teachers guide

Page 1

V.04 edisi. 12. 2010 Rp.20.000,-

Sekolah PRIBADI dan Kepribadiannya

KNOWLEGE MANAGEMENT

Tree curriculum VALENSI

sekolah Anda

Diferensiasi sekolah perlukah?


Inside cover


Untukmu Guru Publisher & Editor in Chief Arfi D. Moenandaris arfi_tcguide@yahoo.co.id Managing Editor Indrawan Miga indra_tcguide@yahoo.co.id Kontributor Restanti Ria Natalisa (Yogyakarta) Desain Grafis Prima Purnamadani Photografer Halida Bunga Fisandra Alamat Redaksi Komp. Mutiara Duta Blok F. No.6 Baktijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat Fax : (021) 8714846, 87715920 Berlangganan/Pemasangan Iklan SMS - 081282422801, 0812 9065115 Ph. (021) 60328374, 087888484147 teachersguideonline.blogspot.com majalahteachersguide@yahoo.co.id gururiaumenulis.blogspot.com

TEACHERS GUIDE

majalah pendidikan dua bulanan Majalah ini didirikan bertepatan dengan Hari Guru 25 November 2006. Teachers Guide ingin menjadi sahabat Guru dalam memenangkan paradigma baru pendidikan di Indonesia, menuju tujuan pendidikan seutuhnya. Yaitu menjadikan manusia yang mampu menghidupi diri sendiri, mampu mengembangkan kehidupan yang bermakna, serta mampu memuliakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Guru sebagai ujung tombak adalah pendidik generasi muda Indonesia menuju generasi takwa, berakhlak, cerdas, trampil, berjiwa kebangsaan, dan berfikiran modern. Majalah ini merupakan penerbitan independen, yang menjalin kerjasama seluasnya dengan berbagai komunitas Guru di seluruh Indonesia. Majalah ini juga menyelenggarakan berbagai ak足tifitas pengembangan menuju Guru Indonesia masa depan yang ber足kepribadian, takwa, berakhlak, terbuka, dan profesional. Redaksi mengajak para rekan Guru un足tuk sharing pengalaman dalam karya mengajar belajar yang unik, dalam bentuk tulisan dan foto, tentunya yang sesuai dengan visi dan misi majalah ini. Kirimkan melalui surat, atau email. Redaksi berhak mengedit atau mengubah naskah jika dianggap perlu tanpa mengubah esensi isi.

Perubahan kian mendekat ke denyut nadi kehidupan kita. Inovasi bergerak bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkali kita dengar kata perubahan paradigma, shifting paradigm! Meski selebihnya, manusianya yang sering tertinggal mengikuti perubahan itu. Semula adalah resource-based, kini bergeser menjadi knowledge-based. Peran pendidikan dan knowledge sharing menjadi sangat strategis, dan memerlukan kemampuan berfikir logis, dan akhirnya menghasilkan karya yang kreatif dan inovatif. Tuhan telah memberi karunia terbesar berupa kecerdasan pada setiap manusia bukan?

Untukmu Guru Kini, aset terpenting sebuah organisasi (termasuk sekolah) adalah

KNOWLEDGE. Pelatihan Guru pun kini sudah marak mencermati perkembangan sekolah melalui manajemen pengetahuan. Pohon kurikulum misalnya, adalah adopsi dari pohon industri, yang di dunia pendidikan dikenal sebagai bagian dari graphic design. Melalui curriculum tree, secara visual dapat dilihat, nilai-nilai apa yang paling mendasar di sebuah sekolah. Hanya dengan akar dan batang yang kuat, sebuah pohon akan besar, rimbun, meneduhkan, berbuah dan lestari. Bayangkan jika sekolah dapat dikelola dengan knowledge management yang benar ala curriculum tree sebagai visualisasinya. Mungkin tak akan ada lagi Guru yang barsahi (barisan sakit hati), yang banyak dijumpai di sekolah besar yang sudah lebih dari 20 tahun eksis. Kejenuhan Guru dapat dibantu dengan memperkuat value sekolah. Untuk mencapai sekolah yang inovatif, perlu dibangun budaya knowledge sharing, agar Guru mampu merespon kesempatan dengan cepat. Dengan begitu, inovasi dapat tercipta. Dari sinilah kata VALENSI, yang berkonotasi sebuah kekuatan elemen atom yang berkombinasi di ranah kimia, dapat dijadikan kata yang bertenaga untuk mengungkap perkembangan dan peningkatan kualitas sekolah. Sekolah yang diawaki oleh sejumlah manusia, yang berkegiatan sepadan dengan proses kimiawi. Tak ada tempat untuk sembunyi dari perkembangan dan perubahan. Jejaring sudah berkelindan. Kerugian besar jika asa kita yang sudah berpeluh dengan upaya mencerdaskan anak bangsa ini tak terjamah perubahan itu. Teknologi sangat membantu. Namun jiwa dan ruh pendidikan yang akan memperkuat ketahanan diri sebagai manusia, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan kita. Sesuaikan perencanaan dan aksi pengembangan sekolah, menuju setinggi - tingginya kemanusiaan, semua yang ada di dalamnya.

Salam Pendidikan,

Arfi D. Moenandaris Pemimpin Redaksi


39

06 31

edisi Reformasi Sekolah Bintang Cendekia 04 dari Sekolah Kebun Pembaharu di 22 Sekolah Pekanbaru Kejar Rejeki melalui 08 Sertifikasi MGP-BE Lampung Selatan Baru Dibilang Berhasil, 26 Serius Menuju PAUD Plus: Jika Tersebar Luas 10 Bukan Sekedar Fasilitas Lulus, NEM Tinggi & Ingin Renstra Pendidikan 14 Diterima di Sekolah Efektif? Dengarlah 28 yang Negeri! Suara Masyarakat Ngomong Bener Saja SDN Cisemeut 2, Banten 16 Koq Susah Senyum Bahagia Bu 30 Rubiyanti dan Pak Amir Niat Bikin Sekolah? 18 Maju Terus Saja 34 Siapa Beraksi di Desa? 20 Proses Ilmu Ibu Nunuk Murdiati 36 Pilar-Pilar Kesuksesan Sulastomo: SCRAMBLED 21 Guru EGG is Delicious

44 53

4

V.04 edisi.12.2010

55


28

36 Neven Knezevic

66

Nunuk Murdiati Sulastomo

74 Anies Baswedan

ini 39 School without Me Bagaimana Agar Raker 42 Efektif? 44

Franchise Sekolah? Perluasan Usaha vs Penyebaran Idealisme

47

Suami-Istri Bekerja di Satu Sekolah

48

Angket Kesanggupan Mengajar dan Penempatan Guru di Tahun Ajaran Baru

50 Cermati Calon Siswa Mengajar Mengarang 51 Itu Asyik

Antarina S.F. Amir

C Grey Area Banyak Siswa 52 Makin Ada di Wilayah Ini

menjadi

Indonesia will Rule 64 the World

Lebih Menghargai 54 Saatnya Minat dan Hobi Siswa

56

over Story

Mencermati Perilaku Siswa Membangun Model Pengasuhan

Catatan Jadi 58 Menyenangkan 60 Film yang Mendidik Soal Matematika 62 yang Aneh

66 Indonesia Mengajar Meretas Pendidikan 68 Berkualitas di Pulau Terluar Indonesia

Mata Ajar Tanah Air 70 Biarkan Mengalir Reformasi Pramuka 72 Baru Sekedar Wacana? Kebangsaan 74 Harus Dibangun Peran DUDI 76 Dunia Usaha Dunia Industri

56

72

Jay ‘Jagger’ Wijayanto 78 Menjadi Indonesia

V.04 edisi.12.2010

3


CSR on education

Guru dan Apresiasi Seni Drama "Ceritanya bagus , saya sangat terkesan. Baiknya kegiatan berteater ini bisa dikembangkan ke sekolahsekolah,” kata Sarifah, guru dari SMAN 72. Lain komentar Neneng Sunengsih, guru dari SD di Bogor, " Amat bermanfaat bagi kami dari daerah terpencil".

SENI MEMPERKUAT IMAJINASI

F

IF dan Cahaya Guru punya cara unik meningkatkan apresiasi seni Guru, dengan mengajak mereka nonton pementasan seni teater!

210 guru SD-SMA se Jabodetabek diundang nonton bareng pementasan “Kisah-kisah yang Mengingatkan” produksi Teater Satu Lampung, di arena Teater Kecil Taman Ismail Marzuki., dengan sutradara Iswadi Pratama. Sebulan berikutnya, sejumlah 210 guru lainnya nonton pementasan ““Rumah Pasir” karya Teater Koma, di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta.

SENI MENGHALUSKAN JIWA Di pementasan “Kisah-Kisah Yang Mengingatkan”, para Guru menikmati kostum minimalis para pemain dengan rias wajah ‘nyeni’. Teater Satu memang tim teater yang bagus, tahun 2008 silam memenangi Group Teater Terbaik Indonesia pilihan majalah Tempo lewat karya monolog “ Perempuan di Titik Nol” . Para Guru pun sibuk jeprat jepret dengan kamera saku. Mereka baru pertama kali menonton pertunjukan sebuah teater di gedung yang artistik. Kerja seorang aktor mirip peran Guru saat mengajar dengan kata-kata dan gerak tubuh bermain di pentas kelas untuk menarik perhatian siswa ke pemahaman ilmu pengetahuan.

4

V.04 edisi.12.2011

Lakon yang berjudul “Rumah Pasir” menceritakan tentang Galileo Kastoebi atau akrab dipanggil Leo, pengusaha muda yang gemar bergontaganti pasangan. Ia kaya raya, penuh semangat, romantis, pandai bergaul, dan mudah jatuh cinta. Di pentas Teater Koma, para Guru diajak berfantasi dan berimajinasi. Saat adegan kematian tokoh Leo terkena HIV/AIDS, para imaji menggunakan jas hujan dan payung transparan memainkan payung-payung tersebut untuk membiaskan cahaya lampu warna-warni yang menimpa mereka. Gemuruh tepuk tangan para guru mengakhiri pertunjukkan Teater Koma. N. Riantiarno dan Teater Koma yakin, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi-nurani. Sejumlah aktivitas lain juga digelar di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Surabaya, Madura, Palembang, dan Padang. Dengan berbagai topik, seperti “Menulis itu Mudah, Seminar “Pengenalan Pengelolaan Keuangan Pribadi”, “Teori Kecerdasan Gardner”, dan bantuan Buku Bacaan Penunjang”, “Bantuan Pojok Baca”, tak lupa bantuan uang muka kredit motor. Hingga Juni 2011 ditargetkan sejumlah 2.100 Guru mendapat kesempatan meningkatkan diri dalam program ini. Sejumlah Guru tertarik menjadi agen FIF untuk menjualkan motor Honda, sebagai upaya pengembangan kewirausahaan Guru dan keluarga. Seru ya jadi Guru. Kini bisa menikmati sajian teater sekaligus usaha. TG


Makin Banyak Kepedulian BANK BTN PEDULI MUTU GURU

HSBC meluncurkan program Big Brother Scholarship

T

ak cuma mengurusi kredit perumahan, Bank BTN peduli kualitas pendidikan dan mutu Guru. Sebanyak 50 guru dan kepala sekolah dari 12 SD di Tangerang mengikuti program peningkatan kualitas guru “Educator Empowerment Program” yang diselenggarakan atas kerjasama Bank Tabungan Negara (Bank BTN) dan Putera Sampoerna Foundation, akhir November lalu. Pelatihan perdana di SDN Pamulang Permai – Tangerang, dibuka oleh Oni Febriarto selaku Corporate Secretary Bank BTN dan Vira Soekardiman -Director of Sales Putera Sampoerna Foundation. Tujuan program sosial ini meningkatkan kualitas pendidikan bagi lebih dari 2.000 murid SD di Tangerang. Berdasarkan data Kemdiknas (2009), 57.40% guru Indonesia berada di bawah syarat standar.

KARANG TARUNA BERTERIMA KASIH KEPADA GURU

D Taufan menyerahkan tanaman penghijauan kepada guru sekolah.

i hari Guru 25 November lalu, Karang Taruna Indonesia, melalui ketuanya Taufan EN Rotorasiko, mengunjungi para Guru sebagai tanda apresiasi dan terima kasih para kaum muda atas peran Guru. Pertama kali kegiatan ini dilakukan di Semut-Semut The Natural School, Depok.

Citi Success Fund 2010

C

itibank melalui Citi Peka berkerjasama dengan Hope Worldwide Indonesia, kembali menggelar kompetisi CITI Success Fund (CSF) ke-8. Sejumlah 85 guru dengan proposal kewirausahaan terbaik memperoleh penghargaaan Citi Succes Fund, berupa dana Rp. 5 juta guna mewujudkan ideide mengajar yang menarik, kreatif, dan berbobot. Penerima adalah para Guru SMA dari Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Denpasar. Terseleksi dari 441 peserta. Tema tahun ini kewirausahan menjawab tingginya jumlah pencari kerja serta pengangguran. “Pemahaman kewirausahaan harus dimulai dari sekolah,” ujar Tigor M. Siahaan, Country Business Manager, Institutional Clients Grup Citi Indonesia. ”Para guru diharapkan dapat membangkitkan wirausaha-wirausaha di masa depan.” Tertarik? Catatkan diri Anda di kompetisi mendatang, di www.aksiguru.org, blog AksiGuru, Facebook (www.facebook.com/aksiguru), atau Twitter (@AksiGuru).

BEASISWA HSBC untuk 200 PELAJAR PRASEJAHTERA

P

erbankan makin peduli pendidikan. The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited, atau Bank HSBC pada Desember lalu meluncurkan program beasiswa bagi 200 siswa pelajar berprestasi di Jabodetabek dari kalangan tak berpunya (pra sejahtera), agar tak putus sekolah. Program beasiswa “Big Brother Scholarship” ini merupakan corporate sustainability HSBC. Menurut data Kemendiknas (2009), di DKI Jakarta ada 14.341 anak putus sekolah SD, karena keterbatasan ekonomi. Di seluruh Indonesia, ada lebih dari 289 ribu anak usia 7-12 tahun yang tidak/belum bersekolah. HSBC menggandeng Putera Sampoerna Foundation (PSF), melibatkan 200 karyawan secara langsung sebagai kakak asuh. Peluncuran program ini dilaksanakan di SDN Guntur 03/04 Pagi, Setiabudhi. Juga akan dilatih 30 guru/kepala sekolah dari 9 Sekolah Dasar melalui Educator Empowerment Program; mendalami aspek manajemen kelas, kepemimpinan, profesionalisme mengajar, serta cara mengajar efektif. Pelatihan selama 5 bulan, Januari hingga Mei 2011. Diharapkan, lebih 1.000 murid akan merasakan dampak positif peningkatan kualitas mengajar. TG

V.04 edisi.12.2011

5


CSR on education

Hotspot FIRST MEDIA

untuk Sekolah di Jakarta

K

enal First Media? Penyedia komunikasi pita lebar (broadband) terbesar dan terkemuka di Indonesia ini, membangun hotspot gratis di sejumlah sekolah di DKI Jakarta, Desember lalu, guna mendukung kegiatan belajar mengajar yang efektif, komunikatif dan interaktif, dan lebih menyenangkan. Pada tahap awal, di Sekolah Dasar Besuki 01 Menteng, Jakarta Pusat, sekolahnya Barack Obama, Presiden AS sewaktu kecil dulu. Ini proyek percontohan, setelah itu First Media akan membangunkan fasilitas hotspot akses internet gratis berkecepatan tinggi di banyak sekolah di Ibukota. “Akses internet di sekolah kini menjadi salah satu kebutuhan vital untuk meningkatkan mutu pendidikan di Tanah Air. Para Guru dapat meningkatkan cara pengajaran mereka dan membantu para anak didik meraih standar yang lebih tinggi,” kata Presiden Direktur First Media Hengkie Liwanto. Sebelum ini First Media telah meluncurkan layanan FastNet Kids, internet yang aman dari pornografi dan kekerasan. PT First Media Tbk perusahaan mega media pertama di Indonesia yang menawarkan akses kecepatan 20 Mbps unlimited kepada konsumen, guna mengakses jejaring internet secara multimedia dan lebih komprehensif. TG

Kiri ke kanan: Andre Ismangun SH (Komite Perwakilan Murid SDN Besuki 01 Menteng), Adzra Fadla Taqia (siswa), Hj. Hasimah, MM Pd (Kepala Sekolah), Marina Dewi Salim dan Wisnu Triatmojo (First Media ).

M

ereka yang terjun sebagai pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar, adalah para lulusan perguruan tinggi dengan prestasi akademik terbaik. Memberanikan diri mengabdi sebagai Guru sebagai keterpanggilan dalam upaya perjuangan memerdekakan keterbelakangan pendidikan di daerah dan memberikan impian bagi anak-anak nun jauh di pelosok Indonesia sana. Yunita Ekasari Bahrun ST., telah sebulan mengajar di SDN Indraloka 2, Way Kenanga, Tulang Bawang Barat, Lampung. Listrik sudah masuk di sini. Mencapai lokasi naik bus 3 jam dari kota kabupaten Tulang Bawang Barat, disambung naik ojek sekitar 20 menit. Ungkapan pengalamannya dikirim melalui internet dari kota Kabupaten. Hari itu saya sebenarnya bingung mau mengajar dengan metode apa, agar pelajaran IPS di siang hari menjadi menarik bagi mereka. Karena mengajar yang dadakan (mengisi kelas kosong tiba-tiba), maka jadilah aku si guru tanpa RPP hari itu. Sembari menatap mereka satu persatu, terpikirlah ice breaking . Salah satu dari mereka, Ferry, menginspirasi saya. Anak ini sehari-harinya sulit duduk diam di bangku, sering pindah bahkan keluar masuk kelas dengan alasan tak jelas. Kuminta mencari selembar kertas. “Sekarang kita bermain.” “HORREEEEE...,” jawab mereka dengan meriah. “Sekarang buatlah pesawat dari kertas apa pun.” Aku kaget melihat Ferry sangat serius melipat kertas. Belum pernah, sejak pertama saya masuk ke kelas ini melihatnya begitu tekun. Beberapa anak lelaki lain juga sibuk, tapi tak seserius Ferry – yah, every children is different. Dengan kecerdasan yang berbeda, memiliki keunikan masing-masing, aku larut dalam pikiranku tentang mereka. “Bu pesawat saya ada dua, sayapnya berbeda model. Ada yang gerakannya lebih cepat ada yang lambat.” Wah, meski terbatas akses informasi dan fasilitas, mereka juga bisa! Ferry tak mau kalah, dia membuat pesawat model jet tempur (... sssst, baru kali ini aku melihat model pesawat kertas seperti itu). “Hebat kamu ya, model pesawatnya bagus sekali,” Aku bertambah kaget ketika dia berkata,”Saya buat lagi ya buat ibu.” Terharu jadinya.

6

V.04 edisi.12.2011


mimpi-mimpi mereka, anak-anak yang hidup di pelosok negeri.

Kusampaikan pujian bukan hanya untuk Ferry, juga seisi kelas. “Pesawat itu ada namanya tidak?” Secara bersamaan mereka menjawab,”Ya, ada Bu. Biasanya di badan pesawat.” “Ya, kalian memang benar, ayo sekarang kalian tulis di sisi kiri dengan nama kalian dan sisi kanan dengan cita-cita kalian.” Dengan cepat mereka menuliskannya. “Sudah bu,” teriak mereka bersamaan. Setelah itu aku menggambarkan langit impian dan awan kosong yang akan diisikan cita-cita mereka. Sekarang, mereka bersiapsiap untuk lari dan kemudian menerbangkan pesawat-pesawat itu ke arah langit impian. Mereka melakukannya dengan penuh antusias, ada yang melakukannya berulang-ulang karena pesawatnya tidak tepat pada gambar, hingga akhirnya aku kerepotan sendiri menyuruh mereka duduk ke tempat duduk masing-masing. Akhirnya mereka bisa duduk diam, meski bukan di kursinya, mungkin cukup kelelahan (aku berharap saat itu merupakan keadaan alfa mereka). Sesaat keadaan sunyi

tenang. “Ayo, apa cita-cita kalian?” Dreeeeggg, aku terperangah. Mereka berebutan jawab dengan jawabanjawaban di luar dugaan ku, ada yang menjawab astronot, arsitek, insinyur, professor, peneliti, dosen, bahkan ada yang menjawab mau keliling dunia. “Kalau kalian mau dekat dengan langit, bagaimana?” tanyaku. “Terbang, Bu.” “Tapi kalian kan tidak punya sayap?” “Kan ada pesawat, Bu.” “Nah, kalo kalian mau dekat dengan langit impian, kalian harus punya pesawat ilmu pengetahuan.” “Oh, iyya ya Bu, mana mungkin bisa terbang kalau tak punya ilmu ya, Bu.” Aku tersenyum, “Lalu?” “Kami harus rajin belajar Bu, dan tidak boleh menyerah, seperti lagunya d’Masiv.” Wah, what a great statement it is. Hari itu aku kemudian betulbetul disadarkan, di bagian negeri manapun, semua anak-anak sama RUARRRR BIASANYA. Mereka juga punya langit impian dan awan cita-cita, walaupun mereka hidup dalam keadaan terbatas fasilitas. Di sinilah peran para Guru, mendorong mereka merancang pesawat ilmu pengetahuan yang mampu terbang mencapai langit-langit impian mereka. Kekagumanku terhadap

Para pengajar muda sudah ditempatkan di berbagai daerah tak populer. Saat pelepasan di Jakarta, mereka tampak sangat bersemangat dan penuh senyum. Beberapa trainer yang maraton memberi wawasan serta keterampilan mengajar selama masa pembekalan hadir pula. Salah satunya adalah Munif Chatib, penulis ‘Sekolahnya Manusia’. Saat berkerumun, kami minta mereka menanyakan satu pertanyaan terakhir yang sekiranya ada di benaknya saat itu. Seorang pengajar muda bertanya: “Pak Munif, apa yang harus segera saya lakukan begitu masuk dalam kerumunan kelas di sana?” “Grouping!”, jawab Pak Munif singkat. Bekal keterampilan mengajar dengan cepat mereka kuasai. Memang bukan semata materi ajar yang diharapkan dari pengajar muda, melainkan sebuah inspirasi, agar anak negeri ini memiliki mimpi. TG ________________________ Yunita Ekasari Bahrun, ST. Yunie, panggilannya, kelahiran Palopo 19 Juli 1987. Wisudawan terbaik Fakultas Teknik Universitas Hasanudin, prodi Pengembangan Wilayah dan Kota (PWK) jurusan arsitektur periode III 2009-2010. Hal yang paling berkesan selama mahasiswa adalah ketika menjadi partisipan World Town Planning Day 2008 oleh departemen PU, serta kegiatan Participatory Rural Appraisal (PRA) SMFT UH selama beberapa kali di daerah-daerah terpencil Sulawesi. Terakhir bekerja sebagai assistant senior coordinator for Government Relations PT. INCO, Tbk Sorowako-Sulsel.

V.04 edisi.12.2011

7


teacher forum

Forum Pelita Pendidikan

Tanoto Foundation dan Yayasan PARAS

M

akin banyak pihak yang bergerak mencermati persoalan pendidikan di negeri ini. Bola salju menggelinding, dengan degup jantung berdetak keras, kita boleh berharap optimis bahwa perubahan akan segera terjadi dan segera akan banyak jalan keluar, meski bertahap. Tanoto Foundation, bekerja sama dengan PARAS Foundation, pastilah bukan yang pertama dan bukan pula yang terbesar untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. Mereka berniat menyisihkan dana untuk menggerakkan perubahan. Pelita Pendidikan, demikian nama kegiatan yang mengawali langkah perbaikan pendidikan dengan mengundang para praktisi, pemerhati dan kritikus pendidikan untuk menginventarisasi persoalan apa saja yang berkelindan. Belinda, putri ketiga keluarga Sukanto Tanoto, berbagi cerita latar belakang munculnya ide Pelita Pendidikan, yakni untuk memerangi keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Syahdan, ayah ibu mereka dulu tak bisa sekolah saking miskinnya. Beruntung keluarga ini memiliki semangat juang hebat. Bapak dan Ibu Tanoto akhirnya sukses luar biasa dan memiliki kerajaan bisnis yang hebat. Komitmennya, mereka akan ‘balas dendam’ kesulitan pada waktu dulu dengan mengentaskan kesulitan di masa kini. Sekolah dan guru daerah menjadi sasaran utama program peningkatan mutu. Akan dikembangkan 1.000 sekolah di daerah terpencil dan 200 sekolah percontohan. Pertemuan nara sumber datang dari beragam latar belakang dan para peserta aktif yang khusus diundang untuk melakukan inventarisir persoalan. Semua dapat berbicara dengan lugas, terbuka tanpa takut. Melalui forum ini ingin diperoleh masukan untuk keberlanjutan

8

V.04 edisi.12.2011

program pendidikan masa mendatang, dan menghasilkan pertimbangan bagi pengambil keputusan.

inventarisasi persoalan Sisworo Adi dari ProVisi Education, mengemukakan relevansi antara pendidikan dan masyarakat sekitar, berdasar pengalamannya mendampingi SMP-SMA di Halmahera, Kutai, dan Sukabumi. Dari 600 lulusan SMP, hanya 60 siswa yang lanjut sekolah. Selebihnya jadi buruh, tukang ojek dan menganggur. Di Sukabumi, dari 60 siswa lulusan SMA, hanya 5 orang yang lanjut ke perguruan tinggi. Sisanya kocarkacir. Di Halmahera, tentu saja tak ada sekolah yang menyelenggarakan ekskul, yang mendorong minat dan bakat untuk survive di kehidupan. Lulusannya hanya jadi buruh pabrik. Sebagian jadi petani penggarap. Pertanyaan yang sangat mendasar dan sudah menjadi polemik di daerah sekitar sekolah tersebut adalah: APA GUNA PENDIDIKAN buat mereka? (Duh.... tujuan pendidikan saja sudah diragukan ya.) Prof. HAR Tilaar, yang masih bugar di usia senjanya, mengutuk korupsi dana BOS, dikarenakan tak banyak masyarakat yang tahu penggunaannya. Prof. Tilaar mempertanyakan kembali pemisahan pendidikan nasional dan kebudayaan, yang implikasinya sangat terasa pada gelora memenangi olimpiade semata. Tujuan pendidikan seolah hanya untuk itu saja, yang menghasilkan manusia-manusia buaya, bukan manusia berbudaya. Ada pengGAYUSan di pendidikan nasional. (Hahahahhhaaa...... gelak peserta pertemuan.) Retno Listarti, Guru SMA 13 yang terkenal vokal, dan sukses menjadi penulis buku teks, menyoroti soal mahalnya harga buku paket. �Siswa mestinya


dibebaskan mau baca buku apa. Yang penting mampu merekonstruksi pengetahuan�, katanya. Metode mengajar guru juga sangat mendasar. Sekarang ini kebanyakan guru hanya mengenal tiga metode, yaitu ceramah, diskusi, dan latihan soal. Padahal puluhan cara belajar aktif sangat menantang. Kastanisasi pendidikan makin tampak. Organisasi guru sudah melempem. PGRI banyak sekali mengecewakan. Guru jadi tak merdeka. Anehnya, banyak guru menikmati kondisi ketertindasan ini. Ki Suparman, yang tulisannya sering dimuat di harian nasional, mengemukakan kegelisahannya melihat kebijakan yang kolonialistik. Seperti masih jaman Hindia Belanda. Sekolah yang tak sesuai standar pemerintah, dianggap liar. KTSP ujungnya masih sentralisasi pendidikan. Ujian Nasional adalah bencana. Intervensi asing tampak dalam kebijakan yang menganggap kurikulum terbaik adalah yang seperti negara-negara OECD (negara maju bidang ekonomi).

Ki Suparman juga menohok sistem di LPTK yang minim pengetahuan tentang hak-hak anak. Setelah 65 tahun merdeka, cita-cita Ki Hadjar Dewantara untuk memerdekakan lahir batin belum terwujud. Susilo, dari Sanggar Akar, mengemukakan kenyataan anak pinggiran perkotaan, yang hanya memahami pendidikan sebagai ruang kelas, tanpa bisa melihat perubahan. Iwan Syahril, dosen di STKIP Kebangsaan –Sampoerna Foundation, mengeluhkan soal tak adanya grand design dan strategi SDM yang membingungkan. Budaya menghafal terlalu dominan. Padahal energi selalu ada di luar sistem. Mengapa tak dimanfaatkan dalam konteks public education? Apa artinya menjadi orang terpelajar, jika yang menjadi ukuran adalah soal kekayaan? Pemred Teachers Guide yang juga diundang sebagai peserta aktif di acara ini menyoroti ketidaksamaan kompetensi para trainer di berbagai

pelatihan, selain soal minimnya pengetahuan kebangsaan Guru. Pertemuan diakhiri dengan komitmen untuk melanjutkan gerakan kepedulian ini hingga ke pelatihan dan seminar. Pada sesi pertemuan ke dua, terungkap kritik Guru yang mengejar sertifikasi, dan mengambil kesarjanaan melalui Universitas Terbuka. �Yang sekolah dengan tatap muka, dan berlatih mengajar saja belum kompeten, apalagi yang sekolah hanya melalui dunia maya. Sangat mengkhawatirkan bagi anak didik!� , demikian sedikit kritik yang kerap mengundang tawa retoris dari para peserta, yang semuanya bersentuhan dengan dunia pendidikan. Tanoto Foundation tampaknya cukup sungguh-sungguh ingin mengejar ketertinggalan reformasi pendidikan. Semoga segera bisa mengubah wacana pendidikan di negeri ini, sebelum semuanya menjadi terlambat. TG

Reformasi pendidikan sudah cukup lama, tetapi format reformasi seperti apa? Ada ketidakjelasan, sudah sampai pada tahap apa? Apa problem utama? Apa peran yang bisa kita lakukan sesegera mungkin?

V.04 edisi.12.2011

9


PAUD forum

The Making Of Leader

Sampai Kapan Anda Memimpin Sekolah? Lakukan Kaderisasi agar Lestari

Tujuan kaderisasi agar kelak penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dapat berjalan mulus dan menghindari kultus individu.

K

eberhasilan suatu sekolah sedikit banyak tergantung kepada unsur pimpinan sebagai motor penggerak. Bahkan tidak sedikit sekolah yang mencapai sukses dan nama besarnya sematamata mengandalkan kapabilitas sang pemimpin. Biasanya hal ini karena sang pimpinan adalah pribadi yang dominan lagi handal, sehingga masalah apapun dapat ditanggulangi. Kita bisa terlena dan lupa bahwa demi berlanjutnya sukses organisasi, perlu adanya suatu sistem kaderisasi untuk mempersiapkan staf yang memiliki potensi untuk dibentuk sebagai calon pemimpin. Sungguh

10

V.04 edisi.12.2011

tragis jika karena suatu hal, di mana perlu terjadi pergantian pimpinan, sekolah menjadi limbung karena tidak adanya pengganti yang memadai. Kaderisasi merupakan program yang mutlak dimiliki oleh sebuah organisasi, termasuk organisasi pendidikan. Tujuannya agar kelak penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dapat berjalan mulus dan menghindari kultus individu. Lebih jauh lagi, program kaderisasi memungkinkan terjadinya transfer of knowledge dan practical skill langsung dari para incumbent. Diharapkan, hal ini dapat


Imelda Hutapea, MEd Konsultan PAUD dan master trainer pada Preschool Teacher Institute sebuah pusat pelatihan dan kursus ilmu PAUD untuk konsultasi seputar PAUD: info@preschoolteacherinstitute.com

Preschool Teacher Institute 2nd Floor, Plaza Kemang 88 Jl. Kemang Raya No. 86-88, Jakarta Selatan 12730 Ph. 021-719 3418 Fax. 021 719 3742 Mobile. 0888 154 7755

meminimalisir gejolak transisi dan terciptanya benang merah pola kerja antar kepemimpinan. Bermodalkan niat dan kesadaran, pertanyaannya sekarang, darimana dan bagaimana harus memulai program kaderisasi? Mari kita telusuri beberapa langkah penting yang efektif dan sentral.

PERSIAPAN Langkah awal Anda sebelum menyusun program adalah menyaring kandidat yang layak masuk daftar sebagai kader. Beberapa aspek yang layak dijadikan kriteria utama adalah a. Masa Kerja: Dianjurkan memilih calon yang telah melalui masa kerja lebih dari dua tahun penuh.

b. Performa Kerja: Terbagi atas cara langsung di mana Anda secara otomatis dapat menyebutkan namanama yang secara umum menonjol performa kerja-nya, dan cara tidak langsung yaitu menggunakan laporan tertulis hasil performance review tahunan sebagai referensi, maupun kombinasi keduanya. Harus dicatat bahwa faktor integritas adalah hal penting dalam melihat performa. Idealnya, pemimpin dapat menjadi teladan moral bagi bawahannya guna menghindari konflik dan gunjingan yang tidak perlu. Lagipula, organisasi sekolah amat bergantung pada unsur image/ pencitraan dan adanya pandangan masyarakat terhadap sekolah sebagai tempat menimba ilmu dan membina budi pekerti. Pemimpin yang bebas kasus dan masalah etika akan lebih

mudah memperoleh respek dan menjadi panutan bagi bawahannya, sebab pribadinya sendiri mencerminkan leading by example.

c. Nilai Tambah: Adalah ‘the x factor’ yang dapat membuat satu kandidat mengungguli yang lain. Ada resiko bias dan subyektifitas di sini, sebab cara kita menilai kelebihan seseorang dapat saja telah terkontaminasi oleh tolok ukur pribadi, yaitu pengalaman, latar belakang dan minat kita sendiri. Dengan pertimbangan tersebut, Anda sebaiknya mengikutsertakan satu orang lagi yang dipercaya membantu memberikan penilaian atas nilai tambah tersebut. Patokannya adalah bagaimana bakat/kelebihan yang dimiliki kandidat dapat berdaya guna bagi sekolah. Misalnya: kandidat A adalah pengurus atau aktif di berbagai organisasi kependidikan. Supaya seimbang, timbang juga kelemahan dari nilai tambah tersebut. Setelah melalui tahap-tahap di atas, Anda kini telah mengantungi sejumlah nama potensial. Jika daftar nama dirasa masih kurang, Anda boleh mencoba cara open contest, yaitu mengundang karyawan untuk menawarkan diri sebagai kandidat, tentunya dengan mencantumkan kriteria seleksi yang telah dibahas di atas.

PROGRAM Secara garis besar terdiri atas tiga kegiatan utama yaitu: Taklimat, Pembekalan dan Magang.

Pada tahap Taklimat, para kandidat mendapat pemberitahuan baik seputar program kaderisasi, tujuan maupun teknis pelaksanaan-nya. Beri pula kesempatan pada para kandidat untuk mempertimbangkan tawaran Anda secara serius, dan hargai pula jika ada kandidat yang menolak dicalonkan. Tidak usah kecewa, jika kandidat jagoan Anda mengundurkan diri. Ini adalah tahap saringan alami; seseorang perlu secara sukarela menerima tantangan ini, sehingga diharapkan ia lebih berkomitmen dan bertanggung jawab. Memasuki tahap Pembekalan, para kandidat mendapat informasi dan pelatihan mengenai: a. Tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin. Keterangan yang jelas, rinci dan tertulis tentang scope of work (cakupan kerja) dan job description kepada kandidat akan sangat membantu untuk menghindari kerancuan tugas. Misalnya: aspek budgeting; faktanya sedikit orang yang menyadari bahwa urusan keuangan juga salah satu aspek tugas pemimpin. b. Tipikal masalah yang sering timbul Misalnya: pada lembaga PAUD, problem yang sering timbul berkaitan dengan pertanyaan orangtua soal calistung (baca-tulis-hitung). Beri tips bagaimana menjawab pertanyaan seputar topik tersebut, yang tujuannya membela kepentingan

V.04 edisi.12.2011

11


PAUD forum

pendidikan anak sekaligus meningkatkan kesadaran orangtua (win-win approach).

senang membahas masalah (kata halus untuk bergosip… pastikan kandidat peka dan siap menyelami hati dan jiwa kultur sekolah Anda.

c. Fokus dan prioritas Dengan merunut pada kebijakan dan keputusan yang pernah dibuat, tunjukkan bagaimana Anda (pimpinan sekarang) mengatur urutan skala prioritas dan mengapa demikian. Tabel berikut menunjukkan bagaimana kita dapat membandingkan fokus dan prioritas sekolah baik sebagai organisasi bisnis maupun sebagai organisasi pendidikan.

Aplikasi pembekalan terjadi pada tahap Magang yang umumnya diawali dengan observasi atau job shadowing. Tugaskan kandidat untuk mengamati anda melakukan tugas harian dan tugas spesifik Anda sebagai pemimpin pada jangka waktu tertentu (idealnya dua minggu), mencatat lalu menuliskannya dalam bentuk laporan.

Sekolah sebagai Organisasi Bisnis

Sekolah sebagai Organisasi Pendidikan

Contoh kasus: Protes Orangtua soal rasio murid dan guru di kelas Memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya (prinsip ekonomi) >> Makin banyak murid, makin untung.

Prasyarat belajar aktif dan maksimal >> Rasio ideal agar tertib dan kondusif untuk belajar

Dengan memberikan latihan terkait dengan dualisma perspektif seperti di atas, Anda bisa menilai kemampuan kandidat dalam mengambil keputusan. d. Intisari ilmu kepemimpinan Meliputi gaya kepemimpin, skill (keterampilan) yang penting sebagai pemimpin, misalnya: seni berkomunikasi, membangun tim, pengambilan keputusan. Anda bisa melatih kader melalui teknik Sharing, di mana yang dibagi adalah “What Works with Me”, yaitu gaya Anda dan cara-cara yang biasa Anda pakai yang tentunya berhasil dan membuahkan hasil positif. Jika dirasa perlu, anda dapat mengirim para kandidat untuk mengikuti training kepemimpinan. e. Serba-serbi organisasi sekolah Anda Setiap organisasi pasti memiliki kultur dan cara-nya sendiri, yang unik dan khas, misalnya cara pendekatan kepada pihak luar maupun terhadap karyawan. Misalnya: Lembaga PAUD yang cenderung memiliki karyawan dominan perempuan, membutuhkan pimpinan yang ‘tanggap curhat’ alias siap mendengarkan dan menjadi tempat berbagi rasa. Begitu pun dengan isu-isu ‘feminin’ lainnya seperti berjualan (snack, baju, arisan dll) dan

12

V.04 edisi.12.2011

Untuk memantau keefektifan pembelajaran, ambil waktu untuk membahas laporan pengamatan tersebut dengan tiap kandidat. Selanjutnya, kandidat Anda siap diterjunkan untuk mendemonstrasikan kemampuan melalui praktek, yaitu melalui pendelegasian (ambil alih satu tugas) ataupun magang penuh (ambil alih seluruh tugas). Magang penuh sebaiknya berlangsung tak kurang dari tiga bulan, karena durasi tersebut adalah waktu yang dibutuhkan rata-rata manusia untuk dapat menyelami dan terbiasa dengan suatu hal baru.

Tugas penting Anda selama program kaderisasi ini berlangsung adalah memastikan tersedianya dukungan emosional (memberi semangat dan motivasi), perangkat (ilmu melalui buku, artikel maupun komputer jika diperlukan untuk menulis laporan) dan coaching. Coaching (yang harus dibedakan fungsinya dari training) yaitu metode pelatihan khusus yang tujuannya melatih terciptanya sebuah ketrampilan, dan bukan sekedar mempelajari ilmu baru. Sebagai contoh: setiap pemain bola mendapatkan coaching bagaimana menghasilkan tendangan ke gawang, sampai mereka bisa. Contoh lain lagi: Steve Martin, aktor berkebangsaan Amerika harus berguru pada Speech Coach agar bisa beraksen Perancis dalam film kocak “Pink Panther”. Dalam melakukan penilaian, hendaknya disadari bahwa sang kader sudah pasti tidak bisa persis seperti anda karena tiap pribadi adalah unik, karenanya akan menghasilkan kualitas kepemimpinan yang berbeda. Pepatah Irlandia mengatakan “You’ve got to do your own growing, no matter how tall your grandfather was”. Sekolah, founder dan pemimpin lama boleh jadi sukses dan memiliki reputasi tinggi, namun para pemimpin baru tetap harus membangun suksesnya sendiri, yang bisa ia banggakan. Selamat mencetak pemimpin! TG


teachers forum

Strategi Hidupkan

Perpustakaan Andai Kepala Sekolah, Guru, dan Pustakawan Berkolaborasi

T

ahukah Anda, kini perpustakaan diibaratkan sebuah jantung dalam ‘tubuh’ sekolah. Sakit dia, payah pula keberhasilan belajarmengajar. Banyak bukti menunjukkan. Di sekolah-sekolah bagus, pembelajaran sangat mengandalkan perpustakaan dengan berbagai kelengkapan informasinya. Sebaliknya, coba periksa, sekolah-sekolah jelek. Pasti perpustakaannya tak terurus. Memang, menghidupkan perpustakaan bukan melulu tugas petugas perpus atau guru pustakawan (teachers librarian). Perlu kerjasama antara Kepala Sekolah, Guru kelas/bidang studi, dan Pustakawan. Jadi, mengapa kebanyakan Guru dan Kepala Sekolah sulit ‘ditarik’ ke perpustakaan? Sebagian Guru diam-diam punya kendala. Misal, terkejar target kurikulum sehingga merasa kurang waktu ke perpustakaan. Ada gagap IT, kerepotan jika surfing di dunia maya. Ada Guru yang sudah ‘mabuk’ begitu melihat ada seabreg informasi pengayaan yang harus di’update’ jika ingin pembelajarannya aktual dan relevan dengan anak. Jadinya enggan berurusan dan memilah beragam sumber informasi dari perpustakaan, televisi, koran, dan majalah. Apalagi anak-anak sulit ditarik perhatiannya saat di perpustakaan, sebagian lebih suka ngobrol. Nah, inilah yang disinyalir sebagai dampak mencandu televisi dan game komputer. Sayangnya, meski banyak kendala, Guru tetap saja enggan bertanya atau belajar pada Pustakawan. Padahal, Pustakawan dapat memberi

solusi. Mereka paham berbagai media dan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan, dapat membantu memilah-milahkan, serta paham pendekatan literasi informasi.

PERPUSTAKAAN SUDAH BERUBAH Wajah perpustakaan kini, mungkin sudah jauh berbeda dibanding satu dekade lalu, atau jaman kita bersekolah. Paradigma perpustakaan telah berubah. Ketrampilan menggunakan perpustakan amat penting bagi siswa. Dan perpustakaan ibarat ruang kelas perluasan: guru memanfaatkan perpustakaan secara terintegrasi dengan pembelajaran mata-mata pelajaran di kelas. Perpustakaan ibarat bengkel kerja yang sibuk dan berisik. Waktunya fleksibel. Isinya beragam format: tak hanya buku-buku teks dan bacaan, juga materi audio visual, yang dibaca dengan berbagai alat/teknologi. Percuma perubahan paradigma di perpustakaan sekolah Anda itu dilakukan, jika para Guru, Pustakawan, dan Kepala Sekolahnya masih belum ketemu dalam hal pemanfaatan kepustakaan yang ada. Perlu interaksi yang sehat dan menyenangkan diantara ketiganya. Semisal, saling berbagi informasi, sehingga banyak tugas target kurikulum Guru dapat dibantu. Saling bekerjasama, sehingga banyak kesulitan belajar siswa yang makin kompleks, terpecahkan. Saling menyiapkan materi sumber belajar, sehingga tercapai pembelajaran yang bermakna di sekolah. Ya, sudah saatnya memupus gengsi dan mengubur jarak yang memisahkan sesama kolega

pendidikan di suatu sekolah. Kalau para Guru antusias berkolaborasi, tentu sekolah benar-benar tempat yang menyenangkan. Agar tujuan menghidupkan perpustakaan sekolah sukses, sebaiknya para Guru, Kepala Sekolah, dan Pustakawan bertemu, menyamakan visi, misi, hubungan kemitraan, dan cara mengintegrasikan kurikulum sekolah dengan ‘kurikulum perpustakaan’, dan merancang unitunit pembelajaran, baik perbulan, semester, dan setahun. Mulai dari topik, projek, hingga TIU/TIK. Pada bagian mana Pustakawan dapat membantu proses pembelajaran? pustakawan dapat menyiapkan bahan/materi pembelajaran yang diperlukan Guru dan siswa, mengunduh dari website, mengundang narasumber, atau mengatur kunjungan ke tempattempat yang sesuai. Menetapkan ketrampilan apa saja yang diperlukan siswa menyelasaikan projek/ tugasnya. Tugas terberat Guru, adalah mengidentifikasi perbedaan kemampuan siswa yang perlu dicarikan solusinya. Pustakawan dapat ikut mengelaborasi dan mencarikan jalan keluar, berbagi tugas, siapa mengajarkan apa, dan materi apa yang diajarkan. Yakinlah, tak ada kesuksesan yang dapat diraih sendirian. Bergabunglah dalam paradigma perpustakaan yang modern. Untuk itu, kerjasama dan berkorabolasilah! TG ________________ Disarikan dari presentasi Ratna Setyowati Putri, M.Pd. dan Fidelia Ratri Yojani, S.Pd. , pada Pelatihan Media Literasi oleh APISI, Bandung, Oktober 2010

V.04 edisi.12.2011

13


teachers forum

Temukan Reaksi Negatif Siswa

Pencermatan Seorang Guru yang Sadar Proses

C

atatan ini bentuk kegelisahan seorang Guru muda dalam melihat realita dunia pendidikan yang kian menyimpang dari tujuan. Sekaligus upaya mengungkap kesimpang-siuran pemahaman masyarakat tentang pendidikan yang berkualitas, yang selama ini hanya dibangun berdasarkan asumsi-asumsi. Misal, asumsi bahwa penyempurnaan kurikulum dilakukan hanya dalam konteks redaksional pada rumusan target pencapaian (objectives) dan proses evaluasi (evaluation), seperti yang dikeluhkan oleh para Guru. Sedangkan panduan atau perhatian pada proses belajar sama sekali tak tersentuh di dalam kurikulum. Memang, kenyataannya ini merupakan ruang bagi Guru untuk berkreasi dalam menginterpretasikannya. Sekolah-sekolah berlabel nasional plus dan internasional pun ternyata menunjukkan fenomena serupa. Kurikulum impor dijadikan daya tarik. Dengan anggapan : lebih baik dan bergengsi, proses evaluasi lebih kompleks, imingiming jaminan meneruskan kuliah di luar negeri, bahkan fasilitas-fasilitas pendukung, masyarakat digiring pada sebuah standar pendidikan berkualitas. Ini salah kaprah dalam menginterpretasikan kualitas sebuah pendidikan dan proses belajar yang efektif. Pendidikan pada praktiknya bukan lagi berorientasi pada proses namun hasil akhir dan fasilitas pendukung.

14

V.04 edisi.12.2011

BERPROSES DAN BERPUSAT PADA SISWA Bagaimana seorang individu belajar merupakan sebuah proses yang sangat menarik untuk diamati. Saat seorang anak pada fase tertentu belajar memahami dan menggunakan kode-kode berupa bunyi hingga menjadi kata atau kalimat. Saat anak melalui proses memahami sebuah rumus kimia. Bukankah mengagumkan mengamati bagaimana seorang anak berhasil mengucapkan kata-kata pertamanya, misalnya “mama� untuk memanggil ibu yang melahirkannya. Di era pendidikan modern ini, istilah yang paling sering dijual untuk menggambarkan proses ideal belajar adalah ‘pembelajaran yang berpusat pada siswa’ (student-centered). Istilah ini lebih tepat dikatakan sebagai sebuah pendekatan (approach) bukan produk (product) pendidikan. Artinya, pendekatan ini dapat diterapkan pada kurikulum, konteks dan jenjang pendidikan apa pun, selama pendidik mampu menerjemahkannya dalam kegiatan belajar dan mengajar. Pendekatan student-centered berusaha memastikan proses belajar yang dialami siswa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tujuannya, agar siswa dapat secara aktif mengalami, mengaitkan, menerapkan, atau bahkan mengembangkan pengetahuan yang ia peroleh dalam konteks kesehariannya. Sehingga, belajar menjadi sebuah proses sadar. Ketika seseorang anak berhasil mengucapkan sebuah kata bahasa Inggris, atau menggunakan sebuah rumus matematika, terjadi sebuah proses sadar yang dialami sang anak dalam memeroleh pengertian dari kata atau rumus yang diajarkan lalu menggunakannya. Bukan tindakan Guru yang memaksa siswa untuk berulang-ulang menggunakan rumus atau kata tersebut agar mudah diingat. Sering kali, siswa hanya dibiarkan bertanya-tanya mengapa dan bagaimana ia harus belajar. Padahal alasan-alasan itulah yang sangat perlu baginya, agar belajar menjadi sebuah proses sadar. Umumnya kegagalan proses belajar-mengajar terjadi ketika Guru tak mampu membawa siswa hingga tahapan sangat penting ini. Persoalannya adalah bagaimana cara mengetahui alasan-alasan tersebut.


DILEMA GURU Idealnya, Guru menyusun dahulu rencana pengajaran (lesson plan). Di sini, ia menyelaraskan kebutuhan siswa dengan tujuan pembelajaran di kurikulum. Isinya: perumusan tujuan pembelajaran - apa saja dan sejauh mana target yang perlu dicapai, penentuan kegiatan belajar, dan evaluasi keberhasilan siswa.

KEBUTUHAN SEBAGAI ALASAN BELAJAR Kata lain yang sering digunakan untuk menggantikan “alasan� untuk belajar adalah kebutuhan (needs). Jika kita tanyakan alasan mengapa mereka tertarik mempelajari topik matematika tertentu, mungkin kita akan memperoleh alasan kebutuhan itu. Sebaliknya, jika mereka beralasan, topik itu tidak dibutuhkan di dunia kerja nanti, atau tak ada hubungan dengan jenjang pendidikan tinggi nanti, maka siswa justru jadi punya alasan untuk tak mau belajar. Ia menyadari tak ada kebutuhan sebagai alasan belajar. Brown (1991) menyebutkan, pendidik perlu melakukan analisis kebutuhan sebelum mengajar. Akan terungkap, alasan apa yang paling tepat, minat apa yang paling besar, dan cara apa yang paling disukai siswa dalam belajar. Tujuannya, agar belajar menjadi sebuah proses sadar, dan tujuan belajar dapat tercapai dengan baik. Namun, muncul sebuah dilema baru, sebab ada banyak siswa di kelas dengan kebutuhan dan alasan beragam. Idealnya, Guru dapat memenuhi setiap kebutuhan dan minat individu. Apakah mungkin?

Nyatanya, Guru sering berhadapan dengan situasi di mana siswa justru menunjukkan respon negatif terhadap skenario lesson plan itu. Keluhan siswa: pembelajaran tidak menarik, terlalu susah, atau bahkan terlalu mudah. Jika Guru berhenti di tahap ini dan membiarkan kondisi tersebut terjadi, berarti ia telah gagal menghadirkan proses sadar. Guru yang peka, akan segera mengidentifikasi kebutuhan siswa dan menggiring mereka ke kebutuhan tersebut. Keputusan ini harus segera dilakukan di dalam kelas. Namun, kebutuhan siapa yang akan dijadikan dasar pembelajaran? Siswa yang paling berprestasi, yang paling lemah, atau yang rata-rata berkebutuhan sama? Nah, bukankah ada sebagian atau beberapa siswa yang akan tak terpuaskan kebutuhannya? Jika akhirnya Guru terbuka terhadap keberagaman kebutuhan setiap siswa di dalam kelas, bagaimana mengukur tingkat ketercapaian mereka yang beragam? Cukup sulit bukan, karena setiap siswa mungkin memulai dari titik yang berbeda dan belajar dengan melakukan hal yang berbeda. Kegagalan seorang siswa bisa saja diterjemahkan sebagai keberhasilan pada siswa yang lain. Apakah ini berarti semua perencanaan Guru hingga tahap evaluasi gagal total? Inilah tantangan kompleksnya proses belajar.

GURU PEMBUAT KEPUTUSAN Betapa Guru selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang mengharuskannya mengambil keputusan yang tepat. Yaitu keputusan yang menegosiasikan berbagai kebutuhan dan kepentingan yang diharapkan dari proses belajar mengajar. Kepentingan kurikulum (yang ditetapkan pemerintah), kepentingan sekolah (visi dan nilainilai tertentu), serta kepentingan orangtua yang penuh harapan akan sekolah dan Guru. Jika Guru tak mumpuni menginterpretasikan setiap kepentingan dan kebutuhan tersebut dalam proses belajar-mengajar, maka semuanya hanya akan jadi harapan dan tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya, jika Guru hanya terjebak dalam berbagai rumusan pengharapan tersebut dan mendedikasikan pekerjaannya semata-mata untuk mewujudkannya, maka pembelajaran yang berpusat pada siswa mungkin tidak akan pernah tercapai. Begitulah, ketika berhadapan dengan situasi dilematis seperti rencana pengajaran yang tak berjalan sesuai harapan atau reaksi negatif siswa terhadap pembelajaran -- maka yang dibutuhkan Guru bukanlah kurikulum dan fasilitas pendidikan yang sempurna. Ia perlu membuat keputusan tepat guna memenangkan perhatian siswa dan kembali menggiring mereka pada proses sadar belajar. TG

__________________________ Reynold Bachtiar Hutabarat Pernah mengajar di salah satu sekolah internasional di BSD, Tangerang, tinggal di Jakarta

V.04 edisi.12.2011

15


Utomo Dananjaya

dan Kejayaan Sekolah yang Utama Utomo Dananjaya, Mochtar Buchori dan Romo Baskoro

D

i usia senjanya, makin kerap ditemui sosok Pak Tom, -begitu Begawan pendidikan ini disapa- di berbagai pertemuan pendidikan. Kritiknya masih tajam. Semangatnya pada peningkatan mutu pendidikan dilewatkannya pada penerbitan buku terbarunya berjudul: ‘Media Pembelajaran Aktif’. Dalam bukunya yang dikemas baik, Pak Tom menyoroti perjalanan pendidikan di negeri ini sebelum kemerdekaan, yakni sejak zaman Sriwijaya, yang sudah berdiri padepokan dengan empu sebagai pemimpin. Sejak kedatangan agama Islam, pesantren mengakar dan menyebar. Setelah VOC hengkang, barulah pemerintahan Belanda mendirikan sekolah untuk pribumi, dengan pendidikan model ‘ongko loro’ untuk jenjang tiga tahun, dan ‘sekolah kelas satu’ yang ditempuh selama 5 tahun. Kesadaran pribumi untuk belajar, tak lagi untuk kebutuhan tenaga kerja dan birokrasi pemerintah Belanda. Kesadaran akan kebangsaan itu tumbuh, untuk menciptakan manusia yang menyadari KEMANUSIAANnya dan semangat KEBANGSAAN. Lantas lahirlah Taman Siswa, Kayu Tanam, Indonesische Nationaal School – INS, dan Muhammadiyah. Terpengaruh pendidikan Belanda, pendidikan menjadi alat pemelihara kekuasaan. Inilah yang berlanjut hingga Orde Baru yang memperluas kesempatan sekolah melalui projek Inpres (Instruksi Presiden). Pendidikan Kewarganegaraan dan Moral Pancasila digalakkan. Angka partisipasi berhasil didongkrak, namun mutu pendidikan tetap rendah. Mainstream di kelas adalah: Guru mengajar, murid mendengar. Menghafal dianggap lebih penting dibanding pemahaman dan pemecahan masalah. Saat itu, ingatkah Anda, lomba cerdas cermat, cepat tepat menjadi gejala pendidikan yang tidak memekarkan potensi anak didik, malahan memasung? Reformasi 1998 membebaskan! Kurikulum 1994 digeser menjadi berbasis kompetensi. Paradigma pendidikan ditiupkan. UUD pasal 31 diamandemen, dan anggaran pendidikan naik menjadi 20% dari APBN. Selanjutnya UU Sisdiknas tahun 2003, yang berprinsip demokrasi,

16

V.04 edisi.12.2011

desentralisasi, otonomi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Yang mendasar adalah perubahan dari paradigma pengajaran yang berkonotasi teacher centre, menjadi pembelajaran, yang lebih bermakna aktif. Manusia yang tadinya dipandang sebagai sumber daya pembangunan, menjadi subjek pembangunan . Peraturan Pemerintah No 19/2005 pasal 19, lebih jelas menekankan penyelenggaraan pendidikan yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi dan memberi ruang yang cukup pada prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik psikologis peserta didik. Pak Tom sudah merunutkan perjalanan yang mestinya bisa menjadi dasar PERUBAHAN pendidikan. Dengan gemas, Pak Tom menyatakan : “Sayangnya , keberadaan pengaturan itu TIDAK SERTA MERTA mengubah perilaku Guru dalam praktik di kelas.” (Nah tuh….!) Namun ini bukan salah Guru saja. Ambiguitas menyertai, dengan hadirnya Ujian Nasional dan 8 Standar Pendidikan Nasional, yang menuai kriitik tajam. Standarisasi menuntut keseragaman. Padahal UU Sisdiknas mengembangkan potensi peserta didik sesuai minat. Di sinilah letak ketidaksinkronan itu. Pak Tom kembai menekankan, rahasia pemdidikan terletak pada sikap menghargai murid. Keyakinan baru itu masih bertentangan dengan kondisi mental Guru dan birokrat yang menolak perubahan karena zona nyaman yang telah mereka letakkan selama ini. Selanjutnya, buku ini membahas praktik kelas yang dapat diaplikasikan sebagai tafsiran operasional prinsip perubahan. Seandainya semua Guru membaca buku ini, diharapkan pengajaran yang hanya meliputi tanya jawab, diskusi dan ceramah segera bisa diakhiri dan dikembangkan menjadi lebih kaya dengan interaksi, yang mengembangkan pengetahuan, bukan menerima informasi. Inilah kemelut persoalan pendidikan yang hakiki, yakni praktik dalam kelas yang pengaruhnya sampai pada perkembangan bangsa.


book

Projek Unjuk Tutur (Show and Tell). Kegiatan ini mengutamakan kemampuan komunikasi sederhana pada siswa SD. Pada dasarnya, mereka sudah memiliki kebiasaan dan hasrat untuk ‘pamer’ sesuatu, seperti mainan baru, makanan, oleh-oleh atau sesuatu yang dianggap baru.

Tujuan:

Jika hanya sekedar melakukan praktik pengajaran, sesungguhnya Anda ikut mematikan potensi yang dahsyat. Kembangkan berbagai model diskusi, seperti : obrolan pagi, diskusi berpasangan, studi kasus, peta gagasan dan debat. Sedangkan model projek, banyak diicontohkan dalam paparan project inquiry, problem solving, role play, projek tutur (cuplikannya ada di samping ini). Melalui buku ini, Pak Tom telah menambah khasanah praksis pembelajaran yang mudah dimengerti. Dalam usia 74 tahun, kini Pak Tom bermukim di Bandung. Konstruksi pemikiran Pak Tom bukan sekedar mencerdaskan masyarakat, melainkan memiliki visi yang kuat pada pembangunan kebudayaan. Untuk itulah, Pak Tom sangat menyayangkan berpisahnya pendidikan dan kebudayaan, hingga pendidikan menjadi kering dan tak humanis. Pemilik lembaga sekolah, minimal kepala sekolah, mestinya mencermati buku ini bukan hanya sebagai buku ajar Guru yang berisi praktik di kelas. Lebih mendasar lagi, buku ini memberi pemahaman yang mendalam, bahwa pemerintah secara yuridis, sudah melakukan reformasi yang cukup mendasar dilihat dari amandemen dan UU Sisdiknas, meski aplikasi di lapangan masih jauh panggang dari api. Perubahan tak serta merta mensejahterakan dan membebaskan. Inilah potret kecil pendidikan bangsa kita. Itulah Pak Tom, sesuai namanya, Utomo Dananjaya, selalu semangat mengusung keutamaan dan kejayaan. Semoga selalu sehat Pak Tom.

1. Melatih siswa berbicara di depan kelas 2. Membiasakan siswa peka terhadap hal-hal sederhana sehari-hari

Proses: 1. Guru menugaskan siswa membawa benda dari rumah, tandai dengan label nama 2. Siswa diminta mencari tahu informasi sebanyak - banyaknya tentang benda tersebut 3. Setiap siswa menceritakan benda yang dibawanya secara bergantian

Pelaksanaan: 1. Seluruh benda diletakkan di meja 2. Secara bergantian, siswa menjelaskan. Teman bertanya 3. Setelah selesai, semua teman berikan tepuk tangan. Model unjuk tutur ini bisa digunakan untuk kelas tinggi, dengan pendalaman ciri benda, terkait identitas budaya daerah, atau benda dari manca negara, untuk mengembangkan toleransi dan menghargai perbedaan.

Refleksi: 1. Apakah siswa bersemangat menceritakan kisah benda yang dibawanya? 2. Bagaimana respon terhadap benda bawaan teman? Samakah perhatiannya? 3. Analisalah, apakah tujaun yang diinginkan sudah tercapai?

Grouping (Membentuk Kelompok) Jika selama ini Anda hanya melakukan pengelompokan siswa melalui berhitung urut, maka model grouping di buku Pak Tom mencontohkan banyak cara. Antara lain :

Berdasar Nama Kota dalam Satu Pulau. Guru menyiapkan potongan kertas berisi nama kota dalam sebuah pulau. Setiap kertas digulung, dan siswa diminta mengambil satu (mirip kocokan arisan). Setelah membaca nama kota yang tertera di kertas, siswa lantas bergerak mencari anggotanya dengan mencocokkan, apakah mereka ada dalam satu pulau. Jika sulit, Guru bisa membantu menunjukkan peta yang sudah dipasang di kelas.

Berdasar Jenis Hewan Hampir sama dengan cara di atas. Kategori hewan ditulis dalam potongan kertas, sesuai habitatnya. Misalnya ikan laut, ikan air tawar, binatang buas, binatang peliharaan.

Berdasar Kelipatan Angka Setiap kertas berisi nomor dari kelipatan atau faktor tertentu. Pastikan anggota kelompok yang digunakan bukan merupakan anggota kelompok kelipatan lainnya. Misal: kelompok kelipatan 2: (4,6,8 dst); kelompok kelipatan 3 (9,18, 21, 33 dst); kelipatan 5, 7, 11 ,17 dan seterusnya. Buku ini menambah raferensi pembelajaran aktif dan metodenya. Ruh dan semangat kebangsaan Pak Tom menjiwai dan mewarnai penulisan. Maka pantas disebut: ‘bukunya para Guru’.

V.04 edisi.12.2011

17


history

Kilasan Sejarah

Guru sebagai Profesi

P

rofesi Guru adalah pekerjaan tertua. Lebih dulu dibanding arsitek, yang muncul setelah manusia tak lagi tinggal di gua. Lebih lama juga dari seorang insinyur metalurgi yang muncul setelah manusia mengenal logam dan pengolahannya. Pekerjaan menjadi Guru ada, sejak manusia mampu berfikir dan mengenal pengetahuan. Sepanjang kehidupan manusia, Guru selalu ada di tengah masyarakat, mengajarkan berbagai pengetahuan untuk mempermudah hidup manusia. Ada pula yang hanya mengajarkan kebenaran. Dalam lintas perkembangan Indonesia, pekerjaan menjadi guru berkembang seiring zaman. Mulai dari kerajaan Hindu Budha, Kasultanan Islam, hingga masa reformasi.

18

V.04 edisi.12.2011

Tertua

Guru Zaman Kerajaan Hindu Budha

Guru Zaman Kesultanan Islam

Saat itu, Guru berasal dari kasta Brahmana, yang mengajarkan segala hal berkenaan dengan agama dan kitab suci. Mereka mengajar filsafat, sastra, hukum, dan beladiri. Posisi guru sangat terhormat. Statusnya lebih tinggi dari raja dan bangsawan. Lebih tinggi pula dibanding pengusaha. Kasta para Guru lebih mulia dibanding kasta Ksatrya dan kasta Waisya.

Agama Islam masuk Indonesia melalui berbagai saluran. Salah satunya melalui jalur pendidikan dan dakwah. Di sinilah para ulama mencetak guru lewat pesantren, yang mengajarkan filsafat, tasawuf, bahasa, fiqih, akhlak, aljabar, ilmu falak. Selain belajar di pesantren, juga ada surau (mushola), di sini biasanya anak belajar tajwid, fiqih, bahasa dan akhlak , dan melahirkan Guru dengan spesialisasi materi tersebut.

Pengetahuan dan ilmu diajarkan di tempat tertentu. Sudah dikenal lembaga pendidikan berasrama, sebagai cikal bakal boarding school yang ada sekarang. Menurut I Tsing, seorang pelajar yang sempat belajar di kerajaan Sriwijaya, sistem pendidikan di Nusantara maju dan dijadikan rujukan negara kerajaan lain. Mahaguru yang terkenal antara lain: Satryakitri, Dharmapala, Djanabhadra.

Guru Zaman Eropa Pendidikan tradisional di Nusantara terus berjalan. Meski banyak raja ditundukkan oleh Verenigde Oost Indische Compaqnie (VOC). Pemerintah kolonial barulah peduli nasib kaum bumiputera setelah diberlakukan Politik Etika atau Politik Balas Budi. Kepedulian ini lebih dilandasi kebutuhan pemerintah Hindia Belanda akan tenaga profesional seperti dokter, insinyur,


dan advokat. Jadi bukan niat murni untuk mencerdasakan dan mensejahterakan pribumi. Mereka telah berhitung, alangkah mahalnya mendatangkan dokter, insinyur, atau advokat dari Eropa. Saat itu dibentuk Sekolah Guru untuk melahirkan Guru yang mampu mengawal sistem pendidikan kolonial. Ada HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di setiap kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School - Sekolah Guru Atas) di Jakarta, Medan, Bandung dan Semarang. Sedangkan Europese Kweek School (EKS, sebangsa sekolah Guru Atas dengan dasar Bahasa Belanda), hanya diperuntukkan bagi orang Belanda atau pribumi yang mahir berbahasa Belanda, ataupun orang Tionghoa dan Arab yang mahir sekali berbahasa Belanda. Hanya ada satu EKS di Surabaya. EKS biasanya berisi 28 orang, 20 orang Belanda, 6 orang Arab dan Tionghoa dan 6 pribumi. Lainnya ada pula Hollandsche Chineesche Kweekschool, khusus mendidik Guru keturunan Tionghoa. Sistem pendidikan kolonial mulai mendapat perlawanan setelah kaum pergerakan nasional membangun sekolah bernafaskan nasionalisme. Di antaranya: Sekolah Sarekat Islam, dan Sekolah Muhammadiyah. Gerakan yang begitu masif, menjadikan Belanda menerbitkan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonantie), yang mengharuskan sertifikasi dari pemerintah kolonial. Ini ancaman bagi pergerakan sekolah kaum nasional. Muncullah kaum pergerakan nasional, yang bersatu dan mengilhami berdirinya PGHB – Persatuan Guru Hindia Belanda tahun 1912 dan berubah menjadi PGI – Persatuan Guru Indonesia di tahun 1932.

Guru Zaman Indonesia Merdeka Setelah Jepang datang, Guru di Indonesia lebih bisa berekspresi. Jepang memfasilitasi dengan tujuan memobilisasi rakyat guna mendukung Jepang di perang Asia Timur Raya. Namun semua organisasi dilarang bergerak, termasuk organisasi Guru. Pascaproklamasi kemerdekaan, Guru disatukan dalam PGRI, dan berkongres pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta, yang dijadikan sebagai hari Guru Nasional hingga kini. Dalam perjalanannya, PGRI diakui kebesarannya, dan banyak pimpinannya direkrut pemerintah. Pada masa reformasi, banyak bermunculan organisasi profesi guru, di antaranya adalah Forum Guru Independen (FGI), Komunitas Air Mata Guru, Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Persatuan Guru Sejahtera Indonesia (PGSI). TG Sumber: LPI - Dompet Dhuafa

GRAMEDIA JAKARTA : 1. Taman Anggrek Mall 2. Citraland Mall 3. Pondok Indah Mall 4. Mega Mall Pluit 5. Hero Gatot Subroto 6. Melawai 7. Matraman 8. Kelapa Gading Mall 9. Artha Gading 10. Sunter Mall 11. Cempaka Mas 12. Pintu Air 13. Gajah Mada 14. Plaza Semanggi 15. Cinere Mall BEKASI 16. Metropolitan Mall Bekasi TANGERANG 17. Bintaro Plaza 18. WTC, Tangerang 19. Karawaci Mall, Tangerang 20. Daan Mogot Mall, Tangerang 21. Meruya DEPOK 22. Gramedia Depok BOGOR 23. ITC Cibinong 24. Hero Pajajaran, Bogor 25. Ekalokasari, Bogor 26. Botanic Square, Bogor BANDUNG 27. Istana Plasa 28. Jl. Merdeka 29. Mal Lingkar Selatan 30. Bandung Supermal SURABAYA 31. Manyar Surabaya 32. Plaza Surabaya SEMARANG 33. Java Supermall, Semarang SOLO 34. Solo Square LAMPUNG 35. Lampung TOKO BUKU GUNUNG AGUNG, JAKARTA 1. Kwitang 8 (Pusat) 2. Kwitang 38 3. Blok M Plaza 4. Bumi Serpong Damai 5. Arion Plaza 6. Sunter Mall 7. Citraland Mall 8. Pondok Indah Mall 9. Lokasari 10. Atrium, Senen 11. Senayan City 12. Kelapa Gading Mall 13. Pondok Gede 14. Metropolitan Mall, Bekasi 15. Margo City, Depok Toko Buku MP Point 1. Jl. Jeruk Purut, Jakarta Selatan

Bekerjasama dengan: Bee Organizer, Pekanbaru LPK SMART&Fun home, Semarang LPI Dompet Dhuafa - Jakarta Swadaya-Provisi Education - Jakarta LMPI - IEMI Jakarta


Critic

M

Indonesia di Waktu Petang, Waktu Pagi dan Kala Ada pelangi

erayakan hari Guru, sebuah pertemuan digelar LPI Dompet Dhuafa di gedung Kemdiknas, Jakarta. Sebagian besar hadirin adalah guru honorer. Konon sengaja begitu. Acara dibuka dengan performa Guru. Tampillah Pak Amroe, dalam kelompok 3A (Amroe, Agus dan Andi), mereka berdeklamasi. Gayanya eksentrik. Yang menarik, puisinya penuh kritik. Rimanya menarik! Ini dia:

Indonesia

di Waktu Petang Pukul 4 petang di sudut kemang siswa jual tantang terjang menghunus klewang garang darrrrah menggenang Di pasar pedagang berbuat curang potong takaran kurang segantang Di kantor pegawai fesbukan kian meradang update status colek teman, clbk mengembang Di ujung jalan guru honorer berbaris panjang menanti kepastian yang tak kunjung datang Di rumah rakyat sekelompok orang duduk tenang tak peduli rakyat mengerang lapar perih kering kerontang ... bisanya ngomong doang Di stadion kita jarang menang sering jadi pecundang beraninya jago kandang woi ‌ maen bola apa maen silat bang! Di keluarga banyak piring terbang suami istri terus perang anak anak susah dilarang Apa benar bangsa ini bangsa terpandang ramah baik hati senyum mengembang Bagaimana dengan bayi yang dibuang bagaimana dengan nyawa yang mudah melayang hanya karna sejumput uang bagaimana rasa nasionalisme yang kian hilang bagaimana dengan rasa malu yang terbang tidakkkkk adikku sayang

20

V.04 edisi.12.2011

masih ada kami di sini generasi Ki Hajar terus menerjang tak henti asa berjuang kokoh tegar bak karang mengajar mendidik dengan hati dan kasih sayang meski harus arungi laut membentang meski luka duka bersilang kami tetap tak terguncang wujudkan cita negeri gemilang

Indonesia di Waktu Pagi

Ada isak jerit luka nestapa di merapi Ada Mentawai digerus tsunami Ada Sumiyati yang digunting bibirnya di Arab Saudi Ada dua pemuda gontok-gontokan berebut daging sapi Ada terdakwa Gayus (diduga gayus) seliweran di Bali (penjara jadi agen travel agency) Ada korupsi dari anak orok hingga nini nini (ada juga yang berdasi berseragam warna-warni) Ada Anang bubaran (lagi) dengan Syahrini Ada banyak rakyat banyak tak percaya pada wakil dan pemimpinnya lagi Ada hujat umpat lidah bersilat hiasan sehari-hari Ada persekongkolan mafia di sana sini Adaaaa Guru tak peduli siswa sendiri sibuk ke sana ke mari mengejar sertifikasi Ada kepala sekolah yang sibuk soal komisi lupa tanggungjawab tak punya visi Ada birokrat jual aset negeri Krakatau Indosat rumah sakit entah apa lagi Ada dan ada tamparan–tamparan bagi negeri ini bertubi-tubi

Oh seakan bencana tak pernah enyah dari negeri ini Oh seakan mati hati nurani Oh seakan keadilan sudah mati suri Oh seakan Tuhan tak cinta lagi Astagfirullah ampuni kami ya Robbi

Pelangi Guru

Indonesia Ada Guru anyar mengajar malu lugu tersipu Ada Guru bayar mau kerja jika ada uang berlembar Ada Guru nyasar lulusan Agama olah raga yang diajar Ada Guru sodagar sambil ngajar jual batik, tupperware, pulsa, jilbab 3 kali bayar.. Ada Guru gusar cuma mutar-mutar kerjaan gak kelar.. Ada guru sangar senengnya plak buk aww nampar! Ada Guru gempar gemar lempar isu mengeluh selangit menggelegar Ada Guru kurang ajar palsukan ijazaah jadi joki UN korupsi huh dasar Ada Guru sabar bertahun tahun gak naik pangkat hingga ubanan tetap semaaaangat Ada Guru tegar rela mengajar di desa terpencil meski gajinya sangat kecil Ada Guru sadar guru itu pilihan bukan mainan atau sambilan Ada Guru pintar mencetak siswa berprestasi bermoral tinggi Ada Guru benar ia sadar ia pintar ia sabar, ia tegar pemantik nyala lilin berpendar penggerak kemajuan berpijar siswa berbinar sekolah bersinar negeri jadi besar


teachers forum

INSPIRASI

KUBOCHI SENSEI

S

uasana kelas di hari itu memang sangat istimewa. Salah satu SMP berstatus RSBI di daerah Lembang sedang open class, dikunjungi banyak tamu para peserta International Conference on Lesson Study 2010. Tamu spesial hari itu adalah Kubochi Iluya. Dia Guru sains dari Ohzu High School, Ehime-Pre, Jepang. Semua mata tertuju kepadanya ketika namanya dipanggil untuk menjadi Guru tamu dalam pembelajaran sains. Penampilannya lebih mirip pemusik ketimbang Guru. Semua lampu listrik dipadamkan. Ruangan gelap gulita. Sebelumnya, bentuk meja dan kursi di kelas sudah dirancang dan terbagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok siswa diberi beberapa tabung reaksi dan larutan kimia. Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Dengan mengikuti beberapa instruksi kerja dari Kubochi, seluruh siswa mencoba mencampurkan beberapa larutan kimia ke dalam tabung reaksi. Suasana berubah menegangkan. Ada siswa bersorak kegirangan ketika muncul pendaran cahaya dari hasil larutan kimia tersebut. Tak jarang ada siswa yang penasaran karena tidak bisa melakukannya. “Apa yang bisa kalian simpulkan dari percobaan itu? Adakah yang ingin berargumentasi terkait hal ini?” Suasana ruangan pun menjadi gaduh. Ketika Kubochi meminta salah seorang siswa untuk menjawab, kembali ruangan sunyi senyap. Para siswa seakan takut salah mengungkapkan gagasannya. Mereka kembali hanya melakukan diskusi-diskusi kecil di kelompoknya. Kubochi menahan suaranya sebentar, kemudian meminta salah satu siswa mengutarakan argumennya. Akhirnya, ada juga siswa yang mengangkat tangan. Luar biasa.

Kubochi menyalami anak yang satu ini, lantas meminta semua siswa lainnya memberikan tepuk tangan sebagai apresiasi atas usahanya. Jika jawaban anak itu salah, apa mungkin Kubochi akan melakukan hal serupa? Jawabannya YA. Hal itu terus dilakukan sepanjang pembelajaran. Senyuman khasnya selalu mengembang menambah hangat suasana kelas. Ucapan dan sikap Kubochi selalu menunjukkan rasa hormat dan percaya akan kemampuan siswa. Hal kecil yang berdampak besar bagi kesuksesan belajar siswa. Selain siswa, kami sebagai observer pembelajaran pun sangat menikmati sajian materi dari Kubochi. Penyajian materi sangat runtut, sistematis, dan selalu menantang siswa untuk berpikir. Bahkan, saya bisa paham materi kajian enzim yang telah dipresentasikannya. Jauh lebih paham dibanding penjelasan yang diberikan Guru saya dulu. Saya, satu dari sekian observer mendapat kesempatan: “I like it, I love it...”, lantas saya menanyakan, “Apakah Anda mencintai profesi Guru? Apa rahasia Anda bisa menyajikan pembelajaran sains dengan sangat atraktif?” Dengan santai, Kubochi menjelaskan, dirinya sangat mencintai anak-anak dan pelajaran sains. Baginya, ketika siswa berhasil belajar, teramat sangat berharga dalam hidupnya. GuruGuru seniornya dan para dosen telah membantunya bekerja lebih mudah menjadi Guru. Diperlihatkannya dokumen rencana pembelajaran (lesson plan) & buku kerja siswa beberapa mata pelajaran sains, seperti biologi, kimia, dan fisika yang disusun pendahulunya. “Guru-guru terdahulu kami telah mendokumentasikan semua produk dan pengalaman mengajar mereka.

Ini jelas memudahkan. Saya tak harus memulainya dari nol. Semangat memperbaiki diri, itu yang kami lakukan. Setiap saat kami merevisi semua dokumen itu agar tetap bisa sesuai perkembangan zaman dan berkontribusi pada pencapaian prestasi belajar siswa.” ungkap Guru penyuka olahraga sepakbola ini. Kubochi menyiapkan pembelajaran dengan sangat serius. Beberapa materi percobaan dibawanya langsung dari Jepang. Bahkan Prof. Yumiko Ono (Naruto University of Education) langsung turun tangan memimpin ujicoba pembelajaran pada dua hari sebelum acara digelar. Sehingga, keputusan menggelapkan ruang kelas, mengatur setting ruang, dilakukan berdasar hasil ujicoba pembelajaran --semata guna meminimalisir kendala yang akan menggagalkan keberhasilan siswa belajar. Melihat cara mengajarnya, tercermin keseriusan sistem pendidikan Jepang memproduksi orang-orang pilihan untuk berdiri di depan kelas. Mereka sangat berorientasi pada proses dan konsisten memperbaiki diri. Sangat tertib administrasi. Mereka sadar, persiapan itu adalah fase krusial dalam kegiatan pembelajaran. Tak apa harus menyiapkan pembelajaran dalam seminggu asal siswa termudahkan. “Ini bukan soal cara mengajar saja, ini soal budaya kerja,” ungkap Kubochi di akhir sesi refleksi pembelajaran. TG _________________ Asep Sapa’at Trainer Pendidikan Lembaga Pengembangan InsaniDompet Dhuafa

V.04 edisi.12.2011

21


MGP-BE

Perubahan Pendidikan Itu Siap Di teruskan

Para Bupati dan Kepala Dinas siap meneruskan kelanjutan pengembangan kualitas pendidikan sesuai praktik baik MGP BE dengan anggaran sendiri.

S

uasana gembira tampak saat peserta mengikuti “Lokakarya Nasional Keberlanjutan Pengarusutamaan Praktik yang Baik di Pendidikan Dasar�, lokakarya penutup tersebut menandai berakhirnya program MGP-BE, yang berlangsung di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, November lalu. Sejumlah Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan penerima program MGP-BE siap menandatangani komitmen daerahnya untuk melanjutkan program MGP-BE yang berakhir Desember 2010. Sebuah kerja besar, tanpa terasa tiga tahun sudah program MGP-BE berjalan di 12 kabupaten di 6 propinsi yang melibatkan 505 sekolah binaan dan sekitar 2.000 sekolah imbas, dengan hasil yang baik. Program Kemdiknas dengan bantuan dana donor Masyarakat Uni Eropa, dan dilaksanakan oleh UNICEF Indonesia, bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di tingkat dasar. Selesai dengan 6 propinsi ini, di tahun 2011 mendatang telah ditentukan tiga propinsi lainnya yang akan menerima program MGP-BE ini, yaitu Aceh, Papua, Papua Barat, dan NTT.

22

V.04 edisi.12.2011

Mainstreaming Good Practices in Basic Education (MGP-BE). Terjemahan yang paling dekat adalah: pengarusutamaan praktikpraktik yang baik dalam pendidikan dasar (SD/MI sampai SMP/MTs) baik negeri maupun swasta. MGP- BE terdiri atas tiga pilar yang saling menunjang. PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan), MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dan PSM (Peran Serta Masyarakat). Ketiganya saling memperkuat transformasi sekolah dari sekolah yang biasa-biasa saja menjadi sekolah yang manusiawi, hangat, kreatif, berkarakter, serta tentunya memiliki prestasi akademik tinggi. MGP-BE bukanlah metode baru. MGP-BE mengembangkan praktik pembelajaran, pengelolaan sekolah, dan keterlibatan masyarakat dalam membantu sekolah, yaitu dengan pendekatan PAKEM, MBS, dan PSM itu tadi. Itulah yang ingin diserap, dicatat, dikembangkan, dan disebarluaskan oleh MGP-BE melalui modul pelatihan di berbagai jenjang dan praktisi pendidikan.


“Capaiannya mengesankan, dalam peningkatan mutu pendidikan, angka lulus sekolah, hasil pembelajaran dan terciptanya lingkungan belajar yang ramah anak. Lebih dari sepertiga dari semua sekolah binaan telah melaksanakan diseminasi praktik yang baik. Pemerintah provinsi Riau, misalnya, berkomitmen melanjutkan praktik yang baik ke seluruh sekolah. Begitu juga dengan Gorontalo, Banten, dan Maluku, serta daerah lainnya,” sambut Ibu Niloufar Pourzand, perwakilan UNICEF Jakarta. Ditambahkan Suheru Muljoatmojo, Koordinator Pelaksana MGP-BE Kemendiknas, bahwa selama pelaksanaan telah terbentuk lebih dari 300 orang fasilitator daerah yang menjadi penatar inti (untuk PAKEM, MBS, dan PSM), lebih 7.500 orang praktisi pendididikan (Guru, Kepala Sekolah, Pengawas) telah dilatih, dan lebih dari 422.000 siswa (SD/MI, juga SMP/MTs) yang telah memperoleh pelayanan pendidikan dengan sistem PAKEM, baik langsung di sekolah inti maupun binaan. Kegembiraaan sekolah dan kesadaran akan pentingnya bersekolah, pun meningkat. Angka putus sekolah di tingkat SD/MI dan SMP/MTs pun menurun. Di tingkat SD/MI, tercatat angka 1,5% (2007) turun menjadi 0,8% (2009), atau menurun 0,7%. Di tingkat SMP/ MTs, pun menurun sebanyak 1,3%. “Dengan segala kesulitan dan tantangan yang ada, kami telah melaksanakan program ini dengan cukup baik,” jelas Suheru Muljoatmojo.

Bupati David Bobihoe menandatangi komitmen keberlanjutan MGP-BE di Kab. Gorontalo.

PERUBAHAN STRUKTURAL Harus diakui, program MGP-BE ini telah menyentuh hal-hal di luar sekolah. Semisal, peningkatan struktural berupa transparansi dan keterbukaan dalam manajemen keuangan di sekolah maupun daerah, masyarakat makin terlibat dengan proses belajar-mengajar, peran kepala sekolah dan pengawas menjadi lebih besar. Yang lebih strategis, kemampuan pemerintah daerah pun meningkat dalam hal perencanaan strategis (Renstra), analisis data pendidikan, penyusunan keuangan pendidikan (seperti BOSP –biaya operasional satuan pendidikan; pembiayaan berbasis formula / formula funding, dan penyusunan LKT/ laporan keuangan

terpadu), pelayanan pendidikan yang berkelanjutan, serta kesadaran akan hak anak untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Sebagai evaluasi program, tampaknya semua pihak yang terlibat, cukup puas dengan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah daerah intervensi dan imbas yang mengalami perubahan signifikan ke arah lebih baik. “Secara umum, pelaksanaan program MGPBE mencapai target yang diharapkan, “ kata Dr. Bambang Indriyanto, manajer program MGP-BE, yang Sekretaris Ditjen Mandikdasmen Kemendiknas. Perubahan taklah dapat dicapai dalam waktu singkat, apalagi membentuk budaya sekolah yang ramah anak, serta budaya Kepala Sekolah dan Guru yang profesional. Sejumlah daerah sempat menghimbau agar program MGP-BE ini diperpanjang, karena dirasakan

V.04 edisi.12.2011

23


MGP-BE

Bupati Boalemo, H. Iwan Bokings, menyemangati para Guru dari Boalemo yang menampilkan berbagai karya mengajar dalam pameran pada ‘Lokakarya Nasional Keberlanjutan Pengarusutamaan Praktik yang Baik’ di Jakarta, November lalu.

penerapan MGP-BE masih belum mantap. Di beberapa daerah, aspekaspek makro masih terkendala seperti kebijakan pendidikan berupa PERDA pendidikan maupun keberpihakan eksekutif dan legislatif akan Renstra pendidikan yang disusun. “Dengan program ini, sebelumnya kami hanya ibarat menggunakan perahu tanpa mesin, kini bisa melaju kencang karena ada tambahan ‘mesin tempel’ untuk mencapai Gorontalo Cerdas 2015,” jelas David Bobihoe Akib, Bupati Kabupaten Gorontalo. Pemkab Gorontalo akan mengalokasikan dana Rp. 2 miliar pertahun untuk melanjutkan program MGP-BE sendiri. Diantaranya, akan menerjunkan 60 Guru inti klasifikasi A dibantu 5 guru besar dari Universitas Negeri Gorontalo ke sekolah-sekolah untuk mendampingi para Guru. Hal senada diungkapkan oleh Bupati Boalemo, Provinsi Gorontalo, Ir. Iwan Bokings MM. “Keterbukaan dan

24

V.04 edisi.12.2011

transparansi pengelolaan daerah menjadi pendorong kami untuk terus komit mengembangkan pendidikan berkualitas sesuai PAKEM, MBS, dan PSM.” Kabupaten Boalemo mencatat peningkatan kualitas pendidikan, tercermin dari prestasi siswa di berbagai lomba dan pencapaian akademik NEM tertinggi di Provinsi Gorontalo. Sejatinya, kepedulian akan pendidikan adalah sesuatu yang strategis, bukan lantaran sekedar kepentingan sesaat seperti janji-janji kampanye politik calon bupati/kepala daerah saat ingin dipilih. Karenanya, program MGP-BE juga sudah melatih para stakeholder pendidikan di daerah (Bapeda, DPRD, Dinas Pendidikan, tokoh pendidikan, perguruan tinggi FKIP ) untuk mengintegrasikan seluruh aspek perubahan pendidikan dalam MGPBE (PAKEM, MBS, dan PSM) dalam Rencana Strategis Daerah, yang

didalamnya membahas secara rinci bagaimana implementasi pencapaian Standar Pelayanan Minimum bidang pendidikan (SPM) dapat dicapai, dengan dukungan dana APBD, APBN, serta juga kebijakan dan PERDA pendidikan yang mengamankan kebijakan yang memihak pendidikan di daerah. Lokakarya Nasional penutup ini, juga mengidentifikasi kembali mana daerah yang telah memiliki Rencana Strategis dan kebijakan daerah yang pro pendidikan, serta mana yang masih perlu pendampingan dari jajaran Kemendiknas di pusat dan daerah. Perubahan struktural di dunia pendidikan Indonesia harus segera terjadi. Tugas besar kita semua, para praktisi pendidikan, untuk terlibat mengajak semua sekolah di Indonesia untuk melakukan praktikpraktik pengelolaan sekolah dan pembelajaran yang terbukti baik dan efektif ini. TG


MGP-BE di Lombok Timur

Gerakan Menuju (Sekolah) Bintang MBS

Dari Keruak Terbit Fajar Pendidikan

S

ebutan sebagai daerah miskin, daerah dengan desa tertinggal, ikhwal sering perkelahian masal antar kampung, korupsi pejabat publik, rendahnya mutu pendidikan, ekspor tenaga kerja, pariwisata seronok, tak bisa lepas dari pemberitaan media tentang provinsi Nusa Tenggara Barat. Dua kabupatennya yaitu Lombok Tengah dan Lombok Timur yang menjadi binaan program MGP-BE Kemdiknas, juga tak lepas dari masalah sosial-budaya ini. Lombok Timur sendiri banyak menjadi penyumbang tenaga kerja ke luar negeri yang signifikan, cermin masih terbatasnya lapangan pekerjaan yang ada, budaya instan mencari kerja, serta minimnya kapasitas berproduksi masyarakat. Sudut pandang awal Teachers Guide itu berubah, saat atas undangan UNICEF Indonesia, mengunjungi beberapa sekolah di pelosok Lombok Timur, baik sekolah binaan di Kecamatan Keruak dan Montong Gading (dan tambahan Jerowaru) maupun sekolah lainnya yang hanya terimbas program MGP-BE (seperti di Kecamatan Masbagik dan Selong). Ternyata, penerapan praktik baik dalam PAKEM-MBSPSM, memberi pengaruh luar biasa dalam gairah masyarakat. Kecamatan Keruak mengembangkan program ‘Sekolah Bintang’, atau lengkapnya ‘Gerakan Menuju Bintang MBS’ . Kini, di seluruh sekolah-sekolah se kecamatan ini tumbuh semangat yang besar untuk berubah menjadi terbaik dalam pendidikan.

komputer di ruang TIK yang ada hidup atau mati, atau para Guru telah mendidik dengan patut. Gerakan Menuju (Sekolah) Bintang MBS sebaliknya, lebih menekankan pada aspek proses belajar-mengajar, manajemen sekolah, serta budaya keilmuan. Alangkah baiknya jika kriteria Sekolah Bintang ini diadaptasi oleh Kemendiknas untuk menjadi tolok ukur pelengkap menilai mutu sebuah sekolah atau mutu pendidikan di suatu daerah. Sekolah Bintang ini juga seolah menjawab berbagai keprihatinan akan mutu dan predikat sekolah, yang saat ini terjebak pada kriteria ‘sekolah favorit’ yang kebanyakan di kota-kota besar, yang menyedot sumber daya pendidikan Guru jadi ingin berkumpul di kotakota, serta berorientasi nilai NEM sehingga menggenjot siswa belajar habis-habisan kurang memperhatikan kegembiraan belajar dan pengembangan minat-potensi anak. Sekolah Bintang pun sesuai dengan pendapat Munif Chatib, pemikir multiple intelligence yang menulis buku “Sekolahnya Manusia”. Sekolah unggul, kata Munif, bukan diukur dari input atau hasilnya (berNEM tinggi), melainkan dari prosesnya. “Ke depan, kami ingin usulkan agar dilakukan di kecamatan lain, sehingga bisa juga dilakukan di tingkat

Selama ini proses-proses pendidikan kurang menjadi perhatian kita semua. Akreditasi sekolah oleh Kemdiknas (dalam skor A, B, C, atau D) lebih menekankan kelengkapan fisik dan administratif. Bahkan jatuh hanya sekedar ‘basa basi’ pengecekan dokumen dan cek fisik, tanpa memeriksa apakah Sebagian masyarakat berkebun tembakau.

V.04 edisi.12.2011

25


Suasana hari pasar.

kabupaten dan propinsi,” tambah Ibu Hj. Caya Khairani, SPd., Kepala UPTD Dikpora Kecamatan Keruak, yang mengembangkan ide cerdas ini bersama para pengawas sekolah dan fasilitator MGPBE di lingkup UPTD Dikpora Kecamatan Keruak.

INTI PENDIDIKAN = KUALITAS HARUS MENINGKAT

“Ini gerakan besar tanpa biaya. Gerakan ini sangat mendukung peningkatan kualitas pendidikan di Keruak, seluruh warga sekolah jadi mau belajar dan mengevaluasi diri. Kami ingin melanjutkan misi MGP-BE jangan mati selesainya program yang baik ini,“ ungkap Ibu Caya Khairani, yang tampil penuh semangat dan energik ini. “Terjadi suasana kompetisi yang tinggi. Sekolah yang ‘jelek’ pun tak mau ketinggalan meningkatkan diri.”

Masalah terbesar, adalah memberi apresiasi dan menjaga kualitas yang sudah dicapai, serta meningkatkan yang belum. Akan halnya program MGP-BE setelah berakhirnya bantuan program, persoalannya adalah bagaimana menjaga kualitas Guru dan program sekolah yang sudah terbentuk.

Dengan adanya lomba antar sekolah ini, pihak UPTD Dikpora di Keruak pun dapat melihat dengan jernih mana sekolah yang masih perlu ditingkatkan. Sehingga, kini selain memiliki 5 sekolah Bintang yang baik, juga sedang membina 5 sekolah lain agar menjadi sekolah bintang. Para pengawas, UPTD, Guru dan Kepala Sekolah yang bagus turun membantu. “Kami bergeliat terus, meski tanpa dana,” tambah Ibu Khairani.

Siswa SDN 8 Jerowaru, Lombok Timur

26

V.04 edisi.12.2011

Di kecamatan Keruak, ada 32 SD/SMP dan 8 MTs. Meski semua sekolah ini telah menerapkan PAKEM, MBS, dan PSM, tapi tentu kualitasnya tak sama.

Melihat kondisi sekolah/masyarakat di Kecamatan Keruak yang relatif berkehidupan sederhana, dan anggaran pendidikan yang terbatas, membuka mata hati para pemangku kepentingan di Kecamatan Keruak mencari cara peningkatan mutu pendidikan secepat-cepatnya dengan cara yang paling murah. Begitulah, dari ide lomba sekolah dalam ‘Gerakan Menuju Bintang MBS‘ ini, seluruh aspek kualitas sekolah dapat dipantau, dan bagi sekolah-sekolah yang diamati kurang, dapat diberikan pelatihan peningkatan mutu. (Lihat: box Kriteria Penilaian Sekolah Bintang). Terhadap poin-poin tersebut dilakukan pengecekan berupa memeriksa dokumen sekolah, memeriksa pajangan-pajangan di kelas maupun pajangan milik sekolah, melakukan observasi di dalam kelas, pengamatan lingkungan dana fasilitas sekolah, wawancara Kepala Sekolah, Komite Sekolah, orangtua, Guru, dan siswa. Skor penilaian diberi range angka

mulai dari 0 s/d 3. Misal, untuk persentase ketercapaian RKAS, maka skor 3 diberikan jika sekitar 75-100% RKAS tercapai; skor 2 jika 50-74% tercapai; skor 1 untuk 25-49% tercapai; dan skor 0 untuk pencapaian kurang dari 25%. Contoh lain, soal keberadaan bak sampah. Skor 3 untuk ada bak sampah, dan terawat kebersihannya; skor 2 – ada, berfungsi baik tapi kurang terawat kebersihannya; skor 1 – ada, tapi kurang berfungsi dan kurang terawat kebersihannya; serta nilai 0 untuk tidak ada. Pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 lalu, terseleksilah 5 Sekolah Bintang, yaitu: SDN 3 Sepit, SDN 7 Selebung, SDN 6 Tanjung Luar, MI Keruak, dan MTs Sepit. Secara tak sengaja, terjadilah perangkingan mutu sekolah di Kecamatan Keruak. Hasil lomba juga menjadi bahan evaluasi, dan karenanya dilakukan kegiatan pelatihan untuk meningkatkan apaapa yang masih kurang. Misal, workshop menyusun dokumen RKS dan RKAS/M, penyusunan AD/ ART Komite Sekolah, pelatihan menyusunan program Sekolah Ramah Anak, pendidikan inklusi, pendidikan kecakapan hidup, serta pelatihan penggunaan media dalam pembelajaran. Lomba mengejar predikat Sekolah Bintang ini berhasil menggalakkan motivasi di seluruh sekolah se-kecamatan Keruak untuk meningkatkan peringkat. Kini, sekolah di kecamatan kecil ini telah mencapai ruh pembelajaran yang sesungguhnya: meraih kualitas terbaik dalam kehidupan!


MGP-BE

anggota Komite Sekolah. Masyarakat pun mudah digerakkan oleh Komite Sekolah untuk membantu apa saja dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Masyarakat tanggap untuk membangun mesjid, madrasah dan perbaikan sekolah

KEARIFAN LOKAL PEDULI PENDIDIKAN Sejatinya, Kecamatan Keruak adalah desa yang jauh dari pusat kota, dengan kehidupan dan penghidupan desa yang sederhana. Hebatnya, masyarakat di sini memang amat peduli akan membangun sekolah, madrasah atau mesjid, membangun jembatan dan memperbaiki jalan, bermakna memenuhi tuntutan agama Islam bahwa inilah ibadah yang tertinggi nilainya. Baik sekolah negeri, sekolah swasta, dan madrasah, dianggap sebagai milik bersama. Di banyak sekolah di Keruak, organisasi Komite Sekolah sungguh merupakan organisasi yang aktif, dan orangtua murid suka menjadi

“Masyarakat, melalui komite sekolah, sangat kompak berkerjasama dengan sekolah,” kata Ketua Komite Sekolah SDN 3 Sepit, Ahmad Mauji, didampingi Bendahara Komite, Muhaimin.

anak-anak, maghrib tanpa teve. Tuan Guru Mujiburrahman, tokoh masyarakat yang mengelola beberapa madrasah/pesantren ternama di Keruak, selalu menyempatkan hadir ke SDN 3 Sepit jika ada acaraacara sekolah, sebagai bentuk keakraban antara masyarakat dan lingkungan sekolah. Suatu semangat kegotongroyongan dalam sosial dan ibadah dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang patut diteladani.

Di sekolah yang masuk Sekolah Bintang MBS ini, Komite Sekolah misalnya mampu memperbaiki jalan di depan sekolah, membangun 2 lokal rehabilitasi ruang sekolah. “Kami sangat memahami RKS, saling melengkapi dengan sekolah,” tambah Ahmad Mauji.

Kondisi keterbatasan anggaran, namun peran serta dan kepedulian masyarakat yang tinggi yang menginginkan pendidikan berkualitas, menjadi roh bagi semangat perubahan pendidikan di Kecamatan Keruak.

Kearifan lokal terlihat dari kepedulian masyarakat menciptakan suasana belajar, semisal memperhatikan sarana anak belajar di rumah, mendukung tumbuhnya grupgrup belajar di rumah, mendukung program Kakak Kembali, Teras Baca, program Keaksaraan Fungsional, menjadi guru ngaji di sore hari bagi

Tak berlebihan, jika semangat perubahan itu ibarat fajar pagi di ufuk Timur menerangi kegelapan hati dan kejumudan fikir yang selama ini menyandera dunia pendidikan Lombok Timur, juga menerangi kita semua. Semoga fajar itu menjadikan lazuardi pendidikan nasional terang bercahaya. TG

Kriteria Penilaian SEKOLAH BINTANG MBS

PAKEM

PSM

1

Sekolah memiliki visi dan misi

Tersedia program semester pembelajaran di semua kelas dan semua mata pelajaran

Pembentukan organisasi Komite Sekolah secara demokratis

2.

Visi dan misi sekolah disusun berdasarkan pemangku kepentingan

Keterlaksanaan program semester sesuai dengan waktu yang diprogramkan

Uraian tugas pengurus Komite Sekolah

3.

Setiap warga sekolah (Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah) mengetahui garis besar visi dan misi sekolah

Tersedia silabus di semua kelas dan mata pelajaran yang mengakomodasi kebutuhan siswa

Memiliki AD/ART Komite Sekolah

4.

Sekolah memiliki RKS dan RKAS yang sistematis dan selalu diperbaharui

Tersedia RPP di semua kelas dan mata pelajaran yang mengakomodasi kebutuhan siswa

Penyusunan Program Komite

5.

RKS dan RAKS memuat tentang Pendidikan Ramah Anak yang disusun secara rinci, jelas, dan terprogram

Kesesuaian RPP dengan Permendiknas 41/2007 tentang standar proses

Persentase (%) keterlaksanaan program Komite Sekolah

6.

RKS dan RAKS memuat tentang Pendidikan Inklusif secara rinci, jelas, dan terprogram

Adanya kesesuaian kegiatan pembelajaran dengan RPP yang dibuat

Pelaporan pelaksanaan program Komite

7.

RKS dan RAKS memuat tentang Pendidikan Kecakapan Hidup secara rinci, jelas, dan terprogram

Guru menggunakan metode bervariasi sesuai dengan karakter mata-pelajaran dan kebutuhan siswa

Program Komite dievaluasi dan dianalisis

V.04 edisi.12.2011

27


MGP-BE

28

8.

RKS dan RAKS memuat rencana pemeliharaan sekolah

Ketrampilan Guru dalam menggunakan metode pembelajaran

Ada kepedulian dan kontribusi Komite dalam mendukung Program SRA (Sekolah Ramah Anak)

9.

RKS dan RAKS memuat tentang Pendidikan Media (pengaturan waktu luang mengkritisi pemberitaan, penggunaan dan pemanfaatan media)

Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar secara berkelompok

Ada kepedulian dan kontribusi Komite dalam mendukung sekolah mensosialisasikan program Pelayanan pendidikan bermutu untuk semua anak

10.

Prosentase muatan RKS yang dituangkan dalam RAKS, dan digunakan sebagai acuan kegiatan penyelenggaraan sekolah

Kualitas pertanyaan yang diajukan Guru kepada siswa dalam pembelajaran

Ada kepedulian dan kontribusi Komite dalam mendukung sekolah mensosialisasikan program Pendidikan Media

11.

Prosentase ketercapaian RKAS

Cara Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa

Program pengembangan paritisipasi masyarakat dalam membangun kemitraan dengan dunia usaha dan industri (DUDI)

12.

Ada data inventaris sekolah dan kondisinya

Terjadinya interaksi dalam pembelajaran

Program MBS dipahami oleh Komite Sekolah dan masyarakat

13.

Ada data ketenagaan dan siswa

Keberanian siswa bertanya, menjawab atau menyatakan pendapat

Komite Sekolah memberikan pertimbangan kepada sekolah dalam menyusun RKS dan RKAS

14.

Tersedia sumber air bersih yang cukup di sekolah

Frekwensi Guru dalam membantu/ membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar

Komite Sekolah memberikan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya

15.

Tersedia kamar toilet yang berfungsi dengan jumlah yang cukup untuk siswa

Pengelolaan siswa dalam pembelajaran

Komite Sekolah memberikan dukungan peningkatan mutu sekolah

16.

Tersedia bak sampah

Kreatifitas Guru dalam memanfaatkan sumber belajar

Komite Sekolah mengontrol pelaksanaan program sekolah

17.

Sekolah memiliki area bermain untuk anak di luar kelas

Kreatifitas Guru dalam menggunakan alat peraga dalam pembelajaran

Komite bersama Kepala Sekolah mengadakan evaluasi dan analisis program

18.

Sekolah memiliki tata tertib kelas

Akses siswa terhadap alat peraga yang digunakan Guru

Komite Sekolah sebagai mediator dalam menjalin kemitraan dengan akademisi untuk peningkatan kualitas SDM/Guru

19.

Ada proses penyusunan tata tertib

Keterlaksanaan pendidikan media dalam proses pembelajaran

20.

Prosentase warga sekolah yang menaati tata tertib

Kualitas LKS yang digunakan dalam pembelajaran

21.

Prosentase warga sekolah yang membuang sampah pada tempatnya

Kualitas hasil kerja siswa secara tertulis

22.

Perlakuan terahdap kekerasan fisik, emosional, sosial, seksual, dan penelantaran

Pemajangan hasil karya siswa (terbaru)

23.

Sekolah menerapkan disiplin positif atau konsekwensi logis

Pemberian umpan balik oleh Guru terhadap hasil belajar siswa

24.

Kepala Sekolah meningkatkan kemampuan profesionalnya

Jenis penilaian yang dilakukan Guru dalam memantau kemajuan belajar siswa

25.

Guru meningkatkan kemampuan profesionalnya

Tersedianya perencanaan Guru dalam mengembangkan kegiatan mandiri siswa

26.

Jumlah siswa dalam pencapaian KKM yang ditetapkan

27.

Pemanfaatan sudut baca/perpustakaan

28.

Tersedia tata tertib kelas

29.

Pembelajaran di kelas/di luar kelas bebas dari perlakuan kekerasan

30.

Upaya guru dalam melakukan refleksi di akhir pembelajaran

V.04 edisi.12.2011


MGP-BE di Lombok Timur

Multigrade untuk Multiproblem di Jerowaru

A

walnya ketidakmampuan anggaran pemerintah mencukupi kebutuhan sekolah. Gedung sekolah jelek, toilet rusak, ruang terbatas, guru dihonor seadanya. Apatah lagi urusan biaya rehabilitasi sekolah, mencukupkan jumlah guru, penjaga sekolah, hingga rumah untuk Kepala Sekolah dan Guru. Berikutnya, letak sekolah di pelosok, transportasi sulit dan mahal. Dengan gaji sedikit, sekolah setengah rusak, tak ada listrik, para Guru makin enggan mengabdi di situ. Selanjutnya, jumlah rombongan belajar lebih banyak dari jumlah Guru. Pontang-panting sang Guru mengajar dari satu kelas ke lainnya. Ditambah lagi kepedulian masyarakat rendah, enggan menyumbang sekadar menambah biaya-biaya. Lengkaplah! Kondisi serupa ini dihadapi oleh Muhammad Saleh, Kepala UPT Dikpora Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Daerah Jerowaru, daerah pantai di bagian selatan Lombok Timur ini, terbilang kecamatan dengan sejumlah desa tertinggal. Saat pelatihan metode multigrade (kelas rangkap) pada Oktober 2010 lalu, hadir perwakilan Guru, Kepala Sekolah, dan Komite Sekolah dari 9 sekolah dasar di Jerowaru – 4 sekolah diantaranya dari sekolah di desa terpencil dan tertinggal. “Kami sangat senang dengan pelatihan ini, dan bukan hanya multigrade, kami berharap

Berlatih multigrade di kelas tinggi, SDN 8 Jerowaru, Lombok Timur.

ke depan dapat pelatihan PAKEM, MBS, dan PSM juga,” harap Muhammad Saleh, yang sebelumnya terbilang Kepala Sekolah berhasil di Jerowaru. Program pelatihan Kelas Rangkap (multigrade) MGPBE ini membekalkan ilmu pada Guru, Kepala Sekolah, dan Komite Sekolah, bagaimana mengelola kelas-kelas dengan kelangkaan guru. Dengan teknik multigrade, Guru dapat menggabungkan siswa dari dua kelas berbeda, memberikan materi dasar yang sama, namun saat tugas dan latihan menambahkan bobot lebih berat untuk kelas tinggi-nya. Di sini, para Guru dibekali teknik pemodelan PAKEM di kelas rangkap, struktur kelas rangkap, pemetaan kompetensi dan tema, teknik mengeksplorasi tema, cara mencari pengalaman belajar, strategi pembelajaran di kelas rangkap, memahami nilai-nilai kerjasama dan cara membangun kerjasama. Respon peserta amat menggembirakan, mengharapkan pelatihan seperti ini –ini yang pertama kali diperoleh selama ini – dapat diteruskan.

PROBLEM SEKOLAH DI DESA TERTINGGAL Wilayah Lombok Timur lainnya juga ada desa tertinggal, seperti di Sembalun di kaki Gunung Rinjani, tapi kondisinya mudah dicapai dengan aspal hotmix sudah ada di depan sekolah. Jerowaru lebih berat. Wilayah darat Jerowaru cukup luas, tapi kondisinya memprihatinkan. Di pantainya ada


MGPBE

beberapa pulau terbilang tertinggal, seperti Pulau Sunut, Pulau Giliblek, dan Pulau Teluk Dalam -- masingmasing ada 1 sekolah SD negeri di sana. Mencapainya harus lewat laut, sekitar 50 menit bersampan. Kalau surut, rawa-rawanya dapat ditempuh berjalan kaki. Listrik umumnya tak ada. Ada juga SD Ujung Ketangga di bagian selatan Jerowaru, yang dapat dicapai lewat darat dan laut. Guru yang mengajar di SD Ketangga enggan tinggal di sana, pulang pergi naik motor tiap hari, 50 km ditempuh memutar. Sulit untuk dapat menumpang tinggal di rumah warga atau kepala desa. Dari 39 SDN di Jerawaru (di luar MI dan SD Islam yang dikelola masyarakat), sejumlah 13 sekolah ada di daerah tertinggal dan terpencil, seperti di Pulau Sunut, Pulau Giliblek, Teluk Dalam, dan di Ujung Ketangga, amat sangat kekurangan guru. Kondisi kekurangan guru juga dialami di daerah tertinggal SDN 13 Pemongkong di Semerang, dekat pantai Kaliantan, 25 km dari Jerowaru atau 30 menit bermotor. Sekolah pemekaran dari SDN 10 Pemongkong itu kini kekurangan murid dan guru. Letaknya tak jauh diapit SDN 10 dan SDN 3 Pemongkong. Cuma dua orang, satu guru PNS, dan satunya Kepala Sekolah. Kekurangan tenaga, merekrut 5 orang Guru tidak tetap (GTT) – honornya dibayarkan kepala sekolah dari dana BOS.

Saleh. Di Lombok Timur memang banyak sekolah yang kekurangan guru, seperti di Kecamatan Selong misalnya, tapi tak sebanyak di Jerowaru. Saat ini kekurangan Guru tetap tersebut diisi dengan guru tidak tetap atau guru honor, yang berhonor sekitar Rp. 200.000 s/d Rp. 250.000,-. Honor itu diambilkan dari dana BOS, sehingga banyak dana BOS yang tersedot. Muhammad Saleh prihatin melihat nasib guru yang seharinya pulangpergi mengajar ke desa terpencil itu, kini tak lagi mendapat insentif alias diblokir. Syaratnya, Guru menetap di lokasi sekolah, insentif diberikan. “Saya usul agar insentif diberikan lagi. Kalau PEMDA tegas menyatakan Guru harus tinggal, harus disiapkan fasilitas tempat tinggal,” tambahnya. Mereka mau tinggal kalau ada tempat. Dari 81 orang, hanya 10 yang tinggal, selebihnya pulang pergi naik motor atau sampan (disediakan). Ini memberatkan. Memang ada satu dua sekolah yang punya rumah tinggal, tapi sudah tak layak huni. Kondisi fisik sekolah yang jelek pun masih ada di kota kecamatan Jerowaru sendiri, seperti di SDN 6 Jerowaru, yang atapnya mau jatuh. “Sekitar 15% sekolah perlu rehabilitasi. Anggarannya tak ada. Yang sekarang ada dialokasikan untuk membangun lokal bagi perpustaakan berikut buku dan komputer pengolah datanya,” jelas Muhammad Saleh.

Saat ini, di tiap sekolah di Jerowaru rata-rata memiliki 5 orang, mengajar untuk sekitar kurang 100 orang. Total guru tetap PNS ada 240 orang, tapi tak cukup. “Masih kekurangan 79 guru (kelas), 13 guru Agama Islam, dan 23 guru olahraga. Jadi kurang lebih 100 guru,” jelas Muhammad Muhammad Saleh (kedua dari kiri) bersama para guru di Jerowaru

30

V.04 edisi.12.2011

MISKIN ATAU TAK PEDULI? Lain Keruak, lain pula Jerowaru. “Sekolah gratis, apalagi kami di daerah terpencil/tertinggal, pemerintahlah yang harus menyediakan,” begitu persepsi masyarakat yang berkembang. Sulit sekali mengharapkan sumbangan rupiah dari orangtua murid. Bukannya lantaran benarbenar miskin –toh mereka ada yang memiliki sampan, motor, dan di rumah pun menonton televisi. Persepsi itu bahkan sampai pada anggota Komite Sekolah, pernah ada yang meminta honor. Beasiswa miskin pun, yang disediakan misalnya untuk 30 siswa, nyatanya oleh Komite sekolah ingin dibagikan rata untuk seluruh anak. Meski ada pintu sumbangan masyarakat melalui PSM, tak mudah. Jalan keluarnya, sekolah meminta sumbangan kelapa, dijual lalu masuk kas sekolah. Orangtua berat mengeluarkan uang, tapi jika diminta memanjat kelapa secapek apa pun mau. Masyarakat baru respon jika diminta menyiapkan penganan untuk acara. Tanpa ragu mereka membuat ‘dulang’ atau makanan jadi, meski biayanya sampai puluhan ribu rupiah. Beberapa waktu lalu, desa Pemongkong yang merupakan desa miskin tertinggal menjadi tempat pencanangan kegiatan pembangunan desa tertinggal se Indonesia. Kabarnya, 7 pejabat menteri hadir, diantaranya bidang pendidikan, kehutanan, kesehatan, pengembangan rakyat tertinggal, dan dalam negeri. Tapi tindak lanjutnya sepi. Pemerintah pusat dan daerah masih belum memberi perhatian secukupnya bagi masyarakat Jerowaru, sikap serupa orang Jerowaru terhadap pendidikan anak-anaknya. TG


Inspeksi

school concept

‘ciluk-ba’ Ortu ke Sekolah, Bisa Bikin Gerah

T

iba-tiba saja Pak Anton, ayahanda Davy kelas V, sudah muncul di ujung tangga lantai 2 sekolah Davy. Danti, operator sekolah, merasa kecolongan. “Lho, kapan masuknya ya. Saya tak lihat,” kata Danti, yang sudah 10 tahun meladeni administrasi kehumasan. Bu Lani, Kepala Sekolah, tersenyum saja saat tahu ada orang tua yang tiba-tiba ‘nongol’ di sekolah dan ‘jalan-jalan’ kelas-kelas. Sore, saat sudah santai sekolah, dan guru-guru sedang berolahraga volley, telepon Bu Lani berdering. Pak Anton telpon. ‘Sore Bu Lani. Saya tadi ke sekolah, pengin liat Davy, karena sudah seminggu ini perilakunya kurang menyenangkan. Banyak barang miliknya juga tertinggal di sekolah. Bola, sepatu, baju olah raga, sepeda, semuanya tertinggal di sekolah. Saya mau lihat seperti apa sebenarnya dia di kelas. Bisa nggak sih dia belajar dengan baik,” alasan Pak Anton. Bu Lani tak menyanggah, meski dalam hatinya ngegrundel: “Hmmm, si Bapak main masuk aja!” “Saya liat tadi ada anak dipaksa dan dipangku gurunya. Apa harus begitu bu?” lanjut tanya Pak Anton. “Anak pria atau perempuan, Pak?” tanya Bu Lani. “Tak penting pria atau perempuan. Mau guru pria ke siswa pria, atau sebaliknya, tetap saja tak patut! Masak siswa kelas lima dipangku gurunya!”, Pak Anton sengit. “Baik, akan saya cek pak. Tapi saya yakin, itu pasti siswa dengan kebutuhan khusus yang harus dicermati secara individual oleh teacher aid-nya. Terimakasih infonya ya Pak,” Bu Lani mengunci pembicaraan agar tak berpolemik.

Lain lagi cerita Pak Fahmi, orang tua siswa juga, saat mendapat telepon dari istrinya, yang baru saja membayar SPP untuk Andi, putra mereka yang duduk di kelas 6. Andi special need. Pak Fahmi meradang, ketika istrinya bercerita, bahwa Andi mendapat perlakuan tak menyenangkan. Ujung lengan panjang kemejanya diikat oleh teacher aid. Dengan tangan terlipat, Andi memohon pertolongan membuka ikatan lengan bajunya ke beberapa guru yang sedang ngaso di halaman. Tak satu pun guru mau membantu. Bahkan salah satu Guru bilang, “Ini konsekuensi Andi, sebab kamu sering mencubit teman sih.” Tak tahan, istri Pak Fahmi mendatangi kantor kepala sekolah dan berteriak sambil menggebrak meja: ”Buka nggak! Pantaskah anak saya mendapat perlakuan itu? Sejelek apa pun dia, apakah seperti ini cara membuat jera anak special need di sekolah yang bermerk inklusi ini?” Terperanjatlah segenap guru. Sang kepala sekolah sedang tak di tempat. Tergagap-gagap para Guru menjelaskan bahwa itu tadi hanya bercanda. Mereka tak menyangka, ternyata Bunda Andi hari itu ‘mengintip’ dari kejauhan, setelah berurusan dengan bagian admin. Sengaja atau tidak, kehadiran orang tua di area sekolah secara ‘tiba-tiba’, sering menjadi bumerang. Namun ini tak bisa dihindari, terutama bagi sekolah yang cukup terbuka, dan tak ada sistem pengamanan atau resepsionis yang mengatur keluar masuknya tamu, termasuk ortu. Sekolah Bu Lani juga tak membuat peraturan khusus dan tertulis, ortu bisa langsung beranjangsana ke kelas secara mendadak, tanpa appointment sebelumnya.

Sesungguhnya yang diperlukan bukan peraturan boleh atau tidak ortu datang. Sekolah mestinya rileks saja. Secara khusus katakan pada ortu, mereka boleh menyimak proses belajar di sekolah, dengan perjanjian sebelumnya agar lebih terakomodasi. Akan halnya jika ‘tertangkap basah’ ada sesuatu yang kurang berkenan di mata ortu, katakan saja dengan fair, apa yang terjadi. Tak perlu merasa ‘dimata-matai’. Kepala divisi kesiswaan, harusnya merespon kejadian seperti di atas dengan mengakomodasi kepentingan ortu. Jangan sampai tercipta ketidakpercayaan. Akan sangat melelahkan! Karena itu penting difikirkan kegiatan khusus, dan terjadwal. Waktunya bisa sepekan setelah ujian semester, atau di puncak tema, dengan mengundang secara khusus ortu untuk menikmati pembelajaran bersama Guru di sekolah. Saluran komunikasi silakan diatur secara seru. Morning tea, breakfast meeting, atau nonton rekaman handycam kegiatan kelas, bisa dijadwalkan. Dengan begini, ortu akan merasa ditangani kepentingannya. Jika sesekali mereka ciluk ba ke sekolah, suasana yang terbawa bukan sebuah kecurigaan. Apalagi sampai ngintip-ngintip kelas. ‘Atur aja dehhhhhhh!’. TG

V.04 edisi.12.2011

31


character

Menjadi

Orang Pintar Saja Tak Cukup Harus Menjadi Orang Baik

Sebuah renungan bagi Guru untuk menjaga keseimbangan kecerdasan dan moral

Anda ingat lagu masa kecil? Yang syairnya seperti ini: O .. ibu dan ayah selamat pagi Ku pergi sekolah sampai kau nanti Selamat belajar nak penuh semangat Rajinlah selalu tentu kau dapat Hormati gurumu sayangi teman Itulah tandanya kau murid budiman

C

oba perhatikan baik-baik kata per kata. Semuanya menyampaikan pesan kebaikan, nilai-nilai dan moralitas. Hormati Guru, sayangi teman, rajin, semangat, dan doa orang tua, anak menjadi budiman. Tak tersurat pesan agar anak belajar dengan giat, menghafal rumus, mengejar nilai, mencapai ranking, atau belajar mata pelajaran akademis dan menjadi orang yang siap bekerja. Bukan itu yang dipesankan, bukan? Nilai-nilai kebaikan itu sifatnya universal. Berlaku di seluruh jagad dan tak lekang dimakan jaman. Kebaikan itu yang akan mengantarkan keberhasilan dan kehormatan, dan mencapai kebahagiaan.

BELAJAR DARI KASUS GT Beberapa bulan ini, media menyoroti keberadaan seorang pegawai pajak berisial GT, yang dikejar hingga ke Singapura terkait kasus penggelapan pajak. Berbagai sebutan miris dilontarkan. Ada yang menyebut,

32

V.04 edisi.12.2011

“kembalinya manusia Rp.25 milyar�. Muka culunnya cukup membuat iba saat dia diwawancara di pesawat dan dicecar pertanyaan yang membuatnya qicep. Foto samarannya pun dimainkan dengan berbagai pose. Entah apa yang dia rasakan. Yang jelas, di sebuah persidangan, GT menangis. Tak cukup GT yang dicecar. Ayahandanya sudah nampak tua dan lelah pun dikejar para pewarta untuk menggali informasi lebih dalam. Sang ayah hanya bilang, “Di mata saya, GT ya anak baik�. Betapa sang Ayah masih membela sang anak, yang konon sudah menelantarkan ayahandanya, tak pernah memberi bantuan uang pada ayahnya. GT tak ingat lagi, bahwa upaya dan doa sang ayah hingga dia berhasil masuk STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang terkenal susah masuknya, pun lulusnya, karena sistem gugur. Hanya anak dengan kecerdasan logik matematik yang bisa menaklukkan proses belajar yang rumit di STAN, tercelup dengan logika dan angka - angka. Dan saat itu GT lulus! Pastinya dia cerdas, pintar! Tapi kini badai masalah menghebat dalam hidupnya. Sang ayah sedih luar biasa. Dia tetap tak percaya anaknya melakukan perbuatan tercela. GT gagal menjadi manusia budiman.


dalam esensi kehidupan yang tertinggi, yakni menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Meninggikan kemanusiaan.

BELAJAR DARI OM WILLIAM Pendiri Astra, William Suryadjaya meninggal dunia beberapa waktu lalu. Ketika itu, halaman media penuh warta belasungkawa. Para tokoh bicara tentang kebaikan dan kehebatan Om William. Seorang pengusaha yang memegang etika bisnis, ramah, peduli, jujur, ulet, pekerja keras, baik hati, bisa menjaga hubungan dengan pemerintah secara seimbang tak terlalu dekat, juga tak terlalu jauh, dan sederet kebaikan yang terus dikenang orang. Bukankah ada pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama? Dan nama besar Om William ditinggalkan dengan harum, sementara jasadnya pergi. Om William manusia budiman. Berbudi dan beriman. Jika saja ada wartawan yang mau mencari tahu lebih dalam, seperti apa Om William dibesarkan, nilai-nilai apa saja yang orang tua dan lingkungan bekalkan pada William muda, hingga mencapai keberhasilan yang hebat dan memberi banyak manfaat, maka kita bisa belajar dan buktikan, betapa pembelajaran dan pembiasaan serta keteladanan yang berbasis tata laku,akan mengantarkan manusia ke

Pelajaran berharga bagi kita, utamanya para orangtua, yang seharusnya kembali menyadari pentingnya mendidik anak dengan keseimbangan moral value, karakter, akhlaq, budi pekerti yang mantap, selain ilmu dan mata pelajaran. Semangat mengejar angka, nilai ujian, menjadi pemantik tergerusnya pelajaran moral.

BELAJAR DARI KI HAJAR DEWANTARA Pendiri Taman Siswa ini mengajarkan Trikotomi: Cipta (bercipta yang benar dan baik), Rasa (halus dan indah) serta Karsa (sopan, bermoral). Itulah fungsi jiwa manusia, yang oleh Benyamin Bloom disampaikan melalui tiga ranah domain: kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam wejangan di bukunya, Ki Hajar Dewantara, menuliskan aliran yang mengawali kehidupan manusia, yakni aliran Nativisme, yakni faham yang percaya bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh nativusnya, yakni faktor dalam dan bakat yang ada. Faktor luar, termasuk pendidikan, tak akan dapat mengubah fitrah manusia. Orang tua tinggal mendoakan, agar anak terlindungi dan menjadi orang baik.

pada kami, dan akan kuberikan sepuluh tipe manusia yang Anda minta�. Ke dua aliran itu akhirnya diseimbangkan oleh aliran Konvergensi, perkembangan merupakan resultan luar dan dalam. GT yang masih muda sudah didera petaka moral, dan Om William, hingga akhir hayatnya masih dikenang kebaikannya. Dari faktor dalam, mungkin GT lupa pada orang tua, hingga petaka menimpa. Mungkin juga faktor lingkungan, yang membuatnya keluar dari tatanan etika. Sementara Om Wiliam, mungkin menjaga semua lini dimensi keTuhanan dan kemanusiaan, hingga selamat sampai akhir hidupnya. Mungkin juga Tuhan menerima amalnya, karena banyak orang mengemukakan kebaikan hatinya selama hidup. Kembali mengingat syair lagu di atas, mestinya kita kembali membekali anak dengan pesan dan pembelajaran serta keteladanan agar budiman, saling menghormati dan menyayangi. Tak cukup hanya bekal akademis. Dua orang anak manusia itu membuktikan makna kebenaran universal tadi. Terbukti kan, tak cukup hanya menjadi orang pintar! Melainkan harus menjadi orang baik! TG

Aliran ini ditentang oleh aliran Empirisme, dengan tokohnya John Locke dari Inggris. Bayi yang baru lahir bak kertas putih, dengan teorinya yang terkenal yakni tabula rasa. Anak akan menjadi baik, ditentukan oleh pengaruh luar berupa pengalaman, lingkungan, pergaulan, pendidikan. Kaum empiris ini tak mengakui pembawaan dan bakat. Kaum Behaviorisme mendukung aliran ini, dan mengatakan, “Berilah sepuluh bayi

V.04 edisi.12.2011

33


Pendidikan Karakter

Jangan Dikurikulumkan!

S

emerbak dan gejolak pendidikan Indonesia, tersengat aroma PENDIDIKAN KARAKTER. Semua mahfum dan setuju, materi ini sangat perlu, penting dan mendesak untuk diajarkan ke semua lini manusia Indonesia, melalui pintu masuk pendidikan yang namanya sekolah. Lantas Pendidikan Karakter dipercaya sebagai obat mujarab yang untuk mengembalikan moral anak bangsa. Mundurnya moral bangsa dan segala akibatnya, disinyalir karena tak adanya pendidikan karakter yang memadai, mulai dari keluarga, masyarakat, sosial dan sekolah, sehingga berakibat fatal. Nilai-nilai kehidupan luntur. Yang nampak adalah sebuah keserakahan dan egoisme pribadi, di tengah kapitalisme pada interaksi global yang penuh kecanggihan teknologi. Pendidikan karakter di Indonesia makin santer disuarakan. Konon, di tahun depan, Kemendiknas akan memasukkan pendidikan karakter ke dalam kurikulum! Seminar dan pelatihan pun sudah puluhan kali diselenggarkan. Trainer pendidikan nilai dan karakter laris dipanggil sana sini. Banyak yang berpihak dengan keputusan pemerintah itu. Banyak kalangan yang mendukung. Tentu saja. Bangsa ini makin lama makin terpuruk kedaulatan dan martabatnya, akibat tergerusnya nilai-nilai keluhuran. Luntur oleh perilaku dan tata krama yang dilanggar, ditabrak dan ditekan oleh sebuah sistem yang tak kelihatan wujudnya namun menggerus moral bangsa. Sekolah, lantas mengadopsi materi ini menjadi

34

V.04 edisi.12.2011

‘brand’ yang bergengsi. Sekolah-sekolah yang sadar citra, lantas menggelembungkan materi karakter ke dalam pembelajaran, di luar pelajaran inti tentu saja. Dijual sebagai sebuah penguat ikon sekolah.

GURU JADI PENDIDIK KARAKTER? Doni Koesoema A, dalam bukunya ‘Pendidik Karakter di Zaman Keblinger’ terbitan Grasindo menuliskan, Pendidikan Karakter sesungguhnya adalah perubahan. Guru dikatakan sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Olala … gagasan indah itu hanya akan berhenti menjadi wacana, sedangkan bisnis sekolah berjalan seperti biasa. Lazimnya, setelah hiruk pikuk pembicaraan tentang perubahan, apa yang terjadi di kelas sama seperti hari-hari lalu dan tidak ada perubahan sama sekali. Guru tampaknya sulit berubah, bagaimana mereka mampu menjadi pelaku perubahan? Meski telah melewati berbagai kursus, seminar, pelatihan, lokakarya, toh cara mengajar Guru juga tetap sama.

JANGAN DIKURIKULUMKAN Semua stake holder sekolah, paham dan yakin seratus persen, bahwa pendidikan karakter di sekolah sangat minim dan karena itu perlu mendapat perhatian serius. Dalam seminar Pendidikan Budaya Berbasis Nilai, dengan pembicara Fidelis E. Waruwu, dan sesuai dengan judul buku yang diterbitkan Grasindo, dengan lantang ditekankan: “… Pendidikan karakter jangan dikurikulumkan!” Wahhh…. apa maksudnya? Berikut penelusuran Teachers Guide yang bertemu Pak Fidelis di beberapa kesempatan:


character

Mengapa tak boleh dikurikulumkan, Pak? Kan mendesak untuk diajarkan? “Kalau dikurikulumkan, nantinya hanya akan di-tes-kan. Akan diujikan dengan jawaban benar salah. Hanya akan ada nilai di rapor. Meriah dalam waktu sebentar dan akan segera berganti dengan materi lain. Lalu akan muncul jabatan guru karakter di samping guru agama, guru matematika, dan Guru-Guru mata ajar lain. Nah‌ Guru yang mengajar pandidikan karakter inilah yang akan mengajar pelajaran karakter bukan? Hanya dia yang akan dianut dan dihormati sebagai Guru (ber) karakter? Padahal, pendidikan karakter akan berhasil jika ada yang namanya TOTAL ACTION dari semua Guru, staf dan manajemen hingga janitor, yang telah menyepakati beberapa nilai, lantas diaplikasikan bersama dalam kehidupan keseharian. Pendidikan karakter tidak bisa diajarkan. Melainkan dicontohkan. Diteladankan. Misalnya, kejujuran. Siswa harus melihat, ternyata orang yang telah melakukan kejujuran itu mendapat apresiasi dari orang banyak. Dibuat indikatornya, lantas show off dalam aplikasi proses belajar. Siswa akan melihat, merasakan, menjadi saksi, bahwa yang jujur ternyata sangat dihormati di sekolah. Best practicenya dibuat. Lakukan semacam ’pengakuan dosa’, yakni waktu khusus di mana siswa dapat menuliskan atau mengadukan kesalahan yang dilakukannya selama seminggu. Jika ada kasus, misalnya mematahkan gitar di ruang musik, maka yang jujur mengakui kesalahan mendapat apresiasi bintang kejujuran, meski harus mengganti gitar yang rusak di kemudian hari. Soal disiplin, misalnya. Siswa akan melihat, guru yang disiplin datang tak terlambat, tepat waktu mengembalikan buku PR, tepat

waktu menyelesaikan pelajaran, dan tepat waktu mengembalikan portofolio siswa. Semua itu dilakukan, direncanakan. Ditotalactionkan. Bukan diajarkan. Sentuhan, kalimat dan suara yang menyejukkan, pujian, dan kasih sayang yang berenergi, akan masuk ke dalam otak bawah sadar, dan secara universal tak lekang dimakan waktu dan tersimpan sebagai pengalaman.� Di dalam salah satu tayangan di seminar Pak Fidelis, diperlihatkan seekor singa yang sangat besar. Tak seorangpun berani mendekati kandangnya. Sang pawang pun hanya melemparkan makanan dari jarak tertentu. Takut diterkam! Tayangan menjadi dramatis ketika datang seorang ibu paruh baya, yang mendekat ke kandang. Dan raja hutan itu begitu tampak rindu memeluk si Ibu, menjulurkan kedua kaki depannya, seolah tangan yang merengkuh ibu dengan kelembutannya. Berlangsung cukup lama, sampai si Ibu mengusap berulang kepala singa. Ini kejadian beneran! Alkisah, singa itu dulu dirawat ibu tersebut, saat terjadi kebakaran hebat di sebuah hutan. Singa kecil itu lantas dirawat dengan penuh kasih sayang oleh si Ibu, dan setelah singa dewasa, dititipkan di sebuah kebun binatang. Kebaikan dan kasih sayang ibu telah terekam di memori sang singa, dan mempengaruhi dorongan perilaku yang baik, yang berkarakter. Jika singa saja bisa merekam kebaikan sebagai sebuah karakter ibu itu, bagaimana dengan manusia yang memiliki otak sempurna? Dan mengapa ini tidak dilakukan oleh semua guru di sekolah? Tanpa menjadikan pendidikan karakter di kurikulum, apakah tak bisa Guru mempraktekkan hypnosis melalui kata dan kalimat yang bertenaga? Berpengaruh? Dan mencontohkan dalam keseharian? Apakah hanya jika akan diberikan nilai, lantas siswa baru akan belajar?

BELAJAR SHARING Israel adalah bangsa yang selalu membuat masalah. Ya, bukan? Ada kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin dan menyelesaikan masalah (meski dengan bermasalah!). Ditengarai, kebiasaan bangsa Israel yang selalu melakukan makan malam bersama keluarga, menjadi kekuatan dahsyat negeri itu. Setiap malam, sang ayah mendiskusikan dan menceritakan kejadian hari itu di depan anak dan keluarganya, disertai cara menyelesaikan persoalan yang terjadi. Setiap hari! Betapa anak-anak dan keluarga akan merekam setiap cerita sang ayah yang heroik dan penuh ide menyelesaikan persoalan bisnis, pemerintahan dan apa saja yang dijalani sang ayah. Di keluarga kitai? Berapa kali makan malam terjaga? Cerita apa yang disharingkan? Kebanyakan hanya nasehat, pertanyaan sudah kerjain PR belum, paling banter cerita tentang kebanggaan masa lalu orang tuanya yang dianggap penuh nelangsa dan kini berhasil, dan arogan dengan petuah. Karena itu pelajaran IPS, khususnya yang menyangkut pada pembahasan gotong royong, kerjasama, kebersihan, menghargai agama lain, globalisasi, dan Kompetensi Dasar (KD) terkait moral dan perilaku, hanya diukur dengan tes berbentuk pilihan ganda dan esai, yang semuanya membutuhkan ingatan untuk direcall. Wujud perilaku terpuji dalam proses keseharian tak masuk menjadi bagian yang dihitung. Pokoknya tes! Pendidikan karakter bukan sesuatu yang harus diajarkan, apalagi dihafalkan, lantas diujikan. Melainkan dilakukan. Itu sebabnya, Pak Fidelis tak setuju jika pendidikan karakter dikurikulumkan. Bagaimana dengan sekolah Anda? Bisa mendefinisikan pentingnya pendidikan karakter dalam tataran yang apliaktif dan mengubah perilaku? Ayo, kita lakukan diskusi dan pencermatan. TG

V.04 edisi.12.2011

35


character

Jamannya Spesialis, Bukan Lagi Generalis BECAUSE I KNOW WHAT I WANT

Kalau anak getol main komputer, orang tua akan menegur begini: “Nak, komputernya nanti dulu ya, lihat itu matematikamu masih 6, bahasa Inggris mu merah. Lupakan dulu lah komputer mu!” Beberapa saat kemudian, mungkin nilai naik sedikit, namun kemampuan komputernya terabaikan. Padahal, anak itu bisa jadi ahli komputer di kemudian hari. Kita ini sering menghilangkan minat, dan menutup potensi anak yang dahsyat.

A

pa yang kita lakukan saat ini untuk membekali anak ke depan? Sekolah dan belajar untuk lulus ujian nasional? Terlalu sepele! Yang paling mendesak adalah mempersiapkan anak untuk survive di perdagangan bebas dunia. Demikian paparan Ayah Eddy, praktisi multiple intelligent & holistic learning dalam sebuah seminar diadakan di UI Depok, di depan Guru dan orang tua.

Menurut Ayah Eddy, pendidikan semestinya berubah mengikuti jamannya.

Mari kita mundur ke belakang, di jaman renaissan, jamannya anak-anak multi spesialis. Tak ada batasan ilmu. Leonardo Da vinci, dia pelukis sekaligus ahli anatomi dan ahli pengobatan. Tak ada pengkotakan. Setelah itu, semua menjadi stagnan, menjadi follower, bukan pencipta. Masuk jaman industri -revolusi industry- yang membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga semua tercetak menjadi generalis. Perkembangan selanjutnya adalah jaman spesialis. Rudy Hartono di bulutangkis. Seandainya dulu dia jadi generalis, Rudy tak akan menjadi juara dunia. Kalau begitu, ke mana arah perubahan dunia? Dari yang generalis menjadi spesialis. Lantas, ke mana arah pendidikan dunia ini bergerak? Dulu, dunia butuh banyak spesialis, sistem pendidikan berbentuk multi talents yang melahirkan banyak spesialis. Kemudian, saat dunia membutuhkan generalis, sistem pendidikan menjadi single intelligent. Nahhh … sekarang kita kembali ke jaman spesialis lagi, dengan perangkatnya multiple intelligent. Kita wajib

36

V.04 edisi.12.2011

memahami keberagaman anak dan mencari spesialisasi mereka masing-masing. Keunggulan tiap anak perlu dicari. Di manapun keunggulannya, anak kelak akan sukses. Contohlah sistem pendidikan di Belanda, mereka memiliki kepedulian tertinggi di bidang pendidikan. Bagaimana tidak, untuk menginjak daratan saja, mereka harus membendung laut. Satu-satunya yang Belanda punya adalah otak anak-anak mereka. Kalau salah cara mendidik otak anak Belanda, wahhhh… berbahaya akibatnya bagi bangsa Belanda. Bandingkan dengan Indonesia: Belanda nggak punya apa-apa dibanding Indonesia yang apa-apa punya. Minyak ada, emas punya, batu bara ada, pulau ribuan, saking banyaknya , diambil orang juga kita nggak tahu. Hehehehee… Di tengah perubahan pendidikan dunia yang fundamental, dari generalis ke spesialis, di mana Indonesia berada? Pakar multiple intelligent Howard Gardner, mengingatkan, jika dalam satu kelas ada 40 anak, jadikan semuanya juara. Buatlah sistemnya! Pemikir kritis Edward de Bono, konsultan bisnis internasional dari Kanada, menemukan mapping potret suatu bangsa yang diibaratkannya sebagai sebuah kapal. Temuannya berupa pengelompokan keadaan, begini: Quadran I : Sistem pendidikan suatu bangsa tidak menuju perubahan dunia. Orang di dalamnya kebingungan. Quadran II : Kapalnya nyasar, orangnya ribut melulu, gonta ganti kurikulum. Quadran III : Semua setuju untuk nyasar. Kompleks syndrome. Anak dikursuskan ini itu, agar lulus UN. Quadran IV : Semua sepakat menuju arah perubahan dunia, yakni pasar bebas. Seperti halnya pakar pendidikan Thomas Amstrong, mengingatkan kita: “Jangan ketinggalan! Dunia sedang menuju spesialis. Jangan berkutat pada yang generalis”. Kondisi Indonesia, di Quadran mana? Mengutip cerita ‘Sekolah Binatang’ (sering disampaikan oleh Kak Seto di beberapa kesempatan), jelas tergambar betapa pendidikan yang kita jalani selama ini, kurang berfokus pada kemampuan dan kelebihan dan bakat anak, melainkan sering pada keseragaman anak, sehingga orang tua sering mencari cara untuk meningkatkan nilai mata pelajaran yang kurang dikuasai anak. Akibatnya,


kelebihan atau keunggulan sering tak diketahui. Masa depan anak ke depan, ditentukan oleh keputusan kita hari ini. Apakah kondisi pendidikan Indonesia masih akan terus seperti gambaran di atas? Sekolah-sekolah kita selama ini banyak memboroskan waktu. Sejak masuk SD hingga lulus kuliah S-1, minimal 17 tahun kita bersekolah. Namun setelah lulus, seolah tak ada keahlian khusus yang bisa kita jual. Di Amerika, ada The Academia, setelah lulus SMA, siswa langsung diarahkan ke sekolah khusus sesuai keunggulan. Kalau di Indonesia? Lulus ujian start from zero. Di SD, mestinya sudah dideteksi kelebihannya, dengan semua stimulasi. SMP, sudahkah disampaikan dan dianjurkan kepada orang tua, anak mereka punya keunggulan khusus di bidang apa? Di Singapura banyak sekolah mirip The Academia. Ada sekolah tari, balap, bola, dan sebagainya. Kenapa Indonesia tak punya arah yang jelas. SMA unggulan sekali pun di Jakarta, siswanya bingung mau ke mana. Kita kebanyakan masih beranggapan yang penting sekolah dahulu. Nanti mau jadi apa, ‘gimanaa’ nantilah. Kita terbonsai dengan keseragaman. Mau bukti? “Coba jawab pertanyaan saya dengan serempak!,” kata Ayah Eddy. “Ingat waktu Anda semua di SD berapa belas tahun lalu? Saat pelajaran menggambar, apa yang terjadi?” Ayah Eddy (A) : Apa yang digambar ? Ortu dan Guru (G) : Gunuuung (A) : Gunungnya ada berapa? (G) : Duaaaaa (AE) : Di tengahnya ada apa? (G) : Matahariiiii (A) : Di atas matahari ? (G) : Awaaannnn (A) : Di dekat awan ada apa? (G) : Buruuuuuung (A) : Di bawah gunung ada apa? (G) : Jalaaaannn (A) : Di kiri kanan jalan ada apa? (G) : Sawaaaahhhhh Orang tua dan Guru tergelak-gelak menjawab. Ayah Eddy hanya geleng-geleng kepala. Koq bisa sama? Menurut Ayah Edy, kita saat ini masih memakai model Adam Smith, padahal dunia sudah memakai pemikiran terbaru dari Robert Kiyosaki. Tahun 1930-an, Jepang sudah mereformasi pendidikan. Era 1980-an, Eropa pun sudah. Singapura tahun 1900 an, dengan model Singapore Piaget School.

Menggali potensi kecerdasan musikal, sebagai pemacu kecerdasan lainnya.

Nah, apakah sistem pendidikan kita sudah siap di pasar bebas? Perdalam keahlian (expertise). Tanyakan ke siswa, kamu ahli apa? Hebatnya siswa di mana? Dan apakah kita sendiri pun sudah siap? Sesungguhnya jika kita siap, kita menang! Persiapkan anak-anak kita menjadi spesialis di ajang internasional! Soal Bahasa Inggris, ya harus bisa. Kalau nggak, keahlian kita tak bisa didengar secara luas. Jaman dulu, pendidikan diterjemahkan sebagai membesarkan anak sesuai keinginan orangtua. Kita mengarahkan anak menjadi dokter, insinyur, presiden, dan sebagainya. Jaman kini, tugas pendidikan adalah membantu anak menemukan misi Tuhan dalam hidupnya. Dari kecil sudah ada blue print-nya. Ini terlihat pada kecenderungan gaya dan minat anak saat belajar, tingkah lakunya, wajah atau air muka saat menjawab Guru. Kita patut mampu membaca blue print-nya, jika tidak, tak akan bisa terbaca misi luar biasa si anak itu! Contohnya, terjadi pada Bill Gates, pendiri Microsoft, yang sengaja keluar dari sekolah terbaik Universitas Harvard, pada 1975. Saat ditanya mengapa, ia tak merasa kehilangan, “Because I know what I want!” Saat ini, multimilioner Bill Gates banyak berkecimpung di dunia pendidikan di AS, dan berencana membuat sekolah dengan model centre school. Dengan stimulasi, siswa digali minatnya di bidang apa. Bagi yang suka alam, art, sport, music, technology, misalnya, akan diwadahi semua dalam pengelolaan kecerdasan majemuk di sekolah.Coba lihat Luis Vitton, desainer fashion dunia, yang ‘cuma’ pengrajin kan! Tapi karyanya hanya ada di mal-mal bergengsi di dunia. “Kita harus berpacu. Yang biasa-biasa saja bisa jadi seperti mereka. Lantas yang luar biasa mengapa tak jadi apa-apa?” ajak Ayah Eddy. Peserta seminar pulang dengan kepala penuh ‘dendam’. Jika kita sudah tahu keadaan masa depan akan seperti itu,mengapa tak juga beranjak memperbaiki pembelajaran pada siswa di sekolah? Apa jadinya jika siswa bisa memahami : ”Because I know what I want”. Menjadi tantangan kita untuk mencermati semua paparan Ayah Eddy. Dan jangan sampai ketinggalan! TG


school concept

Siswa Ngaret

Kenyamanan atau Lemahnya Peraturan?

S

udah jam tiga lewat sepuluh sore, Bram dan tiga temannya lelakinya masih seru bermain di lapangan sekolah yang teduh. Semakin lama semakin banyak siswa yang pulang ngaret, jauh melebihi jam kepulangan. “Mau main dulu!” alibi para siswa. Banyak sekolah yang bangga jika melihat siswanya merasa betah di sekolah tak mau pulang, dijadikan indikator kenyamanan sekolah. Setujukah Anda? Ya, kebanyakan mengangguk mengiyakan. Namun apakah Anda mencermati akibat negatif yang ditimbulkan? Banyak kejadian: siswa terjatuh, terluka, kena bullying. Siswa yang belum dijemput, tak mau pulang, atau yang sengaja minta diperlambat penjemputannya makin banyak menimbulkan keresahan. Guru yang seharusnya segera berbenah kelas, dan melakukan konsolidasi, rapat internal, dan pekerjaan lain, menjadi terkurangi waktunya gara-gara harus menemani (minimal mengawasi) siswa. Belum lagi dampak bagi orang tua, yang menjadi permisif menjemput telat. Sekelompok ibu-ibu makin rajin jalan-jalan dan berladies programe, dengan santai, bahkan sengaja menjemput telat karena anak bisa di’titip’ dulu di sekolah. Lain lubuk lain ikan, lain ladang lain belalang. Sekolah Qoriyah Thoyibah di Salatiga, hampir semua siswanya tak mau beranjak dari sekolah hingga larut sore, kebanyakan mereka asyik

38

V.04 edisi.12.2011

berselancar dengan internet. Sekolah yang terletak di sebuah dusun ini menjadi oase perubahan, dengan menyediakan tempat bagi siswa yang ingin mengasah kreatifitasnya. Bermain gitar, membaca, mencangkul halaman, atau sekedar ngobrol, menjadi pemandangan yang sangat biasa di sekolah yang memang berbasis komunitas ini. Ada yang pulang dulu, kemudian balik lagi ke sekolah. Jarak rumah dan sekolah hanya selemparan batu. Tak ada aral pulang telat. Bahkan bermanfaat. Sekolah di Kelapa Dua Wetan, Jakarta Timur, memberlakukan ‘argo keterlambatan penjemputan’. Dua puluh ribu rupiah per lima belas menit. Hal ini diberlakukan, karena makin tak disiplin waktu penjemputan.”Merugikan guru”, demikian alasan Bu Kepala Sekolah yang masih awet ayu di usia senjanya. “Guru yang seharusnya sudah memulai pekerjaan administratif dan mempersiapkan pengajaran untuk esok, atau akan konsolidasi dengan partner kerja terpaksa harus menunggui siswa. Kalau tidak ditunggu, wah…… bisa terjadi hal yang tak diinginkan, dan saat siswa masih di area sekolah, pantang bagi kami untuk tidak mengetahui apa yang terjadi. Bagi kami pelayanan dan pencermatan pada interaksi siswa menjadi unggulan sekolah. Kami tak akan membiarkan siswa beraktifitas tanpa pengawasan guru,” jelasnya. Hmmmm…… kedengarannya ideal’. Tapi apakah itu efektif

untuk membuat orang tua dan penjemput disiplin? Kebijakan denda ini lumayan efektif awalnya. Tapi kini orangtua malah merasa mendingan mbayar denda keterlambatan daripada ngepas jemputnya. Sekalian titip anak jika sang ibu sedang beraktifitas. Wah… jadi repot urusannya kan!

SIAPA BERTANGGUNGJAWAB? Kebanyakan sekolah tak menyertakan peraturan tentang kepulangan. Lazimnya hanya mengatur soal siapa yang berhak menjemput, yang ditunjukkan dengan kartu tanda pengenal penjemput. Itu pun lama-lama hanya formalitas. Akan marak lagi jika ada kasus penculikan siswa. Urusan kecelakaan, entah itu terjatuh dari ayunan, terkilir di trampoline, bullying fisik dan verbal, kena lemparan bola di mata, yang terjadi akibat interaksi di luar jam sekolah, barulah aparat sekolah kelabakan. “Ya.. seharusnya sudah bukan tanggung jawab kami lagi. Kami kan sudah sibuk dengan aktifitas lain. Enak banget tuh orang tuanya jemput gak pake waktu. Nitipin anak nih judulnya?”, gerutu seorang Guru asal Bandung.

PERLU ATURAN ? Peraturan dan prosedur sekolah, dibuat sesuai dengan kebutuhan. Jika awalnya tidak ada aturan, bisa saja secara progresif sekolah membuat aturan baru. Hal ini lumrah saja. Tiap sekolah memiliki aturan yang selaras dengan


Pulang Sekolah? visi-misinya. Termasuk dalam hal penjemputan dan kedatangan ke dan dari sekolah. Biasanya, makin elit sekolah, makin ketat peraturannya. Sudah semestinya, makin banyak perubahan yang harus diantisipasi. Bisa saja dibuat indikator, kapan sebuah persoalan harus dicarikan solusi kebijakan. Apakah jika sudah merugikan sekian banyak pihak? Atau menunggu jika sudah lebih dari sepuluh keluhan? Mestinya tak usah menunggu persoalan menjadi besar. Justru yang mau repot menanggapi perubahan, menunjukkan sekolah itu responsif. Jangan diabaikan. Silakan saja sekolah mengambil kebijakan yang dirasa paling minimal dampak buruknya. Karena memang tidak ada aturan seratus persen memuaskan semua pihak. Orang tua yang senang anaknya berlama-lama di sekolah dengan alasan kesibukan, atau macet, atau menjemput kakak di lain sekolah dulu, tentu saja akan merasa terganggu jika aturan jam penjemputan dibatasi. Sementara sekolah yang justru merasa keengganan kepulangan anak menjadi indikator kemajuan sekolah, bisa mulai memikirkan dampak yang akan timbul. ‘Dirasarasain’ saja, apakah kebijakan sudah cukup memenuhi semua kepentingan. Ukurannya tidak ada yang baku. Tidak semua sekolah sama latar belakang sosiologisnya dengan orang tuanya. Yang harus dimiliki adalah sikap responsif dan kecepatan menemukan fakta.

JADI ? Seharusnya ada salah satu pejabat sekolah yang ditunjuk untuk merasakan kemajuan kemunduran yang terjadi di sekolah. Tak harus sang kepala sekolah. Bisa saja bagian administrasi, yang kerap berhubungan langsung dengan orang tua dan pengantar. Yang penting petugas yang ditunjuk itu memiliki sensitifitas, apakah temuan yang terjadi itu FAKTA, atau OPINI? Secara bahasa manajemen, kedua hal ini berbeda penyelesaian. Latih ketrampilan menemukan temuan, fakta dan opini ini pada semua Guru dan staf. Pada pertemuan tertentu, ungkapkan dan pilah sesuai kenyataan. Misal: Temuan

Fakta

Siswa yang pulang telat mengganggu ketertiban sekolah

v

Makin banyak orang tua terlambat menjemput anak dari sekolah.

v

Makin banyak kejadian kecelakaan terjadi saat jam usai sekolah

V

Makin lama anak di sekolah, makin bagus kualitas sekolah

Opini

v

Kemudian lanjutkan dengan solusi berdasar data-data akurat. Jadi, jangan mudah menyimpulkan, anak pulang telat pertanda sekolah makin dicintai dan makin menyenangkan. Alih-alih sekolah dicintai anak, jangan-jangan makin banyak orang tua yang tak perduli pada kondisi anaknya, dan makin ego memikirkan kesenangan diri dan kelompoknya, atau makin padatnya jalan dan kemacetan. Nah‌ jadi tak cocok kan? Jangan sampai salah membuat peraturan, garagara tak bisa memilih dan tak trampil mengolah fakta dan opini! Sekali lagi, fakta! Bukan gosip! TG

V.04 edisi.12.2011

39


finance

20/80 RULE:

Mengelola Keuangan Sekolah Secara Cerdas Komentar sahabat tersebut membuat saya yang tadinya menanggapinya biasabiasa saja, menjadi semakin tertarik untuk bertanya lebih jauh,”Terus, bagaimana Ibu sebagai manajemen mengatasi hal tersebut?

T

eringat pada saat seorang sahabat, yang menjabat sebagai manajemen puncak, yang bekerja di sebuah sekolah swasta cukup terkemuka menyampaikan, “Mengelola keuangan sekolah itu rumit. Setiap bulan pusing memikirkan berbagai pengeluaran. Kadang-kadang untuk biaya operasional saja harus disubsidi dari uang pangkal. Lebih pusing lagi saat pengajuan anggaran di awal tahun ajaran, semua divisi berlomba-lomba mengajukan anggaran terbaik, maksudnya yang terbaik dari segi kuantitatif, bukan kualitatif”.

40

V.04 edisi.12.2011

merencanakan investasi yang belum perlu. Capek deh!” Pengalaman di atas barangkali juga dialami oleh kebanyakan sekolah. Berdasarkan pengalaman dan survei secara informal yang penulis lakukan, hal tersebut terbukti terutama pada sekolah yang sedang berkembang. Bagaimana solusinya?

“Saya berbicara dengan para Guru dan staf agar menekan pengeluaran atau tidak mengajukan anggaran untuk hal-hal yang tidak perlu, namun sering kali kami menghadapi kendala di lapangan karena semua pihak menganggap semua pengeluaran dan anggaran yang mereka ajukan adalah penting!”.

Baik, pernahkah Anda mendengar tentang ‘20/80 rule’ atau juga dikenal dengan ‘Pareto Principle’ atau ‘Pareto Efficiency’.

Sahabat itu melanjutkan, ”Tambah pusingnya lagi ketika pihak yayasan selalu meminta kami sebagai manajemen melakukan efisiensi dan memangkas pengeluaran yang tidak perlu. Namun di lain pihak, mereka

The 80-20 rule menyatakan bahwa dalam kehidupan nyata banyak sekali kejadian dikarenakan oleh hanya 20% sebab, dengan kata lain 80% akibat berasal dari 20% sebab. The 20/80 rule dikembangkan


oleh Vilfredo Frederigo Pareto pada akhir abad ke-19, merupakan pendekatan logis dari tahap awal pada proses perbaikan suatu situasi yang digambarkan dalam bentuk histogram yang dikenal sebagai konsep ‘vital few’ dan ‘the trivial many’ untuk mendapatkan menyebab utama dari suatu hasil atau permasalahan.

Tips mengelola keuangan sekolah secara cerdas berdasarkan The 20-80 rule: Lakukan analisa terhadap laporan keuangan dan anggaran di tahun-tahun sebelumnya. Urutkan setiap pengeluaran dari yang paling besar sampai yang terkecil. Kemudian pisahkan antara pengeluaran tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap (variable costs)

The 20/80 rule telah digunakan secara luas dalam kegiatan kendali mutu untuk menangani kerangka proyek; proses program; kombinasi pelatihan, proyek dan proses, sehingga sangat membantu dan memberikan kemudahan bagi para pekerja dalam meningkatkan mutu pekerjaan & pengelolaan dana. The 20/80 rule merupakan metode standar dalam pengendalian mutu untuk mendapatkan hasil maksimal atau memilih masalah-masalah utama dan lagi pula dianggap sebagai suatu pendekatan sederhana yang dapat dipahami oleh pegawai atau pekerja awam, serta sebagai perangkat pemecahan dalam hal yang cukup kompleks, termasuk dalam masalah keuangan.

Lakukan analisa terhadap setiap item pengeluaran, kemudian ajukan pertanyaan apakah pengeluaran tersebut memberi dampak langsung terhadap kualitas pengajaran dan pelayanan terhadap siswa dan orang tua atau tidak? Jika iya, berapa biaya yang rasional yang harus dikeluarkan? Jika tidak, sisihkan item tersebut dari daftar. Urutkan seluruh item tersebut berdasarkan skala prioritas (dari yang paling penting sampai kepada yang kurang penting). Buatlah histogram (diagram batang atau pie) yang merepresentasikan pengeluaran tersebut, baik dari segi jumlah pengeluaran maupun dari segi skala prioritas pentingnya setiap pengeluaran. Fokuslah untuk mengalokasikan dana secara proporsional kepada 20% hal yang memberi dampak langsung terhadap kualitas pembelajaran dan pelayanan terhadap siswa dan orang tua. Buatlah proyeksi anggaran berdasarkan hasil analisa di atas.

Afriki

Kepala Edukasi di Sekolah Islam Fitrah Al Fikri. Sebelumnya bekerja sebagai manajemen di sebuah sekolah Berwawasan Internasional untuk beberapa jenjang pendidikan: Kepala Sekolah SD & Wakil Kepala Sekolah SMP. Pernah mengelola beberapa proyek internasional, yang berkaitan dengan

program dan pengelolaan dana. Lulusan FE UI jurusan Manajemen Keuangan, dan FS USU jurusan Bahasa Inggris. Mengikuti Advanced Certificate in Teaching and Learning, Foundation For Excellence in Education (FEE).

Libatkan seluruh komunitas dalam melakukan analisa untuk menentukan anggaran berdasarkan divisi masingmasing dan ajak mereka berpikir kritis dengan mengajukan pertanyaan: “Apakah anggaran yang diajukan benar-benar penting & memberi dampak yang cukup signifikan terhadap kualitas pembelajaran dan pelayanan terhadap siswa dan orang tua?” Jika tidak, hal tersebut sebaiknya tidak dimunculkan dalam anggaran keuangan sekolah. Selamat mencoba.

TG

V.04 edisi.12.2011

41


finance

Menentukan

Hitung-Hitungan Pembiayaan Sekolah

Obrolan Seru dengan Praktisi Sekolah

A

pakah uang sekolah harus naik setiap tahun? Mari kita lihat pasar di luar, adakah kenaikan bahan habis pakai, kertas, pensil dan stationary lain, buku, ATK, buku paket dan sebagainya. Lalu prospek gaji guru dan karyawan, seberapa mau naik per tahun?

Jika dana kurang, jelas visi tak akan tercapai. Namun rakus dengan pengembangan, pasti juga akan oleng.

Terkait school budgeting, idealnya disesuaikan dengan rencana strategik lima tahunan. Sebab jika tidak, akan kaget-kaget, misalnya saat mau ngebangun perluasan gedung. Kapan? Tahun ini? Kalau gitu dinaikin deh uang gedungnya‌‌ ini yang akan membuat pembengkakanpembengkakan. Kadang tak terlihat, dimana pembengkakan terjadi. Rencana peningkatan mutu Guru, tahun ke berapa sudah bisa bahasa Inggris semua misalnya, ini semua kan cost. SDM tak boleh tertinggal. Kebutuhan buku, tiba-tiba pengin keluaran Singapore? Lha kalau tak direncakana apa bisa terwujud? Seorang konsultan keuangan sekolah pernah bertanya pada kepala sekolah: â€˜â€Śtahun keberapa Anda ingin punya outdoor sekelas internasional? sang

42

V.04 edisi.12.2011

kepala sekolah malah gelagapan menjawab. Tak menyangka, jika seorang konsultan keuangan bisa bertanya sedetil ini. Sekolah keren di Menteng, bisa merencanakan kapan Guru dikirim ke Finlandia , dengan perhitungan dana yang sangat detil . Dan berhasil! Praktisi pendidikan kabarnya sering tak pake rencana. Kalau direncanakan malahan gak jadi! Hahahaha Ada kisah, seorang direktur keuangan , berantem terus dengan kepala sekolah, karena perbedaan persepsi antara keduanya. Memang njlimet. Orang finance itu akan membuat forecast bulan per bulan, kapan uang masuk dan kapan uang keluar. Berapa biaya per anak jika dihitung per kepala per bulan, akan ketemu oleh seorang finance. Sedangkan bagi praktisi pendidikan, ini menyulitkan! Kalau begitu mesti dicari, orang keuangan yang ngerti sekolahan, dan pengelola sekolah yang paham keuangan! Baru klop. Betul, sekolah harus sehat. Penting untuk membuat indikator, sekolah sehat itu yang seperti apa. Sehat secara keuangan dan prospek


Ibu Angie Siti Anggari

ke depan ! Perlu ekonom yang ‘sekolahan’. Seorang direktur keuangan yang diangkat oleh Yayasan, kerap berfikir sekolah harus untung, untung dan untung. Sementara praksis di sekolah, adalah rasa nggak teganya. Hmmmmm…. ya nggak sih? Jika dana kurang, jelas visi tak akan tercapai. Namun rakus dengan pengembangan, pasti juga akan oleng. Ada sekolah di Jakarta Timur, yang kini dijuluki sekolah angkot. Uang sekolah bisa naik di tengah jalan, karena ada kenaikan BBM. Tapi saat BBM turun, sekolah tak menyesuaikan. Curang kata orang tua! Wahhh…. Mestinya jangan gali lubang sendiri, terperosok sendiri nanti! Konon ada bedanya, sekolah yang dikembangkan dengan dana dari ngutang Bank, dengan yang tidak (dari investor lain). Ada sekolah di dekat Sukabumi, dulunya sangat friendly dengan urusan tunggakan tagihan SPP atau uang pendaftaran. Dulu semua bisa ‘dibicarakan’. Kini, setelah sekolah disokong dana pinjaman Bank, yang ketat dengan

waktu jatuh tempo pembayaran, kebijakan mikro bisa berubah, terimbas pengaturan pendanaan. Anak yang telat bayar SPP bisa dipulangkan oleh sekolah. Repot memang. Sekolah swasta kan sumber dananya dari pembayaran sekolah saja. Kalau ada yang nunggak, kemudian diambil tindakan, kecaman akan berbunyi nyaring : ‘…ini pendidikan, koq komersial banget. Ini kan sekolah!’, demikian alibi orang tua. Hati-hati mengambil kebijakan. Seberapa banyak tunggakan bisa diantispasi dan tak mengganggu cash flow? Mengintip biaya sekolah sekitar, ada benarnya sebagai bahan pertimbangan. Supaya jangan tergoda di tengah jalan. Inilah pentingnya kita belajar school budget. Membidik pasar harus tengok-tengok kiri kanan juga. Kalau soal diskon, itu soal strategi. Pembeli itu kan di alam venus, alam perempuan. Yang akan sangat bahagia jika dapat bonus atau diskon. Kebiasaan ini yang dimainkan untuk menarik konsumen. Kedengarannya sekolah menjadi kapitalis ya. Inilah yang banyak

dikritik oleh seorang krtikikus pendidikan Darmaningtyas, yang kerap bicara soal kastanisasi pendidikan. Mahal murahnya sekolah itu relative. Yang penting, seberapa kita bisa kembalikan untuk mencerdaskan siswa. Orang tua juga mesti sadar, yang harus diburu adalah kualitas. Bukan yang mahal. Konsumerisme yang dibalut hedonis, menjadikan sekolah makin mahal makin bergengsi. Ini paradigma. Sekolah berbasis agama di Jawa Barat, dengan ‘pede’ menentukan jumlah uang pendaftaran dan SPP yang selangit. Namun tetap diburu calon siswa karena kualitas pengajaran agama yang kuat. Namun sekolah berlabel Islam juga di Jakarta Selatan, konon peminat mulai berkurang, karena harga melambung, sementara sekolah kiri kanan yang dulunya berguru di sekolah tersebut mulai mature dan mantap dengan biaya lebih murah setengahnya . Obrolan tentang pembiayaan sekolah akan berlanjut di edisi depan. Dengan kepala tetap dingin. Ayo terus hitung…..! TG

V.04 edisi.12.2011

43


finance

Tahukah Anda Perencanaan Pengembangan Sekolah School Development Planning & Penganggaran (Budgeting) ?

Ikuti Pelatihannya!

D

alam rangka menjadikan sekolah sebagai suatu komunitas belajar yang berkualitas, sekolah tidak bisa terlepas dari yang namanya perubahan.

Perubahan tersebut sangat dinamis. Sayangnya, belum semua sekolah mampu dan mau mengatasinya. Sebagian memilih berangan-angan ingin berubah, sebagian merasa pesimis bisa berubah. Padahal perubahan akan selalu datang menghampiri, dan bisa membawa kebaikan. Perhatian! Perubahan yang tidak dikelola, akan membuat sekolah terombang - ambing. Hal ini terjadi karena biasanya sekolah tidak memiliki filter yang disebut sebagai tujuan. Kalau filternya bolong, sekolah semangat mengikuti kemana arah perubahan terjadi, yang kemudian merasa lelah dan muncullah yang namanya frustasi. Frustasi terjadi karena merasa tidak pernah mencapai harapan. Bagaimana akan mencapai harapan apabila harapannya pun berubah-ubah? Kalau sudah frustasi, akhirnya didatangkanlah yang namanya ‘kambing hitam’, agar kesalahan tidak nampak di pundak pelakunya. Hal ini akan terus terjadi, berputar mengelilingi lingkaran. Untuk dapat mengatasi perubahan tersebut, sekolah membutuhkan suatu perencanaan yang efektif. Langkah ini disebut: School Development Planning (SDP) atau Rencana Pengembangan Sekolah. Menurut David Tuohy, 1997, SDP adalah serangkaian langkah yang membantu sekolah mencapai tujuannya. SDP dapat membantu sekolah menentukan prioritas, atas apa yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu, siapa yang akan mengerjakannya, dan memberi

44

V.04 edisi.12.2011


kesempatan kepada sekolah untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang berkepentingan. Fokus dari SDP adalah proses pencapain belajar (learning achievement) siswa. Oleh sebab itu, segala perencanaan dan kegiatannya harus mengacu kepada tujuan pendidikan sekolah, yaitu prestasi belajar. Banyak sekolah yang pada saat penyusunan rencana pengembangan sekolahnya hanya didesain oleh sekelompok pengambil kebijakan yang kurang paham dengan proses pencapaian belajar siswa, sehingga

dokumen yang dihasilkan kurang mendukung tujuan pendidikan yang utama. Hal ini disebabkan selain kurang pahamnya si pendesain, juga terkadang mereka membuat rencana tanpa melibatkan pihak-pihak yang berkecimpung di lapangan. SDP bukanlah sekedar dokumen bisnis yang dihasilkan para ahli namun tidak bermakna, SDP merupakan dokumen milik bersama, disusun bersama dan dilaksanakan bersama pula. SDP bisa bermakna apabila dipahami oleh semua pihak sehingga dapat teraplikasikan. Idealnya, penyusunan SDP dilakukan

setelah sekolah melakukan asesmen diri sehingga mengetahui kebutuhan yang harus dipenuhi. Belum semua sekolah memiliki keterampilan tersebut sehingga pada saat membuat SDP tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Keluhan, saling menyalahkan serta frustasia yayasan maupun sekolah, biasanya berawal dari hal tersebut di atas. Penyusunan SDP tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin untuk dirancang, apalagi dilaksanakan. Komitmen dari semua pihak yang berkepentingan untuk menjalankan kegiatan sesuai dengan SDP menjadi penting. Asesmen terhadap SDP yang dilakukan bersama akan menambah semangat sekolah, bukan hanya menjadi GOOD SCHOOL, melainkan naik kelas menjadi GREAT SCHOOL..TG

Pelatihan SDP & Budgeting Ketrampilan ini bisa Anda peroleh dalam pelatihan yang akan diadakan oleh EduLab, Tara Salvia, pada tanggal 29 -30 April 2011 jam 09.00 – 15.00, dengan materi SDP dan Budgeting Yang diharapkan datang adalah orang yayasan, kepala sekolah dan kepala keuangan. Tainer adalah Ibu Angie Siti Anggari, principal sekolah Tara Salvia dan Bapak Frans Sitorus, konsultan keuangan. Investasi Rp. 2.500.000 untuk 3 orang. Peserta terbatas 30 orang per angkatan. Informasi dan pendaftaran, hubungi Sdr. Rini (021 7490865, 021 86374969.

V.04 edisi.12.2011

45


finance

Saling Intip

Biaya Sekolah K

riiiiiiiiing, telepon fleksi di bagian admin, yang digunakan khusus untuk line masuk, berdering. Sudah sejak awal bulan November, manajemen sekolah Pantura (bukan nama sekolah sebenernyared) menambah line telepon guna mengakomodasi melonjaknya telepon masuk. Orang tua sudah banyak komplain kesulitan menghubungi Sekolah Pantura, yang kian jadi keluhan. Kali ini suara suara seorang perempuan yang terdengar agak tergesa, menanyakan biaya masuk TK, SD dan SMP. Ketika akan ditanya dari mana dan di mana, berapa nomor teleponnya, perempuan itu segera mengalihkan pembicaraan dan bergegas menutup telepon. Kapan hari, dua orang juga bertamu ke sekolah ini. Dari sikap tubuhnya, tampak mereka agak tak rileks. Pertanyaannya banyak mengarah soal harga dan fasilitas, serta program. Kala petugas sekolah balik bertanya, siapa dan bagaimana perkembangan si calon siswa, keduanya tampak kikuk. Pernah Anda merasa punya tamu atau penelpon dengan gelagat seperti itu? Kini makin banyak sekolah mengirimkan ‘utusan’ untuk memantau dan menyelidiki, tepatnya membuat perbandingan biaya sekolah, guna menentukan harga sekolahnya sendiri. Namun karena sungkan bertamu secara jujur siapa dirinya, utusan ini kerap bertindak seolah calon orang tua yang sedang mencari sekolah untuk anaknya. ‘Whuaaaaaa………….. kenapa coba?’ Inilah persaingan. Sekolah berlomba menentukan harga terbaik, yang akan ditawarkan pada pembukaan pendaftaran sekolah, yang kini makin awal waktunya. Ajaran baru serentak dibuka bulan Juli 2011. Namun proses pendaftaran sudah sejak November, bahkan bulan sebelumnya, sudah memasang spanduk penerimaan siswa baru. Semua bergerak cepat.

46

V.04 edisi.12.2011


Ada yang jujur memberi alasan ‘takut tak kebagian siswa’. Ada juga yang berdalih, supaya segera selesai dan bisa konsentrasi ke hal lain. Whatever lah……… namun ini sesungguhnya membuat orang tua panik pada sekolah swasta yang makin cepat merespon perkembangan kompetisi antar sekolah.

Sebaliknya, jika sekolah tak menaikkan harga, ada dua pertimbangan. Ditahan di tahun ini untuk memantapkan kepercayaan pasar atau memang masih cukup untuk bertahan tanpa menarik ikat pinggang di tahun ini? Atau daya beli masyarakat sekitar tak bisa dinaikkan lagi? Itulah perlunya percermatan harga sekolah.

Kembali ke perilaku para ‘utusan’ tadi. Menurut Anda, patut kah itu? “Ya….. asal tak ketahuan ya nggak apalah....,” kata Pak Didin, seorang pimpinan sekolah di Surabaya. Memang di kota besar pertarungannya lebih seru. Penentuan biaya pendaftaran dan SPP harus ‘tengak-tengok’ kanan kiri. Kalau melambung sendiri, bisa tak diminati. Kalau terlalu murah, bisa kelihatan kurang bonafid. Hmmm…… biaya sekolah juga sebuah pencitraan. Kejadian di wilayah Kelapa Gading Jakarta Utara, sejumlah orang tua memindahkan anaknya ke sekolah sebelah hanya gara-gara beda SPP dua puluh ribu! Wahhhh….. sekolah sudah jadi komoditas. Hati-hati jangan terpengaruh!

Soal intip mengintip sekolah lain, seberapa persen bisa menjadi pertimbangan? Hingga kini belum ada data yang bisa diolah untuk menentukan, apakah pertimbangan harga sekolah lain menjadi faktor penentu utama atau sekedar untuk diketahui saja.

Penentuan biaya sekolah, mestinya berdasar kebutuhan yang sesuai dengan kondisi sekolah masingmasing. Kenaikan pertahunnya berdasar banyak faktor. Yang pasti, inflasi dan kenaikan pasar. Kenaikan yang terlalu banyak, membuat orang tua berhitung, dan menuntut fasilitas dan program, yang mungkin tak serta merta meningkat, seiring dengan kenaikan biaya sekolah. Akibatnya, persoalan bisa menguras energi.

Beberapa pimpinan sekolah menyampaikan pendapat yang beragam. Faktor biaya sekolah kompetitor selayaknya dilihat dari seberapa kesamaan antar sekolah, misalnya pada: Faktor sosiologis dan psikologis target market, apakah sensitif terhadap biaya atau tidak. Ini bisa dilakukan dengan mengedarkan kuisioner. Adakah sekolah yang setara (apple to apple) dengan sekolah kita, bisa dibandingkan secara hitungan sederhana saja, misal: Luasan gedung secara fisik dan ruangan kelas serta fasilitas yang ada: AC, meja kursi dan loker, alat peraga, outdoor area dan peralatan outdoor, lapangan bola, ruang audio, perpustakaan, jumlah buku, catering, kantin dan jemputan yang layak, lokasi, dan sebagainya, yang secara fisik dapat dilihat. Kedalaman proses belajar dan metode serta layanan belajar: perbandingan jumlah siswa dan guru, kompetensi guru dilihat dari latar belakang keilmuan serta program pelatihan yang mendukung, jasa psikolog, team pedagogi, metode yang banyak memakan bahan ajar dan kunjungan, ada konsultan atau tidak (yang ini belum teruji sebagai penentu keunggulan

sekolah) , jumlah ekstra kurikuler atau pengembangan minat bakat dan sejenisnya yang terkait dengan ilmu pendidikan yang PAKEM (pendidikan yang aktif, efektif, kreatif, efektif, dan menyenangkan – yang sesungguhnya tak perlu mahal, melainkan soal kemauan ) Services, atau layanan , yang tak bisa diukur secara kuantitas, terkait hidden curriculum. Bagaimana komunikasi sekolah dan orang tua, penanganan anak berkebutuhan khusus, program enrichment dan remedial, parenting program, layanan kesehatan selama di sekolah, kreativitas pengembangan lingkungan, leadership, kewirausahaan, dan sebagainya. Jika faktor di atas secara perbandingan bisa disetarakan, barulah biaya boleh saling intip. Namun jika tidak setara, akan sulit menggunakan indikator sekolah lain sebagai pembanding. Mungkin beberapa orang tua akan latah, membandingkan ukuran kualitas sekolah dengan biaya. Namun jika teguh pada penjagaan mutu, maka kelatahan itu perlahan akan tersaring. Sekolah kita akan bermitra dengan orang tua yang menghargai upaya peningkatan kualitas. Bukan semata soal harga. Jadi, jika sekolah sudah pede menentukan biaya, nggak usah intip-intip sekolah lain dengan menutupi indentitas diri. Memang ada hitungan bisnisnya. Namun ini sekolah, bung! Bukan supermarket yang selalu intip biaya kompetitor dan ‘banting harga’, atau sedikit saja di bawahnya. Ada etika dan rasa yang harus terus dijaga. Jalin saja kerjasama dan komunikasi yang baik dengan komunitas sekolah sekitar. Berkomunikasilah dengan pejabat sekolah. Menanyakan secara baik-baik akan lebih bersahaja dan patut. Jangan sampai Anda kena teriakan: “… Hayooo……. Ngintip biaya ya.” Ih… nggak lucu lagi! TG

V.04 edisi.12.2011

47


SDM

Pak Aji dan Gaji A

ji, usia 24 tahun, lulus dari Fakultas MIPA Universitas Negeri ternama di Bandung. Gagah, keren, cerdas, bicaranya menarik, hobinya bikin film, cerita dan sangat mencintai anak-anak. Dunia pendidikan konon menjadi pilihan hatinya. Sejak dulu ingin jadi Guru. Performanya menyenangkan, bersahaja. Meski lahir dari keluarga kaya, namun tak heboh dengan hedonisme. Keinginan Aji jadi guru pun didukung keluarga. Saat micro teaching, penampilan Aji cukup meyakinkan. Menarik, dan tampak percaya diri, meski ilmu pedagogik belum dikuasainya. Kriteria dan modal awal diterima di sekolah milik Bu Utomo sudah terpenuhi. Aji diterima. Dengan status probation, alias percobaan. Jadilah: Pak Aji jadi Guru! Saat menulis isian lembar jati diri, di kolom honor, Pak Aji menuliskan angka 2 juta rupiah per bulan. Sebuah angka yang tak terlalu istimewa sesungguhnya di sekolah Bu Utomo, yang tergolong swasta menengah di kota hujan Bogor. Beberapa guru sudah menembus lebih dari angka ini, setelah masa kerja minimal 3 tahun dan mengemban jabatan khusus. Negosiasi dilakukan. Angka diturunkan menjadi kisaran 1,4 juta untuk awalan. Nego ringan, dengan potensi kenaikan yang terbuka. Pak Aji setuju.

48

V.04 edisi.12.2011


Go head, Pak Aji pun nyemplung di kelas 5, menemani Bu Luki, yang sudah 2 tahun bergabung lebih dulu. Persoalannya kemudian terjadi rumors yang agak tak enak. Saat Bu Luki masuk dua tahun lalu, start gaji dimulai dari 1,2 juta rupiah. Jadi saat ini, setelah melewati dua kali kenaikan berkala, dan kenaikan masa kerja serta prestasi, Bu Luki baru mendapat 1,5 juta rupiah. Standar gaji awal dua tahun lalu, apakah masih berlaku dua tahun kemudian di angka yang sama? Berapa persen pengaruh inflasi? Apakah waktu berpengaruh pada perubahan standar gaji awal? Jika Pak Aji mulai dari angka segitu, dua tahun ke depan, apakah akan sama dengan perjalanan angka pendapatan Bu Luki? Atau masih tetap di bawahnya? Apakah selalu guru yang lebih dulu masuk bergaji lebih besar dibanding juniornya? Apa saja yang berpengaruh dalam penentuan gaji dasar awal ? bagaimana mempertimbangkan pengalaman kerja, lulusan perguruan tinggi terkait pekerjaan atau tidak, universitas bermutu atau yang baru terdengar? Kompetensi lain yang menyertai? Misalnya dalam segi bahasa, keterampilan pendukung macam musik, menari, olah raga? Tentu saja sekolah merasa senang jika mendapatkan kandidat dari sekolah bermutu, berpenampilan baik, charming, dan memiliki selera, fast learner, dan performa lain yang dirasa akan menggairahkan semangat sekolah. Dari sisi Guru, umumnya merasa tak fair, tak adil dan seterusnya. Sementara dari sisi manajemen sekolah, adalah pertimbangan intangible dan hitungan plus minus agar bisa mendapatkan kualitas Guru yang lebih baik, namun tak terpaut harga yang jauh lebih besar. Bu Utomo kadang mendapat referensi calon Guru yang sudah pernah mengajar di sekolah keren, dengan permintaan gaji awal tiga kali lipat dari standar sekolah Bu Utomo.

Tulisan ini tak hendak berpretensi untuk menjawab pertanyaan di atas. Pun dengan kasus Pak Aji, bagaimana yang selanjutnya dan seharusnya. Untuk urusan gaji di skeolah swasta yang sedang bergerak, gaji tak ada yang standar. Gap - nya bisa sangat jauh jika dibandingkan anatara sekolah, yang apple to apple sekalipun. Semua tergantung kekuatan dan kebijakan sekolah. Asal ‘suka sama suka’, jadilah. Masih banyak yang bisa dikembangkan di luar gaji tetap. Sekolah Bu Utomo sangat terbuka bagi Guru yang memiliki ketrampilan khusus, untuk menambah potensi income dengan cara yang elegan. Bukan sekedar memberi les tambahan bagi siswa, yang menurut Bu Utomo akan mengurangi ‘martabat’ Guru dan merusak team work. Bu Utomo lebih suka mendorong Guru menjadi trainer, membuat tulisan, atau menjadi konsultan di sekolah lain yang lebih kecil. Diciptakan semangat meningkatkan kompetensi. Jika Guru ‘adem-adem’ saja (maksudnya tanpa usaha perbaikan diri), sudah pasti akan lambat bak keong kemajuan gajinya. Paling mengandalkan kenaikan masa kerja yang tak seberapa. Kenaikan berkala juga hanya mengkuti inflasi. Itu pun kalau kondite-nya menunjang. Jika tidak? Teori manajemen kepegawaian modern, jika ada Guru yang sudah dua tiga kali tak meningkat kondite atau penilaian performanya, lebih baik ‘diturunkan bis’ alias diberhentikan saja. Karena akan mengganggu proses kreatif di sekolah.

senang ya kalau mendapat calon guru yang tampak lebih smart, cute, dan tampak shiny. Kalau saya, akan teguh dengan aturan. The new comer harus ikuti sistem.” Pengelola sekolah di Bandung Selatan mengemukakan, “Kalau saya mungkin akan bargain. Mencari Guru yang mumpuni, tak mudah. Memang saya lebih suka mendidik yang fresh graduate, daripada yang sudah pengalaman dari sekolah lain.” “Namun ini juga fleksibel. Ada kalanya sekolah sangat membutuhkan guru khusus yang sudah ‘jadi’, utamanya untuk guru mata pelajaran khusus yang sesuai dengan latar belakang, dan sudah memiliki ketrampilan mengajar. Nego tetap dimungkinkan sesuai kekuatan sekolah tentu saja.“ Pemilik sekolah di Riau berpendapat, “Kasus ‘Pak Aji-Pak Aji’ lain lebih rumit. Meski di kami ada pengaturan sistem gaji, namun harga awal memang bisa beda. Kan nilai uang juga berubah? Guru lama dengan prestasi baik tentu saja akan mendapat allowance lain sebagai apresiasi, misal pinjaman tanpa bunga, pinjaman rumah, subsidi kendaraan dan sebagainya, yang tentu saja tak bisa dinikmati oleh Guru baru. Akan tetap kondusif, meski kompetitif.” Kadang beda dua puluh ribu saja bisa ribut, dan itu banyak terjadi di sekolah sekitar sini. Bagaimana dengan sekolah Anda? Adakah ‘Pak Aji’ di sana? TG.

Kembali ke masalah Pak Aji, beberapa sekolah mengemukakan pendapat yang berbeda. Seorang kepala pendidikan di Surabaya berpendapat: “Memang

V.04 edisi.12.2011

49


SDM

Ada Guru Jenuh, Ada Guru Pergi Jauh D

ikisahkan oleh seorang Guru, tentu tak mau disebut indentitas aslinya. Sebut sajalah Pak Tama. Usia 43. Bulan Juli lalu, Pak Tama memutuskan resign. Alasannya: jenuh! Ia sudah lebih dari 15 tahun mengajar dengan segenap hati di sebuah sekolah yang sesungguhnya asyik banget. Pekerjaannya sesuai dengan latar belakang keilmuan. Mengajar dengan hati dilakoninya dengan bahagia. Gaji bagus! Rumah pun dipermudah angsurannya. Kesempatan belajar sangat terbuka. Pak Tama sering mengawal siswa SMA-nya pentas di luar negeri. Ke Bangkok, Malaysia, terakhir ke Paris! Kalau kemudian Pak Tama, keluar, pasti kita akan berkomentar : “Kurang bersyukur itu!� Tulisan ini hanya memberi ruang, apa yang Pak Tama rasakan.

50

â€œâ€Ś Delapan belas tahun sudah saya mengajar. Rutin mulai pukul 07.00 hingga 15.30. Saat kejenuhan menghebat, saya ikuti semua rutinitas di luar kelas dengan sepintas lalu, menguap dan terkantuk-kantuk. Saat briefing dengan pimpinan, misalnya, ada teman menyeduh kopi dengan sengaja mengeraskan bunyi adukan sendok di cangkir. Saya hanya bisa nyengir. Kalau pengin tahu materi briefing, tinggal tanya teman, sebentar juga paham.

V.04 edisi.12.2011 sumber foto: departments.bloomu.edu


Semua jadi tak nyaman di mataku. Bel yang bunyi pun seolah memekakkan telinga, terasa panjang sekali, sambil nyinyir bergumam: “Hmmm sudah diganti bel. Kemaren lonceng logam yang dipukul. Sekolah lain sudah banyak yang pake bel lagu! Tanggung jawab administrasi materi ajar jadi menyebalkan. Review sebisanya, lalu saya reanalisa, revisi sebentar, copy paste, delete, delete, delete, kelarrrr ...ha ha ha. Saya jengah dengan complain orang tua, yang bisa membuat mual perut. Orang tua bisa bawa-bawa pengacara segala untuk nakut-nakutin sekolah. Saya juga capek dengan cara Yayasan mengintervensi rencana ajar, yang kaitannya dengan efisiensi. Pengurus Yayasan adalah saudara, teman dekat, atau teman lama, atau saudara guru ngaji sang pemilik sekolah -- nepotisme ! Siswa di sini tak bisa diatur. Sekolah takut bertindak karena latar belakang orang tua yang the have! Aturan tidak ditegakkan, pengajar hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada, khawatir berimbas pada masa depan. Ketika manajemen menyadari sekelompok kami - (ada kirakira enam guru seangkatan yang merasakan hal yang sama), yang ‘barsahi’ (barisan sakit hati) ini mulai bereaksi, didatangkanlah ahli-ahli. Psikolog, ahli manajemen waktu, pakar manajemen moral. Juga ahli bahasa tubuh. Tak berpengaruh. Kejenuhan saya justru menjadi-jadi. Dengan segala kesadaran, saya pun memutuskan keluar. Dalam refleksi saya, pernyataan kurang bersyukur itu melecut hati saya. Ada pergolakan. Saya tanya diri saya, sungguh saya pengajar tulen. Saya mengajar dengan hati! Kalau begitu, cemburukah saya pada Guru baru yang dalam pandangan saya, kurang menjiwai cara mengajarnya? Atau

ternama dan mengajar dengan bergaya. Bahasa Inggris mereka jelas jagoan. Dengan kecerdasannya, para Guru di sini piawai mengolah pembelajaran sesuai brand sekolah sebagai National Plus. Banyak orang menyayangkan, mengapa Guru–Guru hebat itu keluar? soal manajemen? Sesungguhnya sudah banyak yang saya terima. Tapi kejenuhan itu menghebat. Dan hingga kini belum juga terjawab.” Jika ada seorang Pak Tama di sekolah Anda, atau melihat kisah nyata Pak Tama ini, apa yang akan Anda lakukan? Ingat, Pak Tama adalah pengajar hebat yang sangat disukai muridnya. Menyetujui Pak Tama keluar, dan biarkan saja! Meminta pak Tama cuti di luar tanggungan dengan waktu yang terbatas, hingga pak Tama ‘sadar’ kembali dari kejenuhannya? Memberi jabatan lebih tinggi pada Pak Tama, jadi trainer misalnya? Mendaftarkan Pak Tama ke praktisi terapi hypnosis? Mengganti pimpinan sekolah yang dikeluhkan Pak Tama? Paling tidak, Pak Tama cukup ksatria memilih mundur. Daripada membuat keresahan sekolah, pak Tama diam dalam kejenuhannya. Di lain tempat, di Jakarta Selatan, ada sekolah top, keren, masa kini dan mahal. Brand-nya sudah sangat kuat. Tiga bulan belakangan, terdengar Guru banyak keluar. Adalah 4 sampai 6 Guru sudah undur, yang rata-rata sudah menjadi pengajar selama 5 tahunan. Sekolah ini terkenal dengan Gurunya yang asyik punya. Cakap, cakep, berasal dari keluarga kaya, lulusan universitas

Usut punya usut, diperoleh keterangan dari sang empunya sekolah, memang Guru keren itu keluar, karena melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Mereka anak orang kaya. Mudah saja sekolah lagi. Ada juga yang diterima di perusahaan internasional. Jawaban sang empunya asyik: “Bagi saya nggak masalah ya. Mereka kan berkembang sesuai passion mereka, yang sudah terasah selama mengajar di sekolah saya. Mereka keluar dengan cara yang baik, tak ada masalah dengan siapa pun. Bagi saya malahan bangga, mereka bisa maju. Setiap bulan, pelamar dengan latar belakang yang rata-rata sama bisa sekitar sepuluh orang kami terima. Jadi, tinggal didik mereka lagi kan,” jawab sang empunya. “Bukankah capek ndidik orang baru terus?” tanya kami pada sang empunya yang putri seorang pejabat. “Lha … sudah jadi tugas divisi training. Mereka tangguh-tangguh mengajari Guru nyasar menjadi Guru benar. Jika setelah itu para Guru baru memutuskan untuk pergi jauh, ke luar negeri, bagus lah itu. Bagi saya ada syaratnya. Asal jangan pindah ke sekolah yang apple to apple sama kami! Haha hhahhaa…… kalau itu terjadi, berarti ada yang tak beres di manajemen kami.” “Keuntungan juga bagi kami, sekolah tak dirusuhkan oleh Guru yang jenuh, ya kan! Mereka selalu berfikiran maju. Ini juga energi yang bagus untuk siswa kami yang kebanyakan dipersiapkan orang tuanya untuk lanjut sekolah ke luar negeri.“TG

V.04 edisi.12.2011

51


IPS

INDONESIA, ATLANTIS YANG HILANG

A

tlantis berasal dari kata Atala (Sanskrit), berarti surga atau menara peninjauan. Atlantis adalah pulau legendaris yang pertama kali disebut oleh Plato (360 SM) dalam buku Timaeus dan Critias. Tulisan ini bermula dari kegiatan belajar mengajar di kelas Ilmu Sosial SMP Al-Izhar Pondok Labu (dari tahun 1993-2007). Para siswa diminta membuat opini tentang Atlantis. Sebagian menyatakan Atlantis itu benar-benar ada, sebagian bilang itu hanya khayalan. Silang pendapat menyatakan lokasi Atlantis ada di Samudera Atlantik, juga ada yang mengatakan di Amerika Latin. Salah satu karya ilmiah siswa (tahun 2007) yang saya bimbing menuliskan bahwa dugaan lokasi Atlantis salah satunya di Indonesia. Pada tahun 2009 terbitlah buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found (karya Prof. Arysio Santos). Penulisan ini bertujuan untuk mencari fakta dan data yang menunjukkan bukti-bukti kebenarannya, membentuk semangat penelitian, membangkitkan semangat kebangsaan dan jati diri.

52

V.04 edisi.12.2011

Menurut Prof. Arysio Santos, Atlantis adalah Indonesia. Setelah penelitian 30 tahun, ia menghasilkan buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, kesimpulannya: “Atlantis itu adalah Indonesia”. Pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Sistem teras sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Candi di India, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Maya,


Kekeringan dan banjir dari Sungai Indus-India. Kerajaan Mohenjodaro dan Harappa hancur (2.500 SM atau 4500 tahun yang lalu). Bencana global warming dari sekarang sampai yang akan datang, 40% penduduk dunia akan musnah. Lalu “zaman keemasan” Atlantis muncul kembali. Peta Atlantis (Athanasius Kircher Inka, Aztec di Meksiko. “Piramida Mesir dan Indian berasal dari sumber yang sama, yaitu Atlantis,’’ kata Dr. Ken Feder, arkeolog pada Central Connecticut State University, dalam ‘‘Atlantis Uncovered’’, Di wilayah Atlantis terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Candi Sukuh- Jawa Tengah

Piramid Indian Maya

PELAJARAN DARI ATLANTIS Menurut Critias , masyarakat Atlantis patuh kepada hukum dan memiliki ketertarikan yang kuat kepada dewa. Mereka memiliki jalan hidup yang baik, menggabungkan kelemahlembutan dengan kebijaksanaan. Mereka tidak mau mengangkat senjata melawan sesamanya (Baduy?), dan mereka akan segera bergegas menolong Raja-nya ketika ada usaha untuk menggulingkannya. Mereka menolak segala kejahatan dan hanya melakukan kebaikan. Mereka hanya menaruh sedikit perhatian untuk kehidupan mereka sendiri. Mereka menganggap remeh harta benda emas dan perak yang sepertinya hanya menjadi beban. Ketika mereka berkelimpahan di dalam kemewahan, mata hati mereka tidak dibutakan olehnya.

Mereka sadar bahwa kekayaan akan bertambah oleh perbuatan baik dan persahabatan antara satu dengan yang lain yang juga disertai dengan penghormatan antara sesama. Karakter-karakter semacam itu terus bertumbuh di antara mereka. Namun, karakter-karakter mulia tersebut kemudian mulai memudar dan menjadi terlalu sering dikompromikan. Mereka bercampur dengan sifat-sifat duniawi, dan sifat itulah kemudian yang menjadi pengendali. Karena itu mereka tidak mampu lagi menanggung kekayaan yang mereka miliki. Mereka mulai berperilaku tidak sepantasnya dan mata mereka menjadi rabun karena mereka telah kehilangan harta mereka yang paling berharga. Menurut Plato (427 – 347 SM), puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi, gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis. Pada 50.000 SM atau 75.000 tahun yang lalu, Gunung Toba (gunung purba) meletus, abunya menyelimuti daratan glasial dan mencairkannya. Air laut naik sampai 150 meter. Benua Atlantis tersisa tinggal tiga pulau. Penduduk yang selamat bermigrasi lalu kembali lagi. Pada 10.500 SM atau 11.600 tahun yang lalu, Gunung Krakatau (gunung purba) meletus. Penduduk yang selamat bermigrasi ke daerah lain (India, Mesir, Cina, Mexico, Peru).

Apa yang harus kita lakukan? 1.

2.

3.

4.

5.

Bersyukur… Munculkan kesadaran “kita pernah hebat” untuk menanam cita-cita panjang ke depan. Memperbaiki diri secara istikomah, meneruskan karakter yang baik yang dicontohkan masyarakat Atlantis masa Satyayuga, dekat dengan Tuhan. Mempelajari pengetahuan secara paripurna/holistik dari berbagai sudut keilmuan. Wisatawan akan membanjiri Indonesia seperti yang dialami Syprus (negara yang menganggap dirinya sebagai Atlantis walau tidak terbukti). Pemerintah harus lebih waspada terhadap kemungkinan neokolonialisme, globalisasi harus punya jati diri/ciri khas. Bukan sebagai bangsa “konsumen” saja (Prof Dr. Jimly Assiddiqie).

Ajarkan fakta-fakta ini pada siswa sekolah lanjutan. Jangan biarkan siswa tak paham dan tak yakin, bangsa ini memang sungguh hebat luar biasa. Mereka ini di 20 tahun ke depan pemegang kendali negeri. Cita rasa kebangsaan bukan hanya dengan semangat “Garuda di dadaku”, melainkan dari sejarah yang menguatkan kecermatan pemikiran yang jernih, untuk diteladani kearifan dan kebesarannya. TG ______________

Iqbal H., M.Si. Pengajar di Al Izhar Pondok Labu, Jakarta

V.04 edisi.12.2011

53


IPS

GURU,

Ayo

Ikut Berdayakan Pulau Terluar

I

ndonesia memiliki 92 pulau terluar, yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, India, Singapura, dan Papua Nuigini. Pulau-pulau terluar ini, jika tidak dijaga dan dikembangkan, akan berpeluang menjadi konflik sengketa wilayah.

ke Singapura. Kalau air laut pasang cuma beberapa pohon yang kelihatan. Kalau sedang surut luasnya wilayahnya 60 hektar, tapi kalau air pasang luasnya hanya 0,62 hektar. Sejak 2003 silam, pulau Nipah direklamasi oleh TNI AL dan pemerintah Batam hingga luasnya sekitar 60 hektar dengan ketinggian 5 meter dari permukaan laut.

Pulau-pulau ini jauh terpencil dan sulit dijangkau, kadang tidak berpenghuni, namun sangat strategis baik dari segi ekonomi (kandungan minyak dan gas bumi) maupun dari segi politik (integritas bangsa, batas zone ekonomi ekslusif, wawasan nusantara wilayah kedaulatan NKRI). Pulau terluar itu seolah ‘halaman belakang’ Republik Indonesia, dan kondisinya kurang terperhatikan. Untunglah kini ada Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar yang menempatkan kembali pulau terluar sebagai pagar sekaligus halaman muka NKRI yang harus dijaga dan dipertahankan.

Kini telah ada fasilitas telekomunikasi Merah Putih -namanya, agar para prajurit TNI yang bertugas di sana mudah berkomunikasi. Pengoperasian fastel ini memperkuat fasilitas komunikasi yang lebih dulu dibuat di Pulau Rondo ( berbatasan dengan Thailand dan India), dan Pulau Berhala (berbatasan Malaysia). Juga ada rumah adat berlantai dua, dan menara pantau, serta barakbarak para tentara AL. Semua jalan menuju pos TNI AL dipasangi paving blok , dan malam hari terang benderang oleh penerangan. Pulau Nipa berpotensi sebagai objek wisata bahari yang menarik, lokasinya eksotis dengan pemandangan bawah laut yang sangat indah. Lewat penandatanganan perjanjian perbatasan maritim wilayah barat Indonesia dengan Singapura di Jakarta 2008 silam, dipastikan pulau Nipa tetap masuk peta Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI).

Dari 92 pulau itu, ada 12 pulau yang berpotensi konflik tinggi, karena memang langsung berhadapan dengan batas negara lain. Di samping rawan memicu konflik, pulau-pulau di atas juga berfungsi sebagai titik referensi untuk penetapan dasar pada penarikan batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Yaitu, Pulau Rondo (di Nangroe Aceh Darussalam), Pulau Berhala (Sumatera Utara), Pulau Nipah dan Pulau Sekatung (Riau), Pulau Marore, Pulau Marampit, Pulau Miangas (ketiganya di Sulawesi Utara), Pulau Fanildo, Pulau Bras, Pulau Fani (ketiganya di Papua), Pulau Batek dan Pulau Rote (NTT). Kita di sekolah, tentu jarang mendengar, bahkan asing dengan nama-nama pulau itu. Pulau Nipa, misalnya, penting dalam hal batas wilayah. Berjarak sekitar 3 km dari Singapura, mencapainya naik boat sekitar 1 jam perjalanan dari Batam. Dahulu Pulau Nipa ini sempat merana terancam tenggelam, karena tergerus ombak akibat perubahan iklim, abrasi serta penambangan pasir illegal untuk dijual

54

Pulau Nipa, Riau, berbatasan dengan Singapura

V.04 edisi.12.2011

Menlu Hasan Wirajuda dan Menlu Singapura George Yeo sepakat menandatangani perjanjian batas wilayah maritim barat, yang ditarik sepanjang 12,1 km dari batas maritim timur sebelumnya telah disepakati pada tahun 1973. Batas barat ini secara langsung juga secara tegas menolak pelebaran wilayah Pulau Singapura hasil reklamasi pantai. Ini berarti sekali pun Singapura telah memperluas garis pantai terluarnya lewat penimbunan pasir, wilayah laut mereka tetap dihitung dari garis pantai semula sehingga tidak ‘ memakan’ wilayah maritim Indonesia. Tahun lalu Singapura dan Malaysia sempat membawa sengketa wilayah pulau karang Pedra Branca dan Batu Puteh ke Makamah Internasional, yang berujung pada kemenangan Singapura. Sebaliknya Indonesia dalam kasus serupa, harus kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan pada Malaysia. Singapura dan Malaysia saat ini pun masih bernegosiasi pasca putusan Makamah Internasional.


Dengan 17.504 pulau, 1.608 suku bangsa yang berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh Nusantara; Indonesia adalah negara kepulauan yang besar. Dikaruniai iklim bersahabat, tanah subur, alam indah, kaya spesies langka flora dan fauna mencakup mamalia, kupu-kupu, reptil, burung, unggas, hingga amfibi yang jumlahnya 3.025 spesies. Juga ada 47.000 spesies tumbuhan. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari pangkuan pertiwi menjadi milik Malaysia, mungkin masih membekas dalam ingatan kita bahwa betapa pentingnya memelihara pulau-pulau terluar baik yang berpenghuni maupun tidak. Mengandalkan kekuatan militer saja tidak akan cukup. Butuh kepedulian semua warga Indonesia untuk menjaga, memelihara, dan memberdayakannya menjadi garis depan kedaulatan Indonesia. Dan sangat penting untuk dipahamkan pada siswa, agar RASA KEBANGSAAN dapat mendlaam mereka rasakan. Materi IPS harus diperkaya dengan muatan materi di luar standar minimal di KTSP. Bersegeralah!

Pulau Batek, NTT

Mercusuar untuk mengamankan Pulau Nipa

92 PULAU TERLUAR NANGGROE ACEH DARUSSALAM 1. Pulau Simeulucut 2. Pulau Salaut Besar 3. Pulau Raya 4. Pulau Rusa 5. Pulau Benggala 6. Pulau Rondo SUMATERA BARAT 7. Pulau Sibarubaru 8. Pulau Sinyaunyau SUMATERA UTARA 9. Pulau Simuk 10. Pulau Wunga 11. Pulau Berhala RIAU 12. Pulau Batu Mandi 13. Pulau Karimun Kecil 14. Pulau Nipa 15. Pulau Pelampong 16. Pulau Batu Berhanti 17. Pulau Nongsa KEPULAUAN RIAU 18. Pulau Sentut 19. Pulau Tokong Malang Biru 20. Pulau Damar 21. Pulau Mangkai 22. Pulau Tokong Nanas 23. Pulau Tokong Belayar

24. Pulau Tokong Boro 25. Pulau Semiun 26. Pulau Sebetul 27. Pulau Sekatung 28. Pulau Senua 29. Pulau Subi Kecil 30. Pulau Kepala 31. Pulau Iyu Kecil BENGKULU 32. Pulau Enggano 33. Pulau Mega LAMPUNG 34. Pulau Batu Kecil BANTEN 35. Pulau Deli JAWA BARAT 36. Pulau Manuk JAWA TENGAH 37. Pulau Nusa Kambangan JAWA TIMUR 38. Pulau Nusa Barung 39. Pulau Sekel 40. Pulau Penehan KALIMANTAN TIMUR 41. Pulau Sebatik 42. Pulau Gosong Makasar 43. Pulau Maratua 44. Pulau Sambit

SULAWESI TENGAH 45. Pulau Lingian 46. Pulau Salando 47. Pulau Dolangan SULAWESI UTARA 48. Pulau Bangkit 49. Pulau Manterawu 50. Pulau Makalehi 51. Pulau Kawalusu 52. Pulau Kawio 53. Pulau Marore 54. Pulau Batu Bawaikang 55. Pulau Miangas 56. Pulau Marampit 57. Pulau Intata 58. Pulau Kakarutan MALUKU UTARA 59. Pulau Jiew MALUKU 60. Pulau Ararkula 61. Pulau Karawiera 62. Pulau Panambulai 63. Pulau Kultubai Utara 64. Pulau Kultubai Selatan 65. Pulau Karang 66. Pulau Enu 67. Pulau Batu Goyang 68. Pulau Larat 69. Pulau Asutuban 70. Pulau Selaru 71. Pulau Batarkusu 72. Pulau Masela 73. Pulau Meatimiarang 74. Pulau Leti 75. Pulau Kisar 76. Pulau Wetar 77. Pulau Liran NUSA TENGGARA BARAT 78. Pulau Sophialouisa NUSA TENGGARA TIMUR 79. Pulau Alor 80. Pulau Batek 81. Pulau Ndana Sabu 82. Pulau Manggudu 83. Pulau Ndana Rote PAPUA 84. Pulau Budd 85. Pulau Fani 86. Pulau Miossu 87. Pulau Fanildo 88. Pulau Bras 89. Pulau Bepondi 90. Pulau Liki 91. Pulau Kolepon 92. Pulau Laag

V.04 edisi.12.2011

55


aja

Dora Pakai Peta!


IPS “Katakan peta, katakan peta,” begitu kata Dora berulang dalam serial Dora & the Explorer. Sesungguhnya, kita diingatkan menggunakan peta untuk menunjukkan keberadaan lokasi. Di Yogyakarta, hampir semua kalangan, termasuk generasi mudanya, sudah fasih menyebut lokasi dengan kalimat geografi. Perbincangan ‘wetan kali mriku (barat sungai situ), lor ndalan mangke menggok njih (utara jalan nanti belok ya), celak mejid kidul mergi (dekat masjid, selatan jalan), ngulon sithik, njuk bablas ngetan (ke barat sedikit, lalu lurus ke barat)’ - sangat familiar. Dan yang mendengar atau bertanya segera tahu arah dan tempat mana yang dituju. Ditengarai, disebabkan masyarakat memiliki sumbu koordinat kota dari Kraton Yogyakarta hingga Laut Selatan (mitologi Nyi Roro Kidul). Menurut Dra. Diah Kirana, Kepala Pusat Jasa dan Informasi BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional), semua itu adalah contoh sederhana kalimat geografi, yang semestinya difahamkan sejak awal, agar melek peta. Dan itu harus diajarkan. Dibiasakan. Buku ajar tentang peta untuk sekolah di Singapura. Bagaimana dengan Indonesia?

Di sekolah, pemahaman dan ketrampilan membaca peta sangat minim dilakukan. Masih ingat saat kita belajar tentang peta buta di SD? Saat ujian akan keluar sebagai hafalan. Diah Kirana sejak lama mengusulkan dan melakukan upaya, agar peta dapat dipergunakan oleh kalangan pendidikan, agar siswa mampu membaca dan menggemari peta sejak usia muda. Adakah kaitannya dengan upaya mengedepankan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya? Jelas ada! Jika kita tidak tahu apa yang menjadi milik kita, apakah kita bisa merawat? Merasa memiliki? Ingin menjaga dan memelihara nusantara ? BAKOSURTANAL, sebagai institusi pemerintah yang berwenang terhadap pemetaan, siap membantu! Syahdan, peta dan informasi spasial tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memanfaatkannya secara maksimal. Oleh karena itu, BAKOSURTANAL menganggap perlu melakukan sosialisasi kepada publik untuk menciptakan masyarakat yang melek peta dan informasi spasial lainnya.

REVISI PEMBELAJARAN GEOGRAFI DAN IPS Mutu pelajaran geografi yang diajarkan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masih rendah. Kurikulum yang disampaikan tidak membahas kandungan lokal, sehingga siswa malah tidak mengenal kondisi geografi di wilayahnya sendiri. Hal itu juga terlihat dari sosialisasi dan pemasyarakatan peta yang dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) di beberapa sekolah di Indonesia. “Para guru geografi umumnya masih belum mengajarkan peta wilayahnya,” urai Diah Kirana. Ditambahkannya, fenomena ini sangat disayangkan karena Indonesia memiliki wilayah yang dengan potensi sumber daya alam berlimpah. Jadi, sudah selayaknya kalau siswa mulai dikenalkan dengan potensi wilayah tersebut. ”Peta merupakan awal dari seseorang mengenal wilayah. Tanpa pengenalan dan pemahaman yang baik tentang wilayah tersebut akan sulit baginya mencintai daerahnya,” ujar Diah. Idealnya, Kementerian Pendidikan Nasional memasukkan pelajaran membaca dan membuat peta secara sederhana mengenai wilayah di sekitar sekolah tersebut ke dalam kurikulum geografi. Dengan demikian, sejak usia dini, siswa sudah mampu mengenal daerahnya sendiri. Kejanggalan kurikulum mata pelajaran geografi juga dirasakan para guru. Made S, Guru SMP Negeri 5 Mataram, Nusa Tenggara Barat mengatakan, kurikulum pelajaran geografi perlu direvisi. Sebab, pelajaran geografi selama ini hanya terdiri atas pengenalan peta kawasan Asia dan Dunia. Sedangkan peta di tingkat provinsi atau kabupaten/kota malah tidak diajarkan. Kelemahan lain, alat ajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar geografi juga masih sangat terbatas. “Kami harus kreatif agar para siswa tidak tertinggal,” ujar Made S. Salah satu strategi yang dilakukan Made adalah dengan memberikan pekerjaan rumah (PR) menggambar peta lingkungan dan daerahnya, yang dibahas sekitar 10 menit sebelum jam pelajaran usai. Tak ada mata ajar yang lebih penting. Geografi selayaknya dikembangkan sendiri di luar standar minimal di KTSP. Yuk ah, jangan kalah sama Dora! TG

V.04 edisi.12.2011

57


Mengajar Bahasa Inggris melalui Teka-teki Silang Belajar Speaking dengan Menyenangkan

B

u Rita, Guru bahasa Inggris SMPN 2 Rambah Hilir Pasir Jaya, mencermati siswa kelas VII, yang minatnya rendah berlatih bicara bahasa Inggris. Penelitian sederhana dilakukan, dan ditemukan penyebab yaitu rendahnya motivasi. Cara dan metode guru mengajar adalah faktor utamanya, selain minimnya siswa menguasai kosa kata untuk mengekspresikan ide, adanya rasa malu serta takut salah.

P

w a

t

h

e

o

r

i

Puzzle 1

e

t

s

s

p

r

a

y

e

r

h

a

i

r

d

r

a

y

e

r

s

i

c

k

l

o

r

n

g

c

a

n

s

p

a

d

e

e

s

h

e

a

r

s t

58

V.04 edisi.12.2011

a

i

l

e


lesson

Berkat pelatihan MGP-BE, dikenalnya penggunaan permainan Half Crossword Puzzle (teka teki silang) untuk belajar speaking. Kegiatan ini bertujuan mereviuw penguasaan kosa kata satu atau beberapa tema, dan mendorong ketrampilan siswa mendeskripsi.

Langkah penggunaan Half Crossword Puzzle (HCP): 1. Guru menyiapkan HCP yang kosa katanya disesuaikan tema. 2. Guru membagikan HCP pada setiap kelompok. Di setiap kelompok , 2 orang mendapatkan bagian A dan dua orang lagi mendapatkan B. Kemudian mereka berlatih. 3. Guru mendampingi setiap kelompok dan memberikan bantuan jika ada siswa yang kesulitan mendeskripsikan kata. 4. Siswa presentasi menggunakan HCP yang kosa katanya tidak sama dengan yang mereka latihkan di kelompok tadi, namun teman/partnernya tetap sama. Diberikan waktu 2 menit untuk tampil. 5. Saat siswa tampil, guru memberikan penilaian dengan rubrik penilaian speaking.

Contoh percakapan dua siswa: Side A (Putri - P) , side B (Elkana - E) P : Please describe number 1 down E : A utensil you uses to eat P : Fork E : You are right. Please describe number 2 across P : A tool to water the flower E : Watering can P : You are right. Please describe number 4 down E : Mmmhh‌ the person wears a white uniform, working in hospital P : Doctor E : No, try again, this person helps the doctor P : Oh. Nurse E : Right, please describe number 7 across P : Pass E : Ok, number 5 across P : If you want to dig a hole, you use this tool E : Hoe P : You need five letters E : Oh yeah sorry, is it spade? P : Yes, you are right Minat siswa berbicara meningkat, meski belum signifikan. Ibu Rita terus mencari cara melakukan revisi metode, agar minat berbicara menjadi bocor bicara. Speak up! ___________________ Sumber : “Berbagai Pengalaman Praktik yang Baikâ€?, Pembelajaan PAKEM-MGPBE

m

Puzzle 2

e c

Kemendiknas hal 60-61

h

d

r

a

r

a

f

n

i

k

o

i

v

e

t

r

n

e

k

u

c

e r

a

r

c

s

d

h

e

e

e

n

r

t i

s

s

t

t

o v e

V.04 edisi.12.2011

59


SDM

Are You a Good Boss B

etapa susah menjadi atasan. Segala kebaikan tak serta merta diapresiasi, apalagi kesalahan. Menurut Eileen Rahman dari Experd, yang termuat tulisannya di harian Kompas, menyatakan: …” Dalam banyak situasi, akhirnya sikap, tindakan atau gaya kepemimpinan atasan selalu dipersalahkan. Seorang Guru mengomentari atasannya: “… Dia memaksa kita menegakkan aturan kedatangan. Tapi dia sendiri tak mau begitu. Alasannya, dia bekerja dari rumah, memeriksa pekerjaan dan mengirim email sejak dari pukul empat pagi”. Bukankah Kepala Sekolah tak memberi contoh? Seorang asisten guru lainnya ikut berkomentar: “….. Dia tak mengukur kemampuan bawahan. Semua diatur berdasar ukurannya sendiri”. Posisi atasan memang jelas-jelas lebih ‘terlihat’, gerakgeriknya diikuti, sikapnya diperhatikan orang , dan sudah pasti dikomentari. Ada atasan yang peka, tapi tak sedikit yang pura-pura tak tahu. Pimpinan yang terganggu, akan mencari tahu siapa pemberi komentar yang memprovokasi. Banyak pimpinan lantas menutup telinga rapat-rapat, dan

60

V.04 edisi.12.2011

menjadi single player. Saat bicara mengenai situasi kerja, jarang sekali kita menemukan semua komentar bulat dan positif .

MANFAATKAN KEGAGALAN TIM Salah satu tes, untuk melihat bagus tidaknya seorang atasan adalah bagaimana sikapnya menghadapi kesalahan anak buah. Ada atasan yang mengatakan: ”Yah, kalau sudah terjadi mau diapakan lagi…”, tanpa menyadari bahwa kejadian tersebut bisa dijadikan ajang pembelajaran yang baik. Ada atasan yang langsung menghukum dan mengeluarkan surat peringatan. ”Kalau tidak, mereka tidak pernah belajar dari kesalahan! Mereka harus bisa menghitung, berapa kerugian perusahaan sebagai akibat dari kecerobohannya”. Atasan lain bisa juga menggunakan prinsip: ”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Artinya, sekali berbuat kesalahan, anak buah langsung dicoret dari daftar orang yang kompeten. Alangkah merugikannya situasi-situasi demikian!


Kegagalan dan kesalahan biasanya memang dilakukan oleh bawahan, bukan atasan langsung. Namun, bukankah kita perlu ingat ungkapan: ”Failure sucks but instructs”, dan “No learning without failure”?. Inovasi dan kreativitas, sangat sulit terjadi bila kita tidak pernah mengalami kegagalan. Seorang pemimpin atau atasan yang sukses biasanya adalah pemimpin yang justru bisa mengelola kesalahankesalahan yang terjadi, bahkan sudah memprediksinya, namun ia tetap mampu mengajak seluruh tim mengambil manfaat dari kondisi tersebut. Rasa bersalah, merasakan kegagalan perlu ada, bahkan sense of crisis dan urgensinya, tetapi semangat “bouncing back” tetap harus terjaga. Mengemukakan kesalahan di dalam sebuah forum sebenarnya juga tidak salah, apalagi bila membahasnya sebagai studi kasus, tetapi tentunya pelaku kesalahan tidak boleh merasa terbantai, malu sehingga semua orang ‘belajar’ untuk takut berbuat salah. Dalam sebuah ‘learning organization” semua kesalahan harus tercatat dan didokumentasikan sebagai bahan pelajaran bagi generasi berikutnya.

DIMAAFKAN? DIINGAT? ATAU DILUPAKAN? Pernahkah menemukan atasan yang bersikap mengancam dan mengatakan: “Sekali berbuat salah, kamu akan saya pindahkan ke posisi yang tidak menyenangkan” , atau

“Kalau saya bisa tidak berbuat salah, Anda juga bisa”. Bayangkan bagaimana suasana tim yang tercipta dengan pendekatan ini. Suasana yang mencekam sudah pasti akan mematikan kreativitas tim, sekaligus mematikan kepercayaan anak buah pada atasannya. Jika kita sungguh-sungguh ingin menjadi pimpinan yang baik, kita memang perlu bermain di tepi jurang kesuksesan dan kesalahan. Atasan yang baik siap dengan langkah mundur, punya kemampuan membangun ‘trust’ anak buah dan memberi atmosfir yang menyediakan rasa aman secara psikologis. Kesalahan yang diungkit-ungkit terus tentu saja hanya menimbulkan rasa malu, menjatuhkan moral dan memupuk sakit hati pada orang yang melakukan kesalahan. Namun, sebetulnya tidak berarti juga bahwa kesalahan harus dimaafkan dan kemudian dilupakan. Hal yang paling penting tentu adalah memaafkan dan sekaligus mengajak tim mengingat kesalahan tersebut agar bisa belajar dari kesalahan yang pernah terjadi.

Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah sikap objektif. Seorang teman saya yang sukses, mengatakan bahwa ia selalu mengingatkan bawahannya untuk menyampaikan berita disertai fakta, contoh serta nama pelaku. “Semua komentar umum dan tidak spesifik, tidak akan masuk pertimbangan saya”. Ia berkata bahwa untuk menilai kesalahan kita tidak bisa menggunakan asumsi dan berandai-andai karena akan menyulitkan dalam mengkalkulasikan resiko dan memprediksikan kerugian maupun keuntungan dengan lebih tepat. Dengan senantiasa berorientasi pada objektivitas, kita bisa membuat diri kita menjadi atasan yang lebih “cool”, karena segala kecelakaan, kesalahan dan kerugian sudah terhitung. “Bila data sudah di tangan, kita tinggal memikirkan action yang akan dilakukan!”. TG

_________________________ (Tulisan Eileen Rahman, Experd. Dimuat di KOMPAS, 13 November 2010, dan disadur seperlunya).

Kita perlu punya kemampuan untuk memaafkan karena kesadaran bahwa manusia tidak mungkin beroperasi dengan zero error. Tantangan atasan adalah untuk tidak berfokus semata pada kesalahan dan kerugian saja, namun menyeimbangkan antara komunikasi asertif dan diplomasi. Kita tentu juga perlu menghadapi sikap defensif bawahan dan menembusnya secara halus dan menyenangkan.

V.04 edisi.12.2011

61


Cover Story

Kayuh Valensi Sekolah Lahirkan Kompetensi Pemimpin dan Pemimpin yang Kompeten

62

V.04 edisi.12.2011


V

alensi diartikan sebagai takaran atau bobot yang mewakili seluruh kapasitas diri seseorang yang akan menentukan nilainilai dan kualitas hasil kerja dan mempengaruhi tingkat kesuksesan. Dalam istilah ilmu kimia, valensi merupakan kekuatan elemen atom yang saling berkombinasi. Menurut Murakami, keseluruhan kegiatan manusia merupakan proses kimiawi. Jadi ketika Anda ingin merealisasikan pikiran, keinginan, bahkan mimpi, elemen-elemen kimiawi tubuh akan bereaksi. Kombinasi atom akan menghasilkan kinerja tertentu. Anda akan merasakan apakah efeknya dahsyat, sedang atau sangat lemah. Itulah ukuran valensi Anda! Cermati perubahannya. Lemah, biasa, atau dahsyat? Seberapa valensi sekolah Anda? Sekolah Anda? Sepuluh tahun lalu hingga kini, adakah tetap seperti dulu? Gedungnya? Kantinnya? Gurunya masih dengan gaya lama? SPP nya juga ‘segitu-gitu aja? Atau makin maju? Siswanya makin membludak? Jemputan sekolah mulai memacetkan jalan? Mulai menolak murid? Ekskulnya beragam kecerdasan? Ada team pedagog yang mengawal anak berkesulitan belajar? Sudah menempatkan seorang quality assurance? Ssstttttt‌. Atau jangan-jangan sudah mulai sepi? Guru-guru terbaiknya sudah lari? Pohon kembang di sudut pekarangan pun sudah mati?

Apa yang membuat perbedaan dan perubahan itu? Jamil Azzaini, praktisi motivasi, menyatakan bahwa faktor yang membedakan adalah VALENSI sumber daya manusia, baik pimpinan maupun karyawan, budaya, struktur dan semua yang ada di dalamnya. Sekolah sebagai organisasi, tak bisa berdiri sendiri. Semua elemen terintegrasi membentuk jaringan. Model 7-S Mc.Kinsey mengajarkan pada kita tentang Structure, Systems, Style, Staff, Skills, Strategy dan Shared Values, yang bisa dikategorikan menjadi hard variable dan soft variable.

Variable

Definsi

Hard variables Strategy

Jalan yang telah dipilih oleh organisasi untuk perkembangan masa depannya; suatu rencana yang disusun oleh organisasi untuk mendapatkan keunggulan bersaing yang mampu bertahan.

Structure

Kerangka kerja dan aktivitas para anggotanya diorganisasikan.

Systems

Prosedur formal dan informal, termasuk sistem inovasi, kompensasi, sistem informasi manajemen dan sistem alokasi modal yang menentukan aktivitas setiap hari

Soft variables Style

Pendekatan kepemimpinan, mulai dari top leader dan pendekatan operasi organisasi secara keseluruhan. Juga meliputi cara pandang karyawan terhadap dunia luar dan masyarakat.

Staff

Sumber daya manusia organisasi, bagaimana manusia dilatih dan dikembangkan, disosialisasikan, diintegrasikan, dimotivasi dan bagaimana karir mereka dikelola.

Skill

Kemampuan yang membedakan dari organisasi lain yang sejenis atau deferensiasi.

Shared Values

Inilah konsep penuntun organisasi dengan nilai-nilai dan aspirasi. Ide-ide dasar organisasi dibangun. Hal yang mempengaruhi kelompok untuk bekerja sama mencapai tujuan.

Di dalam organisasi sekolah, ketujuh variabel ini sangat menentukan valensi sekolah. Semua diawaki oleh manusia sebagai sumber inspirasi dan pengetahuan. Tak ada ukuran kuantitatif. Pun sering subjektif. Persoalannya lebih kepada seberapa valensi digerakkan untuk sustainability atau kelestarian sekolah? Salah satunya ada pada kreativitas dan inovasi yang sangat dekat dengan perubahan dan kemajuan. TG Referensi dan sumber: Amir Faisal, Ringkasan dari Leadership bagi Pemimpin Bisnis dan Non-Bisnis – Penerbit Quanta. Bambang Setiarso, Nazir Harjanto Triyono, Hendro Subagyo, dalam Penerapan Knowledge Management – Penerbit Graha Ilmu.

V.04 edisi.12.2011

63


cover story

Knowledge Management Berbagi Pengetahuan untuk Bertahan

B

u Tania sedang menikmati teh sore di serambi belakang rumahnya yang teduh. Sebagai pimpinan puncak di sekolah yang didirikannya lebih dari satu dasawarsa lalu, Bu Tania sudah merasakan salah satu yang tak enak jadi pimpinan, yakni lonely merasa sendiri, merasa kesepian . Bu Tania tak mempermasalahkan rasa ini. Salah satu pesan dari sahabatnya, kesepian itu adalah konsekuensi jika kita menjadi pemimpin yang harus menjaga keluhan, dan segala rasa ketidaknyamanan, dan tak boleh dikeluhkan pada sembarang orang. Harus disimpan sendiri, kecuali pada pasangan (yang amanah), dan pada Tuhan! Beruntung, pasangan Bu Tania, Pak Made, sangat bijak dan mau menjadi tumpahan ‘uneg-uneg’ istrinya. “Aku heran sama para Guru di sekolahku ya mas. Koq susah amat. Mereka belum bisa secara otomatis ngertiin segala sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan,” keluh bu Tania membuka pembicaraan dengan menyerutup teh perlahan. “Misalnya apa?” tanya Pak Made. “Sudah tahu kemarin hari cuci tangan nasional. Mbok ya bikin kegiatan, rame-rame cuci tangan, atau apa lah. Tetep aku juga yang nelpon ke produsen handsoap untuk cari sponsor sabun. Padahal gampang aja. Bikin ceremony kecil tentang kebersihan tangan. Padahal sudah kubilang, selalu bikin acara apresiasi, apa pun bentuknya, di harihari khusus yang tak diketahui banyak orang. Hari buah, hari tani, hari bumi, hari minum susu. Tapi koq ya nggak bisa jalan begitu saja ya, keluh,” Bu Tania panjang. “Hmmm… apa lagi contohnya?” Respon Pak Made singkat. “Masak sih semua harus ada SOP nya. Harus tertulis. Lha bisa sampai ratusan donk. Itu masalah pengaturan sampah. Bagaimana siswa mau peduli, kalau gurunya cuek. Jangankan mikir bagaimana menggiatkan komposting. Slogan ‘lisa’, lihat sampah ambil, yang kerap kuomongin, nggak juga jadi kebiasaan. Kalau aku lagi mungut plastik di halaman, baru deh mereka ngikut,” terang Bu Tania lagi. “Bagaimana ya menularkan sensitivitas. Apalagi soal selera. Wah… belum ketemu aku cara menularkannya. Sudah banyak kerjaan yang kulepas, sering pula sengaja

64

V.04 edisi.12.2011

kutinggal, biar nggak tergantung aku. Belum ada yang bisa ngrasain dinamika dan denyut sekolah. Soal bikin surat saja, masih harus dikoreksi, karena masih sangat biasa dan kurang bertenaga gitu. Susah ya.” “Aku sih nggak akan pernah merasa capek ngelakuin sendiri, Tapi kan mesti berpacu ama waktu mas, nggak bisa begini terus,” rajuk Bu Tania, kopi kini diseduhnya. Kebiasaan ngopi sudah banyak dikuranginya. Hanya saatsaat terasa rumit, kopi masih menjadi penawar hati. “Menurutku, rasanya kamu terlalu cepet lari. Kamu ketemu para pakar pendidikan, bahkan bisa ngobrol deket, kamu seminar, presentasi, jadi trainer, nulis, berapa banyak buku yang kamu baca tiap minggu. Sedang gurumu? Wakil-wakilmu itu? Bukan itu saja. Meski kamu banyak ngasih kesempatan pada mereka, tapi tak ada catatan, yang mestinya kamu bukukan, kamu kumpulkan, dan bisa menjadi file atau graphic organizer yang akan terbaca terus,” jelas Pak Made perlahan. “Hhhmm…. Cape dhe…,” kelakar Bu Tania. “Itu namanya kamu perlu pahami yang namanya knowledge management. Ayo kita cari bukunya deh, biar makin jelas ya,” ajak pak Made. Di toko buku, ditemukan buku ‘Penerapan Knowledge Management pada Organisasi’, tulisan Bambang Setiarso dkk. Penerbitnya Graha Ilmu. Di dalamnya termaktub teori dan penjelasan tentang Knowledge Management (KM). Dibacanya buku manajemen itu dengan cepat, dan didapat rangkuman sementara sebagai berikut: KM, sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita, yang disebut tacid knowledge. Artinya, sesuatu yang kita ketahui dan alami tapi sulit diungkap secara jelas dan lengkap. Tacid knowledge sangat sulit dipindahkan kepada orang lain, karena knowledge tersebut tersimpan di pikiran masing-masing individu. KM menjawab persoalan ini dengan mengubah tacid knowledge menjadi knowledge, yang mudah dikomunikasikan dan mudah didokumentasikan. Hasil knowledge disebut explicit knowledge. Tanpa dokumentasi, semua akan tetap menjadi tacid knowledge dan sulit diakses siapa pun dan kapan pun. Di sekolah, seperti halnya juga di organisasi, knowledge diperoleh dari para pejabat sekolah dan juga Guru dan staff lain, yang berproses belajar melalui sumber buku, dokumen, organisasi antar guru, yang sering


membicarakan praksis pendidikan, dari yang ringan hingga yang mendalam. Knowledge yang hanya ‘terbatinkan’ sulit sekali digambarkan pada orang lain. Dalam kasus Bu Tania, apa yang dia fikirkan, tak diterjemahkan secara ilmu manajemen knowledge, sehingga sulit diapersepsi dan diaplikasi dalam wujud program atau kebiasaan, dan ketrampilan yang mendukung keunggulan sekolah.

KM berawal dari kegiatan berbagi bersama Apakah di sekolah Anda sudah terbentuk kebiasaan berbagi informasi, tugas, diskusi, membentuk komunitas, saling berkomunikasi, saling bertemu, membantu, saling membimbing dan mengisi? Melalui bantuan Pohon Industri (kalau di sekolah bisa menjadi pohon kurikulum- red) knowledge sekolah akan mudah dilihat. Pohon industri dibuat berdasar IPO (input – proses – output). Input terdiri atas penelusuran informasi, permintaan dari siswa atau orang tua serta ‘pengguna’ sekolah. Prosesnya terdiri atas analisa informasi dan evaluasi. Outputnya ya pohon industri itu sendiri, yang umumnya dicetak besar dan diletakkan di tempat yang semua bisa selalu menatap.

misalnya, ketika menyarangkan gol, yang tampak adalah kerja sama antar striker yang memiliki knowledge mengolah bola, dan menjadi prestasi ketika ada kerja sama. Salah satu cara mengeksplisitkan knowledge adalah dengan merekam proses komunikasi face to face. Dari sini dimulailah usaha menangkap knowledge dengan memanfaatkan ALAT BANTU internet, mailing list, forum diskusi, weblog, dan sebagainya. KM adalah budaya kolaborasi. Bukan semata-mata ICT yang diwujudkan dalam bentuk data dan jaringan. Menurut Mark Burk, permasalahan teknologi yang diwakili ICT hanya berkisar 20% saja. Sisanya merupakan masalah organisasi, yakni bagaimana membuat lingkungan yang memungkinkan terjadinya knowledge sharing dan open-exchange. KM tak dapat dibangun di atas semangat revolusi, melainkan metode evolusi.

Knowledge Cycle: Research result Lesson learned Specifications Product performance

Document Distribute Collaborate Resolve

Organize Filter Catalog Create outside links

Use/Reuse Search for example Ask a colleague Find exhibit

Di sekolah, pasti ada orang yang memiliki knowledge lebih dibanding orang lain. Meski belum tentu benar, umumnya kepala sekolah SEHARUSNYA memiliki lebih banyak pengetahuan dibanding Guru. Tantangannya, Guru harus tahu, knowledge apa yang dimiliki pemimpinnya. Pemimpin yang berhasil, artinya telah melepaskan knowledge yang dipunyai, untuk dimiliki oleh anggotanya. Knowledge masih akan tetap ada di kepala jika belum berubah menjadi kerja sama. Seorang Bambang Pamungkas, atau Irfan Bachdim

Share

Find/Create Publication Conference Meeting Project Experience Research Industry Expertise Best practices Working progress Raw data

Perbedaan antara Informasi dan Knowledge: Informasi

Knowledge

Statis

Dinamis

Tidak tergantung individu

Bergantung individu

Eksplisit

Tacid

Digital

Analog

Mudah diduplikasi

Harus re-created

Mudah dibroadcast

Kebanyakan face to face

Tidak ada makna Makna sangat instrinsik personal Sveiby 1997, dikutip Miller 2002 Bu Tania sumringah. Dia jadi mahfum, kadang apa yang dia pikirkan, tak mudah dipahami oleh para wakilnya. KM harus jalan di sekolah. Tak perlu menunggu teknologinya siap. Yang penting proses melepas pengetahuan itu bisa berjalan secara tersistem. Saat parents meeting beberapa hari lalu, ada orang tua yang menanyakan: “Bagaimana sekolah ini mempertahankan keunggulannya, agar tak kehabisan energi untuk bertahan di satu pihak saja?” tanya Ayah Devo, CEO di perusahaan ternama. Dengan pede, Bu Tania yang sudah kelar membaca buku KM, menjawab: “Sebagian besar pembiayaan dialokasikan ke pelatihan peningkatan kapasitas Guru. Mempertahankan mutu sekolah ini, tentu saja dengan peningkatan kualitas secara terus menerus, dengan pelatihan, pelatihan dan pelatihan. Yang paling penting juga, proses knowledge manajemen!” jawab Bu Tania. Ayah Devo dan orang tua lain manggut-manggut. Pertanyaan model begini akan makin banyak muncul pada sekolah dengan latar belakang orang tua yang makin kritis ilmu. Jika tak mempelajari ilmu lain di luar kependidikan, tentu akan repot membuktikan kemajuan sekolah. Dan yang pasti, soal trust, kepercayaan orang tua siswa, akan menguat jika komunikasi di antara keduanya bisa sejajar. Kini Bu Tania mencoba hidup lebih sehat. Kopi tak lagi menjadi konsumsinya. Ngeteh sore tetap menjadi kebiasaan yang menyegarkan. Ayo kita pelajari KM.TG

V.04 edisi.12.2011

65


cover story

Adakah Kesenjangan

Kurikulum di Sekolah Anda? Telaah melalui Curriculum Tree

I

kut pelatihan Bu Angie selalu menyenangkan. Peserta dibatasi hanya 50 orang, agar efektif. Suasananya mengalir. Inspirasi banyak diadopsi dari manajemen korporasi.

“Ibarat sebuah kapal, yang tenang berlayar, mestinya sekolah bisa terus menjaga kestabilan, seperti layaknya kapal yang berlayar dengan kendali yang baik. Jangan sampai miring-miring.”

Dengan judul Instructional Curriculum, Bu Angie dan Edu Lab nya ingin mencermati: apakah ada kesenjangan atau gap antara kurikulum dan keadaan keseharian yang tampak di sekolah? Apakah ada penterjemahan kurikulum, sehingga mudah disosialisasikan dan diaplikasikan? Adakah program yang kemudian direncanakan untuk mengatasi kesenjangan itu? Sebagai pembuka, ditayangkan foto suasana kelas yang amburadul. Ada siswa sedang salto. Kelas yang cerai berai. Tak ada Guru di situ.

“Kapten kapal harus tahu, siapa orang-orang yang ada di dalam kapal, berapa orang, seperti apa orang yang ada di dalamnya. Pimpinan harus tahu seperti apa guru-gurunya, siapa siswanya, siapa orang tuanya.” Tujuan bisa tak tercapai, jika kapal miring. Sebuah sekolah bisa saja muridnya banyak, tapi tak ada valuenya. Pernahkah dicermati, karakternya ‘kena’ atau tidak. Tujuan dicapai atau tidak.

“Melihat foto ini, kiranya apa yang sedang terjadi?” tanya Bu Angie. “Suasana kelas saat guru nggak masuk. Guru terlambat datang, nggak ada aturan jika pelajaran kosong!” jawab peserta, yang kebanyakan pejabat sekolah. Ada kepala sekolah, kepala divisi, ada guru dan koordinator. Semua konsentrasi penuh. “Di sekolah Anda, jika ada Guru tak masuk, siapa yang menggantikan? Adakah kepala sekolah pasang badan setiap saat jika keadaan kelas tak tertangani? Adakah yang perduli? Atau dibiarkan hingga bel pulang berbunyi? Siapa bertanggung jawab jika proses belajar berjalan tidak semestinya?” tanya Bu Angie menghangatkan suasana. “Kepala sekolaaaahhhh,” koor para peserta. Dan tawa pun meledak. Kasihan amat ya kepsek kita. Semua tertimpa padanya. “Ya, mungkin Guru ada, tapi persiapan kurang matang. Di sekolah Anda, adakah Guru yang tak mau maju?. Kalau guru yang tak mau maju, apa yang harus dilakukan? Ada kepala sekolah tak mau maju? Ada Yayasan yang nggak mau maju?” retoris pertanyaan Bu Angie.

66

V.04 edisi.12.2011


“Untuk menjadikan sekolah lancar bak kapal di lautan, salah satu yang harus terjaga adalah kurikulum. Seorang pemimpin di sekolah, harus menjadi pemimpin kurikulum, pemimpin organisasi, pemimpin yang menjaga kultur dan pembiasaan,” papar Bu Angie. Peserta makin serius mendengarkan.

Seperti apa profil kurikulum sekolah Anda? “Oke… bicara tentang kepemimpinan kurikulum, yang disebut pemimpin di sini tidak hanya kepala sekolah ya. Kita samakan pandangan, pimpinan adalah semua yang memiliki jabatan,” lanjut Bu Angie, yang hanya dibantu oleh satu dua orang staff untuk penyelenggaraan beragam pelatihan. Simpel. Peserta biasanya sudah loyal dan tahu kualitas pelatihan.

Kepada peserta kemudian dibagikan selembar kertas plano bergambar anak. Perintahnya:”Tuliskan apa saja yang Anda lihat dan rasakan di sekolah. Hal apa saja yang tampak? Boleh dari ketiga ranah, pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Tulis yang Anda rasa cukup kuat tampak. Bukan yang seharusnya ada ya. Tapi yang nyata muncul!”. Berbagai hal terkait pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilainilai dimunculkan oleh peserta, yang sudah dikelompokkan sesuai sekolahnya, agar bisa bekerja sama mencermati kurikulum sekolah masing-masing. Salah satu sekolah menuliskan di sekitar gambar anak tadi serangkaian potret siswa dis ekolahnya yang tampak: empati, bahagia, berani, kreatif, mandiri, merdeka, eksploratif, kemampuan bertanya, minat dan bakat, kinestetik, cerdas majemuk, integratif, sedikit tapi mendalam. Selanjutnya, diperlihatkan pohon kurikulum (curriculum tree). Mengadopsi sebuah pohon, paling bawah adalah akar, yang menggambarkan nilai atau value yang akan dicapai. Batang yang besar juga masih menggambarkan nilai-nilai, namun lebih mudah mencapainya. Sedangkan dahan adalah mata pelajaran, IPA, Matematika dan bidang studi lain. Di batang yang kecil, ada aljabar, bilangan, geometri, dan sebagainya. Daun, adalah metode atau pengalaman belajarnya. Sedang asyik membayangkan kurikulum dalam sebatang pohon, Bu Angie mengagetkan : “Kita kan boleh mendisain kurikulum sesuka kita kan? Mau beli bisa? Mau impor boleh?” “Bolehhhhhh.” jawab peserta yang tetap terjaga mood nya. “Ingat!, sebagus-bagusnya kurikulum, tetap benda mati. Mari kita buat seideal mungkin. Ibarat pohon, serindang apapun, yang paling penting adalah akarnya. Jadi

di akar, tuliskan nilai-nilai yang paling sulit dicapai, karena itu yang terkuat. Lebih mudah mana anak belajar matematika atau belajar hidup rukun?” lanjut Bu Angie masih dengan volume suara yang mantap. “Adakah sekolah yang tak punya soft competencies? “ tantang Bu Angie. Sejenak peserta berkerenyit. Ternyata semua ada. “Nah….. letakkan itu semua di akar.” “Kembali ke lembar anak, sekarang tandai dengan mencentang warna hijau, untuk nilai yang paling tampak muncul. Warna kuning untuk yang kadang tampak, kadang tidak, dan warna orange yang untuk hal yang paling jarang tampak.” (tentu saja Anda bisa menggunakan warna lain jika mencoba sendiri). “Lantas, sandingkan dengan gambaran pohon kurikulum profil kurikulum. Cocok? Adakah perbedaan, yang di gambar muncul paling sering, namun ternyata tak tertulis di curriculum tree? Jika ada yang berbeda, atau yang tak tergambar di pohon kurikulum (dari yang tadi tertulis di gambaran anak), maka bisa dikatakan itu ada gap atau kesenjangan,” terang Bu Angie. Peserta mulai berkerenyit. Adakah kesenjangan kurikulum bisa diukur dengan cara begini? Mereka penasaran untuk membuktikan. Misalnya begini: Apakah kemandirian dan kreatif, yang sudah dicentang dengan warna hijau, sebagai nilai-nilai yang paling sering dan paling tampak di sekolah, juga muncul di akar dan batang besar kurikulum pohon Anda? Teruskan…..! Cek lagi satu per satu temuan yang sudah tertulis di gambar siswa. Sandingkan dan cermati, apakah Anda juga munculkan juga di curriculum tree? “Jelas? Paham?”…..sejenak sunyi. Peserta berusaha memahami konsep adopsi dengan analogi pohon ini. “Oke…. Lantas, mana yang paling mendesak dilakukan pembenahan?”

V.04 edisi.12.2011

67


Apa yang akan dicapai?

Bagaimana mengevaluasi?

“Jika begitu, segera buat programnya. Cepat-cepat lakukan penyelesaiannya. Misalnya soal disiplin. Mulai dari disiplin meletakkan barang, tas, sepatu, memasukkan kursi ke bawah meja, meletakkan buku komunikasi, semua ada aturan dan pembiasaan. Ini semua akan menjadi kultur sekolah, hingga disiplin mengumpulkan lesson plan dan sebagainya,” jelas Bu Angie. Ada satu peserta yang memunculkan kata ‘bahagia’ sebagai kultur sekolah yang sering muncul. Nah… yang ini perlu dibuat indikatornya. Anak bahagia itu indikatornya apa? Apakah jarang membolos, mimik wajah ceria terus? Rajin sekolah? Nggak mau pulang, nggak mau libur? Semakin banyak data ditemukan, fakta makin jelas. “Ingat lagi ya, kurikulum itu bukan hanya dokumen. Yang harus diurus adalah mengorganisir kurikulum. Jangan-jangan selama ini tak ada prosedurnya. Media pelajaran bukan alat peraganya yang menjadi persoalan, karena mudah dibeli, melainkan bagaimana mempergunakan secara tepat. Mengajak Guru memahami strategi baru, adalah inti/jantung kepemimpinan kurikulum! Ini juga bagian dari mengorganisir pembelajaran dalam curriculum journey’ Panjang lebar Bu Angie menjelaskan. Hari sudah makin sore……peserta mulai lirik arloji. Di luar gerimis tak jua henti. “Banyak sekolah terjebak. Tak menterjemahkan lagi kurikulum dengan mendetail. Kurikulum hanya dilihat dari hasil akhir, hanya dari NEM lulusan. Seharusnya ada yang peduli, bagaimana prosesnya?”

68

V.04 edisi.12.2011

Bagaimana mengorganisir pembelajaran?

Curriculum Journey – from Good to Great Bagaimana cara melihat ‘Perjalanan Kurikulum?’ Lihat saja profil anakanak di sekolah. Apakah punya tujuan? Dalam mengorganisirnya, adakah pimpinan sering mendiskusikan tentang tentang profesionalisme Guru? Membawa contoh video pembelajaran kelas? Pada proses pengorganisasian kurikulum, metode dan cara implementasi menjadi jantung kehidupan kurikulum yang dinamis. Harus selalu berdenyut. Jika berhenti? Ya mati! Bagaimana proses kepemimpinan kurikulum berlangsung di sekolah Anda? Apa yang siswa dapatkan dari materi ajar? Bagaimana bisa membantu Guru dan siswa menghadapi kesulitan? Manajemen kelas apakah sudah tertata dan dapat dievaluasi? Sekeranjang pertanyaan dapat dimunculkan mengukur denyut curriculum journey sekolah kita.

Kepemimpinan Kurikulum Masalah memimpin kurikulum bukan hanya tanggung jawab kepala sekolah. Semua pejabat sekolah memiliki tanggung jawab, seiring dengan kesungguhan mewujudkan sekolah berkualitas. Simak beberapa hal yang mungkin belum dilaksanakan oleh kepala sekolah berikut ini: Melaksanakan kurikulum nasional dalam hal penguasaan kompetensi, pencapaian hasil dan penentuan indikator. Menggunakan unsur budaya setempat dalam proses mengajar belajar, dengan memadukan pada mata pelajaran atau berdiri sendiri.

Mengembangkan ketrampilan mengajar Guru. Memastikan bahwa Guru menggunakan berbagai metode mengajar untuk memenuhi kebutuhan individu siswa. Memastikan adanya pertemuan berkala dengan Guru, untuk merencanakan pengajaran, berbagi pengalaman dan sumber daya, serta membahas upaya peningkatan metode pengajaran dan penilaian siswa. Mendukung Guru untuk menghimpun dan menggunakan data siswa sebagai fokus pengajaran yang berdasarkan kebutuhan tiap siswa. Mengembangkan manajemen perilaku siswa. Memantau data prestasi dan kehadiran siswa serta mengembangkan metode untuk mengatasi masalah di bidang tersebut melalui konsultasi dengan orang tua, Guru dan masyarakat. Memanfaatkan anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tertentu yang diperlukan untuk mengajar. Peka terhadap ketimpangan yang disebabkan oleh bias gender, agama, budaya, bahasa, fisik, dan kurikulum.

Periksa pula yang ini, sudah sejauh mana?: Menempatkan kurikulum dan pembelajaran sebagai prioritas utama Berusaha mencapai tujuan sekolah Mampu menggerakkan semua sumber untuk mencapai tujuan Memiliki harapan yang tinggi dan tampak dari sikap Guru, siswa dan orang tua Secara berkala memonitor perkembangan siswa Memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap pencapaian tujuan sekolah Berdiskusi dengan pihak terkait perkembangan sekolah. Itulah cara mengukur kemajuan sekolah, yang kini makin banyak dilatihkan. Tujuannya tentu saja terkait kemajuan sekolah, agar bisa diukur, seberapa valensi sekolah Anda? TG


cover story

Contoh dari sebuah sekolah, bagaimana mempergunakan curriculum tree sebagai grafik disain di sekolahnya: Our Curriculum Maribyrnong Primary School aspires to be recognised as a leader in educational excellence through inspiring all stakeholders to commit to a shared responsibility for quality education and improved learning outcomes. Through a shared approach, each child in our community is able to learn in a healthy, safe, engaging, supportive, and challenging environment. This is what we define as the development of the whole child. We live in a time that requires our students to be prepared to think critically and creatively, to evaluate a plethora of information, solve complex problems and communicate well. A strong foundation in reading, writing, maths, and other core subjects is crucial. A student who enters school in good health, feels safe, and is connected to their school is ready to learn. A student who has at least one adult in school who understands their social and emotional development is more likely to stay in school. The combination of all of these factors will contribute to your child’s overall development, which will increase his/her self-concept and feeling of worth in society. At Maribyrnong, this educational philosophy of child development is expressed through our curriculum tree. The tree as a whole represents each student at our school, and as a tree grows from the ground up, so does the child. Each individual component has a crucial role in ensuring the growth and development of the child into a successful contributing member of society. The individual components of the tree are: the soil and roots - which represent the essential self, including the health, wellbeing, physical development and social and emotional wellbeing of the child

the trunk of the tree - which represents the core stability of the child, including the development of literacy and numeracy skills which are linked by a vine of communication. The vine represents the means by which the child communicates their knowledge, skills and understandings of the world. the three branches of the tree as the child creates new understandings and functions within society. These branches represent: the global self, which represents how the child works as a team, acts with integrity and regard for others, their identity as an Australian, values and world events including financial literacy the inquiring self, which represents how the child inquires within society, including making considered decisions, how they apply thinking and learning strategies, and how they use inquiry processes to explore scientific and world concepts the expressive self, which represents how the child expresses themself within society through visual and performing arts. knowledge, skills and understandings of the world. the three branches of the tree as the child creates new understandings and functions within society. These branches represent: the global self, which represents how the child works as a team, acts with integrity and regard for others, their identity as an Australian, values and world events including financial literacy the inquiring self, which represents how the child inquires within society, including making considered decisions, how they apply thinking and learning strategies, and how they use inquiry processes to explore scientific and world concepts the expressive self, which represents how the child expresses themself within society through visual and performing arts.

V.04 edisi.12.2011

69


lesson

Belajar Antar Sejawat Mengukur valensi sekolah adalah mengukur sejauh mana upaya memperbaiki cara mengajar

L

esson study berasal dari Jepang, dengan asal kata ‘Jyugo Kenkyu’ yang artinya penelitian pembelajaran, dimulai pada tahun 1870-an, ketika Jepang mengembangkan sistem pendidikan modern untuk pertama kali, dan telah dilaksanakan secara berkelanjutan di berbagai sekolah selama lebih dari 150 tahun dengan berbagai perubahan dan perbaikan. Banyak yang berpendapat bahwa lesson study merupakan budaya guru dan sekolah di Jepang. Lesson study bukanlah metode pembelajaran, melainkan kegiatan merancang pembelajaran bersama –sama, mengamati pelaksanaan pembelajaran dan mengkaji bersama. Guru dapat menggunakan berbagai metode dan pendekatan apapun. Yang penting, setiap Guru dapat menganalisa pelajaran yang diobservasi dan menemukan hal baru yang baik, termasuk masalah yang menyertai.

Pendekatan Lesson Study I. Pendekatan ilmiah Fokusnya ada pada pembelajaran apa yang harus disusun, metode, alur yang diciptakan dan mengevaluasi pencapaian siswa. Dengan gagasan tersebut, cenderung melupakan bagaimana siswa belajar. Fokusnya hanya pada cara Guru menyampaikan pembelajaran. Secara signifikan sulit bagi kita untuk mengembangkan kualitas pembelajaran siswa melalui pendekatan ini. II. Pendekatan Reflektif Fokusnya ada pada cara siswa belajar selama mengikuti pembelajaran. Saat siswa terhenti fokusnya, kehilangan minat, tak tertarik atau tak dapat memahami, atau tak mendapat perhatian Guru saat mengajukan pertanyaan atau mengacungkan tangan, menjadi pencermatan yang mendasar bagi mengalirnya proses belajar secara alami.

Isu-Isu pada ‘Plan, Do & See’ PLAN: Miliki pengetahuan yang mendalam mengenai materi isi Bayangkan bagaimana keadaan pembelajaran yang nyata akan berlangsung Pertimbangkan mengenai jenis tugas yang akan diberikan atau pertanyaan yang akan disampaikan Pertimbangkan bagian yang mudah dan sulit dimengerti. DO (Pengamat) : Berdirilah di posisi Anda melihat langsung wajah siswa Berikan perhatian lebih pada pembelajaran siswa. Buatlah catatan saat Anda menemukan sesuatu yang tampak seru atau aneh.

70

V.04 edisi.12.2011

Anda dapat berkeliling mengamati lebih cermat, tanpa menganggu konsentrasi Guru dan siswa Jangan bercakap dengan rekan, jangan duduk di kursi siswa. Jangan letakkan barang di meja siswa, jangan bersandar di tembok Jangan membantu siswa ketika mereka kesulitan SEE: Berikan komentar mengenai pembelajaran siswa dengan deskripsi atau bukti dari realita yang terjadi Jangan menyerang atau menjatuhkan guru yang melakukan pembelajaran secara pribadi. Berbeda dengan pengenalan metode dan teknologi pengajaran baru, lesson study tidak dapat diharapkan untuk membawa hasil dalam jangka waktu singkat. Lesson study memberikan peluang untuk melakukan penelitian dan menganalisa pembelajaran bersama sejawat serta untuk memperoleh pengetahuan yang berguna dan praktis. Perlu kesabaran dan usaha!

Catatan Lesson Study Saya Tanggal : Nama Sekolah : Mata Pelajaran : Kelas : Nama Guru : Garis Besar Kelas Terbuka : Apa yang saya temukan dalam kelas : ……………………………………………………………… ……………………………………………………………… Apa yang saya pelajari dari lesson study hari ini ……………………………………………………………… ……………................................................................... Apa yang ingin saya coba pada pembelajaran sendiri ……………………………………………………………… ………………………………………………………………

Lengkapi dengan Lembar Penilaian Diri: 1. Apakah ada perubahan sudut pandang sepanjang tahun ini? 2. Apakah ada perubahan pelaksanaan pembelajaran atau kualitas pembelajaran? 3. Jabarkan kemajuan Anda setelah melalui lesson study selama satu tahun terakhir! Akhiri dengan pemberian sertifikat kepada Guru.


cover story

Membincangkan Posisi Sekolah Berdasar Konsep Pemetaan

D

alam berbagai kesempatan, kita sering memperbincangkan kondisi dan posisi sekolah kita. Mungkin di satu sisi kita merasa puas dan bangga, namun tak jarang di sisi lain kita merasa jengkel, kuatir atau bahkan nyaris putus asa, lebih-lebih ketika membandingkan sekolah kita dengan sekolah lain. Perbincangan umumnya lebih banyak didasarkan pada intuisi. Cara penilaian lebih banyak bersifat subyektif. Tidak mengherankan, kalau kita seakan tak berdaya membuat perubahan .

Tingkat Pencapaian Hasil

Reeves (2006) mengusulkan sebuah konsep pemetaan kondisi dan posisi sekolah dengan menggunakan empat kuadran. Sumbu mendatar menunjukkan strategi dan tindakan penentu hasil yang sengaja dipilih dan dilakukan sekolah, sedangkan sumbu tegak memperlihatkan tingkat pencapaian hasilnya.

Beruntung

Memimpin

Sekolah masih cukup sering memperoleh hasil baik, walau tanpa memiliki strategi dan tanpa melakukan tindakan efektif yang terencana.

Sekolah mengalami tingkat pencapaian hasil yang tinggi serta memiliki pemahaman yang tinggi pula atas pentingnya strategi & tindakan penentu hasil yang efektif

Kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin kecil

Kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan besar

Kalah

Belajar

Sekolah mengalami tingkat pencapaian keberhasilan yang rendah. Pemahaman sekolah atas pentingnya strategi & tindakan penentu hasil juga rendah.

Walau tingkat pencapaian keberhasilan belum optimal, namun tingkat pemahaman sekolah atas pentingnya strategi & tindakan penentu hasil tinggi

Kegagalan demi kegagalan sering dialami oleh sekolah -1.0

Kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan besar

-0.5 0.0 0.5 Strategi & Tindakan Penentu Hasil

1.0

Umumnya kita lebih terbiasa mengukur tingkat pencapaian hasil (sumbu vertikal) tetapi sangat jarang mengukur tingkat efektifitas strategi dan tindakan penentu hasil (sumbu horizontal). Tingkat keberhasilan yang diukurpun seringkali hanya yang bersifat populer di mata masyarakat, seperti misalnya prosentase kelulusan murid dalam Ujian Nasional, jumlah calon murid baru yang mendaftar, peringkat akreditasi sekolah, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sains, jumlah dan ragam kejuaraan yang pialanya berhasil direbut para murid sekolah kita dan penambahan sarana prasarana sekolah. Sedangkan pencapaian hasil yang justru mempunyai bobot edukasi masih jarang dievaluasi, seperti misalnya berapa banyak murid yang tadinya tertinggal dalam pelajaran sekarang menyukai belajar dan mulai mampu menyamai prestasi teman-temannya yang lain, berapa banyak murid yang mengalami perubahan dalam perilaku, berapa banyak murid yang terinspirasi untuk menjadi ilmuwan, wirausahawan atau agen perubahan sosial ketika mempelajari sebuah topik pembelajaran, berapa banyak murid yang mampu berpikir kreatif dan inovatif serta mengalami perkembangan signifikan dalam kecakapan memecahkan masalah. Berbicara tentang pencapaian hasil seringkali kita masih belum bisa mengukurnya dengan jujur. Keberhasilan Ujian Nasional, masih diwarnai kecurangan. Hal tersebut di atas menjadi semakin memprihatinkan karena strategi atau tindakan perbaikan acapkali luput dari perhatian pengelola sekolah. Tak jarang, sekolah hanya melakukan rutinitas yang itu-itu saja namun mengharapkan adanya peningkatan pencapaian hasil. Adanya tuntutan pencapaian hasil yang sangat kuat dalam waktu yang relatif singkat membuat banyak sekolah terjebak untuk memilih upaya-upaya instan dalam menyiapkan para muridnya agar mampu memenuhi target. Proses pembelajaran tidak lagi dilakukan sebagai suatu proses mencari, menemukan dan membangun, tetapi cenderung bersifat memberitahu dan menyuruh para murid menghafalkan saja berbagai fakta dan informasi. Sekolah-sekolah yang tampak baik, acapkali dijumpai berada pada Kuadran Beruntung (lucky). Sekolah-sekolah ini masih cukup sering memperoleh keberhasilan namun sebenarnya kesadaran dan pemahaman atas pentingnya

Gambar 1. Konsep Pengukuran Kondisi Sekolah Usulan Reeves (2006)

V.04 edisi.12.2011

71


cover story

strategi dan rencana tindakan penentu hasil yang efektif masih relatif rendah atau belum membudaya. Sekolah-sekolah ini mungkin diuntungkan karena memperoleh siswa baru (intake) yang sangat berkualitas dengan orangtua berstatus sosial ekonomi menengahatas yang mampu memberi kesempatan anak-anaknya untuk les macam-macam di luar jam sekolah. Tanpa strategi atau tindakan tertentu yang dirancang secara ”bersengaja”, sekolah sudah tampak berhasil dengan siswa-siswa yang sangat berprestasi dalam berbagai bidang. Sebagai contoh, sekolah bisa sangat berbangga karena cukup banyak siswa-siswanya yang mampu berbahasa Inggris dengan sangat mahir. Apakah mereka memang mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa Inggris di sekolah yang dirancang dan dilaksanakan dengan sangat baik atau karena les di luar sekolah? Sekolah bisa juga tampak hebat karena memiliki siswa-siswa dengan prestasi seni musik yang luar biasa. Pertanyaannya apakah mereka berhasil karena proses pembelajaran di sekolah?

Sekolah mungkin juga tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100% pada Ujian Nasional. Namun apakah semua ini hasil proses pembelajaran yang benar-benar berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para siswanya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah? Bagaimana seandainya pada suatu saat sekolah tidak lagi seberuntung sekarang karena kualitas siswa-siswa barunya atau kondisi sosial-ekonomi para orangtua siswa barunya tidak ”sehebat” saat ini atau beberapa tahun silam? Apakah sekolah masih memiliki kemampuan untuk mengulang keberhasilankeberhasilannya? Tanpa disadari sekolah dalam kuadran pertama ini, apabila tidak berhati-hati, cepat atau lambat akan merosot ke kuadran kedua di bawahnya, yaitu menjadi sekolahsekolah yang kalah (losing) dalam ”persaingan”. Sekolah-sekolah yang berada pada Kuadran Kalah (losing) seringkali merasa dirinya menjadi ”korban keadaan”. Mereka mengeluh karena kualitas siswasiswa barunya dalam beberapa tahun terakhir semakin rendah. Status ekonomi para orangtua mereka lemah. Jumlah murid semakin berkurang. Sarana dan prasarana sekolah menjadi serba kurang,

semangat dan tingkat pencapaian hasil belajar rendah. Cukup banyak siswanya yang bermasalah dalam perilaku. Biasanya sekolah-sekolah seperti itu belum memiliki pemahaman dan ketrampilan menyusun strategi yang relevan – kalaupun sudah, namun seringkali strateginya sudah kedaluwarsa dan sama sekali tidak pas dengan kondisi masa kini dan tuntutan jaman yang terus berubah dengan cepat. Bagaimana profil sekolah yang cukup menjanjikan, walau pada saat ini belum mencapai tingkat keberhasilan pembelajaran yang tinggi? Apapun kondisinya pada saat ini, sekolahsekolah pada kuadran ini memiliki ”budaya belajar” yang kuat. Mereka tidak merasa menjadi korban keadaan. Sekalipun kualitas siswa barunya kurang ”menguntungkan” atau sarana dan prasarana sekolah kurang memadai, kepala sekolah dan para gurunya tidak berputus asa. Mereka bahkan menjadikannya sebuah tantangan. Sekolah mempunyai pemahaman tentang pentingnya strategi yang tepat dan rencana tindakan yang disusun berdasarkan data dan fakta, bukan sekedar intuisi. Pengurus Yayasan, Kepala Sekolah, dan


para Guru benar-benar sadar untuk melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan. Sekolah-sekolah seperti ini berada pada Kuadran Belajar (learning) dan memiliki kesempatan besar untuk maju dan berkembang menjadi sekolah berkualitas yang berada pada Kuadran Memimpin (leading). Untuk menjadi sekolah yang dapat diklasifikasikan berada pada Kuadran Memimpin, tidak harus memiliki fasilitas fisik serba lengkap dan mewah, kurikulum berstandar internasional, memiliki guru-guru dari manca negara, uang sekolah yang mahal, rasio murid dan guru yang sangat ideal. Sekolah sederhana yang berlokasi di pelosok sekalipun berpeluang besar menjadi sekolah nasional terbaik yang mampu menghasilkan generasi muda yang cerdas, bermoral luhur dan memiliki kepedulian besar memajukan kehidupan masyarakat. Pertanyaannya kini adalah berada di kuadran manakah sekolah kita? Sebagai langkah pertama, kita perlu mengumpulkan data dan fakta tentang berbagai prestasi atau kinerja sekolah kita. Prestasi dan kinerja ini harus sesuai dengan keunikan dan kearifan lokal, terkait dengan relevansi pendidikan serta visi dan rencana strategis. Berilah penilaian 0-100% untuk menggambarkan tingkat pencapaian hasil pendidikan yang telah diperoleh. Tentukan standar yang akan dipakai. Tujuan utama pendidikan adalah berupaya mencapai hasil pengembangan diri murid sebagai pribadi manusia yang seutuhnya (human development discourse) dan bukan sekedar hasil pengembangan kompetensi akademis (academic development discourse). Seluruh aspek intelektualitas, spiritualitas, emosi, sosial, dan fisik, perlu maksimal dikembangkan. Langkah kedua, kita perlu mengidentifikasi berbagai strategi yang telah dimiliki dan diterapkan sekolah. Untuk setiap strategi, buatlah estimasi tingkat efektifitasnya yang berkaitan dengan tingkat pencapaian hasil pembelajaran siswa dengan skala antara 1.0 dan -1.0.

Gambaran Sekilas tentang Sekolah Unggul (Terbaik) menurut Prof. Moedjiarto (2002): Tipe 1: Inputnya unggul meskipun proses belajar mengajarnya tidak luar biasa, lulusannya tetap bermutu unggul.

Tipe 2: Fasilitasnya unggul (serba mewah), Uang sekolah mahal, gurunya pilihan (kebanyakan melibatkan guru-guru dari manca negara), rasio guru:murid sangat baik (kelas kecil) layanan bermutu internasional (IB dsbnya)

Tipe 3: Sekolah yang mampu memproses siswa bermutu rendah (input rendah) menjadi lulusan yang bermutu tinggi (output tinggi) effective school Prof Moedjiarto (2002), �Sekolah Unggul-Metodologi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan�, Duta Graha Pustaka, Cetakan II, hal. 3-4.

Skala 0.0 dapat diberikan untuk berbagai strategi yang telah dirancang cukup baik, namun belum disertai dengan tindakan penentu hasil yang nyata. Sekolah perlu lebih memfokuskan diri pada strategi dan tindakan penentu hasil (sumbu horizontal) daripada pada tingkat pencapaian hasilnnya (sumbu vertikal) Kekeliruan utama yang sering terjadi, lebih fokusnya perhatian kita pada tingkat pencapaian hasil daripada strategi dan tindakan penentu hasil. Kekeliruan itu menyebabkan kita melakukan upaya yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai hasil yang semu. Sebaliknya apabila kita melakukannya dengan benar, maka hal ini sekaligus akan memberi teladan kepada para murid, bagaimana bersikap dan bertindak secara benar meraih cita-cita mereka. TG

Sumber:

Skala 1.0 menunjukkan strategi dan tindakan penentu hasil yang kita nilai sangat efektif berdasarkan praktikpraktik terbaik di sekolah. Sedangkan skala -1.0 menunjukkan strategi dan/atau tindakan yang sangat kontra produktif, seperti misalnya manajemen sekolah dengan birokrasi yang lamban dan berbelit-belit, guru yang tidak kompeten dan kurang berdedikasi dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran, dan lain sebagainya.

Prof. Anita Lie Buku Secercah Harapan : Praktik yang Baik, diluncurkan dengan kerjasama Tanoto Foundation, di Jakarta, dengan pembanding Anies Baswedan dan Romo Baskoro. Prof Anita Lie, kondang dengan bukunya Cooperative Learning.

V.04 edisi.12.2011

73


cover story

Diferensiasi Sekolah Bukan Asal Beda!

S

ejarah pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia beragam-ragam. Ada yang terus bertahan dan berjaya hingga kini, Ada pula yang tak terdengar lagi, bahkan ditinggalkan masyarakat. Pondok Pesantren Gontor misalnya. Sejak 1950an, ponpes ini sudah dikenal dan disegani, hingga mancanegara. Hingga kini peminatnya masih ngantri!. Sementara pondok pesantren lain, Mathlail Anwar, yang pada tahun 1960-an sangat berpengaruh, kini mulai memudar. (Cerdasin! Newsletter LPI Dompet Dhuafa)

Cermati Sekolah Sekitar Coba perhatikan sekolah di sekitar Anda. Adakah yang sejak dulu berjaya dan makin bersinar dengan segala prestasi dan kemajuan fisiknya? Di kota kelahiran Anda dulu mungkin, adakah sekolah yang meredup, siswanya tinggal segelintir? Gurunya sudah putus asa, bahkan terancam bangkrut tutup? Ada pula sekolah yang ajeg? Dari dulu ya begitu saja? Sepanjang perjalanan Anada dari rumah ke tempat kerja, adakah sekolah yang sejak dulu ditunggu-tunggu masyarakat saat open house? Berjaya tak ada matinya? Semua berubah. Dan perubahan terjadi seiring dengan perubahan itu sendiri. Pembedanya adalah seberapa kuat valensi sekolah. Faktornya adalah konsistensi, dan komitmen, sejauh mana sekolah berhasil memperbaiki diri terus menerus sesuai perkembangan zaman. Konsep pendidikan harus dirumuskan, dirancang dan didesain sesuai tantangan dan keadaan yang berlangsung saat itu. Ali bin Abi Thalib berkata: ‘Ajarilah anak kalian dengan ilmu yang sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zaman kamu’. Senada dengan itu, Winston Churcill mengatakan: ‘We are shaping the world faster

74

V.04 edisi.12.2011

than we can change our selves and we are applying to the present the habits of the past ‘ (kita mengubah dunia lebih cepat dari kemampuan kita mengubah diri sendiri dan kita menerapkan pada masa kini kebiasaan masa lalu). Sekolah harus dinamis, memperbaiki diri terus menerus dan senantiasa dapat menjadi penyelaras kemajuan zaman, namun tetap teguh untuk tidak melulu memenuhi tuntutat orang dewasa dan dunia luar, sehingga siswa dan gurunya kehilangan makna belajar yang hakiki. Sebab tak sedikit kritik berkaitan dengan keberadaan sekolah yang memenjarakan anak, memasung masa depan dan meluruhkan potensi dahsyatnya. Di Jerman dan Perancis, masyarakatnya tidak lagi sekedar mempertanyakan seperti apa sekolah masa depan, melainkan : ‘masih punya masa depankah sekolah? Di awal 70-an, ada gagasan deschooling society dari Ivan Illich, Juga School is Dead, dari Everett Reimer. Kini gagasan itu mulai menggejala dan marak. Nicholas Nigroponte, dalam bukunya Being Digital, tidak ragu mengatakan: sekolah akan menjadi museum. Neil Postman, lebih menyodok lagi dalam tulisannya berjudul The End of Education.

Upaya Menjadi Berbeda Mengakomodasi penurunan dan pendangkalan makna pendidikan yang makin lama menjadi sebuah industri, teori Positioning, Differentiation & Branding bisa diadaptasi di dunia pendidikan. Hampir semua sekolah memposisikan diri sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan sebagai proses perkembangan kehidupan manusia yang beradab. Secara kuantitas, sekolah tumbuh secara signifikan. Sayang, belum diikuti secara kualitas. Hingga kini masih sulit menemukan sekolah yang akan mengantarkan siswanya menemukan minat untuk mendulang sukses di masa depan, karena pembelajaran yang sesuai dengan keinginannya. Setelah teori kecerdasan majemuk makin mendalam, apakah ke depan harus ada diferensiasi sekolah secara khusus untuk mendukung upaya sekolah memperkuat posisinya


buku Slim N Bil, memberi inspirasi pada sekolah Para Bintang. Sekolah Mutahahari di Bandung telah membuktikannya.

sebagai lembaga formal yang mencerdaskan siswa? Upaya diferensiasi sekolah, kini sudah makin tampak dari ikon penegas nama sekolah. Sebutan sekolah alam, sekolah Islam terpadu, sekolah berorientasi teknologi dan sains, sekolah berbasis budaya, sekolah karakter, adalah upaya membuat diferensisi sekolah. Semua stimulasi sesuai tahapan dan perkembangan tetap disampaikan, namun penguatan sesuai nama sekolah, menjadi daya tarik calon siswa yang memiliki pilihan sesuai minat dan kebutuhan. Sekolah Karakter di Depok Jawa Barat, milik Ibu Ratna Megawangi, tetap konsisten dengan penguatan karakter yang tercermin dari pembelajaran integratif bermuatan karakter siswa yang dibangun melalui pembiasaan.

diferensiasi khusus akan bertahan dengan segmen yang loyal. Memang bukan sekedar beda!

Tawaran Sekolah Menulis Salah satu pemikiran, adalah menghadirkan sekolah dengan diferensiasi pada keunggulan menulis. Taufik Ismail, sastrawan senior yang konsisten memperjuangkan literasi, dalam sebuah seminar di FMIPA UPI mengungkapkan, bahwa (maha) siswa Indonesia adalah generasi yang rabun membaca dan pincang menulis. Bukan rahasia lagi, kemampuan menulis siswa kita sangat lemah. Guru juga masih banyak yang gagap menulis.

Sekolah Pribadi, besar-besar memajang papan nama sebagai sekolah yang selalu memenangkan olimpiade sains, sesuai kekuatan sekolah yang berbeda. Sekolah Jembatan Budaya di Denpasar Bali, memberi penguatan pada keberagaman budaya sebagai kekuatan yang membedakan dengan sekolah formal lain.

Ini menunjukkan, belum ada sekolah yang serius menggarap sekolah menulis sebagai titik tekan utama. Ide menjadikan diferensiasi sekolah menulis ini berdasar pada tuntutan kemampuan mutlak yang harus dimiliki. Peningkatan materi Bahasa Indonesia makin mendesak disodokkan, di tengah kegairahan bersekolah dengan taraf internasional, yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Belakangan, ini dikritik sebagai akibat reaksi berlebihan pada globalisasi. Menulis akan menjadi syarat keunggulan berprestasi di berbagai keilmuan.

Semua memiliki segmen masingmasing. Makin dicermati, akan makin tampak upaya sungguh-sungguh mencari perbedaan yang paling kuat. Semua upaya diferensiasi tentu sudah melalui tahap pemikiran yang kuat. Dan terbukti, sekolah dengan

Mungkinkah akan lahir sekolah dengan merk sekolah visual, sekolah lingustik, sekolah interpersonal, sekolah musik, sekolah natural, sekolah olah fisik, sekolah intrapersonal dan sekolah matematik? Pak Hernowo, penulis

Sekolah yang Anda cermati di sekitar, bisa terukur valensinya. Sekolah yang makin maju, sudah pasti didukung pencitraan kekuatan sekolah dan usaha pembuktiannya. Pondok Pesantren Gontor membuktikannya. Sedang yang biasa saja dan jalan di tempat, enggan mencari kekuatan dan pembedanya dari sekolah sejenis. Nah‌ sekolah yang terus memudar, sudah pasti tak ada valensi di situ, meski tak lepas dari berbagai faktor penekan yang mungkin membebani. Sekolah tak sama dengan organisasi atau korporasi lain. Di dalam sekolah, tersimpan kekuatan dahsyat untuk mencerdaskan dan memperbaiki perilaku serta akhlak budi manusia. Deborah Meier, pakar pendidikan dunia mengatakan: â€˜â€Śkeinginan untuk belajar, bukanlah sesuatu yang harus ditanamkan pada anak, melainkan sesuatu yang harus terpelihara agar tak padam’. Upaya diferensiasi dilakukan untuk mengatasi desakan agar sekolah senantiasa bebenah. Para peneliti berulang kali menemukan, bahwa semangat belajar menjadi menurun drastis saat anak berada di Sekolah Dasar. Jangan terjebak memberi motivasi semata, melainkan menghidupkan kembali apa yang dulu datang secara alami dan mencari tahu, serta mengubah, apa yang terjadi di sekolah, beserta struktur dan budayanya, yang menyebabkan kemunduran itu. Konon, prestasi tinggi yang dicapai siswa merupakan hasil sampingan saja. MINAT! Nah‌. Mulailah dengan mencermati dan mengembangkan berbagai metode ajar sesuai minat. Hasil pencermatan ini kemudian dapat menjadi penguat sekolah untuk menemukan diferensiasinya. Jadi, bukan asal beda! TG

V.04 edisi.12.2011

75


Cover Story

Tidak Mudah Menjadi Kreatif Benarkah? Kreatif & Inovatif

Memimpin Sekolah Cara Terbaik Melajukan Valensi Sekolah

Tinggalkanlah gaya kepemimpian yang kuno! Terapkanlah Ideaship dan saksikan sekolah Anda “banjir” ide! Seorang budayawan yang tinggal di Jogjakarta pernah berkata: “yang penting di masa kini dan ke depan nanti, kreativitas dan inovasi adalah ketrampilan yang akan menyelamatkan dunia ini dari keterpurukan. Termasuk di dunia pendidikan”.

A

nda dilahirkan untuk menjadi seorang yang kreatif! Tahukah Anda, kekuatan fikiran Anda yang tak terbatas?

Otak Anda mempunyai potensi yang sama dengan otak Albert Einstein? Ada bukti fisik dan ilmiah yang memberikan ungkapan tentang otak Anda. Gunakan? atau abaikan? Seperti Leonardo Da Vinci dengan Monalisa-nya? Thomas Edison dengan lampu pijar? Bill Gates dengan Windows, atau Albert Einstein dengan rumus E= mc2. Semua temuan itu ditemukan berkat pemikiran kreatif. Berapa usia Anda saat ini? Masih bisa disebut sebagai Guru muda? Sesungguhnyalah, tingkat kreatifitas Anda sudah jauh melorot dibanding saat usia dini. Dari hasil penelitian, secara usia, tingkat kreativitas itu ada tahapannya. Usia lima tahunan, daya kreatif manusia 90%. Kalangan usia dini sering bertanya : ‘mengapa begini, mengapa begitu’. Menginjak usia tujuh belas tahun, merosot menjadi 10%. Empat puluh lima tahun?

76

V.04 edisi.12.2011

Tinggal 5% saja. (Carol K Goman, Creativity in Business). Kreatif, inovatif? Samakah? Hubungan keduanya memang sangat dekat. Apa definisi kreatif? Kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru, yang merupakan pengembangan dari pengetahuan kita. Sedangkan Inovasi adalah sebuah konsep, metode, atau alat baru yang dihasilkan dari sebuah pola pikir kreatif . Berbagai alasan penting yang harus dipecahkan setiap harinya oleh pimpinan sekolah, menyangkut : sistem, prosedur, kebijakan, teknologi baru, generasi baru, kompetisi internal, meningkatnya tuntutan masyarakat, peningkatan kecerdasan siswa, dan masih banyak lagi.

HAMBATAN KREATIF Secara tak sadar, banyak hal yang membunuh potensi kreatif yang sesungguhnya dimiliki oleh setiap orang. Rasa takut, takut gagal, takut ditolak, takut dipecat, takut keluar dari zone aman yang penuh resiko, merasa tidak ‘aman’ dengan status quo, kurang waktu relaks, adalah keadaan normal yang menjadikan kita mengalami learning shut down. Padahal, proses mendapatkan ‘AHA”, didapatkan saat rilek. Hambatan lain untuk menjadi kreatif bisa juga karena hirarki jabatan/ birokrasi yang tinggi, proses pengambilan keputusan yang lambat, tidak mampu mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan, tidak fokus pada peningkatan proses kerja, hanya fokus pada rutinitas. Guru sangat sedikit dilibatkan dalam proses keputusan kerja, gagal beradaptasi melakukan perubahan dengan cepat. Sedangkan hambatan secara fisiologis, sosiologis dan kendala diri sendiri merupakan rintangan konseptual.


cover story

BAGAIMANA MENGATASI? Berfikir terbuka. Baca koran setiap hari, ikuti dan cermati berita , baca minimal satu buku per minggu, miliki kehidupan sosial, jalin network/ jejaring, dapatkan pengalaman baru, lakukan hal yang belum pernah Anda laksanakan sebelumnya. Secara sederhana bahkan kita disuruh berlatih dari hal yang sepele. Jika biasa berangkat beraktivitas melewati jalan yang sama, suatu kali putar arah, ambil jalan yang berbeda. Jika biasa mengikat tali sepatu yang kanan terlebih daulu, sesekali lakukan dari yang kiri. Sensasi yang berbeda, akan menghasilkan kekuatan inovasi dan kreasi. Dalam sehari, pasti kita menjalani proses kehidupan, yang ternyata membunuh ide kreatif. Berbagai alasan dikemukakan, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Sudah dicoba sebelumnya Akan menghabiskan waktu Bukan pekerjaan saya / kamu Bukan begitu cara kerja kami Pasti tidak mungkin Mungkin tahun depan Mungkin anda benar, tapi…. Ide yang tak masuk akal Tak dapat diimplementasikan di sini 10. Hal itu tidak penting 11. Yang sekarang sudah cukup buat saya 12. Sekolah kami terlalu kecil/besar 13. Kalau memang ide yang baik, mengapa tak dilakukan di sekolah lain dulu? Hal yang sering terlupakan, kita tak menggunakan musik sebagai faktor pendukung. Bandingkan, jika tanpa musik, denyut nadi dan tekanan darah meningkat, gelombang otak makin cepat, otot menegang. Sedangkan dengan musik (yang tepat ), denyut nadi dan tekanan darah akan menurun, gelombang otak melambat, dan otot-otot menjadi relaks. Jack Foster, dalam bukunya yang diterbitkan Mizan,

memberi tips yang ‘mengejutkan’, yakni : Anda harus mempekerjakan orang-orang yang Anda sukai saja. Anda harus bersikeras agar karyawan mengambil cuti; entah dia mau ataupun tidak. Sebagai pemimpin, sesekali Anda perlu berpura-pura bodoh di hadapan bawahan

BELAJAR DARI PARA TOKOH Albert Einstein menemukan teori relatifitas E=mc2 secara tiba-tiba saat mencukur kumisnya. Bethoven, komponis musik klasik, Darwin –penemu teori evolusi, menemukan ide ketika sedang duduk di kereta kuda. Archimedes, menemukan hukum archimedes saat di bak mandi. Mozart, menemukan kedahsyatan komposisi lagu dengan melamun. Banyak bukti, ide istimewa ditemukan di saat yang tak terduga. Berdasar penelitian, umumnya para penemu memperoleh ‘wangsit’ saat otaknya sedang berada pada tahap relaksasi (gelombang alfa). Para ahli, pengarang, musisi, seniman, yang senantiasa dituntut menjadi kreatif, kerap mengalami kebuntuan pikiran. Makin dipaksakan, makin tumpul dan makin tak muncul. Ketika justru sedang tak dipaksakan, timbul ‘Ahaaa”. Ide cemerlang! Hambatan atau pemblokiran menemukan ide baru bisa berlangsung lama, bisa pula hanya sesaat. Anda di sekolah, semestinya banjir ide. Jika melihat eporia siswa menyanyikan lagu Garuda di Dadaku mendukung timnas, segera masukkan pada pengembangan kebangsaan di pelajaran studi sosial. Keluhan Guru pada tak adanya ide sumber dan media ajar, atasi dengan mengajak mereka menonton drama, melihat pameran lukisan, diskusi film, ketemu tokoh, bersepeda dan masih banyak kegiatan lain di luar kelas. Pekerjaan mengajar jika sudah monoton tak memberi inspirasi lagi pada siswa bukan?

7 Langkah Kreatif Seven Step to being Creative, Andrew Green memberikan langkah agar seseorang menjadi lebih kreatif mengatasi masalah sehari-hari: 1. Membuat jurnal di pagi hari (kutipan maupun asli) secara rutin 2. Membuat jurnal visual, mencatat dalam bentuk sketsa (gambar) 3. Lakukan ‘perjanjian’ dengan kreativitas intern yang terletak dalam jiwa kita, agar kapasitasnya makin berkembang. 4. Pada saat menyendiri, dengan bebas manfaatkan kesempatan tanpa gangguan orang lain. Kreativitas sering muncul ketika kita tidak memikirkan hal-hal lain. 5. Camkan dalam hati: ‘Manfaatkan, Kembangkan dan Ciptakan’ 6. Kembangkan vokabulari terbatas sehari-hari yang terbatas: ‘wow keren! Gile deh tuh orang! Kasihan deh lu!’. Sekarang cobalah membuat 50 kata ekspresif lain yang tidak membosankan. Kreativitas sangat dahsyat! Pemimpin sekolah harus mencurahkan energi pada penciptaan lingkungan tempat membanjirnya ide-ide kreatif, tempat para Guru benar-benar percaya pada kemampuannya untuk memecahkan persoalan apa pun yang mereka hadapi secara cerdas. Intinya, para pemimpin harus menciptakan sebuah tempat yang asyik untuk bekerja. Ayo para pimpinan sekolah, kreativitas dan inovasi yang Anda miliki, gunakan, atau abaikan? Itu tantangan Anda! TG. Sumberi:

Tut Sayogya –

Creative Mind, Kejutan Visualisasi , Elex Media Komputindo

V.04 edisi.12.2011

77


cover story

Contoh Valensi Sekolah

Semut-Semut The Natural School

B

erbagai upaya berkelanjutan yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan sekolah, semestinya dibuktikan dengan testimoni atau kesaksian yang tulus dari para penyangga kehidupan sekolah. Semut-Semut the Natural School, yang dilangsungkan sejak tahun 1999, mendulang kelestarian sekolah dengan valensi yang cukup kuat. Komitmennya untuk teguh pada pemerdekaan anak berbuah kepercayaan orang tua, bahwa sekolah ini dapat menjadi pemberi pengalaman terbaik bagi anak untuk merajut keberhasilan di masa depan, dengan kredo: ‘…di mana ada minat, di situ prestasi mengikuti’ Perkembangan sekolah dari tahun ke tahun menunjukkan adanya valensi yang cukup kuat. Kesaksian dari orang tua dan guru di bawah ini membuktikan valensi itu:

… ‘Gile, Semut-Semut (sekolah Semut-Semut the Natural school , di Kelapa Dua, Depok-) nggak ade matinye’, komentar Mama Abe, dengan logat Betawian. Abe sudah lulus tiga tahun lalu. Kini sekolah yang menjunjung pemerdekaan pendidikan itu dilihatnya makin mentereng. ‘Yang ndaftar makin ngantri! Ada aja bangunan baru yang bertambah setiap tahunnya. Tim futsalnya ngetop lho! Guru-guru seniornya masih bertahan. Demikian komentar Mama Abe, saat acara pertemuan mantan orang tua murid di sebuah resto. Pak Samsi, masih punya dua anak usia SD. Kata Pak Samsi, kedua anaknya nggak mau ke sekolah lain. Maunya ke sekolah Semut-Semut, tempat kakak sulungnya dulu. Kenangan sang kakak hingga kini masih terus berlanjut dengan cerita nostalgia seru di masa SD nya dulu. “Saya


tuh merasa tersanjung bak berjalan di karpet merah, manakala datang ke sekolah, saat ambil rapot. Busana guru membuat orang tua merasa dihargai. Yang pake selendang lah, pake udeng Bali, pake sarung Melayu, ada saja gaya bedanya. Nggak mati gaya! Lha beda bener sama sekolah anak saya yang satu lagi. Satpamnya lebih gaya dengan safari. Sementara Guru tak menarik dan tak tampak smart!. Sekolah ini tampil beda,” papar Bunda Reihan. Urusannya adalah soal RASA. Namun jika cocok dengan segmentasi orang tua siswa, maka akan berimbas pada pencitraan, selanjutnya menumbuhkan trust. Kepercayaan! Simak salah satu testemoni orang tua, Fitriani Sjarif, dosen Fak Hukum UI Depok, yang telah mengenyam ilmu perundang-undangan di Boston dan di Australia National University. Bunda dari si kembar Nana Rara dan Naufal. “Saya pernah terjebak arus demam mencari sekolah bergengsi, yang mencari fasilitas gedung representative, AC, lab komputer, akselarasi, bilingual, nilai UASBN, dan bayaran sekolah yang selangit, agar bisa kubanggakan sebuah gengsi! Sebelum kupindahkan ke Semut-Semut, anak kembarku tersiksa. Mereka dituntut berpikir, bertingkah laku dan berprestasi sesuai keinginan guru dan sekolah. Jawaban ujian harus cocok dengan kunci jawaban.

Anak harus patuh duduk di kelas mendengarkan guru mengajarkan materi. Tugas guru hanya memberikan materi akademik tanpa perduli apakah anak nyaman di kelas. Berkali – kali sekolah kuberi masukan, namun mereka terlalu kokoh untuk berubah. Mereka sudah bangga dengan image favorit, dan tak pernah berpikir ada perkembangan pendidikan yang lebih sesuai di luaran, yang lebih dibutuhkan untuk masa depan anak. Saya makin tersadar, modal yang harus dimiliki anakanak mengarungi hidup selanjutnya bukan nilai akademik yang selangit, nilai UASBN yang 9, bahkan 10 sempurna atau nilai IPK 4 di universitas, melainkan ‘LONG LIFE LEARNING’, yang akan mengajarkan konsep diri dan problem solving serta karakter. Dan paling penting, keimanan kepada ALLAH dan RASUL-NYA sebagai bekal kehidupan dunia dan akhirat. Alhamdulillah, hasil kesadaranku tentang SEKOLAH YANG BAIK untuk anak-anakku, dapat kutemukan di sekolah Semut-Semut. Kupindahkan anak kembarku dan juga adiknya, di sekolahnya manusia! Di sini kutemukan kerjasama yang sangat manis antara guru, orang tua dan sekolah. Orang tua selalu dianggap penting sebagai mitra. Cinta dan Kasih sayang serta semangat, dan kesabaran guru yang tulus, dapat kurasakan. Di Semut-Semut ditumbuhkan rasa ingin tahu (curiousity), berbarengan dengan pembentukan karakter, untuk membantu siswa memahami diri, mengenal kemampuan dan kekurangan mereka sendiri. Semuanya berproses. Namun saya bisa merasakan. Bibit-bibit pribadi unggul sudah terlihat. Peningkatan kapasitas guru, tampak dari kurikulum yang sesuai dan terus dikembangkan. Keinginan berubah lebih baik, komitmen pembelajaran yang nature, bukan hanya belajar di alam, namun belajar dengan alam, sesuai dengan fitrah anak, menjadi ciri khas yang menonjol di Semut-Semut. Yang menarik, semua itu tidak diterapkan secara keras dan memaksa, namun dengan perkataan yang santun, contoh yang baik serta pengenalan nilai-nilai melalui kehidupan sehari-hari. Tak terasa berat namun mengena dan meresap dalam perilaku keseharian siswa. Saya mencintai sekolah ini begitu dalam”.

V.04 edisi.12.2011

79


cover story

Memperkuat testimony orang tua, penting juga menyimak pernyataan Guru. Bu Lis adalah contoh salah satunya:

datangi. Beda pula dengan teori selama kuliah. Ada kesenjangan. Ini praksis kehidupan. Saya jadi merasa beruntung, karena langsung dipasangkan dengan guru hebat, Pak Mul namanya. Saya jadi tahu, ternyata seorang guru tidak harus tampil necis dengan baju safari dan blues-nya, yang menjadikan guru kaku, melainkan rileks dengan busana rapi, enak dipandang meski tetap bersahaja.

… “Ingatan saya kembali ke masa 6 tahun lalu, masa awal saya diterima menjadi guru di sini. Saat itu saya masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Sedang sibuksibuknya skripsi”. Dapat diterima di sekolah seperti ini, tidak mudah. Sekolah aneh, begitu kesan pertama saya masuk. Sekolah penuh pohon, yang gedung kantor dan ruang kepala sekolahnya mirip saung di tengah sawah Waktu itu, saya jumpa dua orang wanita. Yang satu tersenyum sambil bertanya keperluan saya datang , dengan posisi berdiri. Yang satunya tersenyum di tengah kesibukannya mendampingi anak bermain engklek, dengan menggunakan sagu/terigu sebagai garis. Hmmm..saya baru lihat pemandangan seperti ini’. Saya balas senyuman wanita itu. Saya sempat bergumam, “cantik ya..apa dia Guru di sini?”, Sambil memperhatikan kaos panjang dengan pasangan celana jins yang dipadu dengan ikat pinggang. Masih dengan senyum, saya dihadapkan pada manajer sekolah. Tak lama, seorang wanita datang mengantar dua gelas jus mangga. Hmmmm….. apa pantas seorang pelamar disuguhi minuman enak? Akhirnya saya diterima mengajar. Dari awal saya merasa lain. Beda dengan sekolah yang pernah saya

80

V.04 edisi.12.2011

Enam tahun berlalu. Kuliahku selesai. Aku jadi sarjana. Namun aku lebih merasa menjadi sarjana akibat belajar di sekolah ini. Di sebuah kesempatan parents conference baru-baru ini, ada seorang ayah bertanya: Apa yang dilakukan oleh manajemen sekolah, agar stamina atau semangat belajar Guru itu tak patah? Agar Guru selalu bergairah? Manager sekolah menunjukku untuk menjawab. Di sekolah ini, hal yang selalu membuat kami, para guru merasa terus “bergairah”, antara lain kami sering diberikan “vitamin,” dengan menghadirkan trainer ke sekolah, ikut training dan workshop dengan tema berkualitas , hingga kami bisa memaknai, betapa luasnya cakrawala pendidikan yang masih harus digapai. Mengajar di sini, saya justru merasa belajar. Kami dididik dengan cara yang memanusiakan manusia, ‘bukan dijadikan robot! Hati kami kerap disentuh, sehingga naluri tergugah untuk selalu berbuat lebih baik. Pembelajaran kehidupan dan problem solving yang sangat aplikatif, sungguh tidak bisa diukur dengan materi. Terimakasih untuk pengalaman berharga, yang menjadi guru terbaik bagi saya. Begitu jawabku lancar. Plok plok plok plok plok…….. Oahhhh… jawaban saya tadi diiringi tepuk tangan orang tua yang hadir! Gemanya membahana di hati saya.

Begitulah masih banyak yang bisa dicermati, sejauh mana valensi sekolah dikayuh dan , ditingkatkan dari segala komponen yang saling terkait. Seperti dibukukan oleh Prof Anita Lie dalam ‘Praktik Terbaik di Sekolah’.

Kelima komponen keberhasilan sekolah: 1. Hardware , mencakup gedung, ruang kelas, lab, peralatan, perpustakaan dan fisik yang tampak. 2. Software, yakni kurikulum, program pengajaran, sistem pembelajaran, lesson pla, metode, silabus dan turunannya. 3. Brainware, yakni Guru, siswa, orang tua, kepala sekolah dan siapapun terkait pemikiran, ide dan kecerdasan, ketrampilan dan sikap 4. Netware, berkaitan dengan jaringan dan kerja sama, baik antara Guru dan instansi sekolah dengan lembaga yang mampu meng up-grade Guru. Sekolah dengan lembaga pemerintah, dan sebagainya 5. Dataware, yang mencakup data jumlah siswa, jumlah Guru, alur lulusan, asal pendidikan Guru, kapan mulai mengajar, berapa lama, pelatihan apa saja yang sudah dan harus diikuti, program up-grading, feedback, dan sebagainya, didukung manajemen SDM yang tertata dan RENSTRA atau rencana strategis yang terus diperbarui. Kini, Anda harus mulai melakukan pengukuran-pengukuran, agar kemajuan dapat dipetagambarkan. Pada gilirannya, akan terjadi endorsmen atau pengakuan yang akan memperkuat valensi sekolah. TG


Inside Back cover


Back cover


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.