12 minute read

Cerpen: JIRAT

Next Article
Resensi Buku

Resensi Buku

Topik Empu Cerpen

JIRAT

Advertisement

Oka Rusmini

Aku mencoba berkaca pada urat daun

bicara pada kesuntukan warna pohon

rasa yang berair kubiarkan meninggalkan benih

dua puluh jari-jariku menyentuh tanah

pintalan itu menyumbat setiap suara yang kumuntahkan dari pikiran

“pegang nafasku!”

katamu: “perempuan hanya bisa memuntahkan dagingnya”…

(Sajak “Percakapan”, Patiwangi, 2003)

PEREMPUAN itu menggulung rambutnya tinggi-tinggi, tengkuknya menghitam, keringat terus mengucur deras dari seluruh pori-pori tubuhnya. Matahari tak henti-henti memancarkan duri-durinya ke tubuh perempuan itu.

Tanah terus dia cangkuli, seluruh persawahan itu terlihat seperti asing baginya. Perempuan itu memejamkan matanya sambil menarik nafasnya dalam-dalam, membayangkan pancuran masa kanak-kanak yang mengalir dari sulur-sulur otaknya.Kenangan pada harum air,wangi bunga padi, dan kegirangan mengusir burung-burung. Kemana saat ini sesaji harus dipersembahkan, ketika tanah tak lagi membukakan pintunya untuk ditanami benih.

NI LUH PUTU CANDI, begitu ibuku memberiku nama, aku perempuan! Sejak lahir, ibuku selalu menatapku penuh dengan tatapan aneh. Aku tidak pernah paham, apa arti tatapannya. Ibuku juga jarang menyentuhku, kadangkadang dia hanya duduk di pinggir pintu dapur memandangi aku bermain.

Oka Rusmini JIRAT

Kadang aku mencuri pandang kepadanya, berharap perempuan itu mau berbicara, atau melakukan hal-hal yang kuinginkan. Misalnya, menarikku dan mendudukkan tubuh kecilku di pangkuannya sambil mengusap kepalaku. Rambutku lengket, karena ibuku tidak pernah memandikan tubuhku. Ibuku juga juga jarang menyentuh kulitku yang kusam dan penuh luka, karena aku sering menggaruknya dengan keras.

Aku sangat malas mandi, aku sangat tidak menikmati ketika tubuhku diguyur air. Aku merasa tidak nyaman, apalagi ketika aroma sabun menguntitku. Aku merasa seperti ada yang sedang memata-matai hidupku. Aku merasa diawasi oleh aroma harum sabun wangi. Jika mandi, aku lebih memilih menggosok tubuhku dengan batu, karena batu tidak memiliki aroma yang genit seperti aroma sabun. Batu juga tidak memancarkan aroma yang bersaing dengan aroma tubuhku.

Kau tahu, mimpiku sebagai seorang anak sesungguhnya sangat sederhana, menginginkan perhatian darinya. Tahukah ibuku, aku sudah bisa menari pendet? Aku sering ikut bersama anak-anak perempuan kecil lainnya di balai banjar untuk latihan menari pendet. Aku senang dengan gaya tarian itu, karena menunjukkan wujud keperempuan yang kumiliki.

Aku bangga dan takjub menjadi perempuan, karena bagiku seluruh keindahan telah dihibahkan Hyang Jagat untuk anak perempuan. Aku bangga dengan perubahan yang terus terjadi pada tubuhku. Begitu ajaib dan sering sangat mengejutkanku, bagiku seluruh perubahan yang terjadi dalam tubuhku seperti sebuah film yang sering kutonton, membuatku penasaran dan selalu ingin tahu kelanjutannya. Begitulah aku tumbuh dari seorang anak yang kesepian, menjelma menjadi seorang perempuan yang mulai paham arti tubuhnya. Aku juga sering berdialog dengan tubuhku. Sekarang, aku jadi memiliki teman.

Kata orang-orang aku cantik dan menggairahkan, kelak jika aku dewasa pasti aku akan menjelma jadi perempuan cantik. Aku bangga dengan harapan-harapan orang kepadaku. Minimal ada orang-orang yang berdoa dengan niat baik untuk hidupku. Sejak kecil aku sering sekali mencari perhatian pada orang-orang yang kutemui di mana pun, tujuannya agar ada saja orang yang memperhatikanku dengan serius. Karena sejak kecil aku terbiasa melakukan seluruh hal-hal dalam hidupku sendiri. Jika aku menangis, ibu juga tidak akan pernah beringsut dari tempatnya. Menoleh pun tidak. Ibuku asik dengan dunianya sendiri. Ibuku asik dengan pikirannya

Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019

sendiri. Aku tidak bisa menjangkaunya, aku tidak bisa menyentuhnya, juga tidak paham kata-kata yang sering diteriakkan. Ibuku suka meracau, kadangkadang aku memandangnya dan duduk di depannya berharap ibuku berpaling dan menatapku. Tapi bola mata ibuku kosong tidak memiliki jiwa.

Ibuku, Ni Luh Cangkir—entah berapa umurnya, aku tidak pernah tahu. Menurutku perempuan itu cukup cantik, kata orang-orang konon ibuku sangat cantik, dia adalah penari terkenal di desa kami. Orang memanggilnya, Cangkir. Setiap ada hajatan di desa, ibuku selalu tampil menjadi penari utama. Seluruh perhatian hanya ditujukan padanya. Masih kata orang-orang desa, Cangkir itu perempuan sombong dan merasa dirinya paling cantik. Karena kecantikannya itulah yang membuat Cangkir merasa semua orang wajib menghamba kepadanya.

Suatu hari ibuku tiba-tiba saja hamil, entah siapa lelaki yang telah menanamkan benih di dalam tubuhnya. Orang-orang desa pun geger, sebagai masyarakat desa yang terhormat apa yang terjadi pada Cangkir adalah aib besar.

Warga desa takut, desa mereka akan dikutuk, akan sial, akan mendatangkan beragam bencana-bencana yang membuat hidup tidak lagi harmoni. Cangkir pasti akan menenteng beragam persoalan-persoalan kemanusiaan yang meribetkan warga desa. Bisa jadi kehamilan Cangkir akan membuat sawah mengering, mata air tidak lagi menunjukkan aromanya. Dan yang lebih parah? Bagaimana kelanjutan hidup desa ini? Panen pasti akan gagal. Hidup yang sulit pasti akan semakin sulit.

Begitulah Ibuku dianggap menggagalkan panen padi, padahal panen padi tidak bisa berjalan dengan baik karena musim kemarau yang tidak ada habisnya. Iklim yang makin hari makin sulit dideteksi. Cuaca panas yang menghajar seluruh lahan di desa. Sungai-sungai mengering karena tumpukan sampah plastik menutup seluruh pori-pori mata air. Desa kekekeringan parah, karena masyarakat desa juga kurang menjaga lingkungan. Pohonpohon besar ditebang dengan rakusnya. Belum lagi banyak tanah-tanah desa dijual, sehingga banyak warga desa yang biasa bekerja sebagai petani, dan tidak memiliki keterampilan lain kaget dengan banyaknya uang dan imingiming yang diterima dari para tengkulak tanah. Tanah desa banyak dijual, dan orang-orang desa banyak yang kehilangan mata pencahariannya. Uang yang berlimpah tidak membuat kehidupan masyarakat desa makin makmur. Masyarakat desa dijanjikan kehidupan yang lebih makmur jika berkenan

Oka Rusmini JIRAT

menjual tanah. Hampir seluruh tanah desa menjelma menjadi vila-vila yang eksotis. Lahan sawah makin hari makin menciut. Orang-orang desa mulai terbuai dengan janji-janji untuk ikut menikmati kehidupan yang dijanjikan orang-orang kota. Orang-orang yang tidak kenal mereka dan tidak juga paham gaya hidup orang desa. Orang-orang desa takjub melihat sawahsawah mereka menjelma bangunan-bangunan asing yang begitu gemerlap dengan lampu terang benderang setiap malam. Bahkan mendatangkan orang-orang asing dari beragam negara. Orang-orang desa makin takjub melihat orang-orang asing berpakaian semaunya.

“Wah tidak ada satu pun tamu-tamu itu yang kelihatan buruk rupa. Semua wangi dan cantik-cantik,”sahut para perempuan yang mengintip melihat banyaknya tamu-tamu asing mengunjungi desa mereka yang tadinya begitu hening.

“Dari mana saja mereka berasal?”

“Dari jauh.”

“Iya, jauh itu di mana?”

“Dari luar negeri.”

“Di mana itu?”

“Pokoknya jauh, harus naik pesawat terbang dulu.”

“Mereka pasti orang kaya semua.”

“Iyalah.”

“Kerja mereka apa ya kok bisa kaya seperti itu.”

“Turis.”

“Turis?”

“Ya, kata pemilik vila yang membeli tanahku, nama orang-orang yang berdatangan menginap itu; t-u-r-i-s. Paham?”

“Belum.”

“Nanti kalau tamunya sudah semakin banyak. Kata pemilik vila, kami sekeluarga akan diangkat sebagai tenaga kerja di vila itu.” Sahut seorang perempuan bangga, karena sejak menjual tanahnya kepada orang-orang kota itu, perempuan itu tidak pernah lagi ke sawah. Tidak ada lagi pekerjaan menanam padi.

Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019

Begitulah desa itu berubah menjadi asing. Makin lama warga desa makin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang hasil penjualan tanah makin menipis. Sementara tawaran pekerjaan belum juga datang dari pemilik vila yang membeli tanah mereka.

Ketika situasi makin sulit seperti itu, Cangkirlah yang disalahkan.

“Ini semua gara-gara Cangkir. Desa kita makin merana. Banyak orangorang desa tidak lagi bisa hidup dan cari makan di tanah mereka sendiri.” Suatu hari seorang lelaki berkata geram, sambil memukul tangannya ke arah pintu. Begitulah kehidupan itu berubah drastis. Tak ada lagi suara burung dan harum padi. Semua kekacauan itu kata orang-orang desa disebabkan oleh Cangkir, ibuku.

Dulu ketika Ni Luh Putu Candi masih kecil, dia biasa berjalan-jalan di tepi sawah, mengumpulkan kakul — sejenis keong yang bisa diolah jadi hidangan lezat. Sekarang ini, Candi takut mengonsumsi sejenis keong, karena tidak ada yang berani menjamin apakah keong itu layak konsumsi?

Desa sudah tidak lagi menjadi penghasil pangan yang aktif, dulu Candi juga dengan mudahnya bisa menyebar biji cabai, atau biji bayam, tidak sampai sebulan pohon-pohon sumber makanan itu sudah tumbuh dengan mudah di pinggir halaman, atau di dekat tempat ibadah. Sekarang? Orangorang desa harus membeli hampir seluruh kebutuhan pokok. Juga jika menanam sering menggunakan pestisida agar tanaman pangan tidak terganggu hama.

Penggunaan pestisida untuk disemprotkan ke sayur agar tidak berlubang membuat para perempuan yang mengelola sawah sebagai hasil penghidupan mereka makin sering tercemar zat kimia. Bahkan ada seorang warga desa yang bayinya mati di dalam kandungan, karena di dalam rumah perempuan itu sering menghirup pestisida. Entah apa yang terjadi pada warga desa, kebencian para perempuan dan warga desa dihibahkan pada Cangkir. Perempuan kembang desa, yang memiliki kecantikan tiada tara, makin hari makin layu. Cangkir tidak lagi bisa bekerja menari. Tidak juga bisa keluar rumah menggarap ladang. Kehamilannya makin hari makin besar, sampai akhirnya perempuan itu melahirkan di bawah pohon pisang. Setelah selesai melahirkan Cangkir konon berlari-lari dan terus mengigau

Oka Rusmini JIRAT

menyanyikan lagu-lagu yang tidak jelas. Bidan desalah yang merawat bayi kecil berbobot 4,2 kg. Bayi perempuan yang sehat, hampir tidak pernah sakit

Itulah sejarah kelahiran Candi. Bidan desa juga yang memberi nama.

“Kelak kau harus tumbuh kokoh, kuat dan mampu berdiri di atas kakimu sendiri. Seperti Candi,” begitu kata bidan desa yang merawat Candi sampai tumbuh sehat dan mandiri.

Itulah sejarah hidupku. Aku tidak minta dilahirkan. Aku juga tidak bisa memilih ke rahim perempuan mana aku bisa dititipkan. Ibuku, Cangkir makin hari makin aneh-aneh. Dia sering masuk ke dapur-dapur penduduk desa dan makan semaunya seperti binatang. Kadang-kadang Cangkir juga mengamuk sambil mengacungkan pisau besar. Kadang-kadang dia memeluk erat-erat lelaki yang ditemui di jalan dengan kerasnya, sehingga membuat lelaki itu hampir mati kehabisan nafas.

