30 minute read

Pangan Indonesia untuk Dunia yang Lebih Baik

Next Article
FOOD INFO

FOOD INFO

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia

Dalam rangka menyukseskan Indonesia sebagai Presidensi G20, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyelenggarakan beberapa kegiatan pendukung perhelatan dari sektor pangan dan agribisnis, dengan tema utama “Pangan Indonesia untuk Dunia yang Lebih Baik (Indonesian Food for a Better World)”.

Advertisement

Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan antara lain berupa exposure komoditas, ajang pertemuan bisnis, festival dan karnaval, serta talkshow, yang dilaksanakan di 3 lokasi, yakni di Jakarta sebagai Kick Off Events, kemudian diikuti pelaksanaan di

Labuan Bajo, dan yang terakhir di Borobudur, Magelang. “Isu ketahanan pangan sangat penting. Kita harus betulbetul berkonsentrasi terhadap ketersediaan pangan dalam negeri. Jadi kuncinya hanya tiga hal, yakni Acara Kick Off Events “Pangan Indonesia untuk Dunia mengamankan supply yang Lebih Baik (Indonesian Food for a Better World)”, di Jakarta side, diversifikasi pangan, dan efisiensi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan sambutan pada acara Kick Off Events yang mengusung sub tema “Pangan Nusantara” di Lapangan Banteng, Jakarta. Kepemimpinan Indonesia dalam Presidensi G20 dipromosikan sebagai bridge builder antara negara maju dan berkembang. Pelaksanaan Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022 akan memberikan manfaat secara ekonomi melalui main events, side events, dan Road to G20 Summit di berbagai kota di Indonesia. Sherpa Meeting G20 menjadi pertemuan tingkat tinggi yang strategis

bagi Indonesia dan menjadi ajang untuk mengampanyekan beragam produk unggulan Indonesia yang potensial dan menjadi andalan ekspor, termasuk produk agrikultur Indonesia yang terseleksi sebagai andalan ekspor.

Dukungan kegiatan sektor pangan dan agribisnis akan melibatkan lebih banyak lapisan masyarakat, mulai dari petani selaku produsen, BUMN, UMKM, eksportir, pelaku pasar, serta Kementerian/Lembaga (K/L) terkait baik di pusat maupun di daerah. Rangkaian kegiatan yang diselenggarakan di Lapangan Banteng sejak pagi hari diawali dengan Karnaval Panen Raya yang memamerkan berbagai produk pangan unggulan Indonesia yang di arak dalam 8 buah gunungan dengan diiringi Pasukan Pembawa Bendera Merah Putih, Marching Band, serta ondel-ondel.

Acara Kick Off Events “Pangan Nusantara” tersebut turut dihadiri diantaranya oleh Menteri Perindustrian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Koperasi dan UKM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Wakil Menteri Perdagangan, perwakilan sejumlah kedutaan besar negara asing, perwakilan Pemerintah DKI Jakarta, sejumlah Direktur Utama BUMN, BUMD/ Swasta/Asosiasi, dan Akademisi, serta didukung oleh lebih kurang 75 UMKM berikut sejumlah mitra.

Wamendag dorong ekspor rempah

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menyampaikan, strategi ekspor Indonesia saat ini fokus pada diversifikasi produk dan pasar. Kementerian Perdagangan mendukung penuh adanya program “Indonesia Spice Up the World” yang bertujuan meningkatkan ekspor rempah melalui promosi Gastronomi Indonesia. “Fokus ekspor tahun ini adalah diversifikasi produk dan pasar. Rempah-rempah Indonesia harus diakui dunia. Itu adalah tantangan kami untuk mempromosikan rempah-rempah Indonesia melalui banyak acara,” ujar Wamendag.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor rempah-rempah Indonesia kode HS 0903–0909 ke dunia mengalami kontraksi hingga 4,88 persen pada 2021 dengan nilai ekspor mencapai USD 764,22 juta. Ekspor pala, cengkeh dan anise menunjukkan tren positif lebih dari 20% selama lima tahun terakhir. Namun, produksi rempahrempah Indonesia masih menempati peringkat ke-4 secara global, setelah India, Tiongkok, dan Nigeria. Sementara untuk kinerja ekspor, Indonesia masih berada di peringkat 10 besar, setelah Tiongkok, India, Belanda, dan Jerman.

Fri-27

Sekretariat GAPMMI

ITS Office Tower Lt. 8 Unit 16, Nifarro Park Jl. Raya Pasar Minggu KM. 18, Jakarta Selatan 12510 Telp/Fax. (021) 29517511; Mobile. 08119322626/27 Hp. 08156720614 Email: gapmmi@cbn.net.id Website: www.gapmmi.id

THE IMPORTANCE OF FLAVOR IN YOUR FOOD

Oleh Silvie Febriana Wibawa, STP, MSi

Product Manager – PT. Indesso Niagatama Taste remains as one of the key

attributes when choosing food and drinks. Survey of purchase drivers in food and drinks conducted by Deloitte Consumer Insight (2021) showed that the taste of the products is the second consideration factor after price. Therefore, food industries always put much effort to develop tasty products that are not only suitable for the Indonesian palette but also be able to give wider choices for consumers.

