This Is What A Million Dollars Look Like

Page 1

Mata Kuliah SR3103 Kritik Seni Rupa I

eleng (1998 uC

s

ion dollars l l i look h at a m lik e

)

T hi

is w

tik Berbur i r K


Mata Kuliah SR3103 Kritik Seni Rupa I

Qanissa Aghara (17019004) Athiyya Yumna Arifa (17019012) Karen Clahilda Gabriela (17019020)

Jinan Laetitia (17019026) Tasya Merari Elizabeth (17016030) Raihanah Saarah Febriza (17019036)


“Pelukis Satu Miliar”, begitulah banyak orang menyebut nama Djoko Pekik. Seorang perupa Indonesia kelahiran Grobogan, Jawa Tengah tahun 1937 silam itu mendapatkan julukan tersebut karena berhasil menjual lukisannya yang berjudul “Berburu Celeng” seharga Rp1 miliar. Selama hidup karirnya sebagai seniman, nama Djoko Pekik telah menghimpun bobot yang mewujudkan penjualan serta pengakuan yang ia miliki pada masa ini. Mulai dari kontroversi terkait organisasi sayap kiri hingga penggambaran problema kerakyatan dalam lukisannya, Djoko Pekik memberikan pencerahan akan sejarah serta kenyataan yang berlanjut di Indonesia.


Djoko Pekik bukanlah sosok seniman yang datang dari latar belakang akademis. Namun hal itu tidak memutuskan beliau untuk berkarya. Bahkan dengan karir sekolah dasarnya yang tidak selesai, Djoko Pekik dapat membuat karya dengan notasi yang diakui secara internasional..

Sampul Buku LEKRA (Kepustakaan Populer Gramedia) Sumber : https://doniahmadi.medium.com/lekra-setelah-50-tahun-a035beb8efd

Perjalanan Djoko Pekik menuju kesuksesannya dalam dunia seni berawal saat beliau belajar menggambar di Sanggar Bumi Tarung, sebuah sanggar seni di bawah asuhan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang terkenal atas afiliasinya dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Talenta dan kemahiran Djoko Pekik selama berkarya di sanggar tersebut diakui dan sempat mendapat penghargaan dalam sebuah pameran tingkat nasional yang diadakan oleh LEKRA pada tahun 1964. Djoko Pekik memilih untuk melanjutkan menuntut ilmu di Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada tahun 1957, yang sekarang dikenal dengan nama Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Beliau mempelajari seni lukis di akademi tersebut hingga tahun 1962.


Pelukis Djoko Pekik berpose untuk Beritagar.id di kediamannya, Pelataran Djoko Pekik, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Sumber : https://lokadata.id/artikel/dunia-celeng-dan-pisuhan-djoko-pekik

Hubungan kuat Djoko Pekik dan LEKRA semasa karirnya berdampak buruk bagi kehidupannya pasca peristiwa G30/S PKI pada yang terjadi tahun 1965. Dengan hukum yang mengharuskan semua organisasi yang berbau komunis dihapuskan serta tokoh-tokoh sosialis ditahan, Djoko Pekik menemukan dirinya sebagai tahanan politik pada 8 November 1965 di penjara Wirogunan. Dalam waktunya di penjara, beliau melalui berbagai siksaan seperti dipukuli oleh moncong senjata yang menyebabkan telinga kirinya mengalami gangguan pendengaran. Pada tahun 1972, Djoko Pekik dilepaskan setelah tujuh tahun di balik jeruji. Demi menghidupi dirinya dan istrinya bernama C.H. Tini Purwaningsih yang beliau nikahi dua tahun silam, Djoko Pekik bekerja sebagai tukang jahit.


Kebangkitan kembali Djoko Pekik dalam dunia kesenian dimulai saat seorang sarjana lukis bernama Astari Rasyid meneliti karyanya untuk menyelesaikan disertasinya. Hasil tulisan Astari mendapat banyak perhatian dari dalam dan luar negeri, sehingga Djoko Pekik dapat berikut serta dalam sebuah pameran di Amerika Serikat pada tahun 1989. Melejit kembali beserta kontroversi, dengan nama Djoko Pekik yang dibisikkan sebagai seniman tahanan politik orde baru. Nama Djoko Pekik kian ramai dibicarakan dan tidak turut menyepi, hingga ‘Berburu Celeng’ (1998) lahir, membuatnya semakin dikenal oleh khalayak umum. Pada saat itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang luar biasa pada tahun 1998 silam. Nilai mata uang rupiah anjlok, ratusan perusahaan bangkrut dan melakukan pemutusan hubungan kerja, harga kebutuhan pokok meroket tak terkendali dan sulit diperoleh. Di sisi lain, praktik pemerintahan orde baru yang dinilai sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme membuat pemerintah kehilangan legitimasi hingga memicu kemarahan rakyat.

Djoko Pekik berpose di depan lukisannya 'Berburu Celeng’ (1998) Sumber : https://www.sastra.xyz/2019/01/djoko-pekik-go-international.html


Indonesia di Tahun 1998 Ketika krisis ekonomi semakin parah melanda Indonesia, mahasiswa melakukan demonstrasi untuk mengkritik kesewenang-wenangan rezim orde baru, yang puncaknya terjadi pada Mei 1998. Ribuan mahasiswa turun ke jalan dan ditindak secara represif oleh aparat sehingga memakan korban jiwa, gugurnya empat mahasiswa. Hal ini mendorong terjadinya gelombang kritik yang semakin besar terhadap pemerintah, dan bertujuan untuk menamatkan riwayat Orde Baru. Berbagai peristiwa yang tidak terkendali terjadi pada saat itu. Penjarahan, pembakaran, berbagai kerusuhan, pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, dan puncaknya adalah mundurnya Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun. Lengsernya Soeharto menjadi titik awal Indonesia memasuki era baru, yaitu era reformasi.

Peristiwa reformasi ini sangat berpengaruh terhadap dunia seni rupa Indonesia, dan menjadi inspirasi untuk penciptaan karya-karya seni yang luar biasa. Tema-tema yang berkaitan dengan ketidakadilan, kehidupan yang serba represif, dosa-dosa politikus, dan kondisi sosioekonomi pada saat itu, dihadirkan oleh para perupa dalam karya-karyanya. Para perupa menjadikan karya seni mereka sebagai kritik sosial. Kesadaran para seniman bahwa seni harusnya menyuarakan kritik sudah mengemuka sejak pertengahan dekade 1990-an, meskipun hal ini menyebabkan mereka mengalami ketidakadilan, sampai dihukum penjara tanpa menjalani proses peradilan, seperti dialami oleh Djoko Pekik pada tahun 1965-1972. Hal ini tidak menyurutkan mereka untuk terus berkarya dan tetap berani menumpahkan ekspresi berupa kritik sosial, ke dalam bentuk karya seni.


Penuh, semarak namun janggal, mungkin itulah kesan pertama yang didapatkan ketika menyaksikan lukisan Djoko Pekik bertajuk ‘Berburu Celeng’ ini. Bagaimana tidak, hampir separuh bagian pada lukisan ini nampak didedikasikan khusus pada gumpalan warna hitam yang merupakan seekor babi, digotong dengan bambu oleh dua orang berperawakan kurus kerempeng.

'Berburu Celeng’ (1998) karya Djoko Pekik Sumber : http://buku-otobiografi.blogspot.com/2016/12/biografi-djoko-pekik-dan-lukisannya.html


Bukan akhir dunia, bukan kedatangan nabi yang lain, melainkan kedatangan celeng-lah yang membuat (hampir semua) mata berbagai figur dalam lukisan tertuju. Alih-alih hal tersebut, ada lagi yang menangkap perhatian massa, separuh bagian lain dari lukisan menampakkan sekelompok orang seolah menari—berpose—dengan penuh penjiwan bersorak mencemooh kedatangan Celeng. Dibalut pakaian dan aksesoris berupa-rupa—kelompok ini nampak eksentrik sesuai perannya masing-masing.


Gerombolan manusia ini berdiri di atas bidang dengan sapuan dominan warna putih, dilengkapi warna-warna lain, seperti krem, semburat abu-abu dan hitam. Komposisi warna ini menghasilkan citraan yang mencirikan pantulan cahaya. Samar-samar pantulan gerak gerik tanpa atau dengan alas kaki tampak melaluinya—seolah kejadian ini berlangsung di atas cermin yang luasnya hiperbolik minta ampun. Bayangkan saja, cermin yang rapuh menampung ratusan—bahkan ribuan manusia yang bermuara. Sisanya, sepertiga bagian atas lukisan ini diakuisisi oleh lautan manusia yang digambarkan satu persatu hingga bagian terujungnya—hilang di ‘titik hilang’-nya.


Janggal lagi, tampak bidang yang diwarnai hitam pekat, melintang secara horizontal disertai komposisi warna hitam vertikal yang dilukisan secara terpenggal-penggal, tenggelam di antara lautan keramaian, pekat hitamnya seolah menandingi Si Celeng—tokoh utama dalam lukisan. Bidang melintang ini dipersepsikan sebagai sebuah jembatan layang, berdiri tegak, kokoh menyambangi lautan manusia—tidak mampu diganggu gugat. Latar pada lukisan ini kemudian dirangkum secara cerdas melalui penampakan lanskap kota nun jauh di titik hilang. Bidang persegi dilukiskan berulang dengan paduan warna putih tulang, salem, dan abu-abu, menjulang ‘kecil-kecil’ di belakang, saling melengkapi keberadaan satu dan lainnya. Jika bidang-bidang ini berdiri sendiri, mana mungkin dianggap serupa lanskap perkotaan.

Sebagai pengamat, selain celeng-sentris, penulis merasakan betapa antroposentrisnya lukisan ini. Bahkan, jika penampakan celeng tidak memenuhi separuh bagian lukisan, ia tidak akan terlihat dominan dan justru ‘ditelan’ oleh keberadaan manusia. Celeng digambarkan tidak berdaya, kontrol yang dimilikinya hanya sebatas beban tubuh yang memberatkan bambu hingga agak melengkung. Dominansi manusia dengan hebat memenuhi lukisan ini, bersusah payah saling berdesakan–meskipun sadar bahwa mereka bukanlah bintangnya.


Penggunaan warna dengan saturasi tinggi berkutat di bagian tengah karya, warna kontras ini memberikan rona berbeda antara manusia dan objek-objek lainnya. Sapuannya berkarakter, terdapat beberapa bagian yang kontrasnya dibiarkan sebagaimana adanya, namun disisi lain terdapat bagian lain yang disapukan hingga halus transisi warna-warnanya. Di beberapa bagian terdapat semburat berwarna biru–tampak seperti bentuk underpainting yang menyembul pada permukaan kanvas. Tulang, tekstur kulit, dan anggota tubuh menjadi sesuatu yang nampak sengaja dikontraskan oleh seniman. Terdapat intensi seniman dalam menggambarkan manusia dengan kesan dramatis, mulai dari penggambaran struktur ototnya hingga gestur yang diciptakannya. Penggambaran figur pada lukisan ini menjadi cenderung ekspresif ketimbang realis berkat warna dan sapuan yang diintensikan seniman. Sedangkan aspek non-figur lainnya, digambarkan seadanya—hanya sampai objek tersebut mampu dicirikan sebagai sesuatu.

'Berburu Celeng’ (1998) karya Djoko Pekik Sumber : https://www.jawapos.com/art-space/seni-rupa/23/05/2021/raykan-lengsernya-soeharto-lukisan-celeng-djoko-pekik-laku-rp-1-m/


Subyektivitas pada lukisan ‘Berburu Celeng’ (1998) merupakan sebuah cerminan akan kondisi masyarakat pada saat itu, atau bahkan, menjadi suatu bentuk rekam jejak personal seniman terhadap peristiwa lengsernya Soeharto. Di tengah segala hiruk pikuk perkotaan dan lautan masyarakat, ada beberapa subyek yang menjadi sorotan utama dalam ‘Berburu Celeng’ (1998). Adapun di bagian kiri lukisan, terdapat dua orang pria dengan perawakan tubuh kurus kerempeng tampak sedang mengangkut celeng hasil buruan. Digambarkan dengan ekspresif, tubuh kedua pria yang mengenakan sarung dan bertelanjang dada ini terkesan distortif karena adanya penekanan lekukan pada tubuh. Celeng gemuk berwarna hitam—dengan ekspresi marah dan meronta-ronta—diikat pada sebatang bambu dengan hanya menggunakan seutas tali tambang berwarna putih pucat, cukup berkontradiksi terhadap ukuran tubuh dan lengkungan bambu yang ditimbulkannya. Hal ini serta postur kedua lelaki yang masih terlihat wajar–meskipun sedikit hiperbolik pada lengkungan tubuhnya—membuat celeng terkesan tidak terlalu berat.


Seperti yang telah dirujuk pada bagian sebelumnya, pada bagian kanan, terdapat sekelompok massa terlihat sedang mementaskan suatu performans. Kehadiran kelompok performans ini membuat lukisan menyala dengan warna festivitas, mengindikasikan suatu hal baik yang telah terjadi—sebuah perayaan. Figur-figur ini mengenakan busana yang berbeda-beda, memberikan ruang bagi pengamat untuk menafsir perbedaan peran antara satu dengan yang lain. Dua figur paling depan dilukiskan dengan atasan garis-garis—figur yang ada di bagian kiri dilukiskan dengan atasan bergaris merah hitam, sedangkan figur yang tepat berada disebelahnya menggunakan atasan bergaris hitam putih. Kedua figur ini menggunakan topeng, figur dengan atasan bergaris merah hitam menggunakan topeng yang menyerupai raut tokoh ‘cepot’ berwarna merah senada dengan busananya. Lengkap dengan selendang dan celana panjang, tata busana dari kedua figur ini mengingatkan pengamat akan pertunjukan ‘pantomim’ yang identik dengan pakaian bergaris dan gestur yang sangat performatif. Diantaranya pula, terdapat empat figur perempuan bertopeng putih dengan busana tradisional. Keempatnya mengenakan hiasan kepala yang terinpirasi dari atribut pewayangan serta kacamata hitam, juga selendang layaknya penari tradisional. Selain keempat perempuan ini, ada juga beberapa penari lainnya dengan kaus putih dan topeng putih. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa sekelompok figur pada sebelah kanan merepresentasikan sekelompok penampil, menambahkan kesan meriah nan kental pada ‘Berburu Celeng’ (1998).


Selain subyek-subyek tersebut, lautan masyarakat yang nampak menjadi latar belakang lukisan ini terlihat mengangkat beberapa spanduk, seperti sedang melakukan demonstrasi massal. Suasana ini tentunya sudah tidak jarang lagi dikaitkan dengan peristiwa lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Dilengkapi dengan latar jembatan layang beserta gedung-gedung pencakar langit yang berdiri, memberikan para pengamat pandangan akan suasana kota di Indonesia. Adapun menurut Djoko Pekik sendiri, "Tetapi siapakah yang dapat menghalangi kekuatan rakyat? Lihatlah di Yogya, pada 20 Mei 1998 lalu, beribu-ribu rakyat mengalir bagai banyu gumrojog." Sejalan dengan pernyataan tersebut, lukisan ini menghadirkan suasana hiruk-pikuk perkotaan dalam menggambarkan kekuatan rakyat di antara tembok-tembok beton yang mengelilingi.


Lukisan ‘Demit 2000’ (2001) menggambarkan figur seseorang berjas hitam tengah duduk di kursi merah sambil memegang mikrofon. Dengan mulut menganga dan mata melotot, figur inilah yang disebut sebagai demit oleh Djoko Pekik. Pada latar belakang lukisan ini berjajar beberapa figur yang memakai seragam yang serupa yaitu jas abu-abu dan topi peci hitam di depan bendera Indonesia, sambil membuka mulut seperti menyanyi. Lukisan ‘Demit 2000’ (2001) menampilkan beberapa kontras warna seperti warna kuning dan merah yang mencolok. Bila disandingkan dengan ‘Berburu Celeng’ (1998), kedua karya ini sama-sama membahas konteks politik dan relevansinya pada masyarakat Indonesia saat itu. Makna politik yang secara blak-blakan ditampilkan melalui penggambaran bendera merah putih Indonesia. Dapat dikonklusikan bahwa dalam proses berkaryanya, Djoko Pekik cenderung mengangkat topik-topik yang hadir dan menjadi ramah bagi masyarakat luas.

Demit (2000) (Djoko Pekik - 2001) - Galeri Nasional Sumber : http://galeri-nasional.or.id/collections/424-demit_2000


Penjual Mainan (1986) karya Djoko Pekik Sumber : http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/djoko-pekik

Berbeda dengan lukisan ‘Berburu Celeng’ (1998) dan ‘Demit 2000’ (2001), lukisan ‘Penjual Mainan’ (1986) memiliki unsur kehidupan sosial. Karya ini memang tercipta hampir satu dekade sebelum lahirnya ‘Berburu Celeng’ (1998). Dalam lukisan ini terdapat sosok perempuan yang mengenakan pakaian sehari-hari tradisional Jawa sebagai objek utama lukisan. Perempuan tersebut sedang berjalan tanpa alas kaki, wajahnya menggerutu sambil membawa keranjang berisi mainan yang digendong di punggung belakangnya. Rambutnya digelung dan kedua tangannya mengangkat kain bawah sebagai roknya. Kakinya terlihat sangat kurus. Tangan kirinya sambil menggengam rok sambil mengenggam sesuatu yang nampak seperti mainan anak-anak. Ada warna merah yang mencolok hadir dalam lukisan ini sebagai ikat pinggang. Warna merah menjadi sesuatu yang familiar, karena kerap hadir dalam lukisan ‘Berburu Celeng’ (1998), ‘Demit 2000’ (2001) dan ‘Penjual Mainan’ (1986). Wadah lukisan yang dibuat sebagai media ekspresi oleh Djoko Pekik ini, tetap memilki objek keramaian sebagai latar belakang lukisannya. Bedanya di lukisan ini yang menjadi keramaian bukanlah figur manusia, melainkan mainan yang memiliki palet warna mirip dan persis dengan satu sama lain. Hal yang menjadi konsep dalam lukisan ini bukanlah politik seperti di dua lukisan sebelumnya, melainkan perwujudan rasa kekesalan terhadap situasi sosial, pengamatan yang berasal dari empati akan keadaan masyarakat Indonesia yang masih banyak harus bekerja keras dalam sifat ironi yang disimbolkan dengan kaki kurus tanpa alas kaki. Barangkali bentuk kekesalan yang hadir adalah residu dari pada efek trauma yang timbul dalam masyarakat jawa akibat dari penjajahan. Dilihat pula dari tahun pembuatannya 1986, Lukisan ‘Penjual Mainan’ (1986) mempunyai kemungkinan untuk mengkritisi politisi Indonesia yang masih membuat masyarakatnya susah dan marah.


Melalui berbagai elaborasi yang diutarakan di atas, bukanlah hal yang tidak mungkin adanya penyematan titel ‘Pelukis Satu Miliar’ pada Djoko Pekik. Subjek-subjek dalam lukisan disimbolkan secara simbolik, senantiasa mewakilkan suatu narasi. Dedikasinya dalam melukiskan keadaan sosial—bahkan sampai dicirikan dengan genre lukis realisme sosial, begitupun peran dan dedikasinya terhadap ‘perjuangan kelas’--keadaan masyarakat, keadilan pada ‘wong cilik’--merupakan bukti konkrit yang cukup padat dan lugas dari kepiawaian beliau dalam mengemas gagasannya terutama melalui karya seni.


Daftar Pustaka

Demit 2000 (Djoko Pekik - 2001) - Galeri Nasional, diperoleh melalui situs internet: http://galeri-nasional.or.id. Diakses pada tanggal 14 Desember 2021. Djoko Pekik, diperoleh melalui situs internet: http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/djoko-pekik. Diakses pada tanggal 14 Desember 2021. Dunia Celeng dan Pisuhan Djoko Pekik, diperoleh melalui situs internet: https://lokadata.id/artikel/dunia-celeng-dan-pisuhan-djoko-pekik. Diakses pada tanggal 13 Desember 2021. Lukisan dan Biografi Djoko Pekik, diperoleh melalui situs internet: http://archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/LUKISAN%20DAN%20BIOGRAFI%20DJOKO%20PEKIK%20_%20LUKISAN%20 ORIGINAL%20KARYA%20PELUKIS%20MAESTRO%20TERKEN AL.pdf. Diakses pada tanggal 13 Desember 2021.. Rayakan Lengsernya Soeharto, Lukisan Celeng Djoko Pekik Laku Rp 1 M, diperoleh melalui situs internet: https://www.jawapos.com/art-space/seni-rupa/23/05/2021/rayakan-lengsernya-soeharto-lukisan-celeng-djoko-pekik-laku-rp-1-m/. Diakses pada tanggal 14 Desember 2021. Zakaria, A., 2018. Dunia celeng dan pisuhan Djoko Pekik. [online] Lokadata.ID. Available at: <https://lokadata.id/artikel/dunia-celeng-dan-pisuhan-djoko-pekik> [Accessed 13 December 2021].


Daftar Pustaka

Safutra, I., 2021. Rayakan Lengsernya Soeharto, Lukisan Celeng Djoko Pekik Laku Rp 1 M. [online] JawaPos.com. Available at: <https://www.jawapos.com/art-space/seni-rupa/23/05/2021/rayakan-lengsernya-soeharto-lukisan-celeng-djoko-pekik-laku-rp-1-m/> [Accessed 13 December 2021]. Indonesia, C., 2020. 12 Mei 1998, Krisis Ekonomi-Politik Hingga Kejatuhan Rezim. [online] cnnindonesia.com. Available at: <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200511230413-20-502279/12-mei-1998-krisis-ekonomi-politik-hingga-kej atuhan-rezim> [Accessed 14 December 2021]. Parandaru, I., 2021. Sejarah Peristiwa Mei 1998: Titik Nol Reformasi Indonesia. [online] Kompaspedia. Available at: <https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sejarah-peristiwa-mei-1998-titik-nol-reformasi-indonesia> [Accessed 14 December 2021]..


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.