Writing Portfolio | Raisa Affandi

Page 1

RA ISA AF FAND I WRITING PORTFOLIO A compilation of stories, poems, prose, reviews, and articles


DAFTAR ISI Tulisan tentang Arsitektur

2

Ulasan Film dan Photobook

5

Artikel

9

Puisi dan Prosa

11

TULISAN DALAM

BAHASA INDON ESI A


TULISAN TENTANG ARSITEKTUR Wang Shu - Pelopor Tradisi Cina yang Kontemporer Wang Shu merupakan arsitek asal Cina pertama untuk mendapatkan penghargaan Pritzker Prize pada tahun 2012. Saat mengumumkan pemenang, Pritzker menjelaskan, “Fakta bahwa seorang arsitek dari Cina telah dipilih oleh juri, merupakan langkah penting dalam mengakui peran yang akan dimainkan Cina dalam pengembangan cita-cita arsitektur. Selain itu, selama beberapa dekade mendatang, keberhasilan Cina dalam urbanisasi akan menjadi penting bagi Cina dan bagi dunia. Urbanisasi ini, seperti urbanisasi di seluruh dunia, perlu selaras dengan kebutuhan dan budaya lokal. Peluang Cina yang baru ini dalam perencanaan dan desain perkotaan akan ingin selaras dengan tradisinya yang unik dan dengan kebutuhan masa depan untuk pembangunan berkelanjutan.”

Kembali ke Tradisi Selama hampir sepuluh tahun setelah lulus dari Departemen Arsitektur di Institut Teknologi Nanjing, Wang Shu bekerja dengan tukang dan pengrajin untuk mendapatkan pengalaman membangun di lapangan tanpa tanggung jawab desain. Pada tahun 1997, Wang Shu dan istrinya, Lu Wenyu, mendirikan Amateur Architecture Studio di Hangzhou, Cina. Nama biro merujuk pada pendekatan yang diambil oleh seorang pembangun amatir — yang didasarkan pada spontanitas, keterampilan kerajinan, dan tradisi budaya. Biro ini memanfaatkan pengetahuannya tentang teknik lapangan yang ia pelajari dari tukang dan pengrajin untuk mengadaptasi dan mengubah bahan untuk proyek-proyek kontemporer. Kombinasi unik dari pemahaman tradisional, desain eksperimental, dan penelitian intensif ini mendefinisikan dasar untuk proyek arsitektur bironya. Arsitektur Wang, yang sejauh ini hanya dibangun di Cina, sangat kritis terhadap modernisasi pesat negaranya. Beliau menganggap perkembangan Cina baru-baru ini sebagai langkah yang terlalu terburu-buru, dan meninggalkan sejarah panjang dan kaya negara itu. Beliau memandang

arsitek profesional di China sebagai pihak yang terlibat dengan modernisasi kurang ajar itu. Sebagai bentuk perlawanan, Wang menghormati tradisi masa lalu Cina sebagai budaya dan tempat dengan memasukkannya ke dalam arsitekturnya. Menurut Wang, mempraktekkan arsitektur adalah lebih banyak menggunakan kerajinan tangan daripada teknologi, alam daripada buatan manusia, vernakular daripada monumental, dan secara mengejutkan, kemanusiaan daripada arsitektur.

Alam adalah Elemen Utama Wang mendukung model kota landscape untuk Cina. Bahkan, Wang menunjukkan bahwa faktanya, provinsi Zheijang, tempat beliau tinggal, terdiri dari 70% pegunungan, 20% perairan, dan hanya 10% tanah yang bisa dibangun. Komposisi alam seperti ini telah menumbuhkan hubungan yang kuat dengan alam dalam masyarakat yang dalam sejarahnya berbasis pertanian. Hal ini menggarisbawahi hubungan penting antara alam dan arsitektur Wang di mana struktur buatan manusia tidak mendominasi alam, tetapi sebaliknya. Arsitektur Wang berkaitan erat dengan alam dan mewujudkan pengalaman kaya yang ditemukan di dalamnya. Dalam pandangan Wang, sebagian besar kota-kota seharusnya alami. Dengan demikian, kota dan arsitekturnya tidak boleh berbeda dari alam dan lanskap, tetapi tersatukan. Proyek besar pertamanya, Perpustakaan Perguruan Tinggi Wenzheng di Universitas Suzhou (2000), sesuai dengan filosofi memperhatikan alam dengan cermat. Dengan pertimbangan terhadap tradisi berkebun Suzhou di mana bangunan yang terletak di antara air dan gunung tidak boleh menonjol, Wang merancang perpustakaan dengan hampir setengah dari bangunan di bawah tanah, ditambah beberapa bangunan kecil yang terpisah dari bangunan utama. Pada tahun 2004, bangunan ini meraih Penghargaan Seni Arsitektur Cina.

2020

Selaras dengan metodenya yang mengutamakan penghematan bahan, Wang Shu menggunakan lebih dari dua juta ubin bekas dari rumah-rumah tradisional yang dihancurkan untuk menutupi atap bangunan kampus Kampus Xiangshan, Akademi Seni China (2007). Ningbo History Museum (2008), yang didesain agar menyerupai pegunungan, juga menghemat bahan dengan menggunakan tanah dan batu-batu bekas untuk fasad. Selain hemat bahan, kedua bangunan tersebut memiliki desain unik dalam arti berpegang teguh pada tradisi budaya Cina sekaligus menjadi bangunan kontemporer.

Filosofi Arsitektur sebagai Rumah bAspek utama lain dalam pendekatan desain Wang adalah penekanan pada rumah, bukan bangunan. Berupa hal penting bahwa ketertarikan Wang terletak di rumah biasa. Ini mengungkapkan perhatian pada yang vernakular di atas yang spektakular, dan pada yang fungsional di atas yang monumental. Kesederhanaan rumah memperlihatkan arsitektur sebagai sesuatu yang rendah hati. Rumah mewujudkan “infinitely spontaneous order” yang ingin dicapai Wang dalam arsitektur beliau. Penghuni rumah, bahkan mungkin manusia secara keseluruhan, adalah manifestasi aspek impromptu arsitektur. Arsitektur Wang bukan bertujuan mengendalikan perilaku penggunanya, melainkan menghidupkan jiwa manusia. Ketertarikan beliau pada rumah, bahkan dalam pendekatan desain pada bangunan berskala besar, melahirkan kualitas ruang yang authentic dan down-to-earth yang sudah mulai hilang dari kebanyakan arsitektur kontemporer.

2


Sverre Fehn - Penyair Berbahasa Arsitektur Di saat para starchitect dunia mempromosikan gaya arsitektural mereka yang khas, Sverre Fehn, peraih 1997 Pritzker Prize, setia mengabdi pada arsitektur yang halus, liris, dan masih sangat rasional. Ketua juri Pritzker Prize, J. Carter Brown, berkomentar bahwa karya Fehn "... mewujudkan standar ideal Pritzker Prize di mana arsitektur berupa seni." Meski Fehn sendiri menekankan keutamaan konstruksi dan material dalam arsitektur, cara beliau membangun jauh melampaui pragmatisme struktural dan menuju perayaan sensual dari cita-cita konseptual yang terus berkembang. Seperti dijelaskan Richard Weston dalam Building Design, "Kekuatan karya Fehn terletak pada bagaimana beliau mampu mengidentifikasi esensi konseptual dari suatu masalah dengan begitu jernih, dan ketepatan respons arsitekturalnya."

Yang membuat Fehn istimewa adalah kemampuan yang hampir bisa dikatakan ajaib untuk merealisasikan ide arsitektural puitis sehingga terpadu sempurna dengan tapak dan alam sekitar. Ini terlihat pada desain Hedmark Museum yang merupakan manifestasi jelas akan filosofi Fehn mengenai masalah preservasi masa lalu, bahwa " ... intervensi modern, tanpa kompromi dari zaman kita sendiri, seharusnya dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menekankan sifat zaman lain yang secara langsung berkaitan dengan kita, tetapi sudah tidak ada lagi." Dibangun di dalam sisa-sisa sebuah gudang tua di atas reruntuhan istana Uskup abad ke-12 yang dibentengi, museum ini menyelip ke dalam reruntuhan tanpa menyentuh mereka di titik mana pun; konstruksi baru berdiri bebas dari dinding-dinding batu tua.

Poetry Through Construction

Arsitektur yang 'Hidup' dalam Lingkungan Alam

Selain arsitek, Sverre Fehn juga merupakan seorang filsuf dan penyair. Sifat penyair ini tertular pula pada karirnya sebagai arsitek; karya arsitektur Fehn seringkali disebut memiliki kualitas puitis. Bahkan, sebuah wawancara di majalah Jerman, Der Architekt (5/94), memiliki judul 'Sverre Fehn: Penyair Garis Lurus'.

