268

Page 1

MENTAWAINEWS

MANTAN KETUA KPU MENTAWAI GUGAT KPU SUMBAR DAN TIMSEL MENTAWAINEWS

5

9

SEKOLAH HUTAN JADI SEKOLAH UMA PENDIDIKAN

Tabloid Alternatif Dwimingguan

Puailiggoubat Untuk Kebangkitan Masyarakat Mentawai

20 15

No . - 3 Tah 26 1 un 8 Ju X Li I 20 1

3

HARGA ECERAN RP 3000

ANGGARAN TAK CUKUP VOLUME PEKERJAAN DIKURANGI


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Uggla Sakalaggaijat ratiddou kai Bupati Kabupaten Mentawai Yudas Sabaggalet bulek tak ituppai izin pumonean kelapa sawit—3 Pasigalaiyat talud bulek tak ipuwipuw buggei ka Mapaddegat tak isese kabagatda sai DPRD Mentawai - 5 Sirimanua siorak tsunami sibara piga pak desa rakua pemerintah tak rapasikeli sia. Anai katalagadda masikua isaba leleu keraet sikudduji kineneiget - 8 Mantan Ketua KPU Mentawai, Bastian samba epat sirimanua bagei sitaimalulus kateteret aragaba sipugagalai ka KPU Mentawai masipakaro akek KPU Sumbar samba Tim Seleksi - 9 Inflasi ka Padang iaili 7,1 persen, inflasi nene’ kalulut tusasakai nia sakit galajet - 15 Lima ngarura ragaba enungan bulek rapasikeli sia sai pemerintah, ka rura nene’ Sekolah Hutan Magosi samba Tinambu atuguruat sia ka bagat rubeiat sikolah negeri samba arasiliat oninia ibailiu Sekolah Uma - 18 COVER DEPAN: 1 FOTO: PATRIS 1 DESAIN: SYAFRIL TABLOID ALTERNATIF DWIMINGGUAN

Puailiggoubat Terbit setiap tanggal 1 dan 15

ISSN: 1412-9140 PENERBIT: Yayasan Citra Mandiri PEMIMPIN UMUM: Roberta Sarogdok PEMIMPIN USAHA: Pinda Tangkas Simanjuntak PEMIMPIN REDAKSI: Yuafriza DEWAN REDAKSI: Roberta Sarogdog Rus Akbar Saleleubaja REDAKTUR: Rus Akbar Syafril Adriansyah Gerson Merari Saleleubaja WARTAWAN DAERAH: Bambang Sagurung (Sikabaluan) Rapot Pardomuan (Sipora) Irman Jhon (Tuapeijat) Rinto Robertus (Saibi) Ferdinan Salamanang (Sikakap) Horas Marohatta Tasilipet (Sikakap) Patrisius Sanene’ (Padang) Daud Siribere (Siberut Barat) Legend Satoinong (Siberut Selatan) Dominikus Sabulat (Siberut Barat Daya) DISTRIBUTOR DAERAH: Arsenius Samaloisa (Sioban) Vincensius Ndraha (Siberut Selatan) Bambang (Siberut Utara) Juanda (Siberut Barat) ALAMAT REDAKSI DAN USAHA: Jl. Kampung Nias 1 No. 21, Padang. Telp (0751) 7877373 - Fax. (0751) 35528 REKENING: Bank Nagari Cabang Pembantu Niaga, Padang No.2105.0210.0207-1 PENCETAK: Padang Graindo, Padang (Isi di luar Tanggung Jawab Percetakan) Wartawan Puailiggoubat selalu dilengkapi Kartu Pers dan (sesuai Kode Etik Jurnalistik) tidak dibenarkan menerima suap (‘amplop’) dari narasumber.

www.puailiggoubat.com

Dari Redaksi

J

2

Puasa, Tahun Ajaran dan BLSM

uli ini menjadi saat-saat yang memberatkan bagi kita sebagian besar masyarakat di Indonesia tak terkecuali Mentawai. Kenaikan harga BBM yang diumumkan pemerintah bertepatan dengan tahun ajaran baru dan masuknya bulan puasa. Seperti lazimnya tahun lalu, saat puasa harga kebutuhan bahan makanan mulai merangkak naik. Imbasnya bagi masyarakat di Mentawai, kenaikan harga lebih tinggi dibanding di Padang. Pemberian

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) tidak tidak akan cukup menutupi tingginya harga. Dalam kondisi seperti ini, kita tentu harus pintar bersiasat untuk mencukupi kebutuhan keluarga agar bisa bertahan dalam saat-saat sulit ini. Selamat Berpuasa. Redaksi


3

Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

Warga meminta Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet tidak memperpanjang izin perkebunan kelapa sawit lagi. Patrisius Sanene Chris Nataliyus Tarihoran

enjelang berakhirnya izin lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit PT Swasti Siddhi Amagra (SSA) di Mentawai, 30 Juli 2013, warga Pagai Selatan dan Sikakap meminta Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet tidak memperpanjang izin lokasi. Mereka sepakat menyatakan sikap menolak rencana masuknya perkebunan sawit itu khawatir hilangnya hak atas tanah dengan sistem pelepasan Hak Guna Usaha (HGU) yang akan diberlakukan oleh pihak perusahaan. Meski awalnya warga di beberapa dusun sempat menerima rencana perkebunan sawit namun setelah mengetahui sistim kepemilikan lahan yang berubah menjadi HGU setelah dikuasai perusahaan, mereka ramai-ramai menolak. Dua kecamatan tersebut termasuk dalam 20.000 hektar lahan yang akan dijadikan perkebunan sawit oleh PT SSA. Di Pagai Selatan, alokasi lahan ada di lima desa, Sedang di Sikakap, alokasi lahan ada di tiga desa. Selain itu, juga terdapat alokasi lahan di dua desa Pagai Utara. Untuk mengetahui aspirasi masyarakat terkait rencana pembukaan perkebunan sawit di Mentawai, tim advokasi dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai, GKPM, Paroki Sikakap, dan Koalisi Masyarakat Cinta Mentawai, mengunjungi sebagian besar dusun-dusun yang masuk dalam alokasi izin PT. SSA, 4-8 Juli lalu. Dalam kunjungan dan diskusi dengan masyarakat, mayoritas mereka tak ingin lagi perusahaan sawit masuk lantaran mereka telah dibohongi dengan iming-iming menjadi pekerja, mendapatkan jaminan ekonomi serta hidup sejahtera. Masyarakat juga menilai perusahaan sawit tidak terbuka dengan sistem pelepasan tanah dengan HGU oleh perusahaan dimana sistem HGU, hak atas tanah masyarakat tak akan kembali lagi. Beberapa dusun yang dikunjungi tim advokasi ini yakni, warga di Dusun KM 37 Desa Malakopa, Dusun Asahan Desa Bulasat, Dusun Maurau Desa Malakopa, Dusun Purourogat Desa Bulasat, Dusun Bake Desa Bulasat, Dusun Bulasat Desa Bulasat, Dusun Kinumbuk Desa Bulasat, Dusun Tapak Desa Bulasat, Dusun Laggigi Desa

M

DISKUSI - Suasana diskusi tentang penolakan perkebunan sawit di Dusun Purourogat, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Utara

RAMAI-RAMAI TOLAK SAWIT Bulasat, Dusun Aban Baga Desa Sinaka, Dusun Bubuget Desa Sinaka, Dusun Matobat (Bungorayo) Desa Sinaka. Pertemuan pertama diselenggarakan di KM 37, Pastor Pei Hurint mewakili Gereja Katolik Paroki Sikakap mengawali diskusi dengan banyak menjelaskan niat Gereja Katolik menolak sawit karena Mentawai secara geografis dan sosial tidak cocok ditanami sawit di Mentawai, Marsono Sababalat dari GKPM Mentawai juga menyatakan alasan GKPM menolak sawit. Hampir serupa dengan Pastor Pei Hurint, menurutnya untuk menjadi sarjana itu tidak harus menjual tanah, masih banyak solusi lain. Sementara Pinda Simanjuntak dari YCMM memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang prosedur penyerahan lahan dalam UU Perkebunan. “ Kita tidak benci dengan sawitnya tapi kita tidak menerima sistem penyerahan lahan HGU, dan kita tidak mengajak membenci sawit tapi kita membantu memberikan pemahaman tentang tanah karena jika dengan HGU penyerahan lahan tanah masyarakat yang diserahkan kepada pihak perusahaan itu tidak akan kembali,” kata Pinda. Diskusi tersebut disambut antusias warga, sekitar 100 orang hadir. Dalam diskusi terungkap sikap masyarakat terhadap rencana perkebunan sawit di Mentawai. Salah satu diantaranya Kepala Dusun KM 37, Djanas Samopo. Ia mengaku telah ditemui perwakilan perusahaan sawit dan diminta menyerahkan lahan dengan diimingi

hidup sejahtera. “Waktu itu saya didatangi oleh pihak perusahaan sawit, dia meminta saya menyerahkan lahan kepada pihak perusahaan sawit, dia mengatakan dengan sawit ini saya tidak perlu capekcapek kerja dan cukup hanya duduk di rumah saya dapat uang serta dapat menyekolahkan anak hingga sarjana, terus saya respon dengan mengatakan tidak mengerti namun mereka terus dekati saya, dan saya katakan saya tidak mengerti dengan sawit,” katanya lagi Meskipun sempat menandatangi surat kesepakatan akan menyerahkan lahan, Djanas bersama warganya tidak lagi melanjutkan rencana penyerahan lahan, “Tapi dengan keberadaan YCMM, KMCM, GKPM, dan Gereja Katolik Paroki Sikakap, saya mulai mengerti bahwa sawit tidak menguntungkan dan malah menghancurkan masyarakat dan saya menegaskan saya menolak sawit, lebih baik saya menanam pisang, coklat, nilam,” tambahnya dalam pertemuan bersama tiga dusun lain di Gereja Katolik Purourogat, 4 Juli lalu. Roberlin Saogo, Kepala Dusun Asahan menceritakan, pernah menjadi penengah dan sempat 7 warganya menyerahkan lahan dan tanah ke perusahaan sawit. Tanah yang diserahkan lokasinya masih bersebelahan dengan tanah suku lain. Saat itu sejumlah warga meminta Roberlin menandatangani beberapa lembar kertas yang isinya ternyata surat penyerahan lahan. “Saya tidak baca dan

saya lalu menandatangani, setelah saya keluar dari kantor, ada dua pihak yang pro dan kontra, dan saya baru sadar ternyata itu tanah untuk investor sawit,” jelasnya. Roberlin juga mengaku pernah dijemput untuk meninjau pemukiman lama terkait perbatasan tanah untuk investor sawit, saat itu ia diberi Rp100 ribu per hari. “Sebenarnya kami tidak mengerti tentang masalah sawit tapi mau bagaimana lagi, kami disini terpukul masalah ekonomi,” kata Roberlin yang sebagian besar masyarakatnya merupakan korban tsunami 2010. Dalam pertemuan tersebut Roberlin bersama masyarakatnya tegas berkomitmen menolak perkebunan sawit, “Saya beserta masyarakat memutus hubungan dengan dengan para pihak investor kelapa sawit,dan saya katakan lagi hidup sejahtera tanpa sawit,” tegasnya. Sementara itu, Emilius Sababalat, Kepala Dusun Purourogat tegas mengatakan bersama masyarakatnya pada pertemuan tim itu tidak menerima perkebunan sawit. “Memang dulu kami sering berdiskusi sama para investor sawit dan kami ingin menyerahkan tanah kami untuk para investor sawit, tapi kami malah dibohongi oleh para investor sawit dan sampai sekarang mereka tak pernah datang lagi, pesan saya kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk tidak memperpanjang izin perkebunan kelapa sawit lagi,” katanya. Sementara Dirman Saogo,warga Dusun Purourogat, mengatakan dirinya

pernah mengikuti pengukuran tanah bersama dengan pihak perusahaan sawit dan mengaku dibiayai selama seminggu, “Saya juga pernah ikut mengukur tanah dan saya meminta kepada mereka jika menyerahkan lahan sistemnya harus jual beli tanah namun pihak perusahaan tidak menerima, akhirnya mereka tidak lanjutkan lagi,” katanya. Lain hal cerita Zelpianus Saogo, warga Purourogat tentang gelagat pendekatan pihak perusahaan perkebunan sawit yang menjanjikan pembangunan jalan, dan fasilitas-fasilitas umum. Terkait penyerahan lahan dengan pihak perusahaan sawit karena tanah miliknya masih milik keluarganya yang lain. Pada pengambilan keputusan di empat dusun tersebut menyepakati untuk menolak perkebunan sawit dan tidak akan membiarkan perusahaan sawit masuk di masing-masing dusunnya. Penolakan yang sama juga disampaikan warga di tiga dusun di Desa Sinaka kepada tim advokasi saat melakukan kunjungan 5 Juli lalu. Ketiga dusun itu Aban Baga, Bubuget dan Matobat (Bungorayo). Hal sama juga disampaikan warga lima dusun di Desa Bulasat yakni Bake, Tapak Jaya, Laggigi, Kinumbuk dan Bulasat. Salah seorang anggota BPD Desa Bulasat, Ramansya Sapatadekkat menyatakan, warga Bulasat meyakinkan

ke halaman 4


SAJIANUTAMA Patrisius Sanene Chris Nataliyus Tarihoran

I

stilah HGU atau Hak Guna Usaha tiba-tiba populer bagi sebagian besar masyarakat di

Pagai Selatan, Kabupaten Mentawai. Betapa tidak, sejak izin prinsip perkebunan sawit untuk sejumlah perusahaan ditandatangani Edison Saleleubaja Bupati Mentawai kala itu, pada 2010, masyarakat dibombardir kaki tangan investor untuk mau menye-rahkan lahan ke perusahaan dengan bujuk rayu koperasi, pembangunan fasilitas umum bahkan uang. Sejumlah masyarakat di beberapa dusun sempat menyatakan kesediaan masuknya perusahaan sawit bahkan sebelumnya masyarakat sangat mendukung kedatangan investor sawit hingga akan mendirikan koperasi di dusun tersebut. “Memang benar kami dulu sangat mendukung seratus persen rencana perkebunan kelapa sawit dan kami pernah diundang pihak perusahan ke Padang untuk membuat surat izin koperasi ternyata sampai sekarang surat itu belum keluar dan pengurus koperasi sudah kami bentuk dengan nama koperasi ‘Pakerekat Baga’,” kata Kepala Dusun Bubuget Islau Saogo dalam pertemuan tim di Bubuget, Jumat 5 Juli. Kepala Dusun Matobat (Bungorayo) Tarsan Saleleubaja juga mengakui sebelumnya mendukung rencana perkebunan sawit bahkan menjadi tim untuk melakukan survei lokasi. Tarsan menceritakan selama mengikuti kegiatan bersama pihak perusahaan sawit ada beberapa lembaran penyerahan lahan yang diberikan untuk ditanda tangani, “Waktu itu pihak perusahaan memberikan selembaran untuk saya tandatangani dengan luasan lahan yang belum tertulis alias masih kosong,” kata Tarsan. Namun kini keadaan berbalik. Warga Bubuget berbalik menolak karena merasa dikecewakan dan tidak bisa menjalin kerja sama dengan pihak perusahaan. “Kenapa sekarang kami menolak sawit dimana dulu kami sangat mendukung karena pada Desember 2012 kami membuat proposal ke kantor investor sawit untuk acara Natal, tapi mereka tidak merespon permohonan kami dan

Puailiggoubat

Ketika Masyarakat Menolak HGU FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

TOLAK SAWIT - Kepala Dusun Laggigi, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Leptor Samaloisa menyatakan warga dusunnya sepakat menolak perusahaan sawit setelah mengetahui status lahan masyarakat berubah menjadi HGU sepersen pun mereka tidak memberi dana yang kami minta dalam proposal kami, dari situlah kami kecewa, lalu disaat kita mengajak mereka untuk bernegosiasi tapi mereka tak pernah datang dan tidak mau hadir, sekarang bukan kami lagi yang menolak sawit tapi perusahaan lagi yang menolak kami,” kata Islau. Martinus Saogo, tokoh masyarakat sekaligus panenei (penatua/pengurus gereja) di Bubuget mempertegas memutuskan hubungan kerja sama dengan pihak perusahaan sawit. “Kami sudah sepakat untuk tidak menjalin hubungan dengan investor sawit, kami sudah putuskan bersama masyarakat dan dusun untuk putus hubungan dengan para investor sawit, disitu jugalah kami mengerti kehadiran mereka bukan meningkatkan ekonomi masyarakat tapi malah ada maksud merampas tanah

kami,” kata Martinus. Ditambahkan Islau, warganya kini sudah mulai bercocok tanam nilam, pala, dan kakao dan tak lagi berharap dengan perkebunan kelapa sawit. Sudarmi Saogo, warga Bubuget menyatakan sepakat atas keputusan kepala dusun untuk menolak rencana perkebunan sawit. “Saya sangat mendukung kepala dusun mengambil kebijakan untuk melakukan penolakan sawit dan ini merupakan jalan yang tepat kita menjaga tanah ulayat kita,” katanya dalam pertemuan dengan YCMM, GKPM, Paroki Sikakap, dan KMCM. Tarsan juga kini gigih menolak perkebunan sawit karena perubahan status lahan menjadi HGU saat dikuasai perusahaan. “Kami tidak menolak sawit namun yang tidak kami suka itu sistem HGU-nya dan kami jelas tidak mau serahkan lahan yang kemudian menjadi

milik negara,” kata Tarsan ketika di temui di rumahnya. Sementara Kepala Dusun Aban Baga Darmantius Saogo yang sekaligus korwil Komunitas Masyarakat Cinta Mentawai (KMCM) Pagai Selatan mengatakan, warga dusunnya kini semakin bulat menolak sawit. “Dengan adanya YCMM juga dan pembentukan KMCM kita diberi pemahaman ternyata jika sistem HGU yang diberlakukan akan mengancam kehilangan hak atas tanah dan kami tegas-tegasnya dari dulu menolak perkebuanan sawit di daerah Aban Baga,” katanya. Berbagai janji dilontarkan utusan perusahaan kepada masyarakat. Kepala Dusun Bake, Sarmen Taileleu menceritakan kedatangan para utusan perusahaan sawit datang tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan warga.

berkebun tanaman yang biasa mereka tanam. Rano Karno, Ketua BPB Desa Matobe’ Kecamatan Sikakap mengatakan, tidak mengetahui informasi rencana perkebunan kelapa sawit di Matobe’. Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Matobe, Ijon Nasida, mengatakan ada sebagian suku yang sudah menyerahkan lahannya kepada pihak perusahaan sawit. Wakil Ketua BPD Desa Matobe, Heronimus Salamanang, menambahkan

4

“Dan pihak perusahaan sawit menjanjikan kepada kami jika mau menyerahkan lahan 1 hektar akan menerima imbalan Rp300 juta, sampai sekarang belum ada kepastian dari para investor sawit, meskipun demikian masyarakat saya disini sudah tidak memikirkan rencana perkebunan sawit memang sawit itu bagus tapi sistem HGU yang tidak kami inginkan dan kami berkomitmen untuk menolak sawit,” katanya. Sementara itu keterangan sama dari Kepala Dusun Tapak Jaya, Risman Sabelau soal kedatangan orang-rang perusahaan sawit.”Kedatangan para investor sawit ke rumah saya sendiri dan juga dihadiri masyarakat, pada saat itu mereka membelikan minuman kaleng untuk kami, pihak perusahaan sawit menceritakan betapa enaknya bertanam sawit dan membuat kita kaya, tapi saya dan masyarakat saya mentah-mentah menolak karena memang masyarakat saya tidak paham dengan bertanam sawit,” katanya. Risman bersyukur tim advokasi segera datang dan memberitahu warga soal kepemilikan lahan yang akan berganti status menjadi HGU. “Kami baru paham dan mengerti setelah kedatangan tim ini, untung belum ada warga yang menyerahkan tanah kepada perusahaan sawit karena ke depan pasti akan perselisihan di antara warga saya pro dan kontra, selain itu kami tidak ingin pelepasan lahan dengan sitem HGU karena jika tanah sudah di-HGUkan maka sudah otomatis menjadi tanah negara dan saya sebagai kepala Dusun Tapak Jaya ikut menolak sawit, tanpa sawit kami bisa kaya kok asalkan kita berusaha untuk bekerja,” katanya. Kepala Dusun Laggigi, Leptor Samaloisa menyatakan, sebelumnya mendukung perkebunan sawit karena tergiur penghasilan besar, namun setelah paham sistem pelepasan tanah yang dilakukan dengan HGU, akhirnya Leptor menyatakan menolak perkebunan sawit di dusun Laggigi. “ Kami juga tidak paham dan tidak mengerti tentang sawit lagi pula sistem yang digunakan justru menghilangkan hak atas tanah milik kita dengan HGU, dan saya tidak lagi mendukung perkebunan sawit,” katanya ditemui di rumahnya, 5 Juli. (o)

SAMBUNGAN HALAMAN 3

Ramai-ramai.... menolak perkebuan kelapa sawit. “ Karena kami tidak pernah mengerti hal tentang bertanam sawit, selain itu sawit bukan tanaman nenek moyang kita tentunya kita jaga tanah warisan nenek moyang kita, ada coklat, pala, karet, pisang, durian yang bisa kita tanam dan kita juga bekerja di ladang kita sendiri bukan di tanah orang lain,” kata Ramansya. Penolakan sama juga disampaikan warga Desa Matobe, Kecamatan Sikakap. Masyarakat lebih memilih

NO. 268, 15 - 31 Juni 2013

ada informasi juga di Bubuakat sudah ada warga yang sempat menyerahkan lahan. Penatua GKPM Polaga, Almaruara menceritakan orang-orang perusahaan perkebunan sawit pernah datang ke Dusun Polaga, Desa Matobe, Kecamatan Sikakap. “Mereka datang dari Padang melalui gereja dan mengadakan sosialisasi, namun masyarakat tidak ada yang menyerahkan lahannya, karena pengalaman saya dulu kerja di perusahaan sawit itu tidak ada yang

baiknya lebih banyak yang buruknya, secara umum sawit di daerah Matobe itu tidak kami setujui masuk dan tidak akan menerima perkebunan sawit,” katanya. Eujenius warga Dusun Sarere, Desa Matobe, Kecamatan Sikakap yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan tak ada niat untuk menerima sawit masuk. Sementara itu, Kepala Dusun Sabeu Gunggung, Leisa Saogo juga tidak mendukung perusahaan perkebunan

sawit, sebab mayoritas lahan di kampungnya bukan milik warga. Boas Tasiritoitet, pemilik tanah di Kilometer 10 yang merupakan lokasi hunian sementara bagi pengungsi tsunami 2010, mengatakan tidak akan menyerahkan lahan karena masyarakat tidak menginginkan masuknya sawit. “Ini karena suara penolakan dari masyarakat akhirnya tidak menyerakhan lahan meskipun saya pemilik lahan, jadi sekarng kalau rencana sawit kita tidak akan terima lagi,” katanya. (o)


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Pembangunan talud penahan abrasi di Mapaddegat membuat anggota DPRD Mentawai Kecewa

Anggaran Tak Cukup, Volume Pekerjaan Dikurangi

Rapot Pardomuan Simanjuntak

antai Mapaddegat di Desa Tuapeijat, Kabupaten Mentawai merupakan pantai wisata bagi warga sekitar. Pada hari libur, pantai tersebut ramai dikunjungi warga. Namun belakangan ini, pengunjung berkurang lantaran pantai mulai digerus abrasi. Ketika pasang naik dan musim gelombang, air akan sampai ke pinggiran perkampungan melewati sungai. Tahun ini, DPRD Mentawai menganggarkan pembuatan talud (pengaman) di pantai Mapaddegat. Pada papan proyek tertulis bahwa anggaran kegiatan dari pagu dana Rp 2,6 miliar lebih ditender sebesar Rp 2,1 miliar oleh CV Tujuh Harapan dengan waktu pelaksanaan dari tanggal 20 Mei – 19 Oktober 2013. Ada selisih sekitar Rp480 juta lebih dari pagu sesuai anggaran. Selain di Mapaddegat, sejumlah daerah juga mendapat kegiatan pencegahan abrasi pantai dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Mentawai. Total anggaran Rp 13 miliar untuk program pembangunan turap/talud / brojong. Anggaran ini dibagi pada 5 kegiatan yaitu perencanaan penanggulangan abrasi pantai Rp245.210.000, pembangunan penanggulangan abrasi pantai Sioban Rp 3.252.837.500, pembangunan penanggulangan abrasi pantai Siberut Tengah Rp 3.720.087.500, pembangunan penanggulangan abrasi pantai Siberut Selatan (segment B) Rp 3.220.522.500 dan pembangunan nor-

5

FOTO:RAPOT/PUAILIGGOUBAT

P

TINJAU PROYEK Ketua DPRD Mentawai Hendri Dori Satoko meninjau proyek pembangunan talud di Mapaddegat

malisasi muara sungai dan penanggulangan abrasi pantai Mapaddegat Rp 2.629.162.500. Untuk melihat perkembangan pengerjaan proyek itu, Ketua DPRD Mentawai Hendri Dori Satoko, dan dua anggota DPRD dari dapil Sipora Melki Tatubeket serta Juniarman meninjau lokasi, 3 Juli lalu. Dalam peninjauan ini, ketiga anggota dewan meragukan kekuatan proyek penanggulangan abrasi yang tengah dikerjakan oleh rekanan. Melki Tatubeket yang kebetulan rumahnya berada di pinggir pantai itu menganggap pekerjaan kurang berkualitas. “Kedalaman pondasi hanya sekitar setengah meter dari permukaan, pasir laut juga dijadikan timbunan, selain

Gempa Guncang Mentawai Warga Sikakap Panik Keluar Rumah PADANG - Gempa kembali terjadi di Mentawai, Sumatera Barat, Sabtu 6 Juli, pada pukul 12:05 WIB dengan kekuatan 6,1 SR di ujung pulau Pagai Selatan. Yan Winnen Sipayung anggota DPRD Mentawai yang tinggal di Pagai Utara mengatakan warga di Sikakap panik ketika datang gempa, mereka berlarian keluar rumah. “Gempa cukup kuat terasa di Sikakap,” ujarnya pada Puailiggoubat, sesaat setelah gempa. Data dari Inatews BMKG mencatat lokasi gempa di 3.41 lintang selatan - 100.26 bujur timur dengan kedalaman 36 kilometer atau 149 kilometer tenggara dari pusat Kabupaten Kepulauan Mentawai di Tuapeijat dan 230 km barat laut Bengkulu. Sementara Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mentawai, Gabriel Sakeru, mengatakan gempa memang kuat terasa bahkan agak lama. “Seperti ayunan dan kita kini sedang mencari informasi dari Pagai Selatan apakah ada kerusakan atau tidak, sampai saat ini belum ada laporan,” katanya. Namun setelah menunggu beberapa saat, tidak ada laporan kerusakan dari masyarakat. (rus)

itu pohon yang ada disini juga dirusak” katanya. Dalam penjelasannya saat ditanyai oleh anggota dewan, pelaksana proyek Ikhsan menjelaskan bahwa anggaran yang tersedia tidak mencukupi. “Anggaran tidak cukup sehingga pekerjaan proyek disesuaikan dengan bobot yang bisa dikerjakan,” katanya. Dalam full design perencanaan proyek, panjang talud yang akan dibangun sekitar 200 meter dari sisi kiri muara sungai Mapaddegat hingga ke sungai kecil disebelahnya arah Tuapejat, namun karena anggaran yang kurang menurut Ikhsan maka proyek hanya bisa membangun 65 meter di pantai dengan kedalaman pondasi 95 cm dengan tebal

60 cm. Pintu air dalam perencanaan juga tidak berada pada tempat yang sedang dikerjakan, melainkan masih berada sekitar 100 meter ke arah hulu, namun karena masalah tanah akhirnya diubah. “Ada masalah tanah maka kita pindahkan pintu airnya,” katanya kepada anggota dewan. Selain itu dikatakannya pintu air yang sedang dikerjakan juga akan dibongkar oleh karena kedalamannya masih kurang. Sementara pengawas lapangan dari Dinas PU, Azwir yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis 4 Juli, membenarkan rencana pembongkaran bangunan pintu air yang sedang dikerjakan itu. “Pintu air akan dibongkar dan akan ditambah kedalaman pondasinya,” katanya. Jika

dilakukan hingga sampai dasar maka akan ada kedalaman 4 meter pondasi sesuai dengan pengecekan lapangan. Ia juga mengatakan ketinggian talud yang dibangun dari pondasi adalah 150 cm dengan lebar pintu air sekitar 20 meter. Panjang penahan abrasi yang dibangun menurutnya 65 m di pantai dan 45 meter di pintu air serta 15 meter sisi kiri pintu air serta dua buah tangga. Ia membenarkan kurangnya anggaran maka proyek yang dikerjakan disesuaikan dengan dana yang tersedia. “Kita berpatokan pada volume pekerjaan dan bukan perencanaannya,” katanya. Kurangnya anggaran saat tender tidak ditentukan jenis pekerjaannya akan tetapi disesuaikan di lapangan. “Apa yang mau dikerjakan disesuaikan di lapangan dan tidak ditentukan saat tender, perencanaannya fleksibel,” katanya lagi. Dikatakannya hingga 4 Juli, pekerjaan proyek telah mencapai bobot 30 persen dan anggaran yang telah dicairkan baru dalam bentuk uang muka namun besarnya tidak ia sebutkan. Menurut Ikhsan, jika anggaran mencukupi sebenarnya desain pintu air yang paling baik adalah bentuk spiral dan memakai cincin, namun karena anggaran yang kurang maka konstruksinya dibuat sesuai anggaran yang tersedia. Sementara informasi pemakaian pasir laut menurut Ikhsan tidak benar, pasir yang digunakan hanyalah untuk penutup pintu air agar bisa dikerjakan. Berbeda dengan apa yang disampaikan Azwir bahwa pasir yang digunakan adalah penahan timbunan di sisi kanan proyek yang diisikan ke karung. (o)

KPU Mentawai Terima Sejumlah Masukan Masyarakat TUAPEIJAT – Komisi Pemilihan Umum Mentawai menerima sejumlah tanggapan dan masukan dari masyarakat terhadap Daftar Calon Sementara anggota DPRD Mentawai yang sudah diumumkan 29 Mei lalu. Komisioner KPU Mentawai Divisi Sosialisasi, Arif, mengatakan ada calon dari 5 partai politik yang administrasinya bermasalah. “Calon dari 5 parpol ada yang bermasalah” katanya kepada Puailiggoubat di ruang kerjanya, 12 Juli lalu. Menurut Arif, tanggapan masyarakat yang disampaikan tertulis terkait ketidaksesuaian nama di Kartu Tanda

Penduduk (KTP) dengan ijazah atau dokumen lainnya. “Umumnya kesalahan pada nama yang pakai suku pada beberapa dokumen, namun dokumen lainnya tidak tercantum,” katanya. Ada juga calon yang pada beberapa dokumen namanya diperpanjang, namun dokumen lainnya disingkat. Untuk itu dikatakan oleh Arif, KPU akan pleno sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) di umumkan. Calon yang bermasalah termasuk dalam kategori Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yang akan dituangkan dalam keputusan KPU. Akan tetapi upaya ke penyelenggara pemilu

lainnya seperti Panwas masih bisa dilakukan oleh parpol atau calon. Sementara untuk calon yang sedang menjabat sebagai anggota DPRD namun telah pindah ke parpol lain, menurut Arif harus segera menyelesaikan administrasi, karena sesuai Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun 2008, calon yang bersangkutan diberhentikan dari keanggotaan partai politik jika pindah ke parpol lain. Namun Arief tidak mengulas banyak soal calon yang sedang menjabat yang pindah ke parpol lain. “Itu tergantung parpolnya, karena mereka juga memiliki AD/ART,” katanya. (rpt)


MENTAWAINEWS Warga Pagai Selatan Butuh Air Bersih dan MCK PAGAI SELATAN - Warga Dusun Bake, Desa Malakopa, Kecamatan Pagai Selatan sangat membutuhkan sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Saat ini warga terpaksa mengambil air di tempat yang jauh dan menguras tenaga. Kepala Dusun Bake, Sarmen Taileleu menjelaskan warganya sangat membutuhkan air bersih, saat ini mereka mengambil air sangat jauh. Lokasi dari pemukiman yang jauh warga hanya sanggup mengangkat jeriken hanya satu. “Kalau memakai kendaraan, disini warga tidak FOTO:BAMBANG/PUAILIGGOUBAT

Puailiggoubat

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

6

Mentawai Belum Miliki Rencana Penanggulangan Bencana FOTO:RAPOT/PUAILIGGOUBAT

RPB akan diturunkan menjadi rencana mitigasi, rencana kesiapsiagaan, rencana kontijensi, rencana kedaruratan atau operasi, rencana pemulihan dalam bentuk rencana rehabilitasi dan rencana rekonstruksi Rapot Pardomuan Simanjuntak

abupaten Kepulauan Mentawai yang terletak di pesisir barat Sumatra hingga kini belum memiliki Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang mestinya ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Padahal daerah ini rawan bencana dan menyimpan potensi gempa megathrust akibat gesekan dua lempeng bumi. Rencana penanggulangan bencana merupakan rencana menyeluruh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana baik sebelum, saat dan pasca bencana. RPB akan diturunkan menjadi rencana mitigasi, rencana kesiapsiagaan, rencana kontijensi, rencana kedaruratan atau operasi, rencana pemulihan dalam bentuk renana rehabilitasi dan rekonstruksi. RPB juga akan diturunkan menjadi Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB) yang meliputi seluruh SKPD terkait penanggulangan bencana serta beberapa Standar Operasional Prosedur (SOP), Prosedur Tetap (Protap) penanggulangan bencana. Guna menyosialisasikan dan menginternalisasi konsep penyusunan

K

SUMBER AIR - Sumber air warga pengungsi di huntara Dusun Bake, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan banyak memiliki motor, lagi pula harga BBM Rp15 ribu per liter,” ujarnya pada Puailiggoubat, 6 Juli. Kesulitan air bersih ini sudah pernah disampaikan warga ke Dinas PU Mentawai, agar mengalirkan air dari lokasi pengungsian di Kilometer 37 untuk diteruskan ke Dusun Bake dan Lagigi. Saluran sudah dibuat namun air tidak mengalir. “Kalau ada masalah pipa tolonglah diperbaiki, padahal ini adalah sumber kehidupan seluruh masyarakat kita,” ucapnya. Di dusun ini ada 36 keluarga, Sarmen berharap selain air bersih pemerintah juga membangun tempat MCK, paling tidak satu MCK untuk dua rumah. “Kita mau bentuk kampung Bake peduli terhadap lingkungan, tentu dimulai dari hal kecil. Selama ini anak-anak kita yang masih kecil sering membuang air besar disembarangan tempat,” tuturnya. Kalaupun pemerintah tidak sanggup, ia berharap dari lembaga lain juga ikut membantu pengadaan MCK ini. Hal sama dialami pengungsi di KM 40 dan 42 di Dusun Tapak Jaya dan Kinumbuk Desa Bulasat. Bak penampungan yang berisi ribuan liter di dua titik tersebut habis. Puailiggoubat yang sempat mengunjungi daerah itu juga merasakan susahnya memperoleh air bersih. Kepala Dusun Tapak Jaya, Arisman Sabelau mengatakan, untuk memperoleh air bersih warga harus berjalan sepanjang 1,5 kilometer dari lokasi pengungsian. “Air bersih disini tidak bersumber dari mata air, tapi air hujan, kalau tidak hujan maka kami harus berjalan 1,5 kilometer ke sungai,” katanya. Ia juga mengharapan perhatian pemerintah untuk menyediakan air bersih untuk mereka di pengungsian tersebut. (cry/r)

PESERTA - Peserta workshop RPB2 berfoto bersama

RPB Mentawai, PT Catur Guna Persada selaku konsultan yang ditunjuk BNPB menyelenggarakan Workshop Sosialisasi dan Internalisasi Konsep Penyusunan RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai. Workshop itu diikuti SKPD terkait dan juga instansi vertikal seperti TNI dan Polri serta LSM lokal. Namun sangat disayangkan hanya beberapa utusan SKPD yang hadir, demikian juga empat camat dari 10 kecamatan yang ada. Dalam pemaparannya, Roni dari konsultan mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan survei titik bencana yang hasilnya peta ancaman bahaya. Konsultan juga telah menyurvei ketahanan masyarakat dengan menggunakan beberapa parameter. Untuk itu pihaknya melakukan klarifikasi terhadap peta yang sudah ada serta melakukan kajian kapasitas daerah sebagai bahan untuk penyusunan RPB.

Menurut Roni, untuk penyusunan RPB diperlukan pengkajian risiko bencana dalam bentuk kajian risiko bencana serta peta risiko bencana. Untuk peta risiko bencana sendiri diperlukan peta bahaya, peta kerentanan dan peta kapasitas daerah. Dikatakannya bahwa ada 7 kabupaten/kota di Sumbar yang akan mereka fasilitasi penyusunan RPB sesuai mandat dari BNPB. Tujuh kabupaten ini adalah bagian dari 30 kabupaten/kota di Indonesia yang dimandatkan BNPB sebagai percontohan dalam penyusunan RPB. Kepala BPBD Mentawai, Elisa Siriparang, mengatakan berbagai kekurangan dalam rangka pengurangan risiko bencana. “Tempat evakuasi belum ada, shelter belum ada, alat komunikasi kurang dan juga alat transportasi,” katanya. Dari sisi anggaran Elisa mengatakan, kalau mengharapkan dari APBD saja tidak akan maksimal

pelaksanaan penanggulangan bencana. “APBD sebagian besar telah habis untuk gaji, untuk itu perlu uluran dari pihak luar untuk membantu penyelenggaraan penanggulangan bencana di Mentawai. Aksi yang penting, tidak ngomong lagi,” katanya lagi. Kegiatan penyusunan RPB ini akan berlanjut hingga pada tahap legislasi daerah, namun untuk beberapa bulan kedepan rencana tindak lanjut (RTL) dari kegiatan ini di antaranya adalah penyusunan draft Kajian Risiko Bencana (KRB) dan RPB dan sesuai agenda akan ditetapkan pada bulan Oktober 2013. Sebelumnya DPRD Mentawai telah menetapkan RPB yang diajukan BPBD sebagai Program Legislasi Daerah (Prolegda) tahun 2013. Namun tidak ada informasi yang didapat bagaimana sinkronisasi antara RPB yang diusulkan BPBD tahun 2012 dengan RPB yang sedang disusun BNPB melalui konsultan. (r)

4.652 KK Kategori Miskin di Pagai Terima KPS SIKAKAP - Sebanyak 4.652 kepala keluarga yang masuk kategori miskin mendapat Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dari Program Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Sosial, kartu ini untuk membantu keluarga miskin dari dampak kenaikan BBM. Berdasarkan data dari Kantor Pos Sikakap, jumlah keluarga miskin tersebut tersebar di 10 desa dari Kecamatan Sikakap, Pagai

Utara dan Kecamatan Pagai Selatan. Menurut Kepala Kantor Pos Sikakap, Edy, KPS warga yang terdata sudah ada dikantornya. “Saya sedang menunggu para kepala desa untuk datang mengambil data agar bisa di cek ulang, siapa tahu masih ada yang perlu diperbaiki,” katanya, Rabu, 3 Juli 2013. Dari 10 desa tersebut, Desa Silabu dan Betumonga memiliki

rumah tangga miskin yang sedikit yaitu masing-masing 67 KK, padahal secara jelas, warga di dua desa tersebut pada 2010 lalu menjadi korban gempa dan tsunami dan hingga sekarang masih tinggal di hunian sementara. “KPS yang sudah ada, tidak secara otomatis menjadi pedoman warga untuk terdaftar sebagai penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM),” ujarnya. Terkait dana kompensasi yang

sudah dicairkan diberbagai tempat di Indonesia, Edy mengatakan untuk Mentawai akan cair setelah Padang selesai dibagikan. “Kantor kami belum masuk jaringan internet Pak, jadi pembagiannya nanti masih manual. Kemungkinan untuk pembagiannya nanti, akan dibantu tenaga dari Kantor Pos Padang. Akhir Juli ini, pembagian dana BLSM sudah bisa dilakukan untuk wilayah Pagai Utara Selatan,” terang Edy. (fs/r)


7 Puailiggoubat

MENTAWAINEWS

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Berantas Korupsi Mulai Dari Diri Sendiri PADANG - Seluruh peserta Program Kepemimpinan yang Berintegritas “Lokakarya Ehem” Workshop sepakat memulai aksi dari diri sendiri dalam gerakan antikorupsi. Kegiatan terlaksana atas kerjasama Yayasan Bhumiksara, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), dan Keuskupan Padang, 6-7 Juli. Peserta berasal dari utusan 17 paroki, lembaga/komisi Keuskupan Padang, dan kelompok kategorial tingkat keuskupan. Kegiatan dibuka resmi Kepala Dokumentasi dan Penerangan KWI, Rm. FX Adi Susanto, SJ yang juga tim fasilitator. Sebelum diresmikan, Rm. Adi menyatakan fenomena korupsi yang memprihatinkan dari segi moral, yakni tindak kejahatan yang membuat masyarakat bangsa ini semakin sakit. “Praktik korupsi bagaikan udara yang kita hirup setiap saat, mulai dari tingkat atas hingga rendah, tidak hanya di lingkup pemerintahan tetapi juga swasta; bahkan di lingkungan keluarga,” ucapnya. Disampaikannya, pertemuan yang diresmikannya bukanlah seminar, kuliah, maupun pelajaran tentang hal-ikhwal korupsi. “Yang ingin dituju adalah penyadaran diri sebagai pribadi atas fakta korupsi serta andil dalam fakta tersebut, tidak hanya sebagai korban namun juga pelaku. Di bagian akhir, peserta diajak melihat diri sendiri untuk mengurangi korupsi,” tukasnya lagi. Kegiatan diawali dengan penyajian modul pertama “Pengalaman” oleh dr. Prastowo Nugroho, anggota tim yang juga pegawai negeri sipil/PNS. Pras menyampaikan aneka permasalahan dan kondisi terkini korupsi di Indonesia. Ia juga mengutip materi “Tantangan Pemberantasan Korupsi” garapan J. Danang Widoyoko, pegiat Indonesia Corruption Watch (ICW). Anggota tim lainnya, Justina Rostiawati, menyampaikan materi modul dua “Analisis” tentang sebabakibat korupsi. Dalam modul ketiga “Refleksi”, Rm. Adi mengajak peserta mendapat pemahaman tentang sistem nilai dan budaya yang memperkuat serta melanggengkan korupsi. Selain itu, juga mengidentifikasi peran dan keterlibatan pribadi dalam tindakan korupsi maupun dalam upaya mencegah tindak korupsi. Di bagian akhir proses, dalam modul empat “Aksi”, peserta diajak merumuskan rencana tindakan/aksi serta keikutsertaan dalam upaya pemberantasan korupsi, bermula dari Rencana Integritas Pribadi. Selaku penyelenggara, Sekretaris Keuskupan Padang, P. Fransiskus Aliandu, Pr, berharap adanya aksi lanjutan seusai kegiatan. Diyakininya, peserta adalah ‘bibit unggul’ di tempatnya masing-masing untuk menumbuhkembangkan gerakan antikorupsi, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar, baik kelompok maupun kelembagaan. Harapan ini disambut Ketua Pengurus Yayasan Prayoga Padang, P. Dr. Alex I. Suwandi, Pr yang melihat upaya ini penting pada tahap selanjutnya. “Untuk mulai menjadi suatu gerakan, dimulai dari diri kita. Yayasan Prayoga Padang mempunyai visi-misi, di dalamnya termaktub jujur dan bebas korupsi; serta Rencana Strategis (Renstra). (hardi)

Ranperda ini akan dibahas mulai Juli ini, diantaranya Ranperda Restribusi dan saham di Bank Nagari dan BPR Rapot Pardomuan Simanjuntak

DPRD Segera Bahas Delapan Ranperda FOTO:RAPOT/PUAILIGGOUBAT

PRD Kabupaten Kepulauan Mentawai akan membahas delapan rancangan peraturan daerah (ranperda) dari total 21 ranperda yang telah ditetapkan menjadi program legislasi daerah (prolegda) tahun 2013. Ketua DPRD Mentawai Hendri Dori Satoko, mengatakan sesuai agenda DPRD, Juli ini mereka akan membahas ranperda diantaranya adalah pengesahan 3 ranperda retribusi yaitu Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan tertentu. Pembahasan diagendakan 15 Juli dan 23 Juli. Selanjutnya membahas ranperda tentang pertanggungjawaban APBD tahun 2012, 16 Juli, lalu Ranperda tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Daya Tarik Wisata Selancar (surfing), Ranperda tentang Penyertaan Modal pada PT BPD, Ranperda tentang Pembiayaan Tahun Jamak yang dimulai 17 Juli, serta Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada 18-22 Juli. Sementara pengesahan Ranperda Pertanggungjawaban APBD 2012 dijadwalkan 29 hingga31 Juli 2013. Sesuai agenda DPRD yang ditetapkan 1 Juli 2013, selain membahas ranperda, DPRD juga melakukan kegiatan konsultasi komisi ke luar daerah pada 23-27 Juli dan agenda reses ke dapil masing-masing dari tanggal 2- 7 Juli. Sejauh ini, baru Ranperda Retribusi yang sudah melaksanakan pembicaraan tahap dua yang maksudnya untuk pengambilan keputusan. Sedangkan untuk ranperda lainnya masih dalam pembicaraan tahap pertama yang meliputi penyampaian nota penjelasan, pandangan umum fraksi, jawaban bupati atas pandangan umum fraksi, pembahasan dengan eksekutif serta rapat gabungan komisi. Untuk Ranperda RTRW menurut

D

TINJAU PROYEK - Tiga anggota dewan meninjau proyek normalisasi muara sungai dan penanggulangan abrasi pantai Mapaddegat, 3 Juli 2013 Hendri, rencananya akan menghadirkan pihak Balai Taman Nasional Siberut (BTNS) serta pihak terkait tentang pengelolaan BTNS. Beberapa hal tentang draft RTRW juga perlu diperbaiki soal penamaan karena menurutnya pembuatan draft RTRW masih mengacu penamaan sebagaimana yang tertulis pada RPJMD Propinsi Sumbar. Untuk Ranperda Pembiayaan Tahun Jamak, dikatakan Hendri ada baik dan ada buruknya. “Pembiayaan tahun jamak di satu sisi baik untuk Mentawai, namun di sisi lain juga ada buruknya dan perlu ada payung hukum yaitu perda” kata Hendri di kantornya, 3 Juli. Sisi baiknya menurut Hendri dapat membiayai anggaran pembangunan proyek dengan jumlah besar dengan waktu lebih dari setahun,

namun sisi buruknya dapat menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA). Sedang penyertaan modal di Bank Pembangunan Daerah (BPD) perlu dilakukan kajian apakah untung atau tidak. “Pemda Mentawai adalah pemilik saham ketiga terbesar di BPD. Oleh karena itu, perlu ada kajian untung atau tidak,” katanya. Pendapatan daerah dari penyertaan modal di BPD dalam bentuk pembagian deviden setiap tahun. Pendapatan deviden ini masuk ke pos pendapatan lain-lain yang sah yang menurut Hendri pada tahun 2012 berjumlah Rp 13 miliar. Menurutnya dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2012 sebesar Rp 32 miliar, deviden ini menyumbang terbesar. Sementara itu untuk penyertaan modal pada PT

Bank Prekreditan Rakyat (BPR) Sipora, ia enggan memberikan keterangan. “Tanya saja di DPPKAD,” katanya singkat. Dikatakan Hendri, kemungkinan yang akan menghambat pelaksanaan agenda Juli ini terkait akan berhentinya 4 orang anggota DPRD yang telah memilih pindah partai politik untuk menjadi calon legislatif dari partai barunya, sehingga akan sulit memenuhi quorum dalam pengambilan keputusan. Karena sesuai aturan yang berlaku anggota dewan yang pindah partai harus berhenti dari jabatannya sebagai anggota DPRD. Hal ini menurut Hendri ditegaskan dalam UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai politik, PP Nomor 6 tahun 2010 serta lebih ditegaskan dalam Surat Edaran (SE) menteri dalam negeri nomor 161/ 3294/S tanggal 24 Juni 2013. (r)

Kades Taikako Bantah Selewengkan Dana Bansos TUAPEIJAT - Kepala Desa Taikako, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Mentawai, Marluster Sapalakkai membantah telah melakukan penyelewengan dana Bantuan Desa seperti yang dituduhkan Bilmar dan sejumlah orang lainnya. Menurutnya, tuduhan Bilmar Cs (Puailiggoubat edisi 267) yang mengatakan material pasir, lobrik dan material kayu untuk

penyelesaian kantor desa yang terbengkalai dari pejabat sebelumnya, Jen Josep tidak benar. “Saat saya menjadi kepala desa, kondisi bangunan kantor masih kosong melompong, hanya ada kerangka. Setelah saya jabat kades tersebut, saya sudah mulai membangun kantor itu, seperti pemasangan lobrik, pasir, jadi tuduhan penggunaan dana fiktif tidak beralasan. Kalau ingin bukti,

datanglah melihat kondisi kantor desa saat ini,” katanya kepada Puailiggoubat di Wisma Bintang Tuapeijat, Minggu, 7 Juli. Sementara tuduhan penggelapan dana karang taruna Taikako Rp 13,1 juta, Marluster juga membantahnya. Katanya sesuai dengan kesaksian Ketua Karang Taruna Horas Marohatta dana tersebut tidak dia terima. “Dana itu dipakai pada saat

pelaksanaan perayaan HUT RI Agustus 2012 silam. Tidak benar kalau dia (Horas-red) tidak tahu dan tidak memanfaatkan dana tersebut. Nyatanya acara HUT -RI yang juga termasuk upacara bendera dapat berlangsung. Logikanya, uangnya dari mana?” kata Marluster. Katanya seluruh tuduhan yang diberikan kepadanya tidak benar, semua dana digunakan sesuai dengan kebutuhan pemerintah desa. (fs/r)


MENTAWAINEWS Warga Simabalok Minta Kadusnya Diberhentikan SAIBI - Warga Dusun Simabolak, Desa Saibisamukop, Kecamatan Siberut Tengah membuat surat pernyataan memberhentikan Elieser Sanakkat sebagai kepala dusun. Salah satu alasannya karena Elieser merusak balai pemuda. Surat pernyataan itu disampaikan 27 Juni lalu kepada Kepala Desa Saibisamukop Masimo Satokonyo, surat ditandatangani 64 warga Simabolak dan ditembuskan kepada BPD dan Camat Siberut Tengah Jarson Sauddeinuk. Yusak Kantohe (40), warga Simabolak, mengatakan surat pernyataan untuk memberhentikan kadus itu dibuat warga karena yang bersangkutan dianggap melakukan banyak pelanggaran. “Salah satunya adalah kadus menyikat uang teken les (sumbangan) yang dikumpulkannya. Apa yang telah kami utarakan di dalam surat pernyataan pemberhentiannya semua itu benar adanya,” ujarnya. Hal senada disampaikan Sekretaris Pemuda, Juasno (31), alasan pemberhentian kadus oleh warga disertai bukti yang bisa di pertanggungjawabkan. “Yang jelas ini sudah terbukti, semua hanya kadus yang mengatur, itulah yang tidak kami suka,” katanya tanpa menguraikan bukti yang dituduhkan. Sementara Kepala Dusun Simabolak, Elieser Sanakkat membantah tuduhan warga kepadanya bahwa dirinya telah merusak proses pembangunan balai pemuda. “Saya diberhentikan itu tanpa ada sebab dan tuduhan warga itu tidaklah benar. Sebenarnya persoalan ini mengenai adanya utang pemuda dalam pembangunan balai sebanyak Rp6 juta, karena OMS pemuda tidak lolos, baliknya saya dituduh seperti itu,” katanya pada Puailiggoubat, 8 Juli. Menurutnya, pemberhentian ini hanyalah sentimen seseorang saja, bukti saja tak ada yang menguatkan. “Kalau saya terbukti bersalah saya siap diberhentikan tapi ini tidak ada sama sekali,” katanya. Ia menambahkan kalau tak ada bukti, tapi warga tetap keras menuntutnya berhenti ia akan bersedia berhenti tapi dengan syarat, warga harus membayar gajinya selama tiga tahun. “Saya menuntut ini karena saya tidak bersalah,” tegasnya. Kepala Desa Saibisamukop, Masimo Satokonyo, mengatakan setelah surat pernyataan warga ini masuk, langsung direspon untuk menyelesaikannya dengan membuat surat undangan kepada warga Simabolak namun tak dihadiri. “Kita undang warga secara resmi, namun warga yang ingin memberhentikan kadus tidak datang, jadi saya menganggap persoalan ini selesai dan tak ada pemberhentian itu,” katanya. Kendati kepala desa menegaskan tidak ada pemberhentian, warga ngotot bahkan mereka mengangkat kadus baru Doroteus. Pengangkatan kadus baru ini ternyata sudah diketahui pemerintahan desa.. “Warga telah mengangkat kadus baru, silahkan tapi warga yang buat SKnya dan menggajinya,” katanya. (rr/r)

Para pengungsi korban tsunami di beberapa desa merasa pemerintah melakukan pembiaran atas nasib mereka. Beberapa diantaranya melontarkan akan membabat hutan lindung tempat mereka tinggal sekarang

Patrisius Sanene

ambatnya pembangunan hunian tetap (huntap) untuk korban bencana gempa dan tsunami di Mentawai, membuat pengungsi korban gempa dan tsunami Mentawai 2010 trauma dan kecewa. Setiap kali ada pem-bahasan soal huntap, mereka enggan membicarakannya. Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeu Gunggung, Desa Betumonga Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Mentawai kepada Puailiggoubat di rumahnya mengaku sangat kecewa mendengar berita huntap belum bisa dibangun tahun ini, dimana 53 warganya penerima huntap kini masih terpaksa bertahan di huntara. “Tentu saja kami sangat kecewa dengan tidak jadinya dibangunnya huntap, kalau huntap tidak jadi dibangun kenapa pemerintah kita diam saja, tidak memberikan kejelasan kepada kami, mana yang namanya tanggung jawab pemerintah kita di kabupaten untuk mendorong BPBD Provinsi Sumbar segera menyelesaikan ini,” katanya, Kamis, 11 Juli. “Kami disini emosi kalau sudah bicara tentang huntap, jika huntap tidak jadi dibangun jangan salahkan kami membabat hutan untuk membuka lahan pertanian, kami sungguh

L

Puailiggoubat

NO. 268, 15 - 31 Juni 2013

8

Korban Tsunami Enggan Bahas Huntap FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

Bulasat, juga menyatakan kekecewaan sama dan menurutnya lebih baik masyarakat yang membangun huntap. “Lebih baik kalau tidak ada kepastian pembangunan huntap dari pemerintah biarkan saja masyarakat yang membangun huntapnya sendiri,” kata Risman Sabelau, Kepala DuPENERIMA HUNTAP - Papan nama penerima dana hunian tetap yang dipasang BPBD di Dusun sun Tapak, Desa Sabeu Gunggung, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, hingga kini dana tersebut belum Bulasat, Kecabisa dicairkan matan Pagai Selasangat kecewa kepada pemerintah dan sekarang kepercayaan kami kepada pemerintah tidak ada lagi,” lanjut Leisa. Kepala Dusun Muntei, Desa Betumonga, Parmenas Saleleubaja dalam diskusi dengan Puailiggoubat bahkan mengatakan, ketidak jelasan kapan dimulainya pembangunan huntap membuat masyarakat berencana melakukan aksi demontrasi. Kehidupan warga Muntei menurut Parmenas semakin tampak terpuruk, dengan lilitan ekonomi yang sulit. “Tidak ada jalan lain langkah kita harus melakukan demo lagi, karena pemerintah sudah terlalu membohongi kita, anggota dewan yang kita pilih saja tidak pernah datang melihat kondisi kita di sini dan bila perlu kita tidak ikut memilih nanti,” katanya. Dilanjutkan Brenti Sababalat

(51), warga Dusun Baru-baru, dalam diskusi tersebut sejak warga menempati lokasi huntara, pemerintah tak pernah datang. “Bahkan jaminan hidup yang dijanjikan hanya sekali saja yang janjinya akan rutin diberikan selama 3 tahun,” kata Brenti Sementara di Kilometer 37 Pagai Selatan, warga korban gempa dan tsunami juga meyuarakan kekecewaannya terhadap gagalnya pembangunan huntap. “Kami sangat kecewa dan sudah hilang harapan kalau bicara huntap, tidak usah bahas huntap lagi,” kata Djanas Sampo, Kepala Dusun Kilometer 37 dalam pertemuan Kamis, 4 Juli 2013. Selain itu di Kilometer 40 di antaranya warga Dusun Laggigi berjumlah 92 KK, Dusun Bake 37 KK, Dusun Tapak 28 KK dan Dusun Bulasat berjumlah 44 KK, di wilayah Desa

tan. Kepala Dusun Kinumbuk, Desa Bulasat, Parlindungan Taileleu mengatakan tak dapat informasi soal pembangunan huntap baik dari pemerintah desa maupun pemerintah Kabupaten Mentawai. “Saya hanya dengar isu-isu saja kalau dana huntap ditarik menteri keuangan, dan dari desa pun tidak memberikan informasi kepada kami,” ujarnya. Lambannya pembangunan huntap untuk 2.072 KK tersebut alasan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar karena telah habisnya masa penggunaan anggaran senilai Rp382 miliar, karena itu sisa dana untuk Rehab Rekon (RR) pada tahun 2012 ditarik oleh Kementerian Keuangan pada April 2013 lalu. (trs/r)

Jalan Buruk di Pagai Selatan, Ekonomi Sulit Bergerak PAGAI SELATAN - Meski akses ke daerah pelosok di Pagai Selatan, Kabupaten Mentawai sudah dibuka saat beroperasinya PT. Minas Pagai Lumber, tapi setelah berhenti beroperasi jalanpun menjadi semak dan berlumpur, warga yang memakai fasilitas tersebut harus susah payah melewatinya, apalagi saat hujan. Seperti yang dialami Piron Samaloisa (35), warga Aban Baga, Desa Sinaka, ia ke Sikakap hendak menjual hasil kebunnya, di bagian belakang motor ia mengikat satu karung kakao kering dengan ukuran 50 kilogram, bagian depan juga terdapat cabai merah dan cabai rawit sekitar 10 kilogram, bagian bawahnya juga ada

terong seberat enam kilogram. “Saya biasanya ke Sikakap sekali seminggu untuk menjual hasil kebun ini, tapi kondisi jalan seperti ini malas, kini hanya sekali sebulan, selain risiko menempuh jalan seperti ini, bocor ban juga menjadi hal terberat sementara yang kita lewati hutan belantara,” katanya pada Puailiggoubat, 4 Juli lalu. Kondisi akan semakin memburuk saat musim hujan tiba karena jalan menjadi licin. “Kalau hujan, kita harus pertaruhkan nyawa untuk melewatinya,” kata Piron. Ia tentu menyayangkan kondisi ini karena menyulitkan saat menjual hasil kebun ke pusat kecamatan.

“Kalau jalan itu bagus tentu akan melancarkan perputaran ekonomi rakyat, ini jalannya tidak bagus

membuat kita juga susah menjual hasil kebun kita,” katanya. (cry/r)

BPD Bentuk Forum Komonikasi seKecamatan Siberut Selatan MAILEPPET-Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Kecamatan Siberut Selatan membentuk Forum Komunikasi Badan Permusyaratan Desa yang meliputi Desa Muntei, Maileppet, Muarasiberut, Madobag dan Matototan di SDN No 15 Maileppet, 29 Juni 2013. “Rapat Forum komunikasi BPD tujuannya untuk memecahkan persoalan di tingkat desa masing masing,” kata Robinson Sabolak, Ketua BPD Desa Muara Siberut. Hasil rapat tersebut, terpilih ketua Forum Komunikasi BPD Leonardo, wakil ketua Marihot. Sedangkan Robinson Sabolak sebagai dewan penasehat. (ls/r)


9 Puailiggoubat

MENTAWAINEWS

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Mantan Ketua KPU Mentawai, Bastian dan empat orang lainnya yang dinyatakan tidak lulus dalam seleksi anggota KPU Mentawai menggugat KPU Sumbar dan Tim Seleksi

Mantan Ketua KPU Mentawai Gugat KPU Sumbar dan Timsel FOTO:RAPOT/PUAILIGGOUBAT

Rapot Pardomuan Simanjuntak Ferdinan Salamanang

M

antan Ketua KPU Mentawai periode 2008-2013, Bastian Sirirui, menggugat penetapan

anggota KPU Mentawai periode 20132018 oleh KPU Sumbar. Bastian mengajukan gugatan bersama empat calon anggota lainnya yang tidak lulus yakni Hantiter, Maruli, Sofi Nofia dan Renita Astra. Bastian Sirirui, Ketua KPU Mentawai periode 2008-2013 yang juga ikut dalam test anggota KPU periode 20132018 bersama dengan empat orang rekannya yang tidak lulus memasukkan gugatan ke Bawaslu dan KPU RI. Mereka memasukkan gugatan Jumat 12 Juli lalu. “Kami telah memasukkan gugatan kepada KPU RI dan Bawaslu di Jakarta,” katanya saat berada di Bandara Soekarno Hatta yang dihubungi lewat telepon, 12 Juli. Bastian dan empat rekannya menggugat KPU Provinsi Sumbar, Tim seleksi KPU Mentawai beserta 3 orang yang diluluskan oleh KPU Propinsi dan Tim seleksi KPU Mentawai. Alasannya karena diduga banyak kecurangan dan kejanggalan. Ada lima nama yang telah ditetapkan dan dilantik menjadi tiga anggota KPU Mentawai yakni Andres, Arif, Martina Seppungan, Manroppen dan Laurensius. Menurut Bastian, Andres yang menjadi Ketua KPU Mentawai saat ini

Arif, Divisi Sosialisasi KPU Kabupaten Kepulauan Mentawai sebenarnya pada tahap seleksi administrasi sudah gagal karena tidak memiliki KTP. “Dia hanya mengantongi surat keterangan dari kepala dusun Sikakap Timur. Walau dikatakan dalam surat domisilinya di Sikakap Tengah, namun surat keterangan dibuat oleh kepala dusun Sikakap Timur,” katanya kepada Puailiggoubat, tak lama setelah memasukkan gugatan. Sedangkan Arif, menurut Bastian, memiliki KTP ganda yakni domisili di Padang dan domisili di Monganpoula. “Kami memiliki bukti-bukti itu,” tegas

Bastian. Sementara Martina yang merupakan satu-satunya komisioner KPU Mentawai periode lalu yang lolos, menurut Bastian juga berdomisili di Padang dan bukan di Mentawai. Dia juga menyebutkan bahwa selama kebersamaan mereka di KPU Mentawai periode lalu, Martina sangat jarang berada di tempat tugas dengan alasan sakit perut atau sakit kepala. “Dia jarang melaksanakan tugas di KPU dengan alasan sakit perut dan sakit kepala,” katanya. Selain itu menurut Bastian, Martina hanya datang

ke Tuapeijat untuk mengambil gaji saja. “Datang ke Tuapeijat, ambil gaji lalu pulang ke Padang,” katanya. Menanggapi laporan Bastian dan empat orang lainnya, Arif mengatakan siap. Arif mengakui masalah KTP memang sudah dipersoalkan tim seleksi sebelumnya. Sebelumnya dia menggunakan KTP Padang dalam mengurus surat di pengadilan, namun karena dipersoalkan maka ia mengurus surat keterangan pengadilan lagi dengan KTP Mentawai yang masih aktif. “Persoalan itu sudah selesai dan saya jujur di

BPD Saibi Coret Alokasi Dana ADD Rp70,9 Juta SAIBI - Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Saibisamukop, Kecamatan Siberut Tengah mencoret sebagian dana program Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang didanai Alokasi Dana Desa (ADD) tahun ini. Ketua BPD Saibisamukop, Melki, mengatakan pengurangan dan pencoretan dana program desa dinilai karena program belum pro masyarakat. “Kita menginginkan program ADD ini harus menyentuh langsung masyarakat,” katanya usai evaluasi pembahasan ADD, Senin, 1 Juli. Total dana ADD Desa Saibisamukop tahun ini, Rp892.110.000, dari jumlah itu Rp70.940.000 penggunaan dana yang tidak disetujui oleh BPD Saibi. Beberapa pos yang dipotong dan dikurangi oleh BPD adalah belanja

honor tim panitia dari Rp12.900.000 dipotong Rp6.450.000, biaya perjalanan dinas, pembelian bahan baku material, peralatan kendaraan dinas (mesin dan bodi boat) dan pembelian 1 buah jangkar Selain biaya makan selama setahun, menurut Melki dana Rp19 juta itu terlalu mahal untuk biaya makan. “Kalau kita hitung dalam seminggu hanya tiga kali berkantor, apa begitu banyak anggarannya, pengurangan dana dan pencoretan program kami lakukan karena ada program yang menguntungkan segelintir orang,” katanya. Hasil pengurangan anggaran diserahkan kembali ke desa dan hanya pemerintah desa yang punya kewenangan sebagai kuasa pengguna anggaran. “Dana Rp70, 94 juta itu kita kemba-

likan kepada desa, kami BPD tidak punya kewenangan terhadap anggaran itu, tapi kami tetap mengawasinya,” katanya. Setelah anggaran tersebut dibahas di tingkat BPD, 4 Juli 2013 kembali dilakukan rapat bersama BPD dan pemerintah desa. Pada level ini kades dan pengurus BPD terjadi perdebatan alot mengenai pengurangan dana tersebut, namun perbedaan pendapat itu selesai setelah dirapatkan secara bersama-sama. Kepala Desa Saibisamukop, Masimo Satokonyo, mengatakan setiap anggaran tersebut dibuat sesuai pedoman dan petunjuk teknis dalam Peraturan Bupati No 27-28. “Jadi kita punya dasar di Perbub itu. Belanja kendaraan dinas atau perawatan mesin

itu sangatlah penting,” katanya ditemui di ruang kerjanya. Sedangkan mengenai pemotongan dan pencoretan yang dilakukan BPD menurut Masimo tidak mempermasalahkannya, hanya saja belanja desa dan semuanya akan diubah lagi. “Pembahasan ADD ini merupakan kedua kalinya, karena BPD tidak setuju mungkin akan kembali dibahas ketiga kalinya, pembahasan yang ketiga nantinya akan dilakukan Juli ini,” katanya. Masimo menargetkan kalau pembahasan ini cepat selesai, Oktober dana ini akan cair, namun katanya beberapa program yang disetujui BPD saat ini yang dilakukan adalah melakukan penyaringan proposal dari organisasi masyarakat di tiap dusun. (rr/r)

pengadilan mengatakan bahwa saya memiliki dua KTP,” katanya kepada Puailiggoubat, 12 Juli. Menurutnya, yang dipersoalkan adalah perbedaan nama pada KTP dan ijazah, dalam ijazah namanya Arif namun pada KTP namanya adalah M. Arif Salangkiran. Untuk itu ia sudah mengambil surat dari pengadilan. “Kalau KTP elektronik dari Mentawai sudah keluar, saya akan pakai KTP Mentawai, persoalannya meski sudah dilakukan rekam KTP, namun KTP Mentawai belum keluar,” katanya. Ia dan warga Mentawai yang tinggal di Padang juga melakukan rekam KTP di kantor perwakilan Mentawai di Padang. Sementara itu Martina mengaku bahwa ia memang tinggal di Padang. “Saya memang tinggal di Padang, secara administrasi saya memiliki KTP Mentawai sesuai persyaratan,” katanya 13 Juli. Namun Martina keberatan jika dituding jarang di tempat tugas sebab selama ada tugas KPU dalam Pemilu ia selalu di Tuapeijat. “Saya selama pelaksanaan pemilu empat kali saya selalu di Tuapeijat,” katanya. Kalaupun ke Padang, ia minta izin kepada ketua KPU. Dikatakannya ia pernah minta izin karena sakit mata, dan bukan karena sakit perut dan sakit kepala. “Kalau sakit perut dan sakit kepala kan penyakit biasa,” katanya. Meski demikian, Martina tak memungkiri beberapa waktu belakangan memang sering di Padang karena mengobati matanya yang sakit. “KPU kan hanya mengambil keputusan, yang kerja ada orang sekretariat, dan itupun masih kita bantu,” katanya. Sementara Pdt. Immerius Sakerebau, salah seorang tim seleksi menjelaskan terkait surat keterangan domisili yang dimiliki oleh salah seorang peserta seleksi yang menurut dia aneh. “Apa mungkin seorang Kaur Umum di Kantor Desa Sikakap berani mengeluarkan surat keterangan domisili sebagai persyaratan untuk masuk menjadi anggota KPU? Saya sebagai salah satu tim seleksi sudah menggaris bawahi itu sebagai catatan untuk tidak meloloskan yang bersangkutan. Namun ternyata hasilnya lain. Kalau saja seleksinya tidak sampai di Provinsi, saya berani tegaskan bahwa orang-orang terbaik dan yang memenuhi syaratlah yang akan lolos,” katanya. Sementara Bastian dkk juga akan memasukkan gugatan ke Bawaslu Sumbar serta Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Senin 15 Juli 2013. (rpt/fs/r)


Sosok

Puailiggoubat 10 NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

NETTY ANWAR, KEPALA SDN 12 MUNTEI

Betah Mengajar di Mentawai M

enjadi guru di Mentawai dengan fasilitas pendukung belajar yang masih minim menjadi tantangan bagi Netty Anwar. Meski bukan orang asli Mentawai namun ia mampu bertahan mengabdi di sana. Sudah 32 tahun Netty menjadi guru di Mentawai. Menurutnya, bekerja di Mentawai sangat nyaman, lingkungan yang aman dan damai membuat ia betah. Kunci sukses Netty adanya keyakinan bahwa pekerjaan itu bisa dilakukan dan yang paling utama mengajari anak seperti anak kandung sendiri, sehingga anak merasa nyaman belajar. Kapan Anda menjadi guru di Mentawai? Saya mulai mengajar di Mentawai pada tahun 1981 di SD Santa Maria Muara Siberut, saat itu status saya belum menjadi PNS. Kemudian pada tahun 1982, saya dipindahkan ke SD Saibi setelah lulus penerimaan PNS, lalu pada 1988 dipindahkan lagi ke SDN 13 Muara Siberut dan terakhir 2009 dimutasi ke SDN 12 Muntei dan menjabat sebagai kepala sekolah. Mengapa Anda betah mengajar

di Mentawai demikian lama di tengah minimnya fasilitas? Setelah tinggal di Mentawai, saya merasa nyaman, kerja kalau tidak nyaman tidak akan betah. Ruang lingkup kerja bagus, lingkungan masyarakat juga sangat nyaman dan mendukung. Selain itu, dorongan dari suami yang terus menyemangati menambah semangat bagi saya. Satu hal yang tidak kalah penting bagi saya adalah ini mungkin sudah panggilan hidup. Selama kurang lebih 32 tahun anda menjadi guru, apa suka dukanya ? Pertama kesejahteraan cukup terjamin di Mentawai ditambah kedamaian dan kenyamanan dalam bekerja, itu yang mampu membuat saya menikmati pekerjaan. Sementara yang paling tidak menyenangkan yang masih saya ingat yakni ketika ditugaskan ke Saibi.

Namun bukan karena sekolahnya tetapi ketika saya sakit di sana. Waktu itu saya mesti berobat ke Puskesmas Muara Siberut, saya dan suami serta anak kami yang masih kecil mesti berangkat dengan boat, saat itu tengah badai. Waduh, ngerinya minta ampun saat perjalanan apalagi anak masih kecil.

Sejauh mana dukungan masyarakat terhadap kemajuan sekolah? Mayoritas warga di Muntei sudah sadar akan pendidikan demikian juga daerah lain di Mentawai sehingga jarang kita temukan anak yang belum bersekolah. Meski begitu sebagian kecil orang tua masih ada yang kurang peduli dengan pendidikan anak. Dari beberapa pengalaman ditemukan kasusnya seperti ini, awalnya anak di sekolahkan namun karena kerja orang tua di ladang yang jarak dengan kampung sangat jauh mereka terpaksa membawa anak tersebut ke sana karena tidak ada yang merawat di rumah dengan waktu yang sangat lama, hingga tiga bulan. Selama itu juga anak tidak sekolah, akibatnya ketika mereka kembali ke kampung dan si anak kembali masuk sekolah. Ia tinggal kelas karena sudah banyak mata pelajaran yang terlewatkan olehnya sehingga saat ujian ia tak mampu menjawab. Kejadian itu terjadi berulangulang, karena sering tinggal kelas dan mungkin merasa minder dengan kawan sebayanya dalam kelas yang umurnya lebih kecil sementara ia sudah tua, biasanya anak memilih berhenti begitu saja karena malu. Apa langkah yang anda ambil untuk memunculkan semangat

masyarakat agar peduli dengan pendidikan anak? Tiap tahun ada penerimaan rapor, kesempatan itu kami gunakan untuk bermusyawarah dan memotivasi seluruh orangtua murid. Saya selalu sampaikan kepada orangtua agar mereka tidak membawa anak ke ladang karena mengganggu belajar anak. Kalau bapaknya memang bekerja di ladang, paling tidak ibunya tidak ikut jika ladangnya jauh yang butuh waktu lama hingga berhari-hari di sana. Karena kalau ibu ikut, otomatis tidak ada yang merawat sianak dan menyediakan kebutuhannya saat sekolah. Itu selalu saya tekankan. Selain itu, nilai pentingnya pendidikan sebagai jalan menuju kemajuan selalu diberikan kepada orang tua dengan berbagai contoh. Saya rasa langkah itu cukup berhasil, karena anak yang biasanya bolos sudah sekolah dengan normal. Saat ini sekolah gratis, apakah ada peningkatan jumlah anak bersekolah tiap tahunnya? Ya, pertama kenaikan jumlah anak bersekolah itu disebabkan karena dorongan yang terus menerus ditambah pengalaman yang mereka

ke halaman 11


Sosok

Puailiggoubat 11 NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

dengar. Kedua, dengan sekolah gratis beban orang tua menjadi ringan, mereka tidak terbebani uang pendaftaran, iuran bulanan atau iuran lain yang digunakan untuk sekolah, paling mereka membeli baju seragam. Anak-anak juga kita berikan baju olahraga gratis beserta buku pelajaran. Jika dilihat persentasenya, pertambahan jumlah anak sekolah mencapai 50 persen tiap tahunnya. Murid juga bermacam-macam, ada yang dari Muntei, pindahan dari Salappak, Rokdok dan Matotonan. Rata-rata murid yang jauh pindah karena orang tuanya ppindah dan menetap di Muntei. Kecenderungan menurun tidak ada. Prestasi murid bagaimana? Makin membaik jika dilihat dari nilai rata-rata rapornya, namun kita akui angkanya tidak naik signifikan. Yang jelas dua tahun belakangan, dari hasil UN semua siswa lulus. Apakah fasilitas pendukung di sekolah Anda sudah memadai? Saya sedikit bingung menjawabnya, kalau dibilang kurang tidak juga, kalau dikatakan memadai beberapa sisi masih ada yang perlu dibenahi. Namun, terlepas dari sana, tinggal bagaimana cara kami menyesuaikan diri dengan fasilitas yang ada agar proses belajar siswa maksimal. Selama ini kami mengandalkan dana BOS untuk memenuhi kebutuhan sekolah, seperti membeli buku pelajaran baik guru dan murid, rehab ringan, gaji guru honor dan operasional kebutuhan sekolah yang mendesak. Mesti tak cukup, namun diusahakan maksimal. Jika ada hal lain masih kurang dan bisa dibantu orang tua ya kita minta tolong, seperti contoh orang tua turut membawa beberapa bilah bambu untuk pagar sekolah, namun kita tak pernah pungut uang Apakah anda tidak repot dan terbebani mengajar ratusan murid dengan karakter yang berbeda? Tidak, saya kan tidak bekerja

BIODATA Nama: Netty Anwar, S.Pd.SD Kelahiran: Padang, 27 Agustus 1962 Alamat: Desa Muara Siberut Kecamatan Siberut Selatan Jabatan: Kepala SDN 12 Muntei Kecamatan Siberut Selatan

sendiri, majelis guru ada, kunci agar merasa nyaman dan tidak tertekan mengajari murid yakni kita harus menganggap anak yang kita ajari itu anak sendiri, bagaimana kita memperlakukan anak kandung kita begitu juga perlakukan yang kita berikan kepada murid. Selain itu, kita selalu berusaha memahami psikologi anak dengan bentuk penilaian langsung pada saat belajar dan perkembangan nilai ujianya di sekolah. Perlakuan kepada murid satu dengan yang lain sedikit ada perbedaan yang disesuaikan dengan karakternya. Kita harus pandai mengambil hatinya, kalau mengajarinya dengan cara dipaksa, anak justru berontak sehingga tujuan pembelajaran yang sesungguhnya tidak tercipta. Makanya untuk mengenali karakter psikologi anak, guru-guru pada saat tertentu mengikuti pelatihan yang khusus membahas psikologi dalam belajar. Dan saya rasa hal itu berhasil. Kemudian satu hal yang tak kalah penting adalah sekolah mesti kita anggap rumah sendiri, dengan menanamkan sikap tersebut kita tidak akan terbebani dan malah menikmati. Kita tidak memungkiri di sekolah ada anak yang nakal, itu hal biasa, tinggal sikap kita sebagai pengajar untuk mengarahkan dia. Tahun ajaran 2013/2014, Sekolah Hutan Magosi menjadi bagian dari sekolah anda, apa yang mendorong anda mengadopsi sekolah itu? Pertama saya ingin menyelamatkan pendidikan anak-anak yang ada di Magosi, maksudnya, selama ini anakanak sudah bersekolah namun tingkatannya hanya sampai kelas tiga sementara orang tua yang ada di sana ingin melanjutkan sekolah anak ke jenjang yang lebih tinggi. Timbul keraguan dibenak mereka karena sistim pembelajaran yang

“Yang terpenting komitmen kami bersama yakni bagaimana anakanak di Magosi mendapat pendidikan layak seperti anak-anak lain� dipakai di sekolah hutan dalam banyak hal berbeda. Ditambah lagi mereka tidak memiliki rapor seperti sekolah formal. Beratkah tanggungjawab ini bagi anda? Iya, karena sebagai bagian dari SDN 12 Muntei, saya mesti mengetahui perkembangan sekolah secara langsung bukan hanya dari laporan guru di Magosi. Otomatis untuk ke sana, saya mesti menyusun jadwal khusus karena saya tidak bisa bolak balik karena jaraknya sangat jauh, itu terkait waktu. Sementara untuk perjalanan ke sana tentu saya membutuhkan anggaran yang lebih besar ketimbang di sekolah induk. Intinya butuh waktu, tenaga dan anggaran ekstra agar pengelolaan sekolah itu lebih maksimal seperti sekolah induknya, apalagi dalam tahap awal banyak yang mesti dibenahi. MoU dengan YCMM telah disepakati, apa langkah akan anda

lakukan untuk membenahi sekolah hutan ini? Sebelumnya saya telah berkunjung ke sekolah itu, meski belum rinci, namun hal yang paling utama adalah menyediakan tenaga guru yang mau bekerja di sana. Bersama YCMM dengan dinas cabang, kami sudah rekrut seorang guru yang kebetulan juga menetap di sana. Nah, karena guru itu masih baru dan belum memiliki pengalaman mengajar, pertama yang akan kami lakukan memberi pelatihan mulai dari teknik mengajar, menyusun administrasi sekolah, membuat data murid sekaligus mengisi lapornya serta menyusun satuan pembelajaran yang akan diberikan kepada murid. Setelah itu kita menyusun semua data siswa yang ada, memasukkannya pada format dapodik yang memakai NIK (Nomor Induk Kependudukan) seperti yang dipakai di sekolah formal, karena nantinya sekolah ini akan menjadi salah satu filial. MoU antara saya dengan YCMM sebagai langkah merintis ke arah sana. Untuk kelengkapan data seperti itu, kita akan melakukan komunikasi secara intens dengan YCMM sebagai pelopor sekolah itu. Kemudian kita akan membuat mekanisme belajar sesuai dengan standar formal dengan jadwal belajar yakni mulai Senin hingga Sabtu, kecuali libur nasional. Saat ini dana sekolah tidak mencukupi untuk melengkapi sarana belajar utama seperti buku pegangan guru dan murid, dengan adanya nota kesepahaman ini YCMM akan melengkapinya sesuai kemampuan mereka. Itulah garis-garis besar yang dalam waktu dekat ini akan kami lakukan. Selain itu, dari hasil kunjungan

lapangan, saya juga melihat tempat yang dijadikan ruang belajar untuk tiga kelas masih memakai gereja, tentunya itu jauh dari kata layak dan kurang kondusif untuk belajar. Ini menjadi program jangka panjang. Yang terpenting komitmen kami bersama yakni bagaimana anak-anak di Magosi mendapat pendidikan layak seperti anak-anak lain tanpa dihantui perasaan tidak diterima di sekolah formal jika mau melanjut. Anda sudah ke Magosi, bagaimana dengan dukungan warga sendiri terhadap pendidikan di sana? Mereka sangat mendukung adanya proses yang saat ini dilakukan yakni sekolah anak-anaknya menjadi filial atau diakui pemerintah merupakan harapan terbesar bagi mereka. Memang selama ini mereka mengungkapkan ada sedikit kekecewaan karena guru yang mengajar selama ini bekerja tidak sesuai aturan. Masyarakat menginginkan anak mereka betul-betul belajar seperti sekolah formal. Dengan adanya kerjasama seperti ini dengan YCMM diharapkan proses belajar sesuai standar formal bisa dilaksanakan. Sehingga masyarakat tidak ragu ke mana anaknya akan melanjut karena sudah ada yang menaungi. Kapan sekolah hutan resmi menjadi filial? Itu butuh proses panjang dan mekanismenya tidak mudah, karena mesti melewati prosedur dan persyaratan administrasi yang ketat. Jumlah murid sekolah yang akan jadi filial juga mesti cukup. Yang jelas meski belum menjadi filial, kita secara bersama-sama berusaha proses ini bisa terwujud secepatnya. (g)


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

P

isang, keladi dan kopra merupakan

semusim kini juga mulai dilirik.

komoditi pertanian yang menjadi

Membudidayakan komoditi lokal, menyiapkan

penghasil utama usaha pertanian

bibit unggul dan membantu memasarkan

masyarakat Mentawai sejak dulu. Cengkeh,

hasilnya, itulah yang mesti dilakukan

nilam serta manau juga menjadi penggerak

pemerintah ketimbang membuat usaha

ekonomi masyarakat yang umumnya hidup

perkebunan yang belum tentu berhasil dan

sebagai petani. Kini tanaman coklat juga mulai

sesuai dengan karakter alam Mentawai seperti

menjadi primadona. Komoditi-komoditi lokal

perkebunan sawit.

inilah yang menghidupkan ekonomi

Teks: Yuafriza

masyarakat. Menanam sayuran dan tanaman

Foto: Barbarina, Gerson, Bambang, Irman John

Keladi dan aneka hasil ladang lainnya di jual di pasar Muara Sikabaluan

Warga memanen keladi di salah satu kebun di Desa Malancan,Siberut Utara

Kopra dimuat di dalam karung untuk dibawa ke Pelabuhan Pokai

Kopra dijemur di Muara Siberut

Warga memilih cengkeh hasil panen di Dusun Mabulaubuggei

13


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Banyak peraturan perundang-undangan yang masih mengancam kebebasan pers Bambang Sagurung

H

adirnya Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang pers yang didalamnya menga-

tur kebebasan dan perlindungan terhadap pers tidak serta merta membawa angin segar bagi pers di Indonesia. Tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih terus terjadi dan meningkat. Dalam satu minggu ada satu orang jurnalis yang menjadi korban kekerasan. Yang memprihatinkan, berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, dari 1996 hingga 2012, angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 967 kasus. “Artinya dalam satu tahun ada sekitar 57 jurnalis yang kena kekerasan,” kata Ketua AJI Padang Hendra Makmur dalam acara Bedah Buku “Melawan Ancaman Kekerasan” terbitan LBH Pers Padang, di gedung Caraka Universitas Bung Hatta Padang, Senin, 1 Juli lalu. Dikatakan Hendra yang menjadi editor buku tersebut, ancaman kebebasan pers dapat dilihat dari tiga aspek, diantaranya tingginya tingkat kekerasan fisik dan non fisik, masih adanya gugatan hukum terhadap karya jurnalistik, dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengancam kebebasan pers. Yang lebih merisaukan lagi, ancaman terhadap jurnalis meningkat setelah adanya undang-undang pers No.40 Tahun 1999. Dilihat dari sejarah perjuangannya, Undang-Undang Pers itu muncul karena perjuangan para jurnalis. Ada dua peran yang ada didalam pers itu sendiri diantaranya pers atau jurnalis sebagai pekerja dan juga buruh. Hal ini dapat dilihat ketika jurnalis menghadapi masalah krusial, undang-undang yang dipakai adalah undang-undang ketenagakerjaan, sama dengan karyawan pabrik ban dan karyawan perusahaan lainnya. “Bukan undang-undang pers yang dipakai, ini fakta bahwa jurnalis itu adalah buruh,” kata Kristiawan, Program Officer untuk Media dan Informasi Yayasan Tifa yang hadir sebagai salah satu narasumber bedah buku. Lebih lanjut dikatakan Kristiawan, dibandingkan dengan buruh lain dan pers yang juga disebut sebagai buruh, tampaknya harus lebih bekerja keras lagi dalam melakukan perlawanan. Menjelang pemilu 2014 mendatang, kekerasan terhadap jurnalis akan cenderung naik. media di Indonesia yang liberal menemukan titik pentingnya itu dalam pemilu dimana dalam undangundang penyiaran disebut agar media memberikan kesempatan yang sama

14

Bedah Buku ‘Melawan Ancaman Kekerasan’

Kekerasan Fisik dan Non Fisik Dialami Jurnalis FOTO:BAMBANG/PUAILIGGOUBAT

BEDAH BUKU Ketua AJI Padang Hendra Makmur (kiri) menyerahkan buku kepada peserta bedah buku buku Melawan Ancaman Kekerasan di gedung Caraka Universitas Bung Hatta Padang, 1 Juli 2013

kepada semua partai atau caleg. “Menurut saya kesempatan yang sama itu sifatnya karet,” tegas Kistiawan dengan mencontohkan iklan odol dan iklan politik yang tarifnya sama, kisaran Rp25 juta untuk 15 detik. Selain itu, dari segi pemberitaan atau periklanan, partai politik atau caleg yang memiliki media lebih banyak diberikan porsinya dibandingkan dengan partai politik atau caleg yang tidak punya media. Seperti halnya pada pemilu 2004 dan pemilu 2009 lalu. Pada watu itu yang paling banyak diberitakan yaitu pasangan SBY-Boediono, sementara pasangan Mega-Hasyim paling sedikit. Dalam menghadapi pemilu 2014

mendatang, dikatakan Wawan situasi politik melalui media akan semakin kuat antara yang punya media dan yang tidak. Seperti halnya Harry Tanoesoedibjo yang bergabung dipartai Hanura dengan memiliki MNCTV, Surya Paloh dari Partai Nasdem yang punya Metro TV, Aburizal Bakri (ARB) yang berada di Golkar yang memiliki TVOne. Sementara yang tidak punya PDIP, dan Demokrat. “Sejarah membuktikan kandidat yang banyak diberitakan media naik sebagai presiden mulai dari 2004 dan 2009,” katanya. Kebebasan jurnalis berserikat juga dinilai sangat kurang dan lemah, hal ini dapat dilihat dimanabanyak perusahaan

pers yang membuat kontrak kerja secara sepihak tanpa membuat kontrak kerja sama antara wartawan dengan manajemen. Yang lebih ironisnya, dibuatkan dalam kontrak kerja yang menekankan kalau wartawan tidak boleh menuntut untuk dijadikan karyawan tetap dalam media atau industri media tempat jurnalis bekerja. Abdullah Khusairi yang ikut menjadi pemateri mengatakan pers yang selama ini dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi hanyalah sebagai semboyan dan slogan saja. “Reporter, jurnalis, wartawan hanya sebagai elemen terkecil dari pilar demokrasi, bukan sebagai penentu” tegasnya.

Panitera dan Pengganti Panitera Melakukan Aksi Mogok PADANG - Panitera bersama pengganti panitera Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat melakukan aksi mogok mengikuti persidangan 2 Juli lalu. Mereka menuntut tunjungan dinaikkan. Akibat aksi tersebut, sidang yang seharusnya berlangsung pada pukul 09.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB tidak berlangsung, hakim tetap datang di ruang sidang dan pihak jaksa juga datang, namun panitera tidak masuk. Akhirnya hakim yang memimpin sidang menunda

persidangannya. “Kami menuntut penambahan tunjungan kami dinaikkan, selama ini kami hanya dibayar Rp360 ribu per bulan, sementara kami harus bekerja mulai pukul 08.30 WIB sampai 16.30 WIB,” ujar salah satu panitera bernama Lala, ia enggan menyebutkan nama lengkapnya, Selasa 2 Juli. Menurut Lala, tunjangan yang diterima panitera dan pengganti panitera hanya sedikit. Padahal mereka seringkali lembur kerja, kadang sidang selesai jam 18.00 WIB sampai 19.00 WIB. “Sementara

kami punya akak, tunjangan seperti ini mana cukup untuk keluarga kami,” katanya. Menurut Lala, mereka hanya menyuarakan aspirasi, keputusan selanjutnya tergantung pimpinan mereka. “Kami hanya menyuarakan aspirasi kami semuanya, supaya ini didengarkan oleh para pemimpin,” ujarnya. Dari pantauan Puailiggoubat di PN Padang, sebagian panitera yang melakukan aksi mogok hanya duduk di kantor panitera bagian belakang PN Padang. Mereka juga melakukan aksi diam. (r)

Lebih lanjut dikatakan Khusairi, kalau UU. No. 40/1999 diutak-atik sedikit untuk meningkatkan derajat pers seperti undang-undang lainnya maka derajat wartawan, jurnalis, reporter sebagai pers akan naik sedikit. Yang terjadi selama ini UU Pers itu hanya duduk disitu saja. Dilihat selama ini jurnalis hanya mampu membangun citra seseorang untuk menjadi presiden tetapi wartawan tidak mampu membangun citra dirinya sendiri. Jurnalis juga selama ini hanya berani melakukan perlawanan diluar media itu sendiri, sementara jurnalis sebagai awak media tidak berani melakukan perlawanan didalam media itu sendiri, seperti wartawan didaerah tidak digaji layak seperti wartawan lainnya yang ada di Jakarta, sementara wartawan yang ada didaerah lebih banyak menguasai berbagai hal. “Ketika awak media tidak pernah melakukan perlawanan didalam media itu sendiri maka selama itu media tidak berperan sebagai pilar demokrasi ke empat”, kata Yose Hendra, wartawan Media Indonesia. Hal yang senada juga disampaikan Khalid Saifullah, Direktur Walhi Sumbar yang hadir dalam acara. Kekerasan yang diwaspadai dan juga banyak diterima oleh jurnalis yaitu kekerasan non fisik, seperti tidak diupah layak. “Karena ini berdampak terhadap psikologis jurnalis itu sendiri,” katanya. (bs/o)


15

Puailiggoubat

SEPUTARSUMBAR

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Inflasi di kota Padang mencapai 7,1 persen, laju inflasi diantaranya dipengaruhi naiknya harga-harga kebutuhan pokok

Awal Puasa

Harga Sembako Merangkak Naik FOTO:SYAFRIL/PUAILIGGOUBAT

Rus Akbar

emasuki puasa, harga sejumlah bahan pokok mulai naik terutama harga cabai, bawang, daging, minyak curah. Hal itu terungkap saat Tim Pengendali Inflasi Sumatera Barat melakukan pemantauan ke pasarpasar tradisional di Kota Padang. Dari pantauan tersebut, harga cabai merah Rp25 ribu per kilogram naik menjadi Rp40 ribu per kilogram. “Harga ini sudah lumayan turun Rp5 ribu pak, kemarin harga cabai ini menembus Rp45 ribu per kilogram, inipun dari cabai Jawa, kalau cabai lokal saja di level petani sudah Rp40 ribu, belum di tingkat pedagang,” ujar Ujang, pemilik kios di Pasar Raya Timur, Padang, Senin 8 Juli. Sedangkan bawang merah harganya juga naik dari Rp16 ribu per kilo menjadi Rp20 ribu, hanya bawang putih yang bertahan 1 kilogram seharga Rp18 ribu,” tambahnya. Sementara minyak goreng curah naik sudah dua minggu, harga sebelumnya Rp9.000 per kilogram naik menjadi Rp9.500 per kilogram. Harga daging ayam juga naik menjadi Rp38 ribu per kilogram. “Kalau harga standar ayam potong ini harga per kilogramnya hanya Rp16 ribu saja, tapi ini sudah naik menjelang puasa,” ujar Satria, pemilik kios ayam di Pasar Raya Padang.

M

HARGA NAIK - Harga sejumlah kebutuhan pokok termasuk sayur-mayur di Pasar Raya Padang melambung menjelang masuknya bulan Ramdhan Tak mau kalah, harga daging sapi juga terkerek naik, dari harga Rp90 ribu naik menjadi Rp95 ribu per kilogram. “Naiknya daging ini disebabkan pemilik sapi menjualnya mahal apalagi menjelang Ramadan ini dan permintaan juga meningkat,” kata Yurnadi (54), penjual daging. Daging sapi di Padang biasanya pasokan lokal seperti Kabupaten Solok, Alahan Panjang, Pesisir Selatan dan

Pariaman. “Satu hari kita bisa menjual 250 kilogram, namun karena menjelang bulan puasa ini bisa saja permintaan naik menjadi 400 kilogram,” kata Yurnadi. Wardarusmen, Ketua Tim Pengendali Inflasi Sumatera Barat menjelaskan, naiknya harga bahan pokok ini tidak dipengaruhi kenaikan harga BBM melainkan menjelang puasa ini banyak permintaan dari masyarakat. Sementara pasokan barang berkurang. “Hasil

montoring kita di pasar, naiknya harga ini akibat permintaan yang banyak, sementara pasokan barang kurang,” ujarnya usai melakukan pemantauan harga di Pasar Raya Padang. Lanjutnya seperti harga cabai, itu tidak ada korelasinya dengan kenaikan harga BBM melainkan itu korelasi dengan permintaan yang banyak. Hasil pantauan ini akan dilaporkan ke Pemerintah Provinsi Sumbar untuk mengkaji

kenaikan harga tersebut. “Kalau beras kita bisa melakukan operasi, namun karena ini kebutuhan pokok berupa cabai, daging, minyak, itu koordinasi dengan SKPD provinsi dulu, mungkin bisa dilakukan pasar murah,” katanya. Sementara itu, Asisten Direktur Bidang Ekonomi Bank Indonesia (BI) Sumbar Erwin Syafii mengatakan sejak Juni 2012 sampai Juni 2013 telah terjadi inflasi di Kota Padang sebanyak 7,1 persen. “Inflasi ini akibat pengaruh harga 300 lebih komoditi yang dicatat Badan Pusat Statistik Sumbar, itulah penyebab terjadi inflasi,” katanya. Kebanyakan inflasi itu berasal dari bahan makanan, sejak tahun lalu ini sudah mencapai 11 persen inflasinya. “Ini khusus makanan saja, sebab bahan makanan itu harganya akan naik kalau pasokannya berkurang, atau terjadi gagal panen, atau masalah distribusi transportasi, harga akan turun kalau pasokan barangnya melimpah,” katanya. Erwin memperkirakan harga akan mulai turun Agustus mendatang, sebab sudah dua bulan terjadi kenaikan harga. “Solusi lain adalah membatasi diri untuk membeli bahan makanan yang berlebihan,” ujarnya. Masalah lain yang muncul, keinginan untuk membeli tidak terbendung, dengan kondisi itu tentu pedagang akan menaikkan harga seenaknya. “Agar tidak terjadi kenaikan harga tahan diri untuk berbelanja,” katanya. (o)

Gempa Aceh Bisa Pengaruhi Segmen Suliti dan Sumpur di Sumbar PADANG - Gempa 6,2 SR pada Selasa 2 Juli lalu di Kabupaten Bener Meriah, Aceh bisa memicu gempa dua segmen patahan Sumatera terutama di empat segmen yang ada di Sumatera Barat. Menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Barat Ade Edward, segmen patahan yang ada di Sumbar itu adalah segmen Sumpur di Kabupaten Pasaman, segmen Sianok di Kabupaten Agam sampai Danau Singkarak di Kabupaten Tanah Datar, Segmen Sumani di Kabupaten Solok, dan Segmen Suliti di Kabupaten Solok Selatan.“Dari empat segmen itu, segmen Suliti dan Sumpur patut diwaspadai sebab sudah 150 tahun segmen ini tidak bergerak, sementara segmen Sianok begerak tahun 2013 dan Sumani itu sudah bergerak pada tahun 2007 dengan kekuatan 6,4 SR itu sudah meluluhlantakkan Solok,” ujar Ade kepada Puailiggoubat, Jumat 5 Juli. Kata Ade, segmen Suliti ini

mengarah ke daerah Alahan Panjang, Surian sampai Muara Labuh. Sementara untuk segmen Sumpur jalurnya Bukittinggi, Lubuk Sikaping, Panti, Rao-Rao. “Setiap tahun segmen itu bergeser 23 milimeter atau 2,3 meter per sera-

tus tahun, itu besar rengkahannya, gempa terakhir di daerah Sumpur 7,4 SR itu menghancurkan Sumbar,” ujarnya. Menurut Ade, jalur gempa Aceh itu sama dengan jalur yang ada di Sumbar, itu makanya berpengaruh.

“Saat ini yang dibutuhkan adalah kesiapsiagaan masyarakat begitu datang gempa langsung keluar rumah, begitu juga kita tidak tahu kapan datangnya gempa itu yang penting waspada, tak hanya itu dikawasan longsor juga perlu waspada,” ujarnya.

Tambah Ade, sifat gempa di patahan Sumatera adalah pergeseran lempeng secara mendatar, bergetar menghentak, tapi tak terlalu lama. “Sifat itu lebih merusak dibanding dengan gempa subduksi atau tabrakan lempeng samudera,” katanya. ( r )

“Pasukan Kuning” Mogok Bersihkan Kota Padang PADANG - Petugas kebersihan di Kota Padang mogok bekerja. Mereka menuntut dinaikkan upah kerja dari Rp630 ribu menjadi Rp1,35 juta, sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). “Gaji Rp600 ribu sebulan itu tidak cukup untuk kehidupan keluarga kami, kerja delapan jam, ditambah lagi harga BBM naik, dipotong pula Rp100 ribu, jadi kami bersih terima hanya Rp530 ribu saja,” kata Defrizal, Koordinator Lapangan saat melakukan aksi di depan kantor DPRD Kota Padang di jalan

Sawahan, Jumat 5 Juli. Gaji tersebut habis untuk ongkos ke kantor saja, tidak cukup untuk menafkahi keluarga. “Ini tahun yang susah bagi kami, kami butuh DPRD untuk memasukkan anggaran gaji mereka dalam APBD perubahan,” tambahnya. Total pekerja kebersihan kota Padang ini 800 orang, 370 orang adalah tenaga honor yang melakukan aksi mogok ini. “Memang ada PNS yang bekerja dibawah naungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Padang, itu jumlah 430 orang, dengan jumlah tersebut

tidak sanggup mereka membersihkan sampah,” ujarnya. Saat aksi, para petugas kebersihan yang biasanya berkostum kuning ini meminta jaminan dan perlindungan tenaga honor kepada DPRD, kalau nantinya mereka diberhentikan akibat melakukan aksi damai ini. “Kita bersama-sama berjuang untuk mendapatkan gaji 13 dari DKP Padang,” lanjut Defrizal. Tak hanya pekerja, truk juga mereka parkir di pos mereka di kawasan Air Pacah Padang. “Tadi anggota DPRD telah menyepakati

dengan tim kita, mereka siap menambah gaji, tapi anggarannya pada APBD Perubahan dan saat mengkaji tim mereka harus ikut mendampingi,” ujarnya. Setelah mendapatkan tanggapan dari DPRD, pukul 11.00 WIB para petugas kebersihan itu kembali ke pos mereka di Air Pacah. “Kalau tidak ada tanggapan DPRD, kami akan melakukan aksi mogok selama lima hari, tapi karena sudah ditanggapi besok sudah mulai kerja lagi,” kata Defrizal. (r)


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

8

Suara Puailiggoubat (Merindukan) Kebijakan yang Pro Rakyat

P

ada 30 Juli ini, dua perusahaan perkebunan sawit yang mendapat izin lokasi pembangunan perkebunan kepala sawit di Kabupaten Mentawai akan habis masa berlakunya. PT Swastisiddhi Amagra mendapat konsensi seluas 20.000 hektar di Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sikakap. Sementara PT. Rajawali Anugrah Sakti mendapat konsensi 14.000 hektar di Sipora Utara dan Sipora Selatan. Izin tersebut dikeluarkan 2010 lalu oleh Bupati Mentawai yang ketika itu dijabat Edison Saleleubaja. Izin itu berlaku selama tiga tahun hingga 30 Juli 2013. Izin bisa diperpanjang bupati hingga satu tahun ke depan. Namun selama tiga tahun, pihak perkebunan sawit tidak berhasil mendapat lahan yang dibuktikan surat pernyataan penyerahan lahan oleh masyarakat. Meski beberapa masyarakat bersedia lahannya dijadikan perkebunan sawit, namun mayoritas menolaknya. Perubahan status lahan masyarakat menjadi Hak Guna Usaha menjadi sebab. Masyarakat ternyata tidak rela jika lahan yang sudah menjadi warisan turun temurun dan menjadi sumber ekonomi keluarga berpindah tangan menjadi milik orang lain. Acap kali terjadi, perkebunan skala besar yang mendapat alokasi lahan dari pemerintah daerah, lokasinya tumpang tindih dengan lahan masyarakat lokal. Disinilah konflik sering terjadi. Setelah tiga tahun terjadi pro dan kontra, kini mayoritas masyarakat di Kecamatan Sikakap, Pagau Utara dan Selatan menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit. Sikap penolakan masyarakat ini mestinya sudah bisa menjadi alasan bagi Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet untuk tidak memperpanjang izin lokasi yang dikeluarkan bupati sebelumnya. Ketegasan bupati untuk berpihak kepada rakyat saat ini amat diperlukan, apalagi ditengah keterpurukan mayoritas masyarakat di Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sikakap pascabencana gempa dan tsunami 2010. Mengembalikan kepercayaan masyarakat sangat penting untuk membangun Mentawai ke depan. Mengembangkan komoditi pertanian lokal, mestinya itulah yang harus dilakukan pemerintah. Selama ini para petani seolah-olah kurang diperhatikan. Masih banyak persoalan dan masalah yang dihadapi petani Mentawai. Mulai soal pengetahuan, wawasan, teknologi, transportasi, bibit hingga pemasaran. Semestinya, hal-hal inilah yang harus diatasi pemerintah ketimbang mencari jalan singkat dengan investasi baru yang belum tentu cocok dan sesuai. z

16

Jati Diri Orang Mentawai K

ebudayaan Mentawai mengacu pada keyakinan asli orang Mentawai yang didasari pada kosmologinya yang disebut dengan Arat Sabulungan, yang oleh orang Mentawai dipakai untuk memahami lingkungan, guna mencapai kesejahteraan dari masyarakatnya. Kesejahteraan anggota komuniti bagi orang Mentawai diartikan sebagai keselarasan kehidupan dengan lingkungannya yang juga merupakan pandangan hidup dari orang Mentawai. Arat Sabulungan atau arti harafiahnya adalah adat daun-daunan, merupakan perwujudan dari pemahaman orang Mentawai terhadap hutan beserta isinya yang di dalamnya terdapat ajaran keagamaan orang Mentawai, bahwa setiap daun mempunyai sifat yang menghantarkan manusia kepda keseimbangan dalam kehidupan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Diyakini bahwa pada setiap daun terdapat dan hidup makhluk-makhluk supranatural yang memberi sifat pada daun tersebut dan mengarahkan kehidupan manusia sehingga dipercaya bahwa berjalannya kehidupan manusia tergantung pada sifat dari daun-daun tersebut. Masing-masing daun akan mempunyai sifat sendiri-sendiri yang terbagi dalam dua sifat besar yaitu sifat negatif yang merugikan kehidupan manusia dan sifat positif yang menguntungkan kehidupan manusia. Daun digunakan untuk memanggil rohroh leluhur, sarana mencapai keseimbangan kehidupan, bahan penyembuhan penyakit, sebagai sarana mencari keselamatan dan akhirnya daun sebagai salah satu syarat penting untuk pelaksanaan upacara dalam mencapai kesejahteraan manusia. Segala keinginan manusia harus selaras dengan keinginan dari penghuni alam supranatural dan ini dapat diselaraskan dengan sifat dari daundaunan. Sehingga pola kehidupan orang Mentawai yang merupakan tradisi dipolakan oleh sifat dan perlakuan terhadap daun dan menjadi sebuah adat, adat daun-daunan. Menurut cerita dari beberapa orang Mentawai, nama Mentawai diambil dari kata Simateu, sebuah sebutan pemuda dalam bahasa Mentawai. Simateu berawal dari sebutan untuk nama seorang pemuda yang sebenarnya bernama mateu akan tetap berdasarkan kebiasaan, nama ini ditambah dengan awalan si yang menunjukkan orang ketiga sehingga akhirnya menjadi simateu. Kata ini sering diucapkan oleh penduduk

oleh: Bambang Rudito Pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung sampai sekarang untuk menunjukkan diri sebagai orang Mentawai atau pemuda Mentawai. Disamping pendapat tersebut, beberapa orang dari pulau Siberut mengatakan bahwa istilah Mentawai datang dari kata Simatalu yang berarti Yang Mencipta atau Tuhan. Di salah satu daerah di pulau Siberut terdapat daerah bernama Simatalu, dusun ini terletak di sebelah barat pulau Siberut (salah satu dari pulau di kepulauan

menuju ke Simalegi. Dari proses perpindahan tersebut menyebabkan bertambahnya kosa kata dan berubahnya dialek-dialek kelompok orang tersebut, perubahan ini disebabkan adanya perbedaan lingkungan yang ditemuinya. Orang Mentawai hanya mengenal bahasa lisan yang selalu dituturkan oleh anggota masyarakatnya dalam berinteraksi antara sesamanya. Perkembangan bahasa yang ada pada

Mentawai). Dari daerah inilah dianggap oleh sebagian besar orang Mentawai sebagai daerah asal muasal penduduk asli Mentawai. Di wilayah Simatalu mengalir sungai Simatalu dan menurut orang-orang di Simatalu dan beberapa daerah di sekitarnya menyatakan bahwa Simatalu berasal dari kata Mataluet yang bermakna aliran sungai yang sering terjadi banjir. Dari keadaan alam tersebut yakni sering terjadi banjir, maka menurut cerita, banyak orang-orang yang bergerak bermigrasi ke timur, ke utara dan ke selatan. Ke timur menuju hulu sungai Siberut, ke timur laut menyusuri sungai Saibi dan ada yang menggeser ke barat laut Simatalu

orang Mentawai akan mengikuti arah gerak dari perkembangan masyarakat dalam bermigrasi. Artinya simbolsimbol yang masuk sebagai simbol dalam bahasa akan mewakili bentuk lingkungan yang ada, bila lingkungan berubah maka akan muncul simbol yang baru untuk mengartikan lingkungan yang baru tersebut. Mudahnya orang Mentawai memecah diri dari lineage-nya memungkinkan munculnya ragam bahasa baru, hal ini dimungkinkan karena kelompok masyarakat yang memecah diri tersebut akan bermigrasi ke daerah lain. Bahasa yang dituturkan oleh orang Mentawai dapat dibagi ke

dalam dua dialek. Pertama, dialek simalegi yang berlokasi di sebelah utara dan tengah Siberut. Kedua, dialek sakalagan digunakan di selatan Siberut, Sipora, dan Pagai. Peneliti lain menulis bahwa 13 dialek dapat diidentifikasi dari bahasa Mentawai yang tersebar di seluruh kepulauan. Dialek-dialek tersebut adalah Sikakap, Sipora, Taileleu, Maileppet, Sarereiket, Silaoinan, Saibi, Sagulubbe, Paipajet, Simatalu, Sikabaluan, Terekan dan Simalegi. Semua dialek-dialek ini tersebar di pulau-pulau di kepulauan Mentawai. 11 dialek tersebar di pulau Siberut dan hanya dua dialek tersebar di pulau-pulau lainnya. Dari dialekdialek yang tersebar ini dapat dilihat juga bahwa orang Mentawai berasal dari pulau Siberut karena sebagian besar dialek terdapat di pulau Siberut. Umumnya seluruh anggota orang Mentawai dapat mengerti masingmasing dialek. Dalam rentang waktu tertentu terjadi perubahan-perubahan sosial di dalam kehidupan masyarakat Mentawai, hal ini dengan adanya perbaikan sarana transportasi antar daerah di Mentawai. Dengan adanya sarana perhubungan darat yang relatif membaik, maka terjadi pergeseranpergeseran dalam kehidupan social khususnya orientasi ekonomi, pendidikan, kesehatan yang secara signifikan mengalami pergeseran. Hal yang menarik untuk dipahami adalah adanya kekuatan jatidiri sebagai orang Mentawai yang mendasari pengetahuan kebudayaan dari orang Mentawai masih tetap dipertahankan yaitu adanya keselarasan dengan lingkungannya. Keadaan ini ditunjukkan dengan masih berfungsinya peran sikerei dalam memahami kosmologi yang ada. Ketaatan orang Mentawai terhadap sikerei membuat atau mendorong kekuatan strategi adaptasi budaya dari orang Mentawai terhadap perubahan lingkungan sosial yang ada sehingga orang Mentawai dapat menjadi tuan rumah di lingkungan kebudayaan Mentawai. Perubahan-perubahan sosial memang terjadi karena adanya pengenalan sistem perekonomian dari luar Mentawai dan sistem pendidikan serta kesehatan yang juga dari orang luar. Perubahan-perubahan sosial ini tidak serta merta dapat menggeser atau mengubah kebudayaan orang Mentawai khususnya daerah pedalaman. (Artikel ini merupakan bagian dari artikel berjudul ‘Orang Mentawai’, disampaikan dalam Seminar Budaya Mentawai, Museum Adityawarman, pertengahan Juni 2013)


17

Puailiggoubat

PODIUM

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Jurnalisme Partisan A

da yang tidak biasa pada perayaan Hari Pers Nasional (HPN) di Manado, 8-12 Februari 2013. Dahulu, insan media, khususnya wartawan menuntut dijaminnya kemerdekaan pers, khususnya dari pemerintah yang seringkali menghambat arus informasi. Pada HPN 2013, justru pihak pemerintah yang bertanya tentang kemerdekaan media, khususnya kemerdekaan newsroom dari campur tangan para pemiliknya. Keprihatinan ini diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring pada acara Konvensi Nasional Pers, 8 Februari 2013. Hal yang sama juga diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara puncak HPN, 12 Februari 2013. Secara lebih terbuka Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengungkapkan apakah wartawan MNC Group merdeka dari intervensi Hary Tanoesudibyo, apakah wartawan Trans Corporation bisa merdeka dari campur tangan Chairul Tanjung, apakah wartawan Viva News (ANTV, TvOne) bebas dari intervensi Aburizal Bakrie, apakah wartawan MetroTV bisa bebas dari pengaruh Surya Paloh, dan apakah wartawan Jawa Pos Grup bisa benar-benar independen dari pengaruh Dahlan Iskan. Mendengar pidato Margiono, banyak yang hadir pada acara puncak HPN itu tersenyum simpul, bahkan sebagian lagi ada yang tertawa. Norma Tertulis Secara normatif, sesungguhnya wartawan, newsroom, merdeka dari campur tangan siapa pun, bebas dari campur tangan politik maupun uang. Ada firewall, dinding api, yang menjaga kemerdekaan newsroom dari bujukan pemasang iklan atau kekuasaan apa pun. Kode Etik Jurnalistik, Pasal 1, menegaskan: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Penafsiran: a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Jadi, siapa pun dilarang mengintervensi wartawan dalam

menyampaikan oleh: Muhammad Ridlo Eisy berita. Bahkan Anggota Dewan Pers Pasal 18 ayat (1) UU no 40/1999 tentang Pers menyatakan:”Setiap melakukan intervensi kepada orang yang secara melawan hukum newsroom, kepada wartawan? dengan sengaja melakukan tin- Sampai saat ini belum pernah dakan yang berakibat menghambat terjadi konflik terbuka antara atau menghalangi pelaksanaan wartawan dengan pemiliknya. Ada beberapa kemungkinan, ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara mengapa konflik itu tidak terjadi. paling lama 2 (dua) tahun atau Pertama, wartawan pada media itu denda paling banyak sudah mengetahui siapa pemilik Rp500.000.000,00 (lima ratus juta media itu, sehingga kalau mereka tidak setuju terhadap sikap dan rupiah).” Sedangkan Pasal 4 ayat (2) kebijakan pemilik tersebut, maka berbunyi: “Terhadap pers nasional mereka tidak akan bergabung tidak dikenakan penyensoran, dengan media itu. Dengan depembredelan atau pelarangan mikian personel media itu dari penyiaran.” Dan Pasal 4 ayat (3) pemiliknya sampai dengan

berbunyi: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Dengan ketentuan setegas ini, baik dalam etika maupun hukum, pemberitaan media sulit diintervensi oleh siapa pun, termasuk pemilik perusahaan media. Bahkan beberapa media membuat ketentuan internal perusahaan berupa standar berita layak muat dan prioritas pemberitaan media, agar pemberitaan tidak diintervensi oleh pemilik media. Belum Ada Konflik Terbuka Bagaimana dalam prakteknya, apakah benar pemilik media tidak

wartawannya relatif homogen. Kedua, biasanya pemilik media sangat luwes dalam bergaul dan mengendalikan perusahaan media. Andaikata ada perbedaan pandangan antara pemimpin redaksi dengan pemilik media, dalam jangka pendek, pemilik media hampir selalu mengalah. Namun dalam jangka panjang, dengan berbagai aturan perusahaan, pemimpin redaksi dan jajarannya akan seiring sejalan dengan sikap dan kebijakan pemilik media tersebut. Bisa saja beberapa bulan kemudian Pemimpin Redaksi itu diangkat menjadi Direktur Pemasaran. Biasanya, untuk mencegah terjadinya konflik antara pemilik media dengan

pemimpin redaksi, pemilik media akan sangat hatihati waktu menentukan pilihan pemimpin redaksi media yang dimilikinya. Alat Cuci Otak Masyarakat Dalam prakteknya sangat sulit bagi jajaran pemberitaan untuk tidak menyiarkan kegiatan para pemilik media. Sangat sulit pemimpin redaksi menyatakan bahwa kegiatan pemilik media tempat dia bekerja itu tidak layak muat. Misalnya, pemilik media itu sedang membagi-bagi beras kepada masyarakat miskin, atau sewaktu pemilik media itu sedang melakukan pidato politik di depan

aktivis partai politik tersebut. Menjelang pemilihan umum, para pemilik media yang kebetulan aktif dalam partai politik akan lebih sering berkiprah dalam kegiatan partai politiknya. Sebegitu seringnya kegiatan partai politik tersebut dan para tokohnya disiarkan, berulang-ulang, dari pagi sampai pagi lagi, sehingga rangkaian pemberitaan itu bisa dikategorikan sebagai upaya mencuci otak masyarakat, agar masyarakat itu bergabung dengan partai politik pemilik media. Wartawan di media itu mempraktekan jurnalisme partisan. Harus dicatat, bahwa para pengelola media tersebut adalah orang-orang yang kompeten dan

ahli di bidangnya. Mereka sangat faham etika dan peraturan perundangan tentang media. Mereka juga sangat faham bahwa dalam masyarakat majemuk diperlukan diversity of voices, keragaman suara. Dengan sedikit kosmetik dalam kebijakan pemberitaan, media partisan itu seakan-akan melakukan semua ketentuan yang ada, sehingga sulit diamati bahwa medianya sedang melakukan cuci otak masyarakat dan mempraktekkan jurnalisme partisan. Melek Media Dalam keadaan media seperti sekarang ini, mau tidak mau masyarakat harus melek media. Masyarakat perlu memahami kebijakan media yang ada, mengenal siapa pemiliknya, mengenal kecenderungan kebijakan pemberitaan media tersebut. Jika mereka menganggap media tersebut tidak cocok dengan pemikirannya, lakukanlah kritik dan koreksi, agar media tersebut mengakomodir pemikirannya. Jika setelah dikritik, tetap tidak ada perubahan, mereka perlu mencari media yang masih membuka peluang untuk menyiarkan pemikiran-pemikiran yang dianggapnya baik. Perlu dicatat, jika perkembangan media seperti sekarang terus berlanjut, maka akan terjadi pengelompokan khalayak media. Masyarakat yang pro partai politik A akan menjadi khalayak dari media yang dimiliki partai A, sedangkan masyarakat yang pro partai B akan menjadi khalayak dari media yang dimiliki partai B. Keadaan seperti ini mirip dengan keadaan media pada awal Orde Baru. Lalu bagaimana dengan masyarakat mengambang, yang tidak menjadi anggota partai A atau B, yaitu masyarakat yang lebih memilih program daripada memilih partai? Bagi masyarakat mengambang seperti ini, mereka harus lebih aktif mengamati media, sekali waktu mereka menyimak media partai A, sekali waktu menyimak media partai B, atau mencari media yang benar-benar independen. Dan pada waktunya, mereka menentukan pilihan yang mereka anggap baik untuk negara dan masyarakat. (Artikel ini dimuat di Situs Dewan Pers)


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Lima tahun berjuang agar dilirik pemerintah, tahun ini Sekolah Hutan Magosi dan Tinambu resmi menjadi bagian sekolah negeri dan berganti nama menjadi Sekolah Uma.

18

Resmi Menjadi Bagian Sekolah Negeri

Sekolah Hutan Jadi Sekolah Uma FOTO:SYAFRIL/PUAILIGGOUBAT

Gerson Merari Saleleubaja

enandatanganan nota kesepahaman antara Kepala SDN 12 Muntei Kecamatan Siberut Selatan, Netty Anwar dan Plt,Kepala SDN 16 Saliguma, Laurensius dengan Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Roberta Sarokdok menandai babak baru status Sekolah Hutan Magosi dan Tinambu di Siberut, Kabupaten Mentawai, Senin 1 Juli lalu. Sekolah Hutan Magosi di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan dan Sekolah Hutan Tinambu di Desa Saliguma Kecamatan Siberut Tengah yang didirikan YCMM tahun 2008 kini menjadi bagian dari sekolah resmi pemerintah. MoU tersebut diantaranya berisi sistim pengelolaan sekolah hutan, intinya, anak yang telah lulus sekolah hutan yang hanya sampai kelas III berhak melanjut ke kelas IV di SD 12 Muntei untuk yang Magosi dan SDN 16 Saliguma untuk Tinambu. Sebelum MoU ditandatangani, didiskusikan juga soal penamaan sekolah hutan yang melibatkan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Siberut Selatan dan Tengah, Hijon Tasirilotik dan Jendam Purba, Plt.Kepala SDN 16 Saliguma Laurensius, Kepala SDN 12 Muntei Netty Anwar, Pengawas Sekolah Dinas Cabang Pendidikan Siberut Selatan Taruli Tambunan, Direktur YCMM Roberta Sarokdok serta sejumlah staf. Netty Anwar menyebutkan, nama sekolah hutan tidak tepat karena proses belajar mengajar yang selama ini dilakukan tidak di hutan, tempatnya jelas berada dalam komunitas masyarakat yang telah mengenal aturan. “Kita harus mengganti nama, menurut saya dan beberapa orang, nama sekolah hutan kesannya agak negatif. Apalagi saat ini, Sekolah Hutan Magosi pada tahun ajaran 2013/2014 di bawah naungan sekolah saya,” katanya. Menanggapi usul Netty, salah seorang Dewan Pembina YCMM, Rachmadi mengatakan, penamaan sekolah hutan berangkat dari filosofi kedekatan sekolah itu terhadap dimensi di Mentawai yang menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan. “Saya tidak memungkiri di kalangan birokrasi, pemakaian nama itu membuat kurang nyaman, namun tidak tertutup kemungkinan mengubah dengan nama baru yang lebih diterima semua pihak,”

P

TANDATANGAN MoU Pelaksana Tugas Kepala SDN 16 Saliguma, Siberut Tengah, Laurensius (kiri) bersama Direktur YCMM, Roberta Sarogdog (tengah) dan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Siberut Tengah, Jendam Purba menandatangani nota kesepahaman (Mou) pengelolaan sekolah hutan Magosi dan Tinambu di sekretariat YCMM Padang 1 Juli lalu.

katanya. Setelah diskusi yang cukup hangat, semua yang hadir menyepakati nama baru yakni sekolah uma. Setelah urusan nama selesai, diskusi dilanjutkan membahas nota kesepahaman terkait kurikulum, kompetensi guru, monitoring, pengawasan dan evaluasi dan sarana prasarana. Sekolah Uma diputuskan akan memakai perpaduan kurikulum lokal yang sudah diajarkan selama ini dengan kurikulum nasional berdasarkan jenjang kelas yang diajarkan pada SDN yang menaunginya. Untuk mengakomodir perpaduan tersebut, masing-masing pihak setuju untuk menggunakan rapor yang digunakan SDN tersebut, dengan kewenangan bagi sekolah uma untuk mengisikan hasil evaluasi belajar atas mata pelajaran lokal. YCMM dan SDN 12 Muntei dan SDN 16 Saliguma juga sepakat melakukan peningkatan kapasitas dan kompetensi guru-guru sekolah uma baik melalui Kelompok Kerja Guru-guru (KKG) dan kegiatan lainnya yang tersedia berdasarkan sumber daya dan kewenangan yang dimiliki. Tanggungjawab dan kewenangan monitoring, pengawasan dan evaluasi terhadap jalannya proses belajar mengajar di sekolah uma dilakukan masingmasing pihak yang bersifat situasional. Kewenangan yang dimaksud berupa meminta informasi dan keterangan dari guru, murid dan orang tua murid, baik dengan cara dipanggil atau dengan kunjungan langsung ke lokasi sekolah Uma. Meminta laporan tertulis dan lisan operasional kegiatan belajar mengajar

dari guru sesuai dengan standar SDN induknya. Mengunjungi dan mengamati secara langsung proses belajar mengajar di Sekolah Uma. Memberikan masukan, teguran kepada guru-guru Sekolah Uma sepanjang terkait dengan perbaikan proses belajar mengajar. Memberikan saran dan masukan serta rekomendasi hasil evaluasinya atas operasionalisasi Sekolah Uma kepada YCMM. Sementara YCMM bertanggungjawab menggaji guru sekolah uma serta menyediakan sarana-prasarana belajar. Sementara SDN induk mendukung hal itu sesuai dengan kemampuan dan ruang lingkup kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepala Cabang Dinas Pendidikan Siberut Selatan Hijon Tasirilotik mengatakan, langkah ini merupakan sebuah langkah maju untuk meningkatkan pendidikan di Mentawai. Hijon menyebutkan, penandatangan ini merupakan tindak lanjut dari janji Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet yang disampaikannya saat mengunjungi korban banjir di Magosi, 11 April 2013. Saat itu bupati berjanji menjadikan Sekolah Hutan Magosi menjadi filial. MoU ini merupakan yang kedua dilakukan, sebelumnya Hijon pernah menandatangani nota serupa dengan YCMM pada 24 Januari 2013 ketika masih menjabat Kepala SDN 16 Saliguma, intinya nota tersebut menyebutkan bahwa murid dari sekolah hutan bisa melanjut ke SDN 16 Saliguma. Nota itu nekat ia tandatangani tanpa izin dari Dinas Pendidikan di Tuapeijat karena merasa prihatin terhadap kelan-

jutan anak-anak yang lulus dari sekolah hutan yang bingung melanjutkan ke kelas IV karena sekolah itu hanya mengajarkan hingga kelas III. “Semangatnya hanya satu, anak-anak sekolah hutan mendapat pendidikan yang layak,” ujarnya. Sementara Jendam Purba mengatakan, sekolah hutan yang berganti nama menjadi sekolah uma tidak serta merta menjadi filial, baik filial SDN12 Muntei maupun SDN 16 Muntei. Menurut Purba, tahapan yang akan dilalui masih panjang yakni mulai dari data sekolah, administrasi, jumlah murid dan terutama sistim penganggaran di sekolah filial. “Jika melihat MoU itu sudah tepat, karena kalau langsung menjadi filial itu cukup berat terutama anggaran, kalau itu menjadi filial maka konsekuensinya adalah sekolah induk mesti bertanggungjawab secara penuh terutama anggaran sekolah baik operasional, gaji guru dan lain sebagainya, saya rasa untuk tahap awal itu sangat bagus,” katanya. Untuk membenahi sekolah, Taruli Tambunan, salah satu pengawas sekolah di Dinas Cabang Pendidikan di Siberut Selatan menyebutkan, mereka siap melakukan evaluasi maupun pemeriksaan mendadak baik yang melibatkan sekolah induk dan YCMM maupun tidak. “Hal ini untuk memastikan proses belajar mengajar serta kinerja guru sesuai yang kita harapkan bersama,” katanya. Di sisi lain, keterbukaan menerima sekolah uma menjadi bagian SDN 12 Muntei, kata Netty Anwar merupakan bentuk keprihatinan terhadap pendidikan anak-anak di Magosi. “Saya ingin menyelamatkan pendi-

dikan anak-anak di sana, selama ini mereka sudah bersekolah namun tingkatannya hanya sampai kelas tiga sementara orang tua yang ada di sana ingin melanjutkan sekolah anak ke jenjang yang lebih tinggi,” katanya. Dengan MoU ini, lanjut Netty, menjadi jawaban keraguan orang tua murid di Magosi, sehingga mereka tidak perlu ragu untuk melanjutkan pendidikan anaknya karena mereka sudah menjadi bagian dari SDN 12 Muntei. Langkah selanjutnya menurut Netty menyediakan tenaga guru yang mau bekerja di sana. Bersama YCMM dengan dinas cabang, sudah direkrut seorang guru yang kebetulan juga menetap di sana. “Nah, karena guru itu masih baru dan belum memiliki pengalaman mengajar, pertama yang akan kami lakukan memberi pelatihan mulai dari teknik mengajar, menyusun administrasi sekolah, membuat data murid sekaligus mengisi lapornya serta menyusun satuan pembelajaran yang akan diberikan kepada murid,” ujarnya. Netty menyebutkan, perekrutan guru sejalan dengan penyusunan administrasi sekolah terkait data jumlah murid dan lain sebagainya. Koordinator Divisi Pendidikan dan Budaya YCMM, Tarida Hernawati menyebutkan, MoU antara SDN 12 Muntei dan Sekolah Uma Magosi merupakan langkah awal sekolah itu menuju filial. Sementara Tinambu, lanjut Tarida, MoU untuk mengakomodir lulusan dari Sekolah Uma agar bisa melanjut di SDN 16 Saliguma. (g)


19

Puailiggoubat

PENDIDIKAN

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Sekolah Hutan diinisiasi YCMM dan komunitas masyarakat adat pada 2007. Namanya kini sudah berganti menjadi Sekolah Uma.

Sekolah Hutan Lahirkan Kampung Baru FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

Gerson Merari Saleleubaja

ekolah hutan di sepanjang aliran sungai Silakoinan berada di tiga lokasi yakni Bekkeiluk, Magosi dan Tinambu lahir dari ide yang sangat sederhana. Pada 2002, YCMM melakukan riset bahan penyusunan buku tentang budaya Mentawai sekaligus melakukan pengorganisasian di Dusun Salappak, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Dari kegiatan itu, muncul inisiatif dari YCMM mendirikan perpustakaan yang dikenal dengan nama Pailingen. Pustaka hadir sebagai bentuk keprihatinan atas minimnya layanan informasi tentang dunia luar sekaligus tempat pembelajaran masyarakat melalui buku. Keberadaan perpustakaan Pailingen dengan berbagai koleksi buku ternyata tidak hanya menarik perhatian warga Salappak, beberapa warga di sepanjang aliran sungai Silakoinan dari daerah perladangan Bekkeiluk ikut meminjam buku di perpustakaan itu. Namun minat terhadap buku tak didukung dengan kemampuan baca tulis terutama anak-anak di Bekkeiluk saat itu. Mayoritas anak di komunitas masyarakat Suku Sagulu yang berdiam di Bekkeiluk tak bisa baca tulis. Pada 2004, YCMM memperluas daerah penelitian untuk mengumpulkan berbagai referensi dari tokoh-tokoh adat di daerah itu, salah satunya di Bekkeiluk. Ketika Tarida Hernawati, antropolog yang juga staf YCMM melakukan riset di Bekkeiluk, ia menemukan fakta anak-anak di sana tidak pandai baca tulis. Beberapa buku yang dibawanya untuk dibaca sendiri sangat menarik minat anak-anak tersebut. Mereka saat itu, kata Tarida hanya bisa senyum-senyum memperhatikan buku tersebut, ketika diminta membaca ternyata mereka tak satupun yang bisa membaca. Ketertarikan mereka mulai bertambah ketika salah seorang warga setempat yang bernama Julianus Sagulu kerap datang ke Dusun Salappak untuk meminjam beberapa buku di Perpustakaan Pailingen yang didirikan YCMM. Karena buku-buku bergambar yang menarik, anak-anak Bekkeiluk menyampaikan keinginan mereka untuk bisa membaca kepada Julianus. Gayung bersambut, Julianus menyampaikan hal itu kepada Tarida. Melihat semangat belajar yang dimiliki anak-anak tersebut, YCMM melalui Tarida mulai memfasilitasi

S

AJARI MENULIS Orang tua murid sekolah hutan mengajari anaknya menulis

kegiatan belajar tersebut yang dibantu Julianus menjadi guru. Ketika itu, komunitas warga masih tinggal di tengah hutan yang berjarak sekitar satu jam berjalan kaki dari pinggir sungai Silakoinan. Buku tulis, pensil dan kapur diberikan YCMM untuk membantu kegiatan belajar anak-anak Bekkeiluk. Anak-anak yang hadir saat itu hanya lima orang. Pakaian mereka ala kadarnya, beberapa bahkan tak pakai baju, satu anak yang bernama Ruruk Manai hanya mengenakan kabit (cawat) saat belajar. Meski hanya belajar di rumah tanpa kursi dan meja mereka tetap semangat mengeja huruf demi huruf . Usai belajar mereka kembali ke rumah, membantu orang tuanya ke ladang nilam atau mengangkat batangan sagu untuk makan babi. Sorenya mereka balik ke rumah Julianus, untuk mempermudah mengingat huruf yang mereka pelajari pada siang hari, tanah dijadikan media tulis menulis, maklum buku tulis jumlahnya masih terbatas. Melihat semangat belajar anakanaknya, para orang tua mulai berpikir mendirikan sekolah. Dari hasil diskusi adat, di tahun yang sama, secara swadaya masyarakat yang terdiri dari 17 KK mendirikan bangunan sederhana yang dijadikan tempat belajar. Kesadaran yang mulai meningkat mendorong komunitas tersebut berpikir untuk berpindah kampung ke pinggir sungai agar jarak tempuh bagi orang luar

untuk memberikan layanan pendidikan lebih mudah. Tahun 2005 rencana itu terealisasi, 17 KK yang dulunya hidup terpencarpencar di tengah hutan dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lain sangat jauh membentuk kampung baru di Muara Sungai Bekkeiluk. Kampung ditata sedemikian rupa, tata ruang perladangan dan peternakan disusun agar semuanya rapi. Orang-orang tak perlu berjalan jauh masuk ke hutan sekitar satu jam ke Bekkeiluk karena kampungnya kini telah pindah di pinggir sungai dengan tujuan mempermudah layanan pendidikan baik yang melayani maupun yang dilayani. Setelah Sekolah Hutan Bekkeiluk berjalan normal, YCMM yang menjadi inisiator sekolah itu menyerahkan pengelolaannya kepada Paroki Muara Siberut yang memiliki sistim pelayanan lebih terpadu. Pada tahun 2007, YCMM mengembangkan daerah penelitiannya ke hulu sungai Silakoinan yakni ke komunitas masyarakat adat Suku Sangong, Sabeleakek dan lainnya di daerah Sangong. Setahun kemudian, YCMM kembali membuka sekolah hutan di komunitas Suku Sangong. “Anak-anak tertarik dari buku-buku yang saya bawa, mereka ingin mengetahui isi buku itu namun tak bisa membaca,� kata Tarida, Selasa, 8 Juli. Dengan inisiatif sederhana, Tarida mulai mengajari anak-anak itu mengeja

huruf sambil duduk santai di rindangnya pohon. Melihat semangat anak-anak, Kepala Suku Sangong, Aman Sabba Ogok meminta Tarida mengajari anakanak mereka baca tulis. Dari sosialisasi secara tidak langsung yang dilakukan anak-anak Aman Sabba ke anak-anak komunitas lain yang hidup terpencar di hutan membuat para orangtua tertarik. Anakanak saat itu hanya sekitar tujuh orang, selang sebulan jumlah anak bertambah menjadi 21 orang. Tarida dengan segala keterbatasan sumber daya mulai memfasilitasi anakanak belajar, meski tidak formal. Uma Sangong yang ditempati Aman Sabba Ogok dijadikan sekolah. Pada 2009, semangat belajar anakanak Sangong mulai menyebar hingga ke Tinambu, sebuah perkampungan tradisional dengan jarak tempuh sekitar satu jam dari Sangong. Masyarakat di sana menyampaikan ketertarikan mereka mendapatkan pendidikan yang sama seperti di Sangong. Kembali dengan sumber daya yang terbatas YCMM memfasilitasi anakanak belajar yang saat itu berjumlah 51 orang. Seiring perkembangannya, jumlah anak di Tinambu menyusut karena beberapa orang tua kembali ke Saliguma, sebagian lagi kembali ke hulu sungai tempat pemeliharaan babi milik mereka. Sementara di Sangong, semangat anak dan orang tua makin bertambah melihat kecakapan anak-anak membaca dan berhitung.

Seiring mulai rutinnya jadwal belajar, orang tua murid yang berasal dari komunitas adat yang tinggal di Sangong, Masabsap, Gojo dan Bat Sirauk mulai berpikir untuk mendirikan kampung baru dalam satu wilayah karena kasihan melihat anak-anak yang harus berjalan kaki satu jam dari rumah ke sekolah melalui jalan setapak yang becek, semak belukar dan hutan. Lahan baru dibuka, kampung pun berdiri dengan nama Magosi yang diambil dari akronim nama ketiga tempat itu yakni Masabsap, Gojo dan Bat Sirauk yang diisi sekitar 30 kepala keluarga. Sejalan dengan pembangunan kampung, orang tua turut mendirikan rumah sekolah khusus karena Uma Aman Sabba dinilai kurang kondusif untuk belajar ketika ada ritual adat, mereka terpaksa ‘libur’ karena tempat tidak ada. Tahun itu juga sekolah rampung dibuat dari swadaya masyarakat dan bantuan YCMM. Tahun 2012, kegiatan belajar anak dipindah ke Kampung Magosi dengan memakai fasilitas gedung gereja Katolik, murid diajari seorang guru pelajaran alam dan sebagian lagi diambil dari kurikulum formal. Di pengujung Januari 2013, anakanak yang sudah menyelesaikan kelas III melanjutkan ke kelas IV di SDN 16 Saliguma melalui MoU antara YCMM dan sekolah itu. Juni 2013 MoU kembali diperbaharui, Kini, Sekolah Hutan Magosi resmi menjadi bagian SDN 12 Muntei.(g)


PENDIDIKAN Bagi guru Sekolah Uma, mengajar di daerah pedalaman menjadi tantangan sekaligus pengorbanan untuk memajukan pendidikan di tempatnya dan Mentawai

Puailiggoubat

20

Guru Sekolah Uma

Mengabdi Demi Memajukan Pendidikan Mentawai FOTO:GERSON/PUAILIGGOUBAT

Gerson Merari Saleleubaja

enjadi guru merupakan pekerjaan yang berat karena mesti mendidik anak dengan berbagai karakter agar bisa hidup mandiri dengan mengembangkan segala kemampuan anak. Hal itu akan lebih berat jika sekolah tempat mengajar memiliki fasilitas yang minim, jauh dari akses komunikasi dan pusat pemerintahan. Kebanyakan orang kerap mundur, kalau sudah berhadapan dengan situasi ini. Namun tak demikian dengan tiga calon guru untuk sekolah hutan yang kini berubah nama menjadi Sekolah Uma Magosi dan Tinambu yang terletak di pedalaman sungai Silakoinan, Dusun Salappak, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai. Ketiga guru baru yang direkrut YCMM bersama SDN12 Muntei, SDN 16 Saliguma dan Dinas Cabang Pendidikan Siberut Selatan dan Tengah yakni Maria Karmel dan Marlina Salabbaet yang akan mengajar di Tinambu sementara Armanda Sakorokoinan akan mengajar di Magosi. Meski tempat yang akan mereka tuju jauh dari pusat kecamatan yakni empat jam menaiki perahu mesin (boat), semangat untuk terlibat dalam pendidikan anak tidak surut. Armanda mengatakan, pada dasarnya masyarakat yang ada di Magosi, kampung yang ia tinggali bersama suami dan anaknya memiliki mimpi mendapat pendidikan yang layak. “Mereka sangat antusias terhadap kegiatan sekolah terutama membaca dan menulis,” katanya kepada Puailiggoubat, 30 Juni. Menurut Armanda, selama ini

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

M

DISKUSI - Guru sekolah uma berdiskusi dengan kepala sekolah, dinas cabang pendidikan dan YCM Mentawai membahas sekolah hutan masyarakat sedikit pesimis karena guru yang mengajar di sekolah hutan kurang aktif. “Sekolah tidak rutin padahal mereka mengharapkan anaknya pintar,” ujarnya. Berangkat dari kondisi itu, ia punya mimpi bagaimana anak-anak di tempatnya bisa mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik terutama dari segi pengajar. “Ini menjadi tanggungjawab besar bagi saya, walau sekolah sering tersendat namun anak-anak sangat pintar, mereka cepat menguasai pelajaran dasar seperti membaca dan menulis,” katanya. Selain faktor anak, kata Armanda, orang tua sangat semangat mendukung kegiatan belajar,baik untuk anaknya maupun untuk dirinya sendiri. Menurut pengalamannya di Magosi, lanjut Armanda, kepemilikan handphone oleh

beberapa penduduk seakan menyadarkan mereka bahwa bersekolah itu penting karena bisa membaca dan menulis. “Karena apa, saat mereka memiliki Hp, mereka tak bisa membaca isi pesan dan mengontak kerabatnya karena tidak bisa baca tulis, nah ketika pemerintah membuka kegiatan belajar keaksaraan mereka pun ikut, jadi manfaatnya telah mereka rasakan langsung,” ujarnya. Armanda menyebutkan, mesti Magosi merupakan kampungnya namun ia sadar tidak mudah baginya untuk melakukan pekerjaan sebagai guru. Minimnya sarana pendukung belajar seperti buku untuk diajarkan, bangunan sekolah, jauhnya akses dengan sekolah induk di SDN 12 Muntei membuat kegiatan belajar terasa berat. “Tapi saya yakin semua bisa FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

SEKOLAH - SDN 33 Di Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, di sekolah ini sebagian besar anak-anak korban tsunami yang direlokasi belajar karena dekat pengungsian

dilakukan dengan kerja keras dan semangat pantang menyerah, Bu Netty bilang tanamkan dalam dirimu kamus pasti bisa,” katanya. Selain tantangan dari segi teknis pendidikan, Armanda menyebutkan masih ada lagi yakni faktor keluarga. Misalnya sebelum menjadi guru, ia dan suaminya biasanya bersama-sama ke ladang, ia sudah bisa membayangkan bahwa rutinitas itu akan berhenti saat ia mengajar nanti. “Untuk memecahkan persoalan itu, jauh hari keinginan itu telah ia komunikasikan dengan suaminya, intinya suami mendukung, mudah-mudahan itu seterusnya,” katanya. Ketika ditanya apa ia yakin bisa bertahan, ia menjawab pendek pekerjaan ini butuh pengorbanan, lagi pula yang diajar anak-anak di kampungnya. Armanda sedikit beruntung akan ditugaskan di Magosi yang menjadi kampungnya, beda dengan Maria Karmel dan Marlina Salabbaet. Kedua guru tersebut belum memiliki gambaran lengkap kondisi dari sekolah, baik dari segi bangunan, geografis wilayah, anakanak dan daya dukung orang tua anakanak yang akan diajarkan mereka nanti karena belum pernah ke Tinambu. “Gambaran riilnya belum kami ketahui, selama ini baru dengar cerita dari bapak kepala sekolah dan masyarakat,” kata mereka. Kondisi ini menurut Marlina menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya untuk mengabdi di sana. “Setelah saya pikir-pikir saat ditawari kepala SDN 16 Saliguma, saya menerimanya, dari cerita beberapa orang saya sangat prihatin, apalagi guru yang sebelumnya mengajar

kurang memenuhi tuntutan pendidikan seperti yang diharapkan orang tua di Tinambu. “Kabarnya sekolah sering tersendat, namun persisnya saya tidak tahu,” katanya. Meski tak punya gambaran yang jelas terhadap kondisi sekolah, lanjut Marlina, dirinya tak takut mencoba. “Sesuatu yang baik, kenapa tidak dicoba?,” ujarnya. Marlina mengatakan, ia sudah bisa membayangkan tantangan apa yang akan dihadapinya ketika mengajar di tempat itu, salah satunya berpisah dengan keluarga terutama suami yang tinggal di Saliguma sementara ia dan anaknya akan tinggal di Tinambu. Sementara Maria Karmel mengatakan untuk jadwal keluarga itu bisa diatur, melihat perkembangannya nanti. Menurut Maria, hari libur bisa digunakan untuk berkumpul dengan suami dan anak, apakah ia sendiri yang akan ke Saliguma atau suami yang akan ke Magosi. “Kalau suami mau ikut lebih bagus, namun itu tergantung situasi, yang jelas suami sangat mendukung,” ujarnya. Meski belum mengajar, kata Maria, tantangan yang terlintas dibenaknya adalah bagaimana mendidik anak dengan karakter yang beda sehingga proses pendidikan berjalan lancar. Maria sadar, daerah yang dikunjunginya merupakan daerah yang terisolasi karena faktor transportasi. Maka penting bagi dirinya untuk mengambil hati masyarakat di sana untuk mendukung pendidikan anak dan keberadaan guru apalagi seorang perempuan. “Terkadang pekerjaan yang dikerjakan perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki yang melakukan meski itu sama, untuk itu perlu menyadarkan masyarakat inti pentingnya pendidikan bagi kemajuan pendidikan anak mereka, agar tidak muncul kesalahpahaman,” katanya. Baik Marlina, Maria dan Armanda sadar beban yang mereka pikul sangat berat bukan karena mesti mengajar di daerah pedalaman atau sekolah yang minim fasilitas namun bagaimana memunculkan eksistensi sekolah hutan di dunia luar sehingga makin diakui keberadaannya mau pun kualitasnya. “Kami berharap sekolah makin berkembang seiring dengan penambahan anak sekolah dan peningkatan mutu,” kata mereka. Selama dua hari, ketiga orang guru tersebut belajar teknik sekaligus praktek mengajar di Sekolah Alam Minangkabau di Gunungpangilun Padang, 2 - 3 Juli.(g)


21

Puailiggoubat

PENDIDIKAN

NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Meski waktunya tidak dipastikan, Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai berjanji dalam waktu dekat beasiswa yang dituntut mahasiswa akan dicairkan.

Beasiswa Mahasiswa Berprestasi Masih Diproses FOTO:IRMAN JOHN/PUAILIGGOUBAT

Rapot Pardomuan Simanjuntak

encairan dana pendidikan tahun anggaran 2012 merupakan salah satu tuntutan mahasiswa yang tergabung di Forum Mahasiswa Mentawai (FORMMA) Sumatera Barat ketika melakukan demonstrasi di kantor DPRD dan Bupati Mentawai, 6 Mei lalu. Selang dua bulan usai demo, perwakilan mahasiswa kembali menemui Kepala Dinas Pendidikan Mentawai, Sermon Sakerebau, Selasa 9 Juli lalu untuk mendiskusikan kelanjutan pencairan dana beasiswa tersebut. Sermon Sakerebau mengatakan, ada dua macam beasiswa yang dianggarkan di dinas pendidikan tahun 2013, yakni beasiswa kelembagaan dan beasiswa mahasiswa berprestasi. Beasiswa kelembagaan diberikan kepada sekitar 300 orang mahasiswa yang dikuliahkan Pemkab Mentawai yang bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia. “Kerjasama Pemkab Mentawai dengan perguruan tinggi ini dibuat dalam bentuk nota kesepahaman dan naskah kerjasama. Beasiswa yang diberikan jumlahnya bervariasi sesuai jurusan dan besaran biaya kuliah di perguruan tinggi,” katanya ketika ditemui Puailiggoubat di ruang kerjanya, Rabu, 10 Juli. Sementara beasiswa yang kedua yakni beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, kata Sermon, persyaratan serta besarnya diatur dalam peraturan bupati (Perbup). Beasiswa mahasiswa berprestasi ini menurut Sermon besarnya sama rata yakni Rp1,5 juta per mahasiswa.

P

DEMO MAHASISWA - Mahasiswa demo di depan kantor DPRD Mentawai meminta beasiswa segera dicairkan Namun penerima beasiswa harus memenuhi syarat. “Indeks Prestasi (IP) mahasiswa disyaratkan harus diatas 2,75 sesuai Perbup,” ujarnya. Sesuai dengan APBD Mentawai tahun anggaran 2013, pada kegiatan pelaksanaan kerjasama secara kelembagaan di bidang pendidikan dianggarkan dengan pagu dana Rp 10.974.685.000. Pada pos belanja barang dan jasa dengan item belanja pendidikan

non PNS dan sub item belanja beasiswa tugas belajar S1 sebesar Rp 10.900.232.000. Sedangkan untuk kegiatan Beasiswa Mahasiswa Berprestasi dianggarkan dengan pagu dana Rp 1.958.197.500. Pada rincian belanja uang untuk diberikan kepada masyarakat sebesar Rp 1.896.000.000 dan lainnya untuk belanja barang dan jasa sebesar Rp62.197.500. Untuk beasiswa mahasiswa berprestasi, lanjut Sermon, telah masuk

400 proposal dan pihaknya sedang melakukan verifikasi sesuai mekanisme yang diatur Perbub. Yang tidak sesuai, kata Sermon, tidak bisa dibayarkan, tetapi jika berkasnya ada namun kurang lengkapn datanya maka akan diminta untuk dilengkapi yang bersangkutan. “Kita usahakan pencairannya dalam waktu dekat,” katanya. Menurut Sermon, 400 proposal yang masuk setelah diverifikasi akan menjadi penerima tahap pertama,

sedangkan yang lainnya akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Perbup yang mengatur mekanisme pencairan dana beasiswa ini menurut Sermon masih dikonsultasikan ke Propinsi agar tidak menyalahi aturan. Sermon menyebutkan, batalnya pencairan dana beasiswa pada tahun 2012 disebabkan masalah regulasi hukum. “Regulasi hukum perlu dicermati agar tidak menjadi masalah dikemudian hari,” ujarnya. (g) FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

Pembangunan TK Bunga Rayo Terlantar BUNGA RAYO - Proses pembangunan gedung TK di Dusun Bunga Rayo, Desa Sinakak Kecamatan Pagai Selatan yang dibiayai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) terhenti tanpa sebab yang jelas. Sejak dimulai pada Februari lalu hingga Juli bangunan yang berukuran 8 X 16 meter tersebut tak selesai. Dari pantauan Puailiggoubat, masyarakat setempat telah mengumpulkan pasir, batu dan kayu untuk material bangunan namun tak kunjung dibangun. Material yang terkumpul di dekat perumahan guru di Dusun Bunga Rayo berupa 40 meter kubik batu, pasir 80 meter kubik dan

kayu 17 meter kubik. Akibat kegiatan tidak berjalan, masyarakat yang bekerja tidak mendapatkan upah, mereka terpaksa berutang di warung-warung dengan harapan pelunasannya dilakukan setelah upah mereka dibayarkan. Akibat utang yang menumpuk, salah satu warung di tempat itu bangkrut. Menurut Kepala Dusun Bungo Rayo, Tarsan Saleleubaja, jika dihitung masa kontrak kerja mestinya gedung tersebut telah rampung. Bahkan kata Tarsan, saat ini sudah bisa dilakukan penerimaan murid baru. “Namun para pengurus PNPM Pagai Selatannya tidak siap untuk mempercepat pembangunan TK

tersebut,” katanya, Sabtu, 6 Juli. Tarsan mengaku kecewa karena pembangunan TK tersebut terbengkalai, padahal menurut informasi yang dia terima, dana pembangunan tersebut sudah ada. “Kami berharap pembangunan segera dilanjutkan dan selesai, dana yang katanya telah ada segera digunakan,” katanya. Sementara Sekretaris Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Darlesman Sapalakkai yang dikonfirmasi Puailiggoubat mengaku tidak tahu banyak apa persoalan penundaan pembangunan tersebut. “Saya belum dapat informasi yang tepat,” ujarnya.(cry/g)

BOCAH HUNTAP - Keceriaan anak-anak di lokasi hunian sementara di Dusun Bake, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan


Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Kebutuhan yang selalu ada dan bertambah namun tak diiringi dengan sumber pendapatan yang memadai memaksa sebagian besar pengungsi korban tsunami Mentawai 2010 kembali ke kampung lamanya

Terjepit Ekonomi

Pengungsi Tsunami Mentawai ‘Turun Bukit’ FOTO:PATRIS/PUAILIGGOUBAT

Chris Nataliyus Tarihoran

esulitan ekonomi yang kian hari mendera pengungsi korban gempa dan tsunami Mentawai 2010 memaksa hampir semua mereka kembali ke kampung lama untuk membenahi sumber ekonomi keluarga. Warga yang kembali diantara dari Dusun Purourougat sebanyak 75 KK dari 79 KK yang mengungsi, Asahan sebanyak 58 KK dari sebelumnya 62 KK, Lakgigi sebanyak 87 KK dari 92 KK yang mengungsi. Kemudian di Dusun Bake sebanyak 34 KK dari 36 KK dan Tapak Jaya sebanyak 31 KK dari 33 KK, mereka diungsikan pemerintah mulai dari KM 37 sampai KM 42 Kecamatan Pagai Selatan. Warga yang berasal dari Desa Malakkopak dan Bulasat itu hanya kembali ke lokasi pengungsian satu minggu satu kali khusus untuk beribadah, besoknya mereka kembali ke kampung lama.

22

K

SEPI - Huntara Di Dusun Tapak, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan sepi saat hari biasa karena ditinggalkan pengungsi ke kampung lama, mereka hanya kembali pada akhir pekan Kepala Dusun Asahan Roberlin Saogo mengatakan, tidak bisa berbuat apa-apa untuk melarang warga yang kembali ke kampung lama karena secara pribadi ia juga merasakan himpitan ekonomi seperti yang dialami warganya. “Dua tahun lebih kami bertahan dengan kondisi yang serba kurang, pemerintah menjanjikan adanya uang

jaminan hidup (jadup), tiap KK mendapatkan Rp300 ribu per bulan, namun pemberian uang tersebut hanya sekali saja,” katanya, Minggu, 7 Juli. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kata Roberlin, di kampung lama mereka bertanam kacang tanah, jagung, bersawah dan mengolah kopra. “Beberapa juga memancing di laut, hasilnya

sebagian dimakan dan sebagian dijual, sama seperti saya,” ujarnya. Roberlin menyebutkan, selain tekanan ekonomi, warganya juga mendapatkan tekanan dari pemilik tanah tempat mereka diungsikan pemerintah. “Saat warga akan menanam pisang, masyarakat di sebelah mulai marahmarah, mereka bilang ini tanah mereka, status tanah ini tidak selesai didudukkan pemerintah yang memunculkan masalah,”

ujarnya. Di Dusun Tapak Jaya ceritanya pun sama, menurut kepala dusunnya, Arisman Sabelau, ia sering pulang balik dari kampung lama ke pengungsian yang berjarak 3 kilometer untuk bekerja. “Waktu senggang, saya manfaatkan buat memancing dan berladang,” katanya. Zelpianus Saogo, salah seorang

warga menyebutkan, sebenarnya masyarakat sangat takut untuk kembali ke perkampungan lama karena masih trauma dengan bencana tahun 2010 yang merenggut ratusan nyawa. Namun untuk bertahan tanpa sumber pendapatan, lanjut Zelpianus, sama juga dengan bencana. Menurut Zelpinus, awal mereka direlokasi, pemerintah menjanjikan memberi jadup Rp300 ribu per KK per bulan namun tidak terealisasi. Janji BPBD mencairkan dana huntap, lanjut Zelpinus, hanya isapan jempol. “Masyarakat Pagai Selatan Desa Bulasat sudah frustrasi dengan pengingkaran yang kerap dilakukan pemerintah, kami ingin kenyataan,” ujarnya. Untuk bertahan, lanjut Zelpinus, mereka harus rela kembali ke kampung lama untuk memanen pisang, coklat, cengkeh, nilam dan pinang kemudian diangkut ke lokasi pengungsian dengan jarak tempuh sekitar 2 jam. “Meski perjalanan tiap hari ditempuh dengan beban berat karena mesti mengangkut pisang dan lain sebagainya, namun itu tetap dilakukan kalau tidak ingin mati konyol,” katanya. (g)

154 Ton Raskin Mentawai Tak Kunjung Disalurkan

Bekerja Serabutan Demi Sekolah Anak

PADANG - Sebanyak 154,543 Ton beras miskin (raskin) jatah Mentawai menumpuk di gudang Badan Logistik (Bulog) Padang, Sumatra Barat. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai belum menyalurkan raskin yang sangat dibutuhkan keluarga miskin tersebut meski data rumah tangga miskin di daerah itu bertambah pasca bencana tsunami 2010. Kadivre Badan Urusan Logisitik (Bulog) Sumatera Barat, Abdullah Djawas mengatakan, terkait penumpukan raskin tersebut, pihaknya dan gubernur telah menyurati Pemkab Mentawai namun belum ada tanggapan. “Melihat kondisi ini, dalam waktu dekat kita akan menemui pemerintah Mentawai untuk mempertanyakan hal ini,” katanya, Senin, 1 Juli. Menurut Abdullah, Raskin untuk jatah Mentawai yang belum diambil sebanyak 154,543 ton untuk jatah Juni 2012 sampai Juni 2013. Padahal, lanjut Abdullah, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) tahun ini bertambah. “Pada 2012 data RTS yang diusulkan Pemkab Mentawai pada

SAIBI - Susahnya ekonomi keluarga saat ini tidak menyurutkan semangat orang tua anak di Desa Saibi Kecamatan Siberut Tengah untuk menyekolahkan anaknya. Banyaknya biaya yang dikeluarkan saat memasuki tahun ajaran pendidikan 2013/2014 baru ditambah mahalnya harga kebutuhan pokok memaksa sebagian orang tua bekerja apa saja asal mendapat uang. Leppeat Sakairiggi (49), salah seorang warga mengatakan, kehidupan ekonomi saat ini susah. Harga kebutuhan pokok seperti beras, ikan dan BBM serba mahal. “Coklat harganya rendah, sudah banyak mati karena penyakit. Kami harus menjelajahi hutan untuk mencari gaharu yang harganya cukup mahal, namun susah dapatnya,” katanya, Senin, 1 Juli. Leppeat menyebutkan, saat ini ia baru mendaftarkan dua anaknya masuk sekolah, satu di SMP yang satunya di SMA. “Biaya sekolah sudah gratis namun biaya kebutuhan seragam, sepatu dan buku masih mahal,” ujarnya. Menurut hitungan Leppeat, anaknya yang masuk SMP menghabiskan biaya sebesar Rp500 ribu sementara yang SMA sebesar Rp1 juta. “ Untuk mencari biaya tersebut saya beralih pekerjaan menjadi pencari manau di hutan karena coklat yang diandalkan sudah mati,” katanya. Senada dengan Leppeat, Petrus Kalipegi Sagara-gara (49), warga Dusun Simoilalak mengatakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan sekolah anak, ia bekerja serabutan. “Kadang mencari manau sekaligus gaharu hutan,” katanya. Saat anak masuk sekolah, kata Petrus, beban ekonomi keluarga tambah berat karena bersamaan dengan itu, harga-harga kebutuhan pokok melambung. (rr/g)

kita sebanyak 3.979 kepala keluarga, dan tahun ini jumlahnya bertambah sejak bencana yang menimpa Mentawai mencapai 10.303 kepala keluarga,” ujarnya. Abdullah menyebutkan, saat ini Mentawai masih berutang kepada Bulog sebanyak Rp84 juta, itu utang pada tahun 2012. “Kita menginginkan Mentawai segera mengambil jatahnya untuk mengantisipasi gejolak harga beras di pasaran, apalagi harga beras di sana tergolong mahal, jadi solusinya nanti Pemkab Mentawai harus menyalurkan Raskin,” katanya. Dalam minggu ini, kata Abdullah, Bulog akan menyalurkan Raskin sebagai kompensasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat yang terkena dampak. Sementara Wakil Bupati Mentawai, Rijel Samaloisa mengatakan, dana untuk membeli raskin tersebut sebesar Rp3 miliar, namun rencana bupati, dana tersebut akan digunakan untuk membangun sawah di Mentawai. “Meski demikian kita akan melakukan koordinasi pada beliau (bupati), tentu

keputusan ada di tangan bupati,” ujarnya. Dari data Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, jatah raskin untuk masing-masing kabupaten tahun ini yakni Kepulauan Men-tawai 10.303 kilogram, Pesisir Selatan 24.298 kilogram, Solok 22.828 kilogram, Sijunjung 11.999 kilogram, Tanahdatar 18.634 kilogram, Padangpariaman 21.794 kilogram, Agam 26.235 kilogram, Limapuluh Kota 24.946 kilogram, Pasaman 20.193 kilogram, Solok Selatan 9.188 kilogram, Dharmasraya 9.566 kilogram, Pasaman Barat 26.652 kilogram, Padang 30.474 kilogram, Kota Solok 2.507 kilogram, Sawahlunto 1.114 kilogram, Padangpanjang 2.359 kilogram, Bu-kit-tinggi 2.644 kilogram, Paya-kum-buh 6.383 kilogram dan Pariaman 3.314 kilogram. Beras raskin disalurkan oleh Perum Bulog ke titik distribusi dengan harga Rp1.600 per kilogram, masingmasing kepala keluarga mendapat jatah 15 kilogram.(rus/g)


23

Puailiggoubat NO. 268, 15 - 31 Juli 2013

Suara Daun Gerson Merari Saleleubaja

Bertahan di Pengungsian = Bunuh Diri

B

U

ntuk menyelesaikan suatu sengketa, perselisihan atau menemukan pelaku kejahatan, orang-orang Mentawai saat dulu kala melakukannya melalui tiga cara yakni Bekeu Malekbuk, Tippu Sasa, Tulou Paboko.

Menghanyutkan Bunga Ibiscus Kalau terjadi pencurian kecil, dipakai bunga Ibuscus untuk mencari siapa si pencuri itu. Upacaranya dilakukan dengan cara sebagai berikut; Orang-orang yang dicurigai disuruh duduk berkeliling, menghadapi sebuah wadah yang berisi penuh air. Di dalamnya diapungkan bunga Ibiscus dengan tangkainya yang pendek. Bunga itu didorong berputar mengitari orang-orang yang duduk berkeliling. Kemudian didorong sekali lagi, sembari dikatakan kepada bunga itu: “He bunga, berkatalah dengan benar! Tunjukkan orang yang tidak bersalah!� Manakala putaran ketiga kali mandeg (berhenti) di depan seseorang, orang itulah yang dianggap pencurinya. Tapi kalau bunga itu tidak berhenti pada orang yang sama, hal itu disebut taiteuake nia, artinya bunga itu enggan disuruh, tidak mau mengatakan siapa pencurinya. Bila untuk

kedua kalinya bunga itu berhenti di depan orang yang sama, maka diadakan percobaan ketiga kalinya. Kalau hasilnya tetap serupa, semua orang akan arif. Secara diam-diam orang-orang bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan tempat dengan aman dan tertib. Tapi hal semacam itu jarang terjadi. Semua orang yang telah mengetahui si pencuri, tidak boleh memberi komentar apa-apa karena dianggap tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara. Si pencuri yang telah tertunjuk kalau benar-benar dia pelakunya akan berusaha mengembalikan barang curian diam-diam malam hari supaya tidak dilihat orang. Tapi upacara menghanyutkan bunga Ibiscus jarang menemui kepastian.

Tippu Sasa Tippu sasa artinya upacara pemotongan rotan dimaksudkan mencari seorang yang dituduh melakukan perbuatan jahat. Seorang yang dituduh boleh membuktikan dia tidak pernah melakukan itu. Pemotongan sasa dapat juga untuk menguatkan suatu sumpah. Sebagaimana halnya dalam upacar bunga yang dihanyutkan, begitu pula halnya dalam upacara Tippu Sasa namun upacara ini agak lebih serius

karena upacara ini memastikan kehidupan atau kematian. Oleh sebab itu sebelum upacara dilangsungkan, dilakukan pembicaraan dan pemikiran yang mendalam. Dipilih seorang wasit yang diperkirakan bisa mendamaikan. Kalau terdakwa mengerat rotan dengan spontan, tindakan tersebut merupakan suatu sumpah. Tapi seringkali timbul kemarahan terdakwa karena dituduh, dia sama sekali tidak mau melakukan Tippu Sasa. Dia menolak mentahmentah tanpa pembuktian dan ia menyatakan tak berdosa. Tapi penolakan itu membuat orang-orang yakin, memang dialah yang melakukan kejahatan itu. Kalau dia tak mau membayar denda atau mengembalikan apa yang telah dicurinya, kelak akan timbul permusuhan antar dua suku.

Tulou Paboko Tulou Paboko artinya denda karena fitnah. Tulou Paboko merupakan upacara anti magi terhadap Tippu Sasa. Dalam upacara Tippu Sasa, roh rotan timbul marahnya sehingga ia menghukum si penjahat. Biasa terjadi bahwa orang yang dicurigai menyangkal dan menolak tuduhan. Kalau dia diajak membuktikan bahwa dia tak bersalah, tapi dia enggan, namun semua orang akan tetap

menganggap dialah pencurinya. Akhirnya dengan tibatiba barang yang hilang itu, entah bagaimana ditemukan kembali di tempatnya. Kepercayaan pada Tippu sasa memaksa orang berpikir lebih dulu. Sebab, kalau tuduhan itu palsu, hal itu akan berbalik terhadap si penuduh. Apalagi jika tuduhan itu merupakan fitnah belaka. Kalau seorang membeberkan kepada umum bahkan ia mencurigai seseorang tapi tak punya bukti-bukti yang meyakinkan, maka orang itu akan dikenakan Tulou Paboko. Kepadanya diharuskan membayar denda karena telah melakukan fitnah dan telah merugikan nama baik orang lain. Makna dari Tulou Paboko pada hakekatnya adalah sebagai ganti rugi terhadap seseorang yang difitnah karena sama sekali ia tak merasa bersalah. Untuk mengembalikan nama baiknya si penuduh harus membayar denda. Yang dituduh tak perlu rebut dan sakit hati lagi karena perkara tersebut telah diselesaikan dengan pembayaran denda. (Sumber: Kebudayaan Suku Mentawai; Stefano Coronese; Penerbit Grafidian Jaya Jakarta; 1986)

encana tsunami yang melanda Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah tiga tahun berlalu, ribuan jiwa masih mengungsi di beberapa titik lokasi yang ditentukan pemerintah. Tempat yang mereka tinggali saat ini seadanya masih berupa hunian sementara (huntara), belum ada hunian tetap seperti yang dijanjikan pemerintah baik daerah hingga pusat. Mayoritas pengungsi mengeluh kurangnya sumber makanan dan sumber kehidupan lain yang bisa menjadi penghidupan ekonomi keluarga. Sekolah anak makin lama makin butuh banyak uang namun orang tua yang masih mengungsi dan tak punya pekerjaan tetap tak bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Itulah yang menjadi faktor yang paling mendesak penyebab mayoritas pengungsi memutuskan kembali ke kampungnya yang lama. Paling tidak dalam benak mereka masih ada ladang yang bisa dikelola, masih dekat dengan laut untuk mendapat ikan buat dimakan dan dijual. Pilihan kembali ke kampung lama bukanlah pilihan yang mudah bagi masyarakat tersebut, karena hingga saat ini rasa trauma karena bencana yang merenggut anggota keluarganya masih bergelayut di benak dan susah dilupakan. Namun tak ada yang lebih baik selain kembali ke kampung, karena menurut mereka di beberapa lokasi pengungsian, mereka tak bisa mengelola tanah untuk ditanami ubi, pisang, keladi, coklat dan nilam. Kenapa? Karena beberapa masyarakat pemilik tanah ulayat melarang. Daripada bertikai dengan sesama mereka kembali ke kampung lama, mereka tak terlalu berkeras dengan persoalan tanah itu karena percuma juga. Mereka merasa pemerintah yang menempatkan mereka di sana tidak bakalan melakukan apa pun untuk mereka seperti janji mereka selama ini yakni huntap dan fasilitas ekonomi bagi korban yang juga belum jadi. Bertahan di lokasi pengungsian tanpa sumber pendapatan dan makanan, sama dengan bunuh diri pelan-pelan, konyol namanya itu. Namun hidup di kampung lama yang dihantui trauma sekaligus ancaman bencana, juga menjadi beban tersendiri bagi mereka. Tapi paling tidak dengan bisa bekerja di kampung lamanya mereka tetap hidup. Kalau bencana datang lagi, itu sudah menjadi urusan Tuhan. Kemelut jiwa seperti di atas mungkin tidak akan terjadi jika janji pemerintah yang katanya akan serius menangani korban benar-benar dilaksanakan, bukan retorika belaka.z


Puailiggoubat 24 NO. 268, 15 - 31 Juli 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.