3193-6013-1-SM

Page 1

ISSN: 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia


ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013 Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Semiarto Aji Purwanto

Redaksi Pelaksana

Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.

Manajer Tata Laksana

Ni Nyoman Sri Natih

Administrasi dan Keuangan

Dewi Zimarny

Distribusi dan Sirkulasi

Ni Nyoman Sri Natih

Pembantu Teknis

Rendi Iken Satriyana Dharma

Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Br채uchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

ISSN 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal


Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola) Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

91

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.


Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya

Muhammad Nasrum1 Program Studi Antropologi Sosial Universitas Tadulako

Abstrak Tulisan ini bermaksud memberikan suatu tinjauan antropologi tentang korupsi sebagai fenomena politik, sosial, dan budaya. Penulis menekankan bahwa keseriusan antropologi tentang korupsi, didorong oleh sejumlah alasan epistemologis, terlembaga dan tertanam dalam konteks yang lebih luas dari hubungan kekuasaan: baik secara global , dan lokal. Tantangan terbesar bagi antropologi, yang berkaitan dengan kompleksitas korupsi, terletak pada: bagaimana menjelaskan atau menafsirkan fenomena tersebut tanpa merasa cemas akan masuk ke dalam perangkap etika dan moral. Pada satu sisi para antropolog harus mampu menjelaskan korupsi sebagai bagian tak terelakkan dari hubungan kekuasaan yang lebih luas di jantung negara dan hukum, di mana dalam banyak kasus tidak jelas batas-batasnya atau sengaja dikaburkan, dan yang sisi lainnya, terdapat kebutuhan refleksif pemahaman antropologis yang secara tradisional senantiasa berupaya untuk memahami aturan-aturan dan norma-norma dari tatanan sosial sebagai suatu kerangka budaya. Kata kunci: korupsi, budaya, antropolog, antropologi, kekuasaan, negara.

Abstract This paper is intended to provide an overview of anthropological perspectives on corruption as political, social, and cultural phenomenon. The author attempted that anthropological concerns on corruption was driven by a number of epistemological reasons, institutionalized and embedded in the broader context of power relations both of globally and locally. The biggest challenge for anthropology, which deals with the complexity of corruption, lies in: how to explain or interpret such phenomenon without apprehensively will be going into ethical and moral pitfalls. On the one hand anthropologists should be described corruption as an inevitable part of wider power relations at the heart of the state and the law, where in many cases are not clearly demarcated or intentionally obscured; and the other, there was a need of a reflexive anthropological understanding which traditionally always been trying to understand the rules and norms of social orders as a cultural framework. Key-words: corruption, culture, anthropologist, anthropology, power, state.

1

Muhammad Nasrum staf pengajar pada Program Studi Antropologi Universitas Tadulako, Palu. E-mail: muhammadnasrum@gmail.com.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

1


Pengantar Menurut Lambsdorff, dkk. (2005) Dinasti Qin telah menjatuhkan hukuman penalti terhadap korupsi pada Abad ke-3 SM di Tiongkok, Arthasastra (Kautilya 1991) mengatakan bahwa korupsi telah dilakukan di India lebih dari 2400 tahun lalu, Aristoteles (Wilson 1989) menyatakan bahwa Dewan Areopagus yang beranggotakan para tetua di Athena sebelum Abad ke-5 SM itu, salah satu tugasnya adalah melaporkan korupsi, MacMullen (1988) berkata bahwa korupsi menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Romawi pada Pertengahan Abad ke-5 (MacMullen 1998), sementara dalam konteks Indonesia, Moertono (1968 [2009])—yang juga dibenarkan dan dikembangkan oleh Anderson (1972 [2007])—mengatakan bahwa korupsi tertanam dalam patrimonialisme orang Jawa (Moertono 1968). Apa itu korupsi? Menurut Bank Dunia (WB) korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi2. Transparency International (TI) yang masyhur dengan Indeks Persepsi Korupsi-nya itu, mengatakan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi3. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berbagai sumber mengatakan bahwa korupsi kelas kecil-kecilan hingga besar-besaran adalah bagian dari pengetahuan dan pengalaman sehari-hari di Indonesia, dan menjadi arena produksi ragam metafora: mulai dari sekadar “uang rokok”, ”uang lelah”, “uang bensin”, “amplop”, “uang pengertian”, “tip”, “komisi”, “persen”, “pungli”, “uang lulus”, “pelicin”, hingga “Apel Malang”, “Apel Washington”, “semangka”, “Salak Bali”, “pelumas” ala An2 “We (The World Bank) settled on a straightforward definition—the abuse of public office for private gain”. Lihat: http://www1.worldbank. org/publicsector/anticorrupt/corruptn/cor02.htm 3 TI menyatakan: “Generally speaking as “the abuse of entrusted power for private gain”.” Lihat: http://www.transparency.org/whoweare/ organisation/faqs_on_corruption

2

gelina Sondakh, sang terdakwa kasus korupsi anggaran di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Olah Raga. Bagi banyak sarjana korupsi itu mulai dari level kecil (petty corruption), besar (grand corr uption), hingga korupsi sistemik. Dilakukan di sektor pemerintah atau publik, perusahaan, maupun organisasi non-pemerintah. Bentuknya dapat berupa pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, penyuapan, penyogokan, tebang pilih, penyalahgunaan wewenang, kolusi, klientelisme, nepotisme, dan politik uang. Tetapi, orang Jawa meyakini bahwa saweran dan bantingan itu bukan korupsi, orang Makassar berkata bahwa itu bukan suap tapi panynyoori dan orang Bugis menyebutnya dengan istilah passolo, sementara orang Batak memaknainya dalam terma silehonlehon, orang Cina menyebut ang pao bukan senagao gratifikasi, orang Palu berkata bahwa itu hagala: “lebaran kan cuma sekali setahun”, dan Schrauwers (dalam Li, 1999: 105—129) mengatakan bahwa posintuwu adalah ekonomi moral dalam sistem kekerabatan orang Pamona, yang seiring perjalanan waktu, tak lepas dari intervensi kepentingan penjajah kolonial dan pemerintah. Pada umumnya para sarjana ilmu sosial mendekati korupsi dari dua perspektif yang luas: struktural dan interaksional. Pendekatan struktural pertama ditandai dengan adanya seruan moralitas biasanya terlihat menonjol dalam kajian pembangunan serta direpresentasikan oleh berbagai media populer. Muatan hasil-hasil penelitian korupsi didominasi oleh daftar orang-orang antagonis dengan sejumlah stereotip seperti: keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, penindasan wanita, fundamentalisme, fanatisme dan irasionalitas, vis a vis “masyarakat lain” yang modern, beradab, gaya demokrasi barat; namun mereka secara intrinsik memaksudkannya sebagai perangkap dalam jaring budaya yang mereka niatkan dan ciptakan sendiri. Pendekatan struktural kedua, lazim ditemu-

