Operasi Menyelamatkan Indonesia Seorang Pasien menderita kanker stadium akhir, jamu-jamuan dan obatobatan tak mempan menyembuhkan sakitnya. Jalan satu-satunya agar kangkernya luput dari
tubuhnya hanyalah operasi bedah progresif. Sebelum sekarat, pasien
tersebut memiliki gejala “kelaparan yang tersembunyi” atau hidden hunger yang membuat secara fisik luar, penyakit ini tak terlihat jelas dan gejala kekurangan tidak timbul secara fisik. Alhasil kini tubuh menjadi sekarat dan menjalar ke seluruh tubuh dengan senyap. Beberapa tabib dan dokter mencoba memberikan jamu dan obatobatan, sayangnya aksi para penyembuh tak ubah seperti aksi tambal sulam yang gagal mendongkel akar penyakit. Bayangkan orang tersebut adalah Bangsa Indonesia. Terpuruk berat, namun tak menyadarinya menjadi potensi mematikan adalah penggambaran bagi Bangsa Indonesia yang tengah menyongsong hingar bingar pesta demokrasi. Indonesia butuh calon pemimpin yang berani menawarkan jalan bedah progresif bagi Indonesia. Jika dilihat secara seksama, kebanyakan capres hanya menawarkan “jamu” yang hanya mengurangi rasa sakit, namun tak mampu menyingkirkan penyakit dengan segala resikonya, meskipun secara teoritik hampir keseluruhan capres yang muncul mampu memberikan paparan jalan mana yang harus ditempuh bagi Indonesia Akar Penyakit Tidak terlaksananya reforma agraria sesuai dengan mandat UUD 45, UUPA 1960 dan Tap MPR No IX Tahun 2001 adalah bagian akar krisis total yang mendera Indonesia. Tekad yang nihil dari para elit bangsa untuk melaksakannya telah mendorong krisis total ini berdimensi luas dan berpotensi terakumulasi menjadi konflik agraria, kelaparan dan kerawanan sosial. Kenyataan bahwa perampasan tanah di era pasca reformasi dengan pendudukan lahan-lahan pertanian garapan rakyat oleh korporasi asing kian nyata. Indonesia menjadi “pemuas” korporasi asing yang lapar tanah dengan konsekuensi penguasaan yang lintas waktu melampaui sirkulasi politik 5 tahunan. Dari data land matrix 2013 setidaknya ada 3.267.839 Ha lahan pertanian kita telah diserahkan melalui pemberian hak kepada korporasi raksasa asing. Tercatat negaranegara “lapar tanah” asal korporasi tersebut antara lain: Malaysia; Singapura;
Inggris Raya; India; Korea; Amerika; Malaysia; Cina, Perancis; Belgia; Srilangka; Thailand dan India yang totalnya mencapai 115 perjanjian konsesi dengan Pemerintah Indonesia. Contoh adalah Malaysia memiliki kontrak lahan sebesar 1,449.084. Ha di Indonesia dengan 45 perjanjian kesepakatan kontrak dengan korporasi raksasa komoditas kelapa sawit dan karet di Kalimantan Barat, Sanggau, Kapuas, Belitung, Ketapang, Kalimantan Tengah, Merauke, Kalimantan Timur, Aceh, Lampung, Bulungam, Pelantaran, Bajarau, Paranggean, Penawai, Resak, Langgam, Katiagan, Muara Siram, Tebing Tinggi, Palas Tanjung Timur, Kutai Barat, Bangka, Jaya Loka, Sumatera Selatan, Musi Rawas, Kutai Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Jambi, Aceh Timur dan Riau. Singapura memiliki 9 kesepakatan kontrak korporasi raksasa di bidang pertanian yang memiliki izin penguasaan lahan pertanian seluas 427.027 Ha di Merauke, Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Riau dengan komoditas tebu, kelapa sawit, buah-buahan sayuran dan jarak pagar. Inggris Raya memiliki 19 perjanjian kontrak penguasaan lahan di Indonesia seluas 198.666 Ha dengan komoditas kelapa sawit, karet dan jarak pagar di wilayah Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah, Bangka, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Labuhan Batu, Aceh dan Kalimantan Timur. Dominasi neoliberalisme sebagai penggerak jepitan tiga arah (tripple squeeze) yang mendera negara berkembang seperti yang diungkapkan Saturnino M Borras yaitu, tekanan atas globalisasi, tekanan samping privatisasi dan tekanan bawah otonomi daerah secara nyata sedang berlaku kencang di Indonesia. Kesalahan Arah dan Paradigma Pembangunan sejak Orde Baru dan dilestarikan oleh rezim pasca orde baru telah melahirkan kekacauan yaitu kehilangan tanah yang semakin meluas akibat perjanjian atau pemberian hak, izin dan konsesi terhadap korporasi swasta asing. Sementara laju konversi lahan pertanian yang mencapai lebih dari 100.000 Ha per tahun serta ketergantungan pangan hingga impor mencapai 125 juta adalah ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup Bangsa Indonesia. Pada 2004 hingga 2009 saja, impor pangan Indonesia terus meningkat. Paling tidak, 16 komponen pangan utama mengalami peningkatan impor antara 35% hingga 331%, dengan rata-rata 118,3% dalam kurun waktu lima tahun. Impor terbesar adalah buah-buahan dan
sayur-sayuran (US$ 584,079 juta), gandum dan olahan gandum (US$ 556,911 juta), gula, olahan gula, dan madu (US$ 372,956 juta), binatang hidup (US$ 312,256 juta), serta daging dan olahan daging (US$ 217,477 juta). Alih-alih membangun pertanian dalam negeri justru hampir semua bahan pangan dibiarkan kran impornya terbuka, beberapa bahkan dengan bea masuk 0%. Nilai impor tanaman pangan dalam kurun 2009-2011 saja sudah menembus 13 miliar USD. Sepanjang tahun 2012 saja, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliyun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya hanya semakin memperbesar membunuh pertanian indonesia. Operasi Progresif Ketergantungan ekonomi terhadap modal asing dengan perjanjian dan kesepakatan menyoal penguasaan sumber-sumber agraria khususnya tanah adalah problem besar bagi pemimpin Indonesia hasil pemilu 2014. Langkah yang tidak bisa tidak adalah melakukan “operasi progresif� dengan mencabut seluruh Kebijakan dan Undang-undang sektoral yang bertentangan dengan UUPA 1960. KPA mencatat ada berbagai peraturan yang saling tumpang tindih dan tidak mengacu pada UUPA 1960, yaitu 12 Undang-Undang; 48 Peraturan Presiden; 22 Keputusan Presiden, 4 Instruksi Presiden, dan 496 Peraturan/Keputusan/Surat Edaran dan Instruksi Menteri Negara/Kepala BPN yang mengatur soal agraria. Langkah berikutnya adalah mencabut izin-izin, Hak dan Konsesi-konsesi penguasaan lahan korporasi asing di tanah Indonesia. Atas persoalan tersebut Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani dan bertanggung jawab namun tidak otoriter dalam mengambil kepurtusan. Setidaknya ada beberapa syarat kunci yang menjadi kriteria. Pertama, pemimpin yang mampu membaca situasi yang sedang berlaku mengacu kepada tekanan dari tiga arah (tripple squeeze) yang sedang dihadapi negara-negara berkembang seperti yang diutarakan oleh S. Borras, yaitu tekanan globalisasi, otonomi daerah dan privatisasi. Kedua, memahami sejarah sehingga mampu mengidentifikasi sejak kapan dan apa yang memberi ciri Indonesia telah menyimpang dari cita-cita proklamasi.Ketiga, bertekad melakukan terobosan seperti operasi bedah progresif dengan melakukan program Reforma Agraria dengan
merombak
atau
mengatur
ulang
struktur
penguasaan,
pengelolaan
dan
pemanfaatan sumber-sumber agraria (tanah, hutan, tambang, migas, air) agar lebih berkeadilan serta melakukan berbagai program penunjangnya. Memang tidak mudah, namun presiden ke depan harus mampu menghitung dengan cermat rentang hidup Indonesia, dengan menghitung laju menjalarnya krisis yang makin meluas. Jika tidak segera ditangani, maka rentang nafas bangsa Indonesia bisa habis, mengingat Laporan Food and Agriculture Organization/FAO (2011) menyebutkan, kelaparan penduduk dunia tahun 2010 mencapai sekitar 925 juta jiwa dan kelaparan penduduk Indonesia mencapai 29.7 juta jiwa Jumlah yang sangat besar terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan ancaman kelaparan dalam negeri. Jika tak ada aral merintang yang berarti dan dengan alasan yang cukup lengkap berupa: kebangkrutan keluarga petani; alih fungsi lahan pertanian; regenerasi petani yang putus dengan Jumlah rumah tangga menurut petani utama yang berusia di atas 54 tahun relatif besar, yaitu 8,56 juta rumah tangga (32,76 persen), maka laju menuju kelaparan akan semakin cepat dan terwujud. Jika ada petani yang masih bertahan, mereka hidup dalam tekanan dan guncangan, lantas semakin lengkap dan nyatalah kelangkaan pangan di masa depan. Menjalankan Reforma Agraria sebagai kerangka utama pembangunan nasional yang berkeadilan sosial harus menjadi Misi utama dalam menyelesaikan problem pokok yang mendera Indonesia yaitu, ketimpangan yang semakin melebar, kemiskinan, hilangnya akses rakyat terhadap sumber kekayaan alam hingga ancaman kelaparan dan krisis energi karena kedaulatan ekonomi yang rapuh. Sebagai Bangsa yang tak meninggalkan sejarah bangsanya, kita harus menginsyafi betul pesan para pendiri bangsa, Dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul ‘Jalannya Revolusi Kita’ (Jarek), Soekarno menegaskan pentingnya pelaksanaan reforma agraria atau land reform demi tercapainya cita-cita revolusi nasional. Maknanya adalah pembangunan Indonesia tanpa landreform adalah gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Galih Andreanto, Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)