Flavor Trend

Covid-19 pandemic has caused a big change in consumer behavior and preference of product taste as well. Understanding the flavor trend is needed to develop a product that can delight your consumer as well as excite them. There are 3 flavor themes for food and drinks product innovations based on Mintel Expert Analysis (2022). The first flavor theme is Better For You which are flavors that can be associated with wellness to help consumers achieving their health and well-being goals. As the result, many food and drinks products with herbs such as ginger or turmeric were launched during the Covid-19 pandemic with high antioxidant claim or to warm up our body. Citrus flavors like orange and lemon are also experiencing high interest especially in beverage application since they resonate with high vitamin content for immunity boosting functional claim. The second flavor theme is Pleasure and Escapism which is an opportunity to explore bold and sophisticated flavors that can boost the mood and offer moments of pleasure and escapism. Pleasure can be translated into indulgent and luxurious flavors. These flavors are good ways to excite and engage consumers to satisfy cravings and offer emotional benefits. Hence, chocolate and dessert flavors such as cheesecake, red velvet, and yoghurt are now commonly used in baked goods to give the indulgent effect while accompanying consumers during snacking time. Consumers also look for a moment of escapism to distract themselves from unpleasant realities caused by Covid-19 such as travel restriction. Providing snacks with international menus such as Japanese Curry, Korean Kimchi, and Italian Bolognese will help consumers escape from reality for a while. The third flavor theme is Intensity – Engaging All The Senses which

Picture 2. How Do The Senses Affect Flavors

provides multisensory experiences by flavor combination and utilization of texture, color, and aroma. Combination of fruity and florals flavors such as Rose – Peach, Hibiscus – Berries, or Butterfly Pea – Lemon in beverage and wrap in vibrant colors can be an example for this flavor theme. In addition, spicy savory foods like snacks with different level of spiciness or using specific types of peppers such as ghost pepper or jalapeno were also available to offer more authentic experiences.

Flavor as The Key Ingredient

Flavor is an ingredient that is commonly used to enhance the taste of food and drinks. Flavor is typically a mixture of volatile and delicate molecules to give aroma or smell. It is composed of 3 elements, such as Top Notes which generate the first impression, Middle Notes that helps to link the top notes and the base notes while giving the character of the flavor, and Base Notes that provides fullness and long-lastingness. We can recognize aroma of the flavor when the volatile compounds reach the olfactory nerves through nasal route when we smell the product or through retronasal route when we eat the product. Then, the olfactory nerves give the signal to our brain. The interpretation of aroma or smell depends on individual experiences, memories, social, and

cultural context; this is the reason we hardly talk the same way about the smell and taste we perceive. Type of flavors used is chosen based on the end application. For example, liquid flavor for liquid or paste-based products, such as ready-to-drink, dairy, and cream filling. Powder or Encapsulated flavor for powder-based products such as powder milk and seasoning. On the product composition, flavors will be claimed as natural flavor or synthetic flavor and it is based on the flavoring ingredients used. Natural flavors contain 100% natural flavor ingredients while synthetic flavors contain one or more flavoring ingredients which has not been identified as natural products intended for human consumptions. With the technologies across Beverage, Sweet, and Savory categories, PT. Indesso Niagatama together with Firmenich can recommend you a flavor to create winning product that brings your consumers positive emotions in each eating experience.

References:

Deloitte Consumer Insight : Adapting To The New

Normal in Indonesia 2021 Source from Mintel Expert Analysis 2022

Pentingnya Kristalisasi Lemak

pada Produk Pangan

Oleh Yoga Pratama Postgraduate Researcher University of Leeds

Kristal didefinisikan sebagai partikel-partikel yang tersusun secara teratur dan simetris. Mengikuti definisi tersebut, banyak bahan pangan yang masuk kategori sebagai kristal. Baik berupa struktur berulang dari molekul berukuran kecil seperti pada kristal gula dan garam hingga kristal yang dibentuk oleh pengulangan makro molekul seperti pada protein dan lemak.

Struktur kristal pangan ini sangat memengaruhi mutu, tekstur, sensori dan stabilitas produk. Karena itu, pemahaman terhadap kristal dan proses pembentukannya (kristalisasi) sangat diperlukan untuk dapat menentukan strategi yang tepat dalam mengontrol proses tersebut, khususnya untuk mendapatkan mutu produk yang sesuai. Karakteristik fisik produk pangan padat berbasis lemak seperti margarin, cokelat, mentega, krim, lemak roti, hingga produk seperti keju yang tidak berbasis lemak namun memiliki kandungan lemak cukup tinggi, dipengaruhi langsung oleh kristal lemak di dalamnya. Beberapa contoh karakteristik fisik yang berkaitan erat dengan kristalisasi lemak adalah titik leleh, daya oles, dan mouthfeel.

Titik leleh adalah salah satu karakteristik paling penting yang dipengaruhi oleh kristalisasi lemak. Titik leleh menentukan jumlah kristal (padatan) lemak pada suhu tertentu yang berpengaruh terhadap stabilitas

fisik produk selama proses distribusi dan penyimpanan. Sebagai contoh, untuk iklim tropis seperti di Indonesia, produk margarin perlu didesain untuk memiliki jumlah kristal berkisar 15-20% pada suhu 30 °C agar konsistensi produk yang semi solid terjaga. Sedangkan produk yang sama untuk distribusi di negara subtropis cukup menjaga kisaran jumlah kristal yang sama pada suhu 20 °C agar produk margarin stabil selama proses distribusi. Oleh karenanya, bahan baku dan proses produksi perlu didesain agar produk memiliki kristal dengan titik leleh di atas suhu target tersebut dan dengan jumlah yang sesuai.

Di sisi lain, produk mentega umumnya memiliki jumlah kristal yang terlalu sedikit agar produk stabil untuk iklim tropis. Oleh karenanya, mentega yang murni berasal dari lemak susu biasanya dipasarkan secara ritel di dalam mesin pendingin untuk pasar Indonesia. Logika yang sama berlaku juga untuk produk cokelat pada iklim tropis dan subtropis. Cokelat dari negara subtropis seringkali meleleh ketika terpapar suhu ruang di Indonesia karena jumlah kristal lemak kakao pada suhu ruang iklim tropis tidak cukup untuk menjaga kestabilan fisik produk cokelat. Penting untuk dicatat bahwa terdapat strategi proses atau penambahan bahan pangan lain untuk menghasilkan cokelat yang tahan suhu tinggi, namun tidak menjadi fokus tulisan ini.

Peran kristal lemak lainnya dalam menjaga kestabilan fisik produk adalah kemampuannya dalam menstabilkan emulsi. Kristal lemak memberikan efek stabilisasi pada emulsi melalui sistem pickering, yakni sistem di mana kristal lemak mengelilingi droplet minyak, air atau udara di dalam emulsi untuk mencegah terjadinya pemisahan akibat koalesens dan fusion. Sebagai contoh, produk mentega dan margarin disyaratkan oleh SNI untuk memiliki kandungan lipida minimal 80%. Sekitar 20% sisanya adalah air dan bahan larut air yang distabilkan oleh pickering kristal lemak sebagai emulsi air di dalam minyak. Sistem emulsi yang mirip juga ditemukan pada produk krim kocok, di

mana kristal lemak membantu menjaga kestabilan droplet udara pada produk. Ilustrasi stabilisasi pickering kristal lemak dapat dilihat pada Gambar 1.

Karakteristik daya oles dan mouthfeel juga dipengaruhi oleh titik leleh kristal lemak. Daya oles produk menjadi karakteristik penting untuk produk olesan seperti mentega dan cokelat oles. Sifat reologi yang tepat diperlukan agar produk tersebut mudah dioles, tidak terlalu keras, ataupun terlalu cair. Jumlah kandungan kristal atau padatan lemak untuk keperluan ini adalah sekitar 15-25% pada suhu aplikasi yakni suhu ruang. Karakter produk yang mirip juga diperlukan untuk produk lemak roti, misalnya lemak untuk membuat produk pastry. Lemak pastry memerlukan sifat plastis untuk dapat menghasilkan lapisan-lapisan tipis khas pastry melalui proses pelipatan adonan berulang. Untuk mendapatkan sifat plastis ini, lemak roti juga memerlukan kandungan kristal atau padatan lemak yang mirip dengan produk oles yakni 15-25%. Hal yang membedakan adalah suhu aplikasi produk, di mana suhu ruang pembuatan roti terkadang lebih tinggi dibanding suhu normal ruang akibat adanya mesin pemanggang roti. Oleh karenanya, formulasi produk perlu disesuaikan agar mendapatkan sifat plastis yang diinginkan.

Struktur kristal lemak juga berperan penting dalam memberikan mouthfeel yang disukai. Setidaknya ada dua aspek yang penting di sini, yakni jumlah kristal dan ukurannya. Berkaca pada produk oles seperti margarin dan mentega, jumlah kristal pada saat dikonsumsi idealnya tidak melebihi 5% sehingga memberikan sensasi produk meleleh sempurna di dalam mulut. Sedangkan jumlah kristal yang terlalu tinggi akan memberikan sensasi ngendal atau lemak yang lengket di mulut. Umumnya jumlah kristal pada suhu 35°C digunakan sebagai acuan karena dekat dengan suhu normal tubuh. Di sisi lain, ukuran kristal lemak untuk produk yang siap makan idealnya tidak terlalu besar agar tidak memberikan sensasi tekstur yang kasar atau ‘berpasir’ di lidah. Teknik analisis yang paling umum digunakan untuk mengamati jumlah kristal/padatan lemak pada suhu tertentu adalah pulseNMR (nuclear magnetic resonance). Sedangkan, mikrostruktur ukuran kristal dapat diamati menggunakan polarized microscope.

Gambar 1. Ilustrasi stabilisasi emulsi oleh kristal lemak dengan mekanisme pickering. (A) fase kontinyu lemak cair, (B) kristal lemak, (C) fase diskontinyu – misalnya, droplet air atau udara.

Polimorfisme kristal lemak

Faktor kunci dari kualitas fisik produk pangan yang telah dibahas di atas adalah titik leleh dan jumlah kristal lemak pada suhu tertentu. Keduanya dipengaruhi langsung oleh jenis atau komposisi trigliserida serta jenis kristal lemak yang terbentuk. Penting sekali untuk dipahami bahwa lemak dapat mengkristal dalam beberapa struktur yang berbeda tingkat kestabilannya. Trigliserida sebagai molekul penyusun kristal lemak dapat dianalogikan sebagai batu bata yang dapat disusun dengan metode zigzag ataupun lurus sejajar yang tentunya menghasilkan

kestabilan bangunan yang berbeda. Fenomena komponen lemak yang sama namun dapat menghasilkan struktur kristal yang berbeda ini disebut sebagai poliformisme. Tingkat kestabilan kristal lemak yang berbeda-beda dapat terlihat dari nilai titik leleh kristal yang dihasilkan.

Perbedaan susunan kristal lemak yang disebut dengan polimorf ini berada pada level ukuran nano (≤ 100 nm) yang menunjukkan seberapa kompak atau renggang antar partikel trigliserida tersusun. Semakin kompak, maka kristal semakin stabil. Jenis kristal lemak diklasifikasikan menggunakan notasi huruf Yunani sebagai polimorf γ, α, β’ atau β secara berurut dari yang paling tidak stabil (~renggang) ke yang paling stabil (~kompak). Nomenklatur berbeda khusus digunakan pada kristal lemak kakao atau pada produk cokelat yakni menggunakan padanan notasi huruf Romawi I (γ), II (α), III-IV (β’) dan V-VI (β ). Sebagai contoh, titik leleh dari senyawa lemak tristearin dalam bentuk kristal α, β’ dan β secara berurut adalah 54, 64 dan 73°C yang menunjukkan peningkatan kestabilan kristal. Teknik analisis yang menjadi standar internasional untuk mengetahui jenis polimorf kristal adalah menggunakan X-ray scattering. Sedangkan, DSC (differential scanning calorymetry) acapkali digunakan untuk mengetahui aspek termal seperti titik nukleasi dan titik leleh dari polimorf kristal lemak.

Pengaruh komposisi trigliserida

Berbeda dengan contoh senyawa trigliserida murni di atas, lemak mengandung total >98% trigliserida yang berbeda-beda jenisnya. Oleh karena itu, komposisi trigliserida baik dari jenis maupun jumlah berpengaruh besar terhadap proses kristalisasi lemak. Sebagai gambaran, dua komoditi lemak alami yang memiliki nilai ekonomi tinggi yakni lemak kakao dan lemak susu akan dibahas.

Lemak kakao dihasilkan dari biji buah kakao di mana komposisi trigliseridanya bervariasi tergantung dari varietas dan lokasi geografis tumbuhan kakao tersebut ditanam. Namun, secara umum terdapat tiga trigliserida dominan yang berpengaruh besar pada proses kristalisasi lemak kakao yakni 1,3-dipalmitoil-2-oleoylsn-glycerol (POP), 1-palmitoyl-2oleoyl-3-stearoyl-sn-glycerol (POS), dan SOS yang mencapai jumlah 80% dari total trigliserida pada lemak kakao. Kristalisasi lemak kakao yang menentukan kestabilan serta titik leleh produk cokelat tergantung pada rasio dan interaksi ketiga senyawa trigliserida dominan tersebut. Sebagai contoh, perubahan kristal cokelat dari polimorf β-V yang disukai menjadi kristal β-VI yang tidak disukai karena menyebabkan cokelat berbintik putih (fat bloom) terjadi lebih cepat apabila kandungan POS rendah (Sagi et al., 1989).

Berbeda dengan lemak kakao yang didominasi oleh tiga trigliserida utama, kristalisasi lemak susu dipengaruhi oleh lebih dari 200 jenis trigliserida. Oleh karenanya, lemak susu dianggap sebagai salah satu lemak alami yang paling kompleks dari sisi komposisi trigliseridanya. Variasi komposisi setidaknya dipengaruhi oleh jenis spesies (misalnya sapi, kerbau, kambing), varietas, pakan, dan fase laktasinya. Karena tidak adanya trigliserida yang dominan, para peneliti membagi trigleserida lemak susu dalam tiga kategori berdasarkan titik lelehnya yakni tinggi, sedang dan rendah. Seperti halnya pada lemak kakao, variasi rasio pada tiga golongan trigliserida tersebut menentukan proses kristalisasi lemak susu. Sebagai contoh, lemak susu kerbau yang memiliki kandungan trigliserida bertitik leleh tinggi dan rendah lebih banyak dibandingkan lemak susu sapi membutuhkan waktu proses lebih lama untuk menghasilkan kristal jenis β’ yang diinginkan pada produk mentega (Pratama et al., 2021).

Pengaruh proses kristalisasi

Pengendalian proses kristalisasi lemak diperlukan agar mendapatkan karakter produk yang diinginkan. Tahapan proses kristalisasi lemak secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.

Fenomena supercooling terjadi ketika lemak cair diturunkan suhunya hingga di bawah titik lelehnya namun tetap berupa fase cair. Dalam kondisi ini, partikel-partikel trigliserida kemudian akan membentuk kumpulan trigliserida yang disebut dengan klaster. Umumnya supercooling terjadi 5-10°C di bawah titik leleh dan dalam hitungan detik/menit tergantung dari kecepatan proses pendinginan. Supercooling dan pembentukan klaster merupakan prasyarat terjadinya nukleasi atau terbentuknya kristal.

Tabel 1. Tahapan proses kristalisasi lemak beserta waktu dan ukurannya (diadaptasi dari Sato, 2018)

Fenomena Skala Waktu Ukuran

Supercooling dan pembentukan klaster Detik - menit -

Nukleasi Menit ~50 nm

Pertumbuhan kristal Menit - jam 200 nm–1 µm

Penuaan Jam - hari 1 µm–10 µm

Penurunan kualitas Minggu - bulan 20 µm–100 µm

Secara umum, supercooling yang tinggi akibat pendinginan yang cepat akan menghasilkan banyak nuklei kristal dengan ukuran yang kecil. Sebaliknya, pendinginan yang lambat berakibat pada supercooling yang rendah dan jumlah nuklei yang lebih sedikit namun berukuran lebih besar. Dalam konteks menghasilkan mouthfeel yang halus, tentu hal ini tidak terlalu disukai.

Kristal lemak jenis α seringkali dihasilkan oleh kondisi supercooling yang tinggi. Namun, kristal jenis ini tidak stabil dan dalam fase pertumbuhan kristal akan bertransformasi menjadi kristal jenis β’ atau β yang lebih stabil. Sedangkan pada supercooling yang rendah seperti pada pendinginan yang pelan, lemak cair bisa langsung mengkristal menjadi polimorf β’ atau β. Pertumbuhan ukuran kristal juga dipengaruhi oleh adanya bagian lemak yang masih berbentuk cair. Keberadaan fase cair dalam jumlah besar mendorong kristal lemak menjadi berukuran besar dalam fase pertumbuhan. Sebaliknya, bila sebagian besar lemak ternukleasi dan hanya sedikit bagian lemak fase cair tersisa, maka nuklei tidak berkembang menjadi ukuran yang besar.

Dalam proses produksi produk pangan berbasis lemak, seringkali produk disimpan dalam gudang beberapa hari agar kristal stabil sebelum kemudian didistribusikan ke pasar. Proses ini disebut sebagai fase penuaan, di mana semua kristal lemak diharapkan bertransformasi menjadi bentuk yang cukup stabil. Akan tetapi, perubahaan kristal menjadi bentuk yang paling stabil terkadang tidak diharapkan untuk produk. Misalnya contoh yang sudah diungkap di atas, bentuk kristal paling stabil pada cokelat adalah polimorf β-VI yang menjadi penyebab cokelat berbintik putih. Contoh lainnya, bentuk kristal yang diinginkan pada produk margarin adalah polimorf β’, sedangkan polimorf paling stabil β tidak diinginkan karena memberikan mouthfeel yang tidak halus atau berpasir. Proses perubahan ini dikategorikan dalam fase penurunan kualitas kristal.

Referensi:

Pratama, Y., Simone, E., & Rappolt, M. 2021. The

Unique Crystallization Behavior of Buffalo Milk

Fat. Crystal Growth and Design, 21(4), 2113–2127. Sagi, N., Arishima, T., Mori, H., & Sato, K. 1989.

Polymorphism of Mixture of 1, 3-Di (saturated acyl) -2-oleoylglycerols. Journal of Japan Oil

Chemists’ Society, 38(4), 306–311. Sato, K. 2018. Introduction: Relationships of

Structures, Properties, and Functionality. In K.

Sato (Ed.), Crystallization of Lipids: Fundamentals and Applications in Food, Cosmetics and

Pharmaceuticals. Hoboken, NJ: Wiley Blackwell.

Evaluasi Sensori pada Produk Kopi

Oleh Wenny Bekti Sunarharum Departemen Ilmu Pangan dan Bioteknologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Kopi merupakan “hot commodity” bagi Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari munculnya budaya minum kopi yang disertai pula dengan menjamurnya produk dan kedai-kedai di Indonesia. Karena itu, industri perlu memerhatikan betul tentang mutu kopi ini. Dalam konteks kopi spesialti (Fernández-Alduenda dan Giuliano, 2021) menjelaskan bahwa mutu kopi merupakan atribut penting pada kopi yang berpengaruh langsung pada nilai kopi tersebut di pasar.

Mutu kopi dipengaruhi oleh atribut intrinsik dan atribut ekstrinsiknya. Atribut intrinsik meliputi atribut sensori kopi yang dihasilkan, ukuran biji, dan karakter kopi lainnya. Sedangkan atribut ekstrinsik, meliputi origin, sertifikasi, dan lainnya (Fernández-Alduenda dan Giuliano, 2021). Pada praktiknya, salah satu metode evaluasi mutu kopi yang dilakukan adalah dengan “cupping” atau “cup-testing” atau “coffee sensory evaluation”. Dalam hal ini, orang yang mengevaluasi atau menguji umumnya disebut sebagai “cuppers”. Metode menguji sensori kopi yang digunakan ini secara garis besar ada 2 macam, yaitu cupping misalnya sesuai standar Specialty Coffee Association (SCA) dan evaluasi sensori dengan metode laboratorium atau standar riset yang dapat memiliki tujuan lebih luas dan metode yang lebih beragam. Kedua metode ini perlu dipahami dengan baik, terutama untuk keperluan pengembangan produk kopi.

Metode evaluasi sensori secara umum

ISO 6658:2017 mendefinisikan analisis sensori sebagai ilmu yang terlibat dalam penilaian atribut organoleptik sebuah produk dengan menggunakan indra. Indra yang dimaksud dalam hal ini adalan panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Ilmu sensori ini semakin berkembang seiring dengan kemajuan berbagai produk pangan olahan dan industri terkait, karena dapat digunakan dalam mengukur dan mengevaluasi respon manusia terhadap produk yang dikembangkan. Lebih lanjut, Lawles dan Heymann (2010) menegaskan bahwa evaluasi sensori ini meliputi set teknik untuk pengukuran akurat respon manusia terhadap pangan dan meminimalisir potensi efek bias dari identitas brand dan informasi lain yang memengaruhi persepsi konsumen.

Secara umum, metode evaluasi sensori ini terbagi menjadi 3 yaitu metode diskriminatif, atau disebut juga dengan uji pembedaan (difference test), uji deskriptif, dan uji afektif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Uji deskriminatif (pembedaan) berupaya mengetahui perbedaan pada produk yang diujikan. Pengujian yang umum dilakukan adalah uji segitiga (triangle test) di mana panelis diminta memilih sampel yang berbeda dari 3 set sample yang disajikan. Uji segitiga ini melihat perbedaan umum pada sampel yang diuji, seperti beberapa uji lainnya yang meliputi uji duo-trio, two out of five, A not A dan perbedaan terhadap kontrol. Adapun untuk uji perbedaan atribut khusus bisa dilakukan dengan uji pembedaan atribut seperti uji pembandingan berpasangan, uji n-AFC (Alternative Forced Choice), pembandingan jamak, uji ranking, uji rating, dan uji tetrad.

Berbeda dengan uji pembedaan, uji deskriptif melibatkan deteksi atau diskriminasi dan deskripsi atribut sensori produk yang dapat diuji secara kualitatif dan kuantitatif dengan

Gambar 1. Metode Analisis Sensoris (disusun berdasarkan informasi dalam Lawless dan Heymann, 2010)

menggunakan skala intensitas. Adapun uji afektif dilakukan untuk menilai respon personal dalam hal preferensi atau daya terima konsumen untuk produk tertentu atau karakteristik tertentu.

Metode evaluasi sensori menggunakan instrumen uji yaitu manusia, yang umumnya disebut sebagai panelis dan perlu dipahami bahwa kebutuhan jumlah panelis ini dapat berbeda sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan riset. Uji diskriminatif (pembedaan) ini dapat menggunakan minimal 20 orang panelis, dan umumnya bisa berkisar antara 25-40 orang atau lebih. Adapun untuk uji deskriptif dapat menggunakan jumlah panelis (terlatih) antara 6-12 orang, namun secara umum menggunakan sejumlah 10-12 orang panelis terlatih. Akan tetapi, jika panelis yang digunakan adalah panelis ahli (expert), maka jumlah panelis bisa kurang dari 6 orang, sebagimana analisis sensori untuk produk wine yang dapat menggunakan 3 orang ahli. Berbeda dengan uji diskriminatif dan deskriptif, uji afektif membutuhkan kontribusi panelis yang jauh lebih banyak karena biasanya panelisnya adalah konsumen yang diharapkan dapat mewakili pendapat atau persepsi konsumen terkait produk yang diujikan. Analisis preferensi konsumen disarankan menggunakan minimal 100 orang konsumen, meskipun secara umum menggunakan 75-100 orang.

Dalam melakukan evaluasi sensori, termasuk untuk riset berkaitan dengan produk kopi, ketiga metode tersebut banyak digunakan. Metode analisis

deskriptif (descriptive analysis) banyak digunakan untuk profiling atribut dan intensitasnya pada kopi. Metode ini juga digunakan dalam mengembangkan dan memvalidasi kosakata sensori (lexicon) untuk mengevaluasi kopi secara deskriptif. Metode deskriptif ini dapat digunakan secara lebih spesifik untuk profiling atribut sensori kopi sekaligus intensitasnya, misalnya sebagaimana penelitian oleh Sunarharum dan Farhan (2020) yang mengevaluasi profil kopi Arabika Gayo wine yang diseduh dengan berbagai teknik yang berbeda menggunakan skala garis 15 cm (Gambar 2). Berbagai penelitian yang berkaitan dengan kopi dan manusia atau konsumen telah dilakukan di dunia. Misalnya saja studi tentang pengaruh cup pada persepsi konsumen terhadap kopi spesialti yang dapat menggunakan metode hedonik, dengan skala analog visual. Selain itu berbagai metode lain juga diaplikasikan dan dapat dikombinasikan misalnya penggunaan analisis deskriptif, uji hedonik (9 poin skala), dan uji check-all-that-apply (CATA) sebagai teknik rapid sensory profiling, serta metode rapid dan advance lainnya. Pemilihan metode evaluasi yang tepat ini tentunya berdasarkan pertimbangan dan kebutuhan riset yang dilakukan.

Commercial coffee cupping

Cupping pada umumnya dilakukan sebagai sarana mengevaluasi mutu kopi yang dilakukan oleh cuppers untuk tujuan komersial. Di dalam cupping, menguji cita rasa kopi merupakan sarana penentuan

grade, dan juga melatih para cuppers dalam meningkatkan kemampuan mendeskripsikan citarasa kopi. Cupping yang baik akan menghasilkan data deskripsi atribut sensori dari sampel kopi sekaligus menentukan sejauh mana kualitas kopi itu akan diterima oleh segmen pasar tertentu, yang dalam hal ini adalah pasar spesialti. Metode cupping ini menurut FernándezAlduenda dan Giuliano (2021), didesain untuk praktis dan mudah digunakan, serta dapat memengaruhi harga kopi spesialti. Sistem cupping ini diperkenalkan dan distandarisasi pada tahun 90-an oleh Specialty Coffee Association America (SCAA), yang kini menjadi Specialty Coffee Association (SCA), dan dibukukan dalam SCA Cupping Protocols, yang di dalamnya mencakup semua aspek standar cupping mulai dari tahapan persiapan sampel, ruangan dan peralatan serta bagaimana menyusun sampel kopi beserta tata laksana evaluasi sampel itu sendiri. SCA cupping protocols (SCAA, 2015) ini juga telah dimodifikasi untuk menyesuaikan kondisi pandemi Covid-19 pada tahun 2020.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa metode cupping pada kopi (Gambar 3) mengevaluasi atribut yang meliputi fragrance/aroma, flavor, acidity, body, aftertaste, balance, sweetness, uniformity, clean cup, overall, dan sensory defects dengan skor maksimal 100. Definisi

Gambar 2. Rerata skor intensitas untuk atribut sensori kopi Arabika Aceh Gayo wine (Sunarharum dan Farhan, 2020)

Gambar 3. Cupping kopi

masing-masing atribut disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan sudut pandang SCA, beberapa penentu status spesialti adalah atribut sweetness, uniformity dan clean cup sehingga jika kopi dinilai tidak manis, tidak seragam, maupun memiliki skor rendah untuk clean cup maka skor totalnya akan rendah, dan nilai pasar atau harga jualnya juga dinilai lebih rendah. Adapun adanya kecacatan secara sensori pada sampel kopi yang diuji juga menentukan kopi tersebut berkualitas spesialti atau tidak.

Sistem cupping mengikuti SCA ini secara umum mengadopsi beberapa metode evaluasi sensori yang disimplifikasi sesuai kebutuhan cuppers. Pengujian yang dilakukan ini melibatkan uji deskriptif, yang ditunjukkan dengan deskripsi notes atau atribut yang dipersepsikan dengan skala intensitas tertentu, uji check-all-that-apply (CATA) untuk uniformity, sweetness, dan clean cup, dan uji skala hedonik. Akan tetapi, metode cupping inipun memiliki perbedaan dan tidak dapat menggantikan metode analisis deskriptif untuk kebutuhan profiling yang lebih spesifik.

Dalam cupping sesuai standar SCA, digunakan bahasa atau

Tabel 1. Definisi atribut yang digunakan pada metode evaluasi sensori kopi sesuai SCA Cupping Protocols

Atribut Definisi

Fragrance/aroma Atribut aromatik yang dievaluasi ketika bubuk kopi masih kering (fragrance) dan ketika bubuk kopi telah diseduh dengan air panas (aroma)

Flavor Perpaduan antara persepsi dan semua sensasi gustatory di dalam mulut dan aroma retronasal sesaat sebelum mengevaluasi aftertaste.

Aftertaste Sensasi yang memiliki durasi dan dirasakan di belakang lidah setelah kopi ditelan (meninggalkan rongga mulut)

Body Kualitas ketebalan dan tekstur cairan kopi yang dirasakan di antara lidah dan langit-langit mulut

Acidity Karakter asam yang menyenangkan/cerah, terutama bila dipersepsikan sebagai asam buah-buahan matang namun akan menjadi “kecut” bila tidak menyenangkan. Karakter ini dapat dideteksi ketika kopi pertama kali masuk ke dalam mulut.

Balance Aspek keseimbangan antara atribut flavor, aftertaste, acidity dan body yang saling melengkapi dan minimnya dominansi salah satu atributatribut tersebut.

Sweetness

Uniformity

Clean cup

Overall

Sensory defects Persepsi rasa manis yang menyenangkan dan jelas dari seduhan kopi. Keseragaman atau konsistensi semua aspek dari keseluruhan sampel yang dievaluasi Tidak adanya kesan negatif yang mengganggu sejak kopi masuk ke dalam mulut hingga aftertaste. Apek penilaian dari keseluruhan atribut yang memuat unsur subjektif/ preferensi dari panelis. Aspek negatif yang bersifat mereduksi kualitas keseluruhan kopi yang dievaluasi. Taint adalah aspek defect yang memiliki intensitas rendah/ bersifat aromatik. Sedangkan Fault adalah aspek defect yang memiliki intensitas tinggi dan mengganggu rasa.

kosakata (lexicon) yang sama untuk mengidentifikasi atribut sensori yang dijumpai pada kopi sebagaimana ditawarkan oleh coffee taster’s flavor wheel. Flavor wheel terbaru yang dikembangkan oleh SCA dan World Coffee Research (WCR) pada tahun 2016 meliputi sekitar 110 atribut cita rasa yang dapat dijumpai pada kopi, dan digunakan dalam penyamaan persepsi panelis atau cuppers dalam mengevaluasi kopi. Kosakata sensori ini maupun referensi yang digunakan misalnya aroma kit terus dikembangkan, termasuk di beberapa negara lainnya untuk mengakomodir perbedaan istilah dan persepsi secara kultural, namun memiliki tujuan yang sama, untuk membantu proses komunikasi sensori dalam evaluasi sensori kopi.

Selain istilah dan kosakata yang digunakan, jumlah cuppers yang diperlukan dalam satu pengujian sangat menentukan keakuratan dan

validitas data yang dihasilkan. Akan tetapi, kebutuhan ini kembali lagi bergantung kepada tujuan evaluasi sensori (dalam hal ini cupping) yang dilakukan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai panelis sensori. Semakin banyak jumlah panelis atau cuppers maka data yang dihasilkan akan lebih akurat. Meskipun pada kondisi tertentu 1 orang panelis ahli saja dapat digunakan untuk mengevaluasi kopi dengan metode cupping ini, setidaknya 3 orang panelis ahli (Q atau R-grader) dianggap dapat memenuhi kecukupan analisis secara statistik untuk meminimalisir eror (FernándezAlduenda dan Giuliano, 2021). Perlu dicatat bahwa penggunaan manusia sebagai instrumen uji juga memiliki keterbatasan, diantaranya subjektivitas serta risiko bias dan galat dalam pengujian yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa diantaranya dijelaskan dalam Lawless dan Heymann (2010) dan Meilgaard, et al. (2007) yaitu adaptasi maupun kejenuhan cuppers, kemudian dumping effect yang dapat terjadi ketika salah satu atribut negatif ditemukan pada produk dan dapat memengaruhi penilaian negatif pada atribut lainnya. Selanjutnya, galat juga dapat terjadi karena perbedaan

ekspektasi, faktor kebiasaan, eror karena stimulus dan logika yang salah, misalnya jika warnanya lebih hitam maka lebih pahit. Selain itu, halo effect juga dapat terjadi ketika lebih dari satu atribut sampel dievaluasi dan ratingnya cenderung saling memengaruhi, misalnya jika secara umum produk kopi disukai maka seluruh atribut yang diuji cenderung juga disukai. Bahkan, di dalam pengujian formal untuk sampel kopi secara individu, sebaiknya interaksi atau diskusi antar cuppers diminimalisir (kecuali saat pelatihan dan diskusi). Hal ini diperlukan untuk mengurangi distorsi pada skor yang dihasilkan karena pengaruh berbagai masukan dan dominasi cuppers tertentu.

Rekomendasi

Berdasarkan yang telah disampaikan, jelas bahwa evaluasi sensori untuk kopi memang tidak mudah, sehingga ini bukan hanya sekedar mencicipi saja. Berbagai upaya perlu dilakukan agar hasil evaluasi akurat, valid, dan dapat diterima, tentunya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satunya adalah upaya mengurangi bias dan galat yang dapat dilakukan diantaranya dengan randomisasi sampel yang diuji atau blind-coding yaitu memberikan kode pada sampel tanpa informasi awal yang dapat memengaruhi penilaian sampel. Patut diapresiasi bahwa menjadi seorang Q-atau R-graders membutuhkan proses pelatihan intensif sehingga kemampuan dalam mengevaluasi sensori telah terstandar, begitu pula dengan pelatihan sebagai panelis terlatih atau ahli lainnya. Namun, panelis ini tetap perlu dikalibrasi untuk menyamakan persepsi kembali serta diberi pelatihan dan eksposur sensori dengan menggunakan referensi dan bahasa ataupun kosakata yang sama untuk penilaian atribut sensori. Penting pula diperhatikan jumlah cuppers yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan dan disarankan sejumlah minimal 3 orang untuk panelis ahli (Q- dan R-graders). Selain itu, pada proses pelatihan ataupun pengujian sampel perlu dilakukan evaluasi performansi cuppers atau panelis yang meliputi sensitivitas, kemampuan diskriminatif atau membedakan atribut, kemampuan untuk mengulang dengan hasil yang sama (reproducibility), dan kesesuaian dengan consensus (agreement). Dengan demikian, evaluasi sensori kopi melalui metode yang dipilih akan menghasilkan data yang valid.

Pustaka

Fernández-Alduenda, MR and Giuliano, P. 2021. Coffee

Sensory and Cupping Handbook. Edition No.01.

Specialty Coffee Association. Lawless, HT and Heymann, H. 2010. Sensory Evaluation of Food: Principles and Practices In Food Science Text

Series, Lawless, HT; Heymann, H, Eds. Springer New

York: New York. Meilgaard, M., Civille, GV, and Carr, BT. 2007. Sensory

Evaluation Techniques. 4 ed.; CRC Press Taylor &

Francis Group: Boca Raton. SCAA. 2015. SCAA Protocols: Cupping Specialty Coffee.

Specialty Coffee Association America: USA. Sunarharum, WB and Farhan, M. 2020. Effect of manual brewing techniques on the sensory profiles of Arabica coffees (Aceh Gayo wine process and Bali Kintamani honey process) IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 454 012099.

SELAMAT

KEPADA PEMENANG KUIS FRI DIGITAL #18 (EDISI MARET 2022)

Widya Natalia Suryadi ------ Universitas Pelita Harapan Susilowati ------ PT. Sumber Food Ingredient Yopa Faizal Reza ------ Swasta Nanda Hasanah ------ OSF Flavors Indonesia Susi ------ PT. Siantar Top Tbk

Pemenang harap konfirmasi ke tautan berikut: http://bit.ly/KONFIRMPEMENANGKUIS

atau dapat menghubungi nomor berikut: +62 811 1190 039

MINI DIREKTORI

PT. FineTek Automation Indonesia

Providing complete customized solutions for a wide range of industrial automation process applications – in liquid level, flow, pressure and temperature

021-2958-1688

info.id@fine-tek.com www.fine-tek.com

PT. Austindo Nusantara Jaya Tbk.

Sago & Edamame

+62 21 2965 1777

+62 21 2965 1788

corsec@anj-group.com

www.anj-group.com

Ottera

Oterra is the largest provider of naturally sourced colors worldwide

65-6631 9294

sgcaso@chr-hansen.com

https://oterra.com

PT REL-ION STERILIZATION SERVICES

Eliminasi Bakteri Patogen, Sterilisasi, Polimerisasi

021-88363728, 021-8836 3729

021-88321246

yayuk@rel-ion.co.id

www.rel-ion.com

PT INDESSO NIAGATAMA & PT INDESSO CULINAROMA INTERNASIONAL

Snack Seasonings, Savory Ingredients, Aroma Chemicals, Essential Oils & Food Ingredients

021 386 3974

021 385 0538

contact@indesso.com

www.indesso.com

PT Ajinomoto Indonesia

Ajinomoto Visitor Center dan Pabrik Ajinomoto

0822 8600 5070

visitor_center@ajinomoto.co.id

http://www.ajinomoto.co.id/

PT. Mitra Kualitas Abadi (Catalyst Consulting)

Training, Consulting, Assesment/audit, Mystery Shopping Provider

089-9999-7867

info@catalystconsulting.id www.catalystconsulting.id Catalyst Consulting

consulting.catalyst

KOTRA Surabaya: Korea Food Expo 2022

Korea Trade and Investment Promotion Agency Surabaya is Holding an Online Business Matching Event for Indonesian Importers and Korean Suppliers for Processed Food, Snacks, Drinks, Food Machinery, etc.

+62 31 9921 0211

+62 87 708 708 139

ladiartos@kotrasby.org

https://bit.ly/KFE22Reg (Free Registrasi) https://bit.ly/KFE2022Cat (Catalog)

Want to see Your Company in this section? Send us an email :

tissa@foodreview.co.id | andang@foodreview.co.id

Healthier Snack & Confectionery

Obesitas masih menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia. Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa proporsi obesitas pada dewasa >18 tahun masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Obesitas memiliki dampak yang serius pada kesehatan manusia seperti peningkatan trigliserida dan penurunan kolestrol HDL serta potensi penyakit lain seperti jantung koroner, diabetes, stroke, dan lain sebagainya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan obesitas di antaranya adalah faktor genetik, faktor obat-obatan dan hormonal serta faktor lingkungan yang termasuk di dalamnya adalah pola makan. Jumlah asupan energi yang berlebih menyebabkan obesitas. Beberapa jenis makanan dengan kepadatan energi yang tinggi (lemak, gula, kurang serat) menyebabkan ketidakseimbangan energi. Untuk itu, sudah saatnya produsen pangan juga turut berkontribusi dalam menyediakan pangan yang lebih sehat untuk mendukung penurunan angka obesitas. Menangkap hal tersebut, FoodReview Indonesia edisi mendatang akan membahas topik healthier snack & confectionery dari berbagai sisi untuk memberikan informasi komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dan industri pangan saat ini.

Pemasangan iklan, pengiriman tulisan atau berita seputar teknologi dan industri pangan, silakan hubungi:

FOODREVIEW INDONESIA telepon (0251) 8372333 | +62 811 1190 039 email: redaksi@foodreview.co.id & marketing@foodreview.co.id Cantumkan nama lengkap, alamat, email dan nomor telepon Anda.

This article is from: