesia, bagaimana struktur pengorganisasian yang dibayangkan. Minimal dari SPORA angkatan I ini, secara bersama-sama peserta menyepakati untuk menurunkan platform bersama untuk perjuangan petani dari tujuan untuk kesejahteraan rakyat yang berkeadilan menjadi pembentukan komunitas baru (yang dibayangkan), seperti halnya MST. Berangkat dari eksplorasi pengalaman MST yang disampaikan dengan metode menonton film dokumenter maupun pemaparan-pemaparan dari beberapa aktivis yang sempat melakukan survey langsung ke basis-basis MST, banyak hal yang menjdi titik krusial dimana sesungguhnya pengalaman MST tidak dapat secara langsung diterapkan di Indonesia, dan sebaliknya sesungguhnya banyak ‘modal-modal’ yang sudah dimiliki oleh organisasi-organisasi petani di Indonesia jika ingin menterjemahkan pola-pola pengorganisasian MST di Indonesia. Bagaimana Keberadaan Organisasi Petani di Indonesia? Setidaknya, dari eksplorasi pengalaman peserta SPORA, dapat ditarik beberapa pelajaran tentang kondisi organisasi petani di Indonesia. Dengan meyakinkan, peserta SPORA

14

Hasil eksplorasi dan proses diskusi yang mendalam banyak hal-hal yang harus diperbaiki bersama, tentunya dalam kerangka untuk mencapai tujuan bersama yaitu membentuk komunitas baru. Disadari penuh bahwa berbagai karakter teridentifikasi sebagai corak organisasi petani di Indonesia dengan memperhatikan latarbelakang tumbuhnya organisasi tani, kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang beragam di setiap organisasi petani peserta SPORA. Misalnya ciri-ciri keanggotaan, umumnya kenaggotaan organisasi petani di Indonesia adalah Kepala Keluarga/Rumah Tangga. Jumlahnya beragam antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, dari mulai organisasi yang beranggotakan ratusan hingga ribuan anggota, dan walaupun secara umum seluruh organisasi petani mengutamakan pengorganisasian Landless namun ada juga yang beranggotakan petani pemilik tanah. Modal terbesar yang dimiliki organisasi tani yang ada di Indonesia, pada umumnya mendudukkan strategi pendudukan tanah sebagai strategi pokok perjuangannya, selain beberapa organisasi tani juga memiliki strategi pokok perjuangannya yaitu memperkuat atau meningkatkan

5 HKTI = Himpunan Kerukunan Tani Indonesia , Salah satu organisasi tani di Indonesia yang didirikan oleh pemerintahan Indonesia sejak era Suharto (Masa Orgde Baru).


Berita Khusus memperkuat organisasinya masing-masing. Demikian gambaran dari apa yang terjadi didalam diskusi selama kelas lanjutan 6 bulan setelah seluruh peserta diberikan kesempatan merefleksikan seluruh materi yang ada didalam 12 hari intensif.

produktivitas pertanian, memperkuat institusi-institusi local dan sebagian sudah memasuki arena politik praktis (minimal menggunakan agenda-agenda politik yang ada dalam konteks menggeser kekuasaan ke tangan rakyat). Berbicara tentang cakupan wilayah pengorganisasian, dengan latar belakang Negara Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, maka keberadaan organisasi tani di Indonesia tercakup dalam wilayah pengorganisasian dari cakupan desa/kampong sampai ke cakupan propinsi maupun region. Ketika berbicara tentang kepemimpinan dan kaderisasi, sangat disadari bahwa organisasi tani di Indonesia haruslah berkolaborasi dengan kelas menengah atau kalangan terdidik di perkotaan, sehingga kesan yang tampak adalah organisasi tani di Indonesia masih didominasi oleh kaum terdidik atau aktivis dari perkotaan. Keseluruhan dari point-point yang diuraikan diatas, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya disadari penuh menjadi modal utama bagi organisasi tani di Indonesia untuk memulai menyusun strategi baru untuk satu tujuan bersama. Dalam jangka pendek, yaitu untuk mempersamakan gerak langkah dalam menghadapi gelombang dinamika yang selalu datang setiap saat. Salah satunya yang sedang bergulir saat ini adalah hampir diluncurkannya National Agrarian Reform Program (PPAN6) pada bulan April 2007. Walau bagaimanapun, PPAN tidak menjadi satu hal yang ditargetkan didalam dijalankannya SPORA, tidak juga sebagai respon atas inisiatif ini. Dijalankan atau tidak program ini, disadari oleh seluruh peserta SPORA angkatan I bahwa moment ini merupakan salah satu celah untuk

6 Salah satu program nasional pemerintah Indonesia yang berjudul PPAN, yang intinya hanya akan membagi-bagikan kurang lebih 8,15 hektar kepada rakyat. Update terakhir, PPAN ini walaupun berjudul Pembaruan Agraria, tetapi esensinya bukanlah Agrarian Reform yang diimpi-impikan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Didalam proses evaluasi dan refleksi, diutamakan seluruh peserta memberikan evaluasinya sendiri terhadap mainstream yang ditawarkan yaitu citacita bersama untuk menciptakan komunitas baru melalui pembangunan dan penguatan organisasi tani di wilayahnya. Didalam agenda yang disebut evaluasi dan refleksi banyak dikemukakan beberapa kendala internal organisasi didalam menerapkan ide menciptakan komunitas baru yang sudah disepakati bersama oleh seluruh peserta SPORA. Hal ini tidak dapat dihindari, karena memang beberapa kondisi di beberapa lokasi sudah merupakan kondisi yang bisa dikatakan establish. Disinilah tantangan bagi seluruh peserta SPORA untuk dapat mengatasinya. Hal yang paling kritis dan sangat menjadi penekanan selama proses evaluasi ini adalah konsep kolektivisme. Bagaimana sebenarnya konsep ini berjalan dan apa saja kendala di lapangan. Sesuai dengan skema kelas lanjutan ini, maka hal-hal yang menjadi titik krusial setiap pesertalah yang kemudian terus diperdalam dalam kelas lanjutan ini. Maka sejak usainya agenda evaluasi dan refleksi, pengelola SPORA dengan segera mengarahkan kepada setiap narasumber dan fasilitatornya untuk tetap memberikan pendalaman tentang apa itu kollektivisme Tentang SPORA Sebagaimana sudah diuraikan diatas, SPORA merupakan inisiasi dari pembentukan satu institusi politik rakyat yang bertujuan untuk membangun keterkaitan satu sama lain antar organisasi tani yang ada di Indonesia, dengan pendekatan menyelenggarakan rangkaian pendidikan bagi pimpinan organisasi tani. Mengapa pimpinan organisasi tani? Pilihan pimpinan yang (harus) menjadi peserta SPORA dilatarbelakangi dengan maksud dan tujuan tertentu yaitu untuk membangun satu kekuatan bersama antar organisasi tani dan secara tekhnis, jika terbangun berbagai kesepakatan dalam rangkaian pendidikan didalam SPORA maka peserta yang adalah pimpinan organisasi tani ini akan melekatkannya pada kegiatan berorganisasinya sehari-hari. Jika perlu, peserta (atas kesepakatan bersama sesame peserta) memodifikasi strategi perjuangannya pada masa yang akan dating, hal ini hanya bias dilakukan oleh pimpinan organisasi tani. Rangkaian pendidikan yang diselenggarakan SPORA terdiri dari 3 kegiatan utama, yaitu pendidikan In-Class (utama), pendidikan Out-Class (Field Practises) dan (kembali) melakukan pendidikan In-Class (lanjutan). Yang baru saja dilakukan adalah pendidikan In-Class (utama), kurang lebih 12 hari dengan materi-materi yang terdiri dari 3 blok materi yaitu, Blok I: LR atas Inisiatif Rakyat, Blok II: Organisasi Tani dan Blok III: Pembangunan “Jaringan Gerakan�. Sementara

15


Berita Khusus yang sedalam dalam proses saat ini atau pendidikan Out Class, selain ada penugasan-penugasan khusus untuk seluruh peserta, juga peserta yang merupakan pimpinan organisasi tani akan merefleksikan seluruh yang sudah dilakukan selama ini dengan konteks membangun organisasi tani yang kuat dan massif di Indonesia (minimal terbangunnya solidaritas dan keterkaitan antara 19 organisasi tani yang menjadi peserta SPORA). Skema yang dibayangkan untuk pendidikan In-Class (lanjutan) adalah selain melakukan evaluasi bersama juga akan diisi dengan pendalaman-pendalaman materi tertentu. Pada pelaksanaannya, sebelum kelas lanjutan dilangsungkan,

pengelola SPORA melakukan rapid assessment terhdap kebutuhan peserta akan materi yang hendak diperdalam, dan untuk SPORA angkatan I ini ada 3 hal yang menjadi kebutuhan, yaitu tentang Basis Produksi Organisasi Petani/ Rakyat, Politik Hukum Agraria dan Penataan Ruang di Desa.

Skema SPORA Kelas 1

6 bulan Pendidikan dasar In-Class: 12 hari

Praktek lapangan (Dengan tetap mengutamakan kerja-kerja pengorganisasian sebagai organiser dan pemimpin organisasi):

• • • •

Upaya menemukan “wilayah pembebasan” Upaya mencari cara dan metode “baru untuk membangun gerakan yang berporos pada konsolidasi

Review Peningkatan dan pengayaan hasil.

Hasil yang diharapkan: Hamabatan-hambatan, kemajuankemajuan dan penjelasan mengenai hal0hal kecil yang harus dibenahi

Harus di evaluasi oleh peserta setelah Praktek lapangan selama 6 bulan

Untuk membangun dan mempelopori terciptanya jaringan kerja-kerja reforma agraria diantara organisasi tani

PROGRAM SPORA

16

Pendidikan Lanjutan In-Class: 7 Hari


Kalender Kegiatan

Saatnya Bagi Organisasi Rakyat Membangun Kekuatan Poltik Catatan dari Lokalatih Memperkuat Agenda Politik Organisasi Gerakan Sosial di Indonesia Bandung, 28 -30 Juli 2007

Latar belakang Sekolah Politik1 Proses demokratisasi yang bergulir selama satu dekade ini, masih berkisar pada penataan prosedural. Perubahan pada wilayah prosedural seperti sistem pemilu pada dasarnya hanya menyediakan ruang kompetisi politik yang pada prakteknya lebih menguntungkan kekuatan-kekuatan status quo yang memang telah memiliki akumulasi modal politik dan ekonomi. Sehingga dianggap wajar jika perubahan yang terjadi saat ini tidak hanya belum dirasakan manfaatnya oleh kalangan masyarakat miskin bagi peningkatan derajat kehidupannya, bahkan telah semakin memperkokoh kekuatan status quo dan kepentingan modal yang semakin meminggirkan rakyat miskin. Sekalipun terjadi perubahan politik substansial, suatu perubahan mendasar untuk menyebut pergeseran substansi, kenyataannya lebih memenuhi kecenderungan untuk mengikuti ataupun mengutamakan keterlibatan segelintir elit politik untuk menguasai akses maupun aset politik. Situasi ini memperlihatkan pada kita semua, bahwa kecenderungan masyarakat lebih mengikuti tren politik yang dihembuskan interventor (donor funding maupun elit politik nasional). Masyarakat belum bersedia mengikuti satu proses �ideologisasi� yang dikembangkan organisasi- organisasi rakyat. Meskipun demikian, sesungguhnya situasi seperti ini tidak

1 Lokalatih ini terselenggara berkat kerjasama PERGERAKAN dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) Jakarta

menyurutkan langkah para aktor gerakan sosial. Berbagai upaya refleksi dan perumusan ulang atas orientasi, strategi dan taktik gerakan dilakukan. Disadari bahwa berbagai upaya yang selama ini telah dilakukan ternyata memang belum berhasil menyentuh critical area yang menjadi penyebab terjadinya proses peminggiran rakyat secara terus-menerus, yaitu area kekuasaan politik yang diselewengkan. Gerakan advokasi seringkali berhenti pada upaya untuk merubahan kebijakan tanpa berupaya membongkar formasi para pembuat kebijakan itu sendiri. Begitu juga gerakan sosial seringkali hanya berhenti menjadi gerakan protes yang tidak jarang berakhir dalam ke-frustasi-an. Kalaupun gerakan sosial masih terlihat dinamis, tapi ditengarai sudah terperosok dalam lingkaran normatif, yakni bergerak di tempat dan terus-menerus memperdebatkan hal-hal formal yang seharusnya disudahi dengan praktek di lapangan. Artinya, tatkala dalam setiap lapis masyarakat semua orang terutama aktivis-aktivis organisasi rakyat dipandang, memiliki fungsi sebagai organisator sekaligus intelektual, maka sekelompok orang tersebut harus menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan sebagai satu prasyarat utama untuk memperoleh kekuasaan yang bertumpu pada kekuatan rakyat. Selanjutnya berbagai upaya untuk mendorong terjadinya artikulasi politik pada organisasi-organisasi gerakan sosial semakin intensif dilakukan. Keyakinan akan pentingnya untuk merebut ruang-ruang kekuasaan dari kekuatan status quo dan modal ke kekuatan pro rakyat semakin menguat. Meskipun demikian, rupanya menguatnya kesadaran dan keyakinan untuk mengakhiri aksi-aksi yang hanya berputar-putaran di lingkaran luar kekuasaan tersebut menyisakan sejumlah

17


Kalender Kegiatan agenda berat untuk mengatasi berbagai persoalan yang masih dihadapi oleh gerakan sosial itu sendiri. Masih kuatnya fragmentasi antar organ gerakan sosial, minimnya kaderkader politik yang dimiliki oleh kalangan gerakan sosial, belum adanya political netrwork antar organ-organ gerakan sosial dan antar wilayah-wilayah dan ketidakberdayaan kader-kader organisasi rakyat untuk mentransformasikan modal sosialnya menjadi kekuatan politik merupakan bagian dari daftar persoalan yang harus segera diatasi. Dari sejumlah persoalan yang dihadapi gerakan sosial tersebut salah satu agenda mendasar yang dibutuhkan untuk mengakselerasi konsolidasi dan artikulasi politik pada organorgan gerakan sosial adalah menyiapkan kader-kader yang memiliki kapasitas mumpuni untuk melakukan kerja-kerja politik dan mengisi posisi-posisi kekuasaan politik. Agenda ini menjadi sangat mendasar mengingat keberhasilan perebutan kontrol kekuasaan ke tangan rakyat sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memenangkan pertarungan politik melawan kader-kader kekuatan pro status quo dan modal yang selama ini telah berhasil menguasai relasi-relasi ekonomi, sosial, bahkan budaya. Sadar akan lawan yang dihadapinya yang begitu kuat, penyiapan secara matang strategi-strategi yang diperlukan serta penyiapan kader untuk menjalankan agenda dan agenda-agenda politik gerakan sosial tersebut sangat mendesak untuk dilakukan. Tugas berlapis dari PERGERAKAN secara eksternal membuka kemungkinan keterlibatan organisasi-organisasi rakyat maupun komunitas-komunitas yang sedang dimarjinalisasi yang telah lama berjuang, agar lebih maju secara politis. Jelas agenda politik ini memerlukan waktu, bahkan infrastruktur yang tidak sedikit; selain agar tujuan dan metode perjuangannya dapat dipahami secara baik. Juga terbuka peluang seluas-luasnya perluasan kerjasama antara organisasi-organisasi rakyat dalam blok politik yang lengkap dengan garis perjuangannya. Atas dasar itu, PERGERAKAN fokus pada penguatan organisasiorganisasi rakyat yang menjadi basis utama gerakan sosial. Agenda ini merupakan bagian penting untuk menjaga keberlanjutan organisasi rakyat. Dalam konteks tersebut, lokalatih merupakan salah satu dari banyak momentum bagi organisasi-organisasi rakyat untuk menemukan kebutuhan strategisnya hingga kepentingan politik serupa dari setiap organisasi rakyat yang menjadi peserta. Sehingga hal yang mutlak dilakukan PERGERAKAN agar melakukan transfomasi terhadap ideologi-idelogi yang ada dengan tetap mempertahankan dan menyusun kembali beberapa unsur yang paling tangguh menjadi sistem baru. Organisasi – Organisasi Rakyat yang diundang dinilai mewakili kekuatan gerakan rakyat yang tengah melakukan proses re-orientasi gerakan politik, maupun telah mengatasi proses perumusan agenda-agenda politiknya. Representasi sektoral akan sangat mempengaruhi agenda penguatan agenda politik gerakan sosial, memulihkan konsolidasi gerakan yang sempat akan terfragmentasi karena perbedaan persepsi berkenaan

18

dengan strategi dan timing politik, area perjuangan politik hingga target politik yang hendak dikuasai. Sudah barang tentu sebaran wilayah dari para peserta sangat dipertimbangkan. Paling tidak membantu menggambarkan peta dinamika politik lokal di beberapa kantong gerakan sosial baik yang berbasis di Sumatera, Jawa, Sulawesi maupun Nusa Tenggara. Pertimbangan lainnya adalah latar sektoral yang berbeda. Perbedaan sektoral mencakup, baik yang berasal dari gerakan sektor Buruh, Tani, Perempuan, Masyarakat Adat. Berikut dibawah ini merupakan inventarisasi lengkap para peserta lokalatih: a. Jawa 1. Serikat Petani Pasundan – SPP Garut, Tasikmalaya dan Ciamis Jawa Barat 2. Federasi Serikat Buruh Karya Utama - FSBKU Tangerang Jawa Barat 3. Kongres Aliansi Serikat Buruh Independen - KASBI Jawa Barat 4. AJWS Cirebon Jawa Barat 5. Forum Komunikasi Masyarakat Pantura – Subang Jawa Barat 6. Persatuan Perjuangan Rakyat Tani Subang – PPRTS Jawa Barat 7. Himpunan Petani dan Nelayan Pakidulan – HPNP Sukabumi Jawa Barat 8. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang – STKS Jawa Barat 9. Institut Perempuan – IP Bandung Jawa Barat 10. Organisasi Tani Jawa Tengah – Ortaja Jawa Tengah 11. Serikat Tani Independen – Sekti Jember Jawa Timur b. Sumatera 1. Federasi Serikat Perempuan Indenpenden - Hapsari Serdang Bedagai. 2. Ikatan Petani Lampung – IPL 3. Serikat Tani Bengkulu – STAB 4. Persatuan Petani Jambi – PPJ 5. Barisan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia – BPRPI Sumatera Utara 6. Forum Petani Pematang Siantar – Futasi 7. Serikat Nelayan Merdeka – SNM Serdang Bedagai 8. Serikat Buruh Kebun Indonesia – SerBuk Serdang Bedagai c. Indonesia Bagian Timur 1. SPM (Serikat Petani Manggarai) NTT 2. Serikat Nelayan dan Tani Palu – SNTP Sulawesi Tengah 3. Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara – Perekat Ombara NTB 4. YMBM Bali 5. Serikat Perempuan - Spenatap Poso Sulawesi Tengah. Pengetahuan adalah kekuatan, sedangkan kecakapan adalah cara bagaimana mengelola kekuatan tersebut. Semakin luas


Kalender Kegiatan pengetahuan aktivis-aktivis organisasi rakyat terhadap arah atau cita-cita dari gerakan social, dan semakin tangkas dan teruji pula menerapkan strateginya untuk menjadikan gerakan social sebagai elemen penting dalam ranah kekuasaan suatu Negara. Bagi aktivis social, terutama yang tergolong sebagai intelektual organic, kontruksi gerakan social dibangun dari pengetahuan dan kecakapan. Itulah sebabnya semua elemen dalam gerakan social, bahkan pada trajectorynya, tidak pernah lepas dari detail tersebut. Dengan begitu, jika detail terabaikan atau terlewatkan, gerakan social akan berjalan tanpa arah dan petunjuk yang jelas. Situasi tersebut menggambarkan kegamangan, maka tidak ada jaminan pula bagi seorang kader paling militan sekalipun dapat bertahan menjalani tugas-tugas politiknya. Sebab “bergerak� tanpa pengetahuan tentang rute gerakan, bahkan tidak cakap dalam menjalaninya, potensial menimbulkan frustasi hingga menyerah pada keadaan. Detail penting yang mesti menonjol dalam kerangka lokalatih ini ialah pokok-pokok perjuangan politik. Dalam konteks tersebut, para peserta diajak untuk memahami Negara sebagai organ dari satu kelompok tertentu dengan tujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan kelompoknya untuk berkembang secara maksimum. Dengan kata lain, Negara dipandang sebagai suatu proses pembentukan dan penggantian keseimbangan yang labil yang dilakukan terus-menerus, bila perlu saling berebutan antara kelompok satu dengan yang lainnya. Karena itu pula, maka Negara dipahami sebagai hubungan kompleks dari berbagai kekuatan yang terjadi antara kelas yang kuat dengan kelas yang lebih lemah.

pengembangan kapasitas, dengan organisasi rakyat yang diposisikan selaku pihak yang menerima layanan, seringkali tidak memiliki ikatan yang kuat dan hanya berjangka pendek. Sehingga si pemberi layanan seringkali lebih mengedepankan program atau proyek yang dimilikinya ketimbang apa yang dibutuhkan oleh organisasi yang menerima layanan. Relasi tersebut nampak tidak memiliki hubungan tanggung-gugat yang suatu ketika dapat dipertanggung-jawabkan atas segala dampak yang timbul dari proses pengembangan kapasitas tersebut. Lokalatih tidak akan menunjukkan perkembangan berarti, tanpa para peserta yang tepat. Pemilihan peserta diutamakan, pertama didasarkan pada kondisi organisasi rakyat yang dinilai paling baik tertata keorganisasiannya. Kedua, mempunyai orientasi politik yang tegas, dan bermuatan pada semangat memperbesar pengaruh politik gerakan sosial. Bagi PERGERAKAN, perbedaan pilihan agenda politik tidak begitu mengganggu. Justru keberagaman agenda politik akan membantu para peserta menemukan dan mengatasi kompleksitas pilihan agenda politik yang berkembang, guna menemukan pilihan agenda politik bersama secara lebih kokoh. Sedangkan peta kapasitas peserta, selain dipelajari dari data-data hasil olahan Resources Center, jangkauan komunikasi yang luas, informasi yang tergali dari pertemuanpertemuan sebelumnya, juga diafirmasi oleh PERGERAKAN melalui serangkaian identifikasi yang dilakukan khusus untuk memenuhi kualifikasi dan representasi. Penyiapan peserta melalui identifikasi dan kualifikasi peserta terbukti mendorong partisipasi maksimum yang mengoptimalkan capaian-capaian lokalatih.

Catatan Proses PERGERAKAN memandang penting untuk menyediakan ruang dialektis dan sintesis yang dapat dimanfaatkan oleh para aktivis organisasi rakyat, menempa pengalaman yang mereka miliki menjadi pengetahuan bersama dan mengembangkan kecakapan-kecakapan politik yang telah mereka kuasai.

Hal- hal terbaik dari sesi-sesi Lokalatih “Memperkuat Agenda Politik Organisasi Gerakan Sosial di Indonesia� ialah orisinalitasnya. Baik peserta, narasumber maupun panitia menemukan orisinalitas ide, kerangka berpikir hingga pelbagai argumentasi di mana-mana, baik dalam sesi yang berlangsung maupun pada saat istirahat.

Model lokalatih merupakan hasil bentukan dan ditentukan dari proses yang cukup panjang. Belajar dari relasi yang terbangun selama ini antara NGOS selaku pihak yang mendukung upaya

Orisinalitas yang terbentuk dalam Lokalatih tersebut berangkat dari keinginan PERGERAKAN terhadap dinamika pembelajaran antar aktor gerakan sosial yang kaya pengalaman bermutu tinggi yang bisa diprediksi menjadi energizer atau tenaga penggerak di balik konsistensi aktivis-aktivis organisasi rakyat dan upaya mendorong berkembangnya pertalian komitmen antar aktor untuk memperjelas rute konsolidasi dan mempertegas bentuk soliditas gerakan sosial lintas sektor. Dengan menyediakan kesempatan bagi para aktivis organisasi rakyat untuk mengenali arah dan rute gerakannya itu, senyatanya PERGERAKAN sedang menjalankan fungsi service provider, sedang pada sisi lain mengembangkan fungsi organisasionalnya sebagai melting pot para aktor-aktor organisasi rakyat. Kedua fungsi ini tentunya adalah upaya konsisten dan bermutu tinggi agar PERGERAKAN senantiasa menyediakan tempat bagi organisasi-organisasi rakyat untuk

19


Kalender Kegiatan elaboratif menghidupkan perdebatan yang mengarah pada upaya afirmasi terhadap situasi dan kondisi obyektif organisasi rakyat dan wilayah politik gerakan sosial . Panelis pertama, panitia menghadirkan Agustiana, Sekertaris Jenderal Serikat Petani Pasundan (SPP). Panelis kedua, Sudarno Sekertaris Jenderal Partai Perserikatan Rakyat sekaligus juga Sekertaris Jenderal Organisasi Rakyat Independen (ORI) Sumatera. Sedangkan panelis ketiga, terakhir disampaikan Leli Zaelani Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Hapsari, sekaligus Kordinator Dewan Pengarah PERGERAKAN.

selalu berhubungan satu sama lain, berdiskusi bersama untuk menemukan jaminan-jaminan baru yang mengukuhkan eksistensi gerakannnya, hingga secara khusus membuka peluang bagi para aktivis-aktivisnya untuk menyambung kembali hubungan di antara mereka. Situasi tersebut menempatkan PERGERAKAN bukan semata-mata mekanisasi arena belajar bagi organisasi rakyat, tapi juga menunjukkan pada kita semua cara untuk mengajak organisasi-organisasi rakyat mensistematisir dan mengobyektifikasi upayanya dalam kerangka meningkatkan kapasitas dan menguji kemampuannya mengorganisir kembali bentuk-bentuk soliditas baru yang mendorong pembentukan tatanan politik. Pengantar di atas menjelaskan kenapa PERGERAKAN menyelenggarakan sesi-sesi materi dalam format lokalatih. Penciptaan situasi belajar dalam format lokalatih tidak hanya menggalang informasi dan menyajikan pengetahuan, tapi turut pula mendorong terbentuknya watak-watak baru melalui pengembangan kecakapan-kecakapan yang dilatih dalam beberapa sesi di setiap akhir materi lokalatih. Hari pertama, pada sesi pertama, sebelum lolatih secara resmi dibuka, para peserta diajak untuk menyimak penjelasan Sapei Rusin tentang arah, peran dan fungsi organisasi yang dikembangkannya, bentuk-bentuk layanan pengembangan kapasitas, bahkan hingga situasi program mutakhir yang dikelola PERGERAKAN. Untuk yang terakhir, pengungkapan situasi program terakhir PERGERAKAN dikaitkan dengan peta kecenderungan politik blok-blok politik yang dibangun gerakan sosial maupun kondisi politik di Indonesia. Pada masa jeda antara sesi yang disampaikan Sapei Rusin dengan para narasumber lain untuk sesi selanjutnya, Fajar Irawan selaku fasilitator menekankan urgensi digunakannya cara analisa bersama oleh seluruh peserta. Cara ini mestinya akan membantu seluruh peserta agar secara jeli membaca peluang dan tantangan bagi agenda perjuangan organisasi gerakan sosial. Lantas pada sesi kedua, peserta dilibatkan secara intens dan

20

Secara umum, ketiga panelis memaparkan kondisi geopolitik di wilayah serta bacaan peluang dan tantangannya. Perbedaan penting di antara para narasumber tidak mempengaruhi tingkat nalar para peserta, namun cukup berpengaruh pada sikap politiknya. Situasi tersebut sempat membelah sikap politik antar peserta, antara yang berketetapan untuk masuk wilayah politik melalui partai politik sebagai instrumen perjuangannya. Sedangkan kelompok lain, tetap bertahan membangun dan memperkuat sistem organisasi gerakan sosial yang harus jelas teruji maupun terukur ketangguhannya, sebelum organisasi rakyat menyatakan diri masuk ke arena pertarungan politik kekuasaan. Bagi fasilitator perbedaan sikap tersebut malah membantu untuk melakukan re-orientasi bersama melalui sejumlah keragaman pandangan, pengetahuan dan penguasaan akses maupun aset politiknya. Sesi kedua diakhiri dengan diskusi kelompok. Peserta dibelah menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok melibatkan 5 – 7 peserta. Diskusi kelompok selain membantu peserta untuk menggambarkan pembesaran politik dari setiap agenda kerja advokasi di masing-masing organisasi. Diskusi tersebut juga membantu peserta untuk memilah-milah apa yan disebut aset dan akses politik gerakan. Dan untuk membantu peserta agar fit in dengan perdebatan yang argumentatif, empiris dan terarah, maka fasilitator menyediakan panduan diskusi berupa 3 pertanyaan arahan, sebagai berikut: 1. Target-target atau dampak politik seperti apa yang harus diperjuangkan oleh organisasi-organisasi gerakan sosial? 2. Apa prasyarat yang harus ada atau dibangun di organisasi rakyat untuk menjalankan agenda politik? 3. Bagaimana kondisi organisasi rakyat kita berdasarkan target / dampak politik dan prasyarat yang mesti terpenuhi seperti di atas. Pada hari kedua, setelah peserta menyelesaikan pleno hasil diskusi di masing-masing kelompok. Syaiful Bahari menempatkan diri sebagai narasumber berikutnya. Saiful Bahari adalah Ketua Umum Partai Perserikatan Rakyat (PPR), sebelumnya Wakil Direktur Bina Desa, salah satu NGO di Indonesia. Saiful Bahari dalam sesinya mengajak para peserta untuk melakukan analisa politik yang melingkupi: 1. Pemetaan sumber daya politik (baik yang kita miliki maupun di luar kita): logistik, kelembagaan (a.l. mesin2 politik partai), massa dan voter


Kalender Kegiatan 2. Pemetaan konstalasi pelaku politik 3. Pemetaan situasi objectif wilayah politik OR 4. Sikap politik dalam menangkap dan mengungkap fakta yang diketemukan Syaiful Bahari menggunakan analisa ekonomi, analisa sistem politik dan ukuran legalitas serta legitimasi untuk memeriksa dan menguji perkembangan politik nasional. Pada pemaparannya, para peserta diingatkan agar tidak mengabaikan empat elemen dinamis berupa, eskalasi politik, konfigurasi aktor dan relasinya, penggalangan sumberdaya (resources mobilisation) serta sistem politik. Keempat elemen ini bergerak dalam rentang waktu dan tingkat progresifitas yang fleksibel, terkadang paralel dan satu ketika berbeda. Memahami analisa politik dan kriterianya akan membantu para peserta untuk memetakan kualitas demokrasi dan tingkat intervensi dari setiap aktor politik yang menggerakkan eskalasi gerakan sosial maupun politik. Sesi ini diakhiri dengan diberikannya penugasan kepada para peserta untuk melakukan analisa politik berbasis kawasan. Peserta dibagi dua berdasarkan domisilinya masing-masing, yakni Kawasan Sumatera, Jawa dan Indonesia Timur (terdiri dari peserta dari Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Tengah). Penakaran situasi dan kondisi politik membantu fasilitator memeriksa daya serap dan kemampuan peserta dalam memilah perkembangan politik dalam jangkauannya. Kemudian hasil analisa politik berbasis pada peta dinamika (mapping out) politik kawasan disampaikan dalam pleno keesokan harinya (detail peta politik kawasan – lihat di lampiran). Menginjak waktu malam, sesi analisa politik beralih ke sesi berikutnya, yakni sesi komunikasi politik. Sesi ini mengetengahkan hal-hal yang berhubungan dengan, sebagai berikut: 1. strategi dan cara untuk mendapatkan informasi politik. Termasuk disampaikan pula sumbersumber informasi politik dalam dua kategori umum yakni sumber yang dapat dipercaya dan sumber pembanding. 2. cara mengolah informasi politik (set up system informasi), terdiri dari bagaimana mengklasifikasi informasi, mengumpulkan kembali, menempatkan fungsinya, apakah sebagai alat agitasi dan propaganda atau menunjukkan peta terbaru perkembangan politik. 3. mendistribusikan informasi politik untuk membangkitkan kesadaran politik massa. Point ini mendudukkan informasi sebagai media propaganda.

Bandung. Pada hari ketiga, peserta bekerjasama dengan Anwar Ma’ruf alias Sastro, Ketua Umum Kongres Aliansi Buruh Independen (KASBI) sekaligus Kordinator Nasional Aliansi Buruh Menggugat (ABM). Pada sesi terakhir ini, Sastro mengingatkan para peserta agar secara cermat dan tepat menerapkan strategi Kerja Politik dan Pembangun Kader untuk Menjalankan Agenda Politik yang meliputi: 1. Menyiapkan sejumlah prasyarat bagi OR untuk menjalankan agenda-agenda politik 2. Pembahasan kurkikulum dan materi yang relevan untuk digunakan 3. Strategi rekruitmen 4. Strategi penyelenggaraan proses pendidikan 5. Strategi pengawalan, penempatan dan penugasan 6. Sistem pendukung proses kaderisasi Lokalatih ditutup oleh Sapei Rusin dengan mengajak para peserta memperdalam –melalui uji praktek di masing-masing organisasinya, aspek perubahan legal – legitimitas sebagai arah gerakan yang hendak dituju bersama. Selanjutnya hal – hal terkait dengan tantangan dalam membangun Organisasi Rakyat sebagai basis bagi kehidupan demokratik dan perubahan sosial di Indonesia. kesimpulan dan penutup lanjutan sekaligus critical area yang mesti dikelola dengan baik oleh para pimpinan organisasi rakyat guna mengembangkan OR secara efektif, menjadi: 1. Arena terpenting bagi rakyat kebanyakan untuk belajar yakni ruang belajar sekaligus ruang bertarung untuk ‘mengorganisasikan kembali’ masyarakat yang menjadi konstituennya secara lebih sistematis dan mengukuhkan praktek-praktek nyata demokrasi 2. Wadah utama masyarakat setempat agar senantiasi menerapkan dan mengembangkan otonomi lokal, keswadayaan, dan ketahanan sosial mereka yang sesungguhnya 3. Mekanisme bagi rakyat kebanyakan untuk memproduksi dan mereproduksi kearifan dan pengetahuan mereka sendiri 4. Mengidentifikasi dan menentukan mitra penting bagi organisasi-organisasi transformasi sosial lainnya untuk memajukan dan mengadvokasikan keadilan sosial pada aras dan cakupan lebih luas yakni perjuangan politik rakyat.[]

Sesi ini dibawakan oleh Nana Sukarna, Salah satu resources person PERGERAKAN. Selain memang menguasai materi, yang bersangkutan sangat berpengalaman menerapkan materinya karena selalu dipraktekkan saat menjadi Kordinator Sawarung – Forum LSM dan Forum-forum Warga di Kota Bandung. Nana Sukarna, sehari-hari mengajar di perguruan tinggi di Kab. Subang dan sebagai konsultan pada Bengkel Komunikasi di

21


Artikel Lepas

Hal-hal yang Patut Diwaspadai dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Program “Reformasi Agraria” ala SBY Tulisan ini di cuplik atas seizin penulis dari Paper “Reforma Agraria Untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY”

Dianto Bachriadi Pada tahun 1995 ikut mendirikan, dan pernah menjadi Ketua (1998-2002) serta anggota Dewan Pakar (2002-2005), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Saat ini sedang melakukan riset tentang Gerakan Sosial Pedesaan di Bengkulu dan Jawa Barat.)

Perlu diperhatikan bahwa rencana SBY untuk menjalankan “reforma agraria” – yang dalam pidatonya disebutkan secara salah sebagai reformasi agraria – lebih ditumpukan kepada dua hal, yakni: (1) redistribusi lahan secara terbatas, dan (2) sertifikasi tanah. Dalam pidatonya tersebut, Presiden SBY tidak menyebutkan berapa banyak Tanah Negara yang akan diredistribusi, dimana lokasinya, berapa banyak rumah tangga petani (yang disebutnya sebagai “termiskin”) yang akan menjadi penerima manfaat langsung, dan siapa saja serta dengan cara bagaimana para “petani termiskin” ini diidentifikasi. Dalam pidatonya hanya disebutkan, “langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat”. Hal lain yang sangat penting disorot dari rencana program redistribusi tanah ala SBY adalah absennya komitmen pemerintah untuk membatasi penguasaan tanah secara berlebihan. Padahal, reforma agraria yang sejati dalam kerangka mewujudkan keadilan agraria bukan hanya mengandung program redistribusi tanah, tetapi secara bersamaan harus disertai dengan mengurangi dan mencegah terjadinya konsentrasi penguasaan tanah. Artinya, jika ditemukan praktek-praktek penguasaan tanah berlebih, termasuk yang menguasainya dengan cara guntai (absentee)1, maka pemerintah dalam kerangka reforma agraria harus melakukan upayaupaya pencabutan hak atas tanah-tanah yang dikuasai melebihi batas-batas yang ditentukan untuk kemudian diredistribusi kepada pihak-pihak yang secara hukum telah ditetapkan sebagai penerima manfaat redistribusi. Mengenai hal ini sejumlah peraturan hukum yang masih berlaku hingga saat ini sangat jelas mengatakan hal tersebut, seperti: (1) UUPA 1960 pasal 7 dan pasal 172; UU No.56/ Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian3; dan PP No. 1 Pengertian absenteeism dalam bidang pertanahan adalah adanya tanah yang dimiliki atau dikuasai yang letaknya berjauhan atau tidak sama dengan letak tempat tinggal si pemilik/penguasa, sehingga yang bersangkutan tidak dapat atau tidak mengusahakan sendiri tanah tersebut secara aktif. 2 Dalam pasal 7 dinyatakan: “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Dan Pasal 17 yang terdiri dari 4 ayat ini menyatakan: (1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum; (2) Penetapan batas maksimim termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat; (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah; (4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsurangsur. 3 Penetapan batas maksimum penguasaan tanah dibuat berdasarkan kondisi tanah, wilayah dan keadaan geografi setempat serta komposisi demografi. Menurut UU No. 56/Prp/1960, penetapan luas tanah maksimal yang dapat dikuasai dibedakan menurut:

22

6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, serta Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 2/1999 tentang Izin Lokasi4. Sedangkan ketentuan tentang larangan tanah guntai (absenteeism) diatur dalam pasal 10. Selebihnya, pemerintah (: negara) kemudian harus melindungi para penerima manfaat (: penerima tanah dan bagi hasil yang relatif setara) ini dari aksi-aksi perlawanan yang biasanya digerakan oleh pihak-pihak yang merasa “dirugikan” oleh kebijakan afirmatif tersebut5. Dalam pidato politiknya beberapa bulan yang lampau, SBY sama sekali tidak menyinggung dan menegaskan kembali pentingnya pencegahan dan pelarangan penguasaan tanah secara berlebihan baik oleh perseorang maupun oleh korporasi ini sebagai bagian pokok dari kerangka “reformasi agraria” yang hendak dijalankannya. Bahkan sebaliknya, dari beberapa pemberitaan media massa6 dan dalam beberapa diskusi yang berkembang di “lingkungan dalam” dari para penyusun gagasan “reformasi agraria ala SBY” ini juga berkembang gagasan untuk juga memberikan porsi kepada sejumlah korporat bisnis. Dalam salah satu lokakarya terbatas yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Ketua STPN, DR Endriatmo Sutarto, mengatakan: “Rencana Pembaruan Agraria atas lahan seluas 8,15 juta hektar yang dialokasikan untuk rakyat (seluas 6 juta hektar), dan pengusaha (sekitar 2,15 juta hektar) harus dilihat dalam rangka model Reforma (a) daerah yang padat dan tidak padat; (b) tanah sawah (arable land) dan tanah kering (non arable land); (c) besaran keluarga yang terdiri dari 7 (tujuh) orang dan keluarga yang terdiri dari lebih tujuh orang; dan kebijakan bagi anggota ABRI/Pegawai Negeri yang sedang bertugas di luar daerah yang berhak hanya 2/5 dari yang dimungkinkan untuk penduduk biasa. Lihat: “UU No.56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian”; “Penjelasan UU No.56 PRP Tahun 1960”; dan “Keputusan Menteri Agraria No.SK 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian”, dalam Harsono, Boedi (1996), Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, edisi revisi (Jakarta: Penerbit Djambatan), hal. 771-777, 778-788, dan 789-796. 4 Kedua peraturan ini muncul setelah adanya sejumlah desakan untuk menguangi dan mengerem ekspansi usaha perusahaan-perusahaan pemegang HPH serta ekspansi areal perkebunan sawit, maupun pengembangan kawasan-kawasan wisata dan perumahanperumahan terpadu yang dalam 15 tahun terakhir menunjukan kecenderungan ekspansionis yang luar biasa. Walaupun kedua peraturan ini tidak diberlakukan surut, dan terlepas dari lemahnya aspek penerapan dan pengawasannya, keduanya sebagai peraturan yang membatasi konsentrasi penguasaan tanah oleh satu perusahaan atau satu perusahaan induk (holding company) peraturan ini cukup progresif. 5 Mengenai pelaksanaan program landreform di Indonesia dan juga gerakan perlawanannya lihat, misalnya: Utrect, Ernst (1969), “Land Reform”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies 5(3), hal. 71-88; Morad, Aly A. (1970), Land Reform: Report to the Government of Indonesia (Rome: FAO); Huizer, Gerrit (1980), Peasant Movements and Their Counterforces in South-East Asia (New Delhi: Marwah Publications); Hutagalung, Arie Sukanti (1985), Program Redistribusi Tanah di Indonesia: Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah (Jakarta: Rajawali Pres); Bachriadi, Dianto (1999), Landreform terhadap Tanah Negara dan Lahan Tidur, makalah untuk Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) 1999 LBH–Jakarta, Jakarta 7 April 1999; Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas (segera terbit), “Loosing Rights to land: the fate of landreform in five villages in West Java”, dalam Land for the People: State Policy and Agrarian Conflicts in Indonesia, Anton Lucas dan Carol Warren (ed.) (London: Zed Books). 6 Salah satu pemberitaan media massa, “Pemerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah”, Tempo Interaktif, 28 September 2006 (19:54 WIB) [www.tempo-interkatif.com] disebutkan: “pemerintah menyediakan 9 juta hektar tanah dikuasai negara untuk diberikan kepada masyarakat sebesar 60 persen dan investor dalam negeri dan asing sebesar 40 persen. Reformasi agraria ini diberikan untuk masa pemanfaatan tanah itu selama 100 tahun.”


Artikel Lepas Agraria gabungan semacam ini”7. Berikut ini adalah 7 hal lainnya yang patut diwaspadai sehubungan dengan rencana “reformasi agraria ala SBY” yang secara formal dinyatakan sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)8. Ke-7 hal tersebut adalah: (1) Program reformasi agraria ini besar kemungkinannya merupakan kemasan baru dari upaya pemerintah untuk memperluas kembali arealareal perkebunan besar dengan mengerahkan petani kecil sebagai bagian penting penyangga tenaga kerja murah melalui sejumlah skema kemitraan seperti model inti-plasma yang sesungguhnya merupakan gagasan “kuno” dan sudah “bangkrut”, baik secara teoritik maupun prakteknya dalam kerangka memberdayakan petani kecil9. Dalam berbagai studi dan literatur malah disebutkan model intiplasma, yang kemudian di Indonesia diperlunak istilahnya dengan “kemitraan”, pada hakekatnya tidak lebih dari upaya untuk menjadikan petani sebagai buruh murah di atas tanah mereka sendiri10. Jadi dalam hal ini Petani kecil diikutkan dalam skema penguatan sektor pertanian, tetapi tidak dijadikan basis bagi pembentukan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi sebagaimana layaknya orientasi pokok dari reforma agraria yang sejati. Hal ini jelas nampak dari pernyataan Kepala BPN, Joyo Winoto, yang menyatakan bahwa kebijakan untuk menjalankan “reformasi agraria” saat ini hanya merupakan complementary program untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam merevitalisasi sektor pertanian11, perikanan, dan kehutanan12. 7 Sutarto, Endriatmo (2006), Perlunya Konsensus Mengenai Reforma Agraria ala Indonesia, Pidato Sambutan Ketua STPNdalam Lokakarya Perumusan Hasil-hasil Simposium Agraria Nasional, Yogyakarta 17-18 Desember 2006. 8 Hal ini saya kemukakan secara lebih jelas dalam Bachriadi, Dianto (2006), Keterbatasan Politik Penyelenggara Negara: 7 Alasan Logis untuk Menyatakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sebagai Penyesatan, makalah yang disampaikan dalam Forum Dialog Refleksi Akhir Tahun Gerakan Sosial di Indonesia, Bandung 27-28 Desember 2006. 9 Mengenai kritik mengenai praktek pengembangan perkebunan besar dengan model inti-plasma di Indonesia, lihat misalnya: Wiradi, Gunawan (1991), Industri Gula di Jawa dalam Perspektif Model “Inti-Satelit”: Kasus di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Working Paper PSP-IPB Vol. A-31 (Bogor: PSP-IPA); Bachriadi, Dianto (1995), Refleksi 20 Tahun Program TRI: Madu Pahit untuk Petani, makalah untuk seminar Program TRI dan Kesejahteraan Petani Tebu, Yogyakarta 24 Agustus 1995; Bachriadi, Dianto (1995), Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital: Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming (Bandung: Akatiga); dan Gunawan, Rimbo, Juni Thamrin, dan Mies Grijns (1995), Dilema Petani Plasma: Pengalaman PIR-Bun Jawa Barat (Bandung: Akatiga). Mengenai “kebangkrutan” perspektif perkebunan besar sebagai penyangga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan masyarakat pedesaan, melainkan sebaliknya menjadi sumber bertahannya kemiskinan di pedesaan-pedesaan Dunia Ketiga, lihat misalnya: Beckfors, George L. (1972), Persistent Poverty: Underdevelopment in Plantation Economic of the Third World (Oxford: Oxford Univ. Press); dan Bachriadi, Dianto (1999), From Neo-Feodalism to Neo-Liberalism: Big Plantations, Small Plantations, and Plantation Workers Conditions in Indonesia, Laporan Penelitian untuk The International Union of Food and Agriculture Workers (IUF) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 10 Mengenai hal ini lihat: Wilson, John (1986), “The Political Economy of Contract Farming”, dalam Review of Radical Political Economy 18(4), hal. 47-70; Kirk, Colin (1987), “Contracting Out: Plantations, Smallholders, and Transnational Enterprises”, dalam Institute of Development Studies Bulletin 18(8), hal. 45-51; Wiradi (1991), Industri Gula di Jawa dalam Perspektif Model “Inti-Satelit” (Bogor: PSP-IPA); Bachriadi (1995), Refleksi 20 Tahun Program TRI; Bachriadi (1995), Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital (Bandung: Akatiga); dan Gunawan, Thamrin dan Grijns (1995), Dilema Petani Plasma (Bandung: Akatiga). 11 Salah satu bagian dari program revitalisasi pertanian adalah Program Revitalisasi Perkebunan yang dapat diselenggarakan dengan berbagai macam skema, yang salah satunya adalah denga melibatkan kebun-kbun atau tanah-tanah garapan yang dikuasai atau dimiliki oleh petani setempat dengan skema PIR atau Kemitraan. Jika tanah-tanah belum dikuasai secara formal oleh masyarakat setempat, program sertifikasi lahan yang akan menjadi bagian dari program “reformasi agraria ala SBY” atau PPAN dapat/akan mendahuluinya dengan jalan menerbitkan sertifikat-sertifkat tanah dengan status Hak Milik yang dapat diklaim sebagai bagian dari program redistribusi tanah. Mengenai Program Revitalisasi Perkebunan, lihat: Program Revitalisasi Perkebunan, bahan presentasi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta, 29 Maret 2007. 12 “Pemerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah”, Tempo Interaktif, 28 September 2006

(2) Program redistribusi tanah ala SBY tidak lebih merupakan suatu instrumen untuk memperkuat kebijakan penciptaan pasar tanah yang didahului dengan penciptaan kepastian hukum terhadap pemilikan tanah melalui sertifikasi13. Redistribusi tanah dapat meningkatkan jumlah sertifikat tanah yang pada dasarnya menjadi salah satu fondasi dari Program Manajemen/Administrasi Pertanahan dalam kerangka menciptakan “pasar tanah yang bebas” (free land market)14. Dalam konteks ini, menurut Lutfi Nasution, Kepala BPN periode yang lalu, “dari sekitar 85 juta bidang tanah di seluruh Indonesia, baru 25 juta bidang yang sudah disertifikasi atau sekitar 32%-nya”15. Sedangkan menurut Bank Dunia, “hanya sekitar 27 juta (30%) dari sekitar 80 juta parsil tanah yang sudah terdaftar selama 40 tahun sejak pendaftaran tanah diberlakukan di Indonesia. Jika gerak pendaftaran tanah seperti ini terus dipertahankan, dengan pertumbuhan total persil tanah sebanyak 1 juta persil setiap tahunnya, maka pendaftaran tanah di Indonesia tidak akan pernah dapat meliputi seluruh persil yang ada”16. Patut dicatat bahwa sertifikasi tanah dalam kerangka penciptaan “pasar tanah yang bebas” adalah suatu kebijakan global yang didorong oleh sejumlah lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia misalnya, untuk memberikan landasan bagi intensifikasi penetrasi kapital yang lebih leluasa dalam era globalisasi saat ini17. Ini adalah bagian dari operasi paham neoliberal untuk melanjutkan suatu proses yang biasa disebut dengan primitive capital accumulation18. Dalam konteks Indonesia, pengembangan pasar tanah yang efisien itu sendiri diyakini oleh Bank Dunia akan memberikan keuntungan bagi sebagian besar rakyat dan dapat membantu mengurangi kemiskinan [sic!]19. (3) Pelaksanaan program ini bersama dengan beberapa program penyediaan lahan lainnya yang secara pararel akan dijalankan – seperti penyediaan tanah untuk alasan pengembangan bahan bakar nabati (bio-fuel), pengembangan areal-areal pertambakan, dan revitalisasi (19:54 WIB) [www.tempo-interaktif.com]. 13 Suatu konsepsi teoretik mengenai efek pendaftaran tanah terhadap pembangunan keuangan dan pertumbuhan ekonomi dikembangkan oleh Bank Dunia, seperti yang tampak misalnya pada Byamugisha, Frank F.K. (1999), The Effects of Land Registration on Financial Development and Economic Growth: A Theoretical and Conceptual Framework, World Bank’s Policy Research Working Paper 2240. 14 Lihat Rosset, Peter (2002), The Good, the Bad, and the Ugly: World Bank Land Policies, makalah di presentasikan pada Seminar “The Negative Impacts of the World Bank’s Policies on Market-Based Land Reform”, George Washington University, Washington, DC, 15-17 April 2002. 15 “BPN: 60 Juta Bidang Tanah Belum Bersertifikat”, Tempo Interaktif 05 Pebruari 2004 [www.tempo-interaktif.com]. 16 Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development Project, World Bank’s Document, March 31 2004, hal. 5. Kutipan ini telah diterjemahkan secara bebas oleh penulis dari sumber aslinya yang berbahasa Inggris. 17 Lihat, misalnya: Kay, Cristobal (2000), “Latin America’s Agrarian Transformation: Peasantisation and Proletarianisation”, dalam Dissapearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America, Deborah Brycesson, Cristobal Kay dan J. Mooij (ed.), hal. 123-138 (London: ITDG Press); dan Borras Jr., Saturnino M. (2003), “Questioning Market-Led Agrarian Reform: Experiences from Brazil, Colombia and South Africa”, dalam Journal of Agrarian Change 3(30), hal. 367-394. Mengenai konsepsi Bank Dunia mengenai pentingnya pasar tanah yang bebas (free land market), lihat misalnya: Deininger, Klaus dan Hans Binswanger (1999), “The Evolution of the World Bank’s Land Policy: Principles, Experience, and Future Challenges”, dalam World Bank Research Observer 14(2), hal. 247-276; dan Deininger, Klaus (2003), Land Policies for Growth and Poverty Reduction: A World Bank Policy Research Report (Oxford: Oxford Univ. Press). 18 Byres, Terrence J. (2005), “Neoliberalism and Primitive Accumulation in Less Developed Countries”, dalam Neoliberalism: A Critical Reader, Alfredo Saad-Filho (ed.), hal. 83-90 (London: Pluto Press); 19 Lihat: Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development Project, World Bank’s Document, March 31 2004, hal. 10.

23


Artikel Lepas perkebunan20 – memiliki potensi untuk menciptakan bentuk-bentuk baru penguasaan tanah dalam skala besar (lihat kembali poin no.1) . Ditambah dengan kenyataan bahwa program reformasi agraria ala SBY ini tidak menyasar pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah dalam jumlah yang melebihi batas-batas maksimal penguasaan tanah yang telah ditetapkan oleh peraturan perudangan, maka program ini bukannya menata ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah tetapi malah berpotensi memperkuat proses re-konsentrasi penguasaan tanah21. (4) Program redistribusi dan sertifikasi tanah ala SBY ini dapat menjadi sumber baru bagi penambahan utang luar negeri. Melalui pemelintiran gagasan land reform, program ini dapat memberikan legitimasi baru bagi pemerintah saat ini untuk mengakses hutang baru dari Bank Dunia, karena pihak Bank Dunia sendiri dalam beberapa dokumen resmi mereka telah menyatakan menyiapkan diri untuk memberikan hutang baru jika pemerintah hendak menjalankan land reform di Indonesia yang tentu saja harus sejalan dengan prinsipprinsip baru yang mereka anut, yakni land reform yang pro pada pasar (pro-market land reform scheme). Dalam salah satu dokumen Bank Dunia yang berjudul “Project Appraisal Document Report No: 28178-IND for a Land Management and Policy Development Project”22 disebutkan: “… proyek23 akan mendukung studi-studi kebijakan dalam rangka untuk menilai kelayakan dan lingkup dari land reform, dan akan mencoba membuat isu ini menjadi suatu konsensus nasional. Jika suatu konsensus nasional telah tercapai, dan pemerintah mengadopsi suatu pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat sipil (CSOs), maka Bank akan menyediakan dana dalam bentuk mekanisme pinjaman yang terpisah untuk menjalankan skema yang telah disetujui”24. Tentu saja pendekatan dan skema yang dimaksud adalah suatu land reform yang pro pada pembentukan pasar tanah atau suatu “market-friendly land reform”. 20 Dalam program revitalisasi perkebunan ada beberapa skema, di antaranya adalah revitalisasi perkebunan rakyat dan revitalisasi perkebunan besar itu sendiri, khususnya melalui program kemitraan dan PIR. Lihat: Program Revitalisasi Perkebunan, bahan presentasi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta, 29 Maret 2007, hal. 5-6. 21 Mengenai konsentrasi penguasaan tanah oleh korporat-korporat besar di Indonesia, termasuk oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar milik negara maupun swasta, lihat: Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi (segera terbit), “Land Problem in Indonesia: the Need for Reform”, dalam Land for the People Lucas dan Warren (ed.) (London: Zed Books). 22 Dokumen Bank Dunia yang didistribusikan dan digunakan secara terbatas (restricted distribution and for official use only). 23 “Proyek” yang dimaksud di sini adalah Land Management and Policy Development Project (LMPDP). LMPDP merupakan nama untuk Land Administration Project (LAP) atau Proyek Administrasi Peratanah fase II, yang dimulai sejak Juni 2004 hingga Desember 2009. Proyek ini bernilai US$87.62 juta yang bersumber dari pinjaman ke Bank Dunia sebesar US$32.8 juta dan International Development Agency (IDA) juga sebesar US$32.8 juta, sementara yang berasal dari sumber dana dalam negeri (non hutang) sebesar US$22.02 juta. Lihat: Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development Project, World Bank’s Document, March 31 2004. Proyek ini sendiri memiliki 5 komponen implementasi, yakni: (1) Pengembangan Kerangka Kebijakan dan Kebijakan Pertanahan Nasional; (2) Pengembangan Institusional, Pembangunan Kapasitas, dan Pelatihan; (3) Impelementasi Program yang Diakselerasikan dengan Land Titling; (4) Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan; (5) Mendukung/mendorong Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Lokal. Sedangkan gagasan untuk mendukung dan mendorong pelaksanaan land reform yang pro pada pasar akan diletakan dalam komponen implementasi proyek nomor (3) dan (5). Suatu analisa kritis mengenai rencana proyek ini, lihat: Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama (2006), Dijual Tanah! yang Berminat Silahkan Hubungi Pemilik. Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Kritik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia, Kertas Posisi ARC No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resource Center). 24 Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development Project, World Bank’s Document, March 31 2004, hal. 12. Kutipan yang dicantumkan di sini telah diterjemahkan secara bebas dari bentuk aslinya yang berbahasa Inggris.

24

(5) Program redistribusi tanah ala SBY ini tidak didisain sebagai suatu upaya pemerintah saat ini untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang ada dan telah meluas sedemikian rupa hingga saat ini25. Apalagi untuk menjawab kenyataan pendudukan tanah oleh kelompok-kelompok petani tak bertanah yang telah berkembang sedemikian rupa dalam 15 tahun terakhir sebagai cara genuine dari mereka untuk merebut hak-hak ekonomi mereka yang telah diabaikan selama ini. Semestinya kenyataan ini ditempatkan sebagai prioritas untuk diakomodasi secara optimal melalui program reforma agraria yang sejati, seperti telah dimaknai oleh Christodolou (1990); Wiradi (2002); Eckholm (tt); dan Bachriadi, Faryadi dan Setiawan (1997)26. Dalam kesempatan menyampaikan hasil-hasil pembicaraannya dengan Presiden SBY, Kepala BPN, Joyo Winoto, tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa PPAN akan diarahkan kepada penyelesaian konflik-konflik agraria khususnya di lokasi-lokasi di mana sejumlah lahan HGU perkebunan maupun yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan telah diduduki dan digarap oleh sejumlah petani. Disebutkannya bahwa penyelesaian konflik-konflik pertanahan yang dikatakan berjumlah sekitar 2.810 kasus di seluruh Indonesia akan dilokalisasi ke dalam wilayah kewenangan instansi penyelesaian sengketa pertanahan yang berada dalam tubuh BPN sendiri yang berada di bawah Deputi Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Selain itu, yang bersangkutan juga mengatakan bahwa penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan akan dilakukan secara proporsional dengan mengacu kepada dan mempertimbangkan hak-hak dari para pihak yang bersengketa sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku27. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa selama ini putusan-putusan BPN yang mengeluarkan sertifikat-sertifikat HGU – baik dalam bentuk HGU baru maupun HGU perpanjangan – sesungguhnya telah menjadi salah satu sumber permasalah atau sumber dari konflik itu sendiri28. Suatu studi yang dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang bekerja sama dengan KPA malah menyimpulkan bahwa BPN dan Kantor-kantor Pertanahan-nya memang telah terjerumus ke dalam jurang praktek mal administrasi pertanahan yang cukup serius29. (6) Alih-alih menyelesaikan berbagai konflik agraria yang telah merebak tersebut, program redistribusi tanah ala SBY ini malah dapat menjadi alat delegitimisasi bagi aktivitas reclaiming tanah di atas30. Bahkan program ini dapat menjadi penguat legitimasi dan 25 Suatu analisis yang komprehensif mengenai konflik agraria yang bersifat struktural, lihat misalnya: Bachriadi, Dianto (2004), “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3, November 2004, hal. 497-521. 26 Christodolou (1990), The Unpromised Land (London: Zed Books); Wiradi (2002), Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung “Pembaruan” Agraria; Bachriadi, Faryadi dan Setiawan (ed.) (1997), Reformasi Agraria (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia); Eckholm (tt), “Orang-orang yang Tergeser: Land Reform dan Pembangunan yang Mantap”. 27 “Sengketa Tanah: Terdapat 2.810 Kasus Sengketa dan Konflik”, KOMPAS 23 Mei 2007; “9,25 juta hektar Tanah Gratis untuk Rakyat Miskin”, Media Indonesia Online, 22 Mei 2007 [www.media-indonesia.com]. 28 Lihat: Bachriadi (2004), “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia”; dan Tim Kerja Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) (2004), Naskah Akadaemik Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya (Jakarta: Komnas HAM dan KPA). 29 Lihat: Bachriadi, Dianto, Yudi Bachrioktora, dan Hilma Safitri (2005), Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang: Mal Administrasi di Bidang Pertanahan (Yogyakarta: Pustaka Lapera). 30 Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pernah menyampaikan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000, ada sekitar 119.136 hektar tanah perkebunan yang dikuasai oleh PTPN (I hingga XIV) yang telah digarap oleh rakyat. Lihat dokumen “Jawaban Presiden Dalam Sidang Tahunan MPR 2000, Rabu 9 Agustus 2000”, khususnya


Artikel Lepas tameng politik bagi proses pengusiran kembali kelompok-kelompok petani tersebut dari lahan-lahan yang sekarang telah mereka kuasai dan pada kenyataannya di beberapa tempat telah dapat meningkatkan kesejahteraan mereka31. Jika demikian, ditambah dengan keterbatasannya untuk menjangkau petani-petani miskin lainnya yang juga potensial menjadi subyek penerima tanah, program ini malah dapat menjadi sumber konflik agraria yang baru. (7) Program reformasi agraria ini dapat dibaca sebagai cara SBY dan politisi di sekelilingnya “mendekati” petani sebagai sumber suara bagi kepentingan politiknya dalam Pemilu 2009. Dalam satu dokumen yang dikeluarkan oleh BPN, disebutkan bahwa dalam implementasi PPAN akan dibentuk “Kelompok-kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan” (disingkat “Pokmasdartibnah”) di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia32. Adapun secara formal tujuan dan fungsi kelompok-kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya 30 orang ini adalah untuk “memperoleh kesamaan persepsi dalam pembentukan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan PPAN” (halaman 1. Petunjuk pelaksanaan teknis PPAN), dan untuk proses pembentukan serta aktivitasnya disediakan anggaran yang berasal dari anggaran PPAN itu sendiri33. Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria, jelas kelompok-kelompok seperti ini tidak memiliki relevansi. Jika yang dimaksud untuk menyelenggarakan reforma agraria atau landreform yang dimaksud, maka yang seharusnya dibentuk oleh pemerintah adalah lembaga penyelengara program ini yang berbentuk badan-badan atau komite landreform yang disusun bertingkat dari tingkat nasional hingga tingkat desa/kelurahan. Adapun badan ini tugas pokoknya pada tahap awal adalah untuk melakukan pendataan mengenai subyek dan obyek landreform itu sendiri dan kemudian bersama-sama dengan pemerintah daerah kemudian menjadi pelaksana dari proses redistribusi tanah. Komite-komite pelaksana landreform ini dapat disusun sedemikian rupa secara demokratis dengan melibatkan serikat-serikat petani yang ada. Jika dikehendaki juga dapat dibentuk lembaga-lembaga peradilan agraria di tingkat desa/kelurahan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin/dapat terjadi akibat proses reform itu sendiri, seperti hal dahulu pernah dibentuk lembaga “peradilan landreform” di tingkat desa ketika landreform dilaksanakan di Indonesia pada masa Orde Lama34. Pembentukan “Pokmasdartibnah” di tiap-tiap desa/kelurahan itu sendiri disebutkan dalam dokumen-dokumen petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh BPN tidak hanya dalam kerangka atau untuk pelaksanaan PPAN saja, tetapi “… dalam penyelenggaraan kegiatan halaman 5-6. Sementara itu, menurut catatan BPN, dan ada sekitar 60.000 hektar lahan perkebunan dari 120 perusahaan perkebunan yang telah diduduki oleh rakyat. Lihat: Bachriadi (2000), “Land for the Landless”, hal. 28. 31 Kehadiran UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dalam hal ini akan menjadi alas hukum baru untuk melakukan kriminalisasi petani-petani penggarap di areal lahan perkebunan besar tanpa memperhatikan alasan-alasan dan motif-motif keadilan yang lebih luas, tetapi sekedar menegakan “keadilan dan hak” dari para pemegang HGU semata. 32 Pembentukan “Pokmasdartibnah” dijelaskan dalam tiga buah dokumen petunjuk teknis (juknis) yang dikeluarkan BPN pada tahun 2007 dalam rangka pelaksanaan PPAN, yakni: (1) “Petunjuk Pelaksanaan Koordinasi Lintas Sektoral Penanganan PPAN”; (2) “Petunjuk Tenis Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan dan Peningkatan Partisipasi Kelompok Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah) dalam PPAN”; dan (3) “Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan dalam PPAN”. 33 Dalam dokumen “Petunjuk Tenis Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan dan Peningkatan Partisipasi Kelompok Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah) dalam PPAN” halaman 5, disebutkan “penggunaan anggaran sesuai DIPA (Daftar Isian Proyek Anggaran) tahun 2007 untuk pelaksanaan PPAN”. 34 Pada masa itu, lembaga “peradilan landreform” yang dibentuk berdasarkan UU No.21/1964 tentang Pengadilan Landreform yang dimaksud adalah peradilan adhoc yang dibentuk di desa-desa yang beranggotakan perwakilan-perwakilan dari serikatserikat petani.

pertanahan pada umumnya dan PPAN 2007, meliputi PRONA, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, sertifikasi tanah transmigrasi, inventarisasi P4T, model Reforma Agraria, LMPDP dan PPAN”35. Artinya, ada anggaran PPAN yang itu akan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan proses reforma agraria itu sendiri. Dengan kata lain, dari segi pemanfaatan anggaran ini, PPAN itu tidak lebih dari sekedar urusan pemantapan administrasi pertanahan semata – bukan penataan struktur penguasaan tanah. Dari perspektif politik, “Pokmasdartibnah” dapat saja berubah menjadi suatu mesin politik yang pada saatnya dapat digerakan untuk kepentingan politik elektoral (peraihan suara), seperti halnya ketika Golkar melalui Departmen Penerangan pada masa Orde Baru membentuk “Kelompencapir” (kelompok pemirsa, pembaca dan penyampai informasi) di setiap desa/keluarahan di seluruh Indonesia. Berbagai studi klasik telah mengingatkan bahwa program redistribusi tanah selalu mengandung kepentingan politik yang lebih luas dari sekedar komitmen untuk keadilan sosial36. Dalam hal ini artinya akan banyak kepentingan politik non populis yang akan mendompleng dan menyelewengkan program “reformasi agraria ala SBY” ini untuk kepentingan yang tidak ada hubungannya sama sekali penciptaan keadilan agraria. PPAN Sungguh Dapat Menjadi Reforma Agraria Palsu! Akhirnya, sejumlah keraguan di atas patut ini juga diperhatikan di dalam bingkai kenyataan adanya “pertarungan kepentingan yang berbeda” di dalam tubuh rejim SBY-JK (= SBY tidak sekuat yang kita duga dan harapkan!). Jika reforma agraria yang sesungguhnya hendak dijalankan di Indonesia, jelas ada banyak kepentingan ekonomi dan politik para tuan tanah dan pengusaha yang akan terancam. Padahal penerapan reforma agraria oleh pemerintah (agrarian reform by grace) memerlukan suatu rejim negara yang kuat dan memiliki komitmen penuh untuk membela kepentingan ekonomi dan politik kaum tani dan rakyat miskin lainnya37. Rejim yang lemah akan membuat program reforma agraria dapat terombang-ambing, besar kemungkinan dikooptasi oleh kepentingan lain, dan potensial untuk menyimpang. Karena itu, ketimbang berharap terlalu banyak kepada program “reformasi agraria ala SBY” ini yang dalam pidato awal tahunnya diberi jargon sebagai penegakan prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”38, baiknya sejak awal kita mewaspadai (: bisa juga dinyatakan) bahwa ini adalah jalan bagi pelaksanaan Reforma Agraria Palsu! Ф

35 Dokumen “Petunjuk Tenis Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan dan Peningkatan Partisipasi Kelompok Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah) dalam PPAN” yang dikeluarkan oleh BPN pada tahun 2007, hal. 1. 36 Lihat misalnya: Senior (1958), Land Reform and Democracy (Westport: Greenwood Press); Stavenhagen, Rodolfo (1970), Agrarian Problem and Peasant Movement in Latin America (New York: Anchor Book); Jacoby, Erich H. dan Charlotte F. Jacoby (1971), Man and Land (New York: Alfred A. Knopf ); Migdal, Joel S. (1974), Peasants, Politics, and Revolution: Pressures toward Political and Social Change in the Third World (Princeton: Princeton Univ. Press); Prosterman dan Riedinger (1987), Land Reform and Democratic Development (Baltimore: John Hopkins Univ. Press); Putzel (1992), The Captive Land (London: CIIR); dan Borras Jr. (2004), Rethinking Redistributive Land Reform, Phd Thesis at the Institute for Social Science, The Hague, The Netherlands. 37 Mengenai hal ini lihat: Bachriadi, Dianto (2007), Membedakan “Agrarian Reform by Grace” dan “by Laverage”, bahan presentasi dalam Sekolah Politik untuk Reforma Agraria, diselenggarakan oleh PERGERAKAN-KPA-SPP, 4 -15 Februari 2007. 38 Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pada Awal Tahun 2007, Jakarta 31 Januari 2007, hal. 10.

25


26


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.