Fehn, yang sering dipuji untuk sensitivitasnya terhadap alam, menganggap proses membangun sebagai tindakan yang brutal. Beliau menjelaskan, “Ketika membangun pada tapak yang sama sekali belum disentuh manusia, terjadi pertarungan, serangan oleh budaya kita terhadap alam. Dalam konfrontasi ini, saya berusaha keras menciptakan sebuah bangunan yang akan membuat orang lebih sadar akan keindahan lingkungan sekitar, dan saat melihat bangunan di latar itu, berharap munculnya kesadaran baru untuk melihat keindahan di sana.”

Dalam wawancara tersebut, beliau menuturkan hubungan puisi dan arsitektur: "Setiap kali Anda menulis sebuah puisi, Anda harus menemukan keseimbangan antara pikiran yang dituangkan dan bahasa yang digunakan. Tak boleh ada yang mengganggu esensi dari ide. Sama halnya dengan arsitektur. Mereka yang tidak dapat menempatkan ide puitisnya ke dalam struktur yang dibangun tidak memiliki dasar arsitektur. Struktur adalah inti dari arsitektur, dan tidak dapat dinyatakan dalam angka. Ia merupakan bagian asli dari cerita yang dapat diceritakan oleh seorang arsitek tentang kehidupan dan orang-orang."

Glacier Museum adalah salah satu contoh karya Fehn yang dapat membuat pengunjungnya takjub dengan alam. Bangunan museum menjadi pusat panorama yang dibentuk oleh lereng gunung yang curam dan Fjaerland Fjord. Ketika pengunjung mendekati museum dengan perahu, beton putih museum tampak terletak seperti batu di sisi gunung, kata Fehn. Batu-batu yang terletak di

2020

perbukitan lanskap Skandinavia itu menjadi inspirasi untuk membangun beton. Pengunjung bisa masuk ke ruang pameran, perpustakaan, dan restoran. Atau dapat naik untuk melihat gletser dan alam sekitarnya yang indah - perjalanan yang terasa seperti perjalanan ke awan, di mana kabut yang berpindah turun akibat udara dingin gletser bergantian menyembunyikan dan memperlihatkan pemandangan yang menakjubkan. Ciptaan Fehn ini - karena memang berupa ciptaan - adalah interpretasi pribadi dan puitis dari obyek dan tapak.

Back to the Basics Semua bangunan Fehn memiliki keindahan lembut yang memungkiri kreativitas luar biasa mereka, dan kesan tenang dan tegar yang lahir dari keyakinan dan keterampilan. Tak ada formula, tak ada 'corak' khas, tak ada pula transisi yang tidak lengkap atau mengganggu, tak ada yang belum sepenuhnya dikonsep dan direalisasikan. Bangunan-bangunannya menyatu dengan alam, dan mereka yang tinggal di rumah-rumah buatannya bercerita bagaimana desain rumahnya mengubah hidup mereka sebuah gagasan yang dulu dihargai oleh para arsitek dan kini telah ditinggalkan. Dalam The Architectural Review tahun 1981, Peter Cook mengamati, "Di Sverre Fehn kami memiliki arsitek yang percaya, dan kami mengabaikan pendekatannya yang halus dan liris terhadap arsitektur modern dengan menanggung risiko tinggi." Bangunan-bangunan ini merupakan pencarian berkelanjutan untuk makna dan originalitas. Tak ada latihan abstrak, skema biasa, atau gerakan berani yang fana. Ini adalah arsitektur dasar, diciptakan kembali.

3


Ulasan Zumthor oleh Avianti Armand - Undangan Menggali Esensi Arsitektur Dalam bukunya yang berjudul Arsitektur yang Lain Sebuah Kritik Arsitektur, Avianti Armand menulis tentang arsitek Peter Zumthor, pemenang Pritzker Prize tahun 2009, khususnya prinsip-prinsip mendesain beliau yang sederhana dan subtil, mengutamakan rasa, kesan, dan pengalaman dibanding kemegahan pada unsur-unsur terlihat. Armand menyebutkan bahwa prinsip ini menyebabkan beliau hampir tidak dikenal, dan menarik hubungan antara hal ini dengan arsitektur 'komersial' yang dikenal di masyarakat umum dan hanya mencakup wilayah visual. Artikel mengenai Zumthor ini berhasil memperkenalkan Zumthor sebagai arsitek yang unik sekaligus mengangkat isu mengenai arsitektur yang menyelusup keseluruhan arsitektur saat ini - yaitu esensi dari arsitektur itu sendiri. Mudah untuk memahami, dan juga menyetujui, pandangan Avianti Armand bahwa indra penglihatan sangat mendominasi persepsi arsitektur di masyarakat umum. Hanya perlu membuka sekilas aplikasi Pinterest dan mencari 'arsitektur' untuk mendapatkan impresi bahwa unsur visual sangat menonjol dalam arsitektur. Jika mengulik lebih dalam, dalam sekolah arsitektur pun pelajaran mengenai penciptaan arsitektur yang 'indah' dimulai dengan mengenal unsur-unsur desain seperti points, line, shape, form, dan pattern. Pelajaran tentang pengalaman sensorik lainnya seperti pendengaran, penciuman, dan peraba tidak terlalu mendominasi pendidikan arsitektur. Tentu mereka tetap dibahas, beserta unsur-unsur tidak terlihat lainnya, tetapi cenderung tidak menjadi unsur yang ditonjolkan dalam gagasan desain. Memang sulit untuk mengungkapkan unsur-unsur tidak terlihat pada penyampaian yang berupa gambar, dan lebih sulit lagi untuk orang lain memahaminya. Mungkin terlalu abstrak. Tetapi unsur-unsur tersebut ada dan turut membentuk pengalaman terhadap arsitektur. Seperti yang dihimbau Armand dalam tulisannya dan Zumthor dalam

karyanya, perlu diingat bahwa yang tak terlihat itulah justru hakikat arsitektur yang sesungguhnya. Namun pernyataan tersebut memunculkan pertanyaan, apakah arsitektur dapat disebut sebagai arsitektur tanpa unsur terlihat? Armand menyebutkan unsur terlihat sebagai bingkisan untuk makna tersirat yang lebih mendasar, tetapi perlu dipertanyakan seberapa penting unsur visual dalam mendefinisikan arsitektur. Dapat dipikirkan - bagaimana orang buta mengalami arsitektur? Apakah mendengar aliran air atau langkah kaki pada beton, meraba tekstur batu kasar dan halus, berjalan naik-turun berbelok-belok dalam sebuah bangunan, atau mencium wangi bunga-bunga yang tertanam dapat disebut sebagai mengalami arsitektur tanpa ada pengalaman unsur visual yang menguatkan? Jika menghilangkan unsur visual turut menghilangkan arsitektur, mungkin saja unsur visual lebih dekat dengan hakikat arsitektur dari yang dikira. Ketika melihat lebih dalam, yang dimaksud oleh hakikat arsitektur 'tak terlihat' dalam pemikiran Zumthor adalah rasa, kesan, memori, ekspektasi, dan asosiasi yang ditimbulkan pengalaman sensorik sebuah karya arsitektur. Tetapi gagasan tersebut kurang terbaca dalam tulisan Armand. Armand nyaris menggambarkan hakikat arsitektur sebagai sebatas pengalaman sensorik non-visual, tanpa memberi fokus pada perasaan-perasaan yang menjadi konsekuensinya. Mungkin karena itu ulasannya tentang Thermal Bath Vals dapat menjadi pembelajaran bagaimana mengolah sensorik non-visual, tetapi belum menunjukkan bagaimana seorang arsitek bisa mengolah rasa. Namun, tulisan Armand mengenai Zumthor merupakan pengantar yang baik terhadap konsep ini, dan dapat menarik orang untuk mendalami pemikiran Zumthor lebih lanjut.

2021

4


Belajar dari RDMA: Inspirasi Desain adalah Klien Proses desain sebuah bangunan seringkali melibatkan design brief, yaitu dokumen yang menjelaskan secara singkat inti dan tujuan proyek sebagai landasan perancangan. Tetapi bagi Michael Marino dan Noerhadi, dua arsitek prinsipal di RDMA, dasar perancangan sebuah proyek bukan hanya terdapat pada design brief, melainkan juga pada karakter klien yang bersangkutan. Dengan mendasarkan desain pada karakter klien, klien yang unik akan mendapatkan desain yang unik pula sesuai perilaku dan preferensi pribadi.

lingkungan dan tapak dalam pendekatan desainnya. Seperti profiling, hal ini pula didasarkan kebutuhan dan keadaan klien. Contohnya, pada proyek Ton Villa, RDMA memanfaatkan 2 ton limbah kancing dari pabrik milik klien untuk hiasan plafon. Salah satu contoh lain adalah pada proyek Popsiklus, dimana RDMA memilih 'mendaur ulang' bangunan lama untuk workshop kantor yang mendaur ulang plastik untuk membuat produk. Dalam hal ini, metode profiling diterapkan sedemikian rupa agar dapat ramah lingkungan.

