PLAK! II

Page 1

PLAK!

P

TIMNAS

DI

BI R E

RL AGA

EDISI II

BE

T TIA

TABOK NURDIN RAME-RAME

N

urdin Halid bilang dia marah disebut “man­ tan Koruptor”. Kita bilang: “Mana ada man­ tan koruptor?” Sekali ko­rup­tor akan tetap ko­­ruptor. Buktinya? Sekali di­pen­jara dia ti­dak ka­­ pok. Korupsi lagi. Dua ka­li Nurdin di­pen­ja­ra ka­re­ na kasus korupsi. Nurdin Halid bilang dia tidak marah jika di­se­but “Mantan Napi”. Kita bilang: Tidak mau di­­ sebut “man­tan koruptor” tapi mau disebut man­­­tan Napi” ada­lah lawakan paling geblek se­­ko­long jagat. Me­ mang­nya Nurdin jadi napi ka­­rena apa? Karena menyodomi Nugraha Be­soes? Ya enggaklah. Nur­ din jadi “mantan na­pi” ya ka­re­na korupsi. Mau di­ se­but “mantan Na­pi” ta­pi gak mau dipanggil “man­ tan koruptor” itu ka­ya omongan orang habis ma­ buk solar 4 liter. Nurdin Halid bilang dia seperti Nelson Man­de­­la karena sama-sama pernah dipenjara. Ki­­ta bi­lang: “Maksud lu apaan, Din?” Nel­son Man­dela dipen­ ja­ra karena membela ke­ma­nu­siaan dan melawan ra­sisme yang me­nis­ta­kan mar­ta­bat. Lha Nurdin di­penjara karena ma­ling, ka­re­na korupsi. Gile aje ban­dingin diri sa­ma Man­de­la. Nurdin Halid bilang PSSI anti calo. Kita bi­lang: “Kau itu yang malah suhunya para ca­lo, gu­ru­nya pa­ra makelar.” Pemain timnas ha­rus­nya la­tihan dan is­ti­ ra­hat malah kau ba­wa untuk di­pamerkan di de­pan Aburizal Bakrie. Nurdin su­dah jadi make­lar yang men­da­gang­kan pemain tim­nas pada kong­lo­me­rat dan po­li­tisi. Nurdin Halid bilang jangan bawa-bawa se­pak­­bola ke da­lam politik praktis. Kita bilang: “Pengu­rus PSSI di bawah kepemimpinan Nur­din yang justru banyak di­isi orang-orang par­pol.” Dua belas ang­go­ta Komite Ek­se­kutif PSSI itu se­per­tiganya orang Golkar semua. Nur­din sen­diri pengurus Partai Golkar. Ngaca woi! Nurdin Halid bilang negara ini bisa rusak kalau tiap permintaan mundur harus dituruti. Kita bi­ lang: “Khusus buat elu, Din, negara ini tambah ru­ sak kalau ente makin lama jadi juragan PSSI.” Mi­ ni­­mal kesehatan jiwa banyak orang jadi ter­gang­gu ka­rena harus dengar Nurdin nam­pang sa­ban hari di televisi. Nurdin Halid bilang keberhasilan timnas ada­lah andil PSSI. Kita bilang: “justru orang-orang PSSI yang 2 bulan lalu menganggap Riedl tidak mem­be­ ri­kan hal positif pada tim­nas.” Ngapain wak­­tu itu An­di Darusalam Tabu­sala sampai bi­lang “Riedl itu orang yang tidak tahu adat”? Ke mana saja kema­ rin? Gi­lir­an menang saja nga­ku-ngaku, giliran ka­ lah da­ri Uruguay malah je­lek-jelekin Riedl. Menang atau kalah, juara atau tidak juara, ti­dak se­ pan­tasnya seorang koruptor (Nurdin dua kali di­ pen­jara karena korupsi) diberi tem­pat ter­hor­mat di mana pun dan kapan pun. PLAK! tak akan pernah bosan untuk mengutip omong­an Soe Hok Gie: (para koruptor se­ha­rus­nya) di­tembak mati di lapangan banteng! (@ZenRS)

GBK

T


BERTARUNG DENGAN PREMAN PSSI Ini kisah tentang perjuangan ka­­mi menyuarakan su­a­ra pub­­ lik In­donesia yang sudah muak de­­ngan ke­pe­mim­pinan Nur­­­din Ha­­lid me­lalui zine PLAK! sa­at se­­mi­final ke­dua Indonesia vs Fi­ li­pina (19 Des 2010). ini ki­sah ba­gaimana kami harus ber­ha­ dap­an dengan preman-preman yang tak mau sepakbola In­do­ne­ sia menjadi lebih baik: **** ukul setengah 3 sore, kami (saya, Islah dan Baihaqi) ber­ge­­rak menuju GBK. Jalan dari arah Su­dirman menu­ ju GBK via Hotel Atlet Century sudah penuh dengan orangorang berwarna me­ rah. Me­ rah di mana-mana, di ma­ na-ma­ na me­ rah. 1700 eksemplar zine PLAK! sudah dibagi ke tas ka­­­mi ma­sing-masing. Pertarungan pun dimulai! Islah diserbu dua orang yang me­maksanya menye­rah­kan zine PLAK! Sekitar 50 eksemplar pun melayang. “Se­orang me­ megang bahu saya, satunya dengan cepat meram­pas sege­ pok PLAK! yang sedang sa­ya pegang. Kalau mereka ne­kat memaksa ngambil sisa PLAK! lainnya yang ada di tas, sa­ya nekat akan melawannya,” kata Islah. Saya juga menyerahkan segepok zine PLAK! pada Bani Mar­yanto, kawan dari komunitas Joglosemar dan suporter PSIS. Belum lagi diedarkan, tiga sampai empat orang ti­batiba langsung menyerobot PLAK! yang dipegang Bani. Su­a­ sa­na makin panas. Saya minta Beni menepi dan dari sudut yang agak sepi saya masukkan beberapa bundel PLAK! ke tas­nya dengan gerak cepat. Saya pindah posisi ke arah luar Albina menjauhi GBK. Se­panjang trotoar itu saya membagikan PLAK! dengan ge­ rak yang ringkas dan cepat. Tapi preman-preman itu su­ dah tersebar di mana-mana. Di depan Gedung Diknas, dua orang mendekati saya dan menarik tas yang berisi kamera (di dalamnya memang ada sekitar 400 eksemplar PLAK!). “Kamu orang suruhan siapa?” bentak salah satu dari me­re­ ka. “Kau suruhan Nurdin!” balasku. PLAK! yang ada di ta­ngan­ ku, sekitar 10 eksemplar, saya lempar ke arah mereka. Me­reka berlalu tanpa memunguti PLAK! yang berserak di tro­toar. Diam-diam ternyata seorang polisi melihat adegan di atas. Saat saya lewat di depannya, ia berbisik: “Hati-hati, Bang!” Lalu saya kembali ke Mesjid Albina. Sekitar 30an eksem­ plar PLAK! saya titipkan pada Resa untuk dibagi pada war­ ta­wan di press area. 100 eksemplar lagi saya titipkan pada Aris­ ta Budiyono yang masih kelimpungan mencarikan 300an tiket untuk kawan-kawan Pasoepati yang datang da­ ri Solo. Saya khawatir dengan Baihaqi dan berharap dia tak meng­a­lami hal buruk. Dia tak banyak membawa PLAK!,

P

2 PLAK!

tapi spanduk hitam itu ada di tas­ nya. Tugas dia un­tuk men­ja­­ganya sebisa-bisanya. Saya bersyukur Bai ternyata tak meng­­a­­lami apa yang saya dan Islah ala­mi. Lalu Islah datang dengan muka kusut. “Saya demam, mas,” katan­ ya. Saya paham. Sejak kemarin dia menunggu PLAK! di sebuah per­ cetakan milik seorang kawan saya yang lain di Jogja sana. Sore kema­ rin sampai subuh Islah ber­ juang di atas kereta ekonomi, paginya langsung melipat PLAK!, siangnya membantu bikin spanduk “PSSI SARANG KORUPSI”, dan sorenya bergerak menyebar PLAK! dan harus berkonfrontasi dengan pre­ man-preman. Dua hari satu ma­lam dia tak tidur. Saya memintanya isti­ rahat di samping ba­rat Albina. Saat saya menengoknya seten­ gah jam kemudian, dia terlihat ter­ tidur dengan tas berisi zine PLAK! terpegang rapat da­lam pelukannya. Dia menjaga tas berisi penuh PLAK! itu bah­kan saat ia sedang tertidur. Saya kembali menengok Islah sekitar pukul 5 setelah ber­­­ temu Agiel, anak Jakarta yang kuliah di Bandung. Dia yang mencetak massal kaos bertuliskan “Aku Berlindung da­­ ri Godaan Nurdin yang Terkutuk”. Saya memintanya mem­ban­ tu menyebarkan PLAK! Dengan gerak yang cepat, 300an ek­ sem­plar PLAK! berpindah dari tas Islah ke tas Agiel. Kami ber­pisah sambil saling berjabatan tangan. “Hati-hati!” kata saya pada Agiel. Tapi Agiel tidak menu­ ruti permintaan saya. Malamnya saya baru tahu ia berke­ jar-kejaran dengan preman-preman itu. “Saya bagikan PLAK! sepanjang jalan dari Albina menu­ ju Gate 2 tempat saya masuk. Ada dua orang yang ngeliatin dan ngikutin saya terus. Saya menyelinap di balik kerumun­ an orang. Saat kejar-kejaran itulah tiket saya jatuh. Jadinya sa­ya gak nonton di dalam stadion, Mas,” ujar Agiel pada ma­ lam harinya. Saya minta maaf padanya karena secara tak langsung ikut membuatnya gagal masuk ke GBK. Dengan halus dia me­­nam­pik permintaan maaf saya. Melalui sebuah pesan pen­dek, Agiel berkata: “Sama sekali saya gak nyesal gagal ma­suk GBK. Saya ikhlas.” Saat pertandingan berlangsung, Bai dan Islah berhasil mem­bentangkan spanduk PSSI SARANG KORUPSI di sektor 5. Aman? Tidak. Spanduk itu pun dicopot oleh orang-orang ber­safari. Persis seperti spanduk “Lindungi Indonesia dari Go­daan Nurdin yang Terkutuk” saat laga Indonesia vs Laos yang juga dirampas. Jadi, siapa Nurdin? Dia yang bikin organisasi dengan se­ jarah terhormat seperti PSSI jadi organisasi yang akrab de­ ngan para tukang pukul dan preman. (@zenrs)


PLAK!/@iwaniwe

SEJARAH PREMANISME NURDIN HALID

I

ndonesia memang bukan Serbia. Pada perang Balkan 1990-an, hampir setiap klub di sana memiliki tukang pu­kul, organisasi preman yang menduduki tempat ter­ hormat di antara suporter mereka. Pejabat klub sengaja me­­masang or­ga­nisasi geng dan memberi upah tetap. Tugas me­­reka ada­lah menjaga ketua klub, dan sekaligus menginti­ mi­­dasi ka­lau perlu membunuh suporter lawan, pemain la­ wan dan bah­kan pemain klub mereka sendiri. Bayangan kelam itu tiba tiba bisa dilihat di Indonesia. PSSI kini juga memiliki tukang tukang pukul dan preman un­tuk melindungi kepentingan mereka. Khususnya melin­ dungi Nurdin Halid. Sama seperti Arkan, pemilik klub Obilic di Serbia yang se­lalu dilindungi tukang pukul yang juga menjadi serdadu pem­bunuh Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia yang ga­ nas. Di sini PSSI, Nurdin Halid juga turun mobil dengan penga­walan ketat para orang orang organisasi pemuda ter­ se­but. Ke luar dari kantor PSSI untuk masuk ke pintu VVIP GBK pun dia akan selalu dikawal ketat. Dan, tentu saja, para penga­wal dan tukang pukul itu masuk dengan gratis tanpa ti­ket. Wajah garang dan curiga dari orang orang itu seakan me­nyatakan bahwa dalam perhelatan Internasional ini, ha­ rus bebas dan steril dari aksi-aksi unjuk rasa menentang Nur­din Halid. Konon Nurdin berkeinginan menjadi salah sa­tu eksekutif Comitee di AFC sehingga rapor bagus tanpa ada gejolak bisa membantu memuluskan impiannya. Preman-preman Nurdin menjaga setiap titik stadion, me­ nurunkan dengan paksa spanduk-spanduk yang meng­hujat sang Ketua umum. Mereka menyita brosur yang disebar­ kan anak-anak muda pejuang yang ingin merombak PSSI. Pertanyaannya mengapa dengan Organisasi Pemuda ter­ se­but? Tidak salah, mereka memang melakukan aksi aksi ko­tor rezim Orde Baru dan kepentingan Keluarga Cendana. Or­­ganisasi itu juga menjalani pesanan pemerintah seperti pe­­nyerbuan ke kantor PDI Juni 1996. Catatan masa lalu Nurdin Halid memang jelas menya­ta­ kan ia sudah menjalin persahabatan dengan salah satu kelu­ ar­ga Cendana, Hutomo Mandala Putra, ketika menguasai ja­lur “premanisme” perdagangan cengkeh nasional lewat BPPC. Dalam praktiknya, ternyata badan ini justru membuat pa­ra petani menderita. Dengan cara preman, mereka di­wa­ jib­­kan menyetorkan sumbangan wajib khusus petani dan da­na penyertaan modal. Untuk mengambil “sumbangan” ini BPPC menempuh cara yang tak bisa dilawan petani, yak­ni langsung menyunat harga penjualan cengkeh yang mes­tinya diterima petani. Pabrik rokok juga diperintahkan

mem­beli harga cengkeh yang ditetapkan BBPC. Dengan prak­tek seperti ini, diduga hingga 1998 BPPC menangguk un­tung sekitar Rp 1,3 triliun. Kini PSSI sudah mulai dipasok tukang-tukang pukul ba­ yar­an yang terbiasa melakukan pekerjaan kotor sejak dulu. Nur­din Halid tak pernah malu melakukan apa yang dilaku­ kan organisasi sepak bola di Serbia, karena sejak dulu dia su­dah melakukan dengan cara preman. Hari ini ia sengaja membiarkan para tukang pukul me­ ma­­suki organisasi sepak bola yang dijalaninya. Hari ini para tukang pukul itu hanya memeriksa tas-tas suporter dan menurunkan spanduk. Hari ini mereka meneror supor­ ter timnas sendiri. Siapa tahu kelak mereka juga meneror pe­main kita sendiri. Indonesia memang bukan Serbia. Kita harus tolak aksiaksi kotor seperti ini. Sekali lagi sejarah selalu mengajar­ kan. Tidak pernah ada kekuatan yang bisa mengalahkan su­ara dan kepalan tangan rakyat. Apalagi hanya organisasi pre­man. (@imanbr)

PLAK! 3


Jangan Mengaku Berjasa, PSSI!

S

atu hal yang dulu paling saya taku­ ti jika tim nasional In­donesia berjaya adalah pongahnya pengurus PSSI yang bertepuk dada dan mengaku-ngaku berjasa atas pres­tasi terse­ but. Mereka seharusnya sadar, yang kerja ke­ras itu para pemain dan staf pelatih, bukan mereka yang mengu­ rusi distribusi tiket saja tidak becus. Bagaimana bisa para pengurus sindikat terselubung itu mengklaim hasil kerja dari seorang pelatih yang hampir mereka depak? Alfred Riedl, pria penuh disiplin asal Aus­tria terse­ but hampir ditendang dari kursinya sebagai pe­latih timnas Indonesia aki­ bat menolak disetir kanan-kiri oleh pengurus PSSI. Riedl yang tidak kenal kompromi itu pernah membuat An­di Darussalam Tabusala, manajer timnas, murka kare­ na mengu­ sir dokter pribadinya dari rapat internal tim. Alasan Riedl seder­ hana, rapat internal tim hanya boleh dihadiri oleh pemain dan staf pelatih sedang sisanya boleh menunggu di luar. Entah bagaimana cara Riedl mengusirnya, tapi yang pasti Andi Tabusala keki setengah mati. Saat pertanding­an uji coba melawan Maladewa, Andi Tabusala enggan duduk di ping­ gir lapangan dan memilih menyaksikan laga dari bang­ku penonton. Bukan sekali itu saja Riedl mengambil keputusan yang me­nge­salkan banyak orang. Sebelumnya ia juga pernah me­ ngusir seorang wartawan dan pengurus PSSI yang tidak ber­­ke­pentingan dari rapat internal tim di sebuah hotel di Ban­dung. Andi Tabusala angkat bicara dan ia menyerang ke­ te­gasan Riedl yang ia pandang tidak pada tempatnya. “Riedl harus memahami adat istiadat Indonesia, di mana bu­mi dipijak, di situ langit dijunjung,” ujar Andi Tabusala ka­la itu. Ketidaksukaan pengurus PSSI pada Riedl semakin me­runcing dan rencana mendepak dirinya semakin kuat. Bah­kan wacana perekrutan pelatih baru asal Turki, Fatih Terim sempat dihembuskan. Jika Riedl memilih mengalah dan mengikuti “adat isti­ adat” Indonesia seperti ucapan Andi Tabusala waktu itu, tim­nas tidak akan bermain seperti sekarang ini di Piala AFF. Riedl yang super keras dan disiplin ini sukses membuat pa­ ra pemain muntah-muntah saat sesi latihan perdana usai di­tunjuk menjadi pelatih timnas. Bukan rahasia jika fisik pa­ra pemain Indonesia itu payah, VO2max kebanyakan pe­ ma­­in hanya 11, padahal batas minimal pemain sepakbola pro­fesional adalah 13. Itulah mengapa pemain-pemain In­ do­nesia sering habis napas di babak kedua. Mereka sebe­

4 PLAK!

nar­nya tidak cukup fit untuk ber­ main sepakbola. Itulah mengapa Riedl meng­geber habis fisik para pema­in tim nasio­ nal lewat sistem lati­ han yang keras. Agar me­re­ka tak lagi habis napas. Agar me­reka tak lagi bi­kin malu. Per­ t a­­n ya a n nya , me­ngapa para pe­main timnas per­lu lagi latihan fi­sik khusus? Karena mereka tak men­ dapatkan bekal cukup da­ ri klub. Akar sebuah tim nasional ada­lah kompetisi liga. Ji­ka para pe­main timnas yang didapatkan dari hasil kompe­ti­si tidak cukup fit sehingga perlu latihan ekstra, ma­ka apa ba­gusnya kompetisi? Riedl kecewa berat dengan sistem kompetisi liga kita yang sa­ ma sekali tidak menunjang tim nasional. Aturan offside se­ enak jidat, tackle keras yang lo­ los dari hukuman, dan ber­bagai cacat lainnya. Dalam sebuah partai uji coba melawan klub Divisi Utama, Pro Titan, Riedl mendekati korps wa­sit sebelum pertandingan dimulai. Keinginan Riedl jelas, ia ingin agar peraturan di­ tegakkan sebenar mungkin. Per­ mainan kasar harus di­ hukum. ”Saya ingin agar pemain tim­nas terbiasa dengan pertandingan sesungguhnya,” tukas Riedl sembari menyi­ ratkan bahwa pertandingan liga bu­kan­lah ”pertandingan sesungguhnya”. Orang-orang PSSI yang sekarang turut mengklaim ke­ suk­sesan timnas sebagai jasanya adalah orang-orang yang sa­ma yang menghendaki kepala Riedl usai dikalahkan 1-7 da­ri Uruguay, semifinalis Piala Dunia itu. Orientasi PSSI ha­ nya hasil tanpa melihat proses. Masih segar dalam ingatan te­riakan-teriakan para pengurus PSSI yang menghendaki Riedl mundur karena dianggap tidak mampu mengatrol per­mainan timnas, sebuah kritikan yang dibumbui senti­ men pribadi karena Riedl menolak tunduk kepada siapa pun sebagai pelatih yang berkuasa penuh atas timnya. Maka itu saya tidak mengerti mengapa pengurus-pengu­ rus PSSI itu berani mengklaim jasa mereka atas tim nasio­ nal ini.Mereka tidak mampu menjalankan sistem kompetisi li­ga yang menunjang tim nasional bahkan hendak menying­ kir­kan Riedl karena menolak berkompromi, lalu bagian se­ be­lah mana yang membuat mereka berjasa? Mengklaim hasil kerja dari seseorang yang hampir anda sing­kirkan dan mengaku berjasa atas prestasi orang lain saat anda tidak berbuat apa-apa adalah tindakan pengecut nan hina. (@pangeransiahaan)


Bau Busuk Tuan Nurdin

R

iwayat PSSI di masa kekuasaan Yang Terkutuk Nur­ din Halid adalah riwayat tentang kebobrokan yang ki­an pa­rah. Kekuasaan Nurdin adalah tipe kekuasa­an yang hobi berak di sepanjang jalan sambil berkoar-koar so­­ al kesucian diri. Tipe kekuasaan macam ini tak akan pernah ki­ta temui di buku-buku mana­ jemen organisasi. Tuan Koruptor Nurdin jauh da­ri becus untuk mengurus se­ pak bola. Di masa kekuasaan (dan bukan kepemimpinan) Nur­­­din, tak ada prestasi yang mem­­­bang­ ga­kan. Yang ada malah segudang ti­pu-muslihat: per­­­tan­dingan pe­ nuh ske­nario, pe­­­nalti rekayasa, ma­fia wasit, ke­ru­suhan, hingga adu pu­kul antar­pe­main. Siapa yang di­ degradasi atau siapa yang diloloskan bisa di­atur. Jauh sebelum kompetisi ram­pung, tim papan atas sudah di­ tentukan. Sang juara sudah di­ lantik se­ belum peluit wasit di­semprit. Urus­an kualitas tek­ nik pemain, ter­ utama di level di­visi III, II, I, dan Divisi Utama, tak perlu banyak dipikirkan. Walikota, bupa­ ti, atau calon kepala daerah, atau si­apa saja tokoh yang ingin tenar le­ wat sepak bola daerah, bisa dime­ nangkan timnya. Tentu saja asal urusan ”administrasi” sudah di­­­­be­­­reskan. Tapi, yang namanya maling, ma­na mau dia mengaku. Kalau semua maling mengaku, bi­sa-bisa satu kompleks pen­ja­ra penuh dengan orang-orang se­pak bola kita. Wajar saja, sih, kalau berita suap dan mafia-mafia banyak mengi­ ringi per­jalanan PSSI. Lha wong ju­ragannya saja koruptor tukang makan duit rakyat yang ke­san­dung kasus impor gula, beras, dan minyak goreng. Sulit untuk menyangkal adaya kisah culas dalam sepak bo­la kita, meski Nurdin dan antek-anteknya rajin memban­ tah. Mengikuti pertandingan tim favorit saya, Persibo Bo­­jo­negoro, terutama di Divisi Utama musim lalu, saya me­­ ra­ sakan betul kongkalikong itu. Persibo dihajar dan di­­kerjai habis-habisan. Selalu saja ada penalti aneh dan meng­ada-ada. Saat itu tersiar kabar bahwa Persibo bukan tim yang di­ske­nario masuk Liga Super. Deltras Sidoarjo adalah tim yang didesain jadi kampiun Divisi Utama. Persibo sempat di­hajar Deltras lewat dua penalti konyol di babak delapan be­sar. Manajemen Persibo, yang sudah kerap marah-marah, saat itu kian tersulut apinya. ”Wasit kurang ajar. Deltras diperku­at14 orang, bagaimana bisa menang coba?” kata Manajer Persibo Taufiq Risnendar. Semua orang tahu siapa sosok di balik Deltras. Penalti de­mi penalti yang didapat Deltras membuat Kompas menu­

lis, ”Percayalah, ’tangan ajaib’ selalu menyertai Deltras.” Tapi nasib berkata lain: Persibo jadi juara Divisi Utama se­ telah menekuk Deltras di laga final. Memasuki Liga Super, Persibo tetap saja jadi bulan-bu­ lanan. Pernyataan Pelatih Persibo Sartono Anwar soal ma­ fia wasit malah berujung pada ancaman sanksi untuk di­rinya dengan tuduhan meleceh­ kan PSSI. Bagi Anda yang tak sering ikut tur mengiringi perjalanan tim favorit yang selalu dikerjai, mungkin tak akan bisa men­ angkap perasaan saya. Saya bersama pendukung Persibo lainnya hadir di banyak kota. Untuk tur di kota yang dekat, seperti Solo atau Sidoarjo, mi­ nimal uang Rp 30.000 harus dikeluarkan. Bagi sebagian warga Bojonegoro, itu bukan jumlah kecil. Upah Mi­ nimum Kabupaten (UMK) Bo­jonegoro hanya Rp 825.000 per bulan atau Rp 31.730 per ha­ri den­ gan asumsi 26 hari ker­ja. Itu berarti, untuk melihat Per­sibo di luar kandang, suporter yang seorang buruh dengan ga­ji pas UMK harus merelakan sa­ tu hari gajinya. Saya menemui ada bapak se­ pa­ ro baya yang rela me­ mangkas uang makannya un­ tuk bi­sa melihat Persibo bermain. Se­ba­gian lain ada yang harus menjual ayam peliharaan dan ber­u­tang ke tetangga. Beberapa bocah membawa bekal maka­nan dari rumah agar tak kelaparan seusai bernyanyi di sta­dion. Semuanya tulus mencintai sepak bola. Semuanya in­gin melihat permain­ an yang indah dan bersih. Tapi PSSI di bawah kuasa Yang Terkutuk Nurdin telah mematahkan cin­ta tulus mereka. Bau busuk Nurdin kian meresap di hidung kalau kita sa­­dar bahwa hiruk-pikuk sepak bola kotor ini malah dibia­ yai oleh duit rakyat. Saban tahun setiap klub di Liga Super meng­habiskan dana sedikitnya Rp 15 miliar. Nilai itu jauh di bawah pos-pos anggaran yang berhubungan langsung de­ngan kesejahteraan rakyat. Dari duit itulah sepak bola ko­tor ini dijalankan: wasit-wasit disuap, negosiasi juara di­ la­kukan, tawar-menawar sanksi dijalankan. Maka, kebusukan mana lagi yang hendak kau tutupi, Tu­ an Nurdin? Di televisi mulut busukmu bicara, ”Kalau tuntu­ tan mundur itu dipenuhi, rusaklah negeri ini.” Goblok seka­ li Anda! Mana mungkin rumah akan rusak kalau tikus-tikus peng­ganggu kita bersihkan? Justru rumah itu akan bersih, bi­­sa kita cat dan tata ulang agar kian menawan. Rumah itu akan harum karena kotoran tikus tak lagi bertebaran, ka­re­ na berak Anda, Tuan Nurdin, tak lagi berserakan. (@erirawan)

PLAK! 5


Nurdin Tak Becus Tegakkan Disiplin

J

ika hari ini dan esok sepakbola Indonesia masih terus dirongrong oleh aksi kekerasan (baik pemain atau su­ porter) di lapangan, PSSI dan Nurdin Halid harus ber­ tanggungjawab. PSSI dan Nurdin terbukti sangat se­ring membiarkan aksi-aksi kekerasan itu berlangsung. Pem­bi­ar­ an itu dilakukan dengan cara seringnya Komisi Banding PSSI dan Nurdin Halid menganulir hukuman tegas yang di­be­­ rikan Komisi Disiplin. Ada cerita dari Erwiyantoro ten­ tang bagaimana Nurdin intervensi soal ini terkait mogoknya Persipura dalam laga final Copa Dji Samsoe 2009. Nurdin dengan lantang bicara pada anggota Komdis, “Hinca dan Nigara, tolong Persipura dihukum seberat mungkin, juga ketua umum Persipura, MR Kambu juga dihukum,” tegasnya.  Namun, Nigara nyeletuk, “Kita ng­ gak masalah, karena kita semua ada di lapangan dan melihat langsung. Tapi, abang (Nurdin) jagain Komisi Banding, karena kita (Komisi Displin) kalau ketok palu menghukum berat. Tapi, tolong, Komisi Banding jangan seenaknya meringankan hukuman.” Terbukti hukuman Komdis terhadap Persipura malah diringankan kembali oleh Komisi Banding PSSI. Berikut beberapa kasus di mana Komisi Banding PSSI dan Nurdin seringkali melecehkan keputusan Komdis se­ hingga membut upaya menegakkan disiplin menjadi kem­ bali mentah.

1) Pertandingan antara Persib vs PSMS (07 April 2007) yang diputus Komisi Disiplin (Komdis) dan Komisi Banding (Komding) tanpa penonton akhirnya diijink­ an dengan penonton melalui surat sakti dari Ke­tua Umum PSSI pada tang­gal 4 April 2007. (Ke­putusan ini sebelum Munas PSSI 18-22 Ap­ril 2007 di Makassar de­ ngan agenda memilih ke­tua umum baru) 2) Kurnia Meiga, pemain Arema, dihukum 1 tahun tak boleh bertanding ka­re­na kericuhan saat me­la­wan PKT Bontang (13-9-08). Tapi pada 17 Ok­tober 2008, dipangkas jadi hanya 5 bulan. Ta­pi 2 Februari 2009 Kur­nia Meiga sudah bertanding lagi memperkuat Arema vs Persik Kediri (kurang 4 bulan menjalani hukuman). 3) Yoyok Sukawi, manajer PSIS Semarang, dihukum 6 bulan oleh Komdis dan ditambah menjadi 1 tahun oleh Komding tidak boleh mendampingi timnya se­ jak Oktober 2008. Namun pada pertengahan Januari 2009, Yoyok Sukawi sudah bisa mendampingi tim­ nya kembali melalui mekanisme peninjauan kem­ bali. (baru 3 bulan menjalani hukuman) 4) PSSI akhirnya mengambil keputusan dengan meng­ anu­lir hukuman satu tahun yang diberikan kepada Persipura Jayapura terkait kasus pemogokan saat fi­

6 PLAK!

nal Copa Indonesia musim 2008/2009. Sebelumnya, tim berjuluk “Mutiara Hitam” itu dijatuhi sanksi 1 ta­ hun oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI tak boleh ikut copa musim depan karena terbukti melanggar pasal 27 ayat 6b Manual Copa tentang klub yang mundur.

5) Kasus “diskon super” hukuman atas Abdul Haris, Ketua Panpel Arema Indonesia. Ia diskors dari ke­ giatan sepakbola selama 20 tahun akibat mencoba menyuap Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan dkk dengan uang sebesar Rp 100 juta. Tapi oleh Komisi Banding PSSI hukuman itu dikurangi hanya 1 tahun saja. Dari 20 tahun jadi 1 tahun?  6) Teriakan bernada rasis yang dilontarkan supor­ ter Persiba kepada bek Arema, Pierre Njanka, 14 Februari 2010 berbuah denda dari Komisi Disiplin (Kom­dis) PSSI berupa menggelar 1 laga kandang tan­pa penonton. Namun hukuman ini digugurkan Nur­din Halid dengan menggunakan hak prerogatif­ nya se­bagai ketua umum PSSI melalui mekanisme peninjau­ an kembali (PK), yang diberikan kepada Persiba.  7) Persik dinyatakan kalah WO karena gagal mengge­ lar pertandingan versus Persebaya pada (29-4-10). Persik bahkan didenda 30 juta oleh Komisi Disiplin karena mengajukan banding. Tapi dua hukuman itu malah digagalkan Komisi Banding yang memerin­ tahkan diulangnya laga Persik vs Persebaya. Kendati kompetisi ISL sudah selesai, laga tetap harus dige­ lar. Jika hukuman itu tidak diubah, Persik dan Pelita Jaya yang akan didegradasi. Persebaya menolak laga ulang dan akhirnya Persik dan Persebaya yang di­ degradasi, sementaraPelita Jaya pun ter/diselamat­ kan sehingga tertap bertahan di ISL. (dari berbagai sumber)


Keong Racun­SEPAKBOLA INDONESIA

K

ita sementa­ra ha­­­rus me­ne­lan pil pa­­hit: kalah dari Ma­­ laysia di leg perta­ma dengan skor te­lak 3-0. Betul, laser memang menggang­gu konsentrasi pemain In­ do­nesia. Ta­pi ada yang jauh le­bih mengganggu dibanding itu se­mua: ulah PSSI/Nur­din Ha­lid yang me­rusak persi­ap­ an dan konsentrasi tim nasional. Simak bagaimana pe­latih Alfred Riedl men­jelaskannya dalam jum­pa pers usai kekalah­an atas Malaysia di la­ga pertama.”Ya media terlalu banyak minta wawancara tim. Belakangan ini aktivitas dari federasi (PSSI) juga agak meng­ganggu kami. Kegiatan-kegiatan yang berlebihan dan ti­dak perlu,” sindir pelatih asal Austria. Bayangkan, saat tim nasional harusnya berlatih pagipa­gi, terutama bagi pemain cadangan yang tidak tampil sa­at menghadapi Filipina di semifinal, Nurdin Halid malah mem­bawa seluruh awak tim nasional ke rumah Aburizal Bakrie. Alasan Nurdin Halid pun menggelikan. Katanya, “Ke­datangan kami semata-mata hanya untuk mengucap­ kan banyak terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan keluarga Bakrie.” Jika memang mau berterimakasih, ngapain semua awak timnas harus dibawa-bawa semua ke sana? Ngapain ju­ga waktunya mencuri agenda timnas yang sudah padat? Ja­ wab­annya jadi kian jelas saat Nurdin menurunkan harga ti­ket kelas 3. Alasannya karena Bakrie meminta Nurdin me­lakukannya. “Sebagai kader saya harus menuruti Pak Aburizal Bakrie,” begitu kira-kira alasan Nurdin. Perlu dike­ ta­hui, Nurdin adalah pengurus Partai Golkar dan sepertiga anggota Executive Comitte PSSI juga diisi oleh orang Golkar yang memang dipimpin Bakrie. Dengan melakukan itu, Nurdin dan PSSI telah memperlakukan tim nasional sebagai kendaraan politik. Jika Nurdin mengklaim PSSI tidak meme­ lihara calo, itu omong kosong bah­ lul. Nurdin terbukti menjadi calo, tepatnya mencalokan tim nasional kepada Bakrie dan Golkar. Gangguan ternyata belum cukup. 16 jam se­ belum keberangkatan tim nasional ke Kuala Lumpur, Nurdin Halid ma­lah membawa tim na­ sional ke sebuah acara istghosah. Se­harusnya, sore itu, tim nasional akan me­man­tapkan per­ si­­apan akhir men­­je­lang laga me­­­­lawan Ma­laysia. Alfred Riedl berka­ta se­hari se­belumnya bah­wa Ju­mat so­re a­gen­­da­nya. “Ja­­cuzzi, be­r­e­­nang, re­la­ xing dan me­­la­ku­kan be­be­r­apa per­­­­si­apan un­tuk pe­­nerbangan be­sok,” tu­tur Riedl. Kita mendukung siapa pun yang ingin men­ doa­kan tim nasional. Itu hal positif. Tapi tidak te­ pat membawa tim nasional ke acara seperti itu sa­at tim nasional sesungguhnya butuh istirahat,

persiapan dan konsentrasi tinggi. Makin kelihatan bahwa acara itu juga ditunggangi kepentingan Nurdin Ha­lid ketika spanduk besar bertulisan nama Nurdin Halid ter­pam­­pang di panggung utama acara istghosah. Makin jelas se­muanya saat Nurdin juga minta diberi kesempatan untuk ber­bicara di depan peserta yang hadir dan disiarkan live di Bakrie TV. Ulah politisi memang menyebalkan. Nurdin, Bakrie dan Gol­kar bukan satu-satunya politisi yang secara telanjang meng­­ganggu tim nasional. Andi Mallarangeng juga dila­por­ kan ingin menemui seluruh anggota tim nasional pada ma­ lam menjelang pertandingan di Kualalumpur. Untung saja Alfred Riedl sudah tidak mau lagi memberi toleransi Kita bangga tim nasional Indonesia dan Alfred Riedl. Ta­pi kita muak dengan PSSI yang mengeksploitasi tim nasi­ o­nal untuk popularitas politisi-politisi busuk. Kita muak Bakrie TV dan infotainment mengganggu persiapan dan is­ ti­­rahat pemain-pemain tim nasional. Kita juga marah tim na­sional dibikin seperti sapi perah oleh para politisi kacrut yang hanya tahu pencitraan. Bayangkan, sempat-sempatnya Nurdin, Bakrie, Hatta Ra­ja­sa dan SBY pasang spanduk berikut foto mereka di Bukit Jalil kemarin. Seorang kawan kami, Andreas Marbun, bahkan nyaris ditangkap aparat keamanan Malaysia karena memasang banner Anti-Nurdin. Nafsu Nurdin Halid untuk mencit­rakan dirinya sudah benar-benar kelewat batas. Nurdin Halid dan para politisi itu adalah keong racun bagi sepakbola Indonesia. (@anakkardus)

PLAK!/@dobbyf

Zine PLAK! terbit setiap tim nasional Indonesia berlaga di Stadion Utama Gelora Bung Karno. PLAK! terbit berkat sokongan tak ternilai [ide, tulisan, desain, image, dana] dari para pecinta sepakbola Indonesia yang percaya bahwa korupsi bukan hanya musuh besar bangsa Indonesia, tapi juga dunia sepakbola Indonesia. Materi digital dari PLAK! bisa anda lihat di www.plakbola.com. Jika ingin berkontribusi sila kontak kami di zine.plak@gmail.com atau hubungi di akun twitter @zinePLAK.

PLAK! 7


8 PLAK!


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.