Karena ulah Cangkir itulah orang-orang desa memasung Cangkir aku tidak pernah paham keinginan ibuku. Aku juga tidak bisa membaca sejarah hidupnya dari sorot matanya dan igauannya. Aku tumbuh sendiri diasuh oleh seorang bidan desa yang mengajariku banyak hal tentang cara-cara untuk bertahan hidup. Aku juga mulai pandai menyebar benih tanaman bayam di pinggir Sanggah, tempat ibadah yang ada di rumahku. Sesekali aku juga belajar memasak, menjerang air. Untungnya aku bisa sekolah gratis.

Aku tetap merawat ibuku dengan baik. Sesekali aku menangkap kemarahan di matanya, kadang aku juga menangkap kesejukan yang hanya sepintas melintang di matanya yang kosong, lalu raib tanpa bisa kujamah. Orang-orang desa tetap menganggap keluargaku adalah sumber mala petaka.

Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa menuduh ibuku pembawa sial? Hujan yang jarang turun juga sering diidentikkan dengan kelahiranku yang tidak jelas. Siapa sesungguhnya ayahku? Di mana dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Atau sudah mati? Aku tidak pernah tahu siapa lelaki yang telah menanamkan bibit di tubuh ibuku. Aku merasa seperti lahir dari atas langit, atau keluar tiba-tiba dari tanah? Atau, mungkin aku anak Tuhan.

Kadang aku berpikir Ibuku, pasti tahu persis siapa yang menabur benih di tubuhnya. Sehingga benih itu subur dan menjelma aku. Perempuan yang di dalam hidup selalu dikelilingi pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh siapapun.

Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019

Dulu desaku penghasil pangan yang baik, padi, dan seluruh kebutuhan pangan lahir dari desaku. Bahkan desaku memiliki beras paling enak di seluruh Bali, waktu itu padi tumbuh subur, aku tidak pernah melihat orangorang menganggur dan menggerutu. Jika musim tanam, aku ikut menanam padi. Jika menjelang musim panen, aku sibuk memainkan kaleng-kaleng di pinggir sawah untuk mengusir burung-burung. Para tetangga juga sering memasang orang-orang sawah, orang-orang menyebutnya, lelakut. Aku takut dengan orang-orangan di sawah, karena aku merasa benda yang mirip boneka itu kadang-kadang hidup. Aku pernah memandangnya dengan serius, lelakut itu menoleh padaku. Matanya memancarkan hawa kebencian, aku pun berteriak-teriak ketakutan.

“Dasar anak, Cangkir. Ya, begitu itu. Darah kegilaan ibunya kelihatannya menurun padanya,” sahut seorang perempuan yang memiliki anak seusiaku. Aku terdiam, aku tahu perempuan itu sangat membenci ibuku, Cangkir. Karena aslinya dia memiliki keinginan untuk menjadi penari joget bumbung yang disegani, sayangnya ibukulah yang terpilih oleh kosmis untuk menjadi bintangnya. Kebencian perempuan itu padaku makin hari makin menjadi.

Aku tumbuh sesukanya, kadang aku merasa aku tumbuh seperti semaksemak liar. Tetapi kali ini aku tumbuh jadi perempuan yang begitu perasa. Segala sesuatu selalu kupikirkan. Entah dari mana datangnya pikiran-pikiran aneh itu yang pasti aku selalu lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Biasanya juga keputusan yang kuambil juga kadang-kadang menjadi beban.

“Itu biasa, pengaruh hormon. Kau telah tumbuh jadi perempuan dewasa. Hasil panenmu juga baik. Sawah yang kau kerjakan juga membawa kesejahteraan untuk hidupmu.” Kata sahabatku.

“Juga hidup ibuku, Cangkir.” Jawabku cepat, aku tidak ingin orangorang melupakan perempuan itu, perempuan yang membuangku dari tubuhnya dan meletakkannya di kebun pisang. Menyelimuti tubuhku yang penuh darah dengan daun pisang. Mendengar cerita itu, hati kecilku selalu merasa bahwa Cangkir mencintaiku dengan cara-cara berbeda. Dan, aku menyukai beragam cerita-cerita yang terus tumbuh dan berbiak tentang kelahiranku. Aku tahu, Cangkir bukan perempuan sempurna. Tetapi berkat dia aku memiliki warisan sawah yang bisa kugarap, kutanami apa pun yang kuinginkan. Aku juga sudah bisa mengelola hasil panen dengan baik,

Oka Rusmini JIRAT

aku mempekerjakan banyak lelaki dari desa seberang untuk menggarap sawahku.

Lelaki-lelaki muda yang selalu mencoba memikatku dengan beragam gaya. Entah kenapa aku tidak tertarik. Aku berpikir ingin hidup sendiri.

“Kau belum pernah jatuh cinta.”

“Aku tidak memerlukan itu, bebanku sudah berat. Waktuku habis memikirkan hidup.”

“Itu bertanda kau belum memiliki rasa cinta. Jika kelak kau jatuh cinta kau akan mabuk.”

“Tidak mungkin. Hidupku sudah pahit. Aku tidak mau membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya buat aku dan keluargaku.”

“Itu karena kau belum pernah jatuh cinta, Candi.” Sahut sahabat perempuanku setengah berbisik.

AKHIRNYA kutemukan rasa gelisah yang tidak pada tempatnya. Aku selalu uring-uringan jika Wayan Badra tidak masuk kerja. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa? Aku juga merasa begitu getir dan tidak nyaman. Aku kehilangan seluruh libido hidupku jika lelaki setengah baya itu tidak ada.

Wayan Badra memang bukan lelaki muda, bagiku dia lelaki yang mungkin lebih cocok disebut ayahku. Tetapi setiap memandang wajahnya aku selalu merasa angin dingin membasuh tubuhku, aku juga merasa limbung dan tidak seimbang. Aku juga gemetar dan sesak nafas.

Inikah yang dinamakan cinta itu? Ternyata sejenis penyakit yang menggerogoti kewarasanku. Sudah hampir sebulan aku belum menemukan obat yang mampu menyembuhkannya. Aku juga enggan bertanya pada orang-orang atau sahabat-sahabatku yang lain. Karena terbiasa sendiri, aku berharap penyakit itu juga akan lari terbirit-birit meninggalkan aku sendirinya.

Faktanya? Makin hari aku semakin sakit. Lelaki itu telah menguras seluruh energiku. Aku juga merasa Wayan Badra seolah bisa membaca pikiranku, kulihat makin hari ada-ada saja yang dilakukannya yang membuatku wajib berhadapan dengannya.

Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019

“Kenapa kau tidak bekerja selama dua hari.” Aku berkata sedikit ketus berusaha menjaga wibawaku. Lelaki itu tidak peduli, dan santai saja menanggapi pertanyaanku.

Aku menutup mataku, berharap aku tidak jatuh cinta pada siapa pun, karena desaku sekarang bukan desaku yang dulu. Desaku telah kehilangan tanah, tempat para perempuan dan lelaki menggali hidup. Orang-orang kota saat ini sangat kasar dan rakus, hampir semua tanah dibeli untuk pariwisata. Aku merasa desaku telah menjadi sosok yang asing dan tidak kukenal dengan baik. Kini tanah tak lagi jadi milikku. Dan para perempuan tetap menyalahkan ibuku, Cangkir!

Denpasar, November 2019

Oka Rusmini, lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Tinggal di Denpasar, Bali. Menulis puisi, novel cerita anak, esai dan cerita pendek. Ia banyak memperoleh penghargaan, antara lain: Penghargaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2003 dan 2012), Anugerah Sastra Tantular, Balai Bahasa Denpasar Provinsi Bali (2012), South East Asian (SEA) Write Award, dari Pemerintah Thailand (2012) dan Kusala Sastra Khatulistiwa (2013/2014). Tahun 2017, terpilih sebagai Ikon Berprestasi Indonesia Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila kategori Seni dan Budaya. Tahun 2019 menerima CSR Indonesia Awards kategori Karsa Budaya Prima.

Bukunya yang telah terbit yaitu, Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), Akar Pule (2012), Saiban (2014), Men Coblong (2019) dan Koplak (2019). Oka dapat dihubungi melalui email tarianbumi@ yahoo.com dan Instagram @okarusmini.

This article is from: