Pujian untuk Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu Tulisan John Ortberg itu mendalam, namun tidak berat. Pesannya jelas dan sangat mendasar: Anda harus hidup di dalam pemeliharaan dan kuasa Allah ketika, melalui keyakinan pada Yesus, meninggalkan rancangan Anda sendiri untuk menjaga diri tetap aman. Itulah cara menemukan Kerajaan Allah, sebagai realitas keseharian. Jadi, temukan perahu Anda dan keluarlah dari sana. Dan Anda akan mengalami secara langsung kehidupan iman, yang banyak orang hanya membicarakannya. —Dallas Willard, penulis, The Divine Conspiracy Dengan gaya yang memikat dan menggugah hati, John Ortberg menuntun pembaca menjalani petualangan yang hebat. Namun, ini petualangan yang hanya akan terjadi ketika Anda berkata “ya” dengan menjadikan Yesus sebagai fokus kehidupan Anda. Bukalah sampul buku ini dan temukan kesempatan istimewa yang telah Allah siapkan bagi Anda. —Bob Buford, penulis, Halftime Saya membaca buku ini dalam sekali duduk. Sebenarnya saya tidak bermaksud demikian, namun saya keliru saat memulainya. Saya tertawa sebelum menyelesaikan halaman pertama dan terpikat oleh bagian pertengahan bab satu. John Ortberg adalah salah satu penulis favorit saya. Humornya dipadukan dengan pendekatan yang jujur dan praktis bagi pertumbuhan orang Kristen sungguh menyegarkan. Jika Anda ingin berjalan di atas air, bacalah buku ini, LALU keluarlah dari perahi dan hiduplah! —Ken Davis, penulis dan pembicara Buku ini semurni-murninya Ortberg—penuh wawasan dan mendalam, menawan dan lucu, memotivasi dan menantang. John melalukan melalui buku ini hal yang dilakukannya pada saya sebagai sahabat: dengan penuh kasih namun gigih mendorong saya untuk terus bertumbuh! —Lee Strobel, penulis, The Case For Christ dan The Case For Faith
SERI JOHN ORTBERG
Soul Keeping (Menjaga Jiwa) Merawat Bagian Terpenting dari Hidup Anda
Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com
L iteratur P erkantas J awa T imur
Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu oleh John Ortberg Originally published in English under the title If You Want to Walk on Water,You’ve Got to Get Out of the Boat Copyright Š 2001 by John Ortberg Published by Zondervan, 3900 Sparks Dr. SE, Grand Rapids, Michigan 49546 All Right Reserved Under International Copyright Law Alih Bahasa: Arie Saptaji Editor: Milhan K. Santoso Penata Letak: Milhan K. Santoso Desain Sampul:Vici Arif Wicaksono Hak cipta terjemahan Indonesia: Literatur Perkantas Jawa Timur Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur. Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui e-mail: pktas.jatim@gmail.com, atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org
ISBN: 978-602-1302-28-6 Cetakan Pertama: Agustus 2016
Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa izin dari penerbit.
Kepada Sam Reeves dan Max DePree yang telah mengajarkan saya banyak hal tentang melangkah keluar dari perahu
DAFTAR ISI
Prakata........................................................................... 9 1. Tentang Berjalan di Atas Air........................................... 13 2. Kentang Perahu.............................................................. 35 3. Mengenali Panggilan-Nya.............................................. 61 4. Berjalan di Atas Air........................................................ 85 5. Merasakan Tiupan Angin............................................... 107 6. Berteriak Ketakutan....................................................... 131 7. Rasa Tenggelam Itu........................................................ 151 8. Berfokus pada Yesus....................................................... 171 9. Belajar Menantikan Tuhan............................................. 193 10. Seberapa Besarkah Allah-mu?......................................... 213 Sumber Acuan................................................................ 228
Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air. Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!” lalu berteriak-teriak karena takut. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Lalu mereka naik ke perahu dan angin pun redalah. Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”
Matius 14:25–32
PRAKATA
Saya ingin mengundang Anda pergi berjalan-jalan. Alkitab itu antara lain memaparkan serangkaian perjalanan yang tak terlupakan. Perjalanan pertama dilakukan Allah sendiri, yang biasa berjalan-jalan di Taman Eden pada hari sejuk. Namun, pada umumnya Allah meminta orang untuk berjalan bersama-Nya. Ada perjalanan pelik yang ditempuh Abraham bersama anaknya, Ishak, menuju Moria. Ada perjalanan menuju kemerdekaan yang dijalani Musa dan bangsa Israel melalui jalan yang biasanya tertutup Laut Merah, dan perjalanan yang menimbulkan rasa frustrasi karena mereka harus memutari padang gurun selama empat puluh tahun. Ada perjalanan Yosua merebut kemenangan dengan mengelilingi tembok Yerikho, perjalanan para murid yang mengalami pencerahan menuju Emaus, perjalanan Paulus yang terhenti mendadak di Damaskus. Ada pula perjalanan yang begitu pedih dan kudus sehingga menyandang sebutan tersendiri: perjalanan dari Praetorium ke Golgota yang disebut Via Dolorosa—jalan sengsara. Namun, bisa jadi yang paling mengesankan adalah perjalanan Petrus pada saat ia keluar dari perahu dan berjalan di atas air. Sangat mengesankan, bukan sekadar karena tempatnya, melainkan juga karena ia melewati jalan yang tidak biasa dan bersama Seseorang yang luar biasa pula. Menurut saya, ketika Petrus menginjakkan kakinya di atas ombak, ia mengalami perjalanan yang teramat istimewa. Dalam buku ini, biarlah perjalanan Petrus menjadi suatu undangan bagi setiap orang yang, seperti dia, ingin melangkah dalam iman, yang ingin mengalami kuasa dan hadirat Allah secara lebih mendalam. Biar-
10
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
lah berjalan di atas air menjadi gambaran tentang melakukan dengan pertolongan Allah sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan dengan kekuatan sendiri. Bagaimana hal semacam itu terjadi? Ada suatu pola konsisten dalam Kitab Suci tentang apa yang terjadi pada orang yang hendak dipakai dan diperbaiki oleh Allah: —Selalu ada panggilan. Allah meminta orang biasa untuk terlibat dalam tindakan yang memerlukan kepercayaan luar biasa, yaitu keluar dari perahu. —Selalu ada ketakutan. Allah memiliki kebiasaan yang sulit dihentikan, yaitu meminta orang melakukan hal-hal yang menggentarkan hati mereka. Bisa jadi berupa ketakutan karena merasa tidak memadai (“Aku berat mulut dan berat lidah,” kata Musa.) Bisa jadi berupa ketakutan kalau-kalau gagal (“Negeri yang telah kami lalui untuk diintai adalah suatu negeri yang memakan penduduknya,” kata mata-mata yang pergi mengintai Tanah Perjanjian). Bisa jadi bahkan berupa ketakutan akan Tuhan (“Aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam,” kata seorang hamba dalam perumpamaan Yesus). Namun, apa pun bentuknya, selalu ada ketakutan. —Selalu ada penghiburan. Allah menjanjikan hadirat-Nya (“TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani!” seorang malaikat menenteramkan Gideon, yang pasti belum penah dipanggil dengan sebutan seperti itu). Allah juga berjanji untuk memberikan karunia apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-Nya (“Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan,” kata-Nya kepada Musa yang gagap). —Selalu ada keputusan. Kadang-kadang, seperti yang terjadi pada Musa dan Gideon, orang menyambut panggilan Allah. Kadang-kadang, seperti yang terjadi pada sepuluh pengintai yang ketakutan atau anak muda kaya yang berbicara dengan Yesus, mereka menolaknya. Namun, orang harus selalu mengambil keputusan. —Selalu ada kehidupan yang berubah. Mereka yang menyambut panggilan Allah tidak menempuh perjalanan itu dengan sempurna— setidaknya dalam jangka panjang. Namun karena mereka bersepakat dengan Allah, mereka belajar dan bertumbuh, bahkan dari kegagalan
PRAKATA
11
mereka. Dan mereka menjadi bagian dari tindakan-Nya menebus dunia. Mereka yang menolak panggilan-Nya juga berubah. Mereka menjadi sedikit lebih keras, sedikit lebih menentang terhadap panggilan-Nya, dan kemungkinan akan menolak lagi terhadap panggilan berikutnya. Apa pun keputusan yang diambil, hal itu selalu mengubah kehidupan—dan mengubah dunia yang disentuh oleh kehidupan kecil itu. Menurut saya, pola dalam Alkitab ini masih berlanjut sampai sekarang. Saya percaya, dalam beberapa aspek kehidupan Anda, Allah mengundang Anda untuk berjalan dengan Dia dan menuju Dia, dan saat Anda menyambut panggilan-Nya, hal itu menggerakkan suatu dinamika ilahi yang melampaui kekuatan alami manusia. Mungkin panggilan itu berkaitan dengan pekerjaan Anda atau risiko dalam sebuah hubungan atau karunia yang dapat Anda kembangkan atau sumber daya yang dapat Anda sumbangkan. Bisa jadi panggilan itu mengarahkan Anda untuk menghadapi ketakutan terbesar Anda. Dan, tak ayal hal itu akan melibatkan inti kepribadian Anda dan pekerjaan Anda. Maka, dalam buku ini kita akan bersama-sama belajar keterampilan “berjalan di atas air�: mengenali panggilan Allah, mengatasi ketakutan, melangkah dalam iman yang berisiko, mengelola kegagalan, memercayai Allah. Saya berharap Anda tidak sekadar membaca buku, tetapi Anda akan terdorong untuk menyambut panggilan Allah. Maka, saya mengundang Anda untuk pergi berjalan-jalan. Di atas air. Anda cukup mengingat satu hal: Jika Anda ingin berjalan di atas air, Anda harus keluar dari perahu.