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


kan dalam bidang kajian Hubungan Internasional (HI). Pendekatan ini lebih diarahkan pada analisis sistem aturan formal dan lembaga. Tujuannya adalah untuk menentukan bagaimana dan mengapa aktor tertentu–terutama kelas elit—mampu bertindak untuk meraih keuntungan pribadi. Dalam kerja-kerja lapangan mereka, para sarjana di bidang ilmu ini melakukan pemeriksaan berbagai faktor seperti: bagaimana proses pembentukan elite penguasa, apa jenis kompetisi ada di antara mereka, dan bagaimana mereka bertanggung jawab. Hasilnya seperti yang dipublikasikan oleh Postero (2000) yaitu seperangkat korelasi antara faktor-faktor tertentu dan korupsi, sebagai dasar untuk meracik resep melawan korupsi sebagaimana yang didemontrasikan oleh TI dalam formula Indeks Persepsi Korupsi (IPK). IPK kemudian digunakan untuk mempromosikan gagasan modern dari pemerintahan: efisiensi, akuntabilitas dan transparansi—yang tujuan akhirnya dipandang sebagai prasyarat untuk mempromosikan perdagangan bebas internasional. Padahal niat sesungguhnya, kata Foucault (1991), adalah suatu taktik dari kekuasaan normatif dan bagian dari seni pemerintahan liberal modern. Berbeda dengan pendekatan struktural, pendekatan 'interaksional' lebih menekankan pada perilaku aktor, khususnya para pejabat publik. Korupsi didefinisikan sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi peran publik yang mendukung kepentingan pribadi atau personal, atau dengan menggunakan istilah lain, perilaku korupsi adalah yang “merusak public interest” (Friedrich 1966; Heidenheimer 1989a, 1989b). Contoh konkret dari pendekatan ini, misalnya, para pegawai pemerintahan yang menggunakan kantor sebagai tempat mencari keuntungan pribadi di luar aturan kantor atau melakukan praktik bisnis swasta di kantor publik (Van Klaveren 1989). Definisi lembaga-lembaga resmi—baik internasional maupun nasional—dapat dikatakan telah diterima secara ‘universal’. Korupsi adalah sesuatu yang sangat jelas, penggunaan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun kelompok secara tidak sah. Pengertian ini dalam berbagai publikasi, banyak diadopsi dan dikembangkan oleh para peneliti di lapangan, yang sebagian besar mencoba menghampiri korupsi dari perspektif politik, ekonomi, hukum, dan kajian pembangunan internasional. Benang merah dari hasil-hasil studi tersebut menunjukkan pentingnya penekanan aspek normatif yuridis dalam menjelaskan korupsi. Tujuannya adalah menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan dan penyakit sosial yang harus dicegah; musuh bersama yang harus diperangi dan dibasmi; dengan cara menangkap dan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada para pelakunya. Dwight Y. King (2000), ahli Indonesia dan Professor Ilmu Politik asal Northern Illinois University misalnya, menulis sebuah artikel tentang korupsi pada birokrasi dan pemerintahan di Indonesia yang diberi judul: Corruption in Indonesia: a curable cancer? Korupsi di satu sisi dianalogikan sebagai sejenis penyakit berbahaya: kanker, yang menuntut agar pelakunya segera “dioperasi” alias dihukum, sementara pada sisi yang lain metafora tersebut juga menjadi semacam peringatan dan pencegahan bagi yang lain agar tidak menderita penyakit yang sama. Dalam berbagai karya ilmiah tentang korupsi, metafora korupsi sebagai sejenis “penyakit” dijadikan sebagai tanda ketidakstabilan sosial dan proses pembusukan suatu sistem pemerintahan atau rezim negara. Antropolog Thomas Hauschild (2000), menolak stereotip konvensional yang menghubungkan kejahatan dan korupsi dengan struktur negara yang lemah berdasarkan dua alasan. Alasan pertama: jaringan hubungan kepercayaan pribadi, patronase, loyalitas, termasuk pemberian hadiah adalah suatu tanggapan kultural, sehingga naif jika dikatakan sebagai penyakit. Kedua: korupsi tidak endemik hanya karena suatu negara lemah: korupsi juga terjadi pada semua struktur politik yang stabil dan hegemonik di mana kontrol eksternal tidak hadir.

3


Posisi dan pendirian Hauschild, mewakili salah satu kecenderungan studi antropologi terhadap korupsi dan menjadi bagian awal dari tulisan ini: memetakan hasil-hasil studi antropologi terhadap korupsi termasuk di Indonesia; dilanjutkan dengan menguraikan batas-batas metodologis kajian; dan akhirnya berupaya untuk menunjukkan dan memberikan kemungkinan konseptual beserta implikasi praktis dalam menjelaskan korupsi dalam kerangka budaya. Antropologi Korupsi: Arena Pertarungan Ideologi Global – Lokal Mengulangi apa yang pernah dikatakan oleh Keesing (1987: 161—162), karena para antropolog niscaya selalu berhasrat untuk memahami budaya hingga manifestasinya dalam bentuk penyamaran terhadap realitas-realitas politik-ekonomi manusia, maka secara akademis antropologi termasuk bidang pengetahuan sosial yang baru belakangan secara eksplisit bersepakat dengan kata benda bernama korupsi4. Namun demikian, tantangan terbesar bagi para antropolog yang bergelut dengan kompleksitas etnografi korupsi, terletak pada bagaimana mereka menjelaskan atau menafsirkan fenomena tersebut. Nuijten dan Anders (2007: 4), menyatakan bahwa kecenderungan para antropolog “lambat” dalam menanggapi korupsi, lebih disebabkan oleh kuatnya tradisi relativis dari para antropolog yang menentang keras penggunaan penilaian normatif dan moralitas yang berasal dari luar satuan wilayah penelitian mereka. Sejak tahun 1960an sudah cukup banyak karya etnografi yang mengungkapkan berbagai praktik tersembunyi: patronase, ilegal, semi-legal, penyuapan dan makelar, hingga pemberian hadiah timbal-balik. Sementara pada posisi berlawanan, Pardo (2004), justru menekankan pentingnya perbe4 Nuijten dan Anders menunjukkan karya-karya dari para antropolog tersebut di antaranya: Blundo dan Olivier de Sardan 2001, 2006; Haller dan Shore 2005; Hasty 2005; Olivier de Sardan 1999; Ries 2002; Schneider dan Schneider 2003, 2005;

4

daan antara pertimbangan hukum dan moral korupsi sehingga relativisme budaya harus dihindari dalam mendefinisikan korupsi. Menurut Pardo, bagaimanapun sulit diingkari bahwa legitimasi budaya adalah suatu kontruksi sosial. Sebagai konsekuensinya, tentu saja Pardo dengan senang hati mendukung adanya seruan dan gerakan global untuk memerangi korupsi—seperti yang diinisiasi dan disebarluaskan oleh berbagai agen internasional. Penekanan pada penolakan terhadap “orientalisme baru” bernama neoliberalisme dan patrimonialisme gaya baru, dengan pendekatan oposisi biner yang dipromosikan oleh TI, Bank Dunia, dan IMF dalam proyek pembangunan global pemberantasan korupsi, adalah nasihat utama Nuijten dan Anders. Menurutnya, pendekatan tersebut tak lebih dari memberikan kredibilitas baru bagi Konsensus Washington, yang terbukti telah membawa banyak masalah di kebanyakan negara berkembang. Dalam praktiknya, oposisi biner telah memproduksi cukup banyak stereotip. Beberapa diantaranya yang paling menonjol dalam proyek basmi korupsi global adalah: “good governance” yang menegaskan bahwa juga ada “bad governance”, “transparency” atau “accountability” sebagai lawan dari “corruption”, serta sejumlah metafora lainnya, termasuk “privatisasi” dan “deregulasi.” Bagi lembaga-lembaga dunia tersebut beserta para pendukungnya, dengan tegas mereka menyatakan bahwa korupsi sebagai salah satu penyebab utama kemiskinan dan keterbelakangan. Korupsi dikatakan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara berkembang karena membuat kontrak bisnis dan investasi tidak aman, menyebabkan ketidakpastian dan kurangnya kepercayaan di antara warga negara, dan menyebabkan tertundanya pelaksanaan pembangunan yang menjadi tugas para birokrat. Sementara bagi kebanyakan antropolog, penjelasan tentang kemiskinan sebanyak penjelasan korupsi sebagai konsekuensi yang menyertainya. Oleh karena itu korupsi seharusnya dijelaskan sebagai bagian

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


tak terelakkan dari hubungan kekuasaan yang lebih luas di jantung negara dan hukum yang dalam banyak kasus korupsi batas-batasnya tidak jelas atau sengaja disamarkan. Berbagai hasil penelitian di Asia dan Amerika Latin menyoroti pentingnya hubungan patronase yang pada umumnya menunjukkan adanya pengaruh dari para birokrat negara sebagai penyebab utama korupsi. Pengaburan yang dipraktikkan dengan cara mencampuradukkan tugas-tugas rasional-birokrasi dengan persahabatan, kekerabatan, dan loyalitas pribadi, prinsip pemberian timbal-balik, dan amal adalah sebab terjadinya kinerja yang tidak produktif, korupsi yang cukup sulit untuk dibuktikan, namun memperoleh dukungan karena fungsional dan lentur dalam menyiasati aturan-aturan yang ketat dan kaku sekalipun (Lomnitz-Adler 1992: 297; DaMatta 1991). Hubungan “mesra” antara korupsi dan negara juga ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian Olivier de Sardan (1999), Krastev (2003), Anders (2005), dan Roitman (2005). Jenis korupsi bervariasi dan menyesuaikan dengan karakter politik-ekonomi rezim yang berkuasa. Hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa alih-alih “good governance” dan transparansi berperan sebagai katalisator praktik korup, justru mendorong para pelakunya untuk lebih lihai dalam menyiasati berbagai sandaran normatif guna memperoleh keuntungan pribadi. Hasil studi itu juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti demokrasi multi-partai kurang rentan terhadap korupsi daripada pilihan proses politik lainnya. Dalam konteks ini penting untuk digarisbawahi pernyataan Olivier de Sardan (1999: 34) bahwa: “setiap jenis rezim mengembangkan bentuk korupsinya tersendiri: korupsi pemilu terkait dengan demokrasi, dengan cara yang sama bahwa pasar gelap terkait dengan bentuk kontrol devisa dari birokrasi.” Para antropolog yang telah sejak lama “bergaul” dengan para “koruptor” di berbagai medan penelitian mereka memberikan nasihat untuk bersikap waspada dalam mengambil sistem hukum negara sebagai acuan dalam me-

