88 Vol. No. 1, 2013 DIA L 32, OG Prisma Prisma
Christianto Wibisono:
Pasar Itu Lebih Tua dari Marxisme SEPEREMPAT abad silam Richard Robison menerbitkan sebuah buku berjudul Indonesia: The Rise of Capital (1986). Buku berisi pemetaan detail tentang munculnya faksi-faksi modal di era Orde Baru itu telah menjadi semacam studi klasik tentang pertumbuhan kapitalisme di Indonesia dari sudut pandang studi ekonomi politik. Setelah reformasi, lanskap ekonomi politik di Indonesia berubah seiring dengan perubahan kekuasaan. Di era pasar bebas dewasa ini, kekuatan-kekuatan bisnis memunculkan wajah baru. Sebagian di antaranya bertukar tempat dengan pemain lama. Namun muncul banyak kritik. Misalnya, liberalisme pasar ternyata belum bisa membuat para pengusaha nasional menjadi tuan di negeri sendiri. Pertanyaan tentang sejauh mana liberalisme harus dilakukan kembali mengemuka di tengah sentimen nasionalisme yang menghendaki proteksi bagi ekonomi nasional. Peran negara yang berhasil melahirkan dan membesarkan konglomerat Tionghoa di era Orde Baru, kini kembali ditinjau oleh sebagian kalangan dan bahkan ingin ditarik kembali untuk mengatur pasar. Di era reformasi ini, haruskah negara kembali melakukan intervensi dan/atau melindungi industri nasional? Christianto Wibisono memberikan komentar seputar isu itu. Dia melihat dari sudut berbeda dengan apa yang pernah dipaparkan Richard Robison seperempat abad silam. Berikut petikan dialog Nezar Patria dan Arya Wisesa dari Prisma dengan mantan Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) itu pada penghujung tahun 2012 di Jakarta.
Prisma: Salah satu tesis Richard Robison dalam buku Indonesia: The Rise of Capital adalah kapitalisme tidak akan muncul dan ada di Indonesia tanpa peran negara yang kuat. Bagaimana komentar Anda? Christianto Wibisono (CW): Kita harus melihat Indonesia sebagai bagian dari dunia yang secara generik dan universal sama. Ada beberapa persamaan dan perbedaan yang bisa dijumpai di setiap negara, dan ini bukan ciri khas kabalistik negara-bangsa. Namun, lahir dan pertumbuhan kapitalisme di negara-negara berkembang pada umumnya sulit dipisah dari peran negara. Negara harus melakukan intervensi sekaligus menjalankan peran nurturing.
Negara memang perlu memproteksi infant industry dalam negeri. Contohnya Jerman era Bismarck yang memproteksi industri domestik sebagai upaya mengejar ketertinggalannya dari Inggris dalam proses industrialisasi. Infant industri itu ibarat bayi usia di bawah lima tahun yang harus selalu diberi air susu, dididik, dan disapih. Bukan lagi proteksi tetapi pornografi bila ia telah berusia 25 tahun masih tetap menyusui. Pada usia itu infant industry sudah seharusnya mandiri dan naik tingkat menjadi orang dewasa serta tidak membebani “orangtua.� Kebanyakan negeri berkembang memang mengidap penyakit erzats capitalism. Kapitalis di Indonesia dikarbit dan dilindungi D I A L O G
Christianto Wibisono, Pasar Itu Lebih Tua dari Marxisme
negara agar tumbuh menjadi lebih mandiri, namun harapan demikian sulit terwujud karena mereka kerap memanfaatkan posisi sebagai aset nasional yang harus selalu dilindungi. Kita bisa mencontoh Korea Selatan dan Jepang. Pada awal tahun 1960-an, Presiden Koea Selatan Park Chung-hee giat mendorong pertumbuhan konglomerasi dalam tubuh BUMN dan Chaebol. Dia hendak membangun pabrik besi baja Pohang Iron and Steel Company (Posco), namun lembaga-lembaga keuangan internasional dan World Bank tidak bersedia mengucurkan kredit. Park Chung-hee bersikukuh membangun pabrik besi baja itu dengan modal “domestik.” Dia kemudian mengangkat Jenderal Park Tae-joon sebagai Presiden Direktur Posco dengan tugas utama “bertempur” melawan dominasi pabrik-pabrik besi baja China. Sekarang, setelah puluhan tahun diproteksi, Posco tampil sebagai salah satu perusahaan besi baja terbesar dunia yang sangat efisien. Begitu pula dengan semangat entrepreneurship yang dimiliki orang Jepang. Semangat itu terkadang bisa mengalahkan kalkulasi para birokrat Ministry of International Trade and Industry (MITI) Jepang. Para pengusaha Jepang jauh lebih kreatif ketimbang MITI. Cikal-bakal perusahaan otomotif Toyota dan Honda, misalnya. Pihak MITI dan World Bank menampik permintaan mereka yang hendak merancang dan memproduksi kendaraan bermotor sendiri. Bahkan, mereka “diimbau” membeli mobil dari General Motors saja. Namun pihak Toyota dan Honda bergeming. Bila semua kemauan MITI atau World Bank diikuti, sekarang ini tidak ada mobil merek Toyota ataupun Honda. Kapitalis di Indonesia selama puluhan tahun mengandalkan proteksi negara dan sangat bertumpu pada figur Suharto. Mereka enggan melakukan efisiensi. Barangkali ini salah satu kritik Richard Robison mengapa kapitalisme di Indonesia yang disponsori Suharto tidak bisa “mentas”. Karena selama 32 tahun tidak ada kompetisi dan tidak terjadi sirkulasi kepemimpinan nasional, mereka yang telah dan banyak menikmati proteksi negara selama puluhan D I A L O G
89
tahun tentu semakin mapan, mandek, stagnan, beku, dan tidak kreatif. Mereka tidak beranjak go global, tidak seperti Chaebol Korea Selatan yang setelah diproteksi puluhan tahun kemudian fight dan berkiprah di luar negeri, bahkan mampu menembus dan menguasai pasar. Sementara para pengusaha di Indonesia makin dimanjakan dengan proteksi, rakyat terusmenerus disuruh membeli barang mahal. Prisma: Negara Orde Baru setia menjalankan peran dengan memilih dan memilah siapa saja yang dianggap pantas memainkan peran seperti itu? CW: Saya tidak keberatan negara memproteksi infant industry. Namun ada sejumlah teori bersifat universal yang tak bisa ditolak. Bersikap antibisnis atau antikapitalis juga belum tentu benar. Sebagai contoh almarhum Deng Xiaoping yang menggebrak China pada 1978 dan mendebat marxis tulen yang mencapnya sebagai revisionis komprador kapitalisme dengan kiasan terkenal, “Tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.” Bila diartikan harfiah, China sudah mencoba Marxisme selama 30 tahun — sejak 1949 sampai 1979 — tetapi gagal menyejahterakan rakyat. China kembali ke sistem ekonomi pasar, because the market is older than Marxism. Pasar sudah ada ribuan tahun sebelum munculnya teori marxis. Deng bisa mengatakan seperti itu karena dia pernah mencoba ideologi komunis namun gagal. Sebaliknya gerakan-gerakan kiri di Eropa dan Amerika sampai sekarang merasa komunisme belum benar-benar gagal, karena mereka memang belum pernah menerapkannya di Eropa dan Amerika. Setiap ideologi sebaiknya diperlakukan secara eklektik; mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Jangan terlalu dogmatis harus kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lain. Komunisme mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak, namun yang kaya dan semakin makmur hanya kaum elitenya saja. Mereka ini lebih feodal dan sangat korup. Seperti sekarang ini dilakukan oleh salah seorang
90
Prisma Vol. 32, No. 1, 2013
petinggi di China. Dia mengampanyekan transparansi, namun tetap akan terjadi korupsi bila tidak ada check and balances; sebaik apa pun perilaku pejabat tinggi itu. Media juga seharusnya ikut mengambil peran. Misalnya, sebagian kalangan menilai pemerintah sekarang ini terlalu liberal dan menuntut pemerintah harus kembali ke etatisme. Tidak bisa model ekstrem seperti itu. Ambil jalan tengah. Pasar tidak terkontrol memang bisa membuat state bubar. Untuk mengatasi kegagalan pasar, negara harus masuk melakukan intervensi secara positif. Jangan melakukan intervensi negatif yang justru akan menutup dan mencekik pasar seperti pernah dialami China zaman Mao Zedong dan Indonesia era Orde Lama. Secara filosofisnormatif, Pancasila is the best karena berada di tengah dan tidak mau terlalu negara atau pasarsentris. Persoalannya, Pancasila sekarang ini cenderung menjadi slogan kosong. Ia tidak diterapkan dengan baik pada tataran kebijakan. Prisma: Pemerintah terkadang melakukan intervensi… CW: Intervensi positif yang dilakukan pemerintah sering datang terlambat, kepagian, atau bahkan ekstrem. Prisma: Mengintervensi kasus Bank Century, misalnya? CW: Kasus Bank Century adalah cerita tersendiri. Kasus yang terkuak pada 2008 itu ibarat orang sakit yang telah menjalani operasi transplantasi jantung dan mengatakan, “Dokter menipu saya. Saya terbukti sehat bugar. Artinya, waktu itu Anda melakukan malpraktik. Saya tidak perlu dioperasi tetapi Anda mengoperasi saya dengan biaya sebesar 6,7 triliun rupiah. Saya minta ganti rugi dan menuntut Anda ke pengadilan.” Sekarang, arab-arab itu menggugat Pemerintah Indonesia melalui Mahkamah Internasional dengan mengatakan bahwa mereka tidak pernah menyentuh dan menelan uang Rp 6,7 triliun itu. Indonesia sendiri hampir tidak pernah memenangi perkara di tingkat internasional. Sementara itu, di dalam negeri, peme-
rintahan SBY dihantam dan dipersalahkan oleh DPR, KPK, Mahkamah Agung, dan lain-lain. Coba bayangkan bila Mahkamah Internasional memutuskan Pemerintah Indonesia bersalah dan harus membayar ganti rugi. Sungguh memalukan. Prisma: Kembali ke Richard Robison yang agak ambigu saat menganalisis peran negara dan bisnis selama era Orde Baru. Dia membenarkan campur tangan negara. Mungkin yang dimaksud adalah boleh campur tangan, tetapi dengan cara yang benar … CW: Negara di situ berfungsi sebagai inkubator. Istilah seperti infant industry protection, proteksi bertahap, dan negara mengintervensi secara positif memang sudah tepat; semua harus melalui tahap-tahap tertentu. Setiap manusia pasti menikmati hal yang tidak sama dengan manusia lain. Kalau semuanya sama, tidak akan muncul manusia sekaliber Rockefeller atau Bill Gates. Persoalannya, bagaimana pemerintah bisa merangsang munculnya ratusan atau bahkan ribuan Bill Gates di segala bidang. Tugas pemerintah sesungguhnya adalah membantu pihak yang lemah dan tidak menahan kemajuan pihak yang kuat. Ibarat dua orang anak manusia yang satu bertubuh sehat dan kuat serta satu anak yang kurang gizi dan kurus. Anak berfisik lemah seharusnya diberi tambahan vitamin, namun jangan menggebuk anak yang sudah sehat. Sangat tidak lucu bila kita berupaya keras melemahkan anak yang sudah kuat. Anak ini justru harus didorong maju untuk “berkelahi” di tingkat internasional dan menjadi jago global. Prisma: Banyak pihak berpikir bahwa negara harus memproteksi kepentingan ekonomi nasional. Posisi negara sekarang semakin lemah dan … CW: Saya setuju negara memproteksi pihak yang lemah agar tumbuh menjadi lebih kuat. Sebaliknya, mereka yang dinilai telah kuat jangan terus-menerus diproteksi. Sudah saatnya mereka ini berpikir bagaimana meD I A L O G
Christianto Wibisono, Pasar Itu Lebih Tua dari Marxisme
nyerbu pasar Jerman, ASEAN, China, dan negara-negara lain. Jangan takut dan kemudian bersikap defensif, tidak asertif, dan pesimistis, “bagaimana kalau dokter atau penasihat hukum dari Singapura masuk ke Indonesia?” Seharusnya kita, khususnya pemerintah, memikirkan dan merancang pelbagai cara agar dokter atau penasihat hukum dari Indonesia dapat menembus masuk ke Singapura. Bagaimana kita bisa “bertempur” kalau sejak awal sudah menyerah atau takut karena merasa tidak memiliki daya saing? Prisma: Apakah ada industriawan Indonesia yang mencoba merambah kawasan ASEAN setelah era reformasi? CW: Belum ada. Orang atau lebih tepat pengusaha Indonesia telanjur dimanjakan dengan pasar dalam negeri. Mereka menjadi malas. Karena terus-menerus diproteksi, mereka merasa aman dan nyaman “bermain” hanya di pasar dalam negeri. Industriawan Indonesia akhirnya tertinggal jauh di belakang industriawan negeri lain yang sejak dini bisa melihat dan mampu menembus Indonesia, pasar terbesar di kawasan ASEAN. Industriawan negeri ini diproteksi negara selama lebih empat puluh tahun sejak zaman Suharto hingga sekarang. Tatkala proteksi dicabut, mereka terkejut dan tidak siap menghadapi era pasar bebas. Prisma: Bagaimana pandangan Anda soal tuntutan kenaikan upah buruh belakangan ini? CW: Dapat diperdebatkan berkepanjangan apakah kenaikan upah membebani perusahaan. Bila diperhitungkan keadaan pasar, inflasi, dan segala macam, memang harus ada penyesuaian upah. Di satu sisi, sejumlah pengusaha bisa meyakinkan buruh mereka dengan mentransparansikan omzet. Buruh perlu memahami kondisi perusahaan. Di sisi lain, buruh menuntut kenaikan upah tidak peduli penurunan omzet dan perusahaan merugi. Perusahaan harus menaikkan upah mereka bila kondisi perusahaan D I A L O G
Christianto Wibisono dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1945. Meraih gelar sarjana dari Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia (1964) dan menamatkan S2 Ilmu Politik di universitas yang sama (1978). Memulai karier sebagai wartawan Harian KAMI pada 1967. Tiga tahun kemudian, bersama beberapa kawan, menerbitkan Majalah Berita Mingguan Ekspres kemudian Tempo yang ditekuninya hingga tahun 1974. Pemenang Sayembara Mengarang 30 Tahun Kemerdekaan RI (1975) dan penerima penghargaan dari Presiden Suharto ini adalah penulis buku Wawancara Imajiner dengan Bung Karno yang dibreidel rezim Orde Baru pada 1978. Di tengah aktivitasnya sebagai Asisten Pribadi (19781983) Wakil Presiden Adam Malik untuk Komisi Willi Brandt, dia mendirikan sekaligus mengelola Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), menjadi pengkaji “Anatomi Piramida Kekuatan Ekonomi Indonesia”, “Apa dan Siapa”, serta “Siapa Memiliki Apa.” Kerusuhan Mei 1998 membawa Christianto Wibisono dan keluarganya pindah ke Washington DC, Amerika Serikat. Di negeri itu dia menjadi lobbyist untuk kepentingan Indonesia. Chairman Global Nexus Institute (sejak 2007), think tank dampak geopolitik terhadap Indonesia Inc., ini diangkat sebagai salah satu anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) pada 2010.
91
92
Prisma Vol. 32, No. 1, 2013
membaik. Ini merupakan kompromi yang balance. Bila masing-masing pihak hanya ingin berkonfrontasi, kita kembali seperti zaman dulu. Buruh kontra kapitalis atau aksi mogok versus lock out yang secara keseluruhan merugikan kepentingan nasional. “Gejolak� perburuhan seperti itu juga pernah dialami Amerika Serikat yang kemudian menerbitkan, misalnya, undangundang tentang asuransi kesehatan dan jaminan sosial untuk buruh. Siapa yang dirugikan dan diuntungkan kalau buruh menuntut porsi lebih besar sementara perusahaan tidak kuat menanggung? Jadi, perlu ditemukan common denominator sehingga muncul interest yang dapat mengatasi semangat dan selera konfrontasi yang hanya memicu konflik saja. Prisma: Privatisasi yang dijalankan negara Orde Baru membawa bangsa ini ke tepi jurang kebangkrutan. Komentar Anda? CW: Itu karena privatisasi di zaman Orde Baru sekadar perubahan kepemilikan, fatwa dan wangsit politik terhadap badan usaha milik negara (BUMN). Seperti Pertamina dan Garuda, misalnya, mereka ini menjadi sapi perah Badan Usaha peMilik Negara. Keluarga dan kerabat Cendana menjadi pemasok atau kontraktor bisnis. BUMN menjadi dan perusahaan KKN kroni kerabat Cendana yang menikmati “privatisasi� semu. Seharusnya rakyat ikut memiliki dan memetik manfaatnya. Privatisasi atau mungkin lebih tepat go public BUMN merupakan salah satu resep yang bagus untuk pemerataan kepemilikan. Anda tidak perlu menjadi cukong sendiri sebagai pemegang saham Garuda atau Astra atau Pertamina, misalnya. Semua ikut menikmati. Bila terjadi pemerataan kepemilikan seperti itu, tidak perlu ada yang merasa didominasi atau dikuasai. Prisma: Orde Baru memberi privilese dan konsesi khusus kepada kelompok bisnis tertentu dalam rangka pembentukan kapitalisme. Komentar Anda? CW: Privilese dan konsesi khusus itu biasanya diberikan kepada kelompok-kelompok
bisnis nonpribumi. Politik dikotomi pribumi dan nonpribumi ini diterapkan penguasa Orde Baru secara sistematis. Pintu bagi keturunan Tionghoa hanya dibuka di sektor bisnis sesuai dengan bakat mereka, kendati ini menyalahi kodrat bahwa setiap bangsa memiliki entrepreneur, birokrat, ataupun filsuf. Konfusius jelas bukan seorang cukong, tetapi lebih mirip Ayatollah atau Pater Beek. Namun Orde Baru memaksakan dikotomi itu karena ingin memonopoli kekuasaan politik. Semua pribumi yang hebat dibabat agar jangan tumbuh menjadi pesaing untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Karena itu Suharto merasa lebih comfortable dengan memberi kesempatan seluasluasnya kepada Liem Sioe Liong ketimbang Ibnu Sutowo atau Ali Sadikin, misalnya, untuk menjadi orang terkaya di Indonesia. Bila Ibnu Sutowo atau Ali Sadikin dibiarkan tumbuh menjadi konglomerat, mereka ini bisa menantang dan menjatuhkan Suharto sebagai presiden, sedangkan Oom Liem diminta sukarela dan setia menjadi kasir saja tanpa ambisi politik apa pun. Corak berpikir yang mendikotomikan pribumi dan nonpribumi itu sekarang ini sudah agak sedikit cair; nonpribumi seolah-olah tidak diperbolehkan terjun langsung ke bidang politik, meski ada juga di antara mereka sangat aktif memengaruhi kebijakan politik. Misalnya, Wanandi bersaudara yang tidak menduduki jabatan menteri bisa saja memengaruhi keputusan bahkan menjatuhkan seorang menteri. Prisma: Salah satu retorika pada era reformasi adalah mengembalikan kekuasaan sekaligus kekuatan ekonomi-bisnis kepada civil society. Apakah itu sedang terjadi sekarang ini? CW: Seharusnya demokrasi membuka pintu bagi segala macam bakat di luar birokrasi dan korporasi. Di beberapa negara maju, civil society memiliki kemampuan setara dengan birokrat dan korporasi. Sementara civil society organisation (CSO) di Indonesia dewasa ini masih memainkan peran sebagai, maaf, franchise atau D I A L O G
Christianto Wibisono, Pasar Itu Lebih Tua dari Marxisme
cabang civil society global. Karena itu, CSO di Indonesia tidak bisa bermain dan berdiri setara dengan birokrasi dan korporasi. Namun dengan munculnya kesadaran baru mengenai gejala dan pola social entrepreneur, tiba saatnya generasi muda Indonesia dididik untuk menghargai profesi CSO sebagai kekuatan ketiga dalam trias politika baru, yaitu negara, pasar dan CSO. Masa depan negeri ini harus mengarah ke sana, tetapi jangan lantas ikut-ikutan korupsi kolusi dan segala macam. Prisma: Apakah negara harus lepas tangan dan membiarkan masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi dengan inisiatif sendiri? CW: Sejak kegagalan pasar global tahun 1929, Keynes mengambil alih kepemimpinan Adam Smith. Negara harus mengintervensi pasar yang bisa berubah ganas menjadi monster yang menelan semua golongan ketika resesi dan depresi global meruyak pada tahun 1930-an. Akan tetapi, intervensi tersebut bersifat mengoreksi kegagalan pasar tanpa harus mencekik dan menjadi predator pasar yang normal. Apa yang dilakukan Presiden Barack Obama setelah krisis moneter AS akibat gembosnya derivatives keuangan yang mirip kasino fiktif melakukan nasionalisasi General Motors tidak jauh berbeda dengan sistem ekonomi negara sosialis yang sedang bergeser ke pasar. Pendek kata, katakata kunci abad ke-21 menyusul pasca-kegagalan pasar (resesi dan depresi global 1930), krisisis moneter Asia Timur 1998, sub prime mortgage AS 2008 dan eurozone 2010, adalah back to basic. Jer basuki mawa bea. There is no free lunch in the world you have to pay for your lunch. Kalau Anda memanjakan rakyat dengan social welfare dan para penganggur menjadi malas, maka ini mirip seperti orang Jerman yang berang karena uang yang diperoleh dari hasil kerja keras dipakai berleha-leha oleh orang Yunani. Jadi, prinsip ekonomi harus kembali ke moral dasar jer basuki mawa bea. D I A L O G
93
Prisma: Dengan kata lain, campur tangan negara pada masa reformasi masih sangat tinggi? CW: Tergantung bagaimana kita melihat hal itu. Bila dilihat proporsi APBN terhadap PDB, “kontribusi� rakyat nonpemerintah itu dua kali lebih besar daripada APBN dan BUMN. Bila digabungkan, kontribusi APBN dan BUMN barangkali hanya sekitar 30 persen. Selebihnya adalah hasil keringat rakyat kecil hingga konglomerat. Bila dilihat besaran PDB, kontribusi APBN hanya 15 persen begitu pula aset dan sales BUMN yang setara dengan APBN. Sisanya – yang tumbuh sebesar 6 persen — adalah kekuatan masyarakat yang berjalan dengan otopilot, karena sang pilot (presiden dan wakil presiden) diganggu serta terus-menerus diajak panco oleh legislatif yang seharusnya bertindak selaku co-pilot. Kalau dibimbing dan dipimpin pilot dan co-pilot, kita pasti bisa menyamai kemajuan Tiongkok. Kita tidak ingin kembali ke otoriter, tetapi kita justru banyak membuang waktu dan momentum dengan gaya panco parlemen versus pemerintah. Prisma: Tesis Robison bahwa negara berperan sangat besar dalam membangun kapitalisme Indonesia mungkin bisa dipersoalkan, karena modal internasional sekarang ini telah menggantikan posisi dan peran negara. CW: Tidak ada satu negara pun bisa berdikari, baik di bidang politik maupun ekonomi, dengan menghindarkan ketergantungan pada negara lain (autarki). Semua negara saling tergantung dengan dunia luar, termasuk dengan AS dan RRT yang sekarang ini merupakan raksasa kembar siam yang bila salah satu diamputasi pasti akan membuat yang lain juga terinfeksi dan terkontaminasi. Jadi, menurut saya, modal internasional berusaha mencari equilibrium secara gesit dengan profit motive dan long term security yang cukup dewasa dari para entrepreneur abad ke-21 yang juga tampaknya sadar akan corporate social responsibility (CSR)
94
Prisma Vol. 32, No. 1, 2013
Prisma: Robison menyebut cukup eksplisit kehadiran dan peran kelompok bisnis etnis Tionghoa dalam perkembangan kapitalisme di Indonesia. Apakah mereka mampu menjalankan bisnis dalam era reformasi dengan globalisasi yang begitu rumit disertai tekanan regulasi internasional? CW: Keterbukaan dunia politik bagi golongan Tionghoa sebetulnya bukan monopoli era reformasi. Sejak 1945, beberapa orang Tionghoa terlibat dalam beberapa lembaga yang dibentuk untuk mempersiapkan dan mengisi kemerdekaan seperti BPUPKI, PPKI, KNIP (DPR periode Revolusi). Bahkan, sebagian di antara golongan Tionghoa diangkat menjadi menteri kabinet. Ada empat di antara 62 orang Tionghoa yang turut mendirikan republik ini mewakili konglomerat. Jadi, tidak bisa sertamerta dikatakan bahwa nonpribumi tidak berjuang. Namun, masuk ke zaman Orde Baru, semuanya berubah. Istilah populer ketika itu adalah “setor sama saya (penguasa) saja biar anda (pengusaha) aman.” Model seperti ini kemudian rontok tiga puluh dua tahun kemudian! Masuk ke era reformasi, muncul Ahok atau siapa saja seolah merupakan keajaiban Orde Reformasi. Ini sebetulnya kemunduran puluhan tahun akibat rezim Suharto tidak membolehkan golongan Tionghoa masuk politik. Kata kunci meritokrasi sudah waktunya menjadi kriteria kepemimpinan nasional, bukan seruan-seruan suku, ras, agama, dan golongan (SARA) ala Rhoma Irama Dunia sendiri memang masih dilanda SARA internasional yang jelas berdampak pada SARA ragional dan SARA nasional, domestik, lokal. Karenanya, kita harus berhenti melihat masalah Indonesia itu eksklusif atau seolah berbeda dari negara, bangsa, dan kultur lain. Ada beberapa nilai universal generik manusiawi yang tidak bisa diabaikan dengan berlindung di balik alasan kultur dan nilai kabalistik. Ketidakadilan, korupsi dan mental mau menang sendiri itu ada di mana-mana dan bukan monopoli satu bangsa. Dalam alam plural, kebijakan publik akan selalu dihantui oleh po-
pulisme yang mengandalkan sentimen primordial; mendaku diri sebagai malaikat paling benar. Akan tetapi, semua itu dilanda kelemahan intrinsik manusia, yakni tidak satunya kata dan perbuatan. Kemunafikan politikus berwatak sektarian, partisan, dan korup akhirnya tidak men-deliver kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan, melainkan kebencian berupa “perang saudara” di tingkat nasional serta perang SARA di tingkat regional maupun global. Prisma: Setelah era reformasi, konfigurasi modal sebagian besar tetap dipegang golongan Tionghoa … CW: Perubahan konfgurasi itu tidak seratus persen. Pemain lama dan penerusnya masih menguasai 80 persen. Sisanya yang 20 persen merupakan pendatang baru. Ujian sekarang ini adalah free-fight market yang hampir tidak bisa lagi diproteksi. Begitu memproteksi, Anda akan dihantam transparansi. Zaman sekarang ini betul-betul diuji market. Anda tidak bisa lagi minta diistimewakan atau menuntut monopoli ini dan itu. Semua tergantung dan terserah Anda. Bila tidak efisien, Anda tidak akan bisa survive. Lihat saja Carrefour, Seven Eleven, Hypermart, Indomart, dan lain-lain yang bersaing sangat ketat. Betul-betul free-fight. Mengandalkan order atau kontrak seperti proyek Hambalang bukanlah real business, karena ini hanya meng-create another yang dulu disebut quasi atau rent seeking atau erzats capitalist yang tidak akan bertahan lama. Anda mendadak kaya-raya dengan cara seperti itu, tetapi tidak memiliki multiplier effect bagi negara dan masyarakat luas. Prisma: Bagaimana dengan peran bisnis militer? CW: Militer harus kembali ke barak untuk menjadi kekuatan defensif abad ke-21 yang beyond combatant-nya harus memasuki kecanggihan teknologi dan bukan ikut campur tangan dalam urusan politik praktis dan bisnis per-backing-an. Hal ini juga berlaku bagi D I A L O G
Christianto Wibisono, Pasar Itu Lebih Tua dari Marxisme
politikus sipil. Sudah bukan zamannya lagi mengeksploitasi slogan kerakyatan demi keuntungan pribadi seperti yang dapat kita saksikan dalam sandiwara besar korupsi yang dimainkan oleh sejumlah politikus lintas partai. Selama tiga puluh tahun lebih warga sipil tertindas, tetapi sekarang kualitas kalangan sipil pun amat mengecewakan, seperti dicontohkan oleh salah satu ketua umum partai politik yang berkuasa di Indonesia saat ini. Alternatif pemimpin muda berasal dari kalangan sipil ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pola KKN zaman Suharto tidak bisa diberantas tuntas dan terus berjalan hingga sekarang. Prisma: Jangan-jangan karena liberalisme pasar di Indonesia tidak disambut liberalisme politik, sehingga untuk bertahan hidup dia merampok apa saja yang bisa dirampok. CW: Karena supremasi hukum dan tranparansi di Indonesia tidak ditegakkan dengan konsisten. Berbeda dengan negeri seperti Amerika Serikat. Presiden Obama didukung oleh sejumlah konglomerat. Bahkan dana kampanye yang diperolehnya dari konglomerat dua kali lipat lebih besar dibanding Mitt Romney. Karena sangat transparan dan terbu-
D I A L O G
95
ka, tidak terjadi “model” seperti Nazaruddin. Seorang koruptor, misalnya, membantu kampanye Obama atau Romney dengan “menyetor” sejumlah dana. Bila keduanya mengembalikan seluruh dana tersebut, “kasus” dianggap selesai. Contohnya Bernard Maddof yang dihukum 100 tahun. Dia menyumbang dana untuk kampanye Obama dan dianggap selesai setelah dana itu dikembalikan. Sementara di Indonesia semua itu bersembunyi dan disembunyikan. Supremasi hukum di negeri ini belum berjalan sampai ke tingkat itu. Kita kerap mengatakan tidak mau meniru money politics ala Amerika Serikat, tetapi kita mempraktikkan money politics jauh lebih blatant, brutal, dan telanjang nyaris tanpa rambu-rambu. Hampir seluruh partai politik di Indonesia tidak transparan dalam bidang apa pun. Kalau di Amerika Serikat, “KKN” diresmikan dalam bentuk lobbyist yang dianggap sebagai profesi terhormat, terukur, dan tertata oleh kode etik. Ada undang-undangnya. Kita agaknya perlu meniru model seperti itu dan orang “sekaliber” Nazaruddin, misalnya, seharusnya menjadi lobbyist, bukan malah menjadi anggota atau pengurus partai. Lobbyist mengatur dan mengurus semuanya, termasuk kerja-kerja politik.•