Buku Profil Al-Qolam 2014 “Progresif” Copyright © 2014 Penulis: cerita inspirasi ditulis oleh seluruh pengurus UKM KI Al-Qolam UPI 2014 Penyunting Naskah: Dini Wulandari Desain sampul dan Tata Letak: Haifa MF
Cetakan Pertama: Desember 2014
Diterbitkan oleh: Al-Qolam UPI Publisher Gd. Geugeut Windha (PKM) Lt. 2 Jln. Dr. Setiabudhi no. 229, Bandung 40154 Telp. 0857-9493-1621 Pos-el: divpro.alqolam@gmail.com Website: alqolamupi.com Twitter: @alqolamupi
Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis Dicetak oleh Al-Qolam UPI Publisher - Bandung
Bismillahirrahmanirrahim... Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan segala nikmat baik jasmani maupun rohani. Selawat serta salam semoga tercurahkan pada junjungan nabi besar Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Terimakasih untuk Orang tua, Bapak-bapak Pembimbing, dan semua pihak yang turut serta membantu, berkontribusi, dan memberikan dukungannya hingga buku PROFIL AL-QOLAM 2014 bisa tersusun. Buku ini merupakan rangkuman kisah-kasih, karya terbaik, dan wacana orang-orang yang bersedia meluangkan waktu dan tenaganya demi jalan dakwah bilQolam. Semoga ketulusan Shohibul Qolam semua tercatat sebagai ladang amal hingga bisa kita tuai di akhirat nanti. Mari istiqomah menggoreskan inspirasi-inspirasi terbaik demi sebuah peradaban gemilang. Bandung, 17 Desember 2014
TENTANG UKM KEPENULISAN ISLAMI AL-QOLAM UPI Unit Kegiatan Mahasiswa Kepenulisan Islami Al-Qolam Universitas Pendidikan Indonesia (UKM KI Al-Qolam
UPI)
merupakan
UKM
yang
bergerak
dalam bidang kepenulisan islami, baik itu penulisan fiksi
maupun
nonfiksi
yang
bernuansa
Islami.
Berlandaskan salah satu surat Alquran, yaitu surat Al-Qolam ayat pertama yang artinya, “Nun. Demi pena
dan
apa
yang
mempunyai
visi
membumikan
(berlomba-lomba
dalam
mereka
tuliskan�, fastabiqul
kebaikan)
kami khairat
melalui
tulisan.
Selain itu, kami juga memiliki misi yang bertujuan menguatkan organisasi dan para anggotanya untuk meningkatkan kualitas ruhiyah pribadi, mutu, serta kemampuan menulis. Perjuangan pembentukan UKM KI Al-Qolam UPI dimulai pada tanggal 24 Maret 2011 dengan pendeklarasian
Komunitas
Menulis
Al-Qolam,
sebagai wadah berkumpulnya para alumni Binder
(Bina Kader) Program Tutorial UPI yang kemudian menerbitkan
buletin
bulanan
Al-Qolam.
Setelah
beberapa bulan berjalan, Al-Qolam mengajukan diri sebagai salah satu media buletin resmi kampus UPI bekerja
sama
dengan
Kemahasiswaan tanggal
27
ditetapkan
Direktorat
(Dirmawa)
Juni
2012,
menjadi
UPI.
UKM
Terakhir
KI
organisasi
Pembinaan
Al-Qolam
resmi
pada UPI
universitas
atau UKM. Setelah resmi menjadi salah satu UKM di UPI, Al-Qolam mempunyai berbagai kegiatan rutin untuk
membina
diskusi
para
kepenulisan
anggotanya, setiap
kepenulisan
dan
upgrading
pengurus,
diantaranya:
pekan,
keislaman,
mentoring
ta’lim
anggota,
bimbingan
konseling
kepenulisan, penerbitan buletin dan majalah, serta kajian
tematik.
mengadakan dilaksanakan
Selain
berbagai untuk
itu,
Al-Qolam
kegiatan
khalayak
umum
juga
lain
yang
yaitu:
Ta’lim
Kepenulisan Islami, Lomba Untaian Inspirasi Islami (Uninis), Kunjungan Produksi ke penerbit, Pelatihan Jurnalistik,
serta
Seminar
dan
Workshop
Kepenulisan Al-Qolam Writivation Festival (AWF).
Kami bukan mencari atau mencetak orang yang alim maupun penulis yang handal, tapi adanya kami
disini
mempunyai
untuk keinginan
mewadahi kuat
belajar
ilmu
keislaman
Karena
pada
hakikatnya,
orang-orang
untuk
sekaligus UKM
KI
berkarya
yang dan
kepenulisannya. Al-Qolam
UPI
merupakan wadah untuk saling belajar dan berbagi ilmu.
DOKUMENTASI KEGIATAN UKM KI AL-QOLAM UPI
Struktur Organisasi dan Keanggotaan
Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) (Dewan penasihat UKM KI Al-Qolam UPI) Eko Apriansyah Ghita Fasya Azuar Linah Taufik R. B
Eko Apriansyah “Jadi anak baik, ya Al-Qolam...”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Pangkalpinang, 14 April 1992 P.B.S.Indonesia / FPBS / 2010 Jalan Bukit Tani No. 323, Pangkalpinang, Prov. Kepulauan Bangka Belitung Jalan Gegerkalong Girang No.35, Kota Bandung 085722755767 sanginspiratorpena.blogspot.com Wartawan dan penulis “Menulis untuk Peradaban!” Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, FKUKM, PAS ITB (masih sedikit bantu-bantu), dan Penulis lepas. Jurnalistik dan Fiksi
Ghita F. Azuar “Membahagiakan dan Menyenangkan bersama AlQolam, karena Allah Swt. semoga Al-Qolam menjadi jalan kebaikan dan keridhoan Allah Swt. bagi kita semua yang berjuang melalui pena! :)� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Jakarta, 6 April 1993 Pendidikan IPS/FPIPS/2011 Jalan Dipati Unus No. 213 Tangerang, Banten Jalan Negla No. 26 Bandung, Jawa Barat 085718269062 Ghitafasyaaz.blogspot.com Pendidik dan Penulis Proses adalah kemenangan dan hasil hanya sebagian kecil dari ujiannya. MPO UKM KI AL-QOLAM dan Bendahara Umum I BEM HIMA P.IPS Fiksi dan Non-fiksi
Linah “Al-Qolam merupakan wadah para aktivis kampus yang ingin berdakwah melalui tulisan serta menambah wawasan keislaman. Melalui beberapa aktivitas yang dimilki, seperti diskusi kepenulisan serta taklim anggota, membuktikan bahwa al-Qolam siap dan mampu menghasilkan penulis islami yang bermanfaat untuk umat. Insya Allah� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung
Bekasi, 04 Juni 1993
No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup
085793650897 Pendidik
P. B. Arab / FPBS / 2011 Cikarang - Bekasi Jl. Sersan Surip No. 160B Kel. Ledeng Kec. Cidadap Kota Bandung
Hidup itu pilihan, pilihlah yang terbaik menurut Allah dan dirimu! Aktivitas selain Mentor Halaqoh dan MPO UKM KI Al-Qolam UPI kuliah Passion Tulisan Nonfiksi
Taufik Ramadhan B. / Adan Ali (barliyin@gmail.com) “Goresan inspirasi penggugah hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat
Bandung, 24 Maret 1992
No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
085624194351
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan / FIP / 2010 Jl. Kopo Cirangrang Gg. Sekolah No. 5 Kota Bandung Taufikadan.tumblr.com Duta Besar RI Nulis Artikel, Naik Gunung, dan Touring Artikel
Ketua Umum (Pemimpin UKM KI Al-Qolam UPI) M. Ginanjar Eka Arli
Sekretaris umum (Penanggung jawab Sekretariat UKM KI AlQolam UPI dan wakil dari Ketua Umum) Dini Wulandari Wulan Sari
Bendahara umum (Bendahara Umum adalah penanggung jawab keuangan UKM KI Al-Qolam UPI) Indria Fitri A. Arifah Putrining A
M Ginanjar Eka Arli “Al-Qolam UPI tempatku belajar, mengabdi, dan berkarya. Jayalah selalu Al-Qolam! Semoga semakin sukses untuk melahirkan penulis-penulis berprestasi yang kompeten di bidang kepenulisan dan keislaman. Aamiin. #GIPH� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup
Cianjur, 8 Februari 1993. Pendidikan Matematika / FPMIPA / 2011. Jln. Cengkeh Tengah II No. 61 Way Halim, Bandarlampung. Jln. Gegerkalong Girang Gg. Geger Suni I No. 83, Bandung. 087822143575 / 085279276337 http://the-sealovers.blogspot.com Guru.
Aktivitas selain kuliah
Hidup untuk berbagi, Ikhlas untuk memberi. Menjadi Ketua Umum UKM KI AlQolam UPI
Passion Tulisan
Jurnalistik dan cerpen.
Dini Wulandari “Al-Qolam itu sekolah kehidupan bagiku. Aku belajar bagaimana mengelola emosi dan air mata menjadi bulir-bulir keikhlasan. Aku belajar bagaimana mengelola tawa dan kebahagiaan menjadi bulir-bulir syukur pada setiap nikmat yang Allah beri� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup
Passion Tulisan
27 Juni 1993 Bahasa dan Sastra/FPBS/2011 Desa Tegal Taman No. 86B. Rt/Rw 02/02. Kecamatan Sukra. Kabupaten Indramayu. 45257 Jl. Cipaku Indah 2 No. 27 Rt/Rw 04/02. Lingkar Ledeng. Kecamatan Cidadap. Bandung. 40143 081947232787 Peneliti, Editor, atau Fashion Designer Manfaatkan waktu dengan sebaik mungkin adalah cara terbaik untuk bersyukur atas karunia usia yang Allah beri. Artikel Ilmiah dan Cerpen
Wulan Sari “Al Qolam adalah keluarga yang memberikan rasa hangat.�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat
No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Bandung, 28 April 1994 Pend. Teknik Arsitektur/ FPTK/ 2013 Jalan Cibangkong No. 274/120 RT 01 RW 06 Kel. Cibangkong Kec. Batununggal Kota Bandung 40273 089629773370 Onewulan.wordpress.com Dosen, Penulis Istiqomah dan berusaha memperbaiki diri Pengajar di Madrasah Miftahul Huda, Anggota KMA- KRIDAYA, Pengurus di UKM KI Al- Qolam UPI, Anggota ROHIS Ketika Cibangkong Bertasbih, dan Anggota Karang Taruna RW 06 Novel dan Cerpen
Indria F Afiyana “Bismillahirrahmanirrahim, Teruntuk saudara-saudara seiman seperjuangan di Al-Qolam, tetaplah semangat karena Allah jika lelah mulai terasa, ingat lagi niat awal perjuangan kita, yaitu Allah semoga ikhtiar dakwah kita di ridhoi Allah, Aamiin Uhibukki fillah” Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Cianjur, 14 Maret 1994 Akuntansi/FPEB/2012 Komplek Bumi Serang Baru blok DD 15 no 3 Kota Serang, Provinsi Banten Asrama Cilimus Indah, Jl. Cilimus. No.11 Rt.07 Rw.06 Kel.Isola. Kec.Sukasari. Bandung. 40154 082121459120 robot92.tumblr.com Akuntan “one day the truth will win this game!” Pratikum, Pengurus di UKM Sciemics, UKM KI Al-Qolam UPI, Assalam, dan Stuften (student from banten) Sajak, Karya Tulis Ilmiah, dan Jurnalistik
Arifah P. Asma / Dzakira Aftania “Cuma di sini tempatnya buat
mahasiswa UPI yang pengen menginspirasi banyak orang dengan tulisan Islaminya :D�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Bandung, 01 Desember 1995
Alamat di Bandung
Jalan Geger Kalong Girang No. 79
No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
089651084559 Dzakiraaftania.blogspot.com Dosen
Pendidikan Teknologi Agroindustri/FPTK/2013 Perumnas, Blok A2 No. 14 Cibeber, Cilegon, Banten
Pengurus di Himagrin, UKM KI AlQolam UPI, dan Tutorial Lanjutan Essai, Cerpen, dan Artikel
Divisi Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) (Divisi Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) adalah divisi yang bertanggung jawab melakukan kaderisasi dan pengembangan kemampuan berorganisasi dan ruhiyah (spritual) anggota UKM KI Al-Qolam UPI)
Dea Yolanda Ahmad Fauzi M Febriant Musyaqori Ramdani Lutfiani M Salma Nur Afifah Yusuf Nurdiansyah
Dea Yolanda Untuk Al-Qolam, Terimakasih atas ilmu dan pengalaman berharga yang saya dapat selama menjadi bagian dari Al-Qolam. Suka dan duka ini kelak akan menjadi kenangan berharga yang tak terlupakan. Semoga Al-Qolam lebih baik dan progresif. Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Tasikmalaya, 15 November 1993 Pendidikan Bahasa Inggris/FPBS/2012 Kp. Nusawangi 01/02 Ds. Linggalaksana Kec. Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya 46193 Geger Arum 083820636498/085221853445 deayola.blogspot.com Pengajar Do the best because of Allah Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Staff Pengajar di Rainbow Course, dan Englsih Students’ Association.
Cerpen dan puisi
Salma Nur Afifah “Mujahid dan mujahidah yang berperang dengan penanya�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bandung, 12 Oktober 1995 Pend. Teknik Arsitektur/FPTK/2013 Jalan kawali 7 no. 5 antapani Bandung 40291 089670262834 Salmanur.blogspot.com Penulis, guru, arsitek Dimana ada kesulitan pasti ada kemudahan Pengurus di UKM KI Al-Qolam dan KMA Kridaya Fiksi dan Opini
Lutfiani Masyaridilah (lutfiani.masyaridilah@yahoo.c om) “Goresan inspirasi penggugah hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Purwakarta, 04 Januari 1995 Pendidikan Ilmu Pendidikan Agama Islam / FPIPS / 2013 Purwakarta Gerlong Girang No.45 Bandung 085723422775 lmasya.blogspot.com Fasilitator Pendidikan Bergerak dengan Hati Fasilitator DTI, Sekbid PSDO Hima IPAI, Staf Lab. Baitul Hikmah Puisi
Ahmad F Mulyana (Inspirasi.penaku@gmail.com)
“Saatnya berkarya lewat Tulisan Islam”
Bandung, 11 September 1993 Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Pend. Biologi/ FPMIPA Tahun Jl. Abdi negara II no. 302 Sumber, Alamat asal Kab. cirebon Alamat di Bandung
Jl. Sederhana II no.29 Sukajadi, Bandung
No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
085724647488 Penulis, Dosen
Berkarya dan Berdedikasi Pengurus di BFUB Biologi, DPM HMBF, BAQI UPI, Al-Qolam, dan LEPPIM UPI. Passion Tulisan Tentang Biologi, tentang Al-Qur’an, dan tentang keislaman (motivasi, kisah2, kiat sukses, dll)
Febriant M Ramdani (Febrian.mr@gmail.com)
“Subhanalloh Luar Biasa #Goresan Inspirasi Penggugah Hati.. Allohuakbar!!!”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Bandung, 26-Februari-1995 Pendidikan Sosiologi/FPIPS/2013 Kp.Loji RT02 RW02 Desa Cipada Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat 40551 Jln. Sari Asih II RT06 RW10 Kelurahan Sarijadi Kecamatan Sukasari – Kota Bandung 089657389433 Febriantmusyaqoriramdani.blogsp ot.com Guru, Penulis, Pengusaha Bahagia Setelah Sulit Pengurus di Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, UKM KI Al-Qolam UPI, dan Lingkar BidikMisi Cerpen, Puisi, Novel, dan Artikel
Yusuf Nurdiansyah (Sufansyah12@gmail.com)
“Harmoni Berkarya, Berjuang, Beramal�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Bandung, 04-10-1990 Pend. Bahasa dan sastra Indonesia/FPBS/2010 Jl.Cikampek 4 no 3 085795388715 Kubus-fantasi.blogspot.com Masuk syurga Tidak ada yang mustahil! Guru di Mts Al-Mursyid, Pengurus Bidang Kaderisasi JPRMI kec.Antapani, Anggota UKM KI AlQolam UPI, dan Anggota Majelis Syuro RISMA Al-Mukhlishin Fiksi islami
Divisi Produksi (Divisi Produksi adalah divisi yang bertanggung jawab mengelola karya kepenulisan di UKM KI Al-Qolam UPI)
Haifa Afifah Sholihah Afiyah Dini Siti Rufaidah Ika Nurjanah Melinda Gultom Muhammad Abdullah Wahyu Eka Jayanti
Haifa Afifah Sholihah/ HMf “Semoga Al-Qolam dapat menjadi salah satu media yang dapat pusat opini mahasiswa, khususnya UPI, umumnya yang membacanya. Tingkatkan kualitas produk, lebih tenggang rasa, dan mengoptimalkan kinerja serta saling bahu-membahu menuju puncak harapan bersama� Tempat, Tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup
Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Bandung, 4 November 1993 Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2011 Jln. Eyang Tirta Praja no. 40 Perum BTN Raya Pamanukan blok: 7 No.26 Jln. Soekarno Hatta, blkg LP. Rt/RW: 02/02 no. 3 Kec. Bojongloa kidul Kel. Mekarwangi. 085794931621 Safarholic.tumblr.com, haifa-afifah.blogspot.com Pendidik, Manager, Ibu Rumah Tangga Profesional Apa yang bisa kamu lakukan hari ini. maka lakukanlah! Keberanian menyirat keajaiban didalamnya. Mengelola Penerbitan, Menulis, menggambar, membaca, mengelola perpustakaan pribadi Muflih Home Library, belajar kerajinan tangan (pop up, rajut, origami dll), penelitian remaja di LP2K, dan Mengelola Blog dakwah Artikel, puisi, infografis, cerpen.
Ika Nurjanah “Di sini saya mengenal arti ukhuwah, di sini saya mengenal arti sebuah keihklasan, dan di sini saya banyak belajar melalui berbagai hambatan serta tantangan yang di hadapi�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Subang,15 Januari Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013 Subang Jl.sersan bajuri 087778679517 Dosen Bahasa Arab dan penulis Not easy but nothing impossible Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI dan Himpunan Mahasiswa Bahasa Arab. Novel dan cerpen
Dini Siti Rufaidah “Sumber inspirasi dan sahabat menuju impian saya menjadi penulis, guru dan sumber ilmu�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. Kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bandung, 27 November 1994 Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013 Jln Manglid no 76 rt 03 rw 10 desa Margahayu selatan kec. Margahayu kab. Bandung Jln Manglid no 76 rt 03 rw 10 desa Margahayu selatan kec. Margahayu kab. Bandung 08972655814 Guru Berusahalah terus istiqamah mendari ilmu Mengajar di Madrasah Diniyah, Pengurus di UKM KI Al-Qolam dan KQ UPI Puisi
Afiyah “Al-Qolam, kau tempat paling tepat untuk mimpiku yang terhebat. Menjadi penulis masa mendatang yang berani menantang karang�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Tangerang, 10 Maret 1994 Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2012 Jl. Palem Raya blok II No.2 rt.02/23 perumnas I, Cibodas, Cibodasari, Tangerang. Jl. Cilimus No.11 rt.07/06, Asrama Cilimus Indah, R.5R4, Bandung, 40154 083820250200/085720018856 lintangdsalamah.blogspot.com Guru, penulis, script writter, sutradara Hidup cuma SEKALI, hiduplah yang BERARTI Staf pengajar Madrasah Dinniyah AlHuda, Cilimus, Pengurus BEM KEMABA, dan UKM KI Al-Qolam UPI. Puisi, Naskah drama, dan Komik.
Muhammad Abdullah “Senang sekali bisa bergabung dengan Al-Qolam. Al-Qolam itu sudah seperti keluarga sendiri, sekrenya sudah seperti rumah sendiri. Nyaman sekali pokoknya. Senang bisa mengenal kalian. Uhibukum Fillah�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Lamongan, 5 April 1995
Passion Tulisan
Cerpen, skripwriter
Ilmu Komunikasi/FPIS,2013 Lamongan Geger Suni 1, Geger Kalong Girang 089620763880 Esclavodios Sutradara, penyiar dan penulis With Allah, All is Possible Ngajar Privat dan rapat Himpunan
Melinda Gultom “Serius Jalani semua kegiatan di sini dengan serius ya, insya Allah kalian dilatih untuk jadi penulis hebat di sini� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Pandeglang, 27 Oktober1991 Pend. Bahasa Jepang/ FPBS/ 2011
Pandeglang, Banten 42262 Gang Geger Bhakti no. 6A 083813235079 Milinmelin.tumblr.com Ilmuwan yang penulis dan hafidzah. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan belajar. Menulis Cerpen dan artikel
Wahyu Eka Jayanti “Semoga Al-Qolam bisa mengukir nama seindah pelangi. Melahirkan karya-karya hebat yang akan menjadi sejarah perjuangan dakwah dengan pena. Semakin kreatif dan inovatif. Terus berkarya menuju Al-Qolam jaya! Meski tidak bisa berkontribusi banyak. Sangat menyenangkan bisa menjalin silaturahim dengan AlQolam ”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. Kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bengkulu, 5 Maret 1989 Biologi/Pascasarjana/2013 Jl. Semarak Rt. 7 – Rw. 2 – No. 9 kel Bentiring permai Kec. Muara Bangkulu Kota Bengkulu. Jl Geger asih gg cempaka No. 105. Rt. 2 – Rw. 6 kel Isola Kec. Sukasari Kota Bandung. 085273529601 Guru/dosen Tiada hari tanpa belajar Menjadi pengurus di UKM KI AlQolam UPI. Puisi, novel, dan cerpen
Divisi Humas (Divisi Humas adalah divisi yang bertanggung jawab mengenai hubungan masyarakat UKM KI Al-Qolam UPI, baik dengan pihak intern maupun ekstern)
M. Zainal Arifin Ajeng Ayu Milanti Dian Diana Elsa Mulyani Fathia Uqimul Haq Lia Liawati
M Zainal Arifin (muhamadzainal66@y ahoo.com) “Goresan inspirasi penggugah hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Garut, 10 April 1994 P.B.S. Indonesia/FPBS / 2012
Garut Sukajadi Jl. Cilandak
087824588848 Pengajar Profesional Berakhlaqul Qarimah Selamat hidup di dunia dan akhirat Menjadi santri di Ponpes dan Pengurus di LDK UKDM UPI, Himasatrasia, dan UKM KI AlQolam UPI Passion Tulisan Non-Fiksi (KTI atau Artikel)
Lia Liawati “Di sini kutemukan jati diri tuk wujudkan mimpi menjadi penulis sejati hingga akhir hayat nanti ”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Kuningan, 31 Agustus 1994
Alamat di Bandung
Jl. Gerlong Girang Gang Cempaka 2 No 17 RT.02 RW.06
No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup
085759721613 http://lialiawati14.blogspot.com Dosen sekaligus penulis
Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Pendidikan Teknologi Agroinsustri /FPTK /2013 Dsn. Manis RT. 15 RW.05 Ds. Pamulihan kec.Cipicung Kab,Kuningan
Selalu ada jalan jika ada kemauan dan usaha Belajar Kelompok, menjadi pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, IMTEK (Ikatan Muslim Teknologi dan Kejuruan), Fosmaku, dan MPK(Mahasiswa Peduli Kuningan). Cerpen, novel, esai.
Fathia U. Haq “AL-QOLAM, wadah kamu memperbanyak relasi, wawasan berorganisasi, kekeluargaan, dan kepenulisan jika memang kamu benar-benar menjalankannya dengan baik. Al-Qolam wadah bagi kamu berekspresi dan menunjukkan eksistensi. Al-Qolam akan memberikan apresiasi kepadamu jika kamu bisa memberikan sumbangsih apapun yang lebih kepada Al-Qolam sendiri� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Bandung, 14 Februari 1995 Ilmu Komunikasi/FPIPS/2013 Jalan Bintang No.28 Kopo Elok. Bandung 089650728571 Fathiauqim.blogspot.com Profesor bidang Komunikasi, Author, dan Scriptwriter Just Think I can, Allah with me Pengurus di Himpunan Ilmu Komunikasi, UKM KI Al-Qolam UPI, Kesatuan Aktivitas Pelajar Muslim Indonesia, dan Forum Remaja Mahasiswa Islam Bandung. Artikel /feature, Esai , dan Fiksi
Dian Diana (Diand5220@gmail.com) “Goresan inspirasi penggugah hati�
Kuningan, 29 Oktober 1995 Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Pendidikan Sosiologi/ FPIPS/ 2013 Tahun Desa Sidamulya RT.01 RW.01 Kec. Alamat asal Jalaksana Kab. Kuningan 45554 Jalan Geger Kalong Girang No. 27C Alamat di Bandung 08987381182 No. kontak Pengusaha, Guru Cita-cita (profesi) Aktivitas selain Pengurus di Himpunan dan UKM KI Al-Qolam UPI kuliah Passion Tulisan Fiksi dan Non fiksi
Elsa Mulyani / Shaman Al-Rasym (Sawon_thea@yahoo.co.id)
“Goresan inspirasi penggugah hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bandung, 04 Desember 1993 Pend.IPS/FPIPS/2011 Kp.Cibulakan Rt/Rw.01/08 Des. Mekarsari Kec.Pacet-Bandung Jl. Negla 26 085759710087 Kesuksesan adalah proses Belajar, Pengurus di UKM KI AlQolam UPI dan HIMA PIPS Fiksi Islami
Ajeng Ayu Milanti “Allahu Akbar�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Cirebon, 14 Januari 1993 PKn/ FPIPS/ 2011 Cirebon Jl. Negla 08977851014 Dosen, Pemilik Yayasan Memudahkan orang lain = memuliakan diri Belajar, pengurus di Al-Qolam dan Himpunan Cerpen dan Novel
Divisi Pelatihan dan Bimbingan (Divisi Pelatihan dan Bimbingan adalah divisi yang bertanggung jawab melakukan pelatihan dan bimbingan kepenulisan di UKM KI AlQolam UPI)
Nurul Lutfia Ahmad Yudiar Iis Titi Nadya Mufida Ulfa Rahma Nur Amalia Siti Rohmahyati Yani Fitriyani
Nurul Luthfia “Al-Qolam itu tempat belajar,
bertumbuh dan bermanfaat! =D�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Cirebon, 16 Maret 1993 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/FPBS/2011 Jalan Arif Rahman Hakin No. 31 Cirebon Gegersuni 087829563229 http://www.ulviaaa.com/ Pendidik dan Penulis Be a Great Muslimah! Menjadi pengurus di UKM KI AlQolam UPI, PAS ITB dan Internet Marketing Fiksi dan Jurnalistik
Siti Rohmahyati / Sarah Zaidan “Al-Qolam… uhibbuki fillah”
Tempat, tanggal lahir
Bandung, 19 Agustus 1993
Jurusan / Fak. /
Bahasa dan Sastra
Tahun
Indonesia/FPBS/2011
Alamat
Jl. Sari Wates Indah IV No.6 Rt.03 Rw.13 Kel. Antapani Kec. Antapani Kidul. Kodepos. 40291
No. Kontak
087822002465
Pos-el / FB / Twitter
Fb: Siti Rohmahyati/ Twitter: Siti Rohmahyati
Cita-cita (profesi)
Editor, Penulis, Pakar sastra anak/Parenting
Aktivitas selain kuliah
Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI
Passion Tulisan
Kritik Sastra, Parenting, dan Cerita Anak
Yani Fitriani “Di sinilah aku belajar lebih dalam tentang hakikat pencapain sebuah mimpi. Adanya aku di sini, kusadari inilah jalan Tuhan yang dibukakan-Nya untukku menggapai mimpi.�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup
Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Sumedang, 27 Juni 1995 Pendidikan Bahasa Arab/FPBS/2013 Dsn.Kebonkopi RT.14/RW.04. Desa Pakualam Darmaraja- Sumedang Jln. Sersan Bajuri, No.7 Negla RT.04/RW.02 Gang Al-Ikhlas 085794341636 Penulis Setiap kata harus Bermakna, setiap langkah harus bernilai Ibadah karena Hidupku adalah Amanah Menjadi pengurus di UKM KI lQolam UPI Novel, Selfhelp-book
Rahma Nur Amalia "Hidup di dunia cuma sekali, jadilah penulis supaya hidup selamanya " *konotasi wkwkwk. tetap jadi inspirasi untuk Dunia yaa Sohibul Qolam.
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Thn Alamat asal
Alamat di Bandung No. Kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup
Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Cirebon, 23 Desember 1994 Pendidikan Ekonomi/FPEB/2013 Jl. Cibangkong No 263/120 B RT08/RW06 kelurahan Cibangkong, Kec.Batununggal, Kota Bandung Jl. Sersan Bajuri No 14, Kota Bandung 085795859809/089575320676 www.Rahmasivers.blogspot.com Penulis dan Pendidik Pendidik yang berpikir Ekonom, Ekonom yang berprilaku Pendidik, Pendidik Ekonom yang berkualitas Sastrawan. Menjadi Pengurus di Dewan Kerja Ranting Gerakan Pramuka kec. Coblong, UKM KI Al-Qolam UPI, dan UKM Koperasi Mahasiswa Bumi Siliwangi Puisi dan Novel
Iis Titi “Saya baru menemukan organisasi yang “betul-betul” menerima saya, di Al-Qolam ini. Berbagai masalah yang muncul di Al-Qolam justru menjadi tempat bagi saya untuk belajar bersabar dan bersyukur”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat
No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup
Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Cimahi, 07-07-1993 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/FPBS/2011 Jalan Karya Bakti Kampung Lebak Saat RT 02/RW 18 No. 41 Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi Kode Pos 40511 081809932997 Pengajar, Pencari dan pengajak pada jalan kebenaran (agama, filsafat, ilmu, sastra) Sibukkan diri dengan kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas diri yang diridhoi Allah Swt. Kursus bahasa Inggris dan menjadi Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI. Esai/Artikel, Puisi, dan Cerpen
Nadya Mufida Ulfa / Mufida Hambali (nad.muf18@gmail.com) “AL-QOLAM A growing innocent and annoying baby�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bandung, 18 Mei 1995 Bahasa dan Sastra Inggris/ FPBS/ 2013 Jl. Terusan 11 April No. 22, Dsn. Cinungku RT 03/03 Ds. Cikoneng Kulon Kec. Ganeas Kab. Sumedang 45356 Jl. Gegerkalong Girang Gg. Gegersuni III No. 59 RT 07/03 Bandung 082115165064 Chef Keep moving forward! Mencari Ridha Allah, Pengurus di UKM BAQI, Tutorial, Himpunan/ Jurusan, dan UKM KI Al-Qolam UPI Esai, Cerpen, dan Novel
Ahmad Yudiar “Semoga setiap goresan pena yang tertoreh, dan setiap tinta yang melekat di lembaran kertas putih memberikan sejuta manfaat bagi penulis dan pembacanya. Suksses selalu untuk AlQolam. Allahuakbar� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Payabenua, 17 Januari 1995 PPB / FIP / 2013 Bangka Belitung Panorama 087797296272 Konselor dan Guru BK (Dosen) Life is Meaningfull Aktif di Himpunan, BAQI, dan AL QOLAM Cerpen dan Puisi
Divisi Teknologi dan Informasi (Divisi Teknologi dan Informasi adalah divisi yang bertanggung jawab mengelola media daring UKM KI Al-Qolam UPI)
Windi Nugraha F. Andreansyah Dwi Wibowo Invea Nur Mukti Lestari Laela N. Nursaibah Mendayu Amarta Fitri Muldan Cahya R
Windi Nugraha Fadilah “Al-Qolam adalah UKM keislaman yang pergerakan dakwahnya bisa dikatakan pesat dengan berbagai acara kepenulisan Islami, khususnya di kampus UPI. Al-Qolam memberikan kontribusi nyata untuk dakwah Islam dengan tulisan yang bertujuan menyentuh hati pembaca sehingga bisa lebih menaati Allah di dalam setiap kehidupannya� Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bandung, 19 November 1992 Pendidikan Teknik Elektro/FPTK/2011 Kp. Andir Kidul No. 57 RT 05 RW 03 Kel. Pakemitan Kec. Cinambo Bandung 40612 0896 2736 3919 www.umatmuhammad.com kolomfadil.blogspot.com Guru, penulis dan webmaster Laa ilaaha illallaah, muhammad rasuulullaah Tim Dakwah Umat Muhammad, Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Rohis HME FPTK UPI, Bisnis, dan Menulis buku.
Non-fiksi
Laila Nursaibah “Goresan inspirasi penggugah hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Passion Tulisan
Sumedang, 19 April 1994
Pendidikan Luar Sekolah / FIP / 2012 Sumedang Panorama 082317595371 Pendidik Fiksi
Andreansyah Dwiwibowo (aiem_muslim@yahoo.co.id) “Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Bandung, 17-11-1990 Pendidikan Olahraga / 2013 Kp. Desakolot Kec. Cilawu Garut Jl. Tubagus Ismail Dalam 1. No. 159 – 27A. Kec. Coblong 085795450601 andreatauladan.blogspot.com Dosen – pendidik Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun FKM, Al Qolam, usaha, dan nulis di blog Artikel islami, Artikel ilmiah, dan Artikel motivasi
Mendayu Amarta Fitri “ UKM KI Al-Qolam : Goresan Inspirasi Menggugah Hati! ALLAHUAKBAR :D�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung
No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Padang Aro, 2 Maret 1995 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia / FPBS / 2013 Jalan Lintas Padang-Sungai Penuh No. 143 Jorong Sungai Padi, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat Asrama Putri Minang Surau Awak Jalan Sersan Bajuri Dalam No. 8 Ledeng Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Bandung 087895383206 Guru Yang kau tuai, yang kau tanam Pengurus di Program Tutorial dan UKM KI Al Qolam UPI Cerpen, Puisi, dan Artikel
Invea Nur Mukti Lestari / Ummu Syauqi inveahanazono@yahoo.com “Satu tulisan akan mampu mengubah dunia ini menjadi lebih baik”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat
Bandung, 21 Oktober 1995
Pendidikan Fisika/FPMIPA/2013
Jalan Haji Ghopur, Perumahan Graha Bukit Raya 3 Blok E-1 No. 11, Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat No. kontak 089656465969 syauqifamily.wordpress.com/syauqiBlog family.tumblr.com Ibu Rumah Tangga yang mampu Cita-cita (profesi) mencetak generasi Qur’ani, generasi mujahid penegak Islam di Bumi Allah Moto hidup Hidup mulia dan Mati syahid Pengurus di Bintang Cimahi, LDK Aktivitas UKDM UPI, IJMA Nurul Ihsan SMAN 1 selain Cimahi, dan UKM KI Al-Qolam UPI kuliah Catatan penggugah inspirasi, muhasabah Passion dan motivasi dan Fiksi Tulisan
Muldan C. Robi (Muldan.98@gmail.com)
“Membaca dan menulis�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup
Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Bandung, 20 september Tekpend/FIP/2012 Nagreg Gerlong 085722306695 Muldancahyarobi.blog.com Pengusaha, Penulis, Pengembang Kurikulum Tidak berusaha menjadi sukses, tapi berusaha berguna bagi orang lain. Itu lebih dari sukses. Ketua Umum di HIMA Tekpend, Pengurus di Keluarga Mahasiswa Garut (Pendidikan) dan UKM KI Al-Qolam UPI Esai
Divisi Dana dan Usaha (Divisi Dana dan Usaha adalah divisi yang bertanggung jawab membantu pengadaan keuangan UKM KI Al-Qolam UPI bersama Bendahara Umum)
Asep Syahbudi Elis Setiawati Elsa Nur Vriatnika Nenden Maesaroh Qory Gustri Pratama Salati Asmahasanah
Asep Syahbudi “Goresan inspirasi penggugah hati”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Cirebon, 30 April 1994 P.T.Elektro / FPTK / 2012
Jl. Raya Karangtengah No.2 Dusun 2 Rt/Rw 1/5. Desa Karang Tengah No.2 Kecamatan Karangsembung – Cirebon. Jl. Cipaku 1 08987306449
Dosen – pendidik Berkah dan Bermanfaat Pengurus di UKM KI Al-Qolam UPI, Perguruan Silat Tadjimalela, dan Program Tutorial UPI Fiksi dan Non-fiksi
Elsa Nurvariantika “Alhamdulillah, jadi anggota Al-Qolam itu sesuatu bangeet. Al-Qolam adalah rumah di mana saya dapat termotivasi untuk berkarya tanpa melupakan islam.”
