THE KING OF COMEDY
THE KING OF COMEDY
EXPLORING MORALITY ISOLATION
The King of Comedy, karya Martin Scorcese dari tahun 1982, merupakan suatu interpretasi mutlak dari apa maksudnya pengucilan secara moral. Film ini diikuti oleh seorang pria bernama Rupert Pupkin yang ingin menjadi seorang comedian. Dia mengagumi seorang pembawa acara stand-up comedy, Jerry Langford, dan mencoba mendatanginya untuk berharap layar televisi bagi wajahnya. Kegagalan yang mutlak ini mendorongnya berbuat kriminal kepadanya bersama teman psikotiknya, Masha.
Apakah kita salah paham terkait isolasi atau biasa kita sebut pengucilan? Bagaimana jadinya pengucilan itu tampak baik-baik saja, sehingga disadari terlalu lambat sebagai masalah? Kehidupan yang serbamodern dan marak akan perkembangan teknologi mutakhir menjadikan manusia hidup, tidak hanya dalam pengucilan secara sosial, tetapi juga pengucilan secara moral. Ini yang Martin Scorcese dan rekannya, Robert de Niro ingin sampaikan.
“I'M GONNA WORK 50 TIMES HARDER, AND I'M GONNA BE 50 TIMES MORE FAMOUS THAN YOU.” - RUPERT PUPKIN
Memang terdengar mudah untuk diikuti dan memang demikian. Film ini diarahkan pada pembawaan komedi-satirikal yang khas dengan jalan cerita linear dan konflik idealistisnya. Tidak banyak musik dimainkan, terkecuali saat adegan acara televisi dimulai. Penerangan cenderung natural dan low-key, seperti tengah menunjukkan visual yang realis. Perekaman terbilang datar (straight-on shot), sehingga tampak biasa-biasa saja, bahkan condong amatir. Tidak ada inner monologue seperti pada film-film Martin Scorsese pada umumnya, seakan-akan film ini tidak diwakilkan oleh seorang narator dan menjadikannya sebagai suatu dokumenter, yaitu dokumentasi akan pertanyaan moral tokoh utama film ini.
Rupert Pupkin bukanlah seseorang terkecuali seorang pria naif yang tidak berpengalaman. Mungkin berbakat, tetapi tidak berpengalaman Karakternya termasuk tidak disukai karena menganggap dirinya superior terhadap keahliannya tersendiri Kecenderungan dia untuk menjadi denial tidak bisa terhindarkan. Dia mengakui bahwa Jerry Langford bukanlah idolanya dan tetap dia mengejarnya karena tidak hanya mengaguminya, tetapi juga menggantikannya. Dia menganggap dirinya sama baiknya, bahkan lebih baik, daripada The King of Comedy. Tidak dapat dipungkiri, Robert de Niro sungguh menjiwai karakternya yang naif melalui pembawaan karakternya yang tidak mempertanyakan situasi-kondisi. Performansinya mempertanyakan apa realitas yang semestinya terjadi.
Film ini menilik lebih jauh tentang kebudayaan dan politik masyarakat urban Amerika Serikat di dekade 1950-an hingga 1960-an. Saat itu, teknologi masih terbatas Telepon sebatas telepon umum Pakaian masih rapi dan perabotan-perabotan masih minimalis. Ketenaran sebagai menjadi bintang tamu di televisi atau di majalah. Kehidupan personal para selebritas tidak begitu terbuka dan masih cenderung rahasia Hanya orang-orang obsesif saja yang tahu, seperti Rupert Pupkin.
Sejatinya, film ini tidak menimbulkan pertanyaan akan kelogisan cerita. Akan tetapi, suatu hal dapat dipertanyakan, yaitu bagaimana karakter Rupert Pupkin bisa sangat naif? Apakah memang ada orang seperti ini? Bagaimanakah karakter Pupkin bisa masuk ke dalam acara televisi tanpa memikirkan bahwa orang ini bisa berbahaya? Pada akhirnya, film ini merupakan dramatisasi suatu cerita nyata, sehingga realismenya tidak perlu dipertanyakan Meskipun demikian, fakta bahwa film ini terinspirasi dari cerita nyata suatu fanatisme memberikan suatu cahaya akan apa yang dapat dipahami pada dekade 1960-an wilayah urban Amerika Serikat
BETTER TO BE KING FOR A NIGHT THAN A SCHMUCK FOR A LIFETIME. - RUPERT PUPKIN
Karakter Rupert Pupkin menggambarkan realisme atas keobsesifan salah seorang penggemar fanatik Johnny Carson. Pada awalnya, Scorcese ingin Johnny Carsonnya langsung bersandiwara, tetapi hati tidak berkata demikian, sehingga dia memilih seorang pembawa acara tenar lainnya, Jerry Lewis dengan nama tokoh Jerry Langford
Sudah menjadi kekhasan Martin Scorcese untuk mengangkat cerita dari karakter pria dan mengarahkannya pada toxic masculinity Sering dijumpai bahwa filmnya mengandung inner monologue dan banyak senandika dari Sang Karakter, sehingga menguatkan topik terkait self-worth dan dominansi. Akan tetapi, The King of Comedy merupakan permainan yang agak berbeda Karakter Pupkin tidaklah menjadi yang banyak bersedih atau mempertanyakan self-worth, tetapi menjadi karakter yang sungguh naif akan dirinya sendiri dan berpikir bahwa dia lebih baik daripada Jerry Langford. Ketimbang inner monologue, film ini menyajikan beberapa menit adegan Rupert Pupkin sungguh-sungguh bermonolog di kamarnya tersendiri dan melepaskan pikirannya pada penonton hayalannya Karakternya berhasil mendominasi cerita dan film tanpa memberikan area abu-abu pada karakternya yang sudah abu-abu dan tidak tahu betul akan aslinya dunia perkomedian.
Cerita Rupert Pupkin masuk televisi menjadikan seakan-akan individualisme dan isolasi sudah ada sejak pertengahan abad ke20. Perkembangan teknologi yang mutakhir, bahkan pada zaman itu, menjadikan Sebagian kecil masyarakat menjauh dari kenyataan dan membenarkan moralnya yang amoral. Sama seperti karakter Robert Pupkin, dia tidaklah memiliki siapa pun di tempat dia tinggal, tidak dengan “kekasih” miliknya atau teman perempuannya yang psikotis atau ibunya Suatu anomaly untuk berpikir bahwa Pupkin mengira ibunya seorang alkoholik, padahal ibunya sering memanggil-panggil namanya di rumah Tidak hanya secara ruang dan waktu terisolasi, tetapi moral pun terisolasi, dan ini sebagai implikasi dari perkembangan teknologi yang semakin modern.