L iteratur P erkantas J awa T imur
Semua royalti dari buku ini telah diserahkan sepenuhnya kepada Langham Literature (dulunya bernama Evangelical Literature Trust) Langham Literature adalah sebuah program dari Langham Partnership International (LPI) yang didirikan oleh John Stott. Chris Wright adalah Direktur Pelayanan Internasional Langham Literature mendistribusikan buku-buku Injili bagi para gembala, mahasiswa sekolah teologi dan perpustakaan-perpustakaan seminari di negara-negara berpenduduk mayoritas, dan mengembangkan karya tulis dan percetakan literatur Kristen dalam banyak bahasa-bahasa setempat Untuk informasi lebih lanjut tentang Langham Literature, dan program-program lain dari LPI, kunjungi alamat website berikut www.langhampartnership.org. Di Amerika Serikat, anggota nasional dari Langham Partnership International adalah John Stott Ministries. Kunjungi website JSM di www.johnstott.org.
M UR I D R A D I KAL YA N G M E N G UBAH DUNIA Christian Mission in the Modern World oleh John R. W. Stott Originally published by InterVarsity Press as Christian Mission in the Modern World by John R.W. Stott Copyright Š 1975 by John R.W. Stott Translated and printed by permission of InterVarsity Press P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515-1426, USA Alih Bahasa:Tim Literatur Perkantas Jatim Editor: Milhan K. Santoso Penata Letak: Milhan K. Santoso Desain Sampul: Meliana S. Dewi Hak cipta terjemahan Indonesia: Literatur Perkantas Jawa Timur Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur. Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui e-mail: pktas.jatim@gmail.com, atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-602-18547-3-0 Cetakan Pertama: Maret 2013 Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa ijin dari penerbit.
DAFTAR ISI
Prakata oleh Ajith Fernando......................................................
7
Prakata Edisi Pertama oleh by J. P. Hickinbotham.....................
11
Kata Pengantar..........................................................................
15
Pendahuluan: Kata-kata dan Maknanya ....................................
19
1 MISI.....................................................................................
25
Dua Pandangan yang Saling Bertentangan................................
25
Sebuah Sintesis Alkitabiah?........................................................
31
Amanat Agung..........................................................................
34
Hubungan antara Penginjilan dan Aksi sosial............................
34
Hukum Utama..........................................................................
42
Dampak-dampak Praktis...........................................................
45
2 PENGINJILAN....................................................................
51
Prioritas Penginjilan..................................................................
51
Makna Penginjilan....................................................................
54
Apakah Ada Sebuah Injil Perjanjian Baru?.................................
58
Peristiwa-peristiwa Injil.............................................................
62
Saksi-saksi Injil..........................................................................
64
Penegasan-penegasan Injil.........................................................
67
Janji-janji Injil...........................................................................
71
Tuntutan-tuntutan Injil.............................................................
72
Konteks Penginjilan..................................................................
75
3 DIALOG..............................................................................
79
Pandangan Ekstrem...................................................................
79
Dialog dalam Alkitab................................................................
82
Argumentasi Melawan Dialog...................................................
86
Tempat bagi Elenctics.................................................................
93
Argumen yang Mendukung Dialog...........................................
95
Dialog dengan Orang-orang Hindu..........................................
98
Dialog dengan Orang-orang Muslim.........................................
101
Dialog dalam Dunia Industri Inggris.........................................
104
4 KESELAMATAN.................................................................
109
Sentralitas Keselamatan.............................................................
110
Keselamatan dan Kesehatan Fisik..............................................
112
Keselamatan dan pembebasan Politis.........................................
117
Teologi Pembebasan..................................................................
121
Pertanyaan Hermeneutis...........................................................
125
Keselamatan dan Kebebasan Pribadi..........................................
132
Kebebasan dari Hukuman menjadi Anak..................................
134
Bebas dari Diri untuk Melayani.................................................
136
Bebas dari Kebinasaan bagi Kemuliaan......................................
139
5 KONVERSI..........................................................................
143
Ketidaksukaan Masa Kini terhadap “Konversi�..........................
144
Konversi dan Regenerasi............................................................
148
Konversi dan Pertobatan...........................................................
153
Konversi dan Gereja..................................................................
154
Konversi dan Masyarakat...........................................................
157
Konversi dan Budaya.................................................................
159
Konversi dan Roh Kudus...........................................................
161
PRAKATA
S
aya berumur 26 tahun ketika buku ini pertama kali diterbitkan. Saya termasuk dalam kelompok orang yang akan memohon, meminjam, mengambil diam-diam, atau bahkan melaparkan diri untuk bisa mendapat buku terbaru dari John Stott. Tetapi buku ini sangat istimewa. Gerakan injili sudah masuk dalam usia yang matang. Kita sedang memasuki suatu era “pascaperang� ketika beberapa pertempuran besar yang berkecamuk tentang misi gereja sudah dalam proses teratasi karena gereja mulai melihat misi melalui mempelajari Alkitab secara menyeluruh. Sebagai contoh, kita mulai memahami bahwa penginjilan dan kepedulian sosial sama-sama merupakan aspek yang penting dari misi Kristen dan dialog—yang alkitabiah—bukanlah musuh bagi penginjilan. Kunci pendorong bagi perkembangan ini, salah satunya adalah dokumen Kristen paling penting yang muncul di sepanjang abad dua puluh, yaitu Perjanjian Lausanne (Lausanne Covenant). Dan sekarang seorang penulis utama dari dokumen itu menuliskan sebuah buku yang menjelaskan secara garis besar natur dari misi Kristen. Ini merupakan suatu peristiwa penerbitan yang besar.
8 | Ch rist ian Mission i n t h e Modern World
Pada masa itu, dan saya yakin pada masa kini juga, saya memiliki hasrat besar bagi penginjilan—melihat orang-orang yang terhilang bertemu dengan Sang Juruselamat dunia. Ini secara alamiah membawa saya pada pelayanan yang pekerjaan utamanya adalah berurusan dengan orang-orang yang berbeda iman. Saya juga memiliki pemahaman bahwa pekerjaan yang saya hidupi ini akan berurusan dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Saya tahu panggilan ini akan memengaruhi semua pilihan yang terkait dengan gaya hidup saya. Saya tahu, jika saya ingin menempatkan diri bersama dengan orang-orang yang miskin, saya harus hidup sederhana dan terlibat dalam membawa materi, pendidikan, dan pembangunan sosial ke dalam hidup orang-orang yang sedang saya layani. Saya waktu itu adalah seorang pelajar di Amerika, dan saya mulai memahami bahwa sebaiknya saya tidak mengambil risiko untuk memperistri orang Amerika dan membawanya untuk hidup bersama orang-orang miskin— itu bukanlah hal mudah bagi seorang pemuda yang sedang menginginkan pernikahan dan sedang hidup dalam budaya kencan! Saya perlu suatu dasar keyakinan yang bisa menolong saya untuk mempersiapkan diri dan menjalankan pelayanan yang saya ingin lakukan di Sri Lanka. Buku yang ditulis oleh John Stott ini membantu saya mendapatkan dasar tersebut. Oleh karena itu, buku ini menjadi semacam buku pegangan yang membantu saya menentukan berbagai macam keputusan yang saya buat. Tiga puluh tiga tahun kemudian, saya bisa katakan bahwa saya sangat bersyukur untuk dasar-dasar keyakinan tersebut yang telah Tuhan kobarkan dalam hati muda saya di awal pelayanan saya. Saya begitu bersyukur karena suatu generasi Kristen yang baru bisa diperkenalkan dengan sebuah karya klasik yang telah memengaruhi secara signifikan arah perjalanan gereja. Kita selalu berada dalam bahaya karena mengejar kesenangan kita dan menjadi pincang sehingga kita mengabaikan aspek-aspek penting dari kehidupan dan misi Kristen. Buku ini bisa memberi kita sebuah kompas, yang melaluinya kita bisa membentuk pelayanan kita secara alkitabiah.
P RA K ATA
| 9
Baca buku ini, pertama karena buku ini ditulis oleh salah satu raksasa iman Kristen di masa kini. Kedua, baca buku ini karena buku ini memberikan prinsip-prinsip kunci yang di atasnya kita bisa mendasarkan pemahaman misi Kristen kita sehingga kita bisa mendapatkan keseimbangan yang alkitabiah, yang sangat perlu untuk kita capai. Ajith Fernando Direktur Nasional, Youth for Christ, Sri Lanka
PRAKATA EDISI PERTAMA
S
etiap tahun, seorang tamu terhormat akan diundang untuk membawakan serangkaian kuliah umum di Wycliffe Hall, Oxford, yang dikenal sebagai Chavasse Lectures in World Mission. Pada tahun 1975 Chavasse Lectures dibawakan oleh John Stott di depan para pendengar yang membeludak (bahkan sampai di luar ruangan) dari berbagai universitas di kota itu dan juga dari Wycliffe Hall sendiri. Saya bersyukur materi kuliah itu sekarang sudah tersedia dalam bentuk buku bagi publik yang lebih luas dan saya merasa terhormat karena diundang untuk menulis prakata. Tujuan yang ingin dicapai John Stott adalah bisa meneliti makna alkitabiah dari beberapa kata-kata kunci yang berada di pusat perdebatan tentang misi Kristen. Dalam perdebatan tersebut, penafsiran dari misi yang populer pada lingkaran tertentu, seperti dalam gerakan ekumenis berbeda secara radikal dengan yang dipegang secara tradisi oleh banyak gerakan injili. Terkadang perbedaannya sampai memunculkan jalan buntu, diskusi-diskusi lebih lanjut yang diadakan sudah percuma dan tidak ada harapan yang mengarah pada rekonsiliasi. Ja-
12 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
lan keluarnya adalah kedua pihak bertemu dalam suatu studi Alkitab bersama, untuk saling mengoreksi serta memperkaya pemahaman misi mereka dan orang lain dengan memahami tema misi yang alkitabiah secara mendalam dan tunduk seutuhnya pada pemahaman tersebut. Materi kuliah yang dibawakan John Stott dan yang sekarang telah menjadi buku ini merupakan sebuah sumbangsih yang penting bagi usaha tersebut. Ketika saya mendengarkan kuliah ini, ada empat kata sifat yang terus muncul di benak saya dan saya percaya juga akan muncul di benak para pembaca buku ini. Pertama, alkitabiah. Penulis buku ini merujuk langsung ke Kitab Suci, menggali teksnya dan berusaha dengan jujur untuk tidak memasukkan makna luar ke dalam teks itu tetapi membaca makna dari teks itu. Kedua, jelas. Penulis buku ini merupakan seorang pemikir yang teliti dan cermat, yang tidak menunjukkan ambiguitas dan ketidakjelasan serta mendorong kita untuk menghadapi masalah-masalah teologis secara logis dan saksama. Ketiga, adil. Penulis buku ini tidak ragu untuk mengkritik apa yang tidak alkitabiah dalam teologi radikal modern. Namun dia juga tidak segan-segan menegur sikap-sikap yang tidak alkitabiah, yang terkadang muncul dalam praduga-praduga dan sikap-sikap dari kaum injili. Dia selalu memenuhi syarat dari kritik yang dia kemukakan agar bisa berlaku adil terhadap mereka yang dia kritik dan dia menyeimbangkan kritik-kritiknya dengan pengakuan terhadap semua hal yang benar dan baik, yang dikatakan dan dipercaya oleh orangorang yang berselisih dengannya. Keempat, konstruktif. Dia berbicara dan menulis dengan sikap hangat yang bersahabat dan sopan, yang seharusnya ditunjukkan orang Kristen terhadap sesama orang percaya ketika sedang membahas perbedaan di antara mereka. Dia tidak peduli untuk membela posisinya atau mengalahkan orang lain. Tetapi dia mengundang kita untuk belajar bersama secara lebih lagi akan kebenaran Allah dan ber-
P RA K ATA EDISI P ERTA M A
| 13
sama-sama kita membuka diri kita secara lebih utuh bagi wahyu Yesus Kristus yang ada dalam Alkitab. Melalui cara inilah pembahasan ekumenis bisa positif dan berbuah serta bisa membantu gereja dibarui dalam kesatuan untuk misi. Mendapatkan tulisan dari seorang injili yang berkontribusi bagi pemahaman ekumenis merupakan sesuatu yang baik dan saya berharap tulisan ini bisa dibaca secara luas baik oleh kaum injili maupun radikal karena kita semua bisa belajar banyak dari tulisan ini. J. P. Hickinbotham, Principal, Wycliffe Hall, Oxford
KATA PENGANTAR
S
elain komitmen pribadi saya terhadap penginjilan, apakah itu penginjilan melalui gereja lokal maupun—semenjak sebuah misi yang diadakan di Cambridge University tahun 1952— penginjilan di universitas, ada empat pengalaman khusus yang bersumbangsih bagi penulisan buku ini. Pertama, pada tahun 1968 saya menjadi seorang “penasihat” dari Fourth Assembly of the World Council of Churches di Uppsala. Saya ditempatkan di Seksi 2 (“Pembaruan dalam Misi”) dan saya langsung terlibat dalam perdebatan yang sedang hangat di masa kini tentang makna dari misi. Kedua, meskipun saya tidak bisa mengikuti konferensi Salvation Today di Bangkok pada Januari 1973, saya tetap memerhatikan jalannya konferensi itu karena saya memiliki ketertarikan dan perhatian yang dalam akan hal tersebut. Ketika saya diundang di tahun berikutnya untuk membawakan kuliah tahunan Baker di Melbourne (untuk mengenang Bishop Donald Baker, ahli Perjanjian Baru dan mantan pemimpin di Ridley College, Melbourne), saya memilih tema “Salva-
16 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
tion Yesterday and Today.” Materi kuliah ini dimasukkan dengan izin, dan diperluas, dalam bab empat. Ketiga, komite perencanaan dari International Congress on World Evangelization di Lausanne pada Juli 1974 meminta saya memberikan sambutan pembukaan mengenai natur dari penginjilan yang alkitabiah dan memberikan definisi yang alkitabiah dari lima kata ini misi, penginjilan, dialog, keselamatan, dan konversi. Lalu yang keempat, ketika Canon Jim Hickinbotham, pemimpin Wycliffe Hall, Oxford, mengundang saya membawakan kuliah di Chavasse Lectures tahun 1975 (untuk mengenang Bishop F. J. Chavasse dari Liverpool yang pernah menjadi pemimpin Wycliffe Hall dan anak laki-lakinya Bishop Christopher Chavasse yang pernah menjadi pemimpin di St. Peter’s College dan pemimpin senat di Wycliffe Hall), maka saya merasa tepat pada waktu itu untuk membahas kelima kata yang sama dan menjabarkan kembali apa yang pernah saya jelaskan di Lausanne. Saya berterima kasih kepada pemimpin, staf, dan pelajar di Wycliffe Hall untuk sambutannya yang ramah dan perhatian yang diberikan kepada saya serta untuk setiap pertanyaan yang diberikan di akhir setiap kuliah. Saya juga sangat berterima kasih kepada Jim Hickinbotham yang telah bermurah hati untuk menuliskan prakata. Meskipun saya tidak ingin menyamarkan diri saya atau menutupi bahwa saya adalah orang Kristen yang memiliki keyakinan “injili,” buku ini bukan ditulis dalam rangka propaganda golongan tertentu. Saya tidak memiliki maksud untuk menyerang suatu pemahaman tetapi hanya berusaha untuk menemukan apa yang Roh Kudus ingin katakan melalui Firman-Nya kepada gereja. Hal yang paling berkesan bagi saya di Wycliffe adalah ketika mendengar komentar akhir dari pemimpin mereka, dia berpendapat bahwa saya sudah “teliti dan adil” terhadap mereka yang tidak sepandangan dengan saya. Itu jelas merupakan tujuan saya. Selain itu, jika saya kritis terhadap orang lain, saya juga ingin kritis terhadap diri saya sendiri dan sesama kaum injili. Hidup adalah sebuah ziarah pembelajaran, suatu petualangan penemuan, yang melaluinya pandangan-pandangan kita yang salah
K ATA P EN G ANTAR
| 17
diperbaiki, konsep-konsep kita yang terdistorsi dibetulkan, pendapatpendapat kita yang dangkal diperdalam, dan sebagian ketidaktahuan kita yang besar dihilangkan. Mungkin kebutuhan terbesar dalam perdebatan ekumenis pada masa kini adalah menemukan suatu hermeneutika biblika yang bisa dipegang bersama, karena tanpa itu suatu konsensus yang lebih luas tentang makna dan kewajiban dari “misi� sulit untuk dicapai. April 1975
PENDAHULUAN Kata-kata dan Maknanya
S
emua orang Kristen dimana pun, apa pun latar belakang budaya atau pandangan teologis mereka, pasti pernah sesekali berpikir tentang hubungan antara gereja dan dunia. Tidak peduli apakah konteks kita saat itu ada dalam masa sekulerisme pasca-Kristen dari dunia yang memiliki sebutan dunia bebas, bentuk tertentu dari Marxisme dalam negara-negara blok Komunis, atau dalam suatu budaya yang sangat dipengaruhi oleh Hinduisme, Budhisme, atau Islam di salah satu negara Dunia Ketiga, ada pertanyaan-pertanyaan sama yang terus muncul dalam kesadaran orang Kristen: Bagaimana relasi yang seharusnya terjadi antara gereja dan dunia? Apa tanggung jawab orang Kristen terhadap keluarga, teman, dan tetangganya yang bukan Kristen, terlebih lagi terhadap komunitas nonKristen secara keseluruhan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sebagian besar orang Kristen perlu menggunakan istilah misi. Dapat dikatakan bahwa kita tidak akan mungkin bisa membahas hubungan gereja-dunia tanpa kehadiran konsep “misi.” Namun ada perbedaan yang besar dalam pemahaman kita tentang “misi,” “penginjilan” yang seperti apa yang
20 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
dilakukan dalam misi, dan “dialog� seperti apa yang bisa dijalankan dalam penginjilan. Saya takut semakin kita berbeda satu sama lain, kita bukan hanya berbeda dalam pemahaman kita tentang natur dari misi, penginjilan, dan dialog tetapi juga dalam pemahaman kita tentang tujuan dari ketiga istilah itu. Istilah konversi (perubahan dari satu keyakinan ke keyakinan lain) dan keselamatan mungkin saja muncul dalam definisi kita tentang tujuan tetapi sekali lagi hanya ada sedikit konsensus bagi makna dari istilah-istilah tersebut. Maka yang ingin saya lakukan adalah mengambil kelima kata ini—misi, penginjilan, dialog, keselamatan, dan konversi—dan berusaha mendefinisikannya secara alkitabiah. Seperti yang saya katakan di Lausanne, saya khawatir tujuan saya bisa disalahmengerti. Kita sadar bahwa beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak Fourth Assembly of the World Council of Churches di Uppsala tahun 1968, hubungan antara orang Kristen ekumenis1 dan injili2 (izinkan saya menggunakan kedua istilah ini sebagai sarana pembeda, karena saya tahu keduanya tidak memiliki makna yang sepenuhnya eksklusif ) telah mengeras sehingga terlihat seperti suatu pertengkaran. Saya tidak ingin memperburuk situasi ini. Saya juga berharap bahwa saya tidak menjadi semacam alat yang meletakkan pin-pin boling kaum ekumenis agar bisa menjadi sasaran tembak bola boling kaum injili, sehingga kita bisa sama-sama bersorak bagi kemenangan mudah yang kita raih! Namun perlu juga Anda perhatikan bahwa sebagian pemikiran kaum ekumenis memang salah. Demikian juga, saya percaya, bahwa sebagian dari rumusan pengajaran injili tradisional kita juga salah. Banyak orang Kristen dari kaum ekumenis sepertinya belum mulai belajar hidup di bawah otoritas Kitab Suci. Kita Gerakan Ekumenis adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendorong pemahaman dan kerjasama di antara gereja-gereja Kristen sampai, dan tujuan lebih luasnya adalah keesaan gereja di dunia. 2 Gerakan Injili adalah sebuah gerakan yang memberikan penekanan pada penginjilan, pertobatan pribadi atau lahir baru, pemberitaan akan kematian dan kebangkitan Yesus sebagai jalan pengampunan dosa yang membawa pada keselamatan, iman yang berorientasi pada Alkitab, dan relevansi iman Kristen pada masalah-masalah kebudayaan. 1
P ENDAH U L UAN
| 21
sebagai kaum injili berpikir bahwa kita sudah tunduk di bawah otoritas Kitab Suci—dan kita memang tulus akan hal ini—tetapi terkadang kita memilih-milih dalam sikap tunduk kita dan di sisi lain tradisi-tradisi dari para tetua injili kelihatannya lebih bersumber dari budaya daripada Kitab Suci. Maka perhatian utama saya adalah meletakkan pemikiran kaum ekumenis dan kaum injili ke dalam suatu ujian yang independen dan objektif yang sama, yaitu diuji dari wahyu Alkitab. Namun awal pembahasan saya bukan dari Firman Tuhan tetapi dari hikmat yang ditunjukkan tokoh Alice dalam cerita Alice in Wonderland atau lebih tepatnya Alice Through the Looking Glass. Anda bisa mengingat kembali percakapan serunya dengan tokoh Humpty Dumpty dalam cerita itu. “Saat aku menggunakan sebuah kata,” kata Humpty Dumpty dengan nada mengejek, “kata itu memiliki makna seperti yang aku mau, tidak lebih tidak kurang.” “Masalahnya adalah,” kata Alice, “apakah kamu bisa membuat katakata itu memiliki makna yang lain.” “Masalahnya adalah,” kata Humpty Dumpty, “yang mana yang menjadi tuannya—itu saja.”