Metode pendekatan desain berdasarkan klien ini disebut 'profiling' oleh prinsipal RDMA - sebuah nama baru untuk proses yang sebetulnya telah lama mereka lakukan secara naluriah selama 9 tahun berdirinya RDMA. Ketika mendapatkan suatu proyek, hal pertama yang dibahas saat menentukan konsep desain adalah karakter kliennya. Karakter klien diketahui dari observasi selama bertemu dan berbincang dan dapat meliputi kesukaan, hobi, gaya berpakaian - bahkan cara klien berinteraksi dengan orang lain. Dari profil klien yang dibuat dapat ditentukan karakter desain yang akan digunakan.

Tapi meskipun seringkali mendasarkan desain pada karakter klien, kedua prinsipal RDMA tetap memiliki selera desain masing-masing. Menurut mereka, perbedaan selera desain merupakan sebuah kekuatan karena memberikan warna pada desain. Kombinasi selera desain masing-masing dengan karakter klien dapat menghasilkan desain yang unik, inovatif, dan tentu memuaskan klien.

Contoh penerapan profiling terjadi pada proyek EDW House di Bandung. Kliennya merupakan seorang penggemar gadget Apple yang senang dengan hal-hal bersifat futuristic seperti dapat dilihat pada koleksi game dan automotifnya. Karena itu, RDMA mengusulkan desain rumah tinggal yang futuristic, sleek, dan bersih seperti gaya desain produk Apple. Desain tersebut sangat kontras dengan desain lain RDMA untuk klien yang sifatnya lebih tradisional, yaitu Ton Villa. Klien Ton Villa memiliki latar belakang di fashion dan menggemari pada detail, sehingga pada desain proyek RDMA banyak memperhatikan detail arsitektural pada sambungan, plafon, pintu, dan sebagainya. Namun RDMA tidak hanya menggunakan metode profiling, tetapi juga menyelipkan kepekaan terhadap

2021

5


ULASAN FILM DAN PHOTOBOOK Black Swan: Menjelma Kegelapan demi Seni "I just want to be perfect." Melalui film thriller psikologis Black Swan, sutradara Darren Aronofsky memunculkan sekaligus menjawab pertanyaan, "What is the price of artistic perfection?" Nina Sayers (Natalie Portman), seorang balerina muda yang perfeksionis, rapuh, dan dikuasai oleh ketidakpercayaan diri dan ketakutan, menghadapi tantangan sekaligus impian terbesarnya; memerankan peran utama Ratu Angsa dalam pertunjukan ballet terbaru "Swan Lake", dimana dia tidak hanya dituntut memainkan White Swan namun juga Black Swan, dua sosok dengan sifat yang beda 180 derajat. Sebagai pemain White Swan, Nina sudah sempurna. Dengan kesucian dan kepolosan naifnya, tokoh White Swan dalam ballet adalah cerminan sempurna dari Nina pada awal film. Berbeda hal dengan Black Swan yang sensual, licik, dan misterius. Demi mencapai kesempurnaan seni, Nina harus berani melepaskan kesempurnaan teknis kaku yang selama ini menjadi acuannya dan menemukan Black Swan yang nyata di dalam dirinya. Namun Nina memiliki obsesi yang sangat kuat dengan mencapai kesempurnaan, dan determinasi luar biasa ini perlahan memakan dan menghancurkan batin Nina. Tema obsesi yang mengakibatkan kehancuran diri seringkali menjadi tema berulang dalam film-film karya Aronofsky. Dalam Pi (1998) dan The Wrestler (2008), Aronofsky menceritakan sosok yang rela mengorbankan segalanya demi mencapai tujuannya, sampai bagian kehidupan lainnya diabaikan dan kemudian rusak. Tema ini kembali diangkat dalam Black Swan, dengan akting Natalie Portman yang merupakan penunjang kuat kualitas film. Mengamati tokoh Nina Sayers pada film, Natalie Portman sudah tidak tampak lagi seperti sedang akting. Seperti Nina harus bertransformasi menjadi Black Swan yang selama ini tertahan dalam dirinya, Natalie Portman bertransformasi secara utuh menjadi Nina Sayers dengan segala dualitas kepribadiannya. Tidak heran jika Portman memenangkan berbagai macam award Best Actress untuk peran ini.

2017

subjektif terhadap perspektif Nina; menunjukkan bagaimana Nina melihat dirinya sendiri. Kamera hampir selalu membuntuti Nina dari belakang dengan sinis, sama seperti pikiran menghasut Nina yang mengikuti dia ke mana-mana. Penonton seakan-akan diseret keluar-masuk kepala Nina tanpa batasan yang jelas antara realita dan halusinasi, seperti Nina yang diseret-seret keluar-masuk realita dan halusinasi, sehingga penonton dapat dengan utuh merasakan paranoia yang dialami Nina. Kamera juga sering disengajakan bergetar, yang dapat diartikan sebagai perwujudan dari kesehatan mental Nina yang tidak stabil dan bergejolak. Yang membuat Black Swan menarik untuk dicermati adalah perubahan psikis Nina. Mungkin sisi Black Swan Nina tidak muncul sebagai akibat psikologis dari proses latihan memerani Black Swan, tapi kegelapan dalam dirinya sudah tertanam sejak awal film, namun tersembunyi. Mungkin juga Black Swan dalam Nina baru muncul dan berkembang akibat perannya yang mengharuskan dia menjelmai sisi gelapnya. Apakah masalah psikologis Nina memiliki peran besar dalam membangkitkan Black Swan Nina? Apakah sifat perfeksionis Nina yang pada akhirnya menjatuhkan dia? Dengan adegannya yang mengusik dan mengerikan, Black Swan merupakan suatu karya seni unik yang menghantui pikiran penonton. "What is the price of artistic perfection?" Pesan-pesan kontroversial tersirat dalam film ini menjadi bahasan tak berakhir di kalangan penggemar film. Mungkin hal menyeramkan dari Black Swan adalah bahwa di dalam Nina, terdapat sesuatu yang ada di dalam kita semua; kegelapan sinis yang dengan begitu mudahnya bisa melonjak keluar merajalela dan menerkam jiwa.

Film ini menampilkan perjalanan batin Nina mengenal, menerjuni, dan memerangi sisi gelapnya melalui kacamata dia sendiri. Sinematografi Black Swan sudah seperti karya seni dengan sendirinya, yang membantu mengekspresikan suasana cerita. Kebanyakan shot diambil

6


Depth of Blue: Perjalanan Menempuh "Biru" "Music is the language of the soul," mereka bilang. Musik adalah bahasa sang jiwa. Tak sedikit orang yang medengarkan musik untuk melepas penatnya, melarikan diri dari kehidupan yang seringkali ricuh tanpa arti untuk bercengkerama dengan lagu-lagu kesukaan mereka, menemukan wadah penyalur emosi yang sulit dibentuk menjadi kata-kata. Musik, seperti bentuk-bentuk seni yang lain, seperti kriya, tari, fotografi, dan sebagainya, memiliki ekspresi khasnya sendiri. Dan karena ini, menggabungkan dua bentuk seni yang berbeda menjadi satu karya seni yang terpadu dengan baik elemen-elemennya bukanlah hal yang mudah. Tapi inilah yang dilakukan Aditya Dwi Putra dalam photobooknya, berjudul "Depth of Blue", dengan hasil yang sungguh menakjubkan. Photobook "Depth of Blue" merupakan sebuah visual mixtape (mengambil kata-kata pembuatnya sendiri); perpaduan antara musik dan rupa; di sini rupa yang digunakan adalah fotografi. Dalam kata pengantarnya, Aditya menceritakan bagaimana musik telah menjadi aspek penting dalam kehidupannya, dan hal ini mendorong dia untuk mengapresiasi musik lebih lanjut melalui karyanya, sebuah visualisasi perasaan-perasaan "biru" dari lagu yang diputar mengiringi setiap foto. "Depth of Blue" dibagi menjadi 6 bab, dengan 1 lagu yang berbeda untuk tiap babnya. Mendengarkan visual mixtape ini merupakan pengalaman yang benar-benar unik dan mengharukan. Konsep photobook ini sungguh out of the box. Setiap foto, semua dalam shades of blue yang berbeda, diiringi aliran nada yang kontemplatif, serasa membawa penikmat ke dunia lain, menjelajahi hutan belantara batinnya sendiri, menempuh perjalanan mengeksplorasi arti-arti beda dari "biru". Ketika sekilas menatap photobook, mungkin akan terkesan bahwa jumlah foto kurang banyak untuk lagu yang sepanjang itu (setiap lagu rata-rata berdurasi 4 menit), tapi dari perspektif saya inilah yang pembuat visual mixtape inginkan; agar setiap penikmat visual mixtape-nya merenungkan dengan dalam-dalam makna dari setiap

2018

foto, tidak asal dilewati begitu saja. Selama menikmati visual mixtape, saya merasa seolah-olah pembuat ingin menunjukkan bahwa terdapat begitu banyak perwujudan dari perasaan "biru" (deskripsi kasarnya perasaan sedih) dan tidak ada satupun yang sama; mungkin inilah alasan di balik penamaan "Depth of Blue", karena kita diajak untuk merenungkan semua depths of blue. "Depth of Blue" mulai dengan nuansa tenang dan tentram, dengan sedikit sentuhan melankolis, dan perlahan menuju "biru" yang ada di dalam kegelapan (perlu diperhatikan bahwa ini bukan berarti dari "biru" dangkal menuju "biru" yang lebih dalam). Dari sana berangkat menuju cahaya terang - pertanda akan dimulainya hari yang baru, dan visual mixtape ditutup dengan sebuah quote indah, tentang adanya cahaya harapan di dalam dunia penuh kegelapan. Sore - petang - malam - fajar. Itu yang saya rasakan saat mendengarkan visual mixtape "Depth of Blue". Tentu, tiap persepsi orang terhadap suatu lagu, dari interpretasi dari makna yang disampaikan lagu, sampai emosi yang disuguhkan lagu, pasti berbeda dan dalam photobook ini saya merasa seperti pembuat ingin memberi intipan kecil ke dalam perjalanan batin pembuat saat dia mendengarkan lagu-lagu yang tertera pada photobook. Atau, interpretasi lain - setiap orang mungkin akan menginterpretasi photobook ini dengan beda, memdalami "biru" di dalam batin mereka yang juga berbeda. Tapi di situlah terletak seninya - "Depth of Blue" mampu menjadi medium interpretasi yang beragam namun tersatukan di dalam lautan meluas perasaan "biru". Visual mixtape ini cocok untuk mereka yang ingin merenungkan kembali kehidupan, atau memberi perhatian kembali kepada suara yang terpendam dalam batin mereka, "in your most peaceful place and in solitude", seperti saran Aditya Dwi Putra. Dengan ini "Depth of Blue" berhasil memenangkan hati para penikmatnya - sungguh unik, berkesan, dan bermakna.

7


Ji Dullah : Makna Mendalam, Bungkusan Ringan 2018

Stigma sosial. Status seorang Haji. Masih terdapat banyak orang di dunia ini yang menilai orang berdasarkan status yang dimilikinya - permudahan jalan berpikir dengan cara mengelompokkan manusia, yang sebenarnya merupakan makhluk kompleks dan multidimensional, ke dalam kategori-kategori yang berdasarkan hal-hal yang kasat mata saja. Mungkin ini memang kecenderungan manusia, tetapi tentu sifat ini dapat membuat seseorang buta terhadap sifat orang yang sebenarnya. Film Ji Dullah mencoba mengangkat isu universal tersebut melalui penggambaran potongan kehidupan di daerah Jember Utara. Diceritakan seorang Haji bernama Abdullah (selanjutnya akan disebut Ji Dullah) yang baru pulang dari haji. Dia disambut dengan begitu semangat oleh warga-warga desa, dan selama film, hampir setiap orang yang berinteraksi dengannya mengaguminya dengan mata yang berbinar-binar, seolah-olah akhlaknya telah disempurnakan oleh gelar "Haji" yang baru diperolehnya. Padahal, dalam film sering ditunjukkan tokoh Ji Dullah melakukan perbuatan tidak terpuji, seperti berharap dipuji saat memberi sumbangan ke masjid (dalam Islam perbuatan ini disebut riya), mengejar status sosial dan harta benda duniawi dalam bentuk tanah, dan menghabiskan uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup demi kampanye politik sehingga istrinya kecewa; hal-hal yang merupakan perbuatan buruk dalam agama Islam. Dengan ini, film Ji Dullah berhasil perlahan menghancurkan konstruksi sosial yang sudah dibangun dalam film dan juga di kehidupan nyata. Suatu hal yang mudah terlewatkan, tapi menarik untuk diperhatikan, adalah penamaan film ini. Tidak seperti mayoritas warga desa dalam film Ji Dullah, yang terus memuji Ji Dullah dengan memanggilnya "Pak Haji" atau "Haji Abdullah", sutradara Alif Septian Raksono seakan-akan ingin mengolok tokoh Ji Dullah dengan penyingkatan nama tersebut. Mungkin nama "Ji Dullah" merupakan perwujudan dari sifat asli tokoh Ji Dullah dengan segala kelakuannya.

kehidupan nyata. Dan nyatanya, adegan dalam Ji Dullah cukup dekat dengan kehidupan masyarakat Jember Utara, terutama untuk mereka yang dekat dengan budaya Madura, dimana orang yang sudah mempunyai gelar haji akan dengan begitu mudahnya dianggap sebagai orang dengan tingkat keimanan yang tinggi dan pasti layak untuk menduduki jabatan tinggi di desa. Yang lebih menarik lagi, film ini sempat diputar di daerah Jember Utara sendiri. Apakah ini tujuan sutradara untuk mengajak masyarakat Jember Utara mengamati diri mereka sendiri, sekaligus berusaha memberantas stigma sosial mengenai status Haji yang sudah lama menetap di daerah tersebut? Apakah pesan yang seserius itu dapat diterima dengan mudah di masyarakat Jember? Namun, penyampaian pesan film ini dibungkus dengan humor ringan, dengan tokoh-tokohnya yang comical, ekspresi wajah yang berlebihan, dan tingkah laku lucu yang didramatisir, terutama gaya acting pemeran Ji Dullah yang tak pernah membiarkan penonton bosan. Sutradara sendiri mengatakan bahwa film ini dibuat untuk menertawakan kebiasaan masyarakat Jember Utara yang mengidolakan status Haji. "Menertawakan", bukan "mengolok" ataupun "menggurui". Patut diacungkan jempol bahwa Ji Dullah, meski membawa pesan yang cukup berat, tetap mampu menampilkan dirinya sebagai film yang humoris, ringan, dan menghibur penonton. Ji Dullah menarik. Selain dapat memaparkan budaya lokal dengan cerdik, film ini mampu menghibur penonton sekaligus membawa pesan mendalam tentang cara memandang orang lain. Dengan ini, Ji Dullah dapat menjadi tontonan semua kalangan; untuk mereka yang ingin mengenal budaya bangsanya dengan lebih dalam, untuk mereka yang ingin meninjau kembali batin dirinya, dan juga untuk mereka yang sekedar mencari tontonan menghibur dan mampu membuat tertawa.

Pewarnaan film ini realistis (layaknya pewarnaan sebuah film dokumenter) sehingga terkesan adanya keterkaitan erat antara adegan film dengan adegan dalam

8


Black Mirror - Fifteen Million Merits: Satire with a Twist Episode kedua dari series Black Mirror, berjudul Fifteen Million Merits, berupa cerita distopia klasik, mengingatkan akan novel "1984" yang ditulis sebagai prediksi nyata masa depan kelam pasca Perang Dunia II. Sama seperti "1984", Fifteen Million Merits bukan distopia yang semena-mena mengandalkan kreatifitas pembuatnya untuk menciptakan dunia baru. Fifteen Million Merits mampu merenggut perhatian penontonnya dengan konsep distopianya yang begitu dekat dengan sisi gelap realita masyarakat zaman sekarang - mungkin terlalu dekat hingga menyeramkan untuk dipikirkan - tapi itulah yang menjadi kekuatan episode ini. Tidak seperti episode-episode Black Mirror lainnya, dimana realita yang diakibatkan merajalelanya teknologi terasa seperti fantasi yang masih jauh dari kenyataan, atau setidaknya masih dapat dihindari, Fifteen Million Merits secara cerdik menghamburkan batas antara fiksi dan kenyataan hingga nyaris terlihat seperti cerminan sempurna satu sama lain.

menjadi masyarakat yang diperbudak dan dibutakan dunia maya. Satir diperkuat lagi dengan hubungan tokoh utama Bing dan Abi, menarik kontras tajam antara kehangatan hubungan tulus antarmanusia dengan dinginnya hiburan dunia maya yang mendangkalkan segala hal. Abi memiliki mimpi terpendam untuk mengekspresikan diri dengan menjadi penyanyi terkenal, dan Bing, karena rasa sayangnya pada Abi, rela menghabiskan tabungan meritsnya untuk membelikan Abi kesempatan menjadi artis dengan audisi di Hot Shots. Terlihat bahwa film menarik dua ekstrem, manusia versus teknologi, seakan-akan ingin menonjolkan: "Ini (!) - yang harusnya kalian jadi. Ingatlah kemanusiaan kalian, jangan termakan oleh televisi dan hiburan-hiburan lainnya!" Dan kita setuju, menganggap diri kita sebagai Bing dan Abi, masih (atau akan) berpegang teguh pada kenyataan dan kemanusiaan. Muncul pikiran, inilah inti yang ingin Fifteen Million Merits sampaikan pada penonton. Betulkah?

Lalu, bagaimana Fifteen Million Merits melakukan ini?

Ternyata masih ada lagi. Audisi Abi tidak berjalan sesuai harapan dan dia malah dijerumuskan, tidak sepenuhnya berdasar keinginan sendiri, menjadi bintang film pornografi. Melihat ini, tumbuh rasa dengki dalam Bing terhadap sistem yang menginjak mimpi tulus Abi, dan di menit-menit berikutnya, penonton menyaksikan perjuangan Abi menahan lapar, haus, sambil tersiksa oleh iklan-iklan Abi, demi mendapatkan kembali 15 juta merits yang dibutuhkan untuk membeli kesempatan audisi kembali. Bagian cerita ini berlalu begitu cepat tanpa banyak detil, tapi dinamikanya pas dan selaras dengan emosi penonton; kita, seperti Bing, sudah tak sabar menunggu klimaks balas dendam Bing, meski belum diketahui apa yang akan dilakukannya saat audisi.

Mengintip sekilas ke dalam dunia Fifteen Million Merits, terasa seperti terlalu banyak detil satir untuk diperhatikan, dari kamar tidur yang seluruh sisinya merupakan skrin, makanan yang semuanya diproduksi secara artificial di lab, obsesi masyarakat dengan hiburan virtual, kebiasaan merendahkan dan menertawakan penderita obesitas, konsep melakukan "pekerjaan bodoh" bersepeda berjam-jam depan skrin demi menabung untuk membeli barang-barang virtual, dan masih banyak lagi - semuanya cerminan dari keadaan masyarakat zaman sekarang. Tapi pembawaannya tidak terlalu padat informasi sehingga membuat pusing; naratif film justru terasa lamban dan pelit informasi seperti suasana dunia yang diceritakannya, sehingga di hampir tiap saat seperti terdapat plot twist kecil yang merombak ulang pandangan penonton terhadap latarnya. Dan di saat tertentu di awal film, semua butiran satir seakan membentuk jigsaw puzzle satir inti kuatnya eksistensi dunia maya hingga menyingkirkan realita dan unsur-unsur kemanusiaan di dalamnya. Ini, kita mengerti, adalah hal yang seharusnya kita hindari -

Dan datanglah momen yang dinantikan, Puncak klimaks Fifteen Million Merits terjadi saat Bing menumpahkan segala rasa bencinya terhadap sistem dalam pidato yang penuh emosi mentah dan nyata, sambil mengancam akan membunuh diri di tempat jika ada yang berani mengganggunya. Tetapi, seperti khasnya naratif Fifteen Million Merits, semua hal tak terduga. Hadirin yang menonton sempat terdiam serentak, terkesan sedang

2019

merenung, namun kemudian para juri menyatakan bahwa mereka sangat menyukai penampilan Bing, menyebutnya sebagai "the most heartfelt thing" yang pernah mereka lihat. Hadirin bersorak tepuk tangan. Lalu dengan begitu saja, pidato Bing "dibeli" oleh juri, dijadikan komoditas tanpa makna serupa yang diolok Bing dalam pidatonya. Bing masih terperangkap dalam sistem yang terbukti mengalahkannya, kini menyampaikan pidato mencekamnya di depan kamera dua kali seminggu, bebas dari dunia sepeda. Di detik inilah Fifteen Million Merits menunjukkan true colours-nya, sebagai satir mengenai industri hiburan, yang ironisnya dibuat oleh industri hiburan itu sendiri. Di sini mulai menarik. Kita bisa melihat Bing sebagai metafora dibunuhnya authenticity oleh industri hiburan secara umum, tapi kita juga bisa melihatnya sebagai perumpamaan Black Mirror sendiri. Melalui pidato Bing, Fifteen Million Merits bertransformasi menjadi cerminan penonton Black Mirror. Ternyata kita di sini bukan Bing atau Abi, kita adalah sisa masyarakat lainnya, yang mungkin saja mengerti makna yang ingin disampaikan tiap episodenya, tapi hanya menggunakannya sebagai sumber hiburan untuk mengisi waktu, menjadikannya sekedar obyek pragmatis yang dikomentari baik-buruk, menyentuh-tidak, bermakna-tidak, dan sebagainya. Mungkin tersadarkan sejenak. Kemudian kembali lagi ke kehidupan normal. Hal ini, menurut penulis review, menjadikan Fifteen Million Merits inti dari apa yang ingin disampaikan series Black Mirror secara keseluruhan, keunggulan yang tidak dimiliki episode Black Mirror lainnya. Dengan ini, Fifteen Million Merits mampu memicu introspeksi diri setiap penontonnya akan tingkah laku sehari-harinya di zaman yang penuh hiburan digital ini. Sama seperti "1984" yang sampai sekarang masih dianggap "bacaan wajib" akibat perluasan wawasan yang terkandung dalamnya, episode kedua Black Mirror dapat menjadi tontonan wajib bagi mereka yang ingin membuka mata, baik di masa ini, maupun di masa-masa yang akan datang.

9


ARTIKEL Peran Mahasiswa dalam Social Hub untuk Menyalurkan Potensi Masyarakat Masyarakat Indonesia sudah memiliki potensi kreativitas hal ini terlihat dalam kekayaan budaya yang tersebar di setiap daerah seperti kerajinan batik, gerabah, dan sebagainya - tetapi potensi ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menyejahterakan masyarakat yang memilikinya. Menanggapi ini, dan juga sebagai perwujudan Tridharma Perguruan Tinggi, perguruan tinggi sering memberikan program bantuan seperti pengabdian masyarakat agar potensi kreatif yang dimiliki masyarakat dapat mereka berdayakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Namun, ditemukan bahwa masyarakat seringkali kembali ke keadaan semula setelah pengabdian masyarakat berakhir karena hasil pengabdian masyarakat kurang sesuai dengan kondisi masyarakat sehingga tidak dapat berkelanjutan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Salah satu faktor utama adalah sifat masyarakat yang dinamis dan berbeda di setiap daerah, sehingga pendekatan ke masyarakat butuh waktu yang cukup lama. Untuk menjawab masalah ini telah dicetuskan sebuah solusi, yaitu keberadaan social hub di daerah yang bersangkutan. Social hub merupakan lembaga yang terdiri dari berbagai unsur, antara lain akademisi, bisnis, komunitas, pemerintahan, dan masyarakat, dengan tujuan mendata kondisi kawasan dan menyusun strategi pengembangan kawasan tersebut. Karena merupakan bagian dari masyarakat pedesaan itu sendiri, social hub dapat melakukan pendekatan ke masyarakat secara lebih mendalam sehingga ketika terdapat pihak luar yang datang untuk memberi bantuan, data-data yang dibutuhkan sudah ada. Dan setelah pihak luar pergi, social hub juga dapat memantau keberlanjutan hasil bantuan dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang senantiasa berubah. Jika diimplementasikan dengan baik, keberadaan social hub ini dapat merombak ulang pendekatan perguruan tinggi (unsur akademisi dalam social hub) terhadap kegiatan pengabdian masyarakat. Social hub mengakibatkan adanya perantara antara mahasiswa dan

masyarakat - perantara yang tidak menjadi halangan dalam proses pengabdian masyarakat tetapi justru memudahkan bantuan mahasiswa untuk masuk ke dalam masyarakat. Muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai sikap dan peran mahasiswa dalam konteks pengabdian masyarakat yang baru ini. Bagaimana seharusnya mahasiswa berhubungan dengan social hub dalam melakukan pengabdian masyarakat? Dan apa saja potensi yang dimiliki mahasiswa yang dapat berkontribusi ke masyarakat melalui social hub yang ada? Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam Summer Camp ITB 2020 ini, para narasumber yang menceritakan kondisi masyarakat dan kawasan berperan sebagai cikal bakal social hub untuk masing-masing daerahnya. Ini karena mereka yang menjadi perantara antara mahasiswa dan masyarakat dalam kegiatan summer camp; mereka memahami betul keadaan masyarakat, dan mereka juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mendalami lebih lanjut peran ideal mahasiswa dalam social hub, dilakukan case study pada kegiatan webinar dan workshop Summer Camp ITB 2020. Potensi mahasiswa yang disalurkan dalam workshop serta hubungan mahasiswa dengan narasumber dalam Summer Camp dapat mencerminkan potensi dan hubungan ideal mahasiswa di social hub secara umum. Berdasarkan pengamatan kegiatan workshop Summer Camp ITB 2020, mahasiswa memiliki 3 potensi utama yang membedakannya dari unsur-unsur lain dalam social hub (bisnis, komunitas, pemerintah, dan masyarakat). Ketiga potensi ini dapat bermanfaat untuk tujuan utama social hub yaitu menyusun strategi pengembangan pedesaan. 1. Critical Thinking Skills Karena latar belakang pendidikannya, mahasiswa sudah terlatih menggunakan alur berpikir yang logis dalam memecahkan masalah dan memiliki kemampuan untuk menganalisis masalah dengan tajam. Critical thinking skills ini tidak hanya terlihat dalam proses inovasi yang

terstruktur, tetapi juga memiliki bentuk konkrit dalam aplikasi tools berpikir seperti analisis SWOT dan fishbone diagram. Akibat kemampuan ini, mahasiswa dapat memecah masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian lebih sederhana dan memprosesnya dengan alur yang mudah dipahami. 2. Kreativitas yang Didukung Ilmu Pengetahuan Sama seperti masyarakat yang ingin dibantu, mahasiswa juga memiliki potensi kreativitas. Perbedaannya, daya kreasi mahasiswa didukung oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, seperti teori-teori tentang desain atau wawasan tentang aplikasi teori-teori tersebut. Contoh yang diterapkan dalam Summer Camp ITB 2020 antara lain penerapan teori placemaking di kawasan Jatiwangi dan Sitiwinangun, penerapan konsep Local Economic Development (LED) di kawasan Sitiwinangun, dan penerapan konsep wayfinding untuk memudahkan pengunjung kawasan. Perpaduan kreativitas dan ilmu pengetahuan yang dimiliki mahasiswa menghasilkan solusi masalah yang tidak hanya kreatif, tetapi juga memiliki dasar yang jelas. 3. Pemahaman tentang Teknologi dan Tren Mahasiswa, sebagai insan akademis dan bagain dari generasi baru, lebih akrab dengan teknologi yang telah mendominasi dunia. Mahasiswa juga memiliki wawasan lebih tentang pasar di dunia modern dan tren-tren dalam desain, wisata, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan mahasiswa lebih familiar dengan pentingnya pemasaran online, mulai dari publikasi di media sosial sampai jenis barang/jasa yang berpotensi memiliki nilai jual tinggi. Pengetahuan ini diterapkan dalam workshop Summer Camp, di mana beberapa inovasi melibatkan pemanfaatan media sosial dan solusi desain yang merujuk pada preseden-preseden terkini. Dalam menggunakan ketiga potensi ini, mahasiswa harus menjadikan informasi dari social hub sebagai rujukan utama. Data dan teori yang dicari dari luar social hub

10


sebaiknya selaras dan relevan dengan apa yang sudah diberitahu social hub. Oleh karena itu, mahasiswa dianjurkan terus berkomunikasi dengan social hub selama proses inovasi. Terdapat hubungan ideal berupa timbal balik antara social hub dan mahasiswa, dengan social hub memberi informasi tentang masyarakat dan mahasiswa memberi informasi terkait hasil inovasi untuk membantu masyarakat. Ketika keduanya sudah sinkron, dapat dihasilkan strategi untuk mengembangkan masyarakat yang logis, memiliki dasar pemikiran jelas, tetapi juga relevan dan mudah diterima oleh masyarakat. Mahasiswa memiliki banyak potensi yang datang dari latar belakang pendidikannya. Akibat potensi yang mereka miliki, mahasiswa berperan besar dalam pengembangan masyarakat. Dengan bantuan inovasi dari mahasiswa, masyarakat pedesaan dapat memberdayakan potensi kreativitas mereka dengan lebih optimal sehingga kesejahteraan mereka meningkat. Namun penting untuk diingat bahwa inovasi ini harus dipastikan sesuai dengan masyarakat yang dituju. Untuk itu, bantuan ini sebaiknya disalurkan melalui perantara social hub yang memahami dan menjadi bagian dari masyarakat agar bisa lebih efektif dan berkelanjutan. SUMBER Ihsan, Muhammad. (2020). Social Hub sebagai Jembatan Pelaksanaan Pengabdian pada Masyarakat yang Berkelanjutan [PowerPoint slides].

Dipublikasi dalam buku Summer Camp Materialitas dan Budaya Kreatif.

ITB

2020:

2020

11


PUISI DAN PROSA Puisi Kata-kata terbingkai, terbungkus, tersusun dengan rapih. Silahkan! Pilih perwujudanmu; Lebih jarang tampak di muka bumi manusia ini, lebih baik! Tak peduli makna yang ingin menjelma sebagai arti Apakah itu yang disebut puisi?

lantas mungkin tak pernah berakhir mewujudkan dirinya padaku dalam bayang-bayang asing menghentakkan kaki menyelubungi

Tidak, kukutakan.

asing. penyakit. dan tak layak

Engkaulah puisi, Dan engkau, Dan engkau, Karena tanpa satu patah kata pun Makna yang bergejolak di dalam keringat darahmu Sudah cukup untuk mengguncang seluruh dunia. 2018

Senja Kau sebut itu fajar, Tapi ku sebut itu senjaKarena jiwamu yang telanjang sudah mulai lenyap Karena matamu yang berbinar-binar perlahan akan kau redupkan Karena kita berdua tahu Tidak ada tempat untuk kata-kata ini di bawah sinar matahari.

tapi aku sudah menyatu dengannya tak lagi menelaah kompleksitas keberadaannya tak lagi mengusirnya bagaikan orang asing dia bagian dari diriku dan aku menari dengan itu, melukis kisah hanya ke angin yang takkan menganggap angan

kesedihan 2019

2018

12


Aku cuman belajar bahwa senang belum tentu bahagia, dan bahwa sedih belum tentu berduka. Cuman bisa berefleksi pada kenyataan mendalam yang hanya bersuara saat semua dalam diri hening - kenyataan yang tak pernah bisa aku akali - tapi memangnya semua hal di dunia ini bisa dimengerti oleh akal? Aku menemukan bahwa senang-sedih-marah-kecewa tak berkorelasi dengan kebahagiaan. Ada suatu hal di dalam diri manusia yang lebih mendasar dari emosi sejenak. Dan tak bisa aku akali.

Catatan harian 2019

Aku pernah ingin kabur selamanya Kabur mencari hidup baru Tanpa tekanan Tanpa rasa sakit Aku pernah iri pada para biarawati Yang hidup sederhana Tak ada lika-liku naik-turn terbolak-balik, Hanya menyembah Dia yang Maha Esa Aku ingin hidup seperti itu, kataku Jauh dari aib dunia nyata Kabur jauh ke pinggir peradaban Kabur jauh ke dalam diriku sendiri Jika aku tak pernah pedik aku tak akan punya alasan untuk bersedih Jika aku tak pernah mencicip rasa manis aku tak akan punya alasan untuk berdosa Aku menolak buruk rupa dunia Maka aku menolak buruk rupa diri sendiri. Apakah hidup diciptakan untuk ditolak? Aku belum bisa menemukan kepastian. Dengan memutuskan untuk hidup di dunia - hidup yang betul-betul hidup terpaksa tangan akan beradu dengan debu, tanah, lumpur, abu. Kadang ada sesuatu yang perlu kita kerjakan. Tidak bisa setiap saat menaruh kesucian diri sendiri di atas segalanya. Dunia memanggilmu. Dengan api dan air. Badai dan hening. Darah yang bergejolak. Topeng-topeng penipu dan buruk rupa. Hei - apa arti kesucianmu jika tidak pernah mengenal rasa dengki! Rasa iri! Kembalilah, engkau yang takut pada dunia. Buah takkan didapatkan dengan berdiam diri. Dia yang memilih diam seakan-akan sudah mati. Saksikan (!) bahwa tersisip sebuah puisi dalam kacau-balau kehidupan. Rasakan (!) bahwa suci yang paling indah adalah suci yang telah berbenturan dengan segala kejahatan dunia.

Catatan harian 2020

13


Badai Aku kenal badai. Liar, ganas, mengusik, menampar Mendekap meluas Hingga batas langit pun hambur Menggelepar dalam gelap gulita Senantiasa membisik Untuk mengintip sekejap saja Pecahan kaca medan perangnya Tapi dia membutakanku Dia sendiri yang memecahkan kaca. Maka, aku pergi. Mencari kembali diri yang telah lenyap. Aku tahu dia akan berusaha mengikutiku Maka aku hilang Berjalan jauh Tanpa henti Tanpa lelah Jatuh cinta dengan sendunya langit, laut, angin Dan aku tak kenal lagi Dengan yang namanya badai. Tiap percikan warna berupa harapan baru Bahwa aku akan aman Mengenal setiap keasingan Lalu mengasingkan yang dikenal Berlalu terus bagai hembusan angin.

Aku bebas Terbang Menjadi apapun, siapapun Yang aku inginkan Seperti waktu berputar balik Menghapus semua jejak dan langkah Seperti semua sudah dimaafkan Lalu, siapakah aku? Dimana diri yang terus aku cari Semua baru, sunyi, dan tenang Tapi hampa Dan mulai terasa lagi gemuruhnya Rusuhnya Terus mendekat, tak pernah menyentuh Tapi sekarang aku sudah siap Untuk perlahan mengintip sekejap saja Membuka mata Hati Jiwa Dan di detik itu aku mengenal Siapa sesungguhnya badai itu. 2019

Puisi “Badai” ditulis untuk film pendek visualisasi puisi yang dapat ditonton pada bit.ly/puisi-badai.

Puisi “Badai” juga dipublikasi beserta ilustrasi yang dibuat menggunakan Adobe Photoshop. Versi ini dapat dilihat pada instagram.com/raisashfra.

14


Sifat Alam Apakah kau yang mendaki gunung memahat sejarah tak berujung atau gunung yang mendaki sejarah kau Apakah kau yang menyeberangi laut menaungi pasang surut atau laut yang menyeberangi pasang surut kau Apakah kau yang menikam melampiaskan dendam dengan pisau tajam atau pisau itu yang menikam kau

Dalam bayang-bayang garis dan warna Tersembunyi benih makna Dalam suasana sekilas sudut dan ruang Hidup kebahagiaan milik bersama yang terlahir dari rasa kepemilikan Tangan komunitas telah berkarya Hingga jati diri tampak dalam tiap bentuk dan irama Apakah kau bisa memberi tanpa mengerti Untuk siapa semua pesona Bagaimana estetika bisa kaya Tanpa mengingat jiwa sang pengguna Ruang dari tangan asing tidak selalu jadi milik kita Tapi makna yang dibangun bersama menjadi tempat singgah untuk semua

2020

- the act of placemaking 2020

the act of placemaking ditulis untuk pameran Gaung Bandung 2020.

15


KONTEN PUBLIKASI MEDIA SOSIAL

Post Instagram GEP Gastrospective

Penjelasan singkat mengenai jenis-jenis karya di GEP Gastrospective dan hubungannya dengan tema Gastrospective. Konten ini menjadi “prequel” konten highlight karya GEP.

2019

16


Post Instagram Gaung Bandung 2020

Penjelasan mengenai konsep place dan placemaking dipaparkan dalam visual dan diagram yang mudah dimengerti 2020

17


Konten Edukatif Instagram ARCHINESIA Bookgazine

Konten edukatif mengenai incremental housing, diriset, ditulis, dan disusun oleh saya dan Mutiara Indah dan disunting oleh Fauziah Prabarini. 2021

18


Konten mengenai kemampuan yang ternyata dimiliki mahasiswa arsitektur. Diriset, ditulis, dan disusun oleh saya dan Mutiara Indah dan disunting oleh Fauziah Prabarini. 2021

19


TABLE OF CONTENTS Novels & Short Stories

21

Articles

24

Poems and Prose

25

WRITTEN WORKS IN

E N GLI SH


NOVELS & SHORT STORIES Mimi Bo and the Missing Diary

A children’s book about three babies who go to a secret school called Baby Boo Academy. Originally written in English and published by Mrumia Publisher, but was also translated into Indonesian and published by Kecil-Kecil Punya Karya.

2009

21


The Old Merchant’s Time Machine Within the cobbled streets of New Babylonia, hidden right before your eyes amidst the smells of freshly baked pastries and exotic perfumes, and the brightly colored tents teeming with buyers and sellers alike, was a treasure unlike any other. This city, though widely known for being a marketplace for every kind of good and service imaginable, held a secret much more precious than the most expensive jewels it sells. This secret, they say, was the key to the city's prosperity and the happiness of all the people in it. Many came from all corners of the world to discover this secret that claims to have so much value, yet only a few ever learned of its nature. Also within the cobbled streets of New Babylonia, was a student. In a city bustling with riches and jewels, one might wonder why he was there. And if one were there to see him, they would have noticed right away how much he stood out among the busy crowd. He was simply a wide-eyed onlooker, taking in the sights and smells around him as if they were artifacts in a museum instead of things he could taste and touch. If one were to watch him as he strolled along the streets, they would also notice that though he had a determined look in his eyes, this strange newcomer never once stopped to look at the riches and jewels around him. But he did stop eventually, in front of a small unbecoming antique shop. It was one of those shops that would go unnoticed at first; it looked as if it wished to blend into the background instead of stand out from the crowd. The student entered the antique shop with a feeling of great anticipation - he knew that this was it, the moment he had been waiting for since he first started his studies. "I'm a student," he said, introducing himself. "A student of time." The old man behind the counter regarded this fresh-faced, eager boy as he had regarded so many others before him. "And why, pray tell, have you journeyed so far to come to my humble antique shop?" he asked him.

The student barely had enough time to look for the right words to explain his being there when the old man started to speak again. "New Babylonia. It's a beautiful and wondrous city, isn't it? Years ago you would never have imagined all the magical wonders that come to life here. This city is filled with all the treasures and innovations that mankind has made possible over the last 500 years. And every single day, new inventions and contraptions are created, marketed, and sold where they then spread to the entire world." The old man gestured to the shop window, where across the street a young woman was selling a loom that could spin yarn into materials of all kinds. Next to her were a brother and sister selling what seemed to be chemically powered necklaces that healed all kinds of illnesses. "But perhaps," the old man said to the student, "You are here for something else. Perhaps you are here to learn about the treasures of the past. A student of time like yourself should know that the present is nothing without the past. And what better place to look than my antique shop? I am a merchant who has been trading for longer than I can remember, and during my life's work I have collected so many things of high value from different times in humanity. Here, we have brass oil lamps from the 16th century, this was long before nuclear power became safe to use. And this-," he pointed to an odd-looking headpiece enclosed in a glass case, "-was the crown of the Queen of England, meant to beautify and show status within the community." The student, who had been so determined to come to this shop, now looked unsure. "As a student of time, sir," he said apprehensively, "I feel obliged to say that the past is already well-known. We have history books, but every day we leave them further and further behind for newer and grander things. There is no longer anything to learn from time that has gone by. I seek to learn about time that has yet to arrive. It is something

that none of the masters understand fully. But it is the only part of time that is important to know about. And they say the answer is to be found in the most unbecoming shop in the exciting city of New Babylonia. They say you have-" and the student began to whisper, "- a time machine." A twinkle emerged in the old merchant's eyes. "Time is a lot like the wind, don't you think? It comes in an instant, and disappears in an instant. It simply passes you by. The question is, if all the time before you has passed, and all the time ahead of you is yet to come, how much time do you actually have?" The student shook his head, perplexed. "If you wish to understand the future, plant these rice seeds in the garden behind the shop. Water them, fertilize them, and give them plenty of love. When the rice has grown, tell me what you see." So the student planted rice and tended for his rice plants every day for several months, but as the days he passed he never felt as if he understood the future better. When the rice had grown and was ready to harvest, he talked to the old merchant again. "I see plenty of crops, which means plenty of food, enough to feed a family during the cold season," he said. "Now look back into the past, when the rice plants were merely seeds," said the old merchant. "Do you understand the future now?" The student said he didn't, to which the old merchant replied, "Go out into the streets of New Babylonia with nothing but this goblet and 5 pennies. Come back when you have multiplied them by a hundred. Then tell me what you see." So the student went out into the streets of New Babylonia. He sold his goblet for pennies, which he used to buy more

22


goblets, which he used to obtain even more pennies. He came back to the antique shop with 100 goblets and 500 pennies, yet still no understanding of the future. So the merchant sent him out again. "See those children sitting on the streets? They have been unhappy every day for a very long time. Every day, give them bread and water and cherish them. Every day, tell them how they are blessed with the sun, remind them that life in New Babylonia is beautiful right now, and every single day." The student did just so, and before long, the children who used to sit so glumly on the streets were laughing and playing all the time, without a trace of unhappiness to be seen.

an image of the student and himself in that very room. "This space right now, the timeless time between time that has gone by and time that has yet to come, is the future. The present is the future. Because it is what you do with the present that determines the future. "This is the secret to New Babylonia's success. We know that the future is something we create right now, not a mysterious treasure that comes without effort. We know to make the most of the present, and not just daydream about what the future could be. See, the farther away you think the future you want is, the farther away it will be." The student of time nodded. He understood the nature of the future now. And he knew how to design it as he dreamed.

"Do you understand the future now, dear student?" said the merchant. And the student replied that he did. The old merchant smiled. "It is time for you to see my time machine." He led the student through corridors filled with ancient artifacts until they reached a small, golden door. Inside the room was a contraption that looked like a hologram. This was the old merchant's time machine. "This time machine holds all the knowledge of time that has gone by, in all the places in the world," the old merchant said, turning a few dials and knobs to show the student different events during the history of mankind. "The past is rich with information. "But when you look to the future," the old merchant turned a few more dials and knobs, only to show something the student never would have expected had he not become wiser. "Nothing is there. Time that has yet to come does not exist. In a sense, the future isn't real. "So what does create the future? When is the future?" The old merchant fiddled with the time machine until it showed

Won runner up in EWC UPI’s National Writing Competition and was subsequently published in their book, Branchlet of Future. Was written with the competition’s theme ‘Future’. 2019

23


ARTICLES Does Negativity Breed Art? Only here in art can suffering become a commodity. it is, for us, the price one must pay for the attainment of a greater good - the greater good being the poetic expressions of the soul. There is a saying that “negativity breeds art”, and indeed so many an artist purposely drown themselves in despair, groping into the darkest limits of human experience in the hopes of creating true art. And it is something to be said that most art would not have existed without the knowledge of pain. Unfortunately for everyone else, this has either directly or indirectly created a world where cynicism and skepticism run wild and almost every piece of art is at least a little bit poisonous to one’s soul. Perhaps the concept of a man being forced to sexually assault a pig stretches the imagination to possibilities. The question is - why? Why would it ever be a good idea to subject the public to such vile ideas? Most of us already have issues - issues we’d like to fix - and we certainly don’t need any more. Art used to be an expression of beauty, of a higher ideal to aspire to that is separate from the artist itself. Yet now a lot of it has morphed into a dumping ground for everyone’s negative feelings, like a diary made public. The 21th century has produced a lot of research on how we absorb the energy of what is around us, be it positive or negative. Art which is a dumping ground is a release for the creator, but poison to the spectator.

it wasn’t, and after a period of reflection I now believe that negativity does breed art, in a sense. But it is not the negativity itself that becomes the source for good and compassionate art. It is the rise, the trials and tribulations from the depths of negativity to the heights of joy and peace, that is where art as an ideal can manifest. This is the type of art that is can be beautiful, tragic, and painful, yet also healing and therapeutic for whoever it passes by. We must remember, of course, that art such as this cannot exist without the experience of negativity. But instead of encaging one in one’s own sorrows, the experience of negativity is used to bring comfort. That one is never alone in sorrows, and sometimes even that one can get out of those sorrows. Negativity breeds art, but for the art that is kind to us, it also breeds hope. I’ve learned that it is not always necessary as an artist to hurt one’s self for art - instead all of life can be used for it. I’ve learned that art can express pain without giving pain. I’ve learned that it is not always suffering where art comes from, but from the values and virtues held on to during suffering, from the healing process, from healthy love. The highest kind of art, in my view, gives the notion of a more beautiful world, lifting the spirits of humanity to one day make that art into a reality. This is the role of art in society. this is what makes art essential. And this idea of art as a healing medium is something I’d love to aspire to.

So is it really true that negativity breeds art? Hearing all the sad songs on the radio I always thought it was, after reading Rumi and The Chronicles of Narnia I then decided

Published in karyaimag.tumblr.com, an archive for works of ITB architecture undergraduates.

2021

24


POEMS AND PROSE - the fury of rushing passion in a scattered soul with no room for a second thought, too obsessed, too attached, becoming the hurricane itself. But she learned from the hurricane, learned to sway with it, danced lightly and gracefully as if it did not affect her - because she was at peace, because she knew how to be wise. And with that, she healed all the hurricanes around her, fighting fire with water, and hatred with love. Calm, gentle, still, but like the ocean with its depths of playful swirling waters, she gives everything and asks for nothing, she takes in everything and reciprocates nothing unneeded, but speaks from her depths of blue the one wise word that one really does need. Maybe because she has too much love inside her, she knows that sometimes all one needs is to be listened to. A true art of selflessness, and of existing for others, never starting wars with the sky because she knows how to dance with the hurricane, and she knows that there are things in this beautiful world much bigger than her, than all of us, just pleading to be felt, as a painting of all the beautiful things God wants for us all. She is a light in all the lives she has touched - not a powerful and glaring light like the sun, but a soft, twinkling light like the stars that guide sailors under the night sky, a message of hope for those lost in the middle of nowhere. She proves by her mere existence and perseverance through everything that to be soft is to be strong. She sees beauty where it is hard to find, she is content because she decides to be even for all the ongoing hurricanes that she knows will keep coming, she knows all you can do is accept, all you can do is love - and for that she is beautiful. Wishing I could give everything back to the depths of ocean that inspire me to be kind and loving every single day. But like the sea, she never tires of love. And in her arms, I heal.

relief. i sent out the invitation pacing back and forth brink of insanity tension peaking anticipating this very moment until time itself felt stretched thin where i would look and feel nothing. and here it is when i least expected it but it wasn’t the invited at the door but something terrible only because it wasn’t terrible at all like i had lost something much more precious than your presence.

2019

Written for my mother on Mother’s Day 2019

25


water was in awe of the mountains standing regal and powerful as a warrior would on the front line firm and unyielding a protector and giver of shelter to whom affliction seemed not to be affliction at all and so builit herself in their image - but could only fall in cascades all over herself unable to meet her perfection but as she fell, over and over she learned what was not of the mountains that she was fluid, not rigid that she flowed, and could not stay that though she was not of one shape, she found she could both shape and be shaped by others and that she could slip through the tiniest crevices giving life and love to those whom it would seem were unable to take either

so she no longer strived to become a mountain but instead strived to become herself with all her strenghts and flaws not someone else’s and realized it was true she could not be a mountain but also that the embracing of others’ beauty was not complete without embracing her own she learned that the mountains were beautiful but water was beautiful too. - we are all miracles in different ways

2019

26


polarity masks. they say don’t hide and cower from the sun they insist you be yourself they say don’t wear a mask don’t spend your soul in the darkness your soul is much more beautiful and powerful than any mask you can create but what they often forget is i was always here real, blooming i never hid from the sun it is they who have assigned me a mask and speak of that mask as if it were me i am to you only what you have made me out to be but flowers are still flowers though surrounded by the blind and music is still music though played for the deaf you are so much more than the masks given to you

2019

of all the conflicting contradictions that one can consist of, of all the opposite extremes existing as mere potential in a single soul, i’ve seen them both in eyes now devoid of emotion as if we had never met

2019

of the heart of the heart that remains i have nothing to tell i don’t hold the reins i don’t cast the spell you live long enough to learn but one thing that you are a puppet accepting your strings of the heart i could give you if only i knew the gardens and flowers now lost from my view how can you win desire with its whereabouts unclear how can you tame a fire which has been taming me for years

2020

27


i am slowly picking up the pieces scrubbing the floors i had let waste away tending to the weeds in the garden making room for new life new art new hope sunlight is creeping in through the windows and the darkest colors are dissolving slowly wings - long forgotten - are spreading roses - long buried - are blooming perhaps it took lifetimes to arrive here to realize the love i drained myself of to pour into you is coming back to me in waves who knew? that i am my own greatest lover

one day you wake up and find your smile a little wider eyes a little brighter tears a little drier you find that you can walk though you cannot run and that you ache but no longer burn here, in this moment, are you still in your eternity? though the lights are dim and your heart is heavyif you pause and look back do you witness your story an eternity has passed and an eternity is still left to come

these things take time over and over until the words crumble into sounds that have lost all meaning these things take time but what does time matter if you live trapped in an eternity how can you hope, you wonder, for something that shows no sign of coming these things take time but all time has taught you is how to be alright without being alright you learn the grief does not always leave you but you still live, regardless

ruang di antara

worth the wait

perseverance 2020

2020

2020

A three part series, to reflect on the different stages in life.

28


Has God been kind to you lately? Was your peaceful passing a sign of forgiveness? I worry it is unwise to attempt to fathom what goes on on the other side. Over here they are saying you are a sign of humility. They mention the parable that a sinner who feels he is nothing is better than a good person who all but takes pride in his own goodness. I can only pray it’s true for you. They say you never slept or ate, that your guilt kept you up at night. I understand, I’ve always thought guilt was a worse, much worse feeling than heartbreak or grief. I wanted to ask you, do you think guilt is a virtue? Or is it better to forgive oneself? If I forgive myself, isn’t it the same as not acknowledging the weight of my crimes? Should one sleep at night when they know the damage they have done? I meditate and all I feel is guilt, guilt, guilt. I wonder if God told you the answer when you met Him. Some of us don’t know your story, all the anguish you put yourself and other people through, while some of us took years to forgive you. Perhaps it’s better they never know what you did and what you went through. They love you too much for that. Some truths can hurt, you see. I want them to remember you as an angel, because you tried very hard to be. Like I am trying very hard to be. I want to thank you. You and your heart are an inspiration, a reminder of what’s most important in life. A reminder of God’s grace and mercy, even to us who destroy ourselves and everyone around us. I’m grateful to have been blessed with peace while still alive and young, but I know a lot of us are never given that. So I hope that’s what you have now, peace. Life is fleeting after all, but the home in God is eternal.

Catatan harian 2021

29


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.