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

nilai korupsi atau tidak korupsi. Dalam banyak kasus mereka mendapatkan bahwa aparatur negara itu sendiri tampaknya terlibat dalam mendukung korupsi dengan cara mengubah hukum sekalipun sehingga yang illegal menjadi legal atau sebaliknya (Haller dan Shore 2005: 4). Dalam banyak kesempatan, aturan-aturan hukum tidak pernah benar-benar kongkrit dan selalu tunduk pada interpretasi sehingga memunculkan ketidakpastian hukum dan kesenjangan antara aturan hukum abstrak dan situasi kehidupan nyata sekaligus membuka luas kemungkinan hukum untuk dieksploitasi oleh para ahli hukum. Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Sally Falk Moore (1978: 1) berikut: “pembuatan aturan dan tatanan sosial simbolik adalah industri manusia hanya cocok dengan melakukan manipulasi, pengelakan, memperbaharui, mengganti, dan merombak aturan dan simbol dimana orang tampaknya terlibat hampir sama.” Olehnya para antropolog juga menyarankan tentang pentingnya untuk mempelajari hukum dan profesi hukum, bukan hanya karena kelompok profesi ini sangat rentan terhadap korupsi, tetapi juga karena hakim dan pengacara seringkali bermanuver dalam mendefinisikan dan menafsirkan ruang lingkup hukum dengan tujuan mengeksploitasi ketidakpastian tersebut. Korupsi: Refleksi Aksiologis Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perilaku korup tidak dapat dipisahkan senantiasa dekat, melekat, bahkan tertanam dalam kekuasaan. Premis ini mengingatkan kembali pernyataan paling populer dari Lord Acton 126 tahun yang lalu (1887) bahwa: “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority; still more when you superadd the tendency of the certainty of corruption by authority.”

5


Mengapresiasi spirit pernyataan Lord Acton tersebut dan mengacu pada hasil-hasil kajian korupsi yang telah tak ternilai oleh para antropolog, Nuijten dan Anders (2007) mengusulkan pentingnya mempelajari kajian antropologi korupsi melalui tiga tingkatan abstraksi: pertama: kekuasaan dalam interaksi; kedua: kekuatan institusional; dan ketiga: kekuatan struktural. Abstraksi pertama berfokus pada transaksi yang dihubungkan antara individu yang mensyaratkan konteks kekuasaan kelembagaan struktural, misalnya: suap sebagai imbal jasa layanan administrasi. Mengutip pernyataan Lemke (2003: 5) bahwa: “kekuasaan sebagai permainan strategis adalah ciri dari interaksi manusia di mana-mana, sejauh itu menandakan kemungkinan untuk mengatur tindakan orang lain, yang dapat mengambil banyak bentuk, misalnya manipulasi ideologis atau argumentasi rasional, saran moral atau eksploitasi ekonomi.� Abstraksi pada tingkatan kedua menekankan pada kekuatan kelembagaan dan lebih mengacu pada peraturan perilaku melalui praktik-praktik yang dilembagakan yang umumnya terkait dengan munculnya ritual diskursif tertentu. Contohnya: cara-cara mapan yang efektif menangani polisi untuk menegosiasikan denda lalu lintas, yang tidak hanya mensyaratkan adanya keterampilan pribadi tetapi juga ekspresi bahasa tubuh dan kata-kata yang digunakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya pemerasan sebagai wacana performatif dimana subjektifitas penyuap dan yang disuap atau pemeras dan yang diperas diproduksi. Petikan dialog antara polisi (P1 dan P2) dan supir (S) yang dikutip dari status Facebook salah seorang kawan pada kotak berikut, adalah sebuah kasus faktual yang sangat menarik, dimana proses eksploitasi yang menggunakan argumen kekuasaan kelembagaan ditanggapi secara performatif: P1 : Selamat siang mas, bisa lihat SIM dan STNK?

6

S : Baik Pak P1 : Mas tahu kesalahannya apa? S : Gak pak P1 : Ini nomor polisinya gak seperti seharusnya (sambil nunjuk ke plat nomor taksi yang memang tidak standar sambil menulis dengan sigap di buku tilang) S : Pak jangan ditilang deh, plat aslinya udah gak tau kemana, kalau ada pasti saya pasang P1 : Sudah, saya tilang saja, banyak mobil curian sekarang (dengan nada keras) S : Kok gitu, taksi saya kan ada STNKnya pak, ini kan bukan mobil curian! (dengan nada keras juga) P : Kamu itu kalau dibilangin kok ngotot (dengan nada lebih tegas), kamu terima saja surat tilangnya (sambil menyodorkan surat tilang warna merah) S : Maaf pak saya gak mau yang warna merah suratnya, saya mau yang warna biru aja P1 : Hey, (dengan nada tinggi) kamu tahu gak sudah 10 hari ini form biru itu gak berlaku! S : Sejak kapan pak form biru surat tilang gak berlaku? P1 : Inikan dalam rangka operasi, kamu itu gak boleh minta form biru. Dulu kamu bisa minta form biru, tapi sekarang ini kamu gak bisa. Kalo kamu gak mau, kamu ngomong sama komandan saya (dengan nada keras dan ngotot) S : Baik pak, kita ke komandan bapak aja sekalian (dengan nada nantangin tuh polisi) P1 : Kamu ini melawan petugas? (dengan muka bingung) S : Siapa yang melawan!? Saya kan cuman minta form biru. Bapak kan yang gak mau ngasih P1 : Kamu jangan macam-macam ya, saya bisa kenakan pasal melawan petugas! S : Saya gak melawan! Kenapa bapak bilang form biru udah gak berlaku? Gini aja pak saya foto Bapak aja deh, kan bapak yang bilang form biru gak berlaku (sambil ngambil handphone) P : Hey! Kamu bukan wartawan kan? Kalau kamu foto Saya, Saya bisa kandangin (sambil berlalu) Kemudian si sopir taksi itupun mengejar

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


polisi itu dan sudah siap melepaskan “shoot foto pertama” (tiba-tiba dihalau oleh seorang anggota polisi lagi) P2 : Mas, Anda gak bisa foto petugas seperti itu S : Si bapak itu yang bilang form biru gak bisa dikasih (sambil tunjuk polisi yang menilangnya) Lalu si polisi kedua itu menghampiri polisi yang menilang tadi, ada pembicaraan singkat terjadi antara polisi yang menghalau si sopir dan polisi yang menilang. Akhirnya polisi yg menghalau tadi menghampiri si sopir taksi: P2 : Mas mana surat tilang yang merahnya? (sambil meminta) S : Gak sama Saya pak, masih sama temen bapak tuh (polisi kedua memanggil polisi yang menilang) P1 : Sini tak kasih surat yang biru (dengan nada kesal) Lalu polisi yang menilang tadi menulis nominal denda sebesar Rp.30.600 sambil berkata: P1 : Nih Kamu bayar sekarang ke BRI, lalu Kamu ambil lagi SIM Kamu di sini, Saya tunggu S : Ok pak, gitu dong kalo gini dari tadi kan enak.