Kita bisa belajar banyak dari percakapan ini. Alice dan Humpty Dumpty memulainya dengan membahas kata glory (Kata ini muncul pada saat Humpty Dumpty berkata kepada Alice dengan senyum mengejek bahwa Alice jelas tidak memahami kata ini sebelum dia mengatakan maknanya kepada Alice), kemudian kata impenetrability (yang ke dalam maknanya Humpty Dumpty menambahkan begitu banyak hal sehingga dia berkata “ketika saya membuat sebuah kata bekerja dengan begitu keras seperti ini, saya selalu memberinya uang lembur”), dan terakhir puisi “Jabberwocky” (yang membuat Humpty Dumpty berkata bahwa beberapa kata “seperti koper—karena ada dua makna yang dimasukkan dalam satu kata”). Orang Amerika menyebut Humpty Dumpty sebagai seseorang yang masih belajar, karena dia adalah campuran hikmat dan kebodohan,
22 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
masuk akal dan tidak masuk akal. Dia sepenuhnya benar ketika berkata bahwa beberapa kata adalah seperti koper dan sebagian kata yang lain layak diberi uang lembur karena jumlah pekerjaan yang harus mereka lakukan. Namun dia sama sekali salah ketika membayangkan bahwa dia adalah tuan atas kata-kata itu dan bisa memaksakan beragam makna ke atasnya secara semena-mena, sesuai dengan berbagai pilihan maknanya yang aneh. Namun saya berani mengatakan bahwa sebagian teolog modern sepertinya sama seperti Humpty Dumpty berkaitan dengan cara mereka menggunakan kata-kata yang ada dalam Alkitab. Jika saya memiliki sedikit saja kemampuan imajinasi dari Lewis Carrol, saya ingin menulis sebuah parodi yang diberi judul “Malice in Wonderland (Kebencian di Negeri Ajaib)” atau “adventures into theological fantasy (perjalanan dalam fantasi teologis).” Sudah tidak diperdebatkan lagi bahwa waktu bisa merubah makna dari kata-kata. “Cita-cita mendapatkan suatu ‘bahasa Inggris yang tak lekang waktu’” yang ditulis C. S. Lewis dalam salah satu suratnya kepada Malcolm yang dikumpulkan dalam buku yang berjudul Letters to Malcolm (Collins) “adalah omong kosong besar. Tidak ada suatu bahasa yang bisa hidup tak lekang oleh waktu. Anda sama saja dengan meminta sebuah sungai untuk tidak mengalir.” Tidak ada penulis modern yang menunjukkan hal ini secara lebih kuat daripada Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock. Dia menulis satu bagian yang sangat menarik tentang kefanaan dari bahasa manusia yang diberi judul “The semi-literate Shakespeare” yang di dalamnya dia mengutip Stuart Berg Flexner, editor senior Random House Dictionary of the English Language: “jika Shakespeare tiba-tiba hidup lagi di London atau New York hari ini, dia hanya bisa mengerti kira-kira 5 dari 9 kata yang ada dalam kosa kata kita. Dia akan seperti orang yang baru bisa membaca.” Apa yang ingin dikatakan Lewis, Flexner, dan Toffler adalah makna dari kata bisa berkembang. Apa yang menjadi makna sebuah kata pada hari ini mungkin akan sangat berbeda maknanya di hari esok,
P ENDAH U L UAN
| 23
apalagi di keesokan harinya, dan beberapa waktu sesudahnya. Namun pengakuan bahwa makna hari ini bisa berbeda dari makna di kemudian hari tidak memberikan ruang bagi kita untuk menyamakan keduanya atau membaca makna sekarang ke dalam makna yang lampau. Sebaliknya, kata yang kemarin memiliki makna kemarin dan kata yang sekarang memiliki makna sekarang. Ketika prinsip dasar ini diterapkan kepada penafsiran Alkitab, biasanya diungkapkan dalam istilah yang sedikit berlebihan “eksegesis sejarah tata bahasa.� Di sisi negatif, ini menunjukkan bahwa kita tidak memiliki kebebasan untuk memaksakan kata-kata yang ada dalam Alkitab pada makna-makna yang tidak pernah menjadi makna mereka yang sesungguhnya. Di sisi positif, ini memberi kita suatu ilmu mempelajari kata-kata dalam konteks tata bahasa maupun latar sejarah mereka. Tata bahasa dan sejarahlah yang menentukan makna dari kata, hal ini dapat disetujui oleh setiap pengacara yang memang dilatih dalam menafsirkan dokumen. E. D. Hirsch menyimpulkan hal ini dalam bukunya Validitiy in Interpretation: “sebuah teks memiliki makna yang dimaksudkan oleh penulisnya.�
1 MISI
I
stilah pertama yang perlu kita bahas adalah misi. Sebelum berusaha memberikan definisi alkitabiahnya, ada baiknya kita melihat sebentar pada polarisasi yang terjadi pada masa kini. Dua Pandangan yang Saling Bertentangan
Pandangan lama atau tradisional biasanya menyamakan misi dan penginjilan, misionaris dan penginjil, program misi dan program penginjilan. Bahkan Commission on World Mission and Evangelism dalam konstitusi organisasinya tidak membedakan antara “misi” dan “penginjilan” tetapi mendefinisikan tujuannya “untuk memperluas pekabaran Injil Yesus Kristus ke seluruh dunia, sehingga akhirnya semua orang bisa percaya pada-Nya dan diselamatkan.” Seperti yang dikatakan Philip Potter dalam sambutannya pada pertemuan Komisi Utama Dewan Gereja-gereja se-Dunia, di Kreta tahun 1967, “tulisan-tulisan ekumenis sejak pertemuan di Amsterdam telah menggunakan istilah “misi,” “menjadi saksi,” dan “penginjilan” secara bergantian.” Dalam bentuknya yang ekstrem, pandangan lama tentang misi ini
26 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
terfokus pada penginjilan dan berkonsentrasi pada pekabaran Injil secara verbal. Misionaris sering digambarkan sebagai orang yang sedang berdiri di bawah sebuah pohon palem, mengenakan sebuah topi besar, dan mendeklamasikan Injil ke sekelompok suku asli disekelilingnya yang duduk berdesak-desakan di tanah dengan sikap hormat. Maka gambaran tradisional dari misionaris adalah seorang pengkhotbah dan jenis pengkhotbah yang kebapakan seperti itu. Penekanan pada prioritas khotbah penginjilan dalam beberapa kasus bahkan tidak memberi ruang untuk mendirikan sekolah Kristen. Philip Crowe memberi tahu kami pada tahun 1968 di Islington Conference tentang R. N. Cust yang berargumentasi dengan tegas di tahun 1888 bahwa uang misionaris “dikumpulkan untuk tujuan memenangkan jiwa, bukan menajamkan kecerdasan.” Dia sedikit mengubah pandangannya di tahun 1894 dengan memasukkan “penginjil awam, penginjil wanita, penginjil medis, kapan pun pemberitaan Injil menjadi pekerjaan utama,” tetapi juga menambahkan: “jika seorang pengawas industri yang saleh, atau seorang pengusaha manufaktur yang injili, atau seorang pengusaha ternak yang injili, atau petani lobak, termasuk di dalamnya, di situ saya memberi batasannya.” Tentu itu merupakan contoh ekstrem. Para pendukung pandangan tradisional dari misi umumnya melihat pendidikan dan pekerjaan medis sebagai bagian yang diakui sepenuhnya, dan merupakan tambahan yang sangat berguna bagi pekerjaan penginjilan. Dan keduanya biasanya muncul dari belas kasihan orang Kristen melihat orang yang kurang terdidik dan yang sakit, meskipun terkadang muncul tanpa malu sebagai “jembatan” atau “batu loncatan” bagi penginjilan— rumah sakit dan sekolah bisa menyediakan pasien dan muridnya, di mana mereka akan menjadi pendengar yang mudah didapat untuk pemberitaan Injil. Apa pun kasusnya misi itu sendiri dipahami dalam istilah penginjilan. Pandangan tradisional ini sama sekali belum mati dan terkubur. Gerakan yang disebut gerakan Yesus telah mendorong pembentukan perkumpulan Kristen yang terdiri dari kaum injili muda yang fanatik,
M ISI
| 27
yang menarik diri dari dunia yang jahat ini. Di mana persekutuan bisa dengan mudah menurun derajatnya menjadi suatu tempat tertutup bahkan suatu tempat yang mirip biara. Maka satu-satunya hubungan yang bisa didapati oleh orang-orang Kristen ini dengan dunia (yang mereka lihat sepenuhnya jahat dan tidak mungkin ditobatkan) adalah dengan sesekali melakukan serbuan penginjilan ke dalamnya. Gambaran akhir zaman secara alami muncul di antara mereka. Dunia seperti bangunan yang sedang kebakaran, menurut mereka. Satu-satunya tugas orang Kristen adalah mengadakan tindakan penyelamatan sebelum terlambat. Yesus Kristus bisa datang kapan pun, tidak ada gunanya memengaruhi struktur masyarakat, karena masyarakat sudah pasti hancur dan akan dibinasakan. Selain itu, setiap usaha untuk mengembangkan masyarakat pasti tidak produktif karena manusia yang tidak dilahirbarukan tidak bisa membangun dunia baru. Satusatunya harapan manusia adalah dilahirbarukan. Hanya pada saat itulah masyarakat dianggap bisa dihidupkan kembali. Namun sekarang pun hal tersebut sudah terlambat. Pesimisme terhadap dunia seperti itu adalah pemandangan yang aneh bagi orang-orang yang mengaku percaya pada Tuhan. Namun gambaran mereka tentang Tuhan pasti hanya sebagian saja yang dibentuk berlandaskan pada wahyu dalam Alkitab. Dia bukan Pencipta yang sejak awal memberi manusia suatu “mandat budaya” untuk menaklukan dan memerintah bumi, yang menetapkan otoritas pemerintahan sebagai “pelayan”-Nya untuk mengatur masyarakat dan menegakkan keadilan, dan yang, seperti ditulis dalam Perjanjian Lausanne, karena Dia “adalah Pencipta dan Hakim bagi semua manusia” juga peduli akan “keadilan dan pendamaian bagi seluruh umat manusia.” Berada di sisi ekstrem yang berlawanan dengan konsep misi yang tidak alkitabiah ini, ketika misi hanya terdiri dari penginjilan semata adalah dasar dari sudut pandang kaum ekumenis, setidaknya sejak pertengahan tahun 1960-an dan persiapan bagi Uppsala Assembly. Publikasi di tahun 1967 tentang laporan dari kelompok kerja Eropa
28 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
Timur dan Amerika Utara tentang “struktur misi dari jemaat,” yang diberi judul The Church for Others (Dewan Gereja-gereja se-Dunia), memberi dorongan bagi kosakata baru dari misi. Tesis yang dikembangkan dalam laporan ini adalah Tuhan sedang berkarya dalam proses sejarah, bahwa tujuan dari misi-Nya, yaitu missio Dei, adalah menegakkan shalom (kata Ibrani bagi “damai”) dalam pengertian kesejahteraan sosial dan shalom ini (yang laporan ini usulkan disamakan dengan kerajaan Allah) diwujudkan dalam “emansipasi terhadap ras kulit hitam, perhatian terhadap kemanusiaan terkait dengan industri, beragam usaha dalam pengembangan desa, perumusan etika bisnis dan profesional, perhatian bagi kejujuran dan integritas intelektual.” Selain itu, untuk mencapai tujuan ini Allah menggunakan “pria dan wanita di dalam dan di luar gereja,” dan peran khas dari gereja dalam misi Allah adalah “menunjukkan karya Allah dalam sejarah dunia,” menemukan apa yang sedang Allah lakukan, mengejarnya, dan terlibat secara pribadi di dalamnya. Menurut argumen ini, karena relasi utama Allah adalah dengan dunia maka urutan rumusan yang benar ternyata bukan lagi seperti ini “Allah-gereja-dunia” tetapi dalam rumusan “Allah-dunia-gereja.” Oleh karena itu, “dunialah yang diizinkan untuk menyediakan agendanya bagi gereja”—gereja melihat dunia secara serius dan berusaha melayaninya sesuai dengan kebutuhan sosial di masa itu. Profesor J. G. Davies, mengemukakan pemikiran yang serupa dalam dua bukunya Worship and Mission dan Dialogue with the World. Dia menyamakan tindakan memperjuangkan hak asasi manusia, rekonsiliasi, shalom, dan mempersiapkan kerajaan Allah, semuanya sebagai tujuan misi. “Maka misi terkait dengan mengatasi perselisihan dalam dunia industri, mengatasi pembedaan kelas, dan penghapusan diskriminasi ras.” “Kita memang diharuskan untuk bekerja sama dengan Allah dalam sejarah untuk memperbarui masyarakat.” Banyak dari usaha membangun ulang istilah “misi” ini dikutip dalam Drafts for Sections, yang diterbitkan dalam rangka persiapan untuk Uppsala. Misi dilihat sebagai proses sejarah dari pembaruan
M ISI
| 29
masyarakat dan tema teks dari Uppsala adalah “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!� (Why. 21:5). Namun firman Tuhan ini adalah suatu penegasan eskatologis. Ini diucapkan dari suatu takhta (dalam penglihatan Yohanes) hampir bersamaan dengan penampakan langit dan bumi yang baru. Namun beberapa kali di Uppsala kalimat itu digunakan sebagai suatu ekspresi yang mengungkapkan realitas sekarang bukannya harapan di masa depan, “percepatan perubahan sosial dan politis� bukannya pembaruan akhir dari alam semesta. Terlepas dari penyalahgunaan Kitab Suci ini, apa yang bisa kita katakan mengenai penyamaan misi Allah dengan pembaruan sosial? Empat kritik bisa diberikan. Pertama, Allah adalah Tuhan atas sejarah yang juga Hakim atas sejarah. Adalah naif untuk meninggikan semua gerakan revolusioner sebagai tanda dari pembaruan ilahi. Setelah sebuah revolusi terjadi, status quo baru biasanya melakukan lebih banyak ketidakadilan dan penindasan daripada pemerintahan sebelumnya. Kedua, kategori Alkitab dari shalom, kemanusiaan baru, dan kerajaan Allah tidak bisa disamakan dengan pembaruan sosial. Memang benar bahwa dalam Perjanjian Lama, shalom (damai) sering menunjukkan kesejahteraan secara politis dan materi. Namun apakah bisa dipertahankan sebagai suatu eksegesis alkitabiah yang serius, bahwa para penulis Perjanjian Baru menyajikan Yesus Kristus sebagai pribadi yang memenangkan bentuk damai ini dan melimpahkannya pada masyarakat secara keseluruhan? Berasumsi bahwa semua nubuat Perjanjian Lama terpenuhi dalam kerangka harfiah dan materi adalah suatu bentuk kesalahan, sama salahnya seperti yang dilakukan orangorang di zaman Yesus ketika mereka berusaha membawa Dia dengan paksa dan menjadikan-Nya raja (Yoh. 6:15). Pemahaman Perjanjian Baru atas nubuat Perjanjian Lama adalah pemenuhan nubuat itu melampaui kategori dimana janji-janji tersebut diberikan. Maka menurut para rasul, damai yang Yesus beritakan dan berikan adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih kaya, yaitu rekonsiliasi dan persekutuan dengan Allah dan sesama (mis., Ef. 2:13-22). Selain itu, Dia tidak melimpahkannya kepada semua manusia tetapi pada mereka
30 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
yang menjadi milik-Nya, kepada komunitas yang telah ditebus-Nya. Jadi shalom adalah berkat yang Sang Mesias bawa kepada umat-Nya. Ciptaan baru dan kemanusiaan baru akan terjadi pada mereka yang ada dalam Kristus (2 Kor. 5:17) dan kerajaan Allah harus disambut seperti halnya seorang anak kecil menyambut hadiah (Mrk. 10:15). Sudah menjadi tugas kita sebagai orang Kristen untuk menyatakannya melalui ucapan dan teladan hidup mengenai standar-standar yang benar dari kerajaan Allah kepada mereka yang belum menerima atau masuk ke dalamnya. Dengan cara ini kita melihat kebenaran dan keadilan dari kerajaan Allah, sebagaimana adanya, “meluap” ke wilayah-wilayah dari dunia dan dengan demikian mengaburkan batasan-batasan di antara keduanya. Meskipun demikian kerajaan Allah tetap berbeda dari masyarakat yang tak bertuhan dan jalan masuk ke dalamnya bergantung pada kelahiran baru secara rohani. Ketiga, istilah misi tidak tepat apabila digunakan untuk melingkupi segala sesuatu yang sedang Tuhan kerjakan dalam dunia ini. Dalam pemeliharaan dan anugerah umum, Dia jelas terlihat sangat aktif dalam kehidupan semua manusia dan semua masyarakat, tidak peduli apakah mereka mengakui Dia atau tidak. Namun ini bukanlah “misi” Allah. “Misi” berkaitan dengan umat yang telah Dia tebus dan apa yang harus mereka lakukan dalam dunia sebagai utusan-Nya. Keempat, fokus Uppsala pada perubahan sosial menyisakan sedikit atau bahkan tidak memberi ruang bagi penginjilan. Ketidakseimbangan inilah yang saya rasa, secara pribadi, harus saya protes pada sesi pleno ketika laporan dari Seksi 2 “Pembaruan dalam Misi” ini sedang dibuat. “Dewan ini telah memberikan perhatiannya yang tulus kepada masalah kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan dari dunia masa kini,” kata saya. “Dan itu benar. Saya sendiri tergugah untuk halhal tersebut. Namun saya tidak menemukan ada perhatian atau belas kasihan lain yang setara dengan kelaparan rohani manusia … yang merupakan prioritas utama gereja … dimana masih ada berjuta-juta orang … yang (seperti Kristus dan para rasulnya katakan berulang
M ISI
| 31
kali) tanpa Kristus pasti binasa ‌ Yesus Kristus yang diakui Dewan Gereja-gereja se-Dunia sebagai Tuhan. Yesus Kristus mengutus gereja-Nya untuk memberitakan kabar baik dan menjadikan segala bangsa murid-Nya. Saya tidak melihat Dewan ini secara keseluruhan ingin menaati perintah-Nya. Yesus Kristus menangisi kota yang tidak mau bertobat yang telah menolak Dia. Saya tidak melihat Dewan ini menangisi hal yang sama.� Sebuah Sintesis Alkitabiah? Dari pandangan tradisional tentang misi yang hanya berfokus pada penginjilan dan pandangan ekumenis saat ini tentang misi yang hanya berfokus pada menegakkan shalom, kita ingin memikirkan adakah cara yang lebih baik, suatu cara yang lebih seimbang dan lebih alkitabiah dalam mendefinisikan misi gereja, serta menghubungkan antara penginjilan dan tanggung jawab sosial umat Allah. Para utusan dari pertemuan Commission on World Mission and Evangelism di Mexico City pada bulan Desember 1963 melihat masalah ini tetapi mereka tidak mampu menemukan solusinya. Mereka mengakuinya dalam laporan dari Seksi 3: Perdebatan terus terjadi mengenai hubungan antara tindakan Allah di dalam dan melalui gereja dengan segala sesuatu yang sedang Allah lakukan di dalam dunia yang sepertinya berdiri sendiri dari komunitas Kristen. Bisakah suatu pembedaan dibuat antara tindakan providensia Allah dan tindakan penebusan Allah? . . . Kita bisa menunjukan tesis dan antitesis dalam perdebatan ini tetapi kita tidak bisa melihat jalan keluar kepada kebenaran yang kami rasa ada diluar dialektika ini. (Witness in Six Continents)
Banyak yang datang ke Uppsala berharap adanya suatu pertukaran pikiran yang sungguh-sungguh dan melaluinya ketegangan ini bisa diselesaikan. Di dalam salah satu sambutan pembuka, Dr. W. A. Visser ‘t Hooft menyatakan harapannya agar Dewan ini bisa menga-
32 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
tasi masalah ini “secara positif dan ekumenis” —“secara positif dalam pengertian kita memberi pemahaman yang jelas tentang orientasi dari gerakan kita” dan “ekumenis dalam pengertian kita bisa betul-betul saling mendengarkan satu sama lain.” Dia melanjutkannya melalui memaparkan pemikirannya dengan berkata: Saya percaya, terkait dengan ketegangan besar antara penafsiran vertikal dari Injil yang pada intinya berurusan dengan tindakan penyelamatan oleh Allah dalam hidup individu dan penafsiran horizontal yang berurusan dengan relasi manusia dalam dunia, kita harus keluar dari gerakan pendulum primitif yang berayun dari satu ekstrem ke ekstrem lain, yang tidak layak terjadi pada suatu gerakan yang secara alami berusaha merangkul kebenaran Injil secara penuh. Kekristenan yang telah kehilangan dimensi vertikalnya telah kehilangan garamnya dan tidak hanya hambar dalam dirinya sendiri tetapi tidak berguna bagi dunia. Namun kekristenan yang terlalu berfokus pada dimensi vertikal sebagai sarana untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya bagi dan dalam kehidupan sehari-hari manusia, sama dengan menyangkali inkarnasi, kasih Allah bagi dunia yang diwujudkan dalam diri Kristus. (The Uppsala 68 Report)
Namun sayangnya, apa yang tidak diselesaikan di Meksiko, tidak dilengkapi di Uppsala, dan harapan Dr. Visser ‘t Hooft tidak terpenuhi. Polarisasi lama terus berlanjut. Setiap kita seharusnya setuju bahwa misi secara alami muncul bukan dari gereja tetapi dari Allah sendiri. Allah yang hidup dalam Alkitab adalah Allah yang mengutus. Seingat saya Johannes Blauw dalam bukunya The Missionary Nature of the Church adalah yang pertama kali menggunakan kata sentrifugal untuk menjelaskan misi gereja. Kemudian Profesor J. G. Davies menerapkannya kepada Allah sendiri. Allah, tulisnya, adalah “Pribadi sentrifugal.” Itu merupakan suatu metafora yang dramatis. Namun itu hanya cara lain untuk mengatakan bahwa Allah itu kasih, selalu keluar mencari manusia dalam pelayanan yang mengorbankan diri sendiri. Maka Dia mengutus Abraham, memerintahkannya untuk keluar
M ISI
| 33
dari kotanya dan sanak saudaranya ke tempat yang tidak pernah dia kunjungi sebelumnya, dan berjanji akan memberkatinya dan dunia melaluinya jika dia mau taat (Kej. 12:1-3). Sesudah itu, Dia mengutus Yusuf ke Mesir, mengesampingkan kekejaman saudara-saudaranya, agar bisa melindungi sisa umat Allah di bumi selama bencana kelaparan (Kej. 45:4-8). Kemudian Dia mengutus Musa kepada umat-Nya yang sedang ditindas di Mesir, dengan kabar baik pembebasan, Dia berkata kepada Musa: “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir” (Kel. 3:10). Setelah peristiwa keluaran dan menempati tanah perjanjian, Dia mengutus serangkaian nabi dengan peringatan dan janji kepada umat-Nya. Seperti yang Dia katakan kepada Yeremia: “Dari sejak waktu nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir sampai waktu ini, Aku mengutus kepada mereka hamba-hamba-Ku, para nabi, hari demi hari, terus-menerus, tetapi mereka tidak mau mendengarkan kepadaKu dan tidak mau memberi perhatian, bahkan mereka menegarkan tengkuknya, berbuat lebih jahat dari pada nenek moyang mereka” (Yer. 7:25-26; bdk. 2 Taw. 36:15-16). Setelah penawanan di Babilonia, Dia dengan kemurahan-Nya mengirim mereka kembali ke tanah perjanjian dan mengutus lebih banyak pembawa pesan-Nya di antara dan kepada mereka untuk menolong mereka membangun kembali bait Allah, kota, dan kehidupan bangsa mereka. Kemudian akhirnya “ketika sudah genap waktunya, Allah mengutus Anak-Nya,” dan setelah itu Allah Bapa dan Allah Anak mengutus Allah Roh Kudus pada hari Pentakosta (Gal. 4:4-6; Yoh. 14:26; 15:26; 16:7; Kis. 2:33). Semua itu adalah latar belakang alkitabiah yang penting bagi setiap pemahaman tentang misi. Tokoh utama misi adalah Allah, karena Dialah yang mengutus para nabi-Nya, Anak-Nya, dan Roh Kudus-Nya. Dari semua misi tersebut, misi Sang Anaklah yang utama, karena itu adalah puncak dari pelayanan para nabi dan melalui itu puncaknya adalah dengan pengutusan Roh Kudus. Dan sekarang Anak Allah mengutus manusia sebagaimana Dia sendiri diutus. Sepanjang pelayanan publik-Nya, Dia pertama-tama sudah mengutus para rasul dan kemu-
34 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
dian tujuh puluh orang sebagai semacam perpanjangan tangan dari pelayanan khotbah, pengajaran, dan penyembuhan-Nya. Kemudian setelah kematian dan kebangkitan-Nya, Dia memperluas lingkup dari misi ini dengan memasukkan semua orang yang menyebut Dia sebagai Tuhan dan dengan sendirinya, mereka adalah para murid-Nya. Karena ada banyak murid lainnya yang hadir bersama keduabelas murid ketika Amanat Agung diberikan (mis., Luk. 24:33). Kita tidak bisa membatasi penerapan Amanat Agung tersebut hanya pada para rasul. Amanat Agung Ini membawa kita pada pembahasan istilah Amanat Agung. Apakah perintah yang Tuhan Yesus berikan kepada umat-Nya yang kemudian disebut Amanat Agung ini? Sudah tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar versi dari perkataan dalam Amanat Agung ini (karena Yesus sepertinya telah mengulanginya dalam beberapa bentuk di beragam kesempatan) memberi penekanan pada penginjilan. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” adalah perintah yang umum didengar dari “akhir yang lebih panjang” yang terdapat dalam Injil Markus, yang sepertinya ditambahkan oleh orang lain di kemudian hari setelah akhir yang asli dari kalimat Markus ini sudah hilang (Mrk. 16:15). “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka … dan ajarlah mereka …” adalah bentuk kalimat yang terdapat dalam Matius (Mat. 28:19-20), sementara catatan Lukas di akhir tulisannya tentang Injil Kristus adalah “dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa” dan di awal kitab Kisah Para Rasul ditulis bahwa umat-Nya akan menerima kuasa untuk menjadi saksi-Nya sampai ke ujung bumi (Luk. 24:47; Kis. 1:8). Penekanan keseluruhan dari bagian-bagian tersebut jelas terlihat. Penekanannya ada pada mengajarkan, menjadi saksi, dan menjadikan murid, sehingga banyak orang menyimpulkan bahwa misi gereja, sesuai dengan rincian yang Tuhan kita berikan, hanya berfokus pada misi khotbah,
M ISI
| 35
mempertobatkan orang, dan mengajar. Saya akui, saya sendiri mengemukakan hal yang sama di World Congress on Evangelism di Berlin pada tahun 1966, ketika sedang menjelaskan tiga versi utama dari Amanat Agung. Namun sekarang, saya memiliki pandangan yang berbeda. Isi Amanat Agung tidak hanya tugas untuk mengajar orang yang telah bertobat, tentang segala sesuatu yang telah Yesus perintahkan sebelumnya (Mat. 28:20), tetapi didalamnya juga termasuk tanggung jawab sosial. Sekarang saya bisa melihat secara lebih jelas. Tidak hanya konsekuensikonsekuensi dari Amanat Agung tetapi juga Amanat Agung itu sendiri harus dipahami sebagai perintah yang di dalamnya tidak hanya terdapat tanggung jawab penginjilan saja tetapi juga tanggung jawab sosial, kecuali kita ingin melakukan kesalahan dengan mendistorsi perkataan Yesus. Bentuk utama yang melaluinya Amanat Agung diteruskan kepada kita (meskipun bentuk ini paling diabaikan karena paling memerlukan pengorbanan) adalah bentuk yang ada dalam Injil Yohanes. Yesus telah mengantisipasinya dalam doa-Nya di ruang atas ketika Dia berkata kepada Bapa-Nya: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18). Sekarang, mungkin di ruang atas yang sama tetapi setelah kematian dan kebangkitan-Nya, Dia mengubah pernyataan doa-Nya itu menjadi suatu amanat dan berkata: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21). Di dalam kedua kalimat itu Yesus tidak hanya sekadar menarik paralel yang kabur antara misi-Nya dan misi kita. Secara sengaja dan tepat Dia menjadikan misi-Nya sebagai model bagi misi kita dengan berkata “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Oleh karena itu pemahaman kita tentang misi gereja harus disimpulkan dari pemahaman kita tentang misi Anak Allah ini. Mengapa dan bagaimana Allah Bapa mengutus Allah Anak? Tentu saja tujuan utama Anak Allah datang ke dalam dunia adalah unik. Mungkin sebagian karena alasan inilah orang-orang Kristen ragu
36 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
untuk memikirkan misi mereka dalam pengertian bisa dibandingkan dengan misi Allah. Karena Bapa mengutus Anak-Nya untuk menjadi Juruselamat dunia, dengan hasil menebus dosa kita dan memberi kita hidup kekal (1 Yoh. 4:9-10, 14). Dia sendiri pernah berkata bahwa Dia memang datang “untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Kita tidak bisa meniru Dia dalam hal ini. Kita bukan juruselamat. Namun, semua itu masih merupakan pernyataan yang tidak lengkap mengenai alasan Dia datang. Ada baiknya kita memulai dengan sesuatu yang lebih umum dan mengatakan bahwa Dia datang untuk melayani. Orang-orang sezaman-Nya sudah biasa dengan penglihatan apokaliptik Daniel tentang anak manusia yang menerima kuasa dan dilayani oleh semua suku bangsa (Dan. 7:14). Namun Yesus tahu Dia harus melayani sebelum Dia dilayani dan mengalami penderitaan sebelum menerima kuasa. Maka Dia meleburkan kedua gambaran Perjanjian Lama yang sepertinya tidak cocok, yaitu anak manusia versi Daniel dan pelayan yang menderita versi Yesaya, dan berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45). Korban penebus dosa adalah korban yang hanya bisa dilakukan oleh Dia saja tetapi ini merupakan puncak dari pelayanan seumur hidup, yang kita juga bisa persembahkan. “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” kata Yesus dalam suatu kesempatan (Luk. 22:27). Jadi Dia memberi diri-Nya untuk melayani orang lain tanpa pamrih dan pelayanan-Nya dilakukan dalam beragam bentuk sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Dia pasti berkhotbah, memberitakan kabar baik kerajaan Allah dan mengajar tentang natur dari kerajaan Allah yang akan datang, bagaimana masuk ke dalamnya dan bagaimana kerajaan Allah akan menyebar. Namun Dia melayani dalam perbuatan dan juga perkataan, dan dalam pelayanan Yesus tidak mungkin dapat dipisahkan antara pekerjaan dan perkataan-Nya. Dia memberi makan orang lapar dan membasuh kaki yang kotor, Dia menyembuhkan orang sakit, menghibur yang susah, bahkan mem-
M ISI
| 37
bangkitkan orang mati. Sekarang Dia berkata, Dia mengutus kita, sama seperti Bapa telah mengutus Dia. Maka misi kita, sama seperti Dia, adalah masuk ke dalam pelayanan yang sama. Dia yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Fil. 2:5-8). Dia memberi kita teladan pelayanan yang sempurna dan mengutus gereja-Nya ke dalam dunia untuk menjadi gereja yang melayani. Bukankah penting bagi kita untuk menemukan kembali penekanan Alkitab ini? Sebagian besar sikap dan usaha yang kita lakukan sebagai orang Kristen (terutama kita yang hidup di Eropa dan Amerika Utara) lebih sebagai bos daripada pelayan. Namun di sini dikatakan bahwa dalam peran kita sebagai pelayanlah kita bisa menemukan sintesis yang tepat dari penginjilan dan aksi sosial. Karena bagi kita, kedua hal tersebut, sama seperti bagi Kristus juga, harus menjadi perwujudan nyata dari kasih yang melayani. Kemudian ada aspek lain dari misi Anak Allah yang bisa diparalelkan dengan misi gereja, yaitu: agar bisa melayani, Dia diutus ke dalam dunia. Dia bukan datang seperti seorang tamu dari luar angkasa atau muncul seperti makhluk alien yang membawa serta budaya aliennya. Dia mengenakan pada diri-Nya kemanusiaan kita, tubuh dan darah kita, budaya kita. Dia benar-benar menjadi salah satu dari kita dan mengalami kerapuhan kita, penderitaan kita, dan pencobaan kita. Dia bahkan menanggung dosa kita dan mati bagi kita. Dan sekarang Dia mengutus kita “ke dalam dunia� untuk menempatkan diri bersama dengan sesama manusia sama seperti Dia menempatkan diri bersama kita (namun tidak kehilangan identitas kita sebagai orang Kristen), menjadi rapuh seperti yang Dia alami. Itu jelas merupakan salah satu kegagalan paling khas, yang kita sebagai orang Kristen sering lakukan, apalagi kita yang menyebut diri orang Kristen injili, kita sepertinya jarang memandang serius prinsip inkarnasi ini. “Sama seperti Tuhan mengenakan tubuh manusia seperti kita,� merupakan
38 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
isi laporan dari Mexico City tahun 1963, “demikian juga Dia memanggil gereja-Nya untuk turun ke dalam dunia sekuler. Ini mudah dikatakan tetapi perlu pengorbanan untuk melakukannya.� Kita lebih biasa meneriakkan Injil kepada orang-orang dari kejauhan daripada melibatkan diri kita secara mendalam di dalam kehidupan mereka, menempatkan diri kita ke dalam budaya dan permasalahan mereka, dan turut merasakan penderitaan mereka. Namun dampak dari teladan Tuhan kita ini tidak bisa kita hindari. Seperti yang dikatakan dalam Perjanjian Lausanne: “Kami menegaskan bahwa Kristus mengutus umat yang telah Dia tebus ke dalam dunia sama seperti Bapa telah mengutus-Nya, dan itu menuntut keterlibatan yang dalam dan pengorbanan yang sama ke dalam dunia.� Hubungan antara Penginjilan dan Aksi sosial Kalau begitu hubungan seperti apa yang harus terjalin antara penginjilan dan aksi sosial dalam tanggung jawab menyeluruh kita sebagai orang Kristen? Jika kita sudah memastikan bahwa kita tidak bisa hanya berfokus pada penginjilan dengan mengorbankan perhatian terhadap hal-hal sosial atau menjadikan aktivitas sosial sebagai pengganti bagi penginjilan, kita masih harus mendefinisikan hubungan antara keduanya. Ada tiga cara utama yang sudah pernah dicoba untuk melakukan hal ini. Pertama, sebagian orang melihat aksi sosial sebagai sarana untuk penginjilan. Dalam kasus ini penginjilan dan memenangkan orang untuk dipertobatkan adalah tujuan akhirnya. Dan aksi sosial merupakan pendahuluan yang berguna, sarana yang efektif bagi tujuan ini. Dalam bentuknya yang paling mencolok, cara ini membuat pekerjaan sosial (apakah itu menyediakan makan, obat-obatan, atau pendidikan) menjadi gula yang melapisi obat, umpan dari kail. Sedangkan dalam bentuknya yang terbaik, cara ini memberikan Injil suatu kredibilitas yang tanpanya akan sangat kurang. Apa pun kasusnya, kecurigaan akan kemunafikan terus ada dalam semua usaha filantropi kita. Motivasi tersembunyi yang terlihat mendorong kita untuk terli-
M ISI
| 39
bat dalam semua kegiatan itu. Dan hasil dari membuat program sosial kita sebagai sarana bagi tujuan yang lain adalah kita menghasilkan bantuan terselubung dari orang Kristen. Ini tidak terhindarkan jika kita sendiri adalah “orang Kristen injili yang terselubung.” Mereka bisa menyadari penipuan kita ini. Tidak heran Gandhi pada tahun 1931 berkata: “Saya berpendapat bahwa memengaruhi orang lain untuk masuk agama lain dengan selubung pekerjaan kemanusiaan sangatlah tidak sehat … mengapa saya harus mengubah agama saya karena seorang dokter yang mengaku Kristen sebagai agamanya telah menyembuhkan saya dari penyakit tertentu?” Cara kedua untuk menghubungkan penginjilan dan aksi sosial merupakan cara yang lebih baik. Cara ini melihat aksi sosial bukan sebagai sarana untuk penginjilan tetapi sebagai perwujudan dari penginjilan, atau setidaknya perwujudan dari kabar baik yang sedang diberitakan. Dalam kasus ini filantropi tidak dikaitkan dengan penginjilan secara artifisial dari luar tetapi muncul dari penginjilan itu sendiri sebagai ungkapan alaminya. Kita mungkin bisa berkata bahwa aksi sosial merupakan “sakramen” dari penginjilan, karena aksi sosial membuat pesan injil menjadi sangat terlihat. J. Herman Bavinck dalam bukunya yang terkenal An Introduction to the Science of Missions, mendukung pandangan ini. Penyediaan obat-obatan dan pendidikan lebih dari sekadar “sarana yang sah dan penting untuk menciptakan kesempatan bagi pemberitaan Injil,” tulis Bavinck, karena “jika semua pelayanan itu dimotivasi oleh cinta dan belas kasih yang benar, maka mereka tidak lagi menjadi semacam tindakan awal tetapi pada saat itu juga menjadi pemberitaan Injil itu sendiri.” Kita tidak perlu ragu untuk menyetujui pandangan ini, sejauh itu dijalankan dengan normal, karena ada contoh yang kuat untuk pandangan ini dalam pelayanan Yesus. Perkataan dan perbuatan-Nya saling terkait, perkataanNya menafsirkan perbuatan-Nya dan perbuatan-Nya mewujudkan perkataan-Nya. Dia tidak hanya memberitakan kabar baik kerajaan Allah. Dia mempertunjukkan “tanda-tanda kerajaan Allah” secara terlihat. Jika orang-orang tidak mau percaya perkataan-Nya, kata Yesus,
40 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
maka biarlah mereka percaya kepada-Nya “karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri” (Yoh. 14:11). Bishop John V. Taylor mengikuti pandangan yang mirip dalam pembahasannya di serial Christian Foundations yang diberi judul For All the World. Dia menulis tentang “tiga jenis pemberitaan Injil,” yang melaluinya ia ingin berkata bahwa orang Kristen dipanggil untuk “memberitakan Injil … melalui apa yang mereka katakan (pemberitaan), melalui diri mereka sendiri (kesaksian), dan melalui apa yang mereka lakukan (pelayanan).” Hal ini juga benar dan merupakan penjelasan yang baik. Namun ini membuat saya gelisah. Karena penjelasan ini membuat pelayanan menjadi sub-bagian penginjilan, salah satu aspek dari pemberitaan. Saya tidak menyangkal bahwa pekerjaan baik dari kasih memang memiliki nilai yang telah jelas terlihat ketika ditunjukan oleh Yesus dan memiliki nilai yang jelas terlihat ketika ditunjukkan oleh kita (bdk. Mat. 5:16). Namun saya tidak bisa menerima bahwa itu merupakan pembenaran satu-satunya atau bahkan pembenaran utamanya. Jika memang betul maka aksi sosial secara sadar tetap hanya merupakan sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan. Jika semua pekerjaan baik dilihat sebagai pemberitaan yang terlihat, maka mereka mengharapkan balasan. Tetapi jika semua pekerjaan baik muncul sebagai kasih yang terlihat, maka mereka “tidak mengharapkan balasan” (Luk. 6:35). Ini membawa saya kepada cara ketiga dalam menunjukkan hubungan antara penginjilan dan aksi sosial, yang saya percaya merupakan cara yang paling sesuai dengan kekristenan, yaitu aksi sosial sebagai rekan pelayanan dari penginjilan. Sebagai rekan pelayanan keduanya saling melengkapi tetapi juga independen satu terhadap yang lain. Masing-masing berdiri sendiri dan memiliki bagiannya sendiri. Tidak ada yang menjadi sarana untuk mencapai yang lain atau perwujudan dari yang lain. Karena masing-masing memiliki tujuannya sendiri. Keduanya merupakan ekspresi dari kasih yang sejati. Seperti yang diungkapkan oleh National Evangelical Anglican Congress di Keele pada tahun 1967, “Penginjilan dan pelayanan yang penuh kasih harus ada
M ISI
| 41
bersama-sama dalam misi Allah.” Rasul Yohanes telah membantu saya untuk memahami hal ini dari kata-kata yang ada dalam surat pertamanya: “Barangsiapa memunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh. 3:17-18). Pada bagian ini, kasih dalam tindakan muncul dari dua situasi, pertama “melihat” saudara sedang menderita kekurangan dan kedua “memunyai” apa yang diperlukan untuk memenuhi kekurangan tersebut. Jika saya tidak merelasikan apa yang saya “punya” dengan apa yang saya “lihat,” saya tidak bisa mengatakan bahwa saya berdiam dalam kasih Allah. Selain itu, prinsip ini dapat diterapkan kepada kekurangan apa pun yang kita lihat. Saya bisa saja melihat kekurangan rohani (dosa, rasa bersalah, tersesat) dan memiliki pengetahuan Injil untuk memenuhi kekurangan tersebut. Atau, kekurangan yang saya lihat bisa saja penyakit atau kebodohan, atau tempat tinggal yang buruk, dan saya memiliki obatobatan, pendidikan, atau keahlian sosial untuk memenuhi kekurangan tersebut. Melihat kekurangan yang ada dan memiliki penyelesaian kekurangan itu mendorong kasih untuk bertindak, dan apakah tindakannya berupa penginjilan atau aksi sosial, atau bahkan politis, tergantung pada apa yang kita “lihat” dan apa yang kita “miliki.” Ini tidak berarti bahwa perkataan dan perbuatan, penginjilan dan aksi sosial, merupakan rekan pelayanan yang tidak bisa dipisahkan sehingga setiap kita harus terlibat di dalam kedua hal tersebut sepanjang waktu. Situasi bisa beragam, demikian juga dengan panggilan orang Kristen. Melihat situasi, memang ada waktunya ketika tujuan hidup kekal seseorang menjadi pertimbangan paling mendesak, karena kita tidak boleh lupa bahwa manusia tanpa Kristus pasti binasa. Namun ada situasi dimana kebutuhan materi seseorang begitu mendesak sehingga dia tidak mampu mendengar Injil jika kita memberitakannya pada saat itu. Orang yang jatuh ke tangan perampok, di saat itu,
42 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
terutama membutuhkan obat-obatan dan perban untuk mengobati lukanya, bukan traktat penginjilan di sakunya! Sama dengan itu, perkataan seorang misionaris di Nairobi yang dikutip oleh Bishop John Taylor, “seorang yang lapar tidak bisa mendengar.� Jika musuh kita sedang lapar, amanat Alkitab bukanlah menginjili dia tetapi memberi dia makan (Rm. 12:20)! Selain itu ada keragaman dalam panggilan orang Kristen dan setiap orang Kristen harus setia terhadap panggilannya. Seorang dokter tidak boleh mengorbankan praktik medisnya demi penginjilan, demikian juga seorang penginjil tidak boleh terdistraksi dari pelayanannya akan firman Tuhan karena pelayanan meja, seperti yang disadari dengan cepat oleh para rasul (Kis. 6). Hukum Utama Sekarang mari kita kembali kepada Amanat Agung. Saya telah berusaha untuk menyatakan bahwa bentuk Amanat Agung yang ada dalam tulisan Yohanes, yang mengatakan bahwa misi gereja harus mengikuti teladan dari misi Anak Allah, menyiratkan bahwa kita diutus ke dunia untuk melayani. Pelayanan dengan kerendahan hati yang perlu kita jalani, sebagaimana teladan Kristus, harus melibatkan perkataan dan perbuatan, memerhatikan orang-orang yang lapar, dan memerhatikan orang-orang yang sakit fisik maupun jiwa. Dengan kata lain, pelayanan yang harus kita kerjakan melibatkan penginjilan dan juga aksi sosial. Tapi anggaplah seseorang tetap yakin bahwa Amanat Agung hanya berfokus pada penginjilan, apa yang harus dilakukan? Saya ingin mengatakan bahwa terkadang, mungkin karena itu adalah perintah terakhir yang Yesus berikan kepada kita sebelum kembali kepada Bapa, kita memberi Amanat Agung ini tempat yang terlalu tinggi dalam pemikiran kita. Tolong jangan salah mengerti apa yang ingin saya katakan. Saya sepenuhnya percaya bahwa seluruh gereja harus menaati perintah Tuhan untuk memberitakan Injil kepada segala suku bangsa. Namun saya juga khawatir bahwa kita terlalu melihat ini sebagai satu-satunya perintah yang Yesus berikan kepada kita. Dia juga mengutip Imamat 19:18, “Kasihilah sesamamu
M ISI
| 43
manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39), menyebutnya sebagai hukum kedua terbesar (kedua terpenting yang hanya dikalahkan oleh hukum tertinggi untuk mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap keberadaanmu), serta menjabarkannya dalam Khotbah di Bukit. Di sana Yesus menegaskan bahwa dalam kosakata Allah, sesama kita manusia adalah termasuk musuh kita juga. Dan menegaskan pula bahwa mengasihi artinya “melakukan kebaikan,” yaitu memberi diri kita secara aktif dan membangun untuk melayani kesejahteraan sesama kita. Jadi di sini ada dua perintah Yesus–hukum utama, “kasihilah sesamamu manusia” dan amanat agung, “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” Apa hubungan dari keduanya? Sebagian dari kita menganggap keduanya sama saja, sehingga jika kita memberitakan Injil kepada seseorang, kita menganggap kita telah menunaikan tanggung jawab kita untuk mengasihi dia. Tidak. Amanat Agung tidak menjelaskan, menyelesaikan, atau mengganti hukum utama itu. Yang dilakukan oleh Amanat Agung adalah menambahkan keharusan untuk mengasihi dan melayani sesama kita manusia dengan suatu dimensi Kristen yang baru dan mendesak. Jika kita betul-betul mengasihi sesama kita manusia maka kita seharusnya memberitakan kabar baik Yesus kepadanya. Bagaimana kita bisa mengklaim bahwa kita mengasihinya jika kita mengetahui Injil tetapi tidak memberitakannya? Namun sama juga dengan itu, jika kita betul-betul mengasihi sesama kita manusia maka kita tidak boleh berhenti hanya dengan penginjilan. Sesama kita manusia bukanlah jiwa tanpa tubuh sehingga kita hanya mengasihi jiwanya saja, atau tubuh tanpa jiwa sehingga kita bisa memerhatikan kesejahteraannya saja, atau memiliki tubuh dan jiwa tetapi terpisah dari masyarakat. Allah menciptakan manusia, yaitu sesama kita manusia, dengan tubuh-jiwa-dalam suatu lingkungan. Oleh karena itu, jika kita mengasihi sesama kita manusia sebagaimana Allah telah menciptakannya, kita harus memerhatikan kesejahteraannya secara menyeluruh, kebaikan jiwanya, tubuhnya, dan lingkungannya. Selain itu, melihat manusia sebagai makhluk sosial, dan juga makhluk yang utuh, mengharuskan kita untuk menambahkan dimensi politis
44 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
ke dalam perhatian sosial kita. Kegiatan kemanusiaan melayani korban dari masyarakat yang sakit. Kita juga perlu memerhatikan pencegahan kerusakan atau kesehatan suatu lingkungan, yang artinya berusaha membangun struktur sosial yang lebih baik dimana kedamaian, harkat martabat, kebebasan, dan keadilan dapat terjamin bagi semua umat manusia. Dan tidak ada alasan mengapa, dalam mengusahakan hal ini, kita tidak bisa bekerjasama dengan semua manusia yang memiliki niat baik, meskipun mereka bukan orang Kristen. Sebagai ringkasan, kita diutus ke dalam dunia, sama seperti Yesus, untuk melayani. Karena itulah wujud alami dari kasih kita kepada sesama manusia. Kita mengasihi. Kita bertindak. Kita melayani. Dan di dalam melakukan hal tersebut kita tidak boleh memiliki motivasi tersembunyi. Memang benar Injil kurang terlihat jika kita hanya memberitakannya dan kurang kredibilitasnya jika kita yang memberitakannya hanya tertarik pada jiwa dan tidak memerhatikan kesejahteraan fisik, situasi, dan lingkungan dari manusia di dalamnya. Namun alasan kita menerima adanya tanggung jawab sosial yang paling utama sekali bukan agar Injil bisa terlihat atau memberi kredibilitas pada Injil tetapi hanya karena belaskasihan semata. Kasih tidak perlu membenarkan dirinya. Kasih hanya mengungkapkan dirinya dalam pelayanan kapan pun ia melihat itu dibutuhkan. Maka istilah misi bukanlah merujuk pada segala sesuatu yang gereja lakukan. “Gereja adalah misi” masih bisa diterima tetapi terlalu berlebihan. Karena gereja di dalamnya ada ibadah dan pelayanan terhadap komunitas, dan meskipun ibadah dan pelayanan saling melengkapi namun keduanya tidak bisa disamakan. Demikian juga dengan istilah “misi,” seperti yang telah kita lihat, istilah itu tidak bisa merujuk pada segala sesuatu yang Allah kerjakan dalam dunia. Karena Allah Pencipta selalu aktif dalam dunia-Nya, dalam bentuk providensia, anugerah umum, dan penghakiman, dan semua itu berbeda dengan tujuan Dia mengutus Anak, Roh, dan gereja-Nya ke dalam dunia. Istilah “misi” lebih menggambarkan segala sesuatu yang gereja lakukan sebagai utusan Allah dalam dunia. “Misi” mencakup
M ISI
| 45
dua panggilan utama dari pelayanan gereja yaitu menjadi “garam dan terang dunia.” Karena Kristus mengutus umat-Nya ke dalam dunia untuk menjadi garam dan mengutus umat-Nya ke dalam dunia untuk menjadi terang (Mat. 5:13-16). Dampak-dampak Praktis Dalam kesimpulannya akan sangat membantu jika kita membahas apa hasil nyata dari pemahaman “misi” ini nantinya. Orang-orang Kristen injili sekarang sudah bertobat dari pietisme masa lalu yang cenderung membuat kita terisolasi dari dunia sekuler dan menerima bahwa kita memiliki tanggung jawab sosial selain tanggung jawab penginjilan. Namun apa arti hal tersebut dalam praktiknya? Saya ingin membahas tiga wilayah–panggilan, lokal, dan nasional. Saya akan memulai dengan panggilan, yaitu pekerjaan orang Kristen. Kita sering diberi kesan bahwa jika anak muda Kristen memang betul-betul peduli dengan Kristus ia pasti akan menjadi misionaris ke luar negeri, dan jika dia kurang dari itu maka dia akan tetap di dalam negeri dan menjadi pendeta, tetapi jika dia kurang memiliki dedikasi untuk menjadi pendeta dia pasti akan melayani sebagai dokter atau guru, sedangkan mereka yang akhirnya bekerja dalam dunia sosial atau media atau (yang terburuk dari semua) dalam dunia politik pasti tidak lama lagi akan tergelincir! Saya melihat bahwa sangatlah penting bagi kita untuk bisa memiliki cara pandang yang benar tentang masalah pangggilan ini. Yesus Kristus memanggil semua murid-Nya untuk “melayani,” artinya melakukan pelayanan. Dia sendiri adalah seorang Pelayan yang sempurna dan Dia memanggil kita untuk menjadi pelayan. Ini yang bisa kita pastikan: jika kita adalah orang Kristen kita harus memberi hidup kita untuk melayani Tuhan dan manusia. Satu-satunya perbedaan di antara kita terletak pada natur dari pelayanan yang harus kita jalani. Sebagian memang dipanggil untuk menjadi misionaris, penginjil, atau pendeta, sedangkan yang lain menjalani profesi mulia dalam bidang hukum, pendidikan, medis, dan ilmu sosial. Namun sebagian lagi dipanggil ke dunia bisnis,
46 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
industri dan pertanian, akuntansi dan perbankan, pemerintahan lokal atau parlemen, serta media massa. Sementara itu ada beberapa yang lain seperti para wanita yang menemukan panggilan mereka sebagai ibu rumah tangga dan menjadi orangtua tanpa mengejar karir sampingan. Di dalam semua wilayah ini dan wilayah lainnya, orang Kristen dimungkinkan untuk menafsirkan kehidupan pekerjaan mereka secara kristiani. Kita tidak boleh melihatnya sebagai sesuatu yang diperlukan tapi jahat (diperlukan, hanya jika, untuk bisa terus hidup), atau tempat yang tidak berguna untuk penginjilan atau menghasilkan uang untuk penginjilan. Tetapi melihatnya sebagai panggilan Kristen mereka, sebagai cara Kristus telah memanggil mereka untuk memberi hidup mereka dalam pelayanan-Nya. Selain itu, sebagian dari panggilan mereka adalah berusaha untuk menjaga nilai-nilai dasar Kristus terkait dengan kebenaran, keadilan, kejujuran, harkat martabat manusia, dan belaskasih dalam suatu masyarakat yang tidak lagi menerimanya. Ketika suatu lingkungan menjadi rusak, kesalahannya harus ditimpakan kepada yang bertanggung jawab: bukan kepada lingkungan tersebut tetapi kepada gereja yang telah gagal menjalankan tanggung jawabnya menjadi garam untuk menghentikan pembusukannya. Dan garam hanya berguna jika dia ditaburkan ke dalam masyarakat, jika orang Kristen bisa mempelajari kembali keragaman panggilan ilahi, dan jika banyak orang Kristen mau masuk ke dalam masyarakat sekuler secara lebih dalam untuk melayani Kristus di sana. Dengan demikian saya secara pribadi ingin melihat ada orangorang Kristen yang ditunjuk untuk menjadi semacam petugas dalam hal profesi Kristen yang akan pergi ke sekolah-sekolah, universitas, dan gereja bukan untuk merekrut orang-orang untuk jadi pendeta saja, tetapi menunjukkan kepada anak-anak muda beragam kesempatan yang menarik di masa kini untuk melayani Kristus dan sesama manusia. Saya juga ingin melihat adanya konferensi-konferensi yang diadakan secara teratur terkait dengan profesi, bukan konferensi-konferensi misionaris yang hanya sesuai bagi mereka yang ingin menjadi misionaris lintas budaya, bukan juga konferensi-konferensi pelayanan yang
M ISI
| 47
terfokus pada pendeta di gereja, tetapi konferensi-konferensi misi yang memberi gambaran alkitabiah tentang luasnya misi Allah, dan menerapkannya dalam dunia masa kini, serta menantang anak-anak muda untuk memberi hidup mereka tanpa syarat untuk melayani aspek tertentu dari misi Kristen. Penerapan kedua terkait dengan gereja lokal. Di sini sekali lagi kecenderungan kita adalah melihat gereja sebagai komunitas yang beribadah dan bersaksi, dimana tanggung jawabnya kepada wilayah itu umumnya dibatasi pada kesaksian penginjilan. Namun jika gereja lokal “diutus� ke lingkungannya seperti Bapa mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, maka misi pelayanannya lebih luas dari sekadar penginjilan. Sekali gereja lokal secara keseluruhan mengakui dan menerima dimensi yang lebih luas dari tanggung jawabnya, maka mereka siap untuk menerima kebenaran lebih jauh. Meskipun semua orang Kristen secara umum dipanggil untuk kedua jenis pelayanan itu, yaitu bersaksi bagi Kristus dan menjadi orang Samaria yang baik hati ketika kesempatan muncul, namun tidak semua orang Kristen dipanggil untuk memberi hidup mereka ke dalam kedua jenis pelayanan itu atau memberi seluruh waktu mereka untuk kedua pelayanan itu. Jelas tidak mungkin bagi semua orang untuk melakukan segala sesuatu yang perlu dilakukan. Oleh karena itu perlu ada pengkhususan sesuai dengan karunia dan panggilan yang Kristus berikan. Sebagian anggota gereja lokal terlihat jelas memiliki kelebihan dalam penginjilan dan dipanggil untuk penginjilan. Namun apakah sekarang kita bisa dengan keyakinan yang sama mengatakan bahwa karunia dan panggilan yang Kristus berikan ke sebagian orang lain mengarah pada hal-hal sosial? Bisakah sekarang kita membebaskan diri kita dari perbudakan yang manusia buat sendiri (memang harus seperti itu) yang mengatakan bahwa setiap orang Kristen yang saleh pasti akan memberi semua waktu luangnya dalam usaha memenangkan jiwa? Bukankah ajaran Alkitab tentang tubuh Kristus, dengan anggota-anggotanya yang memiliki fungsi yang berbeda, sudah cukup untuk memberi kita kebebasan yang lebih besar seperti itu?
48 | C h r i s t i a n M i s s i o n i n t h e M o d e r n W o r l d
Ketika prinsip ini sudah diterima, seharusnya kelompok-kelompok Kristen yang memiliki jemaat dengan minat-minat yang sama dapat bersatu padu untuk masuk ke dalam berbagai “kelompok studi dan aksi.� Sebagai contoh, satu kelompok berkonsentrasi pada kunjungan rumah ke rumah, kelompok lain berusaha masuk ke wilayah tertentu yang belum terjangkau (mis., asrama atau kelompok anak muda, universitas atau kafe kopi), kelompok lainnya berfokus pada hubungan komunitas dengan para imigran, kelompok lainnya membentuk asosiasi perumahan untuk membantu orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, kelompok lainnya mengunjungi orang-orang jompo atau yang sakit, atau membantu yang cacat, sedangkan kelompok lainnya melibatkan diri ke dalam masalah etika sosial atau sosial politik seperti aborsi (jika terdapat klinik aborsi di wilayah itu) atau hubungan ketenagakerjaan (jika wilayah itu merupakan wilayah industri) atau penyensoran (jika toko-toko atau bioskop porno merupakan sesuatu yang tidak diterima di lingkungan itu). Saya sengaja menggunakan istilah “kelompok studi dan aksi� karena kita sebagai orang Kristen cenderung untuk menggurui tanpa bertindak apa-apa. Dan kita perlu bergumul dengan kompleksitas dari pokok permasalahan kita sebelum merekomendasi tindakan tanggapan tertentu, apakah itu penginjilan atau aksi sosial atau keduanya, kepada dewan gereja. Contoh ketiga saya dalam melihat secara serius pemahaman misi Alkitab yang lebih luas membawa kita ke level nasional. Meskipun inisiatifnya harus dilakukan secara lokal, namun akan lebih kuat bagi kelompok studi dan aksi gereja lokal jika bisa dibentuk semacam jaringan nasional. Di Inggris saat ini sudah ada organisasi-organisasi bagi kegiatan anak muda (mis., Pathfinders dan CYFA), bagi misi luar negeri (beragam perhimpunan misionaris), bantuan dan pengembangan bagi daerah di luar negeri (mis., TEAR Fund), dan bagi beragam tujuan lain, tetapi bukan untuk misi secara luas. Church of England Evangelical Council dan Evangelical Alliance sudah mulai bicara tentang sebuah think tank yang bisa memikirkan pengembangan suatu strategi nasional bagi penginjilan di Inggris. Saya harap usaha itu akan
M ISI
| 49
memiliki akar dari situasi lokal dengan menghubungkan “kelompok studi dan aksi” penginjilan satu sama lain. Mungkin perlu juga diperhatikan tentang misi dalam pengertian yang lebih luas bukan hanya penginjilan semata. Menurut saya, melalui jaringan kelompok lokal seperti itu akan muncul satu atau dua kelompok utama yang berpengaruh. Pada hari ini kita sering mendengar tentang “keterasingan,” bukan dalam pengertian ekonomi klasik yang dikembangkan oleh Marx tetapi dalam pengertian umum, yaitu ketidakberdayaan. Jimmy Reid, seorang pemimpin Marxis yang menjadi rektor dari Glasgow University pada tahun 1972, pernah berbicara tentang hal ini dalam kata sambutan pengangkatannya: “Keterasingan adalah tangisan manusia yang merasa diri mereka menjadi korban dari kekuatan ekonomi yang buta yang berada di luar kontrol mereka, … rasa frustrasi dari orang biasa yang dikeluarkan dari proses pengambilan keputusan.” Dan itu memang benar. Banyak orang merasa diri mereka sebagai budak tak berdaya dari “sistem” yang ada. Namun orang Kristen tidak bisa jatuh ke dalam perasaan tidak berdaya. Saya setuju dengan Barbara Ward, menurut saya dialah yang memberikan pidato paling gemilang di Uppsala: “Orang Kristen tersebar di seluruh spektrum negara kaya. Dan oleh karena itu orang Kristen adalah suatu pengaruh atau bisa memberi pengaruh, untuk kepentingan yang sangat luar biasa.” Dia terutama sedang bicara tentang bantuan untuk pembangunan. Jika kita bisa menerima konsep yang lebih luas tentang misi sebagai pelayanan orang Kristen dalam dunia yang terdiri dari penginjilan dan aksi sosial—suatu konsep yang diberikan kepada kita melalui teladan misi Juruselamat kita dalam dunia—maka orang Kristen dibawah bimbingan Tuhan bisa membuat dampak yang jauh lebih besar pada masyarakat, suatu dampak yang sepadan dengan jumlah kekuatan kita dan dengan tuntutan radikal dari amanat Kristus.
Just Do Something (Lakukanlah Sesuatu)
Sebuah Pendekatan Yang Membebaskan Untuk Menemukan Kehendak Allah
Kevin DeYoung Apakah saya harus menikah? Apakah dia pasangan yang dikehendaki Tuhan? Di manakah saya harus tinggal? Pekerjaan apa yang Allah inginkan? Rumah mana yang harus saya beli? Ada begitu banyak pertanyaan yang harus dijawab dan keputusan yang harus diambil. Kita sering ragu-ragu dan tidak berani memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan, pekerjaan, dan relasi. Banyak dari kita menjadi khawatir karena belum menemukan kehendak Allah yang sempurna bagi hidup kita. Bahkan yang lebih buruk lagi, kita tidak melakukan apaapa: hanya menunggu ... menunggu ... dan menunggu arahan langsung yang jelas dan bebas dari segala risiko. Tetapi Tuhan tidak perlu untuk selalu memberitahu kita tentang semua hal yang perlu diputuskan pada setiap persimpangan jalan. Dia telah menyatakan rencana-Nya bagi kita yaitu: untuk mengasihi-Nya dengan sepenuh hati, menaati Firman-Nya, dan setelah itu lakukanlah sesuatu yang kita inginkan. Buku ini akan menolong kita untuk lebih produktif, dengan membuat kita berani berjalan menjauh dari keragu-raguan yang melumpuhkan hidup kita. Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org
The Radical Disciple (Murid yang Radikal)
Beberapa Aspek yang Sering Diabaikan Orang Kristen John Stott Apa artinya mengikut Yesus? Melalui buku Murid yang Radikal, John Stott menyampaikan pesan perpisahan di akhir pelayanannya ke gereja-gereja di seluruh dunia yang pernah mengenal teladannya di abad ke dua puluh ini. Dia membukakan bagi kita, sampai ke akarakarnya, apa artinya mengikut Yesus, melalui eksplorasi delapan aspek penting yang sering diabaikan oleh orang-orang Kristen. Dalam bukunya yang terakhir ini, Stott menyampaikan apa yang telah ia tampilkan dan jalani sepanjang hidupnya: bahwa mengikut Yesus berarti membiarkan Dia mengarahkan agenda hidup kita. Kita tidak boleh menetapkan batasan-batasan ke-Tuhanan-Nya atau menghindarkan diri dari harga yang harus dibayar karena komitmen kita. Dia memanggil. Kita mengikut-Nya. Pesan utama dari Murid yang Radikal, layaknya kesaksian dari kehidupan dan pelayanan John Stott, adalah pesan yang sederhana, klasik, dan personal namun radikal: Yesus adalah Tuhan. Buku Terakhir & Perpisahan Seorang Raksasa Iman Abad ke-20 Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org
Not A Fan (Bukan Seorang Penggemar) Menjadi Seorang Pengikut Yesus Yang Berkomitmen Dengan Sepenuhnya Kyle Idleman Apakah Anda seorang penggemar ataukah seorang pengikut? Kamus mendefiniskan kata penggemar sebagai “seorang pengagum yang bersemangat.” Mereka ingin berada cukup dekat dengan Yesus untuk mendapatkan semua manfaatnya, tetapi tidak terlalu dekat juga sehingga mereka tidak harus mengorbankan apa pun. Para penggemar mungkin adalah orang-orang yang tidak pernah absen ke gereja, fasih dalam berdoa, dan selalu memberi persembahan. Tetapi apakah jenis hubungan seperti itu yang diinginkan Yesus dari Anda? Sayangnya... Yesus tidak pernah tertarik untuk memiliki banyak pengagum berat dan bukanlah penggemar yang ia cari. Not a Fan akan menantang Anda untuk menyadari apa arti sesungguhnya menjadi orang Kristen. Dengan berbagai pernyataan langsung dan tajam, Kyle mengundang Anda untuk melihat secara jujur bagaimana relasi Anda dengan Yesus. Panggilan-Nya untuk mengikut Dia terasa begitu radikal bagi kita, tetapi itulah yang diinginkan Yesus bagi setiap orang percaya. “Tulisan Kyle begitu mendalam sekaligus praktis.” —MAX LUCADO, pendeta dari Oak Hills Church Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org
Choose The Life
(Memilih Hidup Serupa Yesus) Mengalami Transformasi Iman Melalui Pemuridan Bill Hull “Kekristenan tanpa pemuridan adalah Kekristenan tanpa Kristus.� - Dietrich Bonhoeffer Bersiaplah untuk mengalami perjalanan transformasi iman yang dimulai dari pertobatan menuju kedewasaan rohani yang hanya bisa direngkuh dalam pemuridan. Dalam Choose The Life, Bill Hull sebagai seorang pakar pemuridan menghadirkan paradigam baru, untuk menantang pemahaman kita yang kurang utuh akan Injil sebenarnya. Ia menyakini bahwa Amanat Agung lebih berkaitan dengan kedalaman spiritual daripada strategi dan program. Karena Yesus memanggil kita untuk memilih hidup serupa dengan-Nya dalam pemuridan yang berarti dengan cara: percaya apa yang Yesus percayai, hidup seperti Yesus hidup, mengasihi seperti Yesus me-ngasihi, melayani seperti Yesus melayani, dan memimpin seperti Yesus memimpin. Kurang dari itu adalah Kekristenan minus Kristus. Choose The Life adalah sebuah inspirasi praktis dan dapat diterapkan oleh orangorang awam yang melayani di gereja. Setiap gereja dan komunitas orang percaya yang merindukan perubahan hidup akan ditantang oleh sumber daya yang mutakhir ini. Choose The Life akan menunjukkan bagaimana setiap orang Kristen mengambil tanggung jawab pribadi untuk dimuridkan dan memuridkan orang lain. Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org
Membentuk Kerohanian Anak Muda Di Zaman Postmodern Sebuah Penuntun Bagi Para Pelayan Anak Muda, Hamba Tuhan, Guru, Pemimpin Kelompok Kecil, dan Pelayan Kampus Richard R. Dunn DICARI! PEMBIMBING ROHANI BAGI ANAK MUDA YANG PENUH IMAN & KASIH, KREATIF, DAN TEKUN BERJUANG Generasi muda saat ini memasuki sebuah tantangan zaman postmodern yang sangat kuat. Diliputi oleh berbagai masalah degradasi moral, tidak adanya kebenaran absolut, pluralisme agama yang begitu diagungkan, dan kekristenan terlihat sebagai sebuah agama yang ketinggalan zaman. Lalu Anda ingin menjangkau mereka, tetapi bagaimana caranya? Richard Dunn mengajarkan sebuah kunci untuk memenangkan hati para anak muda dan mengembangkan kehidupan pribadi yang menyeluruh yaitu melangkah bersama kemudian membimbing. Bagaimana pun melangkah bersama mengharuskan ketekunan dari para pembimbing dan pastilah memakan banyak waktu. Dia akan menunjukkan kepada Anda bagaimana melangkah bersama kemudian membimbing yang efektif kepada setiap pribadi anak muda dengan perhatian dan kasih akan membawa mereka mencapai kedewasaan rohani yang sejati. “Saya menjadi seorang pelayan anak muda yang berbeda karena buku ini!” —DOUG FIELDS, penulis dari Purpose-Driven Youth Ministry Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org