12 minute read
23 Masih Gelap Sudah Terang
23
Masih Gelap Sudah Terang
Advertisement
oleh Budi, Karsa Institute
DESA LONEBASA DISELIMUTI udara dingin sore itu setelah hujan turun selama setengah hari. Awan putih bergerak perlahan di atas langit, menggantikan mendung pekat yang mulai pudar. Punggung-punggung bukit sebelah utara desa mulai terlihat keindahannya setelah seharian tertutup kabut. Warna hijau segar muncul di balik awan putih yang mengambang seperti kapas yang terbang terbawa angin.
Hari itu cuaca tak dapat dikatakan cerah karena matahari enggan menampakkan dirinya sepanjang hari. Namun, pemandangan sudah tampak jelas tanpa mendung yang menyelimuti. Motor bebek tahun 2001 yang aku tumpangi bersama Pak Haris mulai bergerak meninggalkan Desa Lonebasa menuju Porelea, desa terdekat yang berjarak enam kilometer. Sehabis hujan seperti ini bukan waktu yang tepat untuk melintasi jalan antardesa yang sempit dan licin. Beberapa kali roda motor kami selip, memaksaku pontang-panting menyeimbangkan diri.
Jalan ini lebarnya tak lebih dari setengah meter dengan diapit tebing dan jurang sedalam seratus meter. Beginilah jalan antardesa di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sebanyak sembilan belas desa di kawasan ini dihubungkan oleh
jalan sempit yang tak pernah terjamah aspal sama sekali. Bagi warga setempat, kondisi jalan seperti ini sudah dianggap biasa.
Jarak Desa Porelea dari ibu kota Kabupaten Sigi sekitar 130 kilometer. Namun, waktu tempuhnya bisa mencapai enam jam dengan berkendara sepeda motor. Baik motor dan pengendaranya harus dalam keadaan benar-benar fit. Sulitnya akses membuat Kecamatan Pipikoro terisolasi. Hujan siang tadi cukup deras berangin. Beberapa pohon roboh melintang di jalan yang aku lewati. Tak mudah melaluinya, kami berdua harus bekerja sama membuat motor tiarap ke tanah agar bisa menyusup ke bawah pohon tumbang.
Udara luar masih cukup dingin, tetapi keringat membasahi badanku yang terbungkus jaket. Melintasi jalur ini memerlukan tenaga melebihi olahraga. Selain harus menjaga keseimbangan, sering kali kedua kakiku harus membantu memberi dorongan agar motor bisa keluar dari kubangan becek berlumpur.
Susah payah kami akhirnya terbayar. Kami sampai di Porelea saat matahari menjelang terbenam. Mesin motor Honda Supra kesayanganku ini menderu memecah kesunyian desa.
Saat kami tiba di tujuan, ternyata warga sudah berkumpul di rumah Kepala Desa setempat. Mereka mendekat dan memberi salam. Pak Kepala Desa mempersilakan kami masuk ke dalam rumah, tetapi aku memilih duduk di bangku teras. Lumpur yang mengotori hampir sekujur badanku membuatku enggan masuk. Sesaat kami berbicara ringan dengan menanyakan kabar masingmasing. Usai mengobrol sebentar, Pak Kepala Desa memintaku mengganti pakaian di kamar yang telah disediakannya.
Saat aku mengganti pakaian, istri pak Kepala Desa rupanya telah menyiapkan kopi untukku di ruang tamu. Rasa capek membuatku ingin merebahkan badan beberapa saat, tetapi aroma kopi ini memaksaku keluar kamar. Kopi ini sungguh harum aromanya, menandakan kopi asli berkualitas tinggi. Jauh lebih beraroma dibandingkan kopi pabrik dalam bentuk saset yang biasa aku temui di kota.
Segera aku menyeruput kopi hitam di cangkir ini. Anganku langsung melayang ke masa silam, saat biji kopi seperti ini hanya dapat dinikmati oleh para bangsawan saja. Baru seteguk kopi mengalir di tenggorokanku, terdengar suara orang berbicara. “Kami kira Pak Budi tidak jadi datang bawa pelatih cokelat, sudah mulai gelisah kami menunggu,” kata suara yang berasal dari luar pintu. Rupanya itu Pak Tama Li, seorang warga yang juga perangkat desa ini.
“Hehe, iya Pak, hujan turun tiap hari di Lonebasa, maunya tidur terus, cuma karena ingat orang tua saya di sini. Makanya biar mengantuk saya paksa,” kataku dengan gaya bercanda. Kakek berusia 70 tahun itu tertawa keras, mulutnya terbuka lebar hingga kelihatan gigi depannya yang sudah tanggal hanya tersisa dua biji.
Kami pun terlibat pembicaraan yang hangat. Di luar rumah warga yang berkumpul semakin lama semakin banyak. Kami menemui warga di luar dan menyalami beberapa yang belum bertemu saat datang tadi.
Aku memperkenalkan Pak Haris kepada warga “Kenalkan, yang bersama saya ini Pak Haris, mentor budi daya kakao. Sengaja
kami datangkan untuk berbagi pengalaman dengan kita di tempat ini”, kataku disambut tepuk tangan warga. Ahli budi daya kakao adalah hal yang diharapkan warga saat ini ketika hasil panen mereka terus menurun dari tahun ke tahun tanpa tahu penyebabnya.
Setelah aku perkenalkan, Pak Haris mulai bicara. Ia memberikan kata selamat datang di hadapan warga.
Kebetulan di samping rumah Pak Kepala Desa ada sekumpulan pohon kakao. Pak Haris tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia langsung menuju pohon kakao tersebut sambil meminta warga mengikutinya.
“Pohon kakao ini seperti kita manusia. Ia butuh makan dan bernapas,” katanya. Lelaki berusia 45 tahun ini pandai juga cara mempermudah warga dalam memahami teknik budi daya kakao. Orang-orang mendengarkan penjelasannya dengan saksama.
“Pohon ini juga memiliki perasaan. Ia butuh diperlakukan baik dan ingin suasana nyaman,” lanjutnya dengan nada serius. Warga semakin penasaran dengan penjelasan Pak Haris. Namun rupanya ini hanyalah pembukaan, setelah memberikan pemahaman tentang jati diri pohon kakao itu, ia menyudahi pertemuan. Warga pun pulang ke rumah masing-masing. Sinar jingga telah muncul di langit sebelah barat, tanda malam akan segera menjelang. Angin bertiup ringan, membuat hawa dingin leluasa menusuk tulang-tulangku. ***
Setelah makan malam pelatihan dilakukan di Lobo, sebuah balai pertemuan khas To Po Uma. Di tempat yang nyaman ini antusias warga semakin besar. Itu terlihat dari jumlah warga yang datang. Seluruh sudut ruangan terisi orang, hampir tak menyisakan ruang kosong. Sebagian besar masyarakat Porelea yang mengandalkan ekonominya dari kakao dan kopi tak mau menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Malam itu menjadi sangat panjang bagi Pak Haris karena pelatihan berjalan sangat mengasyikkan sehingga terlaksana hingga larut malam.
Kopi robusta pertama kali diperkenalkan di Pipikoro sekitar tahun 1925. Orang-orang Belanda yang menduduki Desa Porelea dan Peana saat itu mencoba menanam tanaman ini di pekarangan dan kebun. Tak disangka jenis tanah dan cuaca di Pipikoro sangat cocok untuk kopi robusta. Tanaman ini kemudian dikembangkan secara komersial di lahan-lahan di desa ini.
Saat ini kopi di Pipikoro, Kabupaten Sigi dikembangkan melalui sistem traditional agroforestry. Tanaman kopi dibudidayakan bersama dengan tanaman lainnya termasuk pohon-pohonan besar.
Dataran tinggi Pipikoro merupakan rumah besar bagi komunitas Topo Uma, masyarakat Kulawi yang berbahasa Uma. Secara etimologis, Pipikoro terdiri dari dua kata dalam bahasa Uma, yakni pipi yang artinya ‘tepi/pinggir’ dan koro yang artinya ‘sungai besar’. Jadi, secara harfiah, pipikoro berarti ‘daerah di tepi/pinggir sungai’. Koro atau sungai yang dimaksud di sini adalah Sungai Lariang, yang melalui atau melewati sebagian besar perkampungan atau desa di wilayah Pipikoro.
Tentang asal mula dan arti nama Pipikoro ini dijelaskan lebih lengkap oleh A. C. Kruyt, etnolog Belanda yang pernah menjelajahi wilayah Pipikoro seabad yang silam. Dalam bukunya De West-Toradjas op Midden Celebes, Deel 1 (1938) yang telah diterjemahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sigi pada 2013 dengan judul SIGI-Catatan Perjalanan A. C. Kruyt, sejarah nama Pipikoro diulas tuntas.
Pada masa sebelum kemerdekaan, wilayah Pipikoro merupakan bagian dari Kemagauan (Kerajaan) Kulawi yang kemudian menjadi wilayah Swapradja, lalu menjadi Kecamatan Kulawi. Sejak tahun 2001 secara administratif Pipikoro dimekarkan menjadi kecamatan sendiri dengan Desa Peana sebagai ibu kota kecamatannya. Desa-desa di Pipikoro terletak di wilayah pegunungan pada ketinggian antara 700—1500 meter dari permukaan laut (Saleh, 2007).
Permukiman penduduk berada di lereng-lereng gunung, tak jauh dari sungai. Lanskap perkampungan ini didominasi lahan terjal dengan tingkat kemiringan 25%—45%. Sebagian besar penduduk Pipikoro menggantungkan hidupnya pada usaha berkebun dan berladang secara rotasi (hilir balik).
Desa-desa ini sebenarnya berada di dalam hutan, meskipun sebagian besar berupa hutan sekunder yang merupakan bekas perladangan. Bentang alam Pipikoro didominasi hutan primer. Berdasarkan perbedaan keadaan fisiknya, kawasan hutan ini dikelompokkan sebagai: Ponulu, Wana, Wanangkiki, dan Koolo. Sementara hutan sekunder, berdasarkan suksesinya dibedakan sebagai Bilingkea, Oma Bou, Oma Nete, dan Oma Tua.
Masyarakat adat Kulawi-Uma mengenal dan menerapkan sejumlah pantangan-pantangan (Palia) dalam praktik pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Aturan-aturan normatif sebagai bagian dari kearifan masyarakat adat, bukan hanya terdiri dari aturan-aturan atau anjuran-anjuran yang harus dipatuhi oleh komunitas itu, tetapi juga berisi sejumlah pantanganpantangan yang tidak boleh dilanggar.
Bila terjadi pelanggaran terhadap aturan, norma, atau pantangan-pantangan (palia) dalam pengelolaan sumber daya alam,
pelanggar akan dikenai sanksi adat yang juga berimplikasi sanksi sosial dari masyarakat.
Masyarakat adat Pipikoro melarang keras masyarakatnya menebang pohon di sepanjang daerah aliran sungai. Sebagai contoh, di Desa Mapahi, pemerintah desa, dan lembaga adat menetapkan sepanjang aliran sungai Ue Mapahi dan Halu Alo—dua sungai yang mengapit Desa Mapahi—sebagai areal terlarang penebangan pohon.
Bila ada masyarakat yang melanggar ketentuan itu, akan dikenakan sanksi adat dengan membayar denda atau waya yang nilainya ditentukan oleh lembaga adat. Biasanya berupa denda dengan membayar sejumlah ternak babi atau ayam. Untuk Desa Lawe di Pipikoro Barat, daerah terlarang untuk ditebangi bukan hanya wilayah aliran sungai, tetapi juga di areal yang dianggap keramat oleh penduduk setempat.
Secara umum masyarakat desa-desa di Pipikoro masih memegang nilai-nilai adat leluhur. Porelea adalah desa yang masih sangat kental menjaga dan mempraktikkan nilai-nilai lokal yang luhur. Ritual Adat, mulai dari mengolah kebun, membuka hutan, sampai pada pernikahan masih dilakukan.
Setiap tahun desa ini mengadakan acara Wunca, ritual mengucapkan syukur kepada Sang Maha Pencipta atas hasil panen, kesehatan, kehidupan yang damai, dan semua anugerah lainnya.
Pada upacara adat Wunca, semua hasil panen diikat dan digantung pada tiang yang terbuat dari pohon pinang. Ada yang menggantung biji kopi, kakao, kepala babi, jagung, beras, dan hasil pertanian lainnya. Pada akhir acara semua yang digantung itu diperebutkan oleh anak-anak.
Di wilayah Pipikoro timur dan tengah, seperti Mapahi, Kantewu, dan Peana, yang masih memiliki lahan datar yang cukup luas, penduduk mengolah sawah untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Namun, di wilayah Pipikoro barat seperti Desa Lonebasa, Lawe, dan Porelea, yang konturnya hampir tanpa lahan
datar tidak memungkinkan adanya lahan sawah. Oleh karena itu, sebagian besar penduduknya bercocok tanam padi ladang dengan sistem rotasi.
Pipikoro masih menggunakan pertanian subsistem, yaitu sistem usaha tani tradisional yang berorientasi memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Umumnya komoditas yang dihasilkannya adalah tanaman pangan seperti padi ladang, sayur sayuran, dan buah-buahan.
Para petani Porelea sangat mengandalkan hasil padi dari ladang yang ditanam satu tahun sekali. Terkadang hasil panen mereka tak mampu memenuhi kebutuhan beras untuk makan selama satu tahun, terutama apabila terjadi gagal panen. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut terkadang warga desa harus membeli dari Gimpu yang jaraknya 24 kilometer.
Bila masa panen tiba, suasananya meriah. Semua orang, termasuk ibu-ibu dan anak-anak turun ke ladang untuk menuai padi menggunakan ani-ani, alat seperti pisau kecil diselipkan di antara
jari telunjuk dan jari tengah, kemudian dipakai memotong tangkai padi agar terlepas.
Salah satu yang paling menarik pada saat musim panen adalah makan padi baru. Kelompok petani padi ladang yang terdiri dari beberapa anggota keluarga, menyiapkan nasi dari padi yang baru dipanen itu. Masakannya khas, ada sayuran dan ayam panggang. Alunan musik lelio terdengar merdu dimainkan sahut menyahut sepanjang acara ini.
Lelio adalah alat musik yang hanya ada pada saat musim panen padi ladang. Sumber bunyinya terbuat dari batang padi yang dililit pandan hutan (naho) kemudian ditiup. Dari sudut-sudut ladang biasanya penip lelio saling berbalas sahut-menyahut.
Sayangnya, hasil panen di desa sulit dijual keluar karena akses jalan yang minim. Jalan penghubung yang tak mungkin dilalui mobil mengakibatkan mahalnya biaya angkut. Bila ada yang bersedia mengangkutnya ke kota, biayanya Rp2000 per kilogram. Hal ini menyebabkan harga komoditas desa tak bisa bersaing.
Desa ini boleh dibilang hampir tak terjamah program pemerintah. Penerangan listriknya bersumber dari generator listrik tenaga mikrohidro. Penerangan tersebut diusahakan oleh keluarga yang mampu secara ekonomi, dan membaginya kepada tetangga dengan membayar iuran yang dihitung per lampu. Setiap keluarga harus menyiapkan uang lampu sekitar Rp30 ribu per bulan.
Sekolah yang ada hanya sekolah dasar milik swasta, yaitu Yayasan Bala Keselamatan. Itu pun kondisinya sudah kurang layak. Ruangan kelasnya terbatas sehingga sebagian kelas harus dibagi dua dengan cara memasang penyekat papan yang tingginya sebahu orang dewasa.
Tak ada guru khusus. Hanya masyarakat setempat yang mengabdi secara sukarela. Di satu sekolahan hanya ada paling banyak tiga guru. Bahkan terkadang hanya dua orang, satu kepala sekolah dan satunya guru biasa. Sekolah menengah pertama (SMP) hanya ada di desa lain yang waktu tempuhnya lima jam, meskipun
jaraknya hanya 30 kilometer. Tak heran, warga Pipikoro rata-rata hanya berpendidikan SD.
Papa Kimi, 56 tahun, adalah sosok petani kakao tunanetra. Namun, semangatnya untuk bekerja sangatlah tinggi. Ia menjadi salah satu peserta paling aktif dalam pelatihan menanam cokelat. “Saya suka pelatihan ini. Sejak bertanam kakao lima tahun yang lalu, baru kali ini ada yang bimbing,” katanya suatu ketika.
Papa Kimi dengan keterbatasannya tetap pergi ke kebun. Setiap hari saat pagi buta ia sudah berangkat ke kebun. Keterbatasan fisik tak mengurangi aktivitasnya. Pagi hari Papa Kimi sudah bangun dan memasak. Setelah masak dan menyiapkan makanan untuk keluarganya, ia segera bersiap-siap pergi ke kebun. Seperti kebanyakan warga Pipikoro, ia ke kebun dengan menyelipkan golok di pinggangnya. Untungnya jalan menuju kebunnya tidak begitu jauh, butuh waktu 20 menit berjalan kaki untuk sampai ke kebunnya.
Cara Papa Kimi merawat kakao cukup unik. Jari-jarinya menyentuh dengan lembut pada batang dan ranting pohon kakao miliknya. Itu caranya memastikan batang mana yang akan dipotong.
Ia juga pintar memetik buah kakao, padahal harus dipilih yang sudah matang. Dengan mencium aroma buah kakao, ia langsung tahu buah yang dikehendakinya. Ini jelas tidak mudah karena buah kakao tersebar hampir di semua bagian pohon, tetapi ia dapat memilihnya dengan tepat. Papa Kimi juga piawai membersihkan rumput dan segala macam aktivitas petani kakao.
Seandainya ia dapat melihat, apakah ia akan sangat menikmati terangnya dunia, atau malah menjadi bagian dari orang yang tidak bersyukur? Lalu bagaimana pula denganku, apakah aku termasuk orang yang bersyukur atau tidak?
Akhir tahun lalu aku berkunjung ke rumah Papa Kimi secara tak sengaja. Sebenarnya aku ingin bertemu Papa Toni yang rumahnya bersebelahan dengan Papa Kimi, tetapi saat itu Papa Toni
belum pulang dari kebun. Saat akan melangkah menuju motor, Papa Kimi memanggilku.
“Pak Budikah itu?” katanya. Rupanya ia bisa menebak suaraku ketika memanggil-manggil Papa Toni tadi. Aku dipersilakannya mampir. Papa Kimi duduk di sebelahku sambil menyalakan lampu pelita.
Saat kami mengobrol, datanglah seorang ibu yang berjalan dengan merambat di tepi dinding.
Ia berjalan dengan cara tangannya ditempelkan mengikuti jalur dinding. “Itu Ibu. Dia juga buta tidak bisa melihat,” kata Papa Kimi sambil tersenyum. Istri Papa Kimi memperkenalkan diri dan menyalamiku.
“Di mana Pak Haris yang pelatih cokelat itu?” tanya Papa Kimi.
“Dia di Mamuju sekarang, bekerja di perusahaan susu,” jawabku.
“Dulu sebelum pelatihan, hasil tanaman kakao sangat minim karena kami tak tahu cara merawat pohon,” ungkapnya. Menurut Papa Kimi, berkat ilmu yang diajarkan Pak Haris, hasil kakao sudah bisa untuk membeli sepeda motor yang dipakai anaknya. Anaknya itulah yang kini setiap hari memboncengnya ke kebun.
Pak Kimi mengaku, dahulu rumahnya hanya gubuk reyot dari pitate atau anyaman bambu. Akan tetapi, kini sudah berhasil membangun rumah papan yang lebih besar. “Itu semua dari hasil kakao,” katanya.
Itulah sebabnya Pak Kimi langsung bergegas ke luar rumah ketika mendengar suaraku di depan rumah Papa Toni tadi. Rupanya Papa Kimi sangat merindukanku dan Pak Haris. Ia berpesan pada anaknya, bila aku atau Pak Haris datang ke Porelea dimintanya mengundang ke rumah.
Mama Kimi menyajikan saguer, minuman rempah khas lokal yang rasanya hangat menyegarkan. Kedatanganku yang tak sengaja ini disambutnya dengan sukacita. Di hari yang mulai gelap itu,
keluarga ini menyiapkanku makan malam berupa ubi bakar, jagung rebus, dan secerek tuak.
Papa Kimi menceritakan kembali pelatihan menanam kakao empat tahun lalu yang digelar oleh Karya Institute. “Saya beruntung menjadi salah satu pesertanya,” kata Papa Kimi sambil tertawa terkekeh. Dalam perbincangan kami yang panjang, tak putus-putus ia kenang soal pelatihan dan figur Pak Haris yang ia sebut sebagai guru dan teman yang baik.
Malam semakin larut, saatnya aku mohon diri. Papa Kimi menatapku dalam-dalam seolah ia bisa melihat. “Meski masih gelap penglihatanku, tapi sudah terang rasa dalam hati,” ungkapnya dengan terbata-bata. (BS)