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung
15 November 1993 Pendidikan Bahasa Inggris/FPBS/2012 BTN Kasturi Perdana Jl. Pandu No.59 B RT 20/04 Kel. Kasturi, Kec. Kuningan, Kab. Kuningan. Jl. Geger Kalong Girang No.43 RT 06.03 Kel. Geger Kalong, Kec. Sukasari, Bandung.
No. kontak Blog
085797453443 www.elsacifer.wordpress.com
Cita-cita (profesi)
Novelis atau Produser
Moto hidup
Naseba Naru—apa yang bisa dilakukan, lakukan hingga akhir. Pengurus di HIMAGRIN FPTK UPI, UKM KI Al-Qolam UPI, Hikmatul Iman, dan Menuliiis :D Fiksi fantasi – islami dan artikel teknologi
Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Nenden Maesaroh “Goresan Inspirasi, Penggugah Hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Passion Tulisan
Garut,05 Agustus 1995 Pendidikan Sosiologi/FPIPS/2013 Kp.Sipon rt/rw 02/10 Desa.Bayongbong Kec.Bayongbong Kab.Garut. Jln.Geger Arum no.17 Desa.Isola Kec.Sukasari Bandung 089686374171 Nendenmaesaroh.blogspot.com Dosen sosiologi, Wirausahawan, dan Penulis Allah dulu, Allah lagi, Allah terussss Menjadi pengurus di Himpunan Jurusan (JMPS) dan UKM KI Al-Qolam UPI.
Novel, artikel, dan cerpen.
Qory G. Pratama (qory_gus31@yahoo.co.id)
Al-Qolam, Sebuah organisasi yang masih sangat muda, namun dengan punggawa-punggawa yang berpengalaman membuat UKM ini tidak terkesan baru muncul. UKM ini punya mimpi besar dan semoga usahanya pun besar untuk mewujudkan mimpi itu. Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah
Banyumas, 10 Agustus 1995 Pendidikan Matematika / FPMIPA / 2013 Kelurahan Sibalung, RT 01/RW 05, Kecamatan Kmranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Jalan Cilimus no. 13, RT 01/RW 04, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Isola, Bandung 085747784767 Guru Harus ada persiapan untuk bisa tampil tanpa beban. Pengurus di Himpunan Mahasiswa Matematika dan UKM KI AlQolam UPI
Elis Setiawati (elissetiawati28@gmail .com)
“Goresan Insipirasi Penggugah Hati�
Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal
Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Aktivitas selain kuliah Passion Tulisan
Kuningan, 28 Maret 1995 Pendidikan Sosiologi/ FPIPS/ 2013 Jl. Raya Bunigeulis No. 415 Rt 17/ Rw 04 Kec. Hantara Kab. Kuningan Jl. Gegerkalong Girang no. 30 085724826308 Elissetiyawaty.blogspot.com Guru/Dosen Man Jadda Wajada Pengurus di Himpunan dan UKM KI Al-Qolam UPI Artikel dan Cerpen
Salati Asmahasanah (salatiasmahasanah@gmail. com) “Al Qolam ibarat air mengalir yang menyejukkan dan cahaya pelita kehidupan yang mengasah dunia “ Tempat, tanggal lahir Jurusan / Fak. / Tahun Alamat asal Alamat di Bandung No. kontak Blog Cita-cita (profesi) Moto hidup Passion Tulisan
Bengkulu, 15 Agustus 1989 Pendidikan Dasar/ SPs/2012 Desa Padang Bendar Kab.Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu Paviliun Ibu Hj. Sukarti Geger Arum nomor 14 RT 04 RW 06 Kel. Isola Kec. Sukasari Kota Bandung 087821735158/085273650336 Inga salati Menjadi pendidik profesional Lakukan yang terbaik karena Allah Fiksi dan Non-Fiksi
Cerita Inspirasi
Titik Hidup Oleh: Eko Apriansyah / Yansa El-Qarni (ekoapriansyah@rocketmail.com)
Kukenalnya sebagai tanda baca dalam kehidupan Di mana semuanya berhenti ataukah akan kulanjutkan lagi Untuk menyusun rerangkai cerita Yang akan kubukukan sebagai sejarah “Ian, setelah wisuda ini kamu mau apa? Pasti menikah, ya?” ujar Ahmad kepadaku sembari merangkul diriku yang masih memakai toga. “Nggak. Aku belum akan menikah. Aku masih ingin berpetualang keliling dunia, Mad.” “Lha, bukannya kamu sedang dekat dengan seorang perempuan?” “Siapa bilang? Nggak ada kok!” Aku pura-pura tak tahu, walaupun sebenarnya aku paham bahwa perempuan yang dimaksudkan Ahmad itu adalah Zahra. Sosok perempuan muslimah yang
sering
digosipkan
dekat
denganku.
Ya...,
kami
sebenarnya memang sempat dekat. Tetapi itu dahulu, bukan sekarang. Bagiku, aku bukanlah orang yang pantas untuk memiliki Zahra. Dia terlalu lurus. Berbanding terbalik denganku yang masih liar dan ingin bebas. Seorang aktivis keislaman sepertinya apabila disandingkan denganku yang pencinta sastra ini sangatlah tidak berimbang. Ia sangat paham akan agama sedangkan aku masih tertinggal jauh darinya. Namun, benar kata orang, apabila sudah terkait dengan hati, alasan-alasan logis seakan tak berguna. Begitupun bagi Zahra, jeratan perasaan telah membuatnya seolah tak sadar siapa diriku sesungguhnya. Ia hanya melihatku sebagai sosok ideal seperti tokoh pemuda muslim yang kuceritakan dalam novel pertamaku yang dibacanya. Pernah suatu kali, Zahra meminta padaku agar segera melamarnya. Aku kaget karena aku merasa kami tidak punya hubungan lebih dari sekadar teman walaupun dapat dikatakan kami berdua cukup akrab. Gadis bermata jeli itu sesekalinya menatap mataku dengan penuh harap, padahal dari dulu hingga saat itu,
dia hampir tak pernah berani menatap mataku. Entah ada kekuatan apa yang membuatnya sanggup melakukan hal tersebut. Aku jadi salah tingkah karena jauh di dasar hatiku juga memendam rasa padanya. Lelaki mana yang tak gemetaran bila di hadapkan dengan sosok perempuan salehah nan rupawan yang bersedia menjadi pedamping hidupnya? “Zahra, menikah adalah sebuah titik dalam paragraf hidupku. Di mana aku harus membuat kalimat baru untuk melanjutkan titik itu. Aku masih belum ingin membuat titik ketika kalimat sebelumnya belum aku selesaikan. Kamu tahukan kalau aku ingin menjadi musafir dan berkeliling untuk melihat dunia ini?” jawabku padanya. “Kamu bisa mengganggapku sebagai koma, biar kamu
bisa
sejenak
berhenti
untuk
meneruskan
kalimatmu itu nanti, Ian. Kamu bisa melakukan perjalanmu bersamaku,” balas Zahra dengan bola mata yanga berkaca-kaca. “Aku mungkin bisa menuliskanmu sebagai koma, tapi bagimu aku tetaplah akan menjadi titik yang membuatmu menuliskan kalimat baru dalam paragraf
hidupmu. Sebaiknya kaupilih orang lain yang juga bersedia
menjadikan
dirimu
sebagai
titik
dalam
hidupnya, sehingga kau tak perlu mengubah kisahmu menjadi kisah yang tak sesuai dengan citamu. Aku mengenalmu, Ra. Kamu takkan sanggup bertahan bersamaku.� Setelah kejadian itu, hubungan pertemananku dengan Zahra menjadi renggang. Kami selalu saling menghindar ketika berjumpa. Adapun interaksi yang kami lakukan hanyalah saling sapa tanpa melihat wajah. Tampaknya Zahra kecewa dengan jawabanku kepadanya saat itu. Tak selang berapa minggu lamanya, kudengar kabar bahwa Zahra akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang lelaki lulusan salah satu universitas terkemuka di Bandung. Lelaki yang sungguh berbeda dariku. Lelaki itu jelas mempunyai masa depan cerah karena bekerja di sebuah perusahaan besar dan ia juga dari kalangan keluarga yang agamis. Tak seperti diriku yang masih senang bergelut dengan dunia tulis-menulis tanpa ada kejelasan materi dan hampir tak pernah bersinggungan dengan kegiatan keislaman. Adapun
kegiatan keislaman yang kulakukan hanyalah membaca buku-buku keislaman yang dijadikan referensiku dalam menulis novel. Zahra kini sudah menemukan titik untuk membuat kalimat baru dalam paragraf hidupnya. Aku sendiri masih meneruskan kalimat tentang impianku yang belum mencapai titiknya. Kalimat yang masih bisa kuhapus ataupun kutulis ulang beberapa katanya agar mencapai kalimat efektif yang ingin kurangkaikan sebelum membubuhkan titik di depannya. Sebuah petualangan yang telah kunantikan sedari kecil, yaitu membaca dan menuliskan semesta-Nya untuk kupelajari. Seharusnya penantian itu terwujud dalam waktu dekat ini. Tepatnya setelah aku menyelesaikan novel kelima yang sudah mencapai penulisan bab terakhirnya. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada hari ini kutemukan titik hidupku yang lain. Di jalanan yang licin karena hujan. Ketika motor yang kukendarai menuju tempat resepsi pernikahan Zahra berhadapan dengan sebuah truk yang tiba-tiba oleng di tengah jalan.
Bandung, 24 November 2014
Sajadah untuk Mami oleh Ghita Fasya Azuar (ghitaazuar@gmail.com)
Terbalut karunia Allah. Mengalun bersama hati nan tulus. Teriring ucap lirih hati. Meminta dalam dekapan kuasa Allah. Maha pemilik cinta dan menguasai cinta seisinya. *** Ku lihat arah jam di pergelangan tangan kiri. Angka sudah menunjukkan pukul 22.00 khawatir dalam hati segera menyeruak. Terlihat dari wajah senduku. Ditambah pula oleh dinginnya suasana malam yang anginnya sudah menusuk tulang. Sudah hampir 30 menit aku duduk gelisah di kursi terminal di kota pahlawan ini. Menunggu bus mini yang akan segera membawa ku ke dalam kehangatan rumah. Memang berat menjalani pekerjaan sebagai seorang SPG di salah satu pusat perbelanjaan terkemuka di kota sejuk ini. Tapi, aku harus
bertahan demi Ibu dan adikku. Mereka membutuhkan upahku di pekerjaan ini. “Hanum ya?” Mobil
berwarna
hitam
mengkilap
seketika
berhenti di hadapanku. Dengan membuka kaca sopir, pengemudi di dalam menyebut namaku. “Hemm. Saya, Mbak?” ucapku. “Kamu Hanum, kan?” tanya perempuan ini lagi untuk meyakinkan. “Iya” jawabku. Setelah memutar memori otak, aku baru ingat dia adalah Juwita sahabatku ketika SMA dulu. Juwita pun mengajakku masuk ke dalam mobilnya dan akan mengantarku pulang. Sudah hampir delapan tahun aku tak berjumpa dengan Juwita, selain memang kita berbeda sekolah ada pula masalah pribadi lainnya antara aku dan Juwita. Tapi, sepertinya Juwita sudah mengusir jauh masalah itu. Terlihat dari mimik dan gerak tubuhnya
lepas tanpa beban dan terlihat tulus menolongku di kegelapan malam. Sungguh aku pangling melihat kecantikan Juwita saat ini. Dengan hijab dan pakaian menjuntai tertutup ke seluruh tubuhnya semakin membuatnya terlihat sebagai wanita yang bijaksana dan matang. “Kau cantik sekali Ju. Mas Yusuf tidak salah memilihmu sebagai istrinya.” Nama Yusuf membuat Juwita menginjak rem mobilnya. Mobil ini terhenti di jalanan lenganng. “Kau tahu mengenai nama itu, Num?” tanya Juwita dengan mimik terkaget. *** Pertemuanku dengan Juwita tadi malam begitu mengesankan. Aku, Juwita, dan Ferly alias Yusuf. Bukan lagi berkecamuk menjadi sebuah masalah. Tapi, kini masalah itu muncul antara Juwita, Ferly, dan Mami Susi. Juwita dan Ferly sudah menikah tiga tahun lalu. Hatiku tersayat ketika mendengar kabar itu yang juga
membuatku tak ingin menyentuh cinta dengan lelaki lain. Dalam benakku kebahagiaan melingkari kehidupan Juwita, terlebih Ferly berpindah keyakinan mengikuti keyakinan Juwita sebagai seorang muslim. Tapi, ternyata tidak seperti bayanganku. Juwita menceritakkan sedikit banyak mengenai pernikahannya. Keluarga Ferly yang notabenenya adalah seorang kristen taat dengan budaya batak yang kental membuat perjuangan cinta Juwita semakin terjal. Sampai usia pernikahan
mereka
tiga
tahun
Juwita
masih
memperjuangkan restu dari ibu mertuanya yang kini tinggal satu atap dengan Juwita dan Ferly. *** Hari ini seperti biasa aku dan Mas Ferly pergi bertiga bersama mami untuk melakukan ibadah. Khusus aku dan Mas Ferly kami mengarah ke masjid pusat kota untuk mengaji dengan salah seorang ustad yang dengan sabar membimbing Mas Ferly yang seorang mualaf. Sementara, sebelum meluncur menuju Masjid, kami
terlebih dahulu menyambangi gereja besar di kota ini untuk mengantar mami kebaktian. “Mami tidak mau ya dijemputnya terlambat” ucap mami. “Oke Mami” ujar Mas Ferly. “Iya mami percaya pada janjimu. Tapi, biasanya kan istrimu yang lebih senang kau di Masjid daripada menjemput mami di gereja” ucap mami dengan melirik sinis ke wajahku yang terlihat dari kaca spion di depan setir. Tangan Mas Ferly menggenggam erat tanganku seolah memberikan sinyal untuk mengasah kesabaranku menghadapi mami. Senyum simpulnya menyiratkan untuk selalu ingat bahwa dia akan selalu ada di sampingku dalam kondisi terburuk sekalipun. Sudah tiga tahun pernikahanku dengan Mas Ferly.
Berbagai
perjuangan
membangun
mahligai
pernikahan ini pun telah berhasil kami lewati. Perbedaan keyakinan, menaklukan keluarga dari kedua belah pihak
yang awalnya menentang hubungan kami maupun pengorbanan lainnya terkait budaya dan agama. Tapi, perjuangan itu tidak lantas membuatku lega. Masih ada mami
yang
hatinya
masih
keras
terhadapku.
Menganggap aku perempuan yang mengambil perhatian anaknya. Sudah setahun terakhir mami hijrah ke Surabaya dari Medan untuk tinggal bersama kami. Aku bahagia dengan adanya mami, dengan begitu aku bisa lebih intensif mengambil hati mami. Ucapan dan perangai mami memang keras sekali pada ku. Tapi, aku berusaha untuk ikhlas terutama ada suamiku yang selalu memberi kekuatan untuk tabah. *** “Ferly kau pindah agama mengatakan bahwa Tuhan mu yang sekarang kau sembah ini Maha baik, tapi mana kau dan istri mu hingga kini tak kunjung di berikan keturunan. Padahal, istri mu rajin beribadah dan berdo’a� singgung mami tiba-tiba semakin sinis dengan nada bicaranya.
Aku mulai menyeka air mata yang sudah luluh dari sudut mata ku. Hatiku hancur, pedih, sakit, dan bercampur perasaan lainnya. Rasanya ucapan mami bukan saja meruntuhkan pertahanan pribadiku, tapi sudah pula menyinggung mengenai agamaku. Apa yang kurasakan ini ku bungkus dalam atas nama keikhlasan. Aku yakin Allah mengulurkan tangan-Nya untuk menolong setiap hambanya yang membutuhkan. *** Seusai belajar agama dan mengaji, ku sempatkan dengan suamiku duduk santai di pelataran Masjid. Mami masih mengikuti kebaktian. Suami ku membeli ice cream untuk meluluhkan hatiku yang panas terbakar api oleh ucapan mami. “Mas semalam aku bertemu dengan...” “Dengan siapa? Mengapa kamu bicaranya ragu sayang?” balas suamiku dengan mengelus kerudung coklat ku. “Bertemu Hanum” jawabku singkat.
Mas Ferly berhenti mengelus kepala ku dan berhenti pula menelan ice cream di genggamannya. Seolah ada yang menghambatnya untuk meneruskan setiap gerak dan ucapannya. “Dia bertambah cantik dan sepertinya Mami masih menyukainya, Mas” ucapku dengan menatap bola mata suamiku. Seolah meyakinkan terhadap apa yang baru aku katakan. “Tiada yang lebih cantik dari kamu sayang.” Balas Mas Ferly dengan mendekat dan mengelus pipiku. Ku halangi tangan Mas Ferly menyentuh pipiku. “Apa yang dikatakan Mami benar Mas. Aku tidak bisa membahagiakanmu. Selalu membuatmu dilematis antara aku dan ibumu. Dan aku man..dul, Mas” nada bicaraku meninggi. Mas Ferly merengkuhku dalam pelukannya. Hangat – sangat hangat. Air mataku membeku seolah tak ingin dikeluarkan. Serasa dunia berpihak padaku dengan pelukan Mas Ferly. “Aku mencintai mu, karena Allah
bukan karena Mami. Biarkan cinta ini tumbuh dengan kehendak kuasa Allah Swt.” ucap Mas Ferly. *** Hari ini aku sedang bersiap. Pekerjaanku sebagai seorang Asisten Manager di salah satu Bank Syariah ternyata mampu menghantarkanku ke Baitullah. Aku terpilih sebagai karyawan terbaik dan diberikan reward berupa umroh. Walaupun perasaanku sedih tidak bisa didampingi oleh suamiku. “Aku nitip air zam-zam ya sayang.” pinta suamiku sebagai pengganti waktunya yang hilang, karena tidak bersamaku. “Iya Insya Allah. Eeem. Mami mau oleh-oleh apa?”. “Momongan alias anak alias keturunan!” Mami pergi meninggalkanku dan Mas Ferly. Kali ini aku sedang tidak melankolis, jadi tidak ku masukkan ke dalam hati semakin hari aku sudah terbiasa. Tapi, kulihat ada selebaran kertas jatuh dari buku yang dibaca mami
sebelum meninggalkanku dan Mas Ferly. Terlihat fotofoto sajadah, alat shalat, serta terselip pula buku kecil panduan salat. “Mami.. Apakah mungkin Mas, Mami tertarik pada Islam” gumamku. *** Perjalanan umrohku telah selesai setelah 10 hari berada di rumah Allah. Segar fikiran dan hati tentunya. Banyak doa yang aku panjatkan di tanah suci, tapi dua inti doaku yang pertama mengenai keturunan dan yang kedua mengenai luluhnya hati mami, terlebih teka-teki dari peristiwa di temukannya foto-foto alat salat dan buku panduan salat sesaat sebelum keberangkatanku ke tanah suci. “Maaf sayang aku jemput terlambat. Baru saja mengantar Mami ke dokter”. “Mami sakit apa?” jawab ku tersentak. “Jantungnya kambuh. Ayo kita menuju rumah sakit sekarang!”
*** Mami masih berada dalam perawatan dokter. Tidur Mami dalam sakitnya begitu teduh dan tenang. Aku menangis tersedu melihat kondisi mami, walaupun mami adalah ibu mertua yang lebih banyak tidak sukanya padaku. Tapi, aku mencintai mami. Bagi ku mami adalah guru. Guru kesabaran, guru keikhlasan dan mami adalah malaikat yang melahirkan manusia sebijaksana Mas Ferly suamiku. “Ferly... Juwita.” ucap mami dengan menahan sesak dalam dadanya. “Mami... Panggil dokter, Mas!” perintahku pada Mas Ferly. “Tidak... Tidak. Kau sudah tiba di tanah air ya Ju. Terima kasih Tuhan kau masih izinkan aku bertemu dengan menantuku ini.” ucap mami dengan terbata. “Iya mi. Alhamdulillah” “Adakah yang ingin kau berikan atau sampaikan ke Mami, Ju?”
Segera ku berlari ke arah tas besar ku dan ku raih plastik warna putih yang sudah aku persiapkan untuk mami. “Maaf, Mi apabila Mami tidak menyukai hadiah ini. Sungguh Mi Juwita tidak memiliki maksud apapun.” Mami menangis seketika melihat hadiah yang aku berikan. “Bimbing aku dengan lafad Tuhanmu dan selimuti aku dengan sajadah hijau ini.” ujar Mami dengan terbatuk. “Subhanallah, Mami. Ampuni Juwita, Mi” ucapku dengan tersedu. “Terima kasih kau arahkan anakku ke dalam jalan lurus. Aku titip Ferly dan calon cucuku.” Mami berucap dengan terbata dan mengelus perut ku. ‘Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu
anna Muhammadan rasuulullaah’ Mami pun mengikuti dengan terbata dan diujung kalimat syahadat Mami menutup mata. Dan sesuai permintaan mami aku menyelimuti Mami dengan
sajadah hijau ini. Semoga Mami tenang di alam kubur dengan Islam sebagai agama akhir hidupnya. *** Daun jatuh pun seizin-Nya. Gerak hati mengarah pada Lillah. Keikhlasan berbalut kesabaran menjadi benteng kekuatan cinta. Cinta yang berlandas Allah dan untuk Allah. Allahu Akbar!! ***
Ayat demi Ayat Kupelajari Firman-Nya oleh Linah (linah_mufidah@yahoo.com)
Saat itu aku dan teman-temanku menempati kelas baru kami. Ya, kami baru saja naik ke kelas dua jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Haru dan bangga yang kami rasakan. “Rasanya baru kemarin aku mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS), tapi sekarang sudah di kelas dua aja,� gumamku dalam hati. Ternyata yang lain pun merasakan hal yang sama, mereka juga tidak menyangka telah melewatkan satu tahun pelajaran di sekolah kami tercinta. “Hey, Amirah kau juga di kelas ini?� Dewanti menyapaku. Karena tahun itu tahun ajaran baru, sekolah pun mengeluarkan beberapa kebijakan baru, di antaranya: siswa yang beragama Islam diwajibkan mengenakan kerudung serta seragam busana muslim bagi perempuan dan celana panjang bagi laki-laki. Bagi yang beragama
non-muslim pun sekolah mengatur kebijakan yang sama, hanya saja untuk siswa perempuan mereka tidak mengenakan kerudung. Hal ini guna mendukung program pemerintah daerah kabupaten Bekasi. Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku untuk siswa tahun ajaran baru, siswa kelas XI dan XII pun diwajibkan untuk mengikuti aturan tersebut. Saat itu aku langsung berpikir, berarti aku harus merubah cara berseragamku. Aku memang tidak berkerudung, pakaian yang kugunakan masih serba pendek, termasuk seragam sekolah yang kupakai selama ini. Alhasil, dalam sekejap penampilanku pun berubah. Saat pergi ke sekolah aku mengenakan rok panjang dan kemeja lengan panjang ditambah kerudung yang menutupi kepalaku.
Aku
merasa tidak nyaman, karena harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Setiap pulang sekolah aku merasa kepanasan
dengan
penampilanku
yang
sekarang.
Makanya kerudung hanya kugunakan saat di sekolah, ketika di rumah atau bepergian aku masih menggenakan pakaian serba pendek.
Seperti biasa, setiap hari jumat siang sekolahku mengadakan keputrian bagi siswa perempuan. Aku dan teman-temanku, Ine dan Ratna memilih untuk pulang lebih awal karena kita berpikir itu lebih mengasyikan dari pada duduk diam sambil mendengarkan pematerian. “Yuk ah Mir, Rat, kita pulang atau kita mau nongkrong dulu di kantin bu Susi?” kata Ine. “Kita nongkrong di kantin dulu aja ya, baru jam sebelas nih,” sahut Ine yang menjawab pertanyaan Ratna. Sejak awal masuk sekolah aku memang tidak terlalu tertarik untuk mengikuti kegiatan keislaman. Makanya seni tari adalah ekstrakurikuler yang aku pilih sejak kelas satu. Beberapa bulan kujalani seperti itu. Aku mulai merasa malu dengan orang-orang di sekelilingku, terutama dengan diriku sendiri. “Kalau tidak siap untuk jadi orang baik jangan terlalu memaksakan, kerudung itu bukan mainan, jadi jangan buka pakai sesukamu!” aku memaki
diri
sendiri.
Sampai
akhirnya aku
memutuskan untuk merubah diriku, mengubah tingkah laku yang jauh dari kata baik. Hari jumat itu terasa berbeda untukku. Aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan keputrian, pulang sekolah nanti. Kusampaikan keinginanku itu kepada Ine dan Ratna. Mereka tidak meresponku dengan baik, karena tidak melarang atau mendukung keputusanku. “Tetapi, ah sudahlah ini tentang diriku sendiri bukan mereka.� Aku berusaha meneguhkan pendirian. Setelah bel tanda pelajaran berakhir dibunyikan, aku langsung bergegas menuju ruang kelas yang digunakan untuk berkumpul. Aku mendapati beberapa orang yang sudah berada di dalam ruangan dan langsung masuk untuk menjadi bagian dari mereka. Alhamdulillah, mereka menyambutku dengan baik. Keputrian memang hanya untuk mereka yang memiliki waktu luang atau mereka yang memang ingin benar-benar mempelajari tentang sisi perempuan dari sudut pandang agama. Pembahasan hari itu ternyata tentang berhijab, pembahasan yang tidak aku ketahui sebelumnya. Pematerinya adalah ibu Rosa, guru bimbingan konseling
(BK), yang aku tahu dulunya beliau pernah bergabung di Lembaga Dakwah Kampus tempatnya kuliah. Sebagai pembuka, dia membahas sebuah ayat dipertemuan itu, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan
kain
kudung
kedadanya...� [Q.S An-Nuur: 31] Dalam perjalanan pulang, aku berpikir untuk tidak melepaskan kerudung ketika di luar rumah selain untuk ke sekolah, mulai hari ini dan selanjutnya. Ternyata hal itu tidaklah mudah. Sesekali aku membaca surat An-Nuur ayat 34, ayat yang disampaikan ketika pertama kali aku mengikuti keputrian di sekolah. Kubaca ia berulang-ulang dan kupelajari maknanya. Aku masih belum terlalu siap, keluhan terkait panasnya terik matahari yang membuat diriku berkeringat saat pulang sekolah masih keluar dari mulutku. Ditambah lagi respon
dari orang-orang terdekat termasuk sahabatku Ine dan Ratna yang belum bisa menerima. “Wah, Amirah sudah jadi anak keputrian ya makanya sekarang jarang datang ke ekskul tari.” Ine menyapaku. “Iya, sudah sadar sepertinya Ne, kita kapan ya? Hehe.” Ratna menimpali perkataan Ine sambil tertawa. Aku memang kecewa, tapi hal itu kujadikan penguat agar diriku tetap teguh pendirian. Dalam perjalanan pulang kupanjatkan doa pada Dia yang Maha Pemurah, “Ya Raab, jika kali ini aku berada di jalan kebaikan, maka bersamailah aku dalam keistikamahan. Aamiin...” Sejak
saat
itu,
meski
hanya
menggunakan
kerudung pendek ditambah dengan kaos lengan panjang dan celana jeans, tetapi aku mulai istikamah dengan penampilanku. Perlahan-lahan aku mencoba untuk memakai kerudung yang sesuai dengan perintah-Nya, “Hendaklah
mereka
menutupkan
kain
kudung
kedadanya”. Dan kali ini, aku membuka surat Al-Ahzab
pada ayat 59. Ayat yang membuat aku berpikir untuk tidak hanya memperbaiki cara berkerungku, tetapi pakaianku pun harus diperbaiki. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah
mereka
mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Hari
dan
bulan
berlalu,
aku
merasakan
kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Aku
merasa
senang
dengan
penampilanku
yang
sekarang, identitasku sebagai muslimah nampak jelas, lebih dari itu penampilanku melindungiku, baik dari sinar matahari maupun dari pandangan mata yang tidak bertanggungjawab. Sedikit demi sediki aku mulai mengurangi kegiatan ekskul seni tari, sampai akhirnya aku
memutuskan
untuk
keluar
dan
berganti
ektrakurikuler. Aku mengikuti ekskul ROHIS dengan
tidak meninggalkan kegiatan keputrian. Dan yang tidak kalah pentingnya, sikap Ine dan Ratna perlahan-lahan bisa menerimaku. Kita memulai kembali persahabatan yang sempat merenggang. Selanjutnya aku memutuskan untuk menutup auratku yang lain. Ya, telapak kaki. Aku mencoba mengenakan kaos kaki ketika hendak keluar rumah. Ibuku merasa heran, “Kenapa pake kaos kaki, apa nggak terlalu berlebihan, nanti bagaimana kalau dilihat orang?� ungkapnya. Aku mengambil Al-Quran, kubuka surat AlAhzab ayat 59, kusampaikan bahwa dengan menutup seluruh aurat yang Allah tentukan, maka seorang wanita akan mudah dikenali dan mereka tidak akan diganggu. Ibuku memang lembut hatinya, dia menerima penjelasan yang
kusampaikan.
Alhamdulillah,
aku
semakin
berbahagia. Allah mempermudahku untuk berada di jalan-Nya dengan mengirimkan orang-orang
yang
menyayangi dan mendukungkku dalam kebaikan. Maha
Suci Engkau ya Allah, maka nikmat mana lagi yang bisa kudustakan. “Hijab bukan benda tak hidup yang selalu diam tanpa bergerak, berhijab adalah urusan hati, ia harus terus dipupuk dan diperbaharui agar tidak mati.� ***
Rumah Kedua oleh M. Ginanjar Eka Arli (m.ginanjarekaarli@gmail.com)
Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipiku. Sontak aku pun terdiam membisu. Wajahnya menampakkan gurat kekecewaan. Matanya berkaca-kaca seakan hendak pecah beberapa saat lagi. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkanku. Sendiri, dalam kehampaan. *** Dering
handphone
berbunyi
menandakan
waktunya untuk bangun. Mataku mengerjap, mencoba menarik kembali kesadaranku yang sempat hilang. Pagi ini merupakan jadwal praktikum fisika, merangkai bel listrik. Kulirik barang-barang yang kemarin kubeli. Aman, pikirku dalam hati.
Tiga puluh menit kemudian aku sudah rapih. Baju seragam putih abu-abu lengkap dengan sweater merah membungkus badanku hari ini. Kucium punggung tangan ibuku seraya berkata, “Pergi dulu ya, Mah!” ia mengangguk
pelan
dan
melepas
keberangkatanku
dengan lambaian tangannya. Seperti biasa, aku pun segera menuju jalan raya untuk mencari angkutan umum ke sekolah. Semilir angin menerpa wajahku. Menambah gundah hati kecilku. Seketika itu, sebuah pesan singkat datang menyentil jiwaku. “Jadi ketemu di Squid, kan?” aku terdiam beberapa saat sebelum membalasnya. Akankah kulakukan itu lagi hari ini? pikirku kemudian. Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba muncul satu pesan tambahan. “Gue tunggu ya! Yang lain juga udah pada dateng. Tinggal lu doang yang belum.” Kalut diriku membacanya. Memang, aku sudah melakukan hal ini berkali-kali. Tapi hari ini beda! Tanpaku, bagaimanakah nasib kelompokku di sekolah? Nilai lima orang berada di tanganku saat ini. Setan dan malaikat pun membisikiku satu per satu.
“Sudahlah bos, praktikum itu masih bisa besokbesok. Tapi kalo ketemu teman cuma bisa sekarang. Kapan lagi kalian main bareng, ya enggak?” bujuknya mantap. “Tapi bos, coba pikirkan barang-barang yang kamu bawa. Tanpamu, kelompok praktikummu di sekolah akan seperti ayam kehilangan induknya. Bingung mau ngapain!” timpal malaikat hatiku. “Bos.. Bos.. Liat geh, kondisi bos lagi pusing kayak gitu. Daripada tambah pusing sama praktikum di sekolah, mendingan dihilangkan penatnya dengan main di warnet. Ya kan, bos?” tambah setan tak mau kalah. “Iya juga ya,” pikirku. Beban ujian semester yang baru kulalui. Kondisi badan yang kurang fit. Dan waktu yang menunjukkan pukul 7.30. Semuanya mengarahkanku untuk mengambil satu keputusan. Malaikatku pun hanya bisa mengeluskan dada dengan sabar. “Semoga Allah memberikan hidayah padamu bos,” bisiknya sebelum pergi. ***
Ruko bertingkat empat itu masih sama seperti sebelumnya. Lantai keramik beserta deretan komputer menghiasi
setiap
ruangan
di
sana.
Plang
lusuh
bertuliskan “Squid Net” masih bertengger angkuh di halamannya. Sayup – sayup terdengar teriakan dan genderang perang bertabuh dari lantai dua. Unstoppable. “Yes! Gue menang.. Hahaha!” teriak Vicky keras di telingaku. “Hush! Baru satu kali itu. Tunggu aja, setelah ini giliran gue!” balasku singkat. Tak terasa itu adalah game kelima yang kami mainkan. Matahari sudah sepenggal naik. Burungburung semakin riang berkicau mencari makan di luar sana. Getar handphone saja tak kuhiraukan, apalagi kicauan burung. Nomor tak dikenal, paling orang iseng. Pikirku malas. Detik berganti dengan menit. Menit pun lalu menyerahkan estafet waktu kepada jam. Azan zuhur kini mulai berkumandang. Bersahut-sahutan seantero jalan Raden Intan. Perlahan, remaja berseragam putih abu-abu
mulai berdatangan. Tanda waktu pulang sekolah sudah tiba. Kulirik billing-ku sejenak, “Lima menit lagi.” Saatnya bagiku untuk pulang. Hatiku senang bercampur gelisah. Tiga kali aku menang membuatku bahagia. Tiga kali misscall dari nomor tak dikenal, membuatku curiga. “Teman – temanku kah? Gimana nanti aja deh..” Tangkisku kemudian. *** Kurebahkan diriku di atas kasur empuk nan hangat. Aliran darah segar segera menuju otakku yang panas. Panas karena pikiran dan panas karena cuaca. Kutarik napas dalam – dalam, seraya menenangkan hatiku yang carut marut. Hari ini hampir berlalu, yang sudah
terjadi
biarlah
terjadi.
Tenangku
dalam
kesendirian. Pintu gerbang perlahan terbuka. Saatnya ibuku pulang.
Pikirku
masih
dalam
keadaan
terpejam.
Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka. Derap langkah berpacu dengan suara. Plakk! Sebuah tamparan
keras mendarat mulus di pipi kiriku. Sontak aku langsung bangun dan melihat wajah yang letih karena bekerja itu berkaca-kaca di depanku. Dahinya berkerut. Bibirnya bergetar seakan hendak keluar sumpah serapah sedetik kemudian. Hujan itu pun tak terbendung lagi, keluar dari sisi matanya dan mulai membasahi pipi tirusnya. “Mamah enggak nyangka Ardi tega ngelakuin hal ini sama mamah.” Ucapnya kemudian. “Ardi tau? Tadi pagi temen Ardi nelpon mamah nyariin kamu karena gak sekolah. Padahal yang mamah tau kamu pagi-pagi udah berangkat. Jadi, sebenarnya kamu tadi pagi berangkat kemana Di? Kemana?!” ledaknya sambil menangis. “Ar.. Ardi.. tadi Ardi..” “Sudahlah! Mamah tau kamu pasti tadi ke warnet! Mamah salah apa sih, Di, sampai kamu menganggap
rumah
keduamu
itu
lebih
berharga
dibandingkan sekolah. Padahal mamah cuma pengen kamu jadi anak yang pinter dan saleh, itu aja...” lirihnya.
Sesaat kemudian dia membalikkan badan sambil menyeka wajahnya yang basah. Meninggalkanku sendiri dalam kebingungan. Merenungkan kejadian yang baru saja terjadi di depan mataku. Tentang diriku dan ibuku. *** Malam itu tidak ada suara di antara kami berdua. Hanya sebuah kecanggungan dan kebisuan. Denting sendok beradu dengan piring memecah keheningan. Makanan yang dimakan serasa hambar di tengah suasana yang melanda kami saat ini. Ia beranjak pergi setelah santapannya habis. Meninggalkanku sendiri, tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Rasanya
aku
benar-benar
menyesal
telah
membuatnya menangis. Wanita yang rela mengorbankan nyawanya untukku, malah kubalas dengan kekecewaan tak bertepi. Apakah ini balasan setimpal dariku? Menjadi pengeruk hartanya dengan warnet sebagai pelampiasan? betapa dangkal dan hinanya diriku saat ini, gumamku.
Dengan
takut-takut
aku
coba
mendatangi
kamarnya. Kuketuk pelan seraya membuka pintunya. Matanya melirik kepadaku dan sejenak kemudian langsung membuang muka ke arah lain. Sungguh, aku sama sekali tidak menginginkan hal ini sebelumnya. Perlahan
aku
coba
mendekatinya.
Kuraih
tangannya dan kucium lembut dan berkata, “Maafin Ardi ya Mah.. Ardi mengaku salah. Ardi tahu kalo kelakuan Ardi enggak bener. Kali ini Ardi benar-benar menyesal. Ardi janji enggak akan mengulanginya lagi.� Tetes air tak dapat kubendung lagi. Kali ini hujan membasahi pipiku. Ibu menghembuskan napas perlahan. Dengan berat ia berkata, “Ardi tau kan perjuangan mamah selama ini? Kamu tahu kalo papahmu udah enggak ada dan sekarang mamah seorang diri membesarkan kalian bertiga. Mamah cuma mau kalian sekolah dengan baik. Jadi anak yang pinter, rajin, dan saleh. Mamah paling enggak suka dibohongin. Mendingan Ardi jujur dan enggak sekolah buat istirahat di rumah. Daripada kemudian Ardi bohong dan bolos ke warnet. Mamah
sayang sama Ardi. Mamah kecewa kalo ngeliat Ardi malah jadi anak yang suka berbohong gini.” Deg. Kata-kata itu bagaikan sembilu yang menusuk hatiku. Sakit dan tak tertahankan. Aku lebih baik
ditampar
seribu
kali
daripada
mendengar
kekecewaan dari bibir ibu. Ya Allah, maafkanlah hambamu ini telah tega menyakiti makhluk yang sangat menyayangiku. Hamba menyesal. Remuk rasanya hati ini melihat dirinya seperti itu. “Maafin Ardi sekali lagi ya mah. Ardi enggak tau harus gimana lagi. Ardi benar-benar menyesal. Ardi sayang sama Mamah. Mamah jangan marah lagi ya sama Ardi.” Isakku sambil memeluknya. Erat, seakan tak ingin ia pergi dari sisiku. “Ya sudah enggak apa-apa, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang Ardi telepon temen-temen Ardi ya. Minta maaflah kepada mereka. Besok temenin mamah untuk menghadap guru Ardi. Kita silaturahmi sekaligus minta maaf.” Balas ibu sambil tersenyum.
Seketika itu kelegaan datang menghampiri diriku. “Makasih ya Mah. Ardi janji enggak bakal bolos lagi. Ardi mau berubah. Jadi anak yang bisa dibanggain sama kedua orang tua.” Ucapku dengan bersemangat. “Insya Allah. Sekarang Ardi doain papah ya, Nak. Beliau juga pasti bangga punya anak kayak Ardi.” Ujarnya sambil mengelus kepalaku. “Siap, Mah!” tutupku di akhir pembicaraan. *** Lembayung jingga berganti dengan awan putih tanda dimulainya hari baru. Kali ini kumantapkan hati untuk bertemu dengan teman-temanku. Setiap perbuatan pasti harus dipertanggungjawabkan, hari ini aku harus meminta maaf kepada mereka. Bismillah. Doaku dalam hati. Semoga semuanya dimudahkan. Aamiin. Pagi itu kelas masih ramai seperti biasa. Aku rada kikuk ingin masuk ke dalam. Sikapku seperti maling yang hendak masuk ke toko yang akan aku curi. Namun dengan tekad dan keberanian, aku pun
melangkahkan kakiku ke sana. Ku cari empat orang temanku, namun naas tak terlihat satu pun batang hidungnya. Kutanya teman sebangkuku, “Eh lihat Jenfa, enggak?” “Enggak, Di.. Katanya sih sakit.” Innalillahi.. Batinku dalam hati. Aku jadi merasa bersalah sendiri dengan sikapku kemarin. Semoga saja temanku tidak apa-apa. “Hmm... Kemarin ada tugas Sof?” tanyaku kembali. “Enggak, Di. Praktikumnya enggak jadi. Diundur minggu depan.” Jawabnya singkat. Alhamdulillah. Inikah berkah dari langit yang sengaja diatur oleh-Nya? Tak henti-hentinya aku berucap syukur akan kemudahan yang diberikan-Nya kepadaku. Kini dengan tenang aku menatap papan tulis hitam di depanku. Seraya melihat temanku membersihkannya, begitupun aku yang sedang membersihkan hatiku untuk kembali pada fitrah yang seharusnya.
Waktu tak terasa kembali berlalu. Bel pulang kini berbunyi kembali. Serentak seluruh pelajar putih abuabu keluar dari ruangan menuju rumah singgah masingmasing. Vicky dan Sofyan tiba-tiba mendatangiku, “Di, ke Squid yuk!” ajak mereka. Aku tersenyum kepada mereka. Kutepuk pundak Vicky seraya berkata, “Besok-besok lagi aja ya. Gue mau pulang dulu sekarang. Daah...” Kulambaikan tangan kepada mereka tanda perpisahan. Pandangan mereka nanar, melihatku yang semakin menjauh. Hari ini,
kuputuskan
untuk
berubah.
Detik
itu
juga,
kuputuskan untuk berpisah dengan rumah keduaku. Rumah yang selama ini mendampingiku dan menjadi tempat pelarianku dari-Nya. Insya Allah, kali ini Allahlah yang akan memudahkan jalanku selanjutnya. Bismillah. ***
Dzikir Terakhir Oleh Dini Wulandari (Dini.wulandari2793@yahoo.co.id)
Ada hal lain tentang tasbih milik ibu. Tasbih yang kubeli di sebuah toko yang hampir bangkrut karena sepi pembeli. Aku merasa iba ketika pemiliknya tengah memasukan barang-barang dagangannya ke dalam kardus. Ku putuskan membeli salah satu tasbih berwarna merah berjumlah 99. Aku hanya ingin ibu kenal dengan Rabb-nya, karena sejak kecil ibu dilarang pergi ke surau. Ia tahu bahwa dirinya Islam. Tapi tak diperkenankan mengenal Islam itu seperti apa. Allah memperkenankan ibu merasakan nikmatnya melisankan dzikir, walau hanya ribuan menit. Dzikir yang membuat otak dan tubuh ibu pada akhirnya merasa candu. Dan Allah tak memberi kesempatan lebih dari itu. Selama ini, aku tak pernah merasakan yang namanya begadang. Seberapapun menumpuknya tugas kuliah. Seberapapun menumpuknya pekerjaanku di kantor. Aku
selalu punya siasat agar semua tugas itu tak ku kerjakan malam hari, karena aku menyadari baha aku tipe orang yang tidak pernah bisa begadang. Tapi dua malam sebelum
ibu
benar-benar
menghembuskan
nafas
terakhirnya. Entah apa yang membuatku pada akhirnya kuat tidak tidur dua malam berturut-turut. Mataku tetap terjaga menjaga tubuhnya yang kian melemah. Ibu sakit. Tapi dokter dan tim medis terhebat di desa kami tak mampu memprediksi, apa kiranya penyakit yang bersarang di tubuh ibu itu. Bahwa kami putus asa, memang
benar.
Tapi,
sungguh
jika
Allah
memperkenankan segala penyakit ibu dipindahkan ke tubuhku, aku sangat ikhlas. Tapi Allah tak perkenankan itu. *** Ibu kecil adalah putri yang harus menerima takdirnya hidup
di
tengah-tengah
keluarga
yang
tak
menginginkannya hadir. Orangtuanya tak mengharapkan kehadiran ibu. Hingga satu hal yang pada akhirnya membuat ibu sakit adalah tindakan orangtuanya yang tega menaruh ibu kecil di sebuah kampung terkecil yang
juga menjadi desa kelahiranku. Ibu berada di tengah keluarga Sam yang menjadikannya babu sejak usia 6 tahun hingga usianya
benar-benar matang untuk
menikah. Pada zamannya, keluarga Sam adalah keluarga paling kaya di desaku. Orangtua ibu menjual ibu sejak usianya menginjak angka 5 tahun pada keluarga Sam karena
kebetulan
keluarga
Sam
tidak
memiliki
pembantu. Ibu kecil adalah sosok yang patuh. Tak ada penolakan ketika orangtuanya pergi begitu saja tanpa ada kecupan sayang sedikitpun. Ibu bercerita bahwa matanya benar-benar telah berkaca-kaca. Ia ingin ikut dengan orangtuanya. Tapi nyonya Sam meremas tangan ibu dan membawanya masuk rumah. Berawal dari itu, kehidupan ibu benar-benar membuat dadaku sesak mendengarnya. Ibu tidak diperkenankan bersekolah dan pergi ke surau oleh keluarga Sam. Hidupnya dikungkung oleh pekerjaan bertubi-tubi yang dilimpahkan pada ibu kecil. Ibu kecil adalah satu-satunya pembantu yang ada di rumah mewah keluarga Sam. Setiap hari ibu harus mencuci pakaian dan peralatan makan sembilan kepala,
keluarga Sam (baca; Tuan-Nyonya dan tujuh anaknya). Ibu juga harus memasak untuk delapan puluh buruh tani milik keluarga Sam. Tak jarang pula, ibu berperan aktif menanam dan memanen padi di sawah jika pekerjaan di ratusan hektar sawah tidak ter-handle oleh delapan puluh buruh tani itu. Ibu remaja masih tetap menjadi sosok yang pendiam dan patuh. Suatu ketika, keluarga Sam berencana menjualnya pada seorang kiai di desaku yang gemar berpoligami dengan dalil “menghindari zina�. Jelas ibu sangat menolak. Namun, kekuasaan keluarga Sam membuat akad dan resepsi pernikahan ibu dan kiai itu terencana bahkan hampir terlaksana. Bagi ibu, lelaki manapun teramat menakutkan di matanya, termasuk sosok pemuka agama sekalipun. Beberapa detik sebelum ijab qobul dilaksanakan, ibu pingsan kemudian tersadar dan mendapati dirinya dalam keadaan dipasung oleh keluarga Sam. Keluarga Sam geram karena kiai yang akan membayar tubuh ibu tersinggung dan membatalkan rencana pernikahan itu. Ibu saat itu berada pada kondisi psikis yang teramat
memprihatinkan. Ia sering menjerit ketakutan terhadap setiap laki-laki yang merubung ruangan tempat ia dipasung. Tatapannya kosong bahkan kekosongan itu mendominasi isi kepalanya. Ia tak mampu berpikir apapun. Kosong. Bahkan sangat kosong. *** Satu-satunya lelaki yang pada akhirnya membuat ibu mampu melepaskan traumanya adalah ayah. Entah kismat kutuk apa yang belum juga membiarkan ibu bahagia setelah ia dikeluarkan dari rumah keluarga Sam dengan berbagai kutukan dan tak dibekali sepeser pun pesangon, ibu dinikahi lelaki yang jauh dari tanggung jawab. Ibulah yang menafkahi ayah dan kelima anaknya. Aku dilahirkan ketika ibu berperan sebagai tukang es batu keliling. Tepatnya, ketika ia mengantarkan es batu ke sebuah warung yang cukup jauh, ketubannya pecah. Keringat membasahi tubuh ibu yang sangat berusaha menahan rasa sakit. Ia ingin segera pulang dan meminta ayah memanggilkan orang yang bisa membantunya meelahirkanku. Ibu tahu, ia tak punya banyak uang
untuk
memanggil
seorang
bidan.
Ibu
hanya
mengandalkan belas kasih dari tetangga atau siapapun. Tapi, nyatanya Allah berkehendak lain. Aku dilahirkan di bawah sepeda yang kedua sisinya diberi semacam karung beras berisi es batu yang terus mencair. Sepeda yang menjadi satu-satunya harapan ibu meraup rizki untuk bertahan hidup dengan menjual es batu. Aku jadi tontonan orang yang berlalu lalang di pinggiran jalan dekat warung itu. Dan ketika aku mendengar cerita ibu tentang ini, aku benar-benar merasa ibu adalah wanita terhebat yang pernah aku kenal di dunia ini. Allah mempertahankan nyawa ibu dan memberinya kesempatan merawat aku dan keempat adikku. Ayah bukan lelaki yang berkebiasaan pulang pagi, suka main perempuan, berjudi, atau peminum. Ayah lelaki biasa yang memiliki kepribadian sangat biasa pula. Tak pernah ayah memberikan sepeser pun hasil keringatnya pada ibu, karena memang ia tak pernah bekerja. Aku dan adik-adikku berhasil menyelesaikan studi kami pun berkat keringat, air mata, dan doa tulus ibu.
Suatu ketika, saat adikku yang kedua sangat membutuhkan uang untuk membayar ujian, saat adikku yang ketiga sangat membutuhkan uang untuk menebus ijazah,
dan
saat
adikku
yang
keempat
sangat
membutuhkan uang untuk membayar tunggakan SPP. Ibu benar-benar ikhlas memposisikan dirinya sebagai manusia “hina� yang duduk di depan ruang operasi sebuah rumah sakit terbesar di kota kami dan berharap ada pasien yang membutuhkan salah satu organ tubuhnya untuk kemudian diganti dengan sejumlah uang sekolah anak-anaknya. Aku tak mampu berkata apapun tentang perilaku nekat ibu ini. Aku menangis di sudut rumah sakit melihat tubuh ibu yang begitu ikhlas, meringkuk, menunggu keluarga pasien manapun yang membutuhkan organ tubuhnya. Di menit ke 540, aku benar-benar tak kuat melihat orang yang melahirkanku berbuat demiikian. Ku tarik tubuh ibu dan memaksanya pulang, tapi ibu membentak dan menyuruhku pulang sendirian. Aku biarkan ibu melakukan apa yang menurutnya baik. Alhasil, sebuah keluarga membutuhkan ginjal
untuk keluarga mereka. Tanpa ragu, ibu menjual satu ginjalnya pada keluarga itu. Ibu pulang dengan kebahagiaan yang tak mampu kulukiskan, demikian halnya dengan rasa sakit yang ia bawa, tak mampu juga aku lukiskan dengan apapun. Ia berusaha kuat dan tak pernah memberitahu adik-adikku bahwa uang itu hasil dari penjualan ginjalnya. Sejak kejadian itu, ibu jadi sering sakit-sakitan. Ibu semakin memforsir tubuhnya ketika ayah berulangkali meminta uang untuk membeli rokok. Siang malam ibu berusaha mengabdi pada suami dan anak-anaknya. Walau aku tahu, bentuk pengabdian ibu itu tak bisa kufahami dari sudut pandang “suami mana yang masih pantas diabdi dan tidak pantas diabdi�. Berulangkali kuyakinkan
ibu
untuk
menghentikan
perilakunya
mendzalimi tubuhnya sendiri. Tapi, lagi-lagi aku dibentak dan ia mengatakan bahwa tubuhnya baik-baik saja. Aku tahu ibu sakit, tapi ia selalu menyembunyikan ‘obat-obatan warung’ di bawah kasurnya. Dalam satu hari, ia bisa menghabiskan 3-5 obat-obatan tidak sehat
itu. Ibu tak pernah benar-benar mengerti fungsi sebenarnya obat-obatan itu. Ia hanya tahu bahwa obatobatan itu bisa membuat tubuh dan kepalanya merasa sehat (baca; ketika itu saja). Ia tak pernah tahu, bahwa obat-obatan itu pada akhirnya memunculkan beragam penyakit baru yang bersarang di tubuhnya kekinian. *** Setelah
konflik
batin
yang
membelitku
di
perantauan. Bosku mengancam jika aku tetap pulang, gaji enam bulan terkhir yang belum diberikannya, benarbenar akan ditahan bahkan hangus karena satu proyek yang kutinggalkan begitu saja. Adik-adikku merengek di ujung gagang telepon, minta agar aku segera pulang karena ibu tidak ingin dirawat selain olehku. Akhirnya aku memilih pulang dan menyaksikan tubuh tambun ibu terkulai lemas di pembaringan. Ia tak lagi mampu bergerak. Aku sangat berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh di hadapan ibu. Tapi, ibuku yang teramat kuat kali ini tak benar-benar kuat menahan air matanya ketika tanganku menyentuh pipinya. Ku genggamkan tasbih merah yang sengaja kubelikan untuk ibu, karena aku
tahu ibu sangat suka warna merah. Sejak aku tiba di hadapan ibu, ku bimbing lisannya mengucap dzikir. Ibu tampak
ikhlas
jika
Izrail
benar-benar
mencabut
nyawanya. Dan benar saja, kukecup kening ibu ketika dzikir terakhir yang ia lisankan terhenti pada kata laillaha ilallah. ***
Di Tokyo Salman Kembali Indria Fitri Afiyana (tsaqifnadhira@gmail.com)
Salman, masih duduk di pinggiran stasiun, bukan sedang menunggu. Salman yang berprinsip ‘time is money’ tidak mungkin mau menunggu, apalagi di stasiun. Salman sedang asyik dengan rumus-rumus elektronikanya. Suatu proyek sedang menunggu untuk diwujudkan. Salman, si pemilik ide tersebut sangat berambisius untuk segera mewujudkannya sebelum ia lulus dari Tokyo University. Sebuah robot yang mutakhir di era Heisei, begitu kata hatinya. Sebuah robot yang memiliki fungsi layaknya manusia digabung dengan tank perang, dengan carbondioxide energy,
Super Robot WS-092 bisa
dipastikan akan menjadi penemuan termutakhir abad kini. Salman selalu tersenyum bila mengingat itu, pasti ibu dan bapaknya di Cimahi akan bangga memiliki anak seperti dirinya.
“Kriing…” ponselnya berdering, sebuah e-mail dari Yana, kawan satu tanah airnya yang sekarang mengambil jurusan fisika murni di Tokyo University. “Man, ada di mana sekarang?” Salman terdiam menatap
layar
ponselnya.
Ingatannya
mengulang
percakapan ia dengan Yana tadi pagi. “Kamu harus segera menghentikan proyek ini, Man!” kata Yana. “Kenapa? Dan apa urusanmu hah!” kata Salman. “Proyek robotmu ini sedang menjadi incaran CIA! Karyamu ini akan dicuri dan dijadikan senjata pembunuh masal di Palestina sana!” ujar Yana dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. “Tidak mungkin, aku akan segera mempatenkan robotku! Lagipula, memangnya kenapa kalau robotku dijadikan senjata pembunuh masal di Palestina hah?” jawab Salman tak kalah tinggi.
“Astagfirullah, nyebut, Man. Mereka itu orangorang muslim, sesama muslim itu kan saudara!” kata Yana. “Ya... Ya... Ya.... Terserahlah, yang pasti alasanmu untuk menghentikan proyek ini tidak valid! Tau
dari
mana
kamu
kalau
robotku
diincar?
Memangnya ini film action yang hidupnya tidak jauhjauh dari CIA, FBI, dan kawan-kawannya itu?!” ujar Salman geram. “Kawanku di Interpol yang memberitahukannya” jawab Salman. “Bagus, setelah membual tentang robotku yang akan dicuri CIA, sekarang kamu membual bahwa kamu punya teman di Interpol?!” ujar Salman. Yana terdiam, lalu segera menjawab dengan jawaban singkat. “Ya, kami pernah bertemu di pertemuan fisika internasional tahun lalu, dia seorang penggemar fisika, sama sepertiku” ujar Yana dengan nada yang rendah.
Salman terdiam mengingat kejadian itu. Salman tahu bahwa Yana bukan orang yang dusta, tak pernah ia menemukan kejadian yang menyatakan bahwa Yana seorang pendusta. Pernah suatu waktu, ketika dirinya dan Yana sedang pergi berbelanja di Shibuya, mereka bertemu
dangan
segerombolan
anak
muda
yang
berpenampilan bengal, dan benar saja, mereka memang bengal. Segera saja anak-anak muda itu memaksa Salman dan Yana untuk memberikan uang yang mereka punya. Sedangkan Yana tetap tenang sambil berujar bahwa uangnya ada di tas ranselnya. Mirip dengan kisahnya Syekh Abdul Qodir Jaelani. Tapi memang benar, Yana sungguh-sungguh terinspirasi
dengan
keshalehan Syekh tersebut. Kisah-kisah teladan saat dirinya mengenyam pendidikan di pesantren ternyata tidak dijadikannya sebagai dongeng pengantar tidur, tapi benar-benar dijadikan teladan kehidupan. Anak-anak muda itu terdiam, lalu sedetik kemudian terlihat kode dari ketua genk tersebut untuk segera meninggalkan TKP tanpa mengambil sepeser yen pun. Mungkin mereka mengira bahwa Yana memang
benar-benar terkena gangguan jiwa, tapi tidak dengan Salman. Salman tersenyum melihat kejujuran sahabatnya itu. Memorinya di masa lalu memaksanya untuk berhenti
berkutat
dengan
rumus-rumusnya.
Jam
menunjuk ke angka tiga. Stasiun mulai benar-benar sunyi. Salman menengok ke kereta di depannya, jurusan Toshima. Seakan-akan ada yang menggerakan kakinya, Salman berdiri dan masuk ke kereta itu. Kereta melaju ke daerah Toshima-ku. Salman membiarkannya, biarlah pagi ini Salman melepaskan penat yang selama ini ia pendam. Melarikan diri sejenak dari
beban-bebannya.
Salman
terdiam,
terpaku
memandang ke luar jendela. Salman menyadari hatinya sangat kering saat ini. Salman ingin hatinya diisi oleh sesuatu yang dapat menyegarkan hatinya kembali. Bagai dapat hidayah, tangannya langsung meraba kantong jaketnya,
ia
mengambil
ponselnya,
bukan
untuk
mendengarkan lagu atau mengirim e-mail pada Yamada Riko, mahasiswi satu fakultasnya yang sedang ia gandrungi, tapi membuka program Al-Quran yang dulu
ia masukan ketika pertama kali ia membeli ponsel di Jepang. Ia teringat alasan ketika ia memasukan program itu, agar aku selalu bisa murojaah kapanpun dan di manapun, katanya dalam hati. Ia meringis, betapa hidupnya kini berubah 180°. Jangankan untuk mengingat Allah, mengucapkan ayat-ayat suci saja tak pernah. Kini Salman benar-benar menangis, tak ada rasa gengsi yang menghambat dirinya untuk kembali pada Allah. Ditemani surat An-Najm, Salman kembali menyelami kedamaian yang selama ini ia lupakan, kembali kepada kebenaran yang selama ini ia tampik. “(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa� (Qs. AnNajm: 32) Kereta
berhenti
di
stasiun
Toshima.
Jam
menunjukan ke angka empat. Salman melihat ke
sekeliling. Sepi, tapi Salman tahu ke mana ia harus melangkah, Masjid Minami Otsuka, “jadi ini alasan Allah mengapa menyuruh kakinya beranjak ke kereta jurusan Toshima?�. Gumamnya. Salman tersenyum, sungguh kasih sayang Allah meliputi seluruh makhluk. Masih saja Allah mengurusi dirinya, padahal sudah lama ia tidak mengurusi perihal agama. Jarak Stasiun Toshima dengan Masjid Minami Otsuka tak terlalu jauh. Salman berjalan kaki untuk menuju ke masjid itu. Salman ingin segera tiba di masjid itu. Salman ingin melakukan salat, lalu bertaubat nasuha. Setibanya di Masjid Minami Otsuka. Salman melihat ke sekeliling masjid, ternyata sudah banyak jamaah yang datang. Salman teringat, bahwa ini memang waktunya salat subuh. Salman beristighfar, mengapa ia sampai lupa waktu-waktu salat? Salman melaksanakan salat dengan nikmat. Ini salatnya yang pertama setelah sekian lama ia pergi dari Allah. Salman kembali menangis dalam salatnya. Sudah lama ia pergi dari Allah, tapi tak pernah sekalipun Allah meninggalkannya, buktinya sampai sekarang ia masih
hidup, masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Salman menyadari kekhilafannya. Dalam sujudnya ia kembali beristighfar. *** Salman terbangun dari tidurnya. Ternyata setelah salat tadi Salman langsung tertidur. Dilihatnya matahari sudah meninggi. Salman melirik ke arah jamnya, ternyata sudah jam sembilan. Untung saja hari ini Salman tidak ada jadwal kuliah, jadi Salman tak perlu terburu-buru pergi ke tempat kuliahnya. Hari ini Salman bisa menyediakan waktunya untuk Allah. Merenungkan perjalanan hidupnya yang banyak dosa dan bisa langsung memohon ampun. Tiba-tiba ponselnya berdering. Hikaru, adik kelas sekaligus teman satu regunya dalam mewujudkan Super Robot WS-092 nya menelepon. Salman mengangkatnya, terdengar suara Hikaru di seberang sana, suaranya seperti orang panik. “Moshi-moshi Salman-senpai, ini aku Hikaru� kata suara di seberang sana.
“Ya Hikaru, ada apa? Tenanglah tak usah panik begitu!” jawab Salman. “Ro..robot kita Salman-senpai, dicuri! Semuanya, termasuk rancangan desainnya! Bagaimana ini Salmansenpai?” jawab Hikaru seperti orang dikejar hutang. Salman terdiam, shock, “Ba..bagaimana bisa Hikaru? Kau sudah mengunci ruangan itu kan?” jawab Salman, pasrah. “Tentu saja Salman-senpai. Penyelidikan terakhir polisi mengatakan bahwa tersangka pencurian itu adalah dosen kita, Doktor Minamoto Hiro. Sudah kuduga dia memang mengincar proyek kita!” jawab Hikaru sinis. “Be…benarkah?” Salman teringat kata-kata Yana kemarin bahwa robotnya jadi incaran CIA, siapa tahu bukan Doktor Minamoto yang mencuri, tapi CIA. “Benar senpai, sampai saat ini memang tuduhan mengarah pada Doktor Minamoto” . Salman kaget sekaligus khawatir. Ia khawatir kalau benar bukan Doktor Minamoto yang mencuri, tapi CIA, ia takut kalau
robotnya akan dijadikan senjata pembunuh massal di Palestina sana, Salman ingat satu firman Allah yang ia baca tadi subuh “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara….” Salman hanya bisa pasrah. Salman menutup ponselnya. Ia ingin segera salat, memohon petunjuk pada Allah, semoga Allah membawanya lagi pada kebenaran. Pagi itu Salman kembali berkeluh kesah pada Allah, segalanya ia serahkan pada Allah. Allah lah penentu
skenario
hidupnya.
Apakah
Allah
akan
mengembalikan robotnya atau tidak, Salman yakin itulah jawaban yang terbaik. Setelah salat, sayup-sayup terdengar suara orang melantunankan suatu ayat lalu melanjutkan membacakan artinya, “(Allah) mengetahui semua yang gaib dan yang nyata; Yang Mahabesar, Mahatinggi” (Qs. Ar-Ra’d: 9). Salman menengok mencari arah suara tersebut. Ternyata Yana. Salman tersenyum, tau saja dirinya sedang ada di Toshima. “Apa kabar, Man?” ujar Yana.
“Alhamdulillah baik” jawab Salman singkat. “Eh... Salman, kau sudah tahu kasus di kampus kita kemarin tadi malam?” tanya Yana hati-hati. “Ya, kasus pencurian robotku, Super Robot WS092” jawab Salman pasrah. “Pasrahkan pada Allah, Man” ujar Yana ikut prihatin. “Ya, aku sudah memasrahkannya. Aku yakin ini rencana Allah yang paling baik” jawab Salman yakin. Percakapan terhenti lagi. Kali ini Yana lagi-lagi ambil suara yang pertama. “Eh... Salman, sebenarnya kata-kataku yang kemarin bahwa CIA akan mencuri robotmu itu sebenanrnya bohong…” ujar Yana dengan nada pasrah. “Apa? Aku tidak mengerti. Kenapa kau harus sampai berbohong Yana?” tanya Salman. “Ini bertujuan agar kamu kembali lagi ke jalan Allah.
Setelah
kau
mempunyai
ambisi
untuk
mewujudkan robotmu itu kau selalu saja disibukkan olehnya, aku jarang melihatmu salat lagi, Salman” ujar Yana. Salman terdiam. Ya! Yana benar, selama ini ia terlalu disibukan oleh proyek robotnya. “Lalu pencurian ini, apa kau juga yang merencanakannya?” tanya Salman. “Bukan, bukan aku tapi Doktor Minamoto. Dari awal aku sudah tahu rencananya untuk mencuri proyekmu” jawab Yana singkat. Salman terdiam, tidak percaya ia mengalami kejadian yang fantastis seperti ini. Tak pernah ia bayangkan
bahwa
ia
harus
kehilangan
proyek
ambisiusnya, tak pernah sekalipun. Tapi di sudut hatinya ia bersyukur, kalau ia tak mengalami kejadian ini, mungkin sampai sekarang ia belum juga bertaubat pada Allah. Salman tersenyum lalu menepuk pundak Yana. Salman lalu berbalik ke arah kiblat lalu mengambil mushafnya, ia baca surat Al- A’raf “…pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.
Hanya kepada Allah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil). Engkaulah pemberi keputusan terbaik� (Qs. Al-A’raf: 89). ***
Suratan Maha Cinta oleh Dea Yolanda (deradesu@gmail.com)
Fajar terbit di ufuk timur bersamaan dengan kokok ayam, pertanda bahwa pagi telah menjelang. Mala mengibaskan tirai yang menutup kaca dan membuka jendela kamarnya. Suasana pagi ini begitu indah dan damai. Tak ada suara bising yang membuat telinga memekik. Inilah yang membuat Mala nyaman berada di desa ini. Desa tempat kelahirannya dua puluh tahun yang lalu. Hal yang menakjubkan adalah desa ini dalam kondisi yang hampir sama ketika dia masih berumur tujuh tahun. Tidak banyak perubahan, hal yang berubah saat ini adalah dirinya sendiri. Satu bulan yang lalu Mala memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya seorang diri. Dia pulang ke rumah peninggalan orang tuanya. Tak ada sanak keluarga yang menyambut. Semua keluarga dekat telah merantau ke luar kota, dia pun telah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak berumur lima belas tahun.
Sungguh, keputusan untuk kembali ke kampung halamannya bukanlah perkara yang mudah. Delapan tahun lalu suatu kejadian menguras emosi terjadi di keluarganya. Dahulu ayah dan ibunya adalah panutan di desa ini. Ayah Mala bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan disantuni warga. Sedangkan ibu Mala adalah seorang ibu rumah tangga yang berdedikasi tinggi dengan tugasnya sebagai istri dan ibu. Tidak pernah ada gonjang-ganjing rumah tangga yang terjadi selama pernikahan mereka. Namun, kebahagiaan tidaklah kekal. Saat Mala berusia dua belas tahun, ayahnya meninggal. Hal itu membuat Mala dan ibunya terpukul. Mereka
tahu
mempunyai
bahwa riwayat
ayah
Mala
penyakit
sebelumnya
apapun.
tidak
Desas-desus
berkembang di tengah warga. Ada beberapa isu yang menyebutkan bahwa ayah Mala di guna-guna oleh seseorang yang
iri
padanya.
Namun
Mala
dan
ibunya
tidak
mempercayai isu itu. Mereka ber-husnudzon bahwa ayah Mala kelelahan. Selain itu Mala tahu bahwa ayahnya tidak bisa tidur hampir setiap malam selama satu minggu karena harus mengerjakan laporan-laporan. Mala yang saat itu sangat belia masih harus diuji oleh Sang Maha Kuasa, satu bulan kemudian ibunya meninggal
karena penyakit diabetes yang dideritanya. Mala benar-benar terpukul. Mala kecil yang masih belum mengerti kerasnya kehidupan harus menanggung derita yang bertubi-tubi. Sejak peristiwa itu, warga desa menjadi antipati terhadapnya, mereka menganggap bahwa Mala adalah pembawa sial. Tidak ada warga yang berbaik hati untuk menolongnya. Jika ada, mereka yang berempati terhadapnya hanya bisa mengelus dada mengingat saat itu sikap antipati beberapa warga benar-benar mendominasi. Kini Mala telah berusia dua puluh tahun. Setelah berhasil
bertahan
dan
bekerja
di
luar
kota,
Mala
memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Dia ingin memperbaiki dirinya yang saat ini kacau. Selama di kota, hidupnya sangat jauh dari Allah. Salat lima waktu pun tak pernah dia lakukan. Bahkan dia sempat merasa ragu ketika pada akhirnya memutuskan untuk salat di surau dekat rumahnya, beruntung ternyata dia masih mengingat gerakan dan bacaan salat yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dia lakukan. ***
Suara azan berkumandang ketika senja hendak berganti malam. Surau yang dibangun lima belas tahun lalu terlihat rapuh dan tak terawat. Meski tidak ramai oleh jemaah, azan yang berkumandang melalui mikrofon menjadi salah satu tanda bahwa Surau itu masih disambangi beberapa warga yang bermukim di sekitarnya. Surau itu tidak seperti surau pada umumnya yang selalu ramai saat waktu salat tiba. Saat azan dikumandangkan, hanya ada beberapa orang bapak-bapak yang bersedia melangkahkan kakinya untuk melaksanakan salat berjamaah. Tidak ada aktivitas pengajian apapun selepas magrib layaknya di surau lain. Surau itu lapuk termakan usia. Mala memakai mukena berwarna coklat tua. Dua minggu telah berlalu sejak dia memutuskan untuk rutin salat magrib sekaligus iktikaf di surau. Dia tidak pernah absen untuk salat di surau tersebut. Tekadnya yang ingin memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada pencipta-Nya membuat langkah kaki menuju surau semakin terasa ringan. Petang itu dia memanjatkan doa yang tak pernah letih diucapkan olehnya.
“Ya Allah, aku memohon ampun atas segala dosa yang telah aku perbuat, aku memohon ampun atas segala khilaf dan salah yag telah aku lakukan. Aku ingin memperbaiki diri, aku ingin bertaubat kepadamu ya Allah. “ Kehadirannya di surau menjadi suatu fenomena unik di tengah warga. Tak ayal pujian dan gunjingan ditujukan kepadanya di saat yang sama. Bukankah aneh melihat seorang gadis muda menghabiskan waktunya di surau saat petang menjelang? Hal itulah yang menjadi pertanyaan di benak beberapa warga. Lazimnya surau tersebut hanya disambangi oleh bapak-bapak lanjut usia saja. Gunjingan muncul ketika kehadirannya membuat beberapa pemuda mengalihkan tempat tongkrongan mereka ke surau. Para pemuda tersebut ingin melihat kecantikan Mala yang jelita. Semua warga tahu bahwa Mala tidak kalah cantik dengan penyanyi terkenal yang sering muncul di televisi. Tidak heran gunjingan datang kepada Mala yang dianggap sebagai gadis penggoda. “Hai Mala, kamu tahu apa yang telah kamu perbuat?� tanya ibu berperawakan tambun di depan Surau.
“Apa maksud Ibu?” Mala mengernyitkan keningnya, mencoba memikirkan apa kesalahan yang telah dia perbuat kepada ibu dihadapannya itu. “Gara-gara
kau,
anak
laki-lakiku
jadi
sering
nongkrong di surau ini dan enggan membantu aku berdagang.” “Saya tidak mengerti apa yang Ibu maksud. Saya juga tidak tahu siapa anak Ibu.” “Ah, sudahlah. Pokoknya kau jangan pernah lagi berada di surau ini. Kau telah mengganggu ketentraman warga di sini.” Ibu berperawakan tambun itu pergi dengan meninggalkan ancaman untuk Mala. *** Sore hari hujan turun rintik-rintik. Mala sedang memasak tumis kangkung dan tempe goreng. Mala sangat rindu makanan ini, makanan yang dulu sering dimasak oleh ibunya. Dari jendela yang berada di dapur dia melihat beberapa orang anak sedang bermain petak umpet.
“Hai adik-adik...” sapa Mala dari balik jendela. Ketiga anak yang berada di halaman belakang rumah Mala menoleh serempak. “Kalian sudah makan siang? Ayo sini makan sama kakak. Kakak sedang memasak tumis kangkung dan tempe goreng.” “...” Ketiga anak itu saling menatap satu sama lain. Tak lama mereka perlahan berjalan mendekati jendela dapur Mala. “Kakak siapa?” “Saya Mala, panggil saja Kak Mala. Ini Kakak baru selesai masak dan bosan makan sendirian. Bagaimana kalau kalian bertiga menemani Kakak makan?” Ketiga anak itu menoleh ke arah meja makan. Aroma tumis kangkung yang baru disajikan menusuk indra penciuman mereka. Akhirnya mereka bertiga mengangguk pertanda setuju. Mala menyunggingkan senyum senang. ***
Langit tiba-tiba mendung seolah mengerti situasi yang terjadi siang ini. Mala baru saja pulang dari pasar. Saat dia sampai di rumahnya, dia mendapati rumah peninggalan ayah dan ibunya telah kacau-balau, tak beraturan. Pintu rumah jebol, kaca-kaca pecah, dan dari luar tampak perabotan rumah tangga yang hancur dan tercecer. Mala masuk ke rumah dan memeriksa barang pribadinya. Saat itu dia menyadari bahwa perhiasan peninggalan ibunya dan beberapa barang berharga lenyap. Apa yang terjadi? Tanya memenuhi pikiran. Air mata keluar dari sudut matanya. Padahal hari ini Mala telah berjanji untuk mengajak Roni, Asep, dan Ujang untuk makan siang di rumahnya. Sejak bertemu dengan ketiga anak kecil itu, Mala memutuskan untuk salat dan mengaji di rumah. Dia mencoba menghindari fitnah dari warga. Dia juga berinisiatif untuk mengajak Roni, Asep, dan Ujang mengaji bersama. Mala merasa perlu untuk membagi sedikit ilmu yang pernah dia pelajari ketika masih remaja. Namun sungguh malang, kini Mala tidak bisa mengajak ketiga anak itu untuk mengaji bersama lagi. Dia tidak punya pilihan lain selain pergi dari desa itu.
“Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam. Eh, Neng Mala, ada apa ya?” “Saya mau memberikan ini untuk Roni, Asep dan Ujang. Tolong disampaikan kepada mereka bahwa saya tidak bisa lagi mengajarkan iqra kepada mereka. Saya harus kembali ke kota. Saya mohon pamit, Bu.” Mala menyerahkan satu bungkusan berukuran sedang. “Oh, iya nanti saya berikan bungkusan ini untuk mereka.
Terima
kasih
banyak
Neng
Mala
sudah
menyempatkan diri mengajarkan anak-anak saya belajar iqra. Saya kira Neng Mala akan menetap di sini. Hati-hati di jalan ya, Neng. Semoga selamat sampai tujuan.” “Iya terimakasih, Ibu. Saya juga senang sudah mengenal ketiga anak Ibu yang saleh.” Mala pamit dengan membawa sebuah koper besar. Entah siapa yang membuat rumah peninggalan orang tuanya hancur, namun Mala merasa dia harus mencari kota lain sebagai tempat dirinya memperbaiki diri dan mengabdikan diri untuk kebaikan umat, meski Mala tak tahu berapa
banyak kebaikan yang bisa dia perbuat. Mala pergi ke kota lain untuk mencari makna hidup di bawah cinta-Nya. ***
Karya Oleh Salma Nur Afifah (Salmafifah@yahoo.co.id) “Jahiiid… ih… kamu ngapain sih? Mbak… liat adenya nakal!” “Kenapa Ta, ribut pagi-pagi?” “Coba liat… masa karya Nita diancurin sama ade. Ih, sini kamu… nakal!” “Eh eh eh… jangan dijewer adenya. Mana? karya apa sih? Loh ngga tuh ini masih baik-baik aja karya kamunya.” “Ih, itu ada miringnya. Terus ada coretan ade lagi, pake spidol.” “Sedikit kok miringnya. Sini Mbak perbaiki. Tuh, gampang kan udah gak miring lagi.” “Coretan spidolnya?”
“Hm…
ya udah… gimana kalo kita cat aja
sekalian semua. Gimana?” “Wah… bener Mbak, bener. Asik… diwarnain kapalnya.” Lucunya punya adik banyak. Setiap hari ada saja keramaian di rumah, seperti hari ini. Pagi-pagi ketika semua masih santai belum beraktivitas sibuk, adikku yang pertama mengadu karena si kecil. Kriya kapalkapalan dari stik es krim buatannya dirusak dengan tinta spidol. Adikku yang perempuan ini—Nita, memang kreatif sekali. Senang membuat kerajinan tangan, sehingga ia jadi murid kesayangan Pak Ari—guru keseniannya. Sedangkan si bungsu—Jahid kecil yang sedang lucu-lucunya, di usianya yang beranjak 3 tahun ia senang sekali memainkan sesuatu. Mulai dari mainan mobilnya, bedak Mama, sampai penggaris aku jadi incarannya, bahkan hasil
karya
Nita tak ketinggalan.
Tapi,
alhamdulillah… permasalahan tadi pagi terselesaikan juga.
“Mbaak… “Aduh… apa lagi ini? Batinku. ”Kenapa lagi Ta?” “Mbak mau ditato ga? Kalo mau, Nita yang gambar ya. Mbak mau gambar apa? Kupu-kupu?” “Mbak gak mau ditato ah. Ntar gak bisa sholat Ta.” “Loh kok ga bisa sholat? Ditato emang gak boleh ya Mbak?” Aku tersenyum tipis. “Nita, Nita tadi marah ya sama Ade?” Dia mengangguk cepat. “Kenapa marahnya?” “Iya lah Mbak! Itu karya Nita dirusak sama dia. Itu kan udah dibentuk bagus-bagus… eh, malah dicoratcoret.”
“Nah, Nita tahu? Tubuh ini, kulit ini, kan ada penciptanya. Udah sempurna banget lo bentuknya. Kalau dicorat-coret nanti yang Menciptakan marah dong.” “Ya… ngga dicorat-coret kok Mbak, malah dihiashias. Sedikit… aja.” “Ya udah atuh, sini kapal-kapalan Nita Mbak gambarin bunga, sedikit… aja.” “Ih ga mau Mbak! Aneh atuh, masa di kapal ada gambar bunga. Nanti jadi jelek.” “Nah, sama kan? Kamu aja gak mau karya kamu dirusak, apalagi Pencipta kita, Ta. Allah Swt. itu AlMushawwir loh—Maha Memberi Bentuk. Lihat, kita diberi bentuk sempurna gini. Alhamdulillaah kita punya anggota tubuh lengkap, panca indera lengkap, masa mau dirusak. Justru sebaliknya, patut kita syukuri.” “Hehe… iya ya Mbak. Oke… Nita ngegambarnya di buku gambar aja.”
Langit Cica oleh Haifa Afifah Sholihah/ Haifa Muflih (Haifaafifah@gmail.com)
Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya. Kami, aku dan temanku menelusuri jalan setapak penuh bebatuan, jarak dari tempat tinggal sementara kami dan tempat anak-anak itu mengaji cukup jauh tapi kami tak mengeluh, karena anak-anak itu akan tiba sebelum kami sampai. “Ibu...!� teriak salah satu dari mereka. Begitulah anak-anak, tak sabar menanti kami datang.
Mereka
sudah
menyambut
kami
dalam
perjalanan. Sungguh mereka itu sedang kesepian dan kami hanya bisa menemani sementara saja. “Ibu, punten ieu cica teu masuk kelas. Nuju hareeng.1� Cerita seorang ibu kepada kami seusai pembelajaran di kelas usai. Ibu itu terlalu tua bila aku menganggap ibu tersebut adalah ibu dari anak di sampingnya.
“Iya
Ibu
enggak
apa-apa.”
Kata
temanku
Nana. Ia tak bisa membalas dialog dengan bahasa yang sama. “Cica... Cepat sembuh ya, biar bisa ngaji lagi sama Ibu.” Nana menundukan muka sampai sejajar dengan
anak
itu,
memberikan
sebagian
energi
positifnya untuk anak itu. Dia tersenyum. Esok
harinya,
kegiatan
yang
kami
jalani
seperti hari kemarin dan kemarin, kemarinnya lagi, tidak
ada
Tapi
yang
berubah.
setiap
sore,
mengindahkan
langit,
bersuka
mengindahkan
cita
Cukup
membosankan.
ketika
terik
anak-anak
itu
hati
meredup turut
untuk
pula
berbagi.
“Andai aku bisa disini selamanya, bersama temantemanku, bersama anak-anak itu” Gumamku. Aku menatap langit, begitu luas, tak terbatas. Begitulah anak-anak, hati mereka begitu luas dan bebas tak ada yang
beban, sudah
berbeda tak
denganku.
pandai
lagi
memusingkan hal-hal yang tak pantas.
Teman-temanku bersyukur
dan
Aku berada di kelas besar, anak-anak yang belum
cukup
menyelesaikan
besar.
Kami
pembelajaran
lebih
cepat
dibandingkan
anak-
anak di kelas kecil. Sambil
menunggu
Nana,
aku
duduk
di
bangku belakang kelas kecil, mataku menjelajahi seluruh kelas, seakan mencari seseorang yang ingin temui. Bingo! Anak itu duduk di bangku kedua baris ke tiga. Anak yang sakit kemarin, meminta maaf
untuk
ketidakhadirannya.
membebaskan
dirinya
yang
Ya
hangat.
lagi,
Anak
tampak
wajahnya
hangat,
itu
di
sudah
wajahnya
dan
sedikit
bercahaya dibandingkan anak-anak yang lain. Aku merasa seperti itu, mungkin Nana punya pendapat berbeda atau memang kurang memedulikan anakanak
itu
dikalangan
satu
persatu.
anak-anak,
Dia
sehingga
sedikit kacau. ***
cukup
populer
membuat
dirinya
Aku baru merasa, ketika aku jauh dari rumah dan jauh dari orang-orang terdekat yang biasa menjadi menumpu harapan hidup, perasaan ku meminta diri untuk mengambil alih posisi, di mana biasanya aku menjadi seseorang yang harus dimengerti, sekarang aku harus mampu menjadi seseorang yang mengerti. I have to be a real mam. Aku menjadi tumpuan teman-temanku. Hari ini akan sedikit berbeda. Anak-anak kecil sudah aktif masuk sekolah. Mereka tak akan mengganggu jadwal harian kami di sini, di rumah pengabdian. Tap.. tap.. tap.. hey, aku mendengar orang berlarian. “Ibu Nanaaa....� Anak-anak memanggil nama salah satu dari kami. “Na, ada anak-anak,� aku tak minta Nana untuk menghampiri anak-anak itu, tapi Nana sudah memiliki kesadaran penuh bila ada anak-anak datang ke rumah, dia harus melayani mereka, apapun yang mereka minta.
Ketika anak-anak itu melihat Nana, berlarianlah mereka masuk ke rumah. Nana menyiapkan karpet, anak-anak ikut membantu membentangkannya. “Ibu... liat, Cica geubis, getihan!2” anak kecil lainnya. Aku tak ingat dia siapa menunjukan telunjuknya ke arah lutut yang mengalirkan darah segar. Aku terhentak! “Na, cari di kotak P3K, barang kali ada antiseptik dan plester yang bisa bantu menutupi lukannya. Aku coba menghangatkan air untuk membersihkan lukanya.” “Oh, Iya... Iya... Mana ya... Hemmm” Dia selalu banyak bicara. Air hangat siap, aku bawakan tisu juga, Nana pun membawa apa yang dibutuhkan. “Sini Cicanya. Ibu bersihkan ya. Tahan selama satuhun. Ha!” aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Anak-anak tak menghiraukannya. Mereka terlalu panik dan nampak serius.
“Cica, mana ayahmu?” sambil mengelus-ngelus luka dengan lembut, Nana memang tak bisa kalau tidak bersuara. “Ayahna Cica nikah lagi, teu teurang kamana, ayeuna3” itu temannya yang menjawab. Cica hanya diam saja. Anak itu membendung banyak masalah. Awalnya mungkin hanya rasa sakit di lutut, tapi sekarang mungkin bertambah, di bagian dalam tubuh yang orang lain selalu salah mendeskripsikannya. (baca; hati dan perasaan). “Oh.. kenapa tidak menemui ibumu, trus bilang ‘Ibu aku jatuh’ gitu!” aku yakin, sebenarnya Nana sudah kalap dengan jawaban yang sedikit mengecewakan dirinya maupun Cica. Akhirnya Nana membuat pertanyaan lain yang harapannya bisa melegakan. “Ibunya pergi, teu teurang kamana tah?4” jawab anak itu lagi, sekali lagi itu bukan Cica yang menjawab. Nana tambah kacau, suasana semakin rumit. Cica tampak lebih tenang. Lukanya sudah dibalut antiseptik dan plester. Tapi, perasaannya kini berubah.
Aku tak bisa membayangan bagaimana gejolak perasaannya kini. Tak ada sedikitpun kemiripan Cica dengan seorang ibu yang mengantarkannya di tempo hari itu. Sungguh, dia telalu kecil untuk merasakan hal ini. Langit masih saja luas dan memanjakan mata, malangnya anak itu, tak seharusnya ia menerima beban berat sedini ini. Ke mana orang tuanya. Ke mana masa lapangnya. Ke mana masa depannya. Semua itu hilang tanpa dipinta.
1
“Ibu, maaf ini cica tidak masuk kelas. Lagi
sakit” 2
3
“Ibu.. lihat, cica jatuh, berdarah” “Ayahnya Cica nikah lagi, gak tau kemana,
sekarang” 4
“Ibunya pergi, gak tau kemana tah (logat orang
sunda)?”
Cintamu dalam Diammu
oleh Ika Nurjanah
Matahari bersinar terik memancarkan panasnya, Mira berjalan menyusuri terminal bus yang ia tumpangi untuk pulang ke kampung halamannya. Mira mencoba menengok ke kiri dan kanan mencari ibunya. Tak lama, pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya itu duduk di deretan toko, Mira pun berlari menuju ibunya. “Ibu!” panggil Mira Ibunya pun lantas menoleh, terlihat senyumnya begitu mengembang melihat anak yang dirindukan itu akhirnya pulang. “Nak, kamu kurus sekali,” ucap sang ibu saat melepaskan pelukan “Akh, Ibu tidak ada pertanyaan lainkah, selain itu? Setiap Mira pulang ibu selalu saja berkata kalau Mira kurusan.” Ibu dan anak itu berbincang sambil berjalan bergandengan keluar dari terminal bus, di sana terlihat
ayah Mira tengah menunggu Mira dan ibunya. Ayahnya pun tersenyum seraya mengambil tas yang dibawa Mira dan Ibunya. Mira mencium tangan ayahanya. “Kamu sehat, Nak?” tanya ayah Mira “Iya, Mira sehat Yah, Ayah sendiri?” jawab Mira dengan senyum mengembang. “Ya ayah sehat, ayo masuk, biar kita bisa langsung
berangkat.”
ucap
ayah
Mira
sembari
memasukkan barang-barang Mira ke mobil angkotnya. Ayah Mira memang seorang sopir angkot, setiap hari ayah Mira berkeliling menelusuri kota Bandung untuk menafkahi keluarganya. Beruntung Mira mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya di Jogja sehingga dapat mengurangi beban sang ayah, akan tetapi tetap saja ayah Mira tak pernah lelah mencari uang. Meski Mira bisa kuliah dengan uang beasiswa ayahnya selalu saja ingin mengirimi Mira uang karena khawatir jika anaknya tidak bisa makan. Sepanjang perjalanan menuju pulang Mira bercerita panjang lebar pada ibunya tentang apa saja
yang ia alami selama di Jogja. Ibu Mira pun dengan serius mendengarkan anaknya bercerita, Mira bergitu bersemangat
menceritakan
pengalammnya
hingga
terkadang cerita itu pun diselingi dengan tawa renyah mereka
berdua.
Sementara
ayah
Mira
terus
berkonsentrasi menyetir mobilnya. Tak lama tibalah mereka di rumah. Mira dan ibunya turun, sedangkan sang ayah menurunkan barang-barang Mira dan ia pun pamit untuk kembali menarik angkot. “Pak, Mira kan baru pulang, jadi Bapak jangan kerja dulu, Ibu akan masak nanti, kita makan sama-sama ya Pak?” ucap ibu Mira “Hari ini sangat cerah, sayang kalau Bapak hanya duduk bersantai di rumah yang pentingkan Mira sudah sampai. Ibu temani saja Mira bapak berangkat dulu.” Jawab Ayahnya sembari berlalu bersama angkotnya. “Bu kok ayah malah pergi kerja, apa dia gak rindu sama Mira?” “Tentu rindu Mir, tiap hari ayahmu gak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan ia sampai lupa waktu
karena semangatnya mencari uang buat kamu. Sementara ibu, hanya di sini mendoakan kamu dan ayahmu agar kalian selalu sehat dan sukses.” “Tapi kenapa ayah selalu dingin sama Mira?” “Akh itu perasaanmu saja, Nak. Ayahmu begitu menyayangimu, hanya saja ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.” “Tapi ayah tidak perlu mengungkapkannya, toh ibu juga tidak pernah mengungkapkan kalau ibu menyayangi Mira, tapi setidaknya ibu selalu ada di sisi Mira.” “Nak, ayah itu orangnya memang seperti itu kaku namun di balik kekakuannya, tersimpan rasa sayang yang luar biasa terhadap keluarganya. Setiap ia pulang menarik angkot, ia memberikan uang hasil menarik angkotnya pada ibu. Ibu selalu bertanya apakah penumpangnya sepi sampai-sampai uang yang diberikan sangat sedikit, ayahmu hanya diam dan berlalu. Diamdiam ibu mengikutinya, ayahmu masuk kekamarmu dan menaruh uang di celenganmu, ibu hanya menatapnya
tanpa bertanya tapi ibu tahu itu semua ayahmu lakukan sebagai bentuk kasih sayangnya. Nak, meski kadang kita selalu berpikir yang kita butuhkan adalah kasih sayang bukan materi tapi kita tidak pernah tahu bentuk seseorang menyayangi kita seperti apa. Mungkin, yang ayahmu bisa adalah menyisihkan uangnya untuk bekalmu kelak. Kamu harus bisa menghargainya, itulah bentuk kasih sayangnya.� Mira kemudian pamit pada Ibunya. Ia pun masuk ke kamarnya membuka lemari dan menemukan sebuah celengan yang ia beli sebelum pergi kuliah ke Jogja. Celengan itu akan di bawanya ke Jogja namun ia lupa dan meninggalkannya begitu saja. Mira mengangkatnya, karena terasa berat kemudian Mira pun memecahkannya. Terlihat banyak sekali uang recehan, Mira tahu ini pasti uang hasil ayahnya menarik angkot. Ia pun menghitung jumlahnya sudah banyak mencapai Rp.2.000.000,-. Mira bertanya untuk apakah uang ini. Mira kemudian berdiri mencari plastik untuk mengantongi uangnya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia bertanya pada ayahnya. Tiba-tiba ia menjatuhkan sebuah album dan di sana ia
temukan selipan kertas, Mira membacanya dan itu adalah tulisan ayahnya: Mira sedang apa kamu di sana, Nak? Ayah rindu sekali, rindu melihat tawamu, Nak. Maafkan ayah karena untuk menyekolahkan kamu saja ayah tidak bisa sampai-sampai kamu harus bersusah payah untuk mendapatkan beasiswa. Saat kamu sudah berhasil, ayah bahkan tidak mampu untuk mengantarkanmu ke Jogja mencarikan tempat tinggal seperti orangtua lainnya. Ayah hanya mengantarmu dengan angkot dan hanya sampai terminal. Ayah melepaskanmu dengan hati yang begitu sesak, Nak. Ayah khawatir terhadapmu yang baru pertama kali jauh dari ayah, bahkan ibumu tak mampu menahan sedihnya hingga ia pun menangis. Namun, ayah berusaha sekuat tenaga untuk bisa menahannya dan membawa ibumu pulang ke rumah, yang terasa kosong setelah
kamu pergi. Mulai saat itu ayah bertekad untuk bersemangat mencari uang. Ayah ingin berarti buatmu. Ayah mengumpulkan uang ini untukmu, Nak,
untuk
kamu
menjadikanmu
bisa
seorang
memakai dokter
toga,
seperti
dan cita-
citamu yang selalu kamu katakan saat kamu kecil saat kamu selalu tertawa dalam pangkuan ayah. Meski ayah sering ditertawakan oleh tetangga atau bahkan teman-teman ayah sesama sopir karena ayah bermimpi terlalu tinggi tapi ayah yakin ayah bisa, Nak. Meski hanya sekedar recehan
yang
mampu
ayah
kumpulkan,
tapi
bersamaan dengan itu pula ayah kumpulkan kekuatan ayah buat kamu. Ayah tidak mau kamu dihina seperti Ayah. Ayah ingin kamu bahagia dan lebih baik dari ayah dan ibu. Air mata Mira pun menetes ia tak tahu bahwa sedalam ini ayahnya mencintainya. Kemudian, ia
membuka album foto yang berada dalam genggamannya. Mira
melihat
menggendongnya
betapa dan
ayahnya
dengan
mengajarkannya
riang berjalan.
Terlintas bayangan bagaimana saat itu ayahnya sangat bersemangat mengantarnnya masuk sekolah dasar dengan kayuhan sepeda. Di sepanjang perjalanan, ia tertawa riang bersama Ayahnya. Mira tersadar saat samar-samar suara mobil angkot ayahnya tiba, ia pun keluar dari kamarnya. “Mira mana, Bu?” tanya ayahnya “Di dalam, bawa apa, Pak?” “Ini ayam goreng kasihan Mira pasti makannya tempe tahu aja.” Sambil memberikan kantong plastik yang berisikan ayam goreng. “Iya tadi juga kita makan sama tempe, ikan peda, dan sambal terasi tapi dia lahap kok Pak makannya.” “Iya, dia makan lahap karena dia capek terus lapar. Mira itu kan calon dokter makanannya juga harus
bergizi biar dia sehat dan pintar. Ini uang buat besok belanja, ibu beli sayuran dan ikan yang enak buat dia.” “Iya.” jawab ibu Mira sembari membuka kantong pelastik “kok ayamnya satu, Pak?” “Hari ini angkotnya lagi sepi Bu, jadi Bapak beli satu, biar kita makan sama kerupuk dan sambal saja tapi jangan di depan Mira, biar dia bisa menikmati sendiri makanannya kalau dia tanya bilang saja kita sudah makan sama ayam juga.” Mira yang mendengar di balik dinding pun menangis betapa pengorbanan itu begitu besar betapa cinta itu teramat dalam, meski tak terungkap dengan kata. Meski cinta itu dalam diam namun ia begitu merasakan kasih sayang sosok ayah yang dianggapnya dingin dan hanya mementingkan kesibukan pekerjaanya. Ia justru tengah membuktikan cintanya dengan setiap peluh keringat yang ia keluarkan untuknya dan sosok wanita yang lemah lembut itu pun tengah membuktikan cinta kasih yang tiada terputus serta doa yang selalu
mengiringi langkahnya. Mira pun terisak tak mampu lagi berbicara ia berlari memeluk orangtuanya. Beginilah cinta tumpah dengan airmata ketulusan bukan dengan kata-kata rayuan atau sanjungan, dan beginilah cinta sejati orangtua, takkan terputus dan takkan berubah sepanjang masa. Mira kemudian berjanji akan
memberikan
yang
terbaik
untuk
kedua
orangtuanya. Ia akan mewujudkan mimpinya, meski jasa dan peluh pengorbanan orangtuanya itu tak akan pernah terbayarkan.
Mira
hanya
ingin
orangtuanya tersenyum bahagia. ***
selalu
menatap
Ilmu dalam Pesan Ibunda Oleh: Dini Siti Rufaidah
(dinisitirufaidah@yahoo.com) Minggu ini adalah pekan ulangan tengah semester bagi siswa SMP Al-Hidayah. Sebagian besar siswa sangat rajin belajar untuk meraih nilai terbaik di kelasnya. Tapi, keadaan serupa tak nampak pada seorang siswi bernama Rita. Ia tampak santai. Tak ada rasa cemas ataupun takut jika nanti mendapat nilai buruk dalam hasil ulangannya. Esok adalah hari ketiga UTS dan
pelajaran
yang
diujikan
adalah
pelajaran
matematika. Pelajaran yang dianggap cukup sulit dan menakutkan bagi kebanyakan siswa. Tak heran, banyak siswa yang pulang terlambat karena belajar bersama teman-temannya. Siang itu Rita langsung pulang ke rumah dengan keadaan lelah. “Assalamualaikum, Bu!� ujar Rita yang langsung duduk di kursi depan.
“Waalaikumussalam,…
bagaimana
tadi
di
sekolah, Nak?” Kata ibu. “Rita lelah sekali, Bu… setelah ulangan langsung latihan voli sama teman-teman”, jawab Rita. “Ulangannya bagaimana?” Tanya ibu. “Ya…
begitulah,
Bu.
Seperti
biasa
saja”,
jawabnya. “Mudah-mudahan nilaimu bagus, Nak. Kalau tidak salah besok ulangan matematika ya?” Tanya ibu. “Iya, Bu.” Ujarnya. “Kalau begitu, istirahatlah dulu. Nanti, siap-siap belajar.” Kata ibu. Rita pun segera mengganti pakaiannya dan beristirahat. Sore harinya, ia sudah kembali bugar. Ibu duduk di sampingnya dan berkata. “Nak, minggu lalu kamu tidak hadir saat pelajaran matematika. Coba pinjam buku ke temanmu untuk belajar supaya kamu tidak ketinggalan pelajaran”. “Tidak usahlah,
Bu. Pasti pelajarannya hanya
mengulang yang sebelumnya,” jawab Rita.
“Ya sudah… kamu pelajari dengan benar, ya! Ingat, hasil yang baik itu akan diraih oleh usaha yang sungguh-sungguh.” Ucap ibu dengan lembut, kemudian melangkahkan kaki ke dapur. “Iya, Bu.” Jawab Rita. “Kalau aku tidak bisa mengerjaan soal nanti, aku tinggal tanyakan saja ke Sani. Dia kan jago matematika. Aku akan duduk di sebelahnya”. Ujarnya dalam hati. Keesokan harinya, Rita datang lebih pagi. Ia menunggu Sani. Namun ternyata Sani tidak hadir karena sakit. Rita mulai cemas. Tak lama kemudian, ulangan pun dimulai. Rita semakin gelisah karena soal ujiannya banyak yang belum ia mengerti dan ternyata soal itu yang minggu lalu dipelajari. “Aduh... bagaimana ini? Nilaiku bisa hancur!” Ucap Rita dalam hati. Wajahnya yang bingung dipenuhi keringat yang terus menetes. Rasa penyesalannya amat besar. Matanya hampir berkaca-kaca. Hingga waktu untuk mengerjakan soal pun habis, ia belum tuntas mengisi semua soal. Akhirnya, ia memilih jawaban dengan asal-asalan berdasarkan hasil hitung kancing kemejanya.
Ia bergegas pulang dengan rasa penyesalannya. Setibanya di rumah, ia langsung menghampiri ibu dan memeluknya. “Ibu… maafkan Rita. Nilai Rita pasti buruk karena tidak melaksanakan nasihat ibu. Rita terlalu menyepelekan ilmu.” Ucap Rita sambil menangis. Ibupun tersenyum dan segera mengusap air mata Rita. “Syukurlah… kalu kamu sudah mengerti. Tidak baik menyepelekan ilmu. Ilmu adalah hal yang penting dalam hidup kita dan bukan untuk diabaikan”. Ujar ibu dengan lembut. “Ilmu bagaikan tongkat yang kamu bawa ketika di gunung. Ia akan membantumu menentukan jalan mana yang berlubang dan yang aman, menjadi tumpuanmu ketika lelah bahkan menjadi penguat untuk bangkit ketika kamu terjatuh. Tak ada kerugian jika kamu bersama ilmu, malah yang ada yaitu kesyukuran. Contoh kecil tadi sudah membuktikan bahwa manusia akan senantiasa
membutuhkan
ilmu
dan
untuk
mendapatkannya kita tidak bisa hanya berleha-leha. Di dalamnya harus ada ikhtiar, dan ingat… ilmu itu akan lebih bermanfaat ketika orang yang memiliki ilmu
tersebut juga memiliki hati yang mulia. Dengan demikian, Sang Pemilik Ilmu akan memudahkanmu. Allah akan selalu menuntunmu,� kata ibu dengan bijak. Senyumpun tergambar di wajah ibu melihat putrinya kini sudah mulai mengerti makna ilmu bagi seorang manusia.
***
Siapa Kamu oleh Lintang Dwi Salamah a.ka Afiyah (lintangdsalamah@gmail.com) “Mami gue tuh bawel banget, sih.” Ucapku sambil menghempaskan tubuh ke atas sofa di studio. Riani yang sejak tadi duduk di sana menungguku tampak sedikit terkejut. Aku mematikan ponselku yang beberapa kali berdering, tertera nomor mami di layarnya. “Kenapa mami loe? Ngomong apa lagi beliau?” tanya Riani
sambil merapihkan barang-barangku dan
memasukkannya ke dalam tas besar di samping sofa. “Kayak biasa Ni, mami gue nyuruh gue berhijab, nanya kapan gue berhijab, maksa gue segera berhijab, pokoknya ngomongnya serba hijab, deh.” Di benakku terbayang wajah mami yang setiap hari menyuruhku berhijab. Riani hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia sendiri sudah mulai berhijab sejak keluar SMA, berbeda denganku yang mengabaikan hal itu.
“Kenapa loe enggak menuruti kata beliau saja? Berhijab itu bagus, lho.” “Ni, mending gue hijabin hati dulu deh, banyak kan, wanita yang berhijab perilakunya malah lebih buruk dari yang tidak berhijab, enggak mau, ah, gue kayak begitu,” Riani menghela nafas. Aku malah memasang wajah serius, teguh memegang prinsipku untuk menunda berhijab karena ingin memperbaiki sikap dahulu. Apalagi pekerjaanku sebagai seorang aktris membuatku khawatir. Jika aku berhijab, tawaran pekerjaan yang datang semakin sedikit. Maklum, jarang ada film atau sinetron stripping yang memakai aktris yang berhijab, kecuali untuk film-film religi. Lain dengan Riani, dia sebagai manajerku, tidak akan membebaninya jika ia berhijab. Apalagi kalau nantinya aku berhijab, lalu melepasnya
lagi,
pasti
jadi
pembicaraan
media.
Pokoknya, di pikiranku berhijab itu menyusahkan. “Coba dulu Key, kalau sudah berhijab pasti kita akan terbiasa menjaga hati dan perilaku kita juga, kok.”
Riani memandangku dengan tatapan meyakinkan. Inilah yang tidak aku suka. Mami dan Riani itu modelnya sama. “Nanti, lah, gue pikir-pikir lagi, belum siap gue.� Ucapku ketus dan segera beranjak meninggalkan Riani yang dengan segera mengucapkan selamat tinggal dengan para kru film. Innova
putih
milikku
mulai
berjalan
meninggalkan studio sebuah stasiun televisi. Aku duduk di bangku belakang pengemudi sambil memasang wajah kesal. Riani yang duduk di sebelah supirku sesekali memerhatikanku dari kaca depan. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku merasa perutku jadi lapar gara-gara kelelahan. Aku menatap keluar jendela. Kayaknya enak kalau mampir ke restoran lebih dahulu. Di tepi jalan berjajar banyak restoran. Sebuah restoran menarik minatku, sepertinya makanan di
sana
enak.
Aku
segera
menyuruh
supirku
menghentikan mobil di depan restoran itu dan meminta
supirku dan Riani menunggu di dalam mobil selama aku membeli makanan di restoran tersebut. “Tunggu gue sebentar ya, gue mau beli buat take away, kok.” Ucapku sambil turun dari mobil. Riani memesan makanan untuknya dan mengucapkan hati-hati sebelum aku pergi. Aku memasuki restoran bernama “Beef and Steak Western Resto” itu. Di dalamnya beberapa pelanggan tengah
menikmati
makanannya.
Para
pramusaji
mendatangi meja mereka satu persatu untuk mencatat pesanan mereka. Aku duduk di sebuah kursi yang sengaja disediakan untuk pemesanan take away. Seorang pramusaji menghampiriku sambil membawa sebuah buku kecil untuk mencatat pesanan dan sebuah buku menu. “Mau pesan apa, Mbak?” tanya pramusaji tersebut setelah memberikan buku menu kepadaku.
Aku
menunjuk
beberapa
menu.
Pramusaji
tersebut segera mencatatnya lalu mengulangi pesananku sebelum pergi. Beberapa orang masuk dan keluar dari restoran tersebut selagi aku menunggu. Gaya barat yang menjadi setting tempat restoran tersebut terasa sangat kental sekali, membuat para pelanggan merasa nyaman di tempat itu. Setelah sepuluh menit berlalu, pramusaji yang tadi datang padaku kembali sambil membawa beberapa bungkus plastik berisi pesananku. “Oh ya Mbak, di sini sedang ada promosi menu baru, bagaimana jika Mbak mencobanya dulu sebelum pergi.� Ucapnya sambil menyerahkan bill kepadaku. Pramusaji
lain
datang
mengampiri
kami
sambil
membawa sepiring makanan, sepertinya itu menu yang dimaksud. “Ini Mbak, menunya, silahkan dicoba.�
Aku memperhatikan makanan itu seksama. Terlihat seperti steak daging sapi, tapi kenapa persaanku tidak enak. “Nama menunya apa, Mas?” “Pork steak pepper, Mbak.” Seketika
aku
terkejut
mendengar
ucapan
pramusaji tersebut. Untung saja aku belum memakannya. Aku benar-benar merasa kesal kepada pramusaji itu. “Maaf ya Mas, saya tidak makan daging babi! Itu haram di agama saya! Untung saja, saya belum memakannya, coba kalau sudah, mas mau nanggung dosa
saya?!”
Ucapku kepada pramusaji itu dengan emosi meluapluap. “Maaf-maaf Mbak, saya kira Mbak bukan muslim, maaf ya, Mbak” Jantungku berdegup tiba-tiba saat mendengar alasan pramusaji tersebut. Ada rasa kesal sekaligus
bersalah dan berdosa dalam waktu bersamaan. Ya Allah, apa aku benar-benar tak terlihat seperti hambaMu? “Ya Mas, tidak apa-apa, lain kali harus tahu dulu agama pelanggan kalau mau menawarkan menu ya Mas� “Iya Mbak, sekali lagi maaf, terimakasih sudah mengunjungi restoran kami.� Ucap kedua pramusaji sambil membungkukkan badan, sedangkan aku pergi keluar restoran itu dengan terburu-buru. Jantungku masih berdegup kencang. Seperti orang yang hampir melakukan dosa besar. Sesampainya di mobil, aku tidak mengatakan apapun pada Riani. Aku hanya terdiam dan memakan makananku tanpa banyak bicara. Sekilas aku melihat Riani tengah memperhatikanku dengan heran, seakan tahu ada sesuatu yang terjadi saat aku di dalam restoran. Sesampainya di rumah, aku segera turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Ingin segera rasanya membasuh wajahku dengan air wudhu. Usai berwudhu, aku mengambil mukena dan melaksanakan salat ashar. Dalam salat, aku terus
menerus berpikir tentang kejadian tadi. Ya, Allah, kenapa aku tidak terlihat seperti hamba-Mu, apa aku ini memiliki banyak dosa dan kesalahan pada-Mu? Tetes demi tetes air mataku mulai mengalir selama aku mengerjakan salat. Akalku terus berpikir hal apa yang menyebabkanku tak terlihat sebagai seorang muslim. Tiba-tiba ucapan mami tentang hijab terngiang di telingaku. Air mataku semakin mengalir deras, hingga aku mengucapkan salam, air mataku belum juga berhenti mengalir. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengusap pundakku. Aku menoleh dan menemukan Riani yang tengah menatapku heran. “Kenapa, loe, Key? Kok nangis?� Seketika aku memeluk Riani. Sambil menangis tersedu-sedu, aku menceritakan semua yang terjadi di restoran tadi. Riani mengusap-usap punggungku sambil menenangkanku.
“Gue harus gimana, Ni? Aku mau terlihat seperti seorang muslim,” keluhku pada Riani. “Keyla, satu-satunya solusi, loe harus berhijab, turutin kata-kata mami loe, patuhi perintah Allah, Key. Hijab itu bukan cuma menutup diri loe, tapi juga akan memperindah diri loe, apalagi hijab itu bukan sekedar pakaian Key, tapi juga identitas loe sebagai seorang muslim, mau kan, loe mulai berhijab?” Tangisku tak mereda, malah semakin deras mengalir. Kusadari semua kesalahanku dan pikiran dangkalku tentang hijab. Aku mengangguk perlahan, menyetujui semua perkataan Riani. Aku mau berubah, Ya Allah. Aku ingin terlihat bahwa aku adalah hambaMu. Esoknya, Riani membelikanku beberapa helai kerudung dan baju gamis. Hadiah katanya. Aku mencoba memakainya dengan senyum merekah. Semua dugaan dan pikiranku tentang hijab salah. Nyatanya aku merasa lebih cantik dan percaya diri dengan berhijab. Riani memuji penampilanku berkali-kali.
Awalnya publik terkejut mendengar bahwa Keyla Ariastiya Fitri mulai berhijab. Berita tentang diriku yang berhijab pun disiarkan di infotainment-infotainment. Aku kira tawaran kerja yang datang kepadaku juga akan berkurang seperti dugaanku, tapi ternyata malah sebaliknya.
Beberapa
produsen
baju
muslimah
menawariku sebagai modelnya, sutradara film religi layar lebar juga menawariku peran utama, bagitu juga sutradara-sutradara
sinetron
religi,
produsen
iklan
produk-produk halal juga ikut menawariku menjadi model iklannya. Subhanallah, aku benar-benar merasa menjadi diriku yang sebenarnya. Menjadi hamba Allah. Setelah setahun berhijab, kini aku merasakan betapa menyesalnya diriku dahulu. Kini aku merasakan indahnya berhijab. Menemukan jati diriku. “Siapa kamu?� ucap seseorang dalam sebuah take iklan baju muslimah. “Aku seorang muslimah.� Aku menatap kamera dengan senyum merekah sambil menyentuh kain jilbab merah mudaku.
Sandiwara Kelabu oleh Muhammad Abdullah
“Hai,
bagaimana
kabarmu?
Akhirnya
kita
bertemu heh.” Pria berjaket bulu coklat itu menyapa pria berjaket kulit panjang di sebelahnya dengan kaku. Kikuk. Seperti seorang pria yang ingin melamar anak singa. Selanjutnya, hanya hening. Hanya ada desir angin musim dingin yang sungguh sudah kelewat batas. Tokyo kini menjelma menjadi kota putih. Putih yang menusuk. “Kenapa sejak pernikahanku kau menghilang, Ahlam?” pria berjaket bulu coklat itu kembali bertanya. Kini nadanya sedikit lebih santai. Namun, pria berjaket kulit hitam panjang di sampingnya masih mematung. Memandangi lautan manusia yang sibuk memerangi musim dingin dari atas jembatan layang tempat mereka kini berdiri. “Kau tahu Faris, pertanyaanmu adalah retoris yang menusuk. Kau sendiri sudah tahu alasannya, bukan?” jawab pria berjaket kulit hitam dengan penuh
sinis. Campuran antara marah dan kecewa. Drama cinta memang tak selalu saja indah. *** Beberapa tahun yang lalu, Ahlam dan Faris dipertemukan dalam satu pesantren kecil di kampung. Ketika itu umur mereka 10 tahun. Faris yang anak orang kaya kurang terbiasa dengan segala kesederhanaan yang ditawarkan pesantren untuk para tholibul ilmi-nya. Faris tak pernah mau makan makanan yang dimasak pesantren, di kelas Faris hanya terdiam dan sibuk menggambar ketika ustadz sedang menjelaskan. Dan pada malam harinya, Faris tak pernah tidur. Dia terus saja menangisi perutnya yang lapar karena tak pernah terisi makanan. Bagaimana tidak?, dia tak pernah mau makan makanan pesantren, barang sesuap pun. Ahlam, yang kebetulan satu asrama dengan Faris. Demi mendengar rengekan dan tangisan Faris langsung sigap bangun dan mendekati ranjang Faris. Duduklah Ahlam di samping Faris sambil mencoba menghiburnya.
“Hai, anak orang kaya. Siapa namamu?” tanya Ahlam polos sambil terus memandangi Faris yang masih sibuk dengan tangisnya. “Apa kau lapar?” demi mendengar pertanyaan itu,
Faris
mengangguk
sambil
terus
menangis.
Sebenarnya mudah saja menebak penyebab munculnya tangis di wajah Faris. Lihatlah, sejak tadi dia terus memegangi perut mungilnya. “Ayo ikut aku!” ajak Ahlam setengah berbisik. Dua anak mungil itupun menyeret langkah mereka pelan-pelan keluar asrama. Kemudian dengan sigap Ahlam membantu Faris menaiki tangga menuju atap asrama. Ya, di sinilah akhir tujuan mereka berdua. Atap asrama. Apa yang mereka lakukan di sini? Mudah saja. Pertama Ahlam akan menurunkan ember yang diikat dengan katrol ke arah abang-abang nasi goreng yang persis berada di balik pagar asrama. Jadi, atap adalah satu-satunya jalan untuk bertransaksi dengan penjual nasi goreng tersebut. Tak beberapa lama, penjual nasi goreng tersebut pun menaruh sebungkus nasi goreng di
ember yg terikat katrol dan Ahlam dengan sigap menariknya ke atas. “Ini, makanlah anak orang kaya.� Ucap Ahlam sambil menyerahkan sebungkus nasi goreng. Tanpa diperintah, dengan gesit nasi goreng itu dilahap habis oleh Faris. Rupanya anak ini benar-benar sangat kelaparan. Dari atap asrama itulah, Ahlam dan Faris menjalin persahabatan. Tak ada waktu yang mereka habiskan
kecuali
berdua.
Dan
persahabatan
itu
berlangsung hingga masuk ke jenjang kuliah. Mereka pun mengambil jurusan yang sama di universitas ternama di Depok. Waktu terus bergulir bagai batu yang dilepas dari Gunung Himalaya. Batu itu akan terus melesat, hingga dia berhenti, kembali ke titik akhir. Tanah. Kini, dua bersahabat itu menginjak semester akhir. Berkat kerja keras mereka berdua, sidang skripsi mereka lancar. Tinggal menunggu waktu wisuda saja. Bagi seorang mahasiswa, masa ini adalah waktu yang tepat untuk mencari kerja atau seorang pendamping sehidup semati.
“Kau
yakin
ingin
melamarnya,
Lam?”
mendengar pertanyaan Faris, Ahlam hanya termenung sambil menatap kosong rembulan dari jendela kamar kosnya. “Kau yakin ingin menikah muda? Kau yakin pekerjaanmu sebagai guru privat dan pengajar tetap di TPA itu bisa mencukupi kebuthannya kelak? Apa kamu yakin wanita yang kau pilih ini sudah baik agamanya, nasab, jamal, dan maal-nya?” Ahlam tetap terdiam. “Entahlah, Ris. Aku hanya yakin bahwa dengan menikah Allah akan melimpahkan rizki kepada hambaNya. Bukankah indah hidup susah sederhana di samping seorang istri tercinta? Kadang untuk bahagia itu tak perlu kaya, Ris. Aku juga yakin, wanita itu juga sholihah.” Faris terdiam, kemudian dia tersenyum tipis sambil mengacak rambut sahabatnya yang sedang dirundu cinta itu. “Besok kamu temani aku ya?” “Melamar dia maksudmu?” Faris yang ditanya malah kembali bertanya. Demi mendengar itu muka
Ahlam sempurna merah. Semerah udang rebus. Faris yang semakin tak tahan melihat tingkah kasmaran sahabatnya yang menggelikan itu semakin tertawa terbahak sambil menimpuk sahabatnya itu dengan bantal. Yang ditimpuk tak terima dan terjadilah perang dunia bantal kesekian di kamar kos itu. Malam harinya, Ahlam benar-benar tak kuasa memejamkan matanya. Pikirannya melayang. Tak berhenti dia panjatkan doa dan mendirikan sholat agar Sang Ilahi mencerahkan jalan baginya besok. Saat lamaran. Pagi telah datang, merayakan cahaya matahari yang berhasil memenangkan peperangan dengan langit hitam malam. Saat yang mendebarkan dalam hidup Ahlam pun tiba. Lihatlah, kini pria berambut keriting dan berkulit hitam itu sudah terlihat tampan dengan setelan jas yang dipinjamkan Faris kepadanya. Sesampainya di rumah wanita yang akan dilamar tersebut. Dunia seakan menyempit dan menjelma menjadi biji sawi bagi Ahlam. Lihatlah, tubuhnya diguyur oleh keringat dingin. Wajahnya pucat. Bila tidak sedang lamaran dan sedang berhadapan dengan wali
yang akan dilamar, mungkin sejak tadi Faris akan menimpuk sahabat terbaiknya itu dengan tas yang dibawanya sambil tertawa keras. Tapi apa daya, kini Faris pun ikut-ikutan tegang. Bahkan lebih tegang. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan Faris rapatrapat dari sahabat terbaiknya, Ahlam. “Jadi, apa tujuan adek-adek bertandang ke rumah bapak?” tanya bapak dari calon yang akan dilamar. Demi mendengar itu jantung Ahlam berdetak
semakin
kencang. Keringatnya semakin deras mengalir, wajahnya kini benar-benar menyerupai zombie. Pucat. “Sa, saya, saya ingin...ingin melamar anak bapak. Aqilah.”
Demi
mengalihkan
mendengar
itu
Faris
langsung
pandangan ke arah lukisan di dinding,
ayah Aqilah memejamkan mata. Sesekali dia mengelus jenggotnya yang panjang itu. Seulas senyum tersembul di paras tuanya. Menyenangkan sekali melihat bentukan senyum dari orang tua itu. “Anakku, cinta memang mendorong kita untuk memiliki orang yang kita cintai. Dan sebaik-baik cara
untuk memiliki cinta yang kita cintai adalah seperti yang anakku lakukan saat ini. Yaitu melamar. Tanpa pacaran. Tapi, agama juga telah membuat aturan tentang cinta anakku. Bahwa tidak boleh kita melamar seseorang yang sudah dilamar oleh orang lain. Anakku, Aqilah Shaffiyah Abada sudah dilamar oleh orang lain. Yaitu sahabat anakku sendiri, Faris Ahmadi Fadhla, dan putriku telah menerimanya.� Faris langsung memeluk Ahlam erat. Yang dipeluk hanya bisa merunduk menangis. Langit seperti sudah runtuh. Lautan sudah melahap habis semua benua. Hancur. Kiamat. Itulah apa yang ada dalam balikan dada seorang Ahlam saat itu. Air matanya mengalir deras, lebih deras dari keringat dinginnya tadi. “Kenapa kau tak bilang dari awal bahwa kau sudah melamarnya, heh? Tega sekali kau melakukan ini padaku, Faris. Kau seolah-olah mendukungku. Rapi sekali sandiwaramu. Apa maksudmu melakukan ini semua kepadaku?� hujan di luar menggelegar. Kini kamar kos itu tak lagi menjadi saksi ketengilan mereka. Mala sebaliknya. Faris hanya bisa menangis, meminta maaf.
“Kau tahu, Ahlam? aku sungguh tak tega mengatakannya padamu. Aku tahu betul kau sangat mencintai
Aqilah,
menceritakannya
kau
tak
padaku.
Tak
pernah sampai
berhenti hati
aku
mengatakan bahwa aku sudah melamarnya. Ayahku yang mengantarkanku saat itu ke rumah Aqilah. Sungguh aku tak tahu gadis yang kulamar saat itulah yang kau ceritakan. Aku tak tahu.” Hening. Hanya tangis. Esok datang, tak ada yang bisa menjamin bahwa waktu bisa menyembuhkan luka cinta, Bukan? Sejak pernikahan Faris dan Aqilah, Ahlam menghilang. Tak pamit.
Hanya
meninggalkan secarik kertas
yang
bertuliskan “Aku pergi”. Tak ada yang tahu ke mana Ahlam pergi. Tidak teman-temannya, tidak juga keluarganya. *** “Kau masih mengingatnya, Bukan? Seluruh cerita cinta menyedihkanku itu?” pria berjaket bulu coklat itu hanya termenung. Mengangguk.
“Ahlam, maafkan aku.” “Sudahlah, Faris. Aku sudah memaafkanmu. Meski kini luka itu belum juga sembuh.” Hening. Hanya ada angin musim dingin Tokyo yang menusuk. Kawan, cerita cinta ini telah berakhir. ***
Putri Anggrek Oleh Melinda Gultom
“Gila, gerah bangettt!” jerit Nuki sambil ngelepas jilbabnya. Gak biasanya gadis cantik mirip Sara Bareilles yang nyanyi Brave itu mengenakan jilbab ke kampus. Kalo bukan karena tadi ada matkul PAI, dia paling males banget ngeribetin diri ngampus dengan jilbab. “Wah, Mbak...kenapa kok buru-buru dilepas gitu. Padahal kan Isa masih pengen liat Mbak yang cantik ini pake jilbab lebih lama. Tampak lebih cantik lo, mbak” Puji Isa tulus. Anak kosan yang baru aja pindahan ini emang satu-satnya jilbaber di kosan tersebut. Empat dari lima wanita penghuni lainnya, ada yang berjilbab tapi masih biasa. Ada juga yang belum sama sekali. Salah satunya Nuki Anastasia tadi. Gadis berdarah IndoJerman ini emang nganggep jilbab itu “Aksesoris” yang bikin ribet. Setiap kali ada mata kuliah PAI pun dia cuma pake sekenanya saja. Bikin hati Isa meringis pilu.
“Iya lo Nik, benar kata Isa, kamu cantik pake banget deh kalo pake kerudung.” Sambung Kokom. Mahasiswi Pendidikan Akutansi yang demen banget makan cokelat ama ngemil itu. Efek ngemilnya udah keliatan banget kok dari bentuk tubuhnya yang sangat berisi. Hehe. “Hemmm. Kalian mencoba memprovokasi aku, kan? Ya, kan? Hayo ngaku!” Nuki curiga. Soalnya bukan sekali dua kali lontaran itu ia denger. Rasanya telinga dia udah kebal sama kata-kata yang diucapin Isa sama Kokom dan tahu bahwa pasti ada udang di balik kayu eh batu maksudnya. Pasti ujung-ujungnya nyuruh dia pake jilbab. Nuki ngedengus kesel sedikit. “Aku dapet apa toh Mbak kalo emang iya memprovokasi dengan ucapanku ini. Keliatan lebih rapi aja gitu lo Mbak. Soalnya rambutnya dikandangin. Hehe.” Isa coba masuk sedikit demi sedikit ke hati Nuki. “Masuk gak ya?” Isa berbicara dengan hatinya sendiri. “Emang bener si pujian tadi ada udang-udangannya dikit, Mbake. Tapi emang beneran cantik kok. Hihi.” Isa sibuk sendiri berdialog dengan pikirannya.
“Ahhh. Dasar ya kalian. Aku dah kebal toh ama celotehan kalian yang begituan.” Padahal ada sih yang ngejendol di hati Nuki atas ucapan Isa tadi. Apalagi tentang rambutnya itu. Aduh. “Ada benernya juga ya. Rambut gue mending dikandangin. Enak. Gue berasa aman. Dan. Nyaman. Tau ah gelap. Lupain” Nuki ngebatin kayak Isa. “Wah, Nik, kamu udah ketularan logat Jowonya Isa
tuh.
Haha.”
Lagi-lagi,
Kokom
Komariah
Nurmalasari binti Abah Dedi Surdedi itu ngeledek Nuki sambil ngebenerin tempat duduknya. Rasanya dari tadi kagak diem-diem itu anak nonton dramanya. Dah berapa kali dia obah gaya duduknya. Dari mulai duduk emok, tengkurep, topang dagu, ampe tiduran dia cobain. Cuman gaya telentang aja yang belom dicobain kayaknya. Eh. Emang bisa? He. Itu efek kekenyangan nampaknya. Gak enak ngapa-ngapain. Hehe. “Baru beberapa hari dirimu di sini tapi aku sudah tertular beragam hal darimu, cantik.” Ledek Nuki sambil tersenyum genit ke Isa.
Emang sih, Isa baru semingguan gabung di kosan dengan nama Kosan Putri Anggrek ini. Tapi anak-anak penghuni lama berasa udah lama kenal ama itu anak. Sikapnya yang ramah, murah senyum, dan baik mungkin salah satu alasannya. Kebiasaan-kebiasaan baiknya juga suka bikin malu penghuni lama yang rata-rata tingkatnya lebih atas darinya. Kayak kerapihan dia dalam masalah pakaian dan piring-piring kotor. Tata letak sepatu bekas makenya. Waduh. Malu banget deh kalo disamain. Penghuni lama biasa pake konsep PLCIB (Pake, Lempar, Cari, Ilang, Beli) gitu dan gitu. Di setiap sudut ruangan, pasti ada sesuatu. Baik itu kaos kaki sebelah yang udah jamuran, ditambah juga ngeluarin bau yang aneh. Entah bau apek, entah bau terasi, yang jelas bukan dua-duanya. Asing banget. Entahlah bau apaan. Yang jelas suka bikin mual yang nemuinnya. Isa langganan. Juga ada pula bekas tisu, bekas lipstick, dll. Sudut-sudut ini rumah udah kayak mini gudang aja, pikir Isa kalo lagi beres-beres. Awal masuk ke ini kosan Isa emang sempet ragu. Ini bener kosan cewek???
Isa lagi nyetrika ketika mbak Hyrca pulang. Mbak yang satu ini bagi Isa adalah mbak yang tepat buat dimintai ngajarin masak. Soalnya doi anak jurusan Tata Boga. Tapi emang kudu pake jurus dan sedikit mantra sih buat mintanya, kalo saran dari Kokom Komariah Nurmalasari mah sih gitu. Biar luluh kayak cokelat katanya. Tak lama, makhluk terakhir penghuni kosan Putri Anggrek ini yakni mbak Salma, datang. Dia anak bahasa dan sastra Indonesia. Paling doyan baca. Satu hobi yang juga paling Isa sukai. Pokoknya, kalo ngobrol sama mbak yang satu ini, awas kesamber syair atau gak pantunnya deh. Emang wajar sih, anak sastra gitu loh. Pengaplikasian ilmunya dalem banget. Keren. Sampe tiap waktu apa-apa sambil berpantun. Isa pernah liat kertas yang ditempel di dinding kamarnya, “Tiada hari tanpa nyastra� katanya. Semua penghuni itu kosan akhirnya
pada
ngemaklum
juga
dengan
tingkah
temennya yang satu ini. Malam ini dinginnya serius banget. Karena di luar lagi ujan deras, plus anginnya kenceng kayak lagi
lomba lari estafet aja dari semenjak sore. Empat gadis penghuni kosan itu tampak lagi pada asik melototin televisi yang lagi nayangin acara Hitam Hitam di Trans 8. Tumben banget mereka pada tertarik. Ternyata karena tadi siang, si ratu nonton alias si Kokom ngeliat iklan acara itu kalo malam ini bintang tamunya adalah salah satu aktris pemain di film KCB. (Siapa hayo...?) Mereka emang suka banget sama wanita itu. Cantik, shalihah, pintar, juga baik. Beuh auranya paten, ampe keluar studio juga kerasa. Hehe. Dia ditemenin sama adiknya yang juga gak kalah cantiknya. Semuanya pada melongo. Sekilas ada yang mandangin Isa, mungkin nyamain ukuran kerudung dia sama Isa. Samasama lebar dan gede. Kameranya di zoom ke muka muslimah itu. Makin nambah melotot dan kagum aja deh itu empat gadis. Si pembawa acara ngedatangin bintang tamu lain yakni seorang aktris yang belum berjilbab tapi dia seorang muslim. Di sana perbincangan seputar jilbab ditayangkan. Ada yang masih tidak tahu kalau menutup aurat itu adalah kewajiban setiap muslimah. Ada juga yang takut
gak dapet jodoh kalo pake jilbab gede. Ada juga yang pengen ngejilbabin hatinya dulu katanya saat penonton ditanya satu persatu. Eeeeh berbarengan dengan itu, Nuki keluar. Kata-kata yang dilontarkan salah satu muslimah di tv tadi dia denger dan langsung nembus ke hati dia. Bukan apa-apa, karena dia juga alasannya begitu. Jilbabin hati dulu nanti baru jilbabin kepala. Pipi Nuki tiba-tiba aja jadi mateng. Dia diem-diem dan dengan mengendap-endap ngedeketin mereka yang lagi pada serius nonton. Wanita muslimah tadi bilang, kalo yang memakai jilbab sih banyak tapi yang sesuai dengan ketentuan masih belum semuanya. Katanya memakai jilbab yang baik itu yang menutupi dada dan gak tembus pandang. Kokom, Hyrca, dan Salma pada nunduk. Ngerasa diri kali
yeee.
Nuki
terus
pendengarannya dengan
melototin
dan
masang
baik. Menyimak setiap kata
yang diucapkan muslimah cantik itu. Tayangan teve tadi beres. Dengan kata-kata terakhirnya yang membekas di hati Kokom, Nuki, Hyrca, dan Salma. Bahwa, “Tidak ada kata terlambat
untuk
berbenah diri.
Sesungguhnya Allah
selalu
menunggu kita untuk berubah menjadi lebih baik.” Pesan wanita itu. Isa keikutan syahdu. Mukanya yang imut jadi ikutan sendu ngeliat mbak-mbaknya pada merunduk dan tersedu. Seketika mereka mengerang, “Isaaa...bantu kita buat
berubaaah”
rengek
mereka
manja.
Mereka
berpelukan. Nangis sesegukan. Padahal ujan gede banget, tapi suara tangis mereka kerasa ngalahin suara hujan. Isa terharu. “Sungguh hidayah itu datangnya dari Allah. Lewat tv sekalipun hidayah itu ada. Allah memang baik. Terimakasih ya Allah. Kau kabulkan salah satu doaku” Isa bahagia banget sambil berdialog lagi bareng pikirannya. Dan melebur dalam tangis berjamaah malam itu bareng mbak-mbaknya. Besok hari libur. Isa dkk. janjian mau pada dateng ke pengajian. Udah pada rapi tinggal cus. Eh Kokom baru keingetan kalo dia, Hyrca, Nuki, dan Salma udah pada beli tiket nonton konser boyband Korea yang mau manggung gak jauh dari tempat mereka. Dengan berat hati mereka pada minta ijin sama Isa. Katanya
sayang udah beli tiket. Gara-gara beli tiket itu mereka rela gak jajan selama dua minggu. Maklum itu tiket mahal banget. Padahal cuman tiket buat penonton yang berdiri. Tapi demi idola, apa sih yang enggak? He. Alhasil, Isa jalan sendirian. Mereka berempat dengan Nuki yang pake jilbab soalnya tadinya mau pergi bareng Isa, akhirnya ikut cus juga deh ke konser itu. Isa juga cuman jalan selama sepuluh menitan akhirnya nyampe juga di tempat pengajian. Di tempat pengajian itu rame banget. Isa seneng plus bingung. Ini ada apaan ya? Apa emang kayak gini tiap minggunya? “Widih keren banget” pikir Isa terharu. “Diliat-liat kok kebanyakan para mahasiswa ya? Pada cantik-cantik banget lagi pakaiannya. Udah kayak mau ke pesta atau ketemu seseorang yang spesial aja.” Isa lagi-lagi ngebatin gak jelas. Ampe dia nabrak tembok yang ada di depannya. Jedug! “Aww...” Isa sadar, dia dari tadi meleng. Abis ini mesjid udah kayak stadion. Dipenuhi lautan manusia. Bagus banget tapi bikin keblinger. Isa kebagian tempat duduk di belakang. Maklum space-nya udah pada keisi sama jemaah yang lebih awal
datang. Isa sesekali ngedongkakin kepalanya biar bisa liat MC ngomong. Rasa penasaran Isa udah gak bisa ketahan lagi. Ketika MC nyebutin satu nama yang bikin jemaah cewek-cewek pada rame tapi gak sampe ngejeritjerit. Dengan muka melas, Isa nanya cewek di sampingnya yang dari tadi riweuh kayak cacing kepanasan. Eh. Maaf. “Euu..maaf, Mbak. Emang ini ada apa ya? Kok pada rame gini...” “Eheu. Itu lo, Mbak... kemarinkan mereka ngadain konsernya, sekarang mereka mau berbagi pengalamannya tentang Islam di sini. Kyaaa...” Uwaduuuh. Isa celingukan. Masih gak ngerti bin gak faham apa yang si mbak bilang. Mereka yang dimaksud si mbak di sampingnya itu siapa ya? “Emm...maaf, Mbak. Emang yang ngadain konser kemarin tuh siapa ya, Mbak?” “Itu lo Boyband asal Korea, Suzu.”
Isa kaget setengah idup. “Loh! Bukannya hari ini Mbak mereka konsernya?” “Bukan. Kemarin kok. Saya saksinya Mbak. Kalo sekarang mah emang udah rencananya mau ke sini.” Sambil meringis Isa ngebatin untuk kesekian kalinya, “Gimana ya, kabar mbak-mbakku itu? Ckck.” Isa geleng-geleng kepala.
Indahnya Kebersamaan oleh Wahyu Eka Jayanti (Wahyueka.jayanti@yahoo.com)
Aku berencana keluar kosan sore ini, berjalan melewati lorong kamar-kamar yang tampak sepi di sanasini. Sama sekali tidak terlihat ada orang. Mena dan Dian teman sebelah kamarku kemarin sudah mudik pulang kampung. Aku sendiri di sini, tidak bisa mudik lantaran jauh dan tidak ada libur kuliah. Alasan kenapa aku tidak mudik sebenarnya berat di ongkos, harus menyebrang lautan. Kota Bengkulu itulah kota tempat aku berasal dan sekarang aku tinggal di kota Bandung. Krek.. Ku tutup pintu rumah perlahan, aku akan pergi berbelanja menyiapkan bekal untuk esok. Esok adalah hari raya Idul Adha, dapat diperkirakan esok pagi semua kantin akan tutup. Bisa-bisa aku tidak dapat makan kalau tidak berbelanja. Aku berjalan menuju toko pandan wangi, sembari memilih-milih kue mataku tertuju pada brownies cokelat. Kuintip uang di dalam
dompetku, huft‌ tidak cukup untuk membeli brownies, nanti kan masih mau beli keperluan yang lain. Harus dihemat jangan sampai minta kiriman uang ke ibu. Yasudahlah akhirnya aku memilih kue bolu kukus yang gak kalah enaknya dengan brownies, kelihatannya sih begitu hihi. Lagi pula bolu kukusnya juga tinggal satusatunya atau itu memang disisakan untukku ‘terimakasih ya Allah,’ gumamku dalam hati. Tanganku meraih sebungkus sus cokelat kesukaan Evy adikku, karena aku merindukannya jadi menyantap makanan kesukaannya akan menjadi pengobat rindu. Kue bolu ini akan aku bawa besok untuk acara pemotongan hewan kurban, semoga mereka suka. Saat berjalan menuju kosan, aku bertemu ibu-ibu yang meminta-minta. Ibu-ibu itu mendekati aku, dan kuambil uang seribu di dompet lalu kuberikan kepada ibu
itu
sembari
berkata
dalam
hati
‘ya
Allah
mudahkanlah segala urusanku dan rezekiku’. Ibu-ibu tadi berlalu, aku sudah sampai di depan kos perlahan masuk kedalam rumah. Aku berjalan perlahan ketika
melewati lorong-lorong kamar terdapat satu kamar yang terbuka pintunya. Itu adalah kamar teh Rini. “Assalamualaikum teh Rini kemana aja kok baru kelihatan?” sapaku sambil tersenyum senang karena ternyata aku tidak sendiri dikosan ini. “Waalaikumussalam teh, ini teh lagi beres-beres aku mau mudik sebentar lagi.” Oh... aku tersenyum kecut, teh Rini akan meninggalkanku. “Teh wahyu gak mudik?” kata teh Rini. “Gak teh,” ucapku datar. “Kalau begitu saya ke kamar dulu ya teh, selamat mudik teh Rini salam untuk keluarga,” aku lempar senyum termanisku. “Eh.. teh wahyu tunggu sambil melambaikan tangannya, ini ada brownies untuk teh wahyu aja. Baru aku makan sedikit,” kata teh Rini sambil melempar senyum padaku.
“Terimakasih ya teh Rini kuenya.� Alhamdulillah diberi brownies yang tadinya aku inginkan, rezeki yang Allah berikan lewat teh Rini. Apakah ini balasan karena tadi aku bersedekah ya Allah, ternyata saat kita memberi sebenarnya kita tidak kekurangan sedikitpun malahan Allah tambahkan nikmat lewat orang lain. Bukan karena mengharapkan balasan tapi ikhlas memberi karena Allah dan inilah hikmah yang dapat diambil. Aku bangun lebih awal, kulihat jarum jam menunjukkan pukul 04.00 WIB. Takbir dis ana-sini terdengar begitu merdu di telingaku. Alhamdulillah, ini hari raya Idul Adha ingatanku mulai kembali kedunia nyata. ‘ayo bangun lebih cantik Wahyu,’ menyemangati diri sendiri. Suasananya sedikit berbeda tahun ini, menjadi seorang mahasiswi di Universitas Pendidikan Indonesia sehingga aku jauh dari keluarga dan sanak keluarga. Sedih sekali rasanya. Andai aku ada di rumah. Pasti sekarang sedang membantu ibu menyiapkan makanan dan kue untuk esok pagi. Di manapun dan kapanpun mereka tetap sayang padaku dan selalu mendoakan
kesuksesanku, aku rindu kalian bisikku dalam hati. Mataku mulai berkaca-kaca, hampir saja basah disana tapi kutahan agar nanti ketemu teman-teman aku nampak ceria dan bahagia. Cepat-cepat aku bangun membereskan tempat tidur dan segera pergi mandi bersiap-siap untuk salat Idul Adha di masjid. Setelah solat Id aku bergegas kumpul ke kosan teh Alin. Kami menjadi panitia kurban FKM untuk pascasarjana tahun ini, lokasinya agak jauh didekat bandara. Pukul 09.00 kami berangkat ke lokasi. Ada tiga ekor kambing yang disembelih, tak lupa aku membawa roti dan kue bolu yang aku beli kemarin. Seusai pemotongan aku pulang ke rumah. Jarum jam menunjukkan pukul 12.30, aku baru saja selesai sholat zuhur. Wah makan apa ya‌. Kantin udah buka belum ya, aku bertanya dalam hati. Tiba-tiba ada message masuk, kuambil dengan cepat HP di dalam tas dan kubaca pesan singkat, ‘Ass, wahyu main ke rumah ummi Lenni ya, ummi udah masak rendang, pempek, dan lontong. Makan di tempat umi, di tunggu. Aku tersenyum.’ Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.
Aku segera bersiap dan melangkah menuju rumah umi Leni. Ternyata teman-teman halaqoh sudah pada kumpul. Di atas meja sudah terhidang beragam macam lauk pauk, kue dan buah-buahan. ‘Ini baru yang namanya lebaran,’ bisikku dalam hati. Walaupun jauh dari orang tua dan sanak keluarga aku tetap bersyukur dan bahagia memiliki umi dan teman-teman di sini. Benar-benar
terasa
kekeluargaannya,
merasakan
kebersamaan sesama anak rantau yang jauh dari keluarga karena sedang berjihad yaitu menuntut ilmu karena Allah. Sungguh terimakasih untuk cinta, kasih sayang, serta kebersamaan yang mengikat ukhuwah di antara kita yang menjadikan tali silaturahmi ini semakin kokoh karena Allah. Tiba-tiba HP berdering, aku sangat kenal nada panggil itu, itu adalah Ibu, ya Ibu menelponku. Aku sangat bahagia bisa mendengar suara ibu. Ibu bercerita sedang memasak daging dapat bagian kurban. Aku pun bercerita dengan nada bahagia sedang makan bersama teman-teman. Jadi Ibu tidak perlu sedih kalau purtinya ini tidak dapat makan di hari raya.
Menjemput Cahaya di Isra’ Mi’raj oleh Lia Liawati “Nabi Muhammad menyaksikan sekelompok wanita yang digantung rambutnya di atas api neraka sehingga mendidih otak di kepalanya. Ini adalah gambaran balasan kerana mereka tidak mahu menutup aurat di kepala dari di pandang lelaki yang bukan mahramnya.� Aku merinding mendengar ceramah yang kuputar dalam radio, teringat masa-masa dulu sebelum hati nuraniku terketuk untuk menjalankan yang seharusnya aku jalankan. Meninggalkan dunia yang gelap, menuju pada dunia yang begitu indah. Dulu mataku buta untuk melihat kebenaran, telingaku tidak mendengar kebaikankebaikan ayat suci Alquran, mulut yang tidak aku pakai untuk berdzikir kepada-Mu. Ya Allah kepadamu aku berserah.
Aku mengenal agamaku begitu dangkal, sebatas tahu dan tidak diamalkan. Berjilbab adalah hal yang begitu sulit aku lakukan. “Berjilbab itu tidak modis, gitu-gitu aja.� Jelas Rita teman sekelas masa SMA ketika aku mengatakan akan menggunakan jilbab. “Mending jilbabin dulu hatinya, percuma dong kalau hati kita belum bersih tapi udah pake jilbab.� Timbal Sinta yang sedang sibuk mengurusi poni rambutnya sambil terus menatap kaca kecil yang selalu ia bawa. Hati nuraniku tertutupi oleh gumpalan gelap hingga aku tidak mendapatkan cahaya yang hampir menyala. Aku urungkan niatku untuk berjilbab. Tetapi, aku berusaha melenyapkan gumpalan gelap itu. Aku mulai mencoba menjalani amalan wajib dengan baik. Salat dzuhur di masjid sekolah membuat hatiku lebih tenang hampir tidak pernah aku lewatkan saat-saat itu. Aku sering mengobrol dengan anak rohis yang berjilbab lebar, namun mau berbicara denganku
yang sangat jauh berbeda dari mereka. Suatu ketika salah satu dari mereka pernah menjelaskan “Rambut wanita adalah mahkota yang harus dijaga, tidak sembarang orang bisa melihatnya.� Aku semakin berpikir keras tentang hal itu, hingga masuk ke dalam alam bawah sadar hingga bermimpi. Aku mengenakan jilbab, terlihat begitu anggun. Kemudian berlari di jalanan, entah apa yang aku kejar. Tiba-tiba terlihat mobil bus besar yang melaju dengan kencang. Sempat aku melihat kilatan cahaya lampu depan yang mengenai wajahku. Sebelum tahu apa yang terjadi, beberapa saat aku langsung terbangun dengan panik. “Astagfirullah... Ya Allah, inikah petunjuk dari-Mu?� *** Langit cerah dengan awan putih bersih, seperti ada senyuman yang menyapa di sana. Aku putuskan untuk memakai jilbab, biarkan mereka yang tidak suka, biarkan mereka tertawa, kenginanku selalu berada pada jalan-Mu.
Perlahan, Rita dan Sinta menjauhiku. Semakin jauh, tapi tidak akan ada penyesalan sedikitpun pada hati tentang jalan yang aku pilih. Bila saja mereka tahu, aku ingin bersama mereka di jalan yang sama. Bertepatan
dengan
27
Rajab,
sekolah
mengadakan acara untuk memperingat Isra’ Mi’raj. Semua siswa harus mengikuti acara tersebut. Dengan penggambaran
yang
begitu
baik,
penceramah
menjelasakan perjalanan Rasullah termasuk melihat wanita yang digantung rambutnya. “Arin,” terdengar seseorang memanggilku dari belakang ketika acara sudah selesai. “Apa?” aku segera menengok, tiba-tiba ia memelukku dengan erat. “Maafkan, aku ya.” Tetesan air mata kemudian terjatuh membasahi pipi perempuan itu. “Dua hari yang lalu ayah meninggal. Aku ingin menjadi anak yang solehah agar bisa mendoakan ayah.” Rita teman yang dulu sangat dekat denganku, kini ia kembali.
Namun,
membawa
berita
yang
begitu
memilukan. Aku tahu Om Yudi, ayah Rita yang begitu
baik dan sehat. Tetapi jika Allah sudah menghendaki segalanya akan terjadi. “Inalilahi wa inailaihi raji’un, kamu yang sabar ya, Ta� Kejadian itu mengingatkanku kembali pada mimpi setengah tahun yang lalu. Bahwa usia seseorang tidak pernah ada yang tahu hingga malaikat menjemput. Sebagai manusia yang lemah, hanya bisa berusaha memperbaiki diri hingga aku mendapatkan cahaya yang abadi.
Jawaban dalam Lingkaran Api oleh Fathia Uqimul Haq (fathiauqimul@gmail.com)
Namanya Sarinah. Sabtu malam ini ia tengah memasang rok mini merah muda dipadu dengan kaos putih dan vest merah bata. Sampai menunjukkan buah dadanya. Ia menaruh hairclip di rambut yang sudah ia cat berwarna coklat siang tadi di salon mpok Narsih. Ujung-ujungnya bercabang, dan jangan sampai ia memakai baju hitam, karena bisa saja angin meniup rambutnya lalu ketombenya berjatuhan. Pasalnya ia sering sekali gonta-ganti warna rambut. Maka rambutnya rusaklah sudah. Setelah rapi ia lalu memakai high heels lima sentinya. Tergopoh-gopoh menuju kasur dan mencium seorang lelaki berumur empat tahun. Di kening lelaki itu membekas gincu berbentuk bibir. Sarinah segera berlari ke ambang pintu dan menutup pintu berbahan tripleknya perlahan. Mercinya sudah datang.
“Ke mana sekarang, Pak?” ucap Sarinah agak bimbang apakah ia harus memanggilnya mas atau bapak. “Tak usahlah kau memanggil saya bapak, Jumali saja lah.” Kata bapak itu seraya mengambil tangan Sarinah dengan perlahan. Sarinah sebenarnya ingin sekali melepaskan genggaman Jumali. Apa daya, ia baru saja masuk ke masalah yang baru. Masih ada masalahmasalah lain yang belum ia selesaikan sebelumnya. “Saya
hendak
membeli
minum
dulu
di
supermarket, kau tunggu saja di mobil.” Jumali keluar dan menatap Sarinah seperti singa kelaparan. “Fiuh…” Sarinah menghembuskan nafas dan memegang perutnya yang sebentar lagi membesar. “Hueeeeeek...” bekas makan tadi siang keluar semua dari perutnya, segera ia keluar tetapi mobil terkunci. Ia mengambil tissue di dashboard mobil dan menahan mualnya. (suara ponsel berbunyi) “Astaga, hp si Jumali ketinggalan di mobil.” Sarinah bergumam dalam hati. Ia mengambil hp yang
Jumali letakkan di joknya, dan melihat nama yang tertera di layar ponselnya. ‘Mariana’. Sarinah melempar ponsel itu kembali ke jok dan membiarkan hp itu berbunyi. “Jumali lama sekali.” gumamnya. *** Ita, tetangga Sarinah mendengar suara anak kecil menangis di rumahnya. Hendak ia masuk, tetapi terkunci. Ita segera menelpon Sarinah. “Sar, lu di mana? Anak lu nangis. Gua mau masuk tapi rumah lu dikunci. Kenapa lu tinggalin anak lu?” “Duuuh, Ta. Di pot bunga ada kunci cadangan. Buka ya. Kasih susu ya. Asi gue ga keluar nih. Lagi kerja gue.” Jawab Sarinah. “Udah ya.” Sarinah menutup teleponnya. Ia masih di hotel tempat Jumali bekerja. Duduk di kursi empuk depan lobi hotel bintang lima. Jumali adalah pemilik salah satu hotel yang terletak di Jakarta Pusat. Memiliki cabang hotel di mana-mana termasuk Malaysia dan Singapura. Bagaimana bisa Sarinah meninggalkan Jumali yang kaya raya, sedangkan ia selalu mendapatkan uang darinya.
Agar ia bisa tetap makan bersama lelaki empat tahun yang sedang menangis di rumahnya. “Sini, Sar.” Ucap Jumali dari kejauhan. “Ayo sini.” Sarinah bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Jumali. “Ini lelaki yang mau saya kenalkan, Anton.” “Oh, saya Sar….Sasha.” Sarinah mengulurkan tangannya ke bapak tersebut sembari mengulum senyum. “Anton.” Ia menggenggam tangan Sarinah kuat. Sasha, nama malam yang ia pakai. Agar terlihat lebih elegan dan gak kampungan, katanya. “Saya pergi dulu, mari Pak Anton.” Jumali pergi. *** Malam itu, setengah warga berlari terbirit-birit. Terbangun dari mimpi indah dan dihujani asap dan panas.
Sebuah
rumah
terlalap.
Kobarannya
menghangatkan seluruh desa. Bapak-bapak membawa
ember berisi air penuh dan Pak RT menelepon pemadam kebakaran. Ada suara yang terengah-engah, dan terdengar tangisan. Seorang anak, meraung tak bisa berkata. Berharap ada orang yang menjeratkan diri di tengah lilitan api dan berusaha menolong. Tindakan sang anak membuat salah satu pria masuk tanpa pelindung. Seluruh warga menjerit. Dua menit kemudian, baju yang terbakar api dan kulit mengelupas. Hitam di wajah, abu dan debu menjadi satu. Darah mengalir. Ia tersenyum. “Anaknya tidak apaapa.” Sarinah yang turun dari mobil menahan sesak di dada saat rumahnya telah basah kuyup dibanjur air. Tinggalah kenangan. “Andi. Mana Andi... Andi!!!” Sarinah berteriak dan baru sadar saat ia tahu di dalam rumah hanya Andi, anaknya seorang. “Astaghfirullah.. Ya Allah...” Sarinah memeluk erat Andi di pangkuan. Legam hitam terbakar lilitan api dan kulit mengelupas di bagian kaki. “Maafin ibu, Nak”.
“Andi tidak apa-apa, Bu.” Ucap pria yang menolong Andi. “Terima kasih, Pak. Terima Ka....” Ucapan Sarinah terpotong saat ia hendak menengadahkan mukanya dan ingin memberikan salam hangat. Seakan bumi sejenak berhenti, aliran darah membeku, angin entah kemana sepersekian detik. Andi terdiam di pangkuan Sarinah yang masih berpoles gincu dan bulu mata palsunya. Rok mini yang membentuk pahanya berkata “Dialah yang menjadikanku seperti ini.” Seketika seluruh memori merasuk meminta paksa mendorong
pintu
kebebasan
untuk
menari
dan
menertawakan kisah Sarinah dengan pria tersebut. Saat muka tak berpoles rindu, dan hati tak digores pilu. Dialah awal kebencian dari sukma yang mendesak. Pria itu, semua jawaban atas seonggok Andi yang seketika tak terdengar lagi. ***
Raja Thalut Oleeh: Elsa Mulyani Tahu gak sobat bahwa tak seorangpun manusia di dunia ini yang bisa merubah takdir Allah selain atas izinnya, walaupun sekeras apapun seoseorang itu berusaha untuk merubah takdirnya yang ada usahanya hanya akan sia-sia. Akan tetapi dengan kepasrahan akan takdir yang allah berikan, maka dengan dengan kepasrahannya itu allah akan menganugrahkan takdir yang tak seorangpun dapat mengelaknya. Seperti kisah yang satu ini, yuk kita simak bersama-sama check it out... Alkisah, pada suatu ketika dimasa kenabian nabi Daud, ada dua orang raja yang mempunyai kepribadian yang sangat berbeda, yaitu Raja Thalut dan Jalut, dimana Jalut merupakan raja yang mempunyai kerajaan yang besar dan merupakan seorang raja yang terkenal kuat akan kesombongannya dan tak ada seorangpun yang
dapat menandinginya. Akan tetapi berbeda halnya dengan Raja Talut yang merupakan seorang raja yang dermawan dan terkenal akan ketaatnya dalam beribadah kepada Allah swt. Berita akan raja Talut yang terkenal dengan
segala
kebaikannya
itu
akhirnya
sampai
ketelinga raja Jalut. Mendengar hal itu maka raja jalut pun menantang raja Talut untuk berhadapan langsung dengan dirinnya. Tatkala raja Talut keluar dari kerajaanya untuk memenuhi tantangan dari raja jalut dengan membawa tentara, dan ia pun berkata kepada tentaranya:�Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa diantara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.� Maka sampailah raja Talut dan tentaranya di sungai yang dimaksud, dan tahu gak sobat apa yang terjadi? Ekh, ternyata sebagian dari tentaranya meminum air
sungai
tersebut,
seraya
berkata:�
Tak
ada
kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.� Dan sebagian lagi dari tentara yang meyakini
bahwa
mereka
akan
menemui
allah
berkata:”ada banyak golongan yang sedikit mampu mengalahkan golongan yang banyak dengan izin allah, dan beserta orang-orang yang sabar.” Dan akhirnyapun dengan tentara yang tak seberapa jumlahnya raja Talut melanjutkan perjalannya, dan sesampainnya dikerajaan yang begitu besar dan mewah tampak dari jauh raja Jalut dan
tentaranya
menghampiri
raja
Talut,
dengan
kesombongannya raja Jalutpun menertawakan raja Talut seraya berkata” Apakah kou tidak salah, wahai Talut ingin menantangku dengan tentara yang berjumlah sedikit?” mendengar kesombongan raja Jalut, akhirnya raja Talut dan tentaranya berdoa memohon petunjuk kepada allah:” Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran kepada kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” dan atas doanya
itu,
allah
menurunkan
petunjuk
dengan
memerintahkan raja Talut untuk menemui seorang anak yang selalu membawa ketepel dan tinggal di pohon yang ada disawah, akhirnya raja Talut menemui anak tersebut dan meminta bantuan kepadanya untuk mengalahkan raja Jalut yang terkenal akan kesombongannya itu, dan tanpa berpikir panjang akhirnya anak tersebutpun
bersedia untuk membantu raja Talut. Sesampainya raja Talut dengan membawa anak yang membawa ketepel kehadapan raja Jalut, dan Jalutpun terengah keheranan seraya berkata:�wahai Talut, apakah kou ini sudah tak waras? Kou membawa anak itu kehadapanku untuk mengalahkanku?�sembari tertawa dengan keras Jalutpun terus
mengagung-agungkan
kesombongannya
bahwasanya tidak mungkin anak sekecil itu akan mengalahkannya. tanpa banyak kata anak itupun segera mempersiapkan ketepelnya dengan mengambil batu sebagai umpannya, dan segera mengarahkan ketepel tersebut kearah raja Jalut seraya berkata:�rasakanlah tembakanku ini, wahai raja yang sombong.� Dag,dig,dug,,,jeleger batu yang ditembak itu mengenai dada raja Jalut dan pas dibagian jantungnya sehingga detak yang mengenai pembuluh darahnya
berhenti
seketika
dan
apa
yang
terjadi...akhirnya raja yang Jalutpun terbunuh dan meninggal dengan kesombongannya. tahu gak sobat siapa anak yang telah mengalahkan raja Jalut hingga ia meninggal...? tahu gak??? Tak lain dan tak bukan yaitu
nabi Daud as yang dikirimkan allah kepada Talut untuk mengalahkan raja Jalut yang merasa dirinya tak tertandingi. Nah , dengan begitu Talut dan kerjaan yang diperintahnya
hidup
makmur,
dan
setelah
Talut
meninggal dan sebagai penggantinya adalah nabi daud. Demikianlah allah memberikan pemerintahan dan hikmah kepadanya dengan mengajarkan apa yang telah dikehendakinya merupakan takdir yang tidak bisa di tolak, selain atas izinnya. Nah, sobat mudah-mudahan dengan kisah diatas bisa mengispirasi kita bahwasannya takdir yang ada di dunia ini merupakan ketetapan allah yang telah tertulis, sekuat apapun kita, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki, tetap hanya allah yang dapat berbuat apa yang dikehendakinya...
Tawa Kecil Rania oleh Nurul Lutfia (ulviaaa@gmail.com)
“Sebentar, Rania, setelah ini ibu akan ke rumah sakit, kamu baik-baik ya sama kakak,” ucap ibu lantas terburu-buru merespon telepon dari nomor yang sama. Ibu tidak pernah sadar dengan air muka Rania yang seketika berubah. “Kenapa hari minggu tetep kerja, Bu?” tanya Rania sedikit merajuk. Ibu yang masih menerima telepon merasa direcoki dengan rajukan Rania. “Ada pasien, Rania. Ibu harus ke sana membantu bu dokter menangani pasien itu. Jangan bandel, kamu pulang bareng kakak!” Ih! Rania hanya bisa menyimpan kekesalannya sendirian. Selama ini ia sudah cukup legowo ditinggal ayah dan ibunya yang sibuk. Setiap hari mereka bekerja. Rumah selalu sepi. Bagaimana tidak? ayah dan ibunya
bekerja setiap hari, dari pagi sampai malam. Kakaknya selalu pulang menjelang magrib, sibuk dengan kegiatan kampus. Ia hanya punya akhir pekan untuk bermanjamanja pada ayah dan ibunya. Nyatanya minggu ini sama saja. Pagi-pagi, ayahnya ditelepon client, ada pertemuan penting. Rania tidak mengerti apa yang ayahnya bicarakan. Ia hanya menangkap satu hal: ayahnya tidak bisa menemaninya jalan-jalan. “Kamu masih bisa tetap pergi dengan ibu kan, sayang?� Ayah bisa membaca kekecewaan di wajah Rania. Dengan segera, diusapnya kepala putri kecilnya yang sudah berusia sepuluh tahun ini. “Rania nggak boleh cemberut gitu. Nanti ayah bawakan macaron kesukaan Rania deh!� Rania masih bergeming. Bosan dibujuk dengan hal yang itu-itu lagi.
“Yang aku mau kan main bareng ayah ibu!� pekiknya kesal. Ia berbalik badan dan meninggalkan ayah yang masih menatap punggungya dari belakang. Ayah melirik ke arah ibu, meminta ibu untuk mengurusi Rania selama ia pergi. “Biar aku yang mengurusi Rania, ayah pergi saja. Nanti malam juga dia pasti lupa kalau sedang ngambek.� Jadilah minggu ini ia jalan-jalan bersama ibu dan kakaknya. Tempat pertama yang mereka kunjungi yaitu taman es krim. Rania suka sekali es krim. Sudah lama ia ingin pergi ke taman es krim dengan ayah dan ibunya. Mencicipi berbagai rasa es krim sambil duduk-duduk di taman yang teduh. Rania jadi bisa bercerita banyak hal pada ibu. Tentang sekolahnya, teman-temannya, club yang ia ikuti. Semua cerita yang selama ini ia simpan sendirian, karena setiap hari tidak ada teman bercerita selain kakaknya. Itu pun kalau kakaknya masih bisa makan malam di rumah. Cerita Rania terhenti ketika ibu menerima telepon. Jangan bilang ada panggilan tugas lagi...
“Sebentar, Nak, setelah ini ibu akan ke rumah sakit—“ nah kan. Rania membatin. Mood baiknya hilang seketika. Es krim di tangannya ia biarkan meleleh. Sudah tidak napsu makan! *** Sepanjang perjalanan pulang Rania hanya diam. Wajahnya ditekuk. Ia selalu menghindari tatapan kakaknya. Takutnya, ia malah menangis karena tidak kuat menahan kesal. Selalu begini. Pekerjaan. Client. Pasien. Ia selalu ditinggal hanya karena alasan-alasan itu. Seolah semua itu lebih penting daripada dirinya. Rania ingat, sejak kecil ia selalu ditemani babysitter. Itu pun selalu ganti karena ia yang bandel. Ada saja yang ia lakukan untuk membuat babysitter-nya jera dan akhirnya berhenti. Dengan begitu, ia bisa bermain dengan ayah dan ibunya selain di hari libur. Tapi ternyata ibu malah mengganti babysitter itu berkalikali sampai ia menemukan babysitter yang bisa membuatnya nyaman.
“Rania, udah dong, masa kakak jadi ikut kamu cuekin begini? Setelah ini kita mau ke mana? Ayo kita lanjutkan main-main hari ini!” “Kita pulang aja, Kak.” “Loh, kok, pulang? Ayo kakak temani. Kamu mau ke mana?” “Aku nggak mau kalau nggak sama ayah ibu!” “Raniaaa, jangan gitu. Kan ada kakak. Kamu mau ke mana? Nonton? Ada film disney baru loh.” “AKU MAU PULANG!” Kak Dewo langsung diam. Dihentikannya mobil di sembarang tempat. Tatapannya lurus tertuju pada adiknya yang menangis tertahan. “Rania kesepian ya?” tanya Kak Dewo pelan. Diusapnya kepala Rania dengan penuh kasih sayang. “Maafin kakak ya sering ninggalin Rania sama si mbak...”
Tangis Rania makin pecah. Segala kesal yang ia tahan tumpah begitu saja. Ia kesal pada dirinya yang cengeng. Kesal pada orang tuanya yang tidak mau peduli. Kesal pada kesendiriannya. Kesal pada temantemannya yang suka pamer cerita tentang orang tua mereka. Kesal pada semuanya! Tapi toh semua kekesalan itu hanya bisa ia keluarkan melalui tangis. Ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. “Rania harus paham, apa yang ayah dan ibu kerjakan juga untuk kepentingan Rania. Sesibuk apa pun, ayah sama ibu masih meluangkan waktu untuk Rania kan? Setiap akhir pekan kita selalu punya waktu bareng kan? Walaupun nggak utuh, tapi ibu udah berusaha meluangkan waktu untuk Rania.” Di tengah sesenggukan Rania menyela. “Tapi ayah sama ibu kan udah janji, sabtu-minggu itu waktu penuh untuk Rania. Tapi sekarang ayah ibu ingkar janji. Rania nggak suka!” “Kan panggilan pekerjaan nggak bisa diduga waktunya. Iya, ayah ibu emang salah karena ingkar janji.
Tapi Rania nggak bisa memaksa ayah sama ibu untuk mengabaikan panggilan itu kan?” Rania hanya diam. Sekali lagi, ia kecewa. Tapi ia tidak bisa menyalahkan orang tuanya. Ucapan Kak Dewo benar. “Kita pulang aja ya, Kak. Rania capek,” ucap Rania pelan sekali. Ia sedang berusaha menghentikan sisa-sisa tangisnya. “Ya, udah, kita pulang ya,” jawab Kak Dewo seraya mengusap kepala Rania pelan. “Udah, nangisnya udah dulu. Nanti boleh dilanjutkan di rumah, kalau mau,” ledek Kak Dewo sambil terkekeh. Spontan Rania berdecak sebal. *** Ketika makan malam, tidak seperti biasanya, meja penuh dengan makanan kesukaan Rania. Ayah dan ibu duduk di hadapannya. Tersenyum tanggung. Takut-takut ia masih ngambek karena kejadian tadi siang.
“Ibu ambilkan makanannya ya. Rania makan yang banyak,” kata ibu seraya mengisi piring Rania dengan nasi dan lauk kesukaannya. “Makasih, Bu,” jawab Rania pendek ketika menerima piring dari ibu. “Coba lihat, bersemangat.
Kedua
ayah bawa apa?” tutur ayah tangannya
disembunyikan
di
belakang. Ayah mencoba bermain tebak-tebakan agar Rania tidak banyak diam. “Macaron?” “Salah! Tebak lagi!” “Es krim?” “Bukan! Ayo lagi!” “Jeli?” “Bukan! Ah! Nyerah?” tanya ayah dengan senyum puas. “Iya deh.”
“Tadaaa!�
pekik
ayah
lantang
sembari
mengeluarkan secarik kertas kecil bergambar hello kitty. Rania mengernyitkan dahi. Ia memang suka hello kitty. Tapi apalah arti secarik kertas bergambar hello kitty? Dibukanya pita pengait kertas itu. Di dalamnya, ia menemukan sederet kalimat yang membuatnya tertawa kecil. Ayah ibu janji nggak akan ingkar janji lagi. Minggu depan kita ke Jungleland, yuk?
Seketika ayah dan ibu tertawa lega. Hadiah permohonan maaf mereka diterima dengan tawa kecil di sudut bibir Rania. Setelah ini mereka berjanji akan ada di rumah lebih cepat dari biasanya. Dan setiap akhir pekan mereka akan menjadi orang tua Rania sepenuhnya. Tidak bisa diganggu gugat.
Merangkai Asa dibingkai Senja oleh Yani Fitriyani /Kejora Khairunnisa Azzahra
“Firdaus sabar.... Sebentar lagi bapak pasti pulang membawa makanan buat kita, lebih baik sekarang Firdaus tidur.� Sambil mendekap Firdaus, berharap ia tertidur agar bisa menahan rasa laparnya. Hidup di lingkungan kumuh bukan kemauan bahkan bukan pilihan bagi bu Minah dan keluarganya. Tidak dapat dipungkiri, inilah kenyataan hidup yang harus mereka jalani. Pak Jojo hanya bekerja di terminal sebagai tukang sapu, sedangkan bu Minah tidak mempunyai pekerjaan tetap, kadang mencucikan piring di warteg atau sesekali dia ikut menjajakan dagangan orang
dengan
harapan
mempunyai
bagian
dari
keuntungan yang tidak seberapa. Selama 10 tahun pernikahannya dengan pak Jojo, dengan setia bu Minah ikut
menanggung
berkecukupan.
beban
hidup
yang
serba
tak
“Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa memberikan penghidupan yang layak untukmu. Seandainya kamu tidak terlahir dari rahim wanita tua miskin dan tidak berpendidikan seperti Ibu, mungkin kamu tidak akan merasakan pahitnya hidup yang kini Ibu dan Bapak jalani.” Suaranya kian memberat. Tanpa bu Minah sadari, pak Jojo ada di belakangnya. Dengan berlinang air mata pula, pak Jojo merangkul
bahu sang istri.
“Jangan sampai Firdaus mendengar perkataan ibu tadi. Tidak baik Ibu menyesali keadaan kita sekarang. Firdaus adalah Anugrah Gusti Allah yang harus kita syukuri. Dia tidak salah terlahir di keluarga ini.” Pak Jojo dengan sangat bijak menasehati bu Minah. Pak Jojo pun menyodorkan keresek hitam yang berisi 3 nasi bungkus dan sebotol air mineral. Malam harinya mereka sangat bersyukur karena bisa makan walaupun seadanya, hanya sebatas nasi dan sepotong tempe. Kehangatan keluarga begitu tercermin malam itu. “Bapak, besok Firdaus boleh ikut Bapak ke kantor? Firdaus ingin membantu Bapak di kantor.”
Celetuk Firdaus dengan polosnya sambil menikmati hidangan malam itu. Mendengar pernyataan itu, sentak pak Jojo terdiam terlebih bu Minah yang tak kuasa menahan air matanya mendengar keinginan Firdaur ikut ke ‘kantor’. “Sayang, bapak bukan bekerja di kantor. Tapi...” pa Jojo pun terdiam dan memandang istrinya. “Firdaus tau kok Pak, Bapak itu kerja di terminal sebagai tukang sapu. Tapi, bagi Firdaus itu adalah kantor Bapak. Bapak harusnya bangga karena dari sana, Bapak mendapat uang dan bisa membelikan makanan ini buat aku dan Ibu.” “Tapi mau apa Firdaus ikut ke terminal? Lebih baik ikut sama Ibu saja, agar Firdaus bisa menjaga Ibu.” Bujuk pak Jojo. Firdaus hanya tersenyum. Entah apa maksud dari senyumnya itu. *** Hiruk-pikuk suasana terminal tampak seperti biasanya, sesekali terdengar beberapa anak-anak kecil
yang bernyanyi. Firdaus menatapnya ke arah itu. Dalam pikirnya ia bertanya, apa yang sedang mereka lakukan? Dengan bernyanyi mereka diberi uang, bisa dipakai untuk makan. Aku harus mencobanya! Gumam Firdaus. Kepolosannya membuat dia tak berpikir panjang. “Maaf kak, apa yang kakak lakukan di mobil itu? Kok dapat uang?” Kedua pemuda itu saling bertatapan. Entah apa yang
mereka
pikirkan,
namun
seakan
keduanya
mempunyai pemikiran yang sama. Keduanya tersenyum sinis dan kembali menatap Firdaus. Salah seorang dari mereka
kemudian
merangkul
Firdaurs
dan
mengajaknnya duduk di pinggir jalan diikuti pemuda yang kedua. “Kenalin brow nama gue Robet, ini temen gue namanya Uyun. Loe tadi nanya, apa yang gue lakuin di dalam bus?” dengan tersenyum manis. “Firdaus ingin membantu ibu dan bapak, tapi tidak
tahu
harus
bagaimana
untuk
mendapatkan
uangnya.�
Keluhnya
pada
pengamen
yang
baru
dikenalnya di pingggiran jalan tak jauh dari terminal. Akhirnya, semenjak perkenalan itu Firdaus sering bertemu dengan pemuda yang bernama Robet dan Uyun itu. Mereka berdua ,mengajarkan Firdaus cara-cara mengamen bahkan sesekali sering disinggung jika sehari tidak dapat uang sedikitpun tiada cara lain kecuali mencopet. Itulah prinsip yang ditanamkan pada Firdaus oleh kedua pemuda itu. Sampai suatu hari, Firdaus merasa jenuh dengan apa yang dia lakukan selama ini. *** Firdaus
berjalan
tanpa tujuan. Dia hanya
mengikuti langkah kakinya. Suatu ketika, ia melihat segerombolan
anak
berseragam
sekolah.
Besar
keinginannya untuk bersekolah layaknya anak-anak itu. Di tengah kesibukanya berangan-angan, matanya tertuju melihat seorang lelaki yang sedang membaca di kursi taman kota. Firdaus menghampirinya. “Nama saya Firdaus, Kak. Saya mau bertanya, Kakak anak sekolah bukan?�
“Nama Kakak Ikhsan. Kakak Mahasiswa, De.” “Kenapa kita harus sekolah, Kak?” “Karena dengan sekolah kita bisa mendapat ilmu, menjadi anak yang pintar dan bisa sukses. Pendidikan itu bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.” Jawaban yang sederhana bagi seorang mahasiswa, namun itu sebuah pernyaatan baru bagi Firdaus. “Tapi, kata Robet teman Firdaus di terminal, buat apa kita sekolah, banyak kok anak sekolah gak mandiri buktinya mereka sekolah uangnya dari orang tua dan selesai sekolah kehidupannya gak sukses tidak ada bedanya dengan anak yang tidak sekolah. Selain itu katanya buat apa kita peduli sama negara, pemerintahnya juga gak peduli sama anak-anak jalanan seperti kami.” “Ade... itu adalah pemikiran yang sempit. Nah, di sinilah fungsinya kita sekolah. Kita bisa memandang setiap masalah dengan cara pandang yang lebih bijak. Dengan ilmu maka kita akan merasakan bagaimana indahnya hidup kita, bisa berguna untuk orang lain, tidak hanya
memikirkan
diri
sendiri.
Dari
mana
ade
menyimpulkan kalau pemerintah tidak peduli dengan pendidikan anak bangsanya?” “Buktinya pemerintah tidak menyuruh Firdaus untuk belajar. Kan, orang tua Firdaus tidak punya uang untuk menyekolahkan Firdaus , kenapa tidak dikasih uangnya buat Firdaus sekolah?” “Ade... pemerintah gak mungkin mendatangi anak-anak semuanya di negeri ini untuk menyuruh sekolah, nanti bapak presidennya kecapean. He…he... Tapi, cukup melalui programnya yang mewajibkan anak usia 6 tahun untuk sekolah dan banyak program-program lain yang membuat sekolah itu menjadi mudah. Termasuk masalah biaya ade gak usah sedih. Sekarang sekolah gratis, De. Kita harus mampu memanfaatkan kesempatan ini”. “Kakak mau bimbing aku belajar?” “Emmm… Baiklah temui Kakak setiap sore di taman ini. Bagaimana?” “Iya Kak, Iya.. Firdaus mau...”
“Insya Allah nanti kita buat jadwalnya yah. Jangan khawatir, De... Kakak tidak sedikit pun menuntut bayaran dari kamu. Justru ini adalah bentuk pengabdian Kakak pada negara. Kakak udah dipercaya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan salah satunya adalah dengan berbagi ilmu yang kakak punya pada anak-anak negeri yang lain.� “Terimakasih ya, Kak,� dengan wajah gembira Firdaus kembali ke Terminal. Detik berlalu, dan inilah waktu yang tak dapat kembali. Firdaus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin kesempatan belajar dengan kak Ikhsan. Semangat Firdaus begitu terlihat dan dia tunjukan keseriusan belajarnya pada kak Ikhsan. Dengan cepat Firdaus bisa membaca, menulis bahkan dalam waktu seminggu,
Firdaus
telah
pandai
menghitung
penjumlahan dan pengurangan. Walaupun pelajaran yang diberikan masih sangat sederhana, tapi bagi Firdaus, itu adalah langkah awal menggapai cita-citanya.
Sore itu, langit biru bersih tanpa awan. Setelah belajar dengan kak Ikhsan, Firdaus bermaksud ingin memberikan kejutan pada sang ibu, dia berlari-lari dengan membawa buku di genggamannya. Langkahnya terhenti, dia melihat Robet dan Uyun di depannya, dengan perlahan dia mundur dengan maksud menghindar dari kedua pengamen yang terkesan preman itu. Namun, sayang kedua pemuda itu melihat Firdaus. Dengan cepat keduanya menghampiri Firdaus. “Selamat bertemu anak manis. Kemana saja selama ini?” dengan gelagat yang mencurigakan Robet merangkul Firdaus. Wajah Firdaus tampak pucat, tangannya gemetar menghadapi kedua pemuda ini. “Santai saja, jangan ketakutan seperti itu.” “Maaf, Kak. Firdaus harus segera pulang. Sudah ditunggu ibu.” “Apa ini? Sepertinya buku.” Uyun merebut buku dari genggaman Firdaus.
“Jangan ambil buku Firadus, Kak. Itu buku Firdaus satu-satunya.” “Oh, rupanya loe sudah sekolah sekarang?” Robet tersenyum sinis pada Firdaus. “Enggak Kak, itu buku peberian kak Ikhsan. Itu Cuma buku catatan saya. Buat belajar menulis dan menghitung.” “Wow... Brow loe baca cita-cita anak ini. Dia kepengen jadi Dokter. MIMPI!!!” “Yun, enaknya diapain yah buku ini? Disobek atau dibakar?” “Mending disobek, biar lucu” dengan enaknya Uyun berkata seperti itu. “Jangan Kak, itu buku Firdaus satu-satunya.” Wajah memelas Firdaus pada keduanya. Namun, semua itu tak dihirukan oleh Uyun dan Robet, lantas Robet dan Uyun menyobek-nyobek buku Firdaus. Firdaus mencoba menghentikan keduanya. Namun, buku itu telah terlanjur disobek.
Air
mata
tak
terbendung.
Firdaus
mengumpulkan
sobekan
kertas.
Disusun
kembali
sobekan-sobekan itu namun sia-sia saja yang tersisa kini di
gengggamannya
hanya
selembar
kertas
yang
bertuliskan “Ihksan Firdaus, Mahasiswa Kedokteran.� Entahlah ada apa dengan tulisan itu, namun Firdaus seakan tak mau kehilangan selembar kertas itu, lebih dari sekedar kenangan dari kak Ikhsan. Tanpa merasa bersalah Robet dan Uyun meninggalkan Firdaus masih dengan tangisnya. Akhirnya
dengan
kediamannya. Harapannya
lemah
dia
menuju
untuk menunjukan hasil
belajar kepada ibu bersama kak Ikhsan kini tingggal harapan. Lembaran mimpinya mendapat pujian dari sang ibu seakan musnah sudah bersama sobeknya lembaran buku itu. *** “Ibu... Bapak... Besok Firdaus akan diwisuda, kalian akan melihat anak kalian ini lulus dari Fakultas Kedokteran ternama di Indonesia�.
Ibu Minah dan Pak Jojo tersenyum bangga pada Firdaus. “Bu... Akhirnya Firdaus bisa memenuhi janji Firdaus untuk sekolah. Waktu telah membawa Firdaus hingga akhirnya Firdaus bisa membuat Bapak dan Ibu bangga mempunyai anak seorang dokter muda.” “Teruskan perjuanganmu, Nak. Jangan pernak letih untuk menghadapi tantangan hidup. Maafkan Ibu. Ibu tidak bisa hadir di acara wisudamu. Tapi percayalah doa Ibu selalu menyertaimu. Karena cinta seorang Ibu tak lekang oleh waktu”. “Firdaus…” Firdaus membuka mata, dilihat sekelilingnya ramai orang-orang yang sibuk mengerjakan berbagai aktivitas. Kini tersadarlan Firdaus bahwa
apa yang
dialaminya hanya mimpi dan kenyataan bahwa ibunya kini terkujur kaku di samping dirinya. Sang ayah berada di sisinya.
“Yang tabah ya, Nak... Kamu tadi pingsan. Dan sebentar lagi kita akan berangkat ke TPU untuk memakamkan ibu.” Akhirnya
rombongan
mengiringi
jenazah
Almarhumah bu Minah berangkat menuju TPU. Air mata Firdaus meleleh, tanpa berkata apapun Firdaus hanya menatap batu nisan yang ada di hadapannya. Sebelum
meniggalkan
pemakaman,
Firdaus
mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. Dia tersenyum dan berkata “Bu… Disaksikan senja ini, aku katakan dihadapan nisan Ibu bahwa suatu hari nanti, namaku Muhammad Firman Firdaus akan menjadi seorang Mahasiswa Kedokteran. Karena kekurangan tak harus menjadi alasan bagi kita untuk cerdas menggapai mimpi terindah kita.” Senja menyaksikan senyuman seorang
anak
negeri.
Digaris
depan
Pendidikan
Indonesia bukalah mata kita kepada mimpi anak-anak diperbatasan negeri.
Cinta dalam AsmaNya oleh Rahma Nur Amalia (Angelfake52@yahoo.com)
Allahu akbar! Allahu akbar! Seruan para pejuang dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak percaya ada di barisan ini. “Rasanya aku masih hidup dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?” Tanyaku pada diri. Doni memecah lamunanku, “Apa yang sedang kau lamunkan?”. Aku terhentak lalu menggeleng. Aku masih ingat itu,
seiring dengan ingatanku ada rasa
yang sesak dalam dada. *** Sorot mentari pagi terpancar dari jendela kamar. Ya! ini kosan
baruku. Tak besar tapi aku tetap
mensyukurinya. Kau bisa lihat kamarku penuh dengan poster band-band rock sepanjang zaman. Sejak SMP aku bercita-cita menjadi vokalis band rock and roll seperti John Lennon The Beatles, vokalis The Doors, The Pixies, Rolling Stones, dan band rock zaman 60 sampai
80’an. Gitar akustik yang kuberi nama Gigi adalah kekasih sejatiku, ia menemaniku setiap pagi dan malam hari. Ia ku simpan di pojok kamar. Hari ini, hari ketiga masa orientasi kampus, aku melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas keguruan
di
kota
Bandung.
Berjalan
ditemani
bayanganku sendiri mengenakan seragam putih dengan celana hitam yang ujar mahasiswa baru lainnya mirip pegawai toko yang sedang magang dan seutas tali yang menggantungkan nametag di leherku.
Udara di
Bandung sangat berbeda dengan Jakarta. Ya Tuhan! Rasanya darah ini mulai membeku, dan kau tahu? Aku tak nyaman dengan seragam seperti ini, saat SMA akulah satu-satunya murid yang paling banyak catatan hitamnya. Rombongan mahasiswa dengan beragam yelyelnya mulai memasuki gedung aula yang mampu menampung hampir tiga ribu orang. “Hey, nama kamu siapa?” sapa seorang lelaki berambut hitam legam dan berkulit sawo matang. Aku mengernyitkan dahi “Gue?” tanyaku. “Iya kamu” sapanya lembut, ternyata ada lelaki
selembut dia juga ya atau mungkin akulah yang hidup dengan
orang-orang
keras?
Aku
tersenyum
dan
mengulurkan tangan “Renza Adriansyah, Loe siapa? Eh, maksudnya nama kamu?” “Iqbal Mutaqqin”. Semenjak saat itu ia menjadi teman pertamaku. Hari ini akan ada penampilan dari klub-klub kampus, aku harap ada klub yang sesuai denganku. “Klub band kampus mungkin?” aku membatin. Satu persatu klub maju mempresentasikan komunitasnya. Mulai dari teater, grup vokal, Pramuka, klub olahraga, dan terakhir klub keagamaan. Ada lima klub keagamaan di sini, katanya mereka beda misi tapi satu visi “dakwah” itu yang disampaikan temanku Iqbal. Padahal, di SMA saja hanya ada satu rohis. Iqbal terobsesi sekali ingin bergabung dengan klub itu. Sementara aku? Aku duduk tanpa memperhatikan. Aku bahkan mulai bosan dengan suasana ini. Suasana di mana kita seakan dijajah. Ospek, ya ospek. “Renza!”
seseorang
dari
seberang
sana
memanggil, terlihat lambaian tangannya. Aku pun membalas. Ia berlari kecil menghampiriku.“Kamu ikut
klub apa?” aku tersenyum seakan malas menjawab. Berpikir sejenak lalu mengangkat bahu memberikan tanda bahwa aku tak memiliki jawaban. “Ikut klub jurnalistik aja yuk?” ajaknya. “Jurusan kita kan memang sudah menyoal jurnalistik, untuk apa masuk klub itu?” Deandra terdiam sadar bahwa ajakannya akan ditolak. Ia masih mematung di sana sementara aku berlalu. Sejak SMA sudah hampir puluhan orang yang ku buat seperti itu. Aku terus melaju mengenakan celana jeans hitam, kaos lengan pendek bergambar the Beatles dan jaket kulit. Mentari tenggelam bersama senja, meringkuk tercuri malam. Aku duduk di serambi rumah kos, rumah kos putra yang tak begitu rapi, bersama Gigi, gitarku. Aku mendendangkan beberapa lagu ditemani secangkir kopi dan rokok. Sudah seminggu kejadian di koridor Fakultas Bahasa itu, tetap saja aku tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak. ***
Ku beranikan diri duduk di taman itu, di bangku kosong di sampingnya. Entah apa yang menggelapkan pikiranku hingga aku seberani ini. Padahal ketika SMA aku benar-benar orang yang dingin dan ahli dalam memainkan perasaan wanita. Aku tersenyum padanya, ia mengernyitkan dahi sambil tersenyum kecil seperti merasa risih ada seorang pria yang duduk di sampingnya. Tidak bukan di sampingnya jarak kita sekitar satu meter. “Jreng….” nada pertama yang dikeluarkan Gigi. Aku membawakan sebuah lagu dari Ari Lasso dengan percaya diri sambil menghadapkan posisiku ke arahnya. Ia hanya mematung memandang ke depan sambil memegang sebuah buku. “Kau cantik hari ini… jreng” “ ... dan aku suka” lanjutku. Ya, dia melirik, dia tersenyum dan…. pergi? “Hey, Assalamualaikum, aku sudah lama nunggu. Jadi pergi ke mentoring kali ini?” Ucapnya sambil
menjabat tangan temannya yang berada di belakangku. Ya, Tuhan! Padahal senyumnya indah sekali, tapi sayangnya bukan untukku, dan sayangnya lagi temannya tak menyebutkan namanya, lalu siapa dia? Tadinya hari ini aku ingin bertanya siapa namanya, jurusan apa atau sekedar berkenalan. *** Hari berlalu, entah apa yang terjadi karenanya aku bisa meninggalkan sedikit demi sedikit masa laluku. Bersama Iqbal, seorang aktivis dakwah sekaligus teman sejatiku. Ku pikir ia tak akan peduli, tapi setelah itu “Bal, ajarin gue Islam dong� Ia dan teman-teman lainnya menuntunku, kau tahu untuk mengubah sikap ini aku memerlukan waktu hampir lima semester. Saat Iqbal bilang “Cinta dalam diam itu lebih keren bro. Kamu cintai Tuhanmu dan dia cintai Tuhannya tanpa ada yang tahu. Biar Dia yang membolak balikan hati, karena wanita yang baik untuk pria yang baik, dan sebaliknya.� Aku tak pernah lagi menatapnya. Poster di kamarku kini ku hilangkan, pakaianku pun mulai berubah seiring berjalannya waktu.
Aku kini mengikuti komunitas kepenulisan Islami, kau tahu ajakan Deandra dulu ada benarnya juga ia mengajakku ke klub jurnalistik dan aku mengatakan untuk apa masuk klub jurnalistik toh jurusan kita pun menyoal tentang itu. Tapi itu hanya alasanku agar tak bersama Deandra, tapi penolakanku itu, membuatku berada di tempat ini. Aku mulai sering meliput berita atau membuat syair-syair Islami, aku pun sudah mulai membuat sebuah buku Islam. “Karena lelaki nakal sekalipun pasti menginginkan wanita yang baik untuk menjadi ibu untuk anak-anaknya kelak.� Entah niatku ini salah atau benar aku hanya ingin tuhanku mengampuni segala kesalahan yang ku perbuat, kesalahan di saat aku acuh ketika melihat orangtuaku menangis karena kenakalanku.
Kesalahan
dimana
aku
tak
pernah
menyebut namaNya, merasakan kedekatanNya, dan mensyukuri nikmat yang Ia berikan untukku. *** Allahu akbar! Allahu akbar! seruan para pejuang dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak percaya ada di barisan ini. “Rasanya aku masih hidup
dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?” tanyaku pada diri. Doni memecah lamunanku, “Apa yang sedang kau lamunkan?” aku terhentak lalu menggeleng. Aku masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa sesak dalam dada. Dia, wanita itu... Sudah lama aku tak melihatnya. Senyumnya masih seperti dulu ia melangkah bergandengan dengan lelaki di sampingnya. “Cie kepengen kayak gitu ya?” tanya Doni. “Haha bisa saja, aku masih harus menyelesaikan proposal skripsiku dulu. Kau tahu siapa dia?” “Oh itu, namanya kak Zahra Amarilia dia Jurusan Bahasa Arab, dia lebih tua satu tahun dari kita. Sebentar lagi kabarnya dia akan sidang skripsi” “Lalu lelaki di sampingnya?” “Itu suaminya, mas Angga alumni kampus kita juga ko, Subhanallah
mereka pasangan yang cocok.
Selalu menjaga pandangannya.” Aku tersenyum, entah apa yang kurasa. Aku tak terlalu mengenalnya, dan mungkin inilah takdir Allah.
Zahra Amarilia, wanita yang kutemui hampir tiga tahun lalu. Wanita yang duduk di koridor Fakultas Bahasa, matanya terpejam, saat itu aku tak tahu apa yang ia lakukan. Tapi aku merasa dia sedang dalam damai. Ada suara kecil dari bibirnya, lantunan ayat Al-Qur’an. Ya, aku baru menyadarinya saat ini. “Kamu kenapa?” Tanya Doni. “Enggak, enggak apa-apa.” Aku memberikan senyum tulus kepada sahabat seperjuanganku ini, selain Iqbal. Lalu pertanyannya, apa aku akan berubah lagi seperti dulu karena kak Zahra menikah dengan orang lain? Jawabannya adalah tidak. Karena cinta sejati itu suci, ia akan hadir pada hati yang selalu menyebut asmaNya.
Selepas Lebaran oleh Iis Titi (Prim.fti07071993@gmail.com)
Selepas lebaran tahun ini, Pak Rahmat betulbetul baru merasakan hidayah yang begitu nikmat. Betapa ia sangat bersyukur dan menyadari bahwa Allah masih menyayanginya dan keluarganya. Di dalam masjid kecil ini selepas salat Duha, ia tak henti-hentinya berdzikir, memanjatkan syukur pada Illahi. Ketenangan dan kedamaian suasana masjid ini, membuatnya berada dalam kondisi yang bisa merasakan tangan Tuhan mengelus lembut dirinya. Inilah kedekatan antara hamba dan Tuhannya. Setelah berdzikir, Pak Rahmat masih duduk bersila di tempat salatnya. Ia menerawang langitlangit masjid. Masjid ini meski kecil, tapi sering dipakai untuk salat Tarawih hingga jamaah tumpah ke teras masjid bahkan jamaah beralas tikar di halaman masjid untuk mengikuti salat Tarawih di masjid ini. Ia masih ingat. Ketika Ramadan kemarin, ia hanya melintas melihat jamaah salat Tarawih di waktu bada Isya. Setiap
bada Isya memang Pak Rahmat baru pulang. Pak Rahmat jatuh lebih dalam pikirannya, memori kemarin membukanya untuk sejenak berpikir tentang hidayah itu nyata datangnya dan Allah telah memberikan padanya. Pak Rahmat masih ingat baru tiga hari ia melaksanakan ibadah lima waktu. Memang bertahuntahun lalu Pak Rahmat tak pernah melakukan salat apalagi puasa wajib. Setiap Ramadan, ia tak pernah ikut berpuasa dan salat Tarawih. Ketika masih kecil, Pak Rahmat selalu rajin ibadah termasuk amalan salat sunah. Tetapi, karena kenyataan bahwa ayahnya menikah lagi dengan ibu tirinya dan meninggalkan ibu kandungnya menjadi masalah dalam hidupnya. Kenyataan bahwa ibu tirinya membedakan perlakuan antara Pak Rahmat kecil dengan anak kandungnya. Perlakuan itu membuat Pak Rahmat sakit hati dan membuat acuh pada ayah dan ibu tirinya bahkan mengacuhkan Tuhan. Tuhan begitu tidak adil padanya, pikirnya. Semenjak itu ia tak pernah lagi salat apalagi puasa wajib dan lebih fokus mencari uang. Karena pengaruh lingkungan dan teman, Pak Rahmat remaja -hingga sudah menikah- terbawa
meminum minuman beralkohol. Ketika di kampungkampung masih ada acara dangdutan, Pak Rahmat dan kawan-kawannya sering minum alkohol dan berjoget di panggung dangdut kampung. Minuman beralkohol itu diminum agar tidak malu saat berjoget di atas panggung. Karena pengaruh alkohol yang bisa membuat orang tak sadar, Pak Rahmat pernah memarahi anak-anak muda yang nongkrong di depan rumahnya. Karena dianggap merusak tanaman di halaman rumahnya. Alhasil, hal itu membuat gambaran Pak Rahmat yang tak baik di depan tetangganya. Tak hanya meminum minuman alkohol, Pak Rahmat juga gemar main sabung ayam dan berjudi walaupun kecil-kecilan. Jika
ia
melihat
masa
lalu
yang
baru
ditinggalkannya, ia merasa sangat malu dan menyesal. Ramadan yang baru beberapa hari berlalu dan Lebaran yang baru saja usai membuat ia berpikir ‘kenapa baru sekarang ia menyadari?’. ia merasa sangat berdosa karena tak melakukan puasa wajib Ramadan, salat wajib, dan salat Tarawih, jauh dari Allah. ***
Cerita bagaimana Pak Rahmat ditegur dan disadarkan oleh Allah melalui anak pertama Pak Rahmat. Pak Rahmat yang sudah menikah dan mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya bisa dibilang punya ‘kelainan’ dan anak keduanya normal bahkan lebih aktif bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya dibandingkan kakak pertamanya. Anak pertama Pak Rahmat adalah seorang laki-laki, wajahnya tampan dan badannya tinggi. Namun, setelah lulus menempuh sekolah menengah pertama, anak pertama Pak rahmat itu memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah. Alasannya adalah capek untuk berpikir. Walaupun nilainya rata-rata bagus. Anak pertama Pak Rahmat hanya diam di rumah dan cenderung berdiam diri di dalam kamar. Hal ini tidak membuat Pak Rahmat dan istrinya tak merasa aneh dengan kelakukan anaknya. Karena memang hal itu sering dilakukan saat masih bersekolah. Hal aneh muncul ketika anak perrtama tersebut sudah tidak mau lagi dipinta orang tuanya membelikan sesuatu ke warung atau dipinta untuk membantu membereskan pekerjaan
rumah. Ia lebih suka berdiam diri dalam kamar dan ketika ada temannya yang mengajaknya bermain, ia memilih untuk menolaknya. Sebenarnya apa yang dilakukan di dalam kamar, Pak Rahmat sama sekali tidak tahu. Memang di kamarnya ada televisi, mungkin saja itu menyebabkan anak pertamanya betah di dalam kamar. Keluarga Pak Rahmat bisa dibilang kurang agamis sehingga tak heran bila istri dan anak-anaknya sama seperti Pak Rahmat, tidak beribadah. Termasuk anak pertamanya. Di hari lebaran, seperti keluarga lainnya, Pak Rahmat dan keluarganya memang pergi ke tempat untuk salat Idul Fitri di tempat tinggalnya. Memakai
pakaian
baru
dan
membawa
sajadah.
Percayalah keluarga Pak Rahmat hanya setahun sekali melaksanakan salat, salat Idul Fitri. Itupun dilakukan karena malu kalau dicap tidak salat Idul Fitri oleh warga sekampung. Sehari setelah lebaran, kejadian tak disangkasangka terjadi. Anak pertama Pak Rahmat terbatuk-batuk dan merasa sesak. Pak Rahmat pun sontak terkejut dan panik. Anak pertamanya itu terus berteriak-teriak “saya
takut mati, takut mati”. Menangis dan marah dalam waktu bersamaan. Anak pertamanya itu mengatakan bahwa ada yang suara-suara yang ingin membawanya pergi dan ia takut. Tetangga-tetangga pun berdatangan, penasaran apa yang terjadi. Salah seorang tetangga menyarankan agar memanggil seorang kiai. Pak Rahmat pun mengikuti saran tetangga tersebut. Setelah kiai datang dan menenangkan anak pertama Pak Rahmat. Kiai tersebut mengatakan bahwa tidak ada makhluk apa pun yang mengganggu anak tersebut. Namun, anak pertama Pak rahmat itu terus mengatakan bahwa ada ‘makhluk’ yang mengganggunya dan membuat ia takut. Setelah kejadian itu, esok harinya kejadian yang sama terulang. Kali ini Pak Rahmat disarankan membawa anaknya ke rumah sakit jiwa untuk diperiksa keadaan jiwa anak pertamanya setelah beberapa orang ‘pintar’ dan kiai didatangi. Mungkin karena Pak Rahmat merasa bingung dan bersalah pada anaknya. Akhirnya, ia mengikuti saran tersebut. Tanpa sepengetahuan anak pertama, Pak Rahmat dan anak pertamanya serta beberapa tetangganya pergi ke rumah sakit jiwa. Betapa
terkejutnya sang anak pertama
tersebut mengetahui
bahwa bapaknya telah berbohong. Anak pertama itu hanya mengetahui bahwa ia akan dibawa ke tempat alternatif lain bukan rumah sakit itu. Dengan perasaan marah, anak pertama itu turun dari mobil dan mengikuti perintah bapaknya. Anak pertama Pak Rahmat diperiksa seperti orang yang benar-benar gila. Petugas rumah sakit itu menyarankan agar disuntik, entah obat apa. Pak Rahmat yang saat itu hanya berpikir untuk keselamatan anaknya maka ia setuju peyuntikan itu. Anak pertama Pak Rahmat meronta-ronta tidak mau disuntik dan menangis meminta bapaknya agar menolongnya untuk tidak disuntik. Hal tersebut membuat Pak Rahmat tidak kuasa menahan tangis dan pergi keluar ruangan, membiarkan anaknya dipaksa disuntik. Tubuh anak pertama Pak Rahmat lemas akibat suntikan itu. Sehingga tak punya daya lagi untuk marah. Obat pun diterima Pak Rahmat dari rumah sakit itu dan biaya yang harus dibayar oleh Pak Rahmat juga tidak kecil. Di sepanjang perjalanan pulang, sudut mata Pak Rahmat tak pernah kering.
Istri Pak Rahmat marah saat mengetahui tindakan Pak Rahmat yang membiarkan anak pertamanya seperti pasien orang gila. Istrinya mengetahui bahwa rumah sakit
jiwa
itu
memang
suka
sewenang-wenang
menyuntikkan obat ke pasien yang baru datang tanpa pemeriksaan lebih lanjut terlebih dahulu. Menyadari kesalahannya yang ia buat telah merusak masa depan anaknya. Pak Rahmat amat menyesal dan dalam keadaan putus asa. Kakinya bergerak ke arah masjid sekitar rumahnya. Di teras masjid itu, ia bertemu dengan seorang lelaki berpakaian putih, bersih, dan wajahnya bercahaya. Entah dari mana lelaki itu muncul, wajahnya bukan warga kampung yang dikenalinya. Sepertinya seseorang luar kampung, duga Pak Rahmat. Dengan lembut, lelaki itu berkata,
“Kejadian
yang terjadi saat ini pada Pak Rahmat adalah ujian dari Allah Swt.� Pak
Rahmat
kaget
lelaki
itu
mengetahui
namanya. Pak Rahmat tidak menanyakan dari mana ia mengetahui namanya kepada lelaki itu. Hanya diam dan menunggu kelanjutan perkataannya.
Lelaki itu meneruskan perkataannya, “Tidak ada kata terlambat untuk kembali pada-Nya. Allah sangat menyayangi-Mu. Anak keduamu selalu mendoakan agar kau sekeluarga mendapat hidayah. Allah mendengar semua doa yang dipanjatkan pada-Nya. Hanya tinggal menunggu waktu untuk Allah menjawab semua doa hambanya.
Kembalilah,
kerjakan
lagi
ibadahmu.
Bersabar dan bersyukurlah, karena itu adalah tingkatan iman paling tinggi. Ajaklah istri dan anak-anakmu untuk kembali dekat dengan-Nya.” Setiap kata yang diucapkan lelaki itu meresap dalam hati Pak Rahmat. Pak Rahmat menunduk dalam dan menangis. Dalam hatinya, ia begitu merasa terharu karena meskipun ia telah melupakan Tuhan, tapi Tuhan tak pernah melupakannya. *** Lamunan Pak Rahmat bertempiar ketika anak pertamanya memanggilnya. “Pak... Pak...”
“Iya, Nak?” “Ada kakek datang, jauh-jauh dari kampung seberang.” “Iya, Nak, mari kita temui kakekmu.” Pak Rahmat berjalan ke arah anak pertamanya. Pak Rahmat bersyukur anaknya sudah baik kembali dan mulai bersosialisasi dengan warga sekitar. Rasa syukur yang nikmat dirasakan Pak Rahmat kini menjadikan ia lebih tenang dan tentunya lebih dekat dengan Allah Swt. Dalam benaknya kini, ia harus berbaikan dengan ayahnya. ***
Khasirin dan Rahmah oleh Windi Nugraha Fadilah / Fadil Ibnu Ahmad (ndiefadillah@gmail.com) Hitam. Warna itulah yang hanya bisa dilihat oleh matanya. Semenjak sakit berbulan-bulan beberapa tahun yang lalu, Khasirin kehilangan pandangannya. Dia tak bisa lagi melihat indahnya pelangi, hijaunya rerumputan, kuningnya sawah yang siap dipanen, dan pemandangan yang semacamnya. Brukkkk! Suara jatuh terdengar di lantai kayu. Lelaki tu mengaduh kesakitan sambil memegangi lututnya. “Aduuuhhh!� erang Khasirin. Tak ada seorangpun yang menolongnya karena lantai kayu di pelataran masjid itu sepi, belum masuk waktu salat. Dia memejamkan mata dan memperlihatkan giginya, dia bangkit ditopang dengan tongkat yang selalu menjadi teman setianya. Kriing... Kriing.... Suara ponsel Khasirin berdering. Dia meraba saku kanannya. Setelah ditemukan, jempolnya meraba-raba mencari di mana tombol untuk menerima panggilan telepon. “Halo, siapa ini?� tanya Khasirin.
“Assalamualaikum. Kamu baik-baik aja kan, Rin? Ini aku, Rahmah.” tanya Rahmah, wanita sebaya dengan Khasirin. “Waalaikumsalam. Oh Rahmah, aku baik, kenapa?” Khasirin balas bertanya. “Enggak, aku tadi lihat kamu jatuh. Aku khawatir, makanya aku menghubungi kamu.” “Kamu baik sekali, Rahmah. Maaf aku nggak bisa membalas lebih” kata Khasirin dengan nada sedikit sedih. “Hmmmmmmm, Rin, boleh aku tanya sesuatu?” nada Rahmah sedikit gerogi. “Tanya apa, Rahmah?” “Ka.... Kamu besok ada acara nggak?” suara Rahmah masih terdengar terbata-bata. “Enggak ada kayaknya, ada apa?” “Ehmm, aku ingin ketemu kamu, bisa?” Rahmah memberanikan diri. “Aku nggak bisa melihat, kamu tahu kan? Aku malu. Dan kamu pun mungkin akan malu jika bersama denganku.”
“Ya udah kalau enggak mau, mungkin di lain waktu kamu bisa. Semoga kamu baik-baik aja, Rin. Assalamualaikum.” dengan nada melemah, Rahmah menutup percakapan itu. “Waalaikmsalam. Maafkan aku, Rahmah.” jawab Khasirin. Percakapan hari itu mengundang tanda tanya bagi Khasirin. Apa alasan Rahmah ingin bertemu dengannya? Apa ada sesuatu yang sangat penting sehingga dia mengajak bertemu? Pikiran-pikiran itu dibuang jauhjauh oleh Khasirin. Lantas, dia pulang ke rumahnya dengan lutut yang masih sakit akibat terjatuh tadi. *** Di suatu malam, Khasirin merenung di dalam kamarnya. Mengingat semua memori-memori ketika dia masih bisa melihat dulu. Tubuhnya tertelungkup miring ke arah kanan ranjang. Lama-lama air matanya tumpah, meratapi takdirnya yang sudah tak bisa melihat lagi. “Kenapa harus aku, Ya Allah?” rintih Khasirin di dalam kamarnya.. Dia seakan menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Dia putus harapan, seolah tak ada alasan lagi baginya untuk hidup. Tapi, Khasirin bukanlah orang yang berpikiran pendek. Dia harus bangkit dari keterpurukan yang dia anggap berasal dari matanya yang sudah tak bisa melihat lagi.
*** “Permisi...” suara tukang pos setengah berteriak. Khasirin yang masih berada di dalam kamar dengan mata yang membengkak terbangun dari tidurnya. “Permisi... sepada...” tukang pos masih berada di depan pintu rumah Khasirin. Khasirin mulai bangkit, lalu membawa tongkatnya dan berjalan sempoyongan membuka pintu. “Permisi, apa benar di sini alamat rumah Bapak Khasirin?” tanya tukang pos, ramah. “Iya benar, saya sendiri. Anda siapa? Maaf penglihatan saya sedang terganggu.” “Saya petugas pengantar surat, Mas. Ini ada surat untuk Mas, mohon diterima.” Tukang pos memberikan surat itu ke Khasirin dengan sopan. “Kalau boleh tahu, dari siapa ya, Pak?” tanya Khasirin. “Kalau dilihat dari amplopnya, surat itu dari Rahmah, Mas. Kalau begitu saya pergi dulu, masih banyak surat yang harus diantarkan, permisi Mas.” kata tukang pos berpamitan. “Iya, Pak. Terima kasih.”
Khasirin kaget, kenapa Rahmah mengirim surat kepadanya? Tidak biasanya dia begitu, biasanya dia langsung menelepon. Ini pertama kalinya Rahmah mengirim surat kepada Khasirin. Dengan cepat, Khasirin menghampiri tetangganya yang berjarak hanya satu meter dari rumahnya. “Sep, boleh minta tolong bacain surat ini, Sep. Boleh?” “Oh, boleh. Coba sini mana suratnya?”, kata asep sambil menyodorkan tangan kanannya. “Nih, Sep.” Khasirin menyodorkan suratnya kepada Asep. Asep membaca surat itu dengan saksama. “Wah, alhamdulillah. Surat ini bilang kalau ada orang yang mau mendonorkan matanya buat kamu, Rin. Kamu diminta ke rumah sakit Islam besok pagi jam delapan.” ujar Asep. Sontak Khasirin turun dari sofa kecil itu dan menempatkan kepalanya di atas tanah sambil mengucap syukur. “Alhamdulillah ya Allah. Engkau Maha Baik, akhirnya aku bisa melihat lagi.” Seketika itu pula melelehlah air mata Khasirin yang dibarengi oleh kalimat-kalimat doa. “Mau saya anterin?” Asep menawarkan.
“Iya boleh, Sep. Makasih banyak, kamu terlalu banyak membantuku.” Kata Khasirin dengan nada masih terisak-isak. *** Singkat cerita, Khasirin telah menjalani operasi mata. Dia mengucapkan terima kasih yang terhingga kepada Rahmah karena telah mencarikan orang yang mau mendonorkan matanya. Khasirin merasa senang karena punya teman yang baik dan perhatian seperti Rahmah, meskipun mereka belum pernah bertemu. Satu bulan telah berlalu semenjak Khasirin melakukan operasi mata. Akhirnya dia bisa pergi kemana-mana tanpa hambatan dan tongkat penunuk jalan. Dia bisa melihat indahnya taman kota, kendaraan yang berseliweran di jalan, anak-anak yang bermain di halaman rumahnya, juga tak ketinggalan langit biru yang selalu menjadi atap bagi dunia. Kriiiing... Kriiiing... “Halo, Assalamualaikum, ini dengan siapa?” ucap Khasirin. “Ini aku, Rahmah. Kamu enggak ada acara siang ini? Aku mau ketemu, boleh?” “Iya Rahmah, sangat boleh. Kalau begitu kita janjian jam dua di taman, gimana?”
“Baiklah, sampai ketemu. Assalamualaikum.” Rahmah menutup teleponnya. Khasirin, tak sabar ingin bertemu dengan orang yang selama ini begitu perhatian kepadanya. *** Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat. Rahmah dengan wajah putihnya yang ditutup dengan kerudung merah marun menambah kesan anggun bagi siapa saja yang melihatnya. Rahmah duduk di bangku yang dinaungi sebuah pohon rindang, sehingga dirinya terlindungi dari sinar matahari. Khasirin pun tiba di taman. Dia kemudian duduk di bangku yang berada di sebelah kanan Rahmah. Khasirin duduk di samping orang yang sepertinya sedang menikmati taman, tapi anehnya dia membawa tongkat penuntun jalan. “Sepertinya orang ini tak bisa melihat, seperti saya dulu.” Pikir Khasirin. Kriiiing... Kring... “Assalamualaikum. Kamu di mana, Rahmah?” tanya Khasirin. “Aku duduk di bangku yang ada di bawah pohon.” Khasirin lantas melihat ke arah kanan tubuhnya. Ditutupnya sambungan telepon. “Kamu Rahmah?” tanya Khasirin kepada orang yang duduk satu bangku dengannya.
“Iya, kamu Khasirin, kan?” Rahmah bertanya balik. “Iya betul.” “Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu juga. Aku sangat menanti pertemuan ini, Rin.” ujar Rahmah dengan nada sumringah. Khasirin berpikir keras untuk mengeluarkan katakata selanjutnya. Ternyata kenyataan bertemu Rahmah tak sesuai dengan harapan. Dia merasa kecewa karena Rahmah buta seperti dirinya dahulu. “Maaf Rahmah, sepertinya kita hanya bisa bertemu saat ini saja.” “Kamu kenapa, Rin? Ada yang salah denganku?” “Tidak ada. Maaf Rahmah, aku harus pergi.” Kata Khasirin sambil melangkah pergi. “Kamu mau ke mana, Rin? Khasirin...?” Khasirin meninggalkan Rahmah begitu saja. Tetesan air mata mulai jatuh dari pelupuk mata Rahmah. Hatinya sakit, hancur diperlakukan seperti itu oleh Khasirin. Sapu tangan biru muda dikeluarkannya untuk mengelap pipinya putihnya yang basah. Dengan cepat dia meraih tongkatnya lalu pergi sambil menutupi mulutnya. ***
“Ah, aku kira dia orang normal. Tak tahunya tak bisa melihat sepertiku dulu.” Ujar Khasirin dengan nada kecewa. Dia duduk di pinggir jalan dan asyik sendiri dengan rasa kecewanya saat itu. Terlihat seorang wanita muda tergeletak bersimbah darah dengan posisi terlentang dengan mata terpejam. “Rahmah!!!” kata Khasirin setengah teriak. Dengan sigap Khasirin menggendong Rahmah yang tak sadarkan diri tanpa mempedulikan orang-orang sekitar. Dia melarikan Rahmah ke rumah sakit yang arahnya tak jauh dari taman. Khasirin setengah berlari dan memasuki gerbang rumah sakit. Ada seorang perawat yang sigap menghampiri Khasirin, kemudian membantunya. “Darurat, Sus! Di mana ruang IGD? Teman saya ini korban tabrak lari, butuh pertolongan cepat!” ujar Khasirin dengan nada khawatir. Suster lalu mengantar Khasirin yang sedang menggendong Rahmah ke ruang IGD, sementara suster yang lain segera memanggil dokter untuk melakukan penanganan cepat. Secepat kilat Khasirin memosisikan tubuh Rahmah di ranjang IGD. Dokter dengan timnya sudah tiba dan meminta Khasirin untuk menunggu di luar.
Di luar ruang IGD, ia membuka tas Rahmah, kemudian mencari telepon genggamnya untuk menghubungi pihak keluarga. Namun, ia justru menemukan sepucuk surat bertuliskan “Untuk Khasirin�. Dengan jantung berdebar, dia membacanya perlahan. Assalamualaikum. Untuk Khasirin, Memang kita tak pernah berjumpa, tapi harus kuakui bahwa aku selalu mengkhawatirkanmu. Ketika dirimu terjatuh atau dirimu sedang kesulitan, aku segera meneleponmu untuk memastikan bahwa dirimu baik-baik saja. Aku merasa sudah mengenalmu, meski aku baru mengenalmu sekitar delapan bulan yang lalu. Kamu laki-laki yang hebat, Khasirin. Aku mengagumimu, Khasirin. Aku suka dengan ketabahanmu selama beberapa bulan kemarin. Aku selalu memerhatikanmu dari jauh, karena rasa khawatirku yang mungkin dianggap berlebihan. Aku hanya ingin memastikan bahwa dirimu baik-baik saja. Harus kamu tahu, Khasirin. Aku menulis surat ini sebelum dirimu melakukan operasi mata. Kamu tahu? Kedua bola mata yang ada padamu itu adalah bola mataku, jika sekarang kamu membaca surat ini. Aku memberikan kedua bola mataku kepadamu karena aku mencintaimu. Ya, aku mencintaimu, Khasirin. Tak peduli
jika sekarang aku sudah tak bisa melihat lagi. Aku hanya ingin dirimu bisa kembali melihat indahnya dunia. Mungkin aku tak tahu malu dengan menulis surat ini. Tapi pada akhirnya aku sudah lega, setidaknya beban di dalam hatiku sudah berkurang. Pergunakan mataku dengan baik, dan jangan sia-siakan hidupmu. Salam, Rahmah Mustika. “Ya Allah, jangan Engkau cabut dulu nyawa Rahmah, hamba mohon....� Khasirin memelas dengan air mata yang terus mengalir. Apakah Rahmah akan selamat dari peristiwa tabrakan? Bagaimana perasaan Khasirin setelah mengetahui bahwa Rahmah begitu mencintainya sehingga rela memberikan kedua matanya? Apa yang akan dikatakan dokter setelah keluar dari ruang IGD?
Nesya Vs Rafka Oleh: Layla Nusaibah
(lailanusaibah@yahoo.com)
“Kamu ya... benar-benar sama sekali gak ada sopan santunnya sama sekali sama kakak!” Nesya menyerungut kesal sambil melempar bantal angry bird kesayangannya ke arah Rafka yang sedang asyik menjulurkan lidahnya dengan ekspresi wajah mengejek. “Wwwekk-Wekk!” “Sana pergi jauh-jauh deh dari hidup aku! Dasar pengacau...” gerutu Nesya. Begitulah jika Nesya bertemu dengan Rafka. Selalu terlihat seperti sepasang Tom and Garry yang tidak pernah akur. Ada saja hal yang membuat mereka berseteru. Ya, contohnya saja seperti malam ini ketika Nesya hendak belajar. Tiba-tiba Rafka yang usil sengaja mengganggunya dengan tembakan air yang baru dibelikan Ibu tadi pagi di pasar.
Nesya, si gadis imut yang sedang duduk di kelas tiga SMP itu mungkin sangat kewalahan dengan adiknya Rafka yang super usil. Setiap kali mereka bertemu, maka setiap kali itu pula mereka bertengkar. Barangkali inilah yang dikatakan orang serunya punya saudara. Hehe‌ Seru??
Ya
bisa
dibilang
seperti
itu.
Bukankah
perseteruan itu diciptakan sebagai pemberi warna bagi kehidupan? Tapi jangan kelamaan yah, karena bisa berakibat jauh dari kasih sayang Allah Swt. *** Walaupun hari itu cuaca sangat panas, namun tidak mengurangi semangat Nesya untuk terus berlatih PBB di eskul PASKIBRA di sekolahnya. Nesya memang termasuk gadis yang selalu gigih dan pantang menyerah. Semangatnya
dalam
kekonsistensiannya
berorganisasi
dalam
belajar
terlihat dan
dari
berkarya.
Makanya jangan heran kalau prestasinya membludak. Selain itu, prestasi di kelasnya pun patut diacungi sepuluh jempol. Setelah latihannya selesai, Nesya kemudian berjalan menuju pohon mangga yang berada di sudut lapangan
upacara.
Ia
berencana
pulang
bersama
temannya, Zaky. Tiba-tiba ingatan Nesya melayang pada perlakuan adiknya yang seringkali membuatnya jengkel. Ingatan itu membuatnya benar-benar merasa kesal berkali-kali lipat. Wajahnya memerah saat ia sibuk memutar ingatannya. Sebesar
apapun
kekesalan
Nesya
terhadap
adiknya, tetap saja ia adalah seorang kakak. Meski pertengkarannya masih tergolong dalam taraf wajar. Namun terbesit keinginan untuk berdamai dengan adiknya. Ia tidak ingin ada pertengkaran lagi dengan adiknya yang baru menginjak sembilan tahun itu. “Tapi.. Apa bisa?” Gumam Nesya kemudian. Tiba-tiba tanpa sepengetahuan Nesya, Zaky datang dan mengagetkannya. “Nes! Ngapain sih? Wajahnya merah tuh. Melamun ya? Sore-sore begini melamun. Pamali tahu! Apalagi melamunnya di bawah pohon mangga. Enggak serem apa?” Celoteh Zaky sambil menenteng dua kantong plastik putih besar sebesar tong sampah. Perhatian Nesya tertumpah pada kantong yang dibawa Zaky. “Ky, itu apa?” Tanya Nesya penasaran.
“Ini seragam kita buat lomba PBB besok” Jawab Zaky sambil memperlihatkan isi kantong yang tidak begitu ringan. “Kenapa dibawa? Enggak berat?” Tanya Nesya penasaran. “Kelihatannya?” Zaky malah berbalik bertanya. “Oke. Sini aku bantu bawakan satu” Pinta Nesya sambil menggait salahsatu kantong tersebut. Mereka kemudian berjalan beriringan. Warna jingga pada ornamen cakrawala di ufuk barat menampilkan selaksa senja yang begitu indah. Burung-burung terbang hilir mudik meramaikan langit yang begitu sangat luas tiada batas. Nesya dan Zaky takjub atas kuasa Allah yang tiada tandingannya. Mereka pun mengucap tahmid sebanyak-banyaknya. “Oya. Tadi kenapa kamu melamun?” Zaky mencoba membuka pembicaraan. “Karena nunggu aku kelamaan ya? Maaf ya. Kalau tidak karena dipanggil kakak pelatih tadi…” Nesya yang diajak bicara malah diam seribu bahasa. Pikirannya kembali melayang pada adik semata wayangnya yang berada di rumah kini. Ah, seandainya
Nesya bisa melupakan perilaku adiknya yang masih kecil itu, mungkin persoalannya tidak akan memanjang dan mengganggunya seperti ini. “Nes. Nes!” Lamunan Nesya dihancurkan lagi oleh Zaky. Ia kemudian menoleh ke arah teman sekelasnya itu. Badannya yang semampai membuat dirinya tidak perlu bersusah payah untuk menemukan wajahnya yang hitam legam terbakar matahari akibat latihan PBB di siang bolong tadi. Matanya yang bulat teduh dengan alisnya yang hitam serupa ulat bulu menggambarkan keteguhan hatinya. Kemudian terlintas dalam benak Nesya untuk bercerita pada Zaky tentang adiknya. “Ky, kamu punya adik?” Tanya Nesya. “Ya punya. Ada apa?” Jawab Zaky. Tanpa basabasi, Nesya langsung memulai bercerita tentang ia dan adiknya. “Jadi, menurut kamu bagaimana? Aku harus bagaimana?” Tanya Nesya penasaran. “Nes, kamu tahu enggak kalau setiap manusia itu terlahir sebagai seorang pemimpin?” tanya Zaky.
“Ya tahu. Aku pernah denger itu dari tayangan pildacil dulu” jawab Nesya sambil cengar-cengir. “Nah, itu kamu tahu” “Oke. Terus hubungannya sama masalah aku?” Tanya Nesya yang jidatnya mulai membentuk kerutan. “Sebelum kamu marah dengan tingkah Rafka yang membuatmu jengkel, sebaiknya kamu memarahi diri kamu sendiri. Apakah kamu sudah berlaku layaknya seorang kakak bagi Rafka?” Penjelasan Zaky yang panjang lebar semakin mempertebal kerutan di jidat Nesya. “Maksudnya begini, semua manusia yang terlahir di muka bumi secara otomatis telah menjadi seorang pemimpin. Bisa pemimpin bagi negerinya, pemimpin bagi keluarganya, dan yang pasti pemimpin bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, minimalnya kamu harus mampu memimpin emosi diri kamu terhadap adikmu yang berlaku menjengkelkan bagimu. Dengan begitu, kamu akan paham bagaimana kamu harus bersikap pada adikmu. Sebagai seorang kakak kita patut menjadi contoh dan teladan yang baik untuk adik kita. Mulailah segala sesuatu hal dengan memahami diri kamu sendiri,
maka kamu akan dapat memahami orang lain dan mulailah kamu memimpin diri kamu sendiri sebelum memimpin orang lain termasuk adik kamu.� Tutur Zaky panjang lebar. Nesya yang mendengarkan hanya manggut-manggut mengiyakan. Kini Ia sadar. Sebagai seorang kakak, Ia gagal untuk menjadi panutan bagi adiknya. “Oya, satu lagi semuanya harus dilakukan dengan hati maka Allah akan bersamamu.� Kata Zaky menutup pidato sorenya. Hati Nesya semakin mantap dan ingin segera sampai ke rumah untuk bertemu adik semata wayangnya itu. Dalam hatinya kini Ia berjanji untuk selalu menjadi pemimpin yan terbaik bagi adiknya dan tidak akan marah saat adiknya bertindak usil lagi. Matahari semakin tenggelam. Warna jingga keemasan yang tadi sempat menggantung di langit, sudah hilang entah kemana. Malam semakin nyata dan temaram. Zaky dan Nesya segera mempercepat langkah agar segera tiba di rumah mereka masing-masing. ***
Yang hilang dalam hujan Oleh: Mendayu Amarta Fitri
(mendayu@ymail.com) Matanya tertuju pada langit di atas sana, mata yang berbinar memancarkan keindahan. Lalu sesekali gadis itu menutup mata nya pertanda bahwa apa yang terjadi disana, membuatnya terkagum dan menikmatinya. Ia berdiri ditengah keramaian. Tak peduli dengan puluhan tatapan mata yang ada di sekitarnya. Mata-mata itu menyelidik. Ada hal yang aneh tentangku dalam pikiran mereka. Gadis itu terus saja berdiri tegak, menengadahkan wajah eloknya ke langit, berputarputar dan sesekali ia berteriak, teriakan yang menggambarkan perasaan entah perasaan apa itu. Perasaan yang tak dapat dirasakan oleh orang normal di sekitarnya. Waktu labih cepat berlalu. Sangat cepat. hingga apa yang ditunggu tetapi sebenarnya tak di harapkan itu tiba. Tepat di hadapannya bus yang setiap hari mengantarkan tubuh basah kuyupnya untuk kembali ke dunia nyata nya. Dan untuk ke sekian kalinya bus itu membawa kesialan baginya,
air yang tergenang menyiprat bajunya ketika bus itu melintas.
dan
membasahi
“Aish‌â€?Mengusap seragamnya yang setengah basah, dan di pastikan bahwa usapan tangannya itu hanyalah perbuatan yang sia-sia karena tetap saja seragam yang ia kenakan telah kotor. Gadis itu pun segera lari menuju bus dan masuk. Selalu seperti itu, tatapan orang di sekitarnya selalu tak terelakkan, baju seragam putih abu yang agak berubah mejadi putih coklat, kaos kaki sebetis yang telah banyak terkena lumpur hasil cipratan air hujan yang bercampur tanah, serta rambut panjang yang terikat dan tidak lagi mencerminkan keelokan dari rambut itu, yang paling kontras adalah wajah putihnya, wajah itu semakin terlihat putih saat keadaan dingin menyelimutinya, bibirnya membiru seakan kehabisan darah dan tentu saja tatapan-tatapan orang asing selalu tertuju pada tubuh itu, mungkin mereka ingin sekali mendekap tubuh itu untuk sedikit saja memberikan rasa hangat atau mungkin saja tatapan itu adalah tatapan orang yang ingin sekali mengusir tubuh yang basah itu agar tidak mengotori bagian dari bus. Jam sudah menunjukan pukul 3 sore tepat, setiap hari itu adalah waktunya dia kembali ke dunia nyatanya dirumah, kehidupan yang tak
pernah memberikan arti padanya, bahkan untuk sekedar tersenyum atau bahkan mengeluarkan satu patah kata dari mulutnya yang mungil itu ia enggan *** Bel pertanda berakhirnya kegiatan di sekolah telah berbunyi, meneriakkan kebahagiaan yang tersirat jelas di wajah hampir semua siswa lewat senyum kemenangan mereka, tetapi tidak begitu halnya dengan Okty. Gadis yang di anugerahi dengan paras wajah yang cantik, hidungnya mancung dengan mata bulat dan bibir merahnya merupakan perpaduan yang cantik, tubuhnya mungil dengan kulit yang putih serta mulus, rambutnya hitam panjang dan selalu terikat ke belakang dengan tambahan poni yang menambah kesan imut padanya sungguh anugerah yang sangat indah. Tapi satu hal yang sangat di sayangkan, gadis itu tidak pernah menerima satu orang pun untuk menjadi temannya bahkan untuk dapat berkenalan sangat susah. Ia melangkah gontai, menapaki ruang kelas yang baginya seakan neraka dan tidak berbeda dengan tempat-tempat lainnya di dunia ini. ia terusuri koridor-koridor sekolah hingga tibalah ia di tepi jalan.
kini
“Bulan ini adalah musim hujan, mungkin saatnya aku mendapatkan kebahagiaan�
gumamnya dalam hati sambil duduk sendiri di sisi sebuah bangku tua yang menjadi tempat untuk orang-orang menunggu bus nya datang. Gadis itu lebih memilih duduk sendiri. Beralaskan tanah yang penuh dengan rumput mungkin itu dirasakannya lebih nyaman. Menatap langit di seling melihat jam yang melekat di tangannya. Ia menunggu sesuatu. Sebuah keajaiban yang berasaldari langit yang mendung. Sebentar lagi, ia akan datang. Dan benarlah, sesuatu yang menurutnya adalah keajaiban itu telah datang, hujan turun tibatiba dengan derasny. Ketika orang lain berlarian mencari tempat yang aman dari hantaman ribuan tetesan air di atasnya, gadis itu malah riang seperti kesetanan ia kemudian berlari ke tengah dimana tidak ada lagi penghalang antara dirinya dan hujan. Ia berdiri tegak, menyunggingkan senyum manisnya. Senyum yang tidak pernah ia perlihatkan kepada siapapun di dunia ini kecuali pada sang hujan. Tangan mungilnya ia tengadahkan ke atas, ia sangat bahagia menyambut datangnya air dari langit itu, langit yang selalu memberinya kebahagiaan. Tatapan aneh dari puluhan mata itu ia dapatkan kembali, teriakan untuk berteduh dan dorongan untuk bertepi dan
menghindar dapatkan.
dari
kerumunan
air
pun
selalu
ia
“Kalian terlalu mencampuri hidupku ! Aku adalah pemilik hujan ini‌!â€? Teriak gadis itu sambil menari-nari ditengah beribu-ribu rintikan air di tubuhnya. Begitu riangnya ia menikmati hujan hingga tak terasa bus yang akan mengantarkan nya kembali ke rumah telah tiba, ia berlari menuju pintu bus itu kemudian masuk. Lagi, tatapan itu menghatamnya. Gadis itu tidak pernah sekalipun menghiraukannnya. Di dalam bus sering sekali ada tempat duduk yang kosong, tetapi gadis itu tidak pernah sekalipun duduk disana. Ia hanya berdiri dekat pintu dengan sebelah tangannya menggantung di pegangan bus untuk menahan beban tubuhnya. Seorang lelaki yang sedang duduk tepat di pojok kanan bus tersebut mengalihkan perhatian gadis itu, sosoknya tidak asing baginya, sangat tidak asing hingga saat matanya menuju lekuk wajah lelaki itu jantungnya terasa berdegup kencang, ia bingung entah apa yang ia rasakan. Bukan bahagia seperti saat ia merasakan hujan, bukan pula kekesalan seperti saat ia menjalani hidupnya di sekoah. Hatinya agak tenang, tak karuan dan kebingunganlah yang menyelimut hatinya saat ini ***
Hari baru tiba, aroma pagi yang menyengat wangi nan berseri ditambah cuaca hari itu yang sangat cerah membuat siapa saja yang bangun tergugah hatinya untuk tersenyum menikmati indahnya alam, namun lagi-lagi keadaan ini berbeda untuk Okty, ia berjalan menggunakan jaket tebal serta masker yang ia kenakan di mulutnya menjelaskan bahwa si pemilik tubuh itu sedang merasakan hal yang tidak enak. “Bruuuuk…” tubuh gadis itu terbentur oleh sesuatu dari arah belakang, Okty hanya pasrah baginya tidak ada gunanya mempermasalahkan hal seperti itu. Tidak ada perlawanan, di benarkan nya seragam yang ia kenakan kemudian ia berjalan kembali tanpa memperdulikan apa yang terjadi barusan. Dan tiba-tiba suara seorang lelaki membuyarkan lamunan nya. “Ma.. Maaf” sambil setengah berteriak lelaki itu memanggil yang si pemilik nama namun Okty tidak menjawab permintaan maaf barusan. “Maafkan aku Okty” kata si lelaki untuk yang kedua kalinya. “hmm..” mendesah
Sambil
menunduk
Okty
hanya
”Hey.. Kau kenapa? Bisakah kau melihat wajah orang yang sedang megajakmu berbicara ini?” “Kau siapa?” “Kau tidak mengenaliku?” “Tidak” “Kita sudah satu kelas selama 2 tahun ini, kau Okty? Okty Rainy gadis pemurung yang selalu sendiri? Gadis cantik yang tidak punya teman? Dan orang bilang gadis gila yang cinta akan hujan” “Oh begitu, andai aku tahu siapa engkau tapi sayangnya tidak” “Hey..” Teriak lelaki itu. berlalu dan tak menghiraukan nya.
Okty
hanya
Begitulah Okty, dia adalah sosok gadis yang tidak suka bersosialisasi, dia benci keramaian, entah sejak kapan ia menjadi sosok gadis seperti itu tak ada satu orang pun yang tahu. Jam menunjukan pukul 3 siang, pertanda waktunya untuk pulang sekolah. Hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini panas matahari tampaknya enggan untuk bersembunyi. Ia
malah ingin menampakan keangkuhan dari sinarnya. Gadis itu tidak suka hari seperti ini, ia lalu memakai payungnya saat berjalan menuju halte bus. Saat yang di tunggu nya tidak muncul, hari ini tidak hujan malah sangat cerah dan panas membuat semua orang yang menunggu bus gerah, dan tidak jarang berteduh untuk sekedar melindungi kulit mereka dari sengatan matahari dan tak terkecuali lelaki itu. Ya, lelaki itu yang membuat hati Okty tak karuan dan sekarang perasaan itu muncul kembali pada diri Okty, ia melihat kembali sosok itu dan tak tahu apa yang mesti dia lakukan dengan hatinya yang tiba-tiba terasa sakit. “Oh tuhan.. Apa ini? Dia siapa?� Gumam Okty dalam hati sambil memperhatikan sosok lelaki itu dibalik payung nya. Namun, sekejap saat Okty menaiki bus yang baru saja datang sosok itu kembali menghilang *** Hari ini Okty sangat bahagia, ya.. Hujan turun di pagi hari tanpa payung ataupun jas hujan Okty berjalan menyusuri menyusuri jalanan kota ia amat menikmati datangnya kiriman hujan dari langit itu. Saat bus yang ia tunggu telah tiba pun ia mengurungkan niatnya untuk naik. Pikirnya “Aku
ingin menikmati kebahagiaan ini sampai selesai” lalu kembali berjalan, dan entah kemana tujuan nya ia hanya terus berjalan menikmati hujan turun. Senyumnya menghias lagi di wajahnya, tubuhnya meloncat-loncat kegirangan, sambil memutar dan hampir setiap mata yang melihat gadis itu menampakan wajah herannya, tapi Okty sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu ia tak menghiraukan tatapan-tatapan aneh tersebut ia hanya terus saja menikmati sang hujan. “Hujan ini milikku….!” Teriak gadis itu “Milikku juga….” Teriak seorang lelaki menimpali, lelaki itu berdiri tegak di belakang tubuh basah Okty dan membawa payung di tangannya. “Kau siapa?” Teriak Okty kepada lelaki itu sambil membalikan badannya, dan betapa terkejutnya dia melihat sosok yang sekarang sedang berdiri di hadapan nya itu, sosok yang selama ini membuat hatinya terasa sakit. Dengan senyuman manis dan sedikit berteriak lelaki itu menjawab “Aku pemilik hujan ini” namun Okty diam, tertegun seakan beku entah karena dingin air hujan yang membuatnya beku atau karena hatinya kini sedang beku. Kemudian dengan tergesa Okty berlari menjauh dari sosok
lelaki itu, menghindar dari perasaan hati yang selama ini menyiksanya ketika ia melihat wajah lelaki itu. Namun usaha Okty untuk menghindar sia-sia tangannya dipegang erat oleh lelaki itu, dengan sekejap kemudian tubuh mereka menyatu dalam hujan, menyatu dalam dekapan kehangatan yang membuat keduanya terdiam; entah apa yang sekarang ada di pikiran Okty, ia hanya pasrah terdiam bahkan mulai merasakan kenyamanan dekapan itu. Cukup lama mereka terdiam dalam keadaan seperti itu menyatu bersama hujan dan dinginnya air yang mengguyur keduanya hingga tiba-tiba Okty tersadar dan melepaskan dekapan itu mereka masih membisu. “Reyhan..� terucap satu nama dari mulut Okty, namun pemilik nama itu sudah menghilang. Okty hanya termenung, terduduk di aspal itu sendiri *** “Aku lelaaaaah� Okty berteriak sekencangnya di antara padang rerumputan yang di pastikan bahwa padang tersebut jarang sekali terjamah manusia. “Setiap hari aku seperti ini, menunggu hujan menanti datangnya keajaiban yang dapat membawa sosok dirimu ke hadapanku.. Walaupun
aku tahu itu semua hanya akan terjadi di alam mimpiku. Aku lelah !! Dimanakah engkau?” “Aku disini” ucap sesosok lelaki itu, lelaki yang selama ini selalu Okty tunggu dan sekarang ia berada tepat di samping tubuhnya. Dengan segera Okty mencoba memeluk tubuh itu, mencoba merasakan hal selama ini biasanya hanya terjadi di alam mimpinya. Namun sayang usaha itu tidak berhasil. “Maafkan aku, kau tidak menyentuh tubuh ini” ucap lelaki itu
akan
bisa
“Kenapa?” Parau ucap Okty “Sekarang tidak ada hujan, aku adalah bagian dari hujan, aku ini hanya bayangan maafkan aku” “Apa yang kau katakan?” “Cobalah lupakan aku, hadirku hanya akan membuat harimu sedih. Lupakanlah masa lalu mu itu” “Kau pergi setelah memberikan luka padaku, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Lihatlah sekarang aku hidup bersama dengan air mata ini”
“Cukup Okty.. Ikutlah” ucap lelaki itu sambil berlalu menjauh dari tubuh gadis itu dan berjalan semakin menjauh. Okty pun mengikuti sosok itu dengan langkah gontai nya, dan tibalah mereka berdua di suatu tempat yang indah. “Inilah duniaku” ucap lelaki itu kemudian pergi berlalu meninggalkan Okty semakin jauh dan menghilang. Okty semakin bingung, ia mendapatkan secarik kertas yang tergeletak di tanah kemudian membacanya “Ini aku yang sedang menunggu.. Tidak, tidak apa-apa. Maafkan aku karena perlahan mendorongmu menjauh. Aku tidak cukup kuat sehingga aku tidak bisa membiarkanmu pergi, aku tahu itu keserakahan ku yang bodoh. Tapi aku menghapus air mataku dan menelan perkataanku, aku tak bisa melihat diriku lagi. Sebaiknya kau pergi meninggalkanku.. Aku sendirian, apa yang harus aku lakukan? Di antara kita berdua, akulah satu-satunya orang yang tidak bisa hidup tanpamu.. Oktyrainy” Secarik kertas itu menjelaskan semuanya, menjelaskan bahwa Reyhan yang sekarang adalah bayangan. Bayangan dari masa lalu yang sangat sulit untuk gadis itu lupakan. Gadis itu termenung, membaca apa yang tertulis di sebuah batu itu
adalah nama kekasihnya dulu Reyhan Aditya. Dengan berlinang air mata Okty terduduk dan memeluk batu itu dengan perasaan hati yang tak bisa di gambarkan lewat kata “Meskipun kita jauh satu sama lain, kita masih menatap langit yang sama. Dan suatu hari nanti kita akan bersama-sama di suatu tempat�
Si Jenius Kerja Keras Oleh: Asep Syahbudi
(muhamadzainal66@yahoo.com) Kemalasan adalah temanku saat ini. Sepertinya aku harus segera menjauh darinya. Gara-gara dia, IP ku saat ini sangat kecil. Tapi bagaimana caranya? Entahlah. Sebaiknya aku berangkat kuliah lebih pagi. Barangkali mungkin saja bertemu dengan hidayah. Belum ada yang hadir selain Ibro dikampus. Julukannya “Si jenius kerja keras�. Tak pernah kulihat dia datang terlambat. Sulit mendahuluinya tiba di kampus. Membuka kantin kejujuranlah rutinitasnya. Gorengan, martabak, dan produk makanan lainnya dia gelar. Jika laku dia dapat uang. Jika ada yang tidak bayar berarti dia bersedekah. Jika bersisa dia bisa kenyang. Dan yang paling menguntungkan kuliah tidak terganggu karena tidak perlu berjaga. Menarik, aku pun mencoba menirunya dengan berjualan donat. Kuliahnya tidak terganggu terbukti dengan prestasi akademiknya yang sangat baik. IP yang bagus,
ya diatas rata-rata kelas. Menurutku, belajar dengannya lebih menyenangkan dibandingkan dengan dosen. Yang membuatku selalu kagum kepadanya adalah
sikapnya
yang
bersungguh-sungguh
dalam
mencapai tujuan. Kerja kerasnya dapat kulihat dalam kegiatannya sehari-hari. Mungkin bukan aku saja yang merasakan hal tersebut. Ibro
menghampiriku
dan
berkata
“Assalamualaikum. Bud. Tolong download-kan ceramah Aa Gym dong. Sekalian kamu sedang internetankan?” Tangan kasar pun mengahampiri. “Walaikumsalam. kebetulan saya sudah ada. Dapat meng-copy dari teman.” Ibro pun memberikan flashdisk-nya. “Rajin amat si Bro, kajian di DT masih kurang?” tanyaku penasaran. “Iya Bud, aku merasa sangat kurang, semakin sering megikuti kajian semakin merasa bahwa aku ini sangat bodoh. Aku ingin cepat-cepat lebih mengerti Islam.” Jawab Ibro dengan tenang. Aku bertanya kembali. “Kenapa terburu-buru Bro? Waktu kita kan masih panjang.” Sambil tersenyum Ibro pun memberi pertanyaan kepadaku. “Bud, apa
Kamu tahu berapa lama bus berhenti sementara saat di halte?” ”Entahlah. Barangkali tergantung kebutuhan penumpang.” Jawabku singkat. “Itulah perbandingan dunia dan akherat. Maka dari itu aku harus bersungguhsungguh memanfaatkan waktuku yang sangat singkat ini.” . Mungkin ini adalah alasan Ibro terus bekerja keras. Sering aku menyesal kenapa waktu SD selalu bolos pergi ke madrasah. Wah, tidak salah aku berangkat pagi. Mulai detik ini aku harus lebih baik dari sebelumnya, aku tak mau ketika dewasa menyesal seperti ini. Aku jadi ingat pepatah Arab “Man jaddda wa jadda” Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan tercapai.
Pertemuan Sesaat oleh Elsa Nur Vriatnika (melodyampu@gmail.com)
Waktu beranjak gelap. Aku membawa diriku yang setengah lelah melangkah menyusuri bumi yang beku dan sunyi. Aku melangkah lagi. Terus melangkah. Bersama segenap harapan yang selalu kugenggam, sama seperti di harihari sebelumnya. Tujuanku adalah ke sebuah tempat yang sunyi dan tenang, di mana aku bisa bertemu seseorang yang belakangan
ini
telah
menjadi
teman
dekatku—teman
curhatku. Pertemuan pertama kami berlangsung ketika aku sedang berurai air mata lantaran pertengkaran kedua orangtuaku. Tanpa mempertanyakan sebab, dia muncul. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia meminjamkan sapu tangan untukku. Menungguiku menangis, sampai air mataku benar-benar berhenti. Entah kenapa, sejak itu, rasanya selalu ada alasan bagiku untuk menemuinya. Selalu ada alasan bagi pertemuan kecil kami. Tanpa kehadiran orang lain selain kami. Di tempat yang sama, dan di waktu yang sama.
*** Di sebuah taman kecil samping Rumah Sakit Cigugur, pukul tujuh malam. “Kak Dika!” panggilku dengan nada kekanakan. Aku tersenyum ketika pemuda setinggi seratus tujuh puluh tiga sentimeter dan berambut cokelat tua itu menoleh ke arahku.Seorang pemuda yang tampan. Dengan kulit putih dan wajah khas orang Asia dan permata biru yang mengisi rongga matanya. Tampak bukan seperti warga asli negara Indonesia, kan? Dia selalu di sana, memakai celana panjang putih strip biru tua berbahan katun dengan jaket coklat yang tampak hangat. “Kakak menungguku ya?” tanyaku antusias. “Aku memang selalu ada di sini,” jawabnya datar. “Eh, i-iya juga sih.” Aku tertawa sambil menggarukgaruk kepala saking malunya. Tapi sayang sekali, keceriaanku itu tak mengundang tawa dari pemuda berpenampilan Asia itu. Dia malah kembali memutar kepala dan mengabaikan keberadaan diriku. “Hei, Kak! Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Hmmm.” “Kenapa kakak suka menatap langit di tempat ini?” “Lebih luas.” “Eh?” “Langit tampak lebih luas dari sini.” “Ohh, begitu ya.” Aku mengangguk-angguk. “Lalu kenapa kakak kemari hanya di malam hari?” “Aku benci keramaian.” Sebuah jawaban singkat yang terdengar aneh namun mampu mengunci semua suara. Sekian detik berlalu dalam keheningan. Kami berdua menatap langit. Di tempat berwarna hitam yang jauhnya bermilyar-milyar kilo dari bumi itu. Ratusan bintang berlomba untuk memancarkan sinar paling terang. Sementara bulan sabit menggantung di antara mereka. Langit malam ini tidak berubah dari hari-hari sebelumnya. “Bagaimana
latihanmu?”
tanya
Dika
yang
memecahkan keheningan. “Wah, tumben sekali kakak bertanya padaku!” aku kaget.
“Jawab saja!” “Latihankuu...” aku menghirup oksigen seperti orang gugup saja. “Tebak! Tadi saat latihan aku terpilih untuk memerankan Bawang Putih lhoo!” Seperti biasa, pemuda bermata safir itu tidak tersenyum, tertawa atau memberikan tepukan selamat untukku. Wajahnya selalu sepi tanpa ekspresi. Benar-benar pemuda misterius. “Syukurlah kalau begitu,” ujarnya datar. Apaan itu? Ekspresi yang mengesalkan. “Kakak gak suka ya?” tanyaku cemberut. “Tidak kok, aku suka. Selamat ya!” katanya dengan intonasi yang tetap datar. Aku hanya tersenyum melihat tingkah cool-nya yang menggemaskan. Berteman dengannya benar-benar tidak buruk. *** Bawang Putih. Dongeng seorang gadis cantik yang hidup bersama ibu tiri dan kakak tirinya. Ia yang seharusnya
menjadi tuan rumah malah diperlakukan menjadi pembantu. Dan aku mendapatkan peran itu. Sebuah posisi yang diincar oleh teman-temanku. Memerankan Cinderella yang terluka, berarti aku harus menghayatinya. Menjadi seorang gadis yang tidak meraih kebebasan. Pelatihku terus mengomel memberi saran dan kritik. Namun aku tidak mendapatkan keanggunan yang ia tuntut. Berkali-kali kucoba, aktingku tetap hampa. “Aku menginginkan pergolakan batin dalam diri si tokoh. Bukan kebingungan. Kau harus dewasa! Kedewasaan yang kau tunjukkan akan membuat peran ini sempurna. Rasakanlah hal itu baik-baik! Pertunjukkan ini bergantung padamu!� kata pelatihku. “Terima kasih atas nasihatnya, kak Mira. Aku pulang dulu.� *** Di tempat yang sama, di waktu yang sama, di hadapan orang yang sama, aku tidak bisa menahan kesedihan yang aku pendam.
“Aku
tidak
bisa,
kak!
Aku
sudah
berusaha
semampuku, ta-tapi aku tetap tidak bisa mencapai kedewasaan yang dimaksud kak Mira, hiks...” Suasana hening. Hanya isak kecil yang terdengar. “Aku takut peranku tidak akan sempurna. Aku takut pelatihku kecewa. Apa yang harus aku lakukan?” Angin malam berhembus perlahan dan menggoyangkan rumput di permukaan tanah. Tiba-tiba, “Kau terlalu mengejar kesempurnaan,” kata kak Dika yang berhasil menghentikan isakan tangisku. Sepasang mata hitamku yang memerah menatap tak mengerti pada permata safir yang menyorot datar. “Aapa maksud kakak?” “Jadilah dirimu sendiri! Dewasa adalah mampu melepaskan diri dari beban yang menimpamu.” Angin malam berhembus samar. Menyibak rambut hitam dan coklat bersamaan. “Jangan termasuk bebanmu.”
menukar
kesempurnaan.
kebebasan
dengan
Itu
akan
hanya
apapaun, menambah
Aku terperangah mendengar jawabannya. Tak pernah kupikir bahwa kalimat bernada monoton yang diucapkan pemuda tanpa ekspresi itu mampu memberikan jawaban atas keputusasaanku. “Dik,” panggilnya kali ini dengan nada lembut. Kepalaku
yang
tertunduk
kembali
terangkat.
Sepasang mata kami saling bertatapan. “Lain kali jangan panggil aku dengan sebutan ‘kakak’!” “Eh, ke-kenapa?” “Panggil aku ‘Dika’ saja! Kamu mengerti?” Aku mengangguk pelan sambil memancarkan wajah penuh kepolosan, namun diam-diam ada gejolak perasaan yang aneh di dalam diriku. Pertama kalinya, aku melihat tatapan pemuda itu menyorotkan sebersit kelembutan. *** Keesokan harinya adalah tanggal main pentasku. Awalnya aku gugup. Namun karena kalimat yang dilontarkan kak Dika kemarin, aku menjadi siap. Aku telah bangkit di
tengah persiapan pertunjukan. Setelah pertunjukkan selesai, penonton memberikan tepuk tangan meriah. “Selamat!
Kamu
berhasil!
Peranmu
tadi
itu
sempurna!” puji kak Mira. Aku tersenyum gembira. Tak kusangka, aku mampu. Tiba-tiba ada satu hal yang terlintas di benakku. Aku ingin menemui seseorang. Seseorang yang telah membantuku disaat kritis. Tak pernah sebelumnya aku merasakan keinginan untuk bertemu seseorang dengan begitu kuatnya. Aku ingin berterima kasih. *** Di tempat yang sama dan di waktu yang sama. Aku kaget karena orang yang sama tidak kutemukan di sana. Kemana dia? Tiba-tiba,
seorang
pemuda
berwajah
Asia
mendatangiku. “Kau Hana kan?” tanya pemuda bermata hazel itu. “Y-ya,” jawabku ragu. “Anda siapa?”
“Perkenalkan, namaku Junno. Aku dokter pribadi yang menangani Dika Ardiana.” “Dokter pribadi?” tersentakku. “Eh, kau tidak tahu kalau Dika dirawat di Rumah Sakit?” dokter bernama Junno itu kaget. “Memangnya Kak Dika sakit apa?” “Penyakitnya aneh dan langka. Kulitnya akan bereaksi terbakar bila terkena sinar matahari. Jadi ia hanya bisa keluar malam hari saja.” “Eh, benarkah?” “Ya. Dan, kau tahu? Semenjak dia mengenalmu, dia jadi berubah. Dia jadi sering bicara dan tidak bersikap cuek terhadapku. Walaupun beberapa perkataannya masih tajam. Dan yang membuatku senang, kehadiranmu membangkitkan semangatnya untuk sembuh.” “Oh, syukurlah.” “Tapi...” tiba-tiba raut wajah dokter itu menjadi murung. “Kau tidak akan bertemu dengannya lagi.”
“Kenapa?” tanyaku heran. Tentu saja muncul perasaan tidak enak dalam hatiku ini. Dokter itu menatap dengan tatapan sendu. Seolah berat untuk mengatakan sesuatu. “Sebab, tadi sore... Dika telah meninggal dunia.” Aku terbelalak kaget. Terasa sesuatu dari dalam diriku bergejolak, meledak, dan mengamuk. Air mataku kini keluar lagi. Aku terisak. Tangisanku pun tumpah. *** Sore hari, Aku dan dokter Junno mengunjungi pemakaman umum. Kami berdiri di depan makam yang masih baru bertuliskan ‘Dika Ardiana’. Kami mendoakan semoga arwah Dika diterima di sisi Allah Swt. Sesak di hatiku masih membekas. Sebutir bulir bening kembali menetes. “Jangan salah sangka! Air mata ini bukan karena aku menyesali kepergianmu. Melainkan bukti bahwa aku sangat bahagia karena bisa mengenalmu. Aku memang sangat sedih kalau pertemuan kita sangat singkat. Namun lebih dari itu, aku bersyukur telah dipertemukan denganmu. Sekarang kakak
telah mendapatkan kebebasan di sana. Tak perlu lagi terkurung di dalam kamar di siang hari dan keluar di malam hari. Kuharap, suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi.� Aku menoleh ke arah dokter Junno yang masih tampak muda itu. “Dokter, bolehkah dokter menceritakan segalanya tentang kak Dika?� pintaku dengan lemah lembut.
Sebuah Perjalanan oleh Nenden Maesaroh
Setiap kali membuka mata di pagi hari ingin sekali rasanya setiap hari ku temui hal yg sama, dinding kamar bercat biru dengan tempelan kertas lipat yg berwarna-warni memenuhi setiap sisi ruangan. Beberapa tempelan gambar anime yg sempat menjadi favoritku dulu. Kulihat kedamaian dari sisi dinding dgn tmpelan gambar tokoh inuyasha dan kagome yg tengah duduk berdua di atas dahan pohon bunga sakura yg disibak angin hingga berguguran bunga cantik itu. Aku berhenti menatap ruangan yg selama 18 tahun ku tempati. Tempatku melepas lelah, tangisan , dan luapan bahagia. Ruangan kecil yang ku sebut 'privat blue' ini tau lebih banyak hal tentangku, melihat lebih banyak hal tentangku daripada mereka di luar sana. Mendengar
lebih
banyak
cerita
tentangku
yang
kusampaikan lewat nyanyian atau tangisan. Kulirik satu
sisi dinding ruangan yang dulu sengaja kubuatkan alas untukku bisa menulis. Di dinding itu kini dapat kulihat tulisan-tulisanku dulu. Ada deretan nama sahabat-sahabat,
kata-kata
motivasi yangg kuharap dapat kuserap energinya setiap kali aku melihatnya. Ada beberapa tanggal penting yang kutulis dengan sedikit clue peristiwa penting yang terjadi, dan yang paling akan ku kenang adalah deretan kegiatan tes yang pernah ku ikuti demi terwujudnya mimpi yg terlanjur ku rajut saat itu. Ya, kuliah. Ketika aku kembali melihat deretan tes itu aku tersenyum. Aku berkata pada diriku sendiri, “Lihatlah betapa dulu perjuangan kita tidak sia-sia. Tes-tes itu mungkin gagal membawa kita pada UNPAD ataupun UNSOED. Tapi, deretan tes yg gagal itu berhasil mengantarkan kita pada jalur bernama SBMPTN, yg kini menempatkan kita di Bumi Siliwangi.