Bab 1
TENTANG BERJALAN DI ATAS AIR
Yang patut diperhitungkan itu bukanlah tukang kritik; bukan orang yang menunjukkan bagaimana seorang kuat terjungkal, atau bagaimana seorang pelaku dapat mengerjakan tugasnya dengan lebih baik. Penghargaan layak dimiliki mereka yang benar-benar terjun ke tengah arena... yang, pada titik terbaik, pada akhirnya mengenali kejayaan pencapaian yang hebat, dan yang, pada titik terburuk, jika ia gagal, paling tidak gagal selagi ia mencoba dengan penuh keberanian. Maka, ia tidak akan berada dalam kelompok orang yang penakut, yang tidak mengenal baik kemenangan maupun kekalahan. —Theodore Roosevelt
Sekian tahun lalu istri saya merancang bagi kami perjalanan naik balon udara sebagai hadiah ulang tahun. Kami menuju tanah lapang tempat balon diterbangkan dan masuk ke dalam keranjang kecil bersama pasutri lain. Kami memperkenalkan diri dan bertegur sapa sekadarnya. Kemudian pilot memulai penerbangan. Hari baru saja terang tanah—jernih, segar, tanpa awan. Kami dapat melihat keseluruhan Lembah Canejo, mulai dari ngarai yang terjal sampai Samudera Pasifik. Pemandangan yang elok, menggugah, dan menakjubkan. Namun saya juga mengalami emosi yang tidak saya harapan. Bisa menebaknya? Ketakutan. Saya selalu membayangkan keranjang itu kira-kira setinggi dada, namun yang kami pakai hanya setinggi lutut. Kalau saja ada yang terpelanting, tak ayal ia akan terlempar ke luar. Saya pun berpegangan kuat-kuat
14
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
penuh kengerian dan kaki gemetaran. Saya memandang istri saya, yang tampak tidak peduli sama sekali dengan ketinggian, dan terlihat santai, menyadari bahwa di keranjang itu ada seseorang yang lebih tegang dari saya. Saya bisa tahu, karena perempuan itu tidak mau bergerak—sama sekali. Dalam perjalanan itu kami antara lain melewati peternakan kuda, tepat di bawah tanah di belakangnya. Saya menunjukkannya karena perempuan itu menyukai kuda, dan, tanpa berpaling atau bahkan sekadar menelengkan kepala, ia hanya melirikkan matanya sejauh mungkin dan berkata, “Yah, memang indah.” Kira-kira pada saat itu saya ingin mengenal lebih jauh bocah yang menerbangkan balon ono. Saya sadar saya bisa membangkitkan tekad untuk percaya bahwa segala sesuatunya baik-baik saja, namun sesungguhnya kami telah menyerahkan nyawa dan nasib kami ke dalam tangan sang pilot. Segala sesuatunya bergantung pada karakter dan kecakapannya. Saya menanyakan apa pekerjaannya dahulu dan bagaimana ia mulai menerbangkan balon udara. Saya berharap pekerjaan lamanya penuh dengan tanggung jawab penting—dokter bedah saraf, mungkin, astronot yang gagal terbang ke angkasa. Saya sadar kami berada dalam masalah ketika ia memulai jawabannya dengan, “Pak, ceritanya begini...” Ia dulu tidak punya pekerjaan! Ia hanya gemar berselancar. Ia menjelaskan dirinya mulai menerbangkan balon udara gara-gara ia mengendarai truk pick up dalam keadaan terlalu mabuk, menabrakkan truk itu, dan mengakibatkan adiknya terluka parah. Adiknya masih belum pulih benar, maka paling tidak ia bisa menyibukkan diri dengan menonton balon udara. “Ngomong-ngomong,” tambahnya, “kalau saat turun nanti kita agak terguncang-guncang, jangan kaget. Saya belum pernah menerbangkan balon seperti ini, dan saya tidak terlalu yakin cara menurunkannya.” Istri saya memandang saya dan berkata, “Maksudmu kamu hendak berkata bahwa kita terbang seribu kaki di udara dengan peselancar menganggur, yang mulai menerbangkan balon udara karena ia mabuk, menabrakkan truk, mencelakakan adiknya, dan belum pernah naik balon seperti ini dan tidak tahu cara menurunkannya?” Lalu istri pasangan yang satu lagi memandang saya dan berkata—
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
15
satu-satunya perkataan yang mereka ucapkan sepanjang perjalanan itu. Anda kan pendeta, Lakukan sesuatu yang religius. Saya pun mengedarkan kantong persembahan. Pertanyaan penting pada saat seperti itu adalah, Dapatkah aku memercayai sang pilot? Saya bisa berusaha menenangkan diri dengan mengatakan segala sesuatu pada akhirnya akan baik-baik saja. Terbang dengan sikap positif jelas lebih menyenangkan. Namun perjalanan ini sudah hampir berakhir. Dan masalah utamanya berkaitan dengan bocah yang menerbangkan balon ini. Apakah karakter dan kecakapannya benar-benar dapat diandalkan sehingga saya dapat dengan yakin menyerahkan nasib saya ke dalam tangannya? Atau, inikah waktu untuk melakukan sesuatu yang religius? Setiap hari Anda dan saya menempuh perjalanan lain dalam balon raksasa yang berkisar-kisar dalam alam semesta raya. Kita hanya menempuh satu kali perjalanan. Saya ingin menjalaninya dengan semangat bertualang yang besar dan keberanian untuk mengambil risiko—dan saya yakin Anda juga demikian. Namun, terkadang keadaannya benar-benar tidak menentu. Saya berharap dinding keranjang ini sedikit lebih tinggi. Saya berharap balonnya sedikit lebih tebal. Saya bertanya-tanya bagaimana perjalanan kecil ini akan berakhir. Saya tidak yakin bagaimana keadaannya saat balon turun nanti. Saya dapat nekat memberanikan diri untuk menggunakan kesempatan yang ada dan percaya segala sesuatunya akan baik-baik saja. Namun pertanyaan yang sesungguhnya adalah, Adakah seseorang atau pilot yang mengarahkan semua ini? Dan, apakah karakter dan kecakapannya layak diandalkan? Karena, jika tidak, saya tidak mau nekat. Cerita saya, seperti cerita setiap manusia lainnya, paling tidak sebagiannya, adalah pergumulan antara iman dan ketakutan. Karena itu, saya mendapati diri saya selama bertahun-tahun terpikat pada kisah Petrus keluar dari perahu dan berjalan di atas air bersama dengan Kristus. Ini salah satu gambaran dahsyat tentang pemuridan yang ekstrem dalam Kitab Suci. Dalam bab-bab selanjutnya, kita akan memeriksa setiap detail kisah ini untuk menggali bahan pelajaran ten-
16
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
tang berjalan di atas air. Namun, dalam sisa bab ini, marilah kita meninjaunya selayang pandang—seakan-akan dari atas balon udara. Apakah yang berlangsung dalam perjalanan di atas air itu? ORANG YANG BERJALAN DI ATAS AIR MENGENALI HADIRAT ALLAH Petrus dan teman-temannya masuk ke dalam perahu kecil pada suatu petang untuk menyeberangi danau Galilea. Yesus ingin menyendiri, maka mereka berperahu tanpa Dia. Petrus tidak ambil pusing—nyaris seluruh hidupnya dihabiskan dengan berperahu. Ia menyukainya. Namun, kali ini badai melanda. Bukan angin ringan belaka. Injil Matius menyebutkan angin ribut itu “mengamuk”. Begitu hebat guncangannya sehingga para murid hanya bisa berusaha mempertahankan perahu tetap tegak. Mereka berharap tepian perahu lebih tinggi dan papan kayunya lebih tebal. Menjelang pukul tiga dini hari, dalam bayangan saya, para murid tidak lagi mencemaskan soal apakah mereka bisa sampai ke seberang atau tidak—mereka hanya ingin tetap bertahan hidup. Kemudian seorang murid melihat ada suatu bayangan bergerak menuju mereka di atas air. Semakin mendekat, semakin jelaslah bahwa bayangan itu sesosok manusia—berjalan di atas air. Luangkan waktu sejenak untuk membiarkan gambaran itu meresap. Para murid sedang panik, dan satu-satunya orang yang sanggup menolong mereka sedang mendekati mereka. Hanya masalahnya, Dia tidak berada dalam perahu dan para murid tidak mengenali Dia. Sungguh menakjubkan, bahkan tanpa perahu pun Yesus tidak berlambat-lambat. Namun, para murid yakin bayangan itu hantu, maka mereka gentar dan berteriak ketakutan. Bila diingat-ingat lagi, kita mungkin heran mereka bisa gagal mengenali Yesus. Siapa lagi kalau bukan Dia? Namun, Matius ingin menyatakan pada kita bahwa kadang-kadang perlu mata iman untuk mengenali Yesus yang ada di sekitar kita. Sering di tengah badai, terombang-ambing oleh badai kekecewaan dan keraguan, kita pun gagal mengenali hadirat-Nya persis seperti para murid. Mari kita menggali lebih dalam. Apa sebenarnya maksud Yesus, berjalan-jalan di danau pada pukul tiga dini hari? David Garland menemukan petunjuk dalam versi tuturan Markus,
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
17
yang menyatakan bahwa Yesus “hendak melewati mereka”. Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas danau, mereka mengira itu hantu. Mengapa Yesus hendak “melewati mereka”? Apakah Dia hendak berlomba dengan mereka? Apakah Dia ingin membuat mereka terkesan dengan suatu trik yang mencengangkan? Garland menunjukkan bahwa kata kerja bahasa Yunani parerchomai (“melewati”) digunakan untuk menerjemahkan istilah teknis dalam Perjanjian Lama yang mengacu pada teofani—momen menentukan ketika Allah “menampakkan diri secara mencolok dan selama beberapa waktu di muka bumi kepada seseorang pilihan atau sekelompok orang dengan maksud menyampaikan suatu pesan.” Allah menempatkan Musa dalam lekuk gunung sehingga Musa dapat melihat “apabila kemuliaan-Ku lewat.” ... Berjalanlah TUHAN lewat dari depannya.” Allah memerintahkan Elia untuk keluar dan berdiri di atas gunung, “Maka TUHAN lalu.” Ada pola dalam kisah-kisah itu. Dalam setiap kasus, Allah bermaksud menarik perhatian orang—melalui semak terbakar, atau angin dan api, atau berjalan di atas air. Allah hendak memanggil tiap-tiap orang itu untuk melakukan sesuatu yang luar biasa. Dalam setiap situasi, orang yang menerima panggilan Allah itu merasa ketakutan. Namun setiap kali orang berkata “ya” terhadap panggilan itu, mereka mengalami kuasa Allah dalam kehidupan mereka. Maka, ketika Yesus mendatangi para murid di atas air dengan maksud “hendak melewati mereka,” Dia bukan sedang memamerkan tipuan sulap yang keren. Dia mengungkapkan hadirat dan kuasa ilahi-Nya. Hanya Allah yang mampu melakukan hal semacam itu: Dialah yang “melangkah di atas gelombang-gelombang laut.” Menarik dicatat, para murid naik ke perahu itu atas perintah Yesus. Mereka harus belajar—begitu juga dengan kita—bahwa ketaatan bukanlah jaminan bahwa mereka akan terbebas dari mara bahaya. Namun, ketika badai menyita seluruh perhatian mereka, Yesus memutuskan itulah saatnya bagi para murid untuk mengenal sedikit lebih jauh tentang Dia yang mengendalikan keadaan tersebut. Begini ya, bung, Dia menenangkan mereka. Kalian dapat mengandalkan Aku. Kalian mengenal karakter
18
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
dan kecakapan-Ku. Kalian bisa memercayakan nasib kalian di tangan-Ku. Teguhkan hatimu. Ini Aku. Mereka belum paham sepenuhnya, namun Allah tengah melawat mereka dalam rupa manusia yang berjalan di atas air. Matius ingin menunjukkan pada para pembacanya bahwa Yesus sering muncul pada saat-saat yang tidak terduga—pukul tiga dini hari, di tengah badai. Dale Bruner mencatat bahwa, “menurut Kitab Suci, Allah sering menjumpai manusia ketika mereka sedang berada dalam kondisi yang genting.” Saat-saat menentukan yang ditetapkan Allah itu akan mendatangi Anda dan saya. Dia masih terus meminta para pengikutNya melakukan hal-hal yang luar biasa. Dan jika Anda tidak mencari Dia, bisa jadi Anda melewatkan lawatan-Nya. Dua belas murid duduk dalam perahu, dan kita tidak tahu respons sebelas murid yang lain terhadap suara itu. Mungkin bingung, takjub, tidak percaya, atau campur-aduk berbagai perasaan. Namun, salah seorang dari mereka, Petrus, hendak menjadi pejalan di atas air. Ia menyadari bahwa Allah hadir—bahkan di tempat-tempat yang tidak terduga. Ia menyadari bahwa ini kesempatan yang luar biasa untuk bertualang dan bertumbuh secara rohani. Lalu ia mendapatkan ide. Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang religius. PEJALAN DI ATAS AIR MENGENALI PERBEDAAN ANTARA IMAN DAN KEBODOHAN Petrus berseru pada Dia yang berjalan di atas air, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Mengapa Matius memasukkan detail ini? Mengapa Petrus tidak langsung saja mencebur ke dalam air? Menurut saya, alasannya sangat penting. Ini bukan sekadar kisah tentang keberanian mengambil risiko; ini terutama kisah tentang ketaatan. Artinya, saya harus membedakan antara panggilan otentik dari Allah dan dorongan tolol keegoisan pribadi saya belaka. Keberanian saja tidak cukup; keputusan ini harus disertai dengan hikmat dan ketajaman pengertian. Matius tidak ingin sekadar memamerkan keberanian Petrus mengambil risiko. Yesus tidak mencari jagoan terjun bebas atau penyelam
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
19
tangguh yang nekat melawan badai. Berjalan di atas air ini bukan suatu rekreasi. Ini bukan cerita tentang olahraga ekstrem. Ini tentang pemuridan ekstrem. Artinya, sebelum Petrus keluar dari air, lebih baik ia memastikan bahwa Yesus menganggap hal itu sebagai ide yang baik. Maka, ia meminta kejelasan, “Apabila Engkau itu, suruhlah aku...” Dan dalam kegelapan, saya bayangkan Yesus tersenyum. Mungkin Dia tertawa. Karena ada satu orang di perahu itu yang memahami maksud-Nya. Petrus menangkap isyarat tentang apa yang sedang dikerjakan Tuhan. Bukan hanya itu, Petrus memiliki cukup iman untuk percaya bahwa dirinya bisa turut serta dalam petualangan itu. Ia memutuskan untuk menjadi bagian dari pejalan di atas air pertama dalam sejarah. Suruhlah aku. PEJALAN DI ATAS AIR KELUAR DARI PERAHU Sebelum kita melangkah lebih jauh, saya ingin Anda membayangkan diri Anda berada dalam kisah itu. Berimajinasilah tentang betapa dahsyatnya badai itu sampai pelaut kawakan pun berjuang keras agar tidak terjungkal. Bayangkan ukuran badai itu, kekuatan angin, kepekatan malam! Itulah keadaan yang melatari Petrus saat hendak keluar dari perahu. Mencoba berjalan di atas air pada saat perairan tenang, matahari cerah, dan udara tak berangin saja sudah cukup menantang. Bayangkan Anda melakukannya ketika gelombang berdebur, angin berputar kencang, dan saat itu pukul tiga dini hari—dan Anda gemetar ketakutan. Bayangkan sejenak diri Anda menjadi Petrus. Anda tiba-tiba mengerti apa yang sedang Yesus lakukan—Tuhan sedang berlalu. Dia sedang mengundang Anda untuk menjalani petualangan hidup Anda. Namun, Anda juga ketakutan setengah mati. Mana yang akan Anda pilih—air atau perahu? Perahunya aman, teguh, dan nyaman. Sebaliknya, airnya bergolak. Gelombang sangat tinggi. Angin bertiup kencang. Badai mengamuk di sana. Dan jika Anda keluar dari perahu— apa pun perahu Anda itu—ada kemungkinan Anda bakal tenggelam. Namun jika Anda tidak keluar dari perahu, dijamin Anda tidak akan pernah berjalan di atas air. Ini hukum alam yang tak dapat diubah-ubah. Jika Anda ingin berjalan di atas air, Anda harus keluar dari perahu.
20
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
Saya yakin ada sesuatu—Seseorang—di dalam diri kita yang membisikkan bahwa hidup itu lebih dari sekadar duduk-duduk di dalam perahu. Anda diciptakan untuk melakukan lebih dari sekadar menghindari kegagalan. Ada sesuatu di dalam diri Anda yang ingin berjalan di atas air—meninggalkan kenyamanan rutinitas dan melepaskan diri menuju petualangan seru mengikuti Allah. Maka, izinkan saya mengajukan pertanyaan yang sangat penting ini: Apakah perahu Anda? Perahu Anda adalah apa saja yang mewakili keamanan dan keselamatan di luar Allah. Perahu Anda adalah apa saja yang menggoda Anda untuk mengandalkannya, khususnya ketika kehidupan sedikit terguncang badai. Perahu Anda adalah apa saja yang membuat Anda begitu nyaman sehingga Anda tidak ingin melepaskannya, termasuk untuk bergabung dengan Yesus di dalam badai. Perahu Anda adalah apa saja yang menahan Anda dan membuat Anda menjauh dari petualangan seru pemuridan yang ekstrem. Ingin tahu apa perahu Anda? Ketakutan Anda akan menunjukkannya. Coba tanyakan pada diri Anda: Hal apakah yang paling membangkitkan ketakutan dalam diriku—khususnya jika aku sampai harus meninggalkannya dan melangkah pergi dalam iman? Bagi David, perahu itu adalah pekerjaannya. Ia tukang bangunan selama tiga puluh lima tahun, dan sekarang usianya sudah di ujung lima puluhan tahun. Namun, sepanjang hidupnya ia merasa Allah memanggilnya ke dalam pelayanan gereja. Ia membungkam hati nuraninya dengan menyumbangkan banyak uang dan melakukan banyak hal-hal baik, namun ia tidak berhasil menepiskan ketakutan yang menghantuinya, jangan-jangan ia melewatkan panggilan hidupnya. Dan ia takut janganjangan sudah terlambat untuk meresponsnya. Bagi Kathy, perahu itu berupa hubungan. Selama bertahun-tahun menjalin hubungan dengan seorang pria yang tak kunjung menegaskan komitmennya. Ia memberikan sinyal yang sangat jelas untuk dibaca siapa saja; pria itu tidak pernah berbicara manis kepadanya, mengelak membicarakan masa depan mereka, dan berusaha menjaga jarak sejauh mungkin. Namun, Kathy tidak pernah berusaha mencari tahu perasaan pria itu sesungguhnya—ia teramat ketakutan. Ia tidak yakin dirinya
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
21
sanggup kehilangan pria itu. Perahunya begitu rapuh. Namun ia terlalu gentar untuk meninggalkannya. Ralph seorang pendeta, namun ia merasa tidak cocok dan tidak mencintai gerejanya. Gereja itu penuh dengan perpecahan dan suka meributkan perkara remeh-temeh. Alih-alih menyampaikan kebenaran profetis atau memimpin dengan visi yang jelas, ia mendapati dirinya terus-menerus berusaha meredakan amarah jemaat dan memelihara ketenangan. Ia tidak menyukai gereja itu; ia membencinya dan merasa ketakutan. Tetapi, itulah perahunya. Jika ia meninggalkannya, ia hanya akan mendapati dirinya di gereja lain yang persis seperti itu. Perahu Doug berupa rahasia pribadi. Ia kecanduan pornografi. Kecanduan ringan, begitu ia menghibur dirinya. Nonton film dewasa dalam perjalanan bisnis dan sesekali bersenang-senang di internet. Tidak sampai mengorbankan pekerjaan atau pernikahannya—setidaknya sejauh ini. Namun tidak ada seorang pun yang tahu. Ia takut mengakuinya. Ia takut meminta tolong. Kerahasiaan itu membunuhnya. Namun itu perahunya. Perahu Kim adalah ayahnya. Ia membesarkan anak-anaknya, mengurus rumahnya, dan mengejar karier yang dirancang untuk membahagiakan ayahnya. Ironisnya, sang ayah tidak bahagia, dan tidak ada yang dapat dilakukannya untuk menyenangkan hati ayahnya. Namun, ketakutan kalau-kalau ia membuat sang ayah gusar mencekamnya. Pengakuan sang ayah seperti wadah yang bocor. Namun itulah perahunya. Mungkin perahu Anda adalah kesuksesan. Itulah kasus anak muda yang kaya dalam Alkitab. Yesus memintanya untuk keluar dari perahu (“pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin... kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku�), namun ia tidak mau melakukannya. Ia memiliki perahu yang sangat nyaman. Kapal pesiar. Terawat dengan baik, dan ia sangat menyukainya sehingga enggan melepaskannya. Saya kadang-kadang bertanya-tanya apakah ia pernah memikirkan perjumpaan dengan Yesus ketika ia mencapai akhir hayatnya—ketika ia sudah tua dan rekening bank, portofolio saham, dan lemari pajangnya penuh. Pernahkah ia mengenang suatu hari ketika anak seorang tukang kayu memintanya untuk merisikokan seluruh hartanya dan pergi bertua-
22
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
lang dalam kerajaan Allah—dan ia berkata tidak? Apakah perahu Anda? Dalam area hidup yang manakah Anda menarik diri, tidak dapat memercayai Allah dengan sepenuhnya dan secara berani? Ketakutan akan menunjukkan perahu Anda. Meninggalkan perahu itu bisa jadi merupakan perkara paling sulit yang pernah Anda lakukan. Tetapi jika Anda ingin berjalan di atas air, Anda harus keluar dari perahu. PEJALAN DI ATAS AIR SIAP MENGHADAPI MASALAH Maka, Petrus menuju bagian samping perahu. Para murid lain mengawasinya dengan cermat. Mereka sudah sering mendengar bualan Petrus. Mereka bertanya-tanya sampai seberapa jauh ia akan bertahan kali ini. Ia mulai menjulurkan kakinya ke sisi perahu, sambil dengan hati-hati berpegangan erat-erat pada dinding perahu. Lalu satu kaki lagi. Ia berpegangan dengan tekad membaja dan sendi-sendi gemetaran. Kemudian ia melakukan sesuatu yang religius—ia melepaskan pegangannya. Ia melepaskan dirinya sepenuhnya ke dalam kuasa Yesus. Dan tiba-tiba saja, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang manusia biasa berjalan di atas air. Untuk sesaat seolah-olah hanya Petrus dan Yesus yang ada di atas air. Wajah Petrus berseri-seri kegirangan. Yesus bersemangat melihat muridNya. Sebagaimana Sang Guru, demikian pula si murid. Kemudian hal itu pun terjadi. Petrus merasakan tiupan angin. Realitas menerobos, dan Petrus pun tercenung, Sedang apa aku ini? Ia tersadar dirinya berada di atas air di tengah badai tanpa perahu di bawahnya—dan ia gentar ketakutan. Padahal, sejatinya tidak ada yang berubah. Badai itu semestinya tidak membuatnya kaget—toh badai sudah mengamuk sejak tadi. Yang sesungguhnya terjadi pada diri Petrus adalah: fokusnya beralih dari Sang Juru Selamat kepada badai. Kita semua pernah “merasakan tiupan angin.” Anda memulai suatu petualangan baru dengan penuh harapan. Mungkin itu pekerjaan baru; mungkin Anda menjajal suatu karunia rohani tertentu; mungkin Anda mencoba melayani Allah secara baru. Pada awalnya Anda penuh dengan iman—langit seakan biru cemerlang.
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
23
Kemudian realitas menyerbu masuk. Kemunduran. Perlawanan. Rintangan tak terduga. Anda merasakan tiupan angin. Seharusnya itu bukan kejutan—dunia memang tempat yang penuh badai. Namun entah bagaimana, kita masih juga terkejut ketika masalah datang. Karena tiupan angin, sebagian orang memutuskan tidak pernah meninggalkan perahu. Jika Anda keluar dari perahu, Anda akan menghadapi angin dan badai di luar sana. Namun, Anda mungkin sadar pula, hidup di dalam perahu juga tidak terjamin lebih aman. Eileen Gunder menulis, Anda dapat hidup dengan menyantap makanan tawar untuk menghindari maag, tidak minum teh, kopi atau minuman sejenis demi menjaga kesehatan, tidur awal setiap hari, menjauhi dunia malam, menghindari semua isu kontroversial agar tidak terjadi percekcokan, menangani urusan sendiri, membelanjakan uang hanya untuk kebutuhan hidup dan menabung sebanyak mungkin. Anda bisa saja patah leher saat berada di bak mandi, dan kejadian semacam itu sudah sewajarnya.
Larry Laudan, filsuf ilmu pengetahuan, menghabiskan satu dekade untuk meneliti manajemen risiko. Ia menulis tentang bagaimana kita hidup di dalam masyarakatnya yang begitu tercekam oleh ketakutan sehingga ketika menderita sindroma yang disebutnya terkunci-ketakutan— kondisi yang, seperti jalan buntu atau kemacetan total, membuat kita tidak mampu melakukan apa-apa atau pergi ke mana-mana. Prinsip pertamanya paling sederhana: Segala sesuatu itu berisiko. Jika Anda mencari keamanan mutlak, Anda memilih spesies yang keliru. Anda dapat tinggal di rumah dan berbaring di tempat tidur—dan mungkin Anda menjadi satu dari setengah juta orang per tahun dilarikan ke ruang gawat darurat karena terluka gara-gara jatuh dari tempat tidur. Anda dapat menutup jendela rumah—dan mungkin Anda termasuk satu dari sepuluh orang per tahun yang secara tidak sengaja terjerat dan tergantung di tali tirai jendela. Anda dapat menyembunyikan uang Anda di bawah kasur—dan mungkin itu membuat Anda menjadi satu dari seratus ribu orang per tahun yang masuk ke ruang gawat darurat karena luka akibat memegang uang—mulai dari terluka karena teriris kertas sampai (bagi orang kaya)
24
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
hernia. (Semua statistik mengacu pada kondisi di Amerika Serikat). Jika Anda memukul bola dalam bisbol, bisa jadi pukulan Anda melenceng. Pemukul terhebat di dunia gagal dalam dua dari tiga pukulan. Namun, jika Anda tidak pernah masuk ke gelanggang, Anda tidak akan pernah mengalami kejayaan ketika sukses memukul home run. Ada bahaya yang mengancam ketika kita keluar dari perahu. Namun, ada bahaya pula jika kita tetap tinggal. Jika Anda tinggal di dalam perahu—apa pun perahu Anda itu—pada akhirnya Anda akan mati karena bosan dan mandek. Segala sesuatu itu berisiko. PEJALAN DI ATAS AIR MENYAMBUT KETAKUTAN SEBAGAI HARGA UNTUK BERTUMBUH Kini kita sampai pada bagian cerita yang Anda mungkin tidak terlalu menyukainya. Saya sendiri tidak terlalu memedulikannya. Pilihan untuk mengikuti Yesus—pilihan untuk bertumbuh—adalah pilihan untuk terus-menerus menghadapi kematian. Anda sedikit banyak harus keluar dari perahu dari hari ke hari. Mari saya jelaskan. Para murid masuk ke dalam perahu, menghadapi badai, melihat Dia yang berjalan di atas air, dan ketakutan. “Jangan takut,” kata Yesus. Petrus lalu membulatkan tekadnya, meminta izin untuk keluar dari perahu, merasakan tiupan angin, dan ketakutan sekali lagi. “Jangan takut,” kata Yesus. Apakah Anda mengira itu terakhir kalinya Petrus mengalami ketakutan dalam hidupnya? Ini kebenaran yang mendalam tentang berjalan di atas air: Ketakutan itu tidak akan pernah berlalu. Kenapa? Karena setiap kali saya ingin bertumbuh, proses itu melibatkan penjelajahan ke dalam wilayah baru, menghadapi tantangan baru. Dan setiap kali saya melakukannya, saya akan mengalami ketakutan lagi. Susan Jeffers menulis, “Ketakutan ini tidak akan pernah berlalu sepanjang saya terus bertumbuh.” Tidak pernah! Bukankah itu berita yang luar biasa? Kini Anda dapat berhenti berusaha menyingkirkan ketakutan. Ketakutan dan pertumbuhan itu berjalan seiring seperti makaroni dan keju. Sudah satu paket. Keputusan untuk bertumbuh selalu melibatkan pilihan antara risiko dan kenyamanan. Artinya, untuk menjadi pengikut Yesus harus menolak untuk menjadikan kenyamanan sebagai hal yang paling berharga dalam
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
25
hidup Anda. Dan itu merupakan kabar yang menggentarkan bagi kebanyakan dari kita, karena kita begitu berpaut pada kenyamanan. Teolog Karl Barth berkata bahwa kenyamanan adalah salah satu alarm zaman yang perlu kita waspadai. Dapatkah Anda menebak nama kursi paling laris di Amerika? La-Z-Boy. (Bocah Pemalas) Not Risk-E-Boy. (Bocah yang Enggan Mengambil Risiko) Not Work-R-Boy. (Bocah yang Enggan Bekerja) La-Z. Boy. Kita ingin berkubang dalam kenyamanan. Kita menciptakan istilah-istilah khusus untuk mengungkapnya. Orang Amerika berkata, “Saya ingin pulang dan veg out—bersikap seolah-olah diri ini sayuran, duduk bermalas-malas, biasanya sambil menonton televisi.” Mereka juga punya istilah untuk orang yang bermalas-malas di depan TV: kentang dipan. Kentang dipan duduk di La-Z-Boy. Kesebelas murid itu bisa saja disebut “kentang perahu”. Mereka cukup puas hanya menonton, namun mereka sama sekali enggan melakukan sesuatu. Jutaan orang di gereja saat ini dapat disebut “kentang bangku”. Mereka menginginkan kenyamanan yang berkaitan dengan kerohanian, namun mereka tidak ingin mengambil risiko dan tantangan yang menyertai perjalanan mengikuti Yesus. Namun Yesus tetap mencari orang yang mau keluar dari perahu. Ia mencari orang yang mau berkata—maaf, ungkapannya mungkin agak janggal—, “Aku mungkin hanya kentang yang kecil, Tuhan, tetapi kentang kecil ini untukmu.” Dan kita akan membahas dalam buku ini, kedua pilihan itu—risiko dan kenyamanan—cenderung bertumbuh menjadi kebiasaan. Setiap kali Anda keluar dari perahu, kemungkinan Anda untuk keluar lagi pada kesempatan berikutnya bertambah besar sedikit. Bukan berarti Anda tidak akan takut lagi, namun Anda menjadi terbiasa hidup dengan ketakutan. Anda menyadari bahwa ketakutan tidak memiliki daya untuk menghancurkan Anda. Sebaliknya, setiap kali Anda melawan suara itu, setiap kali Anda memilih tinggal di dalam perahu daripada menuruti panggilannya, suara itu juga akan menjadi semakin pelan dalam diri Anda. Kemudian pada akhirnya Anda tidak mendengar seruannya sama sekali.
26
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
PEJALAN DI ATAS AIR TAHU MENGELOLA KEGAGALAN Karena merasakan tiupan angin dan menyerah pada ketakutan, Petrus mulai tenggelam ke dalam air. Nah, pertanyaannya: Apakah Petrus gagal? Sebelum saya menawarkan jawaban, saya ingin memaparkan sedikit tentang kegagalan karena dalam buku ini kita akan banyak membahasnya. Kegagalan itu bukan suatu kejadian, melainkan penilaian terhadap suatu kejadian. Kegagalan bukanlah sesuatu yang menimpa kita atau label yang kita rekatkan pada sesuatu. Kegagalan adalah cara kita berpikir tentang suatu hasil. Sebelum Jonas Salk mengembangkan vaksin polio yang berguna, ia sudah mencoba tanpa hasil sebanyak dua ratus kali. Seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya gagal sebanyak dua ratus kali itu?” “Saya tidak pernah gagal sebanyak dua ratus kali dalam hidup saya,” sahut Salk. “Saya diajar untuk tidak menggunakan kata ‘gagal’. Saya hanya menemukan dua ratus cara yang tidak tepat untuk mengembangkan vaksin polio.” Seseorang bertanya pada Winston Churchill apa yang paling membuatnya siap untuk mengambil risiko bunuh diri secara politik dengan berbicara menentang Hitler pada tahun-tahun tenang pertengahan 1930an, lalu memimpin Inggris Raya melawan Jerman Nazi. Churchill menjawab itu adalah waktu ia harus mengulang pelajaran di sekolah dasar. “Maksudnya, Anda gagal dan tidak naik kelas waktu SD?” tanya orang itu. “Saya tidak pernah gagal dalam hal apa pun sepanjang hidup saya. Saya diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki dan melakukannya dengan benar.” Jonas Salk melakukan dua ratus percobaan yang tidak berhasil untuk menciptakan vaksin polio. Apakah Jonas Salk suatu kegagalan? Winston Churchill tinggal kelas di SD. Apakah Winston Churchill suatu kegagalan? Saya besar di Illinois utara dan menjadi penggemar Chicago Cubs sepanjang hidup saya. Pada saat penulisan buku ini, Cubs sudah tidak masuk ke dalam Seri Dunia selama empat puluh empat tahun. Nyatanya, mereka tidak pernah memenangkan Seri Dunia selama sembilan puluh tahun. Apakah Chicago Cubs suatu kegagalan?
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
27
Baiklah, itu contoh yang buruk. Apakah Petrus gagal? Yah, menurut saya, dalam hal tertentu ia gagal. Imannya tidak cukup kuat. Keraguannya lebih besar. “Ia merasakan tiupan angin.” Ia memalingkan matanya dari fokus yang semestinya. Ia tenggelam. Ia gagal. Namun, inilah yang saya pikirkan. Menurut saya, ada sebelas kegagalan yang lebih besar lagi di dalam perahu. Mereka gagal diam-diam. Mereka gagal tidak kentara. Kegagalan mereka tidak ada yang melihat, tidak ada yang mengamati, tidak ada yang mencela. Hanya Petrus yang menanggung malu di muka umum. Namun, hanya Petrus pula yang mengetahui dua hal lainnya. Hanya Petrus yang tahu betapa hebatnya berjalan di atas air itu. Hanya ia yang tahu bagaimana rasanya mencoba sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan dengan kekuatannya sendiri, kemudian mengalami sukacita meluap karena dimampukan Allah untuk sungguh-sungguh melakukannya. Sekali Anda berjalan di atas air, tidak mungkin Anda melupakannya— tidak akan terlupakan sepanjang sisa hidup Anda. Menurut saya, Petrus terus mengenang momen penuh sukacita itu sampai ke liang lahat. Dan hanya Petrus yang tahu betapa mulianya diangkat oleh Yesus pada saat ia sungguh-sungguh memerlukan bantuan. Petrus tahu, dalam suatu cara yang tidak dipahami oleh murid lain, bahwa ketika ia tenggelam, Yesus akan sepenuhnya memadai untuk menyelamatkannya. Ia mengalami momen kebersamaan, keterkaitan khusus, kepercayaan khusus dengan Yesus yang tidak dirasakan murid lain. Mereka tidak mengalaminya karena mereka tidak keluar dari perahu. Kegagalan yang terburuk bukanlah tenggelam di tengah gelombang. Kegagalan yang terburuk adalah tidak pernah keluar dari perahu. PEJALAN DI ATAS AIR MELIHAT KEGAGALAN SEBAGAI KESEMPATAN UNTUK BERTUMBUH Begitu Petrus meminta tolong, Yesus sudah siap sedia. Ia menolong Petrus secara fisik dengan menarikkan keluar dari air. Namun, Dia juga menolong Petrus bertumbuh dengan menunjukkan masalahnya: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Menurut saya, Yesus tidak sedang mencela atau bersikap keras terhadap
28
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
Petrus. Nyatanya, ada suatu detail yang saya sukai dalam cerita itu, yaitu Yesus melontarkan komentar itu pada Petrus ketika mereka hanya berdua di atas air. Dikatakan bahwa baru setelah Yesus berkomentar demikian, mereka kembali ke dalam perahu. Bisa jadi Yesus—sebagaimana pembimbing yang baik—tidak ingin mempermalukan Petrus di depan murid-murid yang lain. Maka, dalam privasi dan dalam pegangan tangan kanan-Nya yang kuat, Dia dengan lemah lembut menolong Petrus menemukan sumber masalahnya. Masalahnya sangat jelas: Petrus akan tenggelam atau berjalan di atas air bergantung pada apakah ia berfokus pada badai atau pada Yesus. Namun, kini ia memahami pentingnya mengandalkan iman secara lebih mendalam daripada jika ia tidak pernah meninggalkan perahu. Kesediaannya untuk menempuh risiko mengalami kegagalan menolongnya untuk bertumbuh. Kita tidak suka gagal. Namun, lebih dari itu, kita tidak suka orang lain melihat diri kita gagal. Seandainya saya menjadi Petrus, saya akan tergoda untuk berusaha menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya ketika saya kembali ke dalam perahu bersama dengan para murid yang lain: Yah—berjalan di atas air memang terasa hebat juga selama beberapa waktu. Namun kemudian aku merasa gerah dan rasanya segar banget kalau aku berenang saja... Karena Petrus menempatkan dirinya dalam keadaan yang memungkinkannya gagal, ia juga menempatkan dirinya dalam keadaan yang memungkinkannya bertumbuh. Kegagalan adalah baik yang tak terelakkan dan tak tergantikan dalam pembelajaran dan pertumbuhan. Berikut ini prinsipnya: Kegagalan tidak membentuk Anda; cara Anda merespons kegagalan, itulah yang membentuk Anda. Sir Edmund Hillary beberapa kali tidak berhasil mendaki Gunung Everest sebelum akhirnya sukses. Setelah suatu pendakian, ia berdiri di kaki gunung raksasa itu dan mengacung-acungkan tinju ke arahnya. “Aku akan mengalahkanmu nanti,” katanya pantang menyerah. “Karena kamu sudah tidak bisa lebih besar lagi—tetapi aku masih bertumbuh.” Setiap kali Hillary mendaki, ia gagal. Dan setiap kali ia gagal, ia belajar. Dan setiap kali ia belajar, ia bertumbuh dan mencoba lagi. Dan suatu hari ia tidak gagal.
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
29
PEJALAN DI ATAS AIR BELAJAR MENANTIKAN TUHAN Kisah tentang risiko ini juga kisah tentang penantian. Para murid harus menanti dalam badai sampai kira-kira pukul tiga dini hari sebelum Yesus mendatangi mereka. Itu pun baru di akhir perikop para murid akhirnya memperoleh apa yang mereka dapatkan—terbebas dari amukan badai. Tidak bisakah Yesus meredakan angin sebelum Petrus keluar dari air? Mungkin karena mereka—seperti kita—perlu belajar sesuatu tentang menunggu. Kita harus belajar menantikan Tuhan untuk menerima kuasa untuk berjalan di atas air. Kita harus menantikan Tuhan untuk menyingkirkan badai. Dalam sejumlah hal, “menantikan Tuhan” adalah bagian yang tersulit dalam memercayai Tuhan. Hal ini tidak sama dengan “dudukduduk menunggu”. Menantikan Tuhan berarti menyerahkan diri Anda sepenuhnya ke dalam tangan Tuhan. Sepanjang hidup ini saya sangat suka berbicara. Saat umur saya belum mencapai dua tahun, saya menghafalkan ucapan kakak saya dalam drama sekolah Minggu dan menuntut diizinkan untuk mengucapkannya juga. (Begitu yang diceritakan kepada saya; saya sendiri sama sekali tidak mengingatnya.) Dalam survei, ketakutan berbicara di muka umum terus-menerus disebut sebagai ketakutan nomor satu bagi kebanyakan orang—bahkan lebih besar dari ketakutan terhadap kematian. Saya tidak memahaminya, karena berbicara sudah menjadi sumber sukacita saya sejak masa kecil. Ketika saya mulai berkhotbah dan mengajar, saya mendapatinya sebagai pengalaman yang sangat menggairahkan. Dalam pengertian tertentu, saya merasa untuk itulah saya diciptakan. Berbicara di muka umum adalah bagian dari panggilan saya. Suatu hari Minggu pada masa itu, saya kira-kira baru berkhotbah sekitar sepuluh menit ketika tubuh saya terasa hangat dan pening. Ketika saya tersadar kemudian, saya sudah terbaring di lantai dan beberapa wajah tampak mengawasi saya dengan was-was, hendak memastikan bahwa saya baik-baik saja. Ternyata saya pingsan di tengah berkhotbah. Setelah belajar di luar negeri, saya kembali ke gereja tadi. Begitu saya mendapatkan kesempatan berkhotbah, hal yang sama terulang. Saya
30
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
kembali pingsan ketika baru berkhotbah sepuluh menit. Sungguh malang bagi saya, gereja itu gereja Baptis, bukan kharismatik. Di gereja itu Anda tidak disanjung-sanjung jika mengalami hal semacam itu. Tidak ada seorang pun yang menafsirkannya sebagai “tumbang di dalam Roh”. Bagi orang Baptis, pingsan itu ya pingsan. Hal itu memang meningkatkan kehadiran jemaat selama beberapa waktu, kira-kira seperti kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam balap mobil Indy 500—orang tidak sungguh-sungguh mengharapkan kecelakaan itu terjadi, namun mereka tidak ingin melewatkannya kalau kecelakaan itu benar-benar terjadi. Nah, hal itu sungguh menyakitkan bagi saya. Saya tidak tahu kenapa hal itu terus berlangsung. Saya merasa berkhotbah adalah panggilan hidup saya, sesuatu yang saya sangat suka melakukannya. Namun, saya tidak tahu apakah saya sanggup melakukannya. Akan tetapi, saya tahu, orang tidak akan dapat berkhotbah jika ia terus-menerus pingsan saat melakukannya. Hal itu akan membuat orang lain cemas. Orang-orang yang berniat baik menawarkan berbagai macam nasihat: “Engkau hanya perlu berusaha keras untuk rileks dan lebih percaya lagi.” Pernah mencoba berusaha keras untuk rileks? Jadwal saya untuk berkhotbah pada musim panas itu sangat padat. Pendeta senior gereja itu, yang sedang menjalani sabatikal, menawarkan untuk mengurangi beban saya dengan mengundang pengkhotbah pengganti. Namun entah bagaimana saya tahu, jika saya tidak bangkit dan berkhotbah pada minggu berikutnya, keadaan sama sekali tidak akan jadi lebih mudah. Saya meminta Allah menyingkirkan ketakutan bahwa hal itu akan terjadi lagi. Dia tidak melakukannya. Saya teringat ayat dalam Yesaya— Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru.
Saya pun bangkit dan berkhotbah. Sama sekali bukan khotbah yang hebat walaupun entah bagaimana jemaat tampak begitu berminat me-
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
31
nyimaknya. Sama sekali tidak dramatis. Ribuan pria dan wanita di seluruh dunia melakukannya setiap hari Minggu. Namun, saya berhasil menyampaikannya sampai akhir, yang merupakan suatu pencapaian dan kemenangan pribadi. Saya mulai belajar sesuatu tentang apa artinya “menantikan Tuhan.” Sudah enam belas tahun saya tidak lagi pingsan, namun kadang-kadang ada lintasan sekilas bagaimana rasanya kalau kita tercekam cemas sampai ingin pingsan. Masih tidak nyaman kalau memikirkan hal itu, dan saya masih menunggu kegentaran itu menyingkir sama sekali—agar angin itu reda sepenuhnya. Hal itu mengingatkan saya akan keterbatasan dan ketergantungan saya. Dan setiap kali saya berkhotbah, hal itu paling tidak menjadi bagian dari latihan menantikan Tuhan. Namun, jika saya tidak berkhotbah, saya tidak akan pernah lagi merasakan kegairahan karena merasakan apa yang saya yakin sebagai panggilan Allah bagi saya. Saya tidak akan setiap terhadap panggilan hidup saya. Karena itu, saya belajar menantikan Tuhan. BERJALAN DI ATAS AIR MENGHASILKAN HUBUNGAN YANG LEBIH DALAM DENGAN ALLAH Yesus masih mencari orang yang mau keluar dari air. Mengapa mesti mengambil risiko? Menurut saya, sangat banyak alasannya: —Itu satu-satunya cara untuk mengalami pertumbuhan yang sejati. —Itu cara untuk mengembangkan iman yang sejati. —Itu alternatif dari kebosanan dan kemandekan yang menyebabkan banyak orang jadi layu dan mati. —Itu bagian dari menemukan dan menaati panggilan Anda. Menurut saya, ada sangat banyak alasan yang baik untuk keluar dari air. Namun, ada satu alasan yang mengatasi semuanya itu: Air adalah tempat Yesus berada. Air itu mungkin gelap, basah, dan berbahaya. Namun, Yesus tidak berada di dalam perahu. Alasan utama Petrus keluar dari perahu adalah ia ingin berada di tempat Yesus berada. Matius terus menyebut-nyebut realitas ini. Petrus meminta, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu.” Lalu Petrus keluar dari perahu dan “berjalan di atas air mendapatkan Yesus.”
32
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
Karena Petrus melakukannya, baik dirinya maupun teman-temannya dapat mengenal Tuan mereka secara lebih mendalam lagi. Mereka melihat, lebih jelas dari waktu-waktu sebelumnya, bahwa mereka dapat menyerahkan nasib mereka ke dalam tangan-Nya dengan penuh keyakinan. “Begini ya, bung...” Mereka tahu bahwa Dia yang ada di dalam perahu mereka adalah Dia yang berkuasa melangkah di atas gelombang-gelombang laut—dan mereka menyembah Dia. Bagaimana dengan Anda? Kapan terakhir kali Anda keluar dari perahu? Menurut saya, metode umum Allah untuk menumbuhkan iman yang dalam dan berani bertualang dalam diri kita adalah dengan meminta kita keluar dari perahu. Lebih dari sekadar menyimak khotbah yang hebat, atau membaca buku yang sangat bagus, Allah menggunakan tantangan di dunia nyata untuk mengembangkan kemampuan kita percaya kepada Dia. Kita cenderung mencari dunia yang penuh dengan kenyamanan. Kita berusaha membangun kehidupan yang dapat dikelola, membangkitkan rasa aman, dan dapat ditebak arahnya untuk mempertahankan ilusi bahwa kitalah yang memegang kendali. Kemudian Allah “melewati kita” dan mengguncangkan kenyamanan kita. Panggilan untuk keluar dari perahu melibatkan krisis, kesempatan, sering pula kegagalan, pada umumnya ketakutan, kadang-kadang penderitaan, dan selalu berupa panggilan untuk melakukan suatu tugas yang terlalu besar bagi kita. Namun, tidak ada cara lain untuk bertumbuh dalam iman dan bermitra dengan Allah. Mungkin ada masa-masa dalam hidup Anda ketika Anda secara teratur berjalan di atas air. Masa-masa ketika hati Anda mirip dengan dengan hati Petrus: “Suruhlah aku. Suruhlah aku untuk datang kepadaMu.” Masa ketika Anda mengambil risiko untuk berbagi iman—meskipun mungkin Anda ditolak; memberi—meskipun harus dengan berkurban; melayani—meskipun mungkin harus gagal. Kadang-kadang Anda tenggelam. Kadang-kadang Anda terbang tinggi. Tetapi, Anda hidup di ujung iman. Namun, mungkin saat ini sudah lama Anda tidak berada di luar perahu. Anda mungkin memiliki perahu yang sangat nyaman, dengan
TE NTANG B E RJALAN DI ATAS AI R
33
bangku berbantal empuk di geladak, dan stabilisator yang membuat Anda tidak perlu mabuk laut saat badai melanda. Anda mungkin telanjur sangat nyaman berada dalam perahu Anda. Namun, Tuhan melewati Anda! Yesus masih mencari orang yang mau keluar dari perahu. Saya tidak tahu maknanya bagi Anda. Jika Anda keluar dari perahu Anda—apa pun perahu itu—Anda akan mengalami masalah. Ada badai di luar sana, dan iman Anda tidak akan sempurna. Risiko selalu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kegagalan. Namun, jika Anda keluar dari perahu, menurut saya, dua hal akan terjadi. Pertama, kalaupun Anda gagal—dan kadang-kadang Anda akan gagal—Yesus siap sedia mengangkat Anda. Anda tidak akan gagal seorang diri. Anda akan mendapati bahwa Dia masih sepenuhnya mampu untuk menyelamatkan Anda. Dan, hal lainnya, sesekali Anda akan berjalan di atas air. Karena itu, lakukanlah sesuatu yang religius. Keluarlah dari perahu Anda. KELUAR DARI PERAHU 1. Apakah perahu Anda? Ketakutan atau kenyamanan apakah yang menahan Anda untuk percaya pada Allah? 2. Dalam hal apakah Anda memerlukan ketajaman untuk mengenali bahwa Anda sungguh-sungguh dipanggil untuk keluar dari air? 3. Sebutkan satu risiko yang dapat Anda ambil dalam hidup ini untuk menolong iman Anda bertumbuh: • Berdiri untuk nilai yang Anda percayai di tengah percakapan yang sengit. • Mengungkapkan kasih sayang meskipun hal itu terasa sulit bagi Anda. • Menempuh tantangan yang Anda yakin bakal meregangkan iman Anda. 4. Apakah kegagalan masa lalu yang masih menghantui Anda? Siapakah teman kepercayaan, yang dengannya Anda dapat berbagi, sebagai langkah untuk melucuti kekuatan trauma kegagalan itu? 5. Bagaimanakah hubungan Anda dengan Yesus hari-hari ini? • Berkerumun di dalam perahu dengan mengenakan sabuk penga-
34
J I KA AN DA I NG I N B E RJALAN DI ATAS AI R, KE LUAR LAH DAR I PE RAH U
man dan pelampung siap sedia • Satu kaki di dalam, satu kaki di luar • Saya berjalan di atas air—dan menyukainya • Saya berada di luar perahu—tetapi anginnya tampak sangat menakutkan
Prayer (Doa)
Mengalami Kekaguman dan Keintiman Bersama Allah Timothy Keller “Setiap pembaca akan semakin rindu berdoa dan mengerti bagaimana melakukannya.� –Christianity Today Penulis buku laris versi New York Times dan pendeta terkemuka menyelidiki kuasa dari doa. Umat Kristen diajar di gereja dan di sekolah bahwa doa adalah cara paling ampuh untuk mengalami hadirat Allah. Tapi, sedikit saja orang yang pernah menerima bimbingan atau panduan dalam menjadikan doa sebagai sarana yang penuh makna. Dalam buku Prayer, Timothy Keller menyelidiki beragam segi dari tindakan yang tampak alamiah ini. Dengan wawasan dan energinya yang khas, Keller memberi panduan yang alkitabiah sekaligus doa-doa spesifik untuk berbagai situasi, seperti penderitaan, peristiwa kehilangan, kasih, dan pengampunan, dan sebagainya. Ia membahas berbagai cara untuk menjadikan doa lebih personal dan berkuasa, sekaligus bagaimana menerapkan praktik doa yang cocok dengan Anda. Pengajaran dari Timothy Keller telah membantu jutaan orang dan dengan buku Prayer ini, ia akan menunjukkan kepada Anda bagaimana memiliki hubungan yang lebih mendalam dengan Allah. Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org
The Emotionally Healthy Leader
(Pemimpin yang Sehat secara Emosi) Bagaimana Transformasi Kehidupan Batin Anda Dapat Mengubahkan Gereja, Pekerjaan, dan Dunia Anda secara Mendalam
Peter Scazzero Menjadi Pemimpin yang Lebih Baik Dimulai dari Kehidupan Batin yang Telah Ditransformasi. Apakah Anda sudah melakukan pekerjaan dengan sangat baik sebagai pemimpim tetapi tidak terlihat ada dampak yang nyata? Apakah Anda merasa terlalu kewalahan untuk menikmati hidup dan tidak dapat memilah berbagai tuntutan pekerjaan? Dalam The Emotionally Healthy Leader, penulis buku laris, Peter Scazzero menunjukkan para pemimpin bagaimana mereka dapat mengembangkan dan mengintegrasikan kehidupan batin yang mendalam dengan Kristus dalam kepemimpinan, perencanaan dan pengambilan keputusan, pembentukan tim, menciptakan budaya yang sehat, memengaruhi orang lain, dan banyak lagi. Ia menawarkan sesuatu yang melampaui sekadar perbaikan cepat atau teknik baru, The Emotionally Healthy Leader membahas masalah sampai ke inti, yang berada di bawah permukaan masalah kepemimpinan Kristen yang unik. Buku ini menawarkan sebuah cara baru memandang diri Anda sebagai seorang pemimpin dengan cara memimpin yang telah ditransformasi. Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org