SOUL KEEPING (Menjaga Jiwa)

Page 1


L iteratur P erkantas J awa T imur


Soul Keeping (Menjaga Jiwa) Merawat Bagian Terpenting dari Hidup Anda oleh John Ortberg Originally published in English under the title Soul Keeping Copyright Š 2014 by John Ortberg Published by Zondervan, 3900 Sparks Dr. SE, Grand Rapids, Michigan 49546 All Right Reserved Under International Copyright Law Alih Bahasa: Arie Saptaji Editor: Milhan K. Santoso Penata Letak: Milhan K. Santoso Desain Sampul:Vici Arif Wicaksono Hak cipta terjemahan Indonesia: Literatur Perkantas Jawa Timur Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur. Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui e-mail: pktas.jatim@gmail.com, atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org

ISBN: 978-602-1302-21-7 Cetakan Pertama: Desember 2015

Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa izin dari penerbit.


Untuk Dallas Albert Willard (1935-2013) Sesosok pribadi yang kekal dan memiliki suatu tujuan abadi di dalam alam raya Allah yang agung ini. “Pada waktu itu ada orang-orang raksasa di bumi ini...�


seri john ortberg

Soul Keeping (Menjaga Jiwa) Merawat Bagian Terpenting dari Hidup Anda

Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com


DAFTAR ISI Prakata oleh Dr. Henry Cloud......................................... 7 Prolog: Penjaga Mata Air................................................ 11 Pendahuluan: Tanah yang Kudus..................................... 13 I. Jiwa yang Sesungguhnya

1. 2. 3. 4. 5.

Jiwa yang Tidak Kita Kenal............................................ Apakah Jiwa Itu?............................................................ Dunia yang Menantang Jiwa.......................................... Jiwa-Jiwa yang Terhilang................................................ Dosa dan Jiwa................................................................

23 33 47 61 71

II. Yang Diperlukan oleh Jiwa

6. Jiwa Memiliki Kebutuhan.............................................. 7. Jiwa Membutuhkan Penjaga........................................... 8. Jiwa Membutuhkan Pusat.............................................. 9. Jiwa Membutuhkan Masa Depan................................... 10. Jiwa Membutuhkan Persekutuan dengan Allah.............. 11. Jiwa Membutuhkan Istirahat.......................................... 12. Jiwa Membutuhkan Kemerdekaan................................. 13. Jiwa Membutuhkan Berkat............................................ 14. Jiwa Membutuhkan Kepuasan....................................... 15. Jiwa Membutuhkan Rasa Syukur...................................

81 89 101 109 119 131 149 163 173 181

III. Jiwa yang Dipulihkan

16. Malam Gelap bagi Jiwa.................................................. 191 17. Fajar Pagi....................................................................... 203 Epilog............................................................................. 207 Ucapan Terima Kasih...................................................... 209 Daftar Pustaka................................................................ 211



PRAKATA oleh Dr. Henry Cloud

S

aat John Ortberg berbicara tentang “jiwa”, saya teringat suatu peristiwa seolah-olah hal itu baru terjadi kemarin. Saya direktur klinis di rumah sakit jiwa Kristen, dan kami mengadakan rapat mingguan yang disebut “Pertemuan Staf ”. Dalam pertemuan setiap Rabu itu, para dokter, perawat psikolog, terapis, terapis seni dan musik, dan terapis kelompok berkumpul bersama untuk membahas perawatan tiap-tiap pasien. Kami akan membahas apa yang terjadi dengan mereka dalam terapi kelompok dan terapi pribadi, kemajuan mereka, dan rencana lanjutan kami untuk menolong mereka. Saya menyukai pertemuan itu. Kesempatan yang sangat berharga untuk menyaksikan sekelompok kaum profesional yang penuh dedikasi berkumpul untuk sungguh-sungguh memedulikan, mendiskusikan, dan menyusun rencana demi kebaikan orang-orang yang memerlukan pertolongan. Kami merayakan kesuksesan setiap pasien, terobosan yang terjadi, dan sebagainya, dan kami juga bergumul atas kesulitan dan kemalangan yang ada. Ini salah satu contoh komunitas kasih terbaik yang pernah saya saksikan... sekelompok orang membawa karunia mereka masing-masing demi melayani sesama. “Sarah berhasil melakukannya! Tadi malam dalam kelompok keluarga, ia akhirnya memberitahu Ibunya bahwa ia tidak akan mengambil pekerjaan yang dipaksakan Ibunya kepadanya, dan ia akan memilih jalannya sendiri. Sungguh mengesankan,” lapor seorang perawat. Kami semua bersorak merayakan buah kerja keras Sarah.


8

SOUL KEEPING

“Alex mengalami kesulitan minggu ini... Pamannya, yang selama ini mendukungnya, pindah, dan ia ketakutan, apa yang harus dilakukannya tanpa Paman. Ia takut kalau-kalau kembali ke obat-obatan dan teman lamanya,” lapor terapisnya. “Susan siap melangkah lebih jauh. Perkembangannya hebat... siap kuliah kembali, energinya pulih, dan ia stabil. Menurut saya, segala sesuatunya bagus sekali... depresinya hilang, dan ia tidak lagi mabuk dan muntah-muntah sama sekali,” kata psikolog Susan. Kami semua bahagia mendengarnya. Menyusul kemdian momen yang selalu saya ingat. Itulah waktu untuk membahas Maddie, dan saya dapat memastikan raut wajah semua orang berubah. “Tegang” mungkin istilah yang lebih tepat. Kenapa? Orang cenderung sulit menyukai Maddie. Entah bagaimana ia memiliki pembawaan yang menyebalkan, bahkan saat ia tampak akrab dengan orang lain. Sepertinya selalu saja ada yang salah dengan orang lain, dengan dunia di sekitarnya, bahkan dengan kamikami yang berusaha menolongnya. Suaminya sendiri sudah kebal dikambinghitamkan. Kami semua berpaling pada Graham, psikolognya, dan saya bertanya apa yang terjadi pada Maddie. Pada saat itulah ia menyatakan: “Yah... tampaknya Maddie masih belum berminat memiliki kehidupan interior.” Saya tidak pernah melupakannya. Pernyataan itu mengungkapkannya dengan jitu: Maddie tidak berminat menengok dunia batinnya. Sikapnya, lukanya, kekuatannya, pola pikir dan perilakunya, keengganannya untuk percaya dan mengambil risiko, kehidupan rohaninya, dan mungkin yang terutama, penyangkalannya: tidak mau merengkuh penderitaannya yang sesungguhnya dan tidak berani untuk menyelesaikannya. Alhasil, kami semua tidak banyak berharap akan kemajuannya, paling tidak pada titik ini. Sepanjang ia tidak mau merengkuh “kehidupan interior”-nya, kami semua sadar bahwa “kehidupan”-nya tidak akan banyak berubah. Terhadap pasien lain, tugas kami adalah menolong menyediakan jalan, keterampilan, dan sumber daya bagi mereka untuk merengkuh dan mengembangkan dunia interior dan interpersonal


P RA K ATA

9

mereka; sedangkan terhadap Maddie, tugas kami adalah menolongnya melihat bahwa ia memiliki dunia batin. Sesungguhnya ada “kehidupan” di dalam dirinya, yang memunculkan kehidupan lahiriah yang ia keluhkan tiap-tiap hari. Itulah tugas kami... mendorong Maddie melihat, merengkuh, dan mengembangkan kehidupan batinnya—kehidupannya yang sesungguhnya. John Ortberg melakukan hal itu bagi kita dalam buku ini. Saya tidak dapat berhenti memikirkannya kembali sepanjang hari di rumah sakit sambil membaca halaman-halaman buku ini. Perkataan Graham, “Maddie tidak berminat memiliki kehidupan interior,” sejatinya sering pula berlaku bagi saya, bagi orang lain yang saya layani, dan nyaris setiap orang yang saya kenal... paling tidak pada saat-saat tertentu. Meskipun mungkin kita tidak memiliki masalah “klinis” seperti depresi atau bulimia, kita semua memiliki masalah hidup yang bersumber dari jiwa, dari bagian jiwa yang diabaikan. Itulah kondisi manusia; kita mengabaikan kehidupan batin kita dan, sebagai hasilnya, kita tidak memiliki “kehidupan” luar yang kita dambakan, secara relasional dan secara fungsional. Kita tersesat, dan kita memerlukan bantuan untuk diingatkan agar mengelola “kehidupan” batin tersebut, kehidupan yang sesungguhnya... yang oleh John disebut “jiwa”. Ia mengingatkan kita bahwa kita memiliki jiwa dan, seperti dikatakan Yesus, jiwa kita adalah kehidupan kita yang sesungguhnya. Dari jiwa inilah segala sesuatu dalam hidup kita memancar. Jiwa inilah yang dihembuskan Allah ke dalam manusia, dan kita pun menjadi “jiwa yang hidup”. Namun, John bukan sekadar mengingatkan kita bahwa kita memiliki jiwa. Ia melangkah lebih jauh lagi. Ia juga menjadi “pertemuan staf ” yang penuh kasih bagi kita semua. Ia bukan hanya berkata tentang Maddie di dalam diri saya bahwa saya perlu memedulikan dan mengembangkan kehidupan interior ini, melainkan juga memberi saya pertolongan nyata dalam menunjukkan garis besar sejumlah area yang perlu menjadi fokus saya dalam perjalanan ini. Dalam buku ini ia menjalankan peran terbaiknya... sebagai pemandu rohani. Buku ini bukan hanya akan menolong Anda menyadari bahwa Anda memiliki jiwa, suatu kehidupan batin, dan mengungkapkan


10

SOUL KEEPING

arti pentingnya, melainkan juga memberi Anda beberapa peralatan dan pegangan dalam mengembangkan kehidupan tersebut. Buku ini akan menolong Anda kembali ke dasar, mungkin untuk yang pertama kali. Anda akan diajak berhubungan dengan Dia yang mengembuskan kehidupan itu ke dalam diri Anda, dan Dia ingin mengembuskan semakin banyak kehidupan ke dalam setiap sudut keberadaan Anda. Dan buku ini akan mengingatkan Anda bahwa jiwa Anda, kehidupan interior Anda yang berdampak pada pengalaman Anda di dunia luar, bukan suatu keadaan yang sementara. Bukan tentang berfokus pada “saat teduh” Anda atau sekadar perjalanan rohani Anda... bagian religius dari waktu hidup Anda. Bukan. Seperti dikatakan Yesus, itu kehidupan Anda yang sesungguhnya, dan Anda tidak ingin kehilangan kehidupan itu. Sekarang, atau dalam masa depan yang kekal. John mengingatkan bahwa meskipun kita hidup dalam tubuh, atau dalam konteks keluarga atau karier atau komunitas atau pelayanan, ada jiwa yang memadukan keseluruhan pribadi kita—kehendak, pikiran, dan jiwa—menjadi “makhluk rohani yang baka dengan nasib kekal di dalam semesta agung Allah.” Inilah realitas tertinggi sosok Anda yang sesungguhnya, melampaui keadaan atau konteks saat ini. Ini sekarangyang-kekal yang akan menjadi sosok-Anda-yang-kekal. Hal itu semacam alarm dan motivasi untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh Maddie di dalam diri saya: ...memedulikan kehidupan batin ini... memedulikan dengan tekun dan mengelola kehidupan yang telah diembuskan Allah ini... jiwa ini. Selama membacanya, saya bersyukur karena John memberikan pengingat dan penuntun ini. Saya tidak tahu kebutuhan Anda, namun saya perlu seseorang dari waktu ke waktu membangunkan “Maddie di dalam diri saya” dan mengingatkan saya untuk memastikan bahwa saya berperan sesuai dengan panggilan Sang Pencipta sehingga kehidupan yang diberikan-Nya pada saya akan terus berlanjut ke dalam semakin banyak kehidupan. Dan saya memerlukan penuntun untuk menunjukkan beberapa langkah ke depan. John telah melakukan keduanya... membangunkan kita dan menuntun kita. Jadi, tunjukkan minat pada kehidupan batin Anda, dan John akan memberi Anda sejumlah penuntun yang sangat bermanfaat.


Prolog

Penjaga Mata Air

S

uatu ketika ada kota di ketinggian Pegunungan Alpen yang terbelah aliran sungai yang indah. Sungai itu bersumber dari mata air yang setua bumi dan sedalam laut. Airnya sejernih kristal. Anak-anak tertawa dan bermain di tepiannya; angsa dan itik besar berenang-renang di permukaannya. Anda dapat melihat bebatuan dan pasir dan ikan trout warna pelangi yang berkelebatan di dasar sungai. Di perbukitan yang tinggi, nyaris tidak terlihat oleh siapa pun, hiduplah seorang laki-laki tua yang bekerja sebagai Penjaga Mata Air. Ia sudah bekerja begitu lama sampai orang beranggapan ia memang selalu tinggal di situ. Ia biasa berjalan dari satu mata air ke mata air lain di perbukitan itu, menyingkirkan ranting atau daun kering atau sampah yang dapat mencemari air. Namun tidak ada yang memerhatikan pekerjaannya itu. Suatu ketika dewan kota memutuskan bahwa mereka akan menggunakan dana untuk hal-hal yang lebih penting. Lagi pula tidak ada orang yang mengawasi laki-laki tua tadi. Mereka perlu memperbaiki jalan dan mengumpulkan pajak dan memberikan layanan publik, dan memberikan uang kepada si pembersih mata air yang tidak jelas batang hidungnya itu merupakan kemewahan yang sebaiknya dihentikan. Maka, laki-laki tua itu meninggalkan pekerjaannya. Nun di pegunungan yang tinggi, mata-mata air tidak lagi dirawat; ranting dan


12

SOUL KEEPING

cabang dan sampah mengotori aliran airnya. Lumpur dan pasir halus membuat tepian sungai mengeras; limbah peternakan mengubah beberapa bagian sungai jadi genangan yang mampet. Selama beberapa waktu, tidak ada orang yang memerhatikan keadaan itu. Namun, setelah sekian lama, airnya berubah menjadi agak amis. Angsa-angsa terbang menjauh, mencari tempat tinggal di daerah lain. Airnya tidak lagi gemericik jernih mengundang anak-anak bermain di dalamnya. Beberapa penduduk kota mulai terserang penyakit. Semua orang menyadari hilangnya air bening berkilau-kilau yang biasa mengaliri sungai itu untuk memberi minum seisi kota. Kehidupan mereka bergantung pada sungai itu dan kehidupan sungai itu bergantung pada sang penjaga mata air. Dewan tua rapat kembali, dana terkumpul, laki-laki tua itu pun dipekerjakan kembali. Setelah beberapa waktu, mata air kembali bersih, aliran air kembali jernih, anak-anak bermain lagi di sungai, penyakit lenyap dan orang kembali sehat, angsa-angsa pulang dan kota itu hidup kembali. Kehidupan kota itu bergantung pada kesehatan sungainya. Sungai itu adalah jiwa Anda. Dan Andalah sang penjaga mata air.

Jiwa kita itu seperti sungai, yang memberikan kekuatan, arah, dan keselarasan pada setiap area lain dalam hidup kita. Jika keadaan sungai itu terpelihara dengan semestinya, kita terus-menerus disegarkan dan bergairah dalam segala sesuatu yang kita kerjakan, karena dengan demikian jiwa kita berakar secara berlimpah di dalam keagungan Allah dan kerajaan-Nya, termasuk alam raya; dan segala sesuatu di dalam diri kita dihidupkan dan diarahkan oleh sungai itu. Itulah sebabnya kita hidup selaras dengan Allah, realitas, dan seluruh tabiat manusia serta alam raya. — DALLAS WILLARD, DALAM RENOVATION OF THE HEART


Pendahuluan

Tanah yang Kudus

Kadang-kadang jiwa kita ditampi dan dibentuk di tempat-tempat yang tidak terbayangkan dan melalui cara-cara yang tak terduga. Bagi saya, hal itu berlangsung di Box Canyon. Box Canyon adalah tempat perhentian berkarang yang tersembunyi di antara Simi Valley dan San Fernando Valley di sebelah barat Los Angeles. Tempat ini biasa menjadi tempat syuting film koboi berbiaya rendah atau serial televisi seperti The Lone Ranger. Rumahnya beragam, mulai dari kastil yang dibangun seorang pekerja pos pada 1940-an, menara air yang dialihfungsikan, sampai rumah kayu dua loteng. Penghuninya cenderung tidak ramah terhadap petugas tata ruang yang datang, yang malah ditembaki atau ban mobilnya ditikam. Jalan-jalan menuju rumah-rumah bertanda “Dilarang Masuk,” atau variasi lokalnya: “Tanah ini dilindungi hukum tembak” (pemilik boleh menembak orang asing yang melanggar). Rumah megah seluas seribu meter persegi berdampingan dengan pondok-pondok yang dihiasi mobil berkarat dan peralatan pertanian di halaman depannya. Tempat yang cocok bagi mereka yang berjiwa urakan dan pantang kompromi, dan sesekali memberi ruang lindung bagi para pengedar narkoba. Pada 1948, seorang duda dari San Francisco yang menyebut dirinya Krishna Venta memulai komunitas WKFL (Wisdom, Knowledge, Faith, and Love—Hikmat, Pengetahuan, Iman, dan Kasih), dengan bangunan bertanda: “Kalian yang memasuki tempat ini menginjak tanah yang


14

SOUL KEEPING

suci.” Ia mengaku berumur 244.000 tahun dan mendaku dirinya Yesus Kristus, namun ia meninggal bersama sembilan anggota komunitas ketika WKLF dilempari bom oleh dua suami yang cemburu karena istri mereka mengalihkan perhatian kepadanya. Box Canyon memiliki dua penghuni lain yang kira-kira sama terkenalnya: yang satu pemimpin gerakan keagamaan dan pembunuh massal bernama Charles Manson, dan yang lain adalah penulis dan tokoh intelektual bernama Dallas Willard. Seperti itulah bentangan kemungkinan jiwa manusia. Dallas profesor filsafat yang sudah pensiun dari University of South California (USC). Saya pertama kali mengunjungi rumahnya pada siang gerah bulan Agustus lebih dari dua dekade lalu. Saya sudah membaca buku Dallas yang menggugah saya melampaui buku-buku lain. Saat itu saya pendeta muda dari gereja kecil di Simi Valley, California, dan kaget ketika tahu Dallas tinggal hanya beberapa kilometer dari rumah saya. Saya menulis surat kepadanya tentang betapa bermakna bukunya bagi saya dan betapa terkejutnya saya ketika ia membalas dengan mengundang saya mengunjunginya. Saya kira alasan utama saya mengunjunginya karena ia (dalam dunia kecil saya) adalah seorang selebritas dan saya berpikir kalau saya berdekatan dengan seorang tokoh penting, mungkin saya dapat kecipratan kehebatannya. Mungkin ia juga dapat menolong saya untuk lebih sukses. Saat itu saya tidak mengetahui sesuatu yang harus saya pelajari selama bertahun-tahun—bahwa ia seorang penyembuh jiwa. Saya tidak tahu kalau rumahnya di ngarai kecil yang unik itu semacam rumah sakit rohani. Sekian lama dulu, orang biasanya menyebut para pemimpin rohani sebagai orang yang diberi kepercayaan untuk “memulihkan jiwa”. Dalam bahasa Inggris, istilah itu dekat dengan “kurator”, pengelola karya seni di museum atau galeri. Dallas adalah pemulih jiwa pertama yang saya kenal, meski itu bukan gelar yang disematkan USC kepadanya. Saya mengira dapat belajar sesuatu tentang jiwa kepada Dallas, namun saya tidak menyadari betapa haus dan laparnya jiwa saya sendiri. Saya hanya mengetahui pada saat-saat ketika Dallas memandang jauh ke depan seakan-akan ia melihat sesuatu yang tidak dapat saya lihat dan saya ucapkan tentang betapa baiknya Allah itu, saya mendapati diri saya mulai menangis. Namun sebelum kunjungan pertama itu, saya hanya tahu bahwa


P E N DA H U L UA N

15

Dallas mengajar filsafat di USC dan menulis antara lain tentang disiplin rohani. Saya membayangkannya sebagai rohaniwan Episkopal dari Pantai Timur, pengisap cerutu, peminum anggur dan mengenakan blazer wol bertampal. Banyak melesetnya. Saya menemukan alamatnya: rumah kecil di balik pagar putih. Ketika ia membelinya lima puluh tahun sebelumnya, rumah itu bertengger di atas danau, yang kini sudah mengering; dari sana kini terlihat pemandangan elok Lembah San Fernando yang berasap kabut. Di bagian dalam, perabotannya hanya sedikit, sudah tua, dan tampak tidak mahal. Rumah itu, seperti kepala Dallas, berjejalan dengan buku. Ada AC di jendela ruang tamu dan benda itu sudah dipasang selama empat puluh tahun dan bunyinya seperti derum pesawat jet, jadi Anda harus berteriak kalau AC itu sedang menderum, yang untungnya jarang terjadi. Menyebut Dallas dan istrinya, Jane, sebagai orang yang tidak materialistik hampir sama dengan mengatakan paus itu jarang berpacaran. Dallas pernah bercerita tentang tukang yang biasa dijumpainya untuk mengobrol seputar jiwa. (Gambaran tentang seorang pekerja kasar berbicara berlama-lama tentang Allah dan jiwa dengan seorang filsuf yang arif ini sungguh menyentuh hati.) Pertama kali ia melihat rumah Dallas, ia pulang dan bercerita pada istrinya, “Sayang, akhirnya aku bertemu dengan orang yang perabot rumahnya lebih buruk dari milik kita.” Saya kira Dallas menganggapnya sebagai pujian. Saya cemas ketika mengetuk pintunya, namun nyatanya Dallas malah sosok yang bakal sulit membuat cemas orang-orang di sekitarnya. “Halo, Saudaraku John,” katanya, dan entah bagaimana saya langsung merasa direngkuh ke dalam dunia kecil yang akrab. Ia mempersilakan saya masuk dan menawarkan segelas es teh, lalu duduk di kursi favoritnya di seberang sofa tua. Dallas ternyata lebih bongsor dari bayangan saya. Rupanya ia pernah menjadi foward dalam tim basket kampusnya. Rambutnya bergelombang dan perak keabu-abuan; ia mengenakan kacamata; pakaiannya menandakan bahwa ia telah sekian lama menganut saran Yesus: “Janganlah khawatir mengenai apa yang hendak kamu pakai.” Ketika Dallas bertemu dengan calon istrinya, Jane, di sekolah keagamaan kecil bernama Tennessee Temple, Jane melihatnya tidak mengenakan kaus


16

SOUL KEEPING

kaki dan mengira diri Dallas seorang pemberontak; Jane sama sekali tidak tahu kalau Dallas memang tidak sanggup membelinya. Penampilannya biasa-biasa saja kecuali dalam dua hal. Suaranya samarsamar menunjukkan kefasihan berbahasa Inggris orang Inggris asli yang tampaknya dimiliki semua filsuf, namun juga mengandung sentuhan dialek perbukitan Missouri. Dalam rentangan skala pemikir/perasa Dallas nyaris seorang pemikir murni, namun ada waktu-waktu ketika ia berbicara atau berdoa, suaranya terdengar bergetar menandakan bahwa hatinya nyaris meledak karena takjub akan suatu keajaiban yang tak terlihat. Ciri istimewa lain dari sosok tubuhnya adalah tidak tampaknya keterburu-buruan. Ada orang yang berkomentar, “Saya ingin hidup dalam zona waktunya.” Saya menduga kalau rumahnya kebakaran, ia akan segera keluar dari sana, namun wajah dan gerak-gerik seluruh tubuhnya seperti menyatakan bahwa ia tidak perlu pergi ke mana-mana dan tidak ada perkara yang perlu dicemaskan. Sekian tahun kemudian saya pindah ke Chicago. Memasuki musim pelayanan yang sangat sibuk, saya menelepon Dallas, bertanya kepadanya apa yang perlu saya lakukan untuk tetap sehat secara rohani. Saya membayangkannya duduk di ruangan itu sembari kami ngobrol. Ada jeda panjang—ngobrol dengan Dallas nyaris selalu melibatkan jeda panjang—dan ia pun berbicara pelan-pelan, “Kamu harus berusaha habis-habisan menyingkirkan keterburu-buruan dari hidupmu.” Saya segera mencatatnya. Kebanyakan orang mencatat saat ngobrol dengan Dallas; saya bahkan pernah melihat istrinya mencatat, sesuatu yang jarang dilakukan istri saya terhadap perkataan saya. “Baik, Dallas,” kata saya. “Aku bisa memahaminya. Nah, wawasan rohani apa lagi yang dapat kau bagikan untuk saya? Waktuku tidak banyak dan aku ingin mendapatkan sebanyak mungkin hikmat rohani darimu.” “Tidak ada lagi yang lain,” katanya, sambil berpura-pura tidak menghiraukan ketidaksabaran saya. “Keterburu-buruan adalah musuh besar kehidupan rohani pada zaman kita ini. Kamu harus berusaha habis-habisan menyingkirkannya dari hidupmu.” Saat saya menyesap es teh pada pertemuan pertama itu, Dallas bertanya tentang keluarga dan pekerjaan saya. Telepon berdering—saat itu belum ada telepon genggam dan mesin penjawab—dan ia tidak menjawabnya. Ia bahkan tidak terlihat ingin menjawabnya. Ia terus saja ber-


P E N DA H U L UA N

17

bicara dengan saya seolah-olah tidak ada dering telepon, seolah-olah ia benar-benar lebih ingin berbicara dengan saya daripada menjawab telepon itu, meskipun bisa jadi itu telepon dari orang penting. Saya mengalami sensasi yang ganjil (saya sudah kerap membicarakannya dengan orang lain yang juga mengalami hal serupa) karena denyut jantung saya mulai melambat mengikuti denyut jantungnya. Rumah itu cocok benar bagi dia. Dallas bertumbuh besar pada masa Depresi Hebat di bagian pedesaan Missouri yang baru mengenal listrik saat ia berumur delapan belas tahun. Ketika ia masih dua tahun, ibunya meninggal. Perkataan terakhirnya kepada suaminya, “Biarlah anak-anak ini terus memandang kekekalan.� Sebagai Keterburu-buruan adalah bocah dua tahun, Dallas berusaha memusuh besar kehidupan manjat dan masuk ke peti mati untuk berrohani pada zaman kita ini. baring di sebelah jenazah sang ibu. Karena Kamu harus berusaha habis- keluarganya kesulitan keuangan untuk habisan menyingkirkannya tetap bersama-sama, Dallas dialihkan dari dari hidupmu. satu kerabat ke kerabat lain sampai ia lulus SMA. Dalam keadaan itu, pada tahun ajaran terakhir ia terpilih sebagai ketua kelas, yang seluruhnya berjumlah sebelas murid. Saya mulai mengajukan pertanyaan yang menurut saya saat itu merupakan alasan kedatangan saya: Bagaimana orang berubah; mengapa perubahan itu begitu sulit; apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan manusia itu memiliki jiwa dan mengapa hal itu penting? Mengapa saya memimpin gereja yang penuh dengan orang yang memercayai hal-hal yang benar tentang Allah dan bahkan membaca Alkitab dan berdoa, namun tampaknya mereka tidak benar-benar berubah? Mengapa saya tampaknya tidak banyak berubah? Ia mulai berbicara dan saat ia berbicara, tak ayal saya menganggap dirinya orang paling cerdas yang pernah saya jumpai. Sekian tahun kemudian, ketika ia sakit parah, Nancy dan saya akan meluangkan satu hari untuk mengepak sebagian bukunya di garasi dekat rumahnya. Perpustakaan utamanya ada di rumah; perpustakaan keduanya ada di rumah sebelah yang mereka beli untuk menampung buku yang terus melimpah; perpustakaan ketiganya di USC. Kami mengepak lebih dari seratus kotak buku dari perpustakaan keempatnya, di garasi itu; buku-buku dalam bahasa Latin dan


18

SOUL KEEPING

Jerman dan Yunani; buku-buku dari para pemikir terhebat dunia dan dari para pengkhotbah pedesaan. Kadang-kadang saya bergurau bahwa saya tidak pernah beradu pendapat dengan Dallas karena saya takut ia akan bisa membuktikan kalau saya ini tidak ada. Nyatanya Dallas tidak pernah membuat saya merasa bahwa diri saya orang bodoh. Samar-samar saya menyadari, saat berbicara dengannya, betapa inginnya saya memberi kesan akan betapa cerdasnya saya, dan betapa saya tidak dapat mematikan tombol “buatlah dia terkesan” itu dalam benak saya meskipun saya menginginkannya. Seseorang berkata bahwa jika Anda merupakan orang yang paling cerdas di ruangan itu, Anda pasti berada di ruang yang salah. Betapa pun Dallas memancarkan aura yang membuat kita merasa begitu aman sehingga saya sendiri tanpa diminta mengakui, “Saya bahkan tidak bisa berbicara tanpa berusaha terdengar mengesankan.” Saya ingin membuatnya terkesan, namun sekaligus saya malu akan keinginan itu dan tahu hidup ini akan lebih baik tanpanya, dan bahwa entah bagaimana identitas pria cerdas ini bukan terletak pada IQ-nya. Menjelang akhir salah satu kuliah filsafatnya, seorang mahasiswa melontarkan pendapat yang menghina Dallas dan sekaligus jelas-jelas keliru. Alih-alih mengoreksinya, Dallas dengan lembut berkata bahwa ini saat yang tepat untuk mengakhiri perkuliahan. Sesudahnya, seorang teman mendekati Dallas: “Mengapa kamu membiarkannya begitu saja? Mengapa kamu tidak menyerang balik?” Dallas menjawab, “Saya berlatih disiplin untuk tidak perlu selalu menang dalam perdebatan.” Maka, “Ya,” kata Dallas menanggapi pengakuan saya. “Menjadi benar itu suatu beban yang sangat sulit untuk ditanggung dengan anggun dan rendah hati. Itulah sebabnya tidak ada orang yang suka duduk di sebelah anak yang selalu benar di kelas. Salah satu hal paling sulit di dunia ini adalah menjadi benar dan tidak melukai orang lain dengan keadaan itu.” Huh? Selama bertahun-tahun kemudian, itulah pertanyaan yang paling sering saya ajukan pada Dallas. “Huh?” Kadang-kadang kami berceramah bersama-sama di muka umum dan tugas utama saya adalah melontarkan pertanyaan itu mewakili orang lain, pertanyaan yang sering saya ajukan saat kami hanya bercakap-cakap berdua. “Neraka tidak lain adalah hal terbaik yang dapat Allah lakukan bagi


P E N DA H U L UA N

19

sebagian orang.” “Huh?” “Saya yakin betul Allah akan mempersilakan siapa saja masuk ke surga asalkan mereka tahan berada di sana.” “Nasib Anda dalam kekekalan bukanlah sebuah masa pensiun kosmis; sebaliknya, Anda diundang untuk menjadi bagian dari proyek yang teramat kreatif, di bawah kepemimpinan yang cemerlang tak terbayangkan, dalam skala yang luasnya tak terduga, dengan siklus keberbuahan dan kenikmatan yang terus-menerus semakin berlimpah—itulah penglihatan profetis ‘yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga’.” Huh? Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir Dallas unik, tak akan dicetuskan oleh orang lain, dan kemudian kata-kata itu akan tertinggal dalam benak Anda seperti bom yang sebentar lagi meledak dan Anda harus bersiap menghadapi dampaknya. Saya mendapat diri saya beralih dari mengajukan pertanyaan sopan tentang gereja dan ide-ide ke pertanyaan pribadi. Rumah kecil di Box Canyon itu mulai berubah dari ruang kelas menjadi bilik pengakuan dosa. Mengapa begitu sulit bagi saya untuk mengasihi orang-orang di gereja saya? Mengapa meskipun saya sadar bahwa saya ingin mengasihi anak-anak saya, saya malah terdorong untuk mengejar kesuksesan— terlebih dalam pekerjaan yang sesungguhnya memanggil orang untuk mati terhadap kebutuhan untuk meraih kesuksesan mereka sendiri? Mengapa saya tidak pernah puas? Mengapa saya merasakan kesepian yang mendalam dan terselubung? Mengapa meskipun saya memiliki gelar PhD dalam psikologi klinis dan gelar master of divinity dan bekerja sebagai pendeta, saya tidak yakin akan jati diri saya? “Hal terpenting dalam hidupmu,” kata Dallas, “bukanlah apa yang kau lakukan; melainkan siapa sesungguhnya dirimu. Itu yang akan kau bawa ke dalam kekekalan. Engkau adalah makhluk rohani yang baka dengan nasib kekal di dalam semesta agung Allah.” Huh? “Engkau adalah makhluk rohani yang baka dengan nasib kekal di dalam semesta agung Allah. Itulah hal terpenting yang harus kauketahui tentang dirimu. Engkau harus mencatatnya. Engkau harus mengulanginya


20

SOUL KEEPING

secara teratur. Saudaraku John, engkau mengira bahwa engkau harus berada di tempat lain atau menyelesaikan lebih banyak hal untuk menemukan damai sejahtera. Tetapi damai sejahtera itu Hal terpenting dalam sudah ada di situ. Allah memberkati tiaphidupmu bukanlahlah apa tiap orang persis di tempat orang itu berayang kaulakukan; melainkan da. Jiwamu bukanlah sekadar sesuatu yang siapa sesungguhnya dirimu. masih tetap hidup sesudah tubuhmu mati. Itu yang akan kaubawa ke Jiwa itulah bagian terpenting dari dirimu. dalam kekekalan. Itulah kehidupanmu.” Jeda panjang. Ketika saya memikirkan kehidupan saya, selalu saja saya memikirkan dunia di luar diri saya. Dunia reputasi dan penampilan. Dunia yang terdiri atas seberapa banyak yang saya miliki dan apa yang orang pikirkan tentang diri saya. Dunia yang gamblang dan kasatmata. Di dunia luar ini, sungguh mudah mengukur kesuksesan diri. Saya selalu beranggapan, jika saya memperbaiki keadaan di dunia luar saya, batin saya pun akan merasa bahagia. Namun, ini adalah undangan untuk memasuki suatu dunia lain— Gordon MacDonald menyebutkan sebagai “dunia pribadi”. Dunia yang tidak terlihat, asing, tersembunyi. Dunia yang biasa jadi kacau-balau dan gelap dan tak beraturan, dan mungkin tidak seorang pun mengenalnya. Di rumah Dallas inilah saya akan belajar tentang dunia rahasia ini. Rumah ini sederhana saja, gerah saat udara panas karena AC-nya sudah kuno, tumpat-padat dengan buku dan kertas dan sedikit perabotan tua. Tandanya tidak kelihatan dan perlu beberapa tahun sebelum saya mampu membacanya: “Kalian yang memasuki tempat ini menginjak tanah yang suci.” Nyatanya Hikmat, Pengetahuan, Iman, dan Kasih memang bermarkas di Box Canyon. Dallas pernah menulis tentang bocah cilik yang merangkak ke ranjang ayahnya untuk tidur. Di dalam gelap, menyadari kehadiran ayahnya sudah cukup untuk menyingkirkan rasa kesepiannya. “Apakah wajahmu memandangiku, Ayah?” tanyanya. “Ya,” sahut sang ayah. “Wajahku memandangimu.” Barulah bocah itu dapat pergi tidur. Selama bertahun-tahun saya menyimak hikmat Dallas untuk menolong saya memahami jiwa manusia dan dalam buku ini saya akan membagikan pelajaran yang saya dapatkan. Namun sesungguhnya


P E N DA H U L UA N

21

saya bukan hanya ingin mengenal jiwa secara umum. Saya ingin tahu bahwa jiwa saya tidak kesepian. Saya ingin tahu bahwa ada wajah yang memandangi jiwa saya. Itulah perjalanan yang akan kita tempuh bersama-sama.


BAGIAN 1

A

JIWA YANG SESUNGGUHNYA


bab 1

Jiwa yang Tidak Kita Kenal

S

alah satu kata terpenting dalam Alkitab adalah jiwa. Kita kerap melontarkan kata itu, namun jika seseorang meminta Anda menjelaskan apa sebenarnya arti kata jiwa itu, apa yang akan Anda katakan? • • • •

Mengapa saya harus memerhatikan jiwa saya? Bukankah ilmu pengetahuan sudah menyanggah keberadaan jiwa? Bukankah jiwa itu ranahnya kaum mistis? Bukankah “menyelamatkan jiwa” itu istilah kuno yang mengabaikan kepedulian akan keadilan yang holistik? • Bukankah hal itu sama saja dengan narsisme, keasyikan picik dengan diri sendiri? Haruskah saya bertamasya ke Bali atau menatap mata orang asing yang mengajak saya berbicara? Haruskah saya menulis jurnal?

Kepercayaan akan jiwa itu bersifat universal: “Kebanyakan orang, hampir sepanjang sejarah, di sebagian besar tempat, dalam sebagian besar masa, percaya bahwa manusia itu memiliki jiwa.” Kita tahu jiwa itu berharga. Kita menduga jiwa itu penting. Namun kita tidak yakin apa sebenarnya jiwa itu. Ini kata yang menolak untuk hilang begitu saja. Sejak lahir sampai ke tempat pembaringan terakhir (“Semoga jiwanya tenang di rumah Tuhan”), jiwa menjadi kawan paling awal dan kepedulian utama kita. Kata itu membangkitkan kesan halus, misterius, dan dalam. Dan sedikit seram. (Di AS, “Hari Jiwa-Jiwa Semua


24

SOUL KEEPING

Orang” dirayakan dua hari sesudah Halloween dan bagi saya, selalu menimbulkan gambaran tentang roh-roh halus yang gentayangan di Rumah Hantu di Disneyland.) Berapa banyak anak-anak di AS menghafalkan doa ini? Berapa sering mereka mendaraskannya menjelang tidur? Aku membaringkan diri untuk tidur, Kiranya Tuhan menjaga jiwaku. Jikalau aku mati sebelum terbangun dari tidur, Kiranya Tuhan mengambil jiwaku.

Mungkin ini hanya pendapat saya, namun bukankah itu kata-kata yang menyeramkan untuk diajarkan pada anak tujuh tahun sebagai doa saat mereka sendirian dalam gelap? Rasanya memang bukan hanya saya: “[Doa] itu sangat, sangat tidak cocok bagi saya...,” tulis Anne Lamott. “Jangan mengambil jiwaku. Tinggalkan jiwaku tetap di sini, di tubuhku yang seberat dua puluh tiga kilo ini.” Apa artinya meminta Allah “menjaga jiwaku”? Jika saya meninggal sebelum matahari terbit dan Dia mengambil jiwaku, apakah sebenarnya yang diambil itu? Berapakah Berat Jiwa Itu? Jeffrey Boyd itu semacam Don Kisot dalam hal jiwa. Ia psikiater lulusan Yale, pendeta, dan penulis bersama buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, karya yang akan membuat Anda kelimpungan kalau hendak mencari referensi tentang “jiwa”. Buku ini memang mencantumkan perihal “gangguan depersonalisasi”, suatu rasa keasingan terhadap diri sendiri. Namun, Boyd juga menulis buku dan artikel yang berusaha memperkenalkan kembali kata jiwa sebagai kosa kata ilmiah. Dalam sebuah riset terhadap ratusan pengunjung gereja, Boyd menemukan bahwa kebanyakan orang yakin bahwa mereka tahu apa itu jiwa, namun saat diminta untuk menjelaskannya, mereka tidak dapat melakukannya. Jiwa ini nyatanya mirip dengan definisi Hakim Mahkamah Agung AS Potter Stewart tentang perkataan cabul: “Ini sesuatu yang sulit didefinisikan, namun saya akan mengenalinya ketika


J iwa ya n g T i da k K i ta K e n al

25

menjumpainya.” Sekitar separuh pengunjung gereja menganut apa yang disebut Boyd sebagai Teori Looney Tunes tentang jiwa: Jika Daffy Duck diledakkan dengan dinamit, akan ada gambar transparan Daffy Duck melayang naik dari mayatnya. Gambar tembus pandang itu memiliki sayap dan membawa harpa. Sambil melayang di udara penampakan ini berbicara kepada Bugs Bunny, yang baru saja meledakkan dinamit.

Rasanya lucu membicarakan film kartun saat berdiskusi tentang jiwa, namun seperti dikatakan Aristoteles, “Jiwa tidak pernah berpikir tanpa menggunakan gambar.” Jiwa tidak dapat diletakkan di bawah miskroskop atau ditelaah dengan sinar-X. Sekitar seratus tahun lalu seorang dokter mengukur penurunan berat tubuh yang dialami tujuh pasien tuberkolosis pada saat mereka meninggal dunia dan ia menyimpulkan bahwa jiwa itu berbobot dua puluh satu gram. Idenya ini sekian tahun kemudian dijadikan judul film yang dibintangi Sean Penn dan Robin Wright, namun gagasan itu tidak pernah diteguhkan dan malah dicemooh secara luas dalam dunia medis. Sebagian orang yakin bahasa jiwa perlu disingkirkan. Seorang filsuf, Owen Flanagan, berkata bahwa tidak pada tempatnya ilmu pengetahuan membahas persoalan jiwa: “Kerja utama dunia ilmu pengetahuan adalah melenyapkan jiwa.” Akan tetapi, Boyd bersikukuh bahwa kita melihat orang yang memiliki kekuatan jiwa, orang yang tetap tabah sekalipun tubuhnya menanggung kemalangan atau penghinaan. Ia menulis tentang perempuan bernama Patricia yang menderita diabetes, serangan jantung, dan dua kali stroke; ia menjadi buta, mengalami gagal ginjal (sehingga harus menjalani cuci darah), dan kedua kakinya diamputasi—semuanya terjadi saat usianya baru tiga puluhan tahun. Selama itu ia berada di rumah perawatan dan beberapa kali dalam setahun harus opname di rumah sakit, sering dalam keadaan koma selama satu atau dua minggu. Pat anggota sebuah gereja di Washington, D.C., yang ingin membangun tempat penampungan bagi tunawisma. Mereka tidak berhasil menemukan orang dengan kecakapan kepemimpinan yang tepat untuk proyek itu, maka ia dengan sukarela melibatkan diri. Di antara waktu-waktu cuci darah dan amputasi dan koma, ia mengumpulkan


26

SOUL KEEPING

tim yang berhasil menyelesaikan urusan perizinan, perancangan gedung, dan pengumpulan dana. Ia kemudian menolong tim itu menyusun peraturan bagi para tunawisma pengguna penampungan, dan ia merekrut dan melatih staf yang menjalankannya. Ketika Pat meninggal dunia setelah penampungan itu berjalan dengan sukses selama setahun, para tunawisma berdampingan dengan anggota Kabinet AS seperti Menteri Sekretaris Negara James Baker menghadiri pemakamannya. Jiwa mengenal kemuliaan yang tidak dapat dirampas oleh tubuh. Dengan cara tertentu, dalam sejumlah kasus, semakin parah penderitaan tubuh, semakin bersinarlah jiwa. Keagungan jiwa tersedia Orang bisa saja mendaku bahwa kita ini bagi mereka yang tidak terdiri atas seluruh tubuh ini. Namun dapat memegahkan kondisi Patricia pernah berkata, “Satu-satunya dan kinerja tubuh mereka. hal yang dapat saya andalkan dari tubuh saya adalah pada akhirnya ia akan ringkih juga. Tubuh saya ini memang kepunyaan saya, namun ia bukan ‘saya’.” Keagungan jiwa tersedia bagi mereka yang tidak dapat memegahkan kondisi dan kinerja tubuh mereka. Dinamika Jiwa Tampaknya kita tidak dapat berbicara tentang keindahan atau kesenian tanpa membahas tentang jiwa—khususnya dalam musik, yang memiliki genre soul (jiwa). Aretha Franklin dikenal sebagai Ratu Soul. Bisa jadi jika jiwa Anda tidak lagi tergerak oleh Ray Charles, Otis Redding, Little Richard, Fats Domino, atau James Brown, mungkin Anda perlu memeriksakan diri untuk memastikan apakah Anda masih memiliki jiwa. Kid Rock menulis “Rebel Soul” (Jiwa Pemberontak). Penyanyi pop abal-abal umur enam belas tahun bernama Jewel mendompleng kendaraan ke Meksiko dan mendapati orang-orang sekarat yang memerlukan pertolongan, lalu menulis lagu yang membuatnya tenar, “Who Will Save Your Soul?” (Siapa yang Akan Menyelamatkan Jiwamu). Kita memerlukan kata itu bukan saja ketika kita berbicara tentang pengalaman yang sangat hebat, tetapi juga tentang pengalaman yang sangat parah. Lebih dari seratus tahun yang lampau, W.E.B. Dubois menulis buku tentang ras manusia yang tertindas dan menjudulinya


J iwa ya n g T i da k K i ta K e n al

27

The Souls of Black Folk (Jiwa Kaum Kulit Hitam). Kalau menggunakan istilah lain, misalnya The Selves of Black Folk, akan terasa kurang tepat.“Soul food” (makanan jiwa) adalah sebutan bagi sisa makanan dari wilayah selatan AS yang diberikan pada para budak, agar mereka bertahan hidup. “Soul power” (kekuatan jiwa) menjadi sebutan bagi martabat dan harga diri orang-orang yang dipaksa hidup tanpa martabat dan harga diri. “Soul brother” (saudara jiwa) mencerminkan ikatan yang terjalin di antara mereka yang dianiaya karena warna kulit mereka. Apakah jiwa memerlukan penderitaan untuk dikenali? Kita menyebut hal-hal yang besar memiliki jiwa. Selama masa kampanye, para politisi dan juru kampanye mengingatkan bahwa kita sedang mempertaruhkan jiwa bangsa. CEO ServiceMastes, William Pollard menulis buku kepemimpinan berjudul The Soul of the Firm (Jiwa Perusahaan). (Dapatkah perusahaan layanan kebersihan memiliki jiwa?). Kapten tim Derek Jeter diberi julukan “jiwa Yankees”. Tom Brady menganggap Wes Walker sebagai “jiwa” New England Patriots. Itu bisa saja hanya metafora, namun hal itu menunjukkan gagasan tentang jiwa sebagai sesuatu yang mempersatukan kelompok yang besar. Mengapa Chicago Cub tidak memiliki jiwa? Obral Jiwa Kita menggambarkan jiwa sebagai sumber kekuatan, namun kita juga menyatakan jiwa itu rentan. Jiwa entah bagaimana selalu menghadapi risiko tertentu. Jiwa kadang-kadang bisa hilang atau diperjualbelikan. Soal menjual jiwa ini sudah digubah menjadi sekian banyak opera, buku, dan lirik musik country, sampai film berjudul Bedazzled dan musikal berjudul Damn Yankees. Jonathan Moulton, brigadir jenderal dari New Hampshire pada 1700-an, menjual jiwanya kepada Iblis (menurut legenda) agar sepatu botnya penuh dengan koin emas setiap bulan saat ia menggantungnya di sebelah perapian. Dalam serial televisi The Simpsons, Homer menjual jiwanya untuk mendapatkan donat dan langsung dilahapnya semua kecuali sepotong, yang dimasukkannya ke dalam kulkas dengan peringatan: “Donat Jiwa. Jangan Dimakan.” Secara berkala ada saja orang yang berusaha menjual jiwanya di eBay. Beberapa waktu lalu seorang perempuan bernama Lori N. menawarkan jiwanya seharga 2.000 dolar setelah ia mengalami ke-


28

SOUL KEEPING

celakaan mobil dan harus mengenakan gips. Sayang, tidak ada yang mau membelinya. Ternyata eBay menerapkan kebijakan “tidak boleh menjual jiwa” sehingga memungkinkan mereka bersikap netral dalam hal keberadaan jiwa: Jika jiwa itu tidak ada, mereka tidak mengizinkan orang menjual barang yang tidak ada; jika jiwa itu memang ada, mereka tidak mengizinkan orang menjual diri mereka bagian demi bagian. Masalah sesungguhnya, kata mereka, jika Anda ingin menjual sesuatu di eBay, Anda harus sanggup menyerahkan apa yang Anda jual. Jika Anda dapat membeli jiwa melalui siapa saja, kemungkinan akan jadi seperti membeli perabotan di Ikea namun kemudian Anda harus membawanya pulang dan merakitnya sendiri menurut petunjuk, dan hal itu jelas tidak masuk akal. Jiwa terus-menerus bermunculan dalam kisah-kisah yang digemari banyak orang. Harry Potter adalah penyihir remaja yang ditetapkan untuk menghancurkan penyihir hitam, Voldemort, yang membunuh orangtuanya. Harry mendapati ikatan jiwa yang mendalam antara dirinya dan Dark Lord. Dosa terbesar, pembunuhan, mampu mencabik-cabik jiwa dan kerusakan ini hanya dapat disembuhkan dengan penyesalan yang tulus. Ada pula kecupan Dementor—jiwa yang disedot oleh makhluk tanpa jiwa itu mengalami nasib yang jauh lebih buruk dari kematian. Hidup tanpa jiwa itu lebih buruk daripada tidak hidup. “Apakah kamu tidak memiliki jiwa?” merupakan cara lain untuk mengungkapkan, “Mungkinkah pikiranmu dengan nilai-nilai dan nuraninya tidak terganggu sama sekali oleh pilihan kehendakmu dan perbuatan tubuhmu?” Apakah janin memiliki jiwa? Perdebatan seputar aborsi biasanya berlangsung sengit saat mempersoalkan hal ini. Apakah kehidupan terjadi pada saat pembuahan? Apakah saat itu juga janin itu menjadi manusia? Plato beranggapan bahwa jiwa berinkarnasi berdasarkan keluhuran budi mereka dalam kehidupan terdahulu: jiwa yang arif hidup kembali sebagai pencari keindahan atau raga atau pelatih atletik, sedangkan pecundang hidup lagi sebagai perempuan, dan pecandu narkoba hidup kembali sebagai keledai. Agustinus berkata bahwa bisa jadi jiwa sudah ada di suatu tempat dan kemudian menyusup ke dalam tubuh yang mereka kehendaki, seperti orang memilih mobil yang baik. Kita tidak yakin akan apa itu jiwa, namun istilah itu laku dijual.


J iwa ya n g T i da k K i ta K e n al

29

Pengiklan berbicara tentang mobil yang memanjakan jiwa; Kia bahkan merakit mobil yang disebut Kia Soul (Jiwa Kia). Apakah mobil itu disediakan bagi orang yang bukan hanya memerlukan transportasi, tetapi juga ingin ber-reinkarnasi? Kita juga dapat menemukan Soul Diva (bagi “perempuan yang menganggap mobilnya sepenting model pakaiannya”); Soul Burner (bagi bocah-bocah berandal); dan Soul Searcher (bagi pengemudi yang berfokus pada “pencapaian ketenangan jiwa dan menciptakan ceruk yang teduh bagi pengguna”). Mungkin ini masalah saya: pada masa kecil dulu, keluarga kami mengendarai Rambler. Kata jiwa tidak kunjung menghilang karena kata itu entah bagaimana mengacu pada kekekalan: Ada hal-hal tertentu yang kita semua mengetahuinya, namun kita tidak sering mengeluarkannya dan memerhatikannya. Kita semua tahu bahwa sesuatu itu kekal. Dan itu bukanlah rumah atau nama atau bumi, dan bahkan bukan juga bintang-bintang... setiap orang tahu di dalam lubuk hati mereka bahwa sesuatu itu kekal dan sesuatu itu berkaitan dengan umat manusia. Semua orang besar yang pernah hidup sudah menyatakannya selama lima ribu tahun, namun kita terkejut melihat bagaimana orang masih saja gagal memahaminya.

Dalam film The Sixth Sense yang dibintangi Bruce Willis, seorang bocah terbeban oleh kemampuan melihat orang mati. Pelintiran cerita yang sangat mengagetkan berlangsung di akhir film; saya tidak ingin membocorkannya bagi Anda, namun Bruce Willis, yang tentu saja sangat terkejut, ternyata adalah salah satu dari orang mati itu. Semacam bayangan cermin dari kisah itu—dan mungkin merupakan diagnosis psikologis yang paling mencekam—adalah kondisi yang dikenal sebagai “sindroma Cotard”. Nama itu berasal dari ahli saraf Prancis yang menguraikannya pada 1880-an. Bentuk sindrom Cotard merentang mulai dari klaim bahwa organ-organ tubuh yang penting telah hilang sampai bahwa seseorang sebenarnya sudah meninggal. Sindrom ini kadang disebut Sindroma Mayat Hidup. Jules Cotard memaparkan kondisi seorang perempuan yang disebut Nona X, yang mendaku bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa jiwanya tidak ada dan bahwa dirinya tidak lebih dari tubuh yang


30

SOUL KEEPING

tengah membusuk. Akhirnya ia mati karena kelaparan—yang tentunya sangat mengejutkan baginya. Dalam kondisi tertentu ada jiwa yang mati, namun mengira dirinya hidup; di sisi lain, ada jiwa yang hidup, namun menganggap dirinya mati. Apakah jiwa itu hanya dimiliki manusia? Jika komputer mampu berpikir—mungkinkah ia memiliki jiwa? Profesor dari Stanford, Clifford Nass, menulis buku The Man Who Lied to His Laptop (Orang yang Berbohong pada Laptopnya). Ia mendapati bahwa manusia memperlakukan komputer sebagaimana kita Dalam kondisi tertentu ada jiwa memperlakukan sesama—hidung kita yang mati, namun mengira kembang-kempis oleh pujian mereka; dirinya hidup; di sisi lain, kita ingin menyenangkan hati mereka; ada jiwa yang hidup, namun kita bahkan ingin membohongi memenganggap dirinya mati. reka untuk menyakiti perasaan mereka. Dapatkah komputer mengasihi keluarga, atau menikmati matahari terbenam, atau bertumbuh dalam kerendahan hati? Bagaimana dengan jiwa dan teknologi? Aristoteles berkata bahwa sahabat itu satu jiwa yang terdapat dalam dua tubuh. Apakah hal itu juga berlaku jika kita mengklonakan seseorang? Jendela bagi Jiwa Anda Kita menyebut mata sebagai jendela jiwa. Ilmuwan menyatakan bahwa mata dapat mengungkapkan pikiran dan keadaan batin kita. Misalnya, ketika orang sedang melakukan pekerjaan mental yang berat, biji matanya melebar. Daniel Kahneman menulis tentang para peneliti yang memantau mata orang-orang yang sedang berusaha menyelesaikan soal matematika yang sulit. Mereka kadang-kadang mengejutkan orang itu dengan bertanya, “Mengapa kamu tidak menyerah sekarang juga?” “Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya siswa tanpa curiga. “Kami memiliki jiwa menuju jiwamu.” Psikolog Edmund Hess menulis bahwa biji mata kita melebar ketika kita melihat gambar pemandangan yang indah. Ketika saya kuliah, saya melihat dua gambar terkenal seorang perempuan yang cantik— gambar yang identik, namun di salah satu gambar, mata perempuan itu melebar, dan gambar itu selalu dianggap lebih menarik. Belladonna, obat herbal yang dapat melebarkan biji mata, dijual sebagai kosmetik.


J iwa ya n g T i da k K i ta K e n al

31

Pemain poker profesional mengenakan kacamata hitam semata-mata untuk menutupi kegairahan yang dapat terpancar dari mata mereka. Presiden AS George W. Bush berkata bahwa saat ia memandang mata Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, ia dapat merasakan kondisi jiwa Putin. Senator John McCain berkomentar bahwa ketika ia melihat mata Putin, ia melihat tiga huruf: “Ada K dan G dan B” (mengacu pada badan intelijen Soviet pada zaman dulu). Kencan pertama saya dengan perempuan yang nantinya menjadi istri saya tidak berawal dengan baik. Ia malah jatuh tertidur. Namun, sepuluh menit terakhir, keadaan berbalik. Kami bercakap-cakap dan (ia memberitahu saya nantinya) saya melakukan kontak mata yang sangat baik. Ia mengatakan bahwa menurutnya hal itu seksi. Mungkinkah jiwa itu seksi? Kita tidak dapat membicarakan pekerjaan kita tanpa menyinggung tentang jiwa, meskipun kedua sering tampak berlawanan. Gerakan “bekerja dengan penuh jiwa” menyarankan bahwa meskipun ruang kantor bersekat dan monitor menjadikan pekerjaan lebih efisien, jiwa kita kehilangan sesuatu karena terlepas dari ritme bekerja di luar ruang, dari kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan tangan. Dan internet penuh dengan daftar sepuluh atau dua puluh pekerjaan yang paling menghancurkan jiwa, misalnya “Pekerjaan yang membuat Anda sibuk tak menentu dan harus terus menenggak minuman berenergi.” Mungkin perlu ada Hari Membawa Jiwa ke Tempat Kerja. Ketika kita berbicara tentang cinta, kita berbicara tentang jiwa. Tidak ada orang yang mencari pasangan hidup di situs yang bernama BodyMate.com (Pasangan Tubuh). Dalam dialog karya Plato, The Symposium, Aristofanes memaparkan kisah tentang jiwa yang berpadu. Aristofanes menyatakan bahwa manusia itu pada mulanya memiliki empat lengan, empat kaki, dan sebuah wajah yang terdiri atas dua wajah, namun Zeus gentar akan kekuatan mereka dan membelah mereka jadi dua, sembari melaknat bahwa mereka akan menghabiskan sepanjang masa hidup untuk mencari belahan jiwa yang akan melengkapi mereka. Dalam film Jerry Maguire, tokoh yang diperankan Tom Cruise mengungkapkan ide itu secara tegas pada Renée Zellweger: “Engkau melengkapi aku.” Dapatkah seseorang sungguh-sungguh melengkapi seseorang yang lain? Apakah kita semua memiliki hanya satu belahan


32

SOUL KEEPING

jiwa di dunia ini? Gereja mestinya memahami jiwa. Kita sering menyanyikan lagu yang bersumber dari mazmur: “Pujilah Tuhan, Hai Jiwaku.” Bagaimana mungkin jiwa kita memuji atau menyenangkan hati Tuhan? Kadangkadang kita membicarakan jiwa sebagai semacam kulit rohani: orang tertentu disebut sebagai “pemenang jiwa”, yaitu mereka yang memiliki kemampuan istimewa dalam menjangkau “jiwa-jiwa yang terhilang”. Mata kita berkaca-kaca menyimak perkataan penginjil yang rindu untuk memenangkan “satu jiwa lagi saja bagi Yesus”. Penginjil masyhur Billy Sunday biasa menghitung uang yang diperlukannya untuk memenangkan jiwa: di Boston pada 1911, ongkosnya 450 dolar. Gereja melakukan pekerjaan itu secara lebih hemat: gereja Kongregasionalis perlu 70 dolar per jiwa, Baptis perlu 70 dolar, dan Metodis hanya perlu 3,12 dolar— yang jelas sangat murah, bahkan menurut standar tahun 1911! Sinyal tanda bahaya yang dikenal secara luas, SOS, konon singkatan dari “Save Our Souls” (Selamatkanlah Jiwa Kami). Apakah arti menyelamatkan jiwa itu? “Aku tidak layak memiliki jiwa, namun tetap saja aku memilikinya,” tulis Douglas Coupland. “Aku tahu karena jiwaku terluka.” Ingatlah perempuan bernama Pat yang tubuhnya tidak mampu menopang jiwanya yang luhur. Yang tidak disebutkan Jeffrey Boyd dalam tulisannya adalah bahwa Pat itu istrinya. Mengamati tubuh istrinya merosot, ia menyaksikan sesuatu yang lebih hakiki dari tubuh bersinar. Ia menulis di tempat lain, “Jika seorang anak terlahir dengan kaki yang lumpuh layu sehingga ia tidak akan bisa berjalan atau merangkak, apakah jiwa anak itu terbatas oleh musibah arsitektural dalam tulang belakang, panggul, dan femurnya itu? Saya memiliki anak laki-laki yang terlahir persis seperti itu. Namanya Justin. Anak kami ini sudah meninggal.” Kita mencari tahu soal jiwa karena kita penasaran. Namun bukan hanya itu. Penyelidikan akan jiwa senantiasa dimulai dari luka kita yang terdalam. Jikalau aku mati sebelum terbangun dari tidur, kiranya Tuhan mengambil jiwaku... Apakah jiwa itu?


Love Does

(Cinta Bertindak) Temukan Kehidupan Luar Biasa yang Tersembunyi dalam Dunia yang Biasa Bob Goff Sebagai seorang mahasiswa, ia menghabiskan 16 hari di Samudera Pasifik dengan lima orang dan sebuah kaleng daging. Sebagai seorang ayah, ia membawa anak-anaknya keliling dunia untuk makan es krim dengan kepala-kepala negara. Dia membuat banyak teman di Uganda dan mereka sangat menyukainya hingga menjadikannya konsul Uganda. Berikut ini adalah pergeseran paradigma, renungan, dan cerita dari salah satu orang paling menyenangkan yang begitu menarik dan menawan di dunia. Apa yang membuat Bob begitu berdampak? Cinta. Tapi itu bukan jenis cinta yang berhenti di pikiran dan perasaan saja. Cinta Bob mengambil tindakan. Bob percaya Cinta Bertindak. Ketika Cinta Bertindak, hidup menjadi menarik. Setiap hari selalu ada hal lucu, aneh, kesempatan bermakna yang membuat iman menjadi nyata dan mengubahkan. Setiap bab adalah cerita yang membentuk sebuah buku, juga sebuah kehidupan. Dan ini adalah salah satu kehidupan yang pasti tidak mau Anda lewatkan. Ringan dan menyenangkan, unik dan mendalam, pelajaran yang diambil dari kehidupan dan sikap Bob pasti menginspirasi Anda untuk menjadi luar biasa secara tersembunyi juga. Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org


Memperkuat Jiwa Kepemimpinan Anda Mencari & Menemukan Allah di Tengah Tantangan Kepemimpinan

Ruth Haley Barton “Saya terlalu lelah untuk menolong orang lain menikmati Allah” “Aku hanya ingin menikmati Tuhan untuk diriku sendiri.” Dengan pengakuan yang memilukan ini, Ruth Haley Barton mengajak kita untuk secara jujur mengamati apa yang akan terjadi ketika seorang pemimpin kehilangan jiwanya. Ia menggabungkan uraian dan contoh-contoh kepemimpinan masa kini dengan hikmat dari perjalanan hidup kepemimpinan Musa, sehingga Memperkuat Jiwa Kepemimpinan Anda mampu memberikan panduan bagi kita untuk topik-topik seperti, • merespons dinamika dari panggilan Allah • menghadapi kesepian dalam kepemimpinan • memimpin dari keadalam diri Anda yang sejati • menemukan kehendak Tuhan bersama Setiap bab terdapat praktik rohani untuk memastikan jiwa Anda mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. Melatih dan merawat vitalitas hubungan yang segar dengan Tuhan adalah pilihan terbaik yang dapat Anda lakukan bagi diri Anda sendiri dan orang-orang yang Anda pimpin. Info lengkapnya kunjungi: www.literaturperkantas.com Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: literatur.jatim@gmail.com, www.perkantasjatim.org



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.