Abstraksi ketiga, kekuasaan ini dianalisis secara struktural yang berkaitan dengan hubungan yang stabil dan hierarkis dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga posisi wacana diskursif yang diperlihatkan cenderung konstan sehingga sulit bagi kemungkinan adanya celah manuver untuk membalikkan situasi. Jenis abstraksi kekuasaan ini menurut Lemke (2003: 5). Umumnya mengacu pada hubungan-hubungan asimetris yang melampaui subordinasi perorangan. Abstraksi struktural ini menunjukkan bahwa ruang lingkup kegiatan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

korupsi yang menyebabkan tidak terciptanya “efek kue menetes”, atau dengan kata lain jabatan sebagai bos memiliki lebih banyak kemungkinan untuk memperkaya pribadi secara ilegal dan perlindungan dari tuntutan hukum dari pegawai rendahan. Dengan demikian perspektif struktural menekankan kuatnya hubungan korupsi dengan ketimpangan distribusi sumber daya di masyarakat. Konsekuensi penting dari pendekatan struktural antropologi terhadap kekuasaan dan korupsi adalah bahwa transaksi korup secara perorangan perlu dianalisis dalam konteks praktik yang dilembagakan secara lebih luas. Temuan Hasty (2005: 271), menyebutkan bahwa tindakan korup dalam tingkatan abstraksi ini kadang kala diekspresikan tidak hanya bersifat eksklusif-eksploitatif dan individualistis semata, namun juga diwujudkan dalam bentuk “kepentingan pribadi yang sangat sosial serta dibentuk oleh gagasan sosial budaya kekuasaan yang lebih besar, hak istimewa, dan tanggung jawab”. Di samping itu, ada tantangan etika bagi individu politik yang seringkali dihadapkan dengan keadaan sulit. Korupsi laksana jaring laba-laba yang bahkan niat baik pribadi sekalipun tanpa terduga dapat seketika berubah menjadi jeratan. Situasi ini ditemukan dimana individu tidak sanggup menahan tekanan kelembagaan dan struktur kekuasaan. Heyman (1999), mengatakan bahwa seringkali hebohnya retorika transparansi justru menyembunyikan wajah buram kekuasaan, yang ditandai dengan mencoloknya kolaborasi mutualis antara pemerintah dengan jaringan kriminal. Dalam suatu penelitiannya di Chad Basin, wilayah perbatasan antara utara Kamerun, Chad, Nigeria, dan Republik Afrika Tengah, Roitman (2005: 204) memetakan zona-zona ambiguitas antara negara dan jaringan kejahatan di etnografinya yang berkisah tentang kolusi rahasia antara pejabat negara dan jaringan kejahatan klandestin. Roitman menemukan bahwa penyelundup dan perampok jalan raya berkolusi dengan pejabat militer, pengusaha

7


kaya, fungsionaris partai, dan para pemimpin tradisional yang membiayai operasi kriminal mereka sekaligis sebagai penerima manfaat utama. Roitman mengistilahkan: “nexus militer komersial” untuk menunjukkan jaringan ini. Keterikatan negara dengan para aktor ekonomi bayangan menyiratkan bahwa: “negara terletak di jantung proliferasi pertukaran ekonomi yang tidak diatur dan jamak dari otoritas”. Penelitian yang dilakukan oleh Znoj (2007) di Indonesia, menegaskan bahwa ketiga tingkatan abstraksi tersebut beserta implikasinya secara luas, dengan terang-benderang telah mendorong terjadinya proses demistifikasi klaim bahwa negaralah yang ampuh mengarahkan perilaku masyarakat melalui penggunaan hukum efektif dalam memerangi korupsi. Dengan demikian, kegagalan hukum untuk mengurangi tingkat korupsi, tidak selalu disebabkan oleh ketidaksempurnaan hukum,—dalam bentuk ketersediaan alat bukti dan ketidakpastian hukum—melainkan untuk menjelaskan adanya pengesahan praktik rahasia korupsi oleh otoritas negara. “Terus terang pengalaman empiris kita selama delapan tahun lebih ini, saya menganalisis ada dua jenis korupsi. Pertama, memang korupsi itu diniati oleh pelakunya untuk melakukan korupsi, ya sudah good bye. Tetapi ada juga kasus-kasus korupsi terjadi karena ketidakpahaman seseorang pejabat bahwa yang dilakukan itu keliru dan itu berkategori korupsi. Maka negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat untuk melakukan korupsi, tetapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya, tugas yang datang siang dan malam, kadangkadang memerlukan kecepatan pengambilan keputusan, memerlukan kebijakan yang tepat. Jangan biarkan mereka dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi.”5 5 Sambutan Presiden Republik Indonesia Puncak Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Tahun 2012 di Istana Negara 10 Desember 2012. Saya memberi tanda garis bawah beberapa pernyataan yang relevan sebagai penekanan. Kutipan ini beserta arsip pidato presiden lainnya transkripsinya dapat ditemukan pada website resmi Presiden RI. Selengkapnya dapat diakses pada link berikut: http://www.presidenri.go.id/index.php/ pidato/2012/12/10/2021.html

8

Skandal Bank Century yang menyita perhatian masyarakat Indonesia atas rekayasa bail out Rp. 6,7 triliun, secara telanjang menunjukkan bagaimana permainan di balik pengucuran dana triliunan rupiah itu telah melibatkan berbagai aktor penting negara yang berkolusi dengan praktisi perbankan pada paling tidak lima dugaan pelanggaran yang menjadi arena mega skandal tersebut. Pertama, proses merger dan pengawasan Bank Century oleh Bank Indonesia; kedua, pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP); ketiga, penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); keempat, penggunaan dana FPJP dan Penyertaan Modal Sementara (PMS); dan kelima, praktik tidak sehat dan pelanggaran oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak terkait yang merugikan Bank Century (lihat misalnya Sitompul 2012). Mega skandal korupsi tersebut menambah panjang daftar catatan hitam ungkapan Noteboom (dalam Aspinall dan Van Klinken 2010: 237) “perkawinan tanpa nikah” antara negara yang dibajak oleh aparatnya yang korup dengan lingkaran bisnis dan masyarakat sipil umumnya, sehingga batas antara yang legal dan ilegal tidak akan pernah benar-benar muncul di permukaan. Gagasan penguatan dan pemberdayaan berbagai elemen masyarakat sipil dalam mengawasi berbagai celah yang memungkinkan terjadinya korupsi, seperti yang diusulkan oleh Aspinall dan Van Klinken (2010), mungkin baik dan menjadi kabar menyenangkan bagi pegiat organisasi non pemerintah di Indonesia. Meski demikian, ide ini juga dapat menjadi blunder karena akan menambah atau memindahkan beban agenda “akuntabilitas” kepada masyarakat pada saat dimana seharusnya tanggung jawab itu ada di pundak para aparat pemerintah. Bagaimana para antropolog menjawab tuduhan bahwa mereka cenderung berlindung dalam jubah romantisisme historis-relativis atas tuntutan hukum global korupsi? Dalam bentangan khazanah kajian antropologi, ke-

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


hadiran pluralisme hukum dipandang sebagai suatu konsep yang strategis dalam menjelaskan korupsi. Sebagaimana secara luas diketahui, bahwa pluralisme hukum memberikan pengakuan terhadap koeksistensi beberapa aturan yang ada dalam berbagai pranata sosial yang mempengaruhi tindakan manusia seperti: hukum negara, aturan adat, agama, kode moral, dan norma-norma praktis kehidupan sosial. Seluruh aturan tersebut seringkali terjadi dan berlaku dalam situasi yang bersamaan sehingga menampilkan konfigurasi kemajemukan hukum dalam pengaturan sosial. De Sousa Santos (1995), menyebut perspektif pluralisme hukum dimaksud sebagai konsep antar-legalitas (interlegality). Kajian klasik Moore (1978) di bidang antropologi hukum, mengungkapkan munculnya peraturan dan norma-norma informal dalam kehidupan sosial pada diri masyarakat itu sendiri yang terlihat bertentangan dengan peraturan resmi. Sementara hasil beberapa penelitian lainnya telah menunjukkan terjadinya interaksi yang kompleks di antara sistem normatif yang berbeda, yang mendorong lahirnya hibriditas hukum atau hukum tak bernama (F. BendaBeckmann 1985; Griffiths 1996; dan Nader 1990). Dengan demikian, dari perspektif pluralisme hukum, bukanlah sesuatu yang mengherankan bahwa apa yang didefinisikan sebagai korupsi menurut salah satu pranata hukum pada saat yang bersamaan tidak dianggap korupsi oleh pranata hukum lainnya.6 Smart dan Hsu (dalam Nuijten dan Anders 2007) menguraikan bagaimana arti penting dari serangkaian aturan alternatif di Cina kontemporer dimana di satu sisi orang membedakan antara tindakan resmi yang dikategorikan sebagai korupsi namun secara moral dibenarkan dalam hal solidaritas dan kepercayaan, dan perilaku yang ditolak dan dinilai sebagai tidak bermoral dan egois, meskipun belum tentu illegal pada di sisi yang lain. Implikasinya 6 Franz von Benda-Beckmann menyebutnya sebagai konsepsi normatif dan konsepsi kognitif hukum. lihat Irianto. 2009. Hukum yang Bergerak. YOI-JHMP FHUI. Jakarta: YOI, Hal. 38-39

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

dalam praktik, bagi mereka yang terlibat dalam perang melawan korupsi dituntut untuk menarik garis hukum, moral, dan politik yang jelas antara perilaku apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam mendefinisikan korupsi, yang oleh para antropolog, proses pendefinisian itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari apa yang harus dipelajari sebelum pada akhirnya tiba pada pemahaman menyeluruh terhadap apa yang didefinisikan. Sebagai fenomena yang tersembunyi dan tersamar, korupsi tentu senantiasa bersifat unik dalam relung kerahasiaannya. Tidak ada korban yang dapat diidentifikasi secara fisik, tidak ada rumah yang dibakar, dan tidak ada brankas yang dibobol secara paksa. Oleh karena itu, sangat wajar pula, dalam percakapan para aktor korupsi senantiasa dibarengi dengan penggunaan idiom rahasia, simbol, atau kode rahasia. Berikut sebuah petikan percakapan melalui Black Berry Messenger (BBM) antara Angelina Sondakh (Angie) dan Mindo Rosalina (Rosa):7 Angie : Bu, masih ada Apel Malang? Rosa : Saya lihat besok ya, Bu. Rosa : Ada apel Malang buat Pak Ketua besok. Rosa : Mungkin Ibu bisa minta ke beliaulah, he-he-he.... Angie : Itu kan beda, hi-hi-hi, soalnya aku diminta Ketua Besar, lagi kepingin Apel Malang. Rosa : Apelku laris banget, nih. Semoga tak sampai lumpur Lapindo ke Malang. Angie : Tugas aku kalau diminta Ketua Besar harus menyediakan. Soalnya apelnya beda rasanya, asli Malang, jadi enggak ada duanya

Kerahasiaan korupsi—percakapan diamdiam, transaksi rahasia, dan pemahaman implisit lainnya—tampaknya menjadi salah satu alasan utama daya tarik populer, pemicu 7 Pesan BlackBerry Ini Diakui Rosa, Dibantah Angie, Tempo Online: Rabu, 15 Februari 2013. Selengkapnya dapat dilihat pada link: http:// www.tempo.co/read/news/2012/02/15/063384110/Pesan-BlackBerryIni-Diakui-Rosa-Dibantah-Angie

9


rumor, fitnah, dan mengakibatkan skandal. Oleh karena itu, tampaknya tindakan penyembunyian sangat penting untuk memahami pengalaman dan praktik korupsi. Bagaimana kekayaan materi yang begitu berlimpah dalam kehidupan seseorang dapat secara “tiba-tiba” hadir, menjadi kasat dalam penglihatan dan mengundang reaksi banyak orang? Jawaban atas pertanyaan ini telah merangsang hadirnya penjelasan yang melampaui rasionalitas. Sihir dan tenun akhirnya tak terhindarkan memasuki arena perdebatan dan menjadi bagian dari wacana penjelasan yang hadir secara paralel dan berjalin berkelindan dengan kontestasi kekuasaan sebagai konsekuensi tekanan proyek global demokrasi dan transparansi, sebagaimana yang terjadi di Maluku Utara, Jawa, dan wilayah lainnya di Indonesia (Bubandt 2006; Alhumami 2012). Fakta koinsidensi naratif-diskursif korupsi, kekuasaan, dan sihir atau tenun, mengantar jangkauan imajinasi studi antropologi korupsi pada “wajah kebenaran lain”8 dari model klasik tentang persaingan akses sumber daya yang terbatas—“image of limited goods” (Foster, 1965: 296): “By ‘Image of Limited Good’ I mean that broad areas of peasant behavior are patterned in such fashion as to suggest that peasants view their social, economic, and natural universes—their total environment—as one in which all of the desired things in life such as land, wealth, health, friendship and love, manliness and honor, respect and status, power and influence, security and safety, exist in finite quantity and are always in short supply, as far as the peasant is concerned.”

Bagaimana mendefinisikan “objek” penelitian yang tidak hanya memiliki implikasi metodologis yang dapat digunakan dalam mempelajari korupsi?; jenis pertanyaan apa yang “nyaman” diajukan dalam penelitian?; dan bagaimana jika gagal untuk bertanya? Studi 8 “Wajah kebenaran lain” pertama-tama dimaksudkan sebagai kebenaran dalam konteks berbeda dari kritik utama Kennedy (1966) atas konsep Foster tentang “image of limited goods”. “Kebenaran lain” yang tak kalah penting dalam konteks tulisan ini: semangat yang nyaris tidak masuk akal dalam persaingan memperebutkan sumber daya kekuasaan dalam era demokrasi saat ini—sebagai kontras atas konteks dari konsep Foster dimaksud

10

antropologi korupsi mengantar dan membuka ruang budaya dalam konteks yang lebih luas, dimana korupsi dan wacana korupsi itu terjadi. Dibutuhkan suatu pendekatan studi korupsi yang tidak hanya sensitif terhadap dimensi politik korupsi, namun juga dapat melampaui studi yang hanya terbatas pada lembaga-lembaga politik atau politik secara eksklusif. Nancy Postero (2000:1) salah satu antropolog yang berada dalam garis depan studi korupsi menyediakan tiga alasan etis profesional mengapa para antropolog dapat “lebih akrab” dengan “koruptor”. Pertama: karena antropolog pasti tabu mengkritik informan mereka, yang sama saja melakukan pengkhianatan kepercayaan dan keyakinan; kedua: karena menyelidiki korupsi dapat membahayakan penelitian dan si peneliti itu sendiri; dan terakhir: karena secara alamiah orang cenderung untuk menjaga hal-hal rahasia, terutama dari pihak luar. Catatan Akhir Seperti biasanya, antropologi memasuki arena perdebatan korupsi didorong oleh sejumlah alasan: teoritis, metodologis, dan implikasi praktis. Pemahaman refleksif antropologi secara tradisional niscaya senantiasa berkaitan dengan cara-cara memahami aturan dan norma-norma yang mengatur perilaku sosial. Seperti saran Shore dan Haller (2005), cara paling baik untuk menjelaskan korupsi sebagai metafora yang tersembunyi dan tersamar, adalah melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran, reaksi terhadap pelanggaran tersebut, dan strategi dan taktik yang digunakan pelaku untuk melakukan negosiasi antara norma dan aturan yang berbeda. Hasil studi dan analisis korupsi yang dilakukan oleh para antropolog mengungkapkan bahwa secara kritis antropologi telah menempatkan konsep korupsi sebagai suatu fenomena sosial yang dilembagakan dan tertanam dalam lansekap yang lebih luas menyangkut hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Tentu saja, kontek-

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


tualisasi tindakan individu sangat membantu dalam mengungkapkan dimensi sistemik dan struktural korupsi. Dalam pandangan antropologi, hukum dan korupsi tidak berlawanan tetapi menjadi bagian satu sama lain. Studi antropologi korupsi pada akhirnya dimaksudkan tidak hanya sebagai suatu upaya mengubah cara pandang dominan baik antropologi maupun ilmu sosial-humaniora lainnya terhadap fenomena korupsi, namun pada akhirnya juga akan merubah wajah antropologi itu sendiri. Apakah misalnya, pertanyaan “pandir” bahwa demokrasi identik dengan tenun atau sihir?; atau apakah neo-patrimonialisme birokratis ternyata telah mengeksploitasi praktik tukar-menukar hadiah? Studi antropologi

adalah arena produksi pengetahuan di bidang ini pada masa-masa yang akan datang. Penelusuran etnografis setidaknya diharapkan dapat menyingkapkan: pertama, proses kontinuitas, diskontinuitas, dan dialektika antarwacana global dan lokal korupsi yang hingga saat ini batas-batasnya masih kabur atau mungkin sengaja dikaburkan; kedua: formulasi metodologis yang ampuh dalam menafsirkan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai suatu kebutuhan analisis; dan ketiga mendudukkan batas-batas toleransi etis profesional state of the art ilmu antropologi dan sumbangsihnya terhadap kebijakan.

Daftar Pustaka Alhumami, A. 2012 Political Power, Corruption, and Witchcraft in Modern Indonesia. Ph.D Thesis (Unpublished). Department of Anthropology, The University of Sussex. Sussex: UK Anderson, B.R.O’G 2007 The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt (Peny.) Culture and Politics in Indonesia. Cornell Modern lndonesia Project Monograph Series. Ithaca, N.Y.: Cornell University. Reprinted by Equinox Asia Publishing, Hal. 1-70 Anders, G. 2005 Civil Servants in Malawi: Cultural Dualism, Moonlighting and Corruption in the Shadow of Good Governance. Ph.D Thesis (Unpublished). Rotterdam: Erasmus University Rotterdam Aspinall, E. dan Gerry V.K. (Peny.) 2010 The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press. Bubandt, N. 2006 “Sorcery, Corruption, and the Dangers of Democracy in Indonesia”. Journal of the Royal Anthropological Institute (N.S.) 12 (413-431) Camp, R. 1996 Politics in Mexico. Oxford: Oxford University Press Chabal, P. and J.-P. Daloz 1999 Africa Works: Disorder as Political Instrument. Oxford, Bloomington and Indianapolis: James Currey and Indiana University Press.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

11


DaMatta, R. 1991 Carnivals, Rogues, and Heroes: An Interpretation of the Brazilian. Notre Dame, Notre Dame: University of Notre Dame Press. Evers, H.D. 1987 “The Bureaucratisation of Southeast Asia”. Comparative Studies in Society and History 29, Hal. 666–685 Foster, G.M. 1965 “Peasant Society and the Image of Limited Good”. American Anthropologist, 67 (293–315) Foucault, M. 1991 “Governmentality”, in G. Burchell et al. (Peny.) The Foucault Effect: Studies in Governmentality. Chicago: The Chicago University Press, (87-104) Griffiths, A. 1996 “Between Paradigms: Differing Perspectives on Justice in Molepole Botswana”, Journal of Legal Pluralism 36 (195–214) Haller, D. dan C.Shore (Peny.) 2005 Corruption Anthropological Perspectives.London: Pluto Press Hasty, J. 2005 “The Pleasures of Corruption: Desire and Discipline in Ghanaian Political Culture”. Cultural Anthropology 20[2](271--301) Heidenheimer, A. 1989a “Terms, Concepts, and Definitions: An Introduction, dalam A. Heidenheimer”, M. Johnston and V. LeVine (Peny.) Political Corruption: A Handbook. New Brunswick, New Jersey: Transaction, Hal. 3-14 1989b “Perspectives on the Perception of Corruption”, dalam A. Heidenheimer, M. Johnston and V. LeVine (Peny.) Political Corruption: A Handbook. New Brunswick, New Jersey: Transaction, Hal. 149-164 Heyman, J. McC. (peny.) 1999 States and Illegal Practices. Oxford: Berg. Irianto, S. (Peny.) 2009 Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta: YOI Moore, S.F. 1978 Law as Process: An Anthropological Approach. Oxford: Oxford University Press. Nader, L. 1990 Harmony Ideology: Justice and Control in a Mountain Zapotec Village. Stanford, CA: Stanford University Press Kautilya. 1991 The Arthashastra. New Delhi: Penguin Books

12

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


Keesing, R.M. 1987 “Anthropology as interpretive quest”. Current anthropology, 28[2](161--176). Kennedy, J.G. 1966 “Peasant Society and the Image of Limited Good : A Critique”. American Anthropologist, 68[5](1212--1225) King, D.Y. 2000 “Corruption in Indonesia: A Curable Cancer?”, Journal of International Affairs, Spring, 53(2) Komisi Pemberantasan Korupsi RI 2006 Memahami Untuk Membasmi : Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK Krastev, I. 2003 “When “Should” Does Not Imply “Can:” The Making of the Washington Consensus on Corruption”. Dalam: W. Lepenies (ed.) Entangled Histories and Negotiated Universals: Centers and Peripheries in a Changing World. Frankfurt: Campus, Hal. 105–126. Lambsdorff, Taube dan Schramm. 2005 The New Institutional Economics of Corruption. New York: Routledge Lemke, T. 2003 Foucault, Governmentality and Critique. Paper presented at the Staff Seminar of the Amsterdam School for Social Science Research, 16 September 2003, Amsterdam UVA/ASSR. Lomnitz-Adler, C. 1992 Exits from the Labyrinth: Culture and Ideology in the Mexican National Space. Berkeley, CA: University of California Press MacMullen, R. 1988 Corruption and the Decline of Rome. New Haven: Yale University Press. Moertono, S. 2009 “State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century” (Reprinted). Cornell Modern lndonesia Project Monograph Series. Ithaca, N.Y.: Cornell University. Reprinted by Equinox Asia Publishing. Nuijten, M. dan G. Anders 2007 Corruption and the Secret of Law : a Legal Anthropological Perspective. Hampshire: Ashgate Publishing Limited Olivier de Sardan, J.-P. 1999 “A Moral Economy of Corruption in Africa?” Journal of Modern African Studies 37([1]25– 52). Pardo, I. (Peny.) 2004 Between Morality and The Law: Corruption, Anthropology and Comparative Society. Aldershot: Ashgate

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

13


Postero, N. 2000 A Case Study of Land Loss and Leadership in a Guaraní Village. Paper delivered at 2000 AAA meeting, San Francisco. Roitman, J. 2005 Fiscal Disobedience: An Anthropology of Economic Regulation in Central Africa. Princeton, NJ: Princeton University Press. Schrauwers, A. 1999 “It’s not economical’: The Market Roots of a Moral Economy.” In Tania Li (Peny.) Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production, Hal. 105-29. London/ Singapore: Harwood Academic Publishers/ ISEAS Sitompul, C. 2012 Skandal Bank Century: Rekayasa Bail Out Rp. 6,7 Triliun. Jakarta: PPHASP FH-UI Snoj, H. 2007 “Deep Corruption in Indonesia: Discourses, Practices, Histories”. Dalam Nuijten dan Anders: Corruption and the secret of law : a legal anthropological perspective. Hampshire: Ashgate Publishing Limited, (53-74) Van Klaveren, J. 1989 “The Concept of Corruption”, in A. Heidenheimer, M. Johnston and V. LeVine (Peny.) Political Corruption: A Handbook. New Brunswick, New Jersey: Transaction, Hal. 25-28 Wilson, R.C. 1989 Ancient Republicanism : Its Struggle for Liberty Against Corruption. New York: P. Lang. www.gutenberg.myebook.bg www.presidenri.go.id www.tempo.co www.transparency.org www1.worldbank.org

14

Nasrum, Tentang Kata Korupsi yang...


• Panduan Penulisan untuk Kontributor

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email journal.ai@gmail.com dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:

Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: journal.ai@gmail.com


ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat Di Kecamatan Marawola) Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

91


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.