23 minute read
Wawancara
Topik Empu Wawancara
Advertisement
Abby Gina
Jurnal Perempuan abbygina@jurnalperempuan.com
Dr. Mia Siscawati, saat ini adalah staf pengajar tetap di Program Studi (Magister) Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia dan juga staf pengajar di Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia. Pada tahun 2014-2016 ia menjabat sebagai Ketua Program Studi (Magister) Kajian Gender UI. Sejak akhir tahun 2018 ia kembali mengemban amanat yang sama. Mia, begitu ia biasa dipanggil, merupakan lulusan sarjana Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1994. Ia kemudian melanjutkan studi pada program Studi Gender dan Pembangunan dan mendapatkan gelar magister di Bradeis University, USA pada tahun 2004. Kemudian Mia mendapatkan gelar magister dalam bidang Antropologi di University of Washington, USA pada tahun 2007. Mia mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang Antropologi University of Washington, USA pada tahun 2012. Selain aktif dalam dunia pendidikan, Mia juga aktif dalam advokasi hak-hak perempuan terkait pembangunan, gender, lingkungan, dan kehutanan. Mia bergiat melalui berbagai riset yang menggunakan pendekatan multidisiplin dan juga melalui aksi, hal yang menjadikan dirinya sebagai seorang cendekia-aktivis. Saat Mia sedang menekuni fokus kajian tentang akses perempuan atas tanah dan sumber daya alam, dimensi gender dalam tenurial hutan, tata kelola hutan, politik tata guna tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, serta aspek gender dalam kebijakan pembangunan.
Perempuan desa telah berkontribusi besar pada hal ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, namun hingga hari-hari
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
ini visibilitas dan pengakuan atas kontribusi mereka masih minim diberikan oleh negara. Bagaimana pandangan anda tentang gejala ini?
Pertama-tama kita perlu mengetahui bahwa perempuan bukan hanya terlibat dalam ketahanan pangan tetapi lebih jauh mereka memiliki peran penting dalam kedaulatan pangan. Sejarah keterlibatan perempuan sangat panjang, namun perempuan mulai menghadapi masalah terkait kedaulatan pangan terutama sejak revolusi hijau yang mulai dijalankan sejak rezim orde baru. Dari sana kebijakan revolusi hijau mulai diterapkan di desa, tujuannya adalah agar para petani meningkatkan produktivitas pertanian, antara lain dengan memasukkan bahan-bahan kimia. Revolusi hijau ini berawal di tahun 70an. Hal ini menimbulkan perubahan, dimana perempuan mengalami pergeseran peran dan ilmu dalam pengelolaan pangan dan lahan pangan. Kebijakan pembangunan pada masa itu menempatkan perempuan dan juga anggota masyarakat lainnya di wilayah pedesaan bukan sebagai subjek utama yang harus di perhatikan.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian dari kebijakan pada masa itu adalah upaya negara mengejar pertumbuhan ekonomi di tingkat makro melalui eksploitasi sumber daya alam. Hal yang terkesampingkan dari proses ini adalah peran perempuan di tingkat mikro, dimana perempuan memiliki peran dalam wujud pertahanan pangan, punya kontribusi ekonomi di tingkat berlapis mulai dari rumah tangga, komunitas, dan juga di tingkat negara. Persoalan utama dari model pembangunan ini adalah tidak dianggapnya perempuan sebagai subjek. Politik gender pada masa itu menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu, dan tidak memperkuat posisi perempuan dalam peran sosial ekonomi di berbagai tingkatan. Model pembangunan pada masa itu malah mengkerangkeng mereka dalam kegiatan-kegiatan yang melanggengkan peran domestik perempuan seperti di dalam PKK. Artinya perempuan belum dilihat sebagai subjek utama dalam pembangunan dan kebijakan pembangunan. Domestikasi negara terhadap perempuan saat itu menyasar tidak hanya pada perempuan kota tetapi juga perempuan desa.
Dalam konteks desa, walaupun perempuan melakukan kerja-kerja produktif, mereka hanya dianggap sebagai istri dan ibu. Mereka hanya dianggap sebagai istri petani dan istri nelayan. Perjuangan para perempuan untuk mendapatkan pengakuan atas profesi seringkali menempuh jalan yang panjang. Seperti misalnya pengakuan (negara dan masyarakat) terhadap nelayan perempuan dan bukan sekadar sebagai istri nelayan. Begitu pula
Abby Gina Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
halnya dengan perempuan petani. Para perempuan pedesaan ini memiliki pengetahuan, kemampuan dan melakukan kerja-kerja pertanian tetapi mereka hanya dianggap sebagai istri dan ibu. Menurut pembacaan saya, ideologi ini masih kental di masyarakat kita hingga saat ini, walaupun tidak sekuat dulu. Persoalan yang kita hadapi saat ini adalah para perempuan desa memilki kontribusi yang besar bagi kedaulatan pangan tetapi mereka belum diposisikan sebagai subjek.
Hari-hari ini desa-desa di Indonesia rentan terhadap eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Akibatnya kerusakan lingkungan makin meluas dan berdampak langsung pada otonomi dan keberlangsungan hidup perempuan desa. Bisa dijelaskan pandangan anda mengenai hal ini?
Berdasarkan kesejarahannya, eksploitasi lingkungan di Indonesia sebetulnya sudah mulai terjadi sejak tahun 1970an. Situasi yang kita hadapi saat ini tidak lepas dari konteks sejarah masa lalu, sebab kerusakan lingkungan dan hancurnya sumber daya alam adalah produk dari proses yang telah berjalan sebelumnya. Hal ini berkait erat dengan tata kuasa dan tata kelola di Indonesia setidaknya sejak zaman kemerdekaan, secara khusus di era Orde Baru. Berbagai undang-undang yang menjadi pijakan atas eksploitasi sumber daya alam ditetapkan tahun 1967. Saat itu ada undangundang kehutanan, pertambangan, investasi asing, investasi dalam negeri yang kemudian menjadi pijakan untuk eksploitasi lingkungan. Kebijakan pembangunan Indonesia pada saat itu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan sumber daya alam sebagai sumber devisa utama. Hutan, minyak, dan pertanian adalah hal yang dilihat sebagai modal pertumbuhan ekonomi oleh karenanya sektor-sektor tersebut saat itu diubah secara masif. Akibatnya masyarakat setempat yang semula mengelola lahan dan hutan tersingkir oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki perizinan.
Artinya, apa yang kita hadapi saat ini adalah produk dari sejarah panjang. Bila dirunut lebih jauh, kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang ditetapkan dalam rezim orde baru pada tahun 1967, khususnya tentang kehutanan, sesungguhnya merupakan perpanjangan dari undang-undang kehutanan kolonial. Substansi undang-undang tersebut mengatakan bahwa wilayah-wilayah yang oleh negara dianggap memiliki fungsi ekologis sebagai hutan tetapi tidak ada klaim kepemilikannya kemudian dinyatakan sebagai hutan negara. Oleh karena itu kemudian negara memiliki hak untuk menetapkannya menjadi hutan produksi, menjadi hutan konservasi dan lain
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sebagainya. Hal serupa juga terjadi pada tata kelola lahan gambut. Kerusakan ekologis pada lahan-lahan gambut saat ini adalah situasi yang dihasilkan dari eksploitasi terdahulu. Lahan-lahan tersebut sebelumnya dikelola oleh perusahaan-perusahaan berskala industri, namun kemudian mereka pergi meninggalkan lahan begitu saja ketika hutan (gambut) telah habis. Ketika lahan telah ditinggalkan oleh perusahaan di situlah mulai berdatangan berbagai kelompok masyarakat pendatang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang dan/atau kelompok yang tergusur dari wilayahnya.
Kebakaran hutan pertama terjadi pada tahun 1982, kemudian setelahnya secara rutin terjadi kebakaran hutan hingga tahun 1997. Sejak tahun 1980an, Kalimantan dan Sumatra mengalami langganan kebakaran hutan. Sebelum tahun 1997, pemerintah dan berbagai pihak mempersalahkan masyarakat yang berladang sebagai aktor utama kebakaran hutan. Argumen yang dibangun pihak-pihak tersebut pada waktu itu adalah bahwa kebakaran terjadi karena para peladang melakukan sistem perladangan berpindah yang melibatkan kegiatan pembakaran hutan sebagai bagian dari pembukaan lahan. Namun di tahun 1997 ketika teknologi satelit mulai berkembang, para aktivis dan peneliti yang sebelumnya telah mengetahui bahwa kebakaran hutan lebih banyak terjadi di wilayah perusahaan mulai terbantu oleh keberadaan data yang dihasilkan melalui citra satelit. Data tersebut menunjukkan bahwa hotspot kebarakan hutan lebih banyak terdapat di wilayah perusahaan. Perusahaan yang dimaksud adalah hutan tanaman industri, perusahaan sawit dan perusahaan pertambangan. Sebelum memulai aktivitasnya, perusahaan-perusahaan melakukan pembakaran untuk land clearing (pembukaan lahan). Proses ini dinilai lebih murah daripada dengan proses menebangi pepohonan yang tersisa dan membersihkan lahan hasil penebangan.
Kalau sekarang, kebakaran hutan dan lahan masih tetap didominasi oleh wilayah perusahaan. Namun demikian harus diakui sudah mulai ada kebakaran lahan di luar perusahaan. Para pendatang sekadar mengikuti saja cara membuka lahan dengan cara membakar. Mereka tak tahu bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan, ritual, upacara ada cara-cara tertentu untuk membakar. Dalam beberapa konteks tertentu, terutama di wilayah-wilayah di mana generasi mudanya meninggalkan kampung halaman mereka, pengetahuan tentang sistem pertanian lokal yang menggunakan api bisa jadi sudah hampir menghilang. Kebakaran hutan dan lahan menepatkan perempuan bukan hanya sebagai kelompok yang
Abby Gina Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
harus menanggung akibat. Kebakaran hutan dan lahan juga berpotensi menghilangkan pengetahuan mereka atas cara-cara pengelolaan SDA sebab sumber daya alam itu sendiri sudah hancur. Sebagai contoh, ketika hutan hilang maka pengetahuan perempuan tentang berbagai tanaman obat dan tanaman pangan pun menjadi hilang. Seperti yang telah saya sebutkan di awal, kerusakan lingkungan yang kita alami sekarang adalah dampak pengelolaan lahan dan hutan yang eksploitatif sejak tahun 1970an, dampaknya saat ini hutan yang tersisa sebagian besar berada di wilayah konservasi, termasuk di taman-taman nasional.
Bisakah dijelaskan keterkaitan antara kerusakan lingkungan dengan hilangnya pengetahuan dan pemiskinan perempuan?
Pengetahuan pasti lekat dengan kebiasaan sebab pengetahuan yang baik tidak hanya tersimpan dan diingat-ingat, tapi dipraktikkan. Misal tentang tanaman-tanaman obat. Di wilayah hutan, kalau tanamannya masih ada tentunya tanaman tersebut akan sering dipakai menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat yang hutannya masih baik, terdapat berbagai tanaman liar yang bisa dijadikan sumber pangan. Sekarang, seiring dengan rusaknya hutan, berbagai jenis tanaman tersebut berkurang bahkan menghilang. Hutan punya banyak fungsi sosial, selain sebagai sumber pangan, obat bagi masyarakat setempat, hutan juga menjadi tempat mereka menabung. Seperti misalnya pada komunitas Dayak Benuak di Kalimantan Timur. Hingga tahun 1970-1980an komunitas ini menjadikan tanaman rotan hutan sebagai tabungan. Saat anak akan masuk sekolah mereka ambil dan jual rotan. Rotan yang mereka ambil bukan rotan liar tetapi rotan yang mereka tanam/ dibudidayakan di dalam hutan. Rotan membutuhkan hutan untuk hidup sebab untuk tumbuh rotan membutuhkan pohon-pohon besar. Sehingga bila hutan hilang rotan tidak bisa tumbuh dengan baik. Menghilangnya hutan akan membuat sumber penghidupan komunitas ini pun menjadi hilang. Bagi perempuan, hutan juga menjadi penting sebab kebanyakan dari mereka bergantung pada sumber daya hutan sebagai bahan dari berbagai produk anyaman. Pengetahuan tentang berbagai jenis tanaman untuk bahan anyaman serta pengetahuan tentang pola-pola anyaman lebih banyak dimiliki oleh perempuan. Anyaman yang dibuat oleh para perempuan bukan hanya memiliki fungsi ekonomi tetapi juga fungsi sosial tertentu misalnya; ritual adat, sebagai alat-alat dapur, alat untuk menjemur padi dan lainnya. Pengetahuan dan peran perempuan cukup besar terkait dengan pengelolaan berbagai produk hutan dan produk
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sumber daya alam lainnya dalam keluarganya dan komunitasnya. Ini adalah sedikit contoh dari banyak kasus lainnya yang menunjukkan betapa hutan memiliki fungsi ekonomi dan sosial yang begitu kompleks. Dengan demikian meskipun tidak dapat dilihat secara langsung kita dapat mengetahui bahwa kerusakan hutan pasti akan menghilangkan pengetahuan masyarakat termasuk perempuan, serta memiskinkan masyarakat termasuk perempuan.
Dalam kerusakan lingkungan apakah dapat dikatakan bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan?
Saya mengingatkan bahwa perempuan bukan kelompok homogen, jadi tidak tepat kalau dikatakan begitu saja bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan. Perempuan dari kelompok sosial tertentu bisa jadi adalah kelompok yang paling rentan. Memang secara umum perempuan menjadi lebih rentan karena fungsi reproduksinya. Misalkan ada problem dengan air bersih maka semua perempuan akan punya masalah sebab semua perempuan butuh air bersih. Tapi perempuan yang punya kelas sosial yang tinggi akan punya uang untuk membeli air bersih. Dia punya resources (sumber daya) untuk memperoleh akses atas air bersih. Mungkin perempuan dari kelas ekonomi atau kelas sosial yang kaya punya akses untuk menyuruh orang lain untuk membeli, membawa air dan sebagainya. Kelangkaan air bersih tentu direspons berbeda oleh perempuan kelas ekonomi yang lebih rendah. Mereka adalah kelompok yang sama sekali tidak mampu membeli air. Artinya dalam merespons dan memetakan dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat dan bagi perempuan harus dilihat secara khusus, tidak bisa digeneralisasi. Kita perlu mengingat bahwa perempuan tidak homogen oleh karena itu kerusakan lingkungan akan menyebabkan persoalan yang berbeda untuk perempuan dari kelompok sosial yang berbeda.
Terkait dengan pengelolaan perhutanan sosial yang hari-hari ini mulai diberlakukan, menurut anda apa pentingnya pelibatan masyarakat lokal terhadap tata kelola lahan dan hutan di Indonesia?
Perhutanan sosial itu adalah satu pendekatan yang sudah dikembangkan menjadi sebuah kebijakan program pemerintah, dimana ada pengakuan keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan. Perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas peran masyarakat dalam mengelola hutan adalah perjalanan yang panjang sekali. Pada zaman Orde Baru, perhutanan sosial hanya dilakukan di dalam perusahaan hutan negara. Di wilayah hutan negara di Jawa yang dikelola oleh Perhutani, pada awalnya petani (hanya)
Abby Gina Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
diminta membantu kegiatan penanaman kayu jati dan tanaman keras lainnya. Para petani yang terlibat dalam kegiatan ini sebagian besar tidak memiliki tanah. Setelah menanam kayu jati dan tanaman keras lainnya, mereka boleh menanam padi disekitarnya. Namun persoalannya, pada umur tertentu, yaitu sekitar lima atau tujuh tahun ketika tajuk atau kanopi dari tanaman itu mulai besar, sinar matahari terhalang masuk. Para petani kemudian merasa bahwa padi mereka tidak bisa berkembang dengan baik kalau ditutupi oleh kanopi atau tajuk dari kayu. Mereka harus mencari lahan lain untuk menanam tanaman pangan dan tanaman jangka pendek. Pada masa itu perhutanan sosial dipahami hanya sekadar melibatkan masyarakat dan bukan pengakuan atas pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, para pemikir dan aktivis melakukan advokasi untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya perhutanan sosial yang tepat adalah bila negara mengakui pengelolaan hutan oleh masyarakat dan menyadari bahwa setiap tempat membutuhkan pendekatan yang berbeda, sebab ekosistem berbeda, sosial budaya berbeda, ekonomi berbeda dan lain sebagainya.
Tentu saja penting melibatkan masyarakat. Konsep yang benar dalam memahami perhutanan sosial adalah bila masyarakat dijadikan subjek utama. Sehingga seharusnya bila kita bicara soal perhutanan sosial, penting pula menjadikan perempuan sebagai subjek utama. Artinya bukan hanya mengakui masyarakatnya, tetapi juga mengakui perempuan sebagai subjek. Bila kita mengakui sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat, kita akan melihat bahwa perempuan punya peran di dalamnya. Tanpa digerakan, secara alamiah sistem lokal yang sudah ada menunjukkan bahwa perempuan mengisi tempat-tempat tertentu. Namun demikian dalam beberapa kasus, kita mengetahui juga banyak perempuan yang dilibatkan saat terjadi perubahan pada lahan dan hutan. Ketidakterlibatan perempuan dalam tata kelola hutan dan lahan tidak selalu soal domestikasi, tetapi perubahan yang terjadi seiring dengan perubahan waktu berdampak pula pada peran perempuan. Sebagai contoh tanaman hutan atau dalam bahasa teknisnya tanaman keras yang ditanam oleh perempuan bisa berubah dalam kaitannya dengan kondisi sosial. Misalnya di daerah jawa tahun 1990an, masyarakat ragu-ragu menanam tanaman jati di kebunnya sendiri walaupun nilai ekonomisnya tinggi. Alasannya saat mereka panen dan akan menjual hasil kebunnya, mereka akan ditanya kayu itu berasal dari mana dan milik siapa, jangan-jangan jati ini hasil curian dari lahan Perhutani. Hal-hal
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
seperti itu memengaruhi jenis tanaman, memengaruhi peran perempuan, pengetahuan perempuan dan lain sebagainya.
Konsep perhutanan sosial yang ada saat ini sudah mengakui masyarakat setempat sebagai subjek, tetapi dengan status hutan adalah milik negara. Sementara bagi komunitas adat situasinya berbeda. Masyarakat adat menutut agar negara mengakui keberadaan mereka dan memberikan otonomi terhadap pengelolaan wilayah adatnya sendiri. Hal ini berbeda dengan komunitas lain yang tidak terikat dengan aturan, hukum adat dan kelembagaan. Bagi para masyarakat adat yang dibutuhkan bukan hanya sekadar pengakuan keberadaan masyarakat dan wilayah adat, tetapi bagaimana mereka diakui dan dilindungi selaku pengelola wilayah hutan. Melalui kebijakan perhutanan sosial negara mengakui beberapa skema pengelolaan hutan oleh masyarakat, antara lain hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, skema kemitraan. Perhutanan sosial harus menempatkan masyarakat sebagai subjek utama. Namun demikian, pendekatan perhutanan sosial bukan tanpa persoalan. Teman-teman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan pemerhati hak-hak masyarakat adat melihat bahwa keberadaan kebijakan perhutanan sosial justru menunjukkan tidak diakuinya keberadaan komunitas adat dalam kaitannya dengan hutan adat dan wilayah adat. Pendapat tersebut didasari oleh argumen bahwa wilayah yang masuk dalam skema Perhutanan Sosial tetap memiliki status sebagai hutan negara. Sementara masyarakat adat mengajukan gugatan agar negara memberi pengakuan dan perlindungan atas otonomi mereka dalam pengelolaan wilayah adat, termasuk hutan adat yang berada di dalamnya. Perhutanan sosial yang saat ini sedang gencar dikembangkan masih dikritisi karena belum memberikan pengakuan bagi masyarakat adat untuk mengelola wilayah adatnya secara otonom.
Bagaimana pandangan mbak paradigma pembangunan nasional kita yang cenderung menyingkirkan masyarakat lokal dan/atau desa khususnya perempuan? Apa dampaknya pada perempuan lokal dan/ atau desa?
Sekarang sudah ada pergeseran ya bila dibandingkan dengan jaman Orde Baru. Bagi saya yang terlibat dan mengikuti bagaimana proses perjuangan pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat desa dan adat saya melihat bahwa saat ini sudah ada ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Saat ini Musrenbangdes sudah berjalan dan beberapa perempuan telah dapat terlibat secara aktif. Di beberapa tempat telah ada
Abby Gina Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
penggerak-penggerak baik dari organik intelektual dari kampung dan/atau dari LSM yang mengorganisasikan diri dan menunjukkan gagasan mereka di Musrenbangdes. Di zaman Orba pendekatan pembangunan adalah TopDown (dari atas ke bawah). Walaupun telah terjadi pergeseran, tetapi cara pikir atau kebiasaan tersebut masih sulit untuk dihilangkan sama sekali. Bila hari-hari ini kepentingan-kepentingan perempuan belum terakomodasi hal ini disebabkan oleh belum terakomodasinya aspirasi perempuan dalam Musrenbangdes. Bahkan dalam banyak kasus, masih banyak wilayah pedesaan yang dana desanya dikelola secara eksklusif artinya tidak melibatkan perempuan dalam perencanaan dan pengelolaannya. Walaupun pelibatan perempuan telah diatur dalam kebijakan atau dengan kata lain ruang telah dibuka tetapi karena cara pandang yang ideologis masih berakar kuat, akibatnya masih kita temui para aparatur negara dari berbagai tingkatan, seperti misalnya Kades, dan warga desa setempat yang masih menyingkirkan perempuan.
Menurut anda apakah perluasan wilayah perhutanan sosial dapat dikatakan sebagai sebuah capaian baik dalam rangka pelibatan dan/ atau upaya pemenuhan hak masyarakat desa?
Jika kita lihat dan amati, sebenarnya perluasan wilayah perhutanan sosial itu progresnya amat lambat. Perjuangan yang dilakukan oleh para masyarakat, pendamping dan orang-orang di dalam pemerintahan sangatlah panjang. Salah satu penyebabnya adalah di dalam pemerintahan sendiri banyak kelompok yang kurang setuju, sehingga pertarungan ini bukan di level mentri saja tapi di tingkat yang paling rendah. Sebab bukan tidak mungkin beberapa oknum mendapatkan keuntungan dari situasi di mana negara mengontrol secara penuh pengelolaan atas hutan. Mengubah paradigma di masyarakat tidak mudah. Pandangan yang meragukan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan masih umum terjadi di masyarakat kita.
Bisakah dijelaskan bagaimana relevansi dari ekologi politik feminis (feminist political ecology) dalam pengelolaan dan pelestarian lahan dan hutan yang berkelanjutan?
Ekologi politik feminis adalah satu teori yang dapat dipakai untuk membaca situasi terkait tata kuasa dan tata kelola lahan dan hutan serta sumber daya alam lainnya. Pendekatan ini dapat dipakai pula untuk merefleksikan apa yang telah terjadi. Teori ini mencoba melihat bahwa
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
kerusakan ekologi yang terjadi saat ini bukanlah suatu situasi yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Perlu disadari bahwa ada endapan sejarah yang panjang. Pihak yang menanggung beban adalah masyarakat adat dan perempuan masyarakat adat/desa, walaupun mereka seringkali bukanlah kelompok yang berkontribusi besar pada perusakan lingkungan. Sejarah menunjukkan bahwa dengan hadirnya kebijakan negara yang mendukung eksploitasi sumber daya alam, perusahaan diberi akses dan ruang untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Ekologi politik feminis mencoba melihat bahwa proses penghancuran SDA yang dilakukan berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda dan menimbulkan berbagai dampak yang berbeda bagi perempuan dari berbagai kelompok sosial. Teori ini tidak berhenti melihat penghancuran dari pihak eksternal saja seperti halnya perusahaan tetapi penting juga untuk menkritisi kontribusi dari pihak-pihak internal di dalam komunitas, termasuk keluarga-keluarga tertentu atau anggota-anggota keluarga tertentu yang memegang kekuasaan, terhadap proses penghancuran SDA. Ekologi politik feminis memberikan perhatian pada relasi kuasa yang timpang, baik ketimpangan relasi kuasa berbasis gender, kelas, ekonomi dan lain sebagainya. Ekologi politik feminis juga melihat bahwa dalam konteks persoalan lingkungan, persinggungan antara gender, kelas, etnisitas dan berbagai faktor sosial lainnya dapat membuat perempuan dari kelompok sosial tertentu memiliki persoalan-persoalan yang berbeda.
Ekologi politik feminis tidak pernah melihat bahwa kerusakan SDA berdampak sama pada setiap perempuan. Teori ini memberikan perhatian pada interseksionalitas seseorang. Pendekatan teori ini tidak menggunakan pendekatan esensialis, artinya tidak serta merta menjadikan seluruh perempuan sebagai korban dari kerusakan lingkungan, sebab dampaknya dapat berbeda antara satu perempuan dengan yang lain, tergantung posisinya dalam relasi kuasa berbasis gender, kelas, etnisitas, seksualitas, agama, dan lain-lain. Pendekatan ini penting untuk merefleksikan apa yang telah dan akan kita lakukan, dalam konteks kita masing-masing, terhadap lingkungan. Teori ini juga mengajak kita mengkritisi tentang apa yang dapat kita lakukan. Lebih jauh, dalam upaya menanggulangi masalah lingkungan dan dalam upaya memberdayakan perempuan, kita tidak bisa menyamaratakan kebutuhan tiap perempuan. Kita perlu kritis dan memastikan bahwa target penanggulangan kerusakan SDA tidak hanya menyasar perempuan
Abby Gina Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
kelas atas misalnya, sebab mereka bisa jadi memiliki keberdayaan untuk merespons dampak kerusakan lingkungan. Seperti telah saya jelaskan sebelumnya misalnya pada kasus kelangkaan air bersih yang dapat diatasi dengan lebih mudah bagi perempuan kelas atas/elite tapi tidak demikian pada perempuan miskin. Sehingga dibutuhkan pendekatan yang berbeda dalam upaya memastikan penerima manfaat sesuai dengan situasi-kondisi. Program yang ditawarkan para LSM, penggerak dan pemerintah tidak bisa hanya melibatkan para perempuan yang elite. Kita perlu meyadari bahwa ada perbedaan antara perempuan-perempuan dari kelas sosial dan ekonomi, serta perbedaan akibat berbagai faktor sosial lainnya. Walaupun bisa jadi para perempuan menghadapi situasi diskriminatif yang sama-sama menyingkirkan dan atau tidak menguntungkan mereka, tetapi perempuan dari ekonomi kelas atas misalnya memiliki privilese yang tidak dimiliki perempuan kelas bawah seperti mempunyai waktu untuk berorganisasi, punya kapasitas untuk bernegosiasi dan lain sebagainya.
Sebagai contoh kita bisa melihat pada masyarakat di Muara Angke. Kita memandang mereka sebagai kelompok marginal; tapi perlu diingat bahwa di dalam kelompok yang marginal itu masih ada lapisan-lapisan lain. Bagitu juga ketika kita bicara perempuan dari kelompok marginal seperti halnya nelayan di Muara Angke. Di kalangan perempuan di Muara Anke ada lapisanlapisan berbeda. Dengan kata lain, masih ada kelompok marginal di dalam komunitas marginal (atau sub-marginal). Artinya ketika kita melihatnya dari lensa gender, dari contoh tersebut kita menyadari bahwa laki-laki nelayan dari kelas sosial atau ekonomi yang rendah dapat memiliki masalah lebih besar terkait akses dan kontrol atas pengelolaan sumber daya laut dan pesisir dibandingkan dengan laki-laki dari kelas sosial atau ekonomi yang lebih tinggi. Istri dari laki-laki nelayan kelas bawah tersebut biasanya akan memiliki persoalan yang lebih besar dibandingkan dengan suaminya. Artinya dalam menelisik permasalahan yang dihadapi kelompok sosial tertentu kita perlu melihat interseksionalitasnya. Ekologi politik feminis melihat persinggungan dari gender dan berbagai faktor sosial lainnya seperti kelas, etnisitas, agama, status perkawinan dan berbagai faktor lainnya.
Teori ini memastikan agar kekhususan pengalaman perempuan harus menjadi bahan refleksi kritis kita dalam memastikan keterlibatan dan pemberdayaan bagi berbagai kelompok perempuan. Kita harus menyadari ada hambatan kultural yang berbeda dari perempuan yang berasal dari kelompok sosial berbeda. Perempuan di pedesaan dan di dalam masyarakat
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
adat memiliki kompleksitas yang berbeda. Seperti telah saya sebutkan berulang kali, perempuan bukanlah kelompok yang homogen. Dalam banyak hal kekhususan ini yang seringkali luput dari lensa para peneliti, aktivis dan/ atau negara, sehingga kadang kebijakan dan proses penguatan kapasitas bisa jadi tidak tepat sasaran. Dalam kelompok perempuan sendiri saja masih banyak kelompok perempuan yang belum berdaya dan belum mampu menyuarakan aspirasinya, sehingga membicarakan bagaimana mereka menyuarakan aspirasinya dalam pertemuan besar seperti Musrenbangdes bersama laki-laki adalah tantangan yang lebih berat lagi. Oleh sebab itu perempuan dari berbagai kelompok sosial tersebut perlu diorganisir, diberdayakan sehingga mereka mampu menyuarakan aspirasinya sendiri.
Apa yang harus dilakukan agar keterlibatan perempuan dalam tata kelola lahan dan lingkungan dapat dipastikan?
Yang harus kita lakukan pertama-tama adalah membaca situasi mereka. Perlu dilakukan asesmen secara mendalam. Dalam hal ini, teori ekologi politik feminis ini akan membantu. Penting agar kita membaca situasi dengan lensa yang kritis. Dengan pendekatan ini kita menjadi tahu kelompok mana yang perlu diorganisir terlebih dahulu. Memang tantangan kita tidak mudah, paradigma kita belum berorientasi pada memberikan layanan untuk masyarakat. Jika cara pandang yang menempatkan masyarakat bukan subjek sudah terlanjur mengkristal, memang kita harus berupaya keras untuk mengubah paradigma secamam ini. Pembacaan situasi harus dilakukan dengan baik di tingkat lapangan dan tidak berangkat dari asumsi. Sebagai contoh tentang pemberdayaan perempuan nelayan. Pemberdayaan pada perempuan biasanya difokuskan seputar pengolahan makanan tanpa misalnya menyadari bahwa dalam konteks tertentu ada perempuanperempuan yang memang bekerja menjadi nelayan (yang terjun langsung ke laut). Tentu kondisi-kondisi semacam ini perlu dijadikan pertimbangan dalam membuat rencana program pemberdayaan agar kegiatan menjadi tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan para perempuan. Jika akan dilakukan kegiatan yang akan meningkatkan nilai produk tangkapan, perlu diperhatikan berbagai tindak lanjutnya. Di Manokwari misalnya, para perempuan nelayan diajarkan tentang membuat abon ikan, tetapi tidak disertai dengan pelatihan tentang bagaimana agar produk mereka memiliki sertifikat POM dll.
Bagaimana pandangan anda mengenai agensi-agensi perempuan yang
Abby Gina Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
memperjuangkan hak atas pengelolaan dan pelesetarian lahan dan hutan dengan melakukan sejumlah perlawanan terhadap dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh negara dan/atau perusahaan?
Dalam banyak konteks, perempuan dari berbagai lapisan sosial yang berbeda, menurut saya mereka punya kesadaran untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang dihadapi, tetapi tidak semuanya memilih untuk melawan. Tidak sedikit dari mereka yang tanahnya direbut oleh perusahaan dan/atau negara, namun mereka juga tahu bahwa keluarga mereka, seperti suami dan anggota keluarga besar mereka, memberi akses untuk hal itu terjadi. Agensi yang dimiliki para perempuan ini membantu mereka menyadari persoalan ketidakadilan di sekitar mereka tetapi di sisi lain mereka menyadari pula bahwa mereka berada pada situasi yang kompleks dan sulit akibat ketimpangan relasi kuasa di tingkat internal keluarga dan komunitasnya. Menghadapi situasi yang rumit tersebut, bagi saya mereka cerdik sebab mereka berstrategi untuk memilih perjuangan yang mana yang harus diutamakan, misalnya membangun kesadaran untuk bersama-sama suami melawan perusahaan. Kita perlu menyadari bahwa para perempuan tidak hanya melawan ketidakadilan dari pihak eksternal tetapi dari internal juga. Perlawanan perempuan menjadi kompleks sebab ranah pertarungannya berbeda dengan laki-laki. Perempuan tidak hanya bertarung di satu ranah, tapi juga di berbagai ranah termasuk di ranah internal keluarga dan komunitasnya sendiri.
Sebagai contoh perlawanan yang dilakukan perempuan Kendeng, mama Aleta dll. Mereka sering dituduh sebagai boneka dan/atau alat dari laki-laki kelompok tertentu. Mereka sebetulnya marah dengan tuduhan itu. Mengapa? Karena mereka sesungguhnya memiliki kesadaran dan pilihan dalam berjuang. Mereka tahu ada ketidakadilan atau ketimpangan kultural tetapi mereka berstrategi dalam mengedepankan upaya memperjuangkan lingkungan untuk kepentingan bersama. Bagi saya mereka adalah kelompok yang cerdik dan berstrategi sebab para perempuan yang memimpin perlawanan ini sebetulnya mampu membaca secara kritis situasi di sekitarnya.
Ada seorang perempun di Sanggau, Kalimantan Barat, bernama Ibu Rini. Dia adalah guru SD di suatu kampung yang sudah terkepung sawit. Ia bercerita bahwa sebelum sawit datang, kampung itu dikepung oleh perusahaan yang mengambil kayu dari hutan-hutan di sekitar kampung. Sepuluh tahun lalu ia berjuang melawan perusahaan sawit. Ia mengatakan bahwa perusahaan
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
yang datang di tahun 1990an itu berjanji akan membangun sekolah, rumah sakit dll, tetapi nyatatanya janji itu tidak ada. Perusahaan juga menjanjikan akan memberikan kebun plasma untuk masyarakat, tetapi ternyata selama 15 tahun masyarakat tidak mendapatkan manfaat, malahan wilayah hidup mereka makin sempit. Perjuangan Ibu Rini adalah melawan perusahaan, tetapi ia juga menyadari bahwa sebagian laki-laki dari komunitasnya sendiri yang memberikan izin pada perusahaan. Walau perusahaan memperoleh izin dari Negara, namun wilayah kelapa sawit yang akan digarap perusahaan adalah wilayah kampung mereka, sehingga perusahaan bernegosiasi dengan kepala adat di mana kepala adat akan mengundang para laki-laki. Perusahaan memberikan penawaran kepada masyarakat untuk menyerahkan 7 Ha lahan pada perusahaan, dan masyarakat desa akan mendapat 2 Ha kebun plasma. Para laki-laki desa beramai-ramai menyerahkan lahan keluarganya padahal sebagian lahan itu adalah lahan perempuan sebab di kampung tersebut perempuan memiliki hak waris. Menyikapi situasi ini, Ibu Rini berstrategi. Ia merasa bahwa ia belum cukup kuat untuk menggugat para laki-laki dalam komunitasnya. Ia merasa, yang terutama perlu dilakukan adalah bagaimana ia bersama warga lainnya berjuang melawan perusahaan terlebih dulu.
Penting agar kita memberikan dukungan dan menjadi rekan diskusi. Agensi yang dimiliki perempuan mendorong perempuan untuk berstrategi: mereka harus melawan ketimpangan relasi kekuasaan di tingkat internal keluarga dan komunitas mereka, tetapi di sisi lain harus bekerja sama dengan laki-laki untuk memperjuangkan ruang hidupnya dari perusahaan (kelapa sawit, tambang dll.) Agensi adalah daya untuk memahami situasi dan kemampuan mengambil keputusan, sedangkan perlawanan itu sendiri adalah hasil. Agensi yang dimiliki para perempuan ini memungkinkan mereka untuk membaca secara cerdik. Sebagian dari mereka sadar bahwa memperjuangkan perubahan dari dalam kelompok dulu akan lama dan sulit. Sehingga mereka melakukan pilihan yang strategis dengan memprioritaskan perjuangan atas ruang hidup.