Pujian untuk PRAYER “Dia telah menulis sebuah buku yang menawan, disajikan dengan lengkap yang menuntun kita melalui teori dan sampai kepada praktik. Ini adalah buku paling solid tentang doa yang pernah saya baca dan saya memberikan rekomendasi tertinggi untuk buku ini.” —Tim Challies “Bagi Keller, doa adalah tentang kekaguman dan keintiman; tentang sebuah percakapan dan perjumpaan dengan Allah. Dengan melihat berbagai doa dalam Alkitab dan tradisi Kristen, Keller menemukan bahwa percakapan dan perjumpaan adalah hal yang penting bukan hanya supaya kita dapat memahami Allah, tetapi juga untuk menemukan siapa diri kita yang sejati.“ —Publisher's Weekly “Unik, segar, dan sangat dalam secara historis — ini adalah buku klasik Keller ... Ini adalah sebuah perayaan dari kekayaan tradisi Kristen tentang doa yang sudah dinikmati oleh Bapa-Bapa gereja terdahulu. Tetapi kekuatan terbesarnya adalah penggunaan Kitab Suci untuk membingkai kehidupan doa.” —Tony Reinke “Keller dengan cekatan menunjukkan apa yang tampaknya menjadi suatu kontradiksi yang melekat pada doa ... Bintang 5.” —Jen Pollock Michel
Seri Timothy Keller
Counterfeit Gods (Allah-Allah Palsu) Janji-Janji Kosong dari Uang, Seks, dan Kekuasaan serta Harapan yang Terpenting
Apakah Pekerjaan Anda Bagian Dari Pekerjaan Allah? Menghubungkan Pekerjaan Anda Dengan Rencana Allah Bagi Dunia
Prayer (Doa) Mengalami Kekaguman dan Keintiman Bersama Allah
Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com
Timoth y K eller
Prayer (DOA)
Mengalami Kekaguman dan Keintiman Bersama Allah
L iteratur P erkantas J awa T imur
Prayer (Doa)
Mengalami Kekaguman dan Keintiman Bersama Allah oleh Timothy Keller Originally published in English under the title: Prayer Copyright Š 2014 by Timothy Keller Published by Penguin Group (USA) Inc. 375 Hudson Street, New York, New York 10014, USA All Right Reserved Under International Copyright Law Alih Bahasa: Paksi Ekanto Putra Editor: Milhan K. Santoso Penata Letak: Milhan K. Santoso Desain Sampul:Vici Arif Wicaksono Hak cipta terjemahan Indonesia: Literatur Perkantas Jawa Timur Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur. Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui e-mail: pktas.jatim@gmail.com, atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org
ISBN: 978-602-1302-29-3 Cetakan Pertama: Juli 2016
Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa izin dari penerbit.
Untuk Dick Kaufmann, seorang teman dan pendoa sejati
Daftar Isi
Pendahuluan: Mengapa Saya Menulis Buku tentang Doa?
9
BAGIAN SATU
Menghasrati Doa
15
SATU
Kebutuhan Akan Doa
21
DUA
Keagungan Doa
27
BAGIAN DUA
Memahami Doa
43
TIGA
Apa Itu Doa?
45
EMPAT
Bercakap-cakap dengan Allah
61
LIMA
Berjumpa dengan Allah
79
BAGIAN TIGA
Mempelajari Doa
95
ENAM
Surat-Surat tentang Doa
97
TUJUH
Aturan-Aturan dalam Doa
113
DELAPAN
Doa Segala Doa
125
SEMBILAN
Batu Pijak Doa
137
BAGIAN EMPAT
Memperdalam Doa
161
SEPULUH
Doa sebagai Percakapan: Merenungkan Firman-Nya
163
SEBELAS
Doa sebagai Perjumpaan: Mencari Wajah-Nya
185
BAGIAN LIMA
Menghidupi Doa
207
DUA BELAS
Kekaguman: Memuji Kemuliaan-Nya
209
TIGA BELAS
Keintiman: Menemukan Kasih-Nya
227
EMPAT BELAS
Pergumulan: Memohon Pertolongan-Nya
247
LIMA BELAS
Praktik: Doa Harian
267
Lampiran: Beberapa Pola Alternatif untuk Doa Harian
290
Ucapan Terima Kasih
294
Catatan-Catatan
295
Pendahuluan Mengapa Saya Menulis Buku tentang Doa?
B
eberapa tahun yang lalu saya sadar bahwa, sebagai seorang pendeta, saya tidak punya buku pengantar yang bisa saya berikan kepada orang yang ingin memahami dan mempraktikkan doa Kristen. Ini bukan berarti tidak ada buku yang bagus tentang doa. Banyak karya klasik yang jauh lebih hebat dan lebih tajam daripada tulisan apa pun yang mampu saya hasilkan. Buku terbaik tentang doa sudah pernah ditulis. Namun, banyak dari karya-karya hebat ini yang ditulis menggunakan idiom kuno yang tak terpahami lagi oleh sebagian besar pembaca masa kini. Selain itu, karya-karya ini cenderung bersifat teologis atau devosional atau praktis semata. Jarang sekali karya-karya semacam itu mengombinasikan aspek teologis, pengalaman, dan metodologis dalam satu buku saja.1 Padahal, sebuah buku tentang pokok-pokok penting dari doa seharusnya mencakup ketiga hal ini. Di samping itu, hampir kebanyakan karya klasik tentang doa menghabiskan banyak waktu untuk mengingatkan pembaca tentang praktik hidup seharihari yang tidak banyak bermanfaat secara rohani, bahkan cenderung merusak. Petunjuk-petunjuk semacam ini semestinya diperbarui bagi kalangan pembaca yang hidup di generasi yang berbeda-beda.
Ada Dua Jenis Doa? Di masa kini, para penulis tentang doa cenderung memiliki salah satu dari dua pandangan ini. Kebanyakan penulis menekankan doa sebagai sarana untuk mengalami kasih Allah dan menghayati kesatuan dengan Allah. Mereka menjanjikan hidup penuh damai dan ketenangan sejati
10 | PRAYER
di dalam Allah. Penulis-penulis ini seringkali memberi kesaksian yang berbinar-binar tentang bagaimana rasanya terus-menerus dilingkupi oleh hadirat ilahi. Sebaliknya, karya-karya lain, memandang esensi doa bukan sebagai ketenangan batin, melainkan sebagai panggilan bagi Allah untuk mendatangkan kerajaan-Nya di bumi. Doa sering kali, bahkan biasanya, dipandang sebagai sebuah medan pergulatan tanpa memberi pengertian yang jelas tentang kehadiran Allah. Salah satu contoh adalah The Still Hour, karya Austin Phelps.2 Ia mengawali bukunya dengan premis bahwa perasaan akan ketidakhadiran Allah adalah prasyarat bagi seorang Kristen untuk berdoa. Ia menyatakan pula bahwa pengalaman akan kehadiran Allah begitu sukar untuk diperoleh kebanyakan orang. Karya lain yang memiliki pendekatan sama adalah buku berjudul The Struggle of Prayer oleh Donald G. Bloesch. Ia mengkritik apa yang ia sebut sebagai “mistisisme Kristen.”3 Ia menolak pengajaran bahwa tujuan utama dari doa adalah persekutuan pribadi dengan Allah. Ia berpendapat bahwa pandangan ini menjadikan doa memiliki “tujuan di dalam dirinya sendiri” yang egois.4 Dalam pandangannya, tujuan tertinggi doa bukanlah mengalami refleksi penuh damai, melainkan memohon dengan tekun tanpa putus-putusnya supaya kerajaan Allah datang dan terwujud dalam dunia dan dalam kehidupan pribadi kita. Tujuan akhir dari doa adalah “ketaatan pada kehendak Allah, bukan kontemplasi atas keberadaan-Nya.”5 Doa bukan bertujuan utama pada kondisi batin, melainkan supaya manusia menyelaraskan diri dengan tujuan Allah. Apa pertimbangan bagi kedua pandangan tentang doa ini? Apa dasar bagi doa yang “terpusat pada persekutuan dengan Allah” dan doa yang “terpusat pada kerajaan Allah”? Satu penjelasan, keduanya mencerminkan pengalaman aktual manusia. Beberapa orang mendapati bahwa emosi mereka tidak tanggap terhadap Allah. Bahkan, untuk memusatkan perhatian dalam doa selama beberapa menit saja sudah begitu sulit bagi mereka. Beberapa orang lainnya justru terus-menerus mengalami perasaan akan kehadiran Allah. Pertimbangan ini setidaknya menjadi bagian dari masing-masing pandangan yang berbeda. Bagaimanapun, perbedaan teologis juga memainkan
PENDAHULUAN
| 11
peran di sini. Bloesch berpendapat bahwa doa mistik lebih cocok dengan pandangan Katolik, yang menyatakan bahwa anugerah Allah tertanam langsung ke dalam hati kita melalui baptisan dan sakramen perjamuan suci, daripada dengan keyakinan Protestan bahwa kita diselamatkan oleh iman terhadap janji Allah di dalam Kitab Suci.6 Pandangan mana tentang doa yang lebih baik daripada lainnya? Apakah penyembahan mendalam lebih baik? Atau, permohonan yang terus-menerus adalah bentuk doa yang paling benar? Pertanyaan ini mengasumsikan bahwa jawabannya adalah yang satu dan bukan sama sekali yang lain. Padahal sesungguhnya, tidak demikian.
Persekutuan dan Kerajaan Sebagai bantuan, kita pertama-tama berpaling pada Mazmur, sebuah kitab doa yang terilhami oleh Roh di dalam Alkitab. Pada Mazmur, kita melihat dua pengalaman doa tersaji dengan baik. Ada bagian mazmur seperti Mazmur 27, 63, 84, 131, dan “daftar panjang haleluyah” di Mazmur 146 sampai 150 yang menggambarkan persekutuan mendalam dengan Allah. Dalam Mazmur 27:4, Daud berkata bahwa inilah satu hal utama yang ia minta kepada Tuhan: “menyaksikan kemurahan Tuhan.” Sementara Daud memang berdoa untuk meminta hal-hal lainnya, ia setidaknya mengaku bahwa tak ada satu pun yang lebih baik daripada diam dalam hadirat Allah. Oleh karena itu, ia berkata: “Ya Allah... jiwaku haus kepada-Mu... aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu. Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau” (Mzm. 63:1-4). Saat Daud menyembah Allah di dalam hadirat-Nya, ia berkata “jiwaku dikenyangkan” (Mzm. 63:6). Inilah persekutuan dengan Allah. Namun, ada lebih banyak lagi Mazmur yang berisi keluhan, seruan minta tolong, dan panggilan supaya Allah menyatakan kuasaNya di bumi. Ada juga ungkapan bernada dingin tentang pengalaman ketidakhadiran Allah. Di sini, kita melihat doa sebagai sebuah pergulatan. Mazmur 10, 13, 39, 42, 43, dan 88 hanyalah beberapa contoh kecil dari doa semacam ini. Mazmur 10 diawali dengan pertanyaan mengapa Allah “berdiri jauh-jauh” dan “menyembunyikan
12 | PRAYER
diri” di waktu kesesakan. Tiba-tiba, sang pemazmur berseru, “Bangkitlah, TUHAN! Ya Allah, ulurkanlah tangan-Mu, janganlah lupakan orang-orang yang tertindas” (Mzm. 10:12). Tapi, setelah itu, si pemazmur seperti berbicara kepada dirinya sendiri sekaligus kepada Tuhan. “Engkau memang melihatnya, sebab Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. Kepada-Mulah orang lemah menyerahkan diri; untuk anak yatim Engkau menjadi penolong” (Mzm. 10:14). Doa ini diakhiri dengan penundukan diri sang pemazmur di bawah pengaturan waktu dan kebijaksanaan Allah dalam segala sesuatu, meski masih berseru kepada Tuhan demi terwujudnya keadilan di bumi. Ini adalah ajang pergumulan dari doa yang terpusat pada kerajaan. Dengan demikian, sang pemazmur mengafirmasi baik jenis doa yang berpusat untuk mencari persekutuan dengan Allah maupun doa yang berpusat pada mencari perwujudan kerajaan Allah. Selain melihat doa-doa aktual di dalam Alkitab, kita juga harus mempertimbangkan teologi Kitab Suci tentang doa. Yaitu, maksud Allah dan maksud hakikat alamiah manusia dalam kemampuannya berdoa. Kita mengerti bahwa Yesus Kristus berdiri sebagai pengantara, sehingga meski kita tak layak, namun kita dengan penuh keberanian menghampiri tahta Allah dan menyerukan pertolongan bagi keadaan kita (Ibr. 4:14-16; 7:25). Kita juga mengerti bahwa Allah sendiri diam di dalam kita oleh Roh-Nya (Rm. 8:9-11) dan Roh itu membantu kita untuk berdoa (Rm. 8:26-27), sehingga kini oleh iman kita melihat dan mencerminkan kemuliaan Kristus (2 Kor. 3:17-18). Dengan demikian, Alkitab memberi kita sokongan teologis baik terhadap doa yang berpusat pada persekutuan dengan Allah maupun doa yang berpusat untuk mewujudkan kerajaan Allah di bumi. Sedikit refleksi akan menunjukkan bahwa kedua jenis doa ini tidak berlawanan. Tidak pula keduanya berada di kategori yang berbeda. Mengagungkan Allah berjalan seiring dengan permohonan tiada putus. Memberi pengagungan bagi Allah berarti berdoa “Dikuduskanlah nama-Mu.” Ini berarti kita meminta Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya kepada dunia, sehingga semua manusia menghormati-Nya sebagai Allah. Tapi, sebagaimana pengagungan berisi permohonan
PENDAHULUAN
| 13
tanpa henti, demikian juga mencari kerajaan Allah pasti mencakup doa untuk mengenal Allah. Katekismus Pendek Westminster berkata bahwa tujuan kita adalah untuk “memuliakan Allah dan menikmatiNya selamanya.” Dalam kalimat terkenal ini, kita melihat cerminan doa kerajaan dan doa persekutuan. Kedua hal ini, yaitu memuliakan Allah sekaligus menikmati Allah, tidak selalu terjadi dalam hidup. Tapi, pada akhirnya, keduanya memiliki arti yang sama. Kita bisa saja berdoa demi perwujudan kerajaan Allah di bumi, tapi kalau kita tidak menikmati Allah dengan seluruh keberadaan kita, berarti kita tidak sungguh-sungguh menghormati-Nya sebagai Tuhan.7 Akhirnya, ketika kita meminta pendapat dari banyak penulis karya klasik hebat tentang doa, seperti Augustine, Martin Luther, dan John Calvin, kita lihat mereka ternyata tidak jatuh ke dalam salah satu sisi.8 Ini benar. Bahkan, teolog Katolik terkemuka, Hans Urs von Balthasar telah mencari cara untuk membawa keseimbangan pada tradisi doa yang mistik dan kontemplatif. Ia memperingatkan kita untuk tidak terlalu banyak berpaling ke dunia batin. “Doa kontemplatif... tidak bisa dan tidak seharusnya menjadi kontemplasi atas diri, melainkan (semestinya) sebentuk rasa hormat memuliakan dan mendengar kepada... sesuatu yang bukan-saya, yaitu, Firman Allah.”9
Dari Kewajiban Berubah Menjadi Kesukaan Lalu, ke mana semua ini mengarahkan kita? Kita tidak boleh memisahkan hubungan erat antara mencari persekutuan pribadi dengan Allah dan memperluas kerajaan Allah di dalam hati serta di dalam dunia. Jika keduanya dipersatukan, maka di satu sisi persekutuan bukan sekadar menjadi kesadaran mistik tanpa kata, dan di sisi lain permohonan kita tidak akan berubah menjadi cara untuk memperoleh pengabulan doa hanya “karena banyaknya kata-kata” (Mat. 6:7) yang keluar dari mulut kita. Buku ini akan menunjukkan bahwa doa adalah percakapan sekaligus perjumpaan dengan Allah. Kedua konsep ini memberi kita sebuah definisi tentang doa dan serangkaian alat untuk memperdalam kehidupan doa kita. Berbagai macam bentuk doa tradisional, seperti penyembahan, pengakuan, ucapan syukur, dan permohonan,
14 | PRAYER
semua itu adalah praktik-praktik nyata seperti halnya pengalamanpengalaman yang mendalam. Kita harus merasakan kekaguman dalam memuji kemuliaan-Nya, keintiman dalam menemukan kasih karunia-Nya, dan pergulatan untuk meminta pertolongan-Nya. Pada gilirannya, semua ini akan mengarahkan kita untuk memahami realitas rohani dari kehadiran Allah. Dengan demikian, doa adalah rasa kagum sekaligus keintiman, pergulatan sekaligus realitas. Hal ini tidak akan terjadi setiap kali kita berdoa. Tapi, masing-masing dari itu harus menjadi komponen utama dalam doa kita di sepanjang hidup. Sebuah buku oleh J. I. Packer dan Carolyn Nystrom mengenai doa memiliki subjudul yang meringkas semua ini dengan bagus. Doa adalah “Mencari Jalan Kita dari Kewajiban Berubah Menjadi Kesukaan.� Itulah perjalanan doa.
BAGIAN SATU
R Menghasrati Doa?
SAT U
Kebutuhan Akan Doa
P
“Kita Tidak Akan Mampu Melakukannya�
ada paruh kedua usia dewasa, saya bertemu dengan doa. Harus. Pada musim gugur tahun 1999, saya mengajar mata kuliah Alkitab bagian Mazmur. Saat itu, jelas terlihat bahwa saya ternyata baru menggali di permukaan tentang apa yang Alkitab perintahkan dan janjikan mengenai doa. Lalu, datanglah minggu-minggu kelam di New York pasca peristiwa 9/11. Pada masa itu, seluruh kota tenggelam dalam situasi depresi klinis kolektif, di tengah-tengah perjuangan untuk saling mendukung dan menguatkan. Bagi keluarga saya, bayangan kelam semakin terasa saat istri saya, Kathy, berjuang melawan efek penyakit Crohn (radang usus berkepanjangan). Kemudian, saya pun didiagnosis mengidap kanker kelenjar tiroid. Pada satu titik di tengah semua peristiwa ini, istri saya mendesak kami untuk melakukan sesuatu, dimana sebelumnya kami tidak pernah punya disiplin untuk melakukannya secara teratur selama ini. Ia meminta saya untuk berdoa bersamanya setiap malam. Setiap malam. Ia memberi sebuah ilustrasi yang dengan sangat baik mengkristalkan perasaannya. Sejauh yang kami ingat, ia bercerita demikian: Bayangkan kau didiagnosis mengalami kondisi yang sangat mematikan. Begitu fatal sampai-sampai dokter memberitahu bahwa kau akan mati dalam beberapa jam kalau kau tidak menjalani pengobatan khusus. Yaitu, minum sebutir pil setiap malam sebelum kau beranjak tidur. Bayangkan bahwa kau diingatkan supaya tidak mengabaikannya atau kau akan mati. Maka, apakah kau akan melupakannya? Apakah kau
18 | PRAYER
akan lupa melakukannya setiap malam? Tidak. Pengobatan itu pasti sangat penting bagi hidupmu sampai-sampai kau akan selalu mengingatnya. Kau tidak akan pernah melupakannya. Begitu juga, kalau kita tidak berdoa bersama-sama kepada Allah, kita tidak akan mampu melakukannya karena beban dari semua yang sedang kita hadapi saat ini. Aku tentu tidak akan sanggup. Kita harus berdoa. Kita tidak bisa membiarkannya lepas dari ingatan.
Entah karena kekuatan dari ilustrasi itu, atau karena momentumnya tepat, atau karena kuasa Roh Allah. Atau, kemungkinan besar karena ketiga-tiganya sekaligus, yaitu Roh Allah yang sedang bekerja menggunakan momentum serta kesederhanaan dari perumpamaan itu. Maka, bagi kami berdua, segala sesuatu menjadi jelas; kami sadar akan betapa seriusnya hal ini. Kami pun sadar bahwa kebutuhan yang sungguh-sungguh tak bisa dinegosiasikan pemenuhannya adalah sesuatu yang sebenarnya bisa kami lakukan. Hal ini terjadi empat belas tahun yang lalu, dan Kathy serta saya tidak ingat kapan kami pernah melewatkan satu malam tanpa berdoa bersama, setidak-tidaknya melalui telepon, bahkan ketika kami terpisah sejauh belahan bumi yang berbeda. Tantangan dari Kathy yang mengejutkan dan keyakinan saya sendiri yang semakin bertumbuh bahwa saya ternyata tidak mengerti tentang doa, mendorong saya untuk melakukan pencarian. Saya menginginkan kehidupan doa pribadi yang jauh lebih baik. Saya mulai membaca banyak karya dan melakukan eksperimen tentang doa. Saat saya melihat sejenak, saya langsung sadar bahwa saya ternyata tidak sendirian.
“Tidak Adakah Orang yang Bisa Mengajariku Berdoa?� Ketika Flannery O’Connor, penulis terkenal dari Amerika Selatan, berusia dua puluh satu tahun dan sedang belajar tentang dunia kepenulisan di Iowa, ia mencari cara untuk memperdalam kehidupan doanya. Harus. Pada tahun 1946, O’Connor mulai menyimpan catatan tangan jurnal doanya. Dalam jurnal itu, ia menggambarkan pergulatannya
KEBUTUHAN AKAN DOA
| 19
untuk menjadi seorang penulis besar. “Aku sangat ingin berhasil di dunia dengan apa yang ingin kulakukan.... Aku sangat putus asa dengan karyaku.... Mediocrity (Kualitas sedang-sedang saja) adalah kata yang sulit untuk kuberikan pada seseorang... tapi sungguh mustahil untuk tidak melontarkannya kepada diriku sendiri.... Tidak ada yang bisa kubanggakan tentang diriku sendiri. Aku dungu, sama dungunya dengan orang-orang yang kuhina.” Pernyataan semacam ini bisa ditemukan di dalam jurnal seniman yang memiliki cita-cita tinggi mana pun. Tapi, O’Connor melakukan sesuatu yang berbeda dengan perasaan ini. Ia mendoakannya. Di sini, ia mengikuti jalan setapak yang sangat kuno, yaitu jalan yang ditempuh pula oleh para pemazmur di Perjanjian Lama. Mereka tidak sekadar mengidentifikasi, mengungkapkan, dan melepaskan perasaan, tapi juga memprosesnya dengan kejujuran yang total dalam hadirat Allah. O’Connor menulis tentang, kerja keras meraih kesempurnaan menulis daripada berpikir tentang Engkau dan merasa terilhami dengan kasih yang kuharap ada padaku. Ya Allahku, aku tidak bisa mencintai-Mu seperti yang senantiasa kudambakan. Engkau adalah kelumit sabit dari bulan yang kupandang, dan diri ini adalah bayangan bumi yang terus-menerus mencegah mataku dari melihat seluruh bagian bulan seutuhnya... yang kutakutkan, ya Allahku, adalah bayangan diri ini akan menjadi begitu besar sampai-sampai ia menghalangi seluruh badan bulan, sehingga aku akan menilai diriku sendiri oleh bayangan itu, yang sesungguhnya tiada. Aku tidak mengenal-Mu, ya Allah, karena diriku sendiri menjadi penghalangnya.10
Di sini, O’Connor melihat apa yang Augustine lihat dengan jelas dalam jurnal doanya sendiri, Confessions. Yaitu, bahwa hidup yang baik bergantung pada penataan-ulang arah kasih kita. Mengasihi kesuksesan lebih daripada mengasihi Allah dan sesama kita akan membuat keras hati manusia, membuatnya tidak mampu merasakan serta memahami. Ironisnya, hal itu akan membuat kita menjadi seniman yang lebih buruk. Maka, karena O’Connor adalah seorang penulis yang menghasilkan karya-karya luar biasa dan bisa berubah menjadi
20 | PRAYER
angkuh atau egois, berarti harapan satu-satunya ada pada penataanulang yang konstan bagi jiwanya di dalam doa. “Ya Allah, tolong jernihkan pikiranku. Tolong bersihkan pikiranku.... Tolonglah aku menyibak lebih dalam dan menemukan di mana Engkau berada.”11 Ia merefleksikan tentang disiplin menuliskan doa di dalam jurnal. Ia menyadari masalah dalam disiplin ini. “Aku telah memutuskan bahwa ini bukanlah media langsung dari doa. Doa bahkan tidak memiliki pertimbangan sebanyak ini—ini terjadi pada momen saat ini sekaligus terlalu lamban bagi momen saat ini.”12 Lalu, ada lagi bahaya lain. Bahwa apa yang sedang ia tulis bukan benar-benar doa, melainkan pelepasan belaka. “Aku... ingin ini menjadi... sesuatu yang memuliakan Allah. Hal ini mungkin bersifat lebih terapeutis... dengan unsur keakuan yang mendasari setiap pemikirannya.”13 Namun, dengan jurnal ini ia percaya, “Aku telah memulai sebuah fase baru dari kehidupan rohaniku... menanggalkan kebiasaan yang tidak dewasa dan kebiasaan pikiran. Tidak sulit bagi kita untuk sadar betapa bodoh diri kita, tapi yang agak sukar adalah mendapati betapa lama waktu untuk sampai pada kesadaran itu. Seiring waktu demi waktu berlalu, aku melihat diriku sendiri yang bodoh.”14 O’Connor belajar bahwa doa bukan sekadar penjelajahan sunyi atas subjektivitas Anda sendiri. Anda berada bersama dengan Yang Lain, dan Ia adalah unik. Allah adalah satu-satunya Pribadi yang dari-Nya Anda tidak bisa menyembunyikan apa pun. Di hadapan-Nya, tak terhindarkan lagi bahwa Anda akan melihat diri Anda sendiri dalam terang yang baru dan unik. Karenanya, doa menuntun pada pengetahuan akan diri yang mustahil diperoleh dengan cara lain. Ringkasnya, jurnal O’Connor adalah kerinduan sederhana untuk sungguh-sungguh belajar bagaimana caranya berdoa. Secara intuitif ia tahu bahwa doa adalah kunci menuju segala sesuatu yang lain, yang perlu ia lakukan dan wujudkan dalam hidup. Ia tidak puas dengan praktik keagamaan asal-asalan di masa lalu. “Aku tidak bermaksud mengingkari doa-doa tradisional yang telah kuucapkan selama hidupku; tapi, aku hanya mengucapkannya dan tidak merasakannya. Perhatianku selalu mudah teralihkan. Dengan ini aku memperoleh kembali perhatianku. Aku dapat merasakan kehangatan kasih berdentum-
KEBUTUHAN AKAN DOA
| 21
dentum di dalamku ketika aku berpikir dan menuliskannya kepada-Mu. Tolong, jangan biarkan penjelasan-penjelasan para psikolog tentang ini membuatnya seketika berubah menjadi dingin.”15 Di akhir salah satu catatan, ia berseru, “Tidak adakah orang yang bisa mengajariku berdoa?”16 Hari-hari ini, jutaan orang mengajukan pertanyaan yang sama. Ada kesadaran tentang kebutuhan akan doa. Kita harus berdoa. Tapi, bagaimana?
Sebuah Pemandangan yang Membingungkan Di belahan bumi Barat terjadi peningkatan minat pada dunia spiritualitas, meditasi, dan kontemplasi. Ini bermula sejak satu generasi yang lalu, kemungkinan besar terbuka oleh derasnya publikasi mengenai ketertarikan kelompok the Beatles pada bentuk tertentu meditasi ala Timur dan dinyalakan oleh kemerosotan institusi agama di Barat. Semakin dan semakin sedikit orang yang paham tentang rutinitas ibadah religius reguler, tetapi dahaga akan spiritualitas tetap tinggi. Hari-hari ini, tak seorang pun berkedip ketika membaca sepotong tulisan di sebuah artikel New York Times bahwa Robert Hammond, salah satu pendiri taman publik High Line di bagian barat Chelsea wilayah Manhattan, berencana pergi ke India selama tiga bulan untuk mengikuti retret meditasi.17 Berbondong-bondong masyarakat Barat pun membanjiri ashram dan pusat-pusat retret spiritual lain di Asia setiap tahun.18 Bahkan, Rupert Murdoch akhir-akhir ini memasang tweet bahwa ia sedang belajar Meditasi Transendental. “Semua orang merekomendasikannya,” demikian ia berkata. “Tidak mudah untuk memulai, tapi orang bilang praktik ini bisa meningkatkan segala aspek kehidupan!”19 Di dalam tubuh gereja Kristen, terjadi ledakan minat yang serupa terhadap doa. Ada pergerakan kuat terhadap meditasi kuno dan praktik-praktik kontemplatif. Kini, kita punya institusi, organisasi, jaringan, dan praktisi seukuran kerajaan kecil yang mengajarkan serta melatih beragam metode, seperti doa terpusat, doa kontemplatif, doa “mendengar,” lectio divina, serta banyak bentuk lain dari apa yang kita sebut sebagai “disiplin rohani.”20 Bagaimanapun, derasnya minat ini tidak perlu dianggap sebagai se-
22 | PRAYER
buah “gelombang” tunggal yang saling terkait. Sebaliknya, ini adalah serangkaian ombak besar yang mencetuskan riak-riak air berbahaya bagi banyak pengamat. Muncul pula kritisisme substansial yang diajukan demi menantang penekanan baru atas spiritualitas kontemplatif ini, baik dari gereja-gereja Katolik maupun Protestan.21 Saat saya mencari berbagai sumber untuk membantu menyikapi kehidupan doa saya pribadi sebagaimana kehidupan doa orang lain, saya melihat betapa membingungkannya pemandangan ini.
“Sebuah Bentuk Mistisisme Cerdas” Langkah maju saya peroleh dengan mundur ke akar spiritual-teologis saya sendiri. Selama masa pelayanan pastoral perdana saya di Virginia, dan lalu ke New York City, saya punya pengalaman mengkhotbahkan surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma. Di pertengahan pasal 8, Paulus menulis: Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!” Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. (ay. 15-16)
Roh Allah memberi kita perasaan aman akan kasih Allah. Pertama-tama, Roh memampukan kita untuk menghampiri dan berseru kepada Allah yang agung sebagai Bapa kita yang penuh kasih. Lalu, Ia tinggal bersama-sama dengan roh kita dan menambahkan kesaksian yang bersifat lebih primer. Saya pertama kali memahami maksud ayat-ayat ini dengan membaca khotbah D. Martyn Lloyd-Jones, seorang pengkhotbah dan penulis berkebangsaan Inggris yang hidup di pertengahan abad ke-20. Ia yakin bahwa Paulus sedang menulis tentang pengalaman mendalam akan realitas Allah.22 Ternyata, saya dapati bahwa kebanyakan sarjana Alkitab modern pada umumnya setuju bahwa ayat-ayat ini menggambarkan, seperti yang dikatakan oleh seorang pakar Perjanjian Baru, “sebentuk pengalaman rohani yang tak terkatakan,” karena jaminan kepastian atas kasih Allah adalah
KEBUTUHAN AKAN DOA
| 23
sesuatu yang “mistik, menurut makna terbaik dari kata itu.” Thomas Schreiner menambahkan bahwa kita tidak boleh “mengabaikan landasan emosional” dari pengalaman. “Beberapa pihak membelokkan gagasan ini karena sifatnya yang subjektif. Tapi, penindasan atas yang subjektif di beberapa kelompok tertentu justru mengecualikan dimensi ‘mistik’ dan emosional dari pengalaman Kristen.”23 Eksposisi Lloyd-Jones juga mengarahkan saya pada para penulis yang pernah saya baca karyanya di seminari, seperti Martin Luther, John Calvin, teolog berkebangsaan Inggris di abad ke-17 John Owen, dan filsuf sekaligus teolog Amerika Jonathan Edwards. Dalam karyakarya mereka, saya tidak dipaksa untuk memilih antara kebenaran atau Roh, antara doktrin atau pengalaman. Salah satu teolog klasik terkemuka, John Owen, secara khusus membantu saya dalam hal ini. Dalam sebuah khotbah tentang Injil, Owen menyelidiki dengan sungguh-sungguh untuk memberi landasan doktrinal atas keselamatan Kristen. Namun, ia kemudian menegaskan supaya para pendengarnya “memperoleh pengalaman akan kuasa Injil... di dalam dan terhadap hati kita sendiri, atau kalau tidak maka pengakuan iman Anda adalah sesuatu yang mati.”24 Pengalaman inti akan kuasa Injil dapat terjadi hanya melalui doa, baik secara bersama-sama di tengah kumpulan jemaat Kristen maupun secara pribadi dalam meditasi. Dalam pencarian saya akan kehidupan doa yang lebih mendalam, saya memilih jalur yang kontraintuitif. Saya sengaja menghindar dari membaca buku baru apa pun tentang doa. Sebaliknya, saya berpaling pada beragam teks historis teologi Kristen yang telah membentuk saya. Saya mulai mengajukan pertanyaan tentang doa dan pengalaman akan Allah. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum muncul di benak saya secara jelas ketika mempelajari teks-teks ini di bangku kuliah berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Saya menyadari banyak hal yang benar-benar telah saya lewatkan. Saya menemukan panduan bagi kehidupan batiniah dalam pengalaman doa serta spiritual. Hal ini membawa saya mengatasi gejolak arus dan pusaran berbahaya dari debat serta pergerakan spiritualitas kontemporer. Salah satu yang menjadi panduan saya adalah karya teolog dari Skotlandia, John Murray. Ia memberikan salah satu wawasannya yang paling menolong saya:
24 | PRAYER
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa ada sebentuk mistisisme cerdas dalam kehidupan iman... dalam hidup bersekutu dan persekutuan dengan sang Penebus yang dimuliakan serta maha hadir.... Ia bersekutu dengan umat-Nya dan umat-Nya bersekutu denganNya dalam hubungan kasih yang saling timbal balik secara sadar.... Kehidupan iman sejati tidak bisa berjalan dalam persetujuan yang dingin. Kehidupan iman sejati harus memiliki gairah dan kehangatan kasih serta persekutuan, karena persekutuan dengan Allah adalah mahkota serta puncak dari agama yang sejati.25
Murray bukan seorang penulis yang senang membuat baris-baris liris. Namun, ketika ia berbicara tentang “mistisisme” dan “persekutuan” dengan Pribadi yang mati serta hidup bagi kita, ia berasumsi bahwa umat Kristen memiliki hubungan kasih yang jelas dengan Pribadi itu. Bahwa umat Kristen memiliki potensi akan pengetahuan dan pengalaman pribadi akan Allah yang melampaui imajinasi. Yang, tentu saja, ini artinya doa. Betapa doa yang luar biasa! Di pertengahan paragraf, Murray mengutip surat pertama Petrus: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan” (1 Ptr. 1:8). Versi King James yang lebih tua menuliskannya “joy unspeakable and full of glory.” Beberapa versi menerjemahkannya dengan “glorified joy beyond words.”26 Saat saya merenungkan ayat ini, saya kagum bahwa Petrus, ketika menulis bagi gereja Tuhan, bisa berbicara kepada pembacanya dengan cara sedemikian. Ia tidak berkata, “Begini, beberapa dari kalian yang memiliki tingkat spiritualitas lebih maju sudah mulai mengalami periode sukacita agung dalam doa. Kuharap sisanya yang lain bisa menyusul.” Tidak. Petrus berasumsi bahwa sebuah pengalaman yang terkadang melampaui batas sukacita biasa dalam doa adalah sesuatu yang lazim. Saya percaya itu. Satu frasa khusus dari Murray kembali bergema, yaitu bahwa kita dipanggil untuk mengalami sebentuk mistisisme cerdas. Ini artinya sebuah perjumpaan dengan Allah yang tidak hanya melibatkan perasaan
KEBUTUHAN AKAN DOA
| 25
kasih dari hati, tetapi juga pengakuan dari pikiran. Kita tidak dipanggil untuk memilih antara kehidupan Kristen yang berdasar pada kebenaran dan doktrin atau kehidupan yang penuh dengan kuasa serta pengalaman rohani. Keduanya berjalan beriringan. Saya tidak dipanggil untuk meninggalkan teologi saya demi mencari “sesuatu yang lebih daripada teologi,� yaitu pengalaman. Sebaliknya, saya dipanggil untuk meminta supaya Roh Kudus menolong saya mengalami teologi saya.
Belajar Berdoa Saat Flannery O’Connor mengajukan pertanyaan yang memedihkan itu, maka kini, bagaimana kita belajar berdoa? Pada musim panas setelah saya berhasil sembuh dari kanker kelenjar tiroid, saya membuat empat perubahan praktis dalam kehidupan devosi pribadi saya. Pertama, saya mengambil waktu beberapa bulan untuk menjelajahi kitab Mazmur, sambil membuat ringkasan dari setiap pasal. Hal ini memampukan saya untuk mulai berdoa di sepanjang kitab Mazmur secara teratur. Saya selesai mendoakan semua bagian Mazmur beberapa kali dalam setahun.27 Kedua, saya selalu menyisipkan waktu meditasi sebagai disiplin transisional antara waktu membaca Alkitab dengan waktu berdoa. Ketiga, saya berusaha sekuat tenaga untuk berdoa di pagi hari dan sore hari daripada hanya berdoa di pagi hari. Keempat, saya mulai berdoa dengan pengharapan yang jauh lebih besar. Setiap perubahan membutuhkan waktu untuk menghasilkan buah. Tapi, setelah menjalani praktik-praktik ini selama dua tahun, saya mulai mengalami beberapa terobosan. Mengesampingkan kondisi senang dan sukar sejak saat itu, saya telah menemukan rasa manis yang baru di dalam Kristus, selain rasa pahit yang baru juga, karena kini saya dapat melihat hati saya secara lebih jelas dalam terang baru melalui doa. Dengan kata lain, ada pengalaman kasih yang membawa kedamaian sekaligus pengalaman pergulatan yang besar demi melihat Allah berjaya atas kejahatan, baik di dalam hati saya maupun di dalam dunia. Kedua pengalaman doa yang telah kita bahas di bagian pendahuluan bertumbuh bersama-sama, bagaikan dua pohon kembar.
26 | PRAYER
Sekarang saya percaya demikianlah seharusnya yang terjadi. Yang satu menstimulasi pertumbuhan yang lain. Hasilnya adalah kegembiraan dan kekuatan rohani yang dialami oleh si pelayan Kristen, yaitu saya pribadi yang tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya termasuk di dalam semua kotbah-kotbah saya. Semua bagian lain dalam buku ini adalah upaya mengingat kembali apa yang telah saya pelajari. Meski demikian, doa adalah topik yang paling sulit untuk ditulis. Bukan karena doa tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, lebih dari itu, karena kita merasa begitu kecil dan tak berdaya di dalamnya. Lloyd-Jones pernah berkata bahwa ia tidak pernah menulis tentang doa karena merasa tidak memiliki kecakapan pribadi di bidang ini.28 Tapi, saya pun meragukan bahwa para penulis terbaik di sepanjang sejarah mengenai topik doa merasa lebih ahli daripada Lloyd-Jones. Seorang penulis berkebangsaan Inggris yang hidup di awal abad ke20, P. T. Forsyth, mengekspresikan perasaan dan maksud saya lebih jelas daripada diri saya sendiri: Adalah sesuatu yang sulit dan bahkan berat untuk menulis tentang doa, dan orang takut untuk menyentuh Tabut itu.... Tapi, mungkin juga karena kerja keras itu... maka diberkatilah oleh-Nya siapa pun yang hidup dan yang menjadikan syafaat sebagai sebuah doa demi lebih memahami bagaimana caranya berdoa.29
Doa adalah satu-satunya jalan untuk memasuki pengenalan diri yang sejati. Doa juga menjadi jalan utama supaya kita mengalami perubahan mendalam, yaitu penataan ulang arah kasih kita. Doa adalah sarana yang dipakai Allah untuk memberikan begitu banyak hal yang tak terbayangkan yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Bahkan, doa memberi rasa aman bagi Allah untuk memberi kita banyak hal yang paling kita dambakan. Ini adalah jalan di mana kita mengenal Allah, jalan di mana kita akhirnya memperlakukan Allah sebagai Allah. Sederhananya, doa adalah kunci menuju segala sesuatu yang perlu kita lakukan dan wujudkan dalam hidup. Kita harus belajar berdoa. Wajib bagi kita.
The Emotionally Healthy Leader
(Pemimpin yang Sehat secara Emosi) Bagaimana Transformasi Kehidupan Batin Anda Dapat Mengubahkan Gereja, Pekerjaan, dan Dunia Anda secara Mendalam Peter Scazzero Menjadi Pemimpin yang Lebih Baik Dimulai dari Kehidupan Batin yang Telah Ditransformasi. Apakah Anda sudah melakukan pekerjaan dengan sangat baik sebagai pemimpim tetapi tidak terlihat ada dampak yang nyata? Apakah Anda merasa terlalu kewalahan untuk menikmati hidup dan tidak dapat memilah berbagai tuntutan pekerjaan? Dalam The Emotionally Healthy Leader, penulis buku laris, Peter Scazzero menunjukkan para pemimpin bagaimana mereka dapat mengembangkan dan mengintegrasikan kehidupan batin yang mendalam dengan Kristus dalam kepemimpinan, perencanaan dan pengambilan keputusan, pembentukan tim, menciptakan budaya yang sehat, memengaruhi orang lain, dan banyak lagi. Ia menawarkan sesuatu yang melampaui sekadar perbaikan cepat atau teknik baru, The Emotionally Healthy Leader membahas masalah sampai ke inti, yang berada di bawah permukaan masalah kepemimpinan Kristen yang unik. Buku ini menawarkan sebuah cara baru memandang diri Anda sebagai seorang pemimpin dengan cara memimpin yang telah ditransformasi. Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org
#Struggles
(#Pergumulan-Pergumulan) Mengikut Yesus di Dunia yang Terpusat pada Selfie Craig Groeschel Bagaimana kita dapat mengarahkan pandangan kita tetap pada Kristus daripada terpaku terus pada layar? Rata-rata orang menghabiskan 7,4 jam sehari di depan layar, dan ini barulah permulaan... Kita semua mencintai teknologi dan sosial media karena ada banyak manfaat positif yang diberikan, tetapi banyak dari kita juga menyadari adanya berbagai dampak negatif yang tidak diinginkan yang berada di luar kendali kita. Dalam buku baru yang mengubahkan hidup ini, Craig Groeschel mendorong setiap kita yang sangat bergantung pada dunia digital untuk mendapatkan kembali kontrol atas hidup mereka dan menempatkan Kristus menjadi yang utama kembali. Dia menuntun kita dengan nilai-nilai alkitabiah yang penting bagi para pengikut Kristus, yang bahkan semakin penting untuk diterapkan dalam dunia kita yang terpusat pada selfie saat ini. Ini waktunya untuk menyegarkan dan memulihkan pemahaman kita tentang kualitas hidup bersama Kristus yang membawa: kepuasan, keintiman, keotentikan, belas kasih, dan banyak lagi. #Struggles akan mengubah kehidupan sosial media Anda dan membawa keseimbangan baru dalam kehidupan